Tiga Paderi Pemetik Bunga 1
Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga Bagian 1
1 PEPERANGAN paling besar yang
dihadapi manusia adalah, peperangan bagaimana mengalahkan Hawa Nafsunya sendiri!
Karena di sanalah manusia bisa memilih untuk dirinya menjadi malaikat, ataukah
menjadi setan...!
Kalau kau mau menjadi seorang
Pendekar, jadilah yang baik! Kalau kau sudah mengetahui tujuan kehidupan ini
adalah untuk mati, maka isilah jalan hidupmu dengan amal kebaikan...!
Mengumbar nafsu tak lebih dari
menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam api. Dan kalau kau sudah tahu api itu
panas. Jangan coba
kau menja- mahnya...!"
Gadis ini manggut-manggut se-
orang diri, dan terdengar ia menghela nafas seraya membuka sepasang kelopak
matanya. Dia seorang gadis berwajah can-
tik rupawan. Kecantikan alami yang telah dianugerahkan Tuhan padanya.
Wajah ayunya menampilkan kesegaran setiap mata yang memandang. Dialah
.... RORO CENTIL. Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan...!
Gadis ini duduk di ujung tebing
karang, menghadap ke laut lepas. Di bawahnya mendebur keras ombak-ombak laut
Pantai Selatan. Sementara burung-burung camar beterbangan di atas buih-
buih air dan ombak, seperti tak
mengenal takut akan kena terhantam gelombang dahsyat itu.
Gadis ini tengah duduk tafakur
mengingat wejangan dari guru-gurunya.
Yang kesemuanya menitik beratkan pada sifat-sifat kependekaran.
Setelah si Maling Sakti alias
Jarot Suradilaga. Kemudian Ki bayu Seta alias si Pendekar Bayangan.
Kemudian yang terakhir adalah seorang guru yang berjulukan si Manusia Aneh
Pantai Selatan.
Yang belakangan ini adalah
memang seorang yang aneh sesuai dengan julukannya...Karena sang Guru tak
diketahui jelas jenis kelaminnya.
Apakah wanita, apakah laki-laki. Yang jelas Guru Roro Centil adalah seorang
BANCI. Sejak Roro Centil berhasil
menumpas empat tokoh golongan hitam, yang bergelar Empat Iblis Kali Progo, gadis
Pendekar yang berwatak aneh ini kembali menghilang bagai ditelan bumi.
Tentu saja keadaan di Rimba Persilatan jadi heboh .. . !
Nama Roro Centil si Pendekar
Wanita Pantai Selatan telah menjadi pembicaraan di mana-mana. Bahkan pendekar
sampai ke beberapa tempat.
Kehebatan ilmunya yang amat mengerikan, dan kemunculannya yang bagaikan menjelma
di kalangan Rimba Hijau,
membuat kaum penjahat mulai menjadi kebat-kebit hatinya. Tentu saja hal itu
membuat kekhawatiran, karena periuk nasinya telah terancam
kepunahan. Karena mereka sadar kalau periuk nasi itu mereka dapatkan dengan
jalan tidak halal. Yaitu dengan
memeras penduduk. Merampok, membegal dan bahkan terkadang membunuh!... demi
keuntungan yang berlipat ganda.
Tapi di samping itu kaum
golongan Putih, juga setiap insan yang rindukan ketenteraman, merasa amat
gembira dengan munculnya seorang Pendekar Pembela Keadilan. Bahkan ternyata di
banyak tempat Roro Centil juga diam-diam mulai mengamalkan tugas kependekarannya
menegakkan keadilan di Jagat Raya ini.
Namun sejak setahun ini, tak ada terdengar beritanya mengenai sepak terjang si
Pendekar Wanita itu.
Membuat para kaum golongan penjahat mulai lagi membentangkan sayap-sayap-nya
membuat kericuhan. Perbuatan mereka kian brutal. Walaupun tak kurang Kaum
Pendekar lainnya yang berusaha memberantas bermacam kejahatan.
Ke manakah gerangan lenyapnya si Pendekar wanita Pantai Selatan itu ...
Kiranya selama itu Roro Centil
kembali dalam gemblengan sang Gurunya si Manusia Aneh Pantai Selatan alias si
Banci. Marilah sejenak kita kembali
pada kisah setahun belakangan ini, di mana Roro Centil digembleng di dasar
tebing pantai karang terjal itu ...
Agaknya si Manusia Aneh Pantai
Selatan itu kurang setuju dengan ilmu yang telah dipakai Roro menumpas ke Empat
Iblis Kali Progo. Karena Roro mempergunakan jurus-jurus si Dewa Tengkorak yang
keji. Kiranya diam-diam sang Guru selalu mengikuti sepak terjang muridnya.
Hingga ketika Roro kembali, sang Guru sudah menegurnya.
"Roro...! Bukan aku menyalah-kanmu untuk mempergunakan jurus-jurus si Dewa
Tengkorak. Akan tetapi jurus itu memang terlalu keji. Juga
dikhawatirkan orang akan menyangka kau muridnya si Dewa Tengkorak. Karena bukan
mustahil manusia yang mempunyai banyak istri itu, juga memberikan ilmu itu pada
istri-istrinya. Seandainya mereka yang berbuat untuk kejahatan, salah-salah kau
yang dituduh melakukan kejahatan...!"
Demikian ujar si manusia banci
pada suatu hari. Roro Centil manggut-manggut mendengarkan petuah gurunya.
"Memang sebenarnya kau belum kuizinkan untuk keluar dari tempat ini. Akan tetapi
aku tengah mencoba menguji tindakanmu. Ternyata kau tidak menyelewengkan
kepandaianmu untuk berbuat hal-hal yang tidak baik.
Seandainya kau pergunakan untuk keja-
hatan, tentu sudah siang-siang kau kukirim ke Akhirat...!" Kembali sang Guru
berkata dengan suara dingin.
Bergidik juga Roro Centil.
Karena di luar sepengetahuannya, si nenek yang awet muda ini telah
mengikuti sepak terjangnya.
"Ilmu 10 Jurus Pukulan Kematian itu memang hebat. Akan tetapi banyak
kelemahannya. Di samping pada jurus itu membahayakan bagi si pemakainya.
Kini saatnya bagimu mempelajari jurus-jurus ciptaanku yang memang menjadi
simpananku. Tentu saja akan kuwariskan padamu...! Cuma aku ingin kau
membunuhku terlebih dulu dengan Ilmu Ciptaan si Dewa Tengkorak itu...!".
Ujar wanita banci itu. Terkejut Roro Centil mendengarnya.... hingga sampai ia
berteriak kaget.
"Membunuhmu. Guru...?". Sentak Roro Centil hampir tak percaya.
Akan tetapi si Manusia Aneh
Pantai Selatan ini sudah membentak dengan keras.
"Benar...! Kau harus membunuhku...! Dan kau harus pergunakan jurus-jurus keji si
Dewa Tengkorak itu untuk menyerangku....!"
Hening sejenak. Wanita Aneh itu
tiba-tiba mendongak ke atas menatap langit. Lalu terdengar suara tertawanya yang
seperti geli. Akan tetapi seperti juga sebuah tangisan. Roro
Centil cuma bisa menatap dengan mulut ternganga. Sejuta pertanyaan memenuhi
benaknya. Sanggupkah aku melakukannya..." Berfikir Roro. Serasa
permintaan yang tak masuk akal. Aneh, dan menakutkan.
Akan tetapi detik itu juga telah terdengar lagi bentakannya;
"Sekarang juga kau harus
melakukannya...! Kalau kau
berkeberatan, silahkan kau keluar dari tempat ini. Dan jangan kau akui lagi aku
Gurumu. Tapi kalau kau seorang murid yang berbakti lekas kau lakukan itu, bocah
tolol... !"
Di luar dugaan, tiba-tiba Roro
Centil bangkit berdiri. Sepasang matanya menatap tajam pada gurunya.
Dan ia sudah berkata dengan tegas.
"Baik...! Aku akan turuti
perintahmu untuk membunuhmu. Guru...!
Cuma kumohon kau maafkan aku atas apa yang aku lakukan ini...!".
Seraya berkata, Roro Centil
sudah menerjang dengan ganasnya.
Sebelah lengannya bergerak mencengkeram batok kepala si Banci. Dan sebelah lagi
meluncur mengarah
jantung. Akan tetapi dengan perdengarkan tertawa cekikikan, si Manusia Aneh ini
sudah pergunakan Jurus Tarian Bidadari Mabuk Kepayang. Yang tentu saja cuma
dengan gerakan seperti orang menari itu, semua terjangan Roro yang
ganas itu dapat terhindar. Jurus demi jurus berlalu. Namun kesemua gerakan
terjangan Roro Centil juga tak mampu menembus atau membuat tubuh si manusia
Banci ini kena terhantam.
Membuat Roro Centil semakin
penasaran. Dan segera lakukan
terjangan yang lebih dahsyat lagi.
Sehingga seandainya sedikit saja si Manusia Aneh Pantai Selatan lengah tak ampun
lagi nyawanya akan melayang seketika.
Ternyata hal itu justru membuat
Roro semakin kagum. Karena dengan mudah saja sang Guru dapat mengelakkan setiap
serangan. Jurus keenam dan ketujuh telah
segera dilancarkan. Roro Centil
memekik keras disertai terjangan hebat. Agaknya kali ini si manusia Banci itu
seperti lengah. Roro sendiri terkesiap. Namun ia tak mungkin untuk merobah
serangan... Buk... ! Terjangan hebat itu tak dapat dielakkan sang Guru. Tubuhnya kena
terhantam, telak. Serangan kedua dan ketiga menyusul pula. Roro sudah pejamkan
mata tak tega melihat nasib sang Guru, yang jadi terhuyung-huyung mau roboh.
Akan tetapi di luar dugaan
tenaga pukulannya tiba-tiba telah berbalik menghantam lagi ke arah Roro Centil.
Terkesiaplah gadis ini.
Untunglah dengan letikkan tubuhnya bersalto beberapa kali, Roro Centil berhasil
menghindar. Namun akibatnya adalah sangat
mengerikan. Karena hantaman balik dari tenaganya telah membuat ambruknya karang
di belakangnya. Yang segera saja terdengar suara bergemuruh ketika batu karang
itu hancur. Masih beruntung Roro Centil
keburu mengelak. Seandainya ia tidak waspada, maka tubuhnya sudah dapat
dipastikan akan hancur luluh tak berbentuk lagi.
Pada saat itulah terdengar suara tertawa mengikik dari si Manusia Aneh Pantai
Selatan itu. Tertawa yang geli sekali. Sehingga terpingkal-pingkal sampai air
matanya bercucuran. Roro jadi melengak heran. Ia sudah jejakkan lagi kakinya di
atas batu. Dan dengan sepasang mata melotot tak berkedip, saksikan Gurunya yang
bertingkah aneh itu. Terdengar lagi suaranya yang bercampur geli.
"Hi hi hi... hi hi hi...
Ternyata Ilmu si Dewa Tengkorak tak mampu membunuhku! Dan tak mampu
melawan kehebatan ilmu Bidadari Mabuk Kepayangku ini. Hi hi hi... hi hi...
Bagus, muridku! Kau telah penuhi permintaanku. Cukuplah sudah. Tahukah kau ilmu
apa yang kupergunakan
barusan...?". Tanya sang Guru dengan
suara dingin. Roro Centil gelengkan kepalanya.
"Hi hi hi... Itulah Ilmu Ikan Hiu Balikkan Ekor...! Hebat
bukan...?". Roro jadi mengangguk-angguk dengan kagum, serta mengakui
kehebatannya. Kembali sang Guru tertawa geli
cekikikan. Seakan-akan merasa bangga sekali dengan ilmu ciptaannya. Seraya ia
sudah berkata lagi;
"Jurus-jurus si Dewa Tengkorak yang terdapat dari dalam potongan gagang Tombak
itu memang hebat. Akan tetapi bila dilawan dengan jurus Ikan Hiu Balikkan Ekor,
akan sama dengan membunuh dirinya sendiri. Ketahuilah Roro, aku amat puas punya
murid seperti kau. Akan tetapi kuminta agar kau tidak mempergunakan ilmu-ilmuku untuk
hal yang tidak amat
mendesak...!".
Roro manggut-manggut dengan
perlihatkan senyumnya.
"Tentu saja pesan Guru itu akan hamba junjung tinggi. Percayalah, aku tak akan
mempergunakannya untuk hal yang bertentangan dengan kependekaran...!".
"Bagus, Roro...! Kini tunggulah sebentar. Akan kutunjukkan sebuah senjata
istimewa yang telah ku ciptakan sebagai pelampiasan rasa keinginanku menjadi wanita...!"
Selesai berkata, sang Guru telah kembali berkelebat ke dalam ruangan kamar Goa.
Roro Centil cuma bisa memperhatikan tingkah laku Gurunya, yang seperti amat
sibuk sekali. Diam-diam ia menghela napas. Semoga saja sang Gurunya yang aneh
ini tidak berubah lagi wataknya. Hingga Roro harus lebih hati-hati lagi untuk
menghadapinya. Tak lama si Manusia Banci telah kembali lagi. Ternyata di
tangannya membawa sepasang senjata aneh. Senjata itu berbentuk rantai dengan
bandulnya. Tapi bentuk kedua bandulannya
itu amat lucu, karena amat mirip dengan sepasang payudara wanita, lengkap dengan
ujung putiknya.
Sang Guru sudah berikan sepasang senjata itu pada si murid. Seraya berkata;
"Roro...! Senjata ini belum pernah kupergunakan di luar. Kaum Rimba Hijau tak
seorang pun yang mengetahuinya selain kau! Nah kau boleh teliti sepasang senjata
itu sementara aku akan mempersiapkan jurus-jurus pelajaran yang akan kau mulai
pada malam nanti... !".
Selesai berkata sang Guru sudah kembali berkelebat masuk ruangan kamar goa
karang itu, untuk selanjutnya tidak keluar lagi.
"Senjata aneh...!" Gumam Roro.
Seraya memperhatikan, meneliti, dan membolak-balikkan senjata itu.
Ternyata bandulan senjata itu terbuat dari baja tipis. Yang aneh adalah warnanya
amat mirip dengan kulit manusia. Sedang rantainya terdapat tujuh buah, dengan
pada ujungnya terdapat gagang dari baja berkilat berwarna putih. Pada ujung
putik itu terdapat lima buah lubang kecil.
Roro yang tak mengetahui
kegunaannya coba memutarkan senjata itu. Tiba-tiba terdengarlah suara berdengung
tiada putusnya, seperti suara ratusan atau ribuan tawon.
Terkejut Roro Centil. Ketika ia coba menyalurkan tenaga dalamnya pada sepasang
senjata itu, segera membersit angin panas yang luar biasa. Namun Roro telah
lindungi dirinya dengan aliran tenaga dalam berhawa dingin, sehingga pengaruh
itu tak terasa. Akan tetapi bila dipakai untuk menyerang lawan amatlah
berbahaya. Selang
sesaat, Roro hentikan permainannya.
Dan coba pegang sepasang bandulannya.
Ternyata bandulan senjata itu tidak lagi keras melainkan lunak, mirip sebuah
bola karet saja. Diam-diam Roro Centil menyenangi sepasang senjata itu, yang
tentunya tak begitu
berbahaya, jika dipergunakan untuk menghajar batok kepala sebangsa
keroco. Paling-paling orangnya bisa
pusing tujuh keliling ... !
"Hi hi hi... Senjata yang lucu ini akan kuberi nama Si Rantai
Genit...!" Berseru Roro dengan wajah tampak girang sekali.
Demikianlah... sampai setahun Roro Centil berdiam di dasar lubang tebing karang Pantai Selatan. Dan selama itu
tiada seorang pun
mengetahui kalau si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil, kembali
digembleng oleh si manusia Banci.
Hingga suatu hari...
"Roro...! Sebenarnya aku telah terkena pukulan beracun dari paderi-paderi Biara
Welas Asih, di lereng Gunung Wilis. Pukulan itu amat
menyesakkan dadaku. Akan tetapi aku inginkan kau tidak membalas dendam.
Kuharap kau lupakan saja hal itu.
Sebenarnya memang aku amat mencintai si Dewa Tengkorak...! Akan tetapi dia tak
pernah menghiraukan diriku. Walau demikian sampai mati aku akan tetap
mencintainya. Kini dia telah mati. Dan hanya wariskan tombak Hitam ini. Aku
sudah cukup berbahagia bila kelak aku mati ditemani senjatanya...!". Berkata si
Manusia Aneh Pantai Selatan, seraya menimang-nimang tombak hitam si Dewa
Tengkorak, yang telah disambungkan kembali.
Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Roro Centil cuma bisa menatap
lalu tundukkan kepala sambil ter-
cenung, walau diam-diam ia terkejut mendengar Gurunya terkena pukulan beracunnya
paderi-paderi Gunung Wilis.
Setelah termenung beberapa saat, si manusia banci itu tiba-tiba tertawa geli
sekali... tapi kemudian menangis terisak-isak. Hingga air matanya bercucuran.
Membuat Roro Centil jadi ter-
paku, tapi sudah segera menghiburnya.
Roro menyadari kalau sang Guru ini telah terkena penyakit cinta, yang telah
dipendamnya berpuluh tahun.
Sehingga terkadang membuat si manusia banci ini bersikap manis terhadapnya namun
terkadang membentak kasar. Juga adat dan kelakuannya aneh-aneh. Tentu saja Roro
sudah hapal dengan perilaku gurunya.
"Sudahlah Guru...! Bukankah aku berada di sini menemanimu...! Aku akan tetap
bersamamu sampai kapanpun...
Kalau kau menghendaki...!." Ujar Roro Centil. Tapi tiba-tiba sang Guru bahkan
membentak. "Bocah tolol! Sejak kapan kau berubah jadi tolol..." Hm, dengan kau berdiam di
sini menungguiku, bukankah sama saja artinya dengan kau mengubur diri" Kalau kau
mau mati baiknya matilah saja...!" Seraya berkata, lengan si manusia Banci sudah
berkelebat menghantam kepala Roro.
Akan tetapi sedikitpun Roro Centil
tidak mengelak. Tentu saja hal itu membuat si Manusia Aneh jadi melengak.
Dan dengan geram, menahan kembali serangannya. Ternyata si manusia aneh itu
telah mendelik heran pada Roro.
"Mengapa kau tidak menge-
lak...?". Tanyanya. Roro Centil tiba-tiba tertawa geli sekali. Kini si manusia
aneh itu yang menatap dengan pandangan aneh pada muridnya.
"Kalau aku mengelak berarti aku tolol...! Makanya aku lebih baik memilih mati
daripada hiduppun
ternyata jadi manusia tolol.. .! Hi hi hi. . . Apakah pendapatku itu betul.
Guru...?". Tentu saja jawaban Roro membuat si manusia banci jadi terpaku
bingung. Akan tetapi selang tak lama ia sudah tertawa gelak-gelak.
"Hi hi hi ... hi hi .. . Bocah to...eh! Ya! ya ... kau memang bocah tolol ... !
Tapi cerdik...! Kalau aku menghadapimu bicara terus menerus, bisa-bisa aku yang
jadi tolol...! Sebaiknya besok pagi kau boleh
tinggalkan tempat ini. Dan jangan kembali lagi...!" Ujarnya tiba-tiba dengan
tatapan tajam, dan suara
dingin. Terkejut Roro mendengar kata-kata Gurunya.
Akan tetapi Roro Centil sudah
segera bersujud mencium kaki Gurunya seraya berkata.
"Kalau kau menghendaki aku
pergi, tentu saja aku tak dapat
menolaknya. Guru...! Akan tetapi berat rasanya hatiku. Selama ini kau telah
menumpahkan segala pikiranmu
untuk mewariskan segenap ilmu padaku. Aku berjanji akan mempergunakan segenap
kepandaian itu untuk membela panji-panji keadilan. Dan menegakkannya di atas
jagat raya ini. Walaupun harus aku berkorban jiwa sekalipun. Dan kumohon kau
dapat memaafkan segala kebodohanku selama ini, Guru!".
Si Wanita banci ini cuma terdiam menatap langit. Lagi-lagi air matanya mengalir
membasahi kedua pipinya.
Wajahnya yang cantik itu menampilkan kesedihan yang luar biasa. Akan tetapi ia
sudah berkata lirih...
"Roro...! Kau pergilah besok sebelum matahari terbit. Dan
perpisahan ini adalah saat terakhir kau bisa bicara padaku. Karena mulai hari
ini aku telah menutup semua pendengaran dan penglihatanku dari dunia persilatan.
Aku ingin mati terkubur di tempat ini. Karena aku sudah puas mempunyai murid
semacammu. Secantikmu. Juga secerdikmu...! Nah!
Kini sudah waktunya aku bersemadi.
Kuharap kau takkan menggangguku
lagi...!" Selesai berkata si Manusia Aneh Pantai Selatan segera beranjak masuk
ke kamar goa tempat ia biasa bersemadi. Lalu menutup pintu batu,
untuk selanjutnya telah tak terdengar lagi suaranya.
Roro Centil menatap dengan
pandangan mata redup. Tampak setetes air bening mengalir membasahi pipi.
Roro tak dapat menahan harunya.
Sementara suara deburan ombak
terdengar lapat-lapat dari dalam rongga di dasar tebing itu. Pelahan-lahan Roro
bangkit berdiri, lalu melangkah beberapa tindak mendekati tepi air. Di sana ia
berhenti untuk memandang riak gelombang di bawah kakinya. Dan terdengarlah suara
helaan napasnya.
"Guru...! Betapa
berat penderitaanmu, walau aku tak
mengetahui..." Gadis ini menggumam lirih. Seraya menyeka air matanya.
Burung-burung camar di atas
langit tampak bersileweran tiada putusnya. Roro Centil tersenyum...
Betapa iapun sudah merindukan untuk kembali ke alam bebas.
Namun sebelum pergi besok Roro
ingin sekali bermain gelombang...Suara debur ombak itu membuat ia ingin
menikmati alunan gelombang-gelombang raksasa itu. Segera saja ia telah membuka
pakaiannya. Karena tak ada seorang pun yang
melihat, Roro telah bertelanjang bulat. Dilemparkannya pakaiannya di atas
seonggok batu. Dan terjunkan kaki
ke air. Dengan melangkah perlahan ke depan, semakin lama air semakin dalam,
hingga sebatas dada. Yang akhirnya Roro menyelam. Gerakan di bawah air itu amat
disukai Roro. Sepasang
matanya telah menjadi biasa untuk melihat di bawah permukaan. Segera terlihat
terowongan dari kejauhan.
Roro hentakkan kaki dan tangannya.
Meluncurlah tubuhnya, sekejap telah tiba di mulut terowongan di bawah air...Di
sana ia mempercepat
gerakannya. Hingga tak lama kemudian ia telah berada di luar ruangan
rongga, di bawah tebing karang.
Terlihat di atas Roro riak gelombang yang besar-besar. Agaknya Roro Centil
memang sengaja menuju ke permukaan.
Hempasan gelombang segera menghantam tubuhnya. Akan tetapi gadis ini telah
kerahkan kekuatan tenaga dalamnya, dan meluncur ke permukaan ...
Itulah salah satu jurus dari
jurus Ikan Hiu mengejar Mangsa. Dan hebat akibatnya. Dalam sekejap tubuh Roro
Centil telah mencelat keluar dari permukaan. Ketika turun lagi sepasang kakinya
telah hinggap di atas
gelombang. Aneh...! Tubuh Roro tidak tenggelam. Bahkan Roro seperti tengah
menari-hari di atas gelombang. Seolah tubuhnya timbul tenggelam. Namun gadis ini
tampak asyik menikmati alunan ombak yang membuai-buai itu. Sementara
suara deburan-deburan keras membahana, ketika gelombang-gelombang raksasa itu
menghempas di batu karang.
Roro pejamkan matanya. Dan terbayanglah semua impian indahnya.
Suka dukanya...yang telah jadi
kenyataan. Kini ia telah menguasai ilmu yang amat langka di jagat ini.
Semua itu berkat latihan dan bimbingan Gurunya si Manusia Aneh Pantai
Selatan. Permainan menari-nari di atas ombak itu amatlah disukai Roro. Dan hal
itu tak berlangsung lama. Karena sebentar kemudian hari sudah menjelang senja.
Matahari telah semakin meng-gelincir di tepi cakrawala. Roro Centil segera
melompat tinggi tujuh tombak di atas gelombang. Tampaklah keindahan tubuhnya
yang padat berisi.
Bentuk tubuh yang jarang dipunyai gadis-gadis lain. Roro memang Roro...!
Walau banyak nama seperti dirinya di atas dunia ini, tapi RORO CENTIL cuma satu!
Dialah si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Yang berwajah ayu rupawan.
Berwatak aneh sukar diterka. Lincah jenaka banyak akalnya. Siapa pun pemuda yang
melihat, pasti akan
menggandrunginya.
Ketika tubuhnya meluncur lagi ke bawah di mana gelombang raksasa itu segera
menyambutnya, tubuh gadis yang bugil itupun lenyap. Seperti telah ditelan ombak.
Namun di bawah air,
Roro Centil telah berenang menyibak derasnya arus. Tubuhnya meluncur deras
bagaikan seekor ikan hiu, dan
berseliweran di antara karang-karang yang menonjol. Selang sesaat, ia telah
kembali memasuki terowongan di bawah air itu. Dan dengan sekali menggenjot
tubuh...Roro Centil kembali tersembul di permukaan. Kini ia telah berada kembali
di dalam ruangan rongga, di bawah tebing karang. Setelah menghirup napas dalam-
dalam, Roro beranjak ke darat. Sepasang kakinya melangkah perlahan di dasar air
berpasir sebatas betis. Lalu dengan gerakan ringan, Roro melompat ke darat.
Sepasang kakinya melangkah perlahan di dasar air berpasir sebatas betis. Lalu
dengan gerakan ringan, Roro melompat ke darat. Selanjutnya ia telah segera
mengenakan lagi pakaiannya. Menge-ringkan rambutnya, dengan duduk di atas batu.
Kali ini tampaknya Roro telah puas. Besok ia sudah tinggalkan tempat ini. Tempat
tersembunyi yang telah menjelmakan dirinya menjadi seorang gadis Pendekar
Perkasa. Walau diam-diam Roro Centil menghela napas.
Karena segera terpikirkan
akan banyaknya perintang kelak di Rimba Persilatan yang bakal ia hadapi. Tapi
disanalah ia dapat mendarma buktikan ilmunya untuk memperjuangkan keadilan.
Membela si lemah dari cengkeraman si
kuat yang sewenang-wenang. Menegakkan panji keadilan di atas bumi ini. Yang
semua itu adalah dengan taruhan nyawa.
Demikianlah... Matahari sudah agak meninggi. Akan tetapi Roro Centil masih tetap duduk di atas tebing karang
Pantai Selatan. Sepasang
matanya menghadap menatap hamparan lautan luas. Sementara hempasan angin laut,
membuat rambut dan pakaian sutera hijaunya melambai-lambai
diterpa angin. Juga ujung ikat
kepalanya yang berwarna abu-abu itu tak mau diam berkibaran.
Sedang di dekat kakinya,
tergeletak sebuah buntalan dari sutera tebal berwarna hitam. Adapun sepasang
senjatanya terselip di kiri-kanan pada ikat pinggang, yang terbuat dari kulit
ular. Roro Centil ternyata memakai pakaian yang singsat. Celana pangsinya yang
berwarna hijau tua, lebih tua dari pakaiannya. Tampak pada ujung celananya
terbelit tali sepatu rumput yang dikenakannya.
Selang beberapa saat setelah
mengenang tempat yang bakal tak
disinggahinya lagi, Roro Centil segera beranjak bangun berdiri. Sementara
lengannya sudah bergerak menyambar buntalan pakaiannya. Pada buntalan itu sang
Guru banyak membekali bermacam pakaian, juga sekotak kecil perhiasan.
Kesemuanya telah disediakan sang
guru di muka pintu kamar. Bahkan ketika Roro Centil berpamit tak ada sedikitpun
suara gurunya menyahuti.
Roro cuma bisa menghela napas.
Karena ia sudah mengenal watak gurunya yang aneh. Dan ia pun tak banyak buang
waktu lagi, segera sambar buntalannya yang tadi baru saja dibukanya untuk
dilihat isinya. Setelah menutup pintu lubang terowongan di atas tebing karang
itu, Roro tidak segera berlalu, tapi beranjak ke tepi tebing.
Di sana ia duduk menghadap laut.
Dan mengingat semua wejangan dari Guru gurunya. Yang kesemuanya menitik beratkan
pada sifat-sifat kependekan-ran. Betapa Roro sudah terlalu
menghayati akan semua itu. Namun Roro Centil memang berwatak aneh. Dan orang
akan sukar menduga isi hati yang terkandung di jiwanya.
Namun dasar-dasar kebenaran,
serta jiwa ksatria, kiranya tak
mungkin terlupakan oleh si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini. Karena
mengharungi atau terjun ke Dunia Rimba Hijau akan banyak kemelut dan bermacam
rintangan yang bakal dihadapi. Namun dengan jiwa yang kokoh itu, Roro Centil
tidaklah menjadi manusia yang mengecewakan di mata kaum golongan Pendekar.
Ketika itu Roro Centil sudah
berkelebat meninggalkan tebing karang,
dihantarkan oleh tiupan angin laut yang membersit dedaunan. Tubuh gadis pendekar
yang cantik itu sebentar saja telah berkelebat semakin jauh,
tinggalkan Pantai Selatan. Akan tetapi tanpa disadari sesosok tubuh yang sejak
tadi memperhatikan dari
kejauhan, diam-diam terus menguntitnya. Sosok tubuh itu adalah seorang pemuda
berbaju putih. Berwajah cukup tampan, dengan kumis kecil di atas bibirnya.
Tentu saja gerakannya kalah
cepat dengan Roro, sehingga sebentar saja ia telah jauh tertinggal. Akan tetapi
di sebuah tempat, ia berhenti, dan bersuit keras.
Tiba-tiba bergerak muncul seekor kuda berwarna hitam legam menghampiri, dengan
derap langkahnya yang terdengar memijak tanah, menyibak rerumputan.
"Antasena...! Cepatlah...!". Si laki-laki itu berseru girang melihat kudanya.
Dan segera saja telah
melompat ke atas punggungnya.
"Ayo! Antasena...! Kau susullah gadis cantik itu...!". Berkata si laki-laki. Dan
sekejap kemudian derap kaki-kaki kuda sudah terdengar terbawa angin, ketika si
laki-laki itu memacunya dengan cepat.
Agaknya Roro Centil mengetahui
adanya seekor kuda dengan penunggang kudanya di belakang. Karena ia telah
mendengar suara ringkik kuda serta derapnya di kejauhan.
"Siapakah...?" Gumam Roro seraya berpaling, dan perlambat larinya.
Melihat seekor kuda yang dipacu begitu cepat membuat Roro Centil ingin
mengetahui ada hal apakah gerangan.
Tapi diam-diam ia telah melompat ke balik semak dengan cepat. Sepasang matanya
tertuju pada si penunggang kuda, yang sebentar lagi akan tiba melewatinya.
Beberapa saat antaranya, segera saja kuda telah tiba. Ternyata sang kuda itu
terus melewatinya.
Sekilas Roro sudah dapat memperhatikan wajah si penunggangnya. Kira-kira jarak
dua puluh tombak, kuda itu dihentikan. Terdengar suara binatang itu meringkik
panjang. Dan terlihat si penunggangnya memutarkan kudanya ke beberapa arah.
Tampak wajahnya
menampilkan kekecewaan. Sepasang matanya seperti mencari jejak orang yang
diburunya. Tentu saja hal itu membuat Roro Centil diam-diam menduga dalam hati.
"Apakah ia mencariku...?".
Desisnya perlahan. Memandang wajah orang, agaknya Roro tidak curiga kalau si
penunggang kuda itu ada berniat jahat. Namun sengaja Roro tak mau menampakkan
diri. Setelah berputar-putar beberapa
kali, laki-laki itupun kembali memacu
kudanya ke arah depan, melewati hutan bambu. Diam-diam kini Rorolah yang
membuntuti. Kira-kira sepemakanan nasi si
penunggang kuda itu telah berhenti di sebuah biara rusak yang sudah tak
digunakan lagi. Akan tetapi pada saat itu telah berkelebat sesosok tubuh ke
hadapan si penunggang kuda. Tentu saja membuat laki-laki itu terkejut. Namun si
penghadang itu telah membentak keras.
"Sentanu...! Kau tak dapat
melarikan diri dariku...!". Ternyata si pendatang itu seorang pemuda tegap,
berwajah gagah, tanpa kumis dan
jenggot. Raut mukanya agak kasar.
Berkulit kecoklatan. Laki-laki ini mengenakan baju abu-abu berlengan pendek,
dengan bagian dadanya terbuka.
Menampakkan dadanya yang bidang.
Celananya berwarna hitam. Tanpa
memakai alas kaki. Sepasang mata pemuda ini membersit tajam menatap orang di
hadapannya. "Turunlah Sentanu...! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu..!"
Bentaknya sekali lagi.
Adapun si laki-laki berkumis
Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecil yang menunggang kuda itu, jadi kerutkan sepasang alisnya, dengan menatap
heran. Ia sudah mengenal siapa si penghadang itu.
"Hm! Mandra...! Apakah kesala-
hanku...?". Bertanya laki-laki itu.
"Keparat...! Kau masih juga berpura-pura" Perbuatanmu sudah
tercium jelas. Apakah dengan telah kau nodainya adikku Marni, kau mau kabur
begitu saja..." Kiranya peristiwa akhir-akhir ini yang melanda beberapa desa di
sekitar wilayah Kadipaten Karang Sembung, adalah akibat ulah perbuatanmu...!".
Bentak Mandra. Keruan saja wajah Sentanu jadi merah padam mendengar tuduhan itu.
"Gila...! Apa-apaan kau
Mandra...! Kuakui kau anak Carik Desa.
Tapi tuduhanmu itu tidak beralasan, dan di luar batas! Aku manusia yang masih
punya martabat dan harga diri.
Mengapa datang-datang kau melakukan tuduhan sekeji itu?". Teriak Sentanu, seraya
melompat dari kudanya.
Akan tetapi Mandra hanya
tersenyum sinis. Sepasang matanya tetap menatap Sentanu dengan berapi-api.
"Martabat..." Harga diri..." Ha ha ha... Semuanya hanya pepesan kosong belaka.
Apakah dengan dalih bahwa kau bekas seorang perwira Kerajaan Medang, lalu
membuat orang lain harus
menghormatimu" Ha ha ha... di mata penduduk, kau tak lebih dari seorang manusia
yang kehilangan martabatnya.
Mengapa kau masih menyebut-nyebut tentang martabat dan harga diri"
Penduduk semua tahu kalau ayahmu mati di tiang gantungan, karena dianggap
memberontak. Dan kau ... ha ha ha kau karena diketahui anak seorang Senapati
yang sudah tak berharga lagi, telah dipecat dari keprajuritanmu. Makanya kau
bergentayangan. Kasihan ibumu yang sudah tua itu. Dia cuma bisa mengusap dada
memikirkan semua nasib yang menimpa. Dan bisa-bisa mati meleras, kalau
mengetahui anaknya adalah
seorang tukang pemerkosa kelas
wahid...!".
"CUKUP...! Mulutmu perlu
dihajar, Mandra...! Jangan kau bawa-bawa ayahku! Jangan kau bawa-bawa kedua
orang tuaku! Kau telah memfitnah orang. Demi Tuhan aku tidak melakukan apa-
apa...!" Teriak Sentanu dengan wajah pucat. Giginya gemeletuk menahan geram.
Tiba-tiba ia telah berteriak lagi dengan mengeluarkan kata-kata keras.
"Sebutkanlah Mandra...! Siapa biang keladi yang telah memfitnahku, dan
menjatuhkan martabat almarhum ayahku..." Pasti akan kurobek
mulutnya. Ketahuilah olehmu. Ayahku bukanlah mati di tiang gantungan karena
berkhianat, melainkan tewas dalam peperangan menumpas sisa-sisa pemberontak di
utara. Dan aku memang telah sengaja keluar dari keprajuri-tanku, bukan karena
aku dipecat...!
Seandainya kau tidak percaya, silahkan datang menghadap Baginda Raja Medang.
Beliau pasti akan membentangkan
perihal ayahku itu. Sedang mengenai tuduhanmu itu, apakah kau punya bukti bahwa
aku yang telah menodai adikmu Marni" Juga mengenai pemerkosaan yang melanda di
beberapa desa, apakah kau punya bukti bahwa aku yang telah melakukannya..." Hm!
Mandra...! Berfikir lah yang jernih. Agaknya kau terkena tenung orang. Mengapa tak hujan,
tak angin tahu-tahu kau menuduh orang sem-barangan...?". Suara lantang Sentanu
agaknya membuat pemuda bernama Mandra itu terhenyak seketika. Akan tetapi ia
sudah berkata; "Bukti memang belum kudapatkan yang jelas. Akan tetapi orang desa Tambak Segoro
telah menduga kau yang telah melakukannya. Karena adikku Marni berada di
kamarmu. Telah dua hari ini aku mencarimu ke mana-mana.
Apa lagi melihat sejak kedatanganmu, kau jarang berada di rumah. Kecurigaan
penduduk tertuju padamu. Mereka punya dugaan kuat kejadian-kejadian di luar
tentang pemerkosaan yang semakin santar itu dilakukan olehmu.
Sebabnya... entahlah, mungkin mereka beranggapan kau anak seorang Senapati yang
tak bermoral. Dan mati dalam keadaan hina, sebagai pemberontak Kerajaan. Tentu
anaknya pun bukan
orang baik-baik. Atas dasar itulah aku turut menuduhmu, Sentanu...! Walau pun
kau adalah sahabatku, tapi itu dulu di waktu kecil. Keadaan sekarang mana aku
tahu..." Aku cuma sekali sekali saja datang ke rumah. Karena sibuk dengan
pekerjaanku sebagai pandai besi.
Mengetahui keadaan adik kandungnya bernasib demikian, siapa yang sanggup menahan
diri...?". Ujar Mandra.
Sementara Sentanu jadi terce-
nung. Memang ia jarang berada di rumah. Karena disebabkan para penduduk bersikap
sinis padanya. Entah mengapa.
Kini jelaslah sudah persoalannya.
Ternyata Sentanu telah difitnah orang.
Memang ia ada mendengar berita tentang adanya banyak kejadian pemerkosaan di
beberapa desa. Sebenarnya ia memang berniat menyelidiki.
2 KINI mendengar bahwa dua hari
yang lalu ada bukti bahwa Marni berada di kamarnya, membuat Sentanu jadi
termangu-mangu. Apakah sebenarnya yang telah terjadi" Siapakah manusia jail yang
memfitnah dirinya"
Tiba-tiba Sentanu sudah menatap
Mandra dengan tajam, lalu berkata;
"Mandra...! Kita pernah bersahabat, walaupun itu di waktu kita
kecil. Aku sudah bentangkan yang sejujurnya tentang diriku. Juga
sekaligus menceritakan yang sebenarnya tentang ayahku. Terserah kau...!
Apakah kau akan mempercayaiku, ataukah mempercayai dugaan penduduk yang telah
menuduh keluargaku sekeji itu.
Jelasnya ada yang sengaja mengail di air keruh. Orang yang makan nangka, aku
yang terkena getahnya. Baiklah!
Berilah aku waktu tiga bulan untuk menyelidiki kasus ini. Seandainya aku tak
berhasil membongkar siapa yang telah melibatkan diriku dalam
kejahatan ini, aku rela menerima hukuman darimu. Walau aku tak
bersalah...!".
Selesai berkata Sentanu telah
melompat kembali ke atas kudanya.
Sementara Mandra cuma bisa terpaku di tempatnya. Tapi kemudian terdengar ia
berkata; "Baik...! Aku pun akan coba menyelidiki. Kalau ternyata kau
bersalah, jangan harap kau bisa
meloloskan diri dariku. Tapi kalau ternyata kau tak bersalah, aku cabut lagi
tuduhanku...!" Selesai berkata Mandra segera tinggalkan tempat itu.
Ternyata ia juga membawa kuda yang disembunyikan tak jauh di belakang biara
rusak. Segera tak lama kemudian terdengar derap kaki-kaki kuda yang mencong-
klang cepat menuju ke arah
utara. Sekejap antaranya telah
menghilang di balik tikungan. Sentanu cuma menatap dengan pandangan kosong.
Baru saja ia mau memutar kuda untuk lanjutkan perjalanan, telah berkelebat tiga
sosok tubuh dari samping biara rusak. Belum lagi Sentanu sempat melihat tegas,
salah seorang telah melesat ke arahnya. Dan sekaligus menghantam laki-laki ini
dengan pukulan lengannya. Kejadian tak
terduga itu membuat Sentanu tak sempat berkelit. Segera saja dengan perdengarkan
teriakan tertahan, tubuhnya jatuh terlempar dari atas kuda. Kuda tunggangannya
meringkik panjang beberapa kali, lalu mencongklang kabur.
Sentanu cepat berusaha bangkit. Dan pada saat itu tiga sosok tubuh tampak
mendekatinya dengan langkah-langkah bagai malaikat maut yang siap mencabut
nyawa. "He he he...Kakang Kuti! Untuk mencabut nyawa si pemerkosa ini
sebaiknya serahkan saja padaku...!".
Berkata salah seorang yang berjubah kuning, berkulit hitam. Wajahnya kaku dan
seram, tanpa kumis dan jenggot.
Rambutnya panjang sebatas bahu, dan terlihat kaku. Memakai ikat kepala dari kain
hitam. "Silahkan saja...! Tapi jangan dibunuh cepat-cepat. Kalau bisa jangan sampai
mengalirkan darah...! Ha ha
ha...!". Menyahuti yang bertubuh jangkung. Memakai jubah warna hitam.
Orang ini berwajah kasar, dengan
hidung yang melengkung. Sedang di bawah hidungnya terdapat kumis tebal yang
melintang. Dagunya bekas brewok yang sudah klimis dikerok. Orang ini pun
berambut gondrong, yang tampak awut-awutan. Ikat kapalanya dari kulit buaya.
Sedang yang seorang lagi
ternyata bertubuh pendek, bulat.
Berkepala besar. Dengan rambut
gondrongnya berwarna coklat. Mukanya lebar, dengan sepasang mata yang sipit.
Wajahnya menampilkan senyum yang tak sedap dipandang. Di lehernya tergantung
seuntai tasbih berwarna hitam. Jubah yang dipakainya berwarna ungu. Sewarna
dengan ikat kepalanya yang lebar.
Sentanu dengan menyeringai kesa-
kitan meraba punggungnya, memandang pada ketiga manusia yang berdiri di
hadapannya. "Siapakah kalian..." Apa
kesalahanku" Mengapa
kalian mau membunuhku?". Bertanya Sentanu, yang segera sudah dapat berbangkit untuk
berdiri. Akan tetapi jawabannya adalah suara tertawa berbareng, yang
terbahak-bahak.
"Ha ha ha ... ha ha ... Lucu sekali pertanyaannya. Masakan perbuatanmu yang
telah kau lakukan sampai
tidak ingat lagi" Kemana pun kau pergi pasti akan diancam kematian. Karena semua
orang sudah mengetahui siapa adanya kau" Untuk manusia tukang memperkosa wanita
semacam kau sebaiknya diberi hukuman setimpal.!"
Berkata si pendek berjubah ungu, yang berambut coklat.
"Akulah yang pertama akan
menghukummu manusia tengik...!".
Seraya berkata lengan si laki-laki berjubah kuning berkulit hitam itu sudah
gerakkan lengannya meluncur untuk menotok Sentanu. Akan tetapi tiba-tiba ia
telah menjerit kaget, karena sebutir batu kecil telah
menghantam pergelangan tangannya.
Hingga tak ampun lagi lengannya jadi kesemutan tak dapat digunakan lagi. Ia
sudah melompat mundur dengan wajah pias. Sementara kedua kawannya juga jadi
terkejut. Pada saat itulah terdengar suara tertawa wanita, yang disusul dengan
berkelebatnya sesosok tubuh berbaju hijau. Dan di hadapan mereka telah berdiri
seorang gadis cantik ayu rupawan. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Kiranya
melihat keadaan Senanu yang walau belum dikenalnya, Roro berniat melindungi
laki-laki itu, yang belum dapat dipastikan kesalahannya.
Sejak bertarung mulut dengan
Mandra, hingga sampai kedatangan
ketiga manusia ini, Roro Centil terus mengikutinya dari tempat persembunyiannya.
Dengan membuka mata dan memasang telinga mendengarkan setiap pembicaraan orang.
Melihat yang muncul adalah
seorang gadis cantik, laki-laki
bertubuh tinggi jangkung berjubah hitam itu segera menjura.
"Oh, selamat berjumpa nona...!
Gerangan siapakah anda" Kami Tiga Paderi dari Lereng Gunung Wilis merasa
terkejut, karena nona menghalangi kami membunuh manusia durjana ini...!".
Berkata si jangkung berkumis tebal, seraya perkenalkan diri. Akan tetapi hal itu
membuat Roro Centil jadi melengak, dan naikkan alisnya.
"Kalian Tiga Paderi Lereng
Gunung Wilis?". Tanya Roro heran.
"Setahuku paderi berkepala
gundul plontos. Mengapa kalian
berambut gondrong menakutkan" Aneh...!
Apa aku tak salah dengar..."!". Ujar Roro selanjutnya. Tampaknya wajah Kuti si
jangkung itu jadi agak berubah.
Seperti ada kesalahan yang perlu diralat. Sementara kedua orang
kawannya saling berpandangan. Namun Kuti tiba-tiba telah tertawa terbahak-bahak,
seraya ujarnya;
"Ha ha ha...Kami memang tengah menyaru dengan menggunakan rambut palsu...! Maaf,
nona. Anda boleh lihat
sendiri kepala kami...!". Seraya berkata Kuti telah menjambak rambut kepalanya,
hingga terlepas. Benarlah!
Ternyata kepala Kuti memang tak
berambut sama sekali, alias gundul plontos. Hal tersebut diikuti kedua kawannya,
yang segera menjambak
rambutnya masing-masing. Hingga ter-lihatlah ketiganya adalah benar-benar tiga
orang paderi. "Nah...! Apakah anda kini
percaya kalau kami tiga orang
paderi...?". Tanya Kuti. Roro jadi tersenyum, dan berkata;
"Baik...! baik...! Aku percaya kalau kalian adalah paderi. Akan tetapi menghukum
seseorang yang belum jelas kesalahannya adalah tidak
dibenarkan..."
Melengak ketiga paderi itu. Akan tetapi Kuti si paderi tertua di antara kedua
kawannya telah kembali buka suara;
"Dia telah memperkosa, lalu pergi menghilang. Bagaimana kami bisa jelas-jelas
menangkapnya" Kalau
saksinya adalah semua penduduk sedesa, apakah anda mau mengatakan bahwa manusia
ini belum juga jelas
kesalahannya ... ?".
Termenung sejenak Roro Centil.
Akan tetapi ia sudah berkata;
"Aku memang belum mengetahui jelas duduk perkaranya. Tapi yang
berhak memberi hukuman adalah yang berwenang. Kalau di desa, tempat ia dituduh
ada seorang Carik, dialah yang wajib menghukumnya. Mengapa harus anda yang
memberi hukuman..." Setahuku, tadi anak Carik desa yang bernama Mandra, telah
membuat keputusan. Yaitu memberi kesempatan pada orang ini selama tiga bulan,
untuk dia mencari orang yang memfitnah nya. Jadi hal itu adalah suatu keputusan
yang sudah disetujui. Karena korban pemerkosaan adalah adiknya sendiri yang
bernama Marni. Nah...! Berdasarkan hal itu aku mohon anda tidak lagi mengganggu
pemuda ini. Dan biarkan ia berurusan dengan anak Carik Desa itu
sendiri...!". Kata-kata Roro terdengar lantang dan tandas. Sehingga ketiga
paderi ini cuma bisa tercenung.
"Baiklah! Kalau begitu, nona.
Sebenarnya kami Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis merasa harus melenyapkan setiap
kekotoran di dunia. Karena melenyapkan kekotoran itu merupakan amal kebaikan ...
!". Berkata Kuti.
"Benar...! Tapi apakah harus selalu dengan membunuh..." Bagaimana kalau ternyata
yang berbuat itu
bukanlah si orang yang tertuduh ini"
Bukankah akan menambah dosa?". Ujar Roro Centil dengan tandas.
Agaknya untuk bertarung bicara,
Kuti harus mengalah. Segera ia
membungkuk menjura lagi. "Terima kasih atas penjelasan nona. Kami sungguh amat
bergirang hati dapat berkenalan dengan nona yang ternyata berpandangan luas.
Sayang kami tiada mendengar akan keputusan laki-laki anak carik desa itu. Yang
memberikan kesempatan
padanya untuk membela diri dengan mencari orang yang memfitnahnya. Walau hal itu
belum tentu benar, tapi anak carik desa itu telah berlalu
bijaksana...! Bolehkah kiranya kami mengetahui siapa gerang-an nona...?".
Bertanya Kuti. "Ah, aku orang biasa yang tak ternama. Namaku Roro Centil...!".
Sahut Roro. Akan tetapi penjelasan itu membuat si ketiga paderi jadi
terkejut. Tanpa terasa mereka telah segera berseru hampir berbareng.
"Ha..." Jadi andakah si Pendekar Wanita Pantai Selatan . .. ?".
"Oh, beruntung sekali kami dapat berjumpa dengan nona pendekar.
Mengenai masalah ini kami yakin, nona Pendekar dapat membantu menyelesai-
kannya...!". Ujar Kuti. Roro Centil cuma tersenyum, dan manggut-manggut.
Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adapun Kuti segera memberi isyarat pada kedua paderi kawannya, dan ia mendahului
berkata; "Baiklah, nona Pendekar Roro Centil. Kami mohon diri. Dan tentu saja mengenai
urusan laki-laki ini
kami tak berniat mencampurinya
lagi...!". Selesai berkata, kembali ketiga paderi itu menjura. Dan
selanjutnya telah berkelebat pergi dengan cepat.
Roro segera palingkan kepala
pada Sentanu, yang tengah menatapnya, dengan pandangan kagum juga terpesona.
Segera ia sudah menjura pada Roro, seraya berkata;
"Terima kasih atas pertolongan anda; nona Pendekar...! Sungguh tak mengira kalau
aku dapat berjumpa dan berkenalan dengan seorang Pendekar Wanita, yang namanya
telah dikenal di kalangan Rimba Hijau . .. !".
"Hi hi hi ... . Sudahlah, jangan terlalu berbasa-basi, sobat ... eh, kau bernama
Sentanu, bukan?". Tanya Roro dengan menatap tajam wajah orang.
Yang ditatap jadi kikuk, tapi segera menjawab;
"Benar...! Sebenarnya aku memang tengah mencari nona Pendekar yang khabarnya
berada di pantai Selatan.
Entah sudah beberapa tempat aku
kunjungi di Pantai Selatan ini, Akan tetapi ketika aku melihat anda duduk di
ujung tebing karang itu, entah mengapa aku jadi ragu...!". Roro jadi kerutkan
alisnya. "Jadi kau telah sejak lama
mengetahui aku duduk di atas
tebing..." Dan mengapa kau jadi
ragu...?" Tanya Roro dengan lagi-lagi menatap tajam pada Sentanu. Laki-laki
berkumis kecil ini, jadi tersipu-sipu dan tampak gugup.
"Apakah kau ragu kalau aku bukan orang yang kau cari?". Ulang Roro.
"Be...benar, nona Pendekar ...!
Karena hampir lebih dari setahun ini tak ada khabar berita di mana adanya nona
Pendekar...". Tampaknya Sentanu seperti menyembunyikan sesuatu. Tapi tak berani
mengatakannya. Padahal, Sentanu telah melihat tanpa sengaja dengan mata kepala
sendiri, di mana ketika senja itu Roro Centil tengah bermain gelombang di bawah
tebing karang, dengan menari-nari bagaikan seorang dewi lautan. Sentanu telah
menyangka Roro adalah Nyai Roro Kidul, yang ada dalam dongeng rakyat. Karena
mustahil bila hal semacam itu
dilakukan oleh seorang manusia. Dengan nekat, Sentanu segera menuruni tebing
karang untuk melihat lebih dekat.
Gerakan tubuh semampai tanpa busana itu membuat Sentanu bagaikan melihat seorang
bidadari yang sedang mandi.
Hingga ia benar-benar terpesona
dibuatnya. Sayang waktu itu tak
berlangsung lama ... Dan sang bidadari telah kembali lenyap seperti ditelan
gelombang. Laki-laki ini jadi
penasaran. Semalam-malaman ia tak bisa tidur. Ternyata ia belum pergi jauh
dari tebing karang itu.
Esoknya, pagi-pagi sekali ia
telah kembali naik ke atas tebing karang. Dan di sanalah ia melihat Roro Centil
sedang termangu-mangu. Jelas dan tak mungkin salah dengan apa yang telah
dilihatnya senja kemarin. Wajah dan potongan tubuh gadis itu amat serupa dengan
sang bidadari yang bermain di atas gelombang.
Sehingga diam-diam ia terus
mengintai...Dan tatkala Roro beranjak untuk meninggalkan Pantai Selatan.
Sentanu segera bergegas mengikuti.
Beruntung Roro melewati tempat kudanya dilepas mencari rumput. Sehingga Sentanu
dapat cepat memanggil sang kuda tunggangan. Dan memacunya cepat untuk menyusul
Roro. Hingga akhirnya ia berjumpa dengan Mandra. Dan hampir saja ia jadi korban
dibunuh si tiga orang paderi, kalau tak datang Roro yang membelanya.
"Ada hal apakah kau mencari diriku...?". Tanya Roro tiba-tiba.
Membuat Sentanu yang sedang termenung jadi terkejut.
Segera ia menyahuti dengan suara tergagap;
"Anu... nona Pendekar ... Eh, ma-rilah kita bicara sambil duduk di sana, agar
dapat leluasa kita
bercakap-cakap...!". Berkata Sentanu seraya menunjuk ke lantai biara. Roro
Centil mengangguk. Dan segera keduanya beranjak ke sisi biara rusak itu.
Selanjutnya sudah duduk berhadapan.
Ternyata Sentanu telah
mengeluarkan sebuah benda, yang telah lama disimpannya. Benda itu adalah sebuah
kalung, dengan rantai terbuat dari baja putih. Sedang bandulannya terbuat dari
gading berbentuk hati.
Pada bagian tengah gading itu, terukir sebuah huruf "R". Benda itu diperlihatkan
pada Roro. Tampaknya Roro Centil jadi
terkejut. Segera ia raih benda itu dari tangan Sentanu. Sepasang matanya menatap
tajam dan meneliti benda dan bandulannya itu. Segera saja ia telah berkata
setengah berteriak;
"Benda ini milikku...Dari mana kau menemukannya ... ?". Tanya Roro.
"Ceritanya panjang sekali...!
Kalau nona Pendekar mau mendengarkannya, aku pasti akan menceritakannya...!"
Ujar Sentanu. Seraya menghela nafas lega. Kini keyakinannya semakin jelas, bahwa
benarlah kalung yang ditemukannya kurang lebih dua belas tahun yang lalu itu
pasti pemiliknya seorang anak perempuan.
Diam-diam wajah Sentanu menam-
pilkan kegembiraan. Akhirnya ia dapat mengetahui siapa pemilik kalung
bertuliskan huruf "R" itu. Segera Sentanu menceritakan asal penemuan
kalung itu. Yaitu yang ditemukannya ketika ia masih menjadi Perwira
Kerajaan. Dalam pengejaran mencari jejak si Maling Sakti yang menjadi buronan
Kerajaan. Rombongannya
melewati sebuah jalan desa, yang telah bergabung dengan rombongan Tumenggung
Wira Pati. Tumenggung Wira Pati adalah pamannya. Dari jauh ia sudah melihat
adanya beberapa ekor kambing
tergeletak di jalan sunyi itu. Ia bersama empat orang Prajurit berkuda berada di
bagian belakang Rombongan berkuda pamannya. Karena Sentanu memang tadi tidak
melalui jalan itu, jadi tak hapal akan jalannya.
Sedangkan rombongan berkuda Tumenggung Wira Pati ternyata tidak berhenti, bahkan
terus menerjang beberapa ekor kambing yang bergelimpangan itu.
Sekaligus Sentanu dapat melihat adanya seorang bocah tertelungkup memeluk seekor
kambing yang telah tak
berkutik. Namun mana ia bisa menahan rombongan di hadapannya. Sedang yang paling
depan adalah pamannya, alias Tumenggung Wira Pati. Sentanu berada di tengah
pasukan berkuda. Terpaksa iapun melewati di mana kambing-kambing itu terkapar.
Hingga sekejap saja rombongan mereka pun telah jauh dari jalan desa yang sunyi
itu. Akan tetapi Sentanu tak lama kembali lagi bersama keempat prajurit
bawahannya. Memang ia
agak penasaran, apakah penglihatannya sekilas tadi itu hanya fatamorghana saja,
ataukah sesungguhnya. Sehingga ia dengan keempat orang bawahannya sengaja
memisahkan diri, dari pasukan Tumenggung Wira Pati. Dan kembali lagi untuk
melihat keadaan di jalan desa itu. Seandainya benar di sana
tergeletak seorang bocah, pastilah tak akan membuat Sentanu penasaran. Akan
tetapi Sentanu dan keempat prajurit bawahannya tidak mendapatkan ada seorang
anak manusia di tempat
kambing-kambing yang telah tergeletak tak bernyawa itu. Bahkan keempat prajurit
diperintahkan memeriksa keadaan sekitarnya. Namun tak dijumpai siapa-siapa.
Demikianlah, akhirnya Sentanu
beranggapan kambing-kambing yang mati itu adalah beberapa ekor kambing yang
kebetulan lewat di jalan desa yang sempit itu. Akan tetapi, terkejut Sentanu
ketika melihat sebuah benda berkilat tak jauh dari kaki-kaki kambing yang mati.
Ia segera turun dari kudanya. Dan meraih benda itu...
Ternyata benda itu adalah kalung berbentuk hati dan dengan bertuliskan huruf "R"
di tengah bandulannya.
Sentanu telah menyimpan benda itu.
Akan tetapi ia telah berkeyakinan bahwa benarlah apa yang telah
dilihatnya bahwa adanya seorang bocah
yang tertelungkup memeluk seekor kambing, yang telah diterjang terus oleh
Tumenggung Wira Pati. Bertambah gusar dan mendongkolnya Sentanu, ketika setelah
berfikir keras dengan masalah itu, punya dugaan kuat bahwa rombongan berkuda
sang paman telah menerjang dua kali di tempat kambing-kambing itu berserakan.
Mustahil bila baru pertama kali, karena ketika Sentanu dan rombongannya yang
memang baru sekali melewati tempat itu, telah melihat bahwa kambing-kambing itu
telah tergeletak berserakan. Berarti ketika rombongan Tumenggung lewat yang
pertama, telah menerjang sekumpulan kambing dengan seorang bocah penggembalanya.
Dan yang kedua kalinya, ketika kembali, telah menerjangnya lagi tanpa
menghiraukan nyawa orang, apa lagi binatang. Mengingat demikian Sentanu jadi
membenci sang paman, alias Tumenggung Wira Pati.
Namun anehnya, kalungnya dikete-
mukan, tapi bocah si penggembalanya tak ada. Sentanu punya dugaan kuat kalau si
bocah penggembala kambing itu seorang bocah perempuan. Dan Sentanu berpendapat,
bahwa bocah penggembala itu pasti telah ada yang menolong.
Namun itu cuma dugaan. Dan entah mengenai hidup dan matinya si bocah pengembala
itu. Sentanu tak
mengetahui. Namun sampai lebih dari
dua belas tahun ternyata Sentanu masih menyimpan benda itu. Dengan harapan dapat
menemukan si pemiliknya kelak...
Demikianlah Sentanu mengakhiri penutu-rannya.
Adapun Roro Centil mendengar-
kannya dengan termangu-mangu. Tiba-tiba ia telah membuka ikat kapalanya.
Dan meraba sebuah bekas luka di sudut dahi dekat rambutnya. Luka itu adalah
bekas terkena terjangan kaki-kaki kuda, menurut Gurunya atau paman angkatnya,
yaitu si Maling Sakti.
Dengan sepasang mata masih menatap kosong, Roro berkata; "Aku punya luka kecil
di dahiku ini, menurut mendiang guruku dahulu, adalah bekas kena terjangan kaki-
kaki kuda...!".
"Kalau benar benda itu adalah milikmu, berarti kaulah si bocah penggembala
kambing pada dua belas tahun lebih yang silam...!" Ujar Sentanu dengan wajah
girang. Tampaknya Roro sulit mengingat-ingat kisah lalu itu. Namun setelah
beberapa saat terdiam, terdengarlah Roro menghela napas, dan ujarnya...
"Benar, sobat Sentanu...! Aku mulai ingat. Kala itu aku menggemba-lakan kambing-
kambing pamanku. Dan saat itu ada sepasukan berkuda yang datang, dan tahu-tahu
sudah berada di hadapanku. Aku sempat melompat ke parit. Namun kambing-kambingku
telah berserakan dengan keadaan menyedihkan.
Cuma dua ekor saja yang tinggal hidup.
Itupun dalam keadaan patah kaki. Aku memang tak mampu mengingat berapa jumlah
semua kambing-kambingku. Namun yang kuingat adalah kematian si Putih, kambing
kesayanganku yang belum lama dibelikan ayah. Yaitu sebelum ada berita gugurnya
ayahku di medan
perang. Bahkan mayatnya saja aku tak mengetahui...!"
Sampai di sini Roro Centil
menyeka air matanya yang telah meleleh turun membasahi kedua pipinya.
"Ketika pasukan berkuda itu lewat, aku bangkit dari dalam parit, dan menangis
memeluki si Putih.
Kulihat kedua anaknya yang masih kecil dan lucu, telah mati dengan
menyedihkan...! Si Putih kudekap erat.
Binatang tak berdosa itu megap-megap.
Lidahnya terjulur penuh darah. Tulang-tulang tubuhnya telah remuk di dalam.
Aku tak kuasa menahan kesedihanku.
Hingga aku tak sadarkan diri lagi, ketika si putih melepaskan nyawanya.
Selanjutnya aku tak ingat apa-apa lagi. Cuma yang kuingat ada suara gemuruh yang
datang. Dan aku
terguling-guling di antara derap kaki-kaki kuda. Kurasakan mataku jadi gelap,
karena kepalaku terantuk benda keras. Dan selanjutnya aku sudah tak tahu apa-apa
lagi". Tutur Roro. Dan
melanjutkan lagi... "Belakangan baru aku mengetahui, yaitu setelah aku dewasa.
Guruku si Maling Sakti alias Jarot Suradilaga itulah yang telah menolongku. Dan
mengangkatku sebagai murid. Aku pun telah menganggap beliau pamanku sendiri.
Sayang...kurang lebih tiga tahun berselang, guruku tewas oleh si Dewa Tengkorak,
juga mertua guruku, kakek Bayu Seta alias si Pendekar bayangan. Selanjutnya aku
berguru dengan seorang tokoh aneh di Pantai Selatan. Setahun yang lalu memang
aku telah terjunkan diri ke Rimba Persilatan, membantu kaum
pendekar melenyapkan kejahatan. Akan tetapi aku kembali harus menjalani
gemblengan selama lebih dari setahun.
Dan baru hari ini aku keluar dari tempat perguruanku...!". Demikian tutur Roro
Centil panjang lebar.
Sementara Sentanu cuma manggut-manggut mendengarkan dengan penuh perhatian.
Kini jelaslah bahwa kalung yang
ditemukan itu milik Roro. Dan diam-diam Sentanu bersyukur juga kagum, yang
ternyata si pemilik kalung yang ditemukan itu, adalah seorang Pendekar Wanita
yang dikaguminya.
"Aku pun baru mengetahui kalau si Maling Sakti itu ternyata adalah seorang
Pendekar Pejuang tanpa pamrih.
Dan juga Ketua dari Partai Kaum
Pengemis, yang banyak berjasa pada
Kerajaan. Bahkan ternyata orang-orang atau Pembesar Kerajaan diam-diam hanya
mencari pangkat atau kedudukan
terhormat. Yang biasanya asal main tuduh saja. Bahkan tipu daya dan fitnah keji
pun tega ia lontarkan, demi untuk kelanggengannya duduk di kursi terhormat...!".
Ujar Sentanu. Karena seketika ia pun teringat
pada Tumenggung Wira Pati, yang
sekarang telah menjabat sebagai
Senapati Kerajaan Medang. Sentanu memang ada menduga yang menggembar-gemborkan
desas-desus kematian ayahnya ada hubungannya dengan Senapati
(pamannya) itu. Karena sebagai perwira Kerajaan, Sentanu sedikit banyak
mengetahui akan sepak terjang dan perbuatan Wira Pati.
Namun untuk menjaga agar tidak
menjadi kekacauan yang dapat mencemarkan nama Kerajaan, sengaja Sentanu tutup
mulut. Dan ia mengundurkan diri dari keprajuritan.
Cuma yang aneh, adalah ia
dituduh oleh banyak penduduk desa sebagai seorang yang membuat kericuhan. Dengan
mengkambing hitamkan dirinya sebagai seorang pemerkosa, dan penculik gadis.
Hal ini membuat Sentanu jadi
bertekad menyelidiki biang keladi kericuhan yang telah mengadu dombakan ia
dengan Mandra, sahabatnya. Juga
menjadikan penduduk di desanya sendiri bersikap sinis terhadapnya.
Apa lagi kini dengan munculnya
Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis, yang telah turut campur. Sentanu merasa harus
berhati-hati. Karena bukan mustahil akan banyak musuh yang tanpa sebab akan
memusuhinya ...
Oleh sebab itulah Roro Centil
bersedia membantu Sentanu menjernihkan keadaan di beberapa desa yang tengah
dilanda kemelut itu. Juga melindungi Sentanu dari kejahatannya manusia yang
sengaja berniat memfitnahnya. Bahkan juga berniat melenyapkan laki-laki tak
bersalah itu. Akhirnya sedikit banyak, Roro Centil dapat mengetahui kisah
riwayat hidup Sentanu. Yang ternyata banyak liku-liku kehidupan yang
dialaminya. Selang tak berapa lama, tampak
Sentanu bangkit berdiri, dan keluarkan suara suitan panjang. Suara suitan itu
adalah untuk memanggil sang kuda tunggangannya. Tak berapa lama,
terdengar suara derap kaki kuda
menghampiri, disusul suara ringkikannya. Dan segera saja muncul seekor kuda
hitam, yang tadi melarikan diri.
Sentanu segera menghampirinya, dan menepuk-nepuk lehernya, seraya
berkata; "Antasena! Marilah kita tinggalkan tempat ini, aku harus kembali
pulang dulu. Perasaanku tak enak. Aku akan menemui ibuku. Tentu beliau
mengharapkan kedatanganku...!". Sang kuda meringkik panjang seperti
mengerti akan kata-kata sang majikan.
Sementara Roro Centil cuma tersenyum saja memperhatikan Sentanu.
"Aku tak dapat menemanimu,
kembali ke desa. Tapi tak usah
Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
khawatir. Si tiga paderi itu telah berjanji tak akan mencampuri urusan ini.
Silahkan kau berangkat. Aku masih ada sedikit urusan yang akan
kuselesaikan. Mungkin besok, atau malam nanti aku akan menyelidiki situasi di
sekitar tiga desa terdekat.
Kuharap kau jangan tinggalkan rumahmu.
Kelak aku pasti mencarimu di desa tempat kau berada. Atau kau dapat tanyakan
pada Carik Desa di wilayah Kadipaten Karang Sembung...!".
Sentanu anggukkan kepalanya,
seraya melompat ke atas punggung kudanya.
"Aku harus segera kembali, nona Pendekar, Roro Centil. Dan sekali lagi terima
kasih atas bantuan anda...!".
Dan setelah berpamit, Sentanu sudah hentakkan kakinya ke perut kuda.
Selanjutnya sang kuda telah mencongklang lari dengan cepat. Roro
Amanat Marga 2 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Pendekar Cengeng 9
1 PEPERANGAN paling besar yang
dihadapi manusia adalah, peperangan bagaimana mengalahkan Hawa Nafsunya sendiri!
Karena di sanalah manusia bisa memilih untuk dirinya menjadi malaikat, ataukah
menjadi setan...!
Kalau kau mau menjadi seorang
Pendekar, jadilah yang baik! Kalau kau sudah mengetahui tujuan kehidupan ini
adalah untuk mati, maka isilah jalan hidupmu dengan amal kebaikan...!
Mengumbar nafsu tak lebih dari
menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam api. Dan kalau kau sudah tahu api itu
panas. Jangan coba
kau menja- mahnya...!"
Gadis ini manggut-manggut se-
orang diri, dan terdengar ia menghela nafas seraya membuka sepasang kelopak
matanya. Dia seorang gadis berwajah can-
tik rupawan. Kecantikan alami yang telah dianugerahkan Tuhan padanya.
Wajah ayunya menampilkan kesegaran setiap mata yang memandang. Dialah
.... RORO CENTIL. Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan...!
Gadis ini duduk di ujung tebing
karang, menghadap ke laut lepas. Di bawahnya mendebur keras ombak-ombak laut
Pantai Selatan. Sementara burung-burung camar beterbangan di atas buih-
buih air dan ombak, seperti tak
mengenal takut akan kena terhantam gelombang dahsyat itu.
Gadis ini tengah duduk tafakur
mengingat wejangan dari guru-gurunya.
Yang kesemuanya menitik beratkan pada sifat-sifat kependekaran.
Setelah si Maling Sakti alias
Jarot Suradilaga. Kemudian Ki bayu Seta alias si Pendekar Bayangan.
Kemudian yang terakhir adalah seorang guru yang berjulukan si Manusia Aneh
Pantai Selatan.
Yang belakangan ini adalah
memang seorang yang aneh sesuai dengan julukannya...Karena sang Guru tak
diketahui jelas jenis kelaminnya.
Apakah wanita, apakah laki-laki. Yang jelas Guru Roro Centil adalah seorang
BANCI. Sejak Roro Centil berhasil
menumpas empat tokoh golongan hitam, yang bergelar Empat Iblis Kali Progo, gadis
Pendekar yang berwatak aneh ini kembali menghilang bagai ditelan bumi.
Tentu saja keadaan di Rimba Persilatan jadi heboh .. . !
Nama Roro Centil si Pendekar
Wanita Pantai Selatan telah menjadi pembicaraan di mana-mana. Bahkan pendekar
sampai ke beberapa tempat.
Kehebatan ilmunya yang amat mengerikan, dan kemunculannya yang bagaikan menjelma
di kalangan Rimba Hijau,
membuat kaum penjahat mulai menjadi kebat-kebit hatinya. Tentu saja hal itu
membuat kekhawatiran, karena periuk nasinya telah terancam
kepunahan. Karena mereka sadar kalau periuk nasi itu mereka dapatkan dengan
jalan tidak halal. Yaitu dengan
memeras penduduk. Merampok, membegal dan bahkan terkadang membunuh!... demi
keuntungan yang berlipat ganda.
Tapi di samping itu kaum
golongan Putih, juga setiap insan yang rindukan ketenteraman, merasa amat
gembira dengan munculnya seorang Pendekar Pembela Keadilan. Bahkan ternyata di
banyak tempat Roro Centil juga diam-diam mulai mengamalkan tugas kependekarannya
menegakkan keadilan di Jagat Raya ini.
Namun sejak setahun ini, tak ada terdengar beritanya mengenai sepak terjang si
Pendekar Wanita itu.
Membuat para kaum golongan penjahat mulai lagi membentangkan sayap-sayap-nya
membuat kericuhan. Perbuatan mereka kian brutal. Walaupun tak kurang Kaum
Pendekar lainnya yang berusaha memberantas bermacam kejahatan.
Ke manakah gerangan lenyapnya si Pendekar wanita Pantai Selatan itu ...
Kiranya selama itu Roro Centil
kembali dalam gemblengan sang Gurunya si Manusia Aneh Pantai Selatan alias si
Banci. Marilah sejenak kita kembali
pada kisah setahun belakangan ini, di mana Roro Centil digembleng di dasar
tebing pantai karang terjal itu ...
Agaknya si Manusia Aneh Pantai
Selatan itu kurang setuju dengan ilmu yang telah dipakai Roro menumpas ke Empat
Iblis Kali Progo. Karena Roro mempergunakan jurus-jurus si Dewa Tengkorak yang
keji. Kiranya diam-diam sang Guru selalu mengikuti sepak terjang muridnya.
Hingga ketika Roro kembali, sang Guru sudah menegurnya.
"Roro...! Bukan aku menyalah-kanmu untuk mempergunakan jurus-jurus si Dewa
Tengkorak. Akan tetapi jurus itu memang terlalu keji. Juga
dikhawatirkan orang akan menyangka kau muridnya si Dewa Tengkorak. Karena bukan
mustahil manusia yang mempunyai banyak istri itu, juga memberikan ilmu itu pada
istri-istrinya. Seandainya mereka yang berbuat untuk kejahatan, salah-salah kau
yang dituduh melakukan kejahatan...!"
Demikian ujar si manusia banci
pada suatu hari. Roro Centil manggut-manggut mendengarkan petuah gurunya.
"Memang sebenarnya kau belum kuizinkan untuk keluar dari tempat ini. Akan tetapi
aku tengah mencoba menguji tindakanmu. Ternyata kau tidak menyelewengkan
kepandaianmu untuk berbuat hal-hal yang tidak baik.
Seandainya kau pergunakan untuk keja-
hatan, tentu sudah siang-siang kau kukirim ke Akhirat...!" Kembali sang Guru
berkata dengan suara dingin.
Bergidik juga Roro Centil.
Karena di luar sepengetahuannya, si nenek yang awet muda ini telah
mengikuti sepak terjangnya.
"Ilmu 10 Jurus Pukulan Kematian itu memang hebat. Akan tetapi banyak
kelemahannya. Di samping pada jurus itu membahayakan bagi si pemakainya.
Kini saatnya bagimu mempelajari jurus-jurus ciptaanku yang memang menjadi
simpananku. Tentu saja akan kuwariskan padamu...! Cuma aku ingin kau
membunuhku terlebih dulu dengan Ilmu Ciptaan si Dewa Tengkorak itu...!".
Ujar wanita banci itu. Terkejut Roro Centil mendengarnya.... hingga sampai ia
berteriak kaget.
"Membunuhmu. Guru...?". Sentak Roro Centil hampir tak percaya.
Akan tetapi si Manusia Aneh
Pantai Selatan ini sudah membentak dengan keras.
"Benar...! Kau harus membunuhku...! Dan kau harus pergunakan jurus-jurus keji si
Dewa Tengkorak itu untuk menyerangku....!"
Hening sejenak. Wanita Aneh itu
tiba-tiba mendongak ke atas menatap langit. Lalu terdengar suara tertawanya yang
seperti geli. Akan tetapi seperti juga sebuah tangisan. Roro
Centil cuma bisa menatap dengan mulut ternganga. Sejuta pertanyaan memenuhi
benaknya. Sanggupkah aku melakukannya..." Berfikir Roro. Serasa
permintaan yang tak masuk akal. Aneh, dan menakutkan.
Akan tetapi detik itu juga telah terdengar lagi bentakannya;
"Sekarang juga kau harus
melakukannya...! Kalau kau
berkeberatan, silahkan kau keluar dari tempat ini. Dan jangan kau akui lagi aku
Gurumu. Tapi kalau kau seorang murid yang berbakti lekas kau lakukan itu, bocah
tolol... !"
Di luar dugaan, tiba-tiba Roro
Centil bangkit berdiri. Sepasang matanya menatap tajam pada gurunya.
Dan ia sudah berkata dengan tegas.
"Baik...! Aku akan turuti
perintahmu untuk membunuhmu. Guru...!
Cuma kumohon kau maafkan aku atas apa yang aku lakukan ini...!".
Seraya berkata, Roro Centil
sudah menerjang dengan ganasnya.
Sebelah lengannya bergerak mencengkeram batok kepala si Banci. Dan sebelah lagi
meluncur mengarah
jantung. Akan tetapi dengan perdengarkan tertawa cekikikan, si Manusia Aneh ini
sudah pergunakan Jurus Tarian Bidadari Mabuk Kepayang. Yang tentu saja cuma
dengan gerakan seperti orang menari itu, semua terjangan Roro yang
ganas itu dapat terhindar. Jurus demi jurus berlalu. Namun kesemua gerakan
terjangan Roro Centil juga tak mampu menembus atau membuat tubuh si manusia
Banci ini kena terhantam.
Membuat Roro Centil semakin
penasaran. Dan segera lakukan
terjangan yang lebih dahsyat lagi.
Sehingga seandainya sedikit saja si Manusia Aneh Pantai Selatan lengah tak ampun
lagi nyawanya akan melayang seketika.
Ternyata hal itu justru membuat
Roro semakin kagum. Karena dengan mudah saja sang Guru dapat mengelakkan setiap
serangan. Jurus keenam dan ketujuh telah
segera dilancarkan. Roro Centil
memekik keras disertai terjangan hebat. Agaknya kali ini si manusia Banci itu
seperti lengah. Roro sendiri terkesiap. Namun ia tak mungkin untuk merobah
serangan... Buk... ! Terjangan hebat itu tak dapat dielakkan sang Guru. Tubuhnya kena
terhantam, telak. Serangan kedua dan ketiga menyusul pula. Roro sudah pejamkan
mata tak tega melihat nasib sang Guru, yang jadi terhuyung-huyung mau roboh.
Akan tetapi di luar dugaan
tenaga pukulannya tiba-tiba telah berbalik menghantam lagi ke arah Roro Centil.
Terkesiaplah gadis ini.
Untunglah dengan letikkan tubuhnya bersalto beberapa kali, Roro Centil berhasil
menghindar. Namun akibatnya adalah sangat
mengerikan. Karena hantaman balik dari tenaganya telah membuat ambruknya karang
di belakangnya. Yang segera saja terdengar suara bergemuruh ketika batu karang
itu hancur. Masih beruntung Roro Centil
keburu mengelak. Seandainya ia tidak waspada, maka tubuhnya sudah dapat
dipastikan akan hancur luluh tak berbentuk lagi.
Pada saat itulah terdengar suara tertawa mengikik dari si Manusia Aneh Pantai
Selatan itu. Tertawa yang geli sekali. Sehingga terpingkal-pingkal sampai air
matanya bercucuran. Roro jadi melengak heran. Ia sudah jejakkan lagi kakinya di
atas batu. Dan dengan sepasang mata melotot tak berkedip, saksikan Gurunya yang
bertingkah aneh itu. Terdengar lagi suaranya yang bercampur geli.
"Hi hi hi... hi hi hi...
Ternyata Ilmu si Dewa Tengkorak tak mampu membunuhku! Dan tak mampu
melawan kehebatan ilmu Bidadari Mabuk Kepayangku ini. Hi hi hi... hi hi...
Bagus, muridku! Kau telah penuhi permintaanku. Cukuplah sudah. Tahukah kau ilmu
apa yang kupergunakan
barusan...?". Tanya sang Guru dengan
suara dingin. Roro Centil gelengkan kepalanya.
"Hi hi hi... Itulah Ilmu Ikan Hiu Balikkan Ekor...! Hebat
bukan...?". Roro jadi mengangguk-angguk dengan kagum, serta mengakui
kehebatannya. Kembali sang Guru tertawa geli
cekikikan. Seakan-akan merasa bangga sekali dengan ilmu ciptaannya. Seraya ia
sudah berkata lagi;
"Jurus-jurus si Dewa Tengkorak yang terdapat dari dalam potongan gagang Tombak
itu memang hebat. Akan tetapi bila dilawan dengan jurus Ikan Hiu Balikkan Ekor,
akan sama dengan membunuh dirinya sendiri. Ketahuilah Roro, aku amat puas punya
murid seperti kau. Akan tetapi kuminta agar kau tidak mempergunakan ilmu-ilmuku untuk
hal yang tidak amat
mendesak...!".
Roro manggut-manggut dengan
perlihatkan senyumnya.
"Tentu saja pesan Guru itu akan hamba junjung tinggi. Percayalah, aku tak akan
mempergunakannya untuk hal yang bertentangan dengan kependekaran...!".
"Bagus, Roro...! Kini tunggulah sebentar. Akan kutunjukkan sebuah senjata
istimewa yang telah ku ciptakan sebagai pelampiasan rasa keinginanku menjadi wanita...!"
Selesai berkata, sang Guru telah kembali berkelebat ke dalam ruangan kamar Goa.
Roro Centil cuma bisa memperhatikan tingkah laku Gurunya, yang seperti amat
sibuk sekali. Diam-diam ia menghela napas. Semoga saja sang Gurunya yang aneh
ini tidak berubah lagi wataknya. Hingga Roro harus lebih hati-hati lagi untuk
menghadapinya. Tak lama si Manusia Banci telah kembali lagi. Ternyata di
tangannya membawa sepasang senjata aneh. Senjata itu berbentuk rantai dengan
bandulnya. Tapi bentuk kedua bandulannya
itu amat lucu, karena amat mirip dengan sepasang payudara wanita, lengkap dengan
ujung putiknya.
Sang Guru sudah berikan sepasang senjata itu pada si murid. Seraya berkata;
"Roro...! Senjata ini belum pernah kupergunakan di luar. Kaum Rimba Hijau tak
seorang pun yang mengetahuinya selain kau! Nah kau boleh teliti sepasang senjata
itu sementara aku akan mempersiapkan jurus-jurus pelajaran yang akan kau mulai
pada malam nanti... !".
Selesai berkata sang Guru sudah kembali berkelebat masuk ruangan kamar goa
karang itu, untuk selanjutnya tidak keluar lagi.
"Senjata aneh...!" Gumam Roro.
Seraya memperhatikan, meneliti, dan membolak-balikkan senjata itu.
Ternyata bandulan senjata itu terbuat dari baja tipis. Yang aneh adalah warnanya
amat mirip dengan kulit manusia. Sedang rantainya terdapat tujuh buah, dengan
pada ujungnya terdapat gagang dari baja berkilat berwarna putih. Pada ujung
putik itu terdapat lima buah lubang kecil.
Roro yang tak mengetahui
kegunaannya coba memutarkan senjata itu. Tiba-tiba terdengarlah suara berdengung
tiada putusnya, seperti suara ratusan atau ribuan tawon.
Terkejut Roro Centil. Ketika ia coba menyalurkan tenaga dalamnya pada sepasang
senjata itu, segera membersit angin panas yang luar biasa. Namun Roro telah
lindungi dirinya dengan aliran tenaga dalam berhawa dingin, sehingga pengaruh
itu tak terasa. Akan tetapi bila dipakai untuk menyerang lawan amatlah
berbahaya. Selang
sesaat, Roro hentikan permainannya.
Dan coba pegang sepasang bandulannya.
Ternyata bandulan senjata itu tidak lagi keras melainkan lunak, mirip sebuah
bola karet saja. Diam-diam Roro Centil menyenangi sepasang senjata itu, yang
tentunya tak begitu
berbahaya, jika dipergunakan untuk menghajar batok kepala sebangsa
keroco. Paling-paling orangnya bisa
pusing tujuh keliling ... !
"Hi hi hi... Senjata yang lucu ini akan kuberi nama Si Rantai
Genit...!" Berseru Roro dengan wajah tampak girang sekali.
Demikianlah... sampai setahun Roro Centil berdiam di dasar lubang tebing karang Pantai Selatan. Dan selama itu
tiada seorang pun
mengetahui kalau si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil, kembali
digembleng oleh si manusia Banci.
Hingga suatu hari...
"Roro...! Sebenarnya aku telah terkena pukulan beracun dari paderi-paderi Biara
Welas Asih, di lereng Gunung Wilis. Pukulan itu amat
menyesakkan dadaku. Akan tetapi aku inginkan kau tidak membalas dendam.
Kuharap kau lupakan saja hal itu.
Sebenarnya memang aku amat mencintai si Dewa Tengkorak...! Akan tetapi dia tak
pernah menghiraukan diriku. Walau demikian sampai mati aku akan tetap
mencintainya. Kini dia telah mati. Dan hanya wariskan tombak Hitam ini. Aku
sudah cukup berbahagia bila kelak aku mati ditemani senjatanya...!". Berkata si
Manusia Aneh Pantai Selatan, seraya menimang-nimang tombak hitam si Dewa
Tengkorak, yang telah disambungkan kembali.
Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Roro Centil cuma bisa menatap
lalu tundukkan kepala sambil ter-
cenung, walau diam-diam ia terkejut mendengar Gurunya terkena pukulan beracunnya
paderi-paderi Gunung Wilis.
Setelah termenung beberapa saat, si manusia banci itu tiba-tiba tertawa geli
sekali... tapi kemudian menangis terisak-isak. Hingga air matanya bercucuran.
Membuat Roro Centil jadi ter-
paku, tapi sudah segera menghiburnya.
Roro menyadari kalau sang Guru ini telah terkena penyakit cinta, yang telah
dipendamnya berpuluh tahun.
Sehingga terkadang membuat si manusia banci ini bersikap manis terhadapnya namun
terkadang membentak kasar. Juga adat dan kelakuannya aneh-aneh. Tentu saja Roro
sudah hapal dengan perilaku gurunya.
"Sudahlah Guru...! Bukankah aku berada di sini menemanimu...! Aku akan tetap
bersamamu sampai kapanpun...
Kalau kau menghendaki...!." Ujar Roro Centil. Tapi tiba-tiba sang Guru bahkan
membentak. "Bocah tolol! Sejak kapan kau berubah jadi tolol..." Hm, dengan kau berdiam di
sini menungguiku, bukankah sama saja artinya dengan kau mengubur diri" Kalau kau
mau mati baiknya matilah saja...!" Seraya berkata, lengan si manusia Banci sudah
berkelebat menghantam kepala Roro.
Akan tetapi sedikitpun Roro Centil
tidak mengelak. Tentu saja hal itu membuat si Manusia Aneh jadi melengak.
Dan dengan geram, menahan kembali serangannya. Ternyata si manusia aneh itu
telah mendelik heran pada Roro.
"Mengapa kau tidak menge-
lak...?". Tanyanya. Roro Centil tiba-tiba tertawa geli sekali. Kini si manusia
aneh itu yang menatap dengan pandangan aneh pada muridnya.
"Kalau aku mengelak berarti aku tolol...! Makanya aku lebih baik memilih mati
daripada hiduppun
ternyata jadi manusia tolol.. .! Hi hi hi. . . Apakah pendapatku itu betul.
Guru...?". Tentu saja jawaban Roro membuat si manusia banci jadi terpaku
bingung. Akan tetapi selang tak lama ia sudah tertawa gelak-gelak.
"Hi hi hi ... hi hi .. . Bocah to...eh! Ya! ya ... kau memang bocah tolol ... !
Tapi cerdik...! Kalau aku menghadapimu bicara terus menerus, bisa-bisa aku yang
jadi tolol...! Sebaiknya besok pagi kau boleh
tinggalkan tempat ini. Dan jangan kembali lagi...!" Ujarnya tiba-tiba dengan
tatapan tajam, dan suara
dingin. Terkejut Roro mendengar kata-kata Gurunya.
Akan tetapi Roro Centil sudah
segera bersujud mencium kaki Gurunya seraya berkata.
"Kalau kau menghendaki aku
pergi, tentu saja aku tak dapat
menolaknya. Guru...! Akan tetapi berat rasanya hatiku. Selama ini kau telah
menumpahkan segala pikiranmu
untuk mewariskan segenap ilmu padaku. Aku berjanji akan mempergunakan segenap
kepandaian itu untuk membela panji-panji keadilan. Dan menegakkannya di atas
jagat raya ini. Walaupun harus aku berkorban jiwa sekalipun. Dan kumohon kau
dapat memaafkan segala kebodohanku selama ini, Guru!".
Si Wanita banci ini cuma terdiam menatap langit. Lagi-lagi air matanya mengalir
membasahi kedua pipinya.
Wajahnya yang cantik itu menampilkan kesedihan yang luar biasa. Akan tetapi ia
sudah berkata lirih...
"Roro...! Kau pergilah besok sebelum matahari terbit. Dan
perpisahan ini adalah saat terakhir kau bisa bicara padaku. Karena mulai hari
ini aku telah menutup semua pendengaran dan penglihatanku dari dunia persilatan.
Aku ingin mati terkubur di tempat ini. Karena aku sudah puas mempunyai murid
semacammu. Secantikmu. Juga secerdikmu...! Nah!
Kini sudah waktunya aku bersemadi.
Kuharap kau takkan menggangguku
lagi...!" Selesai berkata si Manusia Aneh Pantai Selatan segera beranjak masuk
ke kamar goa tempat ia biasa bersemadi. Lalu menutup pintu batu,
untuk selanjutnya telah tak terdengar lagi suaranya.
Roro Centil menatap dengan
pandangan mata redup. Tampak setetes air bening mengalir membasahi pipi.
Roro tak dapat menahan harunya.
Sementara suara deburan ombak
terdengar lapat-lapat dari dalam rongga di dasar tebing itu. Pelahan-lahan Roro
bangkit berdiri, lalu melangkah beberapa tindak mendekati tepi air. Di sana ia
berhenti untuk memandang riak gelombang di bawah kakinya. Dan terdengarlah suara
helaan napasnya.
"Guru...! Betapa
berat penderitaanmu, walau aku tak
mengetahui..." Gadis ini menggumam lirih. Seraya menyeka air matanya.
Burung-burung camar di atas
langit tampak bersileweran tiada putusnya. Roro Centil tersenyum...
Betapa iapun sudah merindukan untuk kembali ke alam bebas.
Namun sebelum pergi besok Roro
ingin sekali bermain gelombang...Suara debur ombak itu membuat ia ingin
menikmati alunan gelombang-gelombang raksasa itu. Segera saja ia telah membuka
pakaiannya. Karena tak ada seorang pun yang
melihat, Roro telah bertelanjang bulat. Dilemparkannya pakaiannya di atas
seonggok batu. Dan terjunkan kaki
ke air. Dengan melangkah perlahan ke depan, semakin lama air semakin dalam,
hingga sebatas dada. Yang akhirnya Roro menyelam. Gerakan di bawah air itu amat
disukai Roro. Sepasang
matanya telah menjadi biasa untuk melihat di bawah permukaan. Segera terlihat
terowongan dari kejauhan.
Roro hentakkan kaki dan tangannya.
Meluncurlah tubuhnya, sekejap telah tiba di mulut terowongan di bawah air...Di
sana ia mempercepat
gerakannya. Hingga tak lama kemudian ia telah berada di luar ruangan
rongga, di bawah tebing karang.
Terlihat di atas Roro riak gelombang yang besar-besar. Agaknya Roro Centil
memang sengaja menuju ke permukaan.
Hempasan gelombang segera menghantam tubuhnya. Akan tetapi gadis ini telah
kerahkan kekuatan tenaga dalamnya, dan meluncur ke permukaan ...
Itulah salah satu jurus dari
jurus Ikan Hiu mengejar Mangsa. Dan hebat akibatnya. Dalam sekejap tubuh Roro
Centil telah mencelat keluar dari permukaan. Ketika turun lagi sepasang kakinya
telah hinggap di atas
gelombang. Aneh...! Tubuh Roro tidak tenggelam. Bahkan Roro seperti tengah
menari-hari di atas gelombang. Seolah tubuhnya timbul tenggelam. Namun gadis ini
tampak asyik menikmati alunan ombak yang membuai-buai itu. Sementara
suara deburan-deburan keras membahana, ketika gelombang-gelombang raksasa itu
menghempas di batu karang.
Roro pejamkan matanya. Dan terbayanglah semua impian indahnya.
Suka dukanya...yang telah jadi
kenyataan. Kini ia telah menguasai ilmu yang amat langka di jagat ini.
Semua itu berkat latihan dan bimbingan Gurunya si Manusia Aneh Pantai
Selatan. Permainan menari-nari di atas ombak itu amatlah disukai Roro. Dan hal
itu tak berlangsung lama. Karena sebentar kemudian hari sudah menjelang senja.
Matahari telah semakin meng-gelincir di tepi cakrawala. Roro Centil segera
melompat tinggi tujuh tombak di atas gelombang. Tampaklah keindahan tubuhnya
yang padat berisi.
Bentuk tubuh yang jarang dipunyai gadis-gadis lain. Roro memang Roro...!
Walau banyak nama seperti dirinya di atas dunia ini, tapi RORO CENTIL cuma satu!
Dialah si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Yang berwajah ayu rupawan.
Berwatak aneh sukar diterka. Lincah jenaka banyak akalnya. Siapa pun pemuda yang
melihat, pasti akan
menggandrunginya.
Ketika tubuhnya meluncur lagi ke bawah di mana gelombang raksasa itu segera
menyambutnya, tubuh gadis yang bugil itupun lenyap. Seperti telah ditelan ombak.
Namun di bawah air,
Roro Centil telah berenang menyibak derasnya arus. Tubuhnya meluncur deras
bagaikan seekor ikan hiu, dan
berseliweran di antara karang-karang yang menonjol. Selang sesaat, ia telah
kembali memasuki terowongan di bawah air itu. Dan dengan sekali menggenjot
tubuh...Roro Centil kembali tersembul di permukaan. Kini ia telah berada kembali
di dalam ruangan rongga, di bawah tebing karang. Setelah menghirup napas dalam-
dalam, Roro beranjak ke darat. Sepasang kakinya melangkah perlahan di dasar air
berpasir sebatas betis. Lalu dengan gerakan ringan, Roro melompat ke darat.
Sepasang kakinya melangkah perlahan di dasar air berpasir sebatas betis. Lalu
dengan gerakan ringan, Roro melompat ke darat. Selanjutnya ia telah segera
mengenakan lagi pakaiannya. Menge-ringkan rambutnya, dengan duduk di atas batu.
Kali ini tampaknya Roro telah puas. Besok ia sudah tinggalkan tempat ini. Tempat
tersembunyi yang telah menjelmakan dirinya menjadi seorang gadis Pendekar
Perkasa. Walau diam-diam Roro Centil menghela napas.
Karena segera terpikirkan
akan banyaknya perintang kelak di Rimba Persilatan yang bakal ia hadapi. Tapi
disanalah ia dapat mendarma buktikan ilmunya untuk memperjuangkan keadilan.
Membela si lemah dari cengkeraman si
kuat yang sewenang-wenang. Menegakkan panji keadilan di atas bumi ini. Yang
semua itu adalah dengan taruhan nyawa.
Demikianlah... Matahari sudah agak meninggi. Akan tetapi Roro Centil masih tetap duduk di atas tebing karang
Pantai Selatan. Sepasang
matanya menghadap menatap hamparan lautan luas. Sementara hempasan angin laut,
membuat rambut dan pakaian sutera hijaunya melambai-lambai
diterpa angin. Juga ujung ikat
kepalanya yang berwarna abu-abu itu tak mau diam berkibaran.
Sedang di dekat kakinya,
tergeletak sebuah buntalan dari sutera tebal berwarna hitam. Adapun sepasang
senjatanya terselip di kiri-kanan pada ikat pinggang, yang terbuat dari kulit
ular. Roro Centil ternyata memakai pakaian yang singsat. Celana pangsinya yang
berwarna hijau tua, lebih tua dari pakaiannya. Tampak pada ujung celananya
terbelit tali sepatu rumput yang dikenakannya.
Selang beberapa saat setelah
mengenang tempat yang bakal tak
disinggahinya lagi, Roro Centil segera beranjak bangun berdiri. Sementara
lengannya sudah bergerak menyambar buntalan pakaiannya. Pada buntalan itu sang
Guru banyak membekali bermacam pakaian, juga sekotak kecil perhiasan.
Kesemuanya telah disediakan sang
guru di muka pintu kamar. Bahkan ketika Roro Centil berpamit tak ada sedikitpun
suara gurunya menyahuti.
Roro cuma bisa menghela napas.
Karena ia sudah mengenal watak gurunya yang aneh. Dan ia pun tak banyak buang
waktu lagi, segera sambar buntalannya yang tadi baru saja dibukanya untuk
dilihat isinya. Setelah menutup pintu lubang terowongan di atas tebing karang
itu, Roro tidak segera berlalu, tapi beranjak ke tepi tebing.
Di sana ia duduk menghadap laut.
Dan mengingat semua wejangan dari Guru gurunya. Yang kesemuanya menitik beratkan
pada sifat-sifat kependekan-ran. Betapa Roro sudah terlalu
menghayati akan semua itu. Namun Roro Centil memang berwatak aneh. Dan orang
akan sukar menduga isi hati yang terkandung di jiwanya.
Namun dasar-dasar kebenaran,
serta jiwa ksatria, kiranya tak
mungkin terlupakan oleh si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini. Karena
mengharungi atau terjun ke Dunia Rimba Hijau akan banyak kemelut dan bermacam
rintangan yang bakal dihadapi. Namun dengan jiwa yang kokoh itu, Roro Centil
tidaklah menjadi manusia yang mengecewakan di mata kaum golongan Pendekar.
Ketika itu Roro Centil sudah
berkelebat meninggalkan tebing karang,
dihantarkan oleh tiupan angin laut yang membersit dedaunan. Tubuh gadis pendekar
yang cantik itu sebentar saja telah berkelebat semakin jauh,
tinggalkan Pantai Selatan. Akan tetapi tanpa disadari sesosok tubuh yang sejak
tadi memperhatikan dari
kejauhan, diam-diam terus menguntitnya. Sosok tubuh itu adalah seorang pemuda
berbaju putih. Berwajah cukup tampan, dengan kumis kecil di atas bibirnya.
Tentu saja gerakannya kalah
cepat dengan Roro, sehingga sebentar saja ia telah jauh tertinggal. Akan tetapi
di sebuah tempat, ia berhenti, dan bersuit keras.
Tiba-tiba bergerak muncul seekor kuda berwarna hitam legam menghampiri, dengan
derap langkahnya yang terdengar memijak tanah, menyibak rerumputan.
"Antasena...! Cepatlah...!". Si laki-laki itu berseru girang melihat kudanya.
Dan segera saja telah
melompat ke atas punggungnya.
"Ayo! Antasena...! Kau susullah gadis cantik itu...!". Berkata si laki-laki. Dan
sekejap kemudian derap kaki-kaki kuda sudah terdengar terbawa angin, ketika si
laki-laki itu memacunya dengan cepat.
Agaknya Roro Centil mengetahui
adanya seekor kuda dengan penunggang kudanya di belakang. Karena ia telah
mendengar suara ringkik kuda serta derapnya di kejauhan.
"Siapakah...?" Gumam Roro seraya berpaling, dan perlambat larinya.
Melihat seekor kuda yang dipacu begitu cepat membuat Roro Centil ingin
mengetahui ada hal apakah gerangan.
Tapi diam-diam ia telah melompat ke balik semak dengan cepat. Sepasang matanya
tertuju pada si penunggang kuda, yang sebentar lagi akan tiba melewatinya.
Beberapa saat antaranya, segera saja kuda telah tiba. Ternyata sang kuda itu
terus melewatinya.
Sekilas Roro sudah dapat memperhatikan wajah si penunggangnya. Kira-kira jarak
dua puluh tombak, kuda itu dihentikan. Terdengar suara binatang itu meringkik
panjang. Dan terlihat si penunggangnya memutarkan kudanya ke beberapa arah.
Tampak wajahnya
menampilkan kekecewaan. Sepasang matanya seperti mencari jejak orang yang
diburunya. Tentu saja hal itu membuat Roro Centil diam-diam menduga dalam hati.
"Apakah ia mencariku...?".
Desisnya perlahan. Memandang wajah orang, agaknya Roro tidak curiga kalau si
penunggang kuda itu ada berniat jahat. Namun sengaja Roro tak mau menampakkan
diri. Setelah berputar-putar beberapa
kali, laki-laki itupun kembali memacu
kudanya ke arah depan, melewati hutan bambu. Diam-diam kini Rorolah yang
membuntuti. Kira-kira sepemakanan nasi si
penunggang kuda itu telah berhenti di sebuah biara rusak yang sudah tak
digunakan lagi. Akan tetapi pada saat itu telah berkelebat sesosok tubuh ke
hadapan si penunggang kuda. Tentu saja membuat laki-laki itu terkejut. Namun si
penghadang itu telah membentak keras.
"Sentanu...! Kau tak dapat
melarikan diri dariku...!". Ternyata si pendatang itu seorang pemuda tegap,
berwajah gagah, tanpa kumis dan
jenggot. Raut mukanya agak kasar.
Berkulit kecoklatan. Laki-laki ini mengenakan baju abu-abu berlengan pendek,
dengan bagian dadanya terbuka.
Menampakkan dadanya yang bidang.
Celananya berwarna hitam. Tanpa
memakai alas kaki. Sepasang mata pemuda ini membersit tajam menatap orang di
hadapannya. "Turunlah Sentanu...! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu..!"
Bentaknya sekali lagi.
Adapun si laki-laki berkumis
Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecil yang menunggang kuda itu, jadi kerutkan sepasang alisnya, dengan menatap
heran. Ia sudah mengenal siapa si penghadang itu.
"Hm! Mandra...! Apakah kesala-
hanku...?". Bertanya laki-laki itu.
"Keparat...! Kau masih juga berpura-pura" Perbuatanmu sudah
tercium jelas. Apakah dengan telah kau nodainya adikku Marni, kau mau kabur
begitu saja..." Kiranya peristiwa akhir-akhir ini yang melanda beberapa desa di
sekitar wilayah Kadipaten Karang Sembung, adalah akibat ulah perbuatanmu...!".
Bentak Mandra. Keruan saja wajah Sentanu jadi merah padam mendengar tuduhan itu.
"Gila...! Apa-apaan kau
Mandra...! Kuakui kau anak Carik Desa.
Tapi tuduhanmu itu tidak beralasan, dan di luar batas! Aku manusia yang masih
punya martabat dan harga diri.
Mengapa datang-datang kau melakukan tuduhan sekeji itu?". Teriak Sentanu, seraya
melompat dari kudanya.
Akan tetapi Mandra hanya
tersenyum sinis. Sepasang matanya tetap menatap Sentanu dengan berapi-api.
"Martabat..." Harga diri..." Ha ha ha... Semuanya hanya pepesan kosong belaka.
Apakah dengan dalih bahwa kau bekas seorang perwira Kerajaan Medang, lalu
membuat orang lain harus
menghormatimu" Ha ha ha... di mata penduduk, kau tak lebih dari seorang manusia
yang kehilangan martabatnya.
Mengapa kau masih menyebut-nyebut tentang martabat dan harga diri"
Penduduk semua tahu kalau ayahmu mati di tiang gantungan, karena dianggap
memberontak. Dan kau ... ha ha ha kau karena diketahui anak seorang Senapati
yang sudah tak berharga lagi, telah dipecat dari keprajuritanmu. Makanya kau
bergentayangan. Kasihan ibumu yang sudah tua itu. Dia cuma bisa mengusap dada
memikirkan semua nasib yang menimpa. Dan bisa-bisa mati meleras, kalau
mengetahui anaknya adalah
seorang tukang pemerkosa kelas
wahid...!".
"CUKUP...! Mulutmu perlu
dihajar, Mandra...! Jangan kau bawa-bawa ayahku! Jangan kau bawa-bawa kedua
orang tuaku! Kau telah memfitnah orang. Demi Tuhan aku tidak melakukan apa-
apa...!" Teriak Sentanu dengan wajah pucat. Giginya gemeletuk menahan geram.
Tiba-tiba ia telah berteriak lagi dengan mengeluarkan kata-kata keras.
"Sebutkanlah Mandra...! Siapa biang keladi yang telah memfitnahku, dan
menjatuhkan martabat almarhum ayahku..." Pasti akan kurobek
mulutnya. Ketahuilah olehmu. Ayahku bukanlah mati di tiang gantungan karena
berkhianat, melainkan tewas dalam peperangan menumpas sisa-sisa pemberontak di
utara. Dan aku memang telah sengaja keluar dari keprajuri-tanku, bukan karena
aku dipecat...!
Seandainya kau tidak percaya, silahkan datang menghadap Baginda Raja Medang.
Beliau pasti akan membentangkan
perihal ayahku itu. Sedang mengenai tuduhanmu itu, apakah kau punya bukti bahwa
aku yang telah menodai adikmu Marni" Juga mengenai pemerkosaan yang melanda di
beberapa desa, apakah kau punya bukti bahwa aku yang telah melakukannya..." Hm!
Mandra...! Berfikir lah yang jernih. Agaknya kau terkena tenung orang. Mengapa tak hujan,
tak angin tahu-tahu kau menuduh orang sem-barangan...?". Suara lantang Sentanu
agaknya membuat pemuda bernama Mandra itu terhenyak seketika. Akan tetapi ia
sudah berkata; "Bukti memang belum kudapatkan yang jelas. Akan tetapi orang desa Tambak Segoro
telah menduga kau yang telah melakukannya. Karena adikku Marni berada di
kamarmu. Telah dua hari ini aku mencarimu ke mana-mana.
Apa lagi melihat sejak kedatanganmu, kau jarang berada di rumah. Kecurigaan
penduduk tertuju padamu. Mereka punya dugaan kuat kejadian-kejadian di luar
tentang pemerkosaan yang semakin santar itu dilakukan olehmu.
Sebabnya... entahlah, mungkin mereka beranggapan kau anak seorang Senapati yang
tak bermoral. Dan mati dalam keadaan hina, sebagai pemberontak Kerajaan. Tentu
anaknya pun bukan
orang baik-baik. Atas dasar itulah aku turut menuduhmu, Sentanu...! Walau pun
kau adalah sahabatku, tapi itu dulu di waktu kecil. Keadaan sekarang mana aku
tahu..." Aku cuma sekali sekali saja datang ke rumah. Karena sibuk dengan
pekerjaanku sebagai pandai besi.
Mengetahui keadaan adik kandungnya bernasib demikian, siapa yang sanggup menahan
diri...?". Ujar Mandra.
Sementara Sentanu jadi terce-
nung. Memang ia jarang berada di rumah. Karena disebabkan para penduduk bersikap
sinis padanya. Entah mengapa.
Kini jelaslah sudah persoalannya.
Ternyata Sentanu telah difitnah orang.
Memang ia ada mendengar berita tentang adanya banyak kejadian pemerkosaan di
beberapa desa. Sebenarnya ia memang berniat menyelidiki.
2 KINI mendengar bahwa dua hari
yang lalu ada bukti bahwa Marni berada di kamarnya, membuat Sentanu jadi
termangu-mangu. Apakah sebenarnya yang telah terjadi" Siapakah manusia jail yang
memfitnah dirinya"
Tiba-tiba Sentanu sudah menatap
Mandra dengan tajam, lalu berkata;
"Mandra...! Kita pernah bersahabat, walaupun itu di waktu kita
kecil. Aku sudah bentangkan yang sejujurnya tentang diriku. Juga
sekaligus menceritakan yang sebenarnya tentang ayahku. Terserah kau...!
Apakah kau akan mempercayaiku, ataukah mempercayai dugaan penduduk yang telah
menuduh keluargaku sekeji itu.
Jelasnya ada yang sengaja mengail di air keruh. Orang yang makan nangka, aku
yang terkena getahnya. Baiklah!
Berilah aku waktu tiga bulan untuk menyelidiki kasus ini. Seandainya aku tak
berhasil membongkar siapa yang telah melibatkan diriku dalam
kejahatan ini, aku rela menerima hukuman darimu. Walau aku tak
bersalah...!".
Selesai berkata Sentanu telah
melompat kembali ke atas kudanya.
Sementara Mandra cuma bisa terpaku di tempatnya. Tapi kemudian terdengar ia
berkata; "Baik...! Aku pun akan coba menyelidiki. Kalau ternyata kau
bersalah, jangan harap kau bisa
meloloskan diri dariku. Tapi kalau ternyata kau tak bersalah, aku cabut lagi
tuduhanku...!" Selesai berkata Mandra segera tinggalkan tempat itu.
Ternyata ia juga membawa kuda yang disembunyikan tak jauh di belakang biara
rusak. Segera tak lama kemudian terdengar derap kaki-kaki kuda yang mencong-
klang cepat menuju ke arah
utara. Sekejap antaranya telah
menghilang di balik tikungan. Sentanu cuma menatap dengan pandangan kosong.
Baru saja ia mau memutar kuda untuk lanjutkan perjalanan, telah berkelebat tiga
sosok tubuh dari samping biara rusak. Belum lagi Sentanu sempat melihat tegas,
salah seorang telah melesat ke arahnya. Dan sekaligus menghantam laki-laki ini
dengan pukulan lengannya. Kejadian tak
terduga itu membuat Sentanu tak sempat berkelit. Segera saja dengan perdengarkan
teriakan tertahan, tubuhnya jatuh terlempar dari atas kuda. Kuda tunggangannya
meringkik panjang beberapa kali, lalu mencongklang kabur.
Sentanu cepat berusaha bangkit. Dan pada saat itu tiga sosok tubuh tampak
mendekatinya dengan langkah-langkah bagai malaikat maut yang siap mencabut
nyawa. "He he he...Kakang Kuti! Untuk mencabut nyawa si pemerkosa ini
sebaiknya serahkan saja padaku...!".
Berkata salah seorang yang berjubah kuning, berkulit hitam. Wajahnya kaku dan
seram, tanpa kumis dan jenggot.
Rambutnya panjang sebatas bahu, dan terlihat kaku. Memakai ikat kepala dari kain
hitam. "Silahkan saja...! Tapi jangan dibunuh cepat-cepat. Kalau bisa jangan sampai
mengalirkan darah...! Ha ha
ha...!". Menyahuti yang bertubuh jangkung. Memakai jubah warna hitam.
Orang ini berwajah kasar, dengan
hidung yang melengkung. Sedang di bawah hidungnya terdapat kumis tebal yang
melintang. Dagunya bekas brewok yang sudah klimis dikerok. Orang ini pun
berambut gondrong, yang tampak awut-awutan. Ikat kapalanya dari kulit buaya.
Sedang yang seorang lagi
ternyata bertubuh pendek, bulat.
Berkepala besar. Dengan rambut
gondrongnya berwarna coklat. Mukanya lebar, dengan sepasang mata yang sipit.
Wajahnya menampilkan senyum yang tak sedap dipandang. Di lehernya tergantung
seuntai tasbih berwarna hitam. Jubah yang dipakainya berwarna ungu. Sewarna
dengan ikat kepalanya yang lebar.
Sentanu dengan menyeringai kesa-
kitan meraba punggungnya, memandang pada ketiga manusia yang berdiri di
hadapannya. "Siapakah kalian..." Apa
kesalahanku" Mengapa
kalian mau membunuhku?". Bertanya Sentanu, yang segera sudah dapat berbangkit untuk
berdiri. Akan tetapi jawabannya adalah suara tertawa berbareng, yang
terbahak-bahak.
"Ha ha ha ... ha ha ... Lucu sekali pertanyaannya. Masakan perbuatanmu yang
telah kau lakukan sampai
tidak ingat lagi" Kemana pun kau pergi pasti akan diancam kematian. Karena semua
orang sudah mengetahui siapa adanya kau" Untuk manusia tukang memperkosa wanita
semacam kau sebaiknya diberi hukuman setimpal.!"
Berkata si pendek berjubah ungu, yang berambut coklat.
"Akulah yang pertama akan
menghukummu manusia tengik...!".
Seraya berkata lengan si laki-laki berjubah kuning berkulit hitam itu sudah
gerakkan lengannya meluncur untuk menotok Sentanu. Akan tetapi tiba-tiba ia
telah menjerit kaget, karena sebutir batu kecil telah
menghantam pergelangan tangannya.
Hingga tak ampun lagi lengannya jadi kesemutan tak dapat digunakan lagi. Ia
sudah melompat mundur dengan wajah pias. Sementara kedua kawannya juga jadi
terkejut. Pada saat itulah terdengar suara tertawa wanita, yang disusul dengan
berkelebatnya sesosok tubuh berbaju hijau. Dan di hadapan mereka telah berdiri
seorang gadis cantik ayu rupawan. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Kiranya
melihat keadaan Senanu yang walau belum dikenalnya, Roro berniat melindungi
laki-laki itu, yang belum dapat dipastikan kesalahannya.
Sejak bertarung mulut dengan
Mandra, hingga sampai kedatangan
ketiga manusia ini, Roro Centil terus mengikutinya dari tempat persembunyiannya.
Dengan membuka mata dan memasang telinga mendengarkan setiap pembicaraan orang.
Melihat yang muncul adalah
seorang gadis cantik, laki-laki
bertubuh tinggi jangkung berjubah hitam itu segera menjura.
"Oh, selamat berjumpa nona...!
Gerangan siapakah anda" Kami Tiga Paderi dari Lereng Gunung Wilis merasa
terkejut, karena nona menghalangi kami membunuh manusia durjana ini...!".
Berkata si jangkung berkumis tebal, seraya perkenalkan diri. Akan tetapi hal itu
membuat Roro Centil jadi melengak, dan naikkan alisnya.
"Kalian Tiga Paderi Lereng
Gunung Wilis?". Tanya Roro heran.
"Setahuku paderi berkepala
gundul plontos. Mengapa kalian
berambut gondrong menakutkan" Aneh...!
Apa aku tak salah dengar..."!". Ujar Roro selanjutnya. Tampaknya wajah Kuti si
jangkung itu jadi agak berubah.
Seperti ada kesalahan yang perlu diralat. Sementara kedua orang
kawannya saling berpandangan. Namun Kuti tiba-tiba telah tertawa terbahak-bahak,
seraya ujarnya;
"Ha ha ha...Kami memang tengah menyaru dengan menggunakan rambut palsu...! Maaf,
nona. Anda boleh lihat
sendiri kepala kami...!". Seraya berkata Kuti telah menjambak rambut kepalanya,
hingga terlepas. Benarlah!
Ternyata kepala Kuti memang tak
berambut sama sekali, alias gundul plontos. Hal tersebut diikuti kedua kawannya,
yang segera menjambak
rambutnya masing-masing. Hingga ter-lihatlah ketiganya adalah benar-benar tiga
orang paderi. "Nah...! Apakah anda kini
percaya kalau kami tiga orang
paderi...?". Tanya Kuti. Roro jadi tersenyum, dan berkata;
"Baik...! baik...! Aku percaya kalau kalian adalah paderi. Akan tetapi menghukum
seseorang yang belum jelas kesalahannya adalah tidak
dibenarkan..."
Melengak ketiga paderi itu. Akan tetapi Kuti si paderi tertua di antara kedua
kawannya telah kembali buka suara;
"Dia telah memperkosa, lalu pergi menghilang. Bagaimana kami bisa jelas-jelas
menangkapnya" Kalau
saksinya adalah semua penduduk sedesa, apakah anda mau mengatakan bahwa manusia
ini belum juga jelas
kesalahannya ... ?".
Termenung sejenak Roro Centil.
Akan tetapi ia sudah berkata;
"Aku memang belum mengetahui jelas duduk perkaranya. Tapi yang
berhak memberi hukuman adalah yang berwenang. Kalau di desa, tempat ia dituduh
ada seorang Carik, dialah yang wajib menghukumnya. Mengapa harus anda yang
memberi hukuman..." Setahuku, tadi anak Carik desa yang bernama Mandra, telah
membuat keputusan. Yaitu memberi kesempatan pada orang ini selama tiga bulan,
untuk dia mencari orang yang memfitnah nya. Jadi hal itu adalah suatu keputusan
yang sudah disetujui. Karena korban pemerkosaan adalah adiknya sendiri yang
bernama Marni. Nah...! Berdasarkan hal itu aku mohon anda tidak lagi mengganggu
pemuda ini. Dan biarkan ia berurusan dengan anak Carik Desa itu
sendiri...!". Kata-kata Roro terdengar lantang dan tandas. Sehingga ketiga
paderi ini cuma bisa tercenung.
"Baiklah! Kalau begitu, nona.
Sebenarnya kami Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis merasa harus melenyapkan setiap
kekotoran di dunia. Karena melenyapkan kekotoran itu merupakan amal kebaikan ...
!". Berkata Kuti.
"Benar...! Tapi apakah harus selalu dengan membunuh..." Bagaimana kalau ternyata
yang berbuat itu
bukanlah si orang yang tertuduh ini"
Bukankah akan menambah dosa?". Ujar Roro Centil dengan tandas.
Agaknya untuk bertarung bicara,
Kuti harus mengalah. Segera ia
membungkuk menjura lagi. "Terima kasih atas penjelasan nona. Kami sungguh amat
bergirang hati dapat berkenalan dengan nona yang ternyata berpandangan luas.
Sayang kami tiada mendengar akan keputusan laki-laki anak carik desa itu. Yang
memberikan kesempatan
padanya untuk membela diri dengan mencari orang yang memfitnahnya. Walau hal itu
belum tentu benar, tapi anak carik desa itu telah berlalu
bijaksana...! Bolehkah kiranya kami mengetahui siapa gerang-an nona...?".
Bertanya Kuti. "Ah, aku orang biasa yang tak ternama. Namaku Roro Centil...!".
Sahut Roro. Akan tetapi penjelasan itu membuat si ketiga paderi jadi
terkejut. Tanpa terasa mereka telah segera berseru hampir berbareng.
"Ha..." Jadi andakah si Pendekar Wanita Pantai Selatan . .. ?".
"Oh, beruntung sekali kami dapat berjumpa dengan nona pendekar.
Mengenai masalah ini kami yakin, nona Pendekar dapat membantu menyelesai-
kannya...!". Ujar Kuti. Roro Centil cuma tersenyum, dan manggut-manggut.
Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adapun Kuti segera memberi isyarat pada kedua paderi kawannya, dan ia mendahului
berkata; "Baiklah, nona Pendekar Roro Centil. Kami mohon diri. Dan tentu saja mengenai
urusan laki-laki ini
kami tak berniat mencampurinya
lagi...!". Selesai berkata, kembali ketiga paderi itu menjura. Dan
selanjutnya telah berkelebat pergi dengan cepat.
Roro segera palingkan kepala
pada Sentanu, yang tengah menatapnya, dengan pandangan kagum juga terpesona.
Segera ia sudah menjura pada Roro, seraya berkata;
"Terima kasih atas pertolongan anda; nona Pendekar...! Sungguh tak mengira kalau
aku dapat berjumpa dan berkenalan dengan seorang Pendekar Wanita, yang namanya
telah dikenal di kalangan Rimba Hijau . .. !".
"Hi hi hi ... . Sudahlah, jangan terlalu berbasa-basi, sobat ... eh, kau bernama
Sentanu, bukan?". Tanya Roro dengan menatap tajam wajah orang.
Yang ditatap jadi kikuk, tapi segera menjawab;
"Benar...! Sebenarnya aku memang tengah mencari nona Pendekar yang khabarnya
berada di pantai Selatan.
Entah sudah beberapa tempat aku
kunjungi di Pantai Selatan ini, Akan tetapi ketika aku melihat anda duduk di
ujung tebing karang itu, entah mengapa aku jadi ragu...!". Roro jadi kerutkan
alisnya. "Jadi kau telah sejak lama
mengetahui aku duduk di atas
tebing..." Dan mengapa kau jadi
ragu...?" Tanya Roro dengan lagi-lagi menatap tajam pada Sentanu. Laki-laki
berkumis kecil ini, jadi tersipu-sipu dan tampak gugup.
"Apakah kau ragu kalau aku bukan orang yang kau cari?". Ulang Roro.
"Be...benar, nona Pendekar ...!
Karena hampir lebih dari setahun ini tak ada khabar berita di mana adanya nona
Pendekar...". Tampaknya Sentanu seperti menyembunyikan sesuatu. Tapi tak berani
mengatakannya. Padahal, Sentanu telah melihat tanpa sengaja dengan mata kepala
sendiri, di mana ketika senja itu Roro Centil tengah bermain gelombang di bawah
tebing karang, dengan menari-nari bagaikan seorang dewi lautan. Sentanu telah
menyangka Roro adalah Nyai Roro Kidul, yang ada dalam dongeng rakyat. Karena
mustahil bila hal semacam itu
dilakukan oleh seorang manusia. Dengan nekat, Sentanu segera menuruni tebing
karang untuk melihat lebih dekat.
Gerakan tubuh semampai tanpa busana itu membuat Sentanu bagaikan melihat seorang
bidadari yang sedang mandi.
Hingga ia benar-benar terpesona
dibuatnya. Sayang waktu itu tak
berlangsung lama ... Dan sang bidadari telah kembali lenyap seperti ditelan
gelombang. Laki-laki ini jadi
penasaran. Semalam-malaman ia tak bisa tidur. Ternyata ia belum pergi jauh
dari tebing karang itu.
Esoknya, pagi-pagi sekali ia
telah kembali naik ke atas tebing karang. Dan di sanalah ia melihat Roro Centil
sedang termangu-mangu. Jelas dan tak mungkin salah dengan apa yang telah
dilihatnya senja kemarin. Wajah dan potongan tubuh gadis itu amat serupa dengan
sang bidadari yang bermain di atas gelombang.
Sehingga diam-diam ia terus
mengintai...Dan tatkala Roro beranjak untuk meninggalkan Pantai Selatan.
Sentanu segera bergegas mengikuti.
Beruntung Roro melewati tempat kudanya dilepas mencari rumput. Sehingga Sentanu
dapat cepat memanggil sang kuda tunggangan. Dan memacunya cepat untuk menyusul
Roro. Hingga akhirnya ia berjumpa dengan Mandra. Dan hampir saja ia jadi korban
dibunuh si tiga orang paderi, kalau tak datang Roro yang membelanya.
"Ada hal apakah kau mencari diriku...?". Tanya Roro tiba-tiba.
Membuat Sentanu yang sedang termenung jadi terkejut.
Segera ia menyahuti dengan suara tergagap;
"Anu... nona Pendekar ... Eh, ma-rilah kita bicara sambil duduk di sana, agar
dapat leluasa kita
bercakap-cakap...!". Berkata Sentanu seraya menunjuk ke lantai biara. Roro
Centil mengangguk. Dan segera keduanya beranjak ke sisi biara rusak itu.
Selanjutnya sudah duduk berhadapan.
Ternyata Sentanu telah
mengeluarkan sebuah benda, yang telah lama disimpannya. Benda itu adalah sebuah
kalung, dengan rantai terbuat dari baja putih. Sedang bandulannya terbuat dari
gading berbentuk hati.
Pada bagian tengah gading itu, terukir sebuah huruf "R". Benda itu diperlihatkan
pada Roro. Tampaknya Roro Centil jadi
terkejut. Segera ia raih benda itu dari tangan Sentanu. Sepasang matanya menatap
tajam dan meneliti benda dan bandulannya itu. Segera saja ia telah berkata
setengah berteriak;
"Benda ini milikku...Dari mana kau menemukannya ... ?". Tanya Roro.
"Ceritanya panjang sekali...!
Kalau nona Pendekar mau mendengarkannya, aku pasti akan menceritakannya...!"
Ujar Sentanu. Seraya menghela nafas lega. Kini keyakinannya semakin jelas, bahwa
benarlah kalung yang ditemukannya kurang lebih dua belas tahun yang lalu itu
pasti pemiliknya seorang anak perempuan.
Diam-diam wajah Sentanu menam-
pilkan kegembiraan. Akhirnya ia dapat mengetahui siapa pemilik kalung
bertuliskan huruf "R" itu. Segera Sentanu menceritakan asal penemuan
kalung itu. Yaitu yang ditemukannya ketika ia masih menjadi Perwira
Kerajaan. Dalam pengejaran mencari jejak si Maling Sakti yang menjadi buronan
Kerajaan. Rombongannya
melewati sebuah jalan desa, yang telah bergabung dengan rombongan Tumenggung
Wira Pati. Tumenggung Wira Pati adalah pamannya. Dari jauh ia sudah melihat
adanya beberapa ekor kambing
tergeletak di jalan sunyi itu. Ia bersama empat orang Prajurit berkuda berada di
bagian belakang Rombongan berkuda pamannya. Karena Sentanu memang tadi tidak
melalui jalan itu, jadi tak hapal akan jalannya.
Sedangkan rombongan berkuda Tumenggung Wira Pati ternyata tidak berhenti, bahkan
terus menerjang beberapa ekor kambing yang bergelimpangan itu.
Sekaligus Sentanu dapat melihat adanya seorang bocah tertelungkup memeluk seekor
kambing yang telah tak
berkutik. Namun mana ia bisa menahan rombongan di hadapannya. Sedang yang paling
depan adalah pamannya, alias Tumenggung Wira Pati. Sentanu berada di tengah
pasukan berkuda. Terpaksa iapun melewati di mana kambing-kambing itu terkapar.
Hingga sekejap saja rombongan mereka pun telah jauh dari jalan desa yang sunyi
itu. Akan tetapi Sentanu tak lama kembali lagi bersama keempat prajurit
bawahannya. Memang ia
agak penasaran, apakah penglihatannya sekilas tadi itu hanya fatamorghana saja,
ataukah sesungguhnya. Sehingga ia dengan keempat orang bawahannya sengaja
memisahkan diri, dari pasukan Tumenggung Wira Pati. Dan kembali lagi untuk
melihat keadaan di jalan desa itu. Seandainya benar di sana
tergeletak seorang bocah, pastilah tak akan membuat Sentanu penasaran. Akan
tetapi Sentanu dan keempat prajurit bawahannya tidak mendapatkan ada seorang
anak manusia di tempat
kambing-kambing yang telah tergeletak tak bernyawa itu. Bahkan keempat prajurit
diperintahkan memeriksa keadaan sekitarnya. Namun tak dijumpai siapa-siapa.
Demikianlah, akhirnya Sentanu
beranggapan kambing-kambing yang mati itu adalah beberapa ekor kambing yang
kebetulan lewat di jalan desa yang sempit itu. Akan tetapi, terkejut Sentanu
ketika melihat sebuah benda berkilat tak jauh dari kaki-kaki kambing yang mati.
Ia segera turun dari kudanya. Dan meraih benda itu...
Ternyata benda itu adalah kalung berbentuk hati dan dengan bertuliskan huruf "R"
di tengah bandulannya.
Sentanu telah menyimpan benda itu.
Akan tetapi ia telah berkeyakinan bahwa benarlah apa yang telah
dilihatnya bahwa adanya seorang bocah
yang tertelungkup memeluk seekor kambing, yang telah diterjang terus oleh
Tumenggung Wira Pati. Bertambah gusar dan mendongkolnya Sentanu, ketika setelah
berfikir keras dengan masalah itu, punya dugaan kuat bahwa rombongan berkuda
sang paman telah menerjang dua kali di tempat kambing-kambing itu berserakan.
Mustahil bila baru pertama kali, karena ketika Sentanu dan rombongannya yang
memang baru sekali melewati tempat itu, telah melihat bahwa kambing-kambing itu
telah tergeletak berserakan. Berarti ketika rombongan Tumenggung lewat yang
pertama, telah menerjang sekumpulan kambing dengan seorang bocah penggembalanya.
Dan yang kedua kalinya, ketika kembali, telah menerjangnya lagi tanpa
menghiraukan nyawa orang, apa lagi binatang. Mengingat demikian Sentanu jadi
membenci sang paman, alias Tumenggung Wira Pati.
Namun anehnya, kalungnya dikete-
mukan, tapi bocah si penggembalanya tak ada. Sentanu punya dugaan kuat kalau si
bocah penggembala kambing itu seorang bocah perempuan. Dan Sentanu berpendapat,
bahwa bocah penggembala itu pasti telah ada yang menolong.
Namun itu cuma dugaan. Dan entah mengenai hidup dan matinya si bocah pengembala
itu. Sentanu tak
mengetahui. Namun sampai lebih dari
dua belas tahun ternyata Sentanu masih menyimpan benda itu. Dengan harapan dapat
menemukan si pemiliknya kelak...
Demikianlah Sentanu mengakhiri penutu-rannya.
Adapun Roro Centil mendengar-
kannya dengan termangu-mangu. Tiba-tiba ia telah membuka ikat kapalanya.
Dan meraba sebuah bekas luka di sudut dahi dekat rambutnya. Luka itu adalah
bekas terkena terjangan kaki-kaki kuda, menurut Gurunya atau paman angkatnya,
yaitu si Maling Sakti.
Dengan sepasang mata masih menatap kosong, Roro berkata; "Aku punya luka kecil
di dahiku ini, menurut mendiang guruku dahulu, adalah bekas kena terjangan kaki-
kaki kuda...!".
"Kalau benar benda itu adalah milikmu, berarti kaulah si bocah penggembala
kambing pada dua belas tahun lebih yang silam...!" Ujar Sentanu dengan wajah
girang. Tampaknya Roro sulit mengingat-ingat kisah lalu itu. Namun setelah
beberapa saat terdiam, terdengarlah Roro menghela napas, dan ujarnya...
"Benar, sobat Sentanu...! Aku mulai ingat. Kala itu aku menggemba-lakan kambing-
kambing pamanku. Dan saat itu ada sepasukan berkuda yang datang, dan tahu-tahu
sudah berada di hadapanku. Aku sempat melompat ke parit. Namun kambing-kambingku
telah berserakan dengan keadaan menyedihkan.
Cuma dua ekor saja yang tinggal hidup.
Itupun dalam keadaan patah kaki. Aku memang tak mampu mengingat berapa jumlah
semua kambing-kambingku. Namun yang kuingat adalah kematian si Putih, kambing
kesayanganku yang belum lama dibelikan ayah. Yaitu sebelum ada berita gugurnya
ayahku di medan
perang. Bahkan mayatnya saja aku tak mengetahui...!"
Sampai di sini Roro Centil
menyeka air matanya yang telah meleleh turun membasahi kedua pipinya.
"Ketika pasukan berkuda itu lewat, aku bangkit dari dalam parit, dan menangis
memeluki si Putih.
Kulihat kedua anaknya yang masih kecil dan lucu, telah mati dengan
menyedihkan...! Si Putih kudekap erat.
Binatang tak berdosa itu megap-megap.
Lidahnya terjulur penuh darah. Tulang-tulang tubuhnya telah remuk di dalam.
Aku tak kuasa menahan kesedihanku.
Hingga aku tak sadarkan diri lagi, ketika si putih melepaskan nyawanya.
Selanjutnya aku tak ingat apa-apa lagi. Cuma yang kuingat ada suara gemuruh yang
datang. Dan aku
terguling-guling di antara derap kaki-kaki kuda. Kurasakan mataku jadi gelap,
karena kepalaku terantuk benda keras. Dan selanjutnya aku sudah tak tahu apa-apa
lagi". Tutur Roro. Dan
melanjutkan lagi... "Belakangan baru aku mengetahui, yaitu setelah aku dewasa.
Guruku si Maling Sakti alias Jarot Suradilaga itulah yang telah menolongku. Dan
mengangkatku sebagai murid. Aku pun telah menganggap beliau pamanku sendiri.
Sayang...kurang lebih tiga tahun berselang, guruku tewas oleh si Dewa Tengkorak,
juga mertua guruku, kakek Bayu Seta alias si Pendekar bayangan. Selanjutnya aku
berguru dengan seorang tokoh aneh di Pantai Selatan. Setahun yang lalu memang
aku telah terjunkan diri ke Rimba Persilatan, membantu kaum
pendekar melenyapkan kejahatan. Akan tetapi aku kembali harus menjalani
gemblengan selama lebih dari setahun.
Dan baru hari ini aku keluar dari tempat perguruanku...!". Demikian tutur Roro
Centil panjang lebar.
Sementara Sentanu cuma manggut-manggut mendengarkan dengan penuh perhatian.
Kini jelaslah bahwa kalung yang
ditemukan itu milik Roro. Dan diam-diam Sentanu bersyukur juga kagum, yang
ternyata si pemilik kalung yang ditemukan itu, adalah seorang Pendekar Wanita
yang dikaguminya.
"Aku pun baru mengetahui kalau si Maling Sakti itu ternyata adalah seorang
Pendekar Pejuang tanpa pamrih.
Dan juga Ketua dari Partai Kaum
Pengemis, yang banyak berjasa pada
Kerajaan. Bahkan ternyata orang-orang atau Pembesar Kerajaan diam-diam hanya
mencari pangkat atau kedudukan
terhormat. Yang biasanya asal main tuduh saja. Bahkan tipu daya dan fitnah keji
pun tega ia lontarkan, demi untuk kelanggengannya duduk di kursi terhormat...!".
Ujar Sentanu. Karena seketika ia pun teringat
pada Tumenggung Wira Pati, yang
sekarang telah menjabat sebagai
Senapati Kerajaan Medang. Sentanu memang ada menduga yang menggembar-gemborkan
desas-desus kematian ayahnya ada hubungannya dengan Senapati
(pamannya) itu. Karena sebagai perwira Kerajaan, Sentanu sedikit banyak
mengetahui akan sepak terjang dan perbuatan Wira Pati.
Namun untuk menjaga agar tidak
menjadi kekacauan yang dapat mencemarkan nama Kerajaan, sengaja Sentanu tutup
mulut. Dan ia mengundurkan diri dari keprajuritan.
Cuma yang aneh, adalah ia
dituduh oleh banyak penduduk desa sebagai seorang yang membuat kericuhan. Dengan
mengkambing hitamkan dirinya sebagai seorang pemerkosa, dan penculik gadis.
Hal ini membuat Sentanu jadi
bertekad menyelidiki biang keladi kericuhan yang telah mengadu dombakan ia
dengan Mandra, sahabatnya. Juga
menjadikan penduduk di desanya sendiri bersikap sinis terhadapnya.
Apa lagi kini dengan munculnya
Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis, yang telah turut campur. Sentanu merasa harus
berhati-hati. Karena bukan mustahil akan banyak musuh yang tanpa sebab akan
memusuhinya ...
Oleh sebab itulah Roro Centil
bersedia membantu Sentanu menjernihkan keadaan di beberapa desa yang tengah
dilanda kemelut itu. Juga melindungi Sentanu dari kejahatannya manusia yang
sengaja berniat memfitnahnya. Bahkan juga berniat melenyapkan laki-laki tak
bersalah itu. Akhirnya sedikit banyak, Roro Centil dapat mengetahui kisah
riwayat hidup Sentanu. Yang ternyata banyak liku-liku kehidupan yang
dialaminya. Selang tak berapa lama, tampak
Sentanu bangkit berdiri, dan keluarkan suara suitan panjang. Suara suitan itu
adalah untuk memanggil sang kuda tunggangannya. Tak berapa lama,
terdengar suara derap kaki kuda
menghampiri, disusul suara ringkikannya. Dan segera saja muncul seekor kuda
hitam, yang tadi melarikan diri.
Sentanu segera menghampirinya, dan menepuk-nepuk lehernya, seraya
berkata; "Antasena! Marilah kita tinggalkan tempat ini, aku harus kembali
pulang dulu. Perasaanku tak enak. Aku akan menemui ibuku. Tentu beliau
mengharapkan kedatanganku...!". Sang kuda meringkik panjang seperti
mengerti akan kata-kata sang majikan.
Sementara Roro Centil cuma tersenyum saja memperhatikan Sentanu.
"Aku tak dapat menemanimu,
kembali ke desa. Tapi tak usah
Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
khawatir. Si tiga paderi itu telah berjanji tak akan mencampuri urusan ini.
Silahkan kau berangkat. Aku masih ada sedikit urusan yang akan
kuselesaikan. Mungkin besok, atau malam nanti aku akan menyelidiki situasi di
sekitar tiga desa terdekat.
Kuharap kau jangan tinggalkan rumahmu.
Kelak aku pasti mencarimu di desa tempat kau berada. Atau kau dapat tanyakan
pada Carik Desa di wilayah Kadipaten Karang Sembung...!".
Sentanu anggukkan kepalanya,
seraya melompat ke atas punggung kudanya.
"Aku harus segera kembali, nona Pendekar, Roro Centil. Dan sekali lagi terima
kasih atas bantuan anda...!".
Dan setelah berpamit, Sentanu sudah hentakkan kakinya ke perut kuda.
Selanjutnya sang kuda telah mencongklang lari dengan cepat. Roro
Amanat Marga 2 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Pendekar Cengeng 9