Orang Orang Lembah Terkutuk 1
Roro Centil 10 Orang-orang Lembah Terkutuk Bagian 1
SATU LAKI-LAKI ITU BEKERJA TEKUN SEKALI...
Mata pahatnya menetak batu hitam memben-
tuk patung aneh berbentuk seorang manusia berkepa-
la kambing. Patung terbuat dari batu hitam itu adalah pesanan seseorang yang
dikerjakannya dengan upah
cukup besar. "Hehe... hampir selesai! Tak lama lagi aku akan menerima upah ku sebagian lagi!"
bergumam MANGUNTO dengan bibir tersenyum-senyum. Tapi sambil
lengannya tak berhenti menetak batu membuat ukiran
pada bagian kepala arca, Mangunto berkata dalam ha-
ti. "Hm, entah untuk apa Raden GAYO memesan
patung demikian aneh...." Huh! tapi tak perduli untuk apa. Yang penting aku
telah membuatkan-nya, dan
aku menerima upah cukup lumayan untuk menyam-
bung hidupku..."
Mangunto terus bekerja dengan tekun. Dan dua
hari kemudian, maka selesailah arca batu hitam aneh
itu. Mangunto membungkus arca berbentuk manu-
sia berkepala kambing dalam sikap bersila itu dengan selembar kain kasar
berwarna hitam. Kain itu sudah
lama disimpan dalam lemari pakaiannya. Kain kuno,
tapi kuat. Sejenak Mangunto teringat dari siapa kain hitam itu.
"Haih! Melihat kain ini aku jadi teringat pada
jaman aku masih muda..." desis Mangunto. Saat itu Mangunto memang telah berusia
sekitar empat puluh
tahun lebih. Zaman dimana Mangunto masih muda
adalah masa yang sangat mengesankan bagi hidupnya.
Dia hidup sederhana disamping isterinya yang
sangat dicintainya. Wanita itu bernama PRAMITA. Se-
bagai menantu seorang Tumenggung, tentu kehidupan
mereka cukup layak. Mangunto sendiri bekerja sebagai petani yang rajin menggarap
sawah. Sehingga hasilnya melimpah, disamping dia dan isterinya sangat hemat
dan pandai menabung.
Mangunto dan isterinya dikaruniai seorang
anak laki-laki. Kehadiran PRAGUNO si kecil itu me-
nambah kebahagiaan rumah tangga mereka.
Bila sepulang dari sawah, Mangunto bergegas
untuk melihat anak laki-lakinya itu. Praguno ditimang-timang dengan tertawa-tawa
gembira. Terkadang dia
menyanyikan lagu Kidung untuk anaknya. Lagu Ki-
dung itu berupa syair yang menguraikan tentang isi
kehidupan. Juga rasa syukur pada Ilahi atas karu-
niaNYA yang telah dilimpahkan pada mereka.
Bila Mangunto selesai menyanyikan lagu Ki-
dung, maka tak lama si kecil Praguno akan tertidur le-lap. Tampaknya dia senang
sekali mendengar ayahnya
menyanyikan senandung Kidung itu.
Perang memang kejam! Ketika terjadi pembe-
rontakan, semua kebahagiaan itu lenyap. Isterinya tewas membunuh diri, karena
mempertahankan kesu-
cian dirinya. Dan anak laki-lakinya lenyap entah ke-
mana. Desa-desa dibumihanguskan. Pemberontakan
liar itu padam setelah memakan banyak korban. Tu-
menggung Brajananta tewas dalam pertarungan mela-
wan pemberontak. Dan... dia hanya terpaku dengan
mata membelalak, menemukan rumah tempat tinggal-
nya telah jadi puing.
Ketika terjadi peristiwa itu, Mangunto sedang
pergi ke seberang lautan. Mangunto memang telah me-
rencanakan untuk membuka hutan di tanah seberang.
Tapi ketika kembali untuk membawa anak isterinya ke
tanah seberang yang telah di tinjaunya, ternyata kea-
daan telah berubah!
Mangunto pergi meninggalkan desanya untuk
mencari jejak Praguno, si kecil yang baru berusia tujuh-delapan tahun itu. Dalam
pengembaraannya dia
berjumpa dengan seorang pemahat batu, bernama Ki
SONGGO BHUWONO. Mangunto tertarik untuk mem-
pelajari cara memahat dan mengukir batu. Ternyata
dia berbakat! Dan jadilah dia seorang pemahat patung.
Walau hasilnya tak seberapa, tapi karya-karyanya ba-
nyak didapati di candi-candi sekitar tanah jawa.
Selama itu Mangunto tetap tak dapat menemu-
kan jejak PRAGUNO. Laki-laki itu pasrah pada nasib!
Dia tak lagi memikirkan anaknya yang hilang tak tentu rimbanya. Kini dengan
bekal kepandaiannya dia bisa
hidup untuk sekedar mengisi perut dan menyambung
hidup, disamping bertambahnya pengalaman hidup-
nya. Kain hitam itu adalah pemberian Ki Songgo
Bhuwono. Orang tua itu memberikannya pada Man-
gunto sebagai kenang-kenangan. Sebelum dia pergi
sempat berkata. "Mangunto! Simpanlah kain ini untuk kenang-kenangan dariku.
Siapa tahu nanti ada gunanya!" Mangunto mengucapkan terimakasih, seraya berkata.
"Bapak Songgo Bhuwono...! Budi baikmu tak
dapat kulupakan seumur hidupku. Dengan aku bisa
memahat, membuat arca adalah karena bimbingan
mu. Dengan kesibukan itu, aku dapat melupakan ke-
sedihan ku selama ini. Entah bagaimana aku dapat
membalasnya" Haih...! semoga Yang Maha Kuasa
membalas budimu dan kau selama dalam perjala-
nan..." "Sudahlah Mangunto... jangan pikirkan apa-apa! Kau telah membalas budi
ku dengan Kidung mu!
Syair Kidung mu bagus, menggugah perasaan dan
membangkitkan semangat hidup! Karena itulah aku
senang mengajari kau cara memahat membuat arca.
Tapi hanya itu yang bisa aku wariskan padamu. Nah,
selamat tinggal, Mangunto! Semoga Tuhan Membimb-
ing setiap langkahmu..."
Mangunto manggut-manggut dengan setitik air
bening mengembang di sudut pelupuk mata. Dan... Ki
Songgo Bhuwono tahu-tahu gaib. Lenyap dari pandan-
gan mata. Tentu saja hal itu membuat Mangunto terbela-
lak, dan tertegun mematung seperti tak percaya pada
penglihatannya.
"Aneh...!" Siapakah sebenarnya Ki Songgo
Bhuwono itu" Apakah dia seorang Dewa yang turun ke
bumi" Atau... ah, aku tak tahu... Tapi kain hitam ini akan kusimpan sebagai
tanda kenang-kenangan seumur hidupku..." bergumam Mangunto. Diciuminya
kain pemberian Ki Songgo Bhuwono itu dengan air ma-
ta haru dan bahagia.
Demikianlah, Mangunto menyimpan kain hitam
itu hingga sampai saat ini. Dan baru hari ini dipergunakannya untuk membungkus
patung aneh yang di-
buatnya, untuk dibawa ke rumah si pemesan...
Mangunto tersadar dari lamunannya ketika me-
lihat Matahari telah mulai condong ke arah barat. Bergegas dia merapikan
buntalan kain hitam berisi patung manusia berkepala kambing itu. Kemudian
menggem-bloknya di belakang punggung. Setelah menutup pintu
rumah, dan menguncinya sekalian, Mangunto segera
melangkah keluar halaman.
"Mudah-mudahan Raden Gayo tak sedang be-
pergian. Aku bisa terima bayaran malam ini juga...!
Dan malam ini juga aku akan menginap di BALURAN.
Haha... sudah lama aku tak mengecap dan mencium
wanginya arak mak Gembrot!" Mangunto tersenyum-
senyum membayangkan acara malam nanti.
Lalu melangkah cepat ke arah timur menyusuri
jalan setapak....
*** DUA SUATU KEANEHAN TERJADI PADA DIRI MAN-
GUNTO... Karena mengejar waktu agar dapat tiba di
Baluran tak terlalu malam, Mangunto mempercepat
langkahnya. Akan tetapi aneh! Dia merasa langkahnya
ringan. Bahkan beban berat yang menggemblok di
punggungnya terasa ringan seperti memanggul sebun-
talan kapas saja. Hal itu belum terasakan oleh Man-
gunto, karena benaknya terus memikir mengenai lang-
kah-langkah selanjutnya.
Dia telah merasa bosan menetap di wilayah itu.
Mendadak saja ketika melintasi sebuah belokan di sisi hutan, dua sosok tubuh
berkelebat dari semak belu-kar, dan menghadang langkahnya.
"Berhenti!"
Bentak salah seorang dengan menyilangkan se-
batang golok besar bermata lebar. Laki-laki ini bertubuh gempal, berkumis tebal
mengenakan baju dan ce-
lana warna gelap. Sedangkan yang seorang lagi bertu-
buh agak pendek, berkepala botak. Tubuhnya lebih
kekar dari laki-laki kawannya.
"Siapa kalian?" tanya Mangunto dengan keheranan, karena tahu-tahu dua orang
telah mengha- dangnya. Langkahnya terhenti, dan kakinya agak me-
nyurut mundur. Si laki-laki pendek berkepala gundul tertawa
menyeringai sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
plontos. Dari bagian belakang punggungnya tersembul
gagang senjata.
"Hehehe... tinggalkan buntalan yang kau bawa
itu. Dan kau boleh pergi dengan aman!" menyahut la-ki-laki ini.
"Benar! tak usah banyak tanya-tanya segala!
Turut kata-kata kawanku kalau kau sayang jiwamu!"
timpal si kumis tebal dengan memutar-mutar golok be-
sarnya. Tentu saja Mangunto mendelikkan matanya,
seraya membentak marah.
"Huh! kalian ini rupanya tukang-tukang begal
bermata buta! Barang dalam buntalan ini bukan ba-
rang berharga, dan tak ada gunanya buat kalian. Lebih baik kalian minggir dan
beri aku jalan...!"
"Haha... barang apapun dalam buntalan kain
hitam itu, bukan soal. Yang penting segera tinggalkan buntalan itu, dan kau
boleh pergi dengan aman!" berkata si laki-laki kumis tebal dengan tertawa
dingin. "Gila orang-orang ini?" sentak Mangunto dalam hati. Melihat kilatan cahaya golok
besar yang melintang di hadapannya hati Mangunto mencelos. "Apakah aku harus
menunjukkan bahwa buntalan ini berisi patung yang tak berguna buat mereka?"
Sementara itu dua laki-laki itu mulai tak sabar,
dan kembali membentak.
"Cepat tinggalkan barang itu, atau golokku
yang akan bicara?" bentak si kumis tebal.
"Biar aku yang memberi pelajaran pada manu-
sia bandel ini!" kata si pendek kepala botak. Dan...
dengan langkah lebar dia maju mendekati Mangunto
yang berubah pucat wajahnya.
"Tunggu! Akan kubuka buntalan ini di hadapan
kalian, agar kalian mengetahui apa isinya!" kata Man-
gunto. Sesaat kedua laki-laki itu saling pandang.
Tampaknya si laki-laki pendek kepala botak minta
pendapat kawannya. Si kumis tebal melintang itu
memberi isyarat dengan kedipan mata pada si pendek
gundul. Laki-laki ini tersenyum, seraya berkata. "Baiklah ! Kuberi kesempatan
kau membuka buntalan kain
itu. Apakah isinya benar-benar bukan barang berhar-
ga?" Tanpa ayal segera Mangunto membuka kain
buntalannya. Dua laki-laki pembegal itu tampak tertegun me-
lihat sebuah arca terbuat dari batu hitam berbentuk
aneh yang berada dalam buntalan kain tersebut.
"Hm, akan kau bawa kemana benda itu?" tanya si pendek heran.
"Aku akan mengantarnya ke rumah Raden
Gayo!" sahut Mangunto sambil membungkus kembali patung batu hitam itu. Kemudian
bangkit berdiri.
"Nah! berilah aku jalan! Kalian sudah melihat
bahwa barang yang kubawa tak berguna buat kalian!"
kata Mangunto dengan hati penuh kemenangan. Dua
laki-laki pembegal itu tak berkata apa-apa. Mereka
membiarkan Mangunto lewat dengan langkah lebar.
"Eh. DOKOH SIMBURU! Kau dengar tadi dia
menyebut-nyebut nama Raden GAYO?" bertanya si
kumis tebal pada si pendek kepala gundul.
"Ya! aku dengar! Bukankah Raden Gayo yang
dimaksud adalah orang ternama yang tinggal di Balu-
ran?" tukas si pendek.
"Kukira begitu..." menyahut si kumis baplang kawannya. Si pendek kepala gundul
berpikir sebentar.
Lalu berkata dengan berbisik.
"Hm, kalau patung itu barang pesanan Raden
Gayo, tentu barang berharga. Dan kalau barang ber-
harga tentu bukan sedikit imbalannya..." Keduanya kasak-kusuk beberapa saat. Tak
lama si kumis baplang tersenyum menyeringai.
"Bagus! Barang itu tak boleh kita lewatkan be-
gitu saja!"
"Benar! Mari kita kejar dia...!" tukas si pendek botak. "Baik! langsung saja
kita habisi dia. Dan kita yang mengantar benda itu ke rumah Raden Gayo!" ka-ta
si kumis tebal.
Dan... berkelebatlah kedua pembegal ini menge-
jar Mangunto. Saat itu Mangunto sedang tersenyum-senyum
selepas lolos dari cengkeraman dua orang begal. Dia
tak mengetahui kalau bahaya maut kembali mengejar-
nya. Tahu-tahu terdengar bentakan di belakangnya.
"Berhenti!"
Tentu saja bentakan itu membuat Mangunto
terlonjak kaget. Seketika wajahnya berubah pucat pias, karena dua pembegal tadi
tahu-tahu telah berada di
belakangnya. "Apa yang kalian inginkan?" tanya Mangunto dengan suara agak menggetar. Kedua
laki-laki pembegal itu tertawa menyeringai.
"Haha!.. aku inginkan benda itu!" kata si pendek gundul.
"Hah!" bukankah ..."
Tapi kata-kata Mangunto terputus, ketika den-
gan gerakan cepat si laki-laki pendek kepala gundul
mencabut senjatanya dari balik punggung, dan kilatan mengandung maut menyambar
ke arah lehernya.
Suatu hal yang aneh tiba-tiba saja dialami
Mangunto. Tahu-tahu si pendek kepala gundul menje-
Roro Centil 10 Orang-orang Lembah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rit panjang. Tubuhnya terlempar bagaikan terdorong
oleh suatu tenaga yang tak kelihatan. Hingga laki-laki itu terlempar berguling-
guling. Tentu saja hal itu
membuat Dokoh Simburu tersentak kaget. Laki-laki
pendek kepala botak ini merasa satu tenaga dahsyat
berhawa panas telah menyambar tubuhnya. Badik di
tangannya nyaris terlepas dari genggaman tangannya.
*** Sebaliknya Mangunto sendiri terheran-heran.
Karena di saat bahaya maut mengancam jiwanya, dia
sudah pasrahkan dirinya pada nasib. Bagi orang yang
tak berkepandaian apa-apa seperti dirinya, mana bisa mengelakkan serangan yang
demikian tiba-tiba" Akan
tetapi aneh! Mengapa tahu-tahu si pendek kepala gun-
dul tahu-tahu terlempar bergulingan".
Lain halnya dengan si kumis tebal bernama
BRONCO. Dia tertegun beberapa saat. Sungguh tak
disangkanya sama sekali kalau Mangunto yang tam-
pak tak punya kepandaian apa-apa itu memiliki tenaga dahsyat yang mampu membuat
terlempar tubuh kawannya.
Detik itu juga dia mencabut golok besarnya.
Wajahnya berubah merah padam.
"Bagus! ternyata kau memiliki ilmu kepan-
daian" Tapi kau tak akan lolos dari kematian!" bentaknya menggeledek.
Golok besarnya menyambar ke arah Mangunto.
Mangunto terkesiap kaget. Tanpa disadari kakinya me-
langkah menghindar. Dan di luar kemauannya tahu-
tahu kakinya menendang.
PLAK! BRONCO terkejut. Sambaran kaki Mangunto
meluncur seperti kilat. Tahu-tahu dia berteriak kesakitan. Pergelangannya.
terasa dibentur oleh sebuah palu
besi. Tubuhnya terhuyung ke belakang, dan golok ter-
lempar mencelat ke udara.
Lagi-lagi Mangunto terkejut. Hatinya tersentak
kaget. "Aneh...!" mengapa bisa terjadi begini?" berkata Mangunto dalam hati.
Akan tetapi Mangunto tak berpikir lebih jauh lagi. Segera dia balikkan tubuh dan
berjalan cepat meninggalkan dua orang itu yang dalam keadaan terlongong saling
pandang, dengan wajah pucat.
"Sial benar nasib kita! Ternyata dia bukan ma-
kanan empuk!" berkata si kumis baplang dengan menyeringai sambil mengurut
pergelangan tangannya
yang bengkak dan tampak membiru.
"Sial apanya!" gerutu si pendek kepala botak.
"Masih untung dia tak turunkan tangan membunuh
kita!" Laki-laki ini kebutkan bajunya yang kotor.
"Hayo, kita pergi dari sini?" katanya.
"Tunggu...!" sahut Bronco, seraya beranjak menjumput goloknya yang tertancap
disela batu. Kemudian kedua begal apes itu segera lenyap dari tempat itu...
*** TIGA RADEN GAYO TERSENYUM GIRANG.. Arca ba-
tu hitam berbentuk manusia berkepala kambing itu
dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Benda itu dile-
takkan di atas meja.
"Bagus! cocok dengan pesanan Guru...! Hm, be-
sok segera kubawa ke tempat Guru. Ya! besok! Kukira
sudah terlalu lama Guru memesannya, dan baru hari
ini pesanan itu selesai dibuat...!" Raden Gayo menggumam sendiri, sementara
matanya tak puas-puas
mengamati arca batu berbentuk aneh itu.
Sesaat antaranya laki-laki muda berusia antara
dua puluh lima tahun ini beranjak menuju ke
lemari kayu jati berukir disudut ruangan kamar. Dari dalam laci lemari dia
menjumput sebuah buntalan
kain kecil yang memperdengarkan bunyi gemerincing
ketika lengannya menjumputnya.
"Aku telah menyediakan separuh lagi upah
buat pak Mangunto. Dan dia akan menerima upah je-
rih payahnya...!" kata Raden Gayo dalam hati.
Tak lama dia beranjak melangkah keluar dari
ruangan kamar. Dilihatnya Mangunto masih duduk
menanti di teras depan gedung sambil menopang dagu.
Lengannya memegang kain hitam bekas pembungkus
patung yang telah dilipatnya.
Melihat kemunculan Raden Gayo, laki-laki be-
rusia lima puluhan tahun ini bangkit berdiri. Wajah-
nya menampilkan kecerahan. Dan seulas senyum ter-
sungging disudut bibirnya.
CRING! Raden Gayo meletakkan bungkusan kain kecil
berisi uang logam itu di depan Mangunto, seraya ber-
kata. "Terimalah sebagian lagi upah mu, pak Mangunto!" "Ah, terimakasih,
Raden..." sahut Mangunto seraya ulurkan tangannya menjumput uang dalam bun-
talan kecil di hadapannya. Mangunto masukkan kan-
tong uang itu ke sela bajunya, berikut kain hitam bekas pembungkus patung.
Kemudian bungkukkan tu-
buh menjura. "Aku tak lama, Raden..."katanya mohon pamit.
"Hari sudah malam. Apakah kau tak sebaiknya
menginap saja, pak Mangunto" Di belakang ada kamar
kosong kalau kau mau menginap kata Raden Gayo.
"Terimakasih, Raden...! Aku ada sedikit keper-
luan. Biarlah aku puking saja!" sahut Mangunto meno-lak. Dia sudah berniat
mengunjungi kedai Mak Gem-
brot di kota Baluran. Rasanya wangi arak telah ter-
cium di ujung hidungnya, dan dia sudah merencana-
kan untuk menginap di kedai yang sekaligus juga tem-
pat penginapan itu. Mangunto memang pernah tinggal
di kota itu selama beberapa bulan.
Raden Gayo tak bisa menahan lagi. Dia men-
gangguk dan berkata.
"Kalau begitu, baiklah...! Oh, ya! harap kau
berhati-hati. Kalau ada apa-apa laporkan saja pada-
ku!" Mangunto mengucapkan terimakasih. Kemu-
dian segera beranjak keluar gedung dan meninggalkan
tempat itu dengan langkah cepat.
Raden Gayo menatap kepergian laki-laki tua itu
hingga lenyap dari pandangan matanya. Lalu beranjak
masuk ke ruang dalam...
*** NIAT MANGUNTO UNTUK menginap dan mi-
num arak di kedai Mak Gembrot disudut kota Baluran
diurungkan. Mangunto teringat kejadian siang tadi ketika dirinya dihadang oleh
dua orang begal-yang men-
ginginkan patung yang dibawanya. Di kedai itu jelas bukan sedikit orang-orang
yang berkunjung. Diantaranya tentu terdapat pula dua begal itu. Seperti
diketahuinya, kedai Mak Gembrot memang terkenal den-
gan arak wanginya, dan menjadi tempat persinggahan
pelbagai golongan manusia.
Mangunto melupakan Mak Gembrot dan ke-
dainya. Dia bergegas melangkah menyusuri jalan un-
tuk kembali pulang ke rumahnya. Di langit sepotong bulan mengambang. Cuaca agak
remang, cukup lumayan untuk menerangi jalan yang dilaluinya.
Sementara dalam melangkah benaknya memi-
kir. "Hm, aku khawatir dua begal itu berada disana.
Kalau mereka melihatku tentu besar resikonya.
Manusia seperti mereka banyak kawannya,
dan... kalau terjadi keributan belum tentu aku bisa
menolong diriku. Apakah kekuatan aneh yang telah
menyelamatkan diriku itu bisa muncul lagi?"
Mangunto bingung memikirkan, dari mana asal
nya kekuatan aneh yang mampu membuat kedua
pembegal tadi terlempar. Dan suatu hal yang sangat.
aneh adalah tahu-tahu kakinya menendang tanpa dia
sendiri berniat menggerakkan kaki.
Mendadak angin berhembus keras. Awan hitam
bergulung-gulung di langit. Dalam beberapa saat saja cahaya bulan lenyap. Dan
kegelapan merambah alam
sekitar tempat itu. Langitpun gelap pekat!
Mangunto bergegas setengah berlari memper-
cepat langkahnya. Ada perasaan aneh menyelinap di
hati Mangunto. Hatinya berkata.
"Cuaca tiba-tiba berubah sedemikian cepat.
Apakah akan turun hujan lebat?" Mangunto berlari-lari di jalan setapak menembus
kegelapan... *** SEMENTARA ITU keadaan di rumah kediaman
Raden GAYO... Suatu kejadian aneh telah terjadi di
kamar laki-laki muda anak seorang saudagar kaya
yang masih famili orang Kerajaan itu. Ketika Raden
Gayo tertidur pulas di kamarnya, sesuatu telah terja-di...
Ketika Raden Gayo tengah asik memperhatikan
patung batu hitam berbentuk aneh itu, tiba-tiba hati laki-laki ini tersentak.
Cuaca buruk di luar telah
menghempaskan daun jendela yang belum sempat di-
tutupnya. "Ah, angin bertiup keras sekali...! Aku lupa menutup jendela !" desisnya, seraya
beranjak cepat ke sisi ruangan. Lalu menutup jendela dan menguncinya.
"Cuaca di luar gelap sekali. Apakah mau turun
hujan?" berkata Raden Gayo dalam hati. Di saat laki-laki itu menutupkan jendela
kamar, ada angin bersyiur yang menyusup masuk ke ruangan kamarnya.
Syiuran angin itu lenyap di sekitar meja, dima-
na Raden Gayo meletakkan patung aneh pesanan Gu-
runya. Sesuatu telah terjadi! Patung aneh itu tampak bergetar. Dan sebersit
sinar tampak memancar pada
mata arca. Tapi cuma sesaat. Cahaya aneh pada mata
arca batu hitam itu lenyap, ketika Raden Gayo memba-
likkan tubuh setelah menutupkan daun jendela, dan
beranjak lagi ke arah meja.
Karena besok akan pergi mengantarkan arca
itu, Raden Gayo bersiap-siap untuk tidur. Dia men-
gambil selembar kain dari dalam lemari, kemudian di-
pergunakan untuk membungkus patung itu.
Ada perasaan aneh menyelinap di hati Raden
Gayo. Entah mengapa jantungnya berdebar ketika
membungkus benda itu. Darahnya seperti mengalir le-
bih cepat. Sepertinya benda itu punya pengaruh hebat
yang membuat darahnya bergolak. Raden Gayo tak
menyadari hal itu. Dia cuma menyadari keadaan di-
rinya dalam ketegangan.
Karena besok harus mengantar benda itu pada
gurunya. Peristiwa apa yang bakal dihadapi besok dia
tak mengetahui. Yang jelas dengan patung itu gurunya telah merencanakan sesuatu
untuk suatu kepentin-gan. Kepentingan apakah yang direncanakan gu-
runya itu hanya akan diketahui besok, setelah dia
mengantarkan arca berbentuk aneh itu.
Raden Gayo lemparkan tubuhnya ke pembarin-
gan. Hawa dingin menebar dalam ruangan kamar. An-
gin keras di luar masih menghempas-hempas. Pemuda
ini tarik kain selimut dan membuntal tubuhnya.
Tak berapa lama kemudian sudah terdengar
dengkurnya... *** EMPAT SIANG ITU UDARA PANAS TERIK... ketika seo-
rang penunggang kuda lewat di jalan desa dengan se-
cepat terbang, meninggalkan debu mengepul di bela-
kangnya. Siapa adanya si penunggang kuda itu adalah
Raden Gayo adanya. Pemuda ini tampaknya tak mau
berlama-lama untuk mengantar area aneh itu. Benda
dalam buntalan kain warna kuning itu diikatkan di
punggung kuda. Tak berapa lama Raden Gayo sudah tiba di sisi
perbukitan. Dia terus membedal kuda bagai di kejar
setan, dan terus menuju ke arah timur... Seekor elang mendadak muncul dari balik
tebing batu. Burung
elang itu tiba-tiba menyambar Raden Gayo dengan
memperdengarkan suara mengiyak.
Tentu saja hal itu membuat laki-laki ini terpe-
ranjat setengah mati. Secara tak sengaja dia telah me-
nahan gerakan lari kudanya. Binatang tunggangannya
meringkik panjang dengan mengangkat kedua kaki de-
pan. Raden Gayo bungkukkan tubuhnya menghindari
sambaran elang ganas yang menyerangnya secara tiba-
tiba. "Burung keparat!" maki Raden Gayo dengan wajah berubah merah. Detik itu
juga dia telah melompat dari punggung kuda.
Burung elang itu terbang memutar. Kemudian
kembali menukik, dan menyambar kepala Raden Gayo.
Akan tetapi laki-laki ini telah siap. Sebelah lengannya bergerak menghantam
dengan diiringi bentakan gusar.
"Mampuslah kau keparat!" Akan tetapi pukulannya mengenai tempat kosong, karena
binatang itu telah melesat ke samping. Tahu-tahu menukik me-
nyambar dari arah belakang.
Sepasang kakinya siap mencengkeram ke leher.
Raden Gayo terkesiap. Dia balikkan tubuh dengan ce-
pat. Lagi dia hantamkan pukulannya dengan berteriak
marah. Untuk kedua kalinya serangannya luput...! Bi-
natang itu terbang membumbung. Lalu terbang berpu-
tar-putar. Raden Gayo mengikuti putaran burung
elang itu. Burung Elang itu cukup besar dan tampak-
nya melebihi besarnya elang biasa. Putaran elang se-
makin cepat, dan semakin dekat. Mendadak kembali
burung elang meluncur menyambar. Gerakan samba-
ran yang begitu cepat itu dan secara tiba-tiba mem-
buat Raden Gayo tersentak. Kali ini Raden Gayo me-
nyerang dengan beruntun. Dua sambaran keras melu-
ruk ke arah burung Elang itu. Serangan pertama lolos, tapi serangan berikutnya
tak mungkin kalau tak mengenai sasaran.
Akan tetapi sebelum pukulan Raden Gayo
menghantam elang itu, tahu-tahu ada hembusan an-
gin yang menyambar, dan... selamatlah binatang itu
dari kebinasaan. Karena pukulan tenaga dalam pemu-
da itu tersampok mental ke arah samping.
Terdengar suara suitan panjang dua kali. Bu-
rung Elang yang terbang membumbung itu menukik
ke balik batu di atas tebing. Alangkah terkejutnya Raden Gayo ketika melihat
seorang kakek berjubah me-
Roro Centil 10 Orang-orang Lembah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rah berkepala botak berdiri di atas batu besar. Elang itu menukik dan hinggap di
atas pundak kakek itu.
"Keparat! Siapa kau?" bentak Raden Gayo dengan marah. Segera dia mengetahui
kalau elang itu mi-
lik orang itu. Laki-laki tua jubah kelabu itu tak menjawab,
tapi tertawa terkekeh, dan tubuhnya berkelebat me-
lompat turun dari atas batu besar di atas tebing. Gerakan melompatnya sangat
ringan, seperti sehelai suara.
Jelas orang ini memiliki tenaga dalam sangat tinggi.
Raden Gayo perhatikan wajah kakek ini. Ter-
nyata orang itu walau tampak dari jauh berkepala
gundul, tapi masih tampak sedikit rambut di bagian
belakang kepala. Kumis dan jenggotnya lebat menyatu
dengan cambang bauknya. Usianya tak lebih dari
enam puluhan tahun. Lengannya mencekal tongkat
berbentuk aneh, yaitu di bagian tengahnya ada kayu
berbentuk bulat sebesar buah semangka.
"Heheh...heh... maafkan kekurangan ajaran bi-
natang piaraan ku, anak muda...!"
Raden Gayo mendelikkan matanya dan mem-
bentak marah. "Huh ! kalau kau tak menyuruh menyerangku,
masakan dia berbuat seperti itu?" Si kakek kembali tertawa mengekeh. Lalu
berkata. "Aku tak menyuruh menyerangmu, anak muda!
Tapi agaknya dia melihat kau seperti musuhnya. Tam-
paknya kau membawa sesuatu yang membuat dia
menjadi marah. Apakah isi buntalan kain kuning di
atas punggung kudamu?"
"Heh! alasanmu tak masuk akal! Kau cuma
berdalih saja, dan maksudmu sebenarnya adalah
hanya untuk menanyakan benda apa yang ku bawa!"
kata Gayo dengan sikap tak senang. Lalu sambungnya
dengan ketus. "Adapun yang berada dalam buntalan kain
kuning itu, dan benda apa yang aku bawa bukanlah
urusanmu! Yang jelas kau hampir saja mencelakai di-
riku! Katakanlah apa maksudmu sebenarnya!"
"Hehe... baik! baiklah aku akan mengatakan
maksudku sebenarnya padamu, anak muda! Apakah
kau yang bernama Raden Gayo?"
"Kalau kau sudah mengetahui, mengapa pura-
pura bertanya?" sahut Raden Gayo ketus. Si kakek la-gi-lagi tertawa. Jawaban
ketus Raden Gayo tak mem-
buat dia marah, tapi malah tertawa geli mengekeh.
"Heheh... aku memang telah mengetahui kau
Raden Gayo, anak BARAMANTRA! Tapi mata ku sudah
agak mulai lamur, hingga aku menanyakan padamu
agar lebih jelas!" kata kakek ini. Raden Gayo tak menyahut. Dia hanya
perdengarkan suara di hidung. Tapi dalam hati diam-diam dia terkejut, karena dia
tak pernah mengenal kakek itu. Tapi orang tua itu mengenali ayahnya. "Siapakah
sebenarnya kakek ini...?" berkata dalam hati Raden Gayo.
"Aku memang sengaja menahanmu, dan me-
nyuruh burung elang menyerangmu. Dengan demikian
kau akan berhenti. Sejak kau masih di bawah bukit
aku sudah melihatmu. Kau menjalankan kuda seperti
tergesa-gesa. Dan kulihat di punggung kudamu ada
buntalan kain kuning. Tentu saja aku ingin mengeta-
hui apa isi buntalan kain yang kau bawa itu?" kata si kakek.
"Kau terlalu ikut campur urusan orang, tua
bangka! Walaupun kau kenal ayahku, tapi apa hubun-
gannya dengan barang yang aku bawa?"
Berubahlah paras muka kakek jubah merah.
Dia mengetukkan tongkatnya ke tanah. Lalu berkata
dengan suara dingin.
"Hm, aku mendapat firasat benda yang kau ba-
wa adalah benda pembawa malapetaka ! Oleh karena
itu aku telah menghadangmu di tempat ini untuk
menghancurkan barang pesanan gurumu !"
Membelalak mata Raden Gayo. Dia membentak
dengan marah. "Huah! lagi-lagi kau gunakan alasan! Kau orang
tua mengenal ayahku, siapakah kau sebenarnya?"
"Hm, apakah ayahmu Baramantra tak menceri-
takan tentang aku" Heh... heh... he..., alangkah bo-
dohnya ayahmu! Ternyata dia lebih mementingkan is-
teri-isterinya saja dan banyak bersenang-senang den-
gan harta-benda, tanpa menyadari kalau anak laki-
lakinya terjerumus ke dalam jurang kesesatan! Akulah yang bernama Ki SEMBULUR!
Dalam Rimba persilatan orang mengenal ku dengan gelar si Pendekar Usil!"
sahut laki-laki tua ini.
"Pantas kau suka usil dengan urusan orang!"
bentak Raden Gayo dengan marah, tapi juga terheran
mendengar julukan aneh laki-laki tua itu. Ayahnya
memang tak pernah menceritakan tentang orang di
hadapannya itu. Dan nama serta gelarnya pun baru
kali ini mendengarnya. Ki Sembulur lanjutkan kata-
katanya. "Aku kenal ayahmu sejak dua puluh tahun
yang silam. Sejak dia masih jadi gembel, hingga kini menjadi seorang Raja Kecil
yang hidup dari sokongan
seorang pembesar kerajaan!"
"Keparat! kau menghina ayah dan keluargaku?"
bentak Raden Gayo dengan wajah merah padam. Da-
danya terasa hampir meledak karena gusarnya. Tapi Ki Sembulur meneruskan kata-
katanya. "Aku juga kenal baik dengan gurumu! Dia tak
lebih dari manusia setali tiga uang dengan ayahmu!"
Sampai disini Raden Gayo tak dapat menahan
kemarahannya. Tubuhnya bergetar. Dan tiba-tiba dia meng-
gembor keras dibarengi dengan gerakan tubuhnya me-
nerjang kakek itu.
*** LIMA DARI SISI LAMPING BUK1T tersebut dua sosok
tubuh... Siapa adanya dua orang ini tak lain dari dua begal bernama Dokoh
Simburu dan Bronco. Keduanya
pentang mata lebar-lebar menyaksikan pertarungan
seru antara seorang laki-laki muda melawan seorang
kakek berjubah merah bersenjatakan tongkat aneh.
Tapi pandangan mata mereka sebentar melihat ke arah
pertarungan, sebentar melihat ke arah kuda. Ternyata yang menjadi incaran dua
orang begal adalah bungkusan kain kuning yang berada di atas punggung kuda.
Si pendek Dokuh Simburu berikan isyarat pada
Bronco kawannya yang berkumis baplang. Kemudian
dengan berindap-indap menuruni tebing mendekati ke
arah kuda yang berada di bawah bukit.
Sementara itu pertarungan dua orang itu masih
berlangsung dengan Serunya. Raden Gayo telah men-
cabut senjatanya sepasang ruyung berujung runcing.
Dengan kemarahan meluap dia menerjang. Dua batang
ruyung di tangannya seolah-olah menjadi puluhan
ruyung yang menempur lawannya dengan tusukan-
tusukan mengandung maut. Akan tetapi si kakek ju-
bah merah dengan tongkat anehnya menangkis sam-
baran-sambaran berbahaya itu.
Lewat tiga belas jurus tiba-tiba si kakek berna-
ma Ki Sembulur itu perdengarkan bentakan keras. Tu-
buhnya tahu-tahu telah terbungkus oleh putaran
tongkatnya. Syiuran angin dari putaran tongkat mem-
buat setiap kali serangan ruyung Raden Gayo terpental balik. Bahkan tubuh pemuda
itu terhuyung ke kanan
dan ke kiri. Di saat itulah tiba-tiba terdengar bentakan menggeledak. Dan
sesosok bayangan berkelebat muncul diiringi sambaran angin keras ke arah
punggung Ki Sembulur.
Kakek ini tersentak kaget merasai angin panas
menyambar di belakang tubuhnya. Ki Sembulur henti-
kan putaran tongkatnya.
Secepat kilat dia balikkan tubuh. Dengan tela-
pak tangannya dia menghantam ke depan. DESS!
Angin pukulan terhantam dan mental balik.
Tapi tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa lang-
kah. Namun dengan gerakan sebat dia telah memper-
gunakan aji Pasak Bumi. Hingga tubuhnya berdiri te-
gak lagi. Kini sepasang matanya melihat siapa adanya
orang yang menyerang barusan.
"Bagus! kukira kau tak akan muncul, tua
bangka KEBO DUWUNG!" berkata Ki Sembulur dengan suara dingin. Laki-laki tua
berjubah kelabu berambut putih ikal dan tampak semrawut itu membentak marah. "Ki
Sembulur si Pendekar Usil! Kau boleh usil dengan lain orang, tapi jangan usil
dengan urusanku!"
bentaknya menggeledek.
"Hehe...he... belasan tahun tak bertemu ternya-
ta kau telah banyak kemajuan! Muridmu cukup hebat!
Aku hanya mengujinya saja! Ternyata kau mendidik-
nya cukup baik. Tapi apa yang akan kau buat dengan
patung pesananmu" Aku punya firasat buruk, bahwa
benda itu akan membawa malapetaka!" berkata Ki
Sembulur dengan sikap tenang.
"Hm, arca itu pesanan seorang sahabatku yang
saat ini menjadi tetamu ku. Dia datang dari kaki gunung Himalaya!" sahut Kebo
Duwung dengan tak kalah dingin, Lalu menyambung kata-katanya.
"Benda itu dibuat dari batu hitam yang langka!
Yang dibawa dari seberang samudera! Aku mendapat
penjelasan, bahwa benda itu kelak akan dijadikan se-
bagai patung pemujaan, atau sebagai lambang Dewa
yang dianutnya! Mengenai urusan itu, bukanlah uru-
san kita orang. Kalau kau turut usil mencampuri uru-
san, bukankah sama dengan kau mencari permusu-
han?" Sejenak Ki Sembulur tertegun. Akan tetapi segera dia berkata.
"Baik! hal itu memang bukan urusanku. Tapi...
aku mendapat firasat benda itu akan membawa mala-
petaka! Itulah sebabnya aku menahan murid mu, dan
dengan sangat menyesal sekali terpaksa aku harus
menghancurkan benda itu!"
Berubahlah seketika wajah Kebo Duwung. Ma-
tanya membeliak lebar. Gigi gerahamnya gemerutuk.
Kumis dan jenggotnya bergetar.
"Firasat gila ! Bilang saja kau mengingini benda itu! Kalau begitu aku si tua
Kebo Duwung akan mem-pertahankannya dengan taruhan nyawaku!" bentak la-ki-laki
tua ini dengan menggeram.
Akan tetapi ketika mereka siap untuk baku
hantam, mendadak terdengar suara teriakan Raden
Gayo. "Celaka! patung itu dicuri orang!"
Tentu saja teriakan itu membuat kedua kakek
ini jadi terkesiap kaget.
Serentak mereka berkelebat memburu ke arah
Raden Gayo yang telah berada di dekat kuda tunggan-
gannya. Bungkusan kain kuning di atas pelana kuda
memang telah lenyap!
"Bodoh! apakah kau tak melihat ada orang be-
rada di sekitar tempat ini?" bentak Kebo Duwung dengan suara tinggi parau.
"Aku... aku tak melihatnya...!" sahut Raden Gayo. Untuk pertama kalinya dia
dimarahi oleh sang
Guru. Hal itu telah membuat wajahnya berubah me-
rah, dan terasa panas. Apalagi kata-kata "bodoh" itu diucapkan dengan suara
kasar dan keras. Entah mengapa timbul satu keanehan pada diri dan jiwa laki-laki
muda itu. Darahnya bergolak dan aliran darahnya serasa deras. Urat lehernya
menggembung, juga urat
yang berada di bagian kening berubah memerah dan
menggaris kening dengan nyata.
"Siapakah yang bodoh, Guru" Aku atau kau"
Huh! seenaknya saja kau memakiku! Aku sudah beru-
saha, membawa patung pesananmu untuk kuberikan
padamu! Setelah hilang kau menyalahkan aku! Heh!
Selama ini apakah yang kudapatkan darimu" Cuma
ilmu memainkan sepasang ruyung yang tak ada ar-
tinya. Kalau aku tak memberikan imbalan yang terlalu layak buatmu, atas
permintaanmu... Hm, mungkin
kau tak menghiraukan aku! Selama ini aku cuma dipe-
ras saja olehmu. Nyatanya kau berani memakiku. Pa-
dahal ayahku sendiri belum pernah memakiku!"
Tentu saja kata-kata Raden Gayo yang nyerocos
itu membuat Kebo Duwung melengak. Dia tak me-
nyangka kalau pemuda muridnya itu akan tersinggung
hatinya karena dia telah membentaknya dengan kasar.
"Muridku... mengapa kau...?" berkata Kebo
Duwung dengan heran. Akan tetapi jawabannya adalah
pemuda itu menerjangnya dengan beringas.
Sepasang ruyung menyambar ke arah jantung
dan leher kakek itu.
Tentu saja membuat Kebo Duwung terperanjat
kaget. Serangan tak terduga itu begitu cepatnya. Kebo Duwung berteriak tertahan.
Walau dia berhasil mengelakkan serangan, tapi tak urung
salah satu ujung ruyung telah menancap di dada ki-
rinya. Membelalak mata kakek ini melihat darah me-
mancur dari luka di dadanya yang membasahi kain ju-
bahnya. Dengan menyeringai menahan rasa perih ka-
rena lukanya, Kebo Duwung rentangkan tangan. Me-
nyambarlah angin pukulan ke arah Raden Gayo. Puku-
lan tenaga dalam mengandung maut itu luput, karena
pemuda itu dengan gerakan sebat telah gulingkan tu-
buhnya menghindari serangan.
Di saat pertarungan itu terjadi, Ki Sembulur
yang sejenak terpana melihat pertarungan antara guru dan murid itu, segera
berkelebat pergi dari tempat itu.
Beberapa kali dia gerakan tubuh melompat, memeriksa
sekitar perbukitan. Matanya jelalatan memperhatikan
kalau-kalau dia dapat melihat ada bayangan manusia
di sekitar tempat itu.
"Gila! siapa yang telah mencuri patung itu?"
berkata Ki Sembulur dalam hati. Di saat dia tengah
menyelidiki sekitar tempat itu, tiba-tiba dia mendengar suara jeritan merobek
udara di kejauhan. Hatinya tersentak. "Edan! Apa yang telah terjadi dengan
pertarungan guru dan murid itu?" sentak Ki Sembulur. Tubuh-nyapun berkelebat
Roro Centil 10 Orang-orang Lembah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali kea rah dimana kedua
orang itu tengah Saling baku hantam.
Tampak suatu pemandangan yang menyayat
hati terpampang di matanya. Raden Gayo dalam kea-
daan terkapar dengan kepala remuk. Sedangkan kakek
jubah kelabu Kebo Duwung terhuyung-huyung dengan
wajah pucat pias. Sebuah ruyung muridnya menancap
di dadanya hingga menembus ke punggung.
"Murid setan... ke... pa... rrat...!" memaki Kebo Duwung.
Bersamaan dengan makian itu, tubuh Kebo
Duwung terjungkal roboh. Darah menyembur dari lu-
kanya, ketika dia mencabut ruyung yang tertancap di
dada. Nyawa laki-laki tua itupun melayang ... Menyu-
sul arwah Raden Gayo yang telah berangkat lebih dulu akibat terkena hantaman
pukulan pada batok kepalanya. Ki Sembulur terpaku menatap tak bergeming.
Tak lama terdengar dia menghela napas, seraya berka-
ta lirih. "Benarlah seperti firasat ku, benda itu akan membawa malapetaka!
Nyatanya saat ini sudah dua
orang yang menjadi korban malapetaka itu!" Ki Sembulur balikkan tubuhnya, lalu
berkelebat pergi mening-
galkan perbukitan itu. Seekor elang terbang melayang dari atas batu tebing.
Itulah elang peliharaan Ki Sembulur yang sejak
tadi cuma mengikuti kemana laki-laki itu pergi. Melihat Ki Sembulur berkelebat,
binatang itu melayang cepat mengejar, dan mengikuti laki-laki itu dengan terbang
di atasnya. *** ENAM BEBERAPA BULAN TELAH LEWAT... bahkan
telah hampir setahun sejak lenyapnya arca batu hitam berbentuk aneh itu, dan
kematian Raden Gayo serta
gurunya Kebo Duwung telah hampir dilupakan orang.
Seorang gadis menunggang kuda dengan lang-
kah perlahan menuruni bukit. Dia seorang wanita ber-
paras cantik. Rambutnya tergerai di belakang pung-
gung. Mengenakan baju dari sutera kuning. Wajah ga-
dis yang menampakkan keluguan itu sangat sedap di-
pandang. Siapa adanya gadis ini" Dialah RORO CEN-
TIL, si gadis aneh yang dikenal dengan julukan si Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Roro alunkan satu tembang dari mulutnya. Su-
ara tembang yang mensyairkan kata-kata memuji
keindahan alam, serta kehidupan manusia yang tente-
ram dan damai. Ketika tiba di bawah bukit, mendadak Roro
hentikan senandung tembangnya. Matanya menatap
ke arah depan. Tampak puluhan orang muncul dari
sela tebing dimana di sebelah belakangnya adalah se-
buah perkampungan. Puluhan orang itu berjalan berir-
ing-iringan. Hampir rata-rata mereka mengenakan pa-
kaian selembar kain putih yang dibelitkan ke tubuh,
dan di bagian ujungnya disampirkan ke bahu.
Yang membuat aneh Roro adalah di bagian de-
pan tampak empat orang menggotong sebuah tandu
yang dihiasi dengan bunga-bunga beraneka warna.
"Siapakah orang dalam tandu itu... dan akan
dibawa kemana?" berkata Roro dalam hati. Rasa ingin tahu segera menyelinap dalam
hatinya. Roro bedal kudanya untuk menyusul iring-
iringan itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara me-
manggil di belakangnya. "Nona RORO...!"
Roro menahan kendali kudanya, dan menoleh
ke belakang. Tampak seekor kuda putih berpenunggang seo-
rang laki-laki yang juga berpakaian putih dengan ikat kepala kain hitam membedal
cepat menyusulnya.
Setelah dekat segera dia mengenali siapa pe-
nunggang kuda itu.
"Nona Roro! tunggu dulu...!" kata laki-laki itu,
"Ah, kiranya kau sobat JABO LALENGGA! Ada apa kau menyusul ku...?" Laki-laki
baju putih itu menjura, lalu menyahut.
"Aku baru saja dari Lamongan, menjenguk
ayah angkatku. Ada berita beliau sakit keras. Salah
seorang saudara angkatku telah menyusulmu memberi
khabar mengenai keadaan ayah angkatku. Dan... se-
kembalinya dari sana secara tak sengaja aku melihat-
mu ketika melintasi lembah Dewa Suci ini!"
"Lembah Dewa Suci...?" sentak Roro terkejut.
"Jadi lembah ini bernama demikian?" berkata Roro dengan kening mengerenyit.
"Benar ! Lembah ini merupakan tempat suci
bagi penduduk sekitarnya. Kebetulan saat ini tengah
ada acara pengorbanan! Kalau kau masuk kesana
dengan mengendarai kuda, tentu akan dimaki orang.
Atau bisa juga kau akan dilempari batu, karena dianggap mengotori tempat suci!"
kata Jabo Lalengga.
"Oh...!" aku memang mau melihat siapakah
orang dalam tandu itu, dan apakah yang tengah mere-
ka lakukan !" Roro ternganga mendengar keterangan pemuda itu.
"Hm, mari kita tinggalkan tempat ini. Akan ku-
ceritakan nanti mengenai lembah Dewa Suci ini.
Mungkin kau belum pernah mendengarnya...!" kata Jabo Lalengga. Roro manggutkan
kepala. Tapi masih
menatapkan pandangan ke arah iring-iringan orang
pembawa tandu itu yang menuju ke tengah lembah.
Pemuda itu putar kuda tunggangannya, lalu
membedalnya terlebih dulu. Roro menggumam perla-
han. "Lembah aneh...!" Kemudian putarkan kudanya, dan membedalnya dengan cepat
menyusul pe- muda itu. Jabo Lalengga ternyata banyak mengetahui ja-
lan di tempat itu. Kudanya memutar ke arah barat, la-lu mendaki sebuah bukit.
Dalam waktu singkat mere-
ka telah berada di atas lembah.
Pemuda itu hentikan kudanya. Lalu melompat
turun. Roro Centil menuruti pemuda itu melompat tu-
run dari punggung kuda.
"Tempat yang bagus!" kata Roro sambil layangkan pandangannya ke bawah. Dari sini
masih keliha- tan iring-iringan orang pembawa tandu itu, dan nam-
pak kecil dari kejauhan. Tapi cukup jelas.
"Bagaimana kau bisa tahu lembah itu tempat
suci?" bertanya Roro.
Jabo Lalengga jatuhkan pantatnya ke atas ba-
tu. Sesaat matanya menatap Roro, kemudian menya-
hut. "Sebulan yang lalu aku pernah menghadiri
upacara pengorbanan di lembah itu, diajak oleh salah seorang sahabatku di desa
sekitar lembah ini. Sayang, aku tak dapat menunjukkan tempatnya. Dia tinggal di
kaki bukit itu!" kata Jabo Lalengga sambil menunjuk.
Roro melihat ke arah yang ditunjuk pemuda itu.
"Apa yang kau ketahui di lembah itu" Dan bi-
natang apakah yang dikorbankan?" tanya Roro. Pemuda itu tertawa.
"Binatang...?" katanya menukas. "Haha... bukan binatang yang dijadikan
korbannya, akan tetapi
manusia!" sahutnya.
"Manusia...?" sentak Roro. Terkejut dan heran Roro menatap pemuda di hadapannya
dengan mata membelalak. "Benar! Dewa Suci yang menjadi sesembahan
orang-orang di sekitar lembah itu membutuhkan darah
seorang gadis yang masih suci!" Lagi-lagi Roro Centil terpana mendengar
keterangan Jabo Lalengga.
"Edan! benar-benar gila! Masakan ada persem-
bahan kepada Dewa dengan cara semacam itu?" kata-Roro dengan wajah berubah.
"Tapi kenyataannya memang demikian! Setiap
satu bulan pasti ada acara pengorbanan. Dan seperti
yang kau lihat, hari ini adalah bulan yang keenam seperti yang diketahui dari
sahabatku, acara pengorba-
nan segera akan dilaksanakan...!"
"Kapankah akan dimulai upacara itu?" tanya Roro. Hatinya tersentak, dan wajahnya
berubah agak pucat. Roro melihat di dasar lembah puluhan orang
pembawa tandu telah berkumpul di depan sebuah goa.
"Upacara akan dimulai setelah hari gelap. Kira-
kira sepenanak nasi, akan terdengar suara gong dipa-
lu. Dan tandu akan digotong ke dalam oleh beberapa
orang berpakaian seperti pendeta. Di bagian sebelah
atas di luar goa ada pancuran tempat mengucurkan
darah gadis yang dikorbankan. Darah itu ditampung
dalam kuali. Kemudian akan dicampur oleh air kelapa
yang telah direndam dengan bermacam kembang. Air
itulah yang dibagi-bagikan pada setiap orang yang
menginginkan keselamatan dan lain-lain, terserah
keinginan apa yang dimaui oleh orang turut nadir da-
lam upacara itu!" tutur Jabo Lalengga.
"Darah itu untuk diminum?" sentak Roro.
Pemuda itu mengangguk. Roro belalakkan matanya.
"Kau... kau juga meminumnya?" tanya Roro se-
tengah berteriak.
Tapi Jabo Lalengga menggelengkan kepala, se-
raya menyahut dengan mimik wajah bersungguh-
sungguh. "Syukurlah aku tak meminumnya. Cairan da-
rah bercampur air kelapa itu aku buang secara diam-
diam..." Roro jumput sebuah batu sebesar kelapa. Ti-ba-tiba dia melemparkan batu
itu hingga melesak ke
dalam tanah. "Gila! apa yang telah dilakukan di dasar lembah itu tak dapat dibenarkan! Itu
suatu perbuatan terkutuk! lembah itu bukanlah lembah suci, tapi lembah
terkutuk!" maki Roro dengan napas tersengal dan tampak dadanya turun naik.
Sebagai seorang wanita yang
juga masih gadis, apa yang diutarakan mengenai upa-
cara pengorbanan di lembah Dewa Suci itu tentu saja
membuat kengerian pada hati Roro. Roro merasa
kaumnya telah diperbuat sesuka hati oleh sekelompok
manusia yang mengadakan persembahan pada sang
Dewa Suci yang mereka puja-puja.
Entah macam apakah Dewa yang mereka sem-
bah dan haus darah gadis-gadis yang masih suci itu"
Roro merasa kepalanya berdenyutan memikirkan upa-
cara aneh yang malam nanti bakal berlangsung di da-
sar lembah itu.
*** TUJUH CUACA TELAH BERUBAH GELAP... Keadaan di
dasar lembah tampak terang benderang karena bela-
san orang berpakaian mirip paderi telah berdiri mengelilingi para pembawa korban
persembahan dengan
memasang obor-obor. Selang tak berapa lama terden-
gar suara gong dipukul dari dalam goa.
Empat orang laki-laki berkepala gundul berju-
bah kuning keluar dari dalam goa. Dan kelompok pen-
gantar dan pembawa tandu segera menyingkir membe-
ri jalan. Tak lama tandu segera digotong masuk ke dalam goa.
Di saat itulah di kejauhan, kira-kira sepuluh
tombak dari tempat itu terdengar suara teriakan seo-
rang laki-laki tua. Dia berlari-lari jatuh bangun dengan sangat mengenaskan
sekali. "Tidaaak! cucuku jangan dijadikan korban! Le-
paskan cucuku...!" teriaknya dengan suara parau menghiba. Para penggotong tandu
sesaat menghenti-kan langkahnya. Tapi segera terdengar bentakan dari
dalam goa. "Jangan hiraukan siapa pun. Cepat bawa ke
dalam. Tak ada calon korban yang harus dibatalkan!"
suara bernada besar itu sangat berpengaruh, hingga
tak ayal keempat paderi itu cepat menggotongnya ma-
suk. Sesaat antaranya laki-laki tua telah tiba di depan mulut goa, dimana
puluhan manusia berkerumun. Belasan paderi membawa obor tak satupun yang berani
bergerak tanpa ada perintah.
Di saat itulah dua orang paderi berjubah abu-
abu keluar dari dalam goa. Dengan langkah lebar ke-
duanya mendekati laki-laki itu.
"Tua bangka! kau telah berani melanggar pera-
turan. Tahukah kau apa hukumannya?" bentak salah seorang.
"Dia... dia cucuku.... Mengapa dia harus dijadikan korban persembahan?" berkata
laki-laki tua ini dengan wajah pucat dan suara gemetar.
"Seret dia ke depan altar!" satu suara berpengaruh terdengar tanpa terlihat
orangnya yang bicara. Sekali gerakkan lengan, salah seorang
paderi jubah kuning menjambak rambutnya. Laki-laki
tua itu menjerit kesakitan. Tapi kedua pengawal tem-
pat pemujaan itu tak memperdulikan. Mereka menye-
ret orang itu ke depan altar. Ternyata di depan goa ada tangga undakan yang pada
bagian ujungnya terdapat
asap pedupaan yang mengepulkan asap kerbau harum
menusuk hidung. Keduanya menyeretnya ke depan
tangga undakan.
Satu totokan yang dilakukan salah seorang pa-
deri jubah kuning telah membuat laki-laki tua itu terpaku diam dalam keadaan
menekuk lutut di tangga
batu. Terdengar suara tanpa rupa yang bersuara besar seperti tadi.
"Kau telah melanggar aturan di tempat suci.
Maka hukumannya adalah potong lengah!" Mendengar kata-kata itu laki-laki tua ini
pucat wajahnya. Tapi dia segera berkata.
"Potonglah lengan atau kakiku, atau bunuhlah
aku. Asalkan cucuku dibebaskan!"
"Kau benar-benar telah mengotori tempat suci.
Maka hukumannya adalah penggal kepala!" Terdengar lagi suara dari dalam goa.
Laki-laki tua itu berteriak kalap. "Kalian semua manusia-manusia biadab! Kalian
benar-benar iblis! Kelak kalian akan mendapat balasan setimpal dengan perbuatan
gila ini!" Akan tetapi teriakan laki-laki tua itu terputus. Mendadak tubuhnya
terlempar dari depan altar. Para pengantar korban menjerit kaget dengan wajah
pucat. Ketika tubuh laki-laki tua itu menyentuh tanah di depan goa ternyata
lehernya telah putus!
Di saat itulah tiba-tiba sebuah bayangan berke-
lebat diiringi bentakan nyaring.
"Manusia-manusia terkutuk! Sungguh perbua-
tan biadab!"
Dua paderi jubah kuning yang berdiri di kiri
kanan altar tiba-tiba menjerit dan terjungkal roboh.
Gemparlah seketika puluhan orang di depan goa itu.
Ternyata dua pengawal upacara itu telah tewas seketi-ka.
Roro Centil 10 Orang-orang Lembah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua belas paderi pembawa obor terkejut meli-
hat kejadian itu. Dilihatnya seorang wanita berbaju
kuning telah berdiri di depan altar. Siapa adanya wanita ini tiada lain dari
Roro Centil. Ternyata dengan di-am-diam pendekar wanita itu telah menyusup masuk
ke tempat di adakannya upacara di mulut goa, di dasar lembah itu.
Puluhan penduduk yang melihat munculnya
seorang gadis berambut panjang mengurai di tempat
itu cuma bisa ternganga dengan menelan ludah.
Siapa lagi yang telah membunuh dua orang
pengawal upacara kalau bukan dara itu" Sementara
Roro dengan langkah lebar melangkah masuk ke mu-
lut goa. Keberanian yang ugal-ugalan itu membuat terkesiap seseorang yang berada
disudut celah tebing ba-tu. Dengan mata membelalak dia melihat kejadian di
depan mata. "Ah, gadis pendekar itu terlalu berani...! Ilmu kepandaiannya memang hebat. Tapi
dengan mencari gara-gara di tempat yang dianggap tempat suci oleh
segolongan manusia-manusia di lembah itu, justru
akan menyulitkan dirinya...!" mendesis pemuda ini yang tak lain dari Jabo
Lalengga. "Apakah yang harus kuperbuat...?" berkata Ja-bo Lalengga dalam hati.
Di saat pemuda itu tengah kebingungan men-
gambil keputusan, karena walaupun dia punya kebe-
ranian cukup, tapi untuk mengambil resiko turut
mendampingi gadis pendekar yang bersikap ugal-
ugalan itu terlalu berat baginya. Setidak-tidaknya dia toh masih sayang
nyawanya. Di saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan me-
lengking merobek udara berbareng dengan terlempar-
nya tubuh dara ugal-ugalan itu dari dalam goa.
"Nona Roro...!" teriaknya secara tak sadar. Dan tubuhnya telah berkelebat
melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Akan tetapi baru saja dia akan memburu tubuh
yang tergeletak di tangga undakan altar, tahu-tahu
berkelebat bayangan putih...
Sebelum Jabo Lalengga sadar apa yang terjadi,
tahu-tahu kepalanya seperti dihantam benda keras.
Tubuh pemuda itu roboh terguling, dan selanjutnya
dia sudah tak ingat apa-apa lagi...
*** DELAPAN RORO CENTIL TERHERAN-HERAN... Tahu-tahu
dia telah berada di sebuah tempat asing. Ketika me-
mandang ke sekeliling Roro tersentak melihat ratusan ular berbisa besar dan
kecil mengelilingi dirinya pada jarak dua-tiga tombak. Sedangkan dia sendiri
berdiri dengan pakaian sudah tidak utuh lagi.
"Oh, dimana aku...?" sentaknya dengan wajah pucat. Keadaan di sekelilingnya
gelap pekat, tak terlihat cahaya secuil pun. Ketika dia mencoba mengge-
rakkan kaki dan tangan, terasa sukar. Aneh! dia mera-sa tenaganya lenyap sama
sekali. Di saat itulah dari arah kegelapan di sekitarnya
bermunculan sosok- sosok tubuh yang membuat kaki
Roro menyurut mundur. Itulah sosok-sosok tubuh la-
ki-laki bertubuh kekar setengah telanjang. Wajah-
wajah kasar dengan mulut menyeringai dan mata
membinar-binar melangkah mendekatinya. Roro ter-
sentak kaget. Sekujur pembuluh darahnya terasa ter-
sumbat. Roro merasa tubuhnya lemah tak bertenaga
sama sekali. Ketika dibalikkan tubuh belakang terlebih dahulu lagi terkejutnya.
Ternyata belasan manusia
menyeramkan itu telah mengurungnya.
Sadarlah Roro kalau dirinya tak mungkin lagi
menghindarkan bahaya di depan matanya lagi. Semen-
tara dilihatnya manusia-manusia bermata jalang den-
gan mulut menyeringai itu melangkah semakin dekat.
Kini lengan-lengan kasar penuh urat bertonjolan itu
berjuluran untuk menjamah tubuhnya. Wajah Roro
pucat pias bagai tak berdarah. Kengerian terbayang di depan matanya. Apakah yang
akan diperbuat manusia-manusia lembah itu terhadap dirinya"
"Gila! Edan....! tempat apa ini" Dimana aku..."
Apa yang akan mereka lakukan terhadap diri ku...?"
sentak Roro dengan wajah semakin pias. Rasa takut
yang luar biasa agaknya baru pertama kali inilah yang di rasakan Roro. Keringat
dingin mengucur di sekujur tubuh, dan otak Roro serasa kacau...
Ketika Roro merasa lengan-lengan kasar itu
menjamah sekujur tubuhnya, menjeritlah Roro sekuat-
kuatnya.... "Tidaaak...!"
Dan di detik itulah Roro Centil terlonjak kaget,
karena ketika membuka matanya bayang-bayang so-
sok manusia yang menyeramkan itu lenyap sirna.
Roro terheran karena dapatkan dirinya terbar-
ing di balai-balai bambu bertilam sehelai tikar pandan.
Ketika memandang ke arah sebelah kiri, tampak seo-
rang laki-laki tua berjubah hitam yang ujungnya dis-
ampirkan di pundak, menatapnya dengan tersenyum.
"Si...siapa kau...?" sentak Roro dengan suara parau. Tapi mendadak kepalanya
terasa berat. Berat
sekali.... Dan ketika dia berteriak tadi ada rasa nyeri pada dadanya di sebelah
dalam. "Haih... sukurlah, kau sudah sadar dari ping-
san mu, cah ayu...!" Suara itu begitu lembut, membuat Roro kembali bertanya
heran. "Kau... kau siapakah orang tua " Dan di mana-
kah aku " Apa yang telah terjadi dengan diriku...?"
Yang ditanya tersenyum, lalu menyahut.
"Keberanianmu sungguh luar biasa, cah ayu!
Tapi kau telah bertindak sembrono! Untunglah aku
berhasil menyelamatkan dirimu dari orang-orang lem-
bah terkutuk itu...! Namaku SEMBULUR. Panggillah
aku Ki SEMBULUR!" Roro belalakkan matanya.
"Jadi aku tadi bermimpi...?" berkata Roro dengan suara menggumam.
"Hm, kau mimpi apakah cah ayu" Kudengar ta-
di kau menjerit keras sekali ketika aku menyelimuti
tubuhmu. Hampir sehari semalam kau tak sadarkan
diri. Tubuhmu panas sekali. Tapi aku telah meminum-
kan kau akar obat. Kesehatanmu dalam waktu tak la-
ma akan pulih kembali. Untunglah tenaga dalammu
sangat tinggi, hingga kau tak sampai tewas! Orang-
orang lembah terkutuk itu sangat tinggi ilmunya. Kau pasti terluka dalam. Tapi
kalau kau mau memban-tunya dengan menyalurkan hawa murni dari bagian
pusar, maka luka dalam itu akan cepat sembuh kem-
bali...!" Tak sampai menunggu lagi, Roro melompat bangkit dari pembaringan. Dan
dia telah jatuhkan tubuhnya berlutut di depan orang tua itu, seraya berka-
ta. "Ki Sembulur...! terimakasih atas pertolongan
mu. Aku yang bodoh dan kurang pengalaman ini ber-
hutang budi padamu..."
"Ah... bangunlah, cah ayu...! Jangan banyak
peradatan. Cepat ikuti petunjuk ku. Kau harus segera menyembuhkan luka dalammu!
Gunakan cara seperti
yang kukatakan tadi!" kata Ki Sembulur. Laki-laki tua itu mengangkat bangun Roro
Centil. Roro yang memang saat itu merasa ada rasa nyeri
Di bagian dalam dadanya, segera duduk bersila,
dan pusatkan kekuatan batinnya untuk menyalurkan
hawa murni dari pusar dan menyebarkan ke segenap
saluran darah. Lalu mengurut beberapa kali pada ba-
gian yang sakit. Tampak keringat dingin membasahi
punggung dan keningnya. Selang tak lama gadis itu
melompat bangun berdiri.
"Sekali lagi aku ucapkan terimakasih padamu
Ki Sembulur...!" kata Roro. Kemudian melanjutkan ka-ta-katanya.
"Kau tentu telah mengetahui siapakah adanya
manusia-manusia gila yang bercokol di lembah itu?"
tanya Roro, yang telah merasa agak enakan, karena
rasa nyeri pada dadanya sebelah dalam sudah agak
berkurang. Ki Sembulur menghela napas, lalu menyuruh
Pendekar Jembel 13 Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi Dewa Cadas Pangeran 1
SATU LAKI-LAKI ITU BEKERJA TEKUN SEKALI...
Mata pahatnya menetak batu hitam memben-
tuk patung aneh berbentuk seorang manusia berkepa-
la kambing. Patung terbuat dari batu hitam itu adalah pesanan seseorang yang
dikerjakannya dengan upah
cukup besar. "Hehe... hampir selesai! Tak lama lagi aku akan menerima upah ku sebagian lagi!"
bergumam MANGUNTO dengan bibir tersenyum-senyum. Tapi sambil
lengannya tak berhenti menetak batu membuat ukiran
pada bagian kepala arca, Mangunto berkata dalam ha-
ti. "Hm, entah untuk apa Raden GAYO memesan
patung demikian aneh...." Huh! tapi tak perduli untuk apa. Yang penting aku
telah membuatkan-nya, dan
aku menerima upah cukup lumayan untuk menyam-
bung hidupku..."
Mangunto terus bekerja dengan tekun. Dan dua
hari kemudian, maka selesailah arca batu hitam aneh
itu. Mangunto membungkus arca berbentuk manu-
sia berkepala kambing dalam sikap bersila itu dengan selembar kain kasar
berwarna hitam. Kain itu sudah
lama disimpan dalam lemari pakaiannya. Kain kuno,
tapi kuat. Sejenak Mangunto teringat dari siapa kain hitam itu.
"Haih! Melihat kain ini aku jadi teringat pada
jaman aku masih muda..." desis Mangunto. Saat itu Mangunto memang telah berusia
sekitar empat puluh
tahun lebih. Zaman dimana Mangunto masih muda
adalah masa yang sangat mengesankan bagi hidupnya.
Dia hidup sederhana disamping isterinya yang
sangat dicintainya. Wanita itu bernama PRAMITA. Se-
bagai menantu seorang Tumenggung, tentu kehidupan
mereka cukup layak. Mangunto sendiri bekerja sebagai petani yang rajin menggarap
sawah. Sehingga hasilnya melimpah, disamping dia dan isterinya sangat hemat
dan pandai menabung.
Mangunto dan isterinya dikaruniai seorang
anak laki-laki. Kehadiran PRAGUNO si kecil itu me-
nambah kebahagiaan rumah tangga mereka.
Bila sepulang dari sawah, Mangunto bergegas
untuk melihat anak laki-lakinya itu. Praguno ditimang-timang dengan tertawa-tawa
gembira. Terkadang dia
menyanyikan lagu Kidung untuk anaknya. Lagu Ki-
dung itu berupa syair yang menguraikan tentang isi
kehidupan. Juga rasa syukur pada Ilahi atas karu-
niaNYA yang telah dilimpahkan pada mereka.
Bila Mangunto selesai menyanyikan lagu Ki-
dung, maka tak lama si kecil Praguno akan tertidur le-lap. Tampaknya dia senang
sekali mendengar ayahnya
menyanyikan senandung Kidung itu.
Perang memang kejam! Ketika terjadi pembe-
rontakan, semua kebahagiaan itu lenyap. Isterinya tewas membunuh diri, karena
mempertahankan kesu-
cian dirinya. Dan anak laki-lakinya lenyap entah ke-
mana. Desa-desa dibumihanguskan. Pemberontakan
liar itu padam setelah memakan banyak korban. Tu-
menggung Brajananta tewas dalam pertarungan mela-
wan pemberontak. Dan... dia hanya terpaku dengan
mata membelalak, menemukan rumah tempat tinggal-
nya telah jadi puing.
Ketika terjadi peristiwa itu, Mangunto sedang
pergi ke seberang lautan. Mangunto memang telah me-
rencanakan untuk membuka hutan di tanah seberang.
Tapi ketika kembali untuk membawa anak isterinya ke
tanah seberang yang telah di tinjaunya, ternyata kea-
daan telah berubah!
Mangunto pergi meninggalkan desanya untuk
mencari jejak Praguno, si kecil yang baru berusia tujuh-delapan tahun itu. Dalam
pengembaraannya dia
berjumpa dengan seorang pemahat batu, bernama Ki
SONGGO BHUWONO. Mangunto tertarik untuk mem-
pelajari cara memahat dan mengukir batu. Ternyata
dia berbakat! Dan jadilah dia seorang pemahat patung.
Walau hasilnya tak seberapa, tapi karya-karyanya ba-
nyak didapati di candi-candi sekitar tanah jawa.
Selama itu Mangunto tetap tak dapat menemu-
kan jejak PRAGUNO. Laki-laki itu pasrah pada nasib!
Dia tak lagi memikirkan anaknya yang hilang tak tentu rimbanya. Kini dengan
bekal kepandaiannya dia bisa
hidup untuk sekedar mengisi perut dan menyambung
hidup, disamping bertambahnya pengalaman hidup-
nya. Kain hitam itu adalah pemberian Ki Songgo
Bhuwono. Orang tua itu memberikannya pada Man-
gunto sebagai kenang-kenangan. Sebelum dia pergi
sempat berkata. "Mangunto! Simpanlah kain ini untuk kenang-kenangan dariku.
Siapa tahu nanti ada gunanya!" Mangunto mengucapkan terimakasih, seraya berkata.
"Bapak Songgo Bhuwono...! Budi baikmu tak
dapat kulupakan seumur hidupku. Dengan aku bisa
memahat, membuat arca adalah karena bimbingan
mu. Dengan kesibukan itu, aku dapat melupakan ke-
sedihan ku selama ini. Entah bagaimana aku dapat
membalasnya" Haih...! semoga Yang Maha Kuasa
membalas budimu dan kau selama dalam perjala-
nan..." "Sudahlah Mangunto... jangan pikirkan apa-apa! Kau telah membalas budi
ku dengan Kidung mu!
Syair Kidung mu bagus, menggugah perasaan dan
membangkitkan semangat hidup! Karena itulah aku
senang mengajari kau cara memahat membuat arca.
Tapi hanya itu yang bisa aku wariskan padamu. Nah,
selamat tinggal, Mangunto! Semoga Tuhan Membimb-
ing setiap langkahmu..."
Mangunto manggut-manggut dengan setitik air
bening mengembang di sudut pelupuk mata. Dan... Ki
Songgo Bhuwono tahu-tahu gaib. Lenyap dari pandan-
gan mata. Tentu saja hal itu membuat Mangunto terbela-
lak, dan tertegun mematung seperti tak percaya pada
penglihatannya.
"Aneh...!" Siapakah sebenarnya Ki Songgo
Bhuwono itu" Apakah dia seorang Dewa yang turun ke
bumi" Atau... ah, aku tak tahu... Tapi kain hitam ini akan kusimpan sebagai
tanda kenang-kenangan seumur hidupku..." bergumam Mangunto. Diciuminya
kain pemberian Ki Songgo Bhuwono itu dengan air ma-
ta haru dan bahagia.
Demikianlah, Mangunto menyimpan kain hitam
itu hingga sampai saat ini. Dan baru hari ini dipergunakannya untuk membungkus
patung aneh yang di-
buatnya, untuk dibawa ke rumah si pemesan...
Mangunto tersadar dari lamunannya ketika me-
lihat Matahari telah mulai condong ke arah barat. Bergegas dia merapikan
buntalan kain hitam berisi patung manusia berkepala kambing itu. Kemudian
menggem-bloknya di belakang punggung. Setelah menutup pintu
rumah, dan menguncinya sekalian, Mangunto segera
melangkah keluar halaman.
"Mudah-mudahan Raden Gayo tak sedang be-
pergian. Aku bisa terima bayaran malam ini juga...!
Dan malam ini juga aku akan menginap di BALURAN.
Haha... sudah lama aku tak mengecap dan mencium
wanginya arak mak Gembrot!" Mangunto tersenyum-
senyum membayangkan acara malam nanti.
Lalu melangkah cepat ke arah timur menyusuri
jalan setapak....
*** DUA SUATU KEANEHAN TERJADI PADA DIRI MAN-
GUNTO... Karena mengejar waktu agar dapat tiba di
Baluran tak terlalu malam, Mangunto mempercepat
langkahnya. Akan tetapi aneh! Dia merasa langkahnya
ringan. Bahkan beban berat yang menggemblok di
punggungnya terasa ringan seperti memanggul sebun-
talan kapas saja. Hal itu belum terasakan oleh Man-
gunto, karena benaknya terus memikir mengenai lang-
kah-langkah selanjutnya.
Dia telah merasa bosan menetap di wilayah itu.
Mendadak saja ketika melintasi sebuah belokan di sisi hutan, dua sosok tubuh
berkelebat dari semak belu-kar, dan menghadang langkahnya.
"Berhenti!"
Bentak salah seorang dengan menyilangkan se-
batang golok besar bermata lebar. Laki-laki ini bertubuh gempal, berkumis tebal
mengenakan baju dan ce-
lana warna gelap. Sedangkan yang seorang lagi bertu-
buh agak pendek, berkepala botak. Tubuhnya lebih
kekar dari laki-laki kawannya.
"Siapa kalian?" tanya Mangunto dengan keheranan, karena tahu-tahu dua orang
telah mengha- dangnya. Langkahnya terhenti, dan kakinya agak me-
nyurut mundur. Si laki-laki pendek berkepala gundul tertawa
menyeringai sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
plontos. Dari bagian belakang punggungnya tersembul
gagang senjata.
"Hehehe... tinggalkan buntalan yang kau bawa
itu. Dan kau boleh pergi dengan aman!" menyahut la-ki-laki ini.
"Benar! tak usah banyak tanya-tanya segala!
Turut kata-kata kawanku kalau kau sayang jiwamu!"
timpal si kumis tebal dengan memutar-mutar golok be-
sarnya. Tentu saja Mangunto mendelikkan matanya,
seraya membentak marah.
"Huh! kalian ini rupanya tukang-tukang begal
bermata buta! Barang dalam buntalan ini bukan ba-
rang berharga, dan tak ada gunanya buat kalian. Lebih baik kalian minggir dan
beri aku jalan...!"
"Haha... barang apapun dalam buntalan kain
hitam itu, bukan soal. Yang penting segera tinggalkan buntalan itu, dan kau
boleh pergi dengan aman!" berkata si laki-laki kumis tebal dengan tertawa
dingin. "Gila orang-orang ini?" sentak Mangunto dalam hati. Melihat kilatan cahaya golok
besar yang melintang di hadapannya hati Mangunto mencelos. "Apakah aku harus
menunjukkan bahwa buntalan ini berisi patung yang tak berguna buat mereka?"
Sementara itu dua laki-laki itu mulai tak sabar,
dan kembali membentak.
"Cepat tinggalkan barang itu, atau golokku
yang akan bicara?" bentak si kumis tebal.
"Biar aku yang memberi pelajaran pada manu-
sia bandel ini!" kata si pendek kepala botak. Dan...
dengan langkah lebar dia maju mendekati Mangunto
yang berubah pucat wajahnya.
"Tunggu! Akan kubuka buntalan ini di hadapan
kalian, agar kalian mengetahui apa isinya!" kata Man-
gunto. Sesaat kedua laki-laki itu saling pandang.
Tampaknya si laki-laki pendek kepala botak minta
pendapat kawannya. Si kumis tebal melintang itu
memberi isyarat dengan kedipan mata pada si pendek
gundul. Laki-laki ini tersenyum, seraya berkata. "Baiklah ! Kuberi kesempatan
kau membuka buntalan kain
itu. Apakah isinya benar-benar bukan barang berhar-
ga?" Tanpa ayal segera Mangunto membuka kain
buntalannya. Dua laki-laki pembegal itu tampak tertegun me-
lihat sebuah arca terbuat dari batu hitam berbentuk
aneh yang berada dalam buntalan kain tersebut.
"Hm, akan kau bawa kemana benda itu?" tanya si pendek heran.
"Aku akan mengantarnya ke rumah Raden
Gayo!" sahut Mangunto sambil membungkus kembali patung batu hitam itu. Kemudian
bangkit berdiri.
"Nah! berilah aku jalan! Kalian sudah melihat
bahwa barang yang kubawa tak berguna buat kalian!"
kata Mangunto dengan hati penuh kemenangan. Dua
laki-laki pembegal itu tak berkata apa-apa. Mereka
membiarkan Mangunto lewat dengan langkah lebar.
"Eh. DOKOH SIMBURU! Kau dengar tadi dia
menyebut-nyebut nama Raden GAYO?" bertanya si
kumis tebal pada si pendek kepala gundul.
"Ya! aku dengar! Bukankah Raden Gayo yang
dimaksud adalah orang ternama yang tinggal di Balu-
ran?" tukas si pendek.
"Kukira begitu..." menyahut si kumis baplang kawannya. Si pendek kepala gundul
berpikir sebentar.
Lalu berkata dengan berbisik.
"Hm, kalau patung itu barang pesanan Raden
Gayo, tentu barang berharga. Dan kalau barang ber-
harga tentu bukan sedikit imbalannya..." Keduanya kasak-kusuk beberapa saat. Tak
lama si kumis baplang tersenyum menyeringai.
"Bagus! Barang itu tak boleh kita lewatkan be-
gitu saja!"
"Benar! Mari kita kejar dia...!" tukas si pendek botak. "Baik! langsung saja
kita habisi dia. Dan kita yang mengantar benda itu ke rumah Raden Gayo!" ka-ta
si kumis tebal.
Dan... berkelebatlah kedua pembegal ini menge-
jar Mangunto. Saat itu Mangunto sedang tersenyum-senyum
selepas lolos dari cengkeraman dua orang begal. Dia
tak mengetahui kalau bahaya maut kembali mengejar-
nya. Tahu-tahu terdengar bentakan di belakangnya.
"Berhenti!"
Tentu saja bentakan itu membuat Mangunto
terlonjak kaget. Seketika wajahnya berubah pucat pias, karena dua pembegal tadi
tahu-tahu telah berada di
belakangnya. "Apa yang kalian inginkan?" tanya Mangunto dengan suara agak menggetar. Kedua
laki-laki pembegal itu tertawa menyeringai.
"Haha!.. aku inginkan benda itu!" kata si pendek gundul.
"Hah!" bukankah ..."
Tapi kata-kata Mangunto terputus, ketika den-
gan gerakan cepat si laki-laki pendek kepala gundul
mencabut senjatanya dari balik punggung, dan kilatan mengandung maut menyambar
ke arah lehernya.
Suatu hal yang aneh tiba-tiba saja dialami
Mangunto. Tahu-tahu si pendek kepala gundul menje-
Roro Centil 10 Orang-orang Lembah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rit panjang. Tubuhnya terlempar bagaikan terdorong
oleh suatu tenaga yang tak kelihatan. Hingga laki-laki itu terlempar berguling-
guling. Tentu saja hal itu
membuat Dokoh Simburu tersentak kaget. Laki-laki
pendek kepala botak ini merasa satu tenaga dahsyat
berhawa panas telah menyambar tubuhnya. Badik di
tangannya nyaris terlepas dari genggaman tangannya.
*** Sebaliknya Mangunto sendiri terheran-heran.
Karena di saat bahaya maut mengancam jiwanya, dia
sudah pasrahkan dirinya pada nasib. Bagi orang yang
tak berkepandaian apa-apa seperti dirinya, mana bisa mengelakkan serangan yang
demikian tiba-tiba" Akan
tetapi aneh! Mengapa tahu-tahu si pendek kepala gun-
dul tahu-tahu terlempar bergulingan".
Lain halnya dengan si kumis tebal bernama
BRONCO. Dia tertegun beberapa saat. Sungguh tak
disangkanya sama sekali kalau Mangunto yang tam-
pak tak punya kepandaian apa-apa itu memiliki tenaga dahsyat yang mampu membuat
terlempar tubuh kawannya.
Detik itu juga dia mencabut golok besarnya.
Wajahnya berubah merah padam.
"Bagus! ternyata kau memiliki ilmu kepan-
daian" Tapi kau tak akan lolos dari kematian!" bentaknya menggeledek.
Golok besarnya menyambar ke arah Mangunto.
Mangunto terkesiap kaget. Tanpa disadari kakinya me-
langkah menghindar. Dan di luar kemauannya tahu-
tahu kakinya menendang.
PLAK! BRONCO terkejut. Sambaran kaki Mangunto
meluncur seperti kilat. Tahu-tahu dia berteriak kesakitan. Pergelangannya.
terasa dibentur oleh sebuah palu
besi. Tubuhnya terhuyung ke belakang, dan golok ter-
lempar mencelat ke udara.
Lagi-lagi Mangunto terkejut. Hatinya tersentak
kaget. "Aneh...!" mengapa bisa terjadi begini?" berkata Mangunto dalam hati.
Akan tetapi Mangunto tak berpikir lebih jauh lagi. Segera dia balikkan tubuh dan
berjalan cepat meninggalkan dua orang itu yang dalam keadaan terlongong saling
pandang, dengan wajah pucat.
"Sial benar nasib kita! Ternyata dia bukan ma-
kanan empuk!" berkata si kumis baplang dengan menyeringai sambil mengurut
pergelangan tangannya
yang bengkak dan tampak membiru.
"Sial apanya!" gerutu si pendek kepala botak.
"Masih untung dia tak turunkan tangan membunuh
kita!" Laki-laki ini kebutkan bajunya yang kotor.
"Hayo, kita pergi dari sini?" katanya.
"Tunggu...!" sahut Bronco, seraya beranjak menjumput goloknya yang tertancap
disela batu. Kemudian kedua begal apes itu segera lenyap dari tempat itu...
*** TIGA RADEN GAYO TERSENYUM GIRANG.. Arca ba-
tu hitam berbentuk manusia berkepala kambing itu
dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Benda itu dile-
takkan di atas meja.
"Bagus! cocok dengan pesanan Guru...! Hm, be-
sok segera kubawa ke tempat Guru. Ya! besok! Kukira
sudah terlalu lama Guru memesannya, dan baru hari
ini pesanan itu selesai dibuat...!" Raden Gayo menggumam sendiri, sementara
matanya tak puas-puas
mengamati arca batu berbentuk aneh itu.
Sesaat antaranya laki-laki muda berusia antara
dua puluh lima tahun ini beranjak menuju ke
lemari kayu jati berukir disudut ruangan kamar. Dari dalam laci lemari dia
menjumput sebuah buntalan
kain kecil yang memperdengarkan bunyi gemerincing
ketika lengannya menjumputnya.
"Aku telah menyediakan separuh lagi upah
buat pak Mangunto. Dan dia akan menerima upah je-
rih payahnya...!" kata Raden Gayo dalam hati.
Tak lama dia beranjak melangkah keluar dari
ruangan kamar. Dilihatnya Mangunto masih duduk
menanti di teras depan gedung sambil menopang dagu.
Lengannya memegang kain hitam bekas pembungkus
patung yang telah dilipatnya.
Melihat kemunculan Raden Gayo, laki-laki be-
rusia lima puluhan tahun ini bangkit berdiri. Wajah-
nya menampilkan kecerahan. Dan seulas senyum ter-
sungging disudut bibirnya.
CRING! Raden Gayo meletakkan bungkusan kain kecil
berisi uang logam itu di depan Mangunto, seraya ber-
kata. "Terimalah sebagian lagi upah mu, pak Mangunto!" "Ah, terimakasih,
Raden..." sahut Mangunto seraya ulurkan tangannya menjumput uang dalam bun-
talan kecil di hadapannya. Mangunto masukkan kan-
tong uang itu ke sela bajunya, berikut kain hitam bekas pembungkus patung.
Kemudian bungkukkan tu-
buh menjura. "Aku tak lama, Raden..."katanya mohon pamit.
"Hari sudah malam. Apakah kau tak sebaiknya
menginap saja, pak Mangunto" Di belakang ada kamar
kosong kalau kau mau menginap kata Raden Gayo.
"Terimakasih, Raden...! Aku ada sedikit keper-
luan. Biarlah aku puking saja!" sahut Mangunto meno-lak. Dia sudah berniat
mengunjungi kedai Mak Gem-
brot di kota Baluran. Rasanya wangi arak telah ter-
cium di ujung hidungnya, dan dia sudah merencana-
kan untuk menginap di kedai yang sekaligus juga tem-
pat penginapan itu. Mangunto memang pernah tinggal
di kota itu selama beberapa bulan.
Raden Gayo tak bisa menahan lagi. Dia men-
gangguk dan berkata.
"Kalau begitu, baiklah...! Oh, ya! harap kau
berhati-hati. Kalau ada apa-apa laporkan saja pada-
ku!" Mangunto mengucapkan terimakasih. Kemu-
dian segera beranjak keluar gedung dan meninggalkan
tempat itu dengan langkah cepat.
Raden Gayo menatap kepergian laki-laki tua itu
hingga lenyap dari pandangan matanya. Lalu beranjak
masuk ke ruang dalam...
*** NIAT MANGUNTO UNTUK menginap dan mi-
num arak di kedai Mak Gembrot disudut kota Baluran
diurungkan. Mangunto teringat kejadian siang tadi ketika dirinya dihadang oleh
dua orang begal-yang men-
ginginkan patung yang dibawanya. Di kedai itu jelas bukan sedikit orang-orang
yang berkunjung. Diantaranya tentu terdapat pula dua begal itu. Seperti
diketahuinya, kedai Mak Gembrot memang terkenal den-
gan arak wanginya, dan menjadi tempat persinggahan
pelbagai golongan manusia.
Mangunto melupakan Mak Gembrot dan ke-
dainya. Dia bergegas melangkah menyusuri jalan un-
tuk kembali pulang ke rumahnya. Di langit sepotong bulan mengambang. Cuaca agak
remang, cukup lumayan untuk menerangi jalan yang dilaluinya.
Sementara dalam melangkah benaknya memi-
kir. "Hm, aku khawatir dua begal itu berada disana.
Kalau mereka melihatku tentu besar resikonya.
Manusia seperti mereka banyak kawannya,
dan... kalau terjadi keributan belum tentu aku bisa
menolong diriku. Apakah kekuatan aneh yang telah
menyelamatkan diriku itu bisa muncul lagi?"
Mangunto bingung memikirkan, dari mana asal
nya kekuatan aneh yang mampu membuat kedua
pembegal tadi terlempar. Dan suatu hal yang sangat.
aneh adalah tahu-tahu kakinya menendang tanpa dia
sendiri berniat menggerakkan kaki.
Mendadak angin berhembus keras. Awan hitam
bergulung-gulung di langit. Dalam beberapa saat saja cahaya bulan lenyap. Dan
kegelapan merambah alam
sekitar tempat itu. Langitpun gelap pekat!
Mangunto bergegas setengah berlari memper-
cepat langkahnya. Ada perasaan aneh menyelinap di
hati Mangunto. Hatinya berkata.
"Cuaca tiba-tiba berubah sedemikian cepat.
Apakah akan turun hujan lebat?" Mangunto berlari-lari di jalan setapak menembus
kegelapan... *** SEMENTARA ITU keadaan di rumah kediaman
Raden GAYO... Suatu kejadian aneh telah terjadi di
kamar laki-laki muda anak seorang saudagar kaya
yang masih famili orang Kerajaan itu. Ketika Raden
Gayo tertidur pulas di kamarnya, sesuatu telah terja-di...
Ketika Raden Gayo tengah asik memperhatikan
patung batu hitam berbentuk aneh itu, tiba-tiba hati laki-laki ini tersentak.
Cuaca buruk di luar telah
menghempaskan daun jendela yang belum sempat di-
tutupnya. "Ah, angin bertiup keras sekali...! Aku lupa menutup jendela !" desisnya, seraya
beranjak cepat ke sisi ruangan. Lalu menutup jendela dan menguncinya.
"Cuaca di luar gelap sekali. Apakah mau turun
hujan?" berkata Raden Gayo dalam hati. Di saat laki-laki itu menutupkan jendela
kamar, ada angin bersyiur yang menyusup masuk ke ruangan kamarnya.
Syiuran angin itu lenyap di sekitar meja, dima-
na Raden Gayo meletakkan patung aneh pesanan Gu-
runya. Sesuatu telah terjadi! Patung aneh itu tampak bergetar. Dan sebersit
sinar tampak memancar pada
mata arca. Tapi cuma sesaat. Cahaya aneh pada mata
arca batu hitam itu lenyap, ketika Raden Gayo memba-
likkan tubuh setelah menutupkan daun jendela, dan
beranjak lagi ke arah meja.
Karena besok akan pergi mengantarkan arca
itu, Raden Gayo bersiap-siap untuk tidur. Dia men-
gambil selembar kain dari dalam lemari, kemudian di-
pergunakan untuk membungkus patung itu.
Ada perasaan aneh menyelinap di hati Raden
Gayo. Entah mengapa jantungnya berdebar ketika
membungkus benda itu. Darahnya seperti mengalir le-
bih cepat. Sepertinya benda itu punya pengaruh hebat
yang membuat darahnya bergolak. Raden Gayo tak
menyadari hal itu. Dia cuma menyadari keadaan di-
rinya dalam ketegangan.
Karena besok harus mengantar benda itu pada
gurunya. Peristiwa apa yang bakal dihadapi besok dia
tak mengetahui. Yang jelas dengan patung itu gurunya telah merencanakan sesuatu
untuk suatu kepentin-gan. Kepentingan apakah yang direncanakan gu-
runya itu hanya akan diketahui besok, setelah dia
mengantarkan arca berbentuk aneh itu.
Raden Gayo lemparkan tubuhnya ke pembarin-
gan. Hawa dingin menebar dalam ruangan kamar. An-
gin keras di luar masih menghempas-hempas. Pemuda
ini tarik kain selimut dan membuntal tubuhnya.
Tak berapa lama kemudian sudah terdengar
dengkurnya... *** EMPAT SIANG ITU UDARA PANAS TERIK... ketika seo-
rang penunggang kuda lewat di jalan desa dengan se-
cepat terbang, meninggalkan debu mengepul di bela-
kangnya. Siapa adanya si penunggang kuda itu adalah
Raden Gayo adanya. Pemuda ini tampaknya tak mau
berlama-lama untuk mengantar area aneh itu. Benda
dalam buntalan kain warna kuning itu diikatkan di
punggung kuda. Tak berapa lama Raden Gayo sudah tiba di sisi
perbukitan. Dia terus membedal kuda bagai di kejar
setan, dan terus menuju ke arah timur... Seekor elang mendadak muncul dari balik
tebing batu. Burung
elang itu tiba-tiba menyambar Raden Gayo dengan
memperdengarkan suara mengiyak.
Tentu saja hal itu membuat laki-laki ini terpe-
ranjat setengah mati. Secara tak sengaja dia telah me-
nahan gerakan lari kudanya. Binatang tunggangannya
meringkik panjang dengan mengangkat kedua kaki de-
pan. Raden Gayo bungkukkan tubuhnya menghindari
sambaran elang ganas yang menyerangnya secara tiba-
tiba. "Burung keparat!" maki Raden Gayo dengan wajah berubah merah. Detik itu
juga dia telah melompat dari punggung kuda.
Burung elang itu terbang memutar. Kemudian
kembali menukik, dan menyambar kepala Raden Gayo.
Akan tetapi laki-laki ini telah siap. Sebelah lengannya bergerak menghantam
dengan diiringi bentakan gusar.
"Mampuslah kau keparat!" Akan tetapi pukulannya mengenai tempat kosong, karena
binatang itu telah melesat ke samping. Tahu-tahu menukik me-
nyambar dari arah belakang.
Sepasang kakinya siap mencengkeram ke leher.
Raden Gayo terkesiap. Dia balikkan tubuh dengan ce-
pat. Lagi dia hantamkan pukulannya dengan berteriak
marah. Untuk kedua kalinya serangannya luput...! Bi-
natang itu terbang membumbung. Lalu terbang berpu-
tar-putar. Raden Gayo mengikuti putaran burung
elang itu. Burung Elang itu cukup besar dan tampak-
nya melebihi besarnya elang biasa. Putaran elang se-
makin cepat, dan semakin dekat. Mendadak kembali
burung elang meluncur menyambar. Gerakan samba-
ran yang begitu cepat itu dan secara tiba-tiba mem-
buat Raden Gayo tersentak. Kali ini Raden Gayo me-
nyerang dengan beruntun. Dua sambaran keras melu-
ruk ke arah burung Elang itu. Serangan pertama lolos, tapi serangan berikutnya
tak mungkin kalau tak mengenai sasaran.
Akan tetapi sebelum pukulan Raden Gayo
menghantam elang itu, tahu-tahu ada hembusan an-
gin yang menyambar, dan... selamatlah binatang itu
dari kebinasaan. Karena pukulan tenaga dalam pemu-
da itu tersampok mental ke arah samping.
Terdengar suara suitan panjang dua kali. Bu-
rung Elang yang terbang membumbung itu menukik
ke balik batu di atas tebing. Alangkah terkejutnya Raden Gayo ketika melihat
seorang kakek berjubah me-
Roro Centil 10 Orang-orang Lembah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rah berkepala botak berdiri di atas batu besar. Elang itu menukik dan hinggap di
atas pundak kakek itu.
"Keparat! Siapa kau?" bentak Raden Gayo dengan marah. Segera dia mengetahui
kalau elang itu mi-
lik orang itu. Laki-laki tua jubah kelabu itu tak menjawab,
tapi tertawa terkekeh, dan tubuhnya berkelebat me-
lompat turun dari atas batu besar di atas tebing. Gerakan melompatnya sangat
ringan, seperti sehelai suara.
Jelas orang ini memiliki tenaga dalam sangat tinggi.
Raden Gayo perhatikan wajah kakek ini. Ter-
nyata orang itu walau tampak dari jauh berkepala
gundul, tapi masih tampak sedikit rambut di bagian
belakang kepala. Kumis dan jenggotnya lebat menyatu
dengan cambang bauknya. Usianya tak lebih dari
enam puluhan tahun. Lengannya mencekal tongkat
berbentuk aneh, yaitu di bagian tengahnya ada kayu
berbentuk bulat sebesar buah semangka.
"Heheh...heh... maafkan kekurangan ajaran bi-
natang piaraan ku, anak muda...!"
Raden Gayo mendelikkan matanya dan mem-
bentak marah. "Huh ! kalau kau tak menyuruh menyerangku,
masakan dia berbuat seperti itu?" Si kakek kembali tertawa mengekeh. Lalu
berkata. "Aku tak menyuruh menyerangmu, anak muda!
Tapi agaknya dia melihat kau seperti musuhnya. Tam-
paknya kau membawa sesuatu yang membuat dia
menjadi marah. Apakah isi buntalan kain kuning di
atas punggung kudamu?"
"Heh! alasanmu tak masuk akal! Kau cuma
berdalih saja, dan maksudmu sebenarnya adalah
hanya untuk menanyakan benda apa yang ku bawa!"
kata Gayo dengan sikap tak senang. Lalu sambungnya
dengan ketus. "Adapun yang berada dalam buntalan kain
kuning itu, dan benda apa yang aku bawa bukanlah
urusanmu! Yang jelas kau hampir saja mencelakai di-
riku! Katakanlah apa maksudmu sebenarnya!"
"Hehe... baik! baiklah aku akan mengatakan
maksudku sebenarnya padamu, anak muda! Apakah
kau yang bernama Raden Gayo?"
"Kalau kau sudah mengetahui, mengapa pura-
pura bertanya?" sahut Raden Gayo ketus. Si kakek la-gi-lagi tertawa. Jawaban
ketus Raden Gayo tak mem-
buat dia marah, tapi malah tertawa geli mengekeh.
"Heheh... aku memang telah mengetahui kau
Raden Gayo, anak BARAMANTRA! Tapi mata ku sudah
agak mulai lamur, hingga aku menanyakan padamu
agar lebih jelas!" kata kakek ini. Raden Gayo tak menyahut. Dia hanya
perdengarkan suara di hidung. Tapi dalam hati diam-diam dia terkejut, karena dia
tak pernah mengenal kakek itu. Tapi orang tua itu mengenali ayahnya. "Siapakah
sebenarnya kakek ini...?" berkata dalam hati Raden Gayo.
"Aku memang sengaja menahanmu, dan me-
nyuruh burung elang menyerangmu. Dengan demikian
kau akan berhenti. Sejak kau masih di bawah bukit
aku sudah melihatmu. Kau menjalankan kuda seperti
tergesa-gesa. Dan kulihat di punggung kudamu ada
buntalan kain kuning. Tentu saja aku ingin mengeta-
hui apa isi buntalan kain yang kau bawa itu?" kata si kakek.
"Kau terlalu ikut campur urusan orang, tua
bangka! Walaupun kau kenal ayahku, tapi apa hubun-
gannya dengan barang yang aku bawa?"
Berubahlah paras muka kakek jubah merah.
Dia mengetukkan tongkatnya ke tanah. Lalu berkata
dengan suara dingin.
"Hm, aku mendapat firasat benda yang kau ba-
wa adalah benda pembawa malapetaka ! Oleh karena
itu aku telah menghadangmu di tempat ini untuk
menghancurkan barang pesanan gurumu !"
Membelalak mata Raden Gayo. Dia membentak
dengan marah. "Huah! lagi-lagi kau gunakan alasan! Kau orang
tua mengenal ayahku, siapakah kau sebenarnya?"
"Hm, apakah ayahmu Baramantra tak menceri-
takan tentang aku" Heh... heh... he..., alangkah bo-
dohnya ayahmu! Ternyata dia lebih mementingkan is-
teri-isterinya saja dan banyak bersenang-senang den-
gan harta-benda, tanpa menyadari kalau anak laki-
lakinya terjerumus ke dalam jurang kesesatan! Akulah yang bernama Ki SEMBULUR!
Dalam Rimba persilatan orang mengenal ku dengan gelar si Pendekar Usil!"
sahut laki-laki tua ini.
"Pantas kau suka usil dengan urusan orang!"
bentak Raden Gayo dengan marah, tapi juga terheran
mendengar julukan aneh laki-laki tua itu. Ayahnya
memang tak pernah menceritakan tentang orang di
hadapannya itu. Dan nama serta gelarnya pun baru
kali ini mendengarnya. Ki Sembulur lanjutkan kata-
katanya. "Aku kenal ayahmu sejak dua puluh tahun
yang silam. Sejak dia masih jadi gembel, hingga kini menjadi seorang Raja Kecil
yang hidup dari sokongan
seorang pembesar kerajaan!"
"Keparat! kau menghina ayah dan keluargaku?"
bentak Raden Gayo dengan wajah merah padam. Da-
danya terasa hampir meledak karena gusarnya. Tapi Ki Sembulur meneruskan kata-
katanya. "Aku juga kenal baik dengan gurumu! Dia tak
lebih dari manusia setali tiga uang dengan ayahmu!"
Sampai disini Raden Gayo tak dapat menahan
kemarahannya. Tubuhnya bergetar. Dan tiba-tiba dia meng-
gembor keras dibarengi dengan gerakan tubuhnya me-
nerjang kakek itu.
*** LIMA DARI SISI LAMPING BUK1T tersebut dua sosok
tubuh... Siapa adanya dua orang ini tak lain dari dua begal bernama Dokoh
Simburu dan Bronco. Keduanya
pentang mata lebar-lebar menyaksikan pertarungan
seru antara seorang laki-laki muda melawan seorang
kakek berjubah merah bersenjatakan tongkat aneh.
Tapi pandangan mata mereka sebentar melihat ke arah
pertarungan, sebentar melihat ke arah kuda. Ternyata yang menjadi incaran dua
orang begal adalah bungkusan kain kuning yang berada di atas punggung kuda.
Si pendek Dokuh Simburu berikan isyarat pada
Bronco kawannya yang berkumis baplang. Kemudian
dengan berindap-indap menuruni tebing mendekati ke
arah kuda yang berada di bawah bukit.
Sementara itu pertarungan dua orang itu masih
berlangsung dengan Serunya. Raden Gayo telah men-
cabut senjatanya sepasang ruyung berujung runcing.
Dengan kemarahan meluap dia menerjang. Dua batang
ruyung di tangannya seolah-olah menjadi puluhan
ruyung yang menempur lawannya dengan tusukan-
tusukan mengandung maut. Akan tetapi si kakek ju-
bah merah dengan tongkat anehnya menangkis sam-
baran-sambaran berbahaya itu.
Lewat tiga belas jurus tiba-tiba si kakek berna-
ma Ki Sembulur itu perdengarkan bentakan keras. Tu-
buhnya tahu-tahu telah terbungkus oleh putaran
tongkatnya. Syiuran angin dari putaran tongkat mem-
buat setiap kali serangan ruyung Raden Gayo terpental balik. Bahkan tubuh pemuda
itu terhuyung ke kanan
dan ke kiri. Di saat itulah tiba-tiba terdengar bentakan menggeledak. Dan
sesosok bayangan berkelebat muncul diiringi sambaran angin keras ke arah
punggung Ki Sembulur.
Kakek ini tersentak kaget merasai angin panas
menyambar di belakang tubuhnya. Ki Sembulur henti-
kan putaran tongkatnya.
Secepat kilat dia balikkan tubuh. Dengan tela-
pak tangannya dia menghantam ke depan. DESS!
Angin pukulan terhantam dan mental balik.
Tapi tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa lang-
kah. Namun dengan gerakan sebat dia telah memper-
gunakan aji Pasak Bumi. Hingga tubuhnya berdiri te-
gak lagi. Kini sepasang matanya melihat siapa adanya
orang yang menyerang barusan.
"Bagus! kukira kau tak akan muncul, tua
bangka KEBO DUWUNG!" berkata Ki Sembulur dengan suara dingin. Laki-laki tua
berjubah kelabu berambut putih ikal dan tampak semrawut itu membentak marah. "Ki
Sembulur si Pendekar Usil! Kau boleh usil dengan lain orang, tapi jangan usil
dengan urusanku!"
bentaknya menggeledek.
"Hehe...he... belasan tahun tak bertemu ternya-
ta kau telah banyak kemajuan! Muridmu cukup hebat!
Aku hanya mengujinya saja! Ternyata kau mendidik-
nya cukup baik. Tapi apa yang akan kau buat dengan
patung pesananmu" Aku punya firasat buruk, bahwa
benda itu akan membawa malapetaka!" berkata Ki
Sembulur dengan sikap tenang.
"Hm, arca itu pesanan seorang sahabatku yang
saat ini menjadi tetamu ku. Dia datang dari kaki gunung Himalaya!" sahut Kebo
Duwung dengan tak kalah dingin, Lalu menyambung kata-katanya.
"Benda itu dibuat dari batu hitam yang langka!
Yang dibawa dari seberang samudera! Aku mendapat
penjelasan, bahwa benda itu kelak akan dijadikan se-
bagai patung pemujaan, atau sebagai lambang Dewa
yang dianutnya! Mengenai urusan itu, bukanlah uru-
san kita orang. Kalau kau turut usil mencampuri uru-
san, bukankah sama dengan kau mencari permusu-
han?" Sejenak Ki Sembulur tertegun. Akan tetapi segera dia berkata.
"Baik! hal itu memang bukan urusanku. Tapi...
aku mendapat firasat benda itu akan membawa mala-
petaka! Itulah sebabnya aku menahan murid mu, dan
dengan sangat menyesal sekali terpaksa aku harus
menghancurkan benda itu!"
Berubahlah seketika wajah Kebo Duwung. Ma-
tanya membeliak lebar. Gigi gerahamnya gemerutuk.
Kumis dan jenggotnya bergetar.
"Firasat gila ! Bilang saja kau mengingini benda itu! Kalau begitu aku si tua
Kebo Duwung akan mem-pertahankannya dengan taruhan nyawaku!" bentak la-ki-laki
tua ini dengan menggeram.
Akan tetapi ketika mereka siap untuk baku
hantam, mendadak terdengar suara teriakan Raden
Gayo. "Celaka! patung itu dicuri orang!"
Tentu saja teriakan itu membuat kedua kakek
ini jadi terkesiap kaget.
Serentak mereka berkelebat memburu ke arah
Raden Gayo yang telah berada di dekat kuda tunggan-
gannya. Bungkusan kain kuning di atas pelana kuda
memang telah lenyap!
"Bodoh! apakah kau tak melihat ada orang be-
rada di sekitar tempat ini?" bentak Kebo Duwung dengan suara tinggi parau.
"Aku... aku tak melihatnya...!" sahut Raden Gayo. Untuk pertama kalinya dia
dimarahi oleh sang
Guru. Hal itu telah membuat wajahnya berubah me-
rah, dan terasa panas. Apalagi kata-kata "bodoh" itu diucapkan dengan suara
kasar dan keras. Entah mengapa timbul satu keanehan pada diri dan jiwa laki-laki
muda itu. Darahnya bergolak dan aliran darahnya serasa deras. Urat lehernya
menggembung, juga urat
yang berada di bagian kening berubah memerah dan
menggaris kening dengan nyata.
"Siapakah yang bodoh, Guru" Aku atau kau"
Huh! seenaknya saja kau memakiku! Aku sudah beru-
saha, membawa patung pesananmu untuk kuberikan
padamu! Setelah hilang kau menyalahkan aku! Heh!
Selama ini apakah yang kudapatkan darimu" Cuma
ilmu memainkan sepasang ruyung yang tak ada ar-
tinya. Kalau aku tak memberikan imbalan yang terlalu layak buatmu, atas
permintaanmu... Hm, mungkin
kau tak menghiraukan aku! Selama ini aku cuma dipe-
ras saja olehmu. Nyatanya kau berani memakiku. Pa-
dahal ayahku sendiri belum pernah memakiku!"
Tentu saja kata-kata Raden Gayo yang nyerocos
itu membuat Kebo Duwung melengak. Dia tak me-
nyangka kalau pemuda muridnya itu akan tersinggung
hatinya karena dia telah membentaknya dengan kasar.
"Muridku... mengapa kau...?" berkata Kebo
Duwung dengan heran. Akan tetapi jawabannya adalah
pemuda itu menerjangnya dengan beringas.
Sepasang ruyung menyambar ke arah jantung
dan leher kakek itu.
Tentu saja membuat Kebo Duwung terperanjat
kaget. Serangan tak terduga itu begitu cepatnya. Kebo Duwung berteriak tertahan.
Walau dia berhasil mengelakkan serangan, tapi tak urung
salah satu ujung ruyung telah menancap di dada ki-
rinya. Membelalak mata kakek ini melihat darah me-
mancur dari luka di dadanya yang membasahi kain ju-
bahnya. Dengan menyeringai menahan rasa perih ka-
rena lukanya, Kebo Duwung rentangkan tangan. Me-
nyambarlah angin pukulan ke arah Raden Gayo. Puku-
lan tenaga dalam mengandung maut itu luput, karena
pemuda itu dengan gerakan sebat telah gulingkan tu-
buhnya menghindari serangan.
Di saat pertarungan itu terjadi, Ki Sembulur
yang sejenak terpana melihat pertarungan antara guru dan murid itu, segera
berkelebat pergi dari tempat itu.
Beberapa kali dia gerakan tubuh melompat, memeriksa
sekitar perbukitan. Matanya jelalatan memperhatikan
kalau-kalau dia dapat melihat ada bayangan manusia
di sekitar tempat itu.
"Gila! siapa yang telah mencuri patung itu?"
berkata Ki Sembulur dalam hati. Di saat dia tengah
menyelidiki sekitar tempat itu, tiba-tiba dia mendengar suara jeritan merobek
udara di kejauhan. Hatinya tersentak. "Edan! Apa yang telah terjadi dengan
pertarungan guru dan murid itu?" sentak Ki Sembulur. Tubuh-nyapun berkelebat
Roro Centil 10 Orang-orang Lembah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali kea rah dimana kedua
orang itu tengah Saling baku hantam.
Tampak suatu pemandangan yang menyayat
hati terpampang di matanya. Raden Gayo dalam kea-
daan terkapar dengan kepala remuk. Sedangkan kakek
jubah kelabu Kebo Duwung terhuyung-huyung dengan
wajah pucat pias. Sebuah ruyung muridnya menancap
di dadanya hingga menembus ke punggung.
"Murid setan... ke... pa... rrat...!" memaki Kebo Duwung.
Bersamaan dengan makian itu, tubuh Kebo
Duwung terjungkal roboh. Darah menyembur dari lu-
kanya, ketika dia mencabut ruyung yang tertancap di
dada. Nyawa laki-laki tua itupun melayang ... Menyu-
sul arwah Raden Gayo yang telah berangkat lebih dulu akibat terkena hantaman
pukulan pada batok kepalanya. Ki Sembulur terpaku menatap tak bergeming.
Tak lama terdengar dia menghela napas, seraya berka-
ta lirih. "Benarlah seperti firasat ku, benda itu akan membawa malapetaka!
Nyatanya saat ini sudah dua
orang yang menjadi korban malapetaka itu!" Ki Sembulur balikkan tubuhnya, lalu
berkelebat pergi mening-
galkan perbukitan itu. Seekor elang terbang melayang dari atas batu tebing.
Itulah elang peliharaan Ki Sembulur yang sejak
tadi cuma mengikuti kemana laki-laki itu pergi. Melihat Ki Sembulur berkelebat,
binatang itu melayang cepat mengejar, dan mengikuti laki-laki itu dengan terbang
di atasnya. *** ENAM BEBERAPA BULAN TELAH LEWAT... bahkan
telah hampir setahun sejak lenyapnya arca batu hitam berbentuk aneh itu, dan
kematian Raden Gayo serta
gurunya Kebo Duwung telah hampir dilupakan orang.
Seorang gadis menunggang kuda dengan lang-
kah perlahan menuruni bukit. Dia seorang wanita ber-
paras cantik. Rambutnya tergerai di belakang pung-
gung. Mengenakan baju dari sutera kuning. Wajah ga-
dis yang menampakkan keluguan itu sangat sedap di-
pandang. Siapa adanya gadis ini" Dialah RORO CEN-
TIL, si gadis aneh yang dikenal dengan julukan si Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Roro alunkan satu tembang dari mulutnya. Su-
ara tembang yang mensyairkan kata-kata memuji
keindahan alam, serta kehidupan manusia yang tente-
ram dan damai. Ketika tiba di bawah bukit, mendadak Roro
hentikan senandung tembangnya. Matanya menatap
ke arah depan. Tampak puluhan orang muncul dari
sela tebing dimana di sebelah belakangnya adalah se-
buah perkampungan. Puluhan orang itu berjalan berir-
ing-iringan. Hampir rata-rata mereka mengenakan pa-
kaian selembar kain putih yang dibelitkan ke tubuh,
dan di bagian ujungnya disampirkan ke bahu.
Yang membuat aneh Roro adalah di bagian de-
pan tampak empat orang menggotong sebuah tandu
yang dihiasi dengan bunga-bunga beraneka warna.
"Siapakah orang dalam tandu itu... dan akan
dibawa kemana?" berkata Roro dalam hati. Rasa ingin tahu segera menyelinap dalam
hatinya. Roro bedal kudanya untuk menyusul iring-
iringan itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara me-
manggil di belakangnya. "Nona RORO...!"
Roro menahan kendali kudanya, dan menoleh
ke belakang. Tampak seekor kuda putih berpenunggang seo-
rang laki-laki yang juga berpakaian putih dengan ikat kepala kain hitam membedal
cepat menyusulnya.
Setelah dekat segera dia mengenali siapa pe-
nunggang kuda itu.
"Nona Roro! tunggu dulu...!" kata laki-laki itu,
"Ah, kiranya kau sobat JABO LALENGGA! Ada apa kau menyusul ku...?" Laki-laki
baju putih itu menjura, lalu menyahut.
"Aku baru saja dari Lamongan, menjenguk
ayah angkatku. Ada berita beliau sakit keras. Salah
seorang saudara angkatku telah menyusulmu memberi
khabar mengenai keadaan ayah angkatku. Dan... se-
kembalinya dari sana secara tak sengaja aku melihat-
mu ketika melintasi lembah Dewa Suci ini!"
"Lembah Dewa Suci...?" sentak Roro terkejut.
"Jadi lembah ini bernama demikian?" berkata Roro dengan kening mengerenyit.
"Benar ! Lembah ini merupakan tempat suci
bagi penduduk sekitarnya. Kebetulan saat ini tengah
ada acara pengorbanan! Kalau kau masuk kesana
dengan mengendarai kuda, tentu akan dimaki orang.
Atau bisa juga kau akan dilempari batu, karena dianggap mengotori tempat suci!"
kata Jabo Lalengga.
"Oh...!" aku memang mau melihat siapakah
orang dalam tandu itu, dan apakah yang tengah mere-
ka lakukan !" Roro ternganga mendengar keterangan pemuda itu.
"Hm, mari kita tinggalkan tempat ini. Akan ku-
ceritakan nanti mengenai lembah Dewa Suci ini.
Mungkin kau belum pernah mendengarnya...!" kata Jabo Lalengga. Roro manggutkan
kepala. Tapi masih
menatapkan pandangan ke arah iring-iringan orang
pembawa tandu itu yang menuju ke tengah lembah.
Pemuda itu putar kuda tunggangannya, lalu
membedalnya terlebih dulu. Roro menggumam perla-
han. "Lembah aneh...!" Kemudian putarkan kudanya, dan membedalnya dengan cepat
menyusul pe- muda itu. Jabo Lalengga ternyata banyak mengetahui ja-
lan di tempat itu. Kudanya memutar ke arah barat, la-lu mendaki sebuah bukit.
Dalam waktu singkat mere-
ka telah berada di atas lembah.
Pemuda itu hentikan kudanya. Lalu melompat
turun. Roro Centil menuruti pemuda itu melompat tu-
run dari punggung kuda.
"Tempat yang bagus!" kata Roro sambil layangkan pandangannya ke bawah. Dari sini
masih keliha- tan iring-iringan orang pembawa tandu itu, dan nam-
pak kecil dari kejauhan. Tapi cukup jelas.
"Bagaimana kau bisa tahu lembah itu tempat
suci?" bertanya Roro.
Jabo Lalengga jatuhkan pantatnya ke atas ba-
tu. Sesaat matanya menatap Roro, kemudian menya-
hut. "Sebulan yang lalu aku pernah menghadiri
upacara pengorbanan di lembah itu, diajak oleh salah seorang sahabatku di desa
sekitar lembah ini. Sayang, aku tak dapat menunjukkan tempatnya. Dia tinggal di
kaki bukit itu!" kata Jabo Lalengga sambil menunjuk.
Roro melihat ke arah yang ditunjuk pemuda itu.
"Apa yang kau ketahui di lembah itu" Dan bi-
natang apakah yang dikorbankan?" tanya Roro. Pemuda itu tertawa.
"Binatang...?" katanya menukas. "Haha... bukan binatang yang dijadikan
korbannya, akan tetapi
manusia!" sahutnya.
"Manusia...?" sentak Roro. Terkejut dan heran Roro menatap pemuda di hadapannya
dengan mata membelalak. "Benar! Dewa Suci yang menjadi sesembahan
orang-orang di sekitar lembah itu membutuhkan darah
seorang gadis yang masih suci!" Lagi-lagi Roro Centil terpana mendengar
keterangan Jabo Lalengga.
"Edan! benar-benar gila! Masakan ada persem-
bahan kepada Dewa dengan cara semacam itu?" kata-Roro dengan wajah berubah.
"Tapi kenyataannya memang demikian! Setiap
satu bulan pasti ada acara pengorbanan. Dan seperti
yang kau lihat, hari ini adalah bulan yang keenam seperti yang diketahui dari
sahabatku, acara pengorba-
nan segera akan dilaksanakan...!"
"Kapankah akan dimulai upacara itu?" tanya Roro. Hatinya tersentak, dan wajahnya
berubah agak pucat. Roro melihat di dasar lembah puluhan orang
pembawa tandu telah berkumpul di depan sebuah goa.
"Upacara akan dimulai setelah hari gelap. Kira-
kira sepenanak nasi, akan terdengar suara gong dipa-
lu. Dan tandu akan digotong ke dalam oleh beberapa
orang berpakaian seperti pendeta. Di bagian sebelah
atas di luar goa ada pancuran tempat mengucurkan
darah gadis yang dikorbankan. Darah itu ditampung
dalam kuali. Kemudian akan dicampur oleh air kelapa
yang telah direndam dengan bermacam kembang. Air
itulah yang dibagi-bagikan pada setiap orang yang
menginginkan keselamatan dan lain-lain, terserah
keinginan apa yang dimaui oleh orang turut nadir da-
lam upacara itu!" tutur Jabo Lalengga.
"Darah itu untuk diminum?" sentak Roro.
Pemuda itu mengangguk. Roro belalakkan matanya.
"Kau... kau juga meminumnya?" tanya Roro se-
tengah berteriak.
Tapi Jabo Lalengga menggelengkan kepala, se-
raya menyahut dengan mimik wajah bersungguh-
sungguh. "Syukurlah aku tak meminumnya. Cairan da-
rah bercampur air kelapa itu aku buang secara diam-
diam..." Roro jumput sebuah batu sebesar kelapa. Ti-ba-tiba dia melemparkan batu
itu hingga melesak ke
dalam tanah. "Gila! apa yang telah dilakukan di dasar lembah itu tak dapat dibenarkan! Itu
suatu perbuatan terkutuk! lembah itu bukanlah lembah suci, tapi lembah
terkutuk!" maki Roro dengan napas tersengal dan tampak dadanya turun naik.
Sebagai seorang wanita yang
juga masih gadis, apa yang diutarakan mengenai upa-
cara pengorbanan di lembah Dewa Suci itu tentu saja
membuat kengerian pada hati Roro. Roro merasa
kaumnya telah diperbuat sesuka hati oleh sekelompok
manusia yang mengadakan persembahan pada sang
Dewa Suci yang mereka puja-puja.
Entah macam apakah Dewa yang mereka sem-
bah dan haus darah gadis-gadis yang masih suci itu"
Roro merasa kepalanya berdenyutan memikirkan upa-
cara aneh yang malam nanti bakal berlangsung di da-
sar lembah itu.
*** TUJUH CUACA TELAH BERUBAH GELAP... Keadaan di
dasar lembah tampak terang benderang karena bela-
san orang berpakaian mirip paderi telah berdiri mengelilingi para pembawa korban
persembahan dengan
memasang obor-obor. Selang tak berapa lama terden-
gar suara gong dipukul dari dalam goa.
Empat orang laki-laki berkepala gundul berju-
bah kuning keluar dari dalam goa. Dan kelompok pen-
gantar dan pembawa tandu segera menyingkir membe-
ri jalan. Tak lama tandu segera digotong masuk ke dalam goa.
Di saat itulah di kejauhan, kira-kira sepuluh
tombak dari tempat itu terdengar suara teriakan seo-
rang laki-laki tua. Dia berlari-lari jatuh bangun dengan sangat mengenaskan
sekali. "Tidaaak! cucuku jangan dijadikan korban! Le-
paskan cucuku...!" teriaknya dengan suara parau menghiba. Para penggotong tandu
sesaat menghenti-kan langkahnya. Tapi segera terdengar bentakan dari
dalam goa. "Jangan hiraukan siapa pun. Cepat bawa ke
dalam. Tak ada calon korban yang harus dibatalkan!"
suara bernada besar itu sangat berpengaruh, hingga
tak ayal keempat paderi itu cepat menggotongnya ma-
suk. Sesaat antaranya laki-laki tua telah tiba di depan mulut goa, dimana
puluhan manusia berkerumun. Belasan paderi membawa obor tak satupun yang berani
bergerak tanpa ada perintah.
Di saat itulah dua orang paderi berjubah abu-
abu keluar dari dalam goa. Dengan langkah lebar ke-
duanya mendekati laki-laki itu.
"Tua bangka! kau telah berani melanggar pera-
turan. Tahukah kau apa hukumannya?" bentak salah seorang.
"Dia... dia cucuku.... Mengapa dia harus dijadikan korban persembahan?" berkata
laki-laki tua ini dengan wajah pucat dan suara gemetar.
"Seret dia ke depan altar!" satu suara berpengaruh terdengar tanpa terlihat
orangnya yang bicara. Sekali gerakkan lengan, salah seorang
paderi jubah kuning menjambak rambutnya. Laki-laki
tua itu menjerit kesakitan. Tapi kedua pengawal tem-
pat pemujaan itu tak memperdulikan. Mereka menye-
ret orang itu ke depan altar. Ternyata di depan goa ada tangga undakan yang pada
bagian ujungnya terdapat
asap pedupaan yang mengepulkan asap kerbau harum
menusuk hidung. Keduanya menyeretnya ke depan
tangga undakan.
Satu totokan yang dilakukan salah seorang pa-
deri jubah kuning telah membuat laki-laki tua itu terpaku diam dalam keadaan
menekuk lutut di tangga
batu. Terdengar suara tanpa rupa yang bersuara besar seperti tadi.
"Kau telah melanggar aturan di tempat suci.
Maka hukumannya adalah potong lengah!" Mendengar kata-kata itu laki-laki tua ini
pucat wajahnya. Tapi dia segera berkata.
"Potonglah lengan atau kakiku, atau bunuhlah
aku. Asalkan cucuku dibebaskan!"
"Kau benar-benar telah mengotori tempat suci.
Maka hukumannya adalah penggal kepala!" Terdengar lagi suara dari dalam goa.
Laki-laki tua itu berteriak kalap. "Kalian semua manusia-manusia biadab! Kalian
benar-benar iblis! Kelak kalian akan mendapat balasan setimpal dengan perbuatan
gila ini!" Akan tetapi teriakan laki-laki tua itu terputus. Mendadak tubuhnya
terlempar dari depan altar. Para pengantar korban menjerit kaget dengan wajah
pucat. Ketika tubuh laki-laki tua itu menyentuh tanah di depan goa ternyata
lehernya telah putus!
Di saat itulah tiba-tiba sebuah bayangan berke-
lebat diiringi bentakan nyaring.
"Manusia-manusia terkutuk! Sungguh perbua-
tan biadab!"
Dua paderi jubah kuning yang berdiri di kiri
kanan altar tiba-tiba menjerit dan terjungkal roboh.
Gemparlah seketika puluhan orang di depan goa itu.
Ternyata dua pengawal upacara itu telah tewas seketi-ka.
Roro Centil 10 Orang-orang Lembah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua belas paderi pembawa obor terkejut meli-
hat kejadian itu. Dilihatnya seorang wanita berbaju
kuning telah berdiri di depan altar. Siapa adanya wanita ini tiada lain dari
Roro Centil. Ternyata dengan di-am-diam pendekar wanita itu telah menyusup masuk
ke tempat di adakannya upacara di mulut goa, di dasar lembah itu.
Puluhan penduduk yang melihat munculnya
seorang gadis berambut panjang mengurai di tempat
itu cuma bisa ternganga dengan menelan ludah.
Siapa lagi yang telah membunuh dua orang
pengawal upacara kalau bukan dara itu" Sementara
Roro dengan langkah lebar melangkah masuk ke mu-
lut goa. Keberanian yang ugal-ugalan itu membuat terkesiap seseorang yang berada
disudut celah tebing ba-tu. Dengan mata membelalak dia melihat kejadian di
depan mata. "Ah, gadis pendekar itu terlalu berani...! Ilmu kepandaiannya memang hebat. Tapi
dengan mencari gara-gara di tempat yang dianggap tempat suci oleh
segolongan manusia-manusia di lembah itu, justru
akan menyulitkan dirinya...!" mendesis pemuda ini yang tak lain dari Jabo
Lalengga. "Apakah yang harus kuperbuat...?" berkata Ja-bo Lalengga dalam hati.
Di saat pemuda itu tengah kebingungan men-
gambil keputusan, karena walaupun dia punya kebe-
ranian cukup, tapi untuk mengambil resiko turut
mendampingi gadis pendekar yang bersikap ugal-
ugalan itu terlalu berat baginya. Setidak-tidaknya dia toh masih sayang
nyawanya. Di saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan me-
lengking merobek udara berbareng dengan terlempar-
nya tubuh dara ugal-ugalan itu dari dalam goa.
"Nona Roro...!" teriaknya secara tak sadar. Dan tubuhnya telah berkelebat
melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Akan tetapi baru saja dia akan memburu tubuh
yang tergeletak di tangga undakan altar, tahu-tahu
berkelebat bayangan putih...
Sebelum Jabo Lalengga sadar apa yang terjadi,
tahu-tahu kepalanya seperti dihantam benda keras.
Tubuh pemuda itu roboh terguling, dan selanjutnya
dia sudah tak ingat apa-apa lagi...
*** DELAPAN RORO CENTIL TERHERAN-HERAN... Tahu-tahu
dia telah berada di sebuah tempat asing. Ketika me-
mandang ke sekeliling Roro tersentak melihat ratusan ular berbisa besar dan
kecil mengelilingi dirinya pada jarak dua-tiga tombak. Sedangkan dia sendiri
berdiri dengan pakaian sudah tidak utuh lagi.
"Oh, dimana aku...?" sentaknya dengan wajah pucat. Keadaan di sekelilingnya
gelap pekat, tak terlihat cahaya secuil pun. Ketika dia mencoba mengge-
rakkan kaki dan tangan, terasa sukar. Aneh! dia mera-sa tenaganya lenyap sama
sekali. Di saat itulah dari arah kegelapan di sekitarnya
bermunculan sosok- sosok tubuh yang membuat kaki
Roro menyurut mundur. Itulah sosok-sosok tubuh la-
ki-laki bertubuh kekar setengah telanjang. Wajah-
wajah kasar dengan mulut menyeringai dan mata
membinar-binar melangkah mendekatinya. Roro ter-
sentak kaget. Sekujur pembuluh darahnya terasa ter-
sumbat. Roro merasa tubuhnya lemah tak bertenaga
sama sekali. Ketika dibalikkan tubuh belakang terlebih dahulu lagi terkejutnya.
Ternyata belasan manusia
menyeramkan itu telah mengurungnya.
Sadarlah Roro kalau dirinya tak mungkin lagi
menghindarkan bahaya di depan matanya lagi. Semen-
tara dilihatnya manusia-manusia bermata jalang den-
gan mulut menyeringai itu melangkah semakin dekat.
Kini lengan-lengan kasar penuh urat bertonjolan itu
berjuluran untuk menjamah tubuhnya. Wajah Roro
pucat pias bagai tak berdarah. Kengerian terbayang di depan matanya. Apakah yang
akan diperbuat manusia-manusia lembah itu terhadap dirinya"
"Gila! Edan....! tempat apa ini" Dimana aku..."
Apa yang akan mereka lakukan terhadap diri ku...?"
sentak Roro dengan wajah semakin pias. Rasa takut
yang luar biasa agaknya baru pertama kali inilah yang di rasakan Roro. Keringat
dingin mengucur di sekujur tubuh, dan otak Roro serasa kacau...
Ketika Roro merasa lengan-lengan kasar itu
menjamah sekujur tubuhnya, menjeritlah Roro sekuat-
kuatnya.... "Tidaaak...!"
Dan di detik itulah Roro Centil terlonjak kaget,
karena ketika membuka matanya bayang-bayang so-
sok manusia yang menyeramkan itu lenyap sirna.
Roro terheran karena dapatkan dirinya terbar-
ing di balai-balai bambu bertilam sehelai tikar pandan.
Ketika memandang ke arah sebelah kiri, tampak seo-
rang laki-laki tua berjubah hitam yang ujungnya dis-
ampirkan di pundak, menatapnya dengan tersenyum.
"Si...siapa kau...?" sentak Roro dengan suara parau. Tapi mendadak kepalanya
terasa berat. Berat
sekali.... Dan ketika dia berteriak tadi ada rasa nyeri pada dadanya di sebelah
dalam. "Haih... sukurlah, kau sudah sadar dari ping-
san mu, cah ayu...!" Suara itu begitu lembut, membuat Roro kembali bertanya
heran. "Kau... kau siapakah orang tua " Dan di mana-
kah aku " Apa yang telah terjadi dengan diriku...?"
Yang ditanya tersenyum, lalu menyahut.
"Keberanianmu sungguh luar biasa, cah ayu!
Tapi kau telah bertindak sembrono! Untunglah aku
berhasil menyelamatkan dirimu dari orang-orang lem-
bah terkutuk itu...! Namaku SEMBULUR. Panggillah
aku Ki SEMBULUR!" Roro belalakkan matanya.
"Jadi aku tadi bermimpi...?" berkata Roro dengan suara menggumam.
"Hm, kau mimpi apakah cah ayu" Kudengar ta-
di kau menjerit keras sekali ketika aku menyelimuti
tubuhmu. Hampir sehari semalam kau tak sadarkan
diri. Tubuhmu panas sekali. Tapi aku telah meminum-
kan kau akar obat. Kesehatanmu dalam waktu tak la-
ma akan pulih kembali. Untunglah tenaga dalammu
sangat tinggi, hingga kau tak sampai tewas! Orang-
orang lembah terkutuk itu sangat tinggi ilmunya. Kau pasti terluka dalam. Tapi
kalau kau mau memban-tunya dengan menyalurkan hawa murni dari bagian
pusar, maka luka dalam itu akan cepat sembuh kem-
bali...!" Tak sampai menunggu lagi, Roro melompat bangkit dari pembaringan. Dan
dia telah jatuhkan tubuhnya berlutut di depan orang tua itu, seraya berka-
ta. "Ki Sembulur...! terimakasih atas pertolongan
mu. Aku yang bodoh dan kurang pengalaman ini ber-
hutang budi padamu..."
"Ah... bangunlah, cah ayu...! Jangan banyak
peradatan. Cepat ikuti petunjuk ku. Kau harus segera menyembuhkan luka dalammu!
Gunakan cara seperti
yang kukatakan tadi!" kata Ki Sembulur. Laki-laki tua itu mengangkat bangun Roro
Centil. Roro yang memang saat itu merasa ada rasa nyeri
Di bagian dalam dadanya, segera duduk bersila,
dan pusatkan kekuatan batinnya untuk menyalurkan
hawa murni dari pusar dan menyebarkan ke segenap
saluran darah. Lalu mengurut beberapa kali pada ba-
gian yang sakit. Tampak keringat dingin membasahi
punggung dan keningnya. Selang tak lama gadis itu
melompat bangun berdiri.
"Sekali lagi aku ucapkan terimakasih padamu
Ki Sembulur...!" kata Roro. Kemudian melanjutkan ka-ta-katanya.
"Kau tentu telah mengetahui siapakah adanya
manusia-manusia gila yang bercokol di lembah itu?"
tanya Roro, yang telah merasa agak enakan, karena
rasa nyeri pada dadanya sebelah dalam sudah agak
berkurang. Ki Sembulur menghela napas, lalu menyuruh
Pendekar Jembel 13 Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi Dewa Cadas Pangeran 1