Pencarian

Imam Tanpa Bayangan 8

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 8


Diam-diam ia menghela napas panjang, ujarnya : "Nona It-boen berotak cerdas dan berkepandaian lihay, cayhe mana bisa dibandingkan dengan dirinya..." Mendadak dari luar ruang tengah berkumandang datang suara bentakan serta teriakan tajam, dengan wajah pucat pias bagaikan mayat terburu-buru Coei Coei lari masuk ke dalam, kemudian tangannya bergerak memberi kode rahasia.
Melihat gerakan tangan dara berbaju putih itu, air muka Kiong cu berubah hebat.
"Kau mau apa?" tegurnya.
"Kiong cu," seru Coei Coei dengan suara gemetar, "Song Ceng To mereka..." Kiong cu mendengus dingin, ia segera ulapkan tangannya.
"Kau segera mengundurkan diri dan suruh mereka bersiap sedia, di tempat ini biar aku yang atur sendiri..." Saking gelisah dan cemasnya Coei Coei gelengkan kepalanya berulang kali kemudian berkelebat masuk ke dalam ruang belakang.
Baru saja badannya berkelebat lenyap dari pandangan, dari luar ruang tengah sudah terdengar suara langkah kaki manusia berkumandang datang, terdengarlah Song Ceng To sambil tertawa seram berseru : "Kiong cu, aku Song Ceng To ada urusan hendak mohon bertemu..." "Hmmm! Bukankah sudah kukatakan tadi bahwa tiga jam kemudian baru aku akan menjumpai kalian?" Walaupun Song Ceng To yang berada di luar ruangan mempunyai kedudukan yang cukup tinggi di dalam istana Mo Kiong, tetapi dia pun tak berani secara gegabah menerjang masuk ke dalam, sambil tertawa seram segera jengeknya : "Kiong cu, apakah kau tidak sudi untuk berjumpa dengan diriku?" "Apa maksudmu?" seru Kiong cu dengan air muka berubah hebat.
Song Ceng To mendehem dan tertawa seram : "Heeeh...
heeeh... heeeeh. sejak istana Mo Kiong dari laut Tang hay didirikan hingga kini belum pernah aku dengar ada orang bisa hidup keluar dari Kereta Kencana Pembawa Maut, ini hari Kiong cu telah bertindak di luar kebiasaan bahkan menahan orang hukuman di tempat ini, entah bagaimanakah penjelasan dari Kiong cu..." "Hmmm! Masuklah ke dalam!" jengek Kiong cu dingin.
"Rupanya mau tak mau harus berjumpa dengan kalian berdua..." Peraturan dari istana Mo Kiong amat ketat sekali, sebelum Kiong cu mengijinkan siapa pun tidak diperkenankan tanpa sebab berjalan masuk ke dalam ruang tamu.
Meskipun Song Ceng To menduduki jabatan sebagai penilik dari istana Mo kiong, tetapi sebelum secara resmi bentrok ia tak berani bertindak secara gegabah.
Dengan wajah dingin dan menyeramkan si kakek tua itu berjalan masuk ke dalam ruang tengah, ujarnya sambil tertawa mengejek : "Kiong cu, kau menerima seorang luar asing di tempat ini, apakah tidak merasa bahwa perbuatanmu itu telah menurunkan pamor serta derajat sendiri?" "Song Ceng To!" bentak Kiong cu nyaring.
"Rupanya kau sengaja datang kemari untuk membuat gara- gara..." Air muka Song Ceng To berubah membeku, hatinya bergetar keras dan dengan cepat ia berpikir : "Perempuan rendah, kau jangan berlagak sok lebih dulu, nanti sebentar kau bakal tahu sampai di manakah kelihayanku..." Dalam hati berpikir demikian, di luar ia tertawa dingin dan menyahut : "Kiong cu, perkataanmu terlalu menusuk perasaan orang, di kala ibumu masih hidup di kolong langit pun ia menaruh sikap mengalah tiga bagian terhadap aku si orang she Song, sedang kau...
Hmm!... hampir boleh dibilang dalam pandanganmu sama sekali tiada orang lain..." Air muka Kiong cu berubah hebat.
"Besar amat nyalimu, berani benar kau cari satroni dengan aku orang..." bentaknya.
Sambil berkata ia bangkit berdiri, dengan wajah adem dan pandangan penuh kegusaran ditatapnya wajah si kakek licik dan berhati kejam ini tanpa berkedip.
Ketika meloncat bangun tadi, di atas wajah sang Kiong cu terlintas napsu membunuh yang amat tebal dan cukup menggidikkan hati orang, kewibawaannya yang besar serta sikap yang dingin dan tajam membuat Song Ceng To yang menyaksikan merasakan hatinya bergetar keras.
"Kiong cu, apakah kau hendak membinasakan diriku?" tegur Song Ceng To dengan air muka berubah hebat.
Dengan wajah yang tetap hambar sedikit pun tidak menunjukkan perasaan apa pun, jawab Kiong cu ketus :
"Kalau kau sudah memahami akan hal ini, itu lebih dari cukup, kau mesti tahu bahwa di dalam istana Mo kiong bagaimana pun juga aku adalah tetap seorang majikan , sekalipun kau merupakan pembantu setia dari ibuku almarhum dan setiap kali menghadapi persoalan aku selalu mengalah tiga bagian kepadamu, tetapi di dalam bentrokan gy cukup tajam dan berbahaya ini sekalipun aku tiada niat untuk membinasakan dirimu, aku rasa kau pun tidak nanti akan melepaskan aku bukan begitu?" "Hmm, rupa-rupanya kau sudah mengetahui segala sesuatunya." "Aku sudah terlalu memahami akan tingkah lakumu," sahut Kiong cu dengan nada menghina.
"Kau bukan lain adalah seekor rase tua yang lebih mementingkan kepentingan diri pribadi daripada kesetiaan yang jujur, aku pun tahu bahwa sebagian besar kekuatan yang berada di dalam istana Mo kiong hampir seluruhnya berada di pihakmu, tetapi sampai sekarang kau tak berani bentrok secara langsung dengan diriku adalah disebabkan karena kau masih menaruh rasa jeri terhadap tiga jurus ilmu pedang pengejar nyawa keluargaku, seandainya aku tidak memiliki serangkaian ilmu pedang yang bisa menandingi ilmu pedang keturunan keluarga Song dan keluarga Lie, aku percaya bahwa kalian tidak akan sejinak ini untuk tunduk di bawah perintahku." "Hmmm!..." Dengusan berat bergema keluar dari lubang hidung Song Ceng To, sorot mata bengis berkelebat lewat dalam kelopak matanya, mendadak dengan wajah membesi ujarnya sambil tertawa dingin.
"Perkataanmu terlalu tak enak didengar, apalagi berada di depan mata orang luar.
Kiong cu mempermainkan serta memperolok-olok diri loohu, hal ini jelas menunjukkan bila kau sudah tak pandang sebelah mata pun terhadap diri loohu.
Heeeh... heeeh... heeeh... sebenarnya aku masih tiada maksud untuk melakukan pemberontakan, tetapi berada di dalam keadaan serta situasi seperti ini aku tak bisa tidak harus memberikan pernyataan pula..." "Orang she Song, tak usah banyak bacot lagi, kalau kau anggap peristiwa ini terlalu memalukan, apa salahnya kalau saat ini juga kita selesaikan persoalan ini" Pun Kiong cu dengan andalkan sebilah pedang siap untuk melangsungkan kembali pertarungan dengan keluarga Song dan keluarga Lie kalian guna memperebutkan kedudukan majikan dan pembantu ini.
Tetapi kalian mesti ingat bahwa pertarungan ini adalah suatu pertarungan adu jiwa, sampai waktunya mungkin saja bakal ada di antara kalian yang roboh terluka atau binasa..." Rupanya perempuan ini sudah mengambil keputusan bulat di dalam hati kecilnya, perkataan tersebut diutarakan amat lambat dan memperlihatkan suatu kewibawaan yang tebal.
Song Ceng To sadar bahwa kepandaian mereka masih terpaut jauh, namun tak seorang pun yang buka suara, mereka hanya tertawa dingin tiada hentinya.
"Ambil pedang!" Kiong cu segera bertepuk tangan tiga kali dan berteriak keras.
Coei Coei mengiakan dan munculkan diri, di tangannya membawa sebilah pedang antik yang amat indah, lalu dengan sikap hormat diangsurkan ke tangan sang Kiong cu.
Setelah menyambut pedang antik itu, perlahan-lahan Kiong cu meloloskannya separuh bagian, tegurnya dengan nada ketus : "Kenalkah kau akan pedang ini?" Air muka Song Ceng To berubah sangat hebat, dengan perasaan jeri ia mundur dua langkah ke belakang, bisiknya dengan suara gemetar : "Pedang tidak kenal budi...
pedang tak kenal budi..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... pedang tak kenal budi akan membunuh manusia tak berbudi, pedang mestika ini diserahkan oleh ibuku sendiri kepadaku di kala beliau hendak menghembuskan napasnya yang terakhir, di atas pedang tersebut tercantum pula nama dari nenek moyang keluarga Song serta keluarga Lie kalian.
Di bawah ujung pedang tak kenal budi selamanya tak boleh mempunyai pikiran cabang, kalau tidak maka ia harus mati di ujung pedang ini..." "Kiong cu!" seru Song Ceng To dengan wajah sedih.
"Kalau kau mengeluarkan pedang ini, maka loohu tidak berani untuk turun tangan lagi..." "Hmmm..." Kiong cu mendengus dingin.
"Kau tak usah berpura-pura menunjukkan wajah rasemu yang licik itu, pedang tak kenal budi tak akan muncul secara sembarangan, setiap kali muncul baru akan masuk kembali ke dalam sarung setelah ternoda darah segar.
Kau sebagai anggota laut Tang hay semestinya mengetahui juga bukan akan peraturan ini..." Ia tertawa sinis, ujarnya kembali : "Kau hendak paksa aku turun tangan, atau kau turun tangan sendiri untuk melakukan bunuh diri..." "Aku hendak merebut kesempatan terakhir untuk berduel melawan dirimu..." teriak Song Ceng To dengan penuh kebencian.
Kiong cu tertawa hambar : "Kau...
sebelum kau menemui ajalmu lebih baik tunjukkanlah sedikit semangat enghiongmu, tentu saja aku tak akan menghalangi dirimu untuk memperoleh kesempatan yang baik untuk mempertahankan diri.
Song Ceng To! Undanglah konco-konco kau semua agar mereka sekalian bisa masuk ke dalam ruangan..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... " Song Ceng To tertawa terbahak-bahak, dari luar ruangan segera terdengarlah suara langkah kaki manusia yang ramai berkumandang memecahkan kesunyian, disusul terlihatlah Lie Ban Kiam serta si Utusan Peronda Gunung dengan memimpin puluhan orang pria berbaju hitam yang menyoren pedang semua berjalan masuk ke dalam, begitu tiba di dalam ruangan mereka segera menyebarkan diri membentuk setengah lingkaran busur dan dengan cepat mengurung Kiong cu serta Pek In Hoei rapat- rapat.
"Apakah kalian semua hendak berkhianat?" tanya Kiong cu sambil tertawa enteng.
Pria berbaju hitam itu tak berani menjawab, si Utusan Peronda Gunung yang takut hati orang-orang itu goyah dan sebelum bertempur sudah lari terbirit-birit lebih dahulu, sambil menyapu sekejap ke arah orang- orang itu sahutnya : "Kiong cu bertindak terlalu berat sebelah dan tidak adil, kami sekalian tak sudi diperintah lagi..." "Hmmm!" Kiong cu mendengus sinis, bentaknya : "Kau adalah seorang yang telah dijatuhi hukuman mati, dengan andalkan hak apa kau ikut angkat bicara di sini?" Si Utusan Peronda Gunung itu merasa terkesiap untuk beberapa saat lamanya ia berdiri tertegun di tempat semula dan tidak tahu mesti menjawab bagaimana.
Lie Ban Kiam yang menyaksikan keadaannya yang serba kikuk itu segera tertawa sinis dan menyahut : "Pada saat ini kau sudah tidak berhak untuk mengurusi dirinya lagi..." Criing...
suara lengking nyaring pedang yang nyaring berkumandang memenuhi seluruh ruangan, cahaya tajam seketika memancar ke empat penjur, selapis cahaya kehijau-hijauan menyelimuti angkasa dan menyilaukan mata siapa pun jua.
"Tunggu sebentar!" buru-buru Song Ceng To berseru : "Kau masih ada perkataan apa lagi yang hendak diutarakan?" tegur Kiong cu dingin.
"Siapakah dia?" tanya Song Ceng To sambil melirik sekejap ke arah Pek In Hoei.
Mendengar perkataan itu dengan cepat Pek In Hoei meloncat bangun, sahutnya : "Aku adalah si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei, kau ada urusan apa?" Song Ceng To tertawa dingin, ia tidak menggubris perkataan orang sebaliknya dengan wajah menyeramkan berpaling ke arah Kiong cu dan berseru : "Bajingan cilik ini bukan anggota istana kita, mengapa kau mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah rumah tangga kita di hadapannya" Apalagi dia adalah terhukum yang sudah dijatuhi hukuman mati oleh Kereta Kencana Pembawa Maut, Loohu harap Kiong cu selesaikan dahulu persoalan ini baru kemudian membicarakan persoalan di antara kita..." "Ooooouw...! Rupanya kau bermaksud agar aku membinasakan dirinya..." seru Kiong cu dengan air muka berubah.
"Hal ini tentu saja, seandainya bukan lantaran bajingan cilik ini yang bikin gara-gara, Coei Coei serta Utusan Peronda Gunung pun tak akan terjadi bentrokan yang mengakibatkan urusan jadi semakin runyam, seandainya kita bicarakan bibit bencana yang terutama maka nomor satu kita mesti ari bajingan ini..." Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tidak menyangka kalau hati si rase tua Song Ceng To begitu kejam dan licik, ternyata secara sengaja menyeret dirinya terjerumus ke dalam kancah persoalan yang serba rumit ini, sepasang alisnya kontan berkerut dan napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya.
"Kiong cu!" teriaknya sambil tertawa gusar.
"Apakah cayhe pun mempunyai kesempatan untuk melakukan pertarungan..." "Tentu saja ada! Selamanya pihak istana Mo kiong dari laut Tang hay mempunyai satu peraturan, barang siapa dapat secara beruntun merobohkan tiga buah rintangan maka Pun Kiong cu akan memberikan hadiah suatu kekuasaan yang paling tinggi baginya, kekuasaan itu adalah sikap hormat seluruh anak murid yang ada di dalam istana Mo kiong terhadap dirinya melebihi hormat seorang murid terhadap gurunya, di samping itu dia pun akan tercantum sebagai seorang enghiong dari lautan Timur." "Haaaah...
haaaah... haaaah... bagus sekali," teriak Pek In Hoei sambil tertawa terbahak-bahak.
"Cayhe akan bertempur lebih dahulu melawan si rase tua ini..." Sambil berkata ia segera menuding ke arah Song Ceng To.
Kakek tua she Song yang dituding macam begini tentu saja jadi amat gusar, saking mendongkolnya ia sampai mencak-mencak bagaikan kebakaran jenggot, sambil meraung keras tubuhnya segera menubruk ke depan, bentaknya sambil balas menuding ke arah si anak muda itu : "Bajingan! Kau tak usah berlagak sok di tempat ini, kau harus tahu bahwa setiap orang dari laut Tang hay bisa membinasakan dirimu..." "Hey kawan, saat ini bukanlah waktunya untuk membual atau jual omongan...
siapa mampu siapa tidak sebentar lagi akan diketahui dengan nyata, lagakmu yang marah-marah macam begini sudah melanggar pantangan paling besar bagi seorang ahli silat, aku nasehati dirimu lebih baik tenangkanlah hatimu lebih dulu dan tunggulah sampai aku turun tangan..." Song Ceng To tidak malu jadi seorang tokoh lihay dari lautan Timur, setelah mendengar perkataan itu hatinya terkesiap, dengan cepat ia tekan hawa amarah yang masih berkobar di dalam dadanya.
"Heeeh... heeeh... heeeh... bajingan cilik," serunya sambil tertawa seram.
"Kau masih belum pantas untuk bergebrak melawan diriku, meskipun loohu ada niat untuk membinasakan dirimu dengan telapak tangan sendiri, tetapi peraturan dari Tang hay tidak bisa dilanggar karena persoalanmu, karena itu terpaksa..." Sinar matanya dialihkan ke arah seorang pria berbaju hitam yang berdiri di hadapannya, kemudian menambahkan : "Chee Loo jie, majulah ke depan dan jagal bajingan cilik itu..." Di dalam rentetan jago lihay angkatan ke-tiga Chee Loo jie termasuk salah seorang murid kebanggaan dari Song Ceng To.
Ketika mendengar perintah dari gurunya, pria itu segera mengiakan dan tampil ke depan, cahaya pedang berkelebat lewat, sambil memperlihatkan sikap bersiap sedia, ia lintangkan pedangnya di depan dada.
Memandang pria berbaju hitam itu, Pek In Hoei tertawa menghina, ejeknya sinis : "Huuuh, memegang pedang pun belum kencang begitu mau bergebrak melawan diriku..." Chee Loo jie melengak, tanpa sadar dia alihkan sinar matanya ke arah ujung pedang sendiri, tampaklah pedang terangsur dengan kuat dan mantapnya ke arah depan, begitu tajam dan kuat ujung senjata itu hingga kelihatan begitu kokoh dan kuat.
Dengan penuh kegusaran kontan teriaknya : "Kau tak usah ngaco belo tak karuan, kalau punya kepandaian tunjukkanlah gaya gerakan ini kepadaku." "Huuuh, nih, lihatlah baik-baik!" jengek si anak muda itu sambil tertawa mengejek.
Mendadak telapaknya berkelebat melancarkan satu serangan totokan, dengan ujung jari tersebut diguratnya di tengah udara menunjukkan suatu gerakan jurus pedang.
Chee Loo jie yang menyaksikan hal itu jadi melongo dan berdiri termangu-mangu, ia sama sekali tidak berhasil mengetahui gerakan tersebut menunjukkan jurus apa.
Sambil menggetarkan ujung pedangnya, ia segera membentak : "Cabut keluar pedangmu, belum pernah aku bergebrak melawan orang yang tidak bersenjata." Pek In Hoei tarik kembali gerakannya dan mengundurkan diri ke belakang, serunya dingin : "Dalam gerakanku barusan apakah kau bisa lihat bagian manakah yang kuserang dalam tubuhmu?" "Aku tidak akan mempedulikan persoalan sebanyak itu," teriak Chee Loo jie, "Aku hanya kenal pedang tak kenal manusia, kalau cuma ngomong melulu tiada gunanya, ayoh kita tentukan menang kalah kita di ujung senjata, setelah bertempur dengan cepat kita akan tahu siapa yang lebih hebat di antara kita berdua..." Maksud hati si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei yang sebenarnya adalah membuat Chee Loo jie tahu kesukaran dan mengundurkan diri, siapa tahu pria ini bukan saja tak mengenal budi malahan sebaliknya memaksa pemuda itu untuk turun tangan.
DALAM keadaan apa boleh buat si anak muda itu hanya bisa menghela napas panjang belaka, perlahan-lahan ia loloskan pedang sakti penghancur sang surya yang tersoren di punggungnya.
Setelah menggetarkan ujung pedangnya membentuk enam buah kuntum bunga pedang, Pek In Hoei tertawa dingin dan berkata : "Sekarang kau boleh segera turun tangan!" Chee Loo jie membentak keras, ia segera bersiap sedia melancarkan serangan mautnya.
Mendadak Lie Ban Kiam yang berdiri di sisi kalangan meloncat maju ke depan dengan wajah serius ia tarik tangan Chee Loo jie untuk mundur ke belakang kemudian kepada Song Ceng To tanyanya : "Song Loo toa, kenalkah kau akan pedang mestika tersebut?" Tiba-tiba air muka Song Ceng To berubah hebat, serunya : "Aaaah! Pedang mestika penghancur sang surya...
bagus sekali, Kiong cu, rupanya bukan saja kau membantu orang lain, bahkan membela pula musuh besar dari ibumu.
Hmmm! Sungguh tak nyana kau adalah seorang anak yang tidak berbakti..." "Kau berani bicara mengawur seenaknya sendiri?" bentak Kiong cu dengan gusarnya.
Rupanya perempuan ini merasa teramat gusar setelah mendengar ejekan itu, tapi disebabkan sesuatu alasan tertentu rasa gusar itu masih dipertahankan di dalam dadanya.
Setelah tertawa dingin dengan pandangan hambar dan tiada berperasaan apa pun ia mendongak dan memandang atap ruangan tengah itu.
Pek In Hoei sendiri ketika menyaksikan sang Kiong cu tidak mengutarakan komentar apa-apa, segera mengetahui bahwa ia bermaksud agar dirinya turun tangan secepat mungkin.
Pada dasarnya dalam hati kecil pemuda ini memang amat mendendam atas ketidakmaluan Song Ceng To, pedangnya segera dilintangkan ke arah depan dan berseru : "Kalau kau ada maksud untuk bergerak, tiada halangan cabut keluar pedangmu dan mari kita coba..." Song Ceng To bukanlah seorang manusia yang gampang termakan oleh hasutan, ia tertawa sinis dan menepuk-nepuk bahu Chee Loo jie, katanya lirih : "Dalam pertarungan babak pertama ini kau harus menyaksikan pahalamu!..." Chee Loo jie mengangguk di tengah udara, mendadak sambil menciptakan selapis cahaya tajam dari bawah menuju ke arah atas langsung mencukil ke arah tubuh lawan.
Pek In Hoei si Jago Pedang Berdarah Dingin terperanjat juga melihat kepandaian lawan, ia tidak menyangka kalau ilmu pedang yang dimiliki pria itu sedemikian lihaynya, dalam serangan itu hawa pedang memancar ke empat penjuru dan pertama- tama membendung dahulu tiga buah jalan mundur lawannya.
Diam-diam ia mengagumi akan kelihayan musuhnya, hingga tanpa sadar pemuda itu berseru : "Sebuah jurus To Liong Can Coe membunuh naga menebas mutiara yang sangat lihay!" Berhubung pertarungan babak pertama ini mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan selanjutnya maka dengan wajah serius ia menghindarkan diri dari serangan pedang lawan, kemudian dengan gerakan yang tercepat laksana sambaran bayangan secara tiba-tiba mengirim satu tusukan ke depan.
Sekujur badan Chee Loo jie gemetar keras, ia merasa tusukan yang dilancarkan lawannya ini bagaikan tanduk tajam dari kambing gunung, bagaikan pula naga yang membentangkan cakarnya, sedikit pun tak bisa diraba bagian tubuh manakah yang sedang diancam, hatinya bergidik dan di dalam keadaan gelagapan buru-buru ia mengundurkan diri ke belakang...
Sreeet! di tengah desiran hawa pedang yang tajam, pakaian bagian dada dari Chee Loo Jie terbabat hingga robek.
Robekan baju berkibar terhembus angin.
Dengan wajah merah padam karena jengah ia tertawa keras, ujarnya kepada Song Ceng To.
"Aku telah menyia-nyiakan harapan serta jerih payahmu mendidik dan memelihara diriku, dalam keadan begini aku tiada muka untuk bertemu dengan orang lagi." Habis berkata pedangnya segera digetarkan dan langsung ditusuk ke arah ulu hati.
Perubahan yang terjadi secara mendadak dan di luar dugaan semua orang ini segera membuat para jago berdiri tercengang, laksana kilat Song Ceng To berkelebat ke depan, dengan cepat ia putar telapak tangannya menghajar rontok ujung pedang yang hampir menembusi ulu hati pria berbaju hitam itu.
"Kenapa kau mesti mengurusi diriku?" ujar Chee Loo Jie dengan nada sedih.
"Aku sudah tiada muka untuk hidup lebih lanjut..." "Heeeh...
heeeh... heeeh... hal ii tak dapat salahkan dirimu," seru Song Ceng To sambil tertawa seram.
"Kedahsyatan tenaga lweekang yang dimiliki keparat cilik ini jauh di luar perhitunganku, tunggu sajalah kau di situ, biar aku sendiri yang hadapi bajingan ini." Sementara itu Lie Ban Kiam telah menggetarkan pedang panjangnya, lalu berkata : "Song Loo toa, biar aku yang minta petunjuk lebih dulu akan kelihayan ilmu pedang penghancur sang surya dari bajingan cilik ini..." Di dalam urutan jago pedang istana Mo kiong, kedudukan Lie Ban Kiam adalah nomor tiga dari atas.
Kecuali tiga jurus ilmu pedang pengejar nyawa dari Kiong cu serta ilmu pedang tanpa bayangan dari keluarga Song, boleh dibilang ilmu pedang Gulungan Ombak dari keluarganyalah termasuk paling dahsyat.
Kini setelah menyaksikan kehebatan ilmu pedang yang dimiliki Pek In Hoei, hatinya jadi bergidik, tanpa mempedulikan kedudukannya lagi ia berebut meloncat keluar ke tengah kalangan.
"Lie Ban Kiam!" ejek Kiong cu sambil tertawa dingin.
"Kau hendak mengalahkan dirinya di dalam jurus yang ke berapa..." "Di dalam sepuluh jurus, aku hendak mencabut selembar jiwa anjingnya di ujung pedangku..." Pek In Hoei yang mendengar kata sesumbar itu kontan jadi naik pitam, bentaknya : "Hey, orang takabur! Lebih baik kau jangan bicara yang muluk-muluk tanpa pakai perhitungan, serangkaian ilmu pedang rongsokan yang kau miliki itu belum tentu merupakan ilmu pedang yang tiada tandingan di kolong langit, kalau terlalu banyak bicara hati-hati lidahmu kalau sampai tersambar geledek hingga putus jadi dua bagian..." Rupanya di dalam hal ilmu pedang Lie Ban Kiam telah berhasil melatih dirinya hingga mencapai pada taraf yang paling sempurna, sindiran serta ejekan-ejekan yang dilontarkan Pek In Hoei sama sekali tidak berhasil memancing reaksi apa pun darinya, bahkan orang itu tetap bersikap tenang seolah-olah tak pernah memikirkan persoalan itu di dalam hati.
"Percuma kalau kau hanya pandai jual omongan dan bersilat lidah melulu, lebih baik kita segera turun tangan..." serunya ketus.
Dalam hati si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei merasa hatinya bergidik, pikirnya : "Sungguh lihay kakek tua ini, kata-kata ejekanku yang berusaha untuk memanasi hatinya ternyata gagal total.
Ditinjau dari sikapnya yang tenang serta sanggup menahan diri dari amukan angkara murka yang berkobar di dalam hatinya jelas di dalam hal tenaga lweekang orang yang bernama Lie Ban Kiam ini jauh lebih lihay beberapa bagian daripada Chee Loo Jie, di dalam bertarung nanti aku harus bersikap lebih hati-hati..." Ia tarik napas dalam-dalam, sorot matanya berkilat tajam dan menatap wajah lawannya tanpa berkedip, pedang panjang direntangkan ke muka, sekilas cahaya tajam yang amat menyilaukan mata memencar keluar dari ujung senjata tersebut dan menyorot ke seluruh penjuru, gerakan yang lamban dan perlahan itu menunjukkan seolah-olah serangan tersebut dibebani oleh suatu kekuatan yang besar.
Inilah merupakan puncak dari suatu ilmu pedang, semakin lambat gerakan pedang tersebut semakin dahsyat pula akibatnya.
Lie Ban Kiam yang menjumpai keadaan itu, hatinya jadi terkesiap, serunya dengan nada keras : "Hampir saja aku tertipu oleh akal muslihatmu, rupanya kelihayanmu jauh berada di luar penilaianku semula!" "Terima kasih atas pujianmu," jawab Pek In Hoei ketus.
"Lebih baik kau bersiap-siaplah dengan sempurna, sebab cayhe segera akan turun tangan melancarkan serangan." Dengan air muka serius dan berat ia maju selangkah ke depan, pergelangan tangannya menggunakan kesempatan di kala menggeserkan sang badan ke depan itulah diayun ke muka mengirim satu babatan pedang, demikian cepat babatan tadi hingga jauh di luar dugaan siapa pun, sekilas berkelebat tahu-tahu ujung senjata telah memantul keluar.
Kelihatannya tusukan kilat ini segera akan menembusi tubuh Lie Ban Kiam, orang-orang yang berada di empat penjuru segera menjerit kaget, dalam perkiraan mereka orang she Lie tersebut kali ini pasti akan menemui ajalnya.
Siapa tahu Lie Ban Kiam segera tertawa dingin, sambil menggerakkan badan bergeser tempat, pedangnya laksana gulungan ombak di tengah sungai langsung membalas ke depan.
Orang ini sudah mendalami intisari ilmu pedang, ternyata di dalam sebuah jurus serangannya mengandung tiga buah perubahan, dan di dalam setiap perubahan itu masing-masing mengancam sebuah jalan darah penting di tubuh Pek In Hoei.
Meskipun si Jago Pedang Berdarah Dingin menggunakan senjata mestika penghancur sang surya untuk bergerak melawan musuhnya dan di dalam senjata memperoleh keuntungan, tetapi setelah ia melancarkan beberapa babatan kemudian secara mendadak menemukan bahwa di balik serangan pedang lawan mengandung sesuatu kekuatan daya tekan yang maha besar memancar keluar dari ujung cahaya pedangnya, setiap kali serangan pedangnya bersarang di tubuh lawan selalu saja arah tujuan pedangnya terpukul miring ke samping oleh daya tekanan tersebut, hal ini menunjukkan bahwa kepandaian lawan benar-benar sudah mencapai kesempurnaan.
Saking gelisahnya keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya, ia jadi bingung dan tidak habis mengerti bagaimana caranya menghadapi serangan ilmu pedang yang demikian anehnya itu.
Mendadak terdengar Lie Ban Kiam tertawa dingin, kemudian serunya : "Heeeh...
heeeh... heeeh... rupanya jurus ilmu pedang yang kau pahami cuma satu jurus itu saja!" Dengan ganas dan kuatnya ia mengibaskan sang pedang ke muka membentuk serangkaian lapisan pedang yang kuat, di tengah suara dentingan nyaring mendadak tubuh ke-dua belah berpisah satu sama lainnya, sementara kutungan pedang berserakan di tengah udara.
Sambil mencekal kutungan pedangnya Lie Ban Kiam membentak keras : "Bajingan cilik, kau sudah pasti harus modar disini!" Mendadak ia meloncat bangun, kutungan pedangnya dengan menciptakan serentetan cahaya tajam dari atas meluruk ke bawah, dalam waktu singkat tiga puluh enam buah jalan darah penting di seluruh tubuh Pek In Hoei telah terkurung di tengah kilatan cahaya pedangnya.
Sang Kiong cu yang menyaksikan kejadian itu air mukanya berubah hebat, segera bentaknya : "Lie Ban Kiam! Jurus serangan yang ke berapakah itu?" "Jurus ke-sepuluh..." sahut Lie Ban Kiam dengan terengah-engah, cepat ia tarik kembali serangannya dan mengundurkan diri ke belakang." "Hmm..." Kiong cu tertawa dingin, "di dalam jurus 'Im Hoan Yoe Can' atau Mega Mengumpul Hujan Berderai itu kau telah menyembunyikan berapa gerakan?" Huuuh, begitu masih bisa-bisanya mengaku sebagai ahli waris dari keluarga Lie di laut Tang hay yang dapat membinasakan lawannya di dalam satu jurus tiga gerakan..." Air muka Lie Ban Kiam berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, serunya dengan nada gemetar : "Kiong cu, rupanya kau ada maksud mendesak loohu agar menemui ajalnya di hadapanmu..." "Lie jie," sela Song Ceng To sambil tertawa dingin.
"Masih ingatkah kau apa tujuan kita datang kemari?" "Heeeh...
heeeh... heeeh. membunuh perempuan rendah ini," sahut Lie Ban Kiam sambil tertawa seram.
"Bagus, sekarang waktunya sudah tiba, kita tak usah menanti lebih jauh lagi.
Bagaimana pun juga perempuan rendah serta bajingan cilik ini tak akan lolos dari tangan kita dalam keadaan selamat, peduli amat kita sudah gunakan berapa jurus..." "Taaaang...! Mendadak di tengah udara berkumandang suara genta yang amat nyaring, suara genta itu bagaikan kendang emas yang mendengung keras membuat seluruh ruangan itu jadi bising dan memekakkan telinga.
Dalam waktu yang amat singkat itulah air muka Kiong cu mendadak berubah jadi amat tegang, seolah-olah ia telah menyaksikan suatu peristiwa yang amat menakutkan.
Dengan kencang digengggamnya tangan Pek In Hoei, dan serunya : "Untuk membasi kaum pengkhianat ini dari muka bumi, terpaksa aku harus meminjam kekuatan dari kongcu..." "Soal ini...
aku pasti akan membantu dirimu dengan segenap tenaga..." sahut Pek In Hoei setelah tertegun sejenak.
Suara genta yang amat memekakkan telinga itu perlahan-lahan lenyap di tengah udara, ruang besar itu seketika terselimut oleh napsu membunuh yang berlapis-lapis.
Song Ceng To serta Lie Ban Kiam dengan memimpin para anak buahnya mengurung ruang tengah itu rapat-rapat.
Perlahan-lahan Kiong cu berhasil juga menguasai keadaan, hatinya jadi tenang kembali dan dengan pandangan dingin disapunya sekejap sekeliling tempat itu, kemudian berkata : "Song Ceng To! Kau anggap orang-orang itu mampu untuk membinasakan diriku?" "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... " kekuatan Kiong cu amat minim dan tiada bantuan lain, andaikata kau ingin meloloskan diri dari tempat ini aku rasa hal itu bukanlah suatu pekerjaan yang gampang!" Kiong cu mendengus dingin, ia bolang-balingkan pedang tak kenal budinya ke tengah udara dan berseru : "Kalian boleh mulai turun tangan!" Si Utusan Peronda Gunung dengan sinar mata berapi- api membentak keras, dari pinggangnya ia loloskan sepasang senjata palunya, kemudian sambil menubruk ke arah Kiong cu serangan gencar dilancarkan bertubi-tubi.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... manusia pertama yang menghantar kematiannya telah datang..." jengek Kiong cu sambil tertawa.
Cahaya pedang yang dingin berkelebat di tengah udara, seketika itu juga terdengarlah suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memenuhi seluruh ruangan.
Terlihatlah tubuh si Utusan Peronda Gunung dengan kepala terpisah dari badan menggeletak mati di atas genangan darah.
Serangan dengan jurus pedang yang maha dahsyat ini seketika menggetarkan hati semua orang yang hadir di dalam kalangan, walaupun mereka semua merupakan jago-jago lihay di dalam hal ilmu pedang,tetapi siapa pun tak sempat melihat dengan cara bagaimanakah Kiong cu mereka melancarkan serangannya itu.
Cahaya tajam hanya berkelebat lewat, sang korban sudah roboh binasa tanpa kepala, kepandaian silat yang demikian lihay dan ampuhnya ini benar-benar cukup menggetarkan hati setiap manusia.
Air muka Song Ceng To berubah hebat, tanyanya : "Ilmu pedang apakah yang telah kau gunakan?"?" "Gerakan pertama dari tiga jurus ilmu pedang pengejar nyawa..." jawab Kiong cu dengan wajah dingin.
"Apa" Kau benar-benar menguasai ilmu pedang pengejar nyawa" Hal ini tak mungkin terjadi..." "Mengejar nyawa tiada bayangan, tiada bayangan menghilangkan gelombang, apakah kau lupa bahwa ilmu pedang aliran Tang hay antara satu keluarga dengan keluarga lain mempunyai kelihayan yang berbeda.
Sejak nenek moyang keluarga Song dan keluarga Lie yang lalu secara sukarela takluk di bawah kekuatan keluargaku, sejak itu pula tiga jurus sakti ilmu pedang pengejar nyawa telah menaklukkan kalian semua..."
Lie Ban Kiam ganti sebilah pedang yang baru, lalu berkata : "Song Loo toa, antara kita dengan perempuan rendah ini sudah tiada persoalan yang bisa dibicarakan lagi.
Turunkanlah komando agar semua orang yang hadir di sini meluruk ke depan bersama-sama dan beradu jiwa dengan dirinya, aku tidak percaya kalau ia sanggup menandingi orang dalam jumlah yang begini banyaknya..." "Hmmm! Perhitungan sie poa kalian telah meleset jauh, kalian punya orang apa dianggapnya aku tidak memiliki anggota pasukan yang setia kepadaku sampai mati..." Pedangnya dengan enteng disentilkan tiga kali di tengah udara, suara pekikan naga yang nyaring segera berkumandang memenuhi seluruh angkasa.
Terdengar suara bentakan nyaring berkumandang datang dari balik horden, dua puluh empat orang gadis yang membawa lampu lentera merah secara serentak munculkan diri dari belakang ruangan, sementara si huncwee gede Ouw-yang Gong sambil membawa senjata andalannya munculkan diri pula sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... Pek In Hoei," tegurnya dengan suara keras, "rupanya kau si keparat cilik belum mati di dalam kereta itu..." Pek In Hoei si Jago Pedang Berdarah Dingin tersenyum.
"Eeeei kau si ular asap tua, selama ini telah bersembunyi di mana?"?" "Aku selama ini bersembunyi di belakang sambil memelihara semangat, seandainya kalian tidak ribut- ribut di tempat ini, mungkin aku si ular asap tua telah menghabiskan sekantong tembakau dari laut Tang hay..." Dalam pada itu Song Ceng To serta Lie Ban Kiam yang secara tiba-tiba menyaksikan munculnya ke-dua puluh empat dara pembawa lampu lentera merah di tempat itu, air mukanya segera hebat, mereka tak pernah menyangka kalau Kiong cu-nya telah mempersiapkan pula sepasukan tentara jebakan di situ, bahkan barisan Ang Teng Toa tin dari It-boen Pit Giok pun sudah dipindahkan kemari.
"Hmmm! Berada di dalam kepungan barisan lentera merah, kalian masih belum juga mau menyerah..." hardik Kiong cu dengan suara dingin.
"Perempuan lonte, kami akan beradu jiwa dengan kalian!" teriak Song Ceng To dengan penuh kegusaran.
Sambil membentak keras ia segera mendahului menubruk ke arah depan sedangkan kawanan pria berbaju hitam lainnya setelah melihat pemimpin mereka mulai melancarkan serangan, mereka pun ikut menyerbu ke depan.
Tetapi ke-dua puluh empat orang dara berlampu lentera merah itu adalah jago-jago perempuan yang dididik langsung oleh It-boen Pit Giok, melihat datangnya serbuan masal itu mereka segera menyebarkan diri ke empat penjuru, barisan Lampu lentera pun dengan cepat sudah tersusun rapi.
Dalam waktu singkat pula Song Ceng To sekalian telah terkepung di dalam barisan lentera merah tersebut.
"Pek Kongcu," bisik Kiong cu kemudian setelah melihat kawanan pengkhianat itu terkepung.
"Mari kita berlalu dari sini, ada seorang sahabat sedang menantikan kehadiranmu." Ia tarik tangan Pek In Hoei dan diajak masuk ke ruang belakang, si huncwee gede Ouw-yang Gong buru-buru menyusul dari belakang.
"Bagaimana dengan orang-orang itu?"?" tanya si anak muda itu setelah tertegun sejenak.
Kiong cu tersenyum manis.
"Tentang soal ini kau tak usah kuatir, aku hendak menjatuhi hukuman mati kepada mereka semua..." Jari tangannya dengan ringan memencet sebuah tombol yang berada di atas sebuah kayu, dari dalam ruang tengah secara mendadak terdengar suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memecahkan kesunyian, terlihatlah empat bilah dinding bergoyang kencang, dari tengah udara segera meluncur jatuh sebuah jaring yang amat besar, seluruh jago lihay yang terkurung di dalam barisan dengan cepatnya teringkus semua tanpa seorang pun berhasil meloloskan diri.
"Jaring seribu muka milikku ini adalah sebuah alat rahasia yang sangat istimewa," ujar Kiong cu dengan bangga.
"Di atas jaring telah dipolesi dengan racun yang amat keji, barangsiapa yang tertempel oleh racun tersebut maka sekujur badannya akan jadi lemas dan tak bertenaga.
Song Ceng To serta Lie Ban Kiam sedari dulu memang ada maksud menentang kekuasaanku, kehadiranmu pada hari ini justru merupakan sumbu yang terbaik untuk meledakkan peristiwa ini.
Dan sekarang keadaan sudah beres, mereka sudah cukup dilayani oleh para dayang dari It-boen Pit Giok..." Bicara sampai di situ ia pun memimpin Pek In Hoei serta Ouw-yang Gong berjalan melewati sebuah serambi panjang masuk ke dalam sebuah bangunan rumah yang megah dan sangat mewah.
Baru saja Pek In Hoei hendak melangkah masuk ke dalam ruangan itu, mendadak ia menyaksikan bayangan punggung seorang gadis sedang menghadap ke arah jendela memandang tempat kejauhan, hatinya jadi bergetar keras dan segera pikirnya : "Aaaah! Itu toh bayangan punggung dari It-boen Pit Giok, kenapa gadis yang kelihatannya tiada rasa cinta tapi dalam kenyataan ada sesuatu dalam hati kecilnya bisa berada di sini" Ia pernah berkata kepadaku bahwa sepanjang hidupnya ia akan selalu membenci diriku, lebih baik aku tak usah bertemu muka dengan dirinya saja..." Berpikir sampai di situ dia pun segera ambil keputusan untuk angkat kaki dari situ, badannya buru-buru berputar dan siap meninggalkan tempat itu.
Siapa tahu angin dingin berhembus lewat, It-boen Pit Giok dengan wajah penuh kegusaran telah berdiri tegak menghadang jalan perginya.
"Apakah kau tidak sudi bertemu dengan aku?" teriaknya dengan nada ketus.
"Tidak...! Siapa yang bilang?" Sekilas rasa sedih dan murung berkelebat lewat di dalam biji matanya yang jeli, kemudian sambil tertawa dingin serunya kembali : "Huuuh! Setiap kali kau selalu berusaha untuk menghindari diriku, kau anggap aku benar-benar tidak tahu siapakah yang sebenarnya kau pikirkan terus" Tentu saja kami gadis-gadis liar dari luar lautan tidak akan sehalus dan setulus hati seperti orang lain yang mempertaruhkan jiwa dan raga untuk mendapatkan obat mujarab guna mengobati sang kekasih tercinta..." "Eeeei...
eeeei... siap yang kau maksudkan?" tanya Pek In Hoei melengak.
Rupanya It-boen Pit Giok merasa amat gusar sekali, dengan wajah berangut serunya kembali : "Begitu cepat kau telah melupakan orang itu.
Hmmm! Itu menandakan bahwa kau adalah seorang laki-laki yang tak berbudi, seorang lelaki tak berperasaan dan berhati kejam, aku ikut menyesal bagi jerih payah Wie Chin Siang, kenapa ia begitu sudi bersikap baik terhadap dirimu..." Ucapan ini terlalu tajam bagi pendengaran Pek In Hoei, sedikit banyak ia dibikin marah juga mendengar perkataan itu.
"Kau jangan ngaco belo yang tidak keruan di sini..." teriaknya.
*** Bagian 25 PLOOOOK!! Kehadiran It-boen Pit Giok di tempat itu pada hari tersebut rupanya memang ada maksud untuk menghina dan mempermalukan diri Pek In Hoei si Jago Pedang Berdarah Dingin, mendadak dia ayunkan telapak tangannya dan menghadiahkan tempelengan yang cukup keras ke atas wajah si anak muda she Pek itu.
Pek In Hoei melongo dan berdiri menjublak, ia sama sekali tidak menghindarkan diri dari tabokan tersebut.
Ketika telapak lawan bersarang di atas pipinya segera terasalah panas, linu dan sakit, sebuah bekas telapak tangan yang merah dan sebab tertera nyata di ats pipinya yang putih.
"Kau... kau... mengapa kau tidak menghindar..." bisik It-boen Pit Giok kemudian dengan suara gemetar.
"Aku dapat mengingat-ingatnya selalu pembalasan yang telah kau lakukan terhadap diriku pada hari ini," kata Pek In Hoei dengan suara yang kaku dan ketus.
"Kesombongan serta ketinggian hatimu akan memberikan penderitaan serta sengsara bagi dirimu sendiri, di dalam usiamu selanjutnya kau akan merasa menyesal atas perbuatan yang telah kau lakukan saat ini atas diriku..." Sebagai seorang pemuda yang sombong dan tinggi hati, setelah ditampar satu kali sikapnya secara mendadak berubah jadi tenang dan sama sekali tiada perasaan apa pun, dengan pandangan tajam ditatapnya wajah It-boen Pit Giok dalam-dalam kemudian sambil tertawa dingin putar badan berlalu dari tempat itu.
"In Hoei..." jerit It-boen Pit Giok sesenggukan.
"Aku tidak... tidak..." "Cukup! Kau tak usah banyak bicara lagi," tukas Pek In Hoei semakin ketus, "aku sudah mengetahui segala-galanya..." It-boen Pit Giok memburu beberapa langkah ke depan, serunya kembali : "Apakah kau tidak sudi mendengarkan penjelasanku?"?" In Hoei!...
dengarkan dulu perkataanku..." Tetapi Pek In Hoei sama sekali tidak menggubris jeritannya lagi, bersama-sama si huncwee gede Ouw- yang Gong tanpa berpaling lagi ia berlalu dari situ.
Memandang bayangan punggungnya yang lenyap dari pandangan, It-boen Pit Giok merasa putus asa dan sedih, rasa murung, kesal dan malu bercampur aduk di dalam hatinya hingga akhirnya ia tak tahan jatuhkan diri ke dalam pelukan Kiong cu dan menangis tersedu-sedu.
Kiong cu menghela napas sedih, bisiknya : "Toa-moay, kau pun keterlaluan...
tidak semestinya kalau sikapmu terlalu kukuh dan keras kepala..." Dengan penuh kesedihan It-boen Pit Giok angkat kepalanya ke atas titik air mata masih mengembang dalam kelopak matanya.
Dengan pandangan kosong dan hampa ia memandang ke pintu luar lalu dengan suara yang sangat rendah dan berat sahutnya : "Entah apa sebabnya, setiap kali aku berjumpa dengan dirinya timbul rasa benci di dalam hatiku tetapi aku pun merasa rindu kepadanya.
Setiap kali aku berjumpa dengan dirinya tak tahan ingin sekali aku menghajar dirinya..." "Tahukah kau apa sebabnya tindakanmu bisa demikian?" tanya Kiong cu tenang.
"Itulah sebabnya kau terlalu mencintai dirinya..." "Aku mencintai dirinya...
aku mencintai dirinya..." gumam It-boen Pit Giok.
....... Berkuntum-kuntum bunga rontok di atas permukaan air, bergelombang dan bergerak terbawa arus...
terombang-ambing dimainkan ombak bagaikan kaum gelandangan yang berkelana ke sana kemari.
Di balik permukaan air yang bergelombang muncul sesosok bayangan manusia yang tinggi ramping, riak ombak yang bergetar kian kemari kian bertambah lebar akhirnya permukaan air tenang kembali seperti sedia kala...
Pluuuung! Sebutir batu disambit ke depan rontok ke dalam air, gelombang kecil kembali muncul di atas permukaan membuyarkan bayangan manusia yang terbias di air dan memecahkan pula lamunan dari si manusia itu sendiri.
Tatkala Pek In Hoei siap menyambitkan batu yang ke- dua, bayangan tubuh It-boen Pit Giok yang ramping kembali terlintas di dalam benaknya, tingkah lakunya yang sombong, sikapnya waktu gusar tertera semua dengan amat jelasnya...
"Aaaaai," Pek In Hoei menghela napas dalam-dalam.
"Bagaimana pun juga sulit bagiku untuk menghilangkan bayangan tubuhnya, kadangkala aku merasa bahwa dirinya sama sekali bukan seseorang yang amat penting dalam hati kecilku, tetapi setiap kali aku berada dalam keheningan, berdiri sebatang kara...
tanpa sadar bayangan tubuhnya serta potongan raut wajahnya selalu muncul di dalam pandanganku." Dengan penuh kesepian ia menghela napas panjang, kenangan lama kembali terlintas di dalam benaknya, dalam bayangan saat ini kecuali muncul bayangan tubuh dari It-boen Pit Giok, terlintas pula raut wajah dari Wie Chin Siang serta Hee Siok Peng.
Gadis-gadis yang dikenalinya itu sama-sama berwajah cantik jelita bagaikan bidadari, sama-sama menaruh rasa cinta kepadanya tetapi selama ini ia tak sanggup untuk memilih satu di antaranya, atau jatuh cinta kepada salah satu di antaranya, karena mereka di dalam hatinya mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat...
"Hmmm!" dengusan rendah si ular asap tua Ouw-yang Gong memecahkan kesunyian yang mencekam seluruh jagad.
Ia loncat menghampiri si anak muda itu lalu sambil menggerogoti ayam goreng yang berada dalam cekalannya kakek konyol itu berkata : "Ada makanan lezat tiada arak, kejadian ini benar- benar merupakan suatu kekurangan yang tak sedap dipandang..." Pek In Hoei mengerti bahwa si ular asap tua ini kecuali selama hidupnya bersikap gila dan ugal- ugalan, ia adalah seorang kakek yang berhati jujur dan setia kawan.
Menyaksikan tingkah lakunya yang konyol itu tak tahan lagi ia tertawa geli, serunya : "Di tengah gunung yang gersang dan jauh dari keramaian dunia, dari mana datangnya bau arak" Hey, si ular asap tua, jangan-jangan kau menyembunyikan arak di sini..." Ouw-yang Gong tertawa terkekeh-kekeh.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... hey kucing rakus, tajam amat penciumanmu, kau memang pandai menerka serta menantikan kenikmatan datang dengan sendirinya..." Dari punggungnya ia ambil keluar sebuah cupu-cupu arak yang besar lalu diangkat ke tengah udara, mendadak wajah berubah hebat, dengan termangu- mangu ia berdiri kaku di tempat semula sambil memandang ke arah cupu arak itu tanpa berkedip.
Bukan saja Ouw-yang Gong berdiri menjublak sampai Pek In Hoei sendiri pun dibuat berdiri terbodoh-bodoh, sebab ujung cupu-cupu arak entah sudah ditimpuk dengan benda apa, saat itu telah berlubang dan isi araknya telah bocor keluar semua, saat ini hanya tinggal sebuah cupu-cupu arak kosong belaka.
"Hey, ular asap tua!" seru Pek In Hoei setelah tertegun beberapa saat lamanya.
"Sungguh lihay selembar mulutmu, seutas ususmu langsung berhubungan dengan pantat sampai aku pun kau ajak bergurau, araknya sudah kau minum sampai habis, begitu masih bisa-bisanya sengaja menawari diriku..." "Eeeeei...
nanti dulu," teriak si ular asap tua dengan panik, tangannya digoyangkan berulang kali.
"Kau jangan berbalik memaki diriku yang bukan-bukan, aku ular asap tua angkat sumpah di hadapanmu bahwa aku tak pernah mengajak kau bergurau..." "Lalu apa yang sudah terjadi?" tanya Pek In Hoei dengan nada tidak percaya.
Ouw-yang Gong berpikir sebentar, kemudian menjawab : "Ini hari kita telah berjumpa dengan seorang tokoh silat yang sangat lihay..." Sinar mata Pek In Hoei dengan cepat menyapu sekejap sekeliling tempat itu, namun tak sesosok bayangan manusia pun yang nampak, dengan pikiran tak habis mengerti segera tegurnya : "Kau tak usah jual mahal lagi di hadapanku, sebenarnya apa yang telah terjadi?" "Hmmmm! rupanya manusia-manusia itulah yang ajak aku bergurau...
hati-hati saja nanti aku Ouw-yang Gong bisa kasih satu pelajaran yang keras agar mereka tahu bahwa aku si ular asap tua bukanlah seorang kakek peot yang gampang dipermalukan..." Agaknya si kakek konyol ini merasa amat gusar sekali.
Sambil menggerutu tiada hentinya ia segera tarik Pek In Hoei untuk mengajak lari meninggalkan tempat itu, sepanjang perjalanan mereka berlari dengan kencangnya, hal ini semakin membingungkan hati si anak muda itu.
Namun sepanjang perjalanan tak sesosok bayangan manusia pun yang nampak, makin dipikir si Jago Pedang Berdarah Dingin ini merasa keadaan semakin tak beres, karena tak kuat menahan diri lagi ia segera menegur : "Hey ular asap tua, sebenarnya kau ingin berbuat apa?"
Saking mendongkolnya Ouw-yang Gong berkaok- kaok keras, teriaknya : "Tadi sewaktu aku pergi membeli barang di depan perkampungan telah bertemu dengan serombongan manusia yang menghantar hadiah, cupu-cupu arak ini pastilah manusia-manusia itu yang menyambitnya sampai pecah..." Sementara ia sedang berbicara sampai di situ dari depan tampaklah debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa dan muncul empat ekor kuda besar di belakangnya mengikuti sebuah kereta besar yang diatasnya ditancapi sebuah panji kecil berwarna kuning, dua orang pria berpotongan wajah panjang duduk di atas kereta dengan keren dan gagahnya.
"Dari manakah datangnya orang-orang itu?" bisik Pek In Hoei dengan nada lirih.
"Hmmm bangsat anak jadah, dialah anak-anak dari Sak Kioe Kong..." Rupanya ia sangat membenci orang-orang itu, selesai berkata tubuhnya segera menerjang ke arah empat orang penunggang kuda yang berada di paling depan.
Menyaksikan datangnya terjangan itu, ke-empat orang pria tersebut segera membentak nyaring, dengan cepat mereka tarik tali les kudanya dan berhenti berjalan.
Salah seorang di antaranya segera membentak dengan suara keras : "Kakek peot sialan! Buta rupanya sepasang matamu, apakah kau tidak melihat jelas panji tersebut adalah panji kebesaran dari Hak Bin Siuw Loo si Malaikat Berwajah Hitam Sak Kioe Kong..." "Telur busuk milik nenekmu! maki Ouw-yang Gong sambil ayunkan sepasang telapaknya ke tengah udara.
"Peduli amat panji bobrok itu milik cucu monyet anak jadah siapa..." Termakan oleh angin pukulan yang keras, ekor kuda itu terkejut dan segera meringkik panjang, sepasang kaki mereka diangkat tinggi-tinggi melemparkan ke- empat orang penunggangnya ke atas tanah.
"Hoooore... bagus... bagus..." teriak Ouw-yang Gong sambil bertepuk tangan.
"Haaaah... haaaah... haaaah... inilah yang dinamakan gerakan empat kaki menghadap langit..." Sementara ia masih berteriak-teriak dengan penuh kegembiraan, mendadak dari atas kereta itu meluncur datang sesosok bayangan manusia, sambil tertawa dingin ia mengirim satu pukulan dahsyat langsung menghantam tubuh Ouw-yang Gong.
Blaaaaam!... Dalam keadaan gugup dan tergopoh- gopoh Ouw-yang Gong segera ayunkan pula sebuah pukulan untuk menyambut datangnya serangan tersebut, sepasang telapak saling beradu hingga menimbulkan suara ledakan dahsyat.
Di tengah bentrokan keras itulah tubuh ke-dua belah pihak sama-sama bergetar keras dan tak tahan masing-masing tergetar mundur satu langkah ke belakang.
Orang yang barusan melancarkan serangan ini mempunyai potongan wajah yang bengis dan seram, wajahnya persegi panjang dengan sepasang alis yang tebal dan bibir yang amat tipis, potongan macam itu memuakkan sekali bagi penglihatan siapa pun.
Sementara itu sambil tertawa seram sorot matanya dengan tajam dan melotot besar sedang menatap wajah si kakek konyol itu tanpa berkedip.
"Hebat! Hebat!" serunya dengan wajah kaku.
"Kau dapat menyambut datangnya sebuah pukulanku, itu menandakan kalau kau pun termasuk manusia yang tidak gampang!" "Ciisss..." dengan pandangan menghina si ular asap tua Ouw-yang Gong meludah ke atas tanah.
"Setan busuk, apanya yang hebat dengan pukulanmu itu" Kalau punya nyali ayoh kirimlah beberapa buah pukulan lagi untuk dicoba, tanggung kau bakal pulang dengan merangkak..." Pria itu tertawa dingin, serunya dengan wajah serius : "Kau jangan anggap pukulan dari aku Sak Toa Bauw adalah suatu perkara yang enteng, tempo dulu sewaktu aku bergebrak melawan para enghiong dari Kwan Lok, tiada seorang pun yang betul-betul sanggup menerima sebuah pukulanku..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... tidak aneh kalau kau pandai mengibul dan omong gede, rupanya kau bernama Toa Bauw si Meriam Gede..." ejek Ouw-yang Gong sambil tertawa terpingkal-pingkal.
"Aku si ular asap tua kecuali sepanjang hidupnya suka menghisap tembakau huncwee, aku pun suka pula mengibul dan ngomong bus-busan seperti kentut busuk makmu.
Eeeei... anak kura-kura cucu jadah, apakah kau pengin adu kelihayan di dalam berbus-busan macam kentut busuk makmu dengan aku si orang tua..." Dalam bersilat lidah ia memang di atas angin, di satu pihak merasa kegirangan di pihak lain Sak Toa Bauw jadi mencak-mencak saking dongkol dan marahnya.
"Heeei...

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

eeeei... jangan mencak-mencak... jangan loncat-loncat," kembali Ouw-yang Gong berseru sambil goyangkan tangannya berulang kali.
"Kalau mencak terus takutnya kau bisa mencret...
dan ampas baumu bisa menyembur keluar seperti tembakan meriam.." "Keparat tua!" bentak Sak Toa Bauw teramat gusar.
"Kau... kau... rupanya pengin modar!" Ia benar-benar tidak bisa menahan diri lagi atas ejekan serta sindiran Ouw-yang Gong yang tajam serta amat menusuk pendengaran itu, pria itu meraung keras sambil ayunkan telapaknya sang badan segera menubruk ke arah depan dan menyerang Ouw-yang Gong habis-habisan.
Jangan dilihat Sak Toa Bauw sudah naik darah hingga kepalanya nanar, waktu bertempur ia sama sekali tidak kelihatan tolol atau bodoh.
Telapak kirinya berputar di tengah udara membentuk satu lingkaran busur, di tengah kecepatan terkandung desiran tajam, di tengah perubahan terselip gerakan aneh membuat si ular asap tua Ouw-yang Gong tidak berhasil mendapat keuntungan apa pun.
Secara beruntun Ouw-yang Gong melancarkan tiga buah serangan berantai, lalu sambil tertawa terbahak- bahak katanya : "Eeei anak kura-kura cucu monyet, kau adalah pungutan ibu yang mana..." Sak Toa Bauw yang dimaki nampak tertegun menanti ia berhasil memahami apa yang dimaksudkan, saking gusar dan dongkolnya hampir saja ia muntah darah segar, sekujur badannya gemetar keras dan rambutnya pada berdiri kaku laksana landak.
Dengan langkah lebar ia maju ke depan, telapak tangannya diayun menyongsong ke hadapan tubuh lawan, hardiknya keras-keras : "Kau si kakek tua celaka, aku Sak Toa Bauw akan beradu jiwa dengan dirimu..." "Blaaam...
Blaaam... Blaaam..." secara beruntun terdengar tiga kali suara bentrokan keras, tubuh ke- dua orang itu sama-sama tergetar mundur ke belakang.
Rupanya tenaga lweekang yang dimiliki ke-dua belah pihak adalah seimbang, hingga di dalam bentrokan barusan siapa pun tidak berhasil mendapatkan keuntungan apa-apa.
Pek In Hoei yang menyaksikan kejadian itu, sepasang alisnya kontan berkerut, serunya : "Hey ular asap tua, serahkan saja persoalan ini kepadaku...
biar aku saja yang bereskan..." "Tidak bisa jadi," sahut Ouw-yang Gong dengan mata mendelik.
"Keparat cilik ini telah menyambit lubang cupu-cupu arakku, aku hendak petik batok kepalanya sebagai ganti cawan arak, ini hari juga aku tak akan mengampuni dirinya..." "Apa kau bilang?" balas Sak Toa Bauw marah-marah.
"Kau telah mencuri arak kami, sekarang masih punya muka untuk mencari gara-gara dengan kami..." Sembari berkata matanya melirik sekejap ke arah Pek In Hoei, ketika dilihatnya si anak muda bergaya seorang sastrawan yang sedang berpesiaran, maka ia telah salah menduga Ouw-yang Gong sebagai pelayannya.
Maka dengan suara lantang serunya kembali : "Kau si anak muda kelihatannya tidak mirip dengan seorang pembegal yang kerjanya merampok kereta, kenapa suruh seorang kakek tua celaka macam ini untuk bikin gara-gara" Apakah dalam sesuatu hal keluarga Sak kami telah menyalahi diri saudara..." "Perkataanmu terlalu tak enak didengar dalam telinga, cayhe Pek In Hoei bukanlah manusia sebangsa itu..." sahut si anak muda itu sambil tertawa.
Si huncwee gede Ouw-yang Gong pun tertawa keras, sambungnya : "Bagus sekali! Hey Sak Toa Bauw kau si anak monyet cucu kura-kura...
berani benar kau menuduh kami hendak membegal barang di dalam keretamu.
Hmmmm! Ini hari aku Ouw-yang Gong pengin lihat sebetulnya Sak Kioe Kong mempunyai barang berharga apa sih hingga begitu berharga bagi kami untuk turun tangan..." Dengan pandangan dingin Sak Toa Bauw melirik sekejap ke arah si huncwee gede Ouw-yang Gong, lalu tertawa hina, sinar matanya perlahan-lahan dialihkan ke arah tubuh si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei, kemudian ujarnya dingin : "Kiranya kau adlaah si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei, seorang jago muda yang baru saja munculkan diri di dalam dunia persilatan, tidak aneh kalau dalam pandanganmu sama sekali tidak memandang sebelah mata pun kepada orang lain.
Hmmm!... bila orang kangouw mengetahui bahwa manusia yang bernama Pek In Hoei sebetulnya bukan lain adalah seorang pembegal yang suka merampok kereta, mungkin kawan-kawan Bu lim akan tertawa terkekeh-kekeh hingga giginya pada rontok semua..." "Kau berani menghina aku?" teriak Pek In Hoei dengan air muka berubah hebat.
"Haaaah... haaaah... haaaah... coba lihat, kau sudah takut.
Hmmm! Apakah kejadian ini bukan merupakan suatu kenyataan..." Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei jadi naik pitam, ia siap maju ke depan untuk memberi pelajaran kepada Sak Toa Bauw.
Tetapi sebelum ia sempat maju ke muka, si ular asap tua Ouw-yang Gong telah berkelebat ke hadapannya dan melarang dia untuk turun tangan sendiri "Serahkan saja persoalan ini kepada aku si ular asap tua," serunya sambil tertawa.
"Aku tanggung Sak Kioe Kong sendiri pun tak akan mampu mengapa-apakan seujung rambut aku si Ouw-yang Gong.
Huuuh...! Sak Kioe Kong itu manusia apa" Nama besarnya cuma kosong belaka, dalam dunia persilatan ia telah menipu nama, menipu kedudukan selama banyak tahun, sekarang sudah tiba masanya untuk keok dan jatuh kecundang di tanganku..." "Jadi kalian sengaja datang untuk mencari gara-gara dengan diriku"..." teriak Sak Toa Bauw marah-marah.
"Itu sih tidak! Meskipun aku si Ouw-yang Gong kalau bekerja agak menuruti suara hati sendiri, itu pun ada batas-batasnya.
Asal orang lain tidak mengganggu diriku, aku pun tidak akan mengganggu orang lain, sebaliknya si tua bangkamu itu bukan saja telah mencuri nama dan jabatan bahkan menghirup darah segar dari orang-orang Bu lim, karena itu aku hendak memberi sedikit peringatan kepadamu..." "Sejak kapan kami orang-orang dari perkampungan Sak Kee Cung menyalahi dirimu" Selama banyak tahun Hek Bin Siuw loo tak pernah menjumpai kejadian apa pun di tempat ini, sungguh tak nyana di dalam perjalanan kami hendak mengirim hadiah telah bertemu dengan kalian...
Hmm! Andaikata ayahku sampai mengetahui akan kejadian ini, mungkin persoalan tidak akan beres dengan gampang..." "Sudahlah, lebih baik kau tak usah menggotong keluar nama tua bangkamu untuk menggertak orang," seru Ouw-yang Gong sambil ayunkan huncwee gedenya.
"Cerminlah dahulu manusia macam apakah dirimu itu, pantas atau tidak untuk meniup terompet dan berlagak sok di tempat ini..." Seolah-olah secara mendadak teringat akan sesuatu, si kakek konyol itu bertanya lebih jauh : "Toa Bauw, barang-barang itu hendak kau kirim ke mana?" Dengan bangga Sak Toa Bauw tertawa keras : "Kalau telah kuucapkan harap kalian jangan ketakutan hingga jantung pun rontok, barang-barang ini hendak kami hantar ke perkampungan Thay Bie San cung untuk dihadiahkan kepada Hoa Pek Tuo.
Setelah kau tahu kalau barang-barang ini milik Hoa Pek Tuo, aku percaya kau tidak akan berani mempunyai ingatan untuk membegal kereta ini lagi..." Dalam anggapannya setelah ia mengucapkan kata- kata tersebut, si huncwee gede Ouw-yang Gong pasti akan ngeloyor pergi karena ketakutan.
Siapa tahu si kakek konyol itu bukan saja tidak jeri, sebaliknya malah mendongak dan tertawa terbahak-bahak, sekilas pandangan hina dan sinis terlintas di atas wajahnya.
"Haaaah... haaaah... haaaah... barang-barang yang dihadiahkan untuk Hoa Pek Tuo, tentu tidak akan jelek!" serunya.
Bagaikan sedang mengigau, kembali ia bergumam seorang diri : "Berharga...
berharga... pekerjaanku kali ini memang sangat berharga..." Dalam pada itu Pek In Hoei yang mendengar perkataan itu air mukanya segera membeku sementara hatinya bergetar keras, pikirnya : "Kenapa si Hek Bin Siauw loo Malaikat Berwajah Hitam Sak Kioe Kong memberi hadiah kepada Hoa Pek Tuo" Sebagai seorang tokoh sakti nomor wahid di kolong langit, Hoa Pek Tuo tak akan pandang sebelah mata pun terhadap benda-benda biasa! Entah barang apa yang dimuat di dalam kereta besarnya itu?" Berpikir sampai di situ, ia segera mengejek dingin, serunya : "Ular Asap Tua, kau ringkus dahulu bangsat ini..." Si huncwee gede Ouw-yang Gong sendiri juga tertarik hatinya oleh ucapan lawannya, mendengar perintah dari si anak muda itu senjata huncwee gedenya segera diputar di tengah udara hingga membentuk berpuluh-puluh bayangan huncwee, di tengah gelak tertawa yang nyaring sang badan maju mendesak ke depan, bayangan huncwee dengan sebuah gerakan yang sangat aneh langsung menotok ke atas tubuh Sak Toa Bauw.
Majikan muda dari perkampungan Sak Kee-cung ini tak mengira kalau serangan yang dilancarkan Ouw- yang Gong tiba begitu cepat, dalam jarak demikian dekat tak mungkin lagi baginya untuk berkelit maupun menghindar, terpaksa dari telapak berubah jadi kepalan, pada saat yang paling akhir ia jotos jalan dari Tay yang hiat di atas kening Ouw-yang Gong.
SERANGAN adu jiwa semacam ini tepat merupakan jurus pemecahan dari serangan yang mematikan tersebut, dalam bayangan Sak Toa Bauw kali Ouw- yang Gong kalau tidak mati pasti akan terluka parah, kepalan ditonjol keluar segenap kekuatan yang dimilikinya segera dikerahkan semua.
Siapa tahu kenyataan sama sekali tidak segampang dan sesederhana apa yang dibayangkan dalam benaknya.
Si huncwee gede Ouw-yang Gong bukan saja merupakan seorang ahli silat yang sangat berpengalaman, ia pun seorang jago kawakan.
Sewaktu dilihatnya bayangan kepalan disodok mendatang mendadak ia tundukkan kepalanya ke bawah, sedang huncwee gedenya pada saat yang bersamaan bagaikan sebatang pit menyodok ke atas.
Kraaak...! terdengar suara benturan yang amat memekakkan telinga, disusul jeritan ngeri yang menyayatkan hati dari Sak Toa Bauw menggema di angkasa.
Sekujur badannya secara mendadak jadi tegang dan tak bisa berkutik, tidak ampun lagi badannya bergelindingan di atas tanah, sebuah jalan darah penting di atas badannya telah termakan ujung senjata.
Menyaksikan Sak Toa Bauw roboh terjengkang dia tas tanah, seorang pria yang lain di atas kereta serta empat pria kekar bersenjata pedang sama-sama membentak keras, serentak mereka menubruk ke arah Ouw-yang Gong.
"Mundur!" tiba-tiba terdengar Sak Toa Bauw membentak gusar, "kalian jangan bergebrak lagi..." Pria kekar yang duduk di sisi Sak Toa Bauw sewaktu masih berada di atas kereta tadi nampak tertegun ketika mendengar bentakan itu, wajahnya menunjukkan seolah-olah tidak rela tapi apa boleh buat, terpaksa dengan wajah menyeringai seram mengundurkan diri ke tempatnya semula.
"Toako," tegurnya dengan nada tidak paham, "kita mana boleh memalukan serta menjual nama baik ayah?" "Apa yang bisa kita lakukan lagi?" sahut Sak Toa Bauw sambil tertawa sedih.
Saat itu si ular asap tua Ouw-yang Gong telah menuding ke arah kereta sambil bertanya : "Barang apa saja yang berada di dalam kereta itu?" "Apakah kau tak bisa pergi melihat sendiri?" jengek Sak Toa Bauw ketus.
Ouw-yang Gong tertawa dingin, ia segera meloncat naik ke atas kereta dan menggeledah isi kereta tersebut.
Tapi kecuali intan permata serta benda- benda berharga lain sama sekali tiada benda istimewa lain yang menyolok mata, maka sambil mendengus serunya : "Huuuh! Kalau cuma benda macam itu aku tak sudi untuk meraba apalagi memegang..." Pek In Hoei yang selama ini berdiri di sisi kalangan memperhatikan terus tingkah laku Sak Toa Bauw, ketika dilihatnya sinar mata orang itu mengerling ke sana kemari dengan tidak tenangnya, sang hati jadi tertegun, satu ingatan dengan cepat berkelebat di dalam hatinya.
Perlahan-lahan ia periksa sekujur badan pria itu dengan seksama.
Sedikit pun tidak salah, pada bagian pinggang orang she Sak itu nampak menonjol besar, seakan-akan di dalamnya disembunyikan sesuatu barang.
Sambil tertawa dingin segera jengeknya : "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... jangan-jangan masih ada benda yang lebih berharga lain disembunyikan di badan saudara, bukankah begitu?" "Omong kosong!" bentak sb dengan penuh kebencian.
"Dengan andalkan nama Hek Bin Siuw loo kenapa aku mesti takut ada orang datang membegal keretaku...
aku tak akan berbuat demikian..." Ouw-yang Gong tertawa sinis, dengan huncwee gedenya ia segera menotok perlahan pinggang orang she Sak itu, suara dentingan nyaring segera terdengar memecahkan kesunyian.
Ouw-yang Gong tarik napas dalam-dalam, satu ingatan secara mendadak berkelebat di dalam benaknya, sesaat kemudian bentaknya nyaring : "Bawa keluar!" Air muka Sak Toa Bauw berubah hebat, sorot mata ketakutan memancar keluar dari balik matanya, setelah ragu-ragu sejenak akhirnya sambil menggigit bibir dia ambil keluar sebuah kotak panjang dari pinggangnya.
"Nih, kuberikan kepadamu," serunya, "bagaimana pun juga tak nanti kau bisa mendapatkan benda ini..." Tampaklah kotak itu terbuat dari kayu dengan ukir- ukiran yang sangat indah, tetapi ada satu hal yang sangat aneh yaitu isi kotak tersebut ternyata enteng sekali seolah-olah sama sekali tak ada isinya.
Dengan cepat Ouw-yang Gong membuka kotak tersebut, dari balik kotak mendadak muncul secuil kain yang terpapas oleh pedang, hancuran kain itu begitu terlihat di depan mata, sekujur badan Pek In Hoei seketika bergetar keras.
Sebab potongan ujung kain tersebut sangat dikenal olehnya.
Kejadian itu untuk selamanya tak akan terlupakan, sebab setiap kali melihat cukilan kain tersebut ia segera teringat kembali akan ayahnya yang mati dalam keadaan mengenaskan.
Cukilan kain itu bukan lain adalah potongan dari ujung jubah yang dikenakan ayahnya sewaktu menjumpai peristiwa tragis tersebut...
Darah panas segera bergelora dalam hatinya, pandangan mata jadi nanar, tanpa kuasa lagi ia membentak keras : "Serahkan kepadaku!" Dengan pandangan tidak mengerti Ouw-yang Gong serahkan potongan kain jubah itu ke tangannya.
Pek In Hoei segera merasakan hatinya jadi kecut, hampir saja titik-titik air mata mengucur keluar membasahi wajahnya.
Sambil mencekal robekan kain jubah itu seluruh badannya hampir terasa jadi kaku, ia merasa begitu sedih, pedih dan terharu.
Napsu membunuh selapis demi selapis menyelimuti wajahnya, dengan alis berkerut ia berseru : "Kau..." Senyuman sadis tersungging di ujung bibir Pek In Hoei, selangkah demi selangkah ia maju mendekati tubuh Sak Toa Bauw, siapa pun tak tahu apa yang hendak ia lakukan.
Mereka hanya tahu bahwa si anak muda itu dalam waktu yang amat singkat telah berubah jadi seorang manusia yang lain, berubah jadi begitu sadis dan menyeramkan, lagaknya serta tingkah lakunya yang begitu mengerikan seolah-olah seseorang yang hampir mendekati ajalnya, membuat semua orang diam-diam terkesiap dan bergidik...
"Dari mana kau dapatkan potongan kain jubah ini..." hardiknya dengan sinar mata berapi-api.
Saking terkejutnya sekujur badan Sak Toa Bauw terasa gemetar keras.
"Dari mana aku bisa tahu potongan kain jubah itu berasal dari mana..." sahutnya.
"Orang lainlah yang menyerahkan benda itu kepada ayahku..." "Siapakah orang itu?" "Memandang dari pelbagai alasan yang kuat, aku tak dapat memberitahukan kepadamu!" "Hmmmm...!" Ouw-yang Gong mendengus dingin, "Serahkan saja anak monyet cucu kura-kura ini kepadaku, asalkan aku si ular asap tua gunakan sedikit ilmu memisahkan otot merenggang tulang, aku tidak percaya kalau tulang tubuhnya terdiri dari tulang besi otot kawat..." Mendengar ancaman itu air muka Sak Toa Bauw berubah sangat hebat, teriaknya dengan gusar : "Kau berani mengapakan diriku?" "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... asl kau suka berterus terang dan mengaku sejujurnya, tentu saja aku si ular asap tua akan melepaskan dirimu..." "Hmm, tiada perkataan lain yang bisa dibicarakan lagi, aku sama sekali tidak mengetahui tentang persoalan itu..." Pek In Hoei keluarkan telapak tangannya dan menotok tubuh Sak Toa Bauw satu kali serunya dingin : "Saking gemas dan bencinya ingin sekali aku membinasakan dirimu pada saat ini juga.
Tabokan tersebut anggaplah sebagai satu peringatan, cepat utarakan dari mana asalnya potongan kain jubah ini kepadaku..." Dengan wajah tanpa berubah Sak Toa Bauw gelengkan kepalanya berulang kali.
"Jawabanku masih tetap seperti semula, sedikit pun aku tidak mengetahui akan persoalan itu..." "Kau betul-betul seorang manusia tak tahu diri," maki si huncwee gede Ouw-yang Gong dengan gusar.
"Mungkin kau masih belum tahu bagaimanakah tindakan aku si ular asap tua untuk menghukum orang..." Dengan suara rendah ia tertawa seram, jari tangannya segera berkelebat menotok jalan darah di atas tubuh Sak Toa Bauw.
"Huuuh, menghadapi seorang manusia yang tak mampu melawan dengan cara begini rendah, kau terhitung seorang manusia macam apa?" jengek Sak Toa Bauw sambil pejamkan matanya rapat-rapat.
Dengan demikian si ular asap tua Ouw-yang Gong jadi tak berani untuk melanjutkan serangannya, ia melirik sekejap ke arah si Jago Pedang Berdarah Dingin dan untuk sesaat tak tahu apa yang mesti dikerjakan.
Dengan wajah berat dan serius Pek In Hoei masukkan potongan kain jubah itu ke dalam sakunya, Sak Toa Bauw yang menyaksikan kejadian itu jadi cemas bercampur gelisah, mendadak ia meloncat bangun dari atas tanah sambil teriaknya keras-keras : "Kau tak boleh ambil pergi benda itu!" "Kenapa?" sahut Pek In Hoei tertegun.
"Benda itu adalah potongan kain jubah dari ayahku, kenapa aku tak boleh untuk mengambilnya kembali"..." Kini sikapnya jauh lebih tenang dan kalem, ia tahu untuk mengetahui siapakah pembunuh besar sebenarnya yang telah membinasakan ayahnya, hanya dari mulut Sak Toa Bauw-lah bisa diketahui, sebab itu ia tak mau bertindak terlalu tergesa-gesa.
"Benda itu adalah titipan dari seorang sahabat," seru Sak Toa Bauw amat gelisah.
"Kalau benda lain yang hilang masih mendingan, benda itu sesekali tak boleh lenyap dari tanganku, hey, si Jago Pedang Berdarah Dingin, lebih baik serahkanlah kembali benda itu kepadaku..." "Maaf seribu kali maaf, aku harus membawanya pergi..." sahut Pek In Hoei ketus.
Sembari berkata ia mengerling sekejap ke arah Ouw- yang Gong si huncwee gede itu, kemudian mereka berdua putar badan dan segera berlalu dari situ.
"Hey, seperginya kalian berdua, aku mesti kemana untuk menemukan kalian..." teriak Sak Toa Bauw gusar.
"Hmmm! mencari aku bukanlah suatu pekerjaan yang sulit, di kota paling depan sana aku bisa berdiam selama beberapa hari..." Rupanya ia sudah mempunyai rencana lain dalam hatinya, selesai berkata bersama-sama Ouw-yang Gong segera berlalu dari situ.
Menanti mereka sudah berada di suatu tempat yang jauh dari pandangan Sak Toa Bauw, si anak muda itu baru berhenti berlari.
Ouw-yang Gong yang tidak habis mengerti apa sebetulnya yang telah terjadi tanpa sadar segera bertanya : "Bocah cilik, sebetulnya permainan setan apa yang sedang kau perankan?"?" "Aku hendak berdiam selama dua tiga hari di tempat ini, ingin kulihat siapakah yang bakal mencari aku untuk merampas kembali potongan kain jubah tersebut," kata Pek In Hoei dengan nada sedih.
"Setelah itu aku akan berusaha untuk memancing keluar orang di balik layar itu, bila persoalan telah berkembang jadi begitu maka persoalan yang menyangkut kematian ayahku pun akan kian bertambah cerah dan jelas..." "Aaaai! Berapakah bagiankah keyakinanmu akan hal ini?" tanya Ouw-yang Gong sambil menghela napas.
Pek In Hoei gelengkan kepalanya berulang kali.
"Apa yang barusan kuucapkan hanyalah suatu pendapat dari apa yang kupikirkan barusan, berapa bagiankah keyakinanku akan hal ini sulit untuk dikatakan.
Andaikata jalan ini sukar ditembusi maka aku akan berangkat ke perkampungan Sak Kee-cung untuk bertemu dengan Hek Bin Siuw loo si Malaikat Berwajah Hitam, atau langsung meluruk ke dalam perkampungan Thay Bie San cung dan tanyakan persoalan ini kepada Hoa Pek Tuo pribadi..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... bocah keparat, rupanya kau betul-betul seorang manusia latah yang pernah kujumpai selama ini," seru Ouw-yang Gong sambil tertawa keras.
"Hampir seluruh jago lihay yang ada di kolong langit hendak kau jumpai untuk diajak berkelahi, aku bisa mempunyai seorang sahabat macam kau benar-benar patut merasa bangga dan gembira." "Bagus! Mari kita isi perut dulu..." Mereka berdua segera menggerakkan tubuhnya dan berkelebat pergi dari situ.
*** Butir hujan yang bulat bagaikan air mata kekasih menetes ke bawah dari awan yang tebal di angkasa, membentur permukaan tanah dan menimbulkan suara rintikan yang nyaring.
Senja yang gelap menyelimuti seluruh jagad, suara air hujan berdenting memecahkan kesunyian yang mencekam dan kabut yang tebal menambah suramnya pemandangan ketika itu...
Di tengah hujan deras setelah lohor ini, jalan raya jadi basah dan becek, tak sesosok bayangan manusia pun yang nampak berlalu lalang, seolah-olah semua pejalan kaki, para pedagang dan para pelancong telah menyembunyikan diri semua di bawah atap rumah takut basah kuyup oleh air hujan.
Di tengah jalan raya yang basah lembab serta becek itu tiba-tiba berkumandang datang suara keleningan yang lirih tapi tajam, kian lama suara keleningan itu kedengaran semakin nyata dan nyaring diikuti nampaklah seorang pemuda berbaju biru dengan menunggang seekor kuda putih yang tinggi besar perlahan-lahan berjalan di tengah amukan hujan.
Dengan pandangan bimbang dan termangu-mangu ia memandang awan hitam di angkasa, membiarkan titik air hujan membasahi wajahnya, butiran air mengikuti bibirnya yang tipis membasahi lidahnya dan menimbulkan perasaan hambar dalam hatinya...
Keleningan yang tergantung di leher kuda bergoyang kian kemari terhembus angin dan berbunyi nyaring di angkasa menandingi irama hujan yang merdu...
Pemuda itu berjalan lambat di tengah hujan yang tak terhitung kecil, kecuali seorang yang pandai mencari kesenangan di tengah hujan, siapa pun tak akan sudi berjalan-jalan pada saat seperti ini kecuali seorang tolol atau orang yang sedang putus asa...
Dia yang berada di tengah hujan dengan membawa pikiran yang jenuh dan berat memandang permukaan jalan yang becek dan berlumpur dengan termangu- mangu, lama sekali ia baru menghela napas panjang.
Suara helaan napas itu tiada berbeda jauh dari keadaan orangnya, begitu murung, kesal dan sedih...
Mendadak... pada ujung bibirnya yang tipis tersungging satu senyuman yang getir...
hambar... suatu senyuman di tengah kesunyian kesepian yang mencekam hati, pikiran dalam hati : "Aku benar-benar seorang yang tolol, masa di tengah hujan begini deras bisa berjalan seorang diri di tengah jalan raya, membiarkan air hujan membasahi seluruh tubuhku, lebih-lebih lagi yang menggelikan secara tiba-tiba aku bisa menyukai titik-titik air hujan yang tertumpah dari langit...
Itulah disebabkan karena butiran air hujan bagaikan air mata seorang kekasih, bagaikan awan yang indah permai secara mendadak kehilangan bidadari yang cantik, bagaikan pula kekasih yang sedang menangisi pacarnya...
sedang dia, meskipun dalam benaknya pernah timbul bayangan dari beberapa orang gadis, tetapi persoalan lain yang lebih serius telah membebani hatinya, menekan dia hingga sukar untuk bernapas, itulah dendam sakit hati atas kematian ayahnya serta dendam termusnahnya partai Thiam cong di tangan Boo Liang Tiong...
Kini dendam kematian ayahnya telah menunjukkan titik terang, bagaikan cahaya kilat yang muncul di tengah kegelapan yang mencekam, kilatan cahaya itulah seberkas harapannya, harapan yang bergerak maju sambil meraba asalnya cahaya tersebut...
Tetapi tiga hari telah berlalu dengan cepatnya, jejak Hek Bin Siuw loo belum nampak juga muncul di hadapannya bahkan orang dari perkampungan Sak Kee cung pun tak ada yang nongol...
selama ini dengan hati gelisah ia berharap akan kehadiran Malaikat Berwajah Hitam Sak Kioe Kong agar asal usul potongan kain jubah itu cepat diketahui, tetapi ia kecewa, mau tak mau terpaksa ia harus mohon bantuan Ouw-yang Gong untuk memeriksa keadaan yang sebenarnya.
Sebatang kara Pek In Hoei berjalan di tengah hujan deras, tanah lumpur yang kuning kecoklat-coklatan telah menodai celananya, ia besut butiran air hujan yang membasahi wajahnya lalu menghela napas panjang.
"Aaaaa...! si huncwee gede sudah berlalu begitu lama, kenapa belum nampak ia kembali" Jangan-jangan ia sudah menemui kesulitan..." Ingatan tersebut dengan cepatnya berkelebat di dalam benak si anak muda itu, mendadak ia merasa hatinya jadi tegang, satu bayangan hitam memenuhi pandangan matanya, sekilas cahaya redup memancar di atas wajahnya yang tampan membuat sepasang alisnya yang lentik berkerut, senyuman seram tersungging makin nyata...
"Haaaah... haaaah... haaaah... " Di saat Pek In Hoei masih duduk terpekur sambil melamun itulah, tiba-tiba dari belakang punggungnya berkumandang datang suara gelak tertawa yang amat nyaring, ia terkesiap dan segera berpaling ke belakang.
Tengokan ini seketika menambah rasa ngeri dan seram di dalam hatinya, untuk beberapa saat pemuda itu berdiri menjublak tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Terlihatlah seorang kakek tua yang rambutnya telah beruban sedang duduk di belakang punggung kuda putihnya, sejak kapan kakek itu menunggang di satu kuda dengan dirinya dan dari mana orang itu muncul Pek In Hoei sama sekali tidak merasa hal ini membuat hatinya tercekat dan segera sadar bahwa tenaga lweekang yang dimiliki kakek tua itu sudah mencapai taraf yang mengerikan.
Saat itu dia hanya bisa berdiri di atas tanah sambil memegang tali les kudanya, apa yang harus dilakukannya" Ia sendiri pun tak mengerti.
Derap kaki kuda makin lambat dan lirih, si kakek yang duduk di atas punggung kuda bergoyang ke sana kemari mengikuti irama kantuknya, suara dengkuran keras berkumandang keluar dari lubang hidungnya, begitu keras bagaikan gulungan ombak di samudra membuat permukaan ikut bergetar dan kuda itu sempoyongan ikut bergetar dan kuda itu sempoyongan hampir saja roboh ke atas tanah...
Diam-diam Pek In Hoei merasa terkesiap hatinya, terutama sekali terhadap kedahsyatan serta kesempurnaan tenaga lweekang kakek tua itu.
Setelah diliriknya sekejap sekujur badan orang tua itu, pemuda kita menjulurkan lidahnya berulang kali dan hampir saja tidak percaya kalau di kolong langit benar-benar terdapat kejadian seaneh itu.
Kiranya di tengah hujan yang demikian derasnya, bukan saja butiran air telah membasahi wajahnya bahkan baju pun telah basah kuyup, tetapi wajah kakek tua itu sama sekali tidak basah, setiap kali ada butiran air hujan hampir mendekati tubuh kakek itu, segera muncullah segulung hawa khie-kang yang menyampok miring butiran air hujan itu hingga mencelat ke samping.
Pemandangan aneh ini bukan saja telah mendemonstrasikan kesempurnaan tenaga dalamnya, bahkan menunjukkan pula atas keberhasilannya untuk menggabungkan tenaga gwa kang dengan tenaga lwee kang.
Bagaikan tertidur nyenyak saja si kakek tua itu tetap pejamkan matanya sambil bergoyang ke kiri kanan mengikuti hembusan angin, mendadak ia berseru : "Loo Lauw, kenapa kau tidak lanjutkan kembali perjalananmu" Kau suka menuntunkan kuda buat toa loo-ya itu namanya rejeki nomplok bagimu, kalau hatiku lagi gembira mungkin saja akan kucarikan seorang istri yang cantik untukmu, waktu itu...
haaah... haaah..." Pek In Hoei mendengus dingin.
"Hmmm! Kau tak usah berlagak seperti orang mati lagi, kalau ada urusan utarakanlah dengan langsung dan terus terang..." Masih tetap berlagak ngantuk si kakek tua itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... bagus, Loo Lauw di hari biasa pelayananmu terhadap loohu tidak jelek, kenapa sekarang main gertak dengan nada begitu kasar" Apakah kau anggap hujan yang turun kali ini terlalu deras maka aku jadi tak bisa pulang" Baik! anggaplah aku sudah sia-sia memelihara dirimu, ini hari akan kutambahi ongkosnya untukmu.
Bagus! Entah nenek moyang loohu yang mana kurang luhur budinya sehingga sekarang aku mesti menerima cercaan dan penghinaan dari manusia sebangsa kalian..." Pek In Hoei dibikin melongo dan termangu-mangu oleh ucapan lawannya itu, ia tahu bahwa si kakek tua tersebut ada maksud mempermainkan dirinya, maka dia pun tertawa dingin, mendadak tali les kudanya disentak ke depan hingga membuat binatang itu kaget dan meringkik panjang, kaki depannya segera terangkat ke atas membuat si kakek yang ada di atas pelana jadi ketakutan dan menjerit keras.
"Loo Lauw! teriak si kakek tua itu dengan suara gemetar.
"Rupanya kau sedang mengincar hartaku yaah maka sekarang hendak celakai jiwaku lebih dulu.
Eeeei...! kau mesti tahu kalau hari ini kecuali aku memmbawa sedikit uang receh tidak membawa barang apa-apa lagi, mungkin kau sudah salah tafsir..." "Hmmm! Saudara, lebih baik kurangilah lagak sinting dan edanmu di hadapan aku orang she Pek aku..." "Apa" Kau orang she Pek?" perlahan-lahan si kakek tua itu membuka matanya dan memandang ke arah depan dengan pandangan tercengang.
"Aku masih mengira kalau kau adalah kusir kudaku yang bernama Loo Lauw." Ia mengucek-ucek matanya lalu menyapu sekejap ke sekeliling tempat itu, mendadak, sambil menjerit keras teriaknya berkaok-kaok : "Aduuuh...
celaka... aduuuh... celaka... tidak benar! Kenapa aku bisa duduk di atas pantat kuda tungganganmu ini..." Pek In Hoei tertawa dingin.
"Hmmm... Hmmm... Hmmm... kurangilah sikap konyolmu di hadapanku, kalau tidak jangan salahkan kalau aku tak akan bersikap sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu..." "Pek kongcu, kau jangan salah paham," seru kakek tua itu sambil goyangkan tangannya berulang kali.
"Aku toh cuma berkata bahwa secara bagaimana aku bisa berada di atas pantat kuda tungganganmu ini, kapan aku memaki dirimu" Pek Kongcu, berbuatlah baik dan jangan salahkan diriku lagi...
Aku toh tidak sengaja..." Pek In Hoei mengerti bahwa si kakek tua yang berada di hadapan matanya saat ini bukanlah manusia sembarangan, cukup ditinjau dari tenaga lweekangnya yang begitu sempurna sudah cukup menunjukkan bahwa dia adalah seorang musuh yang amat tangguh.
Maka dengan suara dingin segera bentaknya : "Siapakah kau?" Bentakan itu keras, berat dan penuh dengan tenaga membuat seluruh angkasa bergetar dan mendengung keras, lama sekali pantulan suara itu mengalun di angkasa sebelum akhirnya perlahan-lahan membuyar...
Kakek misterius itu mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... aku si siauw Loo jie tinggal di dusun Boen Ya Cung dalam bilangan keresidenan Kwan Lok, sebut saja diriku sebagai Boen Soe-ya!" Terperanjat hati Pek In Hoei sehabis mendengar nama itu, satu ingatan dengan cepat berkelebat di dalam benaknya, ia berpikir : "Kiranya kau adalah Boen Soe-ya dari Kwan Lok Tit It Kee, tidak aneh kalau tenaga lweekangmu begitu dahsyat dan sempurna, aku toh tak pernah mengikat tali permusuhan dengan keluarga Boen, entah apa maksudnya ia sengaja mencari satroni dengan diriku?" Ingatan tersebut dengan cepatnya berkelebat di dalam benaknya, dengan suara dingin segera ujarnya : "Eeei...! Bukankah kau melancong di daerah sekitar Kwan Lok, mau apa kau datangi wilayah Lam Ciang ini?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... bagus, bagus, nama besar si Jago Pedang Berdarah Dingin sudah tersebar hampir meliputi lima telaga empat samudra, aku si orang tua menyadari bahwa dengan usiamu yang masih begitu muda tapi berhasil memiliki ilmu silat yang demikian lihaynya, hal itu menunjukkan bahwa kau memang seorang manusia aneh yang berbakat alam, ada pun kedatanganku kemari pertama, disebabkan aku merasa gatal tangan dan kedua, ingin tahu sampai di manakah taraf kepandaian sejati yang kau miliki hingga dalam satu tahun yang singkat berhasil mendapatkan nama besar yang demikian tersohornya..." "Jadi kedatanganmu adalah bermaksud untuk menjajal kepandaianku belaka...?" tegur Pek In Hoei dengan alis berkerut, suaranya dingin lagi ketus.
Boen Soe-ya agak tertegun, kemudian segera jawabnya : "Tentu saja masih ada satu urusan kecil hendak ajak Pek kongcu untuk berunding..." "Kenapa mesti mengajak aku untuk berunding" Asal kau sanggup mengalahkan sepasang kepalan cayhe jangan dibilang urusan gampang diselesaikan kendati kau inginkan batok kepalaku juga akan kupersembahkan dengan tangan terbuka..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... ucapanmu terlalu serius, ucapanmu terlalu serius...
Pek Kongcu! Masa seberat itu kau ucapkan kata-katamu itu" Kedatangan aku si orang tua kali ini kecuali sedang mewakili seorang sahabat untuk minta kembali benda miliknya aku sih belum ada minat untuk bermusuhan dengan dirimu..." "Hmmm! Sudah kau tak usah banyak bicara lagi," tukas Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
"Kalau punya kepandaian rampaslah benda itu dari genggamanku, kalau tidak punya kepandaian lebih baik cepat-cepat enyah dari sini..." Perkataan yang begitu ketus dan sama sekali tidak memberi muka ini kontan menggusarkan hati Boen Soe-ya, dalam wilayah Kwan Lok ia tersohor sebagai seorang jago yang sangat lihay, semua orang kangouw sama-sama menghormati dirinya sebagai Boen Soe-ya, siapa tahu Pek In Hoei yang masih muda belia ternyata sama sekali tidak memandang sebelah mata pun terhadap dirinya, hal ini dianggapnya sebagai penghinaan.
Sambil tertawa dingin tubuhnya segera melayang ke depan, bagaikan kapas yang enteng ia melayang turun tepat di hadapan si anak muda itu.
"Bajingan cilik yang tekebur, rupanya kau cari modar?" teriaknya keras.
Lengan kanannya diangkat ke atas, dari balik telapak segera memancar keluar segulung hawa pukulan yang sangat hebat.
Pek In Hoei enjotkan badannya melayang mundur lima langkah ke belakang, walaupun gerakannya cepat tak urung tubuhnya sempoyongan juga terdesak oleh dorongan angin pukulan itu.
"Haaaah... haaaah... haaaah... tidak aneh kalau Toa Bauw jatuh kecundang di tanganmu, rupanya kau masih punya simpanan juga..." jengek Boen Soe-ya sambil tertawa tergelak.
Pek In Hoei mendengus dingin.
"Hmmm! Kau si telur busuk tua, kenapa tidak pentang matamu lebar-lebar untuk melihat siapakah aku Pek In Hoei.
Huuh...! dengan andalkan kepandaian silat kucing kaki tigamu juga pengin wakili Hek Bin Siuw loo untuk mencari satroni dengan diriku..." "Hubungan persahabatan Sak Kioe Kong dengan Loohu paling intim, kau berani mencari satroni dengan pihak perkampungan Sak Kee cung berarti pula mencari satroni dengan aku si Boen Soe-ya ini hari apabila aku tak berhasil memberi sedikit pelajaran kepadamu..." Pek In Hoei yang mendengar perkataan itu kontan naik darah, tidak menunggu hingga ucapan lawan selesai diutarakan keluar, pedang sakti penghancur sang surya yang tersoren di pinggangnya segera dicabut keluar, dalam satu getaran enteng muncullah enam buah kuntum bunga pedang yang berkilauan di angkasa, hawa pedang yang dingin menusuk tulang menyebar di seluruh angkasa, getaran yang cepat dan lenyap dalam sekilas pandang itu dengan cepat menggetarkan hati Boen Soe-ya.
"Aaaah pedang bagus," serunya memuji.
"Sungguh tak nyana pedang sakti penghancur sang surya bisa muncul di tanganmu..." Kejadian yang di luar dugaan terlalu banyak di kolong langit," jengek Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
"Sekarang kau semakin tak pernah mengira kalau aku hendak mencabut jiwa anjingmu, di ujung pedangku tak pernah kuijinkan korbanku berhasil lolos dalam keadaan hidup..." "Hmm, sewaktu ada di kota Lok Swie loohu pernah menjumpai para jago gagah dari tiga belas keresidenan baik di utara mau pun di selatan, tapi belum pernah kujumpai manusia terkutuk yang pandai membual dan jual bacot besar macam dirimu.
Heeeeh... heeeeh... heeeeh... bagus, bagus, sedari munculkan diri belum pernah kutemui tandingan, semoga saja kepandaian silat yang kau miliki jauh lebih ampuh belum kali lipat daripada kepandaianmu bersilat lidah, agar dalam pertarungan nanti tidak sampai mengeewakan hatiku..." "Kenyataan dengan cepat akan tertera di depan matamu, awas, aku akan mulai turun tangan..." Ia tarik napas panjang-panjang, di atas wajahnya yang tampan mendadak terlintas selapis hawa dingin yang tebal, Pek In Hoei getarkan pedangnya lurus ke depan, di tengah geletarnya cahaya tajam di ujung pedang segeralah memancar ke seluruh udara.
Selama berkelana di dalam dunia persilatan Boen Soe- ya sudah banyak menjumpai musuh tangguh, tapi belum pernah ia temui seseorang yang sanggup mempergunakan pedangnya hingga sehebat ini, sadarlah jago tua itu bahwa meskipun usia lawan masih muda tapi kepandaiannya luar biasa sekali.
Diam-diam hatinya tercekat, menanti cahaya pedang yang dingin itu sudah meluncur keluar, buru-buru badannya meloncat dan berkelit ke samping.
Menggunakan kesempatan di kala tubuhnya meloncat ke samping, Boen Soe-ya segera mengibaskan tangannya dengan menggunakan jurus Menyelam ke atas menyelidiki dasar, segulung angin pukulan yang kuat dengan cepat meluncur keluar dari balik bajunya dan menahan gerak maju si anak muda itu.
Pek In Hoei putar pedangnya sedemikian rupa sambil dengusnya rendah.
"Hmmm! Jangan keburu bersenang hati.
Nih! Rasakanlah jurus Enam Naga Menelan Matahariku ini!" Bayangan pedang menyebar luas di seluruh angkasa.
Blaaam! Blaaam! Hawa pedang mengalir ke empat penjuru, di tengah bergetarnya bayangan tajam Pek In Hoei membentak keras, pedangnya membabat ke bawah laksana hembusan angin puyuh.
Boen Soe-ya jadi panik, keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya, setelah menghembuskan napas panjang ia himpun segenap kekuatan yang dimilikinya ke atas sepasang telapak, lalu laksana kilat dibabat ke depan.
"Haaaah... haaaah... haaaah... rupanya kau cari mati!" jengek Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
Ilmu pedangnya sudah berhasil dilatih hingga mencapai kesempurnaan yang bisa digunakan sesuai dengan perasaan hati sendiri, di tengah perputaran ujung pedang membentuk satu lingkaran busur, senjata tajam itu berputar langsung membabat pergelangan tangan Boen Soe-ya.
Si kakek tua itu tak menyangka kalau ilmu pedang musuhnya telah mencapai taraf yang begini sempurna, untuk berkelit sudah tak sempat lagi, dalam keadaan yang kritis dan terdesak ia mendehem berat, tiba-tiba kaki kanannya melancarkan satu tendangan kilat mengancam lambung Pek In Hoei.
Rupanya dalam keadaan kepepet, si kakek tua itu mengambil keputusan untuk melakukan adu jiwa.
Sudah tentu Pek In Hoei tak sudi mengiringi kehendak lawannya, dengan cepat badannya mundur ke belakang, ujung pedangnya berputar langsung membabat lengan kanan lawan.
Mendadak... dari luar kalangan berkumandang datang suara gelak tertawa yang amat keras.
"Haaaah... haaaah... haaaah... Soe yang, jangan panik, aku datang membantu dirimu!"
Segumpal tanah lumpur yang basah bercampur dengan dua butir pecahan batu gunung meluncur datang diiringi desiran tajam.
Pek In Hoei terperanjat, ia mengira tubuhnya sedang diancam sejenis senjata rahasia yang maha ampuh.
Tergopoh-gopoh badannya berputar kencang, di antara babatan pedangnya ia berkelebat lewat di tengah udara, tahu-tahu tubuhnya sudah lolos dari ancaman senjata rahasia tadi.
"Aaaa....!" sekalipun Boen Soe-ya nyaris lolos dari kematian, tak urung lengannya robek juga termakan oleh goresan pedang lawan, sambil menutupi mulut lukanya ia segera mengundurkan diri ke belakang.
"Pek In Hoei, kau amat keji..." teriaknya sambil menahan penderitaan.
Pek In Hoei tertawa dingin, sinar matanya perlahan- lahan dialihkan ke arah seorang pria kekar berjenggot hitam dan memakai topi kecil yang berdiri di sisi kakek tua itu, napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya da ia tatap orang tadi tanpa berkedip.
Pria itu terkejut, ia tak mengira kalau sorot mata pihak lawan sedemikian tajam dan dinginnya.
"Siapa kau?" hardik Pek In Hoei dengan suara ketus.
"Haaaah... haaaah... haaaah... tidak berani... tidak berani, cayhe she Cin..." "Hmmm! Kiranya sang Poo cu dari benteng Kiem See Poo, maaf! maaf!" Cia Toa Hiong dari benteng Kiem See Poo segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... Benteng Kiem See Poo selamanya hidup di wilayah Lam ciang tanpa ada minat untuk mencari nama atau berebut kekuasaan di dalam dunia persilatan, tapi baru-baru ini aku dengar dari orang lain yang mengatakan bahwa kedatanganmu kali ini di wilayah Lam Ciang, kecuali hendak membangun kembali partai Thiam cong, kau pun hendak mengusir semua jago yang ada di wilayah Lam Ciang keluar dari daerah ini.
Huuuh... belum pernah kudengar ada orang yang berani bicara sesumbar ini, cayhe sebagai salah satu anggota dari para jago di wilayah Lam Ciang, ingin sekali menyaksikan dan minta pelajaran darimu..." "Oooh, benarkah ada kejadian seperti ini?" seru si anak muda itu melongo.
Ia tak tahu berita sensasi ini berasal dari mana tetapi ucapan yang diutarakan oleh Cia Toa Hiong tak bakal salah lagi, apalagi sengaja dibuat-buat sendiri, sebagai seorang Poo cu dari benteng Kiem See Poo dia pasti tidak bohong, semakin tak mungkin mempercayai ucapan orang lain tanpa disertai oleh dasar alasan yang kuat, hal ini tentu saja sangat membingungkan Pek In Hoei pribadi.
Setelah menghela napas pikirnya di dalam hati : "Sebetulnya apa yang sudah terjadi" Baru saja aku datang di wilayah Lam Ciang dari aman bisa muncul kejadian seperti ini" Apakah ada orang sengaja hendak merusak nama baikku dan mencari tenaga gabungan para enghiong yang ada di wilayah ini untuk mengusir diriku..." Dalam pada itu ketika Cia Toa Hiong, Poo cu dari benteng Kiem See Poo menyaksikan Pek In Hoei tetap membungkam dalam seribu bahasa, segera tertawa dingin, jengeknya : "Saudara, benarkah ada kejadian seperti ini?" "Aku tak tahu!" "Eeei...
aneh amat, masa urusanmu sendiri pun tidak tahu," seru Kiem See Poocu setelah tertegun sejenak.
"Pek In Hoei, kau bukan seorang bocah cilik lagi, tak mungkin kau bisa melupakan perbuatan yang telah kau lakukan sendiri, penghadanganmu terhadap kereta kawalan Sak Kioe Kong dari perkampungan Sak Kee cung merupakan perbuatanmu yang pertama di wilayah Lam Ciang dan merupakan peringatan pula darimu terhadap para jago di wilayah Lam Ciang..." "Tutup mulutmu, kau hendak menasehati diriku?" bentak Pek In Hoei dengan gusar.
Air muka Kiem See Poocu Cia Toa Hiong berubah hebat, serunya kembali : "Walaupun aku Cia Toa Hiong bukan seorang manusia yang tersohor di kolong langit, tetapi wilayah Lam Ciang adalah desa kelahiranku, demi keutuhan wilayahku ini aku rela turun tangan bergebrak lebih dahulu dengan dirimu..." "Ucapanmu memang terlalu tajam, setajam sikapmu terhadap diriku, bagus, mari kita adu kekuatan..." Terhadap peristiwa yang muncul secara tiba-tiba ini si anak muda itu tak habis mengerti bagaimana mengatasinya, tapi setelah kejadian berlangsung jadi begini dengan cepat pelbagai ingatan pun dibuang jauh-jauh dari dalam benaknya, pedang segera dihunus dan seluruh perhatiannya dipusatkan ke atas wajah lawan, siap menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring berkumandang datang.
Dengan wajah yang dingin kaku Boen Soe-ya maju ke depan, tegurnya : "Pek In Hoei, sungguhkah kau ada niat menjagoi wilayah Lam Ciang..." Pek In Hoei tertegun dan tidak menjawab.
"Jadi kau sudah mengakui?" seru Boen Soe-ya lagi.
Pek In Hoei tarik napas panjang-panjang, ia merasa kemangkelan serta kekesalan yang terhimpun dalam dadanya sukar dilampiaskan keluar, ia tertawa dingin, dengan wajah tanpa menampilkan perasaan ia berkata : "Di dalam wilayah Lam Ciang ini, aku hanya mempunyai permusuhan yang sedalam lautan dengan pihak Boe Liang Pay, kecuali itu dengan partai lain aku tak mempunyai ganjalan apa-apa, mengenai soal bangkitnya partai Thiam cong, cepat atau lambat hanya tergantung pada waktunya saja, aku tidak ingin disebabkan persoalan Thiam cong Pay hingga menyeret banyak partai di dalam kancah persoalan itu..." Ucapan yang cukup enak didengar ini dimaksudkan oleh si anak muda itu agar Kiem See Poocu serta Boen Soe-ya mengerti keadaan dan mengundurkan diri, jangan mempercayai berita sensasi yang tersiar di luaran dan hindari pertikaian-pertikaian yang tak berguna, siapa sangka ucapanitu dalam pendengaran Boen Soe-ya serta Cia Toa Hiong bukan saja dianggap sebagai peringatan, mereka malah mengira Pek In Hoei sengaja sedang mengulur waktu...
Kiem See Poocu Cia Toa Hiong segera tertawa kering, serunya : "Hmmm, di saat partai Thiam cong bangkit kembali, mungkin saja merupakan saat yang paling sial bagi partai lain..." "Hey, apa maksudmu?" tegur Pek In Hoei tertegun.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... setiap patah kata yang kuucapkan merupakan kenyataan, aku rasa dalam perutmu jauh lebih mengerti daripada pun poocu sendiri!" "Haaaah...


Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

haaaah... haaaah... jadi kalau begitu kau hendak memaksa aku untuk turun tangan juga..." "Kecuali menempuh melalui jalan ini, pun Poocu rasa tiada cara penyelesaian lain yang lebih baik lagi." "Baik! Pertama-tama biarlah aku jumpa dahulu Lam Ciang Tit It Toa Poo benteng nomor wahid di wilayah Lam Ciang, Cia Toa Poocu..." Perlahan-lahan dia angkat pedang mestika penghancur sang suryanya ke tengah udara, segulung cahaya pedang segera memancar menghiasi seluruh angkasa.
Kiem See Poocu Cia Toa Hiong terkesiap, dengan tajam tanpa berkedip dia mengawasi semua gerak- gerik Pek In Hoei.
Boen Soe-ya yang berada di samping kalangan tertawa seram dan menimbrung : "Cia Poocu, menghadapi manusia semacam ini kenapa kau mesti berlaku sungkan-sungkan lagi..." Semula Cia Toa Hiong tertegun, segera ia tertawa dan menyahut : "Tepat sekali! Tepat sekali! Perkataan Boen Soe-ya sedikit pun tidak salah." Dia pun tidak sungkan-sungkan lagi, dari punggungnya lambat-lambat ia loloskan sepasang senjata roda Jiet Gwat Loen dan salurkan hawa murninya ke dalam senjata roda tadi, mendadak roda Jiet Gwat Loen itu berputar dan menyiarkan suara aneh yang amat nyaring.
Pek In Hoei terkesiap, ia merasakan darah panas dalam dadanya bergolak kencang, suara aneh yang tajam dan melengking itu membuat dia tak sanggup untuk memusatkan seluruh perhatiannya di ujung pedang.
Dalam pada itu Kiem See Poocu Chee Thian Gak telah membongkokkan tubuhnya, sepasang roda berputar membentuk setengah lingkaran di tengah udara, diiringi desiran tajam yang memekakkan telinga dari samping kiri dan kanan ia langsung membabat ke depan.
"Senjata roda Jiet Gwat Loen yang bagus!" bentak Pek In Hoei dengan suara berat.
Dengan mencekal pedangnya ia tetap bersikap tenang, walaupun senjata roda Jiet Gwat Loen adalah senjata berat yang merupakan tandingan dari pedang, tetapi dengan kepandaian ilmu pedangnya yang maha sakti Pek In Hoei sama sekali tidak gentar, ia getarkan lengannya dan ujung pedang laksana kilat meluncur ke depan.
Triiiing... letupan bunga api bermuncratan di angkasa, tubuh masing-masing pihak sama-sama tergetar dan mundur dua langkah ke belakang, cepat-cepat Cia Toa Hiong memeriksa senjata rodanya, tapi rasa bergidik seketika menyelimuti hatinya.
Ternyata di dalam bentrokan barusan senjata rodanya telah gumpil satu bagian termakan oleh babatan pedang lawan, menyaksikan senjata kesayangannya menderita cedera, ia jadi kalap, sambil meraung keras tubuhnya segera menubruk ke arah depan.
Boen Soe-ya menyaksikan keadaan rekannya itu, sepasang alisnya langsung berkerut, segera teriaknya : "Cia Poocu,kau harus tenang dan pikiran jangan sampai kalut!" "Aku harus beradu jiwa dengan bajingan cilik ini," teriak Cia Toa Hiong penuh kegusaran, "ia sama sekali tidak pandang sebelah mata pun terhadap para enghiong dari wilayah Lam Ciang.
Coba lihat! Sikapnya begitu jumawa dan mendongkolkan hati..." Sembari putar pedangnya Pek In Hoei tertawa dingin, jengeknya : "Huuuh...! pikiranmu tidak tenang perasaanmu terpengaruh oleh angkara murka, kau semakin bukan tandinganku, Cia Toa Poocu! Perkataan dari Boen Soe- ya sedikit pun tidak salah, satu langkah salah bertindak niscaya kau akan menderita kekalahan total, lebih baik tenangkan dulu pikiranmu..." Hampir saja meledak dada Cia Toa Hiong setelah mendengar ejekan itu, di antara urutan nama para enghiong di wilayah Lam Ciang ia pun termasuk seorang jago terkemuka yang belum pernah dihina dan diejek orang seperti ini, sekarang dalam keadaan gusar yang sukar terkendalikan lagi ia tidak memperhitungkan kelihayannya lagi, sepasang senjata rodanya diputar sedemikian rupa melancarkan serangan-serangan yang mematikan.
Rupanya Pek In Hoei memang ada maksud untuk memancing kegusaran dari jago lihay ini, melihat pihak musuh sudah mulai kalap dan menyerang secara mengawur, ia segera tertawa dingin dan mengejek : "Bangsat! Tiga jurus lagi Pun Poocu bisa serahkan jiwamu secara sukarela kepadaku..." Serangannya makin gencar, memaksa Pek In Hoei harus mundur ke belakang berulang kali, pedangnya berputar ke sana kemari memerseni beberapa buah tusukan di tubuh Cia Toa Hiong hingga membuat si jago lihay itu kesakitan dan meraung-raugn gusar tiada hentinya.
Menyaksikan keadaan Kiem See Poocu Cia Toa Hiong, kian lama kian tak mampu untuk bertahan lagi, Boen Soe-ya dengan mulut membungkam dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun segera maju dua langkah ke depan, kepalanya langsung disodokkan ke muka menghantam punggung si anak muda itu.
"Huuuuh! Bajingan yang tak tahu malu..." maki Pek In Hoei sambil putar badannya mengirim satu babatan.
Boen Soe-ya tertawa seram.
"Menghadapi manusia macam kau, kenapa aku mesti menggunakan cara yang bijaksana dan terbuka..." "Hiiiiaaat...! Menggunakan kesempatan di kala Boen Soe-ya melancarkan satu pukulan, Cia Toa Hiong mempergencar pula serangan sepasang rodanya dari arah kiri dan kanan, melihat dia mendapat bantuan dari rekannya semangatnya segera berkobar, serangan yang dilancarkan pun semakin mantap dan ganas, tidak sekacau dan seburuk tadi lagi.
Dikerubuti oleh dua orang jago lihay, Pek In Hoei merasa tenaga tekanan yang mengimpit tubuhnya makin lama semakin berat, ia sadar bahwa ke-dua orang jago lihay itu secara tidak tahu malu hendak mengerubuti dirinya hingga mampus, dari gusar napsu membunuh yang berkobar dalam benaknya makin menebal, bayangan pedang segera berlapis-lapis, dalam waktu singkat ia sudah kurung ke-dua orang jago lihay itu di dalam lingkaran cahaya pedangnya.
Pertarungan ini berlangsung dengan serunya, begitu seru hingga siapa pun tidak merasa bahwa ketika itu ada seorang nona cilik sambil membawa payung kecil perlahan-lahan mendekati kalangan pertempuran itu di bawah hujan yang deras.
Gadis muda itu mengenakan pakaian berwarna hijau dengan sepasang mata memancarkan cahaya dingin,ia berhenti di sisi kalangan dan setelah mengamati jalannya pertarungan itu sambil geleng kepala dan tertawa serunya : "Hey, kalian jangan bergebrak lagi!" Suaranya tak begitu keras tapi setiap orang yang ada di kalangan pertempuran cepat menangkap dengan jelas bahkan di antara beningnya suara itu terselip pula suatu kekuatan yang sukar dilawan.
Sementara itu keadaan dari Kiem See Poocu serta Boen Soe-ya sudah mendekati setengah kalap, setelah mendengar teriakan tadi sebenarnya mereka ada maksud untuk mengundurkan diri, apa lacur pedang Pek In Hoei membelenggu senjata mereka membuat ke-dua orang jago itu saking cemasnya hanya bisa berteriak-teriak belaka.
"Sungguh besar nyali kalian!" terdengar gadis itu berseru sambil angkat bahu.
"Sampai seruan dari nonamu pun tak sudi dituruti..." Ia benahi rambutnya yang terurai di depan wajah, kemudian tambahnya lagi dengan nada dingin : "Cia Toa Hiong! Mengapa kau bekerja sama dengan Boen Soe-ya mengerubuti dia seorang?" Sekalipun pada waktu itu Kiem See Poocu serta Boen Soe-ya tak sanggup palingkan muka untuk memeriksa siapakah gadis muda itu, tetapi dari seruan serta nada suara gadis itu mereka sadar bahwa dara muda tadi bukanlah seorang manusia sembarangan.
SEAKAN-AKAN mereka berdua mempunyai pikiran yang sama, masing-masing melancarkan sebuah serangan yang memaksa mundur Pek In Hoei kemudian loncat keluar dari kalangan.
Pek In Hoei mengejar ke depan, sambil putar pedang, jengeknya sinis : "Eeei...
kenapa kalian berdua tidak bergebrak lagi?" Dengan napas terengah-engah Cia Toa Hiong mundur ke belakang, sahutnya setengah gusar : "Kesempatan masih banyak, tunggu saja saatnya." Sementara itu dara muda tadi telah berada di antara mereka bertiga sambil tertawa cekikikan sambungnya : "Betul, kesempatan toh masih amat banyak, kenapa mesti cemas di saat ini..." Langkah tubuhnya enteng, pinggangnya ramping dengan wajah yang manja serta senyuman menghiasi ujung bibirnya, kecantikan wajah yang begini serasi menegunkan hati Pek In Hoei, ternyata ia terpikat oleh kecantikan wajahnya.
Rahasia Kampung Garuda 10 Pendekar Rajawali Sakti 110 Sekutu Iblis Cincin Berlumur Darah 2
^