Pencarian

Misteri Pedang Pusaka 2

Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka Bagian 2


Gading yang namanya kuubah dan kupakai seba-
gai julukanku."
"Setan keparat!! Tak sabar rasanya kuca-
bik-cabik tubuh manusia itu!!"
"Tunggu!" seru Seruling Haus Darah dengan suara menyentak tinggi. Lalu dengan
suara yang dibaluri kegeraman dia berkata, 'Tahan se-
gala emosi yang ada di hatimu! Aku sudah memu-
tuskan, kalau Pendekar Bijaksana adalah lawan-
ku! Dengan kata lain, kau jangan coba-coba lebih dulu melangkahi ku untuk
membunuhnya! Kau
mengerti"!"
Kendati gusar mendengar kata-kata orang,
Siluman Kawah Api cuma menganggukkan kepa-
la. Bahkan menurutnya lebih baik. seperti itu,
hingga dia tidak terlalu banyak membuang tena-
ga. Tetapi dia berkata juga, "Aku yakin kau
akan mampu mengatasi manusia keparat itu!
Hanya kuminta, sebelum kau akhiri kehidupan-
nya, serahkan dia padaku untuk kuhajar!"
Sebagai jawaban atas kata-katanya, lelaki
berpakaian merah-merah itu tertawa berderai.
"Aku setuju! Sangat setuju!"
Siluman Kawah Api cuma menganggukkan kepala
dan coba tindih segala kekesalan dalam dada. Di lain saat, dia sudah palingkan
pandangan pada Seruling Haus Darah. Sepasang matanya berbi-
nar-binar. "Adakah kau menginginkan untuk ber-
cumbu dulu mengatasi segala kemarahan di da-
daku?" Seruling Haus Darah pandangi sesaat si nenek. Lalu nampak kepalanya
menggeleng. "Aku menangkap kelebatan orang yang da-
tang ke sini! Menilik lengan kirinya yang menjuntai kosong, bisa kupastikan
kalau dia tak lain
Maut Tangan Satu! Sebaiknya, kita tunda dulu
segala yang kita inginkan!"
"Hmm... kesaktian manusia satu ini benar-
benar bertambah. Rasanya, aku tak sabar untuk
melihat Seruling Gading yang ramai dibicarakan
orang." Lalu, keduanya membisu dan menunggu.
*** Apa yang dikatakan Seruling Haus Darah
memang benar adanya. Karena, tak lama berse-
lang Maut Tangan Satu tiba di tempat itu. Lelaki yang tak memiliki lengan kiri
ini segera menja-tuhkan diri di hadapan Seruling Haus Darah yang masih tegak
berdiri di atas batu padas di samping
Siluman Kawah Api.
"Maafkan aku, Pimpinan! Aku datang den-
gan tangan hampa!" katanya kemudian. Lalu di-am-diam dia menyambung dalam hati,
"Siapa perempuan yang berdiri di sebelah manusia sialan
itu?" Seruling Haus Darah keluarkan dengusan.
"Tak jadi masalah! Di mana yang lain"!"
Sesaat Maut Tangan Satu hampir tak per-
caya dengan apa yang didengarnya. Diam-diam
dia membatin, "Aneh! Biasanya, lelaki keparat ini akan marah besar bila orang
yang diberi perintah olehnya tak membawa hasil seperti yang diharapkan! Tetapi
kata-katanya tadi... apakah sesua-tu telah terjadi"! Atau... perempuan berdagu
lancip itu yang telah mempengaruhinya" Tetapi men-
gapa?" Karena harus lekas menjawab apa yang di-tanyakan Seruling Haus Darah,
Maut Tangan Sa-
tu segera berkata, "Hanya beberapa orang yang bertemu denganku. Setelah itu, aku
tak tahu lagi di mana mereka berada."
"Apakah kau sudah bertemu dengan Raja-
wali Emas?"
Lelaki berlengan kiri buntung ini tak men-
jawab. Dia tahu, bila sedikit saja dia salah berucap. maka kemarahanlah yang
akan didapat nya.
Lebih baik berdiam saja.
Siluman Kawah Api tersenyum dan diam-
diam melirik Seruling Haus Darah. "Dia bukan hanya bertambah tinggi
kepandaiannya, tetapi ju-
ga dapat mempengaruhi orang lain. Jelas semua-
nya dikarenakan Seruling Gading yang menjadi
momok sekarang. Tetapi, aku juga mendengar
tentang Trisula Mata Empat yang juga ramai dibicarakan orang."
Seruling Haus Darah yang memang sedang
menunggu Pendekar Bijaksana dan menganggap
Rajawali Emas bukanlah lawan sepadannya, sege-
ra berkata, "Bangkit! Dan berdiri di tempatmu!"
Perlahan-lahan Maut Tangan Satu berdiri,
tetapi dengan perasaan tak menentu dan men-
ganggap alat pendengarannya tak berfungsi den-
gan baik. "Lebih baik aku tak coba memikirkan kea-
daan seperti ini. Tetapi, sialan betul! Kulihat tadi bibir nenek peot berpakaian
warna jingga kemerahan itu seperti perlihatkan seringaian mengejek!
Setan! Ingin kuhajar perempuan itu!" memaki Maut Tangan Satu dalam hati. Lalu
menyambung, "Menjadi penurut adalah yang ter-penting sekarang. Tetapi benar-benar aneh.
Manusia keparat itu sepertinya tak sedang menunggu kemunculan
yang lainnya untuk membawa kabar tentang Ra-
jawali Emas. Jangan-jangan... dia justru telah bertemu dengan pemuda itu dan
berhasil membunuhnya"!"
Lagi kesunyian meraja. Maut Tangan Satu
tak berani membuka mulut. Bahkan melirik lelaki tinggi besar yang berdiri tegak
di atas batu padas dengan kedua tangan bersekedap di dada pun dia
tak berani melakukannya. Yang tersirat dalam ha-
tinya, selain heran mendapati perubahan yang diperlihatkan Seruling Haus Darah,
dia juga pena- saran ingin mengetahui siapa orang yang berdiri di sebelah lelaki berpakaian
merah-merah itu.
*** Bab 7 SEPEMINUMAN teh berlalu. Bukit Watu Hatur mulai dibiasi sinar matahari yang
mencorong cukup menyengat. Sosok Seruling Haus Darah dan
Siluman Kawah Api tetap berdiri agak berhimpi-
tan di atas batu padas. Keseimbangan kedua to-
koh sesat ini memang sudah sangat tinggi. Ken-
dati batu padas itu cukup menyulitkan mereka
berdiri, keduanya tetap tegak seolah menantang
langit. Sementara itu, sosok lelaki berlengan kiri buntung itu juga tegak
berdiri. Ada keinginan
kuat untuk melirik Seruling Haus Darah dan Si-
luman Kawah Api. Terutama ingin memperjelas
siapakah perempuan berdagu lancip yang menge-
nakan pakaian panjang warna jingga kemerahan.
Namun, Maut Tangan Satu tak berani melaku-
kannya. Dalam keheningan malam yang membius,
mendadak satu sosok berpakaian dan berjubah
hitam berkelebat ke Sana. Lelaki yang di pipi kanannya terdapat codetan bekas
luka ini, dalam
dua tarikan napas saja sudah berdiri di hadapan
Seruling Haus Darah dan Siluman Kawah Api.
"Maafkan kedatanganku yang agak terlam-
bat, Pimpinan! Terus terang... aku masih membu-
tuhkan waktu untuk mengalahkan Rajawali
Emas...," kata orang ini yang tak lain Maung Kumayang adanya. Kedua tangannya
dirangkapkan rapat-rapat di dada. Tubuhnya agak membung-
kuk. Bukan dikarenakan mengambil sikap meng-
hormati Seruling Haus Darah, melainkan dis-
ebabkan karena tulang punggung Maung Ku-
mayang patah dua buah setelah dikalahkan oleh
Rajawali Emas (Baca serial Rajawali Emas dalam
episode: "Seruling Haus Darah").
Lelaki tinggi besar berpakaian merah-
merah hanya keluarkan dengusan pendek. Dia
sepertinya tak acuh lagi. Yang ditunggu oleh Seruling Haus Darah tetaplah
Pendekar Bijaksana.
"Berdiri di sebelah Maut Tangan Satu! Ka-
lian akan menjadi saksi dari satu pertarungan
terbesar yang akan kulakukan!" serunya dingin.
Tak mau banyak berucap, Maung Kumayang se-
gera berdiri di sebelah kanan Maut Tangan Satu.
Sejenak lelaki bercodet ini arahkan pandangan tajam pada Maut Tangan Satu yang
membalas den- gan sedikit gusar. Karena, ditangkapnya pandan-
gan melecehkan dari sorot mata Maung Ku-
mayang. Terlebih-lebih tatkala secara terang-
terangan Maung Kumayang perlihatkan senyu-
man mengejek. "Keparat! Manusia codet satu ini seperti
menganggap enteng padaku! Kapiran! Akan kuha-
jar dia bila dapat kesempatan!" maki Maut Tangan Satu dalam hati.
Sementara itu, Maung Kumayang sedang
membatin, "Aku tetap menginginkan Seruling Gading di tangan Seruling Haus Darah.
Apa pun yang terjadi, aku akan tetap mendapatkannya.
Dan perempuan tua berdagu lancip itu, rupanya
telah berada di sini. Mungkin, inilah jawaban dari sikapnya yang saat itu
melengak tatkala
kukatakan tentang Seruling Haus Darah setelah
dia mengobatiku dengan cara memberikan ra-
muan Daun Naga Merah dan Lendir Kodok Api!"
"Huh! Jahanam betul! Bila memang nenek
satu ini bergabung dengan Seruling Haus Darah,
nampaknya akan sulit bagiku untuk mencoba
mendapatkan Seruling Gading. Bisa jadi perem-
puan ini akan menghalangi niatku. Dan lebih ga-
wat lagi bila dia ternyata tahu bagaimana cara
meredam tenaga yang kudapatkan dari ramuan
yang diberikannya kepadaku. Tetapi... mengapa
tadi manusia keparat berpakaian merah-merah
itu mengatakan kalau dia akan menghadapi satu
pertarungan besar" Apakah dia akan menghadapi
Rajawali Emas" Kalau memang iya, inilah kesem-
patanku yang terbaik untuk mendapatkan Serul-
ing Gading dari tangannya!" pikir Maung Kumayang lagi.
Kembali tak ada suara yang terdengar.
Sampai masing-masing orang yang berada di sa-
na, mencium aroma wangi yang cukup kuat, ter-
seret angin hingga seperti menebar.
Maung Kumayang berkata dalam hati,
"Hmm... rupanya perempuan bercadar sutera
memang benar-benar menuju ke tempat ini...."
Yang datang kemudian itu memang perem-
puan yang mengenakan cadar terbuat dari sutera.
Tubuhnya yang bagus itu dibungkus pakaian
yang terbuat dari bahan yang sama dengan ba-
gian dada agak rendah hingga memperlihatkan
bungkahan payudaranya yang besar dan montok.
Sementara pada bagian bawahnya, terbelah hing-
ga pangkal paha.
Saat perempuan bercadar sutera yang tak
lain Dewi Kematian adanya ini tiba, sepasang ma-ta Maut Tangan Satu membeliak
mendapati bungkahan paha yang gempal tatkala tersingkap.
"Lebih segar dari tubuh Nenek Cabul!" desisnya dalam hati.
Dewi Kematian menghentikan kelebatan-
nya. Dari balik cadar sutera yang dikenakan, sepasang matanya memperhatikan
lekat-lekat pada
sosok Seruling Haus Darah. Dan diam-diam dia
membatin, "Hmmm... mungkin manusia inilah yang
berjuluk Seruling Haus Darah. Dari tongkrongan-
nya cukup lumayan! Di mana disembunyikan Se-
ruling Gading yang diingini Maung Kumayang?"
Sementara itu, Seruling Haus Darah yang
tadi sempat mengernyitkan kening bersuara ang-
ker, "Perempuan bercadar sutera! Jangan buang waktu! Sebutkan siapa dirimu"!"
Dewi Kematian tak segera menjawab. "Yang
kuinginkan adalah nyawa Rajawali Emas. Bersa-
ma Maung Kumayang dan Dewi Topeng Perak te-
lah kubuat perjanjian. Dan bersama Dewi Topeng
Perak kubuat pula perjanjian untuk membunuh
Maung Kumayang! Untuk menjawab pertanyaan
lelaki berpakaian merah-merah itu, tak terlalu sulit!" Memutuskan demikian, Dewi
Kematian menengadah, lalu berkata, "Aku tahu siapa kau adanya! Orang yang berada
di balik rangkaian
pembunuhan para tokoh! Aku dijuluki orang se-
bagai Dewi Kematian! Kehadiranku di tempat ini bukan lain dikarenakan punya
urusan dengan Rajawali Emas!"
"Jangan membual!"
"Apa yang kukatakan benar adanya! Jadi,
aku tak punya urusan sama sekali denganmu!"
"Laknat kau bicara! Jangan berlaku konyol
di hadapanku!" hardik Seruling Haus Darah dengan tatapan tak berkedip. Kendati
demikian, dia sedang coba menilai kebenaran kata-kata si perempuan bercadar.
"Apa yang kukatakan benar adanya! Tak
mungkin aku berlaku kurang ajar di hadapan-
mu!" "Bagus! Kau kujadikan salah seorang saksi dari pertarungan besar yang akan
terjadi di abad ini! Bersikap santun akan membuat hatiku se-nang! Dan jangan
coba-coba...."
Seruling Haus Darah memutus kata-
katanya sendiri. Kepalanya tiba-tiba ditengadah-
kan. Masing-masing orang tak perlu bertanya-
tanya tentang perubahan sikap lelaki itu. Karena, mereka juga menangkap
kelebatan tubuh ke arah
sana. Dalam beberapa tarikan napas saja, satu
sosok berpakaian panjang kuning kebiruan yang
terbuka di bagian dada hingga memperlihatkan
payudaranya yang besar namun sudah kendor
berada di sana.
Dan semua orang yang berada di sana ke-
cuali Seruling Haus Darah mengenal siapa pe-


Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rempuan setengah baya namun masih memiliki
tubuh kencang dan menggiurkan itu. Kendati
demikian, kesegaran payudaranya masih kalah
dengan milik Dewi Kematian.
Seruling Haus Darah langsung buka mu-
lut, "Perempuan yang baru datang! Apakah keha-diranmu di tempat ini untuk buka
urusan den- ganku"!"
Perempuan yang tak lain Nenek Cabul
adanya, pasang senyum. Dicobanya mempergu-
nakan daya tarik yang dimilikinya guna memikat
Seruling Haus Darah. Sikap yang diperlihatkan-
nya itu memancing dengusan Siluman Kawah Api.
"Orang yang telah lama ingin kujumpa!
Sudah tentu aku tak memiliki keinginan seperti
itu! Yang ada, justru keinginan untuk bergabung denganmu! Julukanku.... Nenek
Cabul!" Seruling Haus Darah hanya sekilas arah-
kan pandangan pada payudara Nenek Cabul. Di
lain kejap dia berkata diiringi dengusan, "Diam di
tempatmu! Kau kupilih pula sebagai saksi dari
pertarungan yang akan kulakukan! Dengar baik-
baik! Bila ada yang berbuat tak menyenangkanku, akan kubunuh saat ini juga!"
Kendati masing-masing orang, kecuali Si-
luman Kawah Api, keluarkan dengusan, namun
mereka tak ada yang membuka mulut. Kesemua-
nya bertanya-tanya tentang pertarungan yang di-
katakan Seruling Haus Darah.
Pandangan Nenek Cabul menyipit ke arah
Maut Tangan Satu yang sunggingkan seringaian.
"Keparat! Akan kubunuh dia!" maki Nenek Cabul dalam hati dengan pandangan tajam.
Kembali masing-masing orang ditelan sunyi
yang dalam. Tiupan angin semakin merendah re-
dup dalam naungan siang yang makin meninggi.
Sosok Seruling Haus Darah nampak tak
sabar. Berkali-kali kedua tangannya mengepal
sementara indera penglihatan dan pendengaran-
nya dibuka lebar-lebar.
Dalam kesunyian yang menggigit, menda-
dak terdengar orang bersyair, entah dari mana
asalnya. Lama separuh jalan dl tempuh "
Kini terlewati sudah
Semua sudah duduk bersimpuh
Penantian mungkin mereda
Bila tak kuasa tahan amarah
Kemunculan boleh dijadikan kata
Membanjirnya darah angkara
Seiring kebusukan yang akan musnah
Selagi masing-masing orang menengadah
dengan kening berkerut, terdengar teriakan keras Seruling Haus Darah bersamaan
sosoknya yang melompat turun dari batu padas yang diinjaknya
tadi, "Manusia keparat! Mengapa kau tak segera memunculkan dirimu, hah"!"
Sementara itu, Siluman Kawah Api sudah
melompat pula ke samping kanan. Karena begitu
tubuh Seruling Haus Darah melompat dan batu
padas tadi dijadikan sebagai tumpuan, batu pa-
das itu langsung rengkah pecah menjadi butiran
kerikil! Dan begitu si nenek berdagu lancip hing-gapkan kaki di atas tanah,
sepasang matanya di-
jerengkan. "Aku bisa menebak siapa orang yang barusan bersyair! Sudah tentu dia
Pendekar Bijaksana adanya! Kapiran betul! Orang tua aneh
itu telah mempermainkanku! Bila saja Raja Setan alias Seruling Haus Darah tidak
membuat keputusan yang sebenarnya tak bisa kuterima, sudah
tentu tak akan kupenuhi permintaannya! Keingi-
nanku sekarang, adalah membunuh Pendekar Bi-
jaksana!" "Aku telah datang memenuhi janji! Perta-
rungan bisa kita mulai, bukan?" suara yang entah dari mana datangnya itu
terdengar lagi. Nadanya begitu bijaksana.
Seruling Haus Darah kertakkan rahangnya
kuat-kuat. "Kau selalu muncul dengan cara pengecut
seperti ini! Apakah kau akan tetap hendak ber-
main kucing-kucingan"!"
"Tergantung bagaimana kau mengartikan-
nya...." Sementara itu, secara serempak empat orang lainnya yang berada di sana
bersiaga. Seolah mereka sedang bersiap menghadapi satu ba-
haya besar yang mengerikan dengan hati dipenu-
hi tanya. "Manusia tak berguna! Jangan memaksaku
untuk menghancurkan tempat ini!!" hardik Seruling Haus Darah lagi dengan wajah
mengelam gu- sar. "Kau telah banyak melakukan pengrusakan. Raja Setan! Apakah dengan
menghancurkan Bukit Watu Hatur kau masih memerlukan per-
timbangan lagi"! Rasanya... sesuatu yang me-
mancingku untuk tertawa! Terus terang, selama
ini aku jarang sekali tertawa! Dan kau sepertinya berhasil membuatku tertawa!"
"Jahanam!" maki Seruling Haus Darah keras. Lalu sambungnya dengan tak kuasa
menin- dih amarah. "Ternyata, orang yang berjuluk Pendekar Bijaksana hanyalah orang
bodoh yang pen-
gecut! Datang tak berani menampakkan wajah!"
"Tetapi, bukankah aku sudah memenuhi
janjiku"!"
"Tampakkan wajah keparatmu, heh"!"
"Sebentar lagi.... Dan aku tahu kau ternya-ta bukanlah orang yang sabaran! Aku
tak suka melakukan satu pertarungan sebenarnya, karena
kehadiranku hanya untuk melihat kebenaran apa
yang terjadi! Seseorang akan datang ke tempat ini dan menghabisimu. Raja
Setan!!" "Keparat kapiran!" hardik Seruling Haus Darah keras. Saat itu pula tangan kanan-
kirmya diangkat dan disentakkan berkali-kali ke tempat yang diyakininya Pendekar
Bijaksana berada.
Dua rangkum gelombang angin dahsyat se-
gera menghampar dengan timbulkan suara men-
gerikan, menghantam sasaran yang dituju lelaki
berambut panjang dengan botak di bagian tengah, Blaaarr! Blaaarr!
Ranggasan semak belukar pecah terhan-
tam dan berhamburan. Menyusul sebatang pohon
yang berada di belakangnya. Langsung tumbang
dengan suara bergemuruh yang mengerikan!
Tetapi suara itu terdengar lagi, kali ini dari
sebelah kiri. Masing-masing orang yang berada di sana segera arahkan pandangan,
terlebih-lebih lagi Seruling Haus Darah!
"Mengapa kau tak sabar menunggu" Bu-
kankah tadi sudah kukatakan, sebentar lagi
orang yang akan menghancurkan sepak terjang-
mu akan datang ke tempat ini!"
Sebelum Seruling Haus Darah membuka
mulut atau lakukan sesuatu, Nenek Cabul sudah
berteriak keras sambil sentakkan tangan kanan-
nya, "Aku pun mulai muak dengan sikap yang kau perlihatkan, Pendekar
Bijaksana!!"
Wuusss!! Blaammm!! Hamparan gelombang angin yang dile-
paskan oleh Nenek Cabul pupus ambyar terhan-
tam satu pukulan jarak jauh yang keras. Sosok
Nenek Cabul surut saru langkah sambil palingkan kepala. Dilihatnya Seruling Haus
Darah garang menatapnya. "Tadi kukatakan, jangan berlaku konyol di
hadapanku!!" maki lelaki berpakaian merah-merah itu bertambah gusar.
Nenek Cabul yang bermaksud mencuri ke-
sempatan dengan cara memperlihatkan diri kalau
dirinya hendak bergabung dengan Seruling Haus
Darah, pentangkan kedua mata. Tersirat tatapan
tak suka dari sikap Seruling Haus Darah. Namun, dikarenakan dia juga menghendaki
Seruling Gading di tangan manusia sesat itu, segera ditindih kejengkelannya.
Tak banyak mulut dia surut kembali ke
tempat semula. Namun seringaian yang diperli-
hatkan Maut Tangan Satu benar-benar membuat
perempuan berpayudara besar namun sudah
kendor itu hampir-hampir tak kuasa menahan
amarah. ' Hanya saja, dia tak ingin lagi berlaku cero-
boh menuruti kata hatinya untuk merobek mulut
lelaki berlengan satu itu!
Suara Pendekar Bijaksana yang orangnya
entah berada di mana terdengar lagi, "Sejak lama sudah diketahui! Bila orang
menjalin persahabatan bukan dikarenakan ketulusan hati, melain-
kan menginginkan sesuatu tak akan pernah lang-
geng dan abadi! Jadinya, selalu berada di jalur kemunafikan! Namun sayang beribu
sayang! Kau Siluman Kawah Api, sebenarnya kau memiliki ji-
wa persahabatan yang tulus! Sayangnya, persa-
habatan itu kau jalin di jalur kesesatan yang dalam!" Membesi wajah si nenek
berdagu lancip mendengar kata-kata orang. Namun dia masih
menahan diri untuk tidak nekat melancarkan se-
rangan. Karena dia tak mau mendapat kemara-
han Seruling Haus Darah!
Suara Pendekar Bijaksana terdengar lagi.
Kali ini ditujukan pada Seruling Haus Darah
kembali, "Aku akan muncul bila orang yang kutung-
gu datang! Percayalah, dialah satu-satunya orang yang dapat mengalahkan dan
menghancurkan seluruh sepak terjangmu!!"
Sebelum Seruling Haus Darah membuka
mulut, terdengar suara, "Peri Gelang Rantai! Ra-sa-rasanya kita belum terlambat
datang! Mungkin mereka sedang mempersiapkan satu sambutan
yang sangat meriah untuk kita!"
**** Bab 8 MASING-MASING orang, kecuali Seruling Haus Darah yang sedang geram dan menduga-
duga di manakah beradanya Pendekar Bijaksana lantas
mencelat ke depan dan lepaskan serangan-
serangan dahsyat, alihkan pandangan ke kanan.
Mereka melihat dua sosok tubuh muncul di
sana. Yang berada di sebelah kiri, seorang lelaki tua namun masih memiliki tubuh
tegap dengan kumis menjuntai. Melangkah dengan kedua tan-
gan berada di punggung. Yang seorang lagi, seo-
rang nenek berpakaian panjang hitam penuh
tambalan. Di sepanjang kedua lengannya dipenu-
hi gelang-gelang warna hitam.
Sementara itu, serangan-serangan amarah
yang dilepaskan Seruling Haus Darah ke berbagai tempat, menimbulkan suara
letupan-letupan keras dan debu-debu yang berhamburan di udara.
Kendati demikian, sosok Pendekar Bijaksana tak
muncul juga. Hingga membuat lelaki berpakaian
merah-merah ini benar-benar murka dan mene-
ruskan serangannya yang membuat suasana di
tempat itu jadi porak poranda.
"Menilik keadaan di sini, nampaknya kau
salah. Raja Dewa! Tak ada sambutan apa-apa ke-
cuali wajah-wajah buntek penuh kepalsuan yang
kulihat! Dan sungguh malang nasib lelaki botak
di tengah yang kuyakini Seruling Haus Darah
adanya! Dia sedang memburu kelinci
atau sedang apa"!" suara si nenek yang tak lain Peri Gelang Rantai adanya
tersenyum. Bila saja Seruling Haus Darah mendengar
ejekan-nya dan sedang tak sibuk mencoba me-
nemukan di mana Pendekar Bijaksana berada,
sudah bisa dipastikan dia akan alihkan serangan pada Peri Gelang Rantai.
Sementara itu, sepasang mata si nenek
yang di sepanjang kedua lengannya dipenuhi ge-
lang-gelang hitam, pandangi orang-orang itu satu per satu. Dan tatkala
pandangannya tiba pada Siluman Kawah Api, nampak dia agak melengak se-
kejap. Di kejap lain terdengar dengusannya yang gusar, "Tak kusangka kalau
Siluman Kawah Api berada di sini! Apakah kau masih berniat mencuri ilmu gelang-
gelangku"!"
Mendapati suara yang tak mengenakkan
telinganya, Siluman Kawah Api merandek tajam.
Pandangannya tak berkedip. Kedua tinjunya di-
kepal erat-erat.
Seraya maju dua langkah dia berseru din-
gin, "Huh! Kau terlalu percaya diri, Peri Gelang Rantai! Aku tak lagi
membutuhkan ilmu gelang-gelangmu!! Yang kubutuhkan sekarang, adalah
mencabut nyawamu!!"
"Bukan main! Menyenangkan sekali!" sahut Peri Gelang Rantai penuh ejekan.
"Tutup mulutmu!!"
Habis bentakannya terdengar, si nenek
berdagu lancip ini sudah mencelat ke muka. Dia
tak bisa melupakan peristiwa lalu tatkala mempe-rebutkan Kitab Gelang-gelang
yang akhirnya di-
miliki oleh Peri Gelang Rantai. Sementara kitab itu sendiri sudah dimusnahkan
oleh Peri Gelang
Rantai. Wuusss!! Menghampar gelombang angin panas yang
timbulkan suara menggidikkan, ke arah Peri Ge-
lang Rantai yang masih tegak berdiri. Rupanya si nenek berdagu lancip ini coba
melampiaskan kejengkelannya karena dilarang untuk turun tangan menghadapi
Pendekar Bijaksana yang pernah
mempermainkannya. Makanya, serangan yang di-
lepaskan ke arah Peri Gelang Rantai tidak tang-
gung lagi. Tanah terseret gelombang angin yang dile-
paskannya, rengkah dan menaburkan debu-debu
di udara. Bersamaan dengan itu. Peri Gelang Rantai
membuang tubuh ke belakang dan mengibaskan
tangan kanan dan kirinya. Menggebrak angin


Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang luar biasa kerasnya dan menyusul sepuluh
buah gelang-gelang hitam yang melingkari tan-
gannya menderu ke arah Siluman Kawah Api.
Blaammm! Angin yang dilepaskan Siluman Kawah Api
untuk sesaat tertahan. Bila saja si nenek berdagu lancip ini meneruskan
serangannya, maka dengan
mudah bisa dilakukan karena sosoknya sudah
mencelat ke depan. Akan tetapi, desingan sepuluh buah gelang hitam yang
dilepaskan Peri Gelang
Rantai, membuatnya urung melakukan serangan
susulan. Tubuhnya dibuang ke kanan. Begitu kedua
kakinya hinggap di tanah, si nenek berdagu lan-
cip ini sudah lancarkan serangan kembali.
Sementara itu, Dewi Kematian diam-diam
membatin, "Keparat! Kehadiran Raja Dewa di sini membuat dendamku naik! Manusia
ini pula yang bersama-sama Peri Gelang Rantai menggagalkan
niatku untuk menghabisi nyawa Rajawali Emas!
Dan... ke mana sebenarnya Rajawali Emas bera-
da" Mengapa dia belum muncul juga"! Peduli se-
tan! Siapa pun yang menahan sepak terjangku
untuk membunuh pemuda itu, harus mati di tan-
ganku! Dia akan... hei! Kudengar dengusan dalam dari Nenek Cabul! Apakah ada
sesuatu di antara
mereka" Baiknya, kuperhatikan saja dulu! Kuli-
hat Raja Dewa seperti hendak membuka mulut!"
Lelaki berkumis putih menjuntai yang ke-
dua tangannya selalu berada di atas pinggul berkata pada Nenek Cabul, "Perempuan
cabul yang memiliki secara tak sah Trisula Mata Empat! Aku tak ingin mengulang
sengketa menjadi berkepan-jangan! Kita tak seharusnya menjadi lawan sema-
cam ini! Karena, manusia sesat se-macam Serul-
ing Haus Darah yang harus dimusnahkan! Serah-
kan Trisula Mata Empat kepadaku!"
Nenek Cabul yang pernah dipermainkan
oleh Raja Dewa maju dua tindak dengan tatapan
tak berkedip. "Jangan sembarang ucap tak karuan! Kau
boleh membuatku kelabakan waktu itu! Tetapi
sekarang, kau akan mampus di makan senjatamu
sendiri!" Habis membentak begitu, dengan pandan-
gan masih mengarah pada Raja Dewa, Nenek Ca-
bul memasukkan tangan kanannya ke balik pa-
kaiannya. Dan tatkala ditarik keluar, terlihat sebuah benda yang memancarkan
sinar warna me-
rah. Untuk sesaat terlihat Raja Dewa terkesiap.
"Hmmm... berbahaya. Dengan mempergu-
nakan Trisula Mata Empat, kedudukan Nenek
Cabul bukan hanya berada di atas angin. Tetapi
di lapisan atas angin. Kendati demikian, aku tak akan mundur. Biar pun nyawaku
putus di tangan
senjata mustikaku sendiri, aku harus mengam-
bilnya." Sementara itu, tiga pasang mata milik
Maut Tangan Satu, Maung Kumayang dan Dewi
Kematian lekat pada benda yang dipegang Nenek
Cabul. Dewi Kematian membatin, "Trisula Mata Empat! Hmm... bagus! Dengan kata
lain, akan kulihat kematian Raja Dewa di tangan Nenek Cabul!
Aku masih bisa menyimpan tenaga untuk meng-
hadapi dan membunuh Rajawali Emas!"
Sementara itu, bibir perempuan berpayu-
dara besar namun sudah kendor itu tersungging
seringaian penuh ejekan. Di pandanginya sejenak benda yang berada di tangannya.
Sebuah trisula yang terdiri dari empat buah jajaran besi dan sepanjang lengan orang dewasa. Dua
buah besi sal- ing berapatan dan memberikan jarak yang agak
renggang di bagian tengah. Keempat besi yang be-rangkai itu berujung lancip dan
sama rata. Lalu dengan kepala ditengadahkan dan su-
ara dingin, Nenek Cabul berseru, "Mungkin kau sudah ditakdirkan untuk mampus di
senjata milikmu sendiri. Raja Dewa! Tetapi aku masih ber-
baik hati! Kuberi kesempatan kau untuk mere-
butnya! Bila kau berhasil mendapatkan benda ini, maka kau tetap sebagai
pemiliknya! Hanya saja,
jangan terlalu banyak berharap!"
Untuk sesaat Raja Dewa tak berucap. Ma-
tanya lekat menatap Trisula Mata Empat yang
tergenggam erat di tangan Nenek Cabul.
"Apa pun yang terjadi, aku akan tetap
menghadapi semua ini...." Habis membatin demikian, lelaki tua namun berbadan
tegap yang ke- dua tangannya selalu berada di atas pinggul ini berkata, "Usulmu boleh juga....
Aku akan meng-hadapimu sekarang."
"Bagus! Berarti...."
"Tunggu!!" satu seruan keras menahan
keinginan Nenek Cabul untuk segera menggebrak.
Menyusul satu sosok tubuh berkelebat dan berdi-
ri di sebelahnya.
Sepasang mata Nenek Cabul mencorong
dalam pada Maut Tangan Satu yang tadi berucap
dan telah berdiri di sebelahnya. Sebelum dia berkata, terdengar suara Maut
Tangan Satu semen-
tara pandangannya tajam pada Raja Dewa, "Nenek Cabul! Aku juga punya urusan
dengan ma- nusia satu ini! Waktu itu kau memintaku untuk
bergabung! Kali ini aku bersedia!"
"Keparat! Dia benar-benar lihai memilih kesempatan di depan mata! Dua kali dia
telah mem- buatku gusar! Pertama, mencuri dengar semua
rencanaku dengan Iblis Lembah Ular yang akhir-
nya kuusir dan entah berada di mana sekarang.
Lantas menolak apa yang kutawarkan waktu itu!
Hmm... kau akan kupermainkan sekarang!"
Lalu dengan bibir dipasang senyuman Ne-
nek Cabul berkata, "Aku tak suka melakukan ke-royokan! Bila kau punya masalah
dengannya, si- lakan kau hadapi dia lebih dulu!"
Maut Tangan Satu yang memang melihat
kesempatan di depan mata untuk membalas per-
lakuan Raja Dewa dan Peri Gelang Rantai bebera-
pa hari lalu, melengak mendengar kata-kata
orang. Ditatapnya Nenek Cabul lekat-lekat yang
sedang menyeringai.
"Keparat betul! Dia sepertinya tahu apa
yang kuhendaki! Menghadapi Raja Dewa seorang
diri, sudah tentu hanya melakukan tindakan bo-
doh! Tetapi, tak akan mungkin kudiamkan seka-
rang! Apa pun yang terjadi, aku yakin perempuan cabul yang nampaknya memiliki
dendam pada Raja Dewa akan membantuku!"
Karena berpikir demikian, dengan kepala
ditengadahkan dan kedua kaki dipentangkan,
Maut Tangan Satu berkata, "Raja Dewa! Kau dan Peri Gelang Rantai telah
mempermainkanku!
Bahkan Peri Gelang Rantai telah membuatku lu-
ka! Tetapi, sayangnya perempuan itu harus
menghadapi Siluman Kawah Api! Berarti, nyawa-
mulah sebagai gantinya!"
Raja Dewa hanya menggeleng-gelengkan
kepala. "Kau seharusnya sudah berlalu dari kegia-tan busuk ini, Maut Tangan
Satu. Tetapi... kau
nampaknya keras kepala. Apakah...."
"Diaaamm! Terimalah kematianmu seka-
rang!!" Habis bentakannya, Maut Tangan Satu sudah menggebrak ke arahnya dikawal
teriakan mengguntur. Rupanya, lelaki ini sudah tak tahan untuk menahan diri lagi.
Seketika tangan kanannya melabrak dah-
syat dengan timbulkan suara bergemuruh.
Raja Dewa hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya, tetap tak bergeser dari tempat berdirinya. Des!!
Mendadak saja sosok Maut Tangan Satu
terlempar ke belakang, seperti terhantam sesuatu.
Begitu kedua kakinya menginjak tanah, sepasang
matanya dipentangkan lebih lebar dengan kening
dikernyitkan. "Gila! Apa yang dilakukan lelaki tua kepa-
rat itu"! Dia tak bergeser dari tempatnya tetapi ta-
hu-tahu seranganku tertahan!" maki Maut Tangan Satu dalam hati. Di lain kejap,
dia menggeser kaki kanannya ke depan.
"Peduli setan! Aku tak mau dipermainkan
di depan Nenek Cabul!"
Berpikir demikian, kembali lelaki berlengan
buntung ini menyerang. Habis melepaskan joto-
san dengan tangan kanan, lelaki ini menggerak-
kan bahu kirinya. Seketika baju lengan kirinya yang tanpa tangan, bergerak
laksana pecut. Claaarr...! Terdengar suara keras dan saat itu pula
menderu lima cahaya berwarna merah yang me-
nebarkan hawa panas. Namun seperti yang tadi
dialaminya, tahu-tahu tubuh Maut Tangan Satu
kembali terlempar ke belakang.
Kali ini ambruk dengan tanah yang ber-
hamburan, tepat di sebelah kaki kanan Nenek
Cabul. "Huh! Kau hanya menjadi duri kecil yang tak berarti! Tetapi, bila
dibiarkan hidup, kau hanya akan menjadi pecundang belaka!!" maki Nenek Cabul
geram. Sebelum Maut Tangan Satu bangkit, den-
gan penuh kemuakan Nenek Cabul mengangkat
kaki kanannya dan....
Kraaakk! Dengan senyuman dingin Nenek Cabul
menginjak dada lelaki berlengan buntung itu yang melengak sesaat. Dari mulutnya
yang keluarkan seruan tertahan, menghambur darah segar. Me-
nyusul tubuhnya ambruk kembali dengan nyawa
putus. Raja Dewa menggeleng-gelengkan kepala
melihat ketelengasan Nenek Cabul.
"Kau tak memiliki nurani lagi rupanya...."
"Jangan banyak bacot!" seru Nenek Cabul dengan pandangan dijerengkan. "Kini,
tiba urusan kita! Kau akan mampus di senjatamu sendiri, Ra-
ja Dewa!" "Bukankah tadi kukatakan, apa pun yang
terjadi, aku akan menghadapinya! Terlebih lagi, kau tak pernah akan kumaafkan!
Sayang, saat ini aku nampaknya telah berubah!"
"Berubah atau tidak... kematian sudah tiba di depan mata!" hardik Nenek Cabul
dingin. Sementara itu, Dewi Kematian yang tadi
cukup kaget pula melihat perbuatan Nenek Cabul
dan hendak berucap urung, karena didengarnya
suara Maung Kumayang, "Biarkan mereka ber-
main-main. Kini tinggal kita berdua."
Si perempuan bercadar sutera alihkan
pandangan, "Apa maksud kata-katamu itu?"
"Sampai saat ini, ternyata Rajawali Emas
tidak muncul juga! Bisa kuyakini kalau dia ternyata seorang pengecut dan masih
sayang nyawa! Demikian pula dengan Dewi Topeng Perak! Kau
tahu, kalau aku menginginkan Seruling Gading,
bukan" Dan sekarang tiba saatnya untuk men-
gambil benda pusaka itu dari Seruling Haus Da-
rah!" Dewi Kematian arahkan pandangan pada Seruling Haus Darah yang terus
menerus menyerang ke berbagai tempat yang semakin porak po-
randa. Bahkan, bagian paling atas dari Bukit Wa-tu Hatur sudah berhamburan.
Tetapi, sosok Pendekar Bijaksana belum
juga keluar kecuali suara-suaranya yang terdengar sangat bijaksana namun
menyakitkan telinga
Seruling Haus Darah.
Kejap lain, Dewi Kematian berkata, "Sudah
kukatakan, aku tak punya urusan dengan manu-
sia itu! Bila kau hendak melakukannya, silakan!"
Maung Kumayang menggeram.
"Keparat betul! Perempuan ini memang te-
lah mengikat janji denganku untuk membunuh
Rajawali Emas! Tetapi, dia telah mengatakan tak punya urusan dengan Seruling
Haus Darah! Peduli setan! Aku tak mau lagi diperbudak oleh lelaki berpakaian
merah-merah itu! Seruling Gading
harus kumiliki!!"
Habis membatin demikian, dengan anggu-
kan keras dan suara dingin, Maung Kumayang
berkata, "Baik! Kau tak perlu repot dengan uru-sanku! Aku akan...."
Kata-kata Maung Kumayang terputus,
tatkala terdengar satu suara diiringi tawa yang konyol, "Wah, wah! Pestanya
sudah dimulai, ya"
Ada Nenek Cabul! Ada Dewi Kematian! Dan ada
Maung Kumayang! Lho, Iho... kenapa dengan le-
laki berpakaian merah-merah itu" Apakah dia su-
dah gila! Masa bodoh! Aku mendapat lawan yang
mana, nih"!"
*** Bab 9 SEKETIKA masing-masing orang mengarahkan
pandangan ke samping kanan. Dan mereka tak
perlu terlalu lama menunggu untuk mengetahui
siapa yang barusan berbicara. Karena, dalam satu kejap saja, orang yang bersuara
sambil tertawa tadi sudah berdiri di sebelah kanan Raja Dewa.
Langsung buka mulut dengan sikap enak saja,
"Kek! Kenapa terdiam begitu" Kau sudah memilih lawan atau belum?"
Raja Dewa cuma tersenyum sebagai jawa-
ban, tetapi tidak mengalihkan pandangannya.
Sementara pemuda yang tadi berkata-kata men-
garahkan pandangannya pada Peri Gelang Rantai
yang saat ini sedang berusaha mendesak Siluman
Kawah Api dengan terus menerus melepaskan ge-


Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lang-gelang hitamnya hingga si nenek berdagu
lancip sulit Untuk maju mendekat.
Pemuda itu berkata lagi pada Raja Dewa,
"Nenek penuh gelang hitam itu sudah mendapatkan lawan! Kenapa kau belum" Atau...
jangan- jangan kau lagi memperbandingkan 'buah' di da-
da Nenek Cabul dengan Dewi Kematian" Wah!
Meski kelihatan ranum, tetapi dalamnya sudah
busuk semua!"
Dua orang yang disebutkan tadi, sama-
sama kertakkan rahang. Dewi Kematian sudah
maju dua tindak ke muka diiringi suara meng-
gembor keras, "Kupikir kau seorang yang pengecut, Rajawali Emas! Dan
sekarang.... "Sudah terbuka matamu bukan, kalau aku
seorang yang gagah perkasa dan gagah berani!"
sambar pemuda yang ternyata Rajawali Emas
adanya diiringi seringaian lebar.
"Keparat!!" sentak si perempuan bercadar sutera. Darahnya mendidih dan seolah
mencelat naik ke kepala. Kedua tangannya sudah siap le-
paskan pukulan 'Tepukan Cabut Sukma'!
Raja Dewa berkata tetap dengan kedua
tangan berada di belakang pada Rajawali Emas,
"Kalau kau memutuskan memilih lawan Dewi
Kematian... aku bisa memilih Nenek Cabul dan
Maung Kumayang...."
Tirta tahu untuk menghadapi Nenek Cabul
yang memegang Trisula Mata Empat kemungki-
nan besar cukup membuat Raja Dewa menda-
patkan kesulitan. Apalagi bila juga harus meng-
hadapi Maung Kumayang. Dia berpikir, lebih baik mengambil alih lawan yang akan
dihadapi Raja Dewa. Bukan dalam arti Tirta merasa yakin den-
gan kemampuannya dan dengan kata lain men-
ganggap enteng Raja Dewa. Tetapi dia tahu, ke-
saktian Trisula Mata Empat sebanding dengan
Anting Mustika Ratu yang kini ada pada Raja De-
wa. Kendati berpikir demikian, tetapi saat berkata-kata sifat konyolnya muncul
lagi, "Kek! Bukannya aku menganggap enteng kedua lawan
yang kau pilih! Tetapi, biar aku memilih untuk
menghadapi Dewi Kematian beserta lelaki berco-
det itu! Keduanya memang anak-anak nakal yang
harus digebuk pantatnya!"
Raja Dewa tidak mengangguk atau mengge-
leng, tetapi mulutnya berkata-kata, "Pukulan
'Tepukan Cabut Sukma' sangat berbahaya. Tetapi
kau bisa mengatasinya dengan cara mengalirkan
tenaga dalam pada indera penciuman, bukan pa-
da indera pendengaran! Tetapi perlu kau keta-
hui...." "Jahanam keparat!!" bentak Dewi Kematian memutus kata-kata Raja Dewa.
Habis membentak
begitu, dengan wajah membesi gusar, si perem-
puan bercadar sutera sudah mencelat ke arah Ra-
ja Dewa diiringi teriakan keras. Saat mencelat itu, pakaiannya yang terbelah
hingga pangkal paha
tersibak. Memperlihatkan bungkahan kedua pa-
hanya yang putih mulus. Dan sesuatu yang san-
gat menarik perhatian.
Rajawali Emas sendiri berseru konyol,
"Asyyiiiikkk!!"
Perempuan bercadar sutera ini tak mau
rahasia kelemahan dari jurus 'Tepukan Cabut
Sukma' diketahui oleh Rajawali Emas. Tatkala
bertarung dengan Raja Dewa, Dewi Kematian di-
buat terkejut karena lelaki tua berpakaian putih kusam dengan angkin warna
kuning kehitaman
yang membelit di pinggangnya, ternyata mengeta-
hui kelemahan jurus yang dibanggakannya itu
(Untuk mengetahui hal ini, silakan baca: "Ratu Dari Kegelapan").
Makanya, dia bermaksud untuk segera
membungkam mulut Raja Dewa. Namun yang ter-
jadi kemudian, seperti yang dialami oleh Maut
Tangan Satu sebelumnya, mendadak saja tubuh
Dewi Kematian terpental ke belakang laksana
menghantam tembok besar yang sangat tebal.
"Aaaakhhh!" terdengar pekikannya.
Masih tetap berdiri dengan kedua tangan
berada di belakang pinggul, si kakek berkumis
putih menjuntai ini yang diam-diam kerahkan il-
mu 'Pembalik Bumi' untuk menghadang serangan
Dewi Kematian, melanjutkan kata-katanya yang
terpotong tadi, "Cara pengaliran tenaga dalam bukan ditahan pada perut,
melainkan pada rong-ga dada sebelah kiri. Lalu hentakkan naik ke leh-er dengan
cara agak cepat. Tahan beberapa kejap.
Dan hasil dari hawa yang kau tahan itu akan me-
nutup indera penciumanmu dari jurus 'Tepukan
Cabut Sukma'! Karena indera penciumanlah yang
sesungguhnya menjadi sasaran dari jurus itu!
Nah! Kau sudah memilih lawan-mu! Berhati-
hatilah!" Rajawali Emas cuma menggeleng-
gelengkan kepalanya seraya membatin, "Luar biasa. Sebuah ilmu yang sangat
hebat." Belum lagi dia berkata apa-apa, Maung
Kumayang yang sejenak mengurungkan niat un-
tuk merebut Seruling Gading dari tangan Seruling Haus Darah setelah melihat
kemunculan Rajawali
Emas, sudah menggebrak ke depan. Tangan ka-
nannya digerakkan dengan cara mendorong.
Wusss!! Seketika menghampar satu gelombang an-
gin berhawa panas yang timbulkan suara berge-
muruh. Dengan kesigapan penuh, Rajawali Emas
membuang tubuh ke kanan. Sementara Raja De-
wa tetap tegak di tempatnya.
Blarrr! Gelombang angin panas yang menimbul-
kan gemuruh menggidikkan dan gagal pada sasa-
rannya, menghantam sebatang pohon yang lang-
sung mengering. Di saat angin berhembus, pohon
yang telah hangus itu terbawa menjadi serpihan.
"Hebat!!"
Mengkelap lelaki bercodet yang kini agak
bungkuk berdiri mendapati serangannya begitu
mudah dihindari lawan. Dengan kegeraman yang
kian menjadi, dia membentak seraya mendorong-
kan kedua tangannya ke arah Rajawali Emas,
"Kau akan merasakan yang lebih hebat lagi!!"
Wuuutttt!! Wuuuttt!
Kali ini Rajawali Emas tak mau bertindak
ayal. Setelah melompat ke samping dan begitu
kakinya menjejak tanah, segera dihempos tubuh-
nya ke depan. Jurus 'Lima Kepakan Pemusnah
Jiwa' sudah dilepaskan.
Seketika menghempas lima gelombang an-
gin raksasa. Merasakan gelombang angin dahsyat
menggebah ke arahnya, Maung Kumayang men-
gulangi sekali lagi gerakannya.
Saat itu juga menderu satu gelombang an-
gin mengandung hawa panas tinggi. Namun yang
mengejutkan, justru terdengar seruan tertahan
dari Maung Kumayang.
Bersamaan dengan itu, lelaki yang kini
berdiri membungkuk itu segera membuang tubuh
ke belakang bila tak ingin tubuhnya tersambar
hawa panas dari pancaran sentakan tenaga yang
dilepaskan Tirta.
Rupanya, pemuda dari Gunung Rajawali
ini sudah alirkan tenaga surya tingkat pamung-
kas yang dipadukan dengan jurus 'Lima Kepakan
Pemusnah Jiwa'!
Dewi Kematian yang melihat hal itu diam-
diam membatin, "Hmm... kehebatan Rajawali Emas memang benar-benar terbukti. Dan
sulit bagiku untuk mencecarnya sekarang. Berkali-kali aku bertarung dengan pemuda dari
Gunung Rajawali ini dan berkali-kali pula dia tak kuasa menahan jurus 'Tepukan
Cabut Sukma'. Tetapi....
Raja Dewa keparat telah mengatakan kelemahan
jurusku itu. Berarti... peduli setan! Kalau pun aku tak bisa mempergunakan jurus
itu sekarang, aku masih tetap berkeinginan mencabut nya-
wanya!" Memikir demikian, perempuan bercadar
sutera yang mendendam dalam karena keingi-
nannya untuk merebut Pedang Batu Bintang dari
tangan Rajawali Emas dulu gagal, segera meng-
hempos tubuh dengan dua jotosan mengarah pa-
da dada dan wajah!
Rajawali Emas yang sedang mencoba men-
cecar Maung Kumayang, segera berbalik seraya
mengangkat kedua tangannya tatkala merasakan
deru angin keras ke arahnya.
Des! Des! Masing-masing orang surut dua tindak ke
belakang tatkala dua serangan itu berbenturan.
Tanah di mana benturan itu terjadi, langsung
memuncratkan debu di udara.
Sementara itu, Maung Kumayang yang se-
belumnya berbangga diri karena di dalam tubuh-
nya mengalir tenaga dahsyat hasil ramuan yang
diminumnya, diam-diam mengernyitkan kening
tak mengerti. "Gila! Mengapa kekuatan yang kumiliki ini
seperti tak berguna menghadapinya" Keparat be-
tul! Tenaga panas dari tubuh pemuda itu ternyata lebih tinggi dari yang
kumiliki! Huh! Selagi dia bentrok dengan Dewi Kematian, akan kutambah
kesulitannya sekarang!!"
Segera saja, lelaki bercodet ini masuk ke
kancah pertarungan. Kali ini, pemuda dari Gu-
nung Rajawali itu pun diserang dari dua penjuru.
Serangan-serangan yang ganas dilancarkan oleh
Dewi Kematian dan Maung Kumayang. Dewi Ke-
matian seolah melupakan keinginannya untuk
membunuh Maung Kumayang sesuai janjinya
dengan Dewi Topeng Perak. Dia pun tak bertanya-
tanya lagi mengapa Dewi Topeng Perak belum
muncul juga di tempat itu. Tempat yang tadi su-
dah porak poranda akibat kemarahan Seruling
Haus Darah yang melancarkan serangan pada
Pendekar Bijaksana namun orang tua itu tidak
muncul juga, ditambah lagi dengan pertarungan
Peri Gelang Rantai menghadapi Siluman Kawah
Api, kini semakin bertambah porak poranda.
Begitu banyaknya ranggasan semak belu-
kar dan pepohonan yang hangus. Di beberapa ba-
gian, tanah telah rengkah dan terbongkar. Bah-
kan dari lubang yang terbentuk akibat labrakan serangan masing-masing orang,
mengeluarkan asap yang menebarkan bau sangit.
Raja Dewa yang masih berdiri tegak dengan
kedua tangan berada di belakang pinggul mengge-
leng-gelengkan kepala."Keangkaramurkaan ternyata belum mereda juga. Dan Seruling
Haus Da- rah rupanya masih dipermainkan oleh Pendekar
Bijaksana. Aku ingin tahu apa yang sesungguh-
nya direncanakan Pendekar Bijaksana. Tetapi,
seperti kebiasaannya bila dia muncul, dia hanya ingin mengetahui kebenaran
berita yang didengarnya."
Sementara itu Nenek Cabul yang sesaat
seperti melupakan niatnya untuk memburuh Raja
Dewa, tertegun melihat pertarungan demi perta-
rungan yang terjadi. Bahkan pandangannya lebih
ditujukan pada Rajawali Emas yang sedang
menghadapi Dewi Kematian dan Maung Ku-
mayang, ketimbang pada Siluman Kawah Api
yang benar-benar sudah tak berdaya lagi untuk
melancarkan serangan. Karena, dia harus terus
menerus menghindari gelang-gelang hitam yang
dilancarkan Peri Gelang Rantai.
Tetapi di kejap lain, perempuan cabul ini
sudah palingkan kepala pada Raja Dewa.
"Tinggal kita yang belum bertarung! Ber-
siaplah untuk menyambut kematian!!"
"Bila tak lagi bisa mempertahankan kea-
daan, apa boleh buat. Kuterima tantangan ini...,"
sahut Raja Dewa sambil menahan napas dengan
pandangan tak berkedip.
Nenek Cabul menyeringai lebar. Dengan
pergunakan Trisula Mata Empat yang memancar-
kan sinar merah, perempuan cabul berpayudara
besar namun kendor ini sudah menerjang ke de-
pan diiringi teriakan membahana, "Terimalah kematian!!"
*** Seruling Haus Darah masih terus mencecar
setiap tempat yang diyakininya di sanalah Pendekar Bijaksana berada. Dia seperti
tak memperdu- likan pertarungan-pertarungan yang terjadi di sekitarnya. Kemarahan lelaki
berpakaian merah-
merah ini semakin naik. Sambil lepaskan setiap
serangan, dia tak henti-hentinya berteriak keras menyuruh Pendekar Bijaksana
muncul. Tetapi yang terdengar hanya kata-kata,
"Apakah kau sudah tak sabar menerima kema-
tian" Seperti kataku sebelumnya, aku datang
hanya untuk melihat kebenaran kabar yang ku-
dengar! Dan seperti kataku sebelumnya, kau
akan tewas di tangan Rajawali Emas!"


Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan membuatku gusar! Pemuda itu
bukan lawan sepadan! Atau... kaulah yang sepa-
tutnya bukan lawan sepadanku, hah"!" hardik Seruling Haus Darah terus lancarkan
serangan. "Kalau kau beranggapan demikian, siapa
lagi lawan yang kau anggap sepadan?" sahut Pen-
dekar Bijaksana yang entah berada di mana.
"Tak ada lagi lawan sepadan! Berarti, akulah pen-guasa rimba persilatan ini!"
"Bila bocah-bocah kampung mendengar ka-
ta-katamu barusan, mereka pasti akan tertawa
sepuas-puasnya!"
"Keparat! Keluarkan! Kita bertarung berha-
dapan!" seru Seruling Haus Darah dengan kemarahan kian menggunung.
Tetap tak bisa ditentukan di mana sosok-
nya berada, Pendekar Bijaksana berkata, "Kau sudah mengatakan kalau aku bukanlah
lawan sepadan, mengapa harus gusar"! Dan sungguh
aneh, karena kau tak bisa menemukan lawan
yang tak sepadan denganmu ini!! Hingga... ra-
sanya aku jadi malu untuk keluar...."
Seruling Haus Darah menghentikan seran-
gannya. Sosoknya surut dua tindak dengan kedua
kaki dipentangkan. Tegak dengan pandangan ter-
buka lebih lebar. Napasnya memburu dengan da-
da naik turun. Sesaat orang sesat ini tak melakukan apa-apa, bahkan tak membuka
suara. Di lain kejap, perlahan-lahan tangan ka-
nannya di masukkan ke balik pakaiannya....
*** Bab 10 RAMBATAN siang kini sudah menjelma menjadi senja. Bias-bias sisa matahari
seharusnya me- mancing perhatian orang karena keindahan yang
meraja dan pesona yang sukar ditepiskan. Di
penghujung sana, beberapa ekor burung beter-
bangan dan seakan membentuk sebuah lukisan
yang menawan. Namun, tak seorang pun dari orang-orang
yang berada di Bukit Watu Hatur yang tertarik
untuk menikmati keindahan itu. Masing-masing
orang sibuk mempertahankan diri.
Peri Gelang Rantai yang berhasil mengha-
lau setiap serangan Siluman Kawah Api dengan
gelang-gelang hitamnya, kali ini sudah mencelat melancarkan serangan. Rupanya,
Peri Gelang Rantai benar-benar hendak menuntaskan seluruh
pertarungannya.
Siluman Kawah Api sendiri berulangkali
menggeram keras dan memaki-maki. Sulit ba-
ginya untuk memperpendek jarak. Sekali dua kali dia memang berhasil memusnahkan
dan memu-kul jatuh gelang-gelang hitam yang dilepaskan
oleh Peri Gelang Rantai. Namun kembali lagi dia harus berjumpalitan
menghindarinya.
Belum lagi dengan serangan tangan kosong
yang dilancarkan oleh Peri Gelang Rantai. Mem-
buatnya benar-benar sudah kalang kabut dan ke-
hilangan bentuk penyerangan. Bahkan, sekali
waktu dua buah gelang hitam yang dilepaskan
nenek berpakaian panjang hitam penuh tambalan
itu menyerempet kaki kanannya yang seketika
berdarah. Gerakannya semakin limbung dan seran-
gannya makin tak menentu.
"Bila kau mengaku menyerah dan mening-
galkan rimba persilatan untuk selama-lamanya,
maka kuampuni nyawamu!!" seru Peri Gelang
Rantai sambil terus menyerang.
Kendati keadaannya sudah sangat payah,
pantang bagi Siluman Kawah Api untuk menye-
rah. Dia hanya kertakkan rahang dan sekali lagi mencoba membalas.
Lima buah gelang hitam yang menderu ke
arahnya dapat dimusnahkan. Namun lima buah
gelang lagi memaksanya untuk berjumpalitan.
Mendadak saja di saat dia berjumpalitan,
dirasakan pinggangnya digedor satu pukulan
yang sangat keras.
Bukkkk! Gedoran itu membuat si nenek berdagu
lancip ini limbung tiga tindak ke belakang. Dia berusaha untuk tegak berdiri
kendati gagal melakukannya. Dari mulut dan hidungnya mengalir
darah segar. Tetapi, kedua matanya terpentang
tajam ke arah Peri Gelang Rantai yang tadi me-
lancarkan serangan dan sekarang menghentikan
gerakannya yang sedang mengangkat kedua tan-
gannya. Lima buah gelang hitam yang dilepaskan-
nya tadi masuk kembali ke tangan kanan dan ki-
rinya. Lalu dengan suara lantang dan pandangan
disipitkan, si nenek berpakaian hitam panjang
penuh tambalan ini berkata, "Aku masih memberi kesempatanmu untuk bernapas lebih
lama sebe- lum semuanya terlambat! Jangan pancing aku
untuk berlaku tidak sabar!!"
Tanpa mengusap darah yang mengalir dari
mulut dan hidungnya dan pandangan tak berke-
dip, Siluman Kawah Api berkata dengan suara
bergetar karena menahan sakit, "Jangan berbangga dulu dengan keadaan ini! Dan
jangan berharap aku akan melakukan tindakan bodoh seperti itu!"
Peri Gelang Rantai menggeram keras. Ke-
dua tangannya dikepalkan erat-erat tanda kegu-
saran kian melanda dirinya. Suaranya dingin saat berkata, "Rupanya kau mencoba
untuk menguji kesabaranku!"
Habis kata-katanya, perempuan tua ini se-
gera mengangkat tangan kanannya....
*** Pada saat yang bersamaan. Raja Dewa di-
buat kalang kabut oleh Nenek Cabul yang terus
mencecarnya dengan Trisula Mata Empat. Empat
buah sinar merah yang melesat dari senjata mus-
tika itu membuat jantung Raja Dewa berdetak le-
bih keras. Belum lagi dengan tarikan tenaga gaib yang berasal dari Trisula Mata
Empat, hingga Ra-ja Dewa harus mempertahankan kedudukannya
agar tidak terseret masuk pada pusaran sinar merah yang keluar dari senjata
mustika miliknya
sendiri. Kalau biasanya, kedua tangan Raja Dewa
selalu berada di belakang pinggul, kali ini kedua tangannya digerakkan ke depan
untuk lancarkan
serangan. Kendati demikian, sulit baginya untuk mengatasi setiap serangan dari
Trisula Mata Empat yang selalu meredam seluruh kesaktiannya.
Bahkan ilmu 'Pembalik Bumi' pun tak banyak
guna saat dilepaskan.
"Kau sudah menjadi macan ompong, Raja
Dewa! Inilah hasilnya bila berani mempermain-
kanku!!" seru Nenek Cabul sambil tertawa keras.
Raja Dewa terus berupaya mempertahankan diri
dari setiap serangan yang dilancarkan Nenek Ca-
bul. "Sebenarnya, aku bisa saja mempergunakan Anting Mustika Ratu milik mendiang
Ratu Ib- lis yang mati dibunuh secara licik oleh perem-
puan cabul itu. Tetapi, pantang bagiku untuk
mempergunakan senjata milik orang lain. Apa
pun yang terjadi, sekali pun nyawaku putus, aku tetap tak akan
mempergunakannya!!" batin Raja Dewa memperkuat semangatnya.
Dicobanya untuk menghindari setiap se-
rangan lawan dan membalas. Namun semuanya
seperti sia-sia belaka. Karena beberapa kali dia terkena sambaran sinar merah
yang membuatnya
harus keluarkan keluhan.
Dan satu ketika, si kakek yang masih ber-
badan tegap ini harus tergetar dengan kaki surut dua tindak ke belakang.
Tubuhnya tegak kaku
dengan pandangan tak berkedip ke depan.
Karena, dilihatnya Nenek Cabul sudah
menghentikan gerakannya. Namun, tangan ka-
nannya yang memegang senjata mustika Trisula
Mata Empat telah digerakkan dengan cara memu-
tar. Terlihat sinar merah yang melingkar-lingkar pekat....
*** Sementara itu, dengan mengandalkan te-
naga surya dan jurus 'Lima Kepakan Pemusnah
Jiwa', Rajawali Emas mulai kelihatan berhasil
mengatasi setiap serangan yang dilancarkan oleh Maung Kumayang dan Dewi
Kematian. Dewi Kematian benar-benar sudah mati
kutu karena jurus 'Tepukan Cabut Sukma'nya tak
berguna sama sekali. Karena, Rajawali Emas sudah melakukan apa yang dikatakan
Raja Dewa untuk mengatasi serangan jurus 'Tepukan Cabut
Sukma'. Kendati demikian, pemuda dari Gunung
Rajawali ini pun tak luput dari jotosan lawan yang mengenai tubuhnya.
"Sebenarnya, aku tak ingin menurunkan
tangan pada mereka, tetapi keduanya begitu ke-
ras kepala!" desis Tirta dalam hati seraya terus mencecar.
"Apa yang dikatakan oleh Pendekar Bijak-
sana belum juga terpecahkan. Aku mulai bisa
menduga mengapa Pendekar Bijaksana tidak se-
gera muncul. Mungkin seperti yang dikatakannya, hanya akulah yang bisa mengatasi
Seruling Haus Darah. Tetapi... sampai saat ini aku belum tahu bagaimana melakukannya. Hanya
saja aku tak boleh membuang waktu. Bisa jadi Pendekar Bi-
jaksana akan terhantam pukulan lelaki yang se-
dang marah itu. Kendati demikian, aku masih tak mengerti mengapa dia tak seperti
terluka saat bertemu denganku padahal kudengar jelas kalau
dia terserang oleh tenaga gaib dari alunan Seruling Gading...."
Memikir demikian, pemuda dari Gunung
Rajawali ini pun mempercepat gerakannya. Dice-
carnya Maung Kumayang terlebih dulu yang be-
nar-benar keheranan karena ternyata ramuan
yang diminumnya tak banyak membawa hasil
menghadapi Rajawali Emas. Bahkan lelaki berco-
det ini mulai disadarkan oleh pikirannya sendiri.
Kalau dia terlalu muluk untuk mendapatkan Se-
ruling Gading dengan kemampuan yang tak sebe-
rapa itu! Menerima serangan gencar yang dilancar-
kan Rajawali Emas, Maung Kumayang berulang
kali menjerit tertahan dan tunggang-langgang
dengan wajah pucat laksana tak berdarah!
Sementara itu, mendapati Maung Ku-
mayang dalam keadaan kritis, Dewi Kematian
seakan melupakan ke-jengkelannya pada Maung
Kumayang saat bersama-sama dengan Dewi To-
peng Perak. Dia pun turun membantu.
Rajawali Emas menggeram gusar saat me-
rasakan gempuran di belakangnya. Cepat dia
membuang tubuh ke belakang dan hinggap den-
gan kedua kaki dipentangkan di atas tanah.
Tatapannya diarahkan satu persatu pada
Dewi Kematian yang tegak berdiri dan Maung
Kumayang yang kendati kedua kakinya agak
goyah namun pandangannya tajam mengarah pa-
da Rajawali Emas.
"Keduanya benar-benar keras kepala! Me-
reka bukanlah lawan yang kutuju, melainkan Se-
ruling Haus Darah! Tak ada jalan lain sekarang.
Terpaksa aku harus...."
Kata-kata batin Rajawali Emas terputus
karena dengan teriakan mengguntur Maung Ku-
mayang sudah menerjang ke muka. Menyusul se-
rangan Dewi Kematian yang lipat gandakan tena-
ga dalamnya. Rajawali Emas segera menghindar namun
kali ini dia tak melakukan serangan balasan. Malah terpikir sesuatu di benaknya.
Karena pikiran itulah dia coba untuk terus menghindar sambil bergerak cepat.
Keadaan itu membuat Dewi Kematian dan
Maung Kumayang berpikir, kalau pemuda dari
Gunung Rajawali itu tak bisa lancarkan serangan karena gempuran keduanya yang
cepat. Makanya,
masing-masing orang semakin melipatgandakan
serangannya! Akan tetapi, Rajawali Emas yang telah
memikirkan satu rencana, sangat sulit untuk di-
hajar. Sampai satu ketika, di saat Dewi Kematian mender u dari arah kanan
sementara Maung Kumayang dari sebelah kiri, Rajawali Emas cepat
mencelat ke belakang!
Saat itu pula terdengar teriakan keras dari
Dewi Kematian dan Maung Kumayang tatkala
menyadari kalau gerakan yang dilakukan Rajawa-
li Emas hanya pancingan belaka. Namun mereka
terlambat untuk menghentikan serangan!
Maka tanpa ampun lagi, serangan yang ta-
di ditujukan kepada Rajawali Emas, kini menghantam satu sama lain. Saat itu pula
terdengar pekikan tertahan dari masing-masing orang. Ber-
samaan dengan itu, tubuh keduanya mencelat ke
belakang! Sosok Dewi Kematian menghantam sebuah
batu padas yang cukup besar yang nampak ber-
getar sesaat sementara tubuh Dewi Kematian
sendiri terpental balik ke depan.
Terdengar suara 'krak' yang cukup kuat
dan teriakan keras tatkala wajah Dewi Kematian
menghantam batu-batu di hadapannya. Darah
seketika mengalir. Bahkan kedua matanya pun
tembus akibat tertusuk batu yang ditibannya. Untuk sejenak perempuan bercadar
sutera ini meng-


Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

geliat. Di saat lain, nyawanya pun merat entah
kemana. Sementara itu, sosok Maung Kumayang
menabrak sebatang pohon yang langsung tum-
bang. Gempuran yang tak diharapkan terjadi tadi, telah membuat dadanya remuk.
Menyusul tulang
punggungnya yang patah. Tubuhnya terpental ba-
lik ke depan. Sosok lelaki bercodet berguling menahan sakit. Setelah menabrak
sebuah batu pa-
das, sosoknya langsung terdiam. Hanya keluhan-
nya saja yang terakhir terdengar.
Rajawali Emas menarik napas masygul. Ada rasa
sesak dan nyeri di dadanya melihat kejadian di
depan matanya. "Aku tak tahu apakah perbuatanku ini be-
nar atau tidak...," desisnya sambil pandangi mayat Dewi Kematian dan Maung
Kumayang. La-lu lanjutnya, "Yang pasti, orang-orang semacam Dewi Kematian dan
Maung Kumayang memang
sangat sulit untuk dibiarkan hidup. Karena... mereka akan tetap berupaya
melakukan kekejian
demi kekejian...."
Di saat Rajawali Emas seperti menyesali
apa yang telah terjadi di hadapannya, di saat Peri Gelang Rantai siap menurunkan
tangan pada Siluman Kawah Api, di saat Raja Dewa terkesiap
mendapati gerakan tangan Nenek Cabul yang
memegang Trisula Mata Empat, mendadak saja
terdengar alunan seruling yang pelan mendayu-
dayu. Dan semakin lama bertambah keras, se-
mentara telinga masing-masing orang yang men-
dengarnya seperti ditusuk sembilu bermata dua!
*** Bab 11 ALUNAN seruling yang berasal dari Seruling Gading yang ditiup oleh Seruling Haus
Darah semakin keras terdengar. Rupanya, lelaki tinggi besar ber-
pakaian merah sudah tak kuasa menahan gusar
di dadanya. Karena sejak tadi dilakukan serangan ke berbagai tempat yang
diyakininya Pendekar Bijaksana berada namun hingga saat ini Pendekar
Bijaksana belum muncul juga, lalu diputuskan
untuk mempergunakan Seruling Gading.
Dan akibat yang ditimbulkan oleh Seruling
Gading itu, sungguh mengerikan. Sosok Siluman
Kawah Api yang sudah tak berdaya, terbanting
keras di tanah. Sebisanya dialirkan tenaga dalam pada kedua telinganya. Namun
hal itu tak membawa hasil yang diharapkan. Kalau tadi darah
hanya keluar dari mulut dan hidungnya, kali ini dari kedua gendang telinganya.
Bahkan urat darah di kedua kakinya mulai mengembung tanda
akan pecah. Nenek berdagu lancip ini berteriak-teriak
keras meminta Seruling Haus Darah untuk
menghentikan tiupan seruling terbuat dari gading dan berlubang tujuh.
Sementara itu. Peri Gelang Rantai segera
duduk bersila dengan kedua tangan dirang-
kapkan di depan dada. Sebisanya dia bersemadi
guna menahan alunan seruling. Sosoknya berge-
tar hebat, mulutnya berkemak-kemik tak menen-
tu. Seketika keringat mengalir.
Begitu pula dengan Raja Dewa dan Nenek
Cabul. Raja Dewa yang mencoba menahan geta-
ran dahsyat dari Seruling Gading, jatuh terduduk dengan kedua kaki menekuk
dijadikan sebagai
bantalan pinggul. Tubuhnya pun bergetar.
Sementara itu Nenek Cabul pucat laksana
mayat. Tangan kanannya yang memegang Trisula
Mata Empat bergetar hebat.
Apa yang dialami Rajawali Emas sendiri tak
jauh berbeda. Kalau biasanya keringat yang
membasahi sekujur tubuhnya langsung menger-
ing karena kekuatan hawa panas yang berasal da-
ri tenaga surya, kali ini keringat itu keluar seperti membanjir.
"Celaka! Bila belum teratasi juga... semua orang yang berada di sini bisa mati.
Apakah aku... oh! Bukankah Peri Gelang Rantai mengatakan
Trisula Mata Empat bisa menandingi Seruling
Gading" Bila memintanya dari Nenek Cabul, bisa
dipastikan kalau perempuan itu tak akan membe-
ri...." Di antara orang-orang yang sedang menghadapi masalah besar itu, sosok
Pendekar Bijak-
sana yang diharapkan muncul oleh Seruling Haus
Darah, tetap tak menampakkan batang hidung-
nya. Keadaan ini membuat Seruling Haus Darah
bertambah gusar. Dipercepat alunan Seruling
Gading. Raja Dewa yang dari hidungnya telah men-
galirkan darah segar, berkata dengan tersendat
pada Nenek Cabul, suaranya pelan dan sarat ke-
sakitan, "Kau... tentunya... tak ingin mati.... Pergunakan... Trisula.... Mata
Empat... untuk... menahan getaran.... Seruling Gading...."
Nenek Cabul yang tubuhnya bergetar hebat
pula mengangkat kepalanya. Kepucatan wajahnya
semakin nampak.
"Apa... apa... yang mesti... kulakukan...,"
katanya seolah melupakan niatnya untuk mem-
bunuh Raja Dewa.
"Aku... aku tak tahu... apakah.... Trisula Mata.... Empat... mampu
mengatasinya.... Yang
mengatakan... semua ini... adalah Peri Gelang
Rantai.... Tetapi kau bisa... mencobanya.... Pegangan tanganmu... harus kau
ubah.... Kali ini...
pegang dua rangkaian... besi di sebelah kanan.
Ayunkan ke atas... maka akan ada... tenaga
gaib... yang dahsyat... dari gagang.... Trisula....
Mata Empat.... Lakukan... sekarang...."
Rajawali Emas yang mendengar kata-kata
itu segera palingkan kepala. Sekujur tubuhnya
seperti ditekan oleh tenaga raksasa yang memak-
sa darahnya untuk keluar.
Lalu dilihatnya Nenek Cabul mengikuti ka-
ta-kata Raja Dewa. Di lain kejap, segera meng-
hampar sinar merah yang luar biasa terang, na-
mun tak keluarkan suara apa-apa. Sinar merah
itu seolah memayungi orang-orang yang berada di sana, yang sejenak merasa tubuh
mereka nyaman. Yang lebih aneh lagi, sinar merah itu ternyata bukan hanya
melindungi mereka dari getaran suara mengerikan yang berasal dari Seruling
Gading. Melainkan menerjang ganas ke arah Seruling Haus Darah!
Namun yang mengejutkan, sinar merah itu
men-dadak saja pupus! Muncrat dan menebar ke
segenap penjuru. Bersamaan dengan itu, sinar
merah lainnya yang seolah melindungi orang-
orang yang berada di sana pecah berantakan.
Membuat mereka kembali keluarkan seruan ter-
tahan karena terhantam gelombang suara gaib
dan ganas dari Seruling Gading.
Akibat yang paling mengerikan dari semua
itu adalah Nenek Cabul. Tangan kanannya yang
memegang Trisula Mata Empat bergetar sementa-
ra senjata mustika itu jatuh ke tanah. Menyusul keadaan itu, tubuhnya laksana
disentak tenaga
raksasa, terpental ke belakang diiringi teriakan keras yang menghamburkan darah.
Kejap lain tubuhnya seperti melonjak-lonjak. Beberapa urat
darah di kedua kakinya pecah, menyusul di bebe-
rapa bagian lainnya. Tak kuasa menahan derita
yang dialaminya, sosok Nenek Cabul pingsan
dengan tubuh banyak mengalirkan darah. Bisa
dipastikan, bila dia siluman maka dia akan men-
jadi lumpuh seumur hidup!
Tercenganglah semua yang berada di sana.
Terutama Raja Dewa dan Rajawali Emas. Dengan
menahan nyeri yang mengaliri dadanya. Raja De-
wa membatin, "Apa yang diduga selama ini oleh Peri Gelang Rantai dan membuatku
juga menduga hal sama, salah besar. Seruling Gading tak bisa ditandingi oleh Trisula Mata
Empat...."
Sementara diam-diam Rajawali Emas ber-
kata dalam hati, "Celaka! Trisula Mata Empat bukanlah tandingan Seruling Gading!
Di manakah Pendekar Bijaksana berada" Apa yang bisa kula-
kukan" Apakah Seruling Haus Darah kuserang
saja dengan ilmu 'Matahari Rangkul Jagat'"
Atau... segera kupergunakan ilmu Inti Roh Raja-
wali'" Tetapi, aku masih penasaran dengan....
Oh!" Mendadak saja Rajawali Emas memutus kata batinnya sendiri. Saat ini darah
mulai keluar dari hidungnya. Diperas otaknya sejadi-jadinya.
"Waktu pertama kali kurasakan alunan su-
ara gaib dari Seruling Gading, alunan itu tertahan dan mampu ditandingi oleh
tawa sakti milik Pendekar Bijaksana. Lantas kudengar suara teriakan Pendekar
Bijaksana. Berarti... gila! Bisa jadi ini sebabnya! Oh! Bodohnya aku! Mungkin
inilah yang dimaksud Pendekar Bijaksana mengapa
hanya aku yang bisa menandingi Seruling Haus
Darah! Pedang Batu Bintang! Ya, ya.... Pedang Ba-tu Bintanglah yang bisa
membantuku untuk
mengatasinya!"
Mengikuti jalan pikiran yang ada di benak-
nya, dengan sekuat tenaga dan hidung yang men-
galirkan darah, Rajawali Emas berusaha untuk
mencabut Pedang pusaka di punggungnya. Pe-
dang sakti yang ditempa dari Batu Bintang. Pe-
dang yang di bagian bawah gagangnya terdapat
sebuah bintang dan di kedua pangkal hulunya
terdapat ukiran kepala rajawali bertolak belakang.
Dengan susah payah dan kerahkan seluruh tena-
ganya, pemuda dari Gunung Rajawali ini berhasil memegang gagang Pedang Batu
Bintang. Dengan
sentakan kuat, ditariknya pedang itu dari wa-
rangkanya yang dipenuhi untaian benang keema-
san. Sraaattt! Begitu Pedang Batu Bintang ditarik, segera
menghampar sinar keemasan yang sangat cemer-
lang. Dan tempat yang mulai dimasuki malam
menjadi terang benderang.
"Kau rupanya paham apa yang kumaksud-
kan, Rajawali Emas...," mendadak terdengar suara di telinga Tirta, yang segera
dapat menebak siapa orang itu. "Sebenarnya, satu-satunya senjata yang dapat menandingi
Seruling Gading adalah Pedang Batu Bintang...."
"Mengapa kau tak mengatakan sebelum-
nya, Kek?" tanya Tirta dalam bisikan sementara perlahan-lahan dirasakan getaran
suara tenaga gaib alunan Seruling Gading mulai mengikis di telinganya.
"Bila aku mengatakannya kepadamu, maka
kau tak akan pernah berusaha untuk menemu-
kan jawabannya. Terus terang, kukagumi kecer-
dikanmu. Ketahuilah... untuk saat ini, aku masih menjagokan Pedang Batu Bintang
sebagai senjata
utama. Anak muda... kelak, kau akan menemu-
kan lagi rahasia lain dari senjata pusaka yang
kau miliki itu. Dan seperti yang kukatakan kepadamu, aku datang hanya untuk
melihat kebena-
ran kabar yang kudengar. Tanpa Seruling Gading, Seruling Haus Darah bukanlah
momok yang berarti. Sekarang manusia itu urusanmu.... Suatu
saat, kita akan bertemu lagi."
Hanya kata-kata itu yang terdengar, pa-
dahal Rajawali Emas hendak menanyakan men-
gapa Pendekar Bijaksana tidak mengalami penga-
ruh apa-apa akibat alunan Seruling Gading.
Sementara itu, mulai didengarnya teriakan
tertahan dari Peri Gelang Rantai dan Raja Dewa.
Keadaan ini membuat Tirta menggeram. Dan
mendadak saja seperti mendapat tenaga baru,
pemuda dari Gunung Rajawali ini segera gerak-
kan tangan kanannya yang menggenggam Pedang
Batu Bintang. Wrrrrr! Seketika hamparan sinar keemasan mence-
lat dan makin menerangi tempat itu. Menyusul
menderunya angin raksasa yang sangat luar bi-
asa. Saking kerasnya, beberapa batu padas besar tergeser dan bergulingan.
Sementara ranggasan
semak belukar, kerikil dan debu-debu berhambu-
ran di udara. Sesaat, Rajawali Emas sendiri terkejut
mendapati keadaan itu. Diam-diam dia membatin,
"Ternyata... masih ada rahasia Pedang Batu Bintang yang belum terpecahkan."
Seruling Haus Darah yang sedang meniup
Seruling Gading tersentak kaget. Seketika lelaki berpakaian merah-merah ini
melengak dengan
kepala tegak dan segera mengangkat tangan ki-
rinya. Blaaarrr!
Sesaat letupan keras terjadi. Namun gemu-
ruh pusaran Pedang Batu Bintang yang keras, te-
rus mengarah pada Seruling Haus Darah. Lelaki
berpakaian merah-merah ini terkesiap. Cepat dia buang tubuh ke samping dan
bersamaan dengan
itu ditiupnya kembali Seruling Gading.
Seketika mengalun suara yang semakin
lama bertambah keras. Raja Dewa dan Peri Ge-
lang Rantai yang tadi sesaat menarik napas lega karena alunan Seruling Gading
tertahan oleh kuatnya gemuruh Pedang Batu Bintang, kembali
harus mengalirkan tenaga dalam masing-masing
ke telinga! Di seberang, Tirta yang bertambah yakin
dengan keampuhan Pedang Batu Bintang, terus
mempergencar pusaran pedangnya. Sinar keema-
san yang menghampar berpendar, berputar dan
melingkar. Pertarungan sengit gemuruh angin yang di-
timbulkan oleh Pedang Batu Bintang dan alunan
Seruling Gading terjadi di udara. Terlihat bagaimana Rajawali Emas nampak
bergetar hebat. Ke-


Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ringat mengalir deras di tubuhnya. Namun kedua
gendang telinganya tidak lagi terlalu tersengat oleh suara Seruling Gading.
Raja Dewa dan Peri Gelang Rantai yang
kembali menarik napas lega, hanya memperhati-
kan keduanya saja. Ada keinginan di hati masing-masing orang untuk membantu.
Namun mereka membutuhkan waktu sekitar satu kali penanakan
nasi untuk bersemadi guna memulihkan tenaga.
Seruling Haus Darah nampak ngotot sekali.
Tubuhnya juga bergetar dengan keringat mengalir deras. Dia hampir tak bisa
percaya kalau Seruling
Gading yang dibanggakannya bisa bertahan, mu-
lai terkikis suaranya oleh gerakan Pedang Batu
Bintang. Selagi masing-masing orang berupaya men-
jatuhkan satu sama lain, mendadak saja satu so-
sok tubuh berkelebat diiringi teriakan keras, "Kau mencelakakan aku juga. Raja
Setaaaannn!!"
Dessss!! Satu jotosan keras menghantam pinggang
Seruling Haus Darah yang melengak dan terpen-
tal ke belakang.
"Aaaakhhhh!!"
Seruling Gading yang dipegangnya tadi ter-
lepas. Menyusul pecahnya seruling berlubang tu-
juh itu terhantam sinar keemasan yang meluncur
dari Pedang Batu Bintang! Memburai entah ke
mana. Rajawali Emas segera menghentikan gera-
kannya dengan napas memburu. Dilihatnya ba-
gaimana sosok Seruling Haus Darah megap-
megap dengan pinggang patah! Sementara di de-
katnya, Siluman Kawah Api ambruk dengan se-
nyum puas. Susah payah perempuan berdagu
lancip yang tadi melakukan serangan pada Serul-
ing Haus Darah berkata, terpatah-patah, "Kau...
bukan hanya menyakiti orang-orang... yang kau
inginkan.... Tetapi juga diriku.... Jadi... lebih baik... kita mati bersama-
sama...." Habis kata-katanya, kepala Siluman Kawah
Api terkulai. Nyawanya melayang dengan darah
yang keluar dari mulut dan hidungnya. Menyusul
Seruling Haus Darah yang tak kuasa menahan
sakit di pinggangnya yang patah dan nyeri akibat gempuran sinar keemasan dan
angin bergelom-bang dari Pedang Batu Bintang.
Rajawali Emas jatuh terduduk sambil me-
narik napas panjang. "Tak kusangka pada akhirnya kawan akan menjadi lawan...,"
desahnya dengan dada yang terasa nyeri. Dipandanginya ba-
gaimana Raja Dewa dengan tertatih-tatih men-
gambil Trisula Mata Empat yang ter-geletak di tanah. Raja Dewa mendesis seraya
pandangi sen- jata pusakanya yang telah lama pindah tangan,
"Trisula Mata Empat... kau memang tetap ditakdirkan untuk menjadi milikku...."
Peri Gelang Rantai mendesah pendek. "Aku
kagum pada Raja Dewa.... Yang tetap bersikeras
tak mempergunakan .Anting Mustika Ratu milik
Ratu Iblis. Dart akhirnya Trisula Mata Empat
kembali lagi ke tangannya."
Seperti menggigit. Malam kian tenggelam
dalam kepiluan. Terdengar suara Rajawali Emas.
"Raja Dewa dan Peri Gelang Rantai.... Urusan untuk saat ini mungkin telah
selesai.... Tetapi nampaknya urusan baru akan terbuka di mataku...."
Raja Dewa dan Peri Gelang Rantai berpandangan,
seolah saling bertanya urusan apa yang akan di-
hadapi oleh pemuda dari Gunung Rajawali itu.
Tetapi sebelum ada yang membuka mulut, Raja-
wali Emas sudah melangkah meninggalkan tem-
pat itu. Raja Dewa mengangkat tangannya, mena-
han Peri Gelang Rantai yang hendak memanggil,
"Biarkan dia tenang dulu. Mungkin dia memang perlu keterangan untuk masalah yang
akan dihadapinya."
Peri Gelang Rantai hanya menganggukkan
kepala. Lalu dipejamkan kedua matanya untuk
bersemadi. Raja Dewa melakukan hal yang sama.
Setelah lima belas tarikan napas berlalu, keduanya pun bangkit dan sama-sama
meninggalkan tempat itu. SELESAI Segera menyusul:
DAYANG-DAYANG DASAR NERAKA Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Holmes Sugiro
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Misteri Bayangan Setan 12 Pendekar Naga Putih 89 Orang Orang Terbuang Sepasang Naga Penakluk Iblis 4
^