Pencarian

Bangkitnya Dewa Petaka 2

Satria Gendeng 09 Bangkitnya Dewa Petaka Bagian 2


hanya tercenung beberapa saat lamanya seakan-akan
tengah mencari jawaban bagi pertanyaannya sendiri.
"Apa iya, orang-orang yang terbunuh dicegat
oleh perampok-perampok hutan ini" Sepertinya mayat-
mayat di sini berasal dari satu kelompok" Andaikan
yang menghadang mereka adalah para perampok hu-
tan ini, tapi kenapa tak ada tanda-tanda ada benda
berharga yang hilang. Berarti, bukan perampok-
perampok yang telah mencegat perjalanan kelompok
ini." Kembali Satria Gendeng hanya mampu mendu-
ga-duga. Satria Gendeng hanya mengangkat bahu. Bin-
gung memikirkan kejadian yang tidak pasti juntrun-
gannya itu. "Sekarang tinggal satu lagi yang belum aku pe-
riksa yaitu kereta! Aku yakin, orang yang berada di dalam kereta merupakan tokoh
penting. Buktinya dia di-
kawal!" pikirnya kembali
Di dalam kereta yang pintunya telah rusak, dia
tak menemukan apa-apa. Nihil.
"Kosong..."!" desis pemuda tampan murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul ketika
telah berada tepat di samping kereta itu.
"Hemmm...!" Satria Gendeng bergumam sambil
mengangguk-anggukkan kepala. Diperhatikannya pin-
tu kereta yang tidak berdaun lagi. Tanpa ada yang
menceritakan pun, sudah bisa ditebak peristiwa yang
telah terjadi. "Mungkinkah suara orang minta tolong ada hu-
bungannya dengan semua peristiwa ini. Tapi, karena
jaraknya terlampau jauh, tidak terdengar secara jelas."
Sampai sebegitu jauh, tak juga ditemukannya
titik terang. Akhirnya, Satria memutuskan untuk me-
lanjutkan perjalanan. Siapa tahu di tengah perjalanan dia bisa menemukan ceceran
petunjuk atas peristiwa
tersebut. Sampai dia tiba di suatu tempat, cukup jauh
dari tempat pembantaian rombongan tadi.
"Ah...!"
Satria mengeluarkan seruan tertahan. Lebih
mendekati keluhan. Kepalanya tertunduk, tak kuasa
menyaksikan pemandangan di depannya. Tak jauh da-
rinya, dalam jarak sekitar tiga belas tombak terpam-
pang tubuh seorang gadis berpakaian merah muda da-
lam keadaan mengerikan.
Tubuh perempuan itu menempel di atas seba-
tang pohon besar. Tangan dan kaki agak terentang le-
bar. Keadaannya amat menggiriskan hati! Tubuhnya
kelihatan hampir kering. Pakaiannya sudah koyak
moyak di sana-sini. Malah, keadaan si gadis malang
nyaris telanjang.
"Hemm.... Biadab!"
Setelah terdiam beberapa saat lamanya karena
hatinya terguncang, keluar juga sebuah makian dari
mulut Satria Gendeng. Tarikan wajah dan sorot ma-
tanya memancarkan kemarahan yang amat sangat.
"Siapa pun pelakunya, dia tidak layak untuk
dibiarkan hidup lebih lama!"
Dengan kemarahan membludak di dada, Satria
menghampiri. Jarak yang cukup jauh membuat dia ti-
dak dapat melihat mengapa tubuh gadis berpakaian
merah muda itu dapat menempel di batang pohon.
Hanya dalam beberapa langkahan kaki, si pen-
dekar muda tanah Jawa dapat mengetahuinya. Hal itu
membuat kemarahannya semakin bergejolak.
"Iblis!"
Kembali makian geram keluar dari mulut Satria
ketika dia telah melihat mengapa tubuh gadis malang
itu dapat menempel pada batang pohon. Telapak tan-
gan dan kakinya dipakukan dengan pasak dari kayu
sebesar ibu jari ke pohon!
"Kalau aku tidak dapat menemukan dan mem-
basmi iblis keji ini. Jangan biarkan aku hidup, oh Gus-ti!" janji Satria
sungguh-sungguh.
Tanpa membuang waktu lagi, pemuda tampan
murid tua bangka sinting, Dongdongka, langsung
menggenjotkan kaki. Tubuhnya melayang ke atas! Ge-
sit. Cepat. Tangkas. Begitu Satria Gendeng melayang
turun, tangannya telah membopong tubuh gadis ber-
pakaian merah muda tadi.
Ringan laksana sehelai daun kering, Satria
Gendeng menjejakkan kedua kakinya di tanah. Diper-
hatikannya keadaan mayat gadis berpakaian merah
muda itu yang nampak pucat. Sekilas pendekar murid
dua tokoh kenamaan tanah Jawa itu melihat dua titik
kemerahan pada leher gadis cantik itu yang sangat putih. Dua titik itu layaknya
bekas sebuah gigitan. Entah itu gigitan manusia atau binatang buas. Kalau
gigitan binatang buas kenapa mayat gadis cantik ini bisa di-pasak di batang
pohon" Jelas ini adalah perbuatan
manusia, tapi siapa" Setelah berpikir keras dan tidak menemukan tanda-tanda yang
cukup berarti, Satria
Gendeng lalu merebahkan tubuh mayat gadis itu di
tanah. Kemudian, dicarinya tempat yang layak untuk
menguburnya. Sementara itu, Satria tidak tahu semua gerak-
geriknya diperhatikan oleh seseorang yang bertengger di atas pohon cukup lebat!
Orang itu adalah kakek
durjana, Manusia Makam Keramat. Satria terus diawa-
sinya. Bahkan sampai dia menguburkan mayat gadis
berpakaian merah muda.
Sepasang mata Manusia Makam Keramat itu
tampak berpijar ketika mendengar ucapan Satria Gen-
deng seusai menguburkan mayat gadis berpakaian me-
rah muda itu. "Siapa pun dirimu, aku berjanji untuk memba-
laskan kematianmu. Akan kucari pelaku perbuatan ke-
ji ini!" ucap Satria Gendeng sambil mendongakkan wajahnya. "Hhh...!"
Satria menghela napas berat seusai mengu-
capkan sumpahnya.
Agak gontai, pendekar muda itu melangkah
pergi. Sepeninggalan Satria....
Diiringi suara mendesir, Manusia Makam Ke-
ramat meluncur turun dari pohon tempatnya berteng-
ger. Ditatap gundukan tanah merah yang masih basah.
Tatapannya sulit diterjemahkan.
"Kau bukan keturunan sang Prabu, Perempuan
Sundal! Aku bisa mencicipi darahmu. Aku bisa mera-
sakan apakah kau keturunan Prabu Keparat itu atau
bukan! Ternyata kau bukan keturunannya! Aku telah
tertipu.... Keparat mana yang berani mempermainkan
aku," desisnya dengan nada gusar tanpa terlihat menggerakkan bibir.
ENAM SANG surya telah sejak tadi tenggelam di barat.
Kini sang dewi malam menggantikan tugasnya, mene-
rangi persada dari kungkungan kegelapan. Meskipun
saat itu tidak muncul dalam bentuknya yang utuh, bu-
lan cukup mampu untuk mengusir kegelapan.
Langit cerah. Bintang-gemintang menaburi
angkasa, berkelip-kelip ceria karena tak ada segumpal pun awan menggantung di
sana. Semua itu menjadikan suasana semakin sumringah.
Ternyata tidak hanya suasana di langit saja
yang cerah ceria. Hal yang sama pun terjadi pula di
Desa Lebak. Obor-obor terpancang ditiap-tiap rumah
penduduk, dalam jumlah yang lebih banyak dari bi-
asanya sehingga membuat keadaan desa terang bende-
rang. Jelas, ada acara sedang berlangsung di desa tersebut. Tidak keliru jika
ada orang menduga seperti itu.
Terbukti, di mulut desa terpampang umbul-umbul
yang indah dalam bentuk beraneka ragam. Hiasan
yang sama terpampang di depan rumah Ki Arga Pasa.
Di tempat tinggal Ki Arga Pasa, di Perguruan
Belalang Putih, nampak meriah. Umbul-umbul terpa-
jang, berderet dengan rapi dan teratur mulai dari pintu gerbang sampai ke bagian
dalam. Obor-obor pun terpancang di sana-sini, membuat tempat itu terang-
benderang laksana siang hari.
Hal demikian tidak aneh karena saat itu tengah
dilangsungkan pesta panen sawah. Tak pelak lagi, ke-
sibukan pun melanda Perguruan Belalang Putih. Kare-
na pada saat itu Perguruan Belalang Putihlah yang
menjadi tuan rumah dalam pesta panen sawah itu.
Sehingga murid-murid perguruan itu, yang tidak bera-
pa banyak, tampak kerepotan melayani para tamu
yang datang untuk merayakan hasil panen.
Kegegeran yang dilakukan oleh Pasukan Kele-
lawar waktu-waktu belakangan tidak membuat surut
semangat Desa Lebak untuk merayakan pesta panen
sawah. Hal itu terbukti dengan banyaknya tamu yang
berdatangan untuk merayakan.
Tamu-tamu yang hadir tidak sedikit. Ketua Per-
guruan Belalang Putih adalah orang yang terpandang,
disegani, sekaligus dihormati. Tidak hanya di dalam
Desa Lebak saja. Tapi juga dari desa-desa sekitar. Sehingga mereka cukup merasa
aman dan tidak terlalu
takut bila muncul Pasukan Kelelawar. Ki Arga Pasa
sendiri terlihat setenang permukaan telaga. Tidak ada garis kekhawatiran di
wajahnya. Sementara itu di pendapa, duduk keluarga ke-
hormatan Ki Arga Pasa. Tak henti-henti mereka ber-
gembira. Tawa terbahak-bahak jarak terputus.
Rara Lanjar, putri sulungnya yang sangat can-
tik tak henti-hentinya mengembangkan senyum pada
para tamu. Terlihat jelas, betapa keluarga Ki Arga Pasa sangat bergembira. Tak
aneh, karena pesta, panen itu berlangsung atas bantuan-bantuan dari para
penduduk dan segenap murid perguruan dengan suka rela.
Tak jauh dari tempat duduk keluarga Ki Arga
Pasa, tampak pula keluarga Kepala Desa Lebak, dan
tamu-tamu kehormatan yang terdiri dari kepala-kepala desa dan ketua-ketua
perguruan silat di sekitar Desa Lebak. "Hasil panen mu tahun ini nampaknya cukup
besar juga hasilnya, Arga."
Ucapan itu keluar dari mulut seorang lelaki
berbebat kain. Raut wajahnya terlihat gagah dengan
kumis tebal melintang yang menghias bawah hidung-
nya. "Hal itu memang sudah semestinya. Mengapa kau berkata demikian, Damar"!"
tanya seorang kakek berpakaian merah dengan mulut menyunggingkan senyum geli.
Meskipun senyum menghias bibir, tapi tetap
saja tidak mampu mengusir keangkeran kakek itu.
Bentuk wajahnya yang persegi penuh ditumbuhi bulu.
Tidak hanya kumis dan jenggot, tapi juga cambang!
Sepasang alisnya tebal dan hitam. Potongan tubuhnya
pun tidak kalah angker, tinggi besar.
Bukan hanya itu. Pada bagian dada kanan dan
dada kiri pakaiannya pun tersulam gambar seekor ku-
da terbang! Lengkaplah sudah semua hal yang mem-
buat kakek ini terlihat angker!
"Ah tidak, Manda"!" sahut lelaki berkumis melintang yang dipanggil Damar,
bernada berkelit. "Kau kan tahu kalau sawahku hanya berselisih tidak jauh
dengan milik Ki Arga Pasa! Kalau kali ini dia pesta panen besar, mudah-mudahan
nanti dia mau membagi-
kan beberapa petak sawahnya kepadaku. Dengan begi-
tu bukankah nantinya aku yang bakalan mendapat
kesempatan untuk merayakan pesta panen besar..."!"
"Ha ha ha...!"
Serempak, bagai diberi perintah, Ki Arga Pasa
dan kakek berpakaian merah yang dipanggil Manda
yang mempunyai nama lengkap Manda Langit, tertawa
bergelak. Kelihatan geli mendengar pernyataan Damar
yang bernama lengkap Damar Sakti.
"Mengapa kalian tertawa"!" tanya Damar Sakti setengah memprotes.
"Kami hanya merasa geli saja, Damar," Ki Arga Pasa yang menjawab, setengah
tertawa. Ini menjadi
pertanda kalau perasaan geli masih melanda hatinya.
"Benar, Damar," sambut Manda Langit mendu-
kung pernyataan Ketua Perguruan Belalang Putih.
"Mengapa kau sepertinya berkeinginan sekali untuk melaksanakan pesta panen
sawah"! Hendak kau ke
manakan julukan Pendekar Tendangan Maut, jika kau
masih berpikiran akan harta dunia!"
"Tepat!" timpal Ki Arga Pasa, cepat. "Bahkan aku berani bertaruh kalau,
keampuhan tendangan mu
semakin meningkat dengan semakin meningkatnya la-
tihanmu ketimbang mengurus sawah!"
"Ha ha ha...!" Sekarang ganti Damar Sakti yang berjuluk Pendekar Tendangan Maut
yang tertawa ter-kekeh. "Luar biasa! Ternyata waktu yang sekian lamanya tidak
mengubah sikap kalian! Kurasa sudah
saatnya kalian berdua membuang puji-pujian kosong
itu! Apa hebatnya, ilmu 'Tendangan Maut'-ku diband-
ing jurus 'Kuda Langit' milikmu, Manda"! Atau per-
mainan langkahmu yang mampu menghancurkan apa
saja yang terbentur, Arga"!" ujar Damar Sakti bernada merendah.
"Ha ha ha...!"
Untuk yang kedua kalinya Ki Arga Pasa da
Manda Langit tertawa bergelak.
"Lagi pula, bukan cuma aku saja yang cuma
mengurus keampuhan kedigdayaan. Kudengar kabar,
perguruanmu menyediakan jasa pengawalan baik bagi
orang-orang yang hendak berpergian jauh, maupun
untuk pengiriman barang berharga"! Bukankah demi-
kian, Manda"!" sambung Damar Sakti.
"Hhh...!"
Manda Langit malah menghela napas berat.
Wajah mendadak berubah muram.
Karuan saja perubahan sikap kakek berwajah
mirip harimau ini membuat Ki Arga Pasa dan Pendekar
Tendangan Maut merasa heran. Senyum yang ter-
sungging di bibir pun kontan lenyap. Tetapi sekarang, dengan pandang mata penuh
selidik dan penult rasa
ingin tahu, keduanya menatap wajah Manda Langit.
"Mengapa, Manda"! Adakah ucapanku yang sa-
lah dan tidak berkenan di hatimu"!" tanya Pendekar Tendangan Maut, bernada


Satria Gendeng 09 Bangkitnya Dewa Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungguh-sungguh.
Tidak ada lagi nada main-main dalam suara
Damar Sakti. Masalahnya, seperti juga Ki Arga Pasa,
dia tahu kalau Manda Langit tidak akan bersikap se-
perti itu, apabila tidak ada masalah yang melanda.
"Tidak, Damar. Tidak ada yang salah dengan
ucapanmu," Manda Langit menggelengkan kepala
sambil tersenyum.
Baik Ki Arga Pasa maupun Pendekar Tendan-
gan Maut, bukan orang bodoh. Itulah sebabnya, mere-
ka tahu kalau senyum Manda Langit hanya pulasan
dan tidak keluar dari lubuk hatinya. Karuan saja hal itu membuat kedua tokoh itu
penasaran, terutama sekali Pendekar Tendangan Maut yang memang memiliki
watak agak 'panasan'.
"Kalau orang lain, mungkin dapat kau bohongi,
Manda. Pada kami, kau tidak mungkin dapat. Mulut-
mu mungkin dapat membohongi kami, tapi matamu
mengatakan yang sebaliknya. Apakah kau tidak per-
caya lagi pada kami, Manda"! Sehingga kau tidak mau
mengemukakan masalah yang kau hadapi"!"
Terdengar jelas nada penasaran dalam ucapan
Pendekar Tendangan Maut.
Manda Langit tetap diam.
Melihat hal ini, Ki Arga Pasa merasa khawatir
Pendekar Tendangan Maut akan mengeluarkan ucapan
dengan nada lebih keras lagi. Maka diputuskan untuk
mendahului berbicara.
"Apa yang dikatakan Damar benar, Manda.
Kami adalah sahabat-sahabatmu. Rasanya tidak pada
tempatnya kalau kau menyembunyikan masalah yang
kau hadapi. Percayalah, masalahmu adalah masalah
kami juga. Katakanlah, Manda! Jangan buat kami pe-
nasaran. Ingatkah kau akan ikrar kita bertiga setelah berhasil
menghancurleburkan Gerombolan Singa Siluman"!"
Rupanya ucapan Ki Arga Pasa yang bernada
lembut mengenai sasarannya. Terbukti, ada reaksi di
wajah Manda Langit sungguhpun dia masih tetap di-
am. Melihat hal ini, Pendekar Tendangan Maut
bermaksud untuk menyambung ucapannya yang tadi
tertunda karena didahului oleh Ki Arga Pasa. Tapi sebelum maksudnya
dilaksanakan, Ki Arga Pasa telah
lebih dulu memberi isyarat padanya untuk membiar-
kan Manda Langit.
Meskipun rasa tidak puas melanda hati, Damar
Sakti bersedia menuruti isyarat yang diberikan rekannya. Dia tahu, Ketua
Perguruan Belalang Putih itu
mempunyai alasan yang cukup kuat, sehingga mela-
rangnya berbicara lagi.
Dugaan Pendekar Tendangan Maut tidak salah.
Ki Arga Pasa memang mempunyai alasan kuat. Ketua
Perguruan Belalang Putih itu yakin kalau Manda Lan-
git terpengaruh oleh ucapannya. Keluarnya penjelasan kakek tinggi besar itu
hanya tinggal menunggu waktu
saja. Memang benar demikian. Ucapan Ki Arga Pasa
mempunyai pengaruh kuat. Ucapan itu mengingatkan
Manda Langit akan masa-masa mudanya. Dulu, lebih
dua puluh tahun lalu, dia seperti juga Ki Arga Pasa
dan Damar Sakti adalah pendekar-pendekar pembela
kebenaran. Setiap ada tindak ketidakadilan, mereka
pasti turun tangan. Mereka selalu berhasil menum-
pasnya. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh golongan hi-
tam yang ditewaskan sehingga membuat nama mereka
menjulang di dunia persilatan.
Semula ketiga tokoh pembela kebenaran ini ti-
dak saling mengenal. Mereka baru berkenalan dan sal-
ing bahu-membahu ketika menghadapi kelompok pe-
rampok yang terkenal dengan julukan Gerombolan
Singa Siluman, karena setiap kali melakukan keonaran selalu mengamuk laksana
singa, dan jejak mereka sulit untuk dicari. Lenyap begitu saja laksana siluman.
Kalau saja tidak bekerjasama, mungkin mereka
telah tewas. Gerombolan Singa Siluman memang amat
tangguh dan juga licik. Melalui kerjasama yang rapi, ketiganya berhasil menumpas
Gerombolan Singa Siluman. Di antara mereka, Ki Arga Pasa lebih dituakan.
Itulah kebersamaan mereka yang terakhir. Se-
jak saat itu mereka berpisah, menempuh sendiri-
sendiri. Sebelum berpisah mereka sempat berjanji un-
tuk saling membantu apabila di antara mereka bertiga mendapat kesulitan.
"Hhh...!"
Manda Langit menghela napas berat ketika te-
ringat akan kejadian yang membebani pikirannya. Ke-
mudian dialihkan pandangannya ke arah Ki Arga Pasa
dan Pendekar Tendangan maut yang masih menung-
gunya berbagi masalah.
"Kalian memang kawan-kawan yang baik," ujar Manda Langit mengawali
pembicaraannya.
"Semula aku tidak ingin memberitahukan ke-
pada siapa pun karena hal ini memang tanggung ja-
wabku." "Lupakanlah pendirianmu yang keliru itu,
Manda. Ketahuilah, masalahmu adalah masalah kami
juga! Bukankah demikian, Arga"!" Pendekar Tendangan Maut langsung saja menyelak.
Ki Arga Pasa menganggukkan kepala.
"Benar, Manda. Apa yang dikatakan Damar
Sakti sama sekali tidak salah. Masalahmu adalah ma-
salah kami juga. Tentu saja sepanjang masalah itu tidak menyangkut urusan dalam
perguruan! Namun,
meskipun demikian ada baiknya kau menceritakannya
pada kami. Percayalah, andaikata kami pandang uru-
san itu terlampau pribadi, dengan senang hati akan
kami biarkan kau menuntaskannya sendiri."
Pendekar Tendangan Maut mengangguk-
anggukkan kepala. Disadari kalau ucapan Ki Arga Pa-
sa ada benar. Pandangan Ketua Perguruan Belalang
Putih itu demikian bijaksana. Dalam hati Damar Sakti merasa salut atas sikap Ki
Arga Pasa. Bukan hanya Pendekar Tendangan Maut yang
mengakui kebenaran pendapat Ki Arga Pasa. Manda
Langit pun demikian. Berdasarkan ucapan itu, tidak
ada alasan lagi baginya untuk menyembunyikan masa-
lah yang merisaukan hatinya.
"Kalau benar demikian, kalian dengarlah baik-
baik," ujar Manda Langit memulai kisahnya. "Seperti yang dikatakan Damar Sakti
tadi, aku memang mempunyai sebuah perguruan yang kuberi nama Pergu-
ruan Kuda Langit. Cukup banyak murid yang kumiliki.
Karena satu kesulitan, akhirnya aku mempunyai pe-
mikiran menggunakan kepandaian mereka untuk
mencari penghasilan."
Sampai di sini Manda Langit menghentikan
ucapannya untuk mengambil napas.
"Sejak saat itu, Perguruan Kuda Langit menye-
diakan jasa pengawalan. Segala kegiatan, baik untuk
pengiriman barang-barang berharga maupun pengawa-
lan atas orang yang melakukan perjalanan."
Lagi-lagi Manda Langit menghentikan cerita.
Hanya saja kali ini digunakan untuk melihat tangga-
pan kedua rekannya. Tapi Ki Arga Pasa maupun Pen-
dekar Tendangan Maut tidak mengucapkan sepatah
kata pun. Dengan sabar mereka menunggu hingga Ke-
tua Perguruan Kuda Langit itu melanjutkan cerita dan menyelesaikannya.
Sebenarnya, baik Ki Arga Pasa maupun Daman
Sakti sudah dapat menerka kelanjutan cerita Manda
Langit. Tapi, mereka tidak mau menyela. Bagai telah
bersepakat sebelumnya, keduanya memutuskan untuk
mendengarkan hingga Manda Langit menyelesaikan ki-
sahnya. Memang kemudian, Manda Langit langsung
melanjutkan cerita ketika melihat tidak ada tanggapan dari kedua rekannya.
"Beberapa hari yang lalu, datang orang asing
berpenampilan aneh. Dia mengendarai kereta kencana
milik keluarga Raja Pajajaran. Dari pakaiannya ku yakin dia seorang lelaki
berdarah biru Pajajaran. Yang kuanggap aneh, dia mengenakan topeng wayang. Aku
ingat jelas, topengnya itu berupa wajah Arjuna. Pada kami, dia meminta untuk
mengantarkan kereta kencana ke istana. Permintaan itu pun kuanggap aneh. Ke-
napa tidak dia saja yang membawa kalau dia sendiri
adalah salah seorang keluarga kerajaan" Karena men-
ganggap pelanggan adalah raja, kami bersedia juga
membawa kereta kencana itu ke istana."
Untuk yang kesekian kalinya Manda Langit
menghentikan cerita. Malah kali ini lebih lama dari se-
belumnya. Tarikan wajah dan sinar matanya menyi-
ratkan perasaan terpukul yang amat sangat.
Ki Arga Pasa dan Pendekar Tendangan Maut ti-
dak mau mengusik. Mereka malah membiarkannya.
Keduanya tahu, tidak ada gunanya menghibur Manda
Langit. Pada saat itu, si kakek tinggi besar sama sekali tidak membutuhkannya.
Mulai lagi Manda langit menghela napas.
Sarat. Padat. Juga berbeban. "Sejak mula, aku merasa memiliki firasat bu-
ruk. Namun, aku mempercayai rombongan murid-
muridku yang mengantarkan kereta kencana itu. Tiga
hari yang lalu, burung elang perak dengan kain hitam di kaki kanannya tiba di
perguruanku. Saat itulah aku menyadari firasat buruk ku beralasan. Bahaya besar
menimpa rombongan yang mengawal kereta kencana!"
"Tunggu dulu, Manda," sela Pendekar Tendangan Maut, cepat. "Burung elang dengan
kain hitam di kaki kanannya"! Aku tidak mengerti maksudmu"!"
Manda Langit menatap wajah Damar Sakti se-
jenak. Kemudian dialihkan pandangannya ke arah Ki
Arga Pasa. "Begini, Arga, Damar. Aku mempunyai cara un-
tuk mengetahui keadaan murid-muridku yang tengah
mengadakan pengawalan. Caranya adalah dengan
memanfaatkan burung elang yang telah kami latih. Ji-
ka rombongan muridku telah berhasil melaksanakan
tugas tanpa halangan, mereka akan melepas burung
elang berikat kain hijau yang akan terbang pulang ke perguruan. Sementara, jika
rombongan berada dalam
bahaya, maka burung elang akan diikatkan kain hitam
di kakinya."
Ki Arga Pasa dan Pendekar Tendangan Maut
mengangguk-anggukkan kepala. Mereka mengerti.
"Tahu akan kejadian itu, segera saja kuutus
beberapa murid kepercayaan ku untuk menyelidikinya.
Mereka menemukan rombongan pengawal kereta ken-
cana telah dibantai. Salah seorang yang sedang seka-
rat sempat melaporkan kejadian yang menimpa."
Alis putih orang tua itu bertaut. Keningnya ber-
kerut. Ketat. "Ada satu hal yang tak bisa ku mengerti. Menu-
rut laporan muridku yang sekarat, mereka secara ke-
betulan mengangkut seorang perempuan yang hendak
menumpang di tengah jalan. Perempuan itu kebetulan
hendak ke kotapraja. Tak ada satu orang muridku
yang keberatan kalau perempuan itu menumpang di
dalam kereta kencana. Di tengah jalan, mereka diha-
dang seorang kakek keji. Mereka bertugas untuk me-
lindungi kereta kencana agar tiba di istana. Tapi,
anehnya, penghadang itu justru menginginkan perem-
puan di dalamnya...."
*** TUJUH MENDADAK. "Hua hua ha...!"
Tergulir di angkasa suara tawa menggelegar
mengalahkan segenap keramaian di pesta panen Desa
Lebak. Setiap dada tergetar.
Setiap telinga seperti dipekakkan bersamaan.
Tanah bagai diusik lini.
Kulit kering dedaunan terkelupas.
Daun kering gugur, di udara menggelepar-
gelepar. Puluhan orang terkapar seketika dengan tan-
gan mendekap telinga. Menggelepar-gelepar mereka di
atas tanah. Kebanyakan dari mereka cuma penduduk
desa yang tak memiliki olah kanuragan sedikit pun.
Sebagian bahkan orang yang sudah cukup lama me-
nekuni ilmu olah kanuragan.
Yang sanggup bertahan dengan susah payah,
cuma beberapa gelintir orang. Itu pun dengan darah
yang mengalir dari hidung dan telinga. Segenap mata
mereka dipaksa tertuju ke sumber tawa. Tidak terke-
cuali mata ketiga pentolan tua yang disegani; Ki Arga Pasa, Pendekar Tendangan
Maut, dan Ki Manda Langit. Hanya mereka dan beberapa ketua perguruan un-
dangan yang tak tampak terlalu menderita. Kendati
mereka memiliki ilmu olah kanuragan yang ditakuti
banyak orang dari golongan sesat, tak urung sorot ma-ta ketiganya mengubur
keterkejutan. Keterkejutan itu tentu saja beralasan. Baik Ki
Arga Pasa, Pendekar Tendangan Maut, maupun Ki
Manda Langit, sama-sama bisa merasakan betapa da-
da mereka agak sesak akibat guncangan tenaga tawa
tadi. Mereka pun cepat sadar kalau pemilik tawa me-
miliki tenaga dalam amat kuat.
Berarti, tamu tak diundang itu adalah seorang
berkepandaian tinggi. Kalau tidak datang dengan niat baik, berarti pula dia
calon lawan amat tangguh.
Tawa tadi ternyata berasal dari bagian depan
perguruan. Entah bagaimana caranya dia masuk, ta-
hu-tahu bisa berada di dalam tanpa sepengetahuan
murid-murid Ki Arga Pasa yang bertugas menjaga pin-
tu gerbang. Padahal, saat itu suasana sudah sepi. Dalam arti kata tidak ada tamu
yang datang lagi.
Kenyataan ini pun mengejutkan penjaga-
penjaga gerbang. Dengan agak tergesa-gesa, dua di antara mereka bergerak
menghampiri sang pemilik tawa
yang telah berada di dalam.
"Hey! Berhenti! Mengapa kau menimbulkan ke-
ributan di sini"! Cepat keluar sebelum ku patah-
patahkan tulang-tulang kakimu!" ancam salah seorang murid Perguruan Belalang
Putih bermulut besar.


Satria Gendeng 09 Bangkitnya Dewa Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sang pemilik tawa seorang tua berambut dan
berjenggot kelewat panjang. Dia menghentikan tawa.
Wajahnya tetap ditundukkan, tersembunyi di sela-sela rambut. Masih dengan wajah
menunduk dibalikkannya tubuh, menghadap dua orang murid Perguruan
Belalang Putih yang menghampiri.
"Benarkah kalian mampu melakukan padaku"
Kalau begitu, lakukanlah!" sahut sosok berjubah hitam, tenang. Dia tidak lain
Manusia Makam Keramat!
Sementara itu Ki Arga Pasa mengernyitkan dahi
menyaksikan Manusia Makam Keramat. Terlihat jelas
kalau dia tengah mengingat-ingat keras. Ada selintas pikiran mengusik benaknya.
Sementara sepasang matanya menatap penuh selidik pada sosok tamu tak di-
undang. Sikap orang tua itu tak luput dari perhatian rekan-rekannya. Karuan
saja, hal itu membuat Ki
Manda Langit dan Pendekar Tendangan Maut merasa
heran. "Mengapa, Arga"! Apakah kau mengenalnya?"
tanya Ki Manda Langit, ingin tahu.
"Entahlah, Manda," jawab Ki Arga Pasa bernada tidak yakin. "Rasanya aku pernah
mengenal ciri-ciri orang ini. Di mana aku mendengar atau melihat ciri-ciri
seperti itu, aku belum ingat...."
Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan
Maut saling pandang.
"Ingat-ingatlah, Arga!" tukas Pendekar Tendangan Maut. "Aku yakin kau mempunyai
pengamatan dan ingatan yang tajam."
"Apa yang dikatakan Damar Sakti memang ti-
dak keliru, Arga," dukung Ki Manda Langit, "Kita tidak tahu seberapa tinggi
kepandaiannya. Jika kau tahu sesuatu tentang diri manusia busuk tak dikenal ini,
ten-tu kita dapat mempertimbangkan cara untuk mengha-
dapinya." Ucapan rekan-rekannya memaksa Ki Arga Pasa
untuk terus memperhatikan sosok Manusia Makam
Keramat. Ingin diketahuinya, bagaimana tindakan Ma-
nusia Makam Keramat itu dengan ancaman dua orang
muridnya. Di lain pihak, ketiga tokoh itu tak bisa berdiam
diri saja. Dua murid perguruan yang mencoba mengu-
sir sang tamu tak diundang besar kemungkinan bera-
da di moncong maut.
Sementara itu, salah seorang murid Perguruan
Belalang Putih yang berbibir tebal rupanya sudah tidak kuat lagi menahan sabar.
Tanpa menunggu lebih lama
lagi dilancarkan serangan berupa pukulan bertubi-tubi ke arah dada Manusia Makam
Keramat! "Hmh!"
Manusia Makam Keramat hanya mendengus
melihat serangan lawan. Wajahnya memperlihatkan
kesan seolah dia hanya sedang menghadapi seekor ke-
pinding. Dan itu bukan sekadar pepesan kosong.
Prakkk! "Aaakh...!"
Lelaki berbibir tebal itu hanya sempat menge-
luarkan jeritan panjang ketika tangan Manusia Makam
Keramat itu menghantam batok kepalanya hingga
hancur berantakan. Seketika itu pula nyawanya me-
layang meninggalkan raga.
Tentu saja kejadian yang demikian menge-
jutkan itu membuat semua orang yang berada di situ
terperanjat. Tak terkecuali, Ki Arga Pasa, Pendekar
Tendangan Maut, dan Ki Manda Langit.
Hanya Manusia Makam Keramat yang bersikap
tidak peduli. Tanpa memperhatikan orang-orang men-
gerubungi murid Perguruan Belalang Putih yang tewas, dibalikkannya tubuh. Lalu
diayunkan langkahnya ke
arah ruang pendapa.
Di saat, Manusia Makam Keramat membalik-
kan tubuh itulah, rambutnya tersingkap angin. Seki-
las, hanya sekilas saja Ki Arga Pasa sempat melihat
wajahnya. Tapi itu pun sudah cukup baginya untuk
menangkap lekuk dan gurat wajah si manusia laknat.
Dia makin ingat pada sesuatu. Makin dekat pada pe-
tunjuk di kepalanya....
"'Kitab' itu...!" desis Ki Arga Pasa tanpa menyembunyikan perasaan kagetnya.
Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan
Maut yang baru bersiap hendak melompat turun,
mengurungkan niatnya.
"Apa yang kau katakan, Arga"! 'Kitab' apa yang
kau maksud"!" sergah Damar Sakti, memburu.
Hampir berbareng dengan pertanyaan Ki Damar
Sakti, dari Ki Manda Langit pun itu keluar pertanyaan senada. Namun jawaban
kedua sahabatnya tak mendapat jawaban dari Ki Arga Pasa sendiri. Dia justru
lebih dahulu melompat. Satu hal yang membuatnya tak
lagi mempedulikan pertanyaan Ki Manda Langit dan Ki
Damar Sakti, Manusia Makam Keramat menghampiri
tempat anak sulungnya!
Tanpa pikir panjang lagi, Ketua Perguruan Be-
lalang Putih itu langsung bersalto beberapa kali di
udara, sebelum akhirnya kemudian meluruk turun
sambil melancarkan serangan berupa cengkeraman ke
arah kepala Manusia Makam Keramat. Tindakannya
laksana seekor burung elang menyambar mangsa.
Melihat serangan ini, terpaksa Manusia Makam
Keramat mengurungkan maksudnya untuk mendekati
Rara Lanjar. Karena kalau dia bersikeras meneruskan
maksudnya, sebelum tercapai, cengkeraman Ki Arga
Pasa yang akan lebih dulu tiba.
Manusia Makam Keramat tidak menginginkan
hal itu terjadi. Dia dapat mengukur, betapa dahsyat-
nya serangan itu. Cengkeraman Ki Arga Pasa mampu
membuat batu karang paling keras hancur lebur! Da-
pat diperkirakan apabila mengenai kepala manusia
yang jelas tak sekeras karang!
Meskipun demikian, Manusia Makam Keramat
tidak memperlihatkan kegentaran. Tanpa ragu-ragu,
dipapaknya serangan itu dengan sampokan kedua tan-
gannya. Plak! Plakkk!
"Aekhg...!"
Jerit keterkejutan bercampur kesakitan keluar
dari mulut Ki Arga Pasa begitu tangannya berbenturan dengan tangan Manusia Makam
Keramat. Jari-jari kedua tangannya terasa sakit luar biasa. Menyengat ke
segenap urat sarafnya. Untuk beberapa saat, kedua
tangannya tak bisa digerakkan!
Lebih parah lagi, tubuh Ki Arga Pasa langsung
terpental jauh ke belakang! Padahal, Manusia Makam
Keramat sama sekali tidak bergeming. Hal itu menun-
jukkan betapa tenaga dalam lawan, berada jauh di
atas guru Perguruan Belalang Putih.
Tentu saja kejadian itu mengejutkan semua
yang menyaksikan. Tidak salahkah penglihatan mere-
ka" Benarkah Ki Arga Pasa terjengkang karena berben-
turan dengan lawannya" Ki Arga yang begitu disegani"
Pertanyaan demi pertanyaan membebani benak
orang-orang yang menyaksikan kejadian itu. Tak ter-
kecuali Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan
Maut. Mereka bertambah tak yakin dapat mengukur
tingkat kedigdayaan lawan. Kendati tak ada rasa gen-
tar dalam diri mereka.
Ki Arga Pasa bukan sembarang tokoh. Dia me-
rupakan pentolan tokoh golongan putih! Walaupun ti-
dak termasuk dedengkot atau datuk, tapi tak mudah
menemukan tokoh yang memiliki kepandaian setingkat
dengannya. Kalau kenyataannya dalam benturan tena-
ga dalam, lawan lebih unggul, bagaimana lagi kedua-
nya dapat menjajaki kesaktian kakek berambut dan
berjenggot amat panjang itu"
Atau, jangan-jangan Ki Arga Pasa tidak menge-
rahkan seluruh tenaganya! Mungkin tidak, mungkin
iya" Mereka tidak tahu kalau Ki Arga Pasa telah
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya dalam seran-
gan tadi! Ketua Perguruan Belalang Putih tidak gega-
bah melancarkan serangan. Hanya dia seorang yang
sadar betul lawan yang tengah dihadapi. Ya, hanya dia!
Sementara, begitu melihat tubuh Ki Arga Pasa
terlempar, murid-murid Perguruan Belalang Putih
langsung bergerak untuk melancarkan serangan.
Tapi.... "Tahan...!"
Mendengar cegahan itu, murid-murid Pergu-
ruan Belalang Putih pun mengurungkan niat. Bukan
karena takut pada Manusia Makam Keramat, melain-
kan karena mereka patuh sepenuhnya pada guru me-
reka. "Hua hua haa...! Ternyata kau cukup jeli juga,"
cemooh Manusia Makam Keramat, terselubung pujian.
Manusia Makam Keramat kembali tertawa ter-
gelak-gelak. Meledak-ledak.
Mendengar penuturan kental dengan nada pon-
gah, Ki Arga hanya menggeram, menahan rasa sakit
yang masih saja menjalar. Kian yakin saja dirinya terhadap jati diri kakek tua
berambut dan berjenggot
panjang itu. Ki Manda Langit dan Ki Damar Sakti melompat
ke belakangnya.
"Kau tak apa-apa, Arga?" serbu Ki Damar Sakti.
Ki Arga Pasa mengangguk kecil, nyaris tak ken-
tara. Dia tak begitu memperhatikan kehadiran dua sa-
habat di belakangnya. Matanya tegas-tegas terhujam
ke arah Manusia Makam Keramat.
Dalam ketercekaman, bibir orang tua itu berbi-
sik lamat-lamat.
"Rupanya, kaulah manusia durjana itu. Aku
memang telah curiga ketika belakangan ini ada kegegeran Pasukan Kelelawar. Kau
telah kembali, manusia
pembawa petaka.... Tak kusangka aku akan berhada-
pan langsung denganmu...."
"Apa yang kau katakan, Arga!?" pangkas Ki
Manda Langit. Rasanya gundah jika rasa penasaran
menjadi tergantung-gantung tak pasti.
Tetap tanpa melepaskan pandangan dari Ma-
nusia Makam Keramat, Ki Arga Pasa berkata lagi. Uca-
pannya hampir-hampir mendesis.
"Tak ada waktu untuk menjelaskannya. Ber-
siaplah kalian untuk bertarung hidup-mati!"
Kedua sahabat di belakangnya saling pandang
dengan kelopak mata menyempit.
*** DELAPAN SESUATU memang telah terjadi pada diri Gen-
dut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis. Sesu-
atu yang sulit untuk dijelaskan. Sulit pula untuk dimengerti oleh mereka berdua.
Tanpa sebab yang jelas, tentu saja kejadian yang mereka alami menjadi sulit
dimengerti. Begitupun dijelaskan.
Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka
Bengis masih tampak berada di sekitar bentangan la-
dang ilalang jangkung. Masih berdiri diam laksana dua patung batu tak bernyawa.
Masih saja mereka merasakan diri masing-masing didamparkan dalam alam lain
yang penuh dengan pemandangan dan suasana asing
sama sekali. Saat itu, keduanya sedang dalam usaha
mencari Satria Gendeng yang mereka anggap hilang.
Ketika tiba di padang ilalang itulah mereka mengalami kejadian tak terduga.
(Baca episode sebelumnya: "Memburu Manusia
Makam Keramat"!).
Lama mereka mengalami kejadian aneh itu,
sampai mereka sendiri tak bisa menentukan sudah be-
rapa hari berapa malam keduanya mengalami hal itu.
Sampai akhirnya, keduanya tersadar. Jika se-
belumnya, Gendut Tangan Tunggal mengalami keja-
dian aneh itu lebih dahulu, setelah itu menyusul Pendekar Muka Bengis. Kesadaran
mereka justru terjadi
berbarengan. "Apa yang telah terjadi pada diriku sebenar-
nya?" tanya Gendut Tangan Tunggal.
"Apa yang terjadi pada dirimu" Aku sendiri tak
tahu apa yang telah terjadi pada diriku sebenarnya,"
jawab Pendekar Muka Bengis.
Kendati kawan berwajah garang di sebelahnya
sama sekali tidak menanyakan kejadian yang diala-
minya, Gendut Tangan Tunggal menceritakan juga.
"Aku seperti dilempar ke satu alam asing. Be-
nar-benar aneh. Apa iya aku hanya sedang berkhayal"
Tapi, kenapa bisa begitu" Lalu perut sebesar gentong-nya digaruk-garuk berirama,
pertanda kebingungan
besar sedang melanda benaknya.
"Apa yang kau alami?" susul Gendut Tangan
Tunggal. "Aku pun mengalami hal serupa, Gendut!"
"Ah!" sentak Gendut Tangan Tunggal tak percaya. "Bagaimana bisa begitu?"
"Mana aku tahu! Semuanya begitu aneh...."
"Iya benar! Aneh, ajaib...."
Pendekar Muka Bengis terdiam memikirkan se-
suatu. Lain dengan Gendut Tangan Tunggal. Mulut
orang tua berbadan subur itu tak bisa berhenti.
"Jadi bagaimana sekarang" Apa kita menghen-
tikan saja pencarian kita" Sebab kupikir kita telah
memasuki wilayah...."
Bahu Gendut Tangan Tunggal bergidik. "Aku
merasa kita telah lancang memasuki tempat para si-
luman...."
"Diam kau, Gendut!" hardik Pendekar Muka
Bengis. "Beri kesempatan padaku untuk berpikir!"
"Ya, teruslah berpikir sampai para siluman me-
nyedot otakmu!" gerutu Gendut Tangan Tunggal.
"Aku yakin, ada seseorang yang telah melaku-
kan sesuatu pada kita...," simpul Pendekar Muka Ben-
gis. "Siapa orangnya" Dan 'sesuatu' apa maksud-
mu?" "Aku belum tahu."
"Kalau begitu, percuma kau berpikir. Sudah,
sebaiknya kita kembali. Tak perlu kita lanjutkan pencarian pemuda itu. Kupikir,
dia pun bisa menjaga di-


Satria Gendeng 09 Bangkitnya Dewa Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rinya sendiri."
Dengan wajah terlipat, Gendut Tangan Tunggal
meninggalkan tempat tersebut. Langkahnya terbant-
ing-banting gusar di tanah.
"Tidak bisa begitu, Gendut!" sergah Pendekar Muka Bengis.
Gendut Tangan Tunggal tak peduli. Kalau su-
dah begitu maunya, mana dia dengar ucapan kawan-
nya tadi" Dia terus saja berjalan meninggalkan batas tepian padang ilalang.
Tampaknya dia agak seram juga untuk melanjutkan pencarian menembus padang
ilalang lebat yang tingginya mencapai kepala manusia
itu. Dalam benaknya, masih bergentayangan bayan-
gan-bayangan yang dialaminya. Dugaan-dugaan yang
tidak-tidak pun berseliweran. Cuma karena takut di-
anggap penakut, dia tak menampakkannya di wajah.
Jengkel juga Pendekar Muka Bengis dengan si-
kap kawannya yang selalu bikin perut mulas itu. Di
belakang, dia mengekori. Sampai berjalan cukup jauh
meninggalkan batas padang ilalang, Gendut Tangan
Tunggal tak juga mau menghentikan langkah. Hilang
kesabaran Pendekar Muka Bengis. Disentaknya kaki.
Tubuhnya melompat tinggi mendahului Gendut Tan-
gan Tunggal dari atas. Di depan orang tua berperut
buncit itu, Pendekar Muka Bengis menghadang.
"Berhenti, Gendut!" hardiknya, masygul.
"Jangan halangi jalanku, Bengis!" balas Gendut
Tangan Tunggal.
"Bagaimana kau ini! Sudah jelas pendekar mu-
da itu sedang dalam kesulitan. Kau sudah lihat cece-
ran darahnya, bukan" Lalu kenapa kau seperti tidak
peduli"!"
"Aku bukan tak peduli!"
"Lantas apa"!"
"Aku cuma.... Ah, menyingkir saja kau! Pokok-
nya, aku tak mau meneruskan pencarian. Titik!"
Wajah Pendekar Muka Bengis mencemooh.
"Bilang saja kau takut. Begitu, bukan?"
Mendeliklah mata Gendut Tangan Tunggal. Wa-
jahnya jadi merah padam. Masa' dirinya disebut begi-
tu" Kendati dalam hati dia memang menyembunyikan
sedikit ketakutan, Gendut Tangan Tunggal tetap tak
sudi diangggap pengecut. Biar yang bicara Dewa seka-
lipun, dia bisa melabraknya!
"Aku, Gendut Tangan Tunggal, pantang untuk
takut!" sesumbarnya.
"Lalu kenapa kau hendak kembali?" Pendekar Muka Bengis makin memojokkan.
Cuping hidung Gendut Tangan Tunggal kem-
bang-kempis. Dia merasa terpojok. Karena tak bisa
menemukan alasan untuk berdalih, dia jadi mangkel
sendiri. "Minggir, Bengis. Jangan halangi jalanku!!!" te-riaknya kalap.
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"
"Aku berjanji akan melabrakmu!"
"Lakukan saja kalau itu maumu!"
Sudah bures kesabaran Gendut Tangan Tung-
gal. Disodorkannya satu sampokan tangan ke depan.
Keras. Tujuannnya bukan untuk melakukan serangan.
Dia hanya ingin membuat Pendekar Muka Bengis me-
nyingkir dari jalannya.
Pendekar Muka Bengis berkelit ke belakang.
Wajahnya memerah. Sama sekali dia tak menyangka
kalau temannya akan benar-benar menyerang. Paras-
nya memperlihatkan keterperangahan. Dia telah salah
menyangka maksud Gendut Tangan Tunggal menyam-
pokkan tangan. "Hei, kau benar-benar hendak melabrakku, ru-
panya! Kau sungguh-sungguh, heh"!"
"Bukan begitu maksudku...." Gendut Tangan
Tunggal hendak menjelaskan, tapi Pendekar Muka
Bengis sudah melancarkan balasan yang lebih mirip
serangan gusar.
Sialan, pikir Gendut Tangan Tunggal. Sebenar-
nya, dia tak mau berkelahi dengan kawan sendiri. Tapi sekarang dia terpaksa
harus melakukannya.
Wukh! Sodokan kaki Pendekar Muka Bengis menda-
tangi kepala Gendut Tangan Tunggal. Benar-benar
dengan niat menyerang, tidak seperti tindakan Gendut Tangan Tunggal sebelumnya.
Gendut Tangan Tunggal
bisa menilainya dari angin tendangan kawannya itu.
Kawan" Bah! Sekarang dia pun jadi sulit untuk me-
nyebut Pendekar Muka Bengis kawan.
Tak mau mukanya jadi sasaran telapak kaki
Pendekar Muka Bengis, Gendut Tangan Tunggal me-
mapaknya dengan tangan kanan. Ketika terbentur,
mulut orang tua tukang makan itu menganga.
Dia terjajar mundur. Pedas sekali telapak tan-
gannya. Rasanya seperti baru ditampar dengan lem-
pengan baja. "Kau menyerangku dengan sungguh-sungguh,
Bengis! Kau memang berniat membuat mukaku beran-
takan, ya"!"
Meledak juga kemarahan Gendut Tangan Tung-
gal. "Kalau itu maumu, baik!"
Lalu, dipasangnya kuda-kuda. Jurus-jurus
ampuhnya siap dikucurkan. Dia tak mau sungkan
atau ragu lagi menghadapi kawan yang mulai breng-
sek. Bersamaan dengan itu, Pendekar Muka Bengis
pun mempersiapkan jurus-jurusnya pula. Dia pun
menganggap kawannya mulai brengsek dan patut
mendapat sedikit pelajaran.
"Heaaa!!!"
"Whuaaa!!!"
Berkawal teriakan yang mencelat dari tenggoro-
kan masing-masing, kedua pihak memulai perkela-
hian. Keduanya sudah tak mau banyak berpikir lagi.
Dan tak mau banyak menimbang. Mereka sudah diku-
asai kemarahan.
Pertukaran jurus pun tak bisa dihindari.
Jurus-jurus ampuh dua tokoh kenamaan tanah
Jawa. Dua tokoh bertabiat aneh.
Dua pendekar tua berbeda angkatan yang ber-
diri dalam satu panji yang sama, panji golongan lurus.
Lucu kalau mereka sekarang berseteru. Lepas dari itu, bukankah manusia memang
selalu berbuat keliru"
Sampai beberapa belas jurus berselang, men-
dadak saja Pendekar Muka Bengis melompat jauh ke
belakang. Dia mengambil jarak cukup jauh. Agak aneh
untuk tokoh kawakan macam dirinya harus mengam-
bil jarak pada saat dia belum dalam posisi terdesak.
Apalagi jarak yang diambilnya cukup jauh. Kalau cu-
ma ingin memperbaharui posisi, kenapa harus sejauh
itu" "Tunggu, Gendut!" serunya.
"Apa, kau mulai merasa takut" Makanya, jan-
gan kau bilang aku yang takut!"
"Bukan begitu! Apa kau tak merasakan sesuatu
yang ganjil pada dirimu"!"
"Apa"!"
"Kau merasa kekuatan tenaga dalammu makin
lama makin berkurang"!"
Gendut Tangan Tunggal terdiam sejenak. Sebe-
lah tangannya menggaruk-garuk perut,
"Sebenarnya, aku juga ingin menanyakan itu
padamu...," jawabnya sambil meringis.
"Kau merasakan juga?" Mendengar pengakuan
kawannya, lelaki berwajah garang itu tak urung terperanjat. "Iya. Kau tahu
kenapa sebabnya?"
Pendekar Muka Bengis menggeleng.
"Ada yang aneh," gumamnya kemudian. "Aku yakin, ini masih ada hubungannya dengan
kejadian yang kita alami sebelumnya di padang ilalang itu...."
Garukan tangan Gendut Tangan Tunggal pada
perutnya makin seru. Sampai-sampai suaranya ter-
dengar ramai. Tak cukup merdu untuk telinga siapa
pun. Sebelumnya dia sudah dibikin bingung. Sekarang
kebingungannya makin menjadi-jadi. Tampangnya su-
dah tak karuan lagi.
Sepertinya dia akan berhenti menggaruk perut
sampai kiamat kalau saja tidak ada suara teriakan
bercampur tangisan dari jarak tak jauh dari tempat
mereka. Pendekar Muka Bengis menoleh ke asal suara.
"Apa itu?" tanya Gendut Tangan Tunggal kebodohan. Bagaimana tidak bodoh, sudah
jelas yang di- dengarnya teriakan dan tangisan.
Pendekar Muka Bengis tak menunggu lama.
Dia cepat melompat dari tempatnya. Berlari, diburunya asal suara tadi. Kawan
buncitnya menyusul di belakang. Kira-kira berlari seratus langkah, keduanya tiba
di dekat pepohonan besar. Di bawah satu pohon mereka menyaksikan hal yang
sebenarnya sulit untuk di-
percaya. Keduanya menemukan Pasukan Kelelawar.
Kalau itu saja, mungkin mereka tak terlalu heran. Sebaliknya, bisa jadi mereka
justru menjadi senang dan tegang. Senang karena dengan menemukan bocah-bocah
aneh itu, berarti mereka menemukan jalan un-
tuk menuntaskan persoalan yang merongrong dunia
persilatan hari-hari belakangan. Tegang, karena tahu mereka akan menghadapi
lawan yang sulit untuk dika-lahkan. Yang sulit dipercaya, kesembilan bocah itu
sedang duduk berkumpul di bawah pohon sambil me-
nangis. Yang satu menggerung-gerung. Yang lain sese-
gukan. Yang satu merengek-rengek, yang lain menjerit-jerit. Tingkah mereka sudah
tak beda dengan bocah-
bocah kecil yang kehilangan orang tua. Tak tampak la-gi kegarangan, keganasan,
keberingasan mereka seper-
ti sebelumnya. Mereka benar-benar telah menjelma
kembali menjadi bocah biasa!
*** SEMBILAN KEMBALI ke Perguruan Belalang Putih.
Ki Arga Pasa melompat maju beberapa tombak
lebih dekat ke arah tamu tak diundang pembuat keo-
naran. Seperti sengaja menghadang, dia berdiri hanya empat-lima tindak dari
Manusia Makam Keramat.
"Apa maumu datang ke tempat ini sebenarnya,
Orang Tua Asing?" tanyanya. Dari caranya bertanya, tampak jelas kalau Ki Arga
Pasa begitu hati-hati.
"Menyingkir saja dari hadapanku! Aku tak
punya urusan apa-apa denganmu!"
"Aku tuan rumah di sini. Apa pun yang terjadi
di perguruanku berarti urusanku juga!"
"Jangan banyak bicara! Katakan, di mana ke-
tua perguruan yang memiliki lambang ini!"
Usai berucap kasar, Manusia Makam Keramat
menunjukkan sobekan kain yang selama ini terus da-
lam genggamannya. Sobekan bergambar kuda langit
yang didapat dari salah seorang pengawal kereta ken-
cana! Ki Arga Pasa dibuat terkesiap. Secara tak sadar, dia menoleh ke belakang
pada sahabatnya, Ki Manda
Langit yang masih berdiri cukup jauh.
Mengikuti gerak mata Ki Arga Pasa, pandangan
Manusia Makam Keramat pun turut berhenti pada Ke-
tua Perguruan Kuda Langit itu. Bibirnya menyeringai.
Tanpa perlu mendapat jawaban atas pertanyaan sebe-
lumnya, dia telah menemukan orang yang dicari.
Ki Manda Langit yang baru sempat melihat ca-
rikan kain ketika Ki Arga Pasa menoleh, menaikkan
alis. Matanya menatap sang tamu tak diundang den-
gan sorot mata curiga. Dia hendak turut maju ke de-
pan. Tapi Ki Arga Pasa cepat mencegah dengan isyarat tangan. "Ada perlu apa kau
dengan sahabatku?"
"O, jadi ketua perguruan dengan lambang ini
adalah sahabatmu"!" sinis Manusia Makam Keramat, berpura-pura tak tahu. "Aku
hendak memaksanya bi-
cara tentang orang yang meminta jasa perguruannya
mengawal kereta kencana Pajajaran beberapa hari lalu.
Jelas?" "Apa hubunganmu dengan pembantaian rombongan itu?" selidik Ki Arga Pasa.
Satu pertanyaan yang tak perlu. Sebenarnya, Ketua Perguruan Belalang Putih itu
sudah punya dugaan kuat bahwa orang yang
dihadapinya kini adalah biang keladi pembantaian itu.
Hanya karena dia adalah seorang satria sejati, tak patut baginya untuk langsung
menjatuhkan tuduhan.
"Aku yang membunuh mereka," jawab Manusia
Makam Keramat, berbisik seraya menyorongkan kepala
ke depan. Seolah dia hendak mengolok-olok.
Ki Arga Pasa mendengus gusar. Kini, tak ada
lagi alasan untuk tetap berdiam diri.
"Manusia tua terkutuk! Semoga segenap isi
bumi dan langit mengutuk perbuatanmu!"
Saru saja ucapan yang dikeluarkannya pupus
disambar angin, Ki Arga Pasa langsung melancarkan
serangan. Ketua Perguruan Belalang Putih ini membu-
ka serangannya dengan sebuah tendangan kaki kanan
lurus ke arah pusar.
Wuttt! Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke kiri,
tanpa memindahkan kaki, Manusia Makam Keramat
telah berhasil membuat serangan lawan mengenai
tempat kosong! Kaki Ki Arga Pasa meluncur beberapa
jari di sebelah kanan Manusia Makam Keramat.
Tapi, serangan Ki Arga Pasa tidak terhenti sam-
pai di situ! Kegagalan serangan pertama sudah dalam
perhitungannya. Begitu Manusia Makam Keramat itu
berhasil mengelak, segera disusul dengan serangan
lanjutan. Sadar akan kelihaian lawan, Ki Arga Pasa tidak ragu-ragu lagi untuk
mengerahkan seluruh ke-
mampuannya. Hebat bukan main serangan-serangan Ki Arga
Pasa. Bunyi menderu, mengaung, dan bergemuruh,
mengiringi bergeraknya tangan atau kakinya. Susul-
menyusul hampir tanpa henti laksana amukan badai!
Meskipun demikian, Manusia Makam Keramat


Satria Gendeng 09 Bangkitnya Dewa Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu meredam semua serangannya. Lincah me-
nunggang angin dan gesit bagai mengendara kilat, Ma-
nusia Makam Keramat mengelakkan semua serangan
itu. Semuanya dilakukan seperti tanpa mengalami ke-
sulitan sama sekali.
Pada satu kesempatan, dia mengambil jarak.
"Kuberi kesempatan padamu untuk menye-
rangku selama sepuluh jurus. Pergunakanlah sebaik-
baiknya!" ujar Manusia Makam Keramat dengan sorot mata menikam.
"Tutup mulutmu, Manusia Jahanam!" maki Ki
Arga Pasa penuh perasaan geram.
Sebagai akibat kegusaran yang terus menanjak
naik, serangan-serangan yang dilancarkan Pemimpin
Belalang Putih itu pun semakin dahsyat. Ucapan la-
wan tadi dianggapnya telah secara tak langsung men-
ginjak-injak kepala.
Meski Ki Arga Pasa telah menguras seluruh
kemampuannya, tetap saja semua serangannya berha-
sil dielakkan Manusia Makam Keramat. Kesombongan
dan sesumbar kakek durjana yang telah kembali dari
kematian memang beralasan! Kesanggupannya berbi-
cara di saat serangan Ki Arga Pasa bertubi menghuja-
ni, membuktikan kalau serangan-serangan lawan tidak
cukup merepotkannya.
Jurus demi jurus berlalu. Tak terasa sudah se-
puluh jurus Ki Arga Pasa melancarkan serangan sejak, Manusia Makam Keramat
melontarkan tantangan ang-
kuhnya. Selama itu, tak satu jurus pun mengenai sa-
saran. "Sekarang giliranku...!" ujar Manusia Makam Keramat bernada
memperingatkan.
"Bersiap-siaplah, Lelaki Tua Keropos! Ketahui-
lah, aku tidak ragu untuk membunuhmu!"
"Tutup mulutmu, Jahanam!"
Makian penuh kegeraman menyambuti pernya-
taan Manusia Makam Keramat. Itu pun masih ditam-
bah lagi dengan sebuah tendangan kaki kanan ke arah
leher! "Hih...!"
Manusia Makam Keramat mendengus melihat
serangan itu. Tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau dia akan mengelak. Dengan
kata lain, berarti Manusia Makam Keramat memang telah siap dengan siasat tarung
di benaknya. Ternyata tidak salah! Begitu kaki Ki Arga Pasa
menyambar dekat, dengan kecepatan yang sukar di-
ikuti mata, Manusia Makam Keramat menggerakkan
tangan kanannya. Akibatnya....
Tepp! "Heihhh..."!"
Ki Arga Pasa memekik kaget melihat pergelan-
gan kakinya dicekal lawan. Tahu bahaya besar men-
gancam, buru-buru ditarik kakinya agar dapat terlepas dari cekalan.
Untuk yang kedua kalinya Ki Arga Pasa dilanda
kekagetan. Jangankan menarik, membuat bergeming
saja pun dia tidak mampu. Seolah-olah kakinya telah
terjepit oleh dua buah bukit!
"Hua hua ha...!"
Manusia Makam Keramat tertawa tergelak me-
lihat Wajah Ki Arga Pasa merah padam saat menge-
rahkan seluruh tenaganya untuk menarik kakinya.
Masih dengan tawa belum putus, Manusia Ma-
kam Keramat menggerakkan jari-jari tangannya.
Meremas. Krekk...! "Aaakh...!"
Ki Arga Pasa tidak mampu menahan keluarnya
jerit kesakitan dari mulutnya ketika tulang-tulang kakinya remuk akibat remasan
tangan Manusia Makam
Keramat. Tindakan Manusia Makam Keramat tidak ter-
henti sampai di situ saja. Tangannya dihentakkan.
Kuat! Tak pelak lagi tubuh Ki Arga Pasa terhuyung ke arahnya. Padahal, Ki Arga
Pasa telah berusaha mem-pertahankan diri.
Di saat tubuh Ki Arga Pasa melayang, tangan
kiri Manusia Makam Keramat bergerak menyampok!
Wuttt! Prakk! "Aaa...!"
Hanya jeritan panjang saja yang dapat dikelua-
rkan Ki Arga Pasa sebelum akhirnya tubuh itu ambruk
ke tanah dengan tulang pelipis hancur! Tragis sekali kematian Ketua Perguruan
Belalang Putih itu!
Peristiwa itu berlangsung demikian cepat. Tak
seorang pun sempat berbuat sesuatu. Mereka baru sa-
dar ketika tubuh Ki Arga Pasa telah ambruk ke tanah.
"Biaaadab!"
Hampir berbareng bentakan keras itu keluar
dari mulut Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan
Maut. Bersamaan dengan keluarnya teriakan, kedua-
nya melesat dari tempatnya.
Cepat gerakan kedua kawan Ki Arga Pasa itu.
Bersamaan dengan itu murid-murid Perguruan Bela-
lang Putih menghambur ke tengah arena! Diawali te-
riakan-teriakan bernada kemarahan yang menggun-
cang, mereka menyerang Manusia Makam Keramat.
Tempat yang lebih dekat dengan Manusia Makam Ke-
ramat memungkinkan serangan mereka tiba lebih dulu
daripada Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan
Maut. Karena murid-murid Perguruan Belalang Putih
itu menggunakan senjata, dan melakukan penyeran-
gan secara serempak, tak pelak lagi hujan senjata meluruk ke berbagai bagian
tubuh Manusia Makam Ke-
ramat. Tapi dengan kecepatan gerak luar biasa, Manu-
sia Makam Keramat menyelinap di antara sambaran
senjata lawan. Hasilnya, serangan murid-murid Pergu-
ruan Belalang Putih mengenai tempat kosong! Dengan
cara yang hampir sulit dipercaya, Manusia Makam Ke-
ramat itu telah melesat keluar dari kepungan.
Dengan kebekuan wajah dan ketenangan men-
gagumkan, si kakek durjana menghampiri tempat Rara
Lanjar berada. Mata berurat kemerahannya seperti
menyorot tajam. Ada yang diamati olehnya pada diri
Rara Lanjar. Cara menatapnya sulit diterjemahkan.
Rupanya dia menemukan sesuatu yang hanya bisa di-
pahami oleh dirinya sendiri.
Hal itu pula yang menyebabkan dia begitu ber-
niat melarikan Rara Lanjar. Dan semua itu luput dari perhatian siapa pun. Juga
oleh Ki Arga Pasa sebelum dia tewas.
"Aku bisa merasakan, siapa dirimu sebenarnya,
Anak Gadis. Kau tak bisa menipuku...," desisnya ter-samar riuh-rendah suara
murid-murid Perguruan Be-
lalang Putih. Manusia Makam Keramat makin dekat.
Makin pasti untuk menuntaskan niat
Menyambar si gadis, lalu minggat!
Minggat" Ya. Semula, tujuannya datang ke
tempat itu adalah melacak jejak Pemimpin Perguruan
Kuda Langit. Dia hendak mengorek keterangan tentang
kereta kencana yang dikawal oleh orang-orang pergu-
ruan tersebut. Paling tidak, bisa didapatnya nama
orang yang telah meminta jasa pengawalan itu.
Namun ketika dia menyaksikan untuk pertama
kali Rara Lanjar, mendadak terbersit pikiran lain dalam benaknya. Terutama
karena dia 'mengendus' se-
suatu pada diri Rara Lanjar!
Hanya saja, cuma dia sendiri yang tahu.
Karuan saja orang yang berada satu ruangan
dengan gadis itu menjadi kelabakan bukan kepalang.
Disadari akan datangnya ancaman maut. Sementara
Rara Lanjar sudah tak sadarkan diri dipangkuan
ibunya. Rupanya guncangan batin melihat kematian
ayahnya di depan matanya terlalu berat untuknya.
Tapi sebelum Manusia Makam Keramat berha-
sil melaksanakan maksudnya terhadap istri Ki Arga
Pasa yang telah bersiap-siap untuk mengadakan per-
lawanan.... Jleg! Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan
Maut telah berada di depannya.
"Manusia setan! Makhluk seperti kau tidak
layak untuk dibiarkan hidup!" geram Ki Manda Langit.
Manusia Makam Keramat tersenyum mengejek.
Diperhatikannya Ki Manda Langit dan Pendekar Ten-
dangan Maut, sesaat. Diliriknya lambang kuda terbang pada pakaian Ki Manda
Langit. "Aku memang datang karena satu urusan den-
ganmu"! Berkaitan dengan rombongan yang kubantai
beberapa waktu lalu! Cukup sulit aku menelusuri jejak
perguruanmu," tukasnya pada sang Pemimpin Perguruan Kuda Langit.
Ki Manda Langit berseru terkesiap. Sama sekali
tidak disangka kalau dia akan bertemu dengan penjag-
al murid-muridnya.
"Rupanya kau yang telah melakukan tindakan
keji itu! Kau telah membunuh murid-muridku, Manu-
sia Biadab!!"
"Ooo... jadi mereka murid-muridmu" Lalu siapa
gadis yang ada di dalam kereta" Anakmu-kah"! Semu-
la aku berharap dia salah satu orang yang ingin kehi-rup darahnya. Namun
ternyata bukan! Kau pikir, aku
dapat tertipu?" ejek Manusia Makam Keramat tenang.
"Sayang gadis cantik itu bukanlah salah seo-
rang yang tengah aku buru. Tapi dia telah membuat
aku gusar, maka...."
"Jahanam! Kepaaraatt.... Mampuslah kau!"
Tanpa menunggu Manusia Makam Keramat
menyelesaikan ucapannya, Ki Manda Langit langsung
melancarkan serangan dengan setimbun kegeraman.
Tanpa mendengar secara lengkap pun, sudah dapat
diduga nasib si gadis yang dimaksud tadi!
Mati! Melihat Ki Manda Langit telah menyerang, Pen-
dekar Tendangan Maut tidak tinggal diam. Dia pun
melakukan hal yang sama. Disadari kalau Ki Manda
Langit tak akan mampu menghadapi Manusia Makam
Keramat sendirian. Dengan satu pertimbangan, tingkat kepandaian Ketua Perguruan
Elang Perak itu setingka-tan dengan Ki Arga Pasa.
Tapi rupanya Manusia Makam Keramat tidak
berminat untuk bertarung. Terbukti, dia tidak me-
nyambuti serangan lawan-lawannya. Digenjotkan kaki,
sehingga tubuhnya melayang ke atas melewati kepala
kedua penyerangnya.
Begitu kakinya mendarat di tanah, langsung
saja dia melesat ke arah Rara Lanjar. Jelas, Manusia Makam Keramat itu mengincar
putri Ki Arga Pasa.
Melihat hal ini Kumparan, murid tertua yang
berada di dekatnya tidak bisa tinggal diam. Dia tidak ingin putri tunggal
ketuanya mengalami nasib yang
sama dengan ayahnya. Dengan modal agak nekat, di-
hadangnya Manusia Makam Keramat. Langsung dis-
ambutnya kedatangan orang tua berwatak bejat itu
dengan tusukan goloknya.
Hadangan itu tidak membuat Manusia Makam
Keramat mengurungkan niat. Ditangkapnya golok
Kumparan. Kemudian hanya dengan sekali sentak, tu-
buh Kumparan telah dilemparkannya.
Lalu dengan kecepatan tidak mengendor, Ma-
nusia Makam Keramat meluncur ke arah Rara Lanjar.
Maka.... Tappp! Crash! "Aaah!"
Begitu membunuh istri Ketua Perguruan Bela-
lang Putih, tubuh putri Ki Arga Pasa berhasil ditangkap, lalu Manusia Makam
Keramat melesat mening-
galkan tempat itu.
Tentu saja Ki Manda Langit, Pendekar Tendan-
gan Maut, murid-murid Perguruan Belalang Putih, dan
yang lain-lain tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Mereka pun melakukan penghadangan.
Tapi kejadian sebelumnya pun kembali teru-
lang. Dengan mudah Manusia Makam Keramat itu
berhasil meloloskan diri dari hadangan. Lalu, hanya
dengan beberapa kali lesatan, manusia yang sudah se-
perti setengah siluman itu telah berada di luar markas
Perguruan Belalang Putih.
Meskipun demikian, Manusia Makam Keramat
tidak menekan kecepatan larinya. Dia terus saja melesat dengan kecepatan tinggi.
Hanya dalam waktu sing-
kat, markas Perguruan Belalang Putih telah berhasil
ditinggalkannya.
Di tengah jalan, manusia terkutuk itu meng-
hentikan langkah sejenak. Didongakkan kepala. Dita-
tapinya rembulan. Menyaksikan bulan hanya tinggal
beberapa jengkal dari takhta puncaknya, wajah bengis sarat keriputnya tertarik
ketat. "Aku harus cepat membawa perawan ini ke Ma-
kam Keramat Maut sebelum bulan menggantung tepat
di atas kepala...," bisiknya bergetar, seperti seseorang yang dilanda
kekhawatiran kental.
*** SEPULUH "BERHENTI...!" Terdengar bentakan keras yang mencoba menahan lari Manusia Makam
Keramat. Menggelegar laksana sambaran gledek. Jelas, bentakan itu dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tapi bukan Manusia Makam Keramat kalau
menjadi gentar karenanya. Dengan berani dia malah
menghentikan langkah larinya. Dibalikkannya tubuh
untuk melihat orang yang dianggapnya telah lancang
menahannya. Berjarak lima tombak dari Manusia Makam Ke-
ramat, berdiri seorang pemuda berambut panjang ke-
merahan. Mengenakan rompi bulu dari kulit hewan.


Satria Gendeng 09 Bangkitnya Dewa Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuhnya tinggi tegap. Siapa lagi kalau bukan murid
Dongdongka dan Ki Kusumo alias Satria Gendeng.
"Jika kau memang masih ingin hidup. Cepat se-
rahkan wanita itu, Manusia Biadab!" seru Satria Gendeng, mengancam.
"Lagi-lagi kau," sahut Manusia Makam Keramat sambil tersenyum mengejek. "Kuberi
kesempatan untuk pergi dari sini sebelum aku mengubah keputusan!
Cepat menyingkir! Atau kau ingin mengalami nasib
sama dengan rombongan yang kau temukan di hutan
beberapa hari yang lalu"!"
Satria Gendeng langsung kaget mendengar
ucapan itu. Sama sekali tidak disangka kalau orang
tua ini yang telah melakukan kekejian terhadap gadis yang dia kuburkan!
Memang, Satria Gendeng telah mengetahui ka-
lau Manusia Makam Keramat menculik putri sulung Ki
Arga Pasa, Rara Lanjar. Di tengah perjalanan menuju
Desa Lebak, dia bertemu dengan rombongan Ki Manda
Langit yang masih terus melakukan pengejaran.
"Jadi... kau penjahat terkutuk itu"!" desis Satria Gendeng dengan geram.
"Kalau begitu, mampuslah!"
Wuttt! Bunyi deru angin keras terdengar ketika Satria
Gendeng melancarkan serangan. Tangan kanannya
membentuk patukan, diluncurkan ke arah ulu hati
Manusia Makam Keramat. Dalam cekaman kemarahan
menggelegak, Satria Gendeng telah mengeluarkan ju-
rus 'Mencuri Bunga Karang', pemberian Tabib Sakti
Pulau Dedemit. "Ah...!"
Manusia Makam Keramat berseru kaget ketika
melihat gerakan Satria Gendeng murid tunggal dua to-
koh kenamaan persilatan. Setiap gerakannya menim-
bulkan getaran-getaran, cukup membuat hatinya ber-
getar. Sekali lihat saja dia tahu kalau kepandaian pemuda berwajah seperti bocah
itu lebih tinggi diban-
dingkan dengan Ki Arga Pasa. Oleh karena itu, Manu-
sia Makam Keramat tidak berani bertindak main-main.
"High!"
Sambil menggertakkan gigi, dipapaknya seran-
gan Satria Gendeng dengan pengerahan seluruh tena-
ga dalamnya. Sehingga....
Plakk...! Terdengar bunyi keras ketika dua tangan yang
sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu ber-
benturan. Sesaat kemudian, tubuh Satria Gendeng ter-
jajar satu tindak ke belakang. Sama dengan Satria
Gendeng, Manusia Makam Keramat terjajar satu tin-
dak ke belakang. Hal ini menunjukkan kalau tenaga
dalam manusia yang bangkit dari kematiannya itu sa-
ma tinggi dari lawannya.
Sementara itu, Manusia Makam Keramat mulai
sadar kalau lawannya kali ini jauh lebih sakti dari Ki Arga Pasa. Disadari pula
jurus-jurus Satria Gendeng
cukup membahayakan dirinya. Maka, dilemparkan tu-
buh Rara Lanjar di tanah. Dia pun mempersiapkan ju-
rus-jurus ampuhnya!
Cit, cit, cit! Diiringi bunyi berdecit nyaring yang keluar dari
gerakan tangannya yang berkuku panjang dan hitam,
Manusia Makam Keramat melompat menerjang Satria
Gendeng. Ketika tengah berada di udara, tangan ka-
nannya disampokkan ke arah pelipis.
Wettt! Hanya dengan mencondongkan badan, Satria
Gendeng telah berhasil membuat serangan itu menge-
nai tempat kosong. Sampokan Manusia Makam Kera-
mat lewat beberapa jengkal di atas kepalanya. Meski-
pun demikian, saking kerasnya tenaga yang terkan-
dung di dalam serangan itu, seluruh pakaian Satria
sampai berkibaran keras.
"Keparat...! Lihai juga kau, Bocah!" geram Manusia Makam Keramat.
Karuan saja kenyataan ini membuat Manusia
Makam Keramat gelisah. Disadari kalau Satria Gen-
deng terlalu tangguh untuk dapat dirobohkan. Lagi pu-la, andaikan dapat pun,
membutuhkan waktu lama.
Padahal dia tidak ingin berlama-lama di tempat ini.
Ada satu hal yang harus diburunya sebelum tengah
malam nanti. Hal itu meletakkan dirinya pada keadaan yang tidak menguntungkan.
Apabila Ki Manda Langit
datang membantu lawan yang dihadapinya atau rom-
bongan pengejar dari Perguruan Belalang Putih tiba
dan mengeroyoknya, dia makin tak punya kesempatan
untuk tiba di Makam Keramat Maut sebelum tengah
malam! Terbetik di pikirannya untuk melarikan diri se-mentara ini.
Sebelum lawan membayar serangannya, Manu-
sia Makam Keramat telah lebih dahulu menggenjot tu-
buh. Rara Lanjar disambarnya seperti gerak seekor
elang menyambar mangsa. Dari satu pohon, dia melen-
tik ke pohon lain.
Tapi.... "Hendak lari ke mana kau!"
Bagai siluman muda kesetanan, Satria Gendeng
memburu lawannya. Kelincahan Manusia Makam Ke-
ramat di udara, diimbanginya dengan sempurna. Ke-
jar-kejaran berlangsung sengit. Lama kelamaan, si kakek durjana jadi gusar
sendiri. Bagaimana mungkin
bocah semuda dia mampu mengimbangi gerakanku"
Penasaran dengan kelihaian lawan mudanya, yang
muncul kemudian adalah kegeraman menggelegak. Di
atas tanah, dia telah berdiri dengan segenap muatan
kemarahan dalam diri.
"Akan kulayani kalau itu maumu, Bocah," desisnya seraya melempar tubuh Rara
Lanjar untuk ke-
dua kali begitu saja di salah serumpun semak.
Kegagalan serangan sebelumnya telah cukup
meledakkan kegusaran Manusia Makam Keramat. Ki-
ni, dinantinya Satria dengan hati yang lebih mengke-
lap. Tanpa sempat memberi kesempatan pada Satria
untuk mendarat mantap, Manusia Makam Keramat
sudah mengucurkan serangan.
Serangan-serangan lanjutannya semakin dah-
syat. Lagi-lagi, Satria Gendeng sanggup meladeninya.
Berkat jurus 'Dedengkot Sinting Kegirangan'-nya yang mulai dikerahkan untuk
mengimbangi kecepatan dan
kesangaran gerakan-gerakan Manusia Makam Kera-
mat. Bahkan serangan-serangan balasan yang diki-
rimkan pemuda berambut panjang dikepang itu tak
kalah dahsyatnya.
Tak pelak lagi, pertarungan sengit dan menarik
antara dua tokoh yang sama-sama memiliki kepan-
daian tinggi pun tidak bisa dielakkan lagi.
Sungguh hebat bukan main pertarungan yang
terjadi. Bunyi menderu, bergemuruh, dan mengaung,
menyemaraki jalannya pertarungan. Jurus demi jurus
berlangsung cepat. Masalahnya, kedua be-lah pihak
memang memiliki kecepatan gerak mengagumkan.
Memang, ilmu yang dimiliki Satria Gendeng dan Ma-
nusia Makam Keramat sama-sama menitik beratkan
pada kemampuan ilmu meringankan tubuh!
Tak terasa pertarungan telah berlangsung lebih
dari seratus jurus. Selama itu belum nampak adanya
tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai peme-
nang. Pertarungan masih berlangsung seimbang.
Masuk lebih ke dalam pada jurus-jurus inti, si
kakek durjana merasa pernah mengenal gaya serangan
Satria. Hatinya bertanya-tanya. Sia-sia kalau dia
hanya mengulang-ulang pertanyaan di hati. Pada satu
kesempatan, Manusia Makam Keramat mengambil ja-
rak. Dia mencelat dari bumi, melayang seperti hantu
lalu menjejak di batang pohon sebesar lengan.
Satria mengira lawannya hanya bermaksud
menjadikan pohon itu sebagai tumpuan untuk melom-
pat ke tempat lain. Kalau benar, dia bisa memburu ke arah yang mungkin diambil
lawan dan menyambutnya
selagi di udara. Dugaannya keliru. Begitu kakinya berhasil menjejak di batang
pohon kecil yang tegak lurus, Manusia Makam Keramat sama sekali tak beranjak la-
gi. Dia menempel laksana cecak!
Menyaksikan unjuk kebolehan itu, dalam be-
nak si pendekar muda melintas bayangan kejadian be-
berapa waktu lalu. Ketika pertama kali menemukan
Pasukan Kelelawar di dalam goa, disaksikannya bocah-
bocah sakti itu pun dapat menempel di langit-langit
goa. Apa hubungan orang tua sesat ini dengan Pa-
sukan Kelelawar, tanyanya membatin. Sebelum sempat
mengajukan pertanyaan, lawan telah mendahului.
"Ada hubungan apa kau dengan Truna"!" lon-tarnya. Satria sejenak terpaku. Dia
berpikir sejenak.
Truna" Diingat-ingatnya nama itu. Bukankah kalau
tak salah nama itu adalah nama semasa muda gu-
runya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul" Bagaimana
dia bisa tahu nama asli gurunya" Dan kala teringat
pengakuan Dongdongka beberapa hari lalu yang men-
gatakan bahwa Manusia Makam Keramat adalah sau-
dara lelakinya, Satria pun mulai dapat mengendusi
siapa sesungguhnya sang lawan.
"Jadi kaulah biang keladi Pasukan Kelelawar
itu...," desisnya. "Pantas saja rupa mu membuatku demikian muak....'
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Bocah!
Jangan sampai tubuhmu kupreteli satu persatu untuk
memaksamu bicara! Katakan, ada hubungan apa kau
dengan Truna"!"
"Dia muridku!!!!"
Menyalak satu sahutan yang menggoncangkan
udara.... * * * Apa maunya Manusia Makam Keramat mencu-
lik Rara Lanjar" Kenapa dia iseng banget" Siapa ma-
nusia bertopeng Arjuna yang mendapat Keris Kiai Kun-
ing" Kok bisa begitu, hah" Kitab apa yang dimaksud Ki Arga Pasa" Nah, urusan
Pasukan Kelelawar yang ditemukan dua pasangan tengik, Gendut Tangan Tunggal
dan Pendekar Muka Bengis gimana" Kok tahu-tahu ja-
di berubah menjadi anak-anak ileran"
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pedang Medali Naga 12 Pendekar Romantis 07 Dendam Dalang Setan Dendam Membara 3
^