Pencarian

Badai Di Keraton Demak 1

Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU HUTAN Sawangan. Sebuah hutan yang ter-
diri dari pohon-pohon berbatang besar. Bak barisan iblis dari neraka, pohon-
pohon besar itu
mengepung sebuah bangunan mirip istana yang
juga dikelilingi perkebunan madat.
Ada sebuah huru-hara meruyak di sana.
Penyerbuan atas sebuah kemungkaran. Satria
Gendeng dan Arya Wadam yang dibantu para
penduduk Desa Sedayu berusaha membumihan-
guskan markas Setan Madat. Tak ada yang dapat
mencegah lagi. Berlangsung makin panas dan
dahsyat (Sebaiknya baca dulu episode: "Setan Madat").
Pertarungan hampir sampai pada puncak-
nya. Satria Gendeng terlibat perseteruan mati-
matian. Bukan main! Tebasan dua puluh golok
lawan berpakaian serba hitamnya dihindari den-
gan liukan-liukan indah bak gerakan pesut laut.
Hingga pada akhirnya....
"Hieee-heee...!"
Teriakan aneh nan cempreng yang lebih
cempreng daripada burung camar laut terlontar
dari mulut si pendekar muda. Saat itu Satria tengah mengerahkan jurus yang
dinilai aneh oleh ka-langan persilatan. Jurus andalan warisan De-
dengkot Sinting Kepala Gundul.
Tak percuma ada tambahan nama Gendeng
di belakang nama aslinya. Satria berjumpalitan ke sana kemari. Gerak tubuhnya
makin sulit diikuti mata. Terkadang kelebatan tubuhnya berhenti
mendadak, sekaligus menyarangkan satu puku-
lan dahsyat ke tubuh salah seorang pengeroyok-
nya. Buk! Salah seorang lelaki berpakaian serba hi-
tam terlempar. Melayang, lalu menabrak tiang so-ko guru istana Setan Madat.
Bruk! Apes sekali nasibnya. Kepalanya yang ter-
lebih dahulu menghantam. Akibatnya, dia tak
bangkit-bangkit lagi. Orang-orang berpakaian
serba hitam lainnya terperangah. Sudah sekian
jurus menyerang, tapi tak satu pun yang berhasil melumpuhkan pemuda itu.
Kelihatannya, Satria tengah bermain-main.
Namun bagi tokoh persilatan berpandangan jeli, justru gerakannya mengandung
suatu kekuatan tersendiri. Bisa jadi orang-orang berpakaian serba hitam yang mengeroyoknya akan
menganggap le-lucon tengik. Sehingga mereka jadi terperangah
begitu. Tapi begitu melihat salah seorang kawan mereka dibuat tak berkutik, baru
mereka sadar bahwa di balik setiap gerakan kacau si pemuda
terdapat bahaya maut!
Satria sendiri telah kembali bergerak. Ma-
kin kacau! Ketika mendadak berhenti, tangannya
mengambil korban lagi. Tiga orang sekaligus yang berdiri berdekatan.
Duk! Diegh! Desss!
Tiga kali mengalami nasib naas pula. Tu-
buh mereka berpentalan. Jotosan Satria yang
mendarat di perut, rusuk, dan dada membuat
mereka tak bangun-bangun lagi. Sisa lelaki ber-
pakaian hitam lainnya kembali melongo. Kecepa-
tan, ketepatan, dan kedahsyatan serangan lawan
meruntuhkan nyali mereka.
Sayang rasanya kalau serangan berhenti
sampai di situ. Begitu menurut perhitungan Sa-
tria. Maka selagi para lawan terpaku, dibuatnya satu hentakan keras-keras sambil
menjatuhkan badan ke permukaan tanah. Begitu mendekati
beberapa orang lawan, kedua kakinya bergerak
cepat. Amat cepat, melepas jejakkan dahsyat.
Bukk! Begh! Empat orang jatuh secara bersamaan. Dua
orang terhantam bagian selangkangan, dua orang
di bagian ulu hati. Sulit rasanya bagi mereka untuk bangkit kembali. Dua orang
yang mendapat jatah pada bagian selangkangan malah lebih
menderita lagi. Benda kebanggaan mereka kontan
pecah. Mereka berguling-guling, menikmati pen-
deritaan maha hebat.
Melihat delapan orang kawan mereka bisa
dijatuhkan dengan mudah, sisa orang berpakaian
hitam lainnya mulai sadar, siapa lawan yang di-
hadapi. Nyali mereka makin jatuh. Tak ada gairah lagi bagi mereka untuk
melanjutkan pertarungan, kecuali gairah untuk cepat-cepat melarikan diri.
Satria sendiri mulai membaca keadaan. Dia
tahu, nyali para lawan makin rontok. Tapi bukan berarti serangannya berhenti.
Begitu bangkit, tubuhnya tahu-tahu meletik ke atas. Di udara, ke-
dua kakinya menekuk. Begitu mendekati dua
orang lawan, kedua kakinya menyentak.
Dess! Desss! Dua orang lagi jatuh terhantam tendangan
Satria. Malah dari mulut mereka langsung terlontar percikan darah segar.
Tendangan si pemuda
itu tepat mendarat di dada, membuat kedua la-
wan tak bangun lagi.
Tak ada nyali lagi di hati sisa para anak
buah Setan Madat lainnya. Begitu melihat dua
orang teman mereka terkapar, kesepuluh orang
itu segera membuat jurus baru. Jurus langkah
seribu, alias kabur.
Satria Gendeng tak ingin mengejar. Pan-
dangannya kini melekat pada pertarungan antara
Arya Wadam dengan Setan Madat. Makin seru
dan mendebarkan. Masing-masing telah menge-
rahkan jurus-jurus andalan.
Deb! Deb! Dua buah pukulan dibuat Arya Wadam.
Keras dan bertenaga dalam tinggi. Satu mengarah ke dada, yang lain menyusul ke
dagu. Setan Madat menarik tubuhnya ke samp-
ing, tanpa menggeser kuda-kudanya. Dari situ,
sikut kirinya melaju dalam kecepatan tinggi. Menusuk langsung ke iga lawan.
Dashh! "Setan!"
Merasa kecolongan, satu sumpah serapah
terlontar dari bibir si gadis. Bagian iganya terasa nyeri bukan main. Sodokan
sikut Setan Madat
benar-benar membuat mulutnya meringis. Tu-
buhnya tiga tombak terjajar ke samping.
Satu tatapan tajam menusuk menghujam
ke bola mata Setan Madat. Asalnya, dari si gadis berjiwa sekeras baja. Alamlah
yang menempanya
demikian. Sejak bayi, dia tak mengenal kedua
orangtuanya. Arya Wadam dulu ditemukan oleh
seorang tokoh silat wanita di tengah sebuah hu-
tan. Dipelihara dalam tempaan keras di tengah
kaum lelaki, membuat sifatnya bagai lelaki. Dia sama sekali tak sudi direndahkan
oleh kaum lelaki. Maka mendapat sodokan keras seperti itu.
"Hiaa...!"
Dikawal bentakan keras, sebuah terjangan
dibuat Arya Wadam. Kaki kirinya lurus ke bawah, sedang kaki kanan menekuk hampir
menyentuh tonjolan di dadanya. Tangan kanan rata di depan dada, sedang tangan kiri
terangkat ke atas. Sebuah serbuan yang tak kepalang tanggung, kare-
na membawa sebentuk kemarahan yang siap di-
lampiaskan. Di tempatnya, Setan Madat menarik kaki
kirinya ke belakang. Tangan kirinya mengepal di sisi pinggang. Sedang tangan
kanannya yang memegang cangklong panjang berada di atas ke-
pala. Menurutnya, cangklongnya akan digunakan
untuk menahan terjangan kaki kiri lawan, se-
dangkan tangan kirinya siap menyampok dari
bawah. Tapi apa yang sudah terencana di benak-
nya tak selalu menjadi kenyataan. Cerdik, Arya
Wadam sengaja mengumpankan kaki kirinya yang
tiba-tiba menjulur ke depan.
Wutt...! Lima jari sebelum cangklong Setan Madat
menghantam, Arya Wadam cepat menarik kaki ki-
rinya kembali. Dan sebelum sampokan tangan ki-
ri lawan datang, tubuhnya telah dienyahkan ke
kiri. Lalu kaki kanannya menyambar deras ke wa-
jah. Diegh! Sekali saja ujung telapak kaki kanan Arya
Wadam mampir di rahang tirus lawan tuanya.
Tapi itu cukup beralasan untuk menciptakan sa-
tu pekik kesakitan yang terlontar dari kerongkongan kurus Setan Madat. Tubuh
kurusnya sendiri
terjengkang ke belakang, lalu mencium tanah.
"Chuah! Jahanam! Ku cabik-cabik tubuh-
mu, Perempuan Sundal!" Sebentuk kemarahan
terlontar bersama cairan ludah bercampur darah
dari bibir kendor hitam Setan Madat.
Kemurkaan menggelegakkan darahnya.
Urat-urat merah bola matanya makin jelas. Lewat satu sentakan urat perut, Setan
Madat bangkit. Sejenak matanya menyapu ke sekeliling.
Sial! Rupanya aku tinggal sendirian! Ke
mana anak buahku" Rutuk Setan Madat. Dan ke-
geramannya makin memuncak ketika perkebunan
madatnya sudah terkepung api, nyaris tak terse-
lamatkan lagi. "Chiaa...!"
Sarat kegeraman, Setan Madat menerjang.
Rasa nyeri di bagian pipi tak dirasakannya lagi.
Tubuhnya sudah terbang lurus seperti tombak.
Tangan kanan telah memutar-mutar cangklong.
Wukh! Wukh! Dua buah tebasan dibuat Setan Madat.
Liar dan ganas. Sayang, calon korbannya telah
memperhitungkan gerakannya. Dijatuhkannya
tubuh ke belakang. Dan dengan bertumpu pada
kedua tangan, kedua kaki Arya Wadam menyen-
tak ke atas, ketika tubuh Setan Madat lewat di
atasnya. Lalu.... Beghh! Apes. Itu yang dialami Setan Madat. Ulu hati dan
dadanya menjadi sasaran kedua kaki lawan. Aki-
batnya, tubuh kurusnya terlempar ke atas. Peki-
kan menyayat terlempar dari mulutnya.
Sementara Arya Wadam telah berdiri di ta-
nah kembali. "Ini saatnya," desisnya.
Selagi tubuh Setan Madat meluncur turun
tak terkendali, si gadis telah melesat bak anak panah. Kaki kanannya terjulur
dan kaki kiri menekuk ke dalam. Arahnya, sudah pasti tubuh Se-
tan Madat. "Hiaah!"
Dashh! Prakk! Satu sabetan kaki kanan telah menghan-
tam kepala Setan Madat. Lelaki tua bangka itu
terpental kembali sebelum tubuhnya menyentuh
tanah. Kepalanya retak mengucurkan darah se-
gar. Dan ketika jatuh mencium tanah, dia sudah
melejang-lejang meregang nyawa.
Arya Wadam sendiri telah menjejakkan ka-
kinya di tanah. Tajam diperhatikannya jasad Se-
tan Madat yang tak berkutik lagi, mati. Dan dia baru menoleh ketika di
belakangnya terdengar
suara langkah kaki halus.
* * * "Sudah kuduga! Sudah kuduga! Kau pasti
akan mampu mengalahkannya!" kata Satria meledak-ledak. Lagaknya seperti seorang
guru besar terhadap muridnya.
Arya Wadam tersenyum. Manis sekali. "Te-
rima kasih, Satria," ucap Arya Wadam, risih seraya bergegas menyapu peluh di
wajahnya. Desa-
han napasnya terdengar.
"Sejak tadi aku hanya menonton saja. Ha-
bis aku yakin dalam dua gebrakan lagi kau pasti bisa mengalahkan Setan Madat,"
lanjut Satria tanpa diminta.
"Kepandaian Setan Madat setaraf dengan-
ku, Satria. Kurasa kau mampu menjatuhkannya
dalam segebrakan saja," Arya Wadam balik me-muji Satria.
Sejujurnya, benar apa kata Arya Wadam.
Satria tahu itu. Cuma karena ingin membesarkan
hati si gadis, kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Satria. Dan kini si
pemuda hanya cengar-cengir saja.
"Bagaimana, Satria?" tanya Arya Wadam.
"Kau memang hebat," jawab Satria.
"Bukan. Maksudku, apa yang harus kita
lakukan lagi?"
"Oh, itu," Satria memandang berkeliling.
Tampaknya, para penduduk Desa Sedayu yang
membantunya menyerang tempat ini telah men-
guasai istana milik Setan Madat.
"Nah, itu Ki Rengges dan Ki Rembang!" tunjuk Satria ketika dua lelaki tua muncul
di pintu istana. Kedua lelaki tua yang ditunjuk Satria
menghampiri. Wajah suka cita diperlihatkan me-
reka. "Bagaimana, Pak Tua" Apa langkah kita selanjutnya?" aju Satria langsung
saja. Satu tombak di hadapan si pendekar muda


Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Arya Wadam, kedua lelaki tua itu berhenti.
"Semua sudah kami bereskan, Satria. Selu-
ruh perkebunan madat milik Setan Madat telah
kami bakar. Para pekerja paksa yang berasal dari desa kami telah kami suruh
pulang. Sedangkan
gadis-gadis yang disekap Setan Madat telah kami temukan. Dan mereka juga sudah
kami suruh pulang," lapor Ki Rengges langsung.
"Kami mengucapkan banyak terima kasih
atas bantuan kau, Satria. Juga, padamu, Cah
Ayu," timpal Ki Rembang.
"Jangan berterima kasih pada kami, Pak
Tua. Berterima kasihlah pada Tuhan," ujar Satria.
"Kalau begitu, marilah kita rayakan keme-
nangan ini di desa, Satria," ajak Ki Rengges.
"Kemenangan ini tak perlu dirayakan, tapi
disyukuri. Ungkapan rasa syukur itu sebaiknya
kau wujudkan dalam bentuk kepemimpinan yang
arif dan bijaksana. Ciptakanlah kedamaian dan
ketenteraman desa seperti dulu, sebelum Setan
Madat menguasai desamu, seperti yang pernah
diceritakan Ki Rembang padaku." Entah malaikat mana yang menyusupi tubuh Satria.
Kata-katanya bak seorang resi dengan wejangan-
wejangan halusnya.
Ki Rengges melirik Ki Rembang. Malu ha-
tinya bila mengingat masa dia menjadi anak buah Setan Madat. Dan ternyata sebuah
pengalaman tak mengenakan menjadi anak buah tokoh sesat
telah membuka matanya. Sekaligus, membuka
hatinya yang selama ini tertutup kegelapan.
DUA BULAN sepotong menggantung di angkasa.
Malam pekat. Bukit Menjangan terkepung rapat
oleh kabut. Dengusan angin tak mampu mengu-
sir. Hawa dingin menggigit kulit, membuat bina-
tang-binatang malam tak ingin keluar dari sa-
rangnya. Tidak dengan dua orang manusia yang ten-
gah duduk berhadapan di pelataran sebuah re-
runtuhan sebuah bangunan mirip candi. Mereka
seperti tak peduli oleh gelapnya malam. Juga tak peduli oleh dinginnya hembusan
angin bukit yang begitu menusuk. Siapakah mereka"
Yang duduk di atas sebuah batu besar be-
kas reruntuhan candi itu adalah seorang lelaki
tua. Rambutnya panjang tak terurus. Hidungnya
bengkok seperti paruh burung betet. Matanya ta-
jam mencorong berwarna hijau. Bajunya panjang
mirip jubah berwarna kelabu. Tangan kirinya diletakkan di atas dengkul
keroposnya. Sedang tan-
gan kanan memegang tongkat butut dari kayu
hutan. Di depan si lelaki tua adalah seorang lelaki bertubuh tinggi besar.
Wajahnya dihiasi kumis
dan brewok. Pakaiannya tak menggambarkan ka-
lau dia tokoh persilatan, tapi sebagai tokoh kerajaan. Sebuah pakaian yang hanya
dikenakan oleh seorang panglima.
"Apa kau sudah yakin dengan keputusan-
mu, Ganang?" buka si lelaki tua, memecah keheningan yang baru saja berlangsung.
"Sudah, Guru. Takhta kerajaan harus ku-
rebut. Aku sudah terlalu sakit hati dengan Kan-
jeng Gusti. Pihak kerajaan malah kini mengucil-
kan ku. Yang paling menyakitkan, adikku dihu-
kum gantung oleh Kanjeng Gusti," sahut lelaki tinggi besar. Dialah Panglima
Ganang Laksono.
Setelah bertemu Setan Madat untuk men-
gambil tiga peti uang kepeng guna membiayai
pemberontakannya, Panglima Ganang Laksono
langsung menuju Bukit Menjangan tempat gu-
runya bermukim. Sang Guru dikenal sebagai Ki
Ageng Wirakrama. Dalam dunia persilatan, dia
dikenal sebagai tokoh setengah siluman. Karena
konon, istrinya pun siluman asli.
Sewaktu markas Setan Madat di Hutan
Sawangan diserang Satria Gendeng, Arya Wadam,
dan para penduduk Desa Sedayu, Ganang Lakso-
no telah lama meninggalkan tempat itu.
"He he he.... Bagus, bagus. Aku mendu-
kung rencanamu. Kapan akan kau laksanakan?"
kekeh Ki Ageng Wirakrama.
"Dalam waktu dekat ini, Guru. Dan kuha-
rap Guru sudi membantu memperlancar jalannya
rencanaku," pinta Panglima Ganang Laksono, tanpa sungkan-sungkan.
"O, tentu. Tentu aku akan membantumu.
Walau baru beberapa tahun kau jadi muridku,
aku tak segan-segan untuk membantumu. Tapi,
kau harus ingat. Aku tak mau tenagaku sia-sia.
He he he...," kata si tua jelek itu mengingatkan.
"Aku mengerti kebutuhan Guru. Temanku
Setan Madat banyak menyimpan gadis-gadis de-
sa. Nanti bisa kusuruh dia untuk menyediakan-
nya," kata Ganang Laksono, penuh semangat.
"Slompret! Dua tahun terakhir ini, aku se-
lalu diawasi istriku, Kampret! Sejak aku kepergok Nini Berek tengah menggarap
seorang gadis, dia
memberi hukuman padaku. Aku tidak boleh tidur
lagi dengannya!" semprot Ki Ageng Wirakrama.
Tercekat Danang Laksono mendengarnya.
Gila! Nafsu nenek tua bangka istri guruku ini masih besar saja! Begitu kata hati
lelaki tinggi besar ini. Lelaki ini juga pernah bertemu dengan istri Ki Ageng
Wirakrama yang dipanggil Nini Berek. Bukan saja perempuan itu sudah keropos
dengan tubuh melengkung, tapi juga berwajah mengeri-
kan. Wajahnya saja penuh borok berlendir ber-
bau busuk. Rambutnya tipis berwarna putih, nya-
ris tak pernah dicuci. Bisa jadi malah sengaja untuk perternakan kutu. Matanya
celong ke dalam,
namun memancarkan sinar kemerahan. Mulut-
nya bergigi hitam, tak pernah membuang temba-
kau sirihnya. Dan Ki Ageng Wirakrama masih mau ber-
main cinta dengannya"
Orang paling bodoh pun rasanya akan lari
terbirit-birit bila harus bercinta dengan Nini Berek. "Kau tentu mau bilang aku
gila mau bercinta dengan Istriku, bukan?" sergap Ki Ageng Wirakrama.
Ganang Laksono tercekat. Serba salah.
Mau bilang iya, takut sang Guru marah. Mau bi-
lang tidak, memang begitu kenyataannya.
"Mmm, maksudku bukan begitu, Guru,"
gagap Danang Laksono.
"Alaahh...! Aku sudah tahu apa yang kau
pikirkan!" tepis lelaki tua bangka itu. "Asal kau
tahu saja, Ganang. Istriku bisa merubah wujud-
nya menjadi seorang gadis cantik untuk menam-
bah gairahku. He he he...."
Kini Ganang Laksono baru mengerti. Dan
dia makin merasa bodoh ketika menyadari bahwa
istri gurunya adalah sebangsa siluman. Bukan-
kah bangsa siluman bisa merubah wujudnya
menjadi apa saja" Bahkan mungkin bisa merubah
wujud menjadi sejumput upil sekalipun.
"Sekarang, imbalan apa yang harus kube-
rikan kepada Guru?" aju Ganang Laksono lebih lanjut. "Gampang.... Di dunia ini
ada sebuah senjata pusaka. Namanya, Kail Naga Samudera. Cari, dan rebut senjata
itu," sabda Ki Ageng Wirakrama. "Kail Naga Samudera" Siapa pemiliknya"
Dan bagaimana bentuknya?" sebut Ganang Laksono, bertanya-tanya.
"Aku juga belum pernah melihat bentuk-
nya. Tapi kabarnya, senjata pusaka itu seperti sebatang tongkat kecil.
Pangkalnya dari logam dengan ujung berbentuk kepala naga. Sedang ujung-
nya berbentuk ekor naga. Soal pemiliknya, kalau tak salah bernama Ki Kusumo.
Tapi menurut kabar pula senjata itu telah diwariskan kepada muridnya."
"Siapa?"
"Satria Gendeng."
* * * "Kau tak mengenakan tudungmu lagi,
Arya?" tanya Satria, iseng-iseng sewaktu mereka singgah di sebuah kedai untuk
menuju Kerajaan
Demak. Saat ini, siang terik memanggang. Sejak
tadi pagi, Satria Gendeng dan Arya Wadam telah
meninggalkan Desa Sedayu. Mereka harus segera
menuju Kerajaan Demak untuk melaporkan ten-
tang pemberontakan yang akan dilakukan seo-
rang panglima. "Tudungku kutinggal di sebuah pengina-
pan di Desa Karangkemboja. Dan lagi, rasanya
tak perlu aku menggunakannya lagi, agar kau
puas memandang wajahku. Tidak ngintip-ngintip
lagi," goda Arya Wadam, mulai berani kepada si pemuda.
Agar aku puas katanya" Lonjak si pemuda
tengil ini. Mana pernah aku merasa puas" Malah
kalau boleh, pipinya sekalian kuci..., ah! Kenapa pikiranku jadi ngaco begini.
Nanti kalau Tresnawati tahu, bagaimana" Tidak! Aku tidak boleh
mengkhianatinya! Satria terus bermain dengan
kata-kata hatinya sendiri.
"Apa yang kau lamunkan, Satria" Gadis-
mu, ya?" terjang Arya Wadam menyudutkan si pemuda.
Lamunan pemuda bertabiat sinting ini te-
rampas oleh kata-kata Arya Wadam. Wajahnya
mendadak sontak memerah. Lalu berubah hijau.
Lalu kelabu. Tak menentu. Sikapnya jadi serba
salah. "Ah, tidak," sanggahnya. Padahal kalau Arya Wadam tahu bahwa dalam benaknya
tengah tergambar wajah Tresnawati, bisa jadi wanita ini kontan meninggalkannya. (Untuk
mengetahui tentang Tresnawati yang menjadi kekasih Satria
Gendeng baca episode perdana sampai Kiamat Di
Goa Sewu). "Justru aku sedang menikmati cantiknya wajahmu," Satria berdusta.
Wajah Arya Wadam makin tersipu. Kata-
kata si pemuda justru makin mengobarkan api
asmara dalam dadanya. Benarkah pemuda ini"
Jujurkah kata-katanya" Pertanyaan dalam dada
Arya Wadam menyeretnya ke dalam sebuah kera-
gu-raguan. Untuk menyebut perasaannya itu se-
bagai benih cinta, apakah terlalu tergesa-gesa"
Arya Wadam sendiri belum cukup yakin. Namun
begitu, sulit dipungkiri kalau dalam hatinya ada perasaan yang sulit
diceritakan. Si gadis berusaha menghalau perasaannya
itu, tapi tetap saja tak mampu. Malah tanpa sa-
dar, matanya menghujam lurus pada bola mata
pemuda perkasa di depannya.
Untungnya, Arya Wadam cepat menyadari
ketika pelayan kedai datang membawa pesanan
makanan mereka.
"Pesanannya, Den," kata si pelayan lelaki.
Usianya paling setengah baya.
"Terima kasih," ucap Satria, ikut membantu meletakkan hidangan yang dipesan.
Si pelayan pergi, setelah tugasnya selesai.
Mata Satria masih terpaku di wajah Arya
Wadam. "Kenapa kau memandangku seperti itu, Sa-
tria?" tegur Arya Wadam, jengah juga dipandangi seperti itu. Dan memang, sejak
bertemu pemuda tengik ini sifat si gadis yang semula kelaki-lakian mulai berubah sedikit demi
sedikit. Apakah karena dia mencintai Satria" Bukankah terlalu pagi kalau
menyebut bahwa yang ada di dalam hatinya
adalah cinta"
"Aku sendiri heran, kenapa aku terus me-
mandangimu, ya" Tapi rasanya mubazir kalau
wajahmu dilewatkan begitu saja," sahut Satria, terus terang.
"Sudahlah, makan dulu hidangan kita.
Nanti keburu dingin."
Arya Wadam tak peduli lagi seandainya Sa-
tria mau melahap wajahnya sekalipun. Segera di-
lahapnya nasi campur arak pesanannya. Dan ke-
tika matanya melirik, Satria telah asyik dengan santapannya. Ikan mujair bakar
dengan lalap petai.
"Kau sudah punya kekasih, Satria?" panc-ing Arya Wadam. Sikapnya pura-pura tak
peduli. Terus dilahapnya santapannya.
"Sudah," jawab Satria, pendek.
Arya Wadam nyaris tersedak. Pemuda ini
sudah punya kekasih" Sentaknya dalam hati.
Lantas, apa maksudnya dia mencari-cariku sam-
pai ke Desa Sedayu segala" Seketika Arya Wadam
menghentikan suapannya.
"Ja..., jadi kau...," gagap Arya Wadam tan-
pa berkelanjutan.
Satria masih tetap tak peduli. Asyik sekali
dia dengan santapannya. Kadang jarinya sibuk
menarik duri mujair dari mulutnya. Sedangkan
bibirnya monyong-monyong, terasa pedas ketika
melahap lalap petai.
Tiba-tiba Arya Wadam berdiri. Telunjuk
lentiknya menuding ke wajah si pemuda. "Ternyata aku sedang berhadapan dengan
pemuda tengik hidung belang yang pintar memasang jerat!" desisnya. Matanya mendelik, nyaris
melompat dari rongganya. Terarah ke manik-manik mata Satria.
Tudingan Arya Wadam membuat si anak
muda tersentak. Dan ini makin membuat makan-
nya jadi kalap. Suapannya makin seru, menjejali nasi ke dalam mulut. Sementara,
matanya menatap lekat tak mengerti ke bola-bola mata indah
Arya Wadam. Arya Wadam tak kuat lagi mengendalikan
perasaannya. Sekali menyentak kakinya, tubuh-
nya sudah menghambur keluar kedai. Tinggal Sa-
tria yang terbengong-bengong.
"Apa yang salah dengan jawabanku?" tanyanya seraya menaruh beberapa kepeng ke


Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas meja untuk membayar makanan.
Cepat, Satria Gendeng menyusul keluar.
Tapi Arya Wadam sudah tak terlihat lagi. Tinggal tangan si pemuda menggaruk-
garuk kepala yang
tak gatal. * * * "Satria Gendeng" Rasanya aku pernah
mendengar nama itu?" tanya Ganang Laksono untuk dirinya sendiri. "Tapi di mana
aku pernah mengenalnya?"
Di atas kudanya, Panglima Ganang Lakso-
no tercenung. Dia berusaha mengingat-ingat
orang yang bernama Satria Gendeng. Dan ketika
ingatannya tertuju pada Bagaspati, barulah kepalanya mengangguk-angguk.
"Ya, aku baru ingat. Beberapa tahun lalu
sebelum Bagaspati diangkat menjadi Patih seka-
rang ini, orang yang bernama Satria Gendeng
pernah mendapat penghargaan dari Kanjeng Su-
suhan, karena telah berjasa menumpas gerombo-
lan Laskar Lawa Merah pimpinan Dirgasura.
Hmm.... Pantas, guruku berminat sekali pada Kail Naga Samudera...." (Untuk
mengetahui tentang Bagaspati dan Dirgasura, baca episode: "Tabib Sakti Pulau
Dedemit", "Geger Pesisir Tanah Jawa", dan "Kail Naga Samudera").
Perlahan namun pasti, Panglima Ganang
Laksono mengarahkan lari kudanya menuju Ka-
dipaten Kutowinangun. Dia akan menemui kakak
iparnya yang menjadi adipati di sana. Pembica-
raan mengenai pemberontakan untuk sementara
ini harus secara rahasia. Untuk itu, dia merasa belum perlu membawa orang-orang;
terdekatnya. Setelah berpamitan pada gurunya tadi pa-
gi, Panglima Ganang Laksono tak ingin berlama-
lama lagi. Yang jelas, dia merasa sudah mendapat kepastian kalau gurunya akan
bersedia memban-
tunya. Hanya saja, setelah takhta Kerajaan De-
mak nanti bisa direbutnya, dia harus bersusah
payah mencari pemuda bernama Satria Gendeng
untuk merebut Kail Naga Samudera.
Siang terik memanggang bumi.
Keringat di tubuh lelaki tinggi besar ini te-
lah membasahi tubuh. Diperkirakan, sore nanti
dia baru tiba di Kadipaten Kutowinangun. Sung-
guh suatu perjalanan yang amat melelahkan.
Memasuki sebuah mulut hutan, mendadak
Panglima Ganang Laksono menghentikan lari ku-
danya. Mata tajamnya menyapu ke sekeliling. Se-
kelebatan tadi, matanya menangkap sebuah
bayangan melesat, dan menghilang di balik se-
buah pohon besar tepat di mulut hutan.
Dan sebelum dia menarik gagang pedang-
nya.... Wusss...!
Tak percuma Panglima Ganang Laksono
berguru pada Ki Ageng Wirakrama. Sebuah angin
halus didengarnya. Lewat satu hentakan kaki le-
laki tinggi besar itu melempar tubuhnya ke atas.
Tak! "Hieeekhh...!"
Kuda tunggangan Panglima Ganang Lakso-
no kontan tersungkur. Angin halus yang berupa
totokan jarak jauh menghantam lehernya. Pe-
nunggangnya sendiri telah sampai di bumi den-
gan mata nyalang.
"Jangan cari perkara denganku! Keluar!"
Keadaan sunyi. Hanya belaian angin siang
yang mendesah resah menerpa sang Panglima.
Dan kegeraman pun memuncak, hendak mele-
dakkan dada lelaki tinggi besar ini. Karena orang yang barusan melepaskan
serangan gelap tetap
tak mau menunjukkan batang hidungnya.
Sejenak Panglima Ganang Laksono mena-
tap kuda tunggangannya yang juga mengangkut
tiga peti uang kepeng. Melihat kudanya yang terpuruk kaku akibat tertotok, bisa
dipastikan kalau orang yang menotok tadi memiliki kepandaian
tinggi. Selain bisa menotok dari jarak jauh, desir angin totokannya pun nyaris
tak terdengar. "Jahanam! Tunjukkan muka jelekmu! Jan-
gan jadi orang pengecut!"
Bergema. Suara teriakan Panglima Ganang
Laksono barusan juga disertai tenaga dalam lu-
mayan. Bisa jadi bila tokoh rendahan akan lang-
sung berteriak kesakitan. Tapi rupanya yang dite-riaki bukan tokoh kemarin sore.
Karena.... "Hiaha ha ha...!"
Sebuah tawa dahsyat bertenaga dalam le-
bih tinggi justru membuat Panglima Ganang Lak-
sono jatuh duduk. Dadanya langsung berguncang
keras. Biji matanya mendelik tak percaya.
Salah besar kalau Panglima Ganang Lak-
sono menduga bahwa si pemilik tawa tadi adalah
seorang yang bertubuh besar. Dan salah besar la-gi kalau asal suara tawa tadi
dari balik sebuah pohon besar yang semula diduganya.
"Jangan banyak bertingkah kalau cuma
punya kepandaian seujung kuku...," sebuah sua-
ra dari belakang Panglima Ganang Laksono ter-
dengar. Sang Panglima tercekat. Sungguh tak di-
duga kalau suara itu berasal dari belakangnya.
Sebab dia merasa pasti kalau suara itu tadi be-
rasal dari arah depan. Perlahan, kepalanya menoleh ke belakang
Terhenyak kembali sang Panglima. Ternya-
ta orang yang ada di belakangnya tingginya tak
lebih dari pahanya. Seorang lelaki yang usianya sulit diukur. Wajahnya penuh
keriput dengan kumis dan jenggot berwarna putih menjuntai ke
bawah. Matanya sipit segaris. Kalau tertawa, nyaris tak melihat. Rambutnya putih
digelung ke atas. Pakaiannya panjang mirip jubah berwarna
abu-abu. "Si..., siapa kau, Orang Tua"!" tanya Panglima Ganang Laksono, tergagap.
Keberaniannya terdepak entah ke mana. Dia cepat bangkit dan
berbalik. "Aku" Kau tanya siapa aku" Pantas..., pan-
tas. Ternyata orang di hadapanku ini terlalu banyak meringkuk di ketiak
istrinya. Tak pernah
terjun dalam kancah persilatan. Pantas kalau dia tak mengenaliku," oceh si tua
kecil ini. Merah wajah Panglima Ganang Laksono
Dadanya bergemuruh. Kalau tak ingat bahwa di-
rinya barusan dijatuhkan, sudah diterjangnya si tua sialan ini.
"Mestinya kau harus tahu, siapa yang kau
hadapi sekarang ini, Orang Tua?" desis Panglima
Ganang Laksono. Maksudnya mau menggertak.
Tapi suaranya malah bergetar, menggam-
barkan ketakutannya.
"Mau Setan Belang, kek. Aku tak peduli,
siapa dirimu. Yang penting aku mau meminta tiga peti uang kepeng di atas
kudamu!" sembur si kakek kecil.
"Berarti kau berurusan dengan Panglima
Ganang Laksono dari Kerajaan Demak!"
"Sudah kubilang, aku tak peduli! Mau be-
rurusan dengan Kerajaan Setan pun, tiga peti ke-pengan itu harus jadi milikku!"
Panglima Ganang Laksono berusaha men-
gumpulkan keberaniannya yang tercecer. Di-
enyahkannya dugaan kalau lelaki tua sialan ini
memiliki kepandaian tinggi. Boleh jadi si tua
bangka itu hanya pandai dalam ilmu totok. Jadi, belum tentu pandai dalam olah
kanuragan. Di sisi lain, Panglima Ganang Laksono juga
tak ingin tiga peti uang kepengnya lenyap begitu saja. Bila itu sampai terjadi,
bagaimana dia membiayai pemberontakan"
Tapi tenaga dalam lelaki tua ini amat ting-
gi! Begitu teriak hati Panglima Ganang Laksono.
Ah, itu mungkin karena aku terlalu kaget saja,
tukasnya sendiri.
"Kalau begitu, langkahi mayatku dulu!" geram Panglima Ganang Laksono, mendelik.
"He he he.,.. Nyalimu mulai tumbuh lagi,
ya" Kau mau bertingkah di hadapan Bocah Tua
Sakti" Boleh..., boleh. Sini! Kau kujadikan mayat
dulu, biar bisa kulangkahi!"
"Keparat! Chiaaa...!"
Satu terjangan dahsyat dibuat Panglima
Ganang Laksono. Menyadari calon lawan di hada-
pannya tidak bisa dianggap main-main, pedang-
nya segera dicabut.
Wutt! Sambil menerjang, Panglima Ganang Lak-
sono mengebutkan pedangnya. Ganas dan mema-
tikan. Deru anginnya mengisyaratkan kematian.
Sementara calon korbannya tak bergemik sedikit
pun. Sikapnya tetap tenang, seolah suka rela menyediakan tubuh kecilnya dirancah
pedang berki- latan. Tapi lima jari lagi pedang itu menebas dari samping....
"Weee, tidak kena!" ejek si kakek bernama Bocah Tua Sakti.
Dengan kecepatannya, Bocah Tua Sakti
melenting tinggi ke atas. Di udara, kedua kakinya mampir di kepala Panglima
Ganang Laksono.
Duk! Duk! Pelan saja kaki Bocah Tua Sakti hinggap
kurang ajar di kepala, tapi sungguh membuat
Panglima Ganang Laksono merasa amat terhina.
Begitu berbalik, segera dipersiapkannya jurus-
jurus pemberian Ki Ageng Wirakrama.
Tepat ketika Panglima Ganang Laksono
memasukkan pedangnya, kuda-kuda kokohnya
telah terpasang. Kini kedua tangannya bersilang di atas kepala. Sementara, lawan
malah meman- dang dengan kening berkerut. Seolah ada sesuatu yang membekas dalam ingatannya.
Dan sebelum Panglima Ganang Laksono
menerjang.... "Tunggu..., tunggu...," kata si kakek kecil se-enaknya. "Kau hendak membuka
Jurus 'Menangkap Setan Gila' ya" Ayo, ngaku....
Hmm.... Apa hubunganmu dengan Ki Ageng Wi-
rakrama?" "Dia guruku."
"Edan! Kenapa tidak bilang dari tadi"!"
TIGA KE MANAKAH Arya Wadam" Jangan tanya,
bagaimana terpukulnya gadis itu. Setelah menya-
dari kalau cintanya hanya bertepuk sebelah tan-
gan, Arya Wadam berlari tak jelas arah. Apa yang selama ini diimpi-impikan kan-
das sudah. Saat
itu juga dia ingin mendepak bayangan Satria dari ingatannya. Tapi semakin dia
berusaha, bayangan bocah tengik itu tetap saja sulit dihapus
Setegar-tegarnya Arya Wadam, ternyata di-
hadapkan urusan cinta tak mampu juga si gadis
membendung perasaannya. Tak urung air ma-
tanya bobol juga ketika tiba di pinggiran Sungai Bogowonto.
Oh, Gusti Agung.... Kenapa dunia terlalu
kejam buatku" Jeritnya, merana. Arya Wadam
sebenarnya memang tergolong gadis tegar. Sejak
bayi dia sudah kehilangan kasih sayang kedua
orangtuanya. Sejak ditemukan di tengah sebuah
hutan, dia dididik oleh seorang tokoh silat wanita yang awet muda. Selama
dididik, yang didapat
hanyalah gemblengan yang begitu keras di tengah kaum lelaki. Tak heran kalau
kemudian penampi-lannya mirip lelaki, sebelum bertemu Satria Gendeng. Memang,
gurunya cukup sayang padanya.
Tapi apakah itu cukup" Dan selagi ada pemuda
tampan yang menaruh perhatian padanya, selagi
ada pemuda sakti yang telah mencuri sekeping
hatinya, haruskah dia mengingkari perasaannya"
Wajarkah kalau dia mengharap kasih sayang dari
si pemuda"
Harapan tinggal harapan. Yang ada kini
kenyataan, bahwa cintanya bertepuk sebelah tan-
gan. Apakah Arya Wadam terlalu besar perasaan"
Haruskah dia menyalahkan Satria yang telah
mengoyak perasaannya"
"Tak seharusnya kau hanyut dalam angan
kosong, Arya!"
Dalam duduknya yang bersandar di bawah
pohon, Arya Wadam tersentak. Sebuah suara
yang amat dikenalnya telah memberangus lamu-
nannya. Cepat, kepalanya menoleh ke kiri.
"Guru...!" sebutnya, lirih.
Arya Wadam beringsut. Ditubruknya kaki
seorang wanita cantik berpakaian putih yang ta-
hu-tahu telah berdiri di samping kiri sejauh satu tombak. Kapan wanita cantik
itu datang, Arya
Wadam tak tahu. Atau karena perasaannya se-
dang terkepung oleh kegalauan sehingga panca
indranya tertutup"
Di ujung kaki wanita yang dipanggil guru,
Arya Wadam menumpahkan segala perasaannya.
Tangisnya pun meledak.
"Tak pantas seorang pendekar menangis
meraung-raung begitu! Bangun!" bentak si wanita cantik. "Ampun, Guru.... Tapi
salahkah aku kalau mengikuti kodratku" Tapi, ah! Percuma. Guru tak tahu
persoalannya!"
"Persoalanmu hanya persoalan cinta. Dan
cintamu bertepuk sebelah tangan pada seorang
pemuda bertabiat sinting bernama Satria Gen-
deng!" Arya Wadam melengak. Tangisnya kontan berhenti. Guru tahu persoalanku"
Katanya, bertanya sendiri dalam hati. Tak percaya, Arya Wa-
dam mendongak. Kedua matanya menghujam ke
arah manik-manik mata bersinar lembut milik
gurunya. Sinar mata si gadis menyiratkan keti-
dakpercayaan.

Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mengikutimu sejak kau berada di ke-
dai bersama pemuda tengik itu, Arya. Aku tahu,
apa yang kalian bicarakan di kedai!" jelas sang Guru, menjawab keheranan
muridnya. "Ja..., ja-di...." "Ya! Aku tahu semuanya! Dan kau tak perlu jadi
cengeng seperti itu. Bukankah pemuda itu telah berkata jujur" Kau harus hargai
kejujuran- nya!" sambar sang Guru.
"Guru membela Satria Gendeng?" tukas
Arya Wadam, kecewa.
"Masalahnya bukan aku membela atau ti-
dak. Yang jadi persoalan adalah, kau belum bisa mengendalikan perasaanmu
sendiri. Dengarlah!"
Wanita cantik itu meraih bahu Arya Wadam un-
tuk berdiri. "Sekarang aku mau tanya. Apakah pemuda itu telah menyatakan
cintanya padamu?"
Arya Wadam menggeleng. Lemah sekali.
"Nah, kenapa kau merasa begitu terpukul"
Aku mengerti, kau adalah seorang gadis yang
haus kasih sayang. Kedua orangtuamu telah
membuangmu tanpa kasih sayang. Wajar kalau
kau saat ini membutuhkan kasih sayang, selain
dariku. Tapi tidak seharusnya kau menjadi cen-
geng begitu. Ada hal lain yang lebih penting dari sekadar menangisi impian
kosong. Jelas, pemuda
itu tidak mencintaimu. Maka, lupakanlah dia.
Buktikan bahwa kau adalah seorang pendekar
berkepribadian tegar tanpa harus cengeng dengan persoalan cinta," papar wanita
cantik itu. Diam-diam Arya Wadam menelaah setiap
kata yang diucapkan gurunya. Si gadis tahu, be-
tapa tegarnya kepribadian wanita yang awet muda itu. Dulu, gurunya pun mempunyai
suami yang mati terbunuh di sebuah tempat yang bernama
Kuil Neraka, sebelum ditempati Tujuh Dewa Ke-
matian. Sejak saat itu, sang Guru telah kehilangan kasih sayang. Dia tetap
menyendiri tanpa peduli pada urusan cinta (Baca episode : "Tumbal
Tujuh Dewa Kematian").
Nini Prameswari namanya. Begitu si wanita
cantik guru Arya Wadam biasa dipanggil. Berkat
kesaktiannya, dia masih tetap awet muda. Malah
bagi orang yang tak tahu, antara Nini Prameswari dengan Arya Wadam bagaikan adik
kakak saja. Paling tidak umur mereka selisih satu dua tahun.
Tapi sebenarnya, usia Nini Prameswari sudah
hampir mencapai seratus tahun.
"Tapi kalau Satria Gendeng tak mencintai-
ku, kenapa dia mencari-cari aku" Bahkan memin-
ta bantuan gurunya yang bernama Dongdongka
untuk mencariku?" tuntut Arya Wadam. Sekadar untuk memuaskan hatinya.
"Ini! Ini yang namanya besar perasaan. Ka-
lau orang lain mencari dirimu, apalagi yang mencari adalah seorang pemuda, belum
tentu karena dilandasi cinta. Bisa jadi hanya karena suka saja.
Dan antara cinta dan suka hanya dibatasi benang yang amat tipis. Jadi, kau harus
hati-hati mengendalikan perasaanmu," urai Nini Prameswara, panjang lebar.
Terbukalah kini kesuraman di hati Arya
Wadam. Tak ada lagi air mata di pipi. Sejak tadi dia memang telah berusaha
menghapusnya. Sebening pualam, kini pikirannya terasa bersih. Bibirnya mulai
menampakkan senyum. Manis seka-
li. "Tataplah hari depan yang lebih cerah, Mu-
ridku," lanjut Nini Prameswari. "Sekarang, ada suatu hal yang mesti kubicarakan
padamu." "Apa itu, Guru?"
"Aku telah tahu, siapa kedua orangtuamu
yang telah tega membuang dirimu ke hutan."
"Apa?"
* * * "Waahhh, urusannya kenapa jadi begini?"
keluh Satria, ketika tiba di ujung jalan sebuah pinggiran desa. Di depannya,
menghadang sawah
ladang menghampar. "Rasanya tak mungkin Arya Wadam bersembunyi di sawah atau
ladang itu. Dia bukan sejenis tikus sawah."
Kepala si anak muda celingukan, mirip
maling jemuran. Berusaha dicarinya gadis itu
dengan mata tajamnya. Tetap tak ada hasil.
"Ke mana tujuanku sekarang" Ke Kerajaan
Demak atau terus mencari Arya Wadam" Kalau
aku terus mencari Arya Wadam, bisa memakan
waktu lama. Sementara, keadaan Kerajaan De-
mak bakal terancam. Ah, perempuan.... perem-
puan. Rupanya perhatianku selama ini disalah
artikan oleh Arya Wadam. Kan aku cuma ingin
ketemu dia. Kan aku cuma penasaran kenapa
waktu itu dia meninggalkan aku begitu saja setelah menyelesaikan urusan di Kuil
Neraka" Kan
aku cuma ingin jadi sahabatnya" Kan aku cuma
mengagumi kecantikannya" Kan aku..., slompret!
Kenapa aku juga begitu mengkhawatirkan kese-
lamatannya?"
Satria terbelenggu keragu-raguan. Kekha-
watiran memang menimbulkan keragu-raguan.
Dan keragu-raguan adalah cikal bakal kekalahan.
Tiba-tiba saja, kata-kata bijak menyentil kesada-ran Si pemuda. Entah, malaikat
mana yang mem- bisiki kupingnya.
"Ah, kupikir Arya Wadam bisa mengerti
aku. Dia telah cukup dewasa untuk mengerti arti sebuah kejujuran. Bukankah aku
sudah berkata jujur" Jadi, aku tak perlu mengkhawatirkannya
lagi. Dan sebaiknya, aku segera menuju Kerajaan Demak!" tegas si anak muda.
Di ujung kalimatnya, Satria menghentak-
kan kakinya, Kini tubuhnya melesat bagaikan di-
kejar setan, karena mengerahkan ilmu lari cepatnya. Yang hanya bayangan putih
saja saat tu- buhnya meluncur bak anak panah lepas dari bu-
sur. Tiba di jalan yang membelah dua buah bu-
kit, lesatan si pemuda perkasa terhenti. Ada sesuatu yang mengganggu
pendengarannya. Kejap
kemudian.... "Heaaa...!"
Trangg...! Satria tercekat. Sebuah suara pertarungan
rupanya yang tadi mengusik kupingnya, sehingga
langkahnya terhenti. Kini celingukannya makin
seru saja. * * * Sebuah pertarungan seru tergelar di balik
Bukit Srondol. Sepasukan orang berpakaian pra-
jurit bertarung habis-habisan menghadapi seo-
rang lelaki tua kurus berjubah panjang warna kelabu. Hanya seorang lelaki tua,
tapi telah mampu merobohkan beberapa prajurit dengan dada bolong seperti bekas
tusukan benda tumpul.
Wukh! Wukh! Si kakek berambut tak terurus itu memu-
tar-mutar tongkat bututnya. Perlahan saja kelihatannya. Tapi angin sambarannya
mampu meng- goyahkan kuda-kuda para prajurit yang menge-
pungnya. Mata mencorongnya yang berwarna hi-
jau menatap satu persatu para pengepungnya.
Dari sikapnya jelas, kalau dia tak puas dengan
hanya memakan beberapa korban saja.
Tak jauh dari tempat pertarungan, berdiri
seorang lelaki gagah. Wajahnya bersih. Tak begitu tampan, tapi memancarkan
ketegasan dan wibawa. Sinar matanya tajam, seolah tak ada satu hal kecil pun
yang luput dari perhatiannya. Dari pa-kaiannya bisa ditebak kalau lelaki
setengah baya itu berpangkat Mahapatih. Pendeknya, atasannya
para patih. Siapakah lelaki itu"
Dari umbul-umbul lambang kerajaan yang
dibawa beberapa prajurit yang tak ikut bertarung, bisa dipastikan kalau lelaki
gagah itu berasal dari Kerajaan Demak. Dan kalau melihat raut wajahnya, jelas
kalau dia adalah Bagaspati yang kini telah berpangkat Mahapatih.
Tak jauh dari Bagaspati, lima orang praju-
rit berjaga-jaga mengelilingi sebuah kereta kencana indah. Di dalamnya, menunggu
waswas tiga manusia yang harus benar-benar dilindungi. Me-
reka adalah Gusti Prabu Sutawijaya, Permaisuri
Prabaningrat, dan anak gadis mereka yang ber-
nama Dewi Sekardadu.
Cras! Cras! Dua prajurit Demak tersungkur. Sambaran
tongkat lelaki tua tadi menelan korban kembali.
Perut dua prajurit itu terkoyak, membuat isinya terburai. Darah pun kembali
membasahi bumi.
"Hmm, sepertinya Panglima Darmakusuma
dan anak buahnya tak mampu menanggulangi
keganasan si tua itu. Kalau begitu, aku harus turun tangan," gumam Mahapatih
Bagaspati. Mahapatih Bagaspati menghela napas se-
sak. Dalam. Sarat kemarahan.
"Mundur!" teriaknya, lantang.
Para prajurit Demak yang hendak membu-
ka pertarungan lagi cepat bergerak mundur. Pe-
rintah adalah perintah. Walaupun mereka masih
bernafsu menyerang. Bernafsu melihat teman-
teman mereka telah terbujur kaku bersimbah da-
rah. Tapi perintah atasan harus dijunjungi tinggi.
Apalagi terhadap seorang yang patut dihormati
sekaligus dijunjung seperti Mahapatih Bagaspati.
Demikian pula Panglima Darmakusuma.
Sebenarnya, dia malu untuk mundur dari arena
pertarungan. Sekian jurus menggebrak, tapi tak
satu pun yang bisa membuat lawan tuanya jera.
Bahkan tadi, nyaris kepalanya kena gebuk tong-
kat butut lelaki tua yang tak lain Ki Ageng Wirakrama. Langkah mantap Bagaspati
merampas ke- heningan yang tercipta sejenak. Tegar dan penuh percaya diri, didekatinya Ki
Ageng Wirakrama. Ti-ga tombak di depan si tua bangka itu, mahapatih perkasa ini
berhenti. "Kau muncul langsung menyerang kami.
Sebenarnya, apa maumu, Pak Tua," tegur Mahapatih Bagaspati. Tegas penuh wibawa.
"Mauku" Kau bilang mauku" Banyak! Ke-
mauanku banyak. Termasuk melenyapkanmu da-
ri muka jagat ini!" jawab Ki Ageng Wirakrama.
Dingin dan datar.
"Rasanya, pihak Kerajaan Demak tak
mempunyai persoalan denganmu. Kenapa kau
begitu bernafsu untuk melampiaskan kemaua-
nmu?" "Itu urusanku! Dan aku tak perlu men-gungkapkannya padamu. Tapi yang pasti
aku menginginkan Putri Dewi Sekardadu," jawab Ki Ageng Wirakrama, lantang.
Alis tebal Mahapatih Bagaspati bertaut.
Apa-apa ini" Tanyanya, makin bingung. Makhluk
tua ini benar-benar tak jelas, apa maunya. Da-
tang langsung menyerang, kini yang dimauinya
malah Putri Dewi Sekardadu. Semula, dikira lela-ki tua itu hanyalah seorang
perampok yang sen-
gaja membegal orang-orang kerajaan ataupun
saudagar. Tak tahunya, malah Dewi Sekardadu
yang jadi incaran.
"Terlalu sulit permintaanmu untuk dilu-
luskan. Putri Dewi Sekardadu adalah junjungan
kami. Dan aku wajib melindunginya!" terabas Mahapatih Bagaspati, tegas dan
tandas. "Boleh..., boleh. Tak ada yang melarang kalau kau merasa wajib melindungi
junjunganmu. Tapi sayang, keputusanku tak bisa diubah barang seujung upil sekalipun. Jadi
bersiap-siaplah untuk mampus bila kau berniat menghalang-
halangi!" "Hatimu telah berkarat, Pak Tua. Jiwamu
terlalu kusam. Tidakkah kau menyadari bahwa
umurmu tinggal sisa-sisa belaka?"
"Bedebah! Kau belum kenal aku rupanya!
Ageng Wirakrama alias Iblis Samber Nyawa tak
bakalan mundur berhadapan denganmu!"
Mengelam wajah Ki Ageng Wirakrama. Ke-
marahannya siap membuncah. Mata hijaunya
mendelik. Dada keroposnya turun naik. Amat ce-
pat. Wukh! Wukh!
Ki Ageng Wirakrama memutar tongkatnya
di depan dada. Jangan ditanya, bagaimana suara
angin yang ditimbulkan. Seolah, dia ingin meron-tokkan nyali calon lawannya.
Mahapatih Bagaspati sendiri telah menca-
but keluar kerisnya. Dibuatnya kuda-kuda sete-
lah menarik kaki kiri ke belakang. Tatapannya lurus, hendak menembus manik-manik
mata Ki Ageng Wirakrama. Kerisnya sendiri kini telah tersilang di depan mata.
"Majulah, Kakek Busuk! Rasanya dunia
pun teramat jijik membiarkanmu berkeliaran me-
nebar petaka!"
"Jahanam! Kuremukkan kepalamu!
Hiaaa...!"
Wukh! Sarat tenaga dalam tinggi, tongkat butut Ki
Ageng Wirakrama mengebut dari samping kepala.
Hendak dihancurkannya kepala sang patih itu.
Suara menderu terdengar, udara terbelah oleh ke-rasnya sambaran.
Lincah, Mahapatih Bagaspati menarik tu-
buhnya ke belakang. Begitu sambaran tongkat
butut lewat, dibabatkannya ujung keris langsung ke leher lawan.
Udara tergores tajam.
Leher Ki Ageng Wirakrama terancam.
Tapi si tua bangka ini terlalu cerdik untuk
ditebas keris begitu saja. Entah bagaimana ca-
ranya, tubuhnya tahu-tahu telah merunduk se-
raya menyodokkan tongkatnya.
Duk!

Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hekh!"
Untung saja Mahapatih Bagaspati telah
melapisi perutnya dengan tenaga dalam tinggi.
Sehingga, bagian yang tersodok tongkat butut barusan tidak tertembus. Tapi tak
urung, perutnya terasa mulas bukan main. Dua tindak dia terjajar ke belakang.
"Sekarang rasakan tongkat bututku!
Hiaaa...."
Selagi lawan belum tuntas meringis mena-
han sakit, Ki Ageng Wirakrama telah kembali me-
lompat membuat serangan berbahaya. Dengkul
kropos kanannya terangkat hampir menyentuh
dada. Tongkatnya berputaran di atas kepala.
Udara robek terbabat tongkat.
Mahapatih Bagaspati tercekat.
Akankah dia melawat ke akhirat"
"Hih!"
Dengan keberanian luar biasa, Mahapatih
Bagaspati justru menyongsong lompatan lawan.
Kerisnya diangkat ke atas hendak memapak sam-
baran tongkat. Sedangkan kaki kiri dan tangan
kiri berjaga-jaga bila lawan melepaskan serangan dengan kaki.
Di udara, keris Mahapatih Bagaspati mem-
bentur tongkat butut Ki Ageng Wirakrama. Seperti dugaannya, dengkul monyong tua
bangka itu menyentak hendak menanduk perutnya kembali. Se-
cepatnya, melindunginya dengan menekuk kaki
kiri. Tapi siapa nyana kalau tiba-tiba tangan ki-ri kurus milik Ki Ageng
Wirakrama tiba-tiba bergerak dari bawah ke atas. Ini yang luput dari perhatian
Mahapatih Bagaspati.
Lalu.... Diegh! Tubuh lelaki gagah andalan Kerajaan De-
mak itu terdongkel di udara. Keras hingga terlem-
par tiga tombak jauhnya. Pekik kesakitan terlempar dari mulut Mahapatih
Bagaspati. Mahapatih Bagaspati membesut darah di
bibirnya yang terhantam jotosan lawan. Sebagian darahnya yang tersisa
diluncurkan lewat mulut
bersama ludah. Lewat satu sentakan, lelaki ini
berusaha bangkit. Ditatapnya lawan yang telah
siap mengirim serangan susulan.
"Sekarang saatnya kau mampus di tangan-
ku, Keparat Busuk!" sembur Ki Ageng Wirakrama, begitu membuat kuda-kuda rendah.
Bed! Bed! Di depan dada, tangan kiri kurus kering Ki
Ageng Wirakrama membuat beberapa gerakan.
Cepat, berisi tenaga dalam tinggi. Gerakannya ba-ru berhenti ketika telapak
tangan kirinya mem-
buka di atas pinggang, dengan jari-jari mengarah ke bawah.
Semua yang ada di tempat ini jadi tegang.
Menanti, serangan keji apa yang akan dilepaskan tua bangka itu. Padahal, para
prajurit serta Panglima Darmakusuma bisa saja ikut membantu
menyerang tadi. Cuma mereka telah tunduk pada
perintah Mahapatih Bagaspati.
Mahapatih Bagaspati sendiri telah berusa-
ha mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Dan me-
lihat lawan sepertinya bersiap melepas pukulan
jarak jauh, segera disiapkannya pula pukulan an-dalannya.
"Hiaaahhh...!"
Dengan kawalan teriakan panjang Ki Ageng
Wirakrama membuka serangan. Sebentuk angin
tajam memangkas udara begitu tangan kirinya
menghentak. Wusss...! Dahsyat. Semua tercekat.
Di tempatnya, Mahapatih Bagaspati ber-
siap. Keris di tangan kanan telah berpindah ke
tangan kiri. Sedang telapak tangan kanan itu
sendiri telah membuka di depan dada.
Satu tombak lagi angin serangan lawan da-
tang, telapak tangan kanan Mahapatih Bagaspati
telah menghentak. Sebentuk angin yang menderu
tajam pun bergerak memapak.
Lalu.... Blanggg...! Apes. Kali ini Mahapatih Bagaspati kembali
apes. Tubuhnya tergempur sejauh sepuluh tom-
bak. Pekik menyayat terlontar dari tenggorokan-
nya. Susah payah, lelaki gagah ini berusaha
bangkit. Dadanya turun naik amat cepat. Adu te-
naga dalam barusan cukup mengguncangkan isi
dadanya. Sejenak Mahapatih Bagaspati menoleh
ke arah Panglima Darmakusuma dan para praju-
ritnya yang siap membantu bila ada perintah. Ta-pi sedikit pun sang Patih tak
memberi isyarat
apa-apa. Tatapan Mahapatih Bagaspati kini meng-
hujam tajam ke arah Ki Ageng Wirakrama. Lelaki
tua kurus ini tadi hanya tergetar mundur bebera-pa langkah saja. Dan kini, dia
telah siap menun-
taskan pertarungan.
"Hia ha ha...! Pukulan 'Angin Setan'-ku tadi belum seberapa, Lelaki Busuk! Kini
kau rasakan yang lebih dahsyat lagi!" ancamnya, ganas.
Tapi.... "Hia ha ha.... Pukulan yang hanya pantas
untuk memecahkan krupuk dipamerkan di sini!
Hia ha ha...! Ada orang tua cacingan berkeliaran di jalan...."
Sebuah suara lain dengan tawa menyebal-
kan menimpali kata-kata penuh ancaman Ki
Ageng Wirakrama. Suara siapakah itu"
EMPAT PANGLIMA Ganang Laksono bisa bernapas
lega. Ternyata begitu dia menjelaskan kalau di-
rinya adalah murid Ki Ageng Wirakrama, Bocah
Tua Sakti yang semula hendak membunuhnya
malah kini memeluknya. Kontan saja napas le-
ganya jadi terberangus oleh bau prengus tua
bangka itu. Gila! Makinya dalam hati. Bau tubuhnya
mirip kambing buduk! Sudah berapa bulan tua
bangka ini tak mandi" Tanyanya pada diri sendiri.
"Aku adik kandung gurumu, Cah. Jadi,
kau boleh memanggilku Paman Guru. Wah, un-
tung kita tak jadi bertarung, ya?" cerocos Bocah Tua Sakti, tak juga melepaskan
pelukannya. Gila-gilaan dia. Malah sesekali kepalanya yang jarang
keramas digusel-guselkan ke bagian selangkan-
gan sang Panglima.
Tinggal Panglima Ganang Laksono yang
cengar-cengir. Entah merasa malu, atau malah
ke-enakan" Maklum, sudah beberapa bulan ini
dia tak kumpul bersama istrinya.
Panglima Ganang Laksono punya kesempa-
tan untuk melepaskan diri dari bekapan lelaki tua yang tingginya hanya sepahanya
itu. Disentak-kannya tangan tua bangka itu, lalu cepat bersu-
jud di ujung kaki Bocah Tua Sakti. Bukan. Bukan untuk menyatakan hormat secara
ikhlas, tapi sekalian mencari hawa segar setelah hidungnya terkepung bau kambing
buduk di tubuh Bocah Tua
Sakti. Tapi yang didapat....
Bah! Ujung kakinya malah habis menginjak
kotoran kerbau! Maki hati Panglima Ganang Lak-
sono. Apes juga nasibnya kali ini. Jangan ditanya bagaimana kecewanya.
"Makanya, kalau dipeluk diam saja. Tak
usah berontak. Bau tubuhku kan lebih sedap di-
banding bau kotoran kerbau?" ledek Bocah Tua Sakti, seperti mengerti tingkah
Panglima Ganang Laksono.
Malu rasanya lelaki gagah itu mengangkat
tubuhnya. Wajahnya merah. Jantungnya berde-
gup kencang. Jangan-jangan, paman guruku ini
akan tersinggung. Begitu keluhnya.
"Ah, sudahlah. Ayo berdiri. Hei, siapa na-mamu?" Bocah Tua Sakti meraih bahu
Panglima Ganang Laksono.
"Ganang Laksono, Paman Guru," sahut lelaki gagah itu, tanpa berani menatap wajah
lelaki tua di hadapannya. Wajahnya ditundukkan amat
dalam. "Hm..., Ganang Laksono. Melihat pakaian-mu, sepertinya kau pembesar
kerajaan, ya" Dari mana kau berasal?"
"Dari Kerajaan Demak, Paman Guru."
"Weh, weh, weh.... Orang kerajaan berguru
pada seorang tokoh sesat macam kakakku. Pasti
ada apa-apanya. Iya, kan?" tebak si tua pendek ini sok tahu.
"Begitulah, Paman Guru. Malah jika Paman
Guru sudi, aku mau jadi murid Paman sekalian."
"O, jangan..., jangan.... Ilmuku bertolak belakang dengan Kakang Ageng
Wirakrama. Jika
kau menuntut ilmu dariku, sama saja kau bunuh
diri. Sifat ilmuku dengan ilmu kakangku saling
menyerang. Dan bila kau tak kuat, kalau hanya
menderita kelumpuhan saja masih lumayan. Tapi
kalau kau mampus, bagaimana" Bisa-bisa aku
yang kena semprot kakangku," urai Bocah Tua Sakti, gamblang.
Bergidik Panglima Ganang Laksono men-
dengarnya. Untung tadi dia cuma basa-basi, un-
tuk sekadar menghargai kepandaian paman gu-
runya. "Hei, kau belum cerita. Ke mana tujuan-mu" Dan kenapa kau membawa uang
kepeng se- banyak itu," dengan ekor matanya, Bocah Tua Sakti melirik tiga peti uang kepeng
yang masih te- rikat di atas kuda milik Panglima Ganang Lakso-
no yang masih terbaring.
"Aku sebenarnya baru saja menemui Guru.
Aku bermaksud meminta bantuannya untuk me-
nyokong pemberontakan yang akan kulaksana-
kan pekan depan. Tujuanku sekarang adalah
menghubungi kakak iparku yang menjadi Adipati
di Kutowinangun. Dia pun akan ikut bergabung
denganku untuk menumbangkan takhta Kerajaan
Demak. Sedangkan tiga peti uang kepeng itu ku-
gunakan untuk membiayai pemberontakan," papar Panglima Ganang Laksono. Dia
merasa tak perlu menyembunyikan rencananya lagi di hada-
pan lelaki tua pendek di hadapannya ini. Karena dianggap, Bocah Tua Sakti pasti
akan mendukung rencananya. Mengingat, dia adalah adik
kandung gurunya, Ki Ageng Wirakrama.
"Pemberontakan" Pemberontakan terhadap
siapa?" tanya Bocah Tua Sakti, penuh ketidak-mengertian.
"Terhadap takhta Kerajaan Demak."
"Bodoh! Aku tidak tuli! Kau tadi telah me-
nyebutkannya. Maksudku, siapa pemegang takh-
ta sekarang ini"!"
"Gusti Prabu Sutawijaya."
"O, jadi yang memegang tampuk kekua-
saan si Sutawijaya. Maklum, sudah tujuh tahun
aku merantau ke Swarnadwipa. Dan baru kema-
rin aku menginjakkan kaki lagi ke tanah Jawad-
wipa. Kupikir yang menjadi raja masih Raden Pa-
tah," kepala Bocah Tua Sakti manggut-manggut.
"Paman bersedia membantu rencanaku"
Kalau rencana ini berhasil, jangankan tiga peti uang kepeng yang hendak Paman
rebut tadi. Dua
puluh peti emas berlian akan kuberikan," tembak Panglima Ganang Laksono,
langsung. Bibirnya
tersenyum cerah, membayangkan rencananya
akan berhasil bila didukung tokoh sakti macam
lelaki tua pendek di hadapannya.
"O, gampang..., gampang. Tapi aku harus
bertemu dulu pada Kakangku. Oh, ya. Di mana
dia tinggal sekarang?" sahut Bocah Tua Sakti, tersenyum lebar.
"Di Bukit Menjangan, Paman," jawab panglima Ganang Laksono, semangat.
"Nah, sekarang teruskanlah perjalananmu
ke Kutowinangun," ujar Bocah Tua Sakti seraya berbalik.
"Tunggu, Paman!"
Langkah lelaki tua pendek itu tertahan di
udara. Tanpa menurunkan kaki kanannya, kepa-
lanya menoleh. "Ada apa lagi?" tanyanya datar.
"Kudaku masih tertotok, Paman."
"Siapa bilang" Lihat saja kalau kau tak
percaya!" Panglima Ganang Laksono menoleh ke
arah kudanya. Terhenyak dia melihat kudanya te-
lah bangkit berdiri dalam keadaan segar bugar.
Kapan tua bangka ini membebaskan totokan pada
kudaku" Tanyanya, sulit mengerti. Sebab, dia tadi tak melihat gerakan apa-apa
yang dibuat Bocah
Tua Sakti. "Kalau begitu, te...?"
Kembali Panglima Ganang Laksono terce-
kat. Sebab begitu kepalanya menoleh kembali ke
depan, Bocah tua Sakti telah lenyap entah ke
mana. Kata-katanya pun terbungkam saat itu ju-
ga. Matanya mendelik dengan mulut terbuka le-
bar. Kalau ada lalat mabuk, mungkin mulut lelaki tinggi besar ini dikira sebuah
goa mengerikan yang dipenuhi hawa busuk tak karuan.
Panglima Ganang Laksono menggeleng-
geleng tak percaya. Sungguh dia kagum terhadap
kepandaian adik kandung gurunya itu.
* * * Jangan ditanya, bagaimana terperanjatnya
Arya Wadam mendengar penuturan gurunya. Ke-
dua orangtuanya masih hidup" Di mana mereka
sekarang" Kenapa mereka begitu tega membuang
ku" Sehimpun pertanyaan siap diberondongkan
ke arah gurunya.
"Guru.... Benarkah apa yang Guru kata-
kan?" tuntut Arya Wadam. Dadanya berdebar keras menunggu jawaban Nini
Prameswari. Si wanita awet muda membuang pandan-
gannya ke permukaan Sungai Bogowonto yang
mengalir tenang. Riak-riak kecil tercipta saat


Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permukaan sungai membentur tepian.
"Kau lihat batu di seberang sana, Arya?"
tunjuk Nini Prameswari ke arah seberang.
Arya menatap ke arah yang ditunjuk gu-
runya. Tanpa menoleh, kepalanya mengangguk.
Ada apa lagi dengan batu itu" Tanya hatinya.
"Batu itu juga punya sejarah, Arya. Tak
mungkin dia berada begitu saja di tempat itu.
Pasti ada asal-usulnya. Batu tercipta dari kumpulan tanah di dasar bumi yang
mengeras. Perjala-
nan sejarahnya membuat batu itu terlontar dari
dalam perut bumi oleh letusan gunung berapi.
Terseret arus sungai, membuat batu itu kini be-
rada di seberang sana. Begitu pula manusia. Tak mungkin ada begitu saja, tanpa
adanya kedua orangtua. Kau adalah manusia, Arya. Tentu saja
kau punya asal-usul. Dan kau patut menelusu-
rinya," sahut Nini Prameswari, malah makin membuat Arya bingung dan pusing tujuh
keliling. "Iya, tapi siapa kedua orangtua ku, Guru?"
terabas gadis cantik ini. Tak sadar dia menuntut jawaban gamblang gurunya.
"Dari salah seorang tokoh persilatan, aku
mendengar kabar bahwa dia beberapa purnama
yang lalu telah mengalahkan seorang tokoh sesat berkepandaian tinggi. Kalau tak
salah namanya Setan Penyair. Saat sekarat, Setan Penyair me-
nyatakan tobatnya. Dan dia juga bercerita telah menculik seorang bayi dari
Kadipaten Kutowinangun. Karena si jabang bayi terus menerus menan-
gis, Setan Penyair yang semula menginginkan te-
busan dari Adipati Kutowinangun, akhirnya
membuang si jabang bayi ke tengah hutan. Hing-
ga akhirnya, bayi itu ditemukan Remeng dan Po-
leng," tutur Nini Prameswari.
"Jadi, bayi itu aku, Guru?" eekat Arya Wadam. "Ya," desah Nini Prameswari.
Tatapannya dihujamkan ke biji mata indah Arya Wadam.
"Yang menculikku Setan Penyair?" susul si gadis. Ingatannya langsung tertuju
pada wajah tua Setan Penyair.
Dulu, Arya Wadam juga pernah bertemu
Setan Penyair. Tepatnya ketika bersama Satria
Gendeng waktu hendak menuju Kadipaten Luma-
jang. Saat itu Setan Penyair tengah bertarung me-lawan Raja Pencuri Dari Selatan
untuk mempere- butkan Kail Naga Samudera. Sedangkan Arya
Wadam sendiri tengah mencari Raja Pencuri Dari
Selatan yang telah mencuri pedang pendek milik
Paman Remeng dan Poleng. Seperti diketahui,
Remeng dan Poleng adalah orang yang juga me-
nemukan Arya Wadam, sekaligus merawatnya (Si-
lakan baca episode : "Penghuni Kuil Neraka" dan
"Tumbal Tujuh Dewa Kematian").
Mengingat semua itu, Arya Wadam jadi
menyesal, kenapa waktu itu membiarkan Setan
Penyair pergi begitu saja. Kendati dirinya terluka dalam, tapi paling tidak bisa
melampiaskan kemarahannya. Sayangnya, waktu itu dia tak tahu
bahwa Setan Penyair-lah yang membuangnya ke
tengah hutan. "Kau mengenalnya, Arya?"
Pertanyaan Nini Prameswari membuyarkan
lamunan Arya Wadam. Kepala si gadis mengge-
leng perlahan. "Tidak, Guru. Aku tidak mengenal Setan Penyair secara langsung.
Aku hanya pernah melihat orangnya saja," Jelasnya, terus terang.
"Sayang, keterangan ini baru kudapat se-
minggu yang lalu. Untuk itu aku segera mencari-
carimu. Dan ketika kulihat kau bersama Satria
Gendeng di kedai, aku tak ingin mengusikmu. Ka-
rena kulihat kau begitu marah pada pemuda itu,"
Jelas si wanita awet muda.
"Oh, terima kasih, Guru. Kau telah bersu-
sah payah mencari-cariku. Balasan apa yang
mesti kuberikan untuk membayar budi-budi
Guru selama ini?"
"Tidak, Muridku. Asal kau bisa berkumpul
lagi dengan kedua orangtuamu setelah belasan
tahun berpisah, aku sudah cukup bahagia. Nah,
pergilah kau sekarang ke Kadipaten Kutowinan-
gun. Mudah-mudahan kedua orangtuamu masih
menjadi adipati di sana. Kalaupun sudah tidak
menjadi adipati di sana, kau bisa minta keterangan tentang kedua orangtuamu"
Mata sembab Arya Wadam menatap lurus
pada manik-manik mata gurunya. Seketika, dipe-
luknya Nini Prameswari penuh perasaan. Seolah-
olah dia ingin melampiaskan kerinduan terhadap
kedua orangtuanya pada gurunya.
* * * "Siapa kau, Bocah Buduk"!" bentak Ki
Ageng Wirakrama begitu melihat seorang pemuda
tampan berpakaian rompi warna putih dari kulit
binatang tahu-tahu telah berdiri dua tombak di
samping kanan. Garis rahangnya kokoh melam-
bangkan kejantanan. Rambutnya panjang hampir
melewati bahu berwarna kemerahan. Celananya
pangsi sebatas bawah lutut.
Dialah Satria. Bocah tengik bertabiat nyaris sinting yang
selalu membuat ciut nyali calon lawannya hanya
dengan pancaran matanya. Bocah tengik yang se-
lalu membuat lawan gusar, hingga tak mampu
berkata-kata. "Wah, ada ramai-ramai begini" Ada haja-
tan, ya?" cerocosnya, kalem.
"Bangsat! Kau belum menjawab perta-
nyaanku, Bocah!" maki Ki Ageng Wirakrama merasa tak dihargai oleh bocah kemarin
sore. Sebenarnya kalau tak sedang dirasuki hawa amarah,
gampang saja tua bangka ini mengenali pemuda
di depannya. Tinggal lihat saja sebatang tongkat kecil yang terselip di kain
pengikat pinggang si pemuda. Sebuah tongkat di ujungnya terdapat
hiasan kepala naga berwarna emas. Di ujung lain berbentuk ekor naga berwarna
sama. "Aku Satria," sahut bocah tengik itu. Begitu mendapat jawaban, mata Ki Ageng
Wirakrama langsung melompat. Arahnya, ke pinggang si pe-
muda. "Jadi kau yang bernama Satria Gendeng yang selama ini membuat dunia
persilatan goncang oleh nama bau busuk seperti itu" Hua ha
ha.... Kukira orang yang bernama Satria Gendeng sudah banyak makan asam garam
dunia persilatan. Tak tahunya, hanya bocah bau kencur yang
masih doyan makan bubur di pinggir sumur...,"
ejek lelaki tua bangka ini setelah merasa yakin kalau di pinggang si pemuda
terselip senjata Kail Naga Samudera.
"Hua ha ha.... Kukira yang ada di depanku
manusia. Tak tahunya hanya orang-orangan sa-
wah yang sudah bau tanah tapi banyak berting-
kah!" balas Satria, lantang.
Tawa Ki Ageng Wirakrama kontan terbe-
rangus. Mata bersinar hijaunya mendelik, meng-
hujam ke arah bola mata si pemuda. Dengan ta-
tapan matanya, seolah dia ingin menjatuhkan
nyali Satria Gendeng.
Bukan Satria namanya kalau dipelototi be-
gitu saja sudah kendor semangatnya. Ditentang-
nya mata Ki Ageng Wirakrama dengan pancaran
sinar matanya yang mengandung perbawa amat
kuat. Edan! Edan! Cekat Ki Ageng Wirakrama da-
lam hati. Tatapan pemuda ini justru membuatku
bergetar. Bocah sialan ini ternyata tak bisa dianggap main-main.
"Cepat serahkan Kail Naga Samudera yang
kau bawa itu, Bocah. Dan kau serta orang-orang
kerajaan itu akan kuampuni!" sentak Ki Ageng Wirakrama, sekalian mendepak rasa
bergetar dalam dadanya.
Slompret! Kenapa senjata sialan ini selalu
jadi incaran tokoh-tokoh persilatan golongan
bengkok" Seru Satria dalam hati. Juga kenapa
mereka selalu menginginkan benda yang bukan
haknya" Gampang sekali mereka bilang begitu"
"Kau mau ini?" Satria melirik ke pinggangnya. Sebaris senyum tercipta di
bibirnya. "Tak usah banyak tanya, Bocah! Apa kau
ingin mampus sekarang juga seperti prajurit-
prajurit sialan itu"!" seru Ki Ageng Wirakrama, menunjuk mayat-mayat prajurit
Demak yang ber-gelimpangan bersimbah darah.
"Gampang sekali kau memaksa meminta
barang yang bukan hakmu?" tukas Satria enteng.
"Keparat busuk! Kalau begitu kau harus
mampus sekarang juga! Heaa...!"
Di ujung kalimatnya, si tua bangka mener-
jang. Tongkat bututnya bergerak dari samping
kepala. Hendak diremukkannya kepala lawan
dengan sekali kepruk.
Wukh! Cepat. Bahkan teramat cepat sambaran tongkat
butut si tua bangka. Sebentuk angin pun mero-
bek udara. Sementara, calon korbannya masih
tenang-tenang saja.
"Hih!"
Sejengkal lagi tongkat butut menghajar, si
pemuda merendahkan tubuhnya, lalu bergerak ke
samping berlawanan dengan arah sambaran
tongkat. Tapi ternyata lawan tuanya telah mem-
perhitungkan. Begitu serangan luput, tubuhnya
berputar amat cepat. Kaki kanannya langsung
membuat tendangan berputar setengah lingkaran.
Duk! Perut Satria telak sekali terhajar. Tubuh-
nya terpental deras ke belakang sejauh dua tom-
bak dan jatuh nyusruk di tanah. Satria Gendeng
mengeluh. Melenguh. Betapa pun sakit yang dide-
rita, betapa pun sesak mendera, yang jelas dia telah bangkit kini.
Dari tertunduk, kepalanya terangkat naik.
Perlahan. Amat perlahan.
Urat-urat di bola mata si pemuda meme-
rah. Darah mudanya pun mendidih. Darah segar
mengalir di sudut-sudut bibirnya. Tendangan Ki
Ageng Wirakrama tadi memang teramat kuat.
Bahkan sangat dahsyat. Tak heran kalau wajah
Satria kini mematang, terbakar gelegak kemur-
kaannya. "Khuaaa...!!!"
Sebentuk kemarahan lewat teriakan mero-
bek angkasa terdengar. Urat di leher Satria telah mengembung. Kegarangannya
bagaikan naga muda yang siap melampiaskan segenap kemara-
hannya melalui teriakan tinggi hendak menohok
langit. Getaran suara Satria membahana.
Bergema. Daun-daun berguguran tak mampu mena-
hannya. Semua orang yang ada di tempat ini harus
menekan daun telinga kuat-kuat.
Tak urung pula Mahapati Bagaspati. Na-
mun di sisi lain dia jadi amat mengagumi pada
pemuda hijau yang sangat dikenalnya. Tadi pun
dia ingin langsung menyapa. Tapi karena Satria
telah terlibat pembicaraan seru dengan Ki Ageng Wirakrama, dia berusaha menahan
diri. Apalagi dalam hatinya timbul keyakinan kalau Satria
Gendeng pasti bisa mengatasi lawan. Itu yang
membuatnya tak ragu-ragu untuk membiarkan
Satria dalam menghadapi lawan.
"Bocah sialan! Bagaimana mungkin dia
memiliki tenaga dalam sehebat itu sementara
usianya belum seberapa"!" desis batinnya, mulai dirasuki kegentaran.
Sesaat suasana jadi bungkam. Kebisuan
telah memagut. Napas seakan tertunda untuk
melihat apa yang terjadi selanjutnya.
Mata tua Ki Ageng Wirakrama mulai terbu-
ka, siapa lawan yang dihadapinya. Kabar santer
yang selama ini tertangkap telinganya menjadi
nyata. Ketidakpercayaan pada kabar itu kini terberangus sudah. Dan tanpa sadar,
dia jadi ikut terbawa pesona yang terpancar gencar dari dalam diri pemuda perkasa yang telah
menjadi buah bibir dunia persilatan.
"Jangan memaksaku untuk menjadi malai-
kat maut buatmu, Orang Tua! Aku masih membe-
rimu kesempatan bertobat, walau kau telah
membunuhi prajurit-prajurit itu!"
Ada yang terasa bergetar dalam dada Ki
Ageng Wirakrama mendengar ucapan si pemuda.
Kegentaran mulai meruyak dalam dirinya. Apa
yang hendak diperbuat anak muda ini" LIMA
"HAI-AI-AIIII!!!"
Berkawal teriakan menggila, tubuh Satria
Gendeng berjumpalitan ke sana kemari. Lalu ge-
rakannya seperti orang menari-nari seperti orang suku pedalaman. Benar-benar
mirip orang gila
gerakannya. Kegilaan itu tak cukup sampai di si-tu. Kadang tubuhnya malah
melonjak-lonjak den-
gan mulut meringis-ringis.
Kegilaan apa yang tengah diperagakan si
pemuda" Tak ada yang tahu. Di balik gerakan-
gerakan tak beraturannya, justru terkandung se-
buah kekuatan dahsyat. Inilah jurus aneh yang
diwariskan Dongdongka alias Dedengkot Sinting
Kepala Gundul yang diberi nama 'Dedengkot
Gendeng Kegirangan'. Satria sendiri merasa be-
lum pernah menggabungkannya dengan Jurus
'Mencuri Bunga Karang'. Kalau itu sudah dilaku-
kannya, bukan tak mungkin Ki Ageng Wirakrama
makin tercekat lagi.


Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menghadapi jurus lawan mudanya saat ini
saja, lelaki tua itu sudah demikian terpukau.
Seabrek-abrek bergelimang dalam dunia persila-
tan, baru kali ini dia melihat jurus aneh yang tak ada pakemnya dalam aturan
jurus-jurus silat.
Semuanya serba ngawur dan acak.
Tapi, siapa sangka justru jurus itu yang
membuat Ki Ageng Wirakrama harus menambah
kewaspadaannya. Bahkan kalau saja lelaki tua
bangka itu menyadari, sebenarnya dalam tubuh
si pemuda tengah bergolak suatu kekuatan sakti
yang mengendap dalam tubuhnya. Hal ini terdo-
rong oleh naluri kependekarannya yang terbakar oleh pembantaian demi pembantaian
yang dilakukan si tua bangka itu.
"Sinting! Benar-benar sinting! Jurus apa
yang diperlihatkannya"!" desis Ki Ageng Wirakrama, bergidik.
Kejap selanjutnya, Satria telah merangsak
seperti banteng muda terluka. "Huiii-aiiii...."
Teriakan Satria Gendeng yang menyentak,
membuat Ki Ageng Wirakrama bertindak. Dalam
kuda-kuda kokohnya, dia berniat memamerkan
tingkat tenaga dalamnya. Bagi tokoh persilatan
yang patut diperhitungkan macam dia, adalah
suatu kepuasan tersendiri untuk memamerkan
tenaga dalam setinggi-tingginya. Apalagi, konon kabarnya Ki Ageng Wirakrama
berwujud setengah
manusia dan setengah siluman. Itu terjadi akibat perkawinannya dengan putri
siluman. Begitu terjangan tubuh lawan tiba, Ki
Ageng Wirakrama mengibas kedua tangannya ke
depan. "Heaaa...!"
Berrrr...! Luar biasa. Sebentuk angin putting beliung
tercipta dari kedua tangan si tua bangka itu. Me-
nerjang, melibas apa saja yang ada di depan.
Termasuk, terjangan lawan mudanya yang meng-
gila. Sekejapan, terjangan Satria Gendeng tertahan. Tapi di luar dugaan,
bentrokan barusan tak sanggup memenggal gerakan si pemuda. Saat ini,
kekuatan-kekuatan sakti yang telah mengendap
dalam tubuh Satria tengah bekerja. Maka kejap
berikutnya, Satria telah berhasil menelusup di pusat putaran angin.
Tak ada waktu lagi untuk menghindar bagi
Ki Ageng Wirakrama. Jarak dengan lawan mu-
danya telah demikian cepat. Dan....
Dash! Seketika itu juga tubuh Ki Ageng Wirakra-
ma melayang deras ke belakang, setelah tinju geledek lawan mudanya bersarang di
dadanya. Tak tanggung-tanggung, tubuhnya melayang sampai
lima belas tombak lebih.
"Bajingan!" rutuk Ki Ageng Wirakrama, begitu jatuh di tanah. Kedua tangannya
memegangi dada. Dia berusaha bangkit walau dengan ringi-
san jeleknya. Napasnya terasa sesak. Bahkan te-
rasa panas pada bagian dalam dadanya.
Di tengah kegeraman memuncak, pancaran
mata hijau Ki Ageng Wirakrama makin berkilatan.
Kini dia merasa harus mengerahkan aji pamung-
kasnya. Cepat dibuatnya beberapa gerakan untuk
menghilangkan sesak napas dalam dadanya. Kini
kakinya telah memancang bumi. Tatapannya nya-
lang ke arah Satria Gendeng yang telah berdiri
kokoh di tanah.
Menggeram. Kemurkaan Ki Ageng Wirakrama makin
berkobar. Sebagai tokoh tua, tak sudi dia dipermainkan bocah bau kencur macam
Satria Gen- deng. Maka saat itu pula tenaga dalamnya men-
galir deras ke matanya yang makin mencorong ta-
jam. Kejap berikutnya....
Slaps! Slapss! Dua buah sinar hijau menerabas udara.
Suara gesekannya terdengar melengking, menu-
suk telinga. Dari kedua mata yang mencorong itulah kedua sinar hijau itu muncul.
Menggila. Menciptakan asap hitam saat bergesekan dengan uda-
ra. Lebih gila lagi, kedua sinar hijau itu lantas
meliuk-liuk bagaikan ular yang hendak membelit.
Di tempatnya, Satria tercekat. Masih men-
gandalkan jurus 'Dedengkot Sinting Kegirangan'
dicobanya untuk bertahan. Si pemuda melompat
ke sana kemari sambil berjingkrakan. Memang ju-
rus ini juga menekankan pada segi pertahanan
dengan gerakan tak beraturan. Tapi sesungguh-
nya pula, dalam pertahanan itu sendiri tersimpan sebuah serangan mendadak dengan
gerakan-gerakan tak terduga.
Seperti memiliki mata, liukan kedua sinar
hijau lawan terus memburu Satria Gendeng. Ma-
kin cepat dan ganas. Hingga akhirnya.....
Wert! "Kehh...!"
Kedua biji mata Satria mendelik. Salah sa-
tu sinar hijau berhasil membelit lehernya. Sementara sinar yang satu lagi
menyusul membelit da-
danya. Bak tangan-tangan gaib, sinar-sinar itu
makin kuat mencengkeram. Dan napasnya pun
makin sesak saja. Kini tubuh kekar pemuda itu
menggeliat-geliat.
Akankah sampai di sini saja riwayat si pe-
muda perkasa"
* * * Malam kembali meraja.
Kebisuan mencekam terusik oleh suara
langkah kaki menuju Bukit Menjangan. Tiba di
sebuah pelataran bangunan mirip reruntuhan
candi, si pemilik langkah berhenti. Dalam sira-
man sinar bulan sabit, kepala sosok yang ting-
ginya hanya setengah tombak itu celingukan.
"Setan! Ke mana Kakang Ageng Wirakra-
ma" Katanya sekarang tinggal di tempat ini" Tapi kenapa sepi-sepi saja. Kok
tidak ada sambutan
untukku?" rutuk lelaki tua pendek yang tak lain Bocah Tua Sakti.
Si lelaki tua pendek kembali celingukan.
Sepi. Terpaan angin membelai kulitnya. Lembut.
Mempermainkan kumis dan jenggotnya yang
menjuntai ke bawah. Juga jubah abu-abunya
yang menggeletar berkibar-kibar.
Baru saja Bocah Tua Sakti hendak melan-
jutkan langkahnya....
Wesss.... Desir angin halus menerabas udara. Mem-
bawa sebentuk hawa kematian mengerikan. Ce-
pat, lelaki tua bangka ini menoleh ke belakang, asal desir angin halus tadi.
"Setan belang!" rutuknya, lalu cepat men-genyahkan tubuhnya ke samping kiri.
Sambaran si penyerang gelap lewat begitu saja.
Lima tombak di depan Bocah Tua Sakti,
seekor ular putih sepanjang satu tombak lebih
yang menjadi penyerang gelap berbalik. Mendesis-desis, siap melancarkan serangan
selanjutnya. Di tempatnya, Bocah Tua Sakti memasang
kewaspadaan. Kedua tangannya bersilang di de-
pan dada. Matanya tajam, mengikuti gerakan me-
liuk si ular putih.
Kejap berikutnya, si ular putih mencelat.
Melesat ganas, membelah udara. Desisannya ma-
kin keras, menggelitik lubang telinga.
"Ssss...!"
"Hih!"
Dua jengkal lagi si ular putih memagut, tu-
buh Bocah Tua Sakti membuat salto rendah. Di
udara, kedua tangannya bergerak cepat seperti
menepuk. Arahnya, kepala si ular putih.
Tep! Kepala ular putih berhasil dijepit kedua te-
lapak tangan Bocah Tua Sakti. Tepat ketika lelaki tua pendek itu sampai di bumi,
sebuah kenyataan lain menyentaknya.
"Setan kudis! Ular putih ini ternyata hanya sebuah tongkat putih! Ini jelas
sihir.... Sihir ini jelas.... Jelas ini sihir.... Jelas sihir ini..., ah! Aku
mau ngomong apa sih"! Oh, ya. Pasti ini perbuatan kakangku. Tapi, bukankah
tongkatnya ber-
warna hitam kusam" Apakah..., Nini Berek! Ke-
luar kau"! Aku muak dengan sihir murahan yang
kau buat! Ayo, cepat!" tiba-tiba Bocah Tua Sakti berteriak. Tak tanggung-
tanggung, tenaga dalam
tinggi langsung tersalur dalam suaranya.
"Hi hi hi.... Aku belum tuli, Bocah Tua Sak-ti. Dan lagi, kenapa mesti harus
berteriak-teriak kalau aku ada di atas kepalamu?"
Bocah Tua Sakti terjingkat. Kepalanya kon-
tan mendongak. Terlihat satu sosok tubuh tengah menggantung di sebuah ranting
kecil pohon be-limbing. Bak kelelawar, kakinya berada di atas, sementara
kepalanya hanya beberapa jengkal di
atas kepala Bocah Tua Sakti.
"Bah! Lagakmu seperti codot saja, Nini Be-
rek! Ayo turun. Lihat! Dua bola di dadamu nyaris jatuh. Apa kau tidak malu?"
seru Bocah Tua Sakti.
Sejenak sosok perempuan yang menggan-
tung di ranting kecil itu melirik ke arah tonjolan besar di dadanya. Lalu
bibirnya tersenyum nakal.
"Ah, dasar pikiranmu saja yang kotor, Bo-
cah Tua Sakti. Tapi kalau kau mau, bolehlah
mencicipi," ledeknya, makin nakal.
"Dasar perempuan siluman! Tak boleh me-
lihat lelaki nganggur sedikit. Bisa-bisa aku perang
tanding dengan Kakang Ageng Wirakrama. Masa'
istri kakak sendiri dimakan juga. Ayo, cepat turun!" Perempuan yang
menggelantung itu mem-berengut. Rayuannya tak mempan membang-
kitkan kelaki-lakian adik iparnya. Dari mengge-
lantungnya, dia melompat dengan satu putaran
indah. Manis sekali gerakannya, bertanda kepan-
daiannya tak bisa diragukan lagi.
Tentu saja. Wong perempuan ini keturunan
siluman. Waktu menggantung tubuhnya tadi,
ranting kecil sebesar lidi itu sama sekali tak melengkung. Apalagi berayun-ayun.
Seolah yang menggandul adalah sebentuk asap berwujud ma-
nusia saja. Menginjak tanah, perempuan bernama Nini
Berek tersenyum. Wajahnya terlihat cantik. Pa-
dahal, usianya nyaris tak terhitung. Rambutnya
hitam digelung. Tubuhnya padat. Pakaiannya ke-
tat berwarna kuning, sama dengan kulitnya.
"Kembalikan tongkatku!" ujarnya, tegas.
Bocah Tua Sakti melempar tongkat putih di
tangannya yang tadi berwujud ular putih. Wajah-
nya menyiratkan ketidaksenangannya terhadap
istri kakaknya ini.
"Mana Kakang Ageng Wirakrama?" ta-
nyanya langsung.
"Mana kutahu" Aku saja baru kembali dari
Laut Selatan untuk bertemu Nyai Roro Kidul," sahut Nini Berek.
"Lantas kenapa kau harus merubah wujud
mu jadi perempuan cantik seperti ini kalau hanya untuk bertemu sesama siluman?"
"Biasa.... Aku perlu sari pati pemuda-
pemuda bodoh untuk menambah gairahku pada
Kakang Ageng Wirakrama. Tapi, baiklah. Aku
akan merubah wujudku dulu."
Di ujung kalimatnya, Nini Berek melipat
tangannya di depan dada. Matanya terpejam den-
gan mulut komat-kamit. Lalu....
Besss.... Perlahan namun pasti, sekujur tubuh pe-
rempuan ini telah terkepung asap putih. Berawal tipis, lalu menebal. Kejap
kemudian, asap mulai terusir oleh angin malam. Bocah Tua Sakti terpaksa menutup
hidungnya, karena bau asap begi-
tu busuk, menyodok-nyodok pernapasannya.
Asap menghilang.
Pemandangan mengerikan terpampang.
Wujud Nini Berek tak lagi seorang perem-
puan cantik. Yang ada di hadapan Bocah Tua
Sakti sekarang adalah perempuan tua bertubuh
melengkung berpakaian jubah warna kelabu.
Tongkat putih menjadi penyangga tubuhnya yang
keropos. Wajahnya mengerikan. Penuh borok ber-
lendir berbau busuk. Rambutnya tak lagi hitam
Iblis Penebus Dosa 1 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Renjana Pendekar 12
^