Pencarian

Seruling Haus Darah 1

Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah Bagian 1


Hak cipta dan copy right
pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
Bab l MALAM pekat tanpa satu bintang pun bertengger di
persada langit. Gumpalan awan hitam bergantungan
dengan perut menggembung. Angin dingin bergulung-
gulung, menerbangkan tanah dan batu-batuan. Bebe-
rapa dahan pohon patah dan menimbulkan suara ber-
derak tatkala berbenturan satu sama lain. Di kejauhan
terdengar suara air laut berdebur dahsyat, menabrak
batu-batu karang.
Di tempat yang dikelilingi batu-batu cadas, satu so-
sok tubuh duduk mencangkung di salah sebuah batu
cadas itu. Mata sosok tubuh yang ternyata lelaki beru-
sia setengah baya tertutup. Rambut panjangnya ber-
tambah acak-acakan dipermainkan angin keras. Pa-
kaiannya yang berwarna putih bersih berkibaran men-
geluarkan suara seperti membeset. Mulut lelaki yang
masih memperlihatkan sisa-sisa ketampanan di wa-
jahnya berkemik-kemik.
"Hmm... tak biasanya cuaca mengerikan begini.
Pertanda buruk. Rasanya... orang yang kutunggu akan
tiba di sini," desis lelaki itu tanpa membuka matanya.
Gulungan angin semakin mengeras, Kejap lain hu-
jan mendera tempat itu. Petir dan kilat saling susul
menyusul. Lelaki setengah baya berpakaian putih ber-
sih itu tetap duduk mencangkung di tempatnya, tanpa
menghiraukan air hujan yang segera membasahi tu-
buhnya. Dua tarikan napas berikutnya, dari kejauhan ter-
dengar suara menggema keras. Mengalahkan gemuruh
hujan. "Ki Jaka Paksi alias Dewa Tanpa Nama! Hari ini
kematianmu akan tiba!!"
Dada lelaki yang masih memejamkan kedua mata-
nya itu berdebar keras. Kemikan di mulutnya semakin
kentara. "Dugaanku benar. Rupanya manusia satu ini tak
pernah puas menerima kekalahannya tiga tahun yang
lalu. Hmm... di mana adik seperguruanku si Raja De-
wa" Apakah dia masih terus bertarung dengan Ratu
Iblis" Urusan jelas tak akan berkesudahan!"
Teriakan keras tadi berubah menjadi suara tawa
yang bertalu-talu.
"Bertahun-tahun tak seorang pun yang tahu nama
aslimu, Dewa Tanpa Nama! Tetapi sekarang, aku tahu
semuanya! Jelas ini pertanda buruk bagimu!!" kembali
teriakan itu terdengar sedemikian keras.
Dan belum habis teriakan itu terdengar, satu sosok
tubuh tinggi besar berpakaian merah-merah telah ber-
diri berjarak tiga tombak dari hadapan lelaki berpa-
kaian putih bersih yang berjuluk Dewa Tanpa Nama.
Kedua kaki pendatang ini dipentangkan. Sepasang
matanya terbuka lebar. Sekujur tubuhnya juga basah
didera air hujan. Rambut hitamnya panjang hingga
pinggang. Tetapi tepat di bagian tengah kepalanya,
rambutnya berwarna putih.
Sejurus kemudian, terdengar teriakannya lantang
mengalahkan gemuruh air hujan dan pekikan petir
yang sambar menyambar.
"Kematian dirimu rupanya memang ditakdirkan be-
rada di tanganku, Dewa Tanpa Nama! Urusan den-
damku tak akan pernah padam sebelum kulihat kau
terkapar tanpa nyawa! Sekarang, bersiaplah untuk
menuntaskan segala urusan lama dan menyambut
kematian mengerikan!!"
Dewa Tanpa Nama perlahan-lahan membuka kedua
matanya. Sorotnya tajam pada si pendatang yang ber-
seru mengejek tadi. Lalu dia berkata dingin,
"Rupanya kau memang tak pernah puas menantang
tokoh-tokoh dunia persilatan, Raja Setan! Jelas perbu-
atanmu tak bisa dimaafkan! Dan perlu kau ketahui,
kalau sekarang aku tak akan memberimu belas kasi-
han!!" Lelaki tinggi besar berpakaian merah-merah yang
disebut Raja Setan keluarkan tawa menggema. Da-
danya berguncang keras saat dia tertawa.
"Jangan terlalu banyak mimpi, karena akan menge-
labui diri! Kali ini kita buktikan kembali siapa yang
akan melihat matahari besok!! Dan perlu kau ketahui,
Dewa Tanpa Nama! Selama tiga tahun aku mengasing-
kan diri setelah dikalahkan olehmu, julukanku telah
berubah! Kini aku dikenal dengan julukan.... Seruling
Haus Darah!"
Sepasang mata Dewa Tanpa Nama membuka lebih
lebar. Diam-diam lelaki ini membatin, "Hmm... aku
pernah mendengar julukan itu. Kupikir, bukan hanya
Raja Setan yang telah berganti julukan. Dialah orang
yang berada di balik pembunuhan bergelombang sela-
ma tiga tahun. Manusia laknat ini benar-benar durja-
na." Mendapati Dewa Tanpa Nama terdiam, Seruling
Haus Darah kembali umbar tawanya disertai suara
mengejek, "Aku yakin kau tentunya pernah mendengar
julukan itu, bukan" Hua... ha... ha... dan aku yakin
kau mendadak ciut untuk menghadapiku! Tetapi... kita
memang tak perlu membuang waktu! Sambutlah ke-
matianmu ini, Dewa Tanpa Nama!!"
Dewa Tanpa Nama terdiam dengan sorot mata tak
berkedip. Lalu katanya dingin, "Jangan terlalu banyak
sesumbar! Siapa pun dan apa pun kau sekarang, aku
tak akan mengampunimu!!"
Mengkelap wajah lelaki tinggi besar itu, hingga tu-
buhnya bergetar tanda dia tak kuasa menunda sege-
nap dendam. "Keparat sialan! Akan kubuktikan ucapanku!!"
Habis kata-katanya, lelaki tinggi besar itu mengge-
rakkan tangan kanannya dengan cara mendorong.
Seketika menghampar kabut tebal warna merah yang
mengeluarkan angin menggidikkan ke arah Dewa Tan-
pa Nama. Blaaarrrr!! Batu cadas yang diduduki lelaki berpakaian putih
bersih itu hancur menjadi kerikil, sementara sosoknya
sendiri telah berdiri di samping kanan Raja Setan atau
yang menjuluki dirinya Seruling Haus Darah, berjarak
dua tombak. "Tak ada lagi yang perlu kita bicarakan sekarang!
Bila memang kau berkeinginan seperti itu, aku siap
menyambutnya. Raja Setan!"
"Manusia Keparat!!" geram lelaki berpakaian merah-
merah sambil balikkan tubuhnya. Sinar matanya men-
corong penuh amarah. "Julukanku sekarang, Seruling
Haus Darah!!"
"Apa pun julukanmu itu, kau tetap akan kuberi pe-
lajaran yang tak akan pernah kau lupakan!!"
"Justru kau yang akan menyesalinya, Dewa Tanpa
Nama!!" Dengan segera Seruling Haus Darah menggebrak
dan langsung menghantam ke arah batok kepala Dewa
Tanpa Nama. Lelaki berpakaian putih bersih itu tak
mau bertindak ayal karena sudah cukup banyak Raja
Setan atau yang sekarang berjuluk Seruling Haus Da-
rah membuat urusan. Begitu kedua tangan lawannya
berkelebat menghantam kepalanya, dia segera men-
gangkat pula kedua tangannya.
Desss! Desss!! Dua pasang tangan beradu keras. Seruling Haus
Darah tersentak dan mundur dua langkah ke bela-
kang. Air mukanya tampak berubah dengan sepasang
mata terpentang lebar memperhatikan lelaki berpa-
kaian putih bersih di hadapannya.
"Bagus! Kau masih mengandalkan pukulan 'Dewa
Ngamuk' rupanya!"
Sambil menyeringai, kejap lain Seruling Haus Da-
rah sudah melompat ke depan. Kaki kirinya mencuat
melepaskan tendangan bertenaga dalam tinggi. Semen-
tara tangan kanannya dikembangkan menghantam ke
arah dada. Dua deruan angin keras terdengar mengalahkan
gemuruh air hujan, mendahului berkelebatnya tangan
dan mencuatnya kaki yang menendang, pertanda ka-
lau Seruling Haus Darah tidak main-main untuk men-
jalankan maksud.
Dewa Tanpa Nama menatap tak berkedip. Lalu me-
lompat ke udara menghindar dua serangan lawan.
Seruling Haus Darah memekik geram mendapati
dua serangannya lolos begitu saja. Lalu dengan cara
seperti hendak ambrukkan tubuh dalam keadaan te-
lentang, kedua tangannya telah menggebrak mele-
paskan dua pukulan sekaligus.
Wuuut! Wuuutt! Terlihat cahaya terang sekejap dari kedua tangan
Seruling Haus Darah. Di lain kejap terdengar deruan
hebat, lalu menyusul gelombang angin luar biasa dah-
syat menggebrak. Dan bukan hanya sampai di sana
saja tindakan Seruling Haus Darah yang memiliki den-
dam setinggi langit pada Dewa Tanpa Nama. Karena
begitu lepaskan dua pukulan sekaligus, dia segera me-
lompat ke depan dengan mengangkat dua tangannya
dan siap melepaskan pukulan dari jarak dekat.
Melihat ganasnya pukulan lawan, Dewa Tanpa Na-
ma segera bertindak. Begitu kedua kakinya menginjak
tanah, dia segera mengerahkan tenaga dalam pada
lengannya. Lalu kedua tangannya disentakkan ke de-
pan. Dari kedua tangannya nampak seperti keluar gu-
lungan api. Pada saat yang bersamaan, hawa dingin
yang menikam tempat itu segera tertindih dan menjadi
panas luar biasa. Lalu menghampar gelombang angin
keras laksana topan ke arah Seruling Haus Darah. In-
ilah salah satu pukulan sakti yang dimiliki Dewa Tan-
pa Nama, yakni pukulan 'Dewa Marah'.
Blaaaar! Pukulan Seruling Haus Darah tertahan dahsyat.
Dan terdengar pekikan lelaki berpakaian merah-merah
itu tatkala hawa panas melabrak ke arahnya.
Cepat Seruling Haus Darah melompat ke samping
kiri dan tegak di atas tanah becek dengan sepasang
mata terpentang lebar. Dia seakan tidak percaya meli-
hat pukulan yang baru dilepas tadi salah satu jenis
pukulan yang baru diciptakannya begitu mudah diha-
lau oleh Dewa Tanpa Nama.
Perlahan-lahan lelaki yang di bagian tengah kepala-
nya berambut putih ini mulai dirasuki rasa kecut. Da-
danya berdebar hebat dan diam-diam dia membatin,
"Gila! Manusia satu ini masih saja sukar dikalah-
kan. Bahkan terasa tenaga dalamnya menjadi berlipat
ganda. Tetapi aku akan tetap mencobanya dan mem-
buat kejutan yang tak...."
"Seperti kataku tadi! Aku tak akan memberimu be-
las kasihan!!" terdengar seruan Dewa Tanpa Nama
memutus kata batin Seruling Haus Darah. Rupanya le-
laki berpakaian putih bersih itu sudah tak sanggup
menahan diri mengingat Raja Setan atau yang seka-
rang menjuluki dirinya Seruling Haus Darah pernah
dimaafkannya. Bersamaan dengan itu, kembali dia lepaskan puku-
lan 'Dewa Marah'.
Seruling Haus Darah memekik. Sulit baginya seka-
rang untuk menghindar. Makanya dia segera men-
gangkat kedua tangannya lalu lepaskan kembali puku-
lan 'Tapak Kematian'.
Blaaammm!. Tempat bergugusan batu cadas itu bergetar. Bebe-
rapa batu cadas pecah berantakan dan bertaburan di
udara, disusul dengan menghamburnya tanah becek.
Seruling Haus Darah tampak terhuyung-huyung se-
belum akhirnya jatuh terduduk dengan wajah pucat
pasi dan mulut mengalirkan darah hitam tanda dia ter-
luka dalam. Tubuhnya bergetar hebat. Tetapi lelaki
berpakaian merah-merah yang ingin seluruh dendam
dan kekalahannya beberapa kali dari Dewa Tanpa Na-
ma tuntas saat ini juga, sudah berdiri tegak kembali
dengan mata mendelik kendati agak terhuyung.
Kejap lain diiringi teriakan keras mengguntur, serta
merta lelaki berpakaian merah-merah ini menyentak-
kan kedua tangannya ke depan.
Wuuutt! Wuuutt!!
Kembali terlihat cahaya terang sekejap dan angin
bergulung mengerikan ke arah Dewa Tanpa Nama yang
mendengus keras. Lalu dia melompat dan menggebrak
dengan pukulan 'Dewa Marah'.
Blaaamm! Kembali terdengar letupan yang sangat keras. So-
sok Seruling Haus Darah kembali surut ke belakang
dengan terhuyung-huyung. Sepasang kakinya bertam-
bah goyah. Namun lelaki ini cepat membuat gerakan di
udara dan mendarat dengan sosok tubuh tegak kenda-
ti wajahnya berubah dan dadanya bergerak turun naik
dengan cepat. Di depannya, Dewa Tanpa Nama tetap berdiri tegak.
Tetapi dia juga merasakan nyeri yang luar biasa di da-
danya. Bahkan kedua tangannya terasa ngilu hingga
ke pangkal lengan.


Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lelaki keparat itu rupanya sudah banyak kema-
juan. Aku tak tahu apakah dia memang menambah il-
mu dan berlatih terus menerus, atau berguru pada
orang lain," batinnya dengan pandangan tak berkedip
pada Seruling Haus Darah. "Seperti janjiku tadi, aku
tak akan mengampuninya lagi karena bila dia hidup
hanya menyimpan sejuta dendam dan membawa peta-
ka." Berpikir demikian, Dewa Tanpa Nama maju dua
tindak dengan langkah angker. Pandangannya bertam-
bah tajam saat dia berkata, "Selama tiga tahun kupikir
kau telah berubah, Seruling Haus Darah. Tetapi pada
kenyataannya engkau tetap tak berubah sama sekali.
Berarti keputusanku tepat untuk mengakhiri semua
sepak terjangmu sekarang!"
Seruling Haus Darah justru menyeringai. Diam-
diam dia membatin, "Ini kesempatan yang kutunggu.
Ya, ya... dengan memancing amarahnya semakin ting-
gi, aku akan membuatnya terkejut seumur hidupnya!"
Habis membatin begitu dia berseru mengejek,
"Mengapa kau masih berdiam diri"! Apakah yang baru-
san kau katakan itu hanya sekadar menutupi dirimu
belaka kalau kau sebenarnya justru ketakutan?"
Tak ada suara sahutan dari Dewa Tanpa Nama. Ka-
rena kejap itu pula dia sudah mengangkat kedua tan-
gannya dan menggebrak. Namun....
Des! Desss!! Seperti menabrak sebuah tembok tebal, tubuh lela-
ki berpakaian putih bersih itu terpental ke belakang!
Sebelum dia menyadari apa yang terjadi, saat itu pula
telinganya mendengar alunan seruling yang cukup
menyakitkan dan seketika membuat dadanya bergetar
hebat. Dalam keadaan yang mendadak terhuyung, sepa-
sang mata Dewa Tanpa Nama melihat Seruling Haus
Darah sedang memainkan sebuah seruling gading
berwarna bening yang berlubang tujuh.
"Gila! Bukankah itu Seruling Gading milik Raja Se-
ruling?" batin Dewa Tanpa Nama sambil kerahkan se-
luruh tenaga dalamnya untuk menahan dahsyatnya
suara seruling yang masuk ke telinganya dan menye-
babkan keseimbangannya agak goyah. "Celaka! Bagai-
mana manusia keparat ini bisa mendapatkan seruling
sakti itu?"
Dengan tubuh yang semakin bergetar hebat, Dewa
Tanpa Nama terus berusaha mempertahankan diri
dengan hati dibuncah berbagai perasaan tak menentu.
Hampir sepeminuman teh dia bertahan namun akhir-
nya jatuh terduduk dengan kedua lutut menekuk se-
bagai bantalan pinggul.
Wajahnya pucat pasi dengan mulut dan hidung
mengalirkan darah.
Di seberang sana, Seruling Haus Darah terus me-
niup serulingnya yang semakin lama kelihatan beru-
bah warna menjadi sekental darah. Sementara itu, ra-
sa sakit yang menyiksa tubuh Dewa Tanpa Nama se-
makin menjadi-jadi.
Kali ini dia benar-benar telah merasa lumpuh selu-
ruh tubuhnya. Beberapa buah urat darah di kedua
tangannya mulai menggembung dan meletus pecah me
muncratkan darah.
"Celaka! Aku tak akan sanggup menahan gelom-
bang irama mematikan dari seruling itu. Dan ra-
sanya... aku terlambat untuk menghindar...."
Sementara itu sepasang mata lelaki berpakaian me-
rah semakin terbuka lebar dengan sorot gembira. Jari-
jemari tangannya semakin lincah membuka dan menu-
tup lubang seruling gading itu yang terus ditiup dan
semakin bertambah memerah. Bahkan mulai berang-
sur agak kehitaman!
Apa yang dialami Dewa Tanpa Nama semakin men-
gerikan. Karena sekarang bukan hanya di kedua tan-
gan lelaki berpakaian putih bersih itu yang urat darah-
nya meletus. Di kedua kakinya pun mulai keluar da-
rah. Tubuhnya bertambah bergetar. Warna kulitnya
mulai berubah semakin putih memucat. Rasa sakitnya
tak tertahankan. Bahkan curahan air hujan yang se-
perti ratusan jarum meluncur pada urat-urat darahnya
yang pecah, menambah siksaan.
Sementara Dewa Tanpa Nama semakin tersiksa, ti-
ba-tiba saja Seruling Haus Darah menghentikan ti-
upan serulingnya. Sesaat dipandanginya Dewa Tanpa
Nama yang bernapas tersendat dan merasa seluruh
aliran darahnya menjadi kacau.
Lalu dengan seringaian lebar yang sesekali diiringi
tawanya, Seruling Haus Darah mendekati Dewa Tanpa
Nama yang benar-benar sudah tanpa daya.
"Seperti kataku tadi, kematianmu sudah datang,
Dewa Tanpa Nama. Tetapi sebelum nyawamu benar-
benar lenyap, aku akan menceritakan bagaimana Se-
ruling Gading yang ku rubah namanya menjadi Serul-
ing Haus Darah dan kupakai sebagai julukanku ini
kudapatkan dari Raja Seruling. Setelah setahun la-
manya aku dikalahkan olehmu, aku justru mengemba-
ra ke berbagai tempat dengan cara menyamar hingga
tak seorang pun yang tahu kalau aku adalah si Raja
Setan. Aku berhasil menyirap ilmu dari beberapa orang
dan akhirnya langkahku tertuju ke tempat kediaman
Raja Seruling di Telaga Matahari.
Dengan cara menyamar itu akhirnya aku berhasil
menjadi murid Raja Seruling. Suatu ketika, aku tahu
kalau dia memiliki sebuah seruling sakti yang disebut
Seruling Gading. Senjata ampuh yang sekian tahun
tak pernah dipergunakan karena dia tak mau membu-
nuh lawan-lawannya. Namun, aku sangat tertarik un-
tuk memilikinya. Makanya segera kurencanakan untuk
mendapatkan Seruling Gading itu. Hingga suatu saat,
aku berhasil meracuni Raja Seruling. Lalu kuambil Se-
ruling Gading itu dan melarikan diri. Aku tidak tahu
apakah Raja Seruling masih hidup atau tidak sekarang
ini. Tetapi, tak seorang pun yang bisa lolos dari racun
'Cobra Mata Tiga' yang kudapatkan dari Iblis Ular Co-
bra yang akhirnya kubunuh juga. Mulailah aku mem-
buka kembali samaranku dan malang melintang den-
gan julukan Seruling Haus Darah! Perlu kau ketahui
pula, julukan Raja Setan akhirnya berangsur lenyap!
Nah! Apakah kau sudah puas mendengarnya, Dewa
Tanpa Nama?"
"Lelaki keparat! Caramu benar-benar busuk! Beri
aku kesempatan selama seminggu dan kita bertarung
kembali!!" geram Dewa Tanpa Nama sambil menindih
rasa sakitnya. Seruling Haus Darah tertawa lebar.
"Begitu bodoh bila aku mau melakukannya! Aku
memang orang kejam yang menyimpan dendam. Siapa
pun orangnya yang membuatku mendendam dia harus
mampus dengan cara yang paling mengerikan! Dalam
hal ini... kaulah yang menjadi pilihanku, Dewa Tanpa
Nama!!" "Kematian bagiku bukan hal yang menakutkan!" ge-
ram Dewa Tanpa Nama dengan mata setengah terpe-
jam. "Aku rela mati dengan cara apa pun untuk meng-
hentikan segala perbuatanmu!"
"Kau memang seorang yang tegar! Hanya sayang,
inilah terakhir kali kau bisa memperlihatkan ketega-
ranmu itu!"
Lalu dengan kejamnya Seruling Haus Darah men-
gangkat kaki kanannya dan siap menginjak kepala
Dewa Tanpa Nama!
Terkesiap Dewa Tanpa Nama memiringkan kepala-
nya. Blaass!! Injakan kaki kanan Seruling Haus Darah amblas
hingga selutut lebih sedikit dari wajah Dewa Tanpa
Nama. Keadaan itu justru membuat Seruling Haus Da-
rah tertawa senang.
"Bagus! Bagus! Aku ingin melihat seberapa lama
kau bisa bertahan!" serunya sambil terus menginjak.
Dalam keadaan terluka parah seperti itu, sudah tentu
Dewa Tanpa Nama tak bisa bertahan lebih lama. Ak-
hirnya.... Prak!! Terdengar suara tulang tengkorak Dewa Tanpa Na-
ma pecah. Lelaki berpakaian putih bersih itu masih
sempat keluarkan pekikan tertahan dengan pandan-
gan tajam. Darah putih yang bercampur dengan darah
merah segera keluar dari kepalanya, langsung mengalir
di tanah becek tertimpa air hujan.
Berkumandanglah tawa lantang dari Seruling Haus
Darah. Sembari memasukkan Seruling Gading yang di-
rubah namanya menjadi Seruling Haus Darah sekali-
gus dipakai sebagai julukannya, lelaki berambut hitam
panjang dengan warna putih tepat di tengah kepalanya
bersuara keras, "Dalam waktu tak berapa lama... aku
akan menguasai rimba persilatan!!"
Sambil masih tertawa lantang, lelaki berpakaian
merah-merah itu melangkah meninggalkan tempat itu
yang kembali dibungkus sepi dan curahan air hujan
yang tak berhenti juga.
Meninggalkan mayat Dewa Tanpa Nama....
*** Bab 2 TIGA puluh lima tahun kemudian.
Pagi menghampar dalam kesejukan dan lingkar ke-
damaian. Butir embun masih bertengger di dedaunan.
Burung-burung beterbangan sambil bercicit gembira.
Mendadak alam permai yang sejuk itu dikejutkan
oleh satu suara dahsyat yang menggebah angkasa.
Menyusul angin bergulung-gulung laksana gelombang
badai. "Kraaaggghhh!"
Di angkasa, nampaklah seekor burung rajawali
raksasa berwarna keemasan meluncur dengan kepa-
kan kedua sayapnya yang membeset udara.
Di punggung rajawali raksasa itu nampak duduk
seorang pemuda berpakaian keemasan. Sepasang mata
tajam si pemuda yang juga mengenakan ikat kepala
berwarna sama dengan pakaiannya, memperhatikan
ke bawah. "Bwana... aku tak tahu di mana tempat tinggal Ki
Alam Gempita. Tetapi tulisan di tanah yang memintaku
untuk menemuinya, membuatku makin penasaran un-
tuk bertemu dengan Ki Alam Gempita. Aku ingin tahu,
ada persoalan apa sebenarnya...."
Burung rajawali raksasa itu mengkirik keras.
Pemuda yang duduk di punggungnya yang tak lain
Tirta alias Rajawali Emas adanya tersenyum.
"Ya, ya... aku tahu kau pun penasaran. Tetapi... di
mana kita bisa menemukannya" Bahkan orang itu tak
mengatakan di mana dia berada...."
Pemuda dari Gunung Rajawali ini mengenang kem-
bali apa yang terjadi semalam. Kala itu dia sedang ter-
tidur di sebuah batang pohon. Dan tatkala dia terban-
gun, dilihatnya ada sebuah tulisan berisi pesan di ba-
tang pohon yang dijadikan sandarannya.
Lama kucari dirimu, Rajawali Emas.
Carilah aku. Karena bantuanmu kubutuhkan.
Ki Alam Gempita.
Sesaat si pemuda yang di lengan kanan kirinya ter-
dapat rajahan burung rajawali berwarna keemasan,
tertegun dan menatap tak percaya pada tulisan yang
dilihatnya. Namun kejap lain dia segera berkelebat un-
tuk mencari jejak orang yang menuliskan pesan itu.
Namun sudah tentu dia tak bisa menemukannya.
Dan keadaan ini membuatnya menjadi penasaran. La-
lu dipanggilnya Bwana untuk membantunya melacak
siapa orang yang bernama Ki Alam Gempita. Maka ter-
banglah Rajawali Emas bersama Bwana.
Namun menemukan orang yang tak diketahui ba-
gaimana rupa dan di mana tinggalnya sama dengan
mencari sebuah jarum di tumpukan jerami. Kendati
demikian, Rajawali Emas berusaha keras untuk me-
nemukannya. Terutama mengingat orang itu seperti
butuh bantuannya.
"Siapa dia sebenarnya," gumam Rajawali Emas lagi.
Dan mendadak saja dia tersentak tatkala mendengar
suara kirikan Bwana. Tirta yang paham akan setiap
suara yang dikeluarkan dan gerak-gerik Bwana segera
arahkan pandangan ke bawah.
"Aku tak melihat apa-apa kecuali pepohonan, Bwa-
na...," kata Tirta kemudian. "Coba terbanglah merendah. Tetapi, jangan keluarkan
suara dan hentikan ke-
pakanmu sejenak."
Seketika Bwana mematuhi perintah majikannya.
Tirta pun menajamkan pandangannya dan samar
dilihatnya tiga orang sedang bertarung di bawah. Seke-
tika dia berseru, "Menjauh dulu, Bwana. Dan terbang
merendah. Aku ingin tahu siapa mereka tetapi tak in-
gin kehadiranku diketahui dulu sebelum jelas urusan
apa yang menyebabkan mereka bertarung."
Segera Bwana melesat cepat. Setelah memperhi-
tungkan jarak, Rajawali Emas segera melompat dan
menjadikan sebuah pohon sebagai pijakan sebelum
kedua kakinya hinggap di tanah. Kemudian didongak-
kan kepala pada Bwana yang terbang menjauh.
Kejap itu pula pemuda dari Gunung Rajawali ini
berkelebat ke arah di mana pertarungan yang dilihat-
nya dari atas tadi terjadi. Dari sebuah ranggasan se-
mak, dilihatnya dua orang lelaki bertampang kasar se-
dang mendesak seorang gadis berpakaian biru muda


Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berparas jelita.
Dan nampaknya pertarungan itu sudah berlang-
sung lama, karena bukan hanya si gadis yang menge-
nakan ikat kepala warna yang sama-dengan pakaian-
nya yang berkeringat. Kedua lawannya yang mengena-
kan pakaian dan jubah hitam pun dalam keadaan sa-
ma. Hanya bedanya, si gadis dalam keadaan terdesak.
Sementara di tempat itu berkali-kali terdengar suara
letupan dan ambruknya pohon. Keadaan sudah porak
poranda. "Sri Kunting! Menyerahlah ketimbang nyawamu pu-
tus!" membentak lelaki berwajah tirus yang dipipi ka-
nannya terdapat codetan. Matanya bersinar angker
dan dia terus mencecar hebat dengan pukulan-
pukulan yang mematikan.
Kendati merasa yakin tak akan mampu menghada-
pi kedua lawannya yang menyerang sekaligus itu, si
gadis berpakaian biru muda yang bernama Sri Kunting
menghindar sambil berseru, "Manusia hina! Tak sudi
aku ikut serta denganmu! Kalian telah membunuh gu-
ruku! Aku lebih baik mati daripada menjadi budak-
budak kalian!!"
"Gadis tak tahu diri!" membentak yang berwajah
bu-lat dengan rambut panjang yang di bagian tengah
kepalanya gundul. "Kami adalah orang suruhan Serul-
ing Haus Darah! Dan kau boleh meyakinkan diri, kalau
suruhan Seruling Haus Darah bukanlah orang-orang
sembarangan! Terbukti gurumu, si Pendekar Pedang
tewas di tangan kami!!"
"Panggil manusia durjana itu untuk menghadapi-
ku!" sahut Sri Kunting dengan suara lantang dan men-
gerahkan sisa-sisa tenaganya untuk terus mengi-
baskan sepasang pedangnya. "Dan kalian binatang-
binatang liar, lebih baik membunuh diri saja ketim-
bang mengharapkan aku menyerah!"
Mendengar ejekan si gadis, kedua lawannya yang
benar-benar sudah kalap tak mau bertindak ayal. Yang
berwajah tirus sudah melompat dengan kedua tangan
terbuka. Saat itu pula menghampar udara dingin yang
menyambar kedua kaki si gadis.
Memekik tertahan si gadis sambil berusaha meng-
hindar. Namun sergapan hawa sedingin es telah me-
nerpa kaki kanannya yang membuatnya mendadak su-
lit menggerakkan kaki kanannya, hingga mau tak mau
si gadis akhirnya ambruk. Dan belum lagi berhasil
membebaskan diri, sergapan hawa dingin itu kembali
menerpa kaki kirinya hingga kini kedua kakinya be-
nar-benar kaku dan sukar digerakkan.
Bersamaan dengan itu orang yang berkepala botak
di tengah sudah memutar tubuh dan melakukan toto-
kan dengan ibu jari!
Makin tak berdayalah Sri Kunting dengan tubuh
kejang kaku. Kendati demikian, si gadis yang baru saja
mendapati gurunya tewas di tangan kedua orang yang
mengaku berjuluk Dua Iblis Hitam masih membuka
mulut dengan kegusaran yang sangat kentara.
"Manusia-manusia laknat! Bebaskan aku! Kita ber-
tarung sampai mampus!!"
Lelaki berwajah tirus yang bernama Maung Ku-
mayang menggeram. Dengan suara dingin dia mem-
bentak, "Perlu kau ketahui, Anak Gadis! Tugas yang
diberikan Seruling Haus Darah bukanlah untuk mem-
bawamu! Melainkan membunuh gurumu si Pendekar
Pedang! Satu persatu orang rimba persilatan harus
mampus, karena Seruling Haus darah hendak mengu-
asai rimba persilatan ini!!"
"Setan laknat!" geram si gadis lantang. "Mulutmu begitu kotor, Binatang!
Lepaskan aku!!"
Maung Kumayang menggeram seraya palingkan ke-
pala pada kambratnya yang bernama Lodang Ku-
mayang, "Aku tak kuasa menahan diri lagi untuk
membunuhnya! Apakah perlu kita menyerahkan gadis
ini pada Seruling Haus Darah"!"
Lelaki yang berkepala botak di tengah mengusap-
ngusap dagunya yang bulat. Matanya tak berkedip
menatap Sri Kunting. Dan berangsur-angsur pandan-
gan geramnya berubah. Di bibirnya tersungging serin-
gaian lebar. Masih pandangi gadis berpakaian biru muda, la-
mat-lamat keluar kata-kata dari mulut Lodang Ku-
mayang, "Mengapa harus bertindak bodoh" Bukankah
kita tak mendapat perintah untuk membawa gadis ini
pada Seruling Haus Darah?" Dengan seringaian ber-
tambah lebar, lelaki berkepala botak di tengah ini ber-
paling pada kambratnya yang akhirnya tersenyum juga
menyadari apa isi otak Lodang Kumayang, "Maung...
bukankah lebih baik kita nikmati saja apa yang ada di
hadapan kita?"
Terbahak-bahaklah lelaki berwajah tirus yang geta-
ran tawanya menggugurkan dedaunan.
Sementara itu Rajawali Emas diam-diam mengge-
ram, namun dia masih menahan diri untuk tidak sege-
ra melompat keluar. "Walau begitu singkat, ada dua ju-
lukan yang kudengar di sini. Pertama, Pendekar Pe-
dang yang adalah guru dari gadis bernama Sri Kunting
itu. Kedua, Seruling Haus Darah yang memerintahkan
orang-orang yang bernama Maung Kumayang dan Lo-
dang Kumayang untuk membunuh Pendekar Pedang.
Berarti orang di balik pembunuhan terhadap Pendekar
Pedang adalah yang berjuluk Seruling Haus Darah.
Hmm... keinginanku untuk mencari orang yang ber-
nama Ki Alam Gempita sebaiknya kutunda dulu."
Dengan pandangan tajam, pemuda dari Gunung
Rajawali ini kembali menatap ke depan sambil me-
nunggu apa yang terjadi kendati dia bisa menebak apa
yang ada di benak kedua lelaki berpakaian dan berju-
bah hitam itu. Di seberang sana, Dua Iblis Hitam melangkah men-
dekati Sri Kunting yang berteriak-teriak kalap menya-
dari bahaya yang lebih mengerikan yang akan diteri-
manya. "Binatang-binatang buduk! Lepaskan aku! Kita ber-
tarung sampai mampus!!"
Tetapi Dua Iblis Hitam hanya terbahak-bahak saja.
"Anak gadis... rupanya kau memang harus diberi
pelajaran dulu sebelum dibunuh! Dan ketahuilah...
apa yang hendak kami lakukan tentunya belum per-
nah kau rasakan! Aku yakin, bila kau sudah merasa-
kannya... maka engkaulah yang akan mengejar-ngejar
kami berdua...."
"Mulutmu begitu kotor, Binatang!!" menggeram ke-
ras Sri Kunting dengan pandangan gusar.
"Tak perlu membuang tenaga untuk bersuara! Le-
bih baik kau nikmati saja apa yang hendak kami beri-
kan!" Habis kata-katanya, dengan kasar Maung Ku-
mayang siap menarik pakaian di bagian dada Sri Kunt-
ing yang terbeliak lebar dengan bola mata berputar ge-
lisah. Namun sebelum lelaki berwajah tirus itu melaku-
kannya, seseorang cepat melesat.
"Wah! Wah! Kenapa sih masih ada saja orang yang
bertindak busuk pada orang lain" Padahal bila perja-
lanan dalam kehidupan ini bergerak lurus terus mene-
rus, maka semuanya akan berjalan lurus. Gadis itu
memang benar, menyebut kalian binatang-binatang
liar!!" Serentak Dua Iblis Hitam balikkan tubuh. Masing-
masing orang memandang tajam dengan kedua kaki
terpentang pada pemuda berpakaian keemasan yang
barusan mengeluarkan kata-kata mengejek, yang ber-
diri di hadapan mereka. Di mulut si pemuda yang tak
lain Rajawali Emas adanya, terselip sebatang rumput.
*** "Orang muda keparat! Berani mampus kau jual la-
gak di sini"! Jangan campuri urusan! Lebih baik ting-
galkan tempat ini ketimbang nyawamu akan me-
layang!!" saat itu pula terdengar bentakan penuh kege-
raman dari Maung Kumayang. Orangnya sudah maju
dua tindak dengan tinju terkepal.
"Meninggalkan tempat ini" Wah... itu gampang se-
kali kulakukan. Tetapi bila bersama gadis itu... ya,
memang lebih baik," sahut Tirta sambil mengangkat
kedua alisnya. Lodang Kumayang yang memperhatikan lekat-lekat
pemuda di hadapannya maju dua tindak, berdiri di
samping kanan Maung Kumayang.
Masih memandang tajam pada Rajawali emas, lelaki
berkepala botak di tengah itu berbisik, "Maung... tidak
ingatkah kau tentang seorang tokoh muda yang men-
genakan pakaian dan ikat kepala berwarna keemasan
yang di kedua lengannya terdapat rajahan burung ra-
jawali keemasan?"
Mendengar kata-kata kambratnya, Maung Ku-
mayang mengarahkan pandangan pada kedua lengan
pemuda di hadapannya. Kejap lain dia mengangguk-
anggukkan kepalanya seraya berbisik, "Ya, ya... aku
ingat. Bukankah pemuda yang bercirikan seperti itu
pemuda lancang yang banyak mencampuri urusan
orang" Dan julukannya selalu jadi pembicaraan orang
baik dari golongan lurus maupun golongan" sesat?"
"Kau benar, Maung Kumayang. Dan kita berhada-
pan dengan... Rajawali Emas...."
Habis kata-kata Lodang Kumayang, Maung Ku-
mayang tertawa berderai dan kembali menggugurkan
dedaunan. Sementara itu, Sri Kunting yang merasa se-
dikit lega berharap pemuda yang baru datang itu
mampu mengatasi Dua Iblis Hitam yang telah membu-
nuh gurunya, si Pendekar Pedang.
Diam-diam gadis ini membatin, "Maafkan aku,
Guru. Bila saja aku tidak datang terlambat... mungkin
kau masih hidup. Tetapi mereka memang orang-orang
celaka yang curang dan keji. Bila pun aku terlambat
datang dan kau tidak dibokong pada saat kau berse-
madi, jelas kau akan bisa mengatasi keduanya. Guru...
maafkan aku...."
Untuk sejenak gadis berpakaian biru muda yang
masih telentang dalam keadaan tertotok, teringat akan
kejadian mengerikan di Bukit Pedang, di mana dirinya
dan gurunya tinggal.
Seperti biasa, bila gurunya bersemadi Sri Kunting
berlatih di sebelah utara Bukit Pedang. Selama tiga ha-
ri dia berlatih terus menerus. Dan tanpa merasa ada
kejadian apa-apa, gadis itu pun kembali ke tempat
tinggalnya. Namun alangkah terkejutnya Sri Kunting
tatkala melihat dua lelaki berpakaian dan berjubah hi-
tam baru keluar dari goa yang terdapat di Bukit Pe-
dang. Serentak perasaan si gadis menjadi tidak tenang.
Ingatannya langsung tertuju pada gurunya, yang sela-
lu mempergunakan tempat itu untuk bersemadi. Ma-
kanya dia segera berkelebat cepat dan bersamaan den-
gan itu, kedua orang yang tak lain Dua Iblis Hitam me-
lihatnya. Dari mulut keduanya yang terbahak-bahak
tahulah Sri Kunting kalau gurunya telah tewas.
Meledaklah amarah Sri Kunting hingga pertarungan
terjadi. Namun gadis itu tak kuasa menghadapi setiap
serangan dari kedua lawannya, hingga akhirnya dia
berusaha untuk meloloskan diri. Namun kedua orang
itu tak mau melepaskannya meski mereka telah mem-
buat kedua kakinya kaku dan tubuhnya sukar dige-
rakkan. Si gadis menarik napas masygul dan mendengar
Dua Iblis Hitam sedang tertawa.
Maung Kumayang berkata dingin, "Rupanya yang
hadir di sini adalah Rajawali Emas! Menyenangkan,
sangat menyenangkan sekali! Sekali kayuh, dua pulau
akan terlampaui!"
Tirta yang tahu ke mana maksud omongan Maung
Kumayang berkata pilon, "Hah" Memangnya kau habis
mengayuh ya" Kasihan sekali" Pulau apa yang telah
kalian lampaui" Tetapi aku yakin... kali ini kalian akan
terdampar di pulau... ajal!!"
Terputus tawa Maung Kumayang mendengar ejekan
pemuda di hadapannya. Kejap lain dia sudah kelua-
rkan dengusan. Tak mau membuang waktu, lelaki
berwajah tirus itu segera berkelebat dengan kedua
tangan digerakkan lepaskan pukulan. Jubah hitamnya
berkibar! *** Bab 3 SAAT lelaki berwajah tirus dengan codetan di pipi ka-
nannya menggerakkan kedua tangannya, segera
menghampar udara dingin tak terkira ke arah Rajawali
Emas. Untuk sesaat si pemuda terkejut. Kejap lain dia
sudah mengangkat kedua tangannya. Jurus 'Lima Ke-
pakan Pemusnah Rajawali' yang dipadukan dengan te-
naga surya dilepaskan. Seketika menghampar hawa
panas yang meredam hawa dingin yang keluar dari
pukulan Maung Kumayang.
Wussss!! Blaammm! Dua dorongan angin dingin dan panas berbenturan
di udara dan menimbulkan suara ledakan yang keras.
Maung Kumayang yang menganggap remeh pemuda
dari Gunung Rajawali itu segera memutar tubuh dan
kedua tangannya berkelebat menghantam ke arah ke-
pala Rajawali Emas!
Tirta yang masih melepaskan jurus 'Lima Kepakan


Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemusnah Rajawali' segera mengangkat kedua tan-
gannya pula. Tanpa ayal lagi, terjadi bentrokan di uda-
ra. Kedua tangan masing-masing orang seperti terlem-
par ke atas, namun segera melancarkan serangan
kembali. Lagi-lagi terjadi benturan yang cukup keras.
Rajawali Emas tersenyum menyadari kalau lawan
mencoba mengukur kekuatannya tanpa mundur seke-
jap pun selain terus menerus melancarkan serangan.
Dan sudah tentu Rajawali Emas melayaninya.
Maka secara terus menerus terjadilah benturan
demi benturan yang sangat keras. Tanah dan rangga-
san semak pecah dan bertaburan. Dedaunan beter-
bangan entah ke mana.
Benturan demi benturan itu baru terhenti tatkala
tubuh masing-masing orang terpental ke belakang. Ra-
jawali Emas dengan sigap memutar tubuh dua kali di
udara dan berdiri tegak dengan mulut masih menghi-
sap-hisap sebatang rumput.
Sementara di seberang, Maung Kumayang yang
ambruk segera berdiri dengan agak terhuyung. Di su-
dut-sudut bibirnya merembas darah segar. Pandan-
gannya kalap dan garang menatap pemuda yang di
punggungnya terdapat sebilah pedang berwarangka
dan dipenuhi untaian benang keemasan.
"Keparat betul! Julukan Rajawali Emas memang
bukan julukan omong kosong! Dia sulit dihadapi sen-
dirian!!" makinya dalam hati lalu melirik ke arah Lo-
dang Kumayang yang terkesiap tatkala melihat Maung
Kumayang dalam keadaan goyah.
Sementara itu, Tirta membuang rumput yang dihi-
sap-hisapnya. Cuh! Plasss! Tanpa bermaksud memamerkan tenaga dalamnya,
rumput yang tak memiliki kekuatan untuk tegak itu,
amblas ke dalam tanah hingga tinggal sebagian kecil
ujungnya saja. Lalu tanpa hiraukan pandangan terbe-
liak dari kedua orang di hadapannya, pemuda ini ber-
kata, "Aku tak suka bila ada nyawa yang lepas karena
urusan kapiran ini! Lebih baik tinggalkan tempat ini
sebelum urusan jadi berlarut-larut!"
Maung Kumayang memandang nyalang dan berka-
ta, "Ternyata julukanmu memang bukan omong ko-
song. Tetapi siapa pun orangnya yang berani bikin
ulah di hadapanku, harus mampus!"
Dan serta-merta tubuhnya sudah memutar seten-
gah lingkaran. Kejap lain lelaki bercodet ini sudah ki-
rimkan satu pukulan ke dada Rajawali Emas. Seolah
mengerti arti gerakan Maung Kumayang, Lodang Ku-
mayang segera bertindak dengan kirimkan pukulan
'Batu Karang'. Rajawali Emas melengak kaget sampai mundur sa-
tu tindak Dengan cepat segera disentakkan kedua tan-
gannya menangkis pukulan Maung Kumayang. Begitu
berhasil melakukannya, serta-merta si pemuda memu-
tar tubuh dan....
Wuuuttt! Tendangan kaki kanannya menderu lurus ke wajah
Lodang Kumayang yang seketika melengak dan me-
lompat ke samping. Rupanya kali ini Rajawali Emas
tak mau bertindak ayal.
Dengan pencalan satu kaki dia memburu ke arah
Lodang Kumayang yang kali ini bergulingan menghin-
dari sambaran pukulan ke arah kepalanya.
Mendapati kambratnya dalam keadaan terdesak, le-
laki berwajah tirus dengan codet di pipi kanannya se-
gera meluruk dikawal teriakan keras.
Namun yang dilakukan Tirta itu bukanlah satu se-
rangan utuh pada Lodang Kumayang. Serangan itu
adalah sebuah serangan pancingan. Yang ditunggu
memang Maung Kumayang. Maka begitu lelaki berco-
det di pipi kanannya itu meluncur, Tirta segera hem-
paskan tubuh ke atas. Begitu tubuh Maung Kumayang
meluncur di bawahnya, kaki kirinya segera dijejakkan
ke punggung Maung Kumayang.
Kraaak...! Terdengar suara dua buah tulang punggung lelaki
berwajah tirus patah. Dan luncuran tubuhnya ambruk
saat itu pula dengan pekikan keras.
Tanah di mana lelaki bercodet itu ambruk membuyar.
Semakin garang Lodang Kumayang melihat apa
yang dialami kambratnya. Tanpa membuang waktu la-
gi, lelaki berkepala botak di tengah ini segera menye-
rang dengan kalap. Dan karena kekalapannya itu se-
rangannya menjadi kacau-balau. Maka dengan mu-
dahnya Tirta menebak setiap serangan yang dilakukan
oleh lelaki berkepala botak di tengah.
Berkali-kali tubuh lelaki berkepala botak di tengah
itu terhantam pukulan dan tendangannya. Tirta sebe-
narnya tak ingin bertindak telengas. Namun tatkala
melihat Lodang Kumayang justru melompat ke arah Sri
Kunting dan siap melepaskan pukulan ke kepala gadis
itu yang berteriak ngeri, terpaksa Tirta bertindak ke-
ras. Rupanya Lodang Kumayang berpikir keji. Ketim-
bang dia tak bisa membalas serangan Rajawali Emas,
lebih baik segera menghabisi nyawa Sri Kunting dari-
pada pekerjaannya sia-sia.
Dengan gerakan cepat, Tirta segera bertindak. Satu
tendangannya menghantam dada lelaki itu, yang tadi
sempat berusaha menangkis. Telak hingga sosok Lo-
dang Kumayang terlempar dan menghantam sebatang
pohon. Terdengar suara berderak cukup keras. Tulang
punggung Lodang Kumayang pun patah. Saat tubuh-
nya ambruk ke depan darah menyembur dari mulut-
nya. Tubuhnya bergulingan menahan rasa sakit den-
gan suara mengerang keras. Beberapa kejap kemudian
erangannya berangsur melemah dan akhirnya lenyap
bersamaan putusnya nyawa Lodang Kumayang.
Rajawali Emas menarik napas panjang.
"Ah, terpaksa aku melakukan semua ini kendati
aku tak menginginkan sebenarnya...."
Segera dialihkan pandangannya pada Sri Kunting
yang masih memejamkan matanya semenjak Lodang
Kumayang hendak menghantam kepalanya. Dan gadis
itu perlahan-lahan membuka kedua matanya tatkala
mendengar suara Tirta,
"Sri Kunting... tenanglah... semuanya sudah berla-
lu." Kemudian murid mendiang Pendekar Pedang ini
merasakan telapak tangan kanan Tirta menempel pada
kedua kakinya yang kaku. Perlahan-lahan dirasakan
hawa panas mendera kedua kakinya. Ditahannya un-
tuk tidak berteriak. Perlahan-lahan pula dilihatnya
asap putih mengepul dari sana. Kendati demikian, si
gadis belum dapat menggerakkan tubuhnya. Karena
dia masih berada dalam totokan Lodang Kumayang.
Tirta segera menggerakkan tangan kanannya. Tu-
buh Sri Kunting mengejut sesaat dan keluarkan kelu-
han kecil. "Bangunlah... bersemadilah sejenak untuk pulih-
kan tenagamu...," kata Rajawali Emas kemudian.
Untuk sesaat Sri Kunting menatap si pemuda yang ter-
senyum yang kemudian mendekati Maung Kumayang
yang rupa-rupanya tak kuasa menahan rasa sakit
yang dideritanya hingga lelaki bercodet itu jatuh ping-
san. Sementara Sri Kunting bersemadi, Tirta memeriksa
tubuh Maung Kumayang dan mengalirkan tenaga da-
lamnya. "Hmm, kendati lelaki ini masih bisa hidup, namun
seluruh ilmu yang dimilikinya telah sirna. Tulang
punggungnya yang patah tak bisa disambung kembali,
padahal di tulang punggunglah kekuatan manusia be-
rada...." Lalu ditunggunya Sri Kunting yang masih bersema-
di. "Bila gadis itu sudah selesai dan aku mengetahui
ada urusan apa sebenarnya, aku akan meneruskan
perjalanan mencari Ki Alam Gempita...," kata Tirta da-
lam hati sambil memandangi wajah jelita Sri Kunting
yang khusu' dan memejamkan kedua matanya saat
bersemadi. *** "Terima kasih atas bantuanmu, Saudara..,," terden-
gar suara Sri Kunting yang telah menyelesaikan sema-
dinya dan merasakan keadaannya normal kembali.
Rajawali Emas palingkan kepala dan tersenyum.
Pandangannya lekat pada si gadis yang juga tengah
memandangnya. "Namaku Tirta dan orang-orang menjuluki Rajawali
Emas. Aku sudah mengetahui namamu saat kau ber-
tarung dengan kedua orang tadi. Sri Kunting, maukah
kau menjelaskan apa yang telah terjadi sebenarnya?"
tanyanya kemudian.
Untuk sesaat si gadis meragu mendengar permin-
taan Rajawali Emas. Tetapi setelah meyakinkan diri
kalau pemuda tampan berbaju keemasan ini adalah
orang segolongan dengannya, dia pun segera menceri-
takan apa yang terjadi.
"Tahukah kau siapa Seruling Haus Darah sebenar-
nya?" tanya Tirta kemudian dengan kening diker-
nyitkan. "Aku tidak tahu siapa dia. Tetapi... kalau tak salah
ingat, Guru pernah menceritakan tentang orang itu se-
telah dia kedatangan kakak seperguruannya...."
"Apa yang diceritakannya kepadamu?"
"Guru mengatakan, Seruling Haus Darah sejak pu-
luhan tahun yang lalu memang gemar mengadu ilmu,
terutama pada orang-orang golongan lurus. Dia ber-
keinginan untuk menguasai rimba persilatan ini. Me-
nurut cerita Guru, dulu dia berulangkali dikalahkan
oleh Dewa Tanpa Nama, namun akhirnya Dewa Tanpa
Nama tewas setelah orang yang semula berjuluk Raja
Setan itu memiliki Seruling Gading milik Raja Seruling
yang kemudian diubah namanya menjadi Seruling
Haus Darah dan dipakai sebagai julukannya. Dan ju-
lukan Seruling Haus Darah bertambah santer terden-
gar, terutama sepak terjangnya yang telengas itu. Bah-
kan... hingga saat ini. Dan guruku... tewas di tangan
orang-orang suruhan-nya...."
Rajawali Emas membatin dalam hati, "Ternyata
memang masih banyak orang yang berkeinginan men-
galahkan orang lain dan bermaksud menguasai secara
utuh apa yang bukan miliknya. Dan rasanya semua ini
akan terus berlangsung hingga akhir dunia ini yang
tak seorang pun tahu - termasuk peramal yang maha
sakti sekali pun - menemukan kapan dunia ini akan
berakhir. Sungguh sebuah keinginan busuk dari Serul-
ing Haus Darah." Sambil menghela napas, pemuda da-
ri Gunung Rajawali ini berkata, "Aku mengucapkan be-
lasungkawa atas kematian gurumu, Sri Kunting. Dan
maaf, rasanya kita harus berpisah, karena masih ada
urusan yang harus kuselesaikan."
Dengan agak meragu Sri Kunting berkata, "Kalau
boleh aku tahu, urusan apakah itu, Tirta?"
Tirta tersenyum.
Tak ada salahnya bila kuberi tahu padanya," batin-
nya lalu diceritakan urusan apa yang hendak dilaku-
kan-nya. Dan tanpa diduga si gadis justru terkejut. "Oh!"
"Kenapa, Sri Kunting?" tanya Tirta heran.
Bukannya menjawab pertanyaan pemuda di hada-
pannya, gadis murid mendiang Pendekar Pedang ju-
stru balik bertanya, "Benarkah yang kau maksudkan
tadi ki Alam Gempita?"
Masih sedikit heran Tirta menyahut, "Ya. Jelas dia
menuliskan namanya seperti itu. Tetapi aku tidak per-
nah mengenalnya...."
Sri Kunting menatap dalam pada pemuda di hada-
pannya. Lamat dia berkata, "Tirta... kakak seperguruan gu-
ruku bernama Ki Alam Gempita. Dialah orang yang ta-
di kuceritakan kepadamu...."
Ganti sekarang Tirta yang melengak.
"Oh! Sri Kunting, kalau memang benar kata-
katamu itu, tahukah kau di mana dia berada?"
Sri Kunting menganggukkan kepalanya. "Dia tinggal di
Danau Bulan."
"Sri Kunting... bisakah kau mengatakan ancar-
ancarnya tempat itu" Aku ingin tahu sekali, mengapa
Ki Alam Gempita menuliskan pesan seperti itu kepa-
daku. Kendati aku tak tahu apakah aku memang co-
cok untuk dimintakan bantuan, aku justru jadi pena-
saran ingin tahu apa yang terjadi."
Sri Kunting terdiam sejenak. Lalu sambil meman-
dang dalam pada pemuda di hadapannya dia berkata,
"Tirta... kini guruku telah tewas. Hidupku sebatang ka-
ra sekarang. Aku memang punya tujuan menuju ke
Danau Bulan untuk menjumpai Ki Alam Gempita. Dan
kuharap, kakak seperguruan guruku yang kupanggil
juga dengan sebutan Guru, mau menerima kehadiran-
ku." Ganti Tirta terdiam seperti menimbang-nimbang.
"Baiklah. Kalau begitu kita bersama-sama ke Da-
nau Bulan. Tetapi... seperti ceritamu tadi tentang kea-
daan gurumu, aku yakin kau belum menguburkannya,
bukan?"

Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sri Kunting menganggukkan kepalanya.
Tirta berkata lagi, "Kalau begitu... kita kembali dulu
ke tempat tinggalmu di Bukit Pedang. Kita kuburkan
mayat gurumu, setelah itu kita bersama-sama menuju
ke Danau Bulan."
Kembali Sri Kunting menganggukkan kepalanya.
Kejap lain, dua remaja yang berusia sebaya itu pun
segera meninggalkan tempat yang telah porak poranda
dan beberapa kejap kemudian sudah dibungkus kese-
pian. Yang tinggal, hanya mayat Lodang Kumayang dan
sosok Maung Kumayang yang pingsan.
*** Bab 4 REMBULAN sudah mengambang di atas permukaan
danau. Malam pun berangsur beranjak. Lintasan bumi
semakin dirajai oleh kegelapan yang cukup angker.
Angin seolah berlarian dari satu pohon ke pohon lain
yang tumbuh di sekitar Danau Bulan.
Di sebuah batu cukup besar yang berada di sebelah
kanan danau itu, terlihat sesosok tubuh duduk bersila
dengan sepasang tangan merangkap di depan dada.
Rambut sosok lelaki yang berusia lanjut itu panjang
dan memutih, dibiarkan dipermainkan angin hingga
beberapa kali jatuh tergerai di wajahnya yang pucat
dan berkulit tipis.
Sepasang matanya yang agak masuk ke dalam, ter-
pejam rapat. Bibirnya yang tipis dan agak mengeriput
berkemik-kemik, hingga kumis putihnya tanpa jenggot
bergerak-gerak. Keningnya sesekali berkerut tanda si
kakek yang mengenakan pakaian gombrang warna pu-
tih kebiruan sedang memikirkan sesuatu.
"Tiga puluh lima tahun berlalu demikian cepat. Tak
kusangka kalau dunia fana ini belum juga terhenti dari
segala gelombang kejahatan. Dewa Tanpa Nama telah
lenyap di tangan Raja Setan yang kemudian menjuluki
dirinya Seruling Haus Darah. Beberapa tokoh rimba
persilatan seperti Laba-laba Hitam, Pendekar Kaki De-
lapan, Sepasang Dewa Gunung Maya dan masih ba-
nyak yang lainnya telah tewas di tangan manusia sesat
itu yang hendak menguasai rimba persilatan ini. Lan-
tas kudengar pula kalau saat ini Raja Dewa, adik se-
perguruan Dewa Tanpa Nama, telah menuntaskan
urusan dengan Ratu Iblis yang hidup tidak, mati pun
tidak. Hmm... tinggal segelintir orang saja yang masih
hidup. Mungkin dikarenakan belum didatangi oleh Se-
ruling Haus Darah...."
Kembali si kakek berkumis putih menjuntai itu ter-
diam. Angin semakin dingin menusuk. Malam terus
merangkak dalam kegelapan yang cukup mendera.
"Mungkin... akan tiba giliranku juga untuk merasa-
kan kesaktian Seruling Haus Darah. Manusia laknat
yang telah banyak menipu tokoh-tokoh rimba persila-
tan dan setelah menyirap seluruh ilmu yang mereka
miliki akhirnya justru dibunuh. Yang mengerikan da-
rinya adalah Seruling Gading milik Raja Seruling. Se-
tahuku, tak seorang pun yang mampu menahan alu-
nan getaran dahsyat dari seruling yang diubah na-
manya oleh manusia sesat itu menjadi Seruling Haus
Darah, yang sekaligus dipakai sebagai julukannya.
Kemungkinan besar, Malaikat Dewa maupun Ma-
nusia Agung Setengah Dewa akan sulit mengatasi alu-
nan getaran seruling itu. Tetapi menurut perkiraanku,
bila keduanya - satu sama lain - menggabungkan ilmu
yang mereka miliki baru bisa mengatasi seruling itu.
Dan sekarang aku mendengar, kalau seorang tokoh
muda yang berjuluk Rajawali Emas telah mendapatkan
dua ilmu langka dari keduanya. Kendati tipis kemung-
kinannya, pemuda itulah yang mungkin dapat menga-
tasi sepak terjang Seruling Haus Darah.
Aku memang pernah menemukannya dan berharap
dia mau mengatasi semua ini. Aku memang sengaja
tak mengatakan di mana aku berada. Karena, ingin
kulihat kecerdikan pemuda itu. Bila dia tak bisa me-
nemukan aku, sudah tentu tipis kemungkinan untuk
mengalahkan Seruling Haus Darah."
Angin terus bergulung dingin dan suasana semakin
bertambah angker.
Ki Alam Gempita bergumam kembali, "Sudah tiga
hari muridku Wulung Seta sengaja kuperintahkan un-
tuk berlatih di Puncak Puri Alam. Aku tak ingin terjadi
apa-apa dengannya bila ternyata urusan ini akan...."
Mendadak saja, lelaki yang tak lain Ki Alam Gempi-
ta ini memutus gumamannya sendiri. Serentak itu pu-
la dia membuka kedua matanya. Kepalanya terjulur
menegang. Sepasang telinganya dibuka lebar-lebar,
namun kejap lain segera dialirkan tenaga dalamnya
kuat-kuat. "Hmm... ada suara alunan seruling yang masuk ke
telingaku yang mendadak terasa panas. Alunan itu
masih cukup jauh kukira, tetapi sudah mampu mem-
buatku bergetar. Jangan-jangan... manusia keparat itu
sudah tiba di sini...."
Sambil kerahkan tenaga dalamnya, Ki Alam Gempi-
ta perlahan-lahan melompat dari batu yang diduduki-
nya tadi. Begitu hinggap di tanah, kedua kakinya di-
pentangkan sementara kedua tangannya masih me-
rangkap di dada.
"Gila! Semakin lama alunan seruling itu bertambah
keras, pertanda orang yang meniupnya semakin dekat.
Kali ini kedua telingaku bukan saja terasa panas, na-
mun sangat menyakitkan. Barangkali saja...."
Lelaki berpakaian gombrang putih kebiruan ini ta-
hu-tahu menotok kedua uratnya sendiri yang ada di
bawah kedua telinganya. Bila saja kedua totokan itu
dilakukan pada orang lain, niscaya orang itu akan am-
bruk dengan telinga mengalirkan darah. Karena, selain
urat yang terdapat di bawah pangkal lengan, urat yang
terdapat di balik kedua telinga merupakan titik ke-
seimbangan yang mampu melumpuhkan lawan.
Alunan seruling itu mendadak saja terhenti. Seba-
gai gantinya terdengar tawa yang luar biasa keras
hingga mengubah arah angin dan menyusul satu sua-
ra, "Ki Alam Gempita... rupanya kehidupanmu hanya
sampai di sini saja! Bila kau mengakui akulah raja di-
raja rimba persilatan dan kau mau mengikuti serta pa-
tuhi apa yang kuperintah, maka kubiarkan nyawamu
hidup lebih lama!!"
"Benar dugaanku, kalau manusia setan itu yang
datang," batin Ki Alam Gempita dengan tubuh tegak.
Sepasang matanya tak berkedip memandang ke depan,
yang terlihat sekarang hanyalah jajaran pepohonan be-
laka. "Manusia satu ini memang tak perlu diburu, ka-
rena dia akan datang untuk menantang siapa saja
yang diinginkannya. Ini kesempatan bagiku untuk
menghentikan sepak terjang telengasnya."
Dalam keadaan bersiaga penuh, Ki Alam Gempita
mengunci mulutnya rapat-rapat.
Dalam tiga kejapan berikutnya, dari sebuah jalan
setapak yang terdapat di sekitar Danau Bulan, muncul
satu sosok tubuh tinggi besar berpakaian semerah da-
rah. Langkah angker lelaki yang berusia sebaya dengan Ki
Alam Gempita seperti menebarkan hawa kematian. Di
tangan kanan si pendatang yang rambutnya panjang
hitam namun tepat di tengah bagian kepalanya ber-
warna putih, tergenggam sebuah seruling terbuat dari
gading berwarna bening dan berlobang tujuh.
Ki Alam Gempita membatin dengan sorot mata tak
berkedip. "Dugaanku benar."
Orang yang baru datang dan tak lain Seruling Haus
Darah ini menyeringai lebar diiringi tawanya yang
menggugurkan dedaunan. Bahkan air danau yang tadi
tenang kini bergolak.
Lalu katanya seraya memasukkan seruling di tan-
gannya ke balik pakaiannya.
"Tak sekali pun aku sebelumnya pernah bertatap
muka dengan orang yang bernama Ki Alam Gempita.
Tetapi sepak terjangmu sebagai tokoh golongan lurus
dan memiliki kesaktian yang lumayan sudah lama ku-
dengar! Hingga rasanya, kedua tanganku ini menjadi
gatal untuk segera mengirimmu ke akhirat menyusul
manusia-manusia dungu yang tak pantas disebut to-
koh rimba persilatan!!"
Mengkelap wajah Ki Alam Gempita mendengar ka-
ta-kata orang itu. Namun segera ditindihnya kuat-
kuat. Kendati demikian, pancaran kedua matanya tak
dapat disembunyikan kalau si kakek berpakaian gom-
brang putih kebiruan ini diliputi amarah dalam.
Kejap lain dia berkata, "Tak seorang pun yang bisa
mengatakan dirinya raja diraja rimba persilatan! Tak
seorang pun yang akan membiarkan hidup, orang yang
membuat keonaran dan pembunuhan bergelombang
yang tak pernah putus! Lebih baik hentikan segala per-
buatan keparatmu itu, Raja Setan! Atau... kau sudah
terlalu besar kepala dengan julukan Seruling Haus Da-
rah"!"
Lelaki tua tinggi besar yang rambut di bagian ten-
gah kepalanya berwarna putih itu menjerengkan sepa-
sang matanya. Dengan mulut menggembor dia beru-
cap, "Bila seluruh tokoh rimba persilatan ini kutantang
dan mati di tanganku, barulah aku puas sampai me-
nunggu kehadiran tokoh baru yang benar-benar me-
mancing emosi ku!!"
"Suatu ketika, kau akan terperosok ke dalam lu-
bang yang kau gali sendiri, Manusia sesat!!" geram Ki
Alam Gempita. Saat itu pula terdengar teriakan menggebah yang
sangat kuat dari Seruling Haus Darah. Kali ini dedau-
nan bukan hanya gugur, batang-batang pohon pun
tanggal dan menimbulkan suara berderak. Kalau tadi
air danau hanya bergolak, kali ini bermuncratan ke
atas dan mengeluarkan suara berdebur keras.
"Kematian sudah ada di tanganmu."
Habis bentakannya, tubuh Seruling Haus Darah
sudah melesat ke depan. Kedua telapak tangannya di-
buka dan didorong maju.
Wuuussss!! Segera terlihat cahaya terang sekejap dari kedua
tangan Seruling Haus Darah. Di lain kejap terdengar
deruan mengguntur, lalu menyusul gelombang angin
dahsyat laksana badai menghantam pesisir.
Ki Alam Gempita terdiam sejenak. Kejap lain si ka-
kek berpakaian gombrang ini melompat ke samping se-
raya menghantamkan pukulan melalui tangan kanan-
nya. Des! Dengan gerakan aneh yang tak kalah cepatnya, Se-
ruling Haus Darah menekuk siku kanannya. Lalu se-
gera kirimkan satu tendangan memutar mengarah ke
kepala lawan. Dan bukan hanya sampai di sana saja tindakan Se-
ruling Haus Darah yang berkeinginan mematok dirinya
sebagai raja diraja rimba persilatan. Karena begitu le-
paskan tendangan, dengan gerakan yang sulit dilaku-
kan, dia segera melompat ke depan dengan mengang-
kat dua tangannya dan siap melepaskan pukulan dari
jarak dekat. Melihat ganasnya serangan lawan, Ki Alam Gempita
merunduk menghindari sambaran kaki Seruling Haus
Darah. Dan bersamaan dengan itu dia segera menge-
rahkan tenaga dalam pada lengannya. Lalu kedua tan-
gannya disentakkan ke depan.
Raja Naga 7 Bintang 3 Pendekar Pulau Neraka 36 Titisan Siluman Harimau Walet Emas Perak 3
^