Pencarian

Pengusung Jenazah 1

Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit di bawah lin-
dungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Bab I
Perempuan berbaju hijau lumut yang tipis me-
lengak mendapati kata-kata orang. Wajahnya yang
berbentuk bulat telur terlihat menekuk. Sarat dengan pikiran yang membuatnya tak
tenang. Sosok perempuan yang bukan lain adalah Dewi
Karang Samudera itu bergidik mendengar jawaban la-
wan. Matanya menatap tak berkedip pada lelaki tua
berpunuk yang juga sedang memandangnya. Dari si-
nar mata yang tajam dan dingin itu, Dewi Karang Sa-
mudera merasakan hawa kematian telah ditebarkan.
Sementara itu perempuan bercadar dan berba-
ju sutera yang terbuka lebar di bagian dada dan bagian bawah hingga pangkal
pahanya dan berdiri pada jarak
delapan tombak dari perempuan berbaju hijau tipis
itu, diam-diam menarik napas pendek. Dirasakan ka-
lau bulu kuduknya meremang mendengar julukan le-
laki tua berpunuk yang berdiri di sisi sebuah jenazah yang menebarkan bau busuk
menyengat. Membuat
suasana dan udara di tempat itu mendadak menjadi
bau yang tidak enak.
"Si Pengusung Jenazah...," desisnya dengan ha-ti yang tiba-tiba bergetar.
Hatinya untuk sesaat dirasa cukup ciut. Wajah di balik cadarnya mendadak kaku.
Sarat dengan kebimbangan. "Hmmm.... Rasa-rasanya
aku belum pernah mendengar julukan mengerikan itu.
Dan bau busuk yang menguar dari jenazah seorang
nenek di depan lelaki berpunuk itu, begitu menyengat
sekali. Keparat! Kitab Pemanggil Mayat telah berhasil direbutnya dari Dewi
Karang Samudera!"
Dua tombak di sebelah kiri perempuan berca-
dar yang bukan lain adalah Dewi Kematian, berdiri
seorang kakek yang juga sedang menatap lekat pada
lelaki berpunuk yang berdiri empat tombak dari hada-
pannya. Si kakek yang sedang memandang tak berkedip
bertubuh kurus mencangkung tanpa baju, menonjol-
kan tulang-tulang di sekitar dada dan perut. Celana
pangsi hitam kusam menutupi tubuh bagian bawah.
Rambut panjang tergerai di punggung. Yang mengeri-
kan dari wujud anehnya itu, wajahnya berwarna ku-
ning, lain dari warna kulit hitamnya di sekujur tubuh
"Pengusung Jenazah" Rasanya, baru kali ini
aku mendengar ada orang berjuluk mengerikan itu.
Mengusung jenazah busuk yang tak rusak sedikit pun
bagian-bagian tubuhnya. Siapa sebenarnya orang itu?"
si kakek muka kuning bergumam sambil mengibaskan
rambutnya ke belakang. "Gerakan yang diperhatikannya saat mencuri Kitab
Pemanggil Mayat dari balik pa-
kaian Dewi Karang Samudera, sudah menandakan ka-
lau lelaki tua berpunuk itu bukan orang sembarangan.
Persetan siapa pun dia Kitab itu harus bisa ku rebut!"
Sedangkan sepasang mata di balik semak belu-
kar, memperhatikan suasana yang perlahan-lahan be-
rubah mencekam. Masing-masing terdiam dalam
kebisuan. Kendati begitu, masing-masing orang
nampaknya bersiaga penuh menghadapi segala ke-
mungkinan. "Aku yakin, sesuatu akan terjadi sekarang.
Baiknya, kulihat saja dulu kehebatan si Pengusung
Jenazah bila memang akan terjadi pertarungan dah-
syat," desis si pemilik mata di balik semak belukar.
Seperti diceritakan pada episode sebelumnya,
Dewi Karang Samudera, Manusia Mayat Muka Kuning,
dan Dewi Kematian. Karena Manusia Mayat Muka
Kuning dan Dewi Kematian menginginkan Kitab Pe-
manggil Mayat yang ada pada Dewi Karang Samudera,
maka pertarungan pun tak bisa dihindarkan lagi.
Di saat yang kritis bagi Dewi Kematian dan Ma-
nusia Mayat Muka Kuning, karena Dewi Karang Sa-
mudera telah mempergunakan ilmu 'Pengendali Mata',
mendadak saja tercium bau busuk yang sangat me-
nyengat. Kejap lain, satu sosok tubuh berkelebat cepat Saat itulah Dewi Karang
Samudera menyadari kalau
kelebatan orang tadi telah mencuri Kitab Pemanggil
Mayat dari balik pakaiannya.
Sedangkan sepasang mata yang memperhati-
kan dari balik semak belukar tak lain adalah Tirta
alias si Rajawali Emas. Setelah berjumpa dengan si
Manusia Agung Setengah Dewa dan diberikan petun-
juk tentang kelemahan ilmu 'Pengendali Mata' dan ca-
ra menghentikan sepak terjang telengas Iblis Kubur, si Rajawali Emas memutuskan
untuk segera menuju
Gunung Siguntang. Namun di tengah perjalanannya,
dia melihat lelaki berpunuk yang sedang mengusung
jenazah yang mengeluarkan bau tak ubahnya bangkai.
Masih didengarnya keluhan sekaligus keingi-
nan lelaki berpunuk itu, si Rajawali Emas mengurung-
kan maksudnya menuju ke Gunung Siguntang. Diiku-
tinya ke mana perginya si Pengusung Jenazah yang
dulunya saat bersama kekasihnya yang kini telah men-
jadi mayat dijuluki Sepasang Pemburu dari Neraka.
Lelaki berpunuk bertampang tak ubahnya se-
tan belaka itu, bersuara angker, dingin dan mengeri-
kan. "Jangan mengganggu keinginanku bila masih
menyayangi nyawa! Aku tahu siapa kau adanya, pe-
rempuan baju hijau! Juga kau perempuan bercadar
sutera cabul yang sengaja menampakkan buah dada
dan paha gempal yang kau miliki! Termasuk kau lelaki
tua muka kuning! Silakan angkat kaki dari sini bila
masih ingin mencari selamat!"
Mengkelap wajah Dewi Karang Samudera men-
dapati kata-kata orang. Kendati demikian, untuk saat
ini dia tak mau menuruti kata hatinya untuk segera
merebut Kitab Pemanggil Mayat dari tangan lelaki tua
berpunuk. "Aku tak boleh bertindak gegabah. Cara lelaki tua berpunuk itu saat
mencuri Kitab Pemanggil
Mayat dari balik pakaianku tadi, sungguh luar biasa.
Dari tatapan dan getaran suaranya, terasa sangat me-
nikam jantung. Tetapi biar bagaimanapun juga, aku
harus mendapatkan kembali Kitab Pemanggil Mayat
warisan Guru!"
Lalu dengan mata dipentangkan dan wajah se-
makin mengkelap, si perempuan bersuara dingin.
"Jangan menjadi badut yang cuma bisa menjual sesumbar di sini! Justru kau yang
harus berpikir!
Sayang nyawa, atau segera mengembalikan kitab milik
ku itu!" Mendapati si perempuan berbaju hijau tipis yang berambut seperti
dihiasi pernik perak itu berani membuka suara, si Pengusung Jenazah maju satu
langkah dengan tatapan masih tak berkedip angker.
Saat mengangkat kakinya nampak sangat ringan se-
kali. Tetapi begitu kakinya dijejakkan di tanah, tempat itu seketika terasa
bergetar. Dedaunan saat itu juga
berguguran dan beterbangan dihembus angin.
"Peringatan selalu kulakukan hanya sekali! Kau
sudah besar nyali untuk menghadapi ku!" Dewi Karang Samudera menggeram.
Perlu kau ketahui! Peringatan pun selalu kula-
kukan hanya sekali! Kembalikan Kitab Pemanggil
Mayat sebelum ku pecah letuskan punuk di punggung
mu itu!" Mengkelap sepasang mata angker itu.
"Seperti kukatakan tadi, peringatan hanya ku-
lakukan sekali! Bersiaplah untuk ku cabut nyawamu!"
Sebelum Dewi Karang Samudera membuka mu-
lut, membalas ancaman orang, tiba-tiba terdengar satu seruan serak dan tajam,
"Siapa pun kau adanya, jangan menjual lagak di sini! Kau tengah berhadapan
dengan Dewi Kematian!"
Lelaki berpunuk menoleh ke arah suara yang
berasal dari si perempuan bercadar. Matanya lebih
memancarkan sinar dingin penuh hawa kematian.
"Kau telah lancang pula bicara! Kurobek mulut-
mu!" Wusss! ,,.
Entah apa yang dilakukan oleh lelaki berpunuk
berjuluk si Pengusung Jenazah itu, mendadak men
menghampar angin sedahsyat topan ke arah Dewi Ke-
matian. Perempuan bercadar sutera ini terkesiap seje-
nak. Sambil membentak keras ditepukkannya kedua
tangannya ke depan.
Tar! Saat tepukan dilakukan, mendadak serangkum
angin dahsyat menderu pula. Menghantam serangan
aneh yang dilancarkan si Pengusung Jenazah. Dua te-
naga dalam yang dilepaskan dengan cara masing-
masing itu berbentrokan di udara. Menimbulkan suara
ledakan keras. Menyusul tempat itu bagai bergoyang
dan tanah muncrat setinggi satu tombak.
Kendati bisa menahan serangan aneh si lelaki
berpunuk, namun Dewi Kematian merasa dadanya ba-
gai dihantam sebuah godam raksasa. Tanpa sadar jeri-
tannya terdengar.
Menyusul tubuhnya yang sekal dengan payuda-
ra montok yang menyembul keluar terlempar ke bela-
kang dua tombak. Seketika tubuhnya limbung. Di
usahakannya untuk tidak sampai terjatuh. Hanya satu
tarikan napas saja bisa dilakukannya. Kejap lain, tu-
buh Dewi Kematian ambruk jatuh terduduk.
Di seberang, lelaki berpunuk sedang mengusap
darah yang mengalir dari mulutnya.
Manusia Mayat Muka Kuning tersentak. Den-
gan penuh kemarahan, kecemasan, sekaligus kehera-
nan, lelaki tua berambut kusam jelek yang menebar-
kan bau busuk itu memburu kekasihnya.
Dewi...Kau tidak apa-apa"
"Monyet tua muka kuning!" bentak Dewi Kema-
tian dengan dada naik turun lebih cepat." Apakah kau sudah terlalu bodoh untuk
melontarkan pertanyaan
itu"! Minggir! Manusia setan berpunuk itu harus
membayar perbuatannya!"
Usai membentak dan mengalirkan tenaga da-
lamnya, Dewi Kematian tegak berdiri. Matanya mena-
tap angker ke arah si Pengusung Jenazah yang juga
tak kalah angkernya saat membalas tatapan itu.
Detik itu pula Dewi Kematian yang tak me-
nyangka kalau dia dibikin ambruk dengan sekali ge-
brak, segera menerjang. Melipat gandakan tenaga da-
lamnya dan menggebah dengan teriakan keras.
"Terimalah ajalmu!"
Bersamaan dengan gebrakan Dewi Kematian, si
Pengusung Jenazah hanya mendelik saja. Tiba-tiba sa-
ja digerakkan kedua tangannya di atas kepala. Dan ti-
ba-tiba tangan kirinya yang memegang kitab usang se-
perti mengalirkan darah diletakkan sejajar dengan.
punggung. Tangan kanannya diputar ke bawah dan
bagai disentakkan, dijulang ke atas.
Wusss! Sesaat suasana berubah hitam. Menyusul ter-
dengar deru keras dikawal hamparan angin dahsyat
berhawa panas. Gebrakan gelombang angin yang mendahului
lesatan tubuh Dewi Kematian, tertahan di udara. Dan
bentrokan itu seolah menguapkan suasana yang beru-
bah hitam tadi. Muncrat ke atas beberapa sinar terang.
Menyusul tertahannya gelombang angin yang di
lepaskan Dewi Kematian, kedua tangan kanan dan kiri
perempuan' bercadar itu meluruk terus. Siap mengha-
jar kepala dan punggung lelaki berpunuk itu
Lelaki berpunuk cuma mengeluarkan suara ge-
rengan pelari, namun sarat dengan ancaman, Saat ke-
dua tangan Dewi Kematian siap menghajar telak sasa-
rannya, dia mundur tiga tindak. Saat kaki kanannya
hinggap pada tindakan langkah ketiga, tanpa me-
nunggu kaki kirinya berpijak pula, tubuh si Pengusung Jenazah sudah mencelat ke
muka. Wuuttt! Brakk! Braakk! Dua benturan keras terjadi. Menimbulkan letu-
pan keras berkali*kali. Menyusun tanah, semak belu-
kar, dan beberapa pohon berhamburan hingga menim-
bulkan suara mengerikan dan menghalangi pandan-
gan. Tiga pasang mata terkesiap melihat bentrokan
itu. Sepasang mata sedingin mayat lebih terkesiap lagi saat melihat tubuh si
perempuan bercadar sutera
mencelat ke belakang dengan derasnya.
"Setan keparat manusia berpunuk itu!" maki si pemilik mata sedingin mayat yang
bukan lain adalah
Manusia Mayat Muka Kuning. Dengan gerakan yang
sangat cepat dia melesat dan menangkap tubuh Dewi
Kematian yang terlempar.
Bila saja tidak segera ditahan, maka tanpa am-
pun lagi tubuh gempal, montok, menggiurkan itu akan
menghantam lima buah pohon sekaligus ke belakang-
nya. "Apakah saat ini kau hendak mengatakan pertanyaan ku bodoh, Dewi"!" seru
Manusia Mayat Muka Kuning cukup keras. "Kau tidak apa-apa?"
Dewi Kematian hanya mengeluarkan keluhan
tertahan. Darah mengalir dari hidung dan mulutnya,
membasahi cadar sutera yang menutupi wajahnya.
Dada busungnya turun naik lebih cepat, lebih menggi-
urkan sebenarnya, karena nafasnya dirasakan cukup
sesak. Tetapi saat ini, Manusia Mayat Muka Kuning
yang tak pernah puas menggeluti tubuh montok Dewi
Kematian, hanya memandang sebelah mata pada
payudara yang menggiurkan itu.
Setelah menyandarkan tubuh kekasihnya pada
sebatang pohon, si kakek muka kuning berbalik den-
gan wajah menekuk angker. Wajahnya yang seluruh-
nya berwarna kuning, tampak bersinar lebih terang
namun pucat. Menandakan kemarahannya sudah san-
gat tinggi.

Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika terdengar seruan dinginnya pada lela-
ki tua berpunuk yang sedang menjilat darah yang
mengalir dari mulutnya sendiri sembari menyungging-
kan senyum aneh di bibirnya yang keriput.
"Kedangkalan otak telah mengacaukan dirimu,
Pengusung Jenazah! Kelancangan mu harus kau teri-
ma dengan kematian!"
Tanpa buang waktu lagi, Manusia Mayat Muka
Kuning menarik napas. Sejurus kemudian dihem-
buskannya bersamaan dengan kedua tangan terbuka
didorong ke depan.
Wrrr! Wusss! Didahului angin panas menyengat, asap kuning
pekat menggebah ke arah si Pengusung Jenazah yang
hanya memperhatikan dengan senyum masih berteng-
ger di bibir. Ketika angin dahsyat tadi hampir menghajar
wajahnya, dengan gerakan aneh dan sangat cepat,
tangan kanan dan kirinya bergerak dua kali. Menahan
angin dahsyat itu sekaligus membuyarkan asap kun-
ing tebal yang bisa membikin rontok urat nadi.
Terbeliak kedua mata Manusia Mayat Muka
Kuning mendapati serangannya dilumpuhkan dengan
mudah. Belum lagi dia tersadar dengan apa yang terja-
di, mendadak saja dia membuang tubuh ke kanan se-
telah sebelumnya mendorong tubuh Dewi Kematian ke
kiri. Wusss!' Brakkk! Hamparan angin dingin yang dilepaskan oleh si
Pengusung Jenazah luput dari sasarannya. Dan justru
menghantam tiga buah pohon yang-berada di belakang
lelaki tua muka kuning dan si perempuan bercadar su-
tera. "Sekali lagi kuperingatkan pada kalian, segera tinggalkan tempat ini bila
masih sayang nyawa!" seru si Pengusung Jenazah angker. Matanya melirik jenazah
yang ada di dekatnya. Terbujur kaku mengelua-
rkan bau sebusuk bangkai. Tetapi yang mengheran-
kan, tubuh itu tidak hancur sedikit pun!
Bukannya si kakek muka kuning yang menya-
hut, dengar seruan keras dari samping kiri. "Yang hendak kau katakan nyawa
siapa" Apakah nyawamu
yang hendak kau lepaskan sekarang" Bagus! Berarti
kau tahu gelagat, Orang tua berpunuk! Serahkan
kembali Kitab Pemanggil Mayat kepada-ku! Dan bawa
jenazah celaka bau busuk itu dari sini bersama nya-
wamu yang kuampuni!" ,
Seketika si lelaki berpunuk merandek. Perla-
han-lahan dia berbalik ke arah kiri. Sepasang matanya menyipit bersinar angker.
Tangan kanannya menyibakkan rambut yang terurai ke depan menghalangi
pandangan. Seketika terdengar seruan, "Perempuan berbaju
hijau! Jangan lancang bicara bila masih ingin menghi-
rup udara segar!"
"Ancaman itu bukan omong kosong. Bisa ku li-
hat bagaimana dia mempecundangi Manusia Mayat
Muka Kuning dan Dewi Kematian dengan mudahnya.
Tetapi biar bagaimanapun hebatnya manusia celaka
itu, aku masih memiliki ilmu 'Pengendali Mata'. Bila
aku mempunyai kesempatan untuk mempergunakan-
nya, tak mustahil justru aku yang berada di atas angin dalam pertarungan ini,"
kata Dewi Karang Samudera dalam hati. Lalu serunya dengan kedua tangan dilipat
di dada, seolah menutupi payudaranya yang montok
yang menerawang dari balik pakaian hijaunya yang ti-
pis, "Yang kau hadapi adalah hanya dua manusia dun-gu itu, yang sudah tentu akan
dengan mudahnya kau
taklukkan! Mengapa sekarang kau tidak buktikan
ucapan kosong mu itu kepadaku, hah"!"
Di balik semak belukar, diam-diam si pemuda
dari Gunung Rajawali membatin, "Luar biasa. Hebat sekali lelaki berpunuk yang
mengaku berjuluk si Pen-
gusung Jenazah. Kemunculannya untuk mendapatkan
Kitab Pemanggil Mayat dikarenakan menginginkan ke-
kasihnya yang telah mampus itu dihidupkan kembali,
nampaknya akan menjadi kenyataan. Ini sangat ber-
bahaya sekali. Bila jenazah kekasihnya itu berhasil dihidupkan kembali, tak
mustahil gelombang kejahatan di rimba persilatan ini semakin tinggi. Apalagi,
dia memiliki dendam pada Eyang Guru, Eyang Sepuh Ma-
hisa Agni. Tak mustahil hanya Eyang Guru saja yang
bisa menghentikan sepak terjang manusia celaka itu.
Terbukti, kekasihnya yang telah menjadi mayat itu,
tewas di tangan Eyang Guru. Ah, padahal saat ini aku
harus ke Gunung Siguntang sesuai dengan pesan
Eyang Sampurno Pamungkas. Karena kemungkinan
besar Iblis Kubur sudah menuju atau berada di sana.
Hmmm.... Sebaiknya kuperhatikan saja dulu apa yang
terjadi. Bila kudapatkan kesempatan, barulah aku be-
rusaha mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat."
Wajah lelaki tua berpunuk itu bagai ditarik ke
dalam. Sepasang matanya lebih angker bersinar saat
menatap si perempuan berambut dihiasi pernik perak.
Diam-diam dia membatin, "Aku tak menyukai
segala urusan semacam ini. Karena yang ku hendaki
sekarang adalah kembali menghidupkan kekasih ku.
Bila urusan menghidupkan kekasih ku telah selesai,
barulah segala urusan bisa ku kerjakan. Terutama
mencari jejak Eyang Mahisa Agni atau si Malaikat De-
wa." Memikirkan begitu, tanpa menghiraukan an-
caman orang, lelaki tua berpunuk itu berbalik dan
menatap jenazah yang terbujur di hadapannya. Tak te-
rasa wajahnya mendadak agak memerah. Dari sepa-
sang mata angkernya yang mendadak menjadi redup,
seperti mengalirkan air mata. Lalu diusapnya dengan
punggung tangan kanan sambil menyunggingkan se-
nyuman. "Kekasih ku.... Sebentar lagi keinginan kita un-
tuk bersama-sama kembali nampak akan segera ter-
kabul. Dan dendam hatimu yang telah berkarat akan
kita selesaikan. Mahisa Agni atau si Malaikat Dewa
akan kembali berhadapan dengan Sepasang Pemburu
dari Neraka...."
"Setan berpunuk mencari mampus! Terimalah
kematianmu!" bentakan setinggi langit yang memecah kesunyian hutan itu,
terdengar begitu dahsyat. Rupanya Dewi Karang Samudera sudah mengkelap den-
gan penuh getaran hebat yang melingkupi tubuhnya
karena merasa diacuhkan dan dianggap ringan oleh si
Pengusung Jenazah.
Kedua tangannya memancarkan sinar biru te-
rang yang menggidikkan. Rupanya perempuan berbaju
hijau tipis menerawang itu telah mempergunakan ju-
rus 'Undang Maut Sedot Darah' yang dicurinya dari
Raja Lihai Langit Bumi....
* * * Bab 2 Menghampar angin sedahsyat letusan gunung
yang menimbulkan hawa panas. Sesaat tempat itu ba-
gai diterangi cahaya biru. Dan gumpalan cahaya biru
itu bagai terpecah, dikarenakan satu sentakan tenaga
milik si perempuan berbaju hijau tipis, mengarah pada si Pengusung Jenazah yang
mulutnya nampak berkomat-kamit.
Dari komat-kamit mulut peotnya, si lelaki tua
berpunuk tiba-tiba menjerengkan mata. Dan tatkala
angin dahsyat bercampur cahaya biru sudah hampir
menghajar tubuhnya, tiba-tiba saja dia mencelat ke belakang diiringi satu
kibasan cepat tangan kanan yang
dilakukan dengan cara aneh.
Kibasan tangan kanannya menyusur dari ba-
wah, merengkah tanah dan menerbangkan debu-debu.
Lalu bagai diangkat oleh satu sentakan tenaga dah-
syat, angin yang menyusur tanah naik. Menggebu,
menerjang dan berubah menjadi hawa sedingin gu-
nung es! Dewi Karang Samudera memekik tertahan
mendapati satu rangkaian serangan yang sungguh tak
disangkanya. Jurus 'Undang Maut Sedot Darah' mem-
buyar begitu saja. Luruh dengan menyisakan percikan
biru yang tipis namun sudah tak membawa arti apa-
apa. Sementara si perempuan berbaju hijau tipis me-
nerawang itu membuang tubuh ke samping dan berdiri
tegak dengan mata disipitkan tajam.
"Aneh! Jurus 'Undang Maut Sedot Darah' seper-
ti tak mampu menghadapi serangan bertenaga dingin.
Hrh.... Aku tahu sekarang. Jurus lelaki berbaju putih yang telah menyakiti hati
ku itu, rupanya tak mampu
menghadapi hawa sedingin lautan es!" kata Dewi Karang Samudera dalam hati
tersentak. Dan lebih tersentak lagi dengan memekik terta-
han, tatkala lelaki tua berpunuk itu sudah membentak
dengan mata dijerengkan. Tajam mengerikan,
"Jurus 'Undang Maut Sedot Darah'! Mengin-
gatkan ku pada manusia celaka tiga puluh tahun silam
yang menyimpan gumpalan dendam dan membuat ce-
laka kekasihku! Perempuan tua berwajah muda, kata-
kan dan jangan berdusta kepadaku, apa hubunganmu
dengan si Malaikat Dewa?"
Perempuan berbaju hijau tipis dengan rambut
dihiasi pernik perak itu, membuka mata lebih lebar
mendengar bentakan orang. Sesaat dia terdiam namun
hatinya berkata-kata, "Lelaki tua berpunuk ini tahu jurus 'Undang Maut Sedot
Darah'. Jurus milik Raja Lihai Langit Bumi. Dan yang disebutnya tadi si Malaikat
Dewa sudah tentu Eyang Sepuh Mahisa Agni, manusia
yang tak tahu di mana rimbanya yang menjadi guru
Raja Lihai Langit Bumi. Sudah jelas jurus itu diturunkan si Malaikat Dewa pada
Raja Lihai Langit Bumi. Be-
rarti...." Kata-kata hati si perempuan berbaju tipis terputus begitu terdengar
kembali bentakan menggelegar
seperti guntur menyalak, "Jawab pertanyaan!"
Dewi Karang Samudera dibuat terpaku oleh
bentakan keras itu. Sementara di balik semak belukar, pemuda berajah burung
rajawali keemasan di lengan
kanan kirinya, menahan nafas sesaat dengan kening
dikernyitkan. "Aneh! Setahuku, jurus. yang baru saja dile-
paskan oleh Dewi Karang Samudera pernah dilepaskan
pula oleh Ratu Tengkorak Hitam yang telah tewas dan
membuatku sekarat. Entah siapa yang menolongku
dari penderitaan jurus maut itu. Kalau begitu, ada kemungkinan perempuan berbaju
hijau tipis itu ada hu-
bungannya dengan Ratu Tengkorak Hitam. Tetapi,
mengapa si Pengusung Jenazah mengatakan tentang
hubungan perempuan jelita itu dengan Eyang Guru
Sepuh Mahisa Agni" Hmm.... Aku ingat kata-kata
Eyang Guru Sepuh Mahisa Agni" Hmm.... Aku ingat
kata-kata Eyang Sampurno Pamungkas yang menga-
takan perempuan celaka itu memiliki ilmu 'Pengendali
Mata'. Apakah dia akan segera menggunakan ilmu
anehnya itu" Aku juga penasaran ingin mengetahui
kehebatan ilmu 'Pengendali Mata'."
Di depan sana, karena tak mendapati jawaban
dari pertanyaan yang dilontarkannya, si Pengusung
Jenazah sudah menggebrak ke arah Dewi Karang Sa-
mudera dengan jurus anehnya yang mengundang ha-
wa sedingin gunung es. Perempuan berbaju hijau lu-
mut itu tersentak dengan kedua mata terbeliak tatkala dirasakan hamparan angin
berbentuk gelombang
menggebah ke arahnya.
Cepat si perempuan berbalik ke belakang dan
melompat ke muka. Bukan untuk melakukan serangan
balasan. Lompatan yang dilakukan itu semata untuk
menghindari serangan lawan.
Tetapi nampaknya, si Pengusung Jenazah bisa
menebak ke mana arah menghindarnya Dewi Karang
Samudera. Kegeramannya makin berlipat ganda dika-
renakan si perempuan berbaju hijau lumut itu belum
juga membuka mulut menjelaskan keingintahuannya.
Satu gerakan aneh diperlihatkan kembali lelaki tua
berpunuk itu. Lebih mengerikan dan sangat cepat.
Tubuhnya mendadak saja ambruk dengan posi-
si telentang. Namun secepat angin tubuhnya menyu-
sur ke arah Dewi Karang Samudera. Menerbangkan
tanah dan mengguncangkan tempat. Dewi Kematian
dan Manusia Mayat Muka Kuning yang sejak tadi
hanya memperhatikan dengan penuh ketegangan, tak
tahan untuk tidak berteriak.
"Gila! Ilmu apa itu?" Manusia Mayat Muka Kuning melongo penuh kekaguman namun
juga kebencian.
"Dan dua gebrak lagi, perempuan berbaju hijau
tipis menerawang itu pasti akan mampus! Bagus, kita
tak perlu menurunkan tangan!" seru si perempuan
bercadar dengan wajah tegang namun penuh dengan
kepuasan. Wrrr! Serangkum angin dingin mengarah pada wajah
Dewi Karang Samudera. Akan tetapi, perempuan ini
masih bisa menghindari dengan jalan melompat ke
samping. Tetapi tubuh si Pengusung Jenazah yang
menyusur tanah tanpa ada hambatan dari punggung-
nya yang berpunuk, menggebah kembali.
Lebih aneh dan dahsyat. Dalam dua gebrakan,
berikutnya, serangan anehnya yang mengandung ke-
kuatan dingin itu, menghantam kedua kaki Dewi Ka-
rang Samudera. Des! Des!
Mendadak saja kedua kaki perempuan berbaju
hijau tipis ini tak bisa digerakkan. Kaku bagai terendam di sungai es selama
tujuh hari tujuh malam. Aki-
batnya, perempuan ini ambruk dengan pekikan keras.
Tanah di mana tubuhnya ambruk langsung mencetak
tubuhnya! Kendati demikian, Dewi Karang Samudera tak
mau mampus begitu saja. Kedua kakinya memang tak


Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa digerakkan. Namun dia masih bisa memperguna-
kan kedua tangannya yang dijadikan tumpuan untuk
membalikkan tubuh.
Seketika tubuhnya berbalik dan mata bagian
kiri-nya memancarkan sinar hijau cemerlang!
Sesuatu yang mengejutkan terjadi. Karena si
Pengusung Jenazah yang sudah sangat bernafsu sekali
untuk membunuh lawannya, justru membuang tubuh
ke samping, Kedua tangannya dilepaskan ke samping
kiri. Wrrr! Lima buah pohon langsung membeku. Kejap
lain, kelima pohon itu telah luruh menjadi debu sete-
lah mendengar suara berderak yang cukup keras. "Il-mu 'Pengendali Mata'!"
Kejap itu pula, kedua kaki Dewi Karang Samu-
dera yang bagai dibungkus es sangat tebal bisa dige-
rakkan lagi. Di sisi kedua kakinya seperti menggenang air yang cukup banyak.
Dan perlahan-lahan dengan senyuman aneh di
bibirnya, perempuan ini berdiri dengan mata bagian
kiri semakin terang memancarkan sinar hijau cemer-
lang. Rupanya, Dewi Karang Samudera memang telah
mempergunakan ilmu 'Pengendali Mata' yang bisa
memulihkan keadaannya seperti sediakala.
"Hebat!" desisnya pelan itu diucapkan si Rajawali Emas yang masih menyaksikan
pertarungan dah-
syat itu. Kedua matanya melebar setelah mengetahui
kedahsyatan ilmu 'Pengendali Mata' yang pernah di ce-
ritakan oleh Eyang Sampurno Pamungkas. "Sayang-
nya, ilmu yang hebat itu dibawa pada jalan sesat. Te-
tapi yang kuinginkan sekarang adalah Kitab Pemanggil
Mayat. Aku akan menunggu saat yang tepat untuk
mendapatkannya."
Di saat Tirta alias Rajawali Emas dibuat tercen-
gang dengan ilmu 'Pengendali Mata', Dewi Karang Sa-
mudera tengah bersuara merandek, penuh ejekan dan
geraman, "Hebat! Kau tahu tentang ilmuku ini, lelaki tua berpunuk"! Tentunya kau
tahu kehebatannya, bukan" Kembalikan Kitab Pemanggil Mayat kepadaku se-
karang juga!"
Lelaki tua berpunuk itu hanya terdiam. Namun
sepasang matanya tetap dingin menatap. ,
"Hanya seorang yang memiliki ilmu aneh yang
hebat itu. Dia adalah manusia buruk yang berjuluk si
Tengkorak Darah! Tak mungkin ada manusia lain yang
memiliki ilmu 'Pengendali Mata' yang berhasil dida-
patkannya dari Arwah Pengantar Nyawa! Perempuan
jelita berhati busuk, katakan! Dari mana kau menda-
patkan ilmu 'Pengendali Mata'"!"
Sementara Dewi Kematian dan Manusia Mayat
Muka Kuning tercengang dan segera menyadari ba-
gaimana caranya perempuan berbaju hijau tipis itu bi-
sa memulihkan kondisinya saat dihajarnya sebelum
kemunculan lelaki tua berpunuk ini, Dewi Karang Sa-
mudera maju selangkah.
Lalu berkata dengan. tajam, "Yang kau katakan
itu memang benar! Orang yang berjuluk si Tengkorak
Darah adalah guruku! Menurut cerita guruku, Kitab
Pemanggil Mayat didapatkan dari Arwah Pengantar
Nyawa! Kau sudah tahu siapa aku lebih jelas sekarang!
Kembalikan Kitab Pemanggil Mayat kepadaku!"
Bukannya meradang mendengar ancaman
orang, si Pengusung Jenazah tertawa berderai. Dingin, panjang dan bertalu-talu.
Menghentak hutan itu dan
menggugurkan dedaunan dari beberapa pohon.
"Tak kusangka, kalau Tengkorak Darah mem-
punyai murid! Aku tak pernah tahu soal itu! Mungkin
dikarenakan puluhan tahun tak berjumpa dengannya!
Tak kusangka pula kalau dia memiliki kitab mengeri-
kan yang hebat itu! Kalau aku tahu sejak lama, sudah
kupinjam padanya kitab itu untuk menghidupkan ke-
kasihku lagi hingga aku tak melulu membawa jena-
zahnya hingga orang-orang melupakan Sepasang Pem-
buru dari Neraka dan mengubah julukanku menjadi si
Pengusung Jenazah!"
"Orang tua berpunuk! Jangan jual omongan
sembarangan di hadapanku! Kembalikan kitab itu se-
karang juga!"sentak Dewi Karang Samudera keras.
Namun diam-diam hatinya seperti dibayangi oleh se-
suatu yang cukup menyenangkannya.
"Tengkorak Darah adalah sahabat ku! Tak
mungkin aku menurunkan tangan pada muridnya! Pe-
rempuan jelita, kupinjam kitab ini sebentar untuk
menghidupkan kembali kekasih ku! Setelah itu akan
kukembalikan kepadamu!"
"Apa maksud ucapanmu itu, hah"!" seru Dewi
Karang Samudera, masih bersikap waspada. Sementa-
ra Dewi Kematian dan Manusia Mayat Muka Kuning
tanpa sadar saling pandang. Keduanya diam-diam me-
nangkap sesuatu yang tak mengenakan. Bahkan Dewi
Kematian sudah menganggukkan kepalanya tanda un-
tuk segera menyingkir dari tempat itu.
"Jangan tegang! Kita orang sendiri! Kau sepa-
tutnya memanggilku Guru! Seperti yang kau lakukan
pada si Tengkorak Darah! Pertikaian ini harus dihentikan!" "Setan tua berpunuk!
Bila kau jeri dengan ilmu pengendali Mata' mengapa mengurai cerita dusta"!"
bentak Dewi Karang Samudera dengan napas terta-
han. Gumpalan payudaranya meski tak semontok mi-
lik Dewi Kematian nampak mengencang di balik pa-
kian hijau tipis yang dikenakannya.
Sepasang mata si Pengusung Jenazah menyipit.
lebih menyiratkan kegeraman dan sinar dingin. Tetapi
kejap lain dia sudah tertawa berderai. Setelah memu-
tus tawanya sendiri, dia berkata sambil menatap Dewi
Karang Samudera, Tak ada waktu untuk menerang-
kan! Lebih baik, kau panggil si Tengkorak Darah ke si-ni untuk mengenali siapa
aku!" "Guruku telah tewas!"
Kepala si Pengusung Jenazah tiba-tiba menegak. Ke-
dua matanya yang masuk ke dalam kini terbeliak me-
nyiratkan keheranan sekaligus kegusaran. Kendati
masih bersuara dingin, namun getaran dalam sua-
ranya sangat terasa, "Kau bilang dia tewas" Siapa yang mencabut nyawanya?"
"Malaikat Dewa!"
"Manusia celaka itu lagi! Akan kubalas seluruh
dendam yang telah mengalir dalam setiap darahku!;
Perempuan jelita, kemunculanku bersama kekasihku
itu selain untuk mencari Kitab Pemanggil Mayat yang
bisa menghidupkan kembali kekasihku, juga untuk
membalaskan dendam kepada Malaikat Dewa!"
"Jangan membual!" "Sulit untuk menerangkan sekarang karena Tengkorak Darah sudah
mampus! Tetapi, aku tak akan menyakiti muridnya! Dengar baik-
baik, kita orang sesama! Kau harus memanggilku
Guru! Tetapi, persetan dengan panggilan itu!"
Lalu tanpa mempedulikan wajah Dewi Kema-
tian yang membesi dengan pandangan tajam dan hati
diliputi kebimbangan mendengar kata-kata orang, lela-
ki tua berpunuk itu berbalik dan menghampiri jenazah
kekasihnya yang mengeluarkan bau busuk menyengat
namun tak satu bagian tubuhnya pun yang rusak atau
hancur. Perlahan orang tua itu duduk. Tubuhnya seper-
ti terdorong ke depan dikarenakan punuk pada pung-
gungnya. Lalu dibukanya kitab usang di tangannya.
Saat dibuka, seketika nampak seperti mengeluarkan
darah pekat yang kental.
Ketika orang tua itu memulai untuk membang-
kitkan jenazah kekasihnya, mendadak terdengar teria-
kan keras membahana.
"Heaaa! Terimalah kematian mu, Lelaki tua
berpunuk!"
Angin kuning panas menyengat menghampar
ke arah si Pengusung Jenazah. Rupanya, Manusia
Mayat Muka Kuning tak menanggapi isyarat si perem-
puan bercadar untuk meninggalkan tempat itu. Dia
tak ingin berlalu sebelum mendapatkan Kitab Pemang-
gil Mayat. Makanya, saat si Pengusung Jenazah hen-
dak memulai melakukan 'upacara' membangkitkan je-
nazah kekasihnya dia sudah menggebah dengan se-
rangan dahsyat. Tak tanggung lagi, tenaga dalamnya
dilipat gandakan.
Wusssth! Namun satu sentakan dari arah kanan telah
menggebah dan memecah buyarkan serangan lelaki
tua muka kuning itu ke arah si Pengusung Jenazah.
Pyaaarr!' Serangan angin kuning yang dahsyat tadi putus
di tengah jalan. Muncrat ke atas dan bagai tergabung
oleh cahaya biru yang juga berpendar. Seketika hutan
yang kini mulai memasuki senja menjadi cukup terang
Dorongan tenaga yang menghentikan serangan
Manusia Mayat Muka Kuning ternyata lebih kuat:
menderu. Menyusul sisa cahaya biru tadi mengarah
pada lelaki tua muka kuning itu.
"Setan keparat!" maki Manusia Mayat Muka
Kuning seraya menghindar. Namun matanya sempat
dijerengkan ke arah Dewi Karang Samudera yang telah
menderu dengan jurus 'Undang Maut Sedot Darah'.
Blaammm! Blaammm!
Cahaya biru yang menderu hebat itu luput dari
sasarannya yang menghantam dua batang pohon di
belakang Manusia Mayat Muka Kuning hingga hangus
dan luruh seketika.
Si Pengusung Jenazah melirik dengan tatapan
mendelik pada Manusia Mayat Muka Kuning. Tetapi
kejap lain, dia tersenyum menyadari kalau Dewi Ka-
rang Samudera yang menghentikan serangan orang
muka kuning itu.
Sejurus kemudian, nampak mulutnya yang ke-
riput dan agak menurun ke bawah berkomat-kamit.
Kedua matanya menusuk menatap Kitab Pemanggil
Mayat yang seperti mengalirkan darah di pangkuan-
nya. "Ini tak boleh dibiarkan. Lelaki tua berpunuk itu pasti akan berhasil
membangkitkan jenazah kekasihnya. Kesaktian Kitab Pemanggil Mayat sudah ter-
bukti dengan bangkitnya Iblis Kubur yang dilakukan
oleh Dewi Karang Samudera."
Tirta yang masih berada di balik semak belukar
membatin dengan tatapan tajam. Dan merasa lelaki
berpunuk bukan orang sembarangan, terutama dapat
menandingi Dewi Kematian, Manusia Mayat Muka
Kuning, dan Dewi Karang Samudera dengan mudah
dan dalam waktu yang singkat, perlahan-lahan pemu-
da dari Gunung Rajawali itu mengalirkan tenaga surya
yang berpusat pada perutnya pada seluruh tubuhnya.
"Manusia Mayat Muka Kuning nampaknya siap
melakukan serangan pada Dewi Karang Samudera.
Begitu pula dengan Dewi Kematian yang kelihatan su-
dah membaik dari keadaan sebelumnya. Hmmm....
Waktu ku sangat sempit sekali. Ku khawatirkan bila
Iblis Kubur sudah pergi ke Gunung Siguntang. Hei!
Tangan kanan lelaki berpunuk itu seperti mengelua-
rkan darah! Oh! Nampaknya dia akan mengusapkan
tangannya yang mengalirkan darah itu pada wajah ke-
kasihnya. Ah.... Tak boleh!"
Memutuskan kata-kata hatinya sendiri, men-
dadak sontak, menyibakkan sekaligus menerabas dan
meluruhkan semak belukar di mana sebelumnya dia
berada, si Rajawali Emas menggebah kedua kakinya.
Wusss! Satu pukulan mengandung tenaga surya dile-
paskan ke arah si lelaki berpunuk.
Bab 3 Si Pengusung Jenazah urung mengusapkan
tangan kanannya yang seperti mengalirkan darah sete-
lah selesai membaca mantra dari Kitab Pemanggil
Mayat dan menekan telapak tangannya pada kitab itu,
tatkala dirasakannya angin panas menderu dahsyat ke
arahnya. Bergulung dan bertubi-tubi.
Seketika ditolehkan kepalanya dan diangkat
tangan kirinya dengan cara menggerakkannya lebih
dulu ke bawah. Lalu mengayun ke atas.
Hamparan angin dingin pun melesat melebihi
kecepatan angin. Tirta melengak sejenak. Namun tak
dihentikan gerakannya. Malah ditambah tenaganya
untuk menerobos hamparan angin dingin yang dile-
paskan si Pengusung Jenazah.
Pyaarrr! Wusss! Si Rajawali Emas berhasil menerobos hampa-
ran angin dingin itu, bahkan terus melesat.
Kali ini si Pengusung Jenazah langsung
mcngempos tubuh. Tangan kanannya yang seperti
mengalirkan darah itu disorongkan ke depan dengan
gerakan menyentak.
Seketika bau busuk yang menyesakkan indera
penciuman menguar di dalam udara. Tirta melengak.
Bau busuk seperti sepuluh jenazah busuk itu meng-
ganggu keseimbangan tubuhnya. Serangannya pun
mendadak menjadi melenceng dan dengan mudahnya
dia dihajar pukulan lelaki tua berpunuk. Desss!
Tubuhnya telak terhantam. Masih untung tu-
buhnya telah ditamengi dengan tenaga surya Hingga
ketika terhuyung tiga tombak ke belakang dia masih
bisa berdiri tegak. Kejap lain, segera ditahan napas
mengusir bau busuk itu.
"Aku tidak tahu apa maksud lelaki berpunuk
itu sepertinya hendak mengusap wajah kekasihnya
dengan tangan kanannya yang seperti mengalirkan da-
rah. Tetapi aku yakin, cara itulah yang akan bisa
membangunkan jenazah kekasihnya. Hanya saja,
hamparan angin yang dihempaskan tangan kanannya
yang seperti berdarah itu menguarkan bau lebih busuk
dari jenazah kekasihnya!" rutuk Tirta dalam hati dan memandang tak berkedip pada
lelaki berpunuk yang


Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah bangkit kembali dengan tatapan angker.
"Bila melihat kehadirannya yang sangat cepat
itu, aku yakin nampaknya pemuda ini sejak tadi bera-
da di sini. Dia tentunya memiliki ilmu peringan tubuh yang tinggi, karena aku
tak menangkap gerakannya
kalau memang dia berada di sini." Usai membatin begitu, lalu dengan garangnya si
Pengusung Jenazah
membentak, "Orang muda mencari mampus! Urusan
apa kau mengganggu kerja ku, hah"!"
Tirta cuma tersenyum saja. Namun di balik se-
nyumnya, dia agak tegang juga. Terutama, ketika di-
rasakan dadanya yang mendadak begitu nyeri.
Lalu katanya masih tersenyum, "Orang tua
berpunuk! Adakah kau sadar kalau kitab di tangan mu
itu akan membangkitkan celaka di rimba persilatan
ini?" "Apa pun yang kulakukan itu adalah urusanku!
Dan urusan mu sekarang adalah bersiap untuk mam-
pus!" sahut si Pengusung Jenazah yang bukan main geramnya mendapati keinginannya
untuk segera membangkitkan mayat kekasihnya menjadi terganggu.
"Mati hanya merupakan sebuah kata yang ter-
kadang menakutkan tetapi terkadang menggembira-
kan! Menakutkan bila orang itu banyak memiliki dosa!
Menggembirakan bila orang itu sadar kalau sang Pen-
cipta menghendakinya kembali pada-Nya! Apakah kau
pikir dengan sebuah ancaman aku akan mundur un-
tuk meminta dan memusnahkan Kitab Pemanggil
Mayat itu"!"
Membesi wajah lelaki tua berpunuk. Keriput di
pipinya semakin nampak. Berlipat dan menambah
kengerian pada siapa saja yang melihat wajahnya.
"Kau lancang bicara! Terimalah kematian mu!"
Habis kata-katanya, si Pengusung Jenazah
menggebah ke arah Tirta dengan kibasan tangan ka-
nannya yang masih seperti mengalirkan darah dan
menebarkan bau sangat busuk.
Sementara itu, Manusia Mayat Muka Kuning
yang sangat geram mendapati bokongannya pada si
Pengusung Jenazah dihalangi oleh Dewi Karang Sa-
mudera menerjang membabi buta. Kalap dan sangat
berbahaya. Dewi Kematian sendiri sudah mempergunakan
ilmu Tepukan Cabut Sukma'-nya yang mengerikan un-
tuk membantu Manusia Mayat Muka Kuning.
Akan tetapi, perempuan berbaju hijau lumut ti-
pis menerawang yang sudah mempergunakan ilmu
'Pengendali Mata'-nya yang dapat dipergunakan untuk
mencuri ilmu atau jurus lawan bila lawan mempergu-
nakan tenaga dalam, dengan mudah mengendalikan
jalannya pertarungan.
Bahkan jurus-jurus Manusia Mayat Muka Kun-
ing dan ilmu yang dikerahkan oleh Dewi Kematian
berhasil didapatkannya. Segera saja Dewi Karang Sa-
mudera melakukan serangan balasan dengan jurus
kedua lawannya.
Menggeram setinggi langit Manusia Mayat Mu-
ka Kuning tatkala mendapati serangan lawan memper-
gunakan jurusnya. Berkali-kali dia merasa seperti ber-
tarung dengan dirinya sendiri. Begitu pula halnya dengan Dewi Kematian.
Ilmu Tepukan Cabut Sukma'-nya yang berhasil
dicuri oleh perempuan berbaju hijau tipis itu, meskipun tak sehebat yang
dimilikinya, cukup membuat si
perempuan bercadar sutera kalang kabut. Terutama
karena kondisinya sebenarnya memang belum pulih
benar. Sebisanya dialirkan tenaga dalamnya menahan
getaran menyakitkan pada gendang telinganya. Bila sa-
ja ilmu 'Tepukan Cabut Sukma' itu bukan miliknya,
tak mustahil gendang telinganya akan pecah!
Kendati demikian, Dewi Kematian melolong se-
tinggi langit. Manusia Mayat Muka Kuning ter-
belalak dan mencoba membantu. Namun baru saja ke-
dua kakinya bergerak ke arah Dewi Karang Samudera,
hampar sinar kuning yang mengandung hawa panas
menderu ke arahnya.
"Setan keparat!" maki si lelaki muka kuning sambil berjumpalitan. "Urusan bisa
jadi kapiran bila ku biarkan terus menerus kejadian! Bila Dewi Kematian mampus
di tangan perempuan berambut perak
itu, akan ku buru nyawanya seumur-umur! Karena dia
hanya menghilangkan keasyikan ku untuk menggeluti
tubuh montok si perempuan bercadar! Jalan satu-
satunya, memang harus meninggalkan tempat ini!"
Berpikiran demikian, Manusia Mayat Muka Kuning
mencelat dengan pencalan satu kaki. Dikirimnya dulu
satu serangan melalui kaki kirinya pada Dewi Karang
Samudera yang mengelak ke belakang. Bersamaan
dengan itu, disusulkannya serangan hamparan sinar
kuning yang panas itu.
Selagi Dewi Karang Samudera berusaha meng-
hindari serangan lawan, lelaki tua tak berbaju dan
bermuka kuning itu segera menyambar tubuh si pe-
rempuan bercadar sutera yang sedang kelojotan. Dan
kejap kemudian, tubuhnya pun menghilang dari pan-
dangan. "Anjing-anjing laknat! Saat ini kalian bisa bebas bernapas! Tetapi tak lama lagi
kalian akan putus nyawa secara mengenaskan!" maki si perempuan berbaju hijau
setelah pandangannya lebih ter-buka karena
hamparan sinar kuning yang dilepaskan oleh lelaki tua muka kuning telah pupus.
Lalu dialihkan kepalanya pada si Pengusung
Jenazah yang sedang mencecar Tirta.
Di bibir si perempuan tersungging sebuah se-
nyuman aneh. "Hmm.... Si Rajawali Emas. Bagus, bagus seka-
li! Kendati aku tak menginginkan Pedang Batu Bintang
miliknya, namun bila pemuda itu mampus di tangan
lelaki tua berpunuk, aku akan bisa mendapatkannya!
Entah siapa sebenarnya lelaki tua berpunuk itu. Ke-
saktiannya sangat tinggi sekali. Untuk saat ini, biarlah ku percayai saja kata-
kata yang mengatakan dia adalah sahabat guruku! Dengan cara begitu, aku akan
mendapat tambahan rekan untuk meneruskan den-
dam kesumat pada Raja Lihai Langit Bumi! Iblis Kubur
tengah menuju ke Gunung Siguntang karena menu-
rutnya Manusia Agung Setengah Dewa berada di Nana!
Bagus! Aku pun harus membalaskan dendam guru
pada Malaikat Dewa! Dengan bantuan si Pengusung
Jenazah yang mengaku berjuluk Sepasang Pemburu
dari Neraka bersama kekasihnya yang telah menjadi
mayat busuk, kedudukanku akan lebih bisa diandal-
kan!" Berjarak lima tombak dari tempatnya, di mana hutan itu sudah porak-
poranda, Dewi Karang Samude-
ra bisa melihat betapa Tirta kalang-kabut menghindari hajaran dahsyat si
Pengusung Jenazah.
"Celaka! Sepertinya tenaga surya tak membawa
arti apa-apa pada lelaki tua berpunuk ini! Hmmm, aku
jadi teringat kata-kata Guru, Raja Lihai Langit Bumi, yang mengatakan orang-
orang yang bisa menandingi
tenaga surya ini. Ada dua orang yang ku ketahui.
Eyang Sepuh Mahisa Agni dan Eyang Sampurno Pa-
mungkas yang sama-sama belum pernah ku-lihat wa-
jahnya. Namun kata Guru, tak menutup kemungkinan
ada tokoh lain yang bisa menandingi tenaga surya
yang kumiliki ini. Dan salah satunya adalah si Pengu-
sung Jenazah. Hhh! Kalau harus menghindar terus-
menerus begini tanpa sempat membalas, tenagaku bi-
sa terkuras! Sebaiknya ku pergunakan Pedang Batu
Bintang!" Memutuskan demikian, si Rajawali Emas yang
dibuat lintang-pukang oleh serangan aneh si Pengu-
sung Jenazah yang terkadang sepanas kawah di Gu-
nung Merapi dan sedingin es di lautan es, segera dicabutnya Pedang Batu Bintang
pada satu kesempatan di
saat dihindarinya serangan si Pengusung Jenazah.
Srattt! Segera menghampar sinar keemasan pada pe-
dang yang kini dipegang Tirta. Sinar keemasan itu
sangat cemerlang sekali. Di hulu bagian bawah pe-
dang, terdapat sebuah bintang yang sangat indah dan
mempesona. Sementara di atas hulunya terdapat dua
buah kepala burung rajawali berlawanan arah.
"Hhh! Pedang apa yang hendak kau perguna-
kan itu, Anak Muda "!" sentak si Pengusung Jenazah sambil berdiri dengan tubuh
agak condong ke depan.
Karena punuk di punggungnyalah yang menyebabkan
sikap berdirinya seperti itu. Tatapan matanya semakin
angker mengerikan.
*** Bab 4 Kita tinggalkan dulu suasana di hutan itu. Kita
beralih pada sebuah tempat berjarak puluhan tombak
dari hutan. Satu sosok tubuh bergerak secepat angin. Me-
lewati semak belukar, melewati jalan berliku penuh
pohon, tanpa satu gangguan sedikit pun juga. Dari ca-
ra-nya bergerak itu menandakan orang yang berlari
bukan orang sembarangan.
Tak lama kemudian, di sebuah tempat yang
agak terbuka dan terdapat beberapa buah batu besar
dan pepohonan tinggi, orang yang bergerak tadi meng-
hentikan larinya.
Tak ada tarikan napas terengah. Tak ada kerin-
gat yang menetes.
"Setan alas! Ke mana lagi harus kutemukan
manusia celaka berjuluk Iblis Kubur itu?" makinya dengan suara sedikit nyaring,
menandakan dia seorang
perempuan. Lalu si perempuan menekuk wajahnya
yang telah dipenuhi keriput. Mengusap-usap konde-
nya dengan sikap sayang. "Kata si Manusia jelek yang suka marah-marah,
mengatakan Iblis Kubur kemungkinan sedang menuju ke Gunung Siguntang! Apakah
aku harus segera menuju ke sana pula?"
Perempuan tua berkonde yang tak lain adalah
Bidadari Hati Kejam mendengus berulang-ulang. Hing-
ga keriput di pipinya seperti gelombang air bergerak, sangat cepat.
"Ke mana pula Raja Lihai Langit Bumi" Dia
yang memberi kabar kalau Iblis Kubur akan bangkit
Tetapi justru manusia itu tidak kelihatan batang hi-
dungnya sekarang" Urusan benar-benar jadi kapiran!
Padahal sampai saat ini aku belum berjumpa dengan
manusia jelek yang berjuluk Manusia Mayat Muka
Kuning. Manusia itu rupanya benar-benar mencari
mampus berani memanggilku keluar dari kediaman.
Dan tahu-tahu, segala urusan sudah terbentang di de-
pan mata. Dengar-dengar, lelaki dengan tulang berton-
jolan di dada dan berwajah kuning telah bergabung
dengan kekasihnya, si Dewi Kematian. Hhh! Manusia-
manusia sialan yang...." Tiba-tiba si nenek berkonde memutus kata-katanya
sendiri. Matanya seketika dijerengkan, melirik ke sebuah batu besar di sebelah
ka- nannya yang berjarak sepuluh tombak dari tempatnya.
Diam-diam si nenek berkata dalam hati, dengan hati
yang tiba-tiba menjadi muak. "Ada manusia busuk yang iseng mengintip?"
Apa yang diperkirakan si nenek berkonde me-
mang benar. Karena orang yang mengintip itu men-
dumal dengan wajah ditekuk dan mata melotot, "Setan jelek! Hebat juga sepasang
mata keriput nenek jelek
itu! Aku yakin, dia melihat gerakanku tadi! Sontoloyo!
Kenapa aku harus jadi mengikuti si Kunti jelek itu"!
Apakah dia melihatku atau tidak itu urusan belakan-
gan!" Di tempatnya, si nenek berkonde memaki tak mengeluarkan suara dengan mulut
tertekuk-tekuk.
"Hhh! Siapa pun manusia keparat itu, dia ha-
rus mampus di tangan ku!" Usai membatin begitu tiba-tiba saja si nenek
menggerakkan kedua tangannya ke
arah batu besar yang diyakininya ada orang bersem-
bunyi di sana. Wusssst!
Menghampar angin besar begitu kedua tangan
Si nenek digerakkan. Blaaarr!
Batu besar yang diyakini si nenek berkonde ada
orang yang mengintipnya, pecah beterbangan menjadi
kerikil setelah mengeluarkan suara yang keras. Si ne-
nek sudah siap hendak melancarkan serangan lagi bila
ada orang yang mencelat dari sana. Tetapi, setelah pe-cahan batu itu sirap dan
luruh berpentalan pada jarak beberapa tombak, tak ada orang yang mencelat dari
balik batu itu.
Si nenek berkonde yang mengenakan baju dan
kain batik kusam itu mengernyitkan kening. Sepasang
matanya mendelik separo tak percaya dan separo gu-
sar. "Hebat bila manusia ini bisa menghindari gem-
puran ku tadi! Tetapi, apakah tak mungkin bila manu-
sia itu sudah menjadi serpihan daging karena terhajar pukulanku?" kata Bidadari
Hati Kejam dalam hati. La-lu mendesis pelan, "Kalau urusan si pengintip itu
sudah beres, baiknya ku lanjutkan perjalanan. Gunung
Siguntang, sebuah tempat yang diduga oleh Manusia
Pemarah kalau di sanalah gurunya, Manusia Agung
Setengah Dewa berada. Kendati si Manusia pemarah
tak terlalu yakin dengan dugaannya sendiri, tetapi tak salah bila ku jajaki
tempat itu."
Namun belum lagi si nenek berkonde berkeke-
lebat, satu bentakan bernada gusar dan marah-marah
membahana, "Nenek peot celaka! Apakah kau hendak meninggalkan aku begitu saja"
Dasar sialan Mungkin
di dunia ini, satu-satunya nenek peot yang jelek ya kau ini!"
Seketika Bidadari Hati Kejam membalikkan tu-
buh. Kesiagaan penuh nampak sekali pada wajah dan
gerakannya. Tetapi setelah melihat siapa orang yang
berbicara dengan nada membentak tadi, segera dipelo-
totkan mata celongnya hingga seperti hendak keluar.
Menyusul balasan suaranya yang keras.
"Lelaki tua jelek celaka! Mau apa kau mengiku-
tiku, hah"!"
"Siapa yang mengikutimu" Enaknya bicara! Apa


Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untungnya kuikuti manusia jelek seperti kau, hah"
Dasar sontoloyo!" balasan suara itu lebih keras.
"Orang tua jelek! Kalau memang kau tak men-
gikutiku, sedang apa kau berada di sini"!" balas Bidadari Hati Kejam dengan
sewotnya. Tangannya sudah
gatal untuk segera menyerang. Lalu diam-diam dia
berkata dalam hati, "Hhh! Kurang asem! Siapa lagi orang yang mengintip tadi
kalau bukan lelaki jelek pemarah ini" Pantas dia bisa bergerak secepat kilat
Orang yang membentak-bentak dengan suara
keras itu, ternyata seorang lelaki berusia kira-kira delapan puluh tahunan. Raut
wajahnya tirus memanjang
dengan dilapisi kerut-merut dan kulit yang amat tipis.
Sepasang matanya lebar dan seperti melotot terus me-
nerus. Rambutnya yang putih panjang dikuncir ekor
kuda. Tak memiliki jenggot namun kumisnya putih
panjang menjuntai melewati dagunya. Mengenakan
pakaian warna putih yang sudah sangat kusam sekali.
Celananya hitam setinggi lutut. Dan dengan santainya
duduk sambil menekuk lutut di sebuah batu besar.
Lelaki tua berkuncir yang suka melotot dan
marah-marah itu bukan lain adalah Manusia Pemarah.
Kalaupun dia tahu-tahu berada di sini, dikarenakan
dia memang sengaja mengikuti si nenek berkonde.
Seperti di ceritakan dalam episode "Dewi Ka-
rang Samudera" dan "Kitab Pemanggil Mayat", Bidadari Hati Kejam memancing Iblis
Kubur menjauh di saat
manusia sesat yang dibangkitkan Dewi Karang Samu-
dera itu sedang menyerang Pendekar Rajawali Emas.
Dan di sebuah tempat, Bidadari Hati Kejam harus ber-
tarung mati-matian dengan Iblis Kubur yang seper-
tinya tak merasakan betapa dahsyatnya serangan la-
wan. Karena setiap kali diserang, setiap kali pula Iblis Kubur berdiri dengan
tegak tanpa kurang suatu apa
dan langsung melakukan serangan balasan.
Di saat si nenek berkonde bersiap untuk mena-
rungkan nyawa, mendadak muncul Manusia Pemarah
yang melarikannya. Tetapi dasar si nenek keras kepa-
la, Bidadari Hati Kejam justru marah-marah. lebih ma-
rah lagi ketika secara tak sengaja, Manusia Pemarah
yang harus mengobati luka di bagian dada bidadari
Hati Kejam yang terhajar serangan Iblis Kubur, me-
nyentuh 'benda ajaib' milik si nenek.
Makin mengkelap saja Bidadari Hati Kejam.
Namun lawan marah-marahnya adalah Manusia Pema-
rah yang seumur hidupnya tidak pernah berkata lem
but. Jadinya semakin serunya keduanya saling marah
dan mengeluarkan hardikan keras. Manusia Pemarah
yang diam-diam mencintai Bidadari Hati Kejam sejak
muda, akhirnya memutuskan meninggalkan nenek.
Tinggallah si nenek yang diam-diam menjadi sedih, la-
lu segera berkelebat menuju Gunung Siguntang. Akan
tetapi, tanpa setahu si nenek, lelaki berkuncir yang suka marah-marah itu
menunggu dan mengikutinya.
"Mengapa aku berada di sini atau tidak, urus
belakangan! Akan tetapi, bila melihat langkah mu yang sontoloyo itu menuju ke
timur, rasa-rasanya kau sedang menuju ke Gunung Siguntang! Nah, mau apa
kau ke sana"!"
"Setan tua pemarah! Apakah aku salah bila ku
katakan kau pun menuju tempat yang sama?" sentak Bidadari Hati Kejam.
"Kalau sudah tahu tidak salah, mengapa me-
lontarkan tanya" Dasar nenek ganjen jelek keparat!" s6
ru Manusia Pemarah sambil bersungut-sungut.
Mengkelap Bidadari Hati Kejam dibuatnya.
Memang dunia sangat aneh. Keduanya bersahabat se-
jak muda. Bahkan diam-diam keduanya saling me-
nyayangi sampai berusia lanjut sekarang ini. Namun
ke duanya sering bertengkar dan tak jarang mele-
paskan jurus-jurus dahsyat
Tanpa banyak cakap lagi, si nenek berkonde
sudah mengangkat sebelah tangannya. Akan tetapi,
saat itu juga segera diturunkan. Kepalanya ditolehkan ke kiri. Dua tarikan napas
kemudian, ditolehkan kepalanya, pada Manusia Pemarah yang juga sedang men-
garahkan tatapannya ke arah kiri.
"Setan pemarah! Apakah kau memikirkan hal
yang sama denganku"!" sentak Bidadari Hati Kejam seperti melontarkan pertanyaan
aneh. "Kalau kau juga memikirkan hal yang sama,
tentunya dugaan kita juga sama siapa orang yang da-
tang ini?" seru Manusia Pemarah, tetap dengan suara me-nyentak.
"Yang satu menebarkan aroma harum luar bi-
asa. Yang satunya lagi, mengeluarkan bau yang cukup
menyengat! Siapa lagi kalau bukan.... Hhh! Manusia
Mayat Muka Kuning! Sekian lama kucari dan rasanya
akan kujumpai saat ini juga! Akan ku potek-potek leh-
er celakanya!"
"Jangan banyak omong! Dari angin yang mem-
bawa bau keduanya, rasanya sudah berjarak sekitar
lima, puluh tombak! Apakah kau akan menunggu me-
reka di sini"!" sentak Manusia Pemarah.
Bidadari Hati Kejam hanya menggeram sambil
melempar pandangan sengit. Tanpa menjawab perta-
nyaan orang, dibalikkan tubuhnya dan kedua tangan-
nya dilipat di dada. Berdiri tegak dengan sedikit kaki dipentangkan.
Manusia Pemarah menggerutu, "Aku tahu dia
punya urusan dengan Manusia Mayat Muka Kuning.
Biar nenek jelek ini menyelesaikan urusannya!"
Aroma wangi yang dibaur oleh bau busuk itu
semakin lama semakin mendekat. Dan begitu keluar
dari hutan yang tadi kedua orang itu masuk, mereka
tiba di sebuah tempat terbuka yang penuh batu besar.
Dan tiba-tiba saja kedua orang yang mengeluarkan
aroma harum dan busuk itu menghentikan lari. Sepa-
sang mata masing-masing terbeliak lebar melihat dua
orang yang berdiri berjarak sepuluh tombak dari ha-
dapan mereka. "Tak salah dugaanku. Manusia Mayat Muka
Kuning dan Dewi Kematian," pikir Bidadari Hati Kejam.
"Bila melihat keadaan mereka, aku yakin saat ini keduanya sedang terluka. Tetapi
persetan dengan semua
itu! Manusia Mayat Muka Kuning harus mampus di
tanganku hari ini juga!"
Lelaki tua yang mengeluarkan bau busuk dari
rambutnya dan memiliki wajah berwarna kuning se-
mentara seluruh tubuhnya berwarna hitam, melengak.
Tanpa sadar lelaki tua yang tak lain Manusia Mayat
Muka Kuning mundur satu langkah.
"Celaka! Kenapa harus berjumpa dengan nenek
sialan ini selagi keadaanku tidak menguntungkan?"
batinnya sedikit jeri.
Akan tetapi, sebagai orang rimba persilatan
yang telah banyak makan asam garam, tak tampak-
kan wajah tegangnya itu. Malah dipentangkan kedua
matanya lebih tajam ke arah Bidadari Hati Kejam yang
sudah mengkelap setinggi langit. Dan diam-diam Ma-
nusia Mayat Muka Kuning berbisik pada perempuan
bercadar dan berbaju sutera yang terbuka di bagian
dada hingga memperlihatkan bungkahan besar buah
dadanya yang montok dan menantang itu.
"Dewi... rasanya penyakit ada di depan kita.
Untuk saat ini keadaan kita tidak menguntungkan. Te-
tapi, aku punya persoalan dengan si nenek berkonde
yang tentunya tak akan melepaskan diri ku. Dewi...
sebaiknya kau tinggalkan tempat ini."
Wajah di balik cadar sutera membesi. Lalu ke-
palanya menggeleng.
'Tidak! Kita sudah bersama-sama sejak semula.
Menghadapi Dewi Karang Samudera yang tak pernah
kita sangka bergabung dengan si Pengusung Jenazah.
Masih untung kita bisa melarikan diri dari tangan
maut Dewi Karang Samudera. Bila saja kita tidak lebih terluka akibat serangan
lelaki tua berpunuk itu, tentunya kita masih bisa menandingi Dewi Karang Samu-
dera. Dan kalau tak salah ingat, pemuda berbaju kee-
Penghianat Budiman 1 Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong Neraka Pulau Biru 2
^