Pencarian

Pertapa Cemara Tunggal 2

Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal Bagian 2


dikenal sama sekali. Tanpa ada urusan atau alasan
yang jelas pula. Kalau kawan seperjalanannya terli-
bat perkelahian dengan lelaki berpakaian merah, ce-
pat atau lambat dia pun akan terseret. Ludah Darah
sama sekali tak menginginkan hal itu.
Ketika Hantu Wajah Batu sudah menggelegak
hingga ke kepala, Ludah Darah segera mencegah
agar lelaki berwajah kaku dan tegang itu tak men-
gumbar kemarahannya.
Tangan Hantu Wajah Batu cepat dicekal oleh
Ludah Darah ketika baru saja hendak mengirim tin-
ju geledek ke bokong lelaki berpakaian merah.
"Biar kuhajar dia, Balaputra!" geram Hantu Wajah Batu.
Ludah Darah menggelengkan kepala.
"Jangan bodoh! Kau hanya akan membuang-
buang tenaga!" katanya memperingati. "Apa tak sebaiknya kita bertanya padanya
tentang Pertapa Ce-
mara Tunggal. Barangkali saja dia tahu," lanjutnya.
"Terserahlah!" rutuk Hantu Wajah Batu se-
raya menyentak cekalan tangan Ludah Darah.
Seandainya mereka berdua tidak punya kepentingan
dan tujuan yang sama, sudah dihantamnya pula
Ludah Darah! "Kenapa dicegah?"
Seakan mengejek, lelaki berpakaian merah
berujar santai sambil tetap melangkahkan kaki den-
gan lenggoknya yang membuat Hantu Wajah Batu
semakin sebal. "Aku hendak menanyakan tentang Pertapa
Cemara Tunggal padamu. Apakah kau mengetahui
sesuatu tentang beliau?" tanya Ludah Darah, tak mau bertele-tele.
Lelaki berpakaian merah terdiam sebentar.
Mendadak saja tubuhnya melenting ringan ke udara.
Dia hinggap di tempat semula dalam posisi berse-
madi pula. "Percuma kalian menanyakan hal itu," ka-
tanya kemudian.
"Kenapa begitu?" kejar Ludah Darah.
"Karena yang kalian dengar selama ini ten-
tang Pertapa Cemara Tunggal tak lebih dari dongeng
belaka. Aku sendiri tak pernah mempercayainya."
"Ah, pembual! Kau sendiri di sini hendak
apa"! Bukankah kau pun berniat bertemu dengan
Pertapa Cemara Tunggal?" sodok Hantu Wajah Batu.
"Sudah aku bilang, aku di sini dengan tujuan
untuk bersemadi," balas lelaki berpakaian merah.
"Bersemadi untuk bisa bertemu dengan Per-
tapa Cemara Tunggal!" sambar Hantu Wajah Batu.
"Keliru! Lagi pula, apa urusanmu?"
Mulai menggelegak lagi darah Hantu Wajah
Batu mendengar ucapan-ucapan lelaki berpakaian
merah. Dia melangkah maju beberapa tindak den-
gan wajah siap menantang untuk satu pertarungan
sampai mati. Ludah Darah sekali lagi harus mengejarnya
dan cepat menghadang. Saat itulah mata Ludah Da-
rah tertumbuk pada sesuatu yang menarik di bawah
lelaki berpakaian merah. Sebelumnya dia tak me-
nyaksikan karena pandangannya terhalang oleh ge-
rombolan semak. Lelaki berpakaian merah ternyata
duduk bersila di atas sebongkah kepala manusia!
Saat itu, tidak bisa tidak Ludah Darah jadi
sempat berpikir dia sedang berurusan dengan orang
sinting. Bisa juga dengan seorang penganut ilmu se-
sat. Yang kedua tak diinginkannya. Jika lelaki ber-
pakaian merah memang bersemadi untuk menuntut
satu ilmu sesat di tempat itu, dia tak akan menyingkir sampai tujuannya
tercapai. Sedangkan Ludah
Darah dan Hantu Wajah Batu sendiri punya kepen-
tingan lain terhadap tempat tersebut. Cepat atau
lambat, pertarungan untuk memperebutkan tempat
tampaknya akan meletus juga.
Ludah Darah melirik rekannya.
"Kenapa kau jadi menatapku seperti itu" Tadi
kau telah mencegahku menghajar lelaki sial itu. Se-
karang jangan salahkan aku!" tukas Hantu Wajah Batu, menggerutu.
"Tampaknya kita terpaksa harus mengusirnya
juga, Joran," tanggap Ludah Darah.
Hantu Wajah Batu mengepalkan tangan. Ja-
rinya meremas-remas liat.
."Biar aku yang urus!"tandasnya. Memang sejak tadi dia menunggu untuk melakukan
hal itu. "Hei, bersiaplah kau untuk kuusir seperti ti-
kus buduk!" seru Hantu Wajah Batu.
"Kau kuperbolehkan mencobanya sejak tadi,
bukan?" sahut lelaki berpakaian merah, sama sekali
tak terdengar gentar. Tak terlihat dia hendak bersiap menyambut serangan calon
lawan. Dia tetap duduk
membelakangi. Teriakan keras menggelegar dari kerongkon-
gan Hantu Wajah Batu, mengawal lompatan ting-
ginya. Kaki kanannya terbentang lurus, menuju leh-
er belakang lelaki berpakaian merah
Satu tendangan menggeledek berkekuatan
amukan lima ekor banteng jantan siap mematahkan
batang leher lawan.
Lelaki berpakaian merah sendiri seperti tak
menganggapnya sebagai satu ancaman. Kendati ter-
jangan lawan sudah setengah jalan, dia masih saja
belum bergerak dari tempatnya. Ketika sisi telapak
kaki Hantu Wajah Batu tinggal dua jari lagi menda-
rat, barulah dia melakukan gerakan. Itu pun kecil
saja. Hanya terbatas menyorongkan badan ke samp-
ing. Anehnya, gerakan seperti itu tidak membuat po-
sisi silanya menjadi kehilangan keseimbangan, ken-
dati dia duduk di atas sebuah kepala.
Lolos serangan pembuka membuat Hantu
Wajah Batu makin kalap saja. Kini dia berdiri ber-
hadapan dengan lawan yang masih tak beranjak dari
tempatnya. "Jangan cepat merasa menang, Sobat!" den-
gus Hantu Wajah Batu, menyaksikan senyum men-
gejek di bibir lawan.
Lalu diterjangnya kembali lelaki berpakaian
merah. Tubuhnya mencelat lurus dengan tangan te-
racung keras ke muka. Serangan Hantu Wajah Batu
kali ini tidak dihadapi lawan dengan cara menghin-
dar. Lelaki berpakaian merah menggerakkan kedua
tangannya. Dak! Benturan terjadi. Tubuh Hantu Wajah Batu
seketika terpantul kembali ke belakang. Terpental
dia hampir sejauh sepuluh tombak. Sementara lelaki
berpakaian merah tidak begitu. Dia masih tetap di
tempatnya. Sewaktu terjadi benturan antara tenaga
dalam, badannya hanya sempat tersentak!
Ludah Darah yang sejak awalnya hanya men-
jadi penonton dibuat terkesiap juga dengan kenya-
taan itu. Rupanya orang ini tidak bisa dianggap
main-main, nilainya. Menilik kejadian tadi, setidaknya Ludah Darah bisa sedikit
mengukur kedig-
dayaan lawan. Kemampuan tenaga dalam lawan
tampaknya lebih kuat dua kali lipat dari milik Hantu Wajah Batu. Jika demikian,
tak ada harapan besar
bagi lelaki bertudung berwajah membatu itu untuk
memenangkan pertarungan.
Kembali ke kancah pertarungan. Hantu Wa-
jah Batu terpana sesaat setelah mampu menem-
patkan kuda-kudanya kembali di atas tanah. Tak
pernah disangkanya lawan akan memiliki tenaga da-
lam jauh lebih kuat di atasnya. Dia mulai menyada-
ri, dirinya mungkin tak bisa unggul. Hanya karena
sifatnya yang keras kepala, dia tak pedulikan hal itu.
"Kau pikir, aku akan gentar?" desisnya penuh api kegarangan di sepasang matanya.
Di ujung desisan, dia pun memainkan kembangan jurusnya kem-
bali. Sesaat kemudian, serangan susulan dilakukan.
Tak kalah berbahaya dari sebelumnya.
"Remuk kau!"
Dan seruntun hantaman serta tendangan
menghujani lelaki berpakaian merah. Bertubi-tubi.
Membabi buta. Seakan tak ada satu celah kosong
pun terlewatkan. Sejauh itu, tak ada satu pun se-
rangan Hantu Wajah Batu menemui sasaran. Sam-
pai suatu saat, tangan lelaki berpakaian merah
membuat satu sodokan amat cepat. Amat sulit me-
nangkap gerakannya, bahkan oleh mata yang amat
jeli sekalipun.
Bes! "Egh!"
Ketika itu juga tubuh Hantu Wajah Batu ter-
sentak ke belakang. Karena dia berusaha untuk te-
tap bertahan pada kuda-kuda, tubuhnya jadi terse-
ret beberapa depa ke belakang dalam posisi berdiri.
Seretan kakinya membentuk parit kecil yang cukup
dalam. Mungkin, keberhasilan Hantu Wajah Batu
mempertahankan kuda-kudanya patut menda-
patkan acungan jempol, mengingat betapa hanta-
man lawan demikian kuat. Namun begitu, luka da-
lam harus ditelannya juga. Tak lama setelah seretan tubuhnya terhenti, dia pun
memuntahkan darah segar. Dengan wajah yang tak berubah, dia menatap
nanar lelaki berpakaian merah. Lawan tetap pada
posisi semula. Sedikit pun tubuhnya tidak beranjak.
"Aku tetap belum kalah, Sobat!" keluhnya, namun dengan nada yang tak terdengar
mengalah. Setelah mengatur pernapasan dan menotok
beberapa jalan darah di bagian dada, lelaki berpe-
rangai keras itu menyiapkan jurus barunya.
Ludah Darah di luar kancah mulai melihat
gelagat tak baik. Sudah saatnya dia turun tangan
membantu Hantu Wajah Batu. Jika tidak, dia akan
kehilangan rekannya yang dibutuhkan untuk tujuan
mereka mendatangi Hutan Pemantingan.
Berbarengan dengan lompatan Hantu Wajah
Batu dari arah depan, Ludah Darah pun menerkam
dari arah belakang.
"Kalahkan dia, Joran!" serunya, memberi semangat tarung pada rekannya yang sudah
kecolon- gan. Sebagai warga persilatan, sesungguhnya Lu-
dah Darah merasa tak pantas dengan tindakan ter-
sebut. Satu lawan dua. Belum lagi dia telah membo-
kong dari belakang. Tindakan yang tak satria sama
sekali. Namun Ludah Darah tahu, dengan tindakan
itu pun mereka belum tentu memiliki kesempatan
besar untuk menang. Selain itu dia tak berniat un-
tuk membunuh lelaki berpakaian merah. Hanya in-
gin menyingkirkannya dari tempat itu. Meski dengan
begitu, terselip juga rasa tak enak hati. Betapa dia telah merasa membodohi diri
sendiri. Untuk membela kepentingan sendiri dia sudah membenarkan se-
gala cara. Pada saat lelaki berpakaian merah menjadi
sasaran serangan dari dua kutub berbeda, dengan
kekuatan yang bukan main-main pula, mendadak
saja terjadi kejadian tak terduga sama sekali. Baik oleh Hantu Wajah Batu
ataupun Ludah Darah.
Dari silanya, lelaki berpakaian merah seketika
mencelat gesit ke atas. Tak terlihat dia menggerak-
kan badan sama sekali, di bagian mana pun. Seper-
tinya, dia sendiri tak pernah menghendaki tindakan
itu. Dalam keadaan menerjang, kedua lawannya
sempat pula dibuat terheran. Ada sesuatu yang tak
beres sedang terjadi, pikir mereka. Dan bukan mus-
tahil, mereka menghubung-hubungkan kejadian itu
dengan keberadaan pertapa sakti wanita; Pertapa
Cemara Tunggal yang begitu ingin mereka temui.
Prasangka mereka terbukti keliru sesaat sete-
lah lelaki berpakaian merah mencelat tiga depa da-
lam posisi masih bersila ke udara. Sebab, setelah itu menyusul sesuatu mencelat
pula. Muncul menera-bas seolah-olah keluar dari dalam tanah!
Wrerrr! Sewaktu luncuran badan Hantu Wajah Batu
dan Ludah Darah telah mencapai titik sasaran, me-
reka baru menyadari kalau sesuatu yang mencelat
ringan dan gesit itu adalah sesosok manusia. Dis-
adari pula oleh mereka bahwa batok kepala yang se-
lama itu diduduki oleh lelaki berpakaian merah ter-
nyata bukan sekadar kepala tanpa badan, melain-
kan kepala seseorang yang sekujur badannya dita-
nam ke dalam bumi!
Sebaliknya, mereka justru sama sekali tak
menyadari bahwa kemunculan tak terduga orang
aneh itu akan membawa akibat buruk bagi kedua-
nya! "Huaaah!"
Das! Ludah Darah yang terlebih dahulu kejatuhan
nasib buruk. Orang yang baru mencelat muncul dari
tanah langsung berhadapan dengan serangannya.
Karena tak menduga kemunculan lawan barunya,
Ludah Darah menjadi lengah. Serangannya yang
semula ditujukan untuk lelaki berpakaian merah
dapat diredam dengan satu tangkisan keras oleh
orang itu. Tak cuma itu, satu kaki lawan bersarang
telak di ulu hatinya.
Sedangkan Hantu Wajah Batu mendapat ha-
jaran untuk kedua kalinya dari lelaki berpakaian
merah setelah sebelumnya serangannya sendiri da-
pat dimentahkan oleh lelaki berpakaian merah.
Pasangan lelaki itu terdorong ke belakang.
Ludah Darah lebih parah. Dia hampir-hampir ter-


Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lempar sejauh belasan tombak.
Barulah jelas sekarang, bagaimana tenaga le-
laki berpakaian merah begitu kuat. Rupanya dia
mendapat bantuan dari orang yang selama ini didu-
duki kepalanya!
"Siapa kalian berdua sebenarnya"!" tanya Ludah Darah dengan tangan mendekap
dada. Henta- kan yang diterimanya merasa membakar. Tak beda
dengan keadaan Hantu Wajah Batu, lelaki ini pun
mengalami luka dalam tak ringan. Di sudut bibirnya
mengalir darah kehitaman. Hanya saja, luka dalam-
nya lebih ringan. Bisa jadi karena tenaga yang me-
nimpa Hantu Wajah Batu adalah hasil penggabun-
gan tenaga dua orang.
Orang yang baru muncul sudah berdiri tepat
di atas lobang tempat sebelumnya dia dikuburkan.
Sedangkan lelaki berpakaian merah sudah hinggap
kembali di ubun-ubunnya. Masih pula tak mengu-
bah posisi silanya.
Bertolak belakang dengan lelaki berpakaian
merah, orang itu berpenampilan tak karuan. Tu-
buhnya yang tinggi besar seperti tokoh Bima di pe-
wayangan tak dibungkus apa pun kecuali semacam
cawat dari serat pepohonan. Dadanya dipenuhi den-
gan bulu lebat. Perutnya agak membuncit. Rambut-
nya digelung di atas kepala. Wajahnya membiru
dengan bulu kasar di seluruh rahang. Matanya bulat
membersitkan kebuasan seekor hewan pemangsa.
Sebelum menjawab pertanyaan Ludah Darah,
mencelat tawanya yang terputus-putus serak.
"Kalian telah melakukan kesalahan telah
mengganggu tapa geniku!" serunya, terdengar meraung. Mendengar suaranya, Ludah
Darah dan Han- tu Wajah Batu merasakan getaran yang menggem-
pur hingga ke dasar nyali. Mereka seperti dipaksa
untuk takut. Merasa pertanyaannya tak mendapat jawaban
memuaskan, Ludah Darah kembali bertanya.
"Siapa kalian sebenarnya?"
Mata bulat menggidikkan lelaki tinggi besar
menerkam langsung ke manik mata Ludah Darah.
Pancarnya lagi-lagi menerobos langsung ke dasar
nyali. Sebagai tokoh persilatan yang sudah terbiasa mengalami kebuasan manusia,
Ludah Darah merasa
heran juga bagaimana dia merasakan getaran takut
merayap dalam dirinya.
"Aku Kaladewa! Kuperintahkan kalian untuk
menyingkir dari tempat ini, sebelum aku memu-
tuskan untuk mengirim kalian ke neraka!" seru lelaki tinggi besar yang mengaku
bernama Kaladewa.
"Dan aku Kasindra, muridnya!" sela lelaki berpakaian merah.
Mau tak mau, Hantu Wajah Batu dan Ludah
Darah mengernyitkan kening. Bagaimana bisa seo-
rang guru bersedia muridnya menempatkan pantat
tepat di atas kepalanya"
ENAM DALAM beberapa hari terakhir ini, Satria
Gendeng benar-benar dibuat pusing, kelimpungan
sekaligus pontang-panting. Dibuat berantakan dia
akibat tuduhan terhadap dirinya. Awalnya sejak Ki
Dagul alias Pengemis Arak uring-uringan padanya.
Lalu entah bagaimana caranya, desas-desus menye-
bar seperti penyakit menular. Dalam waktu singkat,
banyak warga persilatan menganggap dirinya seba-
gai pendekar murtad yang membunuh hanya karena
hasrat kotor menguasai benda pusaka dari Pertapa
Cemara Tung-gal.
Yang membuat dia jadi mau senewen bukan
itu saja. Tokoh-tokoh persilatan golongan hitam
yang begitu bernafsu memiliki benda pusaka Pertapa
Cemara Tunggal pun mulai memburunya. Tak enak
benar menjadi seperti hewan buruan. Ke mana-
mana selalu waswas. Di mana-mana dia harus was-
pada. Musibah sedang betah menemaninya, ru-
panya. Berhari-hari, pendekar muda itu pun dibuat
pening sendiri. Dia tak habis pikir, benda pusaka
apa sebenarnya yang sedang diributkan dan hendak
diperebutkan darinya! Satu-satunya benda pusaka
yang dimiliki ya cuma Kail Naga Samudera. Dan itu
jelas-jelas bukan pemberian Pertapa Cemara Tung-
gal. Selain itu dia tak memiliki apa-apa lagi. Apa perlu dia menganggap celana
dalam bututnya sebagai
benda pusaka" Sungguh brengsek, umpatnya mem-
batin. Manusia bercongor besar mana pula yang te-
lah seenaknya menyebar kabar burung seperti itu"
Kalau bertemu orangnya, ingin rasanya Satria me-
nyodok mulut orang itu dengan galah hingga tembus
ke bawah! Soal Ki Dagul yang turut menuduhnya, Satria
yakin tua bangka itu pun cuma korban desas-desus.
Jelas ada orang yang hendak memfitnahnya. Hendak
menjadikannya bulan-bulanan warga persilatan.
Dan yang paling jelas, orang itu tampaknya tak se-
nang kalau seorang pendekar muda golongan lurus
seperti dirinya masih bercokol segar bugar di muka
bumi. Belum sehari lalu, Satria Gendeng baru saja
menghadapi dua orang gila dari golongan sesat yang
memaksanya menyerahkan benda pusaka Pertapa
Cemara Tunggal. Benda pusaka apa" Sampai jidat-
nya minggat ke pantat pun tak ada yang bisa diberi-
kan. Karenanya Satria lebih suka menghindar. Tapi
dua orang sinting yang tergolong sakti itu memaksa.
Jadilah mereka bertarung.
Setelah setengah mampus membela diri, Sa-
tria mendapat kesempatan untuk meloloskan diri.
Syukur Tuhan masih sayang sama dirinya, dia ber-
hasil lolos. Cuma, yang namanya dua manusia
slompret itu tak puas. Mereka berusaha mengejar-
nya. Sampai hari ini, Satria masih saja main kuc-
ing-kucingan. Dengan terpaksa, dia harus melaku-
kan penyamaran yang sama sekali tak mengenak-
kan. Dia harus berpura-pura menjadi seorang pen-
gemis tua. Mengenakan pakaian rombeng, dekil, dan
bau tengik. Ditambah caping lebar yang tak kalah
menyedihkan! Karena berpura-pura sebagai lelaki
jompo, dia pun memungut batang pohon kering yang
selalu dibawa-bawanya jika sedang berjalan ter-
bungkuk-bungkuk. Betapa menyiksanya!
Mau membuat penyamaran lain, terus terang
dia tak tahu menahu. Dia bukan seorang ahli me-
nyamar yang bisa seenaknya mengganti penampilan
dan wajah seperti seekor bunglon.
Sialnya lagi, banyak orang yang benar-benar
tertipu dengan penyamaran sederhana itu. Dengan
penuh rasa kasihan, beberapa orang memberinya
'kepeng' tanpa perlu diminta. Pikir-pikir, enak juga jadi pengemis gadungan.
Tinggal pura-pura menderita, lantas uang pun datang biarpun cuma recehan.
Yang tidak enaknya, ada juga orang-orang yang
langsung membentaknya dengan muka berang sam-
bil berteriak; pergi kau, aku tak ada uang recehan!
Itu pun tanpa diminta!
Saat itu, Satria Gendeng memasuki satu desa
yang terletak di pinggir Hutan Pemantingan. Hutan
Pemantingan adalah tujuan utama yang harus dis-
elidikinya berkenaan dengan tuduhan yang harus
dia telan bulat-bulat. Menurutnya, tentu bisa dida-
patnya sedikit keterangan di sana tentang desas-
desus yang merebak.
Desa kecil itu tampak lengang ketika Satria
Gendeng tiba. Rumah-rumah gubuk berdiri berjau-
han. Satu dua orang penduduk terlihat melintas di
jalan tanah. Seorang bapak setengah baya yang kebetulan
berselisih jalan dengannya disapa.
"Maaf, Pak, aku hendak sedikit bertanya pa-
damu." Sejenak bapak setengah baya itu memperha-
tikan Satria dengan pandangan menyelidik. Di ma-
tanya terpancar bersit keheranan. Jelas dia bertanya dalam hati karena semula
dia menyangka Satria
adalah seorang tua. Namun ketika bertanya, sua-
ranya justru terkesan gagah.
Satria baru menyadarinya ketika bapak se-
tengah baya masih saja menatapinya dari ujung tu-
dung ke ujung kaki. Dengan mengumpat-umpat diri
sendiri dalam hati, bergegas diubahnya suara. Tidak begitu meyakinkan, tapi
lumayan. Satria pun mendapat jawaban. Jika dia ingin
mengetahui tentang kabar burung yang selama ini
tersebar, dia harus menemui seorang tua di tepi Hu-
tan Pemantingan. Menurut bapak setengah baya itu
pula, si orang tua yang harus ditemui Satria layak-
nya seorang 'kuncen' untuk tempat-tempat tertentu
di Hutan Pemantingan.
"Bagaimana aku bisa bertemu dengan orang
tua itu?" tanya Satria lagi.
Untuk pertanyaan tersebut, Satria tak men-
dapatkan jawaban memuaskan. Ternyata bapak se-
tengah baya yang ditanya sama sekali tak pernah
mengetahui keberadaan orang tua yang diceritakan-
nya. Bahkan dia mendengar semua itu hanya dari
cerita mulut ke mulut masyarakat sekitar.
Satria geleng-geleng kepala. Dari ribut-ribut
soal benda pusaka, lalu Pertapa Cemara Tunggal,
dan sekarang ada lagi orang tua 'kuncen' Hutan Pe-
mantingan yang semuanya serba tak jelas ujung
pangkalnya. Semuanya serba 'kata orang'.
Namun begitu, Satria tetap mengucapkan te-
rima kasih. Sekarang, dia harus memulai kembali penye-
lidikan yang makin terasa ngawur.
Sebelum dia beranjak, terdengar ringkikan
tinggi seekor kuda jantan. Ganjilnya, ringkikan kuda itu seperti melayap ke
mana-mana, melompat dari
satu tempat ke tempat lain. Seumur hidup, tak per-
nah Satria mendengar ada kuda terbang dan seje-
nisnya. Jadi, kalau bukan kuda terbang yang me-
ringkik-ringkik berpindah-pindah tempat dengan ce-
pat seperti itu, lantas apa" Kuda dedemit" Atau te-
linganya saja yang sudah sakit"
Telinga si pendekar muda Tanah Jawa sama
sekali tidak sakit. Memang ada suara ringkikan ku-
da. Tapi itu bukan berasal dari tenggorokan bina-
tang tunggangan, melainkan keluar dari kerongkon-
gan seorang lelaki tua yang terlihat di kejauhan.
Satria Gendeng mengamati.
Orang tua itu berjalan santai. Namun setiap
kali dia melangkahkan kaki, tubuhnya seperti mele-
sat sepuluh langkah. Dan tahu-tahu saja dia sudah
berdiri hanya tujuh depa dari tempat Satria berdiri.
Dari sela-sela celah tudung pandannya, mata
Satria Gendeng mengamati. Lelaki tua yang umur-
nya mungkin sudah mendekati sembilan puluhan.
Mungkin juga lebih. Keriput di wajah sudah pasti.
Kalau dinilai-nilai, tampangnya seperti seorang
priyayi. Klimis tanpa jenggot. Ada tahi lalat besar seukuran kotoran kadal di
jidatnya. Pakaiannya seperti seorang abdi dalam istana, lengkap dengan
blankonnya. Sapaan pertama untuk Satria Gendeng ada-
lah senyumnya yang mekar sumringah. Sangat ra-
mah, tapi juga lucu. Terutama karena giginya tinggal
sepasang. "Siang anak muda!" ucapnya kemudian.
Di balik tudung, Satria Gendeng dibuat agak
terperangah. Bagaimana dia dapat mengetahui bah-
wa aku bukan seorang bangkotan seperti dirinya"
Tanyanya membatin. Sungguh tajam pengamatan
orang tua ini. Atau mungkin dia punya pandangan
yang melebihi mata orang biasa" Kalau benar begitu, tentu dia bukan seorang tua
sembarangan, nilai
pendekar muda itu.
"Siang," balas Satria. Tak perlu lagi dia me-nyamarkan suaranya. Termasuk sikap
tubuhnya yang terbungkuk-bungkuk. Percuma. Kedoknya su-
dah terbongkar hanya dengan sekali tepuk!
"Apa perlumu padaku, Anak Muda?" tanyanya kembali pada murid dua tokoh kenamaan
Tanah Jawa. Satria dibuat bingung sendiri. Apa perlunya"
Bukankah mereka baru saja bertemu"
Orang tua berblangkon terkekeh geli. Seperti
ringkikan kuda! "Jangan bingung. Bukankah kau
sedang mencari seseorang yang mengetahui tentang
Pertapa Cemara Tunggal?"
Satria pun menduga-duga.
"Kau orang tua 'kuncen' itu?" tanyanya, antara yakin dan tidak.
"Ya!" Lalu si tua berblangkon itu pun terkikik geli. Tetap seperti ringkikan
seekor kuda. Jadi memang benar dugaan Satria sebelumnya. Bukan ke-
rongkokan kuda yang membuat suara itu, melain-
kan orang tua yang kini dihadapinya.
"Jadi kau mau bertanya apa?"
Mendapat pertanyaan tadi, Satria terbengong
sendiri. Tanpa susah mencari, tahu-tahu saja dia
sudah bertemu dengan orang yang dibutuhkan. Tapi
giliran hendak bertanya, dia malah bingung hendak
mulai dari mana....
"Baik, kalau begitu kau akan kubantu. Kau
ingin mengetahui kebenaran cerita tentang Pertapa
Cemara Tunggal, bukan?" sela orang tua berblangkon. "Iya iya! Benar!"
"Cerita itu benar. Pertapa Cemara Tunggal


Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang ada."
"Lalu?"
"Lalu apa" Apa yang hendak kau tanyakan la-
gi selain itu?"
Satria bingung lagi.
"Mau aku bantu lagi?"
"Boleh boleh...."
Ini jadi menggelikan. Bukankah seharusnya
justru dia yang banyak bertanya. Tapi kenapa malah
sebaliknya" Ah, peduli setan, pikir Satria.
"Kau mau tahu pula apakah Pertapa Cemara
Tunggal pernah mewariskan benda pusaka kepada
seseorang?"
"Ya ya ya. Aku memang mau tahu itu!"
Lelaki tua berblangkon menggeleng.
"Jadi tidak ada benda pusaka itu?"
Lelaki tua berblangkon itu pun menggeleng
lagi. Satria Gendeng melongo. Jadi bagaimana"
"Benda pusaka itu ada. Yang tak benar, Per-
tapa Cemara Tunggal memberikannya pada orang
persilatan. Beliau tak pernah melakukannya...."
"Jadi, kenapa orang persilatan meributkan
bahwa Pertapa Cemara Tunggal telah memberikan
benda pusaka pada seorang di dunia persilatan"!"
"Aku tak perlu menjawabnya. Kau bisa men-
cari tahu sendiri untuk masalah itu."
"Lantas, kenapa pula aku yang jadi sasaran"!"
sentak Satria, terbawa kekesalan selama beberapa
hari belakangan.
"Jangan salahkan aku, Anak Muda!"
Satria melepaskan tudungnya. Dia tidak be-
tah. Membuatnya tidak nyaman sekali. Terutama
saat-saat dia diamuk kejengkelan.
Bersungut-sungut, dia melanjutkan perta-
nyaan. "Apakah kau tahu orang yang menjadi biang keladi desas-desus ini, Orang
Tua?" "Itu pun kau bisa cari tahu sendiri, Anak Mu-
da. Hei, kau ini masih muda! Tenagamu masih ba-
nyak. Jangan kau cuma bisa mengandalkan orang
tua jompo seperti aku ini!"
"O, ya. Aku punya satu pertanyaan lagi,
Orang Tua. Apakah kau pernah melihat seorang le-
laki muda berpakaian merah di sekitar Hutan Pe-
mantingan?"
"Kalau yang itu, aku bisa menjawabnya. Aku
memang pernah melihatnya."
Satria Gendeng menggeram seram. Dihan-
tamkannya kepalan ke telapak tangan.
"Itu dia orangnya!" rutuknya tertekan.
Karena suntuk, Satria mengedarkan pandan-
gan ke pepohonan di sekitarnya. Siapa tahu juga dia sedang beruntung dan
langsung menyaksikan lelaki
berpakaian merah.
"Sudah cukup, bukan?" tanya orang tua ber-
blangkon. "Ya, rasanya cukup untuk saat ini," jawab Satria Gendeng seraya mengalihkan
pandangannya kembali ke arah orang yang diajak bicara. Tapi asta-ga, orang itu sudah tak ada
lagi di tempatnya.
Di kejauhan terdengar ringkikan kuda kemba-
li. Ke sana kemari. Melompat-lompat cepat seolah
mengendarai angin.
Selanjutnya, Satria Gendeng dikejutkan oleh
suara lain. Teriakannya terdengar galak dan bernaf-
su. Ya, yang didengarnya teriakan seseorang. Dan
rasanya suara itu pernah didengarnya sebelum ini.
Satria Gendeng menoleh. Dia terlonjak. Be-
nar-benar apes! Saat dia sedang membuka tudung
dan berdiri wajar tanpa perlu menyiksa diri mem-
bungkuk-bungkuk, orang yang memburunya mene-
mukan dirinya. Siapa lagi kalau bukan dua orang
sinting yang tergolong sakti!
"Slompret!" desis Satria sambil cepat-cepat melepas langkah seribunya.
* * * Pertarungan antara Ludah Darah, Hantu Wa-
jah Batu dengan sepasang lawan ganjilnya tak berja-
lan seimbang. Guru dan murid yang rada kualat itu
lebih banyak menjadikan Ludah Darah dan Hantu
Wajah Batu sebagai bulan-bulanan.
Pada satu gempuran sengit, pasangan rekan
muda itu dibuat terkapar berbarengan di tanah.
"Sekarang kalian tinggal pilih, hendak kubu-
nuh di tempat, atau kalian menyingkir saja dari
tempat ini!" gelak lelaki tinggi besar seperti Bima.
Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu melen-
guh-lenguh di atas tanah.
"Baik. Kali ini kami mengalah. Namun kami
akan kembali ke tempat ini suatu hari!" keluh Ludah Darah, mengancam. Baginya,
urusan tempat itu belum lagi selesai.
Lalu, dengan tertatih-tatih, dia menyingkir
dari tempat itu bersama Hantu Wajah Batu. Sepe-
ninggalan mereka, lelaki tinggi besar alias Kaladewa bersama muridnya yang tak
juga beranjak dari
ubun-ubunnya tertawa berbarengan.
"Mereka cuma akan menjadi 'anjing' yang
akan menuntun Satria Gendeng pada kita!"
TUJUH Mau menyingkir ke mana kau, Gendeng"!"
sergah seseorang di tengah jalan ketika Satria Gen-
deng berlari. Orang itu langsung menghadang di de-
pan. Seorang perempuan separo baya bermulut san-
ter. Tidak ada yang menarik pada dirinya. Sebalik-
nya, bisa dibilang serba membuat mulas. Wajahnya
judes dengan mulut yang lebar dan tipis, berbibir setengah mancung, entah
bagaimana bentuknya. Ma-
tanya lebih galak dari milik seekor rubah sakit gigi.
Kulitnya gelap, rambutnya malah serba putih. Se-
pertinya dia tua sebelum waktunya. Sementara pa-
kaiannya, serba 'wah'. Dari warna sampai potongan-
nya. Merah menyengat, dan terbuka di mana-mana.
Mau buat pakaian atau sangkar burung"
Dia adalah salah seorang yang sedang mem-
buru Satria Gendeng, seorang tokoh wanita dunia
persilatan terhitung dalam jajaran atas golongan sesat. Dia pula yang terakhir
mengejar-ngejar Satria
dengan pasangan gilanya.
"Kau bertemu lagi dengan aku, Pemuda Tam-
pan!" Satria Gendeng merutuk serta mendesiskan dengan wajah sebal julukan
perempuan itu. "Rase Betina...."
"Itu memang julukanku!" ledek wanita yang berjuluk Rase Betina seraya
memperlihatkan senyum lebar yang sok ramah.
Satria berpikir cepat. Sungguh hanya akan
membuatnya susah untuk berhadapan kembali den-
gan Rase Betina. Cuma buang-buang tenaga saja.
Jalan terbaik baginya segera berbalik badan, semen-
tara jaraknya dengan Rase Betina tak terlalu dekat.
Baru saja hendak membalikkan badan, Satria
sudah dibuat terhenyak kembali. Ternyata hari itu
dia benar-benar dibuat bulan-bulanan oleh keape-
san. Di belakang Sana, sudah berdiri pula satu
orang pengejarnya. Tentu saja pasangan Rase Betina
yang sebelumnya meneriaki dia.
Pasangan Rase Betina adalah seorang lelaki
menjelang tua. Tak ada yang istimewa dari penampi-
lannya, kecuali kepalanya yang lebih besar dari
orang kebanyakan. Dia mengenakan pakaian ber-
warna buram. Dengan wajah tak mengenal kata damai, lela-
ki berjuluk Kepala Baja dari Utara itu mendengus.
"Sekali ini, kau tak akan bisa lolos, Satria
Gendeng!" Satria Gendeng meringis tanggung.
Jadi juga dia 'memeras keringat'....
Pasangan golongan sesat yang menghadang-
nya melangkah satu-satu, mempersempit jarak me-
reka terhadap Satria. Satria merasa dirinya seperti rusa buduk yang hendak
diringkus hidup-hidup.
"Serahkan saja benda pusaka itu pada kami,"
ancam Kepala Baja dari Utara.
"Aku tak memiliki apa yang kalian minta. Per-
cuma saja kalian memaksaku, tahu"!"
"Jangan bersikeras! Kau hanya akan mem-
buat dirimu celaka!" hardik Rase Betina. Sementara itu jarak keduanya makin
dekat saja pada buruan-nya, Satria Gendeng.
Si pendekar Tanah Jawa mengumpat dalam
hati. Mereka pikir, siapa aku sebenarnya" Cuma
anak korengan yang tak bisa apa-apa" Satria pun
mulai jadi mangkel.
"Kalian ini benar-benar dua cecunguk tua to-
lol! Begitu gampangnya kalian dibodoh-bodohi...,"
makinya. "Jangan berani sekali lagi kau mengatakan itu
pada kami, Gendeng!" Kepala Baja dari Utara meng-kelap. Keningnya yang lebar
berkerut bagai sehelai
gombal. Parasnya jadi sematang pinggiran koreng.
"Cepat beri kami Tanduk Menjangan Terbang
itu!" pekik Rase Betina, membuat Satria hampir-hampir melonjak kaget.
Apa lagi ini" Dalam hati, Satria bertanya-
tanya. Tanduk Menjangan Terbang" Sebelum-
sebelumnya mereka berdua tak pernah menying-
gung-nyinggung soal benda yang baru seumur hidup
didengar itu....
"Apa lagi ulah kalian ini" Tanduk Menjangan
Terbang apa yang kalian maksud"!" teriak Satria
Gendeng dengan otot leher tertarik dan wajah beran-
takan. Mangkelnya makin tak tertolong.
Rase Betina menyeringai.
"Rupanya murid tua bangka Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul pandai berlakon juga," cemoohnya. Darah Satria rasanya sudah
mentok sampai batok kepala. Menuduh-menuduh saja, jangan sega-
la pakai menghina gurunya. Sesinting-sintingnya
Dedengkot Sinting Kepala Gundul, dia tetap gu-
runya. Tak ada satu orang pun yang diperkenankan
menghina tua bangka itu. Tak juga seekor dedemit!
"Kalian keterlaluan, kalian tahu itu?" geram Satria. Matanya mulai nanar.
"Ya, kami memang keterlaluan, Gendeng. Dan
kami akan lebih keterlaluan lagi jika kau tak segera menyerahkan Tanduk
Menjangan Terbang pada ka-mi!" serobot Kepala Baja dari Utara. Kepalanya yang
kebesaran dan klimis mentereng itu bergerak-gerak
seperti ada kesalahan saraf.
"Tanduk Menjangan Terbang apa"!" sewot Satria. "Itu benda pusaka yang telah kau
rebut dari si Jenggot Perak, Kunyuk Tampan! Apa kau tak ingat?" ucap Rase
Betina, makin menyudutkan.
Satria memukul-mukul kepala dengan kedua
tangannya. "Ini benar-benar gila! Benar-benar gila! Ba-
gaimana kalian begitu yakin kalau benda itu ada
padaku"!"
"Seorang yang menyaksikan kau membunuh
Jenggot Perak telah mengatakan pada kami tentang
semua itu!" lanjut Rase Betina.
Satria menurunkan tangan. Alisnya hampir
bertaut. Apakah Ki Dagul yang telah mengatakan
semua kebohongan ini pada sepasang manusia
slompret yang cuma menyusahkanku" Hatinya ber-
tanya penasaran. Apa mungkin Pengemis Arak ber-
pikiran sejahat itu" Dia mungkin berotak agak tum-
pul. Tapi untuk memfitnah, tampaknya tak mung-
kin. "Siapa orang yang kau maksud. Rase Betina?"
selidiknya. "Seorang lelaki muda berpakaian merah! Ah,
untuk apa kujawab pertanyaanmu. Toh, kau sendiri
sudah tahu!"
Dia lagi, dia lagi!
Rahang Satria Gendeng rasanya hendak pe-
cah menahan kegeramannya pada manusia bejat sa-
tu itu. Siapa dia sebenarnya" Apa maunya dariku"
Gerutunya membatin.
"Jangan hanya diam begitu, Gendeng! Cepat
serahkan benda itu!" bentak Kepala Baja dari Utara.
"Aku tak memilikinya!"
"Kau memilikinya!"
"Tidak!"
"Memiliki!"
"Tidaaak!"
"Memilikiii!"
"Kalian berdua memang orang gila yang tolol!"
Sampai sudah Satria pada batas kesabaran-
nya. Dia sekarang tak mau lagi peduli apakah harus
terlibat pertarungan dengan kedua pemburunya.
Kepala Baja dari Utara mendengus.
Satria membalasnya dengan dengusan pula.
Rase Betina meludah.
"Cuih!"
"Kalian mau menyerangku atau cuma mau
memelototiku seperti itu"!" ledak Satria. Jadi gila sendiri dia....
* * * Tua bangka tukang mabuk, Ki Dagul, jadi
pusing sendiri mencari-cari Satria Gendeng. Anak
muda itu menghilang seperti kelebatan dedemit ke-
siangan. Hampir-hampir dia tak bisa percaya kalau
dirinya yang sudah 'kekenyangan' makan asam ga-
ram dunia persilatan, ternyata masih bisa dibuat
mati kutu. Sejak melarikan diri darinya, pendekar
muda itu belum pernah lagi diketemukan.
Tak ada satu ekor kunyuk buduk pun di mu-
ka bumi yang tak mengetahui bagaimana saktinya
Ki Dagul. Dari ujung bumi ke ujung yang lain, se-
mua orang juga tahu siapa dirinya. Begitu kalau tua bangka ini mau menyombongkan


Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri. Tapi menghadapi pemuda gendeng murid dua tokoh papan atas
Tanah Jawa, Ki Dagul pun mati kutu. Walau si tua
bangka tak akan sudi mengakui.
Sudah dicari-cari ke mana-mana, Ki Dagul
masih juga belum menemukan Satria Gendeng. Jan-
gankan menemukannya, sekadar jejak atau baunya
saja pun tidak.
Ki Dagul pantas jadi kesal.
Karena kelelahan mencari, Ki Dagul memu-
tuskan untuk beristirahat dahulu di bawah sebatang
pohon besar yang cukup rindang. Dilemparnya tu-
buh ke atas rumput. Dalam keadaan setengah telen-
tang, diteguknya tuak dari dalam guci besar.
"Ilmu apa yang diajarkan Dongdongka pada
murid sialnya itu" Bagaimana dia bisa menghilang
secepat kentut...," gerutunya, jengkel.
Selesai beberapa tegukan, dia menguap lebar-
lebar. Baunya menebar.
Menyusul matanya terkatup-katup.
Dan tua bangka itu pun tertidur.
Entah beberapa lama Ki Dagul terpulas di
bawah pohon, sampai suatu ketika dia tersentak
oleh sesuatu yang menimpa badannya. Sesuatu
yang berat. "Sambar geledek!" maki Ki Dagul, seraya terhenyak sambil melotot. Di atas
badannya, sudah ter-
telungkup sesosok tubuh. Beratnya membuat napas
Ki Dagul sesak.
Beberapa saat, mata Ki Dagul terus memelo-
toti sosok tubuh di atas badannya. Terpikir olehnya bahwa siluman penghuni pohon
telah jatuh menimpanya. Setelah pikiran sehatnya mulai berjalan
kembali, barulah dia sadar kalau sesuatu yang me-
nimpanya ternyata memang manusia.
"Kutu busuk, apa-apaan kau ini"!" maki Ki Dagul seraya mendorong kuat-kuat tubuh
orang yang baru menimpanya.
"Kalau hendak tidur, kau bisa cari tempat
lain!" gerutunya lagi.
Tubuh orang tadi terguling ke depan, lalu te-
lentang. Tak ada tanda-tanda kalau dia hendak
bangkit. Hanya dadanya saja yang tampak turun
naik. "Hei, kenapa kau sebenarnya"!" tukas Ki Dagul. Ketika diperhatikan,
ternyata orang itu dalam
keadaan terluka cukup parah. Pakaiannya berlumur
darah yang hampir mengering. Di antara napas me-
gap-megapnya, terdengar keluhan berat.
Orang itu adalah Hantu Wajah Batu.
Tak lama kemudian, terdengar pula keluhan
berat lain dari balik pohon.
"Siapa pula itu"!" sambar Ki Dagul seraya bangkit sempoyongan.
Dengan penasaran, Ki Dagul beranjak ke ba-
lik pohon. Di sana dia menemukan satu orang lain
yang mengalami luka tak kalah parah. Orang itu
tentu saja Ludah Darah. Kekalahan yang harus me-
reka telan di Hutan Pemantingan memaksa mereka
untuk mencari seorang tabib. Tabib itu diperlukan
untuk mengobati luka dalam mereka yang tampak-
nya tak bisa diatasi hanya dengan penyaluran hawa
murni biasa. Setelah berjalan cukup jauh dan me-
nyiksa, mereka belum juga menemukan seorang ta-
bib. Tiba di tempat Ki Dagul, tenaga mereka sudah
terlalu banyak terkuras. Mereka pun ambruk.
Berkacak pinggang, tua bangka pemabuk ber-
tanya kembali dengan suara sambar geledeknya.
"Aku bertanya pada kalian, siapa sebenarnya
kalian ini" Kenapa pula kalian berdua"!"
"Tolong kami, Orang Tua. Kami harus mene-
mui seorang tabib...," keluh Ludah Darah.
"Perlu apa kalian dengan seorang tabib?"
tanya Ki Dagul kembali. Pertanyaan tolol yang begitu saja lahir dari otak
seorang pemabuk berat.
Ludah Darah terbatuk-batuk, menyemburkan
darah kehitaman.
"O, ya. Aku lupa. Tentu saja kalian membu-
tuhkan seorang tabib karena kalian terluka, bukan?"
susul Ki Dagul.
Susah payah, Ludah Darah yang bersandar
lunglai pada batang pohon menganggukkan kepala.
"Lalu apa peduliku"!" koar Ki Dagul dengan wajah tersorong-sorong ke depan.
Dengan wajah digelayuti kesebalan, manusia
bangkotan itu malah melenggang, hendak pergi dari
tempat itu. "Urusanku saja belum beres, kenapa pu-la aku begitu tolol hendak
menolong kalian," gerutunya.
* * * Jelas-jelas memang bukan 'pucuk dicinta,
ulam pun tiba' buat Ki Dagul. Tak begitu lama sete-
lah kepergiannya, pemuda yang sedang dikejar-kejar
malah tiba di tempat itu. Coba kalau dia mau sedikit berpikiran baik menolong
Ludah Darah dan Hantu
Wajah Batu, tentu dia tak perlu susah-susah lagi
mengendusi jejak Satria Gendeng.
Satria Gendeng sendiri berhasil meloloskan
diri untuk yang kesekian kalinya dari Rase Betina
dan Kepala Baja dari Utara. Kendati untuk itu dia
harus sedikit peras tenaga dengan menantang mere-
ka bertarung. Pada satu kesempatan dalam perta-
rungan, pendekar muda itu pun mengecohkan ke-
dua lawannya. Sebelumnya, tak ada niat Satria untuk ber-
henti di dekat pohon besar tempat sepasang tokoh
persilatan yang menderita luka dalam. Dia justru
sedang bernafsu untuk segera tiba di Hutan Peman-
tingan. Ketika mendengar suara keluhan dari arah
samping, pendekar muda itu berhenti juga.
Agak curiga dia menoleh. Disaksikannya dua
orang tampak membutuhkan pertolongan. Salah
seorang di antaranya malah sudah nyaris sekarat.
Bergegas Satria mendekat.
"Astaga, apa yang terjadi pada kalian ber-
dua?" tanyanya.
Kalau saja Hantu Wajah Batu tak hampir
mampus saat itu, tentu dia akan langsung menyem-
prot Satria Gendeng dengan makian. Bukan apa-
apa, sebelumnya mereka juga mendapat pertanyaan
yang sama dari tua bangka tak punya perasaan. Bo-
ro-boro ditolong. Mereka malah ditinggalkan. Seka-
rang ada lagi yang bertanya seperti itu. Dan kedua
pecundang itu tak yakin orang yang mereka temui
kali ini bersedia menolong mereka. Jangan-jangan
cuma iseng bertanya.
Pertanyaan Satria tidak mendapat jawaban,
kecuali dengan napas Ludah Darah yang terputus-
putus. Kalau ada yang bisa dilakukannya, cuma me-
lirik Satria dengan pandangan putus asa.
Satria cepat mendekat. Diperiksanya keadaan
Ludah Darah beberapa saat. Tak lama terdengar de-
sisnya. "Kalian terkena pukulan aneh." Dengan suara bagai terjepit di
tenggorokan, Ludah Darah balik
bertanya. "Apa maksudmu?"
Satria menggeleng-gelengkan kepala. Wajah-
nya menampakkan kengerian.
"Aku sendiri tak mengerti pukulan jenis apa
yang baru saja memakan tubuh kalian dari dalam.
Namun yang kudapati, darah di tubuhmu secara
lambat mulai mengental dan membeku. Mungkin
pada akhirnya nanti, darah di sekujur tubuhmu
akan mengeras. Dan itu tentu saja akan membu-
nuhmu," papar Satria. Sedikit banyak dia memang mengetahui seni pengobatan dari
salah seorang gurunya, Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Terbunuh saja, mungkin tak begitu ditakuti
oleh orang persilatan seperti Ludah Darah. Apalagi
Ludah Darah termasuk seorang berjiwa kekar yang
tak mudah terguncang oleh ancaman maut. Namun
jika dia harus mati dengan darah yang perlahan-
lahan mengental, tentu saja tak pernah diharapkan.
Sebelum mati, dia akan mengalami siksaan teramat
menyakitkan. Siksaan itu pun tak jelas untuk bera-
pa lama. Bisa saja selama setengah hari, satu hari
atau lebih dari itu. Sementara dia sendiri tak sanggup melakukan apa-apa. Bahkan
dia tak akan bisa
melakukan bunuh diri sekalipun untuk menun-
taskan siksaan.
Membayangkan kematian yang mungkin di-
alami Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu, tanpa
sadar sudut bibir Satria Gendeng terungkit ngeri.
"Kalian harus cepat ditolong," katanya lagi.
"Ya, aku memang amat berharap begitu," balas Ludah Darah terbata. Dari mulutnya
mengalir kembali darah yang makin mengental dengan warna
hitam kebiruan.
Satria bertekad menolong mereka. Itu pasti.
Masalahnya sekarang, bagaimana dia harus mem-
bawa sekaligus dua orang ke tabib terdekat" Di sisi lain, dia sendiri belum lagi
tahu di mana harus mencari tabib tersebut.
Satria kebingungan.
Dicari-carinya orang lain yang mungkin me-
lintas. Tak ada satu batang hidung pun terlihat. Percuma menunggu orang lain.
Bisa-bisa kedua lelaki
itu malah mampus lebih dahulu. Lalu bagaimana"
Membawa mereka satu-satu pun terlalu sulit. Bisa
saja salah seorang dari mereka yang dibawa bela-
kangan akan menemui ajal.
Jalan terbaik ya cuma membopong mereka
sekaligus! Ini pekerjaan agak gila, timbang Satria. Dia
harus mengangkat dua lelaki yang beratnya mung-
kin masing-masing tak kurang dari berat tubuhnya
sendiri. Lalu dia akan membawa keduanya mencari
seorang tabib yang tak jelas di mana akan ditemu-
kan. Memang pekerjaan agak gila, dan Satria tidak
peduli. Yang dipedulikannya saat itu hanyalah ba-
gaimana cara menolong mereka. Kalau harus mem-
bopong keduanya sekaligus, akan dilakukan!
Karena tak ada jalan lain, Satria pun memu-
tuskan untuk segera menempatkan kedua lelaki
korban pukulan Kaladewa ke bahunya. Baru saja
dia mengangkat tubuh Ludah Darah, didengarnya
langkah-langkah seorang mendatangi tempat terse-
but Berkembang lagi harapan Satria. Orang yang
baru datang mudah-mudahan mau membantunya
menolong Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu.
Satria tak jadi menarik napas lega ketika yang
disaksikan orang yang baru datang. Sebaliknya, dia
malah menampar kening sendiri dibarengi rutukan
sebal. "Sebenarnya aku tak punya selera menolong kalian berdua. Cuma saja aku
agak tak tega begitu.
Begini-begini, aku masih punya rasa kemanusiaan,
lho," oceh Ki Dagul, orang yang baru saja muncul.
Untuk kedua kalinya tentunya.
Dan tanpa memperhatikan Satria Gendeng,
langsung saja dipapahnya tubuh Hantu Wajah Batu,
lalu ditempatkan ke bahunya yang sekurus ranting
kering. Kendati kurus dan tak meyakinkan bisa
mengangkat sekadar kantong nasi kering, nyatanya
dia dengan enteng membopong Hantu Wajah Batu.
"Ayo, kau jangan bengong begitu! Kita harus
segera membawa mereka ke tabib, biar mereka tak
mampus dan lebih merepotkan kita karena harus
mengubur keduanya!" sambarnya sambil melangkah ringan. Satria bengong sendiri.
Kok bisa dengan tiba-tiba Ki Dagul melupakan persoalan mereka berdua"
Bukankah sebelumnya manusia lapuk itu mengejar-
ngejarnya seperti babi hutan sinting" Lalu sekarang apa yang keliru"
Sampai Ki Dagul sudah beranjak beberapa
langkah dengan berlari-lari kecil, Satria masih saja terpaku.
"Cepuaaat kau! Kenapa masih saja terdiam di
sana!" bentak Pengemis Arak sambil menoleh ke belakang kembali.
Dan dengan tiba-tiba saja wajahnya berubah.
Matanya mendelik besar-besar. Hidungnya seperti
hendak melompat ke atas saking terperanjat me-
nyaksikan wajah Satria Gendeng.
"Kutu buduk, rupanya kau!" perangahnya
dengan urat leher tertarik. Rupanya, dia baru me-
nyadari siapa orang yang membopong Ludah Darah.
Memangnya, ke mana saja pikirannya sejak tadi"
Satria sendiri meringis. Urusan bakal tambah
runyam. Dia cukup kenal orang tua macam apa Ki
Dagul. Keras kepalanya tak kepalang tanggung. Ka-
lau maunya begitu, ya harus begitu. Repotnya, kalau dia mulai mengungkit-ungkit
kembali soal kematian
Jenggot Perak. Padahal, saat itu mereka harus cepat membawa Ludah Darah dan
Hantu Wajah Batu ke
tabib. Namun apes pun kenyataannya menimpa
Hantu Wajah Batu terlebih dahulu. Tanpa tedeng al-
ing-aling, Ki Dagul lantas saja melempar lelaki sekarat itu, seolah-olah hanya
sekarung singkong!
"Sekarang kau tak akan kubiarkan lolos lagi,
Kutu Buduk!" geram Ki Dagul sambil melangkah garang ke arah Satria Gendeng.
Wajah perangnya terpasang.
"Tungguuu!" teriak Satria, nyaris kelimpungan saat bangkotan itu mulai punya
gelagat hendak menerkamnya. "Tunggu apa" Apa kau pikir aku harus me-
nunggu sampai kau mengizinkan aku meremukkan
batok kepalamu"!"
"Bukan begitu, Orang Tua! Kita harus mem-
bawa dua orang ini ke tabib. Mereka dalam keadaan
genting!" "Ah, kau cuma cari alasan!"


Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sungguh!"
"Diam kau!"
Ki Dagul mulai bersiap lagi. Wajahnya dipa-
sang garang-garang.
"Begini saja! Kau membantuku membawa me-
reka berdua ke seorang tabib. Setelah itu, aku ber-
sedia diapakan saja olehmu!" cegah Satria kembali.
Ki Dagul mencibir.
"Kau cuma mau mengibuli aku, bukan?"
"Apa aku harus bersumpah demi nenek
moyangku dan nenek moyangmu?"
"Sudah kubilang sejak awal, jangan bawa-
bawa nenek moyangku!"
"Kalau begitu, kau harus percaya aku! Lihat-
lah keadaan mereka. Mereka benar-benar membu-
tuhkan seorang tabib ahli."
Ludah Darah di bahu Satria terbatuk-batuk.
Dari mulutnya termuntah kembali darah kental hi-
tam kebiruan. Sebagian pakaian Satria Gendeng
ternodai. Kebetulan Ki Dagul menyaksikan. Tua Bang-
ka itu menjadi ngeri juga. Bibirnya meringis, mem-
perlihatkan sepasang gigi pusakanya.
"Sekarang kau percaya?" tanya Satria.
"Aku percaya mereka memang terluka dalam
parah. Tapi apa peduliku" Mereka mau modar, sila-
kan saja! Apa mereka adikku" Bukan! Saudaraku,
kerabatku" Bukan! Mereka juga bukan hewan peli-
haraan sama sekali. Jadi, apa peduliku"!" sewot Ki Dagul, mendelik-delik,
mencak-mencak pula.
"Tapi... tapi...," Satria kehabisan kata-kata.
Sehimpun kalimat sambar geledek yang termuntah
dari conger manusia bangkotan itu seperti menyum-
pal mulutnya. "Sekarang kau bersiaplah!" Satria Gendeng blingsatan.
"Tunggu! Tunggu dulu! Apa tak sebaiknya kau
memeriksa keadaan mereka dulu" Bisa jadi mereka
terkena pukulan dari salah seorang musuh lama-
mu!" cerocos Satria, sekenanya. Pokoknya yang ter-
lintas di benaknya, itu yang diucapkan. Yang pent-
ing, tua bangka yang sedang 'angot' itu bisa dicegah.
Entah dapat keajaiban dari mana, Ki Dagul
mendadak jadi jinak. Kening berkeriputnya terlipat.
"Kau benar juga...," gumamnya, tangannya
tak jadi memainkan kembangan jurus.
Satria menarik napas lega.
Fhuih.... Ki Dagul mendekati Hantu Wajah Batu. Dari-
pada Ludah Darah, keadaan lelaki itu jauh lebih
mengkhawatirkan. Tepat seperti kata Satria sebe-
lumnya, darah dalam tubuh Hantu Wajah Batu
tampaknya terus mengental, hingga alirannya mulai
tidak beres. Di dekat Hantu Wajah Batu, Ki Dagul ber-
jongkok. Tangannya memeriksa dada Hantu Wajah Ba-
tu beberapa saat. Ada gumaman keluar dari mulut-
nya. Selang sekian saat kemudian, tua bangka itu
terhenyak. "Gila, gila!"
"Apa yang gila! Siapa yang gila?" sergah Satria, turut terperanjat.
"Aku kenal dengan pukulan ini!" susul Ki Dagul. Dia pun bangkit dengan wajah
mengeras. Tam- pak jelas dia baru saja mengetahui sesuatu yang
mengusik benaknya dan membuatnya menjadi gu-
sar. "Jelaskan padaku, Orang Tua?" serbu Satria, terbawa kegusaran Ki Dagul.
Bukannya cepat menjawab, Ki Dagul malah
melepaskan pandangan jauh ke depan. Pancar ma-
tanya begitu pekat, terisi oleh ingatan masa lalu
yang cukup membekas dalam benaknya.
Satria bisa merasakan itu.
DELAPAN WAKTU itu senja baru saja turun memeluk
bumi. Matahari menguning di kejauhan sebelah ba-
rat. Dari arah berlawanan dengan tenggelam-nya
mentari, seorang lelaki tinggi besar melangkah pasti ke arah timur.
Lelaki itu adalah Kaladewa. Sebenarnya, dia
bukanlah tokoh persilatan yang memiliki julukan
kesohor. Hanya beberapa kalangan saja yang men-
genalnya dengan sebutan Pertapa Karang Wesi. Se-
suai julukannya, Kaladewa adalah seorang pertapa
yang selama bertahun-tahun mendiami sebuah bu-
kit karang bernama Karang Wesi di sekitar Pantai
Utara. Suatu kali, dengan tiba-tiba Kaladewa me-
ninggalkan tempat pertapaannya tersebut. Bertapa
selama bertahun-tahun di sebuah lubang karang
yang selalu diterjang ombak jika pasang, dan dige-
nangi air laut jika surut, membuat tubuhnya ditum-
buhi ganggang dan karang. Hampir sekujur kulitnya
menjadi buruk. Hanya bagian kepala saja yang lu-
put. Keadaannya yang terlihat mengerikan itu tidak
dipedulikan sama sekali oleh Kaladewa. Dia pergi ju-ga meninggalkan Karang Wesi.
Letak Karang Wesi yang menjorok ke tengah
samudera, membuat Kaladewa harus menyeberan-
ginya jika hendak ke daratan. Keadaan itu tidak me-
nyulitkan baginya. Tak percuma telah bertapa sela-
ma bertahun-tahun, Kaladewa pun melompat-
lompat dengan kaki telanjang di atas permukaan
laut, seolah meniti ombak!
Tujuannya ke daratan adalah untuk mencari
tiga tempat yang dianggap keramat sesuai wangsit
yang diterimanya pada puncak tapa. Menurut wang-
sit yang didapatnya pula, dengan bertapa di ketiga
tempat itu selama waktu yang ditentukan, maka sa-
tu ilmu kanuragan akan sempurna menjadi darah
dagingnya. Ilmu kanuragan itu selama ini tak per-
nah dimiliki oleh siapa pun, pada masa apa pun di
dunia persilatan.
Tempat pertama yang harus dituju oleh Kala-
dewa adalah sebuah daerah yang memiliki celah teb-
ing. Di mana masing-masing tebing harus setinggi
lima puluh depa dan arah tebingnya tepat pada lin-
tasan matahari, memanjang dari timur ke barat.
Di sana dia harus bertapa sekitar sepuluh
purnama pada sebuah gua di sisi kanan tebing.
Untuk tujuan pertama, Kaladewa harus
menghadapi masalah yang tidak enteng. Dia harus
menghadapi si pemilik gua, seorang perempuan tua
sakti golongan sesat pemakan sumsum. Julukan
nenek sakti itu Peri Taring Emas.
Peri Taring Emas sendiri adalah perempuan
tua teramat bengis. Wajahnya sulit dibedakan den-
gan seekor macan hitam. Yang lebih mengerikan la-
gi, pada mulutnya tumbuh sepasang taring seuku-
ran jari manusia berwarna emas.
Pertarungan amat hebat terjadi antara mere-
ka. Pertarungan habis-habisan yang memakan wak-
tu sehari semalam tanpa henti. Kaladewa yang telah
dibekali oleh kesaktian tinggi hasil tapanya selama
ini berhasil mengalahkan Peri Taring Emas. Nenek
sesat sakti itu menyingkir dari tempatnya entah ke-
mana. Sejak saat itu, Kaladewa pun memulai tapa
pertama untuk mendapatkan ilmu baru. Sepuluh
purnama terlampaui. Sekeluarnya dari gua, Kalade-
wa semakin bertambah mandra guna. Selanjutnya
dia harus pergi ke tempat kedua. Tempat itu berada
di kawasan pesisir selatan. Kaladewa harus mencari
sebuah sumur teramat tua berusia ratusan tahun.
Bentuk sumur tua tersebut amat aneh, karena me-
miliki tiga cabang lubang yang menjorok ke arah ti-
mur dan barat, ditambah satu lubang di antara ke-
duanya. Sumur itu disebut orang Sumur Maut Ber-
bisa. Di dalam sumur itu, seorang tokoh gila yang
tak kalah sakti dengan Peri Taring Emas tinggal.
Penghuninya adalah seorang teramat tua
yang telah menempati sumur selama seratus lima
puluh tahun. Tak ada yang mengetahui nama sebe-
narnya. Hanya kalangan persilatan menjulukinya,
Siluman Ular, karena seluruh tubuhnya bersisik dan
berlendir. Tepat di tengah-tengah lubang sumur, Silu-
man Ular selalu tidur dalam posisi berdiri. Sementa-ra pada dua lubang lain yang
menjorok ke arah ti-
mur dan barat, terdapat ratusan ular berbisa dari
segala jenis. Selain harus bertapa selama sepuluh purna-
ma kedua di tempat itu, Kaladewa pun harus me-
makan seluruh ular berbisa di dalam sumur selama
Geger Dunia Persilatan 1 Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 9
^