Pencarian

Ninja Edan Lengan Tunggal 1

Roro Centil 30 Ninja Edan Lengan Tunggal Bagian 1


SATU RADEN MAS BEI KARTOMARMO duduk di kursi
goyang berukir itu dengan mata terpejam-pejam. Sebentar-sebentar dia menghisap
pipanya, dan menghembuskan asap tembakau yang mengeluarkan suara
mendesis. Tubuhnya bergoyang-goyang dan kepalanya terangguk-angguk mengikuti alunan kursi
yang bergoyang. Tampaknya orang tua yang usianya sudah
menjelang 50 tahun ini sedang menikmati acara santainya diruang pendopo
gedungnya yang besar dan
luas. Nama julukan Raden Mas Bei Kartomarmo adalah
nama terhormat yang diberikan penduduk desa Blambangan. Bukan saja dia sebagai
seorang Carik Desa,
akan tetapi juga seorang hartawan kaya raya yang
mendiami wilayah itu. Pantaslah kalau Raden Mas Bei
Kartomarmo bisa menggaji belasan orang pegawai dan
dapat duduk berleha-leha sedemikian rupa. Karena tidaklah dia begitu memusingkan
urusan hidup. Hari
itu..... Seorang pegawainya menghampiri Raden Mas Bei
Kartomarmo dengan langkah tergesa-gesa.
"Raden Mas Bei... maaf hamba mengganggu..."
berkata pegawai laki-laki ini dengan tubuh membungkuk-bungkuk di hadapan Raden
Mas Bei Kartomarmo.
Laki-laki tua yang berjenggot cuma sejumput tanpa
kumis ini membuka matanya. Dia memang telah mendengar suara langkah mendekat.
Bahkan telah tahu
siapa yang datang, dengan mengintip dari celah kelopak matanya yang setengah
terpejam. "Ada apa Gembeng, kau menghadapku?" ta-
nyanya. Pegawai laki-laki bernama Gembeng itu membungkukkan tubuhnya dalam-
dalam. "Maaf, Raden
Mas Bei, hamba mengganggu istirahat Raden...!" ucap
Gembeng sekali lagi.
Bicaranya amat sopan dan amat hormat serta hati-hati.
"Hm, tak apa. Katakan maksudmu, Gembeng! Apa
kau perlu uang" Kulihat sudah dua bulan kau tak pulang menemui anak istrimu!"
berkata sang majikan.
"Ah, memang hamba amat memerlukannya, Raden. Hamba memang sudah sangat rindu
untuk menemui anak-anak" menyahut Gembeng yang tak menyangka akan mendapat
tawaran sebaik itu. Padahal
maksudnya bukan untuk itu. Tapi cepat-cepat dia menyambung kata-katanya. "Selain
itu, kedatangan hamba kemari juga bermaksud mengantarkan surat ini,
dari... dari Kanjeng
Adipati!" Gembeng keluarkan sepucuk surat dari
saku bajunya. Lalu serahkan benda itu pada Raden
Mas Bei Kartomarmo.
"Surat dari Kanjeng Adipati?" tersentak Raden Mas
Bei Kartomarmo. Seketika dia melompat berdiri dari
kursi goyangnya. Lengannya menerima kertas lipatan
ditangan Gembeng.
"Aneh!" tak biasanya dia menitipkan surat pada
pegawai lain selain si gendut Sento?" berkata dalam
hati Carik ini.
"Baik! aku terima! Hm, apakah kau tak melihat
Sento" sudah beberapa hari aku tak melihat dia?" tanyanya.
"Sento sakit, Raden Mas Bei...! Maksud hamba juga sekalian mau menjenguknya"
sahut Gembeng menjelaskan.
"Sudah sejak kapan kau terima surat ini" dan sia-
pa yang memberikan padamu?" tanya lagi
Raden Mas Bei Kartomarmo.
"Tentu saja dari... dari Sento, Den Bei.
Mengenai lamanya surat ini hamba tak mengetahui" sahut Gembeng menjelaskan.
Carik desa ini kerutkan keningnya, namun dia
manggut-manggut mendengar jawaban Gembeng.
"Bagaimana kau tahu kalau surat ini dari kanjeng
Adipati?" tiba-tiba Raden Mas Bei Kartomarmo bertanya lagi.
"Sento yang mengatakan pada hamba..." sahut
Gembeng dengan mengusap dahinya yang berkeringat.
Dia tak menyangka kalau akan mendapat banyak pertanyaan.
"Baiklah, Gembeng. Ini untukmu, dan kau boleh
pulang!" ujar Raden Mas Bei Kartomarmo, seraya berikan beberapa keping uang yang
barusan di rogohnya
dari saku bajunya. Lega hati Gembeng. Terbungkukbungkuk dia menerima uang
pinjaman itu dengan
mengucapkan terimakasih.
"Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk istirahat?" tanya sang majikan.
"Cukup hanya... dua hari saja, Den Bei..." sahut
Gembeng. Sebelum Gembeng melangkah keluar gedung setelah mohon diri, Raden Mas Bei
Kartomarmo berkata.
"Kuharap kau langsung saja menjenguk Sento. Kalau dia sudah sehat, segera suruh
menghadapku secepatnya!"
"Baik, Den...!" sahut Gembeng. Dan setelah membungkuk sekali lagi dia balikkan
tubuhnya. Dan melangkah cepat keluar dari pendopo gedung. Tukang
kebun merangkap penjaga gedung majikannya itu cuma diberi anggukan kepala, lalu
bergegas keluar dari
halaman rumah terindah ditengah desa itu.
Sepeninggal Gembeng, Kartomarmo membuka surat dari Adipati itu.
Beberapa saat setelah membaca isi surat, tampak
wajah Kartomarmo berubah.
"Aku diharuskan datang ke Puri Kuno malam nanti...?" mendesis suara Den Mas Bei
Kartomarmo, Sesaat dia tercenung. Lalu melipat kertas, kemudian beranjak masuk
ke ruangan dalam.
*** Sementara Gembeng melangkah cepat ke arah timur desa. Di belokan yang rapat
dengan semak belukar dan jauh dari rumah penduduk, dia berhenti. Sesosok tubuh
keluar dari balik semak belukar.
Gembeng melihat ke kiri dan kanan seperti khawatir ada yang mengetahui. Lalu
menyelinap masuk ke
semak, dan berbisik-bisik pada laki-laki yang barusan
menampakkan tubuhnya. Entah apa yang dibicarakan.
Yang terdengar cuma suara laki-laki berpakaian singsat warna hitam itu berkata.
"Bagus! mari kita beri laporan pada Raden Puja
Sangara!" Gembeng mengangguk.
Tak lama kedua orang itu dengan berindap-indap
menelusuri semak belukar, dan lenyap di balik hutan.
Sebuah tempat rahasia di dalam hutan yang tampaknya sukar diketemukan orang
karena pondokan
beratap alang-alang itu tertutup rapat oleh pepohonan
dan terletak disisi sungai terapit oleh sebuah bukit.
Ternyata di dalam pondok itu terdapat beberapa orang
berpakaian serba hitam. Tampak seorang laki-laki muda berusia sekitar 20 tahun
berpakaian serba putih.
Berambut gondrong, dengan ikat kepala warna hitam.
Dialah orang yang bernama Raden Puja Sengara.
Siapakah adanya laki-laki ini" Mari kita ikuti
pembicaraan mereka.
"Apakah rencana Ketua akan berhasil menyuruh
Kartomarmo mendatangi Puri kuno malam nanti?" bertanya salah seorang berpakaian
hitam Laki-laki jembros ini bernama Gudri. Dia orang
kepercayaan yang sekaligus menjadi tangan kanan Raden Puja Sengara.
"Hm, kita lihat saja nanti. Sekarang kita tunggu
hasil kerja Gembeng yang mengantarkan surat palsu
dari Adipati Renggo Seto!" Sahut Puja Sengara.
"Baiknya kau bawa kehadapan ku, si gendut Sento
kemari!" sambung pemuda ini. "Baik, Raden!" sahut
Gudri, yang segera bangkit berdiri. Gudri melangkah
lebar ke belakang pondokan. Memasuki satu ruang
yang lebar didapati seorang laki-laki gendut terikat ditiang kayu.
"Ayo, ikut aku menghadap Ketua ku!" berkata Gudri seraya melepaskan ikatan di
tangan Sento. Nampak wajah Sento pucat pias. "Mau... mau diapakan aku..."
"Jangan banyak tanya babi gendut! ayo, jalan!"
bentak Gudri menghardik. Sento tak dapat berbuat
apa-apa selain segera melangkah, karena Gudri telah
menggusurnya dengan kasar.
"Oh, nasibku..." mengguman Sento. Terbayang sesaat dimata laki-laki gendut ini
ketika dua hari yang
lalu tengah malam beberapa orang bertopeng menyatroni rumahnya, sesaat setelah
dia menerima surat dari Adipati Renggo Seto untuk diserahkan pada Carik
Raden Mas Kartomarmo.
*** DUA Sento memang orang kepercayaan Raden Mas Kartomarmo. Tak heran kalau rumahnya
besar, dan tampaknya dia hidup berkecukupan dengan anak istrinya.
Bahkan dialah orang yang menjadi perantara Adipati
Renggo Seto bila akan menghubungi Carik itu. Adipati
Renggo Seto setiap datang selalu pada malam hari,
dengan menyamar. Tentu saja agar tindakan rahasianya tak diketahui orang. Akan
tetapi sepeninggal
Adipati itu, rumahnya di datangi beberapa orang berropeng yang meringkusnya. dia
tak mampu berteriak
karena golok tajam telah menempel dileher. Gerakan
mereka tak menimbulkan suara, pertanda orang-orang
bertopeng itu mempunyai ilmu yang tinggi. Entah dengan cara bagaimana mereka
bisa masuk ke dalam rumahnya, istrinya yang terbangun dibekap mulutnya lalu
disumpal dengan kain. Hingga dapat memandangi
suaminya yang digondol pergi oleh penculik-penculik
itu, setelah memaksa menunjukkan surat dari Adipati.
"Berani kau berteriak, kubunuh kau! Awas! jangan
kau ceritakan pada siapa-siapa tentang suamimu. Katakan saja dia pergi ke desa
lain! Jangan khawatir, lakimu akan terjamin keselamatannya bila kau tak buka
mulut!" mengancam laki-laki bertopeng itu setelah melepaskan sumbatan dimulut
istri Sento. Perempuan itu
cuma mengangguk-angguk.
Dan beberapa saat setelah beberapa orang bertopeng itu lenyap dikegelapan malam,
wanita itu cuma
bisa menangis terisak-isak. Tak tahu dia kesalahan
apakah yang membuat suaminya diculik komplotan
orang bertopeng itu. Sento tahu jelas kalau laki-laki
brewok bernama Gudri inilah yang telah mengancam
istrinya itu. Bahkan selama dalam perjalanan tak hentinya Gudri menyiksanya,
menendang dan memukul.
"Enak kau ya" Sering dapat hadiah dari Adipati
dan Carik. Sama saja kau telah membantu komplotan terselubung yang merusak wibawa Kerajaan!
Dan bahkan merusak serta merongrong pemerintahan.
Kelak bila kami telah berhasil menggulung dan
membuka selubung mereka, kau bisa terlibat. Dan tali
gantungan siap menggantung lehermu!" bentak si berewok Gudri.
"Hah!" aku tak tahu menahu hal itu!" aku hanya
mengantar surat dari Adipati tanpa membaca isinya!"
sahut Sento meringis-ringis menahan sakit pada pantatnya yang kena tendang.
"Dusta!" Plak! Lengan Gudri telah melayang menampar pipi laki-laki gendut itu
hingga membekas merah. Sento mengaduh kesakitan. Tapi dia tak dapat
berbuat apa-apa selain pasrah pada nasib. "Duduklah,
Sento!" berkata pemuda dihadapannya yang mengenakan topeng hitam membungkus
wajahnya. Pemuda itu
tak lain dari Puja Sangara. Mata Sento sekilas menatap
pada laki-laki itu, lalu menunduk dengan hati kebatkebit.
"Apakah kau tetap membungkam mulut, tak mau
membeberkan rahasia hubungan Adipati Renggo Seto
dengan Carik Kartomarmo?" berkata Puja Sangara
dengan suara datar.
"Am... ampun gusti raden... hamba... hamba benar-benar tak tahu menahu dengan
urusan beliau..."
menyahut Sento dengan tergagap. Wajahnya sejak tadi
sudah pucat pasi karena takutnya.
"Kau berani bersumpah?" tanya sang Ketua komplotan itu.
"Sungguh mati, gusti raden...! Hamba tak tahu
apa-apa..."
Puja Sangara terdiam sejurus. Matanya menatap
pada Sento yang gemetaran dengan keluarkan keringat
dingin disekujur tubuh.
"Baik! Baiklah...! kau kubebaskan!" berkata Puja
Sangara. Seperti mimpi disiang hari rasanya Sento
mendengar kata-kata itu seolah dia tak percaya.
"Oh, hamba... hamba dibebaskan, gusti raden"
Oh, te... terima kasih.....! terima kasih, gusti raden!"
berkata Sento terbata-bata dengan kegirangan yang
luar biasa. Tak ayal dia sudah jatuhkan tubuhnya menyembah laki-laki
dihadapannya itu, dengan ucapkan
terimakasih berkali-kali. Sementara beberapa orang
anak buah Puja Sangara termasuk Gudri saling pandang sesama kawannya, tanpa
berkata apa-apa.
"Gudri! kau antarkan dia kebatas desa!" ujar Puja
Sangara dengan berpaling pada Gudri. Lengan laki-laki
ini bergerak memberi kode dengan Ibu jarinya serta
kedipan mata pada Gudri. Tahulah Gudri apa yang harus dia lakukan.
"Baik, Ketua...! perintah akan hamba lakukan!"
menyahut Gudri. Lalu berdiri seraya menepuk-nepuk
pundak Sento. "Marilah Sento! Nasibmu baik! Kau bisa
berjumpa lagi dengan anak istrimu!" berkata Gudri
yang membimbing Sento bangun dari duduknya.
"Tentu saja dengan syarat!" berkata Puja Sangara.
"kau tak akan membuka mulut dan menceritakan apaapa tentang semua ini.
Jaminannya adalah nyawamu!"
"Tentu...! tentu, gusti raden. Hamba berjanji..."
sahut Sento dengan wajah berseri. Lalu dengan terbungkuk-bungkuk dia menjura
pada Puja Sangara.
Gudri segera mendorongnya untuk segera keluar dari
pondokan rahasia itu.
Langkah Sento semakin cepat ketika mereka telah
keluar dari dalam hutan dengan melalui jalan yang
berliku-liku. Hingga tersembul di perbatasan desa. Kaki Sento berhenti
melangkah. Lalu menoleh pada Gudri
dibelakangnya. "Cukuplah sampai disini saja kau
mengantarku, sobat Gudri. Dan terimakasih atas kebaikanmu mengantar ku..."
berkata Sento. "Ya, ya..... terimakasih kembali! Semoga kau dapat
menjaga mulut, demi keselamatan nyawamu!" ujar
Gudri tersenyum. Sento manggut-manggut seraya berkata. "Akan kuingat selalu
pesan itu, sobat Gudri...!"
Setelah mengangguk sekali lagi, Sento balikkan
tubuhnya untuk segera bergegas melangkah menuju
ke arah desa.

Roro Centil 30 Ninja Edan Lengan Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tempat itu telah dikenalnya, hingga untuk menuju
ke desa Wlingi tak jauh lagi. Gudripun balikkan tubuhnya untuk kembali memasuki
hutan. Akan tetapi
setelah tiba dibelokan jalan setapak, Gudri menyelinap.
Sento terus mempercepat langkahnya. Dia mulai
merasakan hatinya tak enak seperti bakal terjadi sesuatu dengan dirinya.
Sebentar-sebentar dia menoleh ke
belakang. Gudri memang sudah tak tampak lagi. Sudah kembali ke dalam hutan.
Tepat diujung mulut desa, tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat muncul
dihadapannya. Tersirap darah Sento ketika melihat Gudri
berdiri menyeringai dihadapannya dengan menghunus
golok yang berkilatan.
"Hehehe... Sento! Jangan terkejut. Karena sebentar lagi nyawamu akan melayang.
Segeralah berdo'a
sebelum kau berangkat ke Akhirat!" Suara Gudri seperti terdengar Sento bagai
mendengar petir disiang
hari. Seketika pucatlah wajah laki-laki gendut ini. Kakinya melangkah mundur dua
tindak. "Gudri! apa
maksudmu semua ini!" berkata Sento menggetar.
Akan tetapi kata-katanya ditutup dengan sabetan
golok Gudri ke leher laki-laki gendut itu. Gerakan tak
terduga itu dilakukan secepat kilat. Sento yang bertubuh gendut itu dan tak
punya kepandaian apa-apa tak
dapat mengelakkan diri lagi.
Des! Darah memuncrat seketika. Dan tubuh Sento ambruk ke tanah berkelojotan dengan
mengeluarkan suara bagaikan kerbau disembelih. Tak lama tubuh lakilaki gendut
itu terdiam tak berkutik. Nyawanya telah
lepas keluar dari raganya. Gudri tersenyum menyeringai. Lalu membersihkan darah
yang melekat dimata
goloknya kerumput. Dan masukkan lagi senjata pencabut nyawa itu kedalam
serangkanya lagi. Kemudian
dengan cepat dia menyeret tubuh gendut itu kesemak
belukar. Menimbunnya dengan ranting-ranting kayu,
tak lama dia telah keluar lagi dari semak.
"Beres!" berdesis suara Gudri. Sesaat antaranya di
telah kembali berkelebat dan menyelinap untuk kemudian lenyap dikerimbunan
pepohonan. *** TIGA DUA ORANG UTUSAN Puja Sangara telah tiba dipondokan rahasia itu. Tampak Gembeng
menceritakan hasil usahanya memberikan surat kepada Carik Raden
Mas Bei Kartomarmo.
"Bagus! Bersiap-siaplah! Seperti rencana semula
segera kalian menuju ke Puri Kuno. Hari sudah menjelang tengah hari. Senja nanti
kalian sudah siap ditem-
pat persembunyian masing-masing. Sementara aku
akan mengawasi keadaan diluar!" berkata Puja Sangara.
"Kita berangkat sekarang, Ketua?" bertanya Gudri.
"Ya! kau pimpinlah kawan-kawanmu. Tugas ini
kuserahkan padamu untuk meringkus Carik itu. Akan
tetapi ingat! Jangan sampai dia kehilangan nyawa. Dan
tunggu sampai aku datang!" ujar laki-laki muda ini.
Serentak belasan orang-orang berpakaian serba
hitam itu bergegas mengadakan persiapan. Dan tak
lama telah berkelebatan menyelinap untuk menuju ke
Puri Kuno dengan dipimpin oleh Gudri.
Puja Sangara menatap mereka dengan tersenyum.
Tampaknya dia puas dengan apa yang telah direncakannya. Pemuda ini melangkah
masuk ke dalam pondok. Lalu bantingkan tubuhnya dipembaringan bambu
hingga berbunyi suara berderak. Dengan terlentang itu
dia keluarkan sebuah kertas dari balik bajunya. Itulah
surat asli dari Adipati Renggo Seto.
Surat itu bertulisan demikian.
"Carik Kartomarmo!
Hasil kerja orang-orangmu berhasil baik. Penyergapan yang ku lakukan terpaksa
menewaskan beberapa
orang anak buahmu. Terpaksa, karena dalam penyerbuan itu telah ikut serta anak
Tumenggung KANIRAGA.
Dia bernama PUJA SANGARA! Bocah muda itu amat
berbahaya. Tak ada jalan lain, selain melenyapkan dia secepat
mungkin, sebelum rahasia bocor ke telinga Raja!
Atur rencanamu, dan segera hubungi aku melalui
SENTO! Tertanda: Adipati Renggo Seto
"Hm, Adipati keparat! kau takkan dapat membunuhku! Bahkan akulah yang akan
menghancurkanmu!
Termasuk si Carik Kartomarmo. Kelak suatu saat setelah terbukanya rahasia
terselubung kalian!" berkata
mengguman Puja Sangara. Lalu melipat kertas itu dan
masukkan lagi ke celah bajunya. Pemuda inipun tenggelam dalam lamunannya.
Ternyata Puja Sangara adalah anak Tumenggung
KANIRAGA yang baru saja turun gunung setelah tiga
tahun berguru pada seorang tua pertapa kosen dipuncak Gunung CULA BADAK. Sebulan
berada dirumah ayahnya. Sang ayah menyuruhnya menghadap Adipati
Renggo Seto. Sebenarnya Puja Sangara tak berkeinginan menjadi orang Kerajaan.
Tapi karena mematuhi
perintah sang ayah, terpaksa dia menurut kehendak
orang tuanya itu.
Dia diangkat oleh Adipati Renggo Seto menjadi
seorang perwira Kerajaan, dengan pangkat Kepala Prajurit, karena sangatlah tidak
enak Adipati Renggo Seto
pada Tumenggung Kaniraga kalau mengangkat Puja
Sangara menjadi prajurit biasa. ditambah setelah diuji
ternyata Puja Sangara cukup memadai untuk menjadi
seorang kepala Prajurit. Disamping masih muda, juga
berkepandaian tinggi.
Namun yang membuat Puja Sangara penasaran,
adalah dia tak puas dengan sikap Adipati itu yang tak
pernah memberi tugas dalam setiap kesempatan dalam
menggulung kejahatan. Pendeknya pangkat Kepala
Prajurit itu seperti tak berarti apa-apa. Puja Sangara
seolah dirinya tak lebih dari seorang prajurit biasa.
"Apa artinya pangkatku, kalau terus menerus begini?" pikirnya dalam hati pada
waktu itu. Hingga kemudian Puja Sangara mengadu pada ayahnya. Tumenggung
Kaniraga segera menemui Adipati Renggo
Seto untuk membicarakan perihal anaknya. Puja Sangara yang telah berniat keluar
dari keprajuritan terpaksa batalkan niat karena dipanggil oleh Adipati
Renggo Seto. Demikianlah, hingga dia ikut serta dalam
melakukan penyergapan kesarang penjahat.
Dalam pertarungan itu dia berhasil menewaskan
beberapa orang penjahat. Akan tetapi aneh! Dia tak
mendapat tanggapan atau pujian dari Adipati. Bahkan
para tamtama Kerajaan pada pasukannya kelihatan
menjauhi dirinya.
Suatu ketika, dua hari setelah usai pertarungan
dengan kemenangan pihak Kerajaan dan berhasil
menggulung para perampok, dia terpanggil untuk menjalankan tugas dari Adipati
Rekso Seto. Yaitu menyerbu komplotan penjahat yang berada dihutan KALIKI.
Sebagai penunjuk jalan adalah WIRASANCA. Bekas
seorang Kepala Prajurit yang diangkat menjadi tangan
kanan Adipati Rekso Seto.
Ternyata perintah ini adalah jebakan atas dirinya,
dan rencana busuk Adipati Renggo Seto untuk melenyapkan jiwanya. Tengah malam
ketika mereka beristirahat ditepi hutan untuk mengadakan serangan kesarang
penjahat, terjadi serangan mendadak diluar dugaan.
Kemah mereka didatangi belasan orang berpakaian serba hitam. Semua prajurit
tertidur lelap, kecuali dia yang masih duduk diperapian.
Terjadilah pertarungan seru! Puja Sangara harus
berhadapan dengan enam orang berkepandaian tinggi
yang mengincar nyawanya. Bahkan mendesaknya
hingga menjauhi perkemahan. Puja Sangara merasakan keanehan, karena tak
seorangpun lasykarnya yang
terbangun untuk memberi pertolongan membantunya.
Serangan-serangan gencar harus dihadapinya seorang
diri. Untunglah dalam pertarungan yang tak seimbang
itu, Puja Sangara dibantu oleh seseorang yang tak dikenal. Orang itu muncul dan
membantunya bertarung.
Seorang dari para pengeroyok itu melarikan diri setelah yang lainnya tewas.
Namun dia tak dapat berlari jauh, karena si penolong telah menotok tubuhnya.
Sang penolong yang
aneh dan misterius itu berkelebat lenyap tanpa tahu
diketahui siapa adanya.
"Aneh!" siapakah gerangan orang yang membantuku itu?" pikir Puja Sangara. Puja
Sangara ternyata
berotak cerdas. Dia tak membunuh lawannya. Karena
kalau mau, mengapa si penolong tak membunuhnya
sekaligus" Ketika Puja Sangara membuka topeng wajahnya, ternyata dia tak lain
dari WIRASANCA.
"Kau?" tersentak Puja Sangara. "Apa artinya semua ini" katakanlah!" membentak
Puja Sangara dengan amat gusar.
"Jangan bunuh, ampunkan nyawaku, Puja Sangara...!" memohon Wirasanca dengan
wajah pucat. "Baik! aku ampuni jiwamu! katakan siapa dalang
dari semua ini...!" membentak Puja Sangara dengan
tempelkan golok tipisnya ke leher Wirasanca.
"Aku... aku diperintah Kanjeng Adipati..." berkata
gemetar Wirasanca yang bernyali tikus dan takut mati
itu. Dia memang tak turut bertarung. Melihat bermunculan orang misterius yang
membantu Puja Sangara
dan berhasil membunuh kelima konconya, dia segera
melarikan diri. Namun malang nasibnya karena sesosok tubuh bagaikan bayangan
telah mengejar, dan
menotoknya hingga dia tak berdaya.
Tentu saja keterangan Wirasanca membuat Puja
Sangara terkejut. Dari keterangan Wirasanca segera
diketahui kalau perintah Adipati Ronggo Seto hanyalah
sebagai jebakan saja untuk menghabiskan nyawanya.
Kelima orang itu tak lain dari Lima Iblis Kali Gondang.
Diam-diam terkejut hati Puja Sangara, karena dia telah
mendengar nama kelima tokoh golongan hitam itu. Jelaslah sudah mereka adalah
pembunuh-pembunuh
bayaran yang diperalat Adipati Renggo Seto untuk
membunuhnya. Setelah cukup memberi keterangan, Wirasanca
mohon dibebaskan dari totokan dan berjanji akan berpihak pada Puja Sangara.
Namun watak berangasan Puja Sangara tak mengijinkan manusia itu tinggal hidup.
Seketika golok tipisnya berkelebat. Tanpa ampun lagi Wirasanca menggelosor
menemui kematian!
Dengan kemarahan meluap dia berkelebat kembali
ke perkemahan. Didapati belasan prajurit itu telah
berkumpul dalam keadaan bersimpuh dimuka kemah.
Ketika dia muncul, serentak para prajurit itu bersujud
dihadapannya memohon ampun agar tak dibunuh.
Kalau menurutkan hatinya yang sedang gusar, tak
nantinya dia memberi ampun pada belasan prajuritnya
itu. Tapi penjelasan seorang prajurit bernama GUDRI
telah mengendurkan kemarahannya. Mereka memang
tak bersalah. Karena mereka cuma prajurit biasa yang
menjalankan perintah walau tahu tentang rencana
Adipati dan Wirasanca.
Sejak itulah, Puja Sangara memutuskan untuk keluar dari keprajuritan. Dan
belasan prajurit Kadipaten
itu menjadi anak-anak buahnya dan kawan-kawan seperjuangan. Pengikut Puja
Sangara bertambah dengan
masuknya Gembeng si pegawai Carik KARTOMARMO.
Yang masih menjadi pemikiran Puja Sangara itu
adalah si penolongnya. Karena sampai saat ini dia tak
mengetahui siapa adanya dia. Namun dia berkesimpulan sang penolong itu adalah
seorang wanita.
Lama dia termangu diatas balai-balai bambu itu.
Hingga ketika matahari menyorot wajahnya, dia baru
tersadar kalau senja kian menjelang. Puja Sangara cepat bangkit berdiri. Lalu
beranjak menuju bilik kamar.
Setelah menyambar golok tipisnya yang tergantung di
tiang bambu, dia melesat keluar pondok.
Tak lama telah berkelebat lenyap meninggalkan
tempat itu... *** EMPAT BUKAN KEPALANG terkejutnya Tumenggung Kaniraga ketika malam itu telah diserang
oleh sesosok tubuh berpakaian serba hitam. Dia baru saja kembali
dari Kadipaten, menyangkut urusan tugas. Sekalian
menanyakan perkembangan kemajuan anaknya. Dalam pembicaraan mereka yang
berlanjut sampai agak
larut malam itu, Adipati Renggo Seto telah menjamu
Tumenggung Kaniraga dengan makan dan minum.
WHUUT! Kalau saja dia tak cepat mengelakkan diri dengan
gesit, tentu kepalanya akan menggelinding tersabat
putus golok si penyerang gelap itu. "Edan! Siapa kau"!"
membentak Tumenggung ini. Kudanya meringkik ketakutan mengangkat kedua kaki
depannya. Akan tetapi tanpa memberi jawaban, si manusia
berbaju serba hitam itu kembali menerjang. Kilatan golok berkelebat. Akan tetapi
yang diserang ternyata kuda tunggangan Tumenggung Kaniraga. Tak ampun lagi
binatang itu roboh terjungkal dengan suara bergedebugan. Ringkiknya terputus
karena tubuhnya berkelojotan sekarat. Golok itu menebas lehernya hampir sarat.
Namun sang Tumenggung sendiri telah melompat
cekatan dan berhasil selamatkan diri dengan melompat
dari punggung kuda.
Sreek! Tumenggung telah cabut keris pusakanya
dari balik punggung. Sementara si sosok tubuh misterius bagai kilat telah
menerjangnya lagi.
Trang! Trang...! Tringng!
Percikan lelatu api diremang cahaya bulan mengukir udara, ketika dengan gesit
Tumenggung Kaniraga menangkis beberapa kali menahan serangan lawan
yang mengingini jiwanya.
"Keparat! Sebutkan siapa dirimu!" membentak
Tumenggung Kaniraga. Tiba-tiba dia merobah gerakan
silatnya, dari menangkis kini menyerang. Ternyata
sang Tumenggung tua ini memiliki ilmu kedigjayaan
yang cukup lumayan.
Tampaknya si manusia bertopeng hitam itu agak
terkejut melihat perubahan gerakan silat yang menindih sambaran-sambaran


Roro Centil 30 Ninja Edan Lengan Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

goloknya. Bahkan setiap kali
sang Tumenggung tak mau mengalami benturan senjata. Rangsakan Tumenggung
Kaniraga semakin hebat.
Karena dia telah gunakan jurus-jurus serangan andalannya. Sebagai seorang
Tumenggung yang telah banyak pengalaman, Tumenggung Kaniraga telah banyak
berhadapan dengan lawan-lawan tangguh dari bangsa
perampok. Baginya menghadapi pertarungan adalah
sudah hampir sebagian dari hidupnya.
Rasa penasaran laki-laki tua ini adalah dia ingin
tahu siapa wajah dibalik topeng itu. Dan mengapa tahu-tahu menyerang untuk
membunuhnya. "Buka topengmu bangsat tengik!" bentak Kaniraga seraya men-
girim sodokan kaki ke arah ulu hati lawan. Sementara
tinjunya membarengi menghantam tengkuk orang
dengan sedikit menekuk tubuh.
Buk! si penyerang gelap mengaduh disusul terlemparnya tubuh manusia itu beberapa
tombak. Kaniraga cepat memburu. Keris ditangan siap untuk ditempelkan ketengkuk
lawan, dan sebelah lengannya
siap menyambar topeng untuk merenggutnya. Akan tetapi diluar dugaan...
Sssrrrrr! Puluhan jarum berbisa meluruk bagai hujan dari
balik pohon besar. Saat itu Kaniraga sedang dalam
keadaan menyergap lawan. Agaknya serangan maut
dari orang kedua dibalik potion itu takkan dapat terelakkan. Namun pada saat itu
terdengar teriakan memperingati. "Awas, ayah...!"
Itulah suara yang dikenalnya. Suara Puja Sangara.
Dengan gerak reflek sang Tumenggung menghindarkan
diri. Dia memang dapat merasai adanya serangan bokongan dengan mendengar suara
berdesis puluhan batang jarum senjata rahasia mengancam tubuhnya. Tubuh
Tumenggung Kaniraga berguling ketanah, disertai
gerakan memutar keris yang menimbulkan angin tenaga dalam menerpa puluhan jarum
yang meluruk itu
hingga buyar! akan tetapi akibatnya si penyerang bertopeng itulah yang jadi
sasaran. Tak dapat dicegah lagi, manusia itu menjerit parau. Tubuhnya berkelojotan ketika
belasan jarum menembus ke kulit tubuhnya.
Tak lama tubuh itu sudah diam tak berkutik. Mati! Keringat dingin Kaniraga
mengembun ditengkuk.
Nyaris dia mengalami nasib naas kalau tak diperingati
Puja Sangara. Pemuda ini menatap pada sang ayah
dan korban kematian itu. Sesaat keduanya saling pan-
dang. Namun Kaniraga cepat menangkap gerakan melarikan diri sesosok tubuh dari
balik pohon. itulah sosok tubuh si penyerang tadi.
Tumenggung Kaniraga cuma bisa melihat berkelebatnya sesosok tubuh mengejar si
penyerang gelap itu.
Sesaat dia tersadar dari terperangahnya. Sekali
bergerak tubuh Tumenggung melompat ke arah si manusia bertopeng. Dan... Brreeet!
Dia telah menyambar
kain penutup wajah si penyerang yang mengingini jiwanya ini.
Sang Tumenggung cuma bisa melihat wajah seorang laki-laki tak dikenal yang
berkumis lebat berdagu
panjang. "Siapakah orang ini" desisnya dengan kerutkan
kening. Hm, apakah dia pembunuh yang dibayar untuk
melenyapkanku" Apa salahku" Aku jadi agak curiga
dengan Adipati Renggo Seto. Jangan-jangan ada udang
dibalik batu dengan semua ini...!"
Orang tua ini bangkit berdiri. Ketika dia baru mau
masukkan keris keserangka dibalik punggung, terdengar suara berkrosak. Cepat dia
berbalik. Darahnya sudah tersirap akan adanya bahaya lagi. Tapi segera dia
menarik napas lega karena yang muncul adalah Puja
Sangara. "Dia kabur cepat sekali! Syukurlah ayah, kau tak
apa-apa...!" berkata Puja Sangara dengan memandang
girang pada sang ayah.
"Kau tak mengenali orang ini?" tanya Tumenggung
Kaniraga. Akan tetapi belum sempat
Puja Sangara menoleh, tiba-tiba...
BHUSSSSS.....! Asap putih membumbung tepat di hadapan mereka. Dan sesosok tubuh muncul dibalik
asap perden- garkan suara tertawa berkakakan.
"Hahahaha... hahaha... kalian dua manusia ayah
dan anak akan segera mampus! Karena adanya kau
akan menjadi duri di dalam daging yang membahayakan kami." Sesosok tubuh laki-
laki yang juga mengenakan topeng pembungkus kepala sekalipun tubuhnya, berwarna
hitam, membuat keduanya melangkah
mundur dua tindak. "Siapa kau"!" membentak Puja
Sangara hampir berbareng dengan sang Tumenggung.
"Hahaha... panggillah aku si Ninja Edan Lengan
Tunggal!" Seraya berkata lengan manusia aneh ini bergerak.
Dan sekejap ditangannya telah tercekal sebuah pedang
Samurai. Barulah keduanya sadar kalau sosok tubuh orang
ini cuma punya sebuah lengan. Seketika Tumenggung
Kaniraga telah mencabut lagi kerisnya. Sementara Puja
Sangara yang masih mencekal golok tipisnya, segera
slap bertarung untuk melabrak manusia ini. Jelas kalau orang ini adalah orang
bayaran Adipati Renggo Seto! pikir Puja Sangara.
Namun dia tak dapat berpikir lama karena si manusia aneh yang menamakan dirinya
Ninja Edan Lengan Tunggal itu telah menerjang...
Trang! Trang! Trang! Berguling-guling tubuh Puja
Sangara dan Tumenggung Kaniraga menghindari serangan beruntun yang dahsyat itu.
Pedang Samurai si
manusia pencabut nyawa itu berkelebatan menabas
dan menusuk dengan serangan bertubi-tubi. "Hahaha... kalian takkan dapat
menyelamatkan diri!" sesumbar si Ninja Edan Lengan Tunggal dengan suara seram.
Gerakan orang ini memang amat luar biasa cepatnya. Nyaris dada Puja Sangara dan
pinggang Tumenggung Kaniraga terkoyak kalau dia tak cepat
menghindarkan diri.
Kali ini yang dicecar adalah Puja Sangara.
"Hahaha..... Ingin kulihat apakah ilmu silatmu sudah boleh diandalkan untuk kau
memimpin pemberontakan?" berkata Ninja Edan Lengan Tunggal dengan
mendengus. Pedang Samurainya membabat tiga kali ke
arah leher, dada dan kaki. Dengan mengkonsentrasikan panca indranya Puja Sangara
berhasil menghindar. Dua kali lakukan salto dengan lompatan ke belakang, dan
jejakkan kaki ke tanah dengan baik. Terkejut Puja Sangara mendengar kata-kata
itu. Dadanya bergolak karena gusar.
"Pemberontakan?" Apa maksudmu, keparat" Kalianlah yang akan melakukan
pemberontakan. Aku tahu, kau pasti orangnya Adipati Renggo Seto!"
Kalianlah manusia yang merongrong kewibawaan
pemerintah! Aku punya bukti kalau Adipati Renggo Seto bekerja sama dengan kaum
penjahat!" teriak Puja
Sangara. Kali ini dia yang melompat menerjang. Golok
tipisnya berkelebatan mencercah tubuh lawan dengan
jurus-jurus yang amat berbahaya. Namun gerakan si
Ninja Edan Lengan Tunggal memang amat menakjubkan.
Setiap serangan dengan mudah dipatahkan.
Bahkan lengan bajunya dapat digunakan menangkis
atau menyambar lawan tak lebih bagaikan sebuah
lempengan baja yang bisa membuat nyawa melayang
bila mengenai sasaran.
"Hahaha... untuk itulah, maka kau harus mampus, termasuk ayahmu yang bisa jadi
penyakit!" berkata Ninja Edan Lengan Tunggal. Serangan gencar Puja
Sangara punah total. Bahkan kini pemuda itu sendiri
yang harus mati-matian mempertahankan nyawanya.
Sementara Tumenggung Kaniraga yang mendengar
kata-kata itu semakin kuat kecurigaannya pada Adipa-
ti Renggo Seto. Melihat anaknya terdesak dia tak berlaku ayal untuk segera
melompat memberi bantuan.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara melengking
renyah seperti suara seorang wanita.
"Hihihi... serahkan padaku yang muda ini, sobat
Ninja Edan!" Dan sesosok tubuh berkelebat dari cabang pohon kayu. Laki-laki
pakaian serba hitam bertopeng itu tertawa melihat orang yang muncul.
"Hahaha... matamu masih saja hijau kalau melihat
orang ganteng! Apakah kau mau menangkapnya hidup-hidup" Baik! kuserahkan dia
untukmu, Ninja Wadon!" ujarnya.
Pendatang ini memang seorang wanita. Jelas terlihat dari bentuk potongan
tubuhnya. Tentu saja Puja
Sangara melengak melihat orang ini karena jelas sekali
dari bentuk potongan yang telah menolongnya.
Namun dia tak dapat bertanya lagi karena Ninja
Wadon telah menyerangnya dengan pukulan-pukulan
ganas. Desir angin pukulannya saja telah membuat
Puja Sangara mengetahui kalau perempuan ini bertenaga dalam tinggi. Sementara
Tumenggung Kaniraga
telah bertarung dengan si Ninja Edan Lengan Tunggal.
Keduanya terlibat dalam pertarungan yang seru. Karena Tumenggung ini telah
keluarkan seluruh kepandaiannya.
*** LIMA NINJA WADON menyerang gencar membuat Puja
Sangara terpaksa harus mengelakkan diri kesana kemari. Dia agak ragu untuk
mempergunakan goloknya
karena semakin yakin kalau wanita ini adalah orang
yang pernah menolongnya. Yang menjadikan dia terheran adalah mengapa wanita ini
berkomplot dengan si
Ninja Edan Lengan Tunggal. Dan mengapa kini berbalik memusuhi" pikir pemuda ini
dalam benaknya yang
kusut. Ternyata Puja Sangara tak diberi kesempatan untuk buka suara. Karena setiap kali
dia mau buka mulut, tentu si Ninja Wadon segera merangsaknya dengan
pukulan-pukulan ganas. Sebagai murid seorang kosen
Puja Sangara boleh dikatakan berilmu tinggi. Namun
menghadapi si Ninja Wadon ini dia cuma bisa mengelakkan diri tanpa balas
menyerang. Dalam waktu beberapa kejap saja jarak kedua pertarungan itu telah semakin jauh,
karena Ninja Wadon
seperti mendesaknya agar menjauhi sang Tumenggung.
Mengelak terus yang dilakukan Puja Sangara
membuat tenaganya semakin mengendur. Bila di lakukan terus akan berbahaya bagi
dirinya. Demikianlah,
akhirnya Puja Sangara terpaksa lakukan serangan
membalas. Golok tipisnya mulai digunakan untuk menangkis. Dan tiba-tiba dengan
membentak keras tubuh Puja Sangara melompat lima tombak. Lengannya
menghantam ke arah si Ninja Wadon dalam gerakan
menukik. Whuuuk! Krrraak...!
Batang pohon sebesar betis remuk terhantam.
Saat berikutnya dia menerjang dengan lompatan Naga
Sakti menerjang Bukit. Gerakan ini dibarengi dengan
serangan beruntun dari golok tipisnya yang dinamakan
jurus Ombak Laut Menyapu Karang. Jurus istimewa
ini memang luar biasa. Terdengar teriakan tertahan si
Ninja Wadon. Akan tetapi dengan meletik ke atas bagai
ikan dia berhasil menghindari serangan. Tak diduga
serangan berikutnya adalah serangan yang berbahaya.
Karena dia harus menghadapi serbuan serangan maut.
Whut! Whut! Whut! Gerakan kilat golok tipis Puja
Sangara nyaris menabas putus pinggang, perut leher
dan kaki. Dan terakhir...
Prass! Ujung rambut si Ninja Wadon terbabat putus sepanjang satu jengkal, setelah dia
berhasil mengelakkan
serangan maut yang bertubi-tubi itu.
"Ahhh!" Memekik kaget Ninja Wadon. Tubuhnya
bersalto dua kali ke belakang, dan... lenyap dikegelapan serta rimbunnya
pepohonan. "Jangan lari!" membentak Puja Sangara. Tubuhnya melesat memburu ke arah
lenyapnya wanita Ninja
itu. Akan tetapi tahu-tahu dia berteriak kaget ketika
sebuah bayangan menyambar ke arah kaki.
"Ahhh! Bluk!
Puja Sangara tak dapat menjaga keseimbangan
tubuhnya. Karena kakinya kena dicekal orang. Tak
ampun dia jatuh terbanting ketanah. "Hihihi.... pemuda gagah! kakimu tak
bermata!" terdengar ejek si wanita Ninja. Tubuh Ninja Wadon mendadak melompat ke
atas punggung Puja Sangara. Dan disaat pemuda itu
belum berbuat apa-apa, lengan wanita ini telah terjulur menotok.
Puja Sangara cuma bisa perdengarkan keluhan.
Mendadak dia jatuh menggeloso karena rasakan tubuhnya menjadi lunglai.
"Hihihi... Ilmu silatmu cukup hebat. Tapi menghadapiku, kau takkan mampu karena
aku punya seribu
satu macam akal!" berkata wanita Ninja ini. Apakah
selanjutnya yang dilakukan wanita Ninja itu" Ternyata
setelah menyelipkan golok tipis Puja Sangara pada li-
patan ikat pingganggnya, dia memondong tubuh lakilaki itu ke atas pundak. Dan
berkelebat pergi dengan
tertawa mengikik...
Dari balik semak tiba-tiba muncul pula sesosok
tubuh yang berkelebat menyusul membuntuti si Ninja
Wadon. Tempat itu kembali senyap....
Pertarungan Tumenggung Kaniraga dengan si Ninja Edan Lengan Tunggal mencapai
pada puncaknya.
Walaupun orang tua ini memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi namun lawannya kali ini sukar untuk dijatuhkan. Bahkan sang
Tumenggung sempat dibuat terheran, karena terkadang lawan bisa lenyap sukar
diikuti kemana gerakannya. Hingga disatu saat Tumenggung yang malang ini
tersentak kaget ketika pedang
Samurai yang panjang itu tahu-tahu menabas dari
arah samping. Dalam keadaan gawat itu dia sempat jatuhkan diri bergulingan.
Namun... Cras! Sabetan pedang lawan tak terhindarkan lagi, yang selalu memburu
nyawanya. Dada orang tua ini terkoyak. Tubuhnya terhuyung
beberapa langkah.
"Bangsat! ssi... siapa kau sebenarnya...!" masih
sempat dia memaki. Secepat kilat dengan tenaga terakhir dia lontarkan kerisnya
ke arah jantung lawan.
Serangan ini amat berbahaya karena diluar dugaan si
Ninja Edan Lengan Tunggal. Tapi ketika itu juga lengan bajunya mengibas,
dibarengi dengan gerakan pedang menangkis.
Trang!..... Bles! Diiringi jeritan menyayat hati tubuh Tumenggung Kaniraga roboh
terjungkal. Kerisnya
terlempar ke udara terkena sontekan pedang Samurai
si Ninja itu. Sedangkan gerakan mengibas barusan telah meluncurkan dua buah
belati kecil yang tepat menembus perut dan dada sang Tumenggung. Sejenak
setelah hal ini berlangsung, tiba-tiba terdengar bentakan suara seorang wanita.


Roro Centil 30 Ninja Edan Lengan Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iblis keji!" Dan... Whuuuuk! Segelombang angin
menerpa tubuh si Ninja Edan Lengan Tunggal, membuat orang ini terperanjat. Tapi
dengan gesit dia melompat setinggi sepuluh tombak. Dengan gerakan melompat-
lompat dari pohon ke pohon sekejap saja manusia itu telah lenyap!
Sesosok tubuh tiba-tiba muncul ditempat itu yang
berkelebat ke arah sang Tumenggung. "Tumenggung
Kaniraga" Hah! siapa yang telah menyerangmu?" berteriak tertahan orang ini.
Tumenggung Kaniraga menyeringai menahan rasa
sakit. Ketika kelopak matanya terbuka dan melihat
siapa orang dihadapannya, mendadak... napas lakilaki tua ini memburu. Terpancar
rasa girang pada wajahnya. Dia tersenyum. Dan ucapnya dengan suara
terputus-putus. "Nona pe... pendekar RO... RO...
CEN...TIL." Memanglah orang ini tak lain dari Roro
Centil adanya. Roro mengangguk dengan tersenyum.
Sementara diam-diam dia salurkan hawa hangat dari
tenaga dalamnya dan menotok di beberapa urat darah
untuk memberhentikan aliran darah.
Dipandangnya wajah yang tua itu. Wajah yang baru dikenalnya beberapa bulan yang
lalu sejak dia menolong Tumenggung ini dari serbuan para perampok
dihutan Jati Nongko.
"Katakan siapa yang menyerangmu, paman Kaniraga...! Maafkan, aku datang
terlambat..." berkata Roro
dengan menatap haru.
"Mengapa harus meminta maaf, nona Pendekar..."
Kita tak pernah berjanji apa-apa. Dan kau datang...
se... secara kebetulan. Seperti juga pada saat kau menolongku melawan para
perampok dihutan... Jati
Nong...ko..." menjawab Tumenggung Kaniraga dengan
suara lemah. "Yang tahu hal ini adalah anak...ku... Puja Sangara..." sambung Tumenggung ini.
"Ah, seandainya
umurku pan...jang, aku tak menyesal bila punya menantu seperti k..kau, nona
Pendekar Roro..."
Roro cuma tersenyum haru. dia tak dapat berbuat
apa-apa, selain manggut-manggut mendengar apa
yang diucapkan orang tua abdi Kerajaan ini. Selang
sesaat napas laki-laki tua ini kian memburu. Dan
ujarnya dengan terputus. "Ca...carilah, dia... carilah
Puja Sangara. Dan... tolonglah bantu perjuangannya..."
Roro kembali mengangguk-angguk seraya menyahuti.
"Tentu, paman Kaniraga. Aku pasti akan membantunya. Apakah kau mengetahui siapa
yang menyerangmu tadi?" tanya Roro.
"Dia... dia... si Ninja Edan.. Lengan Tunggal..." Setelah ucapkan demikian
lengan orang tua ini mencekal
lengan Roro erat-erat. Lalu tergolek layu. Ternyata dia
telah hembuskan napasnya yang terakhir.
*** ENAM RORO CENTIL termangu-mangu beberapa saat
lama ditempat itu. Bibirnya mengguman,
"Ninja Edan Lengan Tunggal"...
Apa hubungannya dengan si Brewok Lengan
Tunggal?" Lama Roro berpikir, sementara hatinya berkata. "Apakah dia yang telah
melakukannya?". Segera
Roro teringat akan nama Joko Sangit. Dia yang dimak-
sudkan adalah laki-laki itu. Setelah lama tercenung
tanpa bicara apa-apa. Pelahan Roro bangkit berdiri.
Matanya mencari-cari tempat yang baik untuk menguburkan jenazah Tumenggung
Kaniraga. Tiba-tiba dara
Pantai Selatan ini kerahkan tenaga dalam yang disalurkan ke telapak tangan.
Tampak uap putih mengepul diantara jari-jarinya yang mengembang. Tiba-tiba
lengan gadis ini menghantam tanah di bawah pohon
besar itu. Bhlarrr! Tanah menyemburat ke udara. Dan sebuah lubang segera terlihat menguak memanjang.
Hantaman pukulan bertenaga dalam itu telah membuat sebuah
lubang yang cukup dalam. Tak ayal Roro segera pondong tubuh Tumenggung Kaniraga.
Kejap berikutnya
tubuh abdi Kerajaan itu telah dibaringkan didalam lubang. Sejenak setelah
menatap wajah laki-laki tua itu,
Roro segera menimbunnya dengan tanah.
Sebuah cabang kayu digunakan untuk nisannya.
Tak lama setelah menghela napas, Roro segera bertindak meninggalkan tempat itu.
Sepuluh langkah kemudian dia enjot tubuh. Sekejapan saja pendekar wanita
perkasa itu telah lenyap dikeremangan malam.
*** "Mau dibawa kemana aku?" berdesah suara Puja
Sangara dalam pondongan si Ninja Wadon. ketika dia
membuka matanya merasakan tubuhnya berguncangguncang. Tahulah dia kalau berada
dipundak wanita
ini. "Hihihi... tenang sajalah! Pokoknya kau tak usah
khawatir aku membunuhmu cepat-cepat! sahut wanita
ini. Rembulan yang mengambang di langit kelam itu
menerangi jalan yang ditempuh si Ninja Wadon,
Ninja Edan Lengan tanpa dia mengetahui kalau
dia dikuntit oleh sesosok tubuh yang juga sejenis dengannya.
Diujung jalan setapak itu segera terlihat sebuah
kuil. Di pelataran kuil itulah si wanita meletakkan tubuh Puja Sangara. Sejurus
setelah dia mengamati sekitarnya, lalu melangkah masuk ke dalam kuil. Terdengar
dia menguak sebuah pintu. Tak lama tampak ada
cahaya dari dalam ruangan. Ternyata dia barusan menyalakan sebuah pelita dalam
kamar. Tak lama dia keluar lagi. Sementara sosok tubuh
penguntitnya menyelinap ke sisi tembok. Tampaknya
dia seperti ragu untuk mengambil tindakan. Hingga
keburu wanita itu keluar lagi. Puja Sangara cuma merasa tubuhnya diangkat orang.
Dan sesaat dia telah
dibaringkan di atas sebuah pembaringan kayu.
Lampu itu cukup menerangi wajah si Ninja Wadon, ketika dia menyibak topeng
penutup wajahnya.
Ternyata dia seorang wanita yang cantik. Berwajah bulat telur dengan mata yang
membinar menatap pada
Puja Sangara. "Ah, sayang sekali kalau wajah tampan mu terkena pedang Samurai kakak angkatku!
Apalagi kalau kau sampai tewas...!" berkata dia seraya duduk dipembaringan. Lengannya
mengusap wajah Puja
Sangara. "Kau amat gagah, sobat Puja Sangara. Membuat
aku kepincut! hihihi...
bajumu ini sudah bau apek. Baiknya dibuka saja!"
berkata sendiri si Ninja Wadon. Dan tanpa tunggu
waktu lagi segera melolosi pakaian pemuda anak Tumenggung Kaniraga yang cuma
bisa menatap dengan
mata membelalak.
"Apa yang kau mau lakukan, perempuan genit!"
tersentak Puja Sangara ketika lengan wanita itu merabai sekujur tubuhnya. Akan
tetapi sebagai jawabannya
lengan wanita itu menotok urat suaranya. Hingga lakilaki itu cuma bisa berdesis
ditenggorokan. "Pintu ini kurapatkan dulu!" berkata wanita muda
itu seraya melompat ke arah pintu. Dan dengan cepat
dia telah menutup serta memalangnya.
Tampak dia seperti sudah tidak tahan untuk melakukan sesuatu. Lengannya bergerak
membukai pakaiannya sendiri. Selanjutnya dengan tubuh tanpa busana dia mendekati
Puja Sangara. Membelalak mata
laki-laki yang masih tabu pada wanita ini melihat pemandangan dihadapannya.
Sebisanya dia mencari akal untuk melepaskan diri
dari pengaruh totokan. Dia memang mempelajari cara
untuk membuka totokan. Tapi totokan dara ini sukar
dibuka. Mau tak mau dia terpaksa cuma mandah saja
seketika lengan wanita itu menarik celananya hingga
merosot. Belaian-belaian halus membuat sekujur bulu ditubuhnya seperti bangkit berdiri.
Yang terdengar cuma
suara desahan napas si Ninja Wadon yang memburu.
Tahu-tahu Puja Sangara merasakan dua buah benda
lunak yang mempesona itu telah menekan dadanya.
Belaihan tangan terus menelusuri wajah menimbulkan
rasa geli, akan tetapi membuat darahnya bergolak oleh
rangsangan yang hebat. Ketika selanjutnya cekatan
sekali si dara yang sudah dimabuk asmara itu membasahi bibirnya dengan leletan
lidah. Yang kemudian melumat bibirnya dengan lumatan penuh nafsu.
Lengan itu meluncur lagi ke bawah. Gemetar sekujur tubuh Puja Sangara yang baru
sekali ini seumur
hidupnya disentuh seorang wanita. Sementara dibalik
pintu dengan berjingkat sosok. tubuh yang tadi menguntit mendekati celah pintu.
Tampak dia dekatkan
kepalanya ke arah celah. Kamar yang terang oleh cahaya lampu itu menerangi apa
saja yang terlihat dari
celah. Seketika tampak tubuh orang ini gemetar.
Desah demi desah semakin membauri ruangan
kamar. Sebentar-sebentar sosok tubuh ini mengangkat
wajahnya. Tapi kembali mengintip dengan dada berombak-ombak. Akan tetapi tiba-
tiba dia balikkan tubuhnya. Wajahnya tampak memucat seperti mau menangis.
BRRAAAAAK! Dia telah menghantam pintu yang
tertutup itu dengan pukulan tangannya. Tak ampun
pintu berderak hancur. Terdengar suara si Ninja Wadon terkejut. "Bedebah! Siapa
diluar!?" membentak dia.
Wanita yang tengah dibuai asmara ini cepat kibaskan lengannya.
Sekali kibas, padamlah pelita itu. Dan kamar menjadi gelap. Akan tetapi tak ada
sahutan, juga tak ada
tanda-tanda ada serangan dari luar. Ninja Wadon yang
siap menghadapi segala kemungkinan jadi terheran.
Dalam kegelapan dia merangkak ke pintu. Kembali dia
membentak. Tapi yang terdengar cuma suaranya sendiri berpantulan.
"Setan siapa pula yang mengganggu kesenanganku" Apakah si Ninja Edan Lengan
Tunggal?" desis wanita ini yang mengawasi sekitar ruangan.
Walau dia telah memeriksa sekitar kuil tak ada
tanda-tanda adanya orang lain, tapi hal itu telah membuat dia kecewa setengah
mati. Juga menggagalkan
hasratnya yang telah menggebu. Malam itu dilalui si
Ninja Wadon dengan berjaga-jaga didepan pintu kuil.
Sementara hatinya memaki. "Sial dangkalan! Siapa
yang usil menggangguku itu?" bergumam dia dalam
kesenyapan yang kian mencekam. Malampun semakin
melarut. Dan hawa dingin menebar ke tulang sumsum.
Dengan tiada habis-habisnya menggerutu wanita ini
kembali melangkah masuk ke dalam kuil...
Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh kaget, karena
seketika tubuhnya lunglai. Dan... bluk! dia sudah roboh menggeloso ke lantai.
"Ganti aku yang menotok mu, Ninja Wadon!" Selang sesaat terdengar suara seorang
laki-laki. Suara
Puja Sangara. *** TUJUH PUJA SANGARA menyeret tubuh si Ninja Wadon
ke dekat pembaringan. Lalu menggulingkannya ke kolong tempat tidur. Dalam kamar
yang gelap itu Puja
Sangara segera menyusul kelebatan tubuh berpinggang ramping yang baru saja
menyelinap keluar dari
ruangan yang gelap itu.
Fajar baru saja menyingsing ketika dua sosok tubuh itu tersembul diujung jalan
yang menuju ke arah
kota Singosari.
"Aku berhutang budi padamu, nona." berkata Puja
Sangara. Sejak mengikuti berlari dibelakang wanita ini
Puja Sangara baru berani buka suara. "Apa yang kulakukan adalah demi kebaikanmu.
Karena aku tak mau
kau jatuh ke tangan si Ninja Wadon!" menyahut wanita
yang masih mengenakan cadar penutup wajahnya.
Cadar penutup wajahnya yang berwarna biru itu
kini disibakkan. Segera terpampanglah seraut wajah
cantik. Agak terpana Puja Sangara karena wajah itu
amat mirip dengan si Ninja Wadon. "Boleh aku tahu
siapa nama nona" Dan apa hubungannya kau dengan
si Ninja Wadon serta si Ninja Edan Lengan Tunggal"
Juga apakah kau yang pernah menolongku ketika aku
menghadapi pertarungan dihutan Kaliki?" Pertanyaan
Puja Sangara yang beruntun itu membuat si dara cantik ini tersenyum. "Pertanyaan
yang cukup banyak, tapi baik sekali" ucapnya.
"Namaku rasanya telah hampir tak kuingat lagi.
Karena aku cuma disebut si KERUDUNG BIRU! Hubunganku dengan si Ninja Wadon dan
Ninja Edan Lengan Tunggal" Ninja Wadon adalah saudara kembarku,
dan si Ninja Edan Lengan Tunggal adalah ketua dari
komplotan Rahasia yang selama ini sudah bentangkan
sayapnya diperbagai tempat! sahut gadis ini.
"Ha...?" membelalak mata Puja Sangara.
"Apakah komplotan rahasia itu didalangi oleh Adipati Rekso Seto?" bertanya lagi
pemuda ini. Dara ini tatapkan matanya ke puncak bukit.
"Benar... !" sahutnya datar.
Puja Sangara tercenung sesaat. Darahnya kembali
bergolak bila disebut nama Adipati itu.. Dan dia semakin terperanjat mengetahui
begitu besar kekuasaan
Adipati Puja Sangara diluar.
"Keparat! Sudah kuduga! Dan bukti semakin jelas,
bahwa Adipati Rekso Seto akan melakukan pemberontakan pada Kerajaan!" memaki
Puja Sengara. "Nona Kerudung Biru. Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apakah kau yang telah
menolongku ketika aku menghadapi pertarungan dihutan Kaliki?"
"Aku baru pertama kali ini menolongmu. Mengenai
siapa yang telah menolongmu dihutan Kaliki itu aku
tak mengetahui!" sahut si dara Kerudung Biru. Melen-
gak Puja Sangara mendengar jawaban itu.
"Bukan dia?" berkata dalam hati pemuda ini." Jadi
siapakah perempuan kosen yang telah menolongku
itu?" bertanya-tanya dalam hati Puja Sangara.
"Baiklah!" sejurus antaranya Puja Sangara kembali
berkata. "Satu hal lagi yang akan kutanyakan padamu,
nona! Kau adalah orang yang ada dalam keanggotaan
komplotan rahasia itu. Mengapa kau menolongku"
Dan apa maksudmu mengajakku ke tempat ini?"
Sejurus lamanya si Kerudung Biru tak menjawab.
Yang terdengar adalah suara helaan napas berat. Seolah dalam dadanya ada
tertindih suatu masalah yang
sukar untuk dielakkan. Namun tak lama dia membuka


Roro Centil 30 Ninja Edan Lengan Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara. "Aku memang orang komplotan rahasia itu. Tapi
aku tak menyetujui tindakan-tindakan yang dilakukan
orang-orang komplotan rahasia itu. Pendek kata kalau
ada orang yang bersedia membawaku ke tempat yang
amat jauh, aku bersedia mengikuti. Asal aku bisa keluar dari komplotan manusia-
manusia tamak, serakah,
yang berwajah iblis itu. Aku... aku benar-benar sudah
muak dengan tingkah laku mereka!" menyahut gadis
Kerudung biru dengan suara tersendat. Terkejut Puja
Sangara mendengar kata-kata itu.
"Nona... jadi untuk itulah kau membebaskanku?"
tanyanya terheran.
"Ya! apakah kau bersedia membawaku pergi jauhjauh dari tempat ini?" berkata dara
Kerudung Biru dengan menatap Puja Sangara. Wajah itu tampak memelas. Dan sepasang mata bulat
yang indah itu tampak berkaca-kaca. Dihati Puja Sangara segera timbul
perasaan kasihan, salut, juga tak mengerti.
Tak terasa Puja Sangarapun menghela napas, seraya menunduk. Benaknya memikir
keras karena saat
itu dia menghadapi tiga masalah. Masalah kesatu adalah, dia harus mengetahui
keselamatan ayahnya yang
tadi malam bertarung melawan si Ninja Edan Lengan
Tunggal. Masalah kedua, dia harus pula pergi ke Puri
Kuno untuk melihat hasil kerja anak buahnya untuk
menawan hidup-hidup Carik Kartomarmo. Karena dia
harus mengorek rahasia terselubung yang dilakukan
Adipati Rekso Seto dari mulut Carik itu. Masalah kedua itu mungkin bisa
dikesampingkan karena dia bisa
mengorek keterangan dari gadis Kerudung Biru. Akan
tetapi toh dia harus melihat keadaan anak buahnya
yang perlu dijaga keselamatannya.
Masalah yang ketiga adalah dia merasa bertanggung jawab untuk menumpas komplotan
rahasia itu yang didalangi oleh Adipati Renggo Seto. Tiga masalah
itulah yang membuat dia bingung untuk mengambil
keputusan. "Kalau kau tak bersedia, tak mengapalah...!
Tapi mungkin kau takkan pernah mendengar namaku lagi, karena setiap anggota
komplotan rahasia
yang berkhianat, hukumannya adalah kematian!" tibatiba gadis kerudung biru
berkata memecah keheningan. Puja Sangara terkejut melihat dara itu balikkan
tubuh dan berkelebat lari.
"Hai...!" tunggu!" teriak Puja Sangara. Cepat dia
mengejar. Namun si dara cantik tak hentikan gerakan
larinya. Bahkan mempercepat gerakan lari menuju ke
atas tebing terjal.
"Nona Kerudung Biru...! tunggu dulu. Aku akan
beri penjelasan!" teriak lagi pemuda ini seraya menambah kecepatan larinya.
Namun tetap gadis itu tak menoleh. Dia terus berlari cepat dengan terisak-isak.
Beberapa saat saja si dara cantik itu telah tiba diujung tebing. Disana dia
berhenti. Matanya menatap
nanar ke bawah tebing curam.
"Hiduppun sudah tak berguna..." menggumam suara gadis ini.
"Nona..." apa yang kau mau lakukan?" teriak Puja
Sangara dengan wajah pias. Jantungnya berdetak cepat. hatinya membatin
"Jangan-jangan dia mau bunuh diri..."
Tak ayal pemuda ini bergegas mendaki tebing.
"Aku harus mencegahnya!" sentaknya. Akan tetapi terlambat. Baru saja dia
menyembul di puncak tebing, dilihatnya dara Kerudung Biru baru saja melompat
terjun. "Nona...!" Jangaaaan..." teriakan Puja Sangara melengking berkumandang. Sekejap
dia telah enjot tubuh
dengan kekuatan penuh.
Ketika Puja Sangara jejakkan kaki dibibir tebing,
kedatangannya sudah kasip. Suara jeritan gadis Kerudung Biru baru saja lenyap
bersamaan dengan lenyapnya tubuh wanita itu ke bawah tebing yang masih tertutup
kabut. Tertegunlah pemuda ini hingga beberapa saat,
memandangi ke bawah tebing dengan mata membelalak. Sekujur tubuhnya terasa
lunglai. "Ah, mengapa kau berbuat senekad itu, Kerudung
Biru..." mengguman Puja Sangara. Diam-diam dia
amat menyesali tindakan yang diambil si dara cantik
itu. "Begitu kerasnya peraturan yang dibuat oleh komplotan rahasia itu, hingga si
Kerudung Biru harus korbankan jiwanya karena mau melepaskan diri dari
keterikatannya pada komplotan tersebut!" berkata dalam
hati pemuda ini. Ada rasa berdosa dihatinya pada sang
gadis. Membuat lama dia tercenung dipuncak tebing
itu. Namun selang tak lama dia segera menuruni teb-
ing terjal itu. "Aku harus melihat keadaan ayah untuk
mengetahui nasibnya!" desisnya ketika sejenak merandek. Demikianlah. Puja
Sangara segera mengambil keputusan untuk melakukan tindakan selanjutnya. Semakin
menggebu niatnya untuk menumpas habis
komplotan rahasia itu, walaupun di harus korbankan
nyawa untuk itu. Pengkhianatan Adipati Renggo Seto
semakin nyata dengan keterangan yang diperoleh dari
gadis Kerudung Biru.
*** DELAPAN SESOSOK tubuh berkelebat menyambar tubuh
yang meluncur deras ke dasar jurang itu sebelum batu-batu runcing menghabisi
nyawanya. Dan sekejap
saja telah berada dalam pondongannya.
"Aiiiii! nyaris saja kau menemui ajal, nona cantik!
mengapa kau berbuat senekad itu?" terdengar suara
menggumam sosok tubuh itu. Tak lama dia telah tersembul dari asap kabut yang
menyelimuti sekitar dasar jurang. Ternyata sosok tubuh itu tak lain dari Roro
Centil. Gadis Kerudung Biru itu tertelungkup menyampir dipundaknya.
Nasib baik agaknya masih mengikuti diri si dara
cantik Kerudung Biru yang berbuat nekad membunuh
diri dengan terjun ke bawah tebing, karena Roro Centil
si Pendekar Wanita Pantai Selatan telah menyelamatkan jiwanya. Bagaimana sampai
Roro berada di tempat itu"
Ternyata Roro yang malam itu melacak jejak Puja
Sangara, telah melihat dua sosok tubuh yang berkele-
batan berlari-lari ke arah timur. Tentu saja Roro segera
mengikuti mereka. Dengan Aji Halimunan yang dimiliki
Roro kedua orang yang dikuntit itu tidak mengetahui.
Ternyata kedua orang itu tak lain dari Puja Sangara dan si gadis Kerudung Biru.
Demikianlah, hingga
Roro berhasil mengutip pembicaraan mereka, hingga
ketika terjadinya ke peristiwa bunuh diri si dara cantik
Kerudung Biru tidaklah luput dari mata Roro. Disaat
dara itu terjunkan diri, Roro segera bertindak cepat
untuk menyelamatkan nyawa si gadis.
Tampak Roro merandek sejenak untuk melakukan
tindakan apa yang akan dilakukan. Tiba-tiba dia tersenyum. Dan... Whusssssss!
Tubuh Roro bagaikan angin lewat meluncur kembali ke puncak tebing. Gerakan
melompat bagai terbang yang dimilikinya adalah warisan gurunya yang
terakhir yaitu si Manusia Gurun Pasir.
Puja Sangara yang tengah bergegas menuruni
puncak tebing baru saja jejakkan kaki didataran rendah. Segera dia tentukan arah
yang bakal di tempuh.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa berkakakan di iringi dengan
tersembulnya dua sosok tubuh.
Membelalak mata pemuda ini melihat siapa dihadapannya. Ternyata tak lain dari Si
Ninja Edan Lengan
Tunggal dan si Wanita cabul Ninja Wadon. Melihat
adanya wanita itu yang bersama Ninja Edan Lengan
Tunggal, tahulah Puja Sangara kalau si wanita itu telah ditolong oleh si Ketua
Istana Kumala Putih 13 Imbauan Pendekar Karya Khu Lung Rahasia Hiolo Kumala 21
^