Pencarian

Sepasang Pedang Siluman 1

Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman Bagian 1


Hawa dingin yang luar biasa di pagi subuh itu
menyelimuti sekitar lereng perbukitan. Di mana kabut tampak masih tebal. Di
antara keremangan cuaca dan
tebalnya kabut, tampak terlihat sebuah bangunan be-
sar. Ternyata sebuah kuil. Kuil itu bernama KUIL IS-
TANA HIJAU. Memanglah sebenarnya kuil itu amat be-
sar dan luas, hingga menyerupai sebuah istana saja
layaknya. Di sekeliling kuil itu dikelilingi oleh pagar tembok tebal, yang
tampak luas. Bagian depannya terdapat pintu gapura dengan daun pintu dari terali
besi. Sedangkan bangunan itu sendiri keseluruhannya ber-
cat hijau. Kecuali atap gentingnya.
Cuaca yang remang-remang itupun berangsur-
angsur terang. Sementara kabut sedikit demi sedikit
mulai lenyap. Akan tetapi dalam hawa yang sebegitu
dinginnya ternyata telah ada orang yang keluar rumah.
Bahkan tanpa selimut menutupi tubuhnya. Dia seso-
sok tubuh yang berpinggang ramping, berambut pan-
jang beriapan. Dalam keremangan kabut yang semakin meni-
pis, sudahlah dapat diterka kalau sosok tubuh itu adalah sosok tubuh seorang
wanita. Angin yang bertiup sepoi di pagi remang itu te-
lah membawa bau amisnya darah. Hingga menyebar
sampai ke sebuah desa, yang terletak sejauh kurang
lebih enam belas kali lemparan tombak dari kuil Istana Hijau. Hal tersebutlah
yang membuat wanita itu telah keluar dari rumah. Dan berlari cepat menuju arah
angin bertiup. Tepat di saat keremangan mulai lenyap,
sosok tubuh itu telah tiba di satu tempat berdataran tinggi. Di hadapannya
adalah sebuah perbukitan yang
memanjang. Dan tak jauh dari lereng perbukitan itulah terlihat berdiri dengan
megahnya dari kejauhan bangunan kuil Istana Hijau.
Siapakah gerangan Wanita itu" Dia ternyata tak
lain dari si Pendekar Wanita Pantai Selatan, alias RO-RO CENTIL.
Baru saja ia menginap semalam di desa yang
bernama Lubuk Batang itu, Kedatangannya adalah
atas undangan seseorang dari kalangan Rimba Hijau,
yang berjulukan si Bangau Putih. Roro sendiri heran, karena ia tidak mengenal
akan nama itu. Namun men-gingat dirinya sudah dikenal orang Persilatan, ia
menduga si pengundang tentu membutuhkan bantuan.
Karena di samping si Pendekar Wanita ini seorang
yang gemar berpetualang, juga undangan itu dianggap
kesempatan baik untuk mengetahui ada hal apakah
gerangan, maka ia telah diundang melalui surat raha-
sia, juga ia berkeinginan mengetahui siapa gerangan
adanya si Bangau Putih itu. Sejak senja kemarin ia telah tiba di tempat tujuan.
Akan tetapi menunggu kedatangan si Bangau Putih di sebuah penginapan yang te-
lah ditentukan, harus-nya menggunakan kesabaran.
Kesempatan itu tidak di sia-siakan
Roro Centil, untuk melihat-lihat keadaan desa
yang ramai itu. Ternyata desa Lubuk Batang terletak di sisi sebuah sungai, di
sisi bukit. Rumah-rumah penduduk berderet-deret memanjang di sisi sungai yang
berair jernih itu. Sampan dan jukung berseliweran di permukaan air. Ada yang
sekedar bermain perahu. Ada
juga yang memang mempunyai keperluan tertentu.
Bahkan di antaranya ada yang menggunakan sampan
untuk berdagang. Ternyata di samping rumah-rumah
yang berdiri di daratan, ada juga rumah-rumah yang
berdiri di atas air. Setelah puas melihat-lihat, Roro kembali ke penginapan.
Tempat yang digunakan untuk bermalam ada-
lah sebuah rumah penginapan yang hanya satu-
satunya di tempat itu. Jendela kamarnya menghadap
ke arah tepian sungai yang di belakangnya adalah ba-
risan bukit yang memanjang. Pemandangan di tempat
itu memang indah.
Hingga sampai malam ia mondar-mandir keluar
kamar. Namun tak terlihat adanya orang yang men-
gundangnya. Diam-diam gadis pendekar ini tersenyum
sendiri. Mengapa ia tak menanyakan saja pada si pe-
milik penginapan, barangkali saja ia mengenal si Bangau Putih.
Segera ia temui pemilik penginapan yang pada
saat itu tengah duduk di belakang mejanya. Laki-laki tua ini tampak tengah asyik
menikmati asap temba-kaunya. Sambil duduk bertumpang kaki di kursi ma-
las. Sementara sepasang matanya seperti mengantuk.
"Maaf paman....! Apakah paman mengenal se-
seorang yang menyebut dirinya si Bangau Putih...?"
bertanya Roro. Laki-laki ini membuka sepasang kelopak ma-
tanya. keningnya dikernyitkan. Segera kepalanya men-
dongak untuk menatap si penanya.
"Apakah maksud nona si paderi Kuil Istana Hi-
jau itu...?" Balik bertanya si pemilik penginapan. Roro yang memang tak
mengetahui, cepat-cepat saja men-ganggukkan kepala. Tapi diam-diam Roro
terkejut, tapi juga bersyukur. Yang akhirnya mengetahui siapa
adanya si Bangau Putih itu.
"Kalau dia yang nona tanyakan, sayang sekali
orangnya sudah berangkat pergi. Memang sudah sejak
tiga hari yang lalu, paderi itu menginap di sini. Tampaknya ia tengah menunggu
seseorang. Apakah nona
yang sedang ditunggunya?" Ujar laki-laki tua, seraya bertanya. Sementara kembali
ia menghisap dalam-dalam pipanya. Dengan kelopak mata yang dika-
tupkan. Sikapnya seperti santai saja dalam berbicara.
Terpaksa Roro mengangguk. Walau sebenarnya ia tak
ingin berterus terang, dan berkata:
"Benar, paman.... Sejak kapan dia pergi" Dan di manakah letaknya Kuil Istana
Hijau itu....?"
Tanya Roro. Si pemilik penginapan itu buka
kembali kelopak matanya, dan hembuskan asap tem-
bakaunya dengan mendesis.
"Baru tadi pagi....! Sayang pertanyaan nona
mengenai di mana adanya Kuil Istana Hijau itu aku
tak mengetahui. Karena aku memang tak pernah ke
mana-mana selain duduk di kursi kawan setia ku ini,
ditemani pipa cangklong ku. Di rumah penginapan mi-
likku ini memang banyak disinggahi para tetamu dari
pelbagai kalangan Rimba Hijau. Aku dapat mengeta-
huinya tentu saja dari buku tamu...!" Ujar laki-laki tua ini, seraya tepukkan
tangannya memanggil seorang
pegawainya yang duduk di belakang meja yang berada
di sudut ruangan. Sang pegawai laki-laki itulah yang telah mencatat nama-nama
setiap pendatang yang
mau menginap, juga termasuk nama Roro Centil.
"Coba kulihat buku tamu itu sebentar...!" Berkata si pemilik penginapan, ketika
si pegawainya telah bergegas datang. Laki-laki itu kembali beranjak pergi untuk
segera mengambilnya. Dan tak lama kemudian
telah menyerahkan buku catatan yang besar itu pa-
danya. Roro Centil cuma bisa berdiri diam berpeluk
tangan. Si pemilik penginapan merogoh saku bajunya
untuk mengeluarkan sebuah kaca mata. Setelah ber-
sihkan kacamata bulatnya dengan ujung baju, segera
ia mulai membuka lembaran buku tamu.
"Nah, kau lihat...! Di sini tertera nama si Bangau Sakti paderi Kuil Istana
Hijau. Yang orangnya sudah berangkat pergi. Dan pada malam ini yang telah
menginap adalah: Barong Segoro si Naga Hitam, Sito
Resmi si Dewi Rembulan. Dan yang terakhir adalah
nona sendiri .... Apakah nona bernama Sakuntala...?"
Ujar laki-laki tua itu seraya lakukan pertanyaan pada Roro. Tentu saja Roro
Centil mengangguk sambil tersenyum. Orang tua itu pun manggut-manggut seraya
menutup lagi buku tamunya.
Roro cepat-cepat menghaturkan terima kasih
seraya berlalu untuk kembali ke kamarnya. Sementara
diam-diam gadis ini tersenyum sendiri, karena ia me-
mang sengaja memakai nama palsu yang ditulis di bu-
ku tamu penginapan itu. Tapi telinga gadis ini telah menangkap suara bisikan si
pegawai penerima tamu
pada majikannya. Yang membisiki bahwa kedua ta-
munya si Naga Hitam dan Dewi Rembulan, juga telah
berangkat pergi tadi siang. Roro Centil kerutkan alisnya, dan masuk kamar untuk
segera menutupnya
kembali dan sekaligus menguncinya. Gadis ini jatuh-
kan tubuhnya di pembaringan. Sepasang matanya
berkedap kedip, seperti tengah memikir serius. Akhirnya Roro mengambil keputusan
untuk tidur. Dan esok
pagi akan berangkat mencari di mana adanya Kuil Is-
tana Hijau. Ia menduga si Bangau Sakti tentu telah
kembali ke tempatnya. Karena menduga tamu undan-
gannya tak datang.
Sayang aku terlambat datang kemari...! Ternya-
ta sudah tiga hari si Bangau Putin menginap di tempat ini...! Menggumam Roro
dalam hati. Tapi satu hal lagi membuat Roro harus merenung sebelum berangkat
tidur. Yaitu memikirkan adanya dua orang tokoh Rimba
Hijau yang juga telah menginap di sini.
Apakah si Naga Hitam dan Dewi Rembulan itu
juga datang atas undangan si paderi Kuil Istana Hijau, si Bangau Putih itu"
Pikir Roro Centil. Ia tak bisa menjawab pertanyaannya sendiri. Dan karena merasa
tak perlu memikirkan siapa orang-orang yang belum dike-
nalnya itu, juga telah berangkat pergi, Roro Centil segera pejamkan mata dan
tarik selimutnya untuk tidur.
Tengah malam ketika si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan itu tengah pulas, sesosok tubuh berendapendap mendekati pintu
kamarnya. Dengan mengguna-
kan kunci, bayangan sosok tubuh itu berhasil mem-
buka pintu kamar Roro. Akan tetapi mendengar suara
menggeram seekor harimau, orang yang menggunakan
topeng wajahnya itu kembali mundur. Dan cepat-cepat
keluar lagi, seraya mengunci kembali pintu kamar itu.
Serta bergegas menyelinap pergi. Dan menghi-
lang di balik tembok rumah. Kiranya Roro Centil telah waspada. Ia telah menyuruh
binatang siluman yang telah tunduk padanya itu yaitu si Macan Tutul untuk
menjaganya di muka pintu kamar.
Kala menjelang pagi dinihari, Roro. Centil su-
dah terbangun. Setelah mencuci muka, ia kembali ke
kamar untuk membuka jendela. Hidung si pendekar
Wanita ini mencium bau amisnya darah yang terbawa
angin. Di tengah hawa dingin yang menyeruak masuk
ke dalam kamar. Udara masih remang-remang. Dan
kabut terlihat menutupi pemandangan di seberang
sungai. Roro merasa perlu untuk menyelidiki dari mana sumber bau amis darah itu.
Sebagai seorang pendekar
gemblengan beberapa guru yang berilmu tinggi, Roro
Centil semakin dewasa dalam berfikir. Nalurinya yang tajam mengatakan ada
sesuatu telah terjadi. Segera,
setelah membenahi buntalan pakaiannya yang disang-
kutkan rapi di belakang punggung. Ia sudah melompat
dari jendela. Namun tak lupa Roro Centil telah sediakan beberapa keping uang
perak di atas meja, sebagai pembayaran sewa kamarnya. Melalui jalan kecil di
sisi penginapan, Roro berindap-indap meninggalkan tempat penginapan itu.
Selanjutnya ia telah pergunakan
kelihaian ilmu meringankan tubuh untuk melompat ke
atas genting. Dan seterusnya berlompatan dari satu
wuwungan ke wuwungan lain. Sekejap antaranya Roro
telah jauh tinggalkan penginapan itu.
*** Kini di hadapannya adalah hamparan hijau dari
padang rumput, yang masih samar tertutup kabut Ga-
dis pendekar ini pergunakan ilmu lari cepat untuk me-nyongsong arah angin. Bau
amis darah itu semakin
santar setelah lewat beberapa belas kali lemparan
tombak dari rumah penginapan itu, kini terlihat sudah di hadapannya sebuah
bangunan besar yang mirip istana. Dengan membaca ukiran huruf pada pintu gapu-
ra bangunan itu, segera ia mengetahui kalau itulah
bangunan Kuil Istana Hijau.
Apa lagi kini terlihat nyata tiang-tiang dan Kuil
serta keseluruhan bangunan itu yang berwarna hijau.
Sementara saat itu kabut sudah menipis sekali.
"Hm, inilah kiranya Kuil Istana Hijau....!", Bau amis darah agaknya berasal dari
sini. Ada apakah gerangan yang telah terjadi..?". Desis suara Roro perlahan.
Sementara ia sudah melangkah masuk melalui
pintu gapura. Dan tiba-tiba saja sepasang mata Roro
telah melihat sosok-sosok tubuh yang bergelimpangan, berserakan di sekitar
halaman, dan tangga batu undakan kuil ini. Tercenung Roro seketika. Sang
Pendekar Wanita ini telah berkelebat cepat untuk memeriksa
dengan menghampiri sesosok mayat yang melintang di
tangga batu undakan. Ternyata mayat seorang paderi.
Beberapa mayat ditelitinya. Ternyata juga paderi-
paderi yang telah tewas dengan mengerikan, yaitu dengan dada terbelah robek,
bagai disayat benda tajam.
Keadaan di sekitar itu sunyi mencekam. Roro Centil
kembali tercenung sejenak. Apakah gerangan yang te-
lah terjadi..." Siapa yang telah membunuh paderi-
paderi ini" Gumam Roro dalam hati. Seraya kemudian
Roro melesat untuk memasuki ruangan demi ruangan
di dalam kuil itu. Kembali ia melihat pemandangan
yang mengharukan. Karena di dalam ruangan pun pe-
nuh dengan mayat yang bergelimpangan. Bau amis da-
rah semakin santar pada ruangan dalam ini. Benar-
benar membuat Roro bergidik. Ia menduga telah terjadi satu pertarungan di Kuil
Istana Hijau ini.
Akan tetapi yang amat di herankan, tak satu-
pun ia menjumpai sosok tubuh yang bergeletakan itu
dari orang lain, selain para paderi.
"Aku harus mencari salah seorang yang masih
hidup, untuk bisa memberi keterangan mengenai pe-
ristiwa ini.. !" Desis Roro.
Heh! Jangan-jangan si Bangau Putih pun telah
turut tewas! Kukira paderi itu sengaja mengundangku
untuk aku membantunya. Namun aku terlambat da-
tang! Entah siapa orangnya, dan dari kelompok mana
gerangan yang telah membantai para paderi Kuil Ista-
na Hijau ini...! Gumam Roro dalam hati. Seraya ia sudah segera meneliti setiap
ruangan. Dan memerik-
sanya, kalau-kalau ada terdapat orang yang masih hi-
dup, untuk diajak bicara.
Saat itu juga Roro Centil kembali berkelebatan
di dalam ruangan Kuil besar itu. Setiap ada tubuh
yang menggeletak, tentu diperiksanya. Akan tetapi
keadaan paderi itu sudah tidak bisa ditanya lagi. Karena orangnya telah tewas.
Bahkan darah yang mengalir


Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari dada yang robek tersayat itu telah kental, hampir mengering. Menandakan
kematian paderi-paderi itu
sudah dalam waktu satu hari satu malam. Di tengah
ruangan yang paling besar juga terdapat beberapa
mayat yang tergeletak. Gadis Pendekar ini layangkan
pandangannya memeriksa sekitar ruangan. Ternyata di
altar paling depan itu terdapat sebuah arca Budha
yang telah hilang kepalanya. Berwarna kuning keema-
san. Roro kelebatkan tubuhnya ke sana. Arca Budha
ini tingginya hampir dua kaki. Ketika Roro memerik-
sanya, ternyata terbuat dari perunggu yang dilapisi
emas. Aneh...! Menggumam Roro. Kalau ada arca yang
hilang kepalanya, sudah pasti ada yang merusak. Pi-
kirnya. Dan Roro memang melihat jelas adanya bekas-
bekas benda tajam yang masih baru pada bagian leher
arca. Semakin yakin hati Roro, bahwa kepala arca itu telah copot orang dengan
paksa. Tapi memikir bahwa
arca itu terbuat dari perunggu yang dilapis emas, buat apa orang mencurinya"
Demikian fikir gadis Pendekar
ini. Tersirat di hati Roro bahwa adanya mayat-
mayat di dalam dan di luar kuil itu adalah karena para paderi bertarung melawan
pencuri arca Budha itu, dan berusaha mempertahankannya. Pada saat itu tiba-tiba
terdengar bentakan hebat disusul berkelebatnya se-
buah bayangan yang menghantamkan pukulan ke
arah Roro. "Pencuri busuk..! Pembunuh keparat! Mampus-
lah kau...!". Gadis ini tak sempat untuk menoleh lagi, karena angin pukulan
telah bersiur di belakangnya....
BLAK...! Terpaksa ia gunakan lengannya untuk
serangan bokongan itu. Tampak tubuh Roro Centil
terhuyung dua tindak ke belakang. Roro terkejut juga mengetahui tenaga dalam si
penyerang begitu besar.
Ternyata si penyerangnya adalah sesosok tu-
buh dari seorang paderi yang memakai jubah kuning.
Paderi inipun terkejut bukan main ketika merasakan
lengannya seperti beradu dengan besi panas saja. Dan tenaga tolakan dari bantu
ran lengan itu telah membuat tubuh laki-laki ini terjengkang dua tombak.
Roro sudah balikkan tubuh dan melompat ke
hadapan si penyerangnya. Dan menatap tajam paderi
itu. "Kau orang tua seharusnya bertanya dulu! Jan-
gan main tuduh sembarangan...! Aku baru saja me-
masuki ruangan Kuil ini, dan lihat mayat-mayat bergelimpangan. Bagaimana mungkin
aku kau anggap pen-
curi dan membunuh...?". Bentak Roro berang. Paderi itu segera bangkit berdiri,
dan mengusap-usap jubahnya yang kotor. Seraya menatap pada Roro.
"Apakah omongan mu bisa dipercaya" Aku per-
lukan bukti, baru aku bisa mempercayaimu...!", Membentak lagi si paderi tua ini,
yang usianya sekitar 50
tahun. Wajahnya menampilkan ketidakpuasan. Kumis
dan jenggotnya yang cuma sedikit itu bergerak-gerak
kala berbicara. Sementara sepasang matanya yang
masih tajam itu membersitkan hawa kemarahan pada
Roro. Sejenak Roro Centil tercenung mendengar kata-
kata si Paderi tua itu. Segera saja terpikir kalau ia menggembol buntalan. Pasti
disangkanya kepala arca
Budha yang disembunyikan.
"Hm! Baiklah kalau kau perlu bukti! Kau orang
tua tentu mencurigai isi buntalan di belakang pung-
gungku ini, bukan...". Nah! Segera akan ku tunjuk-
kan!" Berkata Roro seraya dengan cepat melepaskan buntalan di punggungnya, serta
membukanya di hadapan si paderi berjubah kuning.
Sepasang mata paderi itu menatap isi buntalan
itu dengan seksama. Tentu saja ia jadi melengak, ka-
rena isi buntalan itu adalah beberapa perangkat pa-
kaian wanita. Juga sehelai selimut tebal. Selesai me-nunjukkan isi buntelannya,
Roro Centil kembali mera-
pikannya, dan sangkutkan lagi di belakang punggung-
nya. Seraya sebentar kemudian ia telah bangkit berdiri lagi. Tampaknya urusan
sudah selesai. Akan tetapi si paderi ternyata masih belum puas, terbukti dengan
sepasang matanya melirik ke arah benda yang terbung-
kus kain sutera hitam, yang tergantung di pinggang
Roro. "Apakah selain kepala Arca Budha yang kau curigai aku yang mencurinya,
masih kau khawatir aku
mencuri benda lain di kuil ini?"., Bertanya Roro. Seraya tanpa menunggu jawaban
ia telah lorot benda
yang tergantung di pinggangnya. Dan keluarkan isinya.
Melengak si paderi jubah kuning seraya berucap;
"Benda apakah gerangan itu?" Walau-suaranya lirih, namun Roro cukup jelas
mendengarnya. "Inilah sepasang senjataku, orang tua..!' Senja-ta yang kunamakan si Rantai
Genit! Apakah anda juga
menyangka senjata ini barang curian...?", Tanya Roro lagi. "Tentu tidak,
nona...! Paderi-paderi Kuil Istana Hijau tak memiliki, atau menyimpan benda aneh
semacam itu!" Berkata si paderi dengan suara datar.
Namun tampaknya ia sudah tak mencurigai Roro lagi.
"Baiklah ...! Aku percaya kau bukan si pembu-
nuh dan pencuri kepala Arca Budha itu. Kau telah
memeriksa semua ruangan, apakah menjumpai salah
seorang paderi yang masih hidup". Aku perlukan kete-
rangan siapa yang melakukan perbuatan keji ini...!".
Berkata si paderi tua itu seraya menghela napas. Se-
mentara lengannya bergerak untuk mengelus jenggot-
nya yang sudah berwarna dua.
Roro selipkan kedua senjata di pinggang, dan
lepaskan bungkusan kain sutra hitam, yang segera
diselipkan ke balik pakaiannya. Seraya kemudian ia
menyahuti; "Sayang! Aku tak menjumpai seorang pun yang
masih hidup. Bolehkah aku tahu siapa gerangan pa-
man yang terhormat ini?" Ujar Roro.
"Aku bernama Sapta Dasa Griwa, yang mendu-
duki tempat sebagai ketua dua di Kuil Istana Hijau ini.
Kepergianku untuk suatu urusan tiga hari yang lalu,
ternyata telah membawa bencana tanpa kuketahui di
kuil ini. Benar-benar membuat aku menyesal setengah
mati. Aku akan cari pembunuh keji dan pencuri itu
untuk kucincang sampai lumat...!". Tutur si paderi tua itu yang diakhiri dengan
rasa geram pada manusia
yang telah merusak binasakan kuil, dan para penghu-
ninya. Roro Centil manggut-manggut, dan termenung
sesaat seperti tengah berfikir. Lalu katanya:
"Siapakah Ketua satunya, maksudku Ketua
Utama di Kuil Istana Hijau ini?".
"Ketua Utama adalah Ki Dharma Setha ...!"
Menjawab Paderi Sapta Dasa Griwa. "Itulah yang aku sesalkan...! Ki Dharma Setha
memang untuk sementa-ra menyerahkan tampuk pimpinan padaku, sejak ke-
berangkatannya ke pulau Kelapa. Berkenaan dengan
kunjungannya ke beberapa Kuil di daerah tanah Jawa
itu. Justru di saat beliau tidak ada telah terjadi musi-bah besar seperti
ini...!". Berkata paderi Ketua Dua ini dengan nada sedih, seraya tundukkan
wajahnya menatap lantai. Genangan darah terlihat di mana-mana.
Bau amis dari darah manusia menyebar menusuk hi-
dung. Pada saat itu terdengar suara rintihan dari sesosok tubuh yang
bergelimpangan itu dari sudut ruan-
gan. Terkejut Roro Centil. Tapi baru ia akan bergerak untuk melihat, paderi
Sapta Dasa Griwa telah mencelat terlebih dulu ke sana. Terlihat seorang paderi
berusaha bangkit dengan keadaan tubuhnya yang terluka
parah. Paderi Ketua Dua itu telah segera menanyainya.
Lengannya bergerak mencengkram jubah di bagian da-
da paderi itu. "Katakan cepat...! Apa yang telah terjadi" Siapa yang melakukan pembunuhan keji
dan pencurian kepala arca Budha?". Berkata Sapta Dasa Griwa dengan keras.
Suaranya berkumandang ke seluruh ruangan
yang sunyi mencekam itu. Roro Centil cepat membu-
runya untuk melihat. Akan tetapi begitu ia tiba, paderi yang terluka parah itu
justru telah terkulai kepalanya.
Nafasnya telah putus. Dengan sepasang mata yang me-
lotot seperti kematiannya penuh dengan kekecewaan.
"Dia sudah tak kuat hidup lagi...!". Berkata paderi berjubah kuning itu seraya
melepaskan cekalan
pada jubahnya. Dan iapun bangkit berdiri, menatap
Roro dengan tatapan kosong. Terdengar suaranya
menghela napas.
"Kita tak punya saksi hidup yang bisa ditanyai
untuk menjelaskan kejadian ini. Apakah nona bersedia membantu kami untuk
menyelidiki siapa gerangan
manusia terkutuk yang telah melakukan pembantaian
keji ini...?". Bertanya sang paderi Ketua Dua. Roro cepat anggukkan kepala
seraya berkata:
"Tentu...! Ini adalah masalah kemanusiaan.
Siapa pun akan tergerak hatinya untuk menangkap si
pelakunya. Sebenarnya kedatanganku adalah atas un-
dangan seorang paderi yang berjulukan si Bangau Pu-
tih. Yang menurut apa yang kudengar ternyata adalah
paderi dari Kuil Istana Hijau ini. Apakah kau orang tua mengenal akan paderi
itu?" "Bangau Putih..." Hm...! Aku tak mengenalnya!
Aku sebagai wakil pimpinan di Kuil ini tentu mengenali semua para paderi
bawahanku. Akan tetapi paderi
yang bergelar si Bangau Putih itu, baru aku menden-
garnya?". Berkata Sapta Dasa Griwa.
Aneh...!". Desis Roro dalam hati. Tetapi si pemi-
lik penginapan itu mengatakan si paderi Bangau Putih itu adalah paderi Kuil
Istana Hijau...! Bahkan namanya pun tertulis di buku tamu! Demikian fikir si
gadis Pendekar Pantai Selatan yang jadi kerutkan alisnya.
Seperti dapat membaca fikiran Roro saja, si pa-
deri Ketua Dua Kuil Istana Hijau itu sudah berkata la-
gi; "Siapapun dapat mengaku dirinya sebagai seo-
rang paderi. Nona belum mengenal siapa orangnya,
mengapa mudah saja mempercayai" Siapa tahu manu-
sia yang menamakan dirinya si Bangau Putih itu ada
kaitannya dengan peristiwa ini...!".
Roro tak dapat menjawab. Akan tetapi masalah
ini adalah masalah yang memang serius untuk diseli-
diki. Dan Roro Centil telah bertekad untuk menyelidikinya. "Oh, ya...! Nona
telah mengetahui siapa adanya aku, bolehkah aku orang tua mengetahui siapa no-
na..." Tentunya seorang Pendekar yang punya nama di
Rimba Hijau...!". Bertanya paderi Ketua Dua, Sapta Dasa Griwa.
"Ah, anda bisa saja...! Namaku Roro Centil."
Sahut Roro, tanpa menyebutkan julukan yang diberi-
kan kaum Rimba Hijau padanya. Akan tetapi ternyata
si Paderi Ketua Dua Kuil Istana Hijau itu justru telah melengak. Dan serta merta
telah segera menjura hormat pada Roro.
"Ah.....!". Kiranya sang Pendekar Wanita Pantai Selatan yang punya nama harum
semerbak. Maafkan
aku orang tua yang tak mengetahuinya sama sekali.
Aku memang sudah menduga sebelumnya, tapi tak ra-
gu. Karena belum pernah bertatap muka. Sepak ter-
jang anda terhadap kaum penjahat, dan golongan se-
sat yang merajalela, yang berhasil anda tumpas, mem-
buat aku orang tua amat kagum. Pantas tenaga dalam
nona Pendekar amat hebat. Jarang aku menjumpai
gadis seusia nona mempunyai kehebatan tenaga dalam
yang luar biasa. Ternyata di atas langit masih ada lagi langit...!". Berkata
Sapta Dasa Griwa dengan tampak-kan wajah berseri.
Roro Centil jadi tersipu melihat penghormatan
orang, segera iapun merendahkan diri. Demikianlah...
Akhirnya Roro Centil berjanji akan membantu untuk
menyelidiki, atau membekuk siapa pelaku keji di Kuil Istana Hijau, yang juga
telah mencuri kepala arca
Budha itu. Kemudian si Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan segera mohon diri. Serta sebelumnya akan usaha-
kan mencari orang untuk membantu penguburan para
jenazah. ***** Roro Centil berkelebat meninggalkan Kuil Ista-
na Hijau .... Sementara hati si Pendekar wanita itu di-liputi bermacam
pertanyaan. Siapakah gerangan
adanya si Bangau Putih" Ada rahasia apakah pada ke-
pala arca Budha yang dicuri orang itu" Namun Roro
sudah injakkan kaki di satu perkampungan terdekat
Segera ia sebarkan berita mengenai malapetaka di Kuil Istana Hijau. Yang
sebentar saja penduduk berdatan-gan ke sana untuk melihat, serta membantu
mengang- kuti jenazah. Sementara Roro Centil yang memang tak
kuat mencium amisnya darah, segera berkelebat lagi
menuju arah hutan rimba. Ternyata itulah arah ke sisi bukit. Kira-kira waktu
sepenanak nasi, Roro hentikan langkahnya. Tempat itu cukup tenang. Dengan suasa-
nanya yang dapat menenangkan hati. Ada sungai be-
rair jernih mengalir di bawah lereng bukit Roro sudah gerakkan kakinya melompat
ke sana. Sebentar kemudian ia telah berada di tepian sungai yang berbatu-
batu. Suara gemericiknya air membangkitkan gairah
sang gadis Pendekar ini untuk menyiram tubuhnya. Ia
sudah lepaskan buntalan pakaiannya dari punggung,
dan letakkan dekat kakinya
"Tutul...! Adakah kau di sampingku .. ?". Berbi-
sik Roro pada makhluk siluman yang telah tunduk pa-
danya. Dan terdengar suara menggeram di belakang-
nya. "Bagus...! Tolong kau jagai pakaianku...!". Ujar Roro dengan suara lirih.
Segera saja terlihat asap tipis mengepul, lalu menjelma seekor anak harimau
tutul sebesar kucing. Yang segera mendekam di sela akar
pohon. Roro tersenyum, seraya lepaskan pakaiannya
satu persatu. Dan lemparkan ke atas akar pohon rin-
dang di sisi sungai itu. Selanjutnya Roro segera melangkah turun dan melompat ke
atas batu besar di
tengah sungai. Gadis yang ayu rupawan ini memang
memiliki potongan tubuh yang semampai serta padat
berisi. Terdengar suara berdebur, ketika Roro terjunkan tubuhnya ke permukaan
air. Selanjutnya, ia su-
dah berkecimpung di air sungai yang jernih itu. Tam-
pak ia lepaskan kedua benda dari logam tipis warisan Gurunya si Manusia Banci
dari kedua tempat di tubuhnya. Dan letakkan kedua benda itu di atas batu.
Selanjutnya ia telah kembali menyelam ke dalam air.
Dan tak lama kemudian sudah tersembul lagi. Air sun-
gai tidak begitu dalam. Bahkan hanya sebatas dada.
Sementara sepasang mata telah memperhatikan dari


Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seberang sungai. Itulah sepasang mata dari seorang
seorang laki-laki berperawakan kurus seperti kurang gizi. Wajahnya melengkung ke
dalam. Hingga tampak
dahinya lebih menonjol. Tentu saja ia tak mengetahui adanya seekor anak harimau
tutul yang menjaga pakaian Roro. Karena letak seberang sungai itu kira-kira dua
puluh tombak. Namun untuk melihat kemulusan
tubuh wanita muda di hadapannya kiranya tak luput
dari sepasang matanya yang berbinar-binar.
"Luar biasa...!" Mendesis suara laki-laki itu perlahan, yang keluar tanpa
disadari. Sementara kepa-
lanya bergerak untuk terangkat lebih tinggi. Karena
ada ranting pohon yang menghalangi pandangannya.
Akan tetapi gerakan itu justru telah membuat Roro
Centil mengetahui adanya orang yang bersembunyi
mengintai di seberang sungai.
Tiba-tiba Roro Centil menyelam lagi. Kali ini
lama timbulnya. Tapi sebenarnya, ia tengah berenang
di dalam air untuk enjot tubuhnya ke seberang sungai.
Lalu sembulkan kepala dengan pelahan ke sisi batu
besar. Segera saja terlihat kepala seorang laki-laki yang berambut sudah dua
warna, tengah pentang ma-ta ke seberang.
Inilah manusianya yang suka iseng terhadap
wanita yang sedang mandi...! Menggumam Roro dalam
hati. Tiba-tiba lengan Roro sudah bergerak menangkap seekor kepiting di seta
batu. Binatang itu ia lemparkan ke arah laki-laki yang mata keranjang itu.
Terdengar suara mengaduh, tatkala sang kepiting yang meluncur
deras itu memasuki celah bajunya. Yang rupanya
langsung saja mencapit kulit yang tipis di antara tulang iga yang bersembulan
itu. Segera ia sudah lompat berdiri. Dan tampak kelabakan membuka pakaiannya.
Binatang itu masih menempel di kulit dada. Lengannya sudah bergerak menyambar
binatang itu, dan dengan
menyeringai kesakitan ia melemparkannya entah ke
mana. Binatangnya telah lenyap, tinggal capitnya yang masih menempel kuat.
Karena saking kerasnya mencapit, ketika dicengkeram untuk segera dilemparkan,
ternyata bahkan capitnya putus. Kembali ia kiprat-
kipratkan lengannya menampar dada. Hingga si capit
kepiting itu pun terlepas. Namun kulit dadanya sudah terluka mengeluarkan darah.
Melihat kejadian yang lu-cu itu, Roro tak dapat menahan gelinya. Sehingga ia
sudah tertawa terpingkal-pingkal.
Adapun si laki-laki yang berusia sekitar 50 ta-
hun itu jadi melengak. Namun seketika wajahnya su-
dah berubah merah. Dilihatnya gadis yang sedang di
intipnya itu justru berada di dekatnya. Keruan saja, sepasang matanya jadi
melotot lebar menatap Roro.
Merasa dipergoki, dan bahkan di jaili oleh si gadis, segera saja ia telah angkat
langkah seribu melarikan diri.
Roro Centil tambah terpingkal-pingkal mener-
tawakan larinya yang lucu.
Selang sesaat, Roro sudah kembali beranjak
naik, setelah kenakan kembali dua benda penutup tu-
buhnya. Dan dengan menggunakan ilmunya Roro Cen-
til telah langsung melompat kembali ke darat. Roro
memberi isyarat pada si anak harimau Tutul itu untuk melenyapkan diri. Yang
segera tak lama kemudian
makhluk jejadian itupun lenyap. Segera Roro Centil
membuka buntalannya, dan keluarkan isinya. Ditarik-
nya keluar seperangkat pakaian yang berwarna kuning
emas. Lalu dikenakannya. Pakaian ini mempunyai so-
bekan atau belahan panjang sebatas paha. Yaitu pa-
kaian yang pernah dipergunakan menyamar menjadi si
Kupu-kupu Emas. Yaitu si wanita istri Dewa Tengko-
rak yang telah tewas.
Dengan pakaian ini memang Roro tampak se-
perti seorang gadis genit yang nakal. Setelah selesai membenahi diri, Roro
kembali rapikan buntalannya,
dengan memasukkan pakaian kotor Roro ke dalamnya.
Lalu sangkutkan lagi ke belakang punggungnya. Sepa-
sang senjata si Rantai Genit tergantung di sisi pinggang kirinya, dengan kedua
bandulannya yang satu
agak tinggi dan satu lagi lebih rendah. Lalu si sepasang Rantai Genit ini telah
ditutupi lagi oleh secarik kain sutra hitam. Setelah merenung sejenak Roro sudah
kelebatkan diri pergi dari tempat itu.
***** Sesosok tubuh berjubah putih tampak berjalan
tergesa-gesa di tengah padang rumput yang menghi-
jau. Sebentar bentar tampak ia menoleh ke belakang.
Ternyata ia seorang laki-laki berusia setengah abad.
Laki-laki ini memakai tudung lebar di kepalanya.
Hingga sepintas ia memang mirip dengan petani desa.
Wajahnya menampakkan rasa cemas, Seperti khawatir
ada orang yang mengejarnya.
Sementara itu matahari telah jauh condong ke
sebelah barat. Padang rumput itu telah dilaluinya
hampir separuhnya. Tinggal separuh padang rumput
lagi, ia akan tiba di hutan lebat. Tinggal kira-kira jarak sepuluh atau dua
belas kali lemparan tombak yang harus ditempuhnya. Kini ia tengah melewati jalan
seta- pak, yang di kiri kanannya tumbuh rumput alang-
alang setinggi dada.
Ketika baru beberapa belas tindak ia melang-
kah, tiba-tiba laki-laki ini merandek untuk hentikan langkahnya. Keningnya
tampak berkerut, dengan sepasang alisnya yang segera menyatu. Tiba-tiba saja
sesosok tubuh telah bersembul dari rumput alang-alang
di hadapannya yang langsung saja menerjang laki-laki itu dengan sabetan padang
yang menyambar ganas.
Disertai bentakan keras.
TRANG...! Satu benturan keras dari beradunya
sepasang senjata segera terdengar di tengah kesunyian padang rumput. Ternyata si
laki-laki bertudung telah mencabut keluar senjatanya. Dan berhasil menangkis
serangan mendadak itu.
Tubuhnya sudah melompat bersalto ke bela-
kang. Kini di hadapannya bersembulan tiga sosok tu-
buh yang memakai topeng berwarna hijau, yang mem-
bungkus seluruh kepalanya.
"Kau tak dapat melarikan diri, Bangau Putih...!
Kecuali kau tinggalkan nyawamu!" Membentak salah
seorang. Segera saja ketiga sosok tubuh itu mengu-
rung si laki-laki bertudung. Mengetahui penyamaran-
nya sudah ketahuan, si laki-laki bertudung segera
membuka tudung lebarnya. Dan lemparkan ke sisi. Ki-
ni terlihat wajah laki-laki itu lebih jelas. Kiranya ia seorang paderi yang
berkumis dan berjenggot pendek.
Ketiga orang yang mengurungnya itu rata-rata
menggunakan pedang. Sedangkan si laki-laki yang ber-
juluk si Bangau Putih itu terlihat memakai senjata
yang berbentuk ruyung, dengan berujungkan kepala
burung bangau yang berparuh tajam, Senjata itu ter-
buat dari baja putih. Yang memancarkan sinar berkilatan, terkena cahaya
Matahari. Serentak ketiga laki-laki bertopeng hijau itu menerjang dengan
berbareng. Pedang-pedang telanjang telah berkelebatan meluruk un-
tuk memanggangnya, disertai bentakan-bentakan ke-
ras yang merobek keheningan.
Terpaksa si Bangau Putih berkelit ke sana-
kemari menyelamatkan nyawanya, Berkali-kali terden-
gar suara berdentingan ketika senjata-senjata saling beradu. Kemanapun si Bangau
Putih melompat, tentu
pedang-pedang telanjang itu akan memburunya. Rum-
put alang-alang setinggi dada itu sudah porak-poranda terkena tabasan dan
injakan kaki. "Bukalah topeng-topeng kalian, biar aku men-
getahui siapa kalian...!". Berteriak si Bangau Putih, seraya pergunakan
ruyungnya menangkis dua serangan
berbahaya. TRANG...! TRANG...! Kali ini laki-laki paderi itu
mulai unjukkan tenaga dalamnya. Tampak dua orang
bertopeng itu terkejut, karena nyaris saja pedang-
pedangnya terlepas dari tangan mereka,
"Kalau kau sudah mampus, baru akan kubuka
topeng wajah kami...!". Membentak salah seorang se-
raya mengirim dua serangan beruntun.
PRAS! PRASS..! Alang-alang tebal itu yang kena
terbabat putus beterbangan, karena si Bangau Putih
telah melompat tinggi tiga tombak. Begitu turun, telah gerakkan senjatanya
menghantam kepala lawan.
WUUTTT...! Nyaris kepala si laki-laki bertopeng
itu bonyok, bila ia tak segera jatuhkan diri bergulingan. Selanjutnya dua orang
kawannya telah menerjang
lagi dengan tabasan-tabasan ke arah kaki dan dada.
"Keparrrat...!". Memaki si Bangau Putih. Kali ini ia telah putarkan senjatanya,
setelah berhasil loloskan diri dari dua serangan berbahaya.
Ketiga orang lainnya yang telah kembali men-
gurung itu, tampak renggangkan lagi kurungannya,
karena mereka tampaknya agak jerih melihat senjata si Bangau Putih, yang
berputar bagai baling-baling. Tiba-tiba tampak putaran senjata si Bangau Sakti,
berubah. Kini berkelebatan dengan arah yang simpang siur.
Hingga yang tampak adalah kepala bangau berparuh
runcing itu berkelebatan mematuk, mencecar ketiga
laki-laki bertopeng itu. Tampaknya gerakan menyilang itu agak membingungkan
lawan. Karena serangan-serangan si Bangau Putih seperti berserabutan. Tiba-tiba
si Bangau Putih telah keluarkan bentakan keras.
Hal itu digunakan untuk membuat gentar lawan. Be-
nar saja! Di saat mereka tengah berfikir untuk me-
nembus bentengan si Bangau Putih yang kuat itu, ta-
hu-tahu patukan-patukan ruyung berkepala bangau
itu telah membuat gerakan-gerakan menukik dengan
cepat CRAS! CRAS! PRRAKKK...! Dua patukan telak
yang meluncur deras, serta satu hantaman yang terla-
lu cepat, sudah tak dapat mereka hindarkan lagi. Sege-ra terdengar teriakan-
teriakan ngeri. Disusul dengan robohnya ketiga pengeroyok itu. Darah segar
bermun- cratan membasahi rerumputan........
Si Bangau Putih ini sudah segera memburu tu-
buh salah seorang dari mereka. Dan membuka topeng
laki-laki yang sudah tewas itu. Tampak terlihat paderi ini terkejut karena
ternyata laki-laki bertopeng itupun seorang paderi dari Kuil Istana Hijau.
Segera ia bergerak melompat untuk membuka topeng yang lainnya.
Yang kemudian dapat diketahuinya ketiga manusia itu
paderi-paderi Kuil Istana Hijau.
Sejenak tercenung si Bangau Putih. Keningnya
terlihat semakin berkerut Lalu ia membungkuk untuk
bersihkan ujung senjatanya. Dan selipkan lagi dibalik jubahnya. Selanjutnya ia
telah teruskan langkahnya
tinggalkan tempat itu.
Kali ini ia pergunakan ilmu lari cepat. Hingga
tak berapa lama kemudian telah tiba di ujung padang
rumput Segera saja ia berkelebat untuk memasuki hu-
tan. Tapi, lagi-lagi ia merandek, seraya mencabut keluar lagi senjatanya.
"Keluarlah Kalau kalian mengingini jiwaku. Dan
bertarung secara ksatria!" Membentak si Bangau Putih dengan sepasang matanya
menatap lurus ke depan.
Terdengar suara tertawa gelak-gelak, yang disusul
dengan berkelebatnya dua sosok tubuh di hadapan-
nya, dari balik semak belukar.
Ternyata keduanya adalah seorang laki-laki dan
wanita. Yang seorang memakai baju dari kulit Serigala.
Berusia sekitar 40 tahun. Bertubuh kekar, dengan wa-
jah penuh dengan cambang bauk yang lebat. Sedang
seorang lagi ternyata seorang wanita yang berparas
cukup cantik. Berusia sekitar 35 tahun. Rambutnya
dililit oleh benang sutera warna keemasan. Wanita ini mengenakan pakaian
berwarna ungu, dengan kembang-kembang berwarna putih. Sepasang matanya
membersitkan sinar tajam menatap si paderi bergelar
Bangau Putih. Tampak iapun tertawa, memperlihatkan
sebaris giginya yang tidak rata. Wanita inilah yang di-juluki si Dewi Rembulan
di Rimba Hijau. Sedang yang
seorang lagi, yaitu laki-laki berbaju kulit Serigala adalah Barong Segoro, alias
si Naga Hitam. Perlu diketahui kedua tokoh ini pernah menginap di penginapan di
de-sa Lubuk Batang. Di mana Roro pernah menginap juga
di sana. "Hi hi hi... Kami hanya bertugas menawan mu!
Kalau mau membunuhmu pun kami kira tidaklah su-
kar. Sebenarnya kalau kami tidak terlambat datang,
sudah dapat membekuk mu di penginapan itu. Sayang
kau sudah berangkat pergi! Sebaiknya kau serahkan
dirimu saja Bangau Putih...! Agar cepat selesai tugas kami...!". Berkata Sito
Resmi, alias si Dewi Rembulan.
"Benar...! Biar kami bisa segera mengaso, bu-
kankah begitu Dewiku.. ?". Berkata si Naga Hitam. Seraya lirikkan matanya pada
si wanita di sebelahnya, yang jadi tersenyum genit. Tapi sudah menyambar bicara
lagi yang ditujukan pada si Naga Hitam.
"Hm...! Baru kenal dua hari sudah mulai ganjen
kau Barong Segoro...! Siapa sudi mengaso bersama-mu
lagi". Ternyata kau bukan orang baik-baik...!" Kata -
kata itu membuat si laki-laki jambros ini tertawa berkakakan, seraya ujarnya;
"Ha ha ha... Barong Segoro bukanlah si Naga
Hitam, kalau tak berhasil menundukkan Rembulan...!
Kau lihat saja nanti, apakah kau bisa betah tidur sendirian". Ha ha ha.. ".
Kembali si Naga Hitam tertawa gelak-gelak. Akan tetapi sekejap telah berhenti.
Sepasang matanya menatap pada si Bangau Putih, dan ter-
dengar suaranya membentak keras.
"Bangau Putih...! Kalau kau membangkang un-
tuk serahkan dirimu, terpaksa aku akan lakukan ke-
kerasan padamu...!". Seraya berkata, Barong Segoro te-
lah gerakkan lengannya ke atas dan ke bawah. Segera
terlihat oto-ototnya yang bersembulan. Dan perdengarkan suara berkrotakan.
Ternyata ia tengah menyalur-
kan tenaga dalamnya. Dengan segera sepasang len-
gannya berubah menghitam.
Kini dengan sepuluh jari yang sudah terentang,
ia siap melakukan serangan. Adapun si Bangau Putih
ternyata tak mau menyerahkan diri begitu saja, Diam-
diam uap halus berwarna putih. Sementara si Dewi
Rembulan cuma berpeluk tangan saja. Bahkan telah
berkata; "Hm, ku ingin lihat apakah kau mampu me-
nangkapnya hidup-hidup, Barong Segoro! Biarlah se-
mentara aku jadi penonton dulu. Hihi... hi... hi..."
Ucapnya seraya tertawa.
"Sebelum aku kalian tangkap, bolehkah aku
tahu siapa yang telah membayar kalian untuk peker-


Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jaan ini?". Tiba-tiba si Bangau Putih ajukan pertanyaan. "Heh! Kau akan lihat
dan ketahui sendiri, nanti setelah kau kubawa menghadap padanya...!". Menyahut
si Naga Hitam. Tampak si paderi berusia 50 tahun ini, termenung sejenak, seperti
tengah mempertim-bangkan usul untuk menyerahkan diri. Tapi ia berfikir, toh
akhirnya ia akan mati di hadapan orang yang telah diketahuinya.
Hal tersebut adalah sia-sia belaka, Pikirnya la-
gi. Berfikir demikian, si Bangau Putih segera berkata;
"Baik...! Kau boleh tawan aku kalau sudah tiada berdaya...!". Tentu saja kata-
kata itu membuat si Naga Hitam jadi plototkan matanya.
"Bagus...! Kalau begitu bersiaplah untuk meng-
hadapiku...!" Seraya berkata, Naga Hitam sudah lancarkan serangan dengan
sepasang lengannya bergerak
mencengkeram ke arah leher si Bangau Putih. Tentu
saja paderi ini sudah hantamkan senjatanya mengha-
lau serangan. Sepasang lengan yang meluncur deras
dengan sepuluh jari terbuka itu telah bergerak terentang. Akan tetapi tiba-tiba
merubah serangan menjadi terpecah dua jurusan. Yang satu meluncur untuk
menangkap senjata Ruyung, sedang satu lagi mengarah
untuk menyambar dada. Terkejut si Bangau Putih. Ce-
pat-cepat ia tarik kembali senjatanya. Dan secepat kilat telah mengenjot tubuh
untuk melambung dua tom-
bak. Ruyung berkepala bangau itu kini digunakan
menghantam ke arah kepala si Naga Hitam. Membersit
suara senjatanya, disertai kilatan sinar perak meluncur deras ke arah kepala
Naga Hitam perdengarkan
suara di hidung. Tiba-tiba telah gunakan lengannya
untuk menangkis serangan. THAK...! Terdengar suara
seperti menghantam benda keras. Tubuh si Bangau
Putih terpental ke atas lagi satu tombak, Paderi in! terkejut bukan main, karena
senjatanya seperti meng-
hantam basi saja layaknya. Bahkan tenaga dalamnya
terasa mental balik menghantam kembali ke tubuhnya,
Sehingga ia terlempar ke atas. Namun dengan gesit, ia telah lakukan salto di
udara, dan kembali jejakkan ka-ki ke tanah. Melihat orang terkejut. Si Naga
Hitam agaknya mengetahui. Tampak ia perlihatkan sikap
angkuh. Seraya berkata;
"Heh...! Kiranya si Bangau Putih mulai tahu
siapa adanya si Naga Hitam! Sebaiknya kau lekas-
lekas serahkan dirimu, sebelum kau jadi rusak ca-
cat...!". Tampak wajah si paderi jadi berubah merah.
Tiba-tiba ia telah berteriak keras, seraya putarkan senjata Ruyungnya. Terdengar
suara bersiutan. Sinar pe-
rak berkelebatan di hadapan si Naga Hitam. Sekejap
kemudian telah menerjang ke arah laki-laki kekar itu.
Tampaknya si Bangau Putih telah bertindak kepalang
basah. Kini dialah yang merangsak hebat. Kepala ban-
gau dari Ruyungnya berkelebatan mematuk, mengarah
tempat-tempat yang berbahaya. Disertai hantaman-
hantaman deras. Bahkan sebelah lengan si Bangau
Putih pun turut pegang peranan menghantam dengan
tenaga dalam yang telah dikeluarkan lebih dari sepa-
ruhnya. Naga Hitam terkejut juga. Dan terlihat mulai kewalahan. Tangkisan-
tangkisan lengannya ternyata
selalu dihindari oleh paderi itu. Hal mana membuat ia jadi memaklumi kelihayan
lawan. Namun sukar bagi si
Naga Hitam untuk menembus benteng lawan, yang
lindungi tubuhnya dengan kelebatan sinar perak. Seo-
lah benteng baja yang sukar ditembus. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara
tertawa si Dewi Rembulan.
Tubuhnya telah mencelat untuk sambarkan tali Jerat
Suteranya ke arah kaki si Bangau Putih.
RRRTT...! Bangau Putih tak menyangka sama
sekali si Dewi Rembulan akan menyerang ke arah kaki.
Karena saat itu ia tengah lancarkan serangan berun-
tun ke arah si Naga Hitam. Karena ia terpengaruh ge-
rak luncuran Jerat Sutera si Dewi Rembulan, tentu sa-ja serangan beruntunnya
agak lamban. Saat itu diper-
gunakan oleh si Naga Hitam untuk menangkap senjata
si paderi hingga terlepas ketika disentakan.
Belum lagi si Bangau Putih menyadari kela-
laiannya, tali Jerat Sutera Sito Resmi telah membelit kakinya. Bahkan telah
meluncur lagi tali Jerat Sutera yang dilepas oleh wanita itu. Tak ampun lagi
sebelah lengannya pun telah kena terbelenggu. Hingga sekejap kemudian tahu-tahu
tubuhnya telah meluncur deras
ke arah depan, dibetot oleh si Dewi Rembulan, yang
gunakan tenaga dalam untuk menariknya.
Pada saat itulah si Naga Hitam lakukan totokan
telak. Hingga tubuh si Bangau Putih terjerembab ke
tanah untuk tak bisa. berkutik. Dewi Rembulan ter-
nyata telah bekerja cepat. Hingga sekejap, kaki dan
tangan si Bangau Putih kena diringkus tali Jerat Suteranya "Bagus...! Kalau
sejak tadi kau membantuku, tentu aku tak payah-payah keluarkan tenaga, Dewi
ku...!" "Huuu ...! Naga Hitam ternyata terlalu lamban, membuat aku tak sabar
meringkus bangau kurus ini!
Orang macam kau mau taklukkan Rembulan". Hi hi
hi..." Berkata si wanita, dengan tertawa mengejek laki-laki di sebelahnya. Akan
tetapi bukannya marah, si
Naga Hitam, bahkan tertawa bergelak. Seraya berkata;
"Ha ha ha.. ha ha... Aku akan taklukkan rem-
bulan bukan dengan kekerasan dengan pertarungan
seperti ini. Tapi akan kugunakan cara hebat, yang
akan membuat kau kagum dan bertekuk lutut menye-
rah tanpa syarat...!"
"Hm, sudahlah...! Ayo kau panggul dia! Dan
bawa pergi dari sini...!". Teriak si Dewi Rembulan, seraya sudah mendahului
melangkah. Naga Hitam tak
berayal lagi, segera ia sudah angkat tubuh si Bangau Putih, untuk seterusnya
diletakkan di atas pundaknya yang lebar. Kemudian dibawanya berlari mengejar
Sito Resmi, alias si Dewi Rembulan...
Saat itu satu bayangan kuning telah berkelebat
mengikutinya. Gerakannya lincah sekali. Bagaikan
seekor kijang saja, yang membuntuti kedua manusia di hadapannya. Ketika bayangan
itu berhenti sejenak untuk melihat ke arah mana kedua orang yang dikuntit-
nya, segera diketahui siapa gerangan dia. Kira-nya tak lain dari Roro Centil, si
Pendekar Wanita Pantai Selatan. Tampak ketika berjongkok, belahan panjang putih
mulus. Wajahnya tampilkan senyum di bibir. Pertanda
hatinya senang. Karena Roro Centil mulai mengetahui
siapa adanya si Bangau Putih. Pelacakan mencari jejak pelaku peristiwa di Kuil
Istana Hijau mulai terungkap, sedikit demi sedikit. Sengaja ia tadi tak turun
tangan menolong si paderi yang telah mengundangnya itu. Karena Roro inginkan
keterangan lebih jelas mengenai
penyelidikannya. la mengambil kesimpulan, bahwa da-
ri kedua orang yang berjulukan si Dewi Rembulan dan
Naga Hitam itu akan banyak membantunya menying-
kap tabir misteri pembantaian di Kuil Istana Hijau.
Demikianlah sehingga Roro segera terus membuntu-
tinya. Kini dilihatnya kedua orang di hadapannya
membelok ke sisi kiri untuk mendaki bukit.
"He" Kau akan ke mana...". Kita harus menuju
terus ke barat, bukan ke selatan". Terdengar si Dewi Rembulan berkata.
"Haha.. ha ha... Tenang sajalah Dewiku...! Aku
ada cara lebih baik untuk mendapat keuntungan me-
lebihi hadiah yang bakal kita terima Paderi tolol ini akan membawa keberuntungan
buat kita...! Bertanya
ia. Namun kakinya terus melangkah untuk mengikuti
si Naga Hitam. "Ikuti saja aku. Sebentar lagi kita sudah sam-
pai...!". Menyahut si Naga Hitam. Yang sudah segera menuruni bukit. Di bawah
terlihat ada air sungai mengalir berair jernih. Ternyata di situ ada terdapat
sebuah terowongan. Yaitu pada kelokan sungai. Tak la-
ma kemudian mereka sudah tiba di sebuah goa yang
tersembunyi. "Hm. Tempat ini masih belum berubah, seperti
tiga tahun yang lalu. Agaknya memang tak pernah ada
orang mengetahui kalau di sini ada tempat persembu-
nyian yang aman...!".
"Kau pernah singgah kemari...?". Bertanya Sito Resmi.
"Sering..!". "Sudah berapa kali...?". Tanya lagi si Dewi Rembulan.
"Yah...! Mungkin sudah belasan kali. Aku lupa
lagi, tak sempat menghitungnya!" Menyahut si Naga Hitam seraya hentikan
langkahnya. Dan lemparkan
tubuh si Bangau Putih ke sudut goa. Sementara ia su-
dah mendongak untuk melihat cahaya merah di langit
sebelah barat. "Sebentar lagi malam tiba. Sengaja kubawa kau
singgah di tempat kenangan ku ini. Kita bisa bermalam di sini. Menunggu besok,
untuk mengambil keputusan.
Apakah perlu kita antarkan si paderi tolol ini, atau kita bunuh mampus saja
sekalian...!" Berkata si Naga Hitam. Sementara ia sudah segera jatuhkan
pantatnya untuk duduk di atas batu. Dewi Rembulan lagi-lagi
melengak. Sepasang alisnya jadi bergegas menyatu.
Akan tetapi ia sudah berkata;
"Terserahlah! Kalau hal itu lebih baik dan
menghasilkan keuntungan lebih besar, aku akan man-
dah saja...! Eh, ya... Kau sering kemari belasan kali, apakah keperluanmu" Tiba-
tiba si Dewi Rembulan sudah bertanya lagi ingin tahu.
"Ah, aku hanya melatih diri untuk menggerak-
kan Otot-Otot tubuhku. Waktu itu baru bisa mengua-
sai beberapa jurus silat yang ku peroleh dari mencuri.
"Mencuri..." Bagaimana caranya...?" Bertanya lagi si Dewi Rembulan.
"He hehe... Caranya ialah dengan mengintip
orang bermain silat!". Menegaskan si Naga Hitam.
Tampak Sito Resmi manggut-manggut.
"Apa kau tak punya guru?". Tanyanya lagi.
Akan tetapi si Naga Hitam sudah garuk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal seraya ujarnya;
"Wah, wah, wah...Pertanyaanmu tiada hentinya.
Nantilah kita teruskan bercakap-cakap kalau mau ti-
dur. Kini carilah persiapan untuk merebahkan diri. Tidur beralas tanah begini
mana enak. Bisa gatal kulit tubuh!".
"Carilah sendiri untukmu, aku tak akan ti-
dur...!" Berkata si Dewi Rembulan. Tampaknya ia seperti menggoda si Naga Hitam.
Laki-laki ini cuma tersenyum, tapi sudah beranjak melompat keluar goa se-
raya berkata; "Baiklah...! Tolong kau jaga si paderi tolol itu, jangan sampai ia bisa lepaskan
diri...!". Dewi Rembulan tak memberi sahutan. Menunggu tak berapa lama,
si Naga Hitam sudah kembali lagi dengan membawa
daun-daun asam di pundaknya. Sebentar kemudian ia
telah jadikan dedaunan itu alas tubuh yang empuk.
Sementara cuaca pun berubah berangsur-
angsur menjadi gelap. Untunglah ada cahaya rembu-
lan yang sebentar lagi akan terlihat sinarnya yang
memantul di air. Sementara si Bangau Putih cuma bi-
sa berdiam diri tanpa dapat berbuat apa-apa. Bahkan
bersuarapun ia tak dapat.
Dewi Rembulan melangkah ke sisi sungai. Dan
bersihkan muka dan anggota tubuhnya dengan sira-
man air sejuk. Sebentar kemudian ia telah kembali
duduk di atas batu.
"Eh, bagaimana caranya kau akan mengambil
keuntungan pada si paderi tolol ini?". Tiba-tiba ia sudah bertanya lagi.
Naga Hitam segera menghampiri wanita ini, se-
raya berkata; "Caranya adalah soal yang gampang, dan bisa
belakangan dilakukan, akan tetapi keuntungannya bi-
sa dilakukan sekarang...?". Tentu saja si Dewi Rembulan lagi-lagi melengak.
"Bagaimana caranya...?". Tanyanya lagi secara tak sadar, karena lagi-lagi ia
lakukan pertanyaan yang tak ada putusnya
"Caranya adalah... begini...!". Si Naga Hitam telah menyahuti, seraya tiba-tiba
gerakkan lengannya
menotok tubuh si Dewi Rembulan. Tentu saja gerakan
tak terduga itu membuat ia tak bisa elakkan diri. Wanita ini mengeluh perlahan,
dan sekejap ia sudah tak bisa berkutik lagi. Bahkan ketika lengan si Naga Hitam
telah terjulur menelusuri setiap lekuk dibagian tubuhnya, ia cuma bisa mandah
saja. Tapi sepasang
matanya telah melotot gemas pada si Naga Hi-
tam. Seraya bibirnya keluarkan suara perlahan tapi
penuh kemendongkolan. Beruntung laki-laki itu tak
menotok urat suaranya. Naga Hitam! Beginikah me-
nundukkan ku..." Apakah tak ada cara lain yang lebih baik?" "Segudang cara ada
padaku...! Dan yang ini adalah salah satu cara untuk membuatmu berhenti
bertanya...! Ha ha... Bukankah dengan sekejap aku telah dapat membuatmu tunduk
padaku...!" Naga Hitam menyahut seenaknya, tanpa hentikan remasan Cakar
Naganya di kedua bukit lunak berlapis kain sutera itu.
Karena merasa tak ada gunanya bertarung bi-
cara dengan manusia yang mau menang sendiri, ak-
hirnya si Dewi Rembulan sudah tak memperdulikan-
nya lagi. Bahkan sudah katupkan kelopak matanya.
Tahu-tahu si Dewi Rembulan sudah rasakan tubuhnya
seperti melayang. Lalu meluncur turun perlahan, dan
mendarat di atas hamparan dedaunan.
Terasa dengusan nafas yang membersit di telin-
ganya. Sementara si Naga Hitam sudah singkirkan se-
gala sesuatu yang menghalangi pandangan mata.
Cuaca semakin remang di luar goa. Akan tetapi
cahaya bulan sudah segera membersitkan pantulan-
nya dari atas permukaan air.
"Setan alas...!" Memaki Roro Centil di tempat persembunyiannya. Lalu palingkan
wajah untuk memandang ke lain arah.
Roro Centil masih berada di tempat persembu-
nyiannya, kesabaran seorang wanita memang berbeda
dengan laki-laki. Demi mencari keterangan yang lebih lengkap, mengenai hal-
ikhwal kejadian di Kuil Istana Hijau, terpaksa Roro tak meninggalkan tempat
persembunyiannya Sementara si Bangau Putih, cuma bisa
pejamkan mata, tanpa bisa menghalangi pendenga-
rannya. Tentu saja segala desah angin dan gemericik-
nya air sungai yang mengalir tak luput dari pendengarannya Secara diam-diam ia
telah mencoba lepaskan
diri dari pengaruh totokan. Akan tetapi selama sekian saat itu, usahanya sia-sia
belaka. Naga Hitam baringkan tubuhnya di samping si
Dewi Rembulan. Sepasang matanya terlihat mengatup.
Seperti ia enggan untuk bangun. Rasanya sudah mau
terus tidur saja, karena terasa tubuhnya lelah sekali.
Sementara si Dewi Rembulan bahkan bangkit berdu-
duk. Tiba-tiba lengannya terjulur ke tubuh si Naga Hitam. Tapi secepat kilat,
laki-laki itu sudah menangkap pergelangan tangannya Seraya langsung menariknya
dengan cepat, hingga sekejap si Dewi Rembulan sudah


Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali berada dalam dekapannya. Naga Hitam terta-
wa menyeringai.
"Ha ha ha... kau mau balas menotok ku, bu-
kan..." Sudahlah Dewiku... Naga Hitam sudah tun-
dukkan Rembulan. Dia telah temukan pasangannya
yang serasi. Rembulan dan Naga harus bersatu...! Ka-
lau kelak sudah berhasil dengan tujuannya, pastilah
akan merupakan pasangan yang hebat...!" Ujar si Naga Hitam seraya lengannya
membelai sang Rembulan.
Tampaknya Rembulan benar-benar telah tunduk pada
si Naga Hitam. Ia memang harus mengakui kejantanan
si Naga Hitam yang telah menunaikan janjinya.
Selanjutnya yang terdengar adalah bisikan-
bisikan mesra saja, bagi kedua insan yang memadu
kasih. Roro Centil tetap bersabar menunggu tersing-
kapnya tabir pembantaian dan pencurian kepala arca
Budha di Kuil Istana Hijau.
Selang beberapa saat si Naga Hitam sudah ra-
pikan lagi baju kulit Serigala. Kini ia bangkit berdiri untuk segera menghampiri
si Bangau Putih.
Sementara Sito Resmi beranjak menuju sungai.
Ternyata di malam yang dingin itu, justru ia mandi keringat. Hingga ia merasa
perlu membasuh tubuhnya
dengan siraman air sejuk. Lengan si Naga Hitam sudah bergerak membuka totokan.
Hingga si paderi ini keluarkan suara keluhannya. Sepasang matanya menatap
pada si Naga Hitam.
"Apa yang kau inginkan dariku, Naga Hitam"
Mengapa tak kau bawa aku menghadap Ketuamu...?"
Bertanya si Bangau Putih.
"Hm...! Aku mau ajukan pertanyaan padamu.
Siapakah orang yang kau undang untuk datang ke
Penginapan" Dan apa hubunganmu dengan si Ketua
Utama Kuil Istana Hijau?"
"Apakah aku perlu memberitahukannya pada-
mu?" Tanya lagi si paderi.
"Jelas...! Kau jawablah dulu dua pertanyaan-
ku!" Ucap si Naga Hitam, seraya gerakkan lengannya membuka totokan di tubuh si
Bangau Putih. Hingga
tampak si paderi tua ini bisa beranjak duduk dengan
menyandar di dinding batu goa. Sementara kaki dan
tangannya masih tetap terikat dengan tali Jerat Sutera.
"Baiklah...! Kuberikan atau tak kuberitahu toh
sama saja. Akhirnya aku akan mati juga! Kalau tidak
di tanganmu, tentu di tangan si manusia yang mempe-
ralat mu!" Berkata si Bangau Putih seraya menghela nafas. Akan tetapi Naga Hitam
jadi tertawa gelak-gelak, seraya berkata;
"Heh! Aku merasa tak diperalat oleh siapapun.
Aku bekerja sendiri demi untuk satu keuntungan. yai-
tu mencari SEPASANG PEDANG SILUMAN. Kabarnya
senjata Pusaka itu disimpan di dalam arca Budha.
Sayang aku datang terlambat. Karena cuma bisa men-
jumpai mayat-mayat yang berserakan dari para paderi
Kuil Istana Hijau.
Sepasang Pedang Siluman telah lenyap dicuri
orang terlebih dulu, dengan memotong kepala arca.
Bahkan potongan kepala area itu sendiripun lenyap
entah kemana...!"
Bangau Sakti jadi kerutkan alisnya. Saat itu si
Dewi Rembulan telah datang menghampiri dan berdiri
bertolak pinggang di belakang si Naga Hitam.
Paderi ini menatap wanita itu. Seraya berkata;
"Lepaskan tali Jerat Sutera mu nona...! Aku
berjanji tak akan mencoba melarikan diri. Seandainya kulakukan toh aku tak bisa
lepas dari cengkeraman
kalian!" Tampak si wanita saling tatap dengan si Naga Hitam, yang sudah segera
mengangguk. Selanjutnya si
Dewi Rembulan segera saja membuka ikatan tali Jerat
Suteranya. Hingga si Bangau Putih bisa menarik nafas lega. Kini ia dapat duduk
dengan enak menyandar di
dinding batu. Dengan sepasang lengan terjalin kesepuluh jarinya.
"Sebenarnya aku tak tahu-menahu dengan
adanya Sepasang Pedang Pusaka itu, yang berada di
dalam arca Budha. Ki Dharma Setha si Ketua Utama
Kuil Istana Hijau meminta kesedian ku untuk bantu
menjaga Kuil, sebulan yang lalu. Berkenaan dengan
kepergiaannya ke Pulau Jawa. Ki Dharma Setha ada-
lah saudara tuaku. Tentu saja aku membawa surat
bukti dari Ketua Kuil Istana Hijau untuk bisa diterima para paderi di sana.
Terutama pada paderi Ketua Dua, Sapta Dasa Griwa. Karena dia tak mengenaliku.
Sapta Dasa Griwa baru menjabat di sana sekitar dua tahun
yang lalu. Sedang aku sudah lebih dari lima tahun
tinggalkan Kuil Istana Hijau. Dan membangun Kuil
sendiri di pantai pesisir sebelah timur. Tepatnya di Tanjung Kait, dekat ibukota
Kerajaan Sriwijaya.
Diperjalanan aku mendengar berita adanya ke-
kacauan di Kuil Istana Hijau. Dan desas-desus lolos-
nya seorang tawanan dari penjara besi. Tawanan itu
adalah bekas seorang paderi, yang ketahuan berbuat
kejahatan. Hingga Ki Dharma Sheta telah memenjara-
kannya. Bahkan dialah si pencipta, yang membuat ar-
ca Budha dari perunggu berlapis emas di Kuil Istana
Hijau itu. Entah siapa yang telah melepaskannya. Aku menduga adanya kerjasama
dengan orang dalam. Dalam perjalanan itu aku mendengar khabar adanya seo-
rang gadis bernama Roro Centil yang bergelar Pende-
kar Wanita Pantai Selatan. Gadis Pendekar itu pernah menjadi sahabat baik Paderi
Jayeng Rana, yaitu seorang paderi asal Nepal yang pernah mendirikan Kuil di
Lereng Gunung Wilis.
Bahkan pernah juga ia menjadi murid Paderi
Sakti itu, dan menumpas tiga orang paderi cabul yang mencemarkan nama baik
paderi-paderi Kuil Welas
Asih di Lereng Gunung Wilis. Oleh swab itulah aku
mengundangnya, dengan melalui surat rahasia. Aku
berangkat terlebih dulu, dan menunggunya di Pengi-
napan desa Lubuk Batang. Tentu saja maksud undan-
ganku kesatu; Aku ingin berkenalan dengan Pendekar
Wanita yang terkenal itu yang sepak terjangnya adalah membasmi kaum penjahat.
Kedua aku memerlukan
Raden Banyak Sumba 4 Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya 5
^