Pencarian

Pewaris Keris Kiai Kuning 1

Satria Gendeng 12 Pewaris Keris Kiai Kuning Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
http://duniaabukeisel.blogspot.com
SATU HARI menggelinding. Pagi berganti siang. Siang
berganti senja. Senja digantikan malam. Malam men-
gembalikan pagi kembali. Berputar sepanjang waktu.
Senja itu, entah senja ke berapa dalam berpu-
tarnya sang waktu, seseorang lelaki berjalan tergopoh-gopoh ke arah sebuah desa.
Lelaki berperut sebesar
gentong itu membopong seseorang di bahunya. Mema-
suki sebuah desa, lelaki buncit tadi menghentikan
langkah. Kepalanya menoleh kian kemari. Mencari-
cari. Yang disaksikan cuma rumah-rumah kampung,
berdiri berjauhan seolah bermusuhan satu dengan
yang lain. Baik desa atau rumah-rumah gubuknya se-
mua dalam keadaan kotor. Laba-laba bersarang di
mana-mana. Serangga dan binatang melata berkelia-
ran di beberapa sudut. Desa tampaknya sudah ter-
bengkalai terlalu lama. Setahun mungkin lebih. Entah dua tahun, tiga, atau
bertahun-tahun. Penghuninya
sudah minggat semua. Bisa jadi di sana pernah ter-
jangkit penyakit menular yang membuat semua peng-
huninya terpaksa hijrah ke tempat lain. Suasana lengang, laksana tanah
pekuburan. Melihat keadaannya,
setiap pendatang dengan cepat dapat menilai kalau de-sa itu adalah desa mati.
Angin mendengus-dengus, menerbangkan debu
dan mempelantingkan ranting-ranting kering. Gulun-
gan ranting kering sebesar kepala 'buto ijo' melanggar kaki orang tadi tanpa
permisi. Terdengar dengusan
sebal di antara dengus angin.
"Sambar geledek! Di mana manusia satu itu
'bersarang' Setiap rumah dan gubuk tak berbeda satu
dengan yang lain. Semuanya centang-perenang tak ka-
ruan. Di rumah yang mana aku dapat menemukan si
jelek itu?" gerutu orang itu, tersamar angin. Sambil meneruskan langkah, orang
itu menggerutu lagi, "Aku sungsang-sumbel membopong si Bengis hendak mencari
tabib, bukan mencari kecoa!"
Sebentar, diusapnya peluh yang membanjir di
sekujur keningnya. Bukan cuma kening, leher, punuk, bahkan hingga perut pun tak
luput. Bisa disebut, lelaki tua berbadan subur makmur itu sudah mandi ke-
ringat yang baunya menyengat seperti lumbung ba-
wang berjalan. Sekali lagi langkah dihentikan, dan dia pun
berteriak-teriak.
"Tabib kolot bau pesing, di mana kau menyem-
bunyikan diri"!"
Sudah tiba dia, rupanya, di batas kesabaran.
Sampai mencari ke setiap rumah dan gubuk pun su-
dah tak mau dilakukan. Cara apa lagi yang lebih gampang mencari seseorang
kecuali dengan berteriak me-
manggil-manggil orang yang dicari" Bagi orang yang telah kehabisan persediaan
kesabaran, cara itu memang pilihan terbaik.
Gulungan ranting kering yang bergulingan di-
giring angin melanggar kaki lelaki tua tadi sekali lagi, membuatnya dongkol.
Terlebih karena ranting itu tersangkut pula di antara kedua kakinya.
"Ranting kering sialan, aku tak membutuh-
kanmu!" Ditendangnya ranting kering tadi gemas-gemas.
"Hey, Hantu Kera, aku punya keperluan den-
ganmu! Jangan kau samakan aku dengan kambing
congek seperti ini!"
Saking dongkol setengah mampus pada orang
yang disebut Hantu Kera, lelaki tua berbadan subur
tadi membanting orang yang dibopongnya sejak tadi.
Gedebuk! Suara keras bak nangka jatuh dari pohon se-
perti itu tentu saja menggambarkan betapa telak orang yang dibanting menimpa
bumi. Tak heran kalau terdengar keluhan lemah dari orang tadi.
Lelaki tua berbadan boros berperut buncit me-
nampar kening sendiri. Matanya membeliak menatap
orang yang baru dibantingnya.
"Aduuuuh, Bengis. Sumpah mampus aku tak
bermaksud memperlakukanmu seperti itu. Kau kan
tahu sendiri, aku sebenarnya malah berniat baik. Aku hendak mengobati luka
parahmu, tapi tabib sialan itu tak muncul-muncul juga. Aku jadi jengkel, bukan"
Kalau kau jadi aku, tentu kau akan jengkel juga. Iya tidak?" cerocos si gendut
tak sempat menarik napas.
Orang yang diajak bicara tak bisa berbuat apa-
apa. Tertelungkup (setengah nungging) saja dia seperti seonggok kotoran keledai.
Tubuhnya terlalu lemah untuk 'membayar' perlakuan sewenang-wenang si gendut.
Menyumpah-nyumpah pun sudah terlalu susah. Kalau
tidak, sudah dimuntahkan bogem seribu kali ke ubun-
ubun si gendut.
"Biar... biar, sini kuangkat lagi tubuhmu," ujar si gendut seraya terburu
mengangkat tubuh orang
yang dipanggil 'Bengis' olehnya dari tanah. Lagaknya seperti seorang bapak
teladan yang membangunkan
anaknya ketika terjatuh.
"Hantu Kera, sambar geledek sekali kau! Sudah
jangan main-main lagi! Aku sedang tak berselera main-main. Sekarang kau keluar
saja dari tempat persem-
bunyianmu!" lanjut si gendut, setelah membopong kembali tubuh orang tadi.
Tak lama, angin menderu lebih keras. Kian la-
ma kian keras. Lebih keras, dan keras. Atap dari daun kelapa kering terdongkel
dari tempatnya, lalu beter-bangan. Debu berbondong-bondong serabutan mengu-
dara. Pakaian si gendut yang sebenarnya sudah men-
getat erat di tubuh kelebihan lemaknya, masih sempat berkibar karenanya.
Rambutnya yang kekuningan pun
diacak-acak. Giliran angin mendapat sumpah-
serapahnya. Pasalnya, matanya jadi kelilipan debu sebesar pentil korek (itu pun
kalau masih bisa disebut sebagai debu!).
"Angin sialan, sialan, sialan!"
Kekesalan itu malah mengulang kesialan untuk
orang yang dibopongnya. Sekali lagi dia dibanting si gendut telak-telak ke
tanah. Gedebuk! Sekali lagi si gendut pun memohon-mohon
maaf. Tak sengaja katanya kali ini.
"Khak khak khak!"
Seseorang menertawai kejadian itu dengan sua-
ra yang terdengar agak aneh, terdengar seperti pekikan seekor burung jalak. Di
telinga si gendut yang sedang diberondong rasa sebal, suara tawa itu terdengar
tak lebih dari raungan kentut sembilan puluh sembilan
penyamun mulas.
"Akhirnya kau muncul juga, Tabib Jelek," makinya, menyambut seseorang yang baru
saja muncul di jalan setapak yang mengkerangkai desa mati di kejauhan sana.
Orang yang muncul bertubuh tak terbilang
tinggi, juga tak terbilang pendek. Umurnya tak terpaut jauh dengan lelaki
gendut. Tak keliru jika sebelumnya si gendut menyebut-nyebutnya dengan nama
Hantu Kera. Wajah orang itu memang tak lebih ganteng dari seekor kera. Bedanya, kalau
kera memiliki bulu di se-
kitar wajahnya, sedangkan orang ini tidak. Mengena-
kan pakaian yang menempel rapat dari kulit macan
jawa, dia berdiri seraya melambaikan tangan.
"Apa kabarmu, Gendut Tangan Tunggal"!" serunya dari kejauhan.
"Kabar... kabar, tai kucinglah!" rutuk si gendut yang dipanggil Gendut Tangan
Tunggal oleh Hantu Ke-ra. Memang, dia adalah Gendut Tangan Tunggal, tokoh aliran
putih yang belum lama dipengaruhi ramuan rahasia Manusia Makam Keramat. Belum
lama kesada- rannya dipulihkan kembali oleh Ki Danujaya, seorang tua yang berguru langsung
kepada sang Prabu Pajajaran. Terakhir kali, orang tua doyan makan ini terlihat
bersama Satria Gendeng. Ketika itu, mereka didatangi oleh Penjaga Gerbang Neraka
dan Dewi Melati.
Penjaga Gerbang Neraka ingin membunuh si pendekar
muda setelah termakan siasat Manusia Makam Kera-
mat. Satria berusaha menjelaskan duduk perkaranya
melalui Dewi Melati, orang satu-satunya yang bisa ber-cakap-cakap dengan Penjaga
Gerbang Neraka dengan
bahasa isyarat. Sebelum Dewi Melati sempat mene-
rangkan duduk perkara sebenarnya, seseorang tiba-
tiba datang membokong. Dewi Melati terhajar, kendati Penjaga Gerbang Neraka
sudah berusaha untuk menyelamatkannya. Nyawa perempuan genit itu tak dapat
diselamatkan. Timbul pertanyaan, siapa orang yang menye-
rang Dewi Melati" Penyerangnya tak lain tak bukan,
Pendekar Muka Bengis. Dia menjalankan perintah dari Manusia Makam Keramat untuk
menyingkirkan Dewi
Melati yang dianggap dapat mengacaukan siasat liciknya. Saat terjadi
pembokongan, Pendekar Muka
Bengis tak luput terkena hajaran kaki Penjaga Gerbang Neraka. Tubuhnya terlempar
jauh. Hantaman seorang
tokoh jajaran atas macam manusia cebol sakti itu, tentu tak bisa dianggap main-
main. Andai tak mati pun
sudah amat beruntung. Luka dalam parah diderita
oleh Pendekar Muka Bengis yang masih di bawah pen-
garuh Manusia Makam Keramat. Dia tergolek sekitar
tiga puluh tombak dari tempat Penjaga Gerbang Nera-
ka meraung-raungi kematian 'istri angkatnya'.
Tanpa sepengetahuan siapa-siapa, Gendut
Tangan Tunggal membawa lari Pendekar Muka Bengis.
Dia tahu akibat apa yang akan diterima oleh kawan
seperjuangannya yang berubah sesat itu, jika si manusia cebol murka atas
kematian perempuan kesayan-
gannya. Alasannya, Gendut Tangan Tunggal tahu
bahwa tindakan telengas yang dilakukan Pendekar
Muka Bengis bukan atas kehendaknya sendiri, me-
lainkan akibat pengaruh jahat ramuan Manusia Ma-
kam Keramat, seperti pernah dibicarakan Satria Gen-
deng padanya. Itu sebabnya, Satria tak menemukan
Gendut Tangan Tunggal lagi di sekitar tempat tersebut (Semua kejadian tersebut
dapat dibaca dalam kisah
sebelumnya : "Rencana Manusia Terkutuk"!) Selama melarikan Pendekar Muka Bengis,
Gendut Tangan Tunggal berusaha untuk menyembuhkan
luka dalamnya. Usahanya sama sekali tak membawa
hasil. Luka dalam akibat tendangan menggeledek Pen-
jaga Gerbang Neraka yang bersarang di dadanya terla-lu sulit untuk ditaklukkan.
Penyaluran hawa murni
tak membawa pengaruh apa-apa, kendati Gendut Tan-
gan Tunggal telah begitu ngotot menyalurkannya. Dan kalaupun dia menjadi kurus
kering karenanya, tetap
tak akan menjamin luka dalam kawannya akan mem-
baik. Putus asa campur sebal, campur 'keki' (campur
keroncongan di perutnya), akhirnya Gendut Tangan
Tunggal memutuskan untuk membawa kawannya itu
ke seorang tabib yang pernah dikenalnya. Tabib itu
adalah Hantu Kera yang kini ditemuinya.
"Ada apa kau datang ke tempatku" Kebanyakan
orang justru menghindari Kampung Bangkai. Kau tahu
sebabnya" Karena di sekitar kampung ini berkeliaran kuman-kuman penyakit menular
yang masih sulit diketahui obatnya. Kenapa kau malah nekat datang"
Mau terkena penyakit itu" Penyakit yang bisa mem-
buat kulitmu 'borokan' sampai ke 'anu'-mu?"
"Jangan bicara mesum, Hantu Kera!"
"Maksudku, sampai ke 'ubun-ubun'-mu. Otak-
mu saja yang dekil!"
"Ah, kau pikir aku peduli dengan segala penya-
kit macam itu. Kau pikir aku juga akan ciut menden-
gar ceritamu itu. Kalau bocah ingusan kau takut-
takuti seperti itu, mungkin bisa. Aku, hmm... tunggu dulu...."
"Khak khak khak! Kau memang bukan anak
kecil, Gendut. Kau lebih pantas disebut sebagai jabang bayi Buto Cakil!"
"Jaga mulutmu, Hantu Kera! Aku bisa mero-
beknya dari tempatku berdiri!"
"Khak khak khak! Sudahlah, katakan saja apa
tujuanmu datang ke tempatku?"
Gendut Tangan Tunggal menunjuk Pendekar
Muka Bengis yang masih tergolek di tanah.
"Jadi kau ke sini untuk meminta aku menolong
kawanmu yang jelek itu?" tukas Hantu Kera.
"Kau sudah tahu, kenapa harus bertanya"!"
"Apa yang terjadi padanya?"
"Terkena tendangan manusia sial itu."
"Siapa maksudmu?"
"Penjaga Gerbang Neraka."
Kepala Hantu Kera agak tersentak. Keningnya
berlipat. Matanya menyempit.
"Kau bilang Penjaga Gerbang Neraka?"
"Memangnya kau dengar apa" Penjaga jamban
nenek moyangmu?"
"Gawat...."
"Aku tahu keadaan kawanku ini. Dia memang
sedang dalam keadaan gawat, kau tak perlu memberi
tahu aku lagi. Yang penting sekarang kau cepat men-
gobatinya!"
Kepala Hantu Kera menggeleng-geleng.
"Kenapa menggeleng" Kau tak mau membantu-
ku" Sambar geledek sekali kau! Bukannya aku mau
membangkit. Tapi kau mesti ingat, kau masih punya
hutang padaku. Ingat kejadian tiga tahun lalu?"
"Ya ya, tentu saja aku ingat, Gendut. Tapi, bukan itu maksudku!"
"Habis apa"!"
"Aku tak yakin apakah kawanmu itu dapat ku-
tolong atau tidak.... Penjaga Gerbang Neraka memiliki satu ajian ampuh yang tak
dapat aku sembuhkan bila
sudah bersarang di tubuh seseorang."
"Bah, tabib macam apa kau ini"!"
"Aku tabib kesohor setelah Tabib Sakti Pulau
Dedemit. Tapi terus terang, aku tak bisa menolongnya jika kawanmu benar-benar
terkena ajian itu."
Gendut Tangan Tunggal mencibir. Diangkatnya
tubuh Pendekar Muka Bengis.
"Kalau begitu, aku akan mencari Tabib Sakti


Satria Gendeng 12 Pewaris Keris Kiai Kuning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pulau Dedemit saja."
"Dia pun tak mungkin bisa!"
"Kau jangan menghina beliau, Hantu Kera!"
"Aku berkata apa adanya. Tabib Sakti Pulau
Dedemit pun tak akan bisa menyembuhkan kawanmu
jika dia benar terkena ajian itu."
"Ah, kau memang tolol. Sejak tadi kau menga-
takan 'jika benar kawanku ini terkena ajian itu'. Nyatanya kan, kau belum tahu
pasti dia terkena ajian
yang kau maksud atau bukan?"
Mendadak Hantu Kera tergelak.
"Benar juga," akunya. "Kalau begitu, bawalah dulu dia ke gubukku. Biar aku
periksa luka dalamnya dulu!" Masih dengan sisa kedongkolan, Gendut Tangan
Tunggal melangkah, mengikuti Hantu Kera ke se-
buah gubuk paling buruk di antara gubuk dan rumah
yang memang sudah buruk. Manusia ini pura-pura
bodoh atau benar-benar bodoh" Orang lain malah
mencari tempat yang paling nyaman untuk ditempati.
Kalau sanggup membangun istana di surga, mereka
akan membangunnya. Sementara dia malah menempa-
ti gubuk jelek yang lebih bau dari kandang kerbau.
Sudah tempatnya dikepung penyakit menular lagi. Ah, tabiat manusia memang banyak
yang aneh.... DUA BAGAIMANA awal pertemuan Gendut Tangan
Tunggal dengan Hantu Kera" Alkisah, Gendut Tangan
Tunggal pernah satu kali berurusan dengannya bebe-
rapa waktu lalu. Tepatnya, tiga tahun tujuh bulan lima hari sebelum
kedatangannya kali ini. Kala itu dia sedang berjalan menuju kotapraja.
Persediaan makanan
dalam kantong besar di punggungnya sudah semakin
menipis (biarpun untuk orang kebanyakan masih cu-
kup untuk persediaan makan selama dua minggu!).
Karena itu, dia harus mencari (atau lebih tepat mengumpulkan) berbagai macam
makanan dan mengisi
kembali kantong makanannya sampai penuh sesak.
Tak peduli beratnya sampai setengah anak kerbau se-
kalipun. Belum sampai di batas kotapraja, kakinya ter-
sandung sesuatu di jalan. Gendut Tangan Tunggal
memeriksa benda itu. Mulutnya mengutuk-ngutuk.
Kalau sedang kehabisan persediaan makanan, mulut-
nya memang jadi amat rajin mengutuk. Sedikit-sedikit mengutuk. Ada lalat
melanggarnya saja dia bisa mengutuk setengah harian.
Menyaksikan benda yang mengganjal langkah-
nya, orang tua doyan makan itu menjadi tertarik. Sebuah keranjang kecil dari
anyaman kulit rotan. Ba-
rangkali makanan, pikirnya.
Diambilnya keranjang kecil itu. Ketika dibuka,
isinya ternyata semacam buah-buah kecil seperti ce-
remai. Warnanya abu-abu. Diraupnya buah itu digeng-
gam, dan diperhatikan.
"Buah apa ini?" bisiknya, bertanya pada diri sendiri. Dasar manusia bernafsu
makan besar. kendati belum tahu jelas buah yang ditemukannya, Gendut
Tangan Tunggal menjadi berliur menatapinya.
"Tampaknya sudah ranum," katanya lagi dengan lidah bersilap-silap. Lalu, tanpa
pikir ini-itu lagi, langsung saja dimasukkannya segenggam buah itu ke
dalam mulut. Dengan mulut penuh sesak, Gendut Tangan
Tunggal mengunyah. Dua-tiga kali mengunyah, men-
dadak wajahnya mengeras. Matanya mendelik. Hi-
dungnya kuncup-mekar. Kunyahannya terputus. Air
mukanya pun berubah-ubah. Sebentar memerah, se-
bentar membiru.
"Khoeeekh!"
Dia pun muntah di tempat. Isi perutnya seperti
diaduk-aduk dan hendak keluar seluruhnya. Sulit
menggambarkan rasa yang baru dicicipi si manusia
rakus satu itu. Yang jelas, kepalanya langsung berkunang-kunang.
"Buah sambar geledek!!" makinya kalap. Dibantingnya keranjang tadi geram-geram.
"Hey, kau rupanya yang mencurinya"!" seru seseorang yang sudah tiba pula di
tempat itu. Gendut Tangan Tunggal mencari-cari orang
yang baru saja menuduhnya pencuri dengan bola mata
masih berputar-putar tak karuan. Pengaruh buah yang membuat kepalanya pusing
tujuh keliling dan pandangannya berkunang-kunang menyebabkan dia jadi keli-
ru melihat. Disaksikannya seekor kera besar sedang
berdiri tepat lima langkah dari tempatnya. Anehnya, kera itu sedang
memelototinya. Sudah begitu, pakai
bertolak pinggang segala. Yang lebih aneh lagi, Gendut Tangan Tunggal barusan
mendengar seruannya. Monyet ajaib dari mana ini" tanyanya dalam hati.
Kenyataan sebenarnya, si kera dalam pandan-
gan Gendut Tangan Tunggal adalah Hantu Kera. Wa-
jahnya memang mirip kera, karenanya dia mendapat
julukan Hantu Kera. Tapi, keterlaluan sekali kalau ada orang yang menganggapnya
benar-benar kera tulen.
"Kau yang baru saja bicara tadi. Nyet?" ceracau Gendut Tangan Tunggal. Matanya
terjuling-juling. Sari buah yang dikunyahnya rupanya telah membuat dia
setengah mabuk. Begitu cepat dan kuatnya pengaruh
sari buah itu. "Kutu busuk gemuk, kau bilang apa"!"
"Ah, rupanya benar! Kau memang monyet yang
bisa bicara!!!" seru si orang tua gendut. Badan boros-nya pun mulai pula
sempoyongan ke sana kemari
Merasa baru saja dihina, Hantu Kera jadi kalap.
Diterjangnya Gendut Tangan Tunggal dengan satu le-
cutan punggung tangan.
Wukh! Dalam keadaan setengah mabuk, gerakan Gen-
dut Tangan Tunggal tentu saja jadi tak terarah. Mestinya, dengan begitu lawan
dapat lebih mudah menya-
rangkan serangan. Anehnya, Gendut Tangan Tunggal
justru dapat berkelit amat mudah. Cara berkelit si manusia berbadan boros itu
pun amat santai seolah me-
mandang sebelah mata serangan lawan. Padahal se-
rangan Hantu Kera termasuk amat cepat tak terduga,
dan kalau menilik geraknya, Hantu Kera bisa diseja-
jarkan dengan tokoh yang berada beberapa tingkat di atas Gendut Tangan Tunggal.
Makin merasa dihina saja Hantu Kera. Dis-
usulkannya lagi serangan.
Wukh wukh wukh!
Dengan santai dan tubuh tetap terhuyung kian
kemari, lagi-lagi Gendut Tangan Tunggal berhasil
menghindari gempuran beruntun Hantu Kera.
Hantu Kera makin kalap. Serangannya kian
menghujani lawan. Sejauh itu, tak satu pun sempat
mampir di tubuh Gendut Tangan Tunggal. Sedangkan
Gendut Tangan Tunggal sendiri sama sekali tak mele-
pas serangan balasan. Dia malah sibuk terkikik geli.
Terkadang cengar-cengir dengan mata terjuling-juling.
Dalam hati, Hantu Kera jadi terperangah-
perangah sendiri. Betapa gerakan lawan demikian gesit dan tangkas kendati
terlihat seperti tak memiliki ke-
seimbangan dan kuda-kuda yang kokoh.
Hantu Kera baru menutup kucuran serangan-
nya setelah Gendut Tangan Tunggal tahu-tahu ambruk
sendiri. Tubuhnya yang 'bengkak' berdebam menimpa
bumi. Dia telentang. Tangannya terbuka lebar, kakinya terbuka lebar, bahkan
sampai mata dan mulutnya pun
terbuka lebar. Air liur pun mengalir dari sudut mulutnya. Tapi air muka orang
tua itu seolah bahagia sekali.
Hantu Kera jadi mengernyitkan kening. Tan-
gannya mengusap-usap dagu. Dia masih belum juga
mengerti kenapa lawannya mendadak semaput dengan
kebahagiaan di wajah" Sementara tak ada satu han-
taman pun mendaratinya.
Kebingungan itu mulai menemui titik terang ke-
tika matanya tertumbuk pada serakan buah aneh di
tanah. Sebagian sudah hancur terkunyah. Bukan ku-
nyahan binatang (binatang saja belum tentu berniat
memakannya). Mudah diduga, kalau si manusia kele-
bihan berat badan itu mencoba memakannya.
Hantu Kera sendiri belum tahu jelas buah kecil
yang ditemukan tanpa sengaja di pedalaman hutan ke-
tika hendak mencari bahan-bahan untuk ramuan ob-
at-obatan. Ketika hendak pulang, tanpa disadari ke-
ranjang obat-obatannya terjatuh.
"Pasti karena buah ini..." duganya, setelah menghampiri serakan buah. Dia
berjongkok meneliti.
Diendusinya bau buah itu. Kemudian, diusapnya getah sebutir buah ke tangan dan
dijilatnya dengan ujung lidah. Cepat Hantu Kera meludah.
"Rasanya aneh. Sedikit getah saja membuat
pandanganku jadi berkunang-kunang. Anehnya, otot-
otot dan sendiku jadi demikian enteng," gumam Hantu Kera lagi.
Sekarang, dia sudah yakin apa yang sesung-
guhnya terjadi pada si manusia lemak yang masih
asyik dengan pingsannya itu.
"Aku harus menyelidiki buah ini," tandasnya kemudian. Untuk itu, diputuskan
untuk membawa Gendut Tangan Tunggal ke gubuknya. Mungkin dia bi-
sa disebut 'kelinci percobaan' yang tak disengaja. Atau
'kerbau percobaan'" Karena Gendut Tangan Tunggal
yang telah terkena pengaruh langsung getah buah
aneh itu, Hantu Kera bisa memulai penelitian darinya.
Setelah mengumpulkan kembali buah yang
berserakan, Hantu Kera pun membopong tubuh Gen-
dut Tangan Tunggal tanpa kesulitan. Selang setahun
sekian bulan kemudian, Hantu Kera berhasil mencip-
takan jurus baru yang disebut 'Tarian Kera' dengan
memanfaatkan getah buah itu.
Kalau kemudian Gendut Tangan Tunggal me-
nyebut-nyebut soal utang Hantu Kera pada dirinya, itu karena si perut gentong
merasa karena dirinyalah,
Hantu Kera bisa menciptakan jurus baru yang ampuh.
Meski sebenarnya semua itu disebabkan oleh keraku-
sannya! * * * Satria Gendeng masih ternganga. Berkedip pun
tidak. Tampangnya sudah setolol salah seorang puna-
kawan di pewayangan. Malah kesannya lebih tolol lagi.
Dia bukan saja tak menyangka pada apa yang dilihat-
nya, tapi juga tak bisa percaya.
"Tidak bisa," katanya seperti berkilah. "Semestinya kau Rara Lanjar!" (Pada
episode sebelumnya, Satria ditemui seorang yang selama ini menjadi teka-teki
karena selalu mengenakan topeng kayu Arjuna. Ketika
itu Satria memaksa orang tersebut untuk melepaskan
topengnya. Satria sudah yakin bahwa wajah di balik
topeng adalah wajah Rara Lanjar.)
Dugaan Satria Gendeng meleset. Dia kecele.
Di depannya berdiri seseorang. Dan orang itu
tertawa ringan, renyah. Seorang pemuda gagah ber-
kumis tipis, yang ketampanannya tak kalah dengan
Satria sendiri. Usianya terpaut lebih tua tiga-empat tahun dari si pendekar
muda, murid Dedengkot Sinting
Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit. Tangan kanannya memegang sebuah
topeng kayu Arjuna yang
baru saja dilepaskan dari wajahnya.
"Bukankah sudah kukatakan bahwa aku bu-
kan orang yang kau sebutkan tadi?" tukasnya seraya tersenyum.
Satria Gendeng menggaruk-garuk jidat berkali-
kali. Dia masih juga berharap wajah yang dilihatnya adalah wajah seorang
perempuan muda yang dikenalnya, Rara Lanjar. Heran juga. Padahal sudah jelas
biji matanya menyaksikan seorang pemuda tampan berkumis tipis. Apa ada perempuan
berkumis" Lagi pula, wajahnya memang bukan wajah Rara Lanjar.
Kendati ada sedikit kemiripan.
Kemiripan" Satria bertanya dalam hati.
"Jadi, siapa kau sebenarnya" Apa kau masih
memiliki hubungan dengan Rara Lanjar?" terka Satria, menilai sedikit kemiripan
wajah orang itu dengan gadis yang disebutnya.
Si pemuda berkumis tipis hendak memakai
kembali topeng kayu di tangannya. Satria cepat men-
cegah. "Tunggu!"
"Kenapa, bukankah kau sudah melihat wajah-
ku" Dengan begitu, penasaranmu sudah terbayar bu-
kan?" "Siapa bilang" Justru rasa penasaranku makin menjadi-jadi. Jangan kau
kenakan topeng brengsek itu dulu, aku belum hafal benar wajahmu...."
Pemuda berkumis tipis menuruti permintaan
Satria Gendeng.
"Sekarang, jawab pertanyaanku. Siapa kau se-
benarnya?"
Satria mendapat gelengan.
"Kurasa belum saatnya aku mengatakan siapa
aku sebenarnya," tolaknya atas pertanyaan barusan.
"Sial. Sudah pula kau buat aku makin penasa-
ran, masih saja kau tambah-tambah rasa penasaran-
ku," rutuk Satria Gendeng.
"Kalau begitu, katakan saja apa kau mempu-
nyai hubungan dengan Rara Lanjar?" susul Satria Gendeng, tak puas.
Sekali lagi dia mendapat gelengan kepala.
"Sial lagi! Lantas pertanyaan apa yang harus
kuajukan agar kau sudi menjawabnya"!" sewot si pendekar muda.
"Tidak ada."
"Nah, nah... kau makin menumpuk rasa pena-
saranku, bukan"!"
"Sudahlah...," ucap si pemuda berkumis seraya mengenakan kembali topeng ke
wajahnya. "Nanti akan kujelaskan semuanya padamu. Tidak sekarang," tandasnya,
membuat tenggorokan Satria Gendeng terasa
membenjol karena kesal.
"Sekarang, sebaiknya kau segera menyusul Ra-
ra Lanjar ke gubuk di kaki Gunung Burangrang. Dia
menunggumu di sana."
"Hey, kau pikir siapa dirimu sampai seenaknya
menyuruhku seperti itu"!" sergah Satria, mencak-
mencak. "Maaf. Aku tidak memerintahmu. Aku justru
meminta pertolonganmu...."
"Mestinya memang begitu," tukas Satria seraya menaikkan dagu. Sedang datang
sifat tinggi hati yang ditulari Dedengkot Sinting Kepala Gundul, gurunya.
"Selain itu, aku juga meminta pertolongan lain padamu."
"Kau... sudah dikasih dengkul, ingin jidat!"


Satria Gendeng 12 Pewaris Keris Kiai Kuning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menyangkut Rara Lanjar juga, Tuan Pende-
kar," tambah si pemuda berkumis yang telah mengenakan topengnya kembali. Nada
dan kalimatnya sedi-
kit menaikkan harga diri Satria Gendeng dengan me-
nyebutnya 'tuan pendekar'.
Satria jadi tak enak hati sendiri. Menolak pun
jadi tak enak. Brengsek, makinya dalam hati. Memang sering kali ucapan yang agak
'mengangkat' seseorang dapat memperlancar urusan.
"Kenapa dengan Rara Lanjar?" tanya Satria akhirnya. "Tolong kau bawa dia ke Goa
Lumut Jingga selama sepekan terakhir ini. Selama pekan belum berakhir, jangan
kau biarkan dia meninggalkan goa itu, apa pun yang terjadi. Dan apa pun yang
terjadi pula, jangan sampai kau tak mengantarnya ke sana."
"Tunggu dulu! Kau sebut-sebut soal Goa Lumut
Jingga padaku. Sedangkan aku sendiri seumur-umur
baru mendengar nama goa seperti itu!"
"Letaknya di bahu sebelah timur Gunung Bukit
tunggul." "Nan begitu.... Lantas kenapa harus ke goa itu, dan kenapa kau melarangnya
meninggalkan tempat itu
selama pekan terakhir ini?"
Sebelum Satria Gendeng mendapat jawaban,
dari kejauhan mencelat teriakan ganjil.
"Wuaaauuuhhhhh!!!"
Satria menoleh. Dia dibuat terperanjat menge-
tahui siapa yang datang.
"Si cebol sialan itu," desisnya dengan mata membelalak dan mulut menganga. Siapa
lagi kalau bukan Penjaga Gerbang Neraka" Seperti telah diketa-
hui, manusia satu itu sedang memburu si pendekar
muda. Lebih tepatnya menginginkan kepala Satria un-
tuk ditukarkan lembaran rahasia kitab tulisan Prabu Pajajaran. Semenjak Dewi
Melati mati oleh serangan
mendadak Pendekar Muka Bengis, tertutup sudah ke-
mungkinan bagi Satria untuk menjelaskan bahwa se-
mua itu hanya muslihat Manusia Makam Keramat
sendiri yang menginginkan mereka saling bunuh.
Tak tahu mau menyebut keadaan itu sebagai
kesialan atau apa, yang jelas, mulai saat itu Satria Gendeng menjadi buruan
Penjaga Gerbang Neraka
yang kesaktiannya sudah sekaliber guru pendekar
muda itu sendiri, Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Diburu orang sesakti itu, apa tidak kesialan namanya"
Meladeni percuma. Unggul belum tentu, masuk liang
lahat bisa juga. Satu-satunya jalan terbaik bagi Satria cuma melarikan diri.
Peduli setan bakal dianggap pengecut atau tidak. Perkaranya bukan cuma takut
mati. Hanya saja, Satria tidak ingin meladeni ketololan seseorang yang sudah termakan
tipu daya Manusia Ma-
kam Keramat. "Siapa dia?" tanya pemuda bertopeng, tanpa melepaskan pandangan ke arah Penjaga
Gerbang Neraka yang terus menghambur dalam kecepatan meng-
gila. Angin seperti ditungganginya. Ketinggian ilmu peringan tubuhnya,
menyebabkan kakinya seperti tidak pernah menjejak bumi.
Wajah manusia cebol itu terlipat segarang-
garangnya laksana muka naga gila yang siap melahap
gunung api bulat-bulat tanpa dikunyah. Tangannya
bergerak menderu-deru. Sulit mengikuti ke mana arah geraknya. Yang tampak cuma
kelebatan-kelebatan cepat tak terarah. Mengamuk besar dia rupanya.
Bicara soal amukan kalap tokoh kerdil ini, Sa-
tria jadi mangkel juga. Apa pasalnya dia yang diamuki setengah edan seperti itu"
Kalau masygul, gundah,
dan sedih karena kehilangan Dewi Melati itu bisa di-maklumi. Tapi kalau semua
kekalutan itu harus di-
timpakan kepada diri Satria sebagai penyebabnya, itu lain perkara. Satria juga
manusia. Dia makan makanan yang sama seperti juga Penjaga Gerbang Neraka
(kecuali kalau makanan lelaki cebol itu kaki meja). Tak ada manusia yang tak
marah kalau dirinya dipersalah-kan tanpa sebab. Inginnya dia balik mengamuki
Penja-ga Gerbang Neraka. Tapi, apa bisa" Bisa-bisa malah
dianggap ingin menantang bertarung sampai mampus.
Celaka dua belas namanya.
"Jangan pakai tanya siapa dia segala!" hardik Satria Gendeng serabutan.
Pemuda bertopeng menatap keheranan Satria
di depannya. Tingkah pemuda berambut kemerahan
itu seperti seorang yang sudah di depan jamban me-
nanti giliran buang hajat.
"Kau ada masalah dengannya?" tanya pemuda bertopeng lagi, padahal Penjaga
Gerbang Neraka makin dekat saja.
Satria mendelik jengkel.
"Kubilang jangan banyak tanya!" hardiknya lagi seraya membalikkan badan, hendak
minggat dari tempat itu. Mendadak pula, dia berbalik lagi.
"Kau mau tolong aku, bukan?" tanyanya berge-
gas. Pemuda bertopeng mengangguk.
"Tolong kau tahan dia agar aku sempat lari cu-
kup jauh!"
"Kenapa begitu?"
"Jangan banyak tanya! Kau mau tolong aku apa
tidak"!" Satria berkoar-koar di depan hidung pemuda bertopeng. Matanya terus
mendelik-delik.
"Baik... baik," jawab pemuda bertopeng, tetap dengan gaya yang tenang.
"Terima kasih banyak, kalau begitu! Semoga
arwah nenek moyang melindungimu!" seru Satria Gendeng mengakhiri, seraya
menggenjot segenap kemam-
puan lari cepatnya.
TIGA MESKI tak habis pikir dengan sikap Satria
Gendeng yang dianggapnya aneh, pemuda bertopeng
Arjuna memenuhi juga permintaan pendekar muda itu
sebelum dia sendiri 'ngacir'. Tak pernah disadarinya, menuruti permintaan si
murid Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu sama
saja mencari borok di liang lahat. Tahu sendiri siapa dan bagaimana lelaki
cebol, Penjaga Gerbang Neraka"
Satria sendiri menganggap permintaan 'brengsek'-nya hitung-hitung sebagai
pelunasan kejengkelannya pada pemuda bertopeng yang dianggap telah
mempermainkannya selama ini.
"Tunggu, Orang Tua!" tahan pemuda bertopeng begitu Penjaga Gerbang Neraka tiba
di dekatnya. Si cebol besar adat mana mau peduli dengan
teriakan itu" Dengar pun tidak, kendati pemuda bertopeng berteriak sampai serak
di lobang telinganya. Dia terus merangsak menggila ke depan dengan teriakan
yang tak kalah garang dengan seekor banteng jantan
kerasukan setan sinting.
Tentu saja pemuda bertopeng dibuat ternganga.
Untung saja wajahnya tersembunyi, jika tidak tentu
dia akan terlihat agak tolol. Gila benar, kenapa dengan orang satu ini"
Pikirnya. Begitu tiba, Penjaga Gerbang Neraka langsung
menyeruduk tanpa tedeng aling-aling. Tangannya
membabat ke depan, serampangan. Suara angin tan-
gannya menderu-deru.
Bet Wukh!! Tak mau terhantam serangan 'angin ribut' si le-
laki cebol, pemuda bertopeng cepat melenting ke atas.
Badannya berputar dengan tubuh terbalik lurus. Di
udara tangannya membuka lebar. Tampak dia siap
menangkis jika tangan si lelaki cebol memburunya di udara. Tapi tidak terjadi.
Penjaga Gerbang Neraka seperti tidak peduli. Dia terus berlari melewati pemuda
bertopeng yang sudah menjejakkan kaki kembali.
Telanjur berjanji pada Satria, pemuda berto-
peng pun mengejar Penjaga Gerbang Neraka. "Orang tua, berhenti!!"
Orang yang diteriaki tak peduli. Bagaimana bi-
sa peduli kalau telinganya saja tuli. Dan dengan ilmu lari cepat setingkat
dengan tokoh kawakan macam Dedengkot Sinting Kepala Gundul, tentu saja mengejar-
nya bukan pekerjaan mudah.
Pemuda bertopeng sendiri, meski usianya ma-
sih tergolong muda, nyatanya bukan sembarang orang.
Tingkat kesaktiannya pun mungkin dapat disejajarkan
dengan orang yang kini dikejarnya. Tak percuma jika dia mampu mengecoh Manusia
Makam Keramat ketika
menyelamatkan Rara Lanjar waktu itu.
Dan adu kemampuan peringan tubuh pun ter-
jadi. Keduanya bergerak laksana sepasang bayan-
gan. Berkejaran.
Angin mendengus, menggebah debu sepanjang
lintasan lari mereka.
Kejar-kejaran itu pasti akan menelan waktu
berhari-hari tanpa kepastian apakah si pengejar akan mencapai orang yang
dikejar, atau apakah orang yang dikejar akan meninggalkan si pengejar, kalau
saja pemuda bertopeng tidak menghentikan pompaan ilmu la-
ri cepatnya dengan tiba-tiba. Pasir tersembur ke depan, ketika kaki kokohnya
menahan luncuran tubuh.
"Penjaga Gerbang Neraka," bisiknya dari balik topeng. Rupanya selama mengejar,
dia teringat sesuatu. Tentang seorang bertubuh kecil berkesaktian tinggi yang
sering didengar dari cerita gurunya.
"Pasti dia orang yang dimaksud Eyang. Tapi
kenapa tampaknya bermusuhan dengan pendekar
muda itu?" bisiknya lagi. Karena ketertegunannya itu, dia pun kehilangan buruan.
Tinggal urusan Satria Gendeng, apakah dia bi-
sa melepaskan diri dari kejaran manusia cebol yang
mungkin pikirannya sudah agak sinting itu.
* * * Seperti kata pemuda bertopeng penuh teka-
teki, Rara Lanjar memang berada di gubuk di kaki Gunung Burangrang. Terakhir
kali, dia diselamatkan oleh
pemuda bertopeng Arjuna itu ketika Pendekar Muka
Bengis membawanya ke Makam Keramat Maut untuk
diserahkan kepada Manusia Makam Keramat.
Di dalam gubuk. Rara Lanjar tak pernah bisa
tenang. Duduk sebentar di balai tak membuatnya
nyaman, maka dia berdiri. Berdiri tak juga membuat-
nya merasa nyaman, maka dia pun berjalan hilir-
mudik. Masalahnya benak perempuan itu memang se-
dang disesaki pikiran-pikiran, khususnya yang berhubungan dengan orang bertopeng
Arjuna. Telah ke se-
kian kali orang itu menyelamatkannya. Hingga saat
itu, tak pernah diketahuinya siapa sesungguhnya
orang itu. Rasa penasaran ingin mengetahui jati diri lelaki misterius
mendatangkan kegelisahan pada diri Ra-ra Lanjar.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Sewaktu Manu-
sia Makam Keramat hendak membawanya ke Makam
Keramat Maut untuk pertama, dia diselamatkan oleh
orang bertopeng lalu dibawa ke gubuk yang kini di-
tempatinya (Baca kembali episode sebelumnya : "Nisan Batu Mayit"!). Beberapa
waktu lalu, dia pun diselamatkan dari Makam Keramat Maut, dan lelaki berto-
peng itu pun membawanya ke gubuk di kaki Gunung
Burangrang ini, pikirnya (Pada episode : "Rencana Manusia Terkutuk"!).
"Kemungkinan besar, gubuk ini adalah milik
orang itu," sentak Rara Lanjar mendesis.
Dia berjingkat seolah menemukan titik terang
untuk mengorek rahasia tersembunyi tentang si lelaki bertopeng Arjuna. Gubuk
yang kini ditempatinya, me-nyimpan benda yang berhubungan dengan pemiliknya.
Siapa tahu benda itu dapat sedikit memberi petunjuk tentang diri pemiliknya,
pikir Rara Lanjar lagi.
Dia pun mulai meneliti gubuk itu. Sampai be-
berapa lama mengaduk-aduk isi gubuk, tak ditemukan
sesuatu pun yang dapat dijadikan petunjuk. Kelelahan mencari-cari, akhirnya Rara
Lanjar jadi kesal sendiri.
Dihempaskannya tubuh ke balai sampai me-
nimbulkan suara berderak keras. Telentang, dihelanya napas. Pandangannya
mengarah ke langit-langit. Pada saat itulah, tanpa sengaja matanya menangkap
gerakan bayangan seseorang dari sela-sela atap.
Rara Lanjar bangkit, beriring bangkitnya kesia-
gaan. Matanya mengikuti terus gerak ringan bayangan di atas atap. Kendatipun dia
jenis dara pemberani, tak urung perasaan waswas menjalar dalam hatinya.
Dari pengalamannya waktu-waktu belakangan.
Rara Lanjar mengetahui bahwa seorang momok sesat
yang mungkin paling ditakuti oleh hampir setiap ka-
langan persilatan sedang mengincar dirinya. Terbukti telah dua kali dia diculik
dan dilarikan ke Makam Keramat Maut.
Kini, jika ada orang mengendap-endap di atas
wuwungan, bukan tak mungkin orang itu adalah an-
tek-antek Manusia Makam Keramat, prasangkanya.
Atau lebih buruk lagi, Manusia Makam Keramat sendi-
ri"! Mempertimbangkan kemungkinan itu, Rara
Lanjar berpikir untuk menyelinap keluar dari jendela gubuk. Jika benar orang di
atas wuwungan adalah
Manusia Makam Keramat, tak ada harapan dapat
mengunggulinya dalam pertarungan. Jalan yang ter-
baik adalah menghindarinya selagi bisa.
Rara Lanjar pun berjingkat-jingkat ke jendela
gubuk di sisi kanan. Kebetulan sekali, daun jendela sudah terbuka sejak tadi.
Dia bisa langsung melompat dengan mengerahkan peringan tubuh yang dimilikinya
keluar. Belum lagi Rara Lanjar menghentak kaki, dili-
hatnya sesosok orang melayang turun tepat di depan
jendela yang hendak dilaluinya.
Karena kaget, Rara Lanjar tersentak ke bela-
kang. Dia memekik tertahan dengan tangan mendekap
mulut. "Jangan takut, Cah Ayu!" sapa orang di depan jendela gubuk.
Rara Lanjar tersudut. Diperhatikannya wajah
yang tampak di jendela. Seorang lelaki tua berjenggot dan berambut putih,
bergelung rambut di atas kepala.
Keteduhan dan wibawa terpancar dari wajahnya. En-
tah kenapa, perlahan ketakutan Rara Lanjar memu-
pus. "Siapa kau, Orang Tua?" tanya Rara Lanjar.
"Aku Danujaya."
"Aku tak kenal kau."
"Benar. Tapi aku mengenalmu, Rara Lanjar."
"Dari mana kau mengetahui namaku" Dan ba-
gaimana kau mengenalku?"
"Ceritanya panjang," kata orang tua yang mengaku bernama Ki Danujaya seraya
bergerak, dan tiba-
tiba saja dia sudah berada di dalam gubuk.
Lelaki tua inilah yang beberapa waktu men-
gungkapkan siapa dirinya kepada Satria Gendeng. Dia adalah murid Prabu Pajajaran
yang mendapat amanat
untuk menjaga keselamatan Rara Lanjar sejak dia diti-tipkan kepada Ki Arga Pasa
sewaktu bayi (Baca serial Satria Gendeng dalam episode: "Rencana Manusia


Satria Gendeng 12 Pewaris Keris Kiai Kuning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terkutuk"!).
"Yang jelas, aku bermaksud untuk mengajakmu
ke suatu tempat. Tak aman kau berada di sini karena menurut dugaanku Manusia
Makam Keramat telah
mengetahui tempat ini," kata Ki Danujaya. Dugaan
orang tua berjenggot ini memang tak meleset dari kenyataan. Manusia Makam
Keramat telah mengetahui
tempat tersebut setelah Gendut Tangan Tunggal mela-
porkan padanya. Ketika itu Gendut Tangan Tunggal
masih dalam pengaruh jahat Manusia Makam Keramat
(Baca serial Satria Gendeng dalam episode : "Rencana Manusia Terkutuk").
"Bagaimana aku bisa percaya kalau kau berada
di pihakku?" kilah Rara Lanjar.
Ki Danujaya mengeluarkan sesuatu dari balik
jubahnya. Sebuah gelang emas yang biasa dikenakan
kaum aria (kalangan bangsawan dan raja-raja) di
pangkal tangan.
"Itu milik ayahku!" sergah Rara Lanjar, terkejut.
Ki Danujaya menggeleng.
"Keliru. Ini milikku. Ki Arga Pasa memiliki gelang yang sama dengan milikku,
karena keduanya se-
benarnya sepasang. Sepasang gelang itu adalah milik seorang Prabu Pajajaran.
Sedangkan kau adalah salah seorang keturunannya. Kau tentu pernah mendengar
dari mendiang Ki Arga Pasa tentang dirimu, bukan?"
Mendengar nama ayahnya disebut-sebut, pan-
dangan Rara Lanjar jadi menerawang. Terbayang kem-
bali di pelupuk mata wajah kedua orangtuanya yang
mati mengenaskan di tangan Manusia Makam Kera-
mat. "Ayah memang pernah menceritakan padaku
bahwa aku adalah anak angkatnya. Dia pun pernah
menunjukkan padaku gelang emas yang dimilikinya
padaku. Dia tak pernah menceritakan apa-apa tentang asal-usulku. Hanya dia
pernah berpesan, bahwa aku
akan mengetahui riwayat diriku dari seorang yang
memiliki gelang serupa dengan yang dimiliki Ayah," tu-turnya, agak tergetar
pilu. Lalu matanya yang agak digenangi garis bening
menatap Ki Danujaya.
"Kaukah orang yang dimaksud Ayah, Orang
Tua?" tanyanya lirih.
Ki Danujaya mengangguk dengan sebaris se-
nyum. * * * Sementara itu, Satria pun sudah tiba di kaki
Gunung Burangrang. Sepanjang perjalanan dia berha-
rap dapat bertemu kembali dengan Rara Lanjar, dan
gadis itu tak kekurangan suatu apa pun. Heran juga, dia jadi agak kangen dengan
dara itu setelah tak berjumpa dalam beberapa lama. Padahal sifat judesnya
sama sekali menjengkelkan Satria. Belum lagi mulut-
nya yang ketus.
Gubuk di kejauhan sudah terlihat. Satria mem-
percepat langkah. Sebelum benar-benar dekat, menda-
dak dia menghentikan langkah. Dengan tangkas pula
dia melompat tanpa suara ke balik pohon besar.
Baru saja didengarnya suara mencurigakan da-
ri arah barat laut. Kuat dugaannya seseorang akan segera datang. Satria tak
ingin ambil risiko. Siapa tahu orang yang datang justru dari pihak lawan.
Sekilas sa-ja sekelebatan bayangan tertangkap intaian matanya.
Dia berharap telah salah melihat, karena yang dilihatnya adalah sosok bertubuh
kerdil. Karena merasa ku-
rang yakin dengan penglihatannya barusan, pendekar
muda itu mengintip dari balik pohon.
"Slompret, itu benar-benar si lelaki cebol! Bagaimana dia bisa sampai pula di
sini secepat itu"!!" desisnya. "Apa si Topeng Arjuna itu sudah pula dibuat
mampus olehnya?" tambahnya, meringis ngeri.
EMPAT SIANG tak lama lagi berakhir. Senja datang
dengan keramahannya. Kabut perlahan-lahan meng-
genrayangi wilayah Kampung Bangkai yang terletak di dataran tinggi. Pada senja
yang tak terlalu tua, udara di sekitar tempat itu sudah menusuk. Menjelang
malam, mungkin sudah terasa membekukan. Sebaliknya,
suasana di penghujung senja lebih terang dibanding
desa-desa lain yang berada di bawahnya. Namun begi-
tu, suasana angker tetap saja tak terusik. Terutama manakala kabut makin menebal
dan meninggi serta
menguasai seluruh wilayah Kampung Bangkai.
Di dalam gubuk paling kumuh dan bau tengik,
Hantu Kera memeriksa tubuh Pendekar Muka Bengis.
Pendekar berwajah sangar itu sendiri terbaring tak
berdaya di lantai kayu berdebu tebal. Ruangan di dalamnya sama sekali tak
mencerminkan tempat mene-
tap manusia. Jangan-jangan dedemit pun sudah tak
mau menempatinya. Debu setebal ujung kuku melapisi
seluruh permukaan lantai dan dinding. Belum lagi sarang laba-laba di langit-
langit, kawanan kecoa yang berlari-larian bebas lepas, tikus-tikus gemuk yang
melintas, dan masih banyak binatang kecil lain menjadikan tempat itu istana
mereka. Gendut Tangan Tunggal saja yang tergolong
agak jorok, masih harus menutup hidung dan meringis jijik. Sewaktu melihat
seekor tikus gemuk, dia makin merasa tak betah di dalam gubuk itu. Terutama
karena dia merasa 'dihina', tak tahu oleh siapa.
"Bagaimana, kau sudah selesai memeriksanya
atau belum?" tanyanya tak sabar pada Hantu Kera.
Sementara Hantu Kera memeriksa di tengah ruangan,
orang tua kelebihan lemak itu cuma berdiri di samping pintu. Satu tangannya
terus menutup hidung, sedang
tangan yang lain mendekap perut. Makin lama di da-
lam ruangan pengap itu, Gendut Tangan Tunggal ma-
kin merasa mual.
"Belum!" jawab Hantu Kera kasar, merasa ker-janya terganggu.
Belum lama berselang, Gendut Tangan Tunggal
sudah bertanya lagi, "Sudah apa belum"!"
"Sudah!" jawab Hantu Kera, melegakan Gendut Tangan Tunggal. Lelaki berwajah
mirip kera itu bangkit dari silanya. Kepalanya menggeleng-geleng.
Gendut Tangan Tunggal cemberut. Pasti ada
yang tak beres, duganya.
Tanpa perlu ditanya, Hantu Kera berkata, "Be-
nar dugaanku. Dia terkena ajian milik Penjaga Ger-
bang Neraka itu!"
"Jadi kau tak bisa menyembuhkannya?"
Hantu Kera menggeleng seraya mencibir. Bibir
bawahnya bertambah maju. Nyaris menggelantung.
"Kau memang tabib tolol!" maki Gendut Tangan Tunggal, jengkel.
"Bukannya tolol, Tolol! Aku hanya tak memiliki tumbuhan untuk dijadikan
obatnya!" "Katakan padaku di mana tumbuhan itu, biar
aku ambil!"
"Tak mudah."
"Peduli setan!"
"Kau tetap tak peduli kalau kukatakan bahwa
tumbuhan obat itu hidup di Makam Keramat Maut?"
Gendut Tangan Tunggal terdiam sebentar.
"Glek," dia menelan ludah susah payah. Mukanya kecut.
Hantu Kera tersenyum mencemooh.
"Bagaimana kalau Panembahan Kusumo" Dia
bisa menyembuhkannya?" alih Gendut Tangan Tunggal.
"Sudah kubilang, dia pun tak bisa berbuat apa-
apa kecuali sudah mendapatkan obatnya."
"Jadi jalan satu-satunya, aku harus mengambil
tumbuhan itu di Makam Keramat Maut?"
Hantu Kera mengangguk mantap.
Gendut Tangan Tunggal menelan ludah lagi.
* * * Kaki Gunung Burangrang.
Satria mulai agak panas-dingin ketika Penjaga
Gerbang Neraka tidak melanjutkan larinya. Orang berbadan kecil itu malah berdiri
celingukan dengan mata melotot. Cuping hidungnya mekar-kuncup. Buas sekali
mukanya. Dalam hati Satria berdoa sendiri, memohon su-
paya manusia gelap mata itu segera menyingkir dan
tempat itu. Tetap di balik pohon, pendekar muda itu tak berani menggerakkan
tubuhnya sedikit pun. Bahkan dia agak ngeri untuk sekadar menggerakkan jem-
pol kakinya, khawatir gerakannya menimbulkan suara
yang memancing perhatian 'pemburu'-nya. Bodohnya
dia. Kalau dia ingat Penjaga Gerbang Neraka bertelinga soak, tentu dia akan
menertawai dirinya sendiri.
Sekali lagi, ini bukan persoalan takut. Satria
bukan termasuk seorang yang bernyali anak ayam.
Untuk keadaan-keadaan tertentu, dia bahkan bisa
menjelma menjadi seekor naga perkasa yang tak me-
mandang seberapa berbahaya kebatilan harus di ten-
tang. Sekarang ini, dia cuma tak mau berurusan den-
gan seorang yang gelap mata. Orang gelap mata bisa lebih bodoh dari orang bodoh.
Menghadapi kegusaran
orang bodoh, tak ada jalan paling baik kecuali menghindarinya.
Cukup lama Satria Gendeng 'mengkerut' di ba-
lik pohon. Sampai dia yakin sang pemburu sinting itu sudah menyingkir dari
tempatnya. Hati-hati, dia pun mengintip dari balik pohon. Ditariknya napas lega.
Syukur, Penjaga Gerbang Neraka sudah tak ada.
Satria pun keluar dari tempat persembunyian.
Berjalan perlahan dengan pandangan siaga. Siapa ta-
hu Penjaga Gerbang Neraka masih berada di sana.
"Benar-benar sudah aman," bisiknya ketika melangkah makin dekat ke gubuk. Sampai
tiba di depan gubuk pun, manusia bertubuh cebol itu tak juga terlihat.
Santai, Satria Gendeng membuka pintu gubuk.
"Satria!!" sambut selenting suara wanita. Siapa lagi kalau bukan Rara Lanjar.
Rara Lanjar sendiri langsung menghambur ke
arah Satria. Dirangkulnya pemuda itu kuat-kuat. Sa-
tria cuma bisa cengengesan serba salah ketika melihat Ki Danujaya berada di
dalam gubuk juga. Sedikit malu hati dia.
"Kau tidak apa-apa, Lanjar?" tanya Satria setelah dara itu melepaskan
pelukannya. Rara Lanjar menggeleng dengan senyum men-
gembang. Barangkali, dia rindu pada si pendekar mu-
da tampan. Kemudian, ditariknya lengan si pemuda
untuk masuk ke dalam gubuk. Manja sikapnya.
Baru saja Satria Gendeng melangkah masuk ti-
ga tindak.... Brakk! Dinding sebelah barat gubuk jebol seketika.
Ada sesuatu atau seseorang telah melabrak dari luar.
Di antara hamburan kayu, terlihat sekelebatan bayangan kecil menerobos masuk,
lalu berdiri tepat di depan lobang besar di dinding.
Satria Gendeng dipaksa melongo menyaksikan
orang tak bertatakrama itu.... Penjaga Gerbang Nera-ka"! Mampuslah dia!
Ki Danujaya berdiri paling dekat dengan tamu
tak diundang itu. Menyaksikan sorot mata sangar Penjaga Gerbang Neraka ke arah
Satria Gendeng, Ki Danujaya pun dapat membaca gelagat tak baik. Dia melangkah ke
tengah, di antara Penjaga Gerbang Neraka dan Satria Gendeng. Ki Danujaya tak
tahu ada masalah
apa antara si pendekar muda dengan tokoh garang ka-
langan tua itu. Ki Danujaya pun tak begitu ingin tahu mengingat suasana
dinilainya sudah terlalu panas.
Sebagai tokoh berusia lanjut, tentu dia pernah
mendengar julukan Penjaga Gerbang Neraka, sekaligus mendengar dari selentingan
kabar burung tentang sifat-sifat serta keadaan dirinya yang tuli dan bisu.
Sayangnya, orang tua berjenggot putih itu tak pernah berurusan langsung
dengannya. Hal itu membuat pe-nilaian Ki Danujaya terhadap Penjaga Gerbang
Neraka masih agak kabur. Dalam segala urusan yang tak jelas juntrungannya,
termasuk menghadapi seseorang, tentu saja bisa terjadi hal-hal tak terduga. Itu
dialami oleh Ki Danujaya!
Ketika Ki Danujaya baru saja mengangkat tan-
gan, hendak menyabarkan Penjaga Gemang Neraka,
mendadak sontak lelaki tua cebol itu meloloskan sepasang senjatanya. Secepat
kilat pula, diterjangnya Ki Danujaya, tanpa memberikan orang tua itu kesempatan
sedikit pun untuk menyelesaikan niatnya.
Wesh! "Ki Danujaya, awas!!"
Berkawal teriakan Satria Gendeng, Ki Danujaya
melompat ke atas. Wajahnya disarati gurat keterperan-jatan teramat sangat. Tak
pernah diduganya kalau
orang cebol itu akan melakukan serangan demikian ti-ba-tiba. Ki Danujaya memang
telah keliru menilai keadaan diri Penjaga Gerbang Neraka, seorang yang tak
akan dapat tertahan oleh badai sekalipun jika sudah timbul keinginannya untuk
membunuh. Kalau saat itu
Penjaga Gerbang Neraka bernafsu untuk mencabut
kepala si pendekar muda, maka Ki Danujaya tak akan
bisa mencegahnya. Kalau masih tetap mencoba, maka
Ki Danujaya harus bersiap-siap untuk mengadu jiwa
dengan cebol sakti itu!
Berhasil lolos dari sambaran sepasang cakar lo-
gam tadi bukan berarti telah lolos dari bahaya. Penjaga Gerbang Neraka sudah
menyusulkan serangan berikutnya sementara Ki Danujaya sendiri masih melayang di
udara. Sambaran ganda sepasang cakar logam dari
dua sisi berbeda ke arah pangkal paha Ki Danujaya.
Wesh wesh! Menyaksikan keadaan itu, jiwa ksatria si pen-
dekar muda langsung tersulut dan meledak. Seketika
dia menjadi tak peduli akan telanjur menjadi seteru Penjaga Gerbang Neraka.
Diterjangnya Penjaga Gerbang Neraka untuk menyelamatkan Ki Danujaya.
Di lain pihak, Ki Danujaya sendiri sebenarnya
sanggup untuk mementahkan serangan susulan la-
wan. Dengan gaya yang begitu indah, tubuhnya meliuk membuat gerakan berputar
dengan posisi menukik seperti elang menyambar. Dengan sepasang telapak tan-
gan dialiri tenaga dalam, dipapaknya senjata lawan.
Dash! Saat yang sama, Satria tiba dengan dua bogem
keras ke arah siku tangan Penjaga Gerbang Neraka.
Tahu ada bahaya datang dari arah lain. Penjaga Ger-
bang Neraka cepat berguling ke depan. Tubuhnya yang kecil dimanfaatkan untuk
melewati selangkangan Satria Gendeng yang kebetulan terbuka cukup lebar. Di
bawah, mendadak kedua kakinya menyentak ke atas.
Mata Satria Gendeng mendelik. Burung warisan
nenek moyangnya dalam keadaan bahaya. Tangannya
cepat diturunkan ke bawah, mencoba menangkis.
Dab! Terjadi benturan. Akibatnya sungguh mencen-
gangkan. Tubuh si pendekar muda langsung terpental
ke atas, hingga menerobos atap daun kelapa kering!


Satria Gendeng 12 Pewaris Keris Kiai Kuning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebentuk tenaga dalam yang sempurna milik Penjaga
Gerbang Neraka....
Ki Danujaya sendiri sempat dibuat terperanjat.
Tak berselang lama, tubuh Penjaga Gerbang
Neraka pun melenting ke atas, menyusul Satria Gen-
deng. Ki Danujaya yang lebih dekat padanya seperti
tak dipedulikan.
Dedaunan kelapa kering berhamburan ke uda-
ra dari dua bagian atap berbeda. Tubuh Satria Gen-
deng menyeruak lebih dahulu. Penjaga Gerbang Nera-
ka menyusul kemudian. Satria mengembalikan ke-
seimbangan tubuhnya dengan bersalto sekali, lalu
menjejak ringan di atas wuwungan. Sedangkan Penja-
ga Gerbang Neraka langsung hinggap.
Belum lagi cukup kokoh Satria Gendeng mema-
sang kuda-kuda, lawan cebolnya meluruk kembali ke
arahnya dengan sehimpun kebuasan hewan buas.
"Khuaauu!!!"
Lawan setangguh Penjaga Gerbang Neraka tak
akan dihadapi Satria dengan sebelah mata. Lawan ber-
senjata, maka dia pun harus mempersenjatakan diri.
Srat ctetar! Kail Naga Samudera lolos dari pinggangnya.
Ruas-ruasnya meregang. Talinya melecut udara, men-
ciptakan percikan bunga-bunga api.
Penjaga Gerbang Neraka menatap dengan mata
nyalang. Ada percikan bunga api pula di matanya.
Percikan hawa membunuh nan membara, dari
dasar hatinya. Keduanya saling berhadapan. Masing-masing
berdiri di ujung wuwungan.
Nyawa siapa yang lebih dahulu terlempar dari
raga" * * * Gendut Tangan Tunggal meninggalkan Kam-
pung Bangkai. Dia merutuk sepanjang perjalanan me-
nuju Makam Keramat Maut. Dia tahu di mana letak
pemakaman rahasia yang penuh dengan ancaman
maut itu. Tapi bukan itu masalahnya. Dia hanya agak
'jeri' memasukinya. Sudah jelas di sana menanti ba-
haya maut dari keadaan alamnya. Selain itu, ada lagi hal yang sangat mengaduk-
aduk nyali Gendut Tangan
Tunggal, yaitu Manusia Makam Keramat. Memasuki
Makam Keramat Maut sama artinya memasuki 'sarang'
si momok dunia persilatan paling menakutkan.
Sebagai seorang pendekar, dia merasa tak pan-
tas menjadi jeri. Namun sebagai manusia, tentu saja dia merasa harus memaklumi
diri. Tak ada manusia
yang tak memiliki rasa takut. Sekecil apa pun pasti ada. Tak peduli manusia
seberani apa. Hanya orang
tak waras yang cuma punya keberanian tanpa ketaku-
tan. Orang waras yang tak mengenal takut, tak lebih dari orang bodoh yang nekat.
"Sial juga si Bengis. Kenapa dia seperti tak
punya kerjaan menyerang Dewi Melati sampai si jelita seronokan itu mampus. Apa
dikiranya si lelaki cebol tak memiliki mata" Ya jelas saja dia ngamuk besar!
Mentang-mentang dia sedang dikuasai pengaruh jahat
Manusia Makam Keramat. Huh, kalau bukan teman,
sudah kubiarkan dia mampus!"
Sementara itu, sepeninggalan si manusia ber-
bobot seperti kerbau, Kampung Bangkai dimasuki oleh orang lain pula.
Seorang yang bergerak demikian ringan. Begitu
ringan, sampai terlihat seperti berlari di atas kabut.
Cepat. Begitu cepat, sampai rupanya tak jelas terlihat.
Melewati rumah dan gubuk terbengkalai, sam-
pailah sosok tadi di gubuk tempat Hantu Kera tinggal.
Sejenak sosok itu berdiri di depan gubuk, di antara kepungan kabut.
"Kau ada di dalam, Eyang"!" serunya. Lalu terdengar sahutan dari dalam. "Ya,
masuklah!"
Orang tadi masuk, menyibak kabut. Di dalam
Hantu Kera menantinya sambil bersila tak jauh dari
tubuh Pendekar Muka Bengis yang masih terbaring.
"Siapa dia, Eyang?" tanya orang tadi setelah menjura khidmat. Bersila dia di
depan Hantu Kera.
Dari tatakramanya dan caranya menyebut Hantu Kera,
bisa diduga kalau dia adalah murid Hantu Kera sendi-ri.
"Seorang pendekar yang terluka dalam oleh
ajian milik Penjaga Gerbang Neraka," sahut Hantu Ke-ra.
"Penjaga Gerbang Neraka?" ulang orang di depannya, setengah berbisik.
"Ya. Bukankah orang itu pernah aku ceritakan
padamu dulu?"
"Ya, Eyang. Tapi, bukan itu maksudku. Aku
hanya teringat kejadian siang tadi. Kurasa aku telah bertemu dengannya. Orang
tua itu mirip sekali dengan gambaran Guru tentang Penjaga Gerbang Neraka...."
"Bagaimana ceritanya, Wisnu?"
Lalu orang yang dipanggil Wisnu oleh Hantu
Kera menceritakan kejadian sebelumnya, ketika dia
bertemu dengan Satria Gendeng, sampai akhirnya mu-
rid Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul dikejar-kejar
oleh seorang lelaki tua cebol.
Ya, dia memang pemuda bertopeng penuh teka
teki itu! "Kalau begitu, pendekar muda itu dalam kesulitan," gumam Hantu Kera.
"Kenapa begitu, Eyang?"
"Asal kau tahu, musuh besar Manusia Makam
Keramat itu bertabiat amat sulit dipahami. Namun,
kebanyakan orang persilatan sudah amat maklum
bahwa dia tak akan membiarkan hidup seorang yang
sudah dianggap seterunya. Aku tak tahu ada urusan
apa antara pendekar muda itu dengan Penjaga Ger-
bang Neraka. Yang jelas, aku tak mau dia mengalami
kesulitan saat harus membawa gadis itu ke Goa Lumut Jingga." Pemuda bernama
lengkap Wisnu Bharata menjura. "Kalau begitu, sebaiknya aku cepat mohon diri
Eyang. Kupikir sebaiknya aku cepat menyusul pendekar muda itu ke gubuk di kaki
Gunung Burangrang.
Dia tak boleh terlambat membawa Rara Lanjar ke Goa
Lumut Jingga...."
Hantu Kera mengangguk.
"Pergilah," katanya, mengakhiri.
Wisnu Bharata pun bangkit, keluar gubuk, lalu
melesat kembali seperti kedatangannya.
Siapa Wisnu Bharata" Siapa pula Hantu Kera"
LIMA SAMPAI sekian jauh, pertarungan antara Satria
Gendeng dengan Penjaga Gerbang Neraka tak mene-
mui kesudahan. Keduanya sama-sama tangguh. Untuk
tingkat kesaktian, Satria Gendeng memang terhitung
masih di bawah lawan. Mungkin masih terpaut jauh.
Namun, dengan Kail Samudera di tangannya, tak akan
jadi mudah bagi Penjaga Gerbang Neraka untuk me-
runtuhkan pertahanannya.
Berawal di ubun-ubun yang kini porak-
poranda. Medan laga bergeser terus makin ke selatan.
Sebelah kaki Gunung Burangrang itu adalah bagian
yang paling berbahaya, karena banyak terdapat ju-
rang-jurang yang tak cuma curam dan dalam, tapi juga berbatu runcing di
dasarnya. "Khuauuu!!"
Jalannya pertarungan dikendalikan oleh seran-
gan-serangan Penjaga Gerbang Neraka. Satria Gendeng didesak terus ke arah jurang
yang menganga dua puluh tombak lagi di belakang.
Pendekar muda tanah Jawa itu harus mengu-
ras segenap kemampuan yang dimilikinya. Kegesitan
Penjaga Gerbang Neraka yang sempat membuat ha-
tinya tergetar sewaktu pertama kali berurusan den-
gannya sekarang ini benar-benar harus dihadapi sepe-
nuhnya. Trash! Benturan kedua senjata masing-masing pihak
entah sudah berapa ratus kali terjadi. Tak hanya me-lahirkan suara tajam
mengoyak gendang teling, tapi
juga menabur bunga-bunga api.
Riuh terbangun. Di sepanjang lintasan medan
pertarungan. Keduanya laksana naga api angkasa.
Satu berpijar karena kobaran hawa membu-
nuh. Yang lain berkobar karena kesadaran untuk
menjaga nyawa. Penjaga Gerbang Neraka bertarung layaknya
naga api angkasa yang luka. Tak ada pikiran lain dalam benak tokoh kawakan
berbadan cebol itu selain
menghabisi nyawa lawan, memenggal kepalanya, lalu
menukarnya dengan lembaran rahasia bagian kitab tu-
lisan sang Prabu Pajajaran
Di lain pihak, Satria Gendeng bertarung dengan
terpaksa. Kalau keadaan memungkinkan dia untuk
menghindar, dia akan melakukannya. Sayang kesem-
patan itu sudah tertutup sama sekali, ketika dia akhirnya harus berhadapan juga
dengan Penjaga Ger-
bang Neraka. Dalam pertarungan ini, dia tak punya tujuan yang jelas. Dan
kalaupun harus mengerahkan se-
genap kemampuan ilmunya, bukan karena dia men-
ginginkan kematian lawan, seperti lawan mengingin-
kan kematiannya, melainkan karena semata dia harus
membela diri dari incaran tangan kematian yang diku-curkan setiap saat oleh
Penjaga Gerbang Neraka.
Bertarung dalam kondisi terpaksa sebenarnya
tak pernah dikehendaki si pendekar muda murid De-
dengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau
Dedemit itu. Keterpaksaan membuat dia tak sepenuh
hati bertarung. Dalam membangun serangan, Satria
Gendeng melakukannya setengah-setengah, karena dia
tahu pasti bahwa lawan hanya salah paham. Keadaan
seperti itu lama kelamaan akan merugikan dirinya
sendiri. Dengan kata lain, Satria Gendeng memiliki kelemahan dalam pertarungan.
Sampai suatu ketika, Satria Gendeng harus
menelan bulat-bulat akibat dari kelemahannya terse-
but. Satu hajaran telak bersarang di perutnya ketika tanpa terelakkan sebelah
kaki lawan menanduk teramat cepat.
Deb! "Ah!"
Dengan tubuh melengkung dalam, Satria Gen-
deng terlempar deras ke belakang. Darah segar ter-
sembur dari mulutnya, menebar di udara, memerciki
tanah. Perutnya terasa kaku sekaligus mual tak ter-
hingga. Setelah melayang sejauh sembilan tombak, barulah dia terjatuh. Tak
berhenti sampai di situ, tubuhnya bergulingan. Naas baginya. Di belakangnya,
men- ganga jurang berkedalaman sulit diukur.
Dalam kesadaran yang timbul tenggelam, pen-
dekar muda itu masih sempat menyaksikan mulut ju-
rang yang siap menelannya. Segenap kemampuan di-
kerahkan tenaga untuk menghentikan guliran liar tu-
buhnya. Sayang tak berhasil. Jarak antara dirinya den-
gan mulut jurang sudah terlalu dekat.
Srak! Dia pun tergelincir. Untung saja satu tangan-
nya sempat bergerak refleks, menggapai tonjolan batu di bibir jurang.
Tap! Sejenak Satria Gendeng bisa bernapas lega.
Tubuhnya urung jatuh ke dasar jurang yang penuh
dengan batu-batu runcing laksana taring-taring siluman. Kejapan berikutnya, dia
harus menahan napas
dihela ketegangan ketika lawan meluruk menuju di-
rinya dengan segenap kebuasannya!
Aku harus bisa mengangkat diri ke bibir jurang,
teriak batin si pendekar muda.
Secepatnya! Dan harus lebih cepat dari lelaki cebol sial itu!
Sekali lagi, Satria berkutat mengerahkan tenaga sendiri untuk mengangkat
tubuhnya. Untuk melakukan itu,
bukan kesulitan besar baginya. Dulu, dia sudah amat terbiasa melakukannya ketika
menjalani gemblengan
dasar dari seorang gurunya, Tabib Sakti Pulau Dede-
mit. Ketika itu, hampir setiap hari dia harus me-
rayapi karang terjal menuju puncaknya. Kalau seka-
rang dia hanya harus mengangkat tubuh dengan sebe-
lah tangan, tentu tak akan menemui banyak kesulitan.
Lain perkara kalau otot di perutnya terasa ma-
kin mengejang akibat tendangan telak lawan. Belum
lagi kepalanya yang terasa terus berputar-putar, membuat pandangannya berkunang-
kunang. Apalagi di-
tambah ketegangan menyadari lawan memburu dan
siap menghantam remuk kepalanya.
"Heaaa!!!"
Satria berteriak sekuat-kuatnya. Urat lehernya
menggelembung seperti hendak pecah memuntahkan
darah segar. Otot tangannya pun seketika mengeras.
Mengejang, membentuk liukan-liukan kasar.
Dan parasnya meradang.
Kaki menghentak dinding jurang, agar dapat
mengangkat tubuhnya. Sebab hanya dengan cara itu
dia berusaha menyelamatkan diri. Menggunakan otot
perut untuk mencoba, tak berguna lagi. Otot bagian itu bagai sudah lumpuh.
Dalam saat-saat terdesak seperti itu, gejolak
darahnya menanjak. Bersamaan dengan itu, bergejolak pula zat langka dari dasar
terdalam Laut Selatan yang selama ini mengendap bersama ramuan sakti Tabib
Sakti Pulau Dedemit. Tenaganya menjadi berlipat. Bagai mukjizat! (Baca serial
Satria Gendeng dalam episode-episode awal: "Tabib Sakti Pulau Dedemit" dan
"Geger Pesisir Jawa"!).
Kalau sebelumnya tenaga mukjizat itu memba-
wa keberuntungan untuk dirinya, sekarang ini justru sebaliknya. Manakala kakinya
mengenai permukaan
dinding jurang dengan kekuatan meraksasa, bukannya
tubuhnya memantul ke atas, malah kakinya terbenam
dalam ke dinding jurang. Tak lama terdengar derak
bergemuruh. Drakkk! Bibir jurang terbelah!


Satria Gendeng 12 Pewaris Keris Kiai Kuning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satria membeliak. Sial, pikirnya. Kenapa uru-
sannya jadi runyam begini" Selain itu, tak ada lagi yang bisa diperbuat. Bibir
jurang sudah telanjur terbelah. Bongkahannya siap menukik ke dasar jurang.
Dengan posisinya sekarang, barangkali Satria Gendeng akan menjadi pergedel di
dasar jurang, tertumbuk
bongkahan raksasa itu.
Pada situasi di ujung tanduk, sekelebat bayan-
gan tiba-tiba melintas.
Teramat tangkas.
Dari depan, luncuran pesat lari Penjaga Ger-
bang Neraka dipapas.
Das! Si cebol sakti terhempas. Tanpa menyisakan
waktu sedikit pun, kelebatan bayangan tadi mengubah arah geraknya.
Tep! Di tangkapnya ujung tali Kail Naga Samudera
yang gagangnya masih dalam genggaman Satria Gen-
deng. "Hih!"
Wush! Tubuh si pendekar muda mencelat, meninggal-
kan bongkahan raksasa yang terjun bebas.
"Kau tak apa-apa?" tanya sang penyelamat setelah berhasil menangkap tubuh Satria
Gendeng. Satria melirik wajahnya.
"Kau lagi," desisnya. Ada nada dongkol terikut dalam desisnya, menemukan topeng
Arjuna yang ber-tengger di wajah itu. Seperti tak berniat berterima kasih,
pendekar muda itu menghardik, "Turunkan aku!
Kau pikir aku ini istrimu yang baru kau kawini dan
hendak kau ajak masuk kamar?"
Pemuda bertopeng menggeleng-gelengkan kepa-
la perlahan. Tak tahu berterima kasih, makinya dalam hati. Agak kesal, dilepas
begitu saja tubuh Satria.
Bruk! "Maak!"
Tahu rasa Satria Gendeng. Punggungnya di-
cumbu batu. Perutnya jadi bertambah nyeri. Hidung-
nya kembang-kempis. Matanya membeliak-beliak.
"Aku meminta kau menurunkan aku, bukan
menjatuhkan aku seperti ini"!" omelnya sambil meme-gangi perut.
Sementara itu, Penjaga Gerbang Neraka meng-
geram-geram di kejauhan. Papakan kuat sebelumnya
tak berarti apa-apa buatnya. Memang tubuhnya ter-
lempar. Hanya terlempar. Di udara dia berputaran ba-
gai bola karet, lalu menjejakkan kaki ke bumi tanpa kurang apa-apa.
Masih meringis-ringis, Satria Gendeng melirik
ke arah si cebol sakti itu.
"Kau lihat itu! Karena perbuatanmu, dia jadi
makin sinting saja!!" semburnya lagi pada pemuda bertopeng. Entah disadari atau
tidak, sifat tengik Dedengkot Sinting Kepala Gundul rupanya sudah tertular pa-da
dirinya. "Aku memang sengaja membuatnya murka pa-
daku," tepis pemuda bertopeng.
Satria merengut.
"Kenapa bisa begitu" Kau ini sejenis manusia
sok pahlawan apa"!"
"Tak perlu berdebat. Aku hanya ingin kau bisa
melepaskan diri untuk sementara dari manusia gelap
mata ini."
"Ah, kau benar-benar sok pahlawan!"
"Aku hanya berharap kau bisa membawa Rara
Lanjar ke Goa Lumut Jingga."
"Tapi kau belum bilang apa-apa kenapa dara
itu harus dibawa ke sana"!"
"Karena sepekan lagi, Manusia Makam Keramat
akan memburunya habis-habisan. Hanya tempat itu
yang tak akan disatroni olehnya."
"Kenapa begitu" Cepat kau jelaskan padaku se-
belum si cebol sinting itu melabrak lagi"!"
"Karena lumut yang tumbuh dalam goa itu ada-
lah pantangan dari ajian 'Bangkit Raga Pulang Nyawa'
miliknya...."
Satria masih hendak 'nyerocos', tapi Penjaga
Gerbang Neraka sudah keburu berteriak-teriak ganas
seraya memburu ke arah mereka. Bacotnya terbuka
lebar-lebar seperti mulut buaya menguap.
"Cepatlah kau pergi dari tempat ini, dan bawa
Rara Lanjar segera!" seru pemuda bertopeng, alias Wisnu Bharata.
Satria bangkit terseok.
"Kau sendiri bagaimana?" tanyanya pada Wisnu Bharata.
Dari balik topeng, mata Wisnu Bharata melirik-
nya. Setengik-tengiknya dia, rupanya tetap ada perhatian pada seseorang kendati
aku sendiri baru dikenalnya, puji Wisnu Bharata.
"Biar aku yang akan menghadapinya sampai
kau bisa membawa Lanjar!"
Satria mengangguk. Mesti terlihat kesal, sinar
matanya tetap mengisyaratkan rasa terima kasih men-
dalam. Wisnu Bharata bisa membaca itu. Lalu si pen-
dekar muda beranjak.
"Bagaimana kau bisa kenal pada Rara Lanjar?"
tanyanya kemudian, masih sempat-sempatnya.
"Pergi saja!" bentak Wisnu Bharata, terdengar galak. Di balik topeng, bibirnya
tersenyum. * * * Senja tersungkur juga di batas waktunya. Sinar
mentari menjenuh. Terkapar dia tanpa daya.
Satria berlari kesetanan kembali ke gubuk. Da-
lam benaknya berkecamuk kekhawatiran terhadap ke-
selamatan Rara Lanjar. Pemuda bertopeng adalah
sumber yang menurutnya bisa dipercaya, kendati
sampai detik itu dia masih tetap menjadi teka-teki bagi Satria Gendeng.
Menurutnya, dalam pekan terakhir ini Rara Lanjar akan diintai bahaya besar dari
Manusia Makam Keramat. Satria sebelumnya memang sudah
tahu bahwa penjahat kawakan dunia persilatan itu
mengincar Rara Lanjar untuk tumbalnya. Jika usaha
sebelumnya gagal, sudah pasti usaha selanjutnya akan dilakukan lebih ngotot.
Berpikir bisa saja Manusia Makam Keramat
mempercepat usaha penculikan Rara Lanjar, Satria ja-di kalang-kabut sendiri.
Setidaknya dia harus secepatnya tiba di gubuk dan memastikan apakah keadaan
gadis itu baik-baik saja.
Sewaktu dia teringat bahwa sang dara sedang
Sumpah Palapa 23 Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak 3 Kehidupan 3 Dunia 1
^