Pencarian

Siluman Kera Putih 2

Roro Centil 07 Siluman Kera Putih Bagian 2


"Rampooook! Rampooook..!" Dan ia sudah ber-
lari lagi ke ruangan depan. Tapi tak lama kemudian
kembali lagi ke kamar. Sementara sang istri cuma bisa
ketakutan menggulung tubuhnya dengan selimut,
dengan tubuh menggigil gemetaran. Tiba-tiba di kamar
sebelah terdengar suara bergedubrakkan. Disertai sua-
ra jeritan wanita. Terkejut si Hartawan. Ketika itu juga ia teringat akan anak
gadisnya. "Ratna Dewi anakku..!" Teriak si Hartawan. Iapun berlari ke kamar anaknya.
Sementara istrinya pun
tiba-tiba melompat dari tempat tidur, dan berlari ke
kamar putrinya. Akan tetapi pada saat itu juga jendela
samping telah dicongkel terbuka. Dan Kala Dungga
melompat ke dalam. Sekejap saja telah terdengar jeri-
tan ngeri wanita istri hartawan itu. Lehernya hancur di cengkraman manusia
telengas itu, di sertai robohnya
sang tubuh ke lantai. Si Hartawan terkejut bukan
main. Saat itu juga ia memekik keras. Dan ia sudah
melompat menyambar sebuah tombak di sudut dind-
ing ruangan. Wajahnya menampilkan kemarahan luar
biasa, melihat tubuh sang istri telah tergeletak di lantai bersimbah darah. Akan
tetapi pada saat itu juga
berkelebat Gajah Dungkul dari dalam ruangan kamar
anak gadis hartawan. Sebelah lengannya telah berge-
rak, dan tahu-tahu tubuh laki-laki berusia enam pu-
luh itu sudah roboh dengan perdengarkan keluhannya.
Ternyata si Gajah Dungkul telah menotoknya. Di lain
saat, terdengar suara pintu yang pecah bergedubrak-
kan. Disertai melompatnya si Burung Hantu dan si
Ular Kobra Mata Merah. Melihat rekan-rekannya ber-
hasil masuk, Gajah Dungkul tersenyum.
Bagus..! Hayo kalian geledah seluruh isi kamar!
Anak gadisnya si tua bangka ini telah ku totok! Ru-
panya hanya tiga orang penjaga saja yang diandalkan
untuk menjaga gedungnya. He he he..." berkata Gajah Dungkul sambil tertawa. Dan
ia pun sudah berkelebat
masuk ke kamar. Ketika keluar lagi sudah memondong
seorang gadis yang berteriak-teriak. Tapi sudah tak bi-
sa menggerakkan tubuhnya lagi. Si Burung Hantu
hanya nyengir, sambil segera berkelebat memasuki
kamar. Disana ia mengobrak-abrik lemari pakaian.
Bahkan kasur dan bantal di aduk-aduk. Sedangkan si
Ular Kobra Merah memasuki kamar anak gadis harta-
wan itu. Disana iapun menggerayangi setiap tempat.
Sementara Kala Dungga mendekati si gadis dalam
pondongan Gajah Dungkul. Wajahnya tampak cengar-
cengir melihat gadis cantik.
"Eh, kakak, berikan aku yang memondong-
nya..!" Berkata Kala Dungga seraya melompat mende-
kati. Gajah Dungkul tertawa menyeringai, serta berka-
ta; "Boleh! Tapi ingat, jangan kau beri sisa mu..!"
Dan segera lemparkan gadis dalam pondongannya itu.
Yang segera disambuti Kala Dungga.
"Ha ha ha... Cantik juga anak gadis si tua
bangka ini.." Dan ia sudah mendaratkan ciuman di pi-pi gadis bernama Ratna Dewi
itu. Adapun sang gadis itu sudah menjerit-jerit ke-
takutan. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Ketika
tiba-tiba ia melihat ibunya yang tergeletak bersimbah
darah, tanpa bergerak-gerak lagi... seketika ia menjerit panjang. Lalu jatuh
pingsan. Sementara si Hartawan
itu cuma bisa meringis pedih melihat apa yang terjadi
di depan matanya. Tiba-tiba ia telah keluarkan benta-
kan; "Iblis-iblis keparat..! Lepaskan anak gadisku!
Jangan kau ganggu dia..! Katakan apa mau kalian"!
Mengapa kalian lakukan semua ini" Aku merasa tak
bersalah apa-apa terhadap kalian..!" Teriak Datuk Sutan Benggala Dewa. Sementara
diam-diam hatinya
mengutuk panjang pendek orang-orang bayarannya
yang tak bisa diandalkan. Gajah Dungkul tertawa ter-
kekeh sambil acungkan senjata piring tipisnya di leher
si hartawan. "He he he... kami mau kepalamu tuan besar!
juga harta, dan... dan... anak gadismu yang cantik
itu..!" Berkata Gajah Dungkul dengan wajah jumawa, sambil lirikan mata pada anak
gadis laki-laki itu yang
berada dalam pondongan adiknya. Sementara itu si
Burung Hantu sudah melompat keluar. Wajahnya me-
nampakkan kekecewaan. Seraya berkata;
"Kurang ajar! Aku tak dapat menemukan tem-
pat menyimpan uang dan harta benda si kunyuk ini!
Hayo, Gajah Dungkul! Kau paksa dia agar menunjuk-
kan tempat menyimpan harta bendanya..!" Gajah
Dungkul melengak. Dan saat itu si Ular Kobra Mata
Merah juga telah melompat keluar.
"Aku cuma menemukan ini..!" Desisnya. Seraya
menunjukkan seuntai kalung emas bermata berlian.
Tiba-tiba ia sudah berkelebat ke arah jenasah
istri si hartawan. Tampaknya ia membungkuk. Dan
menyambar kalung emas, serta membuka beberapa ge-
lang di tangan jenazah wanita malang itu. Kemudian
membungkusnya dengan sapu tangan. Dan selipkan
pada celah bajunya. Lalu melompat lagi ke dekat tiga
rekannya. Datuk Sutan Benggala Dewa cuma bisa pejam-
kan mata. Tampak ada setitik air bening mengalir ke-
luar dari sudut pelupuk matanya. Tiba-tiba sudah ter-
dengar bentakan lagi. Ia rasakan kepalanya terangkat
naik. Rambutnya terasa pedas sekali. Ternyata si Ga-
jah Dungkul telah menjambak rambutnya.
"Kunyuk..! Kau mau pura-pura pingsan! Hayo
katakan dimana kau menyimpan harta benda mu...!
Atau kau mau kutebas batang lehermu" Teriaknya. Se-
raya tekan piring tipisnya ke leher si Hartawan, yang
segera meringis kesakitan. Terlihat ada sedikit darah
mengalir dari kulit lehernya Tapi Datuk Sutan Bengga-
la Dewa tetap membungkam. Membuat Gajah Dungkul
jadi berang. "Ku hitung sampai tiga. Kalau kau tetap tak
membuka mulut. Kepalamu akan segera menggelind-
ing dalam sekejap..!" Bentak Gajah Dungkul, seraya menjambak rambut si hartawan
lebih keras. Hingga
laki-laki itu meringis lagi kesakitan. Akan tetapi Kala Dungga sudah menyambar
bicara; "Kalau dengan cara demikian, bisa-bisa ia me-
milih mati. Atau bisa juga berdusta. Sebaiknya kita
gunakan cara yang aku pakai ini..!" Seraya berkata demikian, ia telah letakkan
gadis yang pingsan itu di
lantai. Dan tanpa ragu-ragu sudah membukai pa-
kaiannya... "He he he... Bagus! Bagus! Adikku..! Biarkan
aku yang mencicipinya dulu. Baru kau..! Atau kalau
sobat Burung Hantu kepingin, berikan gilirannya buat
dia..!" Tak berayal lagi Gajah Dungkul segera akan membuka juga pakaiannya.
Sementara si Ular Kobra
Mata Merah plengoskan wajahnya dengan wajahnya
dengan wajah bersemu merah. Akan tetapi pada saat
itu juga si hartawan sudah berteriak;
"Jangan kalian ganggu anakku...! Akan kuberi-
tahukan tempat menyimpan uangku..!" Pakaian si ga-
dis yang baru dibuka separuhnya itu sudah lantas di
tutup lagi. "Bagus..! Berkata Kala Dungga. Nah dimana
kau simpan uang dan harta benda mu, tuan besar..!"
Berdesis si Gajah Dungkul. Sementara si Burung Han-
tu cuma jadi penonton saja. Pada saat itu juga tiba-
tiba terdengar suara mengeram. Yang membuat semua
yang berada di tempat itu jadi melengak. Dan tahu-
tahu di ruangan itu telah menjelma seekor Harimau
Tutul yang hampir sebesar kerbau, dengan didahului
keluarnya asap hitam yang tebal. Tentu saja keempat
manusia jahat itu jadi terkesiap. Terlebih-lebih si Bu-
rung Hantu. Karena Harimau belang jejadian itu ada-
lah mahluk suruhannya, yang telah disuruhnya men-
jaga Roro Centil.
Segera kesemuanya melompat mundur. Se-
dangkan Burung Hantu segera berkata dengan suara
gemetar; "Datuk Siluman Raja Hutan..!Kau..kau bukan-
kah telah disuruh menjaga wanita itu di rumah besar,
melalui perantara nenek dukun yang telah ku-
panggil di rumahku.. ?" Akan tetapi sebagai jawabannya sang harimau jejadian itu
bahkan menggeram le-
bih dahsyat. Hingga seluruh ruangan itu terasa bergo-
lak. Akan halnya si Dua Iblis Sembilan Nyawa alias Ka-
la Dungga dan Gajah Dungkul, jadi kesal dan men-
dongkol dengan adanya harimau jejadian itu. Walau-
pun ia memang agak ngeri dan membuat bulu kuduk-
nya berdiri. Tampak kedua kakak beradik itu segera
memberi isyarat. Dan dengan berbareng telah mener-
jang dengan senjatanya. Gajah Dungga menebas leher
sang harimau itu dengan sebuah piring tipis yang ter-
buat dari baja berkilat itu. Dan Kala Dungga telah ke-
luarkan senjatanya dari balik punggung, yaitu sebuah
garpu sebesar lengan dengan lima buah ujungnya yang
tajam. Dengan kecepatan kilat, Kala Dungga menusuk
kepala makhluk itu.
Akan tetapi seketika makhluk itu lenyap. Dan
yang membuat terkejut adalah si Kala Dungga, karena
tiba-tiba saja ia berteriak-teriak kesakitan sambil me-
megangi lehernya. Tampak, seperti ia tengah berusaha
melepaskan cengkeraman pada lehernya. Namun tak
kuasa... Hingga akhirnya ia berkelojotan meregang
nyawa. Melihat demikian si Ular Kobra Mata Merah ja-
di gemetar. Dan keluarkan keringat dingin pada seku-
jur tubuhnya. Dan tanpa menunggu lagi, segera me-
lompat pergi dari ruangan itu, menerobos jendela, dan
melesat kabur menyelamatkan diri. Si Burung Hantu
jadi serba salah. Iapun tak dapat menahan diri lagi un-
tuk segera melarikan diri, sipat kuping. Meninggalkan
gedung si Hartawan itu. Sementara Gajah Dungkul
mencoba menarik tubuh adiknya dengan mencekal ke-
dua kakinya, untuk dibawa keluar ruangan. Akan te-
tapi tiba-tiba terdengar suara menggeram... dan ia ter-
lempar jatuh bangun menabrak pintu. Yang seketika
jadi jebol, dengan papan-papan berantakan. Terkesiap
seketika laki-laki berperawakan tinggi besar ini. Dan
dengan mengurutkan punggungnya, terpincang-
pincang ia melarikan diri... Tanpa mau tahu lagi akan
nasib adiknya. Hingga dalam sekejapan saja, ruangan kembali
menjadi sunyi. Kala Dungga tergeletak di lantai tak
berkutik lagi. Keadaan tubuhnya tampak mengerikan.
karena dari mata, telinga serta hidungnya tampak
mengalirkan darah yang menganak sungai... Sedang-
kan makhluk Siluman yang menyeramkan itu telah
menjelma lagi menjadi seekor harimau tutul yang amat
besar. Pada saat itu berkelebat sesosok tubuh ramp-
ing berbaju merah jambu. Sekejap ia telah berdiri di
dalam ruangan itu. Ternyata tak lain dari Roro Centil
adanya. Melihat kedatangan Roro, tiba-tiba harimau
tutul itu menghampirinya. Dan tampak menggeram-
geram seperti melihat tuannya, serta mengelilingi Roro.
Segera saja Roro memeluknya, dan mengelus-elus be-
lakang kepalanya.
Si Tutul cuma kedip-kedipkan sepasang ma-
tanya, dan menciumi lengan Roro serta menggeser-
geserkan kepalanya dengan manja. Tapi sebentar ke-
mudian Roro Centil segera bangkit berdiri seraya ber-
kata; "Tutul..! Tunggulah di luar. Aku akan mengurusi orang-orang di dalam ini.
Terima kasih atas ban-
tuanmu, Tutul..!" Tampaknya sang harimau itu men-
gerti, dan dengan patuh sekali ia melesat cepat keluar
pintu, dan lenyap.
Roro Centil segera membebaskan totokan pada
tubuh si hartawan. Yang seketika sudah menekuk lu-
tut di hadapan Roro, seraya berucap...
"Oh..! Te... terima kasih atas pertolongan anda,
nona..!" Roro Centil cuma tersenyum dan mengangkat bahu laki-laki tua itu.
"Tak usah banyak peradatan, paman..! Lebih
baik kau urusi anak gadismu..!" Mendengar demikian si hartawan itu sudah lantas
memburu ke arah anak
gadisnya, seraya berteriak...
"Ratna Dewi... Ratna Dewi...!" Dan ia sudah
mengguncang-guncang tubuh gadis yang tergolek
pingsan itu. Beberapa saat kemudian si gadis tampak
siuman kembali. Ia melompat bangkit. Dan yang per-
tama-tama disebutnya adalah nama ibunya! "Ibuuu..!
Ibuuuu..!" Dan wajahnya dipalingkan ke beberapa
arah. Ketika terpandang akan tubuh ibunya yang ter-
golek bersimbah darah itu. Tiba-tiba ia perdengarkan
jeritannya. Seraya berlari menubruk tubuh wanita
yang telah tewas itu.
"Ibuuuuuuu...!" Dan selanjutnya ia sudah me-
nangis tersedu-sedu memeluki, dan mengguncang-
guncang tubuh ibunya. Laki-laki itu perlahan-lahan
menghampirinya. Seraya bersimpuh di hadapan jena-
zah sang istri, disamping anak gadisnya.
"Sudahlah anakku..! Ibumu sudah tenang di
alam Baka. Jangan kau iringi dengan air mata. Kita
harus relakan kepergiannya..!" Berkata lirih Datuk Sutan Benggala Dewa, sambil
mengangkat bahu anak ga-
disnya. Sebelah tangannya membelai-belai rambut si
gadis yang amat disayanginya itu.
Sementara itu telah berdatangan para pegawai
sang hartawan dan beberapa penduduk desa. Yang se-
gera memburu masuk ke dalam gedung. Suasana pun
menjadi gaduh. Adapun si hartawan, ketika menoleh


Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada penolongnya, ternyata telah lenyap, tak kelihatan
lagi. Kiranya hari telah menjelang pagi. Keremangan
malam itu perlahan-lahan berubah menjadi terang.
Gedung Datuk Sutan Benggala Dewa pagi itu jadi ra-
mai oleh kerumunan penduduk Yang segera memban-
tu menggotong mayat-mayat di halaman. Beberapa
orang sudah memayang Ratna Dewi, untuk dibawa ke
rumah gedung di sebelah. Sementara beberapa orang
lagi sibuk mengangkat jenazah istri si hartawan itu.
Jauh dari rumah Gedung Datuk Sutan Bengga-
la Dewa, tampak berkelebat sebuah bayangan merah
jambu cepat sekali. Mata manusia biasa akan sulit
mengetahui bayangan apa itu. Tapi bagi mata orang
berkepandaian tinggi, segera dapat mengetahuinya.
Karena bayangan merah. jambu yang berkelebatan
menjauh itu, adalah bayangan tubuh Roro Centil. Si
Pendekar Wanita Pantai Selatan. Sungguh suatu hal
yang amat menakjubkan. Karena Roro Centil ternyata
tengah menunggang di atas tubuh seekor harimau tu-
tul yang amat besar. Makhluk itu bergerak cepat seka-
li. Larinya bagaikan angin. Entah kemana yang ditu-
junya... Apakah gerangan yang telah terjadi dengan Ro-
ro Centil, sehingga dapat bersahabat dengan sang ha-
rimau jejadian itu" Dan bahkan tampaknya sang ha-
rimau siluman itu telah tunduk sama sekali padanya!
Baiklah kita kembali sejenak ke belakang.
Ketika Roro Centil dalam keadaan serba sulit
karena ditunggui oleh seekor macam siluman yang
menakutkan itu, Roro tengah berusaha menyatukan
segenap ilmu batinnya. Pada saat-saat yang mena-
kutkan itulah, Roro Centil teringat, dan tiba-tiba ter-
bayang akan wajah Gurunya. Si Manusia Aneh Pantai
Selatan. Dan entah suara Gurunya juga entah suara
batinnya. Karena pada saat itu ada suara membersit
hatinya. "Roro... Muridku! Kau memang bocah tolol| Ta-
pi cerdik! Kalau kau menemui keanehan, mengapa tak
kau lawan dengan keanehan pula. Demikian suara itu
seperti terdengar berkali-kali. Dan terus terngiang-
ngiang di telinganya.
Roro berfikir bolak-balik. Apakah gerangan
makna yang telah membersit di hatinya itu, berulang
kali terngiang-ngiang di telinganya...
Segera ia pusatkan pikirannya untuk mendapa-
ti keanehan apakah gerangan yang harus diperguna-
kan untuk melawan makhluk siluman di hadapannya
itu. Lama dan lama ia mengingat-ingat. Sampai peluh
peluh di sekujur tubuhnya bercucuran. Roro benar-
benar sulit untuk membuka tabir
keanehan dari suara yang membersit di lubuk
hatinya. Gurunya tak memberi bekal keanehan apa-
apa! Demikian pikirnya. Roro tampak hampir putus
asa, karena tak juga berhasil memikirkan makna kata-
kata itu. Hingga terdengar sudah suara ayam berkuku-
ruyuk... Dimana si Burung Hantu dan ketiga rekannya
sudah berangkat pergi. Roro mulai agak gelisah. Beru-
lang kali ia tatap mata si harimau siluman itu. Yang
selalu tak berkedip menentang wajah kepadanya. Ka-
rena hawa aneh yang menyeramkan itu seperti telah
melolosi tulang belulangnya... Akan tetapi pada saat
itu juga Roro Centil teringat akan kotak perhiasan mi-
lik Gurunya yang selalu dibawanya. Yang masih tersisa
adalah sepuluh buah gelang emas, bertatahkan ber-
lian. Dan sebuah cincin bermata batu Merah Delima.
Mengingat akan cincin itu, Roro Centil berfikir
sejenak. Dan diam-diam berkata dalam hatinya...
Eh...!" Batu Merah Delima yang berada pada cincin ku,
amat mirip sekali dengan sepasang mata si makhluk
siluman ini. Merah bersinar! apakah keanehannya ada
pada benda itu.." Demikian Roro berfikir bolak-balik.
Dan perlahan-lahan ia sudah keluarkan kotak
perhiasan itu dari balik pakaiannya. Dibukanya kotak
kecil itu. Segera saja membersit keluar cahaya merah
dari batu cincin itu. Juga gemerlapan permata-
permata berlian dari kesepuluh gelang warisan gu-
runya. Sebaiknya kupakai saja semuanya! Pikir Roro.
Dan tanpa ayal lagi Roro masukkan lima buah gelang
pada lengan kirinya. Dan lima buah lagi di lengan ka-
nannya. Lalu pasangkan cincin emas bermata batu
Merah Delima itu di jari manisnya. Aneh..! Kesemua
benda di lengannya itu jadi lenyap sinar gemerlapnya.
Juga sinar merah dari batu Merah Delima itu. Roro ja-
di penasaran. Tapi inilah keanehannya. Memang...! Ro-
ro Centil sudah menemukan keanehannya. Akan tetapi
harus berfikir seribu kali untuk memecahkan keane-
han itu. Tampak Roro sudah tak sabar lagi. Diam-diam
ia kerahkan tenaga dalamnya pada sepasang lengan-
nya. Ia berpendapat kalau ia berhasil menghimpun te-
naga dalam, maka sekali bergerak untuk menghantam,
tamatlah riwayat si macan siluman itu. Tampaknya
Roro berhasil... Akan tetapi terkesiap ia ketika tahu-
tahu batu Merah Delima pada cincinnya telah kembali
menyala, dan menyorot langsung ke mata siluman ha-
rimau itu. Bahkan sepuluh gelang bermata berlian itu-
pun bergemerlapan lagi memancarkan cahaya yang
amat mempesona.
Aneh...! Sang harimau jejadian itu tiba-tiba
mundur, dan menggeram lemah seperti ketakutan. Me-
lihat demikian timbullah nyali Roro. Segera saja ia te-
lah melompat bangkit. Sang harimau siluman itu se-
makin mengkerutkan tubuhnya ketakutan. Sinar ma-
tanya tampak semakin memudar. Dan akhirnya le-
nyaplah cahaya merah dari sepasang matanya. Tiba-
tiba tubuh makhluk itu bergoyang-goyang...
Dan satu keajaiban segera terjadi lagi. Tubuh
makhluk itu tiba-tiba berubah mengecil. Semakin ke-
cil... dan terus mengecil, hingga sebesar seekor kucing.
Suaranya pun telah berubah bagai suara kucing. Na-
mun tetap tak berubah warnanya. Roro jadi melengak.
Ia sudah mengucak-ucak sepasang matanya, karena
hampir-hampir ia tidak percaya pada penglihatannya.
Hingga tanpa ia sadari kakinya telah melang-
kah mundur beberapa tindak. Dan terhenyak duduk di
tepi pembaringan. Sementara sepasang matanya Map
mengawasi perubahan aneh dari makhluk di hadapan-
nya. Pada saat itulah "kucing aneh" itu tiba-tiba melompat ke pangkuannya,
seraya perdengarkan suara
mengeong. Terasa copot jantung Roro. Namun aneh..! ter-
nyata harimau kecil itu sudah bagaikan seekor kucing
saja. Tampaknya jinak sekali. Bahkan tampak men-
gendus-endus lengan Roro serta menjilat-jilat lengan-
nya. Lenyaplah kekhawatiran Roro seketika. Dan den-
gan beranikan diri ia mengelus-elus tubuh sang hari-
mau kecil itu. Tampaknya si" Kucing Aneh" itu mera-sakan belaian halus lengan
Roro. Dan memejamkan
sepasang matanya, seraya mengeong perlahan.
"Aneh..!?" Desis Roro perlahan. Namun sepa-
sang bibirnya sudah tampak senyum. Dan tiba-tiba sa-
ja ia telah peluk harimau kecil itu, seraya menci-
uminya dengan penuh kasih sayang. Entah mengapa
telah membersit di hati Roro semacam ada daya tarik
untuk menganggapnya sebagai sahabatnya. Selang be-
berapa saat, tiba-tiba pintu kamar Roro kembali terbu-
ka. Dan sosok tubuh yang tak lain dari si pembantu
wanita di rumah itu sudah berdiri diambang pintu. Be-
gitu sepasang matanya melihat ke arah Roro, tiba-tiba
ia jadi beliakkan matanya. Dan serta merta sudah ja-
tuhkan diri berlutut di hadapan sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Seraya berucap dengan suara geme-
tar... "Oh..!" Ampunilah hamba Paduka Ratu Peri,
Hamba telah berbuat lancang terhadap Paduka! Hu-
kumlah hamba Paduka Ratu Peri. Hukumlah hamba..!
Hamba telah pergunakan makhluk piaraan Paduka Ra-
tu untuk berbuat kejahatan selama ini..!" Tampak tubuh si pembantu wanita yang
telah berusia lanjut itu
gemetar. Seluruh tubuhnya telah mengeluarkan kerin-
gat dingin. Berkali-kali ia bersujud. Dan terdengar
isaknya tersendat-sendat. Ada pun Roro Centil jadi ter-
tegun tak mengerti. Lagi-lagi keanehan..! Pikirnya. Ti-
dak angin tidak hujan, tahu-tahu ia sudah dianggap
Ratu Peri. Sungguh aneh! Demikian berfikir Roro. Na-
mun sekejap Roro Centil sudah berfikir untuk meman-
faatkan kesempatan ini. Ia harus berpura-pura benar-
benar seorang Ratu Peri, seperti yang telah dianggap
oleh si pembantu wanita itu. Yang sebenarnya wanita
itu tak lain dari seorang dukun Yang telah dipanggil
datang oleh si Burung Hantu untuk membantunya Ro-
ro segera berujar, dengan suara dibuat keren, berwi-
bawa. "Hm...! Sebenarnya kau harus dihukum berat, tetapi biarlah aku ampuni..!
Kini segera katakan pada
makhluk piaraan ku ini, agar kembali menurut pada-
ku! Aku khawatir, karena sudah sering kau suruh dia
berbuat kejahatan, lalu tidak menurut lagi padaku..!"
Tampak wajah sang pembantu alias dukun panggilan
ini, jadi berseri gembira. Dan ia sudah merangkul kaki
Roro seraya menciuminya berulang-ulang.
"Oh..! Te... terima kasih paduka Ratu Peri..!"
Sesaat ia sudah segera berdiri lagi. Sepasang matanya
yang bersimbah air mata itu menatap si harimau kecil,
dan berkata; "Tutul..! Kini aku tak dapat mengasuh mu la-
gi..! Majikanmu sesungguhnya adalah paduka Ratu
yang memangku mu ini..! Taatlah pada perintahnya.
Dan jangan sekali-kali kau membangkangnya..!" Selesai berkata, tampak si wanita
tua ini membelai-belai
kepala harimau kecil itu. Lalu kemudian palingkan wa-
jah pada Roro. "Paduka Ratu... hamba mohon diri untuk me-
ninggalkan tempat ini..!" Ujarnya seraya membung-
kukkan tubuh dalam-dalam. Roro Centil tersenyum.
"Pergilah..! Tinggalkan tempat ini sejauh-
jauhnya. Dan jangan kembali lagi!" Berkata Roro Centil dengan suara tegas.
Sepasang matanya menatap tajam
pada si pembantu wanita tua ini. Walau diam-diam da-
lam hati, Roro merasa ngeri, dan bergidik seram meli-
hatnya. Karena sekonyong-konyong tampak perubahan
pada bentuk tubuh sang pembantu wanita itu. Wajah-
nya jadi berubah semakin tua, berkeriput. Dan tubuh-
nya pun jadi berubah bungkuk. Dengan suara bergetar
sang dukun itu berucap;
"Terima kasih, Paduka Ratu. Hamba akan turu-
ti semua perintah Paduka..!" Dan tak berlama-lama la-gi, nenek tua itu sudah
ngeloyor pergi. Tak diketahui
kemana jalannya. Karena tahu-tahu sudah lenyap...
Demikianlah peristiwa aneh yang telah dialami
Roro Centil. Hingga tanpa disengaja, ia telah menjadi
majikan sang harimau siluman itu. Ternyata pulau
Andalas adalah pulau aneh yang penuh misteri..! Ber-
kata Roro dalam hati. Sementara si Tutul semakin
jauh meluncur pesat. Dengan tujuan barunya yaitu
Gunung Dempo. *** Tirta Menggala tak tahu lagi lamanya dalam
perjalanan, karena ia cuma pejamkan mata saja tanpa
berani membuka... Ketika dirasakan angin yang me-
nerpa wajahnya telah berhenti, segera buka matanya.
Ternyata mereka telah sampai pada sebuah
Goa batu yang penuh ditumbuhi akar-akar. Sepasang
telinganya sudah menangkap suara-suara kera, di se-
keliling tempat itu. Ketika ia palingkan kepalanya ke
beberapa arah. Ternyata berpuluh-puluh ekor kera
bergelayutan di dahan-dahan pohon. Suaranya tampak
riuh. Dan beberapa ekor sudah berloncatan ke hada-
pan Tirta Menggala. Tiba-tiba terdengar suara suitan
nyaring yang diperdengarkan oleh si kakek. Dan seke-
japan saja ratusan ekor kera bermunculan. Suara-
suara binatang itu jadi semakin riuh rendah. Hingga
Tirta Menggala jadi terpaku tempatnya. Segera ia terin-
gat pada dua puluh tahun lebih yang lalu, ketika ia
tinggal di tempat ini. Kera-kera itu tak sampai demi-
kian banyaknya. Tapi kini sudah mencapai ratusan
jumlahnya. Ketika ia melihat adanya orang baru yang
dibawa majikannya, segera kera-kera itu berjingkrakan
mengurungnya. Kesemuanya menampakkan wajah
bermusuhan. Tiba-tiba si kakek itu berteriak-teriak
dan menggeram mirip kera-kera itu, sambil melompat-
lompat dan menunjuk pada Tirta Menggala. Aneh..!
Sekejapan saja ratusan kera itu jadi menggelepoh di
tanah. Dan tundukkan kepala. Tampaknya mereka se-
gera mengerti kalau orang baru itu adalah sahabat ma-
jikannya. Wajah Tirta Menggala yang semula berubah
pucat itu, kini kembali cerah. Dan ia benar-benar amat
kagum dengan wibawa gurunya. Tiba-tiba terdengar
lagi suitan nyaring... Kera-kera itu segera tengadahkan kepalanya. Dan terlihat
sang majikan gerakkan tong-katnya tiga kali ke atas.
Sekejap saja binatang-binatang itu berlompatan
lagi, masuk ke dalam hutan, dengan suara riuh. Hing-
ga tinggal beberapa ekor saja yang tampak masih ber-
keliaran di depan goa.
Sang kakek aneh itu sudah segera beranjak
masuk ke dalam goa. Melihat gurunya masuk, terpak-
sa Tirta Menggala pun menurutinya. Di pintu goa ma-
sih sempat ia menengok keluar. Tapi kemudian iapun
cepat-cepat masuk, dan tak kelihatan lagi.
Goa itu terletak pada sebuah lembah ngarai
yang amat curam adalah tebing-tebing batu yang tinggi
menjulang ke langit. Ternyata di dasar jurang itu ada
terdapat hutan rimbanya yang amat luas. Di sanalah


Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kera-kera itu berdiam. Hari pertama Tirta Menggala
sudah harus menjalani bersemadi dengan tubuh tanpa
mengenakan pakaian secuilpun. Tampaknya Tirta
Menggala tak dapat tenang dalam bersemadi. Karena
hatinya selalu berkata-kata... Celaka!" Beberapa bulan
saja aku disini, bisa-bisa aku berubah menjadi kera
Oh!" Matilah aku..! Seluruh tubuhku akan tumbuh
bulu..! Dan... dan akan tumbuh pula ekor di belakang-
ku..! Hiiiiii..!" Laki-laki ini bergidik seram. Hingga peluh dingin membasahi
sekujur tubuhnya.
Hari kedua, semedinya tampak semakin goyah.
Karena ia tidak betah kalau harus bertelanjang bulat
sedemikian itu. Ditambah lagi, bermacam-macam fiki-
ran selalu membayang di matanya, hingga ia tak bisa
tenang. Hari ketiga... hampir-hampir ia berlari mening-
galkan tempat semedinya karena ia ditemani oleh dua
ekor kera yang hampir sebesar manusia. Namun ia be-
rusaha bersemedi dengan baik. Karena khawatir Gu-
runya menjadi marah terhadapnya. Hari ke empat dan
ke lima ia mulai bisa bersemadi dengan baik. Walau-
pun terkadang kedua ekor kera itu mengganggunya
dengan meraba-raba sekujur tubuhnya. Hari keenam,
pandangan matanya mulai berkunang-kunang, karena
selama itu ia tidak makan. Kecuali hanya minum sege-
las air putih dalam setiap harinya. Hari ke tujuh... Kedua ekor kera itu dalam
pandangannya sudah bukan
kera lagi, karena seperti sudah berubah jadi dua orang
gadis cantik dengan tubuh yang polos, dan mulus
menggiurkan. Entah pengaruh air yang diminumnya,
ataukah pengaruh hawa lapar...
Karena Tirta Menggala memang sebenarnya
seorang pemalas. Apa lagi selama puluhan tahun ker-
janya cuma berfoya-foya saja. Arak dan wanita cantik
seperti sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Be-
runtunglah pada hari ketujuh itu, Tirta Menggala tidak
sampai menjadi batal dengan semedinya. Otaknya ma-
sih cukup waras, karena ia masih dapat membedakan
mana suara orang, dan mana suara kera.
Tapi hari ke sepuluh. Tirta Menggala sudah tak
mengetahui lagi antara suara kera dan suara manusia.
Dan entahlah apa yang terjadi selanjutnya pada hari
itu, karena tubuh Tirta Menggala sudah tidak duduk
bersemadi lagi. Melainkan saling bergumul dengan ke-
dua kera itu, silih berganti.
Hari ke lima belas, tampak sepasang mata Tirta
Menggala berubah menjadi merah. Tubuhnya semakin
kurus, karena kurang makan. Hari ketiga puluh, Tirta
Menggala sudah tidak ingat siapa lagi dirinya. Bahkan
suaranya pun sudah meniru-nirukan suara kera. Dan
kedua kera itu sama sekali tak pernah menolak untuk
diajak meladeninya....
Dalam waktu selama tiga puluh hari itu, sang
kakek sering menempelkan telapak tangannya pada
punggung Tirta Menggala. Dan sudah dilakukannya
sebanyak lima belas kali. Dan pada waktu kira-kira
sepenanakan nasi.
Itulah suatu penyaluran tenaga dalam dari tu-
buh sang kakek pada muridnya. Yang di lakukan seca-
ra bertahap, sedikit demi sedikit. Setelah genap waktu
tiga puluh hari, Tirta Menggala diberi makan buah-
buahan yang banyak terdapat di hutan belantara di
lembah ngarai itu. Tampaknya Tirta Menggala amat
rakus sekali memakannya. Maklum, sudah sebulan
penuh tak mengenal yang namanya makanan pengisi
perut. Dan anehnya kelakuannya kini lebih mirip den-
gan binatang kera. Demikianlah. Hari demi hari berla-
lu. Selama itu ia telah diberi ilmu-ilmu aneh. Tirta
Menggala memang telah tak mengenal dirinya lagi. Se-
lama di dalam goa itu tiba-tiba saja ia telah mempu-
nyai tenaga dalam yang amat tinggi. Hingga batu gu-
nung pun bila di cengkeramnya, pasti hancur jadi bu-
buk. Dalam waktu tiga bulan saja Tirta Menggala telah
mempunyai gerakan selincah kera. Walaupun pada tu-
buhnya tak ditumbuhi bulu. Juga tak berekor. Namun
kelakuannya memang amat mirip kera. Karena sehari-
hari bergaul dengan ratusan ekor kera. Melompat dari
cabang-cabang pohon, bukan rintangan lagi baginya.
Bila terdengar suitan nyaring dari mulut si kakek aneh
yang bergelar Dewa Siluman Kera itu, maka bergerom-
bol-gerombol binatang-binatang itu berdatangan.
Diantaranya terdapat Tirta Menggala. Yang
memang sudah bagaikan hewan saja, tanpa mengena-
kan secuil pakaianpun. Kumis dan jenggotnya kian
bertambah lebat. Mulutnya selalu tampak menyeringai.
Sepasang matanya bersinar-sinar. Dengan biji ma-
tanya yang seperti tak mau diam. Mengerling kesana-
kemari. Sebentar-sebentar mendengus, dan mengga-
ruk-garuk kepalanya. Atau terkadang melompat-
lompat sambil berteriak-teriak mirip suara kera. Bila
dilihat keadaannya memang sangat mengenaskan. Su-
atu malam di bulan purnama,
Dewa Siluman Kera telah menciptakan 100
ekor kera dengan ilmu sihirnya. Tirta Menggala me-
mang tengah diuji kesaktiannya. Seratus ekor kera itu
telah menyerangnya dari segala jurusan. Hebat sekali
gerakan Tirta Menggala. Tubuhnya sendiri ternyata te-
lah berubah jadi berpuluh-puluh banyaknya. Dan den-
gan lincahnya berkelebatan diantara bayangan-
bayangan ratusan ekor kera itu. Sementara Tirta
Menggala dengan kekuatan anehnya, telah menggem-
pur setiap penyerang yang datang. Hingga dalam bebe-
rapa kali gebrakan saja ia telah membuat seratus kera
ciptaan itu jadi kacau balau.
Setiap terkena pukulan Tirta Menggala, tubuh
kera-kera ciptaan itu punah, dan lenyap jadi gumpalan
asap. Diam-diam si Dewa Siluman Kera tersenyum
puas. Demikianlah... tanpa terasa telah enam bulan
lamanya Tirta Menggala berdiam di dasar jurang yang
dalam itu. Dan selama itu tentu saja ilmu-ilmunya te-
lah semakin hebat. Karena Dewa Siluman Kera me-
mang telah menurunkan hampir semua ilmunya den-
gan waktu yang amat singkat. Cuma saja dalam waktu
tiga bulan belakangan ini, banyak peristiwa terjadi
akibat cara-cara keji si Dewa Siluman Kera dalam
memberikan ilmu-ilmu hitamnya. Hingga banyak kor-
ban terjadi di beberapa desa. Memang Tirta Menggala
selalu diberi umpan untuk setiap latihan dengan ilmu
sesat. Tentu saja hal itu membuat Tirta Menggala jadi
ketagihan. Bahkan wataknya pun telah berubah men-
jadi telengas dan kejam. Umpan-umpan itu memang
sesuai dengan keinginan hatinya. Dan si Dewa Silu-
man Kera yang mengetahui tentang watak muridnya
itu, segera menyalurkan dan memanfaatkannya seba-
gai bahan latihan amat digemari sang murid. Juga me-
rupakan tontonan yang amat mengasyikkan buatnya.
*** Lenyapnya Tirta Menggala membuat gelisah be-
berapa orang istrinya Apa lagi setelah ditunggu sampai
beberapa bulan, sang suami tak pernah muncul. Se-
hingga mereka berpendapat bahwa ia telah tewas. Ka-
rena ada berita juga, tentang karamnya perahu yang
ditumpangi Tirta Menggala beserta beberapa anak
buahnya, di tengah laut. Berita itu membuat sebagian
anak-anak buah Tirta Menggala menjadi gelisah. Kare-
na mereka hanya mengandalkan gaji dari majikannya
itu. Akan tetapi sebagian lagi diam-diam mengambil
kesempatan baik itu. Yaitu mengambil alih kekuasaan
atasannya. Beberapa orang telah membentuk kelom-
pok-kelompok sendiri-sendiri. Tentu saja dalam hal ini
mereka melibatkan orang luar yang berkepandaian
tinggi. Puluhan perahu-perahu nelayan milik Tirta
Menggala telah dikuasai oleh tiga kelompok bekas
anak-anak buahnya. Bahkan perkebunan cengkeh dan
palawija pun sudah mereka ambil alih. Tidak jarang
terjadinya pemerasan yang kian menjadi bisa diperas,
kini semakin mengeluh lagi para nelayan dan pegawai-
pegawai perkebunan. Adapun beberapa penduduk di
sekitar tempat itu yang tanah perkebunannya tadinya
telah dirampas, atau dipaksa untuk dijual dengan har-
ga murah oleh Tirta Menggala, mulai memberontak.
Begundal-begundal bekas anak buah Menggala tentu
saja tak dapat tinggal diam. Tak jarang pembunuhan
dan pemerkosaan terjadi. Kejahatan tampak semakin
merajalela. Dan para penduduklah yang jadi korbannya.
Belum lagi dari komplotan Perguruan Burung Hantu,
yang mulai merajalela, mengadakan aksi perampokan
di setiap tempat. Walaupun si Ketua Perguruan Bu-
rung Hantu ini agak takut untuk mengganggu daerah-
daerah milik si hartawan Datuk Sutan Benggala De-
wa, namun sasaran lain masih banyak yang ia jadikan
korban. Para penduduk di setiap desa semakin resah.
Apalagi banyak berita aneh, tapi lama-kelamaan men-
jadi semakin nyata. Yaitu lenyapnya beberapa orang
gadis, yang menurut kabar adalah gadis-gadis yang hi-
lang itu adalah akibat murkanya Dewa Siluman kera.
Karena kurangnya dalam memberi sesajen dalam se-
tiap panen. Memang masih sangat disayangkan, pada
waktu itu keadaan manusia belum mengenal adanya
Tuhan. Sehingga banyak di antara mereka menyembah
dan memuliakan para Dewa atau Siluman sebagai se-
sembahan mereka.
Namun dalam beberapa pekan ini wajah-wajah
para penduduk agak cerah, karena dapat mendengar
berita adanya seorang Pendekar Wanita (dari tanah se-
berang pulau, yang mulai memberantas kejahatan di
setiap tempat itu. Pendekar Wanita itu selalu memba-
wa serta seekor anak harimau belang sebesar kucing.
Tentu saja tersiarnya berita itu segera menyebar ke se-
tiap tempat, karena dibawa orang dari mulut ke mulut.
Sementara di kalangan persilatan lain lagi. Ka-
rena disamping adanya berita munculnya seorang
Pendekar Wanita yang kabarnya bernama Roro Centil.
Berasal dari daerah pulau Jawa. Dan bergelar Siluman
Kera Putih. Usaha Roro Centil mencari Peri Gunung Dempo
ternyata tak membawa basil Bukan s tak bertemu
orangnya, akan tetapi kabar tentang dimana adanya
Peri Gunung Dempo tak pernah didengarnya. Selama
beberapa bulan ia telah mengitari, dan menetap di de-
sa-desa lereng Gunung Dempo, untuk mendengar beri-
ta tentang wanita pembunuh Gurunya itu. Selama itu
pula si Belang kecil selalu menemaninya dengan setia.
Terkadang makhluk itu tak menampakkan diri. Tapi
bila Roro memanggilnya, maka akan segera muncul
sahabatnya itu di dekatnya.
Dalam masa pengembaraannya itu Roro telah
dapat berkenalan dengan beberapa tokoh golongan pu-
tih. Diantaranya yang bergelar Pendekar Selat Karima-
ta. Atau banyak orang menamakannya dengan julukan
si Bujang Nan Elok. Memang pendekar ini seorang pe-
muda yang tampan, dan gagah. Disamping berperangai
halus dan ramah, juga se orang berkepandaian tinggi.
Julukan Bujang Nan Elok itu memang itu memang be-
rarti Pemuda Yang Tampan.
Si Pendekar Selat Karimata itu mempunyai seo-
rang adik perempuan yang bernama Sedayu. Gadis
manis ini memang seperti pinang dibelah dua dengan
kakaknya. Dan tampaknya si Bujang Nan Elok amat
menyayangi dan memanjakannya. Saat perkenalan
mereka adalah ketika Roro Centil memasuki pasar.
Rupanya hari itu adalah hari pasaran. Hingga pembeli
dan pedagang berlimpah ruah. Sehabis mengisi perut-
nya, Roro bermaksud kembali ke penginapan. Akan te-
tapi jadi terkejut ketika mendengar suara orang berte-
riak-teriak. Dan suasana menjadi gaduh. Beberapa
orang berlarian mengejar tiga sosok tubuh yang mela-
rikan seorang wanita dalam pondongan salah seorang
dari kawanan penculik itu. Dua orang yang berilmu
cukup tinggi mengejar. Dan berhasil mencegat keti-
ganya. Segera saja ketiga penculik wanita itu meng-
hentikan larinya.
"Bangsat rendah..! Berikan gadis itu, atau ka-
lian akan rasakan pedangku..!" Teriak salah seorang.
Sementara keduanya telah mencabut senjatanya. Dua
dari penculik itu tampak mendengus. Wajahnya ber-
tampang seram. Kumisnya melintang sebesar cerutu.
Tiba-tiba keduanya telah membentak keras seraya me-
nerjang dengan dua kapaknya yang berkilatan.
Trang! Trang! Terdengar suara beradunya
empat senjata. Kiranya kedua laki-laki berpe-
dang itu telah menangkisnya.
"Heh....! Sebutkan siapa ketuamu penculik pici-
san... Kami Dua Pendekar Bukit Rusa akan memberi-
mu pelajaran..!" Teriak salah seorang dari laki-laki berpedang itu dengan nada
jumawa. Kedua penculik
itu tampaknya gusar main dikatakan penculik picisan.
Salah seorang sudah lantas membentak;
"Keparat..! Tak perlu kau tahu guruku, atau ke-
tua kami segala. Pendekar tengik yang masih bau ken-
cur macam kalian cuma besar mulut saja; Terimalah
kematianmu...!"
Disertai bentakan keras. Keduanya telah berge-
rak kembali menabas dengan kedua kapaknya. Namun
dengan gesit kedua laki-laki itu berhasil menghindar.
Segera terjadilah pertarungan seru yaitu satu lawan
satu. Sedang salah seorang dari si penculik itu, masih
tetap berdiri memanggul tubuh seorang gadis. Namun
sebelah tangannya telah menyiapkan senjatanya.
Agaknya sang gadis dalam keadaan tertotok, dan ping-


Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

san tak sadarkan diri. Tampak mulutnya telah dijejali
sapu tangan. Sementara itu beberapa orang sudah
berkerumun. Melihat demikian kawannya yang me-
manggul gadis korbannya itu segera berteriak:
"Cepatlah bereskan kawan-kawan. Jangan
sampai banyak rintangan..!" Mendengar teriak itu, kedua penculik segera merobah
gerakan kapaknya Tam-
pak berkelebatan kedua senjatanya mengurung lawan.
Tiba-tiba salah seorang jatuhkan diri dengan disusul
kawannya. Serrr..! Serrr..! Serangkum jarum-jarum berbisa
telah meluruk ke arah tubuh ke dua Pendekar Bukit
Rusa... Terkejut bukan main kedua Pendekar itu. Na-
mun tak ada kesempatan untuk meloloskan diri. Saat
kematian beberapa detik lagi akan tiba. Tapi di detik
yang menegangkan itu, telah bersyiur angin keras
menghantam buyar jarum-jarum beracun itu. Bahkan
meluruk kembali pada penyerangnya.
Tak ampun lagi segera terdengar teriakan dari
kedua penculik itu. Kedua kapaknya telah terlepas.
Tubuh itu berkelojotan meregang nyawa. Na-
mun beberapa saat kemudian telah tewas, dengan wa-
jah, dada dan lehernya mengeluarkan cairan berwarna
hitam. Kedua Pendekat Bukit Rusa sudah melompat
mundur. Keringat dingin sudah mengalir deras di se-
kujur tubuh. Mereka jadi ternganga ketika itu juga
Ternyata di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh
wanita. Berbaju merah muda. Rambutnya terurai pan-
jang. Dan sepasang lengannya bertolak pinggang. Ter-
nyata Roro Centil telah bertindak cepat sebelum ter-
lambat. Nyaris maut menjemput kedua Pendekar muda
itu. Adapun kawan si penculik itu jadi terperanjat.
Hingga sampai-sampai ia terkesima melihat kejadian
yang begitu cepat itu. Dilihatnya di hadapannya telah
berdiri seorang wanita cantik, ayu. Dengan mata me-
natap tajam padanya Sepasang alisnya terjungkit me-
lengkung ke atas, bagai bulan sabit. Sementara bibir-
nya telah bergerak, dan keluarkan bentakan keras.
"Apakah kau mau buru-buru pulang ke Akhi-
rat!" Mengapa tidak cepat kau tinggalkan gadis itu..?"
Bentak Roro. Seperti dipagut ular saja, kawan si pen-
culik itu jadi tersentak. Dan cepat-cepat letakkan gadis yang dipanggulnya ke
tanah. Selanjutnya sudah berlari
sipat kuping, tanpa menoleh lagi. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat sesosok
bayangan. Dan tahu-tahu laki-laki
itu telah roboh terjungkal dengan jeritan menyayat ha-
ti. Ternyata dadanya telah tertembus pedang. Dan
seorang pemuda tampan telah berada disana. Tampak
pemuda gagah itu menatap si penculik yang sudah tak
berkutik lagi di tanah. Lalu dengan cepat ia telah se-
lipkan pedangnya kembali ke dalam kerangka di pung-
gungnya, setelah terlebih dulu membersihkan di baju
si penculik. Saat selanjutnya orang itu sudah paling-
kan wajah pada kerumunan orang banyak itu. Dengan
dua kali mengenjot tubuh, pemuda tampan itu telah
berada di hadapan Roro. Selanjutnya sudah menjura
hormat pada Roro Centil. Melihat demikian si Dua
Pendekar Bukit Rusa pun cepat-cepat menghaturkan
hormat seraya berucap.
"Terima kasih atas pertolongan anda, nona
Pendekar. Bolehkah kami yang rendah ini mengetahui
dengan siapakah kami berhadapan..?" Seraya kedua
pemuda itu kembali mengangkat mukanya dan mena-
tap Roro dengan tersenyum.
"Aiii..! Aku hanya kebetulan saja bisa mengusir
jarum-jarum beracun itu. Aku tidak bermaksud mem-
bunuhnya..! Aku seorang pengembara rusa dari Pantai
Selatan. Dan bukan penduduk asli Pulau Andalas ini.
Karena aku adalah dari seberang lautan. Atau Pulau
Jawa. Kaum Rimba hijau menyebutku Roro Centil.
Pendekar Wanita Pantai Selatan..!" Demikian ujar Ro-ro. Memang sengaja Roro
perkenalkan diri. Karena sia-
pa tahu kabar adanya ia di daerah ini, akan membuat
musuh besarnya muncul menampakkan diri suatu
saat. Selesai berkata itu Roro melirik pada si pemuda
yang telah membunuh penculik barusan.
Akan tetapi orangnya telah menubruk gadis
yang tergolek pingsan itu, seraya berteriak... "Sedayu..!
Oh! Kasihan kau..!" Dan ia sudah segera berupaya me-nyadarkan wanita itu, yang
ternyata ialah adiknya. Ro-
ro kerutkan alisnya. Segera ia melompat mendekati.
Dan dengan beberapa kali mengurut punggung dan
leher si gadis, terbebaslah sudah ia dari pengaruh to-
tokan. Dan juga sekaligus sadarkan diri. Gadis itu me-
rintih, sepasang matanya terbuka, dan sudah mau
berteriak. Akan tetapi si pemuda itu telah berkata;
"Sedayu..! Tenanglah! Kau sudah selamat. Nona
Pendekar inilah yang telah menolongmu. Hayo, lekas
kau ucapkan terima kasih padanya..!" Gadis itu segera tatap Roro Centil, dan
serta merta mengucapkan teri-
ma kasih dengan gugup. Dan disambung oleh ucapan
pemuda kakaknya itu, yang langsung perkenalkan diri.
"Aku yang rendah perantau dari Selat Karima-
ta, mengucapkan terima kasih atas pertolongan anda,
nona... Pendekar Pantai Selatan!" Berkata pemuda gagah itu. "Terpaksa aku
membunuh kawan si penculik
itu. Manusia-manusia berbudi rendah semacam itu tak
layak hidup di depan mataku..!" Lanjutnya lagi.
Roro cuma tersenyum mengangguk-angguk.
Mendengar pemuda itu adalah Pendekar dari Selat Ka-
rimata, segera saja si Dua Pendekar Bukit Rusa men-
jura hormat. Dan saling perkenalkan diri. Adapun Roro
sudah berkelebat pergi.
"Haiii..! Tunggu..!" Teriak si Pendekar "Selat Karimata. Dan ia sudah menyambar
lengan adiknya, un-
tuk selanjutnya mengejar ke arah Roro Centil. Terpak-
sa Roro menahan lompatannya. Saat berikutnya orang-
orang yang berkerumun itu cuma bisa melihat berke-
lebatnya lima tubuh para pendekar itu. Yang selanjut-
nya lenyap. Demikianlah asal mula perkenalan dengan
Pendekar Selat Karimata. Namun selama sebulan ia
menetap di gedung tempat tinggal si pendekar muda
itu. Telah terjadi kericuhan. Kiranya diam-diam si Bu-
jang Nan Elok telah jatuh cinta pada Roro. Sedang Ro-
ro yang selalu bersikap manis terhadap siapa saja
membuat salah seorang sahabat si Pendekar Selat Ka-
rimata tak canggung-canggung bercakap-cakap atau
terkadang bercanda dengan Roro.
Pemuda sahabat baik si Bujang Nan Elok tak
lain adalah Rahwanda. Rahwanda seorang yang pe-
riang. Berperawakan kekar Dan gagah. Memelihara
cambang bauk yang lebat. Berbeda dengan si Pendekar
Selat Karimata, yang berkulit putih. Berwajah halus
bagaikan wanita. Tanpa kumis dan jenggot. Entah
mengapa kedua sahabat itu jadi agak tegang. Dan ja-
rang berkumpul] bersama. Terlebih-lebih sejak adanya
Roro. Sedayu adik si Bujang nan Elok itu jadi seperti
memisahkan diri. Roro jadi serba salah. Akhirnya ia-
pun mengetahui sebabnya. Kiranya Rahwanda adalah
tunangan Sedayu. Dan suatu saat yang amat membuat
Roro terkejut adalah si Pendekar Selat Karimata telah
mengadakan pertemuan empat mata dengan Rahwan-
da. Pertemuan empat mata itu diadakan di pesisir Tan-
jung Lumut. Tentu saja Roro dapat mengetahui, karena ke-
tika malam itu ia melihat adanya si Bujang Nan Elok
bersikap agak aneh. Sebentar-sebentar ia menatap bu-
lan. Roro pura-pura sudah mengantuk. Dan segera be-
ranjak menuju kamarnya. Senja itu biasanya Rahwan-
da datang. Tapi entah apa sebabnya laki-laki periang
itu tak melihat batang hidungnya. Roro yang memang
tidur satu kamar dengan Sedayu, dapat melihat gadis
itu sudah rebahkan dirinya sejak sore tadi.
Akan tetapi baru saja ia merebahkan diri, tiba-
tiba Sedayu balikkan tubuh, dan berbisik di telin-
ganya. "Kakak Roro Centil! Apakah kau mencintai kakakku..?" Tentu saja
pertanyaan itu membuat Roro ja-di melengak.
"Apakah maksudmu adik Sedayu" Mengapa
kau jadi bicarakan soal cinta" Aku hanyalah bersaha-
bat saja, tak lebih dari itu. Hi hi hi... Belum terpikirkan oleh ku untuk
bercinta-cintaan. Ada apakah adik Sedayu" Tampaknya ada yang tidak beres..!"
Berkata Ro-ro dengan suara perlahan. Akan tetapi Sedayu sudah
tempelkan telunjuknya di bibir, seraya katanya;
"Ssssst..! Jangan terlalu keras bicara. Nanti
akan di dengar kakakku. Dia masih berada di ruang
depankah..?" Bertanya Sedayu. Roro mengangguk.
"Dengarlah kakak Roro Centil. Apakah kau juga
tidak mencintai Rahwanda..?" Tanyanya lagi dengan
wajah serius. Roro kerutkan alisnya. Lalu dengan tegas
kembali gelengkan kepala. Tampak Sedayu balikkan
kepala menengadah. Menatap langit-langit kamar. Dan
terdengar ia menghela napas. Lalu kembali balikkan
wajah menatap pada Roro. Kali ini wajahnya tampak
cerah. Namun juga seperti bersedih. Ia sudah berbisik
lagi. "Kakak Roro Centil! Kini aku sudah jelas. Namun aku butuh pertolongan mu,
kakak.." "Apakah itu..?" Bisik Roro. Tiba-tiba Sedayu
memeluk tubuh sahabatnya itu.
"Tolonglah aku, juga mereka..! Telah terjadi ke-
salahan faham diantara mereka. Rahwanda adalah tu-
nanganku. Kami memang telah mengikat janji. Akan
tetapi sikap Rahwanda terhadap Kakak Roro Centil te-
lah membuat kakakku menjadi kesal. Aku pun tak
mengetahui, apakah Rahwanda tiba-tiba berbalik men-
cintai kakak Roro.." Hal itu telah
membuat kakakku jadi panas hati. Dia seolah-
olah merasa dipermainkan oleh Rahwanda. Dan malam
Purnama nanti, kakakku akan mengadakan perte-
muan empat mata dengan Rahwanda. Tempatnya ada-
lah di Tanjung Lumut. Berada di pesisir pantai sebelah
barat dari tempat ini."
"Pertemuan empat mata.. " Aneh! Apakah yang
akan dibicarakan.." Dan aku harus dengan cara ba-
gaimana aku menolongmu, atau menolong mereka. . ?"
Roro sudah potong kalimat Sedayu. Karena ia merasa
heran akan persoalan mereka yang telah melibatkan
dirinya. "Begini, kakak Roro Centil! Pertemuan itu bu-
kan sekedar pertemuan. Karena akan diakhiri dengan
pertarungan di ujung senjata! Yang akan kumintakan
tolong pada kakak adalah: Agar kakak Roro Centil da-
pat menengahi mereka, dan menggagalkan pertarun-
gan adu jiwa itu. Yang sudah pasti akan membawa
korban. Dan kedua-duanya adalah orang-orang yang
kucintai. Itulah yang ku mohon padamu, kakak Pen-
dekar..!" Tercenung Roro mendengar penuturan Se-
dayu. Akan tetapi tampaknya Roro belum mengerti.
Entah pura-pura tidak mengerti. Karena ia sudah me-
lakukan pertanyaan lagi;
"Mengapa bisa terjadi pertarungan.." Bukankah
masalah itu bisa didamaikan di rumah ini. Dengan
menjelaskan persoalan..! Ujar Roro dengan berbisik.
Akan tetapi Sedayu cepat-cepat gelengkan kepala.
"Tidak! Persoalan itu sukar didamaikan tanpa
diselesaikan di ujung senjata..!"
"Mengapa..?" Tanya Roro.
"Karena kakakku telah jatuh cinta padamu,
kakak Roro Centil. Itulah sebabnya, kau harus je-
laskan pada mereka. Dan mau tidak mau, memang
penjelasan dari kakak Pendekar adalah amat meme-
gang peranan penting, sebelum terjadi pertumpahan
darah!" Terkejut Roro Centil. Barulah ia mengerti akan sebabnya. Diam-diam dalam
hati, Roro membatin...
"Aiiih! Mengapa aku jadi terseret dalam kancah
percintaan macam begini?" Akan tetapi Roro sudah
manggut-manggut tanda mengerti. Dan katakan akan
kesanggupannya menyelesaikan persoalan ini. Sedayu
tersenyum gembira. Tapi sudah berkata lagi perlahan...
"Kakak Roro Centil! Seandainya kau menjadi
kakak iparku... Oh! Alangkah bahagianya hatiku.. Roro
balas tersenyum, dan peluk tubuh Sedayu yang segera
menyumpal dalam dekapan.
*** Deburan-deburan ombak di pantai Tanjung
Lumut, malam purnama itu seperti musik yang beri-
rama syahdu. Angin malam berdesir tidak terlalu ke-
ras... Udara memang amat dingin. Terasa menusuk ke
tulang sumsum. Akan tetapi sesosok tubuh sejak tadi telah ber-
diri dengan dada telanjang di atas pasir. Ternyata ada
lah Rahwanda. Si pemuda yang memelihara cambang
bauk, sahabatnya si Bujang Nan Elok. Purnama telah
berada di tengah antara kedua tepi langit. Seperti ada
yang tengah dinantinya Memang! Dan yang ditunggu,
tunggu itu dalang juga akhirnya. Sesosok tubuh telah
berkelebat dengan gerakan ringan dan hinggapkan ka-
ki di atas pasir. Sesosok tubuh telah berkelebat dengan gerakan ringan. Dan
hinggapkan kaki di atas pasir.
Tepat di hadapan pemuda itu. Dialah si Bujang Nan
Elok. Alias si Pendekar Selat Karimata. Laki-laki tam-
pan ini berdiri menatap Rahwanda. Tali sutera di
ujung gagang pedangnya berkibaran tertiup angin.
Pemuda tampan ini memang menyoren pedang di
punggungnya. Sementara Rahwanda juga menatapnya
dengan wajah kaku. Pendekar Selat Karimata telah
langsung menyapa;
"Sudah lamakah kau menanti, sobat Rahwan-
da..?" "Cukup lama, Pendekar Selat Karimata. Apakah pertemuan empat mata ini


Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah dapat dimulai...?"
Jawab Rahwanda, seraya lakukan pertanyaan. Si Bu-
jang Nan Elok tersenyum, seraya menghampiri tiga
tindak. Tampaknya ia tak sedikitpun menampilkan
permusuhan. atau dendam pada sahabatnya itu. Tapi
sepasang matanya tak dapat didustai. Karena panca-
ran sinar mata itu membersit tajam. Seolah-olah mau
menembus jantung orang di hadapannya.
"Baiklah..! Aku akan memulainya. Pertama-
tama yang akan kutanyakan adalah... ke terus teran-
gan mu, Rahwanda..! Yaitu mengenai hubungan mu
dengan adikku Sedayu. Apakah sudah ada rencana ka-
lian untuk segera menikah ?" Bertanya si Pendekar Selat Karimata ini. Sedayu
memang telah berhubungan
cukup lama dengan Rahwanda. Akan tetapi pemuda
ini selalu mengelak apabila didesak untuk kapan akan
melangsungkan pernikahannya dengan adiknya. Tam-
paknya Rahwanda tersenyum dan akhirnya tertawa
terbahak-bahak. Lalu berkata;
"Sobatku, kita telah bersahabat cukup lama.
Dan telah mengerti akan keadaanku. Mengapa tam-
paknya kau kurang percaya padaku" Apakah kau ta-
kut aku mempermainkan adikmu" Seraya berkata
Rahwanda palingkan wajahnya menatap laut.
"Hm... di depan mataku sendiri kau sengaja
menyakiti hati adikku, apakah hal itu tidak membuat
kurangnya kepercayaan ku padamu..?" Rahwanda ter-
kejut juga kelihatannya. Tapi sudah kembali tertawa,
seraya manggut-manggut.
"Kalau aku dianggap menyakiti hati adikmu
apakah alasannya" Aku jadi tidak mengerti..! Apakah
karena gadis Pendekar Pantai Selatan itu.." Tanya
Rahwanda. "Kalau sudah tahu mengapa tak sedari kemarin
kau minta maaf padanya?" Membentak si Bujang Nan
Elok. Sementara dadanya tampak berombak-ombak
menahan kemendongkolan hatinya.
"Dia selalu memisahkan diri. Bagaimana aku
harus bicara" Dan kau juga menyingkirkan diri. Hing-
ga aku jadi serba salah. Apakah aku bersalah kalau
bercakap-cakap dengan gadis Pendekar itu" Apakah
aku sudah jadi suami resmi Sedayu" Aku punya hak
untuk bicara dan bergaul pada siapa saja?" Berkata Rahwanda dengan nada keras.
"Tapi kau keterlaluan..." Bentak si Pendek; Selat Karimata.
"Jadi apa maumu sekarang..!" Tanya Rahwan-
da. Yang seketika jadi naik darah. Tiba-tiba si Bu-
jang Nan Elok ini telah mencabut pedangnya. Seraya
membentak keras.
"Heh! Dalamnya laut dapat diduga. Tapi dalam-
nya hati siapa yang tahu.."
Kini kita tentukan siapa diantara kita yang ma-
sih bisa berdiri tegak di atas pasir malam ini!" Mendengar kata-kata itu tampak
wajah Rahwanda jadi be-
rubah sinis. Dan dengan wajah kaku, iapun mencabut
senjatanya yang terselip pada ikat pinggang di pung-
gungnya. Ternyata adalah tiga ruas ruyung besi. Yang
masing-masing ruas panjangnya sejengkal. Ketiga ruas
ruyung besi itu dihubungkan satu dengan lainnya
dengan seutas rantai, yang panjangnya juga sejengkal
pada masing-masing rantai. Senjata ruyung berantai
ini direntangkan di depan dadanya yang bidang. Se-
raya berucap; "Kalau kau menghendaki demikian mana aku
berani menolak.." Silahkan kau memulai! Aku sudah
siap. Memang akupun ingin sekali melihat kehebatan,
dan ketajaman mata pedang dari seorang Pendekar Se-
lat Karimata..!"
WUTTT! WUTTT! Si pemuda tampan ini sudah
menerjang dengan dua serangan maut. Menabas ping-
gang dan dada. Rahwanda gerakkan tubuh menghin-
dar dengan dua kali lompatan salto. Akan tetapi seran-
gan ketiga terpaksa ia papaki dengan ruyung rantai
besinya. Trang..! Trang..! Trang..!
Ternyata si Bujang Nan Elok telah mengguna-
kan jurus serangan ketiga kalinya itu dengan jurus
Aksara Maut. Yaitu gerakan pedangnya bagai tengah
menulis aksara, akan tetapi adalah serangan hebat.
Karena satu serangan mendadak bisa berubah menjadi
tiga serangan. Yang kesemuanya adalah menjurus ke
arah tempat-tempat berbahaya. Wajah Rahwanda tam-
pak berubah merah dan panas terasa. Tiga serangan
berbahaya itu nyaris mencabut nyawanya. Beruntung
ia dapat memainkan senjata ruyung rantai besinya
dengan lihai. Ternyata pedang si Pendekar Selat Kari-
mata adalah senja pusaka. Sehingga gompal pun tidak
mata pedangnya. Bahkan rantai dan ruyung Rahwan-
da tampak lecet-lecet dan tergores pedang laki-laki ca-
lon iparnya itu.
Keparat..! Memaki Rahwanda dalam hati. Tiba-
tiba ia melompat mundur tiga tindak. Dan senjatanya
telah diputar kesana kemari. Hingga terdengar sua-
ranya bagai angin ribut Dan tubuh Rahwanda tertutup
sudah oleh baling-baling putaran senjatanya. Membuat
si Bujang Nan Elok sukar mencari tempat untuk me-
nyarangkan pedangnya ke tubuh lawan. Tiba-tiba ter-
dengar suara suitan dari mulut Rahwanda. Disusul
dengan meluncurnya ruyung-ruyung berantai itu ba-
gaikan tak ada habisnya. Menyerang dan menghantam
ke arah tubuh dan kepala si Pendekar Selat Karimata.
Hal mana membuat si pemuda tampan ini jadi
terkesiap. Terpaksa ia putarkan pedangnya melindungi
kepala dan tubuhnya. Dan terdengarlah suara bera-
dunya senjata bagai tak ada hentinya.
Trang..! Trang..! Trang...! Trang..! Hebat se kali
serangan Rahwanda. Karena sebentar saja si Pendekar
Selat Karimata telah dibuat sibuk, menangkis dan me-
lompat kesana kemari. Hingga di malam yang dingin
itu ia telah bercucuran keringat, yang mengalir deras
di sekujur tubuh. Dalam menyerang dengan gencar
itu. Rahwanda tak henti-hentinya keluarkan suara se-
perti orang bersuit. Selang beberapa saat tiba-tiba
tampak tubuhnya melejit ke atas tiga tombak. Dan
hantamkan telapak tangannya. Pendekar Selat Karima-
ta terkejut. Terpaksa dengan lutut ditekuk, ia pun me-
nahan hantaman keras itu dengan sebelah lengannya.
Segera saja dua pukulan tenaga dalam beradu.
Plak..! Dan.. Blug..! Blug..! Keduanya telah ter-
lempar masing-masing lima-enam tombak. Tubuh
Playboy Dari Nanking 14 Pendekar Naga Putih 38 Tewasnya Raja Racun Merah Naga Pembunuh 13
^