Pencarian

Bisikan Iblis Lembah Keramat 1

Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU SEBUAH bayangan hitam melesat membe-
lah angin pagi yang bertiup semilir. Arahnya terus menjauhi Gunung Wilis yang
berdiri kokoh menantang langit. Puncaknya masih terkepung ka-
but tebal berwarna kehitaman. Mungkin di sana
sebentar lagi akan turun hujan lebat. Buktinya
matahari tak kunjung muncul yang mestinya saat
ini sudah sepenggalah. Seolah bola api raksasa
itu telah terkunci mati oleh gerombolan awan hi-
tam di timur sana.
Sekian jauh berlari, si bayangan hitam te-
rus saja mengerahkan ilmu meringankan tubuh-
nya yang lumayan tinggi. Cukup cepat, sampai-
sampai cukup sulit untuk melihat secara jelas
rupa orang bertubuh tinggi besar itu. Beberapa
dahan pohon besar yang menghalangi langkah-
nya dilompati. Bebatuan besar juga dilompati, tak peduli kalau batu itu hanya
sekepalan tangan.
Entah, apa yang dikhawatirkan si bayan-
gan hitam. Melihat gelagatnya yang sebentar-
sebentar menengok ke belakang, agaknya si
bayangan hitam tengah mencoba memastikan
apakah ada orang yang mengejarnya
Sampai di sebuah lembah bebatuan cadas
menghampar, sosok bayangan tadi menghentikan
langkahnya. Dia berbalik, lalu kepalanya celingukan. Seolah hendak memastikan
kembali, apakah
ada orang yang mengejarnya. Begitu yakin, bibir
tebalnya mengukir senyum.
Sekarang, rupa si bayangan hitam menjadi
jauh lebih jelas, kendati awan mendung masih
menebar kegelapan. Wajahnya dipenuhi brewok
lebat. Jenggotnya nyaris menutupi leher. Alis matanya tebal, menukik hendak
menghujam kedua
matanya yang besar. Pakaiannya komprang ber-
warna hitam tanpa dikancingi, seolah hendak
memamerkan bulu-bulu lebatnya di dadanya
yang bidang kekar. Padahal, di tempat ini tak ada seorang pun. Jadi hendak
dipamerkan kepada
siapa bulu-bulunya itu"
Kalau sudah melihat ciri-cirinya, sudah
pasti dia seorang lelaki. Sebab mana mungkin ada perempuan brewokan seperti itu
kalau tidak karena kualat" Celananya juga komprang, berwarna
hitam. Siapa lelaki ini"
Dialah Warok Darmo Singo.
Seorang warok sesat adik dari Warok Singo
Lodra yang cukup disegani di Kadipaten Ponoro-
go. (Baca episode: "Pertunangan Berdarah").
Setelah berhasil melarikan diri dari anca-
man gurunya, Warok Darmo Singo bersumpah
tak ingin kembali ke Gunung Wilis, sebelum
mempunyai kesaktian yang melebihi Iblis Rogo
Jembangan. Karena dia tahu, guru sesatnya itu
tak akan membiarkan dirinya mengangkangi har-
ta karun dan sebuah kitab berisi ilmu-ilmu ting-
kat tinggi yang tersembunyi di puncak Gunung
Wilis Warok Darmo Singo juga tidak bodoh. Seti-
daknya, dia juga harus bersiap diri untuk meng-
hadapi kakak kandungnya sendiri yang diadu
domba dengan Warok Jogoboyo. Entah siapa yang
bakal jadi pemenang, yang penting dia harus
mempersiapkan diri. Untuk itu, harus dicarinya
tokoh sakti lain yang bisa menurunkan ilmu-ilmu
tingkat tinggi kepadanya. Dan dia tahu kalau di Lembah Keramat tempat dia
berdiri sekarang ini
tinggal seorang tokoh sakti yang konon telah lama tenggelam dari percaturan
dunia persilatan. Siapa tokoh itu"
Manusia Sesat Kaki Empat!
"Hmmm.... Kalau tak salah, ini yang ber-
nama Lembah Keramat. Tapi, di mana tepatnya
tempat tinggal tokoh bernama Manusia Sesat Ka-
ki Empat itu?" gumam Warok Darmo Singo.
Sang Warok sesat mengusap-usap jenggot
lebatnya. Matanya terus saja jelalatan mencari-
cari. Liar, matanya menyapu hamparan lembah
yang berupa tanah bebatuan cadas yang sebagian
besar terselimuti lumut hijau. Di kanan-kiri lembah mengapit dua buah bukit tak
terlalu besar. "Namanya Lembah Keramat. Cukup meng-
gidikkan. Tapi tempatnya tak sesuai namanya.
Biasa saja. Apa yang menakutkan dari lembah
ini?" tanyanya, masih menggumam.
Salah besar kalau Warok Darmo Singo
menduga demikian. Dia tak tahu kalau di lembah
ini justru tempat di mana para iblis dari segala jenis berkumpul, bercengkrama
membangun sebuah pesta pora dari sejak matahari terbenam
hingga fajar menyingsing.
Perlahan tapi pasti, kaki kekar Warok
Darmo Singo melangkah menuju kaki lembah se-
belah kiri. Entah, bisikan apa yang membuat
langkahnya tertuju ke sana. Bahkan hatinya sen-
diri malah bertanya-tanya. Heran" Kenapa seolah
ada yang menuntunku ke bukit sebelah kiri itu"
Dan, kenapa aku tak mampu menolaknya"
Hati galau Warok Darmo Singo makin larut
dalam ketidakberdayaan. Terperangkap dalam se-
buah kekuatan yang tak mampu ditepisnya. Ke-
kuatan yang menyeret langkahnya menuju bukit
sebelah kiri. Bukit Para Dayang!
Edan! Kenapa hatiku tiba-tiba ciut begini"
Setan alas! Sumpah serapah dari bibir tebalnya
menyusul kemudian. Menyumpah-nyumpah begi-
tu, tapi tetap saja langkahnya tak kuasa dihentikan. Ini yang membuat hatinya
terus bertanya-
tanya tak mengerti. Bahkan sedikit-demi sedikit
hatinya mulai digerogoti rasa takut yang kian
mendera. Tiba di kaki bukit yang hanya tersusun da-
ri tumpukan batu cadas, jantung Warok Darmo
Singo makin berdetak amat kencang. Aliran da-
rahnya seolah terbalik. Perasaannya jadi tak me-
nentu. Tingkahnya bagaikan orang linglung. Tak
tahu apa yang harus diperbuatnya.
Di hati kecilnya yang paling dalam, Warok
Darmo Singo berusaha berontak dari ketidakmen-
gertian. Malah, tenaga batinnya berusaha dike-
rahkan. Tapi tetap saja langkahnya terus berge-
rak mendekati dinding bukit cadas berselimut
lumut hijau. "He he he.... Selamat datang di Bukit Para
Danyang, Anak Manusia! Aku tahu maksud keda-
tanganmu dari sinar matamu yang tersaput kera-
kusan. Kau tahu nafsu besarmu, Anak Manusia.
Sungguh tepat kau dapat ke Istanaku...."
Suara berat menyentak akal waras Warok
Darmo Singo. Mendadak saja, rasa linglungnya
terdepak entah ke mana. Dan matanya jadi jelala-
tan tak mengerti, mengapa dia tak bisa mengelak
dari kekuatan halus yang membawanya ke tempat
ini" "Siapa kau"!" bentak Warok Darmo Singo begitu bisa menguasai diri. Suaranya
menggelegar, seolah hendak menohok langit. Bergaung ke
segala arah, terbawa angin yang mendesah-desah
lirih. "He he he.... Suaramu begitu keras, tapi hanya patut untuk menakut-nakuti
kucing kurus yang besok pagi mau mati. Kalau aku tahu mak-
sud kedatanganmu yang ingin berguru kepadaku,
apakah kau masih perlu tahu namaku" Simpan
saja pertanyaanmu di puser bodongmu itu, Anak
Manusia.... He he he...," leceh suara tak berwu-jud, membuat Warok Darmo Singo
tercekat. "Ja..., jadi kau Manusia Sesat Kaki Em-
pat...?" gagap lelaki tinggi besar ini. Tingkahnya jadi serba salah.
Keberaniannya yang semula
muncul kembali kontan terusir begitu saja. Wa-
jahnya mendadak pucat pasi. Sementara, ma-
tanya tak seliar tadi.
"Sudah kubilang, simpan saja pertanyaan-
mu itu, Anak Manusia! Sekarang, ikuti perintah-
ku!" Suara sarat kekuatan batin kontan mengoyak nyali Warok Darmo Singo. Penuh
tekanan dan mengandung sebuah kekuatan yang mem-
buat Warok Darmo Singo kembali bagai orang lin-
glung! "Nah! Kau sekarang sudah berada di bawah pengaruhku! Kau harus patuhi
segala perintahku!
Mengerti"!" lanjut suara berat tadi.
"Mengerti...," lirih, suara Warok Darmo Singo terlempar dari bibir tebalnya. Tak
segalak tadi. Tak seberat tadi. Semuanya serba ringan, se-ringan kakinya yang
seolah tak bertenaga lagi.
"Sekarang, dekati batu besar runcing di se-
belah kananmu!" perintah wujud yang masih kasat mata.
Perlahan namun pasti, kaki Warok Darmo
Singo melangkah terseret ke arah batu yang di-
maksud. Pandangannya kosong tanpa makna.
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, kata-kata seo-
lah bagaikan sabda yang memang harus dituru-
tinya. Tiba di dekat batu besar runcing-runcing itu, langkah Warok Darmo Singo
terhenti begitu
saja. Sepertinya, ada sebuah kekuatan yang me-
nuntunnya. "Kau lihat sebuah mulut goa di balik batu
itu" Nah, masuklah!" lanjut suara tadi.
Kembali langkah Warok Darmo Singo ber-
gerak. Dilewatinya batu cadas runcing-runcing
yang bagaikan sebuah tugu ini. Dengan pandan-
gan kosong, didekatinya sebuah mulut goa yang
tak begitu besar yang cukup dimasuki satu orang
saja. Karena tubuhnya agak besar, susah payah
Warok Darmo Singo memasuki mulut goa. Aki-
batnya, pakaian komprangnya tersangkut taring-
taring batu cadas yang membentuk mulut goa.
Sobek di sana-sini. Tapi dia tak peduli. Padahal, sebagian tubuhnya mulai terasa
perih oleh gore-san taring-taring cadas.
Berhasil. Warok Darmo Singo berhasil me-
masuki mulut goa yang bagaikan memasuki mu-
lut buaya itu. Dan baru beberapa langkah dari
mulut goa, sebuah kegelapan amat kental meng-
hadangnya. Tapi, karena jalan pikirannya bagai-
kan dituntun oleh sebuah kekuatan yang mera-
suki jiwanya, langkahnya seperti tak peduli bergerak memasuki perut goa.
Makin masuk melangkah, perut goa makin
melebar. Dalam kegelapan, Warok Darmo Singo
berusaha membuka matanya selebar mungkin.
Berusaha menembus kepekatan kendati tatapan-
nya nyaris tak bermakna. Kosong tanpa mengerti
kenapa kakinya enak saja melangkah tak tersan-
dung sedikit pun.
"Dua langkah lagi, kau berbelok ke kanan.
Maka kau akan sampai ke hadapanku!" suara berat kembali terdengar. Bergema
terpantul dinding-
dinding goa. Benar. Dua langkah kemudian, terdapat
mulut lorong lain. Tapi suasananya tak segelap
tadi. Begitu Warok Darmo Singo berbelok ke ka-
nan dan memasuki mulut lorong, cahaya remang-
remang dari sebuah obor tak begitu besar yang
terpancang di dinding lorong goa segera menyam-
butnya. Sepuluh langkah kemudian, Warok Darmo
Singo telah tiba di sebuah ruangan cukup lebar.
Terasa lembab, dan berhawa busuk menyesak-
kan. "He he he.... Kau telah sampai di hadapanku, Anak Manusia. Duduklah di
hadapanku," ujar suara berat bergema. Bahkan kali ini suara itu
kembali seperti mengandung kekuatan batin, se-
hingga menyadarkan jalan pikiran Warok Darmo
Singo. Lelaki tinggi besar itu melengak. Terkejut menyadari dirinya tahu-tahu
telah berada di tempat ini. Seolah, dia baru saja terbangun dari tidur. "Di...,
di mana aku?" tanyanya, tak mengerti.
Tatapan Warok Darmo Singo kuyu menga-
rah ke pojokan ruangan pengap berhawa busuk
ini. Di situ duduk bersila seorang lelaki tua kurus di atas sebuah batu cadas
berbentuk pipih. Tak
berbaju, kecuali bagian bawahnya yang ditutupi
kain kusam yang dibebatkan begitu saja. Ram-
butnya putih tak terurus dibiarkan tumbuh begi-
tu saja. Kumis dan jenggotnya juga telah meman-
jang tak terurus, menjuntai bagai akar-akar po-
hon beringin. "He he he.... Sungguh tak salah kau ingin
berguru denganku, Anak Manusia. Selamat da-
tang di kediaman Manusia Sesat Kaki Empat." ka-ta lelaki tua berjuluk Manusia
Sesat Kaki Empat.
Kendati tadi telah disuruh duduk, tetap sa-
ja Warok Darmo Singo masih terpaku berdiri. Ma-
tanya terus mengawasi lelaki tua di depannya Ka-
tanya, berkaki empat. Mana kakinya yang dua la-
gi" Tanya lelaki tinggi besar ini.
"Kau mau tahu dua kakiku yang lainnya,
ya?" tebak Manusia Sesat Kaki Empat, membuat Warok Darmo Singo terperanjat.
Tak menyahut, kepala lelaki tinggi besar
itu manggut-manggut.
Untuk memenuhi keingintahuan Warok


Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Darmo Singo, masih dalam bersila Manusia Sesat
Kaki Empat memutar tubuhnya. Tanpa kesulitan.
Berputar begitu saja di atas pantat teposnya yang bagai memiliki sumbu. Sungguh
sebuah kepandaian yang menakjubkan! Pantatnya sama sekali
tak terangkat. Tak terlihat tanda-tanda kalau dia mengerahkan tenaga.
Begitu berbalik, terlihat di atas pantat Ma-
nusia Sesat Kaki Empat tumbuh dua kaki yang
juga dalam keadaan bersila. Begitu santai, layaknya dua kaki yang ada di
depannya. Maka makin lengkap kalau lelaki tua itu
pantas berjuluk Manusia Sesat Kaki Empat.
Siapakah dia..."
DUA KADIPATEN Trenggalek. Alam baru saja di-
guyur hujan lebat. Siang mulai merambat. Mata-
hari masih terkunci rapat oleh gerombolan awan
hitam yang membangun sebuah kekuasaan di
langit hitam pekat. Menebar rintik-rintik air dari langit diselingi sambaran
kilat. Di ruang tengah rumah Warok Jogoboyo,
bocah sakti tanah Jawa baru saja menandaskan
ayam goreng masakan Nyai Gembili, istri Warok
Singo Lodra. Mulutnya masih berdecap-decap. La-
lu dicungkilinya sisa-sisa daging ayam yang ma-
sih nyempil di sela-sela gigi putihnya. Sesekali terdengar sendawanya yang
membuat Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo tersenyum seraya
menggeleng-gelengkan kepala.
Kedua warok itu kini semakin paham pada
tabiat si anak muda bernama Satria Gendeng.
Tabiat sinting warisan Dongdongka jelas tergam-
bar pada tingkah laku Satria. Mudah-mudahan
saja wajah jelek Dongdongka tak ikut terwarisi
pada si anak muda ini. Begitu harapan dua warok
yang paling ditakuti di Kadipaten Trenggalek dan Kadipaten Ponorogo itu.
"Rasanya baru kali ini aku makan ayam
goreng begini nikmatnya. Enak sekali masakan is-
trimu, Paman Warok Singo." pecah Satria, memuji
"Mungkin karena perutmu kelewat lapar,
sehingga masakan sederhana itu kau bilang
enak," tepis Warok Singo Lodra, tak ingin menon-jolkan kepandaian istrinya dalam
hal memasak. "Satria benar, Kakang. Mendiang istriku
saja tak bisa menyamai kepandaian istrimu da-
lam hal memasak," Warok Jogoboyo memperkuat pujian Satria.
Nyai Gembili yang duduk di sebelah Warok
Singo Lodra hanya tersipu. Bisa jadi hatinya ber-bunga-bunga. Sebab sebagai
tokoh persilatan pu-
la, ternyata kepandaian masaknya tak pernah ka-
lah dari wanita kebanyakan.
Warok Jogoboyo sendiri merasa bersyukur
atas kedatangan Warok Singo Lodra dan istrinya.
Artinya, kedatangan kakak seperguruannya sedi-
kit banyak cukup mengobati rasa dukanya saat
ini. Betapa tidak" Belum lama Ratna Kumala
anaknya tewas di tangan anak buah Warok Dar-
mo Singo. Lalu dirinya diadu domba dengan Wa-
rok Singo Lodra kakak seperguruannya. Kemu-
dian ketika baru tiba di rumah, dia dikabari bah-wa istrinya telah tewas dan
telah dikuburkan di
pemakaman umum di pinggiran kadipaten (Baca
episode : "Pertunangan Berdarah").
Sewaktu Warok Singo Lodra datang bersa-
ma istrinya, Warok Jogoboyo langsung meminta
Nyai Gembili untuk memasakkan untuknya. Saat
Nyai Gembili pergi ke pasar, Warok Jogoboyo se-
gera menceritakan tentang peristiwa yang terjadi di rumahnya. Termasuk tentang
hilangnya poton-
gan lempengan logam warisan guru mereka, Resi
Kalangwan. Nyatanya, kekhawatiran Warok Singo
Lodra terbukti. Sejak dari rumah, pikirannya te-
lah dihantui kekhawatiran terhadap Nyai Kumitir
istri Warok Jogoboyo, serta hilangnya potongan
lempengan logam seperti yang dialaminya.
Untungnya, kedua warok itu tak begitu ka-
lut menghadapi hilangnya potongan lempeng lo-
gam yang mereka miliki. Kini mereka seolah tak
begitu mempersoalkan warisan guru mereka yang
berisi peta petunjuk tentang sebuah harta karun
dan sebuah kitab suci berisi ilmu-ilmu tingkat
tinggi. Yang jadi persoalan buat mereka adalah,
Warok Darmo Singo. Manusia laknat yang telah
mengadu domba mereka. Mereka tahu, tak mu-
dah untuk menemukan harta karun dan kitab
sakti yang disembunyikan Resi Kalangwan di
puncak Gunung Wilis. Sebab, tak mudah untuk
memecahkan makna yang tergurat di atas peta.
Disamping membutuhkan otak cerdas, juga
membutuhkan kebersihan jiwa yang amat tinggi.
Itu yang membuat mereka tak begitu kalut. La-
gian, mana ada tokoh yang memiliki hati bersih"
Dan bila Warok Darmo Singo berhasil
mendapatkan kedua potongan lempeng logam itu,
bukan berarti bisa mengangkangi harta serta ki-
tab sakti tadi. Cuma saja, sepak terjangnya itulah yang membuat kedua warok
geram bukan main.
Mengadu domba serta membuat anak- anak me-
reka harus menerima akibatnya. Ini yang mem-
buat Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo me-
rasa harus membuat perhitungan dengan Warok
Darmo Singo. Begitu pulang dari pasar, Nyai Gembili ba-
ru diceritakan tentang keadaan Nyai Kumitir.
Sempat perempuan ini memarahi suaminya yang
tidak segera menceritakan, tapi segera dilerai Warok Jogoboyo dan Satria
Gendeng. "Kira-kira, kapan Paman Warok berdua
akan segera mencari biang kutil itu?" letus Satria, tiba-tiba.
Bujubuneng! Satria menyebut Warok Dar-
mo Singo biang kutil di hadapan Warok Singo Lo-
dra" Sesesat-sesatnya Warok Darmo Singo bu-
kankah dia adik kandung Warok Singo Lodra"
Enteng betul mulut si bocah bau kencur itu. Ka-
lau Warok Darmo Singo biang kutil, lalu Warok
Singo Lodra apa" Kakeknya kutil" Atau rajanya
kutil" Tapi mana mau peduli si bocah bertabiat
sinting dengan segala ucapannya. Baginya, segala ucapan yang terlempar dari
mulutnya tak lebih
dari kentut yang berlalu begitu saja. Nyaris tanpa makna. Kecuali dalam hal-hal
tertentu. "Sebentar lagi kami berangkat, Satria. Sa-
saran pertama kami adalah Gunung Wilis. Kami
yakin, dia menuju ke sana," jawab Warok Singo Lodra, tak tersinggung adik
kandungnya dibilang
biang kutil. Baginya, julukan apa saja yang bu-
ruk-buruk bagi adik kandungnya tak cukup un-
tuk mengampuni perbuatan adiknya. Ganjaran
yang pantas bagi Warok Darmo Singo hanyalah
mati! Begitu tekadnya.
"Kau bersedia membantu kami, Satria?" se-la Warok Jogoboyo, menoleh pada si
bocah tengik. Dasar Satria. Tawaran Warok Jogoboyo ba-
ginya dianggap sebagai penghormatan besar. Pe-
rasaannya pun melambung. Dadanya sedikit te-
rangkat. Cuma karena tidak tahu harus bagaima-
na melampiaskannya, walhasil mulutnya hanya
cengar-cengir serba salah.
"Tentu, tentu, Paman. Sekuat tenaga aku
akan membantu kalian. Asal...."
Satria memenggal kata-katanya. Sengaja.
Entah, apa maksudnya.
"Asal apa, Satria?" tanya Warok Singo Lodra, penasaran.
"Asal Paman Warok berdua bisa mengenda-
likan diri masing-masing. Artinya, tak gampang
menjadi korban adu domba lagi," kata-kata Satria meluncur begitu saja dan seolah
ditujukan kepada kedua warok. Tapi justru yang blingsatan ma-
lah Warok Singo Lodra. Sebab, dialah orang keras kepala dengan menuruti bisikan
setan selama ini.
"Maksudku begini," Satria berusaha menjelaskan lebih lanjut, tak enak bila dia
menyinggung perasaan Warok Singo Lodra. "Jika Kalian berhadapan dengan Warok
Darmo Singo, yang ada di hadapan
kalian adalah kejahatan. Bukan Warok Darmo
Singo. Masalahnya, yang kita perangi adalah ke-
jahatan, bukan adik kandung Warok Singo Lodra.
Dan bukan mustahil, Warok Darmo Singo akan
mempersiapkan diri dengan siasat-siasat lain,
yang belum kita ketahui."
Mestinya, kedua warok amat marah dina-
sihati bocah kemarin sore di hadapan mereka ini.
Tapi, entah kenapa kedua warok ini memandang
Satria Gendeng bak layaknya seorang resi yang
membawa perbawa tinggi. Bahkan kepala mereka
manggut-manggut, seolah tengah berhadapan
dengan guru mereka sendiri. Edan! Malaikat ma-
na yang tengah merasuki si bocah bertabiat sint-
ing" "Kami mengerti, Satria. Mudah-mudahan kami bisa memandang lebih jeli dengan
siapa kami berhadapan, tanpa memandang siapa la-
wan. Kini, aku sendiri lebih mengerti, apa hidup sebenarnya. Bahwa hidup selalu
tak lepas dari persoalan. Dan setiap persoalan butuh penyele-
saian, kendati itu terasa pahit. Biar bagaimana-
pun kita harus menghadapinya. Sejak aku tahu
bahwa adikkulah yang menjadi pokok permasala-
hannya, aku telah bersumpah untuk mele-
nyapkannya. Aku tak peduli, siapa dia. Meski, dia adalah adik kandungku sendiri.
Karena aku juga
menyadari yang kuhadapi adalah kejahatan, bu-
kan adik kandungku," papar Warok Singo Lodra tegas. "Syukur kalau Paman Warok
Singo Lodra berpandangan demikian. Lalu, bagaimana dengan
Paman Warok Jogoboyo?" lempar Satria. Kepa-
lanya menoleh pada tuan rumah.
"Sebenarnya, hukum warok memang demi-
kian, Satria. Kami tak memandang siapa yang
bersalah. Kami hanya memandang kesalahannya.
Dan menurut kami, kesalahan Warok Darmo Sin-
go sudah di luar batas. Maka dengan amat ter-
paksa tanpa mengurangi rasa maafku pada Ka-
kang Warok Singo Lodra, aku harus membunuh-
nya," Warok Jogoboyo menatap Warok Singo Lodra. "Jangan bicara begitu, Adi Warok
Jogoboyo. Rasanya justru aku merasa malu terha-
dapmu. Seandainya nanti kau harus membunuh
adik kandungku di hadapanku, rasanya aku pun
ingin meludahi mayatnya. Bahkan rasanya itu be-
lum cukup. Kau tahu sendiri, anakku Nawangsih
telah dibuat gila olehnya," geram Warok Singo Lodra, bila mengingat perbuatan
Warok Darmo Sin-
go. "Gila" Siapa yang gila, Paman Warok?" malah Satria yang tercekat.
"Anakku, Satria. Nawangsih. Karena per-
buatan adik kandungku, Nawangsih kini kuung-
sikan di rumah kerabat istriku. Aku benar-benar
terpukul, Satria. Aku malu karena anakku gila...,"
desah Warok Singo Lodra, sarat kegalauan.
Satria manggut-manggut. Berat juga per-
soalan yang dihadapi kedua warok ini, katanya
dalam hati. Mereka sama-sama terkena musibah
akibat ulah biang kutil itu. Seperti apa sih orangnya" Rasanya tanganku sudah
gatal ingin mem-
brondoli bulu-bulunya. Tentu saja tidak untuk
bulu yang itu, lanjutnya, mesam-mesem sendiri.
"Kalau begitu, aku akan pergi ke rumah
Paman Warok Singo Lodra. Mudah-mudahan saja,
aku bisa menyembuhkan putri Paman," cetus Satria. "Apa"!" ledak Warok Singo
Lodra, kontan berdiri dari duduknya. Matanya melotot, nyaris
membuat jantung Satria copot. "Kau bisa me-
nyembuhkan anakku, Satria"!" lengaknya, nyaris tak percaya.
Menyesal Satria berkata begitu. Pelototan
Warok Singo Lodra tak sedikit banyak membuat
tangannya harus mengelus-elus dada. Kaget sih
kaget. Tapi jangan pakai melotot begitu, dong! Rutuk Satria dalam hati. Sudah
tampangnya seram,
pakai melotot lagi. Apa jadinya tak seperti gen-
druwo" "Ya, lihat saja nanti, Paman. Aku tak mau
membuat janji. Yang penting aku akan mengusa-
hakannya," sahut Satria, kalem.
"Oh, terima kasih. Terima kasih, Satria,"
ucap Nyai Gembili, terharu, seraya meremas-
remas tangannya sendiri. Maksudnya sih mau
meremas-remas Satria dalam pelukannya, tapi
rasanya suaminya bakal naik pitam.
Saking harunya, justru Warok Singo Lodra
yang menghampiri Satria. Dipeluknya si bocah
sakti tanah Jawa yang masih duduk di kursi ma-
kan. Tinggal Satria yang meringis-ringis, tergelitik oleh bulu-bulu lebat di
wajah Warok Singo Lodra.
"Terima kasih, Satria. Kalaupun kau tak
berhasil menyembuhkan anakku, aku tetap akan
menghargai usahamu. Niat baikmu menunjukkan
bahwa kau adalah pendekar sejati yang selalu pe-
duli pada kesulitan orang lain," ucap Warok Singo Lodra. "Dan aku juga akan
berterima kasih jika kau sudi menyingkirkan bulu-bulu dari wajahku,
Paman Warok. He he he.... Geli, tahu!" semprot Satria. "He he he.... Edan...,
edan. Heran. Aku kok tak bisa marah padamu, Can Bagus! Mungkin kalau orang lain
sudah kukemplang kepalanya bila
berani mengusik-usik bulu-buluku. Tapi terha-
dapmu?" Warok Singo Lodra melepaskan pelukan seraya menggeleng-geleng kepala.
"Tapi aku tak tahu ada di mana anakmu,
Paman?" tanya Satria.
"Kau bisa ke Ponorogo bersama istriku,"


Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata Warok Singo Lodra.
"Paman tak cemburu?" Satria melirik nakal pada Nyai Gembili yang masih terlihat
cantik, kendati usianya telah kepala empat.
"Aku sangat percaya padamu, Cah Bagus!"
"Kenapa Paman begitu percaya kepadaku?"
"Karena kau Satria Gendeng."
"Kalau aku bukan Satria Gendeng?"
"Pasti kau orang gendeng! Ha ha ha...."
* * * Kadipaten Ngawi pada waktu yang sama.
Sehabis makan siang. Adipati Suro Brajan
duduk bersama Panglima Adi Kencono di pendopo
keraton. Di sebelah sang Adipati duduk seorang
pemuda berpakaian kebesaran keraton. Sedang-
kan istri sang Adipati tak terlihat. Mungkin se-
dang berada di kaputren bersama putri perem-
puannya yang beranjak dewasa.
"Kau sekarang telah mengerti keadaan Na-
wangsih. Dan kau telah bertekad untuk tetap
menikahinya. Apa kau tak malu mempunyai istri
gila, Anakku?" tanya Adipati Ngawi, pada pemuda di sebelahnya.
Dialah Senoaji. Putra sang Adipati yang be-
lum lama pulang ke keraton setelah berguru ilmu
olah kanuragan di Padepokan Blambangan.
"Apa pun keadaan Nawangsih, aku tetap
akan menikahinya, Ayah. Aku yakin Gusti Yang
Maha Agung akan menyembuhkan Nawangsih,"
tegas Senoaji. Yakin, seyakin-yakinnya. Tutur katanya pun terdengar halus, tapi
mengandung ke- tegasan. "Aku kagum padamu, Anakku. Ternyata di
Blambangan kau tak hanya ditempa ilmu-ilmu si-
lat, tapi juga ditempa dengan sifat-sifat welas
asih. Kata-katamu benar-benar membanggakan-
ku, Anakku. Lalu, kapan kau akan pergi ke Pono-
rogo?" Mata sang Adipati berbinar-binar, meman-carkan rasa kekaguman yang tak
dibuat-buat. Tulus dari hatinya yang paling dalam.
"Mungkin sore nanti aku akan berangkat,
Ayah. Apakah Ayah tak keberatan?" sahut Senoaji, halus.
"Oh, tidak. Kendati rasa rinduku belum
habis, tapi demi memulihkan nama baikku di ha-
dapan Kakang Warok Singo Lodra, aku rela mele-
pasmu. Jaga nama baik Ayah di hadapan Warok
Singo Lodra. Sampaikan salam hormatku pa-
danya," Adipati Suro Brajan mengucek-ucek rambut panjang anaknya.
"Sekarang, aku mohon restu Ayah. Doakan
agar aku senantiasa dilindungi oleh-Nya," Senoaji mengatupkan kedua telapak
tangannya di depan
hidung. "Tentu, Anakku. Doaku selalu mengiringi
langkahmu. Dan kau bisa ditemani Panglima Adi
Kencono selama perjalananmu," Adipati Suro Brajan memandang lelaki gagah
berpakaian panglima
di hadapannya yang duduk bersila di lantai bera-
laskan permadani halus.
Senoaji memandang pula pada panglima
yang tengah menakupkan kedua telapak tangan
di depan hidung. Lalu bibir si pemuda tersenyum.
Sumringah sekali.
"Aku rasa tak perlu, Ayah," tolak Senoaji, membuat ayahnya terlengak.
"Apa maksudmu, Anakku" Perjalanan me-
nuju Ponorogo cukup berbahaya. Perampok yang
dipimpin Tentara Langit masih berbahaya di Hu-
tan Wonocolo. Sedangkan kau mau pergi seorang
diri?" terabas sang Adipati.
"Maksudku bukan apa-apa, Ayah. Justru
kalau aku ditemani Paman Panglima Adi Kencono
malah menarik perhatian mereka. Maka untuk
itu, aku akan menyamar sebagai rakyat jelata.
Apakah Ayah tak keberatan?"
Sejenak Adipati Suro Brajan tercenung. Bi-
sa jadi pendapat anaknya benar. Sebab, kebanya-
kan para perampok di Hutan Wonocolo telah
mengenali wajah Panglima Adi Kencono. Begitu
seringnya sang Panglima menyatroni hutan itu,
membuat wajahnya gampang dikenali. Lain hal-
nya Senoaji. "Bagaimana, Ayah?" usik Senoaji.
"Kalau itu sudah jadi tekadmu, aku menu-
rut saja. Aku yakin kau tak sia-sia memperdalam
ilmu-ilmu silat dan kesaktian di Blambangan.
Doaku menyertaimu," desah sang Adipati.
"Oh, terima kasih, Ayah...." Senoaji bangkit, lalu memeluk erat-erat ayahnya.
TIGA TOKOH tua mana yang tak mengenal Ma-
nusia Sesat Kaki Empat"
Kalau bisa mundur seratus tahun lalu,
maka dunia persilatan tak akan lupa dengan se-
pak terjang Manusia Sesat Kaki Empat. Boleh di-
bilang, tokoh itu adalah datuknya kaum sesat di
kawasan Jawa bagian Timur. Konon, ia berasal
dari tanah Bali. Atau tepatnya di Gunung Agung.
Begitu menginjakkan kakinya di Banyuwangi, pe-
taka pun dibuatnya. Sejarah kelam pun ditoreh-
nya dalam dunia persilatan. Dengan alasan yang
hanya sepele, tangan kejamnya pun bisa mema-
kan korban jiwa. Bahkan hanya persoalan kentut
sekalipun! Pernah suatu kali, Manusia Sesat Kaki
Empat bertandang ke sebuah desa di Banyuwan-
gi. Di sebuah kedai, kebetulan dia berpapasan
dengan seorang lelaki tua yang kebelet buang air besar lantaran sakit perut. Si
tua itu tanpa sengaja kentut di hadapan Manusia Sesat Kaki Empat.
Tak ayal lagi, tangannya pun melayang tanpa be-
las kasihan. Sekali kepruk, nyawa si tua itu tercabut! Sepak terjang Manusia
Sesat Kaki Empat
berlanjut. Akibatnya membuat kepala Adipati Ba-
nyuwangi puyeng senat-senut. Bahkan kemudian
di kadipaten itu berjangkit sebuah penyakit men-
gerikan, akibat ulah racun yang ditebarkan Ma-
nusia Sesat Kaki Empat di sungai yang menjadi
sumber kehidupan rakyat Banyuwangi.
Untuk menghentikan sepak terjang Manu-
sia Sesat Kaki Empat, Adipati Banyuwangi lantas
meminta bantuan Resi Kalangwan. Dan lewat se-
buah pertarungan sengit, Manusia Sesat Kaki
Empat bisa dikalahkan. Maka sejak itu si tokoh
sesat lenyap entah ke mana. Tak berbekas, bagai
kentut yang meletus dari pantat. Terbawa angin,
lalu lenyap tak tahu juntrungannya.
Tak ada yang tahu kalau kemudian Manu-
sia Sesat Kaki Empat bersembunyi di Lembah Ke-
ramat, kecuali orang-orang tertentu di kalangan
tokoh sesat. Kalaupun Warok Darmo Singo bisa tahu
tentang tempat tinggal Manusia Sesat Kaki Em-
pat, maka itu tak lain dari cerita guru sesatnya yang bergelar Iblis Rogo
Jembangan. Secara kebetulan, ketika Warok Darmo
Singo tiba di Lembah Keramat, sebuah suara te-
lah menuntunnya. Membawanya ke hadapan to-
koh yang diharapkan bisa membantu dirinya.
Manusia Sesat Kaki Empat.
Waktu terus bergulir.
Seperti air mengalir.
Hari-hari lalu mulai tersingkir.
Lama berpikir, akhirnya Warok Darmo Sin-
go memutuskan untuk menjadikan Manusia Se-
sat Kaki Empat sebagai guru terakhir. Tekadnya
sudah bulat. Hatinya membaja
"Aku telah membuat keputusan untuk
menjadi muridmu, Manusia Sesat Kaki Empat,"
putus Warok Darmo Singo waktu itu, ketika lelaki tua kurus berkaki empat di
hadapannya menjelaskan asal-usul dirinya.
"Bagus ... bagus.... Kau tak salah pilih. As-al tahu saja, aku telah memperdalam
sebuah ilmu hitam yang dapat kau gunakan untuk menghada-
pi musuh-musuhmu, Kau mau?" lanjut Manusia
Sesat Kaki Empat.
Warok Darmo Singo mengangguk cepat.
Karena, memang itu yang diharapkannya.
"Tapi ada syaratnya...," sambung lelaki tua keropos itu.
"Apa syaratnya?"
"Cari mayat perawan yang meninggal tak
lebih dari setengah purnama. Dan, bawa mayat
itu ke sini," jelas Manusia Sesat Kaki Empat, gamblang.
Warok Darmo Singo melengak. Susah
payah dia menelan ludahnya sendiri. Matanya
mendelik. Bibir tebalnya meringis jelek.
"A..., apa... ada syarat lain?" gagapnya.
Segarang-garangnya Warok Darmo Singo,
kalau berurusan dengan gali kubur hatinya ke-
bat-kebit juga. Memang, dia sudah sering melihat mayat-mayat dari orang-orang
yang dibunuhnya.
Tapi kalau melihat mayat yang telah lama dipen-
dam dalam tanah"
"Kalau kau minta syarat lain, enyah saja
dari hadapanku!" semprot Manusia Sesat Kaki Empat, enteng.
"Tap..., tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian! Cari mayat tepat
pada tengah malam. Terserah, di kuburan mana
kau cari. Pastikan kalau mayat itu masih pera-
wan. Kau sanggup"!" tekan Manusia Sesat Kaki Empat, lebih galak lagi nada
suaranya. Biji matanya nyaris melompat keluar.
Tak ingin berbelit-belit, kepala Warok Dar-
mo Singo mengangguk-angguk. "Sang..., sang-
gup!" katanya. Hati ciutnya berusaha dikembang-kan. "Nah, pergilah sekarang
juga. Kuberi kau waktu selama lima hari. Lewat dari hari yang ku-tentukan,
jangan bermimpi bisa berguru dengan-
ku!" "Baiklah, Manusia Sesat Kaki Empat," baru saja Warok Darmo Singo hendak
bangkit.... "Hei, Slompret!" bentak lelaki tua kropos.
Tercekat, Warok Darmo Singo menahan ge-
rakannya. Lalu, kembali duduk bersila seperti ta-di.
"Mana hormatmu terhadap gurumu"!" le-
dak si tua berkaki lebih.
"Oh, maaf. Sembah hormatku padamu,
Guru," ucap lelaki tinggi besar itu seraya menakupkan kedua tangan di depan
hidung. Lalu tu-
buhnya berbalik, meninggalkan ruangan goa ini.
Untuk menuntun jalan dalam kegelapan, dica-
butnya obor yang menancap di dinding.
* * * Siang terik. Dua sosok manusia gagah menempatkan
telapak tangannya di jidat. Tatapan mereka tera-
rah ke puncak Gunung Wilis yang tinggi menju-
lang seolah hendak menggapai langit. Keduanya
sama-sama mengenakan pakaian komprang war-
na hitam tanpa dikancingi. Seolah hendak me-
mamerkan bulu-bulu lebat di dada kekar mereka.
Celana mereka berwarna sama, juga terlihat
komprang. Wajah mereka pun sama-sama ditum-
buhi bulu-bulu lebat. Yang membedakan satu
sama lain, yang seorang bertubuh lebih tambun.
Siapa mereka"
Siapa lagi mereka kalau bukan Warok Sin-
go Lodra dan Warok Jogoboyo" Dua warok satu
perguruan yang belum lama diadu domba oleh
Warok Darmo Singo, adik kandung Warok Singo
Lodra sendiri" (Baca episode : "Pertunangan Berdarah").
"Kau yakin Darmo Singo ada di sana, Ka-
kang?" buka Warok Jogoboyo. Mata jelinya mengarah ke puncak Gunung Wilis.
"Kalau keparat itu sudah mendapatkan
dua potongan lempeng logam warisan Guru kita,
ke mana lagi tujuannya?" tukas Warok Singo Lodra, yakin sekali.
"Aku heran, bagaimana Darmo Singo bisa
tahu kalau kita memiliki peta itu, Kakang?"
"Tak usah heran, Adi. Kalau kita tahu
bahwa Iblis Rogo Jembangan masih hidup, kehe-
rananmu akan terjawab."
"Maksudmu" Kau curiga bahwa di balik pe-
ristiwa ini, Iblis Rogo Jembangan adalah dalang-
nya?" "Tepat. Karena, siapa lagi manusia sesat yang mengetahui tentang lempeng
logam warisan Guru kita kalau bukan dia?"
"Jadi dugaanmu, Warok Darmo Singo telah
berguru pada Iblis Rogo Jembangan?"
"Kau tepat lagi. Sebenarnya sudah lama
aku curiga padanya. Terutama ketika dia mem-
bawa-bawa senjata pusaka Keris Klabang Ijo yang
kita ketahui milik Iblis Rogo Jembangan. Semula
aku tak peduli, karena kupikir itu urusannya.
Dan lagi saat itu dia sedang patah hati, setelah cintanya ditolak oleh seorang
gadis," papar Warok Singo Lodra.
Sejenak suasana jadi mati. Alam seolah
membisu. Angin gunung mendesah-desah, me-
nerpa wajah mereka. Warok Singo Lodra men-
gembuskan napas sesak. Dadanya menggelegak
bila mengingat perbuatan adik kandungnya.
"Ternyata ketidakpedulianku membawa pe-
taka. Aku tahu, tabiat adik kandungku beberapa
tahun ini. Begitu brangasan. Tapi sungguh tak
kuduga kalau tindakannya telah terlalu jauh. Aku benar-benar menyesal, Adi,"
desah Warok Singo Lodra. "Sudahlah, Kakang. Aku sendiri telah ik-hlas dengan
kepergian istri dan anakku. Aku ya-
kin, semua ini karena kehendak Yang Maha Kua-
sa. Jadi kau tak perlu menyesal lagi, Kakang.


Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang penting sekarang, kita harus memerangi ke-
jahatan yang dilakukan Darmo Singo, seperti kata bocah digdaya bernama Satria
itu," hibur Warok Jogoboyo.
"Kau benar, Adi. Rasanya kita tak perlu
menyesali apa yang telah terjadi. Hhmmmh! Aku
tak akan peduli, siapa yang akan kuhadapi. Meski harus berhadapan dengan adik
kandungku sekalipun!" geram Warok Singo Lodra.
"Sekarang, mari kita melanjutkan perjala-
nan, Kakang," ajak Warok Jogoboyo.
Tak menjawab, Warok Singo Lodra segera
menggebah kuda kekarnya. Gerakannya segera
diikuti Warok Jogoboyo.
Tapi baru saja beberapa tarikan napas me-
reka menggebah....
Wrrrr...! "Awas, Adi!"
"Hih!"
Satu sambaran angin menderu. Memburu.
Membawa satu ancaman maut dengan se-
bentuk kekuatan dahsyat. Tapi, kedua warok tak
kalah sigap. Tangkas, keduanya melenting dari
punggung kuda yang masih berlari kencang. Di
udara, mereka berputaran lalu meluruk turun ke
bumi. Di tanah, keduanya segera mengedarkan
pandangan. Mata besar mencorong mereka men-
delik, mencari-cari siapa orang yang berani usil terhadap mereka.
Sebuah pohon yang terhantam angin men-
deru tadi kontan tumbang. Menciptakan suara
gemuruh. Batang pohon yang jadi sasaran tam-
pak hangus. Jelas, angin menderu yang agaknya
dari sebuah pukulan jarak jauh itu dilepaskan
oleh seseorang yang memiliki kepandaian tinggi.
Kalau saja kedua warok itu tidak bertindak sigap, bisa dipastikan akan mengalami
nasib serupa seperti pohon tadi.
Selagi kedua warok masih mengedarkan
pandangan.... "Dilarang memasuki kawasan Gunung Wi-
lis...." Sebuah suara serak dan kasar menahan gerak kepala kedua warok.
Tersentak, mereka
lantas saling berpandangan. Suara tadi seperti
dari belakang. Tapi ketika tadi mereka melihat ke belakang, tak sepotong manusia
pun ada di sana.
Lantas, siapa yang bersuara"
Penasaran, Warok Singo Lodra dan Warok
Jogoboyo saling mengadu punggung sambil terus
mengedarkan pandangan. Tapi, tak juga ditemu-
kan orang yang bersuara tadi.
"Tikus brewok macam kalian sebaiknya ce-
pat menyingkir dari sini, sebelum kesabaranku
habis!" Kembali suara serak dan kasar menyentak.
Membuat kegeraman kedua warok mulai mengge-
legak. Bagi mereka, manusia yang tak mau me-
nampakkan diri setelah melepas serangan gelap
adalah pengecut. Dan kedua warok ini paling ti-
dak sudi dipermainkan oleh pengecut busuk!
"Siapa pun kau, keluar pengecut busuk!
Kami tak punya waktu untuk mengurusi manusia
pengecut macam kau!" sembur Warok Singo Lo-
dra, tak kuasa menahan kegeraman. Gelegar sua-
ranya bagai hendak menohok langit. Menggema,
menyebar ke segala penjuru. Matanya sendiri te-
lah memerah, menyiratkan kemarahannya. Urat-
urat lehernya mengembung dengan gigi bergemu-
lutuk. "Kalian menantangku?" leceh suara serak.
"Jika kau mengusik kami, apa salahnya?"
sambut Warok Jogoboyo.
"Mendiang guru kalian si tua keropos Resi
Kalangwan saja belum bisa mengalahkanku. Kini
kalian hendak menantangku. Sebenarnya, aku
masih penasaran dengan si tua keparat Kalang-
wan. Sayang, dia keburu mampus. Mungkin seka-
rang tinggal tengkorak, ya?" Suara serak tadi kembali bernada melecehkan.
Kembali, kedua warok itu tersentak. Seti-
daknya, mereka mulai bisa menerka suara siapa
yang terdengar. Apakah mungkin musuh besar
guru mereka telah hadir pula di Gunung Wilis"
Lantas, kenapa yang muncul bukan Warok Dar-
mo Singo" "Aku tahu, siapa kau, Keparat"! Apa uru-
sanmu mencegah kami memasuki kawasan Gu-
nung Wilis ini"!" ledak Warok Singo Lodra.
'"Asal kalian tahu saja, sejak hari ini Gu-
nung Wilis telah menjadi wilayah kekuasaanku!"
"Apa hakmu mengangkangi wilayah ini"
Sejak dulu, Gunung Wilis adalah tempat di mana
Guru kami bersemayam. Tempat itu terlalu suci
untuk diinjak oleh manusia macam kau! Sudah-
lah, keluar saja dari tempat persembunyianmu,
Iblis Rogo Jembangan! Cepat atau lambat, kami
akan menemukanmu!" dengus Warok Singo Lo-
dra. "Itu berarti kalian menginginkan kematian kalian sendiri!"
"Terserah, apa anggapan mu!"
Brosss! Kata-kata terakhir Warok Singo Lodra dis-
ambut oleh buncahan tanah ke udara tepat lima
tombak di hadapan kedua warok. Bersama teba-
ran tanah ke udara, melesat satu bayangan hi-
tam. Beberapa kali si bayangan hitam berputa-
ran, lalu mendarat empuk di bumi. Tatapan nya-
langnya langsung menghujam pada kedua warok
di hadapannya. "Iblis Rogo Jembangan...." Meski telah menduga siapa orang yang bersuara tadi,
tak urung nama itu meluncur dari bibir kedua warok
secara berbarengan....
EMPAT SATRIA dan Nyai Gembili akhirnya tiba di
tempat tujuan. Dari Kadipaten Trenggalek ke Ka-
dipaten Ponorogo jika memotong jalan lewat Bukit Munthang hanya memerlukan
perjalanan setengah harian. Itu kalau mereka menggunakan ilmu
lari cepat. Dan pada kenyataannya memang de-
mikian. Semula Satria tak tahu, siapa Nyai Gembili.
Dikiranya, wanita berusia kepala empat itu hanya ibu rumah tangga biasa. Dan si
pemuda jadi amat
tercengang ketika Nyai Gembili mengajaknya ber-
lari sambil mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh. "Kau..., kau tak salah, Nyai?" perangah Satria, waktu itu.
"Memang kenapa" Kau pikir hanya kaum
lelaki saja yang bisa berlari cepat" Ayolah, Satria.
Jangan membuat kepercayaanku meluntur," de-
sak Nyai Gembili. Maksudnya dia ingin menguji
Satria. Sebab selama ini dia hanya mendengar da-
ri mulut ke mulut saja tentang kepandaian si
anak muda bau kencur. Bukan membuktikannya
secara langsung.
"Ah, Nyai. Kau ada-ada saja. Kepercayaan
apa yang Nyai maksudkan?" Satria berpura-pura.
"Jangan berlagak pilon, Cah. Suamiku per-
nah bilang kalau kau adalah pendekar hebat di
tanah Jawa. Tapi itu belum cukup untuk mem-
buatku percaya. Apalagi kau berniat menyem-
buhkan anakku. Di rumah Adi Warok Jogoboyo
aku bisa percaya dengan omonganmu. Tapi di sini
nanti dulu. Aku perlu bukti dulu dengan menga-
jak mu berlari cepat. Kau setuju" Bila kau meno-
lak, lebih baik urungkan niatmu untuk mengobati
anakku. Biar aku mencari tabib yang lebih sakti
ketimbang berhadapan dengan bocah kemarin
sore," cecar Nyai Gembili.
"Kepandaian seseorang bukan untuk di-
pamerkan, Nyai. Tapi diamalkan," kilah si bocah bau kencur, bijak.
"Tapi bagaimana aku bisa tahu kalau kau
memiliki kemampuan sedangkan untuk kuajak
berlari cepat saja kau menolak?" cecar Nyai Gembili, keras kepala.
Satria hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Kepala batu juga perempuan ini, rutuknya. Mu-
lutnya meringis. Bukan karena takut kalah, tapi
karena dugaannya terhadap Nyai Gembili meleset
amat jauh. Dan melihat perempuan tua itu men-
desaknya terus-menerus, si anak muda merasa
yakin kalau wanita itu ternyata tak bisa dianggap sembarangan.
"Bagaimana, Cah Bagus?" cetus Nyai Gembili, menggusur lamunan Satria.
"Larilah lebih dulu, Nyai," sahut Satria enteng. Kali ini malah Nyai Gembili
yang tercekat. "Kau..., kau tak salah, Cah Bagus" Kau menyuruhku lari lebih dulu?" gagapnya.
"Lho..." Nyai ini bagaimana, sih" Tadi me-
nantangku, sekarang malah seperti ayam kesam-
bet?" celoteh Satria.
"Bukan begitu. Tapi apakah kau tak takut
kalah?" tukas Nyai Gembili.
"Kalah menang soal belakangan. Nah, lari-
lah lebih dulu," tekan Satria.
"Baiklah kalau begitu."
Di ujung kalimatnya, perempuan itu lang-
sung mengempos semangatnya. Sekali sentak,
tubuhnya telah melesat cepat bagai anak panah
dilepaskan dari busur. Membelah udara bebas,
memangkas angin yang menerpa ke arahnya.
Si anak muda bertabiat sinting hanya
menggeleng-geleng kepala melihat semangat Nyai
Gembili yang menggebu-gebu. Keras juga ke-
mauan perempuan itu, katanya membatin. Entah
apakah buah kelapa di dadanya masih sekeras
kemampuannya" Eh, kenapa aku jadi ngomong
melantur begini" Habis, walaupun sudah beru-
mur, wajahnya masih kelihatan cantik, sih! Kalau tak ingat Paman Warok Singo
Lodra sudah ku...,
he he he.... Bisa ngeres juga otakku. Jangan-
jangan, aku ketularan Kakek Dongdongka" Tapi
memang bisa jadi. Biar sudah keropos begitu, Ka-
kek Dongdongka bisa ijo juga bila melihat tunggir besar! Dalam hati, si anak
muda bertabiat sinting menghitung. Tepat sampai hitungan keseratus,
tubuhnya meletik ke atas pohon. Sehimpun ke-
kuatan pun dikerahkan ke kedua kakinya disertai
ilmu meringankan tubuh. Lalu tubuhnya melesat
ke pohon lain, searah dengan kepergian Nyai
Gembili tadi. Dari pohon itu, tubuhnya kembali
melesat ke pohon lain. Begitu seterusnya.
Hanya beberapa tarikan napas, dari atas
pohon Satria Gendeng sudah bisa menangkap ke-
lebatan tubuh Nyai Gembili. Di bawah sana, tam-
pak si perempuan sebentar-sebentar menoleh ke
belakang. Ketika matanya tak menangkap tubuh
Satria, samar-samar senyumnya mengembang.
Hatinya sudah merasa yakin kalau Satria tak
mampu mengalahkannya.
Satria Gendeng mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh setinggi mungkin. Sehingga ketika
melewati lesatan tubuh Nyai Gembili, gerakannya
tak tertangkap sedikit pun oleh si perempuan ke-
ras kepala. Bahkan ketika Bukit Munthang telah
terlewati, Nyai Gembili masih mengira kalau la-
wannya telah tertinggal jauh di belakang.
Memasuki Kadipaten Ponorogo, Satria
Gendeng menghentikan lesatan tubuhnya. Di de-
kat pintu gerbang kadipaten, dia turun dari atas pohon. Ditunggunya Nyai Gembili
di jalan utama kadipaten. Dia yakin istri Warok Singo Lodra itu akan melewati jalan ini.
Benar saja. Lamat-lamat, mata si anak muda menang-
kap bayangan ramping menuju ke arahnya. Ce-
pat, Satria bersembunyi di balik gerbang yang berupa gapura dari batu.
Saat itu, Nyai Gembili sudah berjalan se-
perti biasa. Dia tak ingin menarik perhatian pen-duduk kadipaten dengan lari
cepatnya. Dan keti-
ka satu tombak lagi sampai di dekat gerbang....
"Apa kabar, Nyai. Tak ada gangguan dalam
perjalanan?" Tiba-tiba Satria nongol dari balik gerbang. Bibirnya tersenyum-
senyum nakal. Tinggal Nyai Gembili yang terlongong bengong. Ma-
tanya mendelik dengan mulut terbuka. Untung
saja tak ada lalat jahil yang berniat memasuki
mulutnya. "Kau..., kau.... Kenapa bisa begitu...?" gagapnya, setelah bisa menguasai
keadaan. "Ya bisa saja. Memangnya kenapa" Aneh"
Ah, sudahlah Nyai. Ayo tunjukkan, di mana Na-
wangsih diungsikan?" tepis Satria terhadap keheranan Nyai Gembili.
Masih dengan rasa penasaran, Nyai Gembi-
li melangkah. Satria menjajari. Sesekali matanya melirik ke wajah perempuan di
sampingnya yang
masih terlihat merah dadu. Agaknya rasa malu
belum terusir dari hatinya.
Sementara, Nyai Gembili seolah masih be-
lum mempercayai kekalahannya dari si pemuda
bau kencur. Kepalanya menggeleng-geleng lemah,
Edan! Rutuknya, membatin. Kini aku benar-benar
yakin, siapa Satria sesungguhnya. Ah, kalau saja Nawangsih tidak dipinang oleh
Senoaji, aku mau
memungut anak muda tampan ini menjadi man-
tuku.... * * * Tidak. Warok Singo Lodra dan Warok Jogo-
boyo tak gentar barang sedikit pun ketika seorang lelaki tua berkepala botak
telah berdiri di hadapan mereka. Matanya bulat besar, nyaris keluar
dari rongganya. Hidungnya lebar. Ketika meringis, gigi-giginya lancip seperti
mata gergaji. Tidak berpakaian, kecuali pada bagian terlarangnya yang
hanya ditutupi kulit kayu. Yang menjadi ciri
khasnya, kedua manik matanya berbentuk seperti
mata kucing. Dia memang Iblis Rogo Jembangan!


Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He he he.... Rasa penasaranku terhadap
guru kalian bisa ku tuntaskan pada kalian. Seka-
ligus, untuk mencegah kalian memasuki wilayah
yang sekarang sudah menjadi milikku," celoteh Iblis Rogo Jembangan.
"Mestinya kau tahu, Keparat! Gunung Wilis
adalah tempat asal kami. Di sana telah berse-
mayam jasad Guru kami. Dan tak seorang pun
boleh mengutak-atik kesuciannya!" damprat Wa-
rok Singo Lodra.
"Tak ada yang bisa menghalangi niatku,
Tikus-tikus Brewok! Kalau kalian tak terima, silakan hadapi aku," tantang Iblis
Rogo Jembangan, jumawa.
"Sebelum kami membuat perhitungan den-
ganmu, aku ada pertanyaan buatmu," timpal Warok Jogoboyo, kalem.
"Apa"!"
"Apa hubunganmu dengan Warok Darmo
Singo?" "O, dia. Si tikus clurut itu kini telah menjadi murid murtadku. Dia telah
berkhianat kepa-
daku. Dan aku wajib membunuhnya. Sayang,
waktu itu dia mampu melarikan diri dari tangan-
ku," sahut Iblis Rogo Jembangan, makin memperlihatkan kepongahannya. "Kalau tak
salah, murid murtadku itu adik salah satu dari kalian yang
bernama Warok Singo Lodra. Yang mana Warok
Singo Lodra" Tunjuk tangan!"
Memerah wajah Warok Singo Lodra. Kata-
kata Iblis Rogo Jembangan membuat kupingnya
terasa panas. Cuping hidungnya jadi kembang-
kempis mendengus-dengus bagai banteng liar.
Memang benar, Warok Darmo Singo adik kan-
dungnya. Tapi kalau disuruh tunjuk tangan begi-
tu" Sama saja si tua keropos itu sengaja hendak
menginjak-injak harga dirinya!
"Kelihatannya tingkahmu semakin tengik
saja, Orang Tua Keparat! Dan kami tidak tinggal
diam melihat tingkah busukmu. Kini sudah jelas,
siapa yang jadi biang keladi kerusuhan di Kadipaten Ponorogo dan Trenggalek.
Sekarang kami akan menagih tanggung jawabmu!"
Di ujung kalimatnya, Warok Singo Lodra
melompat ke kiri. Lincah, dibuatnya kuda-kuda
kokoh setelah melepas cemeti Buntut Kelabang
miliknya yang sekaligus menjadi ikat pinggang.
Cletarrr...! Udara seolah robek oleh sambaran cemeti
yang dilecutkan Warok Singo Lodra. Menghadapi
lawan yang nyaris setara dengan mendiang gu-
runya, lelaki brewokan ini tak mau bertindak
tanggung-tanggung lagi. Senjata pusakanya lang-
sung dikerahkan. Karena menurutnya, orang ma-
cam Iblis Rogo Jembangan pun akan bertindak
sama. Cletarrr...!
Sama halnya Warok Singo Lodra, Warok
Jogoboyo pun telah melepas cemeti Buntut Kela-
bang miliknya yang sekaligus sebagai ikat ping-
gang. Dia pun cukup tahu, siapa Iblis Rogo Jem-
bangan. Untuk itu, dia tak ingin bertindak setengah-setengah. Suara cemetinya
pun memangkas udara, membawa hawa kematian.
Kedua warok itu sama sekali tak mempe-
dulikan kalau beberapa hari yang lalu mereka te-
lah bertarung habis-habisan. Luka dalam mereka
belum lagi pulih. Sekarang, mereka harus berta-
rung dengan salah satu datuk sesat yang kepan-
daiannya nyaris setara dengan mendiang guru
mereka. Memang, waktu itu Satria sempat memberi
obat pulung pada kedua warok untuk mengobati
luka dalam sehabis bertarung di Bukit Munthang.
Tapi kemudian disarankan agar kedua warok itu
segera bersemadi. Sayang, saran Satria tak begitu ditanggapi, karena mereka
merasa sudah baik-kan. Tapi untuk menghadapi tokoh sesat berke-
pandaian tinggi macam Iblis Rogo Jembangan je-
las membutuhkan pengerahan tenaga dalam se-
tinggi-tingginya. Dan kalau hal itu sampai terjadi, ibarat meniupkan udara pada
plembungan yang
sudah terisi penuh oleh udara.
Sesuatu yang dipaksa memang akan
menghasilkan risiko tinggi. Tapi kedua warok tak peduli. Mereka telah mematok
harga mati. Siapa
saja yang berani mengusik kesucian puncak Gu-
nung Wilis, berarti mati. Apalagi, orang itu ternyata biang keladi.
"Heaaa...!"
Berkawal bentakan merobek angkasa, Wa-
rok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo melompat
bersamaan. Menerjang dengan satu sambaran
cemeti yang menjilat-jilat angkasa.
Cletarrr...! "Hih!"
Saling bersahutan, salakan cemeti kembali
terdengar. Sambarannya mengincar kepala dan
dada Iblis Rogo Jembangan. Hendak dirancahnya
tubuh keropos si lelaki sesat.
Tapi, Iblis Rogo Jembangan bukan tokoh
kemarin sore. Seujung jari lagi kedua cambuk
menyengat, dibuangnya tubuh ke belakang. Keti-
ka kakinya sampai di tanah setelah membuat pu-
taran beberapa kali, tubuhnya langsung menghu-
jam tanah, masuk ke perut bumi. Lalu hilang tak
berbekas! Tinggal kedua warok yang celingukan. Me-
reka cepat menghampiri tempat Iblis Rogo Jem-
bangan menembus tanah tadi. Mestinya, tanah
bekas dihujam tubuh sebesar itu akan mencipta-
kan lubang. Tapi pada kenyataannya, seolah ta-
nah-tanah itu bisa seperti diuruk kembali.
Belum habis keheranan kedua warok, dari
belakang.... Bross...! Bed...! Di belakang mereka, Iblis Rogo Jembangan
tiba-tiba muncul dalam jarak lima tombak. Kedua
tangannya langsung menghentak ke depan, mele-
pas pukulan jarak jauh.
Merasakan desir angin panas dari bela-
kang, kedua warok tercekat. Kini mereka tahu,
dengan cara inilah Iblis Rogo Jembangan menye-
rang mereka tadi. Pantas tadi mereka mencari-
cari, tapi tak berhasil menemukan orang yang
menyerang, sebelum Iblis Rogo Jembangan me-
nampakkan diri.
Tak gampang menaklukkan kedua warok
begitu saja. Sebelum angin panas menghantam,
Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo meng-
hentakkan kedua kaki. Saat itu juga tubuh mere-
ka meletik ke atas, menghindari serangan.
Angin panas terus menderu ke depan.
Menciptakan suara menggetarkan. Memangkas
udara, lalu menghantam sebuah pohon cukup
besar. Blarrr...!
Tepat ketika kedua warok mendarat di ta-
nah, menghadap ke arah serangan, pohon yang
terkena sasaran nyasar kontan tumbang. Seperti
tadi, batang pohonnya terlihat berlubang dan
hangus. Si pemilik pukulan jarak jauh sendiri telah
kembali amblas ke dalam bumi, menghilang bagai
tikus tanah. Dengan memasang pendengaran tajam
yang diarahkan ke permukaan bumi, kedua wa-
rok berusaha melacak keberadaan Iblis Rogo
Jembangan. Kening mereka berkerut dalam den-
gan kepala agak miring. Memang terdengar suara
bergemuruh di dalam bumi. Sepertinya, Iblis Rogo Jembangan tengah menggangsir
tanah dengan kecepatan tinggi. Mirip tikus yang tengah mencari jalan di dalam tanah.
Tiba-tiba.... Tap! "Heh"!"
Tahu-tahu kedua kaki Warok Joboyo telah
tercengkeram dua tangan yang menjulur dari
permukaan tanah. Begitu cepat, sehingga lelaki
tambun itu tak sempat mengelak.
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya,
Warok Jogoboyo berusaha melepaskan diri. Na-
mun, usahanya menemui jalan buntu. Agaknya,
tenaga dalam Iblis Rogo Jembangan dua tingkat
di atasnya. Di tempatnya, Warok Singo Lodra terperan-
jat begitu menyadari bahwa adik seperguruannya
menemui bahaya. Bahkan kini dengan amat ce-
pat, kaki Warok Jogoboyo telah terbenam hingga
lutut. Sebisanya, Warok Singo Lodra menangkap
kedua tangan Warok Jogoboyo setelah menye-
lipkan gagang cemetinya ke pinggang.
"Tahan, Adi! Pegang tanganku kuat-kuat.
Kerahkan tenaga dalammu!" perintah Warok Sin-go Lodra.
Sungguh serangan seperti ini di luar perki-
raan kedua warok. Sewaktu mereka mendapat se-
rangan gelap dengan cara aneh tadi, sebenarnya
mereka cukup terkejut kalau yang berbuat adalah
Iblis Rogo Jembangan. Setahu mereka, lelaki tua
keropos itu belum memiliki ajian amblas bumi
seperti ini. Tapi nyatanya"
"Ah, Kakang! Tarikan dari bawah begitu
kuat! Aku sudah mengerahkan tenaga dalam
sampai setinggi mungkin. Tapi semakin banyak
kukerahkan, dadaku terasa nyeri sekali. Kita terlalu bodoh, Kakang. Kita tak
menggubris saran
pendekar muda itu," rintih Warok Jogoboyo. Mulutnya meringis-ringis dengan mata
menyipit. Su- sah payah dia berusaha bertahan, tapi per-lahan
tapi pasti tubuhnya makin terbenam dalam ta-
nah. Padahal, Warok Singo Lodra telah berusaha
membantu menariknya ke atas. Juga, dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi!
"Jangan patah semangat, Adi! Bertahanlah.
Aku tak akan membiarkanmu mati secara seperti
ini!" Warok Singo Lodra terus memberi semangat pada adik seperguruannya. Tapi,
usahanya sia-sia saja. Tetap saja tubuh Warok Jogoboyo kian terbenam. Bahkan
sekarang sudah mencapai kedua
pahanya. "Ha ha ha.... Dua tikus brewokan kalang
kabut dijemput maut. Sudah kubilang, kalian tak
lebih dari tikus-tikus korengan yang belum pan-
tas menghadapiku...."
Samar-samar, terdengar suara melecehkan
Iblis Rogo Jembangan. Sungguh suatu kepan-
daian yang luar biasa. Bagaimana mungkin bila
tubuhnya berada di dalam tanah, tapi masih bisa
mengirimkan suara ke permukaan bumi. Bahkan
mungkin, untuk menggerakkan bibir saja susah
bukan kepalang. Tapi lelaki sesat itu"
"Iblis keparat! Bertarunglah secara jantan!
Jangan jadi pengecut begini!" teriak Warok Singo Lodra, kalut bukan main. Malah
tanpa dapat di-cegahnya, tubuh Warok Jogoboyo telah terbenam
sampai dada! Mengenaskan sekali nasib adik se-
perguruan Warok Singo Lodra itu kali ini. Wajah-
nya telah terlihat memerah. Mulutnya makin me-
ringis-ringis dahsyat. Napasnya mendengus-
dengus. Giginya bergemelutukan. Dia berusaha
bertahan, tapi sia-sia.
Semakin lama, tubuh Warok Jogoboyo te-
lah terbenam sampai ke leher. Warok Singo Lodra
sendiri nyaris putus asa. Perasaannya jadi tak karuan. Tak tega dia melihat
nasib adik sepergu-
ruannya. Tapi tiba-tiba....
Bross! Entah bagaimana, tahu-tahu tubuh Warok
Jogoboyo begitu ringan bisa ditarik keluar. Bah-
kan kemudian....
"Aaakh...!"
Ada apa gerangan"
LIMA SETELAH mengambil Nawangsih di rumah
salah satu kerabatnya, Nyai Gembili segera me-
nyerahkannya pada Satria Gendeng untuk dioba-
ti. Ketika bertemu si pemuda, Nawangsih melihat
seolah-olah wajah Satria adalah wajah Senoaji.
Langsung diterkamnya si anak muda. Dihuja-
ninya wajah Satria dengan ciuman-ciuman ganas.
Satria sejenak gelagapan. Namun cepat
tangannya bergerak menotok. Tiga kali totokan,
membuat si gadis kontan tak berdaya. Barulah
ketika Nawangsih ditidurkan di pembaringannya,
Satria Gendeng bisa memulai pengobatan.
Sebagai murid Tabib Sakti Pulau Dedemit,
Satria pun diturunkan ilmu totokan untuk mem-
buka aliran urat-urat syaraf. Sehingga ketika
mengobati Nawangsih, diterapkannya semua ilmu
totokan untuk membuka urat-urat syaraf yang
mengganggu alam pikiran si gadis.
Hanya sekali pandang saja, si anak muda
perkasa tahu kalau penyebab gilanya Nawangsih
bukan karena mengetahui bahwa dia gagal meni-
kah dengan Senoaji, tapi juga pengaruh totokan
di bagian kepala belakangnya. Satria menduga
demikian, karena sewaktu Nawangsih menubruk-
nya, gerakan kepalanya, terlihat kaku. Bisa jadi, sebelum Nawangsih ditotok pada


Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagian kepalanya, dia terlebih dulu dijejali oleh cerita tentang kegagalan
pernikahannya. Walhasil, begitu dia
tertotok, yang menyangkut dalam ingatannya
hanya bayangan Senoaji.
Selesai diobati, Nawangsih tergolek ping-
san. Dan Satria segera meninggalkannya. Begitu
tiba di ambang pintu kamar, Nyai Gembili cepat
menyambutnya. "Bagaimana, Satria" Apakah Nawangsih bi-
sa kau sembuhkan?" sodor Nyai Gembili, tak sabar. "Tenang, Nyai. Aku belum bisa
memastikan. Tunggu saja sampai dia siuman. Terlalu pagi kalau aku bilang bahwa
Nawangsih sudah sembuh. Kalau dia sudah siuman, baru bisa dilihat,"
tukas si anak muda, kalem.
Nyai Gembili menghembuskan napas kece-
wa. Tarikan pada wajahnya menyiratkan demi-
kian. Tanpa kata, diterobosnya masuk ke dalam
kamar Nawangsih. Satria sendiri segera melang-
kah menuju ruang tengah.
Baru saja Nyai Gembili duduk di sisi pem-
baringan.... "Ohh...."
Satu desahan halus terlontar dari bibir me-
rah merekah Nawangsih. Kepalanya membuat ge-
rakan lemah. Lalu perlahan-lahan matanya mem-
buka. Pandangannya masih samar-samar. Lamat-
lamat, terlihat sebuah bayangan di depan wajah-
nya. Bayangan yang amat dikenalnya.
"Ibu...?" sebut Nawangsih begitu pandangannya mulai menjelas.
Nyai Gembili tersentak. Keharuan dan ke-
gembiraan bergumul menjadi satu dalam hatinya.
Ditubruknya si anak dengan segala ungkapan ka-
sih sayang. "Anakku.... Kau sudah sembuh, Nak?"
Meski sudah tahu kalau anaknya telah siuman
pertanda kesembuhannya, masih saja pertanyaan
itu meluncur dari bibir Nyai Gembili.
"Memangnya aku kenapa, Bu?" aju Na-
wangsih. Tinggal si ibu gelagapan. Mau bilang bahwa
anaknya gila, jelas tak mungkin. Bisa jadi Na-
wangsih bakal terpukul hatinya. Dan Nyai Gembi-
li jadi cengar-cengir serba salah.
"Kau pingsan berkepanjangan, Anakku,"
katanya, berdusta.
"Kenapa aku sampai pingsan" Setahuku, di
kamar ini hanya ada Paman Warok Darmo Singo.
Dia menceritakan kepadaku bahwa Senoaji telah
berkhianat terhadapku. Dan katanya, aku batal
dinikahi oleh Kangmas Senoaji. Benarkah itu,
Bu?" tuntut Nawangsih, menggebu-gebu.
"Pamanmu berdusta, Anakku," sergah Nyai Gembili, tak ingin bercerita banyak-
banyak karena khawatir anaknya akan terpukul.
"Kata Paman Warok Darmo Singo, Kang-
mas Senoaji akan menikah dengan Ratna Kuma-
la, anak Paman Warok Jogoboyo" Dan ayah ka-
tanya mau membuat perhitungan pada Kangmas
Senoaji serta Paman Warok Jogoboyo" Benarkah
itu, Ibu?" cecar Nawangsih.
Kembali Nyai Gembili gelagapan. Bingung
dia menjawabnya.
"Sekarang apa yang kau rasakan, Anak-
ku?" Nyai Gembili mengalihkan perhatian.
"Rasanya badanku berangsur-angsur mulai
segar, Bu. Ketika Paman Warok Darmo Singo ber-
cerita, dia mengelus-elus kepalaku dengan kasih
sayang. Lalu aku merasakan kepalaku pusing
bukan main. Tak lama kemudian, aku tak ingat
apa-apa lagi, kecuali wajah Kangmas Senoaji. Itu saja," papar Nawangsih.
Nyai Gembili makin yakin bahwa yang me-
nyebabkan Nawangsih gila tak lain adalah adik
kandung suaminya sendiri. Karena nafsu setan
telah menguasai hatinya, keluarga sendiri tega-
teganya dijadikan korban.
"Nah sekarang kau beristirahatlah dulu.
Ibu akan mengambil makan untukmu. Kau mau?"
ujar Nyai Gembili.
"Aku belum lapar, Bu. Oh, ya. Ayah mana"
Apakah Ayah jadi menyatroni Paman Warok Jo-
goboyo?" tanya Nawangsih.
"Ayahmu sedang berziarah ke makam gu-
runya di Gunung Wilis bersama Warok Jogoboyo,"
sahut Nyai Gembili, hati-hati.
"Mereka tidak bertarung?"
Nyai Gembili menggeleng lemah. "Tak ada
pertarungan di antara mereka. Ayahmu dan Pa-
man Warok Jogoboyo telah seperti saudara kan-
dung." Nawangsih mengerutkan keningnya. Heran.
Tapi sebelum dia mengajukan pertanyaan, ibunya
telah berlalu dari kamarnya. Seolah takut disodori pertanyaan-pertanyaan yang
membuat dadanya
sesak. Betapa tidak" Peristiwa demi peristiwa
yang terjadi akibat ulah Warok Darmo Singo be-
nar-benar menyesakkan dadanya!
Tiba di luar kamar, Nyai Gembili menuju
ke ruang tengah. Tapi di sana dia tidak menemu-
kan Satria lagi.
Ke mana bocah itu"
Penasaran, Nyai Gembili keluar rumahnya.
Kepalanya celingukan di luar. Tak juga terlihat
batang hidung si bocah bau kencur. Satria meng-
hilang tanpa meninggalkan pesan. Seperti kentut.
Muncul begitu saja tanpa permisi, menghilang be-
gitu saja meninggalkan bau.
Slompret juga itu anak. Datang ke rumah
orang, pulang tanpa mohon pamit. Untung saja
dia telah berjasa pada Nyai Gembili. Kalau tidak, Nyai Gembili bakal mencapnya
sebagai bocah yang tak punya sopan santun. Tapi, bocah ma-
cam Satria mana kenal sopan santun" Bahkan
tabiatnya cenderung sinting. Bisa jadi tabiat Dedengkot Sinting Kepala Gundul
menurun ke pa- danya. Nyai Gembili melihat ada seorang tetang-
ganya tengah menumbuk padi di halaman sebe-
rang rumahnya. Seorang wanita berusia cukup
tua. Dihampirinya si wanita tua.
"Kau tak melihat seorang pemuda berpa-
kaian rompi putih keluar dari rumahku, Nini?"
tanyanya, ketika berada di pinggir jalan depan
rumahnya. "Rambutnya panjang berwarna kemera-
han?" Si perempuan tua berusaha meyakinkan.
"Ya! Ke mana dia?"
"Aku tadi melihat dia keluar dari rumah-
mu. Lalu, dia pergi ke arah utara," sahut si perempuan tua.
Nyai Gembili mengarahkan pandangannya
ke utara. Tak ada tanda-tanda bayangan tubuh si
pemuda. Begitu cepat perginya Satria. Nyai Gem-
bili jadi teringat kekalahannya dalam mengadu
ilmu lari cepat dengan si pemuda perkasa. Wajar
saja kalau Satria begitu cepat menghilang....
* * * Kembali ke kaki Gunung Wilis.
Apa yang terjadi pada pertarungan antara
Warok Singa Lodra dan Warok Jogoboyo melawan
Iblis Rogo Jembangan"
Satu lengking kesakitan terdengar. Men-
goyak ketegangan dua warok yang nyaris putus
asa. Asalnya bukan dari mulut Warok Jogoboyo.
Dan itu disadari betul oleh Warok Singo Lodra.
Karena saat menarik adik seperguruannya tadi,
tak terdengar suara apa pun dari mulut Warok
Jogoboyo. Lantas dari mulut siapa"
Tepatnya, memang dari mulut Iblis Rogo
Jembangan. Karena sebentar kemudian permu-
kaan tanah tak jauh dari kedua warok membun-
cah ke angkasa. Bersamaan dengan itu, terlihat
tubuh Iblis Rogo Jembangan mencelat ke angka-
sa. Disusul kemudian, mencelat pula satu sosok
tubuh dari lubang yang sama! Siapakah dia"
"Hei, Tikus Tanah! Jangan lari kau! Aku
belum puas memencet benda keramatmu!" seru
sosok tubuh keropos yang muncul belakangan.
Iblis Rogo Jembangan sendiri masih merin-
gis-ringis ketika sampai di bumi. Kedua telapak
tangannya membekap benda keramatnya yang
tadi dipencet lelaki tua keropos berkepala gundul yang kini telah berdiri di
depannya. "Setan kau, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul! Mengapa kau mencampuri urusanku!"
geram Iblis Rogo Jembangan, memaki kalang ka-
but. Untung saja, benda keramatnya tak sempat
pecah saat dipencet oleh lelaki gundul yang tak
lain Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala
Gundul. Setan apa yang membuat Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul ada di kaki Gunung Wilis"
Bahkan tiba-tiba muncul di dalam tanah, lang-
sung memamerkan kesintingannya. Tapi, siapa
yang peduli Dongdongka mau muncul di mana"
Wong manusia macam dia saja sudah diibaratkan
bagaikan manusia setengah siluman" Mau mun-
cul lubang kubur kek, di kolong ranjang pengan-
tin kek, mana mau Dongdongka peduli"
"Aku mencampuri urusanmu dengan apa"
Dengan tai kambing" Atau dengan tai sapi" Yah,
siapa tahu rasanya tambah sedap. Nah, kau ma-
kanlah sendiri!" balas Dongdongka, seenaknya.
Panas telinga Iblis Rogo Jembangan men-
dengar kata-kata sengak Dedengkot Sinting Kepa-
la Gundul. Namun menghadapi sesepuhnya para
sesepuh dunia persilatan, nyalinya terdepak en-
tah ke mana. Dia cukup tahu diri, siapa Dong-
dongka. Manusia langka tahan mati yang paling
ditakuti oleh golongan sesat. Menghadapi Resi Kalangwan, Iblis Rogo Jembangan
boleh berimbang.
Dan terakhir malah dia kalah, kemudian kembali
muncul setelah memperdalam ilmu sesatnya.
Sayang, Resi Kalangwan telah mati. Tapi untuk
menghadapi Dongdongka, Iblis Rogo Jembangan
mesti menelan ludah beberapa kali. Itu pun den-
gan susah payah.
"'Sayang, aku tak punya waktu untuk
menghadapimu, Tua Busuk!" desis Iblis Rogo
Jembangan, menyembunyikan ketakutannya.
"Jadi, kapan kau punya waktu" Kapan...,
kapan" Ayo bilang padaku! Terus terang, aku be-
lum puas meremas benda keramatmu!" seru
Dongdongka, bak bujangan menagih janji pada
kekasihnya. "Suatu waktu, Tua Keparat! Suatu waktu
aku harus membalas perlakuanmu!"
"Perlakuanku" Bukankah perlakuanku
mengenakkanmu" Malah tadi kulihat kau merem-
melek. Asyik, kan?" ledek Dongdongka.
Karena untuk melawan sudah tak punya
nyali, Iblis Rogo Jembangan berbalik. Sekali ka-
kinya menyentak, tubuhnya telah melesat me-
ninggalkan tempat ini. Membawa dendam menda-
lam pada lelaki buluk bernama Dedengkot Sinting
Kepala Gundul. "Terima kasih, Panembahan. Kau telah
menyelamatkan nyawa kami berdua...."
Sebuah suara berat perlahan membuat si
tua buluk berbalik. Keningnya langsung berkerut, menatapi Warok Singo Lodra yang
bersuara tadi. Sedangkan Warok Jogoboyo tengah bersemadi,
setelah tadi habis-habisan mengerahkan tenaga
dalamnya. "Siapa kau, Manusia Bulu?" Seenaknya
Dongdongka memanggil Warok Singo Lodra den-
gan julukan seperti itu. Sambil berkata begitu,
bambu tipis di tangan kirinya diketuk-ketukkan
ke kepalanya yang licin tidak berbulu.
"Saya Warok Singo Lodra. Dan itu, adik se-
perguruan saya, Warok Jogoboyo," sahut Warok Singo Lodra. Tak tersinggung dia
dibilang Manusia Bulu oleh manusia lapuk di depannya.
"Hmmm, ya. Apakah kalian tahu, di mana
makam si Kalangwan manusia sok suci itu?"
tanya Dongdongka dingin.
Tercekat Warok Singo Lodra. Nada suara
lelaki lapuk itu terdengar dingin. Seolah, ada persoalan antara Dedengkot
Sinting Kepala Gundul
dengan Resi Kalangwan, gurunya. Setahuku, De-
dengkot Sinting Kepala Gundul adalah tokoh pu-
tih, walaupun tabiatnya rada sinting" Tanya Wa-
rok Singo Lodra, membatin. Bahkan dia juga guru
dari anak muda yang memisahkan pertarunganku
dengan Warok Jogoboyo" Tapi, kok dia mengata-
kan kalau Resi Kalangwan sebagai manusia sok
suci" Apakah dia ada persoalan dengan guru"
Kalau dia ada persoalan, kenapa mesti
mencari makamnya" Dan berarti, dia tahu kalau
guru sudah mati. Lanjut batin Warok Singo Lo-
dra. Mau apa dia ke makam guru" Mau mengo-
brak-abrik"
"Aku tak menyuruhmu melamun, Manusia
Bulu?" sentak Dongdongka, menggusur lamunan Warok Singo Lodra. "Aku menyuruhmu
menjawab pertanyaanku, heh"! Ayo, jawab!"
"Maaf, Panembahan, makam Guru kami
berada di puncak Gunung Wilis itu," Warok Singo Lodra menunjuk ke arah gunung.


Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kira-kira, ada keperluan apa Panembahan mengunjungi makam
Guru Kami?"
"Bodoh..., bodoh!"
"Siapa yang bodoh, Panembahan?"
"Kau!" tunjuk Dongdongka, seenaknya.
Merah wajah Warok Singo Lodra. Mestinya,
dia berhak marah dan menghajar Dongdongka.
Tapi, lelaki brewok ini sangat tahu, siapa Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Sabar..., sabar.... Hi-burnya dalam hati.
"Tolong tunjukkan kebodohan saya, Pa-
nembahan," pinta Warok Singo Lodra, tetap berusaha bersabar.
"Itu, benda keramatmu kelihatan, Goblok!"
tunjuk Dongdongka ke arah bagian bawah Warok
Singo Lodra. Lelaki tinggi besar itu melirik ke bawah.
Dan..., ya ampun! Celana komprangnya telah me-
lorot tanpa disadari! Mendelik kedua biji mata
Warok Singo Lodra. Cepat ditariknya celana yang
melorot. Cengar-cengir, lelaki tinggi besar itu
memandang Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"He he he.... Keasyikan, ya" Manusia Bu-
lu..., Manusia Bulu. Ternyata bulu-bulumu men-
jalar tak karuan, ya" Kok, kenapa aku begitu gersang, ya?" oceh Dongdongka,
mulai ngeres otak-nya. "Maaf, Panembahan. Saya benar-benar tak menyadari," ucap
Warok Singo Lodra, gugup.
Bagaimana Warok Singo Lodra sampai tak
tahu kalau celananya melorot"
Awalnya, dari kedatangan Dongdongka ke
tempat ini. Lelaki buluk itu sebenarnya hendak
menziarahi makam Resi Kalangwan di Gunung
Wilis. Cuma, dia tak tahu di mana letak yang pas-ti. Ketika baru tiba di kaki
gunung, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul melihat Warok Singo Lodra
tengah menarik Warok Jogoboyo. Menduga ada
sesuatu di dalam bumi, dengan kepandaiannya
yang amat tinggi, si tua buluk segera amblas ke
bumi. Perut bumi digangsirnya, hingga sampai ke
arah Iblis Rogo Jembangan yang tengah menarik
Warok Jogoboyo. Begitu sampai, langsung dipen-
cetnya benda keramat milik Iblis Rogo Jemban-
gan. Begitu pegangan Iblis Rogo Jembangan pa-
da Warok Jogoboyo terlepas, Warok Singo Lodra
dapat menarik adik seperguruannya ke permu-
kaan bumi. Tapi sayang, tangan kiri Warok Jogo-
boyo terlepas dari pegangan. Karena kaget bisa
terlepas tiba-tiba, tangan kiri Warok Jogoboyo
tanpa sengaja menarik celana komprang Warok
Singo Lodra. Dan itu tidak disadari Warok Singo
Lodra, sampai terlihat oleh Dongdongka.
"Eh, tadi kau bilang, kalian murid dari si
Kalangwan sok suci itu, ya?" Dongdongka mengalihkan pembicaraan.
"Benar, Panembahan," sahut Warok Singo Lodra. "Kalau begitu, kau bisa
mengantarku ke makamnya. Aku mau menziarahinya," pinta si tua buluk, seenaknya.
"Bagaimana dengan adik seperguruan
saya, Panembahan?" Warok Singo Lodra melirik Warok Jogoboyo yang masih
bersemadi. "Tinggalkan saja di sini. Kuntilanak juga
ketakutan melihat wajahnya," sahut Dongdongka.
Lagi-lagi seenaknya. Serba salah Warok Singo Lo-
dra. Bila tak mau, yang meminta adalah kenalan
gurunya. Dengan menziarahi makam Resi Ka-
langwan, Warok Singo Lodra yakin kalau Dong-
dongka adalah kawan dekat gurunya. Dan bila dia
bersedia mengantarkan, hatinya tak tega pada
Warok Jogoboyo yang agaknya terluka dalam cu-
kup parah. "Kau mengkhawatirkan adik seperguruan-
mu?" Dongdongka tahu gelagat.
"Benar, Panembahan," desah Warok Singo Lodra. "Percayalah.... Dalam sepuluh
hitungan dia pasti sudah selesai bersemadi...," paksa Dedengkot Sinting Kepala
Gundul. Belum juga Warok Singo Lodra menya-
hut.... "Tinggalkan aku. Kakang. Antarkan Panembahan Dongdongka ke makam Guru,"
belum sampai sepuluh hitungan, Warok Jogoboyo telah
bersuara. Lega hati Warok Singo Lodra.
"Apa kubilang...?" lonjak Dongdongka.
ENAM KADIPATEN Trenggalek. Malam menawar-
kan kebencian hampir pada setiap makhluk. Alam
seolah menggeliat. Angin mendengus-dengus,
menerpa pepohonan hingga meliuk-liuk. Kegela-
pan mengurung permukaan bumi. Bulan yang
hanya sepotong tak berdaya terkepung gerombo-
lan awan hitam. Bak tangan-tangan iblis hendak
menjamah sang Dewi Malam. Bintang gemintang
sendiri nyaris bernasib sama. Kecuali pada ca-
krawala di bagian barat yang hanya tersaput
awan putih. Tak jauh dari pemakaman umum di pinggi-
ran Kadipaten Trenggalek, sebuah bayangan hi-
tam bergerak menembus kegelapan. Langkahnya
Pendekar Elang Salju 1 Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis Kekaisaran Rajawali Emas 5
^