Pencarian

Seruling Haus Darah 2

Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah Bagian 2


Dess! Dess!! Dua pukulan berkekuatan tinggi bentrok di udara.
Tempat itu bergetar. Muncratnya air danau semakin
bertambah tinggi. Setelah bentrok seperti itu, seharus-
nya sukar bagi masing-masing orang untuk segera me-
lancarkan serangan kembali.
Namun keduanya sudah kembali lepaskan seran-
gan. Lagi-lagi terjadi benturan keras berulang kali
hingga akhirnya masing-masing orang melompat tiga
tindak ke belakang. Ki Alam Gempita segera memegang
dadanya dengan tangan kanan, sementara tangan ki-
rinya diputar guna alirkan tenaga dalam ke seluruh
tubuhnya yang goyah. Kedua kakinya goyah dan sulit
untuk dipertahankan. Kejap lain dia sudah ambruk
dengan kedua kaki menekuk.
Di seberang sana, Seruling Haus Darah kendati
masih bisa berdiri tegak namun dari sela-sela bibirnya
mengalir darah segar. Kedua lengannya membiru dan
agak membengkak.
Dengan tatapan melecehkan dia berkata, "Ternyata
kesaktianmu yang selalu dibicarakan banyak orang
hanya omong kosong belaka. Kau berada setingkat di
bawah Dewa Tanpa Nama, satu-satunya lawan yang
kupikir sulit untuk dikalahkan kendati akhirnya
mampus berteman cacing-cacing tanah! Tak seharus-
nya aku tiba di sini untuk mencabut nyawamu! Karena
orang yang kuutus untuk melakukannya, yaitu Datuk
Jubah Merah, pun dapat menjalankan dengan sem-
purna! Sayangnya, tanganku sudah terlalu gatal untuk
membunuhmu hingga tak sabar untuk menunggu la-
porannya!"
Mendongak Ki Alam Gempita dengan tatapan geram
sambil menahan nyeri.
"Mati untuk menghentikan sepak terjang manusia
durjana semacam kau ini, siapa pun rela melakukan
nya!!" "Bagus! Bagus sekali!" sahut Seruling Haus Darah
sambil menindih amarahnya. Lalu perlahan-lahan di-
ambilnya kembali seruling berwarna bening dari balik
pakaiannya. Dan terdengar tawanya yang keras tatkala
mendapati wajah Ki Alam Gempita pias menatapnya.
"Ternyata ucapanmu tadi lagi-lagi hanya omong kosong
belaka! Terbukti wajahmu begitu pucat tanpa darah!!"
"Kau benar-benar keparat, Raja Setan! Apakah...."
"Manusia hina!" sambar lelaki tinggi besar beram-
but putih di bagian tengah kepalanya dengan mata
membeliak gusar. "Jangan sebut-sebut lagi julukan
itu! Julukanku sekarang Seruling Haus Darah!!"
Seruling Haus Darah memang gusar bila menden-
gar ada orang yang menyebut julukannya yang lama.
Ki Alam Gempita justru semakin sering mengucap-
kan julukan itu diiringi sesekali dengan tawanya.
"Raja Setan... sebuah julukan pertanda kepengecu-
tan! Dengan julukan apa pun kau mengganti julukan-
mu semula, kau tetaplah Raja Setan yang pengecut
dan berkali-kali pernah dikalahkan oleh Dewa Tanpa
Nama! Mungkin kau masih ingat, betapa menyakitkan
hati, buat orang yang tak pernah puas, sepertimu di-
kalahkan berkali-kali oleh orang yang sama. Benar-
benar menyedihkan! Kurasa bila kau mengganti julu-
kanmu dengan sebutan Anjing Buduk, maka dengan
senang hati siapa pun orangnya akan rela memanggil-
mu dengan julukan yang bagus itu!!"
Bukan alang kepalang gusarnya lelaki tua tinggi
besar itu mendengar ejekan Ki Alam Gempita.
"Keparat! Mampuslah kau sekarang!!"
Habis membentak gusar seperti itu, Seruling Haus
Darah segera mengangkat dan meniup serulingnya.
Kejap lain terdengar alunan seruling yang sangat me-
nyakitkan telinga.
Untuk sesaat, Ki Alam Gempita masih bisa berta-
han karena dia telah menotok urat di bawah kedua te-
linganya sendiri. Namun semakin lama seruling yang
berangsur berubah warna dari bening menjadi merah,
mulailah dirasakan penderitaan yang menyakitkan pa-
da kedua telinganya:
Bahkan tatkala warna seruling yang ditiup oleh le-
laki tua tinggi besar itu berubah menjadi agak kehita-
man, totokan yang dilakukan sendiri oleh Ki Alam
Gempita terlepas!
Saat itu pula tubuhnya terbanting ambruk bersa-
maan beberapa urat darahnya pecah. Mengerang keras
Ki Alam Gempita laksana disayat oleh pisau tumpul.
Sepasang mata Seruling Haus Darah berbinar penuh
ejekan dan tangannya semakin lincah menutup dan
membuka lubang-lubang pada seruling yang bertam-
bah hitam pekat.
Semakin keras penderitaan Ki Alam Gempita. Ber-
kali-kali tubuhnya bergulingan dengan pekikan kesaki-
tan sementara darah yang keluar akibat beberapa urat
darahnya pecah semakin membasahi tubuhnya yang
telah digeluti butiran debu. Bahkan....
Pyaarr! Urat darah di paha kanannya meletus dan darah
seketika makin banyak keluar.
Melihat keadaan itu Seruling Haus Darah menghen-
tikan tiupan serulingnya. Matanya makin penuh den-
gan binar ejekan. Kejap lain dia bersuara,
"Sekarang kau boleh buktikan kalau aku bukanlah
orang yang kejam, Ki Alam Gempita! Kau masih ku-
biarkan untuk hidup lebih lama lagi...."
Ki Alam Gempita menggeram dengan wajah ber-
tambah pucat karena darah yang terus mengalir dari
tubuhnya. Lalu katanya dengan susah payah, "Kendati
kau sengaja untuk tidak membunuhku dan semata
hanya hendak menyiksaku, tak sekalipun aku memin-
ta agar kau membunuhku sekaligus menghentikan
penderitaanku ini!"
"Hebat! Dalam keadaan seperti itu kau masih bisa
berlagak!" sahut Seruling Haus Darah menyeringai le-
bar. "Perlu kau ketahui, kalau adik seperguruanmu si
Pendekar Pedang saat ini tentunya sedang menghadapi
maut, yang diturunkan oleh dua orang suruhanku
yang berjuluk Dua Iblis Hitam. Kalaupun Pendekar Pe-
dang mampu mengatasinya, aku sungguh bersyukur!
Hingga aku tahu kalau kesaktiannya cukup tinggi bila
mampu membunuh Dua Iblis Hitam!! Dan, cocok seba-
gai lawanku!"
Makin membuncah kemarahan Ki Alam Gempita.
Namun dalam keadaan yang benar-benar bertambah
payah dia tak bisa melakukan apa-apa kecuali mem-
bentak dengan susah payah, "Aku berharap Pendekar
Pedang bisa mengalahkan dua orang suruhanmu itu!
Bahkan... mengalahkan kau dan melemparkan jasad-
mu layaknya anjing buduk!!"
Seruling Haus Darah maupun Ki Alam Gempita tak
tahu kalau Pendekar Pedang sebenarnya sudah tewas.
Bahkan Seruling Haus Darah tak tahu kalau kedua
orang suruhannya sudah tak berdaya di tangan Raja-
wali Emas. Sambil umbar tawanya, lelaki tinggi besar itu beru-
cap lagi, "Kuharapkan sekali kedatangannya bila me-
mang dia punya nyali! Bila tidak, aku sendiri yang
akan menyatroni Bukit Pedang di mana dia tinggal!
"Dan kau akan dicabik-cabiknya, Anjing buduk!!"
seru Ki Alam Gempita keras.
Seruling Haus Darah hanya tertawa-tawa menyam-
but geraman itu. Seraya memasukkan kembali seruling
yang direbutnya secara licik dari Raja Seruling, lelaki
tua yang masih kekar dan memiliki postur tubuh tinggi
besar itu berbalik dan siap melangkah.
Namun satu suara terdengar keras penuh amarah,
"Lelaki busuk! Tanggalkan nyawamu bila kau hendak
meninggalkan tempat ini!!
*** Bab 5 SEKETIKA Seruling Haus Darah membalikkan tubuh.
Pandangannya tajam menusuk. Tetapi kejap berikut-
nya lelaki tinggi besar yang di bagian tengah kepalanya
berambut putih tertawa berderai tatkala melihat siapa
orang yang barusan membentak.
Sementara itu, diam-diam Ki Alam Gempita menge-
luh dalam hati melihat siapa yang datang.
"Ah... aku tak menginginkan kehadiranmu saat ini,
Wulung Seta...."
Orang yang membentak tadi ternyata seorang pe-
muda tampan berambut panjang. Matanya tajam den-
gan hidung mancung. Kulitnya agak hitam. Dia men-
genakan pakaian berwarna abu-abu yang terbuka di
bagian dada. Celana pangsinya berwarna hitam. Pan-
dangan pemuda yang adalah murid Ki Alam Gempita
yang bernama Wulung Seta dingin ke arah Seruling
Haus Darah. "Manusia laknat! Berani berbuat, harus berani ber-
tanggung jawab!!" bentaknya geram.
Seruling Haus Darah masih umbar tawa yang ber-
kepanjangan. Melihat sikap si pemuda, dia bisa men-
duga siapa pemuda ini adanya. Namun, dia tak terlalu
berkeinginan untuk bertarung atau mengalahkan pe-
muda yang diyakini memiliki ilmu yang jauh di ba-
wahnya. Makanya dia berkata, "Anak muda yang masih ku-
kasihani! Urus gurumu itu ketimbang kau memancing
marahku dan akhirnya hanya membuang nyawa per-
cuma!!" Wulung Seta melirik gurunya sejenak. Kejap lain,
dengan hati panas dia segera pasang kuda-kuda den-
gan cara menggeser kaki kanannya ke belakang. Kaki
kirinya ditekuk. Kedua tangannya dirangkapkan di de-
pan dada. Namun sebelum dia lakukan serangan, Ki Alam
Gempita sudah bersuara, "Jangan bertindak gegabah!
Dia bukan tandinganmu, Wulung!"
Sesaat pemuda tampan yang baru datang, dan
langsung dilanda kemarahan tinggi tatkala mendapati
keadaan orang yang sangat dihormatinya tergeletak
tanpa daya, jadi meragu. Matanya berkali-kali melirik
ke arah gurunya dan Seruling Haus Darah yang masih
tertawa. Namun karena tak tahan melihat perbuatan lelaki
tua berambut putih di bagian tengah kepalanya, Wu-
lung Seta tak mempedulikan keraguannya.
"Peduli setan! Manusia keparat itu harus kubalas!!"
geramnya dalam hati.
Namun lagi-lagi sebelum dia melancarkan seran-
gan, Ki Alam Gempita telah bersuara. Kendati susah
payah dikeluarkan namun tegas terdengar, "Patuhi ka-
ta-kataku, Wulung! Dia bukan tandinganmu!"
"Guru!" seru Wulung Seta seperti memprotes tanpa
mengalihkan pandangannya pada Seruling Haus Da-
rah. "Jangan buang nyawa percuma!" balas Ki Alam
Gempita dengan suara keras sementara tubuhnya se-
makin lemah dan pucat akibat darah yang terus men-
galir. Di depan sana, Seruling Haus Darah menghentikan
tawanya. Lalu berkata dengan sorot mata yang mulai
gusar, "Gurumu yang sudah mau mampus itu benar,
Anak muda! Jangan pancing kemarahanku bila masih
sayang nyawa!!"
Menggigil tubuh Wulung Seta mendengar kata-kata
orang. Pemuda ini tak peduli kendati nyawanya akan
putus hari ini juga. Dia lebih rela mati karena berusa-
ha membalas perbuatan lelaki tinggi besar itu ketim-
bang hanya berdiam diri.
Namun tatkala dia melirik, dilihatnya tatapan Ki
Alam Gempita begitu tegas. Dan perlahan-lahan pe-
muda ini berdiri dalam keadaan normal namun dengan
kedua tinju terkepal erat tanda dia tak puas dengan la-
rangan itu. "Wulung...," desis Ki Alam Gempita makin tersen-
dat. Dan begitu mendengar panggilan gurunya, terburu-
buru Wulung Seta menghampiri. Hatinya bagai diiris
sembilu bermata tiga menyaksikan penderitaan gu-
runya. Ditahan semua dendam yang mendadak mun-
cul pada Seruling Haus Darah.
Dengan terburu-buru pula si pemuda mengalirkan
tenaga dalam pada kedua tangannya. Ki Alam Gempita
yang tahu apa yang hendak diperbuat muridnya berka-
ta pelan, "Percuma kau mencoba mengobatiku, Wulung... ka-
rena keadaanku tak akan sanggup untuk bertahan le-
bih lama. Sekarang... dengar baik-baik.... Manusia se-
sat itu bukan tandinganmu. Dan dia... tak akan menu-
runkan tangan padamu... karena kau dianggap bukan-
lah tandingannya.... Te... tetapi... manusia itu akan
membunuhmu semudah membalikkan telapak tan-
gan... bila kau nekat menyerangnya...."
"Guru...," desis Wulung Seta dengan perasaan ber-
tambah galau. "Wulung... manusia laknat ini... tak akan henti-
hentinya... menantang orang-orang yang menurut-
nya... layak menjadi lawannya.... Dengarkan aku...
ada... seorang pemuda yang berjuluk Rajawali Emas...
aku... aku memang telah menghubunginya untuk me-
minta bantuannya.... Sekarang, dia dapat menemukan
aku atau tidak... kau carilah dia.... Katakan semua
permintaanku ini padanya... karena... aku... aku...


Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aaakhhhh!!"
Lelaki gagah perkasa itu memejamkan kedua ma-
tanya rapat-rapat. Dari mulut dan hidungnya kembali
keluar darah segar. Wulung Seta berteriak keras sam-
bil mengguncang-guncang tubuh gurunya yang dua
kejap berikutnya telah tewas.
Begitu sadar kalau dia melakukan perbuatan sia-
sia, segera saja si pemuda berdiri tegak. Pandangannya
dingin pada Seruling Haus Darah yang tadi menghen-
tikan tawanya saat mendengar kata-kata Ki Alam
Gempita. "Manusia keparat! Sudah puaskah kau melihat apa
yang telah kau lakukan, hah"!" maki Wulung Seta ke-
ras, namun dia berusaha untuk tidak menyerang ka-
rena teringat pesan gurunya.
Seruling Haus Darah membuka kedua matanya.
Lantas bersuara geram, "Seperti kata gurumu tadi, aku
tak akan menantang orang yang tak pantas menjadi
lawanku! Tetapi sekali saja kau berani membuka mu-
lut, kau akan mendapat pelajaran yang tak akan per-
nah kau lupakan!!"
"Setan keparat! Bila kau memang bermaksud berla-
ku seperti itu, mengapa kau masih berdiam diri,
hah"!!" balas Wulung Seta tak gentar sedikit juga.
Serentak Seruling Haus Darah maju dua tindak
dengan kedua tangan terangkat. Namun satu pikiran
lain membuatnya urung menurunkan tangan.
"Lelaki tua yang telah mampus itu mengatakan ada
seorang tokoh muda berjuluk Rajawali Emas.... Hmm,
Rajawali Emas. Sepertinya aku pernah mendengar ju-
lukan itu.... Mengingat Ki Alam Gempita berpesan pada
muridnya seperti itu... layaklah Rajawali Emas menjadi
orang yang akan kubikin mampus berikutnya! Akan
kucari dia!"
Habis membatin begitu, lelaki berambut putih di
tengah itu berkata dingin, "Kau masih beruntung! Ka-
rena... aku menginginkan Rajawali Emas!!"
Kejap lain, sosoknya sudah berkelebat sedemikian
cepat. Yang terdengar kemudian hanya tawanya yang
panjang disertai kata-kata, "Rajawali Emas.... Rajawali
Emas... kau akan mampus di tanganku!!!"
Sementara itu Wulung Seta segera menggerakkan
kedua tangannya ke depan untuk melampiaskan ke-
marahannya. Wuuut! Blaaarr! Sebatang pohon besar langsung patah dibagian
tengah dan jatuh berdebur ke Danau Bulan yang me-
muncratkan airnya. Lalu perlahan-lahan batang pohon
itu tenggelam bersamaan dengan tubuh Wulung Seta
yang jatuh terduduk dengan kegeraman tinggi karena
tak dapat berbuat apa-apa.
Malam terus merangkak menuju pagi. Tempat itu
kembali didera sepi menikam.
*** Sampai matahari sudah tepat di ubun-ubun keeso-
kan harinya, pemuda berpakaian abu-abu itu masih
terduduk dengan kepala tertunduk di samping mayat
Ki Alam Gempita. Pemuda yang kesal dan marah pada
dirinya sendiri karena tak mampu berbuat apa-apa,
terdiam dengan wajah tegang. Sepanjang malam kea-
daannya seperti itu terus menerus.
"Guru... maafkan aku," desisnya dalam hati beru-
lang kali sambil memandangi jasad gurunya yang ter-
bujur kaku. Tak ada kepedihan lain yang bisa dibandingkan
dengan kepedihan si pemuda. Bila menuruti kata ha-
tinya, dia akan menyerang Seruling Haus Darah ken-
dati dia akan menemui ajal. Namun, dia justru tak
berbuat apa-apa. Seharusnya, dilabrak saja perintah
dari gurunya! "Bila saja kucoba untuk menghadapi manusia sesat
itu, mungkin tak seperti ini rasa penderitaanku.
Guru... di saat kau hendak menemui ajalmu, kau ma-
sih bermurah hati memikirkan keselamatanku. Dan
kau tak sakit hati karena aku seperti orang dungu
yang tak mampu membalas. Adakah kebaikan lain
yang bisa menandingi kebaikanmu ini?"
Si pemuda benar-benar dilanda kemarahan pada
dirinya sendiri. Berulang kali terjadi pemberontakan di
hatinya namun sekaligus dipadamkan tatkala mengin-
gat pesan gurunya.
"Guru... seharusnya aku...."
"Tak ada gunanya berkeluh kesah seperti itu, kare-
na orang yang kau tunggu akan tiba kendati dia da-
tang terlambat," tiba-tiba saja terdengar kata-kata itu
yang seketika membuat Wulung Seta memutus kata
batinnya sendiri dan segera menoleh ke belakang.
Namun si pemuda tak melihat apa-apa kecuali danau
yang kini sudah memantulkan cahaya matahari.
"Gila!" desisnya kemudian. "Apakah aku sudah
menjadi sinting hingga otakku ikut-ikutan miring?"
Berpikir demikian, Wulung Seta tak menghiraukan
kata-kata yang tadi didengarnya. Dan tatkala pemuda
ini kembali pada kesedihan hatinya, suara tadi terden-
gar kembali, "Jalan masih panjang! Amanat gurumu harus kau
tunaikan! Tetapi sekali lagi kukatakan, orang yang kau
tunggu akan datang!"
Kali ini Wulung Seta bukan hanya menolehkan ke-
pala, tetapi dia juga berdiri. Segera saja diedarkan
pandangan ke sekelilingnya. Kedua matanya memicing
tajam. Tatkala tak dilihatnya orang yang bersuara, si
pemuda berkata,
"Siapakah engkau adanya" Mengapa bisanya hanya
bicara di balik punggung orang"!"
"Aku hanya datang untuk melihat keadaan. Dan
orang yang kau tunggu akan datang...."
"Hmmm... siapa orang yang berkali-kali bilang
orang yang kutunggu akan datang" Siapa yang sedang
kutunggu" Jangan-jangan... orang itu berkata tentang
Seruling Haus Darah yang datang kembali" Kalau me-
mang benar... aku bukan hanya akan mencoba menga-
lahkannya, tetapi juga akan mengadu jiwa dengannya,"
batin Wulung Seta dengan pandangan berkeliling.
Dan pemuda ini terkejut tatkala orang yang entah
berada di mana dan bersuara tadi berkata, "Seruling
Haus Darah hanya menantang orang-orang yang me-
nurutnya patut menjadi lawannya! Bukan bermaksud
mengecilkan dirimu, tetapi kau bukanlah tandingan-
nya, Wulung Seta! Jadi, tipis kemungkinan bila dia
akan datang kembali ke sini!"
Wulung Seta terdiam dengan mulut merapat, tetapi
hatinya berkata-kata, "Siapa orang ini sebenarnya" Dia
tahu jalan pikiranku, bahkan dia tahu namaku. Kalau
bukan Seruling Haus Darah... siapakah yang akan da-
tang, karena aku tidak sedang... oh!!"
Pemuda ini memutus kata batinnya sendiri. Setelah
beberapa kejap dia melanjutkan, "Jangan-jangan....
Pendekar Rajawali Emas-lah yang akan datang. Bu-
kankah sebelum ajal menjemputnya Guru mengatakan
aku harus mencari Rajawali Emas yang memang se-
dang ditunggunya" Apakah memang dia...?"
"Kau benar, Anak Muda. Pemuda dari Gunung Ra-
jawali yang berjuluk Rajawali Emas akan datang ke
tempat ini bersama seorang gadis! Sambutlah keda-
tangannya dengan kedua tangan terbuka! Sekarang,
kuburkan segera jenazah gurumu itu!"
Masih tak mengerti siapa orang yang tak ketahuan
wujudnya dan dapat menebak jalan pikirannya, Wu-
lung Seta berkata, "Siapa pun engkau adanya, aku in-
gin mengenalmu! Tetapi bila kau menolak, bagiku tak
mengapa kendati hatiku penasaran. Hanya saja, aku
ingin bertanya!"
"Lakukanlah!" suara yang terdengar seperti berpin-
dah-pindah itu mengiyakan.
"Tahukah kau siapa Seruling Haus Darah sesung-
guhnya?" tanya Wulung Seta kemudian.
"Aku tahu siapa dia! Bahkan sangat tahu!"
"Kalau kau memang tahu, dapatkah kau menceri-
takannya kepadaku?"
"Kau akan tahu dengan sendirinya, Wulung Seta!"
Wulung Seta terdiam sejenak lalu berkata, "Dapatkah
kau mengatakan bagaimana cara mengalahkan-nya"!"
"Pertanyaanmu yang satu ini sungguh sulit untuk
dijawab! Karena, aku sendiri belum punya cara yang
pasti untuk mengalahkannya! Perlu kau ketahui Wu-
lung Seta, aku adalah sahabat gurumu! Sayangnya
aku datang terlambat! Tetapi aku akan tetap mengikuti
ke mana perginya Seruling Haus Darah! Karena, suatu
saat akan kuhentikan sepak terjangnya!"
"Mengapa kau harus menunggu terlalu lama bila
kau hendak melakukannya?"
"Seperti kukatakan tadi, aku belum mengetahui ke-
lemahannya! Tetapi menurut pikiranku, pemuda berju-
luk Rajawali Emas kemungkinan besar dapat menga-
lahkannya!"
"Lalu bagaimana dengan orang-orang yang dibunuh
oleh Seruling Haus Darah"!" tanya Wulung Seta tidak
puas. "Aku hanya bisa mengatakan kepada mereka untuk
berhati-hati atau paling tidak menjauh dulu untuk
menemukan kelemahan Seruling Haus Darah! Tetapi
sayangnya, aku tak selalu dapat mengikuti ke mana
perginya Seruling Haus Darah! Karena dia juga punya
bawahan yang sangat patuh dan memiliki ilmu yang
tak bisa dipandang sebelah mata!"
Kali ini Wulung Seta terdiam.
Terdengar kembali suara orang yang berada entah
di mana, "Orang yang kau tunggu sudah mendekat.
Mulailah kau menguburkan jenazah gurumu!"
Wulung Seta mendongak ke depan kendati dia tak
yakin orang yang sedang berbicara dengannya berada
di hadapannya. "Kau sendiri hendak ke mana?"
"Perjalanan masih panjang membentang, Anak Mu-
da! Mulailah berpikir jernih dan menjalin kerjasama
dengan Rajawali Emas!"
Habis kata-kata itu, terdengar suara berdesir dari
belakang. Seketika Wulung Seta mengalihkan pandan-
gan ke belakang. Tetapi dia tak melihat siapa pun be-
rada di sana. "Luar biasa! Siapa orang itu sebenarnya" Kudengar
suaranya seperti berada di hadapanku, tetapi desiran
angin tadi menandakan dia sebenarnya berada di bela-
kangku!" Pemuda ini menarik napas panjang sambil
menatap jenazah gurunya.
Kejap lain, mulailah dia menggali tanah untuk
menguburkan jenazah gurunya.
*** Bab 6 TEPAT di saat matahari sudah melalui tiga perempat
garis perjalanannya, Wulung Seta sudah selesai men-
guburkan jenazah gurunya. Lalu si pemuda duduk
bersimpuh untuk memanjatkan doa. Saking khusu'-
nya, dia tak mendengar langkah dua sosok tubuh yang
telah tiba di tempat itu.
Salah seorang dari dua pendatang itu meletakkan
jari telunjuk pada mulutnya tatkala temannya hendak
membuka suara. Temannya menganggukkan kepala
mengerti, kendati dia nampaknya penasaran ingin
mengetahui makam siapa yang berada di hadapan pe-
muda berpakaian abu-abu yang sedang terpekur di
depan gundukan tanah yang nampaknya masih baru
itu. Wulung Seta yang sudah selesai memanjatkan doa,
langsung menoleh tatkala salah seorang pendatang
yang mengenakan pakaian berwarna keemasan berka-
ta, "Sahabat... kami sama sekali tak bermaksud untuk
mengganggumu. Tetapi kami terpaksa melakukannya
karena ada yang hendak kami tanyakan...."
Wulung Seta perlahan-lahan berdiri. Untuk sesaat
pandangannya lekat pada pemuda berpakaian keema-
san yang barusan bicara, lalu beralih pada gadis jelita
berpakaian biru muda yang di punggungnya terdapat
sepasang pedang bersilangan.
"Maaf," katanya kemudian. "Aku pun tak ingin berlaku tak sopan. Tetapi aku belum
mengenal siapa ka-
lian berdua?"
Pemuda yang di kedua lengannya terdapat rajahan
burung rajawali berwarna keemasan tersenyum.
"Gadis yang bersamaku ini bernama Sri Kunting.
Sedangkan namaku, Tirta. Dan orang-orang menjulu-
kiku dengan sebutan... Rajawali Emas...."
Kepala Wulung Seta sampai menegak mendengar
kata-kata pemuda berikat kepala berwarna keemasan
di hadapannya. Pandangannya bertambah lekat.
Dalam hatinya pemuda berpakaian abu-abu yang
terbuka di bagian dada ini berkata, "Kata-kata orang
yang sebelumnya berbicara denganku ternyata tepat.
Pemuda yang sedang ditunggu Guru telah tiba di sini."
Seraya maju satu langkah, Wulung Seta berkata,
"Namaku Wulung Seta. Dan maaf, bukan aku bermak-
sud melangkahi. Tetapi biar kutebak apa yang akan
kau tanyakan." Setelah terdiam beberapa saat, pemuda
murid mendiang Ki Alam Gempita ini berkata, "Be-
narkah bila kukatakan kau dan temanmu itu sedang
mencari guruku yang bernama Ki Alam Gempita?"
Kendati dibuat terkejut dengan pertanyaan balik
itu, Rajawali Emas menganggukkan kepalanya.


Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wulung Seta menarik napas lega. Diam-diam dia
membatin, "Hmmm... aku yakin pemuda ini berada se-
kitar satu atau dua tahun di bawah usiaku. Tetapi bila
Guru sebelumnya mengatakan mengharapkan ban-
tuan pemuda berjuluk Rajawali Emas ini, jelas dia
memiliki ilmu yang tak bisa diremehkan."
Lalu tanpa diminta lagi, Wulung Seta segera mence-
ritakan apa yang terjadi. Termasuk pesan gurunya dan
orang yang berkata-kata namun tak diketahui berada
di mana. Ganti sekarang Rajawali Emas yang menarik napas.
Sementara Sri Kunting terdiam dengan tatapan mele-
bar. Untuk kedua kalinya dada si gadis dibuncah pera-
saan pedih. Namun segera ditindih perasaan itu da-
lam-dalam. "Sebenarnya, aku tak menyangka kalau urusan ini.
yang akan kuhadapi. Karena, tiga hari yang lalu, dua
orang suruhan dari Seruling Haus Darah telah me-
renggut nyawa Pendekar Pedang," kata Tirta kemu-
dian. "Gadis yang bersamaku ini, adalah murid Pende-
kar Pedang!"
"Pendekar Pedang?" Wulung Seta mengernyitkan
kening. "Guru sering menceritakan tentang adik seper-
guruannya yang tinggal di Bukit Pedang, yang boleh di-
katakan adalah paman guruku. Aku memang belum
pernah bertemu muka dengannya. Dan...," pandan-
gannya dialihkan pada gadis yang berdiri di sebelah
Rajawali Emas, "Sri Kunting... secara tidak langsung
kita adalah saudara."
Sri Kunting menganggukkan kepalanya. Dan segera
terbayang di benak gadis manis itu, kalau dia benar-
benar sebatang kara di dunia ini. Ki Alam Gempitalah
satu-satunya harapan yang bisa dijadikan tumpuan
hidupnya. Tetapi kakak seperguruan gurunya itu ter-
nyata telah mendahuluinya pula.
"Wulung Seta," panggil Tirta kemudian, "Kau benar-benar tidak tahu siapakah
orang yang berbicara pa-
damu tanpa memperlihatkan sosoknya?"
Wulung Seta mengangguk. Lalu jawabnya, "Ya. Se-
benarnya aku penasaran hendak mengetahui siapa
orang itu. Tetapi dia seperti angin belaka. Dapat ter-
dengar dan dirasakan kehadirannya, namun tak terli-
hat bagaimana wujudnya."
Sementara Wulung Seta menjawab tadi, Sri Kunting
perlahan-lahan melangkah mendekati gundukan tanah
merah di hadapannya. Gadis ini segera duduk bersim-
puh dan memanjatkan doa.
Rajawali Emas diam-diam membatin, "Sepak ter-
jang telengas dari orang yang berjuluk Seruling Haus
Darah benar-benar tak bisa dibiarkan. Dan kesaktian
yang dimilikinya terutama seruling sakti yang dimili-
kinya - menandakan kalau dia benar-benar tak bisa
dipandang sebelah mata. Sepertinya, urusan akan ber-
tambah lebar."
Habis membatin begitu, pemuda berajah burung ra-
jawali keemasan di kedua lengannya ini berkata, "Wu-
lung-Seta... ke manakah kira-kira manusia sesat itu
pergi?" "Dia berlalu menuju ke arah timur. Tetapi aku tidak
tahu di mana dia berada. Hanya saja...." Pemuda ber-
pakaian abu-abu ini memutus kalimatnya sendiri se-
mentara pandangannya meragu pada Rajawali Emas.
Lalu sambungnya pelan, "Sebelum dia berlalu, beru-
lang kali dia menyebut julukanmu, Tirta. Kupikir...
engkaulah lawan yang kini ditujunya...."
Di luar dugaan Wulung Seta, Rajawali Emas justru
menyahut, "Bagus! Ini kesempatan yang terbaik untuk
menghadapinya! Hingga kita tidak terlalu sulit mene-
mukannya!! Sekarang kupikir, ada baiknya bila aku
segera meneruskan langkah!"
Sri Kunting yang telah selesai memanjatkan doa
memalingkan kepala. Sambil melangkah, gadis berpa-
kaian biru muda ini berkata,
"Tirta... bukankah yang terbaik kita berjalan ber-
sama-sama" Aku mempunyai urusan dendam pada
manusia sesat itu. Kendati kami tahu ilmu yang kami
miliki sulit menandingi Seruling Haus Darah, tetapi
aku telah bertekad untuk membalas sakit hati yang
kuderita ini...."
"Sri Kunting benar, Tirta," sambung Wulung Seta.
"Aku pun memiliki urusan dendam pada manusia ce-
laka itu! Bukankah kita memang lebih baik berjalan
bersama-sama?"
Rajawali Emas pandangi kedua orang di hadapan-
nya. Lalu dicabutnya sebatang rumput dan mulai
menghisap-hisapnya.
"Aku bisa menerima usul itu sebenarnya. Hanya sa-
ja kupikir, kita bisa membagi jalan. Maksudku, bila ki-
ta berpisah dan menentukan jalan tetap satu tujuan
mencari Seruling Haus Darah... kemungkinan besar ki-
ta dapat segera menemukannya. Karena langkah yang
kita jelajahi akan bertambah banyak."
Kendati membenarkan alasan Rajawali Emas, tetapi
Sri Kunting tidak puas.
'Tirta... seperti yang dikatakan Kakang Wulung Seta
tentang pesan dari mendiang Ki Alam Gempita, beliau
sangat mengharapkan bantuanmu! Dan aku, bersedia
membantumu!"
Rajawali Emas tersenyum seraya berkata dalam ha-
ti, "Sebenarnya ada yang kupikirkan. Mengingat ma-
nusia sesat itu telah berhasil membunuh Ki Alam
Gempita yang kuyakini ilmunya sedemikian tinggi,
menandakan kalau Seruling Haus Darah memang
memiliki ilmu yang lebih tinggi. Dan aku tak berani
meraba sampai setinggi apa kesaktian yang dimili-
kinya. Dan bila aku seorang diri, kemungkinan besar
aku bisa menjaga diri. Bukan maksudku untuk men-
gecilkan keduanya. Tetapi rasanya itulah yang terbaik
dan lebih aman. Karena, aku justru khawatir bila aku
harus melihat keduanya tak berdaya di tangan Serul-
ing Haus Darah, karena aku sendiri belum begitu ya-
kin masih bisa bernapas atau tidak bila menghadapi
manusia sesat itu."
Habis membatin demikian Rajawali Emas berkata,
"Persoalan yang kita hadapi ini bukanlah persoalan
ringan. Karena, siapa pun mungkin bisa menduga ke-
saktian dari Seruling Haus Darah mengingat sepak ter-
jang telengasnya pada tokoh-tokoh rimba persilatan
yang menurutnya tepat dijadikan sebagai lawan!
Hanya saja aku berpikir lain, kendati...."
Kata-kata Tirta terputus tatkala terdengar satu su-
ara keras dari belakangnya, "Benar! Siapa pun yang
lancang hendak buka urusan dengan junjunganku,
Seruling Haus Darah, maka dia akan segera bergeli-
mang tanah!!"
Bukan hanya Tirta yang segera membalikkan tubuh
dan melihat siapa yang datang. Wulung Seta dan Sri
Kunting pun segera bersiaga, tatkala terlihat satu so-
sok tubuh mengenakan jubah warna merah tetapi tak
mengenakan pakaian apa-apa kecuali sebuah cawat
hitam. berdiri dengan kedua kaki dipentangkan dan ta-
tapan dalam menusuk.
Sosok orang yang baru datang ini tinggi hingga tu-
buhnya seperti menjulai ke depan. Wajahnya tirus
dengan deretan jerawat memerah di seluruh wajahnya.
Mulutnya tipis berwarna hitam. Di pergelangan tangan
orang berjubah merah yang kira-kira berusia lima pu-
luh tahun ini terdapat dua buah gelang bahar warna
merah! Untuk sesaat Rajawali Emas hanya memandang tak
berkedip pada si pendatang. Kejap lain, sambil masih
menghisap-hisap rumput di bibirnya, si pemuda berka-
ta, "Wah! Kupikir ada pohon kelapa yang bisa bicara"
Tidak tahunya seekor manusia! Busyet! Kok seekor"
Bukannya kata itu lebih tepat dipakai untuk bina-
tang"!"
Wajah orang yang baru datang ini mengkelap tanda
tak suka mendengar kata-kata Rajawali Emas. Sambil
menindih kegeramannya dia berkata, "Telah lama ku-
dengar tentang sebuah julukan yang cukup mengge-
gerkan rimba persilatan! Dan tak kusangka orang yang
berjuluk Rajawali Emas masih sedemikian muda!
Sayangnya, julukan itu akan putus hari ini juga ber-
samaan dengan nyawamu yang akan melayang!"
"Nah, kalau kau sudah yakin bisa bikin aku tewas,
tentunya kau mau mengatakan ada urusan apa kau
tiba di sini sebelum aku tewas, bukan?"
Segera terdengar tawa berderai dari si pendatang.
Lalu dengan kepala mendongak dan suara pongah dia
berkata, "Julukanku Datuk Jubah Merah! Aku datang
mengemban tugas dari Seruling Haus Darah untuk
membunuh Ki Alam Gempita!"
"Waduh! Bahaya itu!" seru Tirta tetap dengan sikap
tenang, malah agak ugal-ugalan. "Apa yang sebenarnya
kau cari hingga kau turuti perintah sialan dari manu-
sia celaka itu"!"
"Jangan berkata sembarangan!!" bentak orang yang
mengaku berjuluk Datuk Jubah Merah gusar.
"Wah, aku kan cuma tanya!" sahut Tirta sementara
Wulung Seta sudah hampir tak bisa kuasai dirinya lagi
untuk menerjang orang bercawat yang mengenakan
jubah merah panjang.
Namun pemuda berpakaian abu-abu ini mencoba
untuk menahan, guna melihat kejadian lebih lanjut.
Dengan suara geram namun tetap memperlihatkan
kepongahannya, lelaki berambut panjang acak-acakan
dan hanya mengenakan cawat sebagai penutup tu-
buhnya menjawab, "Lama aku ingin hidup layak dan
enak! Dan kehidupan itu sukar kudapati karena selalu
ada saja penghalang! Namun bergabung dengan Serul-
ing Haus Darah yang bisa membuatku hidup enak,
sudah tentu tak akan kusia-siakan! Sekarang, katakan
di mana Ki Alam Gempita"!"
"Beliau sedang beristirahat!" sahut Tirta. "Sebaiknya kau kembali saja dan
jangan coba-coba lagi datang
ke sini!" Benar-benar mengkelap wajah Datuk Jubah Merah.
"Kau berani berlaku lancang di hadapanku, Raja-
wali Emas!" bentaknya dengan suara menggelegar. "Be-
rarti, nyawamulah sebagai gantinya!"
"Wah! Kasihani aku kenapa" Soalnya aku masih
doyan makan nasi uduk, nih! Eh, apakah kau tahu di
mana orang yang menjualnya" Barangkali saja kita bi-
sa makan bersama-sama" Aku makan nasi uduk, kau
makan kotoran kambing! Bagaimana" Ini usul yang
menarik bukan"!" Setelah nyengir, Tirta menyambung,
"Dan aku yakin, tanpa kau pertimbangkan lagi kau
pasti menyetujui usulku ini!"
Kejap itu pula tidak membuang waktu lagi, Datuk
Jubah Merah yang sudah tidak kuasa menahan ama-
rahnya mendengar jawaban-jawaban Tirta yang bikin
kedua telinganya memerah, menerjang seraya lepaskan
pukulan dengan tangan kanannya.
*** Bab 7 WUUUSS! Bersamaan datangnya serangan ganas itu, Rajawali
Emas segera melompat ke samping, hingga hantaman
tangan kanan Datuk Jubah Merah melabrak sebuah
pohon yang berada di belakang Rajawali Emas sebe-
lumnya. Braaakk!! Pohon itu seketika patah berderak dan bergoyang
sejenak dengan meranggasnya dedaunan sebelum ak-
hirnya tumbang dan menimbulkan suara bergemuruh
yang memuncratkan tanah di bawahnya. Bila saja Wu-
lung Seta dan Sri Kunting tidak menghindar, tak ayal
lagi keduanya akan tertimpa pohon itu.
Mendapati serangannya dapat dihindari dengan
mudah, seketika Datuk Jubah Merah mengertakkan
rahangnya, Lalu segera berpaling ke samping kiri den-
gan tatapan menghujam.
"Aku ingin merasakan kehebatan orang yang julu-
kannya semakin berkibar!!" suaranya dingin dengan
tatapan angker. Kedua tinjunya makin dikepalkan.
"Boleh! Boleh saja!" sahut Tirta seraya mencabut
rumput di bibirnya dan melemparnya asal saja ke
samping. Dan rumput itu seolah berubah menjadi luncuran
anak panah yang melesat dan menancap tanpa sisa ke
sebatang pohon!
Untuk sekejap Datuk Jubah Merah terpana meli-
hatnya. Namun kejap lain dia sudah keluarkan dengu-
san. Sepasang matanya makin mendelik angker, tepat
menghujam pada bola mata Rajawali Emas yang se-
dang tersenyum-senyum.
"Benar-benar tak tahu diuntung!!"
Dengan dikawal teriakannya yang mengguntur,
orang tua tak berpakaian namun mengenakan jubah
panjang warna merah ini, sudah melesat ke arah Ra-
jawali Emas. Kedua tangannya mengembang, lalu
menghentak ke depan melepaskan pukulan 'Karang
Maut'. Seketika terdengar deru angin yang sangat ganas.
Menyusul kabut pekat warna hitam ke arah Rajawali
Emas. Sejenak Rajawali Emas mendongak. Keningnya
nampak berkernyit melihat lebih ganasnya serangan
lawan. Dalam waktu yang sangat tipis, pemuda dari


Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gunung Rajawali ini sudah menarik napas. Dirasakan
sesuatu bergolak di bawah perutnya. Kejap lain, dia
sudah mengangkat kedua tangannya. Lalu dengan
pergunakan jurus 'Lima Kepakan Pemusnah Jiwa',
pemuda ini sudah menyongsong labrakan Datuk Ju-
bah Merah."
Seketika menderu angin tak kalah dahsyatnya dis-
ertai hawa panas yang merejam.
Gebrakan gelombang angin keras yang keluar dari
kedua tangan Datuk Jubah Merah tertahan di udara.
Terdengar pekikan tertahan dari mulut orang bercawat
ini. Bersamaan dengan itu, Rajawali Emas segera me-
nyentak tangan kanannya dari bawah ke atas. Samba-
ran angin yang menderu ke bawah tadi memuncratkan
tanah di sekitar Danau Bulan. Menyusul hawa panas
terangkat naik ke atas.
Kembali terdengar pekikan Datuk Jubah Merah
yang tak menyangka kalau pemuda berpakaian kee-
masan itu mampu lancarkan pukulan yang ganas da-
lam keadaan yang sempit seperti itu.
Dengan cepat lelaki tua bercawat yang setiap berge-
rak jubah panjangnya berkibar, melompat dengan ke-
dua kaki terentang sejajar di udara, bersamaan kedua
tangannya disentakkan ke bawah dengan cepat.
Blaaamm!! Serangan Rajawali Emas tertahan. Kendati demi-
kian, tubuh Datuk Jubah Merah terpental ke belakang.
Jubahnya sobek di bagian bawah.
Mengkelap wajah orang tua bercawat itu dengan
napas naik turun tak beraturan. Dadanya berdenyut
nyeri sementara kedua tangannya bergetar.
Bila saja Rajawali Emas hendak menurunkan tan-
gan, maka dengan mudah dia dapat melakukannya.
Namun pemuda yang mewarisi kelembutan dari men-
diang ibunya ini, tak melakukan. Bahkan dia berdiri
tegak seraya berkata,
"Percuma meneruskan urusan ini! Lebih baik kau
tinggalkan kesesatan yang kau jejaki, Datuk Jubah
Merah! Bergabung dengan Seruling Haus. Darah,
hanya akan menambah petaka di muka bumi ini!"
Datuk Jubah Merah terdiam dengan sorot mata ta-
jam. Mulutnya nampak berkemik-kemik.
Sementara itu Wulung Seta tak percaya mendengar
kata-kata Rajawali Emas. Pemuda yang tadi sudah ge-
ram menyadari maksud kedatangan Datuk Jubah Me-
rah, rasanya tak akan bisa bersikap seperti Rajawali
Emas. Sri Kunting sendiri juga berlaku sama. Dia maju
dua tindak dengan siaga penuh. Siapa pun orang yang
bergabung dengan Seruling Haus Darah, menurutnya
pantas mati ketimbang bikin celaka orang banyak.
Tetapi sebelum Wulung Seta dan Sri Kunting ber-
tindak terdengar suara dingin Datuk Jubah Merah,
"Jangan terlalu berbangga dulu! Kau belum tahu siapa
aku sebenarnya"!"
"Lho"! Jadi kau mau membuka samaranmu itu ka-
lau kau sebenarnya hanya seekor orang utan"!" sam-
bar Rajawali Emas yang sebenarnya sangat gusar da-
lam hati melihat sikap dungu Datuk Jubah Merah.
"Setan muda! Terimalah kematianmu!"
Habis umbar makiannya, sepasang kaki Datuk Jubah
Merah segera menjejak tanah. Saat itu pula tubuhnya
membubung tinggi di udara dengan kibaran jubah me-
rahnya. Bersamaan dengan itu, tubuhnya langsung
meluruk ke arah Rajawali Emas, melepaskan pukulan
'Karang Maut' kembali.
Benar-benar tak patut dikasihani!" maki Tirta da-
lam hati. Lalu dengan pencalan satu kaki, dia pun me-
lompat ke udara. Bersamaan dengan itu tangan ka-
nannya yang masih dialirkan tenaga surya, segera
menggebrak! Kembali terdengar letupan keras berulang kali. Ru-
panya, Datuk Jubah Merah benar-benar tak mampu
menahan diri. Terutama tatkala gebrakan pertamanya
dipecundangi dengan mudah oleh Rajawali Emas. Tan-
pa hiraukan dadanya yang terasa sakit akibat bentu-
ran barusan, begitu kakinya menjejak tanah, dia su-
dah melenting kembali dengan kedua tangan didorong.
Rajawali Emas mendengus melihatnya. Sambil berpu-
tar, si pemuda menyentakkan kedua tangannya pula.
Bummm! Pukulan Datuk Jubah Merah tertahan. Namun ka-
rena Rajawali Emas telah lipat gandakan tenaga surya
pada kedua tangannya, pukulan Datuk Jubah Merah
yang tertahan tadi, justru meluncur deras ke arah pe-
miliknya sendiri!
Tidak ada waktu lagi bagi lelaki tua bercawat itu
untuk menghindar atau menangkis, hingga saat itu ju-
ga Datuk Jubah Merah memekik keras dan terdorong
ke belakang akibat terhantam pukulannya sendiri.
Tubuhnya terlempar beberapa tindak dalam kea-
daan goyah sebelum akhirnya ambruk dalam keadaan
terduduk. Sepasang matanya yang sejak tadi bersinar
garang, kini kuyup memancarkan rasa nyeri. Dari mu-
lut dan hidungnya mengalir darah agak kehitaman
pertanda lelaki ini terluka dalam.
Akan tetapi, rupanya orang bercawat ini tak mau
berpikir lebih jernih lagi tentang keadaan dirinya yang
sudah tak berdaya. Baginya, dia harus tuntaskan uru-
san! Karena, terbayang bagaimana kemarahan Serul-
ing Haus Darah bila dia kembali dengan tangan hampa
karena gagal membunuh Ki Alam Gempita.
Kendati sebenarnya Datuk Jubah Merah sudah cu-
riga melihat makam yang nampaknya masih baru, na-
mun dia tak mengira sama sekali kalau orang yang se-
dang diburunya telah tewas di tangan orang yang me-
merintahkannya.
Kejap lain, dengan kerahkan sisa-sisa tenaganya',
tubuhnya meluncur ke arah Tirta yang mendengus.
"Benar-benar keras kepala!!"
Lalu dengan sentakan tangan kanan, kembali Ra-
jawali Emas menahan pukulan dahsyat itu. Bahkan
lagi-lagi membalikkannya yang segera menghantam
tubuh Datuk Jubah Merah sendiri.
Untuk kedua kalinya terdengar pekikan keras ber-
samaan dengan darah menyembur keluar dari mulut
Datuk Jubah Merah. Kalau tadi dia hanya jatuh terdu-
duk, kali ini ambruk dalam keadaan telentang. Untuk
sesaat orang tua berjubah merah ini mengerang mena-
han sakit. Rajawali Emas yang melihatnya merasa iba. Dia
bermaksud untuk segera menolong Datuk Jubah Me-
rah. Namun sebelum pemuda dari Gunung Rajawali ini
menjalankan maksud, mendadak saja satu sosok tu-
buh berpakaian kuning cemerlang sudah menderu.
Bersamaan dengan itu Rajawali Emas segera mem-
buang tubuh ke samping kanan tatkala dirasakan satu
deru angin keras menggebrak ke arahnya.
Blaaamm! Tanah yang tadi dipijak oleh Tirta langsung mem-
bentuk sebuah lubang sedalam setengah tombak yang
mengeluarkan asap bersamaan dengan luruh kembali
tanah-tanah yang muncrat.
Dan Rajawali Emas terbeliak tatkala sosok berpa-
kaian kuning cemerlang itu menyambar tubuh Datuk
Jubah Merah yang sedang sekarat. Kejap berikutnya,
sosoknya sudah berlalu laksana setan belaka.
"Hei!!" terdengar seruan Tirta tertahan. Dia men-
coba mengejar, namun orang itu sudah lenyap dari
pandangan. Sambil pandangi kejauhan Tirta memba-
tin, "Hmm, siapa perempuan berpakaian kuning ce-
merlang tadi" Rasa-rasanya aku mengenal perempuan
itu. Dan wajahnya, kendati hanya sekilas, kulihat ber-
warna perak. Apakah ada kulit manusia berwarna pe-
rak" Tetapi mengapa hanya wajahnya saja sementara
kulitnya putih bersih" Hmm... siapa dia?"
Selagi Rajawali Emas berusaha menguras ingatan-
nya, Wulung Seta mendekat dan segera bertanya, "Sia-
pa perempuan berpakaian kuning cemerlang tadi, Tir-
ta?" Seketika Tirta menoleh dan menggeleng.
"Aku tak bisa menjawab sekarang. Tetapi... rasa-
rasanya aku mengenal perempuan itu. Hanya saja, un-
tuk saat ini aku belum bisa menemukan jawaban siapa
perempuan itu." Rajawali Emas terdiam beberapa saat.
Lalu katanya, "Ibarat permainan catur, Datuk Jubah
Merah dan perempuan berpakaian kuning cemerlang
yang menyelamatkannya, hanya menjadi pion belaka.
Bukan orang semacam mereka yang harus diburu. Me-
lainkan, Seruling Haus Darah yang jadi pangkal semua
petaka ini. Dan rupanya, manusia celaka itu benar-
benar telah menebarkan hawa kematian. Terbukti se-
demikian banyak orang yang menjadi pengikutnya dan
rela mengorbankan nyawa untuknya. Semata karena
takut menghadapinya dan karena menginginkan hidup
layak seperti yang dijanjikan Seruling Haus Darah bila
dia berhasil menjadi raja diraja di rimba persilatan
ini...." Tak ada yang bersuara. Tempat itu dilanda sunyi
sekejap. Lalu terdengar kata-kata Wulung Seta, "Kalau
begitu... sebaiknya kita segera berangkat untuk men-
cari Seruling Haus Darah dan para pengikutnya, Tirta."
Tirta menganggukkan kepalanya.
"Aku pun berpikir demikian. Tetapi seperti yang
kukatakan sebelumnya, aku hendak meneruskan
langkah mencari Seruling Haus Darah seorang diri...
sementara kalian...."
"Lalu bagaimana dengan usulku tadi, Tirta?" tanya
Sri Kunting yang juga sudah mendekat dan penasaran
karena gagal melihat kematian Datuk Jubah Merah.
Penasarannya itu pun beralih pula untuk mengetahui
siapa perempuan yang menyelamatkan orang berjubah
merah. "Kupikir:.. ini jalan yang terbaik seperti alasanku
sebelumnya. Kupikir pula, kau perlu menenangkan diri
dulu karena kau masih larut dalam kematian gurumu,
Sri Kunting," jawab Tirta seraya mengalihkan pandan-
gan pada gadis yang sedang menatapnya. "Kau aman
sekarang. Karena, kau memiliki teman yang sudah ten-
tu akan menjagamu. Karena, kalian adalah murid-
murid dari dua orang tua perkasa yang merupakan
kakak dan adik seperguruan. Berarti...."
"Kami sama-sama memiliki dendam yang dalam pa-
da Seruling Haus Darah. Dan kami ingin membalaskan
kematian guru-guru kami, Tirta...," potong Sri Kunting
tegas. "Itulah yang kukhawatirkan. Karena bila kalian su-
dah terikat pada dendam, kemungkinan besar kalian
tidak akan bisa berpikir panjang. Yang kita hadapi ini
bukanlah manusia sembarangan, melainkan manusia
yang dapat membunuh seenak membuang ludah dan
memiliki kesaktian tinggi."
"Aku tidak peduli! Karena aku...."
Kata-kata Sri Kunting terputus tatkala melihat so-
sok Rajawali Emas sudah berkelebat. Seketika si gadis
melompat, mencoba mengejar. Namun kejap lainnya,
tubuh pemuda dari Gunung Rajawali itu sudah lenyap
dari pandangan, hingga saat itu pula Sri Kunting
menghentikan kejarannya.
Wulung Seta yang mempunyai niatan yang sama
dengan Sri Kunting segera berkelebat mendekati gadis
itu. "Sudahlah. Mungkin Tirta mempunyai pikiran lain.
Sri Kunting, kita pun tak bisa berdiam diri di sini. Ba-
gaimana bila kita juga memulai untuk mencari Serul-
ing Haus Darah?"
Sri Kunting memalingkan kepala. Sesaat dia mena-
tap pemuda di hadapannya. Sebelum akhirnya men-
ganggukkan kepala.
"Aku juga tak sabar ingin bertemu dengan manusia
laknat itu, Kakang Wulung."
Wulung Seta yang selama ini belum pernah berta-
tapan muka dengan gadis-gadis dalam jarak sedekat
ini, terutama yang semanis Sri Kunting. bisa melihat
betapa jelitanya wajah gadis itu. Dan mendadak saja
pemuda ini kelihatan memerah wajahnya. Namun dia
buru-buru berkata, "Kalau begitu, lebih baik kita be-
rangkat sekarang!"
Kendati tadi hendak menanyakan mengapa Wajah
Wulung Seta memerah, Sri Kunting hanya mengang-
gukkan kepalanya.
Kejap lain, kedua muda-mudi itu sudah berlalu
meninggalkan Danau Bulan yang kembali dibungkus
sepi. *** Bab 8 TATKALA pertarungan antara Rajawali Emas dengan
Datuk Jubah Merah terjadi, pada saat yang bersamaan
satu sosok berpakaian panjang hitam penuh tambalan
menghentikan larinya di lereng sebuah bukit. Dari ke-
ringat yang membasahi sekujur tubuhnya, dengan se-
kali melihat saja akan mudah ditebak kalau sosok itu
sudah berlari sangat jauh. Namun anehnya, gerakan
napasnya nampak normal-normal saja layaknya orang
melangkah satu tindak.
Untuk beberapa lama, sepasang mata yang agak
masuk ke dalam itu, memperhatikan tak berkedip ke
seluruh lereng bukit yang ditumbuhi pepohonan besar


Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan ranggasan semak belukar. Lalu ganti pandangan-
nya diarahkan pada puncak bukit yang berbentuk se-
perti tanduk seekor kerbau.
"Bagian atas bukit yang berbentuk seperti tanduk
itu merupakan tanda yang pasti. Hmm... kendati san-
gat berbeda dengan terakhir kali aku datang ke sini,
aku tetap yakin kalau inilah Bukit Kebombong. Mu-
dah-mudahan orang yang kucari masih hidup! Paling
tidak berada di bukit ini sekarang," gumam sosok ber-
pakaian hitam penuh tambalan sambil terus menatap
puncak Bukit Kebombong. Di kedua tangan hingga si-
ku sosok ini terdapat puluhan gelang warna hitam. La-
lu terdengar helaan napas sosok yang ternyata seorang
perempuan berusia sekitar delapan puluh lima tahun.
"Mudah-mudahan dia masih menyimpan Trisula Mata
Empat. Cukup lama sebenarnya tak kuinjak lagi dunia
ramai setelah aku mengasingkan diri di Pesisir Batu
Bulak, hingga tak tahu apa yang terjadi. Tetapi kehadi-
ran Seruling Haus Darah yang kudengar telah merebut
Seruling Gading dari Raja Seruling, jelas tak bisa ku-
biarkan. Konon, senjata yang bisa menandinginya ha-
nyalah Trisula Mata Empat milik manusia satu ini."
Setelah terdiam beberapa saat, si nenek berpakaian
panjang hitam penuh tambalan segera berkelebat ke
arah puncak Bukit Kebombong. Kelebatan tubuh si
nenek berambut beriap-riap ini laksana dilarikan se-
tan. Hanya dalam lima belas kejapan mata saja, si ne-
nek sudah tiba di puncak Bukit Kebombong.
Udara di situ begitu dingin kendati matahari tepat
berada di atas kepala. Namun si nenek tidak mempe-
dulikan hawa apa pun yang akan menerpanya.
Kembali pandangannya diedarkan.
"Tiga puluh lima tahun tak jumpa. Apakah dia ma-
sih hidup" Atau... dia masih punya urusan dengan Ra-
tu Iblis, hingga tidak ada di tempat sekarang"
Hmmm... kalau memang demikian, berarti kedatan-
ganku sia-sia."
Kembali si nenek terdiam dengan pandangan me-
micing tajam. Udara yang mampu menembus hingga
ke tulang bagian dalam, lagi-lagi tak dihiraukan. Lalu
terdengar teriakannya memanggil-manggil orang yang
dicari. Tetapi tak seorang pun yang muncul.
Si nenek bergumam lagi, "Kalau memang ternyata
sia-sia, seharusnya aku tak kemari. Lebih baik menca-
ri Seruling Haus Darah, manusia keparat yang hen-
dak menguasai rimba persilatan! Apakah sebaiknya
aku...." "Kedatanganmu tidak sia-sia, Peri Gelang Rantai!"
terdengar satu suara memupus kata-kata si nenek
yang segera palingkan kepala ke samping kiri.
Kembali si nenek memicingkan sepasang matanya,
berupaya menembus kabut pekat di hadapannya. Dan
seperti melihat seseorang di balik kabut yang sangat
tebal itu, si nenek keluarkan tawanya yang cukup
nyaring. "Gila! Rupanya kau memang masih hidup! Apakah
urusanmu dengan Ratu Iblis sudah selesai"! Atau kau
bersembunyi di sini karena takut menghadapinya"!"
Seperti ada tenaga yang menggerakkannya, perla-
han-lahan kabut hitam pekat itu menebar. Bersamaan
dengan itu nampaklah satu sosok tubuh dengan kedua
tangan berada di belakang pinggul mengenakan pa-
kaian berwarna putih agak kusam. Di pinggang sosok
tubuh itu terdapat sebuah angkin berwarna kuning
kehitaman. Orang yang berdiri itu ternyata seorang la-
ki-laki yang berusia sekitar sembilan puluh tahunan.
Namun keadaannya masih tegap dengan dada bidang.
"Urusanku dengan Ratu Iblis telah selesai! Kendati
masih ada beberapa hal yang tertinggal! Tetapi, itu bu-
kanlah jadi masalah lagi sekarang!"
Si nenek yang dipanggil dengan julukan Peri Gelang
Rantai maju tiga tindak sambil pandangi sosok tanpa
kumis namun memiliki jenggot menjuntai.
"Bagus kalau memang demikian adanya! Raja De-
wa... sudahkah telingamu menangkap berita tentang
manusia sesat yang berjuluk Seruling Haus Darah dan
banyak melakukan pembunuhan keji pada tokoh-
tokoh rimba persilatan"!"
Si kakek yang ternyata Raja Dewa adanya terdiam
sesaat sebelum akhirnya menganggukkan kepala.
"Aku memang pernah mendengar sepak terjang te-
lengas orang yang berjuluk Seruling Haus Darah! Te-
tapi, sampai saat ini aku belum pernah berjumpa den-
gannya!!" Peri Gelang Rantai mendengus mendengar kata-
kata orang itu.
"Lalu mengapa kau masih berdiam diri, hah"!"
Raja Dewa tersenyum.
"Luka dalam yang kuderita dari pertarungan den-
gan Ratu Iblis, baru bisa disembuhkan. Kau tentunya
dapat membayangkan betapa kurang lebih selama tiga
puluh tahun aku cukup tersiksa, hingga akhirnya aku
merasa lebih baik berdiam diri mengingat keadaanku
yang tak memadai!"
"Bagus kalau kau sudah lebih baik sekarang! Su-
dahkah kau mendengar nasib naas Raja Seruling?"
"Ya! Aku sudah mendengarnya!"
"Raja Dewa... seperti yang pernah kau dan aku
dengar, Seruling Gading milik Raja Seruling adalah
senjata tiada banding! Bahkan aku yakin, Batu Bin-
tang milik Malaikat Dewa yang kini kudengar telah di-
tempa menjadi sebilah pedang dan turun pada seorang
pemuda yang berjuluk Rajawali Emas, bukanlah tan-
dingan dari Seruling Gading yang diubah namanya
menjadi Seruling Haus Darah dan dipakai Sebagai ju-
lukan oleh manusia sesat itu yang telah menghabisi
nyawa Raja Seruling!
Apakah kau...."
Peri Gelang Rantai sengaja memutus kata-katanya
untuk melihat sikap Raja Dewa. Si kakek yang berdiri
dua tombak dari hadapannya paham sekali ke mana
arah kata-kata si nenek berpakaian hitam penuh tam-
balan. Lalu sambil pandangi perempuan tua di hadapan-
nya. Raja Dewa berkata,
"Kau tentunya menduga kalau Trisula Mata Empat
yang kumiliki mampu menandingi Seruling Gading itu,
bukan?" "Bagus kalau kau sudah tahu! Dan bila kau merasa
belum sanggup untuk terjun kembali ke dunia ramai,
aku hendak meminjam senjata itu untuk menghadapi
Seruling Haus Darah!!" sahut si nenek.
Masih dengan kedua tangan berada di belakang
pinggul, Raja Dewa maju tiga tindak.
"Apa pun yang kau hendaki dariku akan kupenuhi
bila aku sanggup memenuhinya."
"Hei! Apa maksud kata-katamu itu?" sambar Peri
Gelang Rantai dengan kening dikernyitkan.
"Kau tahu bukan, aku selalu bermusuhan dengan
Ratu Iblis" Pada saat pertarungan kami yang terakhir,
senjata sakti Trisula Mata Empat berhasil direbutnya!
Begitu pula dengan senjata saktinya, Anting Mustika
Ratu berhasil kurebut! Dan Anting Mustika Ratu telah
kuberikan kepada Randa Barong atau yang dikenal
dengan julukan Iblis Cadas Siluman yang sebelumnya
adalah murid sekaligus kaki tangan Ratu Iblis! Tetapi
Randa Barong sadar dari kesalahannya hingga dia ne-
kat memutuskan pergi dari Ratu Iblis yang selalu me-
merintahnya untuk melaksanakan setiap keinginan
busuk Ratu Iblis! Kau puas mendengar penjelasanku,
Peri Gelang Rantai"!"
Si nenek masih mengernyitkan keningnya. Kejap
lain dia sudah berkata lagi, "Dahsyatkah kekuatan
yang dimiliki oleh Anting Mustika Ratu"!"
"Sangat dahsyat bahkan. Bila ada seseorang yang
meminum air rendaman Anting Mustika Ratu yang
akan berubah menjadi warna biru, maka dia akan
memiliki ilmu kebal tiada banding selama tiga hari! Te-
tapi bila air yang diminum berubah menjadi merah,
maka luka dalam akibat pukulan sakti macam apa
pun akan segera sembuh!!"
"Luar biasa!" gumam Peri Gelang Rantai sambil
berdecak. Lalu sambil pandangi Raja Dewa, si nenek
melanjutkan kata, "Tetapi sayangnya, Anting Mustika
Ratu itu berada di tangan Randa Barong! Apakah..."
"Tidak! Dia sudah mengembalikannya kepadaku!
Sebulan yang lalu, Randa Barong datang ke sini dan
menceritakan apa yang telah terjadi!" putus Raja Dewa
yang membuat paras Peri Gelang Rantai berubah se-
nang. Tanpa diminta lagi, si kakek segera mencerita-
kan yang diketahuinya agar Peri Gelang Rantai men-
gerti. (Untuk mengetahui tentang Anting Mustika Ratu
dan bagaimana kemelut yang dihadapi oleh Rajawali
Emas, silakan baca episode : "Rahasia Pesan Srigala"
sampai "Lembah Karang Hantu").
Peri Gelang Rantai berkata lagi, "Berita itu semakin
bagus rupanya! Kalau memang demikian adanya, ku-
pikir aku bisa meminjam Anting Mustika Ratu itu!"
"Aku pasti akan memberikannya kepadamu, Peri
Gelang Rantai! Tetapi, benda ini milik Ratu Iblis! Dan
kita tak berhak memakainya!"
Kalau tadi paras Peri Gelang Rantai nampak se-
nang, kali ini menjadi keruh.
"Mengapa harus bersikap seperti itu"! Bukankah
Trisula Mata Empat yang kau miliki berada di tangan-
nya"!"
"Kau benar! Dan aku hendak mengambil kembali
senjataku itu dan mengembalikan Anting Mustika Ratu
ini kepada Ratu Iblis! Hanya ada sedikit penyesalanku
yang telah memberikan Anting Mustika Ratu itu pada
Randa Barong tanpa menjelaskan kegunaannya, hing-
ga beberapa waktu lalu dia diburu oleh manusia-
manusia sesat yang serakah!"
Si nenek berpakaian hitam penuh tambalan men-
dengus berulang-ulang.
"Dari dulu aku tetap tak mengerti jalan pikiranmu,
Raja Dewa! Apakah kau pikir itu adalah tindakan yang
baik?" "Bahkan teramat baik! Dan kebetulan, saat ini aku
memang punya niatan untuk mengambil kembali Tri-
sula Mata Empat dari tangan Ratu Iblis! Peri Gelang
Rantai, bukankah kau hendak meminjam senjata itu"!"
"Kalau kau hendak menggunakannya pula dan sa-
ma-sama memberantas manusia sesat berjuluk Serul-
ing Haus Darah, sudah tentu aku tidak akan melaku-
kannya!" "Lembah Iblis, tempat tinggal Ratu Iblis, sangat
jauh dari sini! Kita akan membutuhkan perjalanan li-
ma kali matahari melintasi bumi! Dan satu hal lagi,
karena lama aku berdiam di sini, aku hendak me-
nyambangi kakak seperguruanku dulu, Dewa Tanpa
Nama!" Mendengar ucapan Raja Dewa, paras Peri Gelang
Rantai terkesiap.
"Hmm... rupanya dia tidak tahu, kalau Dewa Tanpa
Nama telah tewas tiga puluh lima tahun lalu di tangan
Pendekar Asmara Tangan Iblis 4 Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Para Ksatria Penjaga Majapahit 2
^