Pencarian

Wasiat Malaikat Dewa 1

Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa Bagian 1


WASIAT MALAIKAT DEWA Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Rajawali Emas
Dalam Episode :
Wasiat Malaikat Dewa
128 Hal.; 12 x 18 Cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 "Kkraaaghkk!"
Sebuah suara keras bagaikan
hendak membedah alam sepi terdengar
memekakkan telinga, disusul gemuruh
angin raksasa yang menderu dahsyat.
Seolah, langit yang cerah ini hendak diberangus oleh suara itu.
Seekor burung rajawali raksasa
berwarna keemasan terbang berputaran di atas sebuah lembah. Kepakan sayapnya
membuat rerumputan di bawah yang berjarak seratus tombak rebah berdiri.
Beberapa ekor burung kecil kontan
beterbangan, seolah digebah oleh suara teriakan burung rajawali itu.
Di leher burung rajawali keemasan
itu, duduk seorang pemuda berpakaian keemasan dengan sebilah pedang berwarangka
penuh benang emas. Kepalanya
yang diikat kain berwarna keemasan
melongok ke bawah. Di lengan kanan
kiri nampak rajahan berbentuk burung rajawali berwarna keemasan.
"Lembah Permata...," desis si pemuda. Dari suaranya yang tercekat
tampak jelas, kalau dia tak sanggup
menutupi kerinduan yang meluap dalam dadanya. Tak banyak berubah sejak lima
tahun lalu kutinggalkan. Ya... gara-gara kambing-kambing Juragan Lanang
yang hilang dan sekarang entah ke
kemana. Terpaksa aku meninggalkan
lembah nyaman semasa kecilku."
Lalu pemuda berwajah tampan dan
berambut gondrong yang lak lain Tirta, menepuk leher burung Rajawali itu.
Penuh kasih sayang dan kelembutan.
"Terima kasih, Bwana. Disinilah tempatku
dulu saat menggembalakan kambing. Berarti, jarak dusun tempat tinggalku tidak begitu jauh. Bukan maksudku
tak mau mengajakmu ke dusunku. Kau tahu sendiri, apa akibatnya
nanti. Orang-orang pasti akan kalang kabut melihat wujudmu yang besar ini.
Nah, sekarang aku akan melompat
turun." Burung rajawali raksasa bernama
Bwana ini mengangguk-angguk sambil
mengeluarkan suara berkoak-koak.
Seketika, tubuhnya menukik turun.
"Hup!"
Tepat pada jarak lima belas
tombak dari tanah, Tirta melompat
turun. Langsung digunakannya ilmu
meringankan tubuh yang didapat dari Rumput Selaksa Surya, serta hasil
gemblengan Bwana selama lima tahun di Gunung Rajawali. Maka tak heran ketika
hinggap di tanah, gerakannya tak
ubahnya sehelai kapas belaka.
Sejenak pemuda dari Gunung
Rajawali itu mendongak seraya melam-
baikan tangan pada Bwana yang masih
terbang di angkasa raya.
"Suatu waktu, kau akan kupanggil Bwana!" teriak Tirta, dengan tangan dijadikan
satu di sisi kanan kiri
mulutnya. Bagai mengerti, burung rajawali
keemasan itu Mengangguk angguk masih mengepak-
kan sayap disertai suara berkoak-koak keras.
Bwana mulai terbang menjauh. Kian
menjauh dengan koakan keras dan
gemuruh angin yang ditimbulkan dari
kepakan dua sayap lebarnya. Semakin
lama, lenyaplah rajawali raksasa itu dari pandangan si pemuda.
Kini, pemuda tampan berbaju ke-
emasan itu mengedarkan pandangan ke
seantero lembah. Rumput yang banyak tumbuh di sana kini sudah setinggi
pahanya. "Tempat yang banyak menimbulkan kenangan indah. Penuh kenyamanan,"
desah Tirta mengingat masa kecilnya.
Lalu kepalanya menoleh ke kanan.
"Meskipun rumput di sini sudah banyak tumbuh, tetapi aku masih ingat jalan
menuju dusunku. Sebaiknya, aku segera ke sana. Tak sabar rasanya menjumpai kedua
orangtuaku sekarang. Ah....
Pertemuan yang sangat menggembirakan"
Saat itu juga Tirta melesat ke
arah barat. Gerakannya begitu cepat, laksana angin.
* * * Di perbatasan Dusun Bojong Pupuk,
Tirta menghentikan langkah. Sejenak
keningnya berkernyit. Setelah lima
tahun meninggalkan kampung halamannya, kini matanya sudah menangkap banyak
perubahan. Jalan menuju ke tengah desa rupanya sudah berubah. Namun anehnya, tak
seorang pun yang terlihat lalu
lalang di perbatasan desa.
"Banyak sudah perubahan yang
terjadi. Tetapi aku ingat, ini adalah kampungku. Pohon trembesi itu masih
merupakan tanda jalan masuk ke Dusun Bojong Pupuk. Hmm.... Sebaiknya aku cepat
menuju rumah," gumam si pemuda.
Dengan langkah mantap dan gagah,
Tirta melanjutkan perjalanannya. Dico-banya kembali menikmati hembusan angin
dusunnya yang sejuk. Tetapi semakin
lama melangkah menuju rumahnya,
semakin banyak perubahan yang terjadi.
Dan Tirta semakin keheranan. Karena
beberapa orang yang berada di depan
rumah segera masuk dan menutup pintu serta jendela dengan wajah penuh
ketakutan, begitu melihat dirinya.
"Ada apa ini?" kata batin si pemuda sambil terus melangkah. "Apa mereka terkejut
karena wajahku ganteng begini" Ah, aku jadi besar kepala.
Hmm.... Aku yakin yang masuk tadi
adalah Kang Somad. Mungkin dia memang tak mengenaliku. Tetapi, kan tidak
harus masuk ketakutan seperti itu?"
Pemuda berajah burung rajawali
keemasan pada kedua tangannya itu
terdiam beberapa saat. Otak cerdiknya masih mencoba mencari jawaban dari
pertanyaan yang mulai membiaskan
keheranan dibenaknya. Lalu diputuskannya untuk meneruskan langkah.
Dan suasana tak berubah. Selain
sepi mencekam dengan dedaunan yang
berguguran dihembus angin,
Tirta melihat beberapa orang yang
keluar dari rumah langsung masuk
kembali. "Busyet! Jangan-jangan wajahku
memang terlalu tampan?" desahnya.
Dan mendadak, pendengaran si
pemuda menangkap derap langkah lain di kejauhan. Menyusul, terlihat lima
orang lelaki penunggang kuda hitam
datang ke arahnya. Terpaksa si pemuda agak menyingkir bila tak ingin
diterjang. Tirta berpikir, kelima penunggang
kuda itu akan segera berlalu. Tetapi begitu dekat, justru mereka menghentikan
lari kudanya. Bahkan langsung
menatapnya dengan sorot mata dingin.
"Siapakah kau, Anak Muda"! Ada
urusan apa kau masuk ke Desa Bojong
Pupuk yang telah dikuasai Juragan
Lanang"!" bentak salah seorang
penunggang kuda yang berwajah kasar.
Tirta terkejut mendapati kata-
kata orang. Tentu saja pemuda ini
ingat tentang Juragan Lanang. Lima
tahun lalu, dia meninggalkan dusun ini karena mencari kambing-kambing Juragan
Lanang yang hilang. Tetapi, apa maksud orang kasar itu mengatakan dusun ini
telah dikuasai Juragan Lanang"
Tetapi dasar memiliki sifat agak
gendeng, pemuda itu tampak kalem saja.
"Urusanku sih
tidak ada. Aku hanya sedang kelaparan saja. Eh,
apakah kalian bisa tunjukkan, di mana kedai makan untuk mengisi perut?"
sahut Tirta, santai.
Sepasang mata orang kasar itu
melebar mendapati jawaban orang.
Telinganya memerah.
"Mengisi perut tak dilarang di
dusun ini, asal mampu membayar!" kata lelaki itu.
"Di mana-mana juga begitu, kan?"
tukas Tirta. "Dan izin akan kau dapatkan bila kau mau membayar pajak terlebih dulu pada
kami," kata orang kasar itu dengan seringai lebar.
Kening Tirta berkernyit. "Apa
yang sebenarnya telah terjadi" Sejak kapan ada pajak semacam itu" Apakah
dusun ini telah berubah menjadi kacau, tidak tenteram lagi seperti bayanganku
dulu" Aku tahu, Juragan Lanang memang sangat dibenci karena seorang lintah
darat. Tetapi persoalan dusun ini
dikuasai olehnya, bahkan setiap orang yang mau mengisi perut harus kena
pajak, pasti ada sesuatu yang tak
beres." Sehabis membatin begitu, Tirta
cengar-cengir sendiri. Sikapnya tenang sekali.
"Urusan apa aku harus membayar pajak bila ingin mengisi perut"
Bagaimana bila uangku pas-pasan, dan harus membayar pajak dulu sebelum
perutku terisi?"
"Itu urusanmu!" bentak orang kasar baju hitam itu lebih keras
dengan mata melotot. "Bila kau
menolak, silakan angkat kaki dari
sini. Dan, jangan coba-coba lagi
menginjak tempat ini! Mengerti"!"
"Aku jadi makin penasaran ingin tahu, apa yang terjadi. Lebih baik
berlagak menuruti kemauan orang kasar ini saja, sebelum urusan jadi
berantakan," gumam si pemuda dalam hati.
Kembali Tirta cengar-cengir.
"Karena uangku sedikit,
kuputuskan untuk keluar dari dusun
ini," katanya.
"Bagus! Berarti kau mengerti
gelagat!" "Tetapi sayangnya..., perutku
sudah sangat kelaparan."
Tirta tiba-tiba mencoba mencari
tahu, apa yang akan dilakukan orang-
orang itu bila ancaman itu ditolaknya.
Ternyata, perubahan wajah lima orang baju hitam yang bertampang kasar itu jelas-
jelas nampak. "Berarti kau cari penyakit, Orang Muda," geram orang yang membentak pertama
tadi. "Kurang ajar.... Kalau aku tidak ingin segera tahu apa yang terjadi di dusun
ini, dan bagaimana keadaan kedua orangtuaku, sudah kutampar mencong
mulut kasar itu," gerutu Tirta dalam hati. Ditatapnya orang yang membentak tadi
dengan tajam. Namun kejap
kemudian bibirnya melepas senyum. "Aku tak suka cari penyakit. Baiknya, aku
menyingkir sekarang."
Tirta berbalik, lalu melangkah.
Kepergiannya diiringi lima pasang mata tajam yang terbahak-bahak penuh
ejekan, membuat hati Tirta jadi panas.
Tetapi perasaan jengkelnya berusaha di tahan karena ada kejadian lain yang
menurutnya harus mencari jawaban.
Ketika tak lagi melihat tubuh
Tirta, kelima orang berbaju hitam yang merasa berhasil dengan ancamannya,
mereka mengalihkan kuda ke kiri.
"Benar-benar aneh! Apa yang telah terjadi sesungguhnya...?" kata hati Tirta.
Rupanya, pemuda ini telah
mengerahkan ilmu meringankan
tubuh untuk mencelat ke sebuah atap rumah
saat ekor matanya menangkap gerakan
kuda-kuda yang ditunggangi lima lelaki berbaju hitam.
"Aku ingin mengikuti, siapa
mereka sebenarnya. Dan, mengapa dusun ini dinyatakan milik Juragan Lanang"
Tetapi, biarlah. Untuk sementara, aku harus tahu keadaan ayah dan ibuku
dulu." Karena tak menghendaki keha-
dirannya kembali ke dusun ini
diketahui lima lelaki berbaju hitam
tadi, Tirta mencelat dari satu atap
rumah ke rumah lain. Gerakannya benar-benar tak menimbulkan suara karena
disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi. Ketika tiba pada
satu tempat yang agak jauh dari tempatnya bertemu dengan kelima orang baju hitam
tadi, rumahnya kini sudah terlihat.
"Rumah itu masih tetap seperti
lima tahun yang lalu," desahnya memandang rumah terbuat dari kayu yang agak
terpencil. "Tetapi sekarang agak terhalang semak belukar yang tumbuh
lebat. Biasanya aku yang selalu
memapas semak itu. Tetapi, apakah
sepeninggalku kedua orangtuaku tak
punya niatan untuk memapas semak itu dan dibiarkan tumbuh?"
Belum lagi mendapat jawaban atas
keheranannya, sepasang mata tajam
Tirta yang terlatih melihat seorang
lelaki tertawa-tawa sambil bersikap
tak senonoh, menciumi
pipi dua

Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan bahenol yang
direndeng dikanan kirinya. Mereka keluar dan
pintu sebuah rumah.
Tirta melengak sesaat.
"Astaga! Apakah aku salah
melihat" Apakah rumah itu bukan
rumahku?" kata batinnya tak mengerti.
Mata si pemuda tak berkedip
memandang lelaki yang melangkah agak sempoyongan dan sesekali mencium pipi kedua
perempuan genit yang direndeng-nya. Ketiga orang itu berjalan sambil tertawa-
tawa, meninggalkan rumah
tempat mereka keluar tadi. Menuju ke arah kanan.
Dibalut keheranan mendalam, Tirta
segera mengempos tubuhnya. Dan kini
dia hinggap ringan di balik semak, di depan rumah yang diyakini rumahnya.
Sejenak matanya beredar ke sekitarnya, lalu tubuhnya berkelebat menerobos
masuk ke dalam rumah.
"Gila! Ini jelas-jelas rumahku!
Biar bagaimana-pun juga, aku masih
hafal bentuk ruang dalam yang tak
berubah dari rumah ini. Tetapi mengapa orang-orang itu keluar dari rumahku?"
desisnya begitu berada di dalam. Mulai pemuda itu menjelajahi rumahnya.
Tetapi selesai seluruh ruangan
dalam rumah diperiksa, Tirta tak
menemukan dua orang yang sangat
dirindukannya. Dan kini, dia jadi tak tenang.
Cepat si pemuda keluar dari
rumah. Langsung disusurinya sekitar
rumah. Namun tak ada tanda-tanda kedua orangtuanya ditemukan.
"Apa yang telah terjadi" Ke mana mereka?" Gumam Tirta, makin penasaran dan tak
mengerti "Heh" Apa itu...?"
Sepasang mata tajam si pemuda
menangkap satu sosok tubuh berkelebat dibelakang rumah. Yang langsung
memasuki rumah itu.
"Hup!"
Seketika Tirta mencelat ke sebuah
pohon. Ditunggunya sampai orang itu
keluar. Tak lama dia menunggu, karena orang yang baru masuk itu sudah keluar
lagi. "Paman Sumirat! Apa yang dilakukannya" Hm... dia nampak begitu tua
serta menderita" Ah, baiknya kuikuti saja dia. Nampaknya ada sesuatu yang
ditakuti. Kelihatan jelas, dia nampak begitu berhati-hati."
Dengan mempergunakan ilmu meri-
ngankan tubuhnya, Tirta berkelebat
mengikuti lelaki yang dikenali sebagai Sumirat. Lelaki itu melangkah ke arah
tenggara, menyusuri jalan setapak dan masuk ke sebuah hutan kecil.
Di hutan yang lumayan jauh dari
Dusun Bojong Pupuk, Tirta melihat
beberapa orang pemuda sebayanya
menyambut Sumirat dan mengiringinya
masuk ke bagian dalam hutan dengan
sikap waspada dan berhati-hati.
"Hei itu kan Langlang dan Bowo.
Ada apa ini" Di tangan mereka ada
sebilah golok" Benar-benar membuatku makin penasaran?" tanya pemuda dalam hati,
dari balik sebatang pohon sambil terus mengikuti.
Tak lama kemudian, ketiga orang
itu telah memasuki sebuah tempat yang terhalang oleh rimbunnya semak. Dari
tempatnya bersembunyi, Tirta tak bisa melihat tempat apa di balik semak itu.
Yang jelas itu adalah sebuah tempat
yang baik untuk persembunyian. Karena, semak belukar yang tinggi itu
sepertinya sulit diterobos.
"Bagaimana, Paman?" terdengar sebuah suara bernada bertanya. "Mengapa selama ini
baru datang?"
"Aku gagal menemukan senjata-
senjata yang kusimpan setahun yang
lalu di rumah Layung Seta. Dan aku
terpaksa harus menunggu, karena rumah kosong itu kini dijadikan tempat mesum
oleh seorang anak buah Juragan
Lanang...."
"Paman Sumirat.... Tak seharusnya Paman yang melakukan semua ini.
Mengapa Paman tak memperbolehkan kami mencari senjata-senjata itu?"
"Aku bukannya tak percaya pada
kalian. Jiwa kalian masih muda, masih panasan, dan selalu siap menerjang apa
saja yang menghalangi.
Yang ku khawatirkan, bila dipergoki orang-
orang Juragan Lanang, kalian pasti
segera mencabut senjata. Dengan
begitu, persembunyian kita bisa diketahui mereka. Akibatnya kita tak bisa lagi
menyusun kekuatan untuk melakukan pemberontakan, merebut kembali tempat
kelahiran kita. Kuharap kalian
mengerti. Sebaiknya...."
"Siapa kau"!"
Sebuah bentakan
keras memutus kata-kata Sumirat. Segera disambarnya golok yang tadi ditanah. Kepalanya lantas
mengangguk pada tiga pemuda
yang duduk di dekatnya. Bersama tiga pemuda itu, Sumirat segera menerobos
keluar. Begitu tiba di luar, Sumirat
melihat Langlang dan Bowo
sedang menghunuskan golok pada seorang pemuda berbaju keemasan.
Sumirat memicingkan mata,
menegasi pemuda yang nampak tenang.
Namun dari pancaran mata rasa herannya tak bisa disembunyikan. Maka segera
dia mengambil alih dengan mengangkat sebelah tangannya. Seketika Langlang dan
Bowo mundur dua tindak, namun
tetap dengan kesiagaan tinggi.
"Orang muda.... Siapakah kau?"
tanya Sumirat. Lelaki ini sadar betul kalau
orang muda di hadapannya ini bukanlah anak buah Juragan Lanang. Karena,
setiap anak buah Juragan Lanang selalu berbaju hitam.
Pemuda berbaju keemasan yang
memang Tirta malah tersenyum. Karena tak tahan ingin segera menjumpai
orang-orang yang dikenalnya dan untuk mengetahui apa yang terjadi, pemuda
ini sengaja menampakkan diri di
hadapan Langlang dan Bowo. Pikirnya, kedua temannya sejak kecil itu
mengenalinya. Namun, mereka justru
membentak dan memperlihatkan wajah
garang tak bersahabat. Tirta bermaksud segera menerangkan siapa dirinya,
tetapi Sumirat telah muncul bersama
beberapa pemuda lainnya.
"Paman Sumirat.... Apakah Paman lupa padaku?" tanya Tirta ramah.
Mendapati jawaban Orang yang
justru balik bertanya, kening Sumirat berkerut. Sejenak ditatapnya anak muda itu
dengan mata tajam. Dan tak lama
wajahnya berubah cerah.
"Oh, Gusti! Kau... kau Tirta,
bukan" Tirta putra Layung Seta dan
Mentari?" desah Sumirat.
Tirta mendesah dalam hati,
bersyukur Sumirat mengenalinya. Segera kepalanya mengangguk. "Benar, Paman.
Aku Tirta."
"Gusti Maha Agung.... Kau...
kau...." Sumirat tak kuasa lagi meneruskan kata-katanya. Begitu
mendekat, langsung dirangkulnya Tirta dengan suka cita. Baru disadarinya,
bagaimana pemuda ini bisa tahu tentang diri dan tempat persembunyian ini.
Tentunya, Tirta telah melihat dan
mengikutinya. Menurut dugaan, Sumirat sudah merasa berhati-hati sekali tanpa ada
orang yang mengikuti. Kalaupun
kemudian si pemuda bisa mengikuti ke mana dia pergi, tentunya dengan
mempergunakan ilmu yang cukup tinggi.
Dari situ baru disadari kalau si
pemuda tentunya tidak kosong seperti dulu.
"Luarbiasa! Rupanya
kau belum meninggal! Sekian tahun kami membantu kedua orangtuamu mencarimu, justru kau
tiba-tiba muncul. Menakjubkan! Kau
telah berubah menjadi pemuda gagah,
Tirta! Bahkan... kau dapat mengikuti aku tanpa kuketahui sama sekali. Luar
biasa!" Kelima pemuda yang bersama
Sumirat pun segera mengenali pula
siapa pemuda di hadapannya. Bergantian mereka merangkul Tirta sambil tertawa-
tawa. Sikap tegang pun sudah meluntur.
Sumirat mengajak Tirta masuk ke
dalam semak belukar setinggi dua
tombak yang di baliknya ternyata
terdapat sebuah perkampungan darurat yang cukup luas. Jadi, semak itu
agaknya sebagai pagar untuk
menyamarkan keberadaan kampung itu.
Ada beberapa orang lain di sana yang terdiri dari wanita dan anak-anak.
Juga beberapa pemuda penjaga yang
bersiaga penuh bila orang-orang yang kehadirannya tak diinginkan muncul di sana.
Orang-orang itu pun menyambut
kehadiran Tirta dengan suka cita.
Kini, mereka duduk di tanah. Sumirat meminta Tirta menceritakan apa yang
terjadi. Dan sudah tentu Tirta tak
menceritakan tentang rajawali emas
yang bernama Bwana. Pemuda itu tetap bicara merendah.
Setelah itu, Tirta menatap
Sumirat dengan sinar mata menuntut.
Dia tak mampu menahan rasa penasaran dengan apa yang dilihatnya ketika
pertama kali menginjak dusun ini
kembali. "Paman Sumirat... apa yang telah terjadi di dusun ini" Ketika pertama kali
menginjakkan kaki kembali ke
dusun ini, suasana nampak sepi.
Beberapa orang yang tadi berada di
luar rumah, langsung masuk seolah
melihat setan datang. Yang membuatku lebih heran lagi, lima lelaki berbaju hitam
menghadang dan mengusirku dari sini bila aku tidak membayar pajak.
Pajak apa, Paman" Yang terpenting
lagi, aku tak menemukan kedua orang-
tuaku di rumah. Di mana mereka, Paman"
Adakah Paman tahu?"
Sumirat mendesah pendek sebelum
bicara. Jelas, hatinya agak ragu
mengatakannya. Tetapi pertanyaan si
pemuda jelas meminta jawaban.
* * * 2 Setelah berbulan-bulan tak mampu
menemukan Tirta, Layung Seta putus
asa. Dan dia menyatakan kalau putranya telah hilang. Di sisi lain, keadaan
Mentari juga sangat memprihatinkan.
Tubuhnya semakin kurus, hingga
akhirnya jatuh sakit. Ingatannya terus tertuju pada Tirta, membuatnya tak mau
menyentuh makanan. Kalaupun mau, itu pun harus setengah dipaksa oleh Layung Seta
yang selalu telaten menyuapi.
Dalam penderitaan yang berkepan-
jangan, sahabat-sahabat Layung Seta
banyak membantu. Terutama, berusaha
membantu melunasi hutang pada Juragan Lanang.
Suatu ketika ada berita yang
cukup menggemparkan. Keluarga Mardi
ditemukan mati terbunuh dengan tubuh penuh luka benda tajam. Menyusul,
keluarga Wajak dan Gondo. Semuanya
mati secara mengenaskan dengan leher
tergorok hampir putus.
Belum selesai kejadian menggem-
parkan itu, menyusul satu kejadian
lebih mengenaskan. Di suatu malam
buta, datang serbuan dari orang-orang bertopeng
yang menyerang keluarga
Layung Seta. Layung Seta berusaha
mempertahankan diri, namun tak mampu menyelamatkan istrinya. Mentari tewas oleh
golok tajam salah seorang
penyerang bertopeng yang menghujam di dadanya.
Kendati begitu, Layung Seta terus
membalas orang yang telah membunuh
istrinya. Tak dipedulikan lagi keadaan dirinya yang penuh luka. Sehingga dia
berhasil membunuh dua dari sepuluh
orang bertopeng yang menyerangnya.
Perbuatan nekat Layung Seta tak
lagi memperhitungkan soal nyawa.
Kematian istrinya harus ditebus.
Namun, akhirnya justru dia yang jadi bulan-bulanan.
Untung saja saat Sumirat cepat
datang membantu. Walaupun mengalami
luka, akhirnya Sumirat berhasil
melarikan Layung Seta yang terus
bersikeras menghadapi orang bertopeng itu. Tetapi Sumirat terus menahan
gerakannya agar tidak nekat meneruskan pertarungan yang tak seimbang.
Setelah kejadian itu, sikap
Layung Seta jadi berubah. Di tempat
persembunyian lelaki itu selalu
terlihat murung bagai orang dungu.
Namun Sumirat tahu kalau sahabatnya
itu menangis dalam hati.
Belum lenyap kesedihan itu, kini
giliran istri dan anak Sumirat yang
ditemukan terbunuh. Sumirat benar-
benar murka. Namun dia masih mampu
menahan perasaannya.
Seolah, bencana memang tak hendak
enyah dari Dusun Bojong Pupuk. Dengan dikawal puluhan tukang pukul yang
rata-rata berbaju hitam, Juragan
Lanang menyatakan kalau Dusun Bojong Pupuk men-adi miliknya. Dan setiap
orang yang menghuni setiap jengkal
tanah dusun itu, diharuskan membayar pajak. Yang membantah, tak segan-segan kaki
tangan Juragan Lanang meng-hajarnya.
Kesewenang-wenangan Juragan La-


Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nang beserta anak buahnya sebenarnya sudah jelas. Meskipun sulit ditebak, siapa
orang-orang di balik topeng
hitam, tetapi bisa diyakini, kalau
mereka adalah anak buah Juragan
Lanang. Layung Seta dan Sumirat berusaha
menyelidiki setiap tindakan pembunuhan yang terjadi. Mereka mengumpulkan
segala macam senjata yang didapati
dari orang-orang yang telah tewas
terbunuh. Layung Seta merasa rumahnya tak akan disatroni lagi oleh orang-orang
bertopeng, karena telah dianggap
menghilang. Dengan dasar itulah Layung Seta lantas menyembunyikan senjata-
senjata di satu tempat
yang tersembunyi di salah sebuah bagian
rumahnya. Sementara Sumirat bertugas menjaga keamanan. Bila ada yang
datang, dia akan segera memberi tahu Layung Seta.
Belum reda dengan peristiwa
serangan orang bertopeng, Dusun Bojong Pupuk pun diwarnai perampokan yang
diakhiri pemerkosaan dan pembunuhan
pada setiap malam. Hal ini membuat
para penduduk semakin ketakutan saja.
Terutama kaum wanitanya. Banyak yang memutuskan untuk meninggalkan dusun
itu. Namun sayang akhirnya mereka
tewas di tangan para pembunuh gelap
yang selalu mengenakan topeng hitam.
Di lain pihak, orang-orang Juragan Lanang berkoar-koar untuk
menyelamatkan para penduduk. Mereka
seolah bertekad untuk menangkap orang-orang bertopeng dan para perampok.
Namun pada kenyataannya"
Dan para penduduk pun semakin tak
percaya akan tekad baik Juragan Lanang yang mengatakan kalau anak buahnya
adalah para penyelamat. Mereka
bertambah yakin kalau semua ini
didalangi oleh Juragan Lanang.
Layung Seta dan Sumirat semakin
geram saja. Pada suatu saat, mereka
berniat menyelidiki orang-orang ber-
topeng, namun kepergok. Dalam
peristiwa ini, Layung Seta tewas.
Sementara, Sumirat masih berhasil
melarikan diri dengan tubuh penuh
luka. Selama beberapa tahun akhirnya
Sumirat mencoba mengumpulkan kekuatan.
Dibujuknya beberapa orang penduduk
untuk meninggalkan dusun,
dan bergabung di tempat persembunyian.
Namun karena ketakutan yang dalam,
membuat Sumirat agak kesulitan mem-
bujuk dan meminta bantuan para
penduduk lainnya. Hingga sampai hari ini, tak banyak yang jadi pengikutnya.
Kalaupun banyak, hanya terdiri dari perempuan dan anak-anak belaka yang
berhasil meloloskan diri dari ancaman anak buah Juragan Lanang.
Dalam keadaan jumlah pengikut
yang sedikit, Sumirat tak berani
memutuskan untuk melakukan tindakan
pembalasan. Dan kalaupun sampai hari ini masih aman, itu karena sangat
berhati-hati. Di samping itu, beberapa orang Juragan Lanang yang tiba disini
terpaksa dibunuh. Karena bila
membiarkan hidup, berarti mengorbankan nyawa orang-orang yang bergabung
dengannya sekarang ini.
*** Tirta menarik napas masygul
setelah mendengar cerita Sumirat.
Rupanya, gemblengan Bwana selama lima tahun dan berada dalam kesunyian
tempat, tak membuatnya terlalu hanyut dalam rasa sedih yang mengikat.
Meskipun diakui, dia tak mampu
mengeluarkan suara beberapa saat,
mendengar berita dua
orang yang dirindukan dan dikasihinya telah
meninggal secara mengerikan.
"Tirta... apakah kau baik-baik
saja?" tanya Sumirat dengan suara bijaksana.
Tirta memamerkan senyumnya,
berusaha menindih segala persoalan.
Segera kepalanya mengangguk, ketika
Sumirat menunggu jawabannya.
"Aku tidak apa-apa, Paman."
"Syukurlah kalau begitu."
"Paman tadi mengatakan, kita
perlu senjata yang didapat dari orang-orang terbunuh. Di manakah senjata-
senjata itu disembunyikan?" tanya Tirta kemudian. Kesabarannya mendengar berita
yang menyakitkan hati mampu
membuatnya mengendalikan diri.
Sehingga Tirta tak larut dalam kese-
dihan dan kemarahan yang sebenarnya
sudah membludak.
Sumirat mendesah.
"Itulah penyebabnya, Tirta. Aku tak mengetahuinya. Karena, ayahmu yang bertugas
menyembunyikan senjata-senjata itu. Sementara, aku menunggu di
luar berjaga-jaga agar tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan."
Tirta terdiam sesaat. Gumpalan
kenangan membias di benaknya. Cukup
menikam hatinya. Tetapi lagi-lagi jiwa kependekarannya tak membuatnya jadi
cengeng. "Kalau begitu, biar aku yang
mencari sekaligus menyelidiki semua
ini." "Tirta... kita baru bertemu.
Beristirahatlah dulu. Mungkin kau
masih lelah."
Sebagai jawaban dari permintaan
Sumirat, Tirta justru berdiri dan
tersenyum. "Kita akan bertemu lagi, Paman."
Wuuuttt! Tiba-tiba saja laksana tiupan
angin, tubuh Tirta telah hilang dari pandangan. Kontan orang-orang yang
berada ditempat itu tertegun dibuatnya. Sehingga, tak satu suara pun yang
terdengar. Seolah mereka baru
menyadari kalau pemuda berbaju
keemasan dengan rajahan bergambar
burung rajawali emas di lengan kanan dan kirinya sudah tak tampak di
hadapan. "Luar biasa.... Entah, apa yang akan dilakukan Layung Seta dan
istrinya bila masih hidup dan
mengetahui bocah yang dirindukan telah kembali pulang dan menjadi pemuda
gagah," desah Sumirat tak mampu menahan kekagumannya. Lalu kepalanya menoleh
pada dua orang yang ada di
tempat ini "Langlang! dan kau, Bowo.
Seperti biasa, kalian berjaga-jaga di tempat masing-masing. Jangan sampai
persembunyian kita diketahui orang-orang Juragan Lanang."
*** 3 Untuk mendapatkan keterangan
lain, Tirta sengaja berjalan di
tengah-tengah desa dengan sikap
tenang, seolah tak tahu kejadian apa yang telah menimpa Dusun Bojong Pupuk.
Meskipun hatinya sangat marah
mengetahui semua ini, namun berusaha bersabar.
Pemuda ini berharap bisa bertemu
kelima orang berbaju hitam lagi. Dan belum lagi dia tiba di dekat sebuah
pohon trembesi yang ada di tengah
dusun, mendadak....
"Auuuw...!"
Terdengar teriakan keras bernada
ketakutan dari salah satu rumah di
dusun ini. Cepat si pemuda tampan yang
mencoba mencari tahu tentang kematian kedua orangtuanya itu melesat masuk ke
dalam rumah sumber suara tadi. Begitu tiba, tampak lima orang berbaju hitam
sedang terbahak-bahak lebar
sambil mendekati seorang perempuan yang
ketakutan di sudut kamar. Sementara
seorang lelaki yang dikenal Tirta
bernama Randung dalam keadaan babak
belur dan terikat tak berdaya. Lelaki itu, adalah suami dari perempuan yang
tengah ketakutan.
Kemarahan Tirta tak bisa
dibendung lagi melihat tindakan
sewenang-wenang itu.
"Belum juga perintah Eyang bisa kujalankan untuk mencari Raja Lihai Langit Bumi
dan Bidadari Hati Kejam, sudah ada urusan di depan mata.
Sebaiknya kuurus dulu masalah ini
sampai tuntas, sebelum kutemukan dua murid Eyang itu."
Habis membatin seperti itu, Tirta
menatap tajam pada lima orang baju
hitam yang menjengkelkan hatinya.
"Wah, wah! Dasar kucing!
Beraninya hanya melawan cecurut" Ayo, lepaskan! Apa kepala kalian ingin
kujitak"!" semprot Tirta.
Seketika suara tawa penuh ejekan
sekaligus ancaman terhenti. Bersamaan dengan itu, lima orang berbaju hitam
memutar tubuh. Mendapati bentakan
seperti itu saja, mereka sudah berubah garang. Dan mereka makin garang ketika
tahu, siapa yang mengeluarkan ben-
takan. Seorang pemuda tampan yang
mereka usir tadi pagi ketika memasuki dusun ini.
Orang yang tadi pagi mengusir
Tirta melangkah tiga tindak. Sikapnya terlihat tengik dan penuh ancaman.
"Pemuda keparat! Rupanya kau
hanya cari penyakit berani datang ke sini lagi!" bentaknya garang.
Tirta mencoba menahan kemarahan
yang bertambah naik.
"Waduh.... Kalian masih marah
padaku" Maaf, ya. Aku tidak
meninggalkan dusun ini. O, ya. Aku tak menyukai tindakan keji macam beginian.
Lebih baik kalian angkat kaki, sebelum aku benar-benar akan menjitak kepala
berotak udang kalian!"
Mendengar kata-kata Tirta, lelaki
itu terbahak-bahak, disusul empat
kawannya. Hingga rumah yang sudah agak doyong itu dipenuhi tawa meriah.
"Bicaramu terlalu sembrono, Orang Muda! Apakah harus diperkenalkan lagi, siapa
kami?" sera lelaki berwajah kasar yang membentak tadi. Dan
rasanya, Tirta ingin menampar mulut
orang itu. "Tak jadi soal kalian mau
perkenalkan diri atau tidak. Aku tahu, kalian orang-orang Juragan Lanang
seperti yang kalian katakan padaku
tadi pagi! Hanya kuminta, menyingkirlah dari sini dengan damai bila tak
ingin celaka!"
Mendapati jawaban yang menying-
gung perasaan, lelaki berwajah kasar itu menggeram. "Setan keparat! Rupanya kau
belum kenal siapa kami, Orang
Muda"! Ketahuilah...! Kami para tukang pukul Juragan Lanang! Harap segera
angkat kaki bila masih sayang nyawa!"
"Sekalipun sebagai penghuni
neraka, aku tak akan diam melihat
tindakan keji di depan mata!" sahut Tirta gagah. "Apalagi kalian cuma kucing
kurap yang sok mau jadi
harimau!" "Setan alas! Kau hanya cari
penyakit! Terima kematianmu!"
Lelaki berwajah kasar itu sudah
melompat dengan satu jotosan. Namun
Tirta cepat mengangkat tangan
kanannya, dan menurunkan dengan cepat Plak!
Bersamaan dengan itu, Tirta
mengempos tubuhnya kebelakang. Dan
tahu-tahu, si pemuda sudah ada di
halaman rumah yang cukup lebar itu.
Sementara lelaki berwajah kasar
yang serangannya mentah kembali,
merasa ngilu sekali pada tangannya.
Sejenak dia tak mampu mengumbar kata-kata. Mulutnya bagai terkunci begitu saja.
Namun.... "Bunuh pemuda itu!" bentaknya, berang. Serang!
Serentak keempat lelaki lain
meloloskan golok Dan seketika mereka bergerak menerjang ke arah Tirta.
Tirta yang sudah dikurung kelima
orang baju hitam bertampang bengis itu hanya tersenyum dengan sikap tenang.
"Waduh! Beraninya main kero-
yok.... Jangan salahkan bila kalian
hanya akan jadi kambing congek di
hadapanku, ya"!"
Tanpa mempedulikan ocehan Tirta,
empat lelaki itu telah menebaskan
golok hampir bersamaan. Sementara, si pemuda tahu-tahu telah bergerak lincah
sambil mengibaskan tangannya. Tahu-tahu....
Tak! Tak! "Aaakh...!"
Mendadak terdengar pekikan ter-
tahan. Empat orang yang menyerang
Tirta tampak mundur dengan wajah
terkejut. Dan lebih terkejut lagi
ketika golok di tangan sudah lenyap.
Justru ketika mereka menatap ke
depan, golok golok itu sudah berpindah ke tangan pemuda berbaju keemasan itu.
Yang mencengangkan lagi, dengan sekali tekan saja keempat golok itu patah
sekaligus. "Nih kukembalikan!" kata si pemuda enteng.
Lalu golok itu dilemparkan ke
depan seperti asal lempar saja.


Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Secepatnya keempat orang itu menye-
lamatkan diri, kalau tak mau tertancap
patahan golok yang bagai meluruk
secepat angin. Dan patahan golok itu menancap dalam pada pohon di belakang
mereka, berurutan dari atas ke bawah.
"Ha... ha... ha....
Kalian seperti kucing kurap kurang makan! Ayo bangun!" ejek Tirta.
Keberanian keempat orang itu
kontan enyah dari dada, berubah
menjadi ciut. Wajah mereka tegang,
pias, dan ketakutan. Sementara lelaki berwajah kasar yang membentak pertama tadi
pun tercengang.
"Hei"! Mau ke mana kalian"!"
Dan lelaki itu berseru-seru
ketakutan ketika keempat temannya
tahu-tahu bangkit dan melarikan diri tanpa ada kata sepakat.
"Hei! Hei! Tunggu!"
Lelaki berwajah kasar itu berlari
pula. Tetapi langkahnya terhenti
karena tahu-tahu Tirta sudah berada di hadapannya. Seperti melihat setan di
siang bolong, si lelaki kasar
membelalak lebar. Dan tanpa disentuh, dia
menggelosor terkencing-kencing.
Bahkan langsung pingsan!
"Bah! Yang ini malah ngompol
lagi!" umpat si pemuda.
Sekali kelebat, Tirta masuk ke
dalam rumah. Terlihat perempuan yang ketakutan tadi sudah melepaskan ikatan pada
suaminya. "Kalian aman sekarang...," kata
Tirta. "Terima kasih, Tuan... terima
kasih." Kedua suami istri yang baru saja
mengalami kejadian menakutkan itu
mengucapkan terima kasih berkali-kali.
"Paman Randung.... Jangan panggil aku Tuan. Apakah Paman tak mengenaliku lagi?"
Lelaki yang babak belur itu
mengangkat kepala. Ditatapnya si
pemuda yang sedang tersenyum.
"Oh, Tuhan...! Kau..., Tirta?"
"Ya. Paman. Aku Tirta. Bocah yang hilang lima tahun lalu. Untuk saat
ini, kita tak punya banyak waktu untuk menjelaskan keberadaanku kembali di
dusun ini. Aku yakin orang-orang itu akan kembali. Lebih baik, Paman kubawa
ketempat Paman Sumirat dan yang
lainnya. Aku sudah bertemu mereka
sebelumnya."
Randung menarik napas panjang.
Dia teringat ketika Sumirat
mengajaknya untuk bergabung. Namun
ancaman dari orang-orang Juragan
Lanang tak membuatnya berani
menyetujui ajakan itu. Nyatanya
sekarang ini, justru nyawanya dan
keselamatan istrinya terancam.
Perlahan-lahan Randung menganggukkan kepala.
*** Begitulah apa yang dilakukan
Tirta kemudian. Dengan mencoba
menjelaskan pada penduduk tentang
dirinya dan tentang ancaman yang
dilakukan orang-orang Juragan Lanang, dalam waktu lima hari Tirta sudah
berhasil mengungsikan orang-orang
disana ke tempat Sumirat. Memang bukan pekerjaan mudah. Karena, masih ada
orang-orang yang menolak dan ketakutan meski sudah dibujuk. Di samping itu,
Tirta juga harus melumpuhkan orang-orang Juragan Lanang yang
menghadangnya. Namun untungnya itu
bukanlah persoalan sulit.
Kesabaran Tirta diuji pada saat-
saat itu. Dan kesabarannya memang
membuahkan hasil. Menurut dugaannya
keamanan para penduduk harus dinomor satukan.
Tirta juga yang mengatur penja-
gaan di sekitar tempat persembunyian.
Sudah tentu yang sangat senang dalam hal ini adalah Sumirat. Begitu lama
dia coba bujuk para penduduk untuk bergabung, namun mengalami kesulitan.
Justru Tirta hanya dalam waktu kurang satu Minggu telah berhasil mengungsikan
mereka. Untuk bergabung bersama
yang lainnya. Maka sudah tentu dengan hilangnya
para penduduk dari rumah masing-
masing, membuat heran orang-orang
Juragan Lanang. Karena, di ladang, di sungai, di sawah, makin sepi dari
orang yang kerja untuknya.
Di rumahnya, Juragan Lanang yang
sudah mendengar hal itu jadi berang.
Wajahnya tegang dengan sinar mata
berapi-api. "Periksa setiap rumah! Mereka
rupanya mulai membangkang! Bunuh siapa saja yang menolak!" Ucapnya pada lima
belas anak buahnya.
Serentak lima belas orang lelaki
berwajah kasar bergerak. Mereka tak
mau lebih lama tinggal di sana,
sebelum kemarahan sang majikan akan
terlampiaskan. Dan kini lelaki berusia sekitar
empat puluh lima tahun dengan wajah
licik itu melangkah ke sebuah ruangan yang terdapat ditengah-tengah bangunan
besar ini. Dia mengetuk pintu lalu
masuk dengan langkah perlahan.
Kemudian ditutupnya pintu itu rapat-
rapat. "Guru...," panggil Juragan Lanang penuh hormat. Lalu dia duduk bersila di
lantai. "Aku telah mendengarnya, Lanang.
Dan aku yakin, ada orang yang telah
berhasil membujuk para penduduk untuk melarikan diri," shut suara merdu namun
bernada dingin dari salah satu ruangan yang remang-remang dan berbau harum
"Guru...."
"Biarlah hal itu diurus anak
buahmu. Kupikir, urusan macam begini tak terlalu memprihatinkan. Karena,
ada urusan lebih besar, yang selama
lima tahun kunanti untuk kusele-
saikan." "Apa itu, Guru?"
"Lanang.... Sudahkah kau men-
dengar berita tentang Batu Bintang?"
"Maafkan aku, Guru.... Sampai
saat ini, aku belum mendengar tentang berita itu lagi...."
Sosok ramping yang berbicara
dengan Juragan Lanang menyipitkan
kedua matanya yang dingin. Aroma harum yang tercium ternyata bukan berasal
dari ruangan itu, melainkan dari tubuh ramping yang duduk bersila di hadapan
Juragan Lanang.
Sosok ramping yang ternyata
seorang wanita itu berbaju sutera yang indah sekali. Belahan baju bagian
dadanya tampak rendah, hingga
memperlihatkan bungkahan dua bukit
kembar yang besar dan indah. Sementara belahan baju bagian bawah hingga ke
pangkal paha memperlihatkan kedua paha yang mulus menggiurkan. Di balik
wajahnya, ditutupi cadar dari sutera pula. Sukar dinilai, bagaimana
rupanya. "Lima tahun lamanya aku menunggu tentang Batu Bintang. Bukan berarti
aku duduk berdiam dirinya di sini.
Berita itu telah kudengar cukup lama, namun belum seorang pun yang
mendapatkannya. Aku justru mengatur
sebuah rencana agar dusun ini
dijadikan sebagai tempat tinggal. Kau telah berhasil melakukannya, Lanang.
Dengan demikian, tak seorang pun yang tahu kehadiranku kembali ke rimba
persilatan ini," kata perempuan itu, halus suaranya.
"Ya, Guru."
"Sengaja aku berdiam di sini dan menunggu, semata untuk memastikan
siapa yang telah memiliki Batu Bin-
tang. Sebuah batu yang bisa dijadikan senjata ampuh tak terkalahkan. Namun,
berita tentang Batu Bintang itu tiba-tiba menguap. Dan aku tak tahu, siapa yang
telah memiliki."
"Ya, Guru," sahut Lanang sambil tetap menunduk .
Selama sepuluh tahun, Juragan
Lanang mengenal wanita bercadar sutera ini. Namun sampai saat ini, dia belum
sekali pun melihat wajahnya. Lelaki
ini hanya tahu kalau gurunya berjuluk Dewi Kematian. Sebuah julukan angker dan
mengerikan. Dan dia pun tahu kalau gurunya telah tiga puluh tahun
mengundurkan diri dari rimba
persilatan. Memang, semua yang dila-
kukan Juragan Lanang adalah rencana
gurunya yang lima tahun lalu mengajak
dirinya untuk keluar dari kediaman di Pesisir Laut Barat.
"Lanang.... Kau urus keadaan di sini. Aku sudah bosan duduk berdiam di sini,
menunggu Batu Bintang. Sudah
tiba saatnya aku untuk keluar untuk
mencari tahu tentang Batu Bintang."
"Baik, Guru."
"Keluarlah kau sekarang. Dan
lakukan apa yang menurutmu
baik. Ingat! Jangan sampai ada yang tahu
tentang kehadiranku kembali ke rimba persilatan. Karena ini sangat penting,
Lanang. Aku ingin mendapatkan Batu
Bintang tanpa banyak kesulitan. Siapa pun yang telah memilikinya, aku akan
merebutnya."
"Baik, Guru.... Semua perintah
Guru akan kujunjung tinggi di atas
nyawa." Lalu perlahan-lahan lelaki licik
itu meninggalkan tempat ini. Memang, bila berhadapan dengan anak buahnya, dia
selalu menunjukkan kekejaman
tinggi. Namun bila berhadapan dengan gurunya, Juragan Lanang tak lebih
hanyalah tikus cecurut belaka.
Sepeninggal muridnya, perempuan
bercadar sutera menarik napas panjang.
"Batu Bintang.... Sebuah benda
langka yang aku tahu kini diperebutkan orang-orang rimba persilatan. Siapakah
yang telah memilikinya" Hm.... Sampai saat aku ini tak mendengar kabar lagi
tentang Batu Bintang?"
Sejenak perempuan bercadar yang
berjuluk Dewi Kematian itu terdiam. Di balik cadar suteranya, keningnya
berkerut. Agaknya, dia berusaha
menentukan, di manakah Batu Bintang
itu berada. Lima tahun dia menunggu
dan merencanakan semua ini. Terutama, mendapatkan dusun ini sebagai tempat
tinggalnya. Selama ini, kemunculannya kembali ke dunia ramai memang tak
diketahui siapa pun juga. Kecuali,
muridnya sendiri yang tak lain Juragan Lanang.
"Sebelum tiba di dusun ini,
dengan ajian Tutup Sukma' aku telah
melihat empat tokoh rimba persilatan telah keluar. Ratu Tengkorak Hitam, Kaki
Gledek, Bidadari Hati Kejam, dan Manusia Mayat Muka Kuning. Tetapi dari sekian
orang, tak ada satu pun yang
kuduga telah memiliki Batu Bintang.
Hmm.... Mengenai Manusia Mayat Muka
Kuning, apakah masih mengenalku
sebagai bekas kekasihnya dulu" Tak ada lagi cinta di hatiku padanya, kecuali
hanya jadi sahabat belaka. Tentang
benda yang kucari itu, mengapa
perasaanku mengatakan sangat dekat
dengan Batu Bintang" Hanya saja,
pijaran kerasnya tak terlalu kutangkap ajian 'Tutup Sukma'. Lain dengan
sebelumnya. Apakah ada yang telah
mendapatkan, dan telah mengubah bentuk
Batu Bintang menjadi sebuah senjata"
Pertanda apakah itu?"
Kembali orang bercadar sutera itu
terdiam. "Hmmm.... Akan kuselidiki tentang hal ini, sebelum melangkah keluar dari dusun
ini. Batu Bintang...! Apa pun
sekarang bentuknya... harus menjadi
milikku." Dan tak lama, perempuan bercadar
sutera itu terdiam, mendadak muncul
kepulan asap tebal menyelubungi
tubuhnya. Begitu tebalnya, hingga
tubuh yang duduk bersila tadi tak
nampak oleh mata.
Dan ketika asap putih itu
perlahan-lahan menghilang, yang nampak di depan mata hanya sebuah ruang
kosong. Sosok perempuan bercadar
sutera dan mengeluarkan aroma harum
dari tubuhnya itu tak lagi nampak di depan mata. Lenyap entah ke mana.
*** 4 Sebuah semak bergerumbul di
pinggir sungai menguak Dari dalamnya, muncul satu sosok tubuh ramping
berkonde berbaju batik. Sosok yang
ternyata perempuan tua itu menggerutu panjang pendek. Dia baru saja selesai
mandi, dan berpakaian kembali.
Nenek berkonde itu mendongak ke
atas. Matahari saat ini tepat berada di atas kepala. Namun, sengatannya tak
mampu menembus rimbunnya pepohonan.
Sejenak dia terdiam, lalu menarik
napas panjang. "Lima tahun berlalu tanpa terasa.
Tak kudengar lagi tentang Batu
Bintang. Juga, bocah bernama Tirta
yang kuinginkan menjadi muridku. Kabar Manusia Mayat Muka Kuning pun tak
kudengar lagi. Setan keparat! Kenapa semuanya menguap begitu saja"


Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keluarnya aku dari tempat kediamanku ini karena isyarat terselubung yang
dilakukan Manusia Mayat Muka Kuning.
Setan alas! Mau cari mampus manusia
itu rupanya. Hmmm.... Baiknya aku
datangi Raja Lihai Langit Bumi. Masih ada pertanyaanku untuknya, mengapa
mengajarkan jurus 'Undang Maut Sedot Darah' pada Ratu Tengkorak Hitam.
Kalau dia benar-benar menurunkan jurus itu, tak segan-segan aku akan meng-
hajarnya. Peduli nyawaku akan putus
atau tidak. Meskipun dia saudara
seperguruanku, tetapi tak pernah tahu seberapa tinggi ilmunya. Karena, Guru
mengajarkan kami ilmu yang berbeda.
Tetapi, dia telah berubah dan membelokkan ajaran Sepuh Mahisa Agni. Ada apa di
balik semua ini" Lima tahun
telah berlalu, dan banyak peristiwa
terjadi. Darah tumpah seperti sungai.
Mayat bertimbunan menjadi bukit. Rimba persilatan memang sedang kacau balau."
Nenek berkonde yang tak lain
Bidadari Hati Kejam terdiam lagi.
Diperhatikannya seluruh tempat yang
dipenuhi semak dan pepohonan tinggi.
Tiba-tiba kepalanya menoleh ke satu
tempat. "Ada bangsat busuk yang mengintip aku rupanya!" omel si nenek sambil
menyentakkan tangan kanannya.
Wusss! Semak belukar yang berjarak lima
tombak terpapas pecah beterbangan
terhantam angin deras pukulan yang
dilepaskan nenek berkonde itu. Dan
dari pecahan semak, meloncat satu
sosok tubuh. Begitu mendarat,
tampaklah seorang lelaki berpakaian
compang-camping dengan sebuah tongkat kusam di tangannya.
"Menyerang membabi buta adalah
tindakan sembrono. Padahal, aku tak
bermaksud mengintip," kata lelaki tua sambil menatap tajam Bidadari Hati
Kejam yang tengah jengkel.
"Siluman Buta!" sebut Bidadari Hati Kejam, begitu mengenali orang
yang baru muncul.
"Pekerjaanmu seperti remaja saja.
Suka mengintip! Apakah tak ada
pekerjaan lain yang bisa membuatmu
lebih melek!"
Lelaki tua berpakaian compang-
camping dengan rambut putih kusut dan wajah celong ke dalam itu mengeluarkan
suara geli. "Kalaupun mengintip, sudah tentu aku tak lihat apa-apa. Kalau mataku
melek, yang tampak cuma buah pepaya
busuk dan kue berambut gersang! Apa
enaknya bagiku, hah"! Hanya membuat kedua mataku jadi tertutup saja,"
sahut lelaki tua yang dipanggil
Siluman Buta seraya tertawa keras.
Bidadari Hati Kejam mendengus
berkali-kali. Dia memang mengenal
tokoh berjuluk Siluman Buta itu.
Seorang tokoh buta dari golongan sesat berhati kejam. Selama ini, Bidadari
Hati Kejam memang tak pernah bentrok dengan tokoh berbaju compang-camping itu.
Sehingga dia menemui kesulitan
untuk mengukur ketinggian ilmu Siluman Buta. Namun dia tahu, Siluman Buta
pernah dipecundangi saudara
seperguruannya yang berjuluk Raja
Lihai Langit Bumi saat adu kesaktian di Lembah Maut. Setelah pertarungan
itu, masing-masing tokoh menghilang
begitu saja. Termasuk Siluman Buta.
Kalaupun lelaki tua itu kembali muncul kedunia ramai, tentunya ada urusan
yang tidak gampang.
"Bicara busukmu itu tak bisa
kuampuni sebenarnya! Katakan, urusan apa yang memaksamu keluar dari
pengasingan"!" bentak Bidadari Hati Kejam.
"Justru aku yang bertanya padamu, Bidadari Hati Kejam. Urusan apa yang memaksamu
keluar?" tukas Siluman Buta, enteng.
"Masing-masing punya urusan.
Lebih baik saling menjauh sekarang."
"Usul yang bagus. Tetapi, di
manakah Raja Lihai Langit Bumi berada sekarang?"
Mendengar pertanyaan itu,
Bidadari Hati Kejam bisa menangkap
urusan apa yang memaksa Siluman Buta muncul. Tentunya, manusia compang-camping
dengan kedua biji mata putih itu masih mendendam atas kekalahannya dulu dari
Raja Lihai Langit Bumi.
"Dia hanya saudara seperguruanku.
Bukan suami atau kekasihku. Mana
kutahu dia berada dimana?" sahut Bidadari Hati Kejam.
"Jawaban yang mengesankan."
"Ganti jawab pertanyaanku. Tahukah kau, dimana Manusia Mayat Muka
Kuning?" Siluman Buta tersenyum. "Rupanya kau masih memiliki urusan lama dengan Manusia
Mayat Muka Kuning. Mengapa?"
"Dialah yang memaksaku keluar
dari kediamanku! Dan nama busuk
Manusia Mayat Muka Kuning akan lenyap dari permukaan bila berurusan denganku
lagi!" Siluman Buta terbahak-bahak.
"Sungguh besar nyali Manusia
Mayat Muka Kuning yang tak tahu
tingginya langit dan dalamnya bumi
Tetapi sayangnya, siapa pun akan
berani menghadapimu, Bidadari Hati
Kejam." Wajah nenek berkonde itu tertarik
ke dalam, lebih menampakkan kerut
merut pada wajahnya. Kedua matanya
bersinar tajam pada lelaki tua di
hadapannya. "Ucapan manusia buta ini telah
mencongkel amarah dalam dadaku.
Rasanya aku tak bisa menghindari
urusan dengannya. Hm.... Aku jadi
ingin merasakan kehebatannya. Urusannya keluar dari pengasingan sudah
tentu akan membalas dendam pada Raja Lihai Langit Bumi. Meski saudara
seperguruanku, tetapi setiap urusan
Raja Lihai Langit Bumi bukanlah
urusanku," kata batin nenek berkonde.
Mata si nenek tak berkedip ke
arah Siluman Buta yang berdiri sambil memegang tongkat dengan kedua lengan-nya.
"Bicaramu sudah keterlaluan!
Urusan ini jadi makin lebar! Bila kau memaksa, aku terima dengan tangan
terbuka!" ujar Bidadari Hati Kejam dengan suara ditekan.
Siluman Buta tertawa keras,
mengumandang ke seantero tempat.
Tantanganmu kusambut hangat,
Bidadari Hati Kejam. Apakah aku akan diam saja?"
"Banyak omong!"
"Tetapi, bukan kau sasaran
sebenarnya. Lebih baik, tunda dulu
urusan kita!"
"Ngomong berbelit-belit, ternyata hanya menunjukkan jiwa sakit! Bila tak mau
dikatakan pengecut, ayo cepat
enyah dari sini!"
Siluman Buta menatap tajam.
Bibirnya yang penuh
keriput menyeringai dingin.
"Bidadari Hati Kejam.... Kau akan tercengang bila melihat siapa aku
sebenarnya! Lain dulu lain sekarang!
Aku tahu kesaktianmu hanya bisa
ditandingi oleh Raja Lihai Langit
Bumi, saudara seperguruanmu yang telah mempecundangiku di Lembah Maut.
Tetapi, apakah aku bertindak bodoh
untuk mencarinya bila kemampuanku
masih seperti dulu?"
Begitu habis kata-katanya,
Siluman Buta meluruk deras sambil
menggerakkan tongkat kusam yang dipegangnya. Bagai sebuah baling-baling raksasa,
tongkat kusam itu berputaran menimbulkan angin dahsyat yang menggu-gurkan
dedaunan ke arah Bidadari Hati Kejam.
Bidadari Hati Kejam terkesiap
menangkap gebrakan pertama dari
Siluman Buta. Tetapi, tanpa bergeser dari tempatnya, sebelah tangannya
digerakkan. Wuusss! Serangkum angin meluruk, sekali-
gus mendorong tongkat yang siap
menghantam pecah kepala Bidadari Hati Kejam.
Trak! Tongkat yang terhantam itu
berputar kembali ke belakang. Namun
anehnya, mampu kembali menderu ke
depan. "Makin hebat tenaga dalam manusia buta ini! Akan kuberi pelajaran dia!"
rutuk nenek berkonde itu.
Kalau tadi Bidadari Hati Kejam
hanya mengangkat sebelah tangannya,
kali ini kedua tangannya mendorong ke depan. Angin yang keluar lebih dahsyat
daripada yang pertama.
Tak! Papakan Bidadari Hati Kejam
menghantam kuat tongkat kusam itu.
Hingga tongkat kusam itu berbalik
hendak menghantam pemiliknya.
Namun sambil terkekeh-kekeh Silu-
man Buta menggerakkan tangannya.
Tap! Tongkat kusam yang menderu cepat
itu berhasil ditangkap Siluman Buta
dengan enaknya.
"Luar biasa! Hebat sekali!" puji Siluman Buta.
"Menyingkir dari sini sebelum
urusan ini berubah jadi pertumpahan
darah!" desis Bidadari Hati Kejam.
"Urusan ini memang harus diselesaikan, Bidadari Hati Kejam. Tapi
jawab dulu satu pertanyaanku!"
"Jangan berbelit-belit!"
"Tahukah kau, di mana Batu
Bintang berada?"
Sesaat Bidadari Hati Kejam
terdiam. Kedua matanya makin tak
berkedip menatap orang yang berdiri
dalam jarak tiga tombak di hadapannya.
"Hm.... Selain menyelesaikan
urusan lama dengan Raja Lihai Langit Bumi, rupanya manusia buta ini mencari Batu
Bintang pula. Ah.... Masih tak
kumengerti, apa maunya Guru melepaskan Bwana peliharaannya dan menyelipkan
Batu Bintang pada ekornya," desah batin nenek berkonde.
Si nenek diam sebentar. Matanya
nyalang kearah Siluman Buta.
"Soal Batu Bintang bukan
urusanku! Kalau kau ingin lari, kenapa tak segera berlalu?" usir Bidadari Hati
Kejam, dingin. "Ha ha ha.... Baik, baik! Bila
kau bertemu Raja lihai Langit Bumi,
katakan satu pesanku padanya. Nyawanya sudah ada di tanganku!" sahut Siluman
Buta. "Ancaman kosong yang hanya
membuat bocah kecil terkencing-
kencing! Kalau dulu Raja Lihai Langit Bumi masih mengasihanimu, tapi kali
ini dia tak akan mengampuni lagi! Kau hanya muncul untuk membuang nyawa!"
Wajah Siluman Buta tiba-tiba
menegak. "Kau hanya melihat permulaan dari yang kulakukan, Bidadari Hati Kejam.
Bila urusan dengan Raja Lihai Langit Bumi selesai, kau tak akan bisa lari dari
kenyataan."
Sehabis berkata begitu, Siluman
Buta melangkah meninggalkan Bidadari Hati Kejam. Sementara si nenek hanya
memperhatikan saja.
"Nama Siluman Buta membuat nyali orang takut. Sebenarnya ingin kucabut nyawanya.
Tetapi, aku harus
mempersiapkan tenaga untuk menghadapi Manusia Mayat Muka Kuning. Sebaiknya
kutinggalkan tempat ini."
Tubuh nenek berkonde itu
berkelebat cepat. Dan sebentar saja, tubuhnya lenyap dalam sekejap.
*** Sepeninggal Bidadari Hati Kejam
satu sosok tubuh yang sejak tadi
mengintip dari kejauhan sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh agar
tidak ketahuan keberadaannya, menarik napas panjang.
"Siluman Buta rupanya telah
muncul ke dunia ramai. Di samping
untuk membalas dendam pada Raja Lihai Langit Bumi, dia juga bermaksud
mencari Batu Bintang pula. Tak ku-
sangka kalau sainganku kian bertambah.
Tetapi, mengapa sampai sejauh ini tak terdengar lagi berita tentang Batu
Bintang yang dibawa burung rajawali
keemasan" Cerita tentang rajawali
raksasa itu pun bagai menguap begitu saja. Seperti hilang dari peredaran."
Orang tinggi besar berbaju merah
itu tegak berdiri dengan otak berpikir keras. Lalu kepalanya mengangguk-angguk.
"Hm.... Biar bagaimanapun sulitnya, Kaki Gledek tak akan mundur untuk
mendapatkan Batu Bintang. Hanya saja, aku mesti berhati-hati sekarang.
Karena lengah sedikit saja nyawa akan melayang," gumam lelaki tinggi besar yang
ternyata Kaki Gledek.
"Ucapan itu boleh juga. Seolah
menunjukkan keberanian tinggi, padahal untuk menutupi segala ketakutan.
Siapapun tahu, macam apa orang yang
berjuluk Kaki Gledek yang cuma
bermodalkan tubuh tinggi besar tanpa kehebatan apa-apa. Tak perlu terlalu lama


Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu nyawa melayang, karena saat ini juga nyawamu akan putus!"
Tiba-tiba terdengar suara angker
dari belakang Kaki Gledek.
Cepat lelaki tinggi besar itu
memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang berbicara dingin tadi. Seketika
wajahnya menjadi pias. Kedua matanya bagai terbetot keluar seperti melihat setan
gentayangan. "Manusia Mayat Muka
Kuning!" sebutnya. Orang yang baru muncul dan
berdiri tegak mencangkung di hadapan Kaki Gledek tersenyum dingin.
"Lima tahun berlalu sungguh tak terasa. Hanya seperti angin belaka.
Namun apa yang telah dikerjakan masih terasa. Kau telah membuat satu
kesalahan besar padaku, Kaki Gledek!"
Makin pias Kaki Gledek mendapati
ancaman orang. Dia berusaha menindih rasa ketakutannya, namun tak mampu
dilakukan. Masih diingatnya betul
kalau lima tahun yang lalu, Manusia
Mayat Muka Kuning berhasil diboho-
nginya agar bisa meloloskan diri dari kematian. Tetapi sekarang, orang muka
kuning yang dingin seperti mayat itu telah berdiri di hadapannya.
"Celaka! Kenapa harus dia yang
muncul"! Bisa berabe urusan ini!"
rutuk batin Kaki Gledek dengan
perasaan tak menentu.
Perlahan-lahan lelaki tinggi
besar itu menarik napas panjang.
"Manusia Mayat Muka Kuning! Tak mungkin aku bersikap lancang menuruti kata hati
untuk membohongi. Apa yang
kukatakan tak perlu diragukan lagi."
Ucapan ini terdengar halus, namun
diam-diam Kaki Gledek mengerahkan jurus 'Kaki Gledek Lingkar Bumi' bila keadaan tak bisa dikendalikan lagi.
Meskipun tahu tak akan mampu mengatasi Manusia Mayat Muka Kuning, namun dia
ingin memberikan perlawanan sebisanya sebelum mati.
"Huh! Pancinganmu tak mengena, Kaki Gledek! Sudah kujumpai
Ratu Tengkorak Hitam untuk mendapat
keterangan tentang Batu Bintang.
Wanita peot itu mengatakan kalau dia tak memiliki. Berarti, kau berbohong!"
(Tentang kebohongan Kaki Gledek, baca episode : "Geger Batu Bintang").
Mendengar ucapan itu, Kaki Gledek
bagai menemukan jalan keluar dari
ketakutan oleh ancaman Manusia Mayat Muka Kuning.
"Tak kusangka.... Ilmumu yang
setinggi langit ternyata bisa dike-
labui nenek peot berjuluk Ratu
Tengkorak Hitam. Sudah tentu dia akan menyangkal setiap omongan. Sebelum kau
datang ke sini, Bidadari Hati Kejam
telah bertemu Siluman Buta. Keduanya telah sama-sama sepakat mengatakan
kalau Batu Bintang berada di tangan
Ratu Tengkorak Hitam. Apakah aku
berani lancang di hadapanmu?"
Manusia Mayat Muka Kuning
mengancingkan mulutnya rapat-rapat.
Muka kuningnya yang sedingin mayat
makin menyiutkan nyali Kaki Gledek
yang tengah berusaha menenangkan diri.
Jalan keluar dari masalah ini telah
didapat secara tak sengaja. Dan dia
yakin, urusan bisa selesai dengan
mudah. "Aku tak mau banyak omong. Ikut aku sekarang juga untuk cari Ratu
Tengkorak Hitam!" ujar Mayat Muka Kuning.
Kembali wajah Kaki Gledek pucat
pasi mendengar ancaman itu. Tetapi
lagi-lagi dia berusaha tenang.
"Tanpa diminta pun, aku menurut.
Tetapi, masing-masing orang punya
jalan. Aku pun punya urusan lain
dengan Ratu Tengkorak Hitam, selain
Batu Bintang. Tetapi tentunya, tak
akan kudapatkan Batu Bintang untukku.
Bila Batu Bintang berhasil pindah
tangan, akan kuserahkan padamu."
Manusia Mayat Muka Kuning menarik
kedua bibirnya membentuk senyuman.
"Kau memang tahu gelagat, Kaki
Gledek. Kuampuni nyawamu sekarang. Aku akan mencari kebenaran dari ucapanmu ini.
Tetapi, ingat! Kemana kau
pergi... kau tak akan mampu melepaskan diri dari tanganku."
Habis berkata begitu, Manusia
Mayat Muka Kuning berlalu. Sementara, Kaki Gledek tak mau melakukan tindakan
bodoh. Karena khawatir Manusia Mayat
Muka Kuning berubah pikiran, tubuhnya cepat berkelebat
ke arah yang berlawanan sambil mengusap dada dengan kelegaan luar biasa.
*** 5 MBNGHILANGNYA sisa para penduduk
dari Dusun Bojong Pupuk, membuat
Juragan Lanang segera memerintahkan
anak buahnya untuk melakukan pember-
sihan besar-besaran. Kali ini
tindakannya tak tanggung-tanggung
lagi. Bunuh siapa saja yang dijumpai, begitu perintahnya dengan kemarahan
meluap. Namun, Juragan Lanang tak menemu-
kan seorang pun sisa penduduk yang
lenyap begitu saja. Maka makin besar saja kemarahannya. Karena, kekayaannya yang
berasal dari pajak setiap
penduduk dan hasil kerja paksa jadi
terbengkalai. Sejak itu, Juragan Lanang memerintahkan anak buahnya untuk
merampas harta benda yang ditinggalkan penduduk. Bahkan juga menyuruh untuk
menelusuri penduduk yang telah bergabung dengan Sumirat.
Penjarahan besar-besaran pun
dilakukan di setiap rumah penduduk.
Para anak buah Juragan Lanang yang
rata-rata mengenakan baju hitam
melakukan pembersihan habis-habisan.
Meskipun demikian, tak seorang pun
yang berani menyembunyikan barang
jarahan itu. Karena, mereka tahu
akibat apa yang akan didapat bila
perbuatan itu diketahui Juragan
Lanang. Setelah lepas setengah hari pen-
jarahan besar-besaran itu dilakukan, sepasang mata tajam dari balik
kerimbunan dedaunan pohon menjadi
gusar. "Benar-benar manusia keparat!"
maki sosok itu geram. "Ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Mereka harus
menerima pelajaran!"
Dengan ringannya, orang yang
mengintip dari atas pohon meloncat ke pohon lain. Lalu mantap sekali kakinya
hinggap di atas sebuah rumah yang di dalamnya terdapat tiga orang sedang
terbahak-bahak menjarah barang-barang penduduk.
"Hmm.... Aku mengenali salah seorang dari mereka. Barok! Lelaki yang dulu pernah
memarahi ayahku karena
kambing yang kugembalakan milik
Juragan Lanang lecet. Rupanya, manusia itu masih
menjadi orang suruhan
Juragan Lanang! Wah.... Bisa kujitak lebih benjol kepalanya!"
Sambil menggerutu, si pemuda yang
ternyata Tirta melompat turun. Tepat pada saat itu tiga orang penjarah
keluar dari rumah kosong yang dijarah dengan membawa tiga buah buntalan
besar. "Siapa kau"!" bentak lelaki bertampang kasar yang tak lain Barok.
Matanya tak berkedip menatap sosok
gagah di hadapannya.
"Enaknya main tanya begitu! Kalau mau kenal yang baik-baik! Kirim surat, kek!"
sahut Tirta tertawa. "Tetapi, aku ingin sekali menjitak kepala
jelekmu itu!"
"Keparat!"
Kegusaran langsung melanda orang
bertampang kasar mendengar suara penuh ejekan itu. Lebih marah lagi melihat dari
orang yang mengejek masih
sedemikian muda.
Barok menjatuhkan buntalan yang
dibawanya. Lalu goloknya dicabut.
Srang! "Menyingkir dari sini sebelum
lehermu putus!" ancamnya, sengit.
"Busyet! Galak amat" Biar begini, leherku bukan tali, tahu?" sahut Tirta masih
tertawa. "Setan keparat! Mampuslah kau!"
Penuh gerengan keras dan wajah
garang, Barok menerjang sambil
mengayunkan golok di tangan. Sementara Tirta tertawa seraya memiringkan
tubuh. Bersamaan dengan itu tangan
kirinya mengayun ke perut, dan tangan kanannya menjitak kepala.
Duk! Tak! Tak banyak tenaga yang
dikeluarkan, namun akibatnya cukup
membuat Barok tersungkur dengan perut mulas. Dan di kepalanya langsung
tumbuh sebuah benjol.
"Heaaa...!"
Melihat Barok dibuat tak berdaya
dengan sekali gebrak, dua temannya
segera menerjang dengan golok bergerak menebas.
Namun lagi-lagi mudah sekali
Tirta menghindari dengan meliukkan
tubuhnya. Bahkan begitu keluar
tangannya bergerak....
Dess! Desss! "Aaakh...!"
Kedua lelaki bertampang kasar itu
memekik begitu terhantam pukulan
Tirta. Bahkan seketika mereka jatuh pingsan.
Barok yang tak berdaya dengan
perut dan kepala sakit menjadi pias.
Dia tak menyangka kalau dengan
mudahnya pemuda
berbaju keemasan
dengan lengan kanan dan kiri terdapat rajahan burung rajawali berwarna emas itu
mampu mengalahkannya, Tanpa sadar, dia
beringsut mundur saat Tirta
melangkah mendekat.
"Aku tak suka kekerasan. Maaf,
ya. Kepalamu jadi benjol. Tetapi aku sudah niat, sih! Tinggalkan tempat ini
dengan damai. Katakan pada Juragan
Lanang, kalau aku yang bernama Tirta akan menghalangi setiap keinginan
busuknya. Bahkan aku meminta agar dia segera angkat kaki dari dusun ini,
sebelum kemarahanku meluap!"
Mendapat kesempatan macam itu
dengan setengah terhuyung menahan
sakit, buru-buru Barok melarikan diri.
Tak dihiraukan lagi kedua temannya
yang pingsan. Sementara Tirta hanya mendesah
panjang. Buru-buru dimasukkannya
kembali tiga buntalan yang akan
dijarah orang-orang itu tadi ke dalam rumah di hadapannya.
*** Kegemparan terjadi dikediaman
Juragan Lanang, mendengar sepak
terjang seorang pemuda tampan yang
mengacaukan rencananya. Dengan kebe-
ngisan yang tinggi, diperintahkannya untuk menangkap pemuda yang berani
lancang menghalangi setiap keinginannya.
Sementara itu, Tirta yang sudah
menduga kemungkinan yang bakal terjadi terus saja melaksanakan sepak terjang-
nya. Namun, dia selalu luput dari
pencarian orang-orang Juragan Lanang.
Bahkan dengan enaknya membuat pingsan para pencarinya.
Juragan Lanang makin kalap
mendengar berita yang didapat
kemudian. Tangannya menepak meja di
hadapannya. Bukan main akibatnya.
Hanya sekali tepak saja, meja yang
terbuat dari kayu jati itu pecah
menjadi lima buah. Akibatnya, hidangan yang ada di atas meja tadi berhamburan
tumpah. Lelaki licik ini bertepuk tangan
berkali-kali. Maka dari balik sebuah pintu muncul sepuluh lelaki berpakaian
hitam-hitam dengan topeng hitam pula.
Mereka langsung saja duduk di kursi yang telah disediakan.
"Kehadiran kalian sebagai pem-
bunuh bayaran yang kusewa, cukup
membuatku senang. Karena setiap kerja kalian, selalu membawa hasil. Kali
ini, kalian kuperintahkan untuk men-
cari dan membunuh pemuda bernama
Tirta. Dia mengenakan baju dan ikat
kepala keemasan. Celananya berwarna
kebiruan. Di lengan kanan dan kirinya terdapat rajahan bergambar burung
rajawali. Pedangnya berwarangka lima dengan yang menjadi cirinya. Cari
manusia itu! Bunuh dan bawa kepalanya kepadaku!"
"Soal itu mudah, Juragan. Tetapi, kami butuh imbalan dari kerja kami
ini," kata salah satu orang bertopeng.


Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setan! Bila saja tak kuhiraukan perintah Guru, sudah kuhajar mampus kesepuluh
orang ini!" maki
batin Juragan Lanang.
Lelaki ini geram bukan main.
Matanya tak berkedip memandang ke arah orang-orang
bertopeng itu. Dia menduga, wajah di balik topeng hitam itu
sedang menyeringai bernada
mengejek. "Jangan takut mengenai hal itu.
Bahkan kalau kalian berhasil, akan
mendapat lebih!" kata Juragan Lanang, akhirnya.
*** "Aku membutuhkanmu, Lanang!"
Cepat-cepat Juragan Lanang
memasuki sebuah ruangan begitu men-
dengar panggilan. Begitu pintu
terbuka, aroma wangi menguap menerpa hidungnya.
"Guru memanggilku?" tanya Juragan Lanang seraya menjura hormat. Suaranya sopan,
bahkan terkesan agak takut. Dan dengan takut-takut pula dia duduk
bersila. "Ya. Duduklah," ujar perempuan bercadar sutera yang duduk bersila di hadapannya.
Dia tak lain dari Dewi
Kematian. "Ada apa, Guru?"
"Ceritakan tentang pemuda yang
membuat onar itu, Lanang. Ada satu
pikiran yang mengganggu otakku."
Juragan Lanang segera menceri-
takan apa yang terjadi pada Dewi
Kematian. Usai mendengar cerita,
perempuan bercadar sutera mengangguk-anggukkan kepala, seolah ada yang
dipikirkan. "Ikat kepala dan pakaiannya
terbuat dari warna keemasan. Begitu
pula rajahan pada kedua tangannya yang bergambar burung rajawali. Aku curiga
kalau dia ada hubungannya dengan
burung rajawali keemasan itu. Kalau
memang benar, apakah Batu Bintang
sudah dimiliki pemuda itu" Tetapi, aku harus membuktikannya lebih dulu."
"Guru.... Aku telah memerintahkan sepuluh pembunuh bayaran yang kusewa untuk
menangkapnya. Kalau perlu, aku akan turun tangan untuk menangkapnya pula,"
tandas Juragan Lanang.
Dewi Kematian mengangguk-angguk.
"Bagus. Kupuji cara kerjamu.
Sekarang, tinggalkan tempat ini. Ada yang harus kupikirkan."
Juragan Lanang segera bangkit.
Dia menjura hormat, lalu meninggalkan tempat ini.
Sementara itu perempuan bercadar
sutera terdiam.
"Hmm.... Tiga hari yang lalu aku sudah keluar untuk menyelidiki tentang Batu
Bintang. Namun usahaku tak
membawa hasil apa-apa. Waktu yang lalu pun perasaanku kuat mengatakan kalau Batu
Bintang ada di sekitar sini.
Apakah si pemuda yang dimaksudkan
Lanang yang memiliki Batu Bintang?"
Dewi Kematian mencoba merangkai
jalan pikirannya. Lalu mendadak saja kedua matanya dipejamkan di balik
cadar sutera yang menutupi wajahnya.
Tak berapa lama kemudian, wanita
ini kembali membuka kedua matanya.
"Aneh.... Ajian Tutup Sukma'-ku tak bisa mengetahui siapa pemuda itu.
Seolah ada kabut tipis yang
menghalangi keberadaan pemuda itu.
Tetapi, naluriku makin kuat mengatakan kalau Batu Bintang berada di sekitar
sini. Baiknya, aku akan menyelidiki
semua ini."
*** 6 Setelah mengitari seluruh bagian
Dusun Bojong Pupuk dan tak menemukan orang yang dicari, sepuluh orang
bertopeng hitam suruhan Juragan Lanang menghentikan langkah kuda-kuda di
tengah-tengah dusun.
"Kita ulangi kembali pencarian
ini dengan berpencar ke lima penjuru.
Setiap penjuru dijelajahi dua orang.
Jangan lengan sedikit juga. Bila kita berhasil menangkap pemuda yang
dimaksud Juragan Lanang, bisa
dibayangkan apa yang akan kalian
dapatkan. Harta yang banyak dan
tentunya... perempuan-perempuan montok menggiurkan," kata salah seorang,
menyemangati. Tanpa banyak cakap, mereka segera
berpencar ke lima penjuru. Saat ini
senja mulai menurun, membuat suasana Dusun Bojong Pupuk sudah seperti malam
saja. Karena, tak sebuah lampu sentir pun menerangi. Padahal dulu, setiap
menjelang malam selalu menghiasi
setiap rumah. Dusun itu benar-benar
bagai dusun mati.
Tanpa mereka ketahui, sepasang
mata tajam milik Tirta terus
memperhatikan orang-orang bertopeng
itu. Seketika dengan ilmu meringankan tubuhnya, pemuda itu segera bergerak.
Dia memilih acak
Dan pililhannya jatuh pada dua
orang bertopeng yang menunggang kuda ke arah timur.
Sebenarnya, Tirta ingin segera
menampakkan diri ketika sepuluh orang itu masih berkumpul. Namun, dia harus
bertindak penuh perhitungan. Karena
sedikit saja kelengahan akan memancing orang-orang yang mencarinya pula.
Dua orang bertopeng itu kini tiba
di sebuah jalan setapak di perbatasan
dusun bagian timur. Setiap kali
bergerak sejauh lima puluh tombak,
setiap kali mereka menghentikan kuda.
Dan mereka segera turun memasuki
setiap rumah yang terlihat, memeriksa seluruhnya lalu keluar lagi tanpa
hasil yang diinginkan.
"Keparat pemuda berbaju keemasan itu! Hanya buang waktu kita saja,"
maki salah seorang sambil menghentikan kudanya di jalan setapak.
Sukar sekali untuk membedakan
wajah kedua orang itu. Karena, wajah mereka tertutup topeng. Tetapi Tirta bisa
membedakan dari nada suaranya.
Orang yang barusan berucap, bersuara berat dan dingin.
"Jangan mundur hanya urusan
sepele. Ingat kata kawan yang lain.
Kalau kita berhasil membekuk manusia keparat itu, harta dan perempuan akan
berdatangan," kata orang yang bersuara agak nyaring.
"Akan kubelah kepala keparat itu bila kujumpai!"
"Itu urusan mudah! Tapi sulitnya, di mana dia berada?"
"Keparat! Benar-benar bikin
jengkel macam begini! Lebih baik
menghajar manusia yang lebih hebat
daripada kita, tetapi dapat ditemui
dengan mudah! Atau juga... seperti
orang-orang yang kita bunuh itu.
Keluarga Mardi, keluarga Wajak, Gondo,
dan terakhir keluarga Layung Seta.
Juga, memapas habis keluarga Sumirat.
Huh, sayang setan keparat yang bernama Sumirat
itu tak ditemukan batang
hidungnya."
"Tetapi, dia tak akan bisa lari dari kematian!"
"Mungkin, pemuda yang bernama
Tirta itu juga telah bergabung dengan Sumirat. Sialnya, seluruh bagian
terdekat dari Dusun Bojong Pupuk ini sudah dijelajahi, tetapi tak ditemukan pula
pemberontak-pemberontak itu."
Mendengar percakapan orang dari
atas sebuah pohon, rahang Tirta
mengeras. Wajahnya kontan membesi.
"Jadi benar dugaan Ayah dan Paman Sumirat kalau orang di balik semua ini adalah
Juragan Lanang. Hhh! Keparat
busuk! Manusia tak beradab yang
mengambil keuntungan dari setiap
kesempatan. Padahal, kehadirannya dulu disambut dengan tangan terbuka oleh
para penduduk di sini. Tidak tahunya, dia hanya jadi sumber penyakit dari
kekisruhan ini. Hm... awas! Dia akan segera mendapat ganjaran! Lebih baik,
kuberi pelajaran dulu pada kedua
manusia bertopeng ini dan
yang lainnya!" desis batin Tirta. Hatinya benar-benar murka begitu tahu siapa
pembunuh ayah dan ibunya.
Tanpa membuang waktu lagi, pemuda
itu segera keluar dan hinggap di
hadapan dua orang bertopeng, Kehadiran yang tiba-tiba laksana angin, membuat
kedua orang bertopeng melengak dan
mundur setapak.
"Pemuda edan yang mau cari
mampus! Tingkahmu membuatku mau
muntah!" dengus salah seorang,
"Siapa kau, Orang Muda"!" bentak yang satu lagi,
Tirta menatap dingin. Bayangan
kematian kedua orangtuanya makin
tergambar di benaknya.
"Mata kalian yang belo itu, tatap diriku dalam-dalam!" ujar Tirta.
Suaranya penuh wibawa, penuh keang-
keran. Dua pasang mata di balik topeng
hitam mendelik. Dan seketika hampir
berbarengan, mereka meloloskan golok.
"Heaaa...!"
Dikawal teriakan keras, keduanya
melompat dari kuda kearah Tirta. Dua golok diayunkan, siap merancah tubuh pemuda
dari Gunung Rajawali itu,
Wuuutt! Wuuutt!
Tetapi dengan gerakan terlatih
dan kecepatan sukar diikuti mata, Tirta sudah berkelit. Tubuhnya meliuk indah
dengan kedua tangan berkelebat cepat.
Tap! Tap! Dua pergelangan tangan kanan yang
memegang golok ditangkap tangan kanan
dan kiri Tirta. Ketika
dipuntir terdengar teriakan dari dua orang
penyerangnya. "Aaakh...!"
Tak mau tangannya patah akibat
dipuntir, keduanya melepaskan golok.
Cepat mereka menarik tangan kesamping, lalu kebelakang.
Memang, itu cara yang mudah untuk
melepaskan tangan dari cengkeraman.
Dan mereka segera memasang kuda-kuda dengan tatapan tajam. Dalam sangkaan
mereka, pemuda berbaju keemasan itu
hanya orang kebanyakan. Karena dengan mudah tangan mereka yang dipuntir tadi
bisa dilepaskan.
Namun, sebenarnya mereka adalah
orang-orang dungu yang mengandalkan sedikit ilmu. Kalau saja mereka lebih
berpikir dalam, akan sadar kalau
sebenarnya Tirta memang sengaja melepaskan cengkeraman. Karena yang
diinginkan adalah golok itu.
"Sebenarnya, aku tak ingin
bertindak lebih kasar," katanya dingin. Tatapannya tajam tak berkedip.
"Tetapi, kalian telah membunuh orang-orang yang kuhormati di desa ini.
Terutama, kedua orangtuaku!"
"Jangan sesumbar omong! Kau akan menyesal karena berani-beraninya
bertingkah menghalangi keinginan
majikan kami!" bentak yang bersuara berat.
"Ha... Kalian terlalu silau
dengan kekayaan, hingga rela menu-
runkan tangan telengas pada sesama.
Rasanya, aku tak mungkin memaafkan
kalian." "Banyak cincong!"
Lelaki bertopeng yang bersuara
berat bergerak membawa satu jotosan ke muka. Sementara temannya melepas satu
tendangan ke arah dada Tirta.
Si pemuda bergerak cepat, me-
nyongsong dua gebrakan yang dilakukan dua lawannya. Kedua tangannya bergerak ke
kanan dan kiri, menangkis.
"Hup!"
Seperti seekor rajawali mengepakkan sayap, kedua tangan kanan dan kiri si pemuda menekuk. Sementara
permukaan telapak tangannya mengarah ke depan. Dan....
Plak! Plak! "Aaakh...!"
Semacam tamparan namun dengan
gerak tangan berlawanan, Tirta meng-
hajar wajah dua lawannya. Dua orang
bertopeng itu menjerit tertahan,
langsung mundur dengan mulut bengkak.
Dan dengan gusar keduanya membuka
topeng. Apa yang dilihat Tirta cukup
membuat terkejut. Dua wajah di
hadapannya masing-masing ternyata
penuh bopeng dan jerawat merah.
Tetapi tak lama Tirta bisa
menerusi keheranannya, karena dua
lawannya sudah menerjang kembali.
"Uts!"
Plak! Plak! Hanya sekali menggerakkan tubuh-
nya. Tirta mampu menghindar. Bahkan
begitu kedua tangannya mengibas, kedua lawannya jatuh pingsan.
"Gila! Wajah keduanya begitu


Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerikan. Siapa sebenarnya mereka
ini?" kata batin si pemuda.
Segera Tirta mengangkat tubuh
kedua lawannya yang pingsan. Diikatnya mereka di sebatang pohon. Kemudian
wajah menakutkan itu diselubungi lagi dengan topeng hitam yang dilepaskan
pemiliknya tadi.
"Aku harus segera menyelesaikan yang lainnya," kata Tirta.
* * * Sumirat menarik
napas panjang sekaligus senang mendengar cerita
Tirta. Karena ternyata, dalam waktu
singkat pemuda itu tak hanya
melumpuhkan dua orang bertopeng, tapi sepuluh orang! Setelah melumpuhkan dan
mengumpulkan mereka, Tirta
menyembunyikannya
di sebuah tempat
dengan ditutupi dedaunan kering.
Sementara kuda-kuda mereka ditambatkan di balik semak-semak belukar yang
cukup tinggi. Setelah itu dia menemui
Sumirat. "Tanpamu, kami mungkin tak bisa jadi apa-apa, Tirta."
Tirta cuma tersenyum. Tak nampak
bangga sedikit juga.
"Paman... Kurasa tak banyak lagi yang bisa merisaukan kita. Sudah
saatnya kita menuntut hak kembali,
Paman," kata si pemuda.
"Maksudmu...
kita segera melakukan penyerangan?" tanya Sumirat.
Tirta mengangguk.
" Ya! dengan cara seperti ini,
semangat persatuan kita akan tumbuh.
Bila aku melakukannya sendiri, mungkin tak akan mampu menembus semua ini."
Sumirat tersenyum. Hanya dia
seorang yang bisa menangkap maksud
Tirta. Dengan mengatakan seperti itu, justru Sumirat yakin kalau pemuda
putra mendiang Layung Seta dan Mentari ini sanggup menembus rintangan guna
mendapatkan dusun itu kembali dari
tangan Juragan Lanang. Karena, memang bisa ditebak kedigdayaan Tirta
sekarang. Tetapi pemuda itu tetap bersikap
rendah hati. Dengan keinginan untuk
Pendekar Setia 1 Panggung Penghukum Dewa Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Kisah Pendekar Bongkok 8
^