Pencarian

Tragedi Pulau Berhala 2

Roro Centil 25 Tragedi Pulau Berhala Bagian 2


Itulah sepasang mata dari sesosok tubuh.
Sosok tubuh seorang laki-laki yang juga ber-
kepala botak. Laki-laki yang berpakaian jubah hijau dan sudah
agak butut itu memang mirip dengan Paderi-Paderi
itu. Akan tetapi jelaslah kalau paderi ini bukan sego-longan dengan para paderi
Pulau Berhala .
"Keparat! mereka mulai mencari korban lagi! aku harus segera melaporkan!"
berbisik mulut paderi ini.
Sepasang matanya menyorotkan kegemasan mena-
tap para paderi Pulau Berhala yang berkelebatan lenyap.
Dia bangkit berdiri. Menyibak semak. Dan! berke-
lebat ke arah yang berlawanan dengan paderi itu.
Kita beralih kesatu tempat tersembunyi tak jauh
dari pantai. Beberapa buah kemah tampak berada di sekitar
itu. Dan tampak para penjaga yang rata-rata berpa-
kaian serupa dengan paderi itu.
Ketika paderi berjubah hijau itu muncul, dua
orang segera melompat untuk menyambut keda-
tangannya. "Bagaimana" Apakah mereka mulai bergerak hari ini?" tanya salah seorang.
"Benar! Belasan paderi keparat Pulau Berhala itu sudah menyebar di wilayah ini.
Agaknya mereka mulai mengadakan penculikan lagi!" menyahut dia.
"Segera laporkan pada guru!" berkata kawannya yang menjaga.
Paderi muda yang rupanya menjadi mata-mata
untuk mengintai di sekitar pantai itu mengangguk.
Segera dia bergegas menghampiri sebuah kemah
yang paling besar.
Pintu kemah agak terbuka. Dia segera melongok
ke dalam. Akan tetapi melongo mulut paderi ini ka-
rena tak menjumpai gurunya di situ.
Beberapa orang segera ke luar dari dalam kemah.
"Guru tidak ada! apakah kalian mengetahui ke
mana perginya beliau?" bertanya paderi muda ini.
"Kami juga tak mengetahui! Ah, tentu kau mem-
bawa berita pengintaian dari pantai!" bertanya kawannya.
"Ya! belasan orang paderi Pulau Berhala mendarat. Tentu akan memulai lagi
penculikan terhadap
wanita-wanita. Hal ini harus diketahui guru! Kita
tak dapat membiarkan mereka membuat kejahatan
lagi!" Semua murid-murid yang berada di tempat itu
cuma saling pandang karena tak mengetahui ke
mana perginya sang guru.
Sementara itu belasan orang paderi itu telah me-
nebar ke pelosok, memasuki desa. Terdengar suara
jeritan perempuan dari kejauhan. Akan tetapi cuma
sekejap. Suara itu lenyap. Dua orang penduduk sal-
ing pandang. "He" Seperti suara orang menjerit. Coba kau periksa. Jangan-jangan ada kejadian
penculikan lagi!"
"Ya! mari kita periksa!" sahut kawannya. Kedua laki-laki itu menghunus golok dan
bergegas untuk berlari menghampiri sebuah pondok. Itulah pondok
yang menjadi arah sumber suara jeritan tadi.
Tiga sosok tubuh tampak berloncatan dari dalam
pondok itu menerjang pintu. Benar dugaan kedua
laki-laki penduduk itu. Karena mereka melihat salah seorang memondong tubuh
wanita. "Keparat! bangsat tengik! lepaskan gadis itu! Kiranya kalianlah penculik-
penculik yang selama ini
merajalela!" membentak salah satu dari kedua lelaki desa itu. Segera dia tahu
gadis itu adalah Mariamah, yang menjadi giliran korban penculikan.
Dua laki-laki ini melompat menghadang ketiga
paderi itu. Akan tetapi salah seorang gerakkan tangannya. Dua benda berkilat
menyambar ke arah
tenggorokan kedua laki-laki itu. Dan kejap berikutnya, terdengar suara teriakan
parau. Tubuh dua le-
laki desa itu terjungkal roboh. Dua benda belati kecil itu telah membenam di
tenggorokan mereka masing-masing. Berkelojotan tubuh pemuda desa itu. Na-
mun sejenak terkapar lepaskan nyawa.
D E L A P A N Sementara itu di Pulau Berhala..... Istana Hitam
yang angker misterius itu seperti lengang tak berpenghuni. Namun sesungguhnya di
dalam satu ruangan besar di dalam istana tengah menjalankan
upacara. Upacara yang dihadiri oleh ratusan paderi ber-
kumpul berbaris dengan rapi. Di depan mereka pada
sebuah altar tempat paderi-paderi berpakaian serba hitam dengan cadar penutup
muka, berdiri seperti
menanti kedatangan ketua mereka. Sementara se-
buah pedupaan yang besar kepulkan asap berbau
harum. Dua orang algojo memegang kapak besar
siap menjalankan tugas. Upacara apakah ini" inilah upacara keagamaan mereka yang
mereka anut. Tentu saja upacara yang sesat karena paderi-paderi itu bukanlah
paderi yang menjalankan sebagaimana la-zimnya paderi.
Dalam sebuah ruangan di belakang tembok ruang
depan Istana tampak seorang laki-laki bertubuh te-
gap. Berusia sekitar lima puluh tahun. Berkepala
separoh botak. Akan tetapi pada bagian belakang
tampak sedikit rambut yang di kepang menjuntai ke
belakang punggung. Pada bagian dada orang Ini
tampak bertato seekor kelelawar berkepala ular. inilah sang ketua mereka yang
mempunyai gelar si
PADERI MATA SERIBU. Paderi tua bertubuh tegap
Ini bermuka kasar dengan kulit muka hitam. Kumis
dan jenggotnya berwarna kelabu. Sepasang matanya
biru. Dia dalam keadaan berdiri separuh telanjang di ruangan itu yang menjadi
tempat peristirahatannya.
Di hadapannya adalah tujuh orang gadis yang da-
lam keadaan terikat di tujuh dipan kayu dengan
keadaan tanpa busana.
Ketujuhnya dalam keadaan pucat ketakutan. Me-
reka tahu apa yang bakal terjadi pada mereka. Ka-
rena sang ketua ini telah mulai melepaskan jubah
bagian bawah. Sepasang kaki manusia ini yang ber-
telapak besar mulai menghampiri dipan bagian
ujung. Gadis itu meronta di atas dipan dengan ketakutan. Sepasang matanya
membelalak menatap si
Paderi Mata Seribu yang menyeringai menatap sang
gadis dengan mala membinar.
"Hahahhehe .. heheh ... giliran pertama adalah kau, gadis manis!"
"Tidak! tidak! lepaskan aku... jangaaan!" teriakan si gadis memecah keheningan
dalam ruangan kamar. Akan tetapi mana dia mampu menghindar dari
nasib yang bakal menimpanya"
Dengan derai tawa iblis dan dengus yang me-
nyembur-nyembur lengannya menerkam mang-
sanya. Menggeliat gadis itu tak berdaya.
Sementara gadis-gadis korban lainnya cuma bisa
palingkan muka dengan air mata berderai. Bahkan
salah satu gadis itu telah menangis terisak-isak.
Gadis dipan pertama itu tak dapat menghindari
lagi. Namun dia keburu pingsan sebelum dia menge-
tahui kelanjutannya ....
"Keparat!" ternyata paderi Mata Seribu justru gusar. Lengannya bergerak
mencengkeram leher; wani-
ta itu ... Kraaak! Tak ampun lagi gadis itu berkelojotan dan tewas seketika
dengan tulang leher remuk.
Dengan segera dia bangkit menghampiri dipan
kedua. Selesai dengan hajatnya giliran pada dipan
ketiga. Demikianlah seterusnya hingga pada dipan
ketujuh. Manusia ini memang punya tenaga hebat
luar biasa. Sementara itu di luar para paderi anak buah-nya
menanti dengan sabar.
Ketika tak lama berselang pintu ruangan di bela-
kang altar terbuka. Dua orang algojo segera masuk.
Tak lama keluar lagi dengan menyeret sesosok tu-
buh wanita yang berlumuran darah. Tubuh itu ada-
lah tubuh wanita yang tewas di dipan pertama da-
lam ruangan kamar tadi. Setelah dipertontonkan
pada para paderi dua algojo menyeretnya ke dalam
satu ruangan. Pada ruangan ini terdapat sebuah
ruangan dalam tanah. Ternyata di ruangan bawah
tanah itu penuh dengan ratusan ular. Mayat wanita
itu dilemparkan ke dalam ruang tersebut. Segera sa-ja ratusan ular itu
memburunya. Ruangan itu ditutup lagi. Dua algojo kembali ma-
suk ke dalam ruang di belakang altar. Kini menyeret sesosok tubuh wanita lagi.
Pemandangan yang tragis segera dipertontonkan.
Kepala gadis itu dipenggal putus. Kepalanya dilemparkan ke arah ratusan paderi
yang menonton upa-
cara itu. Segera saja terjadi kegaduhan. Mereka berebut untuk merebut kepala Itu
untuk menghirup
darahnya. Demikianlah berturut-turut kepala gadis korban
lainnya dipenggal untuk kemudian dilemparkan ...
Dan menjadi rebutan para paderi.
Perebutan itu ternyata terus berlangsung. Kea-
daan yang tadinya tenang telah berubah panas. Ka-
rena akibat perebutan itu nyawa-nyawa para paderi
yang berhasil merebut kepala takkan terhindar dari maut.
Tempat itu bagaikan tempat pertarungan saja
layaknya. Mereka saling baku hantam sesama ka-
wan demi memperebutkan kepala. Tujuan utama
adalah menghirup darah kepala gadis Itu. itulah
yang mereka namakan upacara "suci".
Karena yang berhasil menghirup darah itu akan
bertambah kesaktiannya berlipat ganda. Namun ten-
tu saja mereka harus dapat selamat dari maut. Ka-
rena kawan-kawan mereka takkan membiarkannya
menghirup darah "suci" itu.
Sementara kejadian itu berlangsung, sang ketua
alias si Paderi Mata Seribu menyaksikan dengan tersenyum. Puluhan mayat
bergelimpangan di ruang
Istana hitam. Manusia-manusia terdiri dari paderi-
paderi itu bagaikan iblis-iblis yang haus darah. Jerit dan teriakan terdengar di
sana-sini. Tak lama keadaanpun usai. Tanda berhenti mirip
sirine terdengar. Mereka pun bubar meninggalkan
ruangan. Tentu saja dalam keadaan bersimbah da-
rah. Yang luka-luka tertatih-tatih meninggalkan
tempat itu. Yang segar bugar berlarian terlebih dulu ke luar berdesakan.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar su-
ara bentakan keras.
"Perbuatan terkutuk! Iblis Paderi Mata Seribu!
Kau memang bukan manusia!" bentakan itu diiringi dengan berkelebatnya sesosok
bayangan tubuh.
Dan di lantai altar telah berdiri tegak sesosok tubuh bulat. Ternyata seorang
paderi berjubah putih.
Bertubuh pendek, gemuk hingga tampaknya bundar
seperti sebuah bola besar.
WHUUUUUKK! BHLARRR!
Si paderi bulat ini langsung hantamkan telapak
tangannya ke arah si paderi Mata Seribu. Terdengar ledakan keras. Dan seketika
tembok di belakang altar istana Hitam itu ambrol!
Akan tetapi si paderi Mata Seribu telah melesat
menghindari pukulan maut itu. Terdengar suara ter-
tawa mengekeh. "Heheheh... hahaha... kiranya kau si DEWA
ANGIN PUYUH! Bagus! kau berani menyatroni Pulau
Berhala tentu sudah siap menghadapi maut!"
Orangnya tak kelihatan ke mana berkelebatnya.
Tetapi paderi bulat ini berteriak kaget ketika sebuah hantaman menyerang ke
dada. Untuk menghindari
hantaman keras bertenaga hebat Itu dia bersalto ke udara. Lengannya terangkat
untuk menghantam ke
depan memapaki serangan.
BHLAARRR! Akibat benturan kedua pukulan yang mengan-
dung tenaga dalam hebat itu tubuh si paderi bulat yang tak lain dari si Dewa
Angin Puyuh terlempar ke luar dari dalam pintu Istana Hitam. Namun lagi-lagi dia
gunakan salto untuk mengimbangi jatuh tubuhnya hingga dia dapat jejakkan kaki di
tanah. Setetes darah tampak mengalir dari sudut bibir-
nya. Pukulan Itu telah membuat dia terluka dalam.
Belasan paderi Pulau Berhala segera mengurung.
Dan sekaligus menerjang dengan senjata siap me-
rencah tubuh bulat paderi tua ini.
Kakek botak ini menggeram gusar. Sepasang tan-
gannya merentang dengan mendadak. WHUUUUTT!
Terdengarlah teriakan silih berganti. Tubuh-
tubuh paderi Pulau Berhala berhamburan berpelan-
tingan ke delapan penjuru. Karena mendadak angin
puyuh yang dahsyat telah menerjang mereka. Itulah
jurus sakti si Dewa Angin Puyuh yang bernama Ju-
rus Pusaran Angin Puyuh. (Jurus Ini pernah diwa-
riskan oleh kakek Ini pada Roro Centil).
Belasan paderi Itu tanpa berkelojotan lagi tewas
seketika, karena kemarahannya si paderi bulat Ini
keluarkan tenaga lebih dari separuh kekuatan tena-
ga dalam. "Jurus yang hebat!" terdengar bentakan. Dan ber-kelebatlah sesosok tubuh
berjubah warna-warni.
Sosok tubuh seorang paderi yang berkepala botak,
namun di belakang kepala mempunyai rambut dike-
pang. inilah si Paderi Mata Seribu. Ketua dari istana Hitam di Pulau Berhala.
Paderi ini tak terlihat ada pengaruh akibat bentu-
ran pukulan tadi menandakan betapa tingginya ilmu
orang ini. "Dewa Angin Puyuh! Ada apakah kau menyatroni
pulauku dan ikut campur urusanku?" bentak Paderi Mata Seribu.
"Manusia edan! Kau telah mencemarkan nama
baik para paderi dengan perbuatanmu yang terku-
tuk Itu. Rupanya kaulah biang keladi penculikan-
penculikan selama ini!" bentak pula si kakek bulat.
"Hahaha... memang! semua itu tak salah du-


Roro Centil 25 Tragedi Pulau Berhala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gaanmu! Bukankah kau lihat sendiri, orang-orang
yang kuculik itu telah menjadi anak buahku yang
amat patuh pada perintahku. Bahkan menuruti aja-
ran-ajaran yang ku anut!"
Mendelik mata si paderi Dewa Angin Puyuh "Be-
debah! Aku telah ketelepasan tangan membunuh!"
pikirnya dengan tersentak.
S E M B I L A N
KENCARUPA! Lupakah kau akan ajaran guru ki-
ta" Kau telah menempuh jalan sesat Jalan yang kau
buat seenak perutmu sendiri! Perbuatanmu melam-
paui batas kemanusiaan Kau akan mengundang ba-
nyak musuh karena perbuatanmu sendiri!" berkata paderi bulat ini yang memanggil
si Paderi Mata Seribu dengan nama aslinya.' Ternyata dari pembica-
raan si paderi bulat itu, mereka adalah dua orang
saudara seperguruan.
Peringatan itu ternyata membuat si paderi Mata
Seribu justru tertawa terbahak-bahak lebih keras.
"Hahahaa... haha... Semua itu sudah kuperhi-
tungkan! Aku memang telah siap untuk mengha-
dapi. Bukankah dengan demikian akan membuat
aku mudah menghancurkan mereka" Dan namaku
di dunia persilatan akan menjulang tinggi. Partai
serta anutan ku semakin menyebar ke seluruh pelo-
sok. Aku akan jadi orang yang paling berkuasa ke-
lak, sesuai dengan cita-citaku!" sumbar si paderi Pulau Berhala dengan suara
lantang. "Manusia takabur! Cita-cita gilamu takkan pernah berhasil. Karena kau saat ini
harus mampus di tan-ganku!" bentak paderi Dewa Angin Puyuh dengan mata melotot
gusar. Dadanya bergemuruh mendengar apa yang menjadi cita-cita si saudara
sepergu- ruan itu. Dewa Angin Puyuh telah keluarkan senjata Kipas
Bututnya. Sementara sepasang matanya menatap
tak berkedip pada manusia di hadapan dia.
Urat-urat tubuhnya tampak menggembung per-
tanda dia telah menyalurkan segenap kekuatan te-
naga dalam untuk melabrak si Paderi Mata Seribu.
"Hahaha ... aku amat menyayangkan kau ka-kak
KUMBARA! Walau bagaimana kau adalah bekas ka-
kak seperguruanku- Berpuluh tahun tak berjumpa
aku masih merasa kau saudara sendiri. Oleh sebab
itulah aku urungkan niatku untuk membunuhmu.
Tinggallah kau di pulau ini membantuku!" berkata paderi Mata Seribu menyebut
nama asli si paderi
Dewa Angin Puyuh dengan sebutan nama
KUMBARA. "Edan! Lebih baik aku mati berkalang tanah daripada menjadi manusia sesat
sepertimu!" bentak Kumbara dengan suara menggelegar karena kemarahannya.
Menerjanglah kakek bulat ini dengan serangan
senjatanya. Angin puyuh bergulung-gulung mengge-
bu menghantam si Paderi Mata Seribu. akan tetapi
dengan tertawa berkakakan KENCARUPA berkelebat
lenyap. Angin Itu terus lewat bergulung menerjang para paderi yang masih
berkerumun di belakang Istana.
Namun mendadak angin itu lenyap ketika seber-
kas cahaya merah menghalangi.
"Menyingkirlah kalian semua!" terdengar bentakan. Dan tiga sosok tubuh melompat
di hadapan mereka sesaat setelah lenyapnya cahaya merah ba-
rusan. Tiga paderi jubah merah segera telah berdiri di hadapan Kumbara.
"Hehehhaha... babi bulat! hadapilah kami. Ketua kami enggan turun tangan untuk
membunuhmu!"
berkata salah seorang sambil tertawa mengejek.
Dan ketiga sosok tubuh paderi jubah merah itu
berkelebatan berpencar mengurung si paderi bulat
Dewa Angin Puyuh dari tiga penjuru.
"Hmmm, apakah kalian yang menamakan diri si
Tiga Naga Merah?" bentak Kumbara. Diam-diam dia terkejut juga karena ketiga
manusia yang berasal
dari Tibet ini bisa berada di wilayah Pulau Jawa
bahkan menjadi pengikut si Paderi Mata Seribu!
"Benar!" sahut si kurus muka pucat berkumis ce-riwis di hadapannya.
"Kami telah bergabung dengan sobat kami Kencarupa demi tujuan yang besar dan
mulia!" "Bah!" tujuan mulia" Dengan cara-cara sesat
yang di luar perikemanusiaan itu kalian katakan tujuan mulia" Hahaha ...
hahaha ...."
Dewa Angin Puyuh tertawa berkakakan hingga
tubuhnya terguncang-guncang dan air matanya
mengalir ke luar. Tertawanya si Dewa Angin Puyuh
bukanlah tertawa girang melainkan tertawa yang
mengandung kepedihan dan kemarahan yang amat
luar biasa mendengar kata-kata si paderi kurus Tiga Naga Merah.
Ternyata tertawa si Dewa Angin Puyuh juga men-
gandung ilmu tenaga dalam dan serangan yang amat
dahsyat. Ketiga paderi jubah merah itu mendadak
wajahnya berubah pucat. Masing-masing rasakan
dadanya menjadi sesak.
Telinga mereka seperti dimasuki ribuan semut.
Akan tetapi dengan berbareng mereka keluarkan
bentakan. Masing-masing satukan lengannya.
Tubuh mereka bergetaran. Dan tampak uap me-
rah mengepul dari ubun-ubun kepala. Uap itu
membentuk asap yang bergulung-gulung berwarna
merah. Yang sekejap kemudian berubah menjadi ti-
ga ekor ular naga. Inilah ilmu Setan Naga Merah
yang dikeluarkan dengan terpadu. Ketiga naga cip-
taan itu serentak menerjang si Dewa Angin Puyuh.
Sambaran dahsyat dari Tiga Naga Merah ciptaan
itu membuat si paderi bulat keluarkan keringat dingin dan hentikan tertawanya.
WHUSSSS! WHUSSSSS! WHUSSSSS! Kipas bututnya digunakan
untuk menerjang. Sementara tubuhnya mendadak
memutar seperti gasing.
Tiga naga ciptaan terdorong mundur kena hem-
busan angin kipas yang dahsyat. Akan tetapi seren-
tak mereka menerjang lagi dari berbagai jurusan.
Terjadilah pertarungan seru yang amat luar biasa
dan menakutkan.
Naga-naga ciptaan itu keluarkan suara dahsyat
yang menggetarkan jantung.
Paderi bulat seperti sebuah boneka lucu yang jadi
permainan tiga ekor ular naga.
Dalam saat itu si tiga Paderi Jubah Merah cuma
diam tak bergeming dengan membaca mantera-
mantera. Sepasang lengannya mengatup di depan
dada. Dewa Angin Puyuh agaknya mulai kewalahan
menghadapi ketiga naga. Kipasnya yang menerjang
selalu dapat dipukul oleh hempasan ekor-ekor Naga.
Namun dengan semangat besar dan kemarahan
semakin menjadi, namun dengan perhitungan yang
cukup masak dia segera robah jurus-jurus seran-
gannya. Kali ini dia bertarung sambil menjauh. Keti-ga naga ciptaan terus
mengejar. Sementara itu pada paderi Pulau Berhala mulai menyebar ke setiap
tempat. Mereka mengurung arena pertarungan, atau siap
menjaga jangan sampai si paderi bulat itu melarikan diri.
"Setan alas! kalau begini terus menerus aku akan kehabisan tenaga! Paderi-paderi
anak buah si Kencarupa telah mengetahui maksudku! Oh, celakalah
aku. Daripada tertawan lebih baik mati!" desis si Dewa Angin Puyuh.
Dia melompat menjauh mendekati patung-patung
yang bertebaran di pulau itu, akan tetapi sungguh
dia tak mengira kalau patung-patung itu mendadak
keluarkan asap yang menyemprot ke arah mukanya.
"Asap beracun!?" teriak si kakek bulat tertahan dengan terperanjat.
Akan tetapi terlambat. Mendadak dia rasakan ke-
palanya berat. Matanya berkunang-kunang.
Dia cuma mendengar suara tertawa berkakakan
si Paderi Mata Seribu. Akan tetapi selanjutnya dia sudah tidak Ingat apa-apa
lagi, karena dia segera
terkulai roboh tak sadarkan diri. Ternyata pada berhala-berhala itu telah
dipasangi alat-alat rahasia.
Kalau di Pulau Berhala tengah terjadi peristiwa-
peristiwa tadi, adalah di pantai di sekitar pulau terjadi juga pertarungan seru
antara para paderi Pulau Berhala yang berhasil membawa lari wanita yang di-culik
mereka dengan para paderi pesisir pulau.
Mereka adalah para paderi yang telah kehilangan
gurunya, yang tak diketahui ke mana perginya. Ke-
beranian luar biasa dari para paderi itu tak mem-
buat mereka patah semangat untuk menggagalkan
penculikan para gadis, walau tanpa beradanya guru
mereka. Mereka menjaga di pesisir pantai di tempat per-
sembunyian dengan senjata-senjata terhunus. Keti-
ka belasan paderi Pulau Berhala kembali dari men-
culik untuk menyeberangi ke Pulau Berhala, seren-
tak mereka berlompatan ke luar untuk menerjang
paderi-paderi palsu itu.....
SEPULUH Pertarungan yang menimbulkan pertumpahan da-
rah tak dapat dihindarkan lagi. Si paderi muda yang menjadi pemimpin penyerbuan
itu mengamuk dengan senjata tongkatnya. Lawannya seorang paderi
bertubuh kasar dan kekar.
Tiga serangan berantai dari serangan tongkat me-
nyambar ke leher lawan, dengan tiga sodokan yang
mematikan mengarah nyawa lawan. Pemuda ini
tampak gusar karena enam kawannya tewas terbu-
nuh, sedangkan di pihak paderi Pulau Berhala cuma
satu yang terluka. Diakui ilmu kepandaian paderi
Pulau Berhala memang hebat dan berada dua ting-
kat di atas kepandaian kawan-kawannya.
Trang! Tang! Tang! terdengar suara dentingan tiga
kali lawannya menangkis seraya mengegos dengan
senjata tipis seperti dua buah piring tipis terbuat da-ri baja.
"Bocah bau kencur! Kau belajarlah sepuluh tahun lagi untuk melawanku!" teriak si
paderi Pulau Berhala. Seraya menangkis, sebuah piring baja tipis itu dilepas ke
arah bawah pusar. Suaranya berdesing.
Terkejut paderi muda melihat senjata itu. Beberapa inci lagi maka putuslah
pinggangnya terkena piring tipis yang berputar bagai gasing itu mengancam
nyawanya. Dengan berteriak tertahan dia membanting di-
rinya ke tanah. Tongkatnya dipakai untuk me-
nangkis .... Trak! Tongkat pemuda paderi putus ter-babat.
Dalam keadaan terperangah itulah seorang paderi
Pulau Berhala lancarkan serangan membacok ke
punggung. Detik maut itu tak bisa dielakkan lagi.
Namun pada saat itu terdengar bentakan hebat
disertai satu kilatan mencercah di udara. Paderi
pembokong itu menjerit pendek. Darah segar me-
muncrat. Dan dua potong tubuh yang terbelah men-
jadi dua menggabruk di tanah.
Membelalak mata si paderi muda melihat keja-
dian Itu. Dilihatnya tubuh si paderi benar-benar telah terbelah menjadi dua
bagian. Dan di tempat itu telah tegak berdiri seorang laki-laki muda memegang pedang
yang berlumuran da-
rah berpakaian serba putih. Siapa lagi Kalau bukan si Bujang Nan Elok alias
Pendekar Selat Karimata,
SAMBU RUCI. "Paderi-paderi Pulau Berhala keparat! Hari Ini kau tak dapat berbuat sewenang-
wenang lagi!"
membentak Sambu Ruci. Tubuhnya berkelebat....
Dan selanjutnya terdengarlah teriakan-teriakan nge-ri saling susul. Dalam waktu
sekejapan saja tiga belas paderi itu roboh tanpa dapat berkelojotan lagi.
Karena tubuh-tubuh mereka telah terpotong men-
jadi dua bagian.
Membelalak mata para paderi penyerang itu yang
merasa mendapat pertolongan mendadak di saat
mereka hampir putus asa, ketiga melihat si Dewa
penolong yang masih berusia muda. Seorang laki-
laki gagah dan berwajah tampan.
Serta-merta mereka berlompatan menghampiri
dan menjura hormat.
"Terimakasih atas bantuanmu, sobat. Sudikah
anda memperkenalkan diri?" bertanya seorang paderi yang berusia cukup tua.
"Namaku SAMBU Ruci! Aku datang kemari kare-
na petunjuk seorang paderi tua bernama Wiku Duta
Prayoga. Dia dalam keadaan sekarat ketika kujum-
pai. Sebelum tewas dia mengatakan siapa manusia
yang telah mengeroyoknya. Yaitu paderi-paderi dari Pulau Berhala. Lalu
menceritakan tentang adanya
paderi-paderi anak buahnya yang berada di pesisir
pantai ini. Yang telah disiapkan untuk menggagal-
kan penculikan para wanita dan menumpas mereka.
Apakah kalian adalah murid-murid Ki Duta Prayo-
ga?" Membelalak seketika mata para paderi itu men-
dengar penuturan Sambu Ruci.
"Benar! Beliau guru kami! Ah ...!" beliau ... te ...
tewas"!" teriak kaget si paderi muda.
"Benar! Aku datang terlambat. Agaknya Ki Duta Prayoga menyerbu sendiri paderi-
paderi Pulau Berhala yang melakukan penculikan. Atas petunjuk itu
aku cepat mengejar kemari. Sayang aku agak ter-
lambat. Sehingga kawan-kawanmu banyak yang
menjadi korban!" berkata Sambu Ruci agak menyesal. "Wah bagaimana anda telah
berjasa menyela-matkan nyawa kami. Kami amat berhutang budi pa-
da anda sobat pendekar Sambu Ruci ..." menyahut si paderi tua bernama Lomambha
itu dengan mena-
tap girang bercampur sedih. Sudikah anda mengan-
tarkan kami ke tempat jenazah guru kami, agar ka-
mi dapat menguburkannya?" ujar Lomambha den-
gan mata berkaca-kaca.
"Tentu saja. Marilah ikut aku!" sahut Sambu Ruci tanpa menolak ....
Kemunculan Sambu Ruci di pesisir pantai tengga-
ra telah membuat para paderi murid-murid Wiku
Duta Prayoga menjadi kagum. Dalam beberapa hari
mereka berkabung setelah kematian guru mereka.
Ternyata Sambu Ruci memang telah menyelesai-


Roro Centil 25 Tragedi Pulau Berhala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan pelajaran ilmu silatnya dari gurunya yang baru yaitu KI BALUNG PUTIH.
Tentu saja Sambu Ruci pergi bersama istrinya
CINDERANI yang terpaksa dinikahi karena telah ber-
janji dengan si kakek Ki Balung Putih untuk meno-
long kakek itu. Cinderani ditinggalkan di desa terde-kat tapi cukup jauh dari
pantai. Karena Sambu Ruci tak mau mengajak dia. Walaupun sebenarnya Cinderani
bersikeras ikut.
Oleh sebab itu setelah selesai urusannya mem-
bantu para paderi murid Ki Duta Prayoga dia minta
diri. Sementara itu paderi-paderi itu pun segera bubar untuk kembali ke markas.
Karena atas pertim-
bangan Sambu Ruci mereka tak akan kuat mengha-
dapi paderi-paderi Pulau Berhala. Walaupun sebe-
narnya mereka bersedia korbankan nyawa untuk
menyerang ke Pulau Berhala.
Sambu Ruci berlari-lari cepat menuju ke desa di
mana dia meninggalkan Cinderani ....
Sementara itu kita beralih pada Roro Centil yang
berada di alam gaib. Yaitu di alam negeri Siluman.
Dara pendekar Pantai Selatan itu tengah duduk di
atas batu besar. Sementara di hadapannya tampak
seberkas cahaya biru membentuk sesosok tubuh
manusia. Dialah Bagawan Bhama Kosala, kakek
guru Roro. Yaitu guru si Manusia Banci Pantai Selatan.
"Kau telah mewarisi tiga macam ilmu kedigjayaan dariku, bocah cucuku!" berkata
Bagawan Bhama Kosala. "Aku yakin kau akan mempergunakan un-
tuk kebenaran. Akan tetapi kau baru boleh memper-
gunakan Kalau bertemu lawan Jahat yang amat
tangguh! Hanya itulah pesanku!" ujar sang Bagawan.
"Terima kasih, kakek guru. Wejanganmu akan selalu kuingat dalam lubuk hati.
Apakah aku sudah
diizinkan dan boleh ke luar dari alam mu ini kakek guru?" sahut Roro diiringi
pertanyaan. Rasanya dia sudah tak sabar untuk segera kembali ke alam manusia.
"Satu syarat lagi untukmu cucuku, sebelum kau berangkat pulang!"
"Apakah itu, kakek guru?" tanya Roro kebat-kebit.
"Tinggalkan sepasang senjatamu Itu di sini!" sahut sang Bagawan.
"He" mengapa" Apakah aku harus gunakan tan-
gan kosong tanpa senjata lagi" Padahal senjata itu adalah warisan guruku!" tanya
Roro terheran. Cahaya biru itu menjawab dengan tertawa.
"Jangan khawatir, aku hanya meminjamnya saja.
Nanti bila kau telah ke luar dari alam siluman ini, segera aku kembalikan!"
berkata Bagawan Bhama Kosala.
"Hihihi.... Kalau begitu aku menurut saja!" sahut Roro seraya loloskan senjata
Rantai genit-nya. Lalu
diletakkan di atas batu.
"Nah! pejamkan matamu. Jangan kau buka sebe-
lum ada suara kicau burung di telingamu!" berkata sang Bagawan.
Tak menunggu diperintah dua kail, Roro segera
turuti perintah itu. Diam-diam dia amat bergirang
hati. Karena serasa dia sudah tak betah berdiam di tempat yang asing dan aneh
itu. Roro merasa tubuhnya melayang menembus ke
awan. Padahal dia tetap berada di atas batu itu. Ketika dia mendengar suara
kicau burung, serentak
dia buka kelopak matanya.
Terkejutlah Roro Centil ketika melihat dia telah
berada di alam yang sewajarnya yaitu alam manu-
sia. Tempat itu adalah di sisi hutan rimba di mana telinganya bisa mendengar
suara kicau burung-burung dari dalam hutan. Akan tetapi anehnya dia
masih tetap duduk di atas batu besar. Cuma saja
batu itu telah berubah warna.
Kalau tadinya dia duduk di atas batu putih bagai
pualam, kini Roro duduk di atas batu gunung yang
berlumut. Yang amat membuat lebih aneh lagi adalah, sepa-
sang senjata Rantai genitnya itu tak berada di atas batu.
Dia jadi garuk-garuk kepala tidak gatal. Namun
segera melompat turun untuk menghirup napas le-
ga. "Oh, senang sekali aku telah berada di alam manusia lagi!" berkata Roro
sendiri. "Eh, katanya kakek guru akan mengembalikan
sepasang senjataku, kapankah akan dikembalikan-
nya?" gumam Roro yang merasa tak betah tanpa
membawa senjata.
Walaupun-jarang dipergunakan namun Roro me-
rasa telah senyawa dengan senjata Rantai genit itu.
Dalam keadaan itu lapat-lapat terdengarlah suara
gaib Bagawan Bhama Kosala.
"Roro Centil, cucuku! Pergunakanlah mata ba-
tinmu. Kau periksa lagi ke atas batu yang kau du-
duki. Aku telah mengembalikan sepasang sen-
jatamu. Akan tetapi dengan bentuk lain yang lebih
sempurna, dan lebih hebat. Sesuai dengan keingi-
nan gurumu..!"
Tentu saja Roro terkejut. Segera dia gunakan ma-
ta batinnya untuk melihat dan memeriksa di atas
batu tadi. Benar saja! segera terlihat sepasang senjata Rantai Genit dengan
bentuk lain. Benda itu mem-
punyai rantai lebih halus.
Pada bagian ujung gagangnya bertatahkan mutia-
ra. Sedangkan bandulannya tetap merupakan sepa-
sang payudara. Akan tetapi bentuknya lebih kecil.
Ketika Roro mau menjamah, mendadak sepasang
senjata itu lenyap.
"Bocah muridku! Kau telah memiliki aji memin-
dahkan benda tanpa menyentuh. Mengapa tak kau
gunakan ajian milikmu itu" Benda itu adalah benda
alam gaib. Dia cuma dapat kau simpan di alam gaib
pula. Dan bila kau akan mempergunakannya cukup-
lah dengan membaca mantera, benda senjatamu itu
akan sudah berada di tanganmu!" suara gaib itu ti-ba-tiba kembali terdengar.
Roro terkejut, juga kesima. "Ah, sungguh menakjubkan!" seru Roro pelahan tanpa
disadari. Petunjuk itu dipatuhi. Dan Roro segera gunakan
cara membaca mantera untuk memindahkan benda
itu. Ternyata benda itu berubah menjadi sinar kun-
ing emas yang melesat dan membelit ke pinggang-
nya. Dalam pandang mata gaib, Roro melihat senjata
Rantai Genit yang lebih indah dan mungil membelit
dengan seksama di pinggangnya. Akan tetapi ketika
Roro lepaskan pandangan mata gaibnya, Roro tak
menampak apa-apa. Bahkan ketika Roro menjamah
untuk menyentuh benda itu, Roro merasa tak me-
nyentuh apa-apa.
Sadarlah Roro kalau sepasang senjata Rantai Ge-
nit yang baru ini adalah sebentuk senjata gaib. Dia cuma bisa gunakan kalau
memang dalam keperluan
mendadak. Saking girangnya Roro sampai berjingkrakan dan
berteriak-teriak girang. "Oh, terima kasih, kakek guru! Terima kasih, kakek guru
yang baik!" teriak Roro berulang-ulang.
SEBELAS CINDERANI duduk di luar pondok dengan hati ge-
lisah. Sebentar-sebentar dia berdiri dan beranjak
bangun. Matanya liar menatap ke ujung jalan desa.
Sementara yang empunya pondok itu cuma mem-
perhatikan dari tadi pada gadis yang hamil muda
itu. Namun tak lama dia segera ke luar dari dalam.
"Sabarlah, den ayu... Mungkin tak lama lagi suamimu akan segera tiba. Kalau
sudah waktunya da-
tang toh akan datang juga ..!" ujarnya sambil tersenyum.
"Ah, mbok! Aku khawatir ada terjadi sesuatu. Ha-tiku tak enak ..!" sahut
Cinderani menyahut.
"Berdoalah, semoga suamimu pulang dengan se-
lamat. Wilayah ini memang kurang aman. Sebaiknya
kau masuk. Di dalam kau bisa berbaring dengan tak
usah cemas. Tak baik bagi kandungan mu." berkata halus wanita tua itu.
"Tidak, mbok. Biarlah aku di sini saja!" sahut Cinderani menolak.
Matanya masih saja menatap ke ujung jalan desa.
Serasa dia tak sabar menanti kedatangan Sambu
Ruci. Dan entah mengapa hatinya kini jadi luluh,
dan dia mulai merasakan Kalau dia amat mencintai
suaminya. Betapa sulit mencari orang seperti Sambu Ruci yang rela menikahinya
demi menutup malu gurunya yang sudah dianggap ayah sendiri. Cinderani
memang yatim piatu ketika dibawa oleh Ki Balung
Putih. Dan lebih dari sepuluh tahun dia bersama si kakek itu. Tiba-tiba matanya
membinar melihat sesosok tubuh muncul di ujung jalan desa. Hatinya
melonjak girang. "Akhirnya datang juga!" berkata dia dalam hati.
Namun dia jadi terheran, karena yang datang;
bukanlah Sambu Ruci. Perawakannya dari jauh
memang agak mirip. Dia serasa mengenai laki-laki
itu yang kian dekat menghampiri pondok.
Mendadak darahnya tersirap. Laki-laki itu tak
lain dari SOMARA!
"Aha! Selamat berjumpa Cinderani! Apakah kau
sudah melupakan aku?" bertanya Somara. Entah
bagaimana Cinderani tak tahu, mengapa Somara bi-
sa menjumpainya dan muncul di sini"
"Kau ... kau mau apa datang kemari" Dari mana kau tahu aku berada di sini" sahut
Cinderani gelagapan.
"Hehehaha... Sejak kepergian kalian dari tempat guru, aku sudah mengetahui. Dan
siapa adanya la-ki-laki yang menjadi pendamping mu aku pun sudah
mengetahui. Aku ke mari mau membawamu, Cinde-
rani!" berkata Somara.
"Tidak! Aku telah bersuami. Kau tak berhak
membawaku!" sahut Cinderani terkejut. Sementara si mbok melihat kedatangan
Somara, buru-buru
angkat kaki masuk ke dalam pondok. Wajahnya be-
rubah pucat. Dia merasa tak dapat berbuat apa-apa.
Dia merasa bakal terjadi keributan. Entah siapa
orang laki-laki ini" pikirnya diam benak.
"Siapa bilang" aku yang lebih berhak! Anak dalam perutmu yang kau kandung itu
adalah anakku!"
berkata ketus Somara. Dia nampak gusar.
"Kau... kau... memang ayah anak dalam perutku ini, tapi... tapi..." pucat wajah
Cinderani. Mulutnya mendadak serasa terkunci tak bisa bicara. Sementara air
matanya telah mulai menitik.
"Sudahlah! tak ada tapi tapi. Sekarang segera kau ikut aku!" berkata Somara
dengan suara berubah lembut. "Demi cintaku padamu dan demi anak kita!"
ujarnya lirih. Menggetar tubuh dara cantik ini. Apakah yang
harus dia lakukan" Dia benar-benar tak tahu apa
yang harus diperbuat! Namun terluncur juga kata-
kata dari bibirnya dengan suara menggeletar.
"Somara! pergilah! tinggalkan aku. Kalau suamiku pulang, kau akan dibunuh!
Karena itulah perintah
guru!" Mendengar kata-kata Cinderani Somara tertawa
terbahak. "Hahaha... Somara bukan anak kecil ke-marin yang dapat diperbuat
semaunya! Bukan aku
takut menghadapi. Tapi saat ini aku perlukan kau,
Cinderani! Maka mau tak mau terpaksa aku harus
memaksamu!" berkata laki-laki ini.
Mendadak wajahnya berubah menjadi keras dan
kaku. Sepasang matanya menatap mata Cinderani
tak berkedip. Tatapan mata yang menimbulkan ha-
wa dingin mencekam. Cinderani tersurut mundur.
Wajah itu menyeringai. Cinderani merasa tubuhnya
keluarkan keringat dingin. Tatapan mata Somara,
begitu menakutkan. Seperti menembus ke dalam
jantung! Dalam keadaan terkesima itulah, lengan Somara
berkelebat cepat.
Tahu-tahu sudah menotok tubuh Cinderani. Ga-
dis ini merdengarkan keluhan dan terkulai roboh.
Namun dengan gerakan cepat, Somara segera me-
rengkuhnya dalam pondongan. Sekejap kemudian
dengan gerakan sebat telah berkelebat lenyap dari
muka pondok itu.
Mbok tua penghuni pondok melototkan mata
dengan mulut ternganga.
Mulutnya serasa terkunci walaupun dia sudah
keluarkan suara untuk berteriak.
Namun yang ke luar adalah suara...
"ah,uh,ah,uh..!.
Apakah yang dilihat si mbok tua itu" Dalam pan-
dangannya dia melihat sosok tubuh Somara berujud
sesosok tubuh menyeramkan mirip seekor lutung
besar yang menyeringai menampakkan taring-
taringnya, merangkul dan memondong tubuh gadis
itu kemudian melarikannya dengan berkelebat cepat
sekali. Seketika pandangannya menjadi berkunang-
kunang. Rasa takut yang luar biasa menggerayangi
benaknya. Jantungnya serasa copot. Detik itu juga dia roboh pingsan tak ingat
apa-apa lagi. DUA BELAS SOMARA membawa tubuh Cinderani dalam pon-
dongan dengan gerakan cepat. Gerakan larinya se-
perti hembusan angin! Yang dituju adalah arah ke
pantai. Akan tetapi tiba-tiba sebuah bayangan ber-
kelebat menghadang, disertai bentakan keras.
"Somara! murid durhaka! Berhentilah kau!" Melihat sosok bayangan tubuh manusia
berkelebat menghadang, Somara cepat berhenti dengan men-
dadak. Dan di hadapannya segera terlihat siapa ma-
nusianya. Ternyata tiada lain dari KI BALUNG
PUTIH. "Hm, menyingkirlah kau kakek tua bangka! Kau
sudah tak ada urusan lagi denganku!" bentak Somara dengan wajah kaku.
"Heh" menyingkir?" bentak orang tua ini. "Justru kaulah yang harus segera
kusingkirkan ke Akhirat.
Manusia murtad sepertimu sudah selayaknya mati!
Lepaskan dia! Kau tak berhak apa-apa atasnya. Dia
telah menikah dengan seorang laki-laki yang juga telah menjadi muridku!"
Akan tetapi Somara malah mendengus.
"Tua bangka! Siapa bilang demikian" Apakah matamu buta kalau calon bayi yang
berada dalam perut Cinderani adalah anakku?"


Roro Centil 25 Tragedi Pulau Berhala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Persetan!" maki Balung Putih. Kau menzinahinya tanpa menikah! Apakah patut
dikatakan syah" Anak
itu memang anakmu! tapi kau tak berhak memba-
wanya pergi karena dia telah menikah dengan orang
lain. Dan satu hal lagi adalah aku telah bersumpah untuk membunuhmu!" teriak Ki
Balung Putih geram.
Betapa dia amat membenci laki-laki bekas murid-
nya itu yang telah diketahui perbuatan bejatnya di luaran, serta telah
mencemarkan nama baiknya.
"Baiklah Kalau begitu! Kau kira semudah itu kau dapat melakukannya?" berkata
jumawa Somara. Di-lemparkannya tubuh Cinderani ke tanah tanpa belas
kasihan lagi. Gadis yang sudah tak sadarkan diri itu mengeluh siuman.
Akan tetapi kembali pingsan. Kini dia berdiri te-
gak menatapkan matanya dengan sorot tajam pada
kakek tua di hadapannya. Bibirnya tampak komat-
kamit. Uap hitampun mengepul di sekujur tubuhnya.
Matanya berubah merah. Dan... kakek itu menyurut
mundur ketika tiba-tiba dia melihat perubahan ben-
tuk tubuh Somara.
Karena sekejap kemudian tubuh laki-laki itu telah
berubah ujud menjadi gorila yang menyeramkan.
Dalam keadaan terperangah Itu tahu-tahu Somara
telah menyerangnya dengan hantaman kilat ke arah
dada Ki Balung Putih. Tersentak kakek tua ini. Sejak melihat kejadian barusan
dia sudah merasa kena
pengaruh sorotan mata yang menimbulkan hawa
aneh. Hingga menggetarkan jantung. Dia seperti ke-
na tenung! Memanglah demikian, karena Somara telah guna-
kan ilmu hitamnya untuk mempengaruhi lawan
dengan sorot mata yang membersitkan sinar; men-
cengkeram. Dan menyerang di saat yang baik itu.
BUK! Terdengar benturan keras. Ki Balung Putih
terlempar bergulingan.
Dia tak mampu mengelak. Namun sempat mem-
bentengi dadanya dengan tenaga dalam.
Akan tetapi di luar dugaan, tenaga pukulan So-
mara amat luar biasa. Kakek Itu rasakan dadanya
mau pecah. Dan tubuhnya terlempar bergulingan.
Namun sebagai jago tua kawakan, dia masih ber-
jumpalitan untuk segera bangkit berdiri lagi. Terperanjat kakek ini ketika
melihat jubahnya pada ba-
gian dada telah hangus. Dan sebuah tanda telapak
tangan berwarna hitam. Sadarlah dia kalau pukulan
itu mengandung racun.
"Hahaha ... kakek tua bangka! segeralah kau berangkat ke Akhirat!
Diiringi geraman dahsyat, makhluk menyeramkan
itu telah menerjang Ki Balung Putih. Tersentak kakek tua ini. Tapi dia segera
telah dapat mengkonsentrasikan panca indranya, walau telah terluka akibat
pukulan beracun.
Terjangan yang mengandung maut itu dapat di-
hindari. Segera terjadilah pertarungan maut. Suara geraman dan bentakan
terdengar membauri sekitar
tempat itu. Pada saat itulah sesosok tubuh berkelebat muncul di tempat itu.
Ternyata Sambu Ruci. Membelalak mata laki-laki
ini melihat Ki Balung Putih sedang bertarung maut
dengan seekor makhluk menyeramkan. Akan tetapi
segera dia berteriak tertahan melihat sosok tubuh
wanita yang tergolek di dekat semak belukar. "Cinderani!?" desisnya terkejut.
Dan serta-merta dia telah memburunya. Gadis cantik yang tengah men-
gandung Itu segera diperiksa.
Akan tetapi pucat wajahnya seketika karena Cin-
derani sudah diam membeku.
Nyawa gadis itu telah melayang bersamaan den-
gan pingsannya ketika dibantingkan ke tanah oleh
Somara. Tampak dari sudut bibir gadis itu yang agak ter-
buka mengalirkan darah kental berwarna hitam.
"Pasti pembunuhnya makhluk itu!" geram Sambu Ruci. Mendadak dia telah bangkit
berdiri. Dan, sekali sentak pedang pusakanya telah berada dalam
genggaman tangannya.
"Iblis keparat! kau harus tebus kematian istriku dengan darahmu!" teriak Sambu
Ruci. Tubuhnya berkelebat melompat. Dan serta-merta dia telah lancarkan serangan ganas bertubi-
tubi dengan jurus
Pedang Aksara. "Bagus! Sukurlah kau datang membantuku!" teriak Ki Balung Putih yang mulai
merasa tenaganya
telah mengendur. Di samping usia tuanya, juga dia
telah terluka dalam akibat pukulan beracun Somara
yang ganas. Menghadapi serbuan dua lawan, tampaknya
makhluk itu agak kewalahan.
Namun Somara memang bukanlah orang yang be-
rilmu kepalang tanggung.
Lagi-lagi dia membaca mantera. Mendadak sepa-
sang matanya menyorotkan cahaya merah membara.
Sepasang mata yang menyilaukan itu menghambat
serangan kedua guru dan murid itu.
Akan tetapi cepat Ki Balung Putih berbisik untuk
mengatur siasat. Sambu Ruci mengangguk Segera
mereka berputar-putar mengelilingi makhluk itu
dengan sekali-sekali melancarkan serangan. Ki Ba-
lung Putih telah memperingati agar jangan menatap
pada matanya. Hal demikian berlangsung telah lebih dari empat
puluh jurus. Di saat yang baik tiba-tiba Sambu Ruci berteriak keras. Tujuh
kilatan pedang berkelebat.
Dan... terdengarlah suara menggeram yang dah-
syat, ketika kilatan-kilatan pedang mengandung
maut itu mengenai sasarannya.
Tubuh si makhluk itu terbelah menjadi beberapa
potong. Serpihan-serpihan tubuhnya berhamburan
disertai bermuncratannya darah segar. Dan usus
serta isi perut yang terburai ....
Keduanya menatap dengan tertegun. Keampuhan
jurus Pedang Aksara yang telah dipermatang melalui petunjuk Ki Balung Putih,
lagi-lagi membuktikan
keampuhannya! Baru saja kedua orang itu menghela napas lega.
Sebersit cahaya melesat ke udara dari tubuh mak-
hluk itu yang berangsur-angsur berubah menjadi
tubuh Somara lagi. Terperangah keduanya melihat
kejadian aneh itu. Karena cahaya merah itu adalah
sepasang mata manusia! Itulah sepasang mata
mayat Somara! Saat mereka terperangah itulah ter-
dengar suara tertawa berkakakan. "Hahahaha... he-hehehahaha... kalian takkan
dapat membunuhku!
Ragaku boleh hancur dan musnah. Tapi ketahuilah!
Aku dapat masuk ke raga manusia lain tanpa kesu-
karan." "Siapa kau sebenarnya manusia Iblis?" teriak Sambu Ruci seraya tersentak dan
menyurut mundur.
"Akulah si pemilik PULAU BERHALA. Alias si
PADERI MATA SERIBU!"
Selesai berkata, sepasang cahaya merah dari se-
pasang mata Somara segera meluncur ke udara. Me-
luruk cepat ke arah laut. Menyeberangi perairan di wilayah tenggara itu untuk
segera lenyap. Ke mana
lagi tujuannya kalau bukan ke Pulau Berhala!
*** RORO CENTIL baru saja jejakkan kakinya di pan-
tai wilayah tenggara.
Bersitan cahaya merah itu lewat di atas kepa-
lanya! Segera tahulah Roro siapa adanya cahaya itu, ka-
rena Roro pernah berjumpa dengan si Paderi Mata
Seribu. Dara perkasa kita perlihatkan senyuman di
bibirnya yang ranum. "Hm, Paderi Mata Seribu! Kini saatnya kau harus lenyap dari
muka bumi!" mendesis Pendekar wanita Pantai Selatan atau yang kini
dijuluki orang si Macan Tutul Betina Pantai Selatan itu. Mendadak tubuh wanita
pendekar ini telah me-rubah bentuk menjadi seekor macan tutul yang luar
biasa besarnya.
Dengan perdengarkan suara menggeram, mak-
hluk itu melompat ke udara membersit bagaikan an-
gin, mengejar cahaya merah yang menukik lenyap di
Pulau Berhala. Saat itu di Pulau Berhala telah terjadi kegaduhan.
Kakek bulat alias Paderi gemuk yang bergelar si De-wa Angin Puyuh yang tertawan,
ternyata dapat melo-
loskan diri. Pintu penjara masih terkunci. Tapi
orangnya lenyap.
Pada lantai batu itu terlihat lubang besar. Ternya-
ta si Dewa Angin Puyuh baru saja sembulkan kepa-
lanya dari sebuah lubang di belakang Istana Hitam.
Baru saja dia membersihkan tubuhnya yang kotor
penuh berlepotan tanah. Mendadak terdengar suara
bentakan keras.
"He! babi bulat! kau takkan dapat meloloskan di-ri!" Betapa terkejutnya dia
melihat si Tiga Naga Merah telah berada di depannya.
Menggeram kakek bulat int. Serta merta dia lang-
sung menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat.
Terjadilah pertarungan hebat. Tapi kali ini Tiga Naga Merah tak diberi
kesempatan lagi untuk gunakan
ilmu sihirnya. Jeritan maut terdengar ketika dua dari si Tiga
Naga Merah melurukkan serangan ganas, tubuh pa-
deri bulat menggelinding bagai bola. Serangan itu
lewat bahkan saat sekejap itu dia sudah berada di belakang tubuh kedua lawannya.
Tiba-tiba terangkatlah sepasang lengan kakek
bundar ini. Angin pukulan SELAKSA PETIR dilon-
tarkan. ZEOOOOOSSS! ....... PRRAKKK!
Hancurlah batok kepala si dua manusia jahat itu.
Tubuh mereka menghantam tembok istana hingga
ambrol! Tanpa bisa pentang suara lagi, kedua ma-
nusia itu tewas seketika. Kepalanya hancur jadi bubur!
Melihat demikian, sisa seorang lagi dari si Tiga
Naga Merah jadi pucat pias. Tak ayal dia segera balikkan tubuh untuk kabur
melarikan diri. Akan te-
tapi tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring mer-du. Dan di tempat itu
berkelebat muncul sesosok
tubuh. Siapa lagi Kalau bukan si Macan Tutul Beti-
na Pantai Selatan RORO CENTIL!
"Hihihi.... hebat! hebat sekali kau paman bulat!
manusia ini serahkan padaku!" berkata Roro.
Mendadak Roro rentangkan tangannya. Dari
ujung lengannya tiba-tiba membersit cahaya kuning
emas ke arah paderi Tibet itu.
Bukan main terkejutnya paderi ini karena tahu-
tahu seutas rantai telah membelit lehernya. Itulah senjata Rantai Genit Roro
Centil, yang telah dipergunakan untuk pertama kalinya.
Tanpa bisa berbuat apa-apa lagi manusia itu
menjerit parau.
Jeratan rantai itu membuat dia tak bisa berna-
pas, hingga lidahnya menjulur ke luar. Lengannya
meronta-ronta untuk melepaskan diri.
Tapi tak berdaya. Tubuhnya berkelojotan mere-
gang nyawa. Sesaat antaranya manusia asal Tibet
itu pun tewas dengan lidah terjulur, dan mata men-
delik ke luar mengerikan.
"Hoooii! Kau Roro Centil!" ah! Sungguh girang sekali kau muncul di sini,
keponakanku! Hayo mari ki-ta tumpas si Paderi Edan Mata Seribu itu! Ketahui-
lah dia adalah bekas adik seperguruanku yang mur-
tad dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat!" teriak si paderi bulat dengan
berjingkrak kegirangan melihat kemunculan Roro.
"Hahaha ... kalian cuma mengantar kematian
mendatangi Pulau Berhala!
Selamat datang pendekar wanita yang hebat!" ti-ba-tiba terdengar suara si Paderi
Mata Seribu mem-
buat suasana seketika berubah tegang!
Segera Roro telah melihat sesosok tubuh berjubah
hitam. Sosok tubuh kurus berkepala botak yang
mempunyai sedikit rambut berkepang di belakang
kepala. Memang dialah si Paderi Mata Seribu alias
KENCARUPA. "Iblis jahanam! hari Ini kau bertobatlah sebelum kau mampus!" teriak Dewa Angin
Puyuh dengan geram. Kemarahannya telah membludak bagaikan air
bah. Dia melompat menerjang dengan pukulan Se-
laksa Petir. Akan tetapi sekali laki-laki kurus itu gerakkan
tongkat hitamnya yang berkepala berbentuk ular itu.
Mendadak pukulan dahsyat si Dewa Angin Puyuh
lenyap bagai disedot masuk ke dalam tongkat.
"Hehehe ... hahaha ... kakang KUMBARA! Tak gu-na ilmu kehebatan yang kau miliki.
Dewa pun tak- kan sanggup menghadapiku!" berkata jumawa si Paderi Mata Seribu. "Manusia
sombong! Tidakkah kau mengetahui bahwa kesombonganlah yang akan
membawa kejatuhan bagi dirimu sendiri!" berkata Roro dengan ketus.
Lengannya terangkat. Meluncurlah dua sinar
kuning emas ke arah laki-laki Itu.
Satu sinar mengarah ke tongkat, sedangkan satu
lagi meluncur ke arah leher.
Itulah senjata gaib Rantai Genit Roro Centil.
Tersentak Kencarupa melihat sepasang rantai
berkilauan kuning emas siap membelit tongkat dan
lehernya. Serangan ke arah leher dapat dia egoskan.
Tapi serangan ke arah tongkat tak dapat di-
elakkan lagi. Tongkat pusakanya secepat Itu telah terbelit oleh senjata gaib
Roro Centil. Ketika itu paderi ini berteriak kaget ketika tahu-tahu tubuhnya
terhuyung karena satu tarikan kuat telah membuat
tongkatnya terlepas seketika.
Belum lagi hilang terkejutnya, sudah terdengar
suara ... Krrraaaak!
Tongkat pusaka yang mengandung kekuatan he-
bat itu telah hancur diremukkan Roro.
Lagi-lagi dia harus melompat menghindar, ketika
rantai gaib meluncur lagi untuk membelit lehernya.


Roro Centil 25 Tragedi Pulau Berhala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gila! Senjata apakah ini!?" desisnya terperanjat, bibirnya segera membaca
mantra-mantra. Akan tetapi Roro pun segera membaca mantera-mantera
ajiannya. Terjadilah pertarungan kekuatan batin. Tubuh
Kencarupa berubah hitam mengerikan. Sepasang
matanya merah menyala bagai bara api. Sementara
Roro sendiri telah berganti ujud yang membuat pa-
deri bulat jadi ternganga.
Roro Centil tidak menampak sebagai manusia la-
gi, akan tetapi lebih mirip bagaikan area. Ya! me-
mang terlihat Roro berubah menjadi sebongkah area
batu yang sudah berlumut! Sementara Rantai Genit
telah lenyap di saat terjadi pertarungan adu kekuatan batin ini.
Roro merapal ajian Tujuh Aksara Suci. Tubuhnya
memang telah berubah menjadi area batu dalam
penglihatan mata biasa. Akan tetapi itulah saatnya Roro gunakan ilmu barunya
yang didapat dari kakek
guru Roro, yaitu Bagawan Bhama Kosala.
Hal itu membuat Kencarupa kena dikelabui. Ka-
rena dia menyangka Roro telah terkena ilmu te-
nungnya. Akan tetapi terperangah dia ketika men-
dadak membersit cahaya putih kemilau dari sepa-
sang area. Dia tersentak untuk menghindar. Namun
terlambat ... BHLARRRR! terdengar suara dentuman dahsyat.
Seketika tubuh si Paderi Mata Seribu hancur jadi
arang yang bertebaran. Ilmu Tujuh Aksara Suci bu-
kanlah ilmu hitam. Akan tetapi ilmu yang murni,
yang tak mau dikotori.
Cahaya putih berkilauan itu adalah cahaya yang
menolak datangnya serangan. Hingga tak ampun se-
rangan tenaga batin Kencarupa telah berbalik
menghantam pada dirinya sendiri ..!
Sesaat setelah kejadian itu terdengar suara ber-
gemuruh. Apakah yang terjadi" Istana Hitam di saat hancurnya tubuh Paderi Mata
Seribu ternyata runtuh! Suara berderak ditembok yang rengat dan ro-
boh terdengar di sana-sini.
Hingga dalam keadaan beberapa saat saja Istana
Hitam itu ambruk rusak binasa.
Bahkan berhala-berhala yang banyak bertebaran
di sekitar pulau itu pun turut hancur. Ternganga si paderi bulat Dewa Angin
Puyuh melihat kejadian itu.
Dilihatnya puluhan paderi menghindari diri bencana mengerikan itu. Sementara dia
sendiri telah melompat menjauh kalau tubuhnya tak mau teruruk re-
runtuhan! Ketika keadaan sudah pulih dan suasana beru-
bah lengang. Matanya jelalatan ke sekitarnya men-
cari Roro. Akan tetapi tak dilihatnya lagi gadis pendekar itu. "Aiiiih! ke mana
keponakanku itu?" gumamnya dengan garuk-garuk kepala.
Lapat-lapat telinganya mendengar suara tertawa
yang lebih mirip dengan suara lengkingan bernada
tangisan. Suara itu semakin menjauh, dan akhirnya
lenyap. Tertegun Dewa Angin Puyuh mendengarnya,
itulah suara Roro Centil.
"Ah, ah ... dasar pendekar wanita aneh! ilmunya
sungguh luar biasa hebatnya.
Sayang... Dia begitu cepat muncul dan begitu ce-
pat menghilang! Dasar pendekar wanita yang aneh!"
gerutu si kakek bulat.
Namun tak lama dia segera berkelebat ke arah
pantai. Menuju ke arah perahunya yang disembu-
nyikan di sebelah batu karang.....
T A M A T E-Book by Abu keisel Pedang Sinar Emas 8 Dewa Linglung Lodra Si Ular Sanca Beracun Jejak Di Balik Kabut 22
^