Pencarian

Imam Tanpa Bayangan 7

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 7


Merasakan datangnya ancaman, bukannya menghindar So Leng Yan justru malah membusungkan dadanya ke depan, dengan sepasang gundukan dagingnya yang besar bulat ia terima datangnya totokan tadi sambil menjengek : "Apakah kau tega untuk melukai diriku?" Sim Jiang yang sudah terpikat oleh kecabulan serta kebinalan gadis itu kontan jadi terperanjat, buru-buru ia tarik kembali senjata rodanya dan mundur dua langkah ke belakang, ujarnya setengah berbisik : "Lebih baik kau menyingkir saja dari sini, aku tidak ingin melukai dirimu!" Mimpi pun si Roda Kobaran Api Sim Jiang tak pernah menyangka kalau kepandaian silat yang dimiliki ke- dua orang dara ayu itu sebenarnya jauh lebih dahsyat dari kepandaian dua bersaudara Sim dari Hoa san pay, karena menyaksikan gerak-gerik lawannya yang menggiurkan hati, ia jadi benar-benar tidak tega untuk turun tangan.
Criiing...! Criiing...! Criiing...! Tiga rentetan irama khiem berkumandang memenuhi seluruh angkasa, semua jago lihay yang hadir di tengah kalangan saat itu seketika merasakan jantungnya berdebar keras.
Terdengar Yan Long Koen meraung keras kemudian secara beruntun mundur dua langkah ke belakang.
"Kau... kau adalah..." Seolah-olah pria bercambang ini telah berjumpa dengan suatu kejadian yang mengejutkan serta menakutkan hatinya, sehingga kata-kata selanjutnya tidak sanggup diteruskan, dengan mata terbelalak dan mulut melongo orang itu berdiri menjublak di tempat semula.
Dengan wajah dingin ketus dan membopong khiem antiknya perlahan-lahan Kiem In Eng menggeserkan tubuhnya.
"Aku minta kalian semua segera enyah dari sini," serunya ketus.
"Kalau tidak maka kamu semua akan mati konyol di tengah permainan irama hatiku yang sadis..." Bagian 23 AIR MUKA GO KIAM LAM berubah hebat, sambil maju ke depan ujarnya : "Nona, tolong pinjamkan sebentar khiem mestika itu kepadaku!" "Hmmmm! Kau termasuk manusia jenis apa" Berani betul mengajukan permintaan sesumbar itu." Sekilas wajah yang menyeramkan berkelebat menghiasi wajah Go Kiam Lam, sambil menyeringai seram katanya dengan penuh kebencian : "Kau jangan anggap di kolong langit tiada seorang manusia pun yang kenali khiem antik di dalam boponganmu itu adalah Khiem Maut tujuh perasaan.
Hmmm...! Aku Go Kiam Lam sudah lama mencari khiem tersebut, aku harap kau sedikit tahu diri dan segera menyerahkan kepadaku..." "Aku suruh kalian segera enyah dari sini, sudah didengar belum?" hardik Kiem In Eng semakin gusar.
"Hmmm...! Tidak akan segampang itu," jengek Go Kiam Lam sambil tertawa dingin.
Tiba-tiba... terdengar suara bentakan nyaring berkumandang datang dari balik kegelapan.
"Siapa yang bilang tidak akan segampang itu?" Terlihat sesosok bayangan manusia laksana suka gentayangan menubruk datang dengan gerakan yang sangat cepat, ke-lima jari tangannya laksana cakar setan langsung mencengkeram tubuh Go Kiam Lam, kemudian mengangkatnya ke tengah udara dan dilemparkan keluar dari hutan tersebut.
"Braaaak...!" dari balik hutan terdengar suara bantingan keras bergema memecahkan kesunyian disusul suara rintihan kesakitan.
Gerakan tubuh orang itu tidak berhenti sampai di situ saja, selesai melemparkan tubuh Go Kiam Lam ia tubruk pula tubuh si Roda Kobaran Api Sim Jiang dengan ganas.
"Bangsat, kau belum juga mau enyah dari sini?" bentaknya.
Dengan gerakan laksana kilat, jari tangannya meluncur keluar bagaikan hembusan angin puyuh, dalam sekejap mata tubuh si Roda Kobaran Api serta si Telapak Penghancur Mayat telah terlempar semua keluar dari kalangan.
Gerakan tubuhnya bukan saja cepat, tepat dan cekatan, bahkan sungguh berada di luar dugaan siapa pun.
Kehadiran orang ini di tengah kalangan dilakukan sangat mendadak, gerakan tubuhnya pun cepat dan lihay, kontan membuat hati semua orang yang hadir di situ jadi terkesiap dan bergetar keras.
Dalam pada itu setelah berhasil melemparkan tubuh ke-tiga orang jago lihay itu keluar dari hutan, mendadak tubuhnya merandek sejenak dan tidak meneruskan serangannya lagi.
Kiem In Eng menggunakan kesempatan tersebut memperhatikan sekejap potongan badan orang ini, tampaklah dia adalah seorang manusia yang sangat aneh, wajahnya memakai selembar topeng manusia tertawa yang nampak amat lucu, kecuali sepasang matanya yang tajam bercahaya terang di tangannya memegang sebuah kipas besar yang telah usang.
Yan Long Koen rada tertegun beberapa saat lamanya, kemudian tegurnya sambil tertawa : "Hey! Kau datang dari mana?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... " manusia aneh itu goyangkan kipasnya dan tertawa terbahak-bahak.
"eeei setan perempuan, apakah kau pun pengin kulempar keluar dari tempat ini?" Yan Long Koen segera mengerutkan sepasang alisnya.
"Saudara, kalau kau ingin menjual lagak di hadapanku, maka perbuatanmu itu benar-benar merupakan suatu tindakan yang tak tahu diri..." Manusia aneh itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, mendadak ia loncat ke depan dan menghampiri sebuah batu cadas besar yang terdapat di situ, tangannya perlahan-lahan dibabat ke arah bawah, segera terlihatlah batu karang yang amat keras itu seolah-olah sebuah tahu ternyata terpotong-potong jadi beberapa bagian dengan ratanya.
Gerakan tersebut dilakukan amat cepat, tahu-tahu manusia aneh tadi telah menyelesaikan pekerjaannya dan meloncat balik ke hadapan Yan Long Koen, jengeknya dengan nada kurang senang : "Sekarang katakanlah terus terang kau sendiri yang tidak tahu diri ataukah aku yang tak tahu diri?" Sungguh dahsyat kepandaian silat yang didemonstrasikan orang itu, kontan Yan Long Koen tarik napas dalam-dalam, ia merasa bahwa ilmu silat yang dimiliki orang itu terlalu ampuh dan sakti, sadarlah pria bercambang ini bahwa kepandaian silatnya masih belum sanggup untuk menandingi orang itu.
Pembicaraan belum sampai dilanjutkan, mendadak terlihatlah Go Kiam Lam serta si Roda Kobaran Api dengan kalap telah menubruk datang lagi, sedangkan si Telapak Penghancur Mayat duduk bersila di atas tanah untuk menyembuhkan luka dalamnya.
Terdengarlah manusia she Go itu dengan wajah hijau membesi, teriaknya penuh kemarahan : "Antara aku dengan dirimu tak pernah terikat dendam permusuhan maupun sakit hati, mengapa kau menghina dan mempermalukan diri cayhe..." Manusia aneh itu mendengus dingin.
"Selama aku masih berada di sini, siapa pun dilarang bersikap kurang ajar atau pun kurang sopan terhadap dirinya..." Sembari berkata ia segera menuding ke arah Kiem In Eng.
Kiem In Eng yang ditunjuk jadi melengak dan tidak habis mengerti, ia merasa tak pernah kenal dengan seorang tokoh Bu lim yang memiliki ilmu silat sedemikian lihaynya, tanpa sadar pikirannya telah terjerumus dalam lamunan, dengan gunakan segenap daya ingatannya ia berusaha mencari tahu asal usul orang itu.
Dalam pada itu air muka Go Kiam Lam telah berubah jadi dingin dan kaku.
"Hmmm! Apakah saudara ingin mengandalkan sepatah dua patah kata itu hendak menggertak kami sekalian?" katanya.
"Tidak berani, tidak berani!" sahut manusia aneh itu berulang kali, perlahan-lahan ia menggeserkan badannya menghampiri sang ketua dari perguruan Boo Liang Tiong itu.
Berhubung Go Kiam Lam sudah tahu sampai di manakah taraf kelihayan lawannya, ia jadi jeri dan gentar tatkala dilihatnya pihak lawan mendekati ke arahnya, tanpa sadar ia mundur beberapa langkah ke belakang dan memandang ke arah orang itu dengan sorot mata ketakutan.
Manusia aneh itu tertawa menghina.
"Huuuuh! Kalau kau masih kepengin menjajal kepandaian silatku, mari...
mari... tiada halangannya bagimu untuk mencoba!" Go Kiam Lam bukanlah seorang manusia yang tolol dan tak punya pikiran, setelah mengalami kerugian besar di tangan orang dari dasar hati kecilnya telah timbul perasaan jeri yang tak terhingga, ia sadar bahwa dirinya pasti akan kalah lagi andaikata melancarkan serangan ke arahnya.
Oleh sebab itu setelah ragu-ragu sesaat akhirnya ketua dari perguruan Boo Liang Tiong ini mengambil keputusan untuk sementara menghindari bentrokan langsung dengan orang itu.
"Hmmm, kita lihat saja nanti!" serunya dengan gemas.
Habis berkata ia segera berlalu dari situ diikuti si Roda Kobaran Api yang memayang kakaknya si Telapak Penghancur Mayat.
Suara seruling yang lirih kian lama kian menjauh dan akhirnya sirap, jelas ia telah menarik kembali seluruh anak murid perguruan Boo Liang Tiong yang telah mengepung rapat-rapat sekeliling hutan itu.
Mendadak... bayangan manusia berkelebat lewat, Wie Chin Siang munculkan diri dari tengah hutan.
Sepasang dara ayu pembuat impian dari See Liang menyaksikan hal itu air muka mereka segera berubah hebat, satu ingatan dengan cepat berkelebat di dalam benak mereka.
"Toako!" terdengar So Leng Yan berteriak keras.
"Apa yang harus kita nantikan lagi di sini?" Yan Long Koen berpaling, tatkala menyaksikan di tempat itu muncul pula seorang gadis muda yang cantik jelita, tanpa terasa penyakit anehnya kambuh kembali, ia menelan air liur dan bertanya : "Leng Yan, apakah kau maksudkan gadis ini?" "Sedikit pun tidak salah," sahut So Leng Yan sambil tertawa ringan.
"Tua bangka itu telah menyerahkan benda tersebut kepadanya..." Yan Long Koen tertawa terbahak-bahak, ia segera menyingkap ujung jubahnya dan meloncat ke depan.
Siapa tahu baru saja badannya bergerak, tiba-tiba manusia aneh itu telah munculkan diri di hadapannya dan menghadang jalan perginya.
Hal ini membuat pria bercambang itu jadi amat terperanjat.
"Hey, apa yang kau inginkan?" teriaknya penuh kemarahan.
Dengan sorot mata yang tajam manusia aneh itu menatap sekejap ke arahnya, kemudian sahutnya dengan suara dingin : "Cepat enyah dari sini! Beritahu kepada suhumu, janganlah sekali-kali ia punya pikiran untuk mendapatkan pil mujarab Som Wan berusia seribu tahun itu." "Siapakah sebenarnya dirimu?" seru So Siauw Yan tidak puas, "sekembalinya dari sini kami harus memberikan suatu pertanggungjawaban kepada guru kami..." "Heeeh...
heeeh... heeeh... " manusia aneh itu tertawa dingin.
"Asalkan kau sebutkan potongan wajahku, maka gurumu segera akan mengerti..." Sepasang gadis cantik pembuat impian dari wilayah See Liang ini pun tahu bahwa manusia aneh tersebut bukanlah seorang manusia yang gampang dilayani, dengan penuh kebencian mereka melirik sekejap ke arahnya kemudian sambil menarik tangan Yan Long Koen buru-buru mengundurkan dari situ.
Malam yang gelap terasa amat sunyi, segulung angin dingin berhembus lewat membuyarkan rambut Wie Chin Siang yang terurai ke bawah, perlahan-lahan ia benahi rambutnya yang kusut dan melirik sekejap ke arah gurunya Kiem In Eng, lalu menghela napas dalam-dalam.
Kiem In Eng sendiri dengan ringan menyentil tali senar khiem-nya hingga mengalukan irama yang memecahkan kesunyian di tengah malam itu, kemudian ia mendongak dan memandang ke arah muridnya dengan sorot mata yang halus dan lembut, ujarnya lirik : "Nak, mau apa kau datang kemari" Sebelum daya kerja obat itu menunjukkan reaksinya, kau harus melindungi keselamatan mereka, hati-hati kalau ada orang yang turun tangan melukai mereka di kala kau sedang berada di sini..." "Karena aku dengar suara ribut-ribut di tempat luaran maka aku datang kemari untuk menengok apa yang terjadi," sahut Wie Chin Siang dengan nada sedih.
"Suhu benarkah obat Som Wan berusia seribu tahun itu mempunyai khasiat yang hebat, mengapa hingga kini Pek In Hoei belum sadar juga dari pingsannya..." Kiem In Eng adalah seorang perempuan yang sangat memahami perasaan hati sepasang muda mudi yang sedang berkasih-kasihan, terutama seorang gadis muda apabila ia telah mencintai seseorang maka ia akan menerima kasih sayang pihak lawannya dengan segenap jiwa dan raganya, andaikata pihak lawannya menderita luka atau tidak senang hati, maka rasa kuatir, cemas, gelisah serta perhatian yang diperlihatkan seringkali jauh melebihi perhatiannya terhadap diri sendiri.
Terdengar Kiem In Eng tertawa ringan dan menjawab : "Luka dalam yang ia derita terlalu parah, penyakit semacam ini tidak akan sembuh di dalam waktu yang singkat! Nak! Kau tak usah terlalu sedih atau pun murung, percayalah obat mujarab yang dimiliki si Tangan Sakti Berbaju Biru merupakan salah satu obat mujarab yang paling hebat di antara ke-lima jenis obat lainnya di kolong langit..." "Kalau memang begitu aku pun jadi lega, asal ia tidak ada apa-apa aku pun bisa tenang..." Seperti seorang bocah kecil saja, setelah mendengar bahwa luka dalam yang diderita Pek In Hoei segera akan sembuh kembali, gadis ini jadi kegirangan setengah mati, kemurungan serta kesedihan yang terlintas di atas wajahnya tadi bagaikan terhembus angin kencang seketika lenyap tak berbekas, gadis itu pulih kembali dalam kelincahan serta kegembiraannya, sambil tersenyum ia pun berlalu dari situ.
Menanti bayangan punggung Wie Chin Siang sudah lenyap dari pandangan, Kiem In Eng baru alihkan kembali sinar matanya ke arah manusia aneh itu.
Ditatapnya wajah orang itu dengan sinar mata dingin, lalu tegurnya dengan suara berat : "Mau apa kau datang kemari!" "Aaaaa! Kau sudah tahu siapakah aku?" seru manusia aneh itu dengan perasaan hati yang bergolak.
"Hmmm! Kau anggap aku tak dapat mengenali kembali dirimu" Sekalipun kau telah menutupi selembar wajahmu dengan topeng kulit manusia, tetapi nada suaramu sama sekali tidak berubah, setelah kuperhatikan dengan seksama tidak sulit bagiku untuk menduganya!" "Aaaai...!" tiba-tiba manusia aneh itu menghela napas dalam-dalam...
"In Eng! Benarkah kau tak pernah melupakan diriku?" Seolah-olah dia mempunyai perasaan hati yang sukar diutarakan keluar dengan kata-kata, saking goncangnya perasaan hati sepasang matanya bagaikan orang kebingungan memandang ke angkasa tanpa berkedip, setitik air mata mengembang di atas kelopak matanya...
"Hmmm! Aku telah melupakan dirimu," jawab Kiem In Eng dengan nada yang amat tegas.
"Sejak dari dulu aku telah melupakan dirimu, dalam hati kecilku sudah tiada dirimu lagi, bagaikan barang-barang yang telah mati aku tidak menaruh kenangan atau pun rasa rindu terhadap dirimu lagi, aku tak pernah memikirkan tentang kau..." "Tidak!" jerit manusia aneh itu dengan penuh penderitaan batin.
"In Eng, kau tidak akan melupakan diriku, selamanya...
yaaah selamanya... kau tak akan..." Tapi dengan cepat Kiem In Eng telah gelengkan kepalanya.
"Aku memang tak dapat melupakan dirimu, tapi yang tak dapat kulupakan adalah penderitaan serta siksaan yang telah kau tambatkan kepadaku, penderitaan batin yang luar biasa itu telah menghapus seluruh hidupku, membuat diriku hampir saja tak punya semangat serta keberanian untuk melanjutkan hidupku." Ia tak berani mengenangkan kembali peristiwa yang paling menyedihkan bagi hidupnya, ia tak berani mengenang pula semua kejadian sedih yang pernah menimpa dirinya.Bagi seorang gadis dengan pengalaman pahit yang serba getir, pikiran serta perasaannya hanya kosong...
hampa belaka. Selama banyak tahun, seluruh harapan yang timbul dalam hati kecilnya telah ditumpukkan semua ke atas bahu Wie Chin Siang, hanya gadis yang menyenangkan dan lincah ini saja yang dapat mendatangkan perasaan gembira bagi dirinya, tetapi di balik kegembiraan tersebut siapa pun tidak tahu bahwa ia telah merahasiakan banyak persoalan yang tak ingin diketahui oleh siapa pun.
Dalam pada itu si manusia aneh tersebut pun mulai bungkam, mulai murung dan kesal, apa yang bisa ia katakan pada saat ini" Semua harapan yang dihimpun dan dikumpulkan selama ini kian lama kian bertambah suram, bagaikan asap yang mengumpul di udara saja, sedikit terhembus angin segera buyar dan lenyap tak berbekas, sepanjang masa tidak mungkin bisa berkumpul kembali.
Dengan perasaan yang amat sedih ia menghela napas panjang.
"In Eng, apakah kau masih tetap kukuh...
kukuh pada pendirianmu"..." "Hmmm! Kalau kau ingin aku tunduk di bawah telapak kakimu...
heeeh... heeeh... tunggu sajalah sampai matahari bisa terbit dari sebelah barat..." Rupanya manusia aneh itu dibuat tertegun oleh ucapan yang terakhir ini, lama sekali ia termenung kemudian baru menjawab : "In Eng, aku tidak bermaksud demikian, aku hanya berharap agar kau suka memandang di atas wajah anak kita berilah kesempatan bagi kami untuk berkumpul kembali, bagaikan rembulan di tengah mega suatu saat pasti bulat dan purnama..." Kiem In Eng menghela napas lirih dan gelengkan kepalanya.
"Kesemuanya itu sudah terlambat, perjumpaan di antara kita adalah suatu kesalahan yang amat besar, seandainya bukan disebabkan Siang jie, aku percaya bahwa kau tidak akan menemukan diriku, tetapi walaupun begitu aku tak pernah menyangka kalau kedatanganmu bisa sedemikian cepatnya...
kehadiranmu sungguh berada di luar dugaanku..." Saking sedih dan terharunya tanpa sadar si manusia aneh itu mengucurkan air matanya, ia tertunduk lemas.
"In Eng, selama ini aku selalu mengikuti di belakang Siang jie, semua peristiwa yang terjadi di tempat ini telah kuketahui semua, In Eng! Aku mengakui bahwa dahulu aku terlalu berkeras kepala, tapi sekarang...
sekarang..." "Tak usah banyak bicara lagi!" tukas Kiem In Eng sambil mengulapkan tangannya.
"Cepatlah pergi dari sini, aku tidak ingin mendengar kau mengungkap kembali peristiwa sudah lewat..." Perlahan-lahan si manusia aneh itu melepaskan topeng yang menutupi wajahnya, dia bukan lain adalah si Tangan Sakti Berbaju Biru.
Dengan wajah yang lesu, murung dan teramat sedih ia maju beberapa langkah ke depan, sambil mengeluarkan sepasang tangannya ke depan ia berharap : "In Eng, marilah kita rujuk kembali...
marilah kita berkumpul kembali dan hidup dengan kebahagiaan bersama anak-anak kita..." Kiem In Eng memandang sinis lalu menggeleng dengan wajah dingin, sikapnya begitu tegas dan pendiriannya begitu kukuh membuat si Tangan Sakti Berbaju Biru semakin sedih.
Ia mulai putus asa dan kecewa, hatinya terasa amat terluka hingga tak tahan ia mendongak dan tertawa keras.
"In Eng!" ujarnya kemudian.
"Sekali pun kau tidak ingin rujuk kembali dengan diriku, tetapi bagaimana pun juga kau tidak seharusnya mengelabui anakmu sehingga ayah sendiri pun tidak kenal..." Mendengar perkataan itu hawa pitam Kiem In Eng segera berkobar.
"Mempunyai seorang ayah yang tidak bertanggung jawab seperti kau sama halnya dengan tidak punya ayah, kini Siang jie sedang gembira dan hidup dalam keadaan yang baik, aku harap kau jangan mengacaukan pikirannya lagi, dalam bayangannya ia mempunyai seorang ayah yang bagus dan sempurna dalam segala hal, sedang kau...
Hmmm! Aku ogah untuk membicarakan tentang dirimu..." Mimpi pun si Tangan Sakti Berbaju Biru tak pernah menyangka kalau Kiem In Eng bisa memaki dirinya dengan begitu tak kenal perasaan, membuat sekujur badannya gemetar keras, titik keringat dingin mulai membasahi jidatnya.
"In Eng, masa kau pun melarang aku untuk berjumpa muka dengan darah dagingku sendiri..." rintihnya dengan penuh penderitaan.
"Hmmm! Kalau aku tetap melarang kau mau apa?" makin lama suara dari perempuan itu semakin dingin dan ketus.
Sekali lagi si Tangan Sakti Berbaju Biru tertegun, ia tak pernah mengira Kiem In Eng bisa sedemikian cepatnya berubah sikap terhadap dirinya, ia jadi jengah, kikuk dan serba salah.
Dalam keadaan begitu pria berbaju biru ini tidak mengerti, apa yang harus dilakukan.
Di saat yang amat kritis itulah mendadak ia temukan putranya si Jago Pedang Bertangan Sakti secara diam- diam sedang menyusup keluar dari balik hutan belantara.
Satu ingatan dengan cepat berkelebat di dalam benaknya, ia segera berteriak : "Meh Ing, cepat datang kemari menjumpai ibumu..." Si Jago Pedang Bertangan Sakti Meh Ing yang telah mengetahui persoalan antara ayah dan ibunya, mendengar panggilan tersebut buru-buru munculkan diri dari tempat kegelapan dan jatuhkan diri berlutut di hadapan perempuan itu.
"Ibu!" panggilnya dengan suara gemetar, air mata tanpa terasa jatuh berlinang membasahi pipinya.
Panggilan yang begitu mesra, begitu lembut seketika menghancurkan hati Kiem In Eng, ia merasakan dadanya seperti digodam dengan martil besar membuat tubuhnya tak tahan dan mundur dua langkah ke belakang dengan sempoyongan, kelopak matanya segera menjadi kabur tertutup oleh air mata.
Sambil menuding ke arah si anak muda itu, bisiknya lirih : "Kau...
kau adalah Ing..." Tapi dengan cepat satu ingatan berkelebat di dalam benaknya, ia jadi nekad dan serunya dengan suara tajam : "Aku bukan ibumu, kau keliru..." Walaupun hanya beberapa patah kata yang biasa tanpa keanehan apa pun, tetapi kata-kata yang meluncur keluar dari mulutnya ini cukup memilukan hatinya sehingga hampir saja perempuan itu jatuh tak sadarkan diri saking pedih hatinya.
Buru-buru ia putar badannya membelakangi si anak muda itu, agar air mata yang jatuh bercucuran membasahi pipinya tidak sampai terlihat oleh mereka...
Kenangan pahit masa lampau dengan cepat berkelebat kembali di dalam benaknya, ia teringat kembali bagaimanakah si Tangan Sakti Berbaju Biru telah memperkosa dirinya dengan cara serta siasat yang paling rendah dan kotor setelah usahanya untuk mendapatkan dirinya gagal, perasaan benci dan dendam seketika berkobar kembali di dalam dadanya.
Atas hasil perkosaan yang sadis dan brutal itu, selama sembilan bulan ia telah mengandung sepasang bayi kembar yakni Wie Chin Siang serta si Jago Pedang Bertangan Sakti, tetapi ia masih amat mendendam dan membenci akan kebejatan moral serta kelicikan perbuatan si Tangan Sakti Berbaju Biru, maka suatu malam secara diam-diam ia membawa Wie Chin Siang dan meninggalkan lelaki itu beserta anak lelakinya, selama banyak tahun ia bersembunyi di tengah hutan yang lebat dan terpencil...
Sementara si Tangan Sakti Berbaju Biru dari sedihnya telah berubah jadi dongkol dan gusar setelah menyaksikan perempuan she Kim itu tidak mau mengakui anaknya sendiri.
Ia tertawa keras kemudian berseru : "Kau benar-benar tidak berperikemanusiaan.
Hmm! Sejak kecil Ing jie tak pernah mendapat kasih sayang dari ibunya, siang malam ia menangis dan memanggil-manggil ibunya, tapi sekarang terhadap anak sendiri pun kau tidak mau mengakui..." "Apa kau bilang?" tiba-tiba Kiem In Eng meloncat maju ke depan dan berteriak penuh kemarahan.
"Kalau kau tidak mau pergi lagi dari sini, jangan salahkan kalau aku segera akan turun tangan terhadap dirimu!" Kepedihan serta kesedihan yang berkecamuk dalam hatinya saat ini sukar dilukiskan dengan kata-kata, di dalam gusarnya semua rasa dongkol dan amarah dilampiaskan ke atas si Tangan Sakti Berbaju Biru.
Telapak tangannya berkelebat ke depan laksana kilat, diiringi hawa pukulan yang maha dahsyat ia hajar tubuh lelaki itu.
Dengan cepat si Tangan Sakti Berbaju Biru geserkan badannya ke samping, lalu teriaknya keras-keras : "Seandainya kau tidak mau pergi bersama aku, aku serta Ing jie akan mati bersama disini..." Pada saat ini Kiem In Eng telah mengambil keputusan untuk merahasiakan kejadian pada malam ini terhadap Wie Chin Siang, ia tidak ingin di dalam hati putrinya yang masih suci bersih ternoda oleh bayangan hitam tersebut, ia merasa pada usia seperti ini Wie Chin Siang sedang membutuhkan perkembangan yang segar dan harmonis, ia tak mau merusak hatinya dan membuat ia jadi sedih karena peristiwa yang amat memalukan itu...
Sementara itu si Jago Pedang Bertangan Sakti yang melihat Kiem In Eng melancarkan satu serangan ke arah tubuh ayahnya, ia jadi amat cemas, buru-buru badannya mencelat ke udara dan melayang turun di antara tubuh ke-dua orang itu, teriaknya keras-keras : "Kalian jangan bertarung lagi!" Kiem In Eng sendiri walaupun dalam hatinya amat membenci si Tangan Sakti Berbaju Biru, tetapi ia merasa tidak tega untuk melukai putranya sendiri, melihat si anak muda itu menghadang di hadapannya dengan cepat serangan yang telah dilancarkan itu ditarik kembali dan melompat mundur ke samping, serunya ketus : "Kau cepatlah berlalu dari sini bersama ayahmu, aku tidak ingin berjumpa dengan dirimu..." Si Jago Pedang Bertangan Sakti tidak menjawab, sambil membesut air matanya yang mengucur keluar tiba, ia mengirim satu cengkeraman ke atas wajah Kiem In Eng, berusaha untuk melepaskan kain kerudung hitam itu.
Serangan ini dilancarkan amat cepat dan di luar dugaan siapa pun, Kiem In Eng jadi teramat gusar, sambil membentak ia meloncat ke samping untuk menghindar.
"Apa yang hendak kau lakukan?" hardiknya dengan air mata bercucuran.
"Aku ingin melihat bagaimanakah raut wajah ibuku, aku ingin lihat mengapa ia berhati kejam hingga terhadap putra kandungnya sendiri pun tak mau mengakui.
Sekarang kau tidak mau diriku, itu berarti dalam hatimu sudah tiada pikiran terhadap putra kandungmu...
Ooooh, selama banyak tahun aku ingin berjumpa dengan ibuku, sungguh tak nyana dia ternyata adalah seorang perempuan yang tidak berperasaan..." Haruslah diketahui bagi seorang bocah yang semenjak kecilnya tidak beribu, seringkali ia membayangkan ibunya sebagai seorang yang ramah, penuh kasih sayang dan patut dihormati, demikian pula halnya dengan si Jago Pedang Bertangan Sakti ini, sejak kecilnya ia telah membayangkan ibunya sebagai seorang perempuan yang agung dan mencintai putra putrinya.
Tetapi setelah kedua belah pihak saling berjumpa muka, bayangan indah yang telah dihimpunnya sejak dulu seketika hancur berkeping-keping, ia tidak mendapatkan apa yang pernah dibayangkan semasa kecilnya dulu...
"Ooooh...!" Kiem In Eng berseru tertahan, dengan gemetar tubuhnya mundur sempoyongan, ia berusaha mempertahankan diri, berusaha mengeraskan hatinya agar rasa sedih yang bergelora di dalam dadanya tidak sampai tercermin keluar.
Tetapi setelah ia mendengar jeritan batin dari putranya, sang hati yang mulai tenang bergetar kembali dengan kerasnya, pandangan mata segera berkunang-kunang, kepalanya pusing tujuh keliling dan dadanya seperti dihantam dengan martil besar, hampir saja dia roboh terjengkang ke atas tanah.
"Kau..." jeritnya lengking.
"Aku adalah putra kandungmu," ujar si Jago Pedang Bertangan Sakti kembali dengan suara yang memilukan hati.
"Tetapi tak sehari pun kau pernah memelihara diriku, tak sedikit pun kau pernah menyayangi diriku.
Ooooh, ibu, tahu kau bahwa pepatah kuno mengatakan : Menghormati ayah bagaikan langit, berbakti kepada ibu bagaikan bumi, tetapi kau...
kau tidak memiliki..." "Plooook!" saking tak tahannya menerima sindiran tajam dan pedas dari putranya, Kiem In Eng telah melayangkan sebuah tamparan yang amat keras ke atas wajah si anak muda itu.
Air muka si Jago Pedang Bertangan Sakti berubah hebat, kali ini wajah berubah semakin pucat pias bagaikan mayat.
Lima jalur bekas jari yang berwarna merah dan berubah membengkak tertera jelas di atas pipinya yang pucat, si anak muda itu melengak lalu gumamnya lirih : "Ibu, inikah kasih sayang yang kau berikan kepada putra kandungmu"..." "Uuuuwah...
" Kiem In Eng yang keras hati dan perkasa kali ini tak dapat menahan goncangan batin yang dihadapinya, dengan penuh kesedihan ia menangis tersedu.
"Ooooh... ! anakku... anakku..." Dia adalah seorang perempuan, hanya perempuanlah yang tahu bagaimana menyayangi serta mengasihi putranya, ia mempunyai kasih sayang seorang ibu tetapi perempuan itu tak berani memperlihatkannya, sebab ia tak ingin kehilangan satu-satunya putri yang ia cintai, ia takut suatu saat Wie Chin Siang mengetahui akan rahasia ini dan melukai hatinya, mungkin peristiwa itu akan mencelakai seluruh kehidupannya...
"Ibu!" terdengar Jago Pedang Bertangan Sakti merengek dengan penuh kepiluan hati.
"Ikutilah ayah dan mari kita pulang ke rumah..." Sebenarnya Kiem In Eng berhati penuh welas asih dan halus perasaannya, tetapi ia tak mau memaafkan si Tangan Sakti Berbaju Biru yang rendah serta terkutuk itu, benaknya terasa kosong...
hampa... kehampaan itulah membuat ia jadi bergidik dan merasa takut.
Akhirnya perempuan itu menghela napas panjang, perlahan-lahan putar badan dan berlalu.
"Ibu!" jerit si Jago Pedang Bertangan Sakti sambil memburu ke depan.
"Sudahlah, kau tak usah banyak bicara lagi, lupakanlah diriku...
anggaplah kau tidak punya ibu..." "Tidak! Aku tak dapat melupakan dirimu, aku adalah darah dagingmu...
aku adalah anakmu yang kau kandung selama sembilan bulan lebih sepuluh hari," jerit si anak muda itu keras-keras.
"Aku tak bisa hidup tanpa kau...
Oooooh! Ibu.... aku minta... janganlah kau berkeras hati...
kembalilah kepada ayah...
dan mari kita hidup bersama dengan penuh keharmonisan..." Saking tak tahan menguasai emosi yang mempengaruhi jiwa serta pikirannya, pemuda itu memburu ke depan dan mencekal tangan Kiem In Eng kencang-kencang lalu ditarik ke belakang.
Pada saat masing-masing pihak saling menarik dan saling membetot itulah tiba-tiba Wie Chin Siang munculkan diri di tempat itu, begitu melihat gurunya sedang saling membetot dengan seorang pemuda, ia salah menyangka gurunya sedang bertempur.
Saking cemas dan gelisahnya laksana kilat ia menubruk ke depan, teriaknya keras-keras : "In te, cepat kemari!" Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei yang mendengar jeritan gadis itu bagaikan segulung asap hitam segera meluncur datang, begitu tiba telapak tangannya langsung dibabat ke bawah menghajar tubuh si Jago Pedang Bertangan Sakti.
"Lepas tangan!" hardiknya dengan suara dahsyat.
Si Jago Pedang Bertangan Sakti tidak menyangka kalau tenaga lweekang yang dimiliki orang itu sangat lihay, sebelum badannya sempat berdiri tegak segulung tenaga tekanan yang sangat kuat telah meluncur tiba, ia bergidik dan buru-buru mengigos ke samping lalu melayang mundur ke belakang.
"Telur busuk!" bentaknya gusar.
"Kau berani mencampuri urusan pribadiku..." Setelah merandek sejenak di atas tanah, perlahan- lahan pedangnya diloloskan dari balik punggung sehingga terasalah cahaya tajam berkilatan memenuhi angkasa.
"Saudara, bersiap-siaplah menghadapi kematianmu," serunya sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
"Aku paling benci terhadap orang yang berani mengganggu urusanku, kau telah turun tangan secara gegabah kepada diriku dan mencampuri urusan yang tiada sangkut pautnya dengan dirimu.
Hmmm... aku tak bisa melepaskan kau dengan begitu saja..." Dari sikap si anak muda itu mempersiapkan serangannya, Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei mengetahui bahwa ia telah berjumpa dengan seorang musuh tangguh, hatinya terkesiap dan wajahnya berubah jadi amat serius, setelah tarik napas dalam-dalam pedang sakti penghancur sang suryanya lambat-lambat dicabut keluar.
Air muka si Tangan Sakti Berbaju Biru berubah hebat.
"Aaaaah! Pedang mestika penghancur sang surya...
pedang mestika penghancur sang surya..." serunya berulang kali.
Seolah-olah ia telah bertemu dengan suatu kejadian yang mengerikan, air mukanya berubah sangat hebat, dengan alis berkerut dan napsu membunuh menghiasi seluruh benaknya ia menegur penuh kebencian.
"Apa hubunganmu dengan Pek Tiang Hong?" Pek In Hoei tertegun, ia tidak menyangka kalau si orang tua itu kenal dengan ayahnya, sementara hendak menjawab Kiem In Eng dengan wajah berubah telah mendahului : "Apa hubungannya dengan Pek Tiang Hong itu bukan urusanmu dan kau tak perlu tahu..." "Apakah dia bukan keturunan dari keluarga Pek?" jengek si Tangan Sakti Berbaju Biru dengan suara dingin, napsu membunuh semakin jelas menghiasi wajahnya.
Mendengar ejekan itu Pek In Hoei seketika jadi naik pitam.
Sejak si jago pedang sakti dari partai Thiam cong Cia Ceng Gak menemui ajalnya, dalam partai tersebut boleh dibilang kepandaian silat Pek Tiang Hong lah yang paling lihay, meskipun ia tak tahu dendam sakit hati apakah yang telah terikat antara orang ini dengan ayahnya, tetapi ia bisa menduga bahwa orang itu bukanlah sahabat ayahnya.
Sebagai pemuda yang berjiwa tinggi hati, tentu saja ia tak sudi mengingkari dirinya sebagai keturunan keluarga Pek, sambil tertawa dingin pedangnya segera digetarkan hingga memancarkan cahaya yang amat tajam.
"Hmmm! Belum pernah keturunan keluarga Pek menyangkal diri di dalam dunia persilatan, kau dapat mengenali pedang mestika penghancur suryaku ini, tentunya mengetahui pula diriku bukan..." Si Tangan Sakti Berbaju Biru mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... bagus, bagus!" serunya.
"Pek Tiang Hong bisa mempunyai seorang putra semacam kau, ia patut merasa bangga..." Perlahan-lahan sinar matanya menyapu sekejap ke arah wajah Wie Chin Siang lalu katanya : "Dengan mempertaruhkan jiwa kau pergi menempuh bahaya untuk mencari obat Som Wan berusia seribu tahun di loteng Coei Hoa Loo ku apakah obat itu kau gunakan untuk menolong bajingan cilik ini..." "Benar, locianpwee!" sahut gadis she Wie itu setelah tertegun beberapa saat lamanya.
"Haaaah... haaaah... haaaah... kalau aku tahu bahwa dia adalah putra dari Pek Tiang Hong.
Hmmm! Tidak sudi kuberikan obat itu kepadamu..." "Bangsat tua, sombong amat kau!" bentak Pek In Hoei, makin lama ia merasa semakin naik pitam.
Si Jago Pedang Bertangan Sakti yang mendengar pihak lawan memaki ayahnya, dia pun jadi marah, napsu membunuh bergelora di dalam dadanya, sambil menggetarkan ujung pedangnya membentuk berpuluh-puluh kuntum bunga pedang jeritnya keras :
"BANGSAT, KAU PUN terlalu jumawa!" Dalam keadaan sama-sama gusar dan dipenuhi hawa amarah, ke-dua orang pemuda itu saling melotot dengan sinar mata berapi-api.
Mendadak si Jago Pedang Bertangan Sakti membentak keras, serentetan cahaya yang menyilaukan mata segera meluncur di tengah angkasa membabat ke tubuh lawan.
"Bagus sekali!" seru Pek In Hoei sambil tertawa tergelak, senjata pedangnya langsung membabat ke bawah.
Traaang... ! Sepasang pedang saling membentur dengan kerasnya menimbulkan suara dentingan yang nyaring, percikan bunga api menyebar ke empat penjuru, setelah saling berpisah mereka maju lagi sembari mengirim serangan-serangan mematikan.
"Ing jie!" si Tangan Sakti Berbaju Biru segera berteriak.
"Gunakan ilmu pedang Hoen Kong Kiam untuk lukai dirinya..." "Tapi ayah..
di antara kami toh tiada terikat dendam sakit hati..." "Tutup mulutmu! Apa yang aku suruh kau lakukan, segera laksanakan tanpa membantah!" Dalam hati si anak muda itu merasa keheranan, tetapi perintah ayahnya tak berani dibantah, terpaksa seluruh tenaga serta perhatiannya dipusatkan ke ujung pedang, kemudian tarik napas panjang dan hawa murninya disalurkan ke dalam pedang.
Kiem In Eng yang menyaksikan kejadian itu jadi amat terperanjat, dengan air muka berubah hebat telapaknya disilangkan di depan dada siap melancarkan pukulan, teriaknya : "Wie Soe Kie! Kau berani melukai dirinya?" Wajah si Tangan Sakti Berbaju Biru berkerut kencang, sekujur badannya gemetar keras, ia tahu bahwa hubungannya dengan perempuan itu sudah hancur berantakan dan tak bisa dirujukkan kembali, tanpa terasa seluruh rasa mangkel dan gusarnya telah ditumpahkan ke atas tubuh Pek In Hoei.
"In Eng!" katanya sedih, "Antara diriku dengan Pek Tiang Hong telah terikat dendam sakit hati yang sedalam lautan, mengapa kau mesti mencampurkan diri di dalam masalah tersebut" Aku sangat mencintai dirimu, dan aku tak ingin disebabkan oleh karena dirimu aku harus membatalkan niatku..." "Aku tidak ambil peduli.
Pokoknya kalau kau berani melukai Pek In Hoei maka yang bakal mati kalau bukan kau pastilah aku!" Si Tangan Sakti Berbaju Biru tertegun, ia tak mengira kalau persoalan akan berubah jadi demikian serius, sementara pria ini masih berdiri termangu-mangu mendadak terdengar suara bentakan keras berkumandang datang, putranya si Jago Pedang Bertangan Sakti dengan mengayunkan pedangnya menciptakan diri jadi selapis cahaya laksana kilat telah membabat ke arah tubuh lawannya.
Si Jago Pedang Berdarah Dingin segera tertawa terbahak-bahak.
"Baiklah, aku pun akan suruh kau menyaksikan kedahsyatan dari ilmu pedang penghancur sang surya dari partai Thiam cong kami." Rupanya pemuda ini sadar bahwa ilmu pedang Hoen Kong Kiam atau ilmu pedang pemisah cahaya ini merupakan suatu kepandaian tiada tandingan yang mengandalkan kecepatan serta kegesitan, semua gerakan jurusnya mengambil perubahan-perubahan terbalik dari jurus pedang biasa, seandainya ia tidak menahan dengan memakai ilmu pedang Sie Jiet Kiam Hoat-nya, niscaya posisi yang menguntungkan akan berhasil direbut lawan, dalam keadaan demikian keadaannya tentu akan semakin runyam.
Baru saja si Jago Pedang Bertangan Sakti mengirim satu babatan, mendadak ia rasakan cahaya pedang lawan bagaikan gulungan ombak telah menyapu tiba bahkan berhasil menekan gerakan jurus pedangnya ke arah bawah, hal ini membuat ia jadi terkesiap, dengan cepat ia keluarkan jurus 'Hoen Keng Boe Im' atau Memisahkan Cahaya Menubruk Bayangan, pedangnya langsung menotok ke atas urat nadi pada pergelangan tangan Pek In Hoei.
Jago Pedang Berdarah Dingin ini mendengus sinis, gerakan pedangnya mendadak berubah dengan menciptakan diri jadi selapis cahaya bianglala ia menerobos masuk ke tengah kalangan pedang lawan.
Suara dengusan berat seketika berkumandang memecahkan kesunyian, masing-masing pihak mundur ke belakang dan kemudian berpisah.
Serentetan darah segar mengucur keluar membasahi Jago Pedang Bertangan Sakti, sambil menahan rasa sakit di badannya ia tertawa keras, kemudian serunya penuh perasaan dendam.
"Bangsat, dendam sakit hati ini suatu saat pasti akan kutuntut balas, kau tunggu saja saatnya..." Si Tangan Sakti Berbaju Biru sendiri rupanya dibikin terperanjat juga oleh hasil pertarungan itu, ia tak mengira kalau Pek In Hoei di dalam usia yang semuda itu ternyata mempunyai kesempurnaan permainan pedang yang luar biasa sehingga ilmu pedang Hoen Kong Kiam hoat andalannya pun bukan tandingan.
Ia jadi sakit hati dan buru-buru tanyanya : "Ing-jie bagaimanakah keadaan lukamu?" "Masih rada mendingan.
Hmmm! Suatu hari aku pasti akan berhasil mengalahkan dirinya..." Si Tangan Sakti Berbaju Biru mengebaskan ujung jubahnya, dengan sinar mata tanpa perasaan dan napsu membunuh menghiasi wajahnya, ia silangkan sepasang telapaknya di depan dada dan membentak dengan penuh kemarahan : "Loohu ingin minta petunjuk dari kepandaian silatmu!" Tiba-tiba Ouw-yang Gong meloncat keluar dari dalam hutan, teriaknya : "Neneknya anak gombal, kau si telur busuk tua mentang-mentang sudah lihay lantas main nantang" Bagus! Biar aku si huncwee gede yang melayani dirimu!" Tangan Sakti Berbaju Biru tertegun, kemudian serunya : "Ooooh, ular asap tua, kiranya kau." "Haaaah...
haaaah... haaaah... " Ouw-yang Gong tertawa tergelak, sambil menutulkan huncweenya ke muka ia mengoceh : "Hey si Wie tua anak monyet! Sudah banyak tahun kita tak pernah saling berjumpa, kalau kau pengin cari gara-gara dan memusuhi aku si ular asap tua, baik! Aku pasti akan mengetuk batok kepalamu biar hancur lebur berkeping-keping..." Rupanya si Tangan Sakti Berbaju Biru mempunyai suatu rahasia yang sukar diutarakan keluar, ia tertawa getir, tiba-tiba ia keluar dari kalangan, kemudian menatap sekejap ke arah wajah Kiem In Eng, tertawa keras dan segera berlalu dari situ.
Kepergiannya secara mendadak ini bukan saja membuat Kiem In Eng melengak, Pek In Hoei pun tertegun dibuatnya.
Titik-titik air mata mulai keluar membasahi wajahnya, ia menghela napas panjang dan berdiri mendelong.
Wie Chin Siang yang mendengar helaan napas gurunya jadi terkejut, dengan badan bergetar keras ia angkat kepala lalu bertanya : "Suhu, siapakah dia?" "Dia...
dia... " sambil menggertak gigi mendadak serunya, "Ayoh berangkat Chin Siang, mari kita kejar ayahmu..." Wie Chin Siang mendelong, tanpa sadar ia ikut menggerakkan tubuhnya mengikuti di belakang Kiem In Eng berlalu dari situ.
...... Triiiiing....! Triiiing....! Di tengah kesunyian yang mencekam sebuah tanah lapang, terdengar suara bunyi keliningan bergema memenuhi angkasa, suaranya merdu bagaikan irama lagu yang mempesonakan hati.
Pagi yang cerah baru saja menyingsing, kabut belum sempat buyar...
beberapa ekor kuda nampak bermunculan di ujung bukit sebelah Timur, seorang gadis berbaju hijau bergaun merah dengan membawa sebuah panji berwarna kuning berjalan di paling depan, tiga orang dara yang menggembol senjata mengikuti di belakangnya.
Sreet...! Sebatang anak panah meluncur keluar dari tepi bukit sebelah selatan, menembusi angkasa dan meluncur ke arah barisan gadis muda itu.
Dengan cepat ke-empat orang dara tadi menahan tali lesnya masing-masing hingga lari kuda mereka segera berhenti, kemudian hampir secara berbareng mereka angkat kepalanya memandang ke arah tepi bukit di mana berasalnya anak panah tadi.
Tampaklah seorang lelaki bercambang berdiri di atas dinding bukit sebelah selatan, di tangannya memegang pula sebuah panji kuning yang dikebas- kebaskan di tengah udara.
Gadis berbaju hijau yang membawa panji kuning itu segera goyangkan pula benderanya lalu berkata dengan suara merdu : "Barisan depan telah menemukan jejak kita, mari kita menantikan kedatangan mereka di sini saja!" Bayangan hijau bertaburan di angkasa, dengan gerakan yang enteng bagaikan burung walet ke- empat orang dara itu melayang turun ke atas tanah.
Belum lama mereka berdiri mengaso, dari hadapan mereka berkumandanglah suara derap kaki kuda disusul munculnya dua sosok bayangan dengan menembusi kabut tebal berlari mendekat.
"Aneh! Kenapa bisa seorang kakek tua bangka..." Lambat laun raut wajah ke-dua orang itu bisa terlihat jelas, orang yang ada di sebelah kiri adalah seorang kakek tua berambut lebat, sedang orang yang ada di sebelah kanan adalah seorang pemuda berwajah tampan.
Rupanya ke-dua orang itu pun berhasil menemukan jejak ke-empat orang gadis muda itu, tampak mereka seperti sedang membicarakan sesuatu.
Kemudian terdengar Ouw-yang Gong tertawa tergelak dan berseru : "Waaah...
di pagi hari buta kita sudah berjumpa dengan gadis cantik yang begini banyak jumlahnya.
Hei bocah! Rejekimu benar-benar bagus.
Hmmm... cuma kehadiran mereka terlalu aneh, jangan- jangan..." Pek In Hoei tidak menggubris godaan orang, katanya pula : "Hey ular asap tua kau jangan bicara sembarangan, hati-hati kalau orang akan menggaplok mulutmu sampai robek!" Gelak tertawa Ouw-yang Gong kian bertambah keras.
"Haaaah... haaaah... haaaah... aku si huncwee gede kecuali merasa cocok dengan budak she Hee itu, belum ada seorang gadis pun yang suka bermesraan dengan diriku, apabila hari ini..." Sengaja ia merandek dan melirik sekejap ke arah ke- empat orang gadis yang ada di tengah jalan itu, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Menyaksikan tingkah pola orang, ke-empat orang dara ayu itu segera mengerutkan dahinya tetapi senyuman masih tetap tersungging di ujung bibir mereka.
Si dara berbaju hijau tadi perlahan-lahan menggetarkan panji kuning dalam genggamannya sehingga panji berbentuk segi tiga itu berkibar tertiup angin.
Tampaklah di atas panji tersebut bersulamkan sebuah mutiara besar yang memancarkan cahaya diapit oleh dua batang senjata, kemudian di atas lambang tadi bertuliskan empat buah huruf besar yang berbunyi 'Tang Hay It Coe'.
Pek In Hoei melongo, ia tak tahu apa maksud dari ke- empat huruf besar itu, dengan alis berkerut segera bisiknya lirih : "Eeei ular asap tua, tahukah kau apa maksudnya Tang Hay It Coe tersebut"..." Si ular asap tua Ouw-yang Gong melirik sekejap ke arah panji tadi, air mukanya mendadak berubah hebat, seakan-akan ia telah menyaksikan sesuatu kejadian yang mengerikan, lama sekali tak sepatah kata pun yang diucapkan keluar.
Lama... lama sekali ia baru bergumam dengan suara gemetar : "Mungkinkah dia"..." tapi agaknya ia merasa tidak percaya dengan jalan pikirannya.
"Aaaaah, tak mungkin! Masa dia bisa munculkan diri di dalam dunia persilatan?" "Siapakah dia?" tegur Pek In Hoei tidak habis mengerti.
Air muka Ouw-yang Gong beberapa kali berubah hebat, setelah sangsi sejenak akhirnya ia berkata : "Bocah, coba tengoklah ke belakang benda apa yang kau lihat?" Dengan cepat si anak muda itu berpaling, tapi dengan cepat hatinya jadi terkesiap hingga keringat dingin mengucur keluar membasahi tubuhnya.
Ternyata di sisi jalan raya yang baru saja mereka lalui, kini telah muncul sembilan tumpukan tulang tengkorak manusia, di atas tiap tumpukan tulang tengkorak itu terdapat sebutir mutiara di atasnya, ia tak bisa menduga sejak kapan tumpukan tengkorak itu muncul di sana, sebab sepanjang perjalanan tak pernah ia saksikan benda-benda semacam itu.
Dan kini tanpa ia sadari seseorang telah meletakkan tumpukan tulang tengkorak itu di belakang tubuhnya, hal ini bisa menunjukkan bahwa kepandaian silat yang dimiliki orang itu sukar diukur lagi.
"Sembilan tumpukan tulang tengkorak..." gumamnya lirih.
"Di atas tiap tumpukan itu terdapat sebutir mutiara..." "Bocah, kita telah berjumpa dengan orang-orang dari Tang Hay Mo Kiong...
Istana Iblis dari lautan Timur..." seru Ouw-yang Gong dengan tubuh gemetar.
Baru saja ia menyelesaikan kata-katanya, dara berbaju hijau itu sudah maju menyongsong kedatangan mereka, setelah menjura katanya dengan suara lembut : "Harap kalian berdua suka mengikuti budak untuk berjumpa dengan Kiong cu kami!" "Kami tidak kenal dengan pemilik istana kalian, nona, mungkin kau sudah salah melihat orang!" buru-buru kakek konyol itu menampik.
Dara berbaju hijau itu tertawa dan gelengkan kepalanya.
"Tidak mungkin salah! Kiong cu kami sudah tiga hari lamanya menunggu di sini, bahkan beliau pun tahu bahwa kalian berdua dalam perjalanannya menuju ke tempat rahasia dari perguruan Boo Liang Tiong bakal melewati jalan ini, maka dari itu..." "Ooooh, sungguh tajam dan cepat kabar berita dari Kiong cu kalian..." seru Ouw-yang Gong setelah tertegun sejenak.
Dara cantik berbaju hijau itu tertawa cekikikan.
"Hiiih... hiiih... hiiih... selama ini Istana iblis dari lautan Timur bisa menancapkan kakinya hingga kini di luar lautan bukan lain adalah berkat lancar serta tajamnya kabar berita kami, meskipun kami hidup di luar lautan, tetapi setiap peristiwa yang terjadi di daratan Tionggoan dapat kami ketahui semuanya dengan jelas..." Bicara sampai di situ ia tertawa nakal, lalu sambungnya lebih jauh : "Ayoh, silahkan segera melanjutkan perjalanan.
Kiong cu kami sedang menantikan kehadiran dari kalian berdua..." "Tolong sampaikanlah kepada Kiong cu kalian, katakan saja berhubung kami masih ada urusan penting lain yang harus segera diselesaikan, maka lain kali saja kami baru akan berkunjung sekalian minta maaf untuk penampikan kami pada kali ini..." buru- buru Ouw-yang Gong berseru.
Mendengar ucapan itu, air muka dara berbaju hijau itu kontan berubah hebat.
"Aaaah, hal ini mana boleh jadi?" Jauh-jauh Kiong cu kami datang ke daratan Tionggoan, kejadian ini sudah merupakan suatu peristiwa yang jarang terjadi, apabila kalian tak mau memberi muka lagi kepada kami, bagaimana caranya budak untuk pulang memberikan pertanggungan jawabnya..." Ucapan tersebut diutarakan dengan nada tegas dan tajam, seolah-olah sebelum maksud tujuannya tercapai dia tak akan menyudahi persoalan tersebut sampai di sini saja.


Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pek In Hoei yang ikut mendengar perkataan itu, sepasang alisnya kontan berkerut kencang, tanpa sadar ia mendengus dingin : "Hmm, siapa sih Kiong cu kalian" Sombong amat dia..." tegurnya.
Air muka dara muda berbaju hijau itu seketika berubah hebat.
"Kau..." serunya, mendadak ia tersenyum dan berkata kembali dengan nada halus.
"Saudara berdua silahkan segera berangkat, sedari tadi Kiong cu kami telah menantikan kedatangan kalian berdua..." Sementara pembicaraan masih berlangsung dari ujung bukit tiba-tiba muncul sebuah kereta kuda berwarna hitam yang disepuh emas, kereta tadi dihela oleh dua ekor kuda putih yang berbulu keperak-perakan dan laksana kilat meluncur datang.
Yang paling aneh dari kereta itu adalah tak adanya kusir yang mengendalikan ke-dua ekor kuda itu, ruangan kereta tertutup rapat dan sama sekali tak ada celah barang sedikit pun juga, tapi kereta itu bisa berlari dengan tenang dan teratur.
"Entah siapakah yang berada di dalam kereta itu?" diam-diam pemuda kita membatin.
Serentetan suara yang sangat aneh perlahan-lahan berkumandang keluar dari dalam ruang kereta...
Menyaksikan kehadiran kereta itu, dengan wajah gelisah dan cemas dara muda berbaju hijau itu segera berseru :
"Kereta Kencana Pembawa Maut telah tiba, kalian berdua segeralah berangkat..." Air muka si huncwee gede Ouw-yang Gong berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, sinar matanya segera menatap kereta kencana itu tajam-tajam, sementara rasa seram, ngeri dan ketakutan yang amat sangat perlahan-lahan mulai menjulur di atas wajahnya dan makin lama perasaan itu tercermin semakin tebal.
"Aaaah! Kereta Kencana Pembawa Maut..." bisiknya dengan suara gemetar.
"Setelah dunia persilatan hidup tenang selama tiga puluh tahun, sungguh tak nyana kereta itu munculkan diri kembali...
Aaaaai semakin tak pernah kubayangkan bahwa akulah orang pertama yang bakal mati di tangan Kereta Kencana Pembawa Maut itu..." Haruslah diketahui, pada tiga puluh tahun berselang Kereta Kencana Pembawa Maut dari Tang Hay Mo Kiong telah menciptakan beratus-ratus kejadian, peristiwa berdarah yang amat mengerikan, setiap kali di dalam dunia persilatan terlihat munculnya kereta kencana tersebut maka suatu peristiwa berdarah yang menyeramkan segera akan berlangsung, semua korbannya rata-rata mati di dalam kereta itu dan kemudian mayat mereka dikirim ke suatu tempat yang tak diketahui namanya...
Kebalikan dari keadaan Ouw-yang Gong, maka bagi Pek In Hoei baru pertama kali ini ia mendengar nama seram kereta pembawa maut itu, ia tidak tahu kekuatan misterius apakah yang tersimpan di balik ruang kereta yang berwarna hitam dengan disepuh emas itu.
Diam-diam si anak muda itu tertawa dingin, mendadak badannya bergerak dan langsung melayang ke atas kereta tersebut.
Ouw-yang Gong yang menyaksikan perbuatan pemuda itu jadi amat terperanjat, teriaknya dengan suara gemetar : "Hey, bocah, kau jangan bertindak gegabah!" Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak tahu sampai di manakah kelihayan dari orang yang berada di dalam kereta, ia segera melayang naik ke atas kereta dan tangan kirinya mendadak menjangkau ke depan dan menarik selapis kain horden yang menutupi ruang kereta itu.
Siapa tahu belum sampai ujung tangannya menyentuh horden tersebut, tiba-tiba dari balik kereta muncul sebuah telapak tangan yang putih dan lembut, dan gerakan yang cepat laksana kilat langsung mencengkeram pergelangan tangannya.
Pek In Hoei melengak, ia tidak menyangka di saat perhatiannya sedang terpecah, telapak tangan yang putih mulus itu, laksana kilat telah mencengkeram tiba, hatinya jadi bergetar keras, sebelum ia sadar apa yang telah terjadi, tubuhnya sudah tertarik masuk ke dalam kereta oleh lawannya.
Si huncwee gede Ouw-yang Gong jadi amat terperanjat menyaksikan peristiwa itu, teriaknya : "Hey, bocah cilik, kenapa kau?" Suasana di dalam kereta kencana sunyi senyap tak kedengaran sedikit suara pun, seakan-akan pemuda itu telah mati secara mendadak, suara dari Pek In Hoei tak kedengaran lagi menggema di udara.
Dalam pada itu Kereta Kencana Pembawa Maut telah memutar arah dan berlari menuju ke arah bukit yang misterius itu.
Terdengar dara muda berbaju biru itu berkata dengan suara dingin : "Ia telah melanggar pantangan yang terbesar dari istana Mo Kiong kami, dan kini oleh Kereta Kencana Pembawa Maut telah dikirim menuju ke tempat Kiong cu kami itu! Hey, kakek tua bangka, sekarang kau masih membangkang untuk pergi menghadap Kiong cu kami" Apakah kau baru mau berangkat setelah disambut sendiri oleh Kiong cu"..." Dalam keadaan begini si h gede Ouw-yang Gong tak bisa berbuat lain kecuali tertawa sedih.
"Nona silahkan berangkat," katanya, "selembar nyawa dari aku si ular asap tua telah kusingkirkan ke belakang batok kepalaku..." Ke-empat orang dara itu pun tidak berbicara lagi, badannya bagaikan segumpal kapas melayang naik ke atas punggung kuda kemudian diiringi suara derap kaki yang ramai berangkatlah mereka tinggalkan tempat itu.
Ouw-yang Gong membungkam dalam seribu bahasa tanpa menunjukkan komentar apa pun jua, ia ikut berlalu dari situ membuntuti di belakang gadis-gadis muda itu.
Dalam pada itu Pek In Hoei yang terbetot masuk ke dalam ruang kereta, sepanjang perjalanan ia sendiri pun tidak tahu saat itu sedang berada di mana, ia cuma takut pada saat badannya meloncat naik ke atas Kereta Kencana Pembawa Maut itu, tiba-tiba dari balik kereta muncul sebuah telapak tangan yang putih dan halus membetot badannya masuk ke dalam ruang kereta.
Dengan termangu-mangu pemuda itu berdiri seorang diri di situ, ia jumpai ruang kereta tersebut kosong melompong tak nampak sesosok bayangan manusia pun, sedang telapak putih yang membetot badannya tadi pun lenyap tak berbekas.
Hatinya jadi amat terperanjat, saking kagetnya sampai keringat dingin mengucur keluar membasahi tubuhnya.
Ia tidak tahu dari mana datangnya telapak putih yang aneh itu dan ke mana perginya telapak tersebut setelah membetot badannya masuk ke dalam.
Suasana dalam ruang kereta itu gelap gulita tidak nampak sedikit cahaya pun, buru-buru ia tarik horden di hadapannya, siapa tahu jari tangannya segera membentur dinding kereta yang keras dan kuat bagaikan baja, begitu sempurna dinding kereta itu hingga dari tempat luaran sama sekali tak terlihat kalau sekeliling kereta tersebut terbuat dari baja murni.
Saking gusar dan mendongkolnya Pek In Hoei meraung keras, teriaknya : "Sungguh misterius kereta ini!" "Hmmm!" mendadak dari balik kereta berkumandang keluar suara dengusan dingin.
"Belum pernah ada orang yang bisa keluar dari Kereta Kencana Pembawa Maut ini dalam keadaan hidup-hidup, meskipun kau adalah sahabat yang diundang Kiong cu tetapi Kiong cu tidak akan melepaskan pula dirimu, setiap orang yang berani mengintip atau mencari tahu rahasia dari Kereta Kencana Pembawa Maut dia tak akan diperkenankan melanjutkan hidupnya..." Perkataan tadi muncul dari suatu tempat yang sukar ditemukan, seolah-olah berkumandang dari empat arah delapan penjuru, si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei jadi terkesiap, dengan segenap kemampuannya ia berusaha untuk menemukan letak tempat persembunyian orang itu.
Diam-diam ia tertawa dingin, sekilas ingatan dengan cepatnya berkelebat di dalam benaknya, ia berpikir : "Meskipun Kereta Kencana Pembawa Maut ini amat misterius, tetapi masih belum mampu untuk membelenggu diriku, kenapa aku tidak gunakan segenap kemampuan yang kumiliki untuk menghancurkan kereta yang seringkali mencelakai jiwa manusia ini..." Ingatan tersebut dengan cepatnya berkelebat lewat dalam benak pemuda itu, diam-diam seluruh hawa murni yang dimilikinya disalurkan ke dalam telapak kanan siap melancarkan sebuah pukulan dahsyat secara mendadak.
"Siapa kau?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... aku adalah kusir yang mengendalikan Kereta Kencana Pembawa Maut ini..." suara yang dingin kaku itu tiba-tiba tertawa lengking.
"Hmmm!..." menggunakan kesempatan di kala orang itu sedang berbicara, Pek In Hoei membentak keras, telapak kanannya laksana kilat diangkat dan melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah dinding kereta.
"Blaaaam...!" suara benturan keras bergeletar memecahkan kesunyian, tetapi dinding kereta itu ternyata sama sekali tidak rusak atau pun cedera.
Meskipun pukulan yang digunakan dengan mengerahkan segenap kekuatan itu boleh dibilang mencapai kekuatan ratusan kati namun sang kereta sedikit pun tidak goyang atau pun gemilang, dengan gerakan yang tenang dan kalem meneruskan perjalanannya ke depan.
"Hmmm!" suara yang misterius itu mendengus dingin.
"Sampai di manakah kekuatan yang kau miliki sehingga sanggup untuk menghancurkan Kereta Kencana Pembawa Maut?" Dalam keadaan terkejut bercampur gusar si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak bisa berbuat lain, kecuali hardiknya : "Kau tunggu saja nanti!" Setelah menyaksikan hawa pukulannya sama sekali tak berguna, diam-diam si anak muda itu tertawa dingin, ia segera mencabut keluar pedang sakti penghancur sang suryanya, cahaya pedang segera berkilauan memencar ke empat penjuru, ruangan kereta itu jadi terang benderang dan terlihat dengan amat nyata.
Tampaklah ruang tersebut diatur dengan amat megah dan indah, semuanya terdiri dari emas murni, dan di atap kereta secara lapat-lapat terlihat empat huruf besar berwarna merah darah yang berbunyi : "Kereta Kencana Pembawa Maut." Sepasang mata Pek In Hoei si Jago Pedang Berdarah Dingin itu berkilat tajam, senyuman dingin mulai tersungging di ujung bibirnya, sambil melirik sekejap ke arah sekeliling ruang kereta itu ujarnya tertawa : "Kalau kau tak mau unjukkan diri lagi, jangan salahkan kalau aku segera akan menghancurkan kereta ini..." "Kau berani?" Sang kusir yang bersembunyi di tempat kegelapan rupanya mengetahui juga kelihayan dari pedang mestikanya itu, suara bentakan gusar segera berkumandang datang, bayangan putih berkelebat lewat laksana kilat dan sebuah telapak tangan yang putih mulus tahu-tahu sudah menyambar datang mengancam urat nadi di atas pergelangan Pek In Hoei.
Si anak muda itu mendengus dingin.
"Hmm, masih berani menakut-nakuti diriku?" bentaknya.
Kali ini Pek In Hoei memang ada maksud untuk melihat macam apakah orang yang menyembunyikan diri di tempat kegelapan itu, tangan kanannya segera membabat ke samping dan laksana kilat balik mencengkeram telapak tangan lawan.
"Hmm," dengusnya dingin, "kau masih mampu menyembunyikan diri ke mana lagi?" Bayangan manusia tercengkeram tangannya dan tampaklah seorang gadis muda berbaju serba putih dengan pandangan kaget bercampur tercengang mengawasi wajah Pek In Hoei tanpa berkedip lalu dengan suara yang ketus gadis itu menegur.
"Kepandaian silatmu jauh di luar dugaanku, ternyata lebih tinggi dan hebat daripada apa yang kuduga semula." "Hheehmmm, tidak berani, tidak berani," sahut Pek In Hoei ketus.
"Apakah nona berasal dari istana iblis?" "Sedikit pun tidak salah, dan sekarang kau sedang berada di perjalanan menuju ke istana Mo Kiong, mulai saat ini gerak-gerikmu berada di dalam kekuasaanku, karena itu aku berharap agar kau suka mendengarkan perintah serta perkataanku tanpa membantah..." Habis berkata ia putar badan siap berlalu begitu saja, Pek In Hoei tidak sudi melepaskan mangsanya dengan begitu saja, laksana kilat lengannya berkelebat mencengkeram lengan tangan lawan kemudian menariknya sehingga tertunduk di sisi tubuhnya.
"Kau pun tak boleh meninggalkan tempat ini," katanya dingin.
"Kalau ingin keluar maka kita harus keluar bersama-sama..." Tatkala secara tiba-tiba dilihatnya dia harus duduk berdempetan dengan seorang pemuda ganteng di dalam ruang kereta yang sempit, gadis muda berbaju putih itu segera merasakan jantungnya berdebar keras, wajahnya berubah jadi merah jengah dan sikapnya yang malu-malu dan tersipu-sipu itu cukup membuat jantung Pek In Hoei ikut berdebar.
Memang dalam kenyataan, apalagi seorang gadis muda yang belum pernah bersentuhan badan dengan pria lain, secara mendadak badannya harus duduk berdempetan dengan seorang pemuda yang berwajah tampan rasa kejut dan girang yang timbul dalam hatinya sukar dilukiskan dengan kata-kata, apalagi ilmu silat serta tabiat lawannya merupakan pilihan yang sukar ditemukan.
"Kau... kau..." serunya gelagapan.
"Nona! Kau tak usah gelagapan," ujar Pek In Hoei hambar.
"Siapa namamu?" Karena malunya dara muda berbaju putih itu tertunduk rendah-rendah, sahutnya lirik : "Aku bernama Coei Coei!" Ingin sekali dia bertanya namanya tapi tak ada keberanian untuk berbuat demikian, cuma dalam hati kecilnya gadis itu merasa kejut, girang dan bimbang, ia hanya berharap perjalanan bisa berlangsung lebih lama sehingga kesempatan untuk duduk berdampingan dapat berjalan lebih lama.
"Coei Coei?" seru Pek In Hoei, mendadak ia tertawa ringan.
"Indah nian namamu itu! Sungguh indah dan manis!" Mendadak...
Kereta Kencana Pembawa Maut itu bergetar keras, putaran roda kereta yang kencang tiba-tiba berhenti diikuti suara langkah kaki yang nyata berkumandang datang, seolah-olah berjalan mendekati kereta tersebut.
Air muka Coei Coei seketika berubah hebat, ia berseru pelan dan bisiknya, "Aduuuh, celaka!" Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tidak mengerti apa maksudnya gadis itu berseru 'Celaka', sementara otaknya masih berputar memikirkan maksud kata-kata itu, serentetan suara teguran yang kasar dan keras telah menggema tiba.
"Siapakah utusan yang mengendalikan kereta ini?" terdengar seorang pria berseru.
Air muka Coei Coei berubah pucat pias bagaikan mayat, keadaannya seakan-akan seorang terhukum yang telah dijatuhi hukuman mati, sekujur tubuhnya gemetar keras.
Dengan alis berkerut kencang dan cepat-cepat membenahi pakaiannya yang kusut ia menyahut : "Aku!" Kreeek! Pintu kereta terbuka, Pek In Hoei dengan gerakan tubuh yang paling cepat bersama Coei Coei telah meloncat keluar.
Seorang kakek tua bercambang dan berwajah seram berdiri di luar kereta dan menatap wajah gadis itu tajam.
Perlahan-lahan Coei Coei turun dari kereta, lalu menjura dan berkata : "Utusan Peronda Gunung, budak menanti perintah di sini..." Kakek tua itu mendengus dingin.
"Hmmm! Apa jabatanmu?" "Mengendalikan Kereta Kencana Pembawa Maut, menghantar dan menjemput sukma-sukma yang gentayangan," sahut Coei Coei dengan sekujur badan gemetar keras.
Utusan peronda gunung itu tertawa dingin.
"Kau sebagai salah satu gadis di antara tujuh puluh dua orang gadis istana Mo Kiong, kenapa begitu sudi menurunkan derajatmu dengan bersembunyi di dalam kereta bersama-sama seorang keparat tanpa nama, apakah kau sudah bosan hidup..." Dengan ketakutan Coei Coei tundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Budak mengerti dosa!" Sebaliknya si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei yang mendengar hinaan itu kontan naik pitam, hawa amarahnya segera berkobar di dalam dadanya, sambil enjotkan badannya melayang ke depan teriaknya dengan suara dingin : "Hmmm, kau manusia macam apa" Berani benar menghina aku!" "Bocah keparat, ayoh minggir ke samping, jangan banyak bacot di sini..." seru Utusan Peronda Gunung ketus.
Dengan wajah penuh penghinaan ia tertawa sinis lalu berpaling ke arah lain, sinar matanya yang dingin dan tajam ditujukan ke atas tubuh Coei Coei, dara muda berbaju putih itu, seolah-olah dengan pandangan yang tajam itu ia berusaha untuk menembusi rahasia hati gadis tersebut.
Buru-buru Coei Coei tundukkan kepalanya, tak sepatah kata pun yang berani ia ucapkan keluar.
"Apakah kau telah jatuh cinta dengan bajingan cilik ini?" kembali Utusan Peronda Gunung menjengek dengan nada sinis.
"Sebelum kejadian aku hendak memberitahukan kepadamu terlebih dahulu, gadis- gadis dari istana Mo Kiong bukanlah seorang gadis yang bebas merdeka lagi, kau harus berhati-hati..." Mendadak ia mendongak dan tertawa terbahak- bahak, suaranya tajam dan amat menusuk pendengaran, tambahnya : "Aku rasa dosa bersekongkol dengan orang asing tak akan sanggup kau atasi..."
"Kau jangan menuduh yang bukan-bukan!" teriak Coei Coei dengan suara gemetar.
Utusan Peronda Gunung tertawa sinis, setelah melirik sekejap ke arah Pek In Hoei serunya : "Ehmmm...! Pandangan matamu sungguh tidak salah, tidak aneh kalau kau sampai..." "Konyo kamu!" bentak si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei dengan gusarnya, makin didengar ia merasa semakin tak tahan.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... dugaanku ternyata tidak meleset.
Ehmmm Coei Coei! Ayoh ikut aku menghadap Kiong cu!" Tiba-tiba Coei Coei tertawa keras dengan penuh gusarnya, ia berseru : "Hmmmm! Apa maksud hatimu kau anggap aku tidak tahu" Bagaimana pun akhir aku tak akan lolos dari kematian pada hari ini.
Goan Poo Kay! Mari kita bersama-sama menghadap Kiong cu, persoalanmu pun akan kukatakan pula kepada Kiong cu..." Mendengar perkataan itu Utusan Peronda Gunung berdiri melengak, lalu katanya : "Budak rendah yang tak tahu diri, kau berani sebut nama loohu secara terang-terangan?" Rupanya dia pun dapat menangkap maksud lain di balik ucapan Coei Coei barusan, dengan mata melotot bulat hardiknya : "Aku punya persoalan apa yang bisa kau laporkan kepada Kiong cu?" "Hmmmm! Tak usah kuutarakan keluar, aku rasa dalam hati kecilmu sudah mengerti." Rupanya dara muda berbaju putih ini sudah nekad walaupun selembar jiwanya dipertaruhkan tapi ia tetap berkeras untuk beradu lidah dengan Utusan Peronda Gunung, oleh sebab itu di dalam pembicaraan pun ia tidak sungkan-sungkan lagi, hal ini tentu saja membuat sang Utusan Peronda Gunung jadi mencak- mencak saking gusarnya.
Terdengar Utusan Peronda Gunung tertawa terkekeh- kekeh dengan seramnya.
"Heeeeh... heeeh... heeeh... budak sialan yang tak tahu diri, kau anggap loohu betul-betul tak berani membinasakan dirimu?" Dari sakunya perlahan-lahan dia ambil keluar sebuah medali tembaga yang kecil tapi mungil, sambil diacungkan di tengah udara napsu membunuh seketika menyelimuti seluruh wajahnya, senyuman sinis yang tersungging di ujung bibir pun lenyap tak berbekas.
Menyaksikan medali kecil terbuat dari tembaga itu, dengan putus asa Coei Coei menghela napas sedih, kepalanya tertunduk rendah dan tidak berbicara lagi.
"Aku akan menggunakan medali pahala ini untuk ditukar dengan selembar jiwamu..." kata sang Utusan Peronda Gunung dengan nada ketus.
Haruslah diketahui medali tembaga tersebut adalah medali pahala yang diberikan pihak istana Mo Kiong dari Tang Hay kepada anggota-anggotanya yang berjasa, medali itu sulit diperoleh dan harus mempertaruhkan keringat dan darah untuk mendapatkannya.
Barang siapa yang membawa medali tersebut ia diijinkan untuk memohon segala sesuatu kepada sang Kiong cu.
Tetapi kegunaan medali pahala itu hanya satu kali saja, setelah permintaannya dikabulkan maka medali tadi akan ditarik kembali oleh sang Kiong cu.
Si Utusan Peronda Gunung ini rupanya merasa amat takut kalau rahasianya ketahuan Kiong cu maka ia merasa tidak sayang untuk mengorbankan medali pahala itu guna mendapatkan selembar jiwa dari si dara berbaju putih.
Dalam pada itu Coei Coei hanya dapat menghela napas panjang belaka, ujarnya lirih : "Kau turun tanganlah, aku tidak ingin melakukan perlawanan..." Heeeh...
heeeh... heeeh... itu lebih bagus lagi kau bisa memberikan satu kepuasan bagimu..." Sambil tertawa seram si Utusan Peronda Gunung mengayunkan telapak kanannya dan segera dihajarkan ke atas tubuh Coei Coei.
Menghadapi ancaman yang sanggup merengut jiwanya itu Coei Coei tetap berdiri tak berkutik, matanya dipejamkan rapat-rapat dan ia pasrah sama sekali.
Sedikit pun tidak nampak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa gadis itu ada maksud melawan.
Pek In Hoei yang menyaksikan kejadian itu, air mukanya segera berubah hebat, bentaknya keras : "Tahan!" Si anak muda itu benar-benar merasa muak dan mendongkol oleh sikap serta tingkah laku si Utusan Peronda Gunung yang sombong dan jumawa itu, ia membentak keras, telapak tangannya dengan cepat didorong ke depan dan segulung angin pukulan yang maha dahsyat segera menyapu keluar.
Blaaam...! benturan keras menimbulkan suara ledakan yang memekikkan telinga, pusingan angin tajam segera menderu-deru dan menyebar ke empat penjuru.
"Bajingan cilik!" teriak Utusan Peronda Gunung dengan penuh kemarahan.
"Kau pengin modar?" Dari pinggangnya dia ambil kedua-dua buah senjata berbentuk palu, kemudian dengan jurus 'Jie Seng Thong Liok' atau Sepasang Bintang Rontok Bersama ia hajar tubuh Pek In Hoei dengan dahsyatnya.
Pek In Hoei tak mau unjukkan kelemahannya,ia cabut keluar pedang mestika penghancur sang surya dan menyahut : "Mari kita coba-coba lihat, siapa yang sebetulnya pengin modar! Kau atau aku..." Tubuh mereka berdua bergerak secara berbareng dan suatu pertarungan sengit pun segera berkobar.
"Tahan!" mendadak terdengar suara bentakan keras berkumandang datang.
Air muka Coei Coei berubah hebat, buru-buru ia jatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil serunya : "Kiong cu!" Kehadiran sang pemilik istana iblis dari Tang Hay yang mendadak ini membuat pertempuran sengit yang sedang berlangsung di tengah kalangan pun segera terhenti.
Sambil menarik kembali pedangnya Pek In Hoei meloncat mundur dua langkah ke belakang, sedang si Utusan Peronda Gunung sambil ayunkan senjata palunya tak berani turun tangan lagi secara gegabah, hanya saja pandangan gemas dan penuh kebencian ia melotot sekejap ke arah si anak muda itu.
Coei Coei yang berlutut di atas tanah sama sekali tak berani berkutik, bahkan bernapas keras-keras pun tak berani.
*** Bagian 26 SETELAH mengendorkan senjatanya si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei kembali pusatkan seluruh perhatiannya ke ujung pedang, sekejap pun ia tidak memandang ke arah sang Kiong cu tersebut.
Sebab dalam bayangannya pemilik dari istana iblis yang berasal dari laut Tang Hay ini bisa mengandalkan Kereta Kencana Pembawa Maut untuk mencelakai jago-jago Bu lim secara mengerikan, sang Kiong cu tersebut pastilah seorang manusia sadis yang berwajah seram dan berhati binatang, ia merasa tidak sudi berhubungan dengan manusia semacam ini, karenanya dia pun ogah untuk menggubris kehadirannya.
Dugaan si anak muda ini ternyata meleset, sang Kiong cu dari istana Mo Kiong adalah seorang perempuan yang berwajah cantik, diiringi oleh empat orang dara muda perlahan-lahan ia berjalan mendekat, tiada senyuman yang menghiasi bibirnya, kecuali sepasang biji matanya yang nampak sangat tajam, hampir boleh dikata tiada tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa dialah sang pemilik istana iblis yang memiliki ilmu silat sangat lihay itu.
Sedang di atas raut wajahnya yang cantik dan halus, sedikit pun tidak memperlihatkan kekejaman serta kesadisan hatinya yang pernah menyelenggarakan pembunuhan secara besar-besaran, hal ini membuat orang jadi menaruh curiga, benarkah dia adalah perempuan pengejar sukma yang sudah amat tersohor di kolong langit.
Sementara itu dengan pandangan dingin ia sudah melirik sekejap ke arah Coei Coei, lalu sambil ulapkan tangannya ia berseru : "Ayo bangun!" Coei Coei tak berani mengucapkan barang sepatah kata pun, buru-buru ia mengundurkan diri ke samping.
Sementara sang Kiong cu dengan sikap yang dingin dan hambar bergerak maju ke depan, tubuhnya enteng bagaikan awan yang melayang di angkasa, ringan lincah dan indah menawan hati.
Diam-diam si Utusan Peronda Gunung mencuri lihat sekejap ke arah Kong cu-nya, sorot matanya segera terlintas rasa takut yang tebal, tubuhnya rada getar keras tapi ia maju juga ke depan sambil serunya : "Kiong cu!" Si Pemilik istana iblis dari laut Tang Hay ini sama sekali tidak menggubris dirinya, mendadak ia tertawa, begitu manis tertawanya sampai nampak sebaris giginya yang putih dan bersih, dua buah dekik yang kecil menambah manisnya wajah Kiong cu tersebut.
Begitu manis dan menawan hati senyuman perempuan itu, membuat siapa pun yang memandang ikut terpesona.
Tetapi bagi si Utusan Peronda Gunung yang menjumpai senyuman penuh daya tarik yang memikat hati itu bukannya terpikat, sebaliknya air muka si kakek tua itu berubah hebat.
Rasa takut, ngeri dan seram yang amat tebal dengan cepat terlintas di atas wajahnya, seolah-olah secara mendadak ia telah bertemu dengan iblis seram yang hendak menggait sukmanya, begitu takut orang itu hingga tak sepatah kata pun sanggup diutarakan keluar.
Lama sekali... ia baru berseru dengan nada gemetar : "Kiong cu, kau, kau..." "Besar amat nyalimu," jengek sang Kong cu sambil tersenyum.
"Ternyata terhadap sang Kiong cu mu sendiri pun berani tak pandang sebelah mata pun..." "Tidak, tidak!" sahut sang Utusan Peronda Gunung seraya goyangkan tangannya berulang kali.
"Aku si orang peronda tak berani..." Senyuman sang Kiong cu datangnya amat cepat, berubahnya pun amat cepat, mendadak air mukanya berubah jadi dingin bagaikan es, begitu kaku sampai mendekati tiada perasaan sedikit pun jua bahwa napsu membunuh yang tebal terlintas di atas wajahnya yang putih dan cantik.
Sikapnya yang dingin, ketus dan sedikit pun tiada perasaan ini jauh berbeda dan tak sesuai dengan raut wajahnya yang cantik jelita bagaikan bidadari itu, sebab cantiknya bagaikan sekuntum bunga Bwee, tapi dinginnya melebihi salju di tengah musim dingin.
"Apa yang hendak kau katakan lagi?"" serunya hambar.
Si Utusan Peronda Gunung sangsi sejenak, lalu ujarnya : "Menurut peraturan yang berlaku di dalam istana iblis, aku si orang peronda mempunyai kesempatan untuk angkat bicara." "Jadi kalau begitu, kau pun berharap agar pun Kiong cu juga memberi kesempatan bagimu untuk berbicara?" sela sang Kiong cu menghina.
Air muka Utusan Peronda Gunung perlahan-lahan pulih kembali dalam ketenangan, ia tahu bahwa asalkan dirinya memperoleh kesempatan untuk mengemukakan alasannya maka itu berarti ia pun mempunyai kesempatan untuk hidup lebih jauh, kendati harapan itu tidak besar tetapi jauh lebih baik daripada menerima kematian tanpa berusaha menolong.
Buru-buru ia simpan kembali senjata palunya dan berkata : "Hal ini sudah tentu, aku si orang peronda adalah salah seorang pembantu yang diangkat oleh Kiong cu, karena itu hamba percaya bahwa Kiong cu pun akan memberi satu kesempatan kepada diriku entah bagaimana menurut pendapat Kiong cu?" "Hmmmm! Katakanlah!" seru Kiong cu.
"Aku bisa membereskan persoalan ini dengan seadil mungkin." Senyuman penuh kelicikan tersungging di atas wajah Utusan Peronda Gunung, ia bongkokkan badan memberi hormat kemudian bertanya : "Kiong cu, tolong tanya dosa serta kesalahan apakah yang telah diperbuat aku si orang peronda sehingga membangkitkan kegusaran Kiong cu dan menjatuhi hukuman mati terhadap diri hamba..." Agaknya sang Kiong cu merasa tertegun dengan pertanyaan itu, untuk sesaat ia tidak menduga kalau orang tua tersebut bisa mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya, tetapi ia bukanlah seorang perempuan yang berotak bebal.
Sebagai seorang pemimpin yang dapat menguasai begitu banyak jago lihay dari lautan Timur bahkan membuat mereka tunduk seratus persen pada perintahnya, dalam waktu singkat ia sudah menemukan jawaban yang tepat.
Maka perempuan itu pun tertawa hambar, sahutnya : "Eeeei...
Utusan Peronda Gunung, bagaimana sih caramu untuk menduduki jabatan setinggi ini kalau cuma kesalahan sendiri pun tidak tahu...
kau harus mengerti setelah kuutarakan dosa-dosamu itu maka berarti pula bahwa untuk selamanya kau tidak akan memperoleh kesempatan untuk menyesal..." Di kala ia mengucapkan beberapa patah kata itulah, dengan cepat dia telah berhasil mendapatkan alasan yang kuat untuk membunuh si Utusan Peronda Gunung ini, biji matanya mengerling sekejap ke depan dan satu rencana bagus pun telah disusun.
Kali ini si Utusan Peronda Gunung-lah yang berdiri tertegun, untuk beberapa saat lamanya ia tidak berhasil mendapatkan akal yang bagus untuk menghadapi sang Kiong cu-nya yang telah diliputi oleh napsu membunuh itu, ia sadar bahwa tabiat Kiong cu- nya seringkali berubah tak menentu, rasa senang, gusar, sedih dan murungnya tak akan pernah berhasil diduga orang.
Setelah berpikir sebentar akhirnya ia pun mengambil keputusan, katanya dengan tegas : "Silahkan Kiong cu utarakan secara terus terang, asal hamba benar-benar mempunyai kesalahan yang patut dihukum mati, janganlah Kiong cu yang memberi perintah, hamba sendiri pun bisa memenggal batok kepalaku sendiri untuk dipersembahkan kepada Kiong cu..." "Hmmm! Sikapmu ternyata terbuka, keras dan cukup tegas!" jengek Kiong cu ketus.
"Apa dosa Coei Coei, sehingga kau hendak turun tangan untuk membinasakan dirinya..." "Heeeh...
heeeh... heeeh... " si Utusan Peronda Gunung tertawa seram.
"Ia berani bersekongkol dengan orang yang hendak dijatuhi hukuman mati oleh pihak istana Mo Kiong kita.
Cukup berdasarkan alasan ini sudah dapat mencabut jiwanya sebanyak tiga kali, sedangkan Kiong cu pun telah menyerahkan tugas serta tanggung jawab ini kepada hamba, dus berarti bahwa perbuatan serta tindakan hamba kali ini sama sekali tidak bertentangan atau pun melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh Kiong cu.
Dari mana mungkin sekarang malahan hambalah yang akan dijatuhi hukuman mati terlebih dulu?" Coei Coei yang mendengar perkataan itu, mendadak meloncat maju ke depan dan berseru : "Goan Poo Kay! Janganlah kau campur adukkan dendam pribadimu dengan tugas, apalagi memfitnah orang sekehendak hati sendiri..." Dengan cepat Kiong cu ulapkan tangannya mencegah dara berbaju putih itu bicara lebih jauh, katanya :
"WALAUPUN alasanmu sangat sempurna dan masuk di akal tapi sayang kau telah melupakan satu hal yang penting, peraturanku bersekongkol dengan musuh luar itu hanya khusus ditujukan kepada anak murid yang masuk menjadi anggota istana kami, dan tak pernah memberi ijin kepadamu untuk menghadapi para dayang dari istana.
Apakah kau lupa bahwa para dayang yang bertugas di dalam istana hanya pun Kiong cu sendiri yang berhak untuk menghukumnya" Dan sekarang kau berani mewakili kekuasaanku, bukankah hal itu sama artinya tidak pandang sebelah mata pun terhadap Poen Kiong cu...." Air muka si Utusan Peronda Gunung berubah hebat.
"Walaupun dia adalah dayang istana tetapi dia pun merupakan utusan yang mengendalikan Kereta Kencana Pembawa Maut, dus berarti menurut peraturan dia pun termasuk anak murid istana Mo King..." "Hmmm! Berani mempertahankan alasan yang tak masuk di akal cukup dengan alasan ini kau bisa dijatuhi hukuman mati..." Rupanya si Utusan Peronda Gunung menyadari bahwa untuk melanjutkan hidupnya bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, ia segera tertawa kering.
Mendadak dengan wajah angkuh dan sedikit pun tidak menunjukkan rasa jeri jengeknya : "Kiong cu, rupa-rupanya kau sangat membelai dayang itu..." "Kau tak usah banyak bicara lagi," tukas sang Kiong cu dengan air muka berubah hebat.
"Asal kau sanggup mempertahankan diri dari ke-tiga jurus pedang pengejarnya maka tentu saja sesuai dengan peraturan aku bisa memberikan satu jalan kehidupan bagimu.
Tetapi kalau kau memang menganggap bahwa dirimu masih mempunyai kesempatan untuk membela diri, tiada halangan bagimu untuk mencari bantuan dari Song Ceng To serta Lie Ban Kiam...
Poen Kiong cu akan memberi waktu tiga jam kepadamu!" "Baik!" sahut si Utusan Peronda Gunung ketus.
"Hamba segera akan mencari Song toako serta Lie jie ko.
Hmmm!... sampai waktunya Kiong cu tidak akan seenteng dan sesombong seperti sekarang..." Rupanya ia sudah mempunyai rencana yang masak dalam benaknya, begitu selesai berkata badannya segera berputar dan berlalu dari situ, ketika lewat di hadapan si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei, tiba-tiba ia melotot sekejap ke arahnya dengan penuh kebencian, ancamnya : "Bajingan cilik, urusan di antara kita belum selesai, nantikanlah saat kematianmu..." Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tertawa dingin.
"Bagus, kalau memang kau masih ada kegembiraan untuk bertarung, cayhe tentu akan melayani dirimu untuk ukur kekuatan..." "Bajingan cilik, sebelum ajalku tiba aku pasti akan mencari seorang teman untuk mengiringi keberangkatanku...
nanti orang pertama yang akan kucari adalah dirimu." Meskipun di mulut ia berbicara terus tapi langkah kakinya sama sekali tak berhenti, bahkan berlalu semakin cepat lagi hingga dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Menanti bayangan tubuh si Utusan Peronda Gunung sudah tak nampak lagi, sang Kiong cu baru menoleh dan melotot sekejap ke arah Coei Coei, katanya : "Andaikata aku tidak tiba di sini dengan cepat, niscaya kau sudah menemui ajalnya di tangan orang itu." Terhadap masalah mati hidupnya ternyata Coei Coei tidak menaruh perhatian atau pun rasa kuatir barang sedikit pun juga, sepeninggalnya si Utusan Peronda Gunung mendadak wajahnya berubah jadi amat murung dengan nada gelisah katanya : "Kiong cu, kenapa kau melepaskan dirinya pergi" Seandainya sebentar lagi Song Ceng To serta Lie Ban Kiam dengan kedudukannya datang kemari mencari Kiong cu untuk berdebat, maka waktu itu...
Aaaai!..." "Tentang soal ini kau tak perlu kuatir," kata Kiong cu sambil tertawa hambar.
"Tentu saja aku mempunyai rencana yang amat sempurna sebelum bertindak demikian, cuma saja langkah berikutnya kita mesti bekerja lebih cepat lagi, di dalam waktu tiga jam segala sesuatunya harus sudah beres dan siap, dan aku rasa hal inilah yang paling merepotkan..." "Lalu apa daya kita?" tanya Coei Coei dengan wajah penuh kegelisahan.
"Keadaanmu tiada jauh berbeda dengan keadaanku, setiap saat ancaman kematian mungkin bisa menimpa diriku.
Tetapi kau tak usah kuatir, kawanan manusia itu masih demikian jeri dan takutnya kepadaku karena aku masih mempunyai tiga jurus ilmu pedang pengejar nyawa yang memiliki kekuatan sangat ampuh.
Sekarang adalah saatnya bagi para pengkhianat untuk memberontak, dan kita pun harus cepat-cepat melakukan pertolongan..." "Ooooouw...! Jadi kalau begitu Kiong cu telah tahu tentang segala-galanya..." tanya Coei Coei.
Sang Kiong cu tertawa getir.
"Sejak ibuku menghembus napasnya yang terakhir, setiap orang yang ada di dalam Istana Mo Kiong berusaha untuk merebut kekuasaan dan menduduki jabatan sebagai pemimpin, terutama sekali Song Ceng To serta Lie Ban Kiam, ambisi mereka berdua paling besar di antara yang lain.
Sekalipun aku tiada maksud untuk membinasakan mereka, tetapi mereka pun tak mungkin tiada niat untuk menyingkirkan diriku, tentang hal ini apakah kau tak bisa melihatnya..." Sejak kedua orang majikan dan dayang itu bercakap- cakap walaupun Pek In Hoei hanya membungkam melulu tapi secara lapat-lapat ia bisa menangkap duduk perkara yang sebenarnya walaupun ia tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi sehingga istana Mo Kiong di laut Tang Hay bisa berubah jadi begini, tetapi ia pun mengerti bahwa pokok persoalannya tidak jauh daripada perebutan kekuasaan di kalangan istana Mo Kiong sendiri.
Sementara ia masih termenung memikirkan persoalan itu, Kiong cu sudah menggeserkan badannya maju ke depan, tegurnya dengan suara lirih : "Pek kong cu, kau tentu merasa terkejut bukan?" "Kiong cu," kata Pek In Hoei ketus.
"Apa maksud tujuanmu dengan mengundang cayhe datang kemari..." Perlahan-lahan Kiong cu membenahi rambutnya yang kacau terhembus angin, lalu sambil tertawa sahutnya : "Kali ini pun Kiong cu jauh-jauh dari laut Tang Hay datang ke daratan Tionggoan, kesemuanya ada dua buah persoalan yang hendak kuselesaikan, dan kedua buah persoalan itu kesemuanya ada hubungan serta sangkut pautnya dengan Pek kongcu, oleh sebab itu pun Kiong cu sengaja mengundang Pek kongcu untuk sementara waktu berdiam di dalam istana kami..." "Tapi...
antara cayhe dengan Kiong cu toh tidak saling kenal mengenal..." kata Pek In Hoei tertegun.
"Mana mungkin persoalan yang terjadi di laut Tang Hay bisa ada hubungan serta sangkut pautnya dengan diri cayhe, harap Kiong cu suka memberi petunjuk..." Sang Kiong cu segera ulapkan tangannya.
"Pek kongcu, silahkan masuk ke dalam untuk minum teh.
Pun kiong cu segera akan mengutarakan sebab- sebabnya..." Dengan gerakan tubuh yang enteng bagaikan awan di angkasa ia berkelebat meninggalkan tempat itu, si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei ragu-ragu sejenak akhirnya dia pun mengikuti di belakang gadis tersebut.
Tatkala bayangan tubuh Pek In Hoei telah lenyap di balik pepohonan, Utusan Peronda Gunung beserta dua orang kakek berjenggot hitam kebetulan munculkan diri dari sudut bukit.
Si Utusan Peronda Gunung segera menuding ke arah bayangan punggung Pek In Hoei sambil katanya : "Toako, kita bereskan dulu bajingan cilik itu..." "Tentu saja," sahut si kakek tua di sebelah kiri yang mempunyai tahi lalat besar di atas wajahnya sambil tertawa seram.
"Setiap orang yang mempunyai hubungan dengan budak rendah tersebut tak boleh kita kasih hidup di kolong langit..." Kiranya si kakek tua itu bukan lain adalah Song Ceng To yang mempunyai kedudukan sebanding dengan Kiong cu dari istana Mo Kiong itu, sedangkan si kakek yang lain bukan lain adalah Lie Ban Kiam yang punya kekuasaan tinggi pula di dalam Mo Kiong.
Sementara itu Lie Ban Kiam telah memandang sekejap ke sekeliling tempat itu lalu berkata : "Song Loo toa, coba kau lihat sesuai atau tidak kalau kita mulai bergerak pada saat seperti ini..." Song Ceng To termenung berpikir sejenak, kemudian menjawab : "Kalau ditinjau dari tingkah laku perempuan rendah itu, rupanya ia sudah mengetahui akan persoalan kita, tetapi tidak seharusnya begitu cepat tiba di sini.
Sekarang persoalan keselamatan dari Goan Poo Kay- lah yang paling menguatirkan, seandainya kita tidak percepat gerakan kita maka aku rasa posisi agak tidak menguntungkan bagi kita..." "Toako," seru si Utusan Peronda Gunung dengan ketakutan.
"Kita semua menjunjung dirimu sebagai pemimpin, tidak seharusnya kalau kau buang kesempatan untuk menguasai seluruh jago lihay dari laut Tang Hay ini dengan percuma, bila kejadian ini berlangsung di laut Tang Hay maka kau serta aku pasti akan mati sebab di situ sedikit banyak perempuan rendah itu masih mempunyai beberapa orang kepercayaan, tetapi sekarang...
Hmmm!... hampir separuh bagian orang yang ikut keluar adalah orang-orang kita, aku tanggung ia tak akan mempunyai kemampuan besar untuk membendung pemberontakan kita..." "Sudah tentu! sudah tentu!" Song Ceng To mendehem dua kali.
"Cuma saja perempuan cilik itu sejak kecil sudah memperoleh warisan langsung dari ibunya akan ilmu pedang Toei Hoen Sam Kiam meskipun ilmu pedang lautan Tang Hay antara satu keluarga dengan keluarga lainnya mempunyai kelihayan yang berbeda- beda tetapi Tui Hoen Sam Kiam tiga jurus ilmu pedang pengejar nyawa itu merupakan ilmu pedang yang paling ampuh di antara yang lain, bilamana sampai terjadi pertarungan nanti, aku rasa masalah inilah yang paling memusingkan kepala..." "Hmmm! Ilmu pedang tiga jurus pengejar nyawa itu cuma besar namanya belum tentu hebat kenyataannya," seru Lie Ban Kiam sambil mendengus.
"Menurut pengamatanku selama banyak tahun, ilmu silat yang dimiliki perempuan rendah itu tidak seberapa Song Loo toa! Bilamana kau tidak lega hati, pertarungan pertama nanti serahkan saja kepadaku..." "Heeeh...
heeeeh... heeeh... kejadian ini benar-benar merupakan suatu peristiwa aneh," Song Ceng To tertawa seram.
"Perempuan rendah itu selalu menyembunyikan diri rapat-rapat sehingga siapa pun tak tahu sampai di manakah sebenarnya kepandaian silat yang dimiliki, jangan-jangan tiga jurus ilmu pedang pengejar nyawa itu hanya suatu gertak sambal belaka yang dipergunakan mendiang Kiong cu kita untuk menakut-nakuti anak buahnya, sehingga membuat kita jeri dan pecah nyali dan selamanya tak berani memberontak...
Hmmm!... sekarang hatiku barulah menjadi paham..." Belum habis dia berbicara mendadak orang itu membungkam, sinar matanya segera dialihkan ke arah depan dari mana terlihatlah sesosok bayangan manusia dengan kecepatan yang penuh sedang bergerak menuju ke situ.
Air muka Song Ceng To nampak agak berubah, serunya : "Aaaah, It-boen Pit Giok! Kenapa dia pun munculkan diri seperti ini..." Sementara itu It-boen Pit Giok telah di hadapan mereka bertiga, setelah dipandangnya sekejap wajah orang-orang itu dia tertawa hambar dan menegur : "Apakah Kiong cu kalian ada?" "Tidak ada!" sahut Song Ceng To sambil gelengkan kepalanya.
"Kedatangan nona It-boen agak terlambat satu tindak karena ada urusan dia telah pergi..." "Mana mungkin?" It-boen Pit Giok berdiri melengak.
"Kita sudah berjanji untuk berjumpa pada hari ini..." Meskipun dalam hatinya sangsi dan menaruh curiga tetapi mimpi pun ia tak pernah mengira kalau Song Ceng To sedang menipu dirinya, setelah berseru tertahan karena tak habis mengerti ia enjotkan badannya dan berlalu dari situ.
"Song Loo toa, kau telah membohongi dirinya..." bisik Lie Ban Kiam sepeninggalnya gadis itu.
"Sekarang kita sedang bersiap-siap untuk melakukan pergerakan," ujar Song Ceng To dengan wajah serius.
"Bilamana bocah perempuan itu sampai mencampuri pula urusan ini maka pekerjaan kita jadi sulit untuk dilaksanakan.
Dan kini It-boen Pit Giok berlalu, tindakan selanjutnya adalah mengumpulkan segenap kekuatan yang berpihak kepada kita, mari kita lakukan suatu penyergapan secara tiba-tiba sehingga membuat perempuan rendah itu jadi gelagapan tak karuan..." "Betul!" sambung si Utusan Peronda Gunung seraya tertawa seram.
"Song Loo toa kita bertemu lagi di kebun bunga belakang tiga jam kemudian..." Setelah berunding lagi dengan suara lirih, ke-tiga orang itu saling berpisah dan lenyap di balik pepohonan.
*** Cahaya sang surya memancar masuk lewat jendela dan menyinari permukaan yang luas, sesosok bayangan manusia terbias di tengah kilatan cahaya menunjukkan perawakannya yang tinggi.
Dengan pandangan keheranan Pek In Hoei sedang mengamati ruang besar yang indah, mewah, dan megah itu.
Setelah dayang menghidangkan air teh masing-masing pun mengambil tempat duduk.
Dengan sepasang biji mata yang berapi-api Kiong cu melirik sekejap ke atas wajah Pek In Hoei si Jago Pedang Berdarah Dingin, lalu menghela napas dalam- dalam, di atas wajahnya yang terhias senyuman secara mendadak terlapis satu kekesalan dan kemurungan yang tipis.
Terdengar ia tertawa hambar lalu berkata : "Pek kongcu, mengenai persoalan yang menyangkut pedang mustika penghancur sang surya dari partai anda, apakah kau sudah tahu akan asal usulnya serta ikatan budi dan dendam yang terkait dalam hal ini..." "Asal usulnya?" seru Pek In Hoei tertegun.
"Aku belum pernah mendengar akan hal ini..." Kiong cu tertawa.
"Inilah persoalan pertama yang akan kubicarakan dengan kehadiran Pek Kongcu dalam istana kami pada hari ini.
Walaupun nama besar istana Mo Kiong dari laut Tang hay kami jadi tersohor di dalam dunia persilatan karena tindak tanduknya yang bengis dan menakutkan serta pembunuhan-pembunuhan yang mengerikan, tetapi kau harus tahu bahwa sebagian besar korban yang mati di tangan kami adalah termasuk di antara manusia-manusia laknat yang sudah terlalu banyak melakukan kejahatan.
Asalkan seseorang telah memahami keadaan yang sebenarnya dari istana kami maka mereka pasti akan mengetahui apa sebenarnya yang sudah terjadi dengan istana Mo Kiong..." Tatkala Pek In Hoei mendengar bahwa pihak lawannya mengungkap soal pedang sakti penghancur sang surya dari partai Thiam cong, dalam hati merasa tertegun.
Ia mengerti bahwa senjata tajam ini sudah terlalu banyak mengikat tali budi dan dendam di dalam dunia persilatan, tetapi berhubung situasi di dalam dunia kangouw selalu berubah dan kebanyakan orang kangouw masih disibukkan oleh hadirnya beberapa kekuatan baru maka masih jarang sekali ada orang yang menuntut persoalan itu.
Dengan nada tercengang ia segera bertanya : "Persoalan pedang sakti penghancur sang surya yang diungkap Kiong cu, sebenarnya apa yang telah terjadi?" Kiong cu termenung dan berpikir sebentar,kemudian menjawab : "Setelah Si pedang sakti Cia Ceng Gak dengan sebatang pedangnya berhasil mengalahkan ratusan orang jago lihay yang ada di daratan Tionggoan tempo dulu, para partai yang ada di dalam Bu lim segera menjuluki dia sebagai malaikat dari ilmu pedang, tetapi persoalan ini justru telah menggusarkan hati seorang Boe Beng Loo jien kakek tanpa nama yang berdiam di kolam pedang gunung Thian san, orang ini sepanjang masa berlatih pedang dengan tekun dan tak pernah mencampuri urusan kangouw, tetapi justru dikarenakan keyakinannya yang begitu besar terhadap keberhasilannya di dalam ilmu pedang maka setelah mendengar bahwa di dalam dunia kangouw telah muncul seorang jago lihay yang masih muda belia, di samping keinginannya untuk mengalahkan Cia Ceng Gak di ujung pedangnya, dia pun ingin mengingatkan pula kepada seluruh umat Bu lim bahwa di atas puncak gunung Thian san masih terdapat seorang jago pedang yang maha sakti..."
Kiong cu melirik sekejap ke arah Pek In Hoei, setelah berganti napas ujarnya kembali : "Dengan membawa sebilah pedang sakti Leng Pek Kiam dari gunung Thian san si kakek tanpa nama itu langsung menyerbu ke gunung Thiam cong, di situ ia tantang Cia Ceng Gak untuk berduel.
Partai Thiam cong yang jadi tersohor di kolong langit berkat kelihayan Cia Ceng Gak sudah tentu tak ingin pamornya rontok dengan begitu saja, mula-mula mereka kirim jago-jago lihaynya untuk memberitahukan kepada kakek tanpa nama itu bahwa Cia Ceng Gak tak ada di atas gunung, kemudian baru mengutus jago-jagonya untuk bertarung melawan kakek tua itu.
Dalam sekejap mata si kakek tanpa nama telah memukul keok ke- tiga puluh dua orang jago lihay dari partai Thiam cong kemudian menantang Cia Ceng Gak untuk bertemu di puncak Soe Sim Hong gunung Huang san, apabila ia tidak datang maka julukannya sebagai si pedang sakti dipersilahkan dihapus dari muka Bu lim, kalau tidak maka partai Thiam cong harus menutup pintu mengasingkan diri.
Selesai berpesan demikian sambil tertawa terbahak-bahak pergilah si kakek tanpa nama itu.
Pek In Hoei yang mendengar sampai di sini segera merasakan hatinya tergetar keras, selanya : "Sucouw ku apakah menepati janji dan mengadakan pertemuan dengan si kakek tanpa nama di puncak Soe Sim Hong gunung Huang san..." Kiong cu menghela napas panjang.
"Selama hidupnya sucouwmu berlatih pedang dengan tekun dan rajin, tentu saja ia tak mau menghadiahkan julukan si pedang sakti yang diperolehnya dengan susah payah itu kepada orang lain dengan percuma, sekembalinya ke gunung Thiam cong dan mendengar tantangan tersebut, saking kheki dan mendongkolnya selam tiga hari ia tak mau berbicara dengan siapa pun juga.
Seorang diri ia menutup diri di belakang gunung untuk berlatih tiga gerakan terakhir dari ilmu pedang Thiam cong Kiam hoat.
Pada keesokan hari ke-enam setelah meninggalkan tulisan seorang diri ia berangkat ke puncak Soe Sim Hong gunung Huang san..." Berbicara sampai di sini Kiong cu merandek sejenak, setelah memandang sekejap ke atas wajah Pek In Hoei terusnya : "Ketika ia tiba di puncak Soe Sim Hong si kakek tanpa nama itu sudah menanti lama sekali di situ.
Begitu Cia Ceng Gak berjumpa dengan kakek tanpa nama itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia segera cabut keluar pedangnya dan bertarung melawan kakek tersebut.
Siapa tahu baru saja lewat tiga jurus pedang milik Cia Ceng Gak sudah terbabat kutung oleh senjata mestika si kakek tanpa nama.
Sadarlah Cia Ceng Gak bahwa senjatanya tak mampu menandingi milik orang, maka setelah meninggalkan beberapa patah kata dengan menunggang perahu ia menuju ke laut Tang hay..." "Menang kalah belum ditentukan, mau apa sucouwku berangkat ke laut Tang hay?" tanya Pek In Hoei tertegun.
Dari catatan sebuah kitab ilmu pedang Cia Ceng Gak mendapat tahu bahwa jauh di dasar samudra Tang hay terdapat sebilah pedang mestika yang amat tajam, untuk membalas dendam atas patahnya pedang di ujung senjata si kakek tanpa nama, ia bersumpah akan menemukan pedang sakti itu dari dasar laut Tang hay, tetapi dalam catatan ilmu pedang itu tidak ditegaskan di manakah persis letaknya pedang itu.
Untuk mencari sebilah pedang di tengah samudra yang luas tentu saja bukan pekerjaan yang gampang.
Dalam keputusasaannya berangkatlah Cia Ceng Gak menuju ke istana Mo kiong kami, di kebun bunga belakang ia berjumpa dengan ibuku.
Sebagai pemuda yang berwajah tampan lagi pula seorang ahli dalam bercinta akhirnya ia mengikat tali perkawinan dengan ibuku..." Sebagai seorang gadis remaja yang baru meningkat dewasa, tatkala berbicara sampai di sini air mukanya tanpa terasa berubah jadi merah padam, suaranya jadi lirih dan kepalanya tertunduk rendah-rendah, sambil mempermainkan ujung baju terusnya kembali : "Walaupun ibuku belum pernah meninggalkan laut Tang hay barang satu langkah pun, tetapi terhadap semua kejadian yang berlangsung di daratan Tionggoan mengetahui jelas bagaikan melihat jari tangan sendiri, setelah beliau mengetahui bahwa maksud tujuan Cia Ceng Gak mengarungi samudra datang ke laut Tang hay adalah untuk mencari pedang sakti yang tenggelam di dasar lautan, maka dengan suatu kesempatan dengan memberanikan diri ibuku telah mencuri kitab catatan benda aneh di luar lautan milik kakekku.
Sedikit pun tidak salah, dalam catatan kuno itulah mereka berhasil menemukan letak yang persis dan tepat dari pedang sakti penghancur sang surya itu..." "Apa" Pedang sakti yang dicari Sucouwku adalah pedang mestika penghancur sang surya..." hampir saja Pek In Hoei meloncat bangun saking kagetnya.
Kiong cu tersenyum manis.
"Apanya yang aneh" Meskipun Cia Ceng Gak memiliki kepandaian silat yang maha sakti tetapi ia tak memiliki sebilah pedang mestika yang ampuh, kalau tidak mana ia bisa jatuh kecundang di tangan kakek tanpa nama.
Untuk memenuhi harapan dari Cia Ceng Gak, di luar pengetahuan engkongku secara diam- diam ibuku telah mengumpulkan tiga belas orang penyelam yang terbaik, dengan diawasi sendiri berangkatlah mereka mencari pedang mestika tersebut.
Siapa tahu meskipun pedang sakti penghancur sang surya berhasil didapatkan tetapi karena peristiwa itulah telah mengundang datangnya satu bencana besar di laut Tang hay.
Kiranya pedang sakti penghancur sang surya ini dahulunya adalah senjata ampuh milik Sie Jiet Coen cu untuk menaklukkan iblis di dasar lautan Timur yang disebut kerbau laut, dalam suatu pertarungan kerbau- kerbau laut itu berhasil dipaksa masuk ke dalam sebuah liang es, dengan cahaya tajam dari pedang sakti itulah kerbau-kerbau laut itu dikekang kehebatannya.
Setelah pedang sakti itu dicabut maka kerbau laut itu pun munculkan diri kembali di dalam samudra dan kehadiran dari makhluk aneh itu telah menimbulkan gelombang pasang yang amat dahsyat, bukan saja air pasang jadi tinggi bahkan seratus buah perahu nelayan yang berada di sekeliling tempat itu telah tenggelam ke dasar laut termakan ombak.
Ibuku yang membawa pedang sakti penghancur sang surya berhasil lolos dari bahaya maut, tetapi ke-tiga belas ahli penyelam itu semuanya tewas ditelan Kerbau laut.
Kejadian ini setelah diketahui engkongku, dia orang pun jadi teramat murka, ibuku seketika dikurung dan kepada Cia Ceng Gak didesaknya agar menyerahkan kembali pedang sakti penghancur sang surya itu.
Tentu saja Cia Ceng Gak tak mau menyerah dengan begitu saja hingga suatu pertempuran sengit segera berlangsung.
Cia Ceng Gak tidak ingin melukai orang, dengan membawa pedang sakti itu buru-buru dia kembali ke daratan Tionggoan dan langsung menuju ke puncak gunung Thian san untuk menantang si kakek tanpa nama berduel.
Kendati pedang sakti Leng Pek Kiam adalah sebilah pedang mestika, namun senjata itu bukan tandingan pedang sakti penghancur sang surya, dalam jurus yang ke-tiga pula pedangnya terpapas putus oleh senjata Cia Ceng Gak.
Dalam terkejut serta gusarnya si kakek tanpa nama muntah darah tiga kali, dengan membawa rasa dendam dan sakit hati berlalulah orang itu dari tempat tinggalnya, sejak itu tiada kabar beritanya lagi dan mungkin ia telah bersembunyi karena malu bertemu dengan orang..." Dalam waktu singkat ia telah menyelesaikan kisah ceritanya, wajah gadis itu pun mulai terpengaruh oleh perasaan hingga dari kelopak matanya nampak titik air mata.
Setelah menghela napas panjang, ujarnya dengan sedih : "Dengan pedang mestika itu Cia Ceng Gak berhasil menuntut balas atas sakit hatinya, tetapi ibuku justru kena dicelakai, dalam penjara ia tak dapat melupakan diri Cia Ceng Gak, setiap hari ia berharap agar kekasihnya bisa datang berkunjung ke laut Tang hay untuk menjenguk dirinya, perpisahan yang tergesa- gesa menimbulkan rasa rindu yang amat tebal.
Siapa tahu kepergian Cia Ceng Gak sama sekali tak ada kabar beritanya, bahkan sepucuk surat pun tidak ada yang melayang tiba.
Pek kongcu! Coba lihat bukankah sucouwmu itu terlalu tak ada perasaan..." Pek In Hoei tidak menyangka kalau di balik persoalan ini masih terkandung masalah yang demikian rumit dan kacaunya, mendengar pertanyaan itu ia jadi tertegun, pelbagai ingatan dengan cepat berkelebat di dalam benaknya.
"Seandainya apa yang ia katakan semuanya adalah kenyataan, maka tindakan Sucouw pada masa yang silam memang termasuk tiada perasaan," pikirnya di dalam hati.
"Tetapi aku sebagai anak murid partai Thiam cong, tidaklah pantas kalau mengatakan hal yang bukan-bukan mengenai sucouwku sendiri..." "Tentang soal ini...
tentang soal ini..." serunya gelagapan.
Kiong cu tertawa dingin, ujarnya kembali : "Sucouwmu begitu tak berbudi dan tak berperasaan membuat ibuku merasa amat menyesal.
Sesaat sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir ia berpesan kepadaku agar mencari jejak dari Cia Ceng Gak dan menuntut balaskan sakit hati ibu yang telah meninggal, atau kalau tidak tarik kembali pedang sakti penghancur sang surya dan dikembalikan ke dasar laut Tang hay, agar peristiwa ini dapat cepat beres.
Tetapi... berhubung kabar berita mengenai Cia Ceng Gak masih belum menentu, maka terpaksa pun Kiong cu harus mengundang kehadiranmu untuk menyelesaikan masalah ini..." "Meskipun aku memperoleh peninggalan pedang mestika penghancur sang surya dari sucouwku tetapi aku sendiri pun tidak tahu akan mati hidup dari Sucouw dia orang tua," ujar Pek In Hoei dengan nada sedih.
"Seandainya Kiong cu memang bersikeras hendak menarik kembali pedang mestika penghancur sang surya ini, bagaimana kalau kau tunggu dulu sampai aku berhasil membalaskan dendam sakit hati ayahku serta membangun kembali partai Thiam cong..." "Tujuanku yang paling penting di dalam perjalanan jauhku datang ke daratan Tionggoan adalah mencari kabar berita mengenai Cia Ceng Gak," kata Kiong cu dengan hambar.
"Sekalipun dia sudah mati, aku pun harus menggali tulang belulangnya..." Mendadak Pek In Hoei merasakan hatinya bergolak keras, suatu tekanan batin yang aneh timbul di dalam benaknya.
"Apakah kau pun ikut membenci sucouwku..." tanyanya.
"Tentu saja," sahut Kiong cu sambil tertawa dingin.
"Aku sangat mencintai ibuku, maka aku pun ikut membenci akan ketidak berperasaannya Cia Ceng Gak, sebab sedari kecil aku sudah ketularan sifat-sifat dari ibuku.
Terhadap pelbagai persoalan aku bisa memandang dengan gembira, bisa pula memandang dengan kemurungan.
Mungkin kau merasa bahwa hal ini sangat aneh, tetapi kenyataan memang demikian..." Berbicara sampai di sini ia berpaling sekejap ke kiri kanan, tiba-tiba teriaknya : "Siauw Coei!" Buru-buru Coei Coei lari ke depan, tanyanya sambil memberi hormat : "Kiong cu, kau ada petunjuk apa?" "Coba kau pergilah keluar dan coba tengok apakah adik It-boen sudah datang atau belum?" Coei Coei memberi hormat dalam-dalam dan segera mengundurkan diri dari situ.
Sepeninggalnya dara berbaju putih tadi, dengan pandangan mata yang tajam bagaikan sebilah pisau belati ia menatap sekejap wajah Pek In Hoei, lalu tanyanya dengan nada sedih : "Dari pembicaraan adik It-boen aku dengar bahwa di depan perkampungan Thay Bie San cung kau pernah menghancurkan dua puluh empat buah lentera merahnya, hingga membuat ke-tiga orang dewa panjang usia dari lautan merasa amat terperanjat, Pek kongcu benarkah pernah terjadi peristiwa semacam ini?" Tatkala Pek In Hoei mendengar secara tiba-tiba Kiong cu dari Istana Mo Kiong mengungkap tentang persoalan ini hatinya jadi tertegun, dalam waktu singkat bayangan wajah seorang gadis yang dingin dan ketus tertera nyata di dalam benaknya, senyum serta dengusan gusar It-boen Pit Giok dengan begitu nyata tertera di dalam benaknya...
Pengusung Jenazah 1 Pendekar Bayangan Sukma 13 Sumpit Nyai Loreng Tangan Geledek 1
^