Pencarian

Tiga Paderi Pemetik Bunga 2

Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga Bagian 2


menatapnya hingga sampai punggung Sentanu tak kelihatan lagi.
Terdengar si gadis ini menghela
napas, seraya lengannya meraba bandulan kalungnya yang berbentuk hati dan
bertulisan huruf "R" pada bagian tengahnya.
Bibir gadis ini sunggingkan
senyum senang. Tak lama kemudian, ia telah berkelebat pergi tinggalkan biara
rusak itu. Matahari semakin tinggi dengan
panasnya yang amat terik ...
Rumah gedung besar milik Bupati
Daeng Panuluh itu tampak sunyi. Di luar cuma ada dua orang penjaga, yang
tampaknya amat mengantuk. Sementara di ruang dalam, tampak Ki Ageng Daeng
Panuluh tengah asyik duduk di kursi goyang dengan mata meram melek.
Tubuhnya yang agak gemuk dan tanpa mengenakan pakaian pada bagian atasnya itu,
terlihat mengeluarkan keringat.
Sebentar-sebentar ia mengipasi
tubuhnya dengan kipas dari bulu burung yang selalu tergenggam di tangannya.
Sementara di ruang kamarnya
terdengar suara isak tersendat. Suara isak dari seorang gadis yang telah
mengalami kenyataan hidup yang amat getir.
Lolos dari lubang buaya,
terperangkap di sarang macan. Dia seorang gadis yang masih muda. Dengan paras
cantik. Berkulit kuning langsat.
Tubuhnya dalam keadaan tertotok.
Sehingga ia tak dapat berbuat apa-apa
selain terlentang di pembaringan.
Malam tadi sesosok tubuh telah
membawanya melalui jalan rahasia di belakang gedung bupati Daeng Panuluh ini.
Dan malam tadi seperti juga malam kemarin, ia telah menghadapi hadirnya sang
harimau jantan. Yang dengan mendenguskan napasnya telah merencah tubuhnya hingga
seperti lumat. Kini ia tengah menunggu nasib apa selanjutnya yang akan menimpa.
Tengah ia termenung dengan
terisak-isak, pintu kamar kembali terbuka lebar. Lalu kembali menutup perlahan.
Sepasang mata teduh wanita muda ini kembali membersitkan sinar gemerlapan di
antara derai air
matanya. Dilihatnya sang harimau jantan yang tampaknya belum puas melahap
tubuhnya itu telah
mendekatinya kembali.
Kain selimut penutup tubuhnya
itu telah kembali disingkapkan. Dan sepasang mata jalang laki-laki bertubuh agak
gemuk itu menatap wajahnya serta merayapi sekujur tubuhnya.
Terdengar ia tertawa menyeringai
senang, seraya lengannya menelusuri setiap lekuk liku tubuh wanita.
Sementara sang wanita telah menggigit bibirnya menahan geram. Tiba-tiba ia telah
semburkan ludahnya hingga
membasahi wajah laki-laki itu.
"Fuah...! Kau meludahiku,
manis..." He he...ha ha ha... ". Daeng Panuluh tertawa terbahak-bahak.
Sementara si wanita itu sudah membuang mukanya ke samping.
"Belum puaskah kau, binatang..."
Mengapa tidak segera kau bunuh aku?"
Desis wanita itu disela isaknya.
Daeng Panuluh menyeka air ludah
yang melekat di wajahnya.
"Kau katakan aku binatang..." Ha ha he he he he...mungkin juga benar, tapi
mungkin juga tidak. Aku berikan kelembutan padamu, mengapa kau tolak"
Kau diantar kemari sudah bukan gadis lagi...! Kalau kau marah padaku itu salah
besar, sayang ...! Tapi tak apalah ...! Sebentar kau akan menjadi jinak...!".
Berkata laki-laki itu.
Tiba-tiba ia telah beranjak mendekati meja di sudut kamar itu. Lengannya
bergerak mengambil cawan berisi air yang telah disediakan. Tiba-tiba dengan
sebelah lengannya laki-laki itu telah menjambak rambut sang wanita, seraya
berkata; "Bukalah mulutmu sayang...! Kau minumlah air pelepas dahaga ini...!".
Tentu saja sang wanita itu berteriak tertahan menahan sakit. Akan tetapi ketika
mulutnya terbuka, cawan berisi air ramuan itu telah dicekokkan
padanya. Walaupun ia berusaha meronta, namun tak urung air ramuan itu telah
masuk juga ke dalam tenggorokannya.
Terdengar si laki-laki tertawa
terbahak-bahak. Dan lepaskan jambakan pada rambutnya. Wanita muda itu
terengah-engah kembali tergolek di pembaringan. Ia berusaha mengangkat lengannya
tapi totokan pada tubuhnya tak mampu ia membukanya. "Keparat...!
Bunuhlah aku, mengapa kau siksa aku terus menerus...?".
"Aku tidak menyiksamu, manis...!
Sebentar tenagamu akan kembali pulih.
Dan kau akan bertenaga seperti seekor harimau betina...! Ha ha he he he..."
Namun wanita itu sudah tak
mendengarkan ocehan laki-laki itu.
Sepasang matanya telah dipejamkan.
Karena ia rasakan kepalanya menjadi pusing. Sepasang matanya berkunang-kunang,
dan menjadi gelap. Dan ada hawa panas bergolak dalam perutnya.
Tubuh wanita itu menggelinjang menahan hawa panas itu. Entah berapa saat ia tak
tahu. Ketika samar-samar ia
melihat laki-laki itu tengah meneguk arak di hadapannya, ketika ia membuka
sedikit kelopak matanya. Aneh...! Hawa kemarahannya seperti lenyap. Totokan pada
tubuhnya seperti telah punah...
Akan tetapi tak ada niat ia untuk melepaskan diri dari tempat itu.
Ia seperti mengharapkan sesuatu
yang menggebu dalam jiwanya. Sepasang matanya yang redup itu seperti telah
menjadi tatapan mata liar dan jalang.
Lengannya menggapai seperti mencari pegangan. Disertai rintihan aneh, yang
mendesis dari mulutnya. Kini ia merasa seolah benar-benar menjadi seekor harimau
betina yang sedang berahi.
Terdengar samar-samar suara tertawa yang membuat ia seperti seorang buta yang
mencari-cari tongkat. Dan ia sudah segera dapatkan tongkat itu, untuk segera
selanjutnya berjalan menyusuri relung-relung kenikmatan, yang penuh misteri.
Bagaikan seekor binatang buas,
yang membaui daging mentah, harimau betina itu melumat apa yang ada di
hadapannya. Desah napasnya memburu.
Seperti berpacu dengan desah-desah angin yang tak diketahui dari mana datangnya.
Daeng Panuluh perlahan bangkit
untuk duduk. Napasnya terengah. Ia terlalu banyak menenggak arak. Selang tak
lama ia telah keluar dari
kamarnya. Dan kembali lemparkan
tubuhnya ke kursi goyang. Di sana ia duduk dengan kaki terjuntai, dengan
pejamkan mata. Segera tubuh laki-laki agak gemuk itu terayun-ayun membawanya ke
alam mimpi di balik awan. Sesaat antaranya telah terdengar suara
dengkurnya menggeros.
Saat malam menjelang datang,
rumah gedung Bupati Daeng Panuluh seperti semakin sunyi... Namun sesosok
tubuh bagaikan bayangan hantu tampak berkelebat keluar dari belakang
gedung. Sosok tubuh itu seperti
memondong sesuatu yang dibawa
berkelebat dengan cepat. Dan sesaat antaranya kembali kesunyian mencekam malam
yang gelap gulita...
Esok paginya, seorang penduduk
desa yang akan pergi ke sawah di ujung desa, jadi terkejut, karena menjumpai
sesosok tubuh telah menjadi mayat, terperosok di pematang sawah.
Terkesiap seketika orang itu. Segera saja ia telah berlari sipat kuping.
Paculnya telah dilemparkan dan
ditinggalkannya begitu saja. Ternyata ia berlari ke arah desa. Seraya
terdengar suaranya berteriak-teriak;
"Toloooong...! Ada pembunuhan..!
Ada mayat! Ada mayat di pematang sawah
...!" Serentak saja orang-orang desa segera keluar. Tiga orang laki-laki telah
melompat mendekatinya seraya bertanya;
"Mayat siapa...! Laki-laki atau perempuan...?" Tanya salah seorang.
"Pe...perempuan...!", Sahut si petani itu dengan gagap. Ketiga laki-laki itu
tersentak. Sementara beberapa orang segera berkerumun.
"Di mana...! Di pematang sawah sebelah mana...!", Tanya lagi laki-laki itu.
"Mari aku tunjukkan...!" Ujar si
petani. Pada saat itu muncul pak Carik Desa.
"Ada apa lagi pagi-pagi sudah ribut...?". Tanya laki-laki berusia 50
tahun itu. Segera si petani
menceritakan apa yang telah
dilihatnya... Pak Carik tampak kerutkan
alisnya. "Hm...! Lagi-lagi korban
pemerkosaan...! Mari kita lihat ... !"
Ujarnya. Dan serentak mereka sudah bergegas mengikuti si petani yang berjalan
terlebih dulu. 3 TIDAK semua yang berkerumun itu
pergi untuk melihat. Terutama wanita, mereka cuma silih perbincangkan dengan
sesama tetangga. Tapi seorang wanita ternyata telah bergegas menyusul rombongan
yang berlarian itu. Dia bukan penduduk tempat itu. Tapi secara kebetulan ketika
sedang menghirup udara pagi, telah mendengar suara ribut-ribut. Ternyata di
seberang jalan adalah sebuah penginapan.
Agaknya ia seorang pendatang yang telah menginap di penginapan yang cukup besar
itu. Memang desa ramai itu pada bagian belakangnya adalah
terbentang kebun dan sawah penduduk yang luas. Wanita itu berbaju merah,
dengan rambutnya dikepang dua.
Ternyata ia punya gerakan lincah.
Dalam beberapa saat saja ia telah dapat menyusul rombongan yang telah jauh itu.
Bahkan tak lama rombongan di hadapannya telah berhenti. Dan tampak mereka jadi
sibuk, silih berdesakan untuk melihat mayat yang terbujur di pematang sawah.
Ternyata mayat itu benar seorang wanita. Keadaannya amat mengenaskan sekali,
karena tubuhnya matang biru.
Dan tak mengenakan selembarpun
pakaian, hanya sehelai kain yang membungkus tubuhnya. Beberapa orang yang
melihat tidak mengenali siapa adanya wanita muda itu. Akan tetapi tiba-tiba si
gadis berbaju merah yang tadi menyusul belakangan itu, telah terpekik kaget,
seraya menubruk mayat wanita malang itu.
"Surti..!Surtiiiii..!" teriaknya histeris, dan ia sudah memeluki mayat yang
sudah kaku di pematang sawah itu, dengan air mata bercucuran.
Semua yang memandang cuma
terpaku melihatnya. Pak Carik menghela napas. Sementara tiga laki-laki tadi cuma
bisa tundukkan kepala dengan hati trenyuh mendengar suara tangis si wanita yang
menyayat hati. Di antara ketiga laki-laki itu
ternyata terdapat Mandra, anak pak Carik. Pemuda itu memandang pada
ayahnya. Sementara laki-laki berusia 50 tahun itu sunggingkan senyum sinis
padanya seraya berkata;
"Heh...! Apakah pendapatmu
dengan korban kali ini ... " Apa kau tak juga yakin kalau semua ini
perbuatan si Sentanu itu ... ?".
Mandra menatap tajam pada
ayahnya. Alisnya bergerak menyatu. Dan dengan nada tegas ia telah menjawab
pertanyaan sang ayah.
"Aku telah memberinya waktu selama tiga bulan. Dan hal itu adalah suatu
kebijaksanaan yang mutlak bagi kita untuk memberinya kesempatan si pelaku
sebenarnya. Kita tak dapat menuduh orang dengan semena-mena, ayah...! Kalau
seandainya ia benar-benar tak bersalah, akan kita taruh di mana muka kita..."
Apa lagi ayah adalah seorang Carik. Yang tentunya akan disorot tajam oleh mata
semua penduduk...!". Laki-laki tua yang masih bertubuh kekar ini cuma
mendengus, dan berkata;
"Terserah dengan keputusanmu, Mandra. Segeralah kau bantu mengurus jenazah itu!
Aku akan menemui
Bupati...!".
"Baik, ayah...!" Menjawab Mandra seraya palingkan kepala pada si gadis baju
merah yang masih terbenam dalam tangis.
Pak Carik Desa bernama Sengkuti
ini, segera putar tubuhnya, dan
berlalu meninggalkan kerumunan orang, yang kian bertambah saja.
Ternyata di antara kerumunan
orang itu ada terdapat seorang pemuda berwajah pucat yang menyandang
buntalan di punggungnya.
Ketika laki-laki Carik Desa itu
bergegas tinggalkan tempat itu si pemuda diam-diam telah mengikutinya.
Hingga tak lama sudah berada di luar desa.
Terkejut juga pemuda berwajah
pucat itu, ketika melihat laki-laki yang sudah diketahuinya Carik Desa itu
ternyata mempergunakan ilmu lari cepat. Kiranya ia punya gerakan gesit.
Entah apa maksudnya si pemuda itu membuntuti laki-laki itu. Tapi ketika di
tebuah tikungan, si pemuda itu telah kehilangan jejak.
"He..." Kemana gerangan ia
perginya...?" Desis suara si pemuda.
Sementara ia sudah putar tubuh, dan palingkan kepala ke sana-kemari, namun tak
juga dilihatnya orang yang sedang dibuntutinya. Tahu-tahu telah berdesir angin
di belakang tubuhnya. Terkejut pemuda ini, namun dengan sebat ia sudah melompat
ke samping dengan gerakan kilat. Ternyata adalah
serangkum jarum senjata rahasia, yang nyaris saja mengenai punggungnya.
Pemuda ini sudah keluarkan bentakan
keras... ketika dilihatnya sebuah bayangan berkelebat melarikan diri.
"Heii...! Berhenti pengecut...!"
Teriaknya santar. Dan ia sudah
kelebatkan tubuhnya menyusul bayangan itu. Akan tetapi bayangan itu pun lenyap.
Namun si pemuda sudah dapat menduga si penyerangnya ...
"Potongan tubuhnya mirip si Carik Desa itu cuma kepalanya
terbungkus kain hitam. Tentu ia
menggunakan topeng... agar tak dapat dikenali...!". Desis suara si pemuda.
Diam-diam si pemuda itu semakin
mencurigai orang yang dibuntuti. Tiba-tiba tiga sosok tubuh telah
bersembulan dari tiga penjuru.
Terkejut pemuda ini, karena ia telah mengenali siapa adanya ketiga orang yang
telah mengurungnya itu. Namun tanpa bisa berfikir panjang lagi ia harus
mengelakkan terjangan salah seorang yang menyerang dengan kipas baja berujung
runcing. Si penyerang ini memakai tasbih hitam yang
tergantung di lehernya. Rambutnya gondrong berwarna coklat.
Dua serangan beruntun menerjang
mengarah leher, dan dada. Membersit angin keras, ketika senjata itu lewat
beberapa senti dari kulit lehernya.
Sedang serangan pukulan selanjutnya yang mengarah ke dada, telah ia
sambuti dengan hantaman telapak
tangannya. Terdengar si penyerang yang
bertubuh pendek itu berteriak
tertahan, dan tubuhnya terlempar ke belakang tiga tombak. Namun dengan sebat ia
telah bangkit berdiri lagi.
Tampak ketiganya saling pandang. Tiba-tiba si laki-laki berjubah hitam yang
bertubuh jangkung dan berkumis tebal itu telah melompat ke hadapannya.
"Ha ha ha...boleh juga ilmu tenaga dalammu anak muda...! Gerakan tubuhmu amat
gemulai. Membuat aku ingin mencicipi kehebatan anda ...!".
Berkata ia dengan wajah tertawa
menyeringai. Ternyata orang ini adalah Kuti, si paderi Ketua dari Tiga Paderi
Lereng Gunung Wilis.
Seraya berkata, ia telah tarik


Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar secarik kain sutra berwarna hijau dari balik jubahnya. Dan dengan sebat
ia telah menerjang dengan
senjata yang tiba-tiba berubah menjadi kaku. Terkejut pemuda itu, karena ia baru
melihat senjata aneh itu.
Terjangan ke arah dada dapat ia
hindarkan dengan lengkungan tubuhnya ke belakang, akan tetapi benda itu mendadak
telah berubah kembali menjadi lemas, dan tahu-tahu telah menyambar ke arah
kepala. Terkejut si pemuda.
Namun sudah terlambat. Walaupun ia berhasil melindungi kepalanya, namun ikat
kepalanya telah menjadi
terlepas... Segera saja rambutnya terjuntai, karena tanpa ikat kepala lagi. Hal mana membuat
si ketiga manusia di hadapannya jadi tertawa terbahak-bahak.
"Ayo, telanjangi lagi
pakaiannya, biar tinggal kulit dan bulu...baru kita bikin sate...!".
Teriak si laki-laki berjubah kuning yang bertubuh pendek. Tapi ketiganya jadi
ternganga, karena tahu-tahu tubuh si pemuda berambut panjang itu telah
berkelebat cepat sekali, dan sekejap saja telah lenyap.
"Kurang ajar...! Dia bisa
meloloskan diri...!". Teriak si laki-laki jubah ungu.
"Ayo, cepat kejar...!" Teriak Kuti. Akan tetapi harus mengejar ke mana, karena
yang mau dikejar sudah tak kelihatan lagi. Kedua kawannya cuma bisa terpaku di
tempat dengan kesima. Tampak Kuti seperti agak mendongkol karena tak dapat
menangkap pemuda itu. Terdengar ia berkata;
"Aku menduga dia seorang
wanita...! Suara dan gerak-geraknya tak dapat aku dikelabuhi. Sayang aku tak
dapat menangkapnya...!".
"Eh...!" Jangan-jangan dia si Pendekar Wanita Pantai Selatan yang menyaru..."
desis si laki-laki pendek.
Tampak Kuti mengerutkan alisnya.
"Heh! Entahlah...! Tapi kalau benar dia, akan bisa membahayakan diri kita... Namun jangan khawatir adik Lembu Alas,
dan Kebo Ireng...! Justru aku menginginkan sekali untuk bisa menawannya. Ha ha
ha... " Ujar Kuti, dengan tertawa.
Tak berapa lama ketiga paderi
yang menyamar itu sudah berkelebatan pergi.
Beberapa hari kemudian...
Sebuah gedung kuno yang
tampaknya bekas peninggalan dari Kerajaan itu terlihat sunyi. Tapi dua orang
bujang tua tampak tengah menyapu halaman, Salah seorang melihat ke pintu gedung
yang tertutup. Lalu mendekati kawannya.
"Apakah ketiga pendeta ada di dalam...?". Tanya laki-laki jongos itu. Sang kawan
hentikan menyapu seraya berpaling pada kawannya, dan melirik ke arah pintu
gedung. Lalu menjawab pelahan.
"Tampaknya mereka pergi...! Ada apakah kau tanyakan mereka...?". Tanya sang
kawan. "Eh! Ahu... Tadi sebelum kau bangun, aku telah lebih dulu
membersihkan lantai, tiba-tiba datang seseorang yang memanggilku dari
halaman. Aku segera menghampiri...!".
"Laki-laki atau wanita orang itu...?". Menyela si jongos kawannya.
"Seorang wanita tua. Tapi
tampaknya bukan wanita sembarangan.
Karena ia membawa tongkat berkepala naga. Ia menanyakan siapa penghuni gedung
ini...! Aku mengatakan
penghuninya tiga orang paderi atau pendeta. Orang tua itu manggut-manggut, lalu
berangkat pergi setelah mengucapkan terima kasih ...!".
"Kau tidak tanyakan ia mencari siapa...?". Tanya sang kawan. Laki-laki jongos
itu cuma menggelengkan kepala.
"Cuma anehnya sepasang matanya tampak berkilatan tajam. Seperti ia tengah
menyelidiki si penghuni gedung ini ...!". Sambungnya lagi.
"Jangan-jangan ia bakal kembali lagi ...!". Berkata sang kawan.
"Entahlah..." Menyahuti ia, seraya beranjak untuk meneruskan lagi pekerjaannya.
Tapi tiba-tiba sepasang mata kacung ini jadi terbelalak lebar, karena dilihatnya
wanita bertongkat yang tadi pagi datang itu ternyata sedang berdiri di bawah
pohon tak jauh di luar halaman. Dengan sepasang matanya menatap ke arah gedung.
Tampak si kacung ini cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Lalu buru-buru
masuk ke samping emperan gedung kuno itu. Sang kawanpun telah selesai dengan
pekerjaannya. Dan tak lama beranjak masuk berselang tiga orang
paderi itu telah kembali. Hati si kacung ini jadi kebat-kebit. Tampaknya bakal
terjadi sesuatu ... Pikirnya.
Benarlah! Baru saja ketiga
paderi itu memasuki halaman. Si wanita bertongkat naga itu telah berkelebat dari
tempat ia berdiri seraya
perdengarkan bentakan keras.
"Tunggu pencuri-pencuri busuk..!
Kiranya kalian berada di sini ...!".
Dan sekelebat si wanita itu
telah melompat di hadapan si tiga paderi. Ternyata Kuti, Kebo Ireng dan Lembu
Alas. Mereka tidak lagi
mengenakan rambut palsu. Akan tetapi dengan kepala yang licin, alias gundul
plontos. "Siapakah kau, perempuan tua..."
Kami tak mengenalmu. Mengapa tiba-tiba kau tuduh kami sebagai pencuri...?".
Bertanya Kuti. Akan tetapi diam-diam ia terkejut karena ia segera
mengetahui siapa adanya wanita tua itu.
"Heh...! Paderi-paderi palsu...!
Kau kira dengan penyamaranmu itu, bisa kau sembunyi dari mata tuaku..."
Kembalikan Kitab Ular yang kau curi itu...!".
"Kitab Ular yang manakah..."
Jangan-jangan kau orang sinting! Kami adalah orang-orang yang berjalan di atas
kesucian. Mengapa kau tuduh kami sebagai pencuri?". Akan tetapi si
wanita itu telah gerakkan tongkatnya, seraya membentak...
"Setan Keparat...! Manusia
manusia tengik semacam kalian memang seharusnya mampus siang-siang...!"
WUT! WUT! WUT...!
Si wanita telah menerjang dengan tongkat berkepala Naganya. Hebat sambaran
tongkat itu, karena di
samping serangannya amat ganas, dari ujung tongkat itu membersit keluar asap
tipis yang mengandung racun.
Kiranya memanglah wanita itu
yang berjulukan si Tongkat Seribu Racun. Dengan menghindari serangan ganas itu,
Kuti membentak. Kali ini ia sudah tak lagi menutupi rahasia
dirinya. "Bagus...! Tongkat Seribu Racun!
Agaknya kau jauh-jauh dari lereng Merapi cuma untuk mengejar kitab itu"
Akan kuberikan kalau kau sudah
tinggalkan nyawamu, dan berangkat ke Akhirat...!" Seraya berkata, Kuti telah
mengirim pukulan telapak
tangannya. WUT...! Si wanita cepat menghindar, seraya mendengus.
"Setan Keparat...! Akhirnya kau mengakui juga! Paderi-paderi semacammu bisa
mencemarkan nama baik paderi yang lainnya...! Apa lagi Kitab Ular itu berada
padamu...!" Berkata si Tongkat Seribu Racun, seraya mengibaskan lengan jubahnya.
Dan dibarengi bentakan, ia telah menerjang lagi dengan tongkatnya. Kuti yang dicecar terus,
memberikan perlawanannya.
Dengan gerakan jungkir-balik di udara, ia telah mampu mengelakkan serangan-
serangan dahsyat itu. Akan tetapi ia harus menahan napas, karena asap tipis yang
mengandung racun itu bila
tersedot bisa membahayakan dirinya.
Sementara Lembu Alas dan Kebo
Ireng telah segera mempersiapkan diri untuk menerjang. Akan tetapi pada saat itu
berkelebat sebuah bayangan merah disertai bentakan...!
"Paderi-paderi keparat...!
Jangan main kerubutan! Sungguh tak tahu malu...!". Suara bentakan itu disusul
dengan serangan mendadak pada si pendek Lembu Alas, yang sudah akan menerjang
dengan tasbih dan kipas bajanya.
Ternyata yang datang dan
menyerang adalah seorang gadis berbaju merah. Yaitu gadis yang beberapa hari
yang lalu menangisi kematian seorang wanita muda di pematang sawah. Yang tewas
itu adalah adik seperguruannya.
Melihat kedatangan gadis berbaju merah itu, si wanita bertongkat
berseru girang.
"Bagus, muridku...! Ternyata kau kiranya! Bantulah aku menghajar
paderi-paderi palsu ini...! Mereka adalah si pencuri Kitab Ular dari
biara Welas Asih, di lereng Gunung Wilis.".
"Mereka juga biang keladi
penculikan gadis-gadis, Guru. Kita harus membalas dendam. Surti adikku telah
tewas beberapa hari yang
lalu...! Perbuatan siapa lagi kalau bukan perbuatan tiga manusia licik ini...!".
Teriak si wanita baju merah.
"Hah...!?" Seketika si wanita ini jadi tersentak kaget. Akan tetapi sudah
terdengar bentakan.
"Kurang ajar...!". Dari mana kau bisa menuduh kami penculik gadis-gadis,...! dan
membunuh adikmu... !?".
Bentak Kuti geram. Sementara ia
sudah melompat mundur tiga tombak, diikuti kedua paderi lainnya.
"Aku yang memberitahukan...!"
Tiba-tiba terdengar suara di belakang.
Ketika mereka menoleh, ternyata telah berdiri entah sejak kapan, seorang gadis
cantik rupawan berbaju hijau.
Piaslah wajah si tiga paderi itu.
Karena ia segera dapat mengetahui kalau orang itu adalah si Pendekar Wanita
Pantai Selatan, Roro Centil.
Tiba-tiba Kuti telah memberi isyarat, dan sekejap kemudian mereka telah melesat
kabur dengan memasuki Gedung kuno itu lewat jendela.
Terkejut si wanita bertongkat
Naga, dan muridnya. Mereka sudah segera akan bergerak mengejar, namun
Roro Centil sudah berkata menghalangi.
"Biarkanlah ketiga tikus-tikus busuk itu, bibi...! Mereka tak akan lari jauh.
Karena kitab Ularnya telah berada di tanganku...!".
Tentu saja kata-kata Roro itu
membuat si Tongkat Naga Seribu Racun jadi melengak.
"Benarkah, bocah manis...! Dan siapakah kau..." Kau mengenal dengan muridku?".
Tanya si wanita itu.
"Guru...! Dia bernama Roro
Centil, yang dikenal di kalangan Rimba Hijau, dijuluki si Pendekar Wanita Pantai
Selatan ...!". Tiba-tiba si gadis baju merah telah mendahului menyahuti.
Terkejut juga si Tongkat Naga Seribu Racun. Tapi ia telah segera tertawa gelak-
gelak. "Bagus...! bagus...! Sungguh pertemuan yang tidak terduga. Tapi aku masih
penasaran dengan kata-katamu
yang mengatakan bahwa Kitab Ular ada di tanganmu! Dapatkah kau menunjuk-kannya
padaku ... ?". Tanya si wanita.
Roro Centil tersenyum manis,
seraya ujarnya;
"Sabarlah, bibi...! Marilah kau singgah ke tempatku. Banyak yang akan
kuceritakan. Sekalian mengenai
kematian muridmu...!".
Agaknya wanita ini baru sadar
akan hal itu. Ia sudah menyahuti dengan tergopoh-gopoh. "Baik...!
baik...! Tentu aku bersedia...! Heh!
Manusia-manusia binatang itu tak akan lepas dari tanganku kelak.
Tunggulah...!". Seraya berkata ia sudah palingkan kepala pada gedung kuno itu
dengan tatapan tajam. Sinar matanya seperti membersit bagai
sepasang mata serigala liar.
Tak berapa lama tampak ketiga
wanita itu telah berkelebat pergi dari halaman gedung kuno itu. Yang kembali
jadi sunyi. Sementara itu si paderi bernama
Kuti di dalam gedung, jadi kelabakan, ketika mengetahui kitab yang tak pernah
ketinggalan, dan selalu berada di saku jubahnya, ternyata telah lenyap. Tentu
saja semua pembicaraan di luar, telah di dengarnya. Hingga ketika ketiga wanita
itu berlalu, dengan diam-diam Kuti telah berkelebat membuntuti. Kira-kira
sepeminuman teh, segera ia dapat melihat ketiga wanita itu memasuki sebuah
penginapan yang telah dikenalnya. Tampak ia tersenyum sinis. Lalu berkelebat
lagi menjauhi tempat itu, kembali ke gedung kuno.
Lembu Alas dan Kebo Ireng masih duduk bersila di lantai ruangan tengah.
Ketika didengarnya suara orang masuk.
Yang tak lama kemudian segera muncul sang kakak tertuanya.
"Hm! Mereka menginap di
penginapan Sugih Waras...!. Gila! Kita
harus cari akal untuk merebut kembali kitab itu...!". Berkata Kuti. Tampak
wajahnya menampilkan kemendongkolan luar biasa.
"Mengapa kitab curian itu bisa berada di tangan si wanita Pendekar itu...?".
Bertanya Lembu Alas, si paderi pendek.
"Benar, kakang Kuti...! Mengapa bisa demikian" Bukankah kau telah menotoknya"
Aneh...! Mengapa bisa dia membebaskan diri...?". Tanya Kebo Ireng dengan
penasaran. "Ah, dasar aku yang lagi
sial...! Wanita Pendekar itu telah menipuku...! Tapi dia memang gadis yang punya
keberanian luar biasa...!".
Mengutuk Kuti, tapi juga ia memuji akan kecerdikan lawan. Segera Kuti
menceritakan pengalamannya, yang ternyata hanya Kuti saja yang tahu.
Kiranya peristiwanya adalah
demikian ... Seperti diketahui, ketika
beberapa hari yang lalu, seorang pemuda berhasil meloloskan diri dari tangan
ketiga paderi itu. Mereka segera pergi ke tempat yang memang telah menjadi
periuk nasinya. Yaitu tempat kediaman sang Bupati Daeng Panuluh. Bupati Daeng
Panuluh ternyata telah bersahabat baik dengan mereka ketiga paderi. Sebenarnya
boleh dikatakan sang bupati yang bergelar Ki
Ageng Panuluh itu bukanlah seorang bupati. Dia baru beberapa bulan di tempat
itu, sejak Bupati yang lama meninggal secara mendadak. Dia
kesempatan menjadi pengganti
Bupati itu diperoleh dari
seorang Senapati Wira Pati. Senapati Wira Pati telah dikenal Ki Ageng Panuluh,
yang sebenarnya bernama panggilan Daeng itu, sejak sang
Senapati masih menjabat Tumenggung.
Daeng adalah bekas seorang perompak laut, yang meminta perlindungan pada Wira
Pati. Tentu saja Wira Pati yang masih menjabat Tumenggung itu, tak menolaknya.
Karena di samping Daeng punya banyak harta benda hasil
rampokan, juga seorang yang royal.
Bagi Wira Pati, menyembunyikan seorang penjahat, yang banyak menguntungkan
adalah kesempatan baik yang tak boleh disia-siakan. Demikianlah... hingga
beberapa tahun kemudian, ketika Wira Pati naik pangkat menjadi Senapati, Daeng
telah diangkat menjadi Bupati dengan izinnya, yaitu untuk mengisi kekosongan
Gedung Bupati lama di daerah wilayah Kadipaten Karang
Sembung. Karena dengan kematian
mendadak sang bupati lama itu.
Hubungan baik sang Bupati yang
bergelar Ki Ageng Panuluh itu dengan si Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis,
ternyata berkisar antara perampokan
dan pemerkosaan. Yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Karena si Tiga Paderi
itu adalah sebenarnya paderi samaran yang dalam pelarian. Ternyata Kuti telah
berhasil merebut sebuah kitab Pusaka dari Biara Welas Asih di lereng Gunung
Wilis. Kitab pusaka itu adalah kitab
titipan seseorang bernama Gurnamh Singh, seorang dari Nepal. Kuti
sendiri adalah seorang keturunan Nepal.
Setelah merampas kitab itu dari


Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan paderi-paderi Biara Welas Asih, mereka melarikan diri, hingga tiba di
kawasan Kadipaten Karang Sembung. Di sini ia menyamar sebagai tiga orang paderi.
Demikianlah... kedatangan mereka menemui Daeng Panuluh beberapa hari yang lalu,
adalah untuk merundingkan sesuatu dengan pekerjaan jahat yang mereka lakukan
dengan sembunyi-sembunyi. Sekalian melaporkan tentang munculnya tokoh persilatan
Pendekar Wanita Roro Centil pada sang Bupati Daeng Panuluh. Ternyata di sana
mereka, telah mendengar kericuhan dengan munculnya seorang pemuda
berbaju putih, yang diam-diam telah menyelidiki ulah tingkah sang Bupati.
Pemuda itu cuma memberikan ancaman saja, lalu menghilang.
Oleh sebab itu kedua paderi Kebo
Ireng dan Lembu Alas sengaja
diperintahkan sang bupati Daeng untuk menjaga Gedungnya. Dikhawatirkan ada
sesuatu yang bakal terjadi di luar dugaan. Sementara Kuti kembali
beroperasi. Ternyata Kuti mengambil
keuntungan lain dari pekarjaan jahat, atas kerja sama dengan Daeng. Yaitu
memperkosa wanita untuk kepentingan kepuasan nafsu bejatnya. Juga karena ia
mempelajari suatu ilmu aneh dari Kitab Pusaka yang dicurinya. Rambut aslinya
memang telah dicukur gundul, dalam rangka penyamarannya. Tapi ia mempergunakan
rambut palsu, dan
menggunakan topeng, ketika melakukan kejahatan.
Demikianlah... dua hari yang
lalu ketika ia beroperasi sendiri, ia berhasil menculik seorang gadis dari satu
keluarga yang cukup berada.
Terpaksa ia membunuh ayah gadis itu, serta beberapa orang pengawal gedung.
Dan melarikan diri di tengah malam buta. Tentu saja tak lupa menguras harta
benda si pemilik gedung.
Namun ia telah dikejar oleh
seseorang, hingga terjadi pertarungan.
Dengan menggunakan kelicikannya
menyandra gadis itu, ia berhasil melarikan diri.
Lalu sembunyi di sebuah makam
kuno. Di sana ia bebas berbuat
semuanya. Karena makam kuno itu adalah peninggalan dari Kerajaan, yang banyak
terdapat lubang rahasia. Di bawah makam ternyata ada sebuah lubang yang menuju
ke ruangan rahasia di bawah tanah. Di sanalah ia melampiaskan nafsu bejatnya. Di
samping mempelajari ilmu sesat dari Kitab Ular yang
dirampasnya. Sementara si laki-laki berbaju
putih yang mengejarnya, telah
kehilangan jejak. Ternyata laki-laki berbaju putih itu Ginanjar adanya.
Yaitu murid si Pendekar Bayangan Ki Bayu Seta. Tanpa sengaja Ginanjar dapat
berjumpa dengan Roro Centil, yang menyamar sebagai seorang pemuda berwajah
pucat. Tentu saja hal itu membuat mereka jadi amat bergirang hati. Terlebih-
lebih pemuda itu.
Karena memang Ginanjar telah memenuhi undangan Roro Centil untuk datang pada
tahun ini, sejak pertemuannya setahun belakangan. Tujuannya ke Pantai
Selatan, jadi tertunda, karena ia terlibat dalam penyelidikan kejadian-kejadian
di wilayah Kadipaten Karang Sembung.
Lenyapnya si paderi palsu di
makam kuno, membuat Roro Centil
berhasrat untuk menyelidiki. Hingga ia berhasil menjebak Kuti keluar dari tempat
persebunyiannya. Roro memang berotak cerdas, walaupun terkadang
suka kumat penyakit ugal-ugalannya, yang disebabkan ia pernah cidera pada bagian
kepalanya terkena terjangan kaki-kaki kuda pada usia kanak-kanaknya. Dan
ditambah gemblengan keras dari Gurunya si Manusia Aneh Pantai Selatan alias si
manusia Banci. Sehingga Roro berwatak aneh. Yang terkadang orang sulit menerkanya.
Suara-suara rintihan di malam
gelap, di dalam makam yang banyak berjajar kuburan-kuburan lama itu, bukannya
membuat Roro jadi takut.
Bahkan semakin penasaran untuk
mengetahui setan apakah yang berada di situ, untuk menakut-nakuti orang.
Terpaksa ia mendekam di sisi makam, dengan memandang tajam ke arah setiap
tempat. Kembali terdengar suara
rintihan yang terkadang samar-samar, namun terkadang agak keras. Walaupun bulu
kuduk Roro Centil agak bergidik seram, tetap penasaran. Dan mendekari suara yang
samar-samar itu, dengan beringsut perlahan. Akhirnya ia
mengetahui suara itu berasal dari dalam gundukan kuburan yang cungkupnya terbuat
dari batu. "Tak mungkin orang yang sudah mati masih bisa menangis, atau
merintih...! Pasti ada orang di dalam.
Atau mungkin juga di sinilah sarang tempat sembunyi si paderi gila
itu...!". Desis Roro dengan suara
perlahan. Entah mengapa Roro amat yakin akan adanya lubang rahasia di makam itu.
Segera ia meraba-raba.
Seperti mencari sesuatu yang dapat memungkinkan adanya lubang pintu masuk ke
dalam kuburan. Namun tak dijumpainya. Akhirnya
Roro dapat akal. Segera saja ia
tempelkan telapak tangannya pada batu sungkup kuburan
itu. Dan alirkan
tenaga dalamnya yang berhawa panas.
Hingga batu sungkup kuburan itu tampak kepulkan asap tipis.
Sementara itu di dalam ruangan
bawah tanah, Kuti mengumbar nafsu buasnya... Ternyata di samping
mempraktekkan ilmu sesatnya, Kuti juga seorang yang amat sadis. Wanita
korbannya telah disiksanya terlebih dulu. Yaitu dengan mengigiti sekujur tubuh
sang korban hingga luka-luka.
Tentu saja bagaikan seekor kambing yang mau disembelih, sang korban merintih
kesakitan. Tubuh yang telah ditotoknya itu cuma bisa menggeliat-geliat menahan
sakit yang amat sangat.
Hal mana ternyata ia turuti dari dalam Kitab Ular itu. Wanita itu ternyata bukan
wanita biasa, karena ia juga memiliki kepandaian ilmu silat, dan bertenaga dalam
cukup baik. Hal itulah yang membuat Kuti gembira. Karena menurut Kitab Ular yang
akan menambah tenaga dalam orang yang mempraktek-
kannya, adalah diutamakan wanita itu gadis yang memiliki tenaga dalam.
Selesai menyiksanya dengan gigitan-gigitan di sekujur tubuh gadis itu, Kuti
segera mencekoknya dengan pel ramuan yang dibawanya dari Nepal. Pel perangsang,
yang punya pengaruh luar biasa. Hingga tak lama berselang, terjadilah perubahan-
perubahan pada sikap sang korban.
Di malam yang lengang dan
menyeramkan itu, seperti ada hawa aneh yang membuat seekor serigala buas, harus
tunduk pada seekor kambing... Di mana sang kambing seperti kerasukan setan
menerkam sang serigala dan melumatnya dengan lahap.... Napasnya tampak tinggal
satu-satu. Sepasang matanya kian meredup. Akhirnya tubuh yang telah tak
bertenaga itu, diam tak bergeming lagi.
Sementara cuaca malam semakin
mencekam. Beberapa ekor kelelawar yang lewat membuat Roro cukup terkejut.
Batu sungkup kuburan itu telah berubah menjadi panas. Dan rumput-rumput serta
lumut yang tumbuh di batu itu seketika menjadi kering.
Sekonyong-konyong Kuti rasakan
udara di dalam ruangan bawah tanah itu menjadi panas. Ia sudah balikkan tubuhnya
yang rebah tertelungkup.
Sementara ia menyeka peluhnya, laki-laki bertubuh jangkung ini merasa
perlu membuka lubang hawa di atas langit-langit ruangan. Segera ia sudah sambar
jubahnya, dan beranjak dari pembaringan. Gerakannya telah berubah menjadi
ringan. Dan hal itu memang selalu bertambah setiap ia
mempraktekkan ajaran pada Kitab Ular itu. Ia sudah segera gerakkan kaki menuju
tangga batu ke atas. Hawa panas itu membuat ia berkeringat, dan ia perlukan hawa
segar yang masuk. Sesaat kemudian lengannya telah bergerak, memutar sebuah batu
persegi. Dan segera saja sungkup batu di atasnya terbuka. Ia melongok sejenak
keluar untuk menghirup udara segar. Akan tetapi Kuti jadi terkejut, karena di
samping batu kuburan telah tergolek sesosok tubuh.
"Aih...!" Seorang wanita ...!".
Desisnya dengan suara tertahan. Dari keremangan cahaya bulan yang sudah
tersembul di balik dedaunan, jelas tidak salah apa yang telah dilihatnya.
Kuti berfikir cepat. Sebelah lengannya telah bergerak cepat untuk menotoknya.
Hingga amanlah ia dari kekhawatiran.
Selanjutnya tanpa ayal lagi, ia
sudah pondong tubuh wanita itu
memasuki ruangan di bawah tanah, dengan menuruni anak tangga dari batu.
Dan sekejap ia sudah baringkan
tubuh itu di pembaringan. Sepasang matanya menatap tajam pada sosok tubuh
yang baru di bawanya itu, dan dengan liar pandangannya merayapi sekujur tubuh
itu. Wajahnya pun segera tampilkan
senyuman menyeringai. Terdengar desis suaranya seperti berbisik...
"Bagus...! Pucuk dicinta, ulam pun tiba...! He he he... tak susah-susah aku
mencarinya. Ternyata si Pendekar Wanita itu telah antarkan dirinya padaku ...!".
Akan tetapi memandang pada sosok tubuh wanita korbannya di pembaringan itu, Kuti
jadi mendengus.
"Heh...! Gadis ini sudah tak berguna. Biarlah ia berkubur di sini!
Aku perlu ganti suasana...!". Gumam Kuti. Pada saat itu terdengar suara teriakan
dari atas ruangan.
"Heiii...! Paderi Palsu...!
Keluarlah kau ...!" Kiranya yang berteriak adalah Ginanjar. Yang telah mencari
Roro, dan menduganya pergi ke makam kuno ini.
Ginanjar memang belum mengetahui adanya ruangan di bawah tanah itu. Ia berteriak
dari sisi makam. Apa lagi pemuda ini memang seorang yang paling takut dengan
hantu. Hingga ia
berteriak dari sisi makam saja. Karena ia tak melihat adanya Roro Centil,
sengaja ia mencoba berteriak. Dengan harapan siapa tahu, si penculik gadis itu
dapat dijumpai, dan keluar dari
tempat persembunyiannya.
Tentu saja hal itu membuat Kuti
jadi terkesiap. Segera ia telah
pondong tubuh Roro. Dan dengan
kebingungan, ia mencari jalan lain untuk keluar dari ruangan bawah tanah itu.
Beruntung ia menjumpainya. Dan segera saja bergerak memasuki lorong gelap, yang
tersembunyi itu. Obor kecil penerang kamar itu telah
dimatikannya terlebih dulu.
Demikianlah, Kuti berhasil
keluar dari makam kuno itu dengan melalui jalan rahasia. Dan menyembul di luar
makam. Dari sana ia segera berkelebat cepat untuk segera pergi menuju ke arah
Gedung kuno, tempat tinggalnya selama ini.
Di kamar tertutup gedung kuno
itu, Kuti sudah segera akan lakukan penyiksaan terhadap Roro. Akan tetapi ia
batalkan, karena ia amat menyayangi kemontokan tubuh si Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Sayang ia tak berhasil mencapai maksudnya, karena Roro
memakai benda dari lapisan baja yang sukar dibukanya. Sepasang kaki Roro seperti
sepasang kaki area batu, yang sukar disingkirkan. Hingga terpaksa Kuti kembali
menotoknya. Dan ditinggalkannya tubuh gadis pendekar Wanita itu. Ia bermaksud
menghubungi kedua adiknya. Pada saat Kuti pergi, ia berpesan pada seorang kacung
tua bernama Tonga, agar menjaga kamarnya.
Kacung tua itu adalah seorang laki-laki berperawakan kecil. Dengan muka lancip,
dan tulang pelipis menonjol keluar. Berbicara dengan kacung itu, Kuti hanya
memakai bahasa isyarat, karena si kacung itu seorang yang tuna wicara alias
gagu. Selesai berpesan, Kuti beranjak
pergi dengan cepat. Namun pada saat itu Roro Centil telah gerakkan
tubuhnya melepaskan totokan. Dan sesuatu yang amat berharga, ternyata telah
tertinggal di bawah kasur
pembaringan Kuti. Yaitu Kitab Ular.
Roro Centil segera membenahi
pakaiannya, dan benahi pula kitab yang ditemukannya itu. Lalu masukkan dalam
buntalannya. Selanjutnya ia telah keluar dari kamar itu dengan melalui jendela,
dan berkelebat cepat
tinggalkan gedung itu.
Tapi di belakang gedung yang
dilewatinya, ia bertabrakan dengan si Kacung tua Tonga yang gagu itu, hingga
buntalannya terlepas.
Terkejut Roro Centil ketika
tahu-tahu dengan gerakan cepat, si kacung gagu itu telah menyambar
buntalan pakaiannya. Dan selanjutnya dibawa kabur. Serentak Roro sudah
mengejarnya dengan keluarkan bentakan;
"He!" Kunyuk tua...! Kembalikan buntalanku...!". Teriak Roro seraya
mengejar. Ternyata si kacung gagu itu punya gerakan cepat dan lincah.
Larinya tidak menuju ke satu arah, akan tetapi berkelebatan dengan
berputar-putar, seperti mengajak Roro main kucing-kucingan. Pada sebuah tikungan
si laki-laki bertubuh kecil kurus itu menghilang.
4 RORO Centil membentak keras
"Awas kau, monyet tua...! Kalau berhasil kutangkap jangan salahkan aku kalau
kuberbuat kejam ...!". Tiba-tiba melayang sebuah benda ke arah Roro.
Dengan cepat si Pendekat Wanita ini menyambuti. Ternyata adalah buntalan
pakaiannya. Terlihat bayangan si kacung tua
itu kembali berkelebat dari balik semak, lalu sekejap telah menghilang.
Roro Centil tak berusaha mengejarnya, akan tetapi memeriksa isi buntalannya.
Terkejut Roro, karena Kitab Pusaka berkulit ular yang diselipkan di dalam
buntalan itu telah lenyap.
"Setan alas...!" Memaki Roro.
Seraya berkelebat mengejar ke arah si kacung tua itu melarikan diri. Sengaja
Roro Centil mengambil arah yang bukan jurusannya, ternyata membawa hasil
memuaskan. Justru si pancuri kitab itu telah kelihatan oleh Roro. Bagus...!
Biarlah! Ingin kutahu, ke mana
gerangan ia akan pergi... berkata dalam hati. Segera dia sembunyi dan mengintai
Sementara kacung gagu itu tampak tersenyum-senyum sendiri sambil bersiul-siul.
Tiba-tiba terdengar
suaranya; "He he he... akhirnya kudapatkan juga Kitab Ular ini. Kalau aku tak kebetulan
mengintip ke dalam kamar, tak kuketahui kalau si paderi palsu bernama Kuti itu
meninggalkan Kitab rampasannya yang sedang dibenahi si wanita tawanannya.
Akhirnya kesaba-ranku membawa hasil memuaskan...!".
Seraya berkata laki-laki itu sudah kembali bersiul-siul dengan senang.
Dan melangkah seenaknya. Namun selang tak lama, ia telah berkelebat cepat.
Dan yang dituju adalah arah makam Kuno.
Terkejut Roro Centil mengetahui
kalau si kacung gagu itu ternyata dapat berbicara. Ternyata manusia itu hanya
berpura-pura gagu saja, dan telah lama mengincar Kitab di tangan Kuti. Entah
dengan akal bagaimana hingga ia bisa menjadi kacung di Gedung Kuno itu. Dan
berpura-pura menjadi seorang kacung tua yang gagu dan kelihatan tolol.
Roro cepat mengejar, dan terus
membuntuti. Akhirnya ia mengetahui
kalau si kacung bernama Tonga itu mempunyai tempat sembunyi di lubang rahasia di
dalam kuburan ...
Ternyata Roro tidak terus
mengejar. Tapi setelah mengingatkan tempat
itu, ia segera berkelebat
pergi. Biarlah...! Kelak kita merebutnya lagi. Yang penting aku telah
mengetahui tempat pesembunyiannya.
Berfikir Roro dalam benaknya, seraya meneruskan berkelebat meninggalkan tempat
itu. Demikianlah hingga Roro muncul
lagi di saat terjadi pertarungan
antara kedua wanita, si wanita
bertongkat Naga dan muridnya yang berbaju merah, dengan si ketiga paderi palsu.


Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata Roro Centil telah
bersahabat dengan gadis baju merah itu. Bahkan sudah beberapa hari mereka tidur
di penginapan satu kamar.
Demikianlah kisah belakangan
ini, hingga ketika Kuti kembali ke Gedung Kuno itu, Roro Centil telah bebas
kembali. "Kita harus cari tempat sembunyi yang aman. Dan mengenai Kitab itu, biarlah
urusanku untuk merampasnya kembali...!" Berkata Kuti pada kedua adiknya.
Kebo Ireng dan Lembu Alas cuma
bisa mengangguk. Akan tetapi diam-diam mereka agak mendongkol pada sang
kakak, yang mempelajari isi kitab pusaka itu tanpa mengikutsertakan mereka.
Bahkan menjamahpun mereka tidak pernah.
Sementara itu Roro Centil
dipenginapan telah menceritakan pada si Tongkat Seribu Racun mengenai Kitab Ular
itu. Tentu saja membuat si wanita tua itu menjadi kecewa. Akan tetapi juga
bergirang hati, karena benda itu sudah berpindah tangan dari si tiga manusia
yang dibencinya. Walau ia tetap berniat untuk merebut kembali kitab itu. Sayang
si wanita tak mau menceritakan tentang isi kitab itu pada Roro, sehingga Roro
Centil tak banyak bertanya apa-apa.
Memang Roro pernah membuka isi
kitab itu, tapi tak mengerti akan tulisannya. Karena huruf-hurufnya amat asing
baginya. Menjelang pagi, Roro Centil
mohon diri untuk menemui Sentanu, si laki-laki penunggang kuda. Ternyata gadis
berbaju merah yang bernama Roro Dampit itu, ingin turut serta. Roro tak dapat
menolaknya. Sementara sang guru si gadis baju merah cuma
mengangguk memberi izin.
Tak berapa lama keduanya segera
berangkat. Tampaknya kedua gadis itu amat akrab. Memang Roro Dampit merasa
simpati pada Roro Centil. Di samping nama depan mereka yang sama ...
Keadaan di rumah kediaman
Sentanu ternyata tengah berduka cita.
Karena sang wanita tua yang malang itu telah meninggal dunia. Akibat tekanan
perasaan yang luar biasa. Penguburan jenazah ibunya baru saja selesai pagi tadi.
Beberapa orang yang telah
berdatangan menyampaikan rasa duka cita, telah kembali pulang. Kini tinggal
Sentanu seorang diri di rumah tua peninggalan orang tuanya. Saat itulah Roro
Centil dan si gadis baju merah memasuki halaman rumah laki-laki itu. Tentu saja
membuat Sentanu jadi melengak. Segera ia telah mengenali si wanita Pendekar
Pantai Selatan ini, dan berdiri menyambutnya. Roro Centil segera memperkenalkan
laki-laki itu pada si gadis baju merah, Roro Dampit.
Lama mereka berbincang-bincang. Roro pun mengisahkan tentang penyelidik-kannya.
Yang sudah menemui titik-titik terang, yaitu adanya tiga orang paderi yang
pernah mau membunuh Sentanu itu, telah dicurigai Roro Centil. Namun ia masih
perlu mencari data-data lain yang lebih kuat.
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya ibumu, sobat Sentanu...!
Semoga kau dapat menguatkan imanmu, karena semua manusia toh pada akhirnya akan
mati. Dan kematian itu adalah wajar, karena semua manusia sebenarnya
telah ditakdirkan hidup-matinya..."
Berkata Roro Centil, menghibur laki-laki itu dari kesedihannya. Laki-laki tampak
berkumis kecil itu cuma
tersenyum tawar, walau sebenarnya hatinya remuk redam. Karena kematian ibunya
justru akibat tekanan perasaan karena orang tua itu tak kuat
mendengar cemooh kiri dan kanan. Apa lagi tuduhan demi tuduhan pada
Sentanu. Membuat wanita tua itu
semakin menderita korban perasaan, walaupun ia mengetahui tak mungkin anak laki-
lakinya berbuat sekeji itu.
Segala perasaan itu dipendam orang tua yang malang itu, hingga ia jatuh sakit.
Dan wafat dalam keadaan
menderita kepedihan hati yang terus-menerus. Semua kematian itu memang takdir,
akan tetapi siapa yang tak akan berduka melihat penderitaan orang tua yang amat
dicintainya" Semua itu adalah akibat fitnahan keji!
Sementara diam-diam Roro Dampit
agak memperhatikan laki-laki gagah itu. Entah mengapa di hati gadis itu ada
timbul semacam perasaan aneh.
Seolah ia turut merasakan kesedihan Sentanu...
Selang tak berapa lama Roro
Centil pun mohon diri. Sejenak si gadis baju merah melirik pada laki-laki itu
yang kebetulan Sentanu pun
tengah melihat padanya. Kedua pasang mata pun saling beradu menatap. Namun
cepat-cepat Roro Dampit menundukkan wajah. Dan tiba-tiba saja hatinya jadi
berdebaran secara aneh. Ketika tubuh kedua gadis itu telah tak kelihatan lagi,
Sentanu mengeluarkan kudanya.
Dan sekejap telah melompat ke punggung kuda. Untuk selanjutnya memacunya pergi
entah menuju ke mana ...
Matahari telah semakin tinggi,
dengan panasnya yang amat terik, membuat setiap tubuh akan merasa kegerahan, dan
keluarkan keringat.
Penginapan yang di bagian bawahnya adalah sebuah restoran kecil, tampak hari itu
ramai dikunjungi orang. Akan tetapi tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, seorang
wanita tua, telah keluar dari rumah penginapan itu. Dan berjalan dengan cepat,
seperti ada suatu keperluan yang amat penting.
Kepergian wanita tua itu
ternyata telah dibuntuti oleh tiga orang laki-laki yang memakai tudung.
Yang tadi terlihat duduk di meja rumah makan. Tentu saja tak ada yang curiga,
karena masing-masing sibuk dengan urusannya. Namun seorang pemuda diam-diam
telah keluar pula dari penginapan itu. Kiranya si wanita tua itu adalah gurunya
si wanita berbaju merah, yaitu si Tongkat Naga Seribu Racun. Tubuhnya berkelebat
cepat, ketika tiba di
tempat yang sepi. Yang ditujunya adalah ke tempat penguburan jenazah yang sudah
tak pernah digunakan, yaitu Makam Kuno. Tapi belum lagi ia tiba di tempat
tujuan, yang kira-kira pada jarak dua puluh tombak lagi, tiga sosok tubuh yang
membuntutinya telah menghadang. Kiranya ketiga orang bertudung itu mengambil
jalan memutar. "Ha ha ha... berhenti dulu, perempuan tua...! Kamu pasti telah memiliki Kitab
Ular itu dari si Roro Centil. Serahkan kembali kitab pusaka itu pada kami! Kalau
kau berani membangkang, tahu sendiri
akibatnya...!". Teriak salah seorang.
Sementara ia sudah melepas topi
tudungnya. Yang segera saja diikuti oleh kedua orang kawannya. Ternyata mereka
adalah si Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis.
Wanita tua bertongkat Naga ini
cuma mendengus. Walau pun ia
mengetahui bahwa Kitab itu tak berada di tangannya, mana mau si wanita tokoh
dari lereng Merapi ini membiarkan tiga manusia jual lagak di depannya.
Memang sebenarnyalah si Tongkat
Naga Seribu Racun mempunyai watak angkuh. Apa lagi sudah diketahuinya seorang
murid perempuannya tewas oleh ketiga paderi palsu ini, menurut penuturan
muridnya. "Kalian paderi-paderi palsu
jangan bertingkah tengik di hadapanku.
Sebelum mengurusi soal kitab, mengapa tak kau urusi dulu kesalahanmu
membunuh muridku?". Bentak si wanita.
"Membunuh muridmu...?" Teriak Kuti dengan mata melotot. Tapi ia telah tertawa
terbahak-bahak. Dan lanjutnya;
"Mengapa kau bisa menuduh aku yang membunuhnya" Dengan dalih apa kau bisa
katakan kami yang berbuat?" Tanya Kuti.
"Heh! Belangmu sudah ketahuan, paderi palsu! Kau tak usah memungkiri lagi. Semua
korban pemerkosaan di beberapa desa ini sudah tak pelak lagi adalah perbuatan
kalian...! Kini kita teruskan lagi pertarungan kemarin!
Kalian kira aku takut" Hi hi hi...si Tongkat Naga Seribu Racun tak punya kamus
semacam itu...!". Berkata wanita lereng Merapi ini. Dan ia sudah
memutarkan tongkatnya di udara. Tentu saja ketiga paderi ini jadi naik pitam.
Dan serentak mengurung wanita itu. Si paderi pendek bernama Lembu Alas sudah
segera keluarkan senjata Kipas Baja dan tasbih hitam. Sementara si paderi
berkuiit hitam mencabut keluar sebuah seruling besi, yang pada salah satu
ujungnya berbentuk kepala burung, dengan paruh yang runcing.
Adapun Kuti cuma bertangan kosong.
Ternyata kedua paderi itu telah
lebih dulu menerjang si wanita
bertongkat Naga, dengan disertai bentakan bentakan keras.
Kipas baja si paderi yang pendek yang berujung tajam itu membersit menyambar
leher, sementara tasbih hitamnya pun meluncur deras mengarah kepala. Sedang si
paderi berkuiit hitam Kebo Ireng pergunakan serulingnya menghantam dada. Wanita
Tokoh Rimba Hijau dari lereng Merapi ini cuma perdengarkan dengusan di hidung.
Sekonyong-konyong ia telah gerakkan tongkatnya menyambar terjangan itu, dengan
diiringi gerakan menghindar ke samping.
"WHUSSS...! Terpaksa si paderi pendek gagalkan serangannya, agaknya ia tak mau
adakan benturan dengan senjata lawan. Namun tasbihnya bagai bermata, terus
mengejar si wanita.
Terpaksa si wanita lereng Merapi gerakkan gagang tongkatnya.
RRRTTT...! Tasbih hitam si
paderi itu ternyata telah menggubat tongkat lawan. Sementara seruling besi Kebo
Ireng yang telah lolos dari serangan pertama, telah kembali
merangkak dengan sengit. Terkejut juga si Tongkat Naga Seribu Racun. Sebelah
lengannya segera menghantam lengan si paderi pendek yang mencekal tasbih,
disertai bentakan keras.
WUTTT...! Terpaksa Lembu Alas
lepaskan jeratan tasbihnya, dan dengan gerakan sebat ia telah lompat ke samping.
Sementara itu serangan dari si paderi kulit hitam telah dihalau dengan asap
beracun yang keluar dari kepala tongkat Naganya. Hingga
terpaksa Kebo Ireng melompat mundur sambil tutup hidungnya. Demikianlah...
pertarungan berjalan dengan seru. Saat itu Kuti, si paderi tertua belum bereaksi
apa-apa. Ia cuma perhatikan jalannya pertarungan.
Tampaknya si wanita itu sudah
segera merobah gerakan tongkatnya.
Kini terlihat kehebatan tongkat
Naganya. Wanita ini telah mainkan tongkatnya dengan gerakan-gerakan cepat, untuk
mengaburkan pandangan lawan. Yang terlihat cuma kelebatan tongkatnya saja
bagaikan seekor naga kecil yang tengah mengamuk mengibaskan ekor. Sementara
kepala tongkatnya semburkan uap putih yang menerjang kedua lawan. Paderi pendek
terpaksa gunakan kipasnya untuk mengusir uap yang terus mencecarnya, walau ia
berhasil menghindar, tak urung ia telah kena menghisap uap beracun itu.
Hingga ia agak ayal sesaat. Kesempatan itu memang ditunggu si wanita hebat ini.
Tiba-tiba dari balik uap itu telah meluncur deras ujung tongkatnya ke arah leher
Lembu Alas. Terkejut paderi ini. Namun ia masih bisa
melihat serangan mendadak itu. Segera ia jatuhkan diri menghindar. Akan tetapi
ia tak dapat menghindari
hantaman telak dari lengan si wanita tua yang mengandung tenaga dalam.
BLUK...! Si paderi pendek
perdengarkan teriakannya. Dan tubuhnya terlempar lima enam tombak.
Kuti menggeram gusar. Ia sudah
lompat maju menerjang, seraya
membentak keras;
"Perempuan tua...! Terimalah kematianmu...!". Bentakan hebat itu dibarengi
dengan pukulan telapak tangannya seraya beruntun. Segera saja segelombang tenaga
yang tak kelihatan menerjang si wanita itu. Asap beracun seketika buyar kena
terhantam, sekaligus membuat tongkat si wanita tokoh lereng Merapi itu terhantam lepas. Dan
pukulan kedua menghantam telak pada punggung wanita itu.
Terdengar pekik tertahan si Tongkat Naga Seribu Racun. Tubuhnya terlempar
delapan tombak bergulingan. Kuti tidak berhenti sampai di situ saja, karena
telah melesat memburunya, seraya hantamkan lagi telapak tangannya.
Akan tetapi si wanita tua itu
bukanlah tokoh kemarin sore, ia telah balikkan tubuh dengan mendadak, ketika
rasakan sambaran angin di belakangnya.
Dan dengan tenaga dalam yang ia telah salurkan di tangan, ia telah papaki
serangan si paderi jangkung itu.
DWERRR...! Dua tenaga dalam
segera beradu keras.
Akibatnya terdengar teriakan
dari dua orang itu yang hampir
berbareng. Tubuh si paderi Kuti
terhuyung empat tindak, dan jatuh terduduk. Akan tetapi tubuh si wanita lereng
Merapi terlempar lagi bergulingan tujuh-delapan tombak, ke arah si paderi
pendek. Kesempatan baik itu tak disia-siakan Lembu Alas. Yang segera
mencobloskan Kipas Bajanya yang runcing itu seketika menembus dada si Tongkat
Naga Seribu Racun. Darah segar segera barmuncratan ketika Lembu Alas mencabut
senjatanya. Wanita ini
perdengarkan teriakan menyayat hati.
Namun ia masih dapat bangkit berdiri, walau dengan tubuh terhuyung limbung.
Sepasang matanya terbeliak menatap pada paderi Kuti. Sedang lengannya tampak
bergetar terangkat. Agaknya ia mau menggunakan tenaga terakhirnya untuk
menyerang. Namun pada saat itu berkelebat bayangan si paderi kulit hitam, dari
arah samping. Ujung
seruling besinya yang runcing telah meluncur deras ke arah leher wanita hebat
ini, dengan keluarkan suara membersit.
Indra si wanita Tongkat Naga
Seribu Racun agaknya sudah tidak berfungsi lagi... sehingga ia tak
dapat mengelakkan serangan ganas itu.
JROS...! Ujung seruling besi
Kebo ireng telah amblas menembus lehernya. Terdengar suara seperti orang muntah.
Darah kembali menyem-burat, ketika si paderi kulit hitam itu menarik keluar
senjatanya. Sesaat tubuh wanita kosen ini
masih berdiri... namun tiba-tiba tampak oleh bergetaran, dan detik berikutnya
segera roboh ambruk ke tanah, dengan berkelojotan mengerikan.
Lalu diam untuk selama-lamanya.
"Ha ha ha... bagus...! Hayo, kalian periksa tubuhnya. Cari Kitab Ular itu...!".
Teriak Kuti Segera saja kedua paderi itu bergerak cepat untuk memeriksanya. Akan
tetapi sudah diraba di sana-sini, tak ditemukan apa-apa.
"Sial...! Ia tak menyimpannya..!
Pasti berada pada murid wanitanya.
Atau masih di tangan si Wanita
Pendekar Roro Centil...!". Berkata Kebo Ireng.
"Huh! Mengumbar tenaga percuma saja...! Aku yang sial terkena
hantamannya...!". Berkata Lembu Alas si paderi pendek menggerutu, dengan wajah
masih menyeringai menahan sakit pada dadanya.
"Sudahlah...! Ayo, kita pergi dari sini...!" Teriak Kuti. Segera saja ketiganya
telah berkelebatan meninggalkan tempat itu.
Sayang mereka tak mengetahui
kalau si pemegang Kitab Ular ada di dalam Makam Kuno.
Makam Kuno itu memang makam yang misterius. Karena banyak lubang-lubang rahasia
berada di bawahnya.
Seperti tempat itu tempat memadu kasih saja layaknya. Karena tampak ada dua
sejoli yang mirip suami istri, telah memasuki juga sebuah kuburan yang terbuka,
dengan menggeser sebuah batu di balik rumpun. Entah siapa mereka.
Kisahnya memang belum terungkap di sini...! Akan tetapi pada serial Roro Centil
yang berjudul : "Rahasia Kitab Ular". Pembaca akan mengetahui siapa gerangan
kedua suami istri itu.
Sementara itu di tempat kejadian tadi, sepasang mata telah mengikuti semua
kejadian pertarungan itu hingga akhirnya. Si pengintai itu adalah Mandra.
Ternyata Mandra telah pula menguntit ketiga paderi itu sejak dari rumah tempat
penginapan. Pemuda ini memang mencurigai akan tindak-tanduk tiga orang bertudung
itu. Karena ia seperti pernah melihat wajah serta potongan tubuhnya. Ternyata
ketiga orang itu benarlah orang yang hari kemarin dilihatnya berada di rumah
gedung Bupati Daeng Panuluh.
Memang Mandra agak mencurigai
sang ayah. Yaitu Sengkuti alias Carik Desa itu yang sering mengunjungi


Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bupati Daeng Panuluh. Juga ia
mencurigai sikap sang ayah, ketika ia akan mengajak adiknya pindah
sementara. Marni, adik kandung Mandra terpaksa dibawa ke rumah majikannya.
Tempat ia bekerja. Pemuda ini
beranggapan bahwa adiknya akan aman berada di sana. Karena di samping ia memang
jarang pulang, dan sering menginap di tempat pekerjaannya, Mandra bisa menjaga
sang adik dalam situasi yang sedang genting itu.
Entah berapa kali Mandra
mengorek keterangan dari mulut adiknya untuk menceritakan siapa yang telah
berbuat nista padanya. Akan tetapi Marni selalu membungkam. Memang sejak
kejadian itu, Marni tak pernah mau bicara.
Hal mana membuat Mandra dapat
mengerti, karena Mandra beranggapan sang adik mengalami gangguan perasaan,
akibat kejadian itu.
Mandra memang merasa bersalah
dalam hal ini, karena ia terlalu mempercayakan adiknya pada sang ayah, yang
memang sebenarnya ayahnya
bukanlah ayah kandungnya.
Karena ayah sebenarnya telah
meninggal sejak Marni masih bayi.
Mereka berdua yang yatim piatu, telah dipungut oleh Sengkuti yang tak
mempunyai anak seorang pun dari
istrinya. Gagalnya Mandra mendesak
Marni buka mulut, membuat Mandra penasaran untuk menyelidiki sang ayah, ia
memang melihat tingkah laku ayahnya yang aneh, ketika ia mengatakan Marni akan
dibawanya ke tempat majikannya untuk tinggal sementara di sana.
Demikianlah, akhirnya Mandra dapat menangkap pembicaraan sang ayah
angkatnya pada sang Bupati. Ternyata mereka semua turut berkomplot dengan si
ketiga paderi. Bahkan ia melihat sendiri ketika ketiga paderi itu memasuki
Wanita Iblis 10 Pendekar Naga Putih 27 Sengketa Jago Jago Pedang Dendam Empu Bharada 12
^