Pencarian

Sumpah Iblis Kubur 2

Rajawali Emas 04 Sumpah Iblis Kubur Bagian 2


tegangan merambat seketika, Tirta segera berkelebat
kesana dengan cepat. Dia bermaksud langsung menye-
rang si Tangan Sakti. Namun alangkah terkejutnya dia
ketika si Tangan Sakti keluar lagi dari semak itu tanpa
membawa sesuatu.
Sepasang matanya yang besar diedarkan ke seke-
liling, sementara Tirta urung menyerang dan memutar
tubuh hinggap di sebatang dahan pohon yang ditutupi
oleh dedaunan. "Edan! Mengapa manusia itu tak membawa Ayu
Wulan" Apakah dia tak menemukannya ataukah....
sengaja membiarkan untuk memanggil yang lain?" Setelah perhatikan orang berbaju
hitam dengan kepala
botak di bagian tengah berlalu, Tirta mengempos tu-
buh ke balik semak. Kali ini sepasang matanya lebih
melebar dengan mulut terbuka, "Celaka! Ke mana gadis itu" Mengapa, dia tak
berada di sini" Pantaslah kalau manusia berkepala botak di tengah itu tak mene-
mukannya! Konyol! Bodoh! Tolol! Apakah salah seo-
rang dari mereka sudah! menemukannya" Kalau be-
lum, siapa yang telah membawanya?"
Diliputi rasa cemas akan nasib Ayu Wulan, Tirta
mengempos tubuh hinggap di sebatang pohon. Diper-
hatikannya sekeliling tempat itu dengan mata terbuka
lebih lebar. Barangkali saja dia masih bisa menemu-
kan jejak Ayu Wulan.
Yang nampak di matanya kemudian, kemunculan
orang-orang yang mempunyai dendam padanya. Di-
perhatikan satu persatu orang-orang itu dan masing-
masin tanpa membawa Ayu Wulan.
"Celaka! Jelas bukan di tangan mereka Ayu Wu-
lan berada. Kalau begitu, siapa yang membawanya?"
batin Tirta cemas. Padahal kalau memang Ayu Wulan
sudah ditemukan salah seorang dari mereka, Tirta ber-
tekad untuk bertarung!
"Hutan kecil ini tak seberapa luas. Hanya seben-
tar telah berhasil dijajaki. Tak kulihat pemuda yang
berjuluk Rajawali Emas itu berada. Jangan-jangan,
kau berhasil dipermainkan pemuda keparat itu yang
sebenarnya tidak masuk ke hutan ini, Tangan Sakti!"
kata Iblis Angin dengan sepasang mata yang bagai ter-
tarik lebih ke dalam, menandakan dia berada dalam ti-
tik kegusarannya.
Si Tangan Sakti nampaknya tidak senang dengan
kata-kata yang berbalur ejekan.
"Iblis Angin!, apa yang kukatakan benar adanya.
Sebaiknya kita cari lagi manusia itu!"
Usul si Tangan Sakti diterima. Tetapi mereka ke-
mudian bertemu lagi tanpa membawa hasil yang diha-
rapkan. "Mungkin pemuda itu telah meninggalkan tempat
ini," kata si Tangan Sakti kemudian. Perasaannya jadi tidak enak sekarang.
Terutama karena tatapan empat
pasang mata yang sangat tajam ke arahnya.
Iblis Matahari yang mengenakan selendang war-
na merah menganggukkan kepala.
"Tak salah usul si Tangan Sakti. Kita mene-
ruskan mencari pemuda itu. Sekaligus membunuhnya
dan mendapatkan Pedang Batu Bintang."
Meskipun Iblis Angin menampakkan wajah gu-
sar, tapi akhirnya dianggukkan kepalanya juga. Tanpa
ucapkan suara, dia mendahului berkelebat. Yang lain-
nya pun menyusul meninggalkan tempat itu.
Di tempat persembunyiannya, Tirta mendesah
pendek. "Bukan urusan dengan manusia itu yang harus
kuhadapi sekarang, tetapi nasib Ayu Wulan. Siapa
orang yang telah membawanya?"
Lalu seperti sehelai kapas, Tirta turun dan hing-
gap di tanah. Matanya diedarkan kembali.
"Aku harus menemukan gadis itu lebih dulu.
Brengsek! Urusanku menunaikan tugas dari Guru un-
tuk menghentikan Iblis Kubur, rasanya bisa tertunda.
Padahal manusia iblis itu secara tak sengaja sudah
kuketahui. Baiknya kucari saja dulu gadis itu.".
Sebelum Tirta bergerak sepasang matanya me-
nangkap sebuah gerakan di atas pohon berjarak lima
tombak di hadapannya.
"Ada manusia iseng rupanya. Aku ingin tahu sia-
pa dia?" Tanpa buang waktu lagi, Tirta langsung melom-
pat ke atas pohon itu. Sebuah serangan hampir saja
terlepas namun tertahan begitu dikenalinya sosok di
atas pohon itu. Ayu!
Ayu Wulan yang tergolek lemah di sebuah dahan
bercabang menyunggingkan senyum. "Kang Tirta...."
Tirta buru-buru menurunkan Ayu Wulan dari
atas pohon. Ditatapnya wajah gadis yang masih pucat
itu dengan hati yang sudah tidak setegang tadi.
"Rupanya dia sudah siuman dan mendengar apa
yang akan terjadi. Dengan sisa-sisa tenaganya ten-
tunya dia melompat ke pohon itu. Ah, aku jadi merasa
bersalah sekarang," batin si Rajawali Emas. Lalu katanya dengan penuh prihatin
sambil mengusap wajah
Ayu, "Bagaimana keadaanmu, Ayu?"
Ayu tersenyum. "Sudah lebih baik dari tadi. Teta-
pi aku masih cukup lemah."
Tirta hanya menganggukkan kepala saja. Dan ba-
ru dilihatnya di tangan gadis itu tergenggam nasi
bungkus yang dibelinya untuk si gadis berbaju putih
bersih yang kini sudah agak kotor itu.
"Cerdik. Dalam waktu yang tipis, Ayu masih bisa
berlaku cerdik Untungnya dia membawa nasi, bungkus
itu. Bila tidak... tak mustahil si Tangan Sakti bisa menemukannya." Batin Tirta
tersenyum. Kemudian den-
gan suara lembut dia berkata, "Ayu... lebih baik kau
makan dulu nasi itu. Setelah tenagamu pulih, kita
tinggalkan tempat ini. Karena Lima Iblis Puncak Nera-
ka dan temannya yang berjuluk si Tangan Sakti telah
muncul di sini, berarti, urusan memang belum sele-
sai." Sambil makan Ayu Wulan bertanya, "Siapakah mereka, Kang Tirta?"
Segera Tirta menceritakan siapa orang-orang itu
dan urusan apa yang telah terjadi antaranya dengan
orang-orang berjuluk Lima Iblis Puncak Neraka.
"Jadi... Lima Iblis Puncak Neraka sebenarnya
memiliki dendam pada salah seorang guru" Dan kau
sesungguhnya mempunyai dua orang guru?"
"Benar! Aku mempunyai dua guru. Bahkan, aku
punya Eyang Guru."
Meskipun penasaran untuk mengetahui siapa
guru Tirta, Ayu Wulan hanya meneruskan makannya.
Dia yakin kalau Tirta punya alasan tersendiri mengapa
tak memberitahukan siapa kedua gurunya. Entah den-
gan Maksud apa Tirta menyembunyikan soal itu.
Masih bertengger senyumnya di bibir yang indah,
Ayu berkata, "Tentunya... kau juga tak akan memberitahukan siapakah Eyang Guru
yang kau maksud itu,
bukan?" "Suatu saat aku, akan memberitahukan nama
kedua guruku. Mengenai Eyang Guru, terus terang,
hingga hari ini aku belum pernah tahu bagaimana wa-
jahnya. Kau tentunya tidak percaya, bukan" Tetapi,
itulah kenyataannya."
Setelah gadis itu selesai menghabisi nasi bung-
kus yang dibeli Tirta di dusun Watu Ampar, Tirta pun
bertanya, "Sudah pulihkah tenagamu sekarang?"
Ayu Wulan menganggukkan kepala.
Tirta berkata lagi, "Kalau begitu... sekarang juga
kita tinggalkan tempat ini."
Perlahan Ayu Wulan berdiri. Tirta memegang tan-
gannya, "Biar lebih cepat, kau kubawa lari saja.
Namun belum lagi Tirta berlari sambil menarik
tangan Ayu Wulan, satu bentakan keras terdengar.
Menggebah ke sekeliling tempat, menggugurkan de-
daunan seketika, dan menerbangkan debu yang ada di
sana "Sontoloyo! Kurang ajar! Lepaskan gadis itu kalau tidak ingin mampus!"
*** Bab 5 Bersamaan bentakan itu terdengar, menyusul ke-
lebatan satu sosok tubuh laksana kilat. Gerakannya
luar biasa cepat. Karena, bentakannya masih terden-
gar namun orang yang membentak sudah berdiri da-
lam jarak tiga tindak di hadapan Tirta dan Ayu Wulan
dengan kaki dipentangkan dan mata menatap angker.
Keterkejutan akan bentakan itu yang segera jadi
kelegaan, dipecahkan oleh Ayu Wulan yang langsung
melepaskan tangannya dari genggaman Tirta. Lalu
menangkupkan kedua tangan di depan dada. Dari mu-
lutnya terdengar ucapan lembut bernada kaget.
"Guru...."
Orang yang baru muncul ternyata seorang lelaki
berusia kira-kira delapan puluh tahunan. Raut wajah-
nya tirus memanjang dengan dilapisi kerut merut dan
kulit yang amat tipis. Sepasang matanya lebar dan se-
perti melotot terus menerus. Rambutnya yang putih
panjang dikuncir ekor kuda. Tak memiliki jenggot na-
mun kumisnya putih panjang menjuntai melewati da-
gunya. Mengenakan pakaian warna putih yang sudah
sangat kusam sekali. Celananya hitam setinggi lutut.
Orang inilah yang namanya dua puluh tahun le-
wat cukup santer di rimba persilatan. Tak sedikit
orang yang lebih baik menghindar dari pada berurusan
dengan manusia satu ini. Dan tanpa diketahui siapa
pun juga, tokoh yang dikabarkan telah undur diri dari
dunia persilatan, kini mendadak mempunyai murid
dara jelita bernama Ayu Wulan yang masih menang-
kupkan kedua tangan di dada.
Orang ini pula yang membuat muridnya cemas
karena belum kembali beberapa bulan lalu.
Orang tua berjuluk Manusia Pemarah menen-
tangkan kedua mata ke arah Tirta.
"Bocah sontoloyo! Berani-beraninya kau berdua
duaan dengan muridku" Cepat tinggalkan tempat ini
sebelum kuhajar kau sampai tunggang-langgang!" bentak Manusia Pemarah dengan
suara menggelegar. De-
daunan lebih lipat ganda berguguran.
Tirta mencoba menenangkan diri. Dari seruan
Ayu Wulan tadi, si pemuda segera tahu siapa orang
yang datang. Dan manusia yang memang pada dasar-
nya selalu marah-marah ini sudah menimbulkan gela-
gat yang kurang baik, menandakan sesuatu yang ku-
rang enak akan terjadi. Makanya si Rajawali Emas
mencoba untuk tetap tenang. Namun belum lagi uca-
pan keluar dari mulutnya, tangan kanan orang tua
yang kurus itu berkelebat ke arahnya!
Wusss! Bersamaan gelombang angin dingin menghampiri
dengan menimbulkan suara yang memekakkan telinga,
terdengar jeritan tertahan dari Ayu Wulan.
"Guru!"
Meskipun gadis itu yakin pukulan yang dilaku-
kan oleh gurunya mengarah pada Tirta, namun dia tak
mau terkena pula sambaran angin dingin yang menge-
rikan itu. Karena dia tahu, bagaimana kehebatan gu-
runya. Buru-buru gadis itu cepat melompat ke samp-
ing kanan. Begitu pula yang dilakukan si pemuda dari Gu-
nung Rajawali. Tak mau tubuhnya jadi sasaran empuk
pukulan angin dahsyat yang dilepaskan orang tua ku-
rus berambut dikuncir ekor kuda, Tirta lentingkan tu-
buh ke samping dengan pencalan satu kaki.
Braakkk! Braakk! Braaakkk!
Terdengar suara keras tiga kali berturut-turut.
Tiga batang pohon besar di belakangnya patah dan ter-
lempar lima tombak ke belakang.
Mengkelap Tirta menerima serangan seperti itu.
Tetapi dia tetap berusaha tenang kalau tak ingin uru-
san bisa jadi panjang. Meskipun tadi dia berhasil
menghindari serangan tangan kanan si orang tua, na-
mun tak urung bulu kuduknya meremang. Karena
sambaran angin dahsyat itu membuat tubuhnya men-
jadi dingin membeku. Cepat segera dialirkan tenaga
dalamnya untuk menghilangkan hawa dingin yang ter-
jadi. Perlahan- lahan suhu tubuhnya normal kembali.
Lalu dengan suara tenang dia berkata.
"Orang tua... tak ada maksud apa-apa terhadap
muridmu itu. Kulakukan, karena kami memang harus
segera meninggalkan tempat ini sementara muridmu
baru saja sembuh dari luka dalam." Lalu menyusul
dumalannya dalam hati, "Enak saja main serang begi-tu! Dasar orang tua jelek
yang peot yang bau yang ko-
nyol dan yang sontoloyo! Ya... semuanya saja deh!"
"Orang muda sontoloyo! Berani lancang kau bica-
ra begitu terhadap Manusia Pemarah!" Orang tua yang
memiliki sifat selalu marah-marah itu membentak ke-
ras, dia sebenarnya cukup terkejut melihat bagaimana
pemuda berbaju keemasan itu menghindarkan seran-
gannya tadi. "apakah kedua mataku buta tak bisa melihat pikiran kotor di benakmu
itu"!"
"Brengsek juga orang tua ini! Bila melihat betapa dahsyatnya serangan angin
pukulannya tadi, aku yakin orang tua berjuluk Manusia Pemarah ini bukan
orang sembarangan! bikin kepalaku pusing!" lalu dengan menahan jengkelnya karena
dibentak tadi, Tirta
berkata, "apakah kau tak bisa menurunkan nada suaramu itu dan menghentikan
segala macam bentakan?"
"Keparat muda! kau cari mampus rupanya!". Ayu Wulan yang melihat gelagat tak
menguntungkan itu
segera berseru dengan mata melotot,
"Guru! apa-apaan sih kau ini?" serunya sambil menghentakkan kaki kanannya ke
tanah. "kalau mau


Rajawali Emas 04 Sumpah Iblis Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

marah-marah ya lihat-lihat dulu dong! main bentak sa-
ja! dan konyolnya, main serang begitu saja! keterla-
luan!" "Eh! kau juga sudah jadi lancang mulut ya"! apakah kau sudah jatuh cinta
pada pemuda sialan itu!
brengsek! kutu busuk! kutinggal baru beberapa bulan
saja kau sudah kelayapan ke mana-mana!" seru ma-
nusia pemarah dengan suara yang lebih keras.
"Guru!" sentak ayu wulan dengan wajah meme-
rah dia memang berani berkata seperti itu pada gu-
runya karena ia tahu, orang tua yang gemar marah ini
bukanlah orang berhati jahat. orang tua itu memang
sudah dari sananya memiliki sifat marah-marah seper-
ti itu. Kala tadi dia menyerang Tirta, mungkin karena
jengkel melihatnya berpegangan tangan. tapi biar ba-
gaimanapun juga, gurunya memang tukang marah.
"kenapa sih jadi marah-marah terus" tanya dulu kan
lebih baik, daripada harus main omel dan serang begi-
tu saja?" seru si gadis lagi.
Manusia pemarah melotot pada muridnya.
"Eh, berani-beraninya kau berkata begitu pada
gurumu, hah" Sialan! kalau ku tahu kau suka marah-
marah juga, tak akan ku didik kau menjadi muridku?"
Ayu wulan justru nampak makin berani. baginya
orang tua yang suka marah-marah itu adalah gurunya,
yang meskipun mulutnya suka mengomel bikin hati
sakit, tetapi ayu wulan tahu kalau orang tua itu sangat menyayanginya. Justru
Tirta yang kelihatan serba salah sekarang.
"Berabe nih. Murid dan guru sama-sama punya
sifat pemarah yang suka meledak-ledak! kacau, kacau!
apakah lebih baik kutinggalkan saja keduanya"
hmm... lebih baik memang begitu. Tugas dari guru un-
tuk menghentikan sepak terjang iblis kubur harus ku-
lakukan sekarang juga. tetapi baiknya, kutunggu saat
yang tepat sebelum meninggalkan tempat ini."
Didengarnya bentakan Ayu Wulan yang cukup
keras dengan melototkan kedua mata bagusnya pada
lelaki tua berambut di kuncir.
"Guru! pemuda itulah yang telah menyela-
matkanku dari maut yang ditimbulkan oleh manusia
aneh yang memiliki ilmu sangat tinggi! "seharusnya guru bertanya dulu! jadi
tidak main serang begitu sa-ja!" "Masa bodoh sekalipun dia menolongmu keluar
dari liang neraka! Pokoknya, dia harus mendapatkan
ganjaran! Kurang ajar main pegang-pegang muridku!"
seru Manusia Pemarah dengan suara yang tak kalah
kerasnya. Guru memang keras kepala!"
Manusia Pemarah melotot.
"Eh, kau sudah berani membentak ku, ya" Siapa
yang mengajarimu jadi pemarah seperti itu" Pemuda
itu ya" Kurang ajar! Ingin kupotek-potek tulangnya!"
"Guru sendiri yang mengajariku jadi pemarah se-
perti itu! Masih untung aku tahu kalau sifat itu jelek, makanya sebisanya aku
berusaha untuk tidak dituruni
sifat pemarah Guru!"
Kali ini Manusia Pemarah menghentikan benta-
kannya. Keningnya kelihatan berkerut aneh. Lalu den-
gan suara yang berat bentakan dan mata yang melotot
gusar lelaki tua itu membentak lagi, "Kalau begitu, apakah aku harus memotek-
motek tulangku sendiri"
Tidak usah ya Keenakan pemuda sialan itu! Hei, orang
muda! Siapa sih kau ini?"
Tirta yang masih memperhatikan antara murid di
guru yang sedang umbar bentakan itu tarik napas per-
lahan. "Aneh, baru kali ini kulihat ada orang yang suka
m rah-marah tak karuan. Meskipun kulihat sebenar-
nya orang tua itu kalah omongan dengan Ayu Wulan,
namun sikapnya masih tetap marah-marah walau se-
saat dia kelihatan terdiam tadi. Brengsek! Kenapa ha-
rus bertemu dengan orang tua ini?"
"Bocah gendeng! Apakah telingamu menjadi tuli,
Mendapati bentakan itu, Tirta cuma tersenyum saja.
"Telingaku tidak tuli, Kek. Usiaku masih muda."
"Setan muda! Siapa yang jadi kakekmu, hah"
Siapa pula yang bertanya tentang usiamu itu" Benar-
benar ingin kupotek-potek tulangnya."
"Makin membingungkan saja sifat aneh orang tua
sialan ini. Huh! Kalau saja aku tadi sempat tinggalkan tempat ini, tak ada
urusan yang memusingkan kepala
yang akan kuhadapi," desis si Rajawali Emas perlahan, lalu berseru, "Namaku
Tirta. Aku datang dari Gunung
Rajawali. Apa yang diceritakan muridmu itu, memang
benar adanya."
"Urusan benar atau tidak urusan belakangan!
Kau mau apa pegang-pegang tangan muridku" Dan
kau juga, Ayu... mau saja dipegang oleh pemuda sialan
itu! Dasar sudah kegatelan!"
"Guru!'! sentak Ayu dengan wajah memerah.
"Apa-apaan Guru omong begitu?"
Si orang tua tertawa, tetapi meskipun tertawa,
bentakannya tetap terdengar, "Mauku ngomong begitu, ya kulakukan! Kau mau apa,
hah"!"
"Brengsek! Mulut Guru kotor!"
Mendapati seruan muridnya, Manusia Pemarah
menjawab enteng, tetapi tetap dengan bentak yang ke-
ras "Kalau kotor, nanti ku cuci dulu!"
"Guru memang keras kepala! Aku pergi karena
mencari Guru! Tak biasanya Guru pergi lebih lama da-
ri biasanya. Lalu sekarang setelah bertemu, Guru ma-
sih juga marah-marah! Apa tidak keterlaluan, hah?"
"Masalah keterlaluan urusan belakangan! Pokok-
nya, aku berhak membentak-bentak mu! Kan aku gu-
rumu, Ayu?"
"Biar begitu, jangan main bentak saja! Apa Guru
pikir enak dibentak-bentak begitu!" sungut Ayu Wulan, makin mendongkol.
"Kurang ajar! Jangan-jangan kau yang pantas
menjadi guruku!" seru Manusia Pemarah dengan ber-
sungut-sungut. Lalu katanya sambil mengangkat ke-
pala ke arah! Tirta, "Hei, Tirta! Kalau memang apa yang dikatakan muridku dan
diperkuat oleh kau tadi
benar, siapa orang yang telah berbuat lancang pada
muridku?" Meskipun dari pertanyaan itu Tirta yakin Manu-
sia Pemarah sudah menurun amarahnya, tetap saja
dia menangkap suara yang penuh tekanan dan benta-
kan. Diceritakannya tentang Iblis Kubur yang telah
membuat Ayu Wulan jatuh pingsan dan dia menyela-
matkan gadis itu dari kematian, karena kematian yang
diturunkan Iblis Kubur juga diperuntukkan baginya.
Usai Tirta menutup kata-katanya, dilihatnya pe-
rubahan berulangkali pada wajah Manusia Pemarah.
Dan sekarang orang tua itu berjalan hilir mudik seperti tak ada kerjaan.
Tirta yang menangkap perubahan itu mendesis
"Hmmm... wajahnya berubah tegang, lalu mengendor
lagi dan tegang lagi. Mengapa jadi seperti ini" Apakah ada sesuatu tentang Iblis
Kubur yang diketahui oleh
orang tua berjuluk Manusia Pemarah ini?"
Kata-kata hati Tirta terputus bagai direnggut se-
tan ketika orang tua pemarah itu membentak, "Iblis Kubur! Rupanya sumpah manusia
laknat itu jadi kenyataan!" Lalu matanya melotot pada Tirta dan Ayu Wulan,
bergantian menatap dua muda-mudi itu. "Kalau kalian bicara ngaco, kupotek leher
kalian!" "Senang banget ngomong potek kau ini, Kek!
Memangnya ranting pohon main potek saja!" gerutu
Tirta. "Dengar kalian, Orang muda sialan!" bentak Manusia Pemarah "Terutama kau,
Ayu! Kepergianku kali ini memang tak kurencanakan, hingga tak kukatakan
ke mana aku pergi! lagi pula, apa urusannya dengan-
mu kalau aku pergi bertahun-tahun, hah?"
Wajah Ayu berubah cemberut mendengar kata-
kata gurunya. Tetapi dia tak heran kalau gurunya su-
ka membentak dan marah-marah seperti itu. Bahkan,
selama hidup bersama dengan Manusia Pemarah tak
sekali pun gadis manis itu pernah melihat gurunya
tersenyum! Kalau pun pernah, pasti tetap dalam kea-
daan membentak.
"Kalau aku tahu jawabannya begini, lebih baik
aku tak menyusulmu, Guru!"
"Itu bagus, Bocah gendeng! Daripada kau paca-
ran terus-menerus dengan pemuda itu"!"
"Siapa sih yang pacaran" Kan tadi sudah kuka-
takan, kalau dia menolongku" Guru ini bagaimana
sih?" balas Ayu Wulan melotot..
"Urusan kau katakan itu benar atau tidak, itu
urusan belakang! Yang penting sekarang. apakah kau
sudah pelajari jurus terakhir yang kuberikan?"
"Sudah!" sahut Ayu Wulan dengan mulut berbentuk kerucut. "Nah, kalau aku sudah
selesai mempela-jarinya, Guru mau apa?"
"Eh, kau membalikkan ucapanku, hah"!"
"Biarin!"
Sementara Tirta mendengus dalam hati, "Senang
benar orang tua ini menganggap apa-apa urusan bela-
kangan. Kalau kedua-duanya terus saling bentak se-
perti itu, kapan bicaranya Manusia Pemarah ini" Aku
yakin orang tua pemarah sepertinya tahu tentang Iblis Kubur. Baiknya, kupenggal
saja bentakan murid dan
guru ini. Lalu katanya sambil menatap Manusia Pema-
rah, "Orang tua... apa yang hendak kau katakan tadi?"
*** Bab 6 "Keparat! Lancang betul mulutmu memintaku
untuk bicara!" bentak Manusia Pemarah dengan mulut yang makin meruncing. Getaran
suaranya meng- goyangkan kumisnya.
" Ya ampun... kalau kubiarkan kau terus mene-
rus saling bentak dengan muridmu, urusan tak akan
selesai. Kuminta lebih dipercepat, kau marah-marah!
Aku curiga, sewaktu kecil kau pernah makan cabe sa-
tu keranjang kali, ya?" seru Tirta menahan dongkol.
"Bocah gendeng! Kutampar mencong mulutmu!"
balas Manusia Pemarah makin kalap.
"Iya, iya! Makanya ngomong biar kau tidak segera
menamparku!" dengus Tirta sebal. "Memangnya enak ditampar" Ngomong-ngomong, apa
kau mau kutampar,
Orang Tua" Rasanya enak, kok! Malah kau merasa
akan dielus oleh tangan perempuan genit!"
Wajah Manusia Pemarah menekuk, hingga ku-
misnya yang menjuntai panjang seperti makin pan-
jang. Di dalam dia membatin dalam hati, "Siapa sebenarnya pemuda ini" Cara dia
menghindari seranganku,
nampaknya dia berisi. Bukan isi sembarangan yang
dimilikinya. Jarang orang yang bisa menghindari se-
ranganku barusan. Kurang ajar! Sontoloyo! Kok aku
malah bertanya-tanya ada orang yang bisa menghinda-
ri pukulanku" Bukannya langsung kepruk biar dia ta-
hu rasa!" Sementara Tirta mendumal dalam hati mendapati
Manusia Pemarah belum juga buka mulut. Malah ke-
dua matanya menatap lebih tajam.
"Benar-benar aneh orang ini. Apakah semua to-
koh rimba persilatan memang suka berlaku aneh" Te-
tap aneh ya aneh! Manusia ini selain aneh juga pema-
rah. Pantas dia dijuluki Manusia Pemarah! Kenapa ti-
dak sekalian, Manusia Pemarah Yang Jelek Dan Bau
saja julukannya, ya?"
Ketika Tirta kembali menatap pada orang tua itu,
terdengar suara si orang tua, tetap dengan memben-
tak, "Berpuluh tahun yang lalu, hiduplah seorang lelaki yang gagah perkasa.
Kesaktiannya saat itu tiada
banding dan dia bernama Ki Sampurno Pamungkas
yang dijuluki Manusia Agung Setengah Dewa. Kesak-
tian yang dimiliki selalu dipergunakan di jalan kebajikan. Dan dia selalu
menumpas kejahatan yang terjadi.
Lalu muncul pula seorang lelaki muda yang tak
kalah hebatnya dengan Ki Sampurno Pamungkas, dia
bernama Mahisa Agni atau yang dikenal dengan juluk
Malaikat Dewa. Keduanya pernah bertanding bukan
semata untuk saling unjuk gigi, melainkan mencari ka-
ta sepakat untuk memerangi kejahatan yang terus me-
nerus terjadi. Hampir satu purnama pertarungan ke-
duanya berlangsung tanpa ada yang kalah dan me-
nang. Kesaktian keduanya setara satu sama lain dan
masing-masing segera mengikat tali persaudaraan.
Dan dua tokoh muda yang sakti itu pun berkela-
na menumpas kejahatan. Hingga karena satu hal dan
sampai sekarang aku tak pernah tahu masalah apa
keduanya berpisah. Mahisa Agni pergi ke arah barat
dan Sampurno Pamungkas ke arah timur. Nama besar
Mahisa Agni makin menjulang tinggi, begitu pula den-
gan Sampurno Pamungkas.
Dalam pengembaraannya Ki Sampurno Pamung-
kas, berhasil menaklukkan manusia laknat yang berju-
luk iblis Kubur dan manusia itu pun dikuburnya sete-
lah diberi peringatan agar dia sadar. Namun pada ke-
nyataannya tak sadar-sadar juga. Sebelum ajalnya,
manusia keparat itu bersumpah akan muncul lagi ke
dunia ramai Untuk menuntut balas pada Sampurno
Pamungkas seratus tahun mendatang. Sampurno Pa-
mungkas tak hiraukan soal itu. Dia tetap berkelana
untuk membasmi kejahatan.
Lima puluh tahun berlalu, dia berjumpa kembali
dengan Sepuh Mahisa Agni yang telah mengangkat
dua orang murid yang berjuluk Bidadari Hati Kejam
dan Raja Lihai Langit Bumi. Sementara Sampurno Pa-
mungkas memungut seorang murid. Tentang Iblis Ku-
bur diceritakan pula pada Mahisa Agni. Setelah per-
jumpaan itu, Ki Sampurno Pamungkas menceritakan
pula soal itu pada muridnya dan mengatakan pula ka-
lau Iblis Kubur akan bangkit bila ada orang yang telah mendapatkan Kitab
Pemanggil Mayat. Dan setelah menurunkan hampir seluruh ilmunya pada muridnya,
Sampurno Pamungkas menghilang dengan pesan agar


Rajawali Emas 04 Sumpah Iblis Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sang murid mengingat-ingat akan sumpah Iblis Kubur
dan Kitab Pemanggil Mayat, Berulangkali sang murid
mencoba menelusuri setiap jengkal tanah untuk men-
dapatkan Kitab Pemanggil Mayat. Sampai kemudian
sang murid mendengar tentang kitab itu yang kini di-
pegang oleh seorang wanita berparas muda namun be-
rusia tua. Orang itu berjuluk Dewi Karang Samudera.
Sang murid berusaha mencari wanita itu, namun sam-
pai hari ini belum bertemu juga. Dan mendengar cerita
kalian kalau Iblis Kubur telah bangkit, karena sesuai
dengan sumpahnya dan Dewi Karang Samudera lah
yang telah membantu pembangkitan nya. Secara tidak
langsung, Iblis Kubur berada di bawah kekuasaan De-
wi Karang Samudera...."
"Guru...," potong Ayu Wulan. "Kau tadi mengatakan kalau Eyang Sepuh Mahisa Agni
memiliki dua orang murid. Lantas, siapakah murid Ki Sampurno
Pamungkas?"
Orang tua pemarah itu melotot mendapati perta-
nyaan muridnya. "Main potong begitu saja! Tidak tahu sopan santun! Apakah gurumu
tidak pernah mengajarkan cara beradab!" bentaknya yang kemudian me-
nyusul bentakan lain, "Dasar si tua pikun yang bodoh.
Aku kan gurunya" Sialan! Kok menyalahi diri sendiri"!
Dasar Sontoloyo!"
Tirta yang menahan geli agar tidak tertawa men-
dengar ucapan Manusia Pemarah, segera berkata,
"Pertanyaan Ayu Wulan itu bisa dijawab dengan mudah. Murid Ki Sampurno Pamungkas
engkaulah adanya, Orang Tua."
Pelototan mata Manusia Pemarah makin nyalang
dan dialihkan ke arah Tirta,
"Bocah gendeng! Kalau aku belum memerintah-
kan untuk berucap, jangan lancang melakukannya!
Apakah gurumu tidak pernah mengajarkan sopan san-
tun" Eh apakah aku salah berucap" Sontoloyo! Kalau
kali ini aku, benar! Pemuda kurang ajar ini bukan mu-
ridku!" Tirta cuma mengangkat alisnya saja mendengar
bentakan itu. Lalu mencabut sebatang rumput dan
menghisap-hisapnya.
Ayu Wulan yang secara tak langsung mendapat
jawaban atas pertanyaannya tadi segera menatap gu-
runya dengan seksama.
"Guru... benarkah yang dikatakan, Kang Tirta?"
tanyanya pelan.
"Ini lagi! Murid keparat yang banyak tanya!" bentak Manusia Pemarah dengan mata
bertambah melo-
tot. Mulutnya makin meruncing hingga pipi kanan dan
kirinya bertambah cekung.
Ayu Wulan mendengus.
"Serba salah! Makin marah melulu, sih"!"
"Diam! Jangan merajuk seperti itu! Kujitak kepa-
lanya benjol sepuluh nanti! Ya, akulah murid dari Ki Sampurno Pamungkas.
Mendengar ucapan ngaco kalian, aku yakin... manusia keparat yang berjuluk Iblis
Kubur itu memang telah hidup kembali!"
Tirta berkata setelah menimbang-nimbang,
"Orang tua... Eyang Sepuh Mahisa Agni sahabat Ki Sampurno Pamungkas, adalah
Eyang ku. Atau aku
memanggilnya Eyang Guru."
"Bicara apa kau ini, hah"! Main mengaku-ngaku
sembarangan!!" bentak Manusia Pemarah dengan mata melotot garang. "Memang benar-
benar minta dipotek kepalamu, ya"!"
Tirta tidak mempedulikan pelototan dan benta-
kan itu. Baginya, mengatakan kalau Raja Lihai Langit
Bumi dan Bidadari Hati Kejam adalah gurunya pada
Manusia pemarah tak jadi soal. Lain halnya ketika Ayu
Wulan bertanya sebelumnya. Entah kenapa. Lalu den-
gan suara tenang Tirta berkata lagi.
"Pada kenyataannya, memang itulah yang terjadi.
Guruku, berjuluk Bidadari Hati Kejam dan Raja Lihai
Langit Bumi. Dari Raja Lihai Langit Bumi lah aku
mendapat tugas untuk hentikan sepak terjang Iblis
Kubur." Ayu Wulan mendesis dalam hati, "Hmmm... Guru
yang dimaksud Kang Tirta adalah Raja Lihai Langit
Bumi dan Bidadari Hati Kejam. Guruku sendiri pernah
menceritakan soal kedua tokoh itu, tetapi baru kali ini aku tahu kalau keduanya
adalah sahabat Guru. Karena, saat menceritakan dua tokoh tingkat tinggi itu,
Guru seolah sedang menceritakan orang lain. Tak ada
tanda-tanda kalau kedua tokoh itu sahabatnya."
"Hhhh!" Lelaki tua pemarah berambut putih panjang di kuncir, melipat kedua
tangannya di dada. Lalu
katanya sambil menatap sekujur tubuh Tirta, "Urusan benar atau tidaknya adalah
urusan belakangan. Tetapi, bila kulihat rajahan burung rajawali dan pedang di
punggungmu, aku bisa percaya bila kau mengaku
Eyang Sepuh Mahisa Agni adalah Eyang Gurumu. Ka-
rena, hanya seorang yang bisa membuat rajahan bu-
rung berwarna keemasan yang sangat sempurna dan
mirip dengan peliharaan Eyang Sepuh Mahisa Agni.
Bwana, burung rajawali raksasa berwarna keemasan.
Aku jadi curiga, jangan-jangan julukan si Rajawali
Emas yang akhir-akhir ini terdengar santer, tentunya
kau adanya. Melihat ciri pedangmu itu, aku yakin kau telah
mendapatkan Batu Bintang. Guruku pernah pula
menceritakan soal Batu Bintang kepadaku yang dimi-
liki Eyang Sepuh Mahisa Agni. Dan kudengar pula ka-
lau Bwana membawa Batu Bintang. Tetapi, aku bukan
orang serakah yang suka memperebutkan benda sakti.
Apalagi ku tahu kalau Bat u Bintang dulu dimiliki oleh Eyang Sepuh Mahisa Agni.
Makanya, aku tidak keluar
dari tempatku kecuali mencari Dewi Karang Samudera
untuk mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat dan ma-
nusia keparat yang berjuluk Iblis Kubur yang kini te-
lah bangkit kembali! Bocah gendeng, kau beruntung
sekali!" Meskipun lega mendapati ucapan orang, tetapi
hati Tirta jengkel juga dibentak seperti itu. Didengarnya lagi suara bernada
marah dan penuh bentakan
itu, "Di mana dua orang tua jelek sahabatku itu, hah?"
"Aku tidak tahu di mana kedua guruku berada.
Yang pasti, tugas dari Raja Lihai Langit Bumi harus
kujalankan!"
"Hebat! Setahuku Eyang Sepuh Mahisa Agni tak
pernah mengatakan soal Iblis Kubur pada kedua mu-
ridnya karena dia sudah berjanji pada guruku soal itu.
Kurang ajar! Sontoloyo! Bodohnya aku ini! Raja Lihai
Langit Bumi memiliki ilmu 'Peraba Sukma', sudah ten-
tu orang tua yang kalau bicara kayak perempuan ka-
rena lembutnya itu bisa tahu soal Iblis Kubur! Bagus!
Kau harus jalani tugas itu sebaik-baiknya, Bocah! Te-
tapi... apa yang kau bisa, hah"!"
Tirta hanya tersenyum.
"Kepandaianku tak sebetapa dibandingkan den-
gan yang lain. Tetapi tugas telah kuterima, berarti aku harus mengembannya
sampai tuntas."
"Luar biasa! Hebat sekali kata-katamu itu! Dan
rasanya... kau pantas berjodoh dengan muridku yang
pemarah ini! Sontoloyo! Kenapa aku harus jodohkan
muridku yang pemarah tapi cantik ini padamu yang
gemblung, ha"!"
Bukannya Tirta yang menyahut, Ayu Wulan yang
berteriak keras, "Guru! Apa-apaan Guru bicara barusan?" Meskipun sepasang mata
bagusnya melotot, tetapi jantungnya berpacu lebih cepat, Apalagi ketika
matanya melirik Tirta yang cuma senyam-senyum saja.
"Apakah pemuda itu senang juga mendengar ka-
ta-kata Guru?" batinnya ragu.
Manusia Pemarah justru lebih melotot lagi.
"Eh, kau mau membantah ucapanku, hah" Ku-
rang ajar! Pokoknya, aku mau melihat kalian berjodoh!
Biar nanti kukatakan semua ini pada Bidadari Hati Ke-
jam dan Raja Lihai Langit Bumi, kalau aku berkenan
menjodohkan muridku dengan muridnya itu! Tetapi
keenakan pemuda itu kalau langsung kau kuberikan
begitu saja padanya! Hhh!"
Tak! Entah bagaimana caranya, tahu-tahu kepala Tir-
ta di jitak oleh Manusia Pemarah. Kejap kemudian, le-
laki tua pemarah itu meneruskan kata, tetap dengan
nada membentak.
"Itu tandanya aku merestui mu jadi menantuku!"
Tirta mengusap-usap kepalanya yang barusan di
jitak. Bila saja tak segera dialirkan tenaga dalamnya,
tak mustahil kepalanya akan dihiasi dua buah benjol.
"Enak banget! Main jitak begitu saja!" sungutnya.
"Kurang ajar!" bentak Manusia Pemarah lalu menoleh pada muridnya.
"Apa"! Teriak lagi" Dasar centil! Sudah, sudah!
Kalian cepat tinggalkan tempat ini! Aku restui hubun-
gan kalian dan tidak mau mengganggu orang pacaran!
Membantah lagi, kutampar pipimu yang mulus "Itu bi-ar jadi bengkak dan pemuda
itu tidak mau denganmu!
Ayo, sana pergi! Aku juga akan cari manusia keparat
yang berjuluk Iblis Kubur! Hei, sana pergi!!"
Sebelum Ayu Wulan menyahut, Tirta lebih dulu
berkata, "Terima kasih atas perjumpaan dan keteran-ganmu, Orang Tua. Memang kita
harus berpisah seka-
rang. Karena masing-masing punya tugas dan kepen-
tingan yang berlainan. Dan..."
Wussss! Dengan mempergunakan ilmu peringan tubuh
yang dibantu oleh tenaga surya yang dimilikinya, Tirta sudah melesat.
Kelebatannya sangat luar biasa sekali.
Sulit ditangkap oleh mata. Tetapi meskipun demikian,
Manusia Pemarah berucap penuh dengan nada keter-
kejutan, "Hei!"
Lalu dia terbengong dengan mulut terbuka lebar
sementara Ayu Wulan melompat dua tindak seperti
menyusul Tirta. Tetapi urung karena pemuda tampan
dari Gunung Rajawali itu sudah tak nampak di depan
mata. Sesaat perasaan gadis itu menjadi tak menentu.
"Mengapa Kang Tirta meninggalkan ku begitu saja"
Bahkan... dia tak berpamitan lagi padaku?"
Sedangkan saat ini Manusia Pemarah sedang me-
longo melihat gerakan si pemuda yang mengingatkan-
nya pada sesuatu.
"Melihat gerakannya, aku yakin dia bukan hanya
memiliki ilmu peringan tubuh yang tinggi, tetapi juga
dia dibantu oleh sebuah tenaga panas luar biasa. Aku
juga pernah mendengar tentang Rumput Selaksa
Surya dari Guru. Bila ada orang yang berhasil menghi-
sap sari rumput itu, maka dia akan memiliki tenaga
dalam yang tinggi! Dengan panas luar biasa dan ilmu
peringan tubuh yang tinggi pula. Pantas tadi saat ter-
jadi bentrokan tubuhku terasa panas. Meskipun aku
bisa hentikan hawa panas. itu, tetapi si pemuda tadi
bisa membuang hawa panas itu. Jelas dia telah meng-
hisap sari Rumput Selaksa Surya!" Ketika Manusia
Pemarah menolehkan kepala ke kiri dan melihat mu-
ridnya sedang terbengong, segera dia membentak sen-
git, "Kenapa kau jadi murung seperti itu, hah" Ayo sa-na! Kalau kau suka pada
pemuda itu, susul dia!"
Ayu Wulan gelagapan. Untuk sejenak dia men-
jelma menjadi orang dungu. Bahkan seperti tidak tahu
harus berbuat apa.
"Guru...."
"Aku tahu kau menyukainya! Tadi saja kau
membelanya saat pemuda itu kumarahi! Kurang ajar!
Di depan gurunya masih tidak tahu malu juga bersi-
kap sialan seperti itu. Nah, mau apa lagi kau di sini"
Sudah pergi!" bentak Manusia Pemarah dengan tangan mengulap-ngulap cepat.
"Tetapi...."
"Urusan tetapi urusan belakangan! Minggat dari
sini" seru Manusia Pemarah dengan bentakan-
bentakan yang kasar dan bisa menyakitkan hati. Teta-
pi meskipun demikian, Ayu Wulan tahu sebenarnya
gurunya memiliki hati yang penuh kasih sayang. Kare-
na sifatnya yang pemarah itulah dia jadi suka mem-
bentak. Setelah menangkupkan kedua tangan di dada,
Ayu Wulan segera berkelebat meninggalkan tempat itu
tanpa berucap sepatah kata juga.
Sepeninggal muridnya, Manusia Pemarah ber-
sungut-sungut, "Cinta! Taik kucing dengan cinta! Bikin kepala pusing dan badan
kurus kering! Aku jadi teringat dengan Kunti Pelangi, si Bidadari Hati Kejam.,
Ah, sebenarnya aku mencintainya bahkan sampai sekarang aku mencintainya. Tetapi
dia keras kepala dan
suka membentak. Begitu pula denganku! Hubungan
akhirnya putus begitu saja! Meskipun demikian, kami
masih berteman! Ah, Kunti sialan! Kenapa bukan
hanya aku saja yang suka marah-marah" Brengsek!
Sontoloyo! Keparat! Tetapi... aku merindukanmu juga,
Kunti brengsek! Hhh! Soal cinta juga pernah meng-
ganggu Raja Lihai Langit Bumi! Memang sampai seka-
rang aku tak pernah tahu perempuan mana yang di-
cintainya hingga dia menolak cinta Cempaka! Padahal
gadis itu dulu sangat cantik luar biasa! Dasar cinta tak ubahnya taik kucing!"
Habis bersungut-sungut sendiri, orang tua pema-
rah itu celingukan. Lalu segera empos tubuh mening-
galkan tempat itu yang kembali didera sepi.
*** Bab 7 Sepak terjang Iblis Kubur yang sedang mencari
Sampurno Pamungkas, benar-benar mengerikan. Se-
panjang perjalanannya dia selalu menanyakan seseo-
rang yang dicarinya. Dan bila orang yang ditanya men-
jawab apa yang ingin diketahuinya, orang itu akan se-
gera menemui ajal dengan cara mengerikan. Kepala
terpecah, atau seluruh tubuh mengeluarkan darah.
Begitu pula bila dia bertanya di mana Gunung Tengger
berada.

Rajawali Emas 04 Sumpah Iblis Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemunculan Iblis Kubur yang selalu dipantau
oleh Dewi Karang Samudera pun makin menyeruak
santer. Sampai pula ke telinga dua anak manusia yang
berbeda jenis yang baru saja selesai memacu birahi di
sebuah gubuk kecil yang mereka temukan di sebuah
padang rumput. "Iblis Kubur. baru kali ini kudengar julukan aneh itu. Apa maksudnya mencari Ki
Sampurno Pamungkas" Orang tua muka kuning, tahukah kau siapa g
itu?" pertanyaan itu keluar dari mulut indah seorang perempuan. Tubuhnya yang
polos terbuka lebar saat di
duduk di balai-balai usang gubuk reyot itu.
"Masa bodoh dengan Iblis Kubur! Yang kuingin-
kan adalah kau, Dewi. Ayo, kita berpacu lagi dalam bi-
rahi! . Perempuan yang berwajah jelita itu mengelua-
rkan dengusan sebal. "Seharusnya aku tidak pernah bertemu lagi dengan manusia
jelek yang menjijikkan
ini. Meskipun dulu dia bekas kekasihku. Hhh! Aku
minta bantuannya untuk mendapatkan Pedang Batu
Bintang dari tangan si Rajawali Emas rupanya tak ba-
nyak membawa hasil. Justru ku korbankan lagi tu-
buhku untuk manusia keparat ini." Lalu sambil mengenakan pakaiannya yang terbuat
dari sutera perem-
puan bertubuh indah itu berkata, "Jangan buang wak-tu. Urusan masih panjang.
Iblis Kubur telah datang.
Aku ingin tahu siapa orang itu:"
Lelaki tua yang mukanya berwarna kuning itu
pun bangkit. Mengenakan celana hitamnya lagi, se-
mentara tubuhnya yang berkulit hitam tak mengena-
kan pakaian apa-apa hingga tonjolan tulang belulang-
nya sangat nampak.
"Kalau kau sudah bertemu dengan orang yang
berjuluk Iblis Kubur itu, kau mau apa?" usiknya pada si perempuan.
"Aku tidak tahu. Tetapi aku penasaran. Siapa Ki
Sampurno Pamungkas yang dicarinya dan mengapa
dia selalu menanyakan di mana Gunung Tengger bera-
da." Perempuan yang telah mengenakan kembali baju sutera yang indah sekali,
dengan belahan dada yang
rendah hingga memperlihatkan bongkahan buah dada
nya yang besar dan indah mendengus sebal. Dia turun
dari balai-balai itu, memperlihatkan belahan baju ba-
gian bawah hingga ke pangkal paha dan menampak-
kan kedua paha yang mulus menggiurkan. Wajahnya
yang jelita dan pertama kali sempat bikin kaget orang
muka kuning yang tadi berpacu birahi dengannya, di-
tutupi cadar dari sutera pula. Bila melihat ciri perempuan itu, dia tak lain
perempuan keji berjuluk Dewi
Kematian. Dan hanya seorang manusia yang berwajah Se-
mentara sekujur tubuhnya berkulit hitam. Siapa lagi
kalau bukan Manusia Mayat Muka Kuning.
Orang tua muka kuning itu pun turun menyusul
Dewi Kematian keluar dari gubuk. Malam menyergap
wajahnya yang seolah bersinar pucat tertimpa cahaya
bulan. Dia terkekeh-kekeh sambil meraba dada perem-
puan bercadar sutera di sisinya, "Mengapa kau mau tau soal Iblis Kubur. Lebih
baik kita pergunakan waktu untuk berpacu terus dalam birahi yang panjang, Dewi.
"Keparat! Aku memang harus segera meninggal-
kan manusia busuk ini." Habis mengumbar kata-kata jengkel di hatinya, Dewi
Kematian menatap lelaki yang
berdiri agak mencangkung di sampingnya seraya ber-
kata, "Aku penasaran, ada apa di balik semua ini. Ki Sampurno Pamungkas yang
dicari oleh Iblis Kubur. Tetapi, bukankah orang itu dikabarkan sudah mampus
karena usia lanjut". Namun sekarang, kalau orang
yang berjuluk Iblis Kubu mencarinya, tentunya orang
itu masih hidup. Ah, untuk membuktikan semua ini
aku akan mencari tahu mau ikut terserah, tidak pun
tidak jadi masalah."
Manusia Mayat Muka Kuning makin liar meraba
tubuh perempuan montok di sisinya.
"Jangan ucap kata yang tak enak didengar. Se-
lama tubuh masih berdiri dan birahi masih memacu,
tak akan kutinggalkan apa yang bisa kudapat. Aku
ikut bersamamu, Dewi. Lalu bagaimana dengan Pe-
dang Batu Bintang?" _
"Sampai hari ini, kita belum bertemu dengan si
Rajawali Emas. Mungkin untuk sementara, kita lupa-
kan soal Pedang Batu Bintang," sahut Dewi Kematian dan menepiskan tangan Manusia
Mayat Muka Kuning
dari dadanya. Tetapi orang tua muka kuning itu lagi-
lagi merabanya. Membuat Dewi Kematian menggeram
jengkel tetapi mendiamkan saja tangan kurus liar itu.
"Urusan Pedang Batu Bintang boleh ditinggalkan.
Aku juga harus cari dan membunuh Bidadari Hati Ke-
jam yang pernah mengalahkan sekaligus membikin ku
malu dalam pertarungan di Lembah Maut dulu."
"Bagus kalau begitu! Kita tinggalkan tempat ini!"
"Malam makin membentang, siap jelang sang fa-
jar. Apakah kita tidak kembali ke gubuk dulu?"
"Setan alas! Kalau tidak kubutuhkan tenaganya,
mana sudi aku melakukan semua ini." Perempuan
bercadar sutera yang memiliki dada besar dan montok
itu berkata setengah menggeram, "Keputusan cepat
kau ambil, " biar tak banyak waktu terbuang."
Manusia Mayat Muka Kuning bukannya menja-
wab, Justru menyusupkan kepala pada dada Dewi
Kematian yang menguarkan aroma harum merang-
sang. 'Tak akan lagi kutinggalkan tubuhmu ini. Dewi...
apakah kau belum juga memberitahuku tentang raha-
sia yang membuat wajah dan tubuhmu masih tetap
segar seperti dulu?" kata lelaki muka kuning itu dengan suara serak.
"Tidak!" sahut Dewi Kematian sambil mendorong kepala Manusia Mayat Muka Kuning
dari dadanya. Ki-ni si perempuan bercadar sutera tak mau banyak ca-
kap. Segera dikelebatkan tubuhnya mendahului Ma-
nusia Mayat Muka Kuning, yang terkekeh-kekeh hing-
ga wajahnya yang kurus berkulit tipis itu bagai masuk
keluar. Lalu dia pun segera menyusul perempuan ber-
cadar yang telah mendahuluinya, yang meninggalkan
aroma harum yang menyengat. Yang mengherankan
orang tua muka kuning itu, di saat dia menggeluti tu-
buh si perempuan bercadar yang tercium hanya bau
lembut tubuh perempuan itu saja. Tetapi bila dia su-
dah berpakaian, aroma harum yang menyengat, terasa
sampai jarak tiga puluh tombak.
Sepeninggal kedua tokoh aneh dari golongan se-
sat itu, satu sosok tubuh yang sejak tadi mencuri den-
gar sambil menahan napas dan mengerahkan seluruh
ilmu peringan tubuhnya, menarik napas lega begitu
menyadari keduanya telah berlalu.
"Iblis Kubur... manusia itukah yang diceritakan
oleh Dewi Karang Samudera kepadaku" Keparat! Uru-
san apa lagi ini" Hmm... kedua manusia sialan itu kini seakan tak lagi
menghiraukan soal Pedang Batu Bintang yang dimiliki oleh Tirta alias si Rajawali
Emas. Ini kesempatanku untuk merebut pedang itu. Tetapi, aku
juga penasaran untuk tahu soal Iblis. Kubur. Sepak
terjang telengasnya akhir-akhir ini memang masuk ke
gendang telingaku. Bahkan aku mendengar kalau dia
telah melakukan satu pembantaian pada penduduk
yang tinggal di lereng bukit Hatur Gawung. Gila! Siapakah orang itu?"
Dewi Karang Samudera memang tak mencerita-
kannya padaku. Hanya katakan soal Iblis Kubur.
Baiknya, kuikuti saja kedua manusia keparat itu! Pa-
dahal sebelumnya, aku bermaksud untuk membokong
keduanya tadi yang pernah pecundangi aku saat me-
reka berada dalam pacu birahi yang tinggi. Keterlenaan akan memudahkan untuk
menjatuhkan kedua manusia sialan itu. Terutama Dewi Kematian yang pernah
menginjak-injak harga diriku. Dan tak akan kule-
paskan nyawanya dari tanganku meskipun aku tahu
kesaktian yang dimiliki wanita jalang itu!"
Perempuan yang kini berdiri tegak, menarik na-
pas lagi. Mulutnya yang sejak tadi mendumal tak ka-
ruan nampak mengeluarkan cairan merah. Rupanya
perempuan itu sedang mengunyah susur.
Dari sinar mata kelabu yang masuk ke dalam itu
dan wajah penuh keriput dengan bibir warna merah
akibat susur yang masih dikunyah si perempuan tua,
membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa
ngeri. Bajunya hitam dengan rambut panjang sampai
ke pinggang. "Hhhh! Ratu Tengkorak Hitam tak akan mundur
diri sebelum membalas seluruh dendam dan menda-
patkan Pedang Batu Bintang!" serunya dingin.
Perempuan tua mengenakan baju hitam panjang
yang tak lain Ratu Tengkorak Hitam, menoleh ke sana
kemari seolah khawatir ada yang melihatnya.
Setelah beberapa saat berlalu dalam sunyi, Ratu
Tengkorak Hitam segera bekelebat ke arah Dewi Kema-
tian dan Manusia Mayat Muka Kuning pergi tadi.
Tempat itu benar-benar disergap kesunyian yang
dalam dan mencekam.
*** Tirta melotot ketika melihat pemandangan di ha-
dapannya. Cepat ditekap hidungnya karena bau busuk
yang menguap bisa membuatnya muntah. Tetapi sete-
lah dialirkan hawa murninya yang dipadu dengan se-
dikit tenaga surya dalam tubuhnya pada jalan perna-
fasannya, bau busuk itu menghilang begitu saja. Na-
mun pemandangan mengerikan di depan matanya tak
bisa disembunyikannya lagi, telah masuk dalam relung
ingatannya sekalipun dia berada di liang lahat.
"Setan keparat! Siapa yang melakukan pemban-
taian mengerikan ini?" desisnya mendapati puluhan mayat bergelimpangan dan
beberapa rumah yang ru-buh. Suasana sunyi mencekam. Desa Hatur Gawung
bagaikan mati. Dengan menahan geram di hatinya, Tirta meneliti
beberapa mayat yang ada di sana. Lagi-lagi terdengar
ucapannya. Sambil menindih kegeraman.
"Gila! Kurasakan tubuh mereka masih hangat.
Apa kah baru saja terjadi pembantaian" Dari seluruh
pori-pori di tubuh mereka, mengeluarkan darah. Ku-
rang ajar! Aku bisa menebak sekarang, semua ini pasti
dilakukan oleh Iblis Kubur! Karena, yang kulihat ini
pernah menimpa Ayu Wulan. Berarti, pembantaian ini
bisa satu, tiga atau empat hari yang lalu. Mengenai tubuh mereka yang masih
hangat, tentunya karena tena-
ga hawa panas yang dilepaskan Iblis Kubur masih te-
rasa. Apa salah mereka hingga diperlakukan seperti
ini?" Si Rajawali Emas menggeleng-geleng kepala dan rasanya tak sabar untuk
segera bertemu dengan Iblis
Kubur kembali dan menghentikan seluruh sepak ter-
jang manusia iblis itu
"Kalau memang yang dikatakan Manusia Pema-
rah tentang manusia setan itu mencari Ki Sampurno
Pamungkas benar, di manakah aku harus menemui
manusia setengah dewa yang ternyata sahabat dari
Eyang Sepuh Mahisa Agni itu" Mungkin Ki Sampurno
Pamungkas lah satu-satunya yang tahu tentang kele-
mahan Iblis Kubur karena dia pernah mengalahkan-
nya. Tetapi, aku pun tak peduli meskipun nyawaku
putus dari badan. Dan mengenai Kitab Pemanggil
Mayat yang dikatakan Manusia Pemarah, kitab apakah
itu" Siapa pula orang yang berjuluk Dewi Karang Sa-
mudera yang dikatakan memiliki kitab itu. Bikin kepa-
la pusing! Baiknya, ku kuburkan saja mayat-mayat ini
dulu sebelum dijadikan sasaran burung pemakan
bangkai. Tetapi... ini akan memakan waktu! Baiknya
kupanggil... oh, Tuhan! Bwana! Ya, bagaimana dengan
Bwana" Kalau memang semua ini perbuatan Iblis Ku-
bur, apakah Bwana selamat?"
Dengan rasa tegang Tirta menepukkan tangannya
liga kali. Dan di sela-sela tepukannya diangkat tan-
gannya ke atas. Cahaya merah berpendar di angkasa
tanda di mana dia berada hingga Bwana bisa mene-
mukannya. Cukup lama dia menunggu kedatangan Bwana.
Namun tak nampak burung raksasa keemasan yang
disayanginya itu.
"Ada apakah ini" Apakah dia terluka?" desisnya tegang.
Namun dua tarikan napas kemudian, terdengar
gemuruh angin dahsyat membedah angkasa, disusul
dengan koakan yang sangat keras sekali.
"Bwana...," desis Tirta yang sudah mendengar suara itu dari kejauhan.
Tak lama kemudian, burung rajawali yang besar-
nya empat kali gajah dewasa itu meluruk turun dan
hingga berjarak sepuluh tombak dari hadapannya. Ta-
nah beterbangan dan daun-daun berguguran saat
Bwana meluncur tadi.
Tanpa membuang waktu, Tirta cepat berkelebat
mendekati burung kesayangannya, "Apa kabarmu,
Bwana?" Dilihatnya sinar mata Bwana sangat lemah sekali
dan si Rajawali Emas terperanjat ketika mendengar
suara lirih Bwana, "Oh, Tuhan! Kau...."
Bergegas Tirta memeriksa kaki kiri Bwana. Bwa-
na mengeluarkan suara pelan.
"Koaak..."
Tirta yang mengerti arti setiap ucapan Bwana dan
sepertinya Bwana pun mengerti setiap ucapannya, se-
gera mengusap bulu halus yang besar di bagian sayap
kiri Bwana. "Tenanglah, Bwana... tenang.... Ya, ya... aku tahu tubuhmu sedang panas
sekarang. Itu akibat pukulan
Iblis Kubur tentunya." Bwana bersuara lagi.
Tirta melengak "Apa" Dari mulut Iblis Kubur ke-
luar asap seperti mata anak panah" Hmm... rupanya
kesaktian manusia iblis itu memang tinggi. Bwana, se-
karang kau tenanglah. Aku akan segera mengobati ka-
kimu yang melepuh ini. Kalau bukan kau, mungkin
dalam Waktu tiga hari kau sudah menemui ajal."
Dengan penuh kasih sayang Tirta mengusap ke-


Rajawali Emas 04 Sumpah Iblis Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua tangannya yang telah dialirkan tenaga surya yang
berpusat dari pusarnya. Setelah itu, perlahan-lahan di-tempelkannya kedua
tangannya pada kaki kiri Bwana
yang agak menghitam.
Bwana mengeluarkan suara lengkingan tinggi
dan mengepakkan sayapnya yang seketika timbul an-
gin bergemuruh dahsyat.
"Tahan, Bwana! Tahan! Rasa sakit yang kau ra-
sakan karena pengaruh tingginya tenaga panas dalam
tubuhmu akibat perbuatan Iblis Kubur yang bertemu
dengan tenaga surya yang kupancarkan. Bwana... jan-
gan bergerak-gerak aku sulit melakukannya!"
Meskipun masih mengeluarkan koakan yang ke-
ras dan menerbangkan debu-debu, Bwana bertahan.
Nampak tubuhnya bergetar. Sementara sekujur tubuh
Tirta perlahan-lahan mengeluarkan keringat yang
langsung mengering seketika dan tak keluar lagi. Dira-
sakan pula satu desakan panas yang berusaha masuk
ke tubuhnya yang segera ditahannya sekuat tenaga.
Cukup lama juga dia berusaha mengobati Bwana.
Sampai kemudian dirasakan desakan hawa panas
mencoba masuk ke tubuhnya perlahan-lahan melemah
dan hilang sama sekali. Dirasakan pula tubuh Bwana
sudah tidak setegang tadi, dan koakan yang keluar da-
ri mulutnya sangat dihafal oleh Tirta.
"Bagus kalau begitu... sekarang tinggal taraf pe-
nyembuhan, Bwana... Tak seberapa sakit, aku yakin
kau mampu mengatasinya."
Pekerjaan mengobati Bwana pun akhirnya sele-
sai. "Bagaimana, Bwana" Sudah sehatkah kau seka-
rang?" Bwana mengangguk-angguk dengan mata mem-
bulat cerah. "Bagus! Coba kau gerakkan kaki kirimu dan ra-
sakan.". Bwana melakukan perintah Tirta. Dan kembali
mengeluarkan suara.
"Bagus! Sekarang, bantu aku mengumpulkan
mayat-mayat ini, Bwana... sementara aku akan meng-
gali lubang!"
Pekerjaan menguburkan mayat yang berserakan
pun tak memakan waktu terlalu lama. Dalam lima be-
las tarikan napas saja, Bwana sudah selesai mengum-
pulkan mayat-mayat itu. Begitu pula Tirta yang meng-
gali lubang besar dengan bantuan Pedang Batu Bin-
tang. "Baru kali ini kulihat sebuah makam yang sangat besar dan tinggi.
Kebiadaban Iblis Kubur harus dihentikan Bwana, bawa aku untuk mencari manusia
kepa- rat itu. Bila mencari dari angkasa, mungkin akan lebih mudah menemukannya," kata
Tirta sambil menatap
gundukan besar itu.
Bwana mengangguk-anggukkan kepalanya. Tirta
menepuk sayap Bwana dan bersiap melompat naik ke
punggung Bwana.
Tetapi pemuda berajah burung rajawali berwarna
keemasan pada lengan kanan dan kirinya, justru ber-
seru, "Cepat tinggalkan tempat ini, Bwana! Ada yang datang!"
Apa yang didengar Tirta itu pun didengar pula
oleh Bwana. Seketika terdengar gemuruh angin yang
dahsyat dan tubuh Bwana pun mengangkasa kembali.
Sementara itu Tirta melesat ke batang sebuah pohon.
*** Bab 8 Sepuluh tarikan napas telah terlewati sejak Tirta
lompat ke balik pohon yang rimbun. Tak lama kemu-
dian dilihatnya tiga sosok tubuh yang berhenti di tem-
patnya tadi. Dua gadis jelita dan seorang pemuda tampan. Si
pemuda berucap, "Aneh! Mengapa tadi kudengar suara yang sangat keras sekali dan
tahu-tahu sekarang tidak
ada apa-apa di sini?"
"Kakang Wisnu... sudah kukatakan kalau aku
dan Nandari tak mendengar apa-apa. Mengapa kau
masih bersikeras juga, hah?" seru gadis yang mengenakan pita merah dengan sikap
mengejek. Wajahnya
bulat jelita dengan sepasang mata yang bagus. Menge-
nakan pakai merah yang sangat kontras dengan kulit-
nya yang kuning mulus. Di ikat pinggangnya yang
berwarna biru, terselip dua buah trisula. Dia melirik perempuan yang mengenakan
baju dan pita biru serta
ikat pinggang berwarna merah. Keduanya bukan sau-
dara kembar, tetapi wajah keduanya demikian mirip.
"Bagaimana denganmu, Nandari?"
Gadis yang wajahnya mirip dengan orang yang
bertanya menganggukkan kepala.
"Kau benar, Andini. Aku tidak mendengar apa-
apa Tetapi soal pendengaran, Kakang Wisnu lebih
tinggi dari kita," katanya dengan suara lembut.
Lelaki muda yang dipanggil Wisnu mendengus.
Dia berbaju putih yang terbuka di dada dan perli-
hatkan dada bidang. Rambutnya panjang tergerai. Di
punggungnya terdapat sebilah pedang.
"Tak mungkin aku salah mendengar. Teriakan itu
seperti teriakan seekor rajawali!" serunya ngotot.
Andini yang mempunyai sifat riang, berlainan
dengan Nandari yang memiliki sifat lembut tertawa re-
nyah, "Jangan mengigau kau, Kang Wisnu. Kalau me-
mang yang kau katakan itu burung rajawali, mana ada
burung rajawali yang suaranya bisa kau dengar dari
jarak tiga puluh tombak. Kalau Guru, aku tak me-
nyangsikan lagi."
Wajah tampan Wisnu mendengus. "Sudah, su-
dah! Mulutmu memang keterlaluan, Andini! Lebih baik
kita teruskan perjalanan. Sudah cukup lama kita men-
cari jejak Dewi Karang Samudera yang memiliki Kitab
Pemanggil Mayat. Sesuai dengan pesan Guru, setelah
enam bulan kita pergi, kita harus kembali ke tempat
asal dengan atau tanpa membawa Kitab Pemanggil
Mayat." "Hei, Kang! Apakah kau tidak dengar kalau Iblis
Kubur sudah muncul?" suara Andini bertanya dengan nada mengejek. "Jangan-jangan
berita santer itu kau tidak dengar, tetapi suara burung rajawali yang kau
maksudkan itu sampai ke telingamu. Benar-benar
aneh." Tahu kalau sedang diledek, Wisnu mendengus.
Dia Juga sudah mendengar kabar tentang munculnya
Iblis Kubur. Manusia sesat yang pernah diceritakan
oleh guru mereka. Kedua gadis jelita yang berbeda sifat itu adalah adik-adik
seperguruannya.
Nandari yang menjawab, "Sudahlah, Andini. tak
usah mengejek Kang Wisnu terus menerus. Mungkin
saja dia memang mendengar tentang burung rajawali
itu." "Dan dia tak mendengar tentang Iblis Kubur, bukan?" kata Andini sambil
melirik Wisnu dengan se-
nyuman di bibir.
"Dia juga sudah tahu soal itu. Tetapi kita juga
harus ingat pesan Guru. Setelah enam bulan kita me-
ninggalkannya, kita harus kembali ke Pesanggrahan
Mestika." Kali ini wajah riang Andini tertekuk Lalu dengan
bersungut-sungut dia berkata, "Iya, iya! Kau selalu membelanya terus! Aku
mengerti, kok. Mengerti sekali!" Wajah Nandari memerah.
"Apa maksudmu, Andini?"
"Nah, pura-pura lagi! Sudahlah, sekarang apa
yang bisa kalian katakan tentang gundukan tanah di
hadapan kita itu" Apakah ada sesuatu di dalamnya,
ataukah memang sudah ada tanah seperti itu" Tetapi
nampaknya tidak mungkin kalau tanah itu ada di sana
begitu saja. Meskipun tempat ini sepi, tetapi melihat rumah-rumah yang ada di
sini, nampaknya dulu ber-penduduk. Jadi apa yang bisa kita katakan tentang ini.
Waduh! Pantas kalian diam saja, rupanya asyik saling
pandang, ya?"
Wajah kedua muda-mudi itu memerah mendapati
ucapan Andini. Lalu keduanya terburu-buru menatap
gundukan tanah yang dikatakan gadis berbaju merah
itu tadi "Nah, coba kalian katakan.... Tanah apa itu" Ka-
lau dugaanku, melihat tanah itu masih baru, rasanya
seperti kuburan. Tetapi mayat apa yang dikubur di sa-
na kalau sebesar itu kuburannya?"
Ketiganya berjalan mendekati gundukan tanah
yang tadi dibuat oleh Tirta untuk menguburkan
mayat-mayat para penduduk akibat pembantaian yang
dilakukan oleh Iblis Kubur.
"Kau benar, Andini. Sepertinya... sebuah kubu-
ran," kata Wisnu sambil memegang tanah di hadapannya.
'Tetapi, kuburan siapa" Atau kuburan apa" Apa-
kah ada raksasa yang mati dan dikuburkan di sini"
Lalu... ke mana orang-orang di sini?"
Tak ada yang bersuara. Angin berhembus dingin.
Menerbangkan beberapa dedaunan.
Kesunyian itu dipecahkan oleh suara renyah An-
dini, "Sudahlah! Ayo kita segera menuju Pesanggrahan Mestika! Buat apa sih
pikir-pikir soal itu" Cuma bikin pusing kepala saja!"
Andini berjalan mendahului, sementara Nandari
melirik Wisnu yang sedang menatapnya sambil terse-
nyum. Gadis lembut berbaju biru itu segera tertunduk
dengan kedua pipi yang tiba-tiba merona.
Wisnu berkata lembut, "Apakah kita masih akan
berada di sini, Nandari?"
Nandari berusaha menahan gemuruh hatinya.
Lalu katanya tanpa mengangkat kepalanya pada Wis-
nu, "Tidak. Kita harus mentaati pesan Guru."
"Dan aku juga tidak mau kalau gadis ceriwis itu
menggodaku lagi. Meskipun... sebenarnya aku sangat
senang mendengar kata-katanya tadi."
Makin merona wajah Nandari mendengar kata-
kata Wisnu. Terutama, kata-kata terakhir pemuda
yang diam-diam telah merenggut cintanya.
"Ah, Kang Wisnu ini...."
Wajah Wisnu berubah. Lalu katanya bagai terda-
pat duri di tenggorokan, "Apakah kau... tidak suka mendengar kata-kata Andini
tadi?" Nandari tak menjawab. Bahkan dia justru keliha-
Bloon Cari Jodoh 24 Pendekar Bayangan Sukma 11 Pertarungan Di Gunung Tengkorak Pendekar Remaja 10
^