Pencarian

Misteri Pedang Pusaka 1

Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh Isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bab l KAKANG Wulung! Ke mana kita akan dibawa oleh burung rajawali raksasa keemasan
ini"!" pekikan keras itu terdengar di angkasa, berasal dari seorang dara jelita
yang mengenakan pakaian ber-
warna biru muda.
Kedua tangan si gadis yang di punggung-
nya terdapat sepasang pedang bersilangan, meng-
genggam erat-erat tangan pemuda berpakaian
abu-abu yang duduk di belakangnya. Wajahnya
sedemikian pucat, laksana tanpa darah.
"Aku tidak tahu, Sri Kunting!" balas si pemuda yang adalah Wulung Seta dengan
berteriak. "Sejak pertama kali kita naik ke punggung burung rajawali raksasa ini, semuanya
normal-normal sa-ja! Tetapi, aku tidak tahu, bahkan tak punya ga-gasan sedikit
pun juga untuk menjawab mengapa
burung ini mendadak berbalik arah"!"
Di sela-sela teriakan keras itu, menggebah
angin raksasa yang luar biasa hebatnya dan be-
nar-benar membuat siapa saja yang melihatnya
akan terkejut. Menyusul keterkejutan yang dalam tatkala mengetahui dari mana
asalnya angin keras yang bergulung-gulung di angkasa. Terutama, saat terdengar
suara sekeras guntur di siang bo-long. "Kraaaggghhh!!"
Seperti diceritakan dalam episode sebe-
lumnya, Wulung Seta dan Sri Kunting sedang
menunggangi burung rajawali raksasa yang bu-
kan lain adalah Bwana, peliharaan Tirta alias Rajawali Emas. Semula keduanya
memang merasa ngeri. Tetapi menyadari kalau burung rajawali
raksasa itu telah menyelamatkan mereka dari
tangan maut yang hendak diturunkan oleh Silu-
man Kawah Api, keduanya pun akhirnya berhasil
menepis keragu-raguan tatkala melihat burung
rajawali raksasa itu seperti menyuruh mereka
naik ke punggungnya. Dan, selagi semua rasa
ngeri menguap, di saat kedua remaja yang sedang menuju ke Bukit Watu Hatur itu
mulai tenang, mendadak saja burung rajawali yang mereka
tunggangi berbalik arah.
Gerakan burung raksasa itu saja sudah
cukup mengejutkan, apalagi tatkala kembali ter-
bang ke arah semula.
Lesatan Bwana yang begitu cepat membuat
wajah Sri Kunting dan Wulung Seta laksana di-
tampar dan dibawa paksa ke arah gebahan angin.
Tanpa sadar, pegangan tangan gadis murid men-
diang Pendekar Pedang ini semakin mengencang
saat memegang tangan Wulung Seta.
Wulung Seta yang sejak semula tidak per-
nah punya pikiran kotor memang dapat merasa-
kan kengerian si gadis, yang sebenarnya juga melanda dirinya. Dan yang menjadi
pertanyaan di benak Wulung Seta, mengapa burung rajawali
raksasa ini kembali arah semula"
"Rayi! Aku tidak tahu mengapa semua ini
terjadi"! Lebih baik kita biarkan diri kita dibawa oleh burung ini!!" seru
Wulung Seta kembali.
"Kakang! Apakah burung ini akan mence-
lakakan kita"!" seru Sri Kunting keras. Sungguh, wajah gadis jelita ini memerah
karena menahan angin laksana tamparan dan mencoba menindih
rasa ngeri yang menjalari tubuhnya.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak! Kita
hanya bisa berharap agar kita selamat!" sahut murid mendiang Ki Alam Gempita
ini. Kendati mulutnya bersuara demikian, namun kata-kata
yang diucapkan oleh Sri Kunting tadi cukup me-
nyentak perasaannya.
Bagaimana bila hal itu benar terjadi" Apa
yang akan mereka lakukan" Nekat melompat da-
lam jarak yang tinggi seperti ini, berarti hanya mencari mati!
"Aku harus menenangkannya," desis Wu-
lung Seta dalam hati. "Kendati Sri Kunting memiliki ilmu yang cukup tinggi,
tetapi dia tetaplah manusia yang memiliki rasa ngeri. Tak jauh berbeda
sebenarnya denganku. Hanya saja, aku coba
kendalikan semua ini bukan dengan emosi!"
Memikir demikian, perlahan-lahan Wulung
Seta melingkarkan kedua tangannya ke tubuh Sri
Kunting. Sekejap gadis yang mengenakan ikat ke-
pala berwarna sama dengan pakaiannya ini me-
lengak. Tetapi di lain kejap, dia tak memperdulikannya. Bahkan dirasakan
kenyamanan yang cu-
kup. "Rayi Sri Kunting! Berdoalah agar kita selamat! Karena, doa juga merupakan
senjata yang ampuh!!" Wulung Seta merasakan kepala si gadis
mengangguk-angguk. Lagi diam-diam pemuda ini
membatin, "Aku tidak tahu apa tindakan itu benar atau tidak. Tetapi, memang
hanya itulah yang bisa kulakukan."
Sementara itu, lesatan Bwana semakin ber-
tambah cepat. Kepakan kedua sayapnya timbul-
kan angin bergulung-gulung mengerikan. Bahkan
di bawah, rerumputan rebah tegak tatkala ter-
sambar oleh angin raksasa itu.
Suaranya yang keras seperti menggelegar.
Wulung Seta yang dapat mengendalikan
pikiran dan ketenangannya berpikir, "Menilik sikapnya, nampaknya burung ini
seperti melihat
sesuatu. Atau... mendengar sesuatu" Tetapi apa"
Dan bagaimana dia bisa mengetahuinya?"
Sejenak pemuda berpakaian abu-abu yang
terbuka di bagian dada ini terdiam sebelum me-
lanjutkan,"Jalan satu-satunya untuk mengetahui semua ini, hanyalah membiarkan ke
mana burung rajawali raksasa ini membawa pergi...."
Memutuskan demikian, Wulung Seta pun
mencoba tidak memikirkan apa-apa lagi. Dia se-
makin mendekap erat Sri Kunting, mencoba
memberikan ketenangan pada gadis itu.
Mungkin, hanya sepuluh kali kejapan mata
saja dirasakan oleh Wulung Seta, tatkala dilihatnya burung rajawali raksasa itu
mulai menukik di satu tempat yang cukup luas dan hanya ditum-buhi oleh
rerumputan. Sepasang mata Wulung Seta samar-samar
menangkap satu sosok tubuh berdiri di tengah-
tengah tempat itu dengan kedua tangan melam-
bai-lambai. Dari samar apa yang dilihatnya dan
seiring tukikan burung rajawali raksasa yang
membawanya bersama Sri Kunting, tatapan Wu-
lung Seta mulai jelas sekarang.
"Aneh! Kulihat seorang pemuda yang nam-
paknya berusia tak jauh beda denganku di sana"
Melambaikan tangan! Di punggungnya seperti ada
sebuah benda yang memantulkan sinar matahari
senja! Dia mengenakan...
oh, Tuhan! Bukankah itu Tirta alias Rajawali
Emas"!"
Bukan hanya Wulung Seta yang membatin
seperti itu, Sri Kunting yang semenjak merasakan kalau burung itu menukik dan
tanda siap menda-ratkan kedua kakinya di tanah, juga melihat sosok pemuda
berpakaian keemasan yang berdiri di
bawahnya dengan kedua tangan melambai. Gadis
ini juga membatinkan hal yang sama seperti Wu-
lung Seta. Dua kejap kemudian, burung rajawali rak-
sasa itu hinggap di atas tanah. Kedua sayapnya
dikepakkan terlebih dahulu. Hingga bukan hanya
rerumputan yang tercabut, tetapi juga tanah yang terbongkar rengkah. Suara dari
mulut burung raksasa itu terdengar gembira.
Sementara itu, pemuda yang berdiri di ten-
gah-tengah tempat itu segera berkelebat ke arah Bwana disertai seruan. "Bwana!
Apa kabarmu, hah"!" Dan si pemuda yang bukan lain Rajawali Emas adanya
menghentikan kelebatannya. Sejenak keningnya dikernyitkan dengan pandangan
lurus pada dua sosok tubuh yang masih duduk di
punggung Bwana.
Kejap kemudian terdengar decakannya
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Luar biasa! Rupanya kalian, hah"! Cukup
aneh sebenarnya tahu-tahu kalian bisa berada di punggung Bwana" Tetapi... apakah
tidak terlalu aneh kalau kalian memilih berpacaran di atas
punggungnya?"
Mendengar kata-kata orang, seperti disen-
gat kalajengking Wulung Seta segera melepaskan
kedua tangannya dari tubuh Sri Kunting yang
nampak sedang mengatur napas. Kejap lain, pe-
muda murid mendiang Ki Alam Gempita ini sudah
melompat turun. Begitu kedua kakinya menginjak
tanah, nampak agak bergetar dan goyah. Ini dikarenakan ketegangannya tadi.
Rajawali Emas berseru pada Sri Kunting,
"Hei! Apakah kau sedang meresapi hangatnya pelukan Wulung Seta"! Wah! Kalau tahu
begitu, tak akan kupanggil Bwana tadi!"
Sri Kunting yang baru Saja tenang atas ke-
tegangan itu melompat turun dan mulutnya lang-
sung nyerocos dengan kedua mata dipelototkan,
"Enak saja ngomong! Huh! Kalau aku tahu burung raksasa ini peliharaan Kang
Tirta, sudah kusuruh dia jangan menemui Kang Tirta!"
"Wah! Boleh saja kau melakukannya" Te-
tapi, mengapa kau tidak lakukan tadi?" balas Rajawali Emas sambil tersenyum
menggoda. Sri Kunting mendengus, "Jelas saja tidak!
Aku kan baru tahu sekarang!"
Pemuda dari Gunung Rajawali ini tertawa
berderai. Memang, sebenarnya dialah yang me-
manggil Bwana dengan isyarat panggilan yang
hanya bisa dilakukannya dan hanya dimengerti
oleh Bwana. Rajawali Emas yang saat ini sedang
dibingungkan dengan kata-kata Pendekar Bijak-
sana yang menantang Seruling Haus Darah berta-
rung di Bukit Watu Hatur, namun justru berkata
kalau Tirtalah yang akan menghadapinya, memu-
tuskan untuk memanggil Bwana yang sebelum-
nya sudah seringkali dilakukan isyarat memang-
gilnya namun belum muncul juga. Bahkan, Bwa-
na tidak menjalankan perintahnya tatkala diminta menuju ke Puncak Kalimuntu
(Baca serial Rajawali Emas dalam episode: "Pendekar Bijaksana").
Dan yang tak disangkanya sekarang, kalau
di atas punggung Bwana, telah duduk Wulung Se-
ta dan Sri Kunting.
Sri Kunting yang tadi jengkel mendengar
selorohan Rajawali Emas, berkata gemas, "Bukannya mikir, malah ketawa!"
Bukannya menghentikan tawanya, Rajawa-
li Emas justru makin memperkuat tawanya. Dan
membuat Wulung Seta yang memperhatikan jadi
ikut-ikutan tertawa. Begitu pula dengan Sri Kunting akhirnya.
Diam-diam gadis berpakaian biru muda ini
memperhatikan Rajawali Emas. Dan entah men-
gapa dirasakan hatinya begitu tenang sekali. Terutama, tatkala menyadari tak ada
seorang gadis pun yang bersamanya. Padahal dia sempat dibuat
cemburu, ketika mendengar kata-kata Gandung
Pulungan, salah seorang dari tiga orang utusan
Keraton Wedok Mulyo yang tengah memburu Ra-
tu Dari Kegelapan, tentang Rajawali Emas yang saat itu bersama seorang gadis
berjuluk Putri Lebah. Kendati dia bisa merasakan ketenangan
itu, namun rasa ingin tahunya memancing Sri
Kunting untuk bertanya. Dan sungguh, saat ber-
tanya itu dia tak kuasa menyembunyikan getar
cemburunya, "Kang Tirta! Ke mana perginya gadis cantik berjuluk Putri Lebah yang
selalu bersa-mamu?"
Rajawali Emas langsung putuskan ta-
wanya. Dipandanginya gadis itu lekat-lekat seraya berkata dalam hati. "Aneh!
Mengapa tiba-tiba dia bertanya soal Putri Lebah" Dan nada suaranya
tadi... ah, entah aku yang kegeeran atau tidak, tetapi kutangkap nada
cemburunya...."
Sementara itu, Wulung Seta segera mem-
buang pandangan ke kanan. Ada perasaan tak
suka menangkap gelar cemburu Sri Kunting pada
gadis berjuluk Putri Lebah. Dan diam-diam pula, pemuda yang mencintai gadis itu
merasakan getar cemburunya pula. Namun dia masih bisa tindih
perasaannya. Dialihkan pula pandangannya pada
Rajawali Emas, dan seolah menunggu apa yang
hendak dikatakan pemuda dari Gunung Rajawali
itu. Merasa pertanyaan Sri Kunting harus dija-
wab, Rajawali Emas berkata, "Aku tidak tahu kalian mengetahui tentang Putri
Lebah entah dari
siapa! Tetapi yang perlu kalian ketahui, Putri Lebah sudah tewas!"
Saat kalimat terakhir tadi diucapkan oleh
Rajawali Emas, Sri Kunting begitu seksama mem-
perhatikan. Tatkala disadarinya tak ada peruba-
han apa-apa pada sikap dan wajah pemuda ber-
pakaian keemasan di hadapannya, diam-diam dia
membatin, "Hmmm... apakah sesungguhnya Putri Lebah itu hanya teman biasa saja
bagi Kang Tirta" Tak kulihat dia bersedih. Hanya saja... dia seperti menyesali
sesuatu...."
Terdengar Wulung Seta mengajukan perta-
nyaan, "Mengapa kawanmu itu mati, Tirta?"
Tirta segera alihkan pandangan. Lalu per-
lahan-lahan menggelengkan kepala. "Dia bukan kawanku."
Sahutan itu justru membuat kepala Sri
Kunting menegak dengan pendengaran lebih di-
buka. Tetapi tatkala didengarnya Rajawali Emas
melanjutkan kata, diam-diam dirasakan dadanya
begitu lapang sekali.


Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia bukan kawanku, kendati kucoba men-
ganggapnya demikian. Aku pun baru tahu kalau
gadis itu adalah Ratu Dari Kegelapan, salah seorang tokoh hitam yang banyak
menurunkan tan-
gan." "Ratu Dari Kegelapan?" ulang Wulung Seta.
'Tirta... bukankah dia perempuan yang dicari oleh orang-orang utusan Keraton
Wedok Mulyo?"
Tirta menganggukkan kepalanya seraya
membatin, "Kini aku tahu dari siapa keduanya mengetahui tentang Putri Lebah yang
bersamaku. Pasti, dari orang-orang Keraton Wedok Mulyo itu."
Lalu segera dijawabnya pertanyaan Wulung
Seta. Dan diceritakan kalau pada akhirnya ketiga utusan Keraton Wedok Mulyo itu
tewas. Juga te-wasnya Ratu Dari Kegelapan yang menyamar se-
bagai Putri Lebah (Untuk mengetahuinya lebih jelas, silakan baca: "Ratu Dari
Kegelapan" dan "Trisula Mata Empat").
Tak ada yang bersuara. Senja semakin me-
nipis dan keremangan malam menggayuti persa-
da. Tirta menanyakan asal mulanya, Sri Kunting
dan Wulung Seta bisa bersama-sama dengan
Bwana. Setelah mendapatkan penjelasan dari Wu-
lung Seta, pemuda yang di lengan kanan dan ki-
rinya terdapat rajahan burung rajawali keemasan
segera menghampiri Bwana.
Sementara itu, Wulung Seta melihat kalau
wajah Sri Kunting mulai diliputi keceriaan. Dia sadar akan perubahan wajah si
gadis murid mendiang Pendekar Pedang itu. Tentunya disebabkan
telah mengetahui siapakah sesungguhnya Putri
Lebah. Ada rasa galau yang bergelayut di hati Wulung Seta. Seperti terayun
hingga rasanya dia tak bisa bersikap tenang. Tetapi setelah mengatur
napas berkali-kali dan coba tekan rasa cembu-
runya, dia pun bisa bersikap tenang.
"Aku tak boleh cemburu. Sri Kunting bu-
kanlah apa-apaku. Bahkan aku baru tahu kalau
sesungguhnya guru Sri Kunting dan guruku sau-
dara seperguruan. Bila memang kelak Sri Kunting berjodoh dengan Rajawali Emas...
mungkin memang sudah digariskan dari Yang Maha Tahu."
Sedangkan Sri Kunting sendiri memperha-
tikan dalam-dalam pada Rajawali Emas yang se-
dang membelai-belai bulu besar namun halus
yang menutupi sekujur tubuh Bwana.
"Kang Tirta... tahukah kau, semenjak per-
tama kali kau menyelamatkanku dari Maung Ku-
mayang dan Lodang Kumayang yang hendak
mempermalukanku setelah membunuh Guru, ra-
sa simpatiku yang tumbuh mulai beralih pada ra-
sa cinta yang dalam.... Adakah kau mengerti tentang perasaanku ini, Kang Tirta?"
Sri Kunting menarik napas pendek. Lalu
mengalihkan pandangan pada Wulung Seta, "Ka-
kang Wulung... apakah kita tidak sebaiknya men-
dekati Kang Tirta dan burung rajawali raksasa
yang bernama Bwana?"
Wulung Seta cuma menganggukkan kepa-
la. Dia berusaha untuk tidak menampakkan pe-
rasaannya. Lalu keduanya pun melangkah mendekati
Tirta. *** Bab 2 KITA tinggalkan dulu apa yang hendak dilakukan oleh Rajawali Emas pada Bwana.
Pada saat yang bersamaan, di sebuah tempat, nampak satu ke-
bakaran hebat terjadi. Api yang berkobar itu terus meraja, membakar seluruh
tempat. Udara yang
dingin ternyata tak mau meredam api yang se-
dang marah. Dan tiba-tiba saja dari sebelah ka-
nan, satu sosok tubuh berpakaian kuning cemer-
lang berkelebat. Lalu menyambar satu sosok tu-
buh yang tergolek pingsan di tengah-tengah ling-karan api.
Gerakan yang diperlihatkan orang yang
ternyata mengenakan topeng berwarna perak
sangat lincah. Tatkala kedua kakinya hinggap di tanah berjarak sekitar sepuluh
tombak dari koba-ran api, mendadak saja angin berubah.
Hembusannya kali ini seperti topan melan-
da pantai. Bergulung-gulung menimbulkan suara
bergemuruh yang mengerikan. Dalam dua puluh
kali tarikan napas, seluruh api yang berkobar itu padam.
Dan tahu-tahu, di sisi sebelah kanan pe-
rempuan bertopeng perak itu, telah duduk bersila seorang kakek berwajah cekung
tanpa mengenakan pakaian. Kedua tangannya bersedekap di da-
da. Kulit yang membaluti sekujur tubuhnya ber-
warna hitam legam. Dan saking panjangnya ram-
but yang dimiliki si kakek yang duduk bersila ra-da bungkuk ini, rambut itu
sampai tergerai di tanah. Kendati tubuhnya bungkuk, kepala si kakek
ini tegak lurus dengan langit. Kakek inilah yang tadi memadamkan api yang
berkobar. "Siapa lelaki yang memiliki rambut dapat
dihitung itu, Sunarsasi?" tanya si kakek yang tak lain Buang Totang Samudero
adanya. Perempuan berpakaian kuning cemerlang
yang telah menurunkan sosok pingsan yang tadi
disambarnya, menjawab tanpa menoleh, "Manusia keparat berjuluk Iblis Lembah
Ular!" "Menilik nada suaramu, kau nampaknya
menyimpan kebencian dalam padanya! Apakah
dugaanku salah?"
Kali ini, perempuan yang tak lain Dewi To-
peng Perak adanya mengarahkan pandangan pa-
da si kakek berkulit hitam.
"Kau betul!"
"Kalau begitu, lebih baik dibunuh saja ke-
timbang membuang waktu!"
"Aku juga ingin membunuhnya! Tetapi, aku
ingin tahu siapa yang menyebabkan manusia sia-
lan ini pingsan!"
"Jadi kau hendak membuang waktu hanya
untuk menunggu lelaki itu siuman" Mengapa ti-
dak dibunuh saja! Ingat Sunarsasi, aku mengin-
ginkan kau! Menginginkan tubuhmu seperti yang
kau janjikan bila aku berhasil membunuh pemu-
da berjuluk Rajawali Emas! Dan katamu, pemuda
itu akan muncul di Bukit Watu Hatur! Apakah ti-
dak selekasnya kita tiba di sana"!"
Sepasang mata jernih dari balik topeng
yang dikenakannya, Dewi Topeng Perak yang
memiliki nama asli Sunarsasi menggeram pendek.
"Sebenarnya, aku tak mengharapkan ke-
munculan manusia setan ini! tetapi sekarang, aku menghendakinya menjadi tameng
maut untuk menghadapi siapa saja yang ingin kubunuh!" kata perempuan ini dalam hati.
Setelah bertemu dengan Maung Kumayang
yang ternyata menginginkan Seruling Gading dari tangan Seruling Haus Darah, Dewi
Topeng Perak cukup dibuat terkejut dengan kepandaian yang
dimiliki Maung Kumayang. Saat itu muncul Dewi
Kematian yang juga menginginkan nyawa Rajawa-
li Emas. Masing-masing mengikat janji untuk
membunuh Rajawali Emas. Tetapi, Dewi Kema-
tian tidak menginginkan Seruling Gading seperti yang diinginkan Maung Kumayang.
Sepeninggal Maung Kumayang, Dewi Ke-
matian yang hampir-hampir tak kuasa menahan
amarahnya karena sikap melecehkan dari Maung
Kumayang, mengajak Dewi Topeng Perak berga-
bung untuk membunuh Maung Kumayang. Dewi
Topeng Perak yang juga muak mendapati sikap
Maung Kumayang, menyetujuinya. Setelah Dewi
Kematian berlalu, muncullah Buang Totang Sa-
mudero, lelaki yang mencintai Dewi Topeng Perak.
Satu pikiran membersit di benak perempuan ber-
pakaian kuning cemerlang itu. Dia akan memper-
gunakan kesaktian yang dimiliki oleh Buang To-
tang Samudero untuk menjalankan semua kein-
ginannya (Untuk lebih jelasnya, silakan baca :
"Pendekar Bijaksana").
Dewi Topeng Perak membuka mulut, "Aku
juga tak sabar untuk tiba di Bukit Watu Hatur!"
"Bila kau katakan tentang kesabaran, aku
justru tak sabar untuk mendapatkan janji yang
kau berikan!" sambar si kakek bungkuk yang duduk bersila di atas tanah itu.
"Janji telah kuucapkan! Bila kau berhasil
melakukannya, seluruh tubuhku akan dapat kau
nikmati sepuas-puasnya!" sahut Dewi Topeng Perak sambil tindih kegusarannya.
"Dan sebaiknya jangan ucapkan lagi kata-kata itu sebelum kuubah keputusanku!!"
Bukannya jeri mendengar ancaman orang,
si kakek berkulit hitam legam terbahak-bahak.
"Aku tak ingin gagal untuk kedua kalinya!
Waktu itu aku gagal mendapatkan dirimu dikare-
nakan kau terlalu mencintai Mata Malaikat! Dan
cukup hanya sekali bagiku untuk mengalah! Te-
tapi sekarang, bila kau berani mencoba
mengkhianatiku, tak segan-segan akan kupatah-
kan batang lehermu! Peduli setan apakah aku da-
pat menggeluti tubuh montokmu atau tidak!"
Mendengar kata-kata itu, Dewi Topeng Pe-
rak cukup dibuat ciut. Kendati demikian diam-
diam dia berkata gusar dalam hati, "Bila saja kesaktian manusia ini tidak
tinggi, sudah kugedor tubuhnya yang bungkuk itu! Peduli setan dengan
ancamannya! Aku masih bisa memegang kendali
permainan ini! Tetap dengan janji yang kuberi-
kan, dia pasti akan menurut!"
Habis berpikir demikian, perempuan ber-
pakaian kuning cemerlang ini berkata, "Aku akan menunggu manusia sialan yang
pingsan ini!"
"Mengapa kau tidak langsung membunuh-
nya"!" sepasang mata si kakek menyipit.
"Karena, aku ingin mempermainkannya!
Dialah orang yang telah menghinaku dengan seo-
rang perempuan keparat yang berjuluk Nenek
Cabul!" Wajah hitam si kakek makin mengelam.
"Siapa pun yang berani menghina atau mem-
buatmu malu, dia akan kubunuh!"
Bibir bergincu Dewi Topeng Perak menye-
ringai. "Aku pun sanggup membunuhnya! Tetapi, dia memiliki sebuah senjata
mustika yang dina-makan Trisula Mata Empat!"
Kepala tegak Buang Totang Samudero keli-
hatan makin menegak. Sepasang matanya yang
masuk ke dalam makin menyipit rapat dengan si-
nar dingin. "Trisula Mata Empat...," saat dia mende-siskan kata-kata itu suaranya bergetar.
Keadaan itu pun tak luput dari pendenga-
ran Dewi Topeng Perak.
"Hmmm... nampaknya orang ini pernah pu-
la mendengar tentang Trisula Mata Empat. Dan
aku yakin, dari nada suaranya tersirat rasa ngeri yang dalam. Baiknya biar
kupancing saja hingga
menjadi jelas semuanya," kata perempuan berpakaian kuning cemerlang sambil
berdiri tegak. Tubuhnya diarahkan pada sosok si kakek yang sela-
lu duduk bersila.
Lalu katanya, "Dengan memiliki senjata
mustika itu, Nenek Cabul kemungkinan besar da-
pat mengalahkan tokoh-tokoh rimba persilatan
yang ada! Buang Totang Samudero, apakah kau
mampu mengalahkannya"!"
Si kakek tiba-tiba keluarkan dengusan ke-
ras, hingga tanah di hadapannya yang terkena
sambaran angin yang keluar dari hidungnya,
muncrat membuyar.
"Jangan meremehkan aku!" sentaknya sengit.
"Siapa yang berkata seperti itu" Tak ada
sama sekali! Bahkan yang perlu kau ketahui, aku yakin dengan mudahnya kau akan
mengalahkan perempuan cabul itu! Nah! Senjata Mustika Trisu-la Mata Empat harus kau berikan
kepadaku se- bagai ganti dari tubuhku yang akan kau nikmati!"
"Jangan berlaku bodoh! Nyawa Rajawali
Emas sudah sebagai ganti dari apa yang hendak
kau berikan!"
Bibir Dewi Topeng Perak menyeringai lebar.
"Bila kau berhasil memutus nyawa Rajawa-
li Emas, kau hanya mendapatkan kesempatan
menggeluti tubuhku satu kali! Tetapi bila kau
berhasil mendapatkan Trisula Mata Empat, maka
kau berhasil pula mendapatkan tubuhku selama-
lamanya!" Mata yang menyipit tadi seketika terbuka
lebar. Dengan seringaian panjang, si kakek berkulit hitam berkata, "Sejak hari
ini, kau sudah menjadi milikku selama-lamanya, Sunarsasi!"
"Bagaimana dengan Trisula Mata Empat"!"
"Justru aku sudah tak sabar menanti!"
Dewi Topeng Perak membatin, "Kendati kau
coba menutupi apa yang ada dalam hatimu, tetapi aku bisa menebak kalau kau
sesungguhnya jeri.
Jangan-jangan...." Perempuan berpakaian kuning cemerlang ini memutus kata
batinnya sendiri.
Masih memandang ke arah si kakek yang duduk
bersila, Dewi Topeng Perak berkata lagi dalam ha-ti, "Ya, ya... bisa jadi itu
benar. Bila Trisula Mata Empat membuatnya cukup jeri, kemungkinan besar dia
sudah pernah pula merasakan kesaktian
senjata mustika itu. Dengan kata lain, dia pernah bertarung dengan Raja Dewa!
Hmm... sebaiknya
kupancing kembali saja!"
Lalu katanya, "Aku tak habis mengerti, se-
lentingan kabar tentang Trisula Mata Empat yang mengatakan milik Raja Dewa,
tahu-tahu sudah
berada di tangan Nenek Cabul! Apakah ada sesu-
atu di balik semua ini?"
Perubahan wajah Buang Totang Samudero
kembali kelihatan saat disebutkan nama Raja
Dewa. Tetapi suaranya tegas saat berkata, "Keparat-keparat yang berani
menghinamu akan mati!


Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak juga Raja Dewa bila dia melakukannya! Su-
narsasi, katakan kepadaku, bagaimana kau bisa
tahu kalau Trisula Mata Empat berada di tangan
perempuan berjuluk Nenek Cabul?"
Sudah tentu pertanyaan itu dapat dijawab
dengan mudah, mengingat Dewi Topeng Perak
mengetahui semua itu dari mulut Nenek Cabul
sendiri (Baca serial Rajawali Emas dalam episode :
"Memburu Nyawa Sang Pendekar"). Tetapi, dia tak mau mengatakannya yang
sesungguhnya. "Aku hanya mendengar berita yang dibawa
angin!" "Jadi kau belum pasti?" tegas Buang Totang Samudero.
"Hmmm... dapat kurasakan perubahan su-
aranya yang kali ini terdengar cukup gembira.
Aku yakin, dia berharap kalau dugaanku salah."
Habis membatin begitu Dewi Topeng Perak meng-
gelengkan kepalanya, lalu berkata, "Tidak! Aku yakin sekali kalau Trisula Mata
Empat berada di tangan Nenek Cabul!"
Terdiam Buang Totang Samudero dengan
pandangan menyipit. Sesaat kesepian melanda. Di ujung sana, asap yang masih
menguar akibat api
yang dipadamkan paksa tadi, masih tersisa. Cu-
kup mengaburkan pandangan.
Sambil menengadah, Buang Totang Samu-
dero berkata sengit, "Bunuh lelaki yang pingsan itu! Akan kubuktikan segala
ucapanku tadi!!"
Dewi Topeng Perak makin merasa yakin ka-
lau jerat yang dipasangnya mulai mengena. Biar
bagaimanapun juga, dia akan terus mengendali-
kan si kakek berkulit hitam legam itu. Dialihkan pandangannya pada Iblis Lembah
Ular. "Manusia keparat ini memang tak patut
untuk hidup! Sebaiknya, kupercepat saja dia be-
rangkat ke neraka!"
Seketika Dewi Topeng Perak mengangkat
kaki kanannya. Saat mengangkat itu, betisnya
yang gempal dan halus tertangkap oleh mata
Buang Totang Samudero yang diam-diam mene-
lan ludah. Dia jadi semakin tak sabar untuk me-
laksanakan apa yang dikatakan Dewi Topeng Pe-
rak. Lalu dilihatnya dengan dinginnya Dewi To-
peng Perak menginjak pecah kepala Iblis Lembah
Ular. Terdengar seruan tak sadar tertahan dari
sosok lelaki berkepala lonjong yang pingsan itu.
Kejap lain, nyawanya pun merat entah ke mana.
Dari kepalanya yang pecah keluar darah merah
yang kental bercampur dengan cairan berwarna
putih. Dengan kepuasan tinggi Dewi Topeng Perak alihkan pandangannya lagi pada
Buang Totang Samudero. "Untuk membuktikan apa yang kau
ucapkan, kita segera berangkat menuju Bukit Wa-
tu Hatur!"
Dan tanpa menunggu sahutan dari si ka-
kek yang selalu duduk bersila, Dewi Topeng Perak sudah berkelebat mendahului. Si
kakek menggeram pendek. Lalu dengan gerakan yang terlihat
sangat aneh, dia bergerak menyusul. Saat berge-
rak itu, kedua kakinya tetap dalam keadaan ber-
sila! *** Bab 3 RAJAWALI Emas sedang mengelus-ngelus sayap kanan Bwana yang tertekuk rapat ke
dalam. Malam merambat terus menuju pagi. Tempat yang
cukup lapang itu, mendapat sinar yang lumayan
terang dari rembulan. Sementara udara kian din-
gin menikam. Namun, orang-orang yang berada di
sana, tak mempedulikannya.
"Bwana... aku tak tahu apakah harus me-
marahimu atau tidak. Tetapi pada kenyataannya,
kau cukup membuatku kesal. Tetapi, bila kau
mau memberitahu apa yang sesungguhnya terja-
di, aku tak akan menampakkan kemarahanku...."
Bola mata Bwana yang besar dan agak
memerah, memandang pada Rajawali Emas. Ber-
putar sejenak disertai suara lirihnya.
"Kraaagh...."
Tirta mengerutkan keningnya.
"Kau tak usah merasa bersalah. Aku hanya
ingin mendengar penjelasanmu tentang semua
ini...." Sementara itu, Wulung Seta dan Sri Kunting sudah berdiri tak jauh dari
Tirta. Masing- masing orang terdiam dengan pandangan terbuka
lebih lebar. Sri Kunting membatin, "Benar-benar se-
buah keanehan yang cukup menggetarkan. Ba-
gaimana caranya Kang Tirta bisa memiliki burung rajawali raksasa ini saja sudah
membingungkan. Dan menilik sikapnya dan sikap Bwana sendiri,
kelihatan keduanya saling mengerti ucapan satu
sama lain."
Sedangkan Wulung Seta membatin, "Aku
tak tahu apakah pendengaran dan penglihatanku
yang salah. Sepertinya kutangkap dengan jelas
kalau keduanya bercakap-cakap. Apa yang dika-
takan Tirta membuatku bisa memahaminya. Te-
tapi yang dikatakan oleh Bwana, aku tak tahu
sama sekali."
Tirta berkata lagi pada Bwana, "Sekarang
jelaskan...."
Lalu terdengar suara Bwana yang terka-
dang lembut, keras, bahkan sangat lantang. Se-
tiap kali dia bersuara, bola matanya berputar laksana sebuah isyarat. Kepalanya
terkadang men- gangguk dan menggeleng tatkala Tirta bertanya.
Hampir setengah penanakan nasi percaka-
pan aneh yang sebenarnya tak asing dilakukan
oleh Tirta, usai sudah. Terlihat kemudian bagai-
mana pemuda dari Gunung Rajawali itu terdiam.
Sri Kunting dan Wulung Seta yang sebe-
narnya sudah tak tahan untuk bertanya tentang
percakapan Tirta dan Bwana, hanya bisa mena-
han diri. Cukup lama kesunyian mendera dan
masing-masing orang tak ada yang, buka suara.
Sampai kemudian terdengar suara Tirta,
"Apa yang kau beritahukan ini cukup menge-
jutkanku, Bwana. Tetapi, untuk sementara biar-
lah urusan ini kutunda dulu. Karena, masih ada
beberapa tugas yang harus kuselesaikan."
Bwana mengangguk-anggukkan kepalanya.
Rajawali Emas mengalihkan pandangannya
pada Sri Kunting dan Wulung Seta, apakah kalian masih memiliki niat untuk
membalas dendam
kematian guru-guru kalian pada Seruling Haus
Darah?" Kedua orang yang ditanya berpandangan
lebih dulu sebelum Wulung Seta menyahut, "Biar nyawa kami melayang, kami akan
tetap menuntut balas perbuatan manusia laknat itu!"
"Bagaimana bila kukatakan sesuatu?"
Wulung Seta kembali terdiam. Lalu ber-
tanya, "Tentang apa?"
"Keinginan kalian untuk membalas dendam
pada Seruling Haus Darah lebih baik ditindih se-dalam mungkin. Karena...."
"Mengapa, Kang Tirta?" terdengar suara Sri Kunting memotong ucapan Rajawali
Emas, dengan kening dikernyitkan.
Tirta mengalihkan pandangan pada gadis
jelita yang berdiri di sebelah kiri Wulung Seta.
"Untuk saat ini, aku belum bisa mengata-
kan apa yang akan terjadi."
"Apakah... ini ada hubungannya dengan
percakapan yang kau lakukan dengan Bwana?"
tanya Sri Kunting.
Tirta menghembuskan napas dulu sebelum men-
ganggukkan kepalanya.
"Kau benar."
"Bolehkah kami tahu apa yang akan terja-
di?" Tirta menggelengkan kepalanya.
"Maaf. Aku belum bisa mengatakannya. Ini
masih menjadi rahasia Bwana."
"Mengapa?" Wulung Seta yang mengajukan pertanyaan.
"Kendati aku mempercayai apa yang diceri-
takan Bwana, tetapi aku harus membuktikannya
lebih dulu. Mengingat, urusan yang kelak akan
kuhadapi pasti akan membentang panjang."
"Lantas, mengapa kau menyuruh kami un-
tuk memupus keinginan membalas dendam pada
Seruling Haus Darah?" tanya Wulung Seta pula.
"Karena... aku tak ingin kalian mengorban-
kan nyawa percuma...."
Kata-kata Tirta membuat kepala kedua
orang di hadapannya menegak. Pandangan mere-
ka melebar. Sepi menggigit sekejap. Di lain kejap, Wulung Seta berkata tegas,
"Kami tak peduli! Bukankah hal itu pun sudah kami katakan"!"
"Benar! Tetapi... ada sesuatu yang mesti
kalian jalankan. Dan aku sungguh-sungguh
membutuhkan bantuan kalian. Kuharap, kalian
mau mengerti...."
Wulung Seta dan Sri Kunting terdiam.
Pandangan mereka lurus pada Rajawali Emas.
Mereka benar-benar tak percaya mengapa Tirta
melarang untuk membalas dendam" Apa yang di-
katakan Tirta tadi sedikit banyaknya memang ter-gambar di benak keduanya. Tetapi
masing-masing orang sudah bertekad untuk menempuh bahaya
seperti apa pun guna membalas dendam pada Se-
ruling Haus Darah.
"Sepertinya, apa yang dikatakan Bwana
memang penting sekali. Kendati aku penasaran
ingin mengetahui ada apa sebenarnya, tetapi aku tak mau memaksa karena Tirta
seperti menutupi
kejadian yang akan dihadapinya kelak. Sebaik-
nya, kuturuti saja apa yang dikatakannya....
Memikir demikian, murid mendiang Ki
Alam Gempita ini berkata, "Bila memang itu yang kau hendaki, kami akan
menurutimu, Tirta."
"Tidak! Aku tak akan pernah tenang sebe-
lum membalas kematian Guru pada manusia se-
sat itu! Sampai hari ini aku belum pernah melihat tampang sesatnya! Kendati aku
tahu Guru tewas
di tangan dua orang suruhan Seruling Haus Da-
rah, tetapi pangkal dari semua petaka yang terjadi berawal dari tangannya!
Tidak! Apa pun yang
akan terjadi aku akan tetap memburu Seruling
Haus Darah!"
Dua pasang mata segera mengarah pada
Sri Kunting yang berkata tegas barusan.
"Aku bisa melihat kekerasan di mata Sri
Kunting. Rasanya... ini sebuah awal lain yang
akan membawa petaka. Hmm, aku harus membu-
juknya. Apa yang dikatakan Bwana memang ha-
rus diselidiki lebih dulu. Dan kuminta Sri Kunting serta Wulung Setelah yang
membantuku untuk
melakukan penyelidikan bersama Bwana, karena
tak mungkin aku bisa menguasai keadaan seba-
nyak ini. Dan biar bagaimanapun, Bwana hanya-
lah seekor hewan. Dia tak bisa berpikir layaknya manusia."
Dengan pandangan masih lekat pada Sri
Kunting, Tirta berkata, "Aku tak memaksakan kalian untuk menjalankan pendapatku.
Tetapi, ku- harap kau benar-benar mau mengerti, Sri Kunt-
ing." "Tetapi, Kang Tirta...."
"Aku tahu perasaanmu terhadap gurumu.
Bila aku yang mengalami nasib yang sama, aku
pun mungkin akan melakukan apa yang hendak
kau lakukan. Tetapi, mengerjakan sesuatu yang
kita yakini hanyalah sebuah kesia-siaan, berarti kita hanya banyak membuang
segala yang kita
punya. Kemungkinan besar, nyawa pun akan me-
layang." "Aku tidak peduli!" sahut Sri Kunting dengan suara lantang.
"Sebenarnya... memang tak ada salahnya
Sri Kunting dan Wulung Seta menuju ke Bukit
Watu Hatur. Sebenarnya pula, yang kukhawatir-
kan kalau keduanya akan membuang nyawa per-
cuma. Aku sendiri juga tidak yakin akan mampu
menghadapi Seruling Haus Darah. Sementara apa
yang dikatakan oleh Pendekar Bijaksana, belum
dapat kupecahkan. Sebaiknya, biar kuberi tahu
dulu apa yang dikatakan Bwana kepada mere-
ka...." Memutuskan demikian, setelah menatap Sri Kunting dan Wulung Seta
bergantian, Rajawali Emas berkata, "Ketahuilah... beberapa saat lalu, aku
bertemu dengan tiga gadis jelita yang berjuluk Dayang-dayang Dasar Neraka. Aku
belum bi- sa menebak apa yang diinginkan mereka menca-
riku. Tetapi sepak terjang mereka yang kejam dan sadis, dapat kurasakan kalau
mereka benar-benar hendak membunuhku! Salah satu persoa-
lan yang dikemukakan Bwana, adalah soal ini...."
Tirta memutuskan kata-kata dan menyam-
bung dalam hati, "Bwana juga bertemu dengan Guru, Raja Lihai Langit Bumi. Apakah
masalah yang dibawa oleh Dayang-dayang Dasar Neraka
berhubungan dengan Guru sendiri ataukah ada
hal lain" Hmm... bukankah Guru saat ini yang
memegang Kitab Pemanggil Mayat. Apakah ada
urusannya dengan kitab yang sempat menggeger-
kan rimba persilatan itu?"
Sedangkan perubahan mulai nampak di
wajah Sri Kunting. Kali ini ketegasannya nampak mulai meluntur. Tetapi dia
bertanya pula, "Lantas... apa hubungannya dengan keinginan kami


Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kau larang?"
"Aku tak melarang sebenarnya. Hanya ku-
minta kalian pergi bersama-sama Bwana."
"Ke mana?" kali ini Wulung Seta yang mengambil alih pembicaraan. Pemuda
berpakaian abu-abu yang terbuka di bagian dada ini merasa
harus dia yang lebih banyak bicara ketimbang Sri Kunting. Karena,
dikhawatirkannya Sri Kunting
akan sulit mengerti, hingga rencana yang nam-
paknya telah disusun oleh Tirta justru sulit dija-lankan.
"Naiklah ke punggung Bwana seperti yang
telah kalian lakukan. Tetapi, sudah tentu Bwana tak akan membawa kalian ke Bukit
Watu Hatur."
"Bagaimana dengan kau sendiri?"
"Tujuanku tetap ke Bukit Watu Hatur."
Wulung Seta mengalihkan pandangan pada
Sri Kunting. "Rayi... ayo kita naik ke punggung Bwana!"
Sri Kunting kelihatan agak ragu-ragu. Wu-
lung Seta tak mau berpikir panjang lagi. Dia yakin, apa yang dikatakan oleh
Rajawali Emas me-
mang benar adanya. Kejap itu pula ditariknya
tangan Sri Kunting untuk melompat naik ke
punggung Bwana yang sesaat keluarkan kirikan.
"Tunggu!" seru Sri Kunting. Namun dia tidak melompat turun dari punggung Bwana.
Pan- dangannya diarahkan pada Tirta yang sedang ter-
senyum. Dan sesaat gadis ini mendadak kembali
pada perasaannya semula. Bahkan dia tak kuasa
untuk tidak membalas senyum itu. Lalu katanya,
"Ke mana Bwana akan membawa kami pergi,
Kang Tirta"!"
"Kau akan tahu nanti! Yang pasti, ikuti sa-ja ke mana Bwana pergi! Dan satu
pesanku, ber- hati-hati!" sahut Tirta yang diam-diam berterima kasih pada Wulung Seta, hingga
Sri Kunting menuruti apa yang diinginkannya. Dan tiba-tiba saja pemuda dari
Gunung Rajawali ini berseru pada
Wulung Seta, "Jangan terlalu rapat, ah! Nanti ada apa-apa lagi!!"
Wulung Seta serentak menarik tubuhnya
agak ke belakang, sementara Sri Kunting maju ke depan. Dan masing-masing wajah
bersemu merah. Sadar sedang digoda, Wulung Seta yang di-
am-diam mencintai Sri Kunting namun nampak-
nya si gadis mencintai Rajawali Emas, tertawa.
"Jangan khawatir! Barang antik ini akan kujaga penuh dengan nyawaku!"
"Bagus!"
"Sudah tentu bagus dan akan kulakukan!
Mana berani aku menyentuh gadis milik Rajawali
Emas!" Tirta cuma tertawa-tawa saja kendati hatinya cukup tercekat mendengar
kata-kata Wu- lung Seta. Dan dilihatnya bagaimana wajah Sri
Kunting merona merah.
Tak mau ambil pusing dengan yang di-
ucapkan Wulung Seta, pemuda majikan Bwana
ini berseru pada Bwana, "Bawa mereka ke tempat yang telah kuberitahukan! Bila
dalam waktu lima hari aku belum tiba di sana, lekaslah kau cari Guru, Raja Lihai
Langit Bumi! Aku tidak tahu ba-
gaimana cara kau bisa menemukannya! Karena,
aku sendiri tidak tahu di mana dia berada! Bila kau sudah bertemu dengannya,
mintalah petun-juk darinya tentang kemunculan Dayang-dayang
Dasar Neraka!"
Bwana keluarkan koakan keras. Perlahan-
lahan dia berdiri dengan kedua sayap disentak-
kan. Bersamaan dengan tubuh Bwana yang men-
celat ke angkasa, Rajawali Emas telah alirkan tenaga dalamnya agar tidak goyah
terkena hanta- man gelombang angin yang terjadi akibat kepakan kedua sayap Bwana.
Dipandanginya burung rajawali raksasa
berwarna keemasan yang akhirnya menghilang
dari pandangan. Lalu perlahan-lahan ditariknya
napas. "Urusan yang menghadangku belum selesai, tetapi sudah muncul lagi urusan
lain! Mungkin, ini sudah digariskan oleh Yang Maha Tahu!
Hmmm... sebaiknya, kutinggalkan saja tempat ini untuk selekasnya tiba di Bukit
Watu Hatur! Tetapi... aku belum berhasil memecahkan kata-kata
Pendekar Bijaksana" Mengapa justru aku yang
dikatakannya mampu menandingi Seruling Haus
Darah" Padahal, saat bentrokan kecil terjadi, dapat kurasakan betapa tinggi ilmu
manusia sesat itu. Belum lagi, Seruling Gading yang diubah namanya dan dipergunakannya sebagai
julukan, bi- la sudah dipergunakan."
Pemuda tampan dari Gunung Rajawali ini
terdiam. "Sudahlah... yang penting, aku harus sele-
kasnya tiba di Bukit Watu Hatur!"
Kejap kemudian, sosok pemuda berpakaian
keemasan telah berkelebat meninggalkan padang
rumput yang kembali ditelan kesunyian.
Malam kian meraja.
*** Bab 4 DI SATU tempat yang sepi dan direntakkan malam dingin beringas, satu sosok tubuh
berpakaian panjang warna kuning kebiruan berhenti berkelebat. Dada besar yang
dimiliki sosok tubuh yang
ternyata seorang perempuan berusia setengah
baya namun memiliki wajah cantik dan tubuh
sempurna ini, naik turun. Keringat membasahi
wajahnya, yang segera dihapusnya dengan pung-
gung tangan kanannya. Sepasang matanya tajam
memperhatikan sekelilingnya.
Kejap kemudian, terdengar dengusannya
yang diselingi desahan, "Keparat! Ke mana manusia buntung itu pergi"! Benar-
benar kapiran! Gerakannya begitu cepat sekali!"
Sosok yang bukan lain Nenek Cabul
adanya ini kembali katupkan mulut rapat-rapat.
Matanya makin mencorong tajam memandangi
sekitarnya. "Jahanam betul! Manusia berlengan bun-
tung itu berani-beraninya menolak ajakanku un-
tuk bergabung! Setan keparat! Padahal aku tak
bermaksud untuk bergabung dengannya! Hanya
dikarenakan agar memudahkanku untuk tiba le-
bih cepat ke Bukit Watu Hatur saja, aku memin-
tanya bergabung denganku! Huh! Seharusnya su-
dah kubunuh dia karena kelancangannya yang
sebelumnya berani nekat mengintip dan mencuri
dengar pembicaraanku dengan Iblis Lembah Ular!
Dan kemana pula perginya lelaki pengecut, Iblis Lembah Ular, tatkala aku hampir
saja dibodohi oleh Raja Dewa"!"
Nenek Cabul yang sedang mengejar lelaki
berlengan kiri buntung yang tak lain Maut Tan-
gan Satu, kembali terdiam. Pelipisnya bergerak-gerak dengan rahang rapat
terkatup. Memang, tatkala menyadari kalau dia
hampir saja dibodohi oleh Raja Dewa dan menye-
rahkan Trisula Mata Empat, Nenek Cabul segera
mengusir Iblis Lembah Ular, lelaki yang berkali-kali berpacu birahi dengannya.
Perempuan cabul
yang memiliki payudara besar namun sudah ken-
dor itu dan sengaja menampakkannya karena pa-
kaian di bagian dadanya begitu rendah, tak mau
ambil peduli dengan sikapnya. Bahkan bila Iblis Lembah Ular tak mau menerima
pengusiran yang
dilakukannya, dia sudah bermaksud untuk me-
nurunkan tangan
Dan tatkala Nenek Cabul yang berkeingi-
nan untuk menemui Seruling Haus Darah untuk
mendapatkan Seruling Gading hendak melan-
jutkan langkah menuju ke Bukit Watu Hatur, di-
lihatnya satu sosok tubuh yang kemudian diketa-
hui Maut Tangan Satu adanya. Dicobanya untuk
membujuk Maut Tangan Satu bergabung dengan
menawarkan gairah darinya. Tetapi gagal, bahkan Maut Tangan Satu berlalu
diiringi tawa mengejek yang membuat panas telinga Nenek Cabul dan
langsung memutuskan untuk membunuhnya!
(Baca serial Rajawali Emas dalam episode: "Pendekar Bijaksana").
Perempuan berpakaian panjang kuning ke-
biruan ini keluarkan napas menyentak. .
"Setan laknat! Manusia itu tak nampak lagi sekarang!" makinya jengkel. "Huh!
Kubiarkan saja dia sekarang! Karena kemungkinan besar manusia itu juga menuju ke
Bukit Watu Hatur! Di sa-
nalah nyawanya akan kulepaskan dari jasad bu-
suknya! Seruling Gading yang telah diubah na-
manya dan dijadikan sebagai julukan oleh Serul-
ing Haus Darah, harus berpindah ke tangan-ku!
Dengan dua senjata mustika di tanganku, bisa
dipastikan apa yang kuinginkan selama ini akan
menjadi kenyataan, setelah aku gagal menda-
patkan Anting Mustika Ratu!! Terlebih lagi, Rajawali Emas yang berulang kali
menggagalkan ren-
canaku pun harus mampus di Bukit Watu Hatur!
Huh! Tak sabar aku menanti semua kegembiraan
ini!" Berpikir demikian, Nenek Cabul sudah bersiap untuk menghempos tubuh. Namun
menda- dak saja tiga bayangan berkelebat dan berdiri ber-jajar di hadapannya!
*** Gerakan Nenek Cabul tertahan. Bahkan
tanpa sadar dia surut satu langkah. Kedua ma-
tanya terpentang lebih lebar memperhatikan tiga sosok tubuh yang ternyata tiga
orang gadis yang memakai jubah berlainan warna. Dan masing-masing orang
mengenakan pakaian berwarna cok-
lat dengan celana pangsi warna hitam.
"Aneh Siapakah ketiga gadis ini" Menilik
sikap yang diperlihatkan, ketiganya jelas sengaja menghadang langkahku! Keparat
betul! Bila ternyata urusan yang ditimbulkan oleh ketiga gadis ini hanya
membuang waktu, akan kubunuh ketiganya sekaligus!"
Habis memaki dalam hati, seraya maju dua
tindak, Nenek Cabul berseru, "Aku paling tak su-ka ada orang yang berdiri
mementangkan kedua
kaki di hadapanku! Apalagi menunjukkan sikap
dapat menguasai setiap urusan! Katakanlah, sia-
pa kalian"! Dan mau apa menghadang langkah-
ku"!" Mendengar hardikan perempuan berdada besar di hadapannya, wajah ketiga
gadis itu berubah. Masing-masing orang saling berpandangan.
Seperti disetujui, gadis yang mengenakan
jubah berwarna hitam berkata, "Jangan bersikap meremehkan orang! Justru dari
kata-katamu tadi
kau yang menganggap enteng setiap urusan! Bila
bisa jawab pertanyaan kami, maka nyawamu
akan tetap melekat di jasad!"
Mengkelap wajah perempuan berpakaian
kuning kebiruan mendengar kata-kata orang. Wa-
jahnya saat itu juga merah padam. Kedua tin-
junya terkepal "Manusia-manusia hina! Ucapan gadis
yang lebih tinggi dari dua gadis lainnya cukup
membuat darahku mendidih! Huh! Sebelum kutu-
runkan tangan, aku ingin tahu ada urusan apa
sebenarnya"!"
Habis membatin demikian sambil tindih
kegusarannya, Nenek Cabul berkata, "Bila masing-masing orang menganggap enteng
setiap per- soalan, kita lupakan sejenak! Anggaplah kita
orang-orang yang cukup memandang persoalan
Sebelum ajukan tanya dan sebelum kujawab se-
tiap pertanyaan, harap perkenalkan diri!"
Gadis berhidung mancung dengan kedua
pipi yang selalu merona ini, tak segera jawab pertanyaan orang. Sepasang matanya
yang bagus namun bersinar dingin itu, menatap tak berkedip pada Nenek Cabul yang membuat
perempuan itu hampir-hampir tak bisa kuasai kemarahan lagi.
Tetapi sebelum dia umbar kemarahan, si
gadis sudah berkata, "Namaku Dayang Kemilau!
Gadis yang mengenakan jubah putih itu bernama
Dayang Pandan! Dan yang mengenakan jubah
warna biru pekat bernama Dayang Harum! Kami
disebut dengan julukan Dayang-dayang Dasar Ne-
raka! Nah! Apakah setelah kami beri tahukan sia-pa kami adanya kau Segera
menyembah dan menjadi manusia penurut tak ubahnya anjing be-
laka"!" Menegak kepala Nenek Cabul dengan sorot mata tajam. Rahangnya
dikertakkan. Kata-kata
yang diucapkan Dayang Kemilau membuat ama-
rahnya benar-benar tak bisa ditahankan.
"Kalian benar-benar tak memandang lagi
betapa tingginya langit! Sikap kalian yang nam-
paknya mencoba mengorek sesuatu dariku, cu-
kup beralasan buatku untuk menurunkan tangan
telengas!!"
Sebelum Dayang Kemilau menyahuti har-
dikan Nenek Cabul, gadis yang berdiri paling kiri dan memiliki rambut panjang
lurus tergerai hingga punggung telah Membuka mulut, "Kami tak ingin memancing
silang sengketa sekarang! Hanya ada satu pertanyaan yang kami ajukan!"
"Hmmm... sikap gadis yang bernama
Dayang Pandan ini boleh juga, kendati lekukan
bibirnya yang sebenarnya bagus itu seperti me-
nyeringai," kata Nenek Cabul dalam hati. Lalu sambil mengangkat dagunya,
perempuan cabul
ini berkata, "Sikap sopan sebenarnya cukup memikat kendati hanya coba menutupi
kebusukan dalam dada! Tetapi, tak jadi masalah sekarang!
Katakan, apa yang hendak kau tanyakan!"
Kendati Dayang Pandan merasakan aliran
darahnya naik ke kepala, tetapi dia tak mau
membuang waktu.
"Kami mencari pemuda berjuluk Rajawali
Emas!" suaranya tegas.
Mendengar kata-kata orang, Nenek Cabul
terdiam dengan kening dikernyitkan. Wajahnya


Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampak sekejap berubah.
"Rajawali Emas" Mengapa mereka mencari
pemuda sialan yang ingin kubunuh itu" Menilik
dari sikap dan nada pertanyaan yang diucapkan,
aku bisa menduga kalau mereka punya urusan
penting dengan pemuda dari Gunung Rajawali da-
lam hal kemarahan. Hmm,, kesempatan bagiku
sekarang untuk mencoba mengorek keterangan
apa yang bisa kudapatkan."
Kalau tadi wajah Nenek Cabul berubah,
kali ini nampak senyuman mengembang di bibir-
nya. "Pertanyaan yang kalian ajukan tak sulit kujawab. Tetapi, aku ingin tahu
apa ganjarannya bagiku bila kukatakan apa yang kuketahui."
Dayang Pandan kertakkan rahangnya. Dan
sebelum dia berucap, gadis yang memiliki raut
wajah bulat telur dengan hidung bangir telah
membuka mulut, "Jangan bikin urusan berbelit-belit! Kau bisa menjawab pertanyaan
kami atau tidak, ganjarannya adalah kematian!!"
Segera saja Nenek Cabul alihkan pandan-
gan pada gadis berpita biru yang barusan bersua-ra. Kalau biasanya perempuan
berpakaian kuning
kebiruan ini tak pernah suka mendengar anca-
man orang, kali ini dia cuma tersenyum saja.
Lalu katanya, "Menghadapi kalian bertiga,
jelas saja aku tidak mampu. Lagi pula, aku bu-
kanlah orang rimba persilatan seperti kalian. Tetapi, mengenai di mana orang
yang kalian cari be-
rada, aku bisa mengatakannya."
"Katakan.'!" bentak si gadis berjubah biru pekat. Nenek Cabul justru semakin
melebarkan senyum. "Pemuda sialan itu pernah memperkosa
anak gadisku hingga hamil dan akhirnya memilih
mati ketimbang malu seumur hidup! Perjalanan
panjang pun kulalui untuk mencari dan memba-
las semua perlakuannya! Terus terang, kendati
aku tak memiliki ilmu yang bisa kuandalkan, aku tetap mencari pemuda keparat
itu!" Habis kata-kata Nenek Cabul, tak seorang
pun yang buka mulut. Dayang-dayang Dasar Ne-
raka saling berpandangan seolah meminta penda-
pat satu sama lain. Di lain kejap, Dayang Kemilau yang pernah dipecundangi oleh
Rajawali Emas yang saat itu mengaku bernama Lolo Bodong, pa-
lingkan kepala pada Nenek Cabul,
Pandangannya menyipit tajam.
"Lama-lama, apa yang kau lakukan mem-
buat kami bosan! Kau tak perlu jawab perta-
nyaan! Lebih baik, terimalah kematianmu!!"
Sehabis membentak keras seperti itu,
Dayang Kemilau mengangkat tangan kanannya.
Nenek Cabul yang sejak tadi berlagak bodoh,
menjerengkan sepasang matanya. Dia dapat me-
rasakan kalau gadis berjubah hitam itu hendak
lepaskan satu pukulan maut.
Apa yang diduganya memang benar. Kare-
na, begitu tangannya diangkat, segera didorong-
nya ke arah Nenek Cabul.
Seketika terdengar gemuruh luar biasa ke-
ras. Kejap itu juga melesat satu gelombang angin yang bergulung kuat.
Di seberang, kendati Nenek Cabul sudah
bersiaga, namun mendapati betapa ganasnya se-
rangan gadis berjubah hitam, dia jadi terkesiap pula. Tetapi hanya sekejap.
Karena di lain kejap, segera didorong kedua tangannya.
Wuuuttt! Wuuutttt!!
Dua rangkum angin berkelebat angker dan
perdengarkan suara menderu dahsyat.
Blaaammm!! Terdengar ledakan keras saat dua serangan
itu bentrok di udara. Sosok Nenek Cabul terlihat surut tiga langkah dengan wajah
berubah pucat laksana tanpa darah. Di depan sana, Dayang Ke-
milau terjajar ke belakang, namun di lain saat
sudah berdiri kembali. Tegak dengan kedua kaki
tak goyah sedikit pun.
Saat kegusaran Nenek Cabul naik. Apalagi
tatkala terdengar seruan mengejek dari Dayang
Kemilau, "Hmmm... ternyata masih punya kelebi-han pula untuk unjuk gigi! Mengapa
harus putar kata untuk mengatakan yang sebenarnya"! Lebih
baik, menuruti saja apa yang kami minta!!"
Bukannya menyahuti kata-kata orang, Ne-
nek Cabul justru kertakkan rahangnya. Dari mu-
lutnya terdengar seruan keras. Segera dia han-
tamkan kedua tangannya ke depan.
Seketika menghampar angin dahsyat ber-
hawa panas diiringi suara bergemuruh. Dayang
Kemilau mendongak sejenak. Kejap lain dia me-
nerjang dengan kedua tangan dikembangkan ke
atas. Wuusss! Untuk kedua kalinya bentrokan keras ter-
jadi. Nenek Cabul terburu-buru melompat mun-
dur ke samping kiri dengan kedua kaki dipen-
tangkan dan mata disipitkan. Sementara Dayang
Kemilau kembali tegak setelah terjajar ke bela-
kang. "Keparat!" membentak Nenek Cabul dalam hati. "Rasa penasaranku ingin
mengetahui mengapa ketiga gadis ini mencari Rajawali Emas, pupus sudah!"
Di seberang, Dayang Kemilau tak mau
buang waktu lagi. Hatinya sudah geram tatkala
merasa kalau mereka hanya dipermainkan oleh
perempuan berpayudara besar namun sudah
kendor itu. Saat itu pula dia melompat ke depan den-
gan jotosan yang diarahkan pada wajah dan dada
Nenek Cabul disertai teriakan penambah seman-
gat. Namun yang terjadi kemudian, justru terdengar seruan tertahan dari Dayang
Kemilau. Dan gadis berjubah hitam ini segera mengurungkan
niat menyerang seraya membuang tubuh ke
samping bila tak ingin terbakar. Saat berdiri, kali ini wajahnya pias tetapi
sorot matanya tajam.
"Gila! Jelas sekali kebenaran dugaanku
tentang perempuan ini!" desisnya dalam hati.
"Apakah dia memang menyembunyikan apa yang dimilikinya" Hmm! Ingin kulihat
sampai di mana dia bisa melakukan semua ini!"
Habis membatin demikian, gadis ini su-
rutkan kaki kanan ke belakang. Lalu dengan di-
iringi teriakan mengguntur, dia menerjang.
Mendadak saja suasana di tempat itu me-
redup. Angin seolah berhenti bertiup. Menyusul
deruan keras yang menggelegar, sebongkah kabut
hitam melesat dan mengeluarkan hawa dingin
yang luar biasa. Rupanya, gadis ini sudah keluarkan jurus 'Kabut Gurun Es'!
"Huh! Akan kukirim nyawamu ke neraka
karena berani menjual lagak! Perempuan cabul
yang sengaja menampakkan payudaranya ini
akan tahu rasa sekarang!" desis Dayang Kemilau sambil menyeringai mendapati
perubahan pada wajah Nenek Cabul.
Tetapi seringaian di bibir gadis berjubah hi-
tam ini lenyap seketika, tatkala dari arah depan sana melesat hawa panas keras
luar biasa yang
nampaknya berhasil mengimbangi hawa dingin
yang dilepaskan dari pukulan Dayang Kemilau.
Menyusul sentakan kedua tangan yang dilancar-
kan Nenek Cabul.
Blaarrr!! Kembali tempat itu diguncang hebat. Ta-
nahnya bergetar dan beberapa batang pohon am-
bruk berdebam. Sementara itu, tanah di mana
pertemuan dua serangan dahsyat itu terjadi,
rengkah dan menerbangkan debu-debunya ke
udara. Tatkala semuanya sirap, terlihat sosok
Dayang Kemilau yang terhuyung ke belakang
sambil mendekap dadanya dengan tubuh berge-
tar. Kedua tangannya dirasakan ngilu luar biasa.
Wajahnya yang senantiasa merona, kini meme-
rah. Kali ini, ganti dia yang terkejut.
"Gila! Mengapa dia jadi begitu hebat"!" batin Dayang Kemilau seraya memandang ke
depan. Sedangkan sosok Nenek Cabul telah berdiri
tegak dengan sorot mata tajam pada Dayang Ke-
milau. Kendati demikian, dari sela-sela bibirnya merembas darah segar.
"Ilmu 'Penyangga Tubuh Kuatkan Jiwa'
memang ilmu dahsyat! Ketiga gadis ini akan ku-
beri pelajaran!"
Kali ini, Nenek Cabullah yang tak mau
membuang waktu. Terutama mengingat dia harus
selekasnya tiba di Bukit Watu Hatur. Keinginan-
nya untuk bertemu dengan Seruling Haus Darah
guna mendapatkan Seruling Gading, makin me-
lingkar dalam di hatinya.
Dengan pergunakan ilmu 'Penyangga Tubuh Kua-
tkan Jiwa', Nenek Cabul menggebrak kembali.
Dayang Kemilau yang dapat merasakan peruba-
han serangan lawan, segera saja lipat gandakan
tenaga dalamnya.
Namun dua bayangan telah mendahu-
luinya dengan teriakan membahana. Saat itu pula hawa panas yang keluar dari
pukulan Nenek Ca-
bul tertahan oleh dua bongkah kabut hitam yang
keluarkan udara luar biasa dingin yang dilancarkan oleh Dayang Pandan dan Dayang
Harum. Rupanya, kedua gadis ini tak mau nasib sial me-
nimpa Dayang Kemilau setelah yang pertama kali
dikalahkan oleh pemuda yang mengaku bernama
Lolo Bodong. Blaaarr! Blaarrr!
Tempat itu bergetar hebat. Pepohonan
kembali berjatuhan dan menimbulkan suara ber-
debam berkah-kali. Beberapa ranting dan dahan-
nya berterbangan. Bahkan bila saja Dayang Kemi-
lau yang sempat melengak karena Dayang Pandan
dan Dayang Harum sudah melesat tak sigap me-
runduk, maka sebatang ranting yang meluncur
layaknya anak panah akan telak menancap di da-
danya. Akibat bentrokan yang dahsyat tadi, tubuh Nenek Cabul mencelat ke
belakang. Ini disebabkan karena salah satu pukulan yang dilepaskan
oleh Dayang Harum, tepat menghantam betis ka-
kinya. Di kedua betis itulah letak kelemahan dari ilmu 'Penyangga Tubuh Kuatkan
Jiwa' yang dimilik' oleh Nenek Cabul.
Sedangkan dua gadis yang menahan seka-
ligus menyerang itu, hanya mundur lima langkah.
Pandangan masing-masing orang begitu geram
sekali. Terutama dari Dayang Kemilau yang telah berdiri tegak.
"Aku tak peduli perempuan cabul ini mau
mengatakan atau tidak apa yang kita maksud!
Lebih baik bunuh saja ketimbang hanya memper-
lambat urusan!" serunya keras.
Kata-kata Dayang Kemilau seolah menjadi aba-
aba. Ketiga gadis berjubah itu pun mulai mengga-bungkan jurus 'Kabut Gurun Es'.
Di seberang, Nenek Cabul yang merasa
nyeri luar biasa pada kaki kanannya, terkesiap
mendapati apa yang hendak dilakukan ketiga ga-
dis itu. "Celaka! Kali ini rasanya aku tak akan mampu menandinginya! Kendati aku
yakin kalau pukulan salah seorang gadis yang tadi mengenai
kelemahan dari ilmu 'Penyangga Tubuh Kuatkan
Jiwa' hanyalah kebetulan belaka, tetapi mengha-
dapi serangan yang siap mereka lancarkan aku
tak berani mengambil risiko terlalu jauh! Huh!
Apakah harus kupergunakan Trisula Mata Empat
sekarang"! Tidak! Urusan akan bertambah pan-
jang, sementara aku harus selekasnya tiba di Bukit Watu Hatur!"
Memutuskan demikian, Nenek Cabul arah-
kan pandangan tajam ke depan.
"Aku tidak tahu siapa kalian sebenarnya!
Tetapi bila kalian bermaksud mencari Rajawali
Emas untuk memusnahkannya, aku pun memili-
ki niatan yang sama!"
"Persetan dengan ucapanmu! Katakan di
mana dia berada"!" seru Dayang Kemilau dingin.
"Sayangnya, aku tak punya banyak waktu
lagi! Bila kita berjumpa kembali, jangan harap kalian bisa menghirup udara segar
seperti seka- rang!!" Habis kata-katanya, mendadak saja Nenek Cabul lepaskan kembali ilmu
'Penyangga Tubuh
Kuatkan Jiwa'. Serangan yang dilancarkannya
membuat ketiga gadis itu menggeram dan' seketi-
ka menggebrak ke depan dengan jurus Kabut Gu-
run Es'! Tiga bongkah kabut hitam menderu ken-
cang dan melabrak ambyar serangan Nenek Ca-
bul. Beberapa batang pohon tumbang dan me-
nimbulkan suara bergemuruh mengerikan. Juga
dipadu dengan beterbangan-ya ranggasan semak
belukar dan tanah di udara.
Tetapi ketiga gadis ini tak mempedulikan
semuanya yang menghalangi pandangan. Keti-
ganya langsung menerobos dart masing-masing
orang lancarkan serangan sekaligus.
Blaaam! Blaammmm!!
Kembali terdengar ledakan demi ledakan
yang mengerikan.
Dan tatkala ketiga gadis itu sudah berdiri
tegak Kembali, masing-masing orang surutkan
langkah satu tindak ke belakang dengan geraman
keras terdengar.


Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nenek Cabul sudah tidak berada lagi di
tempatnya! *** Bab 5 DI SEBELAH timur Bukit Watu Hatur, berjarak sekitar seratus tombak, dua sosok
tubuh hentikan langkah masing-masing di tempat yang dipe-
nuhi ranggasan semak belukar. Kedua orang ini
memperhatikan Bukit Watu Hatur yang seperti
berkilat-kilat karena memantulkan sinar rembu-
lan. "Perjalanan panjang yang kita lalui akhirnya sampai ke penghujung. Sulit
diduga apa yang akan terjadi. Tetapi jelas kalau darah angkara
akan membanjir...," berkata orang yang berdiri di sebelah kiri tanpa palingkan
kepala pada perempuan tua yang di sepanjang kedua lengannya di-
penuhi gelang-gelang warna hitam.
Perempuan tua itu memalingkan kepala.
Sesaat mulutnya merapat. Setelah arahkan pan-
dangannya pula pada Bukit Watu Hatur, terden-
gar kata-katanya, "Darah angkara memang sudah terbayang akan membanjiri bukit
itu. Darah yang selalu mengalir sebelum kehidupan ini berjalan
seperti yang diharapkan oleh orang-orang golongan lurus. Dan sulit ditebak darah
siapakah yang akan mengalir."
Lelaki tua yang masih memiliki tubuh te-
gap yang tadi berkata, menganggukkan kepala.
"Yang kau katakan benar. Kita tidak tahu
darah siapakah yang akan mengalir. Tetapi, perjalanan yang kita lakukan cukup
sulit, sudah tentu semua yang kita lakukan ini tak akan menjurus
pada sebuah kesia-siaan."
"Siapa pun akan mengharapkan demikian."
"Dan kita berharap bahwa darah manusia
berjuluk Seruling Haus Darah-lah yang akan
mengalir...."
Perempuan tua mengenakan baju hitam
penuh tambalan yang tak lain Peri Gelang Rantai menganggukkan kepala tetap
dengan mengarahkan pandangan pada Bukit Watu Hatur.
Sesaat kesunyian melanda masing-masing
orang yang tak membuka mulut. Hati kedua to-
koh rimba persilatan golongan lurus ini dibuncah berbagai perasaan.
Kejap kemudian, terdengar kata-kata Peri
Gelang Rantai memecah kesunyian tetapi tanpa
mengalihkan pandangan pada lelaki tua berkumis
menjuntai yang berdiri dengan kedua tangan be-
rada di belakang pinggul.
"Raja Dewa... apakah kau tetap tak mau
mempergunakan Anting Mustika Ratu yang ke-
mungkinan besar dapat menandingi Seruling
Gading di tangan Seruling Haus Darah?"
Lelaki tua berbadan tegap yang kedua tan-
gannya berada di belakang pinggul itu mengge-
lengkan kepala.
"Tidak! Biar bagaimanapun sulitnya, aku
tetap tidak akan mempergunakan Anting Mustika
Ratu untuk menghadapi Seruling Haus Darah.
Dan yang kuharapkan lagi, kalau Nenek Cabul,
orang yang telah mengambil senjata mustika Tri-
sula Mata Empat milikku akan berada di sana."
"Aku juga berharap demikian. Apakah kau
pikir dia termakan oleh akalmu waktu itu?"
Raja Dewa menggelengkan kepala.
"Aku tidak yakin. Karena tenaga 'Pembalik
Bumi' yang diam-diam kusalurkan dan kutakut-
takuti dia dengan mengatakan Trisula Mata Em-
pat akan menyerang pemegangnya bila tak tahu
bagaimana cara mengendalikannya, akan hilang
dengan sendirinya setelah lima kali penanakan
nasi." "Berarti, senjata mustika milikmu itu masih berada di tangannya...."
"Kemungkinan besar seperti itu. Dapatkah
kau membayangkan, bila Nenek Cabul bermak-
sud bergabung dengan Seruling Haus Darah" Dua
manusia sesat yang memiliki senjata-senjata
mustika yang bukan miliknya, akan membuat
rimba persilatan ini semakin bertambah kacau...."
Masing-masing orang kembali terdiam. Dan
tatkala keduanya dilanda sepi dan diredam ma-
lam yang dingin, keduanya melihat satu sosok tubuh yang mengenakan pakaian
terbuat dari sute-
ra berkelebat dari jarak dua puluh tombak di
samping kanan keduanya. Saat berkelebat sosok
yang wajahnya ditutupi cadar terbuat dari sutera itu, memperlihatkan kegempalan
kedua pahanya karena pakaian yang dikenakannya terbelah
hingga pangkal paha. Bergerak cepat menuju ke
Bukit Watu Hatur.
"Dewi Kematian! Perempuan bercadar sute-
ra yang menginginkan nyawa Rajawali Emas dan
pernah kau permalukan!" seru Peri Gelang Rantai.
"Dia juga menuju ke Bukit Watu Hatur!
Dengan kata lain, perempuan berpakaian sutera
itu sudah tahu kalau Rajawali Emas kemungki-
nan berada di sana! Peri Gelang Rantai, sebaiknya kita meneruskan langkah!"
"Begitu lebih baik! Karena, aku juga pena-
saran hendak mengetahui seperti apa wajah Se-
ruling Haus Darah!" sahut Peri Gelang Rantai sambil menganggukkan kepala.
Kejap kemudian, keduanya sudah berkele-
bat cepat, menembus keremangan malam yang
menuju pagi. *** Dari arah sebelah barat menuju ke Bukit
Watu Hatur, Rajawali Emas terus berkelebat den-
gan cepat. Sepanjang dia berkelebat, otaknya tak henti-henti diperas untuk
memecahkan kata-kata
Pendekar Bijaksana. Namun sampai saat ini dia
gagal untuk mengetahui apa maksud Pendekar
Bijaksana. "Bila kupaksa juga untuk berpikir, lama
kelamaan otakku yang akan pecah! Lebih baik te-
tap menuju ke Bukit Watu Hatur kendati aku be-
lum memahami apa maksud Pendekar Bijaksana
sesungguhnya. Benar-benar bikin kepalaku pus-
ing!" Pemuda yang di lengan kanan dan kirinya ini terdapat rajahan burung
rajawali raksasa,
mencoba untuk tidak memikirkan masalah itu le-
bih lanjut. Dia coba menenangkan perasaannya.
"Hmmm... tak pernah kusangka kalau se-
lama ini Bwana menghilang dikarenakan bertemu
dengan Guru, Raja Lihai Langit Bumi.... Dan aku sendiri belum tahu apakah urusan
Seruling Haus Darah dan Trisula Mata Empat akan dapat kuse-
lesaikan atau tidak. Tetapi, satu urusan lain sudah membayang di depan mata."
Dan mendadak saja kelebatan tubuh pe-
muda dari Gunung Rajawali ini terhenti. Menyusul tubuhnya disentakkan ke
belakang disertai teriakan tertahan.
Blaaamm! Tempat di mana Rajawali Emas terakhir
berkelebat tadi, langsung rengkah terhantam ge-
lombang angin dahsyat.
"Hmmm... ada orang yang mau bermain-
main denganku rupanya!" desis Tirta dengan pandangan waspada. Tubuhnya agak
membungkuk dengan kedua tangan dikepalkan. Kejap itu
pula dia berseru, "Bila ingin menjual lagak mengapa tidak tampil ke depan"!"
"Bersikap santun lebih diutamakan. Aku
hanya ingin menguji kelihaianmu saja..."
Sesaat kepala Tirta menegak. Keningnya
dikernyitkan. Lalu terdengar desisannya, "Suara itu... oh! Guru!!"
"Apa kabarmu, muridku" Kulihat kau begi-
tu tergesa-gesa sekali...," suara lembut itu terdengar kembali. Dan Tirta sulit
menentukan dari ma-na suara itu datang, karena seperti terbawa an-
gin. Perlahan-lahan pemuda dari Gunung Ra-
jawali ini mengubah kedudukan berdirinya. Ke-
dua tangannya dirangkapkan di depan dada. Lalu
dengan suara penuh hormat dia berkata, "Kea-daanku baik-baik saja. Bagaimana
dengan kea- daanmu sendiri. Guru.... Raja Lihai Langit Bu-
mi...." Orang yang disebut julukannya oleh Tirta tadi bersuara kembali, tetap
tak menampakkan
wajahnya dan suaranya tetap pula seperti diseret angin, "Kabarku pun baik-baik
saja. Sudahkah kau bertemu dengan Bwana?"
"Sudah, Guru. Bwana juga menceritakan
tentang pertemuannya dengan Guru...."
"Ya, akulah yang memanggilnya. Padahal
aku tahu, Bwana sedang mengemban tugas yang
kau berikan...."
"Begitulah keadaannya, Guru. Lantas...
siapakah sesungguhnya Dayang-dayang Dasar
Neraka" Aku sama sekali belum pernah berjumpa
dengan mereka. Dan tahu-tahu begitu bertemu
pertama kali, mereka sudah menginginkan nya-
waku." "Mengenai mereka aku tidak tahu sama sekali. Tetapi, kemunculan gadis-
gadis itu nampaknya berkaitan dengan sebuah kitab...."
"Oh! Kitab apakah yang kau maksudkan,
Guru?" "Ingatkah kau kitab apa yang kau titipkan kepadaku dan seharusnya menjadi
milikmu?" Sudah tentu Tirta ingat. Bahkan dia per-
nah menghubungkan kemunculan Dayang-
dayang Dasar Neraka dengan Kitab Pemanggil
Mayat. "Lantas... apa yang Guru maksudkan?"
"Apakah kau sudah membaca halaman terakhir dari kitab itu?" terdengar suara Raja
Lihai Langit Bumi, yang entah berada di mana.
"Maafkan aku... aku belum sempat mem-
bacanya sampai habis. Ada apakah sebenarnya?"
"Aku pun hanya dapat membacanya sedi-
kit. Karena mendadak saja tulisan pada lembaran terakhir Kitab Pemanggil Mayat
hilang...."
"Oh! Bolehkah aku tahu tentang isinya?"
"Hanya sedikit yang kuketahui. Ternyata,
Kitab Pemanggil Mayat merupakan rangkaian ki-
tab pertama dari dua buah kitab. Kitab lanjutan dari Kitab Pemanggil Mayat
bernama Kitab Pa-mungkas. Dan kemungkinan besar... kemunculan
Dayang-dayang Dasar Neraka berhubungan den-
gan Kitab Pemanggil Mayat...."
Tirta tak segera buka mulut untuk menya-
huti kata-kata gurunya. Lalu katanya, "Aku belum dapat memahami kata-kata Guru
sepenuh- nya...." "Masih ada cukup waktu untuk menjabar-kannya. Muridku... aku tahu kau
sedang menan- tang maut sekarang. Mungkin kau sudah menge-
tahui siapakah lawanmu yang sesungguhnya. Ju-
lukan Seruling Haus Darah memang pernah sing-
gah di benakku. Dan kuyakini dia tak lain Raja
Setan adanya. Muridku... yang sangat berbahaya
dari Seruling Haus Darah adalah Seruling Gading yang diambilnya setelah membunuh
pemiliknya si Raja Seruling."
"Aku juga memikirkan soal itu."
"Kau harus berhati-hati bila dia memper-
gunakan Seruling Gading."
Ingatan Tirta kembali pada kata-kata Pen-
dekar Bijaksana. "Aku belum menemukan penjelasan yang benar tentang kata-kata
orang tua bijaksana itu. Sebaiknya kukatakan saja pada Guru yang entah berada di
mana namun suaranya jelas
kudengar. Barangkali saja Guru bisa memberi pe-
tunjuk yang lebih jelas."
Memutuskan demikian, pemuda dari Gu-
nung Rajawali ini segera menceritakan apa yang
dialaminya. Dan di luar dugaan terdengar sahu-
tan Raja Lihai Langit Bumi, "Justru kaulah yang harus memecahkannya, Tirta.
Karena, ini adalah
kesepakatanku dengan Pendekar Bijaksana...."
"Oh!"
"Tanpa diketahui siapa pun," Pendekar Bijaksana telah membicarakan persoalan itu
den- ganku. Aku juga yang turut mengatur semua ini.
Pendekar Bijaksana akan menantang Seruling
Haus Darah bertarung di Bukit Watu Hatur, teta-
pi engkaulah yang akan menghadapinya."
"Mengapa, Guru?"
"Ini sudah aturan mainnya."
"Mengapa Guru tidak turun tangan?"
"Kemunculan Pendekar Bijaksana, adalah
untuk menguji kebenaran tentang berita yang di-
dengarnya. Sementara aku sendiri sudah bertam-
bah tua, kendati usiaku jauh berbeda dengan
Pendekar Bijaksana...."
Diam-diam Tirta mendengus dalam hati.
"Huh! Memang susah berbicara dengan orang-
orang seperti mereka. Lantas, ke mana perginya Guru Bidadari Hati Kejam" Pasti
dia sekarang lagi asyik dengan Manusia Pemarah."
Memang, guru Rajawali Emas ada dua
orang. Mereka adalah Bidadari Hati Kejam dan
Raja Lihai Langit Bumi. Tetapi boleh dikatakan, guru pertama Rajawali Emas
adalah Bwana (Untuk mengetahui semua itu, silahkan baca : "Geger Batu Bintang"
sampai "Raja Lihai Langit Bumi").
"Muridku... setelah kau berhasil mengatasi semua ini, kau akan dihadapkan oleh
satu persoalan yang lebih rumit lagi," terdengar suara Ra-ja Lihai Langit Bumi.
Tirta menengadah, seolah melihat sosok
gurunya berada di hadapannya.
"Bagaimana bila aku gagal?"
"Berarti... rimba persilatan akan bertambah kacau... Sebaiknya, lanjutkan
perjalananmu....
Besok pagi, semuanya akan dimulai...."
"Baiklah... apa pun kendala yang akan ku-
hadapi, aku akan menerjang sekuat tenaga."
"Berhati-hatilah. Aku tahu kau telah me-
merintahkan Bwana dan meminta bantuan dari
Wulung Seta dan Sri Kunting, yang sebenarnya
lebih banyak kau maksudkan untuk menghindar-
kan mereka dari darah yang akan membanjir."
"Aku juga telah menyuruhnya untuk me-
nemui-mu...."
"Akulah yang akan menemuinya...."
Habis kata-kata itu terdengar, mendadak


Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja angin berkesiur di hadapan Tirta. Begitu ce-patnya. Namun, samar sepasang
mata pemuda dari Gunung Rajawali ini menangkap satu bayan-
gan putih berkelebat.
Terburu-buru dia rangkapkan kedua tan-
gan di depan dada. Di lain kejap, diarahkan pandangan pada Bukit Watu Hatur.
"Aku akan mendatangimu...."
*** Bab 6 HARI yang ditentukan pun tiba. Pagi kembali menghampar dalam. Udara begitu
dingin dan embun-embun masih menggayuti dedaunan. Bukit
Watu Hatur berdiri angkuh. Bukit yang dipenuhi
batu-batu padas dan pepohonan. Bukit itu sangat tinggi seperti tak mungkin bisa
didaki karena tegak lurus dengan langit!
Dan belum lagi pagi menyibakkan diri me-
nuju siang, belum lagi gayutan embun mengering
di dedaunan, mendadak saja satu bayangan me-
lesat cepat diiringi tawa yang menggema sangat
dahsyat. Seperti hendak melantakkan kehidupan
ini. Sosok yang ternyata mengenakan pakaian
merah-merah itu kini telah berdiri tegak dengan kedua kaki dipentangkan, di
sebuah batu padas
yang besar. Sepasang matanya terbuka lebar.
Rambut orang ini panjang hingga pinggang dan
botak tepat di bagian tengah kepalanya.
"Bukit Watu Hatur akan menjadi titik temu
dan keunggulan diriku! Julukan Raja Setan telah menghilang semenjak putusnya
nyawa Dewa Tanpa Nama tiga puluh tahun yang lalu! Yang ada sekarang, sosok tangguh tak
terkalahkan oleh
siapa pun juga! Seruling Haus Darah!!"
Menyusul tawa orang itu yang sangat ke-
ras. Lalu kesunyian mengerjap, seolah coba
kendalikan alam yang kerontang. Sepenanakan
nasi berlalu. Sosok berpakaian merah-merah itu
tetap berdiri tegak.
Sampai kemudian terlihat mulut lelaki ber-
kepala botak di tengah ini berkemik-kemik.
"Hmmm... ada orang yang datang! Dari gerakannya, dia nampak memiliki ilmu
peringan tubuh yang tinggi! Bisa kupastikan kalau dia seorang
perempuan. Apakah Dewi Topeng Perak yang
muncul" Sepertinya tidak."
Seruling Haus Darah terdiam dengan per-
tajam alat pendengarannya. Sepasang matanya
kemudian melihat satu sosok tubuh berpakaian
panjang warna jingga kemerahan. Rambut orang
yang baru datang ini panjang dan acak-acakan.
Kalau sejak tadi sepasang mata lelaki ber-
pakaian merah-merah ini selalu terbuka, kali ini menyipit. Mulutnya keluarkan
desisan pelan, "Tak kusangka... kalau dia yang datang! Benar-benar
tak kusangka!"
Orang yang suara kelebatannya sudah di-
dengar dari kejauhan oleh Seruling Haus Darah
tiba di Bukit Watu Hatur. Berjarak sepuluh tom-
bak dan Seruling Haus Darah, sosok yang ternya-
ta seorang nenek ini menghentikan langkahnya.
Pandangannya lurus menatap Seruling
Haus Darah. "Tak salah dugaanku. Dia memang Raja Setan adanya...."
Sementara itu, Seruling Haus Darah beru-
cap, "Tak kusangka kalau kita akan bertemu lagi, Siluman Kawah Api! Apakah kau
datang untuk menyampaikan rindumu dan berniat bergabung
denganku, ataukah ada masalah lain?"
Si nenek berdagu panjang dan lancip yang me-
mang Siluman Kawah Api adanya ini pentangkan
senyum. "Tujuanku adalah untuk membuktikan
tentang dugaanku! Dan ternyata dugaan itu tak
meleset sedikit juga! Kau adalah Raja Setan, Seruling Haus Darah!"
Seruling Haus Darah keluarkan tawa ke-
ras. "Kau tetap menyenangkanku, Siluman Kawah Api! Mari sini! Datanglah ke
pelukanku!!"
Dengan gerakan yang lincah dan keseim-
bangan tubuh yang terlatih, Siluman Kawah Api
melompat dan berdiri agak bersempitan dengan
Seruling Haus Darah yang langsung merangkul-
nya. Sambil tertawa-tawa, Seruling Haus Darah
menciumi wajah peot Siluman Kawah Api dengan
bernafsu. Beberapa saat kemudian dia berkata,
"Kita tunda hasrat yang telah lama terpendam dan kini berkobar kembali!"
Siluman Kawah Api tersenyum. "Nama dan
kekejamanmu sudah naik ke lapis langit tujuh.
Raja Setan!"
"Panggil aku dengan Seruling Haus Darah!"
"Apakah kau tiba di sini dikarenakan me-
nunggu Rajawali Emas?" tanya Siluman Kawah Api kemudian
"Sebelumnya, aku memang berniat seperti
itu! Tetapi, aku telah bertemu dengan Rajawali
Emas yang ternyata bukanlah lawan sepadan un-
tukku! Tak mungkin aku akan menurunkan tan-
gan pada orang yang bukan tandinganku!"
"Lantas... siapakah yang kau tunggu?"
"Pendekar Bijaksana!"
Siluman Kawah Api terdiam sejenak. Lalu
katanya. "Aku juga pernah mendengar julukan itu." "Bagus! Dia menantangku untuk
bertarung di Bukit Watu Hatur! Dan tentunya akan banyak
bermunculan tokoh-tokoh ke tempat ini! Bila ma-
nusia satu itu sudah kubunuh, berarti tak ada la-gi yang akan sanggup
menghadapiku!"
"Selain kedatanganku ke sini untuk mene-
muimu, aku juga punya urusan dengan orang
yang tak kukenal."
Seruling Haus Darah kernyitkan keningnya
mendengar kata-kata si nenek berdagu lancip.
"Apa maksudmu?"
Dengan suara sarat dendam, Siluman Ka-
wah Api menceritakan pengalamannya tatkala
mendapati sosok Iblis Lembah Ular yang pingsan.
Setelah memutuskan untuk melanjutkan perjala-
nan, mendadak saja perempuan tua ini dike-
jutkan oleh satu suara yang entah berasal dari mana. Kemarahannya pun muncul.
Dengan pukulan-pukulan dahsyat dia berusaha menemukan
dan memaksa keluar orang yang justru berkata-
kata menyakitkan telinganya. Tetapi sampai tem-
pat di mana sosok Iblis Lembah Ular pingsan berkobar oleh api-api yang
dilepaskannya, orang
yang dimaksud Siluman Kawah Api tetap tak me-
nampakkan batang hidungnya (Silakan baca :
"Pendekar Bijaksana").
Dan api-api yang dipadamkan oleh Buang
Totang Samudero itulah yang berasal dari api
yang dilepaskan oleh si nenek berdagu lancip ini.
Mendengar cerita orang, Seruling Haus Da-
rah kernyitkan keningnya. Lalu terdengar sua-
ranya pelan namun tegas, Aku bisa menebak sia-
pa orang itu adanya...."
"Siapa"!" sambar Siluman Kawah Api cepat dengan rahang dikertakkan.
"Pendekar Bijaksana...."
Hampir saja tubuh Siluman Kawah Api
yang melengak itu melompat ke bawah. Dengan
pandangan tajam dia berkata, "Apakah kau tidak salah menduga?"
"Kemunculan Pendekar Bijaksana memang
selalu seperti itu. Jarang sekali dia menampakkan diri sebelum membuat orang
bertanya-tanya. Satu hal yang lebih penting lagi, tatkala aku hendak membunuh
Rajawali Emas dan sebelum kupu-tuskan dialah lawan sepadan, manusia itulah
yang mencoba menahan gelombang dari Seruling
Menuntut Balas 8 Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara Sumpah Palapa 16
^