Pencarian

Rencana Manusia Terkutuk 2

Satria Gendeng 11 Rencana Manusia Terkutuk Bagian 2


Bahkan tangan kanannya tak merasakan benturan
apa-apa. Gendut Tangan Tunggal menggeram. Dia pena-
saran. Disusulnya satu hantaman lagi. Ke bagian yang
tak kalah mematikan, selangkangan orang itu.
Wukh! Kejadian tadi terulang. Sasaran tak bergerak.
Senjata tepat mengenanya. Tapi tak ada suara apa-
apa. Tak juga dirasakan benturan. Orang itu tetap
berdiri tegak tanpa kurang suatu apa pun. Tubuhnya
seolah dibentuk dari asap yang terangkum tanpa tersi-
bak angin. Gendut Tangan Tunggal mulai bimbang. Mesti-
kah dia melakukan serangan lanjutan" Atau dia hanya
keliru menempatkan hantaman. Tapi bagaimana
mungkin tokoh sekelas dia dapat keliru" Tangan ka-
nannya yang terlatih mempergunakan gada sanggup
menghantam seekor burung walet yang sedang melin-
tas cepat di atas kepalanya. Apa yang salah" Ataukah
dia tak menyadari kalau orang yang berdiri di depan-
nya mungkin saja bisa bergerak lebih cepat dari kedi-
pan mata" Nafsu kebinatangan dalam hatinya makin
membludak-bludak. Bukannya gentar, Gendut Tangan
Tunggal malah menjadi kalap.
"Heaaaa!!!"
Dihantaminya berkali-kali tubuh orang itu. Da-
lam satu helaan napas saja, dia dapat mengayun gada
belasan kali. Dan sejauh itu, semua hantamannya tak
luput. Tapi tetap tak mengusik orang yang dijadikan
sasaran. Mengucur sudah hantaman. Menghujan.
Menggila gada diayunkan.
Benda yang beratnya sama dengan empat bayi
gemuk itu seperti sebatang lidi yang demikian ringan.
Sampai pada saatnya, Gendut Tangan Tunggal kehabi-
san tenaga sendiri. Nafasnya tersengal-sengal. Perutnya turun naik jauh lebih
hebat. Sepertinya dia sudah hendak mati di tempat. Banjir pakaiannya oleh
keringat. Dengan tenang, orang di depannya mengulur-
kan tangan. Wajah Gendut Tangan Tunggal diusap,
dan dia pun semaput!
"Kau terkena ramuan rahasia milik Arya Sonta.
Aku akan mencoba menolongmu," bisik orang itu.
Tanpa perlu mengalami kesulitan dengan ba-
dan seberat bapak moyang kerbau, orang itu memang-
gul tubuh Gendut Tangan Tunggal. Dibawanya pergi
dari tempat itu.
ENAM DUA puluh dua tahun lalu, datang seorang le-
laki tua kepada mendiang Ki Arga Pasa. Dia meni-
tipkan seorang bayi perempuan kecil. Karena ketua
Perguruan Belalang Putih itu tak pernah dikarunia
seorang anak pun dari kandungan istrinya, maka den-
gan suka cita, dia dan istrinya pun menerima titipan
mungil itu. Selain bayi, lelaki tua juga menitipkan satu ki-
tab di dalam peti kayu.
Malam waktu itu. Si lelaki tua diterima Ki Arga
Pasa dan istrinya di ruang pendapa perguruan yang
belum begitu lama dibangun. Saat itu, muridnya masih
terhitung dengan jari. Salah seorang di antara mereka adalah Palguna, bocah
kecil telantar yang dipungut
oleh Ki Arga Pasa di kotaraja Pajajaran.
Di atas gelaran tikar pandan lebar, mereka du-
duk. Ki Arga Pasa ditemani istri di sampingnya. Se-
mentara tamunya duduk bersila berhadapan dengan
mereka. "Kenapa engkau memilih kami untuk dititipi
semua ini, Orang Tua?" tanya Ki Arga Pasa waktu itu.
Sebagai seorang yang mengemban amanat, apalagi
menyangkut hidup-mati seorang anak manusia, tentu
saja dia merasa perlu menanyakan alasan lelaki tua
itu. "Aku memilih kau dan istrimu, karena aku per-
caya pada diri kalian," kata orang tua itu lagi.
"Percaya" Bagaimana bisa" Sementara bertemu
saja baru kali ini...," tukas Ki Arga Pasa ditingkahi ta-wa kecil, sedikit
berkelakar. Lelaki tua tersenyum.
"Dua tiga bulan sebelum hari ini, aku telah
mengawasi kehidupan kalian hampir setiap hari. Aku
tahu tindakanku itu lancang. Tapi, aku hanya ingin
meyakinkan bahwa bayi ini dapat dibesarkan dalam
lingkungan yang baik. Bukankah lingkungan pula
yang amat besar pengaruhnya dalam membentuk pri-
badi seorang anak manusia?"
Ki Arga Pasa mengangguk-angguk. Istrinya pun
begitu. Dalam hati, mereka agak risih karena secara
tak langsung tamu mereka telah menganggap mereka
adalah sepasang suami-istri yang baik. Pribadi-pribadi yang baik, tentunya akan
membangun satu lingkungan yang baik.
"Lalu, kalau boleh kami tahu, anak siapa sebe-
narnya bayi ini, Orang Tua?" susul Ki Arga Pasa.
Lelaki tua terdiam sebentar. Wajahnya keruh
oleh kesan duka. Garis-garisnya terlipat lebih banyak.
Pandangannya terjatuh ke tikar pandan.
"Itulah yang amat kusesali. Kedua orangtua
bayi ini telah meninggal dunia," ucapnya kemudian dengan nada melandai.
"Kasihan sekali...," desah istri Ki Arga Pasa, turut prihatin.
"Apa penyebabnya?" lanjut Ki Arga Pasa, bertanya lagi.
"Sulit diketahui penyebab kematian kedua
orangtua bayi kecil perempuan ini. Kedua orangtuanya
mendadak meninggal dunia pada suatu malam. Mere-
ka mati dalam keadaan tercekik saat tidur. Tetangga
mereka yang menemukan mengatakan bahwa wajah
mereka membiru. Tangan mereka masih pada leher,
seakan mati berkutat untuk melepaskan cekikan...."
"Kematian yang aneh...," desis Ki Arga Pasa.
Bahu istri di sebelahnya mengedik-ngedik. Dia
bergidik. Tangannya mengusap tengkuk sendiri, men-
gikuti meremangnya bulu kuduk. Wajahnya meringis-
ringis. "Apakah sudah diketahui sebabnya?" tanya istri Ki Arga Pasa. Takut,
namun penasaran. Bergidik, tapi
terlalu ingin tahu.
Si lelaki tua menggeleng.
"Aku mengira karena masalah keturunan...,"
katanya, seperti mendesah.
"Apa maksudmu?"
"Salah seorang kakek buyut bayi itu, pernah
berurusan dengan seorang durjana sakti madraguna.
Orang itu dibunuhnya. Saat itu, si orang durjana ber-
sumpah akan membunuh setiap keturunannya."
"Bagaimana seseorang bisa membunuh kalau
dia sendiri sudah mati terbunuh?" sergah istri Ki Arga Pasa. Seperti kebanyakan
perempuan, dia amat tertarik dengan hal-hal yang mengusik perasaannya.
"Karena orang durjana itu adalah penganut il-
mu-ilmu sesat. Tak terhitung lagi ilmu sesat yang di-
tuntutnya. Selama hidup, dia seperti seorang pemburu
kesaktian yang tak pernah puas untuk terus menam-
bah dan menambah kekuasaan dirinya."
"Keserakahan manusia...," simpul Ki Arga Pasa.
"Salah satu ilmu sesat yang dianutnya mem-
buat sukma sesatnya tak diterima oleh 'gerbang' alam
kubur. Entah sampai kapan. Selama sukma terkutuk-
nya terkatung-katung di batas dua alam, dia punya
kesempatan sekali-kali untuk menelusup masuk ke
alam nyata. Saat seperti itulah dia membunuh keturu-
nan keluarga lawannya saat mereka tertidur. Hanya
saat seperti itu, dia bisa menerobos garba sukma orang
yang hendak dibunuhnya dengan cara gaib. Kedua
orangtua bayi perempuan ini adalah keturunan keem-
pat yang mengalami nasib serupa."
"Jadi, apa hanya tinggal bayi ini saja yang ma-
sih hidup dari keturunan orang itu?" tanya Ki Arga Pa-sa.
"Benar sekali."
Ki Arga Pasa menggeleng-gelengkan kepala. Is-
trinya latah ikut-ikutan. Bagi Ki Arga Pasa, akan se-
makin berat saja gambaran amanat yang harus dipi-
kulnya. Artinya, dia tak hanya harus membesarkan,
merawat, dan mendidik. Tapi juga melindungi bayi pe-
rempuan itu dari jangkauan sukma sesat yang setiap
saat akan kembali ke alam nyata untuk membunuh-
nya. "Bagaimana aku dapat melindungi Cah Ayu ini agar selamat dari kekuatan
jahat sukma itu," keluh-nya, bergumam. Diliriknya bayi kecil yang tertidur lelap
di dalam ranjang berselimut kulit domba. Keda-
maian terangkum dalam parasnya yang masih begitu
halus. Menyaksikannya seperti menatap kemurnian
sebuah kehidupan.
Ki Arga Pasa menghela napas. Sanggupkah aku
melindunginya" Tanyanya membatin. Resah.
Lelaki tua memperhatikan keresahan Ki Arga
Pasa. Lalu katanya, "Kau tak perlu khawatir pada keselamatannya."
"Bagaimana aku tak khawatir kalau aku mera-
sa tak cukup punya kekuatan untuk melindunginya
dari kekuatan sukma sesat itu?"
"Kalau kau tak punya, kenapa kau tak memo-
hon Pemilik Segala Sesuatu" Tak ada daya yang bisa
mencelakakan jika Dia berkehendak menjaga seorang
manusia. Dan tak ada daya apa pun yang bisa menye-
lamatkan, kalau Dia berkehendak seseorang celaka...."
Seperti mendapat siraman sejuk, kegelisahan Ki
Arga Pasa memudar. Kepalanya mengangguk-angguk
lamat. "Ya. Tiada daya dan upaya selain dari pertolon-gan-Nya," timpalnya
ditingkahi hembusan napas panjang. "Lalu bagaimana dengan kitab ini?" lanjut Ki
Arga Pasa seraya menempatkan tangannya ke atas peti
tempat penyimpanan kitab di depannya.
"Kitab ini berhubungan dengan cerita yang ba-
ru saja kupaparkan."
"Artinya. Kitab ini berhubungan dengan si
bayi?" Lelaki tua mengangguk.
"Apa yang harus aku lakukan dengan kitab
ini?" "Tak ada."
"Tak ada?"
"Ya. Kau hanya perlu menyimpannya. Pada
saatnya nanti, kau harus menyerahkan kitab ini pada
bayi itu."
"Kapan waktunya?"
"Ketika ada kekacauan di mana-mana yang di-
lakukan oleh sekawanan bocah."
"Kawanan bocah?" desis istri Ki Arga Pasa,
mengulangi. Dia bergidik lagi. "Apa yang mereka lakukan?" tanyanya. Padahal,
tanpa perlu bertanya pun, lelaki tua tetap akan melanjutkan penuturannya.
"Bocah-bocah itu akan menculik perempuan-
perempuan."
Mendengar kata 'perempuan' disebut-sebut, is-
tri Ki Arga Pasa tambah bergidik.
"Aih... aih...," ujarnya tak sadar.
"Setelah itu menyusul munculnya seorang ber-
kesaktian tinggi yang rupanya seperti dedemit. Beram-
but amat panjang, berkuku amat panjang, dan ber-
jenggot juga amat panjang."
Sekarang, mendengar kata 'jenggot' Istri Ki Arga
Pasa yang agak latah mengusap dagunya sambil me-
ringis. "Siapa dia, Orang Tua?" sela Ki Arga Pasa.
"Dialah manusia durjana yang telah mati dibu-
nuh oleh kakek buyut bayi ini."
"Maksudmu, orang itu bangkit dari kubur?"
tanya Ki Arga Pasa. Tak urung dia jadi turut bergidik.
Kalau saja dia bergidik, apalagi istrinya" Perempuan
separuh baya itu langsung menggeser duduknya, lebih
dekat ke Ki Arga Pasa. Takut-takut, matanya melirik ke belakang, seolah ada
sesuatu yang sedang bersiap-siap mencekiknya sampai modar!
"Mungkin pertanyaanku kali ini agak lancang,
Orang tua...."
"Bertanyalah!"
"Bagaimana atau dari mana kau bisa tahu ke-
jadian itu akan terjadi?"
Lelaki tua tersenyum. Dia tak menjawab. Tidak
juga berkata apa-apa. Karena setelah itu mendadak sa-
ja sosoknya raib dari tempat. Angin seperti membawa
lari seluruh jasadnya tanpa sisa.
Keesokan harinya, istri Ki Arga Pasa menemu-
kan sesuatu di tangga pendapa perguruan. Sebatang
gelang tangan dari emas yang biasa dipakai di pangkal lengan seorang raja
Pajajaran. Ketika mencoba bertanya-tanya pada beberapa sesepuh tanah Paparan, Ki
Arga Pasa mendapat jawaban mengejutkan. Gelang itu
adalah milik seorang Prabu Pajajaran yang turun tahta tanpa alasan jelas. Sang
Prabu menghilang tanpa dike-
tahui rimbanya. Tak ada harta istana dibawa, kecuali
gelang tangan yang kini dimiliki oleh Ki Arga Pasa.
Prabu itulah yang telah membunuh untuk pertama
kail si manusia durjana.... Manusia Makam Keramat!
* * * Satria selesai mendengarkan cerita orang tua
berjubah putih. Dialah orang yang dihadapi Gendut
Tangan Tunggal ketika dalam perjalan menuju kaki
Gunung Burangrang. Dialah orang yang telah mele-
paskan pengaruh jahat Manusia Makam Keramat da-
lam diri Gendut Tangan Tunggal.
"Bayi yang dititipkan itu kemudian diberi nama
Rara Lanjar oleh mendiang Ki Arga Pasa," tambah si orang tua.
Alls si pendekar muda bertaut.
"Sedangkan kau sendiri adalah lelaki tua yang
telah menitipkan bayi kepada mendiang Ki Arga Pasa
dan Istrinya?" tanyanya, tak begitu yakin.
Si orang tua yang kini duduk bersila di atas ba-
lai bambu bersama Satria Gendeng dan Gendut Tan-
gan Tunggal menganggukkan kepala. Tenang.
Satria Gendeng tercengang-cengang, antara


Satria Gendeng 11 Rencana Manusia Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percaya dan tidak percaya. Bibirnya terbuka lebar. Be-runtung tak ada lalat
lewat. Wajahnya jadi terlihat tolol kelewatan. Lalu ditepuknya kening. Keras
atau tidak, membuat pening tujuh kali tujuh keliling atau tidak,
dia tak peduli.
"Kalau begitu, kau... adalah seorang Prabu Pa-
jajaran" Dan Rara Lanjar adalah cicit buyutmu?" susul Satria lagi.
Orang tua berjenggot putih menggeleng.
"Kau keliru," katanya, meralat.
"Keliru bagaimana" Bukankah kau barusan
menceritakan dirimu sewaktu menyerahkan Rara Lan-
jar kepada Ki Arga Pasa dan istrinya?"
Pertanyaan Satria Gendeng mendapat anggu-
kan. "Dan gelang yang kau sebut-sebut itu" Apa itu bukan berarti kau adalah sang
Prabu?" Si kakek diam sebentar. Lalu dijawabnya perta-
nyaan Satria. "Sebaiknya aku perkenalkan diri padamu, Anak
Muda. Aku bernama Danujaya. Kau boleh memanggil-
ku Ki Danuwijaya. Perlu Kau ketahui, sebenarnya aku
murid Gusti Prabu. Aku berguru kepadanya beberapa
tahun setelah dia meninggalkan takhta. Dialah yang
menyuruh aku untuk menitipkan Rara Lanjar sewaktu
bayi kepada seseorang yang bisa dipercaya. Selain bayi dan kitab, aku
diperintahkannya pula untuk menyerahkan gelang miliknya secara diam-diam. Aku
tak pernah tahu maksudnya. Kalau kau mengatakan Rara
Lanjar adalah keturunan guruku, itu memang benar.
Sampai saat ini, aku masih mengemban tanggung ja-
wab dari guruku untuk mengawasi bayi yang kini telah
menjadi seorang dara ayu itu."
Begitulah kenyataannya. Rara Lanjar adalah
satu-satunya keturunan sang Prabu yang kini tak per-
nah diketahui lagi kabar beritanya. Itulah sebabnya,
Manusia Makam Keramat sewaktu datang pertama kali
ke Perguruan Belalang Putih mengendusi sesuatu yang
tersembunyi dari diri si dara. Dan ketika kesaktiannya sanggup membaca darah
yang mengalir di diri Rara
Lanjar sebagai keturunan sang Prabu, Manusia Ma-
kam Keramat pun berusaha untuk membawa gadis itu
ke Makam Keramat Maut. Tujuannya adalah untuk
menumbalkan darah Rara Lanjar bagi Nisan Batu
Mayit. "Kalau boleh aku tahu, Ki Danujaya" Apakah sang Prabu masih hidup?"
Untuk pertanyaan Satria satu ini, si kakek ber-
nama Danujaya tampak mengalami kesulitan menja-
wab. "Aku tak tahu," jawabnya singkat. "Dia menghilang begitu saja setelah
tuntas menurunkan ilmunya
padaku. Hidup atau sudah wafat, tak jelas lagi bagi-
ku." Satria seperti tak puas bertanya. Dia masih ingin tahu lebih banyak.
"Sebagai muridnya, kenapa kau tidak bertindak
untuk mencegah keangkaramurkaan yang dilakukan
Manusia Makam Keramat?" tanya Satria Gendeng ke-
mudian. Ki Danujaya menggelengkan kepala.
"Aku banyak belajar dari Gusti Prabu tentang
penyucian diri. Untuk itu, aku tak mungkin mengotori
tangan dengan membunuh Arya Sonta.... Bahkan aku
sudah tak ingin lagi keluar ke dunia penuh nista ini
seandainya aku tak perlu mengawasi Rara Lanjar...."
"Tunggu dulu," sergah Satria. Dia teringat sesuatu ketika mendengar kata-kata
terakhir kakek tua
di depannya. Mengawasi Rara Lanjar, katanya" Satria
membatin. Kalau begitu, jelas dia merasa bertanggung
jawab penuh pada keselamatan si dara ayu. Menurut
cerita Rara Lanjar, dia diselamatkan oleh orang bertopeng kayu Arjuna ketika
Manusia Makam Keramat
hendak melarikannya ke Makam Keramat Maut. Kalau
begitu.... "Kau bilang bahwa kau bertanggung jawab ter-
hadap sang Prabu untuk mengawasi Rara Lanjar" Ka-
lau begitu... kau pasti orang bertopeng kayu Arjuna
itu, bukan"!" tembak Satria, tak ragu-ragu.
Ki Danujaya menggeleng. Alis putihnya mele-
kuk. "Apa maksudmu?" tukasnya, malah balik bertanya. Mulut Satria menganga.
Keliru lagi" Dugaannya kecele lagi" Bagaimana bisa begitu" Kenapa jadi serba tak
menentu" Gerutunya dalam hati. Kalau bukan kakek ini, lalu siapa orang bertopeng
kayu itu" "Kenapa dengan orang bertopeng kayu?" Ki Danujaya malah bertanya lebih jauh.
Satria sendiri ham-
pir tak percaya orang yang sudah dianggap begitu
waskita ternyata masih bisa luput pada satu kejadian
penting yang menyangkut tanggung jawabnya. Manu-
sia mana yang tak memiliki kekurangan"
Satria Gendeng mencoba mengamati wajah ka-
kek itu. Tak ada kesan kalau dia sedang bergurau.
Yang tersirat cuma kesungguhan dan keingintahuan.
"Sudahlah, Orang Tua...," hindar Satria akhirnya. Lantas dikembalikannya
pembicaraan ke masalah
Manusia Makam Keramat!
"Jika kau tak bersedia turun tangan menumpas
manusia durjana itu, lalu siapa yang harus melaku-
kannya?" "Tuhan selalu punya rencana yang sempurna,
Anak Muda," ujar Ki Danujaya seraya bangkit dari balai. Jawabannya sama sekali
tak memuaskan hati Sa-
tria Gendeng. "Kau hendak ke mana, Orang Tua?"
Belum kering lidah Satria mengucapkan perta-
nyaan, sosok si orang tua sudah raib dari tempatnya.
Dari arah pintu gubuk, terdengar suara derit halus.
Bukan main kecepatan geraknya. Dia sebenarnya ti-
daklah menghilang begitu saja, melainkan pergi mela-
lui pintu. Namun karena tingkat peringan tubuhnya
sudah demikian sempurna, gerakannya jadi sulit di-
ikuti mata. Bahkan oleh orang sekelas Gendut Tangan
Tunggal, atau si murid Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit!
TUJUH Di TENGAH malam kental kegelapan, satu so-
sok berlari tak terputus-putus ke arah suatu tempat.
Tujuannya adalah daerah angker yang amat ditakuti,
bukan saja oleh penduduk biasa, tapi juga oleh banyak kalangan persilatan.
Ditakuti, di samping karena daerah itu penuh dengan bahaya maut yang tercipta
oleh keganasan alam, juga karena tempat itu menjadi tem-
pat 'bersarangnya' seorang manusia durjana berkesak-
tian tak terukur yang bangkit kembali dari kematian.
Di bahu sosok yang berlari, tertelungkup lemas
sosok orang lain. Pingsan akibat totokan di satu jalan darahnya. Ketika awan
menyibakkan diri, sinar bulan
yang menjelang purnama dalam beberapa hari terak-
hir. Pun memperjelas rupa sosok yang berlari dan yang dipanggulnya.
Orang yang berlari, berwajah amat menyeram-
kan. Tentu saja dia adalah Pendekar Muka Bengis. Se-
dangkan orang di bahunya tak lain Rara Lanjar.
Tanpa pernah sedikit pun diketahui oleh Pen-
dekar Muka bengis, jauh di belakangnya seseorang
menguntit sepanjang perjalanan. Kegelapan dan kece-
patan gerak orang itu tak memungkinkan mata untuk
menyaksikan rupanya dengan jelas. Kendati untuk
mata terlatih sekali pun.
Jarak yang berselang cukup jauh antara si
penguntit dengan buruannya menyebabkan keadaan
menjadi cukup aman. Selama itu, Pendekar Muka
Bengis sama sekali tak menyadari. Meskipun bukan
cuma itu penyebabnya. Cara bergerak si penguntit
yang begitu cepat dan ringan serta kelihaiannya me-
nyamarkan diri di tempat-tempat tertentu, justru yang berperan besar untuk
mengelabui Pendekar Muka
Bengis. "Sebentar lagi, kita akan segera tiba, Gadis...,"
bisik Pendekar Muka Bengis, di antara desis angin ma-
lam. Seperti katanya, tak lama mereka pun tiba di
Makam Keramat Maut.
"Tuanku, Tuanku!! Aku datang membawa gadis
yang kau inginkan!" seru Pendekar Muka Bengis di muka Makam Keramat Maut.
Pemakaman kuno sunyi. Hanya jangkrik berde-
rik-derik, memperdengarkan sahutan yang tak dipelu-
kan Pendekar Muka Bengis.
"Tuanku!!" ulang Pendekar Muka Bengis, men-
coba kembali. Kedua kali.
"Tuanku, ke mana kau"!"
Dan ketiga kali.
Tetap tak ada jawaban dari setiap sudut pema-
kaman. Nisan dan gundukan terlihat samar-samar,
timbul tenggelam di antara iring-iringan lambat kabut pekat. "Ke mana tuan ku,
Manusia Makam Keramat"!
Kenapa tempat ini sepi?" gumam Pendekar Muka Bengis. "Apa mungkin dia sedang
meninggalkan tempat ini?" sambungnya, terus bertanya-tanya sendiri.
Yakin Manusia Makam Keramat sedang tak ada
di 'sarang' laknatnya, Pendekar Muka Bengis memu-
tuskan untuk meninggalkan Makam Keramat Maut se-
cepatnya. Terlebih dahulu, dia akan meninggalkan Ra-
ra Lanjar dalam sebuah liang tempat dikuburnya Ma-
nusia Makam Keramat dulu.
Ditujunya liang tersebut. Liang ditemukan, tu-
buh Rara Lanjar pun hendak dilemparkan. Baru saja
tubuh Rara Lanjar terlempar masuk ke mulut liang,
sekelebatan bayangan menyambarnya dalam kecepa-
tan menghantu. Pendekar Muka Bengis sebagai salah seorang
tokoh papan atas dunia persilatan merasa kecolongan.
Sekejapan dia sempat dibuat terpana. Selanjutnya dia
mengutuki diri habis-habisan ketika kelebatan bayan-
gan tadi pergi memburu membawa Rara Lanjar.
"Berhenti!!" seru Pendekar Muka Bengis, begitu tersadar dari keterpanaan.
Dikejarnya kelebatan
bayangan tadi dengan nafsu meletup-letup.
Tak mudah mengejar kelebatan bayangan tadi.
Pendekar Muka Bengis dibuat kedodoran. Dia
merasa dirinya bukan lagi mengejar manusia, melain-
kan mengejar bayangan sesungguhnya. Jarak antara
dirinya dengan buruan tak pernah menyusut. Kalau-
pun terjadi, akan segera melebar lagi. "Bangsat," makinya gusar.
Di dunia persilatan, Pendekar Muka Bengis bu-
kan orang yang bisa dibuat main-main. Sudah malang
melintang dia selama belasan tahun. Kesaktiannya di-
kenal hampir setiap kalangan. Harga dirinya akan ter-
pukul jika harus kedodoran mengejar buruannya. Ru-
panya, nafsu membuta yang bersemayam dalam garba
jiwa Pendekar Muka Bengis telah pula membutakan
akalnya. Semestinya dia sudah sadar sejak dini bahwa
tingkat kesaktian lawan berada lebih tinggi beberapa
tingkat di atasnya.
"Berhenti kataku!!"
Dalam kegeraman, seraya berseru sekali lagi,
Pendekar Muka Bengis mengirim serangkum pukulan
jarak jauh Wusssh! Serangkum tenaga berkekuatan dua puluh
banteng jantan menerkam di kegelapan. Sengit mem-
buru. Blarrrr! Tanpa terlihat menoleh atau kerepotan, bayan-
gan yang menyambar Rara Lanjar menghindari puku-
lan jarak jauh Pendekar Muka Bengis dengan begitu
enteng. Dia hanya mencelat ketika serangkum tenaga
dahsyat menukik dari udara. Akibatnya, satu kuburan
tua dari batu menjadi sasaran empuk. Hancur beran-
takan melahirkan suara hingar-bingar.
Merencah kesunyian.
Mengetahui pukulan jarak jauhnya pun dapat
ditaklukkan, kemarahan Pendekar Muka Bengis makin
menjadi-jadi. Mendengus-dengus napasnya selama
berlari. Kalau terus begitu, sampai dunia mendekati
kiamat pun, tampaknya Pendekar Muka Bengis tak
akan sanggup mengungguli ketangguhan ilmu lari ce-
pat buruannya. Kecuali jika kelebatan sosok itu sendiri yang menghentikan
larinya. Hal itu terjadi saat berikutnya. Kelebatan sosok
itu menghentikan laju tubuhnya. Berdirilah dia tegak
di atas satu nisan tinggi terbuat dari kayu meranti. Seperti tak menganggap
pengejarnya menjadi ancaman,
orang itu tak menoleh sama sekali.
Pendekar Muka Bengis turut memenggal lang-
kah larinya. Lima belas tindak di belakang orang yang melarikan Rara Lanjar.
Lelaki setengah baya berwajah
seram itu menghempas napas sekali, seolah melo-
loskan kegeraman yang melonjak-lonjak dari dalam
dada. "Serahkan perempuan itu padaku!!" serunya, menyalak.
"Kenapa kau pikir aku akan menyerahkan pe-
rempuan ini padamu?" sahut orang di kejauhan sana.
"Kalau kau tak menyerahkan...."
"Kau akan membunuhku?" sela orang tadi. Su-
aranya begitu tenang dan datar. Tanpa getar, tanpa
terhanyut rasa apa pun. Sepertinya, tak ada sesuatu
pun yang bisa membuat dia menjadi takut atau gentar.
"Kau...." Pendekar Muka Bengis menggeram.
"Tak perlu kau melakukan itu! Percuma saja!"
tukas sosok tadi. Tak jelas apakah dia bermaksud
memperingati, mengancam, atau sekadar meledek.
Bagi Pendekar Muka Bengis sendiri, perkataan
tadi tak lebih dari hinaan yang menampar wajahnya
telak-telak. "Bangsat!!!"
Tak menanti lebih lama lagi, Pendekar Muka
Bengis merangsak ke depan. Ganas. Beringas.
Melepas serangan telengas.
Hanya dengan satu lompatan jauh, Pendekar
Muka Bengis sudah tiba tepat di belakang batu nisan
tempat sosok tadi berdiri memanggul tubuh Rara Lan-
jar. Begitu tiba, langsung dihantamnya bokong orang


Satria Gendeng 11 Rencana Manusia Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu dengan tinju menggeledek.
Wukh! Tinju menderu. Sasarannya, tak sedikit pun berniat menoleh.
Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas. Hantaman lawan
dimentahkan hingga hanya sempat memakan angin.
Begitu kepala Pendekar Muka Bengis mendon-
gak mengikuti arah lompatan lawan, sosok tadi men-
dadak berputar di udara. Amat cepat gerakannya. Da-
lam keadaan dibebani seseorang di bahu, hampir tak
mungkin seseorang dapat melakukan itu dengan kece-
patan luar biasa. Nyatanya tak begitu dengan orang
penuh misteri ini.
Wush! Menyusul putaran tiba-tiba tubuhnya, kaki
orang tadi membuat satu sapuan melengkung ke arah
kepala lawan. Pendekar Muka Bengis terperangah. Dia dipak-
sa membuang diri ke belakang.
"Heaa!"
Berjumpalitan, Pendekar Muka Bengis menye-
lamatkan kepala. Ketika posisi dan keseimbangannya
sudah dapat dikuasai, pendekar yang menjadi sesat itu menjejakkan kaki di salah
satu batu nisan. Kuda-kudanya terpasang. Matanya mencari lawan. Tapi tak
ditemukan. Jelalatan Pendekar Muka Bengis mencari. Di
segenap penjuru, lawan tak ditemukan. Tak ada di
mana-mana. Lawan seolah telah lenyap ditelan salah satu
gundukan makam ke dalam bumi.
Pendekar Muka Bengis hanya bisa mendengus-
dengus. Rahangnya mengeras, memperdengarkan sua-
ra bergemeletuk. Dilanjutkan dengan teriakan melo-
long, melampiaskan kejengkelan.
* * * Satria Gendeng tak pernah bisa diam. Dia terus
berjalan hilir-mudik di muka gubuk. Wajahnya kusut.
Sebentar-sebentar dia menarik napas panjang-
panjang. Ada yang sangat meresahkannya. Soal nasib
Rara Lanjar yang tak tentu rimbanya. Tak ada sebetik
berita mengenai perempuan itu sampai sekarang. Me-
mang, dia termasuk perempuan yang terkadang bikin
sebal, tapi biar bagaimana Satria sudah cukup merasa
dekat dengannya. Bukan semata karena dia cantik.
Dia ingin mencarinya. Hanya saja tak pernah
tahu ke mana hendak mencari. Menanti saja apa
mungkin" Itu pun bukan pekerjaan yang tak memua-
kkan. "Hi hi hi...."
Di samping pintu gubuk, di dekat anak tangga,
Gendut Tangan Tunggal tertawa. Tertawa tanpa sebab
cuma pekerjaan orang gila. Gendut Tangan Tunggal
bukan sejenis orang itu. Dia hanya geli menyaksikan
keruwetan wajah si pendekar muda dan kerepotannya
berjalan bolak-balik.
Satria menghentikan langkah. Ditolehnya Gen-
dut Tangan Tunggal dengan wajah asam. Merengut
dia, sejelek kera.
Gendut Tangan Tunggal cepat-cepat menghen-
tikan tawa. Mulutnya bahkan tak berani dibiarkan ter-
lekuk. Takut Satria Gendeng menggasaknya.
"Kenapa tertawa, Pak Tua Buncit?" tanya Sa-
tria, tak senang hati.
Gendut Tangan Tunggal menelan ludah. Kepa-
lanya menggeleng takut-takut.
"Telingaku masih belum tuli, Pak Tua. Aku
mendengar kau tertawa tadi. Aku ingin tahu kenapa
kau tertawa?" desak Satria dengan wajah yang semakin asam.
Sambil mengumbar cengiran tak sedap, Gendut
Tangan Tunggal berkata, "Kalau kau hanya berjalan hilir-mudik seperti itu, apa
mungkin kau akan mene-
mukan Rara Lanjar" Itu sebabnya aku jadi agak geli
melihat tingkahmu...."
"Jadi apa saranmu?"
"Cari dia!"
Gendut Tangan Tunggal bangkit susah payah,
mengangkat perutnya yang menjorok di tanah.
"Kalau aku tahu ke mana mencarinya, sudah
kucari dia sejak kemarin!" sungut Satria Gendeng.
"Sekarang begini saja," tepis Gendut Tangan Tunggal. "Menurutmu, siapa yang kau
kira telah menculik perempuan itu?" lanjutnya.
"Pendekar Muka Bengis."
Gendut Tangan Tunggal kontan terkikik geli
mendengar jawaban Satria.
Satria tak menerima. Dia cemberut.
Gendut Tangan Tunggal pun lantas menghenti-
kan tawa. Paras wajahnya diperbaiki. Biar si pendekar muda yang terkadang besar
adat itu tidak mengamuk.
"Kenapa tertawa?" tanya Satria.
"Bagaimana tidak" Aku kenal si Bengis. Dia tak
mungkin menculik perawan orang!"
Sekarang Satria Gendeng baru maklum kenapa
Gendut Tangan Tunggal menertawainya. Setelah dis-
embuhkan oleh Ki Danujaya dari pengaruh ramuan
rahasia Manusia Makam Keramat, rupanya dia belum
juga mengetahui kalau Pendekar Muka Bengis pun
mengalami kejadian serupa dengan dirinya.
"Ngomong-ngomong, ke mana si Bengis itu, ya?"
gumam Gendut Tangan Tunggal.
"Itulah...," tukas Satria. "Apa kau tak pernah menyadari sesuatu yang terjadi
pada dirimu ketika ti-ba-tiba kau berada di hadapan Ki Danujaya" Begitu
yang kau ceritakan padaku, bukan?"
Gendut Tangan Tunggal mengangguk. "Ya. Aku
heran juga. Terakhir yang kuingat, aku dan Bengis te-
lah menemukan Pasukan Kelelawar yang telah men-
jelma menjadi bocah-bocah tak berdosa. Setelah kami
mengantar mereka ke desa masing-masing, aku tak in-
gat apa-apa lagi. Sadar-sadar, aku sudah berada di
depan Ki Danujaya. Kenapa begitu, ya?"
"Kau tak bertanya pada Ki Danujaya?" Pende-
kar golongan tua 'hamil ganjil' itu menggeleng.
Satria Gendeng menggerutu tak kentara. Dasar
manusia yang tak mau sedikit berpikir, makinya. Apa
tak pernah juga dia membuang sedikit sifat yang selalu menggampangkan masalah
itu" "Kau mau menjelaskan padaku?" tanya Gendut
Tangan Tunggal. Semestinya, pertanyaan itu sudah di-
lontarkan pada Ki Danujaya. Dasar brengsek!
"Menurut Ki Danujaya, kau terkena racun ra-
hasia Manusia Makam Keramat."
"Huahh"!"
Mendeliklah biji mata Gendut tangan Tunggal.
Sebesar-besarnya. Membuat wajahnya jadi terlihat je-
lek, sejelek-jeleknya.
"Ramuan rahasia itu pula yang telah membuat
Pasukan Kelelawar bisa 'dibentuk' menjadi bocah-
bocah budak si manusia durjana itu. Dan itu pun di-
alami oleh Pendekar Muka Bengis," papar Satria Gendeng. Gendut Tangan Tunggal
meringis ngeri.
"Si Bengis sekarang jadi budaknya Manusia
Makam Keramat?" desisnya tak percaya.
Satria mengangguk.
"Aku menduga, dialah yang telah melarikan Ra-
ra Lanjar untuk diserahkan pada Manusia Makam Ke-
ramat. Sebab, sepanjang pengetahuanku, manusia
durjana itu sedang mengincar Rara Lanjar."
"Itu dia!" cetus Gendut Tangan Tunggal berjing-kat mendadak. Sampai permukaan
perutnya terayun
ke atas seperti anggukan kepala kerbau tolol.
Satria Gendeng menunggu.
"Kita cari perempuan itu ke sarang Manusia
Makam Keramat!" susul Gendut Tangan Tunggal, ber-semangat.
Satria menggeleng tak bernafsu.
"Itulah masalahnya. Aku tak pernah tahu di
mana tempatnya!"
"Di Makam Keramat Maut, tentunya!"
atria melotot. Orang tua ini sekadar tuli atau
berotak tumpul"
"Sudah kubilang, aku tak tahu tempatnya.
Maksudku, aku sudah-tahu nama tempat itu. Tapi,
aku tak tahu di mana letaknya. Apa di kolong balai
atau di bawah tikar...," gerutu Satria Gendeng, dongkol. Gendut Tangan Tunggal
mencibir. "Aaah, kalau cuma tempat itu aku tahu!" ujarnya seraya mendongakkan kepala dan
membusungkan dada. Sialnya, yang maju ke depan tetap saja ujung
pusarnya yang agak 'menunjuk' ke depan.
"Kau tahu?" Satria hampir terperanjat. "Ayo kuantar!" timpal Gendut Tangan
Tunggal seraya melangkah.
Satria Gendeng dengan wajah meluapkan se-
mangat, mengikuti di belakangnya.
Baru beberapa tindak berjalan, terdengar se-
ruan seseorang. Membuat langkah keduanya terpeng-
gal seketika. "Tunggu!!"
Satria Gendeng menoleh. Demikian pula Gen-
dut Tangan Tunggal. Mereka saling bertatapan ketika
menyaksikan orang yang datang. Dan rasanya, mereka
tak mempercayai penglihatan sendiri.
DELAPAN DEWI Melati dan Penjaga Gerbang Neraka ber-
diri tegak. Tak ada kesan persahabatan di wajah Pen-
jaga Gerbang Neraka. Bukan sekadar karena dasar si-
fatnya. Melainkan ada bersit lain yang lebih menghu-
nus pada kedua biji mata lelaki itu. Sementara Dewi
Melati sendiri tak berubah. Dia tetap terlihat seronok dengan tingkahnya yang
genit. Terutama ketika menyaksikan, si pendekar muda tampan, Satria Gendeng.
"Kita kedatangan musibah, Anak Muda...," gerutu Gendut Tangan Tunggal tak
kentara. Satria Gendeng melirik lelaki tua buncit di se-
belahnya. "Aneh, aku pun merasakan hal itu. Aku melihat
ada sinar permusuhan di mata lelaki cebol itu. Apa
kau merasakannya pula?"
"Peduli setan, apakah aku merasakan atau ti-
dak. Yang jelas bagiku, bertemu dengan orang yang
tak bisa sedikit di-'senggol' seperti cebol itu, berarti musibah!"
Setelah menggerutu, Gendut Tangan Tunggal
mengembangkan senyum lebar, kendati dipaksa-
paksa. "Haaaa, apa kabar 'sahabat'?"!" serunya, sok ramah seraya membentang
tangan. Satria menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa perlu kalian sebenarnya"!" serunya pula, tanpa mau berbasa-basi. Malah
wajahnya lebih kentara memperlihatkan kekesalan. Bagaimana tidak kesal
kalau kedua orang itu telah menghambat usaha mere-
ka untuk segera membebaskan Rara Lanjar"
Gendut Tangan Tunggal menyikut tangan pen-
dekar muda di sebelahnya.
"Bersikaplah ramah sedikit pada si cebol itu!"
bentaknya berbisik. Wajahnya cemberut. Namun keti-
ka dia menoleh kembali pada Penjaga Gerbang Neraka,
senyumnya pun mekar mendadak lagi. Sejenis senyum
karbitan orang-orang yang cari selamat. Dia bukan se-
jenis orang yang suka cari muka, atau pengecut yang
cari selamat dengan cara bermuka dua. Mungkin se-
kadar kapok dengan Penjaga Gerbang Neraka yang du-
lu pernah hendak 'menggebuki'nya habis-habisan
hanya karena keusilan Dewi Melati. (Untuk lebih jelasnya, bacalah kembali
episode sebelumnya : "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
"Aku tak perlu mereka," tandas Satria tegas.
"Dan aku tak peduli siapa pun dia. Kalau dia menghambat usahaku, apa perlu aku
bersikap ramah?"
"Sssst... ssttt!!"
Mulut Gendut Tangan Tunggal ber-'sat-sut' ke-
limpungan. Matanya melirik takut-takut ke arah Pen-
jaga Gerbang Neraka. Takut si cebol itu mendengar
perkataan Satria Gendeng. Padahal, kalaupun Satria
berteriak, Penjaga Gerbang Neraka tak akan menden-
garnya. Untuk kesekian kali, Gendut Tangan Tunggal
tersenyum lebar-lebar kembali pada si tua bangka ce-
bol, salah satu momok paling menakutkan dunia persi-
latan. Orang seperti Gendut Tangan Tunggal yang ter-
golong tokoh papan atas dunia persilatan saja merasa
gentar dengannya. Tapi si pendekar muda di sebelah-
nya.... "Kami sedang tergesa! Kenapa tak katakan
maksud kalian menahan kami"!" sambung Satria, mulai terdengar membentak. Nadanya
agak melonjak. Makin ngeri saja Gendut Tangan Tunggal. Kia-
mat... kiamat..., pikir tokoh tua berperut buncit itu.
Tangannya dinaikkan ke kepala.
Di kejauhan sana, wajah Penjaga Gerbang Ne-
raka memperlihatkan kerutan-kerutan bengis.
Menyaksikannya, Gendut Tangan Tunggal pun
meringis. "Menyesal sekali aku harus menyampaikan se-
suatu padamu, Pemuda Ganteng," balas Dewi Melati akhirnya.
"Jangan bertele-tele, Dewi! Jelaskan saja lang-
sung!" "Guruku, eh... maksudku 'suami angkat'-ku ini berniat hendak membunuhmu."
"Apa"!"
Satria terlonjak. Apa aku tak salah dengar" Le-
lucon macam apa ini".Ceracau hatinya, tak menerima.
Lain lagi Gendut Tangan Tunggal. Tokoh tua
berbadan subur itu bukan lagi sekadar meringis. Dia
pun mulai memperlihatkan wajah memelas. Dengan
tangan mengusap-usap permukaan kulit perutnya, dia
lebih pantas disamakan dengan orang mulas.
"Kau jangan gila! Apa urusannya aku dengan
tua bangka itu sampai dia hendak membunuhku"!"
"Aku tak perlu menjelaskan. Yang kuperlukan
untuk membantu 'suami angkat'-ku cuma...." Dewi
Melati mengedikkan bahu. Telapak tangannya menen-


Satria Gendeng 11 Rencana Manusia Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadah ke depan. "... cuma kepalamu," tambahnya, mengakhiri kalimat yang
terputus. Wajah perempuan cantik genit itu terlipat se-
perti merajuk. "Padahal sebenarnya, aku masih ingin sekali
mengenalmu lebih dekat. Jauuuuuuh lebih dekat,"
gumamnya sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya.
"Mereka benar-benar sinting!" maki Satria.
"Kau pun sinting kalau kau terus bersikap tak
ramah pada si cebol itu," desis Gendut Tangan Tunggal.
"Diam kau!!!" hardik Satria, kehilangan kesaba-ran. Sementara itu, pikirannya
berkutat. Pasti telah terjadi sesuatu yang menyebabkan mereka berniat
menyingkirkanku. Setidaknya ada biang keladi dari
semua ini, duga Satria. Tanpa mengorek keterangan
langsung dari Dewi Melati, Satria tak akan cepat men-
getahui latar belakang maksud sinting mereka berdua.
Kalau mengorek dari Penjaga Gerbang Neraka jelas su-
dah tak mungkin. Dia hanya bisa berbicara bahasa
syarat dengan Dewi Melati.
Sekarang ini, Satria Gendeng harus cepat me-
nemukan cara agar Dewi Melati mau buka mulut. Itu
pun kalau Penjaga Gerbang Neraka tak telanjur me-
rangsaknya lebih dahulu. Cuma, bagaimana caranya"
Satria harus mencari akal.
Harus! Brengseknya, sedang pikirannya berkutat,
Gendut Tangan Tunggal masih saja tak mau sedikit
mengerti. Bacotnya pun tak bisa diam sebentar saja.
"Bagaimana ini, Anak Muda" Bagaimana ini"
Kalau si cebol itu hendak membunuhmu, bukan tak
mungkin dia pun akan membunuhku pula" Seperti
kau tak tahu saja sifat Penjaga Gerbang Neraka itu"
Dia...." Ampun! Darah Satria Gendeng terasa hendak menjebol Ubun-ubun. Matanya
mendeliki Gendut Tangan Tunggal sampai hendak melejit keluar.
"Kalau kau tak bisa diam, aku yang akan mem-
bunuhmu secepatnya!" geram Satria.
Gendut Tangan Tunggal bergidik. Dia beringsut
menjauhi si pendekar muda. Mulutnya meringis-ringis
tak henti. Sementara itu, Penjaga Gerbang Neraka sudah
melangkahkan kaki ke depan. Langkahnya mengan-
dung ancaman. Seperti juga tatapan dan parasnya.
Gendut Tangan Tunggal tambah beringsut-
ingsut. Semakin jauh semakin baik, pikirnya. Sumpah
ditenung jadi kodok buduk, dia kapok menghadapi ke-
sangaran dan keganasan serangan si manusia cebol
yang galaknya seperti setan kepedasan itu!
"Tunggu!" cegah Satria.
Tak mungkin Penjaga Gerbang Neraka menden-
gar. Satu-satu, langkahnya diayunkan.
Makin mempersempit jarak.
Di depan, siap terbentang medan laga.
Baginya, dan bagi si pendekar muda.
"Khuaaa!!"
Berkawal teriakan yang terdengar ganjil dan
sumbang, jadi juga Satria Gendeng diterjang Penjaga
Gerbang Neraka. Sebutlah kesialan yang sudah tak
tertahankan! Memaki-maki, Satria Gendeng menghindari se-
rangan Penjaga Gerbang Neraka.
Ssing! Berdesing, senjata logam berbentuk cakar mata
tiga Penjaga Gerbang Neraka mengancam perut Satria.
Hendak dirobeknya perut pendekar muda itu dan
mengeluarkan isinya sekaligus.
Kelimpungan, pendekar muda murid Dedengkot
Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit
mencelat ke belakang. Ujung senjata lawan merobek
udara hanya selebar kuku dari pakaiannya.
Gila, lain kali bisa-bisa pakaiannya akan ter-
sayat, menyusul kulitnya! Satria bergidik juga mem-
bayangkan itu. Menghadapi seorang tokoh sekelas gurunya
sendiri ini, Satria memang tak bisa berharap terlalu
banyak. Dulu pun dia sempat menjajal bagaimana ke-
tangguhan kesaktian lawan. Kecepatannya begitu
mengerikan. Kalau bukan bernyali seorang ksatria, ba-
rangkali Satria sudah kapok dibuatnya.
Sekarang ini, jika melayani berarti Satria telah
setuju untuk bertarung sampai salah seorang dari me-
reka terperosok ke liang lahat. Tidak melayani, sama
saja dengan bunuh diri perlahan-lahan. Situasinya jadi serba sulit untuk Satria
Gendeng. "Hei, hei tunggu!"
Seraya lintang-pukang berkelit dan menghin-
dar, Satria Gendeng berusaha untuk menghentikan
amukan Penjaga Gerbang Neraka. Tindakan yang bo-
doh kalau dia sendiri sebenarnya tahu telinga lawan
tuli. Satu-satunya jalan untuk 'menyabarkan' si ce-
bol galak cuma melalui Dewi Melati. Sebab hanya pe-
rempuan itu yang tahu dan mengerti bercakap-cakap
dengannya. "Dewi, katakan padanya untuk berhenti!" seru Satria, makin kelimpungan.
Tangannya terangkat ke
depan berkali-kali, seolah hendak mencegah. Parasnya
pun mulai tak karuan. Benar-benar keadaan yang sial
baginya! Bukannya Satria gentar pada nama besar
Penjaga Gerbang Neraka. Apa kata guru gundulnya ka-
lau dia jeri menghadapi manusia cebol itu" Hanya saja pendekar muda itu sadar,
berurusan dengan Penjaga
Gerbang Neraka bukan masalah yang mudah tersele-
saikan. Bagi si cebol mandraguna itu, masalah akan
selesai kalau salah satu pihak telah kehilangan nyawa.
Dewi Melati malah mesem-mesem menyebal-
kan. "Pasti telah terjadi salah paham, Dewi! Katakan padanya untuk segera
berhenti! Kita harus membica-rakan masalah ini dengan kepala dingin!"
Sing wukh! "Waduh, sialan!!!"
Diselingi sumpah serapah, si pendekar muda
berusaha untuk membujuk Dewi Melati. Aneh juga,
kalau caranya membujuk harus dengan berteriak se-
tengah edan dan dibumbui pula dengan sumpah sera-
pah. Rasanya itu bukan bujukan....
"Dewi, kau dengar aku"!" coba Satria lagi.
"Apa imbalannya bagiku?"
Imbalan untuk perempuan 'samber geledek' ini"
Beban pikiran lagi untuk Satria! Demi nenek moyang
Dongdongka, akan ku kuliti perempuan ini nanti,
sumpah Satria membatin.
"Bagaimana kalau kutraktir makan di kedai
terminal kotapraja?"
Dewi Melati menggeleng.
"Ya... ya, itu memang tawaran tolol," gerutu Satria sambil berjumpalitan
menghindari sapuan kaki
lawan. "Ah, bagaimana kalau kuajak kau berjalan-
jalan di sepanjang kaki Gunung Burangrang"!"
Dewi Melati mencibir.
"Ya, itu pun tawaran tolol," gerutu Satria lagi.
"Atau... bagaimana kalau..., slompret!!"
Kalimat Satria Gendeng terputus oleh samba-
ran senjata lawan yang berseliwer persis di depan hi-
dungnya. Dewi Melati menunggu dengan mata disayu-
sayukan menyebalkan.
"Bagaimana kalau kau menginap semalam den-
ganku di penginapan kotapraja"!" ucap Satria, asal bunyi. Dia tak akan pernah
berniat menawarkan
'kemesuman'. Kalau cuma menginap saja apa salah-
nya" Salah otak mesum Dewi Melati sendiri kalau dia
jadi salah mengartikan, pikirnya.
Dewi Melati langsung mengumbar senyum. Ma-
na lebar. Astaga....
Lalu, secepatnya dia melompat ke depan Penja-
ga Gerbang Neraka. Dengan bahasa isyarat dia berbi-
cara pada manusia cebol galak itu. Entah bagaimana
caranya perempuan cantik gatal itu bisa mengibuli
Penjaga Gerbang Neraka. Jinaklah dia. Seperti seekor
cucu kerbau dicocok hidungnya!
SEMBILAN MALAM kental dengan hawa dingin. Makam Ke-
ramat Maut masih pekat dengan suasana mena-
kutkan. "Kau memang bodoh!!!"
Sebentuk suara mencelat ke angkasa. Menggi-
dikkan, bagai hentakan kaki seribu ekor kuda terbang
di langit. "Aku sudah katakan pada Gendut Laknat itu
agar tidak membawa gadis itu ke tempat ini kecuali
mendekati malam-malam purnama. Sekarang kau ma-
lah mengacaukannya! Kau membawa juga gadis itu ke
sini. Lalu apa jadinya" Kau katakan gadis itu dilarikan seseorang yang tak
pernah kau lihat rupanya dengan
jelas! Dasar manusia tolol keparat!!!"
Bentakan dan makian itu lahir dari kerongkon-
gan seorang bercaping lebar dan berjubah hitam yang
menyatu dengan kepekatan malam. Dia tentu saja Ma-
nusia Makam Keramat yang baru saja kembali ke Ma-
kam Keramat Maut. Tiba di sana, dia mendapat lapo-
ran dari Pendekar Muka Bengis yang membuat darah-
nya naik. Pendekar Muka Bengis berdiri diam tanpa gem-
ing di depan Manusia Makam Keramat. Seluruh serat
tubuhnya mengejang kaku. Tangan terentang lebar,
seperti dibentang rantai baja kasat mata. Bahkan ke-
lopak matanya tak berkedip-kedip. Sulit mengira apa
yang telah dilakukan Manusia Makam Keramat terha-
dap dirinya. Tangan Manusia Makam Keramat tiba-tiba
mencengkeram leher Pendekar Muka Bengis.
Crrep! Berkawal getaran, diangkatnya tubuh Pendekar
Muka Bengis seperti mengangkat sehelai pelepah pi-
sang kering. "Kalau tenagamu tak kuperlukan sudah kuro-
bek tenggorokanmu sekarang juga!" geramnya, na-
danya menjangkit dan menukik.
Menjelang puncak tertinggi tangannya sanggup
terangkat, mendadak pula dilemparnya tubuh kaku
Pendekar Muka Bengis.
Wushhh! Angin bergeletar terbedah luncuran tubuh Pen-
dekar Muka Bengis.
Jauh terlempar. Hingga puluhan tombak.
Menghantam nisan-nisan dan menggusur gundukan
pemakaman. Kemurkaan Manusia Makam Keramat tak ter-
puaskan hanya dengan melempar tubuh Pendekar
Muka Bengis. Masih pula dilampiaskannya gelegak
amarah dalam dada dengan menghantami nisan-nisan
batu sebesar gubuk di sekitarnya.
Glar glar glar!
Puing-puing serabutan.
Debu terbangun.
Tinggi mengapung.
Tergiring angin.
Lalu perlahan rebah di bumi.
Di antara seluruh kekacauan keadaan, tubuh
Manusia Makam Keramat tegak mengejang dengan ke-
pala tertunduk, melepas sisa kegeramannya. Tak lama
dia menegakkan kepala. Tangan kanannya menunjuk
Pendekar Muka Bengis yang masih telentang diam seo-
lah seonggok kayu tak bernyawa.
Dari ujung jarinya membersit seleret sinar kebi-
ruan. Ssss! Mendesis. Tepat di tengah kening, antara dua alis Pende-
kar Muka Bengis, sinar yang memanjang tadi menda-
rat. "Sekarang bangunlah!!!"
Ketika itu juga, tubuh Pendekar Muka Bengis
dapat digerakkan. Dia bangkit terseok. Sedangkan wa-
jahnya sendiri tak menunjukkan baru saja mengalami
rasa sakit luar biasa. Paras yang dingin, membatu.
"Sekali lagi kau mengacaukan rencanaku, kau
akan ku kubur di bawah salah satu kuburan ini hi-
dup-hidup!!" ancamnya sangar.
Pendekar Muka Bengis berjalan perlahan ke
arah Manusia Makam Keramat. Tiba di dekatnya, pe-
rintah pun keluar.
"Singkirkan Dewi Melati, perempuan yang akan
menghambat rencanaku saja untuk menyingkirkan
pendekar muda keparat itu dengan tangan si cebol bu-
suk!!!" Pendekar Muka Bengis mengangguk gamang.
"Dan menjauhlah dari gadis itu. Dia akan kuu-
rus sendiri. Akan kulobangi ubun-ubun dan menghi-
sap otak orang yang telah berani menyatroni 'sarang'-
ku dan melarikan gadis itu!" dengus Manusia Makam Keramat.
* * * "Aku ingin tahu alasan kalian hendak membu-
nuhku?" tanya Satria Gendeng setelah keadaan sudah agak tenang.
"Sebenarnya, bukan aku yang menginginkan
kematianmu, Pemuda Ganteng. Bukan pula aku yang
hendak menurunkan tangan membunuhmu...," kata
Dewi Melati. "Aku tak menanyakan itu. Yang kutanyakan
alasan kalian," sergah Satria.
"Ya... bagaimana, ya...."
Dewi Melati melenggok sana-sini. Tangannya
bergerak kian kemari seperti tangan penari.
Satria jadi sebal dengan tingkah perempuan


Satria Gendeng 11 Rencana Manusia Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Bertele-tele sekali, nilainya.
"Cepat katakan!"
Dewi Melati mendelik. Bukannya menakutkan,
malah terlihat menggemaskan dengan bola mata ber-
bulu lentiknya. Bagi Satria Gendeng tetap saja menye-
balkan! "Ada seseorang yang bersedia menukarkan
lembaran inti kitab tulisan Prabu Pajajaran yang berisi rahasia kelemahan
Manusia Makam Keramat dengan
kepalamu dan senjata pusakamu, Kail Naga Samude-
ra...," kata Dewi Melati akhirnya.
"Kau tahu siapa orang itu?"
Dewi Melati menggeleng.
"Kalau begitu, katakan saja ciri-cirinya!"
"Semalam tak cukup!"
Kening Satria Gendeng berkerut.
"Apa maksudmu?"
"Soal 'menginap' denganmu."
Slompret asli! Gerutu Satria.
"Baik, dua malam!"
Dewi Melati tersenyum.
"Sekarang cepat katakan ciri-ciri orang itu"!"
"Baik... baik, apa kau tak bisa bersabar sedikit"
Huh dasar lelaki!"
"Cepat!!!"
"Iya, iya! Orang itu mengenakan caping lebar,
dan berjubah hitam."
"Itu saja?"
"Apa kau mau aku melebih-lebihkan?"
"Kalau cuma itu, bisa siapa saja."
"Memang. Bisa bapak moyangku, atau bapak
moyangmu. Bisa juga monyet buduk!"
"Maksudku, apa ada ciri-ciri khas orang itu?"
Dewi Melati menggeleng. "Ingat-ingat, Dewi!!"
"Kalau ditambah mengingat-ingat, 'dua malam'
jadi tak cukup rasanya...."
Slompret asli lagi!
"Baik, kau dapatkan tiga malam!"
Bermalamlah dengan siluman, rutuk Satria
menambahkan dalam hati.
Senyum Dewi Melati mekar lagi.
"Sebentar kuingat-ingat," katanya seraya menempatkan ujung jari telunjuk ke
kening. "Ah!" serunya mendadak.
"Apa" Kau ingat sesuatu?"!"
"Belum...."
"Slompret!"
"Sekarang aku ingat!"
"Katakan! Katakan!"
"Orang itu kuperhatikan baru saja memotong
kukunya...."
"Ini bukan urusan perawatan kecantikan, bu-
kan"!" ledak Satria, jengkel. Bagaimana mungkin perempuan brengsek ini menjawab
seperti itu. Mentang-
mentang dia termasuk perempuan yang memperhati-
kan benar-benar penampilannya!
"Sungguh! Aku memang melihatnya. Soal se-
perti itu, aku jarang meluputkan. Tahu sendiri, bu-
kan?" "Cukup gurauanmu, Dewi!"
"Aku tidak bergurau, sialan!"
Tidak bergurau" Satria terdiam. Dia mulai me-
mikirkan kemungkinan-kemungkinan. Tunggu dulu,
sergah hatinya. Rasanya dia ingat sesuatu. Dia teringat pada Manusia Makam
Keramat. Sejak pertama kali
bangkit dari kematian, kuku manusia durjana itu de-
mikian panjang.
Tiba-tiba, Satria merasa ada gunanya juga kei-
sengan Dewi Melati memperhatikan penampilan orang
lain sampai ke ujung kuku. Rasanya, dia mulai bisa
menduga siapa dalang yang menginginkan kematian-
nya di tangan Penjaga Gerbang Neraka!
"Manusia Makam Keramat...," ucapnya, yakin.
Ya, tentu saja Manusia Makam Keramat. Per-
tama, dia menyamar dengan mempergunakan caping
dan jubah hitam karena dia sadar beberapa tokoh
yang menjadi musuh beratnya telah mengenali pe-
nampilannya ketika baru pertama kali bangkit. Agar
dapat menjalankan rencananya tanpa halangan dari
musuh-musuh lamanya, tentu dia menyamar untuk
sementara; Yang kedua, setidaknya dia adalah salah seo-
rang yang cukup tahu tentang kitab itu, di samping
penulisnya sendiri. Dengan begitu, tentu dia dapat
mencuri lembaran kitab yang paling penting bagi di-
rinya. Meskipun Satria belum bisa menduga bagaima-
na cara manusia durjana itu mendapatkan lembaran
seperti disebutkan Dewi melati.
Ketiga, dia pun tahu bahwa musuh lamanya,
Penjaga Gerbang Neraka akan sangat bernafsu jika di-
tawarkan lembaran rahasia itu. Lalu dimanfaatkan
musuh lamanya untuk menyingkirkan musuh lain.
Dengan imbalan lembaran rahasia yang tak akan
mungkin diberikan kalaupun Penjaga Gerbang Neraka
berhasil membawa kepala Satria. Adu domba yang li-
cik! "Apa katamu"!" perangah Dewi Melati, mendengar ucapan. Satria Gendeng
sebelumnya. "Orang itu tentu Manusia Makam Keramat, De-
wi!" ulang Satria Gendeng menegaskan.
"Kau jangan bergurau, Pemuda Ganteng!"
Sekarang giliran Dewi Melati yang tak percaya.
"Baik, barangkali kau akan percaya jika aku
menjelaskan alasan ku mengatakan bahwa orang itu
adalah Manusia Makam Keramat."
"Katakan! Katakan!"
Satria pun mulai memaparkan satu persatu ke-
curigaannya dan dasarnya mencurigai orang yang di-
ceritakan Dewi Melati. Selama mendengarkan, Dewi
Melati mengangguk-angguk dengan alis lebat mengge-
maskan bertaut rapat. Mudah-mudahan dia tidak se-
kadar mengangguk. Mudah-mudahan dia mengerti. Ji-
ka tidak, urusan bakal jadi runyam lagi.
"Sialan benar," rutuk Dewi Melati, tuntas Satria memaparkan pikirannya. "Kau
percaya sekarang?" De-wi Melati mendengus.
"Rupanya, kita hendak diadu seperti domba to-
lol!" "Itulah maksudku!"
"Jadi bagaimana sekarang?"
Satria belum sempat menyahuti pertanyaan
Dewi Melati ketika didengarnya teriakan tarung meng-
geledek. "Khuuaaaa!!"
Dia terperangah teramat sangat. Disaksikannya
tubuh Penjaga Gerbang Neraka menerkam ke angkasa.
Sepasang senjatanya tergenggam di tangan, siap di-
ayunkan, siap mencabik, siap merencah, siap membu-
nuh.... Dewi Melati memekik mencoba mencegah.
Sia-sia tentu saja. Apa dia telah lupa bahwa te-
linga si lelaki cebol sama sekali tak mendengar"
Mungkinkah dia tak bisa bersabar lagi untuk
membunuh Satria Gendeng" Mungkinkah dia sudah
tak sudi lagi di bawah bayang-bayang pengaruh Dewi
Melati" Mungkin juga tidak begitu. Karena pada saat
yang sama, berkelebat pula sesosok bayangan lain dari arah berbeda, menusuk
kegelapan malam.
Yang satu dari Utara.
Yang lain dari Barat.
Kelebatannya sama-sama gesit. Menuju satu ti-
tik! Dewi Melati hanya menyangka Penjaga Gerbang
Neraka hendak menyingkirkan Satria. Dia melompat.
Kesalahan fatal telah dilakukannya. Karena kelebatan
bayangan yang meluruk dari arah lain sebenarnya
mengancam dirinya.
"Dewi awass!!!"
Satria memperingati.
Memperingati saja tak cukup. Dia pun mencelat
hendak menghadang kelebatan sosok dari arah Utara.
Sayang sudah kalah cepat.
Sesungguhnya, tindakan itu pun dilakukan
Penjaga Gerbang Neraka. Dia melompat karena hendak
menyelamatkan Dewi Melati yang terancam. Naluri le-
laki kecil itu memang demikian tajam sehingga me-
nangkap dengan jelas maksud kelebatan bayangan da-
ri Utara kendati jaraknya masih cukup jauh.
Dash! Dash! Dua suara dalam terdengar.
Kemudian menyusul dua tubuh terpental.
Dewi Melati melayang ke arah Selatan, terkena
bokongan keji kelebatan bayangan dari arah Utara.
Sedangkan si pembokong, sekejap setelah ber-
hasil mendaratkan pukulan ke tubuh Dewi Melati ter-
hantam pula oleh tendangan Penjaga Gerbang Neraka.
Senjata di tangan lelaki cebol itu tak cukup menjang-
kau. Karenanya dia mempergunakan kaki sebisa
mungkin. Namun tetap saja terlambat.
Berbarengan pekikan tertahan Dewi Melati, tu-
buh si pembokong melayang pula ke arah Timur.
Dewi Melati jatuh berdebam. Darah termuntah
dari mulutnya. Kental kehitaman. Tanda luka dalam
yang kelewat parah! Tanpa mempedulikan apa-apa,
Penjaga Gerbang Neraka memburu ke arahnya. Seperti
seorang bocah kehilangan orangtua, dia meraung-
raung ganjil. Satria hanya sempat mengutuki keterlamba-
tannya. Di atas tanah, si tua bangka cebol memeluk tubuh Dewi Melati. Sejenak
tubuh perempuan itu tersen-
tak-sentak. Untuk selanjutnya nyawanya terlepas dari
badan. Satria terbengong. Matanya tak berkedip. Bu-
kan tak menyesali kematian Dewi Melati. Cuma saja
dia tak tahu lagi bagaimana caranya menjelaskan pada
Penjaga Gerbang Neraka tentang siasat busuk Manusia
Makam Keramat mengadu domba dirinya dengan lelaki
cebol itu"
Diam-diam, Satria menyingkir. Saat itu, dia ba-
ru sadar kalau Gendut Tangan Tunggal pun sudah
menyingkir sejak tadi....
SEPULUH PAGI menjelang. Damai.
Sepanjang perjalanan, mulut Satria Gendeng
tak kunjung habis meruntunkan sumpah serapah dan
makian. Dia kesal karena Gendut Tangan Tunggal te-
lah meninggalkannya begitu saja. Pendekar tua macam
apa dia" Dia pun jengkel setengah mati pada si pem-
bokong Dewi Melati yang tak sempat lagi disaksikan
rupanya. Kenapa harus membokong pada saat dia mem-
butuhkan Dewi Melati untuk menerangkan sesuatu
pada Penjaga Gerbang Neraka" Kenapa tidak tunggu
sampai besok, tahun depan, atau sampai lebaran mo-
nyet nanti"
Semuanya jadi kacau-balau seperti desa yang
diaduk-aduk angin topan sekaligus raja kentut!
Pagi yang semestinya disambuti dengan san-
jungan puji syukur ke hadirat Pemilik Semesta Alam
jadi disambut si pendekar muda dengan kejengkelan.
Sampai dia kehabisan napas sendiri, barulah
umpatannya berhenti. Pemuda itu menghempas pantat
ke rerumputan. Lusuh tampangnya. Bukan sekadar
belum mandi pagi, tentunya.
Jelas kini, tak dapat disangkal lagi, kalau di-
rinya bakal menjadi buruan Penjaga Gerbang Neraka.
Dalam kekalutan akibat kehilangan orang yang dicin-
tai, akan makin sulit saja bagi Satria menjelaskan padanya duduk perkara
sebenarnya. Satria Gendeng merasa dirinya terdampar di
suatu pulau. Tak ada yang bisa dilakukan. Mencoba
mencari Rara Lanjar ke Makam Keramat Muat percu-
ma. Dia tak pernah tahu letak daerahnya. Sementara
orang yang tahu, malah sudah 'ngacir' entah ke mana.
Mudah-mudahan tersesat di hutan Alas Roban dan
dimakan nenek moyang dedemit! Belum lagi dia tak
tahu cara menghadapi Penjaga Gerbang Neraka nanti.
Satria meringis-ringis sebal.
Saking sebalnya, dia menghantami kepala sen-
diri ke tanah. Jangan-jangan, sudah tertular 'penyakit'
Dedengkot Sinting Kepala Gundul....
Sampai suatu ketika, ada seseorang mendatan-
ginya. Satria terkesiap. Cepat dia bangkit. Kuda-kuda dipasang. Siapa tahu yang
datang Penjaga Gerbang
Neraka. Ternyata bukan. Namun bukan berarti tak jadi
terkejut. Sosok yang dilihatnya membuat matanya sulit berkedip.
"Kau...," desisnya, tak percaya.
"Siapa kau sebenarnya?" susulnya, sama sekali membingungkan. Kalau semula dia
bergumam seakan
pernah melihat orang itu, kini dia bertanya seakan-
akan tak pernah mengenalnya.
Sesungguhnya pantas saja Satria Gendeng be-
gitu. Karena yang disaksikan adalah orang bertopeng
kayu Arjuna. Dia mengenakan pakaian seorang ningrat
Parahyangan. Lengkap dengan blangkon dan keris.
"Aku hendak menemuimu...," kata orang bertopeng. "O, jangan tanya bagaimana aku
pun begitu ingin menemuimu sejak lama," sindir Satria.
"Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu."
"Katakan selama telingaku belum tuli sama se-
kali." "Kalau kau hendak mencari Rara Lanjar, sebaiknya kau pergi ke gubuk di
kaki Gunung Buran-
grang." "Apa maksudmu" Yang ku tahu, dia telah dicu-lik...." "Kini dia telah
selamat dan berada di sana."
Satria Gendeng menggeleng sambil tersenyum


Satria Gendeng 11 Rencana Manusia Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanggung. "Kau hendak mengibuliku, heh?"
"Kau bisa membuktikan sendiri," ucap si orang bertopeng seraya melangkah hendak
meninggalkan Satria Gendeng.
"Tunggu!" cegah Satria. "Kurasa, aku telah bisa menduga siapa kau sebenarnya,"
katanya dengan tatapan menyelidik.
"Begitu?" tanya orang bertopeng tanpa membalikkan badan.
"Ya. Kau pasti Rara Lanjar sendiri"!" duga Satria yakin.
Orang bertopeng terdiam sesaat. Badannya ke-
mudian berbalik menghadap Satria.
"Kenapa kau berpikir begitu?" tanyanya.
"Karena aku sudah mendengar cerita Ki Danu-
jaya. Kau jangan menyangkal lagi Rara Lanjar. Aku ta-
hu Ki Danujaya hanya berpura-pura tak tahu untuk
mengamankan penyamaranmu. Bukan begitu?"
Satria Gendeng berjalan mengitari orang berto-
peng. Lagaknya sudah seperti kepala centeng menga-
wasi mating kampung. Matanya terus menatap penuh
selidik. "Ki Danujaya sendiri yang mengatakan bahwa kau adalah salah seorang
keturunan sang Prabu. Menurut beliau pula, bahwa keselamatanmu menjadi
tanggung jawabnya. Jadi bukan tak mungkin selama
ini kau telah diselamatkan oleh Ki Danujaya. Begitu
pula saat kau pertama kali lolos dari tangan Manusia
Makam Keramat. Hanya saja kau mengarang cerita te-
lah diselamatkan oleh orang bertopeng Arjuna. Padahal orang bertopeng itu kau
sendiri." Satria menatap lekat-lekat keris di belitan kain
orang bertopeng.
"Dan keris itu. Bukankah itu keris yang diper-
gunakan sang Prabu untuk membunuh Arya Sonta si
Manusia Makam Keramat untuk pertama kali?"
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Ah, pertanyaan bodoh, Lanjar! Guruku adalah
saudara langsung Arya Sonta. Dia tumbuh dan hidup
di masa yang sama dengan manusia terkutuk itu. Gu-
ruku terkadang pelupa. Sewaktu kejadian di dekat
Perguruan Belalang Putih, pada malam Ki Arga Pasa
terbunuh, dia tak ingat senjata yang bisa membunuh
Arya Sonta. Tapi, suatu kali dia teringat dan menceri-takannya padaku...."
"Lalu?"
"Pertanyaan bodoh lagi, Lanjar! Tentu saja se-
bagai seorang keturunannya, kaulah yang akan mewa-
riskan senjata pusaka itu. Hanya saja aku memang tak
tahu jelas bagaimana cara kau mendapatkannya...."
"Soal keris ini, kau benar. Soal yang lain, kau
keliru," tandas orang bertopeng seraya membalikkan badan kembali.
"Keliru bagaimana?" Satria Gendeng penasaran.
Tak sudi dia ditinggal begitu saja seperti kambing con-gek. "Aku bukan orang
yang kau sebutkan." Satria Gendeng tergelak.
"Kau benar-benar pandai bersandiwara, Lanjar!
Kau mengatakan aku keliru, sementara tetap kau
sembunyikan wajah di balik topeng itu."
"Maaf, Saudara. Aku tak punya waktu untuk
memperdebatkan pepesan kosong padamu...."
Lalu si orang bertopeng meneruskan langkah.
Satria cepat menghadang di depan.
"Kau tak bisa pergi begitu saja, Lanjar. Sebelum kau jelaskan alasan kenapa kau
harus menyamar dengan topeng kayu itu?"
"Masih juga kau tak percaya?"
Satria Gendeng merengut sejadi-jadinya. Dasar
perempuan keras kepala! Omelnya dalam hati.
"Apa maumu agar aku membuktikan bahwa
kau adalah Rara Lanjar. Apa aku harus memaksa me-
rebut topengmu?"!! Heh?" desak Satria Gendeng.
Orang bertopeng menggeleng.
"Kau tak perlu melakukannya. Saatnya nanti,
kau pun akan segera tahu. Sekarang, biarkan aku per-
gi...." "Tak bisa! Tak bisa!" sengit Satria, ngotot berat.
Mendadak saja, tangan pendekar muda itu ber-
gerak cepat. Amat cepat. Gerakan yang terlatih selama dia harus mengumpulkan
bunga karang dari Lautan
Selatan dalam godokan Tabib Sakti Pulau Dedemit du-
lu. Dibarengi dengan jurus 'Mematuk Bunga Karang',
tentu saja gerakan itu jadi amat sulit ditaklukkan dalam jarak terlampau dekat.
Kalau Satria mengira dia akan segera dapat me-
rebut topeng dari wajah orang di depannya, dia keliru.
"Haih!"
Hanya dengan mencondongkan badan sedikit
menyamping, sambaran tangan Satria Gendeng lolos.
Kecepatan gerak si orang bertopeng sanggup mengim-
bangi gerakan Satria Gendeng.
"He he he," Satria terkekeh. "Dari mana kau belajar gerakan seanggun itu,
Lanjar?" ledeknya.
Selanjutnya....
"Hia!!"
Satria Gendeng membentak. Dibayangi gerak
mematuk beruntun.
Berkali. Bertubi. Cep tak, cep tak, cep tak!
Dan... semuanya lolos! Jika sebelumnya si
orang bertopeng hanya mencondongkan badan, meng-
hadapi gencarnya patukan tangan Satria Gendeng, kini
dia mempergunakan tangan untuk menangkis.
"Slompret kau, Rara Lanjar!" umpat si pendekar muda, mulai 'angot' sendiri.
"Kenapa kau tak melepaskan saja topeng butut itu. Apa salahnya, heh" Apa
kau tak percaya padaku lag!"!" serbunya, menyemprot-nyemprot. Mencak-mencak
pula. Orang bertopeng menghela napas.
"Jika kau memang memaksa, memang sebaik-
nya aku memperlihatkan diriku padamu.... Toh, kau
orang yang bisa kupercaya...."
Satria Gendeng terkekeh geli.
"Lihatlah.... Dari ucapanmu, kau mulai mau
mengaku. Bagaimana kau dapat mengatakan aku ada-
lah orang yang bisa dipercaya kalau kau tak menge-
nalku...," katanya, merasa menang.
Disambungnya tawa makin geli. Sampai dia tak
menyaksikan kalau orang di depannya sudah membu-
ka topeng. Begitu Satria menghentikan tawa, mulutnya
menganga seketika. Wajah di balik topeng telah disak-
sikannya. Tapi kenapa harus melongo tolol"
* * * Siapa tuh orang" Benar Rara Lanjar" Bagaima-
na urusannya dengan Si cebol (nan galak), Penjaga
Gerbang Neraka" Bisa apa tidak Satria mengatasinya"
Weleh... weleh....
SELESAI Segera ikuti kelanjutannya!!!
Serial Satria Gendeng
dalam episode: PEWARIS KERIS KIAI KUNING
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Petir Di Mahameru Satu 1 Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An Pendekar Tangan Baja 1
^