Pencarian

Bisikan Iblis Lembah Keramat 2

Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat Bagian 2


terlihat ringan, tak peduli pakaiannya berkibaran dipermainkan angin malam.
Di pintu masuk pemakaman, kepala si
bayangan hitam menoleh ke kanan dan kiri. Seo-
lah hendak memastikan, apakah ada orang yang
melihatnya atau tidak. Merasa pasti tidak ada
orang yang melihatnya, bayangan hitam yang
agaknya adalah seorang lelaki bertubuh tinggi besar cepat memasuki pemakaman.
"Kuk! Kuuuuk...!" suara burung hantu menyambut kedatangan si lelaki berpakaian
hitam komprang dengan celana komprang berwarna
sama. "Sialan burung itu! Bikin aku kaget saja!"
rutuknya, perlahan.
Langkahnya yang tersendat kembali dilan-
jutkan. Disingkirkannya rasa takut yang menge-
kang hatinya demi sebuah tekad.
"Hmm.... Aku tak boleh gagal. Manusia Se-
sat Kaki Empat hanya memberi waktu padaku li-
ma hari. Tapi di mana makam Ratna Kumala"
Menurut perhitungan, mayatnya baru dikubur
dua atau tiga hari," gumam lelaki tinggi besar.
Mata nyalangnya menyapu ke setiap nisan kayu
di pemakaman. Ada rasa menggiris ketika ma-
tanya membentur pada sebuah makam yang am-
brol! Si lelaki tinggi besar terus mencari-cari.
Dan bibirnya mengukir senyum ketika matanya
melihat sebuah nisan bertuliskan RATNA
KUMALA. PUTRI TERSAYANG WAROK
JOGOBOYO. "Nah, ini dia yang kucari. Hanya mayat in-
ilah yang ku tahu berusia tak lebih dari seming-gu," kata si lelaki.
Secepatnya dihampirinya kuburan yang di
dalamnya berisi mayat Ratna Kumala.
Siapakah lelaki tinggi besar ini"
Siapa lagi kalau bukan Warok Darmo Sin-
go. Seorang lelaki adik kandung Warok Singo Lo-
dra yang telah terjerumus dalam kesesatan. Bah-
kan karena belum puas dengan kepandaiannya,
dia mencari seorang guru sesat lain. Dan sang
Guru kemudian menyuruhnya mencari mayat pe-
rawan yang baru berumur seminggu.
Warok Darmo Singo lantas mencabut Keris
Klabang Ijo pemberian guru yang telah dikhiana-
tinya, Iblis Rogo Jembangan. Begitu keris yang
diselipkan di pinggang tercabut, si lelaki tinggi besar segera menggali kuburan
Ratna Kumala. Karena mengerahkan tenaga dalam, dalam
waktu singkat mayat Ratna Kumala telah terlihat.
Semakin menggali, maka bentuk utuh mayat Rat-
na Kumala makin nyata. Seiring senyum puas-
nya, Warok Darmo Singo menyelipkan kembali
keris miliknya. Lalu diangkatnya mayat dari da-
lam kuburan. Sejak mayat terlihat, sebenarnya Warok
Darmo Singo merasa mual amat sangat. Perutnya
terasa diaduk-aduk, mengendusi bau busuk yang
amat menyengat. Tapi semua berusaha ditahan-
nya demi sebuah tekad.
Sejenak Warok Darmo Singo meletakkan
mayat di tepi makam. Dikeluarkannya selembar
kain putih yang telah dipersiapkan, dan dibe-
batkan di bagian perutnya. Dibungkusnya mayat
itu agar tak begitu menyebarkan bau menyengat.
Selesai membungkus mayat yang belum
begitu rusak, Warok Darmo Singo melompat ke
atas makam. Lalu, dibopongnya mayat itu, dan
berkelebat meninggalkan tempat ini.
Bersamaan dengan itu, hujan turun deras
bagai ditumpahkan dari langit. Petir menyalak-
nyalak, seolah mengeluarkan sumpah serapah
atas apa yang terjadi di pemakaman umum ping-
giran Kadipaten Trenggalek.
Tak ingin buang-buang waktu lagi, Warok
Darmo Singo berkelebat cepat. Seolah dia takut
para penghuni makam ini akan mengejarnya. Me-
nuntutnya untuk mengembalikan salah satu
penghuni makam yang dicurinya.
Baru saja beberapa tombak Warok Darmo
Singo meninggalkan makam....
"Berhenti, Kisanak!"
Sebuah suara keras bagaikan hendak
mengalahkan suara deru hujan lebat mengha-
dang langkah Warok Darmo Singo. Tercekat, si le-
laki tinggi besar menghadapkan tubuhnya ke
samping kanan, arah bentakan tadi.
Pada jarak lima tombak, berdiri satu tubuh
kekar. Berpakaian ketat warna putih berkilat. Ketika alam sejenak terang oleh
sambaran petir, terlihat kalau sosok itu berambut panjang sebahu
berwarna hitam berkilat. Wajahnya sukar dikena-
li, karena tertutup caping bulat dari tikar pandan.
"Siapa kau, Anak Muda?" desis Warok
Darmo Singo. Sejenak tadi dia berusaha menge-
nali, tapi sia-sia saja.
"Apa yang kau bawa, Kisanak?" Tak mem-
pedulikan pertanyaan Warok Darmo Singo, si pe-
muda malah balik bertanya.
"Apa urusanmu"!" bentak Warok Darmo
Singo, tak suka dengan pertanyaan usil si pemu-
da. "Jadi urusanku, kalau yang kau bawa itu
adalah mayat yang kau curi dari pemakaman ini!"
Warok Darmo Singo selintas melirik ke
arah mayat dalam pondongannya. Bibirnya terse-
nyum dingin, menyadari kalau si pemuda telah
mengetahui apa yang dibawanya.
"Mau mayat, kek. Mau bangkai, kek. Kau
tak berhak mencampuri urusanku, tahu"! Jika
kau keras kepala, jangan menyesal kalau kau ma-
ti muda!" sentak si lelaki tinggi besar.
"Sudah kubilang, kau akan berurusan
denganku. Maka tinggalkan mayat itu di sini se-
belum terjadi perselisihan di antara kita!" balas si anak muda.
"Bangsat! Keras juga rupanya kepalamu!
Ingin tahu, sampai di mana bacot sialanmu itu!"
Warok Darmo Singo melempar mayat Ratna Ku-
mata dalam pondongannya, "Tahan seranganku!
Heaaa...!"
Berkawal bentakan keras merobek angkasa
gelap ditingkahi deru suara hujan lebat, Warok
Darmo Singo menerjang. Hebat dan ganas. Ter-
cium bau kematian dalam serangannya. Bahkan
dalam setiap kebutan kepal kekarnya terdengar
suara menderu memangkas udara.
Deb! Deb! Si anak muda mundur tiga langkah ke be-
lakang. Pada jarak yang memungkinkan, tubuh-
nya bergerak ke samping kiri. Lalu dibuatnya satu putaran dengan kaki menyapu.
Sedangkan kaki kanan menjadi tumpuan.
Bed! Warok Darmo Singo tercekat. Serangan
bertubi-tubinya dengan kepalan hanya memang-
kas angin kosong. Bahkan secara tak terduga,
kaki kekar lawan bergerak ke arah dadanya.
"Hih!"
Si lelaki tinggi besar berusaha menahan
dengan menyampok kaki lawan dari bawah. Tapi
dengan amat cepat, kaki lawan telah ditarik kem-
bali, lalu menghujam ke bawah. Ke perutnya.
Dan.... Desss...!
Warok Darmo Singo tergusur mundur. Kaki
lawan tadi telak mendarat di perutnya yang lo-
wong. Matanya kontan mendelik tak percaya. Mu-
lutnya meringis jelek seperti kakek ompong ma-
kan rempeyek. "Keparat kau, Pemuda Busuk! Jangan diki-
ra kau sudah menang!" Sumpah serapahnya me-
luncur kemudian. "Coba yang satu ini, jahanam!
Heaaa...!"
Pukulan jarak jauh dibuat Warok Darmo
Singo. Angin menderu. Menggebu.
Menerobos lawan muda yang masih diam
membisu "Khiaaa...!"
Teriakan tak kalah seru dibuat si pemuda.
Suaranya membelah udara malam. Hendak dika-
lahkannya suara guntur yang sesekali terdengar
menyalak. Pada titik akhir teriakannya, kedua
tangannya menghentak ke depan. Akan dipapak-
nya deru angin pukulan jarak jauh lawan.
Blaaappp! Yang terdengar hanya bunyi tak berarti.
Suara kentut maling malah mungkin lebih keras.
Tapi hasilnya, kedua orang yang tengah berseteru terpental ke belakang. Melayang
hingga sejauh lima tombak. Ceprottt!
Keduanya sama-sama jatuh bergumul den-
gan tanah becek. Lalu sama-sama bangkit dengan
tubuh berbalur lumpuh basah. Keadaan mereka
kini bagai setan sawah!
Dari ringisan di bibir masing-masing,
agaknya keduanya sama-sama didera rasa nyeri
pada dada. Buktinya, keduanya juga tengah me-
megangi dada masing-masing. Sementara darah
yang meleleh di sudut bibir cepat tersapu oleh air hujan yang terus menggila.
Edan! Tenaga dalamnya tinggi sekali. Da-
lam sekali gebrakan lagi aku pasti tak mampu
menghadapinya. Rutuk si pemuda, membatin.
Dadanya tampak turun naik cepat tanda napas-
nya memburu. Di tempatnya, Warok Darmo Singo juga
membatin. Gawat! Waktuku bisa habis kalau te-
rus meladeni bocah sialan ini! Aku harus cepat-
cepat menyingkir kalau tak mau rencanaku gagal.
Mendadak.... "Heaaah...!"
Satu bentakan nyaring dibuat Warok Dar-
mo Singo. Bersamaan dengan itu, dilepaskannya
kembali satu pukulan jarak jauh. Teramat ganas,
mengandung hawa kematian. Seketika, angin
menderu terlontar. Memangkas udara malam,
menciptakan sebuah kekuatan menggetarkan.
"Hih!"
Karena serangan terlalu mendadak, sebi-
sanya si pemuda menghindar tanpa sempat
membalas. Dibuangnya tubuh ke kanan, lalu ber-
guling-gulingan. Membuat seluruh tubuhnya ma-
kin dibaluri lumpur.
Kesempatan yang amat singkat itu diguna-
kan Warok Darmo Singo untuk menyambar mayat
Ratna Kumala yang juga telah bersimbah lumpur
mengotori kain pembungkusnya. Tubuh si lelaki
tinggi besar cepat berkelebat dari tempat ini, sela-gi si anak muda lawannya
masih bergulingan.
Blaarr...! Pukulan jarak jauh yang tak menemui sa-
saran menghantam sebuah pohon beringin muda
hingga tumbang. Bersamaan dengan itu, si anak
muda telah bangkit berdiri. Dan dia jadi celingukan, karena lawan telah
menghilang entah ke
mana. "Biadab! Ke mana larinya manusia keparat itu! Aku yakin, yang dibawanya
sesosok mayat!"
maki si pemuda.
"Siapa yang kau cari, Kisanak?"
Tiba-tiba sebuah suara agak keras me-
menggal kekecewaan si anak muda lantaran la-
wannya menghilang begitu saja. Terkejut, si pe-
muda berbalik. Makin terkejut lagi, ketika men-
genali siapa yang menegurnya tadi.
"Satria...?"
* * * Si anak muda berpakaian ketat warna pu-
tih membuka capingnya. Tapi, wajahnya yang di-
penuhi lumpur tetap saja tak dikenali sosok yang baru datang tadi. Sosok pemuda
berpakaian rompi putih dari kulit binatang. Sosok Satria Gen-
deng! "Kau, siapa ya" Apakah kau bukan pe-
nunggu makam ini?" tanya Satria.
Ketika air hujan sedikit demi sedikit me-
nyingkirkan lumpur di wajah si pemuda berpa-
kaian ketat putih, barulah Satria bisa mengenali.
"Ah, maafkan hamba, Tuan Muda! Hamba
kira...." "Ah, sudahlah Satria. Tak usah memang-gilku begitu. Panggil aku
Senoaji saja!" pinta si anak muda yang ternyata Senoaji, putra Adipati
Ngawi, memenggal kata-kata Satria.
"Iya, Senoaji. Tadi kau mencari siapa" Dan
mengapa kau berada di tempat ini?"
Satria memang telah mengenal Senoaji, wa-
laupun baru bertemu sekali di Kadipaten Ngawi.
Waktu itu, si anak muda perkasa baru saja hen-
dak berangkat menuju Bukit Munthang untuk
memisahkan pertarungan Warok Singo Lodra me-
lawan Warok Jogoboyo. (Baca episode : "Pertunangan Berdarah").
Ketika hendak berangkat, Senoaji tiba di
keraton setelah berguru di Blambangan. Setelah
berkenalan sejenak, Satria berangkat ke Bukit
Munthang bersama Adipati Ngawi dan Panglima
Adi Kencono. "Aku memergoki seseorang ketika melewati
tempat ini. Orang itu kelihatannya mencurigakan, karena memondong sesosok mayat


Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dibung-kus kain putih. Dari bau busuk yang tercium,
aku yakin kalau yang dibawanya adalah mayat.
Ketika aku menyuruhnya untuk meninggalkan
mayat itu, dia malah menyerangku. Kami berta-
rung sejenak, dan tiba-tiba dia melarikan diri,"
papar Senoaji. "Kau mengenali ciri-cirinya?" tanya Satria.
"Penampilannya seperti seorang warok. Ta-
pi yang pasti bukan Warok Singo Lodra atau Wa-
rok Jogoboyo. Entah siapa, aku tak mengenal-
nya," jelas Senoaji.
"Jangan-jangan, dia Warok Darmo Singo,"
duga Satria. "Warok Darmo Singo" Maksudmu, orang
yang selama ini mengadu domba dua warok ter-
kenal itu?"
"Siapa lagi" Tapi, mayat siapa yang dibawa.
Ah, masa bodoh mayat siapa itu. Yang jelas, se-
pertinya Warok Darmo Singo tengah memperda-
lam ilmu sesat. Jadi, dia saat ini bukan berada di Gunung Wilis. Licik sekali
manusia sialan itu!"
Satria seolah berkata-kata untuk dirinya sendiri.
"Kau tak mau memeriksa, kuburan siapa
yang dibongkarnya?" aju Senoaji.
Mendadak, pikiran buruk melintas di be-
nak si anak muda perkasa. Terutama ketika me-
nyadari kalau saat ini berada di pemakaman
umum pinggiran Kadipaten Trenggalek.
Tanpa berkata-kata, Satria segera berkele-
bat masuk ke dalam pemakaman. Gerakannya
segera diikuti Senoaji. Dalam lima hitungan, ke-
dua anak muda itu telah tiba di makam Ratna
Kumala yang kini telah terbongkar.
"Setan belang! Lihat, Senoaji! Kunyuk bu-
luk itu telah membongkar makam Ratna Kumala,
gadis yang hendak dijodohkan denganmu!" tunjuk Satria, menggeram.
Walaupun tak mencintai Ratna Kumala,
tak urung Senoaji merasa terpukul melihat ma-
kam sahabat kekasihnya terbongkar. Anak muda
ini lantas berjongkok di tepi makam. Diraihnya
tanah makam bekas galian.
"Tenanglah di alammu, Ratna. Tak akan
kubiarkan orang yang berani mengganggu ma-
kammu!" desisnya, seraya meremas tanah makam dalam kepalannya.
"Aku yakin, Warok Darmo Singo hendak
menggunakan mayat Ratna Kumala sebagai sya-
rat dalam menuntut ilmu sesat. Dan dia pasti se-
dang berguru pada seorang tokoh hitam.
Hmmm..., siapa tokoh hitam itu, ya?" gumam Satria. Keningnya berkerut dalam.
Senoaji merasa tak perlu menjawab. Ma-
kanya dia diam saja. Dia yakin, Satria cuma se-
kadar berkata untuk dirinya sendiri.
"Oh, ya Senoaji. Bagaimana ceritanya kau
bisa sampai ada di sini?" Satria menyusuli dengan pertanyaan. Dan jelas, kali
ini Senoaji merasa harus menjawabnya.
"Aku sebenarnya hendak ke Ponorogo, me-
nemui Nawangsih. Tapi mendadak pikiranku be-
rubah. Tiba-tiba saja aku ingin mengunjungi Pa-
man Warok Jogoboyo lebih dulu. Yah..., sekadar
menyatakan duka cita. Dan ketika kemalaman di
pinggiran kadipaten ini, aku bertemu manusia
keparat itu!" tutur Senoaji, penuh kegeraman.
"Aku rasa, kau tak perlu ke rumah Warok
Jogoboyo. Sebab, beliau kalau tak salah sedang
berada di Gunung Wilis bersama Warok Singo Lo-
dra," saran Satria.
Sementara, hujan kini mulai reda, berubah
menjadi rintik-rintik. Seperti jarum-jarum halus yang ditumpahkan dari langit.
Alam mulai tenang.
Angin malam berhembus semilir, tidak menggila
seperti tadi. "Ada apa mereka di sana?" tanya Senoaji.
"Kalau tak salah, ada pohon, batu, tanah,
angin.... Pokoknya, semua-semua ada deh. He he
he.... Ya, mereka yang jelas mengejar Warok Dar-
mo Singo," gurau Satria.
"Hmmm.... Kalau begitu, kita harus mem-
bagi tugas," cetus Senoaji.
"Sebenarnya aku bermaksud begitu. Cuma
aku tak enak saja bila harus memberi tugas pada
seorang anak adipati, tidak sopan rasanya," kata Satria. Senoaji tersenyum. "Di
keraton, aku memang anak adipati. Tapi di dunia luar, aku sama
sepertimu, Satria. Sama-sama orang persilatan.
Itu sebabnya, aku sekarang mengenakan pakaian
seperti ini serta caping di kepalaku, supaya be-
nar-benar dianggap sebagai orang persilatan," tukas Senoaji.
"Ya, jelas lain, dong," bantah Satria.
"Maksudmu?"
"Aku lebih ganteng sedikit, he he he ...."
Kembali Senoaji tersenyum.
"Nah, sekarang sebaiknya kau pergi ke Gu-
nung Wilis. Kabarkan pada Paman Warok Singo
Lodra dan Paman Warok Jogoboyo kalau si warok
kentut tidak ada di Gunung Wilis," lanjut Satria, sikapnya berubah jadi
bersungguh-sungguh.
"Sekarang, aku harus pergi ke sana?" tanya Senoaji.
"Tidak, tahun depan saja kau ke sana. Ya,
sekarang.... Mau kapan lagi?" ledak Satria.
"Baiklah kalau begitu," Senoaji bersiap hendak melangkah. Tapi....
"Tunggu...," cegah Satria.
"Apa lagi, Satria?" kening Senoaji berkerut.
"Setelah ke Gunung Wilis, temuilah Na-
wangsih. Dia titip salam buatmu," Satria sedikit berdusta.
"Kau ada-ada saja, Satria. Dia masih sa-
kit...." Senoaji tanpa sungkan-sungkan menyi-langkan telunjuknya di jidat.
"Sembarangan kau, Senoaji!"
"Maksudmu, dia sudah sembuh?"
"Sudahlah.... Yang penting jalankan tu-
gasmu dengan baik lebih dulu," sergah Satria dengan senyum terukir di bibir.
"Baik..., baik Satria. Akan kujalankan tu-
gasku dengan baik. Selamat tinggal"
Di ujung kalimatnya, Senoaji berkelebat ke-
luar dari pemakaman umum. Sekejap kemudian,
Satria menyusul. Bila Senoaji berkelebat menuju
Gunung Wilis, si anak muda perkasa dengan
mengandalkan ketajaman indra penciumannya
berkelebat menuju arah Warok Darmo Singo per-
gi. TUJUH TEPAT ketika matahari menyembul di ca-
krawala bagian timur, Senoaji tiba di kaki Gu-
nung Wilis. Tapi sebelum anak muda ini mendaki
menuju puncak, dari arah berlawanan berkelebat
dua bayangan hitam. Semakin dekat, semakin je-
las kalau dua bayangan hitam itu adalah dua so-
sok lelaki tinggi besar berpakaian serba hitam.
Berwajah brewok dengan tatapan tajam ke depan.
Siapakah mereka"
Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo.
Setelah mengantar Dongdongka serta me-
nunggu Warok Darmo Singo di puncak Gunung
Wilis selama dua hari namun tak ada hasil, mere-
ka memutuskan untuk turun gunung. Dan mere-
ka begitu terkejut ketika di hadapan mereka ber-
diri satu sosok tegap berpakaian ketat warna pu-
tih. Mengenakan caping, nyaris menutupi wajah-
nya. Dua tombak di depan si anak muda, kedua
warok menghentikan lari mereka. Mata tajam me-
reka mengawasi dan berusaha mengenali, siapa
pemuda tegap yang menghadang.
Baru ketika caping si anak muda di bu-
ka.... "Raden Senoaji...?" sebut kedua warok, nyaris berbarengan.
"Maaf, Paman Warok berdua. Mungkin aku
mengagetkanmu. Tapi ada sebuah berita yang
membuat. Paman berdua akan lebih kaget lagi,"
kata Senoaji, langsung.
"Tunggu dulu, Raden. Kenapa tiba-tiba Ra-
den muncul di tempat ini," potong Warok Singo Lodra. "Justru itu, Paman. Begini
ceritanya," Senoaji membuka penuturannya. "Aku berniat ke Ponorogo hendak
menemui Nawangsih. Aku sengaja lewat Trenggalek, bermaksud menemui Pa-
man Warok Jogoboyo untuk menyatakan bela-
sungkawa. Tapi ketika aku kemalaman dan lewat
di pinggiran Kadipaten Trenggalek, aku bertemu
Warok Darmo Singo yang baru saja mencuri seso-
sok mayat di pemakaman umum kadipaten. Aku
sempat bertarung beberapa jurus dengannya, tapi
kemudian Warok Darmo Singo melarikan diri,"
Senoaji sejenak menghentikan ceritanya.
Entah kenapa, tiba-tiba perasaan Warok
Jogoboyo terkunci dalam kecemasan. Ada rasa
tak enak yang mengoyak batinnya. Seolah cerita
Senoaji kian mengiris-iris hatinya.
"Ketika Warok Darmo Singo berhasil mela-
rikan diri dengan membawa mayat yang dicu-
rinya, Satria datang. Lalu kami segera memeriksa ke pemakaman. Ternyata...,
kuburan Ratna Kumala telah dibongkarnya," lanjut Senoaji, nyaris tak terdengar
suaranya. "Lalu kami membagi tu-
gas. Aku ke Gunung Wilis untuk menemui Paman
Warok berdua, sedangkan Satria aku yakin, ten-
gah mengejar Warok Darmo Singo...."
Memucat wajah Warok Jogoboyo. Hatinya
benar-benar terpukul. Hatinya ingin menjerit, tapi sifat jantannya melarang. Dan
suaranya hanya sampai di tenggorokan saja. Dadanya benar-benar
hendak meledak. Amarahnya nyaris terbongkar di
tempat ini, tapi berusaha mati-matian diredam-
nya. Hanya bibir di balik kumis lebatnya yang
berkemik-kemik. Sementara matanya mendelik.
Seolah tak percaya dengan pendengarannya.
Sedangkan Warok Singo Lodra menggeram
hebat. Amarahnya terbakar mendengar kuburan
putri saudara seperguruannya diobrak-abrik ma-
nusia laknat, kendati manusia itu adalah adik
kandungnya sendiri. Dia jadi begitu prihatin atas penderitaan adik
seperguruannya yang seperti tak ada habisnya. Sudah putri tersayangnya mati,
masih juga kuburannya diobrak-abrik. Yang lebih
menyakitkan, orang yang mengobrak-abrik adalah
dalang dari semua peristiwa yang terjadi. Penye-
salan mendalam pun makin mengoyak perasaan-
nya. Menyesal, kenapa sampai saat ini belum
berhasil meringkus Warok Darmo Singo yang su-
dah dianggapnya sebagai manusia iblis!
"Menurut Satria, jelas bahwa Warok Darmo
Singo memang tak menuju Gunung Wilis. Dia se-
dang berada di suatu tempat untuk memperda-
lam ilmu hitam. Dan salah satu syaratnya, men-
cari mayat. Bisa jadi semua itu dilakukan dalam
rangka untuk mendapatkan harta karun dan ki-
tab sakti yang disembunyikan guru Paman ber-
dua. Sebab aku tahu dari ayahandaku, Warok
Darmo Singo tengah memburu harta karun serta
sebuah kitab sakti peninggalan guru Paman Wa-
rok berdua," ungkap Senoaji.
"Pantas, kami menunggu dua malam di
puncak Gunung Wilis, ternyata keparat itu tak
muncul-muncul. Dan karena perasaanku nggak
enak, aku mengajak Kakang Warok Singo Lodra
untuk turun gunung. Kasihan Panembahan
Dongdongka. Dia kami tinggal sendirian di sana.
Kelihatannya dia begitu khusuk berdoa untuk
Guru kami," desah Warok Jogoboyo.
Sebelum ada yang bersuara....
"Siapa bilang aku khusuk?" Tiba-tiba sebuah suara sember merampas keheningan.
Suara siapa lagi kalau bukan suara Dongdongka. Buk-
tinya, tahu-tahu saja manusia lapuk itu telah berada di belakang kedua warok.
Sama sekali tak
diketahui kehadirannya. Datang seperti perut mu-
las, dan hilang seperti kentut terbawa angin. Tak berbekas. "Kalian mestinya
harus memasang ke-lambu di makam guru kalian, para Manusia Bu-
lu!" sembur Dongdongka. "Di sana banyak nya-muk!" Tak ada alasan bagi kedua
warok untuk tersinggung. Mereka cukup paham tabiat manusia sinting itu. Biar
bagaimanapun, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul adalah sahabat guru me-
reka, Resi Kalangwan. Dan mereka memang men-
gakui kalau di makam guru mereka binatang-
binatang penghisap darah itu sering mengganggu
bila sedang khusuk berdoa.
"Maaf, Panembahan. Kami berjanji akan
merawat makam Guru kami," kata Warok Singo
Lodra, berbalik ke samping. Seolah hendak mem-
beri jalan pada si manusia buluk berkepala botak.
"Panembahan, kuperkenalkan pada pemu-
da ini," Warok Jogoboyo menghampiri Senoaji.
"Dia putra Adipati Ngawi yang baru saja terjun dalam dunia persilatan. Namanya,
Senoaji." Dongdongka melangkah menghampiri. Ma-
tanya menyipit, seolah sedang meneliti sosok yang diperkenalkan Warok Jogoboyo.
Sedang Senoaji sendiri yang semula terkejut dengan kedatangan
Dongdongka segera memasang sikap gagah. Diki-
ranya, Dongdongka akan memberi sembah pa-
danya. Tapi....
Tuk! Tuk! Tuk! Bambu tipis di tangan si manusia lapuk
malah hinggap di kepala Senoaji. Keterlaluan se-
kali tabiat Dongdongka. Padahal di hadapannya
adalah seorang putra adipati!
"O..., jadi kau putra si Suro Brajan doyan


Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makan itu ya" Bagus..., bagus. Kalau sudah ter-
jun dalam gonjang-ganjing dunia persilatan, lu-
pakanlah kesenangan duniawi. Kau harus siap
menanggung segala akibatnya, termasuk mati di
atas pusar wanita sesat.... He he he...," oceh Dongdongka, seenaknya.
Memerah wajah Senoaji. Amarahnya mau
meledak. Siapa tokoh kurang ajar ini" Tanya ha-
tinya. Bukannya menyembah, tapi malah menge-
tuk-ngetuk kepalaku dengan bambu tipisnya.
Bahkan kata-katanya terdengar sengak sekali.
"Kau jangan tersinggung dengan tabiat Pa-
nembahan Dongdongka, Senoaji. Biar bagaima-
napun, Panembahan Dongdongka sahabat Guru
kami. Bahkan kalau menarik sejarah masa lam-
pau, menurut Guru kami Panembahan Dong-
dongka adalah bekas ksatria dari Kerajaan Maja-
pahit," Warok Jogoboyo yang membaca gelagat tak sedap di hati Senoaji berusaha
menengahi. Kali ini, justru Senoaji yang menjatuhkan
diri. Bersimpuh di depan kaki kurus keropos
Dongdongka.... * * * "Bagus..., bagus.... Tak sia-sia aku mem-
bimbingmu kemari, Darmo. Mayat yang kau dapat
masih baik. Dan berarti, kau telah berhasil men-
jalani syaratku. Sebentar lagi, kau akan menda-
patkan ilmu langka yang tak ada bandingnya di
dunia. Ha ha ha...!"
Ledakan tawa Manusia Sesat Kaki Empat
memecah keheningan dalam goa di Bukit Para
Danyang. Di hadapannya, Warok Darmo Singo
hanya manggut-manggut sekaligus merasa bang-
ga karena dia berhasil memenuhi syarat untuk
mendalami sebuah ilmu hitam yang diminta Ma-
nusia Sesat Kaki Empat.
"Sekarang juga, aku sudah bisa memulai
upacara persembahan mayat perawan ini kepada
Ratu Danyang, Darmo. Mudah-mudahan, kau
akan mendapatkan apa yang kau impikan. Sete-
lah upacara selesai, kau resmi menjadi sekutu
para Danyang. Artinya, sejak saat itu kau tak lagi manusia biasa, tapi setengah
siluman. Tentu saja dengan kepandaian luar biasa. Salah satu di antaranya, kau
bisa meminta bantuan para iblis, ji-ka kau menghendaki sesuatu. Kau mau?" lanjut
Manusia Sesat Kaki Empat, panjang lebar.
Warok Darmo Singo memang tak ingin se-
tengah-setengah dalam keinginannya untuk men-
jadi tokoh persilatan yang ditakuti. Apalagi, dia bercita-cita juga ingin
menguasai harta serta kitab sakti peninggalan Resi Kalangwan. Mendapat
penjelasan dari lelaki tua di hadapannya, Warok
Darmo Singo merasa yakin kalau para iblis bisa
membantunya dalam mendapatkan kedua benda
yang diidam-idamkan. Sebab selama ini, dia juga
tak mampu memecahkan petunjuk di dalam dua
lempengan logam yang dicurinya dari Warok Sin-
go Lodra dan Warok Jogoboyo.
Syarat telah dipenuhi. Apakah Warok Dar-
mo Singo akan mundur begitu saja setelah me-
nyadari dirinya akan bersekutu dengan para Da-
nyang" Tidak! Tegas hatinya, bulat-bulat. Aku
sudah jauh melangkah. Haruskah aku kembali
lagi" Setelah peristiwa-peristiwa lalu, pasti Kakang Warok Singo Lodra dan Warok
Jogoboyo akan mencari-cariku. Dan buntut-buntutnya, me-
reka pasti akan membunuhku. Kalau aku tidak
mempersiapkan diri, mustahil aku bisa menga-
lahkan mereka. Begitu tekad bulat Warok Darmo
Singo. "Tentu Guru," sahut Warok Darmo Singo yang telah memanggil guru pada
Manusia Sesat Kaki Empat. "Tak ada lagi keraguan dalam hatiku. Karena aku memang harus
menghadapi mu- suh-musuhku!"
"Bagus..., bagus. Tapi, ingat! Ada syarat setelah kau mendapat ilmu para
Danyang!" kata Manusia Sesat Kaki Empat.
"Apa itu, Guru?"
"Tiap purnama, kau harus menyediakan
mayat perawan kepadaku yang berusia kurang
dari seminggu."
"Hanya itu, Guru?"
"Bantu aku untuk mengalahkan musuh-
musuh besarku."
"Siapa saja mereka, Guru?"
"Resi Kalangwan."
"Dia telah meninggal beberapa tahun yang
lalu," "Kalau begitu, sahabat-sahabatnya."
"Di antaranya?"
"Dedengkot Sinting Kepala Gundul."
"Ada lagi, Guru?"
"Itu saja dulu."
* * * Upacara persembahan mayat dimulai. Di
sebuah batu pipih, mayat Ratna Kumala diba-
ringkan. Di atas kepala mayat terdapat pendu-
paan dengan asap kemenyan mengepul memenu-
hi ruangan goa. Membuat dada sesak dan mata
pedih. Dalam keadaan telanjang bulat, lat, Manu-
sia Sesat Kaki Empat dan Warok Darmo Singo
menari-nari mengitari mayat Ratna Kumala. Dari
bibir kendor si tua kaki empat terlontar mantra-
mantra yang sulit dimengerti Warok Darmo Singo.
Lelaki tinggi besar ini hanya mengikuti gerak yang diperagakan guru sesatnya.
Terkadang mereka berjingkrak-jingkrakan.
Kedua tangan menyentak-nyentak ke samping
dengan kepala manggut-manggut. Sekali waktu
mereka menggoyang-goyangkan pinggul. Saat
Manusia Sesat Kaki Empat menggoyang-
goyangkan pinggul, nyaris Warok Darmo Singo
tertawa. Betapa dilihatnya kedua kaki gurunya
yang berada di belakang bergoyang-goyang me-
rangsang. Namun dia segera memusatkan piki-
rannya kembali kalau tak mau upacara ini gagal.
Pada puncaknya, tarian aneh Manusia Se-
sat Kaki Empat melambat. Mantra yang terlontar
dari bibir kendornya tak lagi cepat. Begitu khusuk penuh makna keramat.
Seperti gerakan Manusia Sesat Kaki Em-
pat, gerakan Warok Darmo Singo pun melambat.
Dan mendadak, jiwanya terasa melayang bak di
awang-awang. Tepat berada di samping mayat Ratna Ku-
mala, Manusia Sesat Kaki Empat duduk bersim-
puh, diikuti Warok Darmo Singo. Kepalanya ter-
tunduk, dengan kedua tangan berada di paha.
Demikian pula Warok Darmo Singo. Sekejapan
kemudian, dari pendupaan lamat-lamat terlihat
sebuah bayang ramping. Bayangan seorang pe-
rempuan cantik tanpa benang sehelai pun. Seper-
ti melenggak-lenggok, seirama dengan liukan asap pendupaan.
"Wayan... bangunlah. Aku telah hadir...."
Suara halus terdengar menggelitik sukma.
Manusia Sesat Kaki Empat yang bernama
Wayan, atau tepatnya Wayan Swadaya mengang-
kat kepalanya. Dan bibirnya tersenyum saat me-
natap bayang-bayang perempuan tanpa benang
sehelai pun. "Nini Gedeng Swastami.... Akhirnya kau
datang juga. Syukurlah, Nini. Ini, Nini. Aku mem-persembahkan wadag kasar dari
seorang perawan
cantik. Untuk itu, setelah kau masuk ke dalam
jasadnya, sudilah kiranya memberi ajian pada
muridku yang bersimpuh di sampingku," lapor Manusia Sesat Kaki Empat, penuh
khidmat. Bayang-bayang perempuan yang dipanggil
Nini Gedeng Swastami menoleh ke arah jasad
mayat Ratna Kumala. Bibir merahnya tersenyum
lamat. Lalu kepala manggut-manggut, tanda me-
nyetujui persembahan yang diberikan Manusia
Sesat Kaki Empat.
"Kalau begitu, aku akan segera memasuki
jasad mayat gadis ini. Biar kita bisa bercengke-
rama dengan leluasa, Wayan," kata Nini Gedeng Swastami, genit.
"Silakan, Nini. Aku pun sudah merindu-
kanmu," kata Manusia Sesat Kaki Empat, bersemangat.
Warok Darmo Singo sendiri hanya meman-
dang takjub dengan apa yang dilihatnya. Teruta-
ma ketika melihat bayangan perempuan itu per-
lahan-lahan bergerak, memasuki jasad mayat
Ratna Kumala melalui ubun-ubun.
Sejenak suasana hening.
Merinding. Di luar sana, lolongan serigala melengking.
Perlahan namun pasti, waktu terus berges-
er. Sudah lewat dini hari. Bersamaan dengan itu, tubuh mayat Ratna Kumala
bergerak perlahan.
Awalnya, kedua tangannya. Lalu kaki, dan diikuti kepala. Yang mencengangkan,
mayat yang semula
rusak perlahan-lahan kembali seperti semula. Ha-
lus mulus berlapis kulit kuning langsat.
Dalam gerak perlahan, jasad Ratna Kumala
bangkit, setelah matanya membuka. Langsung di-
tolehkan kepalanya ke arah Manusia Sesat Kaki
Empat. Lalu berpindah ke wajah Warok Darmo
Singo. Tengkuk lelaki tinggi besar yang semula
merinding perlahan mereda. Bahkan ganti terpe-
sona melihat kecantikan wajah Ratna Kumala
yang telah bangkit kembali.
"Bagaimana, Wayan" Apakah aku kelihatan
cantik?" Tatapan Ratna Kumala yang telah dimasuki jasad halus Nini Gedeng
Swastami berpindah
pada wajah tua Manusia Sesat Kaki Empat.
"Cantik sekali, Nini. Bahkan teramat can-
tik. Ah, sungguh tak kusangka. Ternyata usahaku
tak sia-sia untuk bersekutu denganmu di Bukit
Para Danyang, Nini. Kau telah menepati janjimu,"
desah Wayan Swadaya.
Siapakah Nini Gedeng Swastami sebenar-
nya" Dialah Ratu Para Danyang yang berse-
mayam di bukit Para Danyang ini. Sejak Manusia
Sesat Kaki Empat memilih tempat ini sebagai
tempat untuk memperdalam ilmu hitamnya, dia
sudah beberapa kali meminta kehadiran Ratu Pa-
ra Danyang ini. Namun, selama itu usahanya tak
menemui hasil. Baru ketika Manusia Sesat Kaki Empat
membawa lima belas mayat perawan ke hadapan
Nini Gedeng Swastami, Ratu Para Danyang itu
mau menampakkan diri. Itu pun setelah Manusia
Sesat Kaki Empat berjanji dalam setiap purnama
senantiasa menyediakan mayat perawan sebagai
wadah bagi Nini Gedeng Swastami untuk hadir di
dunia kasar. Sebagai makhluk halus, Nini Gedeng Swas-
tami juga memiliki nafsu. Termasuk, nafsu untuk
melampiaskan gejolak birahinya. Itu sebabnya,
dia butuh jasad kasar sebagai sarana untuk me-
menuhi gelora birahinya. Karena memang, kege-
maran wanita siluman ini adalah berhubungan
intim dengan makhluk bernama manusia. Lagian,
mana mungkin dia bisa berhubungan dalam kea-
daan hanya berupa bayang-bayang" Apa enak-
nya" Hubungan intim itu terus berlangsung
hingga beberapa tahun, sampai akhirnya Wayan
Swadaya memiliki ajian pemberian Nini Gedeng
Swastami. Ajian dapat membuatnya mampu
mempengaruhi jalan pikiran orang lain. Bahkan
mampu menghilang bila mengucapkan mantra-
mantra tertentu.
Untuk memenuhi syarat menyediakan
mayat perawan, Manusia Sesat Kaki Empat tak
ingin bersusah-susah. Itu sebabnya ketika Warok
Darmo Singo berada di lembah di dekat Bukit Pa-
ra Danyang, Manusia Sesat Kaki Empat menje-
ratnya dengan pengaruh jarak jauh.
"Sekarang, mari kita mandi bersama di
sendang bawah tanah, Nini," ajak Wayan, berse-mangat.
"Mari, Wayan. Aku juga sudah tak sabar
untuk menurunkan ajian lain pada muridmu itu.
Sekaligus, menjajal kejantanannya," sahut Nini Gedeng Swastami.
"Nini kupersilakan untuk menjajalnya nan-
ti," Manusia Sesat Kaki Empat melirik pada Warok Darmo Singo yang terus menatap
lekat-lekat ke seluruh lekuk-lekuk tubuh Ratna Kumala.
DELAPAN ATAS saran Warok Jogoboyo dan Warok
Singo Lodra, Senoaji berangkat menuju Kadipaten
Ponorogo. Karena setelah mendengar penuturan
Senoaji tadi, kedua warok yakin kalau Satria telah selesai mengobati Nawangsih.
Soal sembuh atau
belum, kedua warok itu belum tahu. Tapi kalau
mendengar cerita Senoaji bahwa Nawangsih titip
salam buat anak muda ini, jelas bahwa Nawang-
sih telah sembuh.
Ketika Senoaji telah pergi, Warok Singo Lo-
dra dan Warok Jogoboyo mengajak Dongdongka
untuk ke Trenggalek untuk memeriksa makam
Ratna Kumala. Kali ini tanpa menunjukkan tabiat
sintingnya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul
menyanggupi untuk ikut serta.
Dengan mengerahkan kepandaian ilmu lari
cepat masing-masing, dalam setengah harian me-
reka telah tiba di Trenggalek. Atau tepatnya di


Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemakaman umum. Begitu tiba, di tepian makam
telah berdiri seorang pemuda berpakaian rompi
putih dari kulit binatang. Berambut panjang me-
lebihi bahu, berwarna kemerahan. Celananya
pangsi sebatas lutut.
"Hei, Cah Gendeng! Kau sekarang sudah
jadi penunggu makam"!" sapa Dongdongka, begi-tu tiba. Cah Gendeng yang dimaksud
Dongdongka tentu saja Satria. Si anak muda perkasa tanah
Jawa yang mulai menghebohkan dunia persilatan.
"Kakek Dongdongka" Kok Kakek tahu-tahu
ada di sini?" Satria langsung berbalik.
"Suka-suka aku! Mau ada di pantat sapi,
kek. Mau ada di kamar pengantin, kek. Siapa
yang mau melarang?" sahut Dongdongka, ketus.
"Sekarang, kenapa kau sampai kelayapan ke daerah Jawa bagian timur ini, hah"!"
"Semula aku mencari Tresnawati, Kek. Tapi
ternyata di daerah ini aku diminta menyelesaikan sebuah persoalan. Ya, terpaksa
pencarianku ter-tunda. Aku diminta Kanjeng Adipati Nga...."
"Sudah! Sudah! Aku sudah mendengar se-
muanya dari kedua Manusia Bulu ini!" potong Dongdongka, melempar dagu keriputnya
pada Warok Singo Lodra chin Warok Jogoboyo. Heran,
padahal lelaki tua lapuk itu sudah tahu nama ke-
dua warok itu. Tapi tega-teganya masih memang-
gil mereka manusia bulu. Dasar tak punya pera-
saan! Satria melempar pandangan pula ke arah
kedua warok. Kedua lelaki tinggi besar penuh
brewok itu mengangguk, membenarkan. Memang
selama perjalanan sambil berlari cepat Warok
Singo Lodra telah menceritakan semua yang ter-
jadi. "Katanya kau mengejar Warok Darmo Sin-go, Satria" Bagaimana hasilnya?"
tanya Warok Jogoboyo.
"Maaf, Paman. Selain kedatanganku ter-
lambat saat terjadi pertarungan antara Senoaji
dengan manusia keparat itu, ternyata Warok
Darmo Singo juga mengandalkan ilmu lari cepat-
nya. Aku kehilangan jejak ketika sampai di se-
buah lembah bercadas. Untuk itulah aku memu-
tuskan untuk kembali. Dan karena aku yakin ka-
lian akan ke tempat ini, maka aku menunggu di
sini. Aku tak tahu, lembah apa itu namanya. Ke-
tika tiba di sana, pikiranku mendadak kacau.
Terdengar suara-suara aneh di sana. Tempat itu
begitu menggiriskan. Seolah, hatiku jadi bimbang.
Makanya, kuputuskan untuk kembali saja," jelas Satria, jujur.
"Lembah Keramat...," desis Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo, nyaris
bersamaan. Semua manusia yang ada di pemakaman
umum pinggiran Kadipaten Trenggalek ini hanyut
dalam kegeraman, kecuali Dongdongka. Ah, in-
dahnya kalau aku yang berada di lubang itu, kata Dedengkot Sinting Kepala Gundul
ketika melempar pandangannya ke arah lubang kubur milik
Ratna Kumala yang terbongkar. Kenapa aku yang
lapuk ini tak mati-mati juga, ya" Eh, perawan
yang cantik anak salah satu Manusia Bulu itu
malah gampang banget matinya"
Namanya juga harapan sinting. Ya, yang
tercetus juga terdengar aneh. Di mana sebagian
besar manusia bertahan untuk hidup, malah si
tua lapuk itu ingin mati. Bahkan susahnya minta
ampun. Tak dipungkiri walaupun telah menyadari
bahwa mati-hidup adalah urusan Sang Khalik, te-
tap saja pikiran itu bisa nongol dalam benaknya
sewaktu-waktu. Dia bahkan terlalu cemburu bila
melihat orang mati. Seandainya ada orang mati
yang bersedia mengajaknya, dengan senang hati
dia akan mengikutinya. Dengan syarat, tidak den-
gan cara bunuh diri. Itu tindakan pengecut! Ka-
tanya. "Aku tak mengerti, apa maunya manusia telengas itu mencuri mayat Ratna
Kumala?" buka Warok Singo Lodra.
"Ilmu hitam, Paman. Sepertinya, Warok
Darmo Singo tengah menuntut ilmu hitam di
lembah itu," duga Satria, sok yakin.
"Dan tepatnya di Lembah Keramat," sam-
bung Warok Jogoboyo. "Hmm siapa tokoh yang
bermukim di Lembah Keramat...?"
"Kira-kira siapa, Kakek Dongdongka?"
tanya Satria pada guru sintingnya. Kelihatannya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul
begitu khusuk dengan lamunannya.
"Mungkin aku," sahut Dongdongka, salah tangkap.
"Hah"!" Satria terperangah.
"Eh, apa yang kau tanyakan, Cah Gen-
deng?" Dongdongka mengedip-ngedipkan kelopak keriput matanya.
"Kira-kira, siapa tokoh sesat yang bermu-
kim di Lembah Keramat?" ulang Satria, sambil mengelus-elus dadanya.
"He he he.... Kedengaranku. Manusia Bulu
itu bilang, siapa yang mau bermukim di makam
ini. Maaf, kupingku sudah lama tak kukorek. Ka-
lau soal tokoh yang bermukim di Lembah Kera-
mat sepanjang pengetahuan hanyalah manusia
sesat yang paling getol mendalami ilmu hitam.
Dia adalah musuh besar Resi Kalangwan, saha-
batku. Namanya Wayan Swadaya alias Manusia
Sesat Kaki Empat. Resi Kalangwan pernah cerita
tentang musuh besarnya itu padaku. Entah, di
mana tepatnya Manusia Sesat Kaki Empat berada
setelah dikalahkan Resi Kalangwan. Memang ada
kabar burung kalau dia berada di Lembah Kera-
mat. Untuk tepatnya, aku tak tahu," papar Dongdongka. Kali ini kesintingannya
lenyap sejenak.
Kata-katanya begitu lancar, selancar semprotan-
semprotan liurnya yang melesat dari bibir ken-
dornya. "Hm.... Guru tak pernah cerita tentang Ma-
nusia Sesat Kaki Empat...," gumam Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo, nyaris
bersamaan. "Manusia Sesat Kaki Empat?" Satria me-
nyusul kemudian. "Paman Warok! Apakah kalian tahu, di mana tepatnya letak Lembah
Keramat?" "Di selatan Gunung Wilis," sahut Warok Jogoboyo.
"Kalau begitu, kenapa kita buang-buang
waktu?" terabas Satria, tak ingin berlama-lama.
"Kalau kau mau jadi budak iblis, silakan
saja, Cah Gendeng," timpal Dongdongka, tiba-tiba. "Maksud Kakek?" aju Satria.
Darah mu-danya mulai bergolak, karena gurunya seolah me-
remehkannya. "Setahuku, Lembah Keramat adalah tempat
berkumpulnya para iblis. Para Danyang yang
mendiami gunung, sungai, laut, lembah, hutan,
dan tempat-tempat liar lainnya. Para Danyang itu dipimpin oleh seorang Ratu
Danyang. Kalau tak
salah namanya Nini Gedeng Swastami. Nah,
mungkin Manusia Sesat Kaki Empat telah berse-
kutu dengannya. Lalu apa kau sanggup mengha-
dapinya. Ayo pikir! Pikir!" ledak Dongdongka. Sebenarnya di balik kata-kata
kasarnya tersimpan
rasa kekhawatiran terhadap murid gendengnya.
Dia tak ingin Satria celaka atau bahkan menjadi
budak iblis di Lembah Keramat.
Lalu, apakah si anak muda perkasa jadi
ciut nyalinya" Mundur teratur karena nyawanya
bakal tergempur"
SEMBILAN SETELAH melakukan hubungan intim den-
gan Manusia Sesat Kaki Empat, Nini Gedeng
Swastami berkenan memberi ajian 'Petuah Iblis'
kepada Warok Darmo Singo. Tentu saja setelah le-
laki tinggi besar itu dijajal kejantanannya terlebih dahulu. Setelah perempuan
siluman itu merasa
puas, Warok Darmo Singo ditiup embun-
embunannya. Maka saat itu juga dia bisa meme-
rintahkan para iblis untuk mengerjakan apa yang
diperintahnya. Termasuk, mengambil harta karun
dan sebuah kitab sakti yang disimpan Resi Ka-
langwan di puncak Gunung Wilis.
Tak ada kesulitan bagi para iblis suruhan
Warok Darmo Singo untuk mengambil benda-
benda yang diinginkannya. Dengan demikian, dia
tak perlu lagi susah payah mencarinya. Iblis-iblis yang menghuni puncak Gunung
Wilis ikut berpe-ran dalam menemukan harta karun serta kitab
sakti yang disembunyikan Resi Kalangwan. Sema-
laman saja, semua tugas itu telah selesai dikerjakan para iblis
Di dalam goa Bukit Para Danyang, Warok
Darmo Singo tersenyum girang. Sepeti emas per-
mata dan sebuah kitab berisi ilmu-ilmu tingkat
tinggi telah berada di depannya. Kalau dipikir-
pikir, rasanya dia agak kecewa juga, mengapa ba-
ru sekarang begitu mudah mendapatkan kedua
benda itu. Tapi tanpa pertemuanku dengan Iblis
Rogo Jembangan, mustahil aku bisa tahu kalau
di tempat ini ada tokoh sesat yang pintar dalam ilmu hitam" Kata hati Warok
Darmo Singo. Hmmm.... Manusia Sesat Kaki Empat secara tidak
langsung Ikut membantuku dalam mewujudkan
apa yang kucita-citakan.
"Hendak kau apakan harta sebanyak itu,
Darmo?" tanya Manusia Sesat Kaki Empat di depan Warok Darmo Singo.
"Sebagai modal, Guru. Modal untuk men-
jadi seorang raja kecil untuk kemudian menjadi
raja besar yang paling ditakuti di tanah Jawa ini.
Akan kulenyapkan semua musuh-musuhku.
Akan kulenyapkan semua pendekar-pendekar
yang bertingkah di hadapanku," jawab Warok
Darmo Singo, semangat.
"Tapi kau jangan lupa dengan syarat-
syaratku," terabas Manusia Sesat Kaki Empat.
"Tentu, Guru. Akan kucari orang yang ber-
nama Dongdongka. Dan akan kucari mayat-
mayat perawan untuk wadah Nini Gedeng Swas-
tami. Tapi, bagaimana ciri-ciri orang yang berna-ma Dongdongka itu, Guru?"
"Tua bangka itu berkepala gundul. Dia
hanya bercawat dari kulit ular sanca," jelasnya.
"Baiklah, Guru. Oh, ya. Ngomong-
ngomong, bagaimana dengan Nini Gedeng Swas-
tami" Apakah dia sudah kembali ke alamnya?"
tanya Warok Darmo Singo. Masih teringat dalam
benaknya, bagaimana perempuan siluman itu
memuji permainan cintanya.
"Dia sudah kembali ke alamnya. Sekarang,
buanglah mayat itu. Kita sudah tak mengguna-
kannya lagi. Maka sekarang tugasmu mencari
mayat baru," ujar Manusia Sesat Kaki Empat, seraya melirik mayat Ratna Kumala.
"Baik, Guru. Nanti malam mayat itu akan
ku buang. Sekalian aku akan mohon diri," sahut Warok Darmo Singo.
* * * Menjelang dini hari, Warok Darmo Singo te-
lah meninggalkan Bukit Para Danyang. Selain un-
tuk membuang mayat Ratna Kumala, juga untuk
memulai hidup baru sebagai tokoh yang bakal
mengguncangkan dan menghebohkan.
Tepat ketika matahari terbit di ufuk timur,
seorang pemuda kekar berpakaian rompi putih
dari kulit binatang telah berdiri di Lembah Keramat. Parasnya tampan, bergaris
rahang jantan. Tatapan sembilunya menghujam ke arah Bukit
Para Danyang. Rambut panjang kemerahannya
melenggak-lenggok dipermainkan angin pagi.
Dialah Satria. Di samping si anak muda perkasa, berdiri
dua lelaki tinggi besar berpakaian komprang war-
na hitam. Celananya komprang, berwarna sama.
Yang seorang bertubuh tambun. Mereka tak lain
dari Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo. La-
lu, di mana Dongdongka"
Tua bangka lapuk itu ternyata punya ren-
cana sendiri. Satria sendiri harus menelan keke-
cewaan, karena guru sintingnya tak bersedia
menjelaskan apa rencananya. Yang jelas, begitu
selesai melihat keadaan makam Ratna Kumala,
Dongdongka pergi bagai kentut yang disemburkan
begitu saja. "Di mana kira-kira letak tempat tinggal
Manusia Sesat Kaki Empat, Paman?" tanya Sa-
tria, menoleh pada Warok Singo Lodra.
Sejenak mata Warok Singo Lodra menyapu
hamparan batu cadas di lembah ini. Lalu tata-
pannya berhenti ke arah bukit sebelah kiri.
"Kalau tak salah bukit yang sebelah kiri
itu," tunjuk Warok Singo Lodra.
Belum sempat Satria mengajak kedua wa-
rok itu ke sana....
"Satria, lihat!" Warok Jogoboyo menunjuk ke sebuah batu cadas di sebelah kiri.
Di balik ba-tu, segerombolan lalat hijau tengah membangun
sebuah pesta pora di sana. Agak menyembul di
balik batu, terlihat sebentuk kaki membujur.
Tanpa banyak kata, ketiga orang itu me-
lompat ke sebuah batu cadas di sebelah kiri yang tak begitu jauh. Begitu tiba,
mereka semua terperangah!
"Ratna...!" desis Warok Jogoboyo dan Warok Singo Lodra berbarengan. Kedua mata
mereka mendelik dengan mulut ternganga.
"Biadab!" geram Satria, seraya memalingkan wajah. Tak tega hatinya melihat mayat
dalam keadaan telanjang. Memperlihatkan bagian-
bagian tubuh menggiurkan, namun telah rusak di
sana-sini. Dan anehnya, tak sedikit pun tercium
bau busuk! Warok Jogoboyo dan Warok Singo Lodra


Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuka baju komprangnya. Penuh rasa haru
dan kegeraman, mereka segera membungkus
mayat dengan baju. Lalu bersama-sama mereka
mengangkat mayat Ratna Kumala yang begitu
mengenaskan. "Kau harus mati di tanganku, keparat!" desis Warok Jogoboyo, tak kuasa menahan
kegera- man. Yang dimaksud keparat tentu saja Warok
Darmo Singo yang seenak udelnya membuang
mayat Ratna Kumala di tempat ini
"Kita telah bersumpah untuk melenyapkan
bangsat itu, Adi!" timpal Warok Singo Lodra, tak tega melihat adik
seperguruannya selalu dirun-dung duka. Sementara, orang yang membuat du-
ka justru masih berkeliaran.
"Sebaiknya, Paman berdua pulang ke
Trenggalek. Kuburkan mayat Ratna Kumala di
tempat layak. Biar Manusia Sesat Kaki Empat
dan Warok Darmo Singo menjadi urusanku!" desis Satria. Darah si anak muda sudah
begitu menggelegak. Jiwa kependekarannya memberon-
tak. Meledak-ledak, seolah tak puas dengan keti-
dakadilan dan keangkaramurkaan yang terjadi.
"Tidak, Satria! Kami harus memusnahkan
manusia laknat itu!" tegas Warok Singo Lodra, menggelegar. Niatnya tak
tergoyahkan lagi untuk
segera membunuh manusia biadab bernama Wa-
rok Darmo Singo. Meski, itu adalah adik kan-
dungnya sendiri.
Maksud Satria memang baik. Artinya, si
pemuda benar-benar tak tega melihat mayat Rat-
na Kumala. Tapi rasanya dia cukup memaklumi
kemarahan kedua warok ini. Makanya, dia lebih
baik membiarkan kedua warok itu bersamanya.
Tanpa banyak cakap lagi, Satria segera
menyentak kakinya. Seketika tubuhnya berkele-
bat ke arah Bukit Para Danyang. Kedua warok itu
segera mengikuti sambil terus memondong mayat
Ratna Kumala. Warok Jogoboyo pada bagian ba-
hu, sementara Warok Singo Lodra pada bagian
bokong. Dalam beberapa hitungan, mereka bertiga
telah tiba di kaki Bukit Para Danyang. Sejenak
mereka memandang ke sekeliling. Dan sebelum
ada yang membuka suara....
"Selamat datang di Bukit Para Danyang,
para pendekar congak...."
Tercekat Satria. Juga kedua warok itu. Su-
ara yang terdengar barusan, seolah membuai pe-
rasaan mereka. Begitu halus, namun terasa
membuat jalan pikiran mereka kacau!
Ada apa rupanya"
* * * Satu sosok tinggi besar berpakaian kom-
prang serba hitam melangkah gagah. Di bahunya
terpanggul sebuah peti tak terlalu besar. Wajah-
nya penuh brewoknya menggambarkan kegembi-
raan luar biasa. Sebentar-sebentar bibir tebalnya melepas senyum. Entah
ditujukan kepada siapa.
Tiba di pinggiran kadipaten Trenggalek, so-
sok seorang lelaki tinggi besar ini mendadak
menghentikan langkahnya. Tatapannya langsung
tertuju ke arah pemakaman umum yang beberapa
tombak lagi akan dilewatinya.
Siapa lelaki tinggi besar itu"
Warok Darmo Singo. Seorang warok yang
selama ini dicari-cari oleh Satria Gendeng, Warok Jogoboyo, dan Warok Singo
Lodra. Dan agaknya,
warok sesat ini cukup cerdik sehingga tak sampai bertemu orang-orang yang selama
ini mencari- carinya. Sewaktu berhasil melarikan diri setelah
bertarung dengan Senoaji, Warok Darmo Singo
yakin kalau dirinya kini sedang dicari-cari. Untuk menghindari hal-hal yang tak
diinginkan, sengaja dicarinya jalan lain, yakni dengan memutar sedikit
perjalanan. Artinya, dia harus memutari bukit yang berhadapan dengan Bukit Para
Danyang. Dengan mengikuti jalan setapak, sampailah dia di pinggiran Kadipaten Trenggalek.
Tapi baru saja si warok sesat hendak me-
lanjutkan langkahnya....
"Berat juga bawaanmu. Boleh kubantu...?"
Sebuah suara memangkas keheningan pagi
ini. Sang warok tercekat. Jantungnya nyaris men-
celat. Pandangannya beredar ke sekeliling dengan sinar berkilat. Tak ada siapa-
siapa, kecuali pepohonan dan semak belukar. Sedangkan di kanan-
nya terdapat sebuah empang dengan jamban gan-
tung. Ketika matanya terpatri ke sana, hatinya
yakin kalau ada seseorang yang berjongkok di
jamban gantung.
"Jangan main-main denganku! Cepat tun-
jukkan diri kalau tak mau mampus!" bentak Warok Darmo Singo.
"Siapa yang main-main" Wong aku sedang
asyik buang hajat dibilang main-main," sahut suara dari jamban gantung. Enteng
sekali suaranya.
"Lantas, kenapa kau mengganggu perjala-
nanku"!"
"Karena kau memang patut untuk digang-
gu. Bukankah kau suka mengganggu orang lain"
Nah, kalau aku sekarang mengganggumu, bu-
kankah itu baru adil?"
"Setan laknat! Jangan salahkan kalau aku
bertindak kasar. Heaa!"
Wusss...! Udara terpangkas saat itu juga oleh luncu-
ran angin panas.
Menderu. Menggebu. Siap meluluh lantakkan jamban gantung
berikut isinya hingga jadi debu.
Satu jari lagi angin menderu dari pukulan
jarak jauh Warok Darmo Singo menghantam, se-
buah keajaiban terjadi. Mendadak, angin mende-
ru tadi memecah ke segala arah. Menghantam
beberapa pohon yang berada di sekelilingnya.
Brak! Brakk! Pohon-pohon bertumbangan. Menciptakan
suara gemuruh. Membuat nyali luruh. Sementa-
ra, hati Warok Darmo Singo jadi kisruh. Pukulan
jarak jauh yang dibuatnya tadi dikawal dengan
kemarahan amat sangat. Tak heran bila disertai
tenaga dalam tinggi. Tapi hasilnya"
"He he he.... Pukulan untuk membunuh
cacing dipamerkan di hadapanku," dari balik jamban, nongol satu sosok keropos
berkepala botak. Memamerkan giginya yang nyaris tandas,
menyisakan gusi-gusi hitam. Begitu keluar dari
jamban gantung, si tua lapuk itu hanya menge-
nakan cawat dari kulit ular sanca. Semen-tara,
tangan kanannya memegang bambu tipis yang
sesekali diketuk-ketukkan ke kepalanya. Siapa
lagi manusia langka itu kalau bukan Dongdong-
ka. "Siapa kau, Orang Tua"!" bentak Warok
Darmo Singo. Sementara hatinya terus menduga-
duga, apakah ciri-ciri orang ini sama dengan se-
perti yang diceritakan gurunya, Manusia Sesat
Kaki Empat. "Lucu..., lucu. Aku mau membantumu
mengangkat peti itu, kau malah marah. Hati-hati, nanti kumismu rontok. Kau pasti
juga sejenis Manusia Bulu. Apakah kau yang bernama Warok
Darmo Singo" Ayo, ngaku! Kalau tak mengaku,
kucabuti seluruh bulu-bulumu. Kecuali.... He he
he!" kekeh lelaki tua keropos.
Edan! Dia tahu jati diriku! Damprat hati
Warok Darmo Singo. Hmmm.... Kalau melihat ciri-
cirinya, dia pasti Dongdongka. Kebetulan. Guruku menyuruhku untuk membunuhnya!
Kata hatinya lagi. "Apakah kau yang bernama Dongdongka, Orang Tua?" tanya si warok.
"Tumben, ada yang peduli dengan nama-
ku," sahut Dongdongka.
"Hmmm.... Kalau begitu, kau harus mati!
Heaaa...!"
Berkawal bentakan keras, kembali Warok
Darmo Singo melepas pukulan jarak jauh ketika
Dedengkot Sinting Kepala Gundul baru saja sam-
pai di tepi empang. Sebuah jarak yang amat dekat
untuk mempercepat kematian si tua lapuk.
Sungguh, Warok Darmo Singo tak tahu,
siapa Dongdongka. Seorang sesepuhnya para se-
sepuh dunia persilatan. Yang ada di benaknya,
Dongdongka hanyalah tokoh silat uzur bertubuh
keropos. Dan sungguh, dia lupa dengan seran-
gannya yang tadi tak berarti apa-apa ketika lelaki uzur itu masih berada di
jamban gantung.
Dan ketika angin panas hendak melabrak,
Dedengkot Sinting Kepala Gundul memutar bam-
bu tipisnya. Perlahan saja. Hasilnya....
Deb! Dashh! Putaran angin tercipta dari hasil putaran
bambu tipis Dongdongka. Menahan laju angin
panas milik sang warok, dan membalikkannya ke
arah datangnya. Akibatnya, tubuh Warok Darmo
Singo termakan pukulan jarak jauhnya sendiri!
Si lelaki tinggi besar terpental. Melayang
sejauh tiga tombak, langsung menabrak pohon.
Tertatih-tatih, dia berusaha bangkit. Sebenarnya, Warok Darmo Singo ingin
mengerahkan aji
'Petuah Iblis'. Sebuah ajian yang dapat memanggil para iblis untuk ditugasi
sesuai kehendak sang
warok. Termasuk membunuh Dongdongka. Tapi
sialnya, ajian itu hanya bisa digunakan pada ma-
lam hari. Sialnya lagi, Warok Darmo Singo berte-
mu Dongdongka pada pagi hari.
"Bagaimana" Masih kurang?" ledek Dong-
dongka. "Keparat busuk! Jangan dikira aku telah
kalah! Heaaat...!"
Kali ini Warok Darmo Singo harus merela-
kan petinya yang terpental jauh darinya. Dia tak mempedulikannya lagi. Tubuhnya
telah maju, menerjang Dongdongka dengan jurus-jurus silat
andalannya. "Ah, masih berlagak juga. Jurus-jurus silat seperti cacing kepanasan
dipamerkan," ledek Dongdongka, habis-habisan.
Deb! Deb! Dua buah pukulan dibuat Warok Darmo
Singo. Satu mengarah ke kepala, sisanya ke dada.
Suara menderu mengiringi. Ganas, dan berhawa
maut. Tapi di mata kelabu Dongdongka, gerakan
si warok tak lebih dari gerakan gadis penari. Lemah lembut tak bertenaga.
Dongdongka hanya
perlu bergeser ke samping sedikit, lalu bambu tipisnya bergerak menotok.
Tuk! Tuk! Dua buah totokan yang disarangkan De-
dengkot Sinting Kepala Gundul tepat mampir di
urat-urat gerak si warok. Seketika, gerakannya
terhenti. Mata si warok mendelik tanpa mampu
berbuat apa-apa.
"He he he.... Kubilang juga apa, Manusia
Bulu" Eh, tapi kau pasti Manusia Bulu palsu.
Coba kuperiksa brewokmu," Dongdongka menarik keras jenggot Warok Darmo Singo.
Breett! "Aaahhh...!" jerit sang Warok dengan mulut
meringis. "He he he.... Ternyata bulu asli. Kalau yang ada di balik celanamu, apakah juga
bulu asli" Boleh kuperiksa, ya?"
Tapi baru saja Dongdongka hendak mem-
buka celana Warok Darmo Singo....
"Oh, iya. Aku harus membantu Cah Gen-
dengku. Hmmm.... Sebaiknya di jamban gantung
itu lagi. Sekalian aku menyembunyikan Manusia
Bulu di situ," ocehnya.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul cepat
mengangkat Warok Darmo Singo dan memba-
wanya ke dalam jamban gantung. Dengan satu to-
tokan pula, dibuatnya si warok agar berjongkok.
Lalu tubuhnya berkelebat lagi, mengambil peti
yang jatuh dari tangan Warok Darmo Singo. Begi-
tu cepat gerakan lelaki tua lapuk itu, sehingga
sebentar saja dia sudah berada di jamban gan-
tung kembali. Bahkan kemudian ini telah ikut-
ikutan berjongkok. Mau apa dia" Buang hajat"
SEPULUH SUNGGUH tepat kalian datang ke tempat
ini. Mari..., jangan ragu. Di sebelah kanan kalian ada sebuah batu cadas.
Dekatilah," lanjut suara halus yang begitu mengganggu jalan pikiran Satria,
Warok Singo Lodra, dan Warok Jogoboyo.
"Kendalikan jalan pikiran kalian, Paman!
Jangan turuti kemauan suara itu. Aku yakin, ada
maksud-maksud tertentu. Kata-kata itu mengan-
dung sihir yang amat kuat, Paman!" seru Satria, ketika melihat kedua warok itu
bergerak mendekati batu yang dimaksud suara halus itu.
Sia-sia usaha Satria. Kedua warok itu terus
melangkah. Bahkan kali ini dengan tatapan ko-
song. Si anak muda sendiri mati-matian berusaha
menguasai jalan pikirannya. Dikerahkannya te-
naga dalam untuk menangkal suara suara yang
menggelitik telinganya, dan menyusup ke sanuba-
rinya. "Buang dulu mayat itu, Anak Manusia! Aku sudah tak memerlukannya lagi,"
lagi, suara ber-pengaruh itu terdengar.


Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ajaib! Kedua warok itu pun menuruti pe-
rintah dari suara halus tadi. Mayat Ratna Kumala dibuang begitu saja, seolah
yang ada di pondongan mereka hanyalah sebatang kayu tak berhar-
ga. Lalu, kaki mereka kembali melangkah menuju
batu. "Paman! Ja..., aaakh!"
Cegahan Satria terpangkas oleh sebuah
kekuatan kasat mata yang seperti hendak men-
congkel pendengarannya. Si anak muda hendak
melangkah, mencegah kedua warok itu. Tapi rasa
sakit yang mendera kedua lubang kupingnya
memaksanya untuk berhenti. Didekapnya kuat-
kuat kedua telinganya. Sementara, lututnya sen-
diri telah bergetar hebat. Agaknya, si anak muda tengah mengerahkan tenaga dalam
setinggi mungkin. "He he he.... Kau cukup tangguh juga, Cah!
Pengaruh suara gaibku rupanya harus susah
payah menembus benteng sukmamu. Tapi jangan
dikira aku tak bisa menguasaimu, Cah! Nah, ra-
sakanlah!"
Begitu suara halus itu lenyap, Satria Gen-
deng merasakan seolah hatinya seperti ditusuk-
tusuk. Matanya menjadi gelap saat itu juga. Perasaannya bagai melambung di
cakrawala tak ber-
tepi. Pada saat yang begini, Satria begitu kela-bakan. Tak terpikirkan untuk
mengerahkan ke-
kuatan sakti yang mengendap dalam dirinya. Ke-
kuatan sakti yang didapatnya dari Lautan Sela-
tan. Si anak muda makin keras saja membekap
kedua kupingnya dengan mulut meringis-ringis.
Suara halus tadi kini berubah melengking-
lengking, menyentak-nyentak dan mengoyak-
ngoyak perasaannya.
Tapi mendadak....
"He he he.... Kubilang apa, Cah Gendeng"
Dasar otakmu di dengkul! Kau yang menyuruh
kedua Manusia Bulu itu untuk mengendalikan
perasaan, tapi kau malah ikut-ikutan tak ka-
ruan!" Bagai menemukan air di padang tandus, mendadak hati si anak muda terasa
seperti ada yang membelai-belai. Hati kecilnya tergugah. Ma-
ti-matian, berusaha dikendalikannya perasaan
seperti semula. Suara barusan amat dikenalnya.
Ya, suara guru sintingnya yang tahu-tahu muncul
begitu saja. Suara itu seolah mengandung kekua-
tan kasat mata yang sedikit demi sedikit mengusir suara-suara gaib yang
mengoyak-ngoyak perasaannya.
Perlahan namun pasti, Satria mulai bisa
mengendalikan perasaannya. Dan itu berarti, dia
mulai bisa berpikir untuk mengerahkan tenaga
maha dahsyat yang mendekam dalam perutnya.
Maka saat itu juga, dibuatnya kuda-kuda kokoh.
Gerahamnya bergemeletuk. Bola matanya meme-
rah. Lehernya mengembung.
"Kheaaa...!"
Teriakan melengking dibuat Satria.
Membelah udara.
Mengoyak sukma.
Merobek sebuah kekuatan kasat mata.
Di dalam goa sana, terdengar teriakan tak
kalah hebat. Cuma saja, nadanya jauh berlainan.
Bila teriakan Satria bak naga murka, maka teria-
kan dari dalam goa bak kakek pikun mengerang
kesakitan. Satria yang sudah bisa mengendalikan pe-
rasaannya, menatap ke samping. Di situ, terlihat Dongdongka berjongkok seperti
orang tengah buang hajat. Lagian siapa peduli dengan tabiat-
nya. Mau tiduran, kek. Mau nungging, kek. Tak
ada yang mampu melarang!
Memang, Dedengkot Sinting Kepala Gundul
yang tadi mengirimkan suara halus yang menye-
jukkan hati Satria. Dan Satria tahu, guru sintingnya saat ini tengah dalam wujud
halusnya. Ar- tinya, si tua lapuk tengah mengerahkan aji
'Melepas Sukma'. Jadi, betapa cerdiknya siasat
Dongdongka. Karena bila dia menyertakan wujud
jasad kasarnya, bukan mustahil akan ikut ter-
pengaruh oleh suara gaib yang diduga berasal da-
ri Manusia Sesat Kaki Empat.
Suara halus dari Dongdongka pun ternyata
disertai kekuatan sakti yang mampu menolak su-
ara yang mempengaruhi jalan pikiran Satria. Ma-
ka begitu si anak muda merasakan ada kekuatan
lain yang membantunya, pikirannya pun terbuka
untuk mengerahkan kekuatan sakti miliknya.
"Nah, sekarang kau boleh masuk ke dalam
goa di balik batu besar itu, Cah Gendeng!"
Lewat pembicaraan batin, Dongdongka
menyuruh Satria untuk segera bertindak. Maka
tanpa buang waktu lagi, si anak muda segera
berkelebat ke arah yang ditunjuk guru sintingnya.
Di depan goa, ternyata Warok Singo Lodra
dan Warok Jogoboyo telah tergeletak pingsan. Su-
ara dahsyat dari bibir Satria rupanya cukup me-
nyentak isi dada mereka hingga pingsan. Tapi Sa-
tria tak ingin buang-buang waktu. Dia harus
menghentikan sepak terjang Manusia Sesat Kaki
Empat dan Warok Darmo Singo.
Satria Gendeng cepat menyusup ke dalam
mulut goa yang tak begitu sempit untuk ukuran
tubuhnya. Tapi bagi kedua warok itu agaknya ha-
rus susah payah bila memasukinya.
Tak terlalu sulit bagi Satria untuk melihat
dalam kegelapan. Pengalaman di Pulau Dedemit
telah mengajarkannya bagaimana untuk melihat
dalam gelap. Dan bagai ada yang menuntunnya,
si anak muda berbelok ke arah kanan. Sekejap
kemudian dia telah sampai di sebuah ruangan
agak besar yang hanya diterangi sebatang obor
yang menancap di dinding.
Tapi baru saja tiba....
Desss! "Aaakhh..!"
Satria terpekik. Sebuah pukulan keras
menghantam dadanya. Tubuhnya sendiri terpen-
tal, keluar ruangan. Yang membuatnya tak habis
pikir, siapa yang memukulnya" Padahal, ketika
masuk ke ruangan tadi, tak seorang pun yang ter-
lihat. Tak ada Manusia Sesat Kaki Empat, tak ju-
ga Warok Darmo Singo. Lalu, teriakan siapa yang
terdengar" Siapa yang tadi menjerit kesakitan?"
Tertatih-tatih, Satria berusaha bangkit. Di-
besutnya darah yang muncul di sudut-sudut bi-
bir. Pukulan tadi agaknya cukup membuat bagian
dalam dadanya terluka.
Kemarahan si anak muda pun meraja. Da-
danya bergemuruh, hendak membuncah. Tapi ba-
ru saja akan bertindak....
Diegh...! "Uhhh...!"
Si anak muda terpental ke samping kiri.
Satu hantaman yang entah datang dari mana ta-
hu-tahu menghantam pipi kanannya. Dan yang
membuatnya geram dia tak tahu di mana lawan-
nya. Slompret! Setan atau manusia yang meng-
hajarku! Kalau setan, mana ada setan yang bisa
memukul begini dahsyatnya. Kalau manusia, di
mana batang hidung sialannya! Rutuk Satria,
kembali susah payah bangkit berdiri.
Satria mau tak mau harus mengandalkan
pendengarannya. Slompret, kenapa baru kepiki-
ran sekarang kalau aku harus mengerahkan in-
dra pendengaranku! Makinya, membatin.
Si anak muda perkasa memang belum me-
nyadari kalau lawan tengah mengerahkan sejenis
ajian 'Halimunan'. Suatu ajian yang dapat mem-
buat lawan menghilang. Dan memang itu yang
tengah dilakukan Manusia Sesat Kaki Empat,
Dengan ilmu 'Sirna Raga' tubuhnya jadi tak terlihat Lawan.
Bed! Bed! Telinga tajam Satria menangkap suara
menderu ke arah kepala dan ulu hati. Amat dah-
syat. Siap mengirimnya ke akhirat.
"Hih!"
Tangkas, Satria Gendeng menarik tubuh-
nya ke kanan. Lalu kaki kirinya bergerak cepat,
membuat sapuan ke arah lawan yang dikira ada
di depan. Blass.... Sapuan kaki kiri Satria memangkas angin.
Selagi si anak muda akan menegakkan tubuhnya,
tahu-tahu bahunya terhantam satu kekuatan
amat keras. Buk! "Aaaakh!"
Kembali tubuh Satria terlempar, langsung
menghantam dinding goa cadas runcing. Tak
urung si anak muda meringis ketika jidatnya te-
rantuk tonjolan cadas runcing. Dirabanya jidat
yang telah melelehkan darah.
Kunyuk sialan! Makinya, membatin. Manu-
sia keparat itu tak bisa dibiarkan.
"Kheaaa...!"
Satu teriakan melengking dibuat Satria.
Penuh kemarahan yang siap dilampiaskan. Urat-
urat tangannya mengeras. Kedua bola matanya
memerah. Wajahnya mengelam. Gerahamnya ber-
gemelutuk. Teriakannya tadi seolah hendak me-
runtuhkan langit-langit goa cadas ini. Sikapnya bak naga murka siap mengoyak-
ngoyak lawan. Bangkit, Satria langsung meraba ping-
gangnya. Digenggamnya gagang Kail Naga Samu-
dera senjata pusakanya. Lalu....
Cletarr...! Merah. Kuning. Hijau. Jingga. Sekali lecut, satu lingkaran berwarna-warni
tercipta dari Kail Naga Samudera. Suara lecutan-
nya menggelegar, menyentak-nyentak. Bahkan
kemudian, si anak muda melecut-lecutkan senja-
ta pusakanya ke segala arah. Memecahkan dind-
ing-dinding goa. Tapi si pemuda tak peduli. Sam-
bil merangsak maju dengan pengerahan indra
pendengarannya untuk mengetahui keberadaan
lawan kasat matanya, Kail Naga Samudera terus
dilecutkannya. Hingga pada akhirnya....
Cletarrr.... "Aakhh!"
Buk! Terdengar suara jeritan kesakitan yang
disusul bunyi badan beradu dengan dinding goa.
Sejenak Satria Gendeng menghentikan tindakan-
nya. Matanya nyalang mencari-cari.
Perlahan-lahan, di pinggiran dinding goa
mulai tampak satu sosok tubuh keropos. Ketika
semakin jelas, tampak kalau tubuh keropos itu
tengah menungging kesakitan. Di bagian bela-
kang pinggangnya terlihat dua kaki lainnya yang
menjuntai lemah.
Mata nyalang Satria terus menatapi tubuh
yang terus menungging. Dan ketika si anak muda
hendak melangkah menghampiri....
"Ampun, Anak Muda.... Aku mengaku ka-
lah. Jangan kau bunuh aku.... Kasihani aku," ratap sosok keropos yang tak lain
Manusia Sesat Kaki Empat. Agak heran juga Satria melihat Manusia
Sesat Kaki Empat tetap saja menungging. Tapi dia berusaha untuk tak peduli.
"Hei, Pak Tua! Di mana Warok Darmo Sin-
go!" bentak si anak muda, galak.
"Aku tak tahu. Setelah dia menyelesaikan
ilmu sesatnya, dia katanya akan menjadi tuan ta-
nah di Ponorogo. Dia telah berhasil mendapatkan
harta serta sebuah kitab sakti yang tersimpan di puncak Gunung Wilis," jelas
Manusia Sesat Kaki Empat.
Tercekat Satria. Hatinya pun geram, karena
tak menemui Warok Darmo Singo di tempat ini.
Sementara itu, dinding-dinding cadas yang tadi
terhantam Kail Naga Samudera mulai berjatuhan,
seolah gema lecutan tak pernah berhenti.
Si anak muda tahu, goa ini sepertinya akan
runtuh. Maka segera dikembalikannya keadaan
Kail Naga Samudera seperti semula, lalu dis-
elipkannya di pinggang.
Tenang, Satria Gendeng melangkah keluar.
Dilewatinya tubuh Manusia Sesat Kaki Empat
yang terus menungging.
"Anak muda.... Jangan tinggalkan aku..."
ratap si tua lapuk.
"Sudah tua masih cengeng! Bangun saja
sendiri. Dan lagi kau kan biasa di tempat ini!" rutuk Satria.
"Anak muda...., Lecutan cambukmu mem-
buatku lumpuh! Aku sama sekali tak bisa meng-
gerakkan badanku. Tolonglah aku, Anak Muda...,"
ratap si tua kaki empat.
Terperangah juga Satria. Jiwa kependeka-


Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rannya pun dituntut untuk menolong orang yang
tak berdaya. Tapi baru saja kakinya akan berge-
rak Wrrr... Jrottt! Satria menarik tubuhnya kembali ketika
satu bongkahan batu cadas sebesar anak kamb-
ing meluncur ke bawah, dan tepat menghantam
kepala Manusia Sesat Kaki Empat.
Sementara suara gemuruh makin santer,
saja. Agaknya, sebentar lagi goa ini akan runtuh.
Dengan desahan napas, Satria segera berkelebat
keluar goa. Dan baru saja mencapai mulut goa,
seluruh langit-langit goa pun runtuh.
Tiba di luar goa, Warok Singo Lodra, Warok
Jogoboyo, dan Dongdongka menyambutnya. Ru-
panya, kedua warok itu telah tersadar dari ping-
sannya. Ternyata lagi, wadag halus si lelaki buluk masih setia menunggui murid
gendengnya. "Kau tak apa-apa, Cah Gendeng?" serobot Dongdongka
Satria menggeleng.
"Apakah Darmo Singo ikut terkubur di da-
lam goa?" sambung Warok Singo Lodra.
Satria kembali menggeleng. "Keparat itu te-
lah pergi dari sini, Paman. Dia telah berhasil
mendapatkan kitab sakti, juga harta karun itu.
Kata Manusia Sesat Kaki Empat, tujuannya ke
Ponorogo" jelas Satria.
"Tapi sampainya hanya di jamban gantung,
pinggiran Kadipaten Trenggalek," timpal Dongdongka.
"Maksud Kakek?" Kening Satria berkerut.
"Tengoklah dia di sana. Mungkin dia sudah
puas bermain-main di jamban gantung. Eh, Ngo-
mong-ngomong..., apakah bulu di balik celana
warok slompret itu juga bulu asli" Tapi ketika aku
hendak memeriksa, aku keburu ingat kalian. Jadi
tak sempat memeriksa lagi," pembicaraan Dongdongka mulai ngawur.
"Sudahlah, Kek. Jangan bicara ngawur,"
sergah Satria tak sabar. "Sekarang jawab dulu pertanyaanku. Apakah Warok sialan
itu sudah kau tangkap?"
"Bukan saja kutangkap. Bahkan kubuat
dia jadi palang untuk penunggu jamban gantung,"
sahut Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Berbarengan, Satria, Warok Singo Lodra,
dan Warok Jogoboyo menarik napas lega.
"Sekarang, mari kita tinggalkan tempat ini.
Kelihatannya tempat ini sudah tak ramah lagi pa-
da kita, senja sebentar lagi datang. Bisa jadi, para Iblis mulai berkumpul di
tempat ini. Kalau mereka tahu bahwa Manusia Sesat Kaki Empat telah
tewas, apa jadinya, ya?" lempar Satria pada kedua warok. Tak ada yang menyahut.
Yang jelas, mereka kini mulai meninggalkan tempat ini. Tak lupa
Warok Jogoboyo kembali membopong mayat Rat-
na Kumala yang tadi dilemparnya tanpa sadar.
SELESAI Segera terbit: PERTAPA CEMARA TUNGGAL
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Suling Naga 10 Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit Pedang Darah Bunga Iblis 14
^