Pencarian

Wasiat Malaikat Dewa 2

Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa Bagian 2


melibatkan orang lain, justru yang
diinginkan Tirta adalah membangkitkan semangat yang telah hilang dari para
penduduk. Bergerak maju dan siap
mengambil kembali apa yang dimiliki
setelah hilang dirampas Juragan
Lanang. Sumirat tersenyum. Dalam hati dia
berkata, kalau saja anaknya masih
hidup, akan dijodohkannya dengan
Tirta. "Yah... kini saatnya kita berani mengambil lagi milik kita, Tirta,"
desah Sumirat. "Maaf.... Sebaiknya tunggu
isyarat dariku, Paman. Aku tak ingin kita terjebak oleh rasa nafsu sendiri.
Dan akhirnya, justru musnah sebelum
mendapatkan apa yang diinginkan
kembali!" Lagi pula, aku bermaksud untuk mencari senjata-senjata yang
disembunyikan mendiang ayahku dulu,"
Sumirat mengangguk-angguk lagi.
Semakin lama dia semakin kagum saja
pada pemuda di hadapannya. Dapat
dibayangkan seperti apa bangganya
Layung Seta dan istrinya memiliki
putra setampan dan segagah Tirta.
"Kau benar, Tirta."
"Dan untuk sementara, seperti
yang telah kita sepakati sebelumnya, biar aku yang muncul di Dusun Bojong Pupuk.
Sehingga orang-orang itu hanya tetap mencariku saja, tanpa
menghiraukan kalian lagi," urai Tirta.
"Kau sungguh membuat kami yang
berada di sini bangga, Tirta."
Tirta tersenyum.
"Karena, aku lahir di dusun ini, Paman. Sekarang, aku akan kembali
tinggalkan tempat ini."
Lalu Tirta mengalihkan pandangan
pada teman-teman sebayanya.
"Kuminta, kalian menjaga kese-
lamatan orang-orang di sini dengan
sepenuh jiwa dan raga," ujarnya.
Para pemuda yang berjumlah
sekitar dua puluh orang itu mengangguk serentak.
Tirta menakupkan kedua tangan
pada dada. "Kalau begitu, aku mohon pamit dulu. Tunggulah isyarat dariku.
Baru kita bisa mulai bergerak."
Orang-orang itu berdiri pula.
Sumirat menepuk bahu kanan Tirta.
"Terima kasih atas bantuamu."
Tirta tersenyum.
"Dusun ini tempat kelahiranku.
Tentu saja aku tak akan berpangku
tangan, Paman." Sumirat mengangguk lagi.
"Terima kasih.... Rajawali Emas."
Tirta terdiam sesaat, mendengar
panggilan Sumirat. Lalu bibirnya
melepas senyum.
"Ada-ada saja Paman menjulukiku.
Aku tetaplah Tirta...."
"Tiba-tiba saja aku ingin
menyebutmu demikian, Tirta. Lebih
pantas dijuluki Rajawali Emas," potong Sumirat sambil tersenyum.
Tirta tersenyum pula.
"Aku pamit dulu!"
Dan dengan diantar puluhan pasang
mata yang memandang kagum, Tirta
melangkah meninggalkan persembunyian itu. Tepat berjarak dua puluh tombak dari
tempat persembunyian, segera ilmu meringankan tubuhnya dipergunakan.
Tirta yang digelari oleh Sumirat
sebagai Rajawali Emas kembali
ke tempat orang-orang bertopeng yang
disembunyikannya. Setelah meletakkan mereka yang pingsan itu ke masing-masing
punggung kuda, satu pikiran
singgah di otaknya yang cerdik.
*** 7 "Goblok! Manusia-manusia yang
bisanya hanya menangkap cecurut!
Letakkan tubuh mereka yang pingsan itu dikebun bagian belakang! Tunggu sampai
mereka terbangun! Dan, hajar sampai
pingsan kembali! Begitu seterusnya,
sampai mereka mampus! Huh! Orang-orang bodoh hanya besar mulut saja!" maki
Juragan Lanang ketika menerima laporan kalau sepuluh orang bertopeng
suruhannya telah dalam keadaan pingsan di atas kuda masing-masing.
Serentak sepuluh orang yang
memberi laporan bangkit, dan mengangkat sepuluh tubuh pingsan yang tadi
diletakkan di lantai sebelum Juragan
Lanang keluar kamarnya. Semua itu
dilakukan tanpa sepatah kata yang
terucap. Hanya terdengar dengusan
Juragan Lanang berkali-kali.
Dikawal lima belas orang baju
hitam lainnya, mereka membawa sepuluh tubuh bertopeng hitam yang pingsan ke
kebun belakang. Begitu sampai mereka melempar Orang-orang bertopeng yang
masih pingsan itu seperti nangka
busuk. Dan mereka cepat membentuk
lingkaran dengan kedua tangan ber-
sedekap di dada dan tubuh tegak. Se-
mentara yang lainnya kembali berjaga-jaga.
*** Sepuluh orang yang diperintah
Juragan Lanang langsung menghajar
orang-orang bertopeng satu persatu
hingga darah mulai menggenangi tempat itu. Entah, apakah mereka masih hidup atau
sudah tewas. Yang jelas, salah
satu orang bertopeng masih tampak
bergerak-gerak.
"Gila! Keparat itu benar-benar
kuat! Dia masih berusaha bergerak-
gerak!" teriak salah seorang yang menghajar orang-orang bertopeng itu.
"Jangan-jangan, dia berlagak
pingsan. Kurang ajar kalau memang
benar!" duga yang lainnya.
"Keparat! Dia hanya cari penyakit
saja kalau begitu! Hajar saja manusia itu!"
"Ya! Hajar saja biar mampus!"
"Bunuh! Biar nyawa busuknya
terbang keneraka!"
Setelah mendapat kata sepakat,
mereka segera bergerak mendekati orang bertopeng yang masih bergerak-gerak.
Langkah mereka lebar dan agak terburu-buru bagai ketakutan tak mendapatkan
jatah. Tetapi satu keanehan terjadi.
Karena... "Aaah...!"
Begitu tiga orang dari mereka
siap menghujamkan injakan ke kepala, dada, dan perut, mendadak saja
terpental. Sebelum mereka menyadari
apa yang terjadi orang bertopeng yang tadi menggeliat-geliat telah berdiri
laksana kilat, langsung melepas
serangan. Plak! Plak! Setiap kali tangan orang
bertopeng itu bergerak laksana kepakan sayap rajawali, orang yang terkena
kepretannya langsung pingsan. Hingga dalam waktu hanya tiga kali kerjapan mata,
kesepuluh orang itu telah
pingsan. "Cari penyakit!" maki orang di balik topeng hitam. Lalu dibukanya
topeng yang selubungi wajahnya. Dan
yang terlihat adalah wajah Tirta!
Itulah otak cerdik Tirta. Dia
berhasil menyusup ke kediaman Juragan Lanang setelah menyamar dengan
melucuti pakaian salah satu orang
bertopeng yang pingsan. Dengan pura-
pura pingsan setelah mendekati pintu gerbang tempat tinggal Juragan Lanang,
Tirta berhasil melaksanakan akal
bulusnya. Sebelumnya, dia telah
melemparkan Pedang Batu Bintang ke
sebatang pohon, agar penyamarannya
sempurna. Sambil menatap orang-orang yang
pingsan dan kesembilan orang bertopeng hitam yang diyakini telah tewas, Tirta
berkelebat ke balik dinding. Lalu
dengan sekali mengempos tubuhnya, dia telah meloncat ke atap. Diperhitungkan
setiap jengkal jarak yang akan dilalui oleh orang-orang Dusun Bojong Pupuk yang
siap melakukan serangan.
"Tak perlu sulit sebenarnya.
Tetapi, masih ada masalah yang
sebenarnya kupikirkan. Soal Juragan
Lanang. Sulit kutebak, apakah memiliki kesaktian atau tidak. Hm....
Sebaiknya, masalah Juragan Lanang jadi urusanku."
Dari atap itu, dengan mudah Tirta
bisa menghitung jumlah pengawal
Juragan Lanang.
"Hanya sekitar delapan orang yang menjaga di depan. Bagian belakang tak perlu
dijaga, karena tembok begitu
tinggi dan sulit menaikinya. Entah,
berapa orang di dalam. Sebaiknya,
kusampaikan saja semua ini pada Paman Sumirat, selagi banyak yang masih
pingsan. Untungnya pula, aku sudah
menemukan senjata-senjata yang disimpan mendiang ayahku. Rupanya, dia
telah menggali tanah di bawah sebuah lemari dan ditutupi kembali. Pantas
bila Paman Sumirat tak bisa
menemukannya. Hmm... aku harus mengambil senjata-senjata yang kusembunyikan di
balik sebuah batu besar dan
kututupi rimbunnya semak."
Setelah membuat keputusan seperti
itu, Tirta melesat cepat meninggalkan tempat ini. Pemuda itu melompati
tembok bagian belakang yang tinggi,
lalu menyambar kembali Pedang Batu
Bintang. Sambil berlari dibukanya
pakaian hitam-hitam yang dikenakannya.
Kini yang nampak sekarang adalah
pakaian keemasan dengan celana
berwarna kebiruan.
Pemuda itu terus berkelebat,
tanpa menyadari kalau satu sosok tubuh ramping yang mengeluarkan aroma harum
tengah mengikutinya.
"Pasti pemuda itu yang telah
membuat kacau. Hebat sekali kepan-
daiannya. Meskipun demikian, ada hal lain yang membuatku tertarik dan
mataku tak mungkin salah menangkap.
Aku tahu tentang batu itu. Batu yang
di dalamnya tergambar dua kepala
rajawali dan sebuah bintang. Setelah ditempa batu itu akan menjadi sebilah
pedang sakti dengan n dua kepala
burung rajawali di tangkainya saling berlawanan arah, dan sebuah bintang
pada hulunya. Melihat ciri pedang yang disambar pemuda tadi, meskipun
tertutup warangka berbenang keemasan, jelas kalau pedang itu terbuat dari
Batu Bintang. Rupanya pemuda itu yang telah mendapatkan Batu Bintang dan
menempanya menjadi pedang. Berarti,
dia akrab dengan burung rajawali emas.
Kini, kesempatanku untuk mendapatkan Batu Bintang yang telah dibuat sebilah
pedang. Hm... sebuah senjata yang
sangat tangguh...."
Sosok ramping yang mengeluarkan
aroma harum dari tubuhnya terus
berkelebat mengikuti Tirta. Dia
berusaha menjaga jarak agar tidak
ketahuan. Baju panjangnya yang terbuka rendah di bagian dada dan terbelah
dari bawah hingga pangkal paha,
berkibar saat berkelebat.
Bisa diduga, kalau orang itu tak
lain adalah Dewi Kematian. Dan
perempuan itu terus mengikuti Tirta, menembus kegelapan malam dan jalan
berliku. Cukup lama juga Dewi Kematian
mengikuti Tirta. Hingga kemudian,
tampak si pemuda menghentikan langkah
di sebuah sungai di daerah selatan
dari Dusun Bojong Pupuk.
"Mau apa pemuda itu berhenti di sini?" tanya batin Dewi Kematian dari atas
pohon. Sepasang mata yang tajam dari balik cadar sutera itu menatap
tak berkedip pada gagang pedang yang bersampir dipunggung
si pemuda. "Pedang Batu Bintang. Tak sabar aku untuk merebutnya...."
*** 8 Namun mendadak saja sepasang mata
Dewi Kematian membuka lebar.
"Keparat! Kemana pemuda itu
pergi" Gila! Aku sama sekali tak
melihatnya!" maki perempuan bertubuh indah ini.
Dewi Kematian segera meloncat
ringan. Dan mantap sekali kakinya
hinggap di tanah. Matanya beredar,
memandangi tempat yang agak terbuka.
Tak ada seorang yang
dicarinya. Telinganya hanya menangkap gemuruh air sungai belaka.
"Setan keparat! Ke mana dia"
Pedang Batu Bintang harus kumiliki!"
"Mengapa harus bersedih hati"
Orang yang dicari ada didepan mata.
Kalau memang buta, mengapa tidak
meraba?"

Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak terdengar suara dari
samping kanan Dewi Kematian. Seketika perempuan itu menoleh dan melotot
gusar. Dilihatnya pemuda berbaju
keemasan itu sedang duduk di sebatang ranting pohon tempat dia bersembunyi tadi.
"Setan! Rupanya dia tahu kalau
aku mengikutinya. Hebat sekali kalau begitu. Dalam usia yang masih muda,
dia telah membuatku tercengang,"
sentak batin Dewi Kematian terkejut.
"Hm.... Bocah ini akan kubunuh bila tak mau menyerahkan pedangnya!"
"Apakah kau hanya orang iseng
sehingga tak ada kerjaan lain kecuali mengikutiku?" kata Tirta, mengejek.
Sepasang mata Dewi Kematian di
balik, cadar sutera menyipit.
"Pemuda tampan.... Kulihat di
punggungmu ada sebilah pedang. Bila
kau tak ingin berurusan denganku,
lebih baik jawab pertanyaanku. Pedang Batu Bintangkah yang ada di
punggungmu?"
Tirta melengak sesaat, mendengar
pertanyaan Dewi Kematian. Urusan ini memang bisa jadi gawat. Padahal, saat
inilah yang paling tepat untuk
menyerang Juragan Lanang.
Sebenarnya, saat melompati tembok
tinggi bangunan rumah Juragan Lanang, Tirta sama sekali tak menduga kalau
diikuti orang. Namun lama kelamaan
kecurigaannya muncul ketika indera
penciumannya menangkap aroma harum
yang cukup menyengat. Larinya segera diperlambat setelah memasang kedua
telinganya. Memang tak tertangkap
suara orang mengejar. Itu menandakan kalau orang yang mengikutinya memiliki ilmu
meringankan tubuh sangat tinggi.
Namun, Tirta begitu yakin kalau
ada yang mengikuti. Maka keputusannya untuk
segera menuju persembunyian
Sumirat pun diurungkan. Langkah
dibelokkan. Dan dia bermaksud menjebak orang yang mengikutinya. Karena, orang
yang membuntuti seperti itu jelas
bermaksud tidak baik
Dan semuanya terbukti sekarang
kalau perempuan bercadar yang beraroma harum itu menghendaki Pedang Batu
Bintang. "Rupanya lima tahun geger Batu
Bintang masih berlanjut hingga
sekarang. Melihat tongkrongannya jelas kalau perempuan di balik cadar sutera ini
bukan orang sembarangan. Aku harus sebisanya menghindari bentrokan,"
gumam pemuda tampan dari Gunung
Rajawali dalam hati.
Tirta lantas membuka senyum
kecut. Matanya cerah menatap Dewi
Kematian. "Apa maksudmu dengan Pedang Batu Bintang itu, Nisanak" Pedangku ini
hanya sebilah pedang biasa. Lagi pula, kau bernafsu amat sih?"
"Ucapanmu bisa kupercaya, tetapi aku perlu membuktikan. Bila melihat
rajahan burung rajawali keemasan di
lengan kanan dan kirimu, rasanya aku ingin memberi julukan si Rajawali
Emas!" "Dua orang yang sudah menjulukiku seperti itu. Paman Sumirat dan orang bercadar
ini. Hm.... Rajawali Emas,"
gumam Tirta dalam hati. Si pemuda
berusaha melihat wajah di balik cadar sutera, tetapi gagal. "Apalah artinya
sebuah julukan" Tetapi, terima kasih kau menjulukiku seperti itu. Hmm....
Pedangku ini memang bernama Pedang
Batu Bintang yang berasal dari Batu
Bintang. Rasa ingin tahumu sudah
terpuaskan. Nah, biar aku pergi
sekarang. Atau, kau masih ingin
menatap wajahku yang tampan ini" Boleh saja kalau begitu! Lihatlah sepuasmu!"
"Jangan harap kau bisa pergi
begitu mudah, Anak Muda'" desis Dewi Kematian dingin. "Serahkan Pedang Batu
Bintang kepadaku bila sayang nyawa!"
"Benar dugaanku, manusia ini
memang menginginkannya.
Sebelum meninggalkan Gunung Rajawali Eyang
telah berwasiat kalau aku harus
menjaga Pedang Batu Bintang dari
orang-orang serakah yang menginginkannya. Dan sekarang, pekerjaan itu telah
dimulai. Hanya sayangnya, waktunya
tidak tepat. Karena aku keburu bertemu wanita bercadar ini. Padahal, inilah
kesempatan terbaik untuk segera
menyerang Juragan Lanang dan merebut kembali Dusun Bojong Pupuk," kenang Tirta
dalam-dalam seraya manggut-manggut.
Lalu pandangan si pemuda kembali
diarahkan pada Dewi Kematian.
"Maaf, Nisanak. Aku tidak akan
menyerahkan Pedang Batu Bintang ini.
Memangnya dodol main kuberi begitu
saja," sahut Tirta, enteng.
"Berarti, kau
harus berurusan
dengan Dewi Kematian!"
"O... jadi dia berjuluk Dewi
Kematian" Sayang, aku belum pernah
mendengar julukannya. Tetapi yang
jelas, wanita ini tak bisa dipandang remeh," gumam Tirta dalam hati.
Lalu si pemuda memasang senyum
kocak. Kepalanya mengangguk-angguk.
Entah, apa maksudnya.
"Aku tak suka cara paksaan.
Karena itu berarti justru membuatku
semakin mempertahankan
Pedang Batu Bintang. Lagi pula, Pedang Batu
Bintang ini kepunyaanku, kok. Coba,
bagaimana kalau cadarmu kuminta?"
tukas Tirta. "Kurang ajar! Ucapanmu sudah
harus berhenti sekarang!" bentak perempuan bercadar seraya menggerakkan
tangannya ke arah Tirta.
Wuusss! *** Tirta yang dijuluki Rajawali Emas
terkesiap merasakan satu gempuran
angin ganas siap menghantamnya. Cepat dia
melompat ke depan, sambil
menghentakkan kedua tangannya. Dan....
Blaaarrr! Suara dentuman menggelegar
menyentak tempat itu. Gelapnya malam menjadi agak terang, ketika sinar
merah memercik dari kedua tangan Dewi Kematian.
Sementara tubuh Tirta terjajar ke
belakang dengan kedua tangan terasa
nyeri. Cepat tenaga dalamnya dialirkan ke kedua tangan untuk menghilangkan
rasa nyeri. "Bukan main tenaga dalam Dewi
Kematian. Aku harus berhati-hati.
Karena bukan hanya Pedang Batu Bintang yang pindah tangan. Tetapi, nyawaku
pun akan lenyap pula."
Namun baru setengah Tirta
mengalirkan tenaga dalam pada kedua
tangannya, Dewi Kematian yang ingin
segera memiliki Pedang Batu Bintang menghentakkan tangannya lagi.
Sratt! Seberkas sinar merah menyala
langsung meluruk, membuat suasana jadi
agak terang. Terkesiap kembali Rajawali Emas
dibuatnya. Kali ini dia tak ingin
mengadu tenaga lagi. Maka dengan gerak lincah dari jurus 'Rajawali Putar
Bumi' yang diajarkan Bwana, tubuhnya meliuk seraya berputaran menghindari
serangan. Brak! Brak! Byuuurrr! Dua pohon langsung tumbang
terkena hantaman pukulan Dewi
Kematian. Bahkan langsung terhempas ke sungai yang cukup deras alirannya,
membuat pemuda itu tertegun.
"Luar biasa! Gerakan
yang diperlihatkan pemuda itu benar-benar sebuah gerakan menghindar seekor
burung rajawali. Jelas dia telah
menguasai jurus-jurus 'Rajawali',"
desis Dewi Kematian terkagum-kagum.
Namun kekagumannya cepat ditutupi
perempuan itu dengan memasang wajah
garang. "Hm... Tak salah bila kau
kujuluki si Rajawali Emas. Serahkan
Pedang Bintang sebelum nyawamu
terbuang sia-sia!" ancam Dewi
Kematian. "Sudan kukatakan, aku tak akan
pernah menyerahkannya kepadamu!"
"Kau hanya cari mampus!"
Begitu habis membentak, Dewi
Kematian menepukkan kedua tangannya di
depan dada. "Ahh...!"
Yang terjadi kemudian, tubuh
Tirta terhuyung sambil mengeluh
tertahan. Kedua tangannya seketika
menekap kuat-kuat sambil mengalirkan tenaga dalam pada kedua telinganya.
Tetapi, dia terperanjat karena aliran tenaga dalamnya bagai terhenti.
"Ha ha ha...!
Plok! Plok! Sambil terbahak-bahak Dewi
Kematian menepuk tangannya berulang
kali. Akibatnya, gema tepukan yang
sangat dahsyat pun menjalar ke segala arah. Tetapi, anehhya burung-burung
yang beterbangan dan kelinci yang
berloncatan hanya memandang sesaat,
lalu pergi tanpa gangguan apa-apa.
Memang, itulah salah satu
kesaktian yang dimiliki Dewi Kematian.
Ajian 'Tepukan Cabut Sukma' memang
sebuah ajian yang diarahkan pemiliknya pada sasaran yang dikehendaki. Sasa-
rannya kali ini adalah Tirta. Sehingga si pemudalah yang merasakan betapa
dahsyat suara yang keluar dari setiap tepukan tangan Dewi Kematian.
Pemuda itu melolong-lolong dengan
tubuh jatuh bangun. Kedua tangan tak lepas dari telinga. Bukannya tenaga
dalamnya tak mampu dialirkan. Tapi
ajian Tepukan Cabut Sukma' memang
seolah menutup aliran tenaga dalamnya.
"Dewi Kematian tak akan
melepaskan lawannya sebelum menemui
ajal mengenaskan! Kau telah memaksaku bertindak seperti ini, Rajawali Emas.
Dan sayangnya, julukan yang barusan kuberikan padamu hanya aku yang
mendengar seorang! Karena, kini
nyawamu siap lepas dari badan!" seru Dewi Kematian, pongah.
Di saat yang mencekam bagi Tirta,
tiba-tiba saja....
"Kraaagghhh...!"
Terdengar suara keras bagai
hentakan guntur menggelegar, menyusul gemuruh angin dahsyat dari angkasa.
Dedaunan seketika berguguran dan
beterbangan. Bahkan aliran sungai yang deras itu bagai muncrat.
Tanpa menghentikan tepukan
tangannya, Dewi Kematian mendongakkan kepala. Samar dalam kegelapan malam, kedua
matanya di balik cadar sutera, menangkap bayangan raksasa meluncur ke arahnya.
"Aahh...!"
Seketika wanita
ini memekik tertahan ketika merasakan angin deras menyambar wajahnya.
Wuuusss! "Heiiitt!"
Perempuan bercadar sutera itu
melompat kebelakang lima tombak.
Bayangan raksasa yang menimbulkan
angin keras itu segera menyambar tubuh
Tirta yang masih kelojotan. Dalam waktu sekejapan, burung itu telah
membawa terbang si pemuda.
"Koaaakkk!"
Suara teriakan burung menggema.
Dewi Kematian yang terkesiap tadi
seolah baru sadar dari keterke-
jutannya. "Burung rajawali emas milik Sepuh Mahisa Agni!" desisnya. "Sungguh tepat
dugaanku, siapa pemuda itu sebenarnya.
Dia jelas telah miliki Pedang Batu
Bintang. Dan burung rajawali keemasan itu jelas sudah menjadi peliharaannya.
Keparat! Tak akan kulepaskan burung
rajawali itu! Persetan dengan segala urusan yang sudah kususun! Huh! Pedang Batu
Bintang harus kudapatkan!"
Mendadak saja perempuan bercadar
sutera itu berkelebat, mengikuti gerak terbang Bwana yang telah menyelamatkan
majikan barunya dari intaian maut.
*** 9 Betapapun tingginya kesaktian
yang dimiliki Dewi Kematian, namun
tetap tak mampu mengikuti kecepatan
terbang Bwana. Dalam waktu singkat
saja, perempuan bertubuh montok itu sudah kehilangan jejak.
"Keparat!" makinya sambil hentikan lari. Kepalanya masih mendongak ke atas.
Namun bayangan keemasan yang
diikutinya telah lenyap entah ke mana.
"Setan alas! Ke mana burung
rajawali sialan itu berada"!"
Selagi perempuan bercadar umbar


Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekesalan, mendadak matanya yang tajam menangkap
satu kelebatan bayangan
hitam tak jauh dari hadapannya.
"Gila! Rupanya ada orang yang
mengikutiku. Huh! Mengganggu keinginan Dewi Kematian, berarti tak akan luput
dari kematian."
Kini pada jarak tiga puluh tombak
di hadapan Dewi Kematian, sosok
bayangan hitam itu terus berkelebat
seolah tak menyadari kalau sedang
diawasi. "Lima tahun kucari burung
rajawali keemasan itu. Dan sekarang, mendadak muncul begitu saja. Untung
pandanganku sempat menangkap bayangannya. Tetapi, ke mana burung sialan itu
sekarang" Apakah Batu Bintang masih
melekat di ekornya?"
Sambil berkelebat sosok ramping
berbaju hitam-hitam dengan rambut
panjang tergerai mirip kuntilanak itu terus saja mengoceh. Mulutnya nampak
bergerak-gerak, memperlihatkan cairan merah. Rupanya sosok yang ternyata
seorang perempuan tua itu tengah
mengunyah susur. Dan, siapa lagi tokoh
rimba persilatan yang mempunyai
kebiasaan mengunyah susur kalau bukan Ratu Tengkorak Hitam" Dialah orang
pertama yang menghembuskan berita
tentang munculnya rajawali keemasan
milik Sepuh Mahisa Agni yang membawa Batu Bintang.
"Meskipun entah terbang ke mana, burung rajawali itu tak akan
kulepaskan! Batu Bintang harus menjadi milikku!"
Wesss...! "Heh..."!"
Ratu Tengkorak Hitam tersentak
kaget ketika serangkum angin menderu ke arahnya disusul aroma harum masuk ke
dalam hidungnya.
"Heaaatt!"
Cepat Ratu Tengkorak Hitam
melempar tubuhnya ke samping. Dan
begitu berdiri tegak, di hadapannya
tahu-tahu telah berdiri seorang perempuan bercadar sutera yang menguarkan aroma
harum. "Dewi Kematian!" desisnya begitu mengenali orang yang berdiri di
hadapannya. Tanpa sadar tubuhnya
menggigil karena hawa amarah.
Dewi Kematian yang tadi
mengirimkan serangan pada Ratu Teng-
korak Hitam memandang tak berkedip ke depan.
"Aku paling tak suka kesenanganku terganggu.
Lebih baik menyingkir
sebelum tangan telengasku ini ber-
tindak...!" ancam Dewi Kematian.
"Aku juga tak suka kesenanganku diganggu siapa pun! Bila kita sama-sama
menginginkan Batu Bintang,
mengapa tidak segera diselesaikan
sekarang?" tukas Ratu Tengkorak Hitam, langsung menyadari kalau Dewi Kematian
juga mengikuti arah terbangnya burung rajawali keemasan itu. Namun, niatnya tak
surut sedikit pun. Apalagi, dia
belum pernah bentrok dengan wanita
bertubuh indah itu.
"Ratu Tengkorak Hitam.... Kau
hanya buang nyawa percuma
di hadapanku," ancam Dewi Kematian lagi.
"Lima tahun waktuku kubuang
percuma untuk mendapatkan Batu
Bintang. Halangan kecil semacam ini
tak akan membuatku mundur selangkah
pun," balas Ratu Tengkorak Hitam sambil terus mengunyah susur.
Wajah di balik cadar sutera itu
membesi mendapati kata-kata Ratu
Tengkorak Hitam.
"Hm... mau cari mati kau rupanya.
Bersiaplah untuk kukirim ke neraka!
Heaaa...!"
Disertai teriakan keras, Dewi
Kematian menepuk kedua tangannya ke
arah lawan. Ratu Tengkorak Hitam
terkesiap ketika merasakan suara
menggema keras di kedua gendang
telinganya. Tanpa sadar kakinya mundur
tiga langkah seraya menekap kedua
telinganya dengan telapak tangan.
Namun semakin kuat menekan, semakin keras suara yang menggema di
telinganya. "Keparat ini rupanya mencoba
memutuskan alat pendengaranku. Bisa-
bisa seluruh jalan darahku pecah!
Setan! Ini tak boleh kubiarkan!"
"Heaaa...!"
Untuk menahan gempuran suara
tepukan berisi tenaga dalam tinggi,
Ratu Tengkorak Hitam langsung
mengibaskan tangannya. Dilepaskannya jurus 'Jalan Hitam Kematian',
Namun hanya sesaat serangan itu
dilakukan Ratu Tengkorak Hitam. Karena begitu tangan kanannya terlepas dari
telinga kanan....
"Aaakh...!".
Ratu Tengkorak Hitam menjerit
tertahan ketika telinganya bukan hanya dihantam suara yang menyakitkan,
tetapi juga bagai ditusuk besi panas sangat tajam.
"Uts...!"
Sementara tanpa menghentikan
tepukan tangannya, Dewi Kematian
sedikit menggeser tubuhnya ke kanan.
Sehingga serangan yang dilepaskan
lawan dapat dihindari dengan mudah.
"Aku tahu siapa kau gerangan,
Ratu Tengkorak Hitam. Kita sama-sama orang golongan sesat. Kuampuni nyawamu
bila kau mau mengabdi kepadaku!"
Mendapat tawaran ini Ratu
Tengkorak Hitam tersenyum penuh arti.
"Kalau memang itu yang kau
inginkan, mengapa
tak menghentikan
serangan?"
"Bagus! Ternyata kau mau berpikir panjang."
Lalu Dewi Kematian menghentikan
tepukan pada kedua tangannya. Dan saat itu pula, tubuh Ratu Tengkorak Hitam
ambruk dengan kedua telinga mengalirkan darah. Cepat tenaga dalamnya
dialirkan untuk mengunci rasa sakit
yang tak tertahankan.
Anehnya, begitu tepukan dari Dewi
Kematian tak terdengar lagi, Ratu
Tengkorak Hitam mampu
mengalirkan tenaga dalamnya. Kini perlahan-lahan dia berdiri. Ditatapnya perempuan
bercadar yang berdiri pada jarak tiga tombak di hadapannya dengan sinar
tajam. "Rasanya aku tak akan mampu
menandingi kesaktian perempuan
bercadar sutera ini. Tetapi, tunggu
pembalasanku," desis hati Ratu
Tengkorak Hitam. Perempuan tua ini
lalu merubah raut wajahnya seramah
mungkin. Terima kasih atas kemurahan hatimu, Dewi Kematian," ucapnya.
Tak ada kata kemurahan hati dalam
hidupku. Aku tak membunuhmu, karena
tenagamu kubutuhkan."
"Apa yang bisa kulakukan?" tanya Ratu Tengkorak Hitam sambil menekan
kejengkelan dalam-dalam.
"Sama seperti yang sedang kau
inginkan."
"Batu Bintangkah?"
Perempuan bercadar sutera
mengangguk. "Ya!
Batu Bintang kini telah menjadi
sebuah senjata sakti yang disebut
Pedang Batu Bintang."
"Dari mana kau tahu?"
"Setan baju hitam! Kurobek
mulutmu bila kau potong lagi
pembicaraanku!" bentak Dewi Kematian.
Wajah Ratu Tengkorak Hitam kontan
membesi. Namun lagi-lagi dia harus
menahan diri untuk tidak bertindak
ceroboh. Karena bisa-bisa nyawanya
yang terbang ke neraka.
"Seorang pemuda yang bernama
Tirta telah berjodoh dengan Batu
Bintang atau kini disebut Pedang Batu Bintang. Dia pula yang telah menjadi
majikan baru dari burung rajawali
keemasan. Dan dia kujuluki si Rajawali Emas!"
Samar ingatan Ratu Tengkorak
Hitam kembali pada kejadian lima tahun lalu. Saat dia pertama kali bertemu
bocah bernama Tirta. Dan wanita tua
ini mengalami keanehan, karena bocah itu bisa menghindari sergapannya
dengan mudah. Bocah itukah yang
dimaksud Dewi Kematian"
"Lantas apa yang harus
kulakukan?" tanya Ratu Tengkorak Hitam, hati-hati.
"Kejar burung rajawali keemasan itu. Jangan sampai ada orang lain yang
mendahuluinya," ujar Dewi Kematian.
"Akan kulakukan semua
perintahmu." Dari balik cadar sutera, Dewi Kematian tersenyum dingin.
"Dan jangan sekali-kali melakukan tindak bodoh" tandasnya.
Ratu Tengkorak Hitam tersenyum
licik. "Sudah tentu kau tak akan
melepaskanku, bukan" Dengan ajian
'Tutup Sukma', tentunya kau tahu di
mana aku berada, bukan?" tukas Ratu Tengkorak Hitam.
Mendengar pujian Ratu Tengkorak
Hitam, Dewi Kematian malah menggeram.
"Ucapanmu menunjukkan betapa
liciknya otakmu, Ratu Tengkorak Hitam.
Dan bagusnya, kau mengerti gelagat,"
kata Dewi Kematian.
"Katakan! Jalan mana yang harus kutempuh untuk mencari burung keemasan itu?"
tanya Ratu Tengkorak Hitam, tak mempedulikan sindiran Dewi Kematian.
"Kita akan mengambil jalan yang berbeda tapi satu tujuan. Siapa pun
yang merintangi semua ini, bunuh!"
"Dan bila ada kesempatan, akan
kubunuh kau, Perempuan Keparat!" desis hati Ratu Tengkorak Hitam sebelum
mengangguk. Sejenak Ratu Tengkorak Hitam
menatap Dewi Kematian yang duduk
bersila sambil menangkupkan kedua
tangan di dada. Agaknya, dia bersemadi untuk mencari keberadaan burung
rajawali keemasan itu.
"Hmm.... Sebenarnya, ini
kesempatan yang terbaik bagiku untuk membunuh perempuan cabul itu. Tetapi,
percuma juga. Karena itu berarti
menghilangkan kesempatanku untuk
mengetahui rajawali
keemasan itu berada sekaligus mendapatkan Pedang
Batu Bintang. Yang terpenting lagi,
bila ada yang mencoba mendapatkan
Pedang Batu Bintang, nama busuk Dewi Kematian bisa kupakai sebagai tumbal.
Biar aku harus menunggu semua ini
sampai terselesaikan."
Dengan penuh kesabaran, Ratu
Tengkorak Hitam tetap menunggu. Dan
dia menarik napas lega ketika Dewi
Kematian menghentikan semadinya seraya berdiri.
"Burung itu tak jauh dari sini.
Hanya berjarak sekitar lima ratus
tombak. Berdiam di sebuah lembah yang cukup tandus," papar Dewi Kematian.
"Bagaimana dengan pemuda yang kau juluki si Rajawali Emas itu?" tanya Ratu
Tengkorak Hitam.
Perempuan bercadar sutera itu
terdiam beberapa saat.
"Entahlah.... Aku tak menemukan di mana pemuda itu berada," desahnya.
"Gila! Bagaimana bisa begitu?"
tuntut Ratu Tengkorak Hitam.
Sepasang mata di balik cadar
sutera milik Dewi Kematian menyipit.
"Ucapanmu menunjukkan kalau kau sudah memiliki ilmu tinggi!" sindir Dewi
Kematian dingin.
Ratu Tengkorak Hitam segera
menyadari kalau hampir membuat
kesalahan. "Maafkan aku," ucapnya.
"Hanya satu dugaanku. Pemuda itu berada diantara
sayap kanan kiri
rajawali raksasa itu. Mungkin pingsan, dan rajawali itu tengah memberinya
kehangatan. Berjalanlah ke arah barat.
Sementara, aku ke arah timur. Bunuh
siapa saja yang menghalangi keinginan kita ini! Dan perlu kau camkan sekali
lagi. Jangan coba-coba mengangkangi
Pedang Batu Bintang kalau tak mau mati mengenaskan," ancam Dewi Kematian.
Ratu Tengkorak Hitam hanya mengangguk sambil menggumam dalam


Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati. "Setelah Pedang Batu Bintang kudapatkan sudah tentu kau akan
kubunuh, Dewi Kematian."
"Setelah Pedang Batu Bintang
kudapatkan akan kuhembuskan berita
keseantero jagat. Akan kukatakan kalau
Pedang Batu Bintang kau yang
milikinya. Dan kau akan menjadi
sasaran empuk orang-orang rimba
persilatan. Sebuah rencana manis
sekali," kata hati Dewi Kematian.
*** Di manakah Tirta sekarang berada"
Setelah sadar dari pingsannya,
Rajawali Emas yang ditolong Bwana
telah kembali berada di punggung
rajawali raksasa berwarna keemasan
itu. Dari atas, pemuda sakti dari
Gunung Rajawali ini melihat Dewi
Kematian tengah mengejarnya. Pada saat yang sama, dia pun melihat bayangan
hitam lain yang mengejarnya pula.
Sampai pada suatu saat, tampak Dewi
Kematian tampak tengah bentrok dengan Ratu Tengkorak Hitam.
Si Rajawali Emas yang masih
mempunyai niatan untuk melakukan
penyerangan terhadap Juragan Lanang
malam ini, segera berbisik pada Bwana.
Dia meminta agar burung rajawali itu memutar arah, kembali ke tempat
semula. Dalam waktu tak berapa lama,
Tirta sudah kembali berada di tepi
sungai tempatnya bertarung melawan
Dewi Kematian tadi. Diperintahkannya Bwana untuk terbang kembali ke arah
yang dilalui tadi.
Dan rupanya burung rajawali yang
cerdik itu tahu maksud majikannya! Di sebuah lembah yang kalau siang begitu
tandus, dia mendarat. Burung itu
langsung mendekam, seolah menunggu.
Sementara itu saat ini si
Rajawali Emas telah tiba di tempat
persembunyian Sumirat dan yang lainnya setelah mengerahkan ilmu meringankan
tubuh tingkat tinggi. Begitu tiba,
pemuda ini langsung mengutarakan
gagasannya untuk menyerang tempat
tinggal Juragan Lanang.
*** "Serbu...!"
Sepinya malam yang tengah
merangkak menuju pagi, mendadak pecah oleh teriakan membahana. Rupanya Tirta dan
Sumirat telah menjalankan rencana dibantu yang lain-lainnya.
Didahului gebrakan Tirta, mereka
menerobos masuk ke halaman bangunan rumah Juragan Lanang yang semula sepi
mencekam itu. Kini suasana berubah
menjadi hiruk pikuk tak terkendali.
Suara senjata beradu pun seketika
terdengar hebat.
Juragan Lanang yang tertidur
setelah berbuat mesum dengan seorang wanita penghiburnya segera bangkit.
Dia menggeram dingin ketika menyadari
apa yang terjadi.
"Setan keparat!" makinya sambil mengenakan pakaiannya kembali.
Lelaki ini cepat bergerak ke
tempat gurunya biasa berada. Tetapi
dia tak menemukan siapa-siapa.
"Hhh! Sulit kudukung keinginan
Guru sekarang. Terpaksa aku harus
turun tangan mengatasi semua ini!"
Dengan sekali mengempos tubuhnya,
Juragan Lanang telah berada di dalam kancah pertarungan. Tubuhnya cepat
berkelebat dengan kegeraman membludak.
Dihantamnya para penduduk yang gagah berani berusaha merebut kembali dusun tanah
kelahiran mereka. Tetapi sudah tentu mereka bukanlah tandingan
Juragan Lanang.
Dalam waktu singkat, tiga orang
terkapar dengan dada hangus. Sumirat menjadi geram setengah mati melihat
kejadian ini. Maka segera dia
melompat, menghadapi Juragan Lanang.
"Lima tahun aku mencarimu,
Sumirat. Ternyata kau malah datang
untuk mengantarkan nyawa. Ha ha
ha...!" sambut Juragan Lanang.
"Manusia keparat! Malam ini
penindasanmu akan tuntas selamanya
bersama nyawa busukmu!" balas Sumirat seraya menerjang dengan golok di
tangan. Wuuutt! Dengan sekali memiringkan tubuh
sambaran golok yang bisa membelah
kepala mampu dihindari Juragan Lanang.
Bahkan mendadak dilepaskannya satu
tendangan yang begitu cepat.
Dess...! "Aaah...!"
Lelaki gagah itu terjajar ke
belakang. Juragan Lanang tak mau
membuang kesempatan ketika Sumirat
belum bersiap. Dikawal teriakan keras, tubuhnya cepat meluruk dengan tangan
penuh tenaga dalam. Pada saat yang
gawat bagi Sumirat, tiba-tiba bergerak satu sosok bayangan keemasan, langsung
menahan jotosan Juragan Lanang.
Plak! "Setan!"
Sambil memaki geram, Juragan
Lanang bersalto dua kali ke belakang.
Tangannya seketika terasa ngilu.
"Wah! Galak banget" Apa tidak
tahu kalau semua kebusukanmu itu akan segera berakhir?" kata sosok keemasan yang
telah menyelamatkan Sumirat.
"Setan keparat!" maki Juragan Lanang menatap tak berkedip pada
pemuda berbaju keemasan yang tak lain Tirta. "Kedatanganmu ke dusun ini mencari
mati rupanya"!"
"Kematian" Apa tidak terbalik
ucapanmu itu" Memangnya, kalau orang mau mati suka ngaco begitu, ya"
Hmm.... Kata-katamu
beberapa tahun lalu terdengar manis sekali. Tetapi
kau justru menghancurkan kehidupan
para penduduk!" sahut si Rajawali Emas.
"Siapa kau sebenarnya"!" sentak Juragan Lanang.
Tirta tersenyum sambil mengangkat
alis hitamnya. "Apakah kau lupa dengan
penggembala kambingmu yang bernama
Tirta" Nan! Akulah si penggembala
kambing itu. Dan tentunya, kau yang
jadi kambingnya, kan?"
Juragan Lanang makin tak berkedip
menatap pemuda tampan berambut
gondrong yang berdiri tiga tombak di depannya. Ingatannya kembali pada
bocah kecil bernama Tirta yang
menggembalakan kambing-kambingnya.
"Setan! Benarkah dia bocah
penggembala kambing-kambingku yang
telah tumbuh menjadi remaja
dan mengacaukan seluruh rencanaku?" rutuk batin Juragan Lanang, geram. "Tak mungkin.
Bocah itu telah menghilang lima tahun yang lalu."
"Wah.... Kok diam nih" Apa
nyalimu sekarang kendor?" ejek Tirta lagi, lebih menyentak.
Tiba-tiba suara
si pemuda terdengar dingin. Sepasang matanya
bagai mengeluarkan bara saat menatap Juragan Lanang.
"Bukan hanya nyawa ayah dan ibuku yang telah kau cabut dengan paksa,
melalui para tangan kotor anak buahmu.
Tetapi, puluhan penduduk pun harus
menemui ajal secara mengenaskan. Tak ada jalan lain, kecuali menghabisimu!"
Wajah Juragan Lanang langsung
membesi dengan gigi bergemeletuk.
"Ucapanmu hebat juga, Tirta!
Tetapi, kau telah menjadi besar kepala karena berhasil mengecohku selama ini!
Kau tak tahu tingginya langit dan
dalamnya dasar bumi!" leceh Juragan Lanang.
"Kalau soal itu tidak perlu
diajarkan! Ucapan busuk itu akan kau makan sendiri hingga perutmu buncit!"
"Setan keparat! Ingin kulihat,
sampai di mana kehebatanmu, hah"!"
Begitu habis kata-katanya, Jura-
gan Lanang mengusap kedua tangannya
berkali-kali. *** 10 Plok!! Plok!! "Heh..."!"
Terkesiap Tirta melihat apa yang
akan dilakukan Juragan Lanang. Sebuah serangan tenaga dalam yang dahsyat
pada kedua gendang telinganya melalui tepukan. Sekarang baru disadari, siapa
Juragan Lanang sebenarnya. Dari jurus
yang diterapkan, tak bisa disangkal
lagi kalau lelaki itu adalah murid
Dewi Kematian yang pernah mengacaukan jalan darah di tubuh Tirta dengan ilmu
'Tepukan Cabut Sukma'.
Tidak mau mengalami nasib konyol
seperti yang dialaminya saat
berhadapan dengan Dewi Kematian, si
Rajawali Emas langsung melompat
melancarkan satu serangan lewat jurus
'Sentakan Ekor Pecahkan Gunung', yang diambil dari salah satu jurus
'Rajawali'. Seketika angin dahsyat bergerak
berputar, mengarah pada Juragan Lanang yang siap menepuk kedua tangannya
kembali. Dalam hal ilmu 'Tepukan Cabut Sukma', sebenarnya
ketinggian ilmu
yang dimiliki Juragan Lanang tak jauh berbeda dengan Dewi Kematian. Namun,
sebelum lelaki itu melakukan tepukan, Tirta sudah mengenali dan segera
melepaskan serangannya. Hingga tepukan itu terlambat beberapa saat.
Akibatnya, Juragan Lanang urung
mempergunakan ilmu itu. Dan dia malah terkesiap menghindari serangan yang
dilancarkan Tirta. Sebisanya dibuang nya tubuh ke kanan.
"Heaaah...!"
Namun Tirta sudah lebih cepat
menyergap dengan totokan 'Sentakan
Kaki Rajawali'. Sehingga.... Tuk! Tuk!
Juragan Lanang kontan menggelosor
tak berdaya setelah seluruh tubuhnya terasa lemas bukan main. Hanya matanya yang
melotot dengan sumpah serapah
terlontar dari mulutnya.
"Lepaskan totokan ini! Kita
bertarung sampai mampus!" serunya, kalap.
"Soal bertarung sampai mati bisa saja kita lakukan. Hanya saja, aku ada
keinginan lain!"
Lalu dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuhnya, Tirta berkelebat Cepat. Dilumpuhkannya orang-orang
Juragan Lanang dengan totokan. Maka
sebentar saja, mereka dengan mudah
dibuat tak berdaya.
"Horeee...! Hidup Tirta...! Hidup Rajawali Emas!"
Terdengar sorakan bergembira dari
Sumirat dan yang lainnya. Mereka semua mengelu-elukan pemuda dari Gunung
Rajawali itu. Tirta tak mempedulikan, Tubuhnya
telah melesat membawa tubuh Juragan
Lanang yang hanya mampu berteriak-
teriak keras. Si Rajawali Emas meletakkan tubuh
yang dalam keadaan tertotok itu di
hadapan Sumirat dan yang lainnya.
Ketika beberapa pemuda yang dengan
geram siap mengayunkan golok, cepat
Tirta bertindak.
"Tahan! Hukum memang akan kita
lakukan terhadapnya. Tetapi, semua
keputusan kukembalikan pada Paman
Sumirat, sebagai orang yang kita
hormati!" cegah Tirta.
Sungguh terharu Sumirat mendengar
kata-kata Tirta. Padahal, semua
penyerangan ini dilakukan karena
pemuda itu. Tirtalah yang menyelidiki semua ini seorang diri. Dan di saat
seperti ini, justru pemuda itu yang
memintanya untuk membuat keputusan.
"Hukuman memang sudah sepatutnya dijalankan. Juragan Lanang telah
berbuat jauh dari hak-hak kita sebagai manusia. Dia telah mengubah dusun yang
permai menjadi neraka. Tetapi, apakah di saat dia berada dalam keadaan
seperti ini, kita harus menghukumnya"
Barangkali saja dia menyesali semua
tindakannya ini. Tuhan Maha Pengampun bagi ciptaannya. Mengapa kita tidak
mengampuni nyawa manusia ini bila dia mau meminta maaf dan menyesali semua
perbuatannya?" Sumirat membuka suara.
Hening. Semuanya bagai berusaha
mempertimbangkan kata-kata Sumirat.
Ada yang setuju, namun tak sedikit
yang menolak. "Jalan terbaik adalah, mengusir Juragan Lanang dari dusun ini selama-lamanya!"
Selama ini, belum ada orang yang
mau bersikap lembut pada Juragan
Lanang. Begitu pula Juragan Lanang


Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tak mau bersikap lunak pada siapa
pun, kecuali gurunya. Maka tak heran bila kata-kata Sumirat malah
membungkukkan kemuakan dalam dadanya.
"Persetan kau akan membebaskanku atau tidak, Sumirat! Biar kupilih
hukuman yang akan kuterima!" teriak lelaki itu.
Juragan Lanang lantas berpaling
pada Tirta. "Bocah penggembala kambing!"
ejeknya penuh tekanan. "Kau telah merasa dirimu menjadi pahlawan, bukan"
Hhh! Aku ingin melihat kehebatanmu
sebagai pahlawan! Lepaskan totokanku!
Kita bertarung sampai mampus!"
Tirta menarik napas panjang.
Tanpa peduli, kepalanya menoleh pada Sumirat.
"Bagaimana, Paman" Sebuah usul
yang menarik sebenarnya," kata si Rajawali Emas.
"Terserah kau, Tirta!" sahut Sumirat.
Begitu Tirta mengangguk, segera
terbentuk lingkaran dari Sumirat dan yang lainnya. Lalu dengan langkah
tenang, pemuda itu menghampiri
Juragan. Lanang yang dalam keadaan
tertotok. Dibebaskan totokannya pada tubuh lelaki itu.
Tubuh Juragan Lanang mengejut
sebentar, lalu berdiri dengan
angkuhnya. "Kita buat keputusan! Bila kau
berhasil kukalahkan, dusun ini tetap menjadi
milikku?" tantang Juragan
Lanang, jumawa.
"Bagaimana bila kau yang kalah?"
tukas si Rajawali Emas.
"Aku akan bunuh diri di hadapan-mu!"
"Tawaran yang menarik! Kita bisa memulainya sekarang!" kata Tirta sambil membuka
tangan kanannya.
"Heaaa...!"
Diiringi teriakan keras Juragan
Lanang langsung menerjang dengan jurus milik Dewi Kematian yang keras dan
mengerikan. Bahkan mengandung tenaga dalam tinggi. Setiap kali jotosan
maupun tendangannya selalu diiringi
desir angin deras ke arah Tirta. Namun sampai sejauh itu Tirta selalu mampu
menghindari setiap serangan lawan.
Lima belas jurus telah
berlangsung Juragan Lanang masih
berusaha menyerang, sementara si
Rajawali Emas tetap menghindar. Tetapi pada jurus kedua puluh, pemuda berbaju
keemasan itu tak mau lagi bertindak
tanggung. Kini dia akan memberi
pelajaran pada orang dungu yang masih mengandalkan kekuatan tak seberapa
itu. Sebenarnya sebagai murid Dewi
Kematian, Juragan Lanang memiliki ilmu yang hampir setingkat dengan gurunya.
Tetapi dikarenakan benaknya dipenuhi
nafsu untuk menang dan rasa kemarahan tinggi, maka setiap serangannya jadi tak
terarah. Sementara Tirta yang
menghadapinya dengan ketenangan bisa dengan mudah menebak ke mana arah
setiap serangan yang datang.
"Chaaa...!"
Kini untuk pertama kalinya, Tirta
melakukan serangan dengan jurus
'Sentakan Ekor Pecahkan Gunung'. Kedua kakinya bergerak memutar penuh tenaga,
bagai ekor burung rajawali yang sedang marah ke dada Juragan Lanang. Begitu
cepat, sehingga...
Des! Des! Dada Juragan Lanang terjajar
beberapa langkah ketika terhantam
telak pada dadanya. Dan sebelum dia
memperbaiki keseimbangan, Tirta telah berkelebat dengan sebuah kibasan
tangan tak ubahnya kibasan sayap
burung rajawali.
Prak! "Aaakh...!"
Tepat sekali tangan si Rajawali
Emas menghantam wajah Juragan Lanang.
Seketika lelaki itu ambruk dengan
mulut dan bibir berdarah.
Gusar bukan main lelaki itu. Dia
mencoba bangkit, tapi tak mampu. Yang tinggal sekarang, hanyalah sisa-sisa
kebengisannya belaka dengan pancaran kedua mata yang memerah tajam.
"Kau telah membuat keputusan
sendiri. Kau telah kalah, Juragan
Lanang," kata Tirta tanpa berkesan bangga sedikit juga.
"Kau memang bisa mengalahkan aku, Rajawali Emas! Kau juga
bisa menghancurkan seluruh rencanaku!
Tetapi... jangan
dikira kau akan
mendapatkan nyawaku!" desis Juragan Lanang.
Dan mendadak, terlihat lelaki itu
seperti menggeremetukkan
giginya. Kepalanya bergerak ke bawah sejenak.
Tak lama kemudian..,.
Brukkk! Tubuh itu menggelosor
tak berdaya. Mati. Tirta tersentak, tetapi tak bisa
menyelamatkan nyawa Juragan Lanang
dari tindakan bunuh diri yang barusan dilakukan. Hanya dipandanginya saja
tubuh yang sudah tak bernyawa. Dari
mulut lebar itu mengalirkan darah.
Rupanya, Juragan Lanang membunuh diri dengan cara menggigit lidahnya
sendiri! Sementara dari beberapa orang yang berdiri melingkar terdengar
desahan puas, melihat kematian lelaki yang telah banyak menimbulkan keonaran
itu. Sumirat menghampiri Tirta yang
masih berdiri menatap mayat Juragan
Lanang. "Dia telah memilih jalannya
sendiri," kata Sumirat.
"Yah.... Semua dikarenakan kesom-bongan yang ada pada dirinya. Paman...
dusun ini telah kita miliki kembali.
Paman dan yang lainnya bisa membangunnya kembali. Orang-orang Juragan
Lanang yang ada juga orang dusun ini pasti tak akan berani melakukan
tindakan serupa, karena sang pemimpin telah mati," kata Tirta.
"Bagaimana dengan sepuluh orang bertopeng itu?"
"Mereka telah mati di tangan
sesama sendiri.
Paman, ada yang masih kupikirkan
tentang Dewi Kematian. Dia pasti guru dari Juragan Lanang, mengingat jurus yang
dipergunakannya mirip dengan
jurus Dewi Kematian. Aku tak ingin
menyeret kalian dalam bahaya. Perem-
puan bercadar sutera itu harus
kupancing menjauh dari dusun ini."
"Maksudmu... kau hendak
meninggalkan kami?" tukas Sumirat, meminta penjelasan.
"Begitulah yang akan terjadi,
Paman. Ada beberapa wasiat yang harus kujalankan, Paman."
"Wasiat apakah itu, Tirta?"
Tirta tersenyum.
"Bukan maksudku untuk tidak
mengatakan apa yang sedang kuemban
ini, Paman. Tetapi, biarlah ini
menjadi urusanku sendiri," kilah si
Rajawali Emas. Sumirat mengangguk-angguk menger-
ti. "Aku paham," katanya.
"Pagi sudah datang. Kuburkanlah mayat-mayat ini, Paman. Bentuklah
persatuan dan kesatuan yang kokoh di dusun kita ini. Jangan sampai orang
semacam Juragan Lanang muncul
kembali," ingat Tirta, bijaksana.
Kembali Sumirat menganggukkan
kepalanya. Setelah mengedarkan pandangan
pada beberapa orang di sana, Tirta
segera melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara Sumirat dan yang
lainnya menguangi dengan tatapan haru.
Di perjalanan, pemuda gagah
berbaju keemasan itu menarik napas
pendek. "Hmm.... Di mana harus kutemui
Raja Lihai Langit Bumi" Melihat
orangnya saja belum pernah. Gawat
kalau lewat dari waktu yang ditentukan aku belum bisa menemukannya. Bisa-bisa
tenaga surya yang mengalir dalam
tubuhku akan mencacah hancur seluruh tubuhku. Hmm.... Aku harus berlomba
dengan waktu!" desis Tirta.
Maka dengan mempergunakan ilmu
meringankan tubuhnya, si Rajawali Emas segera berkelebat. Tak tahu, arah mana
yang harus dituju. Yang pasti, Raja
Lihai Langit Bumi harus ditemukan, di
samping menemukan Dewi Kematian yang pernah mempecundanginya.
*** 11 Tepat matahari sepenggalah, Dewi
Kematian tiba dilembah tandus tempat Bwana mendekam. Seharusnya di pagi
yang masih cukup muda ini, panas tak terlalu menyengat. Namun, di tempat
yang tak ditumbuhi satu pohon pun itu seolah matahari sudah berada tepat di atas
kepala. Perempuan bercadar sutera itu
menghentikan langkahnya. Matanya
menatap takjub pada Bwana yang sedang mendekam.
"Hmm.... Pedang Batu Bintang akan menjadi milikku. Paling tidak, burung ini akan
menjadi tumbal untuk
memancing keluarnya si Rajawali Emas.
Aku harus berhati-hati.
Tentunya burung rajawali ini bukan burung
sembarangan...."
Belum lagi Dewi Kematian ber-
tindak, sepasang mata tajamnya
menangkap satu kelebatan bayangan
hitam yang kemudian berhenti pada
jarak lima puluh tombak dari tempatnya berdiri. Segera tangannya dilambaikan
pada bayangan hitam yang ternyata Ratu
Tengkorak Hitam.
Seketika Ratu Tengkorak Hitam
cepat berkelebat kembali ke arah Dewi Kematian.
"Mengapa kita tidak segera
menangkapnya, Dewi?" tanya Ratu Tengkorak Hitam dengan suara sopan,
begitu tiba di hadapan Dewi Kematian.
"Hmm... Burung ini tak bisa
dianggap sembarangan. Kita harus
berhati-hati. Pikirkan cara yang tepat untuk menangkapnya," gumam Dewi Kematian.
"Di mana si Rajawali Emas?" tanya Ratu Tengkorak Hitam.
"Persetan dengan pemuda itu. Yang terpenting sekarang, tangkap burung
itu. Dan kita bisa menjadikannya
tumbal. Ingin kutahu kehebatan burung ini!"
Begitu habis kata-katanya, Dewi
Kematian melesat laksana kilat ke arah Bwana yang masih mendekam seolah tak
menyadari apa yang akan terjadi. Namun ketika perempuan bercadar sutera itu
berada dalam jarak lima belas tombak, mendadak saja Bwana mengeluarkan suara
bagai menggereng. Bersamaan dengan itu tiba-tiba saja, sebelah sayap kanannya
dikepakkan. Wuusss! Seketika gelombang angin dahsyat
menderu, menerbangkan debu dan kerikil panas yang mengarah pada Dewi
Kematian. Perempuan itu memekik
tertahan. Bila saja tidak cepat
membuang tubuh ke samping, bisa
dipastikan akan terbawa derasnya angin dahsyat barusan.
"Gila! Di luar dugaanku kehebatan burung ini!" dengus Dewi Kematian seraya
bangkit berdiri.
Sementara itu, Ratu Tengkorak
Hitam yang berdiri pada jarak lima
puluh tombak bagai merasakan tamparan keras angin. Untung dia siap
sebelumnya dengan mengerahkan tenaga dalam. Namun tak urung wajahnya
setengah pias. "Luar biasa! Memiliki burung itu sebagai peliharaan, sudah menjadi
pembantu yang sangat tangguh,"
desahnya. Mendapati Dewi Kematian masih
berdiri tegak, Bwana kembali
mengepakkan sayapnya. Itu dilakukan
tanpa bergeser sedikit juga.
Wuuut! "Hup!"
Dewi Kematian yang masih tertegun
menyaksikan kehebatan burung rajawali keemasan itu segera melompat ke
belakang, lalu hinggap di sisi Ratu
Tengkorak Hitam.
"Burung itu tak bisa dilawan
dengan tenaga kasar.
Tenaga yang dimilikinya sulit diukur. Hm... Aku
ingin tahu, apakah dia mampu mengatasi
'Tepukan Cabut Sukma'," desis Dewi Kematian. Maka segera dipersiapkannya jurus
'Tepukan Cabut Sukma'. Namun
begitu kedua tangannya hendak menepuk mendadak....
"Tahan!"
cegah Ratu Tengkorak
Hitam. Dewi Kematian tak perlu menunggu


Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlalu lama, apa penyebab lancangnya Ratu Tengkorak Hitam menahan
keinginannya. Dalam jarak seratus
tombak, tampak telah berdiri seorang lelaki tua berpakaian compang-camping.
"Siluman Buta," sebut Ratu Tengkorak Hitam, mendesis. "Daripada mencoba
menangkap burung rajawali Itu, dan Siluman Buta akan menikmati hasil-nya lebih
baik kita bunuh dulu, Dewi."
Tangan Dewi Kematian yang siap
ditepukkan, diturunkan kembali.
"Aku pernah mendengar julukan
Siluman Buta yang cukup menggetarkan.
Ilmunya sangat tinggi," kata Dewi Kematian, setengah menggumam.
"Benar, Dewi. Kita bisa
mengeroyoknya kalau begitu. Meskipun aku yakin, Dewi sendiri mampu
mengatasinya," sahut Ratu Tengkorak Hitam.
Dewi Kematian tersenyum dingin di
balik cadar suteranya. Dia tahu, apa yang dimaksud Ratu Tengkorak Hitam
barusan. Hanya menjilat belaka.
"Hm.... Tapi urusan kita bisa
lebih mudah dilakukan," kata Dewi Kematian sambil tersenyum Matanya
memandang ke arah lain.
Ratu Tengkorak Hitam pun melihat
ke arah yang sama. Tampak satu sosok tubuh agak mencangkung tiba pula di
tempat itu. Begitu melihat orang yang baru datang, segera disiapkannya jurus
'Angin Dendam Punah Nyawa'.
"Manusia Mayat Muka Kuning....
Keparat si Kaki Gledek itu pasti telah mengirimkan fitnah padaku tentang Batu
Bintang. Dan urusan bisa jadi berabe,"
keluh batin nenek baju hitam itu.
Susur yang selalu di mulutnya tanpa
disadari makin dikunyah lebih cepat.
Air warna merah dari susur makin
banyak bercampur dengan ludahnya.
Hati Ratu Tengkorak Hitam
berkebit-kebit tak menentu ketika
Manusia Mayat Muka Kuning berkelebat ke arahnya. Namun dia bisa menarik
napas sedikit lega ketika lelaki itu mengarahkan pandangan pada Dewi
Kematian. Sedikit pun tak menoleh
kepadanya. "Sayangku.... Sekian lama aku tak jumpa denganmu, Dewi. Nyatanya kau
berada di sini," kata Manusia Mayat Muka Kuning.
"Aku pun merindukanmu, Sayangku,"
sambut Dewi Kematian.
Manusia Mayat Muka Kuning
merangkul Dewi Kematian. Mulutnya yang
cekung ke dalam menciumi leher jenjang Dewi Kematian. Sementara Ratu
Tengkorak Hitam membuang muka ke
samping sambil mengunyah terus
susurnya. Agaknya dia jengah melihat pemandangan di hadapannya tadi.
"Tunggu. Tahan
dulu nafsumu, Sayang," ujar Dewi Kematian, begitu teringat tentang keinginannya mendapat
Pedang Batu Bintang.
Manusia Mayat Muka Kuning
terkekeh-kekeh.
"Baiklah, Hm.... Kau masih
menggiurkan saja, Dewi. Meskipun, aku tak tahu siapa saja yang telah mencoba
dirimu ini," oceh Manusia Mayat Muka Kuning.
Memerah wajah Dewi Kematian di
balik cadar sutera mendapati kata-kata lelaki ini.
"Meskipun demikian, aku masih
mampu membuatmu melambung," kilah perempuan bercadar itu.
"Tentu, tentu sekali," sahut lelaki tua bermuka kuning itu seraya menoleh pada
Ratu Tengkorak Hitam.
"Nenek peot jelek! Katakan, di
mana Batu Bintang berada?"
Ratu Tengkorak Hitam memutar
tubuhnya. Dan kini dia berhadapan
dengan Manusia Mayat Muka Kuning yang tengah menatap tajam. Nenek baju hitam itu
sesaat terkesiap melihat tatapan dingin bagai membetot sukmanya.
"Jangan sembarangan omong!
Tanyakan pada kekasihmu itu!" ujar Ratu Tengkorak Hitam disertai semburan merah
dari mulutnya. Wajah Manusia Mayat Muka Kuning
kontan membesi mendengar bentakan
barusan. Tangan kanannya terangkat,
siap menjentikkan jari telunjuk dan
ibu jari. "Ouw... ouwww.... Tahan dulu,
Sayang...."
Dewi Kematian yang memang
mempunyai niat tertentu pada Ratu
Tengkorak Hitam, cepat mencegah dengan suara mendayu-dayu sambil
menggelendoti tubuh kurus kekasihnya.
"Hmm.... Rupanya kau datang untuk mencari Batu Bintang itu juga,
Sayangku?" lanjutnya.
Lalu dengan suara masih mendayu-
dayu, Dewi Kematian menceritakan apa yang terjadi.
Menggeram Manusia Mayat Muka
Kuning. "Kaki Gledek keparat! Dia berani unjuk gigi membohongiku! Akan kulumat tubuhnya
nanti!" Merasa terbebas dari masalah yang
mengganggu, Ratu Tengkorak Hitam
mengambil sikap tenang sambil
memalingkan kepala. Karena tangan
kurus lelaki tua muka kuning dengan
liarnya menjelajah dada Dewi Kematian.
"Hei, hei...! Sudah kukatakan,
kau harus bersabar, Sayang. Lebih
baik, tangkap burung rajawali itu. O, ya. Siluman Buta tentunya akan
mengganggu keinginanku. Bisakah kau
membunuh manusia keparat itu,
Sayangku?"
"Membunuh Siluman Buta" Hanya
semudah membalikkan telapak tanganku,"
sahut Manusia Mayat Muka Kuning seraya menjentikkan jari telunjuk dan
ibujari. Sraaat! Seketika selarik sinar kuning
setajam jarum meluncur dahsyat ke arah Siluman Buta yang masih berdiri dengan
kedua tangan bertumpu pada tongkat
kusamnya. Orang tua buta berpakaian
compang-camping itu memang memiliki
pendengaran lebih tajam daripada mata manusia melek. Maka dengan santainya,
tongkat kusamnya diputar.
Wusss! Pyar! Serangan Manusia Mayat Muka
Kuning buyar seketika. Sementara Bwana masih mendekam di tempatnya. Meskipun
nampak tenang, namun burung itu tengah bersiap dan siap terbang bila melihat
gelagat yang tak menguntungkan. Memang begitulah perintah dari Tirta atau si
Rajawali Emas. "Hebat! Hebat! Menangkap sera-
ngannya... jelas Manusia Mayat Muka
Kuning. Mencium aroma wangi yang
menguap... tak salah bila kukatakan
perempuan mesum bercadar sutera yang berjuluk Dewi Kematian ada pula di
sini. Dan mencium bau susur yang
memuakkan, tentunya Ratu Tengkorak
Hitam pun hadir pula di sini. Wah....
Ini akan jadi sangat ramai tentunya!"
Diam-diam ketiga orang itu
terkejut mendengar kata-kata lelaki
buta itu. Diam-diam pula mereka kagum dengan kehebatan Siluman Buta.
Dan sebelum mereka berkata apa-
apa.... "Hi hi hi...!"
Mendadak satu suara tawa dingin
terdengar ke seantero tempat.
"Busyet! Rupanya kalian sudah
ngumpul di sini" Meskipun aku tak
diundang, rasanya tak salah bila aku ikut bergabung."
Yang muncul adalah satu sosok
berkonde dengan baju dan kain batik
kusam. Pandangannya mengedar pada
orang-orang yang telah berada di sana.
"Hmm.... Jelas yang datang adalah Bidadari Hati Kejam. Apakah dia sudah
menyampaikan pesanku untuk memancing keluar Raja Lihai Langit Bumi?" oceh
Siluman Buta. Kendati buta, nyatanya dialah yang pertama
mengetahui kehadiran nenek berkonde itu.
Sementara itu, Manusia Mayat Muka
Kuning langsung melesat ke muka. Dan
dia mendarat lima tombak di depan
Bidadari Hati Kejam. Wajahnya yang
pucat seperti mayat tampak menegang
mendapati orang yang selama ini
membangkitkan dendam.
"Manusia Mayat Muka Kuning! Kau berani lancang memancingku keluar.
Apakah kau sudah tak sayang nyawa,
hah"!" kata Bidadari Hati Kejam, mendahului.
"Nenek peot! Bukan nyawaku yang akan melayang, tetapi nyawa busukmu
yang akan lepas dari badan," balas Manusia Mayat Muka Kuning.
"Kalau dulu di Lembah Maut kau masih kuampuni, kali ini jangan
salahkan aku bila menurunkan tangan
telengas!"
"Setan keparat! Kita lihat!"
Manusia Mayat Muka Kuning sudah
menggempur lebih dulu dengan serangan mautnya. Gemuruh angin terdengar
mengiringi serangannya.
"Hup!"
Bidadari Hati Kejam membuang
tubuhnya ke kanan. Dan baru saja dia bangkit, Manusia Mayat Muka Kuning
kembali melancarkan serangan gencar.
"Manusia mayat ini kelihatan
makin hebat. Setiap serangannya bagai angin yang merontokkan jantung,"
dengus nenek berkonde itu dalam hati.
"Tak akan kubiarkan manusia laknat ini menimbulkan
malapetaka. Aku tahu, dialah orang yang berada di balik
pembunuhan berantai
yang berkepan- jangan." Berpikir demikian, Bidadari Hati
Kejam membanting tubuh ke belakang.
Lalu kedua tangannya mengibas ke muka.
Seketika asap tebal beriring hawa
dingin meluruk ke arah Manusia Mayat Muka Kuning. Pada saat yang sama,
lelaki berwajah kuning itu mengirimkan serangan pula.
Byaaarr! Benturan dua tenaga dalam tingkat
tinggi bertemu. Suasana di tempat itu bagai bergetar. Sementara, Bwana
langsung terbang, namun masih
berputaran di tempat itu.
"Chaaatt...!"
Dewi Kematian segera turun
membantu kekasihnya. Bahkan kemudian Ratu Tengkorak Hitam pun tak keting-galan.
Sementara Siluman Buta hanya
berdiri di tempatnya sambil terkekeh-kekeh.
"Suatu pertarungan yang sangat
menyenangkan. Aku tidak akan turun
tangan, sebelum menemukan Raja Lihai Langit Bumi. Baiknya, kutunggu saja
siapa yang akan segera terkapar."
"Gila! Bisa-bisa aku mati di
sini!" rutuk Bidadari Hati Kejam sambil menghindar.
Sulit bagi wanita ini untuk
membalas gempuran ketiga lawannya yang dilakukan serentak. Dan tiba-tiba saja
dia melompat mundur seraya mencabut
senjata pengebutnya.
Bed! Bed! Bidadari Hati Kejam langsung
mengibaskan senjatanya dalam rangkaian jurus 'Rangkaian Bunga Habisi Kumbang'
yang langsung menimbulkan kilatan
sinar putih dan asap tebal dahsyat.
"Hebat! Kesaktian nenek berkonde ini terayata makin tinggi. Senjatanya memang
merupakan senjata dahsyat,"
puji Manusia Mayat Muka Kuning.
"Meskipun tenaga dalam sudah
kulipatgandakan pada jurus 'Tepuk
Cabut Sukma', ternyata nenek peot itu seolah tak merasakan apa-apa," kata batin
Dewi Kematian heran.
"Seharusnya nenek berkonde itu
bisa dilumpuhkan dalam tiga gebrak
berikutnya. Tetapi dia sudah lebih
cepat mencabut senjata pengebutnya.
'Undang Maut Sedot Darah' pun tak
berarti banyak menghadapi senjata
itu," rutuk Ratu Tengkorak Hitam, gusar.
Meskipun demikian, sebenarnya
tenaga nenek berkonde itu sudah payah.
Tenaganya sudah banyak terkuras akibat terlalu sering menghindar. Serangan
senjata pengebutnya pun hanya
merupakan gerakan sisa-sisa tenaganya saja.
"Benar-benar celaka kalau begini!
Hmmm.... Bwana sudah terbang kembali.
Manusia-manusia yang menginginkannya tak akan mungkin bisa menangkapnya
lagi. Karena, dia akan bisa menjauh.
Tetapi melihat sikapnya tadi, Bwana
seperti menunggu kedatangan seseorang.
Siapakah yang ditunggunya" Manusia-
manusia keparat ini ataukah ada orang lain?"
Masih dengan berjuta pikiran yang
membutuhkan jawaban, Bidadari Hati
Kejam terus menghindar sekaligus
membalas setiap serangan gencar ketiga lawannya.
Namun mendadak saja....
Pak!

Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ohh"!"
Entah bagaimana mulanya, tangan
kanan Bidadari Hati Kejam yang
memegang pengebut telah terpukul jatuh oleh
Manusia Mayat Muka Kuning.
Bersamaan dengan itu, kedua telinganya terasa bagai hendak pecah mendengar
tepukan tangan yang dilakukan Dewi
Kematian. Menyusul serangan 'Undang
Maut Sedot Darah' yang dilepaskan Ratu Tengkorak Hitam.
"Aaakh...!"
Nenek berkonde itu mencoba
menyelamatkan diri. Tetapi sentakan pada kedua telinganya yang sangat
menyakitkan, membuatnya terguling
disertai pekikan tertahan.
Bersamaan dengan itu, Manusia
Mayat Muka Kuning meluncur deras, siap menggeprak hancur kepala Bidadari Hati
Kejam. Namun agaknya, nasib nenek berkonde itu masih bagus. Karena
mendadak saja, berkelebat satu
bayangan dengan kecepatan luar biasa.
Langsung dipapakinya serangan Manusia Mayat Muka Kuning.
Plak! Selagi Manusia Mayat Muka Kuning
terjajar, bayangan keemasan itu telah menyambar tubuh Bidadari Hati Kejam
dan berkelebat dengan kecepatan luar biasa!
*** Manusia Mayat Muka Kuning
terperangah. Meskipun tangannya yang dipapaki bayangan keemasan tadi tidak
terlalu menyakitkan, namun cukup
mengagetkan. Karena seharusnya, orang yang memapaki serangannya tadi akan
langsung terkapar.
"Setan keparat! Siapa dia"!"
"Si Rajawali Emas! Dialah pemuda yang memiliki Pedang Batu Bintang!
Kejar sampai dapat! Jangan biarkan dia menolong Bidadari Hati Kejam yang
sudah mau mampus!"
Serentak mereka berkelebat
menyusul. Sementara Siluman Buta hanya
tertegun. "Si Rajawali Emas" Hm.... Baru
kali ini julukan itu kudengar. Tetapi merasakan kehebatannya tadi, jelas
kalau pemuda itu tak bisa dianggap
sembarangan. Rajawali Emas....
Rajawali Emas.... Ada hubungan apa
ini" Dan Pedang Batu Bintang" Keparat!
Rupanya pemuda yang berjuluk Rajawali Emas itu" Ia telah menempa
Batu Bintang menjadi Pedang Batu Bintang!
Aku harus turun tangan mendapatkan
Pedang Batu Bintang. Urusan dengan
Raja Lihai Langit Bumi akan lebih
mudah bila mempergunakan Pedang Batu Bintang."
Saat itu pula lelaki tua buta
berpakaian compang-camping itu segera berkelebat cepat.
*** 12 Kini keadaan Bidadari Hati Kejam
sudah seperti sedia kala kembali. Hal itu karena hawa murni yang dimilikinya
telah mencapai tingkat tinggi. Dan
begitu melihat seorang pemuda berbaju keemasan yang berdiri tak jauh
darinya, nenek berkonde itu mengerutkan kening.
"Apakah Nenek lupa padaku?" tanya pemuda yang tak lain Tirta, tersenyum.
"Aku Tirta, Nek. Si penggembala kambing yang bingung karena kehilangan kambing-
kambingnya."
Kening Bidadari Hati Kejam yang
berkernyit tadi perlahan-lahan
menghilang. Sejenak kemudian dia
tertawa mengikik.
"Hebat, hebat! Bocah kebluk yang lima tahun hanya sibuk mengurusi
kambing-kambingnya yang hilang, kini telah tumbuh gagah. Hebat sekali kau ini
ya" Dan... hei"!"
Kembali nenek berkonde berbaju
dan kain batik kusam itu tertegun,
"Kalau mataku yang tua ini tak
salah, pedang di punggungmu itu
terbuat dari Batu Bintang, bukan?"
tebaknya. Tirta mengangguk.
"Benar-benar luar biasa Nenek
ini. Padahal pedangku belum kucabut, namun sudah bisa menebaknya, Kalau
saja Eyang tak mengatakan tentang
Bidadari Hati Kejam, sudah tentu aku harus bersiaga," kata batin Tirta.
"Kau telah memiliki Batu Bintang yang telah ditempa menjadi Pedang Batu Bintang.
Dan tentunya, Bwana juga
sudah menjadi milikmu. Aku mengerti
sekarang, mengapa Guru membiarkan
Bwana pergi. Rupanya, dia diharuskan mencari majikan baru. Dengan menyelip-
kan Batu Bintang pada ekornya, dan
menjatuhkannya pada siapa saja yang
menjadi pilihan Bwana. Berarti dia...
ah! Luar biasa! Kau beruntung, Bocah Kebluk!" kata nenek berkonde sambil
tertawa-tawa, lalu menepuk punggung
Tirta. "Luar biasa sekali! Kau patut mendapat julukan si Rajawali Emas,
Tirta! Dan tentunya, sekarang aku tak lagi bisa menginginkanmu menjadi
muridku." Tirta segera menggeleng.
"Tidak, Nek. Justru aku ingin
berguru padamu," sergah si pemuda.
Mata kelabu si nenek berkonde
membesar. "Apakah telingaku tak salah
dengar?" tukasnya.
"Begitu yang diwasiatkan Eyang
padaku, Nek, O, ya. Siapakah Eyang itu sebenarnya, Nek?"
"Kau belum tahu?"
"Bahkan nama atau julukannya saja aku tidak tahu."
Bidadari Hati Kejam manggut-
manggut. "Kalau Guru tak mau
menyebutkan nama atau julukannya,
berarti memang tak ingin dikenal bocah kebluk ini. Tetapi tak salah bila
kukatakan tentang julukan Guru," kata batin Bidadari Hati Kejam.
Perempuan ini lantas menatap
Tirta. "Julukan Guru adalah Malaikat
Dewa. Dan dia bernama Sepuh Mahisa
Agni." Tolong ceritakan tentang Eyang,
Nek. Sungguh aku penasaran."
Bidadari Hati Kejam menggeleng-
geleng. "Kau harus mencari tahu sendiri."
Bukannya berkata lagi, Tirta
justru menjatuhkan kepala di tanah.
"Terimalah sembah sujudku, Guru."
Kebalikan dari sikap Tirta,
Bidadari Hati Kejam justru mencak-
mencak. "Enaknya memanggilku Guru! Kau
kan belum kuterima menjadi muridku?"
tolaknya, kasar.
Tirta mengangkat kepalanya lagi
dengan wajah tegang. Tak disangka
kalau nenek berkonde ini menolaknya
menjadi muridnya.
"Jadi?"
"Kau harus lebih tandas
memanggilku Guru!" ujar nenek itu sambil melipat kedua tangannya di dada dengan
sikap angkuh. Wajah tegang Tirta tadi menghi-
lang. Sebagai gantinya dia tertawa-
tawa. "Terima kasih, Guru."
"Kurang tandes!"
Terima kasih Guru!" Tirta menekan suaranya.
"Eh! Kau sepertinya kurang
yakin!" tuntut Bidadari Hati Kejam.
"TERIMA KASIH, GURU!" teriak Tirta.
"Nah! Itu baru namanya murid yang baik. Hmmm.... Apa wasiat Malaikat
Dewa, Tirta?"
"Aku diharuskan mempelajari ilmu pengebut dari Guru yang akan
kupergunakan sebagai jurus pedangku."
Bidadari Hati Kejam mengangguk-
angguk. "Tirta.... Urusanku sebenarnya
masih banyak. Terutama urusanku dengan Manusia Mayat Muka Kuning. Juga,
dengan Raja Lihai Langit Bumi."
"Urusan apakah gerangan, Guru?"
"Nanti kau bisa tahu."
"Baiklah, Guru."
"Sekarang... aku ingin menyak-
sikan dulu Pedang Batu Bintang itu,
Tirta." Kalau orang yang lain meminta,
belum tentu pemuda tampan dari Gunung Rajawali ini mengabulkannya. Namun dia
yakin sekali kalau nenek berkonde ini tidak bermaksud jahat. Lalu perlahan-
lahan, Pedang Batu Bintang diloloskan dari warangkanya.
Wrrr! Tangan si pemuda mendadak saja
bergetar begitu pedang berada di
tangannya dengan aliran hawa panas.
Tenaga dalamnya cepat dialirkan.
Sementara pancaran sinar keemasan dari Pedang Batu Bintang sangat cemerlang.
Bidadari Hati Kejam sampai
tertegun melihatnya.
"Gila! Baru melihatnya saja
mataku sudah sedemikian silau," desah si nenek. "Boleh aku memegangnya?"
"Silakan, Guru."
Getaran yang mengandung hawa
panas pun dirasakan si nenek berkonde yang kembali berdecak sambil
menggeleng-geleng.
"Luar biasa!" desisnya. Lalu tangannya digerakkan.
Wusss! Serangkum sinar keemasan diiringi
angin panas melesat begitu saja begitu pedang digerakkan. Si nenek cukup
terkejut, karena lesatan pedang itu bagai mendorongnya ke belakang.
Sementara lesatan sinar keemasan yang diiringi hawa panas itu melesat ke
depan. Plaaasss! Semak belukar yang ada di hadapan
Bidadari Hati Kejam langsung terpapas luruh. Sementara dua buah pohon yang
berada di sana langsung tumbang dalam keadaan hangus jadi serpihan.
Masih tak puas dengan apa yang
dilakukannya, si nenek berkelebat ke arah sebuah batu besar yang tak jauh di
sana. Pedang itu diayunkannya ke
arah batu. Wuuuttt...! Belum lagi pedang itu menghantam,
batu itu sudah bergeser tiga tombak
terkena angin yang mendahului gerakan pedang bersinar keemasan. Dan....
Trak! Angin panas yang ditimbulkan
Pedang Batu Bintang telah merengkah
batu besar itu. Dan....
Byaaarr! Begitu si nenek menghantamkan
Pedang Batu Bintang pada batu yang
telah rengkah, mendadak saja terdengar ledakan. Batu itu berhamburan menjadi
krikil, sementara tanah tempat batu
itu berada tadi muncrat setengah
tombak, membentuk lobang di bawahnya.
"Luar biasa! Tak heran bila
banyak yang menginginkan Pedang Batu Bintang ini!" seru Bidadari Hati Kejam.
Tirta yang sudah merasakan kehe-
batan itu ketika meneruskan tempaan
Batu Bintang menjadi pedang pun
menatap takjub dengan pedangnya.
"Guru.... Kasihan bila semak
belukar dan pohon-pohon dijadikan
sasaran percobaan."
Bidadari Hati Kejam terkekeh
sambil melangkah menghampiri. Lalu
diserahkannya kembali Pedang Batu
Bintang pada Tirta. Segera pemuda ini memasukkan pedang ke warangkanya.
"Kau beruntung mendapatkan pedang itu, Tirta," kata si nenek.
Tirta menjura. "Terima kasih, Guru. Aku akan...
oh!" Mendadak saja tubuh Tirta
mengejang. Kejap kemudian, pemuda ini sudah terbanting dahsyat ketanah.
Wajah tampannya mendadak menjadi pucat pasi. Dan perlahan-lahan, seluruh
tubuhnya memerah disertai asap
mengepul dari tubuh Tirta. Bidadari
Hati Kejam tertegun melihat si
Rajawali Emas kelojotan seperti itu.
"Gila! Tak ada angin dan tak ada hujan, mengapa tahu-tahu tubuh pemuda ini
berguling dan bagai terserang
kutukan setan" Sinting! Ada apa ini"!"
Terburu-buru Bidadari Hati Kejam
segera memegang tubuh Tirta. Dan dia tersentak langsung
menarik pulang tangannya. "Gila! Mengapa tubuhnya menjadi sedemikian panas" Dan tenaga apa yang
menyerangnya ini?"
Dengan keheranan si nenek
memperhatikan sekelilingnya. Nalurinya mengatakan tak ada seorang pun di
sekitar sana, kecuali mereka berdua.
Diperhatikan lagi tubuh Tirta yang
bertambah kelojotan. Erangan yang
keluar dari mulutnya begitu mencekam.


Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa sadar si nenek menjadi tegang.
"Celaka! Belum lagi aku
menurunkan ilmu pengebut padanya, dia sudah menderita seperti itu. Tetapi...
tubuhnya menjadi demikian panas. Dan, aliran darahnya bagai menggumpal
dahsyat di setiap urat darahnya.
Bagaimana ini?"
Bidadari Hati Kejam segera
mengerahkan hawa murni yang mampu
mengusir panas. Dipegangnya tubuh
Tirta yang masih kelojotan dengan
erangan bertambah keras. Begitu jelas penderitaan yang dialami si Rajawali Emas.
"Heh"!"
Kembali nenek berkonde
ini tersentak, Segera kedua tangannya
ditarik ketika memegang tubuh Tirta.
"Gila! Hawa murniku yang mesti
menahan panas, justru tak berarti apa-apa. Apa yang harus kulakukan
sekarang?" tanyanya bingung.
Selagi Bidadari Hati Kejam
kebingungan....
"Kau tak akan mampu mengatasi
aliran darah menggelombang dari
tubuhnya, Bidadari Hati Kejam. Pemuda itu telah menghisap sari rumput
dahsyat yang bernama Rumput Selaksa
Surya...."
Mendadak terdengar suara lembut
dari belakang si nenek. Bidadari Hati Kejam langsung menoleh.
"Raja Lihai Langit Bumi...!"
serunya. SELESAI Segera terbit Serial Rajawali Emas
Dalam episode selanjutnya:
"RAJA LIHAI LANGIT BUMI"
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
Pukulan Naga Sakti 15 Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai Pendekar Patung Emas 10
^