Pencarian

Pendekar Bijaksana 2

Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana Bagian 2


mengorek keterangan lebih lanjut dari mulutnya!"
Dan tiba-tiba saja gadis berhidung mancung ini
sudah lepaskan tangan Dayang Pandan yang meme-
gang tangannya. Namun dia urung bergerak tatkala
mendengar kata-kata Dayang Pandan, "Jangan gegabah! Pemuda ini ternyata bukan
orang sembarangan!
Kendati dia mengaku bernama Lolo Bodong, aku justru
lebih mempercayai kalau dia adalah orang yang kita
cari!" "Betul! Kita harus selesaikan pemuda ini! Lebih cepat lebih baik! Kitab
Pamungkas harus kita dapatkan! Menurut Guru, keterangan di mana Kitab Pa-
mungkas berada, ada di Kitab Pemanggil Mayat yang
didapatkan pemuda ini dari tangan Dewi Karang Sa-
mudera," balas Dayang Kemilau dengan dada naik turun dan pandangan mengkelap.
Di seberang sana, Rajawali Emas yang diam-
diam telah mengatur jalan napasnya, kini maju dua
tindak dan berdiri tegak.
"Aku tak tahu maksud kalian mencari pemuda
berjuluk Rajawali Emas! Bila kalian mau mengatakan-
nya... dengan senang hati aku akan mendengarnya!"
"Keparat!!" maki Dayang Harum dingin. Dia
berdiri membelakangi Dayang Kemilau dan Dayang
Pandan. "Jangan menjual lagak tidak tahu siapa Rajawali Emas! Karena, kaulah
orang yang kami cari!"
"Bolehlah kalian menduga seperti itu! Tetapi
namaku Lolo Bodong! Katakan, ada urusan apa kau
dengan Rajawali Emas?" sahut Tirta lagi.
"Setan laknat!! Kau pikir kami mempercayai ka-
ta-katamu itu"!"
"Aku tak memaksamu atau kalian untuk mem-
percayainya! Tetapi untuk saat ini, rasanya aku tak bi-sa meneruskan urusan! Aku
tidak tahu dari mana asal
kalian, tetapi lebih baik kalian segera tinggalkan tempat ini dan melupakan niat
untuk mencari Rajawali
Emas!!" 'Pemuda keparat! Kau benar-benar memandang sebelah mata kepada kami!!"
hardik Dayang Harum dan segera menggebrak maju melepaskan pukulan
'Kabut Gurun Es'!
Rajawali Emas yang kali ini merasa jemu dan
berpikir harus selekasnya menuju ke Bukit Watu Ha-
tur, cepat selamatkan diri. Dia tak langsung mengirimkan serangan balasan.
Karena di lain kejap sosoknya sudah lenyap dari pandangan. Hanya suaranya yang
menggema keras, "Jangan salahkan sikapku tadi! Karena kalian yang terlalu
memaksa! Lebih baik, kalian urungkan niat mencari Rajawali Emas!!"
Sementara itu, hantaman yang dilepaskan ga-
dis berwajah bulat telur dengan rambut diikat itu telah melabrak rengkah semak
belukar. Menyusul dua batang pohon yang berada di belakang semak itu tum-
bang jatuh berdebam.
Gadis berjubah biru pekat ini kertakkan ra-
hangnya seraya hentakkan kaki kanan ke tanah, yang
seketika amblas sebatas lutut. Tatkala ditarik kakinya kembali, tanah itu
terbawa dan terbentuk sebuah lubang sebesar kaki!
"Jahanam!" geramnya sengit.
"Tak usah mengejar!" seru Dayang Pandan. "Ki-
ta harus menolong Dayang Kemilau memulihkan tena-
ga!" Dayang Harum mengurungkan niatnya. Lalu
dengan pandangan masih sengit, gadis berjubah biru
pekat itu segera mendekati Dayang Kemilau yang juga
geram mendapati serangan balasan si pemuda.
Di lain kejap, terlihat secara bergantian,
Dayang Pandan dan Dayang Harum sedang memberi-
kan tenaga dalam dan mencoba memulihkan keadaan
Dayang Kemilau.
Di hati masing-masing gadis, tersirat kehera-
nan dalam tentang pemuda berpakaian keemasan tadi.
Siapa pemuda itu" Cirinya menunjukkan pada orang
yang mereka cari. Tetapi, mengapa dia mengaku ber-
nama Lolo Bodong"
*** Bab 6 KEMBALI ke tempat semula, Maung Kumayang segera mengurungkan niat untuk
melangkah. Tawanya seketika berhenti dengan mulut yang terkancing rapat.
Sementara perempuan bertopeng perak pun berbuat hal
yang sama. Kendati dia masih geram mendapati sikap
menyebalkan dari Maung Kumayang, tetapi nampak-
nya untuk sementara dia melupakan kejengkelannya
itu. Masing-masing orang menunggu tak sabar ke-
hadiran orang yang bersuara tadi.
Dalam kesunyian yang menghampar, menda-
dak saja satu bayangan berkelebat ke arah mereka dan tahu-tahu telah berdiri
satu sosok tubuh mengenakan
pakaian terbuat dari sutera yang indah sekali, dengan
belahan dada yang rendah hingga memperlihatkan
bungkahan buah dadanya yang besar dan sekal. Serta
belahan baju bagian bawah hingga ke pangkal paha
dan memperlihatkan kedua paha yang mulus menggi-
urkan. Sayang, wajahnya ditutupi cadar yang terbuat
dari sutera pula. Sukar dinilai bagaimana rupanya.
Dari tubuhnya menguar aroma wangi yang cukup me-
nyengat. Untuk sejenak sepasang mata Maung Ku-
mayang melebar mendapati pemandangan di hada-
pannya. "Gila! Siapa perempuan bercadar sutera yang
dari tubuhnya menguar aroma wangi ini?" desisnya dalam hati.
Sementara itu dari balik topeng perak yang di-
kenakannya, Dewi Topeng Perak mengeryitkan kening
dengan sepasang mata menyipit. Diam-diam dia mem-
batin, "Dari ciri yang ada pada perempuan ini... rasa-rasanya aku pernah
mengenalnya. Bukankah dia yang
berjuluk.... Dewi Kematian" Kekasih dari Manusia
Mayat Muka Kuning!"
Sosok perempuan bercadar sutera yang me-
mang Dewi Kematian adanya, berkata setelah terdiam
beberapa saat dan pandangi kedua orang yang men-
gawasinya, "Mungkin kehadiranku mengejutkan ka-
lian. Atau bahkan tak suka! Tetapi, kebetulan pula aku pun punya urusan dengan
Rajawali Emas...."
Mendengar kata-kata orang, Maung Kumayang
kembangkan senyum. Pandangannya mencoba me-
nembus wajah yang ditutupi cadar sutera. Setelah me-
lirik dada besar perempuan berpakaian sutera dan pa-
ha halus serta gempal yang tatkala angin berhembus
tersibak, dengan sikap jumawa dia berkata, "Siapa pun kau adanya, sudah tentu
dengan tangan terbuka kami
sambut niatmu itu. Tetapi, apakah tidak lebih baik
memperkenalkan diri dulu?"
Perempuan bercadar tak segera menjawab. Lalu
terdengar sahutannya. "Julukanku Dewi Kematian."
Kali ini senyum di bibir lelaki bercodet di pipi
kanan itu putus. Keningnya berkernyit. "Dewi Kematian... rasa-rasanya, aku
pernah mendengar julukan
itu, Bukankah dia yang pernah mencoba merebut Pe-
dang Batu Bintang dari tangan Rajawali Emas" Hmm...
bisa kutebak apa yang menyebabkannya mengingin-
kan kematian Rajawali Emas. Tetapi, siapa pun dia,
aku tak peduli Ketimbang perempuan bertopeng perak
ini, nampaknya Dewi Kematian lebih memberikan gai-
rah hidup."
Habis membatin begitu, dia berkata, "Tak ku-
sangka, kalau Dewi Kematian mau ikut serta dalam
rencana baik ini! Sudah tentu kami akan menerima
dengan tangan terbuka." Lalu dialihkan pandangannya pada perempuan berpakaian
kuning cemerlang. "Bukankah begitu, Dewi Topeng Perak?"
Dewi Topeng Perak hanya menganggukkan ke-
pala. Seraya maju selangkah perempuan ini segera
ajukan pertanyaan pada Dewi Kematian, "Apakah kau sendiri sudah bertemu dengan
pemuda dari Gunung
Rajawali itu?"
Kembali Dewi Kematian tak langsung menja-
wab. Sepasang matanya justru lekat pada Dewi Topeng
Perak. Lalu entah mengapa dia menggelengkan kepa-
lanya. "Tidak! Tetapi, aku juga punya urusan dengan Rajawali Emas!" sahut Dewi
Kematian seperti menghindari pertanyaan.
Dewi Topeng Perak pun menyadari maksud dari
perempuan bercadar sutera itu.
"Apakah bukan dikarenakan...."
"Sudahlah! Kini kita telah bergabung untuk
bersama-sama membunuh Rajawali Emas," potong
Maung Kumayang yang bisa menebak ke mana arah
ucapan Dewi Topeng Perak. Tentunya hendak mena-
nyakan sebab-sebab Dewi Kematian menginginkan
kematian Rajawali Emas. Lantas tak memperdulikan
tatapan dingin perempuan berpakaian kuning cemer-
lang, Maung Kumayang berkata, "Tadi kau katakan...
kau tak berniat untuk mendapatkan Seruling Gading
di tangan Seruling Haus Darah" Mengapa?"
"Karena aku memang tak punya urusan den-
gannya," sahut Dewi Kematian, lalu menyambung dalam hati, "Menilik gelagatnya,
perempuan bertopeng perak itu nampaknya tak menyukai kehadiranku. Peduli setan!
Tetap tak akan kukatakan kalau aku sudah bertemu dengan Rajawali Emas dan pemuda
itu sudah hampir mampus di tanganku, bila saja tidak muncul
Raja Dewa dan Peri Gelang Rantai. Benar-benar kepa-
rat!" (Untuk mengetahui kapan Dewi Kematian bertemu dengan Rajawali Emas dan
berhasil mendesak pe-
muda itu namun gagal membunuhnya karena kehadi-
ran Raja Dewa dan Peri Gelang Rantai, silakan baca:
"Ratu Dari Kegelapan").
"Bagus!" senyuman di bibir Maung Kumayang
mengembang. "Kupegang ucapanmu itu. Tetapi ingat, bila kau ternyata menghendaki
pula Seruling Gading,
jangan harapkan kau bisa lari dari tanganku, Perem-
puan!" Dari balik cadar sutera yang dikenakannya, sepasang mata Dewi Kematian
membesar. Dadanya ber-
getar keras tanda dia tak suka mendengar kata-kata
Maung Kumayang.
"Kurang ajar betul omongan lelaki codet ini! Ra-
sanya, ingin kurobek mulutnya sekarang juga! Tetapi, untuk sementara, biarlah
dia bersikap seperti itu! Setelah urusanku dengan Rajawali Emas tunai, akan ku-
pastikan dia mendapat ganjaran dari ucapan sialan-
nya!" Sambil menindih amarah yang mulai menangkupi perasaannya, Dewi Kematian
berkata, "Tak sejengkal tangan pun aku memiliki keinginan untuk
mendapatkan Seruling Gading. Yang kuinginkan tetap-
lah nyawa pemuda sialan itu!"
"Bagus sekali!" senyuman puas tersungging di bibir lelaki yang kini berdirinya
agak bongkok. Lalu pandangannya diarahkan pada Dewi Topeng Perak
yang nampak tersinggung atas kelancangan Maung
Kumayang yang memotong kata-katanya tadi. Kendati
menyadari kalau perempuan berpakaian kuning ce-
merlang itu menunjukkan sikap tak suka, Maung Ku-
mayang tak memperdulikannya. Dengan suara men-
ganggap remeh dia berkata, "Berarti untuk saat ini, hanya kita berdua yang
menginginkan Seruling Gading." "Apa maksudmu?" sambar Dewi Topeng Perak dingin.
"Seperti kataku sebelumnya, bila kita sudah mendapatkannya, salah seorang dari
kita harus mati
untuk menentukan siapa yang berhak memilikinya.
Dan kau tahu, Dewi Topeng Perak... ajalmu sudah
tinggal beberapa hari lagi...."
Lalu sambil mengumbar tawanya yang keras,
Maung Kumayang melangkah mendahului tanpa
menghiraukan kejengkelan Dewi Topeng Perak.
"Manusia laknat!" maki perempuan bertopeng perak itu dalam hati dengan kegusaran
yang kentara. "Dipikirnya dia telah mampu mengalahkanku" Hmm,
satu saat, justru dia yang akan tercengang mengetahui siapakah aku sebenarnya."
Sementara itu, Dewi Kematian diam-diam
membatin, "Menilik sikap masing-masing orang, kendati keduanya menyatakan diri
untuk bergabung, na-
mun nampaknya hanya sebatas mulut saja. Dari kata-
kata Maung Kumayang tadi, jelas sekali kalau dia sangat berambisi untuk
mendapatkan Seruling Gading.
Sementara Dewi Topeng Perak kendati nampak pula
keinginannya, tetapi lebih menginginkan kematian Ra-
jawali Emas. Hmmm... kelicikan sepertinya sudah mu-
lai ditampakkan. Mengapa aku tak mempergunakan
kelicikan pula" Sikap Maung Kumayang tadi membua-
tku sudah tak tahan mengepruk kepalanya hingga
hancur!" Memutuskan demikian, perempuan bercadar
sutera ini maju tiga langkah. Lalu dengan seringaian di bibirnya dia berkata,
"Sikap lelaki bongkok itu nampaknya begitu meremehkan orang. Dan dia sepertinya
tidak mau tahu perasaan orang. Rasanya, aku sudah
tidak sabar untuk membungkam mulutnya!"
Mendengar kata-kata orang, Dewi Topeng Perak
segera alihkan pandangan. Dari topeng perak yang di-
kenakannya, sepasang matanya lurus menatap Dewi
Kematian. Lalu terdengar ucapannya, "Apa maksudmu
berkata begitu?"
Dewi Kematian mengangkat kedua bahunya.
"Sesumbar Maung Kumayang harus dibung-
kam, hingga dia sadar kalau kita bukanlah jenis orang yang bisa diremehkan. Kau
tentunya mengerti maksudku, Perempuan bertopeng perak."
Kendati sudah menangkap ke mana arah yang
dituju dari ucapan Dewi Kematian, Dewi Topeng Perak
tetap berkata, "Jelaskan hingga tidak bertele-tele!"
"Aku, dan juga kau, sepertinya sudah memu-
tuskan untuk bergabung dengan lelaki bongkok itu
untuk membunuh Rajawali Emas. Tetapi, aku tidak
menyatakan diri untuk bergabung dengannya guna
membunuh Seruling Haus Darah dan mendapatkan
Seruling Gading yang telah diubah namanya itu. Ken-
dati demikian, kata-kata Maung Kumayang tadi, mem-
buatku bukan hanya berkeinginan untuk menghajar-
nya, tetapi memberi pelajaran yang tak dilupakannya."
Dewi Topeng Perak menyahut, "Aku paham
akan kata-katamu."
"Menyenangkan. Dan kau bersedia untuk


Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghajar Maung Kumayang?"
"Bahkan tanpa bantuanmu, akan kuhajar lelaki
keparat itu!"
"Begitu pula denganku! Aku tak membutuhkan
pula bantuanmu untuk membunuh lelaki sial itu!"
Dewi Topeng Perak menahan napas. Setelah
menghembuskannya dengan suara menggembor, dia
berkata, "Kita tak perlu saling mengukur ketinggian ilmu yang kita punyai!
Setelah membunuh Rajawali
Emas, kita bunuh Maung Kumayang! Dan urusan kita
bila hendak dilanjutkan silakan, tetapi bila diputus setelah kematian Maung
Kumayang pun tak jadi masa-
lah." "Aku memutuskan yang kedua!"
"Bagus! Berarti kita sudah sepakat! Dan kuha-
rap, kita tak saling mencoba mengkhianati!"
Dewi Topeng Perak berkata seperti menggeram,
"Kita lihat saja nanti!"
"Keputusan yang tepat! Berarti, tak ada yang
perlu dibicarakan lagi!!"
"Itu pun kusetujui!"
Habis kata-katanya, Dewi Kematian segera
menghempos tubuh ke arah perginya Maung Ku-
mayang tadi. Sepeninggal Dewi Kematian, Dewi Topeng
Perak menarik napas panjang.
"Urusan membunuh Rajawali Emas ternyata
begitu banyak halangan, rintangan, dan jalan berge-
lombang. Pertama, aku memutuskan untuk bergabung
dengan Seruling Haus Darah karena kemungkinan be-
sar kudapatkan jalan termudah membunuh Rajawali
Emas. Namun nyatanya, pemuda keparat itu masih
hidup kendati orang-orang suruhan Seruling Haus Da-
rah begitu banyak menyebar. Kedua, akhirnya kupu-
tuskan untuk bergabung dengan Nenek Cabul dan Ra-
tu Dari Kegelapan yang menyamar sebagai Putri Lebah.
Tidak tahu bagaimana keadaan Ratu Dari Kegelapan
sekarang. Bisa jadi dia sudah mampus di tangan Ra-
jawali Emas!"
Perempuan berpakaian kuning cemerlang ini
terdiam sekejap. Di lain kejap dia sudah menyambung
kata, "Sikap Nenek Cabul yang bergabung dengan Iblis Lembah Ular ternyata bikin
kepalaku pusing. Dan akhirnya, kuputuskan untuk bergabung dengan Maung
Kumayang yang telah merasa besar dengan kesaktian,
yang entah dari siapa, dimilikinya. Yang paling akhirnya, justru aku bergabung
dengan Dewi Kematian un-
tuk membunuh Maung Kumayang. Benar-benar kapi-
ran! Apakah...."
"Tak perlu berlaku laksana orang sedang gun-
dah. Bukankah ada aku yang akan membantumu me-
wujud-kan segala yang kau inginkan, Sunarsasi...."
*** Bab 7 KEPALA perempuan bertopeng perak menegak kaku dengan tubuh tegang. Tubuhnya
mendadak bergetar
namun kedua kakinya tetap terpacak keras di atas ta-
nah. Untuk sesaat dia masih berdiri tanpa membalik-
kan tubuh. Diam-diam perempuan ini membatin, "Hanya
dua orang yang mengetahui nama asliku. Pertama, Ma-
ta Malaikat yang sekarang entah berada di mana. Dan
kedua, Buang Totang Samudero. Apakah orang itu
yang kini muncul?"
"Mengapa masih memikirkan kemungkinan
siapa orang yang datang ini" Kau pasti tahu, Sunarsa-si! Dan mudah-mudahan kau
masih mengenali suara-
ku..." "Celaka! Dia benar Buang Totang Samudero.
Sial! Mengapa aku harus bertemu dengan orang ini la-
gi"!" batin Dewi Topeng Perak agak resah. Lalu sambil menindih segala keresahan
yang mendadak merajai dirinya, perempuan bertopeng perak ini segera memba-
likkan tubuh. Berjarak dua tombak di hadapannya, nampak
seorang lelaki tua berwajah cekung dan hanya dibalut kulit ari yang tipis sedang
duduk bersila. Tubuhnya
agak membungkuk tanpa pakaian, kendati demikian
kepalanya tegak lurus pada langit. Sepasang matanya
memerah dengan wajah dipenuhi keriputan. Kulitnya
hitam legam dengan kedua tangan bersedekap di dada.
Bibirnya dihiasi seringaian sementara rambutnya hi-
tam memanjang hingga mengenai tanah.
Melihat orang di hadapannya, Dewi Topeng Pe-
rak berusaha tersenyum. .
"Apa kabarmu, Buang Totang Samudero?"
Si kakek yang duduk bersila itu membuka mu-
lutnya. Hanya sedikit, tetapi tawanya keras menggema.
"Sudah tentu kabarku baik-baik saja selama
ini, kendati aku tak bisa menahan cemburu mengingat
kau yang masih mencoba meraih cinta Mata Malaikat!"
"Aku bermaksud membunuh lelaki sialan itu!"
sengat Dewi Topeng Perak.
"Apa pun keinginanmu, aku tetap berkeyakinan
kalau kau masih mencintai Upasara alias Mata Malai-
kat! Dan aku tahu, sejak bertahun-tahun lamanya,
kau tidak pernah menjatuhkan pilihan kepadaku se-
bagai pendamping! Tak perlu katakan lagi alasannya!
Aku tahu kau tak menyukaiku... karena kedua kakiku
tak bisa berdiri laksana manusia! Sejak kecil, kedua kakiku memang sudah bersila
seperti ini! Tidak tahu
bagaimana caranya perempuan yang dulu melahirkan-
ku bisa mengeluarkan ku dari rahimnya! Tetapi kau
tak perlu khawatir, Sunarsasi. Aku tetap bisa melakukan hubungan cinta kendati
keadaanku tidak normal!"
Di ujung kata-katanya, si kakek yang bernama Buang
Totang Samudero kembali tertawa dengan mulut yang
membuka sedikit.
"Keparat! Kata-katanya begitu menjijikkan! Ka-
lau Tak ingat ilmunya begitu tinggi sudah kutampar mencong mulutnya! Jangankan
untuk mengalahkannya, mengimbanginya saja sudah sulit kulakukan!" geram Dewi
Topeng Perak sengit dalam hati. Apalagi
tatkala mendengar ucapan si kakek yang duduk bersi-
la dan tetap tertawa itu lagi,
"Dan aku yakin... aku bukan hanya mampu
bercinta denganmu, tetapi membikin kau puas hingga
terkenang selama tiga hari tiga malam!"
"Benar-benar kapiran!" maki Dewi Topeng Perak
lagi dalam hati namun tak berani menampakkan ke-
jengkelannya. Sambil menindih kejengkelannya dia
berkata, "Buang Totang Samudero... apa yang kau katakan mungkin benar dan
aku...." "Tetap tak mau menjatuhkan pilihan kepadaku,
bukan?" sambar si kakek masih tertawa.
Dewi Topeng Perak hanya keluarkan dengusan
dan diam-diam membatin, "Bodohnya aku! Dua orang telah mengajakku bergabung!
Yang seorang mengajak
bergabung dengan maksud membunuh Rajawali Emas
dan mendapatkan Seruling Gading. Yang seorang lagi
justru memiliki niat untuk membunuh orang pertama
yang mengajakku bergabung. Sekarang, mengapa aku
begitu bodoh sementara kesempatan nampak di depan
mata" Bukankah aku bisa berlagak menerima cinta
kakek tak tahu diri ini sementara akan kupergunakan
kesaktiannya untuk mewujudkan apa yang kuingin-
kan. Kendati dia memiliki kesaktian tinggi, tetapi otaknya hanya dibutakan oleh
cinta! Dan akulah satu-
satunya orang yang bisa mengendalikannya!"
Habis berpikir demikian, perempuan berpa-
kaian kuning cemerlang maju lima langkah di hadapan
si kakek. Dengan suara dibuat mendayu-dayu kendati
dia memaki dirinya sendiri karena sikapnya itu, Dewi Topeng Perak berkata,
"Buang Totang Samudero... selama ini mungkin aku tak percaya. Dan selagi ada ke-
sempatan bertemu denganmu sekarang, baiknya kuka-
takan saja. Benarkah kau tulus mencintaiku?"
Si kakek tertawa, tetap hanya membuka mulut
sedikit. "Sudah tentu aku begitu tulus mencintaimu, Sunarsasi! Kau tak perlu
menyangsikan lagi akan cin-taku itu! Bahkan... kuharapkan kau akan melahirkan
anak-anakku yang tentunya akan tumbuh menjadi
pemuda gagah seperti ayahnya dan gadis manis jelita
seperti ibunya!"
"Sinting! Siapa sudi menyerahkan tubuh kepa-
da orang sepertimu!" maki Dewi Topeng Perak dalam hati. Sambil memasang senyum
dia berkata, "Mungkin... aku pun bisa memulai untuk mencintaimu...."
"Haya! Bagus sekali! Bagus itu! Dan apakah
kau sudah bersedia tidur denganku?"
"Jahanam! Kata-katanya benar-benar membuat
telingaku panas dan dadaku seakan meledak!" geram Dewi Topeng Perak dalam hati.
Dan lagi-lagi sambil
menindih kegeramannya dia berkata, "Untuk saat ini aku belum mau
melakukannya." .
Si kakek memutus tawanya sendiri. Dengan
pandangan lurus dia menatap ke depan. Mulutnya
berkemak-kemik tanpa keluarkan suara. Masih me-
mandang pada Dewi Topeng Perak dia berkata, "Dengan kata lam, kau mengajukan
syarat?" "Aku tidak berkata demikian." Kendati berkata seperti itu, tetapi senyuman
merekah di bibir bergincu perempuan berpakaian kuning cemerlang.
"Tetapi kutangkap seperti itu!" '
Terserah apa yang kau tangkap!"
"Katakan!"
"Selain Mata Malaikat, aku punya musuh be-
buyutan berjuluk Rajawali Emas... dan Maung Ku-
mayang. Tetapi hingga saat ini, aku belum dapat
membalas perbuatan keparat masing-masing orang.
Bila kau memang mencintaiku...."
"Aku tahu, aku tahu apa maksudmu! Bila kau
hendaki aku membunuh manusia-manusia itu seka-
rang juga, akan kucari mereka!!" putus si kakek sambil tertawa.
"Terima kasih atas kesediaanmu."
Mendadak si kakek tertawa keras, tetap dengan
mulut hanya membuka sedikit. Matanya yang celong
dan memancarkan sorot warna merah, menatap tak
berkedip pada Dewi Topeng Perak. Kejap lain terdengar kata-katanya tegas, "Hanya
saja... aku meminta bukti sekarang."
Di balik topeng perak yang dikenakannya, Dewi
Topeng Perak melengak. Dengan suara tajam dia ber-
kata, "Apa maksudmu dengan bukti?"
"Sekian lama kubayangkan diriku bergelut da-
lam puncak gairah denganmu, Sunarsasi! Nah, seka-
rang kuminta bukti dari yang kau katakan!"
"Jahanam! Ternyata otaknya tak sedungu yang
kukira! Aku harus mencari dalih sekarang." Setelah terdiam beberapa saat, Dewi
Topeng Perak berkata,
"Kau bukan hanya sekali dapat tidur denganku, tetapi berkali-kali! Hanya saja...
kau harus laksanakan yang kukatakan!"
Si kakek mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil tertawa keras. Di sela-sela tawanya dia berseru,
"Aku setuju dengan kata-katamu itu!"
Sekarang... ikut aku menuju ke Bukit Watu Ha-
tur!!" Dewi Topeng Perak sudah membalikkan tubuh dan melangkah mendahului. Buang
Totang Samudero
tertawa keras tatkala melihat pinggul besar perempuan berpakaian kuning
cemerlang itu yang bergerak saat
melangkah. "Tak lama lagi... tak lama lagi akan kupuaskan
seluruh gairah yang tertahan pada perempuan ini!"
Lalu mendadak saja, tetap dalam keadaan du-
duk bersila dan kedua tangan bersedekap, sosok ganjil si kakek melompat. Sekali
lompat, satu tombak ter-lampaui. Dan begitu kedua kakinya yang terlipat men-
genai tanah, seperti membal tubuhnya telah melompat
kembali. *** Bab 8 LELAKI tinggi kurus berwajah cekung yang mengenakan pakaian gombrang hitam
bergaris merah itu terus
berkelebat menuju ke arah barat. Sambil berkelebat,
orang yang tak lain Iblis Lembah Ular adanya ini
menggerutu panjang pendek, "Betul-betul keparat perempuan cabul itu! Bila saja
dia tak memiliki Trisula Mata Empat senjata mustika milik Raja Dewa, sudah
kuhajarnya tadi! Bangsat betul! Ada keinginan di hati-ku untuk mendapatkan
senjata itu! Tetapi untuk saat
ini, bisa jadi justru aku yang akan lintang pukang di-buatnya!"
Iblis Lembah Ular yang masih kesal dengan si-
kap Nenek Cabul sebelumnya, terus berkelebat. Yang
diinginkannya sekarang adalah mencari Maut Tangan
Satu. "Kemana perginya lelaki berlengan buntung itu, lelaki sialan yang telah
kusembuhkan dari luka-lukanya" Apakah dia sudah bertemu dengan Rajawali
Emas" Keparat betul bila ternyata dia berani men-
gangkangiku" Akan kucabik-cabik tubuhnya!"
Sambil terus berkelebat, lelaki berkepala lon-
jong ini terus memaki-maki. Sampai kemudian men-
dadak saja orang ini menghentikan larinya. Di sertai seruan tertahan, kejap itu
pula tubuhnya dibuang ke samping kanan selamatkan diri dari satu gelombang
angin yang menderu.
Setelah kedua kakinya terpacak tegak di atas
tanah, kepalanya segera ditengadahkan. Menyusul ka-
kinya surut satu tindak begitu melihat orang yang berada di atas pohon yang tadi
lancarkan satu serangan padanya.
"Rajawali Emas!" desisnya dengan kepala menegak dan mata mengerjap berkali-kali.
Sementara di atas pohon, satu sosok tubuh
berpakaian keemasan yang di bibirnya terselip seba-
tang rumput menyeringai lebar.
"Wah! Mengapa bisa bertemu denganmu, ya"
Aneh! Benar-benar aneh! Tetapi, mengapa wajahmu
jadi pucat begitu"! Apakah kau melihat seorang pangeran yang gagah bin ganteng
ini"!" seru Tirta mengejek.
"Betul-betul keparat! Kendati aku mengingin-
kan nyawanya, tetapi mengetahui betapa tinggi ilmu
yang dimilikinya hatiku jadi keder juga! Tetapi sekarang semuanya menjadi lain!
Peduli setan!! Aku harus membunuhnya dan mendapatkan hadiah yang dijanjikan
Seruling Haus Darah!"
Habis membatin begitu, Iblis Lembah Ular ber-
seru, "Bagus kau muncul di hadapanku, Rajawali
Emas! Bersiaplah untuk mampus sekarang!!"


Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau nampaknya bukan orang sembarangan!
Apakah tidak bisa menunggu barang sejenak" Apakah
tidak sebaiknya kita bercakap-cakap dulu?"
"Bila kau mengerti gelagat, memang seharusnya
kau bersikap seperti itu! Dan lebih baik menyerah saja atau membunuh diri di
hadapanku!"
"Soal itu mudah sekali! Tergantung... kesepaka-
tan saja! Tetapi, ada yang hendak kutanyakan pada-
mu! Di mana Nenek Cabul berada"!"
Iblis Lembah Ular tak segera menjawab perta-
nyaan orang. "Kalau sebelumnya Nenek Cabul yang te-
rus memburunya, tetapi sekarang nampaknya Rajawali
Emas yang balik berburu." Lalu katanya keras, "Aku bisa menggantikan tugas Nenek
Cabul untuk membu-nuhmu!"
"Wah! Kalau begini keadaannya, aku bisa me-
nebak! Kau pasti telah didepak oleh perempuan cabul
itu, ya"! Tetapi... bukankah mengasyikan" Berapa kali kau sudah menggeluti piala
bergilir itu"!"
Mengkelap wajah Iblis Lembah Ular. Kali ini se-
luruh keciutan yang merajai hatinya menghilang.
"Jangan bicara sembarangan!"
"Jadi harus kukatakan kalau dia bukan hanya
mendepakmu, tetapi juga meludahimu" Kalau memang
begitu, kau tak perlu mengatakannya! Karena, aku su-
dah tahu, kan"!" ejek Tirta yang sebenarnya sama sekali tak menyangka akan
berjumpa dengan Iblis Lem-
bah Ular: Setelah meninggalkan Dayang-dayang Dasar
Neraka yang sepertinya menginginkan kematiannya,
Rajawali Emas terus memutuskan melanjutkan perja-
lanan menuju ke Bukit Watu Hatur. Namun pemuda
ini segera hentikan kelebatannya tatkala mendapati sa-tu sosok tubuh yang tak
lain Iblis Lembah Ular menuju ke arahnya.
Dari penjelasan Pendekar Bijaksana, Rajawali
Emas tahu kalau Trisula Mata Empat berada di tangan
Nenek Cabul. Dan dia tahu pula kalau Iblis Lembah
Ular selalu bersama dengan Nenek Cabul. Makanya dia
memutuskan untuk menghentikan langkah menuju ke
Bukit Watu Hatur, dan menunggu kedatangan lelaki
itu kendati dia cukup heran karena tak mendapati Ne-
nek Cabul bersama lelaki itu.
Mendengar ejekan Rajawali Emas, Iblis Lembah
Ular mendesis, "Aku harus mendahului menyerang!
Peduli setan seperti apa kesaktiannya! Yang penting, aku harus mendapatkan
hadiah yang dijanjikan Seruling Haus Darah!"
Dan tanpa menunggu lama, lelaki berkepala
lonjong ini segera melepaskan satu tendangan kaki
kanan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Ge-
lombang angin terdengar menderu keras mendahului
tendangan yang dilepaskan.
Rajawali Emas cuma mengangkat kedua alisnya
yang hitam legam. Kejap itu pula dia melompat turun
dengan cara memutar tubuh dua kali dan hinggap di
bagian tanah sebelah kanan. Tendangan Iblis Lembah
Ular luput dan mau tak mau menghantam dahan po-
hon yang tadi diduduki Tirta yang langsung pecah be-
rantakan. Masih berada di udara, serta merta diputar tubuhnya dan dengan gerakan
meluncur laksana ular,
digerakkan kedua tangannya ke muka."-
Rajawali Emas membuang rumput yang tadi
dihisap-hisapnya. Lalu segera mengangkat kedua tan-
gannya pula, Desss! Desss!! Dua benturan keras terjadi. Sosok Iblis Lembah
Ular terjengkang ke belakang lalu meliuk aneh dan
hinggap di tanah kembali dengan pandangan mengke-
lap. Sementara Tirta sendiri surut dua tindak. Dan
dia berdecak kagum melihat apa yang diperbuat Iblis
Lembah Ular. Masih berdiri tegak di tempatnya dia
berkata, "Lelaki berkepala benjol! Lebih baik katakan di mana Nenek Cabul berada
ketimbang urusan jadi
kapiran!" Iblis Lembah Ular pentangkan kedua kaki den-
gan tangan bergerak-gerak ke atas ke bawah.
"Kini aku tahu sekarang!" serunya dengan bibir
mengejek "Rupanya kau mencari Nenek Cabul karena menghendaki Trisula Mata Empat,
hah"!"
"Tepat! Ini disebabkan karena dia bukanlah
pemilik yang sebenarnya!"
"Jangan berlagak bodoh!!"
"Aku tidak memaksamu untuk memahami per-
nyataanku yang sebenarnya!"
'Ternyata... kau hanya seorang yang pandai me-
mainkan kata-kata!"
"Kalau begitu, lebih baik aku menjadi penyair
saja! Nanti akan kukarang syair tentang orang yang
memiliki kepala lonjong dan rambut seperti rumput di padang tandus!"
"Tutup mulutmu!"
Habis hardikannya, dengan gerakan mirip see-
kor ular, mendadak saja tubuh Iblis Lembah Ular
mencuat ke atas dengan jotosan yang diliukkan ke
arah kepala Rajawali Emas.
Kali ini Rajawali Emas mendengus.
"Keras kepala!"
Kaki kanannya ditarik ke belakang, menyusul
disentakkannya ke depan.
Bukkk! Terdengar seruan Iblis lembah Ular tertahan,
sementara tubuhnya mundur bergoyang-goyang. Ke-
dua matanya terbeliak mendapati serangannya dengan
mudah diputuskan oleh Rajawali Emas. Bahkan dira-
sakan hawa panas melingkupi tubuhnya.
"Gila! Pukulan yang dilepaskannya mengan-
dung hawa panas yang tinggi! Peduli setan! Akan ku-
pergunakan jurus 'Ular Masuk Sarang'"
Lalu kembali kedua tangan lelaki berambut
yang dapat dihitung ini bergerak. Setelah menjejakkan kaki kanannya ke tanah,
tubuhnya mencelat membal
dan meluruk dengan kedua tangan bergerak cepat se-
mentara dari mulutnya keluarkan desisan seperti see-
kor ular. Kembali Rajawali Emas mendengus.
"Tak tahu diuntung!" serunya sambil melompat ke samping.
Gagal akan serangannya, tangan kiri Iblis Lem-
bah Ular bergerak seperti menepak. Angin dingin me-
nerjang cukup keras ke arah leher Tirta yang segera
mengangkat tangan kanannya. Bersamaan dengan itu
dia melompat mundur tatkala tangan kanan Iblis Lem-
bah Ular menyusup masuk!
"Hebat!" desisnya.
"Kau akan keheranan melihat kehebatanku ini!"
seru Iblis Lembah Ular dan terus mencecar. Setiap kali kedua tangannya bergerak,
suara angin membeset
angker terdengar bersamaan hawa dingin yang meraja.
Belum lagi liukan tubuhnya yang cukup aneh setiap
kali Tirta membalas.
Dan lama kelamaan, pemuda dari Gunung Ra-
jawali ini pun menjadi jengkel melihat kekeraskepalaan Iblis Lembah Ular. Kali
ini dia melompat menerjang
dengan pergunakan jurus 'Sentakan Ekor Pecahkan
Gunung'. Seketika menderu angin keras mengandung
hawa panas. Menyusul kedua tangan Tirta yang berge-
rak dari kanan ke kiri.
Menyadari serangan lawan yang berbahaya, wa-
jah Iblis Lembah Ular nampak pias. Serangan yang di-
lepaskannya kali ini dipergunakan untuk memapaki.
Desss! Desss! Kemudian digerakkan kaki kanannya hingga
mencuat ke atas, menyusul liukan tubuh dengan ke-
dua jotosan mengarah pada kepala dan perut Rajawali
Emas. Tetapi Rajawali Emas tidak mundur sejengkal
pun juga. Malah dia terus melabrak masuk. Terkesiap
bukan alang kepalang Iblis Lembah Ular.
Dia berusaha untuk mundur dan melepaskan
tendangan kaki kirinya. Namun gerakannya tertahan,
karena jotosan tangan kiri Tirta lebih dulu menghan-
tam perutnya. Desss! Tanpa ampun lagi sosok tinggi kurus itu am-
bruk dengan cara bergulingan!
Bila saja pemuda dari Gunung Rajawali itu
bermaksud untuk menghabisi Iblis Lembah Ular, den-
gan mudah akan dilakukan olehnya. Tetapi, sosok Ra-
jawali Emas hanya tegak berdiri tanpa berbuat apa-
apa. Setelah tubuhnya bergulingan, Iblis Lembah
Ular muntah darah dua kali. Dadanya nyeri bukan
main. Dadanya nampak turun naik dengan aliran da-
rah kacau. Perlahan-lahan diangkat kepalanya. Sorot ma-
tanya dingin penuh ancaman, "Pemuda keparaattt!!"
Tirta tersenyum seraya menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Kau terlalu keras kepala. Padahal sejak pertama seharusnya kau
mengerti kalau aku tidak
bermaksud menurunkan tangan. Cukup kau jawab
pertanyaanku di mana Nenek Cabul berada!"
"Pergilah kau neraka!!"
"Waduh! Yang ditanya lain, kok malah menyu-
ruh lain! Kau ini aneh-aneh saja!"
"Jahanam!" maki Iblis Lembah Ular seraya berdiri perlahan-lahan. Kedua kakinya
agak goyah saat
tegak. Lalu dikumpulkan segenap tenaga dalamnya.
Kejap lain, kepalanya tengadah dengan mata terpen-
tang. "Terimalah kematianmu!!"
Habis bentakannya, sosok berpakaian hitam
bergaris merah itu sudah mencelat ke muka. Kedua
tangannya bergerak ke atas dan ke bawah.
Tirta terdiam dengan pandangan tak berkedip.
Berjarak dua tindak dari sosok Iblis Lembah Ular yang makin mendekat, kedua
tangannya cepat digerakkan.
Buk! Bukkk! Menyusul kaki kanannya dicuatkan ke atas.
Des! Telak menghantam dagu Iblis Lembah Ular. Bi-
la saja Tirta melakukannya sepenuh tenaga, sudah bi-
sa dipastikan tulang dagu hingga kepala Iblis Lembah Ular akan patah-patah.
Tetapi lagi-lagi pemuda yang mewarisi kelembutan dari ibunya itu, tak bertindak
keras. Kendati demikian, sosok Iblis Lembah Ular ter-
jengkang ke belakang Ambruk dan jatuh pingsan!
Tirta menarik napas panjang.
"Sulit sekali membuat lelaki ini mengerti kalau tindakannya salah! Dan semua ini
dikarenakan Seruling Haus Darah!" katanya seperti menyesal.
Sejenak pemuda yang di lengan kanan dan ki-
rinya terdapat rajahan burung rajawali keemasan ini
terdiam sambil pandangi sosok Iblis Lembah Ular yang pingsan.
"Manusia ini tergolong orang yang mengingin-
kan semuanya berlangsung mudah dan singkat. Tak
ada sedikit pun perjuangannya di jalan kebenaran. Bi-la saja dia mau mengabdikan
ilmu yang dimilikinya
untuk kebaikan, bisa dipastikan akan banyak yang
menerima kehadirannya. Namun... dia justru memper-
gunakan ilmunya di jalan kejahatan. Sangat ku-
sayangkan sekali. Dan tak habis kumengerti mengapa
begitu banyaknya manusia yang suka membunuh
hanya demi kesenangan semata?"
Pemuda dari Gunung Rajawali ini menarik na-
pas pendek. Pandangannya diarahkan pada kejauhan.
"Aku masih belum mengerti apa maksud dari
Pendekar Bijaksana. Kakek bijaksana itu telah menan-
tang Seruling Haus Darah di Bukit Watu Hatur. Tetapi yang tak kumengerti,
mengapa justru aku yang menurutnya akan menghadapi Pendekar Bijaksana" Ah, te-
ka-teki apa sebenarnya yang diciptakan oleh Pendekar Bijaksana...."
Pemuda ini kembali terdiam. "Apa pun yang ter-
jadi, dan kendati aku belum tahu maksud dari Pende-
kar Bijaksana... aku akan tetap ke Bukit Watu Ha-
tur...." Lalu perlahan-lahan dia membungkuk memeriksa tubuh Iblis Lembah Ular.
Diperhatikannya sosok itu sejenak. Kemudian perlahan-lahan Rajawali Emas
segera alirkan tenaga panas dalam tubuhnya melalui
kedua ibu jari kaki Iblis Lembah Ular. Setelah itu dia menotok di beberapa
bagian, guna menahan laju hawa
panas hingga tak membakar jantung lelaki berkepala
lonjong yang pingsan itu.
Hanya tiga tarikan napas saja, totokan yang di-
lakukannya tadi dibuka. Sosok pingsan Iblis Lembah
Ular terjingkat keluar. Dari mulutnya terdengar jeritan lirih tertahan yang tak
disadarinya. Perlahan-lahan Tirta berdiri.
"Kuharap... kau bisa mengubah semua yang te-
lah kau lakukan, hingga kau berjalan di arah yang lurus...." Kejap kemudian,
pemuda dari Gunung Rajawali ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
*** Bab 9 SELANG beberapa saat Rajawali Emas meninggalkan tempat itu, datang dua sosok
tubuh ke tempat itu Dan masing-masing orang segera arahkan pandangan pada
Iblis Lembah Ular tanpa ada yang keluarkan suara.
Kejap lain, sosok yang berdiri di sebelah kiri
yang ternyata seorang nenek berpakaian panjang hi-
tam penuh tambalan, mengangkat kepala dan menatap
sosok lelaki yang sama tuanya dengan dirinya, "Raja Dewa... apakah kau tidak
merasa heran dengan apa
yang terjadi di hadapan kita?"
Sosok lelaki tua namun masih memiliki postur
tubuh yang tegap itu tak segera jawab pertanyaan
orang. Kumis putihnya yang menjuntai bergerak-gerak
tatkala mulutnya berkemik-kemik tanpa suara. Di lain kejap, dia sudah arahkan
pandangan pada perempuan
tua di samping kirinya.
"Hanya sedikit keheranan yang ada di benakku.


Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi, aku tak bisa menemukan jawab mengapa lelaki
ini jadi terkapar pingsan seperti ini."
Si nenek yang tak lain Peri Gelang Rantai
adanya ini kembali arahkan pandangan pada sosok Ib-
lis Lembah Ular yang baru saja ditolong Rajawali
Emas. "Mengherankan. Bagaimana mungkin tahu-
tahu lelaki laknat yang membunuh adikku di Danau
Mati bias terkapar pingsan seperti ini" Hmmm... melihat keadaan lukanya,
nampaknya telah ada orang
yang menolong lelaki keparat ini. Peduli setan! Aku akan menunggunya sampai dia
siuman!" desis perem-
puan tua yang di sepanjang lengannya ini terdapat gelang-gelang warna hitam.
Sementara itu, si kakek yang berdiri dengan
kedua tangan selalu berada di belakang pinggul berka-ta sambil menggeleng-
gelengkan kepala, "Peri Gelang Rantai... nampaknya kau sudah mengurungkan niat
untuk tetap mendatangi Bukit Watu Hatur. Apakah
aku salah dengan dugaanku itu?"
Peri Gelang Rantai putar kepalanya. Lalu den-
gan suara sengit dia berkata, "Lelaki sialan ini telah membunuh adikku! Maka,
dia harus mati di tanganku!" "Apakah kau tega membunuhnya dalam keadaan tak
berdaya?" tanya Raja Dewa.
"Peduli bumi akan meledak saat ini juga! Lelaki ini sebenarnya sudah mampus di
tanganku, kalau Nenek Cabul yang ternyata orang yang telah mengambil
senjata mustika milikmu tidak menolongnya!"
"Berarti... kau mengabaikan...."
"Jangan mengajariku!" putus Peri Gelang Rantai dengan tatapan sengit.
Raja Dewa cuma mengangkat kedua bahunya
saja, tetap dengan kedua tangan menyatu di belakang
pinggul. Lalu didengarnya lagi kata-kata nenek yang di sepanjang kedua lengannya
terdapat gelang-gelang
warna hitam, "Raja Dewa! Sebaiknya kau teruskan langkah
saja! Tetapi cobalah untuk mencari Nenek Cabul yang telah
membawa Trisula Mata Empat!"
"Bagaimana dengan Seruling Haus Darah?" ,
"Menurut kabar yang kita ketahui, manusia ke-
parat itu akan muncul di akhir bulan ini. Dan akhir
bulan ini masih tersisa dua hari lagi."
"Maksudmu.. kau tetap akan membunuh lelaki
keparat itu?" tanya si kakek yang masih memiliki tubuh tegap berpakaian putih
kusam itu. Kali ini Peri Gelang Rantai kelihatan agak ragu-
ragu. Kendati demikian, sorot matanya tetap tajam pa-da sosok Iblis Lembah Ular
yang masih pingsan.
"Bila aku melakukan tindakan itu, sungguh
bukan suatu jiwa ksatria yang baik! Justru titik temu yang membuatku tidak
ubahnya seperti manusia-manusia sesat lainnya. Tetapi, Keparat ini telah
membunuh, bahkan memperkosa adik seperguruanku yang
telah dibunuhnya! Imbalan bagi manusia ini tak ada
lain kecuali kematian!" .
Selagi Peri Gelang Rantai membatin. Raja Dewa
berkata, "Bila kau memang tetap berkeinginan untuk membunuhnya, rasanya aku
sulit mencegah, karena
mencegah keinginanmu sama dengan memasukkan
sebelah kaki ke kawah merapi! Aku akan tetap menuju
ke Bukit Watu Hatur!"
"Kau belum mendapatkan Trisula Mata Empat
milikmu itu. Raja Dewa!" seru Peri Gelang Rantai.
"Mencari Nenek Cabul yang tak kuketahui di
mana dia berada sekarang, berarti hanya membuang
waktu cukup banyak! Berarti, aku bisa jadi akan ter-
lambat tiba di Bukit Watu Hatur," sahut Raja Dewa setelah terdiam sejenak.
"Lantas... apakah kau akan mempergunakan
Anting Mustika Ratu yang berada di tanganmu untuk
menghadapi manusia sesat berjuluk Seruling Haus
Darah itu?"
Lelaki tua yang kedua tangannya selalu berada
di belakang pinggul itu menggelengkan kepala.
"Seperti kataku semula, aku tidak akan mem-
pergunakan senjata yang bukan milikku, kendati sen-
jata itu memiliki kesaktian yang tinggi."
"Kalau begitu, kau hanya membuang nyawa
percuma." 'Tidak! Seperti yang telah kita sepakati, dalam
keadaan apa pun juga, kita akan tetap menghadapi Se-
ruling Haus Darah. Dengan atau tidak memperguna-
kan Trisula Mata Empat. Mengenai Anting Mustika Ra-
tu yang berada di tanganku ini, aku tetap tak akan
memper-gunakannya sekali pun, kendati keadaanku
terdesak dan mampu merenggut nyawaku."
Peri Gelang Rantai urung menyahuti kata-kata
orang, karena saat itu telinganya menangkap suara
erangan pelan dari Iblis Lembah Ular.
*** Seketika perempuan tua yang di sepanjang ke-
dua lengannya itu terdapat gelang-gelang warna hitam putar kepala. Raja Dewa
sendiri mengurungkan niatnya untuk melangkah.
Masing-masing orang melihat sosok Iblis Lem-
bah Ular yang bergerak dengan mulut keluarkan rinti-
han. Kegeraman di hati Peri Gelang Rantai semakin
naik. Dia sungguh-sungguh tak dapat membayangkan
bagaimana pedihnya hati adik seperguruannya yang
dibunuh lalu kemudian diperkosa oleh Iblis Lembah
Ular. Dan tatkala dia dapat membayangkan bagaimana
Iblis Lembah Ular melakukannya, hatinya bukan main
marahnya. Begitu dilihatnya sepasang mata lelaki berkepa-
la lonjong itu terbuka, Peri Gelang Rantai langsung
membuka mulut, keras, "Manusia busuk yang sudah mau mampus! Apakah kau sekarang
bisa lolos dari
kematian"!"
Mendengar bentakan keras yang menyelinap di
gendang telinganya, Iblis Lembah Ular tersentak kaget.
Seketika kedua matanya dipentangkan. Kejap itu pula
dia bangkit berdiri. Kendati kedua kakinya terpancang tegak di atas tanah, namun
kepalanya pusing berpen-dar.
"Celaka! Mengapa manusia ini yang datang?"
desisnya dengan hati galau. Tetapi dia cukup heran
tatkala menyadari kalau keadaan tubuhnya cukup se-
gar. Kali ini pandangan yang tadi berbalur ketakutan, menyiratkan sinar tak
percaya. "Tak mungkin! Tak mungkin bila salah seorang dari kedua orang ini yang
membantuku agar lebih cepat siuman! Kalau memang
bukan keduanya siapa orang itu" Rajawali Emaskah" Tidak, aku tidak
tahu. Dan hanya kedua orang ini yang berada di sini
sekarang!"
Sepasang mata Peri Gelang Rantai membentang
lebar. Tangan kanannya membentuk kepalan. Sedang-
kan Raja Dewa hanya terdiam saja, tetap dengan ke-
dua tangan berada di belakang pinggul. Tetapi ma-
tanya lekat-lekat menatap Peri Gelang Rantai.
Sementara itu, keheranan Iblis Lembah Ular
pada keadaannya sendiri mulai surut. Kini dia sadar, kalau bahaya yang lebih
mengerikan sudah siap me-nerkam-nya. Dia tahu. Peri Gelang Rantai tak akan
pernah memaafkan perbuatannya terhadap adik se-
perguruan si nenek yang dibunuh dan diperkosanya.
"Celaka! Betul-betul celaka! Tak mungkin aku
menghindari perempuan tua ini!"
Apa yang diduga Iblis Lembah Ular memang
benar, karena sudah terdengar teriakan Peri Gelang
Rantai yang cukup keras, "Kalau waktu itu setan-setan neraka masih memperpanjang
umur iblismu, kali ini
nyawamu akan putus, Manusia kepala lonjong!"
Iblis Lembah Ular tak membuka mulut. Ra-
hangnya mengatup rapat dengan pipi bergerak-gerak.
Pandangannya masih tajam tanda waspada, tetapi di-
penuhi kepiasan.
Raja Dewa diam-diam membatin, "Kalau me-
mang si nenek tak mau mengampuni dosa-dosa Iblis
Lembah Ular, tak ada jalan lain lagi. Dunia persilatan memang penuh darah. Darah
dibalas darah. Nyawa dibalas nyawa. Tetapi sifat welas asih sangat penting
sekali sebenarnya."
Di sebelah kirinya. Peri Gelang Rantai sudah
menggebrak cepat dengan dua jotosan diarahkan pada
dada Iblis Lembah Ular yang memekik tertahan dan
mencoba menyelamatkan diri.
Dua jotosan si nenek lewat. Dan hal ini nampak
makin memancing kemarahan Peri Gelang Rantai. Kali
ini bukan hanya kedua tangannya yang bergerak, ke-
dua kakinya pun melakukan tendangan yang sangat
cepat. Kalau sebelumnya Iblis Lembah Ular memang
bukan tandingan Peri Gelang Rantai, kali ini pun demikian adanya. Malah hanya
tiga gebrakan saja lelaki berkepala lonjong itu sudah tersuruk lima langkah ke
belakang. Kendati keadaan tubuhnya cukup segar, na-
mun tenaganya setelah pertarungan dengan Rajawali
Emas sudah terkuras banyak. Dan dia melengak tatka-
la kepalanya sudah diinjak oleh kaki kanan Peri Ge-
lang Rantai. Lepaskan! Kita bertarung sampai mampus!" se-
runya gusar. Peri Gelang Rantai keluarkan dengusan dingin.
"Tanpa kau suruh pun aku akan melakukan-
nya! Tetapi, apakah kau tidak merasa kalau kaki ka-
nanku ini siap mengubah fungsinya menjadi maut"!"
Menggigil tubuh Iblis Lembah Ular. Dadanya
bergemuruh keras. Ketakutannya makin menjadi-jadi.
Dan rasa kesakitan yang cukup menyengat membuat-
nya menjerit. Tetapi suaranya parau. Ini disebabkan
karena kepalanya yang ditekan kuat-kuat oleh Peri Gelang Rantai. Hingga tertekan
keras di tanah.
"Manusia busuk berkepala lonjong!" geram Peri Gelang Rantai. "Apakah di saat kau
membunuh adik seperguruanku kau memiliki rasa penyesalan dan belas kasihan"!"
Iblis Lembah Ular tak menjawab. Sekuat tenaga
dia menahan rasa nyeri di pipi kanannya yang tertekan kuat. Butiran pasir sudah
banyak yang masuk ke pipinya itu melalui pori-porinya. Dia mencoba untuk tidak
keluarkan suara.
Mendapati sikap keras kepala Iblis Lembah
Ular, kegeraman Peri Gelang Rantai semakin menjadi-
jadi Dengan rahang dikertakkan ditekannya lebih kuat kaki kanannya, hingga
terdengar jeritan kesakitan lelaki berkepala lonjong yang terbujur di tanah.
"Katakan!!" sengat si nenek keras.
"Aku...."
"Setaaannn! Katakan!!"
"Aku... aku... memiliki...."
"Anjing geladak! Mengapa kau sampai membu-
nuhnya, hah"! Mengapa"!"
Kali ini Iblis Lembah Ular yang telah putus nya-
linya tak menjawab. Tangan kanannya menepak-nepak
tanah hingga debu mengepul tanda dia meminta am-
pun dan berharap agar Peri Gelang Rantai melepaskan
dirinya dari injakan.
Tetapi si nenek yang tengah geram justru'
memperkuat injakannya. Kali ini dari hidung lelaki
berpakaian gombrang warna hitam bergaris merah su-
dah keluarkan darah. Saat dia kembali menjerit, darah pun ke luar dari mulutnya.
Raja Dewa berkata, "Peri Gelang Rantai... uru-
san ini boleh dikatakan menjadi urusanmu. Bolehkan
aku turut memberi sumbang saran?"
"Tidak!" suara Peri Gelang Rantai menggembor.
"Lebih baik kau tutup mulut, dan lihat apa yang hendak kulakukan!!"
Lalu dengan suara bertambah dingin, si nenek
yang di sepanjang kedua lengannya terdapat gelang-
gelang hitam ini berkata pada Iblis Lembah Ular, "Katakan kepadaku... di mana
Nenek Cabul berada"!"
Karena berharap Peri Gelang Rantai akan
membebaskannya setelah pertanyaannya dijawab,
dengan suara bertambah parau, Iblis Lembah Ular
berkata, "Dia... dia menuju ke.... Bukit Watu Hatur...."
Peri Gelang Rantai sesaat terdiam sebelum me-
lanjutkan, "Mengapa kau tak bersama-sama dengannya?" "Aku...."
"Jangan hanya menjadi kerbau bunting! Ja-
wab!!" "Dia... dia... memutuskan hubungan denganku...." "Memang begitulah
seharusnya! Manusia laknat seperti kau tak pantas dijadikan sahabat atau pun
rekanan! Huh! Seharusnya kau kubunuh karena tindakan busukmu pada adik
seperguruanku! Tetapi, aku
masih bermurah hati padamu!!"
Habis berkata begitu, Peri Gelang Rantai mele-
paskan injakannya dari kepala Iblis Lembah Ular. Na-
mun dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, dialih-
kan injakan kaki kanannya pada sambungan kaki kiri
Iblis Lembah Ular. Lalu diinjaknya kuat-kuat kaki lelaki berkepala lonjong itu!
Kraaakkk! "Aaaaakhhhhh!!" jeritan keras dengan tubuh melengak terdengar dari mulut Iblis
Lembah Ular. Tubuhnya bergulingan sejenak dengan mata terpejam ra-
pat. Peri Gelang Rantai yang masih geram hanya
memandang dingin pada sosok Iblis Lembah Ular yang
akhirnya pingsan untuk kedua kalinya.
"Seharusnya kau kubunuh karena tindakan
busukmu itu! Tetapi kuharap, tanda mata yang kube-
rikan ini mampu mengubah pendirian dan sikapmu!!"
Sementara itu. Raja Dewa cuma mendesah
pendek. "Aku tak menyalahi perbuatan Peri Gelang Rantai. Sikapnya yang terkadang
berangasan itulah yang
membuatnya bisa bertindak sedikit kejam. Tetapi aku
salut karena ternyata dia masih mampu tindih ama-
rahnya!" Habis membatin begitu, si kakek yang kedua
tangannya tetap berada di belakang pinggul berkata,
"Apakah dengan perbuatan yang kau lakukan itu, seluruh amarahmu sudah tuntas?"
Peri Gelang Rantai palingkan kepala dan bersu-
ara keras, "Aku tidak tahu!!"
"Sekarang, apa yang hendak kau lakukan" me-
nungguinya kembali sampai dia siuman, lalu mem-
buatnya pingsan"!"
Peri Gelang Rantai menyipitkan sepasang ma-
tanya. "Urusan masih menunggu kita di Bukit Watu


Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hatur. Termasuk Nenek Cabul yang berada di sana."
Raja Dewa kembangkan senyumnya. Dia men-
gerti apa maksud dari kata-kata Peri Gelang Rantai.
Berarti si nenek sudah melupakan niatnya untuk
membunuh Iblis Lembah Ular.
Tak lama kemudian, nampaklah kedua orang
itu sudah berkelebat. Raja Dewa, tetap dengan kedua
tangan yang berada di belakang pinggul.
*** Bab 10 LIMA belas tarikan napas sepeninggal Raja Dewa dan Peri Gelang Rantai, satu
sosok tubuh berpakaian panjang jingga kemerahan tiba di sana. Sosok perempuan
tua berambut hitam panjang acak-acakan yang memi-
liki dagu lancip itu mengernyitkan kening tatkala melihat sosok Iblis Lembah
Ular yang pingsan.
Perlahan-lahan si nenek ini membungkuk un-
tuk memeriksa Iblis Lembah Ular.
Kejap kemudian terdengar desisannya, "Tak
mungkin orang ini pingsan begitu saja. Mendapati luka pada pipinya, sepertinya
telah ada yang menginjaknya kuat-kuat. Hmmm....sambungan pada dengkul kaki
sebelah kiri lelaki ini patah. Sungguh sebuah penderi-taan yang sangat
menyakitkan. Hmm... siapa yang bi-
kin orang ini celaka?"
Si nenek yang tak lain Siluman Kawah Api
adanya ini terdiam sejenak. Keningnya nampak diker-
nyitkan. Si nenek yang menginginkan untuk berjumpa
dengan Seruling Haus Darah untuk membuktikan satu
dugaannya, sebelumnya harus pontang-panting diha-
jar oleh Bwana, dan gagal menghajar Wulung Seta dan
Sri Kunting. Bukan buatan herannya Siluman Kawah
Api mendapati burung rajawali raksasa itu. Merasa tak sanggup untuk
menghadapinya, dia memutuskan berlalu dengan membawa rasa penasaran tentang
rencana Wulung Seta dan Sri Kunting (Untuk lebih jelasnya, silakan baca: "Trisula Mata
Empat"). Kembali si nenek berdagu panjang dan lancip
ini arahkan pandangan pada Iblis Lembah Ular. "Menilik cirinya... aku yakin
orang inilah yang berjuluk Iblis Lembah Ular. Aku tidak tahu siapa dia adanya,
tetapi tak ada salahnya bila kucoba untuk menyadarkannya."
Memutuskan demikian, Siluman Kawah Api se-
gera mengalirkan tenaga dalamnya. Pada paha kiri Ib-
lis Lembah Ular, dia menotoknya dua kali.
"Sebenarnya, aku tak akan menolong orang
yang tidak menjadi kambratku. Tetapi tak ada salah-
nya menolong orang segolongan," katanya kemudian.
"Mungkin, keadaanmu akan seperti sedia kala. Tetapi luka di pipi kananmu yang
kemasukan pasir, sudah
tentu akan meninggalkan bekas dalam. Dan kaki kiri-
mu yang patah, akan membuatmu menjadi orang pal-
ing malang sedunia."
Siluman Kawah Api terdiam beberapa saat se-
belum berkata lagi, "Aku tak bisa menunggunya terlalu lama. Waktu yang kupunyai
kini sangat sempit sekali
untuk segera menuju ke Bukit Watu Hatur. Aku tetap
berkeyakinan, kalau manusia berjuluk Seruling Haus
Darah itu adalah Raja Setan. Hmmm... sebaiknya ku-
teruskan saja langkah." Lalu diarahkan pandangannya pada Iblis Lembah Ular,
"Dalam waktu setengah pemi-numan teh kau akan siuman, lelaki berambut jarang!"
Setelah berkata begitu, si nenek berpakaian
jingga kemerahan ini bersiap untuk berkelebat. Tetapi hal itu urung dilakukan
tatkala mendengar satu suara
orang bersyair,
"Sikap welas asih selalu jadi panutan
Menjunjung tinggi kesetiakawanan akan Jadi
pegangan Bila jujur melakukan
Pahala sebagai imbalan
Bila jalan panjang telah ditempuh
Tujuan berarti tinggal sejengkal
Tetapi untuk apa hanya untuk buktikan dugaan
Bila ternyata jauh berkeinginan"
*** Seketika si nenek berdagu lancip ini memutar
tubuh. Pandangannya diarahkan pad: sebuah pohon
yang diyakininya suara tadi berasal dari sana. Berarti orang yang bersyair itu
berada di sana.
Pandangan Siluman Kawah Api seketika me-
nyipit dalam. "Keparat! Siapa orang ini" Syair yang di-ucapkannya barusan begitu
mengena pada diriku!"
"Bila hanya buktikan satu dugaan, lebih baik
kujawab keinginan!" terdengar lagi suara orang itu.
Nada suaranya begitu bijaksana sekali.
Siluman Kawah Api menggeser kaki kanannya
ke samping. Pandangannya lurus menatap pada ba-
tang pohon di mana diyakininya orang yang berkata-
kata itu ada di sana.
"Orang tak dikenal! Lebih baik tampakkan diri
ketimbang kau berkata-kata pengecut"!"
"Siluman Kawah Api... kau hanya datang untuk
membuktikan dugaan?"
"Itu urusanku!!" menggembor suara perempuan tua berdagu lancip ini. Kendati
demikian, entah mengapa perasaannya mendadak menjadi tidak enak.
"Bila hanya ingin membuktikan satu dugaan,
kukatakan kepadamu, kalau dugaanmu itu benar!"
"Gila! Bila kata-kata orang ini yang entah siapa dia adanya benar, berarti
Siluman Haus Darah adalah
Raja Setan?" kata Siluman Kawah Api dengan kening berkerut. "Tetapi aku tak bisa
mempercayainya begitu saja kendati hati kecilku mengatakan iya sebelum
membuktikan!"
Lalu dengan suara lantang, Siluman Kawah Api
berkata, "Aku tak tahu apa maksudmu berkata demikian! Tetapi, aku tak bisa
mempercayai apa yang kau
katakan sebelum kubuktikan kebenaran setiap uca-
pan!" "Pantang bagiku untuk berdusta!"
"Peduli setan dengan kata-katamu! Jangan ber-
lagak suci! Apakah kau tidak tetap bertindak seperti pengecut yang selalu
menutup wajah, hah"!"
"Bila kau ingin mengenalku, tetapkan niatmu
mendatangi Bukit Watu Hatur!"
"Ada urusan apa kau di sana"!" sambar Siluman Kawah Api cepat.
"Aku hanya bisa mengatakan demikian!" suara yang terdengar itu tetap bernada
bijaksana. Lalu terdengar sambungannya, "Tetapi, lebih baik kau urungkan niatmu
' untuk bergabung dengan Seruling Haus
Darah!" "Setan! Siapa orang itu" Tadi kata-katanya se-
perti menahan kepergianku ke Bukit Watu Hatur! Te-
tapi sekarang, dia seperti mendorongku untuk menda-
tangi tempat itu!" kata Siluman Kawah Api tak mengerti. Lalu sambil menindih
kejengkelannya dia berkata,
"Setiap ucapanmu seperti mengandung tujuan tertentu yang sulit dicernakan secara
langsung! Apa maksudmu
sekarang mengundangku ke Bukit Watu Hatur"!"
"Hanya sekadar pembuktian!"
"Apa maksudmu dengan pembuktian"!"
"Bukankah tadi kau tak mempercayai kata-
kataku yang mengatakan kalau orang yang kau cari itu memang tak lain Raja Setan
adanya" Nah! Mengapa
sekarang harus bimbang"!"
"Aku memang akan tetap ke sana! Juga... un-
tuk mengetahui siapa kau sebenarnya!"
"Bila maksudmu baik, semuanya akan berjalan
sempurna! Tetapi... kukhawatirkan bila kau datang ke sana hanya akan menambah
petaka yang diturunkan
oleh Seruling Haus Darah! Ini berarti, kau hanya...."
"Jangan mengajariku! Tampakkan wajah bu-
rukmu itu, Keparat!!" bentak Siluman Kawah Api seraya mendorong tangan kanannya.
Wusss! Seketika gelombang angin yang mengeluarkan
suara bergemuruh menderu, diiringi hawa panas yang
tinggi, ke arah batang pohon yang diyakini si nenek
kalau orang yang bersuara itu berada di sana.
Blaarrr!! Bukan hanya batang pohon itu saja yang lang-
sung pecah dengan dedaunan beterbangan. Ranggasan
semak belukar yang ada di depan pohon itu pun reng-
kah berantakan.
Siluman Kawah Api tersenyum puas.
"Kini kau sudah terkubur selama-lamanya, Ke-
parat!!" serunya keras. "Bermimpi panjanglah kau dengan sejuta ucapan busukmu
itu!" Merasa yakin kalau hantamannya tadi menge-
nai sasarannya, Siluman Kawah Api bermaksud me-
ninggalkan tempat itu.
Namun alangkah terkejutnya perempuan tua
ini tatkala terdengar suara dari belakangnya, "Mengapa
harus menghancurkan tumbuhan yang tidak bersalah"
Tumbuhan itu juga makhluk hidup, ciptaan Yang Kua-
sa!" Seketika Siluman Kawah Api membalikkan tu-
buhnya dengan pandangan sengit. Keningnya diker-
nyitkan kuat-kuat.
"Keparat! Bagaimana mungkin manusia itu bisa
menghindari hantamanku tanpa terlihat dia bergerak"
Apakah dia lebih dulu bergerak sebelum kulancarkan
Serangan" Atau... jangan-jangan... justru dia tidak berada di balik pohon itu"
Jahanam! Apakah aku ha-
rus...." "Siluman Kawah Api... bila kau mencoba melupakan segala keinginanmu
yang kuyakini bukan hanya
sekadar membuktikan tentang dugaanmu terhadap
Seruling Haus Darah... kemungkinan besar hidupku
akan tenang. Aku tahu kau memiliki welas asih yang
dalam pada orang segolonganmu, terutama orang-
orang yang kau anggap sebagai kambrat! Dan lebih
baik lagi bila sifat welas asihmu itu kau turunkan juga pada orang-orang
golongan putih. Terus terang, aku
tak tahu secara pasti bagaimana sifatmu yang sesung-
guhnya. Kembalilah ke jalan kebenaran!" .
"Setan keparat! Jangan mengajariku!!" bentak si nenek keras. "Akan kupandang
sekarang orang ini.
Menilik suaranya, dia bukanlah seorang perempuan!
Aku pernah diperlakukan seperti ini pula oleh Ratu
Dari Kegelapan."
Memutuskan demikian, Siluman Kawah Api
mencoba terus mengajak orang yang entah berada di
mana itu untuk bercakap-cakap dengan maksud me-
nentukan di mana orang itu berada. Sampai kemudian
dilihatnya ranggasan semak belukar berjarak tiga tombak dari tempatnya berdiri
bergerak. Sejenak pandangannya dialihkan ke ranggasan
semak yang bergerak-gerak itu. Di lain kejap, tanpa
banyak ucap, tangan kanannya sudah dikembangkan
dan dihentakkan ke arah semak belukar itu.
Wussss!! Menghampar gelombang angin panas yang tim-
bulkan suara menggidikkan, menghantam ranggasan
semak belukar yang bukan hanya pecah berpentalan
namun juga luruh menjadi serpihan.
Merasa saat melabrak pertama tadi gagal, Si-
luman Kawah Api pentangkan kedua matanya, mena-
tap seksama pada ranggasan semak belukar yang tadi
dihajarnya. "Gila!" hardikannya terdengar keras. Apa yang dilihatnya itu ternyata cukup
mengejutkannya. Yang
nampak dari basil hantamannya tadi, tanah yang me-
rengkah saja dan dua ekor kelinci yang telah hangus.
Perempuan tua ini memaki lagi dalam hati
sambil mengedarkan pandangannya yang bertambah
sengit, "Benar-benar kapiran! Siapa orang celaka itu"!
Kusadari kalau gerakannya melebihi kecepatan Ratu
Dari Kegelapan!"
Lalu dengan tubuh yang mulai dilingkupi ama-
rah dalam, si nenek ayunkan langkah ke depan. Kedua
tangan kurusnya mengepal keras. Rahangnya diker-
takkan berkali-kali. Sementara kedua mata dan telin-
ganya dibuka lebih lebar.
Karena tak mendapati sesuatu yang mencuri-
gakan, segera saja Siluman Kawah Api buka mulut,
"Jangan memancing kemarahanku dengan permainan
busuk yang kau tunjukkan! Ucapanmu terlalu lancang
dan berlaku laksana orang bijaksana! Lebih baik perlihatkan diri hingga kau
sadar betapa bodoh dirimu
dengan apa yang kau lakukan!! Tampakkan batang hi-
dungmu!" Jangankan mengharapkan orang itu muncul,
suaranya pun tak terdengar sama sekali. Lamat kema-
rahan semakin kuat merajai tubuh Siluman Kawah
Api. Pelipisnya bergerak-gerak dengan rambut yang
semakin acak-acakan.
Tak kuasa menahan amarahnya, kedua tangan
si nenek mengembang dan digerakkan ke sana kemari,
berulangkali. Kalau tadi hanya hawa panas yang me-
nebar dan menghanguskan ranggasan semak, kali ini
api bergulung-gulung dahsyat menyebar. Sementara
tanah yang terseret gelombang api yang dilakukannya, rengkah dan menaburkan
debu-debu di udara.
Tetapi sampai beberapa saat si nenek melaku-
kannya, tak seorang pun yang muncul. Yang nampak
hanyalah jilatan api yang membakar.
Dada rata Siluman Kawah Api naik turun. Ke-
marahannya semakin meledak-ledak mengerikan. Na-
mun entah mengapa, kejap itu pula dia menyadari ka-
lau orang yang tadi bersuara itu sudah tidak berada di sana! "Jahanam betul!
Siapa sebenarnya manusia itu" Dia mengatakan akan hadir di Bukit Watu Hatur!
Keparat! Akan kubunuh dia di sana! Dan sedikit ba-
nyaknya, orang itu nampaknya mengetahui tentang
Seruling Haus Darah! Kalau yang dikatakannya benar,
berarti aku bisa bergabung dengan Seruling Haus Da-
rah!" Lalu, entah karena merasa kesal atau karena tidak ingat lagi, Siluman
Kawah Api sudah berkelebat meninggalkan tempat itu. Meninggalkan sosok Iblis
Lembah Ular yang pingsan. Sementara... api yang ber-


Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kobar terus menjilat ke arah lelaki berkepala lonjong itu.
*** Bab 11 PEMUDA dari Gunung Rajawali itu menghentikan langkahnya di jalan setapak.
Pandangannya lurus
memandang ke arah Bukit Watu Hatur yang nampak
masih cukup jauh. Lalu diarahkan pandangannya pa-
da awan yang berarak dan langit yang mulai menjing-
ga. Senja nampaknya siap untuk turun dan matahari
kembali ke peraduan lelap malamnya.
"Urusan rasanya makin berkembang panjang.
Urusan Seruling Haus Darah belum tuntas. Begitu pu-
la dengan Nenek Cabul yang telah mendapatkan Trisu-
la Mata Empat milik Raja Dewa. Benar-benar kapiran!
Bahkan... aku belum bisa memahami apa maksud ka-
ta-kata Pendekar Bijaksana. Mengapa dia menantang
Seruling Haus Darah di Bukit Watu Hatur, lantas aku
yang disuruh bertarung dengannya" Yang masih mem-
buatku tak mengerti, dia mengatakan akulah yang bisa menandinginya. Sementara
kuketahui, berbekal Seruling Gading, Seruling Haus Darah sulit untuk dikalah-
kan. Ah, benar-benar memusingkan kepala!"
Sejenak Rajawali Emas memutus kata-katanya
sendiri. Diedarkan pandangannya ke sekelilingnya.
Yang nampak hanyalah jajaran pepohonan dan rang-
gasan semak belukar setinggi dada.
Tiba-tiba ingatannya tiba pada Bwana.
"Oh! Bwana! Ya, ya... sampai hari ini aku belum bertemu dengan burung rajawali
raksasa itu" Tak
mungkin dia begitu saja tak menjalankan perintahku
Pasti ada masalah yang sedang dihadapinya. Kutu bu-
suk! Bukankah waktu itu aku berniat memanggilnya"
Hmmm... sebaiknya kucari saja tempat yang agak luas
agar dia bisa mendarat. Mudah-mudahan, kali ini dia
akan muncul di hadapanku dan menjelaskan mengapa
dia tak menjalankan perintahku."
Memutuskan demikian, pemuda tampan yang
di lengan kanan dan kirinya terdapat rajahan burung
rajawali keemasan ini segera berkelebat. Hanya lima belas kali tarikan napas
saja dia sudah menemukan
tempat yang cukup lapang.
Diarahkan pandangannya ke langit luas.
Lalu perlahan-lahan ditepukkan kedua tangan-
nya sebanyak tiga kali Dan di sela-sela tepukannya itu, dihentakkan kedua
tangannya ke atas. Seketika sinar
warna merah muncrat dan pecah di angkasa.
Untuk sesaat pemuda ini pun menunggu den-
gan hati tak sabar. Ada rasa kekhawatiran di dalam
hatinya bila Bwana tak muncul. Dan membuatnya se-
makin penasaran untuk mengetahui apa yang terjadi.
*** Berjarak ratusan tombak dari tempat Rajawali
Emas berdiri, satu bayangan raksasa terbang cepat di angkasa. Suaranya keras
terdengar. "Kraaaggghhh!!"
Menyusul angin bergemuruh dahsyat dari ke-
pakan kedua sayapnya yang besar, bergulung-gulung
ke bawah. Di punggung burung rajawali raksasa berwarna
keemasan itu, nampak dua sosok tubuh. Di sebelah
depan seorang gadis jelita yang memegang leher Bwana erat-erat. Gadis itu
mengenakan pakaian berwarna bi-ru muda. Rambutnya yang panjang dan terdapat ikat
warna yang sama di keningnya, seolah membelai wajah
pemuda yang berpakaian abu-abu yang duduk di bela-
kangnya. Pemuda yang tak lain Wulung Seta adanya ber-
seru keras, "Kau sudah tidak takut lagi, Sri Kunting"!"
Sri Kunting yang duduk di hadapannya hanya men-
gangguk-anggukan kepala.
Seperti diketahui, tatkala Wulung Seta dan Sri
Kunting dihajar oleh Siluman Kawah Api, tiba-tiba saja Bwana datang dan
menerjang Siluman Kawah Api yang
akhirnya mundur karena tak sanggup menghadapinya.
Sudah tentu kehadiran burung rajawali raksasa itu
membuat sepasang remaja itu ngeri namun kagum pu-
la. Dan tatkala keduanya menyadari kalau burung ra-
jawali raksasa itu menyuruh mereka naik ke lehernya, dengan hati-hati keduanya
pun naik. Tatkala Bwana
terbang, Sri Kunting sempat berteriak dan tanpa sadar menggenggam tangan Wulung
Seta erat-erat (Baca
serial Rajawali Emas dalam episode: "Trisula Mata Empat"). Sekarang, gadis murid
mendiang Pendekar Pedang itu nampak tidak takut lagi. Tetapi dia tetap tak
berani membuka mulut Khawatir kalau dia menggerakkan mulutnya, keseimbangannya
akan punah. Pa-
dahal, itu tak akan pernah terjadi. Selain keseimbangan tubuh si gadis yang
telah terlatih, sudah tentu Bwana akan pula menjaganya.
"Kau tahu kita akan dibawa ke mana, Sri Kunt-
ing"!" seru Wulung Seta lagi
Sri Kunting menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku menduga, burung rajawali raksasa yang
entah milik siapa ini, akan membawa kita ke Bukit
Watu Hatur! Kemungkinan besar... heiiii! Apa yang terjadi"! Mengapa burung ini
mendadak saja berbalik
arah"!" Seruan kaget Wulung Seta rupanya melanda di-
ri Sri , Kunting pula. Gadis yang di punggungnya terdapat sepasang pedang
bersilangan menjerit keras
tatkala tubuh Bwana berputar dan membalik arah.
Untuk pertama kalinya terdengar suaranya, te-
tapi hanya jeritan, "Kakaaaanggg!!"
Terburu-buru Wulung Seta mendekap gadis itu
erat-erat. "Tenang, Sri Kunting! Jangan khawatir! Aku
yakin burung ini tak akan mencelakakan kita! Mung-
kin, dia teringat sesuatu atau melihat sesuatu! Sebaiknya... kita ikuti saja"!"
"Tetapi... akan dibawa ke mana kita, Kakang"!*
Wulung Seta hanya terdiam. Karena, dia pun
tak tahu akan dibawa ke mana oleh burung rajawali
raksasa ini....
SELESAI Segera menyusul:
MISTERI PEDANG PUSAKA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Holmes Sugiro
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Matahari Esok Pagi 20 Dewi Ular 66 Misteri Anak Selir Pedang Naga Hitam 9
^