Pencarian

Pertapa Cemara Tunggal 1

Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.
com/DuniaAbuKeisel
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU Di dekat bukit yang meninggi angkuh hendak
meninju langit, dua orang terlihat. Dari perawakan
keduanya, tampak mereka masih berusia muda. Sa-
tu orang mengenakan tudung pandan berbentuk tak
biasa menyerupai daun kuncup. Tubuhnya tak begi-
tu tinggi. Dia berpakaian silat sederhana berwarna
hitam. Di belakang bahunya tersampir toya sepan-
jang lengan dengan ujung dari logam berwarna pe-
rak. Seorang lagi berwajah tampan, kendati sorot
matanya memancarkan ketajaman. Rambutnya pan-
jang. Hitam dan legam serta terawat rapi seperti milik perawan genit. Badannya
yang tegap perkasa di-
bungkus pakaian putih keabuan.
Siang teramat terik saat itu. Panasnya benar-
benar menyulut kulit dan ubun-ubun, hingga seperti
hendak menggarang hangus. Tapi, kedua orang mu-
da itu seperti tak peduli. Mereka terus saja berjalan ke arah utara.
Sampai akhirnya langkah mereka tiba di de-
kat sebuah pohon besar yang sudah gundul daun-
nya. Di bawah pohon asam sekarat seperti itu, tentu saja mereka tak berniat
untuk sekadar berteduh.
Mereka punya tujuan lain tentunya. Belum begitu
jelas apa tujuan keduanya. Yang pasti, di bawah po-
hon asam sekarat tadi terlihat pula empat orang le-
laki lain. Wajah keempat lelaki begitu memancing sele-
ra siapa pun untuk memusuhi. Setidak-tidaknya
menimpuki dengan batu! Sudah tak sedap dipan-
dang, menjengkelkan pula. Semuanya mengenakan
jubah pendek merah hati dan bercelana pangsi hi-
tam. Mereka terikat dengan oyot pohon di sekeliling pohon asam. Mulut mereka
tersumpal oleh gagang
trisula yang diikat dengan oyot pohon pula ke bela-
kang kepala. Bayangkan, gagang trisula! Orang gila mana
yang telah demikian tega menyengsarakan mereka
demikian rupa"
Sebenarnya bukan orang gila. Kedua orang
yang baru datang tadi yang telah melakukannya.
Mereka adalah dua warga persilatan Tanah Jawa.
Orang bertudung dikenal dengan Julukan Hantu
Wajah Batu. Dijuluki begitu karena wajahnya me-
mang laksana batu. Mimiknya tak pernah berubah.
Kendati dalam keadaan marah besar sekalipun. Dan
tetap tak berubah meski kiamat terjadi di depan hi-
dungnya. Karena kelumpuhan saraf di bagian wajah
ini, Hantu Wajah Batu tak ingin memperlihatkan
wajahnya. Ditutupinya dengan tudung.
Sementara pemuda di sebelah Hantu Wajah
Batu dikenal dunia persilatan dengan julukan si Lu-
dah Darah. Julukan itu disesuaikan dengan kebia-
saannya. Dalam keadaan marah, si Ludah Darah
tanpa sadar menggigit lidahnya sendiri. Manakala
dia sudah membuang ludah bercampur darah, per-
tanda akan segera ada nyawa melayang!
Dunia persilatan patut bertanya-tanya jika
kedua tokoh muda itu berjalan bersama. Apalagi be-
riringan seperti itu. Padahal selama ini tak pernah ada berita atau sekadar
kabar burung bahwa mereka akur. Beberapa kesempatan, mereka justru terli-
bat pertarungan tanpa sebab, sekadar untuk mem-
buktikan kedigdayaan masing-masing.
Lantas apa yang sedang terjadi pada mereka
sekarang" Sudah berdamai satu sama lain, atau ke-
duanya salah minum obat"
"Bagaimana, kalian sudah cukup kenyang
mencicipi gagang trisula milik kalian sendiri?" ujar Hantu Wajah Batu setibanya
di depan keempat lelaki yang terikat di pohon.
Sahutan keempat orang yang ditanya cuma
gerutuan tak kentara. Nyaris terdengar seperti suara lenguhan kerbau
kekenyangan. Mata mereka melotot-lotot gusar. Mereka ingin mengamuk, tapi tak
sanggup. Dengan tangan terikat dan mulut tersum-
pal, apa yang bisa mereka lakukan" Lagi pula, bebe-
rapa jalan darah mereka pun rupanya tertotok. Itu
yang menyebabkan mereka tak bisa berusaha sedikit
pun untuk melepaskan ikatan.
Si Ludah Darah melirik rekan di sebelahnya.
Tudung milik Hantu Wajah Batu tak bergerak. Di
balik tudung, matanya turut melempar lirikan.
"Rupanya mereka ingin bicara, Joran!" tukas si Ludah Darah, menyebut nama asli
Hantu Wajah Batu. Bibirnya menyunggingkan ejekan.
Hantu Wajah Batu tak ambil pusing sama se-
kali. Ditebarnya pandangan ke arah mereka satu
persatu. "Kau tampaknya paling bernafsu untuk bica-
ra," katanya lagi kepada seorang lelaki berbadan paling bongsor. Tampangnya agak
ketololan. Mungkin
memang tolol sebenarnya. Mulutnya banjir dengan
air liur akibat sumpalan gagang trisula yang terlalu dalam Hantu Wajah Batu
menghampiri lebih dekat.
Ditariknya trisula dari mulut lelaki berbadan bong-
sor. "Sekarang, kau bisa bicara lebih jelas. Jelaskan pada kami, bagaimana cara
kami menemui Pertapa Cemara Tunggal!" bentaknya, garang.
Jawaban yang didapat tak lebih dari sumpah
serapah sambar geledek dari mulut si lelaki berba-
dan bongsor. "Peduli setan dengan kalian! Kalaupun kalian
mengikat kami di pinggir kawah gunung berapi, tak
ada dari kami yang akan buka mulut tentang Perta-
pa Cemara Tunggal! Kenapa kalian tak tanya saja
pada kambing congek, kerbau bunting, ayam kam-
pung di seluruh negeri...."
Hantu Wajah Batu jadi mangkel sendiri. Baru
saja mulut si lelaki berbadan bongsor hendak
'mendendangkan' kembali makiannya, tangannya
sudah lebih cepat bergerak, menyarangkan kembali
gagang trisula ke mulut si lelaki bongsor.
Lelaki bongsor masih saja penasaran.
Mulutnya terus saja bergumam tak karuan.
Hantu Wajah Batutambah mangkel. Dengan
sedikit iseng, ditekannya trisula keras-keras di mulut si lelaki bongsor.
Mendeliklah mata lelaki itu. Biji matanya se-
perti hendak mencelat keluar. Cuping hidungnya se-
ketika mekar. Wajahnya memerah matang. Selang
tak demikian lama, dia terbatuk-batuk hebat dengan
gagang trisula masih dalam mulut. Untung saja dia
tak mengeluarkan seluruh persediaan makanan dari
dalam perutnya!
Si Ludah Darah meringis sendiri.
Sedangkan rekannya mulai melirik calon kor-
ban lain. Sedikit mengangkat kepala, dia menggeram.
"Kau sekarang yang tampaknya mesti bicara!"
bentaknya seraya menarik gagang trisula dari mulut
lain. Pucat seketika lelaki yang berwajah menge-
naskan bukan main. Di antara yang lain, barangkali
dia yang punya nyali paling kontet.
"Bicara!!!" hardik Hantu Wajah Batu.
Menelan ludah calon korbannya.
Sekali.... Dua kali.... Tiga kali... dan hampir berkali-kali, seakan
hendak menelan jakunnya sendiri.
Bentakan ketiga datang.
Makin pucat wajah lelaki itu. Makin menge-
naskan saja tampangnya.
"Kau ingin aku membuat trisula ini tertelan
ke dalam tenggorokanmu"!" desis Hantu Wajah Ba-tu, mengancam dengan paras
malaikat maut. "Baik, baik, baik!" gegas lelaki berwajah mengenaskan.
Hantu Wajah Batu mengangguk-angguk,
puas. Rekan di sebelahnya tersenyum samar.
* * * Empat minggu sebelum kejadian di bukit itu,
keempat lelaki yang dikenal sebagai kawanan pe-
rampok di sekitar wilayah Pemantingan baru saja
berhasil menjarah harta seorang hartawan. Mereka
melarikan hasil jarahan mereka ke hutan. Tempat
seperti itu biasa dijadikan mereka sebagai tempat
bersembunyi atau menyembunyikan hasil jarahan.
Hutan Pemantingan sendiri bagi orang-orang
sekitar dikenal sebagai daerah yang dianggap kera-
mat. Juga oleh orang di sekitar Keraton Demak yang
letaknya kebetulan tak terlalu jauh.
Menurut cerita rakyat, konon seorang Wali,
Sunan Kalijaga sering menjalankan tirakat ke sana.
Di sana pula, konon jelmaan Nyai Roro Kidul sering
menampakkan wajah kepada beliau.
Tak peduli dengan seluruh cerita-cerita itu,
kawanan perampok ini kerap kali menjadikan Hutan
Pemantingan sebagai markas mereka. Mereka ber-
koar sesuka hati, mabuk sesuka hati, bertingkah se-
suka hati, seolah dunia milik mereka berempat.
Yang lain silakan jadi penonton! Mereka tak men-
gindahkan lagi tempat yang mungkin dianggap suci
oleh sebagian orang.
Namun tak selamanya mereka bisa berting-
kah. Yang namanya kualat pun datang. Ketika itu
mereka sedang tertawa-tawa di bawah sebuah pohon
besar seukuran tiga ekor kerbau. Pohon yang tera-
mat tua. Ratusan tahun umurnya. Satu orang du-
duk seenaknya di atas tanah. Yang lainnya berdiri
membentuk lingkaran tak teratur. Di tengah-tengah
mereka sudah menyala api unggun besar. Api menji-
lat-jilat. Cahayanya melayap ke wajah masing-
masing. Di dekat api unggun, tergeletak tiga karung besar berisi segala jenis
harta yang berhasil mereka dapat. "Hasil kita hari ini benar-benar gila!"
memulai salah seorang di antara mereka yang sedang melint-ing-linting kawung.
Lelaki kurus berpakaian kedodo-
ran, berkumis baplang. Cukup seram memang. Cu-
ma saja, giginya agak mancung.
Kawannya yang lain, lelaki berikat kepala lu-
rik yang tampangnya tak kalah seram dengan bi-
awak menengadahkan wajah. Ada sinar kepuasan
dan keangkuhan berbaur menjadi satu di wajahnya.
"Itu karena aku berhasil menggertak si Tuan
Tanah keparat itu! Kalau tidak, bagaimana mungkin
dia akan memberitahukan ruang bawah tanah tem-
pat penyimpanan hartanya," tukasnya, menyom-
bong. "Kau memang cuma bisa menggertak!" sindir yang lain. Kali ini lelaki
bertampang agak tolol berambut kaku turut ambil bicara. Hidungnya mekar
sebentar. Tampaknya dia kurang begitu akur dengan
lelaki tadi. "Kau sendiri melakukan apa" Cuma menakut-
nakuti istri ke empat belasnya dengan wajah terku-
tukmu itu?" balas lelaki bertampang seram, sewot.
"Harus begitu! Istri mudanya itu adalah salah
satu harta milik si Tuan Tanah yang paling berhar-
ga! Kalau aku bisa mengancam dengan meman-
faatkan perempuan denok itu, pasti si Tuan Tanah
bakal memberi tahu gudang hartanya. Nyatanya
memang begitu jadinya. Dia ketakutan, lalu dengan
mendelik-delik diberitahukannya kita di mana selu-
ruh harta disimpan...."
"Yang tolol rupanya bukan cuma tampangmu!
Otakmu pun bebal. Mana ada orang gila harta seper-
ti Tuan Tanah itu menganggap istri-istrinya sebagai harta paling berharga. Toh,
dia berpikir bisa membe-li sekian puluh perempuan lain dengan kekayaannya
yang segunung itu!"
Tampang lelaki itu seperti hendak meledak.
Kalap dia. Lelaki berwajah tolol mendengus.
"Terserah kaulah, Biawak!" gerutunya.
Lelaki yang digerutui bangkit dari duduknya.
Tangannya terkepal. Hendak ditumbuknya mulut si
tampang tolol. "Sudah cukup!" bentak lelaki lain yang selama ini cuma menikmati kawungnya.
Lelaki ini berbadan
bongsor. Wajahnya tak begitu seram. Cuma saja gi-
gi-giginya berbentuk runcing. Menakutkan kalau dia
sedang tersenyum. Sayang sekali, dia justru paling
susah tersenyum.
"Sekarang, sebaiknya kita bagikan saja hasil
rampokan kita ini segera!" susulnya. Di antara keempat lelaki itu, tampaknya dia
pemimpinnya. Bukan main bersemangat yang lain menden-
gar usul bagus tersebut. Betapa tidak, mereka su-
dah mendapatkan hasil jarahan yang bukan saja
banyak, namun juga berupa perhiasan-perhiasan
berharga. Emas ada, permata ada, intan ada. Apa
itu bukan hasil besar"
Mereka pun bergegas mendekati ketiga ong-
gokan peti. Sinar mata mereka berbinar-binar, seo-
lah empat ekor anjing lapar menemukan sepotong
tulang. Belum lagi sempat mereka membagikan hasil
besar tadi, mendadak saja keempatnya mendadak
terdiam. Sama-sama waspada. Ada yang sedang
mengawasi mereka, begitu pikir masing-masing,
Entah perasaan, entah naluri, mereka berba-


Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rengan menoleh ke satu arah. Ketika itulah mereka
menjadi terkesiap setengah mampus. Di balik se-
mak-semak tak begitu jauh dari mereka, terlintas
sebersit cahaya putih terang. Sekejapan mata keem-
pat begal itu disilaukan.
Sekian lama mereka hanya terpana.
Terpentang mata mereka ke satu arah.
Cahaya menyilaukan tadi memang sirna, tapi
mereka tak mau begitu saja membiarkan seperti an-
gin lalu atau sekadar kentut basi.
Ada yang tak beres, nilai masing-masing. Ca-
haya yang mereka saksikan bukan sekadar kekeli-
ruan penglihatan semata. Masa' iya keliru bisa ber-
bareng" Apa mereka sudah gila bersama" Mana bisa
begitu! Yakin tak salah lihat, mereka mulai berpan-
dangan satu dengan yang lain. Satu dengan yang
lain seolah saling bertanya dengan sinar mata kehe-
ranan. Satu dengan yang lain hendak meyakinkan
diri. "Kau lihat, bukan?" bisik si Biawak, entah siapa yang ditanya.
Yang lain serempak menganggukkan kepala.
Sementara saking terpana, si Bongsor yang
punya nyali paling kenyal pun menjadi lupa menghi-
sap kawung, sampai baranya menyulut bibir sendiri.
"Phuah! Sudah jangan dipersoalkan!" putusnya kemudian. Buang-buang waktu saja
kalau me- reka hanya memikirkan kejadian sekejapan tadi. Ka-
lau sudah tak tahu, ya biarkan saja. Tak usah dipi-
kirkan. Kalau dipikirkan, bisa-bisa kita cuma jadi
empat patung sampai pagi!
"Tapi tadi itu...."
Yang lain masih penasaran.
"Cukup kataku! Atau kau hendak menelan
golokku"!" sambar si Bongsor galak.
"Tapi kau harus ingat soal cerita masyarakat
tentang...."
"Cukup! Cukup! Aku tak mau dengar tak-
hayul itu!" hardik si Bongsor kembali. Tangannya meraih gagang golok di
pinggang. Tercabut setengah
jalan, lalu dimasukkan kembali dengan geram.
Yang lain ngeri.
Daripada menelan ujung golok, sebaiknya tu-
tup mulut. Mereka hendak memulai lagi urusan yang ter-
jegal tadi. Belum-belum, keempatnya sudah mera-
sakan perasaan aneh yang mirip dengan yang mere-
ka rasakan sebelumnya. Mereka merasa ada yang
sedang memperhatikan!
Ke tempat yang sama pula, keempatnya me-
noleh berbarengan. Mata mereka kembali terpen-
tang.... DUA BUKAN, bukan lagi cahaya putih menyilau-
kan yang sekali ini dilihat keempat begal kampun-
gan. Terkejut memang. Terperanjat pun pasti. Seper-
ti pertama, dada mereka pun berdebar-debar. Cuma
sesekali ini bukan karena waswas. Apalagi waspada.
Buat apa pakai waspada segala kalau yang
mereka saksikan kali ini ternyata bisa dibilang reze-ki nomplok. Anggap saja
kejatuhan bulan! Mereka
melihat seorang perempuan yang cantiknya bukan
main. Perempuan itu berambut panjang hingga
menggapai tanah. Sudah warnanya hitam, mengki-
lat, menebarkan harum lagi! Semacam harum bun-
ga. Wajahnya itu memiliki kecantikan yang hampir-
hampir sulit dilukiskan. Sepasang matanya seperti
meminjam pesona purnama di langit malam. Panca-
rannya bening, teduh, dan melumpuhkan. Hidung-
nya sempurna. Bibirnya apalagi, Tak ada yang tak
mengundang hasrat kelelakian pada bagian wajah-
nya. Itu baru wajah. Belum lagi tubuhnya. Melirik
keindahannya, keempat begal rasanya mau mene-
teskan liur sebanyak-banyaknya. Baik wajah, atau
tubuhnya benar-benar serba sulit untuk digambar-
kan. Pokoknyu sulit!
Kaki keempat lelaki brengsek tadi jadi lemas
dibuatnya. Selain itu, nafsu kelelakian mereka ma-
lah jadi singit tak tertolong. Mereka bersilap-silap berbarengan. Soal pembagian
harta rampokan bisa
dilupakan untuk sementara. Atau kalau perlu untuk
selama-lamanya!
Lalu mereka saling melirik. Main mata.
"Rezeki nomplok...," desis salah seorang dengan jakun tak betah diam barang
sejenak. Binar mata mereka memancar. Tak perlu
mengangguk, apalagi bermusyawarah segala, tam-
paknya mereka sama-sama telah bersepakat untuk
sedikit berpesta dengan rezeki nomplok yang baru
datang ini. Si Bongsor yang menjadi pimpinan berdehem,
memberi isyarat murahan.
Ketiga rekannya melangkah mendekati si pe-
rempuan. Langkah mereka nyaris berjingkat seperti
sekawanan hewan mengintai mangsa.
Soal cahaya putih menyilaukan sudah ming-
gat dari kepala para begal. Itu karena pemandangan
menakjuban yang mereka saksikan. Itu pula yang
membuat mereka jadi tak curiga macam-macam.
Yang terakhir, itu pula yang bakal menjadi kesala-
han besar! "Kena kau!"
Seraya berseru, salah seorang mendadak me-
nerkam, seakan sudah tak sabar, seakan takut ke-
habisan jatah dari yang lain. Terkamannya benar-
benar meyakinkan. Setanding dengan terkaman see-
kor harimau. Si perempuan cantik bergaun serba putih
panjang hingga menutupi kaki tetap tenang. Berge-
mik pun tidak. Sementara senyumnya mengembang,
memanggil, menantang.
Terkaman tak akan luput. Itu pasti! Apalagi
jarak tak terlalu jauh. Bicara tertangkap atau tidak si perempuan, itu soal lain
sama sekali. Dengan
ajaib, terkaman lewat begitu saja. Lelaki bernafsu itu seperti menerkam
bayangan! Gerusak! Jatuhlah dia di semak-semak.
Sisa begal lain terhenyak seketika. Mereka ju-
ga melihat dengan mata kepala tubuh kawannya
yang menerkam lolos begitu saja menembus tubuh
denok si perempuan. Gila juga!
Cepat mereka sadar sedang berhadapan den-
gan siapa. "Pertapa Cemara Tunggal," desis mereka, nyaris berbarengan dengan paras sepucat
mayat. Berbarengan dengan bangkitnya si penerkam,
ketiga begal lain tersurut mundur. Si penerkam tak
betah lebih lama di tempat itu. Dia ngacir sekuat tenaga.
Tak lama, yang lain mengekori. Terbirit-birit.
Dan cerita pun dimulai dari kisah keempat
begal kampungan itu. Mereka pula yang telah dita-
wan oleh Hantu Wajah Batu dan Si Ludah Darah.
* * * Hutan Pemantingan terletak antara Demak
dan Jepara. Karena di sana pernah hidup seorang
pertapa wanita bergelar Pertapa Wanita Cemara
Tunggal, maka daerah itu pun sering disebut-sebut
oleh masyarakat sekitar dengan nama Pertapaan
Cemara Tunggal.
Beberapa waktu belakangan, tersiar kabar
burung yang cukup santer tentang seorang tokoh
persilatan yang menerima sebuah benda pusaka dari
Pertapa Cemara Tunggal. Tak jelas berasal dari ma-
na kabar burung tersebut, hampir-hampir tak ada
yang tahu. Juga tak ada yang mau tahu. Tak jelas
juga siapa warga persilatan yang beruntung mene-
rima pemberian benda pusaka. Sama tak jelas pula
tentang benda pusaka yang dimaksud.
Namun yang jelas, untuk semua ketidakjela-
san itu, kebanyakan orang persilatan justru me-
nanggapi secara sungguh-sungguh.
Termasuk di antaranya dua tokoh berjuluk
Hantu Wajah Batu dengan Si Ludah Darah. Ketika
suatu kali mereka mencoba mendatangi desa di se-
kitar Pemantingan, mereka bertemu dengan keempat
begal yang tak henti-henti mengoceh bahwa mereka
telah menyaksikan pemunculan Pertapa Cemara
Tunggal. Mulut keempat lelaki itu selalu gatal untuk membicarakannya, karena
amat jarang orang dapat
bertemu dengan Pertapa Cemara Tunggal.
Ketika itulah keempatnya diringkus oleh Han-
tu Wajah Batu dan Si Ludah Darah. Tentu saja den-
gan tujuan untuk mengorek keterangan tentang Per-
tapa Cemara Tunggal. Termasuk tentang benda pu-
saka yang menurut kabar telah diserahkan kepada
seorang tokoh persilatan.
* * * "Heaaa!"
Teriakan tarung memecah udara. Asalnya dari
tenggorokan seorang tua bangka yang sedang me-
lompat tinggi dengan kaki terpentang lebar seperti
seekor kera bangkotan. Penampilannya serampan-
gan, berpakaian kumal, dan menebar bau yang bisa
membuat kepala pening tujuh keliling. Rambutnya
kaku keemasan. Wajahnya merah matang, seakan
buah yang lama ter-peram. Dia memegang guci be-
sar seukuran pelukan tangan, terbuat dari logam.
Guci yang terlihat berat. Kenyataannya memang be-
gitu. Tapi bagi si tua kumal itu tak menjadi persoalan besar. Dia memegangnya
seenteng kendi kecil.
Bukan sekadar hendak bertingkah sinting tua
bangka itu melompat sambil berteriak. Ada seorang,
yang hendak diserangnya. Orang itu berusia muda.
Wajahnya memancarkan keluguan. Berambut pan-
jang tak terurus. Dan mengenakan pakaian sea-
danya dengan rompi putih keabuan terbuat dari ku-
lit hewan. Di pinggangnya terselip tongkat pendek
sejengkalan berujung kepala naga.
Menyaksikan terjangan tua bangka tadi, pe-
muda berwajah polos itu terbengong sesaat.
"Apa-apaan ini, Pak Tua"!" serunya sesaat sebelum terjangan gila-gilaan lawan
benar-benar tiba.
Selanjutnya dia memaksa tubuh untuk berkelit se-
rabutan. "Jangan tanya kenapa!" tepis si tua bangka meledak-ledak seperti ada gumpalan-
gumpalan mer-con tersembur dari mulut keriputnya.
"Tapi aku harus tahu alasanmu menyerang-
ku! Tak ada angin tak ada hujan kau menghadang-
ku. Lalu tanpa memberi penjelasan kau langsung
saja menerjang!"
Si tua bangka mencak-mencak di tempat. Se-
sekali dia meneguk tuak dari gucinya. Sekali mene-
guk, mengomelnya berkali-kali. Bikin telinga pekak
masih mending. Omelannya juga kotor dan menjo-
tos-jotos perasaan. Kalau sudah merasa mulutnya
hampir kering, dia menenggak tuak kembali.
"Sekarang, kau bersiap saja menghadapi aku
sampai kau mampus. Aku jelas-jelas tak akan mam-
pus. Aku terlalu sakti buatmu. Jadi, maaf-maaf sa-
ja," koar tua bangka pemabuk yang tak lain Ki Dagul alias Pengemis Arak (Lihat
episode sebelumnya: "Ti-ga Pendekar Aneh").
Sedangkan lawan muda yang hendak diper-
maknya, siapa lagi kalau bukan Satria Gendeng, to-
koh muda Tanah Jawa murid Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit"
Mengherankan kalau si tua bangka tokoh ka-
wakan wilayah barat bersikap memusuhi pendekar
muda Tanah Jawa. Tak akan ada asap kalau tak ada
api. Tentu pula ada alasan kuat bagi Ki Dagul me-
musuhi Satria Gendeng. Alasan itu yang hendak di-
ketahui Satria Gendeng, kalau saja tua bangka Pen-
gemis Arak tak keburu ngamuk-ngamuk seperti itu.
Tanpa alasan, Satria tak yakin Ki Dagul akan me-
musuhinya. Toh, jelas-jelas mereka berdua berdiri
dalam golongan yang sama.
Pengemis Arak menyiapkan kuda-kuda.
Sia-sia Satria menyabar-nyabarkannya, ken-
dati sampai mulutnya berbusa.
Mata Pengemis Arak menjadi sayu. Tubuhnya
sempoyongan, terkena pengaruh tuak keras yang di-
teguknya. Sebaliknya, tangannya justru memperli-
hatkan pengerahan kekuatan.
Satria Gendeng menarik napas panjang-
panjang, lalu menghempasnya keluar. Mau mangkel
pun percuma. Dia cuma bisa meringis. Selain itu,
tampaknya dia pun harus segera mempersiapkan ju-
rus. Dilihat dari gelagatnya, Pengemis Arak tak
main-main. Ki Dagul melangkah, mempersempit jarak.
Selonong sana, selonong sini.
Satria Gendeng tenang-tenang saja menanti
serangan, kendati hatinya agak kembang-kempis ju-
ga mengingat siapa lawan yang akan dihadapinya.
"Hik.... Heaaa!"
Didahului sekutan di tenggorokan, Ki Dagul
menyeruduk. Kepalan tangannya melayang. Berisi
tenaga dalam yang sanggup mencukur gundul dua-
tiga batang pohon besar sekali tebas. Kalau kedua
tangannya melayang, berarti ada dua kepalan. Dua
kepalan berarti dua tenaga sekuat itu. Mendarat di
kepala lawan, artinya kepala sasaran langsung ter-


Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pangkas. Mental jauh dan bisa bikin repot banyak
orang untuk mencarinya.
Kena dada, artinya dada bakal jebol. Serpi-
hannya bertebaran ke mana-mana. Lebih bikin repot
banyak orang! Satria Gendeng tak acuh saja.
Gila dia" Tidak, cuma sedang mengatur sia-
sat. Angin pukulan datang. Teramat kuat, mem-
buat pakaian, rambut, dan wajahnya bergeletaran.
Mendadak sontak pemuda murid dua tokoh kena-
maan Tanah Jawa itu membuat satu gerakan tera-
mat cepat. Wukh! Satria melintir satu putaran. Sebelah tangan-
nya terangkat tinggi, mempertontonkan 'rerimbunan'
di ketiak. Gayanya bak penari wanita India. Jelas dia bukan sekadar menari.
Apalagi sekadar berpura-pura menjadi penari. Sesungguhnya si pendekar
muda sedang memperlihatkan satu gerakan unik
sekaligus mengundang bahaya maut untuk meng-
hindari hantaman sepasang kepalan lawan.
Pengemis Arak yang sedang dilanda kesewo-
tan memang mengerahkan sasaran pada tubuh Sa-
tria Gendeng yang berdiri menghadapi ke arahnya.
Dengan begitu bidang sasaran lawan cukup besar.
Sementara jika Satria berposisi menyamping, bidang
sasaran lawan akan lebih sempit. Dengan kecepatan
tertentu yang sebanding dengan hantaman tinju la-
wan, serta ketepatan perhitungan, putaran tubuh-
nya mempersempit bidang sasaran tinju Pengemis
Arak Wes! Wes! Pukulan dahsyat itu pun lewat di samping-
nya. Dan karena terseret angin pukulan tenaga da-
lam Pengemis Arak yang demikian kuat, tubuh Sa-
tria tidak hanya berputar sekali. Malah berkali-kali.
Wrrr! Ki Dagul berpikir, saat yang tepat baginya un-
tuk melancarkan serangan susulan. Toh, lawan da-
lam keadaan berputar tak karuan. Dia pun mem-
bentuk tendangan lurus ke atas.
Dak! Heran juga, si pendekar muda ternyata masih
sempat-sempatnya memapaki tendangan lawan!
Bahkan Pengemis Arak sempat dibuat terjajar bebe-
rapa tindak ke belakang.
Sewaktu putaran tubuhnya berhenti, Satria
Gendeng jadi singit sendiri. Turut sempoyongan pula dia seperti Pengemis Arak.
Ki Dagul menimbang-nimbang sebelum me-
nyerang kembali. Menyerang lagi atau tidak" Pa-
mornya bakal rontok kalau tak meneruskan perta-
rungan. Baru beberapa gebrakan, masa' sudah ha-
rus mundur" Tidak bisa begitu! Malu dia pada nama
besarnya sebagai tokoh kawakan wilayah barat!
Lagi pula, apa hebatnya anak bau kencur ini"
Dirinya tentu lebih banyak makan asam garam,
kendati lawan mudanya murid seorang tokoh bang-
kotan yang malang melintang di dunia persilatan.
"Khouek, cuih! Percuma aku dijuluki Penge-
mis Arak kalau aku tak bisa mengalahkanmu, Bo-
cah Buduk!"
Ki Dagul menggebrak lagi.
"Huaaaith!"
Saat yang sama, Satria Gendeng tak tinggal
diam. Dia pun tak kalah sengit berteriak dengan su-
ara teriakan yang serupa perawan kepergok dedemit
marakayangan. "Huuuuu huuuu!"
Pendekar muda itu mendorong langkah ke
depan. Kuda-kudanya tetap tak bisa disebut kokoh.
Berdiri saja seperti sudah sulit akibat terlalu singit berputar sebelumnya.
Sekali mengayun kaki, sempoyongan sejauh empat kaki. Bagaimana dia mau
bertarung"
Dab! Satria melepas sampokan enteng. Enteng saja
terlihat. Tapi tidak akibatnya. Sebab saat itu juga terdengar dentum santer.
Lawan tak ingin kepalanya gompal sebesar
pantat periuk. Cepat dia merunduk seraya men-
gayun guci ke kaki Satria Gendeng.
Satria mengangkat sebelah kaki. Dengan kaki
yang sama, disorongkannya telapak kaki ke wajah si
tua bangka. Benar-benar ke depan moncong peyot
itu! Ki Dagul yang kebagian jatah bau tujuh puluh
tujuh siluman dekil itu sampai terperanjat cepat
menarik kembali tubuhnya ke belakang. Gerakan
edan Satria memang tidak diniatkan untuk menen-
dang. Tapi, tetap membuat si tua bangka menjadi
ngeri. "Kualat kau!" makinya sewot.
Keedanan pendekar muda yang terkadang
memang ugal-ugalan itu pun belum tuntas. Badan-
nya yang sudah sulit menjaga keseimbangan men-
dadak doyong ke depan. Ketiaknya terbuka lebar.
Lawan yang sebelumnya merunduk menghindari
sampokan, terdongak dengan wajah kecut. Matanya
mendelik menyaksikan 'hutan lindung' siap menda-
rat di permukaan jidatnya.
Ki Dagul cepat menghindar. Sungguh, disebut
bahaya sebenarnya tidak begitu. Apa bahayanya se-
tumpuk bulu hitam seorang pemuda" Tak peduli
bahaya atau tidak, tampaknya Ki Dagul lebih rela
menghindar. Selanjutnya dia meloncat jauh ke belakang,
membuat jarak. Dia berdiri sebentar, tak lama tertawa berge-
lak-gelak. Begitu riuh. Begitu meriah. Sebelah tangannya memegangi perut. Seben-
tar-sebentar pindah ke selangkangan. Tertawa boleh, terkencing-kencing jangan!
Sebelumnya dia begitu
sewot pada Satria. Sekarang, dia justru tertawa.
"Itu seperti jurusku, Bocah Buduk! Ha ha ha!
Aku senang kau menghargai jurus-jurusku!" se-
runya meledak-ledak. Siapa yang dia pikir telah
menghargai jurus-jurus mabuknya"
TIGA SEKARANG, apakah kau mau menjelaskan
padaku kenapa kau begitu sewot padaku, Pak Tua
Pengemis Arak?" Satria Gendeng melempar perta-
nyaan pada Ki Dagul, usai 'huru-hara' yang baru sa-
ja terjadi di antara mereka berdua. Selagi pikiran tua bangka pemabuk itu masih
cukup waras, pikirnya.
"Aku sebenarnya malas berkelahi denganmu!
Kau murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang
cukup aku kagumi. Aku suka gayanya yang tengik,
mengingatkan aku pada diriku sendiri. Kalau dia se-
dang...." "Soal itu bisa dibicarakan belakangan, Pak
Tua! Bagaimana dengan alasanmu menyerangku
membabi buta tadi?" penggal Satria.
Pengemis Arak menenggak tuak. Beberapa te-
gukan. Seraya menyapu ceceran tuak di dagunya
dengan punggung tangan, dia berkata lagi, "Aku harus menghajarmu karena kau
memang harus men-
dapat hukuman yang setimpal, Cah Buduk!"
Satria terhenyak.
"Apa salahku?" kilahnya dengan wajah me-
minta penjelasan.
"Phuih! Jangan berpura-pura! Tiga hari lalu,
kau telah membunuh Kertajingga!"
"Kertajingga" Siapa dia?"
"Dia sahabatku."
"Maksudku, aku sama sekali tak mengenal-
nya!" "Si Jenggot Perak?"
Satria merengut. "Siapa pula itu?" tanyanya.
"Itu julukan si Kertajingga, Anak Bau!"
"Apa pun julukannya, aku tetap tak menge-
nalnya!" "Jadi kau mau bilang kau telah membunuh
orang yang sama sekali tak kau kenal, begitu" Dasar bocah tak punya perasaan!
Bagaimana bisa kau melakukan itu"! Keji, kualat, terkutuk, biar kau digodok
Gusti Agung di neraka sana!"
"Tunggu dulu! Aku tak mengatakan begitu.
Aku justru hendak mengatakan kalau aku sama se-
kali tak membunuh Ki Kertajingga atau Si Jenggot
Perak yang kau maksud itu! Bagaimana aku mem-
bunuhnya sementara namanya pun baru kudengar
dari mulutmu!"
Mata Ki Dagul melotot. Jakunnya turun naik.
Ditudingnya Satria.
"Kau jangan berdalih, ya!" geramnya, seraya memperlihatkan seringai yang sama
sekali tak membuat seekor keledai tolol menjadi mati ketaku-
tan karenanya. Satria jadi mangkel juga. Siapa yang mau di-
tuduh begitu rupa" Apalagi Ki Dagul seperti tak
memberinya kesempatan untuk membela diri. Dasar
orang tua! Seringkali maunya menang sendiri!
"Sumpah, aku tak membunuh orang yang kau
sebut sahabatmu itu, Pak Tua. Apa aku harus ber-
sumpah demi segenap nenek moyangku dan nenek
moyangmu!" bantahnya, mulai sengit. "Lagi pula, apa alasan dan tujuanku
membunuhnya sementara
aku sama sekali tak pernah berurusan dengannya?"
"Hah!" sentak Ki Dagul seraya menuding Satria kembali. Matanya membesar. "Itu
dia!" "Itu dia apa?"
"Tentu saja kau membunuhnya dengan satu
alasan, bukan?"
Satria menampar keningnya. Dia jadi pusing
sendiri menghadapi tuduhan membabi buta Ki Da-
gul. "Apa alasanku membunuhnya, Pak Tua?"
ucap si pendekar muda kembali dengan nada me-
rendah, seolah memelas.
"Phuih, phuih! Dasar bocah tak punya pera-
saan! Sebelumnya kupikir kau seorang pendekar
muda yang punya otak lempang dan punya hati tak
korengan! Nyatanya kau bejat!"
"Jelaskan saja apa alasanku membunuhnya"!'
"Karena kau tentu menginginkan benda pu-
saka itu! Karena Kertajingga tak memberikannya, la-
lu kau membunuhnya. Kau rebut benda pusaka itu
darinya dengan cara culas!"
Makin membabi buta saja tuduhan Ki Dagul.
Dan makin pusing saja Satria menghada-
pinya. "Benda pusaka apa yang kau maksud, Pak
Tua?" tanyanya lagi. Harus didapatnya kejelasan soal ini sampai tuntas. Jika
tidak, dia bisa benar-benar mampus. Bukan karena dibunuh Ki Dagul,
melainkan mati berdiri menahan jengkel!
Bibir Ki Dagul membentuk lekukan mence-
mooh. "Ya, tentu saja benda pusaka yang telah diberikan oleh Pertapa Cemara
Tunggal kepada Kerta-
jingga!" * * * Ceritanya, beberapa hari lalu Ki Dagul tiba-
tiba saja merasa ingin sekali mengunjungi seorang
sahabat lamanya, Kertajingga. Hampir dua puluh
tahun keduanya tak bertemu. Sampai menjelang
masuk liang lahat nanti, Ki Dagul niscaya tak ber-
niat bertemu dengan Kertajingga. Dia itu sejenis
manusia yang paling sulit keluar kandang. Meneng-
gak tuak di dalam gubuknya di atas pohon lebih
disukai dari apa pun. Bahkan jika mendadak mun-
cul seorang bidadari di depan congornya sekalipun.
Hari itu, pagi-pagi sekali, mendadak saja Ki
Dagul terbangun dengan mata terbelalak-belalak.
Napasnya terputus-putus. Lidahnya menjulur.
Tua bangka itu seperti hendak mampus.
Sebentar kemudian, dia terbengong sendiri.
Setelah hampir tiga tahun belakangan tak pernah
mimpi, hari itu tahu-tahu saja dia dapat mimpi bu-
ruk sekali. Mimpi yang dianggapnya terlalu kurang
ajar telah lancang mengganggu tidurnya.
Anehnya, mimpinya itu seperti benar-benar
dialami sendiri! Ada seseorang yang hendak mem-
bunuhnya. Bukan saja 'hendak' membunuhnya, da-
lam mimpi itu, Ki Dagul merasa dirinya telah benar-
benar dibunuh! Orang itu sendiri tidak begitu jelas dilihatnya. Wajahnya lebih
mirip bayangan. Cuma
dia melihat pakaian dan sosok yang pernah disaksi-
kannya. Yang paling menyebalkan dari bagian mim-
pinya itu, dia dicekik oleh pemuda berwajah bayan-
gan. Dan sampai mampus pula!
Saat dibunuh dalam mimpi itulah, Ki Dagul
menyaksikan bayangan Kertajingga di kejauhan.
Sahabatnya itu menggapai-gapaikan tangan, seakan
meminta pertolongan.
Meski otaknya sudah kebanjiran tuak, tua
bangka itu masih bisa sedikit berpikir. Setidaknya
dia masih bisa menafsirkan mimpinya itu. Sahabat
lamanya membutuhkan pertolongan, pikirnya. Ma-
kanya, buru-buru dia keluar kandang dan pergi
mengunjungi Kertajingga
Sampai di tempat tujuan, benar saja! Kerta-
jingga sudah mampus dengan lidah terjulur dan ma-
ta mendelik. Ada seorang yang telah mencekiknya
hingga modar dengan selamat!
"Mimpi itu...," gumam Ki Dagul di sisi mayat Kertajingga yang mengejang. Si tua
bangka ingat pa-
da mimpinya kembali.
"Rasanya aku pernah kenal dengan orang
yang mencekiknya dalam mimpi, kendati wajahnya


Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak bisa kukenali...," pikir Ki Dagul lagi.
Cukup lama dia mengingat-ingat. Otaknya
yang memang sudah tumpul terkikis pengaruh tuak
membuat dia harus berkutat keras mengingat-ingat
pemuda yang disaksikannya dalam mimpi. Syukur-
lah, setelah berusaha sehari semalam untuk men-
gingat, akhirnya dia mendapat jawaban juga.
"Eh, Kutu Busuk! Aku ingat sekarang.... Pe-
muda yang kusaksikan dalam mimpi itu kan, mu-
ridnya Dedengkot Sinting Kepala Gundul!"
Setelah itu, barulah dia terjingkat kaget.
"Kertajingga! Kenapa pemuda gendeng itu bi-
sa-bisanya membunuh sahabatku"!" simpulnya se-
mena-mena. Padahal dia tak pernah menjadi saksi
mata langsung bahwa sahabatnya dibunuh oleh Sa-
tria Gendeng, kecuali dalam mimpi!
Lalu dia ngamuk-ngamuk di tempat.
Guci tuak dibantingnya. Tuak berceceran ke
mana-mana. Sesudah itu dia menyesal sendiri se-
tengah mati. Itu kan, sisa tuaknya yang dijatahkan
untuk seminggu!
Selagi mengutuki dirinya sendiri, mendadak
saja angin berhembus demikian kuat. Debu di seku-
jur pakaian berhamburan. Pakaiannya sendiri
menggelegar-gelepar. Juga rambutnya. Dan astaga,
juga kulit kendor pipinya!
Ada setan lewat" Ki Dagul tak begitu yakin.
Dugaannya, ada biang kerok yang sengaja cari per-
kara! Memang dia sendiri sedang naik darah. Perta-
ma karena sahabatnya terbunuh, kedua karena
tuaknya untuk persediaan seminggu berantakan.
Jadi, kalau ada yang sengaja mau jadi sasaran ke-
marahan, bagus sekali!
"Kunyuk! Mau kubuatkan borok di jidatmu,
ya"!" teriak Ki Dagul, kalap.
Mata Ki Dagul jelalatan kian kemari. Cari sa-
na, cari sini. Jangan mentang-mentang punya sedi-
kit kemampuan lari cepat yang tinggi, mau seenak-
nya di depan congorku, pikirnya.
Di mana-mana tidak ada orang. Kecuali
mayat Kertajingga yang masih mengejang. Cuma se-
karang sudah dalam posisi tengkurap, terseret angin keras tadi.
Ki Dagul menggeram.
"Menantangku, rupanya...."
Tua bangka itu pun mau sedikit unjuk gigi.
Dia mempersiapkan ajian. Telapak tangan digesek-
gesekkan, lalu ditiupnya keras-keras.
"Fhuah!"
Jangan kira dia hendak bermain sulap. Si
bangkotan tukang mabuk satu ini hendak menge-
rahkan salah satu ajian dahsyatnya. Terbukti sete-
lah itu dia bergerak, memainkan satu kembangan
jurus. Tak begitu lama, wajahnya terbakar. Matanya
memerah. Tubuhnya bergetar. Rahangnya mengeras.
Setelah menepukkan telapak tangan, teriakannya
terlontar. "Heaaakh!"
Sebelum dari telapak tangannya terlepas ajian
tenaga dalam yang bisa memporak-porandakan seki-
tarnya seperti diterjang angin puting beliung, men-
dadak ada suara di belakangnya.
"Cukup! Kau tak perlu melakukannya!"
Apa lacur, ajian sudah tinggal dilepaskan.
Kebelet boleh jadi. Sayangnya, orang yang hendak
dipaksa keluar ternyata sudah menampakkan ba-
tang hidungnya. Buat apa lagi ajian dilepas" Tapi
kalau tidak dilepas, kepalanya bisa 'ngebul'!
Ketimbang menyiksa diri, mending cari kor-
ban, timbang Ki Dagul. Tubuhnya cepat berbalik. "
"Huph!"
Wush! Tepat ke arah datangnya suara barusan, Ki
Dagul pun melepaskan ajiannya.
Tanah sepanjang aliran tenaga dahsyat dari
telapak tangan tua bangka pemabuk itu terbongkar,
seakan ada makhluk halus menyeret dirinya di atas
tanah. Butirannya mencelat jauh. Itu berlangsung
sejauh kira-kira dua puluh tombak. Diakhiri dengan
satu dentuman santer di ujung aliran tenaga tadi. Ki Dagul merengut.
Di tempat dia melepaskan ajian, tak ada lagi
orang berdiri. "Bukankah sudah kukatakan kau tak perlu
melakukannya, Orang Tua!"
Terlempar teriakan di udara.
Ki Dagul tersentak. Kepalanya menengadah.
Disaksikannya sesosok tubuh sedang meluncur tu-
run dari udara. Rupanya, orang itu baru saja meng-
hindari serangan Ki Dagul dengan cara melompat
tinggi-tinggi! Begitu tiba di tanah, barulah sosoknya bisa
terlihat dengan utuh. Seorang lelaki berusia terbi-
lang muda. Sekitar tiga puluhan tahun. Bertubuh
kekar. Rambutnya panjang diikat ke belakang. Wa-
jahnya terbilang cukup menarik. Memiliki kumis ti-
pis serta cambang memanjang. Pakaiannya necis.
Berwarna merah dari bahan yang juga mahal. Di ba-
lik belahan pakaiannya di dada, tersembul ujung ki-
pas lipat. "Bicara padaku, ada perlu apa kau ke tempat
ini"!" seru Pengemis Arak.
"Berkaitan dengan kematian Si Jenggot Perak
itu," sahut pemuda berpakaian merah seraya mengeluarkan Kipas lipat. Dengan gaya
yang tergolong luwes untuk seorang lelaki, dia membuka kipasnya.
Di depan wajahnya, digerak-gerakkannya benda itu.
Cuping hidung Ki Dagul terungkit. Mulai pa-
nas lagi dia kalau sudah menyangkut sahabatnya
yang sudah jadi bangkai.
"Kau turut campur dalam kematiannya" Ayo,
mengaku!" Pemuda berpakaian merah tersenyum di balik
kipas yang menutupi setengah wajahnya.
"Tunggu dulu, Orang Tua.... Aku justru hen-
dak memberitahukanmu tentang masalah itu."
"Tak perlu! Aku sudah tahu!" tebas Ki Dagul.
Dasar bangkotan sok tahu!
Lagi-lagi lelaki berpakaian merah menanggapi
sikap keras Ki Dagul dengan senyum.
"Baik," katanya kemudian. "Kalau ternyata kau sudah tahu, sebaiknya aku segera
pergi dari si-ni," tandasnya seraya membalikkan badan.
"Eit, tunggu dulu!" cegah Pengemis Arak,
Lelaki berpakaian merah tak segera memba-
likkan badan kembali. Dia hanya berdiri di tempat.
"Ada apa lagi, Orang Tua" Bukankah kau berkata kau tak memerlukan
pemberitahuanku?" ucapnya,
tenang. "Sial, aku bukan berkata tak membutuhkan
pemberitahuanmu, Kutu Busuk! Aku cuma bilang
kalau aku tahu soal pembunuhan sahabatku ini!"
"Apa yang kau tahu?"
Ki Dagul terdiam. Rasanya, dia sedang dis-
udutkan oleh pertanyaan lelaki berpakaian merah.
Dia tidak senang diperlakukan seperti itu. Maunya
dia langsung tarik urat leher, memaki orang itu se-
sukanya dia. Tapi kok, dia kepingin tahu juga apa
yang diketahui oleh lelaki berpakaian merah.
Ki Dagul garuk-garuk kepala. Pakai cengenge-
san segala. "Bagaimana kalau kau tak menanyakan soal
itu?" tawarnya. Nada suaranya terdengar lebih berdamai. Tetap dengan posisi
membelakangi, lelaki
berpakaian merah bertanya, "Lalu apa maumu?"
"Mauku" He he he.... Ya, jelas aku ingin tahu
apa yang kau ketahui sebenarnya! Kenapa kau jadi
tolol sekali, hah!"
Dibarengi deheman kemenangan, lelaki ber-
pakaian merah membalikkan badan kembali.
"Ayo bilang sekarang! Kau tunggu apa lagi"!"
desak Pengemis Arak, ngotot.
Sebentar lelaki berpakaian merah hanya
mengebut-ngebutkan kipas di depan wajah. Sikap-
nya itu benar-benar menyebalkan Ki Dagul.
"Aku ragu, apakah kau akan mempercayai
ucapanku nanti," katanya akhirnya.
Cuping hidung Ki Dagul kembang-kempis.
"Sudah sejak tadi aku menunggu ucapanmu.
Sekarang kau malah bertanya apakah aku akan per-
caya atau tidak" Sialan! Kenapa kau tak mengata-
kan saja apa yang kau ketahui"!"
"Baik, baik.... Asal kau tahu, orang yang
membunuh Si Jenggot Perak adalah Satria Gen-
deng!" Demi mendengar ucapan lelaki berpakaian merah terakhir, Ki Dagul
memperlihatkan wajah be-rangnya. Berkali-kali dia menggeram dalam.
"Jadi mimpiku itu benar," desisnya.
"Kau ingin tahu pula kenapa pendekar muda
yang selama ini dikenal sebagai satria golongan lu-
rus itu tega membunuh sahabatmu?" susul lelaki berpakaian merah.
"Apa"! Ayo katakan, katakan!"
"Karena Satria Gendeng tergoda untuk memi-
liki benda pusaka pemberian Pertapa Cemara Tung-
gal yang telah diberikan kepada Si Jenggot Perak.
Selama ini, desas-desus yang terdengar cuma me-
nyebutkan bahwa Pertapa Cemara Tunggal telah
memberikan satu benda pusaka pada seseorang,
bukan" Orang itu adalah Si Jenggot Perak, saha-
batmu. Tak ada seorang pun yang mengetahui hal
itu, kecuali Satria Gendeng. Karena itu pula, dia berani merebutnya dari tangan
Si Jenggot Perak. Den-
gan begitu, orang hanya tahu bahwa Si Jenggot Pe-
rak telah terbunuh. Sedangkan dirinya seolah-olah
adalah orang yang telah menerima benda pusaka
itu. Kau mengerti, Orang Tua?"
"Tidak!"
EMPAT HUTAN Pemantingan. Tempat pepohonan
raksasa tumbuh liar membentuk pagar alam nan
perkasa. Tempat satwa membangun istana. Tempat
sejuta mambang bercengkerama. Juga tempat hali-
mun mengendap turun.
Siang itu, dua sosok tubuh memasuki hutan
belantara tersebut. Rapatnya pepohonan raksasa
yang menjulang dengan daunnya yang rimbun,
membuat matahari tengah hari tak punya daya un-
tuk menghujamkan sinarnya hingga ke tanah. Ta-
nah sendiri ditimbuni dedaunan tebal. Berjalan di
atasnya seolah berjalan di atas kasur jerami.
"Apakah kita sudah tiba di tempat yang dika-
takan empat cecunguk itu, Balaputra?" tanya salah seorang penjelajah hutan. Saat
itu keduanya sudah
tiba di tengah-tengah Hutan Pemantingan. Mereka
adalah Hantu Wajah Batu dan si Ludah Darah. Sete-
lah mereka berhasil mendapatkan keterangan dari
empat begal yang mereka lawan beberapa waktu la-
lu, keduanya pun segera menuju Hutan Pemantin-
gan. Tujuan mereka hendak bertemu dengan Perta-
pa Cemara Tunggal di tempat yang sama ketika
keempat begal menyaksikan penampakan pertapa
wanita melegenda itu.
Orang yang dipanggil Balaputra, yang tak lain
si Ludah Darah, mengedarkan pandangan.
"Kalau menilik keadaan tempat ini, aku yakin
di sinilah mereka menyaksikan penampakan Pertapa
Cemara Tunggal itu, Joran," sahut Ludah Darah.
"Ya, aku pun merasa kita telah tiba di tempat
yang kita tuju," timpal Hantu Wajah Batu.
"Jadi, bagaimana lagi?"
"Sebaiknya kita menanti malam tiba. Bukan-
kah empat cecunguk itu menyaksikan Pertapa Ce-
mara Tunggal pada malam hari?"
Mendadak Balaputra mengangkat tangan,
memberi isyarat pada Hantu Wajah Batu untuk me-
nutup mulut. Matanya terhunus tajam ke satu su-
dut. "Kau lihat itu...," bisik Ludah Darah dengan tubuh nyaris tak bergemik.
Pada arah di mana Ludah Darah melepas
pandangan, terlihat sesosok tubuh lain. Tepatnya
berada di sebuah pohon besar. Karena tertutupi oleh semak belukar lebat, kedua
lelaki itu tak begitu
memperhatikan saat pertama tiba.
Dari tempat mereka berdua sendiri, yang jelas
terlihat cuma kepala dan separo badan orang itu.
Karena posisinya membelakangi, yang terlihat pun
cuma rambutnya yang panjang hitam tergerai serta
sebagian punggung.
"Apakah mungkin itu adalah Pertapa Cemara
Tunggal?" bisik Hantu Wajah Batu.
Pada saat yang sama, Ludah Darah pun ber-
pikiran serupa. Cuma saja, dia tak begitu yakin.
Kendati begitu, tak urung dirinya dilanda ketegan-
gan. Penyebabnya tentu saja ada. Menurut cerita ra-
kyat, Pertapa Cemara Tunggal adalah seorang perta-
pa wanita yang kesaktiannya sudah sulit terukur.
Usianya demikian tua, namun penampilannya tetap
muda dan mempesona. Sebagian orang percaya
bahwa pertapa wanita itu sudah menjelma menjadi
manusia gaib. Pikir punya pikir, mereka berdua hanya akan
terus diam menatapi kalau tak segera mengambil
tindakan. Mereka harus mencari tahu apakah sosok
yang terlihat adalah Pertapa Cemara Tunggal atau
bukan. Jarak tempat mereka dengan sosok itu tak


Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu jauh, karenanya mereka tak perlu beranjak
lebih dekat. Dengan dada yang mulai berdentam-
dentam, serta berharap-harap akan menyaksikan
seorang wanita cantik, Ludah Darah mencoba ber-
dehem. "Ehem!"
Tak ada tanggapan. Sosok itu tetap tak berge-
rak dari posisi duduknya.
Ludah Darah memandang Hantu Wajah Batu.
Begitu pun sebaliknya. Keduanya saling berpandan-
gan seperti dua orang tolol pesakitan. Sebagai dua
orang tokoh persilatan yang cukup punya nama,
mereka seperti kehilangan nyali.
"Coba kau berdehem sekali lagi, Balaputra,"
usul Hantu Wajah Batu.
Ludah Darah menatap Hantu Wajah Batu.
Ada yang tak beres dengan si Joran, pikirnya. Bu-
kankah perkara berdehem dapat dilakukannya sen-
diri" Kenapa harus menyuruh aku, gerutunya mem-
batin. "Ehem!"
Akhirnya Ludah Darah berdehem juga.
Untuk deheman kedua, mereka mendapatkan
hasil. Tubuh sosok yang mereka lihat bergemik.
Dada kedua lelaki itu makin seradak-seruduk
di dalam. Mereka rasanya sudah yakin sekali akan
menyaksikan satu wajah mempesona yang bisa jadi
akan merontokkan jantung!
Yakin sekali! Ketika orang yang duduk dalam posisi berse-
madi itu menolehkan wajah, keduanya malah jadi
merasa baru saja membodohi diri sendiri. Mereka
kecele! Jangankan cantik mempesona, orang itu ma-
lah berkumis dan berjambang! Mana ada wanita se-
perti itu di jagat ini"
"Siapa kau sebenarnya?" tegur Ludah Darah bersama ringisan di bibir.
Dari posisi bersemadi, tubuh orang yang dite-
gur mencelat ringan, hanya dengan memanfaatkan
sentakan otot perut dan punggung. Bukan unjuk
kebolehan yang sembarangan.... Setelah melakukan
putaran seperti batang tombak berpusing di udara,
orang itu hinggap hanya lima langkah dari Hantu
Wajah Batu dan Ludah Darah.
Orang itu ternyata lelaki berpakaian merah
yang menemui Ki Dagul. Seperti kebiasaan sebe-
lumnya, dikeluarkannya kipas lipat dari balik pa-
kaian. Di depan wajah, dikebut-kebutkannya kipas
itu. * * * "Begitu ceritanya," tutup Ki Dagul, mengakhiri ceritanya pada Satria Gendeng
yang mendengarkan
dengan mulut ternganga-nganga.
"Jadi itu sebabnya kau menyerangku begitu
rupa, Pak Tua Pengemis Arak" Gila benar!" tanggap Satria, merutuk-rutuk.
"Aku memang gila. itu sebabnya aku dijuluki
Pengemis Arak!" sambar Ki Dagul, nyasar ke mana-
mana. "Kau sendiri mempercayai kalau aku telah membunuh Jenggot Perak hanya
untuk merebut pusaka yang tak pernah kulihat seumur hidup itu?"
"Tentu saja. Aku melihat sendiri kau telah
melakukannya!"
Satria mendelik. Ini lebih gila lagi. Dia tak
pernah bertemu dengan Jenggot Perak, tak pernah
tahu tentang benda pusaka Pertapa Cemara Tunggal
yang diributkan orang-orang persilatan, lantas ba-
gaimana mungkin si bangkotan yang otaknya cuma
berisi tuak itu berkata telah menyaksikan dirinya
membunuh Kertajingga"
"Kau jangan mengada-ada, Pak Tua!" sergah pendekar muda itu, setengah
menghardik. "Ei, kau sudah membunuh sahabatku. Jan-
gan menambah dosa lagi dengan menghardikku se-
perti itu!"
"Bukan maksudku begitu. Cuma aku tak ha-
bis mengerti kau bisa menuduhku begitu."
"Aku gila, dan orang gila boleh melakukan
semaunya!"
"Begini saja. Kau benar-benar melihatku
membunuh Kertajingga?" tandas Satria. Mulas perutnya kalau terus melayani
kegilaan Ki Dagul.
Ki Dagul meringis sambil menepuk keningnya
sendiri. "O, iya. Tadi aku lupa menceritakan soal
mimpiku, ya?" ucapnya, seperti tanpa dosa.
Satria baru mulai mengerti sekarang.
"Jadi, kau hanya melihatku membunuh Ker-
tajingga dalam mimpi"!" perangahnya.
"Bukan! Bukan begitu, Tolol!" Ki Dagul malah
ngotot. Lalu ocehnya lagi. "Aku justru bermimpi kau mencekikku hingga mampus,
mengerti" Lantas, aku
melihat Kertajingga di kejauhan menggapai-
gapaikan tangan. Jadi kusimpulkan saja bahwa kau
telah membunuh sahabatku itu. Mudah, bukan" He
he he...."
Ngaco! Dalam hati, Satria menyumpah-
nyumpah. Tanpa mempedulikan kekeh panjang Ki Dagul
serta kesibukannya menenggak tuak, murid dua to-
koh kenamaan Tanah Jawa itu mencoba mereka-
reka apa yang sesungguhnya sedang terjadi dan me-
libatkan dirinya ke dalam masalah itu. Menilai cerita Ki Dagul yang belum lama
didengarnya, Satria ber-kesimpulan ada satu pihak yang mencoba memfit-
nah dirinya. Langkah awal yang paling tepat buatnya
mungkin mencari tahu dahulu dari lelaki berpakaian
merah yang bertemu dengan Pengemis Arak di tem-
pat terbunuhnya Jenggot Perak. Ada kecurigaan
bahwa orang itulah yang dengan sengaja menuduh
Satria. Namun, itu sekadar prasangka saja. Satria
tak bisa langsung menjatuhkan tuduhan tanpa buk-
ti yang jelas. Memangnya seperti tua bangka berotak singit yang masih saja
terkekeh-kekeh di depannya!
Selagi Ki Dagul menenggak tuak dari guci be-
sarnya, Satria Gendeng segera menyingkir.
Begitu Ki Dagul menurunkan guci tuaknya,
pendekar muda itu sudah tak ada lagi di tempatnya.
Di tempatnya berdiri, Ki Dagul mengamuk-
amuk sendiri dengan sumpah serapah yang tak ter-
putus! "Dosamu sudah bertambah lagi, Bocah Bu-
duk! Kalau kau kutemukan lagi nanti, akan kukuliti
kepalamu!"
* * * Kembali ke wilayah Hutan Pemantingan. Keti-
ka itu lelaki berpakaian merah mengayun langkah
lebih dekat ke arah Hantu Wajah Batu dan Ludah
Darah. Sungguh, sulit sekali dibedakan cara me-
langkahnya dengan seorang perawan muda. Luwes.
Kemayu. Sepertinya, ada yang tidak beres pula den-
gan isi otak lelaki itu.
Menyaksikan pinggul lelaki berpakaian merah
melenggak-lenggok, Hantu Wajah Batu dan Ludah
Darah jadi saling pandang. Mereka semula memang
mengira orang yang mereka lihat adalah perempuan.
Perkiraan mereka keliru. Yang sama sekali tidak
disangka-sangka, mereka akan berjumpa dengan le-
laki berkumis berwajah tampan tapi celakanya ma-
lah bertingkah seperti perempuan!
Dua tindak dari tempat berdiri keduanya, le-
laki berpakaian merah menghentikan ayunan kaki.
"Apa keperluan kalian di sini?" tanyanya.
Lain dengan Ludah Darah yang agak
'merinding' terhadap sikap dan tingkah lelaki berpakaian merah, Hantu Wajah Batu
justru langsung
naik darah. "Kau sendiri sedang melakukan apa"!" sam-
barnya, bermusuhan.
"Aku?" ulang lelaki berpakaian merah seraya menaikkan sebelah alls. "Aku hanya
sedang bersemadi. Kau tahu, tempat ini merupakan tempat yang
bagus. Begitu yang kudengar."
"Peduli setan!" rutuk Hantu Wajah Batu mendesis. "Jadi," lanjut lelaki
berpakaian merah. "Jika kalian sudi, sebaiknya kalian segera pergi dari tempat
ini. Aku sama sekali tak ingin diusik."
Kunyuk, maki Hantu Wajah Batu dalam hati.
Pikirnya dia penguasa Hutan Pemantingan apa"
Kemarahan lelaki bertudung ini pun menggelegak.
"Kenapa tidak kau saja yang menyingkir dari
tempat ini"!" bentaknya.
Lelaki berpakaian merah tersenyum. Matanya
melirik Hantu Wajah Batu lekat-lekat.
"Tampaknya, kawanmu ini tidak pernah di-
ajarkan sopan santun oleh ibunya...." cemoohnya, pedas. "Jangan sebut-sebut
Ibuku!" Makin sewot Hantu Wajah Batu.
Lagi-lagi lelaki berpakaian merah tersenyum.
Ludah Darah yang berkepala lebih dingin
menggeleng-gelengkan kepala. Dia mundur beberapa
tindak. Dia tahu pasti apa yang bakal terjadi kalau Hantu Wajah Batu sudah mulai
memaki. Rupanya pula, lelaki berpakaian merah pun
melihat gelagat tersebut. Dia tak tampak gentar. Malah dia memancing lebih jauh
kekalapan Hantu Wa-
jah Batu. Dibalikkannya badan dengan gerak-gerik
yang serba gemulai. Kakinya mulai melangkah men-
jauh seakan menganggap Hantu Wajah Batu cuma
setumpuk kotoran kerbau.
Benar-benar mengajak perang dia!
"Berhenti kau, atau kuhantam dari belakang!"
ancam Hantu Wajah Batu. "Tak ada yang berani
mengejekku lalu dapat pergi seenaknya!"
Lelaki berpakaian merah tak ambil pusing.
Ludah Darah meringis kecil. Jadi juga, pikir-
nya. LIMA LUDAH Darah tak mau mempersulit urusan.
Tak ada gunanya bertarung dengan orang yang tak
Penjagal Bukit Tengkorak 1 Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur Asmara Mumi Tua 2
^