Pencarian

Setan Madat 2

Satria Gendeng 16 Setan Madat Bagian 2


tapi mereka juga merasa sudah terlalu tua untuk
menambah ilmu. Paling tidak membutuhkan wak-
tu puluhan tahun, begitu kata mereka waktu itu.
Sementara usia mereka hanya tinggal sisa-sisa
saja. Itu pun kalau Tuhan berbaik hati dengan
memanjangkan usia mereka.
Tapi anehnya, walaupun sampai saat ini
Tuhan masih memanjangkan umur mereka, tetap
saja Jalak Merah dan Laba-laba Hijau tak pernah
berpikir untuk tobat.
Kedua lelaki bangkotan ini sebenarnya
saudara satu perguruan aliran putih. Karena ke-
duanya kepergok berzina dengan beberapa gadis
desa, sang Guru mengusir mereka dari pergu-
ruan. Bahkan sang Guru sempat bersumpah, ke-
dua murid bejadnya itu tak akan punya kejanta-
nan lagi. Apalagi untuk mempunyai istri. Dan
nyatanya, sumpah itu terbukti. Dua bulan kemu-
dian, burung milik Jalak Merah seolah seperti
mati. Sedangkan milik Laba-laba Hijau, masih
untung sedikit. Kendati bisa berkluruk, tapi cuma sesaat. Setelah itu, bocor....
Sejak itulah kedua lelaki ini memutuskan
untuk terjun ke dunia sesat....
* * * Arya Wadam pura-pura tertidur. Napasnya
diatur sedemikian rupa agar dengkurannya ter-
dengar wajar. Sosok di luar kamar mulai membuka pintu.
Hati-hati sekali. Baru saja pintu terbuka sedikit, mendadak pintu tertutup
kembali. Mungkinkah
sosok itu tahu kalau Arya Wadam belum tidur"
Kenapa dia tidak jadi masuk" Padahal, Arya Wa-
dam sudah siap mengempos tenaganya untuk
membekuk orang yang hendak memasuki ka-
marnya. Penasaran, Arya Wadam bangkit. Penuh
kehati-hatian, gadis ini segera mendekati pintu.
Telinganya dipasang tajam-tajam di daun pintu.
Tak ada suara mencurigakan, selain desah napas
di balik pintu.
Tangkas dan waspada, Arya Wadam mem-
buka pintu. Wutt!!! "Eh"!"
* * * "Siapa kau"!" terabas Arya Wadam, lang-
sung meringkus seorang wanita di depan pintu
kamarnya. "Ma..., maaf Nona Pendekar. A..., aku pe-
layan kedai yang petang tadi Nona Pendekar to-
long," gagap si pelayan kedai.
"Ada apa kau ke sini" Mengapa sikapmu
begitu mencurigakan?" terjang Arya Wadam, namun segera melepas ringkusannya.
"Maaf, Nona Pendekar...."
"Panggil aku Arya Wadam!"
"Baik, Non, eh! Arya Wadam. Begini,
mmm.... Bolehkah kita berbincang-bincang di da-
lam?" pinta wanita pelayan itu.
Arya Wadam tercenung sejenak. Lalu,
"Baik. Masuklah."
Si wanita pelayan segera masuk kamar.
Arya Wadam mengikuti. Mereka sama-sama
menghenyakkan pantat di ranjang kamar, setelah
Arya Wadam menutup pintu rapat-rapat.
"Nah, sekarang ceritakan, apa maksudmu
datang ke kamarku secara mencurigakan?" to-
dong Arya Wadam, langsung saja setelah menya-
lakan lampu minyak dengan pemantik api.
"Aku perlu hati-hati ke sini, Arya. Mereka
sangat berbahaya," jelas si pelayan.
"Mereka" Siapa mereka?" Kening Arya Wa-
dam berkerut. "Anak buah Setan Madat. Mereka ada di
mana-mana."
"Lalu, apa urusannya denganku?"
"Kau adalah seorang pendekar, Arya. Aku
yakin itu. Setelah kau membuat pontang-panting
anak buah Setan Madat petang tadi, aku diam-
diam mengikutimu, hingga aku tahu kau mengi-
nap di sini. Dan ketika aku kembali ke kedai telah ada orang-orang berpakaian
serba hitam lainnya
dan seorang lelaki setengah baya berpakaian pan-
glima Kerajaan Demak. Untungnya mereka tak
tahu kalau lima orang teman mereka sebelumnya
habis kau lumpuhkan di kedai itu"
"Langsung saja ke pangkal persoalannya!"
ujar Arya Wadam, tak sabar.
"Baik. Ketika aku tiba di sana, aku mencuri
dengar pembicaraan mereka. Ternyata, panglima
Kerajaan Demak itu akan membuat pemberonta-
kan terhadap Raja. Untuk itu, dia perlu dana un-
tuk menyuap prajurit-prajurit Demak agar ikut
memberontak. Dan dana itu akan diperolehnya
dari Setan Madat. Sebab dari hasil penjualan ma-
datnya, Setan Madat kini sudah seperti raja kecil saja," papar si pelayan.
Arya Wadam manggut-manggut. Tudung-
nya tak dikenakan lagi. Maka wajah cantiknya
pun jadi bahan kekaguman si pelayan. Dia tak
menyangka ada pendekar wanita begitu cantik.
Muda, lagi. Sepengetahuannya, seorang pendekar
telah berusia tua dan berwajah pas-pasan. Tapi
begitu melihat Arya Wadam, pendapatnya pun
tersapu begitu saja.
"Lantas, apakah panglima itu masih ada?"
tanya Arya Wadam, mulai tertarik.
"Kira-kira sudah sepeminum teh dia me-
ninggalkan kedai bersama orang-orang berpa-
kaian serba hitam itu," ungkap si pelayan.
"Ke mana mereka pergi?"
"Menurut yang kudengar, ke Hutan Sa-
wangan." Arya Wadam tercenung kembali. Dia beru-
saha mengingat, di mana letak Hutan Sawangan.
Suasana hening dalam keremangan lampu
minyak. Mendadak.... Wusss!!! "Awass...!"
Arya Wadam langsung menubruk si pe-
layan. Suara angin menderu yang mengiringi lun-
curan sebuah benda berkilatan sempat dirasakan
Arya Wadam. Kepekaan nalurinya mengisya-
ratkan ada bahaya mengintai.
Clap! Benda berkilatan tadi langsung menancap
di pintu kamar. Arahnya dari dinding bilik tepat
di belakang mereka. Begitu jatuh di lantai bersa-
ma si pelayan, Arya Wadam langsung menghu-
jamkan pandangannya ke arah benda berkilatan
tadi yang menancap di pintu. Sebuah belati.
Penuh kesigapan, Arya Wadam bangkit
berdiri. Lalu....
"Hiaaa...!"
Brosss...! Dinding bilik penginapan diterjang Arya
Wadam. Seketika tercipta lobang besar seukuran
tubuhnya. Si penerjang sendiri segera menda-
ratkan kakinya di luar kedai. Matanya nyalang
menyapu ke sekeliling. Sepi.
Penasaran, Arya Wadam berkelebat menge-
lilingi penginapan. Tetap tak ada seorang pun
yang ditemuinya. Hanya keremangan yang ada
dan tiupan angin yang mendengus-dengus. Arya
Wadam yakin, si pelempar pisau memiliki kepan-
daian tinggi. Buktinya, begitu cepat dia menghi-
lang setelah melempar pisau. Tapi siapa"
Kelima lelaki yang kuhajar petang tadi" Ti-
dak mungkin! Sanggah Arya Wadam dalam hati.
Kepandaian mereka belum seberapa. Gerakan si-
lat mereka masih lambat dan kasar, walaupun
mempunyai tenaga dalam lumayan. Sedang si pe-
lempar pisau, selain mempunyai indera penden-
garan tinggi, juga mempunyai Ilmu meringankan
tubuh sempurna. Buktinya, dia bisa menentukan
di mana sosok manusia yang jadi sasarannya,
dan cepat bisa menghilang begitu habis melempar
pisau. Di depan kedai, Arya Wadam masih ber-
tanya-tanya sendiri dalam hati. Tapi sebelum se-
mua pertanyaannya terjawab....
"Aaa...!"
Arya Wadam tercekat. Ingatannya langsung
tertuju pada si pelayan di kamarnya. Entah kena-
pa, dia begitu mencemaskannya. Maka cepat ga-
dis ini masuk ke dalam kedai.
Apa yang terjadi pada diri si pelayan..."
*** ENAM AKU menugaskan pada kalian berdua un-
tuk merebut Kail Naga Samudera dari Satria Gen-
deng!" titah Setan Madat kepada Jalak Merah dan Laba-laba Hijau.
Tercekat kedua lelaki bangkotan itu. Seke-
japan mereka saling memandang, lalu beralih pa-
da Setan Madat. Sinar mata mereka sarat akan
keragu-raguan. "Apa tidak salah pendengaran kami, Ke-
tua?" Jalak Merah menyahuti.
"Apa kau sudah tuli, Jalak Merah?" balik
Setan Madat. "Kail Naga Samudera amat dahsyat, Ke-
tua?" bela Laba-laba Hijau.
"Tapi pemiliknya hanya pemuda kemarin
sore, bukan?"
Memang, pemiliknya pemuda kemarin sore.
Tapi kepandaiannya" Jalak Merah dan Laba-laba
Hijau menggerutu dalam hati. Bisa jadi seenak-
nya Setan Madat berkata begitu, karena memang
belum menjajal kehebatan pendekar tengik murid
Dongdongka dan Ki Kusumo itu.
"Jangan khawatir. Kalian besok akan di-
bantu sahabatku dari Negeri Gajah Putih. Na-
manya Pratamp Shirapong. Dia ahli melempar pi-
sau. Sekarang dia sedang berada di Desa Karang-
kemboja Wetan untuk membantu Sugiri yang ka-
tanya mempunyai persoalan dengan seorang pen-
dekar bertudung. Sebentar lagi dia juga datang.
Mungkin bersamaan waktunya dengan kedatan-
gan Panglima Ganang Laksono di istanaku ini,"
cetus Setan Madat.
Legalah hati kedua lelaki bangkotan itu.
Sesak napas yang mendadak menyerang dada
sirna sudah. Dan sebelum ada yang membuka
suara, dari arah pintu datang seorang pemuda
berpakaian serba hitam.
Si pemuda memberi hormat sejenak. Tu-
buhnya dibungkukkan sedikit. Lalu dibukanya
senyum lebar. "Ketua, tamu kehormatan telah tiba," lapor si pemuda.
"Suruh langsung masuk," sahut Setan Ma-
dat. "Baik," Si pemuda segera menghormat lagi.
Lalu dia berjalan gagah keluar.
Tak ada sepuluh hitungan, dari arah pintu
muncul seorang lelaki setengah baya. Pakaiannya
jelas menandakan kalau dia adalah seorang pan-
glima kerajaan. Wajahnya kokoh dihiasi kumis
dan brewok. Pancaran matanya tajam. Di ping-
gangnya terselip sebuah pedang.
"Selamat datang di istana kecilku, Pangli-
ma Ganang Laksono," sambut Setan Madat. Si-
kapnya terkesan dibuat-buat.
"Terima kasih sobatku, Setan Madat.
Sungguh suatu kehormatan besar aku bisa ber-
temu denganmu, setelah sekian tahun kita tidak
berjumpa," ucap Panglima bernama Ganang Lak-
sono ini. Kedua lelaki ini saling bersalaman. Setan
Madat lantas membawa sahabatnya ke kursi di
sebelahnya. "Tak perlu banyak beristiadatan di istana-
ku, Panglima. Kau dan aku sudah seperti sauda-
ra. Kalau tiada kau, mana mungkin aku berhasil
membawa bibit-bibit madat ke tanah Jawadwipa
ini. Walhasil, aku kini bagaikan raja kecil di Hutan Sawangan ini. Kekayaanku
sekarang melim-
pah. Dan itu berkat jasamu, Panglima," kata Setan Madat.
"Dan kau sekarang mengerti kepentingan-
ku, bukan?" todong Panglima Ganang Laksono,
tanpa tedeng aling-aling.
"Oh, tentu. Tentu, Panglima. Berapa pun
biaya yang kau butuhkan, aku pasti akan mem-
bantu mewujudkan cita-citamu dalam merebut
takhta Kerajaan Demak. Dengan begitu, bukan-
kah nantinya kita akan meningkatkan kerja sa-
ma?" Panglima Ganang Laksono tertawa terba-hak. Ada nada kepuasan dalam setiap
tarikan ta- wanya. "Oh, ya. Kuperkenalkan para pembantu-
ku," lanjut Setan Madat. "Yang memakai pakaian serba merah bernama Jalak Merah.
Sedangkan yang berpakaian serba hijau bernama Laba-laba
Hijau." Kedua tokoh sesat yang disebut Setan Madat berdiri dari duduknya. Tubuh


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka mem- bungkuk sedikit, memberi hormat pada Panglima
Ganang Laksono. Sementara sang panglima
hanya mengangguk sedikit. Pelit kelihatannya un-
tuk memberi balasan penghormatan lebih banyak.
Maklum, pejabat kerajaan rata-rata memang begi-
tu. Terutama, mereka yang merasa dirinya dibu-
tuhkan. "Aku juga mengundang sahabatku dari Ne-
geri Gajah Putih. Sebentar lagi dia akan muncul.
Namanya, Pratamp Shirapong. Setelah dia menye-
lesaikan tugasku, dia bisa kau pinjam untuk
membantumu merebut takhta kerajaan. Dia ahli
melempar pisau. Kau pasti tertarik dengan ke-
pandaiannya," tambah Setan Madat.
"Terima kasih, atas jerih payahmu, Setan
Madat. Aku tak akan melupakan budimu. Kelak
bila aku berhasil merebut takhta, kau akan kua-
ngkat menjadi salah satu menteriku," sambut
Panglima Ganang Laksono.
"Ha ha ha.... Dan aku akan dikelilingi ba-
nyak selir. Ha ha ha.... Kalau begitu dari sekarang aku mesti rajin minum ramuan
obat kuat, biar
tak cepat loyo.... Ha ha ha...."
Tawa meledak di ruangan ini. Bahu mas-
ing-masing berguncang keras, seolah cita-cita me-
reka sudah tergenggam di telapak tangan. Ada
keyakinan kuat di hati sang Panglima. Betapa ti-
dak" Kadipaten Kutowinangun dan Kadipaten
Purworejo telah siap mendukungnya dalam mere-
but takhta Kerajaan Demak. Apalagi sekarang di-
bantu beberapa tokoh hitam berkepandaian lu-
mayan. Panglima Ganang Laksono adalah salah sa-
tu panglima yang tak puas dengan aturan kera-
jaan. Dia telah cukup lama mengabdi di kerajaan,
tapi tetap saja pangkatnya masih panglima. Dia
berharap, Raden Sutawijaya yang menjadi raja
saat itu mengangkatnya menjadi adipati di salah
satu wilayah kekuasaan Demak. Lelaki ini merasa
sudah sangat berjasa kepada kerajaan, tapi na-
sibnya tak masuk hitungan. Malah, kawan-
kawannya yang waktu itu masih menjadi pung-
gawa kini sudah berpangkat panglima. Bahkan
sudah ada yang diangkat menjadi adipati di wi-
layah timur Demak
Ketidakpuasan itu menimbulkan dendam.
Ibarat api tersiram minyak, dendam itu makin
membara ketika adik Panglima Ganang Laksono
dihukum mati karena dituduh melarikan istri
orang. Saat itu sang Panglima hanya pasrah. Tapi
dalam hatinya, dia merasa harus melaksanakan
dendamnya itu. Dalam suatu kesempatan, Panglima Ga-
nang Laksono pergi ke Kadipaten Kutowinangun.
Sang Adipati yang masih kakak ipar Panglima
Ganang Laksono, gampang saja termakan bujuk
rayu. Demikian pula Adipati Purworejo yang ma-
sih sepupunya. Mereka semua termakan ucapan
berbisa sang Panglima, sehingga bersedia mem-
bantu untuk meruntuhkan takhta Kerajaan De-
mak. Tentu saja, untuk mewujudkan impiannya
itu Panglima Ganang Laksono butuh biaya ba-
nyak. Dasar nasibnya sedang bagus, di pantai
Demak dia bertemu seorang saudagar yang men-
gaku bernama Warengkeh. Ketika sang panglima
bermaksud menangkapnya karena si saudagar
membawa berkarung-karung bibit madat dalam
perahunya, timbullah dalam benaknya untuk
memanfaatkan saudagar itu.
Dari kesepakatan yang terjadi, Panglima
Ganang Laksono akan memperoleh biaya dari Wa-
rengkeh yang kemudian dikenal sebagai Setan
Madat. Sedangkan Setan Madat diberi perlindun-
gan menanam bibit-bibit madat itu di tempat yang
tersembunyi. Bila panen, madat-madat itu akan
dijual ke seluruh pelosok lewat kaki-kaki tangan
Setan Madat. Dan hasilnya dibagi dua, antara Se-
tan Madat dengan Panglima Ganang Laksono.
Sekian tahun, Setan Madat menjual madat
itu hanya sembunyi-sembunyi. Tapi beberapa
purnama belakangan ini, dia menjualnya secara
terang-terangan. Dan bila ada kaki tangannya
yang tertangkap, maka Panglima Ganang Lakso-
nolah yang membebaskannya.
* * * Brakk! Arya Wadam mendobrak pintu kamar pen-
ginapannya. Tapi di tempat tidurnya telah tergo-
lek si pelayan wanita yang menemuinya tadi. Te-
pat di dada kirinya tertancap sebilah belati. Cepat wanita itu menghampiri si
pelayan. Tak ada gerakan sedikit pun pada tubuh si
pelayan ketika Arya Wadam memeriksa. Si pe-
layan telah mati.
"Sialan! Rupanya si pelempar pisau meng-
gunakan kesempatan selagi aku mencarinya.
Atau, si pelempar pisau ada beberapa orang. Satu
orang memancingku agar keluar, sementara yang
lainnya masuk melalui pintu" Ya, aku yakin begi-
tu," bisik Arya Wadam berkata sendiri.
Selagi Arya Wadam membenahi mayat si
pelayan, dari arah pintu bermunculan beberapa
keamanan dan orang-orang yang menginap di
penginapan ini.
"Dia pembunuhnya, Kisanak. Aku melihat-
nya," tunjuk seorang lelaki berpakaian serba hitam pada Arya Wadam.
Arya Wadam mengenali orang yang menun-
juknya. Dia adalah salah seorang lelaki anak
buah Setan Madat yang dibuat pontang-panting
olehnya petang tadi.
"Slompret! Jangan menuduh sembarangan,
Keparat! Aku sedang memeriksanya, tahu"!" bentak Arya Wadam, kalap.
"Bohong! Aku tadi melihatnya. Dia men-
gendap-endap masuk kamar ini lalu sekejap ke-
mudian terdengar teriakan. Pasti dia pelakunya!
Ayo kita tangkap!"
"Wah, jadi gawat urusannya!" desis Arya Wadam perlahan dengan sikap waspada.
Percuma saja sepertinya Arya Wadam be-
rusaha berkelit. Sebab, orang-orang di depan pin-
tu mulai mengurungnya. Sejenak tatapannya
menghujam pada lelaki yang memfitnahnya. Dia
melihat, lelaki itu tersenyum penuh kemenangan.
Arya Wadam tak ingin ada korban jatuh
dari orang-orang tak bersalah. Dia tahu pasti, pa-ra lelaki yang mulai bergerak
ke arahnya ini hanya terpengaruh ucapan lelaki berbaju hitam
itu. Untuk meladeni, rasanya tidak pada tempat-
nya. Untuk itu, Arya Wadam merasa lebih baik
menghindar. "Hap!"
Lewat satu teriakan, Arya Wadam melent-
ing ke belakang. Langsung diterobosnya lobang
pada dinding yang dibuatnya tadi, ketika menge-
jar orang yang melempar pisau. Begitu mendarat,
tubuhnya segera melesat meninggalkan kedai.
Cepat sekali Arya Wadam berlari. Samar-
samar telinganya masih mendengar seruan orang-
orang yang mengejarnya. Tapi dia tak peduli. Le-
satannya makin cepat, menuju Desa Sedayu....
* * * "Tak kusangka, pendekar bertudung itu
ternyata seorang wanita. Dialah yang mempecun-
dangi teman-temanku, Tuan Pratamp! Aku harus
mengejarnya!" kata seorang lelaki berpakaian serba hitam di depan penginapan di
Desa Karang- kemboja Wetan. "Tak perlu, Sugiri!" sergah lelaki setengah baya berpakaian dari kulit gajah
yang disamak halus. Di sekeliling pinggangnya berjejer barisan belati. Wajahnya lebar dengan
mata agak sipit.
Hidungnya mekar berlobang besar. Tanpa kumis
dan jenggot. Rambutnya sebahu, tapi botak pada
bagian atasnya. Celananya pangsi berwarna hi-
tam. Dialah Pratamp Shirapong dari Negeri Gajah
Putih atau Campa (Negeri Gajah Putih atau Cam-
pa, sekarang dikenai sebagai Muang-
thai/Thailand di Semenanjung Malaka. Di nege-
rinya dia dikenai sebagai Belati Iblis).
"Kenapa, Tuan Pratamp?" tukas lelaki bernama Sugiri. Nadanya kurang puas.
"Jangan terlalu buang tenaga, Sugiri," jelas
Pratamp Shirapong dengan logat Campa yang
kental. "Pertama kita harus cepat kembali ke Hutan Sawangan. Kedua, besok kita
harus menuju Desa Sedayu. Ketiga, pendekar wanita itu akan
berpikir dua kali jika kembali ke desa ini. Jelas penduduk desa ini telah
mengenalinya. Sehingga
ruang gerak wanita itu akan sangat ter-batas.
Dan kau sendiri akan bebas menjalankan tugas
Setan Madat dalam menyebar madat di desa ini.
Kau paham?"
"Wah, Tuan Pratamp ternyata sangat cer-
dik. Tak percuma Ketua mengundang Tuan ke
Jawadwipa ini," puji Sugiri.
Pratamp Shirapong makin membusungkan
dada dipuji begitu. Tarikan senyumnya justru
menyiratkan kalau dia sangat meremehkan ke-
pandaian para penduduk pribumi. Termasuk, Su-
giri. Baginya, Sugiri tak lebih dari kucing buduk.
Mengeong-ngeong terlalu keras, begitu digertak
lari terbirit-birit.
Bukan tanpa alasan Sugiri memuji Pra-
tamp Shirapong begitu tinggi. Sewaktu kembali ke
Hutan Sawangan setelah dia dan empat kawan-
nya petangnya dibuat pontang-panting oleh Arya
Wadam, Sugiri sudah melihat kehebatan Pratamp
Shirapong dalam melempar pisau.
Dengan mata tertutup, dari jarak sekitar
sepuluh tombak Pratamp Shirapong mampu
membidik sasaran yang hanya berupa sebiji buah
duku. Tak tanggung-tanggung, sebutir buah duku
sebesar kelereng itu diletakkan di atas kepala bo-
tak salah seorang anak buah Setan Madat. Begitu
pisau meleset....
Wesss....! Tak! Brukk! Bukan hanya buah duku yang terpental.
Lelaki botak yang kepalanya dijadikan tempat
menaruh duku pun ambruk pingsan. Betapa ti-
dak" Semula dia dengan gagahnya menyediakan
kepalanya untuk ditaruh buah duku. Dipikirnya,
mata Pratamp Shirapong tak ditutup. Tapi begitu
salah seorang anak buah Setan Madat menutup
mata lelaki dari Negeri Campa itu, si lelaki botak mulai menggigil ketakutan.
Wajahnya pucat bukan main. Matanya melotot nyaris keluar dari
rongganya. Dengkulnya gemetar. Dan dari se-
langkangannya muncul mata air berbau pesing
bukan main. Ketika buah duku tersambar pisau, kesa-
daran lelaki botak itu telah lenyap bersama angin lalu. Kasihan dia. Maunya sih
sok gagah di depan
Setan Madat. Tak tahunya, malah disiram air sa-
tu ember untuk menyadarkannya.
Di malam itu, Sugiri tak kuat menahan ta-
wanya melihat si lelaki botak menderita lahir ba-
tin begitu. Tapi. Justru tawanya mengundang
perhatian Pratamp Sharapong. Dan sekali lelaki
dari Campa ini mengebutkan tangannya....
Wess.... Clap! "Aaahh.... "
Sugiri mendesah lirih. Dia yang saat itu
berdiri bersender di bawah tiang soko guru ke-
diaman Setan Madat melirik ke bawah. Dan jan-
tungnya nyaris copot ketika melihat pisau yang
dilemparkan Pratamp Shirapong menancap di de-
kat selangkangannya, langsung menembus tiang
dari kayu berukir. Untung saja pisau itu hanya
menembus kain celana, hanya beberapa rambut
dari kantong menyannya. Tapi tak urung, ada
mata air berbau pesing pula yang tiba-tiba mun-
cul dari situ...
Keyakinan makin bertambah, ketika di De-
sa Karangkemboja Wetan Pratamp Shirapong
membuktikan keahliannya dalam menentukan
sasaran. Hanya sayang, waktu itu yang jadi sasa-
ran Arya Wadam. Sehingga tak mudah bagi si pi-
sau menyentuh pendekar wanita itu.
Kepergian Pratamp Shirapong ke desa ini
juga berkat perintah Setan Madat, setelah Sugiri
melaporkan bahwa dia dan empat kawannya di-
ganggu oleh seorang pendekar bertudung.
Selesai melaporkan, bersama Pratamp Shi-
rapong, Sugiri kembali ke kedai, tepat ketika Panglima Ganang Laksono belum lama
meninggalkan kedai. Setelah bertanya-tanya, Sugiri mendapat
keterangan kalau pendekar bertudung itu mengi-
nap di seberang kedai tempat terjadi keributan
petang sebelumnya.
***

Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

TUJUH NANTI malam, purnama tiba.
Seperti peraturan yang dibuat Setan Ma-
dat, pada malam itu Kepala Desa Rengges harus
sudah menyiapkan upeti, seorang gadis, dan seo-
rang lelaki yang akan dibawa ke Hutan Sawan-
gan. Bila purnama-purnama sebelumnya Ki
Rengges akan penuh suka cita menyerahkan se-
mua permintaan Setan Madat, kali ini nanti dulu.
Apalagi gadis yang akan diserahkan kali ini ada-
lah anaknya sendiri. Ratih. Karena pada surat Se-
tan Madat kemarin siang, Ki Rengges diharuskan
untuk menyerahkan anak gadis satu-satunya pa-
da Setan Madat. Itu setelah beberapa hari yang
lalu, lelaki sesat itu melihat dengan mata kepala sendiri, betapa cantiknya anak
Ki Rengges. Selain sayang pada anak satu-satunya,
tentu saja Ki Rengges amat kecewa, karena Setan
Madat telah melanggar janjinya. Karena sebelum
Ki Rengges jadi pengikutnya, Setan Madat berjanji untuk tidak mengganggu
keluarga kepala desa
itu. Tapi, memang sia-sia bersepakat dengan to-
koh sesat macam Setan Madat. Janji tinggal janji.
Soal dipenuhi, sampai berak kapur tak akan ter-
jadi. Sejak itulah Ki Rengges sadar akan kekeli-
ruannya. Apalagi setelah di desanya datang seo-
rang pendekar muda bernama Satria. Lelaki tua
ini bertekad untuk menentang Setan Madat. Dan
untuk menebus dosa-dosanya pada para pendu-
duk dia bertekad untuk ikut menghadang para
pengikut Setan Madat.
Tapi, Satria Gendeng punya siasat tersen-
diri. Si pemuda tengik ini cukup mengerti dengan
tekad Ki Rengges. Namun dia tak bisa membiar-
kan Ki Rengges bertarung dengan mengandalkan
kepandaian yang seadanya. Sebab dengan keja-
dian kemarin, si pemuda yakin kalau Setan Ma-
dat akan membawa kekuatan yang lebih kuat.
Siasat apakah yang akan dijalankan pe-
muda bertabiat tengik itu"
* * * Seperti biasa, Ki Rengges menyambut para
anak buah Setan Madat dengan pesta besar. Ma-
kanan dan minuman berlimpah ruah. Juga ma-
dat. Ruangan di rumah Ki Rengges bagaikan di-
penuhi kabut. Semuanya menyesakkan dan me-
mabukkan. "Bagaimana, Ki Rengges" Apakah kau su-
dah menyediakan semua permintaan Setan Ma-
dat?" tanya Jalak Merah. Lelaki berpakaian serba merah ini duduk berdampingan
dengan Laba-laba
Hijau. Sedangkan Pratamp Shirapong yang me-
mang ditugasi untuk mengawal kedua lelaki
bangkotan itu duduk di sebelah Ki Rengges.
Di ruangan yang mereka tempati tak ba-
nyak dikepung oleh asap rokok berisi madat, ka-
rena berada paling dalam. Ki Rengges berusaha
untuk tidak mengundang kecurigaan dengan ber-
sikap sewajarnya.
"Oh, itu. Semuanya sudah kusiapkan," sahut Ki Rengges, pendek.
"Lantas. Ke mana pemuda bernama Satria
yang kemarin menjadi tamu asing di desa ini?" cetus Laba-laba Hijau. Dia mana
sudi mengatakan,
mana pemuda yang mengalahkannya"
"Dia sudah pergi kemarin," sahut Ki
Rengges, pendek lagi.
"Kalau dia masih ada, pasti akan berlutut
minta ampun pada kami. Kau lihat. Di sebelahmu
duduk seorang tokoh tingkat tinggi dari Negeri
Campa. Dia ahli melempar pisau. Namanya, Pra-
tamp Shirapong," kata Laba-laba Hijau bangga.
Matanya mengarah pada Pratamp Shirapong.
"Siapa" Macam Ompong?" Ki Rengges
mendekatkan telinga ke arah Laba-laba Hijau.
Mungkin karena di ruang depan sana suasana
terlalu dikepung kebisingan. Atau memang Ki
Rengges sendiri yang sudah rada tuli"
"Jangan sembarangan kau, Ki!" ledak Laba-laba Hijau. "Dia tak akan memberi ampun
pada setiap lawan!"
"Oh, maaf. Habis, di luar berisik sekali,"
ucap Ki Rengges buru-buru. "Siapa tadi?"
"Pratamp Shirapong."
Ki Rengges tak mau menyebut nama itu.
Takut salah. Kalau salah lagi, lelaki dari Negeri Campa di sebelahnya sudah
mengepalkan jari
tangannya. "Nah, sekarang, cepat keluarkan anak ga-
dismu, Ki Rengges. Setan Madat sepertinya sudah
tak sabar untuk memilikinya," cetus Jalak Merah.
"Sabar, sabar. Nikmatilah makanan di
ruangan depan sana dulu. Istriku masak sangat
banyak tadi siang," ujar Ki Rengges.
"Tidak. Kami tidak lapar. Cukup tuak ini
saja yang menjadi hidangan kami," tolak Laba-laba Hijau.
Jawaban Laba-laba Hijau agaknya mewaki-
li Jalak Merah dan Pratamp Shirapong. Buktinya,
kepala mereka mengangguk-angguk tanda setuju.
Tapi bagi Ki Rengges jawaban itu makin mem-
buatnya gelisah.
Gawat! Bisa gagal rencana Satria! Gerutu
Ki Rengges dalam hati. Matanya sebentar-
sebentar melirik ke kamar Ratih. Lalu ke arah ke-
ramaian di depan sana. Keringat dingin mulai
membasahi tubuhnya.
"Kenapa kau, Ki" Kau gelisah sekali" Ada
yang mengkhawatirkanmu?" tanya Laba-laba Hi-
jau, curiga. "Ah, tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya ma-
suk angin sedikit," tangkis Ki Rengges.
"Apa kau keberatan anak gadismu dibawa
ke Hutan Sawangan" Kalau keberatan bilang saja.
Jadi kami gampang memberesimu sekarang juga,"
kali ini Pratamp Shirapong yang buka mulut sete-
lah dari tadi diam saja. Mungkin manusia ini ter-
lalu asyik dengan suguhan madat Ki Rengges.
Buktinya matanya memerah saat menatap nya-
lang pada lelaki tua kepala desa itu.
"Tid..., tidak. Ak..., aku tidak keberatan.
Tap..., tapi hanya merasa sedih harus berpisah
dari anakku," gagap Ki Rengges.
"Bagaimana kau ini, Ki. Kau kan salah satu
anggota Setan Madat. Dan kau bebas menengok
anakmu di Hutan Sawangan kapan saja. Nah, se-
karang panggil anakmu," ujar Jalak Merah tegas.
Ki Rengges mulai beranjak ketika di ruan-
gan depan suasana gaduh mulai agak reda. Suara
gelak tawa mulai menipis. Yang ada kini hanya
ocehan-ocehan tak beraturan dan gumaman-
gumaman tak bermakna.
Tepat ketika Ki Rengges memasuki kamar
Ratih, beberapa orang berpakaian serba hitam
yang menjadi prajuritnya Setan Madat bertum-
bangan. Dan suasana pun senyap.
Jalak Merah dan Laba-laba Hijau terpana
saling pandang. Sedang Pratamp Shirapong lebih
hebat lagi. Matanya mendelik seolah tak bakal
mengatup lagi. Giginya bergemelutuk seketika.
"Bajingaaaann! Kita dikelabui tua bangka
itu!" ledak Pratamp Shirapong langsung menyusul ke kamar Ratih, mengejar Ki
Rengges. Jalak Merah dan Laba-laba Hijau melom-
pat ke arah ruangan depan. Di lantai, sepuluh
orang berpakaian serba hitam teman mereka te-
lah terbujur nyenyak. Kedua tua bangka ini sege-
ra memeriksa makanan dan minuman yang terhi-
dang. Mengendus-endus, mirip kucing dapur.
"Benar kata Pratamp Shirapong. Kita terti-
pu. Makanan dan minuman ini mengandung ma-
dat berkadar tinggi yang dicampur ramuan terten-
tu, sehingga membuat mereka mabuk sangat be-
rat! Keparat tua bangka itu!" sumpah serapah terlontar dari bibir kendor Jalak
Merah. Tanpa menjawab kata-kata Jalak Merah,
Laba-laba Hijau segera kembali ke tempat semula,
lalu menyusul Pratamp Shirapong. Jalak Merah
segera mengikuti.
Sebenarnya, apa yang terjadi terhadap se-
puluh orang berpakaian serba hitam itu"
Inilah sebagian dari siasat Satria. Tak per-
cuma rupanya bocah tengik itu menjadi murid
Tabib Sakti Pulau Dedemit. Soal ramu meramu,
jangan tanya. Walau tak setaraf gurunya, paling
tidak si pemuda punya bekal tentang obat-
obatan. Maka ketika pemuda ini minta madat pa-
da Ki Rengges, lelaki tua ini jadi mendelik tak
percaya. Tingkah apa lagi yang akan dibuatnya"
Apa Satria sudah keranjingan madat"
Tidak. Si pemuda justru meraciknya den-
gan beberapa getah tumbuhan yang juga men-
gandung zat-zat pelumpuh syaraf. Biasanya,
tumbuhan itu digunakan untuk menghilangkan
rasa sakit dalam pengobatan. Racik punya racik,
lalu ditambah jahe, kunyit, dan bawang putih,
Satria lantas mencampurkannya dengan masakan
yang dibuat istri Ki Rengges. Untuk minumannya,
Satria tinggal menambahkan sari jeruk nipis pada
tuak yang terhidang. Hasilnya, cukup memua-
skan walau agak melenceng sedikit.
Sedianya, Satria mengharapkan Jalak Me-
rah dan Laba-laba Hijau serta Pratamp Shirapong
ikut maka dan minum di rumah Ki Rengges. Tapi
ternyata mereka menolak. Padahal kalau mereka
mau, kan tinggal membekuk saja" Itu sebabnya,
mengapa Ki Rengges tampak demikian gelisah.
Setelah membubuhkan racikan pembius
pada makanan dan minuman, Satria menyuruh
istri dan anak Ki Rengges menyingkir dari ru-
mahnya. Itu semata-mata demi keamanan mere-
ka. * * * "Mana tua bangka itu, Tuan Pratamp?"
tanya Jalak Merah begitu lelaki dari Negeri Cam-
pa itu keluar dari kamar Ratih.
"Melarikan diri dari jendela. Kita telah diti-pu mentah-mentah. Rupanya lelaki
keparat itu te-
lah berkhianat. Huh! Sejak datang ke tempat ini
sebenarnya aku sudah curiga!" dengus Pratamp Shirapong. "Dan ternyata, aku hanya
menemani dua kerbau tua berotak udang!"
"Kau jangan menyalahkan kami, Bangsat!
Mana kami tahu kalau tertipu begini"!" bentak Laba-laba Hijau. Terhina sekali
dia dikatakan kerbau tua. Berotak udang, lagi.
"Nyatanya" Kalian sebelum pergi ke tempat
ini sudah bercerita kalau ada seorang pemuda
yang memasuki wilayah ini. Lalu, pemuda itu
berseteru dengan kalian?" tukas Pratamp Shirapong. "Iya, tapi apa hubungannya
dengan kejadian ini"!" tuntut Jalak Merah. Tentu saja Jalak Merah juga merasa
harga dirinya terinjak-injak.
"Bisa saja pemuda itu mempengaruhi Ki
Rengges. Lalu lelaki tua keparat itu sadar, dan
Jadi berkhianat terhadap kita."
"Tidak bisa! Ki Rengges telah disumpah se-
belum masuk menjadi pengikut Setan Madat!"
Laba-laba Hijau bersikeras.
"Apalah artinya sumpah kalau harus kehi-
langan orang yang disayangi?" balik Pratamp Shirapong.
"Maksudmu?"
"Ah, dasar kalian memang berotak bebal!
Putri Ki Rengges itu anak satu-satunya. Dan dia
diinginkan oleh Setan Madat. Lantas apakah Ki
Rengges membiarkan begitu saja anaknya diam-
bil" Dan mumpung ada seorang pendekar di de-
sanya, kenapa tidak dimanfaatkan tenaga si pen-
dekar" Masihkah kalian belum mengerti?"
"Boleh jadi kami mengerti. Tapi cabut dulu
kata-kata penghinaanmu tadi!" ledak Jalak Merah. Makin merah wajah Laba-laba
Hijau dan Setan Merah. Dada mereka turun naik, siap me-
ledakkan amarah. Mata mereka pun mendelik gu-
sar. Untuk saat ini, mereka tak ingin memandang
Pratamp Shirapong sebagai kawan lagi. Tak pan-
dang bahwa lelaki asal Negeri Campa itu adalah
kawan dekat Setan Madat. Kata-kata Pratamp ta-
di benar-benar menusuk dalam perasaan mereka.
Jangan dikira mentang-mentang mereka tokoh
sesat, lantas tak punya perasaan.
"Jadi kalian tersinggung dengan kata-
kataku tadi?" balik lelaki berwajah lebar ini.
"Jelas kami tersinggung!"
"Lalu, apa mau kalian" Bertarung" Ku-
tunggu kalian di luar!"
Di ujung kalimatnya, Pratamp Shirapong
melesat keluar rumah Ki Rengges. Sejenak Jalak
Merah dan Laba-laba Hijau saling memandang.
Lalu ketika kepala Laba-laba Hijau mengegos, ke-
duanya segera menyusul Pratamp Shirapong.
Baru saja kedua kaki Jalak Merah dan La-
ba-laba Hijau mendarat....
Wuss...! Dua buah pisau milik lelaki asal Negeri


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Campa itu meluncur dahsyat. Angin menderu
mengiringi luncurannya, seperti hendak merobek
udara. Kalau kedua lelaki bangkotan itu tokoh
kemarin sore, pasti tak akan mampu berkelit.
"Hiaaah...."
Dua jengkal lagi dua pisau menggila itu
menyentuh sasaran, kedua lelaki uzur ini melen-
tik tinggi. Di udara, mereka berputaran sejenak.
Lalu tak tanggung-tanggung, mereka segera me-
lontarkan pukulan jarak jauh.
Bed! Bed! Tepat ketika kedua pisau tadi menghujam
dinding rumah Ki Rengges, dua pukulan jarak
jauh milik Jalak Merah dan Laba-laba Hijau me-
luncur menerabas udara. Saat bergesekan dengan
udara, hawa panas mengiringi. Liar dan dahsyat.
"Khaaa...!"
Tak mau kalah, Pratamp Shirapong menge-
rahkan pukulan jarak jauh andalan negerinya.
Tak percuma dia diundang ke Jawadwipa oleh Se-
tan Madat kalau hanya punya kepandaian seu-
jung kuku. Ganas, dua buah angin dahsyat mele-
sat. Dipapaknya kedua angin menderu dari kedua
tangan lawan. Blaaggg! Masing-masing pihak terpental mundur.
Belum ada yang kalah. Ketiga orang yang saling
menjajal tingkat tenaga dalam itu bangkit kemba-
li. Mata masing-masing menyorot tajam, berusaha
menilai satu sama lain.
Pratamp Shirapong menggeser langkahnya
ke kiri, tetap dengan kuda-kuda kokohnya. Se-
dang Jalak Merah lebih aneh lagi. Berlompatan
seperti burung jalak, dia memutari lawan. Juga
Laba-laba Hijau. Dengan gerakan seperti laba-
laba menjerat mangsa, dia memutari lawan den-
gan langkah mundur. Kedua tangannya memben-
tuk cakar, menghadap ke dalam seperti orang
memeluk. Pertarungan dahsyat siap berkobar. Siapa-
kah yang bakal jadi pemenang"
* * * Penduduk Desa Sedayu secara sembunyi-
sembunyl tak ingin terlewat untuk menyaksikan
pertarungan dahsyat di depan halaman rumah Ki
Rengges yang cukup luas. Sebelumnya, Ki
Rengges dan Satria juga sudah memperingatkan
mereka untuk tidak dekat-dekat dengan rumah Ki
Rengges. Para penduduk mematuhi. Mereka
hanya menonton dari balik Jendela, pintu, kan-
dang sapi, atau kubangan tanah. Itu pun dari ja-
rak yang cukup jauh.
Sedangkan Satria dan Ki Rengges sendiri
tengah bersembunyi di balik semak yang diperki-
rakan cukup aman untuk berlindung. Dari sinar
mata maupun tarikan bibir si pemuda, bisa dite-
bak kalau Satria cukup puas dengan hasil siasat-
nya. "Apa yang mereka rebutkan, Pak Tua" Sepotong ayam masakan istrimu" He he
he.... See- kor anjing berkelahi dengan dua ekor kucing ga-
ra-gara sepotong ayam," oceh si pemuda berbisik.
"Ah, masa' gara-gara sepotong ayam?" tukas Ki Rengges, terbawa ocehan si bocah
tengik. "Ya, pasti gara-gara siasatmu! Mereka pasti saling tuduh, begitu melihat orang-
orang berpakaian
serba hitam itu ngejoprak tak berdaya!"
Aku juga sudah tahu, Pak Tua! Sambar si
pemuda dalam hati. Kalau sudah tahu, kenapa
tanya" Ah, tengik juga bocah ini. Satria lantas
mengalihkan perhatian ke arah pertarungan
kembali. "Taruhan, Pak Tua" Kau pegang siapa?"
ocehnya lagi. "Kelihatannya, lelaki berwajah lebar yang
tadi mengaku bernama Pratamp Shirapong yang
menang. Gerakan silatnya lebih cepat dan ganas.
Tapi, gerakannya kok sepertinya bukan seperti si-
lat Jawa" Aneh sekali," cetus Ki Rengges.
"Lho" Kau sendiri yang tadi cerita, kalau lelaki itu dari Negeri Campa. Ya,
pasti silatnya bera-liran sana!" tukas Satria.
"Oh, iya. Aku lupa."
Hari kian merangkak menuju petang. Kege-
lapan mulai mengepung. Matahari kian lelah sete-
lah seharian menertawakan isi dunia ini. Cuaca
mulai dirasuki hawa dingin. Tapi pertarungan ju-
stru kian memanas.
"Heaaa...!"
Di kawal satu bentakan yang menghentak
jantung, Laba-laba Hijau mendahului Jalak Me-
rah dalam menyerang. Begitu tepat berada di de-
pan Pratamp Shirapong tubuhnya mencelat den-
gan kaki kanan terjulur ke wajah lawan. Ganas
sekali. "Hiaaa...."
Jalak Merah tak mau kalah. Dari samping
kiri dia melompat bak seekor burung jalak meli-
hat ular pohon. Kedua tangannya yang mengem-
bang layaknya sayap menyambar-nyambar ganas.
Tenang, Pratamp Shirapong menanti se-
rangan. Perhatiannya terpaksa harus dibagi dua.
Tapi dari tarikan wajahnya, bisa dipastikan kalau dia tak menganggap remeh kedua
serangan la- wan. "Chaaa...!"
Dua jari lagi tendangan Laba-laba Hijau
mendarat, Pratamp Shirapong memalangkan tan-
gannya ke depan wajah. Sedangkan kaki kirinya
terangkat lurus, menghadang serangan Jalak Me-
rah dari samping.
Krak! Cepat sekali Pratamp Shirapong menggunt-
ing kaki Laba-laba Hijau dengan kedua tangan-
nya. Suara berderak tulang patah terdengar. Le-
laki botak berbaju serba hijau itu langsung jatuh di tanah dan meringis serba
salah. Ringisannya
makin membuat wajahnya sulit di-gambarkan.
Jelek sekali. Tak! Pada saat yang sama, kaki Pratamp Shira-
pong terhantam kibasan tangan Jalak Merah. Se-
buah hantaman bertenaga dalam tinggi. Tapi, apa
hasilnya" Malah tubuh Jalak Merah yang terjajar dua
tombak jauhnya. Dia tadi bagaikan menghantam
kaki baja yang kerasnya minta ampun. Jalak, Me-
rah menganggap, sambaran tangannya tadi bakal
mematahkan kaki lawan. Tapi justru tangannya
yang berdenyar-denyar sampai ke lubuk hati.
Itulah kecerdikan lelaki dari Negeri Campa
itu. Ketika menghadang serangan Jalak Merah,
tentu saja kaki kirinya telah dilapisi dengan tena-ga dalam tinggi. Ketika adu
pukulan jarak jauh
tadi, sengaja lelaki berwajah lebar ini mengerah-
kan sedikit tenaga dalamnya di bawah kedua la-
wan. Karena dia tahu, kalau lawan sudah ter-
pancing amarahnya, apalagi dari golongan sesat,
akan langsung mengerahkan tenaga dalam se-
tinggi-tingginya. Apalagi, macam Jalak Merah dan
Laba-laba Hijau yang memang terlalu bodoh un-
tuk dipecundangi. Kedua lelaki bangkotan itu ten-
tu mengira kalau tenaga dalam Pratamp Shira-
pong hanya beda sedikit di bawah mereka. Maka
dengan keyakinan kuat, mereka memantapkan
serangan. Dan Pratamp Shirapong boleh berbangga
hati melihat hasil kerja otak cerdiknya. Kedua lawan tampak menderita lahir
batin. Tenaga da-
lamnya yang dikira lawan tak seberapa, ternyata
dahsyat bukan kepalang. Dan itu memang salah
kedua lelaki bangkotan itu sendiri. Terlalu cero-
boh, dan gampang terbawa amarah.
"Bajingan! Kuhancurkan kepalamu, Orang
Campa!" robek Jalak Merah lewat suara sembernya. Tak sudi dia melihat sahabat
karibnya di- buat cedera seperti itu. Begitu bangkit, diterjangnya Pratamp Shirapongi!
Kali ini, lelaki berpakaian serba merah ini
tak mau main-main lagi. Begitu menerjang, golok
besarnya segera tercabut dari pinggang.
Wukh! Wukh! Dua tebasan menggila dibuat Jalak Merah.
Dalam hati, lelaki ini menyesali, kenapa tadi La-
ba-laba Hijau terlalu ceroboh sehingga lupa
menggunakan jaringnya. Tapi sebentar kemudian
dia juga merutuki kebodohannya sendiri, kenapa
tidak menggunakan golok dari tadi"
"Hup!"
Satu liukan manis dibuat Pratamp Shira-
pong. Ketika golok besar lawan menebas dari ka-
nan ke kiri, lelaki dari Campa ini menarik tubuh-
nya ke belakang agak ke kiri. Dan ketika golok
menyabet dari kiri ke kanan, tubuhnya sudah
merendah. Lalu sekali menyentak kakinya ke de-
pan, maka kepalanya sudah meluncur lurus ke
perut Jalak Merah.
Bekhh! "Heekkh!"
Jalak Merah melongo tak percaya. Bibir
kendornya lantas menjebik-jebik seperti orang be-
rusaha buang hajat, tapi tak keluar-keluar. Kepa-
la Pratamp Shirapong mantap sekali menghantam
ulu hatinya. Penderitaan luar biasa pun dialami
lelaki bangkotan itu. Bahkan saat sang kepalan
menghantam, angin dahsyat tak tahu malu ikut
keluar dari pantat teposnya. Soal sakit, jangan
tanya lagi. Buktinya saat jatuh terduduk, mulut-
nya langsung meringis dengan kedua tangan me-
megangi perut yang terasa diaduk-aduk. Semen-
tara, golok-goloknya ngelayap entah ke mana.
"Sekarang, giliran kepalamu yang akan ku-
hancurkan. Hih!"
Seiring dengusannya, Pratamp Shirapong
melepas tendangan ke kepala lawan. Pelan sekali
kelihatannya. Tapi dari angin yang menderu tera-
sa kalau tendangan itu tidak bisa dianggap main-
main. Sebodoh-bodohnya Jalak Merah, akan le-
bih bodoh lagi kalau tak cepat menghindar. Sesa-
kit-sakit di perutnya, akan lebih sakit kalau kepalanya hancur. Jelas, dia
merasakan angin dahsyat
mengiringi tendangan lawan. Padahal, dia kini da-
lam keadaan terduduk, menikmati sakitnya.
"Uts...!"
Jalak Merah membuang tubuh ke kanan.
Dia cepat berguling-guling, sementara tendangan
lawan hanya memangkas angin.
"Jahanam! Masih alot juga kau rupanya!"
sembur Pratamp Shirapong.
Selagi Jalak Merah masih bergulingan, Pra-
tamp Shirapong sudah memasang kuda-kuda ko-
koh. Kedua tangannya menyatu pada bagian per-
gelangan tangan, membuka di depan pusar.
Bed! "Jalak Merah, awaaaass!"
Laba-laba Hijau berusaha memperingatkan
Jalak Merah yang bergulir ke arahnya. Tapi ra-
sanya, teriakannya sia-sia saja. Untuk itu, se-
mangatnya segera dikempos. Lalu sebisanya, dia
melompat sambil menghentakkan tangan, mema-
pak pukulan jarak jauh ganas milik Pratamp Shi-
rapong. Blakkk! Sebentuk angin bertenaga ribuan kati
menghentak dada Laba-laba Hijau. Sementara
angin pukulannya sendiri seperti ambyar begitu
saja, bahkan mungkin ikut menyatu dengan an-
gin pukulan lawan. Akibatnya, lelaki botak itu
terpental jauh, lalu menabrak sebuah pohon be-
sar tak jauh dari halaman rumah Ki Rengges.
Tetesan darah merah saat tubuh Laba-laba
Hijau meluncur mengisyaratkan kalau lelaki bo-
tak itu terluka dalam amat parah. Bahkan saat
tubuhnya menyentuh tanah, sudah tak bergerak-
gerak lagi. Jalak Merah yang baru saja bangkit berdiri
tercekat. Matanya memandang tak percaya ke
arah jasad sahabatnya. Liar, kini matanya meng-
hujam ke tubuh Pratamp Shirapong yang terse-
nyum mengejek. "Kau harus bayar nyawa sahabatku, Kepa-
rat! Heaaa...!"
"Kau jangan bisa omong terus. Buktikan!
Hiaaa...!"
Dua teriakan terdengar saling susul. Bu-
kan sekadar bersaing siapa paling keras, tapi juga bersaing nyawa siapa yang
bakal lepas. Mereka
sama-sama mengerahkan pukulan jarak jauh be-
risi tenaga dalam tinggi. Tak ada yang bisa men-
cegah pertarungan kecuali kematian. Kejap selan-
jutnya.... Blaamm! Benturan hebat terjadi di udara yang me-
rambat malam. Begitu hebatnya, hingga mencip-
takan bunga api ke segala arah. Terangnya bulan


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

purnama makin diperterang lagi oleh bunga-
bunga api tadi, walau hanya sekejap.
"Aahh...!"
Pekikan menyayat terdengar dari kerong-
kongan Jalak Merah. Pekikan asli tak dibuat-
buat. Penuh penderitaan. Seiring pekikannya, tu-
buh lelaki bangkotan itu terpental. Melayang di
udara seperti dihempas kekuatan dahsyat.
Bruk! Keras, tubuh Jalak Merah mencium tanah.
Kedot juga nyawa manusia uzur ini. Walaupun
dari mulutnya mengalir darah berwarna kehita-
man, tapi dia berusaha untuk bangkit.
Sebelum Jalak Merah berhasil dengan
usahanya, Pratamp Shirapong telah memasang
kuda-kuda kokohnya kembali. Agaknya dia ber-
nafsu untuk segera mengakhiri umur lelaki tua
lawannya. Tapi sebelum hal itu terjadi, entah dari mana datangnya tahu-tahu di
belakang Pratamp
Shirapong telah berdiri seseorang.
"Tahan serangan. Tak sepantasnya kau
bertarung dengan lawan yang tak berdaya!"
Melengak, Pratamp Shirapong berbalik.
Matanya yang sipit dibukanya lebar-lebar. Siapa
perempuan cantik di depannya yang membentak
tadi" "Siapa kau"!"
*** DELAPAN ARYA Wadam"! Apa yang dilakukannya di
sini" Ah, pasti dia mencari aku. Dan itu pasti
berkat pertolongan Kakek Dongdongka. Tapi, wah
celaka! Kenapa dia malah ikut-ikutan menghada-
pi orang Campa itu"!" gerutu Satria masih di balik semak tempat
persembunyiannya.
"Kau kenal gadis yang baru datang itu, Sa-
tria?" tanya Ki Rengges.
"Dialah gadis yang kucari-cari, sehingga
aku sampai di desamu ini, Pak Tua," jawab Satria Jujur. "Kalau begitu, kenapa
kau masih saja bersembunyi di sini?"
Ya! Kenapa aku masih bersembunyi di si-
ni" Sambar Satria merutuki keterpanaannya. Pe-
muda tengik ini segera keluar dari persembu-
nyiannya. Enteng sekali langkahnya. Entah apa
penyebabnya. Karena ada Arya Wadam yang ten-
gah dicari-carinya, atau karena siasat yang dis-
usunnya berhasil dengan baik.
"Arya Wadam! Ke mana saja kau" Kucari-
cari, tak tahunya malah muncul di sini," kata Satria, nyerocos begitu saja.
Seolah dia tak men-
ganggap kalau Pratamp Shirapong ada di situ.
Begitu berbalik, Arya Wadam tersentak. Sa-
tria" Jerit hatinya. Wajahnya yang semula tegang
menghadapi Pratamp Shirapong kontan berbalur
kebahagiaan. Walau sudah menduga kalau bocah
tengik itu ada di desa ini, tak urung gadis ini merasa bergetar bukan main.
"Apa yang kau lakukan di sini" Menghada-
pi kunyuk Campa itu" Ah, dia tak berarti buatmu.
Biar aku saja yang menghadapinya. Biar lebih ce-
pat selesai urusan," ujar Satria seenaknya.
"Kau tanya apa yang kulakukan di sini, Sa-
tria" Kok pertanyaanmu begitu?" ucap Arya Wadam, galau.
Satria jadi blingsatan. Bodoh! Rutuknya.
Kenapa aku malah tanya begitu"
"Maksudku, kau di sini mencari aku, ya"
Eh, bukan. Maksudku, apa kau sudah bertemu
Kakek Dongdongka" Dan apakah dia su...."
"Bangsat!"
Bentakan berisi tenaga dalam merampas
suara Satria. Si pemuda melengak. Dadanya ber-
guncang hebat. Untung dia cepat menguasai diri.
Ditatapnya tajam-tajam kedua bola mata Pratamp
Shirapong yang membentak tadi.
Dahsyat! Jahanam! Desis Pratamp Shirapong dalam
hati. Tatapan pemuda itu membuat sukmaku seo-
lah bergetar! Tatapan guruku pun tak segarang
ini. Dan tanpa sadar, kaki lelaki ini bergerak
mundur. "Kau anggap aku apa, heh"!" bentak Pra-
tamp Shirapong, tak segarang tadi.
"Kau mau kuanggap apa" Nyamuk" Lalat"
Kepinding" Atau, kecoak?" balik Satria tenang.
Dia sudah berdiri di samping Arya Wadam kini.
"Pemuda kemarin sore mau jual lagak. Sia-
pa namamu, Bocah?" cibir Pratamp Shirapong.
"Satria."
"Melihat ciri-cirimu, menurut Setan Madat
kau adalah Satria Gendeng. Betul itu?"
"Tolong jangan sekadar melihat ciri-cirinya.
Bisa jadi Setan Madat tak lengkap menyebutkan
ciri-ciriku. Ada satu hal yang menjadi ciri-ciri
utamaku." "Apa itu?"
"Ketampanan wajahku. Jangan ngiri, ya.
Aku maklum, tampangmu tak lebih dari kunyuk
Campa," ejek Satria, habis-habisan.
"Jahanam! Mulut lancangmu perlu kuro-
bek-robek sekarang juga! Heaaa...!"
"Minggir dulu, Arya. Nanti obrolan kita di-
lanjut lagi."
Arya Wadam menurut. Diberinya kesempa-
tan buat Satria dalam menghadapi lawan.
Kemurkaan Pratamp Shirapong dibuktikan
dengan serangan pukulan bertubi-tubi. Kepala
dan dada lawan jadi sasaran. Kecepatannya luar
biasa, dikawal suara menggetarkan sukma.
Bed! Bed! Satria mengenyahkan tubuhnya ke samp-
ing kiri. Kaki kanannya bergerak maju secara
menyilang, lalu kaki kiri membuat sapuan ke pe-
rut lawan. Wutt! Lawan rupanya telah membaca gerakan
Satria. Ditahannya kaki kiri pemuda tengik itu
dengan tangan kanan.
Pak! Menggunakan tenaga benturan, Pratamp
Shirapong memutar tubuhnya. Kaki kirinya lang-
sung melepas tendangan setengah lingkaran. Sa-
sarannya, dada lawan yang hendak menegakkan
tubuhnya. Satria tercekat. Sungguh tak disangka la-
wan pun bergerak secepat itu. Kini baru terbukti
bahwa makhluk dari Campa ini mempunyai gera-
kan silat yang sangat cepat. Tapi bukan Satria
namanya kalau begitu saja sudah patah seman-
gat. Secepatnya, si pemuda memalangkan ke-
dua tangannya di depan dada.
Pak! Luar biasa. Tubuh Satria sampai terdong-
kel, lalu jatuh terduduk di tanah. Napasnya ngos-
ngosan. Tangannya terasa nyeri bukan main
sampai ke tulang sumsum. Ringisan jeleknya
mengisyaratkan kalau tendangan tadi adalah se-
buah peringatan baginya.
Pratamp Shirapong telah berada dalam si-
kap siap sedia. Kuda-kudanya dipasang kokoh.
Tatapannya nyalang, memandang lawan yang se-
perti kakek-kakek terserang encok.
Di dada Satria, kemarahan mulai merasuki
benaknya. Kendati tidak seharusnya kemarahan
itu kepada Pratamp Shirapong, karena urusannya
adalah dengan Setan Madat, tapi sudah cukup
beralasan baginya untuk sedikit melampiaskan-
nya pada lelaki ini. Sebab, biar bagaimanapun,
Pratamp Shirapong termasuk kaki tangan Setan
Madat yang cukup berbahaya.
"Hup!"
Lewat satu sentakan perut, Satria Gendeng
bangkit. Tatapannya kian nyalang, hendak mela-
hap tubuh lawan. Darahnya dibuat mendidih.
"Boleh juga kemampuanmu, Anak Muda,
Tapi kau akan kubuat mampus! Heaaa...!"
Kalap, Pratamp Shirapong menerjang. Ten-
dangan lurus datang ke arah si pendekar muda.
Serangan yang demikian cepat, karena dilakukan
dalam jarak yang demikian dekat.
Deb! Deb! Hantaman kaki lelaki dari Campa itu
hanya menyambar angin, menampar-nampar
udara. Sementara si calon sasaran justru telah
berpindah tempat, berdiri satu tindak ke samping.
Meski cukup terkejut pada gerak bagai
bayangan lelaki Campa, Satria tak ingin mundur
barang setapak pun. Dikejarnya Pratamp Shira-
pong. "Hiaaa...!"
Tendangan lurus pula dibuat Satria. Tubuh
lawan yang baru mendarat hendak dijadikan sa-
saran. Dikawal teriakan naga muda murka, si
pemuda tengik tak mau menyia-nyiakan kesem-
patan, selagi lawan belum membuka jurus baru.
Sayang, Satria salah perhitungan. Karena
mendadak, tubuh Pratamp Shirapong berbalik
dengan tangan kanan menghentak. Tidak dengan
kuda-kuda, tapi hanya memutar tubuh. Maka
pukulan jarak jauh terlontar sudah. Akibatnya....
Splasssh.... Blangg...! Tubuh pendekar muda itu terlempar
jauh.... * * * "Satria...!"
Bebas dari tercekatnya, Arya Wadam
menghambur ke arah jatuhnya Satria Gendeng.
Langsung diraihnya bahu si pemuda, dan disan-
darkan di paha kirinya.
"Bagaimana, Satria?" tanya Arya Wadam,
khawatir. "Enak...," sahut Satria lirih. Darah mengalir di sudut-sudut bibir.
"Kau terluka dalam begini enak?"
"Maksudku, bersender di pahamu enak."
Arya Wadam serba salah. Mau marah kea-
daan Satria sedang begini. Mau tak marah, kata-
kata si pemuda membuatnya jengkel setengah
mati. Entah, setan mana yang merasuki pemuda
tengik ini. "Biar dia kuhadapi, Satria!" cetus Arya Wadam, diletakkannya tubuh Satria di
tanah. Sial! Baru enak-enakan tidur di paha Arya
Wadam, sekarang malah tidur di samping kotoran
ayam! Satria memaki dalam hati.
Satria tak bisa menggerutu lebih banyak
lagi, karena harus memusatkan perhatian pada,
pertarungan antara Arya Wadam dengan Pratamp
Shirapong yang baru saja berlangsung.
Deb! Deb! Deb! Tiga sodokan sisi telapak kaki Arya Wadam
lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dija-
dikan sasaran bergerak nyaris tak kentara. Bah-
kan oleh mata Arya Wadam sendiri yang boleh di-
bilang cukup diperhitungkan dalam dunia persila-
tan. Kepala lelaki dari Campa itu seperti ber-
pindah-pindah tempat meski badannya sama se-
kali tak bergeming. Bila kaki gadis itu menohok
ke samping kiri, kepala lawan tahu-tahu sudah
condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya.
Di akhir serangan beruntun barusan, kaki
Arya Wadam membuat satu putaran dengan ber-
tumpu pada sendi lututnya. Seakan hendak di-
puntirnya Pratamp Shirapong.
Kecil kemungkinan selamat bila manusia
dari Campa itu hanya menggerakkan lehernya
kali ini. Sebab, putaran kaki lawan telah menutup ruang gerak otot lehernya.
Wutt! Kembali bergerak bagai bayangan, tangan
Pratamp Shirapong mendadak terangkat. Lalu
disambarnya kaki lancang si gadis.
Tap! Mata Arya Wadam membeliak. Cengkera-
man tangan di kakinya bagai sebuah penjepit
raksasa yang sanggup meremukkan tulang-tulang
kaki si gadis. Keras. Kuat. Dan mengunci erat,
Arya Wadam berusaha melepaskan kakinya den-
gan mengerahkan tenaga dalam. Tidak bisa.
Perlahan tapi pasti, tangan kekar Pratamp
Shirapong mengangkat kaki Arya Wadam. Tentu
saja si gadis sadar, kalau tetap bertahan demi-
kian, tangan jahil lelaki ini pasti akan menjalar ke daerah terlarangnya.
Untuk menyelamatkan miliknya yang pal-
ing berharga, Arya Wadam segera memanfaatkan
tenaga dorongan ke atas tangan lawan untuk
mengangkat tubuhnya ke udara.
Lalu.... "Hiaaa...!"
Dalam keadaan miring di udara, Arya Wa-
dam memutar tubuhnya setengah lingkaran. Se-
belah kakinya yang bebas diayunkan berbareng
dengan terangkatnya tubuh. Sasarannya, tangan
lawan yang mencengkeram kaki lainnya, sekali-
gus menghantam leher.


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayang, serangan Arya Wadam mudah di-
baca Pratamp Shirapong. Sama sekali tak berba-
haya. Apalagi sanggup menyetak nyali lawan. Se-
belum serangannya sampai, lawan telah men-
cengkeram kaki dengan kedua tangannya, sekali-
gus memutar tubuh Arya Wadam di udara.
Dan... Shuuttt.... Tubuh Arya Wadam terlempar deras. San-
gat deras. Brukkk! Luncuran tubuh si gadis baru berhenti ke-
tika menabrak pohon mangga di halaman rumah
Ki Rengges. Dari mulut si gadis meleleh darah se-
gar. Benturan antara badan dengan pohon yang
amat keras, membuatnya meringis-ringis.
Sebelum Arya Wadam bisa berbuat apa-
apa, Pratamp Shirapong telah melanjutkan seran-
gannya. Lebih gila lagi, kali ini ditelapak tangan kanannya telah terdapat dua
buah pisau belati
sepanjang satu jengkal. Dan dalam sekejapan....
Wuss...! Wuss!!
Meluruklah dua buah pisau belati memba-
wa angin keras.
Terkesiaplah wajah Arya Wadam, si calon
korban. Namun mendadak....
Cletarr! Trang! Trang! Gila! Sungguh gila! Pada saat yang gawat
itu tiba-tiba Satria Gendeng yang telah bisa men-
gobati dirinya dengan menyalurkan hawa murni
telah meluruk cepat.
Di tangan kanannya telah tergenggam sen-
jata Kail Naga Samudera yang langsung dile-
cutkan. Hasilnya, kedua pisau belati itu tertahan, lalu mendadak meluncur ke si
pemilik. Luncurannya lebih hebat semula.
Melotot, Pratamp Shirapong membuang tu-
buhnya ke samping kalau tak mau jadi santapan
belatinya sendiri. Dengan wajah gusar, dia beru-
saha bangkit. Inikah senjata Kail Naga Samudera yang
diinginkan Setan Madat" Hati Pratamp Shirapong
berbisik lirih. Matanya tak lepas melekat pada
senjata di tangan lawan mudanya. Pantas, Setan
Madat begitu berminat. Senjata itu memang dah-
syat, bisik hatinya lagi.
"Serahkan senjata itu baik-baik padaku,
Anak Muda. Maka nyawamu akan kuampuni," ka-
ta lelaki dari Negeri Campa itu, dingin.
"Kau mau benda ini?"
Satria melecutkan Kail Naga Samudera.
Sekaligus melampiaskan kekesalannya, karena
masih ada saja makhluk yang menginginkan sen-
jata pusakanya. Malah dengan cara seenaknya,
tanpa susah payah. Meminta.
"Rebutlah dari tanganku?" tantangnya.
"Keparat laknat! Kau kira aku tak bisa me-
rebut dari tanganmu! Lihat saja! Heaaa...!"
Bertubi-tubi, Pratamp Shirapong menge-
butkan tangannya. Tahu-tahu beberapa pisau be-
lati telah melesat. Amat cepat. Ganas. Lebih ga-
nas dari sebelumnya.
Cekatan, si pemuda memutar Kail Naga
Samudera secepat mungkin. Secepat yang dia
mampu. Secepat kekuatan angin menghem-
paskan ombak di pantai karang.
Trang! Trang! Trang!
Tiga buah pisau belati terhantam ujung
Kail Naga Samudera yang berupa ekor naga. Dua
buah mental tak jelas ke mana. Sisanya memutar
balik, meluncur balik ke si pemilik tadi berdiri.
Wuss...! Namun Pratamp Shirapong telah lebih dulu
berpindah tempat. Tubuhnya telah meletik ke
udara. Dari ketinggian sekitar tiga tombak, lelaki sesat ini melepaskan pukulan
jarak jauh. Kuat.
Bertenaga dalam tinggi.
"Heaaa...!"
Splash! Suara menderu mengiring luncuran seben-
tuk angin keras mengancam keselamatan Satria.
Apa yang dilakukan si pemuda bertabiat sederha-
na namun ceplas-ceplos itu"
*** SEMBILAN JUSTRU Satria makin memutar Kail Naga
Samudera lebih ganas lagi. Hanya saja, kalau se-
mula membentuk lingkaran ke depan, maka kali
ini membentuk lingkaran ke atas. Seakan gulun-
gan putaran Kail Naga Samudera memayungi tu-
buhnya. Akibat putaran yang sangat kuat, tercipta
satu benteng kasat mata yang amat kokoh di atas
kepala Satria. Dan ketika angin pukulan Pratamp
Shirapong menghantam....
Cplashhh...! "Heh"!"
Masih di udara, Pratamp Shirapong mende-
lik. Pukulan jarak jauh miliknya justru berbalik
ke arahnya. Padahal, dikerahkan dengan tenaga
dalam tinggi. Malah luncurannya lebih cepat dari
sebelumnya. Tak bisa lagi dia menghindar dalam
keadaan di udara.
Lalu.... Blangg...! Pratamp Shirapong terpental. Melayang de-
ras berkawal pekikan terlontar dari kerongkon-
gan. Ketika jatuh di tanah, dia menggeliat seben-
tar. Kejap kemudian tubuhnya sudah mengejang
kaku. Mati di negeri orang.
Satria Gendeng telah memasukkan kembali
Kail Naga Samudera ke pinggangnya. Ditatapnya
sejenak mayat Pratamp Shirapong dari jarak se-
puluh tombak. Lalu perhatiannya beralih pada Arya Wa-
dam. "Kau tak apa-apa, Arya?" tanya Satria. Di-tolongnya Arya Wadam berdiri.
Ketika terjadi per-
tarungan antara Satria dengan Pratamp Shira-
pong tadi, si gadis berusaha menyembuhkan luka
dalamnya yang tak begitu parah dengan menya-
lurkan hawa murni.
"Tidak, aku tidak apa-apa," jawab Arya
Wadam, tak ingin dikasihani.
"Untuk menjaga kesehatanmu, minumlah
obat ini," Satria mengambil sebutir obat dari balik kain di pinggangnya. Lalu
diserahkannya obat pulung pada Arya Wadam.
Tersenyum, Arya Wadam menggeleng. "Lu-
ka dalamku tak begitu parah, Satria. Dengan ha-
wa murni, sebentar saja sudah sembuh," tolaknya. Satria kembali memasukkan obat
pulung itu ke dalam ikat kain di pinggangnya.
"Apa kabarmu, Arya. Wajahmu makin can-
tik saja," cetus Satria memberanikan diri. Entah kenapa, hanya pada Arya Wadam
pemuda tengik ini susah bersikap wajar. Sifat ceplas-ceplosnya
mendadak lenyap. Padahal kalau soal cinta, dia
tidak buta sama sekali. Artinya, Satria punya
pengalamanlah walau cuma sedikit. Tapi terhadap
Arya Wadam pengalamannya seperti tak berarti
sama sekali. Untung saja, Satria cukup pandai merubah
kekakuannya. Dia mampu mengendalikan diri
agar tidak keseleo lidah lagi. Kata-katanya mulai diatur rapi.
"Merayu, ya?" balik Arya Wadam.
"Kalau itu kau anggap merayu, memang
kenapa?" Kali ini Arya Wadam yang memerah dadu
wajahnya. Tak sanggup dia menatap balik Satria.
Si pemuda seolah hendak menelannya bulat-bulat
lewat tatapan matanya. Membuat si gadis tertun-
duk. Tersipu malu, tapi mau.
"Apakah kau bertemu Kakek Dongdongka,
Arya?" tanya Satria memecah kebisuan.
"Ya," jawab Arya Wadam pendek, tetap me-nunduk.
"Dia bilang apa?"
"Katanya kau menunggu di desa ini. Kau
mencari-cari aku, ya?"
"Ya. Aku memang mencari-carimu. Habis,
aku penasaran denganmu. Kenapa setelah kita
menumpas Tujuh Dewa Kematian di puncak Gu-
nung Arjuna kau menghilang begitu saja?"
"Bukankah kau sudah membaca suratku?"
"Itulah yang membuatku makin penasaran
mencarimu, hingga ke desa ini. Untung Kakek
Dongdongka sudi menemuiku di sini, sekaligus
menolongku. Oh, ya. Di mana Kakek Dongdongka
menemuimu?"
"Di Desa Karangkemboja Wetan."
"Lho" Bukankah perjalanan ke desa ini
hanya setengah harian" Kenapa baru sampai ma-
lam ini?" "Aku ragu-ragu menemuimu. Masa' seo-
rang gadis mendatangi pemuda?"
"Lho" Apa salahnya?" tukas Satria. "Setan mana yang membuat aturan seperti itu?"
"Menurut adat timur, seorang gadis tak bo-
leh menghampiri pemuda. Pamali namanya. Me-
mang aku gadis murahan?" jawab Arya Wadam
mantap. "Lho, kalau pemuda menghampiri gadis
namanya pemuda murahan dong. Memangnya
aku pemuda murahan?" balik Satria.
"Ah, ngomong denganmu sama saja ngo-
mong dengan nenek-nenek kehilangan sirih. Ma-
lah kau lebih cerewet lagi," ledek Arya Wadam.
Kini keduanya tak ada yang membuka sua-
ra lagi. Dan tiba-tiba kening Satria Gendeng ber-
kerut. Penuh tanda tanya.
"Eh, ke mana jasad Laba-laba Hijau tadi?"
tanya Satria. "Tadi ketika kau bertarung dengan lelaki
dari Campa itu, kakek yang berpakaian merah
dengan tertatih-tatih membawa pergi mayat ka-
kek yang berkepala botak. Kasihan mereka," desah Arya Wadam.
"Ah, kau tak perlu kasihan pada mereka!
Kedua kakek itu setali tiga uang dengan lelaki da-ri Negeri Campa itu!" sahut
Satria. "Maksudmu?"
"Semula, mereka berkawan. Akrab sekali.
Tapi setelah kukadali, mereka jadi bertarung sen-
git dan akibatnya, kau lihat sendiri."
"Aku kurang mengerti ceritamu?"
"Nantilah kuceritakan panjang lebar. Se-
baiknya kita masuk rumah Ki Rengges dulu. Aku
yakin dia berada di dalam, setelah bersamaku
bersembunyi tadi."
* * * Dengan kebesaran hati, para penduduk
Desa dayu telah memaafkan segala kesalahan Ki
Rengges. Itu pun berkat jasa Satria yang membe-
rikan pengertian pada mereka. Bahkan si pemuda
bertabiat tengik itu ternyata juga bisa menyadar-
kan para penduduk yang sudah lama terbuai
asap madat. Hebat juga pengaruhnya bocah itu!
Di rumah Ki Rengges, para penduduk juga
telah menyatukan tekad untuk bergotong royong
melawan Setan Madat. Gotong royong mereka se-
belumnya, dibuktikan dengan menguburkan
mayat Pratamp Shirapong dan memberesi sepu-
luh anak buah Setan Madat yang dibuat mabuk
oleh Satria. Kepada Arya Wadam, juga kepada para
penduduk Desa Sedayu, Satria Gendeng menje-
laskan siasat yang dijalankan ketika melumpuh-
kan anak buah Setan Madat. Walaupun siasat itu
agak melenceng sedikit, tapi tetap berhasil gemi-
lang. Maka semakin kagum saja Arya Wadam
terhadap otak encer Satria. Sungguh tak disang-
ka, ternyata pemuda bertabiat sinting itu memiliki otak seencer bubur.
Malam itu pun di depan Arya Wadam, Ki
Rengges, Ki Rembang, dan para penduduk lain-
nya, Satria kembali memaparkan langkah selan-
jutnya. "Sekarang, langkah selanjutnya adalah menghadapi Setan Madat. Tapi aku
yakin, Setan Madat akan penasaran, lalu menyatroni desa ini,"
cetus Satria. "Dia pasti kebingungan, kenapa para pengikutnya tak kembali ke
markas." "Oh, ya. Bagaimana dengan sepuluh anak
buah Setan Madat yang kita tawan di gudang be-
lakang rumahku?" tanya Ki Rengges.
"Tenang. Pak Tua. Totokan yang kuberikan
cukup untuk membuat mereka istirahat selama
empat hari. Dan dalam empat hari itu pula, kita
harus sudah menyelesaikan urusan dengan Setan
Madat," tegas Satria.
"Kalau kalian bicara soal Setan Madat, aku
baru ingat. Di Desa Karangkemboja Wetan pun
aku telah berurusan dengan anak buah Setan
Madat. Kelihatannya mereka mulai meluaskan
sayap ke desa itu pula," cetus Arya Wadam.
Semua mata langsung menghujam ke tu-


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buh Arya Wadam. Si gadis cantik ini bersemangat
bercerita. "Malahan menurut keterangan yang kuda-
pat, Setan Madat juga bekerja sama dengan seo-
rang panglima Kerajaan Demak. Aku tak tahu
namanya. Tapi yang jelas, usianya setengah baya.
Badannya gagah dengan kumis dan brewok," lanjut Arya Wadam.
Panglima Bagaspati" Sebut hati Satria, ti-
ba-tiba. Tak mungkin" Sanggahnya.
"Kira-kira, apa tujuan panglima itu berka-
wan dengan Setan Madat, Arya?" susul Satria, penasaran.
"Pemberontakan."
"Apa"!"
Satria Gendeng tercekat. Matanya melebar
dengan mulut ternganga.
"Kau berkata sungguh-sungguh, Arya Wa-
dam?" "Apa aku pernah berdusta padamu?"
Satria tercenung. Kusut sekali pikirannya.
Belum juga urusan dengan Setan Madat tuntas,
dia mendengar ada seorang panglima Kerajaan
Demak hendak memberontak. Maka saat itu juga
naluri kependekarannya terbangkit.
Panglima Bagaspati di Kerajaan Demak
adalah sahabat karib Satria. Bahkan si pemuda
tengik ini pernah mendapat penghargaan dari ke-
rajaan berkat jasa-jasanya menumpas gerombo-
lan perampok bernama Laskar Lawa Merah yang
dipimpin Dirgasura alias Tangan Seribu Dewa.
(Baca episode : "Geger Pesisir Jawa" dan "Kail Na-ga Samudera").
Tentu saja, Satria tak sudi ada seorang
panglima hendak berkhianat terhadap kerajaan
yang sekarang dipimpin oleh Kanjeng Sutawijaya.
Dia harus bertindak. Kalau berlarut-larut, makin
sulit untuk memadamkan. Ibarat api jangan di-
biarkan menjalar. Kendalikan sejak masih kecil.
"Kalau begitu, kita harus bagi-bagi tu-
gas...." *** SEPULUH BAJINGOAANNN...!" ledak Setan Madat
murka. Di hadapannya, terbujur dua sosok
mayat. Yang terbalut pakaian hijau adalah mayat
lelaki tua berkepala botak. Itulah mayat Laba-
laba Hijau. Di atasnya, dalam keadaan memeluk
adalah mayat Jalak Merah.
Sebelum Jalak Merah menghembuskan
napas yang terakhir, dia sempat bercerita kalau
luka dalamnya akibat perbuatan Pratamp Shira-
pong. Tapi bukan itu yang membuat teriakan Se-
tan Madat begitu keras menggetarkan ruangan is-
tana kecilnya. Juga bukan pula meneriaki kema-
tian sahabatnya dari negeri se-berang itu. Tidak.
Setan Madat tak memiliki tabiat cengeng dengan
menyesali kematian sahabatnya. Apalagi kema-
tian Jalak Merah dan Laba-laba Hijau yang ba-
ginya hanya dianggap dua kucing tua buduk.
Kemarahan Setan Madat disebabkan, ke-
gagalan para anak buahnya dalam merebut Kail
Naga Samudera dari tangan Pendekar Gendeng.
Ini yang amat disesalkannya.
"Bangsat! Aku harus cepat menghubungi
kawan-kawan segolongan. Atau kalau perlu me-
minta bantuan Panglima Ganang Laksono untuk
menghantam Satria Gendeng! Hmm.... Dari cerita
Jalak Merah tadi aku menangkap isyarat kalau Ki
Rengges yang menjadi anak buahku telah berk-
hianat. Dengan begitu, dia telah bersekutu den-
gan pemuda asing itu. Berarti, mereka menyusun
kekuatan untuk menghadapiku. Aku mendahului
sebelum didahului!"
Tanpa menghiraukan kedua mayat Jalak
Men dan Laba-laba Hijau, Setan Madat melang-
kah keluar istananya. Kakinya mantap menjejak
lantai. Tiba di luar, matanya beredar ke sekeliling.
"Sugiri...!" teriaknya.
Salah seorang lelaki berpakaian serba hi-
tam yang menggerombol di pojokan tergopoh-
gopoh menghadap. Wajahnya kasar. Giginya om-
pong di tengah. Terlihat ketika dia tersenyum
yang lebih mirip seringai.
"Kumpulkan anak-anak! Kita serang Desa
Sedayu sekarang juga! Sekalian aku ingin menjaj-
al kehebatan pemuda tengik bernama Satria Gen-
deng!" sabda Setan Madat.
"Baik, Tuan," sahut Sugiri mantap.
"Juga, sisakan beberapa orang untuk men-
gawasi para pekerja dan gadis-gadis di Kaputren.
Lekas pergi!" ledak Setan Madat.
Dada lelaki ini kian menggemuruh. Teru-
tama bila mengingat pengkhianatan yang dilaku-
kan Ki Rengges. Ingin direjamnya lelaki kepala
desa itu bila berada di depannya.
Sementara, matahari pagi mulai mengintip
malu-malu di ufuk timurnya. Tapi sinarnya tak
membuat cerah wajah Setan Madat. Wajahnya
kian mengelam dengan tatapan mata merah.
Baru saja para anak buah Setan Madat
berkumpul di halaman....
"Hoi! Ada apa ini rame-rame" Pembagian
jatah beras, ya" Aku ikut, dong!"
* * * Dari arah pagar halaman depan, tiba-tiba
melompat seorang pemuda berbaju rompi dari ku-
lit binatang berwarna putih. Wajahnya tampan.
Bergaris rahang jantan. Tatapan matanya setajam
sembilu. Rambutnya panjang sebahu berwarna
kemerahan. Pada lilitan kain ikat pinggangnya
terselip semacam tongkat pendek. Berpangkal lo-
gam berbentuk kepala naga. Ujungnya menyeru-
pai ekor naga. Dialah Satria. Wajahnya dipasang tenang. Senyum su-
mringahnya menghiasi bibirnya yang kemerahan.
"Siapa yang bernama Setan Madat tunjuk
tangan!" oceh si pemuda seenaknya. Matanya pu-ra-pura menyapu para anak buah
Setan Madat yang sudah mengelilinginya. Padahal, hatinya su-
dah yakin kalau yang berdiri dekat tiang soko
guru di istana kecil itu adalah Setan Madat
"Lagakmu memuakkan, Satria Gendeng!"
Bukan main bentakan Setan Madat. Lang-
sung dikerahkannya tenaga dalam pada benta-
kannya. Akibatnya, beberapa anak buah Setan
Madat yang mempunyai tenaga dalam pas-pasan
langsung jatuh berlutut dengan telinga nyaris pe-
cah. "Wah, di sini tak ada orang yang bernama Setan Madat, ya" Kok tak ada yang
mau tunjuk tangan, sih" Kalau begitu aku pulang saja, deh!"
kata Satria, tak terpengaruh bentakan Setan Ma-
dat yang terisi tenaga dalam tinggi tadi.
Sedikit kagum Setan Madat melihat ke-
tangguhan si pemuda. Namun itu tak mengurangi
tekadnya untuk membunuh pemuda kemarin
sore yang kini suka rela mengantarkan nyawa ke
istananya. "Aku, Setan Madat!" sebut lelaki berwajah tirus itu.
"O, kau yang bernama Setan Madat" Dari
tadi, kek!"
"Jangan banyak lagak di depanku, Satria
Gendeng. Kau kini berada di kandang macan, ta-
hu"!" "Yang ku tahu, aku berada di kandang bajingan-bajingan perusak masyarakat.
Kau tanam madat dan kau ramu dengan rokok-rokokmu, lalu
kau sebarkan ke masyarakat. Kau hancurkan
masa depan pemuda dan gadis desa hanya demi
nafsu iblismu!"
"Aku tak banyak waktu untuk mendengar
khotbahmu, Pemuda Tengik! Hadapi dulu praju-
rit-prajuritku. Baru kau boleh berhadapan den-
ganku!" "Siapa pun yang menghalangi langkahku,
jangan salahkan kalau daku bertindak kejam!"
ancam Satria. "Jangan banyak bacot! Anak-anak! Se-
rang...!" Begitu mendengar perintah Setan Madat,
sekitar dua puluh orang berpakaian serba hitam
di bawah pimpinan Sugiri menyerang Satria. Ga-
nas dan menggetarkan. Apalagi, mereka telah
menghunus golok sejak tadi. Maka begitu menye-
rang, kilatan-kilatan golok akibat jilatan sinar
matahari bersliweran di seluruh penjuru mengu-
rung si pemuda.
Pada saat yang sama, di kebun-kebun mi-
lik Setan Madat terdengar teriakan-teriakan
membahana. "Bakar...! Bakar...!"
Tahu-tahu, api telah mengepung kebun-
kebun madat milik Setan Madat. Perbuatan siapa
lagi kalau bukan Arya Wadam, Ki Rengges, dan
para penduduk Desa Sedayu yang selama ini me-
nyimpan dendam pada Setan Madat. Tentu saja
tindakan mereka dibantu oleh para pekerja paksa
yang juga berasal dari Desa Sedayu. Malah bebe-
rapa pemuda yang selama ini dijadikan prajurit
oleh Setan Madat, begitu melihat orang tua mere-
ka ikut menyerang tempat ini, jadi berbalik ikut
membantu. "Keparat! Mereka tak bisa didiamkan!" dengus Setan Madat
Sekali menghentakkan kakinya, tubuh Se-
tan Madat telah meluncur keluar halaman. Tapi
baru saja menjejak tanah, seorang gadis telah
berdiri menghadang.
"Aku lawanmu, Keparat!"
"Siapa kau"!" bentak Setan Madat.
"Aku Arya Wadam," sahut gadis yang me-
mang Arya Wadam.
"Apa urusanmu di sini" Kau tak perlu ikut
campur. Aku menyayangkan kulitmu yang putih
halus. Jangan-jangan nanti terkena cangklong
panjangku ini," Setan Madat mencabut cangklong dari kain ikat pinggangnya.
"Justru aku ingin merasakan kehebatan
cangklongmu itu, Setan Madat!" tantang Arya
Wadam. "Jahanam! Terima seranganku! Heaa...!"
Ganas, Setan Madat membabatkan
cangklongnya yang ternyata juga berguna sebagai
senjata mematikan. Keras. Sambarannya seolah
hendak merobek udara.
Sedikit menarik tubuhnya ke belakang,
Arya Wadam mengangkat tangan kirinya. Dipa-
paknya sabetan cangklong Setan Madat.
Pak! Tangan Arya Wadam tepat menghantam
tangan Setan Madat. Tapi justru tangan gadis
cantik itu sendiri yang berdenyut-denyut seperti
mau remuk tulangnya. Tubuhnya pun tergeser ke
kanan, seiring gerakan tangan Setan Madat.
Dari benturan barusan, Arya Wadam bisa
menilai kalau tenaga dalam lawan sedikit berada
di atasnya. Tapi bukan berarti dia kalah. Wanita
ini tak mau dibilang kalah, sebelum nyawa terpu-
tus dari badan.
Begitu menguasai keadaan, Arya Wadam
memutar tubuhnya. Kaki kanan cepat membuat
tendangan melingkar. Calon sasarannya adalah
rahang lawan. Bed! Bed! Bed! Tiga kali Arya Wadam mengibaskan sisi te-
lapak kakinya. Tapi tak satu pun yang mengenai
sasaran. Karena, Setan Madat dengan cerdik me-
rundukkan tubuhnya. Bahkan seketika dia ber-
putar, melepas sapuan keras ke kaki Arya Wadam
yang satunya. Pak! Bruk! Arya Wadam jatuh terduduk. Keras sekali
pantatnya mencium tanah. Dan dia segera meng-
gulingkan tubuhnya, menghindari hantaman
cangklong panjang milik Setan Madat.
Bluk! Mangkuk cangklong hanya menghantam
tanah kosong. Sedang yang jadi sasaran telah
berdiri sigap dengan sikap siap tarung kembali.
Di tempat lain, Satria Gendeng mulai men-
gerahkan jurus warisan Ki Kusumo. Dalam
menghadapi serbuan puluhan golok, tubuhnya
meliuk-liuk seperti pesut dengan tangan memben-
tuk patuk, siap menghujam di tubuh lawan.
Agaknya, pemuda ini tengah mengerahkan Jurus
'Patukan Bunga Karang'.
* * * Mampukah Satria Gendeng dan Arya Wa-
dam, serta penduduk Desa Sedayu menghancur-
kan markas Setan Madat" Bagaimanakah pembe-
rontakan yang akan dibuat Panglima Ganang
Laksono" Bisakah Satria Gendeng menggagal-
kannya" Agar tidak penasaran, ikuti lanjutannya
di.... SELESAI

Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segera menyusul:
BADAI DI KERATON DEMAK
Scan/E-Book: Abu Keisel
Edited by Fujidenkikagawa
Tiga Maha Besar 20 Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu Pengantin Berdarah 2
^