Pencarian

Pengusung Jenazah 2

Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah Bagian 2


masan yang sedang bertarung dengan si Pengusung
Jenazah itu adalah pemuda yang berjuluk si Rajawali
Emas. Lelaki jelek muka kuning! Kita akan bersama
menghadapi segala rintang! Kita harus bertahan hidup
untuk mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat!"
Manusia Mayat Muka Kuning menyeringai
mendapati kata-kata orang.
"Bagus! Perempuan ini rupanya masih mencin-
tai ku juga! Dan bagusnya, aku memang harus hidup
lebih lama. Terutama, kesempatan ku untuk menikma-
ti tubuh montok menggairahkan perempuan bercadar
ini! Dan satu hal lagi, aku harus tahu bagaimana dia bisa membuat tubuh dan
wajahnya sedemikian muda.
Rahasianya, harus ku miliki!"
Di depan sana, Bidadari Hati Kejam melangkah
tiga tindak ke muka. Sikapnya dingin, penuh ancaman
tinggi. "Setelah tahun demi tahun berlalu, dan kekala-hanmu di Lembah Maut dari
tanganku, rupanya me-
mang harus ditakdirkan bertemu! Orang busuk muka
kuning! Katakan, apa maksud mu memancing ku ke-
luar, hah"!"
Kendati hatinya cukup ciut mendapati anca-
man orang terutama dalam kondisi yang tak memung-
kinkan saat ini, Manusia Mayat Muka Kuning mas
memperlihatkan sikap tinggi hatinya.
"Bidadari Hati Kejam! Dulu kau bisa mengalah-
kan aku, tetapi kali ini kau tak akan bisa meloloskan diri! Dendam itu harus
kubalas!" "Setan keparat! Ingin kulihat sesumbar mu itu
Orang tua celaka muka kuning!"
Habis bentakannya yang menggelegar, si nenek
berkonde mencelat ke muka dengan satu gempuran
dahsyat. Tanpa tanggung lagi, senjata pengebutnya di-
cabut. Dan diserangnya lelaki tua muka kuning yang
menonjolkan tulang-belulang pada dadanya dengan ju-
rus 'Rangkai Bunga Habisi Kumbang'.
Wusss! Wrrrr! Manusia Mayat Muka Kuning tersentak. Tanpa
sadar terlontar pekikannya. Cepat dilontarkan tubuh-
nya ke samping. Lalu bergulingan tatkala dirasakan
gempuran dahsyat Bidadari Hati Kejam menderu terus
menerus ke arahnya.
Ketika pertarungan di Lembah Maut dulu terja-
di, Manusia Mayat Muka Kuning tak mampu menan-
dingi Bidadari Hati Kejam, apalagi saat ini dalam kondisi yang penuh luka"
Kendati dia yang sengaja me-
mancing keluar Bidadari Hati Kejam, namun tak
Mengharapkan perjumpaannya dengan si nenek da-
lam keadaan seperti ini.
Dan dalam dua gebrakan saja, Manusia Mayat
Muka Kuning harus menerima hajaran dahsyat di da-
danya. Terguling dan berteriak keras lelaki tua berambut panjang yang bau busuk
itu ke belakang.
Dewi Kematian melengak. Wajahnya yang ter-
sembunyi di balik cadar mengkelap. Di saat Bidadari hati Kejam menerjang ke muka
untuk menghabisi
nyawa lawan, si perempuan berbaju sutera rendah pa-
da bagian dada, mencelat ke depan.
"Terimalah kematian!"
Bidadari Hati Kejam menghentikan niatnya un-
tuk menghabisi nyawa Manusia Mayat Muka Kuning
yang kini tergolek dengan mulut dan hidung mengelu-
arkan darah. Dengan gerakan aneh, mencelat lebih du-
lu ke atas dan mengirimkan serangan balasan, Bidada-
ri Hati Kejam membuat Dewi Kematian yang Justru
terpekik keras. Wajahnya tegang dengan napas mem-
buru. Masih untuk perempuan bercadar sutera itu
masih bisa meloloskan diri. Bila terlambat satu keja-
pan saja, tak urung punggungnya akan bolong dan
nyawa seketika melayang.
Bergulingan Dewi Kematian dengan-wajah pias.
Dan segera berdiri tegak dengan napas turun naik.
Bidadari Hati Kejam menghentikan gerakannya.
Menoleh dan menatap tajam pada Dewi Kematian
"Beberapa bulan lalu, kau telah mencari penya-
kit mencampuri urusanku dengan lelaki tua muka ku-
ning! Bahkan, Siluman Buta pun telah campur tangan
pula. Entah di mana manusia sesat itu berada seka-
rang! Perempuan bercadar, terpaksa nyawamu akan
ku cabut hari ini juga karena kau telah dua kali men-
campuri urusan ku!"
Dewi Kematian cuma menahan napas menden-
gar ancaman Bidadari Hati Kejam. Sementara itu lelaki tua berkuncir tengah duduk
mencangkung pada sebuah batu besar. Saat pertarungan itu terjadi, dia
hanya memperhatikan saja dengan tatapannya yang
selalu melotot dan mulut menyang-menyong mengge-
rutu. Sebelum Bidadari Hati Kejam melancarkan se-
rangannya pada Dewi Kematian, terdengar teriakan ke-
ras Manusia Mayat Muka Kuning.
"Urusan bukan dengannya Tetapi, urusan di
antara kau denganku!"
Bidadari Hati Kejam tersenyum tipis. Entah
malaikat mana yang masuk ke hatinya, tiba-tiba saja
si nenek memasukkan senjata pengebutnya ke balik
baju batik kusamnya. Kendati demikian suaranya te-
tapi angker. "Tak pernah kulepaskan nyawa manusia-
manusia celaka seperti kalian dalam hidupku! Tetapi
saat ini kalian beruntung karena aku masih bisa ber-
murah hati! Tak enak rasanya memenangkan perta-
rungan di saat kalian berdua tengah terluka! Segera
tinggalkan tempat ini sebelum aku berubah pikiran!"
Dengan mata masih menyiratkan kehati-hatian
Manusia Mayat Muka Kuning mendekati Dewi Kema-
tian. Dipegangnya tangan perempuan berdada yang
montok itu. Kepalanya ditolehkan pada Bidadari Hati
Kejam dengan tatapan menyipit.
"Tidak sekali pun sikapmu ini ku anggap seba-
gai sebuah kebaikan! Jadi, tak perlu kuucapkan terima kasih hanya perlu kau
ingat! Dendam di dadaku telah
berkarat dan urusan lama akan kita selesaikan!"
Bidadari Hati Kejam mendelik.
"Ku katakan tadi, tinggalkan tempat ini sebe-
lum aku berubah pikiran!"
Tanpa membuang waktu lagi, keduanya segera
pergi meninggalkan tempat itu. Bidadari Hati Kejam
hanya menggeram saja.
"Tak puas rasa hatiku mengalahkan orang yang
terluka!" gumamnya. "Sombong! Sok tahu! Dasar nenek ganjen! Apakah kau tidak
tahu kalau keduanya
akan menjadi duri dalam hidupmu?" bentakan itu terdengar keras dan cukup
menyentak gendang telinga si
nenek berkonde yang dengan cepatnya segera memba-
likkan tubuh. " Jangan beri nasihat padaku Kalaupun aku hendak mencabut nyawa
keduanya bukan uru-sanmu! Begitu pula bila aku hendak melepaskannya!"
Manusia Pemarah melompat ke depan. Berjalan
cepat ke arah si nenek.
"Bagus! Rupanya hatimu sudah tidak terlalu
kejam lagi! Berarti kau...."
"Hatiku tetap kejam pada orang-orang biadab
yang kerjanya hanya merusak! Tetapi, aku tak ingin
mengalahkan lawan yang sudah terluka! Nah, seka-
rang urusan kita! Mengapa kau tidak berlalu dari si-ni"!" "Nenek jelek keparat
Aku hendak ke Gunung Siguntang! Ku duga, Iblis Kubur telah menuju ke sa-na!"
"Aku juga hendak ke sana!"
"Setan keparat! Apakah aku suka berjalan den-
gan nenek ganjen seperti kau, hah"!"
"Lelaki tua jelek bau tanah! Apakah kau kira
aku senang berjalan bersama lelaki pemarah seperti
kau"!" balas Bidadari Hati Kejam dengan sepasang ma-ta melotot.
"Kalau begitu, kita jalan sendiri-sendiri!"
"Baik! Aku pun tak sudi berjalan bersama Lela-
ki pemarah yang genit! Kau telah mempergunakan ke-
sempatan untuk memegang dadaku! Kurang ajar! Se-
harusnya kau tak boleh kubiarkan hidup Habis men-
dumal tak karuan, si nenek berkelebat cepat.
Manusia Pemarah menggeram. "Nenek jelek sok
kecakepan!" rutuknya panjang pendek. Lalu berkelebat pula ke arah si nenek.
*** Bab 5 Malam mulai membentang tinggi. Suasana begi-
tu dingin mencekam. Di hutan itu Tirta tengah mena-
rik nafas panjang. Tak menghiraukan pertanyaan si
Pengusung Jenazah. Tangan kanannya erat menggeng-
gam pedang sakti yang dibuat dari Batu Bintang di-
namakan Pedang Batu Bintang. Diam-diam pemuda
dari Gunung Rajawali dengan rajahan burung rajawali
berwarna keemasan di tangan kanan dan kirinya men-
gatur napas. Cukup sarat dengan beban. Sementara
itu terdengar suara yang menyahuti pertanyaan si
Pengusung Jenazah yang menatap angker tanpa ber-
kedip ke arah si Rajawali Emas, "Orang tua berpunuk!
Bila kau ingin tahu pedang apa yang berada di tangan
pemuda sialan itu, itulah yang dinamakan Pedang Ba-
tu Bintang!"
Sejurus nampak lelaki berpunuk ini menger-
nyitkan kening. Kejap lain dia bergumam bagai pada
dirinya sendiri, "Baru kali ini ku dengar nama aneh untuk sebuah pedang.
Tetapi... mengenai Batu Bintang..... Oh! Apakah pedang itu terbuat dari Batu
Bin- tang" Batu dari langit yang dimiliki oleh Malaikat De-wa"!" Dewi Karang Samudera
hanya menganggukkan
kepalanya sambil menatap tajam pada lelaki berpunuk
itu yang sedang mengarahkan pandangan padanya pu-
la. "Rupanya dia tahu terlalu banyak mengenai
Malaikat Dewa. Juga guru ku si Tengkorak Darah. Kini
aku mulai yakin kalau dia memang bersahabat dengan
guruku yang tewas di tangan Malaikat Dewa" Bisa ku-pahami sekarang mengapa dia
berkeinginan menda-
patkan Kitab Pemanggil Mayat. Tentunya untuk mem-
bangkitkan jenazah istrinya yang juga tewas di tangan Malaikat Dewa. Bagus! Kini
aku semakin bertambah
yakin kalau kedudukan ku pun menguat Terutama di-
bantu Iblis Kubur yang menginginkan nyawa Eyang
Sampurno Pamungkas. Sementara sasaran ku, tetap-
lah Raja Lihai Langit Bumi yang menorehkan luka hati
dalam dan dendam tak berkesudahan."
"Benarkah apa yang kutanyakan itu?" ulang
Pengusung Jenazah dengan kening masih diker-
nyitkan. "Tidak salah! Bahan pedang itu memang beras-
al dari Batu Bintang."
"Kalau begitu.... Anak muda! Katakan, apa hu-
bunganmu dengan Eyang Sepuh Mahisa Agni"!" sentak si Pengusung Jenazah dengan
sepasang mata dijerengkan angker ke arah Tirta.
"Aku tahu kalau manusia berpunuk ini mem-
punyai dendam pada Eyang Guru. Terus terang, sam-
pai saat ini aku belum pernah melihat bagaimana wu-
jud dan rupa Eyang Guru. Tetapi, untuk menjawab
pertanyaan lelaki tua berpunuk ini nanti dulu ku la-
kukan" kata Tirta dalam hati. Lalu katanya, "Lelaki tua berpunuk! Pertanyaanmu sungguh
aneh" Aku tidak
mengenal orang yang kau sebutkan tadi" Bagaimana
mungkin aku bisa menjawab" Dan yang mengheran-
kan aku, bagaimana kau bisa menghubungkan diriku
dengan orang yang tidak kau kenal" Jangan-jangan,
Ini otakmu bukan di kepala! Tetapi di punuk mu!"
"Anak muda.... Aku masih bermurah hati bila
kau menjawab pertanyaan ku! Paling tidak, tunjukkan
di mana Mahisa Agni berada!" balas si Pengusung Jenazah dengan menindih segala
kemarahan di dada.
Tirta justru bersikap santai. Tenaganya sudah
pulih. Nafasnya sudah normal. Dicabutnya sebatang
jumput yang terdapat di sebelah kaki kirinya dengan
tangan kiri. Sementara tangan kanannya masih meme-
gang Pedang Batu Bintang yang menebarkan cahaya
keemasan menyilaukan, dihisap-hisapnya rumput itu.
Hanya sekilas. Karena detik lain rumput itu sudah di-
buangnya. "Pahit!"
Mengkelap wajah si Pengusung Jenazah men-
dapati sikap konyol si pemuda yang menganggapnya
enteng. Dengan serentak diputar tangan kanannya ke
atas. Seketika tangan kanannya yang tadi seperti men-
galirkan darah, mendadak berubah membeku. Kejap
lain, suasana di tempat itu pun tak ubahnya berada di gunung es!
"Tahan!" Dewi Karang Samudera yang mempu-
nyai pikiran lain berseru dan melompat ke sebelah si
Pengusung Jenazah. Lalu katanya tanpa menghirau-
kan pelototan lelaki berbaju hitam kusam itu yang me-
rasa jengkel karena niatnya dihalangi orang, perem-
puan berbaju hijau tipis itu berkata, "Orang berpunuk!
Seperti katamu tadi, kau bersahabat dengan guruku!
Dan aku bisa mempercayai kata-kata mu itu! Seka-
rang, ku pinjamkan Kitab Pemanggil Mayat untuk
menghidupkan kekasih mu yang telah mampus itu!
Urusan pemuda sial ini, biar aku yang menangani!"
Lelaki berpunuk itu melirik tajam pada si pe-
rempuan yang membatin, "Keparat! Bila tak berpikir dia akan membantu, sudah ku
terjang dia apa pun
yang terjadi!"
"Baik! Tetapi, aku ingin tahu dulu siapa pemu-
da itu dan punya hubungan apa dengan Mahisa Agni
kata si Pengusung Jenazah dengan suara disentak.
"Kalau soal itu, aku pun tahu! Bisa kau dapat
dariku nanti! Jangan banyak tanya sekarang! Lakukan


Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa yang kau inginkan!" seru Dewi Karang Samudera lalu membalikkan tubuh ke arah
Tirta. "Anak muda...
rasanya terlalu sayang bila aku harus membunuhmu.
Bagaimana bila kau menjadi pengikut ku saja?"
Tirta mengangkat alisnya saja.
"O ya" Kalau aku sudah menjadi pengikut mu
apa yang bisa kau berikan padaku!" serunya dengan mulut dimonyongkan. Sementara
matanya melirik tajam pada perempuan di hadapannya dan dialihkan pa-
da si Pengusung Jenazah yang telah duduk di hadapan
jenazah kekasihnya.
"Aku pernah merasakan kedahsyatan pedang
Sialan itu. Bila saja dia tak mengeluarkan Pedang Batu Bintang, sudah ku kepruk
kepalanya," geram Dewi Karang Samudera dalam hati. Lalu katanya dengan bibir
tersenyum, "Kau akan mendapatkan apa yang belum
pernah kau rasakan. Sebaiknya...." "
"Waduh! Sayangnya aku sudah merasakannya!
Memang aku belum pernah merasakan apa yang kau
punya" Tetapi, apakah tidak sudah basi" Kalau sudah
basi, maaf ya?" balas Tirta sambil tertawa berderai,
padahal saat ini dia sedang tegang. Karena dilihatnya si Pengusung Jenazah sudah
mengangkat tangannya
yang kembali seperti mengalirkan darah setelah selesai membaca mantra dan
menekan telapak tangan kanannya itu pada Kitab Pemanggil Mayat: "Celaka!
Bagaimana caraku untuk menerobos Dewi Karang Samude-
ra" Perempuan ini memiliki kelebihan yang tak bisa
dianggap remeh," katanya dalam hati.
Sementara itu senyuman di bibir si perempuan
semakin berkembang ketika tatapannya menangkap
sinar kekhawatiran di sepasang mata milik pemuda
berbaju dan berikat kepala keemasan itu.
"Hmmm.... Pemuda ini harus segera kuselesai-
kan karena dia akan menjadi duri yang mengerikan,"
gumam Dewi Karang Samudera. Dan tiba-tiba saja, tu-
buhnya sudah menggebrak ke arah Tirta.
Menghampar angin panas dahsyat dikawal
dengan gemuruh mengerikan ke arah Tirta. Tirta yang
masih tegang memperhatikan si Pengusung Jenazah
yang nampaknya bersiap untuk mengusapkan tangan
kanannya pada jenazah kekasihnya, melompat ke be-
lakang dan segera digerakkan tangan kanannya.
Bettt! Bergulung dahsyat bagai satu irisan mengeri-
kan ditingkahi dengan gumpalan sinar keemasan, an-
gin menderu saat Pedang Batu Bintang digerakkan
Blaamm! Blaamm!
Dua benturan terjadi di udara. Memuncratkan
sinar biru dan keemasan ke angkasa. Membuat hutan
yang telah diselimuti malam itu berpendar terang.
Memercik dan membuat sebuah bayangan pada wajah
si Pengusung Jenazah yang mulai tersenyum ketika
diusapkan tangan kanannya yang seperti mengalirkan
darah pada wajah jenazah kekasihnya.
Tirta yang bermaksud menggagalkan keinginan
si Pengusung Jenazah, langsung mencelat ke muka
dan sebelumnya mengirimkan satu tendangan kaki
kanan yang kuat kepada Dewi Karang Samudera,
hingga perempuan berambut keperakan itu tidak
menghalangi keinginannya. Pedang Batu Bintang di
tangan kanannya digerakkan dari atas ke bawah, siap
membacok rengkah kepala si Pengusung Jenazah! Le-
laki berpunuk itu nampak tak bergerak sama sekali
dari tempatnya. Seolah tak merasakan angin yang di-
kawal oleh hawa dahsyat panas itu mengarah pa-
danya. Namun satu sentakan luar biasa terjadi....
Wusss! Gelombang angin yang menebarkan bau sangat
busuk menghampar deras, cepat dan begitu tiba-tiba.
Des! Des! Tubuh pemuda dari Gunung Rajawali yang ba-
ru saja mengayunkan Pedang Batu Bintang, mencelat
lima tombak ke belakang ketika dua buah hantaman
masuk pada pusaran angin yang ditimbulkan oleh Pe-
dang Batu Bintang.
Tubuhnya jatuh terduduk yang sebelumnya
muntah darah saat terpental tadi Rasa nyeri menjalar
begitu cepat. Rasa sakit mulai menyiksanya. Namun
semua itu ditahan ketika sepasang matanya yang me-
nyipit menahan sakit melihat satu sosok tubuh ter-
bangun dari berbaringnya, lalu menyusul suara serak
dan dingin. "Gumbarda! Mengapa tampangmu jelek seka-
li"!"
*** Si Pengusung Jenazah tersentak dengan kedua
mata terbuka lebar. Sesaat dia nampak terbengong
dengan mulut yang melebar. Detik berikutnya, dia su-
dah berteriak setinggi langit dan mendekap sosok di
hadapannya yang sekarang telah duduk dan memper-
hatikannya dengan kening dikernyitkan.
"Kau hidup kembali, Mayang Harum! Kau hi-
dup kembali!" sorak lelaki berpunuk itu seperti anak kecil. Dua pasang mata
milik si Rajawali Emas dan
Dewi Karang Samudera memperhatikan tak berkedip.
Masing-masing orang membatin tak karuan.
Dewi Karang Samudera membatin, seolah me-
lupakan si Rajawali Emas yang dalam keadaan terluka.
"Luar biasa! Kitab Pemanggil Mayat benar-
benar dahsyat. Dua orang yang telah mampus berhasil
di-bangkitkan. Iblis Kubur dan nenek peot berwajah
se- tan itu. Bagus! Meskipun cukup mengkederkan ha-
ti, biar bagaimanapun juga kedua orang celaka ini tentunya sahabat Guru.
Keduanya menginginkan kema-
tian Eyang Mahisa Agni. Sementara aku menginginkan
kematian salah seorang muridnya, si Raja Lihai Langit Bumi! Rasanya semua
keinginan itu akan ter-wujud!"
Sementara Tirta membatin sambil memegang
dadanya yang terasa nyeri, "Gila! Rupanya jenazah yang telah dihidupkan itu yang
menyerangku! Rasanya.... Gelombang dahsyat kejahatan akan semakin
meraja di rimba persilatan ini. Dengan berhasilnya si Pengusung Jenazah
membangkitkan jenazah kekasihnya, berarti Sepasang Pemburu dari Neraka mulai
ber- gerak kembali. Eyang Guru yang mereka inginkan.
Hmmm.... Ku lihat sejak tadi perempuan berbaju hijau
tipis dengan rambut seperti keperakan itu selalu tersenyum. Celaka! Aku bisa
menebak apa yang ada di be-
naknya! Tak mungkin aku bisa menghentikan semua-
nya sekarang. Sungguh tak kusangka, kalau jenazah
nenek itu telah berhasil dibangkitkan dan menghan-
tam ku. Benar-benar repot sekarang! Hhh! Baiknya, ku
pulihkan saja nyeri di dadaku ini."
Di depan sana, si Pengusung Jenazah mele-
paskan rangkulannya dan berdiri. Perlahan-lahan di-
bimbingnya jenazah kekasihnya yang telah berhasil di-
bangkitkan. Matanya yang menyorotkan sinar angker
tak henti-hentinya menatap nenek berbaju hitam yang
masih mengeluarkan bau busuk dari tubuhnya Itu.
"Kekasih ku Mayang Harum... dunia telah ter-
bentang kembali di depan matamu. Kehidupan pan-
jang selama tiga puluh tahun ku lalui dalam kesepian
rasanya mulai menguak kembali dalam alam yang in-
dah. Kini, Sepasang Pemburu dari Neraka telah bersa-
tu lagi. Mahisa Agni akan mendapatkan balasan dari
seluruh perbuatan busuknya padamu, Kekasih ku.
"Jadi, selama ini aku sudah mampus?"
"Ya! Malaikat Dewa yang menyebabkan kau se-
perti itu, Mayang!"
"Lalu, mengapa aku bisa hidup kembali?"
"Sangat panjang perjalanannya, Mayang! Kau
tak usah mempedulikan soal itu! Yang terpenting, kau
sudah hidup kembali! Dan kita akan bersama-sama
kembali!" Jenazah kekasih si lelaki tua berpunuk yang
bernama Mayang Harum itu mengernyitkan keningnya.
Sejak pertama kali dibangkitkan kembali, sepasang
mata kelabunya yang menjorok masuk ke dalam tak
sekali pun berkedip.
"Kitab apa yang berada di tanganmu itu, Gum-
barda?" tanyanya tiba-tiba.
"Kitab Pemanggil Mayat! Kitab inilah yang ber-
jasa telah membangkitkan mu kembali!"
"Orang tua berpunuk! Yang kau inginkan telah
tercapai berkat kebaikan ku! Apakah otak mu terlalu tolol sehingga kau tak
segera mengucapkan terima kasih kepadaku, hah"!" suara perempuan berbaju hijau
menyentak cukup keras, memutus percakapan Pengusung Jenazah dengan kekasihnya.
Dewi Karang Samudera merasa dia harus ber-
tindak lebih dulu. Dia harus memperlihatkan taring
untuk menutupi rasa kecutnya. Lelaki tua berpunuk
saja sudah sedemikian tinggi kesaktiannya, bagaimana
bila sekarang kekasihnya telah berhasil dihidupkan"
Kendati demikian, dia pantang untuk memperlihatkan
rasa kecutnya. Terutama bila teringat kalau lelaki berpunuk itu akan bisa
dikuasainya. * * * Bab 6 Mendapati ada orang yang memutus percaka-
pannya, lelaki tua berpunuk itu berputar dan mendelik tajam. Tetapi kejap lain
dia tertawa berderai, "Perempuan muda! Tentu kuucapkan terima kasih atas ban-
tuanmu meminjamkan Kitab Pemanggil Mayat ini! Ka-
rena, dengan kemurahan hati mu, selama tiga puluh
tahun aku menunggu, akhirnya aku bisa bersama-
sama lagi dengan kekasih ku. Ya! Ku ucapkan terima
kasih!" "Kalau begitu, lekas kembalikan kitab itu kepadaku!" Sebagai jawaban
permintaan yang bernada
membentak itu, si lelaki tua berpunuk terbahak-bahak
keras. "Perempuan muda yang memalsu wajah! Apa-
kah aku bodoh memberikan kembali Kitab Pemanggil
Mayat ini kepadamu" Jangan jual lagak di hadapanku!
Dengar baik-baik! Tinggalkan tempat ini segera atau....
Kau akan mampus bergelimang tanah!"
Berhenti berdetak jantung si perempuan men-
dapati jawaban yang di luar perkiraannya. Wajahnya
membesi dengan kedua tangan mengepal. Mulutnya
merapat dingin. Sepasang matanya terbeliak tajam ke
depan. "Setan tua berpunuk!" geramnya dengan kemarahan membuncah sampai ke ubun-
ubun. Lalu dikaw-
al dengan teriakan menggebah dahsyat dan mengge-
tarkan tempat itu, Dewi Karang Samudera sudah men-
celat ke muka. Menerjang ganas. Memadukan tiga ge-
brakan yang dicurinya. Jurus 'Undang Maut Sedot Da-
rah' milik Raja Lihai Langit Bumi sudah digebrakkan
ke muka dan sebelumnya melancarkan ilmu 'Tepukan
Cabut Sukma' yang di miliki oleh Dewi Kematian. Be-
lum lagi hilang gema dahsyatnya kedua ilmu aneh itu,
telah dilepaskan melalui tangan kirinya jurus 'Kabut Kuning' milik Manusia Mayat
Muka Kuning. Rangkaian tiga gebrakan itu mengarah pada si
lelaki tua berpunuk yang memekik cukup kencang.
Jurus 'Undang Maut Sedot Darah' menebarkan sinar
biru yang sangat kuat. Menyusul tepukan dahsyat
yang memekakkan kedua gendang telinga Pengusung
Jenazah. Hamparan dan kabut kuning yang dile-
paskan terakhir oleh Dewi Karang Samudera me-
nambah kengerian Pengusung Jenazah Lalu mengelua-
rkan pekikan yang cukup keras, lelaki berpunuk itu
membuang tubuh ke samping. Bersama dengan itu,
kedua tangannya yang terbuka digebah ke muka den-
gan cara mendorong. Tenaga dalamnya dilipat-
gandakan. Wussss!
Menghampar gelombang dingin luar biasa ke
arah gebrakan Dewi Karang Samudera. Bentrokan pun
tak bisa dihindarkan lagi. Suara letupan berulangkali terdengar. Mengejutkan dan
membuat tempat itu tak
ubahnya seperti dilanda gempa. Sinar biru dan kabut
kuning berpendar menerangi tempat itu. Semak belu-
kar langsung tercabut. Tanah di mana tempat terjadi
bentrokan itu rengkah. Memuncratkan debu yang
membubung tinggi.
Tatkala semuanya sirap, terlihat sosok Dewi
Karang Samudera jatuh terduduk dengan darah men-
galir dari hidung dan mulutnya. Sekujur tubuhnya
mendadak membeku. Matanya mendelik gusar. Dan ti-
ba-tiba saja sebelah mata kirinya memancarkan sinar
hijau yang cemerlang yang bersamaan dengan itu ke-
bekuan dalam tubuhnya sirna seketika.
"Hhh! Ilmu 'Pengendali Mata'!" perempuan tua berbaju hitam dengan rambut
tergerai panjang kusut
tak beraturan yang berhasil dihidupkan kembali, men-
geluarkan suara seperti mendengus namun bernada
melecehkan. Lalu sepasang matanya yang tak berkedip
menoleh kepada Pengusung Jenazah yang tengah
mengalirkan tenaga dalam akibat bentrokan tadi. Ti-
dak terlalu parah dan tidak cedera apa-apa. "Gumbarda! Setahuku si Tengkorak
Darah, sahabat kita yang
memiliki ilmu 'Pengendali Mata' yang saat kita dengar baru saja mempelajarinya
setengah. Bagaimana tahu-tahu ilmu itu berada di tangan perempuan tua yang ku
tahu juga memalsu wajah?"
Lelaki berpunuk yang bernama asli Gumbarda
menoleh pada kekasihnya. Sambil menyunggingkan
senyum dia menjawab, "Perempuan itu mengaku
Tengkorak Darah adalah gurunya. Dan ilmu pengenda-
li Mata' didapatkan dari si Tengkorak Darah!" "Setahu ku.... Manusia tengkorak
itu tak pernah memiliki murid"! Bicara apa dia?"
"Begitu pula denganku! Tetapi masih sempat si-
rap kabar kalau dia telah mengambil dua orang murid
perempuan. Tak heran sebenarnya, karena manusia
itu berwatak culas yang doyan perempuan!"
Sementara itu, si Rajawali Emas yang telah
berhasil memulihkan kondisinya akibat serangan ke-
kasih si Pengusung Jenazah memperhatikan dengan
kening berkerut.
"Ternyata, keculasan dunia ini banyak diperli-


Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatkan oleh manusianya! Tentunya perempuan berba-
ju hijau tipis itu marah besar karena di luar perkiraan kalau si lelaki tua
berpunuk tak mau mengembalikan
Kitab Pemanggil Mayat! Hmmm... dia telah mempergu-
nakan ilmu 'Pengendali Mata'-nya kembali. Apa yang
harus kulakukan sekarang" Tetapi biar bagamanapun
juga, aku harus bisa merebut Kitab pemanggil Mayat.
Karena, sepak terjang Iblis Kubur yang sekarang tak
tahu di mana harus dihentikan
Di depan sana, Mayang Harum, salah seorang
dari Sepasang Pemburu dari Neraka yang telah dihi-
dupkan kembali, berkata lagi pada si lelaki tua berpunuk, "Gumbarda! Apakah kau
lupa dengan kelemahan ilmu 'Pengendali Mata'?"
Sebagai jawaban atas pertanyaan kekasihnya
dengan wajah cerah si Pengusung Jenazah menyahut.
"Mana mungkin aku lupa soal kelemahan ilmu
itu. Tidakkah kau ingat, si Tengkorak Darah saat kita di undang ke Gua Siluman
Setan mengatakan semua
itu" Arak merah telah membuatnya mabuk dan men-
gatakan kelemahan ilmu itu kendati belum berhasil
menyempurnakannya.
"Lalu, apa yang kau tunggu sekarang, hah"
Bunuh perempuan celaka itu! Gunakan tenaga luar
dan mata sebelah kirinya diincar!"
Di tempatnya yang berjarak tiga tombak Dewi
Karang Samudera melengak dan mengeluarkan suara
tertahan. "Celaka! Rupanya kedua manusia sialan ini ta-
hu kelemahan ilmu 'Pengendali Mata'! Aku tak bisa
berkutik sekarang" Tak akan mungkin bisa ku curi il-
mu yang keduanya miliki untuk menandangi serangan
mereka" Dan bisa-bisa tubuhku akan direngkah han-
cur tanpa bisa mengutuhkannya kembali setelah ke-
kuatan ilmu 'Pengendali Mata' yang terletak di bagian mata sebelah kiri
dihancurkan! Keparat! Tak ada jalan lain untuk minggir! Satu-satunya cara, aku
harus kembali menemukan Iblis Kubur! Manusia itulah yang
bisa menghadapi kedua manusia celaka ini!"
"Gumbarda!" berseru nenek berbaju hitam dengan suara nyaring dan tatapan tak
sekali pun berke-
dip. "Apakah kau tidak melihat kalau perempuan tua pemalsu wajah menjadi muda
itu kelihatan tegang"
Dia nampaknya sudah tak punya nyali! Kau bunuh
dia! Sementara akan kuhajar sampai mampus pemuda
yang tadi hendak membokongmu!"
Dewi Karang Samudera yang benar-benar su-
dah putus nyali setelah rahasia ilmu 'Pengendali Mata'
ternyata diketahui oleh kedua orang itu, perlahan-
lahan mundur tiga tindak ke belakang. Sepasang ma-
tanya tajam memandang ke muka.
"Kalian telah berani lancang mengkhianati per-
sahabatan guruku! Berarti, kalian akan mampus
Si Pengusung Jenazah mendelik dengan mata
pentangkan lebih lebar.
"Ucapanmu sungguh hebat! Dan nyawamu ru-
panya hanya sampai di sini!"
Namun sebelum si Pengusung Jenazah melan-
carkan serangan, Dewi Karang Samudera yang benar-
benar putus nyali dan bermaksud untuk menyusul Ib-
lis Kubur telah mencelat sedemikian cepat. Tahu-tahu
tubuhnya sudah tidak nampak lagi di mata. Tinggallah
Tirta yang kini berdiri gagah dengan Pedang Batu Bin-
tang di tangan kanan dan seluruh tubuh telah dialir-
kan tenaga surya.
Begitu Mayang Harum menderu dengan mengi-
baskan tangan kanannya, dia pun mencelat ke muka
Bagi Tirta, tak ada jalan lain lagi selain mengadu jiwa.
Wuuuttt! Wrrrr! Hamparan gelombang yang luar biasa panas
menderu dikawal dengan gemuruh angin dan kilat si-
nar keemasan yang sangat terang. Saat itu hari sudah
mulai memasuki pagi. Di kejauhan nampak sang fajar
mulai melepaskan panah merahnya.
Blaaar! Serangan si nenek berhasil dihalau dan me-
nimbulkan suara ledakan dahsyat yang mengguncang
tempat itu. Tirta hanya merasakan tubuhnya tertahan
sejenak. Kejap lain dia sudah meneruskan serangan-
nya. Mayang Harum menggeram dengan tatapan tak
berkedip. Dia membuang tubuh ke kanan dan merun-
duk saat Pedang Batu Bintang mengarah pada leher-
nya. Lalu meloncat ke belakang tatkala Tirta menu-
sukkan pedang itu, lalu membabat. Praaak! Prak!
Praaak! tiga suara keras terdengar. Menyusul suara
berdentum yang sangat dahsyat. Rupanya, sambaran
Pedang Batu Bintang gagal mengenai sasaran. Dan se-
bagai gantinya, tiga batang pohon dibabat dan am-
bruk. Detik lain, tiga batang pohon yang ambruk itu
telah menjadi serpihan menghangus.
"Mayang Mengapa kau masih bertindak ayal"!"
seru si Pengusung Jenazah cukup tersentak.
"Jangan sembarangan omong! Aku merasakan
satu tenaga luar biasa panasnya berada di dalam tu-
buh pemuda itu! Dan pedang di tangannya, begitu
mengerikan sekali! Sambaran anginnya sudah mem-
buat bulu kudukku berdiri!" sahut kekasihnya sambil berlompatan.
"Hmmm.... Tak heran bila pedang itu memang
hebat! Karena dibuat dari Batu Bintang. Tetapi, tenaga aneh yang keluar dari
tubuh pemuda itu pun tadi ku
rasakan pula! Memang cukup mengerikan! Biar uru-
san cepat selesai, baiknya kubantu saja Mayang Ha-
rum!" Habis mendesis demikian, si Pengusung Jenazah mencelat dengan satu
gebrakan yang luar biasa
aneh. Kedua kakinya bagai berjingkring, lalu meluncur tak ubahnya anak panah!
Tetapi bagi Tirta, memang itulah yang diha-
rapkannya. Serangan yang dilancarkannya pada
Mayang Harum, sedikit banyaknya adalah pancingan
belaka Karena, dia memang menunggu si Pengusung
Jenazah menyerangnya.
Dengan meliukkan tubuh dan mengubah se-
rangannya sedikit, Tirta bergerak seperti hendak mem-
bacok kepala si Pengusung Jenazah. Bersamaan itu,
tangan kirinya yang telah terangkum tenaga surya, di-
lepaskan ke muka.
Wuuusss! Si Pengusung Jenazah terpekik sejenak, lalu
mengibaskan kedua tangannya. Serangkum angin ber-
hawa dingin luar biasa menderu. Untuk sejenak ber-
hasil memutus hawa panas yang dilepaskan Tirta.
Kendati demikian, sergapan Pedang Batu Bin-
tang cukup mengejutkannya. Tubuh si lelaki tua ber-
punuk berputar dua kali. Saat itulah Tirta melepaskan tendangan kaki kanannya.
Buk! Tubuh si Pengusung Jenazah terlempar ke be-
lakang dua tombak. Sementara Tirta sendiri terhuyung
tiga tombak ke belakang. Namun berkat kekuatan te-
naga surya yang dilepaskannya dipadu dengan kedah-
syatan Pedang Batu Bintang, dia langsung menyergap
kembali diiringi teriakan keras.
Dan mendadak Pedang Batu Bintang digerak-
kannya ke kiri, ketika mendapati satu deruan menga-
rah padanya. Blaaar! Angin yang mengancamnya pupus di tengah ja-
lan sementara tubuhnya terus menderu ke arah si
Pengusung Jenazah.
Des! Jotosan tangan kirinya mengenai dada si lelaki
tua berpunuk yang hanya terhuyung tanpa cedera Tir-
ta yang tahu kalau tenaga surya yang dimilikinya tak banyak berarti bagi si
Pengusung Jenazah namun cukup mengkederkan hati Mayang Harum, langsung ber-
kelebat cepat. Tap! Tangannya menyambar Kitab Pemanggil Mayat
dari balik baju hitam kusam si Pengusung Jenazah.
Namun hal itu harus dibayar mahal. Karena kaki ku-
rus penuh bulu si lelaki tua berpunuk, masih sempat
menghantam telak pinggangnya.
Sesaat Tirta terhuyung dengan tulang iga yang
terasa patah. "Tak mungkin aku bisa menghadapi kedua ma-
nusia ini! Kitab Pemanggil Mayat telah berhasil kuda-
patkan! Tentunya aku bisa menghentikan dan membi-
kin mati kembali si nenek itu. Tetapi untuk saat ini, lebih baik menghindar dulu
karena tak akan mungkin
aku bisa bertahan lama. Keduanya sudah bersatu se-
karang, meskipun tadi sempat kubuat pertahanan ke-
duanya kacau."
Yang diinginkan Tirta ternyata tak semudah
yang diperkirakannya. Dia harus bertahan dan mele-
paskan serangan sebisanya dari dua gebrakan maut
yang dilakukan silih berganti itu.
Dan berkali-kali tubuhnya harus terhantam ha-
jaran telak dari kedua lawannya yang berusia beberapa kali lipat dari usianya.
Rasa sakit yang tak terkira sudah ingin membuatnya menjerit setinggi langit. Na-
mun jiwa kependekarannya yang terbentuk berkat
bimbingan orang-orang sakti, membuatnya merasa ha-
rus bertahan. Masih sempat tergambar dalam pikiran-
nya untuk memanggil burung rajawali raksasa ber-
warna keemasan yang sangat disayanginya. Namun
untuk saat ini rasanya terlambat. Jalan Satu-satunya memang harus berusaha
menghindar dengan mempergunakan jurus menghindar yang diajarkan Bwana saat
dia mendiami Gunung Rajawali pun dipergunakan. Ju-
rus 'Rajawali Putar Bumi' ternyata cukup berguna.
Sambil sesekali melakukan serangan-balasan dengan
kibasan, sabetan, tusukan, dan bacokan Pedang Batu
Bintang, Tirta akhirnya melihat satu kesempatan lo-
wong. Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya dia
mencelat ke belakang dan lenyap dari pandangan mu-
suh. Tinggallah Sepasang Pemburu dari Neraka yang
menggeram keras sambil melontarkan makian dahsyat.
Untuk beberapa lama tempat itu hanya dipenuhi den-
gan teriakan marah!
"Gumbarda! Aku menginginkan nyawa pemuda
itu!"seru, si nenek dengan wajah mengerikan. "lelaki tua berpunuk hanya
mengangguk-anggukkan. kepalanya. Sepasang matanya pun membiaskan kemarahan
yang luar biasa. Lalu perlahan-lahan dihampiri keka-
sihnya yang selama tiga puluh tahun menjadi mayat
dan selalu diusungnya sungguh sulit diperkirakan apa
yang ada di hati si Pengusung Jenazah setelah menda-
pati kekasihnya hidup kembali.
"Urusan pemuda itu bisa kita tangguhkan,
Mayang. Untuk saat ini, yang terpenting kita harus
mencari si Malaikat Dewa! Manusia keparat itu harus
menerima ganjaran atas perbuatannya kepadamu,
Mayang!" Mayang Harum nampak bersungut-sungut tak
karuan. "Aku tak ingin mati kembali gara-gara kitab itu!
Kau harus mendapatkannya, Gumbarda!"
"Tentu, tentu saja aku akan merebutnya kem-
bali! Sekarang, apakah kau tega membiarkan ku sela-
ma tiga puluh tahun ini tidak mengecap kenikmatan
dunia, Mayang?" suara si lelaki tua berpunuk tiba-tiba berubah menjadi serak.
Pancaran matanya yang bi-asanya angker, kali ini bersinar penuh birahi.
Sementara itu kekasihnya pun tiba-tiba me-
nyunggingkan senyuman.
"Kau membuatku malu, Gumbarda."
Lelaki tua berpunuk itu terbahak-bahak. Lalu
membopong tubuh kekasihnya yang pernah menjadi
mayat dan berhasil dihidupkannya kembali ke balik
sebuah semak. Tanpa menghiraukan bau busuk yang
sangat menyengat, lelaki tua berpunuk itu Segera
mencumbu kekasihnya.
*** Bab 7 Gerakan alam begitu tak terasa sama sekali.
Seiring. dengan berlarinya sang waktu yang sedemi-
kian cepatnya. Hari telah memasuki senja kembali. Be-
gitu banyaknya kejadian-kejadian yang telah terlewati dan akan dilewati tanpa
pernah terpikirkan kejadian
apa yang akan terjadi.
Gerumbul semak belukar menguak, menyusul
burung-burung beterbangan akibat ku akan yang dila-
kukan dengan tiba-tiba itu. Satu sosok tubuh muncul
dari semak yang terkuak itu. Sepasang matanya yang
dalam dan tajam, memperhatikan sekelilingnya dengan
pancaran mata yang tak bisa menyembunyikan rasa
ngeri. Kengerian itu pun terbayang di wajahnya yang
penuh keriput. "Gila! Apakah akan ku urungkan saja niatku
ini?" gumam sosok tubuh itu sambil menahan napas.
Kegelisahannya semakin nyata saja.
Dan tiba-tiba orang itu tersedak. Dari mulutnya
mengalir darah segar. Rupanya dia sedang dalam kea-
daan terluka. Segera dialirkan tenaga dalamnya yang
nyata-nyata tak membawa arti pada luka yang dideri-
tanya. Di usapnya darah yang tersisa di bibirnya dengan punggung tangan kirinya,
sementara tangan ka-
nannya menekan dadanya yang nyeri.
"Luka sialan! Apakah aku akan mampus di si-
ni" Tidak, aku tidak boleh mampus dulu sebelum se-
muanya kulakukan. Tak peduli apakah aku akan me-
nerima kematian di tempat menyeramkan ini atau ti-
dak." Orang berusia lanjut itu mendesis dengan menahan nyeri pada dadanya. Lalu
kembali diedarkan pan-
dangannya ke seantero tempat yang dipenuhi dengan
pepohonan tinggi. "Hmm... kalau tak salah ingat, hutan inilah yang disebut Hutan


Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seratus Iblis. Hutan
tempat Raja Pocong Hitam berdiam' Tetapi, di mana
aku bisa menemukan kakaknya Ratu Tengkorak Hitam
itu?" Lelaki bermuka hitam cekung dengan kening yang selalu berkerut itu menahan
sakit dan rasa tegang yang tiba-tiba datang. Rambutnya panjang men-
julai sampai ke punggung. Makin tak beraturan di-
hembusi angin yang menyusup masuk dari satu pohon
ke pohon lain. Hidungnya besar dengan mulut lebar.
Mengenakan pakaian panjang berupa jubah warna bi-
ru pekat. Orang tua yang bukan lain si Jubah Setan
adanya itu menarik napas panjang dengan mata yang
masih memperhatikan sekitarnya. Yang nampak ha-
nyalah jajaran pepohonan tinggi yang mengerikan. Cu-
kup membuat jantung seperti hendak copot begitu sa-
ja. Setelah bertarung dengan si Rajawali Emas,
Jubah Setan bersama dengan kambratnya yang berju-
luk si Jubah Mambang, segera berlalu dari tempat per-
tarungan. Kemunculan keduanya yang ternyata men-
cari Ratu Tengkorak Hitam, di mana si nenek pengu-
nyah susur yang telah tewas di tangan si Rajawali
Emas itu, adalah kekasih keduanya yang kerap me
madu kasih selagi mendiang Guru Ratu Tengkorak Hi-
tam tak ada di tempatnya. Keduanya marah bukan
main mengetahui Ratu Tengkorak Hitam tewas di tan-
gan si Rajawali Emas. Namun keduanya pun tak ber-
hasil membalas dendam Ratu Tengkorak Hitam hingga
memutuskan untuk berlalu dari sana. Dalam perjala-
nan mereka, keduanya berjumpa dengan Ayu Wulan,
murid si Manusia Pemarah yang berada dalam kea-
daan gundah, karena pemuda yang diam-diam dicintai
diduganya telah memiliki kekasih. Niat busuk kedua
lelaki tua berjubah itu untuk mempermalukan Ayu
Wulan ternyata kandas setelah munculnya Dewa Bu-
mi. Bahkan, Jubah Mambang pun akhirnya tewas di
tangan Dewa Bumi. Jubah Setan yang merasa akan
membuang nyawa sia-sia bila menghadapi Dewa Bumi,
memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, Semen-
tara Dewa Bumi mengajak Ayu Wulan menuju ke Gu-
nung Siguntang. Jubah Setan yang ingin mengabarkan
sekaligus meminta bantuan dari Raja Pocong Hitam
tentang kematian Ratu Tengkorak Hitam sekarang
mengira-ngira lagi di mana tempat kediaman Raja Po-
cong Hitam berada.
"Sulit diduga di mana dia berada. Aku hanya
dua kali diajak ke sini oleh Ratu Tengkorak Hitam. Itu pun Ratu Tengkorak Hitam
yang memanggilnya
Sayangnya, aku tidak pernah tahu bagaimana cara
memanggil manusia yang dibalut oleh seluruh kain hi-
tam dari atas kepala hingga ke kedua telapak kaki nya yang sampai saat ini aku
tidak pernah tahu bagaimana
rupanya." Selagi si kakek berjubah hitam panjang sedang
menimbang-nimbang, mendadak saja dirasakan selu-
ruh hutan itu berubah menjadi sunyi. Tak ada desir
angin yang sejak tadi merayap mempermainkan de-
daunan. Tak ada suara burung atau binatang hutan
lainnya. Yang ada hanya hawa dingin yang mendadak
menguar tanpa adanya angin.
"Aneh! Bertanda apa perubahan alam ini Men-
gapa begitu tiba-tiba saja. Dan bulu kudukku bertam-
bah meremang. Jantungku sendiri makin berdetak le-
bih cepat. Oh! Apakah harus ku tinggalkan tempat ini
dan ku urungkan niat semula. Tetapi...."
Kata hati si Jubah Setan terputus seperti ma-
suk ke dasar neraka tatkala telinganya menangkap su-
ara dingin seperti rayapan angin, mendesah-mendesah
dan bersuara serak.
"Tanpa permisi orang memasuki Hutan Seratus
Iblis, maka dia akan meninggalkan tempat ini tanpa
nyawa. Tetapi rasanya, aku pernah melihat siapa diri-
mu. Kalau tak salah ingat, engkaukah yang berjuluk
Jubah Setan yang pernah datang ke tempatku ini ber-
sama adikku" Kalau memang iya, bukankah saat itu
ada orang lain yang berjuluk Jubah Mambang" Ke
mana orang itu?"
Seperti menemukan batu permata di hadapan
mata, lelaki tua berjubah biru pekat itu langsung,
menjatuhkan tubuh bersujud. Tak dihiraukan rasa sa-
kit pada dadanya yang cukup terasa menyiksa dan ali-
ran darah yang nampaknya meluncur keluar dari mu-
lutnya. "Apa yang kau duga itu benar adanya! Aku si Jubah Setan, kawan akrab
Ratu Tengkorak Hitam.
Sayangnya, kambratku si Jubah Mambang tak bisa tu-
rut serta! Dia telah tewas!" Suara lelaki tua berjubah biru pekat itu gemetar,
berpadu dengan rasa tegang
dan gembira menjadi satu.
"Dalam dunia ini yang dialami oleh setiap mak-
hluk hidup hanya ada dua kata. Mati dan hidup. Bila
kau datang hanya untuk mengabarkan soal kematian
kambratmu itu, silahkan tinggalkan tempat!"
"Raja Pocong Hitam.. kedatanganku bukan
hanya itu saja. Tetapi, juga hendak mengabarkan ten-
tang adikmu itu," kata Jubah Setan dengan suara agak tersedak.
"Kabar apa yang hendak kau sampaikan?"
Jubah Setan menarik napas. Wajahnya ber-
tambah tegang. Kali ini memikirkan kemungkinan
apakah dia harus mengatakannya atau menghenti-
kannya saat itu juga.
"Jangan main-main di hadapan ku bila masih
sayang nyawa!" bentakan keras itu seperti hendak me-ledakkan gendang telinga
lelaki berjubah hitam itu.
Lalu dengan suara tertahan dan penuh kebim-
bangan, Jubah Setan mengatakan juga tentang Ratu
Tengkorak Hitam.
"Dia.... Dia telah tewas. sesaat kesunyian mere-
bak. Tetap tak ada desir angin atau suara hewan hu-
tan itu. Yang makin terasa hawa dingin yang mampu
merontokkan tulang belulang dan menghentikan jalan
darah. Detik berikutnya, tiba-tiba saja sepuluh batang pohon jati besar tercabut
dan terlempar ke berbagai
tempat dengan menimbulkan suara berdebam dahsyat!
Menggigil tubuh si Jubah Setan mendapatkan
pohon-pohon itu tercabut dan beterbangan. Belum lagi
ketegangannya reda, satu bentakan yang bisa meng-
hancurkan gendang telinga menggebah hutan itu,
menggugurkan dedaunan dan membubung tanah serta
debu saat itu juga.
"Katakan! Siapa yang telah membunuhnya!"
"Dia... dia.... Pemuda yang berjuluk si Rajawali Emas.
Sementara, kambratku tewas di tangan manusia bun-
tal yang berjuluk Dewa Bumi!"
Sesaat tak ada suara apa pun. Namun si Jubah
Setan bagai kesulitan untuk bernapas. Bukan karena
rasa sakit di dadanya yang semakin menyiksa, namun
ketegangan yang semakin datang melanda dirinya.
"Bangun!" bentakan itu terdengar sangat keras hingga si Jubah Setan tanpa
menggerakkan tubuhnya
sudah terjengkang ke belakang.
Dan sepasang matanya terbeliak lebih lebar
dengan mulut terbuka. Di hadapannya, berjarak sepu-
luh tombak, telah berdiri satu sosok tubuh terbungkus kain hitam dari kepala
hingga ke telapak kaki. Di pinggang sosok tubuh itu terikat oleh sehelai kain
hitam. Begitu pula kain di bagian kepalanya hingga sebagian
kecil agak menjuntai bagai membentuk kuncir namun
tidak melambai. Sukar menilai bagaimana bentuk tu-
buh orang yang terbungkus kain hitam itu.
Yang bisa diperkirakan, orang itu bertubuh cu-
kup tinggi. Dan mengenai wajahnya, kendati seperti
ada ruang untuk melihat wajahnya, namun tak nam-
pak apa-apa. Begitu gelap. Yang tersisa hanya panca-
ran mata yang menyala warna merah!
"Raja Pocong Hitam," membatin penuh rasa tegang si Jubah Setan. Lalu perlahan-
lahan dia berlutut dengan kepala tertunduk.
"Aku tidak suka mendapat kabar yang memua-
kkan seperti ini! Ratu Tengkorak Hitam... adalah adik-ku satu-satunya di muka
bumi ini, yang akhirnya di-
pungut menjadi murid oleh Maharaja Langit Hitam.
Kendati kami terpisah cukup jauh, namun hati kami
lekat adanya! Tak seorang pun yang boleh melukai
adikku, apalagi membunuhnya! Tak terkecuali Maha-
raja Langit Hitam sendiri yang kudengar tewas di tan-
gan si Malaikat Dewa! Jubah Setan! Bawa aku mencari
pemuda berjuluk Rajawali Emas!"
Jubah Setan sebenarnya ingin mengatakan ka-
lau dia hendak meminta bantuan sosok berkain hitam
pekat dari atas hingga ke bawah untuk membunuh
Dewa Bumi yang menyebabkan tewasnya si Jubah
Mambang. Namun untuk saat ini, dia tak berani mela-
kukannya. Karena disadarinya, salah bicara sedikit sa-ja maka nyawa menjadi
taruhannya."
Lalu dengan suara tersendat dia berkata, Aku
akan menunjukkannya." .
Sosok berkain hitam pekat itu merandek den-
gan suara menggebor, "Jubah Setan! Tangguhkan perjalanan ini barang sejenak!
Karena ku lihat kau terlu-ka! Bila saja kau bukan kekasih adik ku, akan kubiar-
kan kau mampus dengan penderitaan semacam itu!"
Lalu dengan gerakan yang aneh, dengan cara
melompat-lompat, Raja Pocong Hitam telah berdiri di
hadapan si Jubah Hitam yang tengah menarik napas
lega mendengar ucapan sosok berkain hitam pekat
yang menutupi seluruh tubuhnya.
Tetapi detik berikutnya, lelaki tua berjubah biru
itu telah jatuh pingsan karena tak kuasa menahan ra-
sa sakit yang dibalur dengan ketegangan yang sempat
menderanya tadi.
*** Bab 8 "Anak manis.... Tak usah kau menyesali soal
hidup karena kita berada dalam kapal yang hidup.
Soal cinta, merupakan sebagian dari rahasia Tuhan.
Kata-kata itu meluncur dari mulut sosok buntal
yang mengenakan kalung sangat besar di lehernya
hingga terdengar suara berayun-ayun. Pakaian batik
yang terbuka di dadanya, entah karena tak bisa di
kancing kebesaran perut atau memang karena tak
punya pakaian lagi, menampakkan bungkahan da-
danya tak ubahnya dada seorang wanita. Di tangan
kanannya terdapat sebuah cangklong yang sangat be-
sar Tak mengeluarkan asap apa-apa. Tetapi ketika di-
hisapnya, mengepul asap yang wangi dari mulutnya!
Gadis yang sejak tadi duduk di sebuah tepi
sungai sambil memperhatikan aliran sungai tersebut, tersentak mendapati suara di
belakangnya. Terburu-buru dia menoleh, lalu kejap lain dia sudah meman-
dang aliran sungai kembali.
Meskipun hanya menoleh sekilas, tetapi manu-
sia buntal yang menghisap cangklong tak berapi itu
namun saat dihembuskan mengeluarkan asap, telah
melihat guratan duka yang dalam pada sepasang mata
yang sangat redup milik si gadis.
"Jangan gundah. Karena, semakin kita bergun-
dah, jiwa tak akan ramah. Bersyukur pada Yang maha
Kuasa karena kau masih diberinya rasa cinta."
Gadis yang memiliki wajah bentuk bulat telur
dengan dagu agak menjuntai menarik napas pendek.
Hidungnya mancung dengan bibir tipis yang memerah
indah. Sepasang alisnya hitam, dihiasi dengan bulu
mata lentik. Sepasang matanya yang selalu terbuka ce-
rah itu, kali ini menyiratkan kegundahan yang tiada
tara. Rambutnya panjang hingga ke bahu, dibiarkan
tergerai begitu saja. Pakaian putih bersih yang dikenakannya, dihiasi sulaman
bunga mawar di bagian ka-
nan. Di pinggangnya yang ramping, melilit sebuah
cambuk. Sambil menahan gejolak di dadanya dia meno-
leh pada sosok buntal di belakangnya yang sedang
menghisap cangklong besar.
"Kek... apakah yang kau tahu tentang cinta?"
tanya si gadis yang tak lain adalah Ayu Wulan adanya
dengan suara serak.
Manusia buntal yang tak lain si Dewa Bumi
tersenyum. Bila Ayu Wulan berdiri, tinggi sosok buntal itu hanya sepundaknya
saja. "Cinta selalu datang tiba-tiba. Terkadang perla-
han dan terkadang membabi buta. Rasa cinta sangat
dalam dan merupakan satu anugerah bila dijalani
dengan rasa gembira. Namun, cinta bisa berubah men-
jadi petaka bila dijalani dengan rasa duka. Anakku,
urusan cinta yang kau pendam tak seharusnya mem-
bikin kau merana. Karena...."
"Tetapi, aku memang mencintainya, Kek...," ka-ta murid si Manusia Pemarah itu
tanpa malu-malu.
Sungguh, gadis ini merasa beruntung berjumpa
dengan lelaki tua aneh yang bertubuh buntal dan ber-
juluk Dewa Bumi. Bila saja Dewa Bumi tidak muncul,
tak mustahil dia akan dipermalukan oleh Jubah Setan
dan Jubah Mambang.
Ayu Wulan yang saat itu tengah merenungi na-
sib malangnya karena si Rajawali Emas, pemuda yang
di cintainya diduga telah mempunyai kekasih, akhir-
nya memutuskan untuk mengikuti Dewa Bumi yang
menuju ke Gunung Siguntang. Sebelumnya, Ayu Wu-
lan melihat Tirta sedang bersama Andini di saat me-
nemukan Marbone yang terluka hebat di cengkeraman
kedua kaki Bwana.
Dan gadis itu berusaha untuk melupakan se-
genap cintanya pada Tirta. Diikutinya Dewa Bumi den-
gan harapan bisa berjumpa dengan gurunya.


Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun, Dewa Bumi memang manusia sakti.
Dia bisa mengetahui apa yang dirasakan dan dirisau-
kan Ayu Wulan. Hingga berulangkali Dewa Bumi me-
na-sihatinya agar jangan terlalu larut dalam cinta. Dan Ayu Wulan sendiri tanpa
malu-malu berterus terang
mengatakan kalau dia mencintai si Rajawali Emas. .
"Anakku, cinta berkarat dalam hatimu. Jangan
bikin dirimu menjadi kecewa dan penuh duka. Baik-
nya, kau buka tatapan mu lebih dalam dan lebar ke
penjuru persada. Di sanalah kau akan menemui cinta."
"Kek... yang kau katakan itu memang mudah.
Tetapi, aku tak bisa melakukannya begitu saja."
Dewa Bumi menghisap cangklong besarnya lagi.
Dan kembali saat dihembuskan mengeluarkan asap
yang menebarkan bau wangi, memenuhi tempat itu.
"Untuk saat ini, kau merasakan seperti itu ka-
rena kau terlalu terikat oleh cinta. Tetapi, kau akan bi-sa segera melupakannya
bila kau bisa menekan cinta
mu dalam-dalam. Bukan dalam arti kau membua-
ngnya. Tak ada yang bisa membuang rasa cinta di da-
lam hati. Kalaupun dipaksakan akan berakhir dengan
kebencian. Anakku, cinta itu merupakan sebagian ra-
hasia Tuhan yang tak bisa dipecahkan oleh akal ma-
nusia." Ayu Wulan menundukkan kepalanya lagi. Dia membenarkan kata-kata Dewa
Bumi. Kendati demikian, sangat sulit baginya untuk melupakan soal cin-
tanya pada Tirta. Pemuda tampan berbaju keemasan
yang pertama kali dijumpainya saat dia hendak mandi
di sebuah sungai, dan menolongnya dari cengkeraman
Iblis Kubur. Ketika terbayang kembali bagaimana gurunya
memintanya untuk mencari pemuda itu karena gu-
runya menghendaki dia berjodoh dengan Tirta, Ayu
Wulan sebenarnya sangat senang. Tetapi, sudah tentu
dia tak mau memperlihatkannya. Dan di saat penca-
riannya, justru dia melihat pemandangan yang tak
mengenakannya yang seketika meruntuhkan seluruh
isi hatinya. Dilihatnya pemuda yang dicintainya itu
bersama seorang gadis berbaju merah dengan ikat
pinggang dan pita berwarna biru.
"Apakah yang harus kulakukan untuk Saat ini
Kek?" tanyanya tak bisa mengatasi rasa cinta dan kegundahan yang bersatu padu.
Biar bagaimanapun
alam telah menempa perjalanan hidupnya serta ber-
bekal ilmu yang cukup, namun gadis itu rasanya tak
mampu mengatasi cintanya sendiri.
Dewa Bumi tersenyum kembali.
"Jalan masih panjang membentang, penuh ha-
lang dan rintang. Sekali manusia gigih menerjang,
akan tercapai kemenangan penuh gemilang."
"Orang tua bertubuh buntal ini selalu bicara
dengan nada terayun-ayun. Kendati aku harus meraba
setiap jawabannya untuk mendapatkan kepastian,
namun aku bisa mengerti apa yang hendak dikatakan-
nya," kata Ayu Wulan dalam hati. Lalu perlahan-lahan dia berdiri. "Kek... apakah
aku harus mematikan rasa cintaku ini?"
"Anakku, seperti yang kukatakan tadi, jangan-
lah coba membuang apalagi mematikan rasa cinta da-
lam dada. Karena akan makin terasa bergelora, dalam
dan penuh dengan liku perjalanan. Biarkan cinta tetap ada di dadamu. Karena,
cinta merupakan rangkaian
sebab-akibat dari rahasia Tuhan. Sebentar lagi malam
akan datang. Tidakkah kau lapar, Anakku?"
Kalau sejak tadi Ayu Wulan tak merasakan la-
par, kali ini dia merasa sangat kelaparan. Seperti anak kecil dia menganggukkan
kepalanya. Lalu dilihatnya Dewa Bumi menghisap
cangklongnya. Mulutnya yang bundar nampak sema-
kin bundar karena di mulutnya kini terdapat gumpa-
lan asap, Kepalanya yang berleher pendek dan meng-
gelambirkan daging yang lebih bergerak ke sana kema-
ri. Lalu Wuuuttt Pluk! pluk! pluk!
Asap di mulutnya di hembuskan dengan cara
menyentak. Dan tiga ekor burung yang sedang terbang
tersambar dan jatuh.
"Pangganglah. Isilah perutmu dulu. Setelah
itu... baru kita putuskan langkah berikutnya."
Selang beberapa saat, tiga burung panggang itu
telah habis dimakan. Ayu Wulan menatap Dewa Bumi
dengan penuh rasa terima kasih yang dalam
"Langkah apa yang kau maksudkan tadi, Kek?"
"Seperti ku katakan, aku hendak menuju ke
Gunung Siguntang. Dan rasanya, kita bisa berpisah di
sini." "Oh!"
"Anakku, sulit kiranya membawa persoalan cin-
ta dalam dada untuk memasuki persoalan lain. Seperti
yang pernah kau ceritakan kalau kau pernah hampir
tewas di tangan Iblis Kubur dan ditolong oleh pemuda
berjuluk Rajawali Emas yang kau cintai itu. Seperti
yang ku katakan pula, aku merasa kalau Iblis Kubur
telah pergi ke Gunung Siguntang untuk membalas
dendam pada Manusia Agung Setengah Dewa. Kemun-
culanku ke Gunung Siguntang, adalah untuk men-
gambil Kitab Pemanggil Mayat yang dimiliki Dewi Ka-
rang Samudera yang telah membangkitkan Iblis Ku-
bur. Juga, untuk menghentikan sepak terjang Iblis
Kubur yang telengas."
"Kek! Katamu tadi kalau Iblis Kubur mempu-
nyai dendam pada Manusia Agung Setengah Dewa" La-
lu, mengapa kau harus bersusah payah untuk mena-
hannya" Bukankah Manusia Agung Setengah Dewa
yang mempunyai urusan"
cinta rupanya Sudah berkobar di hatimu hing-
ga hampir saja menenggelamkan nurani yang murni,
Anakku. Manusia Agung Setengah Dewa adalah manu-
sia yang sangat kuhormati. Begitu pula dengan si Ma-
laikat Dewa. Bila saja saat ini guruku masih hidup tentunya ada tiga orang di
dunia ini yang kuhormati. Me-
reka telah menyepi dan bersatu dengan alam. Dan aku
tak ingin manusia-manusia itu harus terganggu hi-
dupnya lagi untuk urusan duniawi. Aku bukan me-
rasa lebih sakti dari siapa pun. Tetapi, aku punya tekad untuk menghentikan
seluruh keangkaramurkaan.
Pahamkah kau yang ku maksud, Anakku?"
Ayu Wulan perlahan-lahan menundukkan ke-
palanya dengan wajah memerah. Lalu katanya lirih
tanpa mengangkat kepalanya, "Maafkan aku, Kek."
"Simpan rasa cinta mu itu. Karena dia bisa
membelenggu dan membutakan mata hatimu. Anakku,
keputusan ada di tanganmu. Aku tak memaksa mu
untuk ikut ke Gunung Siguntang."
Perlahan-lahan pula murid si Manusia Pemarah
itu mengangkat kepalanya.
"Aku ikut, Kek."
"Tak ada yang memaksa bila kau menolak. Ka-
rena, aku sendiri tidak bermaksud mengajak mu."
Kali ini Ayu Wulan menarik napas dalam. Berat
dan rasanya penuh beban. Dilakukannya berulangkali
sampai kemudian dirasakan dadanya begitu lapang.
Kata-kata Dewa Bumi yang bernada berayun-
ayun itu mulai meresap di relung hatinya yang terda-
lam. "Akan ku coba untuk melakukan apa yang kau katakan itu, Kek," katanya
lembut. "Bagus, Anak ku! Berarti, kau telah membuka
mata dan hatimu, bahwa perjalanan hidup ini meski-
pun sering dikatakan sangat singkat, tetapi terlalu
panjang untuk kita lalui."
"Apakah guru ku berada di sana juga, Kek?"
"Menurut penglihatan ku yang sudah mulai
mengabur ini, rasanya sahabatku si Manusia Pemarah
sedang menuju ke Gunung Siguntang pula. Dia ber-
sama dengan seorang nenek berkonde yang berjuluk
Bidadari Hati Kejam."
"Aku memang harus mencoba menekan rasa
cintaku ini pada Kang Tirta untuk sementara. Persoa-
lan Guru akan memarahiku atau tidak karena ke-
mungkinan aku tidak bakal berjodoh dengan Kang Tir-
ta, urusan belakangan. Kendati demikian, aku meng-
harapkan Kang Tirta menjadi pendamping ku kelak,"
batin si gadis sambil menarik napas kembali.
"Bila kau masih memerlukan ketenangan piki-
ran, kita bisa menunda keberangkatan untuk beberapa
saat. Ayu Wulan segera menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Kek," sahutnya mantap. "Meskipun masih tersisa rasa sedih yang berbalur
Misteri Tirai Setanggi 2 Rahasia Lukisan Kuno Seri Pendekar Cinta Karya Tabib Gila Pertarungan Di Pulau Api 2
^