Pencarian

Sepasang Pedang Siluman 2

Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman Bagian 2


bantuannya untuk mengatasi kerusuhan di Kuil Istana
Hijau...!" Demikian tutur si paderi Bangau Sakti Yang kemudian hentikan
penuturannya untuk menyeka keringat di dahinya.
"Apakah kau mengetahui siapa pencuri arca
Budha itu, dan juga pembantaian para paderi di Kuil
istana Hijau ...?" Bertanya Dewi Rembulan.
"Samasekali tidak! Dalam keadaan kacau demi-
kian yang sudah kudengar, aku tak berani masuki
Kuil. Cuma aku telah lakukan penyamaran sebagai pe-
tani desa, dan dari luar pintu sudah kulihat mayat-
mayat bergelimpangan!" Menjelaskan si Bangau Putih.
"Mengenai lenyapnya kepala arca Budha dan lenyapnya sepasang Pedang Siluman di
dalam arca itu mana
aku mengetahui...?" Sambungnya lagi, seraya mengusap-usap jenggotnya.
"Apakah kau mengetahui seluk-beluk Kuil Ista-
na Hijau...?" Bertanya lagi Sito Resmi. Pertanyaan itu telah membuat si Bangau
Putih jadi menghela nafas.
Tapi tetap menyahuti. Seraya ujarnya;
"Memang pada lima tahun yang lalu di bawah
Kuil ada ruangan rahasia. Akan tetapi telah ditutup
oleh Ki Dharma Sheta. Bahkan melihatpun aku belum
pernah. Karena aku cuma mendengarnya saja dari Ke-
tua Utama Kuil Istana Hijau, Ki Dharma Sheta. Men-
genai keadaan sekarang mana aku mengetahui" Kare-
na walaupun aku masih ada pertalian saudara, akan
tetapi aku sudah termasuk tidak mengurusi keadaan
di dalam dan di luar kuil Istana Hijau. Boleh dibilang sekarang aku adalah
termasuk orang yang tidak tahu
apa-apa...! Tampak Dewi Rembulan seperti sudah tak
ingin lakukan pertanyaan lagi. Sementara si Naga Hi-
tam termenung sesaat, seperti berfikir. Bangau Putih ternyata telah menyambung
bicara lagi. "Sudahlah...!, Kukira tak ada gunanya kalian
menawan ku lama-lama. Aku memang sedang bernasib
sial. Mengundang orang untuk bisa membantu ku,
ternyata orangnya pun tak kelihatan batang hidung-
nya. Sebaiknya kau bunuh saja sekarang. Toh sama
saja...! Sekarang mati, nanti pun akan mati di tangan
Ketua kalian yang tak kuketahui siapa!" Berkata si Bangau Putih seraya lagi-lagi
mengusap dahinya yang
berkeringat. Akan tetapi si Naga Hitam telah tertawa, seraya berkata;
"Heh! Justru aku tak akan membunuhmu. Ka-
rena kupikir kau bisa kuajak bekerja sama. Aku akan
selidiki siapa gerangan si Topeng Perunggu, yang telah bersedia memberikan upah
100 tail perak untuk menawan mu. Aku menduga kuat kalau si Topeng Pe-
runggu itu adalah si pencuri sepasang Pedang Silu-
man. Kukira nilai pedang pusaka itu lebih tinggi dari 100 tail perak...!".
"Apa rencanamu, Naga Hitam...?" Bertanya De-wi Rembulan.
"Ha ha ha... Kurasa dengan kekuatan kita ber-
tiga, akan dapat merobohkan dan menawan si Topeng
Perunggu. Aku percaya kau akan berhasil meringkus-
nya dengan Jerat Sutera mu?" Dengan memaksanya
untuk bicara, kita akan tahu siapa gerangan dia. Dan kalau ternyata pedang
pusaka itu ada padanya, bukankah satu keuntungan di depan mata" Dan.... ha ha
ha... kita berdua akan menguasai Sepasang Pedang Si-
luman dengan mudah. Setelah itu adalah Urusan si
Bangau Putih untuk membekuknya. Kalau ternyata
dia manusianya yang melakukan pembantaian, tinggal
meringkusnya saja...!
Adapun mengenai urusan di Kuil Istana Hijau
selanjutnya, bukan urusan kita untuk mencampuri
...!" Tampak si Dewi Rembulan tersenyum, dan manggut-manggut. Tapi seperti
penasaran atau memang tak
mengerti, sudah bertanya lagi;
"Jadi bagaimana caranya...?". Naga Hitam jadi mendongkol, tapi segera menjawab.
"Memang wanita di manapun selalu cerewet.
Nah, dengarkan...! Si Bangau Putih ini pura-pura jadi
tawanan kita. Lalu kita bawa menghadap pada si To-
peng Perunggu. Bereslah urusannya...!" Barulah si Dewi Rembulan manggut-manggut.
"Mau tanya lagi Rembulan.. ?" Naga Hitam sudah mendahului bicara.
"Cukuplah! Aku sudah benar-benar mengerti
sekarang...!" Menyahut si wanita seraya beranjak untuk duduk di atas batu kira-
kira lima-enam langkah
dari situ. Akan tetapi pada saat itu telah terdengar suara tertawa berkakakan
diiringi kata-kata bernada dingin.
"Hoa ha ha... ha ha... Bagus! Naga Hitam! Kau
rupanya mau berkhianat! Hm! ketahuilah setiap perin-
tang ku tak ada lain jalan, selain Kematian...!" Begitu suaranya habis, satu
bayangan hitam telah berkelebat ke hadapan si Naga Hitam. Kejadian itu terlalu
cepat, karena belum lagi si Naga Hitam ini menyadari, serangkum senjata rahasia
segera meluruk ke arahnya.
Terkesiap laki-laki ini. Secepat kilat ia segera bergulingan menyelamatkan diri.
Ia berhasil lolos dari serangan tiba-tiba itu, akan tetapi rangkuman jarum
berbisa itu terus meluncur ke arah si Bangau Putih. Tampaknya
paderi itu tak akan mampu menghindari.
Akan tetapi satu bayangan kilat telah menyam-
bar tubuh paderi itu. Dan membawanya berkelebat
dengan cepat. Entah bayangan siapa, karena Roro
Centil pun ternyata masih berada di tempat persem-
bunyiannya. Adapun sosok tubuh berjubah hitam ini,
cuma bisa terpaku saja. Tapi ia tak segera mengejar
karena sepasang matanya ditujukan pada si Naga Hi-
tam. Terkejut laki-laki itu melihat sosok tubuh di hadapannya.
"Hah!"... To...Topeng Perunggu...!" Teriak si Na-ga Hitam dengan suara tertahan.
Tiba-tiba lengannya
sudah bergerak mencekal lengan si Dewi
Rembulan, seraya berbisik;
"Hayo, cepat kita kabur...! Akan tetapi sungguh di luar dugaan, justru si Dewi
Rembulan secepat kilat telah ulurkan tangan menotoknya. Terkesiap si Naga
Hitam. Namun tubuhnya sudah roboh terguling. Ter-
dengar si Dewi Rembulan tertawa mengikik. Seraya be-
ranjak mendekati si Topeng Perunggu, lalu sandarkan
punggungnya pada si Jubah Hitam itu.
"Hi hi hi... Naga Hitam! Ternyata kau tak dapat tundukkan Rembulan. Kau adalah
laki-laki yang paling bodoh di Dunia ini!". Seraya berkata, tiba-tiba ia telah
luncurkan Jerat Sutranya, yang segera membelit
kaki si Naga Hitam. Detik berikutnya tubuh si laki-laki itu telah melayang ke
udara. Terdengar suara tulang
yang remuk, ketika tubuh si Naga Hitam beradu den-
gan langit-langit batu Goa. Diiringi suara jeritan ngeri, tubuh laki-laki itu
jatuh berdebuk ke tanah. Tampak
tubuhnya menggeliat sejenak, lalu mengejang untuk
tidak bergerak lagi. Ternyata kepalanya telah remuk
dengan darah bermuncratan dua warna.
"Hm, bagus...! Kau memang wanita yang cerdik
dan hebat, bibi...!" Berkata si Topeng Perunggu dengan memuji.
"Hi hi hi... manusia macam begini memang su-
dah selayaknya mati! Bukankah demikian Tugangga
...!" Berkata si Dewi Rembulan seraya menggamit lengan si Topeng Perunggu.
Topeng Perunggu hanya mendengus di hidung.
Lalu pegang pinggang si Dewi Rembulan. Sekejap ke-
mudian telah berangkat pergi dengan berkelebat. Ma-
sih terdengar suara cekikikan si wanita itu dari kejauhan. "Wanita kejam!" maki
Roro Centil perlahan. Betapa ia jadi mendongkol melihat si wanita itu yang
ternyata seorang yang kejam dan telengas. Tiba-tiba ia-
pun kelebatkan tubuhnya untuk cepat menguntit. Ro-
ro Centil merasa mempunyai kesempatan untuk men-
getahui di mana sarang si Topeng Perunggu itu.
Ternyata si Topeng Perunggu telah memondong
si wanita itu. Bahkan dalam perjalanan itu topengnya telah dilepaskan oleh si
Dewi Rembulan. Tampak setelah beberapa kali berkelebat, si Topeng Perunggu
hentikan langkah larinya. Dan dua buah kepala itu sudah saling pagut dalam
keremangan sinar Rembulan.
Selang sesaat... si laki-laki yang telah tak men-
genakan topeng itu. telah turunkan tubuh si Dewi
Rembulan dari pondongannya. Ternyata ia seorang la-
ki-laki berusia sekitar 30 tahun. Bertubuh jangkung, dengan rambut lurus yang
agak gondrong. Bermata lebar dan terlihat jalang. Hidungnya agak pilih
melengkung. Mereka segera duduk di rumput saling berdeka-
tan. Sinar bulan yang agak hampir bulat itu cukup
menerangi sekitar tempat itu.
"'Aku cemburu dengan si Naga Hitam itu, bi-
bi...! Aku menyangka bibi benar-benar mencin-
tainya...." Berkata laki-laki bernama Tugangga itu, seraya sudah kembali
mendekap wanita itu ke dadanya.
Terdengar si Dewi Rembulan tertawa kecil, seraya
menggamit leher laki-laki itu dan menggelendot manja.
"Hi hi... Sudah lah jangan ingat dia lagi. Toh orangnya sudah mampus! Kini apa
rencanamu setelah
kau berhasil keluar dari penjara si paderi tua Dharma Sheta". Berkata si Dewi
Rembulan seraya jatuhkan kepalanya ke pangkuan si laki-laki Topeng Perunggu.
Sementara lengannya bergayut di leher.
"Apakah kau akan menguasai Kuil Istana Hijau,
atau akan malang melintang lagi di Rimba Hijau den-
gan Sepasang Pedang Siluman...?" Sambung si Dewi Rembulan dengan suara berbisik.
Karena dilihatnya
Tugangga tetap termenung belum menjawab. Selang
sesaat baru laki-laki itu tertawa seraya ujarnya,
"Ha ha ha... Mungkin juga aku akan malang
melintang lagi di Dunia Persilatan. Selama tiga tahun dipenjarakan di Penjara
Besi oleh Ki Dharma Sheta,
aku telah menciptakan Dua belas jurus ampuh dari
Sepasang Pedang Siluman. Namun tanpa bantuan bibi
mungkin aku belum bisa keluar dari Penjara Besi yang telah mengurung ku. Tentu
saja sekali lagi aku menghaturkan terimakasih atas pertolongan itu..."
"Hi hi... Tanpa aku bekerja sama dengan si Pa-
deri - Sapta Dasa Griwa, mungkin aku tak tahu di
mana kau dipenjarakan. Biarkan dia dengan kemelut-
nya sendiri. Cuma sangat kusesalkan lolosnya si Ban-
gau Putih. Aku menduga orang yang telah menolong-
nya itu orang kosen yang berkepandaian tinggi. Atau
jangan-jangan dia pula yang telah mengirim berita-
berita pada si Bangau Putih. Apakah kau punya du-
gaan siapa gerangan dia...?" Bertanya si Dewi Rembulan.
"Heh! Kalau ku berniat mengejarnya, tentu su-
dah ku bekuk dia hidup-hidup. Akan tetapi waktu itu
aku sedang cemburu padamu, bibi...! Mana aku ber-
niat mengejarnya, selain untuk menguliti si Naga Hitam di depan matamu...!".
"Hi hi hi... lagi-lagi kau cemburu! Kau memang
mirip pamanmu dulu sewaktu masih hidup. Sayang ia
menemui kematiannya dengan cara yang menyakitkan!
Aku telah bersumpah akan menuntut balas kematian-
nya. Cuma waktu itu aku harus bersabar menunggu
waktu. Si Pendekar Gentayangan itu kini usianya telah mencapai 100 tahun.
Kabarnya ia mempunyai seorang
murid laki-laki yang usianya hampir seusia mu!" Ujar si Dewi Rembulan bernama
Sito Resmi itu. Sepasang
matanya memancarkan dendam yang tak pernah kun-
jung padam. Mendengar demikian Tugangga segera
menghiburnya. "Sabarlah bibi...! Waktunya untuk membalas
dendam sudah dekat! Kita tinggal menunggu khabar
tibanya si paderi Ketua Dharma Sheta. Sementara kita menetap dulu di Ruang Bawah
tanah Kuil Istana Hijau. Biar si paderi Sapta Dasa Griwa menguasai Kuil
dan berbuat seperti tak ada kejadian apa-apa.
Paderi itu telah berjasa pada kita. Seandainya
ia menjadi Pimpinan Utama Kuil itu kelak, tentu akan menjadi salah seorang dari
rekan kita. Akan mudah
bagi kita kelak bila sewaktu-waktu memerlukan perto-
longan. Selain itu pula kita harus bertindak tak kepalang, untuk menghancurkan
setiap perintang. Teruta-
ma membantu si paderi Sapta Dasa Griwa mele-
nyapkan Ki Dharma Sheta...!" Ujar si Manusia Topeng Perunggu. Lalu lanjutkan
lagi, setelah termenung sesaat. "Sebenarnya menghilangnya aku dari Rimba Hijau,
adalah karena menyelamatkan diriku dari kejaran musuh-musuhku. Dengan menyamar
sebagai seorang
yang tolol, aku diterima sebagai paderi di Kuil Istana Hijau oleh Ki Dharma
Sheta. Dengan Kepala gundul
plontos, aku tak akan dikenali lagi oleh setiap musuh-ku. Terutama oleh si
Pewaris Sepasang Pedang Silu-
man. Karena mereka tetap memburu ku...!"
"Siapakah si Pewaris Sepasang Siluman itu...?"
Tanya Sito Resmi.
"Dialah yang bernama GIRI MAYANG alias si
Kelabang Kuning. Aku mencurinya dari ruang pusaka
di Rumah Perguruan Tri Mukti. Ternyata adalah milik
si Ketua Perguruan itu. Dan merupakan sepasang
benda keramat yang berusia lebih dari 100 tahun.
Ketua Perguruan itu bernama TUN PARERA,
yaitu guru dari si Kelabang Kuning, alias Giri Mayang.
Begitu aku jadi buronan, segera aku menyamar jadi
paderi di Kuil Istana Hijau. Ternyata kepandaianku dalam membuat arca mendapat
pujian dari Ki Dharma
Sheta. Hingga ia telah meminta ku membuat kan se-
buah Arca Budha dari Perunggu berlapis Emas. Peng-
ganti arca lama yang telah rusak, yang terbuat dari ba-tu. Tapi diam-diam telah
ku sembunyikan Sepasang
Pedang Siluman di dalam arca itu, dengan harapan
suatu saat akan dapat kuambil lagi. Ternyata perbua-
tanku selama menjadi paderi yang kuperbuat dengan
sembunyi-sembunyi, telah membuat murka -Paderi Ke-
tua Ki Dharma Sheta. Hingga aku dipenjarakan di Pen-
jara Besi di ruang bawah tanah. Hal itu adalah sudah menjadi rencanaku. karena
dengan demikian, aku dapat mempelajari 12 Jurus Il-
mu Pedang, yang terdapat tulisannya pada dua gulung
kertas kulit di dalam kedua gagang pedang. Dengan
masing-masing enam jurus pada setiap gulungnya. Ki-
ni aku telah menguasai ke 12 Jurus Ilmu Pedang itu.
Dan saatnya aku munculkan diri lagi di Rimba Hijau
...!". Ujar Tugangga, seraya tertawa puas.
Sementara itu Roro Centil telah mendengarkan
dari tempat persembunyiannya. Dan kini terungkap-
lah sudah misteri peristiwa di Kuil Istana Hijau. Ternyata hilangnya potongan
kepala arca Budha itu me-
mang benar ada hubungannya dengan Sepasang Pe-
dang Siluman, seperti yang telah diungkapkan oleh si Naga Hitam. Saat itu si
Dewi Rembulan telah mendekap tubuh si manusia bertopeng perunggu, yang to-
pengnya telah dilepaskan dan tampak tergeletak di dekatnya. Terdengar wanita yang ternyata menggandrun-


Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gi keponakannya sendiri itu berbisik dengan suara
berdesis.... "Bagus Tugangga. Kau bisa balaskan sakit ha-
tiku pada si Pendekar Gentayangan. Kau belum beri-
kan jawabanmu mengenai siapa kira-kira yang telah
menolong si Bangau Putih itu. Agaknya kita harus
waspada setiap saat. Karena akan banyak para Pende-
kar yang membantu si Bangau Putih untuk mencari si
pembantai para paderi di Kuil Istana Hijau! Kudengar si Bangau Putih itu meminta
bantuan pada seorang
yang bernama Roro Centil, yang bergelar si Pendekar
Wanita Pantai Selatan. Entah orangnya apakah yang
pernah menginap di Penginapan desa Lubok Batang
..." Karena dari mata-mata yang kupasang di sana, gadis itu mencari si Bangau
Putih. Sayang mata-mataku
datang memberitahu setelah gadis itu berangkat pergi.
Ia katakan gadis itu amat aneh, karena ketika pada
malam hari, saat ia menggerayangi ke kamar, telah
melihat seekor harimau Tutul yang amat besar yang
menjaganya Cepat-cepat ia mengunci lagi pintu kamar.
Lalu bergegas untuk menyembunyikan diri....!". Tutur si Dewi Rembulan dengan
serius. Laki-laki ini termenung. Tapi segera keluarkan
pendapatnya, "Mengenai si penolong paderi Bangau Putih itu,
aku kurang bisa mengira-ngira siapa adanya dia. Tapi kalau gadis yang kau
katakan tadi, aku mengambil kesimpulan adalah si Pendekar Wanita itu ...!". Ujar
Tugangga. "Mengenai harimau Tutul itu, aku mengira, gadis pendekar itu mempunyai
semacam ilmu hitam ...!"
Ujar Tugangga lagi.
"Mungkin juga! Justru itu kita harus lebih hati-hati lagi, karena bukan mustahil
kita akan banyak
menghadapi banyak musuh". Berkata si Dewi Rembulan.
"Sudahlah...! Itu urusanku nanti. Kini apa ren-
canamu" Apakah kita bermalam di ruang bawah ta-
nah, ataukah akan bermalam di sini..," Tampaknya
bibi terlalu lelah setelah berpacu tadi!". Kata-kata Tu-
gangga terdengar seperti menyindir. Tentu saja mem-
buat si Dewi Rembulan jadi merah wajahnya. Syukur
tak kentara, karena cuaca memang tak begitu terang
seperti pada siang hari.
"Ih, laki-laki kau cemburu ..! Seandainya si
manusia tolol itu tak menotok ku, mana mungkin aku
bisa mandah saja... Walau bagaimana aku tetap bera-
da di urutan paling atas Tugangga. Aku masih sanggup untuk melayanimu sepuluh
jurus!", "Ha haha... bibi memang hebat! Aku akan
membuktikannya!". Ujar Tugangga, seraya bersiap pasang kuda-kuda. Sementara
jubahnya telah ia lempar-
kan ke rumput. "Aku akan buktikan kehebatanku! Kau baru
meyakini...!" Ujar si Dewi Rembulan, Seraya sibakkan perintang-perintang yang
menghalangi pertarungan.
Sepasang mata Tugangga cuma bisa berkilatan me-
mandang daun-daun pohon penghalang yang berjatu-
han. "Bibi benar-benar masih mampu melayani beberapa jurusku?". Ujar Tugangga
seraya tertawa menyeringai.
Sementara itu Roro Centil lagi-lagi harus mem-
buang muka melihat pertarungan gila yang bakal ter-
jadi. Akan tetapi pada saat itu gadis ini mengeluh, karena saat ia dalam keadaan
tak waspada, sesosok tu-
buh telah berindap-indap mendekati. Gerakannya ba-
gaikan kucing mengintai mangsanya. Dan tahu-tahu
telah gerakkan tangan menotok. Hingga tak ampun la-
gi tubuh Roro terkulai. Selanjutnya satu bekapan sapu tangan, telah membuat ia
tak mampu keluarkan suara.
Dan saat selanjutnya Roro cuma rasakan kepa-
lanya pusing, karena bau harum dari saputangan yang
menempel pada hidungnya. Hingga sekejap, gadis ini
sudah terkulai tak sadarkan diri. Roro cuma rasakan
tubuhnya seperti melayang... Dan ia tak menge-
tahui kalau ketika itu ia tengah dibawa berkelebat oleh sesosok tubuh, yang
memondongnya. ***** Sementara itu pertarungan yang boleh diang-
gap "latihan" oleh kedua manusia di atas rumput di si-si bukit itu, segera akan
berlangsung. "Keluarkan jurus-jurus yang kau pelajari sela-
ma ini, Tugangga! Aku akan melayani sepenuh hati,
agar kau benar-benar tak kecewa...!".
"Ha ha ha... walau dua tahun aku disekap, tapi
untuk jenis jurus-jurus selain 12 Jurus Ilmu Sepasang Pedang Siluman, aku
mempunyai bermacam jurus,
yang segera kau akan mengetahuinya...!", Berkata Tugangga, seraya sudah
hantamkan pukulannya ke arah
kaki. Menghadapi permainan yang menarik ini, tam-
paknya si Dewi Rembulan begitu senang. Segera ia
lompat ke udara tiga tombak. Gerakannya indah,
mempertontonkan bentuk liukkan yang mempesona.
Tugangga berseru kagum. Sepasang matanya berbinar.
Tiba-tiba ia sudah melompat cepat di bawah si Dewi
Rembulan. Sepasang lengannya terpentang. Terkejut si Dewi Rembulan, lihat
Tugangga berada di bawahnya.
Dan saat itu tubuhnya telah meluncur turun. Namun
dengan segera ia telah merobah posisi dengan sepa-
sang kaki terpentang untuk menjepit leher.
"Awas! Jaga leher mu, Tugangga...!" Teriak Dewi Rembulan. Tugangga menyeringai.
Ternyata ia tak berusaha mengelak. Namun sepasang lengannya
berhasil menangkap sepasang lengan si Dewi
Rembulan. Jepitan sepasang kaki itu ternyata tak
mampu membuat untuk melepaskan cekalan pada
lengannya. Bahkan kini si Dewi Rembulan yang kelua-
rkan Suara keluhan. Tubuhnya segera bergelinjan-
gan..... Saat itu seekor kelelawar yang telah berhasil menggondol buah masak,
telah melumat dan menyan-tapnya dengan rakus. Terlalu sulit untuk menikmati,
segera ia bawa dan tempelkan ke batang pohon. Dan di sana ia menikmati
kelezatannya. Pada jurus pertama itu, setelah bergulat untuk
mencoba lepaskan diri, akhirnya si Dewi Rembulan
berhasil jejakkan kaki ke pundak Tugangga. Sementa-
ra lengannya telah berhasil menangkap dahan pohon.
Laki-laki itu jatuh bergulingan. Namun dengan sebat
sambil bergulingan di rumput, lengannya berhasil me-
raih Jerat Sutera si wanita itu. Belum lagi si Dewi
Rembulan sadar akan serangan selanjutnya dari si
Manusia Topeng Perunggu, tahu-tahu jerat sutera itu
telah menyambar kakinya. Mengeluh si Dewi Rembu-
lan. Ia tak menyangka kalau keponakannya ini, ternya-ta berwatak kasar. Tapi ia
memang ingin menguji sam-
pai di mana kehebatan Tugangga.
Ia segera lepaskan pegangan tangannya pada
dahan. Akan tetapi justru tubuhnya roboh terguling,
karena sebelah kakinya telah kena Jerat Suteranya
sendiri. Detik berikutnya, satu totokan telah membuat ia tak berkutik. Tahu-tahu
ia rasakan tubuhnya telah melayang naik lagi. Ternyata Tugangga telah melompat
ke atas dahan pohon, dan menarik Jerat Suteranya,
hingga tubuhnya menggelantung di dahan pohon den-
gan kaki terikat. Detik selanjutnya kedua kakinya telah terikat kuat dengan
terentang di dahan pohon. De-wi Rembulan cuma bisa ternganga... karena gerakan
Tugangga begitu cepat. Tahu-tahu ia sudah tergantung di dahan pohon, dengan
kepala berada di bawah.
"Tugangga! Apa yang kau mau lakukan" Kau
mau menguliti aku?". Teriak si Dewi Rembulan. Diam-diam wanita ini ngeri juga.
Karena Tugangga ternyata lebih buas dari si Naga Hitam. Khawatir juga ia kalau-
kalau laki-laki itu berubah fikiran, dan membunuhnya.
Karena sejak beberapa tahun ia baru berjumpa dengan
keponakannya ini. Akan tetapi wanita ini segera tersenyum, karena dari tingkah
laku Tugangga dan sepa-
sang matanya yang liar, ia mengetahui laki-laki keponakannya ini cuma
melampiaskan kemendongkolan
hatinya saja. Seolah-olah iapun sanggup menunduk-
kannya. Seperti melebihi kesanggupan si Naga Hitam,
yang telah tewas.
***** Cahaya purnama tampak semakin tinggi. Ber-
sitkan sinar yang menyebar rata ke seluruh perbuki-
tan. Tugangga berdiri bertolak pinggang dengan mena-
tap pada si Dewi Rembulan yang tergantung jungkir
balik. Sepasang matanya menelusuri perbukitan dan
lembah-lembah ilalang di hadapannya Lalu tertawa
menyeringai. "Aku bukan akan menguliti mu, bibi...! Tapi
akan tunjukkan satu jurus Kelelawar mencaplok Rem-
bulan. Satu jurus istimewa dari jurus-jurus yang ba-
nyak aku pergunakan dulu. Kala aku masih jadi pe-
tualang dari lembah ke lembah...!".
Seraya berkata ia sudah segera beranjak meng-
hampiri. Namun diam-diam Dewi Rembulan telah ber-
hasil bebaskan diri dari pengaruh totokan. Saat itu
seekor kelelawar kembali telah menyambar buah-buah
yang bergelantungan. Buah buahan yang ranum di su-
suri dengan moncongnya. Angin malam berdesir agak
keras mengguncang seekor kelelawar betina yang
menggantung itu hingga bergelinjangan. Tatkala mon-
cong kelelawar yang susuri buah-buah ranum itu te-
mukan buah yang masak, segera merengkuhnya den-
gan lahap. Dua ekor kelelawar itu bagai bergelut untuk saling merengkuh.
Sementara desis angin malam bagai
kan nafas yang mendesah desah menerpa.... Kelelawar
jantan ternyata mulai semakin bernafsu melihat buah-
buah yang ranum itu. Segera terbang ke atas dahan
yang lebih tinggi. Dan dengan menggelantung di da-
han, lengannya sudah mencengkeram. Sementara
moncongnya merengkuh buah-buah yang ranum itu
berganti-ganti. Kelelawar betina cuma bisa ngangakan moncongnya dengan suara
cicitnya yang seperti mendesis. Seperti masih ingin ia melumat yang sudah
terlepas dari moncongnya. Sementara kelelawar jantan telah keluarkan
kepandaiannya melumat apa yang bera-
da di depan moncongnya.
Sementara itu segera Tugangga telah keluarkan
suara berdesis di telinga. "Inilah jurus-jurus dari Kelelawar mencaplok
Rembulan...!". Satu pukulan perlahan itu ternyata telah membuat si Dewi
Rembulan, menggelinjang dengan keluhan keluar dari bibirnya. Ia telah menangkis dengan
sepenuh hati. Namun beberapa kali serangan beruntun itu, telah membuat ia se-
perti rasakan tubuhnya jadi bergetaran.
Kedua tubuh kelelawar yang bergantung itu te-
rayun-ayun, kala angin bertiup mendesah-desah. Se-
pintas tampaknya seperti tengah bercanda. Karena
sayap-sayapnya saling rangkul dengan kuat. Terdengar suara cicitnya di antara
desah angin yang menerpa...
Dan selang sesaat mereka sudah seperti tidur lelap,
karena kekenyangan menyantap... Saat itu memang
Tugangga telah mengakhiri jurus-jurus yang di pertun-jukkannya pada si Dewi
Rembulan. "Jurus-jurusmu memang hebat Tugangga...!.
Aku memang tak mampu mengungguli mu ...!" Berkata
Sito Resmi seraya buka kelopak matanya. Seraya ter-
tawa, Tugangga letikkan tubuh untuk kembali melom-
pat ke atas dahan. Lalu dengan cepat membuka kem-
bali tali Jerat Sutera yang melilit kaki Sito Resmi. Lalu tarik tubuh si Dewi
Rembulan ke atas. Selanjutnya sudah berada kembali disamping Tugangga dengan du-
duk di dahan menyandar di dada laki-laki itu.
"Kekuatan tenaga dalammu luar biasa Tugang-
ga. Tenagaku sampai tersedot habis ..!" Keluh si Dewi Rembulan, Tugangga hanya
tertawa, lalu tempelkan telapak tangannya di punggung Sito Resmi. Hingga tak
lama kemudian Sito Resmi sudah merasa segar lagi.
Rembulan semakin tinggi menggantung di lan-
git. Malam terus merayap, kala dua sosok tubuh itu
tinggalkan lereng bukit, untuk berlalu dari tempat
yang telah menguras tenaga itu. Akan tetapi mereka
tampak dalam kepuasan dalam pertarungan barusan
Siapakah sosok tubuh yang telah menotok Roro Centil, dan membuat ia tak berdaya
itu" Mari kita ikuti siapa gerangan dia.......
Sosok tubuh itu mengenakan topeng hitam pa-
da wajahnya. Bertubuh kekar, dengan rambut awut-
awutan. Setelah beberapa saat lamanya berlari-lari
dengan cepat. Sosok tubuh itupun hentikan larinya. Di hadapannya adalah sebuah
rawa-rawa. Seandainya
orang yang belum tahu jalan, sudah pasti akan terje-
rumus ke dalam rawa yang dalam itu. Ternyata ia
mengambil jalan memutar. Lalu temukan jalan lurus
berbatu-batu. Seperti memang jalan yang sengaja di-
buat untuk menyeberangi rawa itu. Meniti jalan lurus itu, segera sudah terlihat
sebuah bangunan di tengah rawa. Di atas tanah ketinggian, kira-kira tiga kali
lemparan tombak lagi.
Sementara Roro Centil masih terkulai dalam
pondongan orang itu. Dengan keluar suara tertawa li-
rih, segera ia telah enjot tubuh untuk melompat.
Hebat tenaga lompatan itu, karena dengan dua
kali melompat, ia telah tiba di sisi tanah ketinggian di tengah rawa. Ternyata
ia hams mengambil ancang-ancang lagi untuk melompat. Di hadapannya dalam ja-
rak satu tombak lagi, terdapat kolam yang melingkari tanah bangunan mirip
pendopo. Segera ia telah enjot tubuhnya sekali lagi, dan
mendarat di undak-undakan batu. Selanjutnya ia telah melangkah untuk naik. Dan
sekejap kemudian telah
tiba di muka pintu gedung pendopo. Tubuh Roro da-
lam pondongan telah dipindahkan ke atas bahu. Se-
mentara sebelah tangannya membuka pintu dengan
kunci yang ia keluarkan dari saku bajunya. Tak lama
si Pendekar Wanita itu sudah dibawa masuk ke dalam
gedung pendopo itu. Dan lenyap ketika pintu kembali
tertutup kembali. Di malam yang disinari rembulan itu ternyata telah banyak
peristiwa telah terjadi.
Ketika sadarkan diri, Roro Centil berada dalam
sebuah ruangan yang luas. Terkejut Pendekar wanita
ini ketika dapatkan dirinya dalam keadaan berdiri terikat kaki dan tangannya
oleh rantai. Dengan kaki serta tangan terpentang pada palang besi. Lebih-lebih
terke-jutnya Roro Centil, ketika mengetahui pakaiannya te-


Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lah lenyap. Beruntung masih ada dua penghalang yang
menutupi bagian-bagian terpenting di tubuhnya.
Saat itu matahari telah menyorot masuk dari
jendela berdinding batu, sebelah atas. Kepala Roro
bergerak memutar untuk meneliti ruangan. Ia segera
dapat menduga, ruangan itu berada di bawah tanah.
Karena dindingnya tampak rembes oleh air. Dan terli-
hat ada beberapa tulang tengkorak manusia bersera-
kan di lantai lembab. Tempat apakah ini..." Dan siapakah yang telah menotok ku..
" Berkata Roro dalam ha-
ti. Segera teringat kejadian semalam, tatkala ia tengah
akan menyaksikan pertarungan gila si Dewi Rembulan
dan Topeng Perunggu. Tahu-tahu tubuhnya telah dito-
tok orang, dalam keadaan lengah. Dan sebuah sapu
tangan berbau harum telah menyumpal hidungnya.
Selanjutnya ia sudah tak sadarkan diri. Ketika sadar tentu saja Roro jadi
terkejut karena mengetahui ia dalam keadaan terikat sedemikian,
Diam-diam ia coba kerahkan tenaga dalamnya,
untuk mencoba memutuskan rantai. Akan tetapi lagi-
lagi ia terkesiap karena tenaganya telah punah. Hal
tersebut ternyata membuat murid si manusia Banci ini mendongkol. Dan segera saja
keluar adat anehnya. Ti-ba-tiba Roro Centil telah perdengarkan suara tertawa
mengikik geli, hingga terpingkal-pingkal. Hingga seluruh ruangan itu seperti
penuh suara tertawa yang ber-pantulan tak ada putusnya. Seolah di dalam ruangan
itu ada sepuluh wanita yang sama-sama tertawa.
Tentu saja hal itu telah membuat sebuah pintu
batu menjeblak terbuka dari atas. Dan sesosok tubuh
telah melompat ke bawah. Ternyata seorang laki-laki
yang mengenakan topeng di wajahnya. Yaitu laki-laki yang telah menotoknya, dan
menawan Roro di tempat
ini. "Hentikan tertawamu Wanita Pendekar...!" Sen-taknya, seraya berkelebat melompat
ke hadapan Roro.
Yang dibentak ini ternyata bukannya berhenti tertawa, bahkan semakin keras suara
tertawanya. Kali ini dibarengi kata-kata....
"Hi hi hi... hi hi... Aku sudah tahu siapa kau, mengapa masih juga menutupi
wajahmu..." Lebih baik
kau lekas-lekas minta ampun padaku, dan lepaskan
aku! Kalau tidak, roh ku akan keluar untuk mencabut
nyawamu...! Hi hi hi... hi hi... Terkejut laki-laki bertopeng ini, Kata-kata itu
tentu saja membuat ia ragu.
Apakah benar orang yang di tawanya ini telah menge-
tahui dirinya" Agaknya mendengar gertakkan Roro itu, nyali si manusia bertopeng
ini, jadi kendur menyusut.
Ia menduga gadis itu mempunyai ilmu hitam. Namun
tiba-tiba wajahnya jadi berubah sinis. Dan bentakkan kata-kata;
"Huah...! Kau kira aku bisa kau gertak demi-
kian" Walau kau sudah tahu siapa aku, tak menjadi
persoalan. Apakah kau bisa lepaskan diri dari rantai belenggu itu!?" Selesai
berkata ia telah lepaskan topeng wajahnya. Ternyata dia tak lain dari Paderi
Ketua Dua, dari Kuil Istana Hijau. Yaitu Santa Dasa Griwa. Diam-diam Roro Centil
bergirang hati, karena usahanya un-
tuk mengetahui manusia yang menawannya membawa
hasil. Roro yang sudah mengetahui gerakan di bawah
tanah paderi yang bekerja sama dengan si Topeng Pe-
runggu itu, sudah tak heran lagi kalau manusia ini
mau mencelakai.
"He! Paderi pengkhianat! Apakah kau memang
inginkan roh ku mencabut nyawamu?" Teriak Roro ti-ba-tiba dengan nada suara
tinggi yang diiringi tertawa mengikik.
"Ha ha ha ... silahkan rohmu keluar untuk
membunuhku...! Aku ingin lihat, apakah kau mampu
pergunakan ilmu hitammu...!" Ujar paderi Sapta Dasa Griwa sinis.
"Kau memang tak pantas jadi seorang paderi.
Perbuatanmu bisa mencemarkan nama paderi lainnya.
Apa yang kau inginkan dengan menawan ku demikian
rupa?" "Memang aku tak berniat menjadi paderi, nona pendekar perkasa...! Aku
justru ingin merobah Kuil Istana Hijau untuk menjadi Kerajaan kecil yang ber-
naung di bawah Kerajaan Sriwijaya! Tentu saja kau
harus menyingkirkan setiap perintangnya, terutama
kau sendiri, yang telah ikut campur dalam urusan
ini...! Menyusul si Bangau Putih, dan yang te-
rakhir adalah si Ketua Utama Ki Dharma Sheta...!
Tempat ini memang sebuah ruang penyiksaan, Sebe-
lum dibunuh mati setiap tawanan yang berada di
ruangan ini harus menjalani siksaan lebih dulu. Tentu saja aku menawan mu,
adalah untuk menyiksamu
sampai setengah mati. Baru kubunuh dengan ini...!"
Seraya berkata, Dasa Sapta Griwa telah mengeluarkan
sepasang pedang pendek yang melengkung dari balik
jubahnya. Pedang itu berwarna hitam. Roro Centil jadi melengak dengan sepasang
mata membelalak. Kini dilihatnya, paderi itu sudah mendekatinya dengan tersenyum
sinis. Adapun Roro Centil segera lakukan perta-
nyaan. "Hm... Apakah itu Sepasang Pedang Silu-
man...?" Tanya Roro tanpa rasa gentar ketika Sapta Dasa Griwa mendekatinya.
"Benar...! Sepasang pedang ini dapat membuat
punah segala macam ilmu Hitam. Dan kau boleh kelu-
arkan ilmu hitammu untuk membunuhku! He he he..."
Seraya berkata lengannya telah bergerak, dan tempel-
kan ujung pedang di leher Roro. Gadis ini cuma meli-
riknya dengan tersenyum. Agaknya Roro memang ber-
sikap aneh. Dan hal itu adalah kelebihan Roro dari setiap orang. Karena ia
seperti tak takut menghadapi
kematian. Tapi yang membuat heran Roro, adalah se-
pasang pedang pusaka ini, mengapa bisa berada di
tangan si paderi" Karena memang tidak mengetahui,
dengan serampangan saja Roro telah berkata;
"Menurut yang kudengar, Sepasang pedang itu
adalah milik TUN PARERA, Ketua Perguruan TRI
MUKTI. Kalau benda ini ada di tanganmu sudah pasti
kau pemiliknya yang asli...!" Diterka demikian, wajah si paderi jadi berubah
merah. Diam-diam ia membatin
dalam hati. Gadis Centil ini apakah punya ilmu nujum,
bisa segala tahu..." Terpaksa ia tak bisa sembunyikan lagi siapa dirinya. Apa
lagi ia berpendapat si Pendekar Wanita itu sudah dalam kekuasaannya. Buat apa ia
menyembunyikan rahasia lagi" Memikir demikian, ia
sudah lantas berkata;
"Benar...! Akulah TUN PARERA, Ketua Pergu-
ruan Tri Mukti. Gerakanku adalah lebih awal dari si
Tugangga manusia Topeng Perunggu itu. Karena dalam
aku menguntit pencuri sepasang pedang pusaka lelu-
hur ku itu, akupun telah menyamar menjadi paderi,
dan diterima oleh Ki Dharma Sheta. Bahkan mendapat
kepercayaan menjadi wakil, sebagai paderi Ketua Dua
di Kuil Istana Hijau. Di samping ingin merebut kembali sepasang pedang pusaka
leluhur ku, akupun ingin
menguasai Kuil Istana Hijau. Ternyata kesempatan
itupun berhasil. Aku bertindak tatkala sudah berhasil menghasut lebih dari
sepertiga paderi. Bahkan hampir separuhnya. Mengenai Sepasang Pedang Siluman,
memang sejak aku menyelidiki, baru kuketahui telah
disembunyikan si Tugangga ke dalam arca Budha.
Namun berkat banyaknya para paderi yang pro padaku
dan membantu dengan sembunyi-sembunyi, melalui
ruang bawah tanah, aku berhasil menjebol bawah ar-
ca. Dan mengambil sepasang senjata Pusaka itu"
"Mengapa harus bertindak dengan sembunyi-
sembunyi?" Tanya Roro.
"Ha ha ha... Dengan demikian, si Paderi Ketua
Dharma Sheta tak mencurigaiku. "Waktu itu adalah di saat si Tugangga
dipenjarakan karena ketahuan telah
membawa wanita, dan memperkosanya di ruangan su-
ci. Hukumannya amat berat Karena harus menjalani
hukum penjara selama tiga tahun...!"
"Apakah kau telah menukarnya dengan yang
palsu?" Tanya Roro lagi. Tersenyum Tun Parera seraya menyontek dagu Roro untuk
mendongak, oleh ujung
pedang. "Otakmu cerdik, Roro Centil. Benar...! Aku telah membuat yang palsu. Dan
memerlukan waktu cukup
lama untuk membuatnya. Yaitu selama hampir satu
tahun. "Apakah ke Dua Belas jurus Ilmu Sepasang Pedang Siluman yang dipelajari
Tugangga di penjara juga palsu"." Bertanya Roro dengan menatap tajam Tun Parera.
"Hm! Kalau ke Dua Belas jurus itu tetap yang asli. Karena manusia itu telah
mengambilnya terlebih dulu gulungan kertas kulit yang berada di dalam gagang
Pedang. Kau pasti dapat mengetahui tentang ke
Dua Belas jurus ilmu pedang itu, dari hasil kau men-
curi dengar saat kau mengintip mereka...!" Berkata Sapta Dasa Griwa alias Tun
Parera dengan mende-katkan wajahnya pada Roro. Roro tak sempat menja-
wab. Dan memang tak perlu menjawab. Terpaksa ia
cuma mandah saja ketika hidung si paderi itu berkali-kali mendarat di pipinya.
Dalam hati Roro memaki ka-
lang kabut. Akan
tetapi ia memang harus bersabar untuk bisa le-
paskan diri. Sementara otaknya mulai bekerja. Mencari jalan untuk bisa
membebaskan diri.
"Tunggu dulu Tun Parera...! Mengapa tak kau
ajak aku bekerja sama denganmu"." Desis Roro dengan tatapan mata mengandung daya
tarik. Sejenak si
paderi hentikan ciumannya. Lalu putarkan tubuh
membelakangi Roro. Tampaknya seperti sedang berfi-
kir. Tak lama ia tengah masukkan kedua pedang ke
dalam sarungnya di kedua sisi pinggang sebelah dalam jubah. Lalu balikkan lagi
tubuhnya dengan sepasang
mata menatap pada Roro.
"Aku belum bisa mempercayaimu nona Pende-
kar Roro Centil. Keadaan sudah mendesak. Dalam be-
berapa hari lagi aku dapat kabar dari mata-mataku, Ki Dharma Sheta akan segera
tiba. Laporan dari mata-mataku, kapal yang ditumpangi paderi Ketua Utama
telah merapat di bandar pelabuhan. Kalau kau tak ku
sekap di tempat tawanan yang tersembunyi ini, aku
khawatir akan lebih banyak perintang ku untuk mele-
nyapkan Ki Dharma Sheta ...!"
"Baiklah! Kini apa yang akan kau lakukan ter-
hadap ku, segera lakukanlah ...!" Roro justru menan-tang dengan suara mantap.
Karena rasa ingin tahu apa yang akan dilakukannya terhadap dirinya yang sudah
tak berdaya itu. Sepasang mata Tun Parera jadi terbeliak menatap Roro. Bahkan
jadi geleng-geleng kan ke-
pala melihat ketabahan gadis pendekar itu.
"Ha ha ha... gadis semacammu memang langka!
Kau punya watak aneh...! Tadi menakut-nakutiku
dengan roh mu yang akan membunuhku, dan suruh
aku minta ampun padamu. Kini kau pasrahkan dirimu
mentah-mentah...!" Seraya berkata ia telah beranjak ke sisi palang besi. Di situ
tergantung sebuah cambuk da-ri kulit. Segera ia raih benda itu.
"Baiklah...! Aku memang punya kesenangan
menyiksa wanita, sebelum aku mengingininya untuk
menghangatkan tubuhku! Ingin kulihat tarianmu di
ujung cambuk ini!" Segera dengan sekali lompat ia telah menjauh, kira-kira lima
tombak. Dan ulur tali
cambuknya yang memanjang sampai ke tanah. Roro
Centil kertakkan gigi. Kini baru diketahuinya kalau si paderi ini berhati
binatang. Sepasang mata Tun Parera telah berbinar-binar merayapi sekujur tubuh
Roro yang mulus terpentang itu. Sebenar lagi ia akan melihat tubuh gadis di
hadapannya akan meliuk-liuk bagai ular. Dan rintihan yang menggairahkan itu
sudah seperti terdengar di telinganya. Dengan tertawa menyi-
ringai buas. Tun Parera telah putar-putarkan cambuk-
nya di udara. Roro Centil menatap tak berkedip. Bibirnya tampak seperti bergumam
lirih. Ketika itu ujung
cambukpun meluncur ke tubuh Roro untuk menyen-
tuh kulit sang Pendekar Wanita yang putih mulus ini.
Akan tetapi tiba-tiba Roro Centil telah gerakkan kepalanya ke bawah. Apa yang
terjadi" Rambut telah ber-
juntai menyambar untuk mengeprak ujung cambuk.
Hingga sebelum tubuhnya terkena hantaman. Ujung
cambuk itu telah menjadi hancur luluh. Terkejut Tun
Parera. Betapa ia tak menyangka akan bisa terjadi hal itu. Tampak ia melompat ke
depan satu tombak. Dan
kini hantamkan lagi cambuknya. Lagi-lagi Roro ke-
prakkan lagi rambutnya dengan menggerakkan kepa-
lanya. Kembali ujung cambuk menjadi hancur beran-
takan. Dua kali paderi Sapta Dasa Griwa hantamkan
cambuknya. Dan kali juga ujung cambuknya menjadi
hancur. Hingga kini cambuk itu tinggal lagi dua depa.
Sepasang mata laki-laki berusia 50 tahun ini jadi
membeliak melihat kehebatan serangan rambut Roro
Centil. "Bagus...! Rupanya aku tak perlu menyiksamu lagi. Kini terimalah
kematianmu, Pendekar wanita!" Ia sudah gerakkan lengannya melempar cambuknya.
Dan sekejap telah mencabut keluar sepasang Pedang Silu-
man. Ketika itu Tun Parera sudah segera melabrak Ro-
ro dengan berteriak keras. Sepasang senjatanya berkelebat timbulkan hawa dingin
yang merasuk ke jantung.
Berdebar Roro Centil. Seluruh indranya telah dipa-
sang. Sayang Roro belum bisa lepaskan diri dari rantai belenggu. Dan detik itu
kedua ujung pedang sudah
meluncur ke arah dada dan leher. Akan tetapi pada detik berbahaya itu segumpal
asap hitam telah melin-
dungi Roro. Bahkan terus menerjang memapaki ter-
jangan Tun Parera. Terkesiap laki-laki ini, karena rasakan satu cengkeraman yang
menerkam dadanya.
Dan membuat tubuhnya jatuh bergulingan. Asap hi-
tam itu terus meluruk ke arahnya diiringi suara menggeram seekor harimau.
Seketika Tun Parera jadi terke-sima. Sepasang pedangnya bergerak menabas ke arah
depan. Buyarlah asap hitam, dan lenyap. Namun suara
menggeram itu tahu-tahu berada di belakangnya. Se-
cepat kilat ia balikkan tubuh. Kini terlihatlah se ekor Harimau Tutul yang
tubuhnya hampir sebesar kerbau
tengah perlihatkan taringnya, dan sudah bersiap un-
tuk menerkam. Gila...!" Makhluk ini dari mana munculnya...!"
Teriak Parera dalam hati. Namun sudah melangkah
mundur tiga tindak. Sementara keringat dingin telah
mengembun di kening dan lehernya. Bulu tengkuknya
tiba-tiba meremang. Belum lagi ia menyadari, sang harimau Tutul telah melompat
menerkam. Terpaksa ia
pergunakan lagi sepasang pedangnya menabas bebe-
rapa kali. Tapi semua itu bagai menabas angin belaka.
Karena tubuh si Harimau Tutul bagai bayang-bayang.
WUT! WUT! WUT! Beberapa serangan beruntun
telah ia sarangkan ke sasaran. Sang harimau Tutul keluarkan suara menggeram


Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahsyat. Dan lolos ke depan
bagai segumpal asap. Tahu-tahu telah terjadi satu hal yang aneh. Karena tampak
Tun Parera telah berkelojotan tubuhnya. Sepasang pedangnya telah terlepas. Kini
ia seperti berusaha melepaskan terkaman yang mencengkeram leher. Sepasang
lengannya meronta, den-
gan memegangi lehernya. Dengan keadaan wajah yang
mengerikan. Karena sepasang matanya mendelik den-
gan mulut ternganga, dan lidah terjulur keluar. Sedang air liurnya bersemburan
bercampur darah. Tubuhnya
bergetar hebat. Kakinya menyepak ke sana-kemari...
Yang akhirnya roboh terguling. Selanjutnya ia seperti tengah meregang nyawa, dan
keluarkan jeritan-jeritan parau yang menyayat hati. Namun selang tak lama,
tubuh Tun Parera alias si paderi Ketua Dua Kuil Istana Hijau telah terkulai
untuk tak berkutik lagi. Saat itu Roro Centil telah kembali pulih tenaga
dalamnya. Dan tengah kerahkan kekuatan lengannya memutuskan
rantai belenggu. Terdengar suara mendesis dari mu-
lutnya. Asap tipis tampak mengepul keluar dari setiap anggota tubuh yang
terbelenggu rantai. Sekejap kemudian terlihat rantai-rantai itu telah meleleh
bagai terkena bara api yang panas membara. Seluruh tubuh
Roro telah keluarkan keringat yang menetes. Inilah tenaga Inti Api yang luar
biasa. Yang dipergunakan Roro untuk melepaskan belenggu. Tenaga dalam Roro yang
telah diwarisi si Dewa Tengkorak secara penuh, ternya-ta dapat menghimpun hawa
panas yang disalurkan ke
tempat tertentu. Kini dengan sekali sentakan berba-
reng, Roro Centil telah dapat melepaskan diri dari belenggu. Dan lompat
menghampiri di mana tubuh Tun
Parera menggeletak. Roro segera memeriksanya. Ter-
nyata Tun Parera si Ketua Perguruan TRI MUKTI alias
paderi Ketua Dua Kuil Istana Hijau yang bernama Sap-
ta Dasa Griwa telah tewas secara mengerikan. Dari
mulut, hidung dan telinganya tampak mengalirkan da-
rah kental. Dara ini menghela nafas. Dan bersyukur ia bisa terhindar dari
ketelengasannya. Segera ia periksa jubah orang. Dan tarik keluar sepasang sarung
pedang. Lalu sepasang matanya dialihkan mencari kedua
Pedang Pusaka. Selanjutnya segera benahi lagi kedua
pedang itu untuk dimasukkan dalam serangkanya. Si
Tutul ternyata telah menjelmakan diri menjadi seekor anak harimau sebesar
kucing. Segera Roro beranjak
berlari ke dekat ruang atas yang menjeblak tadi, setelah tatap sejenak si anak
harimau Tutul dengan bibir tersenyum. Kemudian sekali enjot tubuh, Roro Centil
sudah melompat naik. Kini ia berada di ruang atas.
Sementara si Tutul pun sudah melompat mengikuti.
Roro Centil selanjutnya memeriksa setiap ruangan.
Dan temukan lagi pakaiannya, serta buntalan pakaian
yang masih utuh isinya. Senjata Rantai Genitnya ter-
nyata tergantung di sisi pembaringan Tun Parera.
Tak banyak ayal lagi, segera Roro Centil kena-
kan lagi pakaiannya. Serta rapikan buntalannya untuk disangkutkan lagi pada
punggungnya. Selanjutnya sudah segera melompat untuk keluar gedung. Terpaksa
Roro pergunakan lengannya menghantam daun pintu.
Yang segera jebol berantakan. Sekali enjot tubuh, ia sudah melesat keluar
gedung. Dan perhatikan sekitar-nya. Ternyata memang tak ada penghuni lain,
selain Tun Parera yang telah tewas. Gadis ayu ini berdiri tegak untuk mencari arah,
Sepasang senjata anehnya
yaitu si Rantai Genit telah terselip lagi pada pinggangnya. Batu warna kuningnya
berkilauan kena sorot ca-
haya Matahari. Tampaknya Roro agak bingung, Karena
ia dibawa kemari dalam keadaan tak sadarkan diri.
Roro tak mengetahui ia berada di daerah mana. Dan
baru mengetahui kalau rumah pendopo yang dibuat
sebagai tempat tawanan dirinya adalah sebuah gedung
terpencil di tengah rawa. Segera Roro beranjak untuk menuruni undakan batu. Kini
di bawah kakinya adalah kolam air yang bergaris tengah sepertiga lemparan
tombak. Terkejut juga RORO CENTIL mengetahui kolam yang memutari tempat
ketinggian di bawah unda-
kan, ternyata penuh dengan lintah. Begitu membaui
darah manusia, segera merubung dekat kaki Roro.
"Gila...! Tempat ini sungguh tak menyenang-
kan! Mari kita tinggalkan tempat ini Tutul...!" Seraya berkata Roro sudah
bergerak melompati kolam. Pandangan matanya segera dapat melihat adanya jalan
lu- rus berbatu-batu yang menyeberang rawa-rawa. Seke-
jap antaranya Roro Centil sudah berkelebat tinggalkan tempat itu...
***** Siapa gerangan yang menolong si Bangau Pu-
tih..." Mari kita lihat di sebuah pondok tersembunyi di dalam hutan bambu.
Tempat itu adalah tak jauh dari
sebuah muara sungai. Yaitu diantara tiga sungai yang saling bertemu, Tempat ini
sering disebut Lubuk Muara Seronok. Karena memang tempat yang diapit oleh
dua bukit itu, merupakan tempat yang indah. Akan te-
tapi memang sebuah tempat yang hampir jarang di-
kunjungi orang. Karena untuk dapat tiba di tempat ini, adalah melalui jalan yang
sukar ditempuh. Pondok tersembunyi ini wuwungannya terbuat dari atap rumbia.
Dengan dinding dari anyaman bambu. Tapi adalah se-
buah pondok yang bersih. Serta tempat sekeliling yang teratur rapi. Ditutup
hutan bambu yang rapat itu, seolah di alamnya tak terdapat pondok dan
manusia......Di ruang bagian depan itu ternyata telah ada dua orang lelaki tua
yang tengah duduk bercakap-cakap. Kiranya mereka adalah si Bangau Putih. Dan
yang seorang lagi ternyata seorang tua yang berjubah aneh. Yaitu jubahnya
bertambalan dengan bermacam warna. Selain ter-
buat dari bahan yang mahal, tapi juga bersih. Sehing-ga tak menampilkan
kemesuman. Rambut orang tua
itu memakai gelung terbungkus kain sutera warna hi-
tam. Kedua ujung kain suteranya terjuntai sepanjang
satu jengkal. Bertubuh jangkung, dan berkulit muka
putih. Rambut dan jenggotnya pun sudah sama me-
mutih. Laki-laki ini tanpa kumis. Hanya jenggotnya sa-ja yang ia pelihara
sepanjang dua jengkal. Wajahnya
menandakan seorang tua yang telah banyak makan
asam garam di Dunia Rimba Hijau. Dialah kiranya si
PENDEKAR GENTAYANGAN dari Gunung KUMBANG.
Yang nama aslinya adalah Ki Jagus Wedha.
Perlu diketahui bahwa Gunung Kumbang ada-
lah sebuah gunung di Pulau Jawa. Dengan adanya me-
reka di Pulau Andalas, dapat dipastikan ada sesuatu
hal yang amat penting untuk datang ke tempat ini.
"Sekali lagi aku yang rendah si Bangau Putih
mengucapkan terimakasih atas pertolongan anda me-
nyelamatkan nyawaku...!" Berkata paderi itu. Ki Jagur Wedha tersenyum sambil
mengelus jenggotnya yang
panjang terjuntai.
"He he he... Sudahlah! Mengapa harus berkali-
kali menghaturkan terimakasih" Kita adalah sesama
manusia, yang memang membutuhkan tolong meno-
long dengan sesamanya" Ujar Ki Jagur Wedha. Bangau Putih pun tersenyum sambil
manggut-manggut
"Sungguh aku menjadi malu, karena dalam
usia anda yang sudah mencapai 100 tahun, ternyata
masih punya kegesitan luar biasa. Entah ada urusan
apakah gerangan hingga anda berkunjung ke Pulau
Andalas ini?" Bertanya Bangau Putih.
"Hm! Anda terlalu memujiku paderi Kuil Tan-
jung Kait. Sebenarnya aku memang sudah pantas un-
tuk pensiun dari Rimba Hijau, akan tetapi kiranya masih ada saja urusan yang
harus ku benahi. Sebenarnya kedatanganku kemari bersama Ketua Kuil Istana Hijau.
Yaitu Ki Dharma Sheta. Kami telah singgah ke
Kuil anda di Tanjung Kait, untuk melihat keadaan di
tempat anda. Karena sebagaimana Ki Dharma Sheta
mengatakan, bahwa anda tengah dimohonkan ban-
tuannya menjaga Kuil Istana Hijau...!"
"Bagaimanakah keadaan di Tanjung Kait?" Bertanya Bangau Putih memotong
pembicaraan. Ki Jagur
Wedha tersenyum dan menjawab.
"Tidak terjadi apa-apa. Bahkan para paderi me-
nyambut dengan baik..."
"Apakah Ki Dharma Setha membatalkan kun-
jungannya ke beberapa kuil di tanah Jawa" Laki-laki
berusia 100 tahun ini menjawab dengan menghela na-
fas. "Seorang paderi dari Kuil Istana Hijau telah
menyusul Ki Dharma Sheta. Dia melaporkan ada hal-
hal yang tidak beres di dalam Kuil. Kebetulan aku
menjumpainya di sebuah penginapan. Dan mengajak-
nya untuk kembali secepatnya. Aku memang sudah
lama tak gentayangan lagi di Rimba Hijau. Hal tersebut membuat aku ingin sekali
turut mengatasi kemelut di
dalam Kuil Istana Hijau. Karena kudengar paderi Ke-
tua Dua, Sapta Dasa Griwa yang telah dipercayainya,
melakukan gerakan bawah tanah. Menghasut para pa-
deri hampir separuhnya. Satu hal lagi adalah kudengar tentang lolosnya seorang
tahanan Ki Dharma Sheta
dari Penjara Besi. Menurut Ki Dharma Sheta baru di-
ketahui belakangan kalau paderi yang tengah menja-
lani hukumannya itu adalah seorang penjahat yang te-
lah mencuri sepasang Pedang Siluman. Hal itu me-
mang baru didengarnya beberapa pekan ini, karena
berita itu belumlah bisa dipercaya. Akan tetapi begitu kami injakkan kaki di
Pulau Andalas, sudah dengar
berita yang lebih hebat Yaitu pembantaian para paderi Kuil Istana Hijau. Bahkan
nyaris kami temui kematian, karena serangan mata-mata yang memang telah dipa-
sang si paderi Sapta Dasa Griwa. Dari mata-mata yang berhasil kutangkap, segera
diketahui kalau si paderi Sapta Dasa Griwa mau berkhianat. Dan berniat menguasai
Kuil. Karena ia memang bercita-cita menjadikan Kuil itu sebuah istana Kerajaan
Kecil. Yang akan ia dirikan, dan bernaung di bawah panji Kerajaan Sriwi-
jaya. Kami telah tiba dengan waktu yang lebih dipercepat. Dan kini Ki Dharma
Sheta berada disatu tempat
yang aman menunggu instruksi dariku. Die memang
menyerahkan urusan ini padaku. Karena mengang-
gapku adalah seorang yang sudah berpengalaman un-
tuk menumpas komplotan penjahat...!" Demikian Ki Jagur Wedha akhiri
penuturannya. Bangau Putih
manggut-manggut mendengar penuturan itu. Dan ia-
pun ceritakan pula pengalamannya sejak ia ditugaskan Ki Dharma Sheta untuk
menjaga Kuil Istana Hijau. Di
mana ia menemui kesulitan sehingga tertawan oleh si
Naga Hitam dan Dewi Rembulan.
"He he he... si Dewi Rembulan itu istri mudanya si Petir Dahana. Tokoh keji
kepala perampok itu telah kukirim nyawanya ke Neraka empat atau lima tahun
yang lalu. Ketika ku menolongmu dari serangan si To-
peng Perunggu yang akan membunuhmu sekaligus
dengan si Naga Hitam, aku sekilas melihat seorang da-ra berbaju kuning tak jauh
dari tempat itu. Apakah dia si Roro Centil itu...?" Tanya Ki Jagur Wedha. Bangau
Putih kerutkan alisnya, seraya menjawab; "Entahlah...!
Aku tak mengetahuinya. Karena sejak aku mengun-
dangnya, sekali pun aku belum pernah bertemu muka.
Dan aku sama sekali tak mengetahui adanya orang di
tempat itu...!"
"He he he... ternyata kita orang-orang tua su-
dah jauh ketinggalan dengan para pendekar muda.
Cuma mereka belum begitu banyak pengalaman. Begi-
tu menolongmu, aku segera kembali lagi kesana. Dan
dapatkan si Naga Hitam telah tewas. Aku mencari-cari di sekitar tempat itu,
ternyata si Dewi Rembulan tengah main gila dengan si Topeng Perunggu. Sedangkan
dara berbaju kuning itu entah kemana, tak kulihat batang hidungnya! Tadinya aku
mau turun tangan mem-
bekuk dua manusia itu.... Akan tetapi sebagai seorang tua yang sudah menjauhi
segala macam urusan orang-orang muda, aku lebih baik tinggalkan tempat itu.
Masih banyak waktu untuk membekuknya...!" Ujar Ki Jagur Wedha. Bangau Putih
terdengar menghela nafas.
Dan berucap pula....
"Memang...! Keadaan dunia telah semakin se-
mrawut! Itulah sebabnya aku memilih menjadi seorang
paderi. Tapi tak nyana, akhirnya masih juga aku harus jadi seekor kambing tua
yang dungu. Karena kebodohan ku...!" Paderi ini teringat akan kelakuan gila si
Na-ga Hitam dan Dewi Rembulan, yang enak saja men-
gumbar nafsu di hadapannya... "Apakah anda tahu siapa gerangan si Topeng
Perunggu itu...?". Tanya si Bangau Putih.
"He he he... Dia tak lain dari si manusia yang
telah lepaskan diri dari Penjara Besi di Kuil istana Hijau! Kiranya si Dewi
Rembulan itulah yang telah menolongnya keluar dari tahanan, Dia bernama TU-
GANGGA...! Yaitu keponakan dari si Petir Dahana yang telah mampus di
tanganku...!" Menyahut Ki Jagur Wedha. Akan tetapi tiba-tiba laki-laki berusia
satu ab-ad ini telah berteriak dengan suara keras...
"Hooiiii...! Tetamu yang di luar. Mengapa tak
segera masuk". Tak baik mendengarkan percakapan
dengan sembunyi-sembunyi...!" Melengak si Bangau Putih. Karena telinga Ki Jagur
Wedha ternyata amat
tajam pendengarannya. Ia sudah melongok keluar jen-
dela. Dan pada saat itu juga berkelebat masuk sesosok tubuh ramping berbaju
kuning emas, yang tak lain da-ri si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil.
"Aiii.... calon menantuku kiranya...! Silahkan
duduk! Silahkan duduk...!" Berkata Ki Jagur Wedha dengan wajah berseri. Adapun
Roro Centil jadi melengak heran. Tahu-tahu disambut orang dengan me-
manggilnya calon menantu. Roro segera menjura pada
kedua orang tua itu. Karena sudah dipersilahkan du-
duk segera Roro pun mengambil tempat duduk di tikar
dekat pintu. "Siapakah adanya kakek" Mengapa menye-
butku calon menantumu...?" Bertanya Roro Centil. Ki Jagur Wedha langsung
menjawab; "He he he... Dari melihat sepasang senjatamu
yang sudah terkenal itu, aku orang tua si Pendekar
Gentayangan sudah mengetahui kalau kau adalah Ro-
ro Centil. Bukankah Gurumu si Manusia Aneh Pantai
Selatan...?" Tanya Ki Jagur Wedha. Roro Centil naik-kan alisnya, tapi segera
mengangguk. Aku memang muridnya. Dan kalau tak salah
anda adalah saudara angkat Guruku. Juga guru si Jo-
ko Sangit, benarkah demikian...?" Roro Centil balik bertanya, karena dari nama
julukan itu, Roro segera
teringat akan penjelasan Joko Sangit, sahabatnya.
Yang mengatakan ketika memberi kabar tentang kema-
tian Gurunya si Manusia Banci telah tewas, kala Joko Sangit akan mengundangnya
untuk menghadiri Ulang
Tahun si Pendekar Gentayangan ini. Yaitu pada usia
ke 100 tahun. Di mana akhirnya berkelanjutan Roro
mencari kedua orang pembunuh Gurunya di Pulau
Andalas ini. Ki Jagur Wedha manggut-manggut seraya
tertawa terkekeh-kekeh membenarkan.


Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He he he... Apakah kau belum berkenalan
dengan paman ini" Beliau adalah paderi dari Tanjung
Kait, yang bergelar si Bangau Putih!" Roro Centil segera menjura pada laki-laki
berusia 50 tahun itu, Seraya
berkata; "Maafkan keterlambatan ku memenuhi undan-
gan mu, paman Bangau Putih! Kiranya baru sekarang
kita berjumpa muka..."
"Ha ha ha... tak mengapa nona Roro Centil. Aku
sudah gembira akhirnya toh kita bisa berjumpa. Sung-
guh aku telah mendengar akan kehebatan sepak ter-
jang mu selama ini. Dan aku orang tua cuma bisa ge-
leng kepala melihat munculnya para generasi baru dari Kaum Muda, yang berjuang
menegakkan panji-panji
keadilan. Ternyata kami orang tua sudah tak mengenal lagi tingginya ilmu
tingkatan masa kini...!"
"Ah, anda terlalu merendahkan diri paman
Bangau Putih. Justru kepandaian yang ku peroleh
adalah warisan dari para kaum tua....!" Berkata Roro Centil merendahkan diri.
Selanjutnya mereka sudah
tertawa dengan gembira. Tiba-tiba Roro Centil ajukan pertanyaan tadi. Yaitu
mengenai panggilan sang kakek padanya yang mengatakan kata-kata "Calon Menantu"
padanya. Kembali Ki Jagur Wedha tertawa gelak-gelak, seraya ujarnya;
"He he he... Muridku yang sudah tak betah di
rumah itu tampaknya sering sekali membicarakan ten-
tang dirimu, Roro Centil. Aku berpendapat ia telah jatuh cinta padamu. Kalau ada
hubungan asmara dian-
tara kalian berdua mana aku mengetahui...?" Merah seketika wajah Roro karena
malu, juga karena merasa
tak punya soal-soal asmara dengannya. Dengan tersi-
pu ia segera menjawab.
"Kami memang pernah akrab. Akan tetapi sedi-
kitpun aku tak mengetahui apa yang namanya asma-
ra...!" Ujar Roro Polos. Tentu saja kata-kata itu membuat kedua tokoh tua itu
jadi terpingkal-pingkal.
"Baiklah! Baiklah...! Mengenai urusan orang
muda, aku tak akan mencampuri. Aku sendiri juga
pernah muda. Sayangnya aku laki-laki, jadi tak mengetahui isi hati wanita...!"
Berujar si Pendekar Gentayangan yang disambut oleh si Bangau Putih dengan
manggut-manggut.
Karena diminta menceritakan riwayat hidup-
nya, terpaksa Roro menceritakannya. Bahkan juga ten-
tang kematian Gurunya si Manusia Aneh Pantai Sela-
tan. Dan kedatangannya ke Pulau Andalas ini tak lain untuk mencari dan berhasil
menumpas kedua musuh-nya. Yaitu kedua istri si Dewa Tengkorak. Si Peri Gu-
nung Dempo dan si Kupu-kupu Emas. Tampaknya si
Pendekar Gentayangan terkejut mendengar kematian
adik angkatnya itu. Wajahnya jadi kelihatan bersedih.
"Aiii...!" Aku tak menyangka kalau dia sudah
mendahuluiku...! Benar-benar membuat aku seperti
enggan hidup di atas jagat ini. Begitu banyak keme-
lut...! Tapi memang sudah menjadi suratan takdir. Semua yang hidup toh akan mati
juga ...!" Kata-kata Ki Jagur Wedha akhirnya bernada biasa lagi, seraya
menghela nafas. Karena sejauh manapun umur manu-
sia, toh akan menemui ajalnya juga tanpa diharap-
harap atau tanpa disadari...!
Mendengar Roro telah berhasil membalaskan
sakit hatinya, si Pendekar Gentayangan cuma mang-
gut-manggut Karena masalah Dunia Rimba Hijau me-
mang tak pernah ada putusnya. "Sakit hati dan balas dendam adalah tidak terpuji
kalau melakukan balas
dendam...!" Demikian sedikit pengarahan yang di uta-rakan Ki Jagur Wedha pada
Roro Centil. Gadis Pende-
kar ini cuma manggut-manggut membenarkan.
Selanjutnya Roro Centil pun ceritakan kejadian
tadi malam dan barusan, sejak ia disekap dalam ruang tahanan. Dan berhasil
menewaskan paderi Ketua Dua,
Sapta Dasa Griwa, yang ternyata adalah bernama TUN
PARERA, Kedua dari Perguruan Tri Mukti. Ia juga me-
miliki Sepasang Pedang Siluman. Juga dikisahkan ba-
gaimana Tun Parera mengelabui Ki Dharma Setha. Se-
hingga berhasil memalsukan sepasang pedang yang di-
curi Tugangga. Kemudian berniat menguasai Kui! Ista-
na Hijau. Lalu dengan tak melewatkan apa yang diden-
gar dan dialaminya, Roro Centil segera beberkan ki-
sahnya. Ki Jagur Wedha jadi manggut-manggut menger-
ti. Dan ia sungguh tak menyangka kalau Paderi Sapta
Dasa Griwa adalah Tun Parera.
"Berarti si pencuri itu tak mengetahui kalau
benda yang berada di tangannya adalah barang pal-
su...?" Berkata Ki Jagur Wedha sambil mengelus jenggotnya. "Benar! Akan tetapi
mereka tetap berbahaya.
Karena Tugangga alias si Topeng Perunggu memiliki
Dua Belas Jurus ampuh dari Sepasang Pedang Silu-
man...!" Yang telah dipelajarinya sejak ia disekap dalam Penjara Besi!" Ujar
Roro Centil. "Hm! Kini kita harus mengatur siasat untuk bi-
sa menumpas si Tugangga dan Dewi Rembulan!" Berkata Ki Jagur Wedha seraya
membuka bungkusan
kain sutera hitam yang dipakai menyembunyikan Se-
Lembaran Kulit Naga Pertala 3 Pedang Siluman Darah 1 Rahasia Pedang Siluman Darah Gelang Naga Soka 3
^