Siluman Kera Putih 1
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih Bagian 1
Camar-camar laut itu beterbangan di atas air,
dengan suaranya yang bercuit-cuit.....Sepasang sayap-
nya terbentang lebar. Melayang bersimpang siur seper-
ti bosan-bosannya mengintai ikan kecil-kecil yang ter-
sembul di permukaan air. Sesekali burung-burung laut
itu tampak menukik, untuk menyambar mangsa. Ge-
rakannya amat gesit. Bila telah melayang lagi ke atas,
tentu akan terlihat ikan kecil terselip diantara paruh-
nya. Sementara itu beberapa ekor bangau menukik
turun, dan hinggap di pasir berair. Ombak sesekali da-
tang menyambar kaki-kaki kecil yang panjang itu. Be-
berapa ekor berlarian di pasir. Dan di atas batu karang bergerombol burung-
burung lain pemakan ikan.
Ketika batu kecil meluncur ke arahnya, terden-
gar suara riuh. Dan beterbanganlah mereka menjauh.
Sang bangaupun pentang sayap untuk meluncur ter-
bang disertai pekik ketakutan. Sebentar saja tempat
itu menjadi sunyi kembali. Karang-karang telanjang itu
cuma membisu. Sementara itu deburan-deburan om-
bak tiada henti menghantamnya. Memuncratkan air
dan buih, yang seperti menari-nari di bawahnya. Dua
sosok tubuh tampak berjalan mendekati pantai. Sema-
kin dekat. semakin jelas siapa mereka. Ternyata ada-
lah dua orang muda. Seorang laki-laki cukup tampan,
dan seorang gadis berwajah manis. Tampak si pemuda
membungkuk, untuk kembali mengambil sepotong ba-
tu kecil. Dan lemparkan ke sisi laut.
"Apakah kau sudah bulatkan tekadmu untuk
pergi dari rumah orang tuamu..?" Bertanya si pemuda.
Seraya palingkan kepala pada gadis di sebelahnya. Ga-
dis berbaju putih itu mengangguk. Akan tetapi si pe-
muda sebaliknya tampak jadi serba salah. Sebatang
kayu rebah di tepi pasir itu dihampirinya. Dan dengan
wajah menghadap laut, ia sudah duduk disana.
Terdengar suaranya menghela napas. Dan ada
kata-kata lagi mendesis dari mulutnya. "Aku khawatir akan terjadi hal yang bakal
berbuntut panjang kelak,
bila suatu saat kita diketahui telah berdua..!" Berkata si pemuda. Gadis manis
itupun duduk di sampingnya.
Sejurus ia termenung, lalu berkata;
"Siapakah sudi bersuamikan tua bangka beri-
stri banyak itu.." Apakah kau akan biarkan aku jatuh
dalam pelukan kambing tua itu, Gumarang...?" Tanya si gadis.
"Tentu saja tidak Wulan.." Akan tetapi aku tak
dapat memaksa kalau kau memang harus menuruti
kehendak orang tuamu. Kupikir kawin lari adalah ti-
dak baik. Bukankah anak yang berbakti pada orang
tua kelak akan hidup bahagia" Menolak keinginan
orang tua itu durhaka, Wulan..?"
"Huh..! Perduli! Aku tak dapat dipaksa. Aku bi-
sa memilih orang yang kucintai! Mengapa tampaknya
kau ragu, Gumarang..?" Tanya si gadis. Sementara sudah mengalir air mata di
kedua belah pipinya.
Buru-buru pemuda itu memeluknya. Dan den-
gan jari-jarinya ia menyeka air mata si gadis.
"Aku tidak ragu-ragu, Wulan..! Kalau kau su-
dah tetapkan niatmu. Aku akan membawamu pergi.
Akupun tak dapat berpisah denganmu, sayang..! Na-
mun banyak resiko harus kita hadapi. Hubungan kita
telah diketahui oleh begundalnya si Tirta Menggala. Ki-
ta harus secepatnya meninggalkan tempat ini..!" Berkata si pemuda.
"Kita berangkat sekarang..?" Bertanya gadis
yang bernama Retno Wulan itu. Gumarang terdiam se-
jenak, lalu anggukkan kepala.
"Tak banyak lagi waktuku untuk pulang men-
gambil pakaian. Tapi aku ada bawa bekal cukup untuk
menyewa perahu. Kau sendiri bagaimana" Apakah ada
rencana lain?" Tanya Gumarang dengan menatap ta-
jam pada si gadis.
"Tidak! Justru aku kemari selagi ada tetamu
datang..! Aku lewat jalan belakang". Berkata Wulan.
"Apakah si Tirta Menggala itu..?" Tanya lagi Gumarang. Gadis ini cuma gelengkan
kepala dan berkata; "Entahlah! Aku tak tahu pasti..!" Ujar Wulan dengan datar.
Sementara ia sudah cekal lengan kekasihnya erat-erat.
"Sudahlah..! Ayo kita berangkat pergi..! Aku
khawatir ada orang menyusul kemari!" Sambung si gadis. Gumarang menatap gadis di
hadapannya tajam-
tajam. Namun kali ini sudah terlihat ketegasan di wa-
jahnya. "Mart Wulan! Dan ia sudah segera berdiri. Sepasang matanya menatap
sejenak ke belakang, lalu ke
sekelilingnya. "Kita kesana..!" Berkata Gumarang sambil men-
gangkat telunjuknya. Dan bergegaslah keduanya be-
ranjak tinggalkan tempat itu.
Di muara sungai itu seorang tukang perahu ba-
ru saja mengikat perahunya, ketika tiba-tiba ia paling-
kan kepalanya untuk menoleh. Dilihatnya dua orang
muda berlarian ke arahnya. Laki-laki berusia sekitar
lima puluh tahun ini kernyitkan keningnya.
Sebentar saja keduanya telah berada di hada-
pannya, Gumarang langsung berkata
"Bapak! Sudilah kau mengantarkan kami ke pe-
labuhan besar..?" Ujar Gumarang sambil tatap wajah si tukang perahu. Dan laki-
laki itupun menatap tajam
pada mereka berganti-ganti.
"Kami akan berikan sewanya. Asalkan bapak
dapat cepat mengantar kami kesana..!" Berkata Retno Wulan menambahi. Setelah
terdiam sejenak, laki-laki
tua ini menyahuti.
"Sebenarnya akan kemanakah anak..?" Ber-
tanya si tukang perahu. Tampak Gumarang jadi men-
dongkol sekali. Mengapa harus mengetahui kemana
tujuan orang" Pikirnya. Namun dengan sabar ia mem-
beri jawaban. "Ah..! Kami hanya akan pesiar saja. Bukankah
disana banyak tempat-tempat yang indah untuk dili-
hat!" Ujar Gumarang sambil tersenyum. Akan tetapi si tukang perahu itu sudah
mendengus, sambil berkata;
"Hm..! Bagiku uang sewa adalah soal mudah!
Akan tetapi aku tak dapat mengantar kalian kesana.
Karena Raden Tirta Menggala yang berkuasa di sekitar
pantai sini, telah melarang siapapun untuk mengan-
tarkan sepasang sejoli keluar dari daerah pantai ini..!
Aku tak tahu apa maksudnya. Namun larangan itu
amat keras. Dan berlaku sejak dua hari ini..!" Terkejut Gumarang dan Retno
Wulan, mendengar penuturan
itu. Diam-diam Gumarang sudah dapat menduga siapa
adanya si tukang perahu ini.
"He " Begitukah.." Kalau demikian berikan saja
perahu mu. Aku akan membelinya. Berapa kau mau
jual ?" Berkata Gumarang dengan bertolak pinggang.
"Ha ha ha... ha ha... Apa kau punya banyak
uang untuk membayar perahu ku?" Kata si Tukang pe-
rahu dengan tertawa lebar.
"Apakah perlu kutunjukkan uangku..?" Tanya
Gumarang kesal. Tapi ia tetap tak menurunkan tan-
gannya dari kedua pinggang.
"Baiklah..! Kau boleh bayar perahu ku sepuluh
ringgit perak! Murah bukan" Tapi kau hanya boleh
pergi seorang diri. Tinggalkan gadis itu..! Berkata si
tukang perahu. Gumarang jadi pelototkan sepasang
matanya, dan menatap gusar.
"Kurang ajar..! Kau orang tua memang tak pa-
tut dihormati orang-orang muda! Apa hubungannya
kami berdua dengan si Tirta Menggala itu, bah..!" Memaki Gumarang.
"Ha ha ha... Kura-kura dalam perahu, pura-
pura tidak tahu..! Apakah kau belum dengar kalau ga-
dis yang kau mau bawa kabur ini telah dipinang oleh
Raden Tirta Menggala..?" Ujar si tukang perahu. Mendengar kata-kata orang tua
itu, wajah Retno Wulan ja-
di pucat pias. Ia sudah ajukan pertanyaan.
"Dia sudah meminang ku.."! Apakah telah di te-
rima pinangannya oleh ayahku..?" Tanya Retno Wulan.
"Kalau tidak diterima mana beliau mau usil
dengan kalian..?" Sahutnya. Tapi Gumarang sudah
membentak keras.
"Mana boleh jadi melamar orang bisa di terima,
kalau orang yang akan di tanyainya tidak ada, dan tak
pernah mendengarnya. Dan boleh kau tanyakan pada
gadis ini... Apakah jawabannya tentang lamaran itu..!
Hingga kau tak beranggapan aku membawanya ka-
bur..!" Si tukang perahu balik menatap Retno Wulan.
"Bisakah kau sedikit bercerita, anak.." Aku in-
gin mendengar lebih jelas mengenai lamaran Raden
Tirta itu..!" Berkata si tukang perahu. Retno Wulan tak banyak berayal, segera
sedikit menceritakan tentang
keluarganya. "Aku memang bisa dianggap durhaka. Karena
melawan kehendak orang tua, tapi... bisakah aku me-
nerima pinangan itu" Aku belum memberi jawaban.
Ayahku diberi waktu satu bulan. Selama itu aku mera-
sa selalu diawasi oleh orang-orangnya Tirta Menggala.
Seandainya ayahku telah menyetujui sekalipun, aku
tetap menolak. Karena cinta tak dapat dipaksakan.
Cinta bukan barang dagangan, yang bisa dibeli dengan
uang dan harta benda..! Apakah sebagai manusia, aku
tak berhak mencintai seseorang dengan bebas" Keba-
nyakan manusia memandang harta dan kekuasaan itu
sebagai perisai, yang dengan mudah mendapatkan apa
saja yang ia ingini. Tetapi hal itu adalah sebagai tindak kekerasan... Nah!
Biarkan kami pergi! Kami rasa bapak
pernah muda. Dan mengerti bagaimana perasaan kami
menghadapi hal semacam ini..!" Kata-kata gadis itu terdengar lantang dan tegas.
Pertanda ia tetap akan
pergi dengan orang yang ia cintai. Walaupun harus
menghadapi banyak rintangan sekalipun. Tampak si
tukang perahu menatap kedua sejoli itu silih berganti.
Ternyata pada wajahnya terlihat rasa belas kasih. Dan
hal itu adalah di luar dugaan Gumarang. Setelah
menghela napas sejenak, si tukang perahu ajukan per-
tanyaan pada kedua sejoli itu.
"Apakah kalian benar-benar saling jatuh hati,
dan sudah bertekad bulat menempuh resikonya..?"
Tanya orang itu dengan menatap pada kedua wajah di
hadapannya. Hampir berbareng keduanya mengang-
guk. Bahkan sudah terlihat tangan keduanya saling
mencekal erat. Seperti sudah tak mau untuk dile-
paskan lagi. "Baiklah..! Kalau begitu. Biarlah kau bawa saja
perahu ku. Terserah mau dibayar berapa olehmu. Asal
cukup untuk ku membeli perahu lagi." Berkata si tukang perahu. Wajah Gumarang
berseri gembira. Demi-
kian juga Retno Wulan. Sesungging senyum tersungg-
ing pada bibirnya. Segera saja Gumarang mengelua-
rkan sepuluh ringgit uang perak, dan memberikannya
pada si tukang perahu.
Orang tua itu menerimanya tanpa berkata apa-
apa. Dan selanjutnya sudah tinggalkan keduanya.
Adapun Gumarang dan Retno Wulan setelah mengu-
capkan terima kasih, segera berlari ke perahu. Debiran
ombak menerjang kaki-kaki mereka. Gumarang telah
lepaskan tali yang menambatkan perahu. Retno Wulan
segera lompat ke dalamnya. Gumarang kerahkan tena-
ga sedikit untuk mendorong... Dan bergeraklah perahu
meluncur ke tengah menerjang ombak. Selanjutnya
pemuda itu sudah bekerja cepat. Dan tak lama kemu-
dian sudah melaju ke tengah gelombang....
Layar segera dipasang. Maka perahu kecil itu
telah tinggalkan pantai, melaju pesat makin maju jauh.
Ketika mereka layangkan pandangan ke tepi pantai,
orang tua tukang perahu itu sudah tak kelihatan lagi.
Perahu kecil itu meluncur terus membelah ge-
lombang. Angin darat meniup keras membuat mereka
tak perlu lagi menggunakan dayung lagi. Gumarang
memainkan kemudi di buritan perahu.
Sedang Retno Wulan duduk di bagian depan,
menghadap pada pemuda itu. Hatinya merasa lega.
Akhirnya mereka dapat meninggalkan pantai itu. Wa-
laupun ada rasa haru dan pedih meninggalkan kam-
pung halamannya.
"Apakah di pelabuhan besar kita tak menemui
halangan nanti, Gumarang.. ?" Tanya Retno Wulan.
Sementara jari-jari tangannya memainkan air, yang be-
riak di sisi perahu. Pemuda itu cuma tersenyum, dan
berkata; "Kita telah membeli perahu ini, mengapa harus
ke pelabuhan besar" Kita akan pergi kemana saja,
yang penting tidak seorangpun dari penduduk desa
mengetahui tempat kita..!" Tentu saja kata-kata itu membuat Retno Wulan jadi
naikkan alis. Tapi ia sudah
tertawa kecil dan berteriak memuji...
"Hi hi hi.... Bagus! Kau memang kekasihku
yang pintar. Dan juga tampan..!"
"Kalau tidak tampan, mana kau bisa jatuh hati
padaku..?" Sahut Gumarang. Dan keduanya sama-
sama tertawa. Tapi Gumarang juga berkata;
"Dan kau... Retno Wulan! Kau pun seorang ga-
dis yang berhati keras. Tapi juga cantik bagai bidada-
ri..! Makanya aku jatuh hati padamu.."
"Ah., kau...!" Selanjutnya Retno Wulan sudah
alihkan pandangan ke laut lepas. Hatinya terasa baha-
gia sekali. Siapa yang tak bahagia dipuji oleh kekasih
hatinya" Akan tetapi kebahagiaan itu seketika sirna.
Wajah Retno jadi pucat pias, ketika matanya menatap
ke bawah. Air yang dingin telah merendam jari-jari ka-
kinya. Tampak air. laut bergolak masuk dari sela-sela
papan di bawah perahu.
"Oh..!" Celaka..! Perahu kita bocor!" Teriak Retno Wulan. Seketika wajah
Gumarang pun berubah pu-
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cat. Ia sudah melompat ke tengah perahu dan meme-
riksanya. Ia pun berteriak kaget.
"Benar..! Kurang ajar! Tukang perahu itu telah
sengaja melubanginya, agar kita tak dapat pergi
jauh..!" "Atau agar kita mati tenggelam..!" Teriak Retno Wulan. Keadaan segera
berubah. Kini keduanya tampak panik. Gadis itu telah mendekap si pemuda keka-
sihnya itu erat-erat. Air matanya telah menitik jatuh.
"Tenanglah Wulan..! Kita harus cari akal agar
dapat segera menepi..." Akan tetapi tak sedikitpun di tempat itu terlihat
daratan, selain air. Dan melulu air.
"Kita tak punya harapan Gumarang! Biarlah
kalau kita harus mati. Aku rela asal kan mati ber-
dua...!"Berkata Retno Wulan dengan terisak. Sementa-
ra air makin naik hingga setengah badan perahu. Pe-
rahu kecil itu kini mulai tersendat jalannya. Pada saat itulah tiba-tiba muncul
di kejauhan sebuah perahu
layar besar. Berseri wajah Retno Wulan. Ia sudah le-
paskan pelukannya pada Gumarang, seraya berte-
riak... "Kita selamat..! Kita akan selamat. Tapi sekonyong-konyong wajahnya
kembali pias. Dan terdengar
suara mendesis dari bibirnya.
"Tapi... tapi perahu itu apakah bukan perahu si
Tirta Menggala..?" Gumarang tak dapat menjawab. Ta-pi cuma tertegun menatap pada
perahu besar itu yang
makin melaju mendekat. Benarlah dugaan Retno Wu-
lan. Perahu itu milik Tirta Menggala. Dan manusianya
telah terlihat berdiri di atas geladak bagian depan. Pa-da saat itu juga
terdengar suara tertawa berkakakah.
"Hua ha ha ha., haha... Anak muda..! Mau kau
bawa kabur kemana calon istriku itu" Ha ha ha.. Ter-
nyata kaulah rupanya biang kerok yang punya nyali
besar untuk menggagalkan rencanaku..?" Bagus! Ba-
gus! Ingin kulihat apakah kau mampu menyelamatkan
nyawa gadismu..?" Teriak Tirta Menggala. Perahu besar itu tidak terlalu
mendekat. Akan tetapi berhenti. Dan
menurunkan layar kira-kira dua puluh kaki di hada-
pannya. Gumarang menggertak gigi. Betapa geram ha-
tinya pada laki-laki di perahu itu. Akan tetapi Retno
Wulan telah berteriak;
"Manusia jahanam..! Licik. Kau rupanya telah
mengatur rencana busuk untuk menjebak kami. Dapat
menolongku atau tidak, bukan urusanmu..! Apakah
kaupun dapat menolong dirimu sendiri bila kau dalam
keadaan seperti kami..!?"
Keadaan perahu kecil itu semakin kritis. Kare-
na buritan perahu sudah mulai tenggelam. Kedua mu-
da-mudi ini memang tak berdaya. Akan tetapi pada
saat itu terdengarlah teriakan keras dibalik perahu Tir-ta Menggala. Dan
dibarengi dengan olengnya perahu
besar itu. Beberapa anak buah Tirta Menggala telah
keluarkan teriakan kaget.
"Celaka..!" Perahu kita bocor besar..!" Dan pa-niklah seketika kelima orang anak
buah Tirta Mengga-
la. Sedang laki-laki itu sudah melompat di sisi perahu
untuk melihat .Betapa terkejutnya melihat air mengalir
deras dari sebuah lubang dinding perahu. Ternyata
dinding perahunya telah berlubang sebesar kepala
manusia. Seketika iapun jadi panik. Wajahnya beru-
bah pucat. "Celaka..!" Cepat putar kemudi..! Pasang
layar..! Kita kembali sebelum tenggelam..!" Segera ber-lompatanlah anak-anak
buahnya untuk menjalankan
perintah. Ketika ia alihkan pandangannya pada perahu
kecil itu, ternyata telah tenggelam tak ada bekas-
bekasnya. Piaslah wajahnya seketika. Ia teringat akan
kata-kata si gadis tadi. Mampukah kau menyela-
matkan dirimu sendiri, seandainya kau dalam keadaan
seperti kami.. " Keringat dingin seketika saja telah bercucuran di sekujur
tubuhnya. Kini terlihatlah perahu
besar Tirta Menggala berlayar pulang dalam keadaan
oleng. Akibat kebocoran besar itu. Entah selamat en-
tah tidak, karena pada saat itu gelombang besar telah
menghantamnya. Dan perahu itu telah tak kelihatan
lagi... Gumarang dan Retno Wulan cuma dapat me-
mejamkan mata karena sekonyong-konyong angin ke-
ras menerpa wajahnya. Terasa ada sepasang tangan
menyambar pinggangnya dan di saat perahu mereka
tenggelam, mereka terpaksa menutup kedua mata. An-
gin kencang membersit menerpa tubuh dan wajah me-
reka dari bagian depan. Dan selang beberapa saat me-
reka telah rasakan kakinya menginjak pasir. Baru me-
reka membuka matanya ketika terasa lengannya aneh
itu melepaskan pinggangnya. Terkejutlah Retno Wulan
dan Gumarang, menatap sesosok tubuh telah berdiri di
hadapan mereka. Yaitu seorang gadis cantik berbaju
sutera merah jambu. Sepasang matanya bak bintang
Kejora. Bibirnya menampakkan senyum menawan. Se-
dang rambutnya beriapan tertiup angin. Ternyata ke-
dua sejoli itu telah tiba di darat.
"Sss... ssiapakah anda.." Apakah anda yang te-
lah menyelamatkan jiwa kami.. ?" Bertanya Gumarang hampir berbareng dengan Retno
Wulan. Gadis di hadapannya itu tertawa kecil, hingga tampak sebaris gigi
yang putih rata.
"Hihi... hi., hi... Aku manusia biasa. Nah kalian
telah selamat..! Silahkan teruskan perjalanan kalian..!"
Berkata gadis aneh itu. Akan tetapi kedua remaja itu
telah segera berlutut di atas pasir. Gumarang berucap
dengan suara gemetar.
"Anda pasti bukan seorang manusia... Anda
pasti Dewi Laut..! Oh terimakasih atas pertolongan mu
sang Dewi..!"
Melihat kedua sejoli itu jatuhkan dan berlutut,
si gadis berbaju sutera merah jambu itu cepat-cepat
angkat pundak kedua orang muda itu. Aneh... Guma-
rang hanya rasakan pundaknya disentuh telapak tan-
gan halus... Tahu-tahu tubuhnya telah terangkat naik.
Dan memaksanya berdiri lagi. Demikian juga
Retno Wulan. Yang hampir tak bisa mempercayai. Apa
lagi sosok tubuh di hadapannya itu amat cantik luar
biasa. Dengan dapat menyelamatkan jiwanya dari ten-
gah samudra tanpa sebuah perahu pun, adalah bukan
perbuatan manusia... Pikirnya. Akan tetapi kembali
gadis itu berkata. Kali ini suaranya terdengar santar.
"Hm..! Sudah kukatakan, aku adalah manusia
biasa..! Mengapa kalian tak mempercayai" Kalian lihat-
lah! Apakah sepasang kakiku tidak menginjak ta-
nah..?" Kedua pasang mata segera menatap tubuh
gadis itu. Dan benarlah..! Sepasang kaki sang peno-
longnya benar-benar menginjak tanah. Berarti si peno-
long adalah manusia biasa. Seketika mata mereka jadi
menatap tak percaya. Dan gadis baju sutera merah
jambu itu sudah berkata lagi;
"Namaku Roro Centil..! Aku datang dari sebe-
rang pulau. Apakah ini yang namanya pulau Anda-
las..!" Tertegun sepasang muda-mudi itu. Tapi Gumarang segera menjawab;
"Be... benar... Nono... nona... jadi... jadi...?"
"Hi hi hi... hi hi hi... Terima kasih..!" Belum lagi Gumarang meneruskan kata-
katanya, sosok tubuh di
hadapannya telah berkelebat lenyap.
Tentu saja hal itu membuat Gumarang dan
Retno Wulan jadi melongo alias ternganga. Mereka
hanya dapat melihat bayangan warna merah jambu.
Dan sekejap sudah lenyap.
Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan,
injakkan kaki di padang rumput yang menghijau.
Padang rumput itu amat luas. Sedang jauh di
bagian depan terlihat perbukitan yang memanjang, se-
perti tak ada putusnya. Dikelilingi rimba lebat
"Kurasa diantara perbukitan itu pasti terdapat
gunung..!" Berbisik Roro.
"Entah yang manakah gunung Dempo"..." De-
sisnya lagi. Sementara ia sudah mempercepat jalan-
nya, melewati padang rumput itu. Nampaknya Roro
tak begitu tergesa-gesa. Namun bagi orang biasa, lang-
kah kaki Roro memang termasuk cepat. Sementara itu
tanpa diketahui oleh sang Pendekar, dua sosok tubuh
berbaju hijau tampak mengintai dari balik pepohonan.
Keduanya adalah dua orang laki-laki yang bertampang
seram. Ikat kepalanya berbentuk lancip pada bagian
sisinya. Keduanya tampaknya bukan orang desa biasa.
Karena terlihat pada masing-masing pinggangnya ter-
sembul gagang golok.
Begitu kira-kira jarak sepuluh tombak, kedua
orang itu berkelebatan keluar. Roro Centil tampaknya
tidak terkejut. Karena sebagai orang Rimba hijau yang
telah cukup berkecimpung lama di dunia persilatan,
telah dapat mengetahui sebelumnya. Kedua orang itu
segera menjura hormat, dengan bungkukkan tubuh.
Dan salah seorang sudah berkata; "Anda pasti salah seorang undangan dari Ketua
kami, Selamat datang di
daerah kekuasaan Perguruan 'Burung Hantu". Markas
besar kami berada di bagian dalam. Silahkan anda ja-
lan terus..!"
Roro Centil jadi melengak. Akan tetapi ia sudah
mengangguk setelah membalas hormat. Tampak dari
kedua wajah orang itu tak menampilkan kecurigaan
buat Roro. Sehingga diam-diam ia membatin... Aneh..!
Datang-datang ke negeri orang, sudah disambut baik.
Dan dianggap tetamu undangan. Siapakah gerangan
Ketua dari Perguruan Burung Hantu itu.." Pikir Roro.
Entah ada pertemuan apakah" Pikirnya lagi. Namun
justru keanehan itu membuat Roro jadi kepingin tahu.
Dan tanpa banyak bicara ia sudah melangkah masuk
melewati kedua orang penjaga itu. Ternyata pada kira-
kira tiga tombak, terlihat ada dua tugu di kiri kanan
jalan. Roro segera menduga kalau itulah pintu masuk
ke dalam markas Burung Hantu. Tak berayal lagi Roro
sudah kelebatkan tubuh kesana.
*** Tirta Menggala dalam keadaan panik... ketika
sebuah ombak besar tiba-tiba menghantam pera-
hunya. Tak ampun lagi tiang layar itu roboh tumbang
karena perahu sudah miring. Teriakan-teriakan dari
para anak buahnya pun terdengar... Tirta Menggala
mengeluh putus asa. Tubuhnya segera terjungkal ma-
suk laut. Akan tapi di detik itu juga berkelebat sebuah bayangan bagai kilat,
menyambar tengkuk Tirta Menggala. Dan tahu-tahu tubuhnya telah melayang di atas
air. Cepat sekali rasanya ketika angin deras menerpa
wajahnya. Dan beberapa saat kemudian, ia telah tiba
di darat. Tersentak laki-laki berusia lima puluh tahun
ini, ketika melihat siapa yang telah menolongnya. Serta merta segera ia bersujud
dengan khidmat.
"Guru..! Terima kasih, atas pertolonganmu..!"
ucapnya dengan suara tergetar girang, namun juga
terkejut sekali. Sosok tubuh yang berdiri di hadapan-
nya itu ternyata seorang kakek tua renta, bertubuh
kurus jangkung. namun agak bungkuk. Akan tetapi
anehnya seluruh tubuhnya berbulu. Walaupun tidak
terlalu lebat. Namun bulu-bulu itu panjang-panjang
pada beberapa bagian tubuhnya, berwarna pu-
tih. Pada bagian wajahnya, hanya kening dan hidung
serta sedikit kedua belah pipinya saja yang tak terda-
pat bulu. Wajahnya menampilkan usia yang sudah lan-
jut. Alisnya tebal menyatu. Kumis dan jenggotnya ter-
juntai panjang sampai melebihi pusar. Hidungnya agak
melebar. Sinar matanya menatap bagai mengeluarkan
cahaya berwarna biru. Kakek tua renta ini memakai
selapis jubah putih yang cukup tebal. Ternyata ram-
butnya juga panjang memutih. Terurai sampai ke
punggung. Terdengar si kakek berkata. Suaranya mirip
dengan suara kera. Ternyata giginya masih utuh, dan
menampakkan taring di kiri kanannya.
"Muridku..! Kau terlalu gegabah..! Apakah kau
tidak melihat bayangan merah jambu yang berkelebat
mendekati perahu mu" Bayangan merah jambu itulah
yang telah menghantam dinding perahu mu, sehingga
mengalami kebocoran besar. Dan Bayangan merah
jambu itu pula yang telah menyelamatkan kedua orang
muda itu dari bahaya kematian.. Mendengar kata-kata
itu tentu saja Tirta Menggala jadi terkesiap. Ia sudah
segera bertanya;
"Siapakah bayangan merah jambu itu Guru...?"
Si kakek tua renta berbulu itu keluarkan suara bag
menggeram. "Gut... Menurut berita dari Peri Gunung Dem-
po, di seberang pulau ada seorang tokoh persilatan
terkenal yang berilmu tinggi. Sayang Peri Gunung
Dempo tak berhasil menjumpainya ketika empat bulan
yang lalu kesana. Namun Peri Gunung Dempo berhasil
membunuh gurunya. Yaitu Manusia Aneh Pantai Sela-
tan. Bayangan merah jambu itu sudah pasti muridnya
yang bernama Roro Centil, alias si Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Pasti..! Karena ia seorang wanita. Dan
mempunyai ilmu berjalan di atas air..!"
Terkejut Tirta Menggala mendengar penuturan
gurunya Ternyata sejauh itu sudah ada manusia lain
yang berilmu hebat. Pada hal gurunya sendiri sudah di
anggap sebagai Dewa Siluman Kera, yang pergi dan da-
tangnya bagaikan angin. Kini Tirta Menggala menden-
gar lagi adanya seorang wanita yang memiliki ilmu
yang hebat. Hampir-hampir ia tidak percaya.
"Guru..! Ada apakah manusia dari seberang
lautan itu datang kemari...?" Tanya Tirta Menggala.
"Entahlah..! Tapi dugaanku adalah mencari Peri
Gunung Dempo. Karena telah membunuh Gurunya.
Tapi itu juga sebuah tantangan berat bagiku. Karena
Pendekar Wanita itu termasuk manusia yang suka
mencampuri urusan orang..!" Berkata si kakek.
Melengak Tirta Menggala. Tapi saat itu sang
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
guru sudah berkata lagi.
"Menggala..! Sebaiknya kau tinggalkan dulu ke-
sibukan mu. Kau menetap dulu di kediaman ku. Ku
kira kekuasaanmu tak dapat kau pertahankan, bila
kau tak mempunyai secuil pun kepandaian..!" Ujar si kakek dengan sorot matanya
yang tajam menatap Tirta
Menggala. "Tapi... tapi.. Guru..! Aku perlu bantuanmu dulu untuk... untuk..."
Tirta Menggala tak dapat meneruskan kata-katanya karena tubuhnya sudah disam-
bar oleh si kakek aneh itu untuk dibawa melesat pergi.
Masih terdengar hardikannya lapat-lapat;
"Bocah goblok..! Sejak dulu-dulu sudah ku pe-
ringatkan. Pelajarilah ilmu-ilmuku..! Kau cuma pikir-
kan kekuasaan dan perempuan saja..!"
*** Gumarang dan Retno Wulan meninggalkan
pantai itu untuk segera mendaki bukit. Melalui jalan
setapak yang berputar-putar, mereka tiba di sebuah
desa terpencil di tengah hutan bambu.
"Kemana tujuan kita kini Gumarang..!" Ber-
tanya Retno Wulan. Tampaknya ia sudah lelah sekali.
Tubuhnya terasa penat. Dan kakinya terasa pegal bu-
kan main. "Kita singgah dulu di desa ini beristirahat. Mu-
dah-mudahan disini tak ada terdapat orang-orang si
Tirta Menggala..!" Jawab Gumarang. Sementara len-
gannya membimbing kekasihnya yang tampak sudah
sempoyongan. "Sayang kita gagal untuk pergi yang jauh seka-
li... Tapi kita harus bersyukur pada Tuhan, karena
wanita aneh bernama Roro Centil itu telah menyela-
matkan nyawa kita..!" Kata Gumarang lagi.
"Tapi kita cukup jauh dari desa tempat ting-
galmu, Wulan. Aku berharap kau tak terlalu cemas.
Selesai istirahat kita susuri bukit barisan, dan pergi
jauh terus ke utara..." Hiburnya lagi.
"Apakah si kambing tua itu tak akan dapat me-
nyusul kita lagi, Gumarang?"
"Percayalah sayang..! Aku akan menjaga mu
dengan taruhan jiwa raga ku! Seandainya manusia ke-
parat itu dapat menyusul kita. Eh!" Rasanya aku meli-
hat di kejauhan perahu si Tirta Menggala itu seperti
oleng, dan bergerak tak menentu..." Berkata Guma-
rang. "Bagus! Biarlah dia mati tenggelam di dasar
laut..!" Maki Retno Wulan dengan kesal.
Sebuah pondok yang paling dekat mereka ham-
piri. Gumarang sudah mengucapkan salam. Aneh Tak
ada orang menyahuti dari dalam. Pintu depan memang
tak terbuka sedikit. Daun jendela yang berada di si-
sinya bahkan terbuka separuh, namun tampak miring.
Tak ada tanda-tanda ada penghuninya di dalam. Hing-
ga sampai Gumarang mengucapkan salam tiga kali, te-
tap saja tak ada yang menyahut.
Yakinlah mereka kalau rumah itu kosong, alias
tak berpenghuni. Terbukti adanya sarang laba-laba
pada pintu yang setengah terbuka. Juga pada jendela
yang terbuka itu. Agak takut keduanya untuk mema-
suki. Terpaksa Gumarang membimbing Retno Wulan
untuk mencari pondok lainnya. Beberapa rumah ia
hampiri. Namun kesemuanya kosong melompong.
"Ternyata desa terpencil ini sebuah desa mati..!"
Desis Gumarang. Retno Wulan kerutkan alisnya. Ia
tampak mengeluh. Dan jatuhkan tubuhnya ke tanah.
Penatnya bukan main. Dan ia sudah tak sanggup ber-
diri lagi. Sementara saat itu keadaan semakin mere-
mang. Pertanda hari sudah menjelang senja. Terpaksa
Gumarang mengambil keputusan.
"Baiknya kita menginap di pondok kosong ini
saja untuk bermalam. Aku khawatir ada binatang buas
yang dapat menyusahkan kita..!" Ujar Gumarang. Dan ia sudah segera masuk ke
dalam salah satu pondok
kosong itu. "Tunggulah sebentar Wulan. Aku akan meme-
riksa keadaan di dalam..!" Kate Gumarang. Sambil
menoleh sejenak pada Retno Wulan, yang seperti su-
dah tak dapat bicara lagi. Gumarang cepat memasuki
kamar demi kamar. Tampak pemuda ini bersitkan wa-
jah girang. Ternyata masih ada balai-balai kayu leng-
kap dengan tilamnya. Serta bantal dan guling... Wa-
laupun banyak debu di atasnya, tak menjadi soal. Se-
gera ia beranjak ke ruang belakang. Sebuah dapur.
Yang ternyata masih komplit dengan perabotannya.
Ah, beruntung aku..! Desis Gumarang. Tapi aneh..!"
Mengapa pondok-pondok ini mereka tinggalkan.." Ber-
fikir Gumarang. Ah, perduli..! Yang penting kami dapat
bermalam disini, walaupun cuma satu malam. Menga-
pa harus pusing-pusing memikirkannya.." Desis pe-
muda ini dalam hati.
Segera ia kembali ke kamar dan bersihkan
tempat tidur. Sementara itu dengan berjalan tertatih-
tatih Retno Wulan beranjak memasuki pondok. Guma-
rang muncul dari ruang tengah. Ketika dilihatnya Ret-
no Wulan, cepat ia melompat menghampiri.
"Wulan..! Aku baru bersihkan kamar dan tem-
pat tidur. Mari ku pondong..!" Berkata Gumarang se-
raya peluk tubuh sang kekasih, dan pondong ke da-
lam. "Kita tak perlu khawatir dengan keadaan disini.
Binatang buas masih dapat dihindari, dari pada ma-
nusia jahat yang akan mengganggu kita..!" Ujar pemu-da itu. Dan tak lama ia
sudah baringkan tubuh Retno
Wulan di pembaringan.
"Kau jangan kemana-mana Gumarang..! Aku
takut sendirian..!" Teriak Retno Wulan seraya tarik kembali lengan laki-laki
itu. Dan sudah didekapnya
erat-erat. Terasa oleh pemuda itu detak jantung gadis
bergemuruh. "Tenanglah, sayang ku..! Jangan khawatir. Aku
takkan meninggalkanmu. Aku mau menutup pintu du-
lu..!" Berkata lirih Gumarang, seraya lengannya membelai rambut dan mencubit
hidung Retno Wulan. Ke-
mudian segera beranjak cepat keluar ruangan. Terden-
gar daun pintu bergerit, dan tak lama kemudian Gu-
marang telah kembali masuk. Pemuda itu segera du-
duk di sisi pembaringan. Kepalanya bergerak untuk
meneliti ruangan, dengan sepasang matanya yang
mencari-cari sesuatu. Di atas meja disudut ruangan
itu tergeletak sebuah lampu usang. Gumarang beran-
jak menghampiri.
"Bagus, masih ada minyaknya sedikit. Lumayan
untuk penerangan. Sebentar lagi malam akan tiba. Se-
baiknya aku pasang sekarang. Cuaca gelap, seperti
mau turun hujan lebat..!" Berkata Gumarang. Segera ia merogoh sakunya. Dan
nyalakan lampu dengan ba-tu geretan.
Sebentar kemudian ruangan kamar itu menjadi
terang benderang. Kemudian ia kembali duduk di sisi
Retno Wulan. Kini yang ia tatap adalah wajah gadis
itu. Retno Wulan telah pejamkan matanya. tampak ke-
ringat mengalir dari dahinya. Segera Gumarang seka
peluh itu dengan ujung bajunya. Dan dekap wajah itu
dengan sepasang lengannya. Satu ciuman telah men-
darat di dahi gadis itu.
"Kau lapar tidak, Wulan..?" Bertanya Guma-
rang. Gadis itu gelengkan kepala. Dan perlahan buka
kelopak matanya. Sepasang mata sang gadis menatap
redup wajah pemuda yang dicintainya itu. Terdengar-
lah suara si gadis lirih. Sementara lengannya sudah
bergerak memeluk tubuh Gumarang.
"Gumarang..! Oh... jangan kau tinggalkan aku
untuk selamanya..!" Desisnya lirih. Gumarang de-
katkan lagi wajahnya, dan bisiki si gadis di telinganya.
"Tidak sayang ku..! Aku tak akan tinggalkan
kau selama hayat dikandung badan. Aku akan selalu
dekat padamu..!" Dan keduanya pun tenggelam dalam
buaian asmara yang bergejolak. Sementara d luar, po-
hon-pohon bambu terangguk-angguk terkena tiupan
angin, yang mendesah. Gemerisik bunyi daun-daun
bambu yang saling bergesekan. Gumarang rebahkan
tubuhnya di sisi sang gadis. Yang segera lingkarkan
lengannya dada Gumarang. Terdengar laki-laki muda
ini menghela napas. Seperti merasa lega setelah bergu-
lat dengan berbagai rintangan tadi siang.
Api pelita itu tampak bergoyang-goyang terkena
hembusan angin malam yang masuk dari sela-sela
dinding. Hujan rintik-rintik mulai turun. Suasana
memang agak dingin, hingga Retno Wulan semakin le-
lap mendekap tubuh Gumarang.
Napas pemuda ini terlihat agak memburu. Te-
rasa sulit baginya untuk menahan gejolak kelaki-
lakian nya. Apa lagi dalam keadaan berdua-dua demi-
kian itu, tanpa ada seorang pun yang tahu.. Benda-
benda lembut terasa menekan kuat tubuhnya. Terasa
desah napas Retno Wulan seperti meniup-niup daun
telinganya. "Wulan..!" Gumarang berbisik perlahan. Dan
miringkan tubuh. Untuk kemudian menggamit ping-
gang sang gadis. Dan tenggelamlah mereka dalam ke-
rinduan. Tiba-tiba terdengar petir menggelegar.
Namun tampaknya mereka seperti tenggelam
dalam keasyikan memadu rintihan. Tanpa perdulikan
sekitarnya. Tanpa perdulikan apa-apa. Seperti juga in-
gin menghabiskan malam itu sepuas-puasnya....
*** Roro Centil mengendus bau-bauan aneh di
ruangan kamarnya. Bau asap kemenyan, entah dari
mana datangnya bau orang membakar kemenyan itu.
Malam itu Roro Centil memang menjadi tetamu yang
istimewa bagi si Ketua Perguruan Burung Hantu. Ia
menempati sebuah kamar yang bersih. Berdinding dan
berlantai papan. Ternyata si Ketua seorang yang ra-
mah tamah. Walau sepasang matanya memancarkan
sinar yang membersit tajam. Mirip mata Burung Han-
tu. Rumah Perguruan Burung Hantu ternyata ter-
diri dari beberapa wuwungan. Dan Roro menempati di
sebuah rumah yang paling besar. Ternyata di samping
kedatangan Roro masih ada berdatangan lagi tiga
orang tetamu. Yaitu seorang wanita, dan dua orang la-
ki-laki. Dapat dilihat sepintas oleh Pendekar Wanita
Pantai Selatan, ketiganya bukanlah orang-orang yang
biasa-biasa saja. Karena dari setiap gerakannya me-
nunjukkan ketiganya berilmu tinggi. Ternyata si Bu-
rung Hantu itu telah mengundang rekan-rekannya un-
tuk mengadakan pertemuan dengan menyebar undan-
gan. Adapun Roro yang bukan termasuk salah satu
undangannya, ternyata tidak masuk hitungan. Ketika
di adakannya pertemuan empat pasang. mata. Sengaja
Roro diberi ruang terpisah. Anehnya si Burung Hantu
sedikitpun tidak menanyakan hal ihwal Roro. Mem-
buat Roro agak merasa aneh.
Sementara malam terus berlalu merayap, Roro
tak bisa pejamkan mata. Bau asap kemenyan itu
benar-benar membuat ia merasa terganggu. Dia
diam ia telah membuka jendela, dan melompat ke luar.
Keadaan di luar tampak sunyi. Jarak antar tiap-tiap
rumah kira-kira tiga puluh tombak. Pada bagian de-
pannya dipasangi dua obor. Roro bergerak menyelidiki
setiap dinding kamar. Telinganya dipasang tajam-
tajam. Demikianlah Roro mencoba curi dengar dimana
adanya pertemuan empat pasang mata antara si Bu-
rung Hantu dengan ketiga tetamunya. Sementara se-
pasang biji matanya selalu bergerak lincah. Karena
mengkhawatirkan ada penjaga yang melihatnya.
Sayang di rumah besar itu tak ada tanda-tanda
mencurigakan. Malam memang sudah larut. Segera
Roro berkelebat ke rumah-rumah berikutnya. Dan pa-
da sebuah rumah yang bentuknya agak berbeda den-
gan yang lain itu, lapat-lapat dapat didengarnya suara
orang bercakap-cakap. Walaupun suaranya tidak terla-
lu keras, namun pada malam yang sunyi itu, dapat
terdengar oleh Roro dengan merapatkan telinganya ke
dinding rumah. "Sebentar lagi di saat ayam mulai kukuruyuk,
kita sudah segera bergerak kesana!" Terdengar suara sang Ketua Perguruan Burung
Hantu. Yang memang
berjulukan si Burung Hantu. Roro bergerak perlahan
tanpa menimbulkan suara, mencari celah yang dapat
ia pergunakan untuk mengintip. Dan sudah dite-
muinya celah kecil di dinding papan bangunan rumah
itu. Segera saja terlihat keempat orang duduk berkelil-
ing. Sang Ketua membelakangi
Roro. Sedang dua laki-laki tetamunya duduk
berhadapan dengan si Ketua. Dan wanita satunya du-
duk di sebelah kiri si Burung Hantu. Dari pembicaraan
rahasia yang didengarnya, Roro segera dapat mengeta-
hui ketiga tetamu si Burung Hantu itu. Kedua laki-laki
itu adalah yang berjulukan Dua Iblis Sembilan Nyawa.
Yang masing-masing bernama Gajah Dungkul dan Ka-
la Dungga. Gajah Dungkul berperawakan tinggi besar.
Telinganya panjang dan bermuka lebar. Sepasang ma-
tanya sipit dengan alis yang tebal terjungkit ke atas.
Hidungnya agak melengkung, dan berbibir tebal. Laki-
laki ini mengenakan pakaian berwarna abu-abu. Tam-
pak di sisinya tergeletak senjatanya sepasang piring tipis, yang berbentuk mirip
tutup panci, mempunyai pe-
gangan pada bagian tengahnya.
Sedang yang bernama Kala Dungga ternyata
seorang laki-laki berkulit hitam. Berkepala lonjong.
Rambutnya hanya tebal bagian atasnya saja. Hidung
dan mulutnya berdekatan sekali. Giginya agak men-
cuat keluar. Dengan sepasang mata yang besar. Kumis
dan jenggotnya tidak rata. Usianya hampir sebaya
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan si Gajah Dungkul. Yaitu sekitar lima puluh ta-
hun. Orang ini memakai jubah kuning. Senjatanya tak
terlihat di dekatnya. Sedangkan si wanita mengenakan
baju warna merah. Dengan wajah cukup cantik. Ber-
kulit sawo matang. Sebuah tongkat hitam mirip ular
berada di pangkuannya. Wanita ini sebentar-sebentar
tersenyum, kalau diajak bicara si Burung Hantu.
Dan duduknya pun agak berdekatan dengan si
tuan rumah. Ternyata si wanita ini bergelar si Ular Ko-
bra Mata Merah. Sedang si Burung Hantu sendiri, Roro
telah mengenal wajahnya. Yaitu seorang laki-laki yang
bertubuh agak pendek. Berwajah empat persegi. Ber-
hidung bagai paruh burung. Alisnya kereng dan tebal
hampir menyatu. Telinganya kecil, hampir tak keliha-
tan tertutup rambutnya. Malam itu mengenakan man-
tel bulu burung yang tampak berwarna hitam... Ada-
pun Roro terus mendengarkan pembicaraan keempat
orang itu. "Hmm, sobat Burung Hantu..! Apakah kau ya-
kin penyergapan kita malam ini tak akan gagal. Apa-
kah kita perlu membunuhnya mampus saja. Dan kita
kuras harta bendanya..!" Berkata Kala Dungga, si jubah kuning.
"Benar..! Sebaiknya demikian. Aku khawatir ka-
lau kita hanya menculik anak gadisnya saja untuk
minta tebusan, akan membahayakan kita. Terutama
perguruanmu. Bisa saja si hartawan itu melaporkan
pada pihak Kerajaan untuk menggulung markas mu."
Berkata Gajah Dungkul. Sedang si wanita alias si Ular
Kobra Mata Merah cuma tinggal diam. Karena usul
pertama itu dialah yang memberikan. Adapun si Bu-
rung Hantu jadi tersenyum mendengar saran-saran
kedua kawannya.
"He he he... Kalau cuma mau menculik anak
gadisnya sih, aku sendiri juga dapat melakukannya!
Makanya kupanggil kalian, karena aku akan menum-
pasnya sekaligus. Kekuasaannya akhir-akhir itu
semakin meluas. Dan kudengar si hartawan itu
juga menyewa orang-orang persilatan untuk melindun-
gi kekuasaannya. Agaknya ia mau menyaingi si Tirta
Menggala..!" Berkata si Burung Hantu dengan suara
agak ditekan. "Tirta Menggala.. " Hm, kurasa diapun tak mau
disaingi begitu saja..! Apalagi manusia itu pernah men-
jadi murid seorang pertapa tua, yang berjulukan Dewa
Siluman Kera! Bila orang sakti itu turun tangan, dalam
sekejap saja akan hancurlah kekuasaan si hartawan
yang bekas pembesar kerajaan Sriwijaya itu..!" Tiba-tiba si Ular Kobra Mata
Merah ikut buka suara.
"Dan bila itu terjadi, kita bisa kalah cepat kalau tak buru-buru bertindak..!"
Menimbrung lagi Kala
Dungga. Si Burung Hantu jadi tertawa bergelak-gelak.
"He he he... he he... Tak usah terlalu mengkha-
watirkan si Tirta Menggala. Manusia itu cuma tergila-
gila dengan wanita. Untuk menjatuhkan
manusia semacam itu tidaklah sulit. Kita tak
perlu saling jatuhkan. Bahkan kita bisa bekerja sama
dengannya. Karena kita-bisa-bisa berurusan dengan si
pertapa sakti Siluman Kera Putih. Bisa-bisa akan te-
rancamlah jiwa kita..!"
"Benar..! Benar! Saran mu itu bagus sekali Bu-
rung Hantu..! Kita, sesama golongan hitam tak perlu
saling gontok-gontokan!" Ujar Gajah Dungkul.
"Akan tetapi mengenai rencana kita, baiknya
aku ambil kepastian. Nah dengarkan baik-baik..!"
Sambung si Burung Hantu lagi. Kemudian me-
reka pun mulai mengatur rencana dan siasat... Semen-
tara Roro mendengarkan dari balik dinding. Selesai
menetapkan keputusan, tiba-tiba salah seorang dari
tamunya itu, yaitu si wanita baju merah. Tiba-tiba ber-
tanya; "Eh... kulihat sobat kita ini sudah punya sim-panan khusus... Cantik
juga. Bolehkan aku mengeta-
hui lebih dekat siapa wanita piaraan mu itu?" Tentu saja Roro Centil jadi merah
wajahnya. Diam-diam ia
memaki dalam hati... Setan alas..! Aku di anggap wani-
ta piaraan si Ketua Kokok Beluk ini! Sialan..!"
Adapun si Burung Hantu baru sadar dan mera-
sa diingatkan oleh si wanita, mengenai seorang ta-
munya. "Aku sendiri belum mengetahui siapa dia
adanya..!" Berkata si Burung Hantu. Tentu saja ketiga orang undangan itu jadi
melengak. "Kau ini aneh, Burung Hantu..! Bagaimana ka-
lau wanita itu ternyata seorang mata-mata yang bisa
merusak rencana kita?" Berkata Gajah Dungkul.
"Tampaknya ia bukan wanita sembarangan..!
Apakah tak ada rencanamu untuk mengikut sertakan
dalam penyergapan kita?" Tanya kala Dungga. Si Burung Hantu ini tampak menghela
napas, lalu berkata
perlahan... Dan tuturkan asal mulanya hingga ia keda-
tangan tetamu yang tak diundang.
"Sebenarnya ada rencanaku untuk mengetahui
lebih jauh tentang siapa dirinya, akan tetapi, datang-
nya sudah di luar dugaan. Mana aku mampu menolak,
karena ia telah juga menjadi tamuku" Aku telah tem-
patkan ia di rumah besar. Ada dua orang pembantu
wanita disana untuk melayaninya. Sengaja aku mena-
hannya agar menginap selama beberapa hari. Tam-
paknya ia juga seperti orang yang aneh..! Kalau ia tak
merasa diundang mengapa mau saja datang untuk
menjadi tamuku?" Tutur si Burung Hantu.
"Apakah kau tak lihat adanya tanda-tanda
mencurigakan pada sikapnya?" Tanya Kala Dungga la-
gi. Si Burung Hantu tampak terdiam sejenak. Lalu me-
nyahuti. "Rasanya tidak! Tampaknya ia bukan pendu-
duk asal daerah kita. Seperti berlogat bahasa dari se-
berang pulau. Mungkin juga ia perantau dari Pulau
Jawa. Itulah sayangnya... karena kedatangannya ju-
stru bertepatan dengan pengaturan rencana kita, ma-
ka terpaksa ia ku tahan dulu agar tinggal beberapa ha-
ri disini. Karena aku tak mau melibatkan urusan ini
dengannya..! Baiknya kita tunggu saja sampai sele-
sainya urusan kita malam ini. Besok kita menemuinya
untuk lebih dekat mengenalnya..!" Burung Hantu berikan penjelasannya.
"Bagaimana kau bisa menahannya, kalau cuma
ada dua pembantu wanita di rumah besar tempat ia
menginap" Dia toh punya kaki. Kapan waktu bisa dia
bisa berangkat pergi..!" Menimbrung si wanita bertongkat ular. Akan tetapi si
Burung Hantu cuma menyerin-
gai, dan berkata perlahan.
"He he he., mengenai itu adalah urusanku! Si
Burung Hantu bukan anak kemarin sore yang harus
diberi petunjuk!" Jawabnya, dan segera menyambar
gelas arak untuk selanjutnya sudah menenggaknya
habis. Sementara yang lainnya pun menuruti, mene-
guk sisa minumannya.
Tampaknya Roro sudah cukup untuk mencuri
dengar. Segera ia berkelebat pergi tanpa menimbulkan
suara. Sebentar kemudian ia telah kembali memasuki
kembali kamarnya dengan lewat jendela. Kemudian
menutupnya rapat-rapat. Roro Centil jatuhkan tubuh-
nya di pembaringan. Dan tercenung memikirkan apa
yang telah didengarnya: Nama-nama yang diingatnya
adalah Tirta Menggala, murid kakek pertapa Siluman
Kera Putih. Entah bagaimana rupanya si kakek yang
kabarnya sakti itu. Dapat diketahui Tirta Menggala
adalah seorang laki-laki yang doyan dengan wanita
cantik. Adapun Hartawan yang disebut-sebut itu ter-
nyata bekas orang Kerajaan. Tentu saja kerajaan Sriwi-
jaya di tanah seberang ini. Bahkan yang pernah menja-
jah kerajaan Medang dan menguasai Pulau Jawa ham-
pir selama satu abad.
Sebenarnya ia tak mau turut campur dengan
urusan si Burung Hantu, yang ternyata juga bukan
orang baik-baik. Sayang percakapan mereka tak me-
nyebut-nyebut tentang Peri Gunung Dempo. Tampak-
nya Roro agak bingung untuk mengambil putusan.
Apakah berdiam di rumah ini, atau membuntuti mere-
ka yang akan melakukan penyergapan malam ini" Ka-
lau membuntuti mereka, berarti Roro jadi telah ikut
campur urusan orang. Dan akan membela siapakah
ia" Berfikir Roro. Seandainya terjadi ia menguntit si
Burung Hantu, apakah tidak ada yang lebih baik selain
ia menjadi penonton saja" Tapi... Berfikir lagi Roro
Centil. Mana ia tega membiarkan orang dibunuh se-
mena-mena. Sudah jelas yang jahat dan salah adalah
si Burung Hantu dan ketiga konconya. Walaupun si har-
tawan itu adalah bekas seorang pembesar Kerajaan
yang pernah menjadi musuh Kerajaan Medang di ta-
nah airnya. akan tetapi menolong orang bukanlah
menjadi halangan. Apa lagi hal ini bukanlah menyang-
kut urusan Kerajaan. Tapi adalah urusan kemanu-
siaan. Berfikir demikian Roro sengaja tak picingkan
mata untuk mendengar dimana suara kokok ayam ter-
dengar, ia akan segera keluar untuk menguntit mere-
ka. Akan tetapi ia juga ingin tahu akan kata-kata si
Burung Hantu. Yang mengatakan akan mampu mena-
hannya di rumah besar ini sampai mereka kembali.
Diam-diam Roro Centil tersenyum sendiri. Dan mem-
batin dalam hati.. Buktinya aku sudah keluar jendela,
tanpa ada yang mengetahui. Kalau benar ia dapat me-
nahanku mengapa tak ia sediakan penjaga untuk
mengawasi aku.."
Tiba-tiba ia baru sadar lagi kalau bau keme-
nyan itu semakin santar menusuk hidung. Timbul
keinginannya untuk memeriksa setiap ruangan. Bu-
kankah rumah ini cuma ditempatkan dua pembantu
wanita" Berfikir Roro. Akan tetapi baru saja ia akan
beranjak bangun, tiba-tiba pintu kamarnya menguak
terbuka. Angin dingin terasa menyelusuri sekitar tu-
buhnya. Benar-benar aneh. Roro dibuatnya tertegun.
Dan sekonyong-konyong hawa terasa mencekam. Dan
membuat bulu-bulu kuduk Roro jadi bangun berdiri.
Sepasang matanya tak lepas menatap ke pintu kamar
yang terbuka. Hampir tak masuk di akal Roro, ketika
dilihatnya dari dalam ruangan tengah itu terdengar
suara menggeram.
Sesosok bayangan hitam tiba-tiba muncul di
pintu kamar. Entah bayangan apa. Karena tidak ber-
bentuk. Sementara Roro cuma bisa terpaku duduk di
pembaringan. Sepasang matanya menatap tak berke-
dip pada bayangan hitam di hadapannya. Tiba-tiba
bayangan aneh yang membersitkan rasa seram itu be-
rubah jadi asap hitam yang bergumpal-gumpal. Dan
detik selanjutnya, gumpalan asap itu telah berbentuk
menyerupai seekor harimau yang besar, hampir sebe-
sar kerbau. Terkesiap Roro bukan buatan. Sampai-
sampai ia beringsut karena terkejutnya.... Selama hi-
dupnya baru pertama kali ini ia melihat kejadian aneh
seperti ini. Ia sudah gerakan tangan untuk menghan-
tam makhluk Harimau Tutul itu. Akan tetapi tena-
ganya terasa hilang musnah. Mengangkat lengan saja
ia sudah tak sanggup lagi. Sementara sepasang mata
si Harimau Tutul, pancarkan sinar matanya yang se-
perti menyala menatap Roro. Akan tetapi anehnya
makhluk jejadian itu tidak mengganggu. Ia cuma me-
langkah tiga-empat tindak
dan duduk di bawah di dekat jendela. Dengan
menghadapkan kepala pada Roro Centil. Sedang sepa-
sang matanya terus menatap sang Pendekar wanita
Pantai Selatan tak berkedip. Roro tampaknya dapat
bernapas lega. Akan tetapi ia benar-benar tak dapat
berkutik. Pada saat itulah terdengar suara orang me-
langkah mendekati pintu kamar Roro dari ruangan da-
lam. Seraya terdengar suaranya;
"Mengapa pintu kamarmu dibuka, nona.." Ada-
kah kau di dalam..?" Dan tersembul sesosok tubuh
yang tak lain dari pembantu wanita di rumah besar
itu. Begitu melihat Roro Centil masih duduk di pemba-
ringan dengan sepasang matanya, masih terbuka, ia
segera bicara lagi;
"Agaknya nona belum mengantuk..! Tidurlah!
hari sudah jauh malam. Tak baik bagi kesehatan..!
Daun pintu kamarmu jangan sekali-kali dibiarkan ter-
buka tengah malam..!" Sambungnya lagi seraya balikkan tubuh untuk kembali
keluar. Dan menutupkan
kembali daun pintu kamar Roro. Lalu terdengar suara
langkahnya menuju ruangan dalam. Agaknya seperti ia
baru terbangun dari tidur, setelah siangnya merasa le-
lah bekerja. Roro cuma bisa mengangguk, ketika si pemban-
tu wanita bertanya. Selebihnya ia cuma bisa tetap du-
duk terpaku tanpa bisa berbuat apa-apa. Anehnya,
pembantu wanita itu tidak melihat dan mengetahui
adanya seekor Harimau Tutul yang amat besar di ka-
mar itu. Tentu saja hal itu membuat Roro keluar ke-
ringat dingin. Benar-benar aneh..!" Pikir Roro Centil.
Apakah mahkluk ini yang diutus Burung Hantu untuk
menjaganya.." Demikian berkata hatinya. Menyesal ju-
ga Roro kembali lagi ke kamar ini. Kalau sudah begini,
Roro jadi benar-benar mati kutu. Sementara tubuhnya
benar-benar seperti di lolosi tulang belulangnya. Lemas sekali. Bahkan otaknya
pun tak dapat berfikir jernih.
Akhirnya dengan beringsut-ingsut ia rebahkan tubuh-
nya lagi di pembaringan. Dengan menyandarkan pung-
gungnya pada bantal, ia tetap selalu memperhatikan si
makhluk itu. Khawatir tiba-tiba menyerangnya. Tapi
diam-diam ia berusaha menyatukan segenap ilmu ba-
tinnya. Untuk memulihkan kembali keadaan tubuhnya
yang menjadi lemah tak bertenaga.
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malam itu adalah malam yang paling tidak
enak buat Roro. Karena harus diawasi sesosok mak-
hluk yang besar dan menyeramkan....
Selang beberapa saat berlalu, suara kukuruyuk
ayam jago pun terdengar. Keadaan di Perguruan Bu-
rung Hantu sunyi mencekam. Akan tetapi empat sosok
tubuh telah berkelebat keluar dari salah sebuah ru-
mah. Dan selanjutnya kembali lenyap di ujung jalan
desa. Gerakannya seperti hati-hati agar tak menimbul-
kan suara. Ternyata keempat sosok tubuh itu tak lain
dari si Burung Hantu dan ketiga konconya. Yang me-
mang telah tiba saatnya untuk berangkat pergi, sesuai
rencana. Gedung tempat tinggal si hartawan bekas pem-
besar Kerajaan itu berada di daerah Gunung Putri. Ge-
dung baru yang baru beberapa bulan diisinya, sejak ke
pindahannya dari tempat tinggalnya yang lama. Si Har-
tawan itu bernama Datuk Sutan Benggala Dewa. Ia
memang baru saja menambah beberapa areal perke-
bunan merica dan kopi. Dan menangani urusan per-
dagangan besar dengan orang asing. Tentu saja usaha
itu mendapat izin dari pihak Kerajaan, karena ia juga
bekas seorang pembesar yang banyak membantu di
masa jabatannya. Dan Datuk Sutan Benggala Dewa
juga orang yang tahu diri, hingga tak lupa mengirim
upeti pada Raja setiap tahunnya.
Malam itu tampak empat sosok tubuh menyeli-
nap masuk ke dalam pekarangan Gedung yang luas
itu. Salah seorang bergerak memutar, ke arah samping
kiri gedung. Sedang seorang lagi dari samping kanan.
Di tempat yang luas itu ada terdiri dari tiga wuwungan
rumah. Dan rumah gedung yang paling besar itulah
tempat tinggal sang Datuk Sutan Benggala Dewa. Se-
dang yang dua orang masuk dari bagian depan dengan
gerakan hati-hati. Ternyata ketuanya adalah si Burung
Hantu dan si Wanita bergelar Ular Kobra Mata Merah.
Si Burung Hantu sudah membisiki dengan melompat
menghampiri rekannya;
"Ssst..! Apa tidak sebaiknya kau naik ke atas
membongkar genting..?" Si wanita baju merah itu tampak kerutkan alis sejenak,
lalu menyahuti.
"Baiklah... Dan ia segera akan bergerak untuk
melompat ke atas genting, ketika tiba-tiba terdengar
bentakan keras;
"Pencuri laknat..! Jangan harap kalian dapat
pulang dengan selamat..!" Dan tiba-tiba dari sebelah sisi rumah petak itu telah
bermunculan tiga sosok tubuh. Rata-rata mereka berbaju hitam. Sekejap saja te-
lah mengurung keduanya. Si Burung Hantu cuma
memandang dengan senyum menghina pada para pen-
gurungnya. Sekilas ia lirik si wanita rekannya yang
tampak tersenyum padanya. Lalu anggukkan kepala.
Sementara ketiga orang itu telah menerjang maju. Sen-
jata-senjata yang dipergunakannya adalah sebuah go-
lok besar, dan dua bilah pedang. Melihat hal demikian
si Burung Hantu segera berkelebat menghindar, seraya
perdengarkan dengusan di hidung, dan cabut senja-
tanya. Trang! Trang! Dua serangan pedang telah di
sampok mental balik. Ternyata yang ia pergunakan
adalah sebuah senjata aneh, yaitu berbentuk sepasang
ruyung. Akan tetapi pada bagian ujungnya terdapat ti-
ga buah rantai. Dengan masing-masing pada bagian
ujungnya terdapat tiga buah cakar besi mirip cakar
burung. Senjata hebat inilah yang dinamakan si Cakar
Hantu. Kedua orang penjaga yang menyerang si Bu-
rung Hantu itu terkejut sekali, karena rasa tangan-
tangan mereka tergetar akibat sampokan senjata Ca-
kar Hantu itu, dan kedua pedang hampir terlepas dari
pegangan tangan masing-masing. Akan tetapi segera
mereka maju menerjang lagi. Kali ini tampak hati-hati.
Karena ketika si Burung Hantu menyambut dengan
senjatanya, segera keduanya menarik lagi serangan-
nya. Ternyata adalah Cuma serangan dengan gerak ti-
puan. Adapun si wanita dengan senjata tongkat ular-
nya cuma melayani si penyerang bersenjata golok be-
sar itu dengan senyum-senyum.
Beberapa serangan sang penjaga itu cuma di-
anggap tak berarti. Dan dengan mudah ia selalu dapat
mengelakkannya. Selang sepuluh jurus, tiba-tiba si
Burung Hantu keluarkan suara mirip burung Kokok
Beluk, tiga kali. Agaknya si wanita rekannya itu men-
gerti. Dan tampak tongkat ularnya bergerak memutar
bagai baling-baling... Si penjaga bergolok besar itu terkejut karena rasakan
sampokan angin keras mener-
jang tubuhnya. Ia sudah melompat tiga tombak men-
jauh. Akan tetapi bagaikan bayangan, tongkat si wani-
ta mengejar. Terpaksa ia menghantam dengan golok
besarnya, disertai bentakan.
Terdengar si wanita tertawa sinis. Tahu-tahu
tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan si penjaga.
Dan di lain saat terdengarlah teriakan ngeri sang pen-
jaga itu. Ternyata lehernya telah ditembus oleh tongkat ular si wanita. Darah
segar menyembur mengerikan.
Dan ketika si Ular Kobra Mata Merah menarik kembali
senjatanya, maka robohlah si penjaga dalam keadaan
tewas mengerikan. Dalam pada itu si Burung Hantu
tengah melancarkan serangan maut pada kedua la-
wannya. Kedua pedang ternyata telah di sampok men-
tal, hingga terlepas dari tangan sang lawan. Kini ba-
gaikan alap-alap menyambar mangsa, ketiga buah Ca-
kar Hantu itu bagaikan tangan-tangan setan saja me-
luncur deras mengarah leher dan dada kedua penjaga.
Salah seorang tak dapat mengelakkan diri lagi. Maka
terdengarlah jeritan ngerinya, ketika cakar Hantu itu
berhasil mencengkeram jantungnya, hingga daging-
dagingnya tercongkel keluar. D
an darah muncrat seketika, dan robohlah si
penjaga itu. Adapun yang seorang lagi ternyata berha-
sil mengelakkan serangan pada lehernya, dengan
membuang tubuh ke samping. Dan dengan berjumpa-
litan berhasil menjauh. Wajahnya jadi pucat pias. Se-
gera ia enjot tubuh untuk melarikan diri. Tampaknya
ia akan segera berhasil menyelamatkan diri. Akan te-
tapi pada saat itu juga, berkelebat tongkat si wanita.
Meluncur bagai seekor ular terbang. Dan terdengar te-
riakan sang penjaga bernasib naas itu. Punggungnya
telah tertembus tongkat ular bermata merah... Am-
bruklah seketika ia, dan tampak berkelojotan sebentar,
tewas seketika itu juga.
Mendengar ribut-ribut di luar itu tentu sang
hartawan alias Datuk Sutan Benggala Dewa jadi ter-
bangun. Tampak ia gelagapan. Dan berlari kesana-
kemari dengan kebingungan. Ia dapat segera menyada-
ri bahwa gedungnya telah disatroni penjahat Segera
saja ia berteriak-teriak...
Rahasia Si Badju Perak 3 Joko Sableng Muslihat Sang Ratu Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 2
Camar-camar laut itu beterbangan di atas air,
dengan suaranya yang bercuit-cuit.....Sepasang sayap-
nya terbentang lebar. Melayang bersimpang siur seper-
ti bosan-bosannya mengintai ikan kecil-kecil yang ter-
sembul di permukaan air. Sesekali burung-burung laut
itu tampak menukik, untuk menyambar mangsa. Ge-
rakannya amat gesit. Bila telah melayang lagi ke atas,
tentu akan terlihat ikan kecil terselip diantara paruh-
nya. Sementara itu beberapa ekor bangau menukik
turun, dan hinggap di pasir berair. Ombak sesekali da-
tang menyambar kaki-kaki kecil yang panjang itu. Be-
berapa ekor berlarian di pasir. Dan di atas batu karang bergerombol burung-
burung lain pemakan ikan.
Ketika batu kecil meluncur ke arahnya, terden-
gar suara riuh. Dan beterbanganlah mereka menjauh.
Sang bangaupun pentang sayap untuk meluncur ter-
bang disertai pekik ketakutan. Sebentar saja tempat
itu menjadi sunyi kembali. Karang-karang telanjang itu
cuma membisu. Sementara itu deburan-deburan om-
bak tiada henti menghantamnya. Memuncratkan air
dan buih, yang seperti menari-nari di bawahnya. Dua
sosok tubuh tampak berjalan mendekati pantai. Sema-
kin dekat. semakin jelas siapa mereka. Ternyata ada-
lah dua orang muda. Seorang laki-laki cukup tampan,
dan seorang gadis berwajah manis. Tampak si pemuda
membungkuk, untuk kembali mengambil sepotong ba-
tu kecil. Dan lemparkan ke sisi laut.
"Apakah kau sudah bulatkan tekadmu untuk
pergi dari rumah orang tuamu..?" Bertanya si pemuda.
Seraya palingkan kepala pada gadis di sebelahnya. Ga-
dis berbaju putih itu mengangguk. Akan tetapi si pe-
muda sebaliknya tampak jadi serba salah. Sebatang
kayu rebah di tepi pasir itu dihampirinya. Dan dengan
wajah menghadap laut, ia sudah duduk disana.
Terdengar suaranya menghela napas. Dan ada
kata-kata lagi mendesis dari mulutnya. "Aku khawatir akan terjadi hal yang bakal
berbuntut panjang kelak,
bila suatu saat kita diketahui telah berdua..!" Berkata si pemuda. Gadis manis
itupun duduk di sampingnya.
Sejurus ia termenung, lalu berkata;
"Siapakah sudi bersuamikan tua bangka beri-
stri banyak itu.." Apakah kau akan biarkan aku jatuh
dalam pelukan kambing tua itu, Gumarang...?" Tanya si gadis.
"Tentu saja tidak Wulan.." Akan tetapi aku tak
dapat memaksa kalau kau memang harus menuruti
kehendak orang tuamu. Kupikir kawin lari adalah ti-
dak baik. Bukankah anak yang berbakti pada orang
tua kelak akan hidup bahagia" Menolak keinginan
orang tua itu durhaka, Wulan..?"
"Huh..! Perduli! Aku tak dapat dipaksa. Aku bi-
sa memilih orang yang kucintai! Mengapa tampaknya
kau ragu, Gumarang..?" Tanya si gadis. Sementara sudah mengalir air mata di
kedua belah pipinya.
Buru-buru pemuda itu memeluknya. Dan den-
gan jari-jarinya ia menyeka air mata si gadis.
"Aku tidak ragu-ragu, Wulan..! Kalau kau su-
dah tetapkan niatmu. Aku akan membawamu pergi.
Akupun tak dapat berpisah denganmu, sayang..! Na-
mun banyak resiko harus kita hadapi. Hubungan kita
telah diketahui oleh begundalnya si Tirta Menggala. Ki-
ta harus secepatnya meninggalkan tempat ini..!" Berkata si pemuda.
"Kita berangkat sekarang..?" Bertanya gadis
yang bernama Retno Wulan itu. Gumarang terdiam se-
jenak, lalu anggukkan kepala.
"Tak banyak lagi waktuku untuk pulang men-
gambil pakaian. Tapi aku ada bawa bekal cukup untuk
menyewa perahu. Kau sendiri bagaimana" Apakah ada
rencana lain?" Tanya Gumarang dengan menatap ta-
jam pada si gadis.
"Tidak! Justru aku kemari selagi ada tetamu
datang..! Aku lewat jalan belakang". Berkata Wulan.
"Apakah si Tirta Menggala itu..?" Tanya lagi Gumarang. Gadis ini cuma gelengkan
kepala dan berkata; "Entahlah! Aku tak tahu pasti..!" Ujar Wulan dengan datar.
Sementara ia sudah cekal lengan kekasihnya erat-erat.
"Sudahlah..! Ayo kita berangkat pergi..! Aku
khawatir ada orang menyusul kemari!" Sambung si gadis. Gumarang menatap gadis di
hadapannya tajam-
tajam. Namun kali ini sudah terlihat ketegasan di wa-
jahnya. "Mart Wulan! Dan ia sudah segera berdiri. Sepasang matanya menatap
sejenak ke belakang, lalu ke
sekelilingnya. "Kita kesana..!" Berkata Gumarang sambil men-
gangkat telunjuknya. Dan bergegaslah keduanya be-
ranjak tinggalkan tempat itu.
Di muara sungai itu seorang tukang perahu ba-
ru saja mengikat perahunya, ketika tiba-tiba ia paling-
kan kepalanya untuk menoleh. Dilihatnya dua orang
muda berlarian ke arahnya. Laki-laki berusia sekitar
lima puluh tahun ini kernyitkan keningnya.
Sebentar saja keduanya telah berada di hada-
pannya, Gumarang langsung berkata
"Bapak! Sudilah kau mengantarkan kami ke pe-
labuhan besar..?" Ujar Gumarang sambil tatap wajah si tukang perahu. Dan laki-
laki itupun menatap tajam
pada mereka berganti-ganti.
"Kami akan berikan sewanya. Asalkan bapak
dapat cepat mengantar kami kesana..!" Berkata Retno Wulan menambahi. Setelah
terdiam sejenak, laki-laki
tua ini menyahuti.
"Sebenarnya akan kemanakah anak..?" Ber-
tanya si tukang perahu. Tampak Gumarang jadi men-
dongkol sekali. Mengapa harus mengetahui kemana
tujuan orang" Pikirnya. Namun dengan sabar ia mem-
beri jawaban. "Ah..! Kami hanya akan pesiar saja. Bukankah
disana banyak tempat-tempat yang indah untuk dili-
hat!" Ujar Gumarang sambil tersenyum. Akan tetapi si tukang perahu itu sudah
mendengus, sambil berkata;
"Hm..! Bagiku uang sewa adalah soal mudah!
Akan tetapi aku tak dapat mengantar kalian kesana.
Karena Raden Tirta Menggala yang berkuasa di sekitar
pantai sini, telah melarang siapapun untuk mengan-
tarkan sepasang sejoli keluar dari daerah pantai ini..!
Aku tak tahu apa maksudnya. Namun larangan itu
amat keras. Dan berlaku sejak dua hari ini..!" Terkejut Gumarang dan Retno
Wulan, mendengar penuturan
itu. Diam-diam Gumarang sudah dapat menduga siapa
adanya si tukang perahu ini.
"He " Begitukah.." Kalau demikian berikan saja
perahu mu. Aku akan membelinya. Berapa kau mau
jual ?" Berkata Gumarang dengan bertolak pinggang.
"Ha ha ha... ha ha... Apa kau punya banyak
uang untuk membayar perahu ku?" Kata si Tukang pe-
rahu dengan tertawa lebar.
"Apakah perlu kutunjukkan uangku..?" Tanya
Gumarang kesal. Tapi ia tetap tak menurunkan tan-
gannya dari kedua pinggang.
"Baiklah..! Kau boleh bayar perahu ku sepuluh
ringgit perak! Murah bukan" Tapi kau hanya boleh
pergi seorang diri. Tinggalkan gadis itu..! Berkata si
tukang perahu. Gumarang jadi pelototkan sepasang
matanya, dan menatap gusar.
"Kurang ajar..! Kau orang tua memang tak pa-
tut dihormati orang-orang muda! Apa hubungannya
kami berdua dengan si Tirta Menggala itu, bah..!" Memaki Gumarang.
"Ha ha ha... Kura-kura dalam perahu, pura-
pura tidak tahu..! Apakah kau belum dengar kalau ga-
dis yang kau mau bawa kabur ini telah dipinang oleh
Raden Tirta Menggala..?" Ujar si tukang perahu. Mendengar kata-kata orang tua
itu, wajah Retno Wulan ja-
di pucat pias. Ia sudah ajukan pertanyaan.
"Dia sudah meminang ku.."! Apakah telah di te-
rima pinangannya oleh ayahku..?" Tanya Retno Wulan.
"Kalau tidak diterima mana beliau mau usil
dengan kalian..?" Sahutnya. Tapi Gumarang sudah
membentak keras.
"Mana boleh jadi melamar orang bisa di terima,
kalau orang yang akan di tanyainya tidak ada, dan tak
pernah mendengarnya. Dan boleh kau tanyakan pada
gadis ini... Apakah jawabannya tentang lamaran itu..!
Hingga kau tak beranggapan aku membawanya ka-
bur..!" Si tukang perahu balik menatap Retno Wulan.
"Bisakah kau sedikit bercerita, anak.." Aku in-
gin mendengar lebih jelas mengenai lamaran Raden
Tirta itu..!" Berkata si tukang perahu. Retno Wulan tak banyak berayal, segera
sedikit menceritakan tentang
keluarganya. "Aku memang bisa dianggap durhaka. Karena
melawan kehendak orang tua, tapi... bisakah aku me-
nerima pinangan itu" Aku belum memberi jawaban.
Ayahku diberi waktu satu bulan. Selama itu aku mera-
sa selalu diawasi oleh orang-orangnya Tirta Menggala.
Seandainya ayahku telah menyetujui sekalipun, aku
tetap menolak. Karena cinta tak dapat dipaksakan.
Cinta bukan barang dagangan, yang bisa dibeli dengan
uang dan harta benda..! Apakah sebagai manusia, aku
tak berhak mencintai seseorang dengan bebas" Keba-
nyakan manusia memandang harta dan kekuasaan itu
sebagai perisai, yang dengan mudah mendapatkan apa
saja yang ia ingini. Tetapi hal itu adalah sebagai tindak kekerasan... Nah!
Biarkan kami pergi! Kami rasa bapak
pernah muda. Dan mengerti bagaimana perasaan kami
menghadapi hal semacam ini..!" Kata-kata gadis itu terdengar lantang dan tegas.
Pertanda ia tetap akan
pergi dengan orang yang ia cintai. Walaupun harus
menghadapi banyak rintangan sekalipun. Tampak si
tukang perahu menatap kedua sejoli itu silih berganti.
Ternyata pada wajahnya terlihat rasa belas kasih. Dan
hal itu adalah di luar dugaan Gumarang. Setelah
menghela napas sejenak, si tukang perahu ajukan per-
tanyaan pada kedua sejoli itu.
"Apakah kalian benar-benar saling jatuh hati,
dan sudah bertekad bulat menempuh resikonya..?"
Tanya orang itu dengan menatap pada kedua wajah di
hadapannya. Hampir berbareng keduanya mengang-
guk. Bahkan sudah terlihat tangan keduanya saling
mencekal erat. Seperti sudah tak mau untuk dile-
paskan lagi. "Baiklah..! Kalau begitu. Biarlah kau bawa saja
perahu ku. Terserah mau dibayar berapa olehmu. Asal
cukup untuk ku membeli perahu lagi." Berkata si tukang perahu. Wajah Gumarang
berseri gembira. Demi-
kian juga Retno Wulan. Sesungging senyum tersungg-
ing pada bibirnya. Segera saja Gumarang mengelua-
rkan sepuluh ringgit uang perak, dan memberikannya
pada si tukang perahu.
Orang tua itu menerimanya tanpa berkata apa-
apa. Dan selanjutnya sudah tinggalkan keduanya.
Adapun Gumarang dan Retno Wulan setelah mengu-
capkan terima kasih, segera berlari ke perahu. Debiran
ombak menerjang kaki-kaki mereka. Gumarang telah
lepaskan tali yang menambatkan perahu. Retno Wulan
segera lompat ke dalamnya. Gumarang kerahkan tena-
ga sedikit untuk mendorong... Dan bergeraklah perahu
meluncur ke tengah menerjang ombak. Selanjutnya
pemuda itu sudah bekerja cepat. Dan tak lama kemu-
dian sudah melaju ke tengah gelombang....
Layar segera dipasang. Maka perahu kecil itu
telah tinggalkan pantai, melaju pesat makin maju jauh.
Ketika mereka layangkan pandangan ke tepi pantai,
orang tua tukang perahu itu sudah tak kelihatan lagi.
Perahu kecil itu meluncur terus membelah ge-
lombang. Angin darat meniup keras membuat mereka
tak perlu lagi menggunakan dayung lagi. Gumarang
memainkan kemudi di buritan perahu.
Sedang Retno Wulan duduk di bagian depan,
menghadap pada pemuda itu. Hatinya merasa lega.
Akhirnya mereka dapat meninggalkan pantai itu. Wa-
laupun ada rasa haru dan pedih meninggalkan kam-
pung halamannya.
"Apakah di pelabuhan besar kita tak menemui
halangan nanti, Gumarang.. ?" Tanya Retno Wulan.
Sementara jari-jari tangannya memainkan air, yang be-
riak di sisi perahu. Pemuda itu cuma tersenyum, dan
berkata; "Kita telah membeli perahu ini, mengapa harus
ke pelabuhan besar" Kita akan pergi kemana saja,
yang penting tidak seorangpun dari penduduk desa
mengetahui tempat kita..!" Tentu saja kata-kata itu membuat Retno Wulan jadi
naikkan alis. Tapi ia sudah
tertawa kecil dan berteriak memuji...
"Hi hi hi.... Bagus! Kau memang kekasihku
yang pintar. Dan juga tampan..!"
"Kalau tidak tampan, mana kau bisa jatuh hati
padaku..?" Sahut Gumarang. Dan keduanya sama-
sama tertawa. Tapi Gumarang juga berkata;
"Dan kau... Retno Wulan! Kau pun seorang ga-
dis yang berhati keras. Tapi juga cantik bagai bidada-
ri..! Makanya aku jatuh hati padamu.."
"Ah., kau...!" Selanjutnya Retno Wulan sudah
alihkan pandangan ke laut lepas. Hatinya terasa baha-
gia sekali. Siapa yang tak bahagia dipuji oleh kekasih
hatinya" Akan tetapi kebahagiaan itu seketika sirna.
Wajah Retno jadi pucat pias, ketika matanya menatap
ke bawah. Air yang dingin telah merendam jari-jari ka-
kinya. Tampak air. laut bergolak masuk dari sela-sela
papan di bawah perahu.
"Oh..!" Celaka..! Perahu kita bocor!" Teriak Retno Wulan. Seketika wajah
Gumarang pun berubah pu-
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cat. Ia sudah melompat ke tengah perahu dan meme-
riksanya. Ia pun berteriak kaget.
"Benar..! Kurang ajar! Tukang perahu itu telah
sengaja melubanginya, agar kita tak dapat pergi
jauh..!" "Atau agar kita mati tenggelam..!" Teriak Retno Wulan. Keadaan segera
berubah. Kini keduanya tampak panik. Gadis itu telah mendekap si pemuda keka-
sihnya itu erat-erat. Air matanya telah menitik jatuh.
"Tenanglah Wulan..! Kita harus cari akal agar
dapat segera menepi..." Akan tetapi tak sedikitpun di tempat itu terlihat
daratan, selain air. Dan melulu air.
"Kita tak punya harapan Gumarang! Biarlah
kalau kita harus mati. Aku rela asal kan mati ber-
dua...!"Berkata Retno Wulan dengan terisak. Sementa-
ra air makin naik hingga setengah badan perahu. Pe-
rahu kecil itu kini mulai tersendat jalannya. Pada saat itulah tiba-tiba muncul
di kejauhan sebuah perahu
layar besar. Berseri wajah Retno Wulan. Ia sudah le-
paskan pelukannya pada Gumarang, seraya berte-
riak... "Kita selamat..! Kita akan selamat. Tapi sekonyong-konyong wajahnya
kembali pias. Dan terdengar
suara mendesis dari bibirnya.
"Tapi... tapi perahu itu apakah bukan perahu si
Tirta Menggala..?" Gumarang tak dapat menjawab. Ta-pi cuma tertegun menatap pada
perahu besar itu yang
makin melaju mendekat. Benarlah dugaan Retno Wu-
lan. Perahu itu milik Tirta Menggala. Dan manusianya
telah terlihat berdiri di atas geladak bagian depan. Pa-da saat itu juga
terdengar suara tertawa berkakakah.
"Hua ha ha ha., haha... Anak muda..! Mau kau
bawa kabur kemana calon istriku itu" Ha ha ha.. Ter-
nyata kaulah rupanya biang kerok yang punya nyali
besar untuk menggagalkan rencanaku..?" Bagus! Ba-
gus! Ingin kulihat apakah kau mampu menyelamatkan
nyawa gadismu..?" Teriak Tirta Menggala. Perahu besar itu tidak terlalu
mendekat. Akan tetapi berhenti. Dan
menurunkan layar kira-kira dua puluh kaki di hada-
pannya. Gumarang menggertak gigi. Betapa geram ha-
tinya pada laki-laki di perahu itu. Akan tetapi Retno
Wulan telah berteriak;
"Manusia jahanam..! Licik. Kau rupanya telah
mengatur rencana busuk untuk menjebak kami. Dapat
menolongku atau tidak, bukan urusanmu..! Apakah
kaupun dapat menolong dirimu sendiri bila kau dalam
keadaan seperti kami..!?"
Keadaan perahu kecil itu semakin kritis. Kare-
na buritan perahu sudah mulai tenggelam. Kedua mu-
da-mudi ini memang tak berdaya. Akan tetapi pada
saat itu terdengarlah teriakan keras dibalik perahu Tir-ta Menggala. Dan
dibarengi dengan olengnya perahu
besar itu. Beberapa anak buah Tirta Menggala telah
keluarkan teriakan kaget.
"Celaka..!" Perahu kita bocor besar..!" Dan pa-niklah seketika kelima orang anak
buah Tirta Mengga-
la. Sedang laki-laki itu sudah melompat di sisi perahu
untuk melihat .Betapa terkejutnya melihat air mengalir
deras dari sebuah lubang dinding perahu. Ternyata
dinding perahunya telah berlubang sebesar kepala
manusia. Seketika iapun jadi panik. Wajahnya beru-
bah pucat. "Celaka..!" Cepat putar kemudi..! Pasang
layar..! Kita kembali sebelum tenggelam..!" Segera ber-lompatanlah anak-anak
buahnya untuk menjalankan
perintah. Ketika ia alihkan pandangannya pada perahu
kecil itu, ternyata telah tenggelam tak ada bekas-
bekasnya. Piaslah wajahnya seketika. Ia teringat akan
kata-kata si gadis tadi. Mampukah kau menyela-
matkan dirimu sendiri, seandainya kau dalam keadaan
seperti kami.. " Keringat dingin seketika saja telah bercucuran di sekujur
tubuhnya. Kini terlihatlah perahu
besar Tirta Menggala berlayar pulang dalam keadaan
oleng. Akibat kebocoran besar itu. Entah selamat en-
tah tidak, karena pada saat itu gelombang besar telah
menghantamnya. Dan perahu itu telah tak kelihatan
lagi... Gumarang dan Retno Wulan cuma dapat me-
mejamkan mata karena sekonyong-konyong angin ke-
ras menerpa wajahnya. Terasa ada sepasang tangan
menyambar pinggangnya dan di saat perahu mereka
tenggelam, mereka terpaksa menutup kedua mata. An-
gin kencang membersit menerpa tubuh dan wajah me-
reka dari bagian depan. Dan selang beberapa saat me-
reka telah rasakan kakinya menginjak pasir. Baru me-
reka membuka matanya ketika terasa lengannya aneh
itu melepaskan pinggangnya. Terkejutlah Retno Wulan
dan Gumarang, menatap sesosok tubuh telah berdiri di
hadapan mereka. Yaitu seorang gadis cantik berbaju
sutera merah jambu. Sepasang matanya bak bintang
Kejora. Bibirnya menampakkan senyum menawan. Se-
dang rambutnya beriapan tertiup angin. Ternyata ke-
dua sejoli itu telah tiba di darat.
"Sss... ssiapakah anda.." Apakah anda yang te-
lah menyelamatkan jiwa kami.. ?" Bertanya Gumarang hampir berbareng dengan Retno
Wulan. Gadis di hadapannya itu tertawa kecil, hingga tampak sebaris gigi
yang putih rata.
"Hihi... hi., hi... Aku manusia biasa. Nah kalian
telah selamat..! Silahkan teruskan perjalanan kalian..!"
Berkata gadis aneh itu. Akan tetapi kedua remaja itu
telah segera berlutut di atas pasir. Gumarang berucap
dengan suara gemetar.
"Anda pasti bukan seorang manusia... Anda
pasti Dewi Laut..! Oh terimakasih atas pertolongan mu
sang Dewi..!"
Melihat kedua sejoli itu jatuhkan dan berlutut,
si gadis berbaju sutera merah jambu itu cepat-cepat
angkat pundak kedua orang muda itu. Aneh... Guma-
rang hanya rasakan pundaknya disentuh telapak tan-
gan halus... Tahu-tahu tubuhnya telah terangkat naik.
Dan memaksanya berdiri lagi. Demikian juga
Retno Wulan. Yang hampir tak bisa mempercayai. Apa
lagi sosok tubuh di hadapannya itu amat cantik luar
biasa. Dengan dapat menyelamatkan jiwanya dari ten-
gah samudra tanpa sebuah perahu pun, adalah bukan
perbuatan manusia... Pikirnya. Akan tetapi kembali
gadis itu berkata. Kali ini suaranya terdengar santar.
"Hm..! Sudah kukatakan, aku adalah manusia
biasa..! Mengapa kalian tak mempercayai" Kalian lihat-
lah! Apakah sepasang kakiku tidak menginjak ta-
nah..?" Kedua pasang mata segera menatap tubuh
gadis itu. Dan benarlah..! Sepasang kaki sang peno-
longnya benar-benar menginjak tanah. Berarti si peno-
long adalah manusia biasa. Seketika mata mereka jadi
menatap tak percaya. Dan gadis baju sutera merah
jambu itu sudah berkata lagi;
"Namaku Roro Centil..! Aku datang dari sebe-
rang pulau. Apakah ini yang namanya pulau Anda-
las..!" Tertegun sepasang muda-mudi itu. Tapi Gumarang segera menjawab;
"Be... benar... Nono... nona... jadi... jadi...?"
"Hi hi hi... hi hi hi... Terima kasih..!" Belum lagi Gumarang meneruskan kata-
katanya, sosok tubuh di
hadapannya telah berkelebat lenyap.
Tentu saja hal itu membuat Gumarang dan
Retno Wulan jadi melongo alias ternganga. Mereka
hanya dapat melihat bayangan warna merah jambu.
Dan sekejap sudah lenyap.
Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan,
injakkan kaki di padang rumput yang menghijau.
Padang rumput itu amat luas. Sedang jauh di
bagian depan terlihat perbukitan yang memanjang, se-
perti tak ada putusnya. Dikelilingi rimba lebat
"Kurasa diantara perbukitan itu pasti terdapat
gunung..!" Berbisik Roro.
"Entah yang manakah gunung Dempo"..." De-
sisnya lagi. Sementara ia sudah mempercepat jalan-
nya, melewati padang rumput itu. Nampaknya Roro
tak begitu tergesa-gesa. Namun bagi orang biasa, lang-
kah kaki Roro memang termasuk cepat. Sementara itu
tanpa diketahui oleh sang Pendekar, dua sosok tubuh
berbaju hijau tampak mengintai dari balik pepohonan.
Keduanya adalah dua orang laki-laki yang bertampang
seram. Ikat kepalanya berbentuk lancip pada bagian
sisinya. Keduanya tampaknya bukan orang desa biasa.
Karena terlihat pada masing-masing pinggangnya ter-
sembul gagang golok.
Begitu kira-kira jarak sepuluh tombak, kedua
orang itu berkelebatan keluar. Roro Centil tampaknya
tidak terkejut. Karena sebagai orang Rimba hijau yang
telah cukup berkecimpung lama di dunia persilatan,
telah dapat mengetahui sebelumnya. Kedua orang itu
segera menjura hormat, dengan bungkukkan tubuh.
Dan salah seorang sudah berkata; "Anda pasti salah seorang undangan dari Ketua
kami, Selamat datang di
daerah kekuasaan Perguruan 'Burung Hantu". Markas
besar kami berada di bagian dalam. Silahkan anda ja-
lan terus..!"
Roro Centil jadi melengak. Akan tetapi ia sudah
mengangguk setelah membalas hormat. Tampak dari
kedua wajah orang itu tak menampilkan kecurigaan
buat Roro. Sehingga diam-diam ia membatin... Aneh..!
Datang-datang ke negeri orang, sudah disambut baik.
Dan dianggap tetamu undangan. Siapakah gerangan
Ketua dari Perguruan Burung Hantu itu.." Pikir Roro.
Entah ada pertemuan apakah" Pikirnya lagi. Namun
justru keanehan itu membuat Roro jadi kepingin tahu.
Dan tanpa banyak bicara ia sudah melangkah masuk
melewati kedua orang penjaga itu. Ternyata pada kira-
kira tiga tombak, terlihat ada dua tugu di kiri kanan
jalan. Roro segera menduga kalau itulah pintu masuk
ke dalam markas Burung Hantu. Tak berayal lagi Roro
sudah kelebatkan tubuh kesana.
*** Tirta Menggala dalam keadaan panik... ketika
sebuah ombak besar tiba-tiba menghantam pera-
hunya. Tak ampun lagi tiang layar itu roboh tumbang
karena perahu sudah miring. Teriakan-teriakan dari
para anak buahnya pun terdengar... Tirta Menggala
mengeluh putus asa. Tubuhnya segera terjungkal ma-
suk laut. Akan tapi di detik itu juga berkelebat sebuah bayangan bagai kilat,
menyambar tengkuk Tirta Menggala. Dan tahu-tahu tubuhnya telah melayang di atas
air. Cepat sekali rasanya ketika angin deras menerpa
wajahnya. Dan beberapa saat kemudian, ia telah tiba
di darat. Tersentak laki-laki berusia lima puluh tahun
ini, ketika melihat siapa yang telah menolongnya. Serta merta segera ia bersujud
dengan khidmat.
"Guru..! Terima kasih, atas pertolonganmu..!"
ucapnya dengan suara tergetar girang, namun juga
terkejut sekali. Sosok tubuh yang berdiri di hadapan-
nya itu ternyata seorang kakek tua renta, bertubuh
kurus jangkung. namun agak bungkuk. Akan tetapi
anehnya seluruh tubuhnya berbulu. Walaupun tidak
terlalu lebat. Namun bulu-bulu itu panjang-panjang
pada beberapa bagian tubuhnya, berwarna pu-
tih. Pada bagian wajahnya, hanya kening dan hidung
serta sedikit kedua belah pipinya saja yang tak terda-
pat bulu. Wajahnya menampilkan usia yang sudah lan-
jut. Alisnya tebal menyatu. Kumis dan jenggotnya ter-
juntai panjang sampai melebihi pusar. Hidungnya agak
melebar. Sinar matanya menatap bagai mengeluarkan
cahaya berwarna biru. Kakek tua renta ini memakai
selapis jubah putih yang cukup tebal. Ternyata ram-
butnya juga panjang memutih. Terurai sampai ke
punggung. Terdengar si kakek berkata. Suaranya mirip
dengan suara kera. Ternyata giginya masih utuh, dan
menampakkan taring di kiri kanannya.
"Muridku..! Kau terlalu gegabah..! Apakah kau
tidak melihat bayangan merah jambu yang berkelebat
mendekati perahu mu" Bayangan merah jambu itulah
yang telah menghantam dinding perahu mu, sehingga
mengalami kebocoran besar. Dan Bayangan merah
jambu itu pula yang telah menyelamatkan kedua orang
muda itu dari bahaya kematian.. Mendengar kata-kata
itu tentu saja Tirta Menggala jadi terkesiap. Ia sudah
segera bertanya;
"Siapakah bayangan merah jambu itu Guru...?"
Si kakek tua renta berbulu itu keluarkan suara bag
menggeram. "Gut... Menurut berita dari Peri Gunung Dem-
po, di seberang pulau ada seorang tokoh persilatan
terkenal yang berilmu tinggi. Sayang Peri Gunung
Dempo tak berhasil menjumpainya ketika empat bulan
yang lalu kesana. Namun Peri Gunung Dempo berhasil
membunuh gurunya. Yaitu Manusia Aneh Pantai Sela-
tan. Bayangan merah jambu itu sudah pasti muridnya
yang bernama Roro Centil, alias si Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Pasti..! Karena ia seorang wanita. Dan
mempunyai ilmu berjalan di atas air..!"
Terkejut Tirta Menggala mendengar penuturan
gurunya Ternyata sejauh itu sudah ada manusia lain
yang berilmu hebat. Pada hal gurunya sendiri sudah di
anggap sebagai Dewa Siluman Kera, yang pergi dan da-
tangnya bagaikan angin. Kini Tirta Menggala menden-
gar lagi adanya seorang wanita yang memiliki ilmu
yang hebat. Hampir-hampir ia tidak percaya.
"Guru..! Ada apakah manusia dari seberang
lautan itu datang kemari...?" Tanya Tirta Menggala.
"Entahlah..! Tapi dugaanku adalah mencari Peri
Gunung Dempo. Karena telah membunuh Gurunya.
Tapi itu juga sebuah tantangan berat bagiku. Karena
Pendekar Wanita itu termasuk manusia yang suka
mencampuri urusan orang..!" Berkata si kakek.
Melengak Tirta Menggala. Tapi saat itu sang
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
guru sudah berkata lagi.
"Menggala..! Sebaiknya kau tinggalkan dulu ke-
sibukan mu. Kau menetap dulu di kediaman ku. Ku
kira kekuasaanmu tak dapat kau pertahankan, bila
kau tak mempunyai secuil pun kepandaian..!" Ujar si kakek dengan sorot matanya
yang tajam menatap Tirta
Menggala. "Tapi... tapi.. Guru..! Aku perlu bantuanmu dulu untuk... untuk..."
Tirta Menggala tak dapat meneruskan kata-katanya karena tubuhnya sudah disam-
bar oleh si kakek aneh itu untuk dibawa melesat pergi.
Masih terdengar hardikannya lapat-lapat;
"Bocah goblok..! Sejak dulu-dulu sudah ku pe-
ringatkan. Pelajarilah ilmu-ilmuku..! Kau cuma pikir-
kan kekuasaan dan perempuan saja..!"
*** Gumarang dan Retno Wulan meninggalkan
pantai itu untuk segera mendaki bukit. Melalui jalan
setapak yang berputar-putar, mereka tiba di sebuah
desa terpencil di tengah hutan bambu.
"Kemana tujuan kita kini Gumarang..!" Ber-
tanya Retno Wulan. Tampaknya ia sudah lelah sekali.
Tubuhnya terasa penat. Dan kakinya terasa pegal bu-
kan main. "Kita singgah dulu di desa ini beristirahat. Mu-
dah-mudahan disini tak ada terdapat orang-orang si
Tirta Menggala..!" Jawab Gumarang. Sementara len-
gannya membimbing kekasihnya yang tampak sudah
sempoyongan. "Sayang kita gagal untuk pergi yang jauh seka-
li... Tapi kita harus bersyukur pada Tuhan, karena
wanita aneh bernama Roro Centil itu telah menyela-
matkan nyawa kita..!" Kata Gumarang lagi.
"Tapi kita cukup jauh dari desa tempat ting-
galmu, Wulan. Aku berharap kau tak terlalu cemas.
Selesai istirahat kita susuri bukit barisan, dan pergi
jauh terus ke utara..." Hiburnya lagi.
"Apakah si kambing tua itu tak akan dapat me-
nyusul kita lagi, Gumarang?"
"Percayalah sayang..! Aku akan menjaga mu
dengan taruhan jiwa raga ku! Seandainya manusia ke-
parat itu dapat menyusul kita. Eh!" Rasanya aku meli-
hat di kejauhan perahu si Tirta Menggala itu seperti
oleng, dan bergerak tak menentu..." Berkata Guma-
rang. "Bagus! Biarlah dia mati tenggelam di dasar
laut..!" Maki Retno Wulan dengan kesal.
Sebuah pondok yang paling dekat mereka ham-
piri. Gumarang sudah mengucapkan salam. Aneh Tak
ada orang menyahuti dari dalam. Pintu depan memang
tak terbuka sedikit. Daun jendela yang berada di si-
sinya bahkan terbuka separuh, namun tampak miring.
Tak ada tanda-tanda ada penghuninya di dalam. Hing-
ga sampai Gumarang mengucapkan salam tiga kali, te-
tap saja tak ada yang menyahut.
Yakinlah mereka kalau rumah itu kosong, alias
tak berpenghuni. Terbukti adanya sarang laba-laba
pada pintu yang setengah terbuka. Juga pada jendela
yang terbuka itu. Agak takut keduanya untuk mema-
suki. Terpaksa Gumarang membimbing Retno Wulan
untuk mencari pondok lainnya. Beberapa rumah ia
hampiri. Namun kesemuanya kosong melompong.
"Ternyata desa terpencil ini sebuah desa mati..!"
Desis Gumarang. Retno Wulan kerutkan alisnya. Ia
tampak mengeluh. Dan jatuhkan tubuhnya ke tanah.
Penatnya bukan main. Dan ia sudah tak sanggup ber-
diri lagi. Sementara saat itu keadaan semakin mere-
mang. Pertanda hari sudah menjelang senja. Terpaksa
Gumarang mengambil keputusan.
"Baiknya kita menginap di pondok kosong ini
saja untuk bermalam. Aku khawatir ada binatang buas
yang dapat menyusahkan kita..!" Ujar Gumarang. Dan ia sudah segera masuk ke
dalam salah satu pondok
kosong itu. "Tunggulah sebentar Wulan. Aku akan meme-
riksa keadaan di dalam..!" Kate Gumarang. Sambil
menoleh sejenak pada Retno Wulan, yang seperti su-
dah tak dapat bicara lagi. Gumarang cepat memasuki
kamar demi kamar. Tampak pemuda ini bersitkan wa-
jah girang. Ternyata masih ada balai-balai kayu leng-
kap dengan tilamnya. Serta bantal dan guling... Wa-
laupun banyak debu di atasnya, tak menjadi soal. Se-
gera ia beranjak ke ruang belakang. Sebuah dapur.
Yang ternyata masih komplit dengan perabotannya.
Ah, beruntung aku..! Desis Gumarang. Tapi aneh..!"
Mengapa pondok-pondok ini mereka tinggalkan.." Ber-
fikir Gumarang. Ah, perduli..! Yang penting kami dapat
bermalam disini, walaupun cuma satu malam. Menga-
pa harus pusing-pusing memikirkannya.." Desis pe-
muda ini dalam hati.
Segera ia kembali ke kamar dan bersihkan
tempat tidur. Sementara itu dengan berjalan tertatih-
tatih Retno Wulan beranjak memasuki pondok. Guma-
rang muncul dari ruang tengah. Ketika dilihatnya Ret-
no Wulan, cepat ia melompat menghampiri.
"Wulan..! Aku baru bersihkan kamar dan tem-
pat tidur. Mari ku pondong..!" Berkata Gumarang se-
raya peluk tubuh sang kekasih, dan pondong ke da-
lam. "Kita tak perlu khawatir dengan keadaan disini.
Binatang buas masih dapat dihindari, dari pada ma-
nusia jahat yang akan mengganggu kita..!" Ujar pemu-da itu. Dan tak lama ia
sudah baringkan tubuh Retno
Wulan di pembaringan.
"Kau jangan kemana-mana Gumarang..! Aku
takut sendirian..!" Teriak Retno Wulan seraya tarik kembali lengan laki-laki
itu. Dan sudah didekapnya
erat-erat. Terasa oleh pemuda itu detak jantung gadis
bergemuruh. "Tenanglah, sayang ku..! Jangan khawatir. Aku
takkan meninggalkanmu. Aku mau menutup pintu du-
lu..!" Berkata lirih Gumarang, seraya lengannya membelai rambut dan mencubit
hidung Retno Wulan. Ke-
mudian segera beranjak cepat keluar ruangan. Terden-
gar daun pintu bergerit, dan tak lama kemudian Gu-
marang telah kembali masuk. Pemuda itu segera du-
duk di sisi pembaringan. Kepalanya bergerak untuk
meneliti ruangan, dengan sepasang matanya yang
mencari-cari sesuatu. Di atas meja disudut ruangan
itu tergeletak sebuah lampu usang. Gumarang beran-
jak menghampiri.
"Bagus, masih ada minyaknya sedikit. Lumayan
untuk penerangan. Sebentar lagi malam akan tiba. Se-
baiknya aku pasang sekarang. Cuaca gelap, seperti
mau turun hujan lebat..!" Berkata Gumarang. Segera ia merogoh sakunya. Dan
nyalakan lampu dengan ba-tu geretan.
Sebentar kemudian ruangan kamar itu menjadi
terang benderang. Kemudian ia kembali duduk di sisi
Retno Wulan. Kini yang ia tatap adalah wajah gadis
itu. Retno Wulan telah pejamkan matanya. tampak ke-
ringat mengalir dari dahinya. Segera Gumarang seka
peluh itu dengan ujung bajunya. Dan dekap wajah itu
dengan sepasang lengannya. Satu ciuman telah men-
darat di dahi gadis itu.
"Kau lapar tidak, Wulan..?" Bertanya Guma-
rang. Gadis itu gelengkan kepala. Dan perlahan buka
kelopak matanya. Sepasang mata sang gadis menatap
redup wajah pemuda yang dicintainya itu. Terdengar-
lah suara si gadis lirih. Sementara lengannya sudah
bergerak memeluk tubuh Gumarang.
"Gumarang..! Oh... jangan kau tinggalkan aku
untuk selamanya..!" Desisnya lirih. Gumarang de-
katkan lagi wajahnya, dan bisiki si gadis di telinganya.
"Tidak sayang ku..! Aku tak akan tinggalkan
kau selama hayat dikandung badan. Aku akan selalu
dekat padamu..!" Dan keduanya pun tenggelam dalam
buaian asmara yang bergejolak. Sementara d luar, po-
hon-pohon bambu terangguk-angguk terkena tiupan
angin, yang mendesah. Gemerisik bunyi daun-daun
bambu yang saling bergesekan. Gumarang rebahkan
tubuhnya di sisi sang gadis. Yang segera lingkarkan
lengannya dada Gumarang. Terdengar laki-laki muda
ini menghela napas. Seperti merasa lega setelah bergu-
lat dengan berbagai rintangan tadi siang.
Api pelita itu tampak bergoyang-goyang terkena
hembusan angin malam yang masuk dari sela-sela
dinding. Hujan rintik-rintik mulai turun. Suasana
memang agak dingin, hingga Retno Wulan semakin le-
lap mendekap tubuh Gumarang.
Napas pemuda ini terlihat agak memburu. Te-
rasa sulit baginya untuk menahan gejolak kelaki-
lakian nya. Apa lagi dalam keadaan berdua-dua demi-
kian itu, tanpa ada seorang pun yang tahu.. Benda-
benda lembut terasa menekan kuat tubuhnya. Terasa
desah napas Retno Wulan seperti meniup-niup daun
telinganya. "Wulan..!" Gumarang berbisik perlahan. Dan
miringkan tubuh. Untuk kemudian menggamit ping-
gang sang gadis. Dan tenggelamlah mereka dalam ke-
rinduan. Tiba-tiba terdengar petir menggelegar.
Namun tampaknya mereka seperti tenggelam
dalam keasyikan memadu rintihan. Tanpa perdulikan
sekitarnya. Tanpa perdulikan apa-apa. Seperti juga in-
gin menghabiskan malam itu sepuas-puasnya....
*** Roro Centil mengendus bau-bauan aneh di
ruangan kamarnya. Bau asap kemenyan, entah dari
mana datangnya bau orang membakar kemenyan itu.
Malam itu Roro Centil memang menjadi tetamu yang
istimewa bagi si Ketua Perguruan Burung Hantu. Ia
menempati sebuah kamar yang bersih. Berdinding dan
berlantai papan. Ternyata si Ketua seorang yang ra-
mah tamah. Walau sepasang matanya memancarkan
sinar yang membersit tajam. Mirip mata Burung Han-
tu. Rumah Perguruan Burung Hantu ternyata ter-
diri dari beberapa wuwungan. Dan Roro menempati di
sebuah rumah yang paling besar. Ternyata di samping
kedatangan Roro masih ada berdatangan lagi tiga
orang tetamu. Yaitu seorang wanita, dan dua orang la-
ki-laki. Dapat dilihat sepintas oleh Pendekar Wanita
Pantai Selatan, ketiganya bukanlah orang-orang yang
biasa-biasa saja. Karena dari setiap gerakannya me-
nunjukkan ketiganya berilmu tinggi. Ternyata si Bu-
rung Hantu itu telah mengundang rekan-rekannya un-
tuk mengadakan pertemuan dengan menyebar undan-
gan. Adapun Roro yang bukan termasuk salah satu
undangannya, ternyata tidak masuk hitungan. Ketika
di adakannya pertemuan empat pasang. mata. Sengaja
Roro diberi ruang terpisah. Anehnya si Burung Hantu
sedikitpun tidak menanyakan hal ihwal Roro. Mem-
buat Roro agak merasa aneh.
Sementara malam terus berlalu merayap, Roro
tak bisa pejamkan mata. Bau asap kemenyan itu
benar-benar membuat ia merasa terganggu. Dia
diam ia telah membuka jendela, dan melompat ke luar.
Keadaan di luar tampak sunyi. Jarak antar tiap-tiap
rumah kira-kira tiga puluh tombak. Pada bagian de-
pannya dipasangi dua obor. Roro bergerak menyelidiki
setiap dinding kamar. Telinganya dipasang tajam-
tajam. Demikianlah Roro mencoba curi dengar dimana
adanya pertemuan empat pasang mata antara si Bu-
rung Hantu dengan ketiga tetamunya. Sementara se-
pasang biji matanya selalu bergerak lincah. Karena
mengkhawatirkan ada penjaga yang melihatnya.
Sayang di rumah besar itu tak ada tanda-tanda
mencurigakan. Malam memang sudah larut. Segera
Roro berkelebat ke rumah-rumah berikutnya. Dan pa-
da sebuah rumah yang bentuknya agak berbeda den-
gan yang lain itu, lapat-lapat dapat didengarnya suara
orang bercakap-cakap. Walaupun suaranya tidak terla-
lu keras, namun pada malam yang sunyi itu, dapat
terdengar oleh Roro dengan merapatkan telinganya ke
dinding rumah. "Sebentar lagi di saat ayam mulai kukuruyuk,
kita sudah segera bergerak kesana!" Terdengar suara sang Ketua Perguruan Burung
Hantu. Yang memang
berjulukan si Burung Hantu. Roro bergerak perlahan
tanpa menimbulkan suara, mencari celah yang dapat
ia pergunakan untuk mengintip. Dan sudah dite-
muinya celah kecil di dinding papan bangunan rumah
itu. Segera saja terlihat keempat orang duduk berkelil-
ing. Sang Ketua membelakangi
Roro. Sedang dua laki-laki tetamunya duduk
berhadapan dengan si Ketua. Dan wanita satunya du-
duk di sebelah kiri si Burung Hantu. Dari pembicaraan
rahasia yang didengarnya, Roro segera dapat mengeta-
hui ketiga tetamu si Burung Hantu itu. Kedua laki-laki
itu adalah yang berjulukan Dua Iblis Sembilan Nyawa.
Yang masing-masing bernama Gajah Dungkul dan Ka-
la Dungga. Gajah Dungkul berperawakan tinggi besar.
Telinganya panjang dan bermuka lebar. Sepasang ma-
tanya sipit dengan alis yang tebal terjungkit ke atas.
Hidungnya agak melengkung, dan berbibir tebal. Laki-
laki ini mengenakan pakaian berwarna abu-abu. Tam-
pak di sisinya tergeletak senjatanya sepasang piring tipis, yang berbentuk mirip
tutup panci, mempunyai pe-
gangan pada bagian tengahnya.
Sedang yang bernama Kala Dungga ternyata
seorang laki-laki berkulit hitam. Berkepala lonjong.
Rambutnya hanya tebal bagian atasnya saja. Hidung
dan mulutnya berdekatan sekali. Giginya agak men-
cuat keluar. Dengan sepasang mata yang besar. Kumis
dan jenggotnya tidak rata. Usianya hampir sebaya
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan si Gajah Dungkul. Yaitu sekitar lima puluh ta-
hun. Orang ini memakai jubah kuning. Senjatanya tak
terlihat di dekatnya. Sedangkan si wanita mengenakan
baju warna merah. Dengan wajah cukup cantik. Ber-
kulit sawo matang. Sebuah tongkat hitam mirip ular
berada di pangkuannya. Wanita ini sebentar-sebentar
tersenyum, kalau diajak bicara si Burung Hantu.
Dan duduknya pun agak berdekatan dengan si
tuan rumah. Ternyata si wanita ini bergelar si Ular Ko-
bra Mata Merah. Sedang si Burung Hantu sendiri, Roro
telah mengenal wajahnya. Yaitu seorang laki-laki yang
bertubuh agak pendek. Berwajah empat persegi. Ber-
hidung bagai paruh burung. Alisnya kereng dan tebal
hampir menyatu. Telinganya kecil, hampir tak keliha-
tan tertutup rambutnya. Malam itu mengenakan man-
tel bulu burung yang tampak berwarna hitam... Ada-
pun Roro terus mendengarkan pembicaraan keempat
orang itu. "Hmm, sobat Burung Hantu..! Apakah kau ya-
kin penyergapan kita malam ini tak akan gagal. Apa-
kah kita perlu membunuhnya mampus saja. Dan kita
kuras harta bendanya..!" Berkata Kala Dungga, si jubah kuning.
"Benar..! Sebaiknya demikian. Aku khawatir ka-
lau kita hanya menculik anak gadisnya saja untuk
minta tebusan, akan membahayakan kita. Terutama
perguruanmu. Bisa saja si hartawan itu melaporkan
pada pihak Kerajaan untuk menggulung markas mu."
Berkata Gajah Dungkul. Sedang si wanita alias si Ular
Kobra Mata Merah cuma tinggal diam. Karena usul
pertama itu dialah yang memberikan. Adapun si Bu-
rung Hantu jadi tersenyum mendengar saran-saran
kedua kawannya.
"He he he... Kalau cuma mau menculik anak
gadisnya sih, aku sendiri juga dapat melakukannya!
Makanya kupanggil kalian, karena aku akan menum-
pasnya sekaligus. Kekuasaannya akhir-akhir itu
semakin meluas. Dan kudengar si hartawan itu
juga menyewa orang-orang persilatan untuk melindun-
gi kekuasaannya. Agaknya ia mau menyaingi si Tirta
Menggala..!" Berkata si Burung Hantu dengan suara
agak ditekan. "Tirta Menggala.. " Hm, kurasa diapun tak mau
disaingi begitu saja..! Apalagi manusia itu pernah men-
jadi murid seorang pertapa tua, yang berjulukan Dewa
Siluman Kera! Bila orang sakti itu turun tangan, dalam
sekejap saja akan hancurlah kekuasaan si hartawan
yang bekas pembesar kerajaan Sriwijaya itu..!" Tiba-tiba si Ular Kobra Mata
Merah ikut buka suara.
"Dan bila itu terjadi, kita bisa kalah cepat kalau tak buru-buru bertindak..!"
Menimbrung lagi Kala
Dungga. Si Burung Hantu jadi tertawa bergelak-gelak.
"He he he... he he... Tak usah terlalu mengkha-
watirkan si Tirta Menggala. Manusia itu cuma tergila-
gila dengan wanita. Untuk menjatuhkan
manusia semacam itu tidaklah sulit. Kita tak
perlu saling jatuhkan. Bahkan kita bisa bekerja sama
dengannya. Karena kita-bisa-bisa berurusan dengan si
pertapa sakti Siluman Kera Putih. Bisa-bisa akan te-
rancamlah jiwa kita..!"
"Benar..! Benar! Saran mu itu bagus sekali Bu-
rung Hantu..! Kita, sesama golongan hitam tak perlu
saling gontok-gontokan!" Ujar Gajah Dungkul.
"Akan tetapi mengenai rencana kita, baiknya
aku ambil kepastian. Nah dengarkan baik-baik..!"
Sambung si Burung Hantu lagi. Kemudian me-
reka pun mulai mengatur rencana dan siasat... Semen-
tara Roro mendengarkan dari balik dinding. Selesai
menetapkan keputusan, tiba-tiba salah seorang dari
tamunya itu, yaitu si wanita baju merah. Tiba-tiba ber-
tanya; "Eh... kulihat sobat kita ini sudah punya sim-panan khusus... Cantik
juga. Bolehkan aku mengeta-
hui lebih dekat siapa wanita piaraan mu itu?" Tentu saja Roro Centil jadi merah
wajahnya. Diam-diam ia
memaki dalam hati... Setan alas..! Aku di anggap wani-
ta piaraan si Ketua Kokok Beluk ini! Sialan..!"
Adapun si Burung Hantu baru sadar dan mera-
sa diingatkan oleh si wanita, mengenai seorang ta-
munya. "Aku sendiri belum mengetahui siapa dia
adanya..!" Berkata si Burung Hantu. Tentu saja ketiga orang undangan itu jadi
melengak. "Kau ini aneh, Burung Hantu..! Bagaimana ka-
lau wanita itu ternyata seorang mata-mata yang bisa
merusak rencana kita?" Berkata Gajah Dungkul.
"Tampaknya ia bukan wanita sembarangan..!
Apakah tak ada rencanamu untuk mengikut sertakan
dalam penyergapan kita?" Tanya kala Dungga. Si Burung Hantu ini tampak menghela
napas, lalu berkata
perlahan... Dan tuturkan asal mulanya hingga ia keda-
tangan tetamu yang tak diundang.
"Sebenarnya ada rencanaku untuk mengetahui
lebih jauh tentang siapa dirinya, akan tetapi, datang-
nya sudah di luar dugaan. Mana aku mampu menolak,
karena ia telah juga menjadi tamuku" Aku telah tem-
patkan ia di rumah besar. Ada dua orang pembantu
wanita disana untuk melayaninya. Sengaja aku mena-
hannya agar menginap selama beberapa hari. Tam-
paknya ia juga seperti orang yang aneh..! Kalau ia tak
merasa diundang mengapa mau saja datang untuk
menjadi tamuku?" Tutur si Burung Hantu.
"Apakah kau tak lihat adanya tanda-tanda
mencurigakan pada sikapnya?" Tanya Kala Dungga la-
gi. Si Burung Hantu tampak terdiam sejenak. Lalu me-
nyahuti. "Rasanya tidak! Tampaknya ia bukan pendu-
duk asal daerah kita. Seperti berlogat bahasa dari se-
berang pulau. Mungkin juga ia perantau dari Pulau
Jawa. Itulah sayangnya... karena kedatangannya ju-
stru bertepatan dengan pengaturan rencana kita, ma-
ka terpaksa ia ku tahan dulu agar tinggal beberapa ha-
ri disini. Karena aku tak mau melibatkan urusan ini
dengannya..! Baiknya kita tunggu saja sampai sele-
sainya urusan kita malam ini. Besok kita menemuinya
untuk lebih dekat mengenalnya..!" Burung Hantu berikan penjelasannya.
"Bagaimana kau bisa menahannya, kalau cuma
ada dua pembantu wanita di rumah besar tempat ia
menginap" Dia toh punya kaki. Kapan waktu bisa dia
bisa berangkat pergi..!" Menimbrung si wanita bertongkat ular. Akan tetapi si
Burung Hantu cuma menyerin-
gai, dan berkata perlahan.
"He he he., mengenai itu adalah urusanku! Si
Burung Hantu bukan anak kemarin sore yang harus
diberi petunjuk!" Jawabnya, dan segera menyambar
gelas arak untuk selanjutnya sudah menenggaknya
habis. Sementara yang lainnya pun menuruti, mene-
guk sisa minumannya.
Tampaknya Roro sudah cukup untuk mencuri
dengar. Segera ia berkelebat pergi tanpa menimbulkan
suara. Sebentar kemudian ia telah kembali memasuki
kembali kamarnya dengan lewat jendela. Kemudian
menutupnya rapat-rapat. Roro Centil jatuhkan tubuh-
nya di pembaringan. Dan tercenung memikirkan apa
yang telah didengarnya: Nama-nama yang diingatnya
adalah Tirta Menggala, murid kakek pertapa Siluman
Kera Putih. Entah bagaimana rupanya si kakek yang
kabarnya sakti itu. Dapat diketahui Tirta Menggala
adalah seorang laki-laki yang doyan dengan wanita
cantik. Adapun Hartawan yang disebut-sebut itu ter-
nyata bekas orang Kerajaan. Tentu saja kerajaan Sriwi-
jaya di tanah seberang ini. Bahkan yang pernah menja-
jah kerajaan Medang dan menguasai Pulau Jawa ham-
pir selama satu abad.
Sebenarnya ia tak mau turut campur dengan
urusan si Burung Hantu, yang ternyata juga bukan
orang baik-baik. Sayang percakapan mereka tak me-
nyebut-nyebut tentang Peri Gunung Dempo. Tampak-
nya Roro agak bingung untuk mengambil putusan.
Apakah berdiam di rumah ini, atau membuntuti mere-
ka yang akan melakukan penyergapan malam ini" Ka-
lau membuntuti mereka, berarti Roro jadi telah ikut
campur urusan orang. Dan akan membela siapakah
ia" Berfikir Roro. Seandainya terjadi ia menguntit si
Burung Hantu, apakah tidak ada yang lebih baik selain
ia menjadi penonton saja" Tapi... Berfikir lagi Roro
Centil. Mana ia tega membiarkan orang dibunuh se-
mena-mena. Sudah jelas yang jahat dan salah adalah
si Burung Hantu dan ketiga konconya. Walaupun si har-
tawan itu adalah bekas seorang pembesar Kerajaan
yang pernah menjadi musuh Kerajaan Medang di ta-
nah airnya. akan tetapi menolong orang bukanlah
menjadi halangan. Apa lagi hal ini bukanlah menyang-
kut urusan Kerajaan. Tapi adalah urusan kemanu-
siaan. Berfikir demikian Roro sengaja tak picingkan
mata untuk mendengar dimana suara kokok ayam ter-
dengar, ia akan segera keluar untuk menguntit mere-
ka. Akan tetapi ia juga ingin tahu akan kata-kata si
Burung Hantu. Yang mengatakan akan mampu mena-
hannya di rumah besar ini sampai mereka kembali.
Diam-diam Roro Centil tersenyum sendiri. Dan mem-
batin dalam hati.. Buktinya aku sudah keluar jendela,
tanpa ada yang mengetahui. Kalau benar ia dapat me-
nahanku mengapa tak ia sediakan penjaga untuk
mengawasi aku.."
Tiba-tiba ia baru sadar lagi kalau bau keme-
nyan itu semakin santar menusuk hidung. Timbul
keinginannya untuk memeriksa setiap ruangan. Bu-
kankah rumah ini cuma ditempatkan dua pembantu
wanita" Berfikir Roro. Akan tetapi baru saja ia akan
beranjak bangun, tiba-tiba pintu kamarnya menguak
terbuka. Angin dingin terasa menyelusuri sekitar tu-
buhnya. Benar-benar aneh. Roro dibuatnya tertegun.
Dan sekonyong-konyong hawa terasa mencekam. Dan
membuat bulu-bulu kuduk Roro jadi bangun berdiri.
Sepasang matanya tak lepas menatap ke pintu kamar
yang terbuka. Hampir tak masuk di akal Roro, ketika
dilihatnya dari dalam ruangan tengah itu terdengar
suara menggeram.
Sesosok bayangan hitam tiba-tiba muncul di
pintu kamar. Entah bayangan apa. Karena tidak ber-
bentuk. Sementara Roro cuma bisa terpaku duduk di
pembaringan. Sepasang matanya menatap tak berke-
dip pada bayangan hitam di hadapannya. Tiba-tiba
bayangan aneh yang membersitkan rasa seram itu be-
rubah jadi asap hitam yang bergumpal-gumpal. Dan
detik selanjutnya, gumpalan asap itu telah berbentuk
menyerupai seekor harimau yang besar, hampir sebe-
sar kerbau. Terkesiap Roro bukan buatan. Sampai-
sampai ia beringsut karena terkejutnya.... Selama hi-
dupnya baru pertama kali ini ia melihat kejadian aneh
seperti ini. Ia sudah gerakan tangan untuk menghan-
tam makhluk Harimau Tutul itu. Akan tetapi tena-
ganya terasa hilang musnah. Mengangkat lengan saja
ia sudah tak sanggup lagi. Sementara sepasang mata
si Harimau Tutul, pancarkan sinar matanya yang se-
perti menyala menatap Roro. Akan tetapi anehnya
makhluk jejadian itu tidak mengganggu. Ia cuma me-
langkah tiga-empat tindak
dan duduk di bawah di dekat jendela. Dengan
menghadapkan kepala pada Roro Centil. Sedang sepa-
sang matanya terus menatap sang Pendekar wanita
Pantai Selatan tak berkedip. Roro tampaknya dapat
bernapas lega. Akan tetapi ia benar-benar tak dapat
berkutik. Pada saat itulah terdengar suara orang me-
langkah mendekati pintu kamar Roro dari ruangan da-
lam. Seraya terdengar suaranya;
"Mengapa pintu kamarmu dibuka, nona.." Ada-
kah kau di dalam..?" Dan tersembul sesosok tubuh
yang tak lain dari pembantu wanita di rumah besar
itu. Begitu melihat Roro Centil masih duduk di pemba-
ringan dengan sepasang matanya, masih terbuka, ia
segera bicara lagi;
"Agaknya nona belum mengantuk..! Tidurlah!
hari sudah jauh malam. Tak baik bagi kesehatan..!
Daun pintu kamarmu jangan sekali-kali dibiarkan ter-
buka tengah malam..!" Sambungnya lagi seraya balikkan tubuh untuk kembali
keluar. Dan menutupkan
kembali daun pintu kamar Roro. Lalu terdengar suara
langkahnya menuju ruangan dalam. Agaknya seperti ia
baru terbangun dari tidur, setelah siangnya merasa le-
lah bekerja. Roro cuma bisa mengangguk, ketika si pemban-
tu wanita bertanya. Selebihnya ia cuma bisa tetap du-
duk terpaku tanpa bisa berbuat apa-apa. Anehnya,
pembantu wanita itu tidak melihat dan mengetahui
adanya seekor Harimau Tutul yang amat besar di ka-
mar itu. Tentu saja hal itu membuat Roro keluar ke-
ringat dingin. Benar-benar aneh..!" Pikir Roro Centil.
Apakah mahkluk ini yang diutus Burung Hantu untuk
menjaganya.." Demikian berkata hatinya. Menyesal ju-
ga Roro kembali lagi ke kamar ini. Kalau sudah begini,
Roro jadi benar-benar mati kutu. Sementara tubuhnya
benar-benar seperti di lolosi tulang belulangnya. Lemas sekali. Bahkan otaknya
pun tak dapat berfikir jernih.
Akhirnya dengan beringsut-ingsut ia rebahkan tubuh-
nya lagi di pembaringan. Dengan menyandarkan pung-
gungnya pada bantal, ia tetap selalu memperhatikan si
makhluk itu. Khawatir tiba-tiba menyerangnya. Tapi
diam-diam ia berusaha menyatukan segenap ilmu ba-
tinnya. Untuk memulihkan kembali keadaan tubuhnya
yang menjadi lemah tak bertenaga.
Roro Centil 07 Siluman Kera Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malam itu adalah malam yang paling tidak
enak buat Roro. Karena harus diawasi sesosok mak-
hluk yang besar dan menyeramkan....
Selang beberapa saat berlalu, suara kukuruyuk
ayam jago pun terdengar. Keadaan di Perguruan Bu-
rung Hantu sunyi mencekam. Akan tetapi empat sosok
tubuh telah berkelebat keluar dari salah sebuah ru-
mah. Dan selanjutnya kembali lenyap di ujung jalan
desa. Gerakannya seperti hati-hati agar tak menimbul-
kan suara. Ternyata keempat sosok tubuh itu tak lain
dari si Burung Hantu dan ketiga konconya. Yang me-
mang telah tiba saatnya untuk berangkat pergi, sesuai
rencana. Gedung tempat tinggal si hartawan bekas pem-
besar Kerajaan itu berada di daerah Gunung Putri. Ge-
dung baru yang baru beberapa bulan diisinya, sejak ke
pindahannya dari tempat tinggalnya yang lama. Si Har-
tawan itu bernama Datuk Sutan Benggala Dewa. Ia
memang baru saja menambah beberapa areal perke-
bunan merica dan kopi. Dan menangani urusan per-
dagangan besar dengan orang asing. Tentu saja usaha
itu mendapat izin dari pihak Kerajaan, karena ia juga
bekas seorang pembesar yang banyak membantu di
masa jabatannya. Dan Datuk Sutan Benggala Dewa
juga orang yang tahu diri, hingga tak lupa mengirim
upeti pada Raja setiap tahunnya.
Malam itu tampak empat sosok tubuh menyeli-
nap masuk ke dalam pekarangan Gedung yang luas
itu. Salah seorang bergerak memutar, ke arah samping
kiri gedung. Sedang seorang lagi dari samping kanan.
Di tempat yang luas itu ada terdiri dari tiga wuwungan
rumah. Dan rumah gedung yang paling besar itulah
tempat tinggal sang Datuk Sutan Benggala Dewa. Se-
dang yang dua orang masuk dari bagian depan dengan
gerakan hati-hati. Ternyata ketuanya adalah si Burung
Hantu dan si Wanita bergelar Ular Kobra Mata Merah.
Si Burung Hantu sudah membisiki dengan melompat
menghampiri rekannya;
"Ssst..! Apa tidak sebaiknya kau naik ke atas
membongkar genting..?" Si wanita baju merah itu tampak kerutkan alis sejenak,
lalu menyahuti.
"Baiklah... Dan ia segera akan bergerak untuk
melompat ke atas genting, ketika tiba-tiba terdengar
bentakan keras;
"Pencuri laknat..! Jangan harap kalian dapat
pulang dengan selamat..!" Dan tiba-tiba dari sebelah sisi rumah petak itu telah
bermunculan tiga sosok tubuh. Rata-rata mereka berbaju hitam. Sekejap saja te-
lah mengurung keduanya. Si Burung Hantu cuma
memandang dengan senyum menghina pada para pen-
gurungnya. Sekilas ia lirik si wanita rekannya yang
tampak tersenyum padanya. Lalu anggukkan kepala.
Sementara ketiga orang itu telah menerjang maju. Sen-
jata-senjata yang dipergunakannya adalah sebuah go-
lok besar, dan dua bilah pedang. Melihat hal demikian
si Burung Hantu segera berkelebat menghindar, seraya
perdengarkan dengusan di hidung, dan cabut senja-
tanya. Trang! Trang! Dua serangan pedang telah di
sampok mental balik. Ternyata yang ia pergunakan
adalah sebuah senjata aneh, yaitu berbentuk sepasang
ruyung. Akan tetapi pada bagian ujungnya terdapat ti-
ga buah rantai. Dengan masing-masing pada bagian
ujungnya terdapat tiga buah cakar besi mirip cakar
burung. Senjata hebat inilah yang dinamakan si Cakar
Hantu. Kedua orang penjaga yang menyerang si Bu-
rung Hantu itu terkejut sekali, karena rasa tangan-
tangan mereka tergetar akibat sampokan senjata Ca-
kar Hantu itu, dan kedua pedang hampir terlepas dari
pegangan tangan masing-masing. Akan tetapi segera
mereka maju menerjang lagi. Kali ini tampak hati-hati.
Karena ketika si Burung Hantu menyambut dengan
senjatanya, segera keduanya menarik lagi serangan-
nya. Ternyata adalah Cuma serangan dengan gerak ti-
puan. Adapun si wanita dengan senjata tongkat ular-
nya cuma melayani si penyerang bersenjata golok be-
sar itu dengan senyum-senyum.
Beberapa serangan sang penjaga itu cuma di-
anggap tak berarti. Dan dengan mudah ia selalu dapat
mengelakkannya. Selang sepuluh jurus, tiba-tiba si
Burung Hantu keluarkan suara mirip burung Kokok
Beluk, tiga kali. Agaknya si wanita rekannya itu men-
gerti. Dan tampak tongkat ularnya bergerak memutar
bagai baling-baling... Si penjaga bergolok besar itu terkejut karena rasakan
sampokan angin keras mener-
jang tubuhnya. Ia sudah melompat tiga tombak men-
jauh. Akan tetapi bagaikan bayangan, tongkat si wani-
ta mengejar. Terpaksa ia menghantam dengan golok
besarnya, disertai bentakan.
Terdengar si wanita tertawa sinis. Tahu-tahu
tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan si penjaga.
Dan di lain saat terdengarlah teriakan ngeri sang pen-
jaga itu. Ternyata lehernya telah ditembus oleh tongkat ular si wanita. Darah
segar menyembur mengerikan.
Dan ketika si Ular Kobra Mata Merah menarik kembali
senjatanya, maka robohlah si penjaga dalam keadaan
tewas mengerikan. Dalam pada itu si Burung Hantu
tengah melancarkan serangan maut pada kedua la-
wannya. Kedua pedang ternyata telah di sampok men-
tal, hingga terlepas dari tangan sang lawan. Kini ba-
gaikan alap-alap menyambar mangsa, ketiga buah Ca-
kar Hantu itu bagaikan tangan-tangan setan saja me-
luncur deras mengarah leher dan dada kedua penjaga.
Salah seorang tak dapat mengelakkan diri lagi. Maka
terdengarlah jeritan ngerinya, ketika cakar Hantu itu
berhasil mencengkeram jantungnya, hingga daging-
dagingnya tercongkel keluar. D
an darah muncrat seketika, dan robohlah si
penjaga itu. Adapun yang seorang lagi ternyata berha-
sil mengelakkan serangan pada lehernya, dengan
membuang tubuh ke samping. Dan dengan berjumpa-
litan berhasil menjauh. Wajahnya jadi pucat pias. Se-
gera ia enjot tubuh untuk melarikan diri. Tampaknya
ia akan segera berhasil menyelamatkan diri. Akan te-
tapi pada saat itu juga, berkelebat tongkat si wanita.
Meluncur bagai seekor ular terbang. Dan terdengar te-
riakan sang penjaga bernasib naas itu. Punggungnya
telah tertembus tongkat ular bermata merah... Am-
bruklah seketika ia, dan tampak berkelojotan sebentar,
tewas seketika itu juga.
Mendengar ribut-ribut di luar itu tentu sang
hartawan alias Datuk Sutan Benggala Dewa jadi ter-
bangun. Tampak ia gelagapan. Dan berlari kesana-
kemari dengan kebingungan. Ia dapat segera menyada-
ri bahwa gedungnya telah disatroni penjahat Segera
saja ia berteriak-teriak...
Rahasia Si Badju Perak 3 Joko Sableng Muslihat Sang Ratu Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 2