Pencarian

Imam Tanpa Bayangan 9

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 9


Dalam pada itu setelah mengetahui siapakah yang telah datang, baik kisp Cia Toa Hiong maupun Boen Soe-ya sama-sama tunjukkan sikap yang sangat menghormat, setelah memberi hormat sapanya berbareng : "Nona Sang Kwan!" "Huuuh, kalian dua orang lawan satu orang, apakah tidak terlalu menjual muka para enghiong dari wilayah Lam Ciang..." sindir Sang Kwan Cing sinis.
Merah jengah selembar wajah Cia Toa Hiong.
"Tentang soal ini..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... Loohu adalah penduduk kota Kwan Lok," seru Boen Soe-ya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Dengan kalian jago-jago dari wilayah Lam Ciang sama sekali tiada hubungan..." "Oooh jadi kalau enghiong dari kota Kwan Lok lantas mencari kemenangan dengan andalkan jumlah banyak?" Jadi kalau berasal dari Kwan Lok lantas boleh main kerubutan..." "Soal ini..." Boen Soe-ya tertegun, untuk beberapa saat lamanya ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Pek In Hoei melirik sekejap ke arah Cia Toa Hiong serta Boen Soe-ya, kemudian ujarnya pula dengan nada dingin.
"Manusia yang mencari nama dengan jalan paksaan, biasanya kebanyakan merupakan manusia-manusia berpipi tebal yang tak tahu malu..." Bagian 26 MENDENGAR perkataan itu Sang Kwan Cing kerutkan alisnya setelah mengerling sekejap ke arah pemuda itu serunya dingin : "Aku menegur mereka bukanlah berarti membantu dirimu, persoalan ini adalah urusan pribadi kami orang-orang dari wilayah Lam Ciang, oleh sebab itu lebih baik janganlah bicara yang bukan-bukan dan kurangi perkataan yang tak berguna daripada mendapat teguran yang pedas.
Pek In Hoei melongo, ia tak menyangka kalau sikap dara muda itu jauh bertentangan dengan watak manusia biasa, sebagai seorang pemuda yang sombong dan tinggi hati tentu saja Pek In Hoei tak mau mandah ditegur.
Setelah mendengus dingin katanya dengan nada sinis : "Aku tidak membutuhkan bantuanmu, lebih baik kau segera enyah dari tempat ini..." "Sungguh takabur kau ini!" bentak Sang Kwan Cing dengan wajah berubah hebat.
"Walaupun kami orang- orang dari selat Seng See Kok tak pernah mencampuri urusan keduniawian, tetapi kami tak akan berpeluk tangan belaka menghadapi manusia jumawa yang sedikit pun tidak memandang sebelah mata terhadap orang lain macam dirimu..." Diam-diam Cia Toa Hiong bergirang hati melihat gadis itu sudah mulai bersilat lidah dengan musuhnya, ia segera menimbrung : "Nona Sang kwan, Pun Poocu atas nama beratus-ratus orang jago dari wilayah Lam Ciang menyatakan salut yang setinggi-tingginya kepada nona, di samping itu loohu pun siap mendampingi di sisi nona untuk bertempur hingga titik darah penghabisan melawan si Jago Pedang Berdarah Dingin..." "Tentang soal ini sih aku tak berani menerimanya," tukas Sang Kwan Cing dingin.
"Masalah partai Thiam cong hendak mengusir para jago keluar dari wilayah Lam Ciang sudah bukan merupakan masalah pribadi seseorang lagi, bila pelbagai perguruan tidak bersatu mulai sekarang mungkin wilayah Lam Ciang dalam waktu singkat akan terjatuh ke tangan partai Thiam cong..." Sinar matanya beralih melirik sekejap ke arah Pek In Hoei, kemudian sambungnya lebih jauh : "Bila kau ingin memusuhi beratus-ratus orang jago yang ada di wilayah Lam Ciang hanya mengandalkan kekuatanmu seorang, mungkin kekuatan itu terlalu miring dan tak masuk dalam bilangan, terutama sekali anak murid partai Thiam cong dewasa ini tercerai berai dimana-mana, aku rasa usahamu untuk menghidupkan kembali partai Thiam cong hanya akan berubah jadi gelembung-gelembung udara belaka..." Pek In Hoei tertawa dingin.
"Partai Thiam cong selamanya tak akan terhapus dari muka bumi, sekali pun terhadap tenaga tekanan yang paling dahsyat pun tidak akan menghalangi perjuangan partai Thiam cong untuk menduduki posisinya kembali..." "Huuuh! Posisi apa yang masih dimiliki partai Thiam cong di dalam wilayah Lam Ciang" Gunung Thiam cong san saja sudah bukan menjadi milik kalian, buat apa kau bicarakan tentang kebangkitan partai itu kembali..." "Hmmm! Direbutnya gunung keramat kalian oleh pihak musuh sudah merupakan suatu peristiwa yang paling memalukan, tak nyana kau masih bisa-bisanya untuk dibicarakan kembali..." "Tutup mulut! bentak Pek In Hoei sangat gusar.
"Sekali pun partai Thiam cong telah runtuh tapi aku Pek In Hoei masih punya kemampuan untuk menumbuhkan kembali semangat juang partai kami, aku hendak membangun partai Thiam cong sebagai suatu partai yang terbesar di langit wilayah sebelah selatan..." "Aaaai...
jadi kalau begitu kau sudah mengambil keputusan untuk melakukan pertikaian dengan para enghiong dari wilayah Lam Ciang..." bisik gadis itu sambil menghela napas.
Sekilas cahaya keemas-emasan menembusi langit yang mendung menyoroti permukaan tanah yang berlumpur, hujan akhirnya berhenti dan suasana menjadi hening kembali...
Sambil menghela napas panjang Sang Kwan Cing mendongak ke atas memandang udara yang masih diliputi awan, rambutnya berderai terhembus angin...
tiba-tiba dia alihkan sinar matanya ke arah depan.
Di atas tanah yang berlumpur mendadak berkumandang datang suara derap kaki kuda yang santer memecahkan kesunyian yang mencekam seluruh jagad ketika itu.
Sang Kwan Cing tertawa hambar, bisiknya : "Hek Bin Siuw loo Sak Kioe Kong telah datang..." Seorang kakek berwajah hitam pekat bagaikan pantat kuali muncul di paling depan disusul oleh Sak Toa Bauw serta dua orang pria berbaju hitam, pedang panjang tersoren di punggung masing-masing dengan wajah yang dingin kaku bagaikan es.
Begitu tiba di hadapan Pek In Hoei, beberapa orang itu segera meloncat turun dari kudanya.
Terdengar Sak Toa Bauw tertawa seram, sambil menuding ke arah Pek In Hoei serunya keras : "Ayah, dialah si Jago Pedang Berdarah Dingin!" Sak Kioe Kong mengiakan, setelah melirik sekejap ke arah si Jago Pedang Berdarah Dingin itu dengan pandangan hambar dengan langkah lebar ia menghampiri Sang Kwan Cing, lalu menjura dan menegur : "Nona Sang Kwan, rupanya kau pun sudah mengetahui akan peristiwa ini?"?" Sang Kwan Cing tertawa ewa.
"Di dalam dunia persilatan sudah terjadi peristiwa yang demikian besarnya, semua perguruan yang termasuk dalam wilayah Lam Ciang telah mengetahuinya, tentu saja pihak selat Seng See Kok kami pun telah mendapat kabar, justru kedatanganku kemari adalah ingin melihat macam apakah manusia paling latah yang hendak memasuki wilayah Lam Ciang ini..." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... selat Seng See Kok adalah pemimpin dari pelbagai partai yang ada di wilayah Lam Ciang," ujar Hek Bin Siuw loo Sak Kioe Kong sambil tertawa seram.
"Asalkan nona Sang Kwan suka tampil ke depan, loohu percaya masalah ini akan beres dengan gampangnya.
Hmmm... sungguh tak nyana setelah kemusnahan partai Thiam cong masih terjadi pula gelombang yang begini besar, dan di antara pelbagai partai-partai dalam wilayah Lam Ciang, perkampungan Sak Kee cung kamilah yang pertama-tama kena musibah..." "Tidak bisa jadi," sela Cia Toa Hiong dari benteng Kiem See Poo sambil gelengkan kepala.
"Kami dari benteng Kiem See Poo pun sudah terseret pula di dalam persoalan ini..." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... kalau begitu anggap sajalah peristiwa ini merupakan ketidakberuntungan dari kita berdua..." Lambat-lambat ia mendekat Boen Soe-ya dan bertanya : "Boen ya, bagaimana dengan urusannya" Boen Soe-ya tertawa getir.
"Kepandaian silat yang loohu miliki terlalu cetek, persoalan dari Sak heng mungkin tak sanggup aku kerjakan lebih jauh." Wajah Hek Bin Siuw loo segera berkerut kendang, dengan gemas ia melotot sekejap ke arah Pek In Hoei lalu mendongak dan tertawa terbahak-bahak, seluruh jubahnya bergelembung besar dan bergetar keras.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... sejak Hek Bin Siuw loo munculkan diri di dalam dunia persilatan hingga kini sudah puluhan tahun lamanya, berkat sanjungan serta bantuan sahabat Bu lim terhadap loohu, banyak hal yang dilakukan oleh perkampungan Sak Kee cung kami.
Sungguh tak nyana dalam perjalanannya putraku menghantar hadiah untuk Hoa Loo enghiong di perkampungan Thay Bie San cung, belum sampai keluar dari wilayah Lam Ciang barang kawalan kami telah dibegal oleh si Jago Pedang Berdarah Dingin, perbuatan terkutuk semacam ini betul-betul membuat loohu merasa amat menyesal..." "Hmm, sungguh menarik hati perkataanmu itu," dengus Pek In Hoei dengan nada sinis.
Sak Kioe Kong tertawa dingin, serunya kembali : "Pek sauwhiap, dapatkah kau kembalikan dulu barang yang kau begal itu kepada loohu?" Selama ini yang diharap-harapkan oleh Pek In Hoei adalah munculnya Hek Bin Siuw loo di tempat itu, agar dari mulut orang ini ia bisa mendapat tahu asal mula datangnya potongan kain jubah tersebut, justru karena persoalan ini menyangkut teka teki kematian ayahnya Pek Tiang Hong maka ia memperhatikannya dengan serius.
Dan sekarang disinggung kembali oleh si Malaikat Berwajah Hitam itu, pemandangan di masa lampau pun segera terbayang kembali dalam benaknya, api dendam seketika berkobar memenuhi seluruh dadanya...
Dengan penuh kebencian teriaknya : "Potongan kain jubah itu adalah benda milik mendiang ayahku, cayhe tak mungkin dapat mengembalikan kepadamu..." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... dari mana Pek sauwhiap bisa membuktikan bahwa benda itu adalah milik mendiang ayahmu..." "Ketika dari gunung Thiam cong menuju ke gunung Cing Shia ayahku mengenakan kain jubah dengan motif ini, tatkala aku berhasil mengejarnya di gunung Cing Shia ayahku telah mati terbunuh orang, jubah yang dikenakan terpapas oleh pedang, dan kini benda tersebut muncul kembali di depan mata tentu saja aku dapat mengenalinya kembali..." "Hmm, bagimu hanya tahu bagaimana caranya merampas kembali potongan jubah tersebut, tahukah bahwa loohu pun mendapat titipan dari seseorang untuk menyerahkan potongan jubah ini kepada Hoa Pek Tuo di perkampungan Thay Bie San cung?" Setelah kau begal benda itu di tengah jalan, secara bagaimana loohu bisa memberikan pertanggungan jawabnya terhadap sahabatku itu..." "Aku justru sedang menantikan kemunculan orang itu..." sela Pek In Hoei cepat.
"Hmmm! Aku rasa tidak nanti begitu gampang." Pek In Hoei jadi naik pitam, sepasang matanya berapi-api dan menatap wajah lawannya tanpa berkedip, teriaknya dengan nada penuh kebencian : "Kalau nama orang itu tak kau sebutkan maka seluruh isi perkampungan Sak Kee Cung akan menemui ajalnya di ujung pedang saktiku, ini bukan gertak sambal belaka! Aku rasa kau tentu mengerti bukan mampukah aku melaksanakan ancamanku..." Si Malaikat Berwajah Hitam terkesiap, ia merasa begitu dingin dan menyeramkan ucapan si anak muda itu, setiap patah katanya seolah-olah mengandung satu kekuatan yang tak terbantahkan, ia merasa di hadapan matanya seakan-akan terbentang suatu pemandangan yang sangat mengerikan, seluruh isi perkampungannya menggeletak di atas genangan darah...
Dengan hati bergidik dan penuh ketakutan segera serunya : "Kenapa...
kenapa kau hendak melakukan hal itu?" "Gampang sekali! Secara bagaimana ayahku menemui ajalnya, dengan cara itu pula aku hendak membalas dendam, seandainya setiap orang yang telah membunuh orang dapat hidup sentausa dan bebas tanpa hukuman, lalu apa gunanya manusia hidup di kolong langit..." Sak Toa Bauw yang sedari tadi sudah tak kuat menahan sabar, setelah mendengar perkataan itu sambil cabut keluar senjatanya segera menerjang ke depan, teriaknya keras-keras : "Ayah! Terhadap manusia seperti ini rasanya tak ada gunanya kita ajak berunding, bagaimana caranya ia rampas benda itu kita rampas kembali dengan cara yang sama.
Siapa benar siapa salah siapa hitam siapa putih akhirnya toh bakal ketahuan juga.
Asal kita tidak ikut serta di dalam peristiwa pengeroyokan terhadap diri Pek Tiang Hong, kenapa kita mesti takuti dirinya..." "Kau tak usah ikut campur!" bentak Sak Kioe Kong.
"Ayoh mundur dari sini!" Dengan perasaan mendongkol dan tidak puas Sak Toa Bauw melotot sekejap ke arah Pek In Hoei kemudian mengundurkan diri dari kalangan.
Perlahan-lahan si Malaikat Berwajah Hitam maju ke depan menghampiri si anak muda itu, langkah amat lambat tapi sangat bertenaga, setiap tindakannya seakan-akan ayunan palu yang menghantam hati.
"Hey orang she Pek!" serunya sambil tertawa ewa.
"Jadi kau hendak memaksa loohu untuk turun tangan?" "Aku tidak ingin bergebrak, tapi kau harus memberikan penyelesaian terlebih dahulu mengenai potongan kain jubah itu!" "Bangsat! Rasanya andaikata loohu tidak memberi sedikit pelajaran kepadamu, kau masih mengira di dalam wilayah Lam Ciang benar-benar tak ada orang pandai..." Sambil mendengus telapak kanannya segera diangkat ke atas, sekilas cahaya tajam berwarna hitam laksana kilat segera diayunkan ke depan.
Air mka Pek In Hoei berubah hebat, serunya dengan nada terkejut : "Ah, ilmu pukulan Hek Sat Ciang!" Si Malaikat Berwajah Hitam Sak Kioe Kong tertawa seram tiada hentinya, tiba-tiba jubah yang ia kenakan bergelombang besar, sang badan maju ke depan dan melancarkan satu babatan kembali ke atas tubuh musuhnya.
Si Jago Pedang Berdarah Dingin segera menggeserkan badannya menyingkir beberapa depa ke samping, dengan suatu gerakan yang cepat ia masukkan kembali pedang mestika penghancur sang surya-nya ke dalam sarung, lalu dengan telapak kanan yang disertai tenaga dahsyat mengirim pula satu pukulan ke depan.
Pertempuran sengit pun segera berlangsung dengan serunya, bagaikan sambaran angin puyuh.
Malaikat Berwajah Hitam meloncat beberapa depa ke tengah udara dan bentaknya keras-keras : "Kau berani menyambut sebuah pukulanku?" Telapak kanan membentuk gerakan satu lingkaran di tengah udara dengan jurus Bintang dan Rembulan berebut cahaya ia hantam tubuh Pek In Hoei keras- keras.
Si anak muda itu segera tertawa dingin, jengeknya : "Sekalipun ilmu pukulan Hek Sat Ciang amat beracun, belum tentu bisa mengapa-apakan diriku..." Ia himpun segenap kekuatannya ke telapak sebelah kanan, setelah menutup ke-tujuh puluh dua buah jalan darah penting dalam tubuhnya, ia segera sambut datangnya ancaman tersebut.
"Blaaam...! Di tengah udara terjadi suatu ledakan yang menggetarkan seluruh jagad, pusaran angin memancar ke empat penjuru memaksa tubuh ke-dua orang itu sama-sama mundur dua langkah ke belakang.
Diam-diam si Malaikat Berwajah Hitam merasakan hatinya tercekat, ia tak menyangka Pek In Hoei dengan usia yang begitu muda ternyata memiliki tenaga dalam yang begitu sempurna hingga sanggup menandingi pukulannya yang maha berat itu.
Ingatan jahat segera muncul dalam benaknya, ia berpikir : "Dewasa ini Tiga partai dua selat serta enam benteng yang berada di wilayah Lam Ciang telah bersatu padu hendak menghadapi manusia she Pek ini, kenapa aku tidak gunakan siasat yang licik untuk mencelakai jiwa bajingan ini, kenapa aku tidak gunakan...
daripada aku mesti turun tangan sendiri..." Berpikir sampai di situ sambil tertawa seram segera ujarnya : "Pek In Hoei , walaupun kau sanggup menerima sebuah pukulan loohu, tetapi kau mesti tahu bahwa enghiong hoohan yang ada di wilayah Lam Ciang banyak bagaikan pasir, bila kau ingin mendirikan satu perguruan di tempat ini rasanya bukan suatu pekerjaan yang gampang.
Ambil contohnya saja dewasa ini masih ada satu orang yang mampu menandingi dirimu..." Dalam pada itu Pek In Hoei sendiri walaupun sanggup menerima pukulan Hek Sat Ciang yang dilancarkan Sak Kioe Kong tanpa terluka, namun ia merasakan darah panas dalam dadanya bergolak kencang.
Mendengar perkataan itu ia tampak tertegun, lalu tanyanya dengan nada dingin : "Siapakah orang itu?" Sebagai seorang pemuda yang berjiwa tinggi ia tak tahu kalau si Malaikat Berwajah Hitam sengaja hendak mengadu domba dirinya dengan orang lain, ketika didengarnya bahwa di antara mereka masih terdapat seorang jago lihay, maka timbullah keinginannya untuk mengetahui siapakah orang yang disanjung-sanjung Hek Bin Siuw loo sebagai jagoan kosen.
Sementara itu si Malaikat Berwajah Hitam telah melirik sekejap ke arah Sang Kwan Cing, kemudian sahutnya : "Orang itu bukan lain adalah nona Sang Kwan dari selat Seng See Kok..." Sang Kwan Cing tertawa dingin, dengan pandangan yang menghina, ia melirik sekejap ke arah orang itu.
Melihat gadis itu tidak mengaku pun tidak menampik, si Malaikat Berwajah Hitam kembali merasakan bahwa gadis itu merupakan seorang manusia berpikiran panjang yang sukar dilayani, ia segera tertawa seram dan pikirnya lebih jauh : "Peduli sampai di mana lihaynya kau si budak ingusan, jangan harap kau bisa lolos dari siasat berantaiku.
Kalau pihak selat Seng See Kok ingin berpeluk tangan belaka di dalam persoalan ini maka harus menanti dulu persetujuan dari aku orang she Sak." Sebagai seorang manusia licik, sekali pun dalam benaknya telah timbul ingatan jahat tetapi perasaan itu sama sekali tidak terlihat di atas wajahnya.
Terdengar orang itu sambil tertawa seram kembali berkata : "Pimpinan dari para enghiong yang ada di wilayah Lam Ciang adalah Sang Kwan loo enghiong dari selat Seng See Kok, sekali pun loohu memiliki sedikit kekuasaan di dalam wilayah Lam Ciang, tapi kalau dibandingkan dengan selat Seng See Kok kekuatanku masih terpaut sangat jauh..." Ucapan ini memang benar kenyataannya, sejak partai Thiam cong dibasmi oleh perguruan Boo Liang Tiong, maka para jago yang ada di wilayah Lam Ciang telah mengangkat Sang Kwan Im dari selat Seng See Kok sebagai pimpinan para jago lainnya.
Terdengar Cia Toa Hiong dari benteng Kiem See Poo tertawa keras dan menyambung : "Sedikit pun tidak salah, sedikit pun tidak salah, benteng Kiem See Poo kami adalah tetangga dari selat Seng See Kok dan setiap kali kami selalu memperoleh bantuan dari Sang Kwan loo enghiong.
Di dalam wilayah Lam Ciang aku srasa memang tiada partai lain yang bisa menandingi kehebatan dari selat Seng See Kok..." Diam-diam si Malaikat Berwajah Hitam mendengus dingin, pikirnya : "Cia Toa Hiong! Kau tak usah terlalu menjilat pantat, kau mesti tahu bahwa perkampungan Sang Kwan Cing kami bukanlah kekuatan yang boleh kau anggap remeh.
Hmm! Tunggu saja setelah urusan di sini selesai, pertama-tama kaulah yang akan kulabrak lebih dahulu..." Berpikir sampai di situ ia lantas berpaling ke arah Sang Kwan Cing dan ujarnya sambil tertawa : "Nona Sang Kwan, apakah kau menyetujui perkataan loohu?" "Mengenai soal pimpinan para jago di wilayah Lam Ciang sih kami tak berani menerimanya," sahut Sang Kwan Cing dengan mata dingin.
"Terutama sekali tindakan Sak toa cungcu di dalam pertempuran yang secara tiba-tiba mengeluarkan ucapan seperti ini, sungguh membuat hatiku jadi curiga dan tidak habis mengerti..." "Nona Sang Kwan kau pun seorang gadis yang cerdik, masa tak bisa kau tinjau keadaan situasi yang terbentang di depan mata saat ini?" seru Malaikat Berwajah Hitam sambil menggeleng.
"Selat Seng See Kok sebagai pimpinan para jago yang ada di dalam wilayah Lam Ciang tentu tak akan berpeluk tangan belaka bukan menghadapi ambisi pein yang begitu besar dan hendak mengangkang seluruh wilayah Lam Ciang..." "Dari mana kau bisa tahu kalau aku hanya berpeluk tangan belaka?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... bagus, bagus, asal nona Sang Kwan suka tampil ke depan maka kita pun tak usah jeri terhadap bajingan cilik she Pek dari partai Thiam cong lagi.
Nona Sang Kwan! Apakah ayahmu ada maksud untuk munculkan diri kembali di dalam dunia persilatan..." Sang Kwan Cing memandang sekejap wajah Pek In Hoei, lalu menjawab : "Aku tidak ingin menjawab pertanyaanmu itu." Dengan senyuman hambar tersungging di ujung bibir perlahan-lahan ia menghampiri si anak muda itu, tiba- tiba sambil menatap wajahnya dengan pandangan aneh ia bertanya lirih : "Apakah kau merasa tidak puas terhadap masalah selat Seng See Kok dianggap sebagai perguruan nomor satu di dalam wilayah Lam Ciang?" "Pedang sakti menyelimuti langit selatan, hawa pedang memenuhi bukit Thiam cong, di dalam wilayah selatan kecuali partai Thiam cong cayhe belum pernah memikirkan persoalan lain.
Nona Sang Kwan! Mungkin kaulah yang tak puas dengan perkataanku ini, tetapi dalam waktu singkat kau pasti akan mengetahui bahwa apa yang kukatakan adalah suatu kenyataan..." "Hmmm! Kau terlalu percaya pada diri sendiri." "Nona, aku tidak mengerti akan maksudmu!" "Sejak partai Thiam cong mengalami kemusnahan, nama itu sudah terhapus dari muka bumi, para jago yang ada di wilayah selatan tak pernah memikirkan lagi persoalan partai Thiam cong apalagi mengaguminya, lebih baik urungkanlah niatmu untuk mendirikan kembali partai tersebut di wilayah ini, sebab dengan kekuatanmu seorang tak nanti cita- citamu itu akan terwujud..." "Belum tentu begitu..." "Kalau kau tidak percaya yaah sudahlah, tetapi aku hendak memberitahukan lebih dahulu kepadamu, seluruh perguruan yang ada di wilayah selatan telah mengangkat selat Seng See Kok kami sebagai pimipan dalam usaha menghadapi dirimu, apakah kau punya keyakinan untuk menangkan seluruh jago lihay yang begini banyak jumlahnya itu?" "Silahkan nona berlalu, setiap saat cayhe siap menantikan pelajaran dari pelbagai partai..." "Bagus sekali!" seru Sang Kwan Cing sambil tertawa.
"Aku mewakili seluruh perguruan yang ada di wilayah selatan mengundang kehadiranmu di selat Seng See Kok pada besok malam untuk menyelesaikan persoalan ini..." selesai berkata ia putar badan dan berlalu dari situ.
Malaikat Berwajah Hitam Sak Kioe Kong buru-buru maju ke depan sambil berseru : "Nona Sang Kwan, harap tunggu sebentar!" "Kau masih ada urusan apa lagi?" tanya gadis itu sambil menoleh.
"Pertemuan yang nona janjikan barusan, apakah telah mendapat persetujuan dari ayahmu?" "Kalau kau takut urusan besok malam boleh tak usah hadir di dalam selat Seng See Kok kami.
Hmmm! Pelbagai partai yang ada di wilayah selatan kecuali perkampungan Sak Kee cung kalian, yang tak pernah berhubungan dengan orang lain belum pernah kutemui ada perguruan lain yang berani menentang perintahku!" "Apa maksud ucapanmu itu?" teriak Sak Kioe Kong.
"Aku sebagai salah satu anggota kekuatan di wilayah selatan, sampai waktunya tentu saja harus hadir untuk ikut bertarung melawan si Jago Pedang Berdarah Dingin, besok malam loohu pasti akan datang..." "Kalau mau datang tentu saja boleh-boleh saja, tetapi kau tidak diperkenankan membawa orang lain, sebab dalam pertemuan ini aku hanya memberi ijin kepada satu orang saja dari tiap partai di samping itu jangan lupa bawa serta tanda perintah Hek Liong Leng perguruanmu." "Apa gunanya Hek Liong Leng itu?" "Dalam pertarungan yang akan berlangsung besok malam, bukan saja merupakan suatu pertarungan yang mempertaruhkan mati hidup kita bahkan merupakan pula suatu perebutan kekuasaan, seandainya pelbagai partai yang ada di wilayah selatan benar-benar tak sanggup menghadapi di seorang, maka terpaksa kita harus serahkan tanda kebesaran kita kepada pihak partai Thiam cong..." Si Malaikat Berwajah Hitam yang mendengar perkataan itu sepasang alisnya kontan berkerut.
"Baiklah! Loohu akan menuruti perintah dari nona..." Sang Kwan Cing tertawa dingin, ia segera enjotkan badan dan berlalu dari tempat itu, di tengah kesunyian terdengar gadis itu berkumandang datang dari tempat kejauhan.
"Pek In Hoei, kita berjumpa lagi besok malam..." Setelah kepergian gadis itu she Sang Kwan itu, si Jago Pedang Berdarah Dingin mulai merasakan hatinya jadi berat, ia tahu bahwa mati hidupnya akan ditentukan di dalam pertemuannya dengan para jago dari wilayah selatan, perlahan-lahan sinar matanya dialihkan ke tengah udara, memandang awan putih yang bergerak di angkasa, tanpa terasa ia menghela napas dan berpikir : "Demi kebangkitan serta kejayaan partai Thiam cong, terpaksa aku harus melakukan pertaruhan yang terakhir bagi keselamatan jiwaku, peduli bagaimana pun hasil dari pertemuan ini aku harus membuat orang di dalam jagad menyadari bahwa partai Thiam cong sama sekali belum musnah dari dunia persilatan..." Belum habis dia berpikir, mendadak dari samping kiri terasa segulung angin pukulan yang amat tajam meluncur datang.
Cepat-cepat ia geserkan badannya menghindar lima depa ke samping, kemudian sambil mendengus dingin serunya : "Hey manusia she Sak, kau adalah seorang manusia rendah!" Merah padam selembar wajah Sak Toa Bauw, ia tertawa keras dan berseru : "Kau membegal keretaku, menghancurkan nama baik ayahku, dendam sakit hati yang demikian besarnya ini apa tidak pantas kalau kutuntut balas..." Kiranya sewaktu dijumpai Pek In Hoei sedang mendongak ke angkasa memandang awan, ia menganggap inilah kesempatan yang paling baik baginya untuk melancarkan serangan bokongan, maka tanpa mengucapkan sepatah katapun ia lancarkan sebuah babatan kilat ke muka.
Dalam anggapannya asal babatan tersebut berhasil membinasakan Pek In Hoei maka bukan saja nama besarnya akan menonjol di antara jago muda yang ada di wilayah selatan, bahkan nama besar perkampungan Sak Kee cung pun akan tersiar ke seluruh jagad.
Siapa tahu gerakan tubuh pihak lawan betul-betul amat gesit, belum sampai serangannya mengenai sasaran pihak musuh sudah menghindar ke samping.
"Sak Toa Bauw," teriak Pek In Hoei dengan sinar mata berkilat.
"Kau harus merasakan sedikit pelajaran agar tahu lihaynya orang..." Selama hidup si anak muda ini selalu menghadapi musuhnya secara terang-terangan dan jujur, kini setelah mengetahui bahwa Sak Toa Bauw adalah seorang manusia rendah yang berhati licik, timbul napsu membunuh di dalam hatinya.
Ia segera membentak keras, telapak kanannya laksana kilat diluncurkan ke depan melancarkan sebuah serangan.
"Blaaaam...! Mimpi pun Sak Toa Bauw tidak pernah menyangka kalau serangan dari Pek In Hoei dapat meluncur datang sedemikian cepatnya, air mukanya berubah hebat, buru-buru ia tangkis serangan tadi sedapat mungkin, namun sayang keadaan sudah terlambat, sekujur tubuh Sak Toa Bauw gemetar keras, ia menjerit tertahan dan segera muntah darah segar.
Wajahnya berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, keringat dingin mengucur keluar tiada hentinya.
Si Malaikat Berwajah Hitam yang menyaksikan putranya jadi terkesiap, ia segera memburu ke depan sambil berseru : "Nak, kenapa kau?" "Aku sudah terluka!" jawab Sak Toa Bauw dengan nada gemetar.
Begitu ucapan tersebut selesai diutarakan, kembali ia muntah darah segar, badannya mundur sempoyongan ke belakang dan roboh tak sadarkan diri di atas tanah.
Si Malaikat Berwajah Hitam segera ulapkan tangannya, dua orang pria buru-buru maju ke depan membopong tubuh Sak Toa Bauw dan segera mengundurkan diri kembali ke belakang.
"Cepat bahwa Sauw ya pulang ke perkampungan untuk beristirahat," perintah Sak Kioe Kong lebih lanjut, "Aku sebentar lagi datang..." Dengan wajah penuh kegusaran ia segera berpaling, sambil menatap wajah si anak muda itu teriaknya dengan penuh kebencian : "Manusia she Pek, sekali pu n putraku menyerang dirimu dengan cara yang tidak pantas, tetapi tidak seharusnya kau melancarkan serangan keji dengan cara yang begitu kasar.
Hmmm! Rupanya sebelum perjanjian besok malam kita harus melangsungkan lebih dahulu suatu pertarungan sengit!" "Ia bersalah dan harus menanggung dosanya sendiri!" jawab Pek In Hoei ketus.
"Seandainya aku tidak melihat susahnya ia melatih ilmu silat hingga mencapai taraf yang begitu tinggi, huuuh...! Sekali hantam tadi selembar jiwa anjingnya sudah sekalian kucabut..." Sak Kioe Kong jadi teramat gusar hingga sekujur tubuhnya gemetar keras, ia meraung keras : "Bangsat! Kau cari mati..." Tubuhnya laksana kilat menerjang ke depan, sebuah pukulan yang maha dahsyat langsung menghajar tubuh Pek In Hoei.
Tiba-tiba dari tengah udara berkumandang datang suara dengusan rendah, sesosok bayangan hitam bagaikan sukma gentayangan tahu-tahu meluncur masuk ke dalam kalangan dan melancarkan satu serangan ke tubuh Malaikat Berwajah Hitam.
Terdengar Ouw-yang Gong tertawa terbahak-bahak sambil berseru : "Eeeei...
anak monyet cucu kura-kura, sudah kau taruh ke mana kegagahan serta kekerenanmu selama berada di dalam perkampungan Sak Kee cung..." Rupanya kakek konyol ini pernah menderita kerugian besar di tangan Sak Kee Cung maka begitu bertemu dengan musuh lamanya, hawa amarah segera berkobar memenuhi hatinya, segera ia kirim serangan mematikan yang ganas, memaksa Malaikat Berwajah Hitam keteter dan mundur terus ke belakang.
"Hmmm... Hmmm... rupanya kau belum modar?" jengek Sak Kioe Kong sambil tertawa seram.
"Ooooh kentut busuk nenekmu yang tujuh puluh dua kalinya! Cuma andalkan barisan setan semacam itu, kau pikir aku Ouw-yang Gong berhasil dikurung" Huuuh! Anak jadah peliharaan induk anjing, kau mesti tahu aku si huncwee gede bukan manusia gampang diganggu...
barusan ketika aku sedang membakar habis perkampungan Sak Kee Cung mu itu para anak murid cucu muridmu pada berteriak memanggil yaya setiap kali bertemu aku..."
Air muka si Malaikat Berwajah Hitam Sak Kioe Kong segera berubah hebat setelah mendengar perkataan itu, hatinya terkejut dan sekujur tubuhnya jadi dingin kaku seakan-akan terjerumus di dalam liang salju.
"Apa?" teriaknya dengan suara gemetar, "Kau telah membakar perkampungan Sak Kee cung..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... apa susahnya membakar sarang tikus macam itu" Sejak dari mulut perkampungan hingga ke pintu belakang aku telah melepaskan puluhan batang obor hingga tikusmu itu bermandikan api, kau si anak jadah entah sudah bersembunyi di mana, aku si huncwee gede sudah setengah harian lamanya menunggu di situ tapi belum nampak juga bayanganmu..." Sepasang mata Sak Kioe Kong segera berubah jadi merah berapi, teriaknya keras-keras : "Aku akan beradu jiwa dengan dirimu!" Setelah mengetahui bahwa perkampungan Sak Kee cung-nya dibakar oleh kakek konyol tersebut, orang ini jadi kalap dan nekad, ia membentak keras dan segera menerjang ke muka sambil melepaskan serangan-serangan mematikan.
Rupanya si huncwee gede Ouw-yang Gong ada maksud mempermainkan si Malaikat Berwajah Hitam, melihat ia nekad dan menerjang secara kalap tanpa terasa segera tertawa terbahak-bahak, dengan enteng ia menghindar ke samping dan godanya : "Hey cucu monyet anak jadah...
tubrukanmu ini lebih mirip dengan kucing menangkap tikus...
aku lihat lebih baik kau cepat-cepat sipat telinga pulang ke kandangmu, coba periksa dulu apakah anjing tua yang tertinggal di rumah sudah terbakar jadi abu atau masih ada sisa-sisa tulang belulangnya..." "Bajingan, kau sudah bunuh mati bini tua-ku"...
teriak Sak Kioe Kong semakin gusar.
"Huuuh! Setiap anggota perkampungan Sak Kee cung adalah manusia-manusia bejat yang pantas dibunuh, seandainya aku si huncwee gede tidak bermurah hati dan rela melepaskan putra kesayangan yang terluka itu, mungkin sekarang kau sudah kehilangan keturunan.
Tapi... begini pun ada baiknya, keluarga Sak toh tidak sampai putus turunan, ayoh kau berterima kasih dulu kepadaku." Dalam keadaan bingung, sedih bercampur marah, serangan-serangan yang dilancarkan si Malaikat Berwajah Hitam sudah tidak menuruti aturan, sekalipun gencar dan amat dahsyat tetapi terdapat banyak titik kelemahannya.
Ouw-yang Gong sendiri tiada maksud untuk beradu jiwa, maka sambil lancarkan serangan untuk memaksa Sak Kioe Kong melindungi keselamatannya ia mengolok-olok lagi musuhnya agar bertambah kalap.
Boen Soe-ya yang menyaksikan jalannya pertandingan itu, sepasang alisnya kontan berkerut, teriaknya : "Sak heng, lebih baik kau mundur lebih dulu!" Sak Kioe Kong mendongak dan tertawa keras.
"Haaaah... haaaah... haaaah... perkampungan Sak Kee cung telah musnah dan kabar ini telah kalian dengar sendiri...
hari ini sekalipun loohu harus korbankan selembar jiwaku pun aku harus bergebrak melawan bajingan tua ini..." "Sak heng, harap kau tenangkan dulu pikiranmu," Cia Toa Hiong dari benteng Kiem See Poo ikut berteriak.
"Soal adu jiwa tak usah diributkan sekarang, bagaimana pun toh besok malam kita bakal berjumpa lagi di dalam selat Seng See Kok, aku rasa ia tak bakal lari dari sini..." Setelah mendengar nasehat dari kiri kanan, akhirnya si Malaikat Berwajah Hitam dengan paksakan diri menahan sedih mengundurkan diri dari tengah kalangan sembari menyeka keringat yang membasahi tubuhnya ia berseru : "Boen ya, Cia Poocu, coba pikirlah apa yang harus kulakukan sekarang"..." Boen Soe-ya termenung berpikir sebentar, lalu menjawab : "Lebih baik kita pulang dulu ke perkampungan Sak Kee cung, seandainya perkampungan itu betul-betul sudah dibakar hingga tinggal tulang yang berserakan, maka besok malam loohu dengan kedudukan sebagai tamu akan memberikan kesaksian di hadapan para enghiong hoohan dari seluruh kolong langit, pada waktu itu...
Hmmm... keadilan pasti kita tegakkan..." Si Malaikat Berwajah Hitam sendiri pun menyadari bahwa kekuatan di pihaknya masih belum sanggup menandingi pihak lawan maka dalam keadaan apa boleh buat ia segera berseru dengan nada benci : "Ouw-yang Gong, kita tunggu saja sampai waktunya..." Karena ingin cepat-cepat mengetahui keadaan perkampungan Sak Kee cung-nya begitu selesai berkata ia segera putar badan dan berlalu dari situ disusul oleh Boen Soe-ya dan Kiem See Poocu di belakangnya.
Menanti bayangan tubuh ke-tiga orang itu sudah berlalu, Pek In Hoei baru menghembuskan napas panjang sambil mengomel : "Eeei...
ular asap tua, perbuatanmu barusan rada sedikit keterlaluan, masa perkampungan orang kau bakar sampai ludes..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... omong kosong, aku si ular asap tua bukan orang bejat yang suka melakukan perbuatan keji yang merugikan orang lain, siap yang kesudian membakar kandang ayamnya itu?".
Cuma... Sak Kioe Kong jadi marah dan licik, maka aku sengaja menakut-nakuti dirinya agar ia jadi marah dan menyumpah-nyumpah..." "Aaaai...
tabiatmu yang suka bergurau dan suka menggoda orang betul-betul bisa bikin kepala orang jadi pusing..." omel pemuda itu sambil tertawa getir.
Ouw-yang Gong tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... watakku memang begini, mau dirubah pun susah sekali..." "Sudah...
sudahlah jangan bergurau lagi, aku dengan pihak partai-partai besar dari wilayah selatan sudah mengadakan perjanjian untuk bertemu muka besok malam, dalam pertemuan kali ini aku rasa lebih banyak bahayanya daripada keberuntungan, kemungkinan besar kau maupun aku bakal terkubur di dasar selat Sak Kioe Kong..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... jangan kuatir... inilah kesempatan yang paling baik bagimu untuk munculkan diri..." Gelak tertawanya berkumandang hingga mencapai puluhan li jauhnya...
tapi Pek In Hoei tetap tertunduk.
Apa yang harus ia lakukan besok malam"..." .......
"Taaang...!" suara genta yang nyaring berkumandang memenuhi seluruh selat Seng See Kok yang tersohor akan misteriusnya, Sang Kwan Cing putri kesayangan dari Sang Kwan Im kokcu selat Seng See Kok dengan memimpin empat orang pria berbaju hitam perlahan- lahan munculkan diri dari balik kegelapan.
Dengan sorot mata yang tajam Sang Kwan Cing menyapu sekejap sekeliling tempat itu, kemudian bisiknya : "Apakah semua wakil dari partai besar telah hadir?" Bayangan manusia di empat penjuru mulai gaduh dan suara bisiknya mulai berkumandang memecahkan kesunyian, kiranya semua partai yang menerima undangan telah hadir semua kecuali Go Kiam Lam dari partai Boo Liang Tiong.
Terdengar Kiem See Poocu Cia Toa Hiong berseru lantang : "Mumpung sekarang si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei belum datang, apakah cuwi sekalian mempunyai sesuatu pendapat?" Dari gerombolan manusia segera muncul seorang kakek tua berbadan kurus sambil tertawa terbahak- bahak ia berkata : "Sekalipun di antara perguruan yang ada di wilayah selatan sering terjadi perebutan kekuasaan, tapi belum pernah ada satu partai yang sesumbar hendak mengusir partai yang lain keluar dari wilayah selatan.
Pek In Hoei terlalu jumawa dan tak tahu diri, ia berani memandang rendah kita semua bahkan hendak sepak kita semua keluar dari sini...
menghadapi manusia macam itu satu-satunya jalan yang dapat kita tempuh hanyalah beradu jiwa dengan dirinya, kalau tidak maka kitalah yang bakal diinjak-injak olehnya..." Begitu ucapan itu selesai diutarakan keluar, semua orang serentak menyahut hampir berbareng : "Betul, ucapan dari Han Sim Poocu Kheng Kie sedikit pun tidak salah!" "Khong Poocu," Sang Kwan Cing segera berkata sambil tertawa ewa, "lalu apakah rencanamu untuk menghadapi Pek In Hoei?" Han Sim Poocu Kheng Kie tertawa seram.
"Loohu bersiap-siap untuk menjagal Pek In Hoei, kemudian memotong-motong tubuhnya jadi beberapa bagian setiap wakil partai yang hadir di sini masing- masing pulang dengan membawa sepotong daging dan digantungkan di depan rumah, agar benda tadi bisa dianggap sebagai peringatan bagi sahabat- sahabat yang hendak memasuki wilayah selatan, barang siapa berani punya maksud untuk mendirikan perguruan baru di sini maka begitulah akhirnya, agar semua jago di dunia mengetahui bahwa orang Bu lim di wilayah selatan bukanlah manusia yang boleh dibuat permainan!" "Betul, perkataan Khong Poocu memang sangat tepat!" Itulah suara dari Hek Bin Siuw loo Sak Kioe Kong dari perkampungan Sak Kee cung, perlahan-lahan ia munculkan diri dari gerombolan manusia kemudian ujarnya lagi : "Khong Poocu, kau memang tidak malu disebut sebagai pemimpin dari suatu daerah, usulmu memang sangat bagus dan loohu yang pertama-tama menyetujuinya, sekalipun kita jarang bergaul rupanya pendapat kita selalu memang searah, setelah pertemuan pada hari ini, aku baru yakin bahwa kecerdikanmu memang luar biasa sekali..." Disanjung dengan kata-kata yang begitu manis, Han Sim Poocu Kheng Kie merasa amat nyaman sekali, tetapi bagi pendengaran para jago yang lain, ucapan itu terlalu tengik dan memuakkan, beberapa orang segera menunjukkan sikap yang tidak puas.
Sang Kwan Cing tertawa dingin, segera ujarnya : "Khong Poocu, caramu itu memang bagus tetapi aku rasa terlalu sadis dan kejam..." "Tidak! Sedikit pun tidak keterlaluan," tukas Sak Kioe Kong cepat sambil gelengkan kepalanya.
"Menghadapi manusia macam Pek In Hoei, cara itu aku rasa malah terlalu enteng, kalau mengikuti usulku, loohu ingin sekali menghancurkan badannya hingga remuk jadi abu..." "Tutup mulutmu!" maki gadis she Sang Kwan itu dengan suara ketus.
"Aku tidak bertanya kepadamu, harap kau segera mengundurkan diri dari sini..." Sak Kioe Kong tidak menduga kalau ia bakal disemprot oleh Sang Kwan Cing di hadapan orang banyak tetapi dengan wataknya yang licik berada dalam keadaan yang serba kikuk ia segera tertawa terbahak-bahak dan masuk kembali ke dalam gerombolan manusia.
Tiba-tiba... dari luar selat Seng See Kok berkumandang datang suara derap kaki kuda yang nyaring, suara itu mengalun di tengah angkasa yang gelap dan mengetuk hati setiap jago, air muka orang-orang itu segera berubah jadi tegang.
"Dia sudah datang!" Sang Kwan Cing segera berseru.
"Harap kalian semua mengeluarkan tanda kebesaran perguruan kalian masing-masing." Begitu selesai berkata ia mengeluarkan terlebih dahulu sebuah panji kecil yang bersulamkan huruf 'Seng See Kok' dan ditancapkan ke atas tanah.
Partai lain buru-buru mengeluarkan pula tanda kebesaran mereka dan menancapkan di belakang panji kecil dari selat Seng See Kok tadi.
Suara derap kaki kuda kedengaran makin lama semakin nyaring, di bawah sorot cahaya rembulan tampaklah dua ekor kuda berjalan mendekat, di atas punggung kuda tadi duduklah Pek In Hoei serta Ouw- yang Gong dengan sikap yang agung.
Pek In Hoei masih tetap mengenakan pakaiannya semula, dengan pedang tersoren di punggung dan wajah yang keren ia sapu wajah setiap orang dalam selat itu dengan tajam, lalu tertawa hambar dan menganggukkan kepalanya sebagai tanda menyapa.
Ouw-yang Gong sendiri sambil duduk bersila di atas kudanya, sepasang mata dipejamkan rapat-rapat, huncwee yang berada di dalam genggamannya dihisap berulang kali...
sikapnya jumawa dan sama sekali tidak memandang sekejap pun ke arah orang- orang di sekitarnya.
"Kalian tentu sudah menunggu lama bukan" Apakah kalian sudah hadir semua?" tegur pemuda itu.
"Semua jago yang punya nama dan kedudukan di wilayah selatan telah berkumpul di sini," jawab Sang Kwan Cing dingin.
"Keberanianmu yang besar dan tidak gentar menghadiri pertemuan para enghiong semacam ini, sungguh mengagumkan hati setiap orang..." "Terima kasih, terima kasih...
di sini aku ucapkan banyak terima kasih lebih dahulu atas perhatian dari cuwi sekalian..." Mendadak sinar matanya berkilat, setelah merandek sejenak ujarnya kembali : "Di dalam wilayah Lam Ciang yang begitu luas, masa cuma terdiri dari beberapa perguruan belaka?" Sepasang alis Sang Kwan Cing segera berkerut, ia merasa ucapan dari si anak muda ini terlalu takabur, dengan hati mendongkol segera sahutnya : "Kecuali partai Boo Liang Tiong semuanya telah menantikan kedatanganmu di sini." "Hmmm partai Boo Liang Tiong untuk selamanya tetapi akan datang kemari lagi, sebelum aku tiba di sini Go Kiam Lam telah kuusir pergi dari wilayah selatan, seandainya ia tidak berhasil melarikan diri dengan cepat mungkin pada saat ini aku bisa menjumpai kalian sambil membawa batok kepalanya..." "Apa?" seruan kaget segera berkumandang memenuhi seluruh kalangan, setiap jago yang hadir di situ rata- rata dibikin terkejut dan tidak percaya terhadap apa yang diucapkan oleh Pek In Hoei barusan.
Han Sim Poocu Kheng Kie segera loncat keluar dari barisan, teriaknya : "Kau betul-betul seorang manusia yang paling latah di kolong langit.
Hmmm...! Kau anggap Go Kiam Lam itu manusia apa" Masa ia merasa jeri terhadap seorang bocah keparat semacam dirimu" Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... di kolong langit kecuali manusia tolol mungkin tak akan ada orang yang sudi mempercayai omongan setanmu itu..." Pek In Hoei tertawa hambar : "Kalian tak usah pusing kepala untuk memikirkan masalah itu, jawaban serta bukti yang nyata dengan cepat akan kalian ketahui, sekarang aku pun tak mau terlalu ribut dengan dirimu, coba sebutkan dahulu kau dari perguruan mana?"
"LOOHU adalah Khong Kie dari benteng Han Sim poo, mungkin kau pernah mendengar namaku bukan?" "Tidak tahu!" sahut Pek In Hoei sambil gelengkan kepalanya.
"Aku tidak kenal namamu itu...
perguruan dalam rimba persilatan terlalu banyak, mana aku bisa mengingat satu per satu...
lagi pula kebanyakan jago yang kutemui sebagian besar adalah manusia yang bernama kosong belaka, sungguh membuat hati jadi kecewa." Hampir saja Han Sim Poocu Kheng Kie muntah darah segar saking gusarnya setelah mendengar ia dihina habis-habisan oleh pihak lawan di hadapan para jago Bu lim, sekujur tubuhnya gemetar keras teriaknya : "Bajingan cilik, sampai di mana sih kepandaian silat yang kau miliki sehingga begitu berani tak pandang sebelah mata pun terhadap orang kangouw" Tahukah kau bahwa kedudukan loohu di wilayah selatan..." "Huuuh apa yang kukatakan adalah suatu kenyataan, dewasa ini manusia macam dirimu tidak lebih hanyalah manusia..." "Bangsat cilik, loohu akan menjajal lebih dahulu sampai di manakah kelihayanmu..." jerit Han Sim Poocu Kheng Kie dengan mata melotot.
Saking gusarnya seluruh badannya gemetar keras, sambil menyeret sebuah toya baja dan dengan langkah kaki yang mantap ia maju mendekati si anak muda itu.
Pek In Hoei tertawa sinis, sinar matanya menyapu sekejap ke arah urutan panji kebesaran di atas tanah, kemudian katanya : "Ooooh...! Rupanya dalam wilayah selatan kau menduduki urutan yang ke-empat, ehmmm! Mungkin saja kau memang punya sedikit simpanan..." ia merandek sejenak, lalu sambil menoleh ke arah Ouw- yang Gong ujarnya : "Ular asap tua, coba kau ambil dulu panji kebesaran Han Sim Leng itu..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... sungguh tak nyana si ular asap tua sekarang jadi tukang barang rongsokan," sambil mengomel Ouw-yang Gong meloncat ke depan dan tertawa cengar-cengir.
Han Sim Poocu Kheng Kie semakin naik pitam, ia putar senjata toyanya menghalangi jalan pergi Ouw- yang Gong, kemudian makinya keras-keras : "Hey, kau mau apa?" "Hiiih...
hiiiih... hiiih... tentu saja mau mengambil panji Han Sim Leng itu...
Kenapa?" "Menang kalah belum ditentukan, aku larang kau menyentuh panji Han Sim Leng tersebut." "Hmmm! Cepat atau lambat semua panji itu bakal kudapatkan semua," jengek Pek In Hoei dengan suara dingin, "pada saat partai Thiam cong didirikan kembali, semua panji itu akan menancap di gunung Thiam cong sebagai hiasan..." Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, semua jago yang hadir dalam kalangan jadi sama-sama jadi gusar , suasana jadi ramai dan semua orang dengan wajah tidak puas sama-sama maju ke depan siap mengerubuti si anak muda itu.
"Kau jangan bermimpi di siang hari bolong," bentak Khong Kie dengan suara keras.
"Sebelum benda itu berhasil kau dapatkan kemungkinan besar jiwamu sudah melayang lebih dahulu..." "Mungkin saja apa yang kau ucapkan tidak salah, tetapi aku pun hendak memberitahukan sesuatu kepadamu, aku si Jago Pedang Berdarah Dingin bukan hanya sehari dua hari saja berkecimpung dalam Bu lim, gelombang besar macam apa pun sudah pernah kujumpai, tidak nanti aku bakal jeri menghadapi sebuah benteng Han Sim poo yang kecil..." Kali ini Han Sim Poocu Kheng Kie benar-benar sudah tak sanggup menahan diri lagi, ia putar toya bajanya di tengah udara membentuk tiga kuntum bunga api, kemudian dengan jurus Naga Hitam keluar dari samudra laksana kilat ia totok tubuh si anak muda itu.
"Huuuh, kau masih terpaut jauh kalau dibandingkan dengan diriku!..." jengek Pek In Hoei sambil putar telapak melancarkan sebuah pukulan.
Di saat ujung toya hampir mengenai tubuhnya itulah mendadak dengan cepat telapak ia babat senjata lawan.
Han Sim Poocu Kheng Kie segera merasakan sekujur tubuhnya tergetar keras, tak tertahan lagi ia mundur lima enam langkah ke belakang dengan sempoyongan.
Ketika itulah Sang Kwan Cing maju ke depan dan berseru sambil ketawa lengking.
"Khong Poocu harap kembali, kita tak boleh membikin kacau jalannya rencana..." Han Sim Poocu segera meloncat mundur ke belakang, serunya : "Bangsat, nanti kita bertemu lagi!" Kesadarannya sudah mulai pulih kembali, otaknya sudah tidak terlalu terpengaruh oleh emosi, orang ini sadar bahwa dia bukan tandingan si anak muda itu maka sebelum Sang Kwan Cing mengulangi kembali perkataannya, buru-buru ia sudah mengundurkan diri ke belakang.
Pek In Hoei tertawa lantang.
"Apakah masih ada yang ingin maju lebih dahulu?" Para jago yang hadir dalam selat Seng See Kok malam itu rata-rata adalah manusia licik, tentu saja yang menunjukkan reaksi setelah melihat kekalahan dari Khong Kie, sinar mata mereka segera dialihkan ke arah Sang Kwan Cing.
"Kenapa kau terburu-buru?" seru Sang Kwan Cing dingin.
"Sebelum urusan dibikin jelas lebih dahulu, siapa pun dilarang bertempur di dalam selat Seng See Kok..." Dengan sorot mata yang tajam bagaikan pisau ia menyapu sekejap ke seluruh kalangan lalu tambahnya : "Siapa yang berani melanggar peraturan yang sudah ditetapkan dalam pertemuan ini, jangan salahkan kalau nonamu segera akan usir kalian keluar dari selat Seng See Kok.
Dan sekarang aku hendak mewakili seluruh partai yang ada di wilayah selatan untuk berbicara dan Pek In Hoei..." "Apa yang ingin kau katakan kepadaku" Cepat katakanlah keluar, aku akan mendengarkan dengan seksama..." sahut Pek In Hoei dingin.
Sang Kwan Cing tertawa dingin.
"Betulkah partai Thiam cong akan didirikan kembali di dalam wilayah selatan?" "Sudah tentu!" jawab si anak muda itu setelah melengak sejenak.
"Selamanya partai Thiam cong tak akan mengundurkan diri dari dunia persilatan..." "Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, katanya kedatanganmu ke wilayah selatan adalah untuk menghancurkan semua partai yang ada di sini serta merampas seluruh wilayah selatan untuk dijadikan daerah kekuasaan partai Thiam cong, betulkah kau mempunyai ambisi yang begitu besar?"?" "Hmmm! Apa yang mesti kau tanyakan lagi" Aku toh sudah datang kemari rasanya sekalipun hendak berlalu belum tentu kalian ijinkan, karena itu lebih baik kita cepat-cepat selesaikan urusan kita, waktu sudah tidak pagi..." "Hmmm! Baiklah sampai waktunya kau jangan menyesal..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... " tiba Pek In Hoei mendongak dan tertawa terbahak-bahak, suaranya menjulang ke angkasa dan mengalun tiada hentinya dalam selat tersebut, dengan nada sinis ia menjengek : "Menyesal" Kalau menyesal aku tak bakal datang kemari!" Sang Kwan Cing menghela napas sedih, untuk sesaat ia dibuat tertegun oleh gelak tertawa lawannya yang jumawa dan sombong ini, cahaya kilat memancar keluar dari balik matanya, kepada wakil dari pelbagai partai kemudian serunya : "Harap kalian siap-siap untuk turun tangan, wilayah selatan bakal jadi wilayah kekuasaan siapa hal tersebut akan tergantung pada usaha serta perjuangan kalian sendiri.
Dan kini siapa yang ingin turun tangan lebih dahulu untuk beradu kepandaian dengan si Jago Pedang Berdarah Dingin..." Para wakil partai saling berpandangan sekejap, siapa pun tak berani maju ke depan untuk menerima tantangan tersebut, kejadian ini betul-betul merupakan suatu kejadian yang sangat memalukan.
"Aku lihat lebih baik kalian turun tangan secara serentak saja," ejek Pek In Hoei sambil tertawa sombong.
"Dengan begitu aku tak usah repot-repot dan waktu pun tidak terbuang dengan percuma.
Andaikata aku yang beruntung menang maka setelah mengambil benda-benda itu aku akan segera berlalu, andaikata tidak beruntung dan kalah aku tidak menyesali kenapa ilmu silatku tidak becus..." "Hmmm..." dengusan berat berkumandang dari balik kegelapan, Han Sim Poocu Khong Kie beserta seorang pria kekar meloncat keluar dari barisan secara berbareng, mereka segera menghampiri si anak muda itu.
"Oooh... bangsat nenek moyangmu, cucu kura-kura kalian ingin dua lawan satu?" maki Ouw-yang Gong si huncwee gede dengan marah.
"Hati-hati... kugetok batok kepala kalian sampai hancur lebur..." Air muka Sang Kwan Cing pun ikut berubah, teriaknya : "Khong Poocu harap segera kembali, kita sebagai jago dari selatan tak boleh kehilangan pamor..." Han Sim Poocu Khong Kie mendengus dingin, dengan mulut membungkam ia balik kembali ke dalam barisan, sementara pria kekar itu menjemput sebilah pedang dan mendekati lawannya.
Pek In Hoei menjengek dingin, katanya : "Laporkan dulu siapa namamu, aku ingin lihat dalam berapa jurus sanggup mengalahkan dirimu!" "Pek In Hoei, ingatlah baik-baik, aku adalah si pedang baja Loei Peng dari partai Kilat," teriak pria itu dengan hati mendongkol, "Bila kau sudah menghadap raja akhirat nanti jangan sampai lupa menyebut namaku..." Partai Kilat tersohor di kolong langit sebagai sebuah partai yang mengandalkan ilmu pedang terutama sekali sembilan jurus ilmu pedang gunturnya sudah merupakan kepandaian yang ampuh di wilayah selatan.
Ketika wakil dari pelbagai partai lain menyaksikan Loei Peng dari partai Kilat muncul dalam pertempuran babak pertama, mereka bersorak sorai kegirangan, mereka tahu asal jago lihai ini turun tangan lebih dahulu maka sedikit banyak akan menghancurkan pamor Pek In Hoei dan merebut kembali gengsi para jago dari wilayah selatan.
Sambil meluruskan pedangnya di depan dada, Loei Peng tarik napas panjang-panjang, pedangnya digetarkan di udara hingga menimbulkan deruan angin dan guntur yang tajam, tidak malu ia disebut sebagai seorang pimpinan suatu partai.
Pek In Hoei tertawa hambar, serunya : "Oooh, sungguh tak nyana kau pun seorang jago lihai dalam menggunakan ilmu pedang..." "Cabut pedangmu! bentak Loei Peng.
"Huuuh...! Kalau cuma menghadapi beberapa jurus ilmu pedangmu itu, sangat memalukan kalau aku harus gunakan pedang..." ia bongkokkan badan mengambil sebatang batang kering dan melanjutkan, "biarlah aku gunakan ranting ini sebagai ganti pedang untuk menemani dirimu bermain beberapa jurus!" Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, seruan kaget berkumandang dari empat penjuru, semua orang menganggap si anak muda itu terlalu jumawa dan takabur.
Loei Peng sendiri dibuat naik pitam atas penghinaan tersebut, mukanya berubah jadi merah berapi, sambil menggetarkan pedangnya di udara ia menghardik keras : "Bangsat, kau cari mati..." Seluruh kegusaran dan rasa mendongkolnya segera disalurkan ke dalam serangan yang dilancarkan, ia membentak keras, pedangnya laksana kilat menusuk ke arah lambung musuh.
Sungguh hebat serangan tersebut, di antara bergeletarnya cahaya tajam disertai deruan angin puyuh dan ledakan guntur senjata itu langsung meluncur ke depan.
Pek In Hoei terkejut, ia tak mengira kalau musuhnya telah berhasil meyakini ilmu pedangnya hingga mencapai taraf itu, meskipun ia tidak sampai terpengaruh oleh deruan angin serangan tadi namun pemuda itu tak berani bertindak gegabah sebab serangan yang dituju adalah suatu bagian tubuh yang amat penting.
Tenaga murninya dengan cepat disalurkan ke dalam ujung ranting lalu disentilnya ringan ke atas ujung senjata lawan.
Triiiiing...! Loei Peng seketika merasakan lengannya bergetar keras, serangan pedangnya segera meleng beberapa depa ke samping.
Buru-buru ia putar pedangnya melancarkan kembali serangan dahsyat ke arah depan, jurus yang digunakan adalah Pian Cung menusuk harimau, meski suatu jurus serangan yang sederhana tapi merupakan suatu perubahan serta penyerangan yang amat sempurna.
"Hmmm! Apakah kau cuma bisa mainkan sejurus serangan ini saja?" jengek Pek In Hoei sambil mendengus.
Dengan ranting menggantikan pedang dalam hal senjata ia menderita kerugian besar, tapi rupanya si anak muda itu ada maksud untuk mendemonstrasikan kelihayannya, belum sempat jurus serangan Loei Peng digunakan sampai habis, tiba-tiba ujung ranting itu bergetar di angkasa dan meluncurlah serentetan desiran angin tajam ke arah depan.
"Triiiing...! kembali terjadi dentingan nyaring yang memekakkan telinga, entah secara bagaimana tahu- tahu pedang dalam cekalan Loei Peng sudah terlepas dan rontok di atas tanah, wajahnya pucat pias bagaikan mayat, pakaian bagian badannya hancur terkoyak-koyak, untuk beberapa saat lamanya ia berdiri menjublak di tengah kalangan sambil menatap wajah musuhnya tanpa berkedip.
Lama... lama sekali ia baru tarik napas panjang- panjang dan bertanya, "Ilmu pedang apakah yang telah kau gunakan?" "Jurus Tenaga sakti menghajar surya dari ilmu pedang penghancur sang surya," jawab Pek In Hoei sambil tertawa ewa.
Dengan putus asa Loei Peng menghela napas panjang, ia tertawa sedih lalu putar badan dan berlalu dari situ, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya telah lenyap di balik kegelapan.
"Ular asap tua, simpan panji guntur tersebut," seru pemuda she Pek itu lantang.
"Baik, inilah partai pertama yang bertekuk lutut pada kita," sahut Ouw-yang Gong dengan bangga.
"Aku si ular asap tua harus menghisap huncweeku dalam- dalam untuk merayakan kemenangan ini..." Ia sambar panji kecil berlukiskan kilatan guntur itu lalu ditaruh di bawah pantatnya dan lantas diduduki.
Perbuatan yang konyol ini seketika menggusarkan wakil dari partai-partai lain, mereka sama-sama menuding kakek itu sambil memakinya kalang kabut.
Setelah kemenangannya yang pertama, semangat Pek In Hoei makin berkobar, sambil tertawa keras serunya : "Sekarang masih ada siapa lagi yang ingin maju?" "Hmmm!....
Ku Lip dari benteng Leng Cian Poo ingin mohon petunjukmu..." bersamaan dengan seruan itu dari balik barisan para jago muncul seorang kakek tua yang tinggi besar, sebuah gendawa besar tergantung pada punggungnya, sikap serta gerak geriknya sangat gagah...
Pek In Hoei melirik sekejap ke arah orang itu dengan pandangan sinis, lalu sambil tertawa dingin jengeknya : "Mampukah kau?" Leng Cian Poocu Ku Lip melengak, air mukanya segera berubah, sebagai seorang jago yang tersohor dalam dunia persilatan belum pernah ia jumpai manusia yang begitu pandang hina terhadap dirinya, dalam gusarnya ia segera mendongak dan tertawa keras.
"Bajingan cilik, kau terlalu tidak pandang sebelah mata terhadap diriku..." Ia loloskan gendewa besar yang tergantung di punggungnya lalu cabut keluar sebatang panah panjang berbulu emas, setelah dipasang...
Sreet, anak panah itu dibidikkan ke atas sebuah batu cadas.
"Blaaam... hancuran batu bermuncratan di angkasa, di tengah percikan bunga api tampaklah anak panah itu menembusi batu cadas tersebut hingga tinggal bulunya saja yang tersisa di luar.
Dalam hati Pek In Hoei merasa tercekat, ia tak mengira kalau orang ini memiliki tenaga murni yang begitu hebat, dalam sekali bidikan sanggup menembusi batu cadas yang begitu keras.
Dengan andalkan kekuatan semacam ini, ia merasa bahwa musuhnya yang satu ini tak boleh dipandang remeh.
"Sungguh luar biasa, sungguh luar biasa....!" serunya memuji, setelah merandek sejenak tambahnya, "sayang kau cuma mampu membidik mati seekor semut." Ketika kedengarannya pihak musuh memuji kehebatannya Leng Cian Poocu Ku Lip merasa amat bangga dan gengsinya terasa ikut menanjak naik, siapa tahu Ouw-yang Gong telah menambahi ddg mengatakan bahwa ia cuma mampu membidik mati seekor semut, hawa amarahnya segera berkobar.


Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan penuh kegusaran teriaknya : "Ular asap tua, kau tak usah menyindir orang dengan perkataan yang tak sedap didengar, asal kau mampu untuk menirukan gerakanku tadi maka benteng Leng Cian Poo ku akan kuserahkan kepadamu tanpa syarat..." "Huuuh...
kau pengin ajak aku si ular asap tua bergurau?" Mari biar kusuruh kau rasakan dulu ikan Lee hi goreng..." Ia hisap huncweenya dalam-dalam kemudian secara tiba-tiba melentikkan kobaran api yang membara ke arah tubuh Ku Lip.
Percikan api segera berkobar jadi besar dan membakar wajah Leng Cian Poocu, membuat jago tua itu berkaok-kaok kesakitan dan memaki musuhnya kalang kabut.
"Haaaah... haaaah... haaaah... bagaimana rasanya gorengan ikan Leehi ini?"?" ejek Ouw-yang Gong sambil tertawa tergelak.
Seluruh wajah Leng Cian Poocu Ku Lip kotor oleh abu tembakau, ujung bibirnya bengkak dan muncul gelembung-gelembung air, ia meraung keras, dicabutnya sebatang anak panah lalu dipasang di atas gendewanya.
"Hey ular asap tua, kau cobalah permainan membidik semutku ini..." Ku Lip tarik gendewanya keras-keras kemudian membidikkan anak panah tadi mengarah tubuh Ouw- yang Gong.
Terhadap datangnya ancaman si kakek konyol itu sama sekali tidak menggubris, bahkan ia malah menyulut tembakau baru di atas huncweenya.
Sreet...! diiringi suara desiran tajam anak panah itu meluncur ke depan bagaikan sambaran kilat.
Ouw-yang Gong tertawa terkekeh-kekeh, ditunggunya sampai anak panah itu hampir mengenai tubuhnya, tiba-tiba huncwee dalam genggamannya ditutulkan ke atas ujung anak panah itu.
"Kraaak...!" diiringi bentrokan nyaring anak panah itu tergetar patah jadi dua bagian.
Sambil mencekal patahan panah itu Ouw-yang Gong mendengus hina, dia buang kutungan tadi ke atas tanah dan serunya sambil melirik sekejap ke arah Pek In Hoei : "Huuuh! Kepandaian dari benteng Leng Cian oo tidak lebih cuma begitu-begitu saja..." Ku Lip jadi mencak-mencak kegusaran, bentaknya : "Kau jangan banyak bacot dulu.
Nih! Coba sekali lagi..." *** Bagian 27 DALAM pada itu dengan pandangan dingin Pek In Hoei menyapu sekejap wajah para jago yang hadir di tempat itu dan akhirnya berhenti di atas wajah Sang Kwan Cing, jengeknya : "Benarkah di wilayah selatan sama sekali tidak ada orang pandai?" Sekujur badan Sang Kwan Cing bergetar keras, ia merasa dari balik sorot mata pemuda itu memancar keluar suatu kekuatan yang aneh, ia melengos ke samping dan menyahut dengan nada dingin : "Sebentar lagi kau akan tahu apa yang sebenarnya kami miliki, mungkin saat ini kau merasa bangga tapi sesaat lagi mungkin kau akan mengetahui bahwa kelihayan daripada enghiong di wilayah selatan jauh melebihi apa yang kau bayangkan sekarang..." "Hmmm..." Leng Cian Poocu Ku Lip sambil putar gendewa besarnya meloncat bangun dari atas tanah.
"Pek In Hoei, kau masih belum bergebrak melawan aku orang she Ku." Orang ini benar-benar tak tahu diri, bahkan menantang si jago pedang berdarah dingin untuk bertempur.
Perlahan-lahan Pek In Hoei menoleh, tanyanya : "Apakah kau hendak menantang aku untuk beradu ilmu memanah?" "Hmmm! Omong kosong, aku ingin menantang dirimu untuk bertempur ilmu pedang penghancur sang surya..." "Jumawa amat dirimu!" seru si anak muda itu sambil tertawa dingin, napsu membunuh menyelimuti wajahnya.
Leng Cian Poocu Ku Lip tertawa seram, gendewa raksasanya diayun di tengah udara dan memperlihatkan suatu gerakan yang sangat aneh, disapunya tubuh pemuda itu dengan dahsyat.
Pek In Hoei melengak, pikirnya : "Masa gendewa sebesar ini bisa digunakan sebagai pedang..." Dengan enteng ia melayang ke samping, kakinya bergeser membiarkan gendewa itu lewat dari bawah.
Merasakan sapuannya mengenai sasaran kosong, dengan cepat Leng Cian Poocu Ku Lip putar badannya satu lingkaran dan melancarkan satu bacokan kembali.
Pek In Hoei tak menyangka kalau perubahan jurus yang dilakukan orang itu sedemikian cepatnya, menghadapi datangnya bacokan yang begitu hebat kembali ia geser badannya ke samping, telapak diputar menghantam punggung gendewa itu hingga berbunyi nyaring.
Leng Cian Poocu Ku Lip merasakan satu tenaga dorongan yang hebat menghajar tubuhnya lewat gendewa tersebut, tak tahan badannya mundur dua langkah ke belakang dengan sempoyongan.
"Aku akan beradu jiwa dengan dirimu..." teriaknya.
Pergelangannya digetarkan keras, tiba-tiba gendewanya menciptakan bunga serangan yang tajam.
Sreet! Sreet! Sreet! secara beruntun ia lancarkan tiga buah serangan berantai yang kesemuanya tidak terlepas dari tempat berbahaya di sekeliling tubuh lawannya, semua serangan dilancarkan dengan hebat dan mantap laksana bukit.
Pek In Hoei tertawa dingin, katanya : "Kalau kau ingin menggunakan cara ini untuk beradu jiwa, maka lebih baik gunakan untuk menakut-nakuti bocah berumur tiga tahun." Badannya bergeser cepat, dalam waktu yang amat singkat ia berputar ke belakang tubuh Ku Lip lalu mengetuk punggungnya dengan ujung telapak, serunya : "Sekarang kau boleh berlalu dari sini, tetap bertahan berarti mencari kesulitan bagi diri sendiri!" Bisikan itu diucapkan sangat lirih dan hanya Ku Lip seorang yang mendengar, Leng Cian Poocu ini tertegun dan segera mengerti bahwa si anak muda itu masih memberi muka baginya.
Ia menghela napas panjang, setelah memandang sekejap wajah pemuda itu, ia putar badan dan berlalu.
Tindakan dari Leng Cian Poocu Ku Lip ini seketika menegunkan hati para jago yang hadir di sana, siapa pun tidak sempat melihat secara bagaimana jago itu menemui kekalahannya, melihat ia berlalu semua orang cuma bisa berdiri melongo dan kebingungan saja.
"Ku heng, kau hendak pergi ke mana?" teriak Han Sim Poocu Khong Kie dengan suara keras.
Ku Lip tertawa sedih. "Ilmu silat yang siauw te miliki hanya biasa saja tetapi berada di sini cuma akan memalukan orang- orang dari selatan saja..." "Ku poocu harap tahan sejenak," seru Sang Kwan Cing pula sambil tersenyum.
"Menang kalah adalah suatu kejadian yang lumrah bagi kita, mengapa kau mesti memikirkannya di dalam hati?" Lagi pun dari pihak kita toh belum banyak yang turun ke dalam gelanggang, siapa tahu ada orang lain yang sanggup membalaskan sakit hati poocu..." Ouw-yang Gong yang mendengar perkataan itu jadi tidak puas, teriaknya : "Hey budak ingusan, keras amat selembar bibirmu itu, siapa sih yang mampu mengalahkan Pek In Hoei?" Coba katakanlah dulu kepada aku si ular asap tua..." "Banyak mulut!" maki Sang Kwan Cing dengan wajah adem.
"Hati-hati kalau kupotong lidahmu yang usil itu..." "Aduuuh mak...
aduuuh nenek moyang..." teriak Ouw- yang Gong ketakutan.
"Kau suruh aku lakukan pekerjaan apa pun aku mau, cebokin pantatmu aku juga mau...
tapi jangan kau potong lidahku ini...
waduh! Kalau aku tak punya lidah bisa jadi aku si ular asap tua jadi seorang bangsat bisu..." Tingkah lakunya yang kocak membuat para jago tak dapat menahan rasa gelinya dan tertawa terbahak- bahak sampai Sang Kwan Cing sendiri yang berwajah adem pun segera tersungging satu senyuman.
"Siapa sih nenek moyangmu..." hardiknya.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... anak monyet cucu kura- kura, kau berani mengaku sebagai nenek moyangku..." "Makhluk tua yang bermulut rongsok, hati-hati kalau kuhajar mulutmu sampai gepeng!" "Ouw-yang Gong masih ingin membanyol lebih jauh, tiba-tiba ia lihat Pek In Hoei mengerdipkan matanya ke arahnya, cepat-cepat ia membungkam mengundurkan diri.
"Siapa lagi yang hendak memberi petunjuk kepadaku?" seru si anak muda itu kemudian setelah tarik napas dalam-dalam.
Setelah menyaksikan pemuda itu secara beruntun mengalahkan dua jago lihay, sebagian besar para jago yang hadir di tempat itu sudah merasa jeri, mereka semua tahu bahwa di situ kecuali Sang Kwan Cing seorang siapa pun bukan tandingan dari si Jago Pedang Berdarah Dingin itu.
Tetapi benarkah di antara begitu banyak jago yang hadir di situ, tak seorang pun yang berani menghadapi tantangan dari Pek In Hoei" Andaikan kejadian ini benar-benar terjadi maka peristiwa tersebut benar- benar merupakan suatu kejadian yang sangat memalukan.
Maka dari para jago yang hadir dalam kalangan segera saling berpandangan tanpa seorang pun berani tampil ke depan, sinar mata semua orang secara tidak sadar sama-sama dialihkan ke arah wajah Sang Kwan Cing...
Pek In Hoei tertawa dingin, serunya : "Apakah tak seorang pun yang berani keluar" Hmm, baiklah, terpaksa aku harus memilih satu per satu..." "Tudinglah jago yang kau inginkan," dengus Sang Kwan Cing.
"Peduli siapa pun yang kau pilih, mereka tak akan membuat kau merasa kecewa..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... baik, baik," sinar matanya segera mengerling sekejap ke arah Han Sim Poocu Khong Kie.
"Aku lihat lebih baik Toa poocu itu saja yang melayani diriku.
Khong Poocu, kau suka memberi muka kepadaku bukan?" Han Sim Poocu Khong Kie merasa hatinya tercekat, secara tiba-tiba timbul rasa takut di dalam hatinya, tetapi setelah si Jago Pedang Berdarah Dingin menjatuhkan pilihan kepadanya, tentu saja ia tak bisa menampik.
Sambil tertawa tergelak segera serunya : "Baik, baik...
Hmm... Hmm... kalau memang kau ingin cepat-cepat modar, biarlah aku orang she Khong menghantar dirimu untuk berangkat..." Sambil mencekal toya bajanya erat-erat dan napsu membunuh menyelimuti wajahnya, ia maju ke depan dengan langkah lebar, tingkah lakunya tersebut segera mengerutkan dahi Pek In Hoei.
Tiba-tiba sesosok bayangan manusia berkelebat lewat : "Khong Poocu, dapatkah kau berikan babak kali ini kepada siauw te?"?" Khong Kie melengak dan segera menoleh ke arah seorang pria berusia pertengahan yang berdiri di hadapannya.
"Hooh, Seng jie ko, rupanya kau..." Pria itu tersenyum.
"Khong poocu masih bisa ingat akan diriku, hal ini merupakan suatu kehormatan bagiku.
Poocu, bagaimana kalau kau serahkan babak pertarungan kali ini kepada aku Seng Kong..." "Apakah Seng Jie ko mempunyai ganjalan hati dengan si Jago Pedang Berdarah Dingin?" Seng Kong tertawa dingin.
"Hmm... secara beruntun ia mengalahkan jago-jago dari wilayah selatan, membuat jago kita jadi mengkret dan ketakutan semuanya, cukup meninjau dari hal ini sudah cukup untuk membuat kita semua jadi kehilangan muka dan tak bisa hidup lebih jauh di sini..." "Benar! kejadian ini memang sangat memalukan..." sahut Khong Kie sambil tertawa getir.
"Apakah Khong Poocu merasa amat sedih karena kejadian ini?" "Benar!" untuk kesekian kalinya Khong Kie dibuat melengak.
"Kalau memang Khong Poocu merasa sedih, kenapa sedari tadi kau tidak munculkan diri..." "Bukankah aku sudah tampil ke depan?" teriak Han Sim Poocu itu dengan gusar.
Seng Kong sama sekali tidak kasih hati kepada musuhnya, ia berseru kembali : "Seandainya Pek In Hoei tidak menantang dan menuding dirimu, apakah Khong Poocu berani tampil ke depan?" Khong Kie tidak mengira kalau kemunculan Seng Kong adalah untuk menjelek-jelekkan namanya, dari malu ia jadi naik pitam, sambil meraung keras toyanya segera dikemplang ke depan.
"Bagus sekali!" teriaknya keras-keras.
"Rupanya kau mengajak muncul untuk menjelek-jelekkan namaku.
Hmmm! Aku ingin tahu selat Leng In Kok mu itu mempunyai jago lihay andalan macam apa, sehingga begitu berani pandang hina orang lain..." Seng Kong gerakkan badannya menyingkir ke samping, sambil tertawa dingin sahutnya : "Persoalan di antara kita berdua lebih baik diselesaikan di kemudian hari saja, kenapa kau mesti terburu-buru?" Laksana kilat badannya menyingkir ke samping dan lepas dari ancaman musuh, perbuatan lawannya ini membuat Han Sim Poocu Khong Kie jadi semakin kalap, ia putar toyanya dan mengajar ke depan, meski serangan-serangannya dahsyat namun tak mampu untuk menyentuh tubuh Seng Kong barang sekali pun.
Keonaran yang timbul secara mendadak ini jauh di luar dugaan Sang Kwan Cing serta para jago lainnya, mereka tak mengira kalau kejadian bisa berubah jadi begini.
Musuh tangguh belum sempat dipukul mundur, orang sendiri malah saling bergebrak duluan.
Dengan wajah membesi Sang Kwan Cing segera berseru : "Tahan!" Khong Kie menghentikan gerakan tubuhnya dan berteriak dengan penuh kegusaran : "Nona Sang Kwan, coba kau nilai kejadian ini..." "Huuuh! Apakah kau masih punya muka untuk berbicara?" jengek Seng Kong sambil tertawa dingin.
"Semua orang yang ada di sini siapa pun tahu apa yang sedang kau pikirkan di dalam hati..." "Khong poocu harap segera kembali!" seru Sang Kwan Cing sambil maju ke depan dengan wajah dingin.
Kedudukan Han Sim Poocu Khong Kie di wilayah selatan tidak rendah, tapi pada malam ini secara beruntun ia harus menelan rasa mendongkol di tangan orang lain.
Pertama kali di tangan Loei Peng dari partai Kilat, dan kini di tangan Seng Kong dari selat Leng In Kok.
Seandainya Seng Kong bicara secara baik-baik dengan dirinya, mungkin ia bisa memberi muka kepada orang itu, siapa tahu orang itu seakan-akan mempunyai sakit hati dengan dirinya, bukan saja sudah menjelek- jelekkan namanya, bahkan membuat pamornya merosot, hal ini membuat hatinya jadi amat mendendam.
Ditambah pula saat ini Sang Kwan Cing memerintahkan dia untuk mundur, kegusarannya makin memuncak.
Ia tatap gadis itu dengan pandangan membenci lalu serunya : "Tidak sulit untuk memaksa aku mundur ke belakang, tapi kau harus tanya dulu kepada toyaku ini maukah dia turuti perkataanmu..." "Ooooh...! Jadi kau tak mau memberi muka kepadaku?" Han Sim Poocu Khong Kie tertegun.
"Tentang soal ini..." Ia tahu selat Seng See Kok adalah partai nomor wahid di wilayah selatan dengan pengaruh yang paling luas, bilamana ia harus bermusuhan dengan selat Seng See Kok dan selat Leng In Kok secara beruntun, sebagai seorang jago yang cerdik tentu saja ia tak mempunyai keberanian itu.
Setelah berpikir sebentar, akhirnya ia tarik kembali toyanya dan mengundurkan diri dari situ sambil melotot sekejap ke arah Seng Kong dengan pandangan penuh kebencian.
"Setelah urusan di sini selesai, aku Seng Kong pertama-tama yang akan berkunjung ke benteng Han Sim Poo untuk minta maaf..." seru jago dari selat Leng In Kok itu dengan dingin.
Khong Kie mendengus berat.
"Hmmm! Bagus sekali, sampai waktunya aku pasti akan menyambut kedatangan Seng jie ko..." Ia seret toyanya maju dua langkah ke depan dan serunya kembali : "Nona Sang Kwan, aku ingin mohon diri lebih dahulu." "Begitu pun boleh juga," jawab Sang Kwan Cing sambil tertawa ewa.
"Semakin banyak orang di sini malah semakin banyak urusan yang terjadi..." Khong Kie jadi amat mendendam sampai dia mesti gertak giginya kencang untuk menahan emosi dalam dadanya, dalam hati ia menyumpah : "Budak setan, suatu hari aku pasti akan suruh kau rasakan kelihayan dari aku orang she Khong..." Ia tertawa dingin, sambil menyeret toyanya ia melotot sekejap ke arah Pek In Hoei, kali ini rasa bencinya lebih tebal seakan-akan berhadapan dengan musuh besarnya saja, sambil tertawa seram serunya : "Pek In Hoei, urusan di antara kita lebih baik dibicarakan lain hari saja..." "Hmmm! Sungguh bagus rejekimu hari ini, di tengah jalan ada orang yang mewakili dirimu..." ejek Pek In Hoei.
Han Sim Poocu Khong Kie pura-pura tidak mendengar, dengan langkah lebar ia berlalu dari sana.
Tiba-tiba Ouw-yang Gong mendengus dingin, badannya melayang maju ke depan, teriaknya : "Tidak bisa jadi, monyet tua ini tak boleh pergi!" "Kau mau apa?" hardik Khong Kie dengan bencinya.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... mau pergi boleh saja tapi tinggalkan dulu tanda perintah Han Sim Leng itu.
Hmmm! Akal licik dari kau si cucu kura-kura paling banyak, kalau kami biarkan kau berlalu dengan begini saja, lalu apa gunanya kami datang ke sini?" "Benteng Han Sim Poo kami toh belum kalah..." teriak Khong Kie semakin gusar.
"Huuuh... tiada berharganya untuk membicarakan soal benteng Han Sim Poo lebih baik tinggalkan dulu benda itu sebelum pergi." Baru pertama kali ini Khong Kie mengalami penghinaan sebanyak ini, saking gusarnya ia segera melotot sekejap ke arah Sang Kwan Cing.
Tapi akhirnya ia geleng kepala dan menghela napas panjang.
"Aaai...! sudah sudahlah.
Nih, ambillah..." habis berkata ia segera berlalu dengan langkah lebar.
Dengan bangganya Ouw-yang Gong tertawa panjang, ia cengkeram panji Han Sim Leng itu sambil mengomel.
"Huuuuh...! Kain dekil ini mirip sekali dengan popok bayi yang penuh tahi...
Ooooh...! Tidak aneh kalau masih tercium bau pesing...
mungkin kain bekas untuk cebokan..." Perkataan ini benar-benar keterlaluan sekali, wakil dari semua partai jadi gusar dan ingin sekali merobek mulutnya sampai hancur.
Di tengah kegelapan ucapan tersebut berkumandang sampai jauh dan sampai terdengar oleh Han Sim Poocu Khong Kie, ia semakin mendongkol lagi dan tak tahan jago tua ini muntah darah segar, dengan sempoyongan buru-buru ia berlalu dari situ.
Sang Kwan Cing sendiri pun mengerutkan dahinya, kepada Pek In Hoei dia berseru : "Ucapan dari pembantumu itu sungguh tak enak didengar!" Pek In Hoei tersenyum.
"Pembantuku ini pekerjaannya setiap hari adalah membersihkan kotoran manusia, saban hari kerjanya melulu di antara tumpukan kotoran manusia maka perkataan macam apa pun sanggup dia ucapkan.
Nona! Lebih baik kau jangan mengusik dirinya..." Sang Kwan Cing melirik sekejap ke arah Ouw-yang Gong, ia benar-benar tak berani bersilat lidah lagi dengan kakek konyol itu, sebab dia tahu mulut orang tua ini bagaikan jamban tahi, perkataan macam apa pun sanggup diutarakan keluar, mengusik dia berarti mencari penyakit buat diri sendiri...
Sementara itu Seng Kong telah cabut keluar sebilah pedang, ujarnya : "Nona Sang Kwan harap mundur ke belakang, aku hendak memberi pelajaran kepada manusia latah ini..." "Seng jie kokcu! Kau mesti berhati-hati," sahut Sang Kwan Cing sambil tertawa.
"harapan semua partai dari selatan telah dititipkan ke atas pundakmu, dalam pertarungan ini kau harus menang sebab kalau tidak maka pasukan kita bakal musnah sama sekali..." Ucapan itu adalah perkataan yang sejujurnya, ia tahu Seng Kong adalah jago nomor dua di dalam wilayah selatan, kecuali selat Seng See Kok tak seorang pun yang sanggup menandingi ilmu silat dari orang ini maka seandainya Seng Kong menderita kalah juga, berarti ia sendiri pun tidak punya keyakinan untuk menang.
"Nona Sang Kwan tak usah kuatir," seru Seng Kong dengan sombong.
"Aku pasti akan berusaha dengan segenap tenaga..." Dia aryunkan pedangnya ke depan, wajahnya berubah serius dan sorot matanya memancarkan cahaya kilat.
Kali ini si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak berani bertindak gegabah, ia terkesiap dan menyadari bahwa dirinya telah bertemu dengan jago yang sungguh lihay.
"Ehmmm! Kau memang lebih hebat kalau dibandingkan dengan yang lain cuma sayang kemantapan hatimu masih belum cukup!" "Dari mana kau bisa tahu?" Sekali Pek In Hoei terkesiap, ia tak mengira kalau orang itu sangat tenang, segera timbul niatnya untuk menggusarkan pihak lawan, sambil mencibirkan bibirnya ia segera berseru : "Napsu berangasanmu masih menguasai hati, pedangmu terlalu enteng dan tidak mantap, hal ini menunjukkan bahwa kau cuma mendapat sedikit kulitnya saja dari inti sari ilmu pedang maka itu aku bilang bahwa saat ini kau belum pantas menggunakan pedang, berlatihlah lebih dulu kepandaian itu matang-matang..." Seng Kong terkesiap, ia merasa dibalik ucapan lawannya mengandung arti yang mendalam.
Dengan hati sangsi ujung pedangnya segera diperiksa, sedikit pun tidak salah ia lihat senjatanya agak gemetar dan tidak mantap...
Hatinya jadi terkesiap, teriaknya dengan hati gusar : "Kau jangan omong kosong!" Pedangnya digetarkan dan laksana kilat melancarkan tiga buah serangan berantai yang secara terpisah menusuk tiga bagian tubuh Pek In Hoei, gerakan itu dilakukan sangat cepat membuat wakil dari pelbagai partai yang berada di sekeliling tempat itu bersorak memuji.
Pek In Hoei gerakkan kakinya ke samping, jengeknya : "Hmmm! Kematian sudah di ambang pintu, kau masih saja berkeras kepala..." Tiba-tiba terasa sekilas cahaya perak yang amat menyilaukan mata memancar di udara, cahaya pedang amat dingin itu segera memaksa Seng Kong untuk mundur dua langkah ke belakang.
"Apakah pedang itu adalah pedang mestika penghancur sang surya"..." tanya Seng Kong dengan hati bergidik.
"Sedikit pun tidak salah, apakah kau merasa takut?" Seng Kong jadi naik pitam pedangnya dipapas ke depan serentetan cahaya pedang berkilauan melancar ke depan hingga memaksa Pek In Hoei buru-buru harus berkelit ke belakang.
Pek In Hoei sendiri pun telah diliputi oleh kegusaran, hawa kemarahan yang sudah tertanam dalam hatinya sejak tadi segera disalurkan keluar semua, ia membentak keras, pedangnya dengan gerakan mendadak menyapu keluar.
Menyaksikan datangnya sapuan pedang lawan Seng Kong pecah nyali, tak sempat lagi baginya untuk berkelit, terpaksa dia ayun pedangnya untuk menyambut datangnya serangan tersebut.
Trang...! terjadi benturan nyaring yang mengakibatkan letupan cahaya api, Seng Kong merasakan tangannya jadi enteng dan tahu-tahu pedang dalam genggamannya telah patah jadi dua bagian.
Sementara itu gerakan serangan dari pihak musuh belum berhenti sampai di situ saja, daya tekanan semakin cepat mendekati tubuhnya.
Diam-diam ia berseru di dalam hati.
"Habis sudah riwayatku...
kali ini jiwaku pasti lenyap di ujung pedangnya..." Ia segera pentang matanya lebar-lebar dan membentak : "Ayoh cepat bunuh diriku!" Siapa tahu Pek In Hoei tarik kembali pedangnya sambil berkata dengan nada dingin : "Kalau kubunuh dirimu dengan begini saja maka kau pasti akan merasa tidak puas, sekarang aku akan memberi satu kesempatan lagi kepadamu, kembali dan ambillah pedang lebih dahulu..." Setelah berhasil menenangkan hatinya yang kaget, Seng Kong menghembuskan napas panjang, sahutnya : "Pedang saktimu amat tajam, sekalipun aku ganti seratus bilah pedang juga tak ada gunanya!" Pek In Hoei tertawa nyaring, ia tancapkan pedang mestika penghancur sang surya-nya di atas tanah lalu berseru : "Kalau begitu mari kita coba dengan tangan kosong." "Rupanya kau sudah bosan hidup," teriak Seng Kong kegirangan.
Ilmu silatnya di dalam kepandaian tangan kosong amat lihay dan ia yakin jarang temui tandingan di kolong langit, mendengar Pek In Hoei hendak melayani dirinya dalam ilmu tangan kosong, semangatnya segera berkobar, kepalannya langsung ditonjolkan ke depan.
Pek In Hoei rendahkan tubuhnya menghindar, sambil putar badan melancarkan serangan balasan katanya : "Ehmmmm...
rupanya ilmu tangan kosongmu jauh lebih lihay daripada ilmu pedang yang kau miliki..." Baru saja ia hendak menggerakkan badannya, terasa dari belakang menyambar lewat segulung angin dingin, cepat ia berpaling tampaklah Ouw-yang Gong sambil tersenyum telah berdiri di sisi tubuhnya.
"Hey ular asap tua..." seru pemuda itu.
"Haaaah... haaaah... haaaah... secara berurutan kau sudah menangkan beberapa babak pertarungan, kali ini kau mesti kasih kesempatan bagi aku si ular asap tua untuk unjukkan kelihayanku, kalau tidak orang lain tentu mengatakan bahwa aku si pembantu bisanya cuma mengibul dan omong gede kenyataan ilmu apa pun tidak dimiliki..." Mendadak ia merandek sebab pada saat itulah ia jumpai Seng Kong tanpa mengeluarkan sedikit suara pun sedang melancarkan serangan bokongan ke arah Pek In Hoei.
Ia membentak keras, telapaknya segera diayun ke depan.
Blam! bentrokan nyaring bergeletar keras, mengakibatkan pasir dan debut beterbangan memenuhi angkasa.
Tubuh masing-masing pihak mundur tiga langkah ke belakang.
Ouw-yang Gong diam-diam merasa terkejut, pikirnya : "Sungguh tak nyana kepalan dari bangsat cilik ini sangat lihay." Ia segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... eeei cucu kura-kura, kau sudah punya bini belum?" Seng Kong melengak, ia tak tahu apa maksud kakek tua itu mengajukan pertanyaan tersebut, ia tertegun dan segera menjawab : "Belum." "Haaaah...
haaaah... haaaah... kalau begitu kau adalah ayam jejaka," menggunakan kesempatan di kala pikiran Seng Kong bercabang telapaknya segera dibabat ke depan, segulung angin pukulan segera meluncur keluar...
Seng Kong terkesiap, teriaknya penuh kegusaran.
"Kau main akal..." Buru-buru telapaknya dirapatkan jadi satu dan menyambut datangnya ancaman itu...
Blaam, sekali lagi terjadi bentrokan nyaring, tubuh Seng Kong segera mencelat ke udara.
Braaak, tidak ampun lagi tubuhnya terbanting mencium tanah, darah segar muntah keluar dari mulutnya, keadaannya payah sekali hingga tak sanggup untuk merangkak bangun.
"Kau adalah makhluk tua yang tak punya malu!" teriaknya sambil memandang kakek itu dengan penuh kebencian.
"Anak monyet, cucu kura-kura...
kenapa aku tak tahu malu?" "Hmm...! Kau membokong diriku tatkala aku tidak siap, kau tak punya malu..." Ouw-yang Gong tundukkan kepala berpikir sebentar, lalu menjawab : "Aaaah, benar, bukankah tadi aku sedang bertanya kepadamu apakah kau sudah punya bini, tapi...
pukulanku itu tak bakal menyia-nyiakan dirimu, binimu segera akan datang menengok dirimu..." "Seng-heng harap mundur ke belakang," sementara itu Sang Kwan Cing sudah melayang ke depan.
"Biarlah aku yang menghadapi setan usil mulut ini..." "Ular asap tua, mulutmu terlalu kotor dan usil, kau harus diberi pelajaran." "Aduuh...
celaka... celaka... " teriak Ouw-yang Gong sambil goyangkan tangannya berulang kali, "menantu perempuan mau pukul mertua, aku harus lari dari sini..." Ia segera loncat bangun dan kabur ke tengah kegelapan.
"Kembali," tiba-tiba terdengar suara bentakan keras berkumandang di angkasa.
Pek In Hoei mendongak dan merasa terkejut, tampaklah Ouw-yang Gong ditangkap oleh seorang pria kekar bercambang yang perkasa bagaikan sebuah pagoda, tengkuknya dicengkeram pria itu hingga membuat si kakek konyol sama sekali tak berkutik.
Tampak pria kekar itu angkat tubuh Ouw-yang Gong ke udara dan membantingnya ke depan.
Di tengah udara kakek konyol itu menjerit keras : "Aduuuh mak...
aduuuh nenek... tolong aku, kekuatan si raksasa rudin ini hebat sekali..." Begitu menginjak tanah ia segera tepuk-tepuk pantat sendiri dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... untung tidak sampai terbanting, untung tidak sampai terbanting..." "Kalau begitu kau boleh coba lagi!" seru pria itu sambil maju ke depan.
Ia gunakan suatu gerakan aneh, tangan kanannya berkelebat lewat dan tahu-tahu tengkuk si kakek konyol itu sudah dipelintir kembali.
Berada di tengah udara Ouw-yang Gong sama sekali tak berkutik, diam-diam ia tarik napas dingin, mendadak sambil cengkeram cambang pria raksasa itu serunya sambil tertawa seram.
"Eeeei... anak kera cucu monyet, tahukah kau selama hidupku apa yang paling kutakuti?" Ouw-yang Gong perlihatkan muka setan, dan menyahut : "Aku paling takut kalau jenggot seseorang kena dicabut maka setelah mati ia akan dijebloskan ke dalam neraka tingkat ke-sembilan belas, Raja akhirat akan merubah dia jadi seekor kucing hitam.
Hiii..." "Kenapa?"?" tanya pria itu melengak.
Ouw-yang Gong jadi kegirangan, ia tahu kalau pria itu meskipun memiliki tenaga yang amat sakti tapi dalam kenyataan adalah seorang bodoh, tabiatnya suka menggoda orang segera muncul kembali.
Sambil mencengkeram jenggot pria kekar itu lanjutnya sambil tertawa cengar-cengir : "Dahulu ada seorang tukang jual jamu mati di dalam sungai, ketika ia masuk ke istana Giam Ong tiba-tiba dilihatnya raja akhirat mendeprak meja sambil berkata, "Hey, di mana jenggotmu?"" Tukang jual jamu itu ketakutan maka buru-buru jawabnya, "Jenggotku dimakan ikan!" Raja akhirat yang mendengar ocehan itu jadi semakin gusar, segera teriaknya : "Kurang ajar, ikan tidak doyan jenggot.
Hmmm, kau penipu. Kepala kerbau muka kuda! Jebloskan keparat ini ke dalam neraka tingkat sembilan belas, dan jelmakan dia pada penitisan selanjutnya sebagai kucing, sebelum menghabiskan semua ikan yang ada di dunia tak boleh kembali.
Nah itulah dia kenapa kucing paling rakus kalau melihat ikan..." "Benar ada kejadian seperti itu?" seru pria itu sambil mengendorkan cekalannya.
KESEMPATAN itu digunakan Ouw-yang Gong mencabut jenggot laki-laki itu dan lari.
Pria itu gusar, cepat ia mengejar.
Ouw-yang Gong sambil lari menoleh ke belakang, ketika melihat pria aneh itu mengejar ia jadi takut dan sukmanya serasa melayang tinggalkan raganya.
Tapi sebagai seorang cerdik dengan cepat ia mendapat akal, sambil menoleh serunya : "Kau tak boleh memukul aku!" "Kenapa?"" tanya pria itu sambil berhenti.
Sambil tunjukkan segenggam jenggot di tangannya Ouw-yang Gong tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... kalau kau tidak punya jenggot bagaimana caranya pergi menghadap raja Akhirat?" Giam Ong berkata bahwa jenggot adalah sumber kehidupan yang diberikan orang tuamu dan tinggalan nenek moyangmu; hanya orang yang berjenggotlah yang pantas jadi orang tua...
Pria kekar itu tundukkan kepala berpikir sebentar lalu jawabnya : "Ehmm, ucapmu memang masuk di akal, aku tidak memukul dirimu lagi..." Para wakil dari jago-jago selatan tak seorang pun yang kenali siapakah pria kekar itu, melihat orang tersebut dipermainkan oleh Ouw-yang Gong secara habis-habisan, dalam hati mereka merasa amat geli.
Sementara itu Sang Kwan Cing dengan wajah serius telah maju ke depan, tegurnya : "Toako ini, ada urusan apa kau kunjungi selat Seng See Kok kami?" Pria kekar itu melotot sekejap ke arah gadis itu, lalu menjawab : "Aku tak mau beritahukan kepadamu, suhu sering bilang bahwa kaum wanita tak seorang pun yang merupakan manusia baik, lidahnya paling panjang dan sepatah kata bisa ditarik menjadi sepuluh li..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... betul, anggapanmu memang tepat sekali," sambung Ouw-yang Gong sambil tertawa tergelak, "lidah kaum wanita lebih panjang daripada lidah setan gantung...Hiiih...
kalau lidahnya menjulur terus di tepi bibir, setiap hari tentu akan menakutkan orang yang melihat...
engkoh cilik! Perkataanmu memang betul, jangan kau dekati kaum perempuan nanti darahmu bisa dihisap dan kepalamu bisa dililit oleh lidahnya..." Sang Kwan Cing jadi sangat mendongkol sehingga hampir saja ia muntah darah segar, dengan gusar teriaknya : "Hey ular asap tua, kalau kau ngaco belo lagi, jangan salahkan kalau aku tak akan berlaku sungkan lagi terhadap dirimu." Ouw-yang Gong pura-pura berlagak pilon, seolah-olah tidak pernah mendengar ucapan itu, ia julurkan lidahnya dan bertanya kepada pria kekar tadi : "Engkoh cilik, siapa sih namamu?"" "Soen Put Jie!" jawab pria itu setelah berpikir sebentar.
"Bagus!" seru Ouw-yang Gong sambil acungkan jempolnya.
"Jadi oncu memang tak boleh pakai dua she, namamu bagus sekali..." Ouw-yang Gong adalah seorang manusia yang cerdik, setelah menyaksikan kelihayan tenaga sakti orang itu ditambah pula kemunculannya yang secara tiba-tiba, ia tahu bahwa kehadiran orang ini pasti hendak menyusahkan Pek In Hoei, maka dari sakunya ia segera ambil keluar kelereng kaca yang berhasil didapatkan dari gudang harta milik Hee Giong Lam, sambil diayunkan ke tengah udara serunya menggapai ke arah Soen Put Jie.
"Engkoh cilik, kemarilah, ayoh kita main kelereng..." Bagaikan bocah cilik Soen Put Jie berteriak kegirangan dan segera lari ke depan,tapi baru berjalan beberapa langkah mendadak ia berhenti dan geleng kepala.
"Jangan bermain sekarang, pekerjaan yang ditugaskan suhu kepadaku belum selesai kukerjakan!" "Tidak apa-apa, kita toh cuma bermain sebentar saja...
ayohlah..." sambil berkata kakek konyol itu segera menyentil kelereng itu membidik kelereng yang lain.
Bagaimana juga Soen Put Jie adalah seorang pria tolol, lama kelamaan ia tak tahan juga terpancing oleh permainan kelereng itu, ia segera berjongkok dan ikut menyentil kelereng.
Demikianlah ke-dua orang itu segera berjongkok dan bermain kelereng seperti anak kecil saja.
Kejadian ini bukan saja membuat para wakil pelbagai partai dari wilayah selatan dibikin tertegun bahkan Pek In Hoei sendiri pun jadi melongo termangu- mangu.
Pada saat itulah tiba-tiba dari luar selat berkumandang datang suara berkeleningan yang berbunyi terhembus angin, mengikuti keleningan tadi terdengar irama seruling mengalun seluruh angkasa...
Begitu mendengar suara itu air muka Sang Kwan Cing berubah hebat, gumamnya dengan suara gemetar : "Aaaah, dia...
dia..." Rupanya para jago yang hadir di situ rata-rata sudah tahu siapakah yang telah datang, semua orang berdiri di tempat masing-masing dengan sikap menghormat, siapa pun tidak berani buka suara dan sinar mata sama-sama dialihkan keluar selat.
Di antara orang yang hadir di situ, hanya Ouw-yang Gong serta Soen Put Jie dua orang saja yang tetap tenang, mereka berdua tetap berjongkok sambil main kelereng.
Sekalipun begitu si ular asap tua Ouw-yang Gong telah basah kuyup oleh keringat dingin, satu ingatan berkelebat dalam benaknya, tapi ia tetap berusaha untuk melayani Soen Put Jie bermain di sana.
"Aaaah, sudah, aku tak mau bermain lagi, suhuku telah datang," terdengar pria kekar itu berseru.
"Jangan terburu-buru...
ayoh kita bermain sebentar lagi, mari kuajari kau bermain kelereng menggelinding ke dalam lubang..." Di atas tanah segara dibuatnya lima buah lubang kecil, lalu kelereng itu disentilkan ke dalam lubang- lubang tadi.
Sifat kekanak-kanakan Soen Put Jie pada dasarnya memang belum hilang, melihat permainan itu ia jadi tertarik dan urusan lain pun segera dilupakan.
Suara keleningan serta suara seruling itu kian lama kian mendekati, akhirnya tampaklah delapan orang pria berbaju putih dengan menggotong sebuah tandu perlahan-lahan munculkan diri di sana.
"Apakah Toan yaya di situ?"" Sang Kwan Cing segera memburu maju dan menegur.
"Hmm, di mana ayahmu?" sahut orang di dalam tandu sambil mendengus dingin.
Air muka Sang Kwan Cing berubah hebat.
"Ayahku telah menutup diri dan tidak mencampuri urusan keduniawian lagi, selama dalam selat tak ada urusan dunia persilatan yang dicampuri olehnya." Toan yang di dalam tandu kembali mendengus dingin, serunya ketus : "Pandai amat dia mencuci diri, apa dianggapnya urusan itu bisa diselesaikan begitu saja" Pikirannya terlalu sederhana!" Mendadak ia pertinggi suaranya dan berteriak : "Soen Put Jie!" Sekujur tubuh Soen Put Jie gemetar keras, buru-buru ia buang kelereng kaca itu ke atas tanah dan lari menghampiri tandu tadi.
Ouw-yang Gong yang gagal menarik tangannya segera berteriak : "Heeei...
nanti... dulu... nanti dulu, mari kita bermain lagi!" Sementara itu Toan ya di dalam tandu telah mendengus berat, pria kekar itu jadi ketakutan dan segera jatuhkan diri berlutut di atas tanah, teriaknya berulang kali : "Suhu...
oooh, suhu... murid tidak berani lagi!" "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... bagaimana dengan tugas yang kuserahkan kepadamu" Sudah kau laksanakan?" Seolah-olah baru saja mendusin dari mimpi Soen Put Jie tepuk kening sendiri dan berseru : "Aaaaah aku tadi lupa!" Ia segera meloncat bangun dan melancarkan satu pukulan dahsyat ke tengah udara.
Blaaam! Pasir dan debut beterbangan, di atas permukaan segera muncullah sebuah liang besar.
Menyaksikan kehebatan musuhnya, para jago yang hadir di situ jadi mengkeret dan tanpa sadar mundur dua langkah ke belakang.
Soen Put Jie sambil berdiri di tengah kalangan teriaknya keras-keras : "Siapa yang bernama si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei?" Si anak muda itu melengak, ia tidak menyangka kalau pria tolol itu hendak mencari satroni dengan dirinya, melihat tingkah lakunya yang masih kekanak- kanakan itu timbul kesan baik dalam hatinya, ia segera melayang keluar sambil menyahut : "Akulah yang kau cari." "Kujotos badanmu!" teriak Soen Put Jie sambil meloncat ke depan, kepalannya langsung ditonjok ke depan.
Gerakan yang dilakukan secara tiba-tiba ini hampir saja membuat Pek In Hoei jadi kelabakan, badannya segera bergeser ke samping dan melayang untuk menghindar.
"Hey, kenapa kau jotos badanku?" tegurnya.
"Suhuku yang suruh aku jotos badanmu." Sambil berseru kembali ia lancarkan satu jotosan kilat ke depan.
Baru untuk pertama kali ini Pek In Hoei menjumpai manusia kukoay semacam Soen Put Jie, dalam hati ia rada mendongkol juga, telapaknya segera berkelebat menghantam ke atas tubuh lawan.
"Bagus! Aku akan suruh kau merasakan ilmu Lay Bie Kang ajaran suhuku...!" seru pria kekar itu sambil putar telapaknya ke depan.
Blaaam...! sepasang telapak segera saling membentur satu sama lainnya, di tengah bentrokan nyaring Soen Put Jie berteriak kesakitan dan mundur dua langkah dengan keheranan kemudian sambil lari balik ke arah tandu teriaknya : "Suhu! Ilmu Lay Bie Kang mu tidak mempan untuk menandingi ilmu tulang keras miliknya, aku si Loo soen sudah tak sanggup." Toan Hong ya yang berada di dalam tandu mendengus dingin: "Hmmm! Manusia yang tak berguna, ilmu silat dari keluarga Toan kami tiada tandingannya di kolong langit, mengerti kau?"" Tampak horden di depan tandu bergoyang dan muncullah seorang pria berusia pertengahan yang memakai jubah kuning bersulamkan benang emas, dengan memakai kopiah kaisar.
Sinar matanya yang tajam segera menyapu sekejap ke atas wajah Jago Pedang Berdarah Dingin, dengusan sinis bergema memecahkan kesunyian.
Ouw-yang Gong yang berada di sisi Pek In Hoei segera berbisik : "Dia adalah Tong Hong ya dari Tay li dalam wilayah selatan, tidak termasuk dalam perguruan mana pun tetapi kepandaian silatnya merupakan pemimpin di antara partai lain, asal kita sebut nama Toan Hong ya dari negeri Tay li, siapa pun mengenali dirinya, orang ini sangat hambar terhadap urusan dunia dan jarang mencampuri urusan dunia persilatan, kemunculannya kali ini sungguh mencurigakan sekali..." "Ooooh, kiranya dia adalah seorang kaisar tanpa mahkota!" sahut Pek In Hoei.
Ia segera perhatikan wajah orang itu tajam-tajam, tampaklah olehnya bukan saja raut wajahnya dingin dan agung bahkan gerak geriknya gagah sekali, tidak malu disebut sebagai seorang kaisar.
Dalam pada itu Tong Hong ya pun sedang mengamati wajah Pek In Hoei tajam-tajam, lalu menegur : "Apakah kau adalah si Jago Pedang Berdarah Dingin?"" "Sedikit pun tidak salah!" "Ehmmmm...! seorang diri menyerbu ke daerah selatan, keberanianmu memang patut dihargai..." "Apa maksudmu?" seru Pek In Hoei tertegun.
"Haaaah... haaaah... haaaah... kolong langit demikian luasnya, tahukah kau bahwa jago lihay tiada tara banyaknya" Benarkah kepandaian silatmu itu sanggup untuk menaklukkan para jago yang ada di wilayah selatan"..." "Hmmm! Di antara tiga partai dua selat enam benteng sudah ada separohnya yang keok dan bertekuk lutut, apakah kau juga punya kegembiraan untuk ikut serta di dalam pertemuan ini..." "Hmmm! Urusan sekecil ini tidak berharga bagiku untuk mencampurinya, setelah mendapat laporan kemarin malam dan mengetahui tujuanmu menjelajahi wilayah selatan kali ini, sebenarnya aku tidak ingin datang kemari, tapi aku merasa tidak lega hati membiarkan kau bikin onar di sini, maka sengaja aku datang kemari untuk ikut menyaksikan jalannya pertemuan ini..." "Kedatanganmu untuk menonton keramaian memang tepat pada waktunya..." jengek Pek In Hoei tertawa dingin.
Air muka Toan Hong ya berubah hebat.
"Caramu bertanding satu lawan satu sungguh terlalu buang waktu, sekarang aku akan mewakili seluruh partai yang ada di wilayah selatan untuk memberi kesempatan bagimu guna merebut kemenangan, asal kau sanggup melayani aku sebanyak lima puluh jurus maka semua partai yang ada di wilayah Lam Ciang akan mengundurkan diri ke dalam keresidenan In Lam, selamanya tak akan menginjakkan kaki di wilayah selatan lagi.
Coba lihatlah bagaimana dengan cara ini?" "Hmmmm! Aku rasa kau belum tentu sanggup untuk mewakili mereka?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... itu soal gampang!" Sinar matanya menyapu sekejap para wakil seluruh padri, lalu tegurnya : "Sampai di manakah kelihayannya ilmu silat yang dimiliki si Jago Pedang Berdarah Dingin aku rasa kalian sudah melihatnya sendiri, dapatkah kalian menangkan dirinya aku percaya bahwa dalam hati kalian mengerti jelas, sekarang adalah saat bagi kalian untuk menentukan nasib, bagaimana seandainya aku orang she Toan mewakili seluruh partai dalam wilayah selatan untuk bertanding melawan dirinya..." Semua jago yang hadir di situ mengetahui bahwa ilmu silat yang dimiliki Toan Hong ya tiada tandingnya di kolong langit, asal ia suka tampil ke depan maka urusan pasti akan beres.
"Maka tanpa terasa semua orang segera berseru : "Baik, Toan Hong ya! Kami titipkan tugas berat ini kepadamu..." Waktu itu hanya Sang Kwan Cing dari selat Seng See Kok saja yang nampak murung dan tidak senang hati, dengan alis berkerut ia segera melangkah maju ke depan.
"Apakah kau tidak setuju?" tegur Toan Hong ya tertegun.
"Aku tahu bahwa ayahmu selamanya tinggi hati dan tak mau tunduk kepada aku orang she Toan.
Hmmm... Hmmm... urusan sudah lewat begitu lama, apakah dia masih belum dapat melupakan akan kekalahannya di tangan aku orang she Toan..." "Apa" Ayahku pernah kalah di tanganmu?" seru Sang Kwan Cing dengan wajah berubah hebat.
"Aku belum pernah mendengar akan cerita kau ini..." "Haaaah...


Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

haaaah... haaaah... peristiwa yang memalukan semacam itu tentu saj ayahmu tak akan memberitahukan kepadamu, seandainya pada saat ini ayahmu mengetahui bahwa aku sudah memasuki selat Seng See Kok, kemungkinan besar dia akan ajak diriku untuk berduel lagi..." "Hmm, meskipun keluarga Toan dari negeri Tay li dihormati orang sebagai suatu kekuatan besar, tapi belum tentu kau mampu untuk mengapa-apakan selat Seng See Kok kami," sahut Sang Kwan Cing dengan nada dingin.
"Bila kau hendak mewakili partai yang ada di wilayah selatan, maka aku akan membantu Pek In Hoei untuk memusuhi dirimu..." Toan Hong ya melengak, tapi ia segera tertawa : "Tabiat dari ayahmu pun demikian, ia paling suka mengambil jalan yang bertolak belakang dengan diriku.
Baiklah mari kita saling membantu salah satu pihak, coba kita lihat selat Seng See Kok yang lebih mampu atau keluarga Toan dari negeri Tay li yang lebih hebat!" Persoalan secara tiba-tiba berubah jadi begini serius, hal ini jauh di luar dugaan siapa pun.
Sekarang masalahnya bukan melulu perebutan antara Pek In Hoei dengan para partai dari wilayah selatan saja, juga merupakan perebutan antara Toan Hong-ya dengan selat Seng See Kok.
Dari sakunya Sang Kwan Cing segera ambil keluar sebuah tabung dan melepaskan tabung tersebut ke tengah udara, asap warna pun menyebar ke empat penjuru dan berhembus ke dalam selat.
Toan Hong ya melengak, ia segera menegur : "Hey, apa yang sedang kau lakukan?" "Aku sedang memberitahukan kepada ayahku bahwa kau telah datang, asap itu merupakan hio minta tolong dari selat Seng See Kok kami, asal tanda ini sudah dilepaskan maka ayahku segera akan tiba..." "Hmm...
Hmm... banyak amat permainan setanmu," jengek Toan Hong ya sambil tertawa dingin.
Ia menoleh dan memandang sekejap ke arah si Jago Pedang Berdarah Dingin, lalu dengan langkah lebar ia maju ke depan.
"Hey, apa hubunganmu dengan Cia Ceng Gak?" tegurnya.
Pek In Hoei terkejut, segera pikirnya : "Sungguh tak nyana ia kenal sucouwku, entah ia kenal tidak dengan ayahku?" Ia segera memberi hormat dan menjawab : "Dia adalah sucouw kami, ayahku bernama Pek Tiang Hong..." "Ooooh...
kau maksudkan Pek Tiang Hong" Tempo dulu ketika aku sedang bertanding ilmu pedang melawan sucouw-mu Cia Ceng Gak, ayahmu masih seorang anak kecil, waktu itu ia selalu mendampingi sucouw-mu dan besarnya juga sebanding dengan kau sekarang..." ia menghela napas panjang.
"Aaaai... dalam sekejap mata tiga puluh tahun lebih sudah lewat, angkatan yang lebih tua sudah banyak yang mengundurkan diri atau pulang ke alam baka..." "Kurang ajar, berapa sih usiamu" Berani betul mengatakan ayahku sebagai anak kecil..." "Sekarang aku berusia delapan puluh delapan tahun, apakah usia sebesar itu belum dianggap tua?" Pek In Hoei melongo, ia tak mengira kalau usia Toan Hong ya sudah setua itu, tetapi kalau dilihat wajahnya yang masih berusia empat puluh tahunan serta badannya yang gagah, ia tak percaya kalau orang itu sudah berumur setua itu, pikirnya di dalam hati : "Seringkali aku dengar orang berkata bahwa di kolong langit terdapat ilmu awet muda, dan aku selalu tidak percaya, kalau dilihat keadaannya mungkin Toan Hong ya ini betul-betul menguasai ilmu awet muda..." Berpikir sampai di sini, ia segera ulangi kembali perkataannya dengan nada agak sangsi.
"Benarkah kau telah berusia delapan puluh delapan tahun..." "Kau tak usah sangsi, seandainya sucouw-mu masih hidup di kolong langit maka keadaannya tidak akan berbeda dengan keadaanku..." wajah tiba-tiba berubah jadi dingin.
"Ayoh, kita boleh mulai bertempur..." Pek In Hoei terkesiap.
"Kau adalah sahabat sucouw-ku, aku tak berani turun tangan melawan dirimu..." "Hmmm! Bagaimana pun juga kau harus turun tangan bergebrak melawan diriku, persoalan ini menyangkut wilayah selatan bakal menjadi milik siapa, asal kau bisa menangkan aku maka partai Thiam cong baru akan sanggup berdiri lagi di wilayah selatan..." "Baik...! Kalau begitu terpaksa aku harus pertaruhkan selembar jiwaku untuk bergebrak melawan dirimu!" Perlahan-lahan ia cabut keluar pedang mestika penghancur sang surya lalu diluruskan ke depan, cahaya tajam yang dingin segera memancar keluar dari ujung pedang tersebut.
Ketenangan serta kemantapan si anak muda itu diam- diam mengejutkan hati Toan Hong ya, ia tidak mengira kalau dengan usinya yang semuda itu ternyata sudah berhasil mencapai taraf yang begini tinggi.
Pendekar Mata Keranjang 23 Pendekar Bloon 18 Batu Lahat Bakutuk Kemelut Rimba Hijau 2
^