Pencarian

Imam Tanpa Bayangan 5

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 5


"Bangsat..." teriaknya dengan penuh kegusaran.
"Ular sialan, sudah modar pun kau masih tidak terima..." Dalam genggamannya tercekal potongan ular yang barusan dibetot putus itu, sedangkan pada moncong ular yang telah putus tadi tergigit segumpal daging yang berlumuran darah.
Semua orang dalam ruangan itu jadi amat terperanjat, terlihatlah kaki Song Kim Toa Lhama telah terluka lebar, segumpal dagingnya copot tergigit ular tadi sehingga darah segar mengucur keluar tiada hentinya membasahi seluruh celana dan permukaan tanah.
Pendeta itu gusar bercampur mendongkol, dengan rasa penuh kebencian digenggamnya kepala ular yang telah terpotong tadi lalu dipencet sekeras- kerasnya hingga hancur berhamburan di atas tanah, setelah itu cepat-cepat ia ambil keluar sebutir pil dan dimasukkan ke dalam mulutnya, hawa murni disalurkan mengelilingi seluruh tubuh berusaha melawan cairan racun ular yang telah menyusup ke dalam badannya itu.
Melihat Song Kim Toa Lhama terluka, Hee Giong Lam segera tertawa terbahak-bahak dengan hati gembira, serunya : "Ular hijauku adalah termasuk salah satu makhluk paling beracun yang ada di kolong langit, meskipun ilmu silatmu sangat lihay, jangan harap hawa murnimu sanggup melawan daya kerja racun keji yang sangat dahsyat itu.
Haaaah... haaaah... haaaah... hidupmu tak akan lebih lama dari lima jam lagi..." Sekujur tubuh Song Kim Toa Lhama gemetar keras setelah mendengar ancaman ini, tergopoh-gopoh ia duduk bersila di atas tanah dan menggunakan sim hoat tenaga lweekangnya ia berusaha memaksa keluar racun ular yang mulai menyebar ke seluruh tubuhnya itu.
Dalam pada itu Tauw Meh yang menyaksikan Song Kim Toa Lhama menderita luka racun yang begitu parahnya lantaran hendak menolong dirinya, dalam hati merasa teramat sedih, ia segera menenteramkan hatinya dan selangkah demi selangkah berjalan mendekati tubuh Rasul Racun Hee Giong Lam dengan wajah penuh napsu membunuh.
"Makhluk racun tua!" serunya sambil tertawa dingin, pedangnya diangkat menghadap ke angkasa.
"Cepat serahkan obat pemunahnya kepadaku..." "Hmmm! Tidak semudah itu kawan..." Tauw Meh membentak gusar, pedangnya sambil bergetar maju dua langkah ke depan.
Dalam sekejap mata tampaklah cahaya tajam yang berkilauan mengelilingi seluruh tubuhnya.
Di tengah kerlipan cahaya berkilauan itulah kembali ia menghardik : "Rupanya kau pengin modar..." Criiiit....! Criiiit.....! Cahaya pedang membumbung ke angkasa, sekilas cahaya tajam menembusi udara mengancam tubuh lawan.
Di tengah desiran tajam laksana kilat ujung pedangnya menusuk ulu hati Hee Giong Lam.
Si Rasul Racun ini meraung keras, telapak kirinya didorong ke depan, segumpal hawa pukulan yang amat dahsyat bagaikan guntur membelah bumi meluncur ke muka menyongsong kedatangan titik cahaya pedang musuh.
Telapak tangan yang diluncurkan ke muka tadi secara mendadak berubah jadi merah membara, bagikan sebuah jepitan baja yang membara diiringi hawa panas yang menyengat badan segera menggulung ke arah muka.
Cahaya pedang yang dipancarkan Tauw Meh setelah termakan oleh pukulan 'Hiat Chiu Eng' yang amat berat itu seketika tak sanggup menahan diri, badannya mundur empat lima langkah ke belakang sementara pedangnya hampir saja terlepas dari genggamannya.
Sekalipun begitu pantulan cahaya kilat yang terpancar keluar diiringi suara desiran tajam itu masih tetap meneruskan daya luncurnya ke arah depan...
Melihat pukulan 'Hiat Chiu Eng' yang ia pancarkan hanya sanggup menahan sebentar bayangan pedang lawan, Hee Giong Lam merasa amat terperanjat.
Ujung jubahnya segera dikebaskan keluar, bagaikan bayangan setan ia meluncur ke angkasa, di tengah udara ia membentak keras, telapak kirinya diayun mengirim satu pukulan sementara lima jari tangan kanannya dengan memancarkan lima buah jalur hawa hitam menyebar ke seluruh kalangan.
Tauw Meh terkesiap, satu ingatan dengan cepat berkelebat dalam benaknya : "Hee Giong Lam tersohor di kolong langit karena pukulan-pukulan beracunnya, hawa hitam yang dipancarkan dari jari tangan tersebut pasti mengandung hawa racun yang hebat, kalau aku harus beradu kekerasan dengan dirinya perbuatan ini boleh dibilang terlalu menempuh bahaya..." Ingatan tersebut bagaikan sambaran kilat berkelebat di dalam benaknya, buru-buru Tauw Meh tarik kembali pedangnya sambil meloncat mundur ke belakang, teriaknya : "Tok heng, mari kita bereskan dahulu bangsat ini!" Sementara itu tubuh Tok See laksana busur yang melengkung berkelebat menembusi angkasa, pedang di dalam genggamannya dengan menciptakan selapis cahaya hijau segera membabat ke atas batok kepala Rasul beracun itu.
Menghadapi serangan dua orang musuh dari arah yang bertentangan, Hee Giong Lam segera membentak gusar : "Bangsat yang tidak tahu malu..." Tubuhnya yang tinggi besar mendadak meloncat ke tengah udara, berada di angkasa ia merandek sejenak, dengan gerakan yang manis itulah ia berhasil melepaskan diri dari ancaman kedua bilah cahaya pedang itu tanpa mengalami cedera apa pun.
*** Bagian 20 TETAPI Tok See serta Tauw Meh adalah sepasang jago pedang yang punya pengalaman luas dalam pertarungan, tubuh mereka tiba-tiba merandek sementara sepasang pedang itu segera berubah posisi dan mengejar ke atas, cahaya pedang berkilauan dari dua arah yang berbeda segera menggulung ke satu sasaran yang sama.
Kendati Hee Giong Lam adalah seorang ketua dari perguruan seratus racun, apa daya kepandaian silat dari kedua orang pemuda ini memang lihay sekali,ia jadi terkesiap dan satu ingatan dengan cepat berkelebat dalam benaknya.
Ia berpikir di dalam hati : "Menyaksikan aku diserang oleh dua orang musuh tangguh si Ular asap tua sama sekali tiada bermaksud membantu diriku, jelas ia ada maksud menyusahkan diriku.
Rasanya tak ada gunanya aku berdiam terlalu lama disini, lebih baik di kemudian hari saja kutuntut balas atas hutang piutang pada hari ini..." Mendadak ia melancarkan empat buah serangan berantai diikuti dilepaskan pula beberapa pukulan dengan kekuatan yang berbeda, memaksa Tauw Meh serta Tok See terdesak mundur beberapa langkah ke belakang, menggunakan kesempatan itulah ia melayang ke udara kemudian meluncur keluar ruangan.
Si Huncwee gede Ouw-yang Gong segera mengerutkan dahinya, ia memaki : "Anak jadah cucu monyet, kau mau ngeloyor kemana..." Pada saat ini Hee Giong Lam telah mengambil keputusan untuk melarikan diri dari situ, ia mendengus dingin, tubuhnya yang berada di tengah udara secara beruntun berganti beberapa gerakan, meskipun kepandaian Tauw Meh serta Tok See cukup ampuh, tak urung kecepatan mereka rada terlambat setindak.
Sambil membabatkan pedangnya ke tengah angkasa, Tok See membentak keras : "Kau pengin lari dengan begini saja?" Tidak gampang..." Baru saja ucapan itu selesai diutarakan mendadak terlihatlah tubuh Hee Giong Lam yang sedang meluncur di angkasa melayang ke atas tanah, diikuti sebilah pedang menerobos masuk dari luar pintu, hampir saja menyayat wajah Rasul Racun itu.
BAYANGAN manusia berkelebat lewat, seorang pemuda tanpa mengeluarkan sedikit suara pun munculkan diri dalam ruang tengah, di tangan kanannya mencekal sebilah pedang sedang matanya dengan pandangan dingin menatap wajah Rasul Racun itu tajam-tajam.
Terdesak balik oleh babatan pedang orang hingga tubuhnya terpaksa kembali ke tempat semula, Hee Giong Lam merasa amat terperanjat, tetapi setelah dilihatnya pemuda itu sedang menatap ke arahnya dengan pandangan dingin, hawa gusarnya kontan berkobar.
"Siapa kau?"" tegurnya sambil mendengus dingin.
Pemuda itu tidak menjawab, hanya dengan pandangan dingin ia melirik sekejap ke arah Song Kim Toa Lhama yang sedang duduk bersila di atas tanah, sinar matanya menunjukkan perasaan tidak percaya.
Buru-buru Tok See tarik kembali serangannya sambil meloncat mundur ke belakang, sapanya dengan hormat : "Jie Thay-cu..." Lie Peng mengangguk.
"Song Kiem-toa Kok-su, bagaimana keadaan lukamu?"" tegurnya.
Pada saat itulah Song Kim Toa Lhama membuka matanya dan menyapu sekejap ke arah Hee Giong Lam dengan pandangan membenci, perlahan-lahan ia bangun berdiri dari atas tanah.
"Seandainya aku tidak memiliki ilmu Ga Lan Thay Hoat dari Tibet, mungkin sedari tadi jiwaku sudah melayang! serunya dengan hati penasaran.
Dengan pandangan gusar Lie Peng melirik sekejap ke arah Hee Giong Lam, lalu ujarnya : "Orang ini berani melukai toa Kok-su, Hmmm! ini hari aku Jie Thay-cu bersumpah akan mencabut jiwanya.
Ayoh! Siapa di antara kalian yang mau menangkap keparat ini..." Tauw Meh serta Tok See bersama-sama menggerakkan tubuhnya maju ke depan dan mengepung Hee Giong Lam rapat-rapat.
Sementara itu Hee Giong Lam sendiri setelah mendengar pemuda yang berada di hadapannya bukan lain adalah keturunan dari dari Kaisar dewasa ini, pangeran kedua Lie Peng, hatinya merasa bergetar keras sekalipun dia adalah seseorang dedengkot dalam ilmu racun tetapi berada di hadapan pangeran tingkah lakunya tak berani keterlaluan.
"Siapa yang berani maju ke depan, aku segera akan melepaskan racun tanpa bayangan..." ancamnya dengan nada dingin.
Ouw-yang Gong yang berada di samping segera berkaok-kaok keras, teriaknya : "Anjing sialan anak monyet, kau apa tak bisa menghajar dirinya..." "Hmmmm, kembali kau si ular asap tua bikin gara- gara..." maki Lie Peng sambil melotot ke arah kakek konyol.
"Maknya!" kontan Ouw-yang Gong memaki kalang kabut sambil melototkan matanya bulat-bulat.
"Aku ular asap tua masa dikatakan tukang bikin gara- gara..." Pangeran kedua Lie Peng ini walaupun dalam dunia persilatan tidak punya nama, tapi dalam kerajaan dan terutama dalam keraton mempunyai kekuasaan yang amat besar, melihat si huncwee gede Ouw-yang Gong memaki orang seenaknya sendiri, seketika itu juga hawa amarahnya berkobar.
Dengan wajah berubah hebat bentaknya penuh kegusaran : "Ouw-yang Gong, kau lagi ngaco belo apaan?"?" Song Kim Toa Lhama mengerti Ouw-yang Gong jago untuk bersilat lidah, untuk menghindari si kakek konyol itu mengucapkan kata-kata yang lebih tak enak didengar, buru-buru meloncat ke arah depan.
Makinya dengan wajah berubah jadi dingin : "Hey si ular asap tua, kau jangan lupa dengan perjanjian di antara kita..." Selama hidupnya Ouw-yang Gong paling takut dikata orang tidak pegang janji, setelah ilmu silatnya kalah di tangan pendeta tersebut ia pernah menyanggupi untuk menantikan hukuman dari Song Kim Toa Lhama kecuali kalau dalam perjalanan menghadap Jie thay- cu, ada orang berhasil mengalahkan padri itu, maka perjanjian tadi kan dianggap batal.
Mendapat teguran dengan hati sedih dan badan lemas Ouw-yang Gong kontan membungkam dalam seribu bahasa dan tundukkan kepalanya rendah-rendah.
Tentu saja Hee Giong Lam tidak tahu akan persoalan antara Ouw-yang Gong dengan Song Kim Toa Lhama, melihat ada kesempatan baik yang bisa digunakan senyuman gembira segera terlintas di atas wajahnya yang adem dan kaku itu.
Ia tertawa seram dan berseru : "Ouw-yang Gong, ayoh kita berdua sama-sama menerjang keluar dari tempat ini kemudian baru mencari kesempatan untuk membalas dendam terhadap mereka..." "Hmmmm...
Hmmmm... terlalu polos jalan pikiranmu," jengak Song Kim Toa Lhama dingin.
"Sayang persoalan tidak akan segampang seperti apa yang kau pikirkan..." Lengannya direntangkan, segulung bayangan telapak laksana tindihan sebuah bukit membabat keluar.
Hee Giong Lam segera menggeserkan tubuhnya berkelit ke samping, teriaknya dengan nada gusar: "Kaa anggap aku jeri terhadap dirimu..." Pada saat ini ia telah sadar bahwa untuk menerjang keluar dari kepungan bukanlah satu persoalan yang gampang, karena itu segera timbullah ingatan untuk untung-untungan melakukan pertarungan adu jiwa.
Demikianlah tanpa menyahut atau mengeluarkan sedikit suara pun sepasang telapaknya mendadak direntangkan ke kiri dan kanan, dengan kecepatan laksana sambaran kilat ia serang Song Kiem Toa Lhama serta pangeran kedua Lie Peng pada saat yang bersamaan.
Air muka Padri itu kontan berubah hebat.
"Kau berani!" teriaknya.
Dengan menggunakan ilmu 'Thian Liong Ciang' suatu kepandaian sakti aliran Tibet ia lancarkan satu pukulan yang cepat dan berat.
Tapi... walaupun reaksi serta gerakannya dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa, namun gagal juga maksudnya untuk menghalangi serangan telapak yang ditujukan ke arah tubuh Lie Pang tersebut, hal ini membuat padri ini saking cemasnya segera meraung gusar.
Ketika itu Tauw Meh berdiri paling dekat dengan Jie Thay cu, ketika menyaksikan Lie Peng terancam mara bahaya tanpa memikirkan keselamatan sendiri lagi ia segera meloncat ke depan, seluruh tubuhnya menghadang di hadapan Jie Thay cu sementara pedangnya laksana kilat membabat keluar...
Bluuuk ! di tengah benturan keras, Tauw Meh merasakan kepalanya pusing tujuh keliling dan matanya berkunang-kunang, tubuhnya yang bsar terpental beberapa langkah ke belakang setelah termakan oleh pukulan yang maha dahsyat itu, tidak ampun lagi darah segar muncrat keluar dari mulutnya.
Dalam pada itu Hee Giong Lam sendiri pun terpaksa harus menarik banyak kekuatan serangannya berhubung menghadapi serangan adu jiwa yang dilancarknn oleh Song Kim Toa Lhama, walaupun ia berhasil menyarangkan kepalannya di atas tubuh Tauw Meh, tapi dia sendiripun terbabat tubuhnya oleh sabetan pedang Tauw Meh sehingga menimbulkan mulut luka yang panjang.
Ia menjerit kesakitan kemudian meraung gusar, tubuhnya buru-buru meloncat ke arah samping meloloskan diri dari ancaman berikutnya yang hampir menempel di badannya, dengan demikian pukulan Song Kim Toa Lhama segera mengenai sasaran yang kosong.
Dengan sempoyongan tubuh Tauw Meh maju beberapa langkah ke depan kemudian roboh terjengkang, tapi Jie Thay cu Lie Peng yang berada di dekatnya dengan cepat menyanggah badannya kemudian memayang bangun.
Terlihatlah wajah Tauw Meh telah berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, darah segar muntah keluar terus dari mulutnya.
Lie Peng si pangeran kedua segera menepuk-nepuk bahunya seraya menghibur : "Kau berjasa besar karena melindungi pun Thay cu dari bahaya ancaman musuh, aku pasti akan menaikkan pangkatmu..." Tauw Meh jadi teramat girang mendengar janji tersebut, seketika itu juga ia lupa kalau luka dalam yang sedang dideritanya amat parah, sembari membesut darah kental yang menetes keluar di ujung bibirnya buru-buru ia menjura menyatakan rasa terima kasihnya.
"Terima kasih atas anugerah dari Thay Cu..." Perlahan-lahan Lie Peng alihkan kembali sinar matanya ke tengah kalangan, pedang dalam genggamannya digetarkan keras sehingga mendengung nyaring, setelah membentuk lingkaran cahaya yang amat besar terpancarlah suara pekikan naga yang memekakkan teling.
Ia tertawa keras. "Haaaah... haaaah... haaaah... aku akan membinasakan dirinva dengan tanganku sendiri, agar sakit hatimu bisa terbalas..." Tubuhnya segera meloncat ke depan, setelah melewati bayangan tubuh Song Kim Toa Lhama serta Tok See pedangnya laksana kilat membabat ke arah tubuh lawan.
Sementara itu Hee Giong Lam di bawah serangan gencar dari Song Kim Toa Lhama serta Tok See sudah mulai keteter hebat dan menunjukkan tanda-tanda tidak kuat menahan diri, sekarang setelah bertambah pula dengan hadirnya Lie Peng dalam pertarungan, keadaannya semakin payah.
Akhirnya ketika melihat Ouw-yang Gong tidak ada maksud membantu, dengan hati penasaran segera teriaknya dengan penuh kegusaran : "Ouw-yang Gong, kau sudah modar?" Sebaliknya Ouw-yang Gong sendiri merasa amat bergirang hati setelah dilihatnya Hee Giong Lam dipukul sampai keteter hebat, ia hisap huncweenya berulang kali lalu perlahan-lahan menyemburkan asapnya ke udara.
"Haaaah... haaaah... haaaah... Hee Giong Lam!" jengeknya sambil tertawa tergelak.
"Aku si ular asap tua tak dapat membantu dirimu..." Matanya segera melirik sekejap ke arah si Telapak naga Goei Peng yang bersandar di tubuh Cho Ban Tek kemudian tertawa ringan.
Melihat lirikan tersebut si telapak naga Goei Peng segera mendongak dan menghardik dengan penuh kegusaran : "Kau mau apa?" "Neneknya!..." maki Ouw-yang Gong dengan mata mendelik.
"Siapa suruh matamu memandang kemari dengan melotot besar seperti jengkol" Kalau aku si ular asap tua tidak merasa kasihan karena melihat keadaanmu yang mengenaskan sebetulnya dan sudi untuk memberitahukan kepadamu, kalau pengin selamat cepatlah bopong suhengmu itu dan pergilah ke lembah selaksa racun mencari Hee Siok Peng, hanya dia yang dapat menyelamatkan jiwa suhengmu..." Si telapak naga Goei Peng sangsi sebentar, kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun segera membopong tubuh Cho Ban Tek dan keluar dari ruangan.
"Hey si ular Asap Tua, aku sudah tak kuat..." Hee Giong Lam benar-benar keteter hebat, napasnya sudah tersengkal-sengkal dan tubuhnya sudah tak kuat bertahan lebih jauh, asalkan waktu berlangsung lebih lama lagi niscaya ia bakal mati di ujung pedang gabungan tiga orang jago lihay itu.
Ouw-yang Gong tertawa mengejek, sementara ia hendak menyindir Hee Giong Lam dengan beberapa kata pedas, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras berkumandang datang dari luar ruangan.
"Tahan..." Bentakan yang keras dan berat bagaikan guntur membelah bumi di siang hari bolong ini menggetarkan seluruh permukaan bumi dan menggoncangkan bangunan rumah itu, begitu dahsyat suaranya sampai menghentikan pertarungan sengit yang sedang berlangsung di tengah kalangan.
Hee Giong Lam bagaikan ayam jago yang kalah bertarung buru-buru tarik napas dalam-dalam, hawa murni yang tersisa dalam tubuhnya berusaha dipulihkan kembali secepat mungkin, agar bilamana perlu ia dapat mempergunakannya untuk menerjang keluar dari ruangan tersebut.
Bersamaan dengan bergeletarnya suara bentakan tadi, seorang pemuda berwajah dingin laksana sukma gentayangan melayang masuk ke dalam, begitu melihat siapakah orang itu semua jago yang hadir dalam ruangan tersebut kontan merasakan hatinya bergetar keras, suasana pun untuk sesaat menjadi hening.
Hanya Ouw-yang Gong seorang yang dapat tertawa terbahak-bahak, terdengar ia berseru : "Pek In Hoei, hampir saja aku si ular asap tua dibikin mati karena gelisah menantikan kedatanganmu!" Pek In Hoei tertawa hambar.
"Ular asap tua, rupanya manusia-manusia yang menjemukan ini kembali mencari gara-gara terhadap dirimu.
Hmmm! Ini hari aku si Jago Pedang Berdarah Dingin pasti akan menghajar dan memberi pelajaran kepada manusia-manusia yang tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi ini, agar mereka tahu bahwa sahabat dari Jago Pedang Berdarah Dingin bukanlah manusia yang bisa dianiaya serta dipermainkan dengan seenaknya..." Air muka Lie Peng si pangeran kedua kontan berubah hebat.
"Kau benar-benar hendak memusuhi diriku..." serunya.
"Di dalam dunia persilatan yang dibicarakan hanya perbedaan antara budi dan dendam, berulang kali kau mengejar dan menganiaya si ular asap tua Ouw-yang Gong sudah tentu hutang ini harus kutuntut balas terhadap dirimu..." Pangeran kedua Lie Peng tertawa sedih, dalam sorot matanya yang mendalam tiba-tiba terpancar rasa benci yang amat sangat, tertawa seram terdengar memecahkan kesunyian.
Setelah si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei munculkan diri di tempat itu bagaikan sukma gentayangan,si Rasul Racun Hee Giong Lam pun terbebas dari teteran musuh yang hampir saja merenggut selembar jiwanya tanpa terasa ia terbayang kembali keadaan di saat Pek In Hoei untuk pertama kalinya memasuki lembah seratus racun, dimana ketika itu dia masih seorang anak kecil, siapa tahu dalam waktu singkat pemuda itu telah bangkit menjadi seorang jago Bu lim yang lihay bahkan berhasil memperoleh julukan sebagai si Jago Pedang Berdarah Dingin.
Kemajuan ilmu silat yang demikian pesatnya ini membuat si gembong iblis tua yang selama hidupnya suka bermain racun ini merasa takut bilamana kedatangannya Pek In Hoei ke situ adalah untuk mencari balas terhadap dirinya...
Dengan cepat ia berpikir dalam hatinya : "Aku harus berusaha untuk mendapatkan persesuaian pendapat dengan si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei agar dapat bersama-sama menghadapi rombongan Lie Peng si pangeran kedua ini, setelah itu baru berusaha untuk melenyapkan Pek In Hoei dari muka bumi...
Ingatan ini berkelebat dengan cepatnya dalam benak gembong iblis tua itu, tatkala pikiran kedua baru saja meluncur keluar, tiba-tiba ia merasakan ada dua sorot pandangan mata yang dingin sedang menatap ke arahnya tanpa emosi.
Hatinya bergetar keras, tanpa sadar ia berpaling ke samping.
Terlihatlah si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei sedang memandang ke arahnya dengan penuh napsu membunuh, sedikit pun tiada perasaan bersahabat atau simpatik.
"Sungguh tajam pandangan mata orang ini..." Itulah bayangan pertama yang berkelebat dalam benaknya, dengan hati terkesiap Rasul Racun she Hee ini segera berseru : "Pek In Hoei, kenapa kau memandang aku dengan cara begitu?" Pek In Hoei maju selangkah ke depan kemudian tertawa dingin.
"Aku ingin menemukan raut wajah kejam di atas wajahmu itu, bagi manusia tanpa rasa perikemanusiaan barang sedikitpun semacam kau setiap saat bisa muncul pelbagai raut wajah yang berbeda dan di mana pun terdapat senyuman manis yang menyembunyikan kedok kekejian hatimu..." Dimaki kalang kabut oleh seorang pemuda di hadapan orang banyak, hawa amarah dalam hati Hee Giong Lam segera berkobar.
Dengan hati jengkel telapak tangannya diayun ke depan melancarkan satu pukulan.
Blaaaam! terdengar suara ledakan bergeletar memecahkan kesunyian, di atas permukaan tanah segera muncul sebuah liang besar yang amat dalam, debu dan pasir beterbangan menutupi mata.
"Pek In Hoei, apa maksudmu?" teriaknya gusar.
Dengan nada menghina Pek In Hoei tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... di antara kita berdua masih terdapat hutang piutang yang belum diselesaikan, tunggu sajalah setelah kugebah pergi manusia-manusia latah yang mengaku sebagai jago lihay kelas satu dari dunia persilatan ini, kita selesaikan hutang piutang tersebut..." "Heeeh...
heeeh... heeeeh... mungkin tidak segampang itu..." seru Hee Giong Lam sambil tertawa dingin.
Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei mendengus dingin, perlahan-lahan ia cabut keluar pedang sakti penghancur sang surya yang tersoren di atas punggungnya,dalam sekali getaran muncullah berpuluh-puluh cahaya kilatan pedang.
Dengan pandangan gagah ia menyapu sekejap sekeliling kalangan lalu teriaknya keras-keras: "Siapa yang hendak mencari satroni dengan si ular asap tua?" Ouw-yang Gong sudah dua kali pernah ditolong oleh Pek In Hoei, setiap kali ia menjumpai mara bahaya si anak muda itu pasti akan munculkan diri bagaikan sukma gentayangan, kecuali dalam hati ia merasa berterima kasih, terhadap kegagahan dari pemuda ini pun merasa takluk dan kagum seratus persen.
Begitu mendengar teguran dari Pek In Hoei, dengan huncwee gedenya ia segera tuding ke arah Song Kim Toa Lhama sambil berkata: "Anak jadah cucu monyet itu yang paling menjemukan hati..." Pek In Hoei melirik sekejap ke atas wajah Song Kim Toa Lhama dalam-dalam lalu bentaknya ketus : "Song Kim, ayoh gelinding keluar!" Song Kim Toa Lhama si jago lihay nomor satu dari daerah Tibet ini semenjak muncul di daratan Tionggoan belum pernah dimaki orang demikian kasar dan hinanya, air muka padri itu kontan berubah hebat sambil tertawa terbahak-bahak tubuhnya bergerak maju ke depan sejauh lima langkah.
"Saudara jangan terlalu jumawa," serunya sambil tertawa dingin.
Pek In Hoei mendengus dingin, pedang mustika penghancur sang suryanya dilintangkan di depan dada, sementara di atas wajahnya yang dingin kaku tersungging satu senyuman yang menggidikkan hati.
"Kalau kau sanggup melewatkan sepuluh jurus serangan di ujung pedangku, mulai ini hari aku si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak akan mencampuri urusanmu lagi," serunya menghina.
"Sebaliknya kalau kau tak sanggup menerima barang sepuluh jurus serangan pun dari tanganku, silahkan kau angkat kaki dari daratan Tionggoan dan segera enyah pulang ke Tibet, sejak itu untuk selamanya jangan masuk kembali ke wilayah Tionggoan, kalau tidak aku akan membabat dirimu sampai mati tanpa sungkan-sungkan..." Ucapannya tepat dan mantap setiap perkataannya berat tapi bertenaga...wajahnya dingin kaku membuat ucapan itu seolah-olah muncul dari mulut sesosok mayat hidup membuat hati setiap orang kaget dan bergidik.
Song Kim Toa Lhama segera merasakan hatinya bergetar keras oleh pengaruh kata-kata yang tak berwujud itu, keringat sebesar kacang kedele mengucur keluar tiada hentinya membasahi jidatnya, suatu perasaan takut yang tak pernah timbul dalam hatinya kali ini menyelimuti seluruh benaknya membuat sang badan gemetar keras.
Tapi di samping itu muncul pula hawa amarah yang amat sangat bergelora dalam rongga dadanya, ia meraung keras, tulang belulang di seluruh tubuhnya bergemerukkan keras, jubah yang dikenakannya menggembung besar! "Pek In Hoei!" teriaknya, "kau terlalu menghina orang lain...
kau... kau..." Saking gusarnya sampai kata-kata itu tak sanggup diteruskan lebih lanjut, dengan hati marah bercampur benci segenap hawa murni yang dimilikinya dihimpun jadi satu dalam tubuhnya, hawa pukulan yang maha dahsyat pun disiapkan di telapak kanan.
Ujung telapak menggetar di angkasa membentuk gerakan busur beserta segulung tenaga yang besar laksana titiran air bah menggulung ke atas tubuh Pek In Hoei laksana tindihan bukit besar.
Pek In Hoei segera menggetarkan pedangnya sambil menghardik : "Baiklah, untuk kali ini aku akan mengalah satu jurus kepadamu..." Badannya mencelat ke angkasa dan mumbul beberapa tombak jauhnya, dengan begitu angin pukulan maha dahsyat yang sedang mengancam ke arahnya itu pun segera beralih sasaran menuju ke arah Lie Peng si pangeran kedua dari Kerajaan yang berkuasa dewasa itu.
Menyaksikan kehebatan gerakan tubuh dari pemuda itu, Lie Peng terkesiap sekali, mendadak satu ingatan jahat berkelebat dalam benaknya.
Ia segera mengerling sekejap ke arah Tok See yang ada di sekeliling situ, kemudian mendengus berat.
Tok See manggut tanda mengerti, di tengah dengusan berat yang menggema di angkasa itulah pedang tajam yang berada dalam genggamannya dengan kecepatan tinggi segera menusuk ke belakang punggung Pek In Hoei.
Serangan ini bukan saja sadis dan kejam, bahkan luar biasa hebat, sebilah pedang laksana tombak segera menghunjam ke depan.
"Hmmm! Bangsat tukang main bokong..." seru Pek In Hoei sambil mendengus berat.
Tiba-tiba ia putar tubuhnya...
Kraaak! Pedang panjang Tok See yang tepat bersarang di atas tubuhnya itu mendadak patah menjadi dua bagian dan rontok ke atas tanah.
Setelah itu sambil putar tubuh ujarnya ketus : "Aku si Jago Pedang Berdarah Dingin selama hidupnya paling benci terhadap orang yang suka main bokong dari belakang tubuh orang seperti sampah masyarakat seperti kau...
Hmmm, akupun harus membiarkan dirimu untuk ikut merasakan bagaimanakah kalau seseorang kena dibokong..." Ia tinggalkan Song Kim Toa Lhama yang telah siap bertempur itu dan berbalik menubruk ke arah Tok See, pedang sakti penghancur sang suryanya dengan menciptakan diri jadi selapis cahaya tajam segera mengancam tiga buah jalan darah penting di tubuh jago pedang muda itu.
Setelah serangan bokongnya tidak mendatangkan hasil, Tok See tahu bahwa ia bakal celaka.
Kini menyaksikan keajaiban serta kesaktian ilmu silat yang diperlihatkan pihak lawan ia jadi kesemsem dan terpesona, sewaktu babatan pedang Pek In Hoei meluncur datang ia sama sekali tak bertenaga untuk melawan, bukannya menghindar atau menangkis jago pedang she Tok ini hanya berdiri sambil memandang ke arahnya dengan pandangan mendelong.
Pangeran kedua Lie Peng yang menyaksikan Tok See berdiri melongo sambil menanti kematian, dalam hati merasa amat terperanjat, sambil ayunkan pedangnya dengan gerakan adu jiwa ia loncat ke depan, senjatanya bergetar dan segera menangkis datangnya ancaman dari pedang penghancur sang surya itu.
Traaaaang...! getaran nyaring yang amat memekikkan telinga berkumandang di seluruh ruangan, Pangeran kedua merasakan tangannya jadi kaku dan linu, pedangnya tahu-tahu sudah terbabat putus jadi dua bagian, sementara Tok See sendiri karena dihalangi ancamannya oleh tangkisan pedang Lie Peng, jago muda ini pun lolos dari bahaya kematian.
"Pek In Hoei!" terdengar Song Kim Toa Lhama membentak keras, "Jangan lukai Jie Thaycu..." Dalam pada itu Pek In Hoei sedang mempersiapkan diri melancarkan satu serangan maut yang merobohkan Jie Thaycu serta Tok See dalam waktu yang bersamaan, ketika mendengar bentakan Song Kim Toa Lhama berkumandang datang disusul tubrukan maut, dengan cepat ia memutar tubuhnya sambil menjengek dengan nada menghina : "Menang kalah di antara kita belum berhasil ditentukan, apakah kau ingin berduel satu lawan satu dengan diriku..." Air muka Song Kim Toa Lhama berubah hebat.
"Aku tahu kalau ilmu silat yang kau miliki sangat lihay dan aku bukanlah tandinganmu," sahutnya.
"Sejak ini hari aku Song Kim Toa Lhama tidak akan mencari gara-gara atau satroni dengan diri Ouw-yang Gong lagi, asalkan kau jangan melukai diri Jie Thaycu..." "Anak kura-kura, kau anggap aku jeri kepadamu..." teriak Ouw-yang Gong marah-marah, badannya segera menubruk ke depan.
Pek In Hoei ulapkan tangannya, Song Kim Toa Lhama buru-buru mengajak Pangeran kedua Lie Peng, Tok See serta Tauw Meh mengundurkan diri dari ruangan itu dengan wajah penuh kebencian.
Menyaksikan rombongan jago-jago kerajaan itu telah mengundurkan diri semuanya, diam-diam Hee Giong Lam pun ngeloyor pergi dari ruangan itu dengan kecepatan tinggi.
"Kembali!" hardik Pek In Hoei dengan amat gusarnya.
"Aku belum memberi ijin kepadamu untuk meninggalkan tempat ini." Sementara itu Hee Giong Lam baru melangkah dua tindak dari tempat semula, ketika mendengar suara bentakan keras bergema dari belakang tubuhnya, ia jadi amat terperanjat kaki yang sudah melangkah ke depan tanpa terasa ditarik kembali.
"Kau panggil kembali diri loohu, sebenarnya ada urusan apa?" tegurnya keras.
Selapis hawa napsu membunuh yang tebal terlintas di atas wajah Pek In Hoei yang dingin, sepasang alisnya berkerut kencang, di ujung bibirnya yang tipis tersungging satu senyuman yang menggidikkan hati.
"Aku inginkan selembar jiwa anjingmu..." sahutnya sepatah demi sepatah.
Sekali lagi Hee Giong Lam merasakan hatinya bergetar keras, ucapan yang dingin dan kaku bagikan es itu terasa menembusi ulu hatinya membuat rasul ini dengan pandangan terbelalak penuh rasa ketakutan memandang ke arah Pek In Hoei tanpa berkedip.
"Kau bilang apa?" serunya.
Di antara kau dengan diriku toh tiada ikatan dendam atau pun sakit hati, kenapa kau hendak membinasakan diriku?" Air muka Pek In Hoei berubah sangat hebat, dalam benaknya segera terbayang kembali kenangan lama, seolah-olah ia menyaksikan kembali terbasminya partai Thiam Cong di tangan musuh besarnya, di tengah kobaran api yang mengganas serta daya kerja racun yang keji, di bawah kilatan cahaya senjata tajam tiga ratus orang lebih anak murid partai Thiam cong pada menggeletak mati di ujung senjata anak murid perguruan Boo Liang Tiong Boen..." Ia maju selangkah ke depan dengan tindakan lebar, lalu berseru : "Hee Giong Lam, mungkin kau masih ingat bukan pemandangan ketika untuk pertama kalinya aku berjalan masuk ke dalam perguruan seratus racunmu! Dari seorang bocah yang sama sekali tidak mengerti akan ilmu silat kini aku menjadi seorang jago dunia persilatan kelas satu, tahukah kau apa sebabnya aku berjuang sampai menjadi begini?" "Aku tidak tahu," sahut Hee Giong Lam dengan nada tertegun.
Pek In Hoei tertawa hambar.
"Tujuanku berlatih ilmu silat bukan lain adalah untuk menuntut balas bagi pertumpahan darah yang terjadi di partai Thiam cong, aku hendak membalaskan dendam ke-tiga ratus orang anak murid partai Thiam cong yang mati terbunuh serta membalas dendam bagi kematian ayahku, dan kini kalian Perguruan Selaksa Racun adalah salah satu musuh besar yang hendak kutuntut hutang darah tersebut..." "Apa?" bentak Hee Giong Lam keras-keras.
"Apa yang kau katakan" Apa sangkut pautnya antara kematian ayahmu dengan Perguruan Selaksa Racun kami" Pek In Hoei aku Hee Giong Lam bukanlah seorang manusia pengecut yang takut mencari urusan, tapi kau jangan memfitnah kami dengan kata-kata seperti itu..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... ," Ouw-yang Gong putar huncwee gedenya hingga asap tipis menguap dari dalam mangkok huncwee gedenya itu, kemudian menghisap beberapa kali dan terbahak-bahak.
"Hee Giong Lam!" jengeknya dengan nada menghina.
"Ternyata kau tidak punya keberanian untuk mengaku..." "Ular asap tua, kau suruh aku mengaku soal apa?" bentak Hee Giong Lam dengan mata mendelik.
Pek In Hoei tertawa dingin.
"Aku ingin kau mengakui persoalan partai Thiam cong yang kalian basmi, bukankah anak murid perguruan seratus racun banyak yang ikut serta di dalam perbuatan brutal itu" Kalau pada waktu itu kalian pihak perguruan seratus racun tidak melepaskan racun, tidak nanti partai Thiam cong kami mengalami nasib yang demikian buruk dan mengenaskannya..." "Omong kosong!" seru Hee Giong Lam dengan wajah berubah hebat.
"Dalam peristiwa berdarah itu kami dari pihak perguruan seratus racun sama sekali tidak ikut serta." "Anak kura-kura, kembali kau berbohong!" bentak Ouw-yang Gong dengan gusarnya.
"Sampai aku si Ular Asap Tua pun tahu kalau kau mengutus anak muridmu untuk ikut serta dalam pembasmian terhadap anak murid partai Thiam cong, masa di hadapan aku si ular asap tua kau masih pura-pura berlagak pilon..." "Ular asap tua..." mendadak Hee Giong Lam mengayunkan kepalannya, "Rupanya kau ada maksud menyusahkan diriku..." Pukulan ini dilancarkan dengan menghimpun segenap kekuatan yang dimilikinya, begitu pukulan meluncur segulung hawa desiran yang aneh berkumandang di angkasa bercampur baur dengan deruan angin yang tajam.
Buru-buru Ouw-yang Gong meloncat ke samping untuk menghindar, bentaknya keras : "Waaah...
waaaah... rupanya kau hendak membunuh orang untuk menghilangkan bukti..." Kakek konyol ini bukanlah manusia yang gampang dipecundangi orang, sebelum ujung pukulan Hee Giong Lam meluncur tiba huncwee gedenya telah menotok ke depan mengancam iga bawah si Rasul Racun tersebut.
"Hmmmm....!" Hee Giong Lam mendengus dingin, telapak kirinya diayunkan ke depan melancarkan satu pukulan hebat mengancam huncwee gede lawan yang sedang menghalau datang, kekuatannya benar- benar mengerikan sekali.
Ouw-yang Gong segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... kau si cucu monyet anak jadah rupanya mau merusak huncwee gedeku ini..." Sementara ia bersiap sedia menarik kembali senjata huncwee gedenya, mendadak si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei telah meloncat ke depan, ia tahu-tahu muncul di antara ke-dua orang jago pedang yang sedang bertempur itu, membuat Ouw- yang Gong jadi melengak dan cepat-cepat mengundurkan diri ke belakang.
"Pek In Hoei!" seru kakek she Ouw-yang itu dengan nada kurang mengerti, "Apa yang hendak kau lakukan?" Pek In Hoei tersenyum.
"Ini adalah urusan pribadiku, harap kau jangan turut campur..."
Hee Giong Lam sendiri ketika menyaksikan si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei berjalan menghampiri ke arahnya dengan wajah penuh napsu membunuh, dalam hati diam-diam merasa terperanjat, cepat-cepat ia himpun segenap kekuatan yang dimilikinya untuk bersiap sedia, kemudian dengan pandangan bergidik memperhatikan wajah si anak muda itu tanpa berkedip.
"Aku minta kau mengaku terus terang, benarkah si ketua perguruan Boo Liang Tiong yang bernama Go Kiam Lam itu sebelum melakukan pembasmian terhadap anak murid partai Thiam cong telah melakukan perundingan terlebih dahulu dengan dirimu tentang bagaimana caranya membasmi perguruan besar tadi" Dan benarkah sewaktu Go Kiam Lam si ketua perguruan Boo Liang Tiong melakukan gerakan pembasmian tersebut secara diam-diam kau telah mengutus anak muridmu untuk ikut serta dalam peristiwa berdarah itu..." "Peristiwa berdarah itu adalah perbuatan dari Go Kiam Lam," sahut Hee Giong Lam ketus.
"Mengapa kau tidak pergi mencari dirinya..." Cahaya bengis berkilat di atas wajah Pek In Hoei.
"Sesudah kubunuh dirimu, tentu saja kucari Go Kiam Lam bajingan besar itu untuk membuat perhitungan..." Nguuuung...! Nguuuuung...! Menggunakan kesempatan di kala Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei masih berbicara itulah tiba-tiba Hee Giong Lam angkat lengan kanannya ke atas, dari balik ketiak segera meluncur keluar seekor tawon raksasa berwarna hitam yang langsung menubruk ke atas tubuh si anak muda itu.
Dengan gusar Pek In Hoei segera membentak : "Hmmm! Hanya mengandalkan tawon racun berekor tiga saja kau hendak mencoba membokong diriku..." Pedang mustika penghancur sang surya yang berada dalam genggamannya segera diayunkan ke tengah udara, tergulung di balik cahaya pedang yang amat tajam, tawon raksasa berwarna hitam tadi segera terbabat putus oleh ketajaman pedang itu hingga menjadi beberapa bagian.
Bergidik sekali hati Hee Giong Lam setelah menyaksikan tawon beracun raksasa yang dilepaskannya dalam sekejap mata telah hancur lebur termakan oleh pedang mustika penghancur sang surya itu, ia tidak punya keberanian untuk mengeluarkan makhluk beracun lainnya untuk mencelakai si anak muda itu.
Bayangan pedang bagaikan awan tersebar meliputi seluruh angkasa, segulung cahaya pedang yang tajam dan dingin mendadak bergeletar ke depan, bagaikan seutas rantai berwarna perak langsung menotok ke arah dada si Rasul Racun dari perguruan seratus racun ini.
Hee Giong Lam meraung keras, secara beruntun ia lepaskan dua buah pukulan berantai untuk memunahkan datangnya ancaman.
Pek In Hoei mendengus dingin.
"Hmmm, kalau aku berhasil melepaskan dirimu dari kurungan pedang mustika penghancur sang surya ini, sia-sia belaka aku berlatih ilmu pedang selama ini..." Bentakan nyaring yang serius dan keren bergeletar di angkasa dari tubuh pedang itu segera terpancar keluar bayangan cahaya dingin yang menggidikkan hati, menggunakan jurus Kioe Jiet Teng Seng atau sang surya muncul di ufuk Timur, ia babat tubuh Rasul Racun itu.
hg tak pernah menyangka kalau pihak lawan dengan usia yang sedemikian mudanya ternyata telah berhasil menguasai intisari ilmu pedang tingkat tertinggi, dalam satu jurus yang amat sederhana terkandung daya tekanan dahsyat yang memaksa seorang jago lihay yang tersohor dalam dunia persilatan sama sekali tak ada tenaga untuk melakukan pembalasan.
Dalam benak manusia beracun she Hee ini segera terpenuhi oleh pelbagai pikiran bagaimana caranya memunahkan jurus serangan tersebut, di tengah tertegunnya ternyata ia tak sanggup melepaskan diri atau pun menghindarkan diri dari ancaman pedang lawan yang begitu tajamnya itu.
Criiing! hg tidak malu disebut seorang jago Bu lim yang sudah memiliki nama besar dalam dunia persilatan, pada detik terakhir di saat jiwanya terancam mara bahaya itulah laksana kilat badannya meloncat ke samping menghindarkan diri.
Walaupun begitu ilmu pedang yang dimiliki Pek In Hoei bukanlah hasil yang diperoleh dalam latihan satu hari, sekalipun Hee Giong Lam berhasil menghindarkan diri dari babatan pedang yang mengancam keselamatannya, tak urung sebuah luka babatan yang amat panjang muncul pula di atas lengan kirinya, dengan rasa penuh kesakitan ia berseru tertahan kemudian memandang ke arah si anak muda itu dengan rasa kaget bercampur ketakutan.
"Aku pernah bersumpah akan membasmi semua anggota perguruan seratus racun yang ada di kolong langit,"kata Pek In Hoei ketus.
"Dan kau akan merupakan orang pertama dari perguruan seratus racun..." "Kenapa?" jerit Hee Giong Lam dengan wajah ketakutan.
"Apakah disebabkan ada anak murid perguruanku yang membantu Go Kiam Lam..." Ia menyadari bahwa ancaman dari si pemuda ini terhadap perguruan seratus racunnya sehari lebih lihay dari hari berikutnya, berada dalam pandangan sorot matanya yang dingin Hee Giong Lam seolah- olah melihat beratus-ratus orang anak murid perguruannya mati konyol di ujung pedangnya semua...
"Hmmmm!" Pek In Hoei mendengus dingin.
"Kalau tiada bantuan dari anak murid perguruan kalian, aku percaya pihak perguruan Boo Liang Tiong tak nanti mempunyai kekuatan yang demikian besarnya sehingga dalam semalam berhasil memusnahkan partai Thiam cong dari muka bumi..." Sementara itu ujung pedangnya telah menempel di atas tenggorokan Hee Giong Lam, asal ia kerahkan sedikit tenaga lagi niscaya ujung pedangnya yang tak kenal kasihan itu akan menembus tenggorokan si Rasul Racun sang ketua dari perguruan seratus racun ini.
Suatu perasaan ngeri dan takut yang tak pernah diperlihatkan sebelumnya terlintas di atas wajah Hee Giong Lam, keringat dingin mengucur keluar tiada hentinya membasahi seluruh tubuh serta pakaiannya, dalam keadaan begini ia benar-benar tidak berani berkutik.
"Singkirkan dahulu pedangmu..." pintanya dengan suara gemetar.
Pek In Hoei tertawa dingin.
"Aku minta kau mengaku terus terang, kecuali perguruan Boo Liang Tiong serta perguruan seratus racun kalian yang ikut serta di dalam peristiwa pembasmian terhadap partai Thiam cong, masih terdapat manusia-manusia mana lagi yang ikut serta dalam peristiwa tersebut..." gertaknya.
Hee Giong Lam mundur satu langkah ke belakang dan menjawab dengan penuh penderitaan : "Aku tidak tahu..." Pek In Hoei tertawa sini, ujung pedangnya yang dingin dan tajam didorong beberapa coen ke depan, Hee Giong Lam segera merasakan tenggorokannya jadi sakit dan hampir saja tak sanggup menghembuskan napas.
"Asal kudorong maju dua coen lagi maka pedang ini akan menembusi tenggorokanmu serta mencabut jiwa anjingmu," ancam si anak muda itu dengan wajah menyeramkan.
"Sekarang kau berada di ujung kehidupan di antara mati dan hidup, mau bicara atau tidak itu terserah pada dirimu sendiri..." Dalam benak Hee Giong Lam dalam waktu singkat muncul pelbagai ingatan yang berbeda, ia berpikir bagaimana caranya melepaskan diri dari cengkeraman musuh, tapi kalau ditinjau dari situasi yang tertera di hadapannya jelas tak mungkin baginya untuk meloloskan diri dari tempat itu dengan aman dan damai...
Pikirnya lebih jauh : "Kenapa aku tidak berusaha menggunakan kesempatan di kala pihak lawan berusaha mencari tahu musuh-musuh besarnya untuk meninggalkan tempat ini,kemudian baru membalas sakit hati pada saat ini di kemudian hari..." Ingatan tersebut dengan cepatnya berkelebat di dalam benaknya, maka ia lantas berkata : "Tidak sulit bila kau menghendaki aku berbicara, tapi kau harus melepaskan diriku..." "Tentu saja..." Pek In Hoei menyahut dan tertawa nyaring.
"Haaaah... haaaah... haaaah... asalkan aku merasa bahwa ucapanmu betul dan bisa dipercaya, tentu saja akan kulepaskan dirimu dalam keadaan selamat..." Hee Giong Lam tundukkan kepalanya berpikir sebentar, kemudian berkata : "Peristiwa pembantaian partai Thiam cong sebenarnya merupakan peristiwa pembalasan dendam pihak perguruan Boo Liang Tiong terhadap terbunuhnya tujuh puluh orang anak murid perguruan Boo Liang Tiong dalam semalam pada enam puluh tahun berselang, berhubung Go Kiam Lam sang ketua baru dari perguruan Boo Liang Tiong merasa bahwa kekuatan perguruannya masih belum cukup, maka ia segera mengutus anak muridnya untuk mengundang para jago di perguruan-perguruan besar untuk ikut serta dalam peristiwa berdarah itu, tapi dalam kenyataan perguruan yang betul-betul ikut menyokong dalam kejadian itu hanyalah Dua benteng besar dari Bu-lim serta perguruan kami..." "Dua benteng mana yang kau maksudkan?" tanya Pek In Hoei dengan sinar mata yang menggidikkan.
"Benteng Liong Hoen Poo serta benteng Thian Seng Poo!" sekilas kelicikan terlintas di antara sorot mata Hee Giong Lam, ia tertawa seram.
"Heeeeh.... heeeh... heeeh... kedua buah benteng itu merupakan pembantu kepercayaan dari Go Kiam Lam, kalau kau ingin membalas dendam terhadap mereka, hmmm! aku rasa tidak akan sedemikian gampangnya..." Sambil tertawa seram mendadak tubuhnya meloncat mundur ke belakang, setelah meloloskan diri dari tudingan pedang si anak muda itu dengan langkah lebar ia segera berlalu dari ruangan tersebut.
"Kembali!" Bentakan berat yang nyaring dan keras bergeletar keluar dari mulut Pek In Hoei, begitu keras suaranya sampai menggetarkan bangunan rumah itu dan menggoncangkan permukaan bumi.
Hee Giong Lam terkesiap, dengan cepat ia menoleh.
"Apakah ucapanmu hendak kau ingkari?" tegurnya dengan perasaan sangsi, rasa kaget bercampur bergidik terlintas di atas wajahnya.
"Hmmmm! Walaupun hukuman mati bisa dihindari, hukuman hidup tak akan terlepas dari tubuhmu, memandang di atas budimu yang mau memberi keterangan kepadaku, aku cuma akan memusnahkan ilmu silatmu..." "Apa?" jerit Hee Giong Lam.
"Kau betul-betul manusia yang tidak tahu malu..." Belum habis ia berkata si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei telah meloncat ke depan.
Cahaya tajam berkilauan di depan mata, tahu-tahu pedang mustika penghancur sang surya itu sudah mengunci ke sekeliling tubuhnya, sekilas kilatan cahaya dengan cepatnya mengancam jalan darah 'Chiet Kan' di atas dadanya.
Dalam waktu singkat air muka Hee Giong Lam telah berubah beberapa kali, ia mengerti asalkan ujung pedang lawan berhasil menotok di atas jalan darah 'Chiet Kan' tersebut niscaya ilmu silat yang dilatihnya dengan susah payah selama ini bakal musnah sama sekali.
Hatinya jadi bergidik, ia meraung keras dan tubuhnya dengan cepat mundur dua langkah ke belakang pada detik-detik yang terakhir.
"Pek In Hoei!: makinya sangat marah.
"Ucapanmu sama baunya dengan kentut busuk..." "Coba kau ulangi sekali lagi..." seru Pek In Hoei dengan sikap tertegun.
Sambil ayunkan telapaknya ke depan mengirim satu pukulan dahsyat, Hee Giong Lam berteriak keras : "Kau terlalu mendesak diriku, jangan salahkan aku kalau aku akan beradu jiwa dengan dirimu!" Ia mengerti si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tidak nanti akan melepaskan dirinya dengan begitu saja, asal dirinya terjatuh ke tangan pemuda ini niscaya ilmu silatnya bakal dipunahkan.
Haruslah diketahui bagi seorang jago Bu lim yang memiliki ilmu silat, ia menyayangi ilmu silat yang dilatihnya dengan susah payah itu melebihi sayang terhadap jiwa sendiri, ketika ia tahu bahwa dirinya dari seorang jago yang memiliki ilmu silat akan berubah jadi manusia biasa yang sama sekali tak dapat menggunakan kepandaian silatnya lagi, penderitaan yang dirasakan dalam hatinya jauh lebih berat dan hebat daripada penderitaan di kala ia hendak dibunuh.
Hee Giong Lam menyadari sedalam-dalamnya penderitaan yang sedemikian beratnya itu tak akan bisa dirasakan olehnya, walau dalam keadaan apa pun jua, maka diambilnya keputusan untuk melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan, ia lebih rela mati terbunuh di tangan musuh daripada menanggung sengsara selama hidup.
Demikianlah, dengan cepatnya kedua jago Bu-lim itu sudah terlibat dalam suatu pertempuran sengit, dalam sekejap mata dua puluh gebrakan telah berlalu.
Ouw-yang Gong sendiri setelah menyaksikan pertarungan adu jiwa yang sedang berlangsung di tengah kalangan, dalam hati pun merasa teramat gelisah,ia hisap huncweenya berulang kali sementara sepasang matanya memperhatikan ke tengah kalangan tanpa berkedip.
"WAAAAAAH... tenaga lweekang yang dimiliki Pek In Hoei makin lama semakin hebat," pikirnya sambil menghembus segumpal asap huncwee.
"Dahulu aku si Ouw-yang Gong masih punya pikiran hendak mengangkat orang sebagai anak muridku, sekarang kalau dipikirkan lagi betul-betul menggelikan sekali, bukan saja aku tak sanggup memberi pendidikan kepada orang lain malahan sebaliknya berulang kali aku harus dilindungi keselamatanku olehnya..." Tiba-tiba terlihat tubuh Pek In Hoei meloncat mundur ke belakang, kemudian membentak : "Hee Giong Lam, kau keras..." Bluuuum...! di tengah sebuah ledakan dahsyat, tubuh Pek In Hoei serta Hee Giong Lam saling berpisah dan masing-masing lima enam langkah ke belakang, darah segar tampak mengucur keluar membasahi ujung bibirnya, napas tersengkal-sengkal hebat sedangkan air mukanya berubah jadi pucat pias bagaikan mayat...
Pek In Hoei sambil mencekal pedang mustika penghancur sang surya selangkah demi selangkah maju mendekat, sepasang matanya dengan sorot tajam bagaikan pisau menatap wajah Hee Giong Lam tanpa berkedip.
Dengan penuh penderitaan Hee Giong Lam berseru : "Pek In Hoei, kau betul-betul kejam..." Pek In Hoei ayunkan pedang penghancur sang suryanya hingga membentuk selapis cahaya tajam yang menyilaukan mata, ujarnya ketus : "Partai Thiam cong mengalami bencana hingga musnah dari permukaan bumi, tiga ratus anak muridnya mati binasa dalam keadaan konyol, kalian boleh turun tangan sedemikian kejinya terhadap manusia-manusia lemah itu, apakah aku tak boleh kejam terhadap dirimu..." Ia merandek sejenak lalu tertawa panjang.
"Haaaah... haaaah... haaaah... Hee Giong Lam kau dengan tindakan yang rendah serta memalukan menganiaya orang lain, sekalipun kubunuh dirimu juga tidak mengapa..." Kembali ia tertawa panjang, mendadak cahaya pedang berkilauan membelah angkasa dan segera menghunjam ke atas dada si Rasul Racun.
"Pek In Hoei, tahan..." Bentakan nyaring tapi merdu berkumandang memecahkan kesunyian, Pek In Hoei tersentak kaget, pedang yang telah meluncur ke depan segera ditarik kembali dan meloncat mundur ke belakang, setelah itu putar badan dan memandang ke arah mana berasalnya suara tadi.
Sesosok bayangan tubuh yang kecil ramping muncul dari balik pintu, begitu melihat siapakah gadis itu sekujur otot dalam tubuh Pek In Hoei menjadi kencang, hampir saja ia berseru memanggil...
Sedangkan Hee Giong Lam sendiripun tergetar saking kagetnya, ia segera berseru : "Ooooh Siok Peng, anakku sayang..." Dengan pandangan murung Kong Yo Siok Peng melirik sekejap ke arah si anak muda itu kemudian perlahan- lahan mendekat Hee Giong Lam, dengan sedih ia menghela napas panjang,sambil memandang wajah Rasul Racun itu sepatah kata pun tak sanggup diucapkan keluar.
"Anakku, kenapa kau?" tegur Hee Giong Lam sambil menyeka darah yang meleleh keluar dari ujung bibirnya.
Kong Yo Siok Peng tertunduk sedih, sahutnya : "Aku bukan anakmu, dan kau pun bukan ayahku..." "Kau bilang apa?" teriak Hee Giong Lam sangat terperanjat.
"Siapa yang memberitahu kepadamu..." Hatinya seakan-akan terpukul oleh martil yang sangat berat, hampir saja hancur berkeping-keping, suatu rahasia yang tidak ingin diketahui orang lain akhirnya terbongkar juga, membuat Hee Giong Lam dengan pandangan tersiksa menatap gadis itu tanpa berkedip.
"Kau tak usah membohongi diriku lagi..." bisik Kong Yo Siok Peng dengan sedih.
"Ayahku adalah Kong Yo Leng..." "Omong kosong! Jelas ada orang yang sengaja meretakkan hubungan kita berdua, jelas ada orang tidak suka melihat hubungan ayah dan anak di antara kita, Siok Peng kau adalah seorang anak yang baik, janganlah kau percayai omongan-omongan setan itu..." Kong Yo Siok Peng merasa amat sedih sekali, ketika dilihatnya orang tua itu sedemikian gelisah dan cemasnya hingga sulit untuk menutupi perasaan tersebut, ia merasa semakin sedih...
Sambil gelengkan kepalanya berulang kali ujarnya : "Peduli kau benar atau tidak sebagai ayah kandungku, aku tetap akan menghormati dirimu serta mencintai dirimu seperti sedia kala, karena itu pada hari ini aku tak akan membiarkan Pek In Hoei melukai dirimu..." Titik-titik air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya yang halus, dengan pandangan murung dan sayu diliriknya sekejap wajah si anak muda itu.
Terlihatlah si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei ketika itu sedang memandang pula ke arahnya dengan pandangan bimbang...
Kong Yo Siok Peng tersentak kaget, perlahan-lahan ia maju ke depan menghampiri si anak muda itu.
"Pek In Hoei!" pintanya sambil menghela napas sedih.
"Aku minta agar kau suka melepaskan ayah angkatku..." "Apa" Kau sebut aku sebagai Gie hu..." bisik Hee Giong Lam melengak.
Rupanya ia tak menyangka kalau secara tiba-tiba Kong Yo Siok Peng dapat mengubah sebutannya, rasa bergidik segera muncul dari dasar lubuk hatinya, ia tahu gadis manis yang selalu disayang dimanjanya ini telah bukan menjadi miliknya lagi...
Kong Yo Siok Peng berpaling dan ujarnya dengan suara gemetar : "Walaupun kau bukan ayah kandungku tapi sudah memelihara serta mendidik aku selama belasan tahun lamanya, aku memanggil dirimu sebagai Gie hu pun rasanya pantas dan semestinya..." "Ooooh..." dengan hati hancur luluh Hee Giong Lam berseru tertahan, ditatapnya wajah Kong Yo Siok Peng dengan pandangan aneh, sepatah kata pun tak sanggup diucapkan keluar...
Perlahan-lahan Kong Yo Siok Peng tarik kembali pandangannya lalu dialihkan ke atas tubuh Pek In Hoei, ujarnya perlahan : "In Hoei, kau tentu mengabulkan permintaanku bukan..." "Hmmm..." Pek In Hoei mendengus dingin.
"Kenapa aku harus mengabulkan permintaanmu..." "Aaaaah..." dengan hati terperanjat Kong Yo Siok Peng mundur dua langkah ke belakang suaranya gemetar : "In Hoei, kau...


Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau..." "Hatiku sedang dibakar oleh api dendam yang membara serta rasa gusar yang memuncak, peristiwa tragis yang menimpa partai Thiam cong seolah-olah baru saja berlangsung, aku hendak mencari bajingan- bajingan terkutuk itu untuk membalas dendam, peduli siapa pun yang mintakan ampun bagi musuh besarku ini, tak nanti kukabulkan..." Begitu ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya, ia segera berkata dengan nada : "Siok Peng, persoalan ini adalah persoalan pribadi antara aku dengan dirinya, harap kau menyingkir ke samping, di kemudian hari kau akan mengerti apa sebabnya aku tak dapat melepaskan dirinya dengan begitu saja..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... " Ouw-yang Gong ikut tertawa terbahak-bahak.
"Hey budak cilik, rupanya kau bisa mintakan ampun bagi si makhluk beracun tua itu..." "Ular Asap Tua, tenteram betul hatimu, kau..." bentak Hee Giong Lam keras-keras.
"Inilah pembalasan bagi perbuatanmu yang terkutuk, siapa pun tak dapat menyelamatkan jiwamu..." Dalam pada itu si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei telah mendesak pedang penghancur sang suryanya ke depan, ujung pedang dengan memancarkan cahaya tajam yang berkilauan segera meluncur ke depan...
"Hee Giong Lam, sekarang kau boleh mulai turun tangan!" serunya dingin.
Pada saat ini Hee Giong Lam benar-benar mengenaskan sekali keadaannya, dari sedih ia jadi marah dan timbullah napsu membunuh yang berkobar-kobar dalam hatinya, sekalipun begitu tapi ia sendiri dibikin bergidik oleh pancaran mata lawan yang bengis dan menggidikkan hati, memaksa ia tak berani sembarangan bertindak.
"Heeeeh.... heeeeh... heeeeh... Pek In Hoei," serunya sambil tertawa seram, "kau terlalu memaksa orang lain...
Kalau aku tidak berada dalam keadaan terluka parah, loohu tak nanti bakal jeri terhadap dirimu..." Pek In Hoei mendengus dingin,ia maju selangkah ke depan, cahaya pedang yang dingin menggidikkan hati laksana kilat berkelebat ke depan, mengiringi desiran tajam segera meluncur keluar.
Bentaknya dengan wajah penuh napsu membunuh : "Hukuman mati bisa kau hindari, tapi hukuman hidup tak akan terlepas dari pundakmu..." Ketika itulah Kong Yo Siok Peng membentak nyaring, tiba-tiba badannya meloncat ke depan, setelah berganti tiga gerakan di tengah udara telapaknya segera dibabat ke arah bawah.
Angin pukulan menderu-deru, di tengah gulungan taupan yang maha dahsyat sebuah pukulan dahsyat telah dilancarkan mengarah ke atas tubuh Pek In Hoei.
Si anak muda itu tidak menyangka kalau Kong Yo Siok Peng secara mendadak telah melancarkan satu babatan maut ke arahnya, ia melengak sejenak kemudian buru-buru meloncat mundur ke belakang sejauh lima depa lebih.
"Siok Peng, kau... kau sudah gila!" tegurnya dengan rasa tercengang bercampur kaget.
Seluruh wajah Kong Yo Siok Peng telah basah oleh air mata, ia kelihatan sangat menderita sekali, bibirnya bergetar keras namun tak sepatah katapun yang meluncur keluar, keadaannya mengenaskan membuat orang yang melihatnya jadi sedih dan ikut menjadi kasihan...
Lama... lama sekali, ia baru tertawa sedih dan berkata : "In Hoei, kau jangan memaksa diriku, sekalipun sampai di mana besar dan beratnya dosa yang telah dilakukan Gie-huku kau tak akan mengijinkan kau untuk membinasakan dirinya di hadapanku..." "Siok Peng..." Si Rasul Racun Hee Giong Lam meraung gusar, dengan perasaan kaget Kong Yo Siok Peng berpaling memandang sekejap ke arah ayah angkatnya, tampaklah ketua dari perguruan seratus racun ini dengan dilapisi hawa berwarna hijau menatap ke arah pemuda itu dengan penuh kebencian.
"Gie hu, kenapa kau?" teriak Kong Yo Siok Peng dengan hati terkesiap.
Dengan sikap yang dingin dan penuh kebencian Hee Giong Lam berseru : "Aku hendak mengeluarkan racun sakti tanpa bayanganku untuk beradu jiwa dengan dirinya..." Sekujur badan Kong Yo Siok Peng gemetar keras, sekilas rasa ngeri dan takut terlintas di atas wajahnya, ia mohon dengan suara gemetar : "Gie hu kau tak boleh menggunakan ilmu tersebut..." Si huncwee gede Ouw-yang Gong pun berubah hebat selembar wajahnya,senjata huncweenya diayunkan ke tengah udara menciptakan berpuluh-puluh lembar bayangan tajam, kemudian sambil membentak keras buru-buru tubuhnya maju tiga langkah ke depan.
"Hee Giong Lam!" teriaknya.
"Asal kau berani menggunakan racun keji tanpa bayangan yang sangat mengerikan itu, mulai detik ini juga aku si huncwee gede bersumpah akan membasmi seluruh anak buah perguruan seratus racunmu, akan kubinasakan semua anak cucu murid racunmu, agar perguruan seratus racun kalian mulai detik ini lenyap dari permukaan Bu Lim..." Hee Giong Lam tidak gubris ancaman orang, ia melirik sekejap ke arah kakek konyol itu kemudian mendengus dingin, telapak tangannya tiba-tiba direntangkan ke samping lalu diangkat ke atas.
"Pek In Hoei!" serunya sambil tertawa dingin.
"Asal sepasang telapakku ini kuayunkan ke tengah udara, maka kau akan mati keracunan..." Pek In Hoei mendengus dingin lalu menjengek hina, perlahan-lahan pedang mustika penghancur sang suryanya dimasukkan kembali ke dalam sarung, sedangkan hawa sin kang perguruannya dihimpun dan disalurkan ke seluruh tubuh, dalam waktu singkat baju yang dikenakan olehnya segera menggelembung besar.
Ia tarik napas panjang-panjang dan berpikir dalam hatinya : "Aku harus menggunakan ilmu sakti Thay Yang Sam Sie untuk melenyapkan Hee Giong Lam dari muka bumi, dengan begitu aku baru bisa mencegah bajingan tua ini mengeluarkan racun sakti tanpa bayangannya..." berpikir sampai di situ, ia lantas mengancam.
"Kalau kau benar-benar berani mengeluarkan ilmu racun sakti tanpa bayanganmu, maka detik ini juga akan kubunuh dirimu..." "Heeemm...
hmmmm... " Hee Giong Lam mendengus sinis, lalu tertawa tergelak, "Haaaah...
haaaah... haaaah... Pek In Hoei, kau telah salah perhitungan..." "Gie hu..." dengan nada terperanjat Kong Yo Siok Peng berteriak keras, dengan cepat tubuhnya menubruk ke arah Hee Giong Lam kemudian mencekal sepasang lengannya erat-erat.
"Gie hu..." pintanya setengah merengek.
"Kau tak boleh bertindak tanpa memikirkan keselamatanmu sendiri..." Seolah-olah tergetar oleh suatu pukulan yang berat, di atas raut wajah Hee Giong Lam yang tua terlintas rasa sedih yang mendalam, dengan sedih ia gelengkan kepalanya lalu membelai rambut Kong Yo Siok Peng dengan penuh kasih sayang, ujarnya berat : "Anakku, aku berani bersumpah bahwa kau adalah anak kandungku, dalam kolong langit dewasa ini hanya kaulah yang hidup semati dengan diriku, dan kini entah kau telah mendapat hasutan dari siapa yang menginginkan perpecahan di antara hubungan kita berdua...
Aaaaai..." Ia menghela napas sedih...
tiba-tiba dengan keraskan hati ia dorong tubuh Kong Yo Siok Peng ke belakang sepasang telapak tangannya diayunkan ke tengah udara dan selapis hawa kabut berwarna hijau tersebar di seluruh angkasa...
Ouw-yang Gong yang menyaksikan peristiwa itu jadi amat terperanjat, buru-buru teriaknya : "Hati-hati...
hati... racun tanpa bayangan..." Sedari tadi Pek In Hoei telah salurkan hawa murninya mengelilingi seluruh badannya, tatkala ia saksikan di kala Hee Giong Lam mengayunkan sepasang telapaknya di tengah udara tadi segera tersebar keluar selapis kabut berwarna hijau, diam-diam ia berseru tertahan.
"Aduuuuh celaka!" Mendadak ia geserkan badannya ke samping, telapak kanan bagaikan kilat didorong ke arah depan, segulung cahaya tajam berwarna merah membara dengan cepat meluncur keluar langsung menghantam tubuh Hee Giong Lam.
"In Hoei, jangan bunuh ayah angkatku..." Kong Yo Siok Peng menjerit lengking, dengan wajah sedih bercampur isak tangis yang memilukan ia maju ke depan, suaranya sedih dan mengenaskan membuat siapa pun yang mendengar ikut beriba hati...
Pek In Hoei terkesiap, tenaga pukulan yang dilepaskan segera mengendor, diam-diam ia menghela napas panjang, sementara pelbagai ingatan berkelebat dalam benaknya.
"Aku tak boleh membinasakan Hee Giong Lam, sehingga menyebabkan Kong Yo Siok Peng selama hidupnya membenci aku..." "Aaaaah..." jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang di angkasa, tubuh Hee Giong Lam yang tinggi besar mendadak mencelat ke belakang dan roboh terjengkang di atas tanah, darah kental mengucur keluar tiada hentinya dari ujung bibirnya.
"Gie hu..." teriak Kong Yo Siok Peng dengan hati terkesiap, ia tubruk tubuh Rasul Racun itu dan menangis tersedu-sedu.
"Ia tak bakal mati!" bisik Pek In Hoei dengan muka murung.
"Berada di hadapanmu aku tidak tega turun tangan keji..." "Aku tak mau mendengarkan perkataanmu lagi, kau jahat...
kau jahat sekali..." teriak Kong Yo Siok Peng dengan benci.
Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei menghela napas panjang,bersama-sama dengan Ouw-yang Gong ia segera berlalu dari ruangan itu.
*** Gunung Thiam cong di bawah sorot cahaya sang surya,nampak lebih keren dan mengerikan, secara tiba-tiba Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei merasa hatinya lagi tegang.
Dengan pandangan bimbang ditatapnya rentetan pegunungan yang menjulang tinggi ke angkasa, tiba- tiba timbul rasa sedih dalam hatinya, ia teringat kembali perguruan Thiam cong yang musnah di tangan orang, entah bagaimana keadaan puing-puing peninggalan partai tersebut...
Ia menghela napas panjang dan bergumam seorang diri : "Akhirnya aku kembali lagi kesini!" Si huncwee gede Ouw-yang Gong ketika menjumpai si anak muda itu dalam waktu singkat telah berubah jadi demikian sedihnya, tanpa terasa ia ikut jadi murung setelah menghisap huncweenya beberapa kali ia berseru : "Hey bocah cilik, ayoh kita naik ke atas!" Kedua orang itu segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya meluncur ke atas bukit, tidak selang beberapa saat mereka sudah mulai mendaki gunung itu.
Makin mendaki mereka semakin tinggi berada di gunung itu, puncak hampir terjamah dan terasalah angin gunung berhembus sepoi-sepoi menggoyangkan pohon siong yang lebat...
Taaaang... suara genta yang nyaring berkumandang nun jauh dari atas puncak, di mana dahulu merupakan kuil Sang Ching Koan, pusat kekuasaan partai Thiam cong.
Pek In Hoei mendadak berhenti dan berbisik : "Di dalam ada orang." Sambil mengelus jenggotnya Ouw-yang Gong pun lantas berpikir : "Orang kangouw semua berkata bahwa sejak partai Thiam cong dibasmi dari muka bumi tak seorang anak muridnya masih hidup, dan kini suasana di atas gunung masih tetap seperti sedia kala, tapi lonceng berbunyi nyaring...
apakah benar anak murid partai Thiam cong masih ada yang hidup..." Belum habis ia berpikir mendadak tampaklah sesosok bayangan manusia berkelebat lewat di dalam kuil Sang Ching Koan, gerakan tubuh orang itu enteng dan cepat, seandainya bukan manusia lihay sebangsa Ouw-yang Gong jelas sulit untuk menemukannya.
Dengan wajah tercengang dan penuh tanda tanya Pek In Hoei meluncur ke depan, serunya : "Ayoh kita masuk ke dalam!" Tubuh mereka berdua berjumpalitan beberapa kali di tengah udara kemudian melangkah masuk ke dalam ruang tengah kuil Sang Ching Koan, nampaklah ruangan itu bersih sekali dari debu, seolah-olah sering kali ada orang yang berlalu lalang di sana.
Pek In Hoei serta Ouw-yang Gong menyapu sekejap sekeliling tempat itu, ketika tak ditemuinya sesuatu jejak apa pun dalam hati mereka mulai sangsi dan tak habis mengerti.
"Aneh...! Sungguh aneh sekali..." gumam Ouw-yang Gong sambil garuk-garuk kepalanya.
"Barusan dengan amat jelas sekali kujumpai seseorang bayangan manusia berkelebat lewat, kenapa sekarang lenyap tak berbekas"..." Pek In Hoei sendiri pun tak habis mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi, ia menyapu sekejap sekeliling tempat itu.
Tiba-tiba satu senyuman tersungging di ujung bibirnya, sambil membawa Ouw- yang Gong mereka berjalan menuju ke pelataran.
Di sisi pelataran terdapat sebuah tiang batu setinggi enam depa, di atas tiang batu tadi terukirlah sebuah gambar Pat Kwa yang amat besar, Pek In Hoei yang mengetahui kegunaan dari Pat Kwa besar itu segera berjalan mendekati gambar tadi kemudian ditekannya keras-keras ke arah bagian Soen serta Kian di atas lukisan tadi.
Kraaak...! diiringi suara yang nyaring, batu besar tadi secara tiba-tiba bergeser ke arah belakang dan muncullah sebuah lubang gua yang besar.
Menyaksikan hal itu Ouw-yang Gong segera menjulurkan lidahnya sambil berseru dengan nada tercengang : "Neneknya...
tak nyana kalian partai Thiam cong masih mempunyai suatu tempat yang rahasia sekali letaknya..." "Hati-hati...
di dalam ada orang!" bisik Pek In Hoei memberi peringatan, sinar matanya berkilat tajam.
Ouw-yang Gong adalah seorang manusia berwatak berangasan, mendengar di dalam gua tersembunyi jago Bu lim yang lihay, hawa amarah dalam dadanya kontan berkobar, sembari putar huncwee gedenya ke tengah udara ia maju dua langkah ke depan.
"Anak kura-kura dari mana yang bersembunyi di dalam, ayoh cepat menggelinding keluar..." teriaknya.
"Lihat serangan..." Dari balik gua yang hitam dan gelap pekat muncul suara bentakan nyaring disusul tiga titik cahaya bintang yang berkilauan laksana kilat meluncur keluar dalam posisi segi tiga.
Ouw-yang Gong segera ayunkan huncweenya untuk ke depan menangkis, makinya : "Maknya...
rupanya kau berani makan tahu buatan loocu..." Tiiiing...! Tiiiing...! Tiiiing...! ketiga buah titik cahaya bintang yang berkilauan itu segera tersapu rontok oleh jangkauan huncwee gede dan menggeletak di atas tanah.
Setelah senjata rahasia dilepaskan dari dalam gua, kembali berkumandang keluar suara bentakan keras laksana guntur membelah bumi, terlihatlah tiga orang toosu muda sambil mencekal pedang tajam menyerbu keluar dari tempat persembunyiannya bagaikan kalap.
"Haaaah... haaaah... haaaah... rupanya kalian anakan kura-kura yang bikin keonaran di sini," jengek Ouw- yang Gong sambil tertawa tergelak.
Dengan cepat senjata huncwee gedenya diputar kencang, memakai satu gerakan jurus yang aneh tahu-tahu ia sudah totok jalan darah di atas pergelangan ke-tiga orang toosu muda itu sehingga detik itu juga tiga bilah pedang sama-sama terlepas dari cekalannya.
Betapa terkesiapnya hati ke-tiga orang toosu mudah itu setelah menyaksikan kelihayan orang, air muka mereka berubah hebat sementara matanya memandang ke arah si orang tua berhuncwee besar itu dengan sinar mendelong, sikap mereka seolah-olah masih sangsi kalau seorang kakek tua bangka ternyata memiliki kepandaian silat yang demikian lihaynya.
"Siapakh kalian?" hardik Pek In Hoei dengan suara dingin, "mengapa kamu sekalian bersembunyi di sini..." Air muka ke-tiga orang toosu muda ini berubah semakin hebat, sambil menunjukkan ketakutan yang tak terhingga mereka pejamkan matanya rapat-rapat, terhadap teguran serta pertanyaan dari Pek In Hoei, bukan saja tidak menggubris bahkan seakan-akan mereka sudah tidak memikirkan tentang mati hidupnya lagi.
Pek In Hoei ulangi lagi pertanyaan itu sampai beberapa kali, tapi ke-tiga orang toosu muda itu tetap tidak ambil peduli dan berlagak pilon, lama kelamaan Ouw-yang Gong tidak kuat menahan diri, ia jadi gusar dan segera memerseni sebuah tempelengan keras ke atas pipi masing-masing toosu muda itu.
"Plooook!... Plooook!... Plooook!" Suara gaplokan nyaring berkumandang memecahkan kesunyian, setelah ditampar keras ke-tiga orang toosu muda itu mendadak membuka matanya dan melotot ke arah Ouw-yang Gong dengan sinar mata penuh kebencian.
Terdengar orang-orang itu berkata hampir berbareng : Kami anak murid partai Thiam cong bukanlah manusia yang takut diancam atau disiksa, sekaligus kau bajingan tua hendak membinasakan diri kami pun, tak nanti kami buka suara barang setengah kejap pun untuk menjawab pertanyaanmu..." "Apa" Kalian adalah anak murid partai Thiam cong?" seru Pek In Hoei dengan hati terperanjat, "Aku pun anak murid partai Thiam cong..." Dengan pandangan sangsi ke-tiga orang toosu itu menatap wajah Pek In Hoei tajam-tajam, jelas mereka tidak percaya kalau si Jago Pedang Berdarah Dingin adalah anak murid partai Thiam cong, serta merta ke-tiga orang itu meludah ke lantai dengan pandangan menghina.
Sikap mereka yang pasrah dan sama sekali tidak takut menghadapi kematian ini justru malah mencengangkan hati Pek In Hoei serta Ouw-yang Gong, untuk beberapa saat lamanya mereka berdiri termangu-mangu.
Terdengar salah satu di antara ke-tiga orang toosu itu berkata dengan suara dingin : "Kau tak usah membohongi kami dengan pengakuan tersebut, partai Thiam cong kecuali tinggal kami bertiga yang masih hidup, belum pernah kami dengar ada anak murid lain yang berhasil meloloskan diri dari pembunuhan sadis malam itu..." Pek In Hoei tahu bahwa mereka tak akan percaya kalau dirinya adalah anak murid partai Thiam cong, maka sepasang tangannya segera bergerak meloloskan pedang mustika penghancur sang surya yang tersoren di atas punggungnya, kemudian diayunkan di hadapan mereka bertiga.
Babatan kilat ini mengejutkan ke-tiga orang toosu muda itu, saking kaget dan takutnya wajah mereka jadi pucat pias bagaikan mayat, sepatah kata pun tak sanggup diucapkan keluar.
Sembari merentangkan pedang tadi ke depan, kembali pemuda she Pek itu berkata : "Pedang ini adalah pedang mustika dari partai Thiam cong kita, sekarang kalian tentu sudah percaya bukan kalau aku adalah anak murid partai Thiam cong..." Menyaksikan pedang mustika penghancur sang surya secara tiba-tiba muncul di hadapan mereka, ke-tiga orang toosu muda itu dengan wajah terperanjat buru- buru jatuhkan diri berlutut di atas tanah, kemudian melakukan penghormatan besar sebanyak tiga kali terhadap senjata tersebut.
Toosu muda yang berbicara tadi segera berkata kembali : "Tecu Im Hong, Ching Hong serta Wong Ching tidak tahu kalau..." Si anak muda itu segera memperkenalkan diri.
"Susiok..." dengan wajah tercengang ke-tiga orang toosu muda itu segera berseru, senyuman lega yang enteng dan riang tersungging di atas wajah beberapa orang itu, buru-buru mereka membawa Pek In Hoei serta Ouw-yang Gong menuju ke ruang tengah.
Ching Hong segera mempersiapkan beberapa macam masakan serta seguci arak, mereka berlima pun duduk di atas lantai dan mulai bersantap.
Pek In Hoei tiada niat untuk minum-minum arak, sambil meneguk setegukan ujarnya : "Maksud tujuanku kembali ke atas gunung Thiam cong kali ini adalah hendak mengumpulkan anak murid partai kita yang berkeliaran dalam dunia persilatan tanpa pimpinan untuk membangun kembali partai baru, agar dendam sakit hati terbunuhnya anak murid kita dapat dituntut balas..." "Aaaaai...! Sejak partai kita dibasmi dari muka bumi," kata Im Hong dengan nada murung, "Banyak sekali anak murid kita yang berkeliaran di luaran pada menyembunyikan diri, banyak pula yang menyembunyikan nama serta mengasingkan diri, tak seorang pun yang pernah membicarakan soal partai Thiam cong lagi..." "Maknya...
benar-benar tidak becus dan tak punya semangat," maki Ouw-yang Gong sambil meneguk arak berulang kali, "Sungguh tak nyana partai Thiam cong terdapat pula anak murid semacam itu..." Belum habis ia berkata mendadak air mukanya berubah hebat, dengan gusar ia meraung keras kemudian sambil putar senjata huncwee gedenya ia sapu tubuh Ching Hong, Im Hong serta Wong Ching.
Siapa tahu baru saja tubuhnya bergerak sampai di tengah jalan, mendadak rontok kembali ke bawah, sedang keringat sebesar kacang kedelai mengucur keluar tiada hentinya membasahi seluruh tubuh.
"Bocah cilik, kita tertipu!" teriaknya dengan suara gemetar.
Sebenarnya Pek In Hoei tidak mengerti apa yang telah terjadi, ia ada maksud menghalangi tindakan Ouw-yang Gong yang berangasan itu, tapi pada saat itulah ia merasakan ke-empat anggota badannya sama sekali tak bertenaga, kepalanya jadi pusing dan matanya berkunang-kunang.
Sementara itu ke-tiga orang toosu muda tadi segera menyebarkan diri dan masing-masing mundur lima enam langkah ke belakang, sambil memandang ke arah Ouw-yang Gong serta Pek In Hoei ke-tiga orang itu tertawa terbahak-bahak.
Pek In Hoei terkesiap, satu ingatan dengan cepat berkelebat dalam benaknya : "Aduuh..
bodoh amat diriku ini, kenapa aku tidak ingat kalau tingkatan murid dalam partai Thiam cong terbagi jadi angkatan Hian, Song serta Ching?" Ke-tiga orang toojien ini sama sekali bukan anak murid partai Thiam cong, berhubung aku gelisah dan tidak cermat sekarang mengakibatkan aku terjatuh ke tangan mereka..." Buru-buru ia salurkan hawa murninya untuk melawan daya kerja racun keji yang bersarang dalam tubuhnya, sedang sepasang matanya dengan memancarkan cahaya tajam melotot ke arah ke-tiga orang toosu yang sedang bangga itu dengan pandangan menggidikkan, begitu tajam dan mengerikan sinar matanya membuat ke-tiga orang itu seketika jadi tersurut mundur dengan hati ketakutan.
Ouw-yang Gong sendiri walaupun tubuhnya lemas tak bertenaga, namun mulutnya sama sekali tak mau membungkam, setelah menggerutu beberapa saat lamanya mendadak ia berteriak keras : "Anak jadah cucu monyet, kalian adalah peliharaan anjing betina...
bangsat kamu semua..." Wong Ching maju ke depang menghampiri si kakek konyol itu kemudian digaploknya wajah Ouw-yang Gong keras-keras sambil bentaknya : "Tadi kau paling dan jumawa sekarang aku jauh lebih gagah daripada dirimu..." Ploook...! Ouw-yang Gong seketika merasakan pipinya jadi panas dan linu, dengan gusar ia meraung keras : "Anak jadah peliharaan anjing betina, aku bersumpah akan menjagal dirimu..." Dengan sekuat tenaga ia coba menghimpun segenap sisa tenaga yang dimilikinya ke dalam telapak kanan, setelah itu ditubruknya tubuh Wong Ching sebisa- bisanya, tapi serangan itu sama sekali tak bertenaga dan segera terkulai kembali ke atas tanah.
Im Hong tertawa seram. "Heeeeh... heeeeh... heeeeh... ayoh kita segera kabarkan kepada sucouw kalau kita berhasil menangkap dua orang lagi..." Ching Hong mengiakan, dari sakunya dia segera ambil keluar sebuah tabung bambu.
Serentetan cahaya terang berwarna merah meluncur keluar dari dalam tabung bambu tadi dan meledak di tengah angkasa, tampaklah cahaya terang memenuhi seluruh angkasa...
lama sekali baru sirap dan lenyap.
Taaang! Taaang...! Taaang...!
Suara genta yang nyaring berkumandang memecahkan kesunyian yang mencekam seluruh jagad, begitu keras suara genta tadi sampai mengalun jauh ke dalam lembah sempit.
"Hmmm... Hmmm..." Dalam kuil Sang Ching Koan berkumandang suara dengusan berat, ke-tiga orang toosu muda itu segera menghadap keluar dengan sikap yang sangat menghormat.
"Sudut langit Selatan perguruan Boo Liang Tiong!" Seruan nyaring bergema memenuhi seluruh ruangan, sekilas rasa girang setelah terlintas di atas wajah ke- tiga orang toosu muda itu buru-buru mereka menyahut : "Anak murid Boe Liang membasi partai Thiam cong!" Di tengah seruan-seruan nyaring yang gegap gempita memenuhi seluruh ruangan itulah tampak dari luar ruangan muncul enam orang lelaki kekar yang bertubuh tegap berjalan masuk mengiringi seorang siucay berjubah biru.
Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei merasa hatinya bergetar keras, ia merasa sangat kenal sekali dengan wajah siucay berusia pertengahan itu, mendadak satu ingatan berkelebat dalam benaknya, tanpa terasa ia lantas berpikir : "Aaaaah! Dia adalah Hian Pak dan sekarang menjadi Go Kiam Lam sang ketua dari perguruan Boo Liang Tiong..." Begitu berjumpa muka dengan musuh besar pembasmi partai Thiam cong yang paling dibencinya selama ini, Go Kiam Lam ketua perguruan Boo Liang Tiong, darah panas dalam rongga dadanya seketika itu juga bergolak keras, suatu perasaan gusar yang tak terkirakan berkobar dalam hatinya membuat ia pengin sekali menubruk ke depan dan menghancurlumatkan tubuh orang itu.
Sepasang matanya berkilat tajam, dengan dingin dan menyeramkan ia tatap wajah Go Kiam Lam tanpa berkedip.
Go Kiam Lam sendiri dengan wajah terkejut bercampur tercengang memandang pula ke arah ke- dua orang itu, dari atas wajah Ouw-yang Gong ia segera pusatkan semua perhatiannya di atas wajah Pek In Hoei si Jago Pedang Berdarah Dingin.
"Kau adalah..." "Hmmm! Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei bukan lain adalah diri cayhe, kalau daya ingatanmu tidak jelek semestinya bisa mengingat kembali siapakah aku..." Go Kiam Lam segera tertawa seram.
"Haaaah... haaaah... haaaah... aku telah menduga bahwa suatu saat kau pasti akan kembali kemari, maka kuperintahkan anak murid perguruan Boo Liang Tiong untuk berjaga di sini siang malam, sungguh tak nyana begitu cepatnya kau masuk jebakan..." Seolah-olah merasa sangat bangga dengan hasil yang diperolehnya saat ini, satu senyuman licik tersungging di atas wajahnya, ia berkata kembali dengan nada dingin : "Sejak kau terjunkan diri ke dalam dunia persilatan,anak murid perguruan Boo Liang Tiong kami setiap saat selalu memperhatikan gerak-gerikmu, nama besar si Jago Pedang Berdarah Dingin yang kau peroleh dianggap sebagai bibit bencana yang terbesar bagi perguruan kami, karena itu kami telah bersumpah untuk mendapatkan dirimu.
Hmmm!..." Setelah tertawa dingin berulang kali, mendadak ujarnya lagi dengan suara ketus : "Kau telah menelan obat 'Lio Hong Lok' buatan perguruan kami, meskipun racun ini tidak akan sampai melukai orang tapi seluruh tubuhmu menjadi lemas tak bertenaga, kekuatan hawa murni pun tak akan bisa kau himpun kembali.
Sebelum lima jam keadaanmu tetap akan seperti sekarang ini..." "Hmmm...
Hmmm...rupanya kau merasa sangat bangga dengan hasil yang berhasil kau peroleh..." jengek Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
Diam-diam ia telah memaksa racun 'Liok Hong Lok' berkumpul di satu sudut badan dan untuk sementara waktu cairan racun itu tak akan berkembang lebih lanjut, kendati begitu lama kelamaan ia harus kerahkan hawa murninya juga untuk melawan.
Dengan cepat otaknya berputar kencang, pikirnya di dalam hati : "Menggunakan kesempatan sebelum racun Liok Hong Lok itu mulai bekerja, kemungkinan besar aku masih dapat melarikan diri dari gunung Thiam cong ini, tapi bagaimana dengan Ouw-yang Gong..." Teringat akan si huncwee gede itu tanpa teras ia berpaling dan memandang sekejap ke arah kakek konyol itu, tampaklah pada saat itu Ouw-yang Gong sedang memandang ke arah Go Kiam Lam dengan penuh kegusaran.
"Anjing buduk anak jadah!" terdengar ia memaki kalang kabut, "kalian anakan kura-kura hanya bisa mempecundangi orang dengan cara yang rendah dan memalukan, sekalipun aku si huncwee gede terjatuh ke tangan kalian,tapi aku tidak puas..." "Hmmm! Kau si ular asap tua lebih baik sedikitlah tenang dan jangan ribut melulu," seru Go Kiam Lam memperingatkan.
"Kalau kau tidak tahu diri...
Hmmm! siksaan yang bakal kau rasakan nanti bukanlah siksaan biasa yang dapat kau tahan..." Ia sapu sekejap seluruh ruangan dan perintahnya : "Gusur mereka pergi dari sini!" "Sucouw, kedua orang ini akan dikurung di mana?" tanya Wong Ching sambil maju beberapa langkah ke depan.
Go Kiam Lam sebagai seorang ketua dari perguruan Boo Liang Tiong, mempunyai cara berpikir yang lebih mendalam daripada siapa pun jua, dia tahu baik Pek In Hoei si Jago Pedang Berdarah Dingin maupun Ouw- yang Gong adalah jago-jago lihay kelas satu dalam dunia persilatan, bila mana penjagaan tidak dilakukan dengan ketat, niscaya mereka akan berhasil melepaskan diri dari kurungan.
Ia berpikir sebentar lalu berkata : "Tempat manakah yang paling sesuai di sini?" Wong Ching segera menuding ke arah sebuah sumur kering di luar ruang tengah dan segera sahutnya : "Tecu berani menjamin tak akan ada orang yang bisa menyelamatkan mereka dari sini, karena sumur kering itu..." "Baik!" tukas Go Kiam Lam sambil kibaskan tangannya.
"Aku hendak menggunakan batok kepala ke-dua orang itu untuk bersembahyang bagi arwah- arwah anak murid perguruan Boo Liang Tiong kami yang telah mati, sampaikan perintah agar malam ini juga semua anak murid Boo Liang Tiong berkumpul di sini..." Wong Ching, Im Hong serta Ching Hong segera memberi hormat dan mengiakan sambil menggusur Pek In Hoei serta Ouw-yang Gong mereka mengundurkan diri dari ruangan itu.
"Hmmm! pada saat itulah dengusan dingin berkumandang memecahkan kesunyian, dengan kecepatan laksana sambaran kilat tahu-tahu Pek In Hoei telah menggerakkan tubuhnya melancarkan serangan dahsyat ke arah ke-tiga orang itu.
Blaaaam...! Aduuuuh... Angin puyuh menyapu lewat, di tengah jeritan ngeri yang menyayatkan hati ke-tiga orang toosu muda itu mencelat ke angkasa dan menumbuk patung arca di tengah ruangan besar, darah segar muncrat berhamburan di atas lantai.
Bruuuk! Bruuuk! Bruuuuuk! tiga kali bentrokan keras, dengan kepala hancur remuk ke-tiga orang toosu muda itu mati binasa di atas tanah, otaknya berceceran di mana-mana dengan genangan darah yang kental dan berbau amis.
Air muka Go Kiam Lam berubah hebat, bentaknya penuh kegusaran : "Pek In Hoei, kau cari mati!" Badannya bergerak maju ke depan kemudian laksana kilat melancarkan satu babatan maut, segulung hawa pukulan yang maha dahsyat dengan cepatnya menggulung ke depan menghajar tubuh Pek In Hoei yang sedang berada di tengah udara.
Buru-buru Pek In Hoei mengigos ke samping serunya gelisah : "Ular asap tua, apakah kau masih mampu?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... terlalu banyak arak yang telah kuminum, kau pergilah lebih dulu..." Pek In Hoei segera mencabut keluar pedang mustika penghancur sang suryanya, kemudian dengan menciptakan serentetan cahaya pedang yang dingin dan tajam ia membentak keras, senjatanya langsung diayunkan membabat tubuh para jago yang sedang mengejar datang.
Menyaksikan betapa dahsyatnya serangan itu, para jago lihay itu jadi ketakutan, buru-buru mereka mengundurkan diri ke belakang.
Go Kiam Lam segera menggerakkan pedangnya melancarkan serangan berantai, bentaknya : "Jangan lepaskan barang seorang pun di antara mereka, keparat cilik itu tak akan bisa bertahan terlalu lama." Sebagai ketua dari perguruan Boo Liang Tiong, kekuatan lweekang yang dimiliki Go Kiam Lam sudah tentu luar biasa sekali, di tangan bergetarnya sang pedang segera meluncurlah cahaya kilat yang menggidikkan hati, dengan mengeluarkan jurus 'Hwie Gong Cap Sam Cian' atau tiga belas babatan memenggal udara kosong ia ciptakan tiga belas jalur cahaya pedang yang segera mengurung tubuh lawan.
Air muka Pek In Hoei berubah hebat, satu ingatan dengan cepat berkelebat di dalam benaknya : "Sungguh tak nyana tenaga lweekang yang dimiliki Go Kiam Lam sedemikian sempurna dan lihaynya, kepandaian ilmu pedang pun sangat mengerikan hati..." Seluruh kekuatan tubuhnya segera dihimpun ke ujung pedangnya, cahaya kilat menyambar sambil menciptakan selapis hawa kabut berwarna hijau ia balas melancarkan satu babatan.
Criiing...! Sepasang pedang saling beradu satu sama lainnya menimbulkan suara dentingan nyaring, Go Kiam Lam segera merasakan tangannya jadi enteng dan tahu-tahu pedang di dalam genggamannya telah patah jadi dua bagian.
"Aaaaah...!" dengan perasan tercengang bercampur kaget ia menyusut mundur beberapa langkah ke belakang dan serunya dengan hati terkesiap.
"Pedang mustika penghancur sang surya...
pedang mustika penghancur sang surya..." Menggunakan kesempatan di kala Go Kiam Lam sedang berdiri tertegun itulah,dengan cepat si Jago Pedang Berdarah Dingin melayang mundur ke belakang, berada di tengah udara ia berputar membentuk satu lingkaran kemudian sambil menyambar tubuh Ouw-yang Gong segera menerjang keluar dari ruangan tersebut.
Enam orang lelaki kekar yang muncul bersama-sama dengan Go Kiam Lam tadi segera membentak berbareng masing-masing sambil merentangkan pedangnya berdiri menghadang di depan pintu.
Sepasang mata Pek In Hoei berkilat, bentaknya : "Siapa berani tidak menyingkir, jangan salahkan kalau aku bertindak telengas." Cahaya pedang bergetar kencang, secara beruntun tiga orang jago lihay itu kembali terluka di ujung pedangnya.
Menyaksikan betapa lihay dan ampuhnya ilmu pedang yang dimiliki pihak lawan, para jago itu jadi terkesiap, mereka bersama-sama meloncat mundur ke belakang dan bertahan di satu sudut.
"Hmmm!" Go Kiam Lam mendengus dingin.
"Pek In Hoei, kau tak bakal bisa lolos dari sini!" "Heeeh...
heeeh... heeeh... belum tentu..." Segulung angin pukulan yang berat dan mantap mendadak menggulung datang dari belakang punggungnya, ia membentak keras pedangnya segera diputar mengirim babatan ke belakang, menggunakan kesempatan itu badannya segera menerjang kembali ke depan.
"Hiaaat...!" seorang lelaki kekar melancarkan sebuah tusukan dari samping kalangan.
Pek In Hoei segera menangkis datangnya ancaman itu, kakinya melayang mengirim satu tendangan...
dan... jeritan ngeri segera bergema memenuhi seluruh ruangan, lelaki tadi seketika juga menemui ajalnya di ujung kaki pemuda tersebut.
Bagian 21 MENYAKSIKAN beberapa orang anak buahnya telah jatuh korban, Go Kiam Lam benar-benar naik pitam dibuatnya, ia segera berteriak keras : "Pek In Hoei, sejak hari ini kami anak murid dari perguruan Boo Liang Tiong bersumpah tak akan hidup berdampingan dengan dirimu..." Dengan penuh kemarahan ia lancarkan beberapa buah pukulan gencar, angin serangan yang amat dahsyat pun segera menyapu seluruh kalangan.
Pek In Hoei mendengus berat, ia geserkan badannya meloloskan diri dari ancaman lawan, setelah lolos dari ke-tiga serangan mematikan itu tubuhnya mencelat ke angkasa dan meluncur turun dari bukit Thiam cong san.
Go Kiam Lam jadi luar biasa mendongkolnya, ia berkaok-kaok keras memaki kalang kabut : "Pek In Hoei, sekalipun kau melarikan diri ke ujung langit atau ke dasar samudara, aku bersumpah akan menangkap dirimu kembali." Bentakan-bentakan berat berkumandang datang menggetarkan seluruh bukit Thiam cong, Pek In Hoei tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingnya lagi segera berlari kencang menerjang masuk ke dalam hutan.
Entah berapa jam ia sudah lari, mendadak tubuhnya mulai sempoyongan dan keringat sebesar kacang kedelai mengucur keluar tiada hentinya.
Dengan penuh penderitaan ia mendengus, lalu gumamnya seorang diri : "Sungguh tak nyana daya kerja racun Liok Hong Lok begini cepat kambuhnya, aaaa....! Rupanya ini hari aku bakal terkurung di atas gunung Thiam cong san ini...
sungguh tak nyana partai Thiam cong bakal menderita kalah sedemikian hebatnya, sampai untuk kembali ke atas gunungnya sendiri pun tak mampu..." Gelak tertawanya mengenaskan sekali membuat seluruh daun dan ranting dalam hutan bergetar keras.
"Bocah keparat, kau..." seru Ouw-yang Gong dengan wajah berubah hebat.
Pek In Hoei tidak menjawab, ia cuma tertawa keras dengan suara yang sangat mengenaskan...
DALAM pada itu Go Kiam Lam si ketua perguruan Boo Liang Tiong, tatkala menyaksikan Pek In Hoei serta Ouw-yang Gong melarikan diri masuk ke dalam sebuah hutan, hawa gusarnya seketika berkobar, sambil menerjang keluar dari ruangan bentaknya keras-keras: "Tangkap dan hadang jalan pergi ke-dua orang bangsat itu, jangan pedulikan mati hidup mereka lagi..." Anak murid perguruan Boo Liang Tiong menyahut berbareng dan segera gerakkan tubuh masing-masing untuk melakukan pengejaran.
Mendadak... Di tengah kesunyian yang mencekam seluruh jagad berkumandang datang suara pekikan irama khiem yang panjang dan tajam...
Ting... tiing... suara itu begitu tajam dan indah membuat para jago lihay dari perguruan Boo Liang Tiong segera menghentikan gerakan tubuhnya dan berdiri termangu-mangu sambil menikmati merdu serta indahnya suara khiem tersebut.
Go Kiam Lam sendiri pun dibuat tertegun oleh kejadian yang berlangsung secara tiba-tiba itu, pikirnya dengan cepat : "Irama khiem ini muncul secara tiba-tiba dan aneh sekali, entah siapakah yang dapat memetik khiem memainkan irama lagu yang begini mempersonakan..." Ia memandang jauh ke depan, terasalah irama lagu yang begitu merdu serta empuknya itu seakan-akan muncul dari delapan penjuru, kecuali irama yang menggema di angkasa sama sekali tidak nampak sesosok bayangan manusia pun yang muncul di sana..." Bayangan tubuh Pek In Hoei serta Ouw-yang Gong dengan cepatnya lenyap di balik pepohonan yang luas, ia jadi terperanjat dan segera bentaknya gusar : "Kalian semua pengin mati" Ayoh cepat kejar ke-dua orang itu..." Bagaikan tersadar dari satu impian yang sangat indah, para jago dari perguruan Boo Liang Tiong itu segera sadar kembali dari lamunan mereka, diiringi teriakan- teriakan keras, mereka pun melakukan pengejaran kembali.
Belum sampai para jago lihay itu melangkah masuk ke dalam hutan, dari balik pepohonan mendadak terdengar suara helaan napas panjang, seorang perempuan berbaju serba hitam perlahan-lahan munculkan diri di hadapan mereka.
Dalam pangkuannya memeluk sebuah khiem kuno, wajahnya tertutup oleh selapis kain kerudung berwarna hitam, kecuali sepasang matanya yang bening dan tajam sedang mengawasi kawanan jago lihay itu, tak nampak anggota badan lainnya.
Ketika itu ke-lima jari tangannya yang runcing dan halus sedang menarik-narik di antara senar khiemnya.
Tiiiing...! Tiiiing...! Tiiiing...! irama merdu berkumandang tiada hentinya membuat anak murid dari perguruan Boo Liang Tiong itu berdiri termangu-mangu, perhatian mereka semua telah terhisap oleh kehadiran perempuan misterius berbaju hitam itu.
Terdengar wanita berkerudung itu menghela napas sedih, lalu berkata : "Aaaai...! kalian adalah orang yang punya kepandaian semua, sejak aku berlatih main khiem hingga kini belum pernah kujumpai ada banyak orang yang mendengarkan irama kasar yang dimainkan seorang perempuan..." Suaranya halus dan ucapannya merdu enak didengar, membuat setiap orang merasakan hatinya jadi enteng dan segar.
Anak murid perguruan Boo Liang Tiong yang pada hari biasa selalu mendapat pengawasan serta pendidikan yang keras oleh Go Kiam Lam, setelah menghadapi kejadian seperti ini, sembilan puluh persen dari mereka jadi leleh oleh keayuan serta kehalusan orang, tanpa sadar mereka dibikin kesemsem oleh perempuan ini.
Dengan cepat Go Kiam Lam enjotkan badannya melayang ke depan lalu bentaknya keras : "Siapa kau" Tahukah kau bahwa gunung Thiam cong san ini..." Dengan pandangan dingin perempuan berkerudung hitam itu melirik sekejap ke arahnya kemudian menjawab : "Saudara jien heng ini kenapa begitu tak tahu sopan santun" Gunung Thiam cong san toh bukan istana emas yang tidak boleh dikunjungi orang lain, kalian boleh datang kemari kenapa kami tak boleh datang ke sini pula..." Go Kiam Lam tertegun, untuk beberapa saat lamanya ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Ditatapnya perempuan ini dengan lebih seksama, dengan cepat ia telah menyadari bahwa kehadiran yang secara mendadak oleh perempuan ini pasti mengandung sesuatu maksud tertentu.
Ia segera mendengus dingin dan kembali menegur : "Kau jangan sengaja main licik di hadapanku, tempat ini bukanlah tempat yang baik untuk kau kunjungi..." Mendadak perempuan berkerudung hitamitu tertawa merdu.
"Apa gunanya disebabkan karena satu persoalan kecil di antara kita harus terjadi suatu bentrokan yang tak berguna " Anggap sajalah kesalahan siauw li yang telah mengganggu ketenangan kalian semua.
Di sini aku memberi hormat terlebih dahulu..." Setelah menjura ke arah semua orang, ia berkata lagi diiringi senyuman manis : "Gunung sepi kuil terpencil menyedihkan hati, bagaimana kalau siauw li mainkan sebuah lagu indah untuk menghibur hati cuwi sekalian..." Tanpa menunggu apakah pihak lawan setuju atau tidak, ia mulai menggerakkan jari tangannya memetik senar tali khiem dan memainkan sebuah lagu yang amat sedih...
Go Kiam Lam segera menyentilkan ujung jarinya ke arah tubuh perempuan itu, bentaknya : "Sungguh lihay kepandaian yang nona miliki!" Perempuan berbaju hitam itu menggeserkan badannya ke samping meloloskan diri dari ancaman, setelah itu sahutnya merdu : "Ruas jari-jari tanganmu terlalu kasar, bukan bakat yang bagus untuk belajar memetik khiem..." Gerakan tubuhnya untuk menghindar amat lincah dan gesit, dengan suatu kelitan yang manis tahu-tahu ia telah melepaskan diri dari ancaman jari Go Kiam Lam, hal ini membuat hati gembong iblis itu jadi amat terperanjat.
"Ooooh... sungguh tak kusangka ternyata kau pun seorang jago silat yang lihay..." Secara beruntun ia melancarkan tujuh delapan buah serangan berantai meneter pihak lawannya,tapi kembali ia dibikin terkesiap oleh gerakan orang yang ternyata dapt menghindarkan diri dari semua ancaman tersebut, buru-buru ia melayang mundur ke belakang seraya menegur dengan suara dingin : "Nona, apa sebabnya kau mencari permusuhan dengan kami, orang-orang dari perguruan Boo Liang Tiong" Silahkan kau segera menyingkir dari sini, kami harus segera mengejar buronan penting dari perguruan kami..." "Siapa sih yang sedang kau kejar" Mungkin aku tahu jejaknya..." seru perempuan itu.
Melihat perempuan berkerudung hitam ini selalu menghadang jalan pergi mereka untuk memasuki hutan belantara itu, Go Kiam Lam segera sadar bahwa perempuan yang tidak diketahui asal usulnya ini memang ada maksud menyusahkan dirinya, sebuah pukulan dahsyat segera dilancarkan.
"Ayoh menyingkir!" "Kalian dilarang untuk melewati tempat ini!" sahut perempuan berkerudung hitam itu sambil menutulkan khiem kunonya ke depan.
Merasakan urat nadi penting di atas pergelangan tangannya terancam oleh totokan lawan, dengan hati terkesiap cepat-cepat Go Kiam Lam tarik kembali tangannya sambil meloncat mundur ke belakang.
"Rupanya kau pengin modar!" ia menghardik.
Sementara ia bersiap-siap melancarkan serangan mematikan, mendadak perempuan itu mengundurkan diri ke belakang seraya berkata : "Di tempat ini tiada orang yang sedang kalian kejar, di depan sana merupakan tempat sembahyang bagi lelayon mendiang leluhur siauw li, kalian berani mengganggu orang tua kami yang telah meninggal itu...
Hmmm! Jangan salahkan kalau aku bakal mencari kalian untuk mengadu jiwa..." Go Kiam Lam tertegun, untuk sesaat lamanya ia berdiri menjublak tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Ia tak menyangka kalau perempuan itu secara tiba-tiba bisa mengutarakan kata-kata seperti itu.
Sebagai seorang ketua dari suatu perguruan besar sudah tentu ia tak mau mempercayai perkataan orang dengan begitu saja.
Setelah termenung beberapa saat lamanya, dengan alis berkerut ia segera tertawa dingin.
"Seratus li di sekeliling gunung Thiam cong san tiada rumah penduduk, nona, lebih baik kau jangan mengajak kami untuk bergurau..." "Hmmm! Kalau kalian tidak percaya silahkan pergi memeriksanya, kalau ucapanku tidak salah maka kau harus berlutut di depan layon mendiang orang tuaku untuk mohon maaf kalau tidak aku tak akan mengampuni dirimu..." Go Kiam Lam mendengus dingin, dengan memimpin anak muridnya ia segera masuk ke dalam hutan itu.
Dari balik hutan yang gelap dan lebat secara lapat- lapat tersiar bau busuk yang memuakkan, tidak selang beberapa saat kemudian sampailah mereka di tengah hutan, di situ tampaklah sebuah rumah gubuk yang terang di bawah sorot cahaya lampu lentera.
Go Kiam Lam tertawa dingin, sambil mendorong pintu ia segera melangkah masuk ke dalam.
Tapi dengan cepat senyuman yang semula menghiasi bibirnya lenyap tak berbekas, ia berdiri termangu-mangu tanpa sanggup berbuat sesuatu apa pun.
Tampaklah di balik horden kain putih yang menutupi ruangan membujurlah dua buah peti mati berwarna merah, peti-peti mati itu terletak di tengah ruangan dihiasi lampu lilin serta asap hio yang tebal, suasana terasa serius dan diliputi kesedihan.
Di depan meja lelayon duduk seorang gadis berbaju putih, waktu itu dengan pandangan termangu-mangu sedang menatap sebuah huruf besar yang terpasang di tengah meja sembahyang, terhadap kehadiran para jago lihay dari perguruan Boo Liang Tiong ini ternyata sama sekali tidak menggubris.
Setelah berdiri termangu-mangu beberapa saat lamanya, ia siap mengundurkan diri dari situ.
Mendadak terasa segulung desiran angin tajam menyebar lewat di belakang tubuhnya, Go Kiam Lam terperanjat buru-buru ia berkelit ke samping untuk menghindarkan diri.
Menanti ia berpaling ke belakang, tampaklah perempuan berkerudung hitam itu sambil memeluk khiem antiknya telah berjaga-jaga di depan pintu dengan sikap dingin.
"Hmmm...! sekarang kau sudah percaya bukan?" tegurnya ketus.
Go Kiam Lam jadi gelagapan dan tak sanggup memberi jawaban, mendadak satu ingatan berkelebat dalam benaknya, sambil menuding ke arah peti-peti mati itu ia bertanya : "Mayat siapakah yang berada di dalam peti mati itu?" Perempuan berkerudung kain hitam itu tertawa dingin.
"Mendiang orang tuaku! Hmmm! Secara gegabah kau telah memasuki ruang layon kami sehingga membuat sukma mendiang orang tua kami tidak senang di alam baka, mulai detik ini juga kau adalah musuh besarku, ayo cepat berlutut dan minta ampun..." Dengan sepasang alis berkerut Go Kiam Lam maju menghampiri kedua buah peti mati itu, tangan kiri serta tangan kanannya masing-masing ditekankan ke atas peti mati tadi, dan serunya hambar : "Maaf, cayhe telah mengganggu kalian." Melihat perbuatan orang itu, baik dara berbaju putih itu maupun perempuan berkerudung hitam sama- sama berubah air mukanya, dara berbaju putih itu segera membentak gusar, tubuhnya menerjang maju ke depan sambil melancarkan satu pukulan dahsyat.
"Kau berani!" hardiknya.
Cepat-cepat Go Kiam Lam meloncat ke samping meloloskan diri dari ancaman.
"Cayhe mohon diri terlebih dahulu," katanya.
"Bila mana kami telah mengganggu ketenangan kalian, di kemudian hari pasti akan mohon maaf..." Selesai berkata ia segera ulapkan tangannya, para jago lihay dari perguruan Boo Liang Tiong dengan cepat mengikuti di belakang ketuanya berlalu dari hutan tadi dan dalam sekejap mata telah lenyap dari pandangan mata.
Berdiri di depan pintu perempuan berkerudung hitam itu membentak keras : "Go Kiam Lam, hutang yang kita perbuat hari ini kami catat atas namamu..." Suara yang amat nyaring menggema hingga ke tempat kejauhan membuat daun dan ranting bergetar keras, lama sekali baru sirap.
Memandang bekas telapak lima jari di atas peti mati itu, dua titik air mata jatuh berlinang membasahi pipi dara berbaju putih itu, sikap serta wajahnya yang sedih dan mengenaskan itu membuat perempuan berbaju hitam yang menyaksikan dari samping pun ikut beriba hati.
Terdengar perempuan berkerudung hitam itu menghela napas panjang, lalu berkata : "Chin Siang, kau tak usah sedih, walaupun ilmu Toa Lek Im Jiaw dari Go Kiam Lam tersohor karena kekejian serta kehebatannya, tak nanti kepandaian itu berhasil melukai diri Pek In Hoei..." Perlahan-lahan ia berjalan ke depan peti mati itu, membuka penutupnya dan tampaklah si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei dengan wajah kuning keemas-emasan menutup matanya rapat-rapat dan berbaring dalam peti mati tersebut.
Perempuan berbaju hitam itu melepaskan kain kerudungnya yang berwarna hitam hingga terlihat raut wajahnya yang cantik jelita, setelah menyapu sekejap wajah Pek In Hoei, dengan sikap serius katanya sedih : "Sungguh tak nyana tenaga lweekang yang dimiliki Go Kiam Lam telah mencapai pada taraf 'Meminjam benda menyalurkan tenaga'.
Pek In Hoei sudah terkena obat pemunah tenaga 'Liok Hong Lok' sudah tentu ia tak dapat menggunakan kekuatan tubuhnya untuk menahan serangan Toa Lek Im Jiauw kang tersebut.
Kalau dilihat raut wajahnya yang kuning keemas-emasan jelas luka yang dideritanya tidak ringan..." Wie Chin Siang yang mendengar ucapan itu bergetar keras hatinya seakan-akan guntur membelah bumi di siang hari bolong, dengan sempoyongan ia mundur lima langkah ke belakang lalu serunya sedih : "Suhu, kau harus mencari akal untuk menyelamatkan jiwanya..." Perempuan berbaju hitam yang bukan lain adalah Kiem In Eng si Dewi Khiem Bertangan Sembilan, tampak ia termenung berpikir sebentar lalu gelengkan kepalanya berulang kali.
"Aaaai... ilmu cakar sakti Toa Lek Im Jiauw kang termasuk salah satu di antara lima macam kepandaian paling keji di kolong langit, setelah Pek In Hoei terkena serangan ilmu beracun itu, aku rasa untuk sesaat memang sulit untuk menolongnya..." Perkataan yang diucapkan dengan nada rendah dan perlahan ini menggelisahkan hati Wie Chin Siang hingga membuat wajahnya berubah hebat dan butir air mata jatuh berlinang membasahi pipinya dengan pandangan mendelong ia awasi gurunya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Kembali Kiem In Eng menghela napas panjang.
"Aaaai...! kesemuanya ini adalah gara-gara kedatangan kita yang terlambat, hingga mengakibatkan ia dicelakai oleh Go Kiam Lam sedangkan aku...
karena tidak leluasa untuk unjukkan diri sulit pula untuk mencegah peristiwa ini..." Wie Chin Siang tidak bicara, mendadak ia cbut keluar pedangnya dan diayunkan ke tengah udara sehingga membentuk sekilas cahaya tajam yang menyilaukan mata, wajah yang murung dan sedih seketika lenyap tak berbekas diganti dengan wajah bening yang penuh diliputi hawa napsu membunuh.
"Aku akan pergi mencari Go Kiam Lam untuk beradu jiwa," serunya.
"Akan kupaksa dirinya untuk serahkan obat penawar racun pukulannya, kalau tidak maka akan kubunuh semua orang yang ada di gunung Thiam cong agar darah segar membasahi seluruh jagad..."
"Chin Siang kau tak boleh berbuat begitu," cegah gurunya seraya menggeleng.
"Walaupun perbuatanmu itu bisa membalas dendam sakit hatinya tetapi sama sekali tidak berguna bagi Pek In Hoei, perbuatanmu itu hanya akan mempercepat kematiannya belaka, lagi pula perguruan yang dipimpin Go Kiam Lam mempunyai hubungan yang erat sekali dengan sucouwmu, di sinilah letak ketidakleluasaan gurumu untuk bertindak secara terang-terangan, maka satu- satunya jalan yang dapat kita tempuh sekarang adalah mencari akal lain untuk mendapat obat pemunah..." Mendadak ia tertawa dan menggape ke arah gadis itu.
"Nak, masuklah kemari!" Dengan pandangan tidak mengerti Wie Chin Siang memandang ke arah suhunya kemudian perlahan- lahan maju ke depan dan berdiri di hadapan gurunya dengan sikap hormat.
Rahasia Istana Kuno 2 Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois Jeritan Kucing Setan 1
^