Pencarian

Sepasang Pedang Siluman 3

Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman Bagian 3


pasang Pedang Siluman yang asli. Akan tetapi pada
saat itu sebuah benda menggelinding ke dalam ruan-
gan. Terkejutlah mereka, karena benda itu mengelua-
rkan asap berbau mesiu. Serentak mereka sudah ber-
lompatan menghindarkan diri. Pendekar Gentayangan
berteriak memperingati "Awas...! Bahan Peledak. Selamatkan diri kalian...!"
Begitu mereka berlompatan, justru sebuah
bayangan berkelebat masuk dari pintu belakang ke da-
lam ruangan itu. Dan secepat kilat telah menyambar
sepasang pedang Pusaka yang baru dibuka pembung-
kusnya oleh Ki Jagur Wedha. Dan detik selanjutnya,
sudah berkelebat lagi untuk sesaat kemudian lenyap
dibalik rumpun bambu. Tetapi Roro Centil telah bergerak cepat mengejarnya. Namun
sayang ia kehilangan
jejak. Sementara Bangau Putih dan si Pendekar Gen-
tayangan setelah menunggu sekian saat, ternyata tak
ada suara ledakan. Dengan menggerutu ia melompat
kembali ke dalam. Ternyata benda itu cuma keluarkan
asap saja tanpa meledak. Kedua tokoh tua ini jadi merasa tertipu. Pada saat itu
Roro Centil sudah berkelebat kembali ke depan pondok.
"Manusianya tak berhasil kutemukan. Benda
apakah itu tadi...?" Tanya Roro.
"Kita telah tertipu. Tak ada ledakan apa-apa
Bahkan asap itupun tak mengandung racun. Tentu ia
memang tak bermaksud mencelakai kita, cuma mau
merampas sepasang pedang itu saja rupanya...!" Berkata Ki Jagur Wedha dengan
rasa mendongkol, karena
dapat dipecundangi orang.
"Aku menduga dia si Giri Mayang alias si Kela-
bang Kuning. Yang kuketahui menurut pengakuan si
manusia Topeng Perunggu. Dia adalah muridnya si
Tun Parera, alias paderi tiruan Sapta Dasa Griwa.
Kalau memang benar dia adanya. Memang ia
yang berhak mewarisi Sepasang Pedang itu. Kita tak
perlu mengejarnya. Kini kita alihkan pembicaraan pa-
da cara mengatur rencana selanjutnya, sehingga Kuil
Istana Hijau bisa kembali putih...!" Berkata Roro Centil.
"Akan tetapi kita tak bisa bicara di sini, kita perlu berembuk dengan Ki Dharma
Sheta. Karena dia
yang mengetahui seluk beluk Kuil Istana Hijau...!" Ujar si Bangau Putih. "Benar!
Sebaiknya kita berangkat ke sana sekarang! "Membenarkan Ki Jagur Wedha. Roro
Centil tiba-tiba ajukan pertanyaan pada si Jagur Wedha.
"Maaf, Kakek Pendekar Gentayangan. Pondok
ini milik siapakah...?" Ki Jagur Wedha kernyitkan keningnya menatap Roro.
"He he he... tempat ini aku tak mengetahui sia-
pa pemiliknya. Tapi sudah dua hari aku berada di sini, tak pernah datang
pemiliknya...!"
"Aneh...!" Kalau begitu marilah kita berangkat!"
Berkata Roro Centil. Dan selang beberapa saat, mereka segera tinggalkan tempat
hutan bambu itu. Sementara
dibenak Roro telah terlintas bahwa pondok itu tentu
ada rahasianya. Karena kemunculan orang yang me-
rampas pedang tak diketahuinya sama sekali.
Jangan-jangan pondok tempat sarang si Kela-
bang Kuning. Alias Giri Mayang. Fikir Roro, tapi Roro hanya dapat menduga saja.
Sementara, ia terus mengikuti ke mana Ki Jagur Wedha kelebatkan tubuhnya.
Dalam perjalanan itu mereka tak lagi bercakap-cakap.
***** Saat itu matahari semakin tinggi menggelincar.
Burung-burung elang tampak beterbangan di udara.
Sesekali perdengarkan suaranya ketika melintas di
atas bukit. Tampaknya seperti memberi tanda akan
adanya satu pertarungan yang bakal meminta banyak
korban... Siapakah gerangan yang telah menyambar
kembali Sepasang Pedang Siluman..." Dugaan Roro
Centil ternyata tidak salah! Karena begitu mereka berkelebat tinggalkan tempat
itu. Sesosok tubuh yang
berbaju mirip rahib wanita dan berwarna Kuning telah berkelebat lagi muncul dari
balik rumpun bambu. Dan
sekejap telah berada di depan pondok.
Ternyata seorang wanita yang berusia sekitar
25 tahun. Beralis lurus mirip laki-laki berwajah agak lonjong, dengan dagu agak
panjang. Raut wajahnya
cukup cantik. Akan tetapi sinar matanya tampak me-
mancarkan dendam yang teramat hebat. Dialah GIRI
MAYANG alias si Kelabang Kuning. Tampak ada bekas
air mata yang telah mengering di pipinya. terlihat bibirnya bergetar menahan
perasaan yang menggebu da-
lam dadanya. Terdengar suaranya lirih mendesis...
"Roro Centil! Tunggu saatnya aku akan adu ji-
wa denganmu...! Aku memang tak mencampuri urusan
guruku, akan tetapi hutang jiwa harus dibayar dengan jiwa...! Kau telah
pergunakan ilmu siluman untuk
membunuh Guruku TUN PARERA. Kelak sepasang Pe-
dang Siluman ini akan mengorek jantung mu...!" Selesai berkata, iapun berkelebat
dengan cepat menuju ke arah sebelah barat.
***** Dua hari berselang sejak kejadian-kejadian di
luar Kuil Istana Hijau, tampak di pagi buta tiga sosok tubuh berkelebat melintas
perbukitan. Kira-kira sepenanak nasi, mereka hentikan tindakan kakinya. Lalu
bergerak untuk memecah menjadi tiga jurusan. ternya-
ta di hadapan mereka telah terlihat Kuil Istana Hijau.
Mereka adalah Roro Centil, si Bangau Putih dan si kakek berusia 1 abad, Pendekar
Gentayangan, alias Ki
Jagur Wedha. Kiranya Roro bertugas untuk masuk melalui
lubang rahasia di belakang Gedung Kuil. Karena sudah mendapat penjelasan tentang
tanda-tanda tempat
menuju ke lubang rahasia di bawah tanah. Roro Centil segera temukan tempatnya.
yaitu sebuah arca Budha
dari batu dengan ukuran kecil di mana terdapat di
ujung sebuah tugu, di belakang gedung Kuil. Setelah
meneliti keadaan sekitar, segera ia melompat mende-
kati. Dengan hati-hati ia putarkan arca itu menghadap ke timur. Tiba-tiba
terdengar suara batu bergeser. Kiranya sebuah lantas persegi di dekatnya telah
bergeser terbuka. Roro Centil melongok ke dalam, kiranya ada
tangga batu yang menurun. Secepat itu juga Roro su-
dah bergerak melompat ke dalam ruang. Lalu tanpa
ragu, segera meniti undakan untuk terus turun ke da-
lam. Tangga batu yang memanjang itu membelok ke
sebelah kiri. Terkejut Roro Centil, karena dapatkan sa-tu ruangan luas di dalam
lubang. Baru ia mau menin-
dak, terdengar suara orang bercakap-cakap yang me-
nuju di mana Roro berdiri dibalik dinding. Ternyata
dua orang paderi. Saat mereka lewat, segera lengan
Roro bekerja. Dua kali lengannya berkelebat, paderi-paderi
itu sudah keluarkan suara keluhan perlahan, dan ro-
boh tak sadarkan diri. Tersenyum gadis Pendekar ini.
Lalu dengan cepat ia sudah gotong kedua paderi untuk disembunyikan di tempat
gelap disudut dinding. Selanjutnya ia telah berkelebat dengan hati-hati, dan
kini masuki lagi satu ruangan kosong. Di sini cuma terlihat mesin-mesin
penggerak pintu-pintu rahasia. Saat itu
Roro bekerja cepat. Sebuah besi lempengan yang bera-
da di paling ujung, segera ia gerakkan ke bawah.
Sementara itu, si Bangau Putih yang berada di
satu ruangan depan Kuil Istana Hijau segera melihat
adanya satu lubang terbuka.
"Bagus...! Roro Centil telah berhasil memasuki
ruangan alat-alat rahasia! Berkata dalam hati si paderi ini. Dan tanpa berayal
ia telah bergerak melompat untuk memasuki lubang. Lalu tempelkan tubuh ke sisi
dinding, Sementara itu Ki Jagur di luar Kuil. Dengan sebelah lengan bertolak
pinggang. Sedangkan sebelah
lagi mencekal tongkat sebatang ranting bambu, tiba-
tiba telah perdengarkan suaranya berteriak santar.
Suaranya berkumandang ke seluruh ruangan.
"Hoooooiiiii...! Para pengkhianat di bawah ta-
nah...! Kalian telah terkurung! jangan harap dapat meloloskan diri. Tugangga!
Dewi Rembulan...! Keluarlah untuk menghadapiku. Atas nama paderi Ketua Utama
Ki Dharma Sheta menyerahlah untuk mempertang-
gungjawabkan perbuatanmu! Para paderi yang berk-
hianat akan diberi ampun, kecuali bila kalian memang membandel, akan tahu rasa
akibatnya...!"
Setelah menanti sejenak. Tampaknya tak ada
tanda-tanda orang yang keluar dari dalam ruang ba-
wah tanah. Ki Jagur Wedha berfikir sejenak.
"Pintu rahasia cuma ada tiga. Keduanya telah
di jaga oleh Roro Centil dan Bangau Putih. Kini tinggal satu pintu disudut
ruangan yang pasti mereka akan
keluar dari sana...!"
berfikir demikian, kembali Ki Jagur Wedha ber-
teriak keras-keras.
"Hoooiiiii...! Kalau ku hitung sampai tiga, tak ada yang keluar untuk serahkan
diri segera ruangan
bawah tanah akan ku ledakkan...!" Mengancam kakek tua ini. Lalu lanjutkan dengan
berteriak. "Ketahuilah, pemimpin gerakan kalian si paderi
Ketua Dua, Sapta Dasa Griwa sudah kami kirim ji-
wanya ke Akhirat!"
Agaknya kata-kata ini membawa pengaruh. Ka-
rena segera beberapa paderi berduyun-duyun bersem-
bulan keluar dari satu lantai yang telah bergeser terbuka. Segera Ki Jagur Wedha
sudah berkelebat ke sa-
na. Sembilan orang paderi tampak masing-masing
memegangi kepalanya, tanpa senjata keluar satu per
satu. Begitu melihat Ki Jagur Wedha segera berjongkok di atas lantai.
"Semua berkumpul di sana!" Berkata Ki Jagur Wedha dengan nada membentak.
Kesembilan itu cuma
bisa menurut. Dan duduk berjajar dengan menekap
kepalanya masing-masing. Saat itu kakek tua ini ki-
baskan lengan jubahnya. Segera bersyiur angin keras.
Yang membuat kesembilan paderi itu keluarkan kelu-
han. Tahu-tahu mereka jadi terkejut, karena seluruh
tubuhnya telah tak bisa digerakkan lagi, karena telah terkena totokan dari
syiuran angin yang melumpuhkan
anggota tubuhnya. Mereka cuma bisa keluarkan kerin-
gat dingin dengan hati kebat-kebit.
Saat itu di pintu rahasia si Bangau Putih telah
terjadi pertarungan. Karena lima orang paderi telah
mengetahui adanya Bangau Putih didinding ruangan
lorong rahasia. Mereka segera menerjang dengan se-
rentak. Terpaksa Bangau Putih keluarkan jurus Ban-
gau Mematuk. Walaupun ia sudah tak bersenjata lagi,
akan tetapi jurus itu amat hebat. Karena tampak ber-
kelebat bayangan putih berseliweran diantara kelima
paderi di tingkat ketiga ini. Tahu-tahu tubuh mereka telah terkena totokan lihai
si Bangau Putih. Dan dengan perdengarkan keluhannya segera roboh terjungkal.
Dengan tiga kali lompatan paderi ini tiba di ruang bagian bawah. Kembali ia
menyelinap di sudut ruangan.
Sepasang matanya mengawasi keadaan di dalam ruan-
gan. Saat itu Roro Centil telah berkelebat ke setiap ruangan. Tentu saja dengan
gerakan hati-hati. Tampak tiga belas paderi yang rata-rata memakai ikat kepala
pembungkus berwarna hitam. Mereka tengah berembuk di dalam ruangan, Keluar
takut, berdiam di dalam pun tak ingin. Roro Centil sudah segera melompat ke
hadapan mereka.
"Hihi hihi... Mengapa kalian tak segera keluar"
Apakah mau mati terkubur di tempat ini...!" Berkata Roro Centil.
Melengok ketiga belas paderi itu. Menatap Roro
yang memang berpakaian dengan paha tersembul dari
belahan gaunnya.
"Kau siapakah nona...?" Bertanya salah seorang. Roro tersenyum. Lalu menjawab;
"Aku bisa juga dewi penyelamat nyawa kalian.
Akan tetapi bisa juga jadi malaikat pencabut nyawa."
Berkata Roro seraya tarik keluar sepasang senjatanya si Rantai Genit dari
pinggang. Melihat sepasang senjata yang berbentuk lucu itu, mereka jadi
melengak. Dan melototkan mata dengan senyum menyiringai.
Sementara dua orang yang bertubuh jangkung
saling bisik dengan kawannya. Lalu melompat maju ke
hadapan Roro. "Hm! Nona...! Baiklah kami akan keluar, asal
kau dapat antarkan kami jalan keluar yang selamat.
Aku tak mengetahui keadaan di atas. Bisa-bisa kami
cuma temui kematian. Roro kerutkan alisnya.
"Baiklah! Bersamaku kalian akan aman. Ikuti-
lah aku...!" Seraya berkata Roro Centil balikkan tubuhnya untuk segera keluar
dari ruangan. Akan tetapi pada saat itu keempat paderi itu telah menyergapnya
dari belakang. Dua orang mencekal lengan di kanan.
Dan dua orang mencekal di kiri.
Terkejut Roro Centil. Kakinya sudah bergerak
untuk lakukan tendangan. Akan tetapi tiba-tiba dua
orang lagi telah melompat menubruk ke arah kaki.
Dan segera saja lengan-lengan kekar telah berhasil meringkus sepasang kaki Roro.
"Bagus...!" Terdengar satu suara keras di ruangan itu. Dan sesosok tubuh
berkelebat. Ternyata Dewi Rembulan. Cepat bawa ke lorong rahasia!" Teriaknya.
Ia sudah mendahului beranjak kesatu ruangan. Di sa-
na ia gerakkan sebuah alat. Dan segera terbuka satu
lubang besar di dinding. Dalam keadaan tak berdaya,
Roro Centil digotong beramai-ramai memasuki lubang
rahasia itu. Ternyata adalah satu lorong di bawah tanah. Sementara si Dewi
Rembulan bertindak cepat
memberi isyarat pada para paderi pengikutnya untuk
memasuki lorong itu. Beberapa belas paderi segera
berlarian memasukinya.
Kemanakah Tugangga...?" Bertanya Dewi Rem-
bulan. Seraya lengannya bergerak menyambar jubah
seorang paderi yang dengan terburu-buru masuk me-
nyusul kawannya.
"Be... beliau ada di ruang wanita...!" Berkata gagap si paderi itu.
"Gila...! Bukannya lekas bertindak, mengapa
masih enak-enak berada di sana?" Desisnya mendongkol. Benak wanita ini bekerja
cepat. Lalu bertindak lekas menutup kembali ruangan rahasia itu.
"Hm. Ruangan ini adalah satu lorong yang me-
nembus ke luar lereng bukit. Satu-satunya jalan untuk meloloskan diri! Wanita-
wanita sekapan itu tak perlu diurusi. Mengapa dalam situasi seperti ini Tugangga
tak bertindak cepat...." Berkata Dewi Rembulan dalam hati. Tapi baru ia mau
beranjak untuk berkelebat ke
ruangan paling ujung, telah terdengar bentakkan di
belakangnya. "Dewi Rembulan...! Kau menyerahlah!" Ternyata yang membentak adalah paderi


Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bangau Putih. Wanita
ini segera balikkan tubuhnya.
"Kunyuk tua, kiranya kau turut dalam penyer-
buan ini" Bagus! Kau rasakanlah kematianmu!" Teriak Sito Resmi. Seraya
kelebatkan Jala Suteranya menyambar si Bangau Putih. Paderi tua ini segera
pergunakan kegesitannya menghindar. Lolos satu serangan,
segera si Dewi Rembulan sambarkan lagi sebuah lagi
jala sutera. WUT! WUT! Dua serangan beruntun menyam-
bar. Bangau Putih segera gerakkan tubuhnya bersalto
dua kali di udara. Ia pernah kena dipecundangi wanita ini, akan tetapi mana mau
dipecundangi kedua ka-linya" Segera ia pergunakan jurus-jurus bangau Putih
mematuk. Kedua lengannya ke tekuk sedemikian rupa
menyerupai kepala bangau. Lalu bergerak menyambar
tubuh si Dewi Rembulan. Tiga serangan berantai dapat dielakkan wanita itu. Dan
segera lindungi tubuhnya
dengan putarkan jala suteranya. Ternyata ia bertarung sambil mundur. Akalnya
yang cerdik telah membuat
perangkap buat si Bangau Putih. Paderi tua ini terus mencecar dengan Patukan-
patukan Bangaunya tanpa
menyadari kalau akan masuk perangkap. Dalam bebe-
rapa jurus saja mereka bertarung, ternyata telah tiba pada ruangan paling ujung.
Saat itulah si Dewi Rembulan berteriak.
"Tugangga...! Bantu aku membunuh Bangau
Tua ini...!" Terkejut Bangau Putih. Sepasang mata paderi ini melirik ke arah
pintu kamar yang tertutup.
Dugaannya benar, karena tiba-tiba pintu kamar terbu-
ka. Dan melompat sesosok tubuh yang bertelanjang
dada. Dialah Tugangga. Yang dalam sekejap telah ber-
diri tegak di depan pintu. Tampak pada wajahnya pe-
rasaan mendongkol pada kedatangan orang yang
mengganggunya. Tiba-tiba ia telah cabut sepasang pe-
dang pendek melengkung dari belakang punggungnya.
"Minggir bibi....!" Teriaknya. Dan berkelebatlah tubuh Tugangga menerjang ke
arah si Bangau Putih.
Sepasang pedang Hitamnya berkelebat tak terlihat.
WUK! WUK Dua serangan kilat yang telah kelu-
arkan syiuran angin dingin, membuat si Bangau Putih
hams gulingkan tubuhnya ke lantai. Keringat dingin
mengembun di tengkuk laki- laki tua ini. Tugangga telah beranjak lagi melangkah
mendekati paderi ini.
"Heh! Kau telah berhasil lolos dari kematian!
Kini kau hanya antarkan nyawa saja kambing tua...!"
Akhir kata-katanya telah disusul dengan terjangan kilat menabas Sakti Pentang
Sayap. Tubuhnya tiba-tiba
melambung ke atas. Sepasang kakinya terpentang, se-
dang lengannya mengibas. Satu angin dahsyat segera
menerjang si manusia Topeng Perunggu itu, yang su-
dah tak memakai lagi topengnya.
Tapi kedua pedang telah diputar bagai baling-
baling untuk menangkis serangan balasan si Bangau
Putih. Segera terjadi bentrokan angin santar. Bangau Putih terlempar keras ke
belakang. Tubuhnya mem-bentur tembok di belakangnya. Terdengar suara keras,
ketika tembok itu jebol berantakan. Bangau Putih me-
ringis menyeringai menahan, sakit pada punggungnya.
Tampak darah segar menetes keluar dari sudut bibir-
nya. Kiranya tubuhnya telah menjebol ke satu ruangan lain yang tertutup. Segera
terasa ada hawa segar masuk ke tempat itu.
Tugangga menatap pada Dewi Rembulan lalu
berkata; "Bibi...! Kau bunuhlah dia...! Ia sudah tak berdaya!" Kemudian laki-laki itu
melompat lagi ke dalam kamar. Dan menutup daun pintu dengan suara keras.
Sito Resmi kerutkan alisnya. Lagi-lagi tampak bibirnya cemberut. Namun ia sudah
segera menerobos untuk
menerjang si Bangau Putih. Dua serangan dari kedua
Jala Sutera menerjang si Bangau Putih. Hebat terjan-
gan itu, karena kedua Jala sutera itu sekonyong-
konyong telah berubah kaku bagai dua batang tombak.
CRAK...! CRAK...! Bangau Putih perdengarkan teriakan tertahan. Namun ia masih
sempat berguling- guling
menghindari maut lantai batu bekas kedua hantaman
itu tampak hancur berkepingan. Bangau Putih rasakan
tubuhnya lemah lunglai. Akan tetapi lengannya telah
menapak pada batu undakan yang menuju ke ruangan
atas. Kekuatannya timbul lagi. Ia harus menyela-
matkan diri...! Pikirnya. Dan dengan kuatkan tubuh,
segera ia bangkit berdiri. Dan secepat itu juga tanpa berayal, segera mendaki
undakkan batu ke atas, Saat
itu si Dewi Rembulan yang memang sedang mendong-
kol pada Tugangga. Jadi kian bertambah mendongkol,
karena buruannya telah angkat kaki melarikan diri.
Segera ia enjot tubuh melompat untuk mengejar.
Agaknya Bangau Putih sudah tak kuasa mendaki
tangga batu undakan itu. Tubuhnya sudah beberapa
kali tersuruk jatuh. Sedang si Dewi Rembulan sudah
mengejar kian dekat. Kini
jerat suteranya telah kembali meluncur ke arah
tubuhnya. Tak ada tenaga bagi si Bangau Putih untuk
menghindarkan diri lagi .... Namun pada saat itu telah bersyiur satu angin
keras, yang menghantam balik kedua jala sutera. Loloslah si Bangau Putih dari
maut. Sebuah ranting bambu telah menyambar jubahnya.
Dan segera melayang ke atas. Ketika paderi ini buka matanya, ternyata si
Pendekar Gentayangan yang telah menolongnya.
Melihat serangannya gagal, dan bahkan mem-
buat tubuh si Dewi Rembulan ini terlempar ke bela-
kang, segera wanita ini berbalik lagi menuruni tangga batu. Lalu berkelebat
masuk lagi ke dalam jebolan
tembok. Dari sebelah dalam ia mengintai siapa geran-
gan orang yang bertenaga besar, yang telah mengga-
galkan serangannya.
***** Segera terlihat sesosok tubuh jangkung, ber-
janggut putih, yang panjangnya dus jengkal. Tanpa
kumis. Rambutnya digelung di atas kepala yang ter-
bungkus kain sutera hitam. Berjubah bertambalan
dengan bermacam warna. Seketika piaslah wajah si
Dewi Rembulan. Akan tetapi sinar matanya meman-
carkan dendam yang berkobar-kobar pada Ki Jagur
Wedha. Karena orang itulah yang telah membunuh su-
aminya. Padahal bagi manusia yang berakal budi, ten-
tulah mengetahui sebab-sebab kematian sang suami.
Yang nyata-nyata ada di jalur jalan sesat. Kalau harus terbunuh adalah lumrah,
karena kejahatan sang suami sudah melebihi takaran. Karena selain menjadi ke-
pala perampok yang kejam. Entah berapa nyawa orang
tak berdosa yang telah diambil hartanya dan dibunuh pemiliknya. Tetapi wanita
ini mana mau tahu urusan
itu" Bahkan dendamnya telah ia simpan di dada lak-
sana api dalam sekam. Kini ia cuma mengandalkan
Tugangga, yang bisa ia mintai pertolongan. Bukankah
PETIR DAHANA adalah paman Tugangga..." Pikir si
Dewi Rembulan. Kalau mereka berdua bertarung den-
gan maju bersama, tak mungkin si Pendekar Gen-
tayangan akan bisa mempertahankan nyawanya. Apa
lagi Tugangga telah menguasai Dua Belas jurus Ilmu
Pedang dari Sepasang Pedang Siluman...! Demikian pi-
kir si Dewi Rembulan dalam benaknya. Memikir demi-
kian, ia telah berkelebat ke muka pintu kamar. Di ma-na Tugangga berada di
dalam. Karena waktu mende-
sak, terpaksa ia terjang daun pintu hingga terbuka.
Sekelebat ia melihat adegan yang membuat sepasang
matanya membeliak. Akan tetapi cuma beberapa detik
saja.... Karena tiba-tiba telah membersit serangkum jarum menyambar tubuhnya.
Serangan tak terduga itu
mimpi pun tidak si Dewi Rembulan. Segera saja ia te-
lah keluarkan jeritan menyayat hati. Tubuhnya ter-
jengkang ke belakang. Dan berkelojotan. Sepasang ma-
tanya mendelik menatap Tugangga yang juga tengah
menatap padanya dengan terkesiap.
"Kkka... kau...kau..."!...Mmemm... bunuh...
ku... Bbo... ddoh... h..hh..." Hanya kata-kata terputus itu yang ia dapat
ucapkan. Karena sekejap kemudian,
tubuhnya telah terkulai. Tapi sekejap kembali bergelinjangan sekarat. Lidahnya
terjulur dengan sepasang
mata membeliak putih. Setelah mengerang parau, ba-
rulah hembuskan nafas penghabisan. Sebentar saja
tampak wajahnya telah berubah kehitaman. Dan bela-
san jarum beracun telah menancap di sekujur tubuh-
nya. Adapun Tugangga seperti tak percaya pada
penglihatannya. Karena disangkanya yang menerjang
daun pintu adalah musuh yang memang sedang ia
tunggu. Tak tahunya adalah bibinya sendiri, si Dewi
Rembulan, alis Sito Resmi. Tentu saja wajah laki-laki ini jadi berubah pias
karena terkejut. Tugangga memang seorang laki-laki yang berani. Dalam keadaan
demikian gawat, ternyata masih sempat menggauli
seorang gadis. Birahinya yang telah disimpan selama
dua tahun dalam Penjara Besi, ternyata telah diumbar keluar semaunya. Gadis di
pembaringan itu adalah gadis tawanan yang baru didapatnya semalam. Dalam
saat menjelang pagi ternyata Tugangga belum mampu
menundukkan hati sang gadis. Karena Tugangga me-
mang inginkan kewajaran. Bukan pak-
saan...Seandainya ia mau memaksa. Amatlah mudah
baginya melakukan apa saja. Akan tetapi laki-laki berwatak aneh ini telah mulai
hilang kesabarannya. Rasa jengkel pada sang gadis telah membuat ia segera
menotoknya. Akan tetapi keinginan yang belum kesam-
paian itu telah terganggu dengan teriakan-teriakan da-ri luar, dan kepanikan di
dalam ruangan bawah tanah.
Namun Tugangga tetap tak beranjak dari kamarnya.
Ketika akhirnya terdengar suara pertarungan. Dan te-
riakan si Dewi Rembulan. Terpaksa ia buka daun
pintu. Serta umbar amarahnya pada si Bangau
Putih. Akan tetapi Bangau Putih dapat mematahkan
beberapa serangannya. Hingga terakhir beradanya dua
angin keras bertenaga dalam. Dan paderi Bangau Pu-
tih terlempar tubuhnya menjebol dinding ruangan di
sebelahnya. Melihat si Bangau Putih sudah terluka dalam, Tugangga perintahkan
Dewi Rembulan membu-
nuhnya. Tak dinyana, kalau si Bangau Putih justru
dapat meloloskan diri dari maut. Dan ia memang tak
menyangka kalau yang menerjang daun pintu kamar
adalah sang bibi sendiri. Hingga berakhir dengan ke-
matian si Dewi Rembulan.
Hal tersebut membuat Tugangga jadi menyesal
setengah mati. Hingga saking kesalnya, ia telah tebas leher si gadis yang mau di
nodainya itu dengan pedangnya. Darah segar muncrat berhamburan. Gadis
tanpa busana itu tewas mengerikan, tanpa dapat ber-
teriak lagi. Detik selanjutnya ia telah sambar jubahnya untuk dikenakan dengan
cepat. Lalu melompat ke sudut ruangan. Telinganya telah mendengar ada seseo-
rang mendekati tembok berlubang bekas tempat jebol-
nya si Bangau Putih.
Sementara itu rombongan para paderi yang
menyusuri lorong dalam ruang bawah tanah, hampir
tiba ke tempat tujuan. Roro Centil bagaikan boneka
kayu saja di gotong beramai-ramai meniti lorong.
Hampir tiga puluh paderi berbondong-bondong me-
nyusuri lorong gelap yang panjang itu. Sementara si
gadis pendekar ini tetap seperti tak berdaya. Salah seorang yang berada paling
depan telah berkata dengan
suara agak keras. Tentu saja suaranya terdengar sam-
pai ke belakang, berkumandang dalam lorong.
"He! Kawan-kawan...! Ujung lorong ini tinggal
sedikit lagi. Kita akan segera bebas sampai di luar. Kita telah berbuat
kesalahan. Dan kalian tahu, dengan kita menyerahkan diri pada Ketua, berarti
akan mendapat hukuman berat. Jadi jalan sebaik-baiknya adalah kita melarikan diri....!"
Selesai ucapannya telah terdengar riuh tanda mereka menyetujui.
"Bagaimana dengan gadis ini..." Apakah tidak
sebaiknya kita manfaatkan saja di tempat ini" Sayang kalau kita tinggalkan. Atau
kita bunuh saja setelah
masing-masing mendapat bagian...! Setujukah...?"
"Setuju...! Setuju...!1" Teriak beberapa orang yang berada di belakang. Akan
tetapi ada juga yang
menyahuti. "Aku tak setuju...! Kita sedang dalam keadaan
gawat. Nyawa kita saja belum ketahuan. Mengapa ha-
rus mengumbar nafsu demikian" Ban aku jalan untuk
pulang kembali!" Teriak seorang yang berada di tengah.
Paderi ini masih berusia muda. Selesai berkata ia telah menyeruak ke belakang
untuk kembali ke lorong se-mula. "Bodoh....!" Teriak beberapa paderi. Akan
tetapi tanpa menghiraukan teriakan, ia telah menyeruak untuk kembali kebagian
belakang lorong.
"Tunggu...! Kami ikut...!" Berteriak salah seorang yang berada dibagian
belakang. Dan segera enam
orang telah buyar untuk menyusui paderi yang seo-
rang ini. "Bagus! Kita harus bersikap ksatria! Kita telah membuat kesalahan! Seandainya
tidak di bunuh-pun
sudah bagus. Lebih baik kita menyerah! dan mengakui
kesalahan...! Mengenai hukuman yang bakal dijatuh-
kan Ketua pada kita adalah urusan nanti. Walaupun
berat, mengapa kita tak rela menerima...?" Berkata paderi muda itu dengan gagah.
Mendengar demikian
tampak beberapa paderi mulai sangsi untuk terus me-
larikan diri. Akhirnya beberapa paderi kembali putar tubuh, untuk kembali ke
arah belakang. "Kami ikut...! Kami akan menyerahkan diri!" Teriak salah seorang. Dan lebih dari
dua belas paderi segera berhamburan ke belakang menyusul yang lain-
nya. Hingga belakangan tinggal delapan paderi saja
yang tetap berpendirian salah. Bahkan salah seorang
telah berkata; "Bagus...! Lebih sedikit, lebih baik! Kini siapa yang berani lebih dulu untuk
menundukkan wanita
ini...! Aku Durgala adalah orang pertama yang punya
rencana ini, jadi aku yang berhak menjamah tubuh
gadis ini terlebih dulu! Selainnya boleh belakan-
gan...!1" Keempat orang yang mencekal anggota tubuh Roro Centil segera
meletakkan tubuh itu ke bawah,
tanpa melepaskan cekalannya. Sementara dua orang
lagi coba melepaskan sepasang senjata Roro, dari kedua genggaman tangan. Akan
tetapi kerasnya bukan


Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

main. Durgala melangkah ke depan, seraya menotok
tubuh Roro pada dua tempat di pangkal lengan. Akan
tetapi tetap saja senjata itu tak dapat terlepas dari genggaman tangan.
"Sudahlah biarkan saja. Kami akan mencekal
kaki dan tangannya! Silahkan kau bekerja...!" Berkata seorang paderi yang
mencekal kaki Roro.
Sepasang mata pendekar wanita ini masih ter-
katup kelopak matanya. Sementara Durgala telah le-
paskan jubahnya. Sepasang matanya berbinar melihat
paha yang tersingkap. Sepasang kaki yang terpentang, dan tubuh yang padat gempal
membuat nafsu seriga-lanya seperti sudah tak tertahankan. Akan tetapi pada saat
lengannya mau menjamah payudara gadis pendekar itu, tiba-tiba Roro buka kelopak matanya. Bibirnya tersenyum dan tiba-tiba tertawa mengikik.
Sehingga Durgala urungkan niatnya.
"Hi hi hi... kau belum siap, mengapa sudah tak
sabar" Sebaiknya kau siapkan dulu dirimu?" Berkata Roro. Melengak paderi ini.
Tapi segera tertawa menyeringai. "He he he... betul! Aku terburu buru...!"
"Aiii...! Tak ku sangka aku akan mendapat pelayanan yang is-
timewa darimu, nona manis...!" Seraya berkata ia telah bangkit berdiri untuk
meniadakan sesuatu yang menjadi penghalang. Akan tetapi terkejut keempat orang
yang mencekal kaki dan tangan Roro, karena tiba-tiba tubuhnya melambung ke atas
bagai disentakkan satu
tenaga kuat sekali. Dan terdengarlah empat jeritan
menyayat, berbareng dengan suara berderaknya tulang
yang remuk terhantam batu di atas lorong.
PROK! PROK! KRAAK! KREKK! Dan disusul
dengan berjatuhannya keempat paderi itu kembali ke
bawah. Namun detik itu Roro Centil telah gulingkan
tubuhnya menyambar kaki Durgala yang segera ter-
banting ke tanah. Tentu saja jatuhnya tubuh Durgala
berbarengan dengan jatuhnya keempat paderi tadi. Be-
lum lagi Durgala sadar akan apa yang terjadi, tahu-
tahu tengkuknya telah disambar lengan Gadis Pende-
kar ini. Kini dilihatnya keempat kawannya yang tadi
memegangi tangan dan kaki si gadis, tengah berkelojotan bagaikan ayam yang baru
disembelih. Tak lama
kemudian keempat paderi sial itupun tewas dengan tu-
lang-tulang hancur. Termasuk batok kepala yang pe-
cah berantakan. Melihat kejadian mengerikan yang se-
kejap mata itu, ketiga paderi yang lainnya segera balikkan tubuh melarikan diri.
Namun Roro Centil mana
mau mengampuni mereka. Segera saja lengannya ber-
gerak. Dan tubuh Durgala tiba-tiba meluncur dengan
deras ke arah mereka. Tak ampun lagi bertumbangan-
lah ketiga paderi itu, dengan teriakan-teriakan mengerikan. Tenaga lemparan Roro
Centil ternyata telah
mempergunakan lebih dari separuh tenaga dalamnya.
Hingga tubuh-tubuh ketiga paderi terlempar bergulin-
gan. Dengan derak dari tulang-belulang yang patah.
Dan jerit kesakitan yang menyayat hati.
"Hlhi hihi hi hi... Baru kalian rasa, manusia-
manusia terkutuk...!" Roro beranjak tinggalkan mereka untuk kembali berlari
dalam terowongan menyusui
paderi-paderi lainnya yang akan menyerahkan diri.
Ternyata mereka tak dapat membuka pintu te-
rowongan. Karena alat penggerak berada di dalam.
Dan telah ditutupkan lagi oleh si Dewi Rembulan.
Melihat kedatangan Roro, mereka terkejut ka-
rena gadis itu telah dapat melepaskan diri. Sadarlah mereka akan apa yang
terjadi dengan nasib kawan-
kawannya yang telah mengumbar nafsu hingga mem-
buat celaka sendiri.
"Ampunkan nyawa kami, nona Pendekar...!
Kami menyerah, dan akan serahkan diri pada Ketua
Kuil untuk menerima hukuman...!" Berkata salah seorang dengan suara gemetar.
"Bagus...!! Minggirlah! Biar aku yang membuka
pintu untuk kalian bisa keluar dari lorong ini...!" Segera Roro langkahkan kaki
ke depan, para paderi me-
nyingkir. Dan terdengarlah suara berderak keras.
Dinding batu penutup lorong hancur berkepingan. Ke-
tika lengan Roro bergerak menghantamnya.
Lebih dari dua puluh pasang mata paderi mu-
rid-murid Kuil Istana Hijau itu jadi terbeliak menatap kagum akan kehebatan
tenaga dalam Roro. Serentak
mereka berhamburan keluar. Pada saat itu di tempat
ruangan ini tengah terjadi pertarungan hebat antara Ki Jagur Wedha dengan
Tugangga. Roro Centil memandang sejenak pada pertarungan. Juga para paderi-
paderi murid Kuil Istana Hijau ini jadi menonton pertarungan seru itu. Namun
Roro Centil segera berkata;
"Kalian semua teruskan naik ke atas, berkum-
pul dengan yang lainnya...!" Serentak para paderi itu dengan dipimpin paderi
muda, berbaris menuju ke
ruang atas, dengan meniti tangga batu undakan. Di
belakang mereka adalah Roro Centil. Begitu kepala
mereka bersembulan ke atas, segera telah melihat
adanya sesosok tubuh berdiri di dekat lubang bawah tanah. Siapa lagi kalau bukan
Ki Dharma Sheta.
Ketua Kuil Istana Hijau. Serentak saja mereka
jatuhkan diri berlutut, dengan memegangi kepalanya,
seraya beberapa orang telah menangis tersedu.
"Guru...! Ampunilah kesalahan kami, yang te-
lah kena bujukan iblis, hingga mau mengkhianati
sumpah paderi...! Berikanlah hukuman pada kami...!"
Berkata si paderi muda, mewakilkan yang lainnya.
Seorang paderi yang bertubuh jangkung telah menan-
gis tersedu-sedu, dengan berlutut di hadapan paderi Ketua Kuil itu.
"Benar, Guru...! Asalkan Guru ampuni nyawa
kami, biar menerima hukuman seberat apapun... akan
kami jalani!" Berkata paderi jangkung ini dengan wajah pucat pias. Akan tetapi
wajahnya membersitkan jiwa
ksatria, yang mau mengakui kesalahannya. Ki Dharma
Sheta mengelus jenggotnya, lalu menyapu dengan
pandangan tajam pada semua paderi muridnya. Wa-
jahnya membersitkan kemarahan yang luar biasa. Tu-
buhnya tergetar menahan gejolak darahnya yang men-
didih. Betapa bimbingannya selama ini telah seperti
tiada artinya. Akan tetapi selang sesaat, kemarahan
hatinya mulai mereda. Terdengar ia menghela nafas,
dan berkata; "Semua manusia mempunyai kesalahan...!"
Ujarnya dengan pandangan mata menatapi keluar
Kuil. Dan lanjutkan lagi kata-katanya...
"Akan tetapi kesalahan itu tidak boleh terulang lagi! Aku menghargai jiwa
ksatria kalian yang mau
mengakui kesalahannya! Berjanjilah untuk tidak men-
gulangi segala perbuatan yang tidak terpuji ini...!"
"Kami berjanji Guru...!" Serentak bersama-sama para paderi itu mengucapkan janji
sumpahnya beru-lang ulang sampai tiga kali. Saat itu Roro Centil sudah
berkelebat lagi menuruni undakan batu. Hatinya ter-cekat melihat pertarungan
hebat di ruangan bawah
Kuil. Ia mengkhawatirkan nasib si Pendekar Gentayan-
gan yang tengah bertarung dengan Tugangga.
Sementara itu pertarungan tengah berjalan se-
ru.... Tugangga tengah lancarkan jurus keenam dari 12
jurus andalannya, dari jurus istimewa Sepasang Pe-
dang Siluman. Ternyata Ki Jagur Wedha menghada-
pinya cuma dengan sebuah ranting bambu kecil. Hal
mana membuat Roro melengak. Karena saat ia me-
nyaksikan, betapa ranting bambu itu mampu menang-
kis tajamnya mata pedang. Bahkan belum lagi me-
nyentuh ranting, sepasang pedang di tangan Tugangga
telah terpental balik. Akan tetapi Tugangga telah main kan jurus-jurus yang
membingungkan lawan. Karena
kilatan pedangnya hampir tak kelihatan saking cepatnya. Tampak pada jurus
kedelapan ini, Tugangga
merubah gerakan sepasang pedang. Kini kedua mata
pedang mengarah ke kaki. Berkali-kali Ki Jagur Wedha terpaksa gunakan rantingnya
untuk menangkis. Disertai terkadang melompat menghindar. Akan tetapi dice-
car sedemikian terus-menerus, tampaknya orang tua
ini semakin lemah tenaganya. Ditambah usia yang su-
dah amat lanjut. Nafasnya terdengar menggeros. Wa-
laupun ia mempunyai tenaga dalam yang hebat, na-
mun lambat laun akan habis tenaganya.
Hingga kali ini ranting bambunya tak lagi
mampu menangkis mata pedang. Segera ranting senja-
tanya putus. Melihat tenaga dalam lawan telah men-
gendur. Tugangga girang hatinya. Tiba-tiba ia mem-
bentak keras. Dan pergunakan jurus kesembilan. Ju-
rus ini dinamakan jurus Setan Hitam Menyambar
Mangsa. Kedua pedangnya sekonyong-konyong seperti
lenyap terbungkus kabut hitam, yang berseliweran
dengan mengeluarkan hawa dingin. Sepasang mata Ki
Jagur Wedha memang sudah kurang awas. Apa lagi
bertarung dalam ruangan yang tidak begitu terang.
Hingga ia cuma mengandalkan pendengaran dan nalu-
rinya saja. Saat itu tiba-tiba ia berteriak tertahan, seraya lompat bergulingan.
Akan tetapi tetap saja ujung sepasang pedang telah memapas putus ujung jubahnya.
SRET! SRET! Melayang dua potong ujung ju-
bahnya yang bertambalan bermacam warna itu, nyaris
saja sebelah kaki dan sebelah lengannya terpapas pu-
tus. "Hebat...! Jurus yang luar biasa...!" Teriak Ki Jagur Wedha. Secepat kilat ia
telah melompat berdiri lagi. Tugangga tertawa mengejek. Sebuah senjatanya
dipakai menunjuk kakek tua itu.
"Hei! Pendekar Gentayangan...! Kini saatnya
kau benar-benar bergentayangan arwahmu di alam
Akhirat! Kau telah menewaskan paman ku PETIR DA-
HANA. Dan kini saat hutang jiwa harus dibayar lagi
dengan jiwa...! Aku adalah keponakannya yang akan
membalaskan kematian paman ku...!" Berteriak Tugangga dengan sepasang mata
menyorot tajam seolah
mau menembus jantung Ki Jagus Wedha. Akan tetapi
sang kakek yang telah berusia 100 tahun ini cuma tertawa hambar.
"Heh heh heh... Pamanmu seorang kepala pe-
rampok yang kejam, dan telah banyak membunuh
orang tak berdosa! Kematiannya pun belum bisa me-
nebus dosanya. Kini kau justru mau memberatkan do-
sa pamanmu pula. He he he... Kalau nyawaku sih me-
mang sudah kujual murah. Asal kau sanggup membe-
linya! Tapi kau lihat di belakangmu. Apakah kalau aku dapat kau bunuh sebagai
pelampiasan dendam mu,
kau dapat selamatkan diri..." Dara cantik itu mana bi-sa mengampuni nyawamu..."
He he he..." Ujar Ki Jagur Wedha seraya kembali tertawa terkekeh-kekeh.
Sementara Tugangga telah palingkan kepalanya
untuk melihat ke belakang. Segera sepasang matanya
beradu tatap dengan Roro Centil. Gadis Pendekar ini
mengerling si Pendekar Gentayangan dengan terse-
nyum. Lalu berkata;
"Aiii...! Kakek Pendekar Gentayangan...! Siapa
yang mau membiarkan kau mati dibunuh manusia ta-
hanan ini..." Siang-siang pun aku akan sudah dapat
membekuknya, untuk diserahkan pada paderi Ketua
Kuil Istana Hijau. Demi mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Sepasang Pedang Siluman yang palsu
itu rupanya belum kenyang menghirup darah para pa-
deri. Kini sudah mau dipakai lagi membantai orang!"
Ki Jagur Wedha jadi tertawa lagi.
"He he he...benar Roro Centil! Kalau aku mam-
pus duluan, siapa nanti yang akan jadi mertua mu"
Lebih baik kau ringkus saja dia cepat-cepat calon menantuku...!" Wajah Roro
Centil seketika jadi merah da-du. Akan tetapi ia sudah segera melompat ke
hadapan Tugangga. Adapun laki-laki ini jadi melengak ketika
Roro mengatakan bahwa sepasang Pedang Siluman
yang ada padanya adalah yang palsu. Segera ia sudah
ajukan pertanyaan.
"Eh, nona! Agaknya kau yang berjulukan si
Pendekar Wanita Pantai Selatan! Bagus! Aku bisa ken-
al dengan orangnya. Ingin ku lihat kehebatan sepasang senjatamu yang aneh itu.
Akan tetapi aku ada pertanyaan .Mengapa kau katakan Sepasang Pedang Silu-
man di tanganku adalah senjata yang palsu?" Mendengar pertanyaan itu Roro cuma
tersenyum. Lalu dengan
sikap seperti tak memandang mata pada laki-laki itu, ia menyahuti.
"Benar! Bisanya kukatakan demikian, karena
yang asli ada di tanganku. Kudapatkan dari paderi Ketua Dua, Sapta Dasa Griwa,
yang sebenarnya bernama
TUN PARERA. Bukankah sepasang pedang itu milik-
nya" Tun Parera telah lama menguntit mu, sejak sepa-
sang pedang pusaka itu kau curi dari Rumah Pergu-
ruan TRI MUKTI. Saat kau dipenjarakan, dia telah berhasil mengetahui di mana
adanya sepasang pedang itu
aku sembunyikan. Dan dengan tanpa kesukaran, ia
berhasil mendapatkannya kembali dari dalam arca
Budha yang telah dikorek bagian bawahnya dari ruang
bawah tanah. Kemudian telah menggantinya dengan
yang palsu. Benda itu sengaja dibuat seperti aslinya.
Jadi bukankah yang kau miliki itu adalah Sepasang
Pedang Siluman yang palsu...?" Ujar Roro Centil menjelaskan.
Akan tetapi penjelasan itu justru membuat Tu-
gangga jadi tertawa terbahak-bahak saking gelinya.
Tentu saja membuat Roro dan Ki Jagur Wedha jadi ke-
rutkan alis tak mengerti. Dan disela tawanya itu, Tugangga telah berkata;
"Ha ha ha... Kalau begitu yang tolol adalah si
Tun Parera. Ia sudah bisa menyaru menjadi paderi un-
tuk mengambil kembali Sepasang Pedang Siluman.
Lantas berniat lagi menguasai Kuil istana Hijau. Dia tak tahu kalau sebelumnya
aku tidak bodoh. Justru
yang ku sembunyikan di dalam arca Budha itulah
yang palsu. Seandainya ia memalsukan lagi, dengan
membuat duplikatnya, tentu di saat ini ada tiga pasang Pedang Siluman di Rimba
Persilatan. Ha ha ha... Sepasang Pedangku ini justru yang aslinya! Kalau kau
ingin kubuktikan, kau lihatlah...!" Seraya berkata, Tugangga telah kerahkan
tenaga dalamnya pada sepasang pedang. Diam-diam Tugangga telah mainkan pada
jurus kesepuluh dan sebelas, dari 12 jurus Sakti Sepasang
Pedang Siluman. Tampak sepasang lengannya bergetar
hebat. Satu pedang ujungnya ditujukan ke langit-
langit ruangan. Satu lagi ke arah samping, di mana
terdapat tembok tebal pembagi ruangan. Getaran se-


Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasang lengannya semakin keras. Ketika tiba-tiba ke-
dua lengan Tugangga telah bergerak memutar, seperti
membuat lingkaran. Satu di atas langit-langit. Satu la-gi di samping kirinya.
Pendekar Gentayangan dan Roro Centil mena-
tap tak berkedip. Selang sesaat, tiba-tiba terdengar bentakan keras Tugangga.
Lingkaran pedang di samping kiranya secara mendadak diarahkan pada Ki Jagur
Wedha. Disertai bentakan keras menggeledek. Sege-
lombang tenaga yang tak kelihatan tiba-tiba telah menerjang kedua arah.
Terdengar suara tembok yang
ambrol. Pendekar Gentayangan telah berlaku ayal, ka-
rena tak menduga. Cuma tahu-tahu ia rasakan gore-
san sinar yang membuat sepasang kakinya menjadi
perih. Beruntung ia segera jatuhkan diri bergulingan.
Akan tetapi laki-laki tua itu sudah berteriak ngeri, karena sepasang kakinya
telah tertabas putus. Dan ber-
samaan dengan membersitnya sinar pedang Siluman
yang telah menjebolkan tembok di belakangnya. Ada-
pun Roro Centil cuma ternganga melihat dinding lan-
git-langit ruangan itu tiba-tiba ambrol berbentuk lingkaran. Pada saat itu pula
tubuh si manusia Topeng Perunggu telah melesat ke atas lubang. Terkesiap Roro
Centil. Segera ia sudah palingkan kepala melihat ke
arah Ki Jagur Wedha. Laki-laki tua ini tengah bergu-
lingan bersimbah darah. Dengan mengerang hebat. Ki-
ranya sepasang kakinya telah putus sebatas lutut.
"Kakeeeek...!" Berteriak Roro Centil. Dan segera ia sudah memburu Pendekar Tua
itu. Belum lagi Roro
sempat berfikir, telah terdengar suara keras lagi. Kiranya tembok langit-langit
kembali berhamburan ke
bawah dengan berlubang besar di beberapa bagian di
sekelilingnya. "Cepat! Selamatkan dirimu.. ! Jangan hiraukan
diriku...!" Teriak Ki Jagur Wedha dengan wajah pucat.
Akan tetapi mana Roro mau biarkan sang kakek ter-
kubur di ruangan bawah tanah itu" Segera ia sambar
tubuh si Pendekar Tua, dan sebelah lengannya menje-
bol dinding. Begitu ia melompat masuk. Ruangan tadi
telah roboh bergemuruh.
"Ha ha ha... ha ha ha... Mampuslah kalian para
Pendekar sombong!" Terdengar teriakan Tugangga diantara derak gemuruh tembok
langit-langit yang jebol dengan suara gaduh. Debu mengepul membuat pandangan
menjadi samar. Roro Centil mencari akal un-
tuk dapat loloskan diri dari kurungan tembok di ruangan bawah tanah itu.
Sementara Tugangga tak hen-
tinya menyerang dari atas.
Dalam keadaan gawat itu, Roro Centil teringat
akan si Tutul, Harimau setianya. Segera ia perintahkan untuk menampakkan diri,
"Tutul! Tumpaslah manusia keji itu!" Teriak Ro-ro Centil. Menggeram si Harimau
Tutul yang bertubuh
hampir sebesar kerbau itu. Dan bagaikan angin telah
melompat menerjang ke atas. Saat itu Tugangga ten-
gah tertawa terbahak-bahak dengan sambarkan Sinar
senjatanya. Ketika tiba-tiba terdengar geraman sang
harimau di belakangnya. Tahu-tahu ia telah rasakan
tengkuknya dicengkeram kuku-kuku yang tajam.
Meronta laki-laki ini dengan berteriak parau.
Sepasang pedangnya menebas ganas ke tubuh sang
harimau Tutul. Terdengar suara menggeram. Sang ha-
rimau Tutul ternyata telah lepaskan cengkeramannya.
Merasa sepasang pedangnya amat bertuah, Tugangga
pasang wajah sinis. Tiba-tiba berkelebat melompat untuk menjauh dengan beberapa
kali lompatan hingga ia telah berada di halaman
Kuil. Saat itu sang Ketua Utama Kuil Istana Hijau telah melompat ke hadapannya
Sedang paderi-paderi muridnya cuma bisa memandang dengan mata membeliak
tak berkedip. "Penipu busuk...! Kau harus pertanggungja-
wabkan perbuatanmu!" Teriak Ki Dharma Sheta seraya menarik keluar tasbihnya.
Tugangga tertawa menyeringai.
"Ha ha ha... Paderi Ketua! Sebenarnya aku tak
mencampuri urusan tentang pengkhianatan para pa-
deri, yang dipimpin oleh Sapta Griwa! Aku cuma num-
pang sembunyi di Kuil mu...!"
"Akan tetapi kau telah melakukan pembantaian
pada para paderi...!" Teriak Ki Dharma Sheta. Wajahnya menampilkan kegusaran
pada laki-laki di hada-
pannya. Tiba-tiba Tugangga kembali tertawa berkaka-
kan, seraya ujarnya;
"Ha ha ha... Kemanakah gerangan si paderi Ke-
tua Dua, Sapta Dasa Griwa" Dialah yang telah memin-
jam tanganku untuk kepentingannya. Aku sendiri
memang tak menyangka kalau dia adalah TUN PARE-
RA, si Pemilik Sepasang Pedang Siluman yang telah ku curi!" "Orangnya telah
tewas! Walau bagaimana kau tetap bersalah besar! Karena secara utuh kaulah yang
telah lakukan pembantaian itu...!" Berkata Ki Dharma Sheta dengan nada dingin.
Pada saat itu terdengarlah suara seorang wanita dibarengi dengan melompatnya
sesosok tubuh ramping. Kiranya Roro Centil.
"Akulah yang telah membunuhnya...!" Berkata Roro dengan menatap tajam pada laki-
laki di hadapannya. Sementara itu, Ki Jagur Wedha tengah dike-
rumuni oleh para paderi yang telah memberikan perto-
longan pada laki-laki tua itu. Diantaranya terdapat ju-ga si Bangau Putih.
Kiranya Roro Centil berhasil keluar dari ruang rahasia di bawah tanah dengan
memondong tubuh Ki Jagur Wedha. Yang muncul di lubang terbu-
ka dekat para paderi murid-murid Kuil yang tengah
berkumpul. Segera saja mereka memberi pertolongan,
diantaranya terdapat juga si Bangau Putih.
Selanjutnya telah melompat ke hadapan si ma-
nusia Topeng Perunggu, alias TUGANGGA. Tentu saja
mendengar pengakuan gadis itu, Tugangga jadi melen-
gak. Akan tetapi kembali perdengarkan tertawanya.
"Ha ha ha... Bagus! Bagus...! Kalau orangnya
sudah mampus, ya sudah! Aku sebenarnya enggan
meneruskan pertarungan. Cuma gara-gara kalian yang
datang menyerbu, aku telah kehilangan bibiku si Dewi Rembulan. Yang membuat aku
terkecoh tak lain si
pembunuh paman ku itu. Yaitu si Pendekar Gentayan-
gan! Ha ha ha...Biarlah kelak kapan-kapan aku akan
membunuhnya! Pelajaran dariku itu cukup menjadi-
kan peringatan baginya...!" Seraya berkata Tugangga melirik pada Ki Jagur Wedha
yang tengah meringis
menahan sakit pada kedua kakinya yang putus, telah
dibalut oleh para paderi.
Ki Dharma Sheta terkejut juga melihat keadaan
sahabatnya itu. Tiba-tiba dengan mendengus geram ia
berkata; "Tugangga...! Kau tak bisa meloloskan diri lagi.
Hukumanmu kini adalah Kematian!". Seraya berkata paderi Ketua ini telah
menerjangnya dengan hantaman
telapak tangan bertenaga dalam. Sedang tasbihnya
berkelebat menyambar leher. Akan tetapi Tugangga te-
lah keluarkan jurus ke 12 dari Sepasang Pedang Silu-
man. Sinar hitam berkelebat menyambar ke arah Ki
Dharma Sheta. Terkejut paderi Ketua ini. Akan tetapi pada saat itu berkelebat
Roro Centil menangkis dengan senjatanya si Rantai Genit.
WHUK! WHUK! Asap hitam terpental balik
menghantam ke arah si penyerangnya. Terkejut Tu-
gangga. Untung ia cepat lompat bergulingan. Kiranya
Roro pergunakan Jurus Ikan Hiu balikkan ekor. Selan-
jutnya Roro Centil sudah putarkan sepasang senja-
tanya untuk menerjang ke arah Tugangga. Laki-laki ini terkejut ketika rasakan
hawa panas menerjangnya.
Suara bagaikan ratusan bahkan seperti ribuan tawon
yang mengamuk meluruk ke arahnya. Namun dengan
gerakan kilat sepasang pedangnya telah menabas. Ro-
ro Centil terkejut. Beruntung ia segera tarik serangannya dengan pergunakan
langkah "Bidadari Mabuk Ke-payang".
Seraya mengelakkan serangan pedang, Roro
Centil telah pergunakan rambutnya memukul ke arah
kepala Tugangga. Sambaran tak terduga itu membuat
laki-laki tahanan itu terkesiap. Segera ia berjumpalitan di udara, dengan
bersalto sejauh tiga tombak. Kini sepasang pedangnya bergerak melingkar. Roro
Centil cu- kup faham. Sepasang matanya mengawasi kemana
arah ujung pedang menghadap. Sementara ia telah ke-
rahkan tenaga dalamnya pada kedua lengan. Tampak
tiba-tiba sepasang bandulan si Rantai Genit jadi me-
merah bagai bara api. Saat itu segulung sinar hitam ti-ba-tiba membersit ke arah
Roro. Sedang segulung lagi dengan tak terduga telah meluncur ke arah Ki Dharma
Sheta. Terkesiap paderi Ketua itu. Tasbihnya segera
dipakai memapaki serangan. Akan tetapi seketika itu
juga untaian tasbih hancur luluh.
Sinar hitam terus meluncur menghantam tiang
penyangga ruangan depan Kuil, yang seketika patah
berderak. Beruntung tidak menjadikan robohnya tiang
panglari. Karena masih ada tiga tiang lagi yang me-
nyangga. Adapun si Ketua Kuil Istana Hijau terpaksa ja-
tuhkan diri bergulingan menghindari serangan dahsyat yang aneh itu. Sedangkan
Roro Centil begitu melihat
serangan, segera memapaki dengan senjatanya. Terse-
nyum Tugangga, Karena itulah jurus terakhir dari 12
Jurus sinar hitam Sepasang Pedang Siluman yang luar
biasa. Jangankan senjata terbuat dari besi. Walaupun dari baja sekalipun akan
hancur luluh terkena sinar
hitam yang dahsyat itu.
Akan tetapi Roro Centil memang bernasib baik,
karena tiba-tiba telah membersit sebuah sinar merah
yang menyala. Itulah sinar dari batu itu telah menyala.
Itulah sinar dari batu cincin Merah Delima, warisan
Gurunya. Tanpa sengaja sinar dari batu itu telah me-
nyala, akibat Roro salurkan tenaga dalam pada len-
gannya. Begitu kedua sinar beradu, terdengarlah suara keras... bagaikan api
tersiram air. BHUSSSSH...! Roro Centil terhuyung tiga tin-
dak. Sedangkan Tugangga terhuyung lima tindak. Tu-
buhnya tampak bergetar bagai diserang kekuatan
aneh, yang membuat tulang-tulang tubuhnya terasa
lumpuh. Sedangkan sepasang pedang di kedua len-
gannya tiba-tiba lenyap jadi segumpal asap hitam yang membubung.
Terbeliak sepasang mata laki-laki ini. Juga Roro
Centil menatap kejadian itu seperti tak masuk akal.
Saat itu terdengar suara Harimau mengaum dahsyat.
Dan sebuah bayangan kuning telah berkelebat bagai-
kan angin menyuruk ke arah tubuh Tugangga. Laki-
laki ini kembali menggeliat dengan berteriak parau.
Namun pada saat itu berkelebat sesosok tubuh kurus
kering ke arah Tugangga. Dengan sekali mengibaskan
lengan, Harimau Tutul terjengkang ke belakang, lalu lenyap jadi segumpal asap.
Tampak keadaan Tugangga
seperti sebuah kain lapuk yang sudah tak bertenaga
lagi. Dan jatuh menggeloso dengan bibir dan telinganya mengeluarkan tetesan
darah. Kakek tua renta bertubuh kurus kering itu ber-
diri di hadapan Tugangga. Sebelah lengannya tiba-tiba terjulur. Dengan jari-jari
tangannya menyambar menjewer daun telinga laki-laki itu. Yang segera telah
memaksanya untuk bangkit berdiri. Terdengar sura kata-
kata kakek kurus kering itu seperti mengomel...
"Bocah...! Kau terlalu ugal-ugalan! Sepasang
Pedang itu telah kembali lagi ke asalnya! Kau tak ber-
hak memilikinya...!"
Selesai berkata, sang kakek kurus kering itu te-
lah menyeretnya pergi dari situ. Roro Centil cuma bisa menatap kepergian kakek
kurus itu dengan membeliak
tak berkedip. Keadaan di tempat itu seperti dicekam keheningan. Semua menatap ke
arah Tugangga yang
seperti sudah tak punya tenaga lagi untuk melangkah.
Hingga terseret-seret ia mengikuti kemana tubuh si
kakek membawa, dengan menjewer telinganya. Hingga
sampai kedua tubuh itu lenyap di balik kabut yang
menghalangi lereng bukit, barulah terdengar suara Ki Dharma Sheta berkata
perlahan. "Siapakah orang tua kurus itu...?". Roro Centil cuma menggeleng, seraya menarik
nafas panjang. Dan
memang nyatanya semua orang tak ada yang tahu.
Termasuk si Bangau Putih dan Ki Jagur Wedha si Pen-
dekar Gentayangan.
Cuma diam-diam dibenak Roro Centil tersirat
sedikit ingatan, melihat wajah dan perawakan kakek
kurus itu. Tak lain adalah kakek tua renta yang per-
nah mengintipnya dari seberang sungai, ketika Roro
mandi. Terbayang di mata gadis pendekar ini ketika ia menggodanya, dengan
melemparkan seekor kepiting
yang masuk ke celah baju kakek mata keranjang itu.
Tersenyum Roro Centil. Akan tetapi juga terke-
jut, karena kakek itu bukan orang sembarangan. Ter-
bukti si Tutul telah dapat terlempar dengan sekali
menggerakkan lengan. Roro dapat menduga kelak
akan lebih banyak lagi perintang yang harus ia hadapi di hari mendatang. Karena
mulai bermunculan tokoh-tokoh aneh, yang berilmu tinggi.
Sementara tanpa ada seorangpun yang menge-
tahui, seorang wanita muda sejak tadi telah memper-
hatikan jalannya pertarungan, Dialah GIRI MAYANG
adanya. Pada lengannya tergenggam dua pasang pe-
dang. Yang amat mirip dengan Sepasang Pedang Silu-
man. Kini melihat bahwa pedang Siluman yang asli te-
lah lenyap, sirna tanpa bekas, ia jadi termangu-mangu menatap kedua pasang
pedangnya. Ternyata kedua
duanya adalah Dua pasang Pedang Siluman yang pal-
su! Dengan kesal ia telah berkelebat pergi dari
tempat itu. Ketika melewati sebuah danau, kedua pa-
sang senjata itu sudah ia lemparkan ke tengah danau
yang sekejap kemudian tenggelam untuk tak timbul
lagi....... Giri Mayang menatap pandangannya ke tengah
danau, Sepasang matanya kembali terlihat meneteskan
air bening. Di tengah isaknya itu terdengar suara kata-kata yang mendesis.
"Roro Centi!! Tunggulah pembalasan dendam
ku kelak! GIRI MAYANG alias si Kelabang Kuning tak
akan pernah membiarkan dirinya terhina! Suatu saat


Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita akan bertemu untuk bertarung. Pertarungan yang
kelak akan menentukan siapakah yang masih berhak
meneruskan kehidupan di Jagat Raya ini...!" Desis suara kata katanya yang
mengandung dendam sedalam
lautan, seperti terbawa desahnya angin lalu. Yang
menghempas hempas dedaunan menimbulkan suara
gemerisik seperti suara para iblis yang tertawa. Men-tertawakan akan kebodohan
seorang gadis yang terje-
rumus, dalam kancah dendam yang menggelegak.
Yang telah membius dirinya untuk memusuhi para
pendekar pembela keadilan.
Sementara langit semakin suram. Angin keras
kian menderu-deru. Hawa telah berubah menjadi din-
gin. Beberapa saat antaranya kilat pun saling me-
nyambar. Membersitkan cahaya seperti hendak mem-
belah langit...!
Suara petir pun segera terdengar menggele-
gar...! Bergemuruh sahut menyahut. Alam seperti amat murka, melihat manusia yang
semakin bertindak semaunya....
Gadis ini berlari dan berlari... dengan air mata
bercucuran. Ia memang sudah tak perduli akan kega-
nasan alam. Tujuannya telah menjadi satu dalam da-
rah dan dagingnya. Tak akan bisa terpupus dengan
apa pun kecuali dengan darah yang mengalir. Darah
yang akan membuat ia akan merasa puas......
Akan tetapi manusia lupa bahwa takkan ada
kepuasan di dunia ini, tanpa adanya dasar pada jalan lurus. Karena kesesatan
selamanya akan tetap merajai hati sanubari. Jika manusia itu tak berusaha
mengha-launya. Itulah sebabnya Rimba Hijau tetaplah sebuah
Rimba yang di dalamnya penuh dengan dendam yang
seperti tak pernah ada habisnya. Walau seribu Pende-
kar menumpas, menentang kezaliman, namun sejuta
kemelut akan tetap mereka hadapi! Yang tak jarang
memerlukan pengorbanan jiwa, Akan tetapi semangat
para pendekar penegak keadilan memang tak pernah
lenyap terpupus oleh ganasnya Tirani. Walau sejuta
kemelut mereka hadapi! Namun semangat perjuangan
menegakkan keadilan tetap berkobar di dada. Tak la-
puk oleh hujan, tak lekang oleh panas! Walau tahun
dan abad terus menjelang. Namun sejarah perjuangan
kaum pendekar, serta keharuman namanya, tetaplah
abadi sepanjang masa.........
TAMAT E-Book By Abu keisel Si Kumbang Merah 10 Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat Siasat Dewi Kasmaran 1
^