Pencarian

Sumpah Iblis Kubur 3

Rajawali Emas 04 Sumpah Iblis Kubur Bagian 3


tan lebih gelisah. Mana mungkin dia menjawab perta-
nyaan Wisnu barusan" Wisnu menarik napas pendek
mendapati gadis itu hanya terdiam.
"Lupakan pertanyaan konyolku itu. Sebaiknya,
kita susul si ceriwis itu."
Belum lagi keduanya bergerak menyusul Andini,
tiba-tiba terdengar teriakan gadis nakal itu, "Orang keparat! Mau apa kau
halangi langkahku, hah"!"
Wisnu dan Nandari saling berpandangan sesaat
Lalu seperti disepakati, keduanya segera berkelebat ke arah Andini.
Sementara itu, di balik batang pohon, Tirta men-
gerutkan keningnya. 'Apa yang terjadi" Teriakan gadis
itu menandakan tidak main-main" Hmmm... sebaiknya
aku segera melihat apa yang terjadi!"
*** Berjarak lima belas tombak dari tempat semula.
Wisnu dan Nandari melihat Andini sedang berhadap
dengan seorang lelaki tua yang sepertinya memang
sengaja menghalangi langkahnya.
"Hei, orang jelek! Minggir! Mau apa kau mengha-
langi langkahku ini, hah"!"seruan Andini terdengar lantang. Orangnya bertolak
pinggang dengan mata melotot. Orang yang berdiri di hadapan ketiga murid dari
Pesanggrahan Mestika itu tersenyum aneh. Berpakaian
compang-camping dengan sebuah tongkat kusam di
tangannya. Rambutnya putih kusut dan wajah cedok
ke dalam. Saat berbicara, orang itu tak menatap ke
arah Wisnu, Andini dan Nandari.
"Kalau aku mau berdiri di sini, ada urusan apa
dengan kalian" Bila kalian ingin meneruskan langkah,
silakan lewat jalan lain."
"Setan alas!" maki Andini geram. Dia hampir saja tak bisa menahan marahnya bila
saja tak segera didengar seruan Wisnu yang tahu situasi yang tidak
enak. Selain bersifat ceriwis, Andini juga penasaran.
Bisa berabe kalau gadis itu dibiarkan berbicara.
"Orang tua... maafkan sikap adikku barusan. Dia
tak bermaksud membentakmu seperti itu. Bila kau tak
mau menyingkir dari sana, biarlah kami mengalah un-
tuk mengambil jalan lain," kata Wisnu yang memang tak mau cari urusan.
Orang tua compang-camping itu mengeluarkan
suara tawa yang tak enak didengar. Lalu masih tanpa
menoleh ke arah ketiganya, dia berkata, "Hmm... bila ku cium bau yang menguap,
aku yakin ada dua orang
gadis di sini. Ah, telah lama diri ini tak nikmati kehan-gatan tubuh seorang
wanita. Aku akan menyingkir dari
sini, bila salah seorang wanita yang ada bersamamu
bersedia menemaniku. Siluman Buta."
Mendidih darah di tubuh Wisnu mendapati uca-
pan orang. Dan diam-diam matanya menatap tak ber-
kedip pada lelaki tua berpakaian compang-camping
yang pernah didengarnya julukan itu.
Tirta yang sudah bersembunyi di atas sebuah
pohon di balik rimbunnya semak mendumal, "Siluman But! Kurang ajar juga manusia
jelek satu-ini! Apa dia
tidak tahu kalau wajahnya lebih mengerikan dari kun-
tilan telat buang hajat" Tetapi... he he he... manusia jelek itu kan buta. Mana
dia tahu" Pikirnya wajahnya
mirip seorang pangeran barangkali. Pangeran kentut!"
"Siluman Buta... urusan tak perlu diperpanjang
karena kami tak ingin mencari masalah. Lebih baik
kami berputar arah," kata Wisnu masih berusaha ber-sabar.
Kekehan yang sejak tadi terdengar dari mulut ke-
riput Siluman Buta mendadak terputus bagai direng-
gut paksa. Kepalanya mengarah pada ketiga murid Pe-
sanggrahan Mestika. Mata celongnya yang seluruhnya
berwarna putih pucat bergerak liar.
"Aku menginginkan salah seorang gadis dari ka-
lian!" Usai kata-katanya, tubuh Siluman Buta berkelebat laksana kilat.
Wusss! Tongkatnya bergerak ke arah Andini, yang den-
gan cepat membuang tubuh ke samping dan siap me-
lancarkan satu jotosan. Namun....
Tuk! Tuk! Tongkat kusam yang dipegangnya, tiba-tiba saja
sudah menotok urat darah di bawah ketiak kiri Andini
dan urat jalan suaranya. Andini mengeluarkan kelu-
han tertahan. Dan dalam keadaan lemah dirasakan
tubuhnya dibopong dan berputar dua kali: Rupanya
Siluman Buta telah membopong tubuh Andini, dan
membawanya berputar.
Wisnu terkesiap melihatnya. "Astaga! Tak mung-
kin Andini bisa ditaklukkan begitu mudah. Kepan-
daiannya tak jauh berbeda denganku. Jelas kalau ma-
nusia buta ini ilmunya sangat tinggi. Aku harus berha-
ti-hati. Tetapi kalau sampai Andini diperlakukan ma-
cam-macam, aku akan mengadu jiwa dengannya!"
Sementara itu Nandari yang biasanya selalu sa-
bar, untuk bisa menahan sabarnya lagi melihat sauda-
ranya itu ditaklukkan oleh orang tua yang berdiri di
hadapannya. Dia langsung meloloskan sepasang trisu-
lanya, mengeluarkan gerengan keras dia menerjang ke
arah Siluman Buta.
Wuuut! Wuuutt! Siluman Buta menelengkan kepala sedikit. Ber-
samaan dengan sepasang trisula Nandari mencari sa-
saran, digerakkan tangan kanannya yang memegang
tongkat. Wuuut! Trak! Trak! Gedoran Nandari tertahan. Bahkan tubuhnya ter-
jajar tiga tombak ke belakang.
Wisnu terkesiap melihat apa yang terjadi. Dia ta-
hu yang dilakukan oleh Nandari barusan bukan jurus
sembarangan. Namun hanya satu gebrak saja Nandari
sudah dibuat terhuyung.
Tak mau buang waktu, apalagi melihat gadis
yang diam-diam dicintainya itu dihajar, Wisnu segera berkelebat sambil
meloloskan pedangnya. Bukan buatan jurus pedang yang dilakukannya. Setiap kali
diki- baskan pedangnya, angin setajam sembilu menyam-
bar. Belum lagi tajamnya pedang bila mengenai sasa-
ran. Masih dengan membopong Andini yang lunglai,
Siluman Buta mengeluarkan dengusan kemarahan
dan melompat sambil menggerakkan tongkatnya. Bila
saja Wisnu tak sigap, tak pelak lagi lehernya akan jadi sasaran tongkat yang
mengeluarkan gebahan angin
dahsyat itu. Nandari pun turun membantu.
Serangan keduanya benar-benar mematikan. Ge-
rakan keduanya tak ubahnya angin belaka diiringi
dengan kibasan senjata di tangan. Dan senjata di tan-
gan muda-mudi itu tak ubahnya hanya dua bayangan
belaka yang berkelebat.
Akan tetapi....
Wuttt! Dalam dua jurus berikutnya, tubuh Wisnu ter-
sungkur ke belakang terkena gedoran tongkat Siluman
Buta yang keras. Sementara Nandari bergulingan keti-
ka kaki kurus manusia itu menghantam punggungnya.
Orang tua buta itu tak meneruskan serangannya
Justru dia berkata dingin, "Bila merasakan gerakan kalian, aku seperti mengenai
gerakan dasar itu. Apa
salah bila kukatakan kalian adalah murid-murid ma-
nusia buntal yang berjuluk Dewa Bumi?"
Wisnu yang berlutut sambil memegangi dadanya
menggeram, "Orang yang kau maksudkan adalah Guru
kami! Bagusnya, kau bisa mengenali jurus yang kami
lakukan tadi. Dan tentunya kau tahu, kalau itu hanya-
lah Jurus dasar belaka!"
Siluman Buta terkekeh-kekeh, masih dengan
membopong tubuh lunglai Andini yang hanya bisa me-
lotot saja. Sungguh, gadis itu tak menyangka sama se-
kali, kalau Siluman Buta melakukan gerakan demikian
cepat ke arahnya.
"Hhmmm... bagus! Ingin kulihat apakah kalian
telah menyerap seluruh ilmu Dewa Bumi"!"
"Tutup mulut kurang ajarmu itu!" bentak Wisnu dengan kemarahan yang makin naik
ke ubun-ubun. Pemuda yang mulai kalap langsung menerjang tanpa
memperdulikan rasa sakit pada dadanya.
Pedangnya kali ini berputar dahsyat, menimbul-
kan gemuruh angin yang luar biasa. Di tangan kirinya
mendadak nampak cahaya warna merah yang sangat
terang. Dan lagi-lagi, Siluman Buta seolah tahu apa
yang dilakukan oleh Wisnu.
"Pukulan 'Sinar Dewa'! Hhh! Kudengar manusia
buntal itu juga sangat hebat dalam pukulannya yang
satu ini! Aku ingin merasakannya!"
Lalu dengan gerakan yang sangat aneh, orang
tua buta yang masih membopong tubuh Andini itu
bergerak cepat. Tongkatnya diputar berkali-kali hingga menimbulkan angin yang
tak kalah dahsyatnya dari
yang dilakukan oleh Wisnu.
*** Bab 9 TRAK! TRAK! Dua kali benturan terjadi. Rupanya kali ini Wisnu
sudah melipat gandakan tenaga dalamnya, dia hanya
terhuyung sesaat lalu susulkan serangan dengan tan-
gan kirinya. Angin lembut dari tangan kirinya mende-
ru. Seperti tak terasa apa-apa.
Keinginannya untuk membalas perlakukan Silu-
man Buta sangat nampak pada wajahnya yang mem-
besi. Tetapi detik kemudian, justru dia yang mem-
buang tubuhnya ke kanan!
Duaaarrr! Angin lembut yang berasal dari pukulan 'Sinar
Dewa' sungguh mengerikan akibatnya, melabrak ru-
mah kosong yang ada di sana. Rumah itu berantakan
seketika. Beberapa bagian terpental jauh. Rupanya
manusia buta itu dengan liciknya membelokkan gera-
kannya, lalu memutar tubuh hingga yang kini ada di
hadapan Wisnu adalah tubuh Andini!
Itulah sebabnya Wisnu urung melakukan puku-
lan karena tak ingin gadis ceriwis yang kini dalam keadaan tak berdaya yang
justru terhantam.
"He he he... mengapa harus kau hentikan puku-
lan mu itu, hah" Apakah kau sudah tidak punya nyali
lagi untuk menghadapiku" Sungguh aneh! Kupikir be-
gitu dahsyat pukulan 'Sinar Dewa' tetapi rupanya
hanya pukulan seorang pengecut yang tak berani me-
lancarkan pukulan!"
Makin mengkelap Wisnu mendengar ejekan yang
ingat menyakitkan hatinya.
"Manusia buta licik! Turunkan saudaraku itu! Ki-
ta bertarung sampai mampus!"
"Mengapa harus repot-repot menuruti perintah
sialanmu itu, hah" Bukankah ini sebuah permainan
yang mengasyikkan" Tetapi... sayang bila waktuku ku-
buang sekarang. Lebih baik kunikmati saja gadis yang
montok ini!"
Habis kata-katanya, Siluman Buta melesat ke be-
lakang dan siap meninggalkan tempat itu. Namun de-
sir angin yang lembut mendadak tertangkap telin-
ganya, mengarah kebagian punggung dan membuat-
nya berputar dua kali ke belakang.
"Keparat!"
Rupanya Nandari juga sudah mempergunakan
pukulan 'Sinar Dewa' yang lembut namun mengerikan
itu. Kembali terdengar suara ledakan yang keras dan
sebuah rumah kosong jadi sasaran pukulan yang kali
ini dilepaskan oleh gadis berbaju biru dengan ikat
pinggang warna merah itu.
"Lepaskan saudaraku itu!" menggelegar suara
Nandari sambil pentangkan kedua kakinya. Matanya
menatap Siluman Buta tanpa berkedip sekali pun. Wa-
jahnya agak memerah karena marah yang menggigit.
Biar bagaimana sabarnya gadis jelita itu namun
melihat nasib saudaranya yang seperti telur diujung
tanduk, kegarangan yang selama ini tersimpan bisa
tersulut bangkit. Merayap naik dan menggumpal jadi
satu kemarahan tinggi.
"Rupanya kalian tak melihat gelagat! Baik! ingin
kurasakan kehebatan pukulan 'Sinar Dewa'!" bentak Siluman Buta. Lalu dengan
sikap geram, dilemparnya
tubuh Andini yang terguling seperti nangka busuk "Silahkan!"
Nandari melirik Wisnu yang sudah memasukkan
pedangnya ke warangkanya. Wisnu menganggukkan
kepala. Kedua murid dari Pesanggrahan Mestika itu
pun segera menarik napas, lalu mengalirkan pukulan
'Sinar Dewa' yang dahsyat itu.
Sinar merah menyala menggidikkan terpancar
dari kedua telapak tangan mereka. Dan bagai disepa-
kati, keduanya langsung menerjang dengan teriakan
yang sangat keras. Dan anehnya, angin yang keluar
begitu lembut. Seolah tak terasa.
"Heaaaa!"
Bersamaan. dengan dua tubuh yang meluncur
dan siap menghantamkan pukulan 'Sinar Dewa', orang
tua buta itu segera memutar tongkatnya..
Angin seperti topan menghantam pantai terjadi
Menderu-deru dengan dahsyat. Bukan hanya daun-
daun dan tanah yang beterbangan, beberapa rumah
pun berderak dan terbang dibawa pusaran angin dah-
syat itu. Tubuh Wisnu dan Nandari pun terbawa sebelum
keduanya sempat menurunkan pukulan maut mereka.
Brak! Brak! Tubuh keduanya menghantam dinding sebuah
rumah dan terpental lagi ke depan. Darah mengalir da-


Rajawali Emas 04 Sumpah Iblis Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ri mulut keduanya. Namun mereka sudah siap untuk
menyabung nyawa. Tanpa menghiraukan keadaan
yang mulai terasa menyiksa, keduanya mengalirkan
tenaga dalam untuk menahan pusaran angin dahsyat
tadi. Lalu meluncur kembali meskipun agak tertahan.
Keempat buah pukulan langsung dikirimkan kedua-
nya. Cahaya terang menghampar, gelombang angin
lembut masuk dalam pusaran angin yang semakin la-
ma bertambah dingin.
Dan terdengar suara dentuman dahsyat.
Blaaaarr! Tanah di hadapan mereka rengkah, membuyar-
kan tanah sedalam setengah depa ke udara yang seke-
tika menghalangi pandangan. Ketika kepulan debu itu
luruh, nampak tubuh keduanya terhuyung ke bela-
kang dengan seluruh tulang terasa linu. Sementara Si-
luman Buta memegangi dadanya dengan tangan kiri.
Darah mengalir dari mulutnya.
"Luar biasa! Pukulan 'Sinar Dewa' ternyata begitu hebat. Dipergunakan oleh kedua
muda-mudi ini saja
sudah sedemikian tangguh. Apa lagi bila Dewa Bumi
yang melakukan. Urusan memang harus diselesaikan.
Keduanya harus kukirim ke neraka biar tak jadi uru-
san!" Habis membatin seperti itu, dengan gerengan yang luar biasa dahsyat,
Siluman Buta melesat ke depan. Tongkat kusamnya siap dihantamkan pada Wisnu
dan Nandari yang tak kuasa lagi untuk bangkit. Kare-
na dirasakan seluruh tulang penyangga tubuh mereka
seperti patah. Tetapi mendadak... |
Des! Des..! Satu bayangan melesat dari arah kiri dan mema-
pas tongkat kusam Siluman Buta. Bahkan, orang itu
masih sempat menghantamkan pukulannya ke dada
lelaki buta yang mengeluarkan pekikan tertahan seke-
tika tubuhnya terhuyung ke belakang.
"Setan alas! Siapa kau, hah?" bentak Siluman Buta sambil menahan dadanya yang
bertambah nyeri.
Di sela bentakan Siluman Buta, dua pekikan ter-
dengar, "Guru!"
Orang yang memapaki sekaligus mengirim puku-
lan pada Siluman Buta, berputar di udara dua kali.
Lalu hinggap di tanah dan berdiri dengan tegak. Agak
lucu saat dia berdiri. Manusia itu seperti tak memiliki
kepala kaki dan tangan. Tak ubahnya mirip bola bela-
ka. Dan tingginya, hanya sepundak Nandari!
"Dunia rupanya sudah mau kiamat! Orang ba-
nyak bertindak murtad! Apakah Siluman Buta akan
turunkan tangan keparat?" suara sosok buntal yang mengenakan kalung sangat besar
di lehernya itu terdengar berayun-ayun. Pakaian batik yang terbuka di
dadanya, entah karena tak bisa dikancing akibat kebe-
saran perut atau memang karena tak punya pakaian
lagi, menampakkan bongkahan dadanya tak ubahnya
dada seorang wanita. Di tangan kanannya terdapat
sebuah cangklong yang sangat besar. Tak mengelua-
rkan asap apa-apa. Tetapi ke-tika dihisapnya, menge-
pul asap yang wangi dari mulutnya!
Siluman Buta berdiri tegak perlahan setelah
mengalirkan tenaga dalam dan mengusapkan tangan-
nya pada mulutnya yang mengeluarkan darah. Kepa-
lanya ditelengkan. Cuping hidung dan telinganya ber-
gerak-gerak mirip tikus mendapat makanan.
"Hmmm... bau wangi asap dari pipa tak berasap
dan gerakan meluncur seperti bola itu siapa lagi yang
memilikinya kalau bukan Dewa Bumi"!"
Orang buntal yang berjuluk Dewa Bumi mengisap
cangklong nya yang tak ada apinya. Namun ketika di-
hembuskan, lagi-lagi ada asap yang keluar dari mulut-
nya. "Kau sudah kenal siapa yang ada di hadapanmu.
Lebih baik minggat. Sebelum nyawa merat ke akhirat!"
"Enteng bacotmu bicara, Manusia buntal!"
"Pandang langit setinggi mata memandang. Tatap
dasar bumi dengan nurani. Kalau tak tahu tingginya
langit dan dalamnya bumi, silakan tegak berdiri dan
siap untuk mati!"
"Setan! Aku akan tinggalkan tempat ini bila mu-
rid-murid keparatmu menunjukkan di mana Kitab Pe-
manggil Mayat!" maki Siluman Buta meradang.
Wisnu dan Nandari yang kini duduk bersila sete-
lah bersemadi sejenak tadi, baru menyadari apa yang
diinginkan oleh orang tua buta itu sebenarnya.
Wisnu mendesis dalam hati, "Kitab Pemanggil
Mayat. Aneh! Dari mana manusia itu tahu soal Kitab
Pemanggil Mayat. Dan mengapa dia seperti yakin kalau
kitab itu berada di tangan kami" Padahal tidak sama
sekali." Dewa Bumi mengangguk-anggukkan kepalanya,
yang seolah tak memiliki leher saking tebalnya.
"Hanya gara-gara Kitab Pemanggil Mayat, hamper
saja nyawa merat. Dasar manusia keparat! Kalau ingin
tahu, silakan tanya pada muridku."
Sebelum Siluman Buta mengeluarkan suara,
Wisnu yang kini telah berdiri tegak berkata, "Soal Kitab Pemanggil Mayat bukan
urusan kami! Tugas dari Guru
memang harus kami emban! Tetapi jangankan menda-
patkan Kitab Pemanggil Mayat, pemiliknya saja tidak
pernah kami temui!"
"Jangan dusta!" maki Siluman Buta keras.
Dewa Bumi mengangkat tangan kirinya tanda
agar Wisnu jangan bersuara lagi. Lalu sambil menghi-
sap cangklong nya yang tak dibakar, namun ketika di-
hembuskan melalui mulut nampak asap putih dan
wangi, dia berkata dengan suara yang terayun-ayun,
"Muridku telah jawab pertanyaan, silakan tinggalkan tempat!" ,|
"Aku memang hanya mendengar kehebatan ma-
nusia buntal ini. Tetapi, serangan dari dua muridnya
tadi sudah menunjukkan siapa diri orang buntal berju-
luk Dewa Bumi ini. Tubuhku belum pulih sekarang,
apalagi aku baru saja sembuh akibat serangan Manu-
sia Mayat Muka Kuning dan Dewi Kematian. Urusan
bisa jadi kapir bila aku tak segera tinggalkan tempat!"
Habis membatin begitu, dengan suara keras Siluman
Buta berkata, "Untuk saat ini aku mengalah tak mendapatkan petunjuk siapa yang
memiliki Kitab Pemang-
gil Mayat! Tetapi, jangan harap urusan sudah selesai.
Lain kali, kita bertemu lagi!"
Lalu dengan gerakan yang masih menunjukkan
kelasnya, Siluman Buta meninggalkan tempat itu. De-
wa Bumi hanya mengangguk-anggukkan kepala saja,
lalu menoleh pada kedua muridnya.
"Bagaimana keadaan kalian?"
'Kami... tidak apa-apa, Guru," sahut Wisnu.
"Kau, Nandari?"
"Aku juga tidak apa-apa, Guru," sahut Nandari dengan suara yang kembali lembut.
Kegarangannya hilang sama sekali. .
"Bagus! Aku yakin, kalian belum menemukan di
mana Dewi Karang Samudera berada. bukan" Tetapi
rasa nya, tak perlu lagi kalian cari manusia itu, karena Iblis Kubur telah
bangkit. Dan perempuan berbaju hijau tipis itu yang telah membangkitkan,
tentunya telah menguasai Iblis Kubur. Rimba persilatan akan makin
kacau setelah terjadi kegegeran tentang Batu Bintang."
"Maafkan kami, Guru. Tadi kami bermaksud un-
tuk. kembali ke Pesanggrahan Mestika," kata Wisnu.
"Tak usah dipikirkan, karena akan jadi masalah.
Lebih baik didiamkan, biar semuanya lenyap begitu sa-
ja. Tetapi sekarang, kalian tak perlu kembali ke Pe-
sanggrahan Mestika. Kalian harus mencari Dewi Ka-
rang Samudera. Karena teror Iblis Kubur berada di
bawah tangannya."
"Guru hendak ke mana sekarang?"
"Kutinggalkan Pesanggrahan Mestika karena aku
tahu kalian tak menemukan orang yang ku maksud.
Sekarang aku ingin mencari sahabat jelekku yang suka
marah-marah dan berjuluk Manusia Pemarah. Dialah
yang tahu teka-teki tentang Iblis Kubur. Hhmmm... di
mana Andini berada?"
Bagai disentak setan, kedua muda-mudi itu me-
lengak. Baru mereka ingat di mana Andini. Keduanya
berkelebat ke sana-sini mencari gadis manis namun
ceriwis itu. Wajah keduanya sama-sama tegang.
Mereka kembali lagi menghadap Dewa Bumi tan-
pa hasil. Tanpa diucapkan kata, Dewa Bumi tahu apa
yang terjadi. "Urusan Andini, ku embankan pada kalian. Cari
saudara kalian itu. Sekarang aku akan meninggalkan
tempat untuk cari Manusia Pemarah," kata Dewa Bumi dengan nada berayun tanpa
rasa cemas akan hilangnya Andini.
Setelah itu, dengan tangan kiri berada di bela-
kang dan mulut menghisap cangklong besar tanpa api
itu namun mengeluarkan asap dari mulutnya, dia me-
langkah pelan. Gerakannya sangat lucu, karena ping-
gulnya bagai melenggak-lenggok.
Nandari menatap Wisnu.
"Kakang... ke mana kita hams cari Andini?"
Wisnu usap wajahnya, lalu menggelengkan kepa-
lanya perlahan. Wajahnya agak tegang pula.
"Aku tidak tahu. Tetapi..."
"Kenapa, Kakang?" potong Nandari tak sabar. Pa-da saat-saat mencemaskan seperti
ini, seluruh kelem-
butan yang dimiliki Nandari seolah menguap.
"Apakah Siluman Buta telah membawanya" Bu-
kankah dia tadi melempar Andini saat kita serang?"
Nandari terdiam begitu saja. Lalu katanya men-
gutarakan apa yang dipikirkannya, "Kalau memang Siluman Buta membawa Andini,
mengapa Guru diam
saja?" Sulit menjawab pertanyaan Nandari barusan
hingga Wisnu hanya menggelengkan kepala. Tetap. ke-
jap kemudian, keduanya segera berkelebat ke arah Si-
luman Buta berlalu. Keduanya yakin, saat berlalu tadi
Siluman Buta masih sempat menyambar Andini dan
membawanya pergi.
*** Bab 10 Ke mana andini pergi"
Selagi terjadi bentrokan hebat antara Siluman
Buta dengan Wisnu dan Nandari, si Rajawali Emas me-
lihat keadaan justru tidak menguntungkan bagi Andini
yang dilempar begitu saja oleh manusia buta yang ber-
baju compang-camping itu. karena, setiap kali orang-
orang itu melepaskan pukulan, nyawa gadis berbaju
merah dengan ikat pinggang biru yang tak bisa berge-
rak dan mengeluarkan suara itu bisa terancam.
Dengan kecepatan luar biasa, Tirta melesat dan
segera menyambar tubuh Andini. oleh mata yang
memperhatikan, sudah tentu hanya bisa melihat
bayangan keemasan saja. apalagi saat itu Siluman Bu-
ta sedang bertarung dengan Wisnu dan Nandari, hing-
ga mereka tak sadar kalau satu sosok tubuh yang se-
jak tadi memperhatikan orang-orang itu berkelebat dan
menyambar Andini.
Dengan gerakan sangat terlatih dalam waktu
singkat Tirta sudah berada di sebuah hutan kecil yang
terdapat tak jauh dari tempat di mana dua murid pe-
sanggrahan mestika sedang bertarung dengan Siluman
Buta. Andini yang merasa tubuhnya disambar tadi, se-
gera melihat siapa orang yang menolongnya. seorang
pemuda tampan berbaju keemasan dengan ikat kepala
berwarna sama. sempat pula dilihatnya sebilah pedang
berwarangka keemasan dan rajahan burung rajawali di
lengan kanan dan kiri si pemuda.
"kalau pemuda ini bermaksud jahat, aku bisa ce-
laka!" pikir si gadis. "pokoknya, sebisanya aku akan menyerangnya!"
Meskipun dia cukup terkejut mendapati ternyata
si pemuda membebaskan totokannya. namun karena
berpikir kalau pemuda itu adalah orang jahat, Andini
yang tubuhnya terjingkat tadi, segera melepaskan satu
pukulan. Wuuuttt!! Dalam jarak yang pendek, sebenarnya sulit bagi
orang yang diserang secara mendadak seperti itu. begi-
tu pula halnya dengan Tirta. namun kesigapan yang
ada pada dirinya, segera menekuk tangan kanan, me-
nahan pukulan Andini.
Bukkk! Tirta surut dua tindak. sementara Andini merasa
tangannya bagai menghantam batu gunung! tangan-
nya yang ngilu segera dialirkan tenaga dalam. Sesaat
kemudian dia sudah berdiri dengan tatapan nyalang.
"siapa kau"!" serunya keras. Tirta hanya tersenyum sa-ja. "aku bisa mengerti
mengapa gadis ini makin beran-gasan saja" kejadian yang dialaminya sebelum ini
ten- tunya membuat hatinya tidak tenang dan sulit percaya
pada siapa saja." Lalu katanya, "maafkan aku, nona.
aku hanya bermaksud menolongmu."
Sekalipun mendapati jawaban seperti itu, andini
tidak mau percaya begitu saja.
"Banyak orang jahat yang bermulut manis. Apa
aku harus percaya begitu saja?" geramnya dengan tatapan tajam.
Tirta mendumal dalam hati mendengar kata-ka
pedas itu. "Wah, kalau ku tahu begini, ku diamkan sa-ja tadi. Tetapi... mana
tega sih melihat gadis cantik ini tadi tidak berdaya?" Lalu katanya, "Kalau mau
marah boleh saja. Tetapi jangan main bentak dan pukul begitu saja dong!"
Andini menatap tajam. Diam-diam dia berkata
dalam hati, "Meskipun untuk saat ini aku belum bisa percaya padanya, tetapi
melihat caranya menangkis
pukulanku jelas dia bukan pemuda sembarangan."
Selagi gadis itu membatin, Tirta berkata, "Andini kita jangan banyak membuang
waktu untuk urusan
konyol macam ini. Lebih baik, kita melihat pertarun-
gan antara kedua saudaramu dengan Siluman Buta.


Rajawali Emas 04 Sumpah Iblis Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tahu kehebatan orang tua buta itu. Bukan ber-
maksud untuk mengecilkan kedua saudaramu, tetapi
aku yakin mereka bukanlah tandingan Siluman Buta,
yang termasuk salah satu tokoh sesat tingkat tinggi."
Wajah jelita gadis ceriwis itu mengerut ketika
mendapati pemuda di hadapannya mengetahui na-
manya "Hmmm... bisa jadi sebenarnya pemuda ini telah mengikuti ku bersama Kang
Wisnu dan Nandari.
Entah dari mana." Lalu katanya setelah menimbang
kata-kata Tirta "Usulmu boleh juga. Aku pun tak sabar untuk membalas perlakuan
busuk Siluman Buta. Tetapi ingat, aku belum percaya begitu saja dengan orang
yang baru kukenal meskipun orang itu telah menolongku."
Untuk saat ini, Tirta mengiyakan saja dari pada
terlambat membantu Wisnu dan Nandari yang diyaki-
ninya tak akan mampu menghadapi Siluman Buta.
Tetapi sebelum mereka menggerakkan langkah
mendadak saja, lima sosok tubuh telah bermunculan
dari balik pohon yang ada di sana. Mengurung kedua-
nya yang segera bersiaga dengan tatapan angker.
"Lima Iblis Puncak Neraka dan si Tangan Sakti,"
desis Tirta perlahan. "Ah, sulit bagiku untuk mengetahui bagaimana pertarungan
yang terjadi antara Wisnu
dan Nandari menghadapi Siluman Buta sekarang. Ma-
nusia-manusia keparat ini tak akan begitu saja mem-
biarkan aku lolos.
Orang-orang yang baru muncul itu memang Lima
Iblis Puncak Neraka yang kini tinggal empat orang ber-
sama kambrat mereka yang berjuluk si Tangan Sakti.
"Lama dicari untuk bayar hutang, kini bertemu
juga akhirnya," kata Iblis Angin dengan wajah membesi. "Rajawali Emas, kali ini
kau tak akan bisa mengalahkan kami lagi!"
"O ya?" sahut Tirta ringan. Seolah tak ada masalah yang mengganggu, dia mencabut
sebatang rumput
dan mulai dihisap-hisap sarinya. Iblis Angin... apa kau pikir dengan membawa
ondel-ondel itu kau bisa unjuk
gigi sekarang" Sayang... kenapa tidak sekali kau bawa
orang-orangan sawah, sih?"
Makin membesi Iblis Angin yang penuh sejuta
dendam. Sementara diam-diam Andini melirik Tirta.
"Pemuda inikah yang akhir-akhir ini diributkan
oleh orang-orang rimba persilatan dan berjuluk si Ra-
jawali Emas" Brengsek! Aku jadi malu sendiri sekarang. Kutahu si Rajawali Emas
berada dalam jalan lu-
rus. Memang tak tahu malu kau, Andini! Main serang
saja tadi tak tahu siapa orang di hadapan!" batin gadis itu mengomeli dirinya
sendiri. Terdengar bentakan si Tangan Sakti begitu men-
dengar ejekan Tirta, "Aku ingin tahu sampai di mana kehebatan si Rajawali Emas
yang digembar-gemborkan
itu!" "Wah, bagus sekali itu! Ayo, maju sini! Biar wajah mu makin kubikin
jelek!" seru Tirta sambil tertawa.
Bukannya si Tangan Sakti yang menderu, me-
lainkan Iblis Tanah yang tak mau buang waktu lagi.
Kematian saudara mereka si Iblis Air di tangan si Ra-
jawali Emas, masih tergambar jelas dalam benaknya.
Gerengan keras terdengar, dikawal angin dahsyat
menghampar ke arah Tirta.
Wussss! Pemuda tampan dari Gunung Rajawali itu terke-
siap sejenak, lalu buang tubuh ke kiri. Sambaran an-
gin itu hantam dua buah pohon yang langsung tum-
bang. Makin geram Iblis Tanah mendapati serangannya
mudah dihindari orang. Menindih rasa amarah yang
tinggi, mendadak saja dia bergulingan dan bagai see-
kor ular melata di tanah dengan gerakan cepat.
"Edan!" maki Tirta sambil mengangkat kedua ka-ki, lalu berputar.
Jurus yang diperlihatkan Iblis Tanah memang
aneh. Dia selalu menyongsor tanah saat melakukan
serangan. Bahkan saat tangannya ditepukkan pada
tanah, tanah itu bergetar hebat. Muncrat setinggi se-
tengah tombak. Bukan hanya Tirta saja yang mengalami soal itu,
yang hadir di sana pun merasakan getarannya.
Tirta mendengus mendapati serangan orang ce-
pat dia mundur bila tak ingin matanya terkena hampa-
ran tanah. Dengan menindih rasa geramnya, dia men-
desis, "Tak bisa aku untuk segera melihat pertarungan
antara Siluman Buta melawan dua murid Pesanggra-
han Mestika itu. Aku harus bergerak cepat bila tak in-
gin terlambat."
Memikir sampai di sana, Tirta langsung mem-
buang tubuh ketika Iblis Tanah melancarkan gebrakan
lagi. Sebatang pohon yang terhantam pukulan lelaki
berjubah hitam dengan selempang kain warna merah
itu, patah dan tumbang dengan menimbulkan suara
bergemuruh. Bertambah garang Iblis Tanah melihat serangan-
nya lagi-lagi bisa dihindari lawan. Tangannya yang
bergerak makin dahsyat. Tiga saudaranya dan si Tan-
gan Sakti menyunggingkan senyum melihat si Rajawali
Emas dibuat kalang kabut oleh Iblis Tanah. Sementara
itu Andini bersiaga dan matanya tak berkesip mem-
perhatikan bagaimana cara pemuda tampan yang di
punggungnya terdapat sebuah pedang berhulukan se-
buah bintang dan di atas hulunya terdapat dua buah
kepala rajawali berlawanan arah.
Tirta sendiri lama kelamaan menjadi jengkel me-
lihat Iblis Tanah terus memburunya dengan jurus-
jurus anehnya. Apalagi saat ini dia harus memburu
waktu. Maka, pemuda dari Gunung Rajawali yang diju-
luki si Rajawali Emas itu tak mau bertindak tanggung.
Tubuhnya menghindar ke sana kemari dengan
lincahnya. Begitu dia melihat kesempatan, langsung
dihajarnya Iblis Tanah dengan salah satu jurus rajawa-
li yang diajarkan Bwana. "Sentakan Ekor Pecahkan Gunung".
Desss! Iblis Tanah terpekik. Seketika tubuhnya terjajar
ke belakang. Dia sama sekali tak menyangka kalau ba-
gian tubuh yang menurutnya telah rapat terlindungi,
masih bisa dihantam. Dan dirasakan tulang iganya se-
perti patah. Mendapati saudaranya dihajar seperti itu, Iblis
Angin memberi aba-aba tinggi Bersamaan dengan Iblis
Matahari dan Iblis Bulan, mereka menerjang berulang
kali ke arah Tirta. Sadar kalau lawan bukan orang
sembarangan, masing-masing segera mengeluarkan
segenap kemampuan. Begitu pula si Tangan Sakti yang
sudah sejak tadi gatal tangannya tetapi didahului oleh Iblis Tanah. .
Tirta menggeram, "Kutu busuk-kutu busuk ini je-
las akan membuang waktuku! Lebih baik kusuruh An-
dini saja untuk melihat keadaan pertarungan dua sau-
dara seperguruannya dengan Siluman Buta, karena
manusia-manusia ini sepertinya tak menghiraukan
dia!" Memikir seperti itu sambil mempergunakan jurus menghindar 'Rajawali Putar
Bumi' Tirta bergerak cepat, melompat, berputar, meliuk ke arah Andini dan
berseru "Kau lihat keadaan saudara-saudaramu, Andini!"
Andini yang kini sadar siapa pemuda yang telah
menolongnya namun sempat diserangnya tadi berseru,
"Bagaimana dengan kau, Kang Tirta?"
"Tidak usah kau pikir! Cepat pergi ke sana! Aku
bisa mengurus manusia-manusia ini!"
Lalu dengan sengaja Tirta bergerak di hadapan
Andini, semata memberikan kesempatan pada gadis
itu untuk menjalankan perintahnya dan mengurung-
kan niat orang-orang yang menyerangnya untuk me-
nahan langkah Andini.
Menghadapi gempuran empat orang beringas itu
memang membutuhkan kecerdikan. Apalagi ketika Ib-
lis Tanah yang sudah pulih dadanya akibat gedoran
Tirta tadi, turun membantu pula. Keadaan itu makin
menyulitkan Tirta untuk menghindar. Bahkan untuk
mengirimkan serangan balasan dia tak melihat ada ce-
lah yang bisa dipergunakan. Meskipun demikian, Tirta
tetap bermaksud untuk menghajar orang-orang itu.
Segera dikerahkan tenaga surya dari pusar yang
dialirkan ke seluruh tubuhnya. Begitu tubuh Iblis Ma-
tahari yang saat menyerang mengeluarkan panas ting-
gi menderu ke arahnya, Tirta melesat pula. Meliukkan
tubuh menghindari jotosan Iblis Matahari dan mengi-
rimkan satu jotosan balasan. Bukk! "Aaakhhh!"
Tenaga surya yang dilepaskan Tirta membuat Ib-
lis Matahari kelojotan hebat. Dirasakan panas yang
luar biasa pada sekujur tubuhnya. Dan sialnya, tu-
buhnya pun mengandung hawa panas pula. Maka tan-
pa ampun lagi, tubuh manusia satu ini pun seolah ter-
bakar dengan lolongan yang semakin menggetarkan
hutan kecil itu. Detik kemudian tubuhnya tak bergerak
dengan keluarkan bau sangit!
Melihat Iblis Matahari tewas secara mengerikan,
Iblis Angin dan yang lainnya menggeram. Mereka me-
nyerang semakin membabi buta. Kekalapan mereka
nampaknya justru mencelakakan mereka sendiri. Ka-
rena serangan yang dilancarkan jadi tak terangkai dan
kacau-balau. Tirta dengan mudah akhirnya bisa mendikte la-
wan. Pukulan mengandung tenaga surya pun meng-
hantam Iblis Bulan dan Iblis Tanah. Kedua manusia
itu pun kelonjotan dan mendapatkan giliran merasa-
kan panas bak api neraka. Iblis Tanah yang memang
dalam keadaan terluka lebih dulu putus nyawa dengan
tubuh hangus, menyusul Iblis Bulan dalam keadaan
yang sama. Meskipun rasa tegang sudah melanda Iblis Angin
namun manusia itu tak mau mengalah juga. Dia terus
menyerbu dengan dahsyat sambil berteriak-teriak ke-
ras. "Heran!.. apakah kalian ingin menyusul saudara saudara kalian itu" Yah....
Kalau begitu boleh saja kalian beli tiketnya kepadaku."
Iblis Angin benar-benar tak mempedulikan soal
dirinya. Dia terus menghantam ke arah Tirta. Tirta
menghindar sambil menggeleng-gelengkan kepala. Si
Tangan Sakti rupanya lebih mengerti gelagat yang tak
menguntungkan. Semula dia sesumbar untuk menga-
lahkan si Rajawali Emas, namun sekarang, kedua ma-
ta besarnya benar-benar terbuka menyadari siapa pe-
muda yang berjuluk si Rajawali Emas ini.
Dengan gerakan yang cepat, si Tangan Sakti me-
nyambar tangan Iblis Angin yang meronta-ronta minta
dilepaskan. Tirta tertawa geli sambil mencabut seba-
tang rumput dan menghisap-hisapnya.
"Heran! Kok kalian jadi main tarik-tarikan begi-
tu" Iiih, kalau orang tidak mau jangan dipaksa kena-
pa" Nanti sakit!"
"Biar kubunuh pemuda keparat itu! Biarkan
aku!" sentak Iblis Angin dengan kegusaran tinggi.
"Jangan bodoh!" maki si Tangan Sakti. "Kita berlima saja bukan tandingannya,
apalagi bila sekarang
kita berdua. Kita hanya cari mampus!"
"Peduli setan! Manusia laknat itu harus menebus
nyawa saudara-saudaraku!!"
"Memangnya jahitan main tebus!" balas Tirta
sambil tertawa. Lalu dia menyambung dalam hati,
"Hmmm... mereka pernah menyerangku dengan se-
buah pukulan dahsyat waktu itu. Pukulan yang telah
mereka persiapkan untuk membalas dendam pada
Guru. Kalaupun mereka tak mempergunakannya seka-
rang, mungkin karena Iblis Air sudah mampus. Atau...
mereka tak punya kesempatan" Itu barangkali, lho?"
Si Tangan Sakti yang berpikir lebih jernih lagi
benar-benar tahu kalau gelagat benar-benar tak men-
guntungkan. Dia muak melihat sikap Iblis Angin yang
dungu seperti itu. Lalu tanpa banyak cakap, dipukul-
nya leher Iblis Angin hingga lelaki kalap itu jatuh pingsan yang segera
dibopongnya. Wajah angker dengan
sepasang mata besar dingin itu menatap Tirta. Sepa-
sang matanya terbuka lebar. Menahan gejolak hebat
dalam dadanya, lelaki berparas serba besar itu bersua-
ra parau, dingin dan penuh ancaman.
"Rajawali Emas.... Jangan kau pikir urusan ku
berhenti sampai di sini. Suatu saat, kami akan kembali lagi untuk membuat
perhitungan?"
Tirta cuma mengangkat bahunya saja.
"Terserah! Kapan kalian mau boleh saja!"
Dengan membawa sakit hati yang dalam dan tub
Iblis Angin dalam bopongannya, si Tangan Sakti berke-
lebat meninggalkan tempat itu, meninggalkan Tirta
yang mendesah. "Ah, manusia-manusia yang cari penyakit. Den-
dam Lima Iblis Puncak Neraka pada Guru mungkin
sudah saatnya kutuntaskan saat ini. Tetapi ancaman
si Tangan Sakti tak bisa dianggap enteng. Hmmm...
baiknya kususul dini sekarang!"
Begitu tiba kembali di tempat di mana dua murid
Pesanggrahan Mestika bertarung dengan Siluman Buta
Tirta hanya melihat Andini yang tengah berlutut den-
gan wajah menunduk. Tanpa bertanya lagi Tirta tahu
apa yang terjadi, karena tak dilihatnya Wisnu dan
Nandari disana.
"Andini..... Jangan cemas. Belum tentu dua sau-
daramu itu tewas di tangan Siluman Buta...." kata Tirta pelan.
Andini tak segera menjawab. Setelah beberapa
saat barulah keluar suaranya bersamaan gejolak da-
lam dada yang sangat kental terasa.
"Kalau memang begitu, ke mana mereka seka-
rang. Mengapa mereka meninggalkan ku?"
Tirta sejenak tertegun mendengar suara Andini
yang terdengar lembut
"Gadis ini bisa bersikap lembut juga rupanya.
Mungkin karena perasaannya saat ini agak kacau.
Atau.... Dia memang pada dasarnya memiliki hati yang


Rajawali Emas 04 Sumpah Iblis Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lembut?" Habis membatin begitu Tirta berkata, "Pertanyaannya bukan itu.
Melainkan kalau mereka tewas di
tangan Siluman Buta, tentunya mayat keduanya bera-
da di sini. Tetapi...."
"Aku sudah mencarinya, tetapi tidak ada," potong Andini dengan suara ditekan.
"Berarti mereka tidak tewas."
"Bagaimana bila Siluman Buta membawa mayat
keduanya, Kang Tirta?"
Tirta terdiam memikirkan kemungkinan itu. Lalu
katanya sambil menggelengkan kepala, "Tidak.. aku tak melihat untuk apa Siluman
Buta membawa mayat
kedua saudaramu bila mereka benar-benar terbunuh."
"Tetapi... ke mana mereka?"
Tirta menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gat-
al. Hampir saja dia menjawab, "Mana aku tahu" Kan aku bersamamu?" Tetapi urung
dilakukannya. Dia malah berkata, "Sebaiknya, kita tinggalkan tempat ini, Andini.
Kita cari kedua saudara seperguruanmu itu."
Lalu untuk mengenakan Andini, Tirta berkata lagi,
"Aku yakin... mereka masih hidup...."
Perlahan-lahan Tirta melihat Andini-mengangkat
kepalanya dan dia terkejut ketika melihat air mata
menggenang di sepasang mata yang bagus itu.
"Aneh, benar-benar aneh. Ah... perempuan tetap
saja perempuan yang selalu mengalirkan air mata se-
kalipun dia sudah berbekal ilmu silat cukup tinggi,"
batin Tirta. Lalu katanya, "Baiknya... kita tinggalkan tempat ini sekarang,
Andini...."
Andini cuma menganggukkan kepalanya saja.
*** Bab 11 Perdataran rendah itu dipenuhi dengan rerumpu-
tan setinggi betis. Angin berhembus sejuk dan udara
temaram. Sisa sinar matahari masih melekat di kaki
barat. Membentuk pusaran merah di kejauhan.
Seorang gadis berwajah bulat telur dengan dagu
agak menjuntai tiba di sana. Gadis yang mengenakan
pakaian berwarna putih dan di bagian dada sebelah
kanan terdapat sulaman setangkai mawar, memperha-
tikan sekelilingnya.
Kejap kemudian, terdengar desahannya.
"Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikap
Guru kali ini. Lama kucari dan setelah ku bertemu
dengannya, justru kena marah. Selalu kena marah
meskipun ku akui kalau Guru sebenarnya baik hati."
Gadis berhidung mancung dengan bibir tipis yang
memerah indah yang tak lain Ayu Wulan mendesah la-
gi. Setelah menjalankan perintah 'paksaan' dari gu-
runya, si Manusia Pemarah untuk mencari Tirta alias
si Rajawali Emas, mau tak mau Ayu Wulan menjalan-
kannya juga. Kendati sebenarnya dia menyukai Tirta,
tetapi untuk mencari pemuda itu sudah tentu sangat
tabu buatnya. Hanya karena tak ingin kena marah gurunya sa-
ja, gadis itu melaksanakan perintah gurunya. Matanya
diedarkan kembali ke tempat yang indah dengan angin
semilir itu. Dan entah apa yang tersirat dalam benak dan hai
nya, mendadak kedua pipi gadis itu merah dadu. Me-
nyusul dia tersipu-sipu seperti ada seorang jejaka yang menggoda dan godaan itu
sedikit banyak mengena dan
disukainya. "Iih! Kok aku jadi mikirin Kang Tirta, sih" Menye-balkan! Lagi pula... ah,
heran! Kok bayang-bayang pe-
muda itu justru makin lekat di hatiku" Apakah aku...."
Gadis itu memutus kata-katanya sendiri dan tertegun.
"Apakah aku memang telah jatuh hati padanya?" lanjut nya terbata.
Perlahan-lahan gadis yang rambutnya panjang
dan, dibiarkan tergerai itu duduk di atas rumput. Me-
nekuk kakinya. Sepasang mata bagusnya diedarkan ke
seantero tempat. Lalu terpaku pada satu titik. Entah
apa yang sedang menjadi perhatiannya. Tetapi jelas
kalau sepertinya tak ada yang menarik untuk dilihat
kedua matanya selain rumput yang luas.
"Ah... baru kusadari pula kalau hatiku sedih ke-
tika Kang Tirta seperti mengacuhkan keinginan Guru.
Sementara aku, sebenarnya senang bukan main. Men-
gapa jadi begini" Mengapa aku sedih melihat sikap
Kang Tirta yang seolah menganggap kata-kata Guru
seperti angin lalu" Dan mengapa aku menjadi gugup"
Meskipun kulontarkan kata-kata tak suka pada Guru,
padahal, aku suka mendengarnya. Lalu, apa yang ha-
rus kulakukan sekarang" Apakah aku akan terus
mencari Kang Tirta seperti perintah Guru" Ih! Mema-
lukan sekali!"
Lalu dikenang pertemuannya pertama kali den-
gan si Rajawali Emas. Dan sebuah senyum cerah ber-
tengger di bibir si gadis ketika ingatannya tiba saat
perkenalan tak sengaja dilakukan.
"Ih, kenapa aku terus menerus mengingatnya"
Tetapi... apakah aku harus memungkiri kata-kata ha-
tiku sendiri?" gumam Ayu Wulan dengan perasaan galau. Sesuatu yang dirasakan
sangat mendesak menda-
dak mengganggu perasaannya. Perasaan ingin bertemu
dengan Tirta! Perlahan-lahan gadis manis itu berdiri. Menepuk-
nepuk celana di bagian pantat hingga debu yang me-
nempel beterbangan. Lalu diingatnya gurunya.
"Biar bagaimanapun sikap Guru yang selalu ma-
rah-marah tak karuan, aku tetap mencintai dan
menghormatinya. Dia sebenarnya seorang lelaki tua
yang baik. Tak ubahnya seperti seorang Guru, Ayah
dan Kakek untukku. Bahkan kami bisa pula bersikap
sebagai seorang teman atau pun musuh." Ayu Wulan
tertawa pelan mengingat hal itu. Lalu meneruskan
gumamannya lagi. "Guru, Guru... kau membuatku jadi merasa sedih, gembira,
senang, marah dan semuanya.
Semua-muanya. Lalu bagaimana dengan Iblis Kubur"
Bagaimana pula dengan perempuan laknat yang berju-
luk Dewi Karang Samudera yang menurut Guru memi-
liki Kitab Pemanggil Mayat" Dan satu hal yang tak
pernah kusangka, kalau Guru adalah murid tunggal
Eyang Sampurno Pamungkas atau si Manusia Agung
Setengah Dewa. Aku merasa beruntung menjadi mu-
ridnya. Karena... Eyang Sampurno Pamungkas menja-
di eyangku juga. Lalu, apa yang harus kulakukan se-
karang?" Gadis itu kembali terdiam. Lalu terlihat sebuah
senyuman menyungging di bibirnya.
"Biar kucari Kang Tirta dulu. Karena... ah, aku...
aku ingin hidup bersamanya...."
Ayu Wulan menghela napas pendek Dengan
mengibaskan rambutnya yang dimainkan angin dan
menutupi sebagian wajahnya. Setelah itu, segera di-
tinggalkan perdataran rendah itu.
Gerumbul semak di tengah sebuah lembah men-
guak bersamaan dua sosok tubuh muncul. Yang satu
seorang pemuda gagah berbaju keemasan dengan ra-
jahan burung rajawali berwarna yang sama. Yang seo-
rang lagi, dara jelita berbaju merah dengan ikat ping-
gang warna biru. Di pinggangnya terselip dua buah tri-
sula. Lembah yang banyak ditumbuhi semak dan pe-
pohonan besar itu begitu luas sekali. Sinar matahari
yang sudah berada dii atas ubun-ubun, tak mampu
menembus tempat itu hingga terasa temaram namun
terang benderang di luar sana.
"Kang Tirta... sudah dua hari kita mencari jejak kedua saudaraku, tetapi sampai
siang ini pun belum
ditemukan juga," kata si gadis yang tak lain adalah Andini. Keriangan yang
biasanya mewarnai sifatnya
seolah menguap begitu saja. Biar bagaimanapun juga,
rasa cemas di hati Andini akan nasib kedua saudara
seperguruannya yang sampai sekarang belum diketa-
hui di mana rimbanya, cukup kuat mengikat. Lalu
sambil menatap pemuda di hadapannya, Andini me-
lanjutkan, "Sekarang aku lebih khawatir, mengingat kemungkinan kalau Kang Wisnu
dan Nandari memang
telah tewas di tangan Siluman Buta. Kang Tirta... ka-
takan kepadaku kalau keadaan keduanya baik-baik
saja?" Tirta hanya menarik napas pendek. Bisa dirasakan kecemasan yang melanda
gadis di sisinya. Seluas
mata memandang, yang nampak hanya gerumbul se-
mak dan pepohonan. Dan jalan setapak yang nampak-
nya cukup sulit dilalui. Tetapi bila melihat adanya jalan setapak itu, jelas
kalau hutan ini pernah dilewati, atau bahkan disinggahi orang.
"Tenanglah, Andini. Kita masih belum bisa me-
nyimpulkan seperti itu kalau belum menemukan me-
reka." "Aku yakin mereka telah tewas, Kang Tirta..."
"Jangan berkata begitu. Justru perasaan kece-
masanmu akan bertambah parah bila kau tak bisa
mencoba membuang pikiran semacam itu..."
Bagai tak mendengar kata-kata Tirta, Andini me-
nyambung kalimatnya yang diputus Tirta tadi, "... dan manusia buta itu membawa
mayat mereka hingga kita
tak bisa menemukan jejak-jejak yang berarti."
"Andini...." Tirta menggenggam tangan gadis itu.
Sedikit menekannya, seakan memberi semangat pada
gadis itu. "Jangan berpikir macam-macam. Sekali lagi kukatakan kita belum bisa
menyimpulkan seperti itu.
Yang bisa kita lakukan sekarang adalah tetap mencari
mereka. Persoalan mereka sudah mati atau masih hi-
dup bisa kita temukan jawabannya."
"Akan kubunuh manusia buta itu."
"Andini...," suara Tirta menekan di telinga gadis itu sehingga Andini menoleh.
Tirta bisa melihat panca-ran kecemasan yang sangat dalam di sepasang mata
bagus milik Andini. Mata yang biasanya berbinar jena-
ka disertai dengan kata-kata yang menggemaskan,
menggelikan dan terkadang menjengkelkan. "Aku bisa merasakan kecemasan yang
mendalam di hati Andini...," batin Tirta.
"Aku mengkhawatirkan keadaan mereka,
Kang...." Tirta menganggukkan kepalanya.
"Begitu pula denganku. Bila saja tidak muncul
Lima Iblis Puncak Neraka dan si Tangan Sakti, mung-
kin kita bisa mengetahui di mana mereka berada. Te-
tapi perlu kita ketahui, Andini. Segala sesuatunya sangat sulit kita tebak."
Andini menggeleng-gelengkan kepala lalu me-
nunduk. "Aku yang salah, Kang."
"Apa maksudmu, Andini?" tanya Tirta lembut dan lagi-lagi bingung melihat sikap
gadis yang agak beran-gasan ini sangat berubah.
"Bila saja saat kau melepaskan totokan yang di-
lakukan oleh Siluman Buta padaku, aku tidak banyak
omong dan melakukan serangan padamu, tentunya ki-
ta masih sempat mengetahui keadaan kedua saudara-
ku itu. Dan ketika manusia-manusia laknat itu mun-
cul, mungkin kita sudah berada di dekat kedua sauda-
raku." "Bukan itu penyebabnya, Andini. Tak ada yang salah dalam hal ini," kata
Tirta pelan. "Jangan menya-lahkan segala sesuatu yang sebenarnya terkadang ti-
dak kita pahami bagaimana terjadinya, bagaimana mu-
lanya, dan bagaimana akhirnya. Semuanya seperti
runtutan jalan kehidupan, Andini. Kau tak perlu me-
nyalahkan diri. Se-kali lagi kukatakan, tak ada yang
salah dalam hal ini."
Andini terdiam. Sepasang matanya dalam mena-
tap Tirta. Lalu terlontar pertanyaan yang seperti me-
nyesali, "Kang Tirta... mengapa kau justru menolongku"
Mengapa kau tidak membantu kedua saudaraku
menghadapi manusia buta itu" Bila saja kau menolong
mereka, mungkin keadaan tidak akan separah seperti
ini." Tirta tersenyum, mencoba memberikan ketenan-
gan pada gadis yang dilanda kecemasan.
"Saat itu, aku memikirkan keselamatanmu dulu,
Andini. Mereka masih bisa bertahan dan menghindar
sementara keadaanmu terjepit sama sekali. Dalam
keadaan tertotok semacam itu, bisa-bisa kau yang
akan terkena sasaran yang mungkin disengaja mau-
pun tak disengaja. Bila kau sudah aman, aku bermak-
sud untuk kembali ke tempat semula untuk memban-
tu. Tetapi sayangnya, manusia-manusia keparat yang
berjuluk Lima Iblis Puncak Neraka itu muncul dan
membuatku tak bisa segera membantu kedua sauda-
ramu. Sudahlah, Andini... yang penting sekarang kita
tetap mencari kedua saudaramu itu."
Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala, lalu me-
nunduk pilu. "Bila saja kau menolong mereka,
Kang...." Merasa Andini membutuhkan ketenangan, perla-
han-lahan Tirta merangkulnya dan gadis yang tengah
dirundung kecemasan itu mandah saja. Bahkan dis-
usupkan kepalanya ke dada bidang Tirta.
"Jangan menyesali hal itu, Andini...."
Semula, Tirta bermaksud hanya memberikan ke-
tenangan yang dibutuhkan si gadis. Tetapi kejap ke-
mudian, dia jadi melengak sendiri. Tubuhnya menda-
dak tegang. Bagaimana tidak, rambut indah Andini
yang menguarkan aroma harum menerpa wajahnya.
Apalagi ketika dada si gadis sempat menyentuh da-
danya tadi. Dalam rangkulannya ada tubuh lembut seorang
dara manis yang nampak pasrah. Bagaimana tidak
panas dingin Tirta jadinya"
Gemetaran tubuh si Rajawali Emas. Buru-buru
di pejamkan mata karena godaan di hadapannya begini
besar. Ditariknya napas berulangkali dan dihem-
buskan perlahan. Namun perasaan aneh yang menja-
larinya justru makin membesar.
"Edan! Bisa berabe kalau begini! Lagi pula, kena-
pa sih aku tahu-tahu jadi kayak orang kagok?" ma-
kinya tak karuan. Untuk melepaskan rangkulannya bi-


Rajawali Emas 04 Sumpah Iblis Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sa membuat Andini tersinggung, begitu pikirnya. Lagi
pula, gadis itu memang seperti membutuhkan seseo-
rang yang dijadikannya tempat membagi perasaan.
Tetapi kalau dibiarkan begini terus, bisa berabe
urusan. Sekuat tenaga Tirta menindih segala dorongan
yang mendadak menjalar dan semakin lama bagai me-
rata di seluruh jalan darahnya. Napasnya terdengar
sedikit mendengus-dengus.
Sementara itu Andini yang juga merasakan geta-
ran tubuh Tirta, pun perlahan-lahan merasa tubuhnya
bergelar pula. Entah mengapa dirasakan sangat nya-
man sekali. Hatinya yang diliputi kecemasan begitu
damai. Dipejamkan sepasang mata indahnya seolah re-
sapi rangkulan Tirta. Dibenamkan dalam-dalam kepa-
lanya pada dada yang bidang itu.
"Aneh! Baru kali ini kurasakan sebuah dorongan
yang begitu hebat sekali. Dorongan yang seakan me-
maksaku untuk melakukan sesuatu. Dan baru kusa-
dari kalau tubuh perempuan itu bagai magnit yang
sangat mengikat. Sesuatu yang begitu lembut namun
sangat menakutkan. Getaran aneh di tubuhku ini ba-
gai kepalaku dihujam sembilu bermata tiga. Begitu
menakutkan sebenarnya." Tirta yang benar-benar merasa harus lepaskan diri dari
belenggu aneh yang men-
gikatnya, perlahan-lahan berkata, lembut, menahan
agar jangan sampai terdengar bergetar, "Andini... Sebaiknya, kita beristirahat
dulu. Aku akan mencari
ayam hutan atau burung yang bisa kita panggang un-
tuk pengisi perut."
Meskipun sebenarnya tak ingin melepaskan
rangkulannya, Andini menganggukkan kepala dengan
menunduk. Tirta masih sempat melihat wajah gadis itu
yang merona. "Ah, lebih baik aku mencari ayam atau burung
yang bisa kupanggang sambil menghindar dulu dari
Andini," batin Tirta dengan dada bergemuruh. Lalu katanya sambil menatap Andini
lekat-lekat, "Kau tunggu di sini. Jangan ke mana-mana. Tak lama aku pasti
kembali." Gadis yang ceriwis itu hanya menganggukkan
kepalanya. Tirta menangkap satu kilatan kecewa di
matanya. Tidak, bukan kilatan mata yang dilihatnya
semula. Kilatan yang menampakkan kecemasan akan
nasib dua saudaranya yang sampai saat ini belum di-
ketahui rimbanya,
Sedangkan kilatan barusan itu, sebuah kilatan
mata yang justru mampu menikam perasaan Tirta ter-
dalam. Perasaan asing yang buru-buru ditepiskannya.
Diliriknya Andini yang melangkah murung ke bawah
sebatang pohon rindang. Kalau sudah bersikap seperti
itu, dia tak ubahnya seperti Nandari. Lalu dia duduk di bawah itu.
Tirta segera meninggalkan tempat itu daripada
dadanya terus gedebak-gedebuk dan wajahnya bisa
makin memerah. Terlebih-lebih, ada dorongan yang
membuatnya ingin lebih lama dan lebih erat memeluk
Andini. "Ah, kenapa sih aku ini?" dengusnya sebal tak mengerti. Lalu dicobanya untuk
menghilangkan bayangan tubuh sekal Andini yang dirangkulnya tadi.
Tetapi makin dicoba justru bayangan tubuh Andini
makin melingkar dalam benaknya. "Keparat betul! Tak
seharusnya aku memeluknya tadi. Tetapi... he he he...
kalau tidak memeluknya, mana aku tahu kalau tubuh
perempuan itu begitu lembut. Tetapi, ah... kupikir
yang kulakukan sesuatu yang wajar. Sebuah cara un-
tuk menenangkan Andini. Hanya yang tak kumengerti,
sesuatu nampak bergolak di tubuhku. Apakah aku...
ah, sudahlah! Mungkin ini tanda-tanda aku sudah de-
wasa. Kalau memang iya, aku harus berusaha mem-
bunuh perasaan atau dorongan aneh yang mendadak
muncul tadi."
Dengan cekatan Tirta menangkap dua ekor ayam
hutan dan tiga ekor burung. Dia tertawa-tawa sambil
mengangkat buruannya.
"Hmmm... perutku jadi makin lapar. Hidungku
sudah bisa mencium bau sedap dari ayam dan burung
panggang ini." Lalu pada hasil buruannya dia berkata,
"Maaf ya, bukan maksudku untuk mengakhiri hidup
kalian. Tetapi apa boleh buat, terpaksa nih aku harus
memakan kalian."
Lalu bergegas Tirta kembali ke tempat semula, di
mana ditinggalkannya Andini tadi.
"Andini!" serunya dari kejauhan. Wajah cerah Tirta bagai menguap mendadak,
karena dia tak melihat
Andini berada di tempatnya. "Andini! Andini!" serunya keras. Sesuatu yang
menakutkan bergayut di benaknya.
Apakah Andini nekat untuk mencari kedua sauda-
ranya itu seorang diri" Di saat keadaan gawat seperti
ini, sungguh, bukan karena telah merangkul gadis itu,
Tirta menjadi cemas. Tetapi perasaan bingung itu telah datang bertubi-tubi.
Andini.... Suara Tirta mendadak terputus bagai direnggut
setan. Keriangannya lenyap begitu saja. Bahkan tanpa
sadar kakinya surut satu langkah. Di hadapannya, sa-
tu sosok tubuh keluar dari balik gerumbulan semak.
Menjatuhkan sesuatu dari punggungnya yang ternyata
tubuh Andini yang pingsan. Orang yang berdiri di ha-
dapan tubuh pingsan Andini itu, menyeringai lebar.
Tatapannya dingin. Dan suaranya terdengar bergetar,
"Peeemuudaa sseeettaan! Aakkku sssudaah peer-
gii kee Guunungg Teenggerr! Taak kuuteemuii
Saammpuurnnoo Paamungkaas dii saanaa! Kaau haa-
russ maammpusss!"
Ayam dan burung yang tadi diburunya dan diikat
di satu, lepas begitu saja. Mulut si Rajawali Emas terbuka dan mengeluarkan
suara tertahan, "Iblis Ku-
bur..." SELESAI Ikuti kelanjutan cerita ini!!!
Serial Pendekar Rajawali Emas dalam episode:
DEWI KARANG SAMUDERA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Rendra
Bukit Pemakan Manusia 2 Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan Tengkorak Maut 27
^