Kiamat Di Goa Sewu 2
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu Bagian 2
sengaunya terdengar lucu menggelitik.
"Malah ketawa!" bentak Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul, seperti menggonggong.
"Sejak kapan kau berubah menjadi pendagel
seperti ini?"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul melotot besar
sekali, sampai-sampai lupa kalau tahi matanya belum
dibersihkan. "Slompret! Kau sengaja cari perkara, ya?"
"Aku menilaimu dengan jujur. Tak ada maksud
mengejek. Mungkin hanya karena kau sadar kau me-
miliki sifat yang semestinya kau buang, jadi kau mera-
sa dihina."
"Sok tahu lagi! Memangnya kau pikir kau ini
siapa" Mbah buyut ku" Bapak moyang ku" Mbokku"
Begitu?" semprot Dongdongka, sewotnya bukan alang kepalang.
"Begini saja," potong orang bercaping.
"Tidak, begitu saja!" potong Dongdongka pula, tak mau kalah.
"Aku ke sini sebenarnya hendak mengingatkan
kau tentang satu hal!"
"Mengingatkan mengingatkan! Lagi-lagi kau
berdalih!"
"Dengarkan dulu aku."
"Tidak, kau yang dengarkan aku, tahu!" sambar Dedengkot Sinting Kepala Gundul
sambil menjitak-jitaki kepala sendiri, pertanda dia mulai gusar. "Sekarang,
sebaiknya kau segera pergi dari tempat ini! Aku
mau meneruskan tidurku. Jangan coba-coba juga kau
bersenandung lagi. Aku tahu suaramu merdu dan ki-
dungmu bagus. Dengan suara semerdu itu, kupikir
kau pantas jadi dukun. Maksudku, pergi sajalah kau!"
omel Dedengkot Sinting Kepala Gundul ngalor-ngidul
tak karuan. Orang bercaping tertawa lagi. Sekali ini terke-
keh geli seperti suara bocah kecil kegirangan. Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul tentu saja makin 'keki' di-
begitukan. "Aku tetap akan pergi. Tapi, apa kau yakin tak
mau mendengarkan aku dulu" Sebentar saja?" tawar-
nya lagi. "Tak ada tawar menawar! Kau boleh ambil den-
gan harga sepuluh kepeng, itu harga dari pengijonnya.
Eh maksudku, pergi sajalah kau! Jangan banyak cin-
cong begitu. Tahu"!"
Kepala di balik caping orang itu menggeleng-
geleng. "Masih saja sempat-sempatnya menggeleng!
Apa aku harus menendang pantatmu dulu supaya kau
segera pergi dari tempat ini! E, slompreeeeet sekali
kau!" Dedengkot Sinting Kepala Gundul mulai men-
cak-mencak. Pasir di dekat kakinya bertebaran ke ma-
na-mana. Sepak terjangnya sudah seperti keledai nge-
bet kawin. Karena kelewatan mangkel, tanpa disadari tua
bangka bertabiat sinting-sintingan itu, tenaga dalam
tingkat tinggi tersalur dalam setiap gerakannya. Sese-
puh persilatan tanah Jawa macam dia, tentu saja me-
miliki tenaga dalam sulit dicari tandingan.
Pasir pantai yang bertaburan terdepak kakinya
seketika menjelma menjadi benda-benda kecil maut.
Zes zes zes zes!
Ke segenap penjuru, pasir berhamburan bagai
sehimpun senjata rahasia. Sebagian menembus batang
pohon kelapa di sekitar. Setelah menembus batang
pertama, pasir tadi melesat ke pohon kelapa berikut-
nya, menembusnya kembali. Dan baru mendekam di
dalam batang pohon keempat! Seluruh pepohonan ke-
lapa naas tadi sudah seperti digerogoti oleh kutu-kutu kecil. Dedengkot Sinting
Kepala Gundul kaget sendiri
setelah mengetahui akibat kemangkelannya.
"Uph, slompret asli! Kenapa aku jadi sinting se-
perti ini!" Lalu matanya beralih ke arah orang bercaping.
"Itu semua gara-gara kau! Coba kalau tadi ada
binatang tak berdosa atau orang yang kebetulan lewat"
Aku, kan bisa berdosa, tahu"! Dosa, apa kau belum
pernah lihat"!," seperti pernah lihat dosa saja, Dongdongka menyambung omelannya
kembali. Sesaat kemudian baru dia sadar sesuatu.
"E-eh," sentaknya.
Sejak tadi orang bercaping tak kunjung beran-
jak dari tempatnya. Sejak tadi. Bahkan sampai De-
dengkot Sinting Kepala Gundul mencak-mencak dan
menerbangkan pasir. Sementara pasir mengandung
tenaga dalam tinggi berhamburan ke segenap arah.
Tak ada tersisa ruang kosong sampai sejauh satu
jengkal sekalipun. Kalau begitu, mestinya orang itu
sudah terkena pasir.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul waswas juga.
Sampai saat ini, dia belum tahu jelas apakah orang itu dari golongan sesat atau
bukan. Sejengkel apa pun dia
terhadap orang bercaping, tak ada alasan bagi De-
dengkot Sinting Kepala Gundul untuk membunuhnya.
Bagaimana kalau pasir maut tadi telah menembus ba-
dannya pula" Biar tak sengaja melakukan, tapi tetap
pembunuhan, pikir Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Hey, kau tak apa-apa?" tegur Dedengkot Sinting Kepala Gundul, tak yakin.
Menurut perkiraannya,
tentu orang itu telah mampus. Dia merasa berdosa se-
kali kalau sampai terjadi.
"Ya."
Mendapat sahutan dari orang bercaping, Dong-
dongka malah jadi terperanjat.
"Bagaimana bisa kau belum mampus?" ta-
nyanya, serba salah. Belum lama dia mengkhawatir-
kan orang itu. Sekarang malah bertanya sebaliknya.
Bagaimana tua bangka satu ini"
Buat Dongdongka, pertanyaan itu sudah pan-
tas diajukannya. Sebab dia menyaksikan beberapa ba-
tang pohon kelapa di belakang orang bercaping sudah
berlobang-lobang kecil tertembus pasir. Kalau selama
itu orang bercaping tak beranjak dari tempatnya, su-
dah tentu pasir-pasir itu akan menembus tubuhnya
terlebih dahulu. Dan mestinya, dia sudah mampus se-
karang; Mana mungkin dia masih bisa bicara" Atau se-
perti pertanyaan Dongdongka Bagaimana bisa dia be-
lum mampus"
"Kalau masih bisa bicara, tentu saja artinya
aku masih hidup! Kalau masih hidup, tentu saja aku
masih bisa bicara."
Usai menjawab, orang bercaping terkekeh den-
gan suara tawa seperti bocah kembali.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul garuk-garuk
kepala klimisnya kuat-kuat. Sampai kulit keringnya
bertambah banyak bertebaran. Sepertinya dia tak
khawatir kalau kulit kepalanya menjadi setipis kulit
bawang. "Mestinya kau sudah mampus, tahu"!" Dong-
dongka ngotot. "Ah, sudahlah. Kau hanya memperpanjang per-
soalan kecil saja!"
Persoalan kecil" Persoalan kecil yang bagaima-
na" Apa nyawa pernah dianggap persoalan kecil" Apa
berhasil lolos dari pasir maut dengan cara yang begitu sulit dipercaya persoalan
kecil" Bibir Dongdongka
menjadi anjlok ke bawah. Melongo tidak, terperangah
tidak. Tampangnya tolol sekali.
Siapa dia" Jangan-jangan, dia salah seorang
patih Kerajaan Laut Selatan bawahan Nyai Roro Kidul"
Bukankah daerah ini termasuk wilayahnya" bisik hati
Dongdongka. Dari duduknya, orang bercaping bangkit. Dis-
elipkan bulu rajawali di ikat pinggangnya.
"Karena kau tak ingin mendengarkan peringa-
tanku, sebaiknya aku pergi," pamitnya. Dia mulai melangkah. Arahnya menuju laut.
Makin membuat curiga
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Dongdongka masih terdiam.
Jeleknya tak tertolong.
"Jangan terus diam seperti itu, Truna! Hidup
itu tak sepantasnya kau siakan dengan cara berdiam
diri. Seperti kau habiskan malam hanya untuk tidur!"
Hanya sempat melangkah dua tindak, wujud
orang bercaping hilang di ujung ombak yang mendaki
ke permukaan pantai.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tersentak.
Dia baru menyadari satu hal lagi. Orang bercaping pe-
nuh teka-teki itu menyebut Truna, nama semasa mu-
danya.... "Ampuuun...," rengeknya setelah dia mulai menyadari siapa orang tadi. Dia pun
berguling-gulingan di atas pasir seperti bocah 'ngambek' besar.
Kenapa, ya" Sudah telanjur sinting asli dia"
TUJUH "HAI-AI-AIIIII"
Amukan Satria Gendeng sudah tiba di puncak-
nya. Pada saat seperti itu, terjadilah sesuatu dalam dirinya. Menyebabkan
segenap saraf, aliran darah, dan
otot-ototnya dialiri tenaga sakti yang pada keadaan-
keadaan tertentu sulit terukur kedahsyatannya. Tena-
ga dalam tingkat tinggi yang dihasilkan oleh perbauran ramuan Pulau Dedemit
dengan zat langka dari dasar
Laut Selatan! Puncak kemarahannya yang kini terjadi, adalah
kemarahan terbesar yang pernah dialaminya. Asalnya,
tentu saja dari perasaan cinta yang demikian menda-
lam terhadap Tresnasari. Dengan disakitinya Tresnasa-
ri, berarti telah sengaja menyulut sebentuk ledakan
kemarahan amat dahsyat dalam diri Satria Gendeng.
Jika kemarahan si pendekar muda kali ini ada-
lah kemarahan paling memuncak yang pernah dialami,
maka tak pelak lagi tingkat tenaga sakti yang meledak
dalam dirinya pun melebihi kekuatan waktu-waktu se-
belumnya! Akibatnya sungguh memukau perempuan tua
bangka yang memiliki pamor besar di dunia persilatan.
Nini Jonggrang menyaksikan dengan mata kepala sen-
diri sekujur otot di tubuh lawan yang dianggapnya ter-
lalu bau kencur menjadi membengkak. Terlihat senta-
kan-sentakan seperti dialiri listrik.
Berdenyut-denyut kacau.
Membentuk semacam pipa hidup.
Saling menyilang di balik kulit.
Keringat membanjir cepat dari setiap lobang po-
ri-porinya. Wajah pemuda itu seperti mengalami peruba-
han. Warnanya sebentar merah matang. Sebentar
kemudian membiru kehijauan. Rahangnya terkunci.
Otot wajahnya kenyal. Parasnya merangas!
Detik-detik berikutnya, Satria Gendeng mulai
pula mengerahkan jurus-jurus ampuh dari Dedengkot
Sinting Kepala Gundul. Jurus yang terlihat demikian
tak karuan, membabi-buta, ganjil, dan terkadang lucu.
Di balik semua itu, terkandung bahaya maut. Jurus
'Mencuri Bunga Karang' yang tak berhasil melabrak
pertahanan Nini Jonggrang dalam gebrakan pertama,
segera digabungkannya dengan jurus 'Dedengkot Gen-
deng Kegirangan'.
Setiap jurus pada dasarnya memiliki sifat dan
gaya tersendiri. Seperti 'Mencuri Bunga Karang', me-
nekankan pada kecepatan tangan dan capitan jari.
Gayanya adalah menyerang. Sementara, jurus
'Dedengkot Gendeng Kegirangan' menekankan pada
serangan mendadak, gerakan-gerakan tak terduga,
dan pertahanan yang tak teratur.
Dengan begitu, amat sulit menggabungkan dua
jurus yang berbeda sifat dan gaya. Bahkan hal itu tak
jadi soal yang mudah bagi tokoh kelas atas sekalipun.
Untuk membuat gabungan jurus itu menjadi sempur-
na dan sanggup menjadi senjata berbahaya, dibutuh-
kan waktu cukup lama.
Bagi si pendekar muda sendiri, hal itu seperti
tak sempat terpikirkan olehnya. Yang berkecamuk ba-
gai topan dalam benaknya saat itu cuma keinginan un-
tuk melenyapkan Nini Jonggrang dari muka bumi.
Kenyataan kalau kini dia sanggup mengga-
bungkan jurus-jurus sulit dalam waktu demikian sing-
kat, disebabkan karena dorongan naluri kependeka-
rannya yang demikian kuat. Seperti pernah dinilai oleh Tabib Sakti Pulau Dedemit
dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul, Satria Gendeng memiliki bakat alami un-
tuk menjadi pendekar besar.
Ketajaman nalurinya, dan pengaruh gejolak te-
naga sakti yang menyentak saraf-saraf kecerdasan di
otaknya menyebabkan seluruh jurus-jurus yang per-
nah dipelajarinya teraduk menjadi satu seketika itu ju-ga!
Nini Jonggrang sebagai tokoh kawakan yang
sudah kenal lama dengan Dedengkot Sinting Kepala
Gundul, tentu saja amat hafal gaya jurus-jurus tua
bangka itu. Namun ketika Satria Gendeng memperli-
hatkan kali ini, Nini Jonggrang sempat terkecoh. Da-
lam beberapa gerakan lawan, bisa dikenalinya gaya ta-
rung Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Keraguan mendatangi perempuan tua sesat itu
begitu jurus si pemuda berubah gaya kembali. Nini
Jonggrang jadi kurang yakin apakah lawan bau ken-
curnya mempergunakan jurus-jurus milik Dedengkot
Sinting Kepala Gundul atau bukan.
"Bangsat, aku tahu dia murid si Truna. Tapi,
kenapa gaya jurusnya jauh begitu asing buatku" Sia-
lan!" gumam si Perempuan Pengumpul Bangkai, meru-
tuk. (Seperti diketahui, Nini Jonggrang memang me-
nyebut Dedengkot Sinting Kepala Gundul dengan Tru-
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
na - nama mudanya. Lihat kembali episode sebelum-
nya : "Iblis Dari Neraka'!).
Selagi si Perempuan Pengumpul Bangkai berce-
loteh sendiri, lawan mudanya merangsak seperti singa
jantan luka. "Huiiii-aiiiiiiii!"
Masih tetap duduk bersila di atas pucuk sehelai
daun tetumbangan pohon, Nini Jonggrang berniat
memamerkan kembali tingkat tenaga dalamnya. Bagi
orang yang memiliki nama besar seperti dia, pamer ke-
saktian memberikan kepuasan tersendiri. Seakan dia
sanggup membuktikan pada dunia dari seisinya bahwa
dirinya adalah tokoh nomor satu di atas jagat!
Begitu terjangan tubuh lawan tiba, Nini
Jonggrang melepas teriakan seperti sebelumnya.
"Heaaaaa!"
Glar! Tercipta ledakan keras di udara. Tenaga dalam
yang dilepas oleh Nini Jonggrang melalui suara ber-
tumbukan hebat dengan tenaga sakti Satria Gendeng.
Sekejapan gerak terjangan pemuda itu seperti tersen-
tak. Di luar dugaan si Perempuan Pengumpul
Bangkai, bentrokan tenaga dalam tingkat amat tinggi
tadi tak sanggup memenggal gerak terjangan lawan-
nya. Sementara untuk menghindar, tak ada kesempa-
tan lagi. Jarak antara keduanya sudah terlampau de-
kat. Dash! Seketika itu juga, tubuh Nini Jonggrang me-
layang deras ke belakang. Setelah sebelumnya satu
tinju geledek Satria Gendeng bersarang di dadanya.
Tak tanggung-tanggung, tubuhnya melayang sejauh
dua puluh tombak!
Di hamparan rumput, Nini Jonggrang jatuh te-
lentang. "Bangsat," keluhnya sambil memegangi dada.
Dia berusaha bangkit meski teramat sulit. Bagian da-
lam dadanya seperti digumpali bara. Panas. Menyen-
gat-nyengat. Sesaknya pun seperti hendak memutus
aliran napas. Selagi berusaha bangkit, nenek tua aliran sesat
itu memuntahkan darah kehitaman.
"Tak mungkin," desisnya gontai. Sama sekali
tak dipercayai kejadian yang dialaminya. Sekali lagi,
dia kenal betul dengan Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul. Kedigdayaan tua bangka bertabiat sinting-
sintingan itu pun masih bisa diukurnya. Jika gurunya
saja sanggup diukur, tentu muridnya akan lebih mu-
dah lagi. Namun yang dialami Nini Jonggrang sungguh
di luar perkiraan. Tenaga dalam lawan yang bau ken-
curnya mendadak berlipat entah berapa kali. Perem-
puan tua itu dapat menilainya beberapa saat terjadi
bentrokan tenaga dalam di udara. Kalau sekarang Nini
Jonggrang dipecundangi, bagaimana mungkin dia ma-
sih bisa percaya Satria Gendeng adalah murid De-
dengkot Sinting Kepala Gundul"
Tak menanti sampai Perempuan Pengumpul
Bangkai tegak berdiri, Satria Gendeng menggempur
lawannya untuk ke sekian kali. Nini Jonggrang harus
pontang-panting menghadapi gerak cepat dan tak tera-
tur. Serangan Satria Gendeng terkadang melambat se-
perti seorang kakek tua kekurangan makan. Terka-
dang segemulai seperti penari wanita.
Sesekali dia melompat-lompat, berjingkat-
jingkat mencoba membingungkan lawan. Atau berubah
menggebu. Pukulan dan tendangannya membabi-buta.
Saat serangannya cenderung bertumpu pada
jurus-jurus milik Dedengkot Sinting Kepala Gundul,
Nini Jonggrang sanggup meladeni dengan kedig-
dayaannya selaku tokoh kenamaan rimba persilatan
tanah Jawa. Begitupun saat serangan Satria Gendeng
bertumpu hanya pada jurus-jurus milik Tabib Sakti
Pulau Dedemit. Sewaktu Satria Gendeng membaurkan kedua-
nya, pertahanan Perempuan Pengumpul Bangkai mulai
kedodoran. Beberapa kali nenek tua sakti itu hampir
kecolongan. Lebih jauh lagi, posisinya bahkan didesak
habis-habisan oleh si pendekar muda. Satria Gendeng
memaksa perempuan tua yang punya pamor mena-
kutkan itu pontang-panting berkali-kali.
Jika saat itu ada beberapa orang persilatan,
tentu mata mereka akan terpentang lebar menyaksi-
kan kedahsyatan dan kehebatan tarung dua manusia
beda usia itu. Tidak disangsikan lagi, mereka akan terperangah takjub mengetahui
seorang pemuda kemarin
sore sanggup mendesak Perempuan Pengumpul Bang-
kai. Mungkin, sebagian di antara mereka tidak akan
mempercayainya.
Sayang, tak ada cukup saksi bagi dunia persila-
tan untuk kejadian yang menjadi salah satu langkah
awal kelahiran seorang pendekar muda kenamaan ta-
nah Jawa. Pendekar yang akan membuat kegoncangan
besar. Musuh yang paling ditakuti oleh kalangan sesat, Satria Gendeng!
Pada satu kesempatan, Satria Gendeng berhasil
meloloskan satu tamparan keras ke pipi lawannya. Ni-
ni Jonggrang terjajar beberapa tombak ke samping.
Badannya hampir saja terpeluntir, jika tidak segera
bertumpu dengan satu kaki.
Bagian wajah biasanya adalah satu sasaran
yang paling dilindungi oleh setiap warga persilatan.
Karena bagian itu dianggap sebagai bagian tubuh yang
dimuliakan. Menampar pipi bisa berarti menampar ke-
hormatan dan harga diri.
Bagi Nini Jonggrang, tak ada seorang pun per-
nah menempatkan tamparan ke pipinya selama pulu-
han tahun terakhir. Seperti belum ada seorang pun
yang berani menghinanya. Hari ini, matanya dipaksa
terbuka lebar-lebar. Seorang bocah kemarin sore telah
menampar pipinya dengan telak! Seorang bocah bau
kencur telah melabrak kehormatan dan harga dirinya!
Setelah berjumpalitan gesit beberapa kali
menghindari kucuran serangan Satria Gendeng yang
tak terputus. Perempuan Pengumpul Bangkai menca-
pai jarak aman. Dia berdiri terbungkuk.
Mengeram. Matanya menghujam tajam. Kemurkaannya
mulai tersulut. Bisa jadi, bagi beberapa kalangan akan sulit untuk memancing
kekalapan tokoh yang banyak
makan asam-garam seperti Nini Jonggrang. Dia bukan
tokoh yang gampang dipermainkan.
Setelah hampir tak pernah ada seorang pun
yang berhasil membuatnya kalap, kini tanpa disadari
dia siap menjadi gelap mata. Itu bisa berarti kerugian besar dalam satu
pertarungan. Apalagi pertarungan
maut. "Hmrrrhh!"
Menggeram lagi.
Sudut bibir yang terboreh darah terungkit, per-
tanda kebengisan yang buta siap termuntahkan. "Kau akan mampus hari ini juga di
tanganku, Bocah Keparat!!!" Seperti Satria Gendeng, Nini Jonggrang pun ketika
itu juga melupakan rencananya yang sudah demi-
kian matang disusun selama beberapa waktu sebe-
lumnya. Rencana yang dibuatnya bersama sekutunya,
Iblis Dari Neraka.
Semuanya jadi telanjur hancur karena kekala-
pan tolol. Tolol atau tidak, tampaknya Perempuan Pen-
gumpul Bangkai tak peduli lagi.
Jari tangannya bergetar di depan. Kuku tajam
kehitaman diperlihatkan. Perlahan, tangan keriput pe-
rempuan tua terkutuk itu mendekati bagian pinggang-
nya. Sebelum pertarungan meletus, Nini Jonggrang te-
lah mengikat Kail Naga Samudera di pinggangnya.
Senjata pusaka ampuh itu akan dipergunakannya un-
tuk menyingkirkan Satria Gendeng!
Tiba-tiba, wajah Nini Jonggrang berubah. Den-
gan mata mendelik, dia melihat pinggangnya. Kail Naga
Samudera sudah tak ada lagi!
Keparat busuk! Kutuknya dalam hati. Mungkin
ketika tubuhnya terlempar jauh akibat hantaman kuat
tenaga dalam Satria Gendeng, Kail Naga Samudera ter-
lepas! Nini Jonggrang menerka-nerka. Tahu kemung-
kinan tersebut yang paling mendekati, mata Nini
Jonggrang segera menerjang tempatnya terjatuh, men-
cari-cari. Menyaksikan gelagat lawannya. Satria Gendeng
pun turut mengikuti arah pandangan Nini Jonggrang.
Kail Naga Samudera ditemukan. Tergeletak te-
pat di tempat Nini Jonggrang terjatuh sebelumnya. Ja-
rak antara Kail Naga Samudera dengan Nini Jonggrang
ternyata tak berbeda jauh dengan jarak Satria Gen-
deng dengan senjata pusaka itu.
Mata keduanya berbentrokan.
Nyalang. Sama-sama bersiaga pada gerakan lawan seke-
cil apa pun. Keduanya harus menentukan, siapa yang lebih
cepat merebut Kail Naga Samudera. Siapa yang memi-
liki kecepatan lebih tinggi, akan mendapatkan senjata
pusaka itu. Samalah artinya bagi mereka untuk men-
gadu tingkat kemampuan peringan tubuh!
"Kau tak akan sanggup mengungguli tingkat
ilmu peringan tubuhku, Bocah Busuk," cemooh Nini
Jonggrang. Bibirnya menyeringai. Dia merasa Kail Na-
ga Samudera sudah berada dalam genggamannya. Dia
bahkan tak pernah percaya kalau si bocah kemarin
sore dapat mengungguli kecepatannya. Boleh saja dia
memiliki keistimewaan dengan menguasai tenaga da-
lam tingkat tinggi. Namun dengan usia seperti dia, tak mungkin untuk menguasai
banyak kesaktian sekaligus, nilai Nini Jonggrang.
Namun, penilaian Nini Jonggrang tetap harus
diuji. "Heaaa!"
"Haaaiiiii!!"
Sekedipan mata berbarengan keduanya meng-
genjot tubuh. Ilmu peringan tubuh dikerahkan tanpa
batas yang pasti, sejauh mereka bisa mengerahkan.
Tubuh keduanya berubah menjadi kelebatan bayan-
gan. Jarak terpangkas.
Dari dua arah berbeda.
Menuju satu titik pasti.
Tep! Dash! Nini Jonggrang membuktikan keunggulannya
dalam ilmu peringan tubuh. Tangannya berhasil lebih
cepat menjemput Kail Naga Samudera di tanah. Tapi,
dia melupakan satu hal. Satria Gendeng tidak pernah
terpikir untuk merebut Kail Naga Samudera. Kecamuk
kekalapannya hanya mengobarkan satu keinginan,
menumpas Nini Jonggrang, orang terkutuk yang telah
melukai kekasih tercintanya!
Kendati telah cepat bergerak, Satria Gendeng
berhasil memanfaatkan perhatian Nini Jonggrang yang
terpusat pada Kail Naga Samudera semata. Begitu tiba
di titik pertemuan, kakinya justru melepas tendangan
mendongkel yang menghantam telak-telak ulu hati la-
wan! Licikkah" Tidak. Karena semua itu tak pernah
terpikirkan oleh Satria Gendeng sendiri.
Bertepatan dengan tersambarnya Kail Naga
Samudera, tubuh Nini Jonggrang pun melayang deras
jauh ke belakang. Dia jatuh lebih jauh dari akibat hantaman lawan sebelumnya.
Menderita luka jauh lebih
parah pula, menyebabkan perempuan tua sesat itu
hampir kehilangan kesadaran!
DELAPAN "JANGAN coba berpikir macam-macam, Bocah
Keparat!" Sebelum Satria Gendeng bertindak lebih jauh
terhadap Nini Jonggrang, satu bentakan keras menjeg-
al. Mata si pendekar muda perkasa beralih. Disaksi-
kannya seorang yang tak asing lagi, Ki Ageng Sulut.
Dengan kedatangan orang tua sesat itu saja, Satria
Gendeng sudah cukup terkejut. Apalagi manakala dis-
aksikan Mayangseruni berada di bawah ancamannya.
Ki Ageng Sulut berdiri cukup jauh. Jaraknya
dengan Satria Gendeng sekitar dua puluh lima tom-
bak. Mayangseruni berdiri lunglai di depannya. Dari
cara berdiri dan paras wajahnya yang tak berdaya, Sa-
tria Gendeng menduga Mayangseruni dalam pengaruh
totokan Ki Ageng Sulut. Tangan Ki Ageng Sulut terlihat menggapit geram leher
gadis itu. Jari-jari tangan yang lain menjapit tenggorokan Mayangseruni.
Gelagatnya, Ki Ageng Sulut tak akan segan-segan memutuskan
tenggorokan sanderanya dengan japitan jari jika Satria Gendeng masih menggempur
Nini Jonggrang.
"Jika aku jadi kau, aku tak akan melanjutkan
serangan terhadap lawanmu itu!" sambung Ki Ageng
Sulut dengan pandangan dan paras mengancam.
"Karena aku dapat menjamin, kalau kau mene-
ruskan, tenggorokan gadis ini akan segera terkoyak
oleh jariku!"
Kendati kemarahan sudah demikian meluap-
luap hampir kehilangan kendali sama sekali, Satria
Gendeng cepat tersadar akan keselamatan nyawa
Mayangseruni. Sekuat-kuatnya ditekan kembali kema-
rahan itu sehingga kerongkongannya terasa demikian
sakit. "Kakek terkutuk...," sumpahnya mendesis.
Sesosok bayangan kemudian berkelebat sekitar
sepuluh tombak dari tempat Ki Ageng Sulut, berkawal
teriakan yang sudah cukup lama dikenal Satria Gen-
deng. "Jangan gegabah, Satria!"
Sekali lagi mata Satria Gendeng beralih. Dite-
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mukannya Ki Kusumo sudah hadir pula di sana.
"Kakek Kusumo," sambut Satria Gendeng, tak
jelas Satria Gendeng tak tahu, apakah dia harus me-
rasa gembira dengan kedatangan salah seorang gu-
runya itu. Dia bahkan tak begitu yakin Ki Kusumo bisa
membantunya kalau mengingat keadaan Mayangseru-
ni kini. Satu hal yang pasti, keberadaan Ki Kusumo - si Tabib Sakti Pulau
Dedemit - membuat ketegangan
pendekar muda itu sedikit mengendor. Kemarahannya
susut perlahan. Meski tak punah sama sekali.
Nini Jonggrang yang bangkit terseok kontan
memperlihatkan wajah senang. Sudut bibirnya yang
masih dilelehi darah kehitaman segera mengembang-
kan seringai. Sambil memegangi bagian ulu hatinya
yang mungkin mengalami luka dalam, perempuan tua
sesat itu berujar.
"Bagus, Sulut. Bagus! Otakmu rupanya masih
cukup encer untuk dipergunakan. Sialnya, kenapa ti-
dak sejak tadi kau datang, Kunyuk!"
"Aku hanya ingin mengetahui, apakah kekala-
han ku oleh bocah jahanam itu tempo hari dapat kau
cicipi juga. Nyatanya kau memang harus men...."
"Diam kau, Sulut! Aku tak meminta pendapat
memuakkan mu!" hardik Nini Jonggrang, terbatuk-
batuk. Akibat memaksakan diri untuk membentak, da-
rah kehitaman keluar kembali dari mulutnya.
"Sekarang kau yakin bahwa murid Truna me-
mang tidak bisa dibuat main-main, bukan" Atau kau
belum yakin sampai tendangannya menjebol dada ku-
rus mu"!" susul Ki Ageng Sulut tak puas.
"Kubilang diam kau!" Nini Jonggrang gusar. Ta-pi, dia tak sanggup berbuat apa-
apa kecuali mengum-
pat dari menghardik. Melakukan hal itu saja sudah
membuat dia terbatuk-batuk darah.
"Lepaskan dia, Ki Ageng Sulut!" seru Satria
Gendeng, memutuskan perang mulut tua bangka sesat
itu; "Lepaskan?" Ki Ageng Sulut menyeringai. Dili-riknya Nini Jonggrang. "Bagaimana
Jonggrang" Anak bau kencur ini meminta ku melepaskan sandera" Me-nurutmu
bagaimana?"
"Kau jangan banyak mulut, Sulut! Kau tahu
jawabannya!"
Ki Ageng Sulut menatap Satria Gendeng. Lalu
beralih kepada Ki Kusumo yang berusaha untuk men-
curi-curi kesempatan merebut Mayangseruni dari tan-
gan Ki Ageng Sulut. Sampai saat itu, Ki Ageng Sulut
tampaknya tak pernah lengah.
"Kau jangan coba-coba berpikir untuk berbuat
macam-macam, Kusumo!" ancam Ki Ageng Sulut. "Kau dan muridmu itu harus mendengar
apa kataku dan menurut. Jika tidak, kau tentu akan menyaksikan ba-
gaimana darah mengucur deras dari leher mulus gadis
ayu ini. Kau tentu tak sudi menyaksikan itu, bukan?"
Ki Kusumo cuma bisa menghela napas, mengi-
kat kegusarannya. Sama dengan Satria Gendeng, posi-
sinya pun sedang terjepit dengan disanderanya
Mayangseruni. Untuk memancing kelengahan, Ki Kusumo
mencoba membuat Ki Ageng Sulut gusar.
"Aku tak bisa percaya. Dua tokoh besar kena-
maan seperti kalian hari ini harus menghadapi kenya-
taan bahwa kalian hanya memiliki nyali seekor kodok
buduk! Kendati julukan kalian besar, kalian tak memi-
liki harga diri!"
"Kau pun diam, Kusumo! Aku tak punya waktu
untuk mendengarkan khotbahmu!" sergah Nini
Jonggrang. Ki Kusumo cuma bisa mengangkat bahu perla-
han. Tampaknya dia tadi tak menyadari kalau nama
besar tak menjamin bisa merubah sifat seseorang. Jika
dasarnya memang sudah busuk, tetap akan busuk.
Seekor monyet tak akan bisa berubah menjadi peri
hanya karena mendapat mahkota! Apalagi nama besar
Iblis Dari Neraka dan Perempuan Pengumpul Bangkai
dibangun dengan cara-cara iblis. Kelicikan adalah sa-
lah satunya. Dan kapankah kelicikan memandang si-
kap tak satria atau harga diri"
"Sekarang, dengarkan aku!" mulai Nini
Jonggrang kembali "Pergilah kau dari tempat ini, Kusumo! Jangan coba-coba
memunculkan batang hidung
sedikit pun pada kami. Karena jika kau melakukan-
nya, Sulut tak akan segan-segan membunuh perawan
di tangannya. Katakan pada si Truna, bahwa murid
kesayangannya akan merasakan siksaan yang kuteri-
ma di Goa Sewu!"
(Pada episode "Iblis Dan Neraka", dijelaskan bahwa Nini Jonggrang menerima
hukuman dari Pertapa Sakti Gunung Sewu, gurunya, karena perbuatan
sesat yang telah dilakukan. Dedengkot Sinting Kepala
Gundul (Truna) sebagai saudara kembarnya waktu itu,
telah menggiringnya untuk menerima hukuman terse-
but. Sampai kini, Nini Jonggrang menyimpan dendam
pada Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Untuk mem-
balas secara langsung, Nini Jonggrang tak cukup
mampu, karena masih tetap memendam rasa cinta pa-
da bekas saudara seperguruannya itu).
*** Hari menjelang pagi.
Matahari bertamu kembali di angkasa daerah
Tanjung Karangbolong. Sentuhan sinarnya sampai di
batas-batas ombak. Segerombolan burung camar me-
mekik-mekik menyambut kedatangan hari baru.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tak bisa me-
lanjutkan tidurnya yang terpotong semalam, sejak ke-
datangan seseorang bercaping tak dikenal. Yang dila-
kukannya kini malah duduk terbengong-bengong.
Tangannya bertopang dagu. Wajahnya kusut, sekusut
kerutan keningnya.
"Aduh, Eyang Guru. Ampuni aku. Mataku be-
nar-benar buta semalam. Eyang Guru...."
Seperti orang mengigau, sesepuh persilatan ta-
nah Jawa itu bergumam sendiri. Mata kelabunya terle-
pas kosong ke satu arah. Hampir-hampir tak pernah
berkedip. "Kenapa aku jadi begitu tolol" Kenapa aku jadi
begitu tolol, Eyang Guru?"
Berkali-kali sudah keluar ucapan 'Eyang Guru'
dari mulutnya. Seluruh gumamannya jelas berkaitan
erat dengan peristiwa semalam. Kalau sekarang dia le-
bih banyak mengucapkan kata itu, tentu pula ada se-
babnya. Bagi Dongdongka alias Truna alias Dedengkot
Sinting Kepala Gundul, penyebabnya sudah jelas. Kuat
keyakinan Dongdongka, bahwa lelaki semalam adalah
Pertapa Sakti Gunung Sewu, eyang gurunya sendiri.
Terbayang-bayang kembali dalam otak tua yang
nyaris tumpul milik Dongdongka, wajah Pertapa Sakti
Gunung Sewu yang telah berpuluh tahun tak dijum-
painya. Seorang yang dari waktu ke waktu tak pernah
mengalami ketuaan pada wajahnya. Tampan dan ber-
sih, dengan binar mata jenaka seorang bocah polos.
Ada juga kesan kebodoh-bodohan pada garis-garis wa-
jahnya. Rambutnya panjang. Hitam, terawat, dan ter-
gerai. Mengenakan kain pengikat berwarna ungu, me-
nutupi separuh kepala bagian atasnya. Mengenakan
pakaian sederhana berwarna serupa dengan pengikat
kepala. Kendati sederhana, namun licin sekaligus ber-
sih. Pada kain ikat pinggang berwarna merah, terselip
satu helai bulu rajawali sepanjang dua jengkal.
Dan di luar pengetahuan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul sendiri, Pertapa Sakti Gunung Sewu
seperti yang terngiang-ngiang di kepalanya telah ber-
temu pula dengan Ki Ageng Sulut dan Ki Kusumo di
Wadaslintang. Padahal, ketika Pertapa Sakti Gunung
Sewu mengunjungi Dongdongka, bertepatan waktunya
dengan kehadirannya di Wadaslintang. Tentu saja hal
itu karena satu ajian yang telah diwariskan kepada
Dongdongka, ajian 'Melepas Sukma'!
"Eyang Guru!!"
Dongdongka berteriak. Dia sedang sebal seten-
gah modar pada dirinya. Sebal karena tak sempat me-
nyadari kunjungan gurunya. Pada usia setua dia, mes-
tinya dia memiliki penilaian yang lebih cermat. Tidak
main bentak sana bentak sini pada orang yang telah
mengganggu tidur malamnya. Sekarang, kalau orang
yang dibentak-betak semalam adalah eyang gurunya
sendiri, baru dia tahu rasa!
Dongdongka bangkit. Dia mondar-mandir di
atas pasir. Kedua tangannya tak pernah berhenti ber-
gerak, mengiringi sumpah serapah tak putus-putus,
mengutuki diri sendiri.
Tak puas sampai di situ, Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul pun membentur-benturkan kepalanya
dengan dahan pohon kelapa. Maksudnya mau meng-
hukum diri. Sayangnya, batok kepala manusia karatan
itu ternyata jauh lebih keras dari dahan kelapa. Wal-
hasil, justru batang kelapa jadi mencekung dalam. Be-
berapa butir kelapa sempat jatuh karena getaran he-
bat. Salah satunya menimpa kepala klimis Dongdong-
ka. Orang tua bertabiat sinting-sintingan itu berharap kepalanya akan pecah
terbelah dua. Sayangnya lagi,
buah kelapa itu yang malah hancur berantakan.
Tak terasa, sudah dua puluh lima batang po-
hon kelapa menjadi korban!
Sampai uring-uringan Dongdongka terhenti
mendadak ketika matanya menyaksikan seseorang te-
lah duduk membelakangi di bawah pohon terakhir
yang sedang ditandukinya. Seorang yang semalam
mengunjunginya, sekaligus menggangu tidurnya.
Mata si tua sinting itu mendadak berbinar-
binar. Cerah bak mentari pagi yang terus menanjak.
"Eyang. Guru!"
Cepat-cepat Dongdongka berlari ke hadapan
orang yang ternyata Pertapa Sakti Gunung Sewu.
Orang tua sakti yang usianya amat jauh di atas Dong-
dongka namun tetap awet muda itu sedang santai ber-
kipas-kipas dengan capingnya.
Di depan Pertapa Sakti Gunung Sewu, Dong-
dongka bersujud sambil menangis meraung-raung. Se-
perti gadis kembang desa yang hendak dijodohkan
dengan buto ijo! Sedikit pun dia tak berani mengang-
kat wajah. Tak peduli pasir pantai tertelan ke dalam
mulut. "Whuaaa whuaa ihik, ampun Eyang Guru! Se-
malam aku benar-benar tak tahu diri. Betapa keterla-
luannya aku, ya" Masa Guru sendiri sampai tak dike-
nali. Huaaa hik hik!"
"Jangan seperti anak kecil Truna." Suara eyang gurunya sudah berpindah di
belakang Dedengkot Sinting Kepala Gundul segera mendongakkan kepala. Guru
besarnya memang sudah tak ada lagi di depannya.
Ketika Dongdongka menoleh, disaksikan Perta-
pa Sakti Gunung Sewu sudah duduk. Persis di depan
pantatnya! Kontan mata Dongdongka mendelik nyaris
melompat keluar. Wajah orang tua yang sudah diang-
gap sesepuh di antara sesepuh persilatan tanah Jawa
itu jadi sepucat bangkai. Kualat benar dia! Masa' guru dipantati"
Buru-buru dia membalikkan posisi sujudnya.
Raungnya tambah menjadi-jadi, merasa dosanya su-
dah bertambah lagi
"Ampooooon, benar-benar ampooooon, Eyang
Guru. Huaa whuaa aung aung!"
"Sudan kukatakan, jangan bersikap seperti
anak kecil seperti itu, Truna!"
Terdengar lagi suara jernih seperti milik bocah.
Dan suara Pertapa Sakti Gunung Sewu sudah pindah
kembali ke belakang Dongdongka.
Astaga! Dongdongka terkesiap untuk yang ke-
sekian kalinya. Pasti dia sudah memantati kembali
eyang gurunya. Tanpa banyak pikir ini itu langsung
saja si orang tua sinting membalikkan posisi sujudnya.
Ada yang tersentuh hidung Dongdongka. Sepasang ka-
ki orang berdiri.
Pasti kaki Eyang Guru, pikir Dongdongka. Tak
ayal lagi, Dongdongka segera menciumi kaki itu bertu-
bi-tubi. Raungnya tak pernah mau dihentikan! Pan-
tang! Sampai raungan Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul harus direm mendadak ketika mendengar suara
orang yang diciumi kakinya berbeda dengan suara Per-
tama Sakti Gunung Sewu.
"Orang tua, orang tua! Apa yang terjadi pada di-
rimu?" Dongdongka mendongak dengan wajah melom-
pong. Kaki yang diciuminya dengan kelewat khidmat
ternyata milik seorang penduduk desa yang kebetulan
melewati tempat itu! Seorang lelaki dekil yang biasa
memetik buah kelapa untuk dijual ke kotapraja!
Minta ampun! Pantas kakinya bau kotoran ker-
bau! rutuk Dedengkot Sinting Kepala Gundul geram.
Rasanya dia ingin menghajar congor lelaki desa yang
maju karena terheran-heran itu!
Tanpa mempedulikan lelaki desa yang masih
saja 'pelanga-pelongo', Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul mencari-cari ke mana eyang gurunya pergi. Nah itu
dia, sedang berjalan santai menuju selatan!
Buru-buru Dedengkot Sinting Kepala Gundul
mengejar. "Tak perlu kau bersujud lagi padaku, Truna!"
cegah Pertapa Sakti Gunung Sewu, menahan Dong-
dongka yang hendak memulai sembah sujud 'setengah
miring'nya. "Kenapa, Eyang Guru" Kenapa" Aku memang
bersalah semalam dan hari ini. Tapi, janganlah kau
menghukum aku dengan tidak menganggap aku mu-
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ridmu lagi. Jangan, ya Eyang Guru?" tanya Dongdong-ka, mendayu-dayu sambil
berjalan membungkuk-
bungkuk di belakang Pertapa Sakti Gunung Sewu.
"Bukan begitu. Sejak aku memutuskan untuk
turun gunung, aku telah menyadari sesuatu. Manusia
tak bisa menyembah manusia lain. Kendati gurumu,
jangan jadikan aku seperti Dewa. Aku tetap manusia
biasa...."
Dongdongka manggut-manggut. Raungannya
sudah aman. Matanya bahkan sudah kering. Atau,
memang begitu caranya menangis" Tak pernah keluar
airmata" "Syukurlah kalau ternyata Eyang Guru tak
menghukum aku. Syukur... syukur. Lalu, kenapa
Eyang Guru memutuskan untuk turun gunung seka-
rang ini?"
Pertapa Sakti Gunung Sewu terus melangkah.
"Ada beberapa hal yang harus segera kubenahi
sebelum aku mati."
"Aaa, Eyang Guru jangan mati dulu! Aku saja
muridmu tak pernah-pernah kesampaian...."
"Dengarkan aku dulu, Truna."
"Oh, iya iya."
"Aku turun gunung karena dua hal penting,"
mulai Pertapa Sakti Gunung Sewu kembali. "Pertama, karena aku ingin berguru
dengan seseorang...."
Dongdongka melongo. Eyang gurunya hendak
berguru lagi" Apa-apaan ini" Manusia sesakti dia mes-
tinya tak perlu banyak berguru lagi! Dongdongka sen-
diri sudah bosan menambah kesaktian! Ini jadi terden-
gar aneh bin ganjil bin ajaib bin Saimin!
"Berguru, Eyang?"
"Ya. Kudengar, ada seseorang yang begitu mulia
di Bintoro Demak."
"Siapa orang itu, Eyang. Dan apa yang ingin
Eyang pelajari dari orang itu?"
"Aku tak begitu jelas dengan namanya. Menu-
rut wangsit yang kuterima, orang itu adalah salah seo-
rang yang amat dekat dengan Sultan Demak. Pada be-
liau, aku ingin berguru ilmu 'Makrifat'."
"Ilmu 'Makrifat', Eyang?"
"Ilmu yang tak akan didapat kecuali dengan
mencapai pengenalan diri secara menyeluruh dan
mengenal Tuhan...."
Dongdongka menggeleng-geleng. Kepalanya
pusing tujuh keliling. Dia tak mengerti.
"Lalu bagaimana dengan tujuan kedua Eyang
turun gunung?" tanyanya.
"Tentang Jonggrang."
Jonggrang lagi, rutuk Dongdongka. Selalu saja
perempuan jelek itu bikin perkara.
"Jonggrang telah menganut ilmu sesat. Ilmu se-
sat itu didapatnya dari salah seorang perempuan mu-
suh lamaku yang telah mati. Kematiannya, tidak me-
nyertakan kematian ilmunya. Sebagian ilmu sesatnya
telah diturunkan kepada Jonggrang. Namun ada inti-
inti ilmu iblisnya yang akan dititiskan langsung pada
Jonggrang. Untuk itu, dia harus menanti agar
Jonggrang berusia lebih dari seratus lima puluh ta-
hun...." "Aku tak tahu berapa usia Jonggrang, Eyang..
Usiaku saja aku tak tahu jelas."
"Besok malam, menurut penglihatan mata ba-
tinku, Jonggrang akan dititisi inti ilmu sesat gurunya.
Aku berpesan padamu, cegahlah dia. Jangan sampai
dia menerima inti ilmu sesat itu."
"Caranya, Eyang?"
"Temukan dalam diri muridmu!"
Dongdongka garuk-garuk kepala. Apa hubun-
gannya Satria Gendeng dengan semua ini" Apa mak-
sud perkataan terakhir Eyang Guru. Dongdongka baru
hendak membuka mulut menanyakan hal itu. Tapi,
Pertapa Sakti Gunung Sewu sudah tak tampak lagi.
Semenjak kepergian gurunya, Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul terus terombang-ambing kebingun-
gan memikirkan pesan terakhir Pertapa Sakti Gunung
Sewu. Otaknya memang agak telat mikir selama dia
begitu merindukan kematian. Barangkali juga memang
sudah dari sananya
"Kenapa Eyang Guru jadi menghubung-
hubungkan penitisan ilmu sesat si Jonggrang dengan
Satria. Apa urusannya dengan murid gendengku itu"
Apa jangan-jangan aku salah dengar atau bagaimana"
Ah, perasaan kupingku masih waras-waras saja sam-
pai sekarang...."
Sudah berkali-kali Dedengkot Sinting Kepala
Gundul menggaruk-garuk kepala. Berkali-kali. Bosan
menggaruk-garuk kepala, dia meneruskan dengan
menggaruk-garuk dengkul, lalu perut, lalu pantat. Tak
sekalian saja.... Sepanjang siang itu, terus saja dia
ngalor-ngidul di pantai. Ke sini salah. Ke sana salah.
Tak ke mana-mana, juga salah. Gubuk sebagai tempat
yang begitu nyaman bagi orang bosan hidup macam
dia, jadi terasa membuat gerah dirinya saja.
Sementara terus kebingungan, waktu mengen-
dap-endap tak tertahan. Bodoh benar Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul kalau dia terus saja kebingungan.
Jika malam menjelang dan dia masih tetap begitu, pe-
san gurunya untuk mencegah Nini Jonggrang meneri-
ma penitisan inti ilmu hitam, bakalan tak terlaksana.
Pikir punya pikir, akhirnya Dedengkot Sinting
Kepala Gundul memutuskan untuk segera menyusul
Satria Gendeng ke Gunung Sumbing.
Gunung Sumbing" Tepatkah tempat yang hen-
dak dituju sang sesepuh persilatan tanah Jawa satu
ini" SEMBILAN GUNUNG Sewu. Di sebelah tenggara gunung itu
terdapat goa besar tempat dahulu Nini Jonggrang men-
jalani hukuman dari gurunya, Pertapa Sakti Gunung
Sewu. Malam telah bertandang kembali, entah untuk
yang keberapa kali selama usia bumi. Bulan sabit me-
nyipit di antara kepungan awan kelabu. Seperti pesan
Pertapa Sakti Gunung Sewu, malam itulah Nini
Jonggrang akan menerima penitisan inti ilmu sesat da-
ri mendiang gurunya!
Satria Gendeng digiring ke sana oleh Ki Ageng
Sulut dan Nini Jonggrang. Sesuai dengan keinginan si
perempuan tua sesat, Satria Gendeng akan menjadi
pelampiasan dendam buta yang sejak lama dipendam-
nya. Goa Gunung Sewu sengaja dipilih karena Nini
Jonggrang menginginkan penderitaan yang tahu nanti
akan diterima murid Dongdongka itu seperti penderi-
taan yang dulu diterimanya dalam Goa Sewu.
Dan tampaknya, Nini Jonggrang telah lebih da-
hulu mengetahui daripada Dongdongka bahwa Pertapa
Sakti Gunung Sewu telah meninggalkan tempat. perta-
panya itu. Karenanya, tua bangka ahli tenung itu be-
rani mendatangi Goa Sewu.
Mayangseruni masih dalam genggaman Ki
Ageng Sulut. Dia masih dalam pengaruh totokan. Tu-
buhnya yang lemah lunglai dibopong oleh Ki Ageng Su-
lut hingga ke Goa Sewu. Sementara Tresnasari dibo-
pong oleh Nini Jonggrang. Gadis yang mengalami luka
dalam cukup parah akibat hantaman Nini Jonggrang
masih tak sadarkan diri.
Sebelum berangkat ke Goa Sewu, Nini
Jonggrang sempat mengobati luka dalamnya. Satria
Gendeng tidak dapat berbuat banyak, kecuali menyak-
sikan saja Nini Jonggrang bersemadi mengatur pereda-
ran hawa murni dalam tubuhnya. Jika macam-macam,
tangan kejam Ki Ageng Sulut akan memagut lepas
nyawa Mayangseruni.
Sementara itu, Ki Kusumo pun tak punya pili-
han lain kecuali menuruti perintah si Perempuan Pen-
gumpul Bangkai untuk segera meninggalkan Wadaslin-
tang. Namun, dia tak begitu bodoh untuk benar-benar
menyingkir. Dari jarak yang dianggap cukup aman, Ki
Kusumo bersembunyi dan menguntit hati-hati perjala-
nan mereka ke Goa Sewu.
"Sekarang, aku tidak peduli lagi pada sumpah-
ku padamu, Bocah Busuk. Kau yang telah membuat
aku menjadi marah besar! Sekarang, kau harus mene-
rima pengaruh tenung ku tanpa bisa membebaskan
kekasihmu dari tanganku! Biar kau tahu rasa! Biar
kau tahu, Perempuan Pengumpul Bangkai tak bisa
kau buat main-main!" mulai Nini Jonggrang seraya
menurunkan tubuh Tresnasari kasar ke tanah. Ketika
itu, mereka sudah tiba di mulut Goa Sewu, Nini
Jonggrang berdiri persis di depan goa. Satria Gendeng
berdiri berhadapan dengannya dalam jarak lima tom-
bak. Sementara Ki Ageng Sulut di belakang Satria
Gendeng, setiap saat siap untuk membunuh sande-
ranya. "Sulut! Hancurkan leher gadis itu sehancur-hancurnya kalau Bocah Jahanam
ini hendak macam-
macam!" lanjutnya seraya melepas pandangan kepada Ki Ageng Sulut.
Ki Ageng Sulut hanya mengangguk sekali. Tak
perlu diperintah pun, dia sudah sangat paham apa
yang mesti dilakukannya.
"Nah, Bocah Jahanam. Bersiaplah!" tukas Nini Jonggrang disusul tawa terkikiknya
yang mencelat masuk ke dalam goa, melahirkan gema yang bersahutan
dan kian menjauh.
Satria Gendeng tegang.
Sekujur dirinya seperti direjang dari dalam. Tak
mungkin lagi baginya menjalankan siasat yang sebe-
lumnya terpikirkan. Tak mungkin lagi baginya menge-
rahkan ajian 'Melepas Sukma' untuk mengecoh tenung
si Perempuan Pengumpul Bangkai. Tak mungkin.
Tegang menanjak.
Nini Jonggrang memekik. Mengangkat tangan-
nya tinggi-tinggi ke angkasa. Siap membangun kembali
upacara penuh hawa magis dari dasar alam kegelapan.
Menggidikkan. Mencabik nyali.
Ki Kusumo yang menanti di balik satu pohon
besar di kejauhan pun tak urung terbawa suasana
yang terus mencekam keras-keras. Harus ada yang di-
perbuatnya, jika tidak muridnya akan menjadi mangsa
tenung Nini Jonggrang.
Tapi, apa yang bisa dilakukan" Sementara Ki
Ageng Sulut seperti menggenggam nyawa Mayangseru-
ni dalam telapak tangannya. Mungkinkah dia terpaksa
harus membokong" Apakah nanti tindakan itu tak
membahayakan nyawa Mayangseruni! Bedebah!
Ki Kusumo meremas geram telapak tangan. Be-
tapa bencinya dia dalam keadaan tak berdaya seperti
itu. Seperti tak berdayanya Satria Gendeng.
Dalam keadaan genting layaknya telur di ujung
tanduk, mendadak saja....
"Heaaa!!!"
Clep! "Aaaa!"
Satria Gendeng terkejut. Ki Ageng Sulut terke-
jut. Juga Ki Kusumo di kejauhan sana. Hanya Nini
Jonggrang yang tidak. Lebih dari itu, si Perempuan
Pengumpul Bangkai justru disengat rasa sakit teramat
sangat di bagian pahanya. Karenanya dia melengking-
kan teriakan di luar mantera-manteranya yang seketi-
ka terpancung. Tresnasari, gadis yang sejak lama seperti tak
sadarkan diri itu mendadak menghujamkan sepasang
belati kecil dari balik bajunya ke paha kiri dan kanan Perempuan Pengumpul
Bangkai. Belati yang telah la-ma tak digunakan. Senjata kecil yang sering
dipergu- nakannya ketika masih bersama Nyai Cemarawangi!
Senjata yang begitu dikenali Satria Gendeng sejak da-
hulu. Tak disadari seorang pun, rupanya gadis itu te-
lah siuman sejak lama di Wadaslintang. Ketika itu, la-
mat dia mendengar kedatangan Ki Ageng Sulut dan Ki
Kusumo. Mendengar Mayangseruni disandera oleh Ki
Ageng Sulut, Tresnasari memutuskan untuk tetap ber-
pura-pura pingsan. Jika ada kesempatan, dia akan
bertindak tanpa diduga-duga. Hanya itu yang dapat
membebaskan Mayangseruni. Hanya tindakan cepat
yang tak terduga!
Tanpa memberi kesempatan bagi Nini
Jonggrang untuk menyadari apa yang terjadi, Tresna-
sari mencabut belati dari paha mangsanya
Bres! Dengan lincah bagai seekor anak kera, tubuh-
nya berguling beberapa tombak, lantas mencelat ke
atas. Di udara, tangannya berkelebat lagi, melempar-
kan sepasang belati bermandi darah ke arah Ki Ageng
Sulut. Sejak lama, Satria mengenal Tresnasari sebagai
ahli pelempar belati. Sasarannya jarang sekali luput.
Bahkan dia sanggup membelah dua batang bambu se-
besar kelingking dengan lemparan belatinya. Jika bela-
tinya kali ini mengarah ke sepasang mata Ki Ageng Su-
lut, tak diragukan lagi benda tajam itu akan mengarah
tepat menuju sasaran, kendati begitu, adalah tindakan
berani dilakukan Tresnasari. Sebab jika keliru mem-
buat perhitungan, justru Mayangseruni yang menjadi
korban! Tindakan tak terduga-duga Tresnasari mem-
buat Ki Ageng Sulut sempat tercengang. Untuk seper-
sekian kejap mata, dia jadi melupakan sanderanya
sendiri. Begitu menyadari ada sepasang benda tajam
melesat menuju kepalanya, Ki Ageng Sulut menjadi
terkesiap. Secara tak sengaja, dia melepaskan Mayang-
seruni untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari ter-
kaman sepasang belati Tresnasari.
Mayangseruni terlempar.
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tubuhnya berguling di tanah menurun.
Saatnya bagi Satria Gendeng untuk bertindak!
Wrrr! Sekali sentak, tubuh Satria Gendeng melayang
cepat menyusul Mayangseruni.
Nini Jonggrang tak bisa membiarkan begitu sa-
ja. Rasa sakit di pahanya telah sanggup dikuasai. Per-
hatiannya kini bisa dipusatkan kembali ke arah kan-
cah kekacauan. Kekacauan memang telah berlangsung
demikian cepat. Tak meleset perhitungan Tresnasari.
Tindakan cepat tak terduga seperti rencananya, telah
memporak-porandakan kemenangan sementara si Pe-
rempuan Pengumpul Bangkai dan Iblis Dari Neraka!
Nini Jonggrang berteriak bagai auman singa be-
tina tua. "Khuuaaaa!"
Wikh wiikh wikh wiikh!
Dengan nekat dan amat menggidikkan bagi sia-
pa pun yang menyaksikannya, Nini Jonggrang melepas
lima kuku jari tangan kanannya dengan sengaja. Sen-
takan tenaga dalam yang disalurkan kelewat batas
menyebabkan kelima jari hitam itu meluncur bagai tar-
ing-taring setan terbang!
Lompatan Satria Gendeng dikejarnya.
Bengis! Sepanjang lintasan kelima kuku hitam itu, uda-
ra menjadi terbakar. Asap tipis membentang panjang.
Deras. "Satria awas!!!"
Sekelebatan bayangan meluruk tak kalah cepat
dengan lesatan lima kuku jari maut milik Perempuan
Pengumpul Bangkai. Kelebatan yang memapas lang-
sung lintasan kuku-kuku itu. Bagai halilintar me-
mangkas angin ribut!
Hanya tinggal berjarak satu jari dari bokong Sa-
tria Gendeng yang tak menyadari datangnya bahaya
maut, kelima kuku itu berpentalan ke segala arah, di-
papas oleh dua batang logam.
Tring tring! Lalu, kelebatan bayangan itu menukik turun.
Berdiri di tengah-tengah kekacauan tepat di be-
lakang Tresnasari. Orang itu tentu saja Ki Kusumo,
Tabib Sakti Pulau Dedemit!
Tampaknya kekacauan akan segera berubah
menjadi adu kedigdayaan maut antara dua aliran ber-
seteru. *** Dengan mengandalkan pengerahan segenap il-
mu meringankan tubuhnya, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul memang tiba sebelum malam di tempat tu-
juan. Namun di sana, dia cuma bisa meneruskan kerja
menggaruk-garuk. Tak ditemukan siapa-siapa di sana.
Masalahnya memang bukan karena 'tak bisa' mene-
mukan, melainkan 'tak mungkin' menemukan. Mana
mungkin dia menemukan muridnya atau Nini
Jonggrang di sana, sementara mereka sedang berada
di Gunung Sewu"
Seluruh bagian gunung sudah dicarinya.
Puncak sudah. Lereng juga. Kaki gunung pun tak lupa.
Kalau gunung punya ketiak dan selangkangan,
pasti disatroni sekalian. Namun sampai Dedengkot
Sinting Kepala Gundul mengobrak-abrik 'sarang' Nini
Jonggrang di jurang Gunung Sumbing, tetap tak dite-
mukan orang-orang yang dicarinya.
Waktu tak pernah istirahat. Gerbang malam
makin dekat untuk terlewat. Senja sudah memiliki
warna jingganya. Makin dekat saja saat di mana Nini
Jonggrang menjelma menjadi iblis perempuan. Jika
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terlambat, bisa saja
malam nanti menjadi malam petaka!
Setelah agak senewen mencari, barulah tua
bangka itu mulai menyadari sesuatu.
"Eh, slompret! Aku ingat sekarang. Dulu, si
Jonggrang mengancam muridku. Dia ingin melam-
piaskan dendam ku melalui diri Cah Gendeng itu.
Jonggrang Jelek dendam padaku karena aku yang
memaksanya pulang ke Gunung Sewu. Di sana dia
mendapat hukuman. Kalau begitu, bukan tak mungkin
Jonggrang Jelek ingin melampiaskan dendamnya di
tempat yang sama sewaktu dia mendapat hukuman!"
gumam Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Iya ya!" tukasnya seraya meninju jidat sendiri.
"Kenapa aku jadi begitu tolol. Pasti Jonggrang
Jelek telah membawa muridku ke sana! Pasti, tahu!"
Karena waktu sudah sangat mendesak. De-
dengkot Sinting Kepala Gundul langsung menggenjot
kembali ilmu meringankan tubuhnya menuju Gunung
Sewu. SEPULUH PERTARUNGAN di depan mulut Goa Sewu tak
dapat terelakkan lagi. Keadaan telah berubah sama
sekali dari sebelumnya. Satria Gendeng, Ki Kusumo
dan dua gadis bersaudara kembar yang bersama me-
reka tak lagi dalam keadaan terjepit. Mayangseruni te-
lah bebas dari sandera Ki Ageng Sulut. Gadis itu kini
telah dibebaskan dari pengaruh totokan oleh Satria
Gendeng. Di bawah satu batang pohon besar yang cu-
kup jauh dari mulut goa, dia hanya menjadi penonton
tunggal dua kancah pertarungan sengit.
Satu kancah, Satria Gendeng bertukar jurus-
jurus maut dengan si Perempuan Pengumpul Bangkai.
Lain kancah, Ki Ageng Sulut menghadapi Ki Kusumo.
Biarpun pada pertarungan terakhir dengan lawannya
tabib kenamaan tanah Jawa itu kehilangan sepasang
kaki, tak tampak kegentaran pada dirinya. Ki Kusumo
sadar, kemungkinan menelan kekalahan yang lebih
parah bisa saja menimpanya kembali mengingat Iblis
Dari Neraka tetap berada beberapa tingkat di atasnya.
Namun, ada sedikit keyakinan dalam diri Ki Kusumo,
bahwa penyakit yang diderita Ki Agung Sulut kemung-
kinan besar pun menjadi kunci kemenangannya.
"Jika kudapatkan, kau tak akan kuampuni,
Murid Murtad!" seru Nini Jonggrang yang kini dalam gempuran habis-habisan si
pendekar muda. Benar-benar Perempuan Pengumpul Bangkai dibuat kalap
oleh muridnya. Karena ulah muridnya itu, niat untuk
menguasai Satria Gendeng di bawah tenung sesatnya
menjadi hancur berantakan.
Semua itu terjadi karena Nini Jonggrang telah
keliru menilai kemampuan murid perempuannya. Se-
lama menjadi murid Perempuan Pengumpul Bangkai,
Tresnasari diam-diam mencuri-curi beberapa ilmu ke-
saktian yang tak diturunkan. Nini Jonggrang biasa me-
letakkan beberapa kitab ilmu olah kanuragannya di
tempat rahasia dalam Goa Jurang Gunung Sumbing.
Suatu hari Tresnasari sempat memergoki Perempuan
Pengumpul Bangkai mengambil satu kitab tenung dari
tempat rahasia tersebut. Lalu tanpa sepengetahuan
guru sesatnya, Tresnasari mencuri isi beberapa kitab
dan dipelajarinya sendiri.
Itu sebabnya, pukulan Perempuan Pengumpul
Bangkai di Wadaslintang tak berakibat parah terhadap
diri Tresnasari. Kebetulan, pukulan itu adalah salah
satu ilmu tenaga dalam yang dicurinya.
"Tresna, bawalah Mayangseruni menyingkir da-
ri tempat ini!" seru Satria Gendeng, mengimbangi ancaman sengit Nini Jonggrang.
Tak perlu dua kali diperingati, Tresnasari sege-
ra memapah saudara kembarnya meninggalkan tempat
tersebut. "Tak semudah itu kau menyingkir, Murid Ja-
hanam!" teriak Nini Jonggrang kalap bukan main, Nini Jonggrang berjuang untuk
melepaskan diri dari hujanan serangan Satria Gendeng. Tubuhnya digenjot hen-
dak menghadang Tresnasari dan Mayangseruni.
Dengan ketat, Satria Gendeng merapatkan se-
rangan, mencoba membendung usaha lawan.
Nini Jonggrang makin dibuat kalap.
Sementara, malam kian terlelap.
Hal yang paling ditakuti Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul malam itu akhirnya terjadi juga. Apa la-
cur, orang tua sakti yang harus tiba sebelum tengah
malam, tak kunjung-kunjung tiba
Tepat tengah malam menjejak pada detiknya,
sekelebat cahaya merah menyilaukan membelah langit
kelam. Bagai bintang jatuh berekor panjang, cahaya
itu menukik amat deras dan tajam menuju Nini
Jonggrang. Nini Jonggrang sendiri luput menyadari
kedatangannya. Hingga.... Ssss! "Ngiiii!"
Tubuh Satria Gendeng terpental amat jauh. Me-
lintas di atas kancah pertarungan Ki Kusumo dan Ki
Ageng Sulut! Menyusul desisan amat kuat seperti berasal da-
ri moncong seribu naga, si Perempuan Pengumpul
Bangkai menjerit sejadi-jadinya. Tubuhnya tersengat
kaku. Beberapa saat berselang, di sekujur tubuhnya
muncul semacam pendaran cahaya halus semerah da-
rah namun menusuk mata. Cahaya halus itu meram-
bat dan mengembang keluar dari tubuh Nini
Jonggrang. Sedangkan tubuh si perempuan tua sesat
bergetar. Kian lama getaran tubuhnya kian kentara.
Sampai akhirnya...
Seperti datang dari pusat bumi, angin tiba-tiba
bertiup amat kencang. Anehnya, hanya di daerah seki-
tar Goa Sewu. Seketika, angin itu membentuk pusaran
yang menyerupai angin puting beliung. Menerbangkan
daun-daun, ranting-ranting kering, rerumputan, dan
apa-apa yang bisa disapunya. Bahkan pepohonan be-
sar yang tidak bisa tertahan dengan akarnya lagi! Se-
muanya diterbangkan ke pusat pusaran tepat di ten-
gah-tengah batang besar pohon tua.
Kendati dalam pertarungan sengit, Ki Ageng
Sulut dan Ki Kusumo langsung melompat menjaga ja-
rak. Keduanya sama-sama dikejutkan. Apa yang se-
dang berlangsung" tanya hati masing-masing.
Tresnasari dan Mayangseruni berhenti. Meno-
leh dengan wajah tercengang.
Satria Gendeng bangkit mengeluh. Matanya tak
berkedip begitu menyaksikan lawannya. Iblis dari lan-
git mana yang telah merasuki dirinya" Perangah si
pendekar muda. Begitu angin reda, terlihatlah wujud menye-
ramkan Nini Jonggrang yang baru. Seorang nenek
yang sekujur kulitnya dipenuhi sisik! Lidahnya me-
manjang dua jengkal seperti lidah seekor ular....
"Hi hiii hi hiiii!"
Pekat. Tawa Perempuan Pengumpul Bangkai
berjingkat di antara lorong pegunungan.
Menjangkiti malam.
Satria Gendeng menarik napas padat-padat.
Kini bagaimana dia bisa tetap yakin kalau yang diha-
dapinya adalah manusia, bukan siluman jejadian" Hati
nuraninya mengingatkan untuk meminta kekuatan da-
ri Sang Khalik.
Belum lagi tuntas Satria Gendeng memasrah-
kan dirinya pada Tuhan, di kejauhan terdengar gera-
man berlapis terpelanting dari kerongkongan Perem-
puan Pengumpul Bangkai. Lidah bercabangnya menju-
lur-julur. Tangannya menuding lurus ke arah Satria
Gendeng Kejapan mata berikutnya, dari bawah kaki Sa-
tria Gendeng muncul perlahan akar-akar berwarna se-
gelap lumpur. Geraknya seperti mengendap. Tanpa di-
ketahui Satria Gendeng, akar-akar menjijikkan itu
mencengkeram pergelangan kaki keduanya.
Srap! Srap! Selaku pendekar yang sudah begitu terlatih ke-
sigapannya, Satria Gendeng cepat membuat gerakan
menghentak ke atas dengan mengerahkan kekuatan
tenaga dalam penuh.
"Khiaaa!"
Dua cabang akar sebesar lengan manusia yang
sempat menjapit pergelangan kakinya tak ayal lagi ter-
cabut putus. Dengan salto, Satria Gendeng memang-
kas udara. Hingga empat tombak didepan Nini
Jonggrang. Di pergelangan kakinya, masih tersisa po-
tongan akar. Cairan berwarna hijau kehitaman kental
menjijikkan bercucuran dari setiap potongan akar ter-
sebut. Bibir Satria Gendeng meringis jijik. Kalau saja dia tak bisa menguasai
diri, saat itu juga dia akan
muntah. "Sihir," desis Ki Kusumo. Orang tua itu pernah mendengar Perempuan Pengumpul
Bangkai memiliki
tenung. Namun, selama hidup tak pernah diketa-
huinya kalau tenung si perempuan tua laknat sanggup
menciptakan serupa itu.
Dongdongka baru tiba setelah semuanya terja-
di. Dia melongo-longo menyaksikan Nini
Jonggrang. "Astaga, kupikir dia akan berubah menjadi mu-
da kembali dan mendapatkan kecantikannya ketika
menerima penitisan inti ilmu sesat gurunya. Tak ta-
hunya, dia jadi manusia kadal! Ihhhh jijik, tahu!" ko-mentarnya, antara gumaman
dan rutukan. Menyaksikan kedatangan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul, musuh besar yang paling dihindari, Ki
Ageng Sulut tak bisa membiarkan dirinya tetap di sa-
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
na. Tanpa diketahui Ki Kusumo yang masih memaku-
kan pandangan ke arah Nini Jonggrang, tokoh golon-
gan sesat itu meninggalkan Goa Sewu.
"Panembahan, apa yang sesungguhnya terjadi
pada Nini Jonggrang?" tanya Ki Kusumo, sesaat setelah disadari lawannya telah
menghilang. "Aku terlambat, Kusumo. Sial benar," sahut
Dedengkot Sinting Kepala Gundul, sama sekali tak
menyumpal derasnya rasa penasaran Ki Kusumo.
"Oh, kau tadi tanya apa?" Barulah Dongdongka tersadar pada pertanyaan tadi.
"Apa yang sedang terjadi" Aku tak mengerti...."
"Perempuan jelek yang tambah jelek itu dititisi
inti ilmu sesat gurunya!"
"Kalau begitu, murid kita dalam keadaan ba-
haya!" Ki Kusumo baru hendak menggenjot tubuh.
Dongdongka menahannya.
"Menurut Eyang Guru, hanya murid kita yang
bisa menghadapinya. Biarkan dia sendiri. Aku percaya
pada kesanggupan Cah Gendeng kita itu! He he he!"
Sementara Dongdongka tertawa, Ki Kusumo
cuma bisa mengernyitkan kening. Bagaimana orang
tua ini masih sempat tertawa pada saat-saat demikian
genting" Di kancah pertarungan tunggal, Satria Gendeng
telah bersiap mati dalam menghadapi lawan.
Nini Jonggrang menggeram-geram tiada terpu-
tus. Tangannya mendadak terayun cepat. Dari kedua
telapak tangannya mendadak keluar bola-bola api se-
besar kepala bayi!
Wuk wuk wuk! Deru santer bagai kepakan sayap rajawali rak-
sasa terdengar. Disusul dengan membesarnya api di
seputar bola-bola api tadi. Melayang-layang liar menu-
ju sasaran. Lidah apinya siap menerkam.
Tak pernah mengalami kejadian serupa dalam
hidupnya yang tergolong hijau, Satria Gendeng terce-
kam. Dia tercengang tanpa bisa melakukan apa-apa.
Saat itulah, terdengar bisikan gaib menyelusup
langsung ke telinganya.
"Jangan pernah gentar. Pergunakan kekuatan
hatimu untuk melawan semua itu. Sihir hanyalah tipu
daya. Jika kekuatan hatimu sanggup menentangnya,
maka dia akan punah...."
Kendati tak mengerti siapa yang telah membisi-
kinya, anehnya Satria Gendeng merasa sangat percaya
dengan bisikan gaib itu. Kekuatan hati" tanyanya
membatin. Hanya ada satu-satunya cara yang dia tahu
untuk mencapai hal itu.
Semadi! Namun, bagaimana mungkin dalam waktu yang
demikian mendesak" Bagaimana dengan bola-bola api
yang meluncur demikian sengit ke arahnya"
"Cepat!"
Kembali terlintas bisikan di telinga Satria Gen-
deng. Sekali ini bernada mendesak. Tak dapat ditolak.
Tanpa terpikir-pikir lagi, Satria Gendeng lang-
sung memejamkan mata. Memusatkan segala rasa dan
karsa serta kekuatan dirinya ke satu titik terang dalam batin. Entah bagaimana,
dalam situasi yang tak me-mungkinkan untuk melakukan semadi, Satria Gen-
deng ternyata berhasil mencapai puncak semadinya
dalam hitungan waktu kedipan mata!
Sekejap setelah matanya terpejam....
Blar Blar blar!!!
Leburlah semua bola api.
Satria Gendeng membuka mata. Takjub menda-
tanginya. "Hi hi hi hiiii!" Melompat tawa menyeramkan
dari tenggorokan Nini Jonggrang. "Tak kusangka kau sanggup menghancurkan
permainan ku, Bocah Jahanam!" Seperti mencemooh, Nini Jonggrang berujar,
"Namun, jangan harap kau akan unggul menghadapi
kekuatan tenung ku kini...," ancamnya berat, seakan hendak menggoyahkan
kemantapan hati si satria mu-da.
"Perempuan siluman busuk!" balas Satria Gen-
deng. "Kujamin kau yang akan menemui iblis-iblis sekutu mu di neraka sana!!!!"
terjang Satria Gendeng garang. "Haa, bagus itu! Bagus itu! Itu baru muridku!"
koar Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Perempuan Pengumpul Bangkai terkikik lagi.
Kali ini lebih nyaring melengking. "Buktikanlah, Satria Gendeng! Buktikan...,"
tantangnya, memancing kemarahan lawan.
"Kalau itu yang kau inginkan, akan kulayani,"
tegas Satria Gendeng seraya memasang jurus-jurus te-
rampuhnya. Bibir Nini Jonggrang menyeringai mengejek.
"Kau masih saja mempergunakan jurus jelek mu itu, Cah Bau Kencur" Hi hi hiiii!"
"Banyak mulut!" Satria Gendeng yang sudah
sepenuhnya siap menghadapi lawan segera menerjang
ke depan. Serangkai langkah-langkah teramat cepat
dibuat. Seluruh geraknya tampak ngawur tak karuan,
namun amat bertenaga dan mantap. Itulah ciri khas
jurus-jurus yang diciptakannya diturunkan Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul.
"Hiaaa!"
Deb! Wes! Sampokan tangan kanan Satria Gendeng mem-
babat lurus ke bagian leher lawan. Ketika nyaris tiba di sasaran, gerakan
tangannya tiba-tiba menyempong ke
sasaran lain. Dari gerak menyampok, tangannya beru-
bah mengacungkan jari untuk menotok jalan darah di
bagian dada lawan.
Lawan tampaknya tak mudah dikelabui dengan
perubahan gerak tiba-tiba yang bisa mengecohkan to-
koh persilatan berilmu tinggi sekalipun. Dengan amat
lincah, Nini Jonggrang menjepit jari-jemari Satria Gendeng dengan sepasang
telapak tangannya.
Tep! Pada waktu yang nyaris tak berseling, mata
bengis Perempuan Pengumpul Bangkai menerkam ta-
jam ke manik mata Satria Gendeng.
"Jangan tatap matanya!" bisikan gaib mempe-
ringatkan kembali.
Sayang.... "Aaaah!"
Satria Gendeng terjajar mundur. Matanya de-
mikian pedih. Seperti ada racun membakar yang ter-
sembur ke biji matanya.
Nini Jonggrang mempergunakan kesempatan
itu untuk memasukkan tiga tusukan jari dengan tan-
gan yang bebas ke kening lawan mudanya. Tusukan
yang dapat melobangi baja setebal setengah jengkal!
"Satria Gendeng di depanmu!" seru Ki Kusumo.
"Biar biar biar saja!" timpal Dedengkot Sinting
Kepala Gundul, seru.
Tanpa harus diperingatkan pun, Satria Gen-
deng sebenarnya sudah menyadari bahaya itu. Sigap,
disentaknya kaki ke atas. Masih dengan tangan terjepit telapak tangan lawan,
dengan cerdik Satria Gendeng
melenting ke atas tubuh lawan. Melewati kepala, dan
setibanya di belakang, langsung mendaratkan satu
tendangan keras ke bokong Nini Jonggrang. Semuanya
dilakukan tanpa melihat!
Dakh! Tubuh Perempuan Pengumpul Bangkai ter-
hempas ke depan amat deras.
Nini Jonggrang bangkit seperti tak pernah ter-
kena hantaman. Padahal sebongkah karang sebesar
kerbau mungkin akan berantakan terkena tendangan
Satria Gendeng tadi. Terkaman dibuatnya. Ganas dan
berkekuatan penuh. Kesepuluh jari tangannya menge-
jang kaku seolah-olah siap mencabik baja terkeras se-
kalipun. Ki Kusumo tercekam. Muridnya masih sibuk
mengusap-usap mata. Sementara serangan lebih ce-
pat, lebih gawat, dan sengit mulai dilancarkan lawan-
nya kembali. "Jangan pedulikan rasa pedih itu. Itu hanya ti-
pu daya sihir belaka. Hanya mengecoh perasaanmu.
Mantapkan kembali hatimu!" bisikan gaib itu menolong si pendekar muda pemberani
untuk kesekian kali.
Satria Gendeng mengulang semadi singkatnya.
Sewaktu dua cakar Perempuan Pengumpul
Bangkai hendak merobek tenggorokannya, Satria Gen-
deng telah siap kembali. Bahkan pandangannya dapat
lebih jernih dan tajam dari sebelum terkena pengaruh
tenung lawan. Dia bergerak sigap satu tindak ke samp-
ing. Wuk! Sambaran lawan pun lewat begitu saja. Hanya
setengah jengkal dari tenggorokannya. Sebuah cara
menghindar yang terlalu berisiko besar. Seakan-akan
pendekar muda itu hendak mengejek lawan.
"Sayang tak kena. Kau kurang cepat, Perem-
puan Siluman!"
"Khaaah! Jebol igamu!"
Dalam segebrakan, Nini Jonggrang sudah
membuat serangan susulan dengan siku kirinya. Dada
bidang lawan hendak dijadikan sasaran.
Satria Gendeng tak mau terus menghindar. Ka-
lau terus seperti itu dia sadar lama kelamaan akan
terhantam juga salah satu serangan gencar lawan.
Maka dengan satu gerak yang terlihat pontang-
panting, tapi secepat kedipan mata, tangannya mene-
kuk di depan dada.
Dakh! Siku lawan berhasil ditahannya. Kejap berikut-
nya, tangan yang lain meruntuhkan serangkai totokan
yang bisa menjatuhkan empat puluh ekor kuda jantan
sekaligus. Gencar bagai siraman hujan dari langit rang-
kaian totokan Satria Gendeng. Tapi, tak satu pun bisa
melumpuhkan lawan. Karena setiap kali mengenai sa-
saran, tubuh lawan berubah menjadi selembut asap.
Meski setiap totokannya tepat mengenai sasaran, Sa-
tria Gendeng tak merasakan apa pun menyentuh
ujung jarinya. Menyadari hal itu, Satria Gendeng melenting
ringan untuk menjauhi lawan. Untuk menghadapi ke-
kuatan sihir lawan, jalan satu-satunya bagi Satria
Gendeng adalah menuruti sepenuhnya peringatan bi-
sikan gaib. Memusatkan segenap jiwanya pada satu ti-
tik terdalam di dasar dirinya.
Begitu dia memasuki taraf pengosongan diri,
sebuah semburan sinar seperti hujanan paku memba-
ra tercipta dari sepasang telapak tangan lawan. Men-
deru menuju diri Satria Gendeng.
Satria Gendeng diterjang sekejap kemudian. Se-
luruh tubuhnya menghilang di antara kepungan ca-
haya berbentuk paku membara. Namun beberapa saat
berikutnya, hujanan cahaya aneh mendadak tersurut
mundur. Karena dari seluruh pori-pori di tubuh Satria
Gendeng membersit cahaya kuning. Amat bening se-
perti air tanpa wujud. Cahaya bening itu mendesak
dan mendesak sihir ciptaan Nini Jonggrang.
Menyadari usahanya tak berhasil, Perempuan
Pengumpul Bangkai menambah pengerahan kekuatan
sihirnya. Kini bukan cuma bilah-bilah cahaya merah
yang muncul dari telapak tangan manusia jahanam si-
luman itu. Sesosok makhluk yang berubah-ubah ben-
tuk melayang deras meluruk ke arah Satria Gendeng.
Makhluk yang berubah-ubah wujud itu ternya-
ta sanggup menelan sejengkal demi sejengkal cahaya
bening dari tubuh Satria Gendeng. Sejengkal dan se-
jengkal... Pada akhirnya, sebentuk tangan mencuat da-
ri perut makhluk itu. Leher Satria Gendeng pun lang-
sung dicengkeramnya.
Krep! Saat itu Satria Gendeng merasa dirinya seperti
dipaksa tenggelam ke dasar danau dalam amat gelap.
Napasnya sesak, jangankan menarik napas, mengem-
bangkan dadanya pun sudah begitu sulit. Tubuh kekar
pemuda itu bergeliat-geliat.
Apakah dia akan terus bergeliat hingga mere-
gang nyawa"
Satria Gendeng masih tetap bertahan dalam
semadinya. Napasnya nyaris terhenti. Lehernya seperti di-
patah-patahkan.
Saat dia tak kuat lagi menahan gempuran sik-
saan itu. "Bertahan pada semadi mu. Lalu, tentanglah
matanya dengan segenap kekuatan hatimu!" terngiang kembali bisikan gaib.
Satria Gendeng menurutinya. Pada saatnya,
matanya terpentang lebar-lebar, menerkam langsung
mata Nini Jonggrang. Menuju manik-maniknya.
Tanpa bisa dipahami, tiba-tiba saja cengkera-
man tangan ganjil di lehernya sirna. Satria Gendeng
heran. Namun dia tak boleh menghentikan hujaman
tatapan matanya yang pernah membuat hati Ki Ageng
Sulut serasa terjepit ketika bertarung dengan pendekar muda itu beberapa waktu
lalu. Di lain pihak, Nini Jonggrang mulai menggeliat-
geliat. Seperti ada sodokan lempeng bara panas di se-
kujur tubuhnya.
Mata Perempuan Pengumpul Bangkai mendelik
sejadi-jadinya. Mendelik dan makin mendelik. Tersiksa
tatapan amat kuat si pemuda bau kencur. Sebaliknya
akhirnya kekuatan sihirnya tiba-tiba pupus.
Di ujung kekalapan pengaruh sihirnya terden-
gar desisan seperti awal dia dititisi inti ilmu sesat gurunya. Bagai bara masuk
ke dalam air, begitu bunyi
desisan terdengar. Bersamaan dengan itu, mulut Pe-
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rempuan Pengumpul Bangkai melepas lengkingan
tinggi. Lalu perlahan-lahan tubuh Nini Jonggrang
memupus. Hilang. Selang sekian tarikan napas setelah menghi-
langnya tubuh Nini Jonggrang, terdengar kikik tawa di
kejauhan. Seperti berasal dari balik Gunung Sewu....
SELESAI Segera hadir!! Serial Satria Gendeng dalam episode:
PASUKAN KELELAWAR
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pedang Dan Kitab Suci 10 Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit Memburu Iblis 6
sengaunya terdengar lucu menggelitik.
"Malah ketawa!" bentak Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul, seperti menggonggong.
"Sejak kapan kau berubah menjadi pendagel
seperti ini?"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul melotot besar
sekali, sampai-sampai lupa kalau tahi matanya belum
dibersihkan. "Slompret! Kau sengaja cari perkara, ya?"
"Aku menilaimu dengan jujur. Tak ada maksud
mengejek. Mungkin hanya karena kau sadar kau me-
miliki sifat yang semestinya kau buang, jadi kau mera-
sa dihina."
"Sok tahu lagi! Memangnya kau pikir kau ini
siapa" Mbah buyut ku" Bapak moyang ku" Mbokku"
Begitu?" semprot Dongdongka, sewotnya bukan alang kepalang.
"Begini saja," potong orang bercaping.
"Tidak, begitu saja!" potong Dongdongka pula, tak mau kalah.
"Aku ke sini sebenarnya hendak mengingatkan
kau tentang satu hal!"
"Mengingatkan mengingatkan! Lagi-lagi kau
berdalih!"
"Dengarkan dulu aku."
"Tidak, kau yang dengarkan aku, tahu!" sambar Dedengkot Sinting Kepala Gundul
sambil menjitak-jitaki kepala sendiri, pertanda dia mulai gusar. "Sekarang,
sebaiknya kau segera pergi dari tempat ini! Aku
mau meneruskan tidurku. Jangan coba-coba juga kau
bersenandung lagi. Aku tahu suaramu merdu dan ki-
dungmu bagus. Dengan suara semerdu itu, kupikir
kau pantas jadi dukun. Maksudku, pergi sajalah kau!"
omel Dedengkot Sinting Kepala Gundul ngalor-ngidul
tak karuan. Orang bercaping tertawa lagi. Sekali ini terke-
keh geli seperti suara bocah kecil kegirangan. Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul tentu saja makin 'keki' di-
begitukan. "Aku tetap akan pergi. Tapi, apa kau yakin tak
mau mendengarkan aku dulu" Sebentar saja?" tawar-
nya lagi. "Tak ada tawar menawar! Kau boleh ambil den-
gan harga sepuluh kepeng, itu harga dari pengijonnya.
Eh maksudku, pergi sajalah kau! Jangan banyak cin-
cong begitu. Tahu"!"
Kepala di balik caping orang itu menggeleng-
geleng. "Masih saja sempat-sempatnya menggeleng!
Apa aku harus menendang pantatmu dulu supaya kau
segera pergi dari tempat ini! E, slompreeeeet sekali
kau!" Dedengkot Sinting Kepala Gundul mulai men-
cak-mencak. Pasir di dekat kakinya bertebaran ke ma-
na-mana. Sepak terjangnya sudah seperti keledai nge-
bet kawin. Karena kelewatan mangkel, tanpa disadari tua
bangka bertabiat sinting-sintingan itu, tenaga dalam
tingkat tinggi tersalur dalam setiap gerakannya. Sese-
puh persilatan tanah Jawa macam dia, tentu saja me-
miliki tenaga dalam sulit dicari tandingan.
Pasir pantai yang bertaburan terdepak kakinya
seketika menjelma menjadi benda-benda kecil maut.
Zes zes zes zes!
Ke segenap penjuru, pasir berhamburan bagai
sehimpun senjata rahasia. Sebagian menembus batang
pohon kelapa di sekitar. Setelah menembus batang
pertama, pasir tadi melesat ke pohon kelapa berikut-
nya, menembusnya kembali. Dan baru mendekam di
dalam batang pohon keempat! Seluruh pepohonan ke-
lapa naas tadi sudah seperti digerogoti oleh kutu-kutu kecil. Dedengkot Sinting
Kepala Gundul kaget sendiri
setelah mengetahui akibat kemangkelannya.
"Uph, slompret asli! Kenapa aku jadi sinting se-
perti ini!" Lalu matanya beralih ke arah orang bercaping.
"Itu semua gara-gara kau! Coba kalau tadi ada
binatang tak berdosa atau orang yang kebetulan lewat"
Aku, kan bisa berdosa, tahu"! Dosa, apa kau belum
pernah lihat"!," seperti pernah lihat dosa saja, Dongdongka menyambung omelannya
kembali. Sesaat kemudian baru dia sadar sesuatu.
"E-eh," sentaknya.
Sejak tadi orang bercaping tak kunjung beran-
jak dari tempatnya. Sejak tadi. Bahkan sampai De-
dengkot Sinting Kepala Gundul mencak-mencak dan
menerbangkan pasir. Sementara pasir mengandung
tenaga dalam tinggi berhamburan ke segenap arah.
Tak ada tersisa ruang kosong sampai sejauh satu
jengkal sekalipun. Kalau begitu, mestinya orang itu
sudah terkena pasir.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul waswas juga.
Sampai saat ini, dia belum tahu jelas apakah orang itu dari golongan sesat atau
bukan. Sejengkel apa pun dia
terhadap orang bercaping, tak ada alasan bagi De-
dengkot Sinting Kepala Gundul untuk membunuhnya.
Bagaimana kalau pasir maut tadi telah menembus ba-
dannya pula" Biar tak sengaja melakukan, tapi tetap
pembunuhan, pikir Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Hey, kau tak apa-apa?" tegur Dedengkot Sinting Kepala Gundul, tak yakin.
Menurut perkiraannya,
tentu orang itu telah mampus. Dia merasa berdosa se-
kali kalau sampai terjadi.
"Ya."
Mendapat sahutan dari orang bercaping, Dong-
dongka malah jadi terperanjat.
"Bagaimana bisa kau belum mampus?" ta-
nyanya, serba salah. Belum lama dia mengkhawatir-
kan orang itu. Sekarang malah bertanya sebaliknya.
Bagaimana tua bangka satu ini"
Buat Dongdongka, pertanyaan itu sudah pan-
tas diajukannya. Sebab dia menyaksikan beberapa ba-
tang pohon kelapa di belakang orang bercaping sudah
berlobang-lobang kecil tertembus pasir. Kalau selama
itu orang bercaping tak beranjak dari tempatnya, su-
dah tentu pasir-pasir itu akan menembus tubuhnya
terlebih dahulu. Dan mestinya, dia sudah mampus se-
karang; Mana mungkin dia masih bisa bicara" Atau se-
perti pertanyaan Dongdongka Bagaimana bisa dia be-
lum mampus"
"Kalau masih bisa bicara, tentu saja artinya
aku masih hidup! Kalau masih hidup, tentu saja aku
masih bisa bicara."
Usai menjawab, orang bercaping terkekeh den-
gan suara tawa seperti bocah kembali.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul garuk-garuk
kepala klimisnya kuat-kuat. Sampai kulit keringnya
bertambah banyak bertebaran. Sepertinya dia tak
khawatir kalau kulit kepalanya menjadi setipis kulit
bawang. "Mestinya kau sudah mampus, tahu"!" Dong-
dongka ngotot. "Ah, sudahlah. Kau hanya memperpanjang per-
soalan kecil saja!"
Persoalan kecil" Persoalan kecil yang bagaima-
na" Apa nyawa pernah dianggap persoalan kecil" Apa
berhasil lolos dari pasir maut dengan cara yang begitu sulit dipercaya persoalan
kecil" Bibir Dongdongka
menjadi anjlok ke bawah. Melongo tidak, terperangah
tidak. Tampangnya tolol sekali.
Siapa dia" Jangan-jangan, dia salah seorang
patih Kerajaan Laut Selatan bawahan Nyai Roro Kidul"
Bukankah daerah ini termasuk wilayahnya" bisik hati
Dongdongka. Dari duduknya, orang bercaping bangkit. Dis-
elipkan bulu rajawali di ikat pinggangnya.
"Karena kau tak ingin mendengarkan peringa-
tanku, sebaiknya aku pergi," pamitnya. Dia mulai melangkah. Arahnya menuju laut.
Makin membuat curiga
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Dongdongka masih terdiam.
Jeleknya tak tertolong.
"Jangan terus diam seperti itu, Truna! Hidup
itu tak sepantasnya kau siakan dengan cara berdiam
diri. Seperti kau habiskan malam hanya untuk tidur!"
Hanya sempat melangkah dua tindak, wujud
orang bercaping hilang di ujung ombak yang mendaki
ke permukaan pantai.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tersentak.
Dia baru menyadari satu hal lagi. Orang bercaping pe-
nuh teka-teki itu menyebut Truna, nama semasa mu-
danya.... "Ampuuun...," rengeknya setelah dia mulai menyadari siapa orang tadi. Dia pun
berguling-gulingan di atas pasir seperti bocah 'ngambek' besar.
Kenapa, ya" Sudah telanjur sinting asli dia"
TUJUH "HAI-AI-AIIIII"
Amukan Satria Gendeng sudah tiba di puncak-
nya. Pada saat seperti itu, terjadilah sesuatu dalam dirinya. Menyebabkan
segenap saraf, aliran darah, dan
otot-ototnya dialiri tenaga sakti yang pada keadaan-
keadaan tertentu sulit terukur kedahsyatannya. Tena-
ga dalam tingkat tinggi yang dihasilkan oleh perbauran ramuan Pulau Dedemit
dengan zat langka dari dasar
Laut Selatan! Puncak kemarahannya yang kini terjadi, adalah
kemarahan terbesar yang pernah dialaminya. Asalnya,
tentu saja dari perasaan cinta yang demikian menda-
lam terhadap Tresnasari. Dengan disakitinya Tresnasa-
ri, berarti telah sengaja menyulut sebentuk ledakan
kemarahan amat dahsyat dalam diri Satria Gendeng.
Jika kemarahan si pendekar muda kali ini ada-
lah kemarahan paling memuncak yang pernah dialami,
maka tak pelak lagi tingkat tenaga sakti yang meledak
dalam dirinya pun melebihi kekuatan waktu-waktu se-
belumnya! Akibatnya sungguh memukau perempuan tua
bangka yang memiliki pamor besar di dunia persilatan.
Nini Jonggrang menyaksikan dengan mata kepala sen-
diri sekujur otot di tubuh lawan yang dianggapnya ter-
lalu bau kencur menjadi membengkak. Terlihat senta-
kan-sentakan seperti dialiri listrik.
Berdenyut-denyut kacau.
Membentuk semacam pipa hidup.
Saling menyilang di balik kulit.
Keringat membanjir cepat dari setiap lobang po-
ri-porinya. Wajah pemuda itu seperti mengalami peruba-
han. Warnanya sebentar merah matang. Sebentar
kemudian membiru kehijauan. Rahangnya terkunci.
Otot wajahnya kenyal. Parasnya merangas!
Detik-detik berikutnya, Satria Gendeng mulai
pula mengerahkan jurus-jurus ampuh dari Dedengkot
Sinting Kepala Gundul. Jurus yang terlihat demikian
tak karuan, membabi-buta, ganjil, dan terkadang lucu.
Di balik semua itu, terkandung bahaya maut. Jurus
'Mencuri Bunga Karang' yang tak berhasil melabrak
pertahanan Nini Jonggrang dalam gebrakan pertama,
segera digabungkannya dengan jurus 'Dedengkot Gen-
deng Kegirangan'.
Setiap jurus pada dasarnya memiliki sifat dan
gaya tersendiri. Seperti 'Mencuri Bunga Karang', me-
nekankan pada kecepatan tangan dan capitan jari.
Gayanya adalah menyerang. Sementara, jurus
'Dedengkot Gendeng Kegirangan' menekankan pada
serangan mendadak, gerakan-gerakan tak terduga,
dan pertahanan yang tak teratur.
Dengan begitu, amat sulit menggabungkan dua
jurus yang berbeda sifat dan gaya. Bahkan hal itu tak
jadi soal yang mudah bagi tokoh kelas atas sekalipun.
Untuk membuat gabungan jurus itu menjadi sempur-
na dan sanggup menjadi senjata berbahaya, dibutuh-
kan waktu cukup lama.
Bagi si pendekar muda sendiri, hal itu seperti
tak sempat terpikirkan olehnya. Yang berkecamuk ba-
gai topan dalam benaknya saat itu cuma keinginan un-
tuk melenyapkan Nini Jonggrang dari muka bumi.
Kenyataan kalau kini dia sanggup mengga-
bungkan jurus-jurus sulit dalam waktu demikian sing-
kat, disebabkan karena dorongan naluri kependeka-
rannya yang demikian kuat. Seperti pernah dinilai oleh Tabib Sakti Pulau Dedemit
dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul, Satria Gendeng memiliki bakat alami un-
tuk menjadi pendekar besar.
Ketajaman nalurinya, dan pengaruh gejolak te-
naga sakti yang menyentak saraf-saraf kecerdasan di
otaknya menyebabkan seluruh jurus-jurus yang per-
nah dipelajarinya teraduk menjadi satu seketika itu ju-ga!
Nini Jonggrang sebagai tokoh kawakan yang
sudah kenal lama dengan Dedengkot Sinting Kepala
Gundul, tentu saja amat hafal gaya jurus-jurus tua
bangka itu. Namun ketika Satria Gendeng memperli-
hatkan kali ini, Nini Jonggrang sempat terkecoh. Da-
lam beberapa gerakan lawan, bisa dikenalinya gaya ta-
rung Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Keraguan mendatangi perempuan tua sesat itu
begitu jurus si pemuda berubah gaya kembali. Nini
Jonggrang jadi kurang yakin apakah lawan bau ken-
curnya mempergunakan jurus-jurus milik Dedengkot
Sinting Kepala Gundul atau bukan.
"Bangsat, aku tahu dia murid si Truna. Tapi,
kenapa gaya jurusnya jauh begitu asing buatku" Sia-
lan!" gumam si Perempuan Pengumpul Bangkai, meru-
tuk. (Seperti diketahui, Nini Jonggrang memang me-
nyebut Dedengkot Sinting Kepala Gundul dengan Tru-
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
na - nama mudanya. Lihat kembali episode sebelum-
nya : "Iblis Dari Neraka'!).
Selagi si Perempuan Pengumpul Bangkai berce-
loteh sendiri, lawan mudanya merangsak seperti singa
jantan luka. "Huiiii-aiiiiiiii!"
Masih tetap duduk bersila di atas pucuk sehelai
daun tetumbangan pohon, Nini Jonggrang berniat
memamerkan kembali tingkat tenaga dalamnya. Bagi
orang yang memiliki nama besar seperti dia, pamer ke-
saktian memberikan kepuasan tersendiri. Seakan dia
sanggup membuktikan pada dunia dari seisinya bahwa
dirinya adalah tokoh nomor satu di atas jagat!
Begitu terjangan tubuh lawan tiba, Nini
Jonggrang melepas teriakan seperti sebelumnya.
"Heaaaaa!"
Glar! Tercipta ledakan keras di udara. Tenaga dalam
yang dilepas oleh Nini Jonggrang melalui suara ber-
tumbukan hebat dengan tenaga sakti Satria Gendeng.
Sekejapan gerak terjangan pemuda itu seperti tersen-
tak. Di luar dugaan si Perempuan Pengumpul
Bangkai, bentrokan tenaga dalam tingkat amat tinggi
tadi tak sanggup memenggal gerak terjangan lawan-
nya. Sementara untuk menghindar, tak ada kesempa-
tan lagi. Jarak antara keduanya sudah terlampau de-
kat. Dash! Seketika itu juga, tubuh Nini Jonggrang me-
layang deras ke belakang. Setelah sebelumnya satu
tinju geledek Satria Gendeng bersarang di dadanya.
Tak tanggung-tanggung, tubuhnya melayang sejauh
dua puluh tombak!
Di hamparan rumput, Nini Jonggrang jatuh te-
lentang. "Bangsat," keluhnya sambil memegangi dada.
Dia berusaha bangkit meski teramat sulit. Bagian da-
lam dadanya seperti digumpali bara. Panas. Menyen-
gat-nyengat. Sesaknya pun seperti hendak memutus
aliran napas. Selagi berusaha bangkit, nenek tua aliran sesat
itu memuntahkan darah kehitaman.
"Tak mungkin," desisnya gontai. Sama sekali
tak dipercayai kejadian yang dialaminya. Sekali lagi,
dia kenal betul dengan Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul. Kedigdayaan tua bangka bertabiat sinting-
sintingan itu pun masih bisa diukurnya. Jika gurunya
saja sanggup diukur, tentu muridnya akan lebih mu-
dah lagi. Namun yang dialami Nini Jonggrang sungguh
di luar perkiraan. Tenaga dalam lawan yang bau ken-
curnya mendadak berlipat entah berapa kali. Perem-
puan tua itu dapat menilainya beberapa saat terjadi
bentrokan tenaga dalam di udara. Kalau sekarang Nini
Jonggrang dipecundangi, bagaimana mungkin dia ma-
sih bisa percaya Satria Gendeng adalah murid De-
dengkot Sinting Kepala Gundul"
Tak menanti sampai Perempuan Pengumpul
Bangkai tegak berdiri, Satria Gendeng menggempur
lawannya untuk ke sekian kali. Nini Jonggrang harus
pontang-panting menghadapi gerak cepat dan tak tera-
tur. Serangan Satria Gendeng terkadang melambat se-
perti seorang kakek tua kekurangan makan. Terka-
dang segemulai seperti penari wanita.
Sesekali dia melompat-lompat, berjingkat-
jingkat mencoba membingungkan lawan. Atau berubah
menggebu. Pukulan dan tendangannya membabi-buta.
Saat serangannya cenderung bertumpu pada
jurus-jurus milik Dedengkot Sinting Kepala Gundul,
Nini Jonggrang sanggup meladeni dengan kedig-
dayaannya selaku tokoh kenamaan rimba persilatan
tanah Jawa. Begitupun saat serangan Satria Gendeng
bertumpu hanya pada jurus-jurus milik Tabib Sakti
Pulau Dedemit. Sewaktu Satria Gendeng membaurkan kedua-
nya, pertahanan Perempuan Pengumpul Bangkai mulai
kedodoran. Beberapa kali nenek tua sakti itu hampir
kecolongan. Lebih jauh lagi, posisinya bahkan didesak
habis-habisan oleh si pendekar muda. Satria Gendeng
memaksa perempuan tua yang punya pamor mena-
kutkan itu pontang-panting berkali-kali.
Jika saat itu ada beberapa orang persilatan,
tentu mata mereka akan terpentang lebar menyaksi-
kan kedahsyatan dan kehebatan tarung dua manusia
beda usia itu. Tidak disangsikan lagi, mereka akan terperangah takjub mengetahui
seorang pemuda kemarin
sore sanggup mendesak Perempuan Pengumpul Bang-
kai. Mungkin, sebagian di antara mereka tidak akan
mempercayainya.
Sayang, tak ada cukup saksi bagi dunia persila-
tan untuk kejadian yang menjadi salah satu langkah
awal kelahiran seorang pendekar muda kenamaan ta-
nah Jawa. Pendekar yang akan membuat kegoncangan
besar. Musuh yang paling ditakuti oleh kalangan sesat, Satria Gendeng!
Pada satu kesempatan, Satria Gendeng berhasil
meloloskan satu tamparan keras ke pipi lawannya. Ni-
ni Jonggrang terjajar beberapa tombak ke samping.
Badannya hampir saja terpeluntir, jika tidak segera
bertumpu dengan satu kaki.
Bagian wajah biasanya adalah satu sasaran
yang paling dilindungi oleh setiap warga persilatan.
Karena bagian itu dianggap sebagai bagian tubuh yang
dimuliakan. Menampar pipi bisa berarti menampar ke-
hormatan dan harga diri.
Bagi Nini Jonggrang, tak ada seorang pun per-
nah menempatkan tamparan ke pipinya selama pulu-
han tahun terakhir. Seperti belum ada seorang pun
yang berani menghinanya. Hari ini, matanya dipaksa
terbuka lebar-lebar. Seorang bocah kemarin sore telah
menampar pipinya dengan telak! Seorang bocah bau
kencur telah melabrak kehormatan dan harga dirinya!
Setelah berjumpalitan gesit beberapa kali
menghindari kucuran serangan Satria Gendeng yang
tak terputus. Perempuan Pengumpul Bangkai menca-
pai jarak aman. Dia berdiri terbungkuk.
Mengeram. Matanya menghujam tajam. Kemurkaannya
mulai tersulut. Bisa jadi, bagi beberapa kalangan akan sulit untuk memancing
kekalapan tokoh yang banyak
makan asam-garam seperti Nini Jonggrang. Dia bukan
tokoh yang gampang dipermainkan.
Setelah hampir tak pernah ada seorang pun
yang berhasil membuatnya kalap, kini tanpa disadari
dia siap menjadi gelap mata. Itu bisa berarti kerugian besar dalam satu
pertarungan. Apalagi pertarungan
maut. "Hmrrrhh!"
Menggeram lagi.
Sudut bibir yang terboreh darah terungkit, per-
tanda kebengisan yang buta siap termuntahkan. "Kau akan mampus hari ini juga di
tanganku, Bocah Keparat!!!" Seperti Satria Gendeng, Nini Jonggrang pun ketika
itu juga melupakan rencananya yang sudah demi-
kian matang disusun selama beberapa waktu sebe-
lumnya. Rencana yang dibuatnya bersama sekutunya,
Iblis Dari Neraka.
Semuanya jadi telanjur hancur karena kekala-
pan tolol. Tolol atau tidak, tampaknya Perempuan Pen-
gumpul Bangkai tak peduli lagi.
Jari tangannya bergetar di depan. Kuku tajam
kehitaman diperlihatkan. Perlahan, tangan keriput pe-
rempuan tua terkutuk itu mendekati bagian pinggang-
nya. Sebelum pertarungan meletus, Nini Jonggrang te-
lah mengikat Kail Naga Samudera di pinggangnya.
Senjata pusaka ampuh itu akan dipergunakannya un-
tuk menyingkirkan Satria Gendeng!
Tiba-tiba, wajah Nini Jonggrang berubah. Den-
gan mata mendelik, dia melihat pinggangnya. Kail Naga
Samudera sudah tak ada lagi!
Keparat busuk! Kutuknya dalam hati. Mungkin
ketika tubuhnya terlempar jauh akibat hantaman kuat
tenaga dalam Satria Gendeng, Kail Naga Samudera ter-
lepas! Nini Jonggrang menerka-nerka. Tahu kemung-
kinan tersebut yang paling mendekati, mata Nini
Jonggrang segera menerjang tempatnya terjatuh, men-
cari-cari. Menyaksikan gelagat lawannya. Satria Gendeng
pun turut mengikuti arah pandangan Nini Jonggrang.
Kail Naga Samudera ditemukan. Tergeletak te-
pat di tempat Nini Jonggrang terjatuh sebelumnya. Ja-
rak antara Kail Naga Samudera dengan Nini Jonggrang
ternyata tak berbeda jauh dengan jarak Satria Gen-
deng dengan senjata pusaka itu.
Mata keduanya berbentrokan.
Nyalang. Sama-sama bersiaga pada gerakan lawan seke-
cil apa pun. Keduanya harus menentukan, siapa yang lebih
cepat merebut Kail Naga Samudera. Siapa yang memi-
liki kecepatan lebih tinggi, akan mendapatkan senjata
pusaka itu. Samalah artinya bagi mereka untuk men-
gadu tingkat kemampuan peringan tubuh!
"Kau tak akan sanggup mengungguli tingkat
ilmu peringan tubuhku, Bocah Busuk," cemooh Nini
Jonggrang. Bibirnya menyeringai. Dia merasa Kail Na-
ga Samudera sudah berada dalam genggamannya. Dia
bahkan tak pernah percaya kalau si bocah kemarin
sore dapat mengungguli kecepatannya. Boleh saja dia
memiliki keistimewaan dengan menguasai tenaga da-
lam tingkat tinggi. Namun dengan usia seperti dia, tak mungkin untuk menguasai
banyak kesaktian sekaligus, nilai Nini Jonggrang.
Namun, penilaian Nini Jonggrang tetap harus
diuji. "Heaaa!"
"Haaaiiiii!!"
Sekedipan mata berbarengan keduanya meng-
genjot tubuh. Ilmu peringan tubuh dikerahkan tanpa
batas yang pasti, sejauh mereka bisa mengerahkan.
Tubuh keduanya berubah menjadi kelebatan bayan-
gan. Jarak terpangkas.
Dari dua arah berbeda.
Menuju satu titik pasti.
Tep! Dash! Nini Jonggrang membuktikan keunggulannya
dalam ilmu peringan tubuh. Tangannya berhasil lebih
cepat menjemput Kail Naga Samudera di tanah. Tapi,
dia melupakan satu hal. Satria Gendeng tidak pernah
terpikir untuk merebut Kail Naga Samudera. Kecamuk
kekalapannya hanya mengobarkan satu keinginan,
menumpas Nini Jonggrang, orang terkutuk yang telah
melukai kekasih tercintanya!
Kendati telah cepat bergerak, Satria Gendeng
berhasil memanfaatkan perhatian Nini Jonggrang yang
terpusat pada Kail Naga Samudera semata. Begitu tiba
di titik pertemuan, kakinya justru melepas tendangan
mendongkel yang menghantam telak-telak ulu hati la-
wan! Licikkah" Tidak. Karena semua itu tak pernah
terpikirkan oleh Satria Gendeng sendiri.
Bertepatan dengan tersambarnya Kail Naga
Samudera, tubuh Nini Jonggrang pun melayang deras
jauh ke belakang. Dia jatuh lebih jauh dari akibat hantaman lawan sebelumnya.
Menderita luka jauh lebih
parah pula, menyebabkan perempuan tua sesat itu
hampir kehilangan kesadaran!
DELAPAN "JANGAN coba berpikir macam-macam, Bocah
Keparat!" Sebelum Satria Gendeng bertindak lebih jauh
terhadap Nini Jonggrang, satu bentakan keras menjeg-
al. Mata si pendekar muda perkasa beralih. Disaksi-
kannya seorang yang tak asing lagi, Ki Ageng Sulut.
Dengan kedatangan orang tua sesat itu saja, Satria
Gendeng sudah cukup terkejut. Apalagi manakala dis-
aksikan Mayangseruni berada di bawah ancamannya.
Ki Ageng Sulut berdiri cukup jauh. Jaraknya
dengan Satria Gendeng sekitar dua puluh lima tom-
bak. Mayangseruni berdiri lunglai di depannya. Dari
cara berdiri dan paras wajahnya yang tak berdaya, Sa-
tria Gendeng menduga Mayangseruni dalam pengaruh
totokan Ki Ageng Sulut. Tangan Ki Ageng Sulut terlihat menggapit geram leher
gadis itu. Jari-jari tangan yang lain menjapit tenggorokan Mayangseruni.
Gelagatnya, Ki Ageng Sulut tak akan segan-segan memutuskan
tenggorokan sanderanya dengan japitan jari jika Satria Gendeng masih menggempur
Nini Jonggrang.
"Jika aku jadi kau, aku tak akan melanjutkan
serangan terhadap lawanmu itu!" sambung Ki Ageng
Sulut dengan pandangan dan paras mengancam.
"Karena aku dapat menjamin, kalau kau mene-
ruskan, tenggorokan gadis ini akan segera terkoyak
oleh jariku!"
Kendati kemarahan sudah demikian meluap-
luap hampir kehilangan kendali sama sekali, Satria
Gendeng cepat tersadar akan keselamatan nyawa
Mayangseruni. Sekuat-kuatnya ditekan kembali kema-
rahan itu sehingga kerongkongannya terasa demikian
sakit. "Kakek terkutuk...," sumpahnya mendesis.
Sesosok bayangan kemudian berkelebat sekitar
sepuluh tombak dari tempat Ki Ageng Sulut, berkawal
teriakan yang sudah cukup lama dikenal Satria Gen-
deng. "Jangan gegabah, Satria!"
Sekali lagi mata Satria Gendeng beralih. Dite-
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mukannya Ki Kusumo sudah hadir pula di sana.
"Kakek Kusumo," sambut Satria Gendeng, tak
jelas Satria Gendeng tak tahu, apakah dia harus me-
rasa gembira dengan kedatangan salah seorang gu-
runya itu. Dia bahkan tak begitu yakin Ki Kusumo bisa
membantunya kalau mengingat keadaan Mayangseru-
ni kini. Satu hal yang pasti, keberadaan Ki Kusumo - si Tabib Sakti Pulau
Dedemit - membuat ketegangan
pendekar muda itu sedikit mengendor. Kemarahannya
susut perlahan. Meski tak punah sama sekali.
Nini Jonggrang yang bangkit terseok kontan
memperlihatkan wajah senang. Sudut bibirnya yang
masih dilelehi darah kehitaman segera mengembang-
kan seringai. Sambil memegangi bagian ulu hatinya
yang mungkin mengalami luka dalam, perempuan tua
sesat itu berujar.
"Bagus, Sulut. Bagus! Otakmu rupanya masih
cukup encer untuk dipergunakan. Sialnya, kenapa ti-
dak sejak tadi kau datang, Kunyuk!"
"Aku hanya ingin mengetahui, apakah kekala-
han ku oleh bocah jahanam itu tempo hari dapat kau
cicipi juga. Nyatanya kau memang harus men...."
"Diam kau, Sulut! Aku tak meminta pendapat
memuakkan mu!" hardik Nini Jonggrang, terbatuk-
batuk. Akibat memaksakan diri untuk membentak, da-
rah kehitaman keluar kembali dari mulutnya.
"Sekarang kau yakin bahwa murid Truna me-
mang tidak bisa dibuat main-main, bukan" Atau kau
belum yakin sampai tendangannya menjebol dada ku-
rus mu"!" susul Ki Ageng Sulut tak puas.
"Kubilang diam kau!" Nini Jonggrang gusar. Ta-pi, dia tak sanggup berbuat apa-
apa kecuali mengum-
pat dari menghardik. Melakukan hal itu saja sudah
membuat dia terbatuk-batuk darah.
"Lepaskan dia, Ki Ageng Sulut!" seru Satria
Gendeng, memutuskan perang mulut tua bangka sesat
itu; "Lepaskan?" Ki Ageng Sulut menyeringai. Dili-riknya Nini Jonggrang. "Bagaimana
Jonggrang" Anak bau kencur ini meminta ku melepaskan sandera" Me-nurutmu
bagaimana?"
"Kau jangan banyak mulut, Sulut! Kau tahu
jawabannya!"
Ki Ageng Sulut menatap Satria Gendeng. Lalu
beralih kepada Ki Kusumo yang berusaha untuk men-
curi-curi kesempatan merebut Mayangseruni dari tan-
gan Ki Ageng Sulut. Sampai saat itu, Ki Ageng Sulut
tampaknya tak pernah lengah.
"Kau jangan coba-coba berpikir untuk berbuat
macam-macam, Kusumo!" ancam Ki Ageng Sulut. "Kau dan muridmu itu harus mendengar
apa kataku dan menurut. Jika tidak, kau tentu akan menyaksikan ba-
gaimana darah mengucur deras dari leher mulus gadis
ayu ini. Kau tentu tak sudi menyaksikan itu, bukan?"
Ki Kusumo cuma bisa menghela napas, mengi-
kat kegusarannya. Sama dengan Satria Gendeng, posi-
sinya pun sedang terjepit dengan disanderanya
Mayangseruni. Untuk memancing kelengahan, Ki Kusumo
mencoba membuat Ki Ageng Sulut gusar.
"Aku tak bisa percaya. Dua tokoh besar kena-
maan seperti kalian hari ini harus menghadapi kenya-
taan bahwa kalian hanya memiliki nyali seekor kodok
buduk! Kendati julukan kalian besar, kalian tak memi-
liki harga diri!"
"Kau pun diam, Kusumo! Aku tak punya waktu
untuk mendengarkan khotbahmu!" sergah Nini
Jonggrang. Ki Kusumo cuma bisa mengangkat bahu perla-
han. Tampaknya dia tadi tak menyadari kalau nama
besar tak menjamin bisa merubah sifat seseorang. Jika
dasarnya memang sudah busuk, tetap akan busuk.
Seekor monyet tak akan bisa berubah menjadi peri
hanya karena mendapat mahkota! Apalagi nama besar
Iblis Dari Neraka dan Perempuan Pengumpul Bangkai
dibangun dengan cara-cara iblis. Kelicikan adalah sa-
lah satunya. Dan kapankah kelicikan memandang si-
kap tak satria atau harga diri"
"Sekarang, dengarkan aku!" mulai Nini
Jonggrang kembali "Pergilah kau dari tempat ini, Kusumo! Jangan coba-coba
memunculkan batang hidung
sedikit pun pada kami. Karena jika kau melakukan-
nya, Sulut tak akan segan-segan membunuh perawan
di tangannya. Katakan pada si Truna, bahwa murid
kesayangannya akan merasakan siksaan yang kuteri-
ma di Goa Sewu!"
(Pada episode "Iblis Dan Neraka", dijelaskan bahwa Nini Jonggrang menerima
hukuman dari Pertapa Sakti Gunung Sewu, gurunya, karena perbuatan
sesat yang telah dilakukan. Dedengkot Sinting Kepala
Gundul (Truna) sebagai saudara kembarnya waktu itu,
telah menggiringnya untuk menerima hukuman terse-
but. Sampai kini, Nini Jonggrang menyimpan dendam
pada Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Untuk mem-
balas secara langsung, Nini Jonggrang tak cukup
mampu, karena masih tetap memendam rasa cinta pa-
da bekas saudara seperguruannya itu).
*** Hari menjelang pagi.
Matahari bertamu kembali di angkasa daerah
Tanjung Karangbolong. Sentuhan sinarnya sampai di
batas-batas ombak. Segerombolan burung camar me-
mekik-mekik menyambut kedatangan hari baru.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tak bisa me-
lanjutkan tidurnya yang terpotong semalam, sejak ke-
datangan seseorang bercaping tak dikenal. Yang dila-
kukannya kini malah duduk terbengong-bengong.
Tangannya bertopang dagu. Wajahnya kusut, sekusut
kerutan keningnya.
"Aduh, Eyang Guru. Ampuni aku. Mataku be-
nar-benar buta semalam. Eyang Guru...."
Seperti orang mengigau, sesepuh persilatan ta-
nah Jawa itu bergumam sendiri. Mata kelabunya terle-
pas kosong ke satu arah. Hampir-hampir tak pernah
berkedip. "Kenapa aku jadi begitu tolol" Kenapa aku jadi
begitu tolol, Eyang Guru?"
Berkali-kali sudah keluar ucapan 'Eyang Guru'
dari mulutnya. Seluruh gumamannya jelas berkaitan
erat dengan peristiwa semalam. Kalau sekarang dia le-
bih banyak mengucapkan kata itu, tentu pula ada se-
babnya. Bagi Dongdongka alias Truna alias Dedengkot
Sinting Kepala Gundul, penyebabnya sudah jelas. Kuat
keyakinan Dongdongka, bahwa lelaki semalam adalah
Pertapa Sakti Gunung Sewu, eyang gurunya sendiri.
Terbayang-bayang kembali dalam otak tua yang
nyaris tumpul milik Dongdongka, wajah Pertapa Sakti
Gunung Sewu yang telah berpuluh tahun tak dijum-
painya. Seorang yang dari waktu ke waktu tak pernah
mengalami ketuaan pada wajahnya. Tampan dan ber-
sih, dengan binar mata jenaka seorang bocah polos.
Ada juga kesan kebodoh-bodohan pada garis-garis wa-
jahnya. Rambutnya panjang. Hitam, terawat, dan ter-
gerai. Mengenakan kain pengikat berwarna ungu, me-
nutupi separuh kepala bagian atasnya. Mengenakan
pakaian sederhana berwarna serupa dengan pengikat
kepala. Kendati sederhana, namun licin sekaligus ber-
sih. Pada kain ikat pinggang berwarna merah, terselip
satu helai bulu rajawali sepanjang dua jengkal.
Dan di luar pengetahuan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul sendiri, Pertapa Sakti Gunung Sewu
seperti yang terngiang-ngiang di kepalanya telah ber-
temu pula dengan Ki Ageng Sulut dan Ki Kusumo di
Wadaslintang. Padahal, ketika Pertapa Sakti Gunung
Sewu mengunjungi Dongdongka, bertepatan waktunya
dengan kehadirannya di Wadaslintang. Tentu saja hal
itu karena satu ajian yang telah diwariskan kepada
Dongdongka, ajian 'Melepas Sukma'!
"Eyang Guru!!"
Dongdongka berteriak. Dia sedang sebal seten-
gah modar pada dirinya. Sebal karena tak sempat me-
nyadari kunjungan gurunya. Pada usia setua dia, mes-
tinya dia memiliki penilaian yang lebih cermat. Tidak
main bentak sana bentak sini pada orang yang telah
mengganggu tidur malamnya. Sekarang, kalau orang
yang dibentak-betak semalam adalah eyang gurunya
sendiri, baru dia tahu rasa!
Dongdongka bangkit. Dia mondar-mandir di
atas pasir. Kedua tangannya tak pernah berhenti ber-
gerak, mengiringi sumpah serapah tak putus-putus,
mengutuki diri sendiri.
Tak puas sampai di situ, Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul pun membentur-benturkan kepalanya
dengan dahan pohon kelapa. Maksudnya mau meng-
hukum diri. Sayangnya, batok kepala manusia karatan
itu ternyata jauh lebih keras dari dahan kelapa. Wal-
hasil, justru batang kelapa jadi mencekung dalam. Be-
berapa butir kelapa sempat jatuh karena getaran he-
bat. Salah satunya menimpa kepala klimis Dongdong-
ka. Orang tua bertabiat sinting-sintingan itu berharap kepalanya akan pecah
terbelah dua. Sayangnya lagi,
buah kelapa itu yang malah hancur berantakan.
Tak terasa, sudah dua puluh lima batang po-
hon kelapa menjadi korban!
Sampai uring-uringan Dongdongka terhenti
mendadak ketika matanya menyaksikan seseorang te-
lah duduk membelakangi di bawah pohon terakhir
yang sedang ditandukinya. Seorang yang semalam
mengunjunginya, sekaligus menggangu tidurnya.
Mata si tua sinting itu mendadak berbinar-
binar. Cerah bak mentari pagi yang terus menanjak.
"Eyang. Guru!"
Cepat-cepat Dongdongka berlari ke hadapan
orang yang ternyata Pertapa Sakti Gunung Sewu.
Orang tua sakti yang usianya amat jauh di atas Dong-
dongka namun tetap awet muda itu sedang santai ber-
kipas-kipas dengan capingnya.
Di depan Pertapa Sakti Gunung Sewu, Dong-
dongka bersujud sambil menangis meraung-raung. Se-
perti gadis kembang desa yang hendak dijodohkan
dengan buto ijo! Sedikit pun dia tak berani mengang-
kat wajah. Tak peduli pasir pantai tertelan ke dalam
mulut. "Whuaaa whuaa ihik, ampun Eyang Guru! Se-
malam aku benar-benar tak tahu diri. Betapa keterla-
luannya aku, ya" Masa Guru sendiri sampai tak dike-
nali. Huaaa hik hik!"
"Jangan seperti anak kecil Truna." Suara eyang gurunya sudah berpindah di
belakang Dedengkot Sinting Kepala Gundul segera mendongakkan kepala. Guru
besarnya memang sudah tak ada lagi di depannya.
Ketika Dongdongka menoleh, disaksikan Perta-
pa Sakti Gunung Sewu sudah duduk. Persis di depan
pantatnya! Kontan mata Dongdongka mendelik nyaris
melompat keluar. Wajah orang tua yang sudah diang-
gap sesepuh di antara sesepuh persilatan tanah Jawa
itu jadi sepucat bangkai. Kualat benar dia! Masa' guru dipantati"
Buru-buru dia membalikkan posisi sujudnya.
Raungnya tambah menjadi-jadi, merasa dosanya su-
dah bertambah lagi
"Ampooooon, benar-benar ampooooon, Eyang
Guru. Huaa whuaa aung aung!"
"Sudan kukatakan, jangan bersikap seperti
anak kecil seperti itu, Truna!"
Terdengar lagi suara jernih seperti milik bocah.
Dan suara Pertapa Sakti Gunung Sewu sudah pindah
kembali ke belakang Dongdongka.
Astaga! Dongdongka terkesiap untuk yang ke-
sekian kalinya. Pasti dia sudah memantati kembali
eyang gurunya. Tanpa banyak pikir ini itu langsung
saja si orang tua sinting membalikkan posisi sujudnya.
Ada yang tersentuh hidung Dongdongka. Sepasang ka-
ki orang berdiri.
Pasti kaki Eyang Guru, pikir Dongdongka. Tak
ayal lagi, Dongdongka segera menciumi kaki itu bertu-
bi-tubi. Raungnya tak pernah mau dihentikan! Pan-
tang! Sampai raungan Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul harus direm mendadak ketika mendengar suara
orang yang diciumi kakinya berbeda dengan suara Per-
tama Sakti Gunung Sewu.
"Orang tua, orang tua! Apa yang terjadi pada di-
rimu?" Dongdongka mendongak dengan wajah melom-
pong. Kaki yang diciuminya dengan kelewat khidmat
ternyata milik seorang penduduk desa yang kebetulan
melewati tempat itu! Seorang lelaki dekil yang biasa
memetik buah kelapa untuk dijual ke kotapraja!
Minta ampun! Pantas kakinya bau kotoran ker-
bau! rutuk Dedengkot Sinting Kepala Gundul geram.
Rasanya dia ingin menghajar congor lelaki desa yang
maju karena terheran-heran itu!
Tanpa mempedulikan lelaki desa yang masih
saja 'pelanga-pelongo', Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul mencari-cari ke mana eyang gurunya pergi. Nah itu
dia, sedang berjalan santai menuju selatan!
Buru-buru Dedengkot Sinting Kepala Gundul
mengejar. "Tak perlu kau bersujud lagi padaku, Truna!"
cegah Pertapa Sakti Gunung Sewu, menahan Dong-
dongka yang hendak memulai sembah sujud 'setengah
miring'nya. "Kenapa, Eyang Guru" Kenapa" Aku memang
bersalah semalam dan hari ini. Tapi, janganlah kau
menghukum aku dengan tidak menganggap aku mu-
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ridmu lagi. Jangan, ya Eyang Guru?" tanya Dongdong-ka, mendayu-dayu sambil
berjalan membungkuk-
bungkuk di belakang Pertapa Sakti Gunung Sewu.
"Bukan begitu. Sejak aku memutuskan untuk
turun gunung, aku telah menyadari sesuatu. Manusia
tak bisa menyembah manusia lain. Kendati gurumu,
jangan jadikan aku seperti Dewa. Aku tetap manusia
biasa...."
Dongdongka manggut-manggut. Raungannya
sudah aman. Matanya bahkan sudah kering. Atau,
memang begitu caranya menangis" Tak pernah keluar
airmata" "Syukurlah kalau ternyata Eyang Guru tak
menghukum aku. Syukur... syukur. Lalu, kenapa
Eyang Guru memutuskan untuk turun gunung seka-
rang ini?"
Pertapa Sakti Gunung Sewu terus melangkah.
"Ada beberapa hal yang harus segera kubenahi
sebelum aku mati."
"Aaa, Eyang Guru jangan mati dulu! Aku saja
muridmu tak pernah-pernah kesampaian...."
"Dengarkan aku dulu, Truna."
"Oh, iya iya."
"Aku turun gunung karena dua hal penting,"
mulai Pertapa Sakti Gunung Sewu kembali. "Pertama, karena aku ingin berguru
dengan seseorang...."
Dongdongka melongo. Eyang gurunya hendak
berguru lagi" Apa-apaan ini" Manusia sesakti dia mes-
tinya tak perlu banyak berguru lagi! Dongdongka sen-
diri sudah bosan menambah kesaktian! Ini jadi terden-
gar aneh bin ganjil bin ajaib bin Saimin!
"Berguru, Eyang?"
"Ya. Kudengar, ada seseorang yang begitu mulia
di Bintoro Demak."
"Siapa orang itu, Eyang. Dan apa yang ingin
Eyang pelajari dari orang itu?"
"Aku tak begitu jelas dengan namanya. Menu-
rut wangsit yang kuterima, orang itu adalah salah seo-
rang yang amat dekat dengan Sultan Demak. Pada be-
liau, aku ingin berguru ilmu 'Makrifat'."
"Ilmu 'Makrifat', Eyang?"
"Ilmu yang tak akan didapat kecuali dengan
mencapai pengenalan diri secara menyeluruh dan
mengenal Tuhan...."
Dongdongka menggeleng-geleng. Kepalanya
pusing tujuh keliling. Dia tak mengerti.
"Lalu bagaimana dengan tujuan kedua Eyang
turun gunung?" tanyanya.
"Tentang Jonggrang."
Jonggrang lagi, rutuk Dongdongka. Selalu saja
perempuan jelek itu bikin perkara.
"Jonggrang telah menganut ilmu sesat. Ilmu se-
sat itu didapatnya dari salah seorang perempuan mu-
suh lamaku yang telah mati. Kematiannya, tidak me-
nyertakan kematian ilmunya. Sebagian ilmu sesatnya
telah diturunkan kepada Jonggrang. Namun ada inti-
inti ilmu iblisnya yang akan dititiskan langsung pada
Jonggrang. Untuk itu, dia harus menanti agar
Jonggrang berusia lebih dari seratus lima puluh ta-
hun...." "Aku tak tahu berapa usia Jonggrang, Eyang..
Usiaku saja aku tak tahu jelas."
"Besok malam, menurut penglihatan mata ba-
tinku, Jonggrang akan dititisi inti ilmu sesat gurunya.
Aku berpesan padamu, cegahlah dia. Jangan sampai
dia menerima inti ilmu sesat itu."
"Caranya, Eyang?"
"Temukan dalam diri muridmu!"
Dongdongka garuk-garuk kepala. Apa hubun-
gannya Satria Gendeng dengan semua ini" Apa mak-
sud perkataan terakhir Eyang Guru. Dongdongka baru
hendak membuka mulut menanyakan hal itu. Tapi,
Pertapa Sakti Gunung Sewu sudah tak tampak lagi.
Semenjak kepergian gurunya, Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul terus terombang-ambing kebingun-
gan memikirkan pesan terakhir Pertapa Sakti Gunung
Sewu. Otaknya memang agak telat mikir selama dia
begitu merindukan kematian. Barangkali juga memang
sudah dari sananya
"Kenapa Eyang Guru jadi menghubung-
hubungkan penitisan ilmu sesat si Jonggrang dengan
Satria. Apa urusannya dengan murid gendengku itu"
Apa jangan-jangan aku salah dengar atau bagaimana"
Ah, perasaan kupingku masih waras-waras saja sam-
pai sekarang...."
Sudah berkali-kali Dedengkot Sinting Kepala
Gundul menggaruk-garuk kepala. Berkali-kali. Bosan
menggaruk-garuk kepala, dia meneruskan dengan
menggaruk-garuk dengkul, lalu perut, lalu pantat. Tak
sekalian saja.... Sepanjang siang itu, terus saja dia
ngalor-ngidul di pantai. Ke sini salah. Ke sana salah.
Tak ke mana-mana, juga salah. Gubuk sebagai tempat
yang begitu nyaman bagi orang bosan hidup macam
dia, jadi terasa membuat gerah dirinya saja.
Sementara terus kebingungan, waktu mengen-
dap-endap tak tertahan. Bodoh benar Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul kalau dia terus saja kebingungan.
Jika malam menjelang dan dia masih tetap begitu, pe-
san gurunya untuk mencegah Nini Jonggrang meneri-
ma penitisan inti ilmu hitam, bakalan tak terlaksana.
Pikir punya pikir, akhirnya Dedengkot Sinting
Kepala Gundul memutuskan untuk segera menyusul
Satria Gendeng ke Gunung Sumbing.
Gunung Sumbing" Tepatkah tempat yang hen-
dak dituju sang sesepuh persilatan tanah Jawa satu
ini" SEMBILAN GUNUNG Sewu. Di sebelah tenggara gunung itu
terdapat goa besar tempat dahulu Nini Jonggrang men-
jalani hukuman dari gurunya, Pertapa Sakti Gunung
Sewu. Malam telah bertandang kembali, entah untuk
yang keberapa kali selama usia bumi. Bulan sabit me-
nyipit di antara kepungan awan kelabu. Seperti pesan
Pertapa Sakti Gunung Sewu, malam itulah Nini
Jonggrang akan menerima penitisan inti ilmu sesat da-
ri mendiang gurunya!
Satria Gendeng digiring ke sana oleh Ki Ageng
Sulut dan Nini Jonggrang. Sesuai dengan keinginan si
perempuan tua sesat, Satria Gendeng akan menjadi
pelampiasan dendam buta yang sejak lama dipendam-
nya. Goa Gunung Sewu sengaja dipilih karena Nini
Jonggrang menginginkan penderitaan yang tahu nanti
akan diterima murid Dongdongka itu seperti penderi-
taan yang dulu diterimanya dalam Goa Sewu.
Dan tampaknya, Nini Jonggrang telah lebih da-
hulu mengetahui daripada Dongdongka bahwa Pertapa
Sakti Gunung Sewu telah meninggalkan tempat. perta-
panya itu. Karenanya, tua bangka ahli tenung itu be-
rani mendatangi Goa Sewu.
Mayangseruni masih dalam genggaman Ki
Ageng Sulut. Dia masih dalam pengaruh totokan. Tu-
buhnya yang lemah lunglai dibopong oleh Ki Ageng Su-
lut hingga ke Goa Sewu. Sementara Tresnasari dibo-
pong oleh Nini Jonggrang. Gadis yang mengalami luka
dalam cukup parah akibat hantaman Nini Jonggrang
masih tak sadarkan diri.
Sebelum berangkat ke Goa Sewu, Nini
Jonggrang sempat mengobati luka dalamnya. Satria
Gendeng tidak dapat berbuat banyak, kecuali menyak-
sikan saja Nini Jonggrang bersemadi mengatur pereda-
ran hawa murni dalam tubuhnya. Jika macam-macam,
tangan kejam Ki Ageng Sulut akan memagut lepas
nyawa Mayangseruni.
Sementara itu, Ki Kusumo pun tak punya pili-
han lain kecuali menuruti perintah si Perempuan Pen-
gumpul Bangkai untuk segera meninggalkan Wadaslin-
tang. Namun, dia tak begitu bodoh untuk benar-benar
menyingkir. Dari jarak yang dianggap cukup aman, Ki
Kusumo bersembunyi dan menguntit hati-hati perjala-
nan mereka ke Goa Sewu.
"Sekarang, aku tidak peduli lagi pada sumpah-
ku padamu, Bocah Busuk. Kau yang telah membuat
aku menjadi marah besar! Sekarang, kau harus mene-
rima pengaruh tenung ku tanpa bisa membebaskan
kekasihmu dari tanganku! Biar kau tahu rasa! Biar
kau tahu, Perempuan Pengumpul Bangkai tak bisa
kau buat main-main!" mulai Nini Jonggrang seraya
menurunkan tubuh Tresnasari kasar ke tanah. Ketika
itu, mereka sudah tiba di mulut Goa Sewu, Nini
Jonggrang berdiri persis di depan goa. Satria Gendeng
berdiri berhadapan dengannya dalam jarak lima tom-
bak. Sementara Ki Ageng Sulut di belakang Satria
Gendeng, setiap saat siap untuk membunuh sande-
ranya. "Sulut! Hancurkan leher gadis itu sehancur-hancurnya kalau Bocah Jahanam
ini hendak macam-
macam!" lanjutnya seraya melepas pandangan kepada Ki Ageng Sulut.
Ki Ageng Sulut hanya mengangguk sekali. Tak
perlu diperintah pun, dia sudah sangat paham apa
yang mesti dilakukannya.
"Nah, Bocah Jahanam. Bersiaplah!" tukas Nini Jonggrang disusul tawa terkikiknya
yang mencelat masuk ke dalam goa, melahirkan gema yang bersahutan
dan kian menjauh.
Satria Gendeng tegang.
Sekujur dirinya seperti direjang dari dalam. Tak
mungkin lagi baginya menjalankan siasat yang sebe-
lumnya terpikirkan. Tak mungkin lagi baginya menge-
rahkan ajian 'Melepas Sukma' untuk mengecoh tenung
si Perempuan Pengumpul Bangkai. Tak mungkin.
Tegang menanjak.
Nini Jonggrang memekik. Mengangkat tangan-
nya tinggi-tinggi ke angkasa. Siap membangun kembali
upacara penuh hawa magis dari dasar alam kegelapan.
Menggidikkan. Mencabik nyali.
Ki Kusumo yang menanti di balik satu pohon
besar di kejauhan pun tak urung terbawa suasana
yang terus mencekam keras-keras. Harus ada yang di-
perbuatnya, jika tidak muridnya akan menjadi mangsa
tenung Nini Jonggrang.
Tapi, apa yang bisa dilakukan" Sementara Ki
Ageng Sulut seperti menggenggam nyawa Mayangseru-
ni dalam telapak tangannya. Mungkinkah dia terpaksa
harus membokong" Apakah nanti tindakan itu tak
membahayakan nyawa Mayangseruni! Bedebah!
Ki Kusumo meremas geram telapak tangan. Be-
tapa bencinya dia dalam keadaan tak berdaya seperti
itu. Seperti tak berdayanya Satria Gendeng.
Dalam keadaan genting layaknya telur di ujung
tanduk, mendadak saja....
"Heaaa!!!"
Clep! "Aaaa!"
Satria Gendeng terkejut. Ki Ageng Sulut terke-
jut. Juga Ki Kusumo di kejauhan sana. Hanya Nini
Jonggrang yang tidak. Lebih dari itu, si Perempuan
Pengumpul Bangkai justru disengat rasa sakit teramat
sangat di bagian pahanya. Karenanya dia melengking-
kan teriakan di luar mantera-manteranya yang seketi-
ka terpancung. Tresnasari, gadis yang sejak lama seperti tak
sadarkan diri itu mendadak menghujamkan sepasang
belati kecil dari balik bajunya ke paha kiri dan kanan Perempuan Pengumpul
Bangkai. Belati yang telah la-ma tak digunakan. Senjata kecil yang sering
dipergu- nakannya ketika masih bersama Nyai Cemarawangi!
Senjata yang begitu dikenali Satria Gendeng sejak da-
hulu. Tak disadari seorang pun, rupanya gadis itu te-
lah siuman sejak lama di Wadaslintang. Ketika itu, la-
mat dia mendengar kedatangan Ki Ageng Sulut dan Ki
Kusumo. Mendengar Mayangseruni disandera oleh Ki
Ageng Sulut, Tresnasari memutuskan untuk tetap ber-
pura-pura pingsan. Jika ada kesempatan, dia akan
bertindak tanpa diduga-duga. Hanya itu yang dapat
membebaskan Mayangseruni. Hanya tindakan cepat
yang tak terduga!
Tanpa memberi kesempatan bagi Nini
Jonggrang untuk menyadari apa yang terjadi, Tresna-
sari mencabut belati dari paha mangsanya
Bres! Dengan lincah bagai seekor anak kera, tubuh-
nya berguling beberapa tombak, lantas mencelat ke
atas. Di udara, tangannya berkelebat lagi, melempar-
kan sepasang belati bermandi darah ke arah Ki Ageng
Sulut. Sejak lama, Satria mengenal Tresnasari sebagai
ahli pelempar belati. Sasarannya jarang sekali luput.
Bahkan dia sanggup membelah dua batang bambu se-
besar kelingking dengan lemparan belatinya. Jika bela-
tinya kali ini mengarah ke sepasang mata Ki Ageng Su-
lut, tak diragukan lagi benda tajam itu akan mengarah
tepat menuju sasaran, kendati begitu, adalah tindakan
berani dilakukan Tresnasari. Sebab jika keliru mem-
buat perhitungan, justru Mayangseruni yang menjadi
korban! Tindakan tak terduga-duga Tresnasari mem-
buat Ki Ageng Sulut sempat tercengang. Untuk seper-
sekian kejap mata, dia jadi melupakan sanderanya
sendiri. Begitu menyadari ada sepasang benda tajam
melesat menuju kepalanya, Ki Ageng Sulut menjadi
terkesiap. Secara tak sengaja, dia melepaskan Mayang-
seruni untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari ter-
kaman sepasang belati Tresnasari.
Mayangseruni terlempar.
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tubuhnya berguling di tanah menurun.
Saatnya bagi Satria Gendeng untuk bertindak!
Wrrr! Sekali sentak, tubuh Satria Gendeng melayang
cepat menyusul Mayangseruni.
Nini Jonggrang tak bisa membiarkan begitu sa-
ja. Rasa sakit di pahanya telah sanggup dikuasai. Per-
hatiannya kini bisa dipusatkan kembali ke arah kan-
cah kekacauan. Kekacauan memang telah berlangsung
demikian cepat. Tak meleset perhitungan Tresnasari.
Tindakan cepat tak terduga seperti rencananya, telah
memporak-porandakan kemenangan sementara si Pe-
rempuan Pengumpul Bangkai dan Iblis Dari Neraka!
Nini Jonggrang berteriak bagai auman singa be-
tina tua. "Khuuaaaa!"
Wikh wiikh wikh wiikh!
Dengan nekat dan amat menggidikkan bagi sia-
pa pun yang menyaksikannya, Nini Jonggrang melepas
lima kuku jari tangan kanannya dengan sengaja. Sen-
takan tenaga dalam yang disalurkan kelewat batas
menyebabkan kelima jari hitam itu meluncur bagai tar-
ing-taring setan terbang!
Lompatan Satria Gendeng dikejarnya.
Bengis! Sepanjang lintasan kelima kuku hitam itu, uda-
ra menjadi terbakar. Asap tipis membentang panjang.
Deras. "Satria awas!!!"
Sekelebatan bayangan meluruk tak kalah cepat
dengan lesatan lima kuku jari maut milik Perempuan
Pengumpul Bangkai. Kelebatan yang memapas lang-
sung lintasan kuku-kuku itu. Bagai halilintar me-
mangkas angin ribut!
Hanya tinggal berjarak satu jari dari bokong Sa-
tria Gendeng yang tak menyadari datangnya bahaya
maut, kelima kuku itu berpentalan ke segala arah, di-
papas oleh dua batang logam.
Tring tring! Lalu, kelebatan bayangan itu menukik turun.
Berdiri di tengah-tengah kekacauan tepat di be-
lakang Tresnasari. Orang itu tentu saja Ki Kusumo,
Tabib Sakti Pulau Dedemit!
Tampaknya kekacauan akan segera berubah
menjadi adu kedigdayaan maut antara dua aliran ber-
seteru. *** Dengan mengandalkan pengerahan segenap il-
mu meringankan tubuhnya, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul memang tiba sebelum malam di tempat tu-
juan. Namun di sana, dia cuma bisa meneruskan kerja
menggaruk-garuk. Tak ditemukan siapa-siapa di sana.
Masalahnya memang bukan karena 'tak bisa' mene-
mukan, melainkan 'tak mungkin' menemukan. Mana
mungkin dia menemukan muridnya atau Nini
Jonggrang di sana, sementara mereka sedang berada
di Gunung Sewu"
Seluruh bagian gunung sudah dicarinya.
Puncak sudah. Lereng juga. Kaki gunung pun tak lupa.
Kalau gunung punya ketiak dan selangkangan,
pasti disatroni sekalian. Namun sampai Dedengkot
Sinting Kepala Gundul mengobrak-abrik 'sarang' Nini
Jonggrang di jurang Gunung Sumbing, tetap tak dite-
mukan orang-orang yang dicarinya.
Waktu tak pernah istirahat. Gerbang malam
makin dekat untuk terlewat. Senja sudah memiliki
warna jingganya. Makin dekat saja saat di mana Nini
Jonggrang menjelma menjadi iblis perempuan. Jika
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terlambat, bisa saja
malam nanti menjadi malam petaka!
Setelah agak senewen mencari, barulah tua
bangka itu mulai menyadari sesuatu.
"Eh, slompret! Aku ingat sekarang. Dulu, si
Jonggrang mengancam muridku. Dia ingin melam-
piaskan dendam ku melalui diri Cah Gendeng itu.
Jonggrang Jelek dendam padaku karena aku yang
memaksanya pulang ke Gunung Sewu. Di sana dia
mendapat hukuman. Kalau begitu, bukan tak mungkin
Jonggrang Jelek ingin melampiaskan dendamnya di
tempat yang sama sewaktu dia mendapat hukuman!"
gumam Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Iya ya!" tukasnya seraya meninju jidat sendiri.
"Kenapa aku jadi begitu tolol. Pasti Jonggrang
Jelek telah membawa muridku ke sana! Pasti, tahu!"
Karena waktu sudah sangat mendesak. De-
dengkot Sinting Kepala Gundul langsung menggenjot
kembali ilmu meringankan tubuhnya menuju Gunung
Sewu. SEPULUH PERTARUNGAN di depan mulut Goa Sewu tak
dapat terelakkan lagi. Keadaan telah berubah sama
sekali dari sebelumnya. Satria Gendeng, Ki Kusumo
dan dua gadis bersaudara kembar yang bersama me-
reka tak lagi dalam keadaan terjepit. Mayangseruni te-
lah bebas dari sandera Ki Ageng Sulut. Gadis itu kini
telah dibebaskan dari pengaruh totokan oleh Satria
Gendeng. Di bawah satu batang pohon besar yang cu-
kup jauh dari mulut goa, dia hanya menjadi penonton
tunggal dua kancah pertarungan sengit.
Satu kancah, Satria Gendeng bertukar jurus-
jurus maut dengan si Perempuan Pengumpul Bangkai.
Lain kancah, Ki Ageng Sulut menghadapi Ki Kusumo.
Biarpun pada pertarungan terakhir dengan lawannya
tabib kenamaan tanah Jawa itu kehilangan sepasang
kaki, tak tampak kegentaran pada dirinya. Ki Kusumo
sadar, kemungkinan menelan kekalahan yang lebih
parah bisa saja menimpanya kembali mengingat Iblis
Dari Neraka tetap berada beberapa tingkat di atasnya.
Namun, ada sedikit keyakinan dalam diri Ki Kusumo,
bahwa penyakit yang diderita Ki Agung Sulut kemung-
kinan besar pun menjadi kunci kemenangannya.
"Jika kudapatkan, kau tak akan kuampuni,
Murid Murtad!" seru Nini Jonggrang yang kini dalam gempuran habis-habisan si
pendekar muda. Benar-benar Perempuan Pengumpul Bangkai dibuat kalap
oleh muridnya. Karena ulah muridnya itu, niat untuk
menguasai Satria Gendeng di bawah tenung sesatnya
menjadi hancur berantakan.
Semua itu terjadi karena Nini Jonggrang telah
keliru menilai kemampuan murid perempuannya. Se-
lama menjadi murid Perempuan Pengumpul Bangkai,
Tresnasari diam-diam mencuri-curi beberapa ilmu ke-
saktian yang tak diturunkan. Nini Jonggrang biasa me-
letakkan beberapa kitab ilmu olah kanuragannya di
tempat rahasia dalam Goa Jurang Gunung Sumbing.
Suatu hari Tresnasari sempat memergoki Perempuan
Pengumpul Bangkai mengambil satu kitab tenung dari
tempat rahasia tersebut. Lalu tanpa sepengetahuan
guru sesatnya, Tresnasari mencuri isi beberapa kitab
dan dipelajarinya sendiri.
Itu sebabnya, pukulan Perempuan Pengumpul
Bangkai di Wadaslintang tak berakibat parah terhadap
diri Tresnasari. Kebetulan, pukulan itu adalah salah
satu ilmu tenaga dalam yang dicurinya.
"Tresna, bawalah Mayangseruni menyingkir da-
ri tempat ini!" seru Satria Gendeng, mengimbangi ancaman sengit Nini Jonggrang.
Tak perlu dua kali diperingati, Tresnasari sege-
ra memapah saudara kembarnya meninggalkan tempat
tersebut. "Tak semudah itu kau menyingkir, Murid Ja-
hanam!" teriak Nini Jonggrang kalap bukan main, Nini Jonggrang berjuang untuk
melepaskan diri dari hujanan serangan Satria Gendeng. Tubuhnya digenjot hen-
dak menghadang Tresnasari dan Mayangseruni.
Dengan ketat, Satria Gendeng merapatkan se-
rangan, mencoba membendung usaha lawan.
Nini Jonggrang makin dibuat kalap.
Sementara, malam kian terlelap.
Hal yang paling ditakuti Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul malam itu akhirnya terjadi juga. Apa la-
cur, orang tua sakti yang harus tiba sebelum tengah
malam, tak kunjung-kunjung tiba
Tepat tengah malam menjejak pada detiknya,
sekelebat cahaya merah menyilaukan membelah langit
kelam. Bagai bintang jatuh berekor panjang, cahaya
itu menukik amat deras dan tajam menuju Nini
Jonggrang. Nini Jonggrang sendiri luput menyadari
kedatangannya. Hingga.... Ssss! "Ngiiii!"
Tubuh Satria Gendeng terpental amat jauh. Me-
lintas di atas kancah pertarungan Ki Kusumo dan Ki
Ageng Sulut! Menyusul desisan amat kuat seperti berasal da-
ri moncong seribu naga, si Perempuan Pengumpul
Bangkai menjerit sejadi-jadinya. Tubuhnya tersengat
kaku. Beberapa saat berselang, di sekujur tubuhnya
muncul semacam pendaran cahaya halus semerah da-
rah namun menusuk mata. Cahaya halus itu meram-
bat dan mengembang keluar dari tubuh Nini
Jonggrang. Sedangkan tubuh si perempuan tua sesat
bergetar. Kian lama getaran tubuhnya kian kentara.
Sampai akhirnya...
Seperti datang dari pusat bumi, angin tiba-tiba
bertiup amat kencang. Anehnya, hanya di daerah seki-
tar Goa Sewu. Seketika, angin itu membentuk pusaran
yang menyerupai angin puting beliung. Menerbangkan
daun-daun, ranting-ranting kering, rerumputan, dan
apa-apa yang bisa disapunya. Bahkan pepohonan be-
sar yang tidak bisa tertahan dengan akarnya lagi! Se-
muanya diterbangkan ke pusat pusaran tepat di ten-
gah-tengah batang besar pohon tua.
Kendati dalam pertarungan sengit, Ki Ageng
Sulut dan Ki Kusumo langsung melompat menjaga ja-
rak. Keduanya sama-sama dikejutkan. Apa yang se-
dang berlangsung" tanya hati masing-masing.
Tresnasari dan Mayangseruni berhenti. Meno-
leh dengan wajah tercengang.
Satria Gendeng bangkit mengeluh. Matanya tak
berkedip begitu menyaksikan lawannya. Iblis dari lan-
git mana yang telah merasuki dirinya" Perangah si
pendekar muda. Begitu angin reda, terlihatlah wujud menye-
ramkan Nini Jonggrang yang baru. Seorang nenek
yang sekujur kulitnya dipenuhi sisik! Lidahnya me-
manjang dua jengkal seperti lidah seekor ular....
"Hi hiii hi hiiii!"
Pekat. Tawa Perempuan Pengumpul Bangkai
berjingkat di antara lorong pegunungan.
Menjangkiti malam.
Satria Gendeng menarik napas padat-padat.
Kini bagaimana dia bisa tetap yakin kalau yang diha-
dapinya adalah manusia, bukan siluman jejadian" Hati
nuraninya mengingatkan untuk meminta kekuatan da-
ri Sang Khalik.
Belum lagi tuntas Satria Gendeng memasrah-
kan dirinya pada Tuhan, di kejauhan terdengar gera-
man berlapis terpelanting dari kerongkongan Perem-
puan Pengumpul Bangkai. Lidah bercabangnya menju-
lur-julur. Tangannya menuding lurus ke arah Satria
Gendeng Kejapan mata berikutnya, dari bawah kaki Sa-
tria Gendeng muncul perlahan akar-akar berwarna se-
gelap lumpur. Geraknya seperti mengendap. Tanpa di-
ketahui Satria Gendeng, akar-akar menjijikkan itu
mencengkeram pergelangan kaki keduanya.
Srap! Srap! Selaku pendekar yang sudah begitu terlatih ke-
sigapannya, Satria Gendeng cepat membuat gerakan
menghentak ke atas dengan mengerahkan kekuatan
tenaga dalam penuh.
"Khiaaa!"
Dua cabang akar sebesar lengan manusia yang
sempat menjapit pergelangan kakinya tak ayal lagi ter-
cabut putus. Dengan salto, Satria Gendeng memang-
kas udara. Hingga empat tombak didepan Nini
Jonggrang. Di pergelangan kakinya, masih tersisa po-
tongan akar. Cairan berwarna hijau kehitaman kental
menjijikkan bercucuran dari setiap potongan akar ter-
sebut. Bibir Satria Gendeng meringis jijik. Kalau saja dia tak bisa menguasai
diri, saat itu juga dia akan
muntah. "Sihir," desis Ki Kusumo. Orang tua itu pernah mendengar Perempuan Pengumpul
Bangkai memiliki
tenung. Namun, selama hidup tak pernah diketa-
huinya kalau tenung si perempuan tua laknat sanggup
menciptakan serupa itu.
Dongdongka baru tiba setelah semuanya terja-
di. Dia melongo-longo menyaksikan Nini
Jonggrang. "Astaga, kupikir dia akan berubah menjadi mu-
da kembali dan mendapatkan kecantikannya ketika
menerima penitisan inti ilmu sesat gurunya. Tak ta-
hunya, dia jadi manusia kadal! Ihhhh jijik, tahu!" ko-mentarnya, antara gumaman
dan rutukan. Menyaksikan kedatangan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul, musuh besar yang paling dihindari, Ki
Ageng Sulut tak bisa membiarkan dirinya tetap di sa-
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
na. Tanpa diketahui Ki Kusumo yang masih memaku-
kan pandangan ke arah Nini Jonggrang, tokoh golon-
gan sesat itu meninggalkan Goa Sewu.
"Panembahan, apa yang sesungguhnya terjadi
pada Nini Jonggrang?" tanya Ki Kusumo, sesaat setelah disadari lawannya telah
menghilang. "Aku terlambat, Kusumo. Sial benar," sahut
Dedengkot Sinting Kepala Gundul, sama sekali tak
menyumpal derasnya rasa penasaran Ki Kusumo.
"Oh, kau tadi tanya apa?" Barulah Dongdongka tersadar pada pertanyaan tadi.
"Apa yang sedang terjadi" Aku tak mengerti...."
"Perempuan jelek yang tambah jelek itu dititisi
inti ilmu sesat gurunya!"
"Kalau begitu, murid kita dalam keadaan ba-
haya!" Ki Kusumo baru hendak menggenjot tubuh.
Dongdongka menahannya.
"Menurut Eyang Guru, hanya murid kita yang
bisa menghadapinya. Biarkan dia sendiri. Aku percaya
pada kesanggupan Cah Gendeng kita itu! He he he!"
Sementara Dongdongka tertawa, Ki Kusumo
cuma bisa mengernyitkan kening. Bagaimana orang
tua ini masih sempat tertawa pada saat-saat demikian
genting" Di kancah pertarungan tunggal, Satria Gendeng
telah bersiap mati dalam menghadapi lawan.
Nini Jonggrang menggeram-geram tiada terpu-
tus. Tangannya mendadak terayun cepat. Dari kedua
telapak tangannya mendadak keluar bola-bola api se-
besar kepala bayi!
Wuk wuk wuk! Deru santer bagai kepakan sayap rajawali rak-
sasa terdengar. Disusul dengan membesarnya api di
seputar bola-bola api tadi. Melayang-layang liar menu-
ju sasaran. Lidah apinya siap menerkam.
Tak pernah mengalami kejadian serupa dalam
hidupnya yang tergolong hijau, Satria Gendeng terce-
kam. Dia tercengang tanpa bisa melakukan apa-apa.
Saat itulah, terdengar bisikan gaib menyelusup
langsung ke telinganya.
"Jangan pernah gentar. Pergunakan kekuatan
hatimu untuk melawan semua itu. Sihir hanyalah tipu
daya. Jika kekuatan hatimu sanggup menentangnya,
maka dia akan punah...."
Kendati tak mengerti siapa yang telah membisi-
kinya, anehnya Satria Gendeng merasa sangat percaya
dengan bisikan gaib itu. Kekuatan hati" tanyanya
membatin. Hanya ada satu-satunya cara yang dia tahu
untuk mencapai hal itu.
Semadi! Namun, bagaimana mungkin dalam waktu yang
demikian mendesak" Bagaimana dengan bola-bola api
yang meluncur demikian sengit ke arahnya"
"Cepat!"
Kembali terlintas bisikan di telinga Satria Gen-
deng. Sekali ini bernada mendesak. Tak dapat ditolak.
Tanpa terpikir-pikir lagi, Satria Gendeng lang-
sung memejamkan mata. Memusatkan segala rasa dan
karsa serta kekuatan dirinya ke satu titik terang dalam batin. Entah bagaimana,
dalam situasi yang tak me-mungkinkan untuk melakukan semadi, Satria Gen-
deng ternyata berhasil mencapai puncak semadinya
dalam hitungan waktu kedipan mata!
Sekejap setelah matanya terpejam....
Blar Blar blar!!!
Leburlah semua bola api.
Satria Gendeng membuka mata. Takjub menda-
tanginya. "Hi hi hi hiiii!" Melompat tawa menyeramkan
dari tenggorokan Nini Jonggrang. "Tak kusangka kau sanggup menghancurkan
permainan ku, Bocah Jahanam!" Seperti mencemooh, Nini Jonggrang berujar,
"Namun, jangan harap kau akan unggul menghadapi
kekuatan tenung ku kini...," ancamnya berat, seakan hendak menggoyahkan
kemantapan hati si satria mu-da.
"Perempuan siluman busuk!" balas Satria Gen-
deng. "Kujamin kau yang akan menemui iblis-iblis sekutu mu di neraka sana!!!!"
terjang Satria Gendeng garang. "Haa, bagus itu! Bagus itu! Itu baru muridku!"
koar Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Perempuan Pengumpul Bangkai terkikik lagi.
Kali ini lebih nyaring melengking. "Buktikanlah, Satria Gendeng! Buktikan...,"
tantangnya, memancing kemarahan lawan.
"Kalau itu yang kau inginkan, akan kulayani,"
tegas Satria Gendeng seraya memasang jurus-jurus te-
rampuhnya. Bibir Nini Jonggrang menyeringai mengejek.
"Kau masih saja mempergunakan jurus jelek mu itu, Cah Bau Kencur" Hi hi hiiii!"
"Banyak mulut!" Satria Gendeng yang sudah
sepenuhnya siap menghadapi lawan segera menerjang
ke depan. Serangkai langkah-langkah teramat cepat
dibuat. Seluruh geraknya tampak ngawur tak karuan,
namun amat bertenaga dan mantap. Itulah ciri khas
jurus-jurus yang diciptakannya diturunkan Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul.
"Hiaaa!"
Deb! Wes! Sampokan tangan kanan Satria Gendeng mem-
babat lurus ke bagian leher lawan. Ketika nyaris tiba di sasaran, gerakan
tangannya tiba-tiba menyempong ke
sasaran lain. Dari gerak menyampok, tangannya beru-
bah mengacungkan jari untuk menotok jalan darah di
bagian dada lawan.
Lawan tampaknya tak mudah dikelabui dengan
perubahan gerak tiba-tiba yang bisa mengecohkan to-
koh persilatan berilmu tinggi sekalipun. Dengan amat
lincah, Nini Jonggrang menjepit jari-jemari Satria Gendeng dengan sepasang
telapak tangannya.
Tep! Pada waktu yang nyaris tak berseling, mata
bengis Perempuan Pengumpul Bangkai menerkam ta-
jam ke manik mata Satria Gendeng.
"Jangan tatap matanya!" bisikan gaib mempe-
ringatkan kembali.
Sayang.... "Aaaah!"
Satria Gendeng terjajar mundur. Matanya de-
mikian pedih. Seperti ada racun membakar yang ter-
sembur ke biji matanya.
Nini Jonggrang mempergunakan kesempatan
itu untuk memasukkan tiga tusukan jari dengan tan-
gan yang bebas ke kening lawan mudanya. Tusukan
yang dapat melobangi baja setebal setengah jengkal!
"Satria Gendeng di depanmu!" seru Ki Kusumo.
"Biar biar biar saja!" timpal Dedengkot Sinting
Kepala Gundul, seru.
Tanpa harus diperingatkan pun, Satria Gen-
deng sebenarnya sudah menyadari bahaya itu. Sigap,
disentaknya kaki ke atas. Masih dengan tangan terjepit telapak tangan lawan,
dengan cerdik Satria Gendeng
melenting ke atas tubuh lawan. Melewati kepala, dan
setibanya di belakang, langsung mendaratkan satu
tendangan keras ke bokong Nini Jonggrang. Semuanya
dilakukan tanpa melihat!
Dakh! Tubuh Perempuan Pengumpul Bangkai ter-
hempas ke depan amat deras.
Nini Jonggrang bangkit seperti tak pernah ter-
kena hantaman. Padahal sebongkah karang sebesar
kerbau mungkin akan berantakan terkena tendangan
Satria Gendeng tadi. Terkaman dibuatnya. Ganas dan
berkekuatan penuh. Kesepuluh jari tangannya menge-
jang kaku seolah-olah siap mencabik baja terkeras se-
kalipun. Ki Kusumo tercekam. Muridnya masih sibuk
mengusap-usap mata. Sementara serangan lebih ce-
pat, lebih gawat, dan sengit mulai dilancarkan lawan-
nya kembali. "Jangan pedulikan rasa pedih itu. Itu hanya ti-
pu daya sihir belaka. Hanya mengecoh perasaanmu.
Mantapkan kembali hatimu!" bisikan gaib itu menolong si pendekar muda pemberani
untuk kesekian kali.
Satria Gendeng mengulang semadi singkatnya.
Sewaktu dua cakar Perempuan Pengumpul
Bangkai hendak merobek tenggorokannya, Satria Gen-
deng telah siap kembali. Bahkan pandangannya dapat
lebih jernih dan tajam dari sebelum terkena pengaruh
tenung lawan. Dia bergerak sigap satu tindak ke samp-
ing. Wuk! Sambaran lawan pun lewat begitu saja. Hanya
setengah jengkal dari tenggorokannya. Sebuah cara
menghindar yang terlalu berisiko besar. Seakan-akan
pendekar muda itu hendak mengejek lawan.
"Sayang tak kena. Kau kurang cepat, Perem-
puan Siluman!"
"Khaaah! Jebol igamu!"
Dalam segebrakan, Nini Jonggrang sudah
membuat serangan susulan dengan siku kirinya. Dada
bidang lawan hendak dijadikan sasaran.
Satria Gendeng tak mau terus menghindar. Ka-
lau terus seperti itu dia sadar lama kelamaan akan
terhantam juga salah satu serangan gencar lawan.
Maka dengan satu gerak yang terlihat pontang-
panting, tapi secepat kedipan mata, tangannya mene-
kuk di depan dada.
Dakh! Siku lawan berhasil ditahannya. Kejap berikut-
nya, tangan yang lain meruntuhkan serangkai totokan
yang bisa menjatuhkan empat puluh ekor kuda jantan
sekaligus. Gencar bagai siraman hujan dari langit rang-
kaian totokan Satria Gendeng. Tapi, tak satu pun bisa
melumpuhkan lawan. Karena setiap kali mengenai sa-
saran, tubuh lawan berubah menjadi selembut asap.
Meski setiap totokannya tepat mengenai sasaran, Sa-
tria Gendeng tak merasakan apa pun menyentuh
ujung jarinya. Menyadari hal itu, Satria Gendeng melenting
ringan untuk menjauhi lawan. Untuk menghadapi ke-
kuatan sihir lawan, jalan satu-satunya bagi Satria
Gendeng adalah menuruti sepenuhnya peringatan bi-
sikan gaib. Memusatkan segenap jiwanya pada satu ti-
tik terdalam di dasar dirinya.
Begitu dia memasuki taraf pengosongan diri,
sebuah semburan sinar seperti hujanan paku memba-
ra tercipta dari sepasang telapak tangan lawan. Men-
deru menuju diri Satria Gendeng.
Satria Gendeng diterjang sekejap kemudian. Se-
luruh tubuhnya menghilang di antara kepungan ca-
haya berbentuk paku membara. Namun beberapa saat
berikutnya, hujanan cahaya aneh mendadak tersurut
mundur. Karena dari seluruh pori-pori di tubuh Satria
Gendeng membersit cahaya kuning. Amat bening se-
perti air tanpa wujud. Cahaya bening itu mendesak
dan mendesak sihir ciptaan Nini Jonggrang.
Menyadari usahanya tak berhasil, Perempuan
Pengumpul Bangkai menambah pengerahan kekuatan
sihirnya. Kini bukan cuma bilah-bilah cahaya merah
yang muncul dari telapak tangan manusia jahanam si-
luman itu. Sesosok makhluk yang berubah-ubah ben-
tuk melayang deras meluruk ke arah Satria Gendeng.
Makhluk yang berubah-ubah wujud itu ternya-
ta sanggup menelan sejengkal demi sejengkal cahaya
bening dari tubuh Satria Gendeng. Sejengkal dan se-
jengkal... Pada akhirnya, sebentuk tangan mencuat da-
ri perut makhluk itu. Leher Satria Gendeng pun lang-
sung dicengkeramnya.
Krep! Saat itu Satria Gendeng merasa dirinya seperti
dipaksa tenggelam ke dasar danau dalam amat gelap.
Napasnya sesak, jangankan menarik napas, mengem-
bangkan dadanya pun sudah begitu sulit. Tubuh kekar
pemuda itu bergeliat-geliat.
Apakah dia akan terus bergeliat hingga mere-
gang nyawa"
Satria Gendeng masih tetap bertahan dalam
semadinya. Napasnya nyaris terhenti. Lehernya seperti di-
patah-patahkan.
Saat dia tak kuat lagi menahan gempuran sik-
saan itu. "Bertahan pada semadi mu. Lalu, tentanglah
matanya dengan segenap kekuatan hatimu!" terngiang kembali bisikan gaib.
Satria Gendeng menurutinya. Pada saatnya,
matanya terpentang lebar-lebar, menerkam langsung
mata Nini Jonggrang. Menuju manik-maniknya.
Tanpa bisa dipahami, tiba-tiba saja cengkera-
man tangan ganjil di lehernya sirna. Satria Gendeng
heran. Namun dia tak boleh menghentikan hujaman
tatapan matanya yang pernah membuat hati Ki Ageng
Sulut serasa terjepit ketika bertarung dengan pendekar muda itu beberapa waktu
lalu. Di lain pihak, Nini Jonggrang mulai menggeliat-
geliat. Seperti ada sodokan lempeng bara panas di se-
kujur tubuhnya.
Mata Perempuan Pengumpul Bangkai mendelik
sejadi-jadinya. Mendelik dan makin mendelik. Tersiksa
tatapan amat kuat si pemuda bau kencur. Sebaliknya
akhirnya kekuatan sihirnya tiba-tiba pupus.
Di ujung kekalapan pengaruh sihirnya terden-
gar desisan seperti awal dia dititisi inti ilmu sesat gurunya. Bagai bara masuk
ke dalam air, begitu bunyi
desisan terdengar. Bersamaan dengan itu, mulut Pe-
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rempuan Pengumpul Bangkai melepas lengkingan
tinggi. Lalu perlahan-lahan tubuh Nini Jonggrang
memupus. Hilang. Selang sekian tarikan napas setelah menghi-
langnya tubuh Nini Jonggrang, terdengar kikik tawa di
kejauhan. Seperti berasal dari balik Gunung Sewu....
SELESAI Segera hadir!! Serial Satria Gendeng dalam episode:
PASUKAN KELELAWAR
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pedang Dan Kitab Suci 10 Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit Memburu Iblis 6