Pencarian

Bangkitnya Dewa Petaka 1

Satria Gendeng 09 Bangkitnya Dewa Petaka Bagian 1


Episode I: PASUKAN KELELAWAR
Episode II: MEMBURU M. MAKAM KERAMAT
Episode III: BANGKITNYA DEWA PETAKA
BANGKITNYA DEWA PETAKA Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU PEREMPUAN ketiga puluh. Adalah syarat pun-
cak bagi seorang tokoh sesat berjuluk Manusia Makam
Keramat untuk bangkit dari kematiannya. Kematian
yang telah memenjarakan arwahnya dalam dingin dan
kebekuan himpitan dua alam. Antara alam nyata dan
gaib. Kematian yang diterima melalui tangan seorang
Prabu Pajajaran, yang telah menikamkan keris pusaka
ke dadanya! Perempuan ketiga puluh. Telah datang untuk-
nya. Malam ini. Dipersembahkan oleh iringan para bo-
cah terkutuk yang menjadi momok dengan sebutan
Pasukan Kelelawar. Mereka, para bocah yang meneri-
ma seribu satu kutukan dan sumpah serapah dari go-
longan lurus telah berhasil hingga saat itu melaksanakan segala titah sang Eyang
Guru. Dari kejaran tokoh-tokoh ternama, mereka pun berhasil lolos.
Mereka, sembilan manusia muda namun ber-
kedigdayaan sebanding dengan tokoh-tokoh jajaran
atas dunia persilatan, datang dengan segala kesan
keangkeran ke tempat di mana jasad manusia durjana
terbaring. Di bahu salah seorang bocah, tertelungkup lunglai seorang perempuan
muda. Perempuan ketiga
puluh. Tumbal yang akan disediakan untuk melantak
batas gerbang dua alam yang membelenggu sang dur-
jana sekian lama.
Perempuan ketiga puluh.
Dalam kepekatan kabut serta engahan angin,
Pasukan Kelelawar sampai di makam Eyang Guru me-
reka. Malam gulita. Satwa tak punya nyali untuk ber-
suara. Dalam kungkungan sepi, mereka mengitari ma-
kam paling besar bernisan raksasa dari batu berben-
tuk tengkorak manusia.
Perempuan ketiga puluh.
Perempuan ketiga puluh!
Perempuan ketiga puluh....
Perempuan penyempurna bangkitnya sang De-
wa Petaka! Akankah simbahan darah membanjiri tanah
Jawa" * * * "Hua hua haa...!"
Tawa keras terdengar mengusik kesunyian pa-
gi. Panjang, sarat ke gempitaan. Gemanya merambat
ke seluruh pelosok.
Suara itu berasal dari salah satu di antara se-
kian banyak kuburan kuno yang terdapat di Makam
Keramat Maut. Sebuah pemakaman yang hampir tidak
pernah didatangi orang. Masalahnya, setiap orang yang datang ke sana jarang yang
kembali lagi. Mungkin itu sebabnya, tempat itu dinamakan Makam Keramat
Maut. Menurut cerita yang tersebar di dunia persilatan, di sekitar Makam Keramat
Maut banyak terdapat
tempat-tempat berbahaya. Lumpur hidup serta jalan-
jalan setapak yang terdapat di antara hamparan ila-
lang setinggi satu setengah tombak, menyembunyikan
bahaya sangat menyiksa bagi korbannya. Selain itu, di sana banyak berkeliaran
kelelawar-kelelawar ganas.
Semua itu hanya merupakan sebagian kecil dari ba-
haya-bahaya yang menghadang perjalanan menuju ke
Makam Keramat Maut. Tak aneh kalau tempat itu di-
takuti tokoh-tokoh persilatan, dan dinamakan Makam
Keramat Maut! Mendadak dari dalam kuburan kuno berbatu
nisan tengkorak sebesar kerbau, tempat asal tawa
membahana tadi, melesat sesosok tubuh. Gerakannya
cepat luar biasa. Yang terlihat hanya sekelebatan
bayangan hitam dalam bentuk tidak jelas. Sesaat ke-
mudian, di depan bangunan kuno itu telah berdiri seorang kakek kurus berambut
dan berjenggot putih amat
panjang. Ujungnya bahkan sampai di tanah. Wajahnya
sepucat manusia yang darahnya habis terperah. Bu-
kan itu saja yang menggidikkan. Kuku-kuku di jari
tangan dan kakinya demikian panjang melingkar-
lingkar. Perawakannya kurus, hanya seperti tulang
terbungkus kulit. Dia hanya mengenakan cawat dari
kain. "Sekarang tibalah waktunya bagiku untuk me-wujudkan cita-citaku dulu! Aku
bersumpah seluruh
bumi Pajajaran dan dunia persilatan akan bertekuk lutut padaku...!"
Usai berkata demikian, si kakek merangkapkan
kedua tangannya ke dada. Tiba-tiba saja dari sela gi-ginya keluar taring
panjang. Sepasang matanya pun
berubah. Bola mata hitamnya menjadi tegak memipih,
tajam berkilat mengeluarkan sinar kehijauan,
Hanya sesaat saja, dia bersikap demikian. Ke-
mudian, diawali bunyi menggeram serak layaknya ke-
luar dari mulut gorila, dia melompat ke atas.
Sungguh menakjubkan! Ringan bukan main ge-
rakannya. Lebih ringan dari sehelai bulu tubuhnya
melayang ke atas. Setibanya di sana, tangan kanannya dikibaskan.
Wuttt! Blarrr! Bunyi berderak keras langsung terdengar keti-
ka angin kibasan tangannya menghantam batu nisan
sebesar kerbau yang berada di atas liang lahat di mana
dia keluar sebelumnya. Apa pun tujuannya, kentara
sekali dia begitu membenci nisan liang lahat sendiri.
Jleg! Begitu kedua kakinya hinggap di tanah, si ka-
kek kurus langsung mengumbar kembali tawanya.
Terdengar lepas sesak dengan nada kepuasan.
"Tak ada lagi prasasti terkutuk itu! Aku telah
kembali!! Aku telah kembali sang Prabu! Kuharap seluruh darah keturunanmu akan
membasahi kerongkon-
gan ku!" Masih dengan tawa keras, dia melesat mening-
galkan tempat itu. Luar biasa! Hanya dengan sekali
menghentakkan kaki yang terlihat begitu enteng, dia
telah berada belasan tombak di depan. Tanpa memiliki ilmu meringankan tubuh
sangat tinggi, jarak seperti
itu tak akan bisa dicapai!
Baru beberapa kali lesatan, kakek kurus tadi
menghentikan langkah. Pandangannya diarahkan ke
depan, di mana terhampar ilalang setinggi satu setengah tombak. Wajahnya
membeku. Sesuatu sedang ter-
lintas dalam benaknya.
Dipandanginya seluruh wilayah Makam Kera-
mat Maut. Tempat di mana selama lebih dari seratus
tahun jasadnya terkungkung bumi. Menyaksikan Ma-
kam Keramat Maut baginya seperti membayangi wajah
Prabu Pajajaran yang telah membunuhnya. Itu mengo-
barkan kebencian tak terhingga dalam dirinya. Keben-
cian yang bersumber pada sang Prabu, dan merambat
pada seluruh keturunannya!
Tanpa alasan yang bisa dimengerti siapa pun
kecuali dirinya, untuk kesekian kalinya dia tertawa
bergelak-gelak. Cukup lama. Sebelum akhirnya ber-
henti. Lebih tepatnya lagi dihentikan secara mendadak.
Mendadak pula ia memutar tubuhnya, dengan arah
gerakan ke kanan. Itu pun dibarengi dengan gerakan
tangannya. Mendadak....
Bluppp! Ajaib! Tubuh si kakek kontan lenyap. Di tem-
patnya berdiri semula hanya tampak kepulan asap.
Wujudnya raib! Sementara, ke manakah sembilan bocah sakti
para budaknya, menjadi tanda tanya.
* * * Matahari telah bergeser jauh dari tempatnya
semula. Meskipun demikian tetap belum mencapai ti-
tik puncaknya, ketika sebuah rombongan kecil kereta
kuda, memasuki mulut Hutan Rangkas.
Rombongan kecil itu terdiri dari sebuah kereta
dan delapan ekor kuda pengiring. Kedelapan ekor kuda ditunggangi para lelaki
gagah. Posisinya melindungi
kereta. Tiga di bagian belakang dan depan. Sedangkan pada masing-masing sisi
kereta, terdapat satu.
Seperti juga binatang-binatang tunggangan
yang semuanya berwarna coklat, sosok-sosok gagah di
atas punggung kuda itu pun mengenakan pakaian
dengan warna serupa. Pada bagian dada kiri pakaian-
nya tersulam gambar seekor kuda bersayap. Pedang
bergagang kepala kuda, tampak di balik punggung me-
reka. Senjata-senjata itu membuktikan kalau rombon-
gan ini bukan orang-orang lemah.
Melihat sikap para penunggang yang terlihat
begitu melindungi kereta, bisa diduga kalau orang
yang berada di dalamnya dari kalangan berdarah biru.
Dengan lambang kebesaran Kerajaan Pajajaran pada
pintu kereta kuda, orang akan makin yakin pada du-
gaan itu. Setidaknya di dalam sana duduk keluarga ra-
ja. "Tahan...!"
Mendadak salah satu dari tiga penunggang ter-
depan, berkata dengan suara pelan sambil mengangkat
tangan kanannya ke atas seraya menarik tali kekang
kudanya. Seketika itu pula, rombongan yang berada di
belakang tiga sosok itu menghentikan langkah kuda
mereka. Seiring dengan dilakukannya tindakan itu,
masing-masing sosok berpakaian merah muda bersi-
kap waspada. Masalahnya, mereka melihat adanya
penghadang. Seorang kakek kurus kering berambut
dan berjenggot amat panjang. Berdiri diam layaknya
tonggak mati. Tangannya bersidekap di dada.
Sementara itu salah satu dari tiga penunggang
kuda terdepan, seorang lelaki tegap berkumis jarang, melompat turun. Indah dan
manis dilihat gerakannya.
Bahkan ketika kedua kakinya mendarat di tanah, tidak terdengar adanya bunyi
berarti. Hal itu menjadi pertanda kalau ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi.
Lalu dengan langkah dan sikap tenang, lelaki
berkumis jarang itu menghampiri sosok berjubah hi-
tam yang berdiri dalam jarak sepuluh tombak di de-
pannya. Tentu saja tindakan lelaki berkumis jarang
yang bisa dipastikan pimpinan rombongan kecil itu, tidak luput dari perhatian
rekan-rekannya dan si peng-
hadang. "Maaf, Orang Tua. Bisakah kau menyingkir se-
bentar" Kami hendak lewat, dan tengah memburu
waktu," ucap lelaki berkumis jarang, pelan dan sopan.
Tak ada jawaban. Bahkan sekadar helaan na-
pas. Penghadang tadi seolah tak memperlihatkan tan-
da-tanda kehidupan. Kelopak matanya bahkan tertu-
tup. Lelaki tadi menautkan alis. Tak mungkin orang
tua ini sedang bersemadi di tengah jalan dengan posisi yang tak lazim pula,
pikirnya. Diperhatikannya wajah si penghadang cermat-cermat. Saat itu, melintas
getaran ketakutan yang sulit dipahami dalam dirinya. Dia bergidik. Entah kenapa.
"Maaf, Kisanak. Mungkin perlu kau ketahui,
kami adalah orang-orang dari Perguruan Kuda Langit.
Kebetulan sekali, aku pemimpin rombongan ini. Na-
maku Wicaksana. Saat ini kami tengah mendapat tu-
gas, yang harus cepat kami laksanakan. Berarti kami
tidak punya banyak waktu. Sekali lagi kuminta kau
dapat menyingkir dari tempatmu, Kisanak. Berilah
kami kesempatan untuk lewat," pinta lelaki tadi, mencoba kembali.
"Cuiihhh...!"
Tanggapan dari si penghadang adalah sembu-
ran ludah ke tanah. Kasar dan menjijikkan sekali ca-
ranya. "Siapa pun adanya kalian aku tidak peduli! Dari Perguruan Kuda Langit
atau Perguruan Kuda Setan,
bukan urusanku! Yang jelas, kalian harus menyerah-
kan penumpang dalam kereta kuda itu!"
"Keparat...!"
Terdengar suara makian keras bernada penuh
kemarahan. Kemudian disusul dengan melompatnya
salah seorang penunggang kuda yang tadi berada di
sebelah Wicaksana. Dia adalah seorang lelaki bertubuh pendek gendut.
"Biar aku yang akan melemparkan orang tua
sombong itu, Kang!" pinta lelaki pendek gendut ketika telah berada di dekat
Wicaksana. Wicaksana tidak langsung menjawab perta-
nyaan itu. Ditatapnya wajah lelaki pendek gendut itu, sejenak.
"Baik! Tapi, hati-hati, Loringga! Jangan bertindak sembrono. Aku yakin dia bukan
orang sembaran-
gan," beri tahu lelaki berkumis jarang seraya melangkah mundur, memberi
kesempatan pada rekannya.
"Mengapa harus membuang-buang waktu"! Le-
bih baik kalian semua maju berbarengan!" tantang si kakek kurus, tanpa
menyembunyikan kesan sombong
pada wajah membatunya.
Karuan saja, hal itu membuat semua orang
yang berada di dalam rombongan Perguruan Kuda
Langit jadi gusar.
Hal yang sama pun dialami oleh Loringga! Ke-
marahannya semakin berkobar mendengar sesumbar
lawannya. Maka diputuskan untuk segera melaksana-
kan maksudnya. "Orang tua sombong! Lihat serangan! Hih!"
Loringga membuka serangannya dengan se-


Satria Gendeng 09 Bangkitnya Dewa Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buah tendangan lurus ke arah dada. Deru angin cukup
keras yang mengiringi tibanya serangan itu menjadi
pertanda kalau pemuda bertubuh pendek gendut itu
memiliki tenaga dalam cukup kuat.
Tapi orang yang diserang tetap bersikap tenang.
Tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau dia akan me-
lakukan tindakan. Baik tangkisan atau elakan. Mem-
buka mata saja tidak!
Begitu serangan Loringga menyambar semakin
dekat, si kakek kurus itu menurunkan kedua tangan-
nya. Sebuah tindakan yang membuat ancaman bahaya
semakin besar. Betapa tidak" Karena bagian dadanya
semakin dibuka lebar-lebar.
Karuan saja hal ini membuat semua orang yang
berada di situ merasa terkejut. Tak terkecuali Loringga!
Sudah gilakah si kakek kurus itu! Kalau tidak, mana
mungkin membiarkan serangan lawan menghantam-
nya" Ataukah dia memiliki kepandaian yang demikian
tinggi, sehingga berani menerima serangan lawan"
*** DUA PERTANYAAN demi pertanyaan itu menggayuti
semua kepala anggota rombongan Perguruan Kuda
Langit. Sekarang, mereka hanya menunggu kenyataan
yang akan terjadi dengan perasaan tegang.
Anggota Perguruan Kuda Langit tidak perlu
menunggu lama untuk membuktikan kenyataan itu.
Karena sesaat kemudian....
Bukkk! Telak dan keras sekali kaki Loringga mendarat
di dada si kakek kurus.
Akibat selanjutnya benar-benar mengejutkan
hati. Betapa tidak" Kalau menurut perhitungan, tulang rusuk si kakek kurus pasti
jebol! Tapi yang terjadi tidak demikian. Loringga-lah yang menjerit-jerit
kesakitan sambil memegangi kakinya.
Pemuda bertubuh pendek gendut ini merasa-
kan betapa kakinya seperti bukan menghantam tubuh
manusia yang terdiri dari daging dan tulang. Tapi,
mengenai bongkahan batu karang! Rasa sakit yang ti-
dak tertolong langsung menderanya.
Tentu saja rekan-rekan Loringga merasa terke-
jut bukan main melihat hal itu. Sekarang mereka sa-
dar kalau lawan memiliki kepandaian tinggi. Bagai di-
beri perintah mereka serempak melompat dari pung-
gung kuda masing-masing. Sudah dapat diduga mak-
sudnya. Apalagi kalau bukan untuk membantu Loring-
ga. Tapi.... "Hentikan! Jangan ada seorang pun yang ber-
pindah dari kedudukan masing-masing!"
Seruan Wicaksana membuat anggota rombon-
gan Perguruan Kuda Langit yang berada di samping
dan di belakang kereta, menghentikan tindakan. Mere-
ka menyadari adanya kebenaran dalam ucapan itu.
"Hua hua haa...! Mengapa berhenti" Tidak usah
malu-malu! Teruskan saja maksud kalian untuk men-
geroyokku, agar pertarungan jadi lebih menarik! Hua
hua haa...!"
Si kakek kurus mengeluarkan pernyataannya
dengan penuh ejekan. Sikapnya, terlihat memandang
rendah sekali. "Siapa kau, Orang Tua"! Mengapa tanpa alasan
apa pun kau mengganggu kami"! Setahuku, pihak Per-
guruan Kuda Langit tidak pernah mempunyai urusan
denganmu!" ujar Wicaksana sambil melangkah maju.
Sama sekali tidak dipedulikannya sikap sombong si
kakek kurus. "Hua hua haa...!" Lagi-lagi kakek kurus itu tertawa sebelum menjawab pertanyaan
yang diajukan Wi-
caksana. "Apa gunanya aku memperkenalkan diri pada
cecunguk macam kalian, hm" Namun, aku masih cu-
kup punya kebaikan. Kalian boleh menyebutku Manu-
sia Makam Keramat! Kau dengar"!"
"Manusia Makam Keramat"!" gumam Wicaksa-
na dengan dahi berkernyit.
Lelaki berkumis jarang mencoba mengingat-
ingat, barangkali saja pernah didengarnya tokoh persi-
latan yang mempunyai nama demikian. Tapi sampai le-
lah dia menguras otaknya, tetap tidak didapatkannya
tokoh persilatan yang mempunyai nama seperti itu.
"Kau belum mengemukakan alasanmu meng-
hadang perjalanan kami, Orang Tua?" susul Wicaksana bernada mengingatkan.
"Sederhana saja," timpal Manusia Makam Ke-
ramat, tenang. "Apa"!" tanya Wicaksana, ingin tahu.
"Membuang cecunguk macam kalian ke nera-
ka!" tandas Manusia Makam Keramat.
"Keparat!" maki Wicaksana, geram karena merasa dipermainkan oleh Manusia Makam
Keramat. Se- lanjutnya.... Srattt! Sinar terang menyilaukan mata mencuat ketika
pimpinan rombongan Perguruan Kuda Langit ini men-
cabut pedangnya. Kejadian yang menimpa diri Loring-
ga, menyebabkan Wicaksana tanpa ragu-ragu lagi
menghunus senjata. Disadari kalau Manusia Makam
Keramat adalah seorang lawan yang amat tangguh!
"Hmmmrr...!"
Sebuah dengusan pendek dari Manusia Makam
Keramat yang menyambuti tindakan Wicaksana. Juga
seperti sebelumnya, si kakek kurus ini tetap bersikap tenang seolah-olah tidak
ada bahaya maut yang men-gancamnya.
"Cabut senjatamu, Manusia Makam Keramat!"
seru Wicaksana ketika melihat lawan masih berdiam
diri. "Tidak usah berlagak gagah, Anak Muda," ejek Manusia Makam Keramat.
"Seranglah aku! Jangan ra-gu-ragu untuk mengeluarkan seluruh kemampuan-
mu." "Sombong! Ingat, Orang Tua! Jangan salahkan
aku telah bertindak curang menyerang lawan yang ti-
dak bersenjata. Tapi kau sendiri telah mengabaikan
kesempatan yang kuberikan!"
"Tidak usah banyak mulut, Anak Muda! Kau
memang bukan pengecut, serang aku!" tandas Manusia Makam Keramat, tak peduli!
Kontan wajah Wicaksana merah padam. Sepa-
sang matanya pun berkilat-kilat memancarkan ama-
rah. Sikap Manusia Makam Keramat yang terlalu som-
bong, penyebab utamanya. Lalu....
"Hiaaat...!"
Diawali teriakan nyaring yang membuat suasa-
na di sekitar tempat itu bergetar hebat, Wicaksana melancarkan serangan
pertamanya. Ditusukkan pedang-
nya ke arah leher Manusia Makam Keramat!
Cittt! Bunyi mencicit dari udara yang terobek, ter-
dengar ketika pedang Wicaksana meluncur menuju sa-
saran. Cepat bukan main meluncurnya serangan itu.
Tapi masih lebih cepat lagi gerakan Manusia Makam
Keramat. Hanya dengan memiringkan kepalanya ke
kanan, tanpa bergeser dari tempatnya semula, Manu-
sia Makam Keramat telah membuat serangan itu kan-
das. Ujung pedang Wicaksana lewat beberapa jari di
sebelah kiri leher Manusia Makam Keramat.
Melihat serangan pertamanya, berhasil dielak-
kan lawan secara mudah, Wicaksana jadi penasaran.
Segera dikirimkan serangan susulan yang merupakan
kelanjutan sebelumnya. Diayunkan pedangnya secara
mendatar ke arah leher lagi!
Wuttt! Untuk yang kedua kalinya babatan pedang Wi-
caksana hanya mengenai angin. Karena Manusia Ma-
kam Keramat telah menarik kepalanya ke belakang.
Sungguh hebatnya, hal itu dilakukan tanpa menggeser
kaki! Tapi Wicaksana tidak menjadi putus asa kare-
nanya. Bahkan sebaliknya! Serangan-serangan yang
dikirimkannya semakin dahsyat. Pedangnya berkeleba-
tan cepat mengancam berbagai bagian berbahaya di
tubuh Manusia Makam Keramat disertai bunyi menci-
cit yang menyakitkan telinga.
Berturut-turut Wicaksana melancarkan seran-
gan dahsyat secara bertubi-tubi. Tapi semua itu ber-
hasil dielakkan oleh Manusia Makam Keramat tanpa
menggeser kaki seujung kuku pun! Laksana bayangan,
tubuhnya digerakkan ke sana kemari untuk menge-
lakkan semua serangan Wicaksana.
"Heih!"
Wicaksana menggertakkan gigi. Perasaan ma-
rah dan sakit hati berkecamuk di hatinya mendapati
serangan demi serangan yang dikirimkan dipatahkan
lawan secara demikian mudah. Sebagai akibatnya, se-
rangan-serangan yang dikirimkannya pun semakin
dahsyat! "Sekarang giliranku!"
Di antara bunyi riuh rendah berkelebatannya
pedang Wicaksana, terdengar seruan Manusia Makam
Keramat. Tapi Wicaksana yang tengah dilanda amarah
tidak mempedulikannya. Dia terus saja melancarkan
serangan. Pedang di tangannya dikelebatkan ke arah
berbagai bagian berbahaya di tubuh Manusia Makam
Keramat. Namun....
Tappp! "Akh!"
Jeritan pendek bernada kaget keluar dari mulut
Wicaksana ketika batang pedangnya kena dicengkeram
Manusia Makam Keramat. Memang, kejadiannya ber-
langsung demikian cepat dan tak terduga-duga.
Meskipun demikian Wicaksana tidak menjadi
kehilangan akal karenanya. Secepat batang pedangnya
tercengkeram, secepat itu pula ditariknya seraya mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Tergambar di be-
naknya jari-jari tangan Manusia Makam Keramat akan
putus tersayat mata pedang. Paling tidak, tangan itu akan terluka! Jika hal itu
terjadi, pasti Manusia Makam Keramat akan melepaskan cengkeramannya.
Tapi harapan Wicaksana pupus seketika. Pe-
dang itu sama sekali tidak bergeming dari cengkera-
man tangan Manusia Makam Keramat. Seolah-olah
bukan tercengkeram oleh tangan manusia, melainkan
dihimpit kaki gajah! Betapa pun telah dikerahkan seluruh tenaganya, tetap saja
tidak bergerak!
Meskipun demikian, Wicaksana tidak putus
asa. Tetap diteruskan maksudnya sampai wajahnya
merah padam dan nafasnya terengah-engah.
Berbeda dengan Wicaksana, keadaan Manusia
Makam Keramat biasa saja. Tidak terlihat adanya tan-
da-tanda kalau dia mengerahkan tenaganya. Raut wa-
jahnya tetap seperti semula.
Beku. Membatu. Semua kejadian ini disaksikan secara jelas oleh
semua anggota Perguruan Kuda Langit. Terutama se-
kali oleh Loringga dan rekannya yang berada di bagian terdepan. Tanpa diberi
tahu pun mereka menyadari
sepenuhnya kalau pimpinan mereka berada dalam
keadaan tidak menguntungkan!
Tahu kalau keadaan itu dibiarkan akan mem-
bahayakan keselamatan Wicaksana, Loringga dan re-
kannya langsung bertindak! Bagai telah disepakati se-
belumnya, keduanya menghunus senjata masing-
masing. Kemudian melompat ke dalam kancah perta-
rungan. Shing, shing!
Bunyi mendesing langsung terdengar ketika
dua batang pedang meluncur ke arah leher Manusia
Makam Keramat. Loringga mengirimkan serangan dari
sebelah kanan, sedangkan rekannya dari arah berla-
wanan. Kedua serangan itu dilakukan dari atas. Tin-
dakan itu mengingatkan orang akan seekor burung
elang yang hendak menerkam mangsanya.
Menukik. Sengit. Hebat dan cepat datangnya serangan gabungan
ini. Namun Manusia Makam Keramat melayani jauh
lebih cepat. Sekali jari-jari tangannya yang mencengkeram bergerak, terdengar
bunyi derak dalam, disusul
dengan patahnya batang pedang Wicaksana! Padahal,
saat itu Wicaksana tengah bersitegang menarik senja-
tanya! Kelanjutan dari kejadian itu sudah dapat didu-ga! Wicaksana terjengkang
deras ke belakang terbawa
tenaga tarikannya sendiri. Potongan pedangnya ter-
genggam di tangan Manusia Makam Keramat!
Di saat itulah, Manusia Makam Keramat ber-
tindak! Tangan kanannya dikibaskan!
Shinggg! Seketika itu pula potongan pedang Wicaksana
meluncur dalam kecepatan tinggi ke arah pemiliknya
sendiri! Padahal, saat itu Wicaksana masih dalam keadaan kehilangan
keseimbangan. Moncong maut mendekat!
Sementara itu, tindakan si kakek kurus tidak
berhenti hanya sampai di situ. Terbukti kedua tangan-
nya langsung disampokkan ke atas.
Trekkk trekkk cappp!
"Akh...!"
Menakjubkan! Dalam waktu sekejapan saja
rentetan kejadian itu terjadi! Kegagalan yang dialami oleh Loringga dan
rekannya. Serangan mereka berhasil dilumpuhkan oleh Manusia Makam Keramat dengan
sampokan tangannya yang membuat pedang mereka
terpatah-patah, hampir berbarengan dengan amblas-
nya potongan pedang Wicaksana di perut majikannya
sendiri. Itulah sebabnya, Wicaksana memekik kesaki-
tan! "Kakang...!"
Loringga dan rekannya menjerit kaget melihat


Satria Gendeng 09 Bangkitnya Dewa Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejadian yang menimpa Wicaksana. Jeritan itu lang-
sung keluar begitu keduanya berhasil mematahkan
kekuatan yang membuat tubuh mereka melayang aki-
bat sampokan kuat tangan Manusia Makam Keramat.
Seiring keluarnya jeritan itu, Loringga dan re-
kannya langsung meluruk ke arah Wicaksana yang
masih berdiri limbung sambil memegangi perutnya.
Kenyataan ini menunjukkan ketangguhan daya tahan
Wicaksana. Dia masih mampu hinggap di tanah den-
gan bertumpu pada kedua kaki. Padahal, saat itu pe-
rutnya tertembus potongan pedang.
Bukan hanya Loringga dan anggota Perguruan
Kuda Langit yang satu kelompok dengan Wicaksana
saja, yang meluruk ke arah lelaki berkumis jarang itu.
Anggota rombongan Perguruan Kuda Langit yang lain-
nya pun melakukan hal yang sama. Sedangkan Manu-
sia Makam Keramat hanya tertawa-tawa. Tawa gembira
penuh dengan nada ejekan.
*** TIGA BERTEPATAN dengan malam di mana tumbal
perempuan terakhir dipersembahkan sembilan bocah
Pasukan Kelelawar, terjadi satu peristiwa langka. Malam itu, langit dirobek oleh
terjangan selarik sinar terang berwarna putih kekuningan.
Benderang, namun tak menyilaukan.
Gesit, sengit, tak menggiring bayangan.
Sinar itu terbang dari arah Makam Keramat
Maut menuju selatan. Melesat bagaikan bintang jatuh.
Melanglangi angkasa untuk sekian kedip mata, lalu
menukik ke satu desa yang terletak di sekitar Hutan
Rangkas. Di batas Hutan Rangkas dengan Desa Lebak,
seseorang berdiri membatu. Dalam diam, dalam hening
malam. Kepekatan malam yang tiada memiliki sebetik
cahaya dari benda langit, membuat wujudnya hanya
tampak sebagai seonggok bayangan yang tegak me-
mancangi gelap. Kepalanya menengadah ke angkasa.
Dalam diam, dalam hening malam.
Tak ada yang cukup tahu siapa dirinya. Seperti
tak ada yang cukup tahu pula apa yang dinantinya,
serta kilau apa yang sedang melesati angkasa raya
Pada waktunya, sinar putih kekuningan tiba di
atas orang itu untuk satu tujuan. Geraknya makin de-
kat. Makin pasti menuju dirinya.
Sampai.... Wsss! Tep! Tepat ketika tukikan sinar putih kekuningan
mendatanginya dari arah depan, orang tadi mengang-
kat sebelah tangan. Tak kalah cepat dengan terjangan
sinar. Dengan tangan kanannya, disambutnya sinar
putih kekuningan. Yang paling mempesona dari tinda-
kannya, sinar itu ditangkapnya!
Bersama bunyi seperti sebuah benda bertum-
bukan dengan telapak tangan, sinar itu pun dalam
genggaman. Cahayanya mencuat dari sela-sela jari.
Memanjang hingga merayapi wajah dan sebagian tu-
buh orang tadi. Kini, terlihat samar bahwa orang itu mengenakan topeng kayu
Arjuna. Kepalanya mengenakan blangkon parahiyangan. Sedangkan pakaiannya
seperti ningrat Pajajaran.
Dalam beberapa tarikan napas, sinar di geng-
gamannya seperti berdenyut-denyut. Perlahan lalu
memupus. Sinarnya melamat, tapi tak sampai sekarat.
Perlahan-lahan pula, wujud sinar itu menjelma ke da-
lam bentuk kecil padat.
Sebatang keris wesi kuning yang panjangnya
tak lebih dari satu jengkal! Membara, bukan dalam
warna merah menyala. Melainkan kuning keemasan.
Keris itu diacungkan lebih tinggi lagi, seakan
hendak menohok langit. Ketika senjata keramat itu tepat di atas ubun-ubunnya,
orang bertopeng berkata.
Terpendam, dalam.
Berat. Pekat Samar. Bergeletar. Di sehimpun senyap mayapada.
"Eyang! Kuterima Keris Kiai Kuning ini sebagai
amanat amat berat darimu. Tugasmu menumpas sang
Dewa Petaka dahulu, akan ku alihkan ke tanganku...."
Selesai berkata yang lebih pantas disebut seba-
gai sumpah, orang bertopeng mendekatkan keris yang
disebutnya dengan nama Kiai Kuning ke depan wajah.
Setelah itu, dia menjemput sarung keris yang sejak
lama terselip di balik kain ikat pinggangnya. Sarung keris berukir indah.
Terlihat sudah begitu tua, tapi tak sedikit pun kehilangan keangkeran.
Manakala keris memasuki warangkanya, men-
dadak saja sinarnya meredup dan hilang.
"Kiai Kuning telah kembali ke 'singgasana'-nya.
Sekali tercabut, harus ada darah manusia durjana
memandikannya...," bisik orang bertopeng lagi sambil menatap keris. Sesaat
kemudian, diselipkannya keris
tadi ke ikat pinggang. Tubuhnya berkelebat. Mencelat bagai hantu. Dan sirna di
rerimbunan rimba.
* * * Ada dua manusia bertaut usia sedang perang
mulut di sebuah tempat. Mereka sama-sama ngotot
untuk menang. Tak peduli kalau urat leher mereka pe-
cah sekalipun. Yang satu menuding-nuding yang lain.
Yang dituding bersungut-sungut sebal. Yang satu
mencaci-maki yang lain bertubi-tubi. Yang dicaci maki habis-habisan menggerutu.
Orang pertama, yang lebih seru meruntunkan
omelan 'sambar geledek'nya, adalah orang tua kurus
kering. Punggungnya agak melengkung. Tulang iganya
sudah seperti penggilasan. Kepalanya gundul subur.
Subur dengan busik, maksudnya. Wajahnya tak per-
nah dianggap siapa pun sedap dipandang. Tak terke-
cuali oleh monyet perempuan yang genit sekalipun. Gi-ginya sudah banyak yang
rontok. Tapi jangan tanya
kalau dia tersenyum! Senyumnya itu... hmmm, me-
nyebalkan! Tak ambil pusing dengan badan yang tinggal
sebatang, dia nekat bertelanjang dada. Cuma orang
nekat yang berani mempermalukan diri sendiri seperti itu. Peduli setan orang
menganggapnya kerangka berjalan! Kalaupun ada yang ditutupi, cuma perabotan
kesayangannya. Itu pun dengan kain bau tengik, yang
rendamannya cukup untuk meracuni seribu satu tua
bangka macam dirinya.
Tanya soal nama, tua bangka ini yang namanya
Dongdongka. Kedengaran aneh. Padahal memang
aneh. Kalau ada orang yang punya nama tanpa jun-
trungan seperti itu, Dongdongka salah satunya. Apalah arti sebuah nama (Yang
penting bawa rezeki!). Julu-kannya di dunia persilatan bukan sekadar sebutan ko-
song. Dedengkot Sinting Kepala Gundul! Manusia ra-
da-rada 'miring' yang kesaktiannya disegani seantero dunia-akhirat, eh dunia
persilatan! Kata banyak kalangan, dialah sesepuhnya dunia persilatan. Dan kata
dia, orang-oranglah yang menyebutnya sesepuh. Tak
perlu memusingkan pendapat mana yang benar, yang
jelas dedengkot satu ini adalah guru besar si anak
muda yang sedang diomelinya.
O, iya. Bicara sedikit soal si anak muda. Dia
adalah pemuda berambut panjang kemerahan. Perka-
sa, dan berwajah tampan. Bertolak belakang dengan
perawakannya yang terlihat gagah, sorot matanya ju-
stru memancarkan keluguan. Dia mengenakan rompi
bulu berwarna putih keabuan dari samakan kulit he-
wan. Celana pangsinya sebatas lutut.
Cukup" Belum" Pemuda ini juga yang belakangan
membuat geger dunia persilatan dengan julukan Satria Gendeng. Pewaris kesaktian
Dedengkot Sinting Kepala
Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit. Pembuat onar
bagi kalangan sesat. Momok bagi orang biadab.
Sekarang cukup!
(Kalau belum cukup juga, bacalah episode: "Ta-
bib Sakti Pulau Dedemit" dan "Geger Pesisir Jawa"!) Ceritanya, setiap hari dalam
satu pekan, tak
peduli malam atau siang Satria terus menerus dibe-
rondong omelan guru setengah sintingnya. Kalau orang lain setua dia, biasanya
sudah mampus kehabisan napas. Tapi yang namanya Dongdongka, mengomel seri-
bu tahun lagi pun masih sanggup!
Siapa yang tak jadi mangkel kalau dibegitukan"
Satria tentu saja jadi mulas berkali-kali. Menghindar tak bisa. Lari tak akan
mungkin. Si dedengkot satu itu, tua-tua tak bisa dengan mudah dikecohkan. Kadal
pun tak bisa mengadalinya. Itu susahnya!
Perkara sebenarnya cuma satu. Kail Naga Sa-
mudera telah raib dari tangan Satria. Itu terjadi ketika pendekar muda itu tak
sadarkan diri terkena pukulan
tua bangka cebol, Penjaga Gerbang Neraka (Baca kem-
bali kisahnya pada episode: "Memburu Manusia Makam Keramat'!).
Menurut si tua keropos Dongdongka, Satria di-
temukannya dalam keadaan pingsan di tepi bukit da-
lam keadaan luka dalam. Orangnya ditemukan, tapi
senjata pusakanya hilang. Dongdongka ngamuk besar.
Barangkali dia lebih suka menemukan senjata pusaka
itu, dan muridnya silakan hilang"
Untung dia gurunya. Kalau tidak, Satria bakal
menyumpahinya sebagai 'guru kualat'!
Ada pepatah bilang, 'sepandai-pandainya tupai
melompat, pasti akan jatuh juga'. Biarpun Dongdongka bukan tupai, atau hendak
menyamakannya dengan
bajing, dalam hal ini, sekuat-kuatnya dia mengomel,
toh akhirnya bungkam juga. Bibirnya mungkin sudah
kering dan kaku. Maunya terus, tapi apa daya bacot
tak sampai. "Sudah, Kek?" tanya Satria, santai sambil duduk bersiul-siul.
"Stompret! Bukannya mikir, kau malah bersiul!"
"Aku juga sedang berpikir. Kalau Kakek berhen-
ti mengomel beberapa hari lalu, tentu aku akan me-
nemukan jalan keluar untuk menemukan Kail Naga
Samudera!"
"Tai kucing!"
"Mengomel lagi...."
"Sekarang mikir!"
"Sudah."
"Apa yang kau dapat?"
"Kupikir, sebaiknya Kakek pulang saja ke Tan-
jung Karangbolong."
"Murid kualat!"
Dukk! Dari arah belakang, telapak kaki Dedengkot
Sinting Kepala Gundul mampir di ubun-ubun Satria.
"Sekarang pikirkan yang benar!"
"Sudah."
"Apa?" Mata Dongdongka melotot. Persis di depan hidung muridnya, dia bertolak
pinggang. "Jangan coba-coba main-main lagi, Kunyuk! Ku tendang mu-kamu baru
tahu!" ancamnya.
Satria ngeri juga. Padahal tadinya mau menja-
wab; kupikir telapak kakimu bau jemuran jengkol,
Kek! Tapi tidak jadi. Dia ngeri wajahnya didarati telapak kaki bau itu.
"Kupikir, sebaiknya aku kembali dulu ke tem-
pat kejadian. Dari sana, aku bisa mulai menyelidiki."
Kepala plontos Dongdongka mengangguk-
angguk. "Pemikiran yang bagus."
Satria bangkit.
"Kalau begitu, aku berangkat!"
"Tunggu dulu!"
Satria menghela napas. Apa lagi maunya tua
bangka satu ini, keluhnya.
"Ceritakan dulu masalah yang tengah kau ha-
dapi padaku! Aku ingin tahu sekecil-kecilnya. Jangan sampai ada yang lewat!
Mengerti?""!!"
Mau tak mau, Satria akhirnya bercerita. Dari
urusannya dengan Pasukan Kelelawar, sampai berte-
mu dengan Gendut Tangan Tunggal, Pendekar Muka
Bengis, Dewi Melati, dan Penjaga Gerbang Neraka. Persoalan Manusia Makam Keramat
pun tak luput diceri-
takan. "Kau menyebut-nyebut soal Manusia Makam Keramat"!!" Mendadak Dongdongka
berteriak ngotot sekali. Kuping Satria tidak tuli. Tapi kalau caranya begitu,
dia bisa benar-benar tuli!
"Si Arya Sonta?""!!!" Dongdongka berteriak lagi.
Tambah ngotot. "Mana aku tahu?"
Sehabis menjawab, pendekar muda itu jadi
bengong sendiri.
"Apa barusan Kakek menyebut nama asli Ma-
nusia Makam Keramat?" tanyanya kemudian.
"Kau tuli!! Jelas, aku menyebut namanya!!!"
Masih saja Dongdongka berteriak-teriak layaknya ga-
gak bertemu makanan.
"Tak usah berteriak-teriak, Kek. Aku belum tuli!
Aku cuma ingin tahu, bagaimana Kakek bisa tahu na-
ma orang itu?"
"Ya, tahu! Aku memang sudah mengenalnya se-
jak muda. Bahkan ketika masih bocah. Aku dan dia
pernah besar bersama di Mataram, tahu! Terus terang, dia itu kakak kandungku!
Tapi terus terang juga, aku
malu punya saudara macam dia. Sejak muda dia su-
dah jadi anak kualat, anak slompret, tengik, anak kunyuk kurang ajar! Bayangkan
saja, masa' dia pernah
berniat melemparkan aku dari jurang" Dan...."
Mulut Dongdongka kembali membuat kericu-
han. Satria bengong sendiri. Bukan tekun menden-
garkan ocehan gurunya. Dia cuma tak menyangka ka-
lau biang keladi Pasukan Kelelawar yang demikian
menggemparkan jagat persilatan ternyata masih kakak
kandung gurunya.
***

Satria Gendeng 09 Bangkitnya Dewa Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

EMPAT MASIH dengan tawa yang tidak putus, Manusia
Makam Keramat memperhatikan semua kekalutan
rombongan Perguruan Kuda Langit. Tampak olehnya,
Loringga dan kawan-kawannya mengerumuni Wicak-
sana. Tubuh pimpinan rombongan Perguruan Kuda
Langit itu setengah terbaring di tanah. Kalau saja tidak ada tangan Loringga
yang menegakkan punggungnya,
pasti tubuh Wicaksana terbaring.
"Kang...! Kuatkan dirimu, Kang...! Kau akan se-
lamat...," ucap Loringga terbata-bata dengan suara bergetar.
Terlihat jelas kesedihan Loringga, baik dalam
nada suara maupun tarikan wajahnya. Gambaran pe-
rasaan yang sama membias di wajah semua anggota
Perguruan Kuda Langit.
"Tidak, Loringga. Hhh..., aku... sudah ti... tidak kuat lagi. Lak... laksanakan
tugas kalian se... sebaik-
baiknya. Lekas... akh...!"
Seiring dengan terkulai kepalanya, nyawa Wi-
caksana pun melayang ke alam abadi. "Kang...! Kang Wicaksana...!"
Penuh perasaan kalap, Loringga mengguncang-
guncangkan tubuh Wicaksana sambil memanggil-
manggil namanya. Sikap lelaki pendek berperut gendut menunjukkan
ketidakrelaannya akan kematian Wicaksana. Penyebabnya bukan semata karena mereka
sau- dara seperguruan. Lebih dari itu, Wicaksana adalah
kakak kandung Loringga.
"Hua hua haa...!"
Tawa gembira digumpali nada mengejek mem-
buat Loringga dan rekan-rekannya teringat kembali
akan keberadaan Manusia Makam Keramat di situ.
Seiring dengan itu, perasaan geram dan keinginan un-
tuk membalas dendam pun menjangkit.
"Tenangkanlah hatimu, Kang. Akan kubalaskan
semua sakit hatimu!"
Sambil berkata demikian, dengan hati-hati Lo-
ringga membaringkan tubuh Wicaksana di tanah. Ke-
mudian dia bangkit. Ditatapnya lawan. Matanya me-
nyala. Terlihat jelas sinar kemarahan dan kebencian di sana! "Kubunuh kau, Iblis
Keji!" desis Loringga dengan suara bergetar. Lalu....
Srattt! Pantulan sinar mencuat ketika lelaki pendek
gendut yang tengah dilanda amarah ini, mencabut pe-
dangnya. Bukan hanya Loringga saja yang menghunus
senjatanya. Enam rekannya pun melakukan tindakan
yang sama. Dalam cekaman perasaan marah, rombon-
gan Perguruan Kuda Langit ini seperti tidak mempedu-
likan nilai-nilai keksatriaan lagi.
Betapa tidak" Lawan yang akan dihadapi hanya
seorang dan bertangan kosong. Sementara mereka ber-
jumlah tujuh orang! Itu pun masih ditambah lagi den-
gan adanya senjata di genggaman. Kelihatannya tidak
adil sekali! Tapi persoalannya bukan terletak di sana. Yang
jelas, mereka harus melakukan tindakan itu, mengin-
gat kesaktian lawan masih sulit terukur. Jika tidak, besar kemungkinan mereka
akan tumpas satu demi
satu seperti nasib Wicaksana.
Manusia Makam Keramat sepertinya tidak
mempedulikan serbuan para lawan. Bahkan sikapnya
menunjukkan justru dia memandang remeh. Tampak
jelas dari sikap dingin dan kebekuannya.
"Hiaaat...!"
Diawali sebuah teriakan keras, Loringga yang
telah tak kuat lagi menahan amarahnya, mulai berge-
rak. Rekan-rekannya pun mengikuti. Mereka tahu, Lo-
ringga bukan tandingan Manusia Makam Keramat
yang sakti. Kalau tidak dibantu, lelaki pendek gendut itu akan tewas di tangan
lawannya. Pertarungan lebih ganas pun meletus lagi. Tu-
juh orang gagah dari Perguruan Kuda Langit menye-
rang laksana kuda langit. Pedang-pedang di tangan
mereka berkelebatan cepat mengancam berbagai ba-
gian tubuh Manusia Makam Keramat.
Tapi Manusia Makam Keramat tetap bersikap
tenang. Ditunggunya hingga serangan-serangan itu
menyambar dekat. Baru setelah itu, si kakek kurus ini menanggapi.
Menggiriskan sekali tindakan Manusia Makam
Keramat! Babatan, dan tusukan senjata lawan dipa-
paknya dengan tangan kosong. Bunyi berdetak keras
seperti ada benda-benda keras beradu, terdengar keti-ka sepasang tangan Manusia
Makam Keramat berben-
turan dengan senjata lawan-lawannya.
Hebatnya, kedua tangan Manusia Makam Ke-
ramat sama sekali tidak terluka! Malah sebaliknya, setiap kali terjadi benturan,
tubuh anggota Perguruan
Kuda Langit terhuyung-huyung ke belakang dengan
tangan terasa sakit-sakit.
Meskipun demikian, mereka tidak menjadi gen-
tar karenanya. Tanpa mempedulikan rasa sakit yang
mendera, rombongan Perguruan Kuda Langit kembali
melancarkan serangan. Pertarungan sengit pun kem-
bali berlanjut.
Pertarungan berlangsung tak imbang. Kendati
banyak dalam jumlah, para lawan si kakek kurus di-
buat blingsatan. Rombongan Perguruan Kuda Langit
harus mengakui kalau Manusia Makam Keramat me-
mang terlalu kuat untuk dapat ditandingi.
Sebenarnya, sejak semula pun sudah dapat di-
ketahui kalau Manusia Makam Keramat memang terla-
lu tangguh untuk dihadapi oleh rombongan Perguruan
Kuda Langit. Keadaan Loringga dan kawan-kawannya
tak ubahnya dengan semut-semut yang menerjang api,
roboh sebelum berhasil mendekati sasaran.
"Hua hua haa...! Hanya sampai di sinikah ke-
mampuan kalian" Benar-benar mengecewakan!" ujar Manusia Makam Keramat keras,
mengatasi bisingnya
suasana pertarungan. Jelas, dia mengerahkan tenaga
dalam pada suaranya.
Tidak ada tanggapan sama sekali dari mulut
anggota rombongan Perguruan Kuda Langit. Walaupun
sebenarnya hati mereka bagai terbakar, karena pera-
saan geram yang melanda. Tapi, yang dilakukan mere-
ka adalah semakin memperhebat serangannya.
Ada tanggapan atau tidak atas ucapannya, Ma-
nusia Makam Keramat tidak mempedulikan.
"Sekarang aku akan membalas! Bersiaplah ka-
lian...!" Usai berkata demikian, si kakek kurus menjejakkan kaki. Seketika
tubuhnya mencelat tinggi ke
atas, melewati kepala para pengeroyoknya. Lalu....
Jleg! Ringan laksana kapas jatuh, Manusia Makam
Keramat mendaratkan kedua kakinya di tanah, di luar
kepungan. Kemudian, tanpa menunggu lebih lama lagi
dirangkapkan kedua tangannya, seperti tengah meme-
luk. Sekejapan itu juga mengepul asap putih.
Manusia Makam Keramat menyusun jari-jari
tangannya berkuku panjang melingkar membentuk
cakar-cakar aneh. Kaki kanannya terletak di depan
agak ditekuk. Sedangkan kaki kirinya di belakang, sedikit lurus. Inilah salah
satu ajian sesatnya 'Kelelawar Penghisap Darah'!
Cukup aneh pembukaan ajian 'Kelelawar Peng-
hisap Darah' milik Manusia Makam Keramat. Rombon-
gan Perguruan Kuda Langit menjadi agak keheranan
karenanya. Tapi hanya sesaat saja Loringga dan kawan-
kawannya dikungkung perasaan heran. Kemudian,
dengan diawali teriakan-teriakan keras memekakkan
telinga mereka meluruk ke arah Manusia Makam Ke-
ramat. Pedang di tangan mereka siap untuk dikele-
batkan. "Aarkg!"
Bunyi mengeram keras terdengar dari mulut
Manusia Makam Keramat. Nyaring, serak serta me-
nyakitkan telinga. Belum lagi gema suara itu lenyap, Manusia Makam Keramat
melakukan tindakan yang
sama dengan lawan-lawannya. Dia memapak serbuan
rombongan Perguruan Kuda Langit.
Melihat hal ini Loringga tidak tinggal diam.
Tanpa membuang-buang waktu lagi mereka segera
menyambut papakan Manusia Makam Keramat dengan
ayunan pedang. Shing, shing, shing!
Crat, crat, crat!
"Akh, akh, akh...!"
Rentetan kejadian itu berlangsung demikian
cepat sehingga sulit untuk dirinci. Jelasnya, jeritan menyayat hati keluar
susul-menyusul dari mulut rombongan Perguruan Kuda Langit.
Itu pun masih disusul dengan berpentalannya
tubuh-tubuh mereka ke belakang. Jatuh bergedebuk
di tanah. Berkelojotan sejenak sebelum akhirnya men-
gejang, kaku selamanya.
"Hua hua haa...!"
Manusia Makam Keramat tertawa bergelak. Ke-
ras dan penuh kegembiraan. Dirayapinya mayat tujuh
orang lawannya sejenak. Mereka semua menjadi kor-
ban kedahsyatan ajian 'Kelelawar Penghisap Darah'-
nya. Memang, ajian itu demikian dahsyat! Dalam
penggunaannya, tubuh Manusia Makam Keramat jadi
sedemikian ringannya. Kecepatan geraknya pun me-
nakjubkan. Dengan mengandalkan kecepatan gerak
itu, Manusia Makam Keramat berhasil membinasakan
lawan-lawan seperti menepuki nyamuk. Ketujuh ang-
gota Perguruan Kuda Langit itu tewas terkena samba-
ran cakar aneh si kakek kurus.
Masih dengan tawa yang belum putus, Manusia
Makam Keramat mengalihkan perhatian ke arah kere-
ta. Pertama kali yang dilihatnya adalah sang kusir ke-
reta. Karuan saja hal itu membuat sang kusir yang
merupakan salah satu anggota Perguruan Kuda Langit,
meremang bulu kuduknya. Nyalinya kontan menciut.
Baru kali itu disaksikannya bola mata si kakek kurus.
Hijau. Begitu menghunus.
Pekat dengan kilat anyir.
Disadari kalau dia bukan tandingan Manusia
Makam Keramat yang demikian menggiriskan! Karena
kegentaran itu, sang kusir mengambil tindakan pen-
gamanan. Ctar, ctar! "Hiya! Hiyaaa...!"
Dengan perasaan kalang-kabut yang melimpah
di wajahnya, sang kusir menggebah kudanya. Kontan
binatang tunggangan itu berlari.
"Hih!"
Manusia Makam Keramat hanya mendengus
melihat tindakan yang diambil sang kusir! Dengan so-
rot mata bengis, dijumputnya sebutir batu kerikil, dan dijentikkannya ke arah
binatang penghela kereta itu.
Tukk! Sesaat kemudian, akibat yang sungguh menga-
gumkan hati langsung terjadi. Lari kuda penarik kereta itu langsung terhenti.
Demikian mendadak kejadiannya. Peristiwa itu membuat si kusir kelabakan. Pe-
rasaan takut yang mendera, membuatnya tidak dapat
berpikir panjang. Cambuk di tangannya langsung dile-
cutkan ke bagian belakang tubuh kuda!
Ctar, ctar, ctar!
Keras bukan kepalang bunyi yang terdengar.
Udara tergeletar.
Sang kusir bertenaga jauh lebih kuat dari sebe-
lumnya. Tapi sampai telah melecutkan cambuk, tetap
saja kuda itu diam mengarca! Hal ini membuat sang
kusir sadar kalau tindakan yang diambilnya sia-sia.
Meskipun tidak mengetahui bagaimana hal itu terjadi, si kusir kereta itu yakin
kalau Manusia Makam Keramat telah berhasil menotok kaku kudanya dari jauh
dengan sebutir batu kerikil!
Dari perasaan takut, anggota Perguruan Kuda
Langit yang bertugas sebagai kusir kereta ini, menjadi nekat. Pedang yang
tergantung di punggung langsung
dicabutnya. Kemudian dia melompat turun.
Jleg! Secepat kedua kakinya menginjak tanah, sece-
pat itu pula sang kusir melancarkan serangan ke arah Manusia Makam Keramat.
Pedangnya diputar laksana
kincir, kemudian ditusukkan ke arah dada lawannya.
Manusia Makam Keramat hanya tersenyum
mengejek melihat serangan sisa anggota Perguruan
Kuda Langit itu. Ditunggunya hingga dekat, baru ke-
mudian tangannya bergerak cepat!
Teppp! Mata pedang anggota Perguruan Kuda Langit
itu telah berhasil ditangkap Manusia Makam Keramat.
Sebelum lawannya sempat berbuat sesuatu, Manusia
Makam Keramat telah lebih dahulu bertindak. Dike-
rahkan sebagian tenaga dalamnya untuk menyorong-
kan pedang yang telah dicengkeram. Akibatnya....
Cappp! "Akh...!"
Kusir kereta yang malang itu mengeluarkan je-
ritan menyayat ketika pedangnya sendiri menancap di
perutnya hingga tembus ke punggung. Tentu saja den-
gan gagang lebih dulu.
Wajah sisa anggota Perguruan Kuda Langit me-
negang menahan rasa sakit menjangkit. Sepasang ma-
tanya pun membelalak lebar. Namun hal itu hanya
berlangsung sekejap saja. Begitu Manusia Makam Ke-
ramat melepaskan cekalannya, tubuh si kusir itu pun
ambruk. "Hua hua haa...!"


Satria Gendeng 09 Bangkitnya Dewa Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entah untuk yang keberapa kalinya, Manusia
Makam Keramat kembali mengumbar tawa puas.
Hanya saja kali ini lebih singkat dari sebelumnya.
Setelah menghentikan tawa, Manusia Makam
Keramat mengayunkan langkah menghampiri kereta
kuda. Kelihatannya sembarangan saja kakinya dilang-
kahkan, tapi hasil yang dicapai benar-benar menak-
jubkan! Hanya dengan sekali mengayunkan kaki, dia
telah berada di dekat kereta.
"Hih!"
Brakkk! Daun pintu kereta kuda itu langsung jebol me-
nimbulkan bunyi hingar-bingar ketika tangan Manusia
Makam Keramat yang berisi tenaga dalam kuat mena-
riknya. "Auwww...!"
Teriakan melengking nyaring mencelat keluar
seiring jebolnya pintu kereta itu. Menilik suaranya bisa diketahui kalau
penumpang kereta adalah seorang
wanita! Di dalam kereta duduk dengan tubuh menggigil seorang gadis berusia
sekitar dua puluh dua tahun.
Meskipun sebagian wajahnya tertutup oleh kedua tan-
gan, bisa diketahui kalau wajahnya sangat cantik. Terbukti kulitnya putih,
halus, dan mulus! Pakaian indah berwarna merah muda yang membungkus tubuh mon-
toknya menjadi pertanda kalau gadis itu berasal dari satu keluarga ningrat
"Hih!"
Sorot kekejaman langsung membayang di wa-
jah dan sepasang mata Manusia Makam Keramat keti-
ka melihat isi kereta kuda itu.
Sementara itu, si gadis berpakaian merah muda
semakin ketakutan. Disadari adanya bahaya mengan-
cam. Maka tanpa pikir panjang lagi, masih dengan jeritan-jeritan meminta
pertolongan, dibukanya pintu kereta yang satu lagi!
Kreett...! Seiring dengan terbukanya pintu kereta, gadis
berpakaian merah muda langsung melompat keluar.
Sudah bisa diduga maksudnya. Apalagi kalau bukan
hendak melarikan diri"
"Akan lari ke mana kau, Gadis Cantik"!" desis Manusia Makam Keramat penuh
ancaman. Tanpa perubahan paras wajah sedikit pun, di-
ambilnya sebutir kerikil dan dilemparkannya ke arah
gadis berpakaian merah muda itu.
Wuttt! Tukkk! "Akh...!"
Berkawal jeritan kesakitan, tubuh gadis tadi
langsung tersungkur di tanah. Batu yang dilemparkan
Manusia Makam Keramat mengenai belakang lututnya.
Sebelum gadis buruannya berbuat sesuatu,
Manusia Makam Keramat telah melesat, menyambar
tubuhnya dan membawanya kabur dari situ.
"Tolooong...! Lepaskan aku, Iblis Keji...!" teriak gadis berpakaian merah muda,
kalap! Tapi Manusia Makam Keramat tidak mempedu-
likannya. Dia terus berlari. Hanya dengan beberapa
kali lesatan saja, tubuhnya telah lenyap.
* * * Jauh dari tempat pembantaian, masih di dalam
wilayah Kerajaan Pajajaran, sepasang perempuan dan
lelaki berjalan menuju selatan. Yang perempuan beru-
sia setengah baya. Terlepas dari usianya yang terbilang cukup tua, wajahnya
sendiri masih mempesona, jika
belum cukup untuk disebut cantik. Luar biasa me-
mang pada usia seperti dia. Sebaliknya, tak terlalu luar biasa sebenarnya kalau
menilai riasan wajahnya yang
begitu apik serta cara berpakaiannya yang mencolok.
Mungkin kekuatan pesonanya datang dari sana.
Mungkin juga tidak.
Perempuan paro baya berambut hitam panjang
tergerai. Rambutnya dihiasi ronce bunga melati yang
menaburkan wangi setiap waktu. Dia mengenakan pa-
kaian sutera putih panjang seperti gaun, dengan belahan panjang di bagian bawah
sampai pangkal paha.
Dari cara berjalan yang melenggak-lenggok seperti
sengaja memainkan tari pinggul, jelas perempuan ini
mempunyai perangai genit.
Lelaki di sebelahnya adalah seorang kerdil.
Tingginya hanya di bawah pinggang perempuan separo
baya tadi. Berwajah mirip perempuan. Rambutnya ke-
riting. Berkulit hitam. Sementara matanya selalu
membersitkan kilatan menyeramkan. Mendukung ke-
bengisan pancar mata, di kedua belah tangannya ter-
genggam senjata logam berbentuk cakar bermata tiga.
Mereka adalah pasangan guru-murid (atau su-
ami-istri edan-edanan), Dewi Melati dan Penjaga Ger-
bang Neraka. Terakhir kali, mereka terlibat dalam satu peristiwa menegangkan di
tepi sebuah sungai.
Di tepi sungai tempat seorang penduduk desa
menemukan mayat-mayat perempuan, keduanya beru-
rusan dengan cahaya aneh yang datang dari dalam lo-
rong anak sungai bawah tanah. Cahaya aneh itu me-
miliki kekuatan teramat dahsyat. Mereka yang sedang
berusaha untuk menyelidiki lorong terpental oleh ter-jangannya.
Setelah berbenturan dengan tenaga dalam Pen-
jaga Gerbang Neraka yang memiliki nama asli Patigeni, cahaya itu menjadi
terburai. Beberapa saat kemudian, seluruh serpihan cahaya menyatu kembali. Lalu
menukik dan kembali ke dalam lorong. (Baca episode se-
belumnya: "Memburu Manusia Makam Keramat'!).
Penjaga Gerbang Neraka ketika itu pula menco-
ba mengejar ke dalam lorong.
Kesaktian tua bangka cebol itu memang men-
gagumkan. Dia patut mendapatkan acungan jempol,
mungkin dari seluruh warga persilatan. Setelah me-
lompat dari tepian sungai, tubuhnya kembali menga-
pung di atas permukaan air, seperti dilakukan sebe-
lumnya. Hanya dengan satu perbedaan. Jika sebelum-
nya dia mengapung di atas air dan bergerak perlahan
ke dalam lorong, maka kali ini dia bergerak laksana
terkaman seekor macan pohon.
Wrrr!!! Dengan mengandalkan tenaga dorongan dari
sepasang senjatanya yang diputar bagai dua bilah baling-baling, tubuh Penjaga
Gerbang Neraka melesat di
atas air dengan posisi menghadap ke belakang.
Entah memiliki mata di belakang kepala, mulut
lorong yang sempit dimasukinya tanpa menoleh ke be-
lakang sedikit pun. Ditambah kecepatan meluncur
yang demikian menggila, tentu saja tindakannya men-
jadi satu unjuk kebolehan yang mengagumkan!
Tetap dengan memutar sepasang senjata di ke-
dua belah tangan sebagai baling-baling pendorong,
Penjaga Gerbang Neraka meluncur mengejar cahaya
aneh yang telah lebih dahulu melesat ke dalam lorong anak sungai bawah tanah.
Ukuran tubuh yang kecil, memungkinkan di
untuk bergerak lincah dalam tempat yang demikian
sempit. Beberapa kali ujung senjatanya dihalangi oleh dinding sempit. Tua bangka
cebol itu pantang dihalangi. Dia menerjang terus dalam posisi mundur, tetap
meluncur di atas permukaan anak sungai bawah ta-
nah. Senjatanya pun berbenturan dengan dinding lo-
rong. Tanah basah berhamburan ke segenap arah.
Bunga api berpercikan manakala ujung senjatanya
menghajar bebatuan.
Riuh sepanjang lorong.
Laksana ada seekor naga mengamuk dalam
liangnya! Berliku-liku lorong yang ditempuh, tak mem-
buat si tua bangka cebol menjadi kehilangan kecepa-
tan. Bahkan bisa dibilang dia hampir-hampir menya-
mai kecepatan cahaya yang dikejar.
Sampai satu tikungan lorong yang membentuk
tiga percabangan, Patigeni kehilangan jejak buruan-
nya. Dihentikannya putaran senjata di tangan.
Sunyi. Sisa batu dan tanah yang gugur ke dalam anak
sungai di lantai lorong terdengar lamat-lamat.
Di tengah persimpangan yang menyerupai
ruangan agak lebar, Penjaga Gerbang Neraka berdiri
diam di atas permukaan air. Arus anak sungai di ba-
wahnya memperdengarkan gemericik ketika terpisah
ke arah percabangan.
Patigeni tak terusik.
Diam. Siaga. Kehilangan buruan, bukan berarti dia harus
lengah terhadap setiap kemungkinan. Sebelumnya dia
telah memburu. Bukan tak mungkin saat berikutnya
dia menjelma menjadi buruan.
Menanti tegang untuk sekian lama, tak menda-
tangkan apa-apa. Suasana tetap hening. Hanya suara
gemericik air yang merayap samar. Tak ada apa-apa.
Tidak juga serangan menggila seperti sebelumnya.
Patigeni mendengus. Gusar, telah kehilangan
buruan yang mungkin dapat membawanya kepada
musuh besar yang tak pernah ditemuinya, Manusia
Makam Keramat! Sekarang ini, dia cuma harus memu-
tuskan apakah dia harus memilih salah satu perca-
bangan anak sungai untuk dimasuki, atau dia kemba-
li. Menimbang dia belum tentu berhasil mengikut
cahaya misterius tadi dengan memilih salah satu per-
cabangan lorong, Penjaga Gerbang Neraka memu-
tuskan untuk keluar terlebih dahulu. Sebaiknya dia
menemui Dewi Melati dulu. Bukan tak mungkin wanita
itu menjadi sasaran penculikan Pasukan Kelelawar ke-
tika Patigeni sendiri tetap bersikeras dalam lorong.
Menimbang hal itu, si tua bangka Cebol bisu, dan tuli memutuskan untuk kembali
ke tempat semula.
Kekhawatirannya tak terbukti. Dewi Melati ma-
sih menunggu di luar. Setelah itu, mereka memu-
tuskan untuk melakukan pencarian dari darat. Patige-
ni yakin, cepat atau lambat kesempatan untuk meng-
hadapi Manusia Makam Keramat akan terjadi.
*** LIMA MATAHARI belum lagi menampakkan diri. Si-
narnya masih terhalang oleh pekatnya kabut pagi. Ma-
sih gelap! Tapi, dalam suasana seperti itu seorang pemuda telah tampak berjalan
santai di pinggir Hutan
Rangkas. Pemuda itu tak lain pendekar muda tanah Ja-
wa, Satria Gendeng. Setelah bertemu dengan Dong-
dongka, gurunya yang menemukannya dalam keadaan
tak sadarkan diri waktu itu, dia meneruskan penca-
rian. Sejak pingsan terkena pukulan Penjaga Gerbang
Neraka, Satria kehilangan arah penyelidikan sama se-
kali. Sekarang dia harus mulai dari awal. Di samping harus menemukan bocah-bocah
penculik perempuan,
Pasukan Kelelawar, dia juga harus mencari dua rekan
tengiknya; Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Mu-
ka Bengis. Itu sebenarnya sudah cukup berat. Akan
makin berat kalau dia harus pula mencari tahu siapa
yang telah merampas senjata pusakanya ketika dia tak sadarkan diri.
Agak ke timur tepi hutan, terdapat bentangan
sungai tak begitu besar. Airnya jernih. Dasarnya yang berpasir dan berbatu
bahkan tampak dengan jelas,
kendati sinar surya masih lamat. Pagi yang segar tentunya saat yang tepat untuk
mandi, mengingat badan-
nya sudah sebau ketiak dedemit! Pikir Satria.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang cu-
kup tinggi, tanpa membutuhkan waktu terlalu lama,
pemuda itu telah berada dekat dengan tempat yang di-
tuju. Tak lama, Satria sudah melompat ke sungai, se-
telah sebelumnya melepaskan pakaian.
Byuurrr...! Air sungai yang semula mengalir tenang bergo-
lak ketika tubuh Satria menampar air. Pemuda murid
dua sesepuh persilatan ini berenang sampai ke tengah sungai, tempat yang lebih
dalam. Menyelam. Menikmati belaian kesejukan.
Pada saat si pendekar muda berwajah kekana-
kan itu menyelam, dari arah selatan datang seorang
gadis cantik berpakaian warna putih. Gadis cantik itu membawa sebuah keranjang
berisi pakaian yang hendak dicuci di sungai itu. Usai meletakkan bakul berisi
pakaian di atas batu sungai, dia melepaskan bebatan
kain batik coklat yang membungkus tubuhnya. Kese-
garan air sungai mengundangnya untuk mandi. Uru-
san mencuci pakaian, bisa ditunda sebentar, pikirnya.
Sebelum kainnya telanjur terlepas....
Byarrr...! Dari tengah sungai, menyembul mendadak se-
buah kepala berkawal bunyi ramai sibakan air. Ram-
butnya centang-perenang ke mana-mana, menutupi
wajah yang keluar dari dalam air. Mulutnya membulat
seperti mujair seraya mengeluarkan suara tarikan na-
pas yang tak kalah menyeramkan dari kentut siluman.
Seketika itu pula gadis cantik berbebat kain
mendekap mulut. Matanya membulat penuh. Mendelik
bisa jadi. Dia mengira ada sebangsa siluman sungai
muncul kepagian. Tapi apa iya ada siluman keluar se-
pagi ini, pikirnya. Akhirnya dia merutuki kebodohan-
nya sendiri. Bisa saja kepala yang muncul dari dalam sungai cuma kepala orang
yang sedang mandi.
Gadis berbebat kain itu segera menjemput ba-
kul cucian. Mengendap-endap, dia bersembunyi di ba-
lik batu besar. Bukan apa-apa, dia cuma belum begitu yakin benar pada orang yang
muncul dari dalam sun-
gai tadi. Perempuan atau lelaki" Dari tempatnya kini, dia mengintip siapa orang
yang tengah mandi di pagi
buta. Tidak seperti biasanya, sepagi ini ada orang yang mandi di sungai. Karena


Satria Gendeng 09 Bangkitnya Dewa Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis cantik berbebat kain
merasa yakin bahwa belum ada penduduk desa seki-
tar, terutama para gadis-gadis yang berangkat ke sungai sepagi ini, selain
dirinya. Usaha gadis cantik mencari tahu siapa orang
yang mandi itu tidak sia-sia. Dia berhasil melihat jelas punggung orang yang
sedang mandi dari kejauhan.
Tapi itu belum cukup.
Rambut panjang" Tanyanya membatin. Ke-
ningnya berkerut. "Aneh! Setahuku gadis-gadis di desa ini tidak ada yang
mempunyai rambut panjang kemerahan. Kalau begitu siapa dia, ya?" tanya gadis
berbebat kain itu dalam hati.
Deggg! Tiba-tiba saja wajah gadis cantik itu memerah
seketika. Betapa tidak" Karena ketika orang yang se-
dang mandi itu membalikkan tubuhnya, disaksikan-
nya dada orang itu tampak bidang. Tidak ada buah
dadanya! Sejak zaman apa, seorang gadis yang mem-
punyai dada bidang" Hal inilah yang membuat wajah
gadis cantik itu memerah. Dia terkejut. Tanpa sengaja kaki gadis cantik itu
menyentuh sebuah batu. Sialnya lagi batu itu bergulir ke bawah. Diiringi bunyi
riuh ba-tu itu menggelinding ke arah sungai.
Bunyi yang cukup berisik itu menarik perhatian
Satria yang sedang mandi. Seketika itu pula, dia langsung menghentikan kesibukan
mandinya dan menge-
darkan pandangan ke asal keributan kecil.
"Hey, siapa di situ" Cepat tunjukkan diri...!" se-ru Satria Gendeng.
Tidak ada sahutan.
Cukup lama. "Hemm.... Baiklah kalau kau memang tidak
mau menunjukkan diri. Jangan salahkan aku jika
kau...." Ancam Satria Gendeng. Sengaja kalimatnya di-penggal untuk membuat
pancingan, agar orang yang
membuatnya curiga muncul.
Sementara itu gadis cantik berbebat kain nam-
pak mulai bingung. Diam-diam dia menyesali seruntun
kebodohannya. "Baiklah jika memang kau mau mencari penya-
kit denganku...!" tegas Satria Gendeng, sambil melesat menyambar pakaian. Kalau
tidak begitu, bisa terlihat perabotannya!
Mendengar ancaman Satria, karuan saja si ga-
dis cantik semakin kelabakan. Perasaan gelisah me-
landa hatinya. Dadanya berdentam-dentam kencang.
Mau bilang apa dia nanti" Mengintip perjaka mandi"!
Mau ditaruh di mana mukanya" Di bakul cucian"
Dapat dibayangkan betapa malu dirinya nanti.
Tapi sebelum gadis itu bergerak keluar, orang
yang diintipnya telah berada di hadapannya. Seketika tubuh gadis cantik itu
bergetar hebat.
"Siapa kau..."! Mengapa kau mengintip aku
mandi"!" tanya Satria Gendeng bersungut-sungut. Heran juga Satria. Masa' iya ada
perempuan senang men-
gintip" Gila apa" Pikirnya,
"Ak... akhu..., tid... tiddakk senggajaa...!" jawab gadis berbebat kain,
tergagap. Pandangan matanya
merunduk ke tanah. Tidak mampu melihat wajah
orang di hadapannya. Malu hati sebesar bukit!
"Siapa namamu, Nona?"
"Aku.... Rara Lanjar," jawab singkat si gadis bernama Rara Lanjar.
"Apa tujuanmu berada di sini dan mengintip ku
begitu rupa?" tanya Satria sambil melihat rona merah pada kedua pipi Rara
Lanjar. Caranya bertanya agak
sengit. Maklum, dia merasa dipermalukan.
"Aku sedang mencuci pakaian. Tidak bermak-
sud apa-apa...," kembali gadis cantik itu menjawab pertanyaan Satria Gendeng
dengan wajah tertunduk.
"Mencuci pakaian dengan cara bersembunyi
seperti ini" Jangan ngaco! Bilang saja kau sejenis perempuan 'gatal'!?" semprot
Satria, keki. Kian terbakar wajah putih mulus Rara Lanjar
mendengar ucapan pemuda di depannya yang diang-
gapnya sama sekali tidak berperasaan. Bacot pemuda
semacam ini mesti disumpal kepalan, gusarnya.
"Kurang ajar!"
Sambil memaki, tangan perempuan itu melepas
tamparan. Tamparan yang tidak mungkin dilakukan
oleh perempuan desa biasa. Terlalu bertenaga. Sebe-
lum sampai saja, angin sambarannya sudah terasa.
Satria tidak bisa tidak dibuat agak terperanjat.
Semula dikira gadis di depannya cuma gadis desa bi-
asa. Kalau cuma sempat terperanjat, bisa sial besar
dia. Tamparan perempuan itu bisa saja membuat mu-
lutnya 'penyok'! Makanya Satria buru-buru menoleh-
kan kepala. Tamparan lewat di depannya.
Si gadis tak puas. Sepertinya baru akan puas
kalau kepalannya sudah menyodok mulut si pemuda
sampai ke tenggorokan. Ini yang namanya tindakan
memberi pelajaran pada pemuda bermulut lancang!
Lalu kaki mulusnya terangkat, membuat sa-
puan ke tempat Satria berpijak. Kainnya tersingkap lebar. Sampai ke pangkal
paha. Mulusnya minta tobat.
Bagi si pemuda, 'pemandangan bagus' itu bisa
berarti dua hal. Pertama, 'rezeki nomplok' di pagi buta.
Kedua, 'kesialan'. Kesialan karena matanya jadi tak
berkedip mengikuti gerakan pangkal paha yang meren-
tang aduhai itu. Meski gerakannya cepat, tapi tetap
nikmat. Karena itu (sialnya), dia jadi tertegun.
Dak! Tulang kering di kakinya kontan tersapu kaki
Rara Lanjar. Keras. Telak. Satria berteriak dengan ma-ta menjuling.
"Wadau!"
Keseimbangan tubuhnya oleng. Dia hendak
bersalto ke belakang. Tapi, tangan Rara Lanjar sudah lebih cepat memburunya.
Bukh! Dadanya terhantam. Tubuhnya ambruk ke be-
lakang. Sungai menantinya.
Byur! Basah! "Sial!!!" umpat Satria sambil menatapi pakaiannya yang kuyup semua. Dia bangkit
dengan bibir maju
mundur. Demi nenek moyang gurunya yang sinting,
akan dimaki-makinya perempuan brengsek itu! Habis-
habisan. Didekatinya lagi Rara Lanjar.
Belum sempat mulutnya menyemprotkan ma-
kian, Satria sudah keduluan.
"Cuih! Untuk apa aku mengintip mu yang tidak
ada gunanya buatku"! Kalau bicara hati-hati! Lihat du-lu, apa aku punya tampang
wanita nakal"! Jawab pe-
muda bermulut lancang! Jangan-jangan, justru kau
yang termasuk pemuda nakal!!" omel Rara Lanjar, lebat seperti hujan.
Satria jadi bengong. Bukankah mestinya dia
yang mengomel"
Berhasil menekan rasa malunya dengan kegu-
saran, Rara Lanjar mendongakkan kepala. Ditantang-
nya mata pemuda di hadapannya. Tegas-tegas.
Saat itulah, entah bagaimana terbetik keterpa-
kuan pada mata si gadis menyaksikan ketampanan
wajah pemuda di hadapannya. Perasaan jadi berubah
lagi. Jadi rada pontang-panting, makin dijungkirbalikkan. Gundah. Campur resah.
Campur sebal, campur
baur dengan es campur, eh campur malu!
"Kenapa kau memandangku seperti itu, Nona?"
bentak Satria Gendeng. Masih saja dia bersungut-
sungut tak sedap.
Rara Lanjar gelagapan.
"Kau juga belum jawab pertanyaanku tadi, apa
yang sedang kau lakukan di sini"!" serbu Satria lagi.
"Aku tidak mengintip mu! Aku memang ingin
mencuci pakaian. Kalaupun aku bersembunyi, panjang
juga ceritanya!" balas Rara Lanjar mulai memberani-kan diri.
"Jelaskan saja!"
Si gadis sejenak menarik napas panjang, mene-
nangkan kerusuhan perasaannya. Setelah terasa te-
nang, barulah Rara Lanjar kembali memandang wajah
pemuda tampan di depannya.
Satria yang melihat lebih jelas lagi wajah Rara
Lanjar jadi berdecak kagum. Sungguh indah dan elok
paras wajah Rara Lanjar. Tidak kalah dengan wajah
Mayangseruni atau Tresnasari. Dua gadis yang pernah
dikenalnya. Tapi, perasaan 'dipermalukan' jadi soal
lain. Dia tidak terima diintip!
"Ayo, jelaskan padaku, Nona!" desak Satria.
"Sebenarnya aku tidak bermaksud mengintip
mu mandi. Karena perlu kau ketahui, bahwa sungai ini khusus untuk para gadis
yang boleh mandi dan mencuci di sini. Sedangkan untuk pemuda sebelah utara
sungai ini. Jadi aku kaget dan malu ketika tahu kau
sedang mandi. Makanya aku sembunyi. Kau juga yang
salah!" tukas Rara Lanjar.
"Eee.... Mana aku tahu di sini cuma tempat un-
tuk para gadis," kata Satria Gendeng, mulai menurun nada suaranya. Sadar kalau
dirinya yang salah.
Anak muda itu tersenyum-senyum kebodohan.
Cengar-cengir serba salah. Sejelek anak monyet. Un-
tung dia bukan anak monyet!
"Kalau benar begitu aku minta maaf, Nona!"
ujar Satria, malu-malu.
"Aku juga minta maaf, Kang" balas Rara Lanjar, merunduk ketika mengingat
peristiwa sebelumnya.
Terpaksa kalimatnya terpenggal.
"Panggil saja aku Satria...," ujar Satria Gendeng. Lupa mengenalkan dirinya.
"Siapa pula nama-mu, Nona?"
"Rara Lanjar," sahutnya perlahan.
Tak lama kemudian mereka dilingkupi suasana
hening. Masing-masing tidak ada yang berbicara. Sa-
ma-sama kehabisan kata. Sehingga akhirnya Satria
Gendeng memutuskan untuk pamit saja. Daripada ha-
rus terus seperti orang tolol, pikirnya.
"Oh ya, Rara Lanjar. Aku minta diri untuk me-
lanjutkan perjalananku pagi ini...," pamitnya, mengusik lamunan gadis cantik di
depannya. Rara Lanjar yang melamun dan menatap ko-
song ke depan menjadi tergagap ketika mendengar
pamitan pemuda yang baru dikenalnya.
"Oh, silakan, Satria...," jawabnya dengan terbata-bata. Ringan, Satria Gendeng
kembali melangkahkan kaki, melanjutkan perjalanannya. Belum lama Satria
Gendeng melangkah....
"Satria! Nanti malam di tempatku ada pesta pa-
nen! Kalau kau sempat, datanglah ke Desa Lebak! Aku
mengundangmu...!" teriak Rara Lanjar.
Satria Gendeng yang mendengar teriakan Rara
Lanjar, hanya tersenyum di kejauhan.
* * * "Hemm.... Ada apa, ya?" gumam Satria sambil menghentikan ayunan kakinya. Anak
muda itu tengah
memasuki Hutan Rangkas lebih ke dalam.
"Suara apa ya?" bisiknya lagi seraya menggaruk-garuk kening
Satria mencoba memperuncing pendengaran-
nya untuk meyakinkan apa yang tengah didengarnya.
Dia tercenung sejenak seperti tengah memperkirakan
sesuatu. "Sepertinya suara itu teriakan orang meminta
pertolongan," duga pemuda berambut kemerahan itu, lebih meyakinkan dari
sebelumnya. "Suara yang tertangkap oleh telingaku terlalu
lemah. Jadi, susah bagiku untuk dapat memastikan
dari mana datangnya. Kalau saja terdengar lagi,
meskipun hanya sekali, mungkin bisa kuketahui sum-
bernya," ujar pemuda tampan berompi bulu pada dirinya sendiri.
Satria menatap ke sekeliling hutan sambil men-
gangguk-anggukkan kepala. Entah apa yang dipikirkan
oleh pemuda bersifat lugu itu.
"Hutan ini cukup luas juga. Bagaimana aku
dapat mencari sumber suara tadi tanpa mengetahui
arahnya, laksana mencari jarum dalam tumpukan je-
rami! Sulit!"
"Tapi... biar bagaimanapun aku harus mencari
sumber suara itu." Kembali murid Dedengkot Sinting
Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu ber-
bicara sendiri. Sinting juga, barangkali!
Satria melakukan pencarian secara lambat.
Masalahnya, dia tak tahu arah yang harus ditempuh.
Sambil menindakkan kaki, pendengarannya dipasang
tajam-tajam. Hal itu dilakukan dengan sepercik hara-
pan yang bergayut di hati. Barangkali saja, jeritan itu kembali terdengar.
Cukup lama juga pendekar muda sakti pem-
buat kegegeran di tanah Jawa, momok kalangan sesat
itu melakukan pencarian. Tak jarang dia harus mema-
pas semak-semak yang menghalangi perjalanannya.
Sampai akhirnya....
"Hemm.... Garis apa itu?"
Satria Gendeng mengarahkan pandangan ke
tanah yang terdapat cekungan selebar tiga jari pada
bagian tanah hutan yang tidak tertutup rumput. Ce-
kungan itu memanjang. Jumlahnya tidak hanya satu
melainkan sepasang! Jarak antara keduanya terpisah
sekitar setengah tombak!
"Hemm.... Bukankah garis memanjang ini ada-
lah jejak roda kereta..."!" gumam Satria Gendeng, meyakinkan apa yang baru
dilihatnya. Selain jejak kereta kuda yang memanjang dari barat ke timur dite-
mukannya pula jejak-jejak kuda.
"Apakah jejak kereta ini mempunyai hubun-
gannya dengan asal jeritan yang tadi kudengar?" Kembali Satria Gendeng berbicara
pada dirinya sendiri.
Memang dalam kesunyian hutan ada baiknya berbica-
ra sendiri untuk mengusir rasa sepi. Toh, binatang hutan atau pepohonan tak akan
menganggapnya sinting!
Merasa menemukan titik terang, Satria mulai
mengamati rentang jejak kereta kuda sepanjang jalan
tanah.

Satria Gendeng 09 Bangkitnya Dewa Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masalahnya sekarang, ke arah mana kereta
kuda itu pergi?" gumamnya kemudian. "Ke timur, atau ke barat?"
Pemuda berambut kemerahan itu tidak perlu
berpikir terlalu keras untuk menentukan arah yang
semestinya ditujunya. Dari posisi bekas telapak kuda di tanah, dia bisa langsung
memastikan arah jejak ta-di. Lengkungan bekas tapal kuda semuanya mengarah
ke barat. Jadi, arah itu yang harus dituju! Langsung saja kakinya melangkah
lebar mengikuti jejak-jejak ta-di.
Satria harus teliti sekali. Masalahnya, beberapa
kali jejak roda kereta itu tidak tampak. Bahkan tidak berbekas sama sekali
ketika melewati tanah berumput
tebal. Syukurlah, berkat keuletannya, penyelidikan itu pun sampai pada tempat di
mana Manusia Makam Keramat melakukan penghadangan.
"Hemm...," gumam Satria Gendeng untuk kesekian kali, sambil melepas pandangan
tegas-tegas ke depan. Disaksikannya suatu pemandangan yang demi-
kian mencolok! Sehingga meskipun jaraknya masih
cukup jauh, dia merasa telah melihat di depan mata!
Cukup menggiriskan hati pemandangan yang
terpampang di hadapan pendekar muda itu. Mayat-
mayat anggota Perguruan Kuda Langit berserakan di
sana-sini dalam keadaan mengenaskan. Sementara tak
jauh dari situ, tampak sebuah kereta dengan binatang penghelanya yang masih
berdiri kaku seperti patung.
Satria bertindak sangat hati-hati dan waspada.
Pikirnya, mungkin saja pelakunya belum pergi jauh.
Sekujur otot dan urat saraf pemuda itu menegang
waspada. Pendengaran dan penglihatannya dipasang
setajam mungkin, bersiap menghadapi segala ke-
mungkinan. Tapi tindakan hati-hati yang dilakukan pende-
kar muda ini sia-sia. Sampai berada dekat dengan ge-
limpangan mayat, peristiwa yang tidak diharapkan ti-
dak terjadi. Suasana tetap lengang.
"Hem... brengsek! Bagaimana aku dapat me-
nyimpulkan apa yang telah terjadi dari mayat-mayat
ini?" gumam Satria Gendeng, tetap memasang sikap waspada.
Satria Gendeng tidak mampu berbuat lain. Dia
Mahligai Cinta Sepasang Pendekar 2 Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Panji Akbar Matahari Terbenam 1
^