Pencarian

Pertunangan Berdarah 2

Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah Bagian 2


"Maaf, Kanjeng. Tolong panggil aku Satria,"
ralat si pendekar muda.
"Baik, Satria. Kau berhasil melumpuhkan
beberapa anak buah Tentara Langit, itu suatu
bukti bahwa kemampuanmu memang dibutuhkan
di kadipaten ini. Untuk itu, atas nama rakyat kadipaten, aku mengharapkan
kesediaanmu ikut
menumpas gerombolan perampok yang dipimpin
Tentara Langit. Di samping itu, ada juga gerombolan perampok yang dipimpin Warok
Singo Lodra. Sebenarnya, gerombolan ini yang paling berba-
haya. Sebab, dipimpin oleh jawara tak tertandingi dari Kadipaten Ponorogo. Aku
sendiri tak tahu,
kenapa Warok Singo Lodra jadi berubah haluan
seperti itu," papar Adipati Suro Brajan.
"Maksud Kanjeng?" tanya Satria.
"Dia dikenal sebagai jawara beraliran putih.
Tapi entah kenapa berubah menjadi seorang pe-
mimpin perampok."
"Sudah ada buktinya kalau Warok Singo
Lodra menjadi pemimpin perampok?"
"Sudah. Dari penuturan salah seorang
anak buahnya sebelum tewas di tangan Warok
Jogoboyo dari Kadipaten Trenggalek."
"Itu belum bisa menjadi pegangan, Kan-
jeng," sergah Satria, terus terang.
"Maksudmu?"
"Apakah Kanjeng akan percaya begitu saja
kata-kata yang keluar dari mulut seorang peram-
pok." Sang Adipati terdiam. Semua terdiam.
Apakah tindakanku selama ini salah" Se-
buah pertanyaan tiba-tiba muncul di benak Adi-
pati Suro Brajan.
ENAM BUKIT Munthang. Langit cerah. Bulan me-
rekah. Tapi, alam mulai resah.
Dua manusia bertubuh besar berpakaian
serba hitam berdiri saling berhadapan. Wajah ke-
duanya sama-sama dihiasi brewok lebat. Mata
merah mereka saling bertatapan. Perlahan namun
pasti, masing-masing mulai menggeser langkah
secara melingkar, memutari ajang pertarungan
yang siap digelar. Siapakah mereka"
Lelaki yang bertubuh lebih tambun adalah
Warok Jogoboyo. Seorang jawara tak tertandingi
dari Kadipaten Trenggalek. Wajahnya yang ber-
jenggot panjang tampak tegang. Matanya nyaris
tak berkedip mengikuti setiap gerak langkah lela-ki besar di depannya.
Di depan Warok Jogoboyo sudah pasti Wa-
rok Singo Lodra. Lelaki tinggi besar inilah yang menantang Warok Jogoboyo untuk
bertarung di Bukit Munthang. Sebuah bukit yang biasa digu-
nakan kaum warok untuk menyelesaikan masa-
lah di antara mereka, secara jantan.
"Mengapa persaudaraan kita berakhir seca-
ra demikian, Kakang?" Suara menggelegar Warok Jogoboyo terdengar. Ada nada
penyesalan dalam
suaranya. "Jangan lagi kau memanggilku Kakang!
Tak ada lagi persaudaraan di antara kita! Gara-
gara ulah mu, anakku gila, tahu"!" jawab Warok Singo Lodra, tak kalah
menggelegar. "Kenapa aku yang kau salahkan?"
"Jangan pura-pura tak tahu. Kau sengaja
menanam budi pada adipati Ngawi, agar anakmu
dinikah dengan putranya. Padahal kau tahu, Na-
wangsih telah dilamar Senoaji. Bahkan adipati
sendiri telah berkirim surat padaku!"
"Itu sudah keputusan Kanjeng Adipati
Ngawi. Hal itu terjadi, karena kau telah membuat persoalan dengannya. Asal kau tahu, Warok Singo
Lodra! Anakku Ratna Kumala pun tewas di tan-
gan anak buahmu!" tunjuk Warok Jogoboyo, gusar bukan main.
Warok Singo Lodra nyaris terlonjak. Kaget
juga hatinya mendengar berita yang tak disangka-
sangka. Bukan saja kematian Ratna Kumala yang
membuatnya kaget, tapi tuduhan kalau dia seba-
gai dalang pembunuhan itu yang membuatnya
tersentak. Kedua biji matanya nyaris keluar, seolah tak percaya dengan apa yang
didengarnya. "Dua kali kau membuatku murka, Warok
Jogoboyo. Pertama kau membuatku malu dengan
mengacaukan rencanaku menikahi Nawangsih.
Kedua, kau memfitnahku. Apa persoalanku den-
gan adipati sialan itu"! Lalu, kapan aku menyu-
ruh anak buahku membunuh putrimu" Tudu-
hanmu tak beralasan, Warok Jogoboyo!" sergah Warok Singo Lodra.
"Kau telah merampok Kanjeng Adipati
Ngawi beberapa waktu yang lalu. Dan empat hari
yang lalu, kau telah menyuruh anak buahmu
membunuh putriku, karena kau marah lantaran
Nawangsih tak jadi menikah dengan Senoaji," papar Warok Jogoboyo.
"Setan! Kau memfitnahku, Kunyuk!"
Bentakan menggelegar Warok Singo Lodra
membelah keheningan malam. Saking marahnya,
tenaga dalamnya pun tersalur dalam bentakan
tadi. Untungnya Warok Jogoboyo telah siaga pula
dengan menyalurkan tenaga dalam pada kedua
kupingnya. Wajah Warok Singo Lodra mengelam. Urat-
urat matanya memerah. Lehernya mengembung,
siap meledakkan amarah membuncah.
"Persoalan harus segera dituntaskan, Wa-
rok Jogoboyo. Aku tak peduli lagi kalau kita bekas satu seperguruan. Kini,
terimalah kematianmu.
Keaaa...!"
Sebuah terjangan ganas dibuat Warok Sin-
go Lodra. Begitu tubuhnya berada di udara, ke-
dua kepalan tangannya yang besar membuat be-
berapa gerakan di depan dada.
"Kheaaa...!"
Tak mau kalah, Warok Jogoboyo menyen-
tak kedua kakinya. Tubuhnya juga mencelat. Ka-
rena sama-sama dari satu perguruan, maka jurus
yang dibuatnya pun sama dengan lawan. Kedua
tangannya juga membuat beberapa gerakan di
depan dada. Di udara, pukulan keduanya saling berte-
mu. Plak! Plak!
Sejauh tiga tombak, masing-masing terpen-
tal ke belakang. Amat deras. Lalu mantap sekali mereka sampai di bumi. Kini,
keduanya saling
menatap tajam. Siap membuka jurus baru.
Pertarungan hidup mati siap berlanjut.
Siapakah yang bakal menemui ajal" Pa-
dahal yang dipersoalkan bisa diselesaikan secara baik-baik. Asal, kedua pihak
sama-sama berkepa-la dingin. Tapi itulah yang terjadi...
* * * Kadipaten Ngawi di pagi hari,
Masih seperti dulu. Tetap ramai oleh orang
yang hilir mudik. Sebagian mencari nafkah, seba-
gian lagi sekadar iseng-iseng cuci mata.
Di keraton sendiri justru saat ini tengah
terjadi ketegangan. Ketika Adipati Ngawi baru saja menjamu sarapan Satria
Gendeng, seorang prajurit melaporkan bahwa ada utusan dari Warok Jo-
goboyo. Si utusan mengabarkan bahwa Ratna
Kumala telah tewas dibunuh. Konon menurut ka-
bar dalang semua itu adalah Warok Singo Lodra.
Tapi tak lama berselang, prajurit lain men-
gabarkan bahwa istri Warok Singo Lodra datang
menghadap. Menurut si prajurit, kedatangan Nyai
Gembili adalah dengan maksud menjelaskan apa
yang terjadi di antara kedua warok yang tengah
berseteru itu. Di pendopo, Adipati Suro Brajan terpaksa
mengadakan pertemuan dengan orang-orang yang
bersangkutan. "Nyai Gembili! Apa yang menyebabkan su-
amimu menantang Warok Jogoboyo?" tanya Adi-
pati Ngawi. "Ampun kanjeng. Hamba telah membujuk
suami hamba untuk membatalkan pertarungan-
nya dengan Warok Jogoboyo. Tapi Warok Darmo
Singo, adik ipar hamba, membujuknya. Bahkan
hamba sampai diusir oleh Kakang Warok Singo
Lodra. Adapun persoalannya, suami hamba mera-
sa malu, karena gagal menikahi putri kami den-
gan putra Kanjeng," Jelas Nyai Gembili.
"Lho" Bukankah aku pernah menyurati
suamimu bahwa pertunangan itu dibatalkan. Hal
itu karana suamimu dicurigai sebagai dalang pe-
rampokan terhadapku" Apakah surat itu belum
sampai, Nyai?" Kening sang Adipati berkerut.
"Setahu hamba, sejak Kanjeng menyurati
kami tentang pinangan itu, tak ada lagi surat
yang datang. Dan bukannya hamba membela su-
ami hamba, terus terang Kang Warok Singo Lodra
sudah sekian tahun tak keluar rumah, sampai
kabar tentang pernikahan antara putra Kanjeng
dengan putri Warok Jogoboyo sampai di telinga
kami," papar Nyai Gembili.
"Lantas, siapa yang mengabarkan kalau
anakku akan menikahi Ratna Kumala?"
"Kalau tak salah, adik ipar hamba sendiri.
Warok Darmo Singo."
Adipati Ngawi terhenyak. Perasaannya jadi
tak enak. "Maaf, Kanjeng. Boleh hamba menyela?"
Satria merapatkan kedua tangan di depan hi-
dung. "Silakan..., silakan, Satria," sambut Adipati Suro Brajan,
"Menurut hamba, ada orang yang sengaja
mengadu domba kedua warok itu," Satria berhenti sebentar. Hening.
"Lanjutkan, Satria," pinta Adipati Ngawi.
"Entah apa maksudnya, yang jelas si pen-
gadu domba telah sengaja membuat suasana jadi
keruh. Kalau dipikir-pikir, surat pemberitahuan
pembatalan pinangan itu pasti jatuh ke tangan
orang yang tak berhak. Entah dengan cara apa.
Yang jelas, si orang itu mengabarkan lagi, hingga sampai ke telinga Warok Singe
Lodra," papar Sa-
tria. Adipati Ngawi makin tertarik dengan penjelasan gamblang Satria Gendeng.
Sungguh tak disangka kalau bocah pemuda itu mempunyai
otak seencer bubur. Sebening permata, dan seta-
jam pisau. "Lalu?" pinta tang Adipati lagi. Senyum cerah menghias bibirnya.
"Seperti yang pernah hamba jelaskan wak-
tu itu, mestinya kita tak mudah percaya dengan
omongan penjahat," jelas Satria. Maksudnya bukan menyindir, Adipati Ngawi. Tapi
tetap saja wajah lelaki tampan itu memerah.
"Bisa jadi, orang yang merampok Kanjeng
waktu itu memang sengaja menyebar fitnah den-
gan mengatakan bahwa Warok Singo Lodra seba-
gai dalangnya. Dan orang itu pasti sudah tahu
tentang akan adanya pernikahan yang akan ter-
jadi." Kali ini, utusan Warok Jogoboyo yang memerah wajahnya. Seolah kata-kata
Satria barusan ditujukan kepadanya.
"Tapi anak buah Warok Singo Lodra telah
membunuh Ratna Kumala!" sentak si utusan,
saking geregetannya.
"Sabar, Kisanak. Aku belum selesai," potong Satria. Bibirnya melepas senyum
cerah. "Harap berlaku sopan di tempat ini," sela Panglima Adi Kencono, seraya menatap
si utusan tadi. "Boleh kulanjutkan?" tanya Satria.
"Silakan, Satria," terabas Adipati Ngawi.
Makin tertarik saja
"Begini. Kelihatannya, si pengadu domba
cukup lihai. Selain mengadu domba antara Kan-
jeng Adipati dengan Warok Singo Lodra, juga
mengadu domba antara Warok Singo Lodra den-
gan Warok Jogoboyo. Si pengadu domba menyu-
ruh apak buahnya menyatroni Warok Jogoboyo,
lalu membunuh Ratna Kumala. Tentu saja keda-
tangan mereka di situ dengan membawa-bawa
nama Warok Singo Lodra. Bukankah dengan begi-
tu makin sempurna kerja si pengadu domba?"
papar Satria lagi
Sekali lagi, Adipati Ngawi geleng-geleng ke-
pala mendengar penjelasan panjang lebar Satria
yang amat gamblang. Sungguh dikaguminya ke-
cerdasan si anak muda. Di sisi keeping hatinya
yang paling dalam, timbul penyesalan, kenapa
waktu itu dia terburu-buru membatalkan perni-
kahan anaknya dengan anak Warok Singo Lodra
hanya karena pengakuan para perampok yang
tewas di tangan Warok Jogoboyo. Kenapa dia tak
mengirim utusan kembali ke rumah Warok Singo
Lodra, setelah utusan pertama tak kembali pu-
lang untuk mengabarkan hasilnya. Kenapa waktu
itu..., ah! Sehimpun penyesalan terbangun di da-
lam dada sang Adipati. Tapi bukankah penyesa-
lan datangnya belakangan"
"Yang penting sekarang kita mencari tahu,
siapa orang yang mengadu domba antara aku,
Warok Singo Lodra, dan Warok Jogoboyo," cetus
Adipati Suro Brajan. "Apakah kau punya gambaran siapa orang yang mengadu domba,
Satria?" Mata sang Adipati menatap si anak muda perka-


Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sa. "Kalau itu, hamba tak berani menuduh,
Kanjeng. Memang ada dalam benak hamba orang
yang mengadu domba. Tapi rasanya tak baik di-
utarakan di sini. Bukankah sebaiknya kita tanya-
kan langsung pada kedua warok yang bersangku-
tan?" lempar Satria.
Tatapan Adipati Ngawi lalu berpindah pada
Nyai Gembili. "Nyai, kapan suamimu akan me-
nantang Warok Jogoboyo?" tanyanya langsung
"Kalau tak salah tepat pada malam purna-
ma," sahut Nyai Gembili
"Kapan datangnya malam purnama?" susul sang Adipati.
"Semalam, Kanjeng," Satria yang menya-
hut. "Apa..."!"
* * * Kembali ke Hutan Wonocolo
Siraman matahari pagi tak sampai ke per-
mukaan, terhadang rimbunnya daun-daun hutan
jati. Tak jauh dari mulut hutan, seorang lelaki
tinggi besar berjalan gagah. Pakaiannya kom-
prang warna hitam. Juga celananya. Wajahnya
penuh brewok lebat. Alis matanya yang besar juga lebat. Kepalanya yang besar
ditutup blangkon
warna hitam. Penampilannya memang bergaya
warok. Tapi dia memang seorang warok. Namanya
Warok Darmo Singo.
Di belakang Warok Darmo Singo berjalan
sepuluh orang lelaki gagah. Pakaian mereka serba hitam, namun terlihat ketat.
Wajah mereka kasar, menyiratkan kebengisan. Sesungguhnya, anak
buah Warok Darmo Singo berjumlah lima belas
orang. Tapi beberapa waktu yang lalu, lima orang dari mereka yang mendapat tugas
merampok di Hutan Wonocolo terlibat bentrokan dengan pen-
dekar muda bernama Satria Gendeng. Ketika Wa-
rok Darmo Singo kembali ke hutan setelah menja-
lankan siasatnya, dia hanya menemukan dua
anak buahnya terluka parah. Dua lagi tewas den-
gan anak panah menembus punggung. Sedang-
kan yang seorang lagi lenyap entah ke mana.
Dengan pertimbangan bahwa kedua anak
buahnya yang terluka parah akan merepotkan,
Warok Darmo Singo tanpa belas kasihan meng-
habisi nyawa mereka
"Ha ha he.... Kita akan kaya raya, Kawan-
kawan. Menurut guruku, kedua lempengan logam
ini berisi peta harta karun," kata Warok Darmo Singo sambil memperlihatkan kedua
potongan lempengan logam di tangannya. "Kedua warok
bodoh itu telah kita perdayai. Mungkin mereka telah mampus di Bukit Munthang.
Dan, tinggal kita
yang mengeruk hasilnya. Ha ha ha.... Sementara,
Adipati Ngawi kini sedang uring-uringan, karena
tak jadi menikahkan anaknya. Ha ha ha...!" Tawa
Warok Darmo Singo disambut tawa meriah sepu-
luh lelaki yang tak lain anak buahnya.
Dua potongan lempeng logam di tangan
Warok Darmo Singo sebenarnya tak cuma berisi
peta harta karun, tapi juga peta tempat penyim-
panan sebuah kitab berisi ilmu tingkat tinggi
Kedua lempengan logam itu sebenarnya
milik Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo.
Mendiang guru kedua warok dari Gunung Wilis
itu telah mewariskan masing-masing sebuah po-
tongan lempeng logam berisi peta harta karun
dan kitab ilmu tinggi. Harapan sang Guru harta
karun yang tersimpan bisa dibagi dua, untuk di-
bagi-bagikan pada rakyat jelata. Sementara kitab berisi ilmu tingkat tinggi itu
bisa diamalkan mereka berdua. Dengan harapan, kedua warok itu
menjadi manusia yang mumpuni. Konon bila ke-
duanya sanggup menyerap ilmu-ilmu yang terda-
pat dalam kitab, keduanya bisa menjadi sesepuh-
nya para sesepuh dunia persilatan.
Sayang, kedua lempengan logam itu kini di
tangan orang yang salah. Lantas apa jadinya du-
nia persilatan bila kitab berisi ilmu tingkat tinggi itu kini di tangan Warok
Darmo Singo. Karena,
dialah biang perampok yang dikenal sebagai Ten-
tara Langit! TUJUH BAGAIMANA Warok Darmo Singo bisa
sampai mendapatkan kedua lempeng logam yang
berisi peta harta karun dan kitab tingkat tinggi itu" Persoalannya mudah saja.
Tak lama setelah Warok Singo Lodra pergi ke Bukit Munthang,
Warok Darmo Singo mengobrak-abrik peti tempat
penyimpanan benda-benda pusaka milik kakak
kandungnya. Sebagai adik kandung, dia tahu be-
tul tempat penyimpanan potongan lempengan lo-
gam itu. Apalagi, dia sering pula memasuki kamar kakaknya.
Sementara untuk mendapatkan potongan
satu lagi, Warok Darmo Singo memerintah anak
buahnya untuk menyatroni kembali rumah Warok
Jogoboyo yang telah pergi ke Bukit Munthang pu-
la. Dengan membunuhi para penjaga rumah serta
pelayan dan mengancam Nyai Kumitir, mereka
berhasil mendapatkan lempengan logam yang sa-
tu lagi. Apa sebenarnya yang menyebabkan Warok
Darmo Singo berubah menjadi manusia telengas"
Nafsu serakah, yang dipoles guru sesatnya.
Sebelum terjun ke dunia persilatan, Darmo
Singo yang belum jadi warok berguru pada tokoh
sesat berjuluk Iblis Rogo Jembangan. Sebagai da-
tuknya kaum sesat di daerah timur tanah Jawa,
Iblis Rogo Jembangan pernah mendengar bahwa
musuh bebuyutannya yang bermukim di Gunung
Wilis telah membuat peta dari lempengan logam.
Dan konon peta itu berisi petunjuk tentang tem-
pat penyimpanan harta karun dan sebuah kitab
berisi ilmu-ilmu tingkat tinggi.
Musuh bebuyutan Iblis Rogo Jembangan
kabarnya adalah bekas seorang raja sakti man-
draguna, keturunan Raden Hayam Wuruk. Kare-
na tak mampu memimpin pemerintahan, sang
Raja mengundurkan diri dan memilih menjadi re-
si di Gunung Wilis.
Kabar dari mulut ke mulut mengatakan,
raja yang mengubah namanya menjadi Resi Ka-
langwan itu juga membawa harta, yang sedianya
akan dibagi-bagikan pada rakyat jelata. Dan mak-
sud itu lantas diutarakan kepada kedua murid-
nya, yang kini dikenal sebagai Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo.
Tapi, memang. Apa yang terjadi susah dite-
bak. Seolah semua rencana matang, bisa begitu
mudah berantakan. Selesai Resi Kalangwan me-
nulis kitab ilmu-ilmu tingkat tinggi dan menyim-
pannya bersama harta karun di tempat tersem-
bunyi yang tak diketahui kedua muridnya, sang
Resi keburu wafat. Untung saja, sebelum wafat,
Resi Kalangwan sempat memotong lempengan lo-
gam menjadi dua bagian. Lalu masing-masing di-
bagi kepada kedua muridnya. Tak ada pesan yang
terucap saat kematiannya.
Sejenak saat itu, kabar tentang Resi Ka-
langwan menguap begitu saja. Iblis Rogo Jemban-
gan sendiri yakin kalau kedua lempengan logam
itu pasti berada di tangan kedua murid Resi Ka-
langan. Tapi untuk mendapatkannya tentu bukan
hal yang mudah. Sebab ketika menghadapi salah
satu dari murid Resi Kalangwan, Iblis Rogo Jem-
bangan takluk. Dia tak menyangka kalau salah
satu warok yang dihadapinya memiliki kesaktian
lebih tinggi. Warok itu tak lain Warok Singo Lo-
dra. Karena diam-diam, setelah berguru pada Resi Kalangwan, Warok Singo Lodra
juga berguru pada
tokoh sakti lain, sehingga namanya ditambah
menjadi Warok. Demikian pula Warok Jogoboyo. Maka tak
heran kalau kedua murid musuh bebuyutannya
itu kini bergelar Warok.
Tapi, pucuk dicinta ulam tiba.
Iblis Rogo Jembangan bertemu seorang
pemuda patah hati bernama Darmo Singo. Den-
gan bujuk rayunya, akhirnya Darmo Singo berse-
dia menjadi murid Iblis Rogo Jembangan. Selain
menjanjikan ilmu-ilmu silat tingkat tinggi, Darmo Singo dibujuk kalau dirinya
bakal kaya raya bila bersedia menjadi muridnya.
Walhasil, Darmo Singo lantas benar-benar
telah berubah. Seolah, otaknya telah dicuci oleh Iblis Rogo Jembangan. Maka
ketika dia diperintah untuk mencuri kedua lempengan logam itu, Darmo Singo yang
sekadar ikut-ikutan menggunakan
gelar Warok di depan namanya segera menyusun
siasat untuk mendapatkan kedua benda yang di-
maksudkan gurunya.
Pertarungan di Bukit Munthang sudah
sampai pada taraf yang mengkhawatirkan. Mas-
ing-masing warok telah mengerahkan ilmu kedig-
dayaan yang paling tinggi. Namun belum ada,
yang unggul. Tidak Warok Singo Lodra. Tak juga
Warok Jogoboyo. Keduanya sama-sama alot dan
sama-sama memiliki kesaktian seimbang.
Selain telah mengandalkan senjata pusaka
warisan Resi Kalangwan, keduanya juga telah
mengerahkan ajian tingkat tinggi. Tak heran bila di sekitar pertarungan telah
porak-poranda, layaknya habis diamuk ribuan gajah liar.
Sampai menjelang tengah hari, kedua wa-
rok itu telah bertukar lebih dari ratusan jurus.
Baik jurus-jurus yang diwariskan oleh Resi Ka-
langwan, maupun dari guru mereka setelah Resi
Kalangwan wafat. Tapi dasar keduanya keras ke-
pala, tetap saja tak ada yang mau mengalah.
Cletarr...! Cletarr...! Lecutan Cambuk Buntut Kala milik Warok
Jogoboyo disambut lecutan Cambuk Buntut Kela-
bang milik Warok Singo Lodra. Udara pun terbe-
lah oleh suara meledak-ledak lecutan kedua cam-
buk. Pada akhirnya, Cambuk milik Warok Singo
Lodra yang diberi nama Cambuk Buntut Kelabang
saling membelit dengan Cambuk Buntut Kala.
Begitu kuat, seolah tak ingin terlepas lagi.
Adu tarik menarik pun terjadi. Masing-
masing segera mengerahkan tenaga dalam tinggi.
Seolah seorang yang mengendurkan sedikit saja
tenaga dalam, berarti mati.
Wajah keduanya sama-sama tegang. Gigi-
gigi geraham saling bergemeletuk. Kedua biji mata memerah mereka melotot, saling
beradu pandang.
Tangan kanan kekar berhias gelang akar bahar
milik masing-masing menampakkan urat-urat
mengeras. Juga urat-urat pada leher. Keringat
semakin membasahi pakaian.
Di kejap kemudian, kuda-kuda kokoh me-
reka mulai goyah. Sementara, kaki-kaki mereka
mulai menghujam bumi. Tubuh masing-masing
bergetar keras.
Pada puncaknya....
"Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Deb! Deb! Bersamaan, kedua warok itu menyentak
tangan kiri satu sama lain. Udara pun terbelah.
Angin keras menderu dari pukulan jarak jauh
masing-masing meluncur, mendekati satu titik.
Dan.... Blarrr...! Sehimpun kekuatan dahsyat bertemu men-
jadi satu. Hasilnya, tercipta satu ledakan layaknya gunung api memuntahkan
laharnya. Mencip-
takan pula segerombolan asap tebal membubung
ke angkasa bak jamur raksasa. Getarannya bah-
kan meruntuhkan dahan-dahan pepohonan pada
jarak lima puluh tombak!
Masing-masing warok terlempar sejauh dua
puluh tombak. Keduanya berusaha bangkit meski
tertatih-tatih. Guncangan amat dahsyat tadi
membuat isi dada mereka seolah bergemuruh
hendak rontok. Mulut dan hidung pun telah dile-
lehi darah segar.
Warok Singo Lodra membuat gerakan den-
gan kedua tangannya. Hendak disalurkannya ha-
wa murni untuk menghilangkan rasa sesak pada
dadanya. Juga, Warok Jogoboyo. Lalu masing-
masing bersiap kembali dengan kuda-kudanya.
"Ini yang terakhir, Jogoboyo! Salah satu di antara kita harus ada yang mampus.
Kerahkan aji pamungkas milik kita masing-masing!" desis Warok Singo Lodra. Matanya
nyalang, menghujam
ke manik-manik mata Warok Jogoboyo.
"Permintaanmu kulayani, Singo Lodra! Kita
sudah kepalang basah. Apa pun yang terjadi, aku
siap menghadapi," sambut Warok Jogoboyo.
Hawa kematian siap menebar di Puncak
Bukit Munthang.
Kaki-kaki kokoh mulai terpentang.
Mencari siapa yang kalah, dan siapa yang
menang.... Tenang. Perlahan-lahan, alam mulai meremang.


Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senja mulai beranjak datang.
Sebelum pertarungan terbentang....
"Tahan serangan!"
Sebuah suara bentakan menggelegar ter-
dengar. Kedua warok saling menarik ajian yang
siap dilepaskan. Siapakah yang datang..."
* * * Sungguh sulit dipercaya. Ternyata yang da-
tang hanyalah seorang pemuda kemarin sore!
Berpakaian rompi putih dari bulu binatang. Ber-
garis rahang jantan, Berambut panjang melebihi
bahu, berwarna kemerahan. Celananya pangsi hi-
tam sebatas lutut.
Dialah Satria. Edan! Berani-beraninya bocah bau kencur
itu menghentikan pertarungan tingkat tinggi dari dua warok yang amat disegani"
Setan mana yang
membujuk otaknya, sehingga berani-beraninya
datang ke tempat ini" Orang waras sekalipun
akan berpikir dua kali jika berurusan dengan wa-
rok-warok ini. Tapi Satria"
Cengengesan, Satria Gendeng melangkah.
Dia berhenti di tengah-tengah, antara Warok Sin-
go Lodra dan Warok Jogoboyo. Sebentar mata
sembilunya menatap warok yang berada di sebe-
lah kiri, lalu berpindah pada warok di sebelah kanan. "Mana yang bernama Warok
Singo Lodra, tunjuk tangan!" serunya, sok gagah. Sok sebagai wasit yang siap
memimpin sebuah pertandingan
silat. Warok Singo Lodra sendiri nyaris terlonjak.
Siapa bocah ini" Tanyanya membatin. Edan! Be-
rani-beraninya dia menyuruhku tunjuk tangan"
Apa dia punya nyawa rangkap berani menyuruh-
ku" "Aku Warok Singo Lodra! Apa maksudmu
datang ke tempat ini, Cah"!" Aneh. Membatin begitu, tapi Warok Singo Lodra malah
menjawab pertanyaan si bocah bau kencur.
Si anak muda menatap ke sebelah kanan,
ke arah Warok Singo Lodra. Sekali lagi dengan lagaknya yang membuat orang kesal
bukan main, dia tak mempedulikan jawaban Warok Singo Lo-
dra. Bahkan kemudian kepalanya melengos ke
sebelah kiri. "Pasti kau yang bernama Warok Jogoboyo,"
tebaknya. Menyebalkan sekali lagaknya.
Edan! Kali ini justru Warok Jogoboyo yang
merutuk dalam hati. Siapa bocah ini" Tatapan
matanya..., edan! Sungguh mengandung perbawa
kuat. Aneh. Dadaku terasa bergetar ketika mena-
tap matanya. Sumpah serapah Warok Jogoboyo
berlanjut. "Hei, Cah! Kau belum menjawab perta-
nyaanku!" bentak Warok Singo Lodra. Dalam teriakannya disertai tenaga dalam
lumayan. Karena
kalau menggunakan tenaga dalam tinggi, dadanya
masih belum kuat akibat benturan pukulan jarak
jauh tadi. Warok Singo Lodra yang mengira kalau bo-
cah bau kencur itu akan jatuh terduduk jadi ter-
peranjat bukan main. Tenaga dalamnya yang dis-
alurkan lewat bentakan tadi sudah cukup mem-
buat kambing ngejoprak mati. Tapi kucing buduk
ini..." Bahkan...
"Aku belum selesai, tahu"!" bentak Satria
Gendeng. Tak mau kalah, bentakannya juga dis-
ertai tenaga dalam lumayan. Hasilnya"
Warok Singo Lodra nyaris jatuh, kalau tak
cepat menguasai keseimbangan. Juga Warok Jo-
goboyo. Bisa jadi mereka sampai bisa begitu, ka-
rena telah habis-habisan bertarung.
"Kalian tahu, pertarungan ini hanya mem-
perebutkan pepesan kosong!" lanjut si pemuda, tanpa disertai tenaga dalam. Namun
suaranya cukup lantang. "Sebutkan dulu, siapa namamu, Cah!" pin-ta Warok Jogoboyo.
"Aku Satria," sahut si anak muda. Tetap lantang.
"Yang ku maksud Julukanmu!" ralat Warok Jogoboyo.
"Satria saja. Tak perlu julukan," elak Satria, enggan menjelaskan kepanjangan
namanya yang dikenal di dunia persilatan.
"Setidaknya, kau memiliki guru, Siapa gu-
rumu"!" Kali ini Warok Singo Lodra yang merasa penasaran.
"Kakek Kusumo dan Kakek Dongdongka."
"Apa..."!"
Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo
sama-sama tercekat. Mata mereka mendelik tak
percaya mendengar pengakuan si anak muda.
Habis, siapa yang tak pernah mendengar kebesa-
ran nama Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau De-
demit dan Dongdongka alias Dedengkot Sinting
Kepala Gundul"
DELAPAN IBARAT permainan catur, maka Warok
Darmo Singo telah menang selangkah. Dia tinggal
memecahkan teka-teki yang ada di lempengan lo-
gam yang telah disambungnya, maka kemenan-
gan sejati pun akan diraihnya. Selain mendapat
harta karun, juga mendapat sebuah kitab berisi
ilmu tingkat tinggi.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu kini telah
sampai di kaki Gunung Wilis bersama sepuluh
anak buahnya. Seharusnya, begitu mendapat ke-
dua potongan lempeng logam itu, dia harus sege-
ra menghadap gurunya, Iblis Rogo Jembangan.
Tapi perintah itu tak dipedulikannya. Manusia licik macam Darmo Singo agaknya
sudah biasa bertindak demikian. Sekalipun, yang dilicikinya
gurunya sendiri!
Warok Darmo Singo sendiri tak begitu pe-
duli terhadap lima anak buahnya di Hutan Wono-
colo. Dua orang diketahuinya telah mati. Dua terluka parah, dan sisanya entah ke
mana. Baginya, makin sedikit orang, makin besar jatahnya untuk
mengangkangi harta karun dan kitab berisi ilmu
tingkat tinggi. Bahkan dengan teganya dia mem-
bunuh dua anak buahnya yang terluka parah di
Hutan Wonocolo. Licik dan serakah.
Itu dua kata yang tepat untuk Warok Dar-
mo Singo. Bahkan diam-diam dia hendak meng-
habisi sepuluh anak buahnya yang kini bersa-
manya, setelah apa yang dicarinya berhasil dite-
mukan. Senja pun merayap.
Warok Darmo Singo menghentikan lang-
kahnya bawah sebuah pohon besar. Kesepuluh
anak buahnya mengikuti. Mereka semua melem-
par pantat gempal masing-masing ke atas tanah
berumput. Setelah berjalan sekian lama, rasanya
penat mulai menghadang.
Seperti kurang yakin dengan keberadaan
dua lempengan logam di sakunya, dirogohnya
kembali kedua benda itu. Lalu matanya mulai
merayapi tulisan-tulisan yang tertera di atas lempengan. Diejanya kata-kata yang
terdiri dari barisan huruf-huruf Jawa kawi.
"Berjalan bersama ke utara dan selatan.
Hindari mulut singa, masuk ke mulut buaya," bibir hitam tebal Warok Darmo Singo
bergerak- gerak. "Apa maksudnya" Kau mengerti, Lanang?"
susulnya pada lelaki di depannya.
Lelaki bernama Lanang menggeleng. Otak-
nya memang tergolong bebal. Kalimat begitu se-
derhana, dia tak mengerti maksudnya.
"Siapa yang mau masuk mulut buaya" Kau
berani, Gempol?" Lanang menoleh pada lelaki di sebelah kirinya.
Gempol juga menggeleng. Memangnya gila
apa, disuruh masuk ke mulut buaya" Begitu ru-
tuknya. "Kalau takut, jangan berani-berani. Kalau
berani, jangan takut-takut," lanjut Warok Darmo Singo. "Kejujuran adalah
kuncinya. Hadapi saja
segala iblis neraka."
Makin pening saja kepala Warok Darmo
Singo. Orang macam dia apa mungkin tergolong
jujur" Tapi dasar keras kepala. Dia bertekad
mencari harta karun serta kitab berisi ilmu-ilmu tingkat tinggi. Berhasilkah
dia" * * * "Jangan main-main, Cah! Aku kenal betul
dengan Kusumo dan Dongdongka. Rasanya te-
rakhir kali aku bertemu, mereka belum mempu-
nyai murid," sanggah Warok Singo Lodra. Terlupa dia akan perseteruannya dengan
Warok Jogoboyo.
Sebaliknya, Warok Jogoboyo pun demikian.
"Lho" Paman berdua ini bagaimana" Tadi
bertanya. Sekarang menyanggah. Lalu aku harus
mengaku sebagai murid siapa" Murid kucing tua
buduk" Atau murid setan belang panuan?" Polos, Satria memberengut.
Merasa kurang puas, Warok Singo Lodra
meneliti sekujur tubuh si anak muda. Satria yang dipandangi begitu jadi ikut-
ikutan meneliti sekujur tubuhnya.
"Ada apa, Paman?" Satria telah mengubah panggilannya pada kedua warok tadi,
setelah amarah mereka mulai surut. "Rasanya, tubuhku tak terlalu menarik untuk
dipelototi begitu. Aku tak punya ekor. Tanganku cuma dua. Kakiku
dua. Mataku dua. Kupingku dua. Hidungku
dua..., lubangnya. He he he...."
Tak peduli, Warok Singo Lodra terus mene-
liti. "Paman, aku bukan dedemit...," ingat Satria. "Sekarang aku baru yakin...," desah
Warok Singa Lodra.
"Apa"!" cekat Satria. "Paman yakin kalau aku dedemit"!"
"Maksudku, aku yakin kalau kau murid
Tabib Sakti Pulau Dedemit."
"O...," lega hati Satria. Dihembuskannya napas panjang. Habis, siapa yang sudi
dibilang dedemit" "Apakah yang kau selipkan di pinggangmu
itu Kail Naga Samudera?" lanjut Warok Singo Lodra. "Begitulah kira-kira, Paman,"
sahut Satria. "Jawab yang pasti," tekan Warok Singo Lodra. "Kata guruku sih begitu."
Puas, Warok Singo Lodra manggut-
manggut. "Lantas, kenapa kau berani-beraninya datang ke sini. Kuharap, kau
kembali. Kami sedang menyelesaikan sebuah urusan. Dan kau
jangan ikut campur!" susulnya kemudian.
"Menyingkirlah, Satria," suara Warok Jogoboyo lebih lembut, menyuruh Satria
menyingkir. "Tidak, sebelum kalian mengakhiri perta-
rungan yang hanya mengorbankan nyawa sia-
sia!" Satria keras kepala. Tetap berdiri di tengah-
tengah. "Kuhargai kesaktianmu, Cah. Tapi jangan
anggap kami takut kepadamu, walaupun kau mu-
rid Ki Kusumo dan Dongdongka. Kau mencampu-
ri urusan kami, sama saja mencari mati. Kau
dengar"!" sembur Warok Singo Lodra.
"Dengarlah, Paman berdua. Sebenarnya
kalian adalah korban adu domba dari seseorang
yang tak bertanggung jawab. Tadi pagi, aku habis bertemu Adipati Ngawi di
keraton Kadipaten Ngawi. Di sana, aku juga bertemu Nyai Gembili, Istri Paman
Warok Singo Lodra. Juga bertemu seorang
utusan dari Paman Warok Jogoboyo. Usut punya
usut, ternyata telah terjadi kesalahpahaman di
antara paman berdua yang disebabkan ulah
orang lain," papar Satria Gendeng.
Kedua warok itu kini mengerti, kenapa bo-
cah bau kencur itu bisa tiba di tempat ini, sekaligus mengetahui pokok
permasalahannya.
"Terus terang, Adipati Ngawi menyatakan
penyesalannya kepadaku bahwa dia telah meng-
gagalkan pertunangan Nawangsih dengan Senoaji.
Tapi hal itu dilakukan dengan terpaksa. Sebab,
waktu itu ada suatu gerombolan yang mengaku
suruhan Warok Singo Lodra telah merampoknya
di Hutan Wonocolo. Untung waktu itu Warok Jo-
goboyo lewat, menyelamatkan Adipati," papar Satria lagi.
"Dan karena hutang budi, sang Adipati lan-
tas mengalihkan pinangannya pada putri Jogo-
boyo. Begitu?" tebak Warok Singo Lodra. Sinis su-
aranya. "Betul, tapi Adipati terlebih dulu telah
mengirim surat kepadamu, lewat seorang utusan.
Sayangnya, utusan itu tak pernah kembali. Ke-
simpulanku, utusan itu dirampok seseorang. Dan
ketika membaca surat itu, dikabarkan lagi kepa-
damu. Sekarang aku tanya. Dari mana orang itu
tahu kalau putri Warok Jogoboyo akan dipinang,
kalau tidak dari surat itu?"
Warok Singo Lodra tercekat. Mukanya kon-
tan memerah. Baru kini disadari kebodohannya.
Ya, dari mana adik kandungnya tahu kalau sang
Adipati membatalkan pinangan terhadap anak-
nya, lalu mengalihkannya pada putri Warok Jo-
goboyo. Setan, si Darmo Singo! Rupanya dia sen-
gaja mengadu domba antara aku dengan Warok
Jogoboyo. Juga dengan Adipati Ngawi. Pantas,
waktu itu dia begitu semangat membujukku un-
tuk memusuhi Warok Jogoboyo! Begitu geramnya,
membuat geraham Warok Singo Lodra menggeru-
tukan gerahamnya.
"Tapi anakku sekarang gila, Anak Muda,"
bergetar suara Warok Singo Lodra.


Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku memakluminya, Paman Warok. Tapi
coba diingat-ingat, bagaimana putrimu sampai
tahu kalau pernikahannya gagal" Apakah kau
sendiri yang mengatakannya?" sambung Satria.
Kembali Warok Singo Lodra tercekat. Kegu-
sarannya makin menggila. Ya, dari mana Na-
wangsih bisa tahu kalau pernikahannya gagal"
Padahal, hal itu sudah dirahasiakannya. Kalau
Nyai Gembili istrinya, tidak mungkin. Nyai Gembi-li dikenal sebagai wanita halus
yang mampu me- megang rahasia. Para pembantunya" Rasanya ju-
ga tidak mungkin, sebab mereka sangat takut
dengan Warok Singo Lodra. Satu-satunya orang
adalah..., Warok Darmo Singo adik kandungnya!
"Setan laknat...!" desisnya.
"Hah"!" justru Satria sendiri yang terperanjat. Jakunnya turun naik berusaha
susah payah menelan ludahnya. "Jadi..., yang memberi tahu anakmu si setan laknat?" Salah
tangkap rupanya Satria. Tak peduli dengan tingkah tengik Satria, justru Warok
Singo Lodra malah menubruknya.
Langsung dipeluknya si anak muda perkasa. Ka-
ruan saja Satria jadi gelagapan. Susah payah dia menarik napas. Dipeluk oleh
manusia sebesar itu, apa bukan sama saja dipeluk kebo bunting"
"Sudah..., sudah, Paman. Aku bukan Nyai
Gembili," Satria berusaha melepaskan pelukan.
"Maaf, Anak Muda. Aku begitu terpana
dengan penjelasanmu. Tak kusangka, aku yang
setua ini justru memiliki otak dangkal. Aku ka-
gum padamu, Cah. Kau semuda ini justru memi-
liki otak gemerlap seperti permata. Pandanganmu
begitu luas bagai cakrawala tak bertepi," Warok Singo Lodra melepaskan
pelukannya pada si anak
muda. "Ah, Paman bisa saja. Setahuku, maka-
nanku cuma tempe bongkrek. Mana mungkin kau
bisa mengandaikan begitu. Tapi, sudahlah. Yang
penting sekarang telah mengerti duduk permasa-
lahannya," elak Satria, masih sempat-sempatnya bergurau. Padahal yang dihadapi
seorang tokoh yang tak gampang ditaklukkan begitu saja. Me-
mang secara diam-diam, pada saat memberi pen-
jelasan Satria mengerahkan tenaga saktinya ke
kedua matanya. Dan ketika Warok Singo Lodra
menatapnya, hatinya terasa berguncang. Perlahan
namun pasti, amarahnya yang semula menggele-
gak mulai tenang kembali.
Warok Singo Lodra lalu menatap adik se-
perguruannya. Matanya merambang. Ada keha-
ruan dalam hatinya. Haru karena selama ini dia
telah salah duga terhadap Warok Jogoboyo.
"Adi Warok Jogoboyo," panggilnya. Bahkan sebutan Adi kini digunakan untuk
memanggil adik seperguruannya. "Kau sudi memaafkanku, bukan?"
Warok Jogoboyo memang dikenal sebagai
orang yang memiliki hati besar. Walau tampang-
nya kasar bak batu cadas, tapi hatinya selembut
salju. Walaupun anaknya tewas, dia tak gampang
menuduh seseorang. Walau amarahnya mengge-
legak, dia mampu mengendalikannya. Itu bedanya
dengan Warok Singo Lodra.
"Sejak semula aku sudah mengharapkan
demikian, Kakang. Sebab sejak semula aku yakin,
kita semua hanyalah korban dari fitnahan seseo-
rang. Orang itu sengaja memecah persaudaraan
kita. Bila kita hancur, maka dia tinggal memun-
gut keuntungannya. Aku sendiri telah merelakan
kepergian Ratna Kumala. Mungkin memang su-
dah takdirnya dia tewas secara mengenaskan.
Dan rasanya sangat tidak mungkin kalau lanta-
ran persoalan anak kita, lalu terjadi saling membunuh," sahut Warok Jogoboyo
mendesah. "Sungguh mulia hatimu, Adi. Aku yakin,
walau tak terucap dari bibirmu, hatimu yang
memiliki samudera maaf telah memaafkan diri-
ku," Warok Singo Lodra melangkah perlahan-
lahan mendekati Warok Jogoboyo.
Kedua warok saling bertatapan dengan ma-
ta merembang. Lalu mereka saling berpelukan.
Lama sekali. Bagaikan dua saudara kandung
yang lama berpisah, lalu dipertemukan kembali.
Satria ikut-ikutan haru. Serba salah dia.
Mau menangis rasanya kok malu. Tertawa" Ah,
apa yang lucu" Suasananya saja sedang haru be-
gini. Enaknya apa, ya" Satria membatin.
Tiba-tiba.... "Aaah...!"
Satria ambruk. Lebih gila lagi, tubuhnya
melejang-lejang seperti ayam dipotong. Matanya
mendelik-delik liar.
Kedua warok terkejut. Pelukan mereka di-
lepas. Bersamaan, mereka menghampiri si anak
muda. Ada apa dengan pendekar berwatak tengik
itu..." * * * "Anak muda...! Anak muda...! Kenapa
kau"!" sebut Warok Singo Lodra seraya meraih bahu Satria yang masih melonjak-
lonjak seperti orang kesurupan.
"Anak muda!" timpal Warok Jogoboyo, di sisi tubuh Satria. "Kau kenapa...?"
Si anak muda tetap tak menyahut. Ma-
tanya semakin mendelik-delik. Sementara kedua
warok saling berpandangan, tak mengerti.
"Mungkin dia keracunan," duga Warok Sin-go Lodra.
"Atau mungkin kesurupan penunggu Bukit
Munthang ini," sambung Warok Jogoboyo.
"Mungkin mulasku kumat. Maklum aku
tadi pagi tak jadi sarapan di keraton kadipaten,"
tiba-tiba Satria membuka suara. Matanya tak
mendelik-delik lagi. Tubuhnya tak melonjak-
lonjak lagi. Bibirnya mengulas senyum tengik.
Tinggal kedua warok yang kembali berpan-
dangan. Mau meledak tawa mereka dikerjai habis-
habisan oleh si anak muda bertabiat sinting.
"Slompret kau, Cah!" Warok Singo Lodra melepas tangannya yang memegangi bahu
Satria. Karuan saja si anak muda terpuruk di tanah.
"Habis, kalian terlalu membuatku haru,
sih," kilah Satria. Si anak muda bangkit. Ditepak-tepaknya tanah yang melekat di
rompi putih dari
kulit binatang. "Oh, ya. Asal tahu saja, sebenarnya aku datang ke sini bersama
Kanjeng Adipati
Ngawi dan Panglima Adi Kencono."
"Di mana mereka?" tanya Warok Jogoboyo.
"Sebentar lagi juga muncul," jawab Satria.
Benar saja. Dari balik sebuah batu besar,
dua lelaki gagah muncul, setelah si anak muda
bertepuk tiga kali. Rupanya itu merupakan isya-
rat kalau keadaan telah aman. Dan adipati serta
panglima bisa menghampiri kedua warok yang
semula tengah bertarung habis-habisan.
SEMBILAN MEMANG terlalu mudah untuk menemu-
kan, di mana para warok biasa menyelesaikan
suatu persoalan secara jantan. Di Bukit Mun-
thang. Itu sebabnya, begitu Adipati Ngawi men-
dengar bahwa Warok Singo Lodra tengah berta-
rung dengan Warok Jogoboyo dari Nyai Gembili,
dia segera mengajak Panglima Adi Kencono dan
Satria untuk menuju Bukit Munthang.
Tapi justru terlalu sulit bahkan persoalan
akan semakin rumit bila sang Adipati muncul be-
gitu saja. Sebab, bukan mustahil bila Warok Sin-
go Lodra tiba-tiba menyerangnya. Semula Adipati
Suro Brajan ingin menemui kedua warok lang-
sung. Untungnya Satria punya pendapat lain, dan
menyediakan diri untuk menengahi persoalan ke-
dua warok itu. Bila keadaan sudah aman, baru
sang Adipati diperkenankan untuk menampakkan
diri. "Salam hormat kami, Kanjeng Adipati," kedua warok itu sama-sama merapatkan
kedua tangan di depan hidung.
"Sama-sama, Kakang Warok berdua. Sung-
guh betapa bahagianya aku sekarang ini melihat
kalian rukun kembali. Tapi rasanya aku belum
puas kalau belum mengucapkan kata maaf pada
kalian. Terutama pada Warok Singo Lodra. Untuk
itu, aku mohon Kakang Warok Singo Lodra mem-
buka pintu maaf kepadaku. Dan aku turut priha-
tin atas kejadian yang menimpa Nawangsih. Juga
aku turut mengucapkan turut berduka cita atas
musibah yang dialami Ratna Kumala, putri Warok
Jogoboyo," Adipati Ngawi berpaling menatap Warok Jogoboyo. "Apakah kalian sudah
ikhlas menerima cobaan yang menimpa keluarga kalian?"
"Ikhlas, Kanjeng," sahut kedua warok, nyaris bersamaan.
"Yah, semua telah diatur oleh Yang Maha
Kuasa. Dan kita tak mampu mengelaknya. Untuk
itu, langkah selanjutnya kita tinggal mencari
orang yang memfitnah kita, sehingga di antara ki-ta timbul salah paham. Nah,
Kakang warok ber-
dua. Apakah kalian punya dugaan, siapa yang
menyebabkan peristiwa ini?"
Sebenarnya, Adipati Ngawi telah mempu-
nyai dugaan pasti kalau orang yang memfitnah
mereka adalah adik kandung Warok Singo Lodra.
Sebelum berangkat, dia telah bertukar pikiran
dengan si anak muda berotak encer Satria. Dari
penuturan Nyai Gembili di keraton tadi pagi, bisa ditebak kalau orang yang
memfitnah adalah adik
kandung Warok Singo Lodra. Dan sengaja perta-
nyaan itu dilontarkan adipati dengan maksud in-
gin melihat, apa tanggapan kedua warok itu.
Warok Jogoboyo menggeleng.
"Hamba tahu, Kanjeng. Pemuda itulah
yang membuka mata hati hamba," Warok Singo
Lodra menunjuk Satria dengan jempolnya. "Siapa namamu, Cah" Maaf, aku lupa tak
begitu menghiraukan namamu tadi."
"Satria," sebut si anak muda.
"Ya, Satria. Dialah yang menuntun otak
hamba sehingga mempunyai keyakinan siapa da-
lang di balik semua ini. Dia tak lain adik kandung hamba sendiri, Warok Darmo
Singo," sahut Warok Singo Lodra, tenang. Sikapnya terlihat ksatria sekali, tak
ingin menutup-nutupi kesalahan salah
seorang keluarganya. Sekali salah, ya tetap salah.
Begitu pandangan hidupnya. Tak pandang ke-
luarga. Tak pandang bulu. Entah bulu ketiak, bu-
lu kaki, dan bulu-bulu lainnya.
"Kuhargai sikap ksatriamu, Kakang Warok
Singo Lodra. Nah, kira-kira apa tanggapanmu bila memang dia yang telah memecah
belah kita?"
pancing Adipati Suro Bjaran.
"Apapun yang Kanjeng inginkan sebagai
hukuman, akan hamba laksanakan. Meski harus
memancung kepalanya!" tegas Warok Singo Lodra, mendesis.
"Kalau begitu, dia menjadi tanggung ja-
wabmu, Kakang Warok. Nah, sekarang urusan di
antara kita telah selesai. Tapi, oh ya. Maaf, ada yang terlupa kusampaikan. Tadi
sebelum kami berangkat, Senoaji putraku telah kembali ke keraton setelah selesai berguru ilmu
olah kanuragan di Padepokan Blambangan. Setelah kutanya, ter-
nyata dia tetap mencintai Nawangsih, apapun
keadaannya," urai Adipati Ngawi.
Warok Singo Lodra tersentak. Tak mampu
berkata-kata. Hanya bibirnya yang bergerak-gerak dibalut keharuan yang bergolak.
"Apakah dalam hal ini Kakang Warok Jo-
goboyo tidak kecewa seandainya Senoaji menikah
dengan Nawangsih?" Adipati Ngawi menatap Warok Jogoboyo.
"Bagi hamba, Nawangsih putri Kakang Wa-
rok Singo Lodra juga putri hamba. Hamba ikhlas
sepenuh hati bila Senoaji dinikahkan dengan Na-
wangsih." Kembali hati besar Warok Jogoboyo di-perlihatkan. Betapa tegarnya hati
lelaki ini. Sudah anaknya tewas di tangan orang yang tak ber-
peri kemanusiaan, kini dia melihat kenyataan ka-
lau sebenarnya Senoaji memang mencintai Na-
wangsih. Cerah wajah Adipati Suro Brajan. Saat itu
juga kakinya melangkah mendekati Warok Jogo-
boyo. Langsung dipeluknya lelaki tambun itu pe-
nuh persaudaraan.
"Sungguh aku kagum dengan hati besar-
mu, Kakang Warok. Rasanya tak ada kata yang
lebih tepat kecuali bahagia. Aku bangga padamu,
Kakang Warok. Sikapmu membuatku bahagia.
Dan aku tak segan-segan mengangkatmu menjadi
kakak. Bagaimana?" puji Adipati Ngawi.
Tak malu-malu lagi Warok Jogoboyo me-
nangis haru. Tak menyahut, hanya kepalanya
yang manggut-manggut. Bahunya berguncang-
guncang oleh tangis sesenggukan. Seolah, sikap
tegarnya terdepak entah kemana.
Juga, Warok Singo Lodra. Mendengar ja-
waban adik seperguruannya, serta keputusan
yang diambil Adipati untuk mengangkat kakak
pada adik seperguruannya, kakinyapun bergerak
melangkah. Di dekatinya kedua lelaki yang tengah berpelukan.
Melihat Warok Singo Lodra menghampiri,
kedua lelaki itu langsung meraih. Kini ketiga lelaki itu berpelukan penuh
persaudaraan. Sudahkah urusan ini selesai"
* * * Hari pun bergulir.


Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sang dewi malam telah tergelincir di barat.
Angin pagi bertiup semilir. Menerpa Warok Darmo
Singo yang tertidur di bawah sebuah pohon besar
di kaki Gunung Wilis.
Sepuluh anak buahnya tertidur saling
tumpang tindih. Satu orang tampak malah me-
numpangkan kakinya di mulut yang lain. Yang di-
tumpangi malah tengah bermimpi berciuman
dengan seorang gadis cantik. Tak urung, kaki ber-telapak lebar itu dikecup dan
diciumi penuh ha-
srat. Dalam bayangan mimpinya, telapak kaki itu
adalah wajah seorang gadis.
"Oh..., Purbasari.... Wajahmu cantik. Tapi
kenapa bau tahi ayam?" igau si lelaki yang tengah bermimpi. Kendati merasa bau
tahi ayam, tetap
saja diciumi wajah gadis cantik yang bernama
Purbasari. Lebih seru lagi, ternyata lelaki yang ka-
kinya tengah diciumi justru tengah bermimpi
hendak dimakan harimau. Dalam bayangan mim-
pinya, dia merasa sudah tak berdaya dalam kea-
daan berbaring. Perlahan-lahan Sang Raja Hutan
mendekati, lalu mengendus-endus. Hendak dima-
kannya sedikit demi sedikit lelaki itu. Mulai dari perut, paha, lalu kaki.
Dan.... "Tolong.... Aku mau dimakan harimau....!"
Orang-orang yang tidak bermimpi kontan
terbangun. Mereka celingukkan mencari-cari ha-
rimau yang diteriakkan tadi. Sementara, kedua lelaki yang masih bermimpi masih
bergulat dengan
bayangan semunya. Lelaki yang satu masih terus
beringas mencium dan menggigit gadis dalam
bayang mimpinya, sementara lelaki yang satu lagi berkutat berusaha minta tolong
karena kakinya mulai digigit harimau.
Begitu menyadari apa yang terjadi, orang-
orang yang telah terbangun kontan tertawa terba-
hak-bahak. Sebuah pertunjukan seru terjadi. Le-
laki yang bermimpi mencium gadis cantik makin
beringas. Sedangkan lelaki yang bermimpi digigit harimau makin menjerit-jerit
dengan tubuh blingsatan
"Bangunkan mereka!" ujar Warok Darmo
Singo, tak ingin larut dalam pertunjukan seru di depannya.
Dua lelaki langsung beranjak. Mereka sege-
ra membangunkan kedua lelaki yang tengah ber-
mimpi. "Lanang! Bangun! Telapak kaki Gempol bau tahu ayam. Kenapa kau ciumi"!"
Lanang terbangun. Ketika menyadari di
depan wajahnya hanya kaki temannya yang ber-
nama Gempol, langsung disentakkannya. Wajah-
nya seketika berubah kecewa. Hilang sudah wa-
jah Purbasari di pelupuk matanya.
Sementara Gempol makin berteriak seru.
Untung saja temannya segera membangunkan-
nya. Terjingkat, Gempol bangkit. Dadanya turun
naik amat cepat. Kendati hawa cukup dingin, tak
urung keringat membasahi sekujur tubuhnya.
Masih belum percaya, kepalanya celingukan.
"Setan! Aku bermimpi dimakan harimau!"
rutuknya, begitu tersadar.
"Iya, kakimu habis digigiti Lanang. Padah-
al, kakimu kan bau tahi ayam. Heran, mau-
maunya Lanang menciumi kakimu," lelaki di sebelah Gempol memberitahu. "Kau mimpi
apa, Lanang?" lanjutnya.
"He he he.... Aku dapat gadis cantik. Na-
manya Purbasari. Dia menciumiku, langsung saja
kubalas. Eh, tak tahunya kaki bau tahi ayam si
Gempol yang kusikat," jelas Lanang.
Gempol yang sudah bisa menguasai diri
cengar-cengir. Tahu rasa, kau! Katanya, memba-
tin. "Sudah. Ayo sekarang kita berangkat menuju puncak. Aku sudah tak sabar lagi
menda- patkan harta karun itu!" penggal Warok Darmo Singo. Kesepuluh anak buah Warok
Darmo Singo beranjak bangkit. Sebagian masih mengulet sam-
bil berdiri. Sebagian lagi merapikan pakaian yang kusut. Sedangkan Warok Darmo
Singo sudah bergerak melangkah menuju puncak Gunung Wi-
lis. Tapi baru beberapa tindak....
"Bagus..., bagus. Terus saja melangkah ka-
lau mau mampus!"
Sebuah bentakan keras terdengar, meng-
hadang langkah Warok Darmo Singo. Tercekat
dia. Dikenali betul suara bentakan yang terden-
gar. Sedangkan kesepuluh anak buahnya lang-
sung bersiaga, menghadap ke segala penjuru. Ta-
pi tak seorang pun yang terlihat. Mereka celingukan ke sana kemari.
"Guru...," desis Warok Darmo Singo, nyaris tak kentara. Matanya pun jelalatan
mencari-cari. "Aku ada di sini, Cah Gemblung!"
"Hah"!"
* * * Bukan main terperanjatnya Warok Singo
Lodra begitu melihat keadaan rumahnya. Para te-
tangganya memberi tahu bahwa setelah Warok
Singo Lodra berangkat, Warok Darmo Singo da-
tang. Lalu terjadi pertarungan antara para penja-ga rumahnya dengan adik
kandungnya. Tak lama
kemudian, Warok Darmo Singo keluar kembali
dengan senyum-senyum gembira. Tak ada yang
berani mencegahnya, karena para penduduk tahu
siapa Warok Darmo Singo.
Nyai Gembili yang tiba lebih dulu setelah
pulang dari Kadipaten Ngawi pun hanya menge-
lus-elus dada ketika mendengar penuturan para
penduduk. Dalam hati, dia menyesalkan sikap ke-
ras kepala suaminya yang tak mau mendengar
kata-katanya. Tapi mau bilang apa lagi" Semua-
nya telah terjadi.
Tapi yang menjadi kekhawatiran Nyai
Gembili waktu itu adalah keadaan Nawangsih.
Ketika ditinggal ke Kadipaten Ngawi, dia ingat
Nawangsih masih terkurung di kamarnya yang
dikunci dari luar. Untung saja Warok Singo Lodra menjelaskan kalau sebelum
berangkat, dia telah
menitipkan Nawangsih pada adik misannya yang
bertempat tinggal masih di sekitar Kadipaten Po-
norogo. Ketika memeriksa kamarnya, Warok Singo
Lodra makin terperanjat lagi. Lemari tempat pe-
nyimpanan peti berisi benda-benda pusaka telah
jebol. Sementara isi peti telah terobrak-abrik. Ketika mencari satu-satunya
benda yang amat dija-
ganya tapi tak ditemukan, makin mendelik saja
Warok Singo Lodra.
"Nyaiii...! Bangsat itu ternyata mencuri potongan lempeng logam milikku!"
teriaknya, kalut.
Tergopoh-gopoh, Nyai Gembili masuk ke
kamar, menghampiri suaminya. Matanya lang-
sung tertuju ke arah peti.
"Lihat, Nyai. Potongan lempeng logam wari-
san guruku ternyata disikat bangsat itu. Ah me-
nyesal dulu aku tak mempercayai kata-katamu.
Hmmmh. Potongan lempeng lainnya juga dimiliki
Adi Warok Jogoboyo. Jangan-jangan...," kata-kata Warok Singo Lodra terpenggal.
Mendadak saja sebuah bayangan buruk melintas di pelupuk ma-
tanya. "Jangan-jangan apa, Kakang?" tanya Nyai Gembili. "Licik!" bentak Warok
Singo Lodra. Menggelegar suaranya. Membuat Nyai Gembili
nyaris terjengkang. "Ini kelicikan yang telah di-perbuat setan sialan Darmo
Singo! Entah, iblis
apa yang merasuki adikku itu. Ternyata dia sen-
gaja mengadu domba dan mengojok-ngojokku
agar bertarung dengan Warok Jogoboyo. Dengan
demikian, dia leluasa mengambil warisan guruku
yang harus ku jaga itu. Dia sengaja memancingku
keluar rumah dengan fitnahnya. Padahal kau ta-
hu sendiri. Aku harus banyak-banyak di dalam
rumah sejak beberapa tahun lalu. Itu kulakukan
sebagai tirakat untuk persiapan semadi. Karena
aku harus memecahkan makna yang tergurat da-
lam potongan lempeng itu, setelah digabung den-
gan milik Warok Jogoboyo!"
"Dan Warok Jogoboyo juga bertirakat de-
mikian, Kakang?" cetus Nyai Gembili.
"Tentu saja! Dan ketika dia bersedia datang ke Bukit Munthang, Darmo Singo Lodra
sialan itu menyuruh anak buahnya untuk mengambil po-
tongan lempeng logam satunya! Bukankah itu li-
cik, namanya?" geram Warok Singo Lodra.
"Bukankah berarti Nyai Kumitir berada
sendirian di rumah" Atau paling tidak, hanya di-
temani beberapa pelayan dan penjaga rumah?" terabas Nyai Gembili.
Makin melotot saja Warok Singo Lodra.
Bayangan buruk yang sempat melintas di pelu-
puk matanya kembali terulang.
"Aku harus ke rumah Warok Jogoboyo! Aku
sangat mengkhawatirkan keadaannya," letus Warok Singo Lodra, tiba-tiba.
"Aku ikut, Kakang!" cetus Nyai Gembili.
"Kau baru saja melakukan perjalanan jauh, Nyai"
Apakah kau tak lelah?" Warok Singo Lodra me-nunjukkan rasa kasih sayangnya pada
Nyai Gem- bili yang sempat hilang beberapa waktu lalu.
"Tidak, Kakang. Biar bagaimanapun aku
harus ikut. Warok Jogoboyo sudah seperti sauda-
ra kandung kita. Kesulitan yang terjadi padanya, juga kesulitan kita," tegas
Nyai Gembili. "Baik, kalau begitu. Ayo, cepat!"
* * * Apa yang diduga Warok Singo Lodra me-
mang tak berlebihan. Nyatanya begitu sampai di
rumahnya, Warok Jogoboyo hanya mendengar
penuturan para tetangganya kalau istrinya serta
para pembantunya telah tewas di tangan para pe-
rampok. Itu terjadi ketika Warok Jogoboyo belum
lama pergi ke Bukit Munthang.
Para penduduk waktu itu dengan suka rela
menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan
pada keesokan harinya. Hanya itu yang diketa-
huinya dari para penduduk. Sebab, memang tak
ada yang tahu saat terjadi perampokan. Atau bisa saja itu hanya dalih para
penduduk agar tidak
disalahkan oleh Warok Jogoboyo. Karena sebe-
narnya tak mungkin para penduduk tak menden-
gar suara pertarungan di halaman rumahnya. Ka-
rena takut, para penduduk tak ada yang berani
keluar rumah. Begitu dugaan Warok Jogoboyo.
Di hati Warok Jogoboyo timbul keyakinan,
bahwa orang-orang yang membunuh istri serta
para pembantunya adalah orang yang sama den-
gan yang membunuh anaknya. Artinya, orang-
orang itu pasti berpakaian serba hitam. Dan itu
sudah pasti anak buah Warok Darmo Singo.
Hantaman yang mendera batin Warok Jo-
goboyo makin sempurna ketika menyadari bahwa
potongan logam warisan dari gurunya telah hilang dari peti tempat penyimpanan.
Lemari rumahnya
telah diobrak-abrik. Keadaan rumahnya benar-
benar berantakan.
Di tengah-tengah di antara pusara Ratna
Kumala dan Nyai Kumitir, Warok Jogoboyo ber-
jongkok. Arahnya menghadap pusara Nyai Kumi-
tir yang masih merah. Wajahnya tampak menge-
lam. Dadanya bergemuruh menahan kegeraman.
Rahangnya bergemelutukan. Urat-urat lehernya
mengeras. Juga urat-urat tangannya saat tela-
paknya meremas segumpal tanah merah yang di-
ambil dari pusara istrinya.
"Nyai..., maafkan aku. Aku lelaki bodoh
yang gampang terpedaya oleh omongan orang
lain. Sehingga aku tak bisa menjagamu. Maafkan
aku, Nyai. Temanilah Ratna Kumala di alam sana.
Mudah-mudahan, aku bisa membalas perlakuan
kejam orang-orang yang mengusir kebahagiaan
hidup keluarga kita," desah Warok Jogoboyo.
Sejenak, mata lelaki tambun ini menera-
wang. Langit cerah. Angin mendesah. Air mata
Warok Jogoboyo bergulir, membuat pipinya ba-
sah. Perlahan, Warok Jogoboyo bangkit berdiri.
Kepalanya kini menunduk, menatapi pusara is-
trinya. Setelah menghapus air mata dengan
punggung tangan tubuhnya berbalik. Kini, ditata-
pinya pusara Ratna Kumala. Masih berwarna me-
rah walau mulai ditumbuhi rumput liar.
Tanpa kata lagi, Warok Jogoboyo mema-
lingkan tubuh ke kanan, hendak melangkah. Tapi
mendadak langkahnya terhadang oleh sesuatu di
depannya, sejauh tiga tombak.
"Satria...?" sebutnya, perlahan sekali.
SEPULUH BEGITU berbalik, bukan main terkejutnya
Warok Darmo Singo. Saking kagetnya, membuat
tubuhnya terlonjak dan mundur beberapa tindak.
Di depannya tahu-tahu telah berdiri seorang lela-ki tua. Kepalanya gundul.
Manik-manik matanya
yang besar bergaris hitam ke bawah seperti mata
kucing. Hidungnya besar dan lebar. Ketika me-
nyeringai, gigi-gigi runcingnya terlihat mengerikan. Tak berbaju, seperti hendak
memamerkan tubuh bundarnya yang berkulit hitam.


Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dialah Iblis Rogo Jembangan, guru Warok
Darmo Singo. "A..., ada apa Guru datang ke sini?" gagap lelaki brewok dengan jenggot seperti
sarang lebah itu. "Ada apa" Kau bilang ada apa, Kunyuk"!"
damprat Iblis Rogo Jembangan. "Serahkan kedua potongan lempengan logam itu,
Murid Murtad! Kau sudah melanggar aturan. Sudah kubilang,
setelah mendapatkan kedua potongan logam itu,
kau harus menghadapku di Gunung Rogo Jem-
bangan. Tapi kenapa malah ngelayap kemari,
heh"!" Warok Jogoboyo tercekat. Matanya mendelik dengan jakun turun naik. Susah
payah dia be- rusaha menelan ludahnya sendiri. Dia tak habis
mengerti, kenapa gurunya tahu kalau kedua po-
tongan lempeng logam itu sudah berada di tan-
gannya" "Mau kau kangkangi harta itu sendirian,
ya"!" sambung Iblis Rogo Jembangan.
"Aaa..., aku cuma...."
"Cuma apa"! Cuma-cuma atau cumi-
cumi?" penggal Iblis Rogo Jembangan. "Ayo cepat serahkan kedua benda itu padaku!
Atau kau harus mampus ditanganku"!" ancamnya.
Segarang-garangnya Warok Darmo Singo,
memang tak ada seujung kuku bila dibanding ke-
garangan gurunya. Sesakti-saktinya dia, tak ada
seujung upil kesaktian gurunya. Maklum saja, Ib-
lis Rogo Jembangan terhitung datuk sesat golon-
gan tua yang tak pernah mau tobat. Bayangkan
saja. Di usianya yang sudah lapuk itu dia masih
belum rela meninggalkan dunianya. Seolah, ha-
tinya belum merasa puas kalau belum menguasai
dunia persilatan sepenuhnya. Padahal tokoh-
tokoh seangkatannya nyaris tak beredar di jagat
ini. Soal kekejamannya" Jangan ditanya. Iblis
dasar neraka mungkin kalah kejam dibanding to-
koh uzur ini. Kalau perlu, bila Warok Darmo Sin-
go macam-macam di hadapannya, akan dicabu-
tinya satu persatu seluruh bulu di tubuh lelaki
tinggi besar itu. Tak terkecuali bulu....
Tapi ternyata keras kepala Warok Darmo
Singo kumat lagi. Tiba-tiba dia berpaling pada kesepuluh anak buahnya.
"Seraaangg...!" teriaknya, lantang.
"Ha..., ha ha ha.... Darmo..., Darmo. Ke-
pinding-kepinding busuk kau suruh mengeroyok-
ku" Dasar murid tak tahu diuntung. Baik..., baik kalau itu memang kemauanmu,"
leceh iblis Rogo Jembangan.
Sementara kesepuluh anak buah Warok
Darmo Singo langsung mengurung Iblis Rogo
Jembangan. Golok serta clurit mereka telah ter-
hunus, berkilatan tertimpa matahari pagi. Seolah hendak mendepak nyali lawan
mengerikan mereka.
"Ayo, serang aku, Tikus-tikus Clurut! Jan-
gan malu-malu. Pilih! Bagian tubuh mana yang
kalian suka," sambut lelaki tua menyeramkan itu, jumawa.
"Hiaaat!"
Bersamaan, kesepuluh anak buah Warok
Darmo Singo merangsek maju. Senjata tajam me-
reka langsung berseliweran dari segala penjuru.
Tapi, lawan yang diserang tetap bersikap seperti biasa. Berdiri sambil
bersedakap dengan senyum
meremehkan. Dua jari lagi senjata-senjata itu menghu-
jam, tiba-tiba Iblis Rogo Jembangan memutar tu-
buhnya seperti gangsing. Amat cepat. Lalu....
Ting! Ting! Ting! Ting!
Hanya dengan jari tangan kanan, kesepu-
luh senjata tajam para pengeroyok dijentiknya.
Ketika terkena jentikan jari Iblis Rogo Jemban-
gan, senjata-senjata itu terlihat bergetar. Sementara pemiliknya mundur
terjajar. Bahkan dada
mereka terasa berguncang, panas membakar.
Tangan mereka dilanda rasa nyeri. Pergelangan
tangan lemas. Sementara Iblis Rogo Jembangan makin
memperlihatkan kepongahannya dengan tawa re-
nyahnya. Serenyah rempeyek kacang. Bahkan
kemudian tangannya kembali bersedakap di de-
pan dada. Bukannya sadar kalau kesaktian lawan
jauh di atas mereka, kesepuluh lelaki berpakaian serba hitam itu kembali
bergerak. Seolah, tak peduli kalau nyawa mereka sebenarnya bagaikan te-
lur di ujung tanduk mereka segera menghantam-
kan senjata-senjata tajam ke tubuh Iblis Rogo
Jembangan. "Hiaaah...!"
Teriakan kemarahan Iblis Rogo Jembangan
pun terlempar. Pada saat yang sama, dibuatnya
suatu gerakan amat mendadak. Lewat sentakan
kaki, tubuhnya terlontar ke udara. Begitu lawan-
lawannya hanya menyambar sasaran angin ko-
song, lelaki berkulit hitam dan hanya bercawat
dari kulit buaya itu menukik.
Lalu.... Prak! Prak! Prak!
Pergerakan tangan Iblis Rogo Jembangan
memang sulit diikuti mata. Bertubi-tubi kedua
tangannya menghantam kepala lawan-lawannya.
Amat cepat. Tahu-tahu....
Kesepuluh lelaki berpakaian serba hitam
itu berjatuhan dengan kepala retak. Darah merah
meleleh dari kepala. Tubuh mereka berkelojotan
sejenak, lalu diam tak bergerak lagi.
Iblis Rogo Jembangan sendiri telah sampai
di bumi. Mata liarnya memperhatikan mayat-
mayat lawannya sejenak. Lalu tatapannya beralih
ke tempat Warok Darmo Singo tadi berdiri.
Tapi.... "Setan belang! Diam-diam kecoak itu mela-
rikan diri ketika anak buahnya menyerangku!"
Sumpah serapah Iblis Rogo Jembangan
berlanjut kemudian. Mata kucingnya jelalatan ke
sana kemari, mencari-cari sosok Warok Darmo
Singo yang kabur entah ke mana.
Sampai sejauh itu, dia belum tahu ke ma-
na murid murtadnya melarikan diri. Dan lelaki
berwajah mengerikan ini jadi tersenyum kecut
sendiri. Betapa tidak" Ternyata dia bisa dikerjai oleh muridnya sendiri.
Bukankah keparat itu namanya"
"Kau tak bakalan lolos dari tanganku, Mu-
rid Sialan! Aku tahu tujuan akhir mu. Puncak
Gunung Wilis! Kau tentu tak ingin melewatkan
harta karun itu, bukan" He he he...!"
Iblis Rogo Jembangan malah tertawa-tawa
sendirian. Ada sebuah rencana dalam otaknya
untuk memperdayai murid murtadnya. Sayang,
hanya dia yang tahu....
SEBELAS BEGITU gembiranya Warok Jogoboyo keti-
ka tahu Satria Gendeng tahu-tahu telah berada di depannya. Langsung diajaknya
pemuda itu kembali ke rumahnya di pinggiran Kadipaten Trengga-
lek "Aku turut berduka cita atas kematian is-
trimu, Paman Warok," ucap Satria.
"Dari mana kau tahu kalau istriku mening-
gal dunia Satria?" tanya Warok Jogoboyo, agak heran juga.
"Lho" Tadi kau menyebut-nyebut Nyai di
depan makam yang masih baru itu," Satria menoleh ke arah pemakaman yang semakin
jauh di- tinggalkan. Lalu kepalanya kembali mengarah ke
depan. "Bukankah Nyai panggilan untuk istri seorang warok" Memangnya, ada berapa
Nyai-mu, Paman?" tanyanya, polos.
Warok Jogoboyo tersenyum. Amat dimak-
luminya watak si anak muda. Ketika bertemu dan
menatapnya pertama kali di Bukit Munthang, le-
laki tambun ini sudah amat kagum dengan Satria
Gendeng. Terutama, pancaran matanya serta otak
encernya. Buktinya, bocah bau kencur ini bisa
menengahi pertarungannya dengan Warok Singo
Lodra yang juga kakak seperguruannya.
"Ya, Nyai-ku tentu saja hanya satu. Hanya
saja, aku tak menyangka kalau kau mau mene-
muiku di Trenggalek ini. Lantas, kau tahu dari
mana kalau aku ada di sini?" tanya Warok Jogoboyo. "Malu bertanya sesat di
jalan, Paman. Ketika aku tiba di Ngawi setelah dari Bukit Mun-
thang, aku langsung mohon diri pada Kanjeng
Adipati Suro Brajan. Terus terang, aku sangat kagum dengan kebesaran hatimu
waktu di Bukit Munthang. Untuk itu, aku ingin sekali bertemu
denganmu. Aku ingin belajar padamu, Paman,"
papar Satria, terus terang.
"Belajar" Belajar apa lagi yang kau ingin-
kan, Satria. Aku yakin, sebagai murid Ki Kusumo
dan Dongdongka, kau diwarisi ilmu-ilmu tingkat
tinggi. Bahkan aku yakin, kau bisa mengalahkan-
ku tak lebih dari sepuluh jurus," kening Warok Jogoboyo berkerut dalam.
Keduanya terus melangkah, sehingga tak
terasa hampir sampai di rumah Warok Jogoboyo.
"Aku ingin belajar, bagaimana Paman
menghadapi kesemrawutan dunia ini. Belajar ba-
gaimana mengendalikan diri dengan menekan
hawa nafsu sedalam-dalamnya. Sehingga, kelak
aku bisa memiliki hati besar seperti Paman," un-gkap Satria, sejujurnya.
Justru Warok Jogoboyo yang melengak.
Semakin bertambah saja rasa kagumnya pada si
bocah bau kencur ini. Betapa tidak" Semuda itu
tapi sudah memiliki kerendahan hati yang jarang
dimiliki pemuda sebayanya.
Sejenak Warok Jogoboyo menghentikan
langkahnya di halaman rumahnya yang kini tam-
pak lengang. Tak ada sambutan mesra lagi dari
istrinya. Tak ada lagi yang menyediakan kopi pa-
hit untuknya. Yang bisa diteguknya kini hanya
kehidupan pahit seorang warok tua.
"Ada apa, Paman" Kenapa Paman berhenti
tiba-tiba?" tanya Satria.
"Ada yang kulupa, Satria."
"Apa?"
"Sekarang aku tak punya istri lagi. Lantas, siapa yang akan membuatkanmu
minuman" Lalu
siapa yang menyediakan makanan" Terus terang,
aku terlalu kaku untuk pekerjaan itu, Satria,"
Warok Jogoboyo tersenyum kecut. "Sebaiknya, ki-ta berbincang-bincang di kedai
saja, ya" Kau
mau" Bukankah waktu di Bukit Munthang kau
kejang-kejang lantaran belum sarapan?"
Satria malah tertawa. Bisa juga lelaki kasar
ini mencandai dirinya. Kalau tak mengenal Warok
Jogoboyo, orang memang menyangka bahwa lela-
ki ini berperangai kasar. Tapi sebenarnya di balik wajahnya yang pantas untuk
menakut-nakuti bocah cilik, terselip kelembutannya. Itulah sifat aslinya. "Boleh
juga kalau Paman mengajakku ke sana. Tapi Paman yang bayar, ya" Terus terang,
aku...." "Slompret kau, Cah!" sembur Warok Jogoboyo, menepak bahu Satria. "Kau
tamu terhor-matku, tahu"! Ayo kita balik ke pusat kadipaten,"
ajaknya kemudian.
Tapi begitu mereka berbalik....
"Adi Warok Jogoboyo...!"
"Kakang Warok Singo Lodra...!"
Ternyata di hadapan Warok Jogoboyo dan
Satria telah berdiri Warok Singo Lodra dan Nyai
Gembili. Karena begitu mengkhawatirkan kea-
daan Warok Jogoboyo, Warok Singo Lodra waktu
berangkat ke tempat ini langsung mengerahkan
ilmu lari cepatnya bersama Nyai Gembili. Dengan
memotong jalan melintasi Bukit Munthang yang
membelah dua kadipaten yakni Trenggalek dan
Ponorogo, keduanya hanya butuh setengah hari
untuk mencapai tempat ini.
Tidak seperti Nyai Kumitir yang tak memi-
liki ilmu olah kanuragan, maka Nyai Gembili se-
benarnya adalah bekas tokoh silat wanita. Ki-
prahnya baru berhenti setelah menikah dengan
Warok Singo Lodra. Tak heran kalau dia juga
mempunyai ilmu lari cepat yang hampir setaraf
dengan suaminya.
"Satria! Kita tak jadi ke kedai. Ada Nyai
Gembili di sini. Kita minta tolong dia memasak
yang enak-enak buat santap bersama. Kau setu-
ju"!" sentak Warok Jogoboyo, tiba-tiba.
Tinggal Warok Singo Lodra dan Nyai Gem-
bili yang terheran-heran. Ada apa dengan mere-
ka" Tanya suami-istri itu, dalam hati.
* * * Apa tanggapan Warok Singo Lodra bila
mendengar kematian Nyai Kumitir" Bagaimana
sepak terjang Warok Darmo Singo selanjutnya"
Berhasilkah dia menemukan harta karun di Gu-
nung Wilis" Berhasilkah Iblis Rogo Jembangan
menemukan murid murtadnya yang membawa
dua lempengan logam berisi petunjuk tentang se-
tumpuk harta karun dan sebuah kitab berisi il-
mu-ilmu tingkat tinggi" Apa tindakan Warok Sin-
go Lodra terhadap adik kandungnya.
SELESAI Segera menyusul:
BISIKAN IBLIS LEMBAH KERAMAT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/


Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

DuniaAbuKeisel Penjaga Alam Akhirat 2 Gento Guyon 23 Racun Darah Pedang Penakluk Iblis 5
^