Pencarian

Imam Tanpa Bayangan 6

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 6


"Suhu, ada urusan apa?" tanyanya.
Kiem In Eng menatap wajah muridnya tajam-tajam lalu bertanya : "Anakku, terus terang mengakulah kepadaku, betulkah kau mencintai Pek In Hoei?" Wajah Wie Chin Siang yang semula pucat pias dirundung kemurungan seketika berubah jadi merah padam selesai mendengar perkataan itu, dengan tersipu-sipu ia tundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Suhu!" katanya, "kenapa kau bertanya lagi kepadaku?" Perlahan-lahan Kiem In Eng menghela napas panjang.
"Tahukah kau bahwa Pek In Hoei mempunyai masalah cinta yang amat banyak..." Tahukah kau bahwa banyak gadis yang mengejar dirinya, menggunakan siasat macam apa pun untuk mendapat dirinya, tapi banyak pula kaum gadis yang bakal kecewa di tangannya..." Wie Chin Siang tundukkan kepalanya rendah-rendah, jantung terasa berdebar sangat keras, ia merasa masa depannya kosong dan mengambang, apakah keputusan hatinya ini akan membawa keberuntungan atau kesialan ia sendiri pun tak tahu.
Titik air mata meleleh keluar membasahi wajahnya, sambil geleng kepala ia menghela napas panjang.
"Apa yang ananda pikirkan serta harapkan hanya satu, peduli bagaimanakah sikapnya di kemudian hari terhadap diriku, rasa cinta aku terhadap dirinya sepanjang masa tak akan berubah.
Nasehat suhu akan tecu ingat selalu di dalam hati..." "aaaai....! semoga kau dapat berpikir yang lebih luas dalam menghadapi setiap persoalan, janganlah seperti gurumu yang harus menyia-nyiakan masa remajanya karena terbelenggu oleh cinta, dan akhirnya apa pun tak berhasil didapatkan kecuali kesunyian serta kekosongan..." Ia melirik sekejap ke arah Pek In Hoei yang berbaring di dalam peti mati, lalu sambungnya lebih jauh.
"Dalam pencariannya apabila Go Kiam Lam tidak berhasil menemukan mereka berdua, gembong iblis itu kemungkinan besar bisa kembali ke sini, ia telah bersumpah untuk menangkap ke-dua orang ini dalam keadaan apa pun, mumpung mereka belum balik kemari dan para jago lihay dari perguruan Boo Liang Tiong belum terkumpul semua, lebih baik kita sembunyikan dahulu mereka berdua..." Berbicara sampai di sini, tanpa menantikan jawaban lagi ia segera mengempit tubuh Pek In Hoei serta Ouw-yang Gong dari dalam peti mati kemudian melayang keluar dari dalam gubuk itu dan meluncur ke dalam hutan.
Memandang bayangan punggung suhunya yang mulai lenyap dari pandangan, Wie Chin Siang berdiri termangu-mangu, secara mendadak ia rasakan suatu kekosongan yang belum pernah dirasakan sebelumnya terlintas di atas wajahnya.
Walaupun ia telah berpikir ke sana berpikir kemari tapi tak pernah ia berhasil menghilangkan bayangan wajah Pek In Hoei yang tampan serta mempersonakan hati itu, rasa kuatir muncul di atas wajahnya...
bayangan tubuhnya yang tampan gagah dan tegap selalu terbayang dengan jelas di depan mata...
"Aaaai...!" ia sendiri pun tak tahu kenapa menghela napas begitu panjang dan berat...
ia hanya tahu dadanya terasa tersumbat oleh kesedihan serta kekesalan yang membuat ia pengin menghela napas panjang agar rasa kesalnya sedikit berkurang.
Lama sekali gadis itu berdiri termangu-mangu memandang ke tempat kejauhan lalu gumamnya seorang diri : "Aneh sekali...
kenapa dalam hati kecilku selalu merindukan dirinya, sejak pertama kali kujumpai dirinya...
dalam benakku setiap saat selalu muncul bayangan tubuhnya, terutama sekali sewaktu..." Teringat akan peristiwa dalam lorong rahasia perkampungan Thay Bie San cung, di mana ia berada dalam keadaan telanjang bulat saling bertindihan dan saling berpelukan dengan Pek In Hoei,wajahnya kontan berubah jadi merah padam...
jantungnya berdebar deras dia terduduk sambil memainkan ujung bajunya, ia merasa seolah-olah ada banyak orang yang sedang mengintip ke arahnya.
Di saat ia sedang merasa jengah dengan sendirinya itulah mendadak bayangan manusia berkelebat lewat, Kiem In Eng bagaikan sukma gentayangan tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya, Wie Chin Siang yang sedang berdiri dengan rasa jengah merasa makin mengenaskan lagi keadaannya.
kim jadi tercengang bercampur heran setelah melihat keadaan muridnya, segera ia menegur : "Nak, apa yang sedang kau pikirkan?" "Aku..." Wie Chin Siang jadi kelabakan setengah mati.
"Nak, sekarang waktu sangat mendesak, aku hanya dapat menerangkan kepadamu sesingkatnya saja.
Pergilah cari si Tangan Sakti Berbaju Biru dan mintalah dua butir pil mujarab berusia seribu tahun." Ia merandek sejenak, lalu tambahnya : "Setelah turun dari bukit Thiam cong, berangkatlah ke arah timur sejauh empat puluh li, di situ ada sebuah sungai kecil dan di depan sungai terdapat sebuah kebun bunga, pergilah ke situ dan jumpailah si Tangan Sakti Berbaju Biru dengan membawa benda kepercayaanku, mungkin dia tak akan menyulitkan dirimu.
Tapi orang itu aneh dan wataknya kukoay, kau harus hadapi dirinya dengan hati-hati, begitu mendapatkan obat tadi segeralah pulang ke sini..." Seraya berkata dari dalam sakunya Kiem In Eng segera ambil keluar sebuah sapu tangan berwarna merah dan diserahkan ke tangan muridnya.
Wie Chin Siang segera menerima sapu tangan tadi dan disimpan ke dalam sakunya, lalu ia berseru : "Suhu, aku berangkat duluan!" "Tunggu sebentar!" sekilas rasa murung terlintas di atas wajah Kiem In Eng.
"Si Tangan Sakti Berbaju Biru bukan terhitung manusia dari kalangan lurus, ia berdiam di pesisir Pek Sah Than dan menurut apa yang aku ketahui sedang melaksanakan satu rencana besar, kepergianmu kali ini walaupun tiada mara bahaya yang mengancam tapi kau harus baik-baik menjaga diri..." Mendadak suasana jadi penuh emosi, terusnya : "Berhubung antara aku dengan dia pernah terikat suatu persoalan maka aku tidak ingin berjumpa dengan dirinya, bilamana kau telah bertemu dengan dirinya berusahalah sedapat mungkin menghindari pertanyaan yang menyangkut soal diriku, daripada mengundang kedatangan pelbagai kerepotan..." Pada saat ini hati Wie Chin Siang terasa amat gelisah sekali, dia ingin cepat-cepat tiba di pesisir Pek Sah Than serta mendapatkan pil mujarab berusia seribu tahun untuk menyelamatkan jiwa kekasihnya maka ia mengangguk berulang kali dan segera lari masuk ke dalam hutan.
Sepanjang perjalanan dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, baru saja gadis itu akan tinggalkan kaki bukit Thiam cong mendadak terdengar serentetan bentakan nyaring bergema memecahkan kesunyian, tampaklah dua orang lelaki berbaju hitam meloncat keluar dari balik jalan gunung dan menghadang jalan perginya dengan pedang dilintangkan di depan dada.
"Hey, apa yang hendak kalian lakukan?" kontan dara she Wie ini menegur dengan suara dingin, sekilas rasa gusar terpancar di atas wajahnya yang berkerut kencang.
Ke-dua orang lelaki itu merupakan anak murid dari perguruan Boo Liang Tiong, mereka menyapu sekejap wajah Wie Chin Siang lalu dengan wajah tercengang sang pemimpin menegur sambil tertawa dingin.
"Kau hendak pergi ke mana?" "Enyah kalian dari sini! Aku tidak ingin membinasakan kalian berdua..." seru Wie Chin Siang dingin.
Dengan sikap yang ketus pandangan yang dingin serta wajah yang penuh napsu membunuh, dara itu melanjutkan perjalanannya ke arah depan, ia sama sekali tidak melirik ke arah mereka berdua bahkan sebelah mata pun tak dipandang olehnya.
Cahaya tajam berkilauan memenuhi seluruh angkasa, sambil ayunkan sepasang pedangnya menghalau di depan mata gadis itu, ke-dua orang lelaki berbaju hitam tadi kembali menghalangi jalan perginya, jelas mereka tak ingin melepaskan gadis ini berlalu dengan begitu saja.
Sambil tertawa dingin si lelaki pertama berseru : "Ketua kami telah turunkan perintah, peduli siapa pun yang ada di atas gunung dilarang turun atau naik bukit Thiam cong ini, kecuali kami berhasil menangkap kembali ke-dua orang buronan tersebut..." Wajahnya berubah sejenak, kemudian dengan pandangan tercengang tambahnya : "Nona pun seorang manusia yang cerdik, aku percaya kau tak akan menyusahkan kami berdua..." "Hmmm! Ketua kalian manusia macam apa" Berani betul dia melarang setiap manusia naik turuni bukit ini..." Gadis ini sangat menguatirkan keadaan luka dari Pek In Hoei, ia tak berani membuang waktu terlalu lama, setelah mendengus tubuhnya mendadak menerjang ke depan dan melancarkan satu pukulan dahsyat ke arah dua orang lelaki yang menghalangi jalan perginya itu.
Ke-dua orang lelaki itu merupakan anak murid angkatan ke-dua dari perguruan Boo Liang Tiong, pada hari-hari biasa terlalu mengunggulkan kepandaian silatnya sendiri.
Kini setelah menyaksikan kecepatan gerak dari gadis itu dalam melancarkan serangannya, diam-diam mereka merasa bergidik dan kaget, cepat- cepat tubuhnya menyebarkan ke kiri dan kanan sejauh lima depa dari tempat semula.
"Kau berani menerjang dengan kekerasan!: bentak pemimpin itu sambil memutar pedangnya.
Tetapi setelah dilihatnya dara muda berwajah cantik ini sama sekali tidak memandang sebelah mata pun terhadap ketua mereka, saking gusarnya tubuh mereka jadi bergetar sangat keras, sembari membentak keras pedangnya dan menciptakan selapis cahaya berkilauan segera menerjang ke depan.
Wie Chin Siang tertawa dingin, tubuhnya bergeser ke samping sementara telapak kirinya dengan membentuk gerakan busur sedang telapak kanannya berputar satu lingkaran langsung membabat ke arah depan.
Terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memecahkan kesunyian, batok kepala lelaki itu terhantam sampai hancur berantakan dan roboh binasa di atas tanah.
Lelaki yang lain jadi sangat terperanjat setelah menyaksikan peristiwa ini, pedangnya dibabat keluar memaksa musuhnya meloncat mundur kemudian ia sendiri pun berkelebat mundur ke belakang sembari meraung gusar diambilnya sebuah seruling pendek dari sakunya dan segera ditiupkan berulang kali.
Dalam sekejap mata suara seruling bermunculan dari empat penjuru dan saling susul menyusul, tiupan suara tiga pendek satu panjang itu dengan cepatnya telah berkumandang sampai tempat kejauhan.
Menyaksikan tiupan seruling berkumandang saling susul menyusul disusul munculnya bayangan manusia dari empat penjuru, Wie Chin Siang benar-benar merasa amat gusar, sorot mata penuh napsu membunuh berkelebat lewat dan segera hardiknya : "Bangsat, kau ingin modar!" Diiringi bentakan keras tubuhnya meluncur ke depan, telapak tangannya disertai tenaga pukulan yang maha dahsyat segera dihantamkan ke atas tubuh lelaki peniup seruling tadi.
Blaaaam...! lelaki itu menjerit ngeri, tubuhnya mundur tujuh delapan langkah ke belakang dan segera muntahkan darah segar, seruling bambu hitamnya seketika patah jadi beberapa bagian dan rontok ke atas tanah.
Dalam gusarnya secara beruntun Wie Chin Siang telah turun tangan dengan hebatnya, sebelum lewat dua jurus serangan dua orang musuhnya telah berhasil dibinasakan.
Sinar matanya segera dialihkan ke sekeliling tempat itu, tiba-tiba ia terkesiap tampaklah Go Kiam Lam si ketua dari perguruan Boo Liang Tiong dengan wajah dingin telah berdiri di situ.
"Hmmm, kiranya kau!" tegur orang she Go itu sambil mendengus dingin.
Di belakang ketua perguruan Boo Liang Tiong ini mengikuti dua orang lelaki yang membawa empat ekor anjing besar, ketika itu anjing tadi menggonggong tiada hentinya membuat Wie Chin Siang dalam gugup dan kagetnya segera berpikir : "Anjing besar yang berasal dari Tibet ini pandai sekali mengejar jejak manusia, entah suhu telah menyembunyikan Pek In Hoei di mana" Mungkinkah tempat pesembunyiannya ditemukan oleh daya penciuman anjing-anjing lihay ini?" Ia segera tertawa dingin dan menegur : "Kaukah yang melarang aku turun dari bukit Thiam cong ini?" "Sedikit pun tidak salah!" "Hmmm! Kau dapatkan peraturan ini dari mana?" Sementara pembicaraan masih berlangsung, ke-empat ekor anjing itu mencium-cium terus sekeliling tubuhnya kemudian menggonggong keras.
Lama kelamaan gadis ini jadi jemu dan mendongkol juga, ia angkat kakinya dan segera menendang anjing tersebut hingga terpental ke belakang.
Anjing tadi menggonggong semakin menjadi, bahkan siap melakukan tubrukan kembali.
Sementara itu Go Kiam Lam si ketua dari perguruan Boo Liang Tiong sama sekali tidak menjawab pertanyaan Wie Chin Siang secara langsung, ia menyapu sekejap ke-dua sosok mayat anak buahnya yang menggeletak di atas tanah lalu bertanya : "Apakah mereka mati di tanganmu?" Wie Chin Siang mengerti Go Kiam Lam sebagai ketua suatu perguruan pasti memiliki ilmu silat yang sangat lihay dan sukar ditandingi, diam-diam ia salurkan hawa murninya ke dalam telapak dan siap menghadapi segala kemungkinan.
"Hmmm! Membinasakan dua ekor anjing yang goblok dan tolol bukan terhitung suatu pekerjaan besar," sahutnya.
"Budak sialan, jumawa benar ucapanmu itu!" teriak Go Kiam Lam dengan wajah berubah hebat, "Mau ap kau turuni bukit Thiam cong?" "Hmmm, itu urusanku, mau apa kau turut campur?" Mendadak serentetan bisikan lembut berkumandang masuk ke dalam telinganya, terdengar Kiem In Eng berkata : "Kau berusahalah sedapat mungkin turun dari bukit ini, kenapa mesti ngoceh tiada gunanya dengan manusia itu?" Aku telah bersembunyi di sekeliling tempat ini, diam-diam akan kubantu dirimu..." Wie Chin Siang melongo, ia tak menyangka kalau gurunya Kiem In Eng telah bersembunyi di situ, pikirannya segera ditenangkan dan senyuman congkak tersungging di ujung bibirnya.
"Aku harus mencari satu kesempatan yang paling baik untuk turun tangan terhadap diri Go Kiam Lam..." pikirnya.
Sementara itu Go Kiam Lam sendiri pun sudah dibikin gusar oleh kejumawaan orang, ia mendengus dan berseru : "Budak ingusan, kau betul-betul tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi..." Belum sampai badannya bergerak, Wie Chin Siang dengan menggunakan kesempatan di kala pihak lawan tidak menaruh perhatian penuh itulah mengirim satu pukulan dahsyat dari tempat kejauhan, serangan ini dilancarkan dan sukar dibayangkan dan kata-kata.
"Kurang ajar, kau berani turun tangan terlebih dahulu!" teriak manusia she Go itu dengan hati mendongkol.
Sebagai seorang ketua perguruan besar, ia merasa sungkan untuk merasakan serangan mematikan terhadap seorang nona kecil, badannya dengan cepat bergeser ke samping, ke-lima jarinya bagaikan cakar burung elang mencengkeram tubuh darah tersebut.
Siapa tahu di kala lengannya dijulurkan sampai setengah jalan,dan jaraknya dengan tubuh Wie Chin Siang tinggal setengah depa, mendadak lengannya jadi kaku dan segera terkulai lemas ke bawah.
Cepat-cepat tubuhnya meloncat mundur ke belakang dan bentaknya : "Jago lihay dari mana yang bersembunyi di situ?" Suasana di atas bukit itu sunyi senyap tak kedengaran sedikit suara pun, dengan wajah tercengang bercampur keheranan Go Kiam Lam mendengus dingin, lalu menegur sekali lagi.
Melihat suhunya secara diam-diam memberi bantuan, semangat Wie Chin Siang kontan berkobar, menggunakan kesempatan sewaktu Go Kiam Lam tidak menaruh perhatian ia menerjang maju ke depan dan melancarkan enam buah pukulan dahsyat.
Ke-enam buah pukulan itu kesemuanya telah menggunakan segenap tenaga yang dimilikinya, Go Kiam Lam sebagai jago yang lihay tak urung dibikin terkesiap juga sehingga terdesak mundur beberapa langkah ke belakang.
Dengan gusarnya ia tertawa keras lalu membentak : "Budak ingusan, rupanya kau memang kepengin modar!" Setelah timbul keinginan jahat dalam hatinya, serangan-serangan yang dilancarkan pun tidak mengenal rasa kasihan, badannya berkelebat ke depan, jari dan telapak menyerang berbareng diiringi desakan tubuh yang menerjang ke muka, dalam waktu singkat beberapa puluh jurus telah dilepaskan.
Bagaimana pun juga Wie Chin Siang masih kekurangan pengalaman dalam melakukan pertarungan, ia tak sanggup menduga datangnya serangan-serangan lawan dan di dalam gugupnya sang telapak kanan segera disapu ke arah depan.
Bluuuum...! di tengah bentrokan keras tubuh Wie Chin Siang tergetar mundur tujuh delapan langkah ke belakang, dengan susah payah ia baru berhasil mempertahankan tubuhnya tidak sampai ke tanah, walau begitu dadanya sudah naik turun dengan napas tersengkal-sengkal, keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
"Hmmm... Hmmm..." Go Kiam Lam tertawa dingin.
"Bocah cilik, lebih baik kau menyerah saja..." Tubuhnya bagaikan seekor burung rajawali segera berputar satu lingkaran di tengah udara sambil merentangkan lengannya segera menubruk ke atas tubuh Wie Chin Siang.
Criit...! di saat yang kritis itulah mendadak muncul suara desiran tajam berkumandang membelah angkasa, sesosok bayangan hitam meluncur ke arah tubuh Go Kiam Lam dan kecepatan penuh dan nampaknya segera akan bersarang di tubuhnya.
Go Kiam Lam terkesiap, ia putar telapaknya melancarkan satu pukulan ke depan, sebatang ranting kering segera terpental ke arah samping.
Di saat tubuhnya agak merandek itulah Wie Chin Siang telah berkelit ke samping dan sambil mencabut keluar pedangnya segera menerjang turun ke bawah gunung.
"Manusia kawanan tikus dari mana yang melancarkan serangan bokongan terhadap orang?" teriak Go Kiam Lam penuh kegusaran.
Ia tahu jago lihay yang menyembunyikan diri di tempat kegelapan itu mempunyai kepandaian yang sangat lihay dan sulit untuk menemukan jejaknya, ia segera mendengus dingin.
Sewaktu dilihatnya Wie Chin Siang dengan menggunakan kesempatan itu telah lari sejauh empat tombak, dan marah segera teriaknya : "Hadang jalan perginya, kalau ingin menangkap kembali Pek In Hoei hanya bisa didapatkan kabar beritanya dari mulut gadis itu..." Tubuhnya bergerak dan segera mengejar ke bawah.
Wie Chin Siang sama sekali tidak menggubris bentakan-bentakan dari Go Kiam Lam, sambil memutar pedangnya menciptakan selapis cahaya tajam ia terjang dua orang lelaki yang hendak menghalangi jalan perginya, di dalam sekali gebrakan ke-dua orang itu segera terjungkal dengan tubuh terluka parah.
Mendadak terdengar suara gonggongan anjing berkumandang dari arah belakang, tampaklah anjing besar yang galak dan buas itu di bawah petunjuk dua orang lelaki sedang menerjang ke arahnya.
Wie Chin Siang jadi amat gusar, ia putar pedangnya ke samping lalu menusuk anjing tadi hingga mati binasa, kemudian sambil melewati batok kepala orang banyak bagaikan segulung asap ia lari ke bawah gunung dan lenyap di balik pepohonan.
Terlihatlah tiga ekor anjing lainnya mengejar terus dengan kencangnya, suara gonggongan bergema memecahkan kesunyian...
Go Kiam Lam mendengus dingin, tiba-tiba ia hentikan gerakan tubuhnya lalu menyapu sekejap ke arah anak muridnya dengan pandangan dingin.
Para jago dari perguruan Boo Liang Tiong segera menyebarkan diri dan mencari jago lihay yang menyembunyikan diri itu.
"Kalian tak akan bisa lolos dari cengkeramanku..." gumam Go Kiam Lam dengan wajah sinis.
Begitu ucapan tersebar di angkasa, terasalah gunung Thiam cong seolah-olah terlapis oleh bayangan hitam membuat orang jadi seram dan bergidik...
Setelah melakukan perjalanan sepanjang empat puluh li, sampailah di pesisir Pek Sah Than.
Sebuah selokan membujur di depan mata, air yang bening mengalir di atas permukaan pasir yang putih di hadapan selokan adalah serentetan pepohonan liuw...
Angin berhembus sepoi-sepoi, Wie Chin Siang merasakan hatinya jadi lega dan nyaman, sambil memandang jembatan kecil di atas selokan ia berdiri termangu-mangu.
Beberapa saat kemudian perlahan-lahan ia menyeberangi jembatan kecil itu dan memasuki pepohonan liuw.
Tiba-tiba dari balik pepohonan muncul dua orang bocah lelaki berbaju biru yang menyoren pedang,mereka langsung menyongsong kedatangan gadis ini.
Usia ke-dua orang bocah itu hanya dua tiga belas tahunan, dengan pandangan dingin dan sama sekali tidak memperlihatkan sifat kebocah-bocahannya menatap gadis itu tajam-tajam, biji matanya yang dingin menunjukkan berapa luasnya pengalaman ke- dua orang bocah ini.
Tampaklah bocah yang di sebelah kiri mendadak ulurkan tangannya sambil berseru : "Bawa kemari!" "Apanya yang bawa kemari?" karena tak tahu apa yang diminta Wie Chin Siang balik bertanya dengan nada tertegun.
"Surat undangan!" jawab bocah itu dengan mata melotot.
Walaupun hanya dua patah kata, tapi dingin dan ketusnya membuat orang jadi sangsi dan tercengang apabila ucapan itu diucapkan oleh seorang bocah cilik.
Wie Chin Siang melengak dan segera berseru tertahan, lalu gelengkan kepalanya berulang kali.
"Aku tak punya surat undangan!" "Keluar!" Kedua orang bocah ini betul-betul lain daripada bocah biasa, begitu bocah yang ada di sebelah kiri menyelesaikan kata-katanya kedua orang itu segera mendongak memandang ke angkasa sambil bergendong tangan, sekejap pun mereka tak memandang lagi ke arah tetamunya.
Wie Chin Siang tidak menyangka kalau dirinya bakal dipandang enteng oleh dua orang bocah cilik di tempat itu, hawa gusarnya segera berkobar, tapi teringat akan maksud tujuannya datang ke situ adalah untuk mohon bantuan orang lain, terpaksa ia tekan hawa gusar serta rasa mendongkolnya itu di dalam hati.
"Tolong saudara berdua suka melaporkan ke dalam, katakan saja aku hendak menjumpai si Tangan Sakti Berbaju Biru..." Gadis yang sedang gelisah dan membutuhkan pertolongan ini sudah ulangi perkataannya sampai beberapa kali, tapi selalu didiamkan oleh ke-dua orang bocah itu, mereka tetap pura-pura berlagak tidak mendengar dan tidak ambil gubris, hal ini membuat Wie Chin Siang lama kelamaan jadi tak kuat menahan diri dan meledaklah hawa gusarnya.
"Hey, perkataan yang kuucapkan telah kalian dengar belum"..." bentaknya.
Kebetulan ke-dua orang bocah yang jumawa itu sedang memandang ke arahnya, mendengar bentakan tersebut dengan gusar mereka melotot sekejap ke arah gadis she Wie ini dan menjawab hampir berbareng : "Tidak boleh!" "Heeeh...
heeeh... heeeeh... kalau kalian benar-benar berkeras kepala, terpaksa nonamu akan mencari sendiri..." Karena pada dasarnya ia memang sudah mendongkol, begitu ucapannya selesai diucapkan tubuhnya segera meloncat ke angkasa dan menerjang masuk ke dalam melewati sisi tubuh ke-dua bocah itu.
"Kau berani!" bentak ke-dua orang bocah itu hampir berbareng.
Gerakan tubuh mereka berdua ternyata tidak lemah, di antara bergetarnya sang pundak mereka dengan memisahkan diri dari kiri dan kanan segera menubruk ke arah tubuh Wie Chin Siang, kecepatan serangannya tidak berada di bawah kepandaian seorang jago kelas satu, membuat gadis itu terkesiap dan segera dipaksa mundur kembali ke tempat semula.
Melihat pihak lawannya telah berhasil dipaksa mundur, ke-dua orang bocah itu pun tidak turun tangan lagi, sambil berdiri sejajar dan tangan meraba gagang pedang mereka tatap wajah Wie Chin Siang dengan pandangan dingin.
Kejadian ini tentu saja mencengangkan serta mengejutkan hati gadis she Wie ini, sejak kecil ia berada di sisi Kiem In Eng boleh dibilang kerjanya setiap hari hanya berlatih silat, hasil latihannya selama belasan tahun ternyata seimbang dengan kekuatan dua orang bocah berusia dua, tiga belas tahunan, lalu apa gunanya jerih payahnya selama ini" Tapi gadis ini tidak mau menyerah dengan begitu saja sambil mendengus dingin segera serunya : "Hmmm! Sungguh tak nyana dua orang bocah penjaga pintu pun mempunyai beberapa jurus ilmu simpanan, tidak aneh kalau kalian memandang kosong dunia jagad dan sama sekali tidak pandang sebelah mata pun terhadap rekan sesama kangouw..." "Cepat enyah dari sini!" bentak bocah sebelah kanan dengan wajah gusar.
Wie Chin Siang tertawa menghina, mendadak ia lancarkan dua buah serangan berantai yang mana secara terpisah menyerang dada ke-dua orang bocah itu secara berbarengan.
Ia dua setelah terancam oleh pukulan itu, niscaya ke- dua orang bocah itu bakal mengundurkan diri ke belakang untuk berkelit, siapa tahu kejadian ternyata berada di luar dugaan orang.
Dengan gerakan tubuh yang cepat laksana kilat ke- dua orang itu telah mencabut keluar pedangnya di saat telapak lawan hampir mengenai sasarannya, kemudian dengan menciptakan dua kilatan cahaya tajam segera membabat ke arah pergelangan tangan lawannya.
Wie Chin Siang membentak nyaring : "Kalau untuk menghadapi kalian dua orang setan cilik pun tak mampu, sia-sia saja aku berkelana selama banyak tahun di dalam dunia persilatan..." Dari serangan telapak mendadak berubah jadi serangan totokan, dengan cepat ia lepaskan dua sentilan kilat.
Ke-dua orang bocah berbaju biru itu tertegun, mendadak lengan mereka terasa jadi kaku dan senjata mereka segera terlepas dari cekalannya.
Wie Chin Siang tertawa dingin, ia berjalan menuju ke depan tanpa menggubris lawan-lawannya lagi.
Ke-dua orang bocah itu pun tidak mengejar lebih lanjut, memandang bayangan punggungnya yang lenyap di tempat kejauhan mereka hanya berdiri termangu-mangu.
Setelah melewati dua baris pepohonan liuw sampailah gadis itu di dalam sebuah kebun bunga dengan pelbagai tanaman bunga yang indah, bau harum bunga yang semerbak tersiar ke angkasa menusuk penciuman Wie Chin Siang, ia tarik napas panjang dan mendongak ke depan.
Terlihatlah sebuah jalan kecil yang berasal batu menghubungkan kebun bunga itu dengan sebuah bangunan loteng yang megah, sebuah papan emas tergantung di depan bangunan dan bertuliskan 'Coei Hoe Loe' tiga huruf besar.
"Aaaah, tempat ini pastilah loteng yang biasa digunakan si Tangan Sakti Berbaju Biru untuk menikmati bunga memandang rembulan," pikir Wie Chin Siang dalam hati.
"Kalau dilihat keadaan di tempat ini, semestinya dia adalah seorang seniman yang mengerti menikmati ketenangan dengan menanam bunga sebagai kegembiraan..." Ia teruskan langkah kakinya ke dalam, suasana tiba- tiba dipecahkan oleh langkah kaki manusia yang ramai disusul munculnya seorang dayang berbaju hijau dari balik lorong Coei Hoa Loo, sambil memandang Wie Chin Siang dengan pandangan tercengang, rupanya ia kesemsem oleh kecantikan wajah dara ini.
Sesaat kemudian dengan mata terbelalak besar dayang berbaju hijau itu menegur : "Apakah kau adalah teman majikan kami?" "Betul!" sambil tersenyum Wie Chin Siang mengangguk.
"Majikan kalian tinggal di mana?""
"DI ATAS LOTENG!" sahut dayang itu dengan sikap hormat, ia segera menyingkir ke samping.
Wie Chin Siang tersenyum ringan, dengan cepat ia melangkah masuk ke dalam loteng Coei Hoa Loo.
Di bawah sorot cahaya lampu tampaklah sebuah permadani merah menutupi lantai dari depan pintu hingga atas loteng, di sisi pintu berdirilah empat orang dayang berbaju hijau yang menyoren pedang menghalangi jalan perginya.
Wie Chin Siang tetap melangkah naik dengan sikap tenang, melihat kehadiran gadis cantik ini ke-empat orang dayang itu tunjukkan sikap tercengang, delapan sorot mata menatap wajah tetamunya tanpa berkedip, rupanya mereka merasa terpesona oleh kecantikan orang.
"Tolong berilah laporan kepada majikan kalian, katakan saja boanpwee Wie Chin Siang ada persoalan hendak menjumpai dirinya..." kata gadis itu sambil tersenyum.
"Majikan kami tidak suka menemui tamu," tolak seorang dayang yang berdiri di sisi Wie Chin Siang dengan nada ketus.
"Kecuali kalau kau adalah satu- satu dari dua jenis manusia, maka dia baru akan menjumpai dirimu..." "Dua jenis manusia" Dua jenis yang bagaimana?" tanya gadis itu dengan wajah tertegun.
Dayang tadi tertawa dingin.
"Pertama adalah sahabat yang mendapat kartu undangan, dan kedua adalah gadis cantik yang datang kemari karena memperoleh pilihan! Kau termasuk jenis yang pertama atau kedua?" "Kedua-duanya bukan!" Begitu mendengar pihak lawan bukanlah rekan sealiran yang diundang datang oleh majikannya, air muka ke-empat orang dayang itu seketika diliputi oleh napsu membunuh, terdengar dayang yang buka suara tadi segera mendengus dingin dan menegur : "Bagaimana caramu memasuki tempat ini?" Setelah merandek sejenak ia berpaling ke arah rekannya dan menambahkan : "Coen Lan, cepat keluar dan periksa bocah penjaga pintu itu, kalau mereka berdua berani secara pribadi memasukkan orang luar ke dalam loteng Coei-Hoa- Loo ini, bunuh lebih dahulu kemudian baru laporkan kepada majikan..." Seorang dayang menerima perintah dan segera meloncat turun dari atas loteng, sebelum Wie Chin Siang sempat mengambil keputusan apakah ia akan menerjang masuk ke dalam secara kekerasan atau memancing kemunculan si Tangan Sakti Berbaju Biru dengan akal, dari kejauhan terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang datang, rupanya ke-dua orang bocah lelaki tadi sudah mati di tangan Coen Lan.
Diam-diam Wie Chin Siang menghela napas panjang, ia tidak menyangka kalau peraturan dari si Tangan Sakti Berbaju Biru demikian ketatnya, hanya disebabkan memasukkan seseorang ke dalam wilayah mereka, ke-dua orang yang tidak bersalah itu telah dibinasakan.
Dalam hati segera pikirnya : "Pada saat ini sekeliling tempat ini sudah tersebar jago lihay yang amat banyak, jejak mereka begitu rahasia dan misterius, jelas si Tangan Sakti Berbaju Biru bukanlah manusia dari kalangan lurus, sungguh tak nyana suhu bisa mengadakan hubungan dengan manusia semacam ini." Belum habis ia berpikir, tampaklah Coen Lan telah balik ke atas loteng, setelah melirik sekejap ke arah Wie Chin Siang dengan pandangan dingin dengan sikap yang sangat hormat ia menjura kepada pemimpinnya yakni si dayang berbaju hijau tadi, lapornya : "Menurut laporan dari para boach penjaga pintu, perempuan ini menerjang masuk ke dalam dengan andalkan kepandaian silatnya.
Aku benci mereka berdua di hari-hari biasa terlalu lalaikan ilmu silat yang telah diwariskan kepada mereka, maka kupenggal sebuah lengan mereka..." Ucapan ini diutarakan dengan enteng dan seenaknya, sama sekali tidak ada perasaan di dalam hatinya bahwa memotong lengan orang adalah suatu perbuatan yang melanggar peri kemanusiaan, hal ini membuktikan bahwasanya ke-empat dayang ini sudah terbiasa menyaksikan perbuatan-perbuatan menyeramkan semacam itu sehingga lama kelamaan timbul pendapat dalam hati mereka bahwa berbuat demikian bukanlah suatu perbuatan yang melanggar peri kemanusiaan.
Darah panas yang bergolak dalam dada Wie Chin Siang kontan bergelora dengan hebatnya, hawa napsu membunuh terlintas di atas wajahnya, bibir yang kecil segera tersungging satu senyuman dingin yang menggidikkan hati.
Ia tertawa dingin lalu berkata : "Terhadap dua orang bocah yang tidak tahu urusan pun kalian begitu tega untuk turun tangan keji.
"Hmmm1 Sungguh memalukan kalau kalian disebut kaum wanita.
Aku betul-betul tidak mengerti, hati kalian sebenarnya hati manusia ataukah hati serigala..." "Heeeeh...
heeeh... heeeh... kalau kami kaum wanita semuanya mempunyai perasaan belas kasih serta lemah lembut seperti kau, kaum pria yang ada di kolong langit tentu sudah menunggang di atas kepala kita semua.
Justru kami berbuat demikian agar semua orang tahu bahwa kaum wanita bukanlah makhluk lemah yang bisa dipermainkan serta diinjak-injak seenaknya, sebaliknya masih mempunyai banyak bagian yang jauh lebih kuat dari kaum pria lainnya..." Didahului dengan perkataan yang masuk di akal seperti ini untuk beberapa saat lamanya Wie Chin Siang jadi gelagapan, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab perkataan orang.
Tapi ia pun tahu bahwa keadaannya pada hari ini sangat berbahaya sekali, bahaya jauh lebih banyak dari kemujuran maka gadis ini pun bersiap sedia untuk melakukan penyerangan.
Tapi sebelum ia sempat bergerak mendadak terdengar suara irama musik yang merdu berkumandang datang dari tempat kejauhan, sungguh tak nyana si Tangan Sakti Berbaju Biru bukan saja adalah seorang seniman yang suka akan ketenangan serta keindahan bunga, bahkan merupakan seorang ahli pula di dalam permainan kecapi.
Wie Chin Siang segera pusatkan perhatiannya untuk mendengarkan irama musik itu, kemudian tanyanya : "Apakah majikan kalian sedang menjamu tetamu?" Coen Lan mendengus dingin.
"Asal kau bisa menerjang keluar dari penjagaan kami, majikan kami dengan sendirinya akan menjumpai dirimu." Wie Chin Siang tertawa dingin.
"Bagus, kalau demikian adanya terpaksa aku harus menyusahkan kalian semua!" serunya.
Sang badan segera bergerak ke depan, pedangnya bergetar kencang menciptakan selapis cahaya dingin, yang menggidikkan hati, diiringi desiran angin tajam senjata tersebut langsung menyerang ke arah empat orang dayang itu memaksa ke-empat orang tadi terdesak mundur dua langkah ke belakang.
Air muka Coen Lan kontan berubah hebat.
"Aaaaah! Tidak salah kalau kau berani mencari gara- gara di atas loteng Coei Hoa Loo ini, kiranya kau pun seorang jago silat yang sangat terlatih!" Mereke semua merupakan jago-jago lihay yang telah memperoleh didikan yang sangat keras, setelah terdesak mundur oleh serangan kilat dari Wie Chin Siang tadi dengan cepat ke-empat orang itu telah membenahi diri sendiri.
Dalam waktu singkat sebuah barisan yang kokoh dan kuat telah terbentuk, empat kilas cahaya pedang yang tajam dan menyilaukan mata dengan menciptakan beribu-ribu jalur cahaya yang kuat dan kokoh segera membentuk selapis dinding pertahanan yang kuat di hadapan mereka berempat.
Dalam posisi yang demikian ketat serta kuatnya ini, bukan masalah yang gampang bagi Wie Chin Siang untuk menyerang masuk ke dalam barisan itu, apalagi untuk bertemu dengan si Tangan sakti berjubah biru pemilik dari loteng Coei Hoa Loo ini.
Bagian 22 MASING-masing pihak saling bergebrak puluhan jurus banyaknya, tetapi menang kalah masih susah untuk ditentukan.
Mendadak Wie Chin Siang membentak keras : "Tahan!" Mendengar bentakan itu dayang yang memiliki kepandaian silat paling lihay itu tampak tertegun dan tanpa sadar telah menghentikan serangannya, di saat ia masih melengak itulah Wie Chin Siang menggerakkan tubuhnya menerobos masuk ke dalam.
Seraya membalingkan pedangnya di tengah udara ia berseru : "Kalian sudah menderita kalah!" Ke-empat orang dayang itu semakin tertegun, saat itulah ujung pedang lawan telah menyapu tiba.
Untuk menghindar sudah tak sempat lagi, diiringi bentakan gusar di atas pakaian masing-masing orang telah bertambah dengan sebuah babatan panjang yang merobekkan baju mereka.
"Hmmm, kau gunakan akal licik..." teriak Coen Lan dengan nada gusar bercampur penasaran.
"Dalam suatu pertarungan, siasat licik paling diutamakan, aku tahu bahwa untuk menangkan kalian bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, oleh karena itu terpaksa aku harus gunakan sedikit siasat kecil membohongi kalian, dan sekarang kalian tertipu, hal ini harus disalahkan kalau pengalaman kalian di dalam menghadapi musuh terlalu cetek, siapa suruh kalian terlalu mempercayai perkataan lawan!" Walaupun ke-empat dayang itu merasa bahwa cara yang digunakan lawannya kurang jujur dan terlalu licik, tapi setelah merasakan bahwa ucapan dara itu memang merupakan suatu kenyataan yang tak bisa dibantah, maka mereka berempat hanya bisa saling berpandangan tanpa sanggup melakukan sesuatu perbuatan.
Sebuah kain horden yang panjang dan berwarna hijau tergantung hingga menjuntai lantai, dari balik horden tersebut Wie Chin Siang merasa bahwa cahaya lampu menerangi seluruh ruangan.
Di tengah sebuah ruangan yang luas, empat batang lampu lilin memancarkan cahaya terang, di balik dinding tembok terlihat pantulan cahaya yang memperlihatkan beberapa sosok bayangan manusia sedang berbicara dan tertawa dan suara yang keras.
Seorang Siucay berusia pertengahan yang memakai jubah berwarna biru duduk dengan gagahnya di depan meja, waktu ia sedang minum arak dengan lahapnya, di kedua belah sisinya masing-masing mendampingi seorang gadis cantik yang berwajah genit.
Pakaian sutera berwarna merah yang tipis memperlihatkan sepasang paha mereka yang putih bersih, membuat orang yang memandang terasa ikut terpesona.
Wie Chin Siang hampir saja dibikin gugup dan tidak tenang hatinya setelah menyaksikan tingkah pola yang genit yang merangsang dari ke-dua orang gadis jalang itu, buru-buru ia berusaha menenangkan hatinya kemudian perlahan-lahan maju ke depan menghampiri siucay berbaju biru itu.
Ketika merasakan ada orang asing yang muncul di dalam ruangan itu, ke-dua orang gadis jalang tadi segera menghentikan tingkah polanya dan bersama- sama alihkan sinar matanya ke arah tubuh Wie Chin Siang, dibalik sorot matanya yang tertera jelas sikap permusuhan yang tebal, seolah-olah mereka telah memandang gadis she Wie ini sebagai musuh besarnya yang terikat dendam sedalam lautan.
"Kau kemarilah!" tampak si Tangan Sakti Berbaju Biru menggape ke arah dara she Wie itu.
Ketika ke-dua orang gadis jalang itu menyaksikan majikan mereka secara tiba-tiba memanggil dara berbaju putih itu menghadap, wajah mereka segera berubah hebat, dengan wajah penuh napsu membunuh gadis gemuk yang ada di sebelah kiri segera meloncat bangun, kemudian sambil tertawa terkekeh-kekeh ujarnya kepada Wie Chin Siang : "Eeei kenapa" Adik kecil, apakah kau pun ada maksud berebutan majikan dengan kami Siang Bong Jie Kiauw..." Sembari berkata badannya melayang ke depan, jari tangannya dengan menciptakan selapis bayangan tajam langsung menyodok ke arah dada Wie Chin Siang diikuti segulung bau harum yang amat menusuk penciuman menyebar ke dalam hidungnya membuat dara itu merasa tersentak kaget.
Mimpi pun Wie Chin Siang tak pernah menyangka kalau ia bakal diserang dengan cara yang begitu keji dan berat oleh seorang gadis yang baru saja ditemuinya untuk pertama kali.
Dengan sebat Wie Chin Siang mengigos ke samping lalu sambil melancarkan satu serangan balasan serunya : "Eeei...
sebenarnya apa maksudmu?" Perempuan itu tertawa terkekeh-kekeh, suaranya keras dan membetot sukma, terhadap pertanyaan yang diajukan Wie Chin Siang bukan saja tidak dijawab sebaliknya serangan yang dilancarkan makin lama semakin dahsyat dan hebat, semua gerakannya merupakan serangan mematikan yang mana tentu saja memaksa Wie Chin Siang jadi keteter dan hanya bisa menghindar ke sana berkelit kemari.
Dalam pada itu ketika perempuan jalang tadi menyaksikan tujuh delapan buah serangannya berhasil dihindari semua oleh lawannya, napsu membunuh yang terlintas di atas wajahnya semakin menebal, suara tertawanya makin lama makin keras, sambil merangsek lebih ke depan jengeknya seraya tertawa dingin : "Ayoh balas, kenapa kau tidak membalas seranganku" Kalau cuma bisanya menghindar bukan terhitung seorang enghiong yang patut dikagumi..." Bahunya bergerak cepat, mendadak telapak kirinya mengirim satu pukulan kilat yang maha dahsyat.
Sejak memasuki loteng Coei Hoa Loo tadi Wie Chin Siang sudah merasakan hatinya mangkel, mendongkol bercampuran penasaran, sekarang setelah dilihatnya perempuan jalang itu meneter dirinya terus menerus tanpa memberi kesempatan baginya untuk berbicara,hawa amarahnya kontan memuncak dan sukar dikendalikan lagi.
Sambil mendengus gusar serunya : "Hmm, kau jangan anggap aku betul-betul jeri kepadamu.
Nah, rasakanlah sebuah pukulan mautku!" Dengan menghimpun segenap tenaga lweekang yang dimilikinya ia segera sambut datangnya serangan lawan dengan keras lawan keras.
Bluuum...! Suatu ledakan yang amat dahsyat segera menggeletar di dalam ruangan itu membuat tubuh mereka berdua sama-sama tergetar mundur tiga langkah ke belakang masing-masing pihak sama- sama merasa terkejut akan kesempurnaan tenaga lweekang orang.
Sejak pertarungan mati-matian itu berlangsung hingga berakhir, si Tangan Sakti Berbaju Biru hanya menonton jalannya pertempuran itu dari samping, tak sepatah kata pun yang diucapkan.
Kini secara tiba-tiba ia bangkit berdiri dan ujarnya sambil tersenyum : "Harap kalian berdua segera berhenti bertarung!" Ia merandek sejenak, kemudian sambil berjalan menghampiri Wie Chin Siang katanya lagi : "Siapa pun yang berada di loteng Coei Hoa Loo, dia terhitung sahabat karib loohu!" Sambil menarik tangan gadis she Wie itu ujarnya lagi seraya menuding ke arah gadis jalang yang baru saja bergebrak dengan dirinya : "Dia adalah loo toa dari Siang Beng Jie Kiauw, sepasang gadis ayu pembuat impian So Siauw Yan, sedang yang itu adalah sang Loo jie So Leng Yan, nona, dan kau sendiri siapa namamu?" Siang Bong Jie Kiauw tertawa dingin tiada hentinya, mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Boanpwee bernama Wie Chin Siang!" dara itu memperkenalkan diri.
Dengan pandangan mata tajam laksana sebilah pisau belati si Tangan Sakti Berbaju Biru menatap wajah Wie Chin Siang tajam-tajam, lalu tanyanya lagi.
"Siapakah gurumu" Kalau dilihat dari gerakan ilmu silat yang kau pergunakan di dalam pertarungan tadi rupa-rupanya mirip dengan kepandaian seorang sahabat karibku..." Wie Chin Siang tersenyum.
"Maafkanlah diri boanpwee apabila tak bisa mengutarakan nama besar suhuku berhubung hal itu merupakan pantangan bagi kami..." "Hmmm! Sungguh besar amat bacotmu..." jengek So Leng Yan yang duduk di kursi sambil tertawa dingin.
Dengan pandangan dingin dan hina Wie Chin Siang melirik sekejap ke arahnya, lalu ujarnya kembali sinis : "Meskipun kepandaian silat yang boanpwee miliki amat cetek, sebelum mendatangi loteng Coei Hoa Loo tadi dalam pandanganku tempat ini pastilah merupakan suatu tempat yang merupakan sarang naga dan harimau, penuh dengan manusia-manusia pandai yang berilmu, siapa tahu...
heeeeeh... kenyataan jauh merupakan kebalikannya, sungguh membuat hati orang jadi kecewa..." Air muka Siang Bong Jie Kiauw berubah hebat, pada saat yang bersamaan mereka berdua siap menggerakkan tubuhnya untuk menyerang diri Wie Chin Siang.
Si Tangan Sakti Berbaju Biru segera ulapkan tangannya, ke-dua orang gadis jalang itu segera mengundurkan diri kembali ke tempat semula.
Terdengar So Siauw Yan tertawa ringan dan menyindir : "Majikan! Toh di sini aa tamu agung yang sedang datang berkunjung, biarlah kami sekalian mohon diri terlebih dahulu!" "Tidak mengapa!" Si Tangan Sakti Berbaju Biru gelengkan kepalanya lalu sambil tersenyum ujarnya kepada Wie Chin Siang : "Nona manis, apakah kau adalah gadis yang dipilih putraku untuk melayani diriku?" "Bukan!" sahut dara she Wie itu sambil gelengkan kepalanya.
Sepasang alis si Tangan Sakti Berbaju Biru kontan berkerut kencang, wajah yang semula berseri-seri pun seketika berubah jadi kecut, mendadak dengan wajah dingin kaku bagaikan es katanya : "Kalau begitu sungguh aneh sekali, kalau nona memang bukan termasuk gadis cantik yang dipilih putraku untuk datang melayani diriku, juga bukan merupakan sahabat dari loohu, lalu apa maksud tujuanmu datang berkunjung ke loteng Coei Hoa Loo ini"..." Nada suaranya mulai kedengaran ketus, tajam dan bersifat menegur, sementara sepasang matanya dengan memancarkan cahaya tajam bagaikan sayatan pisau menatap wajah gadis itu tanpa berkedip.
Sikapnya yang ketus, dingin dan tak sedap dipandang ini mendatangkan suatu perasaan aneh bagi gadis she Wie, ia ragu-ragu dan tidak habis mengerti atas kehendak lawannya.
Bibir Wie Chin Siang segera bergetar seperti mau mengucapkan sesuatu tapi niat tersebut kemudian dibatalkan, sikapnya jelas menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak persoalan yang hendak diutarakan keluar tanpa diketahui oleh pihak lain, sinar matanya dengan dingin melirik sekejap ke arah Siang Bong Jie Kiauw.
Sebagai seorang jago kawakan yang banyak pengalaman di dalam dunia persilatan sudah tentu si Tangan Sakti Berbaju Biru dapat menangkap maksud hati gadis itu, ia segera mendengus dingin dan ulapkan tangannya memerintahkan sepasang gadis ayu buat impian itu mengundurkan diri dari dalam ruangan.
"Teng cu, apakah kau bisa mempercayai perempuan ini?"" seru So Leng Yan sambil maju ke depan.
"Heeeh... heeeh... heeeh. kau tak usah kuatir," sahut si Tangan Sakti Berbaju Biru sambil tertawa dingin.
Wie Chin Siang yang mendengar pembicaraan itu, kontan naik pitam teriaknya dengan penuh kegusaran : "Hey sebenarnya apa maksudmu?" aku Wie Chin Siang bukanlah seorang manusia durjana yang berhati keji dan bermaksud jahat, aku pun bukan seorang gadis yang termasuk dalam manusia tak genah tukang memikat hati orang dengan andalkan kecantikan wajah..." Siang Bong Jie Kiauw yang kenan disindir air mukanya berubah hebat, mereka melirik sekejap ke arah si Tangan Sakti Berbaju Biru dengan sorot mata ketakutan kemudian buru-buru mengundurkan diri.
Sambil menoleh terdengar So Leng Yang mendengus gusar dan mengancam : "Perempuan sialan, kau berani bicara tidak karuan dan ngaco belo menghina kami, hati-hatilah ancaman kematian setiap saat bisa menimpa dirimu..." "Sudahlah, kalian mengundurkan diri lebih dahulu," tukas si Tangan Sakti Berbaju Biru sambil ulapkan tangannya.
"Nanti kita baru merundingkan masalah besar lagi..." "Tang cu! Asal kau memanggil kami, dengan cepat kami kakak beradik akan muncul di sini untuk menemani diri Teng cu!" sahut So Leng Yan dengan wajah kegirangan.
Selesai berkata bersama-sama saudaranya mereka segera berlalu dari situ, di tengah udara hanya tertinggal bau harum semerbak yang merangsang hidung.
Sepeninggalnya ke-dua orang gadis ayu pembuat impian itu, si Tangan Sakti Berbaju Biru baru menoleh dan menatap wajah Wie Chin Siang lagi dengan sinar mata tajam, beberapa saat kemudian ia baru berkata dengan suara ketus : "Nona, sekarang kau boleh mengutarakan persoalan hatimu!" Wie Chin Siang tidak langsung berbicara, dari sakunya dia ambil keluar selembar kain selendang berwarna merah, kemudian sambil diserahkan ke tangan lelaki berbaju biru itu katanya : "Tangcu, apakah kau kenal dengan benda ini?" Sekilas perasaan hati yang bergolak terlintas di atas wajah si Tangan Sakti Berbaju Biru yang dingin dan ketus, ia tidak menyambut kain selendang tersebut sebaliknya sambil tertawa dingin tegurnya : "Nona, apakah kedatanganmu ke sini karena hendak memohon sesuatu kepada loohu?" "Benar, dua orang sahabat boanpwee karena kurang hati-hati telah termakan ilmu pukulan Toa Lek Im Jiauw Kang, oleh sebab itu mohonlah agar supaya cianpwee bisa beringan tangan dengan menghadiahkan dua butir Som Wan berusia seribu tahun untuk menyelamatkan jiwa ke-dua orang sahabatku itu." "Tentang soal ini..." Si Tangan Sakti Berbaju Biru nampak berdiri tertegun.
Sesaat kemudian dengan cepat ia rampas kain selendang merah itu lalu digenggam kencang- kencang, setelah dicium beberapa kali sepasang matanya dipejam rapat-rapat.
Waktu detik demi sedetik berlalu di tengah keheningan serta kesunyian yang mencekam seluruh jagad, walaupun hanya beberapa waktu tapi dalam perasaan Wie Chin Siang bagaikan setahun lamanya, ketika dilihatnya si Tangan Sakti Berbaju Biru hanya memegangi kain selendang merah itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun hatinya kian lama kian bertambah gelisah, tanpa sadar ia mulai menguatirkan keselamatan Pek In Hoei.
Serunya dengan hati cemas : "Cianpwee! Apakah kau sudi mengabulkan permintaan boanpwee" Apabila kau merasa keberatan untuk menghadiahkan pil mujarab itu untuk menolong orang, terpaksa boanpwee akan mohon diri terlebih dahulu, sebab aku harus mencari akal lain untuk menyelamatkan jiwa mereka, sebaliknya kalau kau rela..." Setiap perkataannya itu diucapkan dengan keras dan tegas seolah-olah martil yang menggeletar di angkasa, tetapi si Tangan Sakti Berbaju Biru tetap tidak menggubris ucapannya itu, seorang diri ia berdiri melamun, tangannya mencekal kain selendang merah itu kencang-kencang sedang air mukanya menunjukkan perasaan bergolak yang amat hebat, tapi nampak pula kepucat-pucatan seakan-akan secara mendadak menemui suatu peristiwa yang menyulitkan hatinya.
Menyaksikan kesemuanya itu Wie Chin Siang merasa terkesiap, satu ingatan dengan cepat berkelebat di dalam benaknya : "Sebenarnya kain selendang berwarna merah itu mengandung kekuatan ajaib apa sih" Ternyata benda itu sanggup menjerumuskan seorang jago lihay di dalam dunia persilatan ke dalam lembah penderitaan serta siksaan batin yang begitu hebat..." Tiba-tiba si Tangan Sakti Berbaju Biru membuka matanya lalu menegur dengan suara keras : "Sekarang dia berada di mana?" "Siapa yang cianpwee tanyakan?" "Orang yang memberikan kain selendang merah ini kepadamu!" kata lelaki berbaju biru itu sambil menunjukkan kain selendang di tangannya.
Sementara Wie Chin Siang hendak mengatakan jejak dari suhunya, tiba-tiba ia teringat kembali akan pesan dari Kiem In Eng sesaat ia hendak berangkat, gurunya melarang dia untuk mengatakan perguruan sendiri serta jejak dari suhunya daripada mendatangkan banyak kesulitan serta kerepotan bagi mereka.
Karena itu Wie Chin Siang segera menghela napas panjang.
"Jejak orang itu tak menentu, sebentar ada di Barat dan sebentar lagi sudah pindah ke Timur, lebih baik tak usah kukatakan saja." Ucapan ini sebenarnya merupakan suatu alasan penampikan yang luwes dan enak didengar, tetapi bagi pendengaran si Tangan Sakti Berbaju Biru seolah- olah sebuah martil besar yang menghantam lubuk hatinya keras-keras.
Dengan hati amat sedih dia menghela napas panjang, perawakan tubuhnya tinggi kekar nampak gemetar keras, wajahnya berubah hebat dan pucat pias bagaikan mayat, seakan-akan secara mendadak ia terserang sejenis penyakit yang parah.
Sekali lagi ia tundukkan kepalanya, terdengar suara napasnya tersengkal-sengkal, dadanya naik turun dengan memburu, titik air mata membasahi kelopak matanya, kesemuanya ini menunjukkan bahwa ia meras tertekan jiwanya.
Wie Chin Siang yang menjumpai kesemuanya ini jadi tercengang, tanpa sadar ia mundur beberapa langkah ke belakang.
Pada saat itulah terdengar suara langkah kaki manusia berkumandang datang dari luar ruangan diikuti kain horden disingkap ke samping.
Seorang pemuda dengan wajah dingin kaku dan senyuman menghiasi ujung bibirnya perlahan-lahan berjalan masuk ke dalam.
Ia menyapu sekejap wajah Wie Chin Siang dengan pandangan tajam, sekilas perasaan tercengang menyelimuti wajahnya.
Buru-buru gadis itu melengos ke samping dan menghindarkan diri dari pandangan pemuda tersebut.
Mendadak pemuda itu menyaksikan air muka si Tangan Sakti Berbaju Biru yang berubah jadi pucat pias bagaikan mayat itu, hatinya jadi amat terperanjat, sambil maju tiga langkah ke depan teriaknya dengan hati cemas : "Ayah!" Si Tangan Sakti Berbaju Biru tidak menunjukkan suatu reaksi, pemuda itu segera menggoyang-goyangkan tubuhnya, tapi itu pun tidak mendatangkan reaksi apa pun, kejadian ini tentu saja membuat hati pemuda itu jadi sangat terperanjat, ia segera tergetar mundur dua langkah ke belakang.
Sambil tertawa dingin serunya : "Sungguh tak disangka loteng Coei Hoa Loo yang selamanya tak pernah bersengketa dengan dunia persilatan, tidak tamak untuk memperebutkan nama serta pahala dan jarang berhubungan dengan orang Bu lim, hari ini ayahku bisa mendapat celaka di tangan seorang gadis semacam kau..." Ia mendengus marah, sambil menatap wajah Wie Chin Siang tajam-tajam, jubah luar berwarna birunya segera dilepaskan, serentetan sorot mata penuh mengandung napsu membunuh memasuki benaknya, seraya tertawa rendah sepasang telapaknya segera bergerak melancarkan serangan.
"Tunggu sebentar!" Wie Chin Siang dengan sebat meloncat mundur satu langkah ke belakang, serunya lagi dengan nada dingin : "Kau harus bikin terang dulu duduknya persoalan kemudian baru turun tangan!" "Hmm! Ayahku menderita luka dalam yang demikian parahnya, bukankah kejadian ini adalah hasil perbuatanmu?" teriak pemuda itu dengan wajah sedih bercampur gusar.
Wie Chin Siang tertegun, kemudian bentaknya : "Ayahmu adalah seorang cikal bakal dari suatu perguruan besar, kau anggap manusia selihay itu bisa jatuh kecundang dan terluka di tangan seorang boanpwee seperti aku" Coba periksalah dengan seksama, kau lihat dulu apakah dia betul-betul terluka akibat pukulan seseorang..." "Hmmmm! Aku pun tahu bahwa kau tidak nanti mempunyai kemampuan sedahsyat ini," jengek sang pemuda.
Tapi dalam sekejap mata itulah, dari ujung bibir si Tangan Sakti Berbaju Biru kembali mengucurkan darah segar, wajahnya yang pucat pias bagaikan mayat kelihatan semakin mengerikan lagi.
Melihat kesemuanya itu, pemuda tadi segera berteriak keras : "Tak usah dilihat lagi, di tempat ini kecuali kau seorang tidak mungkin ada orang yang bisa melukai ayahku! Hmmm! Sungguh membuat hati orang tidak percaya, seorang gadis cilik yang masih muda ternyata begitu tega untuk turun tangan keji yang demikian beratnya terhadap seorang tua yang sama sekali tak pernah terikat dendam sakit hati apa pun dengan dirinya...
Manusia rendah dan perempuan adalah orang-orang yang tidak bisa dipercaya, perkataan ini ternyata sedikit pun tidak salah." Begitu selesai berkata mendadak terdengarlah seluruh persendian tulang si anak muda itu memperdengarkan suara gemerutukan yang nyaring,diikuti pakaian yang dikenakan pun menggelembung jadi sangat besar, serunya dengan nada seram : "Seandainya aku membiarkan kau lolos dari loeng Coei Hoa Loo ini dalam keadaan selamat, maka sejak hari ini nama si Jago Pedang Bertangan Sakti akan hapus dari dalam dunia persilatan, loteng Coei Hoa Loo ini pun akan menjadi milik pribadimu..." Ia menjengek dingin, sambil meloncat maju ke depan sebuah pukulan yang maha dahsyat segera dilontarkan ke arah Wie Chin Siang.
Sungguh mati gadis she Wie ini tak pernah menyangka kalau perjalanannya menuju ke loteng Coei Hoa Loo bakal menemui perubahan yang jauh di luar dugaannya semula, saat ini ia tak mampu untuk membantah tuduhan lawan sedangkan si Tangan Sakti Berbaju Biru pun tidak menunjukkan reaksi apa pun, hal ini semakin mencemaskan serta mengelisahkan hati si dara muda ini.
Obat mujarab yang diharapkan tidak berhasil didapatkan, bencana telah mengancam keselamatannya.
Wie Chin Siang sadar bahwa kesalahpahaman ini sudah terjalin terlalu mendalam, tak mungkin persoalan itu bisa diselesaikan di dalam dua tiga patah kata ucapan saja.
Sambil menahan cucuran air matanya yang telah memenuhi kelopak mat, ia membentak keras : "Kau betul-betul tolol dan konyol..." Segulung angin desiran tajam yang maha dahsyat meluncur tiba, terpaksa ia harus goyangkan badannya untuk menghindarkan diri dari ancaman angin pukulan yang maha dahsyat itu, tetapi pihak lawannya walaupun nampak masih muda belia ternyata kesempurnaan tenaga dalamnya benar-benar luar biasa sekali, suatu jurus serangan yang sederhana ketika digunakan olehnya bukan saja mantap bahkan kecepatannya betul-betul jauh di luar dugaan siapa pun.
Sementara itu ketika menyaksikan serangan pertamanya tidak berhasil mengenai sasaran, si Jago Pedang Bertangan Sakti segera melancarkan serangan berikutnya.
Desiran angin pukulan segera menderu-deru memenuhi seluruh angkasa, bayangan manusia saling menyambar, dalam sekejap mata mereka berdua telah saling bergebrak puluhan jurus banyaknya.
Mendadak... serentetan gelak tertawa yang nyaring dan bernada jalang berkumandang memecahkan kesunyian diiringi suara teguran seseorang yang merdu dan nyaring menggema datang.
"Sauw Tangcu, sebenarnya apa yang telah terjadi?" Bayangan manusia berkelebat lewat, Siang Bong Jie Kiauw pada saat yang bersamaan telah munculkan diri di dalam ruangan.
"Coba kalian lihatlah sendiri!" sahut si Jago Pedang Bertangan Sakti sambil melemparkan satu pukulan dahsyat.
"Aaaah! Loo Tangcu menderita luka!" teriak So Leng Yang sambil menjerit kaget.
Seakan-akan si Jago Pedang Bertangan Sakti merasakan suatu pukulan batin yang sangat berat, secara beruntun ia melancarkan enam buah serangan yang maha dahsyat memaksa Wie Chin Siang mundur ke belakang berulang kali sementara jidatnya telah dibasahi oleh butiran keringat sebesar kacang kedelai.
So Leng Yang tiba-tiba meloncat ke depan, teriaknya : "Sauw Tangcu, tunggu sebentar aku ada perkataan hendak diutarakan keluar." "Apa yang hendak kau katakan lagi," seru si Jago Pedang Bertangan Sakti dengan suara gemas bercampur marah, tapi badannya meloncat ke belakang juga untuk mengundurkan diri.
"Dosa-dosa yang dilakukan orang ini sudah terbukti jelas, kalau bukan dia yang mencelakai ayahku masih ada siapa lagi"...
Sejak hadirnya ke dalam loteng Coei Hoa Loo, secara beruntun melukai anak buahku, aku telah menduga kalau budak sialan ini mengandung maksud tidak baik..." So Siauw Yan tertawa dingin.
"Heeh... heeeh... heeeh... ia berani turun tangan keji secara brutal terhadap Tangcu kita.
Hmmm! Hari ini kita jangan kasih kesempatan baginya untuk keluar dari tempat ini dalam keadaan selamat!" Sementara itu Wie Chin Siang sendiri hampir saja tak sanggup bertukar napas setelah didesak dan diteter terus oleh si Jago Pedang Bertangan Sakti dengan serangan gencarnya, kini setelah musuhnya mundur ke belakang dia pun memperoleh sedikit kesempatan untuk bertukar napas.
Setelah mendengar ucapan So Siauw Yan yang tak sedap didengar itu, kontan ia tertawa menghina.
"Kenapa aku mesti melarikan diri?" jengeknya ketus.
"Asalkan di dalam hati aku merasa bahwa tak ada urusan salah yang pernah kulakukan, kenapa aku mesti jeri dan takut terhadap omongan ngaco belo dan tidak karuan dari kalian..." "Bangsat, sampai detik ini pun kau masih berani bersilat lidah dengan kami?" maki So Leng Yang gusar.
"Tunggu saja nanti, bila kau sudah terjatuh ke tangan kami, maka...
lihat saja, apakah kau bakal merasa keenakan atau tidak." "Sudah, kalian tak usah banyak bicara lagi, sekarang aku sudah terjatuh ke tangan kalian, mau diapakan terserah kepada kamu semua, bagaimana pun juga aku sudah pasrahkan nasibku.
Tetapi... Ingat, seandainya dalam penyelidikan selanjutnya membuktikan kalau peristiwa ini bukan hasil perbuatan nonamu, maka kemungkinan loteng Coei Hoa Loo kalian ini akan diratakan bumi.
Saat itu janganlah salahkan kalau aku tidak memberi peringatan terlebih dahulu." So Leng Yan segera mendongak dan tertawa terbahak-bahak, suaranya tajam dan amat jalang.
"Haaaah... haaaah... haaaah... meskipun loteng Coe Hoa Loo adalah tanah datar, tempat ini pun bukan suatu tempat yang takut menghadapi segala urusan, sebentar akan kujagal dirimu kemudian menggantung batok kepala anjingmu di atas loteng Coei Hoa Loo, akan kulihat manusia macam apakah yang akan datang balas bagimu..." Wie Chin Siang pun bukan seorang gadis yang pantang menyerah dengan begitu saja, ia balas berseru : "Selembar jiwaku akan ditukar dengan puluhan jiwa kalian, lihat saja nanti pihak Coei Hoa Loo kalian bakal merasa rugi besar atau tidak..." "Jadi kalau begitu kau tidak mau mengaku?" hardik si Jago Pedang Bertangan Sakti.
Wie Chin Siang tertawa sedih dan gelengkan kepalanya.
"Alasan tidak tepat, terpaksa aku cuma menerima segala sesuatu yang bakal menimpa diriku..." "Jadi kau rela menyerah dan biarkan kami membelenggu dirimu?" tanya So Siauw Yan tertegun.
Wie Chin Siang segera mendengus dingin.
"Sejak dilahirkan nasibku memang selalu jelek, tidak sampai detik terakhir aku tak akan melepaskan kesempatan untuk mencari kembali modalku, dengan andalkan sebilah pedang tajam yang menggembol di atas punggungku, rasanya tidak terlalu sulit bagiku untuk mencari satu dua orang teman di dalam melakukan perjalanan jauh nanti." Ia sadar bahwa peristiwa ini tidak nanti bisa diselesaikan secara damai, karena itu pedangnya segera dicabut keluar dari sarungnya, cahaya merah berkilauan memenuhi angkasa, di antara getaran ujung pedang yang keras terbiaslah cahaya warna merah bagikan darah.
Siang Bong Jie Kiauw segera melayang ke depan, masing-masing merebut sebuah posisi yang menguntungkan dan siap melancarkan serangannya.
Ke-dua orang gadis binal ini termasuk juga salah seorang jago Bu lim yang mempunyai nama besar, kerja sama yang dilakukan oleh mereka berdua pada saat ini betul-betul merupakan suatu kejadian yang tak pernah ditemui sebelumnya.


Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tong Gie!" si Jago Pedang Bertangan Sakti segera berteriak keras setelah merandek sejenak, ujarnya kepada sepasang gadis ayu pembuat impian.
"Dendam sakit hati mencelakai ayah dalam melebihi samudra, pembalasan dendam seperti ini tidak pantas dilakukan oleh orang lain, aku minta kalian berdua segera mengundurkan diri, aku akan bertarung sampai titik darah penghabisan dengan perempuan rendah ini, hati-hatilah menjaga keselamatan ayahku..." Seorang dayang berbaju hijau mengiakan dan berjalan masuk sambil membawa sebilah pedang antik yang amat indah bentuknya, setelah mengangsurkan senjata tersebut ke tangan majikannya dayang tadi segera mengundurkan diri dari situ.
Si Jago Pedang Bertangan Sakti pun menekan tombol di atas gagang pedang, ujung senjata segera tercabut separuh bagian, perlahan-lahan ia pegang senjata tadi dan diloloskan semua dari sarungnya, cahaya tajam segera memencar memenuhi seluruh ruangan, begitu tajam cahayanya hingga terasa amat menusuk pandangan, siapa pun yang menyaksikan hal ini segera akan mengetahui kalau senjata itu bukanlah senjata sembarangan.
Setelah membuang sarung pedang ke samping kalangan, senjata tadi segera digetarkan sehingga di tengah angkasa muncullah enam buah kuntum bunga pedang yang tajam dan dingin, begitu dingin sehingga menusuk tulang sumsum setiap orang.
Dengan suara yang berat, rendah tapi bertenaga pemuda itu berseru : "Seorang jago mencabut pedang membuang sarung merupakan pertanda akan kebulatan tekadnya, sebelum aku berhasil membinasakan dirimu dengan tanganku sendiri aku bersumpah tidak akan berhenti menyerang, kecuali kau sanggup membinasakan diriku terlebih dahulu..." "Terserah kepadamu!" sahut Wie Chin Siang tanpa perasaan, pedangnya pun segera dikebaskan ke udara.
"Bagaimana pun juga aku pun tidak ingin pulang dari sini..." Si Jago Pedang Bertangan Sakti tertegun.
"Eeeei... kita akan berduel secara sungguhan dan bukan suatu permainan belaka, kau mesti berhati- hati!" peringatnya.
Pemuda ini tersohor di dalam dunia persilatan sebagai si Jago Pedang Bertangan Sakti, kendati dalam hati kecilnya merasa mendongkol dan mangkel terhadap Wie Chin Siang karena dianggapnya gadis itu telah mencelakai ayahnya secara keji, tapi setelah dilihatnya kebasan pedang dara ayu itu sama sekali tidak disertai dengan tenaga, ia tak ingin membunuh seseorang yang tidak bersungguh hati melayani serangan mautnya.
Sejak permulaan tadi Wie Chin Siang telah tidak memikirkan soal mati hidupnya lagi, ia lantas menjawab dengan suara hambar.
"Aku hanya berharap bisa cepat-cepat memperoleh kematian yang utuh, daripada hatiku merasa kesal dan murung terus menerus..." Sementara itu si Jago Pedang Bertangan Sakti sudah mempersiapkan serangannya untuk melancarkan satu babatan, tapi setelah mendengar ucapan tersebut buru-buru ia tarik kembali serangannya yang hampir saja dilancarkan itu, setelah tarik napas dalam-dalam katanya : "Kalau kudengar dari pembicaraanmu barusan, rupanya kau masih ada suatu persoalan yang belum sempat diselesaikan" Tiada halangan kau sebutkan persoalanmu itu, asal cayhe bisa melaksanakannya aku pasti takkan membuat hatimu jadi kecewa..." Wie Chin Siang gelengkan kepalanya dan tertawa getir.
"Dibicarakan pun tak ada gunanya, lebih baik kau segera turun tangan saja!" Sekali lagi si Jago Pedang Bertangan Sakti dibuat tertegun.
"Katakanlah dulu persoalan hatimu itu, aku bisa memberi suatu kepuasan bagimu," katanya.
Wie Chin Siang tundukkan kepalanya dan berpikir sejenak, tiba-tiba air matanya bercucuran membasahi wajahnya yang halus, dengan sedih ia berbisik lirih : "Aku memang ada persoalan gy belum sempat kuselesaikan!" Ia menghela napas panjang lalu sambungnya : "Aku ada seorang sahabat yang hampir menghembuskan napasnya yang terakhir, apabila kau benar-benar suka mengabulkan permintaanku ini maka biarkanlah aku menjumpai wajahnya untuk terakhir kalinya, setelah itu tanpa melawan aku akan kembali ke sini lagi untuk menerima kematian..." So Leng Yang yang ikut mendengarkan pembicaraan itu dari samping kalangan segera tertawa dingin.
"Heeeh... heeeh... heeeh... pandai amat kau menggunakan akal bulusmu untuk membohongi orang, ucapanmu kedengarannya jauh lebih merdu dari nyanyian indah.Hmmm! Kau sih penginnya molor dari sini, setelah kau ngeloyor pergi lalu kita mesti cari siapa?" Terdengar si Jago Pedang Bertangan Sakti pun berkata sambil gelengkan kepalanya.
"Maaf, permintaanmu itu sulit untuk dikabulkan!" "Heeeh...
heeeh... heeeh... aku tahu bahwa kau tidak akan mengabulkan permintaanku itu, lalu apa maksudmu suruh aku mengutarakannya keluar"..." Dengan gemas ia getarkan pedangnya sehingga menciptakan gelombang serangan yang tajam, teriaknya keras-keras" "Lebih baik kau cepat turun tangan! Kali ini aku akan beradu jiwa dengan dirimu!" Untuk beberapa saat lamanya si Jago Pedang Bertangan Sakti merasa mulutnya seolah-olah tersumbat, ia tak pernah menyangka kalau gadis cantik yang berada di hadapannya saat ini bisa memberikan persoalan yang amat sulit baginya.
Setelah gelagapan sendiri beberapa saat lamanya, ia pun berkata : "Baik! Mari kita beradu jiwa.
Di antara kau dengan aku sudah bagaikan air dengan api yang selamanya tak pernah akan bersahabat..." Tampaklah ia ayunkan pergelangan tangannya, sekilas cahaya pedang yang tajam segera meluncur keluar mengancam jalan darah Hian Kie hiat di atas dada Wie Chin Siang, begitu cepat datangnya serangan itu hingga terasa seolah-olah berkelebatnya sekilas cahaya.
Dengan sebat Wie Chin Siang berkelit ke samping, bunga pedang menggabung menjadi satu dan secara mendadak membabat ke arah pergelangan tangan si Jago Pedang Bertangan Sakti, kali ini babatannya mantap dan tepat, mengandung beberapa bagian unsur kekuatan yang hebat.
Suaru pertarungan sengit pun segera berkobar dengan hebatnya, masing-masing pihak melancarkan serangan-serangan yang mematikan, siapa pun tidak memberikan kesempatan atau pun menunjukkan belas kasihannya terhadap pihak lawan.
Tampak cahaya tajam berkilauan memenuhi angkasa, desiran angin tajam menderu-deru memekikkan telinga, sedemikian hebatnya pertempuran itu sehingga bagi penonton yang ada di samping kalangan sulit untuk membedakan mana pedang dan mana manusia.
Tiiiing...! Traaaang...! Tiiiing...! Traaang...! Di tengah udara tiba-tiba berkumandang tiga kali suara bentrokan nyaring yang memecahkan kesunyian, berpuluh-puluh titik cahaya putih meluncur keluar dari tengah kurungan bayangan pedang dan langsung meluncur ke atas dinding batu, begitu keras pantulan tadi sehingga titik-titik cahaya putih tadi hampir sebagian besar menembusi dinding dan bersarang di dalamnya.
Cahaya pedang seketika menjadi sirap dan bayangan tubuh ke-dua orang itu pun saling berpisah.
"Ayoh! Gantilah dengan sebilah pedang yang betul!" seru si Jago Pedang Bertangan Sakti,sambil menyilangkan senjatanya di depan dada.
Kiranya senjata pedang yang dipergunakan Wie Chin Siang telah terbabat putus jadi tiga bagian oleh getaran senjata mustika milik si anak muda itu, memandang kutungan pedang di dalam genggamannya lama sekali ia berdiri termangu- mangu, kemudian sambil menghela napas sedih katanya : "Kau mempunyai banyak kesempatan baik untuk membinasakan diriku, mengapa kau lepaskan setiap kesempatan baik itu untuk memberi kepuasan bagiku" Apakah kau lupa bahwa di antara kita berdua sedang melangsungkan pertarungan adu jiwa dan bukan lagi memperdalam ilmu atau pun mengadakan Pie-bu untuk mengikat tali persahabatan..."
"AKU telah berubah pendapat, aku tidak bermaksud sekaligus membinasakan dirimu!" sahut si Jago Pedang Bertangan Sakti dengan napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya.
So Siauw Yan yang tidak mengerti maksud hati majikan mudanya jadi amat gelisah sehabis mendengar perkataan itu, cepat-cepat serunya : "Sauw Tangcu, kau jangan lupa bahwa di adalah pembunuh yang telah mencelakai Loo Tangcu kita..." "Aku tahu!" tukas si Jago Pedang Bertangan Sakti dengan suara ketus.
"Justru karena dia adalah musuh besar dari Loo Tangcu, maka aku ingin membunuh dirinya secara perlahan-lahan, agar dia merasakan segala penderitaan terlebih dahulu baru mati..." Mendengar ancaman itu Wie Chin Siang jadi bergidik, teriaknya : "Kau hendak membuat malu diriku?" Dalam pada itu seorang dayang telah berjalan menghampiri ke hadapannya sambil mengangsurkan sebilah pedang, tanpa mengucapkan sepatah kata pun gadis cantik she Wie ini menyambut senjata tajam itu kemudian dengan hebatnya mengirim satu serangan kilat ke arah si Jago Pedang Bertangan Sakti.
Pada saat ini ia sudah nekad maka dengan segala daya kemampuannya ia berusaha untuk berebut melancarkan serangan-serangan mematikan.
Setelah gadis itu nekad tanpa sadar kekuatan serangannya semakin bertambah hebat lipat ganda, si Jago Pedang Bertangan Sakti sendiri walaupun sudah banyak tahun memperdalam kepandaian ilmu pedangnya dan tenaga lweekang pun jauh di atas lawannya, tetapi belum pernah ia jumpai pertarungan semacam ini, tanpa sadar tubuhnya terdesak mundur ke belakang berulang kali...
Dengan susah payah akhirnya ia berhasil merebut kembali posisinya yang terdesak, sambil mengirim satu babatan ke depan serunya : "Aku tidak akan memberikan pengampunan terhadap dirimu lagi!" Ilmu pedangnya telah berhasil mencapai pada taraf penyatuan antara tubuh dan pedang, mendadak ia tarik napas panjang-panjang, sambil putar telapak tangannya sang pedang dari gerakan membabat berubah jadi gerakan menotok langsung bagaikan sebatang pit menyodok ke tubuh bagian atas Wie Chin Siang.
Jurus serangan ini mempunyai perubahan campur baur yang sakti dan dahsyat, arah yang dituju sama sekali di luar dugaan orang.
Rambut Wie Chin Siang yang panjang buyar dan awut-awutan, suatu kepandaian untuk menyelamatkan diri membuat badannya tanpa sadar bergeser ke samping, pedangnya berkelebat menciptakan selapis cahaya pedang yang rapat dan kuat untuk membendung datangnya ancaman itu dengan keras lawan keras.
"Traaaang...!" Di tengah suara bentrokan nyaring yang memekakkan telinga, letupan bintang api memancar ke empat penjuru.
Tubuh Wie Chin Siang secara beruntun mundur beberapa langkah ke belakang, pakaian yang ia kenakan telah hancur termakan babatan senjata lawan hingga terlihatlah pakaian dalamnya yang berwarna merah,sementara senjata pedangnya termakan oleh gerakan menotok dari pihak lawan patah jadi dua bagian, wajahnya pucat pias bagaikan mayat.
Dengan sedih gadis itu menghela napas panjang, katanya lirih : "Aku tidak akan memberikan perlawanan lagi, sekarang kau boleh membinasakan diriku." Habis berkata dengan kepala tertunduk dan wajah suram ia jatuhkan diri duduk mendeplok di atas lantai, rambutnya yang terurai menutupi bahunya serta tubuhnya yang hampir telanjang, keadaan gadis itu nampak mengenaskan sekali.
Si Jago Pedang Bertangan Sakti tertegun, kemudian sambil menggetarkan pedangnya ia berseru : "Ayoh bangun, jangan berpura-pura jadi orang mati!" Wie Chin Siang sama sekali tidak menggubris terhadap ucapannya, ia berlagak pilon dan duduk di lantai bagaikan seorang padri.
So Leng Yang segera meloncat ke depan, sambil tertawa ringan katanya : "Sauw Tangcu, kalau kau tidak tega untuk turun tangan, biarlah budak yang mewakili dirimu!" I rampas pedang mestika dari tangan si Jago Pedang Bertangan Sakti, lalu sambil menuding ke arah Wie Chin Siang katanya : "Kau tidak bajik terlebih dulu dan aku tidak setia kawan belakangan, jangan salahkan kalau aku berbuat kejam terhadap dirimu!" Ujung pedang bergeletar di tengah udara, secara mendadak ia tusuk ulu hati dara ayu she Wie ini.
Tiba-tiba... terdengar bentakan keras menggema memekakkan telinga, dengan mata melotot besar si Tangan Sakti Berbaju Biru menghardik : "Tahan!" Bentakan ini keras bagaikan guntur yang menggeletar membelah bumi, sekujur badan So Leng Yang segera gemetar keras, tanpa sadar pedang yang berada digenggamannya terlepas dan jatuh ke atas lantai.
"Tangcu!" teriaknya sambil mundur ke belakang dengan wajah ketakutan setengah mati.
Air muka si Tangan Sakti Berbaju Biru perlahan-lahan putih kembali seperti sedia kala, wajahnya tidak sepucat tadi lagi.
Sambil membesut noda darah yang mengotori ujung bibirnya ia tarik napas dalam-dalam.
"Aaaai... hampir saja kalian sudah melakukan suatu tindakan yang keliru besar!" "Ayah, apakah kau orang tua tidak terluka?" tanya si Jago Pedang Bertangan Sakti dengan wajah melengak.
Tangan Sakti Berbaju Biru menghela napas dan gelengkan kepalanya.
"Aku hanya merasa napasnya tersumbat untuk beberapa saat hingga membuat darah yang menggumpal dalam dadaku sukar dimuntahkan keluar.
Siapa bilang aku telah terluka" Kalian telah menaruh salah paham terhadap nona ini..." Lambat laut ia berjalan menghampiri gadis she Wie itu, sambil menarik bangun dirinya diamati wajah Wie Chin Siang dengan seksama, lalu tanyanya halus : "Nak, kau tidak sampai terluka bukan?" "Tidak!" jawab gadis manis itu sambil gelengkan kepalanya.
Si Tangan Sakti Berbaju Biru melirik sekejap ke arah pakaiannya yang compang-camping tidak karuan, lalu dengan hawa gusar ia mendelik ke arah putranya.
"Binatang, bagus amat perbuatanmu yah?" makinya sambil mendengus dingin.
"Ayah!" seru Jago Pedang Bertangan Sakti tertegun.
Dengan sedih si Tangan Sakti Berbaju Biru gelengkan kepalanya, seakan-akan ia mempunyai suatu persoalan hati yang amat berat dan sulit untuk diutarakan keluar, dengan termangu-mangu ia menatap langit-langit rumahnya tanpa berkedip.
Suasana untuk beberapa saat lamanya berubah jadi hening...
sunyi... tak seorang pun yang berani buka suara untuk berbicara.
Lama... dan lama... sekali, akhirnya Wie Chin Siang menghela napas panjang memecahkan kesunyian yang mencekam seluruh ruangan itu, katanya lirih : "Loocianpwee, boanpwee segera akan pergi!" Sekujur badan Tangan Sakti Berbaju Biru gemetar keras.
"Apakah kau tidak inginkan pil Som Wan berusia seribu tahun itu"..." serunya.
"Cianpwee merasa keberatan untuk menghadiahkan kepada kami, dengan sendirinya boanpwee pun tidak berani terlalu memaksa," sahut Wie Chin Siang dengan sedih.
"Cuma... aaai, dengan begitu sahabatku jadi tak tertolong lagi, sayang sekali ia tak bisa mencicipi ketenaran namanya yang baru saja membumbung tinggi...
sayang bakatnya yang bagus untuk selamanya bakal terpendam di dalam tanah...
dalam usia yang semuda itu dia harus menutup mata..." "Oooouw...! Begitukah" Tapi...
toh aku tak pernah mengatakan bahwa aku menolak permintaanmu itu?" seolah-olah ia merasa teramat girang hati, tanya lagi dengan suara lirih : "Siapakah nama sahabatmu itu?" "Kalau dikatakan sahabatku itu bukanlah seorang manusia yang tidak punya nama di dalam dunia persilatan, tetapi dalam pandangan loocianpwee dia masih belum terhitung seberapa.
Dia adalah si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei yang belum lama munculkan diri di dalam dunia persilatan, mungkin di antara kalian ada yang pernah mendengar namanya.
Si Tangan Sakti Berbaju Biru tidak memberikan komentar apa-apa, hanya sambil mengangkat kain selendang merah itu ujarnya : "Beribu li menghantar selendang merah, karena kesulitan mohon obat mujarab, nona! Jago lihay muda belia itu pastilah bukan seorang sahabat biasa dengan dirimu, bukankah begitu?" Walaupun berada dalam keadaan sedih dan kuatir, tak urung air muka Wie Chin Siang berubah juga jadi merah padam saking jengahnya, ia tundukkan kepalanya rendah dan merasa kagum atas ketepatan dugaan si orang tua itu.
Terdengar si Tangan Sakti Berbaju Biru tepuk tangan beberapa kali, kemudian berseru : "Yauw Hong berada di mana?" Horden disingkap dan seorang dayang perlahan-lahan berjalan masuk ke dalam, wajah dayang ini cantik jelita dan mempunyai pandangan yang sangat agung.
Setelah menjura, tanyanya : "Tangcu, kau ada perintah apa?" "Ambil dan bawa kemari kotak seratus pusaka milikku!" Nona Yauw Hong mengangguk dan segera berlalu diiringi senyuman manis.
Dalam pada itu Siang Bong Jie Kiauw yang mendengar bahwa si Tangan Sakti Berbaju Biru memerintahkan dayangnya untuk mengambil kotak wasiat, sepasang mata ke-dua orang itu segera berkilat, setelah saling bertukar pandangan sekejap So Leng Yan segera berkata sambil tertawa : "Tangcu, kau hendak mengambil benda mestika, lebih baik budak sekalian mohon diri terlebih dahulu." "Ooooh, tidak apa-apa, tetaplah berada di situ!" sahut si Tangan Sakti Berbaju Biru sambil tertawa.
Sesaat kemudian Yauw Hong dengan membawa sebuah kotak perlahan-lahan munculkan diri di dalam ruangan.
Semua orang segera merasakan pandangan matanya jadi silau, sebuah kotak panjang yang bertaburkan intan permata serta mutiara berada di tangannya, Siang Bong Jie Kiauw segera menunjukkan mimik yang aneh, tanpa sadar mereka telah menggeserkan badannya maju ke depan, sedang si Jago Pedang Bertangan Sakti pun menjulurkan lidahnya karena kaget bercampur kagum, ia tidak mengira kalau ayahnya memiliki kotak wasiat yang demikian tak ternilai harganya.
Setelah menerima kotak wasiat tersebut, si Tangan Sakti Berbaju Biru menghela napas panjang, ujarnya : "Pil Som Wan berusia seribu tahun ini adalah sejenis obat mujarab yang luar biasa khasiatnya, sepanjang hidupku loohu pun hanya memiliki tiga biji saja.
Nona! Aku harap kau suka baik-baik menyimpan obat ini..." Lambat-lambat ia membuka penutup kotak itu, terlihatlah dalam kotak tadi kecuali terdapat sebuah botol porselen putih tiada benda lain yang nampak, Cian Nian Som Wan empat huruf kecil tertera di depan mata Wie Chin Siang membuat jantungnya secara tiba-tiba berdebar keras.
Si Tangan Sakti Berbaju Biru segera angsurkan botol porselen itu ke tangan Wie Chin Siang, katanya : "Obat mujarab memang kegunaannya untuk menolong orang.
Nah, ambillah..." "Tapi...
cianpwee, aku hanya membutuhkan dua butir saja..." seru Wie Chin Siang ragu-ragu.
"Haaaah... haaaah... haaaah... " Tangan Sakti Berbaju Biru tertawa terbahak-bahak, sambil ayun selendang merah di tangannya ia berseru : "Obat itu walaupun tak ternilai harganya, tetapi tak bisa dibandingkan nilainya dengan kain selendang perlambang jodoh ini, sisanya sebutir anggap saja hadiah perkenalan loohu bagimu.
Aaaa...! Kenangan manis di masa lampau sulit untuk dilupakan, pikiranku terasa amat kacau..." "Tangcu, kau harus pertimbangkan kembali keputusanmu itu..." tiba-tiba So Siauw Yan berseru dengan nada cemas.
"Kau tak usah turut campur," tukas Tangan Sakti Berbaju Biru dengan cepat.
"Persoalan ini adalah urusan pribadi loohu sendiri..." Habis berkata ia segera pejamkan matanya dan terjerumus kembali di dalam lamunannya.
Buru-buru Wie Chin Siang menghaturkan rasa terima kasihnya, sesaat kemudian ia seperti mau mengucapkan sesuatu tapi akhirnya dibatalkan dan badan pun perlahan-lahan berputar siap meninggalkan tempat itu.
........ "Nona, harap tunggu sebentar!" tiba-tiba si Tangan Sakti Berbaju Biru membuka matanya kembali dan berseru.
Dengan wajah melengak Wie Chin Siang menoleh.
"Cianpwee, apakah kau masih ada perkataan yang belum selesai kau utarakan keluar?" Si Tangan Sakti Berbaju Biru tertawa getir.
"Nona! Loohu masih ada beberapa persoalan ini kutanyakan kepada dirimu," ia merandek sejenak, mendadak sambil ulapkan tangannya ia berseru : "Aaaai! lebih baik kau pergi saja, aku tidak ingin terlalu melukai perasaan hatimu..." Wie Chin Siang tertegun, tapi ia segera putar badan dan berlalu.
Sepeninggal gadis itu So Leng Yang segera gelengkan kepalanya dan berseru lantang : "Tangcu, apakah kau benar-benar hendak menghadiahkan pil Som Wan berusia seribu tahun itu kepada budak tersebut?" "Kenapa" Apakah aku hanya pura-pura saja?" Siang Bong Jie Kiauw menghela napas panjang dan tidak berbicara lagi, mendadak tubuh So Siauw Yan terhuyung-huyung ke belakang seolah-olah terserang angin duduk, keringat sebesar kacang kedelai mengucur keluar tiada hentinya.
Dengan napas terengah-engah segera serunya : "Tangcu, aku merasa badanku kurang enak, karena itu ingin mohon diri terlebih dahulu." So Leng Yang buru-buru maju memayang tubuhnya dan ke-dua orang itu dengan cepat mengundurkan diri dari dalam ruangan.
"Aaah!" seru si Jago Pedang Bertangan Sakti dengan wajah kebingungan sepeninggalnya ke-dua orang gadis jalang tadi.
"Kau tak usah banyak bertanya lagi," tukas ayahnya sambil geleng kepala dengan wajah sedih.
"Dia adalah adik perempuanmu!" "Apa" Adik perempuanku?" seru si Jago Pedang Bertangan Sakti dengan sepasang mata terbelalak besar.
"Ayah kau sebenarnya sedang mengatakan apa?" "Aaaai...! Duduknya persoalan tak dapat diterangkan dalam dua tiga patah kata saja, pokoknya kedatangan kita kali ini dari luar perbatasan memasuki daratan Tionggoan antara lain juga ada sangkut pautnya dengan dia..." Ia merandek sejenak, kemudian seperti menyadari sesuatu ujarnya lagi: "Selama ini Siang Bong Jie Kiauw selalu mengikuti ayahmu tanpa berpisah barang selangkah pun, tujuan mereka bukan lain adalah mengincar ke-tiga biji pil mujarab Som Wan berusia seribu tahun ini, kau cepat- cepatlah kejar mereka dan coba periksa, mungkin saja mereka sedang turun tangan mendesak adikmu..."
"Nak! Saat ini musuh tangguh berada di sekeliling kita," ujar Kiem In Eng dengan wajah serius.
"Cepat beritahulah kepadaku, apakah kau berhasil menjumpai si Tangan Sakti Berbaju Biru..." Perlahan-lahan dari sakunya Wie Chin Siang ambil keluar pil Som Wan berusia seribu tahun itu lalu sahutnya : "Aku telah berhasil mendapatkan benda ini, sekarang Pek In Hoei berada dimana?" Kiem In Eng menghembuskan napas panjang.
"Aku telah menyembunyikan Pek In Hoei serta Ouw- yang Gong di dalam sebuah gua di seberang sana, cepatlah kau berikan pil Som Wan berusia seribu tahun itu kepada mereka, di dalam satu jam mendatang mereka tak boleh terganggu oleh kehadiran orang asing, kalau tidak tenaga lweekangnya akan mengalami kemunduran yang hebat.
Baik-baiklah berjaga di mulut gua, jangan perkenankan siapa pun masuk ke dalam sedang di tempat ini serahkan saja kepadaku..." Wie Chin Siang menggerakkan bibirnya mau mengucapkan sesuatu tapi akhirnya niat tersebut dibatalkan.
Sekilas perasaan gelisah bercampur cemas menghiasi wajah Kiem In Eng, ia segera ulapkan tangannya sambil berseru : "Semua persoalan kita bicarakan lagi setelah urusan beres semua, sekarang sudah tiada waktu lagi..." Wie Chin Siang tidak banyak bicara, ia segera enjotkan badannya melayang lima langkah ke depan dengan mengikuti petunjuk dari gurunya ia berlalu dengan cepatnya dari situ.
Sementara dari arah belakang terdengar suara tertawa dingin yang rendah dan berat berkumandang memecahkan kesunyian.
Terhadap munculnya gelak tertawa yang aneh itu Kiem In Eng juga merasa rada tercengang, ia segera melirik ke arah sebelah kiri di situ ia saksikan tiga sosok bayangan manusia dengan gerakan yang amat cepat sedang meluncur datang.
Terdengar suara teguran yang keras dan kasar menggema memecahkan kesunyian : "Hey, apakah kau melihat ada seorang gadis muda melewati tempat ini"..." Buru-buru Kiem In Eng mengenakan kembali kain kerudung hitamnya lalu tertawa dingin, di antara ke- tiga orang itu ia jumpai ada dua di antaranya kaum wanita, hatinya jadi heran dan tidak habis mengerti akan asal usul mereka.
Sedangkan orang yang barusan menegur dirinya adalah seorang lelaki kekar bermata besar dan bercambang di atas wajahnya, gerak-gerik serta nada ucapannya amat angkuh seolah-olah tak seorang pun di kolong langit yang dipandang sebelah mata olehnya.
"Hmm! Kau sedang mengajak siapa berbicara?" tegur Kiem In Eng ketus.
Pria bercambang dan bermata gede itu mengerutkan sepasang alisnya yang tebal, diikuti kepada dua orang dara yang mengikuti di belakangnya ia bertanya : "Leng Yan! Siauw Yan! Coba kalian katakan aku sedang mengajak berbicara siapa?" "Hiiih...
hiiih... hiiih... toako, itu namanya sudah tahu tapi pura-pura bertanya, buat apa kau mesti berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap dirinya?" sahut Siang Bong Jie Kiauw hampir berbareng sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Pria itu segera menggerakkan badannya menerjang ke depan, setibanya di hadapan Kiem In Eng ia awasi wajah perempuan itu beberapa saat lamanya.
Berhubung Kiem In Eng mengenakan kain kerudung hitam di atas wajahnya, maka kecuali sepasang biji matanya yang terlihat dari luar, bagian wajahnya yang lain sama sekali tidak terlihat dari luar.
Pria itu tertawa dingin dengan anehnya, wajah yang menyeramkan nampak semakin mengerikan lagi.
"Toako, kenapa kau masih saja ragu-ragu?" terdengar So Siauw Yan menegur dengan wajah kurang senang.
"Lonte busuk itu dengan membawa Som Wan melarikan diri lewati di sini, seandainya kita biarkan ia lolos lalu bagaimanakah pertanggungjawaban kita sekembalinya menghadap suhu nanti"..." Ia melirik sekejap ke arah Kiem In Eng, lalu dengan nada ketus tambahnya lebih jauh : "Di tengah malam buta perempuan ini seorang diri berdiri di tengah hutan yang lebat, aku duga ia pasti berasal dari aliran yang tak genah, atau jangan- jangan dia pun merupakan komplotan dari lonte busuk itu..." "Kau sedang memaki siapa sebagai lonte busuk?" hardik Kiem In Eng dengan nasa gusar.
Ketika didengarnya pihak lawan memaki lonte busuk, lonte busuk tiada hentinya, walaupun dia tahu bahwa bukan dirinya yang dimaki tetapi perempuan ini pun tahu bahwa orang yang dimaki adalah anak muridnya Wie Chin Siang, hawa gusar segera bergelora di dalam dadanya, napsu membunuh yang tebal mulai menyelimuti seluruh wajahnya, membuat sorot mata yang terpancar keluar kelihatan menggidikkan sekali.
So Siauw Yan yang dipandang secara begitu hatinya jadi bergidik, tanpa sadar ia mundur dua langkah ke belakang dan memandang ke arah Kiem In Eng dengan sikap ketakutan.
Dalam pada itu pria tadi sudah menowel pipi So Siauw Yan dengan gemas, lalu ujarnya sambil tertawa : "Perkataanmu sedikit pun tidak salah, baiklah, akan kutangkap dulu perempuan ini kemudian baru kita bicarakan lagi." Kiem In Eng mendengus hina ketika dilihatnya pria itu melakukan perbuatan yang tidak sopan di hadapannya, namun ia tidak menyadari pria ini bukan lain adalah Yan Long Koen si pemuda tampan yang suka kecantikan dari partai See Liang Pay, seorang ahli di dalam menikmati kecantikan wajah kaum wanita.
Orang ini walaupun suka melihat gadis-gadis berwajah cantik, tetapi ia tak pernah melakukan perbuatan terkutuk Jay Hoa Cat yaitu memperkosa kegadisan kaum wanita, setiap kali bertemu dengan gadis cantik ia kecuali hanya suka menikmatinya, bertemu dengan gadis berwajah biasa ia malah justru tak sudi memandangnya barang sekejap pun.
Suatu kali sewaktu pria bercambang ini sedang melakukan perjalanan menuju ke kota Keng Chiu, di tengah jalan ia telah berpapasan dengan Tang Hay Siao-cia, secara beruntun ia telah menikmati kecantikan wajah perempuan itu selama tiga hari tiga malam.
Tang-hay Siao cia yang memang ada maksud untuk menguji kesempurnaan tenaga dalamnya ternyata melayani pria tadi dengan duduk di hadapannya saling menatap.
Akhirnya Yan Long Koen lah yang tidak kuat menahan diri, setelah muntah darah segar pria ini segera melarikan diri.
Demikianlah, ketika itu meskipun Yan Long Koen ingin sekali menyaksikan raut wajah Kiem In Eng di balik kain kerudung hitamnya, tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk turun tangan, dalam pandangannya perempuan itu mengenakan kain kerudung hitam di atas wajahnya tentu mempunyai dua sebab, pertama adalah terlalu cantik jelita atau sebaliknya terlalu buruk raut mukanya.
Karena itu badannya segera merangsek ke arah depan, tiba-tiba tangan kirinya mengirim satu sambaran tajam, ke-lima jari tangannya laksana lima bilah pisau belati mencengkeram kain kerudung yang menutupi wajah perempuan she Kim itu, begitu cepat dan hebat serangan tadi sehingga terdengarlah desiran angin serangan yang maha dahsyat.
Kiem In Eng sama sekali tidak menyangka kalau kepandaian di atas jari dari pria itu sangat lihay, ia mendengus dingin dan memaki gusar : "Hmmm! Manusia yang tak tahu malu!" Badannya di saat detik yang terakhir meluncur keluar, dengan kecepatan yang sukar dilukiskan ia menggeser tiga depan ke samping dengan manis tapi tepat tubuhnya berhasil lolos dari ancaman lawan.
Kemudian sambil tertawa dingin ia berpaling ke belakang, telapak kanannya menyapu keluar langsung membabat tubuh pria tersebut.
Air muka Yan Long Koen berubah hebat, jeritnya : "Sungguh aneh, kenapa semua perempuan yang memiliki kepandaian lihay di kolong langit telah berjumpa dengan diriku?" Ia himpun segenap kekuatan tubuh yang dimilikinya ke atas lengan tunggal, tatkala dilihatnya telapak tangan Kiem In Eng yang putih mulus sedang meluncur datang, diam-diam ia tertawa dingin, pikirnya : "Sebuah pukulan yang kuluncurkan paling sedikit mengandung kekuatan hampir seribu kati beratnya, nona ini ternyata tak tahu diri dan berani membabat tubuhku dengan gerakan keras lawan keras.
Hmm! Aku harus memberi sedikit pelajaran kepadanya agar dia tahu diri..." Ingatan tersebut dengan cepat berkelebat di dalam benaknya, pria itu segera tertawa dingin, mendadak dengan memperkuat hawa pukulannya sebesar tiga bagian ia sodok telapak tangannya ke depan.
Bluuuum.... Suatu bentrokan yang sangat keras menimbulkan suara ledakan yang menggeletar di atas permukaan bumi, pusaran angin pukulan yang berpusing menggulung di angkasa menimbulkan suara dengungan aneh yang memekikkan telinga, tubuh ke- dua orang itu sama-sama tergetar keras dan masing- masing pihak mundur satu langkah ke belakang.
Pada saat tubuh mereka berdua tergetar mundur ke belakang itulah, ujung kain kerudung hitam yang menutupi wajah Kiem In Eng mendadak tersingkap ke samping terhembus pusingan angin pukulan yang maha hebat itu, selembar wajahnya yang cantik jelita terlintas dalam pandangan Yan Long Koen hingga membuat pria itu kontan berdiri tertegun.
"Manis... oooh! betapa cantiknya raut wajahmu..." bisiknya lirih.
Begitu mendengar Yan Long Koen memuji kecantikan wajah lawannya, Siang Bong Jie Kiauw segera mengerti bahwa penyakit anehnya kambuh kembali.
Rasa cemburu, dengki dan iri yang berkobar-kobar kontan muncul dalam hati ke-dua orang itu.
Air muka So Siauw Yan serta So Leng Yang dengan cepat diselimuti napsu membunuh yang tebal, dengan gemas dan penuh rasa mendongkol mereka melotot sekejap ke arah pria tersebut.
Terdengar So Leng Yan berseru tertahan, dengan suara yang kukoay dan aneh katanya : "Toako, rupanya sakit edanmu mulai kambuh kembali!" "Toako!" So Siauw Yang pun ikut menimbrung dengan suara manja.
"Kalau penyakit anehmu kambuh kembali, kami dua bersaudara akan membiarkan diri kami dipandang olehmu sampai puas, tetapi kau jangan lupa akan pesan yang diberikan suhu kepada kita..." Ucapan sambung menyambung yang diutarakan sepasang kakak beradik itu cukup menunjukkan bagi siapa yang mendengar, bukan saja perkataannya terlalu dibuat-buat bahkan kedengarannya jadi aneh.
Tapi Yan Long Koen sama sekali tidak menggubris akan perkataan mereka, seakan-akan tak mendengarnya sama sekali ia hanya menatap wajah Kiem In Eng dengan termangu-mangu, di antara kerlipan cahaya matanya yang tajam siapa pun dengan mudah akan menemukan betapa kesemsem dan terpesonanya pria ini atas wajah lawannya, sayang apa yang dilihat hanya terbatas dalam sepintas lalu belaka.
Kiem In Eng sendiri pun merasakan hatinya bergolak keras tatkala menyaksikan sikap lawannya yang begitu kesemsem, begitu tergiur oleh kecantikan wajahnya, walaupun ia sudah tidak terhitung muda usia tetapi baru untuk pertama kali ini dipandang oleh seorang pria dengan cara begitu gamblang.
Hatinya jadi mendongkol dan lama kelamaan makin jadi gusar, dengan seluruh badan gemetar keras makinya : "Cisss! Manusia yang tak tahu malu..." Yan Long Koen si pemuda tampan yang suka akan kecantikan ini menghela napas panjang.
"Aku tidak lagi mengajak dirimu untuk bergebrak kembali, harapanku hanyalah bisa menyaksikan wajahmu sekali lagi!" "Huuuh, itu namanya mencari kematian bagi diri sendiri teriak Kiem In Eng sambil tertawa dingin.
Dalam hati kecilnya ia merasa amat benci akan kekurangajaran pria bercambang ini, karena itu serangannya tidak disertai dengan rasa belas kasihan, totokan kilat yang dilancarkan langsung mengancam jalan darah Chiet Kan di atas tubuh Yan Long Koen.
Desiran angin tajam meluncur ke depan, dalam sekejap mata telah tiba di sasarannya.
Yan Long Koen walaupun merupakan seorang pria yang gemar menatap kecantikan wajah kaum wanita, tetapi kepandaian silat yang dimilikinya benar-benar sangat lihay di luar dugaan siapa pun, sepasang matanya sambil terus menatap wajah lawannya mendadak sang badan melayang ke angkasa, bagaikan selembar daun kering tahu-tahu sudah meloloskan diri dari serangan maut tersebut.
"Toako!" bentak So Leng Yang dengan keras, hawa pitamnya semakin memuncak, "Tahukah kau saat ini adalah saat apa?"" Janganlah kau mengumbar sakit syarafmu yang tidak genah itu di tempat seperti ini." Yan Long Koen gelengkan kepalanya.
"Kalian berdua berangkatlah lebih dahulu untuk mengejar budak tadi aku cuma ingin menyaksikan raut wajahnya sekali lagi." Baru saja ia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba dari balik hutan belukar berkumandang datang suara jengekan serta tertawa dingin yang tak sedap didengar, terlihatlah ketua dari perguruan Boo Liang Tiong yaitu Go Kiam Lam dengan memimpin dua orang manusia aneh berbaju merah yang seram bentuk wajahnya perlahan-lahan munculkan diri di tempat itu.
Tanpa berpaling muka Yan Long Koen segera ulapkan tangannya, ia meraung keras : "Enyah, enyah dari sini, aku melarang siapa pun datang ke tempat ini..." Sepasang alis Go Kiam Lam kontan berkerut-kerut kencang, tegurnya ketus : "Siapakah kau" Mau apa kau berteriak-teriak macam setan kesiangan di sini?" Manusia aneh berjubah merah yang ada di sebelah kiri pun menggetarkan ujung bajunya, bagaikan segumpal kapas ringan ia meloncat ke depan dan melayang turun di sisi tubuh Yan Long Koen, teriaknya sambil tertawa aneh : "Heeeeeh...
heeeeh... heeeeh... manusia macam apakah kau" Cepat sebutkan namamu!"
RUPANYA sekilas pandangan yang samar tadi telah memberikan pandangan yang mendalam dalam benak Yan Long Koen, tetapi disebabkan pandangannya kurang sreg dan hanya sekilas pandang saja, maka pria ini berusaha keras untuk mengulangi kembali pandangannya.
Kiranya orang ini mempunyai suatu penyakit yang sangat aneh, bukan saja kesukaannya adalah memandang wajah gadis yang cantik, bahkan dia pun mempunyai kebiasaan untuk menilai setiap bagian panca indra si gadis itu, sepertinya hidung yang terlalu mancung atau pesek, bibir yang terlalu tipis atau pendek, pendek kata sebelum memandang dan menilai sampai puas ia tetap akan merasa penasaran.
Kini dengan munculnya tubuh si manusia aneh berjubah merah itu menghalangi pandangan matanya, lamunan yang sedang terkumpul di dalam benaknya kontan jadi buyar.
Bisa dibayangkan betapa gusarnya pria itu, ia meraung keras dan segera mengirim satu babatan kilat ke arah depan.
"Bajingan sialan, rupanya kau adalah anak jadah yang dipelihara oleh cucu kura-kura," makinya kalang kabut.
Manusia aneh berjubah merah itu tertegun, ia tidak menyangka kalau pihak lawannya langsung memaki dirinya dengan kata-kata yang kotor, sebagai seorang jago Bu lim yang mempunyai kedudukan tinggi tentu saja orang itu tak kuat menahan diri setelah dirinya dimaki dengan ucapan sekotor itu, suara tertawa dingin berkumandang tiada hentinya memecahkan kesunyian...
"Kau sendiri yang anak jadah, kau sendiri yang dipelihara oleh cucu kura-kura," bentaknya gusar, sorot matanya memancarkan cahaya kilat.
"Bajingan cilik! Kau berani mengucapkan kata-kata sekotor itu terhadap diriku...
Hmmm! Kalau aku si Telapak Penghancur Mayat tidak hajar dirimu sampai hancur lebur, aku bersumpah tidak akan kembali lagi ke gunung Hoa san..." Ia tidak tahu kalau Yan Long Koen jadi naik pitam berhubung ia telah menghalangi pandangan matanya serta membuyarkan lamunannya, dalam perkiraan jagoan dari gunung Hoa-san ini pihak lawan memang ada maksud menghina serta tidak pandang sebelah mata terhadap dirinya, napsu membunuh seketika menyelimuti seluruh wajahnya.
Tampaklah si Telapak Penghancur Mayat menggerakkan bahunya meloloskan diri dari serangan telapak lawan, laksana kilat dari tubuhnya ia cabut keluar sebilah pedang pendek yang aneh sekali bentuknya, setelah digetarkan di tengah udara ia mengirim satu babatan dahsyat ke depan...
Yan Long Koen meskipun sudah lama berdiam di wilayah See Liang, tetapi banyak sekali nama jagoan terkenal di dalam dunia persilatan yang dia ketahui, begitu mendengar bahwa pihak lawannya adalah si Telapak Penghancur Mayat dari gunung Hoa-san, hatinya tanpa terasa ikut terperanjat juga.
Segera teringatlah olehnya akan sepasang bersaudara she Sim dari gunung Hoa-san, sang kakak Coei Si Chiu si Telapak Penghancur Mayat Sim Hiong serta sang adik Liat Hwee Loen si Roda Kobaran Api Sim Jiang, kedudukan ke-dua orang ini di dlm partai Hoa san amat tinggi, dan mereka merupakan manusia- manusia aneh yang paling sukar dilayani di dalam dunia persilatan...
Begitu menyaksikan senjata pedang lawan membabat tiba, ia mendengus dingin, teriaknya : "Hey, Telapak Penghancur Mayat di dalam tiga pukulan kilat aku akan membinasakan dirimu!" Di dalam partai See Liang,ia termashur sebagai seorang jagoan yang bertenaga raksasa, ditambah pula kepandaian silat yang dipelajarinya teramat lihay maka ia semakin kosen lagi dibuatnya.
Apabila secara beruntun ia melancarkan tiga serangan kilat, maka kendati seseorang yang terdiri dari baja yang kuat pun akan terhajar hancur olehnya, semasih ada di wilayah See Liang dulu tak seorang pun yang berani menerima sebuah pukulannya.
Kemudian ciangbunjien dari partai See Liang sendiri pun dihajar sampai tergetar mundur oleh tiga buah pukulan berantainya hingga disebut jago paling kosen di wilayah sana, kejadian ini cukup membuktikan sampai di manakah kelihayan dari tenaga saktinya.
Demikianlah begitu ucapannya selesai diutarakan, sang badan segera meloncat maju tiga langkah ke depan, kepalannya yang besar secara beruntun mengirim tiga pukulan berantai, satu pukulan demi satu pukulan dilancarkan lebih cepat, semuanya mengandung hawa tekanan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Si Telapak Penghancur Mayat tidak tahu kalau kepandaian silat yang dimiliki orang ini sangat lihay, mendengar pria itu sesumbar dengan mengatakan bahwa ia akan dibunuh di dalam tiga jurus, saking gusarnya manusia aneh itu segera tertawa terbahak- bahak.
"Kalau kau bisa memukul aku sampai mati di dalam tiga jurus, partai Hoa san akan kuserahkan kepadamu..." jeritnya.
Siapa tahu belum habis ucapannya diutarakan keluar, terasalah desiran angin pukulan yang menderu laksana gempuran martil yang dapat menghancurkan batu emas, meluncur datang dengan cepatnya menelan ucapan selanjutnya yang belum sempat diutarakan keluar.
Blaaaam...! ledakan dahsyat segera bergeletar membelah seluruh angkasa.
Si Telapak Penghancur Mayat yang semasa hidupnya sudah sering kali menjumpai musuh tangguh belum pernah bertemu dengan lawan selihay dan sehebat ini, ia segera merasakan darah panas di dalam rongga dadanya bergolak keras, sambil memperdengarkan seruan kesakitan yang rendah dan berat darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
Buru-buru ia tekan rasa sesak itu ke dalam perut, sementara tubuhnya harus mundur lima enam langkah ke belakang sebelum sanggup berdiri tegak kembali.
"Ilmu kepandaian sesat apakah yang kau pergunakan?" teriaknya dengan wajah kesakitan.
"Tidak sudi kuberitahukan kepadamu, pikirlah sendiri dengan otak bebalmu itu..." Si Telapak Penghancur Mayat Sim Hiong segera berpaling ke arah saudaranya si Roda Kobaran Api Sim Jiang dan bisiknya : "Jie te, aku telah terluka!" "Hmmm! Hmmm! Tidak bakal modar kalau cuma terluka sedikit," sahut Sim Jiang ketus.
"Lagi pula kalau kau sampai mati aku masih sanggup untuk membalaskan dendam bagimu.
Sekarang ia telah melukai dirimu, aku akan menarik balik modalmu..." Kedua orang bersaudara ini merupakan saudara kembar yang dilahirkan pada tahun, bulan serta hari yang sama dan watak mereka pun sama dingin, ketus dan tiada perasaan apa pun, peduli menghadapi persoalan apa pun di dalam pandangan mereka berdua sama sekali tidak disertai dengan perasaan, semua tindakan dilakukan sesuai dengan apa yang ia pikirkan di dalam hati.
Terlihatlah Liat Hwee Loen menggeserkan badannya ke depan, lalu sambil melirik sekejap ke arah Yan Long Koen tegurnya gusar : "Bajingan cilik, siapa namamu?" "Hmmmm! Kau tidak berhak untuk mengetahuinya!" Tabiat pria bercambang ini sungguh aneh luar biasa, sehabis menjawab pertanyaan orang sinar matanya segera dicurahkan kembali ke atas wajah Kiem In Eng dan terjerumus pula di dalam lamunannya, terhadap peristiwa berdarah yang barusan berlangsung di mana ia hajar si Telapak Penghancur Mayat hingga terluka seolah-olah sudah terlupakan sama sekali.
Si Roda Kobaran Api tertegun, sebelum ia sempat bertindak untuk melancarkan serangan, ketua dari perguruan Boo Liang Tiong Go Kiam Lam telah mengerlingkan matanya memberi tanda, diikuti orang itu maju tiga langkah ke depan sambil menegur : "Saudara, kau berani menerbitkan keonaran di tempat ini, tahukah kau tempat apakah ini?" Tapi Yan Long Koen sama sekali tidak ambil peduli akan tegurannya itu, bahkan seakan-akan tidak mendengar ucapannya, ia tetap tidak berpaling barang sekejappun.
Go Kiam Lam si ketua dari perguruan Boo Liang Tiong segera tertawa dingin, sinar matanya perlahan-lahan menyapu sekejap seluruh kalangan dan terakhir bertemu di atas wajah Kiem In Eng, walaupun ia menaruh curiga terhadap asal usul perempuan ini tetapi dia pun dibuat kebingungan dengan alasan apakah ternyata pria bercambang itu bisa demikian kesemsen dan tergiur terhadap dirinya.
"Go heng, apa yang masih kau ragukan lagi," teriak si Roda Kobaran Api dengan penuh kemarahan.
"Coba kau lihat, ia sama sekali tidak memandang sebelah mata pun terhadap kita orang..." Sembari berkata ia segera melepaskan roda raksasa bergigi lima yang tergantung di atas punggungnya, kemudian setelah memasang kuda-kuda senjata roda itu diputar satu kali di tengah udara sehingga menimbulkan suara nyaring yang aneh sekali.
So Leng Yan segera tertawa terkekeh-kekeh jengeknya : "Hey, apakah kau pengin berkelahi" Mari...
mari... siauw moay akan melayani dirimu untuk bermain- main sebentar!" Pada dasarnya ke-dua orang dara ayu pembuat impian dari wilayah See Liang ini bukanlah termasuk gadis perawan yang alim, asal mereka jumpai lawan yang berwajah tampan atau gagah, segala perbuatan rendah apa pun bisa mereka lakukan.
Dan kini ketika dilihatnya perawakan tubuh si Roda Kobaran Api sangat tinggi besar dan kekar berotot, segera timbullah ingatan cabul dalam benaknya.
Sambil maju ke depan mengirim satu pukulan ke udara kosong, biji matanya berputar-putar melemparkan satu kerlingan maut ke arah manusia aneh berjubah merah itu.
Terkena kerlingan tersebut kontan si Roda Kobaran Api Sim Jiang merasakan jantungnya berdebar keras, ia merasa agak tidak tahan menghadapi godaan seperti itu.
Haruslah diketahui si Roda Kobaran Api ini meskipun di luaran nampak dingin dan tiada berperasaan padahal dalam hati kecilnya paling tidak tahan menghadapi godaan, maka senjata rodanya segera digetarkan, dengan jurus 'Ngo Loen cia Sian' atau Lima Roda Muncul Secara Mendadak langsung menotok ke atas dada So Leng Yan.
Tangis Darah Cinta 3 Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar Pedang Berkarat Pena Beraksara 5
^