Pencarian

Manusia Srigala Hantu 1

Roro Centil 21 Manusia Srigala Hantu Bagian 1


SATU DATUK LIMAU PURUT hunjamkan berkali-kali
keris berlekuk tujuh itu ke lambungnya. Orang-orang
menjerit ngeri Akan tetapi segera berseru kagum, ka-
rena bukan kulit lambungnya yang robek tertembus
keris melainkan keris itu sendiri yang bengkok-
bengkok dibuatnya.
"Hebat! Hebat...!" serentak terdengar pujian disana-sini. Dan selanjutnya segera
terdengar tepukan tangan riuh rendah disertai teriakan-teriakan gegap
gempita. "Hidup Datuk Limau Purut!"
"Hidup Datuk Limau Purut...!"
Sementara orang berteriak memuji seorang la-
ki-laki bertubuh kekar berusia kira-kira 30 tahun lebih beranjak keluar dari
jejalan penonton memasuki ruang arena adu kesaktian itu. Seketika teriakan-
teriakan itu terhenti. Semua mata menatap pada laki-laki ini yang melangkah
lebar menghampiri si manusia kebal itu.
"Nama ku SAWOR...!" katanya memperkenalkan diri, seraya menatapkan pandangannya
ke sekeliling penonton, tanpa memandang pada laki-laki bergelar
Datuk Limau Purut.
"Aku yang rendah ini ingin menunjukkan sedi-
kit kepandaianku, apakah diantara kalian ada yang
mempunyai sebuah golok tajam...?" ucapnya dengan suara lantang. Hening sejenak
tanpa ada yang menyahut. Sementara beberapa orang penonton yang menge-
lilingi arena itu mulai kasak-kusuk, membicarakan
siapa adanya orang yang berani maju ke tengah ge-
langgang tanpa memandang sebelah mata pada Datuk
Limau Purut itu.
"Ini golokku pakailah...!" tiba-tiba terdengar sa-
tu suara dari jejalan penonton. Seorang laki-laki bertubuh jangkung melemparkan
sebuah golok besar
yang berkilat ke arah laki-laki bernama Sawor itu. Ringan sekali lengan Sawor
bergerak menangkapnya. Se-
kejap golok besar itu sudah tercekal di tangannya.
"Eh, ilmu kesaktian apakah yang akan kau tun-
jukkan...?" berkata Datuk Limau Purut dengan suara setengah membentak. Wajahnya
tampak merah padam. Hatinya tersinggung benar melihat tingkah laku
laki-laki yang seperti tak menganggap adanya dia di si-tu.
Sawor tak menyahut, melirikpun tidak pada
Datuk Limau Purut yang beranjak melangkah dua tin-
dak ke hadapannya. Bahkan dia putar tubuh lalu
menghadap pada penonton yang mengelilingi "Kalian saksikanlah kebodohan ku,
apakah dalam hal ini aku
dapat dikatakan berada di bawah kehebatannya...?" te-riaknya lantang dengan
mengacungkan golok besar itu
tinggi-tinggi di atas kepala. Sementara lengan kirinya mencengkeram rambut. Dan
tiba-tiba pada detik itu
juga... Des! Apakah yang telah dilakukannya" Ternyata ce-
pat sekali goloknya berkelebat menabas batang leher-
nya sendiri hingga putus. Darah menyemburat. Penon-
ton terpekik ngeri. Dan Datuk Limau Purut terbelalak menatap.
"Hahaha... Datuk Limau Purut yang gagah,
mampukah kau melakukan hal seperti ini...?" Terperangah sang Datuk dengan wajah
pucat bagai kertas.
Kakinya melangkah mundur dua tindak ketika lengan
Sawor yang tanpa kepala itu bergerak menunjukkan
kepalanya dalam cengkeraman sebelah lengan laki-laki itu ke arahnya. Kepala itu
masih bisa bicara, dan tertawa menyeringai... Tentu saja membuat Datuk Limau
Purut kaget setengah mati, seperti tak percaya pada
penglihatannya.
Penonton yang mengelilingi arena bagaikan ter-
sirap darahnya, masing-masing terpaku menatap Sa-
wor dengan mata membelalak tak berkedip. Manusia
apakah Sawor ini, yang dapat melakukan ilmu kesak-
tian semacam itu" pikir benak masing-masing.
Selang sesaat dengan tertawa berkakakan, Sa-
wor lekatkan lagi kepalanya pada lehernya. Lalu lengannya bergerak mengusap...
Aneh! Sekejap kemudian
kepala Sawor telah kembali melekat pada lehernya
tanpa bekas luka sedikit pun. Bahkan bekas-bekas da-
rah itu langsung lenyap!
Seperti terkena sihir semua penonton terpaku
memandang pertunjukan aneh itu. "Nah! Apakah sedikit kebodohanku itu dapat
mengungguli kehebatan si
Datuk Limau Purut ini...?" teriak Sawor dengan suara lantang. Akan tetapi tak
sepotong-pun suara terdengar menyahut, apa lagi bersorak-sorai. Seorangpun dari
para penonton tak ada yang mengenal siapa laki-laki
itu dan dari mana asalnya. Pertunjukan yang diperli-
hatkan laki-laki bernama Sawor itu bukan saja mem-
buat penonton jadi ngeri melihat Sawor, akan tetapi
juga terperangah berdiri menatap dengan bulu teng-
kuk meremang. "Hm, baiklah...! Kalian ternyata tidak adil da-
lam melakukan penilaian! Kini akan kubuktikan, apa-
kah si Datuk Limau Purut mampu menahan tajamnya
golok ini pada lehernya" Ingin kulihat kekebalan kulit tubuhnya!" Teriak Sawor
dengan suara lantang yang terdengar dingin mencekam. Tiba-tiba secepat kilat
tubuh Sawor membalik, dan... DESS...! Terdengar teria-
kan kaget penonton yang hampir serempak karena ter-
kejut. Datuk Limau Purut tak sempat lagi untuk berteriak, karena sebuah kilatan
golok telah menyambar ke arahnya. Apa yang terjadi"
Ternyata kepala Datuk Limau Purut seketika
terlepas dari lehernya yang putus sapat terkena tajamnya golok di tangan Sawor.
Dan tubuh laki-laki beril-mu kebal itu jatuh menggabruk ke tanah dengan da-
rah memuncrat mengerikan. Sejenak semua mata jadi
terpana memandang kejadian itu.
"Hahahaha... ternyata orang yang kalian bang-
gakan itu tak mampu menahan ketajaman golok biasa
ini!" berkata Sawor dengan suara dingin. Seketika suasana penonton jadi gempar.
Sebagian sudah bubar ke-
takutan. Sebagian lagi berdiri terkesima.
"Manusia iblis! Kau telah merusak acara per-
tandingan!" tiba-tiba terdengar bentakan keras, dan sesosok tubuh berjubah putih
berkelebat melompat ke
tengah gelanggang.
Sawor palingkan wajahnya menatap siapa yang
datang. Ternyata seorang laki-laki tua berwajah bersih tanpa kumis dan jenggot.
Kepalanya terbungkus oleh
ikat kepala mirip sorban berwarna kuning. Pada len-
gannya tergerai untaian tasbih.
"Heh, aku tak tahu urusan dengan segala ma-
cam pertandingan. Kalau aku berhasil membunuhnya
adalah karena aku toh cuma menguji kekebalan tubuh
si Datuk Limau Purut itu. Apakah dalam hal ini aku
dapat disalahkan?" Berkata Sawor dengan mata menatap tajam si laki-laki tua
dihadapannya. "Kau orang luar, tak berhak mencampuri uru-
san orang-orang Partai Gagak Sakti! Tahukah kau
bahwa pertandingan ini adalah dalam rangka pemili-
han wakil Ketua Partai itu?" bentak si kakek jubah putih.
"Hahaha... mana aku tahu" Aku cuma kebetu-
lan saja lewat di tempat ini. Siapa suruh pertandingan itu diadakan diluar, dan
mengapa tak pasang papan
pengumuman bahwa orang luar di larang ikut cam-
pur?" "Huh, itu urusan kami. Wilayah ini masih berada dalam wilayah Partai Gagak
Sakti, kau orang luar
telah memasuki wilayah kami berarti kau punya kesa-
lahan besar karena mengacau didaerah kekuasaan
Partai Gagak Sakti!"
Tercenung Sawor, seketika wajahnya berubah
merah. "Hm, macam apakah hebatnya Ketua Partai
Gagak Sakti" Begitu sombongnya wilayahnya tak boleh
diinjak orang...!" berkata Sawor dengan nada dingin.
"Boleh aku tahu berhadapan dengan siapakah
aku...?" tanya Sawor.
"Anda berhadapan dengan Ketua Partai Gagak
Sakti, bernama MARGA DEWA! Gelarnya di dunia per-
silatan adalah si NAGA TERBANG!" tiba-tiba satu suara menyahuti dibarengi dengan
munculnya empat so-
sok tubuh berkelebat memasuki arena itu. Melihat
kemunculan empat orang ini sepasang mata si kakek
jubah putih mendelik kaget.
"EMPAT IBLTS PULAU MENJANGAN! Angin apa
yang meniupmu sampai kemari...?" bentak si kakek bernama Marga Dewa. Tampak
perubahan pada wajah
laki-laki tua ini secara mendadak ternyata diam-diam dia amat terkejut juga
khawatir dengan kemunculan
keempat orang dihadapannya itu.
Keempat Iblis Pulau Menjangan perlihatkan ter-
tawa menyeringai. Salah seorang berkata sambil bertolak pinggang serta memilin-
milin kumisnya yang tebal sebelah. Dia bernama Katakili. Wajahnya amat mudah
diingat orang karena sebelah bibir bagian atasnya terbelah dua alias sumbing.
Usianya sekitar 40 tahun.
"Heheheh... bau tubuhmu yang berdiam di pu-
lau tersembunyi ini semakin santar tercium oleh kami!
Kami datang untuk mengambil bocah perempuan yang
berada di tanganmu sejak kau rebut dari tangan kami
delapan belas tahun yang lalu!"
"Benar...! Tentunya dia sudah berubah menjadi
seorang gadis yang cantik! Heheheh...!" Ujar pula kawannya dari keempat Iblis
Pulau Menjangan. Dari
keempat orang itu si laki-laki sumbing inilah yang paling tinggi ilmunya, dan
menjadi saudara seperguruan
mereka yang paling tua. Keempat Iblis Pulau Menjan-
gan rata-rata memakai baju rompi dari kulit serigala.
Celana pangsi yang dikenakannya berbeda-beda. Ada
yang hitam, ada yang berwarna merah. Ada juga yang
bertambah bermacam warna yang sudah tak dikenali
lagi warna dasarnya.
Si kakek bergelar Naga Terbang ini membentak
gusar. "Empat manusia edan! Jangan harap kau dapat mengambil kembali anak itu!
Hm, lagi pula dia tak berada di tempat ini...!"
Mendengar kata-kata itu si Empat Iblis Pulau
Menjangan saling pandang menatap pada kawannya.
Tiba-tiba tertawa bergelak dan cengar-cengir di hadapan si kakek.
"Hahaha... hehehe... kambing Tua tak berjang-
gut ini rupanya pintar menyembunyikan muridnya."
berkata Tunggir Abang. Dan segera menimpali adik-
nya, yang bernama Tunggir Ireng.
"Ternyata Ketua Partai Gagak Sakti pintar ngi-
bul! Heh! Sebaiknya kau serahkan bocah perempuan
itu! Kau sembunyikan di liang semut pun tak ada gu-
nanya...!"
Sementara itu Sawor sejak tadi cuma menden-
garkan kata-kata mereka. Tampak wajah Marga Dewa
berubah menegang, merah padam. Diam-diam hatinya
tersentak kaget, karena kemunculan keempat orang ini telah mengetahui adanya KEN
AYU di tempat kedia-
mannya. "Tidak! Walau apa pun yang terjadi anak itu tak boleh jatuh ke tangan keempat
manusia edan ini...!"
berkata Marga Dewa dalam hati.
"Ah, maaf sobat yang gagah. Biarkanlah kami
mengurusi Ketua Partai Gagak Sakti ini lebih dulu...!"
tiba-tiba Katakili membungkuk memberi hormat pada
Sawor. "Hm, silahkan! Aku tak mau turut campur dengan urusan kalian!" menyahut
Sawor seraya lemparkan golok di tangannya ke tanah. Dan tubuhnya ber-
kelebat melompat keluar dari arena yang sudah kacau
itu. Akan tetapi beberapa orang telah melompat meng-
hadang. "Manusia Iblis, kau telah mengakibatkan kema-
tian seorang anggota Partai Gagak Sakti, jangan, harap kau dapat meninggalkan
tempat ini dengan masih bernyawa," terdengar bentakan nyaring memekakkan
telinga. Belasan orang dari Partai Gagak Sakti yang ra-ta-rata berpakaian putih
hitam telah mengurung Sa-
wor. Ternyata yang berusaha membentak adalah seo-
rang wanita tua berkulit hitam keriput. Di lengannya tercekal tongkat berkepala
burung. *** DUA MELIHAT KEMUNCULAN wanita tua itu tampak
Marga Dewa bernapas lega. Bibirnya tampak bergerak-
gerak mengirimkan suara jarak jauh.
"Bagus! Berhati-hatilah dengan ilmu sihirnya,
Gagak Sakti! Jangan sampai kau tertipu!" Si wanita
tua yang digelari Gagak Sakti ini palingkan kepala
memandang pada Marga Dewa, lalu mengangguk-
angguk sambil tersenyum.
"Heh! Kau bicara apakah pada nenek hitam je-
lek itu, kunyuk tua bangka!" membentak Tunggir
Ireng. Kalau dipikir memang lucu juga laki-laki anggo-ta dari keempat Iblis
Pulau Menjangan ini karena dia mengatakan orang nenek hitam jelek tanpa memikir
dirinya sendiri juga berkulit hitam. Bahkan sebelah
matanya picak, serta dua buah codet besar melintang
dibagian tengah wajahnya.
"Hm, apa yang kukatakan adalah bukan uru-
sanmu! Kalian telah berani menginjak wilayah kami
dengan tujuan buruk! Kukira kalian sudah insyaf dan
menjadi orang baik-baik, tak tahunya semakin mem-
buat kalian berkepala besar! Kini jangan harap kau bi-sa keluar dari wilayah ini
dengan selamat!" menggertak si Naga Terbang.
"Hahaha... dari dahulu memang watakmu tak
berubah, kakang...! Sombong mu setengah mati! Sela-
ma ini kau punya ilmu kepandaian apakah" Coba tun-
jukkan pada kami!" berkata menghina RUPACI. Laki-laki brewok ini sejak tadi tak
ikut bicara. Mendelik sepasang mata Marga Dewa alias si Naga Terbang.
"Jangan panggil aku lagi dengan sebutan itu,
manusia murtad! Kau telah keluar dari keluarga ku,
dan bukan sanak familiku lagi! Pengkhianatan mu pa-
da guru telah membuat kemurkaan besar beliau. Ta-
hukah kau apa pesan guru sebelum wafat" Beliau
membebaskan tugas padaku untuk melenyapkan ma-
nusia tak tahu membalas budi semacam kau!"
"Persetan...!" membentak Rupaci dengan ma-
kian. "Aku punya hak untuk menempuh cara hidupku sendiri! Ada hak apa berani
melarangku keluar dari
rumah perguruan?"


Roro Centil 21 Manusia Srigala Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dengan berguru pada musuh besar beliau, ju-
ga musuh kaum Pendekar" Huh! Betapa nistanya ma-
nusia semacam kau yang telah mengangkat sumpah
dan janji setia mengabdi pada perguruan, tapi nya-
tanya kau ingkari! Dan kini nyatanya kau telah menja-di manusia sesat tak
berguna!" berkata sinis Marga Dewa. Mendengar kata-kata demikian merah padam
seketika wajah Rupaci, dengan membentak gusar telah
melompat menerjang bekas saudara seperguruannya
itu. "Kau memang manusia yang amat menyebalkan
hatiku, kau mampuslah siang-siang! Hari ini kau tu-
tup khotbahmu dengan nyawamu...!"
WHHHUUUKK...! Sambaran lengan Rupaci
mengarah leher, mencengkeram ganas dengan kelima
jari tangannya yang berkuku runcing mengandung ra-
cun. Marga Dewa telah maklumi hal itu, segera den-
gan gesit mengegos mengelakkan serangan. Tak dikira
kalau sebelah lengan Rupaci telah mencabut senja-
tanya yang berupa sebuah clurit yang terselip dipunggungnya.
WUT! WUT! WUT! Tiga kali kilatan clurit me-
nyambar ke arah leher perut dan kaki. Marga Dewa
lentikkan tubuhnya bersalto di udara menghindari se-
rangan. Hebat gerakan si Naga Terbang. Ternyata ilmu ringan tubuhnya telah
hampir mencapai kesempur-naan. Beberapa kali hantam an lengan Rupaci dan se-
rangan cluritnya tak berhasil menggores kulitnya.
Bahkan jubahnya yang berkibaran itupun luput dari
serangan. Serangan gencar yang tak memberi kesempatan
pada si Naga Terbang untuk menjejakkan kakinya ke
tanah ternyata tak mempengaruhi gerakan silatnya.
Bahkan Marga Dewa masih sempat mengirim serangan
balasan. Apakah yang menjadi dasarnya" Ternyata se-
suai dengan julukannya si Naga Terbang, Marga Dewa
selalu meminjam angin pukulan lawan untuk tetap
mengambang di udara. Sesekali lengannya menghan-
tam tempat kosong untuk membuat tubuhnya melam-
bung. Enam jurus sudah berlalu, dengan pertarungan
seru. Tiba-tiba Marga Dewa membentak keras dari
udara. Tasbihnya meluncur menyambar dahsyat di
saat Rupaci baru saja "nyelonong" dibawahnya sehabis melakukan serangan.
Serangan itu dibarengi hantaman telak yang tetap mengena pada punggung lawan.
Saat Rupaci terhuyung, tubuh Marga Dewa meletik lagi dengan indahnya, dan...
WHUUUK...! Menyambarlah tasbih dilengannya
mengarah batok kepala Rupaci. Akan tetapi pada detik maut itu bersiur angin
keras menyambar lengan Marga
Dewa, diiringi bentakan. "Tahan serangan...!" Mendelik si Naga Terbang. Seutas
rantai meluncur cepat menggubat lengan. Terpaksa dia batalkan serangan, untuk
menarik pulang senjatanya. WHUUK! sebelah lengan-
nya bergerak menghantam rantai. Akan tetapi ternyata justru rantai telah
menggubat cepat ke pergelangan
tangannya. "Hahahah... Naga Terbang! Kau terbanglah me-
nukik kemari!" Ternyata yang telah menyerangnya adalah Tunggir Ireng. Salah
seorang dari Empat Iblis Pulau Menjangan ini memang memiliki senjata yang
aneh, yaitu sebuah ruyung dengan tiga utas rantai
yang mempunyai tiga buah bandulan kepala tengkorak
kecil dari emas. Dengan senjata aneh ini Tunggir Ireng banyak menjatuhkan
lawannya. Karena setiap bandulan dari Emas itu dapat meluncur memecah ke bebe-
rapa arah menyerang lawan. Kali ini tubuh si Naga.
Terbang telah dibetot keras ke arahnya. Terkesiap si Ketua Partai Gagak Sakti
ini. Akan tetapi percuma dia menjadi Ketua Partai kalau tak dapat melepaskan did
dan biarkan tubuhnya terseret ke arah lawan. Secepat kilat tasbihnya telah
digigitnya. Dan lengannya yang sudah terbebas itu bergerak menghantam dahsyat ke
arah Tunggir Ireng. Itulah salah satu jurus dari pukulannya yang dinamakan
pukulan Naga Api.
Serangkum hawa panas menerjang Tunggir
Ireng. Angin pukulan itu membuat tubuhnya kembali
meletik melalui tenaga pukulan disertai membetot rantai... Terkejut Tunggir
Ireng. Tentu saja dia telah maklum akan kehebatan pukulan itu. Terpaksa dia
lompat menghindar. Akan tetapi tenaga tarikan pada
rantainya mendadak lenyap, dan bahkan seketika sen-
jata Rantai Tengkorak Emas itu terlepas dari tangan-
nya. Selanjutnya dengan ringan sepasang kaki Mar-
ga Dewa hinggap di tanah. Dilengannya tercekal senja-ta lawan. Dengan geram
Marga Dewa membanting sen-
jata rantai itu hingga melesak ke dalam tanah.
"Hebat! Ternyata ilmu kepandaianmu telah ma-
ju pesat, Marga Dewa! Heheheh... akan tetapi jangan
kau bergirang dulu! Lihat senjata!" membentak Katakili si laki-laki bibir
sumbing. SERR! SERR! SERRRR...! Ti-ga buah roda bergerigi meluncur ke arahnya.
Naga Terbang kembali melompat untuk menghindari seran-
gan. Hebat senjata tiga roda bergerigi itu, yang dapat balik memutar mengejar
lawan. Dua serangan yang lolos dengan cepat dapat ditangkap lagi oleh
pemiliknya. Demikianlah saling susul roda-roda bergerigi itu
menghujani lawan, tanpa memberi kesempatan Marga
Dewa untuk gerakkan senjatanya. Diam-diam si Naga
Terbang terkejut juga melihat kehebatan senjata la-
wan. Sementara itu dilain bagian, pertarungan Sawor dengan si wanita tua
bergelar si Gagak Sakti yang ge-larnya adalah nama dari Partai berlangsung
dengan tegang. Belasan orang-orang dari murid Partai Gagak
Sakti telah mengurung Sawor dengan barisan TIN yang
tersusun rapi, dengan dikepalai si wanita tua bertongkat kepala burung.
Empat orang menerjang Sawor dengan senjata
telanjang. Ini adalah jurus serangan pancingan belaka.
Tapi Sawor segera bergerak untuk menyambut. Len-
gannya bergerak ke kiri-kanan menghantam lawan.
Sawor memang tak tahu-menahu dengan segala ma-
cam teori barisan TIN. Dia menghantam bila ada lawan yang maju menerjang. Namun
ternyata gerakan menyerang itu berubah. Empat orang cuma lewat melin-
tas dengan lompatan-lompatan salto yang gesit. Selanjutnya empat orang lagi
tiba-tiba menyelinap dikiri-
kanan dan belakang. Ternyata barisan TIN kembali be-
rubah susunannya. Hal mana yang mengatur adalah si
wanita tua berkulit hitam keriput yang memberi aba-
aba. Aba-aba itu tentu saja memakai kata-kata sandi
yang cuma dimengerti anak buahnya.
WUT! WUT! WUT! Tahu-tahu empat buah kila-
tan muncul dikiri-kanan dan belakang secara menda-
dak menabas ke arah Sawor. Suara bersiurnya senjata
tajam itu hampir tak bersuara, karena senjata-senjata mereka tipis sekali.
Sementara sejak tadi Sawor masih berlaku menganggap remeh barisan TIN itu.
Bahkan matanya cuma mengawasi pada si wanita tua yang
bersuara merdu. Terkesiap dia ketika tahu-tahu suara bersiurnya senjata ke arah
tubuhnya. Namun dengan
membentak keras Sawor gulingkan tubuhnya ke ta-
nah. Dengan bertumpu pada belakang leher dan pung-
gung. Secepat kilat sepasang kakinya menghantam
disertai dengan berputarnya tubuh Sawor bagaikan
gasing. DES! DES! DES! DES ...!
Terdengar teriakan ngeri dari keempat penye-
rangnya. Tubuh-tubuh keempat barisan TIN di bela-
kang Sawor terlempar bertebaran. Dan jatuh berdebu-
kan ke tanah diempat penjuru. Menggeliat sejenak
masing-masing dari keempat orang itu, lalu tewas se-
ketika. Darah kental menggelogok keluar dari mulut
mereka mengiringi kematiannya. Terkejut si wanita
tua. Namun sekejap kemudian dia telah melompat dan
mengepalai sendiri barisan TIN itu pada barisan paling depan. Wanita tua ini
berteriak gusar seraya memberi aba-aba. Anak buahnya mengurung rapat. Sementara
tongkatnya sendiri digerakkan berputar seraya mem-
beri aba-aba menyerang. Sebelas orang dengan empat
dikiri, empat di kanan dan tiga dari belakang segera bergerak. Posisi serangan
satu kelompok dengan lainnya berbeda-beda, yang sudah diatur untuk menye-
rang lawan menurut gerakan atau sikap lawan yang
diserangnya. Sementara lebih dari dua puluh orang
anak buah lainnya yang bermunculan segera mema-
suki barisan TIN, mengisi tempat-tempat kosong. Sua-
ra-suara bentakan segera terdengar saling susul.
Sawor berkelebat ke samping kiri menghindari
empat serangan pedang. Akan tetapi dengan tak terdu-
ga justru dari kiri empat buah tombak siap menembus
punggungnya. Terpaksa dia gerakkan kedua lengan
menangkis. Empat orang ini bukanlah empat orang
kepandaian biasa. Serangan-serangan tombak mereka
amat luar biasa cepatnya, dan dalam keadaan terlatih untuk tak mengenai kawan
sendiri. Saling susul
keempat tombak itu mengarah lawan.
"Edan...! kalian semua kepingin kubikin ludas
kembali ke Akherat!" membentak Sawor dengan mata merah karena gusarnya. Seolah
dia merasa dipermain-kan dalam serangan "kucing-kucingan" itu.
Kedua lengannya tiba-tiba bergerak membuat
gerakan-gerakan mengaburkan pandangan mata la-
wan. Hingga yang terlihat adalah lebih dari 1000 lengan berkelebat meluncur ke
setiap arah, dibarengi
dengan berkelebatan tubuhnya menggempur barisan
TIN. Beberapa kejap kemudian terdengarlah jeritan
saling susul dibarengi bertumbangannya tubuh para
anggota barisan TIN. Lima belas orang sekejap telah
menggeletak roboh tak bernyawa. Masing-masing pada
lehernya terdapat warna biru kehitaman. Itulah serangan dari jurus hebat Sawor,
yang pergunakan jurus
1000 Kobra Mematuk Mangsa.
Terperanjat si wanita tua pemimpin barisan.
Disangka lawan bakal menyerang ke depan tak tahu
menyerang kebagian "ekor" barisan TIN. Tentu saja membuat dia melengak, namun
terlambat... Belasan
anak buahnya sudah roboh bergelimpangan. Segera
dia berteriak dengan suara lantang.
"MUNDUR...!" Kata-kata tanpa pakai sandi ini diteriakkan dengan panik. Sekejap
saja belasan anak
buah sisanya segera berlompatan buyar kedelapan
penjuru arah untuk selamatkan diri.
"Hebat! dalam waktu sekejapan saja kau telah
dapat membuyarkan barisan TIN ku yang tangguh.
Heh, siapa gelarmu, orang muda...?"
Sekali lompat Sawor sudah berada di hadapan
wanita tua bergelar si Gagak Sakti ini. "Namaku Sawor, seperti yang telah
kuperkenalkan tadi. Aku tak mempunyai gelar apa-apa. Jangan tanya asal-usulku,
kare-na aku sendiri tak tahu asal-usul diriku!" lanjutkan Sawor. Sementara
sepasang matanya selalu menatap
tajam pandangan mata si nenek keriput itu seperti
mau melihat ke dalam biji mata si Gagak Sakti. Adu tatap pandangan itu ternyata
membuat mata si Gagak
Sakti mengedip. Akan tetapi cepat dia melompat mun-
dur, dengan terkesiap.
*** TIGA TERNYATA DARI TATAPAN mata itu memancar
cahaya yang menggetarkan jantung. Sementara ha-
tinya tersentak kaget karena Sawor telah menyerang-
nya melalui batin dengan kekuatan matanya yang
mengandung hipnotis.
"Aha, nenek tua keriput, aku akan segera men-
guliti tubuhmu! Ingin kulihat apakah kau sudah setua itu...?" Sementara itu
dilain pertarungan, si Dewa Terbang tampaknya agak kerepotan menghadapi serangan
roda-roda bergerigi Katakili yang tak hentinya mencecar tubuhnya, mengancam jiwa
sang Ketua Partai Ga-
gak Sakti. Diam-diam hatinya mengeluh, bahkan
mengkhawatirkan nasib si Gagak Sakti yang telah di-
ketahuinya barisan TIN yang dipimpinnya telah buyar berantakan. Semangatnya
mendadak pulih ketika te-ringat akan keselamatan si Gagak Sakti. Dengan
berteriak keras, tiba-tiba tubuhnya berkelebatan cepat,
Tasbih di tangannya diputarkan membuat suara men-
desing yang menimbulkan kilatan warna ungu. Dan
satu hantaman keras dari telapak tangannya, mem-
buat dua buah roda bergerigi itu kena terhantam ja-
tuh. Selanjutnya cepat bagaikan kilat tubuh si Naga
Terbang meluncur pesat menghantamkan tasbihnya
pada kepala lawan. Katakili terkesiap. Terjangan mendadak itu begitu cepat
disaat dia terpana melihat dua senjatanya dihantam lenyap melesak ke tanah
hampir separuhnya. Namun disaat itu terdengar bentakan keras,
Dan... DHESS...! Terdengar teriakan parau Marga De-
wa. Tubuhnya terlempar tiga tombak ketika segelom-
bang angin menghantam dadanya. Sementara Katakili
telah jatuhkan tubuhnya bergulingan. Ternyata disaat Katakili terancam maut,
tiga dari Empat Iblis Pulau
Menjangan telah melompat berbareng, dan hantamkan
telapak lengan mereka menjadikan satu pukulan dah-
syat yang diluar dugaan Marga Dewa.
*** "GURUUU...!" terdengar suara teriakan men-
gandung isak ketika tubuh si Ketua Partai Gagak Sakti jatuh berdebuk ke tanah.
Keadaannya mengerikan karena tulang dadanya hancur luluh dan tampak satu
lubang besar menganga pada dada laki-laki berjubah
putih itu yang mengalirkan darah kehitaman. Gabun-
gan dari tiga tenaga pukulan itu telah menjebolkan isi dada Marga Dewa yang
membuat laki-laki itu tewas
seketika. Suara teriakan itu tak lain dari suara si Gagak
Sakti alias si wanita tua bertongkat kepala burung. Dia dalam keadaan berdiri
terkesima, melihat tubuh si Ketua Partai Gagak Sakti jatuh terkapar tak berkutik
lagi. Ketika pada detik itu tubuh Sawor berkelebat
ke arahnya, dan...
PLASH! Cepat sekali lengan Sawor bergerak ke
arah wajah si wanita tua, dan menjambret sesuatu
yang segera mengelupas seketika. Apa yang terlihat"
Ternyata si wanita tua itu mempunyai satu wajah yang cantik jelita. "Kulit muka"
yang telah kena dikuliti Sawor tercekal di tangan laki-laki itu.
"Aha...! Sudah kuduga kau bukanlah seorang
nenek-nenek keriput berkulit hitam...!" berkata Sawor dengan tertawa
menyeringai. Merah padam serta terkejut wanita ini. Tahulah dia bahwa keadaan
sudah be-

Roro Centil 21 Manusia Srigala Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rubah gawat dengan bermunculannya orang-orang itu.
Dengan menggertak gigi, segera dia melintangkan
tongkatnya di depan dada. Sepasang matanya mem-
bersitkan cahaya suram, namun penuh hawa membu-
nuh. Tiba-tiba dengan membentak keras dia putar tu-
buh tanpa mengacuhkan Sawor, melesat ke arah Em-
pat Iblis Pulau Menjangan.
"Iblis-iblis keparat! Aku akan adu jiwa dengan-
mu...!" Tongkat kepala burung itu berkelebatan memutar dan menukik menyambar ke
arah si Empat Iblis
Pulau Menjangan. Terdengar suara seruan-seruan ter-
tahan. Mereka sempat dibuat terkejut dan terkesima
menghadapi serbuan mendadak itu. Nyaris tubuh-
tubuh mereka akan terluka atau tertembus tongkat
yang menyambar ke tenggorokan, dada, leher bahkan
kaki. Begitu hebatnya serangan mendadak itu hing-
ga... Bret! Cras...! Pundak Katakili kena tabasan tongkat yang membuat dia
menyeringai seraya gulingkan
tubuh menghindari tabasan berikutnya. Punggung
Rupaci kena goresan memanjang yang membuat baju
rompi kulit srigalanya terbelah dua. Bahkan membuat
luka memanjang dari belakang leher sampai pinggang.
Berteriak kaget Rupaci seraya melompat bersalto beberapa kali.
Dalam menyerbu keempat Iblis Pulau Menjan-
gan itu si "nenek" bertongkat kepala burung ternyata
menggempur dengan membabi buta karena gusar dan
pedih hatinya melihat kematian si Naga Terbang yang
dikeroyok oleh keempat lawannya. Akan tetapi jurus-
jurus selanjutnya semakin melemah. Karena emosi
yang meluap. Tongkatnya terlempar ke udara ketika
satu kelebatan lengan Sawor menghantam pangkal
lengannya. Dan saat berikutnya wanita "tua" yang ternyata berwajah jelita itu
mengeluh ketika lengan Sawor hinggap ditengkuk menotoknya.
Sebelum tubuhnya ambruk menyentuh tanah,
laki-laki yang tak diketahui asal usulnya itu telah menangkapnya dengan sebat.
Dan jatuh dalam pondon-
gannya... Melengak keempat Iblis Pulau Menjangan, ka-
rena begitu mengetahui wanita tua bertongkat kepala
burung tak lain dari seorang gadis cantik yang telah terbuka topeng kulit
mukanya. Lebih melengak lagi ketika Sawor dengan terse-
nyum jumawa segera beranjak melangkah lebar den-
gan memondong tubuh wanita itu, seraya ucapnya.
"Nenek cantik ini adalah bagianku...!" Sesaat keempat Iblis Pulau Menjangan
saling pandang dengan
kawannya. "Eh! tunggu dulu, sobat...! Tak salah orang
yang kau pondong itu adalah orang yang kami cari! Dialah bocah perempuan yang
pada tiga belas tahun
yang lalu telah direbut si Naga Terbang dari tangan
kami!" "Ya! tak salah dialah KEN AYU...!" tukas Rupaci.
"Hm, begitukah..." Aha! akan tetapi akulah
yang telah membuka topeng wajahnya! Kalau kalian
ingin memiliki silahkan kau rebut dari tanganku!" menyahut Sawor dengan senyum
sinis. Tampaknya keempat Iblis Pulau Menjangan tak
berani mengambil tindakan. Mereka telah melihat sen-
diri kehebatan Sawor yang dapat memecah barisan TIN
dan telah pula mempertunjukkan kesaktiannya me-
menggal batang lehernya sendiri. Ternyata ada rasa jerih untuk mengambil resiko
bertarung dengan orang
ini. "Sebaiknya kita mengalah! Orang ini bisa dijadikan kawan..." berbisik
Rupaci pada Katakili. Katakili tercenung sejenak. Hatinya memikir. "Benar juga!
Semba-rangan menempurnya akan merubah apa yang telah
menjadi rencana. Salah-salah akan membawa korban
dari pihakku. Belum tentu berakhir dengan kemenan-
gan dengan mengambil resiko menempurnya! Mau tak
mau toh Partai Gagak Sakti telah dapat terkuasai...!
Kalau manusia bernama Sawor ini mau bekerja sama,
akan banyak keuntungan yang bakal diperoleh...!"
Sesaat Katakili manggut-manggut dan terse-
nyum pada Sawor.
"Anda agaknya mengingininya, sobat Sawor...!
Hahahah ... dia memang cantik! Kami Empat Iblis Pu-
lau Menjangan takkan menghalangi kalau anda meng-
hendaki. Akan tetapi mengapa harus terburu-buru..."
Sebaiknya "kita" merebut kekuasaan Partai Gagak Sakti ini dulu, dan menguasai
gedung markasnya.
Mengenai bocah perempuan itu kapan waktu bisa kau
cicipi!" Tercenung sejenak Sawor, lalu tertawa lebar berkakakan, seraya ucapnya.
"Tawaran yang bagus! Tadinya aku tak mau tu-
rut campur urusan kalian. Setelah selesai persoalanku segera aku angkat kaki
dari tempat ini. Kalau kalian mempunyai rencana baik mengapa aku tolak?"
"Hehehe.... bagus! bagus! Ternyata anda orang
yang bisa diajak bersahabat! Percayalah! Kami Empat
Iblis Pulau Menjangan akan menjamin segala keingi-
nan anda kalau anda bisa bekerja sama dengan ka-
mi...!" berkata Katakili.
"Bekerja sama apakah maksudmu...?" tanya
Sawor ingin tahu.
"Nantilah! Segera anda bakal mengetahui. Se-
baiknya marilah kita bersihkan dulu kecoa-kecoa di
Pulau Nusa Kambangan ini...! Setelah Partai Gagak
Sakti berada pada kekuasaan kita, semuanya pasti
akan beres dan berjalan lancar...!" sahut Katakili dengan tertawa, lalu
palingkan kepalanya pada ketiga kawan yang segera manggut-manggut.
"Kami akan menerimamu dengan senang hati
sebagai sahabat, sobat Sawor...!" berkata Tunggir Ireng dengan tersenyum, lalu
perkenalkan dirinya pada Sawor dengan menjura. Demikian pula yang lainnya se-
gera masing-masing memperkenalkan diri.
Tak dapat tidak Partai Gagak Sakti segera ter-
kuasai oleh si Empat Iblis Pulau Menjangan, yang dengan mudah membantai sisa-
sisa dari anak buah si Na-
ga Terbang. Selebihnya tertawan atau menyerah den-
gan tak berkutik lagi... Gedung besar yang berada di tengah pulau, kini telah
diduduki oleh lima orang pen-datang itu. Berpindahlah dengan sekejap saja kekua-
saan di pulau itu. Tentu saja rakyat atau penduduk
pulau Nusa Kambangan mau tak mau harus menerima
kenyataan pahit itu. Kalau dahulunya mereka hidup
dengan tenteram dengan mendapat perlindungan dari
Partai Gagak Sakti, kini harus penuh kekhawatiran
dengan berkuasanya keempat Iblis Pulau Menjangan.
Gelak terhahak suara tertawa Sawor ketika
"menguliti" sekujur tubuh si Gagak Sakti dikamarnya.
Kulit palsu yang berkerut-kerut itu kini sudah mengelupas semua. Seperti seekor
ular yang baru berganti
kulit. Ken Ayu tergolek dipembaringan. Kulit tubuhnya yang putih mulus itu
membuat sepasang mata Sawor
membinar. "Hahaha... layanilah aku, nona manis. Kalau
kau menolak tahu sendiri akibatnya!" mengakak tertawa Sawor bagaikan tawa iblis.
Membuat jantung Ken
Ayu seperti mau meledak rasanya.
Betapa muaknya dia akan perbuatan Sawor
yang telah menelanjangi tubuhnya. Sebersit sinar mata sang gadis itu memancarkan
pancaran dendam yang
luar biasa. Dia memang tak dapat menolak lagi... kecuali
berikan apa yang paling berharga dari miliknya untuk dilalap manusia
dihadapannya. Keluh dan desah segera terdengar membaur
dengan dengus napas menggebu. Seolah adanya satu
kepasrahan yang tulus ikhlas, namun dibalik itu hati sang gadis bernama Ken Ayu
itu menjerit, merintih dalam gelimangnya kenikmatan yang direngkuh Sawor...
*** EMPAT WAKTU BERKISAR dengan cepat.... Beberapa
ribu kali sudah matahari bolak-balik muncul dan ter-
benam. Tak terasa tiga tahun pun terlewat sudah. Pagi itu seorang penunggang
kuda melintas disisi hutan.
Menilai dari pakaiannya tampaknya seorang hamba
Kerajaan. Memang benarlah. Laki-laki itu adalah Tu-
menggung Dipayana yang dalam perjalanan ke pesisir
laut kidul untuk menjumpai seorang sahabatnya ber-
kenaan dengan satu tugas yang di pikulnya. Tumeng-
gung Dipayana adalah seorang laki-laki yang berusia
sekitar 40 tahun. Bertubuh kekar dan berwajah penuh
dengan brewok. Tugas apakah yang dipikul di atas
pundaknya" Mari kita ikuti langkahnya.
Ketika melintas di satu kelokan jalan, tiba-tiba
kudanya melonjak mengangkat kaki depannya. Dan
meringkik keras. Tentu saja membuat Tumenggung
Dipayana terkejut. "Ada apakah gerangan?" sentak. hatinya. Segera
dikendalikannya sang kuda tunggangan-
nya agar kembali tenang. Sementara sepasang mata
sang Tumenggung jelalatan mengitari tempat sekitar-
nya. Terasa ada hawa aneh yang mencekam perasaan.
Akan tetapi tak ada tanda-tanda mencurigakan.
"Ayo, Putih...! Jalanlah! Tak ada apa-apa men-
gapa kau ketakutan?" berkata Tumenggung Dipayana pada kudanya. Sementara diam-
diam jantungnya ber-detak keras. Tak seperti biasanya kudanya bersikap
demikian. Tiba-tiba entah dari mana munculnya pulu-
han srigala telah bermunculan disekeliling sang Tu-
menggung, yang membuat dia jadi terkesiap kaget.
Kuda putih tunggangannya kembali perdengar-
kan ringkikkannya dan melonjak-lonjak ketakutan.
"Serigala-serigala dari manakah ini...?" desisnya terkejut. Dan terpaksa dia
melompat dari punggung ku-
danya, karena si Putih sukar dijinakkan. Selanjutnya tanpa ayal lagi segera sang
kuda itu kabur tunggang
langgang dengan ketakutan menerobos semak belukar.
Terpana Tumenggung Dipayana tanpa bisa berbuat
apa-apa. "Kuda pengecut...!" makinya kesal. Walau pun hatinya agak kecut
menghadapi hadangan serigala-serigala aneh yang mengepungnya, namun Tumeng-
gung ini segera mencabut senjatanya sebuah clurit
bergagang emas dari punggungnya. Sementara kelima
jari lengannya merenggang siap menghadapi segala
kemungkinan. Belasan ekor serigala itu menatap Tumenggung
Dipayana tak berkedip. Sinar matanya memantulkan
cahaya merah. Untuk menghadapi serigala-serigala bi-
asa bagi sang Tumenggung adalah hal yang tidak
aneh, akan tetapi serigala-serigala ini berbeda dengan serigala biasa. Menatap
liar dengan lidah terjulur, dengan sinar mata memancarkan cahaya merah membuat
keringat dingin seketika mengembun ditengkuknya.
"Majulah kalian serigala-serigala busuk!" membentak sang Tumenggung. Walau ada
rasa jerih diha-
tinya namun dia mendongkol juga karena gara-gara
kemunculan serigala-serigala inilah, dia harus kehi-
langan kudanya.
Ternyata binatang-binatang itu tak bergerak
sedikitpun kecuali menatap dengan pandangan tajam.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik memban-
gunkan bulu roma. Dan sebuah bayangan berkelebat
ke hadapannya. Membelalak sepasang mata sang Tumenggung
melihat sesosok tubuh bugil tanpa sehelai benangpun
melekat pada tubuhnya, berdiri tegak dihadapannya,
dengan rambut beriapan. Ternyata seorang wanita
yang berwajah cantik, namun membuat dia jadi bergi-
dik ngeri, karena sepasang matanya memancarkan
hawa pembunuhan.
"Hihihi... hendak kemanakah kau Tumeng-
gung...?" Berkata si wanita lebih mirip siluman dari pada manusia. Tanpa terasa
sang Tumenggung menyurut mundur dua tindak.
"Sssi... si... siapakah kau...?" bentak sang Tumenggung dengan suara tergagap.
Selintas seperti dia pernah melihat wajah wanita itu yang wajahnya seperti
pernah dilihatnya.
"Hihihi... hihihi... kau sudah mengenaliku?" balik bertanya si wanita dengan
tertawa menyeringai
membuat semakin berdiri bulu kuduk Tumenggung
Dipayana. "Siapa kau!" hm, katakanlah! Sudah sekian banyak perempuan yang aku
pernah lihat wajahnya,
namun aku memang tak ingat siapa kau..." bentak lagi
laki-laki itu dengan suara agak tergetar. Dan detak
jantungnya semakin cepat berdegupan didadanya.
"Pantas, kalau kau tak mengenalku lagi! Akulah
KEN AYU...!" gadis malang yang gurunya telah kau bunuh dengan mengeroyok bersama
ketiga kawanmu!
Masih ingatkah kau akan Partai Gagak Sakti yang te-
lah kau ambil alih dan kalian kuasai bersama tiga
orang kawanmu dan laki-laki bernama SAWOR itu"
Hihihi... kau adalah salah seorang dari empat Iblis Pulau Menjangan yang telah
memperkosaku, menyakiti-
ku dengan semena-mena. Kini masanya aku datang
untuk membalas dendam!"
Kagetnya tak alang kepalang Tumenggung ini
mendengar kata-kata itu. Lagi-lagi kakinya menyurut
mundur dua langkah.
"Ken Ayu..." Ah, anda salah menduga orang.
Namaku Dipayana...! Aku tak tahu-menahu dengan
partai Gagak Sakti. Namamu pun aku baru menden-
garnya...!" sahut sang Tumenggung dengan wajah pucat, namun masih berusaha
tersenyum. "Hihihi... seribu kali kau berganti nama dan jabatan, aku takkan melupakanmu,
RUPACI bersiaplah
untuk menemui kematian! Tapi sebelum aku mengan-
tarkan nyawamu ke Neraka, katakan kemana tujuan-
mu!" Melengak Tumenggung Dipayana, tapi segera membentak gusar.
"Aku... aku bukan Rupaci dan kau tak perlu
tahu kemana tujuanku! Menyingkirlah kau perempuan
edan...!" Dibentak demikian si wanita bugil itu tertawa
mengikik panjang hingga tubuhnya sampai bergun-
cang. Tiba-tiba membentak keras.
"Segera terimalah kematianmu...!" Membentak demikian sebelah lengannya terangkat
ke atas membe- ri tanda pada belasan serigala untuk menyerang.
Dan... dengan suara menggeram makhluk-makhluk se-


Roro Centil 21 Manusia Srigala Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rigala itu berlompatan menyerang sang Tumenggung
Dipayana. Namun laki-laki itu sudah siap menghadapinya.
Dengan membentak keras segera tubuhnya berlompa-
tan menghindar. Clurit di tangannya menabas kesana-
kemari menimbulkan suara bersiutan.
WUT! WUT! WUT! Akan tetapi terperangah Tu-
menggung Dipayana, karena bagaikan menabas angin
saja senjatanya lewat tanpa dapat menyentuh satupun
dari belasan serigala itu. Keringat dingin seketika men-gucur deras dari sekujur
tubuh. Beberapa saat la-
manya bertarung menghindari serangan serigala itu
serta menabas dan menghunjamkan celuritnya mem-
buat sang Tumenggung mulai kehabisan tenaga. Se-
mua serangannya cuma sia-sia belaka. Tiba-tiba satu
teriakan santar segera membuat belasan serigala itu
mundur mengurung. Terengah-engah napas sang Tu-
menggung dengan wajah pucat pias.
"Hihihi... hihihi... Tumenggung Dipayana, nama
samaranmu itu sudah sejak lama kucium baunya.
Jangan kira dengan jabatanmu itu kau bisa sembu-
nyikan diri dengan aman" Heh, apakah kau masih tak
mau mengakui namamu Rupaci?"
Semakin menggeletar seketika tubuh laki-laki
itu. Sementara hatinya mengeluh. "Celaka...! Lenyapnya Ken Ayu dari Nusa
Kambangan tiga tahun yang la-
lu ternyata membawa akibat buruk. Sungguh tak ku-
sangka kalau dia akan muncul dengan keadaan mirip
siluman begini" Apakah aku bisa selamatkan jiwa-
ku...?" Tiba-tiba sang Tumenggung jatuhkan dirinya berlutut seraya menyembah-
nyembah dan berkata
dengan suara menggeletar.
"Ampunilah selembar jiwaku, Ken Ayu...! Aku
mengakui kesalahan dan semua dosaku. Aku sudah
insyaf dan jadi orang baik-baik, apakah kau akan
mencabut juga nyawaku..." Sedangkan yang berdosa
bukan aku sendiri. Dan orang pertama yang memper-
kosamu adalah Sawor!"
"Hihihi... sama saja! Satu persatu akan ku le-
nyapkan nyawanya dan kucari dimana adanya mereka.
Walau sampai ke ujung langitpun aku akan tetap
mencarinya untuk membalaskan dendamku...!" ujar si wanita itu.
"Kalau kau mau membunuhku, kau takkan
mengetahui asal-usul dirimu dan siapa ayah ibu mu
karena cuma akulah yang mengetahuinya!" berkata Tumenggung Dipayana yang secara
tak langsung sudah mengakui kalau dirinya adalah Rupaci.
"Hm, begitukah...?" bertanya Ken Ayu. "Baik!
Aku takkan membunuhmu! Sebutkanlah siapa kedua
orang tuaku sebenarnya, dan dimana adanya!" lanjut Ken Ayu dengan suara dingin.
Melihat siasatnya berhasil, Rupaci alias Tumenggung Dipayana bernapas le-
ga. Akan tetapi memandang serigala-serigala yang
mengelilinginya hatinya menciut lagi. "Apakah serigala-serigala itu dapat kau
suruh pergi...?" ucapnya menggetar. "Heh, kau takut...?"
"Aku... aku seram melihatnya!" sahut Rupaci.
"Lebih seram mana kau melihatku atau melihat
serigala-serigala itu!" tiba-tiba Ken Ayu bertanya.
"Sse... semuanya serba seram...!" menyahut Tumenggung itu dengan menunduk.
"Hihihi... aneh!" ucap Ken Ayu. "Dulu kau begitu gairah ketika menelanjangiku.
Mengapa kini kau
berbalik seram melihatku...?" mengikik tertawa Ken Ayu. Membuat bulu tengkuk
Rupaci merinding.
Selesai mengikik tertawa Ken Ayu mengangkat
sebelah lengannya ke atas. Dan... lenyaplah belasan
serigala ciptaan itu. Terperangah Rupaci memandang-
nya. "Nah, kini kau ceritakan siapa sebenarnya ayah ibuku dan dimana mereka
berada...! Untuk penjela-sanmu itu aku menjamin nyawamu...! Akan tetapi un-
tuk kebaikan hatiku mengampuni nyawa busukmu,
kau harus tunjukkan dimana Tiga Iblis Pulau Menjan-
gan yang lainnya. Dan apakah kau mengetahui dimana
adanya Sawor.?" Ucapnya dengan suara dingin mencekam. Akan tetapi dari sinar
matanya yang member-
sitkan dendam, mana mungkin dia mengampuni ji-
wanya" "Aku pasti akan memberitahukan padamu, Ken Ayu...! Demi... demi
keselamatan jiwaku!" berkata sang Tumenggung seraya bangkit berdiri,
lalu menyelipkan lagi senjatanya dibalik pung-
gung. Wajahnya menampakkan wajah cerah.
"Dan..." lanjutkan bicara Ken Ayu. "Kau katakan juga tugas apakah yang kau pikul
itu hingga kau menempuh perjalanan selama dua hari?"
Diam-diam terkejut Tumenggung Dipayana ka-
rena ternyata Ken Ayu telah menguntitnya sejak kebe-
rangkatannya dari Kadipaten untuk menuju ke pesisir
laut kidul menjalankan tugas dari Adipati. Tercenung sejenak Rupaci. Diotaknya
ternyata diam-diam menyu-sun rencana. "Kau keberatan...?" satu pertanyaan
membuat dia melonjak kaget.
"Ah, tidak! tidak...! Apapun yang kau tanya-kan kalau aku mengetahui pasti
kujawab! Aku tengah me-mikirkan kudaku, dengan apa aku menjalankan tugas
kalau tak ada kuda" Perjalanan yang kutempuh masih
jauh!" "Kemana tujuanmu?" tanya Ken Ayu.
"Ke pesisir laut kidul, menemui seseorang, atas perintah Adipati!" Menyahut
Rupaci alias Tumenggung Dipayana. Tercenung sejenak wanita ini lalu mengikik
tertawa sambil garuk-garuk rambut dikepalanya. Keadaan Ken Ayu memang boleh
dibilang seperti seorang
wanita yang kurang waras. Karena dengan tubuh te-
lanjang bulat dan rambut beriapan membuat orang
akan terpana memandang. Karena tubuh Ken
Ayu tidaklah sebersih dulu ketika berada di Nusa
Kambangan. Tapi tubuh yang kotor berdaki yang me-
lenyapkan hawa merangsang. Melainkan rasa jijik me-
lihat keadaannya.
"Hihihi... sebentar aku akan cari kudamu, kau
tunggulah!" ujarnya pendek. Selesai berkata tiba-tiba tubuh Ken Ayu berkelebat
dari situ dan lenyap dari
pandangan Rupaci.
*** LIMA EH! KESEMPATAN INI tak boleh ku sia-
siakan...!" berdesis suara sang Tumenggung Dipayana.
Dan detik itu juga tanpa ayal lagi segera dia putar tubuh untuk segera
menyelinap kabur dari tempat itu...
Kira-kira dua kali penanak nasi setelah berke-
lebatan menyelinap keluar masuk hutan. Barulah sang
Tumenggung ini merasa bebas dari rasa takutnya. Ra-
sa seram pada Ken Ayu yang telah berubah jadi pe-
rempuan berilmu tinggi serta keadaan yang menjijik-
kan itu membuat dia ingin segera menghindar. Apa lagi dia harus memberitahukan
dimana adanya sobat-sobatnya dari Empat Iblis Pulau Menjangan. Tak
mungkin dia harus mengkhianati kawan-kawannya
yang telah sekian lama bersatu. Sejak tiga tahun belakangan ini memang mereka
berpencar dan hidup sen-
diri-sendiri. Yaitu sejak komplotan empat manusia itu melarikan diri dari Pulau
Nusa Kambangan. Ternyata
beberapa kejadian telah menimpa Partai Gagak Sakti
yang dikuasai mereka bersama Sawor.
Kisahnya adalah demikian.
Selama beberapa pekan Ken Ayu si gadis murid
Marga Dewa si Naga Terbang itu terpaksa harus me-
layani nafsu bejat mereka berlima secara bergantian.
Namun suatu ketika mereka tak mendapatkan lagi Ken
Ayu dikamarnya. Ken Ayu lenyap tak berbekas bagai-
kan ditelan bumi. Seluruh pelosok pulau Nusa Kam-
bangan diperiksa untuk mencari dimana adanya gadis
itu. Namun tak ada tanda-tanda disembunyikan pen-
duduk. Hal tersebut akhirnya dilupakan oleh si Empat Iblis Pulau Menjangan.
Mereka merencanakan kerja
sama dengan Sawor untuk menyebarkan kekuasaan
Partai Gagak Sakti yang kemudian diganti menjadi
Partai Lima Naga Setan.
Tentu saja Partai Lima Naga Setan segera mele-
barkan sayapnya, dengan menyebar aksi kejahatan.
Merampok kapal-kapal yang lewat, membunuh, mem-
perkosa dan berbagai macam kejahatan lainnya. Den-
gan bersatunya mereka ternyata membuat satu kekua-
tan yang amat ditakuti golongan lain. Bahkan bebera-
pa partai persilatan berhasil ditaklukkan dan dikuasai.
Selama itu tentu saja si Empat Iblis Pulau Menjangan berhasil mengumpulkan
kekayaan dari hasil kerja sa-ma mereka.
Empat Iblis Pulau Menjangan ternyata berlaku
cerdik, untuk segera menyisihkan harta-harta rampa-
san itu dari mata Sawor. Mereka beranggapan Sawor
tak dapat diajak bekerja sama untuk selamanya. Sua-
tu saat mereka harus menyingkirkan manusia itu.
Empat Iblis Nusa Kambangan ternyata banyak menye-
bar mata-mata diluaran, sehingga ketika terjadi serangan ke markas Partai Lima
Naga Setan oleh para Pen-
dekar mereka sudah berpencar menyelamatkan diri se-
jak dini. Sawor terpaksa bertarung seorang diri, meng-
hadapi serbuan pasta pendekar dan orang-orang Kera-
jaan yang bersatu padu dengan penduduk Pulau Nusa
Kambangan yang tertindas. Namun Saworpun akhir-
nya berhasil melarikan diri begitu mengetahui si Em-
pat Iblis Pulau Menjangan telah merat siang-siang.
Empat Iblis Pulau Menjangan selanjutnya
membagi harta rampasan hasil kerja sama mereka
dengan Sawor, lalu mereka berpencar untuk masing-
masing menempuh cara hidupnya sendiri-sendiri.
Akan tetapi selama itu mereka tetap mengadakan hu-
bungan atau pertemuan yang di rahasiakan.
Rupaci entah bagaimana dapat menduduki ja-
batan sebagai Tumenggung, karena dapat mengambil
hati Adipati WIRALAGA. Bahkan menjadi orang pen-
tingnya Adipati. Tujuannya ke pesisir Laut Kidul adalah untuk mengantarkan surat
pada seseorang yang
berdiam disana. Orang yang dimaksud adalah seorang
sahabat Adipati Wira laga. Namun ditengah perjalanan telah dihadang oleh Ken
Ayu, yang muncul serta telah menguntitnya sejak kepergiannya dari Kadipaten.
Kemunculan Ken Ayu yang dalam keadaan
"luar biasa" itu membuat Rupaci terpojok untuk menerima syarat yang diajukan Ken
Ayu demi nyawanya
yang diancam oleh "gadis" luar biasa itu. Namun dengan tanpa diduga dia dapat
meloloskan diri ketika Ken Ayu mencari kuda putih Rupaci yang kabur entah
kemana. Kini dihadapan Rupaci tampak sebuah bangu-
nan gedung yang cukup besar. Letaknya tersembunyi,
diapit antara dua buah bukit. Bergegas berlari, segera dia sudah tiba dipintu
gedung berpagar tembok tebal
itu. Empat orang penjaga pintu segera menyambut ke-
datangannya dengan tombak melintang di depan pintu.
"Siapakah anda" ada keperluan apa ke tempat
ini...?" tanya penjaga pintu yang bertubuh tegap menghampiri. Berbeda dengan
orang-orang Partai Gagak Sakti pada tiga tahun yang lalu, karena pakaian
penjaga pintu ini adalah rata-rata berwarna hijau.
Memanglah gedung itu adalah markas besar pergu-
ruan Naga Hijau. Ketua perguruan itu bernama SUMO
BLEDEG. "Aku Tumenggung Dipayana...! Katakan pada
ketuamu, aku akan datang menghadap berkata Rupaci
dengan suara ramah.
Sejenak keempat pengawal pintu itu menatap
pada Rupaci, lalu salah seorang segera berkata.
"Hamba segera akan melapor, sudilah anda
menunggu sebentar!"
Sang Tumenggung ini mengangguk, sementara
si penjaga itu segera bergegas masuk.
"Apakah ketuamu ada di rumah...?" bertanya Rupaci, pada seorang pengawal. Laki-
laki yang masih
berusia cukup muda itu mengangguk.
"Kelihatannya sih, beliau tak kemana-mana!
Hamba baru menggantikan kawan berjaga. Menurut
yang kudengar belum lama beliau kedatangan teta-
mu...!" menyahut si penjaga.
"Siapa...?" tanya Tumenggung agak terkejut.
"Hamba kurang mengetahui...!"
"Laki-laki atau perempuan.. ?" tanya lagi Rupaci.
"Laki-laki..." sahut sang penjaga. Tumenggung Dipayana manggut-manggut, dia tak
menanyakan apa-apa lagi dan diam-diam dia menarik napas lega karena
tadinya dia amat mengkhawatirkan sekali kalau-kalau
Ken Ayu menyusul lebih dulu dan telah mengetahui
kedatangannya. Tak berapa lama sang penjaga tadi te-
lah kembali lagi, seraya berkata.
"Ketua mempersilahkan anda masuk...! Mari
hamba antar!"
"Oh, terima kasih...!" ucap Rupaci, lalu beranjak melangkah memasuki pintu yang
telah segera di-
buka kembali. Dua orang penjaga segera mengawalnya
dari belakang, untuk menunjukkan ruangan mana
yang harus dituju. Gedung itu mempunyai tiga buah
wuwungan. Pada wuwungan yang bentuknya meman-
jang menghadap ke pintu masuk akan tetapi dibagian
sebelah dalam. Kesanalah yang dituju. Rupaci pernah
berkunjung kemari sekali sejak setahun yang lalu,
hingga dia sudah mengetahui arah yang ditunjukkan
kedua pengawal.
Sampai ditangga undakan, segera kedua penja-
ga pintu tadi kembali ke tempatnya. Sementara Rupaci segera beranjak melangkah
untuk masuk ke ruangan
utama, tempat menerima tamu.
"Selamat datang Tumenggung...! Hai, angin
apakah yang telah meniup mu untuk mengunjungi
tempatku...?" satu suara segera terdengar dari dalam, yang kemudian diiringi
oleh suara tertawa terbahak-bahak. Ketika Rupaci tiba dipintu ruangan segera
terlihat dua orang yang duduk berhadapan pada dua buah
kursi. Empat kursi lagi masih kosong. Pada meja ber-
bentuk bulat telur itu terlihat tiga buah gelas berisi arak dalam keadaan penuh.
Dua kendi arak tampak
berada di atas meja dan beberapa piring makanan ke-
cil. Kedua laki-laki itu segera berdiri menjura me-
nyambut kedatangannya. Yang seorang Rupaci dapat
mengenalnya, yaitu si Naga Hijau SUMO BLEDEG.
Akan tetapi yang satu lagi membuat dia terkejut, kare-na segera mengenali siapa


Roro Centil 21 Manusia Srigala Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adanya laki-laki itu, yang tak lain dari KATAKILI saudara tertua dari Empat
Iblis Pulau Menjangan. Memakai pakaian mirip seorang
bangsawan, memang sukar dikenali kalau bukan Ru-
paci yang telah hapal melihatnya.
"Hahaha... kalian ini seperti sudah berjanji saja mengunjungi tempatku sobat-
sobat Empat Iblis Pulau
Menjangan...! Cuma dua lagi yang belum kelihatan,
apakah mereka juga akan segera tiba...?" Berkata Su-mo Bledeg dengan tertawa
berderai. Lalu persilahkan
sang Tumenggung mengambil tempat duduk.
Terkejut juga girang Rupaci mengetahui tetamu
Sumo Bledeg adalah saudara seperguruan tertuanya.
"Kakang Katakili, sejak kapan kau sudah tiba
disini...?" tanya Rupaci, seraya menjabat tangan laki-laki bangsawan itu, lalu
menjabat pula tangan Sumo
Bledeg. "Hahaha... duduklah! Tuan rumah sudah se-diakan arak untukmu! Tampaknya
kau baru melaku-
kan perjalanan jauh, tentu haus sekali!" berkata Katakili.
"Ah, terima kasih, terima kasih...!" menyahut Rupaci seraya duduk dan lengannya
menyambar gelas arak yang telah penuh terisi itu, lalu me-
nenggaknya sampai kering. Selanjutnya mereka berca-
kap-cakap dengan riang sekali. Sumo Bledeg alias si
Naga Hijau adalah salah seorang kawan seprofesi yang hidup dalam kancah
kejahatan. Namun Sumo Bledeg
pandai membedaki perbuatan jahatnya dengan bekerja
secara sembunyi-sembunyi. Digedung markasnya dia
boleh dapat dikatakan dapat hidup aman, karena si
Naga Hijau dikenal dikalangan Rimba Hijau sebagai
"orang baik-baik".
"Ada berita penting yang harus kusampaikan
pada kalian, sobat-sobatku! Kukira saatnya kita harus bertindak hati-hati...!"
berkata sang Tumenggung Dipayana dengan serius.
"Berita apakah itu, Rupaci...?" tanya Katakili terheran. Begitu juga Sumo Bledeg
terkejut, melihat
sikap Rupaci yang seperti amat khawatir. Jelas terlihat dari perubahan rona
wajahnya. Segera Rupaci ceritakan kejadiannya pada me-
reka tentang munculnya Ken Ayu yang mencari Empat
Iblis Pulau Menjangan dan Sawor untuk membalas
dendam. Terpaku kedua sahabat itu mendengar kesak-
tian Ken Ayu tiba-tiba muncul sejak lenyapnya tiga tahun yang lalu dari Nusa
Kambangan. Mendengar
adanya berita itu ternyata telah merubah keramahan si tuan rumah Sumo Bledeg
mendadak jadi berubah. Dia
segera bangkit dari duduknya seraya berkata.
"Maaf, kedua sobat Iblis Pulau Menjangan. Bu-
kannya aku mengusir kalian, tapi karena demi menja-
ga nama baikku, karena aku khawatir terbawa-bawa
dalam urusan kalian, kuharap anda berdua segera
tinggalkan cepat-cepat tempatku ini...!"
Kedua dari Empat Iblis Pulau Menjangan ini ja-
di saling pandang menatap, juga memandang pada si
Naga Hijau. Terlihat sang Naga Hijau ini mengalami
perubahan pada wajahnya yang mendadak jadi pucat
pias. "Hahaha... tampaknya kau ketakutan sekali, sobat Sumo Bledeg! Kalau
perempuan itu menyatroni
ke tempatmu, kami berduapun sanggup meringkus-
nya, tanpa menyusahkan kau!" berkata sinis Katakili dengan nada jumawa.
Seketika merahlah wajah Sumo Bledeg. Orang
ini memang berwatak seperti ramah, namun mempu-
nyai adat jelek. Bila dianggap remeh oleh orang tentu akan segera naik pitam.
Tiba-tiba lengannya bergerak
menggebrak tepi meja, seraya membentak gusar.
"Sungguh nasib sial! 10 tahun menetap dimarkas besarku ini baru sekali ini aku
dihina orang dikandang sendiri! Sungguh memalukan!"
PLAK! Terdengar suara beradunya telapak tan-
gan dengan meja kayu jati tebal itu. Apa yang
terjadi" Tiga buah gelas arak yang telah terisi
penuh lagi itu beserta dua kendi arak serta beberapa piring makanan kecil yang
hampir kosong, telah melayang ke atas hampir menyentuh langit-langit ruangan.
Ketika meluncur turun lagi, membelalak kedua
pasang mata sang Tumenggung Dipayana alias Rupaci
dan Katakili, karena segera terdengar bunyi TREK...!
*** ENAM ANEH...! TAK ADA SATUPUN dari benda-benda
di atas meja itu yang terbalik atau tumpah isinya, apalagi pecah. Tapi selang
sesaat segera terdengar suara bergedubrakan. Meja kayu jati itu ambruk
berantakan dan hancur berkeping-keping bersama dengan han-
curnya benda-benda di atas meja itu...
"Ah...!" Hebat! Hebat...!" Hampir berbareng si dua Iblis dari Empat Iblis Pulau
Menjangan berteriak kagum. Akan tetapi diam-diam hati Rupaci mencelos,
karena secara tak langsung pihaknya telah menimbul-
kan kemedongkolan hati si Naga Hijau. Cepat-cepat
Rupaci memberi hormat pada Sumo Bledeg seraya ber-
kata. "Ah, sobat Naga Hijau, sudilah kau memaafkan kata-kata kakak
seperguruanku. Kami tidak bermaksud meremehkan anda..."
"Kentut busuk!" membentak Sumo Bledeg yang sudah naik pitam. Apakah dengan
berkata begitu bukannya telah menghinaku..." Heh! Selama lebih dari
lima belas tahun aku malang melintang di dunia Rim-
ba Hijau, belum pernah aku melipat ekor untuk mela-
rikan diri seperti akal bulus yang dilakukan kalian pa-da orangmu sendiri yang
bernama Sawor!" menyombong Sumo Bledeg tanpa kepalang tanggung, bahkan
telah pula mengguar kebusukan Empat Iblis Pulau
Menjangan secara terang-terangan. Hal mana mem-
buat Katakili jadi merah padam mukanya. Sedangkan
Rupaci diam-diam mengeluh dalam hati.
"Wah, wah... Celaka! Agaknya sesama golongan
bakal terjadi bentrokan!"
Benar saja! Tiba-tiba Katakili perdengarkan su-
ara dingin yang menembus tulang.
"Naga Hijau! Kau kira sikapmu selama ini ba-
nyak baiknya dari pada busuknya pada kami..." Ha-
haha... kaupun tak lebih dari pengecut busuk yang
berbuat licik yang pergunakan cara lempar batu sem-
bunyi tangan dengan "bekerja" secara sembunyi-sembunyi! Perampokan tiga bulan
yang lalu pada seo-
rang bangsawan di Kota Raja telah kau gunakan nama
baik kami! Apakah itu bukan tipu daya licik, menohok kawan seiring..." Hm,
ketahuilah, sebenarnya aku kemari memang mau menagih separuh dari hasil yang
kau dapatkan, sebagai imbalan atas kau cemarkan
nama Empat Iblis Pulau Menjangan yang sudah lenyap
tak di ingat orang...!"
Pucatlah wajah Sumo Bledeg. Apa yang di kata-
kan Katakili itu memang sebenarnya. Sungguh tak
disangka kalau Katakili telah mengetahui samarannya.
Akan tetapi sebagai orang yang sudah lihay dalam tipu daya serta pandai berputar
lidah, Sumo Bledeg tak
mengakuinya. "Kentut busuk!" makinya dengan wajah berang.
"Aku tak merasa melakukan hal itu. Mungkin lain golongan yang telah melakukan
aksi perampokan di Kota
Raja itu!" membentak si Naga Hijau.
"Apakah kau mau mungkir bila kutunjukkan
benda ini...?" berkata Katakili seraya keluarkan sebuah senjata rahasia
berbentuk bulan sabit sebesar jari dari saku bajunya. Terkejut Sumo Bledeg
melihat .senjata
rahasia miliknya itu.
"Aku menemukannya menancap ditembok ge-
dung bangsawan tua yang kau bunuh itu!" lanjut ucapan Katakili. Sumo Bledeg tak
dapat menyangkal lagi, karena memang benarlah dia pernah mempergunakan
senjata rahasianya ketika menghadapi anak si bang-
sawan tua ketika melakukan perlawanan pada malam
hari disaat dia menyatroni gedung si bangsawan. Na-
mun akhirnya dia dapat menewaskan anak si Bangsa-
wan tua itu dengan pukulan geledeknya.
Wajah si Naga Hijau tampak sebentar pucat se-
bentar merah. Dan tiba-tiba saja Sumo Bledeg telah
menerjang dengan pukulannya, disertai bentakan ke-
ras. "Baik! Aku mengakui itu perbuatanku. Kini kau
telah datang ke sarang Naga Hijau, ada baiknya kau
mampus terlebih dulu sebelum datang "penyakit" padaku!" WHUK! WHUK...!
Dua kali hantaman, beruntun si Naga Hijau
terpaksa harus dikelit Katakili dengan berlompatan
menghindar. Dan satu lagi serangan si Naga Hijau terpaksa di papaki berdua
dengan Rupaci. DHESS! ter-
dengar suara benturan keras. Akibatnya tubuh si Naga Hijau terhuyung tiga
langkah. Sedangkan Rupaci dan
Katakili menindak ke belakang dua langkah. Melihat
dari beradunya dua tenaga dalam gabungan itu den-
gan tenaga dalam Sumo Bledeg, dapat diketahui ting-
katan tenaga dalam Sumo Bledeg masih setingkat di
atas mereka, bila diukur perseorangan. Namun dengan
adanya gabungan tenaga dalam kedua dari Empat Iblis
Pulau Menjangan itu, tentu saja membuat si Naga Hi-
jau nyaris terluka dalam.
Menggeram gusar Sumo Bledeg. Segera dia ke-
rahkan segenap kepandaiannya untuk merobohkan
lawan. Senjata-senjata rahasianya mulai disebar meluruk ke arah kedua bekas
sahabat itu mengancam
maut. Trang! Trang...! Terpaksa dengan sebat Rupaci
tangkis serangan itu dengan senjata cluritnya. Dan Katakili menangkis dengan
senjata roda bergeriginya.
Sementara itu keadaan diluar gedung jadi gem-
par. Puluhan anak buah si Naga Hijau berlompatan ke
arah ruangan sang Ketua mereka. Namun mereka cu-
ma bisa melihat dari luar, karena khawatir terkena
sambaran roda-roda bergerigi Katakili yang berdesin-
gan, menabas apa saja yang menghalangi.
Selang beberapa jurus tampaknya mereka me-
rasa kurang leluasa untuk bertarung dalam ruangan
sempit. Naga Hijau melompat terlebih dulu, disusul
Katakili dan Rupaci. Hal mana memang keinginan Ka-
takili karena senjatanya dapat bebas bergerak tanpa
hambatan. Akan tetapi terkejut Katakili ketika merasakan
tenaganya semakin melemah. Pandangannya menda-
dak menjadi memudar. Terasa kepalanya berdenyutan.
Apa yang dirasakan Katakili ternyata demikian
juga pada Rupaci dan Sumo Bledeg. Katakili sudah tak mengetahui lagi kemana
melayangnya senjatanya. Sementara Sumo Bledeg bukannya menyerang bahkan
terhuyung memegangi kepalanya. Demikian pula Ru-
paci, dia meringis memegangi perutnya. Cluritnya su-
dah terlepas jatuh ke tanah.
Sementara itu anak buah si Naga Hijau jadi
terpaku memandang orang yang bertarung dalam kea-
daan demikian itu.
Ketika pada saat itu sekonyong-konyong ter-
dengar suara tertawa wanita mengikik membangunkan
bulu roma. Dan... sesosok tubuh tahu-tahu telah be-
rada di tempat itu.
"Hihihi... hihihi... kalian akan segera mampus, penjahat-penjahat terkutuk,
karena aku telah mencampuri arak yang kalian minum dengan racun!"
"Hah!" Ka... ka... kau... KEN AYU...",!" Terperangah Rupaci melihat siapa yang
muncul dihadapan-
nya, yang dalam keadaan persis seperti yang dijum-
painya disisi hutan tadi pagi.
Sosok tubuh seorang wanita muda yang ram-
butnya beriapan dengan keadaan membugil itu mem-
buat para anak buah si Naga Hijau terbelalak kehera-
nan. Sementara Katakili terkejutnya bukan alang
kepalang, mendengar kata-kata wanita itu, juga meli-
hat kemunculan wanita yang pernah diperkosanya.
"Ja... jadi gejala ini adalah akibat keracunan" Celaka...!?" desisnya tertahan.
Sumo Bledeg berteriak dengan mata mendelik. "Keparat! Kaukah si Ken Ayu itu"
Kau... kau bisa menaruh racun pada arak sejak ka-
pankah?" Tertawa mengikik wanita yang sudah tak men-
genai rasa malu lagi, seakan-akan memang sengaja
mempertontonkan tubuhnya.
"Hihih... dengan ilmuku aku bisa berbuat apa
saja. Karena aku mempunyai ilmu Halimunan!
Sejak tadi kalau aku mau membunuh kalian
semua teramat mudah, tapi kurasa lebih baik kubuat
kalian mati perlahan-lahan agar kau dapat rasakan
penderitaannya! Kalian adalah pelaku-pelaku kejaha-
tan yang kerjanya cuma menyusahkan orang, maka
layaklah kalau kalian mampus...! Hihihi... tuan Tu-
menggung! Kau kira aku tak mengetahui kau merat!
Sejak kau menyelinap pergi, aku sudah menguntitmu
sampai tempat ini...!" Ujarnya seraya menatap tajam dengan wajah sinis pada
Tumenggung Dipayana alias
Rupaci. "Kau... kau akan menyesal membunuhku!"
memaki Rupaci dengan wajah pucat pias, dan rona wa-
jahnya mulai membiru. "Kau... kau takkan mengetahui ssi... siapa ayah i... Ibu..
mu...!" Selesai berkata demikian, tubuh Rupaci tam-
pak limbung dan jatuh berdebuk ke tanah. Lalu berke-
lejotan bagai ayam disembelih. Dari mulutnya keluar
busa. Tak lama kemudian manusia itu pun lepaskan
nyawanya... Terperanjat Katakili dan Sumo Bledeg. Si Ketua
perguruan Naga Hijau ini menggembor keras, seraya
menerjang Ken Ayu. Ternyata dengan tenaga terakhir-
nya Sumo Bledeg telah menyerang dengan pukulan
Geledeknya. WHUUUKKK...! Angin pukulannya membersit
keras menerpa Ken Ayu.
Dan... BHLARRR! Terdengar suara dentuman
keras bagaikan petir menyambar. Akan tetapi bukan-
nya Ken Ayu yang terkena melainkan tubuh Katakili
yang tahu-tahu terhuyung memapaki diluar kesada-
rannya. Terdengarlah jeritan parau laki-laki itu. Seketika tubuhnya hangus
terbakar. Setelah menggeliat
beberapa kali, Katakili pun tewas seketika dengan ma-ta mendelik dan lidah
terjulur keluar. Sementara Sumo Bledeg sendiri dengan keadaan semakin terhuyung
be-lalakkan matanya menatap Ken Ayu yang mengikik


Roro Centil 21 Manusia Srigala Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa. Ringan sekali gerakan wanita itu ketika melesat mengelakkan diri dari
hantaman pukulan si Naga
Hijau seraya mendorong tubuh Katakili untuk mene-
rima pukulan itu. Tentu saja Katakili tak mampu un-
tuk mengelakkan diri. Keadaan telah berlangsung den-
gan cepat, hingga dia harus menerima nasib menjadi
korban pukulan si Naga Hijau itu.
"Ka... kau... kau..." belum lagi Sumo Bledeg meneruskan kata-katanya tubuhnya
sudah ambruk ke
tanah untuk segera berkelojotan. Selang sesaat Sumo
Bledeg pun tewas dengan keadaan tubuh berubah
membiru... Gemparlah seketika keadaan didalam pagar
tembok markas Naga Hijau. Para anak buah Sumo
Bledeg berlarian kalang kabut dengan ketakutan meli-
hat munculnya seorang gadis yang dalam keadaan
membugil dan perdengarkan suara tertawa mengikik
yang membangunkan bulu roma.
"Kalian juga manusia-manusia jahat yang ha-
rus mampus...! Hihihi... hihihi..." Membentak si wanita mengerikan ini. Tiba-
tiba lengannya terangkat. Dan...
muncullah berpuluh-puluh ekor serigala yang segera
mengepung puluhan anak buah si Naga Hijau.
Sekonyong-konyong tubuh Ken Ayu lenyap sir-
na dari tempat berdirinya. Akan tetapi segera menjel-ma menjadi seekor serigala
betina yang luar biasa besarnya. Menggeram serigala ini, serta perdengarkan
suaranya melolong panjang. Selanjutnya ketika tubuh
serigala itu berkelebat dari tempatnya, terdengarlah jeritan kematian disana-
sini. Apakah yang terjadi..."
Ternyata anak buah si Naga Hijau habis diterkamnya.
Tak satupun dibiarkan meloloskan diri...
Mayat-mayat pun berkaparan disana-sini den-
gan keadaan tubuh yang sudah tidak utuh lagi. Terlalu mengerikan kejadian itu.
Ketika senja menjelang, dan matahari agak
condong ke arah barat, gedung Markas si Naga Hijau
telah menjadi sunyi mencekam. Beberapa ekor burung
pemakan bangkai mulai berseliweran di udara, mem-
baui amisnya darah. Burung-burung itupun mulai
menukik turun. Dan selanjutnya
adalah pemandangan yang mengenaskan, keti-
ka serpihan-serpihan daging mayat telah menjadi re-
butan mereka dengan suara mengiyak tiada henti, seo-
lah hari itu mereka tengah mengadakan pesta me-
riah.... *** TUJUH KEMATIAN SI NAGA HIJAU dan seluruh anak
buahnya dimarkasnya, sebentar saja telah menyebar
dikalangan kaum Rimba Hijau.
Bahkan dua orang yang kedatangan tewas den-
gan tubuh keracunan, dapat dikenali siapa adanya.
Tentu saja menjadi buah bibir dimana-mana. Empat
Iblis Pulau Menjangan itu memang dalam pelacakan
para kaum Pendekar penjunjung kebenaran dan pem-
bela keadilan. Ternyata yang paling teramat geram dan mendongkol bukan main
adalah Adipati WIRALAGA.
Karena dia tak menyangka sama sekali kalau justru
sang Tumenggung Dipayana yang ditugaskan ke pesi-
sir pantai laut kidul tak lain salah seorang dari Empat Iblis itu.
Belakangan didengarnya berita bahwa pemban-
tai sadis yang mengobrak abrik markas Naga Hijau
adalah seorang wanita yang bisa beralih rupa menjadi seekor serigala. Bahkan
dapat menciptakan serigala-serigala misterius yang bisa membunuh manusia den-
gan sekejapan saja. Agak ngeri hati sang Adipati ini, karena dia khawatir
terbawa-bawa sial. Bisa saja ke-
sialan itu akan menimpa dirinya karena Tumenggung
Dipayana itu adalah orang bawahannya yang bermu-
kim di gedung Kadipaten.
Adipati Wiralaga berjalan mondar-mandir di
ruang pendopo gedung Kadipaten dengan menggen-
dong tangan. Benaknya berpikir keras.
Tampak wajah sang Adipati ini sebentar pucat
sebentar merah menegang.
"Dengan tewasnya Tumenggung Dipayana yang
ketahuan adalah salah seorang dari Empat Iblis Nusa
Kambangan juga dua orang dari kelima orang yang te-
lah membentuk Partai Lima Naga Setan berarti kedu-
dukanku dalam bahaya...!" berdesis Adipati Wiralaga.
"Sebaiknya aku harus berangkat secepatnya ke
pesisir laut kidul! Rencana pendaratan kapal asing dari Hindia harus
dibatalkan...!" desisnya lagi.
Memikir demikian segera Adipati Wiralaga ber-
gegas masuk ke ruangan dalam. Lalu menemui istrinya
yang tengah duduk menyulam diberanda tengah.
"Suridewi...! aku akan melakukan perjalanan
jauh untuk satu tugas penting dari Kerajaan. Kuharap kau baik-baik menjaga diri
dirumah!" berkata Adipati Wiralaga. Wanita itu letakkan kain sulamannya seraya
menatap pada Adipati Wiralaga dengan kening berkerut.
"Bila kakang akan berangkat" Akan memakan
waktu lamakah tugas itu?" bertanya sang istri. Adipati Wiralaga memang tak
mempunyai keturunan selama
berumah tangga yang hampir lebih dari 10 tahun,
hingga suasana digedung Kadipaten itu tampak amat
sunyi. "Tentu saja, istriku...! Setidak-tidaknya memakan waktu satu bulan!"
sahutnya. "Aku akan segera berangkat besok pagi! Nah, kau persiapkanlah perbe-
kalan untuk perjalananku besok...!"
Tercenung sejenak sang istri, seraya menghela
napas dan terdengar suara gumam wanita itu lirih.
"Lagi-lagi tugas! lagi-lagi tugas...!" gerutunya. "Tugas apakah dari baginda
Raja itu kakang..." kudengar kau sudah mengutus Tumenggung Dipayana untuk tugas
mengantarkan surat mu ke pantai pesisir laut kidul.
Apakah tak sebaiknya kau menunggu kedatangan-
nya...?" tiba-tiba istrinya bertanya. Dari kata-kata itu seperti seolah sang
istri telah mengetahui kalau suaminya akan berangkat ke pesisir laut kidul, akan
tetapi tak mengetahui kalau adanya peristiwa di markas Na-ga Hijau yang
menyebabkan kematian sang Tumeng-
gung. Adipati Wiralaga kerutkan keningnya, alisnya
bergerak naik seraya berkata. "Ah, kau perempuan ta-hu apa" sudahlah, tenangkan
hatimu. Percayalah! aku
bukan mau bersenang-senang diluaran. Semua tugas
yang kujalankan adalah atas titah Raja! Hilangkanlah kecemburuanmu! hahaha...
jangan terlalu khawatirkan suamimu ini akan cari perempuan lagi!" tertawa sang
Adipati, karena menduga istrinya mencurigai
maksud kepergiannya.
"Bukan soal cemburu, kakang...! Cuma aku he-
ran, kau sudah mengirim orang akan tetapi tak me-
nunggu pulangnya orang yang kau tugaskan, bahkan
kau sendiri akan berangkat pergi. Bukankah aneh...?"
berkata istrinya, seraya beranjak masuk ke kamar.
Adipati Wiralaga tak menyahuti tapi tenggelam
dalam alam pikiran dibenaknya...
Berita kemunculan Manusia Serigala Hantu,
seorang wanita yang berilmu tinggi yang telah mem-
bantai habis penghuni Markas si Naga Hijau berikut
dua orang dari 4 Iblis Pulau Menjangan itu bukan tak dipikirkannya. Tapi sudah
sejak mendengar berita itu, Adipati Wiralaga sering gelisah.
Surat yang gagal disampaikan Tumenggung Di-
payana menjadi pula beban pikirannya. Apalagi dike-
tahui dan telah menyebar ke setiap pelosok bahwa
Tumenggung Dipayana itu dikenali sebagai salah seo-
rang dari Empat Iblis Pulau Menjangan yang pernah
gagal ditumpas golongan pemerintah Kerajaan dan pa-
ra kaum Pendekar di Pulau Nusa Kambangan....
Dikhawatirkan surat itu jatuh ke tangan pihak
orang-orang Kerajaan. Surat itu bisa mengakibatkan
kejatuhan kedudukannya sebagai Adipati, dan men-
gungkap rencana persekutuannya dengan lasykar as-
ing. Dia bisa dituduh mutlak sebagai pemberontak
yang mau menggulingkan Kerajaan dengan meminta
bantuan pasukan asing dari Hindia yang telah diren-
canakan pendaratannya.
Dan... memang demikian pulalah kenyataan-
nya... Matahari membersitkan sinar teriknya pada
siang itu seperti mau membakar jagat. Seorang pe-
nunggang kuda menjalankan kudanya dengan cepat
menerobos jalan-jalan setapak dilereng bukit. Dialah Adipati Wiralaga yang
tengah "meluncur" menuju ke-perbatasan. Yaitu pesisir pantai laut kidul.
Perjalanan itu memang bukanlah perjalanan pendek, karena memakan waktu tak lebih
dari lima hari, karena sukarnya perjalanan yang harus ditempuh. Juga harus
menginap diperjalanan bila waktu menjelang malam.
Saat itu di atas bukit berdiri sesosok tubuh di-
kejauhan. Melihat adanya seekor kuda berlari dengan
amat cepat di bawah lereng, sosok tubuh itu berkelebat turun dan menyusul...
Ternyata diam-diam sosok tubuh itu membun-
tuti si penunggang kuda.
Perjalanan kini mulai memasuki satu padang
rumput tebal yang terbentang di depan mata berlatar
belakang perbukitan yang berhutan lebat.
Ketika memasuki mulut hutan setelah melewati
sebuah candi, tiba-tiba kuda tunggangan Adipati Wiralaga perdengarkan
ringkikkannya, dan terjungkal ja-
tuh. Tentu saja Adipati Wiralaga cepat melompat dari punggung kudanya agar tak
terluka tubuhnya. Sebagai
seorang yang punya "isi" Adipati Wiralaga dapat jejakkan kakinya dengan ringan
di tanah. Namun dia amat
terkejut dengan kejadian mendadak itu. Sementara
sang kuda berkelojotan dengan meringkik kesakitan.
Sesaat antaranya kuda itupun diam tak bergeming la-
gi. "Mati...!?" berdesis suara sang Adipati ketika memeriksanya. Didapati diperut kuda dan
leher ter-tancap tiga buah pisau kecil berbentuk keris. Seketika pucatlah
wajahnya. Diam-diam tengkuknya bergidik,
karena seandainya si penyerang mau membunuhnya
tentu akan sudah terjadi karena dia sama sekali tak
mendengar suara berdesirnya senjata rahasia itu! Adipati Wiralaga berdiri dengan
wajah menegang. Panca
indranya dipasang untuk meneliti keadaan tempat se-
kitarnya. "Siapakah yang telah menyerang kudaku" ke-
luarlah! Seorang kesatria tidak akan menyembunyikan
diri...!" berkata Wiralaga setengah membentak. Suasana disekitar mulut hutan itu
tampak hening. Sementa-
ra si penguntit berjongkok di tempat persembunyian-
nya. Tampaknya sang penguntit itupun terkejut den-
gan kejadian orang yang dikuntitnya.
Pelahan sang penguntit itu menyibakkan de-
daunan yang menghalangi pandangannya untuk meli-
hat keadaan orang lebih jelas.
Ternyata sang penguntit itu seorang dara ru-
pawan, bermata jeli dan berbibir mungil bak delima
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 15 Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh Dendam Iblis Seribu Wajah 10
^