Pencarian

Pengusung Jenazah 3

Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah Bagian 3


cemburu, rasanya aku bisa menyimpan segenap perasaanku ini."
Dewa Bumi tersenyum sambil menghembuskan
asap pipa cangklongnya yang menebarkan bau harum.
"Kalau begitu... kita berangkat sekarang."
*** Bab 9 Di sebuah lembah yang berjarak ratusan tom-
bak dari Ladang Ribuan Bunga, nampak lima sosok
tubuh ter- diam. Masing-masing duduk dalam jarak
satu tom- bak. Sementara seorang yang bersandar di
sebuah batu adalah seorang perempuan tua. Wajahnya
penuh keriput, tetapi alis dan bulu matanya hitam le-
gam dam lentik. Mengenakan baju loreng tetapi ber-
warna putih. Di kedua pergelangan tangannya terdapat
gelang warna putih yang berkilau. Baju pakaian ba-
wahnya sebuah kain warna hitam pekat. Rambut si
nenek' panjang tak beraturan. Di lehernya terdapat sebuah kalung seperti taring
tajam. Di sebelah si nenek, duduk seorang dara perempuan berwajah bulat meng-
gemaskan, mengenakan baju putih dengan ikat ping-
gang warna kuning.
Si nenek yang mengenakan pakaian seperti dari
kulit harimau tetapi berwarna putih bukan lain adalah Ratu Harimau Putih.
Sementara dara cantik itu adalah
muridnya yang tersisa, tak lain Marbone adanya. Salah seorang dari Tiga
Pengiring Ratu yang masih hidup.
Sementara dua orang dari Tiga Pengiring Ratu telah
tewas di tangan Dewi Karang Samudera.
"Ratu... apa yang akan kita lakukan sekarang?"
tanya gadis berbaju putih dengan ikat pinggang warna
kuning. Pancaran matanya yang jernih menyiratkan
kegembiraan tak terhingga, tetapi juga dibaluri dengan kesedihan. Gembira karena
tak disangkanya bertemu
dengan gurunya kendati dalam keadaan terluka parah.
Dan gembira pula karena luka-luka gurunya akibat
menolong dua murid Dewa Bumi dari tangan maut
Dewi Kematian dan Manusia Mayat Muka Kuning ber-
hasil diselamatkan oleh si Rajawali Emas. Sementara
rasa sedihnya selalu datang bila teringat kedua sahabatnya yang bergabung dalam
Tiga Pengiring Ratu
yang kini telah tewas.
Ratu Harimau Putih tersenyum.
"Marbone.... Keinginanku tetap untuk mencari
adik seperguruanku itu. Kitab Pemanggil Mayat yang
berada di tangannya sangat berbahaya. Aku tak ingin
terjadi petaka yang lebih mengerikan di muka bumi ini.
Sulit ataupun tidak, dan dia telah berubah menjadi
wanita yang teramat sakti atau tidak, aku tak perduli.
Ku pertaruhkan nyawaku untuk mendapatkan Kitab
Pemanggil Mayat yang menimbulkan banyak petaka
itu." "Tetapi, apakah dalam kondisi seperti ini Ratu akan tetap mencarinya?"
tanya Marbone dengan tatapan cemas. "Sejak diobati oleh pemuda dari Gunung
Rajawali yang berjuluk si Rajawali Emas dua hari lalu, Guru nampaknya belum
pulih benar." "Kau betul, Marbone. Sudah ku usahakan untuk selalu mengalirkan
tenaga dalam dan hawa murni ku. Tetapi menurut
perkiraan ku, besok pagi aku sudah pulih seperti bi-
asa. Dan persoalan Kitab Pemanggil Mayat, bagaima-
napun sulitnya, aku harus mendapatkannya dari Dewi
Karang Samudera yang sudah tentu harus kuhentikan
sepak terjangnya," sahut Ratu Harimau Putih sambil memperhatikan burung Rajawali
raksasa keemasan
yang nampak tertidur di depannya berjarak lima belas
tombak. "Hmmm... burung itu begitu patuh sekali pada
perintah pemuda berjuluk si Rajawali Emas. Pemuda
itu memintanya agar tetap berada di sini, menjaga se-
gala kemungkinan yang tak mengenakan."
Sementara Ratu Harimau Putih memperhatikan
Bwana, Marbone menarik napas pendek mendengar
kata-kata gurunya. Lalu dihentikan kata-katanya. Ke-
geraman semakin melanda di dadanya mengingat ke-
dua sahabatnya tewas di tangan Dewi Karang Samude-
ra saat menunaikan tugas dari Ratu Harimau Putih
untuk meminta Kitab Pemanggil Mayat.
Di hadapan mereka, agak terpencar masing-
masing satu tombak, tiga sosok tubuh terdiam. Dua
sosok tubuh masing-masing menundukkan kepala,
sementara satu sosok tubuh mengenakan baju putih
yang terbuka di bagian dada hingga memperlihatkan
dadanya yang bidang, hanya tegak berdiri menatap si-
nar matahari senja yang membias di langit barat.
Rambut si pemuda yang panjang tergerai dipermain-
kan angin. Di punggungnya terdapat sebilah pedang.
Sementara seorang dara jelita yang mengena-
kan pakaian biru dengan ikat pinggang warna merah
yang terselip sepasang trisula, memperhatikan gadis
lain-nya yang mengenakan pakaian warna merah den-
gan ikat pinggang biru. Di pinggang gadis berbaju me-
rah itupun terselip sepasang trisula. Sungguh, kedua dara itu bukan bersaudara
kembar, bukan pula seda-rah seketurunan, akan tetapi wajah keduanya serupa
Dara yang mengenakan baju biru dengan pita
warna merah itu tak lain adalah Nandari. Kebalikan
dari warna pakaian dan pitanya bukan lain adalah An-
dini. Sementara pemuda gagah berpedang di punggung
adalah Wisnu, Ketiganya adalah saudara seperguruan.
Murid-murid Dewa Bumi dari Pesanggrahan Mestika.
Nandari menarik napas berulangkali melihat
sikap Andini yang sepeninggal si Rajawali Emas sete-
lah mengobati luka Ratu Harimau Putih, seolah men-
guap seluruh keceriwisannya, keceriaannya dan ke-
nakalannya. "Hmmm... aku bertambah yakin, kalau andini
mencintai pemuda sakti berjuluk Rajawali Emas itu.
Semenjak si pemuda meninggalkan tempat ini, tak ada
suaranya sekali pun juga. Bila saja Ratu Harimau Pu-
tih sudah pulih benar kondisinya, sudah tentu kami
akan meninggalkan tempat ini. Memang Ratu Hari
mau Putih berulang kali meminta kami untuk segera
meninggalkan tempat ini. Tetapi, di saat keadaan ber-
bahaya seperti ini, tak mungkin kami meninggalkan-
nya. Aku sudah membicarakan soal itu pada Kang
Wisnu. Tetapi sikap Andini ini?" Nandari menarik napas dalam. Lalu diliriknya
Bwana yang nampak sedang
tertidur. "Baru kali ini aku melihat burung rajawali se-
besar itu. Ah, beruntung sekali kang Tirta dapat me-
meliharanya."
Setelah memperhatikan Bwana, Nandari kem-
bali menolehkan kepala pada Andini yang sedang du-
duk sambil mencabut-cabut rumput. Sikapnya sung-
guh berbeda sekali dengan sifat yang dimilikinya. Lalu diputuskannya untuk
mendekati Andini.
Dipegangnya bahu gadis yang hanya berusia
berbeda beberapa bulan dan memiliki wajah yang
hampir serupa dengannya.
"Andini... sudah dua hari ini ku lihat kau selalu termenung" Adakah sesuatu yang
merisaukan mu?"
Pertanyaan Nandari yang disampaikan dengan
lembut itu ternyata menyentak Andini.
"Hmm.... Aku bertambah yakin, kalau dia ten-
gah melamunkan Kang Tirta," kata Nandari dalam hati.
Sementara Andini buru-buru mengangkat ke-
palanya dan tersenyum.
"Ah, kau mengejutkan ku saja, Nandari."
Nandari balas tersenyum kendati dia tahu se-
nyum yang bertengger di bibir Andini seperti dipaksa-
kan. "Boleh aku duduk di sini?"
"Ah, kau ini! Mengapa pakai bertanya segala"
Duduklah," sahut Andini sambil bergeser.
"Ku ulangi lagi pertanyaanku tadi. Adakah yang
menjadi pikiranmu saat ini, Andini?" tanya Nandari setelah duduk di sisi kanan
Andini dan menatap gadis
itu lekat-lekat.
Andini menarik napas pelan. Lalu membatin,
"Ah, apakah kediamanku ini cukup menarik perhatian Nandari" Lalu, apakah harus
kujawab pertanyaannya
kalau aku memikirkan sekaligus merindukan Kang Tir-
ta" Tidak, aku tidak boleh mengatakan hal itu." Lalu setelah terdiam dan
memikirkan jawaban yang tepat
atas pertanyaan Nandari, gadis itu pun menjawab
sambil tersenyum, "Aku teringat Guru."
Nandari mengerutkan keningnya. Hanya seje-
nak, lalu buru-buru dia berkata, "Mengapa kau memikirkan Guru?"
"Menurut cerita mu, kau dan Kang Wisnu su-
dah bertemu dengan Guru. Tetapi aku kan belum. Ba-
gaimana kabarnya waktu kalian bertemu dengan
Guru, Nandari?" Andini berusaha membuat suaranya setenang mungkin.
"Bukankah kau sudah melontarkan pertanyaan
yang sama dua hari yang lalu. Dan tentunya kau ma-
sih ingat bukan, kalau Guru keluar dari Pesanggrahan
Mestika karena dia tahu kalau kita gagal menemukan
Dewi Karang Samudera" Sementara keadaannya, se-
perti biasa, Guru selalu tenang kendati ada bahaya di hadapannya," sahut Nandari
lalu menyambung dalam hati, "Jawaban itu semakin memperkuat dugaanku kalau dia
telah jatuh cinta pada Kang Tirta. Ah, mengapa
aku menangkap sesuatu yang tidak enak atas jatuh
cintanya Andini pada Kang Tirta?"
Di sebelahnya, gadis berbaju merah dengan ikat
pinggang dan pita berwarna biru itu buru-buru berka-
ta, "O ya, aku lupa soal itu! Guru memang selalu bersikap seperti itu. Dan aku
yakin dia juga...."
"Andini, aku tahu kau telah jatuh cinta dengan
Kang Tirta bukan?"
Kata-kata Nandari yang memutus kata-kata
Andini, membuat gadis itu melengak. Sesaat sepasang
matanya lekat menatap Nandari. Kejap lain, dia sudah
mengerjap berkali-kali sambil melempar pandangan ke
tempat lain. "Benar yang kuduga itu, Andini?" tanya Nandari lembut, tanpa bermaksud membuat
Andini gugup. Andini tak menjawab untuk beberapa saat. La-
lu sambil melirik Nandari, dia bersuara lirih, "Ya... aku mencintai Kang Tirta."
Nandari hanya menganggukkan kepalanya saja.
"Cinta itu sebuah anugerah. Dan kita tak pernah tahu kapan datang dan berakhir.
Bila kau memang mencintainya, kau harus menunjukkannya, Andini."
"Itulah yang sangat sulit ku lakukan. Aku tak
mungkin berbuat seperti itu."
"Kau pasti bisa. Cobalah untuk....".
Kata-kata Nandari terputus begitu saja ketika
terdengar koakan yang sangat keras. Menyusul gemu-
ruh angin dahsyat yang menggebah tempat itu.
Lima pasang mata segera menoleh ke satu tem-
pat. Ke arah Bwana yang mengeluarkan teriakan dan
kepakan kedua sayapnya yang menimbulkan angin
bergemuruh dahsyat. ,
Andini cepat melompat dan berlari ke arah
Bwana yang masih menggerak-gerakkan sayapnya dan
bersuara panik.
"Bwana! Mengapa kau bersikap seperti itu"!
Ada apa, Bwana" Ada apa"!"
"Koaaakkkk!" Bwana menyahut keras sambil
berdiri dengan kedua kakinya yang kokoh dan me-
lengkung kuat. Sepasang matanya yang besar
menatap di kejauhan. Tertangkap oleh matanya tiga
kali percikan sinar merah di angkasa. Muncrat dan
sangat menarik perhatiannya. Tak seorang pun yang
berada di sana bisa melihat percikan sinar merah itu
kecuali Bwana yang nampak semakin bertambah pa-
nik. "Andini! Barangkali burung rajawali raksasa itu
mencium sesuatu yang tidak enak," kata Wisnu yang sudah berdiri di sisi Andini.
Andini tidak menghiraukan dugaan itu. Dia te-
rus berteriak pada Bwana.
"Bwana! Tenanglah! Tunjukkan, mengapa kau
bersikap seperti itu" Bwana!"
Sepasang bola mata Bwana yang berwarna ke-
merahan itu mendelik membesar. Suaranya terus ke-
luar penuh kepanikan. Detik berikutnya.... Wusss!
"Koaaaakkkk!"
Burung rajawali yang besarnya empat kali ga-
jah dewasa itu telah meluncur ke angkasa. Menggebah
tempat dengan gemuruh angin yang ditimbulkan oleh
kepakan kedua sayapnya. Membuat lima orang yang
berada di bawah harus mengerahkan tenaga dalam
dengan tangan terangkat menghalangi pandangan agar
tidak kemasukan debu.
"Bwanaaaa!" jerit Andini ketika burung rajawali keemasan itu sudah tidak nampak
lagi di depan mata.
Nandari cepat menahan tangan saudara seperguruan-
nya ketika dilihatnya Andini akan berkelebat mengi-
kuti ke mana terbangnya Bwana.
"Andini... tenanglah. Jangan bertindak gega-
bah. Kurasa Bwana mencium atau mengetahui sesua-
tu yang di luar sepengetahuan kita."
"Tetapi, aku ingin bersamanya. Aku ingin...."
Nandari cepat merangkul gadis yang tengah di-
landa cinta yang dalam itu.
"Tenanglah. Kita akan menyusul Bwana. Tetapi,
kita harus bersama-sama,"
Wisnu yang mendengar percakapan itu cuma
menarik napas dalam. Pemuda berbaju putih terbuka
di bagian dada itu memang tidak tahu apa yang diala-
mi oleh Andini. Dia hanya tahu kalau Andini mengin-
ginkan Bwana bersamanya.
Ratu Harimau Putih yang juga telah berdiri di
sana dengan Marbone di sebelah kanannya berkata,
"Aku juga menduga demikian. Tak mungkin burung
rajawali keemasan yang patuh pada majikannya itu
meninggalkan kita begitu saja tanpa satu sebab. Lebih baik, meskipun rasanya
tidak mungkin, kita mencoba


Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari jejak Bwana. Barangkali saja kita bisa berte-
mu dengan si Rajawali Emas. Dan, terutama tekadku
untuk mencari saudara seperguruanku yang berjuluk
Dewi Karang Samudera."
Nandari menoleh pada si nenek berbaju dari
kulit harimau tetapi berwarna putih itu.
"Apakah kondisi mu sudah pulih, Ratu?" tanyanya ikut-ikutan memanggil si nenek
dengan sebu- tan Ratu sama yang seperti dilakukan Marbone.
Ratu Harimau Putih tersenyum lalu mengang-
gukkan kepalanya.
"Ya, kondisi ku sudah pulih. Lebih baik, kita segera melakukannya. Karena, malam
sebentar lagi akan datang. Dan kita bisa kehilangan jejak Bwana.
Meskipun sekali lagi kukatakan, kalau sebenarnya kita sudah kehilangan
jejaknya."
Tak ada yang bersuara. Namun pada dasarnya
semuanya setuju dengan rencana itu,
Kejap berikutnya, kelima orang itu pun sudah
berkelebat meninggalkan lembah di mana selama dua
hari dua malam mereka berada di sana. Dan di hati
Andini, kerinduannya pada si Rajawali Emas semakin
meluap membesar.
*** Bab 10 Burung rajawali keemasan itu terus terbang
begitu cepatnya. Membedah malam yang telah datang.
Gemuruh angin yang ditimbulkan oleh kepakan sayap-
nya membuat beberapa orang yang kebetulan berada
di bawahnya harus mendongakkan kepala. Dan hanya
menggeleng-gelengkan kepala atau mengerutkan ken-
ing karena tak menangkap bayangan apa pun di ang-
kasa. Tepat tengah malam, burung rajawali keemasan
itu menukik turun di sebuah tempat terbuka yang di-
penuhi dengan rumput liar. Suara kaokannya terden-
gar cukup keras ketika matanya tertumbuk pada satu
sosok tubuh yang tergeletak lemah.
Dengan sekali terbang, Bwana sudah tiba di sisi
sosok tubuh berbaju keemasan yang tergeletak itu. Di
lengan kanan dan kiri si pemuda terdapat rajahan bu-
rung rajawali keemasan. Tangan kanannya erat meng-
genggam sebuah pedang yang memancarkan sinar
keemasan, sementara di tangan kirinya terdapat se-
buah kitab usang yang terbuka dan seperti mengalir-
kan darah. Bwana nampak panik sekali. Berulang kali dia
berteriak keras sambil mengepakkan kedua sayapnya
hingga menimbulkan gelombang angin dahsyat. Hal itu
dilakukannya semata untuk membangunkan pemuda
yang tak lain si Rajawali Emas adanya.
Setelah meloloskan diri dari cengkeraman maut
yang ditebarkan oleh Sepasang Pemburu dari Neraka,
dengan membawa luka dalam akibat pukulan kekasih
si Pengusung Jenazah, pemuda dari Gunung Rajawali
itu terus berlari. Erat-erat dipegangnya Kitab Pemanggil Mayat dengan tangan
kirinya. Baginya, dia harus menjauh dari hutan belan-
tara itu bila tak ingin menghadapi masalah yang bisa memutus nyawanya. Namun,
karena rasa sakit yang
terus menyiksa dengan getaran aliran darah menjadi
kacau, Tirta terjatuh di sebuah padang rumput. Wa-
jahnya sangat pucat sekali dengan tubuh yang keliha-
tan memerah. Di saat yang kritis seperti itu, Tirta masih sem-
pat memberi isyarat pada Bwana, melalui tepukan tan-
gan tiga kali dan di sela-sela tepukannya itu kedua
tangannya digerakkan ke atas hingga melesat sinar
merah yang memercik ke angkasa, tanda bagi Bwana
untuk mengetahui di mana dia berada.
Kejap lain, Tirta sudah jatuh pingsan.
Sementara itu, Bwana yang merasa gagal untuk
membangunkan majikannya, terus berteriak-teriak
dengan panik Rerumputan yang tumbuh di sana ba-
nyak yang tercabut dan terpental jauh akibat kepakan
kedua sayapnya yang menimbulkan angin seperti to-
pan prahara. Diusiknya tubuh Tirta dengan kaki kanannya
sambil mengeluarkan suara cukup keras. Tetapi, tu-
buh itu tidak bangun juga.
Tiba-tiba terdengar pekakan burung raksasa itu
tiga kali berturut-turut. Panjang, menggema ke seante-ro padang rumput itu. Dan
bagai memantul di sana si-
ni. Bertalu-talu seperti satu hentakan kuat berkepan-jangan. "Koaaak! Koaaak!
Koaaak!" Entah dari mana datangnya, tiba-tiba satu sosok tubuh kurus dengan
wajah bijaksana muncul begitu saja bagai datang ber-
sama hembusan angin. Begitu melihat tubuh kurus
berbaju putih bergambar bunga-bunga api itu muncul,
burung rajawali itu seperti anak kecil mengeluarkan
pekikan gembira.
"Mengapa kau memanggil ku, Bwana?" sapa
orang tua baru muncul yang mengenakan sorban pu-
tih dan kira-kira berusia seratus dua puluh tahun.
Wajahnya begitu tenang dengan pancaran mata teduh
penuh bijaksana. Ketika dilihatnya Bwana menggerak-
kan paruhnya berkali-kali pada Tirta yang masih tergeletak, si orang tua
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian orang tua bersorban putih dengan
baju putih bersih bergambar percikan bunga api me-
langkah mendekati Tirta. Sikapnya tetap tenang. Lang-
kahnya begitu ringan bagai tak memijak bumi.
Masih tegak berdiri sepasang mata teduh si
orang tua menatap si Rajawali Emas yang tak bergerak
sedikit pun juga. Sementara Bwana keluarkan pekikan
keras bernada gelisah.
"Tenanglah, Bwana. Dia tidak apa-apa. Hanya
pingsan karena tak kuat menahan rasa sakit. Bila saja pemuda ini tidak pernah
mengisap sari Rumput Selaksa Surya, aku tak bisa membayangkan apa yang terja-
di. Hmmm.... Aku akan segera menolong cucu ku ini,
Bwana." Si orang tua cukup lama menatap Tirta dan perlahan-lahan dia berlutut
lalu menepuk tangannya.
Asap putih tiba-tiba menyelimuti kedua tangan
si orang tua yang keriput itu. Si orang tua bersorban dengan baju putih bersih
yang dipenuhi dengan sulaman bunga api itu tiba-tiba mengerutkan kening- nya.
Nampak sekali kalau dia tengah memikirkan se suatu.
"Hmmm... rasanya, aku pernah melihat jenis
pukulan seperti ini. Tetapi.... Apakah mungkin dia
yang melakukannya" Bukankah dia telah tewas" Dan
hanya tinggal si Gumbarda sendiri." Si orang tua terus berpikir dengan tangan
masih mengeluarkan asap putih yang tiba-tiba menyelubungi tubuh si Rajawali
Emas. Tiba-tiba terdengar suaranya bagai desahan,
"Melihat kitab yang ku yakini adalah Kitab Pemanggil Mayat di tangan cucu ku
ini, aku yakin, kalau sesuatu memang telah terjadi. Bukan hanya Iblis Kubur yang
kini telah bangkit kembali. Mungkin, Mayang Harum
telah dihidupkan kembali oleh Gumbarda dengan ban-
tuan Kitab Pemanggil Mayat. Dan melepaskan pukulan
'Cengkeraman Neraka'-nya yang sangat mengerikan."
Sementara si orang tua bergumam, asap putih
tebal yang keluar dari kedua tangannya itu semakin
banyak yang menggulung tubuh Tirta.
Namun tiga kejapan kemudian, asap putih itu
perlahan-lahan menghilang. Dan tubuh Tirta yang
memerah seperti udang rebus itu pun perlahan-lahan
mulai menormal kembali.
Si orang tua mengambil tiga butir obat warna
putih dari balik pakaiannya. Lalu dimasukkannya ke-
mulut Tirta. Setelah itu ditatapnya Bwana yang
kini nampak lebih tenang.
"Bwana... jagalah dia baik-baik. Dia baru akan
siuman besok pagi. Setelah itu, bawalah dia pergi dari
sini. Kau masih tahu di mana letak Gunung Sigun-
tang?" Seperti tahu perkataan orang, Bwana mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagus! Bawalah dia ke sana. Karena, tena-
ganya sangat diperlukan. Perlu ku ingatkan, Bwana.
Bila kau bertemu dengan Sampurno Pamungkas, ka-
takan, aku pun telah keluar dari tempat kediaman.
Rasanya, bukan hanya musuh lamanya saja yang telah
muncul dan hendak menuntut balas. Manusia-
manusia yang mempunyai dendam kepadaku pun te-
lah muncul. Bwana, sudahkah kau bertemu dengan
dua murid ku yang sekaligus guru cucu ku ini?"
Bwana menggeleng-gelengkan kepala.
Si orang tua terdiam. Lalu katanya, "Dalam
penglihatanku ini, muridku si Sirat Perkasa nampak-
nya sedang menuju ke Gunung Siguntang pula. Demi-
kian dengan Kunti Pelangi bersama murid dari Sam-
purno Pamungkas. Baiklah, Bwana... aku pergi seka-
rang. Dan sampaikan padanya, agar dia segera men-
guasai Kitab Pemanggil Mayat."
Seperti datangnya tadi, orang tua bersorban
mengenakan baju putih yang dipenuhi sulaman bunga
api itu lenyap dari pandangan. Seperti dibawa angin
saja. Tinggallah Bwana yang perlahan-lahan mende-
kam di sisi Tirta yang masih tergeletak.
*** "Hmmm.... Aku sudah tahu bagaimana caranya
membangkitkan mayat dan mematikannya kembali,"
satu suara terdengar cukup keras di senja yang sejuk.
Angin lembut berhembus semilir, merayap dari pa-
dang rumput ke sebuah tempat yang dipenuhi dengan
pepohonan yang tak begitu tinggi.
"Koaaaakkk!" suara itu pun terdengar bagai
menyahuti suara pertama.
Tirta yang mengeluarkan kata-kata tadi menu-
tup Kitab Pemanggil Mayat yang telah dipelajarinya.
Lalu berkelebat mendekati Bwana yang berada di per-
batasan hutan karena tubuhnya yang besar itu tak bi-
sa memasuki tempat yang ditumbuhi pepohonan.
"Bwana.... Apakah kau belum mau mengatakan
siapa yang mengobati ku" Oh! Ya, ya! Aku mengerti!
Tetapi, tidak usah melotot seperti itu, dong?" kata Tirta sambil merangkul leher
Bwana yang dipenuhi bulu
tebal berwarna keemasan itu. Lalu katanya lagi, "Untungnya, kau melihat isyarat
ku, Bwana. O ya, bagai-
mana kabar kawan-kawan yang lain?"
Bwana mengeluarkan suara mengkerik berkali-
kali. "Ha ha ha.... Kau pasti sangat mengejutkan mereka. Apa" Ah, jangan main-
main! Mana mungkin ga-
dis bernama Andini itu memikirkan ku?" Bwana meng-kerikik lagi.
"Apa iya, ya?" sahut Tirta sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Lalu memasukkan
Kitab Pemanggil Mayat ke balik baju keemasannya
"Kalau memang iya, asyik dong! Ada yang memperhatikan dan mencemaskan ku! O ya,
kau jangan bilang-
bilang ya kalau aku sudah melihat.. he he he.... Kau
mana tahu soal begituan?" Bwana tegak berdiri.
"Lho, lho mau ke mana" Kau diperintahkan un-
tuk membawaku pergi dari sini" Tetapi... Aha! Aku ta-
hu siapa yang telah menolongku. Pasti Eyang Guru,
bukan?" Bwana tak menggeleng maupun mengangguk.
Bersuara pun tidak.
"Iya! Aku tahu kau pasti tidak akan mau men-
gatakannya. Tetapi, ke mana kita akan pergi, Bwana"
Sementara saat ini aku hendak menuju ke Gunung Si-
guntang. Karena ku perkirakan, Iblis Kubur sedang
menuju ke sana seperti yang dikatakan Eyang Sam-
purno Pamungkas. Dan aku yakin, banyak pula tokoh
yang akan menuju ke sana. Karena, orang-orang go-
longan sesat pasti berupaya untuk merebut Kitab Pe-
manggil Mayat ini sementara orang golongan lurus
bermaksud menghentikan sepak terjang Iblis Kubur.
Dan mengenai Sepasang Pemburu dari Neraka, entah
mengapa aku juga menduga kalau mereka sedang me-
nuju ke sana. Apa" Kau hendak membawaku ke sa-
na?" Bwana mengangguk-anggukkan kepalanya lagi.
"Mengapa kau tidak mengatakannya sejak ta-
di?" kata Tirta gemas. "Kalau memang kau hendak membawa ku ke sana, baiklah!
Memang itu yang hendak ku lakukan. Kita segera.... Awas, Bwaanaaa!"
Seiring teriakan peringatan Tirta, Bwana men-
celat ke angkasa sementara pemuda dari Gunung Ra-
jawali itu sendiri membuang tubuh ke samping seraya
bergulingan. Sepuluh buah bola api diiringi gemuruh angin
mencelat dengan kecepatan dahsyat dan mengelua-
rkan hawa panas cukup menyengat.
Ketika Pendekar Rajawali Emas tegak berdiri
berjarak lima tombak dari tempat semula, sementara
Bwana terbang berputaran di angkasa, dilihatnya bola-
bola api yang melesat cepat tadi telah berkobar mem-
bakar rerumputan di sekitar tempat itu.
"Bwana! Matikan api itu! Jangan sampai menja-
lar terlalu jauh dan menghanguskan tempat indah ini!"
seru Tirta dengan pandangan waspada.
Sementara Bwana memadamkan api yang men-
jalar itu dengan kepakan sayapnya, dan langsung pa-
dam sekali dikepakkan sayapnya, Tirta memperhatikan
sekelilingnya. Mendadak saja sepasang matanya yang
tajam terbeliak. Seolah tak percaya dengan apa yang
dilihatnya. "Kakek berjubah biru pekat yang pakaiannya
telah hangus gara-gara pernah bertarung denganku
itu! Dan di sebelahnya" Aneh! Mengapa ada orang ter-
bungkus pakaian hitam seperti itu dari kepala hingga
telapak kakinya. Dan wajahnya tak nampak di mata
ku kecuali pancaran sinar merah yang tentunya beras-
al dari kedua biji matanya. Dan kain hitam di bagian
kepalanya terikat seperti pocong! Hiiii! Apakah di senja ini aku harus melihat
pocong yang sudah berkeliaran
sebelum malam?"
***

Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bab 11 "Rajawali Emas... kita bertemu lagi sekarang!"
suara dingin terdengar cukup menyeramkan di telinga
Tirta. Diucapkan oleh seorang lelaki tua yang selalu
mengerutkan kening. Jubah biru pekatnya menjulai-
julai dipermainkan angin. Tangan kanannya yang ku-
rus menyibakkan rambut panjangnya yang jatuh ke
kening. Dari rasa kagetnya tadi, kini si Rajawali Emas hanya mengangkat kedua
alisnya dengan tingkah yang
menyebalkan. Lalu dicabutnya sebatang rumput yang
terdapat di dekat kaki kanannya. Sambil menghisap-
hisap rumput itu dia berkata, "Kalau sudah bertemu, mau apa" Apakah kau ingin ku
jitak lebih banyak
hingga kepalamu yang penjol itu akan semakin penjol"
O ya, kemana temanmu yang berjuluk si Jubah Mam-
bang itu" Apakah dia sudah tewas, atau ketakutan un-
tuk berjumpa dengan ku" Atau.... Jangan-jangan dia
sengaja menyarungkan seluruh tubuhnya dengan kain
hitam itu sehingga seperti pocong" Tidak usah pakai
sarung-sarungan segala juga wajahnya sudah seperti
tengkorak hidup!"
Mengkelap wajah lelaki berjubah biru pekat
yang tak lain si Jubah Setan mendapati ejekan Tirta.
Orang inilah yang tadi melepaskan bola-bola api ke
arah Tirta dan Bwana.
"Jangan banyak sesumbar! Nyawa mu harus ku
cabut saat ini juga!"
"Wah! Memangnya singkong main cabut saja
Eh! Ngomong-ngomong, apakah kau tidak mau mem-
perkenalkan teman mu yang aneh itu" Wajahnya yang
mana ya" Jangan-jangan berada di pantat barangkali!"
Tirta masih bersikap tenang dan tertawa-tawa saja pa-
dahal dalam hatinya dia tengah mengira-ngira siapa
gerangan orang yang bersama si Jubah Setan itu.
"Jubah Setan! Apakah pemuda ini yang telah
membunuh adik ku si Ratu Tengkorak Hitam?" satu suara terdengar. Dingin, serak,
dan mengerikan.
Kalau tadi sikap si Jubah Setan sedemikian
soknya, kali ini dia nampak agak gugup sambil me-
nyingkir sedikit ke belakang dan mengalihkan tatapan
pada orang berkain hitam yang tak lain Raja Pocong
Hitam. Kakak kandung dari Ratu Tengkorak Hitam
"Yang kau katakan itu benar adanya, Raja Po-
cong Hitam. Dialah orangnya yang telah membunuh
Ratu Tengkorak Hitam," sahut Jubah Setan terbata.
Terdengar suara merandek dingin dari orang!
berkain hitam itu. Tirta diam-diam merasakan bulu
kuduknya meremang. Dan dia dibuat tersentak ketika
dilihatnya sepasang mata yang memerah menyala dari
balik kain hitam itu tanpa terlihat bagaimana rupa si pemilik mata merah itu.
"Berita telah sampai ke kedua telingaku. Adik-
ku telah tewas di tanganmu. Hanya ada dua pilihan
untuk menentukan cara mati. Pertama, membunuh di-
ri! Kedua, mati di tanganku! Aku tak punya banyak
waktu untuk menunggu jawaban. Segera kau pilih ke-
putusan mu, Anak muda!"
"Hmm... Aku tahu sekarang, kalau orang yang
disebut oleh Jubah Setan dengan julukan Raja Pocong
Hitam itu adalah kakak kandung si nenek pengunyah
susur yang telah tewas di tanganku. Rupanya dia da-
tang untuk menuntut balas atas kematian adiknya,"
kata Tirta dalam hati. Lalu melanjutkan dengan tata-
pan tak berkedip sementara kedua telinganya masih
menangkap putaran tubuh Bwana yang terbang berja-
rak sepuluh tombak di angkasa, "Mendapati sikapnya yang angker dengan wujud yang
aneh ini, aku yakin
manusia berjuluk Raja Pocong Hitam ini bukan orang
sembarangan. Aku harus berhati-hati."
"Orang di balik kain gombal jelek yang butut
itu! Apakah kau pikir pertanyaanmu yang harus ku pi-
lih itu cocok untuk ku?" sahut Tirta sambil menggaruk-garuk kepalanya. Rumput
liar masih terselip di bibir-nya. "Bagaimana bila pilihan itu ku ajukan
kepadamu" Kau pasti tentunya senang, bukan?"
"Pemuda keparat! Rupanya kau menghendaki
kematian di tanganku!" menggeram Raja Pocong Hitam tanpa terlihat bagaimana
mimik wajahnya. Tiba-tiba
saja dia melompat ke arah Tirta.
Wuuuuttt! Lompatannya itu begitu cepat sekali. Dikawal
oleh hamparan angin dingin yang menggidikkan. Tirta
yang memang sudah bersiap sejak tadi, segera mence-
lat ke muka sambil melepaskan jurus 'Lima Kepakan
Pemusnah Rajawali'! Blaaammm!
Kelebatan tubuh dibungkus kain hitam dari
kepala hingga kaki itu terhantam pukulan yang dile-
paskan Tirta. Namun akibatnya justru mengejutkan.
Karena tubuh Tirta yang terlempar ke belakang dengan
tangan kanan seperti melesak ke dalam bahunya. Da-
danya seketika dirasakan nyeri bukan alang kepalang.
Sementara sosok berkain hitam yang terkena hanta-
mannya tadi hanya tegak berdiri dan bersuara, angker.
"Kau tak akan banyak berbuat! Jubah Setan!
Bunuh pemuda itu untukku!"
Mendapati perintah yang sebenarnya membuat
keder hati si Jubah Setan, namun mau tak mau lelaki
berjubah biru pekat itu sudah menderu dahsyat.
Jurus 'Hujan Api'-nya dilepaskan hingga pulu-
han bola-bola api menderu ke arah Tirta. Namun be-
lum lagi bola-bola api itu mengenai sasarannya, men-
dadak saja menghampar angin dahsyat yang menim-
bulkan suara bergemuruh dari angkasa.
Bola-bola api yang dilepaskan si Jubah Setan
seketika padam! Menyusul satu bayangan raksasa
menderu dengan kedua cakar berada di muka, siap
men-cengkeram batok kepala si Jubah Setan.
Memekik tertahan lelaki berjubah biru dengan
rambut panjang itu menyadari kalau burung rajawali
keemasan yang sejak tadi berputaran di angkasa me-
nyerangnya. Dengan gerakan cepat dan wajah yang se-
dikit memucat, si Jubah Setan bergulingan menghin-
dari cengkeraman kedua kaki Bwana!
"Rupanya Bwana tanggap pada keadaan. Baik-
lah! Dia telah memilih lawan. Berarti, aku harus
menghadapi Raja Pocong Hitam," desis Tirta sambil memandang ke arah sosok
berkain hitam pekat itu. La-lu katanya sambil membuang rumput yang tadi di-
hisap-hisapnya, "Hei! Apakah kau hendak menonton pertarungan yang tak bermutu
itu" Tak bermutu karena lelaki jelek berjuluk Jubah Setan itu, tak akan
mampu menghadapi sahabatku! Nah! Kalau kau hanya
mau menonton saja sih, lebih baik pulang saja ke ku-
buranmu! Ngomong-ngomong, di kuburan mana sih
kau tinggal"!"
Mengkelap wajah Raja Pocong Hitam yang tak
diketahui bagaimana rupanya itu. Mendadak saja
orang yang bergerak dengan cara melompat-lompat itu
menderu ke arah si Rajawali Emas. Gebrakannya lebih
dahsyat dari yang pertama tadi.
Tirta yang menyadari kalau jurus 'Lima Kepa-
kan Sayap Rajawali' tak membawa hasil, segera mence-
lat dengan jurus 'Lima Kepakan Pemusnah Jiwa. Jurus
kembangan yang pernah diajarkan oleh Bwana di Gu-
nung Rajawali. Menimbulkan gemuruh angin yang luar
biasa hebatnya.
Namun, sebelum benturan hebat terjadi lagi,
Tirta lebih dulu mengirimkan tendangan kaki kanan-
nya. Wuuuttt! Angin seperti menggumpal. Memburu liar den-
gan kecepatan luar biasa. Sosok berbalut kain hitam
itu hanya menghindar dengan cara melompat, seperti
caranya setiap kali melangkah.
Blaaarrr! Hamparan angin kaki kanan Tirta menghantam
tiga buah batang pohon di tepi hutan itu, yang seketi-
ka patah dan jatuh menimbulkan suara berdebam.
Sementara dua tangannya yang terangkum ju-
rus 'Lima Kepakan Pemusnah Jiwa' menghantam telak
ke arah Raja Pocong Setan yang gebrakannya tadi agak
melenceng. Des! Namun seperti tak merasakan betapa hebatnya
serangan yang dilakukan oleh si Rajawali Emas, Raja
Pocong Hitam hanya bergeser tak lebih dari satu tin-
dak. Menyusul satu gebrakan aneh dilakukannya.
Tubuhnya yang bergerak seperti melompat-
lompat itu tiba-tiba bergulingan, lalu....
Plas! Tubuhnya meloncat kembali. Begitu tinggi
hingga wajah Tirta tertampar kedua kakinya yang ter-
balut kain hitam!
Tirta merasa kepalanya pusing berpendar. Tak
terasa dia mengeluarkan seruan tertahan dan ter-
huyung ke belakang. Belum lagi pulih keseimbangan-
nya, dirasakan kembali satu hajaran telak menghan-
tam dadanya. Bukkk! Tubuhnya bagai terseret ke belakang dengan
derasnya dan berhenti setelah menabrak sebuah po-
hon. "Busyet! Bagaimana caranya dia melakukan serangan aneh itu" Aku sama sekali
tak melihat gerakan
yang dilakukannya," kata Tirta dalam hati dan segera mengalirkan tenaga surya
yang berpusat dari pusar-nya. Seketika keadaannya dirasakan cukup pulih.
Berjarak tiga tombak dari tempatnya, sosok
tinggi berbalut kain hitam berdiri tegak. Sepasang matanya yang bersinar merah
mengerikan tanpa diketa-
hui bagaimana rupa wajahnya, nampak bertambah
pekat. "Hebat! Gerakannya benar-benar tak kulihat sama sekali! Tetapi dia bisa
melakukan gebrakan aneh
yang lumayan mengejutkan itu!" desis Tirta dan diam-diam dialirkannya tenaga
surya pada kedua tangan-
nya. "Siapa pun orang ini sebenarnya, dia telah banyak menyita waktuku ke Gunung
Siguntang."
"Orang muda.... Aku hanya mempunyai adik
seorang! Kau telah membunuhnya, berarti kau pun
harus mati membayar semua perbuatanmu itu!" Orang di batik balutan kain hitam
pekat dengan ikatan kain
di bagian kepala laksana pocong bersuara dingin,
mengandung getaran maut penuh ancaman.
"Wah!" Tirta tertawa berderai mendapati ancaman seperti itu. Lalu dengan sikap
tak acuh saja dilanjutkan kata-katanya, "Bagaimana cara membayarnya, ya" Soalnya
aku cuma punya nyawa selembar" Kalau
nyawaku kuberikan kepadamu, bagaimana aku bisa
kawin nanti" Tidak usah, ya"!"
Terdengar gerengan bernada gusar luar biasa.
Lalu seperti yang dilakukan sebelumnya, tiba-tiba saja tubuh berbalut kain hitam
pekat itu mencelat dengan
cara melompat! Wuuussss! Kali ini gelombang sinar hitam nampak menda-
hului lesatan tubuh si Raja Pocong Hitam. Menyusul
angin panas yang menderu menimbulkan suara meng-
gidikkan. Tirta sendiri sudah mencelat ke muka pula.
Bersamaan dengan celatan tubuhnya, tangan kanan-
nya mencabut Pedang Batu Bintang yang saat itu juga
menghampar sinar keemasan yang sangat terang!
*** Berjarak sepuluh tombak dari tempat itu, per-
tarungan antara Bwana dengan Jubah Setan semakin
lama bertambah seru. Sejak pertama kali melancarkan
serangan, si Jubah Setan tak sekali pun dapat mende-
sak Bwana. Burung rajawali raksasa keemasan yang mem-
punyai kesaktian tinggi itu berhasil mempermainkan si Jubah Setan, hingga lelaki
tua berambut panjang dengan jubah biru pekat itu berulang kali harus menghin-
dar seraya mengeluarkan makian keras.
"Keparat! Sulit bagiku untuk mengalahkan ter-
jangan burung aneh raksasa ini! Seluruh kepandaian-
ku sampai dengan jurus simpanan ku 'Hujan Api' tak
membawa hasil apa-apa. Celaka! Aku tak mungkin bi-
sa menghadapi kebodohan ini terus menerus! Bisa-
bisa nyawaku melayang saat ini juga!"
Kendati wajahnya cukup pias dengan hati ke-
bat-kebat tak karuan, si Jubah Setan masih berusaha
bertahan, menghindari setiap terjangan, cakaran,
Cengkeraman, dan patukan Bwana yang berbahaya
sekaligus mengerikan
Sementara setiap kali Bwana bergerak, angin
yang memapas rerumputan seperti menampar keras
wajah si Jubah Setan yang semakin pucat. Rambut
panjangnya sudah tercabut paksa akibat gemuruh an-
gin keras yang ditimbulkan Bwana.
Menyusul satu sentakan kepakan sayap kanan
Bwana yang mengarah padanya. Kendati masih bisa
menghindar, namun sambaran angin dari kepakan
sayap Bwana membuat tubuh si Jubah Setan jungkir
balik tak karuan.
Sementara sisa derasnya angin kepakan sayap
Bwana, menumbangkan lima buah pohon sekaligus di
sebelah kanan dan memapas rerumputan hingga me-
muncratkan tanah di mana rumput-rumput itu tadi
tumbuh. "Gila! Aku benar-benar tak bisa bertahan lagi!
Kalaupun aku terus melawan hanya memancing kema-
tian saja! Bila aku melarikan dari sini, tak akan mungkin manusia celaka
berjuluk Raja Pocong Hitam itu
akan mengampuni nyawaku! Gila! Mengapa aku bagai
menggali lubang untukku sendiri?" desis si Jubah Setan dengan hati kebat-kebit
makin tak karuan.
Keringat sebesar biji jagung sudah mengaliri
sekujur tubuhnya dengan kepiasan yang semakin
menjadi-jadi. Matanya yang celong ke dalam itu beru-


Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lang-kali terbeliak. Terutama saat merasakan gemuruh
angin yang ditimbulkan oleh kepakan kedua sayap
Bwana, menyusul cakaran dan patukan yang mem-
buatnya cukup tersentak.
Beettt! Jubah biru pekat yang dikenakannya, sudah
com-pang-camping di sana-sini. Dan membentuk
koyakan yang lebih besar dari yang pertama. Jubah
Setan tak ubahnya seperti seorang pengemis belaka
yang mengenakan pakaian compang-camping.
Menyusul tubuhnya yang terserempet hanta-
man Bwana. Cukup mengalirkan darah yang banyak.
Namun masih berusaha ditahannya sekuat mungkin.
Dalam keputusasaan yang tinggi, si Jubah Se-
tan masih berusaha melepaskan jurus 'Hujan Api'-nya
yang disadarinya tak akan membawa banyak arti. Ka-
rena dengan sekali kibas saja, bola-bola api yang me-
luncur itu berhasil dipadamkan oleh Bwana. Tak sem-
pat mendekat dan tak sempat membakar apa pun!
Dua kejapan berikutnya, tiba-tiba burung rak-
sasa itu mencelat ke atas dengan mengeluarkan teria-
kan dahsyat luar biasa memekakkan telinga. Lalu me-
luncur ke arah Jubah Setan yang memucat luar biasa.
Sebisanya dia melompati sambaran kedua
cengkeraman Bwana. Dia memang berhasil melaku-
kan-nya, namun sambaran sayap kanan Bwana meng-
hantam punggungnya. Terdengar suara berderak cu-
kup keras. Rupanya, tulang punggung lelaki tua ber-
jubah biru pekat itu patah semuanya.
Tubuh yang tanpa tulang penyangga badan itu
pun ambruk dengan derasnya. Bergerak-gerak liar
dengan suara pekikan yang dahsyat. Gerakan tubuh
bagian atasnya seolah berada di atas air. Mengapung
dan terlihat cukup berat.
Detik berikutnya, tubuh si Jubah Setan sudah
tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya telah putus tak la-
ma setelah tulang punggungnya patah terhantam ki-
basan sayap Bwana.
Bwana cuma menatap tajam pada mayat lelaki
berjubah biru pekat itu.
*** Bab 12 Blaaam! Blaaamm!
Letupan keras berkali-kali terdengar, mengge-
tarkan seantero tempat. Mengiringi ledakan tadi, mun-
crat ke angkasa sinar hitam pekat dan sinar keema-
san. Cukup menyilaukan dan membuat tempat itu se-
saat menjadi terang. Tempat di mana kedua benturan
itu terjadi, menyebabkan tanah membumbung tinggi
dan seketika terbentuk lubang yang cukup dalam
Dari bentrokan tadi mencelat tubuh Tirta ke be-
lakang sejauh lima tombak. Tubuhnya limbung dengan
dada terasa nyeri. Hampir saja Pedang Batu Bintang
yang dipegangnya terlepas bila dia tak segera mengaliri tenaga surya pada
seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan
dirasakan kegetiran pada bibirnya. Lalu diusapnya
dengan tangan kanan. Dadanya turun naik.
Sementara itu, di depan sana, sosok tubuh
berbalut kain hitam pekat dari kepala hingga ke tela-
pak kaki masih berdiri tegar. Seperti tak kurang suatu apa. Namun kejap lain,
tubuhnya nampak agak limbung. Dan dengan gerakan yang aneh, kerap kali me-
lompat-lompat, tubuhnya tegak berdiri.
"Luar biasa ketahanan tubuh orang yang berju-
luk Raja Pocong Hitam ini," kata Tirta sambil mengusap dadanya. Pandangannya
lekat pada Raja Pocong
Hitam Sementara itu, Raja Pocong Hitam membatin
dengan memperlihatkan kedua matanya yang semakin
memancarkan sinar merah.
"Aneh! Kalau ku taksir usianya tak lebih dari
tujuh belas tahun. Namun dia telah memiliki tenaga
yang sangat luar biasa. Ku rasakan panas yang cukup
menyengat. Dan pedang di tangannya, jelas bukan pe-
dang sembarangan."
Di seberang, Tirta sudah berdiri tegak kembali.
Diliriknya si Jubah Setan yang telah menjadi mayat.
Lalu didongakkan kepalanya. Bwana masih berputar di
angkasa setelah berhasil mengatasi lawannya.
"Perkelahian tak banyak gunanya. Perlu kita
pikir dan kaji setiap langkah yang telah kita lalui. Raja Pocong Hitam, kematian
adikmu yang berjuluk Ratu
Tengkorak Hitam adalah karena keserakahannya sen-
diri. Dia terlalu banyak menuntut dan memaksa orang
untuk menurunkan tangan padanya."
"Jangan menjual omong di hadapanku!" suara
serak berbalur kemarahan tinggi itu menyelinap men-
gerikan. "Dan jangan berbangga kau cukup berhasil mengejutkan ku tadi!"
"Gila! Rupanya dia terkejut juga dengan gempu-
ran ku. Hmmm,... Beruntung juga dia menyembunyi-
kan wajahnya hingga tak ketahuan apakah dia tengah
kesakitan atau apa. Manusia berjuluk Raja Pocong Hi-
tam ini, aku yakin wajahnya sejelek hantu kuburan!"
Habis membatin begitu, dengan seringai lebar pemuda
dari Gunung Rajawali itu berseru, "O.... Jadi kau terkejut, ya" Nah! Kau mesti
hati-hati sekarang! Kalau
kau celaka, bisa-bisa ku pakai nanti kain hitam mu itu untuk tidur"!"
Terdengar suara dengusan dalam yang cukup
mengkederkan hati. Detik berikutnya, entah bagaima-
na menggerakkan kedua tangannya yang tertutup ra-
pat itu, angin dahsyat menggebah ke arah Tirta. Ber-
samaan dengan itu, sosok Raja Pocong Hitam melom-
pat dengan gerakan secepat angin.
Tirta menatap dengan kedua mata dipentang-
kan. Kejap lain, dia sudah mengempos tubuhnya. Kali
ini tenaga 'Selaksa Surya' dialirkan ke tangan kanan-
nya yang masih memegang Pedang Batu Bintang.
Seketika itu juga menghampar sinar keemasan
yang, cukup menyilaukan, dikawal dengan hawa panas
luar biasa. Blaaam! Blaaam!
Kembali benturan dahsyat itu terjadi. Suara le-
tupan dahsyat berulang kali terdengar. Sepuluh ba-
tang pohon besar yang letaknya berjarak lima belas
tombak dari sana, tumbang dan berpentalan. Mena-
brak pohon-pohon lain di belakangnya. Menimbulkan
suara bukan buatan kerasnya. Dedaunannya langsung
berguguran. Sementara itu, Tirta terhuyung tiga tindak ke
belakang dengan dada yang bukan main sakitnya.
Tangan kanannya yang memegang Pedang Batu Bin-
tang bergetar hebat. Darah kali ini bukan hanya keluar dari mulutnya, melainkan
dari hidungnya. Pakaian di
bagian atas lengan kanannya menghangus.
Berjarak lima tombak di depan, Raja Pocong Hi-
tam bergetar dengan mengeluarkan suara gerengan
menahan sakit. Dari tubuhnya seketika mengeluarkan
asap hitam yang pekat. Sementara kedua matanya se-
makin terang berwarna merah. Entah dari mana ke-
luarnya, tahu-tahu menetes darah di bagian wajahnya
yang tak nampak.
Namun hanya sesaat kejadian itu melanda diri
orang berbalut kain hitam pekat. Karena detik lain, tubuhnya sudah membersitkan
sinar hitam yang menyi-
laukan. "Gila! Manusia ini benar-benar kedot," maki Tirta dalam hati dengan
wajah sedikit pias. Keringat mu-
lai membasahi keningnya. "Aku tak yakin dia tak terluka. Seperti tadi, secara
tidak langsung dia mengatakan cukup terkejut dengan gempuran ku. Berarti, tak
mustahil kalau saat ini dia pun terluka. Kulihat ada
darah yang keluar dari wajahnya yang tak nampak En-
tah dari bagian mana darah itu keluar."
Di seberang, sinar hitam menyilaukan yang ke-
luar dari seluruh tubuh Raja Pocong Hitam semakin
kuat. Bertambah menyilaukan, sehingga Tirta harus
mengangkat tangan kirinya guna menghalangi pan-
dangannya yang cukup tertusuk sinar hitam menyen-
gat itu, Kejap berikutnya, tubuh Raja Pocong Hitam
sudah melompat-lompat. Sekali melompat, jarak tiga
tombak terlampaui. Tirta yang tahu kalau saat ini la-
wan mengeluarkan ilmunya yang dahsyat pun tak mau
bertindak ayal. Kendati dia tahu tenaga 'Selaksa
Surya' tak banyak membantu, namun dia ma-
sih memiliki Pedang Batu Bintang. Sejak tadi pedang
di tangannya memang belum mengenai sasaran. Kare-
na setiap kali dicobanya untuk menebaskan pedang
pada bagian tubuh sosok berbalut kain hitam itu, sela-lu saja tertahan oleh
sebuah tenaga yang tak nampak
yang tentunya keluar dari tubuh Raja Pocong Hitam,
Apa pun yang terjadi, si Rajawali Emas tak pe-
duli lagi. Begitu tubuh Raja Pocong Hitam melompat,
dia pun segera mencelat dengan tekad berhasil mem-
bacok tubuh Raja Pocong Hitam
Namun kali ini si Rajawali Emas dibuat kecele.
Karena begitu kedua kaki yang terbalut kain hitam itu menjejak tanah, tubuhnya
langsung melompat lagi-
"Gila! Jurus apa ini" Ku rasakan hawa panas
yang menderu!" maki Tirta seraya mengibaskan pe-dangnya ke kanan.
Wuuuttt! Pedang Batu Bintang luput mengenai sasaran-
nya, sementara tubuh Raja Pocong Hitam sudah me-
lompat kembali dengan gerakan anehnya namun me-
nimbulkan hawa panas yang menyengat.
"Rupanya dia mencoba menguras tenagaku
dengan cara menghindar terus menerus. Lompatannya
sungguh hebat. Setiap kali dia menjejak tanah, kali ini tanah yang ku pijak
bagai bergetar. Kendati hawa panas yang keluar dari tubuhnya setiap kali
melompat cukup mengejutkan, namun tak terlalu mengkhawa-
tirkan. Karena aku bisa menahannya dengan tenaga
surya dalam tubuhku. Sial betul! Aku harus berhati-
hati sekarang, jangan sampai terpancing dan tenagaku
terkuras!"
Memikir sampai di sana, si Rajawali Emas me-
mutuskan untuk menunggu setiap kali Raja Pocong
Hitam melompat. Akan tetapi, justru saat itulah Raja Pocong Hitam menyerang
dengan kedua kakinya yang
terbalut kain hitam hingga membersit sinar hitam yang panas. Wuuutt!
"Heeiii!"
Tirta segera mencelat ke samping. Dan tiga po-
hon besar yang berada di belakangnya langsung
menghangus begitu terhantam angin panas yang dile-
paskan oleh Raja Pocong Hitam.
"Benar-benar sial! Aku.... Aha! Kali ini kau akan ku permainkan, Manusia
Pocong!" Tiba-tiba saja Tirta berdiri tegak dengan kedua
kaki dan mata dipentangkan. Tangan kanannya yang
memegang Pedang Batu Bintang diturunkan ke bawah
dengan posisi agak miring dari tubuh, Sementara tan-
gan kirinya diletakkan di dada.
Raja Pocong Hitam yang masih melompat-
lompat untuk menguras tenaga si Rajawali Emas, se-
makin mempercepat lompatannya.
Wuuuttt! Bersamaan dengan tubuh Raja Pocong Hitam
yang masih mengeluarkan sinar hitam menyilaukan
melompat melakukan satu serangan aneh, Tirta meng-
gerakkan Pedang Batu Bintang. Seperti yang telah di-
duganya kalau manusia berbalut kain hitam pekat itu
akan melompat kembali menghindari kibas-an pe-
dangnya, mulut Tirta mengeluarkan suara mengkirik
pelan. Bwana yang masih terbang berputaran di ang-
kasa tiba-tiba saja menukik ketika telinga tajamnya
menangkap isyarat dari majikannya untuk menyerang.
Wrrrrr! Angin bergemuruh luar biasa kencangnya. Pa-
ruh Bwana yang tajam bergerak ke bawah, siap mema-
tuk kepala Raja Pocong Hitam yang telah melompat.
Raja Pocong Hitam mengeluarkan suara terta-
han begitu mendapati serangan maut yang dilancarkan
burung rajawali raksasa keemasan itu mengarah ke-
padanya. Sebisanya dia membuang tubuh ke kiri. Seran-
gan Bwana memang gagal dan burung rajawali keema-
san itu mencelat lagi ke angkasa. Namun, Tirta yang
memang hendak mengejutkan Raja Pocong Hitam su-
dah bergerak laksana kilat.
Tangan kirinya yang telah dialirkan tenaga
'Selaksa Surya' menghajar telak bagian punggung Raja
Pocong Hitam. Des! Bersamaan pukulan itu menerpa punggungnya,
Raja Pocong Hitam memekik kesakitan dan tersuruk
ke depan. Dia hampir saja ambruk menghajar tanah.
Namun dengan gerakan yang aneh, tubuhnya bisa di-
kendalikan. Bahkan melompat menjauh tiga tombak.
Akan tetapi, Tirta yang melihat kesempatan tak mau
bertindak ayal. Pedang Batu Bintang di tangan kanan-
nya digerakkan.
Kembali terdengar pekikan Raja Pocong Hitam.
Sebisanya dia membuang tubuh ke samping begitu
mendapati hawa panas yang mengarah padanya Na-
mun.... Cras Ujung pedang yang tajam dan mengeluarkan
sinar keemasan itu masih sempat menggores lengan
kanan bagian atas orang berbalut kain hitam itu.
Seketika jeritan membahana terdengar keras
dari mulut Raja Pocong Hitam. Bila saja saat itu Tirta menginginkan nyawa
manusia berbalut kain hitam itu,
sangatlah mudah untuk dilakukannya. Akan tetapi,
pemuda dari Gunung Rajawali itu masih memiliki sifat


Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perikemanusiaan yang tinggi kendati dia tahu siapa
orang yang tengah dihadapinya.
Dihentikannya gerakannya dan diperhatikan-
nya bagaimana Raja Pocong Hitam menjerit-jerit. Se-
mentara itu, darah Raja Pocong Hitam yang menempel
di ujung Pedang Batu Bintang, mendadak mengering.
"Aku tak menginginkan kejadian ini berlarut-
larut. Kalaupun aku harus membunuh adik mu, kare-
na semuanya memang harus ku lakukan. Dia merupa-
kan sumber segala fitnah keji yang terjadi di rimba
persilatan ini Raja Pocong Hitam, kuharap kau melu-
pakan segala persoalan dan segera meninggalkan tem-
pat." Masih menjerit dan menahan sakit, tubuh yang berbalut kain hitam itu
berbalik. Entah apa yang tengah dirasakan oleh Raja Pocong Hitam karena Tirta
su- lit melihat raut wajahnya sekarang. Namun dari sua-
ranya yang dingin, dalam, dan penuh ancaman, dia
tahu kalau lawan sedang dalam keadaan murka tiada
tara. "Rajawali Emas.... Untuk saat ini aku mengaku kalah. Tetapi, kejadian ini
tak akan pernah kulupakan sampai kapan pun juga!"
"Heran! Mengapa kau tak mau jera juga" Dasar
pocong ya pocong! Eh!, Aku jadi penasaran, nih! Kalau kau mati, apakah kau akan
jadi pocong gentayangan
ataukah pocong dalam pocong?" seloroh Tirta sambil
memasukkan Pedang Batu Bintang ke warangkanya
yang penuh dengan benang keemasan.
"Jangan harap aku menghentikan segala kein-
ginan ku untuk mencabut nyawamu! Nyawa adikku
tak akan kubiarkan gentayangan!" seru Raja Pocong Hitam dengan suara bertambah
dalam. Serak. "Wah! Bukannya lebih baik arwah adikmu itu
gentayangan" Kan siapa tahu bisa bertemu dengan-
mu" Pocong bertemu dengan arwah gentayangan, pasti
seru tuh!" seringai Tirta lebar dan diam-diam dia kembali mengalirkan tenaga
dalamnya guna menahan rasa
sakit di bagian dada akibat dua kali berbenturan tadi.
Raja Pocong Hitam tak bersuara. Hanya kedua
matanya yang semakin memancarkan sinar merah
menyala. Kejap lain, tubuhnya sudah berlalu dari sana dengan cara melompat-
lompat!' Sepeninggal Raja Pocong Hitam, Tirta menarik
napas panjang dan jatuh terduduk. Bwana langsung
menukik turun dan mendekam dalam jarak tiga tom-
bak dari si Rajawali Emas.
Tirta tersenyum. "Terima kasih atas bantuan-
mu, Bwana. Kini aku semakin mengerti apa yang dulu
pernah dikatakan Guru, Raja Lihai Langit Bumi. Kalau
di muka bumi ini masih begitu banyak yang harus di-
jajaki. Di atas langit masih membentang rangkaian
langit dan di dasar lautan kemungkinan masih ada pa-
lung-palung laut yang semakin dalam! Bwana! Pesan
dari Eyang Guru yang disampaikan kepadamu harus
kita jalankan dengan segera!" katanya sambil meraba perutnya. "Hmm.... Untung
Kitab Pemanggil Mayat tidak terjatuh saat bentrokan dengan Raja Pocong Hitam
tadi." Setelah beristirahat beberapa saat dan tenaganya kembali dirasakan pulih,
Tirta melompat ke leh-
er Bwana. Mengusap lembut bulu-bulu halus yang be-
sar di leher Bwana.
"Bwana! Bawa aku ke Gunung Siguntang!"
Bwana mengeluarkan koakan yang cukup ke-
ras. Lalu.... Wuuutttt! Tubuhnya sudah membubung tinggi hanya da-
lam satu kejapan mata.
Namun tanpa sepengetahuan si Rajawali Emas,
sepasang telinga tajam yang bersembunyi di balik rim-
bunnya sebuah pohon, sejak pertama kali pertarungan
antara si Rajawali Emas dan Raja Pocong Hitam terja-
di, dia telah mengetahui semuanya. Tiba-tiba saja se-
buah senyuman bertengger di bibir orang itu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Holmes
Tabir Air Sakti 1 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Wanita Iblis 6
^