Pencarian

Pasukan Kelelawar 1

Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU MALAM itu langit tak menampakkan wajah ra-
mah. Jutaan bintang dikekang gumpalan-gumpalan
mega kelabu. Arakan tambun yang merayap tersendat.
Pada hari-hari seperti itu, semestinya cakrawala bertabur cahaya bulan bulat
penuh. Sayang itu tak terwu-
jud, karena bulan purnama bernasib sama dengan gu-
gus gemintang. Rona langit malam seperti mati. Denyut benda-
benda angkasa bagai dibungkam para makhluk-
makhluk gaib. Alam lengang. Detak waktu terasa begi-tu lamban bagai langkah-
langkah para pengantar jena-zah. Kilat mengerjap. Petir mengguntur kemudian.
Salakannya garang. Sahut-sahutan suara dari langit
itu pun tak terputus. Seakan ada dua makhluk raksa-
sa angkasa yang sedang bersabung mengadu gada.
Hujan sengit tertabur.
Bumi terguyur. Kacau ke segenap arah, angin menghambur.
Dedaunan gugur.
Dalam liang demi liang, satwa tepekur.
Di tengah-tengah serbuan hujan tengah malam
buta, kebanyakan orang akan lebih suka membungkus
diri rapat-rapat dengan selimut tebal di atas balai. Pergi ke mana pun, menjadi
pekerjaan yang sama sekali
tak nyaman. Dingin. Menakutkan.
Agak gila kalau ada orang masih mau-maunya
keluar dan berjalan di tengah-tengah alam yang semakin uring-uringan itu.
Apalagi kalau orang itu masih berumur terlalu muda.
Yang pasti memang gila! Sembilan orang bocah
berumur tak lebih dari delapan tahun berlari-lari kecil melintasi hutan malam
itu. Dalam dingin yang meng-hujam, mereka semua tak mengenakan baju. Kecuali
mengenakan kain pembungkus seperti popok bayi. Ke-
sembilan bocah-bocah itu terus berlari menuju tengga-ra. Melintasi semak-
belukar, onak-berduri dan pepo-
honan raksasa. Tanpa kesulitan berarti. Tanpa bias
takut di wajah masing-masing.
Gerak mereka ringan layaknya sekawanan
anak-anak mambang penjaga hutan. Mencelat-celat
gesit bila ada halangan di depan. Berjumpalitan bila terbentang lobang atau
genangan air. Mereka bahkan
lebih lincah dari sekawanan kera manakala mereka
melompat-lompat di antara dahan-dahan pepohonan.
Mereka terus berlari. Sampai mereka memasuki
batas Desa Pengging. Seperti sembilan bayangan, bo-
cah-bocah itu melintasi jalan tanah yang digenangi air.
Kecepatan lari mereka luar biasa. Tak ada bocah sanggup berlari lebih gesit dari
seekor serigala. Apalagi seu-sia mereka. Dengan kecepatan seperti itu dan
serbuan hujan yang demikian pekat di malam kelewat pekat
mereka nyaris tak terlihat. Manakala kilat berkelebat, selintas kilas bayangan
sembilan bocah itu tampak.
Salah seorang yang berlari paling depan men-
dadak mengangkat tangan. Isyarat berhenti diperli-
hatkan. Delapan bocah lain menuruti aba-aba. Di tengah jalan tanah agak lebar
yang mengkerangkal desa, kesembilannya berdiri diam. Tak peduli pada hujan
yang mengkuyupi.
Mata bocah paling depan sejenak jelalatan liar.
Bersitnya seperti seekor hewan buas mencari mangsa.
Pada satu rumah panggung paling besar di dekat jalan, mata setajam sembilunya
berhenti. Menghunus sesaat
tatapannya. Lekat pada rumah berlampu tempel itu.
Terdengar suara geramnya di antara gemuruh
hujan, Tanpa menoleh, tangannya kembali memberi
aba-aba. Lalu kedelapan bocah lain berpencar tangkas.
Setelah itu, si bocah pemimpin menyusul. Delapan bocah yang beranjak lebih dulu
membentuk kepungan
dari delapan penjuru berbeda. Hanya bocah terakhir
yang tak turut.
Di tempat masing-masing, mereka berdiri diam.
Cukup lama. Tanpa dikomando, kedelapan bocah pengepung
berbarengan merentangkan tangan. Kejadian berikut-
nya sungguh menakjubkan! Dari kesepuluh ujung jari
mereka membersit cahaya kuning memanjang. Setiap
ujung juluran cahaya kuning bertemu satu dengan
yang lain, membentuk gelang besar yang melingkari
rumah. Tepat ketika setiap ujung cahaya kuning ber-sambung, bocah kesembilan
melenting ringan tanpa
suara. Di udara tubuhnya membungkal seperti bola
karet. Melewati lingkaran cahaya kuning, dia hinggap hanya dua tindak di depan
pintu rumah panggung.
Sementara itu, di dalam rumah sepasang pen-
gantin yang baru menikah beberapa hari lalu, baru
hendak melakukan 'pekerjaan rumah' mereka. Biasa, yang namanya pengantin baru
pasti masih serba hangat. Jangankan hujan besar, hujan badai pun kalau
bisa diacuhkan saja. Semangat tempur mereka masih
menggebu-gebu, pasti!
Si lelaki berusia setengah baya. Kendati cukup
berusia, wajahnya masih tetap menarik. Setidak-
tidaknya, dia masih punya banyak harta untuk mem-
beli satu dua perawan desa. Terserah mau suka atau
tidak. Kalau uang sudah bicara, calon mertua pun bisa diurus! Buktinya,
perempuan yang serumah dengan-
nya kini adalah istri keempat! Masih muda dan denok pula. Weleh, betapa dunia
ini benar-benar menjadi
sorga buatnya! "Neng, ayo Neng...," rayu si suami, mendayu-dayu penuh nada cumbu.
Gombal! Tapi, beruntung buat si lelaki, istri keempatnya
kali ini tidak terpaksa kawin dengannya. Pesonanya
sebagai lelaki, rupanya masih cukup ampuh untuk
melumpuhkan hati sang istri keempat yang bertaut
usia dua puluh tahun itu.
"Apa, Kang?" balas si istri muda, tak kalah mendayu. Matanya mengerling genit.
Membuat perasaan suaminya menjadi begitu 'serrrr'. Jangan-jangan, kerbau jantan
pun bisa ikut 'serrr' tertimpa kerlingan genitnya.
Perlahan, sang suami memulai gerilya. Dideka-
tinya perempuan denok yang setengah terbaring di balai berkasur jerami empuk
berseprai halus. Duduklah dia di sisi pembaringan. Tangannya mulai lapar,
mengusap-usap paha istrinya yang ditutupi kain wiron.
"Dingin, ya Neng?"
"Kalau hujan, memang dingin Kang. Memang-
nya kenapa?"
"Ah, Neng ini..."
"Ah, Kakang ini...."
Lalu, tangan sang suami mulai menjalar ke ba-
tik kain wiron, menjelajahi paha putih mulus istri mudanya. Terdengar desah
halus. Istrinya menikmati, ketika sepasang dada sekal padatnya mendapat giliran.
Usapan makin menggebu menyatroni.
Pakaian luruh satu-satu.
Darah bergejolak.
Erangan menanjak.
Ketika 'pekerjaan rumah' hendak memasuki ta-
hap puncak, mendadak saja keduanya diserang kan-
tuk maha hebat. Saking hebatnya, keduanya sampai
tak sempat merasakan kantuk itu sendiri. Tahu-tahu
saja, keduanya sudah terpulas bagai dua bayi kembar berlainan jenis.
* * * Waktu terlewat tak terasa. Malam pupus ditelan
rembang pagi. Hujan jinak sejak dini hari. Pagi datang.
Damai. Sampai kedamaian pagi digebrak satu teriakan.
"Culiiiiiik!"
Seorang penduduk desa lari blingsatan di ten-
gah pagi berkabut. Lelaki setengah baya yang belum
lama kawin dengan istri keempat! Keluar dari rumah-
nya yang lebih besar dari rumah penduduk lain. Dia
terus berteriak-teriak keras. Kehening-heningan suasana dikeruhkan.
Warga cepat berhamburan.
Jalan becek tak dipedulikan.
"Ada apa. To, mas" Ada apa?" tanya satu te-tangga. "Sampean ini, piye to" Pagi-
pagi begini sudah teriak-teriak ndak karuan"!" tukas yang lain.
Kerumunan terbentuk, Di tengah kerumunan,
lelaki setengah baya tadi terus kelimpungan. Sebentar diremas-remasnya rambut.
Sebentar-sebentar, matanya jelalatan mencari-cari. Wajahnya benar-benar
kalang-kabut. "Eling-eling, Mas!" tegur seorang warga, perempuan tua bertubuh gemuk yang masih
memeluk guling jerami. "Eling-eling, ndasmu! Aku masih waras!" maki si lelaki setengah baya.
"Lha terus kenapa sampean seperti orang kera-
sukan?" "Biniku!"
"Bini sampean yang mana" Tukiyem, Samijem,
Juminten, apa si Wuragil?"
"Wuragil, Mas! Wuragil!!! Aduh!"
"Kenapa bini mudamu itu" Kenapa Wuragil"
Tak mau masakin sampean makanan?"
"Bukan!"
"Tak mau nyuci, nyapu, tidurnya ngorok?"
"Bukan bukan bukan! Waduh, sampean ini
guoblok!" "E, lahdalah! Jangan ngegoblok-gobloki semba-
rangan, to! Aku kan cuma belum ngerti si Wuragil itu kenapa. Kenapa sampean ini
guooblok sekali"!"
"Memangnya Wuragil ndak mau sampean ajak
tidur, Mas?" sela yang lain.
"Huss, ini masih pagi! Jangan ngomong yang
ndak-ndak!"
"Hus hus hus! Kenapa kalian yang jadi ribut!
Urusan Wuragil saja belum beres!"
"Iya, Mas! Bilang saja kalau Wuragil mau sam-
pean cerai. Biar jandanya buat aku!"
"Diaaam, guooblok!"
"Ngomong, Mas! Ngomong!"
"Wuragil ada yang nyuliiiiiiik!" teriak lelaki setengah baya keras-keras.
Habisnya, orang-orang di se-kelilingnya malah ribut sendiri.
"Oooo, ada yang nyulik Wuragil to" Aku kira
apa.... Eh, apa"! Wuragil ada yang nyulik"! E, lahdalah! Wong baru kawin
seminggu, kok diculik" Tunggu
setahun begitu, biar sampean puas dulu, ya Mas" Se-
telah itu baru...."
"Setelah itu baru ndasmu tak totok!"
"Siapa yang nyulik Wuragil, Mas"!"
Lelaki setengah baya menjambak-jambak ram-
but. Mukanya terlipat-lipat.
"Aku sendiri tak percaya!" jawabnya.
"Tak percaya Wuragil sudah jadi bini sampean"
Lha kok bisa gitu?"
"Bukan, guoblok!"
"Terus apa?"
"Tak percaya kalau Wuragil diculik. bocah-
bocah!" "Ah, masa'" Sampean ndak ngelindur" Yakin
ndak ngelindur!"
"Sampean ini mau nolong apa mau ngenyek"
Jangkrik! Aku bilang betul. Si Wuragil diculik bocah-bocah! Sebesar-besar ini,"
lapor lelaki setengah baya sambil menempatkan tangan ke bagian pinggang,
memberi tahu tinggi bocah-bocah yang telah menculik istri mudanya.
"He he he, ya wis. Bubar bubar! Si Mas ini cu-
ma ngeguyon!"
"Juangkrik!!!"
Saking dongkol dianggap cuma bergurau, lelaki
setengah baya jadi kalap. Memang dia sudah uring-
uringan. Sekarang, ada yang mencoba cari-cari perka-ra. Tak ayal lagi, si lelaki
setengah baya langsung melabrak orang tadi. Bogem setengah mentahnya muntah
ke bibir orang itu.
Dugh! "Waduh, samfean ini ghimfana, to" Masa' aku
difukul"!"
"Sudah sudah!" seorang penghulu desa kebetulan sudah tiba. Jika tidak, keributan
antar warga bisa
meledak di pagi buta.
"Sekarang, sampean ikut saja ke balai desa! Bi-ar urusannya diselesaikan di
sana!" tegas, penghulu desa memerintah lelaki setengah baya untuk mengiku-tinya.
Begitulah cerita di Desa Pengging.
Sejak hari itu, kejadian yang sama berulang
kembali di desa-dasa lain. Kejadiannya benar-benar
serupa. Perempuan-perempuan muda diculik. Tak pe-
duli perawan, atau bukan. Lajang atau janda. Dan kabar yang santer terdengar
dari beberapa saksi mata di tempat kejadian, para penculiknya adalah sekawanan
bocah yang usianya tak lebih dari lima-enam tahun!
Tak cuma penduduk biasa, bahkan padepokan
perguruan silat pun disatroni. Beberapa padepokan
sempat kecolongan. Meski sempat memergoki dan be-
rusaha untuk menangkap penculik-penculik kecil itu.
Tidak ada hasil. Seorang perempuan muda tetap hi-
lang. Bahkan harus ditambah dengan beberapa murid
perguruan yang mati mengenaskan di tangan bocah-
bocah itu. Semenjak itu pula, mulai santer desas-desus
untuk sebutan mereka; "Pasukan Kelelawar".
DUA SIANG itu tak jauh berbeda dengan hari-hari
sebelumnya. Matahari bersinar sengit. Condong se-
penggalan dari atas ubun-ubun. Panas bukan main.
Padahal hari-hari sebelumnya hujan masih bertan-
dang. Penghuni bumi, dipersilakan untuk mengeluh.
Senandung alam tak pernah berubah dari wak-
tu ke waktu. Pagi, siang, senja, atau malam. Entah hujan, mendung, badai, atau
terang benderang. Senan-
dung tetap berupa puji-pujian yang gaib kepada Tuhan Semesta Alam.
Berbeda dengan milik alam, senandung yang
terulur dari mulut seseorang kali ini adalah sebentuk pujian pada sang kekasih
pujaan. Kekasih pujaan"


Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkinkah dia hanya sedang menyenandungkan gu-
rauan. Betapa tidak, dia adalah seorang tua bangka
yang usianya mungkin sudah menjelang senja. Kepa-
lanya berambut jarang dan tipis. Warnanya seperti
rambut jagung. Wajahnya bulat, ditumpuki lemak.
Mengimbangi badannya yang subur makmur layaknya
tanah Jawa Dwipa. Saking suburnya, perutnya pun
hampir sebesar gentong. Punuknya tebal seperti Sapi Benggala. Lehernya nyaris
tak kentara. Dengan tinggi yang kurang dari orang kebanyakan, makin buntal sa-ja
penampilannya. Lelaki gemuk itu mengenakan pakaian berwar-
na kuning-kuning. Mencolok dalam suasana panas te-
rik seperti saat itu. Lemak di tubuhnya yang mungkin terus bertambah setiap
minggu menyebabkan bajunya
menjadi mengetat. Akibatnya, sebagian lemak perutnya terlipat. Pusarnya pun
'jelalatan' ke mana-mana.
Mending kalau tidak bodong!
Sambil melangkah berat, orang tua gendut me-
nyandang senjata besar di bahu kiri. Berbentuk gada dari logam hitam sepanjang
lengan. Pada pangkal gada tempat tangannya menggenggam, terdapat lukisan
timbul berupa kepala babi bertaring besar. Cocok untuk dirinya.
Di belakang punggungnya, tergantung tas kulit
besar sebuntal perutnya. Semua isinya makanan. Nasi ada. Daging ada. Tempe, ikan
bakar, bahkan sampai
jengkol dan sandal jepit dari kulit lembu. Yang terakhir, tentu saja bukan
termasuk makanannya. Kecuali
kalau sudah tak ada lagi yang bisa dimakan!
Manusia satu ini, mungkin tak beda dengan
kerbau. Mulutnya tak berhenti mengunyah. Tangan
kanannya selalu rajin mengambil makanan dari dalam
tas kulit besar.
Diselingi siulan centang-perentang ke mana-
mana (terdengar lebih mirip suara kentut garing), si orang tua gendut
bersenandung. Tak ada masalah sepanjang perjalanan. Peluh mengkuyupi pakaian,
tak dipedulikan. Wajahnya yang memerah tergarang sinar
matahari, tak mengurangi keceriaan.
Sampai seseorang mengusiknya.
"Berhenti, Orang Tua Gendut!"
"Berhenti?" ulang orang tua gendut tadi sambil tetap mengunyah, menyebabkan
suaranya jadi tak jelas. Matanya melirik acuh ke arah penghadangnya.
Seorang lelaki lebih muda. Tampangnya berangasan.
Matanya seperti tidak pernah berhenti melotot. Da-
gunya kasar. Sudut bibirnya selalu terungkit naik. Kalau ada orang lihat,
mungkin dikira habis perang besar dengan istrinya. Atau bisa juga dikira belum
sempat buang air selama dua minggu! Pakaian orang ini serba hitam. Bahkan hingga
ke ikat kepala.
"Kenapa?" susul orang tua gendut.
"Kau hendak ke mana"!"
Orang tua gendut mengunyah sebentar.
"Ke Pengging," jawabnya kemudian.
"Kalau begitu, kau harus menjalani pemerik-
saan terlebih dahulu!"
"Jangan ngaco!"
"Beberapa hari lalu, ada penculikan di Pengg-
ing." "Apa urusannya denganku?"
"Penculiknya bocah-bocah."
"Sialan, kau anggap aku ini masih bocah"! Li-
hat pakai biji matamu, jangan pakai dengkul! Aku ini tua bangka! Eh, tunggu
dulu.... Apa tadi kau berkata penculiknya bocah-bocah?"
"Betul!"
"Kok bisa begitu?"
"Mana aku tahu. Memangnya aku ini bapak
moyang mereka"!"
"Maksudku, bagaimana orang-orang bisa keco-
longan hanya oleh para bocah" Itu kan peristiwa yang menggelikan. Hi hi hi, apa
di Pengging semua orang
begitu tolol?"
"Peduli setan apakah kau menganggap peristi-
wa itu lucu atau tidak. Yang jelas, kau harus ikut aku sekarang ke Balai Desa.
Aku telah dibayar mahal oleh seorang saudagar yang menjadi sesepuh desa untuk
menyelidiki semua orang asing yang berniat memasuki Pengging."
"Kalau aku tidak sudi?"
"Ku paksa!"
"Boleh coba!"
Jago bayaran memasang kuda-kuda. Siap
membekuk orang tua gendut. Kalau bisa dengan sekali gebrakan.
"Terima ini!" Berkawal seruan menggelegar, si jago bayaran bertampang sadis
mulai membuka serangan. Dari caranya menggebrak, kentara sekali dia bukanlah
sejenis petarung kampungan yang cuma memi-
liki ilmu kanuragan cetek.
Wukh! Tangannya mematuk cepat. Jari telunjuknya
mengarah ke satu titik jalan darah tersembunyi di ba-
gian leher lawan. Satu titik yang terlalu sulit mengingat leher lawan terlalu
rapat karena kegemukan. Gelagatnya, akan dibuatnya satu totokan pelumpuh. Dari
serangan pembuka tersebut, bisa diketahui kalau si
jago bayaran, bukanlah sejenis orang telengas, bertolak belakang dengan
wajahnya. Kendati badannya seperti sulit untuk diajak
bergerak, orang tua gendut ternyata tak kalah cepat menggerakkan tangan
kanannya. Tangannya terangkat. Dua jarinya menyambut kedatangan totokan jari
lawan. Tep! Si jago bayaran sempat dibuat terkesiap seke-
japan. Jari telunjuknya ternyata telah dijepit dua jari lawan. Secepatnya
ditariknya tangan, menyadari kemungkinan lawan hendak mematahkan jarinya.
"Hih!"
Jari itu tak bisa ditarik kembali dengan mudah.
O, unjuk kebolehan, geram si lelaki bertampang ben-
gis, merasa ditantang. Tanpa menunggu terlalu lama, dia mengerahkan tenaga dalam
ke ujung jari telunjuknya. Jika semula dia berusaha menarik karena terdo-
rong oleh gerakan refleks, sekarang jari telunjuknya justru terus ditekan ke
depan, tetap mengarah pada
leher si orang tua gendut.
Merasakan lawan mulai menyalurkan tenaga
dalam lebih kuat ke jari telunjuknya, orang tua berperut gendut tak tinggal
diam. Berselang amat singkat, dia pun cepat memompa tenaga dalamnya ke dua jari
yang menjepit telunjuk lawan.
Rttttakk! Terdengar tulang jemari bergemeletak. Sekeja-
pan saja, jari yang saling terpagut itu menjadi berubah warna. Memerah. Juga
mengejang bagai hendak terbe-
tot putus. Sementara wajah kedua petarung ikut me-
merah, layaknya kepiting rebus, kendati tak menam-
pakkan perubahan mimik.
Semestinya, kedua petarung itu tahu bahwa
tindakan mereka sama saja mempertaruhkan jari un-
tuk membuktikan keunggulan tenaga dalam masing-
masing. Artinya, siapa yang memiliki tenaga dalam lebih rendah akan menerima
akibat terputusnya jari!
Di lain sisi, sebenarnya mereka bisa menghin-
dari adu tenaga dalam yang mempertaruhkan bagian
tubuh yang selamanya tak mungkin mendapatkan
ganti itu. Salah seorang dari mereka bisa melakukan serangan dengan tangan yang
lain atau dengan kaki.
Namun tindakan itu sama sekali tak dilakukan. Kedu-
anya tampak begitu yakin dengan kemampuan tenaga
dalam masing-masing.
Sekitar sepuluh tarikan napas ke depan, si
orang tua gendut tampak mulai terdesak. Tanpa didu-
ga, lawan yang berusia lebih muda nyatanya memiliki tingkat tenaga dalam satu-
dua tingkat di atasnya. Wajah si orang tua gendut mulai menegang. Keringat
sebesar biji jagung keluar di sekujur wajah dan lehernya.
Dua jari penjepitnya bergetaran hebat.
Mendapati perubahan wajah lawan, si jago
bayaran menaikkan sudut bibir, seolah mengejek. Dia tahu posisi sedang di atas
angin. "Kau hendak mematahkan jariku" Ayo, patah-
kanlah!" cemoohnya dengan suara tertekan-tekan.
Si orang tua gendut tahu kalau diteruskan, bi-
sa-bisa telunjuk lawan akan memecah jepitan dua ja-
rinya. Bukan lagi jalan darahnya akan tertotok, me-
lainkan lehernya akan berlobang! Sementara kalau dia harus melepaskan jepitan
jarinya, maka dia harus
menghadapi kemungkinan lehernya lebih cepat ter-
tembus jari lawan. Apa akalnya untuk menghindari setiap kemungkinan berbahaya
itu" Dengan sedikit 'bermain kayu', si orang tua
gendut menyemburkan sisa makanan dalam mulut-
nya. "Phuaaaah!"
Sisa makanan yang hanya berupa, remahan-
remahan kecil melesat lurus ke wajah lawan.
"Curang!" maki lelaki berwajah garang seraya mencondongkan badan ke belakang.
Semburan lawan lewat satu jengkal di atas wajahnya, meluruk terus dan memangsa satu batang
pohon besar seukuran pelukan
manusia. Besss! Layaknya butiran peluru panas, remah-remah
makanan tadi menembus batang pohon hingga keluar
di sisi lain! Sewaktu lelaki bertampang seram sedang bling-
satan mencondongkan tubuh ke belakang, tentu saja
tenaga dorongan jarinya menjadi mentah seketika.
Dengan begitu, si orang tua gendut terbebas dari an-caman. Dia pun gesit
memanfaatkan kesempatan un-
tuk melepaskan jepitan tangannya. Cepat pula dia
membuang tubuh ke belakang seperti bola karet besar yang terpantul di permukaan
tanah. Gusar bukan main lelaki bertampang seram.
Sebelum perkelahian berlangsung lebih jauh....
"Tunggu dulu!" tahan orang tua berbadan subur. "Aku tak mau ribut-ribut.
Sebaiknya begini saja.
Kuberi kau kesempatan untuk menjajal kesaktian. Ka-
lau aku kalah, aku akan ikut denganmu. Jika kau
yang kalah, kau harus membiarkan aku berjalan sesu-
ka ku." Jago bayaran mendengus. Apa manusia kelebi-
han lemak ini mengira tugasnya cuma tai kucing" Se-
pertinya dia terlalu menganggap main-main.
"Jangan bengong begitu" Berani apa tidak?"
Kalau ditantang, jadi perkara lain buat jago
bayaran. Seorang jago, pantang menolak tantangan.
Apalagi hanya dari seorang aneh yang lebih mirip jin botol dan sejenisnya itu
ketimbang seorang manusia
warga dunia persilatan.
"Kau menantang ya, Orang Tua Gendut?"
"Terserah kau mau menganggap apa."
"Jadi!"
"Mau 'jadi' apa" Kecoa" Kutu air?"
"Maksudku, aku menerima tantanganmu!"
Orang tua gendut nyengir kuda. Sumringah se-
kali. "Karena aku yang menantang, maka aku yang akan menentukan aturan mainnya,"
katanya lagi, mau enak sendiri.
Tangan orang tua berperut gentong itu lalu
mengambil sesuatu dari tas besarnya. Ketika telapak tangannya dibuka, tampaklah
segenggam kacang kedelai. Seraya memperlihatkan pada jago bayaran, dia
berkata "Begini aturan permainannya. Ku tebarkan segenggam kedelai ini ke udara.
Siapa di antara kita yang berhasil mengumpulkan biji paling banyak, maka dia
akan memenangkan permainan."
Sungguh satu tantangan yang akan membukti-
kan seberapa hebat ilmu meringankan tubuh dan ke-
cepatan gerak mereka! Selain itu, kecepatan gerak
membutuhkan pengaturan tenaga dalam ke otot-otot
tertentu. Semakin kuat penyaluran tenaga dalam, ma-
ka gerak yang dihasilkan akan semakin cepat. Di lain sisi, jika tenaga dalam
terlalu kuat dikerahkan, bisa-bisa tak ada sebutir kedelai pun yang utuh ketika
ter- genggam. Apalagi kedelai di tangan orang tua gendut adalah kedelai bakar yang
nyaris garing. Artinya, dibu-tuhkan pula kepiawaian penyaluran tenaga dalam
sampai batas ketelitian yang pelik!
Tantangan seperti itu tentu saja tak akan di-
buat oleh sembarang orang. Untuk banyak kalangan
persilatan, tantangan macam itu memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Jauh
lebih tinggi dari sekedar mengadu kekuatan tenaga dalam secara langsung.
Kendati tahu betapa sulitnya tantangan terse-
but, tak tampak kegelisahan pada wajah jago bayaran.
Bibirnya malah menyunggingkan senyum samar.
Tanpa banyak tambahan kata lagi, tangan
orang tua gendut bergerak amat cepat.
Ssst! Wrrr! Potongan biji kedelai pun bertebaran di udara.
Terlampau cepat untuk dihitung. Si penantang ru-
panya sudah unjuk kebolehan saat menebar kedelai.
Kedelai mencelat bagai peluru. Jangankan menghi-
tung, melihatnya saja sudah begitu sulit. Lalu bagaimana pula mereka dapat
mengumpulkannya di udara"
Pekerjaan yang tampak mustahil bagi siapa pun. Na-
mun tidak bagi orang-orang yang memiliki ilmu kedigdayaan pada papan puncak
dunia persilatan. Dan
tampaknya jago bayaran adalah salah satu tokoh itu.
Buktinya.... "Heaaa!"
"Huaaah!"
Berbarengan dua lelaki itu menyusul tebaran
kedelai ke udara. Tubuh mereka melenting ringan ba-
gai dua lesatan malaikat pencabut nyawa. Gerak me-
reka hanya tampak sebagai kelebatan dua potong
bayangan. Bahkan orang tua gendut yang mestinya
mengalami banyak kesulitan dengan bobot badannya,
malah tak kalah hebat dengan orang yang ditantang.
Jleg! Nyaris berbarengan, keduanya tiba kembali di
bumi. Kedua tangan mereka tergenggam. Sementara
itu, tak ada sebutir kedelai pun sempat menyentuh tanah! "Sekarang buka
tanganmu!" perintah orang tua gendut.
"Kenapa bukan kau lebih dahulu"!"
"Karena aku yang menantangmu!" ngotot orang tua gendut, lagi-lagi mau enaknya
saja. Jago bayaran membuka telapak tangannya. Di


Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan kiri ada sembilan butir kedelai. Tangan kanan dua belas butir. Semuanya
masih dalam keadaan utuh
pula! "Hi hi hi, kau pasti 'keok' kalau hanya bisa mengumpulkan sebegitu!" leceh
orang tua gendut.
"Buktikan! Jangan cuma banyak mulut!"
Giliran orang tua gendut membuka telapak
tangannya. Tangan kanan terlebih dahulu. Di sana ada dua puluh butir kedelai!
Mata jago bayaran dipaksa
menyipit kagum. Kalau tangan kanan saja sudah bisa
mengumpulkan sebegitu banyak, bagaimana jika di-
tambah dengan tangan yang lain"
"Kau masih ingin melihat kedelai di tangan kiri ku?" tanya orang tua gendut.
Jago bayaran tak menyahut. Dia tahu, posi-
sinya mungkin saja sudah tak menguntungkan.
Tak menunggu jawaban, orang tua gendut
membuka telapak tangan kiri. Ternyata... kosong!
Namun, bukan berarti jago bayaran langsung
merasa unggul. Dia yakin sekali, penantangnya senga-ja tak mempergunakan tangan
kiri. Jadi selagi men-
jemput kedelai di udara, dia hanya mempergunakan
sebelah tangan. Bisa dibayangkan betapa cepat tangan kanan orang tua gendut"
Tiba-tiba lelaki seram bertampang tak sedap
dipandang itu teringat sesuatu. Di dunia persilatan tanah Jawa, ada satu tokoh
yang begitu kesohor dengan kecepatan tangan kanannya. Penyebabnya karena tangan
kirinya agak lumpuh.
"Hi hi hi. Tangan kiriku memang kosong!" cengenges orang tua gendut.
"Kau.... Gendut Tangan Tunggal"!" tanya jago bayaran ragu, teringat satu julukan
besar. "Betul! Dan kau.... Pendekar Muka Bengis"
Pendekar yang kerjanya hanya memburu upah itu,
bukan"!"
"Aku tak menyangka kalau hari ini akan ber-
jumpa denganmu, Gendut Tangan Tunggal!" Paras lelaki yang disebut sebagai
Pendekar Muka Bengis itu
memperlihatkan rasa senang.
"Aku pun begitu! Tak kusangka juga bahwa pa-
rasmu tak seperti yang kubayangkan!"
"Jadi, bagaimana wajahku dibanding yang kau
bayangkan?"
"Kau ternyata jauh lebih jelek. Hi hi hi!"
Lalu keduanya tertawa berderai-derai.
"Nah, urusan selesai. Sekarang, kau harus ikut aku! Ingat, kau telah kalah
jumlah dalam mengumpulkan kedelai!" penggal Pendekar Muka Bengis.
"Eit, tunggu dulu!" sergah Gendut Tangan
Tunggal. Dari mulutnya, dia melepehkan dua butir biji kedelai lagi.
"Aku menang satu biji!" serunya penuh kemenangan.
Heran, bagaimana manusia 'pemamah biak' itu
bisa menahan mulutnya cukup lama agar tidak men-
gunyah dua butir kedelai bakar" Mestinya itu dianggap sebagai satu keajaiban!
TIGA DI sebuah dataran luas tempat tumbuhnya ila-
lang jangkung, sebentang peristiwa mengagumkan se-
dang berlangsung. Seseorang tampak sedang mence-
lat-celat ringan di pucuk-pucuk ilalang. Geraknya lebih ringan dari seekor lebah
atau lalat sekalipun. Dan lebih gesit dari seekor rubah muda.
Sesekali dia melenting ringan ke udara, menga-
pung beberapa saat bagai sedang mengendarai angin,
lalu hinggap kembali di salah satu pucuk ilalang. Terkadang, dia mengibaskan
sepasang telapak tangannya
hingga menimbulkan tiupan angin kencang melibas se-
tiap pucuk ilalang. Luar biasanya, potongan pada setiap ujung ilalang memiliki
ukuran yang sama. Seakan baru saja ditebas oleh sebuah arit raksasa.
Orang yang melenting-lenting lebih ringan dari
selembar bulu itu berusia cukup muda. Usianya seki-
tar dua puluh tahun. Wajahnya demikian sedap di-
pandang. Bermata sarat dengan binar semangat hidup.
Berambut lurus sebahu, berwarna kemerahan. Berpe-
rawakan kekar dan gagah.
Sewaktu melakukan gerakan-gerakan yang
hanya mampu dilakukan oleh para tokoh kelas atas
itu, bulu-bulu halus pada rompi kulitnya bergeletaran diusik angin. Di kain ikat
pinggangnya terselip seba-tang tongkat hitam sepanjang satu jengkal lebih. Satu
ujungnya berbentuk kepala naga.
Sesekali siulnya mengalun.
Riang, renyah. Polos, lincah. Seperti tak ada sebentuk beban pun menjamah.
Sampai akhirnya pemuda itu tiba di dekat se-
buah bukit kapur kering kerontang. Tak ada tumbu-
han bisa hidup di permukaan bukit. Bahkan rerumpu-
tan yang biasanya bandel pun tidak. Di kaki bukit itu, ditemukannya mulut sebuah
goa. Goa tersebut tidak terlalu besar. Tinggi mulut-
nya hanya satu setengah tombak. Lebarnya tak lebih
dari dua depa. Namun kalau menilik bagian dalamnya
yang demikian gelap, tentu goa itu amat dalam.
Pemuda berambut kemerahan sebenarnya tak
tertarik sama sekali dengan bukit kapur itu. Begitupun dengan goa di kakinya.
Tak ada satu pun yang menarik untuk dilihat.
Sebaliknya, suasana di tempat itu lebih bisa
disebut tak sedap dipandang. Terlebih untuk dinikma-ti. Kering, gersang,
lengang. Tak jauh beda dengan pekuburan tandus. Dia lebih suka melanjutkan
perjala- nan ke arah barat.
Baru saja si pemuda hendak melanjutkan per-
jalanan, terdengar olehnya sebentuk suara dari mulut goa. Kepalanya menoleh.
"Suara apa itu?" tanyanya,
Sejenak dia terdiam dengan pendengaran diper-
tajam. Ada suara desah angin yang terpantul dari
dinding-dinding goa. Jika hanya suara itu, dia tak perlu menghentikan langkah.
Suara-suara seperti itu sudah cukup dikenalnya, biasa terdengar dari sebuah
goa yang menghadap tempat terbuka.
Sementara suara yang didengarnya selintas tadi
terdengar seperti suara dengkur kecil. Suara napas halus. Kendati muda, namun
telinganya sudah begitu
terlatih untuk membedakan suara-suara yang amat
halus sekalipun.
"Apa jangan-jangan aku salah dengar?" bisiknya mulai ragu, setelah lama
telinganya tak menemu-
kan suara mencurigakan seperti sebelumnya.
Merasa dirinya cuma tertipu oleh angin, pemu-
da itu memutuskan untuk melanjutkan langkah. Lagi-
lagi langkahnya urung. Sekali lagi didengarnya suara dengkur halus itu.
"Aneh juga," gumamnya. Sekali ini, dia tak ra-gu. Dia yakin telah mendengar
sebentuk dengkur ha-
lus yang sebenarnya nyaris tersamar di antara desah angin. "Siapa yang tidur
tengah hari bolong di tempat ini" Di dalam goa sedalam ini, tentu hanya tua
bangka yang berani tidur. Tapi yang kudengar kenapa dengkur halus?" Terpercik
ketertarikannya.
Untuk benar-benar meyakinkan apa yang telah
didengarnya, pemuda itu bersila. Dia bersemadi beberapa saat. Kekuatan dalam
dirinya dipusatkan bulat-
bulat ke indera pendengarannya. Di antara desah an-
gin yang membangun dengung asing tak teratur, ma-
kin lama makin jelas didengarnya suara dengkur ha-
lus. Semakin dia memusatkan pendengaran, bertam-
bah pula dengkur halus yang terdengar.
"Ada sembilan dengkur halus berbeda," gu-
mamnya kembali, setelah membuka mata. Semadinya
selesai. "Aku yakin itu dengkur bocah-bocah yang usianya tak lebih dari lima-
enam tahun. Apa yang dilakukan mereka di dalam sana" Apakah mereka terse-
sat di lorong dalam goa. Mereka tak bisa keluar lalu tertidur karena kelelahan?"
Timbang punya timbang, pemuda berambut
kemerahan itu akhirnya memutuskan untuk memerik-
sa perut goa. Siapa tahu memang benar ada anak-
anak desa setempat yang tersasar dalam lorong goa,
pikirnya. Goa dimasuki. Suasana asing terasa. Asing bu-
kan karena pemuda itu sebelumnya tak pernah menje-
jakkan kaki di tempat gelap dan lembab itu. Melainkan keasingan yang sulit
dijelaskan. Terasa dia sedang melangkah dalam alam yang lain. Tak sampai tiga
langkah melewati mulut goa, entah kenapa jantung pemu-
da itu berdetak lebih keras. Mengeras, dan akhirnya menjadi sengit.
"Aneh."
Sekali lagi dia menggumamkan kata tersebut.
Tujuh tombak lebih ke dalam, kelengangan me-
ringkus total. Tak ada selintas bunyi apa pun. Bahkan detak jantung terpacu
dalam dadanya sendiri sampai
terasa olehnya. Itu pun aneh. Dan kemungkinan besar akan makin banyak keanehan
akan ditemui semakin
ke dalam dia masuk. Apa mungkin begitu"
Menyadari banyak keanehan, si pemuda be-
rambut kemerahan mulai waswas. Tanpa sadar dike-
rahkannya ilmu meringankan tubuh sampai tingkat
tertentu. Langkahnya jadi demikian ringan. Bahkan
sampai tak terdengar.
Segala bisikan hatinya menjadi buyar seketika
manakala dirinya diserang tiba-tiba oleh bau busuk
menyengat hidung. Bau teramat memuakkan. Tak se-
perti bau bangkai, tapi lebih menyengat. Nyaris muntah si pemuda dibuatnya.
Lebih parah lagi, bau busuk itu seperti menerjang langsung ke dalam otaknya.
Mendadak kepalanya menjadi memberat. Pening di-
bayangi rasa mual. Buru-buru dia mendekap hidung.
Tapi, itu tak cukup menolong. Agar dia tak pingsan di tempat, mau tak mau
dikerahkannya hawa murni ke
saluran pernapasan. Dengan cara itu, dia bisa bertahan sampai masuk lebih dalam
nanti. Bau apa ini" Apa ini yang orang bilang bau de-
demit borokan" Rutuknya membatin.
Pemuda berambut kemerahan terus berjalan.
Sudah telanjur basah untuk kembali. Apa pun yang
terjadi di dalam sana nanti, akan dihadapi. Baik itu keadaan yang membutuhkan
uluran tangannya. Atau
sebaliknya, akan mengancam jiwanya sendiri!
Lama kelamaan, dia merasa lantai goa tempat-
nya berjalan semakin menurun saja. Hawa semakin
lembab. Dingin meningkat dan akhirnya terasa menu-
suk. "Sialan, apa lagi yang akan kutemui nanti?" gerutunya jengkel.
Mulai pula dia meragukan dugaannya. Jika se-
belumnya dia menganggap ada bocah-bocah yang
membutuhkan pertolongan, sekarang dia tak yakin la-
gi. Bagaimana mungkin bocah-bocah kecil sanggup
bertahan dengan bau busuk mematikan dan dingin ke-
lewatan" Bagaimana mungkin mereka bisa tidur hing-
ga mendengkur" Apa jangan-jangan, ada orang sakti
yang mengusili dirinya" Atau tokoh sesat kalangan
atas yang ingin mempertunjukkan kedigdayaan" Keter-
laluan kalau benar begitu!
Sampai kedalaman tertentu, dinding goa terli-
hat berpendar keputihan. Ruangan jadi remang-
remang, cukup untuk menyaksikan seluruh bagian
goa. Mata si pemuda dibuat terbelalak manakala me-
nyaksikan sesuatu di sepanjang langit-langit goa di bagian tersebut.
Ada sembilan bocah seumur yang rata-rata
hanya lima-enam tahun sedang menggelantung di lan-
git-langit. Kaki mereka melekat pada langit-langit. Se-dangkan kepala mereka
menjuntai ke bawah. Dengan
tangan terlipat di dada, mereka mirip sekali dengan sekawanan kelelawar!
Kelopak mata kesembilan bocah itu terpentang
lebar. Semula si pemuda berambut kemerahan mengi-
ra bocah-bocah ajaib itu sedang menatapnya dengan
tatapan menghunus. Nyatanya tidak. Biarpun mata
terbuka, mereka sebenarnya sedang tertidur. Dengkur halus yang terdengar oleh
telinga si pemuda sebelumnya adalah dengkur mereka.
Mata mereka itu.... Hati pemuda berambut ke-
merahan bergidik. Ada sesuatu yang ganjil pada bola mata kesembilan bocah ajaib.
Mata mereka tak seperti layaknya mata manusia. Jauh lebih mirip dengan bola mata
kelelawar. Kemerahan. Sementara warna hitamnya tegak memipih.
Mengamati kaki sembilan bocah yang melekat
pada langit-langit goa, si pemuda dibuat berdecak dalam hati. Bagaimana mungkin
manusia mampu me-
nempel seperti seekor cecak" Dilakukan oleh bocah
pula" Karena terlalu dirasuk ketercengangan, tak sadar decak pemuda itu akhirnya
terlahir. Dalam ruan-
gan tertutup dan berdinding rapat seperti itu, tentu sa-ja suara decakan jadi
amat jelas terdengar.
Bukan cuma itu. Suara decaknya telah pula
mengusik tidur sembilan bocah aneh!
Diawali dengan gerakan kepala, satu bocah ter-
jaga. Matanya kini benar-benar terhujam pada sang
tamu tak diundang.
Bengis. Pandangan yang terasa berhawa anyir. Pemuda
berambut kemerahan bergidik bukan main. Kakinya
tersurut mundur. Lalu....
"Khaaaiiiikh!"
Bocah yang mula-mula terjaga melepas leng-
kingan panjang. Seperti suara seekor kelelawar terancam bahaya. Dan bagi
kelelawar liar, tanda bahaya da-ri satu anggota kawanan akan diterima dengan
cepat oleh yang lain. Rupanya, hal itu pun berlaku bagi kawanan bocah aneh. Delapan
bocah yang lain terjaga.
Bagai menerima satu komando, serentak mere-
ka melepas lengkingan panjang.
"Khhaaaaiikh!"
Goa digempakan.
Dindingnya bergetar dan berguguran.
Saat yang sama, tubuh si pemuda seperti dis-
entak oleh satu kekuatan raksasa kasat mata. Dia ter-lempar ke belakang.
Menghantam dinding telak-telak, menciptakan lobang besar. Untung saja langit-
langit di atasnya tak cukup rapuh. Jika tidak, tentu dia sudah terkubur hidup-
hidup. Dari mulut pemuda berambut kemerahan ter-
muntah darah segar. Tak dinyana lagi, teriakan ga-
bungan sembilan bocah ajaib mengandung tenaga da-
lam amat tinggi.
Namun, si pemuda sendiri tampaknya bukan
sembarang pemuda. Kendati tubuhnya baru saja
menghantam dinding goa hingga hancur, kendati mu-
lutnya memuntahkan darah, dia masih sanggup bang-


Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kit kembali. Kepalanya digeleng-gelengkan, mencoba
mengenyahkan rasa pening luar biasa.
Bukan. Dia memang bukan pemuda tak punya
nama. Atau pemuda desa dungu. Dia adalah seorang
tokoh muda persilatan tanah Jawa yang julukannya
mulai sering berseliwer keras di telinga warga persila-
tan lain. Satria Gendeng. Murid dua tokoh kenamaan
tanah Jawa sekaligus; Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit!
Berdiri kembali dengan posisi agak gontai, si
pemuda menyaksikan kesembilan bocah berlompatan
turun. Amat ringan, layaknya tokoh-tokoh persilatan kelas atas, mereka menjejak
lantai goa. Berjajar mereka berdiri. Sikap kental permusuhan diperlihatkan.
Dari tatapan mengerikan, atau dari gurat wajah mere-ka.
"Siapa kalian ini sebenarnya?" tanya Satria Gendeng. Kewaspadaan ditingkatkan
sepenuhnya. Tak ada sahutan terdengar. Kecuali hanya ge-
raman berkeliaran di sepanjang dinding goa
Satria Gendeng bergidik. Sedang berhadapan
dengan apa atau siapa dirinya" Mungkinkah dengan
binatang-binatang liar ajaib berwujud manusia" Atau anak-anak siluman penghuni
goa" "Aku datang ke sini dengan niat baik. Kukira
kalian membutuhkan pertolongan. Jadi, tak ada niat
sama sekali untuk mengusik kalian atau mencari per-
musuhan," coba Satria kembali.
Hanya embikan kambing congek yang pantas
tak mendapat jawaban. Satria bukan jenis itu. Dia
agak kesal karena perkataannya tak mendapat jawa-
ban semestinya. Tapi, dia sadar juga bahwa bocah-
bocah di hadapannya kini bukan seperti bocah keba-
nyakan. "Baik, kalau kalian tak suka aku di sini, aku
akan keluar," kata Satria, akhirnya. Bukannya dia takut dengan sikap mengancam
kesembilan bocah itu.
Dia hanya tak ingin mencari perkara dalam urusan
yang sama sekali tak jelas. Hanya membuang tenaga
percuma. Satria mundur perlahan. Tetap siaga. Tangan-
nya diangkat ke depan, mencoba meyakinkan kesembi-
lan bocah yang tak cuma ajaib tapi juga liar itu.
Sialnya, setiap kali Satria melangkah mundur,
sembilan bocah di depannya pun maju setindak. Ja-
raknya jadi tak kunjung menjauh. Dia tak mungkin
berbalik badan dan pergi begitu saja. Bisa-bisa diterjang dari belakang.
Satria menarik napas. Dadanya masih terasa
sesak. "Baik. Apa mau kalian sebenarnya" Kalian mau aku meminta maaf karena
telah mengusik tidur kalian" Baik, aku minta maaf. Sekarang apa lagi?" tanya
Satria Gendeng, kejengkelannya sekarang mulai tak
bisa diam. Satu orang bocah menggeram dengan nada
tinggi. Sebelah sudut bibirnya terungkit, memperli-
hatkan gigi taring. Geramannya itu berarti untuk yang lain. Delapan bocah di
belakangnya mulai melangkah
maju. Satria menepak kening sendiri.
"Tolol sekali aku ini! Terang saja mereka tak
mengerti perkataan ku. Biar sampai berbusa aku
'membacot', mereka tetap tak akan mengerti. Rupanya mereka berbicara dengan
bahasa isyarat sendiri!"
Jadi bagaimana jadinya sekarang" Delapan bo-
cah yang jelas-jelas memiliki kehebatan tak main-main mulai melangkah maju.
Naga-naganya, Satria hendak
dipermak. Iseng-iseng, Satria - si pendekar muda yang si-
fatnya terkadang agak lugu - mencoba ikut-ikut menggeram. Siapa tahu kesembilan
bocah itu mengerti.
"Grrrrrr... grrr... grrrr!"
Sampai perut si pendekar muda mulas sendiri,
kedelapan bocah itu tak menghentikan langkah.
Kacau balau, pikir Satria. Kalau dia menggeram
sekali lagi, jangan-jangan malah diartikan lain. Bisa saja dikira hendak
menantang bersabung.
Jadi bagaimana ini"
Satria Gendeng kehilangan akal. Dia cuma bisa
menggaruk-garuk jidat...
EMPAT PENDEKAR Muka Bengis dan Gendut Tangan
Tunggal saling berangkulan. Seru, sekaligus blingsatan. Memang keduanya belum
pernah bertemu sama
sekali. Namun, sikap mereka seperti dua orang saha-
bat lama yang telah berpisah selama puluhan tahun
dan baru bertemu kembali hari itu.
"Aku tak menyangka akhirnya bertemu dengan
orang yang sudah demikian lama begitu ingin kute-
mui!" seru Gendut Tangan Tunggal sambil mengangkat-angkat tubuh Pendekar Muka
Bengis yang dirang-
kulnya. "Aku juga begitu, Gendut Tangan Tunggal! Tapi jangan kau 'kocok-kocok'
aku seperti ini! Isi perutku bisa keluar semua!" erang Pendekar Muka Bengis,
sesak dihimpit tangan dan perut kawan barunya.
"Oh, maaf Muka Bengis," ucap Gendut Tangan Tunggal seraya melepaskan rangkulan
bernafsunya. "Ngomong ngomong, kenapa kau begitu ingin berjumpa denganku?" tanyanya kemudian.
"Karena aku...," wajah Pendekar Muka Bengis tertekuk. "Aku tak tahulah!
Sepertinya, aku cuma merasa memiliki kesamaan denganmu."
"Kesamaan?" gumam Gendut Tangan Tunggal
sambil membanding-bandingkan tubuhnya dengan le-
laki depannya. Wajah tak sama. Apalagi bagian leher ke Bawah. Lalu, apanya yang
sama" "Kau tentu tahu maksudku! Sebagai seorang
satria, kita sama-sama punya kekurangan!"
Ya, kendati namanya berkesan sadis, Pendekar
Muka Bengis sebenarnya masih dapat digolongkan se-
bagai tokoh persilatan golongan lurus. Di balik wajah sangarnya, terpendam
sifat-sifat seorang satria. Hatinya tak seburuk parasnya.
Sifat-sifatnya itu terlihat nyata dari sepak-
terjangnya. Dia menerima pekerjaan sebagai orang
bayaran hanya bila pekerjaan yang diterimanya me-
nyungkut penegakan keadilan dan penumpasan kela-
liman. Selain itu, dibayar sekarung uang emas pun dia tak akan sudi!
Memang, seorang satria sejati tak memandang
pamrih. Apalagi urusan imbalan jasa. Namun, rambut
boleh sama hitam, pendapat, dan keyakinan orang
berbeda-beda. Pendekar Muka Bengis berpikir dengan
cara menjadi seorang jago bayaran dia tak perlu memburu kelaliman. Karena, orang
akan segera mendatan-
ginya untuk meminta tolong memberantas perkara itu.
Bukan dengan begitu dia tak sudi membela orang le-
mah jika tak ada bayaran. Untuk membela kepentin-
gan beberapa orang lemah yang menyangkut nyawa,
dia bahkan rela hanya dibayar dengan seikat singkong mentah atau sekeranjang
telor ayam! Aneh memang.
Tapi, begitulah cara yang ditempuh Pendekar Muka
Bengis! Lain Pendekar Muka Bengis, lain pula Gendut Tangan Tunggal! Meski sama-
sama tokoh persilatan
golongan lurus, cara yang ditempuh Gendut Tangan
Tunggal berbeda pula. Dia memilih untuk terus melan-glang. Jalan ke sana, jalan
ke sini. Ngalor-ngidul, nge-tan-ngulon. Setiap saat dia menemukan angkara mur-
ka, maka dia akan langsung turun tangan.
Tak ada manusia sempurna. Kejelekan Gendut
Tangan Tunggal cuma satu. Mulutnya sulit berhenti
mengunyah makanan! Makanya biarpun menggelen-
dang sana-sini, bobot tubuhnya tak pernah turun-
turun. Dijamin!
Sifat-sifat mereka itulah yang dianggap sebagai
'kekurangan' oleh Pendekar Muka Bengis.
Yang namanya Gendut Tangan Tunggal, tetap
saja tak bisa memahami maksud kawan barunya.
Otaknya mungkin sudah kelewat rapat dibungkus le-
mak! Mendengar kata 'kekurangan', dia malah mem-
perhatikan kembali badan borosnya.
"Badan sesubur ini, apa kekurangannya" Sela-
ma ini, yang ku tahu aku justru 'kelebihan'," gumamnya tak kentara. Tanpa peduli
lebih lanjut, diambilnya sepotong besar ubi rebus dari dalam tas besar.
Pendekar Muka Bengis menggeleng-gelengkan
kepala. "Ah, sudahlah! Begini saja, kau tetap seorang satria yang ingin
menegakkan keadilan dan membasmi
angkara murka, bukan?" aju Pendekar Muka Bengis, setelah menolak tawaran ubi
rebus dari kawan barunya. "Ya ya ya," sahut Gendut Tangan Tunggal dengan mulut
penuh dengan ubi rebus.
"Bagaimana kalau kau ikut aku menuntaskan
masalah ini?"
"Masalah apa?"
"Bocah-bocah itu."
"Bocah-bocah yang melakukan penculikan" Ah,
kupikir tadi kau cuma bergurau. Jadi kejadian itu benar-benar terjadi?"
"Lalu, buat apa aku bersedia dibayar orang-
orang desa dengan seikat rumput?"
Gendut Tangan Tunggal terperangah. Ubi di
mulutnya sampai tersembur.
"Kau cuma dibayar dengan seikat rumput"!"
"Ya, untuk makanan sekandang kerbau yang
diberikan sekaligus untukku," gurau Pendekar Muka Bengis. "Hi hi hi. Sialan
kau!" "Jadi bagaimana" Apa kau mau bekerjasama
denganku menyelesaikan perkara ini" Jangan khawa-
tir, kau akan menerima bagianmu! Lima ekor kerbau
jantan!" "Hey, menerima bayaran bukan gayaku!"
"Bagaimana dengan daging kerbau pangganya?"
Gendut Tangan Tunggal meringis. Lidahnya
bersilap-silap.
"Kalau itu yang kau tawarkan, mana mungkin
aku bisa menolaknya" Hi hi hii!"
* * * Satria Gendeng benar-benar jadi diserang oleh
sekawanan bocah-bocah ajaib. Beriring geraman se-
rempak pertanda kemarahan menggelegak, delapan
bocah yang maju sebelumnya langsung membuat ter-
kaman ke depan.
Delapan lawan yang menyerang sekaligus tentu
bukan perkara enteng. Dibutuhkan kecepatan patukan
seekor ular dan kejelian seekor elang untuk mengha-
dapinya. Terlebih para penyerangnya memiliki kehan-
dalan tarung yang hebat. Untunglah pendekar muda
itu bukan tergolong orang berkepandaian tanggung.
Godokan dan gemblengan yang diterimanya dari dua
tokoh besar ditambah pengalamannya selama turun ke
dunia persilatan, sudah cukup dapat diandalkan un-
tuk menghadapi serangan semacam itu.
Meski tak membentuk kepungan terlebih dahu-
lu karena keadaan goa tak cukup lebar, serangan ke-
delapan bocah ajaib ternyata benar-benar serempak.
Waktunya nyaris bersamaan dengan kecepatan yang
sungguh mengagumkan. Tiga bocah yang paling depan
menerkam dengan tangan membentuk cakar. Sasa-
rannya tubuh bagian tengah Satria Gendeng. Seperti
gelombang, tiga bocah lain di belakangnya membaren-
gi. Mereka menerkam ke arah badan bagian atas. Se-
mentara dua bocah yang lain menggelundungkan ba-
dan cepat dan tangkas. Kuda-kuda Satria Gendeng
hendak dilantaknya.
Satu-satunya cara paling jitu untuk menyela-
matkan diri bagi Satria Gendeng adalah membuat pula satu gebrakan sekaligus.
Yang dapat melumpuhkan
semua titik serangan para lawan. Jika tidak begitu, ada kemungkinan satu
terjangan akan lolos. Padahal
dalam satu pertarungan berbau maut, kecolongan pa-
da gebrakan awal akan sangat berpengaruh besar bagi keselamatan jiwa si
petarung. Terkadang pula bisa turut menentukan kekalahan atau kemenangannya.
"Heaaaaa!"
Satria menggelundung cepat, berlawanan arah
dengan gulingan dua bocah penyerangannya. Dengan
cara itu, dia berhasil menghindari enam titik serangan lawan sekaligus. Namun,
belum berarti telah terhindar dari dua titik serangan sisa yang dilakukan oleh
dua bocah menggelinding.
Dak! dakh! Dengan dua kakinya, Satria Gendeng berusaha
memapak serangan dua bocah yang berguling. Dia tak
berniat membuat serangan balasan mengingat lawan-
lawannya masih di bawah umur.
Pertimbangan manusiawi seperti itu nyatanya
membuat dia jadi rugi sendiri. Karena dengan amat
tangkas, dua bocah yang menggelinding menangkap
sepasang kakinya. Seperti kerang, keduanya menjepit kaki si pendekar muda dalam
posisi setengah telentang. Pada saat yang sama, enam bocah yang sebe-
lumnya menerkam membuat satu akrobatik cantik di
udara. Mereka saling mengaitkan tangan untuk mem-
balikkan arah serangan sebagian dari mereka. Tiga bocah yang di atas mengayuh
tangannya agar tiga bocah lain yang melayang di bawah mereka berbalik arah.
Dengan kaki terkunci, akan amat sulit bagi Sa-
tria Gendeng menghindari serangan tiga bocah yang
datang dari atas. Untuk melepaskan kuncian pada ka-
kinya, tak akan mudah dilakukan dalam waktu yang
demikian mendesak. Sementara kalau dia tetap beru-
saha untuk melepaskan kuncian, maka tiga bocah
yang meluncur dari atas akan meremukkan dadanya.
Satria yakin itu. Sebelumnya saja dia sudah merasa-
kan bagaimana kehebatan tenaga dalam bocah-bocah
itu. Mau tak mau, Satria Gendeng melepas Kail Na-
ga Samudera-nya.
Ruas-ruas batang kail pusakanya membentang.
Srt wukh! "Maaf!" seru Satria, merasa terpaksa bertindak kasar. Cletar!
Bersama kejapan cahaya pelangi, tali Kail Naga
Samudera membantai serangan ganas tiga bocah di
udara. "Aaaaaiikkh!"
Ketiganya menjerit berbarengan. Seperti ekor
naga mengamuk, tali senjata pusaka Satria Gendeng


Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyampok dada mereka cepat bergilir. Mereka ter-
pental kembali ke udara. Langit-langit goa tertinju tubuh mereka. Ketika itulah
terdengar guruh amat keras.
Seperti suara gempa yang bergeliat dari dasar bumi dan berbaur dengan suara
guruh. Satria Gendeng tercekat. Sama sekali tak dis-
angkanya kalau hantaman tubuh ketiga bocah itu
akan menggugurkan goa! Mereka semua bisa mampus
terkubur di dalamnya!
"Hei, lepaskan kedua kakiku!" hardik Satria kelimpungan setengah edan.
Dua bocah yang mengunci kakinya malah
menggeram. Kiamat, pikir Satria. Kenal saja belum,
sudah mengajak-ngajak ke neraka! Kalau mau mam-
pus, kenapa tidak sendiri saja!
"Lepaskan aku! Kalian mau terkubur hidup-
hidup di dalam goa ini" Tidak, kan" Aku sendiri tidak!
Sungguh!" Satria mencerocos. Memang begitulah ke-biasaannya saat sedang
kebingungan. Jawaban yang didapat lagi-lagi cuma geraman.
Sialan sekali! Baik, putus Satria. Jelas-jelas dia tak sudi mati
konyol, Jadi, jangan salahkan dia kalau dia bertindak kasar lagi pada anak di
bawah umur itu.
"Maafkan aku!" serunya, seraya mengayun
kembali Kail Naga Samudera.
Cletar! Seperti dengking dua anak serigala, dua bocah
yang mengunci kakinya menjerit. Keduanya kontan
terpental jauh. Sengaja Satria tak menyalurkan tenaga dalam penuh. Namun karena
kemukjizatan senjata
pusaka yang sanggup melipatgandakan kekuatan pe-
miliknya ke dalam cambukan tali kail, tanpa diduga
membuat kedua bocah ajaib tadi memuntahkan darah
segar dari mulutnya.
"A, cilaka!" rutuk Satria. Rambutnya diremas geram. Bisa berdosa kalau dua bocah
itu mampus, pikirnya. Sementara itu, langit-langit goa mulai runtuh.
Batu-batu yang membentuk taring runcing berjatuhan, siap menembus siapa saja
yang berada di bawahnya.
Gemuruh makin riuh. Kiamat kecil sedang berlang-
sung. Satria Gendeng tak bisa berlama-lama menye-
sali tindakannya terhadap para bocah ajaib.
Blingsatan dia bangkit.
Memburu, dikerahkannya segenap kemampuan
peringan tubuh untuk keluar dari perut goa. Hanya
berjarak dua tiga tombak di belakangnya, batu sebesar setengah kerbau jantan
berjatuhan seperti mengejar-nya. Tiba di mulut goa, kiamat kecil di dalam sana
mencapai puncaknya. Seluruh langit-langit goa berguguran tandas. Debu
bersemburan keluar. Batu-batu
bercelatan. Suara riuh yang terpendam mengakhiri se-galanya.
Satria berdiri terpaku. Seperti orang tolol, dia
cuma bisa bergumam sendiri.
"Kasihan sekali kalian. Mati muda sebelum
sempat mencicipi kedewasaan. Padahal aku belum lagi tahu siapa kalian
sebenarnya!"
Lalu desah nafasnya terdengar.
Berat berbeban.
* * * Sesuai kesepakatan, Pendekar Muka Bengis
dan Gendut Tangan Tunggal akhirnya memulai penca-
rian sembilan bocah yang telah menggemparkan dunia
persilatan hari-hari belakangan. Percuma kalau hanya menanyai semua orang asing
yang berniat memasuki
Pengging. Belum tentu mereka berkaitan dengan uru-
san tersebut. Bila butuh air, tentunya jalan terbaik adalah
menemukan sumber mata air. Dalam perkara ini, un-
tuk menyelesaikannya tentu harus mencari dulu biang keladinya. Begitu pikir
Pendekar Muka Bengis. Gendut Tangan Tunggal sendiri, tak berpikir apa-apa. Dia
lebih suka memikirkan persediaan makanan di tas besarnya. Sampai detik itu,
mereka belum jelas benar
apakah penculikan yang dilakukan oleh sembilan bo-
cah yang mulai santer dengan julukan Pasukan Kele-
lawar itu didalangi seseorang atau tidak. Setidaknya, mereka harus membekuk
terlebih dahulu sembilan bocah penculik itu untuk mendapatkan keterangan.
"Jika dipikir-pikir kembali, tak mungkin sembilan bocah kecil bisa meledakkan
kegemparan dengan
sepak-terjangnya. Besar kemungkinan, ada seorang
tokoh sakti yang berdiri di belakang mereka," simpul Pendekar Muka Bengis dalam
perjalanan mereka ke
arah utara. Mereka memutuskan untuk mengambil
arah tersebut sesuai keterangan beberapa saksi mata di sekitar Pengging.
Gendut Tangan Tunggal mengangguk-angguk.
Pendekar Muka Bengis meneruskan, "'Si Da-
lang' itu bisa saja telah menurunkan beberapa kesaktian pada Pasukan Kelelawar.
Atau lain kemungkinan.
Pasukan Kelelawar dikendalikannya. Lagi pula, apa
gunanya bagi bocah-bocah belum cukup umur seperti
mereka menculiki para perempuan?"
"Jangan tanya aku. Mana aku tahu...," tukas Gendut Tangan Tunggal asal bunyi.
Selagi santai berjalan, keduanya tiba-tiba dike-
jutkan oleh kelebatan seseorang yang melintas amat
cepat dari arah depan. Angin lari orang itu membuat jagung bakar di tangan
Gendut Tangan Tunggal terpental. Jangan tanya betapa kekinya Gendut Tangan
Tunggal. "Kadal bunting!" sambil memaki, orang tua berbadan boros itu mengejar jagungnya
yang sebenarnya
cuma tinggal tersisa satu dua gigitan lagi.
Pendekar Muka Bengis tak begitu peduli pada
tingkah tengik Gendut Tangan Tunggal. Apalagi pada
jagungnya! Dia lebih tertarik untuk segera mengha-
dang orang lancang yang lewat tanpa permisi tadi.
"Berhenti kau!"
Mengerahkan ilmu lari cepat yang dimiliki, di-
kejarnya orang tadi. Lamat-lamat dilihatnya sosok
orang yang dikejar. Seorang pemuda baru besar tapi, kalau melihat caranya lari
seperti setan kesiangan, Pendekar Muka Bengis jadi bertanya-tanya dalam hati.
Apa mungkin seorang pemuda memiliki ilmu lari cepat yang demikian hebat"
Sebab pada kenyataannya, kendati sudah men-
gejar cukup jauh jarak antara dirinya dengan orang
yang dikejar tak kunjung menyusut. Bahkan berkali-
kali dia nyaris kehilangan jejak.
Ah, dunia persilatan belakangan ini jadi makin
sulit dimengerti, rutuk Pendekar Muka Bengis memba-
tin. Belum lama tersiar kabar bahwa ada sembilan bocah ajaib membuat beberapa
kalangan persilatan ke-
dodoran. Sekarang, ada lagi pemuda tanggung yang
ilmu lari cepatnya membuat lelaki bermuka sangar itu kedodoran pula.
Sampai tiba di dekat muara sungai kecil, Pen-
dekar Muka Bengis jadi juga kehilangan jejak. Sial benar! Pikirnya. Sayang
buruannya lolos. Padahal, dia sudah curiga bahwa buruannya berhubungan dengan
Pasukan Kelelawar. Setidak-tidaknya, Pasukan Kelelawar dengan buruannya barusan
punya kesamaan. Me-
reka sama-sama muda dan memiliki kepandaian ting-
gi. Bedanya cuma pada pertautan usia saja.
Selagi celinguk sana celinguk sini, seseorang
mendadak mendarat turun di depannya.
Jleg! Tentu saja hal itu menyebabkan Pendekar Mu-
ka Bengis Kaget bukan kepalang. Disangkanya orang
itu hendak melakukan serangan mendadak. Ketimbang
terkapar karena diserang, lebih baik menyerang terlebih dahulu, pikirnya.
"Mampus kau!!!"
Pendekar Muka Bengis melepas pukulan jarak
jauhnya. Tenaga dalamnya tergolong disegani di dunia persilatan. Dengan bekal
seperti itu, pukulan jarak jauh yang dilancarkannya bisa amat berbahaya bagi
siapa saja. Satu pukulan jarak jauh yang amat khas
miliknya adalah pukulan 'Puting Beliung'. Pukulan
yang membentuk pusaran-pusaran angin sebesar ke-
pala manusia. Setiap pusaran sanggup menciptakan
lobang sebesar pintu gubuk di karang keras! Ba-
hayanya, karena pukulan ini berpusing, maka arahnya jadi sulit terduga.
Whuss! Dua pusaran pukulan jarak jauh menerkam.
Dari sepasang telapak tangan Pendekar Muka Bengis.
"Heaa!"
Sasaran berteriak dan mencelat kembali ke
udara. Tempatnya mendarat hanya sempat dijadikan
jejakan secepat kilat. Di udara, tubuhnya membung-
kal. Pukulan 'Puting Beliung' seperti mengejar.
Sadar sejenis pukulan langka sedang dihadapi,
orang tadi membentang tubuh seketika, lalu berpusing miring dalam satu rangkaian
gerak memukau. Putaran
tubuhnya amat kuat, searah dengan pusaran angin
pukulan lawan. Karenanya kejaran pukulan 'Puting
Beliung' menjadi kacau. Usahanya tak sia-sia. Meski agak sungsang-sumbel,
pukulan jarak jauh yang tergolong sulit itu dapat dihindarinya.
Gemas bukan main Pendekar Muka Bengis. Ka-
lau ada miliknya yang bisa disombongkan, maka pu-
kulan 'Puting Beliung' adalah salah satunya. Di dunia persilatan, pukulannya itu
bahkan punya keangkeran
sendiri. Jarang ada orang bisa luput darinya. Beberapa tokoh persilatan malah
memilih untuk memapaki pukulan itu dengan mengambil resiko terluka karena
menganggap sia-sia untuk menghindarinya Menurut
sebagian kalangan, pukulan 'putting Beliung' seperti punya mata dan nyawa
sendiri! Tapi menghadapi orang yang ternyata pemuda
yang belum lama menjadi buruannya, pukulan ke-
banggaan Pendekar Muka Bengis dapat diperdayai de-
mikian rupa! Pendekar Muka Bengis tak sudi percaya!
Masa' seorang pemuda bau kencur bisa berbuat itu"
Di atas satu tangkai bunga liar, pemuda tadi
hinggap. Tak kalah ringan dari seekor lebah.
"Tunggu!" serunya menyaksikan Pendekar Mu-ka Bengis hendak melepas pukulan jarak
jauh lagi. "Kenapa kau menyerangku begitu rupa"!"
"Jangan pura-pura! Kau hendak mencelakai ku,
bukan"!" balas Pendekar Muka Bengis.
"Itu fitnah! Aku tak berniat menyerangmu. Ju-
stru aku mengira kau punya niat jelek dengan membuntuti ku! Sebenarnya, kenapa
kau membuntuti aku?" susul anak muda itu.
Pendekar Muka Bengis menyipitkan mata. Di-
perhatikannya orang di depan. Seorang pemuda be-
rambut kemerahan. Mengenakan rompi bulu putih
keabuan dari kulit binatang. Rasa-rasanya, dia pernah mendenyar selentingan
kabar tentang ciri-ciri anak
muda satu ini. Tapi kapan" Di mana"
"Siapa kau sebenarnya?" aju Pendekar Muka Bengis. Pertanyaan pemuda di depannya
barusan tak dipedulikan. "Bukankah semestinya aku yang bertanya begi-
tu?" "Alah, buatku yang lebih tua, itu boleh-boleh saja!" "Kalau begitu, jawab
dulu pertanyaanku. Baru kujawab pertanyaanmu!" tandas si pemuda, tegas. Wajahnya
yang tampan namun berkesan lugu tak beru-
bah. "Sial benar. Baik, kau tanya apa tadi?"
"Kenapa Kakang membuntuti ku?" ulang si pemuda. "Karena kau lari. Kalau kau tak
lari, mana mungkin aku buntuti?"
"Aku ingin tahu alasanmu, Kang."
"Kau mencurigakan!"
"Apa setiap orang yang berlari mencurigakan"
Apa Kakang pikir aku maling jemuran?"
"Bukan maling jemuran! Aku berpikir kau itu
semacam maling perempuan!"
Si pemuda bertampang lugu malah cengenge-
san. Tawa renyahnya terdengar.
"Kakang bisa saja bergurau!"
"Aku tak bergurau sialan! Aku sedang membu-
ru bocah-bocah kecil yang telah menculik beberapa
orang perempuan belakangan ini. Aku curiga padamu.
Biarpun tampangmu tidak menunjukkan kalau kau
bocah di bawah umur. Tapi...."
"Tapi aku memang bukan maling perempuan,
bukan?" "Mana aku tahu!"
Seseorang datang dan memberangus perteng-
karan mulut itu. Gendut Tangan Tunggal telah menyu-
sul pula. "Hoooi, ada apa ini"!" teriaknya, belum lagi sampai.
"Aku curiga padanya!" lapor Pendekar Muka Bengis. "Curiga kenapa?" tanya Gendut
Tangan Tunggal sambil mengusap keringat yang membanjir di bagian
pusarnya. "Ah, apa aku harus menjelaskan juga alasan ku
mencurigai pemuda ini padamu"!" bentak Pendekar Muka Bengis, dongkol.
"Kalau kau sudi...," sahut Gendut Tangan
Tunggal. "Jelas aku tidak sudi!"
"Cukup-cukup!" Si anak muda menengahi. "Sebaiknya kalian menjelaskan saja
padaku. Biar perka-
ranya tidak jadi ruwet seperti ini!"
"He-eh, kau kira kau ini siapa menyuruh kami
menjelaskan persoalan"!" cemooh Pendekar Muka
Bengis, gengsinya tersenggol sedikit oleh perkataan si pemuda.
"Aku tak menyuruh. Cuma meminta."
"Sudah biar aku saja. yang menjelaskan kalau
kau tidak mau...," sela Gendut Tangan Tunggal. Sikapnya yang selalu santai itu
sering bikin banyak
orang jadi mangkel. Termasuk Pendekar Muka Bengis.
"Terima kasih Pak Tua Gemuk," hatur si pemuda.
Sebentar Gendut Tangan Tunggal menggaruk-
garuk kulit perutnya, hingga terdengar suara lucu seperti dengkur kakek-kakek.
"Ngomong-ngomong, dari mana aku mulai men-
jelaskannya?" tanya kemudian pada Pendekar Muka Bengis. Wajahnya tak berdosa
sekali. Pendekar Muka Bengis cuma bisa meringis
kesal. LIMA SATRIA Gendeng tak bisa tidak dibuat tercen-
gang-cengang di tempat berdiri. Goa sudah runtuh.
Ruangannya sudah tertutup oleh timbunan batu sama


Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali. Batu yang beratnya saja sudah bisa membuat
keledai jadi perkedel. Mulut goa bahkan sudah tak
berbentuk lagi.
Satu-satunya keyakinan Satria saat itu, sembi-
lan bocah di dalam goa sudah mampus. Mau tidak
mampus bagaimana lagi" Tapi begitu baru beberapa
saat dia berdiri terpaku di depan reruntuhan goa, dia menyaksikan dengan mata
kepala sendiri batu-batu
besar bergeseran seperti ada sebentuk kekuatan rak-
sasa bergeliat dari dalam.
Dan tak lama berselang, muncul kepala beru-
kuran kecil. Mendeliklah Satria.
Itu salah seorang bocah yang ditemuinya! Satu
persatu, mereka keluar. Tubuh mereka dipenuhi debu
dan pasir berkapur. Tapi yang namanya tubuh mereka, tak ada sedikit pun luka.
Bahkan sekadar goresan kecil!
"Astaga, badan mereka dibuat dari adonan besi
atau apa?" gumam Satria terpesona. Bahkan dia terus terbengong-bengong seperti
sapi bodong sementara kesembilan bocah ajaib tadi sudah keluar semua dan
berdiri berjajar. Mata bocah-bocah itu melalapi Satria dengan tatapan ganas.
Satria baru tersadar ketika salah seorang dari
mereka mengaum keras.
"E-eh, mau apa lagi bocah-bocah ini?" tanya Satria, mulai waspada. Orang-orang
tua bilang, 'jangan jatuh pada lobang yang sama'. Kalau sudah mengalami sesuatu
sebelumnya, jangan sampai tidak belajar setelah itu. Yang dia tahu sebelumnya,
kalau salah seo-
rang bocah menggeram, maka kedelapan bocah yang
lain akan segera melakukan serangan. Kalau sekarang mengaum, apa bukan tak
mungkin mereka berniat
merencah-rencah dagingnya"
Kekhawatiran si pendekar muda tak terbukti.
Bocah-bocah ajaib ternyata malah bergerak se-
ketika dari tempatnya berdiri. Bukan untuk melaku-
kan serbuan, melainkan melarikan diri!
"Heei, tunggu!" cegah Satria.
Dikejarnya mereka.
Sampai dia berpapasan dengan dua orang di
tengah jalan, bocah-bocah itu tak terkejar. Akhirnya,
dia kehilangan jejak di dekat muara sungai kecil, tempatnya bertemu dengan
Pendekar Muka Bengis dan
Gendut Tangan Tunggal.
Satria selesai memaparkan ceritanya pada ke-
dua warga persilatan yang baru ditemuinya. Gendut
Tangan Tunggal tak jadi menjelaskan apa pun. Semen-
tara, Pendekar Muka Bengis yang sifatnya keras kepala malah menyudutkan Satria
terus dengan kecurigaan-nya. Mau tak mau, Satria yang akhirnya menjelaskan
kenapa dia harus berlarian seperti maling jemuran.
"Jadi, kau telah berurusan langsung dengan
Pasukan Kelelawar itu?" Pendekar Muka Bengis men-gajukan pertanyaan, belum lagi
Satria cukup men-
gambil napas. "Bocah-bocah itukah yang kalian cari?" tanya balik Satria.
"Ya ya, betul! Betul apa tidak, Muka Bengis?"
sergah Gendut Tangan Tunggal, sok tahu.
"Kalau menilai penuturan mu barusan, aku ya-
kin merekalah Pasukan Kelelawar yang menggempar-
kan dunia persilatan belakangan ini," ucap Pendekar Muka Bengis, membenarkan.
"Kalau aku boleh tahu, apa yang telah mereka
perbuat sampai begitu menghebohkan banyak pihak?"
tanya Satria. Keingintahuannya terhadap bocah-bocah ajaib itu makin menyala-
nyala saja. Dengan singkat, Pendekar Muka Bengis pun
menjelaskan. Satria mendengarkan penuh perhatian.
"Nah, kini giliran aku bertanya padamu. Siapa
kau sebenarnya. Aku penasaran dengan dirimu. Rasa-
rasanya aku pernah mendengar selentingan kabar ten-
tang seorang warga persilatan yang berciri-ciri sepertimu...," susul Pendekar
Muka Bengis, selesai menun-
taskan penjelasannya.
"Aku Satria, Kang," ucap Satria, memperkenal-kan diri. Tangan disodorkan ke
depan. Tapi, dasar
Pendekar Muka Bengis memang besar adat, dia malah
menepis tangan Satria.
"Tak perlu bersalaman segala! Aku juga tak per-lu namamu. Yang aku mau tahu, apa
julukanmu. Kau memiliki ilmu lari cepat yang... ng lumayan. Jangan besar kepala dulu! Aku tak
berniat memujimu. Aku
hanya ingin mengambil kesimpulan, dengan begitu
pasti kau warga persilatan!"
"Guruku menyebutku Satria Gendeng. Dan
orang persilatan pun latah menyebutku begitu."
"Wait!" pekik Pendekar Muka Bengis tiba-tiba sambil menampar jidat sendiri.
"Sudah kuduga! Sudah kuduga!" serunya berulang-ulang. Wajahnya langsung berubah.
Ketidak- ramahannya tahu-tahu mental entah ke mana.
"Kau menduga apa?" sela Gendut Tangan
Tunggal, sejak tadi dia malah asyik mencukil-cukil sisa jagung di antara gigi-
giginya yang masih utuh, biarpun kuningnya tak tanggung-tanggung
"Kau tak tahu" Satria Gendeng itu! Murid Pa-
nembahan Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu! Mu-
rid Penembahan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu! Pen-
dekar muda yang pernah bikin Perempuan Pengumpul
Bangkai dan Iblis Dari Neraka kocar-kacir itu! Anak muda yang memegang senjata
pusaka Ka...."
"Cukup cukup cukup, Muka Bengis! Kau pikir
cuma kau saja yang pernah mendengar julukan anak
muda yang hebat itu?"
Hidung si pendekar muda kembang-kempis tak
menentu mendengar semua pujian. Pujian yang sebe-
narnya sekadar cetusan rasa kagum dua tokoh berusia
lebih tua darinya.
"Cuma yang tak jelas buatku, kapan kau per-
nah berjumpa dengan si pendekar muda Satria Gen-
deng itu?" tuntas Gendut Tangan Tunggal, ketinggalan kereta. "Astaga...,"
perangah Pendekar Muka Bengis.
Bola matanya membalik ke atas. Ke mana saja telinga manusia gentong ini sejak
tadi, makinya dalam hati.
"Aku sedang membicarakan anak muda ini,
Gendut!" "Maksudmu, anak muda ini yang berjuluk Sa-
tria Gendeng itu?"
"Iya!"
"Murid Ki Kusumo" Murid Dongdongka?"
"Iya iya, Gendut! Bukankah aku sudah bilang
barusan"!"
Mulut bulat Gendut Tangan Tunggal menganga
lebar. Matanya mengawasi Satria seperti tatapan wa-
dam yang bertemu perjaka genteng.
Satria meringis.
"Hi hi hi, aku senang berjumpa denganmu,
anak muda gendeng!!" ledak orang tua rakus itu. Lantas diterjangnya Satria.
Dipeluknya, dirangkulnya, di-putar-putar dan dikocok-kocoknya. Belum lagi serun-
tun ciuman bernafsu ke pipinya. Gila juga!
Tinggal Satria terengah-engah kehabisan na-
pas. Mana bau badan Gendut Tangan Tunggal sudah
seperti gudang bawang busuk!
Apes! "Aku tak menyangka akan bertemu dengan
anak muda jempolan sepertimu! Ini benar-benar hari
baikku!" sorak Gendut Tangan Tunggal selesai melepaskan rangkulannya. "Sekarang
ceritakan padaku bagaimana kau dapat membuat kedodoran si tua
bangka kejam; Iblis Dari Neraka dan nenek sihir jelek; Perempuan Pengumpul
Bangkai"! Ayo cerita, aku mau
dengar!" serbunya lagi.
Satria cengengesan lugu.
"Ceritanya panjang, Pak Tua."
"Tak apa-apa. Bila perlu kau bercerita sampai
mau kiamat nanti, pasti aku dengarkan!"
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 17 Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Muslihat Cinta Sang Pangeran 1
^