Pencarian

Pewaris Keris Kiai Kuning 2

Satria Gendeng 12 Pewaris Keris Kiai Kuning Bagian 2


bersama Ki Danujaya, pendekar muda itu agak lebih
tenang. Dia percaya pada kemampuan orang tua itu
dalam menghadapi kesaktian Manusia Makam Kera-
mat. Tak begitu lama, Satria tiba juga di tempat tujuan. Gubuk masih dalam
keadaan centang-
perenang. Serpihan atap dari daun kelapa kering ber-taburan di mana-mana. Sepi.
Tak terlihat siapa-siapa.
"Mungkin mereka di dalam," pikir Satria.
Cepat pula dia memburu ke dalam. Di dalam
sana pun tak ada seorang pun. Gubuk menawarkan
kebisuan dengan suasananya yang kacau-balau.
"Ke mana mereka"!" gumam Satria, bertanya pada diri sendiri. Apa mungkin Ki
Danujaya membawa
Rara Lanjar ke tempat yang lebih aman" Bukan mus-
tahil orang tua sakti itu pun mengetahui kalau sepekan terakhir ini Manusia
Makam Keramat akan men-
gincar Rara Lanjar lagi.
Kalau benar dipindahkan ke tempat yang lebih
aman, ke mana Rara Lanjar dibawa Ki Danujaya" Ke
Goa Lumut Jingga" Bukankah menurut pemuda ber-
topeng, yang hingga kini belum juga dia ketahui na-
manya itu, tempat paling aman untuk Rara Lanjar
adalah Goa Lumut Jingga di bahu Gunung Bukit tung-
gul" Memang tak mustahil pula Ki Danujaya pun men-
getahui perihal tempat itu.
"Sebaiknya aku menyusul ke sana...," tandas Satria Gendeng, mengakhiri segenap
kecamuk pikirannya. Dia baru hendak beranjak ketika dari jendela matanya
tertumbuk pada sosok seseorang yang berdiri di luar. Seorang bercaping
mengenakan jubah hitam.
"Siapa pula orang ini?" bisiknya, mendesis.
Menilik ciri-ciri orang itu, mendadak dia ingat
pada cerita Dewi Melati beberapa waktu lalu. Menurut perempuan genit yang telah
kehilangan nyawa itu,
orang yang sengaja mengadu domba Satria dengan
Penjaga Gerbang Neraka memiliki ciri-ciri serupa dengan orang yang kini
dilihatnya. Mungkinkah dia itu Manusia Makam Keramat"
Hati Satria tak urung bergetar. Diam dia tak menggerakkan sedikit pun bagian
tubuhnya. Satria tahu,
orang bercaping tak menyadari kalau dirinya berada
dalam gubuk. Terbukti dari caranya berdiri menyam-
pingi gubuk. Dari gerak-geriknya pula, tak ada tanda-tanda kalau orang itu
mencurigai sesuatu di dalam
gubuk, termasuk keberadaan Satria Gendeng.
Apa yang dinantinya dengan berdiri diam di sa-
na" Penasaran, hati Satria bertanya-tanya tanpa melepaskan pandangan. Keadaan
gubuk yang gelap dan
daun jendela yang terkuak kecil, memungkinkan dia
bisa terus mengikuti gerak-gerik orang bercaping tanpa terlihat. Sampai suatu
saat, mata Satria Gendeng menangkap gerakan lain dari arah berlawanan dengan
tempat orang bercaping berdiri. Satria menangkapnya dari celah-celah dinding
kayu gubuk. Mulanya tak begitu jelas. Ketika orang itu berhenti mengayun lang-
kahnya yang cepat, barulah Satria Gendeng bisa me-
nyaksikan dengan jelas.
"Ki Danujaya?" desisnya. Jika orang bercaping adalah Manusia Makam Keramat,
tentu akan terjadi
pertarungan maha hebat antara kedua tokoh berke-
saktian mandraguna itu, pikir Satria. Selanjutnya, dia malah berpikir lain.
Bagaimana mungkin mereka akan
bertarung sementara orang bercaping sendiri tampak-
nya justru menanti kedatangan Ki Danujaya" Semen-
tara, Ki Danujaya semestinya tak perlu menemuinya
jika Rara Lanjar telah berhasil dibawa ke tempat yang lebih aman.
Sepertinya ada sesuatu yang tak beres, pikir
pendekar muda itu mulai curiga. Sekarang, dia tak bi-sa secepatnya mengambil
kesimpulan. Toh, sampai
saat itu dia tak juga mengetahui siapa sesungguhnya orang bercaping.
Satria terus diam di tempat. Bagai area kayu
yang diterbengkalaikan dalam kegelapan. Lamat-lamat, dia mendengar Ki Danujaya
buka suara. "Kau menerima tawaranku, Arya Sonta?"
Arya Sonta" Itulah nama asli Manusia Makam
Keramat! Sentak hati Satria Gendeng. Kecurigaan mu-
rid Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu makin
menjangkit. Orang bercaping yang tak lain Manusia Makam
Keramat, tepat seperti dugaan Satria, belum juga
memberikan tanggapan atas pertanyaan Ki Danujaya.
Satria menanti dengan gemas. Cepatlah kau buka mu-
lut keparat, maki Satria membatin. Dia jadi tak sabar mengetahui kesepakatan apa
yang hendak dibuat kedua orang di luar.
Sampai akhirnya, Manusia Makam Keramat
berbicara juga. Dan itu benar-benar membuat Satria
bagai disambar seribu halilintar!!
"Kau menginginkan aku membantumu menda-
patkan Keris Kiai Kuning, dan sebagai imbalannya kau hendak menyerahkan gadis
itu padaku?"
ENAM SEBUAH fakta telah terbentang di depan mata
sang pendekar muda tanah Jawa, bahwa Rara Lanjar
telah berada dalam genggaman bahaya. Bahaya itu
sendiri datang bukan dari orang yang dianggap tera-
mat mengincarnya. Tanpa terduga, bahaya justru be-
rasal dari orang yang semula dianggap sebagai penyelamat! Satria Gendeng
merasakan kemarahan yang
tumbuh besar menjadi gelegak kemurkaan maha be-
sar. Darahnya cepat menjalang. Inginnya dia keluar
dan melabrak sehabis-habisnya Ki Danujaya, kalau sa-ja pikiran sehatnya tak
cepat memperingati. Ki Danujaya sendiri saja, belum tentu sanggup dihadapi
Satria Gendeng. Apalagi jika bersama Arya Sonta, si Manusia Makam Keramat.
Mengikuti kemarahan buta hanya berarti kebo-
dohan! Dengan amat sulit, Satria Gendeng berupaya
menahan gelegak kemurkaannya. Wajahnya jadi me-
rah tergarang. Tangannya mengeras. Keringat dingin
bercucuran. Keparat kau, Ki Danujaya! Rutuk Satria mem-
batin. Rupanya selama ini, wajah penuh damai dan
wibawamu hanyalah topeng belaka. Rupanya kesan
yang kau tawarkan di wajahmu cuma kepalsuan! Be-
tapa mataku buta! Sampai pemuda itu pun tak luput
mencaci maki diri.
Terbetik pikiran untuk segera mencari Rara
Lanjar sepanjang Ki Danujaya tak berada bersamanya.
Tapi harus mencari ke mana" Sementara selama ini Ki Danujaya datang dan pergi secara penuh teka-teki. Dia tak
pernah mengatakan dari mana dia datang dan ke
mana dia pergi. Kalaupun Satria Gendeng tahu tempat tinggalnya, tak akan Rara
Lanjar dibawa ke sana. Dia tak akan sebodoh itu.
Jadi apa yang harus kulakukan" Gundah ha-
tinya. Satria ingat pada pemuda bertopeng. Kenapa dia tak mencoba menghubungi
pemuda itu dulu" Selama
ini, pemuda itu mengetahui cukup banyak hal tentang Rara Lanjar. Bukan tak
mungkin kalau dia pun mengetahui tentang diri Ki Danujaya.
Menimbang hal itu, Satria segera beranjak hati-
hati, bagai berjingkat di atas debu, dia berjalan keluar dari pintu belakang
gubuk. Sayangnya, pintu gubuk dalam keadaan tertu-
tup. Satria tak yakin daun pintu tak menimbulkan derit yang memancing kecurigaan
dua orang di luar.
Kalau sudah begini, apa akalnya"
Lalu matanya mencari-cari, sampai tertumbuk
pada lobang besar di wuwungan gubuk. Sebelumnya
jebol oleh tubuh Satria dan Penjaga Gerbang Neraka.
Hanya jalan itu yang mungkin dilalui.
Satria membenahi posisi. Setelah itu dia men-
celat ke atas. Ringan tanpa menimbulkan suara berar-ti.
Tap! Di atas wuwungan, kakinya mendarat dengan
suara teramat halus. Hembusan angin cukup keras,
memungkinkan suara pijakannya tersamarkan.
Dua orang di bawah, tak sempat menyadari ke-
beradaan Satria Gendeng di atas wuwungan. Di samp-
ing karena posisi mereka, juga karena mereka tam-
paknya masih sibuk membuat kesepakatan.
Satria melanjutkan usaha meninggalkan tem-
pat itu dengan melompat dari atas wuwungan ke pela-
taran belakang gubuk. Sekali lagi, usahanya berjalan mulus. Tak ada kecurigaan
ditimbulkan. Setelah itu, secepatnya dia berlari mengerahkan segenap kemampuan
peringan tubuh sekaligus lari cepatnya. Dia
kembali ke tempat di mana sebelumnya justru diting-
galkan. * * * Di tempat tujuan Satria Gendeng, Wisnu Bha-
rata dibuat cukup pontang-panting menghadapi Penja-
ga Gerbang Neraka. Amukan tokoh sakti berbadan ce-
bol yang semula ditujukan kepada Satria Gendeng, ki-ni dilimpahkan kepada Wisnu
Bharata. Apa mau dika-
ta, pemuda bertopeng itu telah mengambil risiko berat untuk memberi kesempatan
pada si pendekar muda
tanah Jawa. Untuk itu, dia harus menghadapi amukan
menggila Penjaga Gerbang Neraka.
Gencar layaknya hujan badai, gempuran demi
gempuran Penjaga Gerbang Neraka mengincar setiap
sudut lowong pertahanan Wisnu Bharata.
Wisnu Bharata sejauh itu tak sekali pun sem-
pat memberikan peluang untuk lawan agar dapat me-
nyarangkan satu-dua serangan. Untuk tingkat olah
kanuragan dan kesaktian, pemuda satu ini tak kalah
tangguh dari Penjaga Gerbang Neraka. Dalam beberapa kesempatan, dia bahkan
sanggup menekan balik ben-teng pertahanan penjaga Gerbang Neraka.
Ketangguhan si pemuda membuktikan pada
siapa pun, bahwa orang yang telah menggodoknya bu-
kanlah orang sembarangan. Dalam dunia persilatan,
nama Hantu Kera memang tak terlalu dikenal. Seolah
tokoh berwajah kera itu hanya ingin menyembunyikan
diri di satu sudut jagat. Siapa dirinya, bahkan hampir tak ada yang mengetahui
secara jelas. Kalau Gendut Tangan Tunggal mengenalnya ti-
ga tahun lalu, itu pun baru pertama kali. Sebelumnya, pendekar kalangan atas
bertabiat aneh itu malah tak pernah sekali pun menyaksikan Hantu Kera, atau
mengenal namanya sekalipun.
Kembali ke pertarungan.
Wisnu Bharata menyadari, tujuan sesungguh-
nya berhadapan dengan Penjaga Gerbang Neraka bu-
kan untuk mengadu jiwa secara konyol. Dia hanya
memberikan peluang pada Satria Gendeng untuk bisa
menyingkir sementara waktu dari kejaran 'orang kalap'
itu. Sekarang, tujuan itu sudah tercapai. Tak perlu lagi dia lebih lama meladeni
kekalapan tokoh tua cebol itu.
Sayangnya, tak mudah untuk melepaskan diri
dari tokoh sekaliber Penjaga Gerbang Neraka. Lari tak menjamin urusan selesai.
Penjaga Gerbang Neraka tentu akan mengejarnya. Dengan kesempurnaan peringan
tubuhnya, tentu Wisnu Bharata akan mengalami kesu-
litan untuk lolos. Bisa-bisa terjadi kejar-kejaran tak lucu hingga berhari-hari.
Selagi bertarung demikian ketat, sulit juga bagi
Wisnu Bharata untuk mencari akal mengelabui Penja-
ga Gerbang Neraka. Sepertinya tak ada pilihan lain ba-gi Wisnu Bharata kecuali
menaklukkan manusia gelap
mata satu ini. Mendapat sedikit kesempatan yang hanya bebe-
rapa kejapan, Wisnu membuat lompatan ke belakang.
Penjaga Gerbang Neraka terus memburu, seakan tak
membiarkan lawan untuk menarik napas. Dengan cu-
kup cerdik, Wisnu Bharata mengubah arah lompatan-
nya ke depan, melompati kepala lawan yang meluruk
ke arah berlawanan.
Karena tak menyangka lawan akan membalik
arah lompatan demikian tiba-tiba, Penjaga Gerbang
Neraka jadi kecele. Dia menyaksikan kecolongan ketika Wisnu Bharata lolos begitu
saja di atas kepalanya.
Wisnu pun mendapatkan jarak aman. Dia ber-
diri. Tekadnya sudah bulat untuk mengalahkan lawan, tanpa harus membunuhnya. Tak
menanti sampai lawan berbalik dan menyerangnya lagi, pemuda yang
masih saja mengenakan topeng itu mengeluarkan satu
kantong kulit kecil dari balik bajunya.
Kantong dibuka. Dari dalamnya, dia mengelua-
rkan sebutir pil. Ditelannya pil itu. Berselang hanya ti-ga tarikan napas
berikutnya, kuda-kuda pemuda itu
tiba-tiba oleng. Dia berdiri terhuyung ke sana-ke mari.
Kedua kakinya seperti tak cukup punya kekuatan pi-
jakan. Tubuhnya seperti melakukan tarian.
Lemah-gemulai. Tapi juga serba kacau.
Tangannya bergerak kian kemari.
Melantunkan letupan-letupan angin pukulan.
Inilah jurus 'Kera Menari', yang diciptakan Han-
tu Kera ketika tanpa sengaja dia berurusan dengan
Gendut Tangan Tunggal yang menelan buah-buahan
beracun, tiga tahun silam.
Menyaksikan lawan bersikap petantang-
petenteng tak karuan, Penjaga Gerbang Neraka meng-
geram. Disangkanya dia sedang diledek.
Menjadi-jadi kemarahannya.
Meraung, diterjangnya lawan.
"Khuauuu!"
Ujung senjatanya mencoba menikam leher la-
wan. Wisnu Bharata mendadak mengayun badan se-
tengah putaran. Terlihat lambat, dan lemah. Tapi tetap bisa mementahkan tikaman
senjata lawan. Saat memutar tubuh, senjata lawan seperti
sengaja dibiarkan bersandar di punggungnya. Lawan
merasa makin diejek karenanya. Apalagi ketika Wisnu Bharata menatapnya dengan
mata sayu. "Khuahuuu!"
Penjaga Gerbang Neraka membabatkan senja-
tanya yang lain dari arah berbeda. Gerak yang begitu tiba-tiba seakan terkaman
seekor singa ketika mangsa sudah sampai pada jarak jangkauannya.
Wisnu Bharata meliukkan tubuh. Ketika mata
senjata lawan sudah tepat di depannya. Tangannya te-rangkat cepat, namun tetap
gemulai. Tang!

Satria Gendeng 12 Pewaris Keris Kiai Kuning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wukh! Senjata lawan terdongkel keras ke atas, terkena
jentikan jari telunjuk Wisnu Bharata. Wajah sang ma-jikan pasti menjadi sasaran,
kalau saja Penjaga Gerbang Neraka tak cepat menggeleng.
Detik itu pula, Penjaga Gerbang Neraka mulai
mengendusi ketangguhan jurus-jurus ganjil lawan.
Namun, lawan seperti tak memberi kesempatan pada
lelaki cebol itu untuk mengubah strategi. Dia mulai melakukan gempuran, membalik
keadaan yang sebelumnya justru dikendalikan oleh Penjaga Gerbang Ne-
raka. Jurus yang menggelikan jika diperhatikan, ternyata sanggup menekan terus
seorang tokoh seangka-
tan dan sekelas Dedengkot Sinting Kepala Gundul! Dalam beberapa kesempatan,
jurus 'Kera Menari' milik
Wisnu Bharata malah sempat mematikan langkah Pen-
jaga Gerbang Neraka.
Jika kepandaian bisa menyaingi, maka penga-
laman Wisnu Bharata dibanding Penjaga Gerbang Ne-
raka tentu belum apa-apa. Seujung kukunya saja ba-
rangkali. Dalam pertarungan seperti itu, lebih sering pengalaman justru menjadi
satu penentu kemenangan.
Dan itu dibuktikan oleh Penjaga Gerbang Neraka ke-
mudian. TUJUH GENDUT Tangan Tunggal tiba di Makam Kera-
mat Maut. Berdiri dia, ragu, di gerbang daerah menakutkan itu. Gerbang berbentuk
gapura dari susunan
batu, berbentuk wajah dedemit yang sedang menganga
lebar. Perut digaruk-garuknya entah sudah berapa la-ma. Tak peduli apakah kulit
perutnya akan menjadi le-cet atau tidak. Wajahnya kecut. Sebentar-sebentar
meringis sambil melayangkan pandangan jauh ke depan.
"Masuk, tidak.... Masuk, tidak.... Masuk, ti-
dak...." Begitu terus yang digumamkannya, seakan sedang berzikir khusuk dengan
dua kata itu. Dengan
tampang dan tingkah seperti itu, siapa yang tak akan menyangka kalau dia tidak
linglung" Sebentar-sebentar kepalanya menoleh ke bela-
kang, seperti menimbang-nimbang untuk kembali.
Sampai akhirnya dia meninju kepala sendiri, berkali-kali. Sampai dia terdongak-
dongak. "Kenapa kau jadi pengecut seperti ini!" rutuknya pada diri sendiri. "Percuma
saja kau mengaku menjadi pendekar kalau menghadapi bahaya saja masih panas-
dingin! Huh huh huh!"
Lalu dibusungkannya dada, kendati tetap saja
yang membusung perutnya. Dengan wajah digarang-
garangkan, dia melangkah memasuki gerbang Makam
Keramat Maut. "Peduli setan dengan Manusia Makam Keramat!
Peduli setan dengan bahaya jebakan maut di dalam
sana! Peduli setan dengan keganasan alam di sana.
Peduli setan dengan nenek moyang setan!" makinya terus, mengipasi keberanian.
Baru juga tiga tindak dia melewati pintu ger-
bang, tanah tempatnya berpijak mendadak longsor,
menciptakan bunyi menggetarkan nyali bagai desis ra-tusan ular dan gemuruh
seribu derap kaki kuda.
"Wait!" teriak Gendut Tangan Tunggal. Dia melenting beberapa tombak ke depan.
Setelah menjejak-
kan kaki, dibalikkannya tubuh cepat-cepat tanpa me-
rasa perlu melihat ke depan lagi. Kendati longsoran lebar telah terlewat, masih
saja dia mencak-mencak.
"Mana"! Mana"! Ayo keluar"! Kau pikir aku ta-
kut"!" bentaknya kalang-kabut pada lobang longsoran.
Tak ada yang keluar dari sana.
Gendut Tangan Tunggal mendengus. Dagunya
diangkat tinggi-tinggi. Sambil mencibir, dia mence-
mooh, "Hm, cuma sebegitu saja...."
Dibalikkannya kembali badan. Baru berbalik,
mulutnya berteriak kembali. Wajahnya terkesiap. Nyaris menjadi pucat Di depan
hidungnya, sudah ada se-
suatu menghadang.
"Chiaaa!" serunya lantang seraya menebas ke depan. Bruak!
Tumbanglah sesuatu yang menghadang tadi,
tertebas tenaga dalam Gendut Tangan Tunggal. Setelah itu, Gendut Tangan Tunggal
jadi cengar-cengir sendiri.
Yang baru saja dihajarnya ternyata bukan apa-apa.
Cuma sebatang pohon kering. Salahnya sendiri tak
mau lihat-lihat sebelumnya.
Gendut Tangan Tunggal menggaruk-garuk pe-
rut. "Kupikir apa...," gumamnya.
Langkah pun dilanjutkan.
Tak ada apa-apa lagi sepanjang lima puluh
tombak ke depan. Melewati jarak itu, Gendut Tangan
Tunggal mulai melihat gundukan-gundukan dan batu-
batu besar nisan kuburan. Angin membekukan ber-
hembus. Kabut di mana-mana. Senja sudah sempurna
saat itu. Cahaya sudah terlalu sekarat. Gelap mengendap-endap.
Bahu Gendut Tangan Tunggal bergidik. Ra-
sanya dia sedang memasuki alam siluman. Perasaan
aneh yang terus saja menggerayang di sekujur benak-
nya. Dengan aneh, kabut yang semula hanya men-
gapung di tempat, perlahan-lahan bergerak menuju dirinya. Entah perbuatan angin,
entah perbuatan dede-
mit. Gendut Tangan Tunggal tersurut ke belakang.
Kabut seperti mengejarnya perlahan.
Tersurut lagi Gendut Tangan Tunggal.
Pada tindakan kaki berikutnya, mata Gendut
Tangan Tunggal mendelik sebesar-besarnya. Bulu ku-
duknya meremang hebat. Dia merasa ada yang meme-
gangi pergelangan kakinya dari bawah.
Mengejang Gendut Tangan Tunggal. Perutnya
sampai tertekan ke atas.
"Huaaattt!"
Kuda-kuda disentaknya. Pada gerakan kedua,
dia membuat tendangan keras, seperti seorang pemain sepak bola kawakan membuat
tendangan pisang.
Bletak! Sesuatu terkena tendangannya. Melayang.
Gendut Tangan Tunggal cemberut lagi menyaksikan
benda yang melintir di udara itu. Cuma sepotong ke-
rangka manusia. Rupanya dia tadi melangkah masuk
ke tanah kuburan yang sudah hancur.
Sial, pikirnya. Cuma bikin kaget saja!
Namun, kejadian selanjutnya dijamin tak cuma
membuat dia kaget. Mendadak sontak dari sepuluh
gundukan tanah di sekelilingnya, mencuat benda-
benda aneh yang belum lagi jelas disaksikan oleh matanya. Tanah berhamburan.
Bunyi halus namun ramai
tercipta. Ih, apa itu" Pikir Gendut Tangan Tunggal.
Mayat hidupkah" Pandangan ditajamkan. Mulai jelas
terlihat sekarang, benda-benda setinggi manusia yang bersembulan dari setiap
gundukan ternyata bukan
bangkai hidup atau setan penasaran. Cuma sepuluh
tonggak kayu selebar badan manusia. Bentuknya se-
perti nisan. Tapi tetap tak membuat Gendut Tangan
Tunggal menjadi cukup lega. Karena hanya dalam se-
lang waktu sedetik dari saat penyembulannya, benda-
benda itu memperdengarkan suara berdesir tajam.
Srrr! "Waith!"
Gendut Tangan Tunggal mencak sejurus, me-
nanti bahaya mendatangi.
Ditunggu tunggu tak ada juga yang datang.
Apa yang bersuara tadi"
Mendadak sontak Gendut Tangan Tunggal me-
mekik, kaget bukan main ketika dari arah atas tahu-
tahu jatuh jaring raksasa. Rupanya suara berdesir tadi berasal dari benda itu.
Gendut Tangan Tunggal gelagapan. Serimpung
sana, serimpung sini. Dia sendiri tak pernah me-
nyangka kalau yang menyergapnya dari atas cuma se-
bentang jaring. Dalam pikirannya, justru dia mem-
bayangkan sedang diterkam siluman ubur-ubur (apa
ada") atau sejenisnya. Jelas saja dia jadi pontang-
panting dipermainkan pikirannya sendiri. Dia mau berteriak minta tolong, tapi
malu sama bodongnya. Ka-
laupun berteriak, siapa yang mau menolongnya" Tak
lama, baru dia menyadari.
Sialan lagi, rutuknya membatin. Kenapa selalu
saja dia jadi salah menilai gara-gara ketakutan yang tak ada juntrungan!
"Jaring sambar geledek!" makinya seraya mengerahkan tenaga dalam untuk mencerai
beraikan sim- pul jaring. Ssrt! Gendut Tangan Tunggal mendengus. Jaring tak
koyak! "Dari bahan apa jaring ini dibuat" Kenapa alot sekali?" gerutunya.
Dan dicobanya sekali lagi. Tenaga dalam diting-
katkan beberapa tingkat lebih tinggi.
"Hih!"
Srrrt! Hasilnya sami mawon! Jaring tetap tak koyak.
Gendut Tangan Tunggal mulai gelagapan lagi,
mulai serabutan lagi. Tambah meningkat serabutan-
nya manakala benda-benda yang mencuat dari gundu-
kan di sekelilingnya mendadak bergerak.
"Apa lagi ini...?" desis si pendekar tua berperut buncit, berbadan tambun itu.
Sing-sing! Celaka dua belas! Mulut Gendut Tangan Tung-
gal menganga. Matanya membeliak. Disaksikannya se-
kelebatan ada puluhan susuk-susuk kayu kecil meng-
hambur dari setiap tonggak di sekelilingnya. Kalau dia sedang berdiri bebas,
mungkin serangan seperti itu
cuma dianggapnya kentut. Lain perkara kalau tubuh-
nya sedang dililit jaring yang alotnya seperti tali pusat Gatotkaca!
Mau tak mau, Gendut Tangan Tunggal bergu-
lingan. Guling sana, guling sini. Teriak-teriakan tak karuan, menyumpahi habis-
habisan jaring yang sudah
mengusilinya dan masih tetap betah mengeloninya.
Padahal kalau pikirannya sedikit jalan, mestinya dia khawatir Manusia Makam
Keramat justru mendengar
teriakannya. Kecuali manusia durjana itu bertelinga rombeng!
Clep clep! Susuk-susuk kayu tadi menancap di mana-
mana. Di tanah ada. Bahkan di tonggak yang saling
berseberangan. Yang tak ada cuma di tubuh Gendut
Tangan Tunggal. Syukur, selamat dia. Meskipun untuk itu dia harus berjuang
seperti kucing mandi di pasir.
Sementara, tanah dan tonggak kayu yang terhujam
susuk mengeluarkan asap kehitaman, yang nyaris tak
kentara di dalam gelap senja tua. Bagian yang terkena menjadi hangus!
Gendut Tangan Tunggal menelan ludah. Kalau
dia sudah berguling sungsang-sumbel dan masih ter-
kena juga, tentu dia bakalan jadi kambing guling (gemuk)! Sekarang tinggal
urusan jaring sambar geledek, pikirnya. Percuma mengerahkan tenaga dalam. Jaring
ini tampaknya dibuat dari bahan yang akan menjadi
kian alot kalau mendapat regangan. Kesal-kesal, Gendut Tangan Tunggal pun mulai
unjuk gigi. Bukan
mengeluarkan kesaktiannya. Dia cuma memakai 'gigi'-
nya untuk mengoyak jaring.
"Hih, nym... nym... nym...."
Gigit sana-gigit sini, anehnya bisa juga jaring
itu terkoyak. Satu simpulnya digagahi giginya. Putus.
Kalau sudah begitu, tentu saja jadi lebih gampang
mengoyak sekaligus. Maka, Gendut Tangan Tunggal
pun mengeluarkan tenaga dalamnya. Sekali ini tidak
sia-sia. Jaring robek....
Brek! Nah, beres sudah!
Mulut tua bangka itu bersilap-silap.
Rasanya kok enak juga, ya gumamnya. Keterla-
luan. * * * Satria tiba kembali di tempat pertarungan anta-
ra Wisnu Bharata dengan Penjaga Gerbang Neraka.
Sudah tak ada siapa-siapa lagi di sana. Cuma bekas-
bekas pertarungan yang centang-perenang seperti
kapal pecah. "Ke mana, pemuda bertopeng itu?" bisik Satria.
Matikah dia di tangan Penjaga Gerbang Neraka" Me-
mang ada kemungkinan medan laga berpindah dari
tempat itu. Tapi Satria Gendeng tak yakin, sebab tak ada tanda-tandanya.
Jadi ke mana dia"
Satria melongok-longok. Di mana-mana, tak
ada si pemuda bertopeng. Tak mungkin dia terjatuh
pingsan di semak-semak atau tersangkut di atas po-
hon. Sepanjang arena pertarungan, tak ada semak
yang perlu disibak, tak ada pohon yang perlu ditengok.
Kalau Penjaga Gerbang Neraka pun sudah tak
ada lagi di sana, artinya pertarungan memang telah se-
lesai. Sudah tentu ada pihak yang menang, dan ada
yang 'ngejoprak', atau kedua-duanya sama-sama keok.
Kalau begitu, pasti ada tubuh yang tergeletak. Ini malah tidak ada sama sekali.
Bahkan bau si lelaki cebol nan galak pun sudah tak ada.
Ada juga kemungkinan lain. Pemuda bertopeng
mencoba meloloskan diri dari amukan membabi buta
Penjaga Gerbang Neraka. Dia lari, dan lawan menge-
jarnya. Bukankah tujuan pemuda bertopeng semula
hanya ingin memberi kesempatan Satria membe-
baskan diri dari Penjaga Gerbang Neraka, bukannya
hendak cari borok, apalagi cari mati" Dengan begitu, mana ada tubuh yang
tergeletak"
Barangkali pikiran terakhirnya benar. Kalau
benar, Satria Gendeng harus merutuk. Dia ada keper-
luan mendesak dengan pemuda bertopeng. Kalau dia
ngacir, ke mana harus dicari"
"Slompret juga...," gerutu Satria Gendeng. Ga-ra-gara si cebol sakti itu,
urusannya jadi tak karuan.
Satria garuk-garuk kepala. Kebingungannya sudah
melonjak sampai ke ubun-ubun, membuat kepalanya
gatal minta ampun.
Sekarang apa yang bisa dilakukan" Menunggu


Satria Gendeng 12 Pewaris Keris Kiai Kuning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja sampai datang keajaiban"
Beberapa saat kemudian, samar-samar Satria
Gendeng mendengar suara keluhan seseorang. Terlalu
samar, sampai Satria sendiri tak yakin apakah dia benar-benar mendengar keluhan
itu, atau hanya men-
dengar bisikan angin lalu.
Pendekar muda itu mempertajam pendengaran.
Makin dipertajam, makin jelas keluhan itu. Asalnya
dari arah jurang yang sebelumnya hendak menelan Sa-
tria Gendeng bulat-bulat
"Ada seseorang di sana...," bisik Satria Gendeng
tak yakin. Bagaimana tak yakin" Apa ada orang di balik bibir jurang" Sementara
dasarnya saja sudah begitu dalam. Dengan kedalaman seperti itu, apa keluhan
seseorang akan terdengar"
Tapi sudah jelas dia memang mendengar suara
keluhan tadi. Untuk meyakinkan diri, Satria melang-
kah mendekati bibir jurang. Di tepi, pendekar muda itu melongokkan kepala ke
bawah. Dia terkejut, sekaligus tersenyum menyaksikan pemandangan di bawah sana.
Pada tepi jurang, sekitar sepuluh kaki dari te-
pinya, Satria menyaksikan seseorang tergantung-
gantung di atas sebuah pohon liar yang tumbuh di
dinding jurang. Orang itu Wisnu Bharata!
"Hei, kau di sana, rupanya!" seru Satria, girang bukan main. Kebingungan yang
semula menggerecoki
benaknya, pupus sudah entah ke mana.
Di bawah, Wisnu Bharata terbatuk-batuk.
Seandainya dia tak mengenakan topeng, tentu Satria Gendeng akan melihat wajahnya
meringis pucat. Dia
belum lama terkena hajaran pukulan Penjaga Gerbang
Neraka. Agaknya terluka dalam, kendati tak begitu parah. Seperti dialami oleh
Satria Gendeng sebelumnya, dia pun terlempar ke bibir jurang.
Untunglah, ketika terjatuh, tangannya masih
sempat meraih dahan pohon liar, sehingga dia selamat dari kematian konyol.
Karena masih terluka dalam, dia tak bisa cepat-cepat berusaha mengangkat diri
kembali. Di samping itu, dia akan mendapat keuntungan jika tak segera naik ke
bibir jurang. Lawannya, si kerdil galak, justru menyangka dia sudah tamat di
dasar ju- rang. Makanya, dia pun pergi dari tempat itu. Tujuannya hendak memulai kembali
perburuannya terhadap
Satria Gendeng. Orang yang diburu sendiri malah da-
tang ke tempat itu. Bukan 'pucuk dicinta ulam pun ti-
ba', pastinya! "Kau tak apa-apa?" tanya Satria Gendeng, seolah membayar pertanyaan yang pernah
diajukan Wis- nu Bharata ketika dia mendapat hajaran dari si cebol sakti pula sebelumnya.
Sepertinya mengejek. Padahal tidak. Dia tak sempat berpikir untuk mengejek
segala macam. Hatinya sedang girang-girangnya.
Wisnu Bharata menggelengkan kepala.
"Bagus!" seru Satria Gendeng.
"Apa kau mau menolongku dulu, setelah itu ba-
ru kau boleh bertanya segala macam?" balas Wisnu.
Satria mengangguk dengan senyum lebar. Se-
kali lagi, tak ada niat untuk mengejek Wisnu Bharata.
Sekali lagi pula, pemuda itu melongok ke bawah, men-gukur-ukur jarak.
"Cukup," simpulnya kemudian.
Lalu, diloloskannya senjata pusaka dari ikat
pinggang. Disentaknya hingga terulur. Lalu, ujungnya dijulurkan kepada Wisnu
Bharata. Perkiraannya tak
meleset. Ujung Kail Naga Samudera ternyata cukup
menjangkau Wisnu Bharata.
Setelah Wisnu meraih ujung Kail Naga Samude-
ra, Satria pun menyentak dengan sedikit penyaluran
tenaga dalam. "Hup!"
Tubuh Wisnu Bharata terpental ke atas. Satria
menangkapnya, seperti sebelumnya dia ditangkap
Wisnu Bharata. Utangnya jadi lunas kini! Untungnya, pendekar muda yang terkadang
bertingkah tengik itu
tak berniat membanting begitu saja tubuh Wisnu Bha-
rata seperti dilakukan Wisnu Bharata pada dirinya.
"Kau tak apa-apa?" tanya Wisnu. Satria nyen-gir.
"Mestinya, aku yang bertanya padamu seperti
itu!" tukasnya.
"Aku hanya khawatir kau terkena satu ajian
Penjaga Gerbang Neraka...," kata Wisnu, teringat pada nasib Pendekar Muka Bengis
yang masih tergeletak di gubuk gurunya. Dia pun bersyukur, hantaman yang
diterimanya tak terisi ajian tersebut pula.
"Ajian apa?" Kening Satria Gendeng berkerut.
"Ah, sudahlah...," hindar Wisnu Bharata. Dia tak ingin bertele-tele. Ada hal
lain yang tak kalah penting ingin ditanyakan pada si pendekar muda.
"Kenapa kau kembali ke sini?" tanyanya kemudian. "Itulah...," keluh Satria
Gendeng. "Aku tak bisa membawa Rara Lanjar ke Goa Lumut Jingga seperti
permintaanmu."
"Kenapa" Apa yang terjadi pada dirinya?"
"Dia di tangan Ki Danujaya."
"Orang tua itu...."
"Kau mengenalnya?"
Wisnu Bharata mengangguk. Dia pun mulai
menceritakan suatu rahasia pada Satria Gendeng.
DELAPAN BAGAIMANA urusan seru si perut gentong di
Makam Keramat Maut" Saat itu, dia masih celingak celinguk tak menentu setelah
berhasil menanggulangi
beberapa bahaya jebakan maut yang memang telah di-
bangun di sekitar kuburan oleh pasukan Pajajaran
atas perintah Prabu Pajajaran saat itu. Tujuannya
hanya untuk menghalang-halangi orang-orang yang
berusaha membangkitkan kembali Manusia Makam
Keramat. Jika kini, Manusia Makam Keramat akhirnya
bangkit juga, tentu saja menjadi teka-teki yang me-
nuntut jawaban. Tentunya ada seseorang yang telah
turun tangan dalam kebangkitannya tersebut. Seseo-
rang yang berhasil lolos dari setiap jebakan maut di Makam Keramat Maut. Dan
tentunya pula, orang yang
telah memberikan ramuan rahasia milik Makam Kera-
mat Maut pada bocah-bocah yang kemudian menjelma
menjadi Pasukan Kelelawar (Bacalah serial Satria Gendeng dalam episode :
"Pasukan Kelelawar"!). Sebab, tak mungkin tindakan itu dilakukan sendiri oleh
Manusia Makam Keramat, sementara jasadnya sendiri masih
dalam himpitan bumi. Siapakah orang itu"
Kembali pada Gendut Tangan Tunggal. Sampai
di mana dia kini, dia tak tahu. Kebingungan menja-
mahnya. Garuk-garuk perut lagi dia, kebiasaan yang
selalu dilakukan jika sedang kebingungan (lebih rajin lagi kalau kelaparan!).
Sudah tiba dia di satu bagian Makam Keramat
Maut yang lebih masuk ke dalam, Mestinya dia sudah
menemukan batu besar, seperti kata Hantu Kera. Batu besar yang dijadikan semacam
prasasti oleh sang Prabu untuk peringatan bagi setiap penjahat besar negeri.
Batu itu memang sudah tak ada lagi. Telah dihancur-
leburkan oleh Manusia Makam Keramat (Baca episode
: "Nisan Batu Mayit"!). Mana bisa Gendut Tangan Tunggal menemukan lagi"
Menurut Hantu Kera lagi, tumbuhan yang hen-
dak dicari Gendut Tangan Tunggal berada di sebelah
selatan batu besar.
"Si monyet ini bagaimana" Katanya aku akan
menemukan batu besar. Batu besar apa" Yang ada
cuma bongkahan-bongkahan kecil yang berhamburan
di mana-mana...," gerutu Gendut Tangan Tunggal. Padahal serakan batu yang
disaksikannya kini adalah
batu besar yang telah dihancurkan Manusia Makam
Keramat. Gendut Tangan Tunggal mengedarkan pandan-
gan, penasaran. Barangkali aku belum sampai di tem-
pat yang tepat, pikirnya. Tapi sejauh mata meman-
dang, tak ditemukan juga batu yang dimaksud. Kabut
menghalanginya, hingga pandangannya hanya mampu
menjangkau hingga jarak lima tindak saja. Mana ma-
lam sudah bertambah matang.
Gendut Tangan Tunggal mengebut-ngebut ka-
but dengan kesal. Perbuatan sia-sia. Kabut tetap saja berkumpul dan berkumpul
lagi. Mangkel hati, Gendut Tangan Tunggal melan-
jutkan saja langkah. Peduli setan nantinya dia akan tersasar di makam yang
luasnya minta ampun itu. Ke
selatan dia mengayun langkah, teringat kata-kata Han-tu Kera. Melangkah dua
puluh tindak, Gendut Tangan
Tunggal tersandung sesuatu.
"E... eeeh!"
Gedubruk! Jatuhlah dia dengan perut mencium tanah le-
bih dahulu. Memantul sebentar, lalu berguling sekali, dan tertelungkup kembali.
Padahal kalau sedang dalam keadaan wajar, paling sulit dia untuk melakukan hal
itu. Tanpa berhenti memaki-maki, Gendut Tangan
Tunggal hendak bangkit. Niatnya urung. Hidungnya
membaui sesuatu. Seperti bau daging bakar.
"Bau daging bakar," gumamnya dengan bibir menyeringai. Rasanya dia telah
menemukan tanpa
sengaja pohon yang dicarinya. Dia ingat, Hantu Kera mengatakan kalau tumbuhan
itu mengeluarkan aroma
seperti daging terbakar (sebenarnya, sempat juga Gendut Tangan Tunggal
membayangkan sate bakar, atau
panggang guling. Untung saja tak berkelanjutan).
Tokoh berbadan boros itu buru-buru bangkit.
Agak susah payah karena perutnya. Berdiri, tangannya menyibak-nyibak kabut
dengan sedikit pengerahan tenaga dalam.
Kabut tersingkir. Enyah cukup jauh, memberi
kesempatan pada Gendut Tangan Tunggal untuk me-
nyaksikan tumbuhan di depannya.
"Benar!" seru Gendut Tangan Tunggal tertahan.
Disaksikannya sebuah pohon setinggi setengah kaki.
Bentuknya tak begitu istimewa. Daunnya seperti sirih.
Batangnya meliuk-liuk. Warna pohonnya pun tak ter-
lalu jauh dengan tumbuhan biasa. Hijau agak kemera-
han. Persis seperti gambaran Hantu Kera pada dirinya.
Dengan perasaan gembira meluap-luap, Gendut
Tangan Tunggal secepatnya menyambar pohon itu.
Tas! Satu rantingnya terpotes.
"Dapat kau," katanya penuh kemenangan.
Sekarang tinggal urusan pulang. Syukur-
syukur dia tetap tak berjumpa dengan Manusia Ma-
kam Keramat seperti sebelumnya. Biar semuanya ber-
jalan mulus seperti jidat perawan, pikirnya. Memang Gendut Tangan Tunggal sedang
beruntung. Manusia
Makam Keramat sedang meninggalkan Makam Kera-
mat Maut untuk satu urusan dengan Ki Danujaya.
Berbalik Gendut Tangan Tunggal, ke arah sebe-
lumnya dia datang. Dia lupa lagi pada sesuatu yang
mengganjal langkahnya. Pengulangan kejadian men-
jengkelkan pun terjadi. Tersandung lagi kakinya. Ah, bagaimana manusia satu ini"
Keledai saja tak akan
terjatuh pada lobang yang sama....
"Sambar geledek!" raung Gendut Tangan Tunggal. Benda apa yang usil berdiam di
sana sampai dia perlu tersandung dua kali"! Geram, dia bangkit. Tangannya
kembali mengebut-ngebut kabut. Sekali ini
agak dikompori kemangkelan.
Sekejap, terlihatlah pemandangan di bawahnya.
Perhatian Gendut Tangan Tunggal terpancing. "Apa ini?" Disaksikannya beberapa
tonggak bambu yang ditanam berjajar. Ada sekitar delapan tonggak. Lebar lobang
bambu sebesar kepalan tangan.
"Ah, apa perlunya aku pada bambu-bambu
sambar geledek ini". Lalu salah satu batang bambu ditendangnya, jengkel.
Jedug! Tiba-tiba saja tanah yang dipijaknya terbelah.
Cepat, hingga tak memberi kesempatan pada Gendut
Tangan Tunggal untuk melompat lagi.
Grukkk! Meluruk deras tubuh besar lelaki tua itu ke da-
lam lobang sedalam lima belas kaki. Dia tak tahu apa yang telah terjadi. Yang
dia tahu, dirinya sudah berada di dalam lobang yang berpenerangan obor-obor di
sekelilingnya. Lobang itu tak lebih lebar dari gubuk kecil.
Tampaknya sengaja dibuat untuk tujuan tertentu.
Ruangan lembab. Dingin.
Tengkuk Gendut Tangan Tunggal merinding.
Gendut Tangan Tunggal memandang sekeli-
lingnya. Lobang dibuat seadanya. nilainya. Dan bam-
bu-bambu yang tadi ditemukan rupanya dimanfaatkan
untuk menyalurkan udara ke dalam lobang. Salah sa-
tu bambu yang ditendangnya adalah kunci pembuka
pintu menuju lobang.
Tepat di tengah ruangan, ditemukannya bebe-
rapa benda asing, yang dinilai aneh berada di dalam sana. Ada kembang tujuh
rupa. Ada mangkuk dupa.
ada kendi tanah liat yang tampaknya berisi air mawar, ada kain putih. Di atas
kain putih, tergeletak satu nisan besar, lebih 'besar' dari badan Gendut Tangan
Tunggal. "Orang iseng mana yang tak punya kerjaan
mengumpulkan semua benda-benda ini. Seperti pera-
botan dukun saja...," nilai Gendut Tangan Tunggal, dengan suara terlonjak-lonjak
dihentak kegusaran. Dia gusar karena sekali lagi harus menerima kesialan.
Darahnya sudah menyundul-nyundul ubun-ubun. Harus
dikeluarkannya kegusaran itu. Harus ada pelampia-
san, jika tidak dia bakalan kejang terkena serangan darah tinggi.
Maka, dia pun menggeram bangkit.
Wajahnya seperti siluman kelaparan.
Seram. Sekaligus mengerikan.
Seraya mencerocoskan caci-maki tak kepalang
tanggung. Saking tak kepalang tanggung, malah ter-
dengar seperti dengking keledai.
Gubrak-gedubrak!
Kendi dan mangkuk dupa ditendangnya. Pecah
berkeping. Kembang tujuh rupa diinjak-injaknya sam-
pai rata dengan tanah. Kain tujuh rupa dikoyak-
koyaknya sampai menjadi cabikan kecil-kecil. Kecil sekali! Yang paling parah,
dia juga menginjak habis-
habisan Nisan Batu Mayit dengan segenap tenaga
membabi butanya. Akibatnya, benda itu terbelah-
belah, entah menjadi berapa ratus keping!


Satria Gendeng 12 Pewaris Keris Kiai Kuning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Turun naik dada Gendut Tangan Tunggal. De-
mikian juga perutnya. Puas sudah. Rasanya sebanding dengan orang yang lega
setelah menahan buang air se-
lama sebulan. Kegusarannya tuntas terlampiaskan.
Disekanya peluh di dahi dan sedikit lendir di hidung.
Sekarang, dia harus kembali ke atas dan pulang ke
Kampung Bangkai membawa tumbuhan yang diminta
Hantu Kera. Dia tak tahu, dan sedikit pun tak menduga ka-
lau semua benda yang diporak-porandakannya itu mi-
lik Manusia Makam Keramat. Tujuan mengumpulkan
benda-benda itu adalah untuk mempersiapkan Malam
Pemandian Nisan di bulan purnama yang berselang
kurang dari sepekan mendatang. Nisan di atas kain
putih menjadi tujuan utama. Dengan memandikan
benda itu dengan darah seorang keturunan sang Pra-
bu, maka kesaktian dalam benda keramat itu akan
terbangkit. Tepatnya dibangkitkan oleh para mambang durjana.
Nisan Batu Mayit sebenarnya telah lama diper-
siapkan oleh Manusia Makam Keramat sebelum dia
sendiri terbunuh oleh sang Prabu. Sebenarnya pula,
benda keramat itu tak harus dimandikan oleh darah
perempuan keturunan sang Prabu. Sebelum Arya Son-
ta berhasil membangkitkan kekuatan magis benda itu, sang Prabu telah lebih
dahulu membunuhnya. Saat
sekarat itulah, di samping dia bersumpah akan me-
nuntut nyawa setiap keturunan sang Prabu, dia juga
bersumpah akan bangkit kembali dan menyempurna-
kan niatnya membangkitkan kekuatan Nisan Batu
Mayit. Dan darah yang akan dituntutnya hanya darah
salah seorang perempuan keturunan sang Prabu!
Gendut Tangan Tunggal menengadahkan kepa-
la ke atas. Dia berniat keluar dari lobang tanpa mempedulikan apa-apa lagi.
Ketinggian lobang hanya beberapa tombak. Tak
menjadi masalah besar bagi Gendut Tangan Tunggal,
biarpun berat badannya bisa membuat seekor keledai
mencret di tempat jika ditungganginya.
* * * Wisnu Bharata sebenarnya adalah salah seo-
rang keturunan sang Prabu Pajajaran seperti halnya
Rara Lanjar. Jika Rara Lanjar diserahkan kepada Ki
Danujaya, maka Wisnu Bharata kepada Hantu Kera.
Hantu Kera sendiri adalah saudara sepergu-
ruan Ki Danujaya. Jadi sang Prabu, setelah mening-
galkan takhta dan menjadi seorang pertapa, mengang-
kat dua orang murid. Murid tertua bernama Jaran-
tang. Murid bungsu bernama Danujaya. Ki Jarantang
inilah yang dikemudian hari dikenal dengan julukan
Hantu Kera, kendati di dunia persilatan dirinya tak terlalu diketahui orang.
"Jadi, kau pun keturunan sang Prabu?" tanya Satria Gendeng setelah mendengar
cerita Wisnu Bharata. Wisnu membenarkan.
"Hanya kami berdua keturunannya yang masih
hidup karena luput dari kutukan Arya Sonta. Kami tak tahu kenapa kami tak
terkena. Menurut cerita Eyang
Guru, kami berdua menurunkan darah yang kuat dari
sang Prabu, kakek buyut kami."
"Apakah Ki Danujaya mengetahui perihal diri-
mu?" "Tidak. Kakek Buyut sengaja merahasiakan pe-nyerahan diriku kepada murid
tertuanya. Dia menda-
pat wangsit untuk melaksanakan hal itu tanpa dia
sendiri mengetahui alasannya. Belakangan, barulah
Eyang Guru dan aku mengetahui alasan itu. Rupanya,
telah lama Ki Danujaya berniat berkhianat setelah dia
turun gunung."
"Kau tahu dari mana?"
"Hanya dua orang yang mengetahui dengan je-
las, kapan Manusia Makam Keramat bisa bangkit dari
kuburnya. Yang pertama adalah guruku...."
"Dan Ki Danujaya!" sela Satria.
"Tepat."
"Tahu niat busuk saudara seperguruannya,
Eyang Guru menugaskan aku untuk menggagalkan-
nya. Karena takut Ki Danujaya akan mengenaliku, aku diperintah Eyang Guru untuk
mengenakan topeng.
Menurut Eyang Guru, wajahku amat mirip dengan ka-
kek buyutku. Dan itu bakal mengundang kecurigaan
Ki Danujaya."
"Lalu untuk apa Ki Danujaya berkhianat?"
"Dia menginginkan Keris Kiai Kuning! Hanya
pada malam kebangkitan Manusia Makam Keramat,
keris itu bisa lepas dari jasadnya dan melayang kepada salah seorang keturunan
sang Prabu. Ki Danujaya tentu mengira Rara Lanjar yang mewarisi keris itu. Dia
keliru." "Jadi, kaulah pewaris Keris Kiai Kuning?"
Wisnu Bharata mengangguk.
"Bodohnya aku," rutuk Satria kemudian, ketika dia ingat sesuatu.
"Kenapa?"
"Aku pernah bercerita pada Ki Danujaya ten-
tang kehadiranmu yang penuh teka-teki dengan men-
genakan topeng Arjuna itu. Juga tentang tindakanmu
menyelamatkan Rara Lanjar!"
Satria Gendeng memukul-mukul kepalanya.
"Tolol... tolol... tolol!" makinya, meningkahi setiap pukulan.
Alis Wisnu Bharata bertaut. Ditanggapinya per-
kataan Satria Gendeng dengan wajah mengetat. Sesua-
tu bergeliat dalam pikirannya.
"Karena itu, mungkin dia mulai mengendusi
bahwa Rara Lanjar bukan satu-satunya keturunan
Kakek Buyut. Lalu dia pun mengubah rencana dengan
mencoba berselingkuh dengan Manusia Makam Kera-
mat...," simpul Wisnu Bharata.
"Kalau begitu, aku tentu telah merusak renca-
namu dengan mengatakan perihal dirimu pada Ki Da-
nujaya," simpul Satria pula. Lalu ditinjuinya lagi jidat sendiri. "Tolol...
tolol... tolol!"
SEMBILAN SORE sebelum malam, Manusia Makam Kera-
mat telah menyepakati tawaran Ki Danujaya untuk
mendapatkan Rara Lanjar dengan imbalan, Manusia
Makam Keramat membantu Ki Danujaya mendapatkan
Keris Kiai Kuning.
Masih di dekat gubuk di kaki Gunung Buran-
grang, mereka mengakhiri perjanjian laknat itu.
"Bagaimana" Apakah kau menginginkan gadis
itu sekarang juga" Atau menanti sampai bulan pur-
nama muncul sepekan nanti?" tawar Ki Danujaya. Manusia Makam Keramat menimbang
sejenak. "Akan
kuambil menjelang malam purnama," putusnya. "Asal kau bisa menjamin gadis itu
tetap di tanganmu! Jika tidak, jangan harap kau akan mendapatkan Keris Kiai
Kuning yang kau inginkan itu!"
Ki Danujaya tertawa.
Datar. Hambar. "Kujamin, kau akan mendapatkan perawan
itu!" tandasnya menegaskan.
Lalu Manusia Makam Keramat melesat. Disusul
oleh Ki Danujaya kemudian.
* * * Malam kian larut.
Satria Gendeng dan Wisnu Bharata sepakat ti-
dak mencari Rara Lanjar. Penyebabnya karena mereka
sama sekali tak tahu di mana Ki Danujaya menyem-
bunyikannya. Mereka mengambil satu pilihan, menanti Manusia Makam Keramat di
Makam Keramat Maut.
Jika kebetulan manusia durjana itu telah membawa
Rara Lanjar, dengan terpaksa mereka akan merebut
langsung dari tangannya. Andaipun tidak, mereka ma-
sih punya satu kesempatan untuk menguntit keluar-
nya Manusia Makam Keramat menemui Ki Danujaya
untuk mendapatkan Rara Lanjar.
Keduanya hampir tiba di tempat tujuan, wi-
layah yang konon paling tak diminati oleh siapa pun kecuali orang-orang bosan
hidup, Makam Keramat
Maut. Di kejauhan mereka menyaksikan satu sosok
tubuh berlari keluar dari gerbang Makam Keramat
Maut. Keduanya cepat mencari tempat aman untuk
bersembunyi, di balik batu besar di samping jalan setapak berbatu kasar. Dari
kejauhan, mereka menga-
wasi sosok tadi.
Sosok yang sedang diintai ternyata berlari ke
arah tempat mereka.
Keduanya tegang.
Bukan tak mungkin sosok itu adalah Manusia
Makam Keramat, pikir keduanya. Tapi, makin lama di-
perhatikan, Satria makin merasa pernah melihat perawakan orang itu. Perawakan
yang buntal seperti bun-
talan gombal. Ketika sinar bulan menyinari wajah orang itu,
wajah Satria Gendeng berubah. Sedikit tersenyum, tapi juga agak meringis.
"Orang tua gendut!" panggilnya, berbisik.
Gendut Tangan Tunggal terlonjak tinggi-tinggi.
Larinya dihentikan mendadak. Sambil menjerit kaget
seperti perawan takut melihat cacing, dia memasang
kuda-kuda. "Ini aku!" seru Satria lagi, tetap berbisik. "Aku, siapa"!" Satria Gendeng
muncul dari balik batu besar.
Gendut Tangan Tunggal pun terlonjak lagi. Se-
karang lonjakan girang.
"Kau itu, Pemuda Gendeng?" tanyanya, padahal matanya sudah jelas melihat Satria.
Lalu dia tertawa, terkikik-kikik.
"Hi hi hi! Malam ini rupanya aku sedang berna-
sib baik. Masuk ke Makam Keramat Maut tanpa men-
dapat celaka, tanpa kepergok si Manusia Makam Ke-
ramat. Dan sekarang, aku bertemu seorang rekan sen-
diri! Kukira tadi kau Manusia Makam Keramat slat
itu!" Brengsek orang ini, gerutu Satria Gendeng membatin. Mereka justru datang
dengan mengendap-endap supaya tak tertangkap basah Manusia Makam
Keramat, orang tua gendut ini malah ramai bercuap-
cuap sambil kakak-kikik.
Disambarnya saja krah baju orang tua itu.
Urusan 'kurang ajar', bisa di belakangi untuk sementara. Namanya juga sedang
darurat. "E ee eeh!"
Gendut Tangan Tunggal tersuruk-suruk. Biar
rasa dia! Satria Gendeng baru hendak bertanya apa yang
dikerjakan orang tua itu di dalam Makam Keramat
Maut. Tapi mulutnya kalah lincah oleh bacot Gendut
Tangan Tunggal.
"Apa yang hendak kalian lakukan di sini sebe-
narnya?" tanya Gendut Tangan Tunggal. "Lalu, siapa pula kau ini, Pemuda Kumis?"
tanya Gendut Tangan Tunggal, kemudian.
"Cukup kau panggil aku Wisnu, Orang Tua...,"
ucap Wisnu memperkenalkan diri.
"Jadi namamu Wisnu?" sela Satria Gendeng, membingungkan Gendut Tangan Tunggal.
Orang tua tambun itu jadi melirik si pendekar muda. Wajahnya
merengut. Bagaimana pemuda ini" Gerutunya dalam
hati. "Kami hendak mengintai Manusia Makam Keramat," kata Satria Gendeng tanpa
melepaskan pandangan ke arah gerbang Makam Keramat Maut.
"Kau tak punya kerjaan, ya?" sungut Gendut Tangan Tunggal, tanpa mau tahu
persoalan sebenarnya. Lalu Wisnu Bharata pun menjelaskan. Gendut
Tangan Tunggal mengangguk-angguk. "Baguslah kalau begitu!" ucapnya lagi seraya
beranjak. "Hendak ke mana kau, Orang Tua" Dan kenapa
kau masuk ke dalam Makam Keramat?" tahan Satria Gendeng. Bertanya pun belum
sempat, sudah mau
ngeloyor saja, pikirnya.
Gendut Tangan Tunggal mengangkat tangan,
memperlihatkan dahan pohon yang baru didapatnya.
"Sirih Bangkai?" gumam Wisnu.
"Betul! Sirih Bangkai nama pohon ini. Bagai-
mana kau bisa tahu, Anak Muda?"
"Guruku mengajarkan padaku banyak hal ten-
tang tumbuhan obat-obatan."
"Baguslah kalau begitu," putus Gendut Tangan Tunggal lagi seraya beranjak
kembali pula. Satria gemas. Ditariknya lagi krah baju Gendut
Tangan Tunggal dari belakang.
"Apa lagi"!" bentak Gendut Tangan Tunggal, mendelik-delik.
"Untuk apa tumbuhan itu, Orang Tua?" gegas Satria. "Untuk si Bengis. Apa kau tak
tahu dia terkena tendangan Pendekar Muka Bengis sewaktu dia
'mengusili' Dewi Melati sampai mampus"!"
"Jadi Pak Tua Bengis yang telah melakukan-
nya?" perangah Satria.
Sementara itu, Wisnu Bharata jadi ingat pada
ucapan gurunya ketika dia menanyakan orang yang
tergeletak di dalam gubuk Hantu Kera. Karena dia penasaran, maka dia bertanya,
"Apakah kau telah membawa kawanmu ke Kampung Bangkai, Orang Tua?"
Dan kedua pertanyaan itu membingungkan
Gendut Tangan Tunggal. Mana dulu yang mesti dija-
wab. Tak mau pusing, dia menjawab sekaligus.
"Ya," ujarnya, singkat.
"Ssst!"
Mendadak Satria Gendeng berdesis. Bola ma-
tanya mengarah ke gerbang Makam Keramat Maut.
Baru saja ada seorang yang masuk ke sana. Dan Satria Gendeng yakin kalau sosok
yang dilihatnya kini adalah Manusia Makam Keramat.
"Tunggu apa lagi"!" tanya Gendut Tangan
Tunggal berbisik, setelah sosok tadi menghilang di da-
lam Makam Keramat Maut. Wisnu Bharata dan Satria
saling pandang.
"Kami mengintai bukan untuk menyerangnya di
sini, Orang Tua," kata Wisnu menjelaskan. Dia merasa orang tua itu telah salah
paham. Tapi yang salah paham rupanya justru Wisnu
dan Satria. "Bukan itu maksudku! Maksudku, tunggu apa
lagi, ayo kita segera menyingkir dari sini!!!"
Lalu manusia berbobot minta tobat itu pun
mencelat dari tempatnya. Larilah dia kesetanan.


Satria Gendeng 12 Pewaris Keris Kiai Kuning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama Gendut Tangan Tunggal minggat, dari
arah Makam Keramat Maut terdengar teriakan me-
raung-raung merobek angkasa malam. Menggidikkan.
Selain itu, membuat Satria Gendeng dan Wisnu Bhara-
ta saling pandang tak mengerti.
"Khuaaaa! Nisan Batu Mayitku!!! Nisan Batu
Mayitkuuu!!!!!"
Sejenak kemudian, barulah mereka mulai me-
nyadari sesuatu. Pasti manusia kerbau tadi telah melakukan 'apa-apa' di dalam
sana, yang membuat Ma-
nusia Makam Keramat melolong-lolong.
Keduanya mengetahui duduk perkaranya seca-
ra jelas ketika Manusia Makam Keramat keluar dari
Makam Keramat Maut. Di depan gerbang dia berhenti
dengan dada turun naik dihela kemurkaan. Matanya
jalang mencari-cari.
Lalu mencelat kembali teriakan mengguntur-
nya. "Keparat! Manusia bosan hidup mana yang telah menghancurkan Nisan Batu
Mayit-ku!!!"
Satria Gendeng meringis. Bukan karena gentar
mendengar teriakan tadi, melainkan geli membayang-
kan perbuatan 'usil' Gendut Tangan Tunggal.
Pikir punya pikir, ada gunanya juga orang tua
satu itu. Dengan hancurnya Nisan Batu Mayit, tak
akan mungkin lagi Manusia Makam Keramat membu-
tuhkan darah Rara Lanjar. Namun begitu, baik Satria Gendeng maupun Wisnu harus
tetap menjaga kemungkinan Manusia Makam Keramat masih ingin
menghabisi nyawa gadis itu sebagai seorang keturunan sang Prabu!
Selain itu, masih ada tugas berat yang diemban
Wisnu Bharata, mengembalikan Manusia Makam Ke-
ramat ke dalam perut bumi. Juga mengembalikan Ke-
ris Kiai Kuning ke dada Manusia Makam Keramat!
SEPULUH PAGI lahir kembali. Burung memperdengarkan
tembang semesta, bersama napas angin, berbareng de-
gup anak-anak rimba belantara. Berjuta nyawa seperti lahir kembali dan
menggiring kebahagiaan ke haribaan garba masing-masing.
Seseorang tampak berlari deras membelah bari-
san pepohonan yang tumbuh tinggi menjulang dan
liar. Caranya berlari memperlihatkan kehandalan pe-
ringan tubuhnya. Bisa dibilang sempurna. Bahkan un-
tuk beberapa kalangan, amat sulit untuk dicapai. Dari kecepatan larinya yang
demikian menggebu, tampak
pula bahwa ada sesuatu yang diburu.
Orang itu adalah Manusia Makam Keramat. Pa-
gi-pagi buta, manusia sesat itu sudah meninggalkan
Makam Keramat Maut menuju suatu daerah di sekitar
kaki Gunung Bukit tunggul. Berkelebatan terus. Mur-
ka dibawa. Sisa malam sebelumnya. Di suatu tempat
yang lebih mirip padang rumput kecil bertanah melan-
dai dan dikelilingi pepohonan cemara, Manusia Makam Keramat menghentikan
larinya. Dia berdiri dengan ka-walan dengusan yang melebihi dengus seekor kuda
jantan. Tangannya bertolak pinggang. Di balik caping, matanya mencari-cari
sesuatu ke segenap penjuru angin. Nyalang.
"Danujaya, keluar kau!!!" teriaknya.
Menggemuruh. Mengawang. "Danujaya, apa kau tuli"!" Serunya sekali lagi.
Meradang. Tak begitu lama, ketika angin sama sekali tak
mempedulikan teriakan itu, seseorang lain pun hadir di tempat yang sama. Seorang
lelaki tua berpakaian
putih, berambut dan berjenggot putih. Dia tak lain Ki Danujaya, memenuhi
panggilan Manusia Makam Keramat. Dari atas sebuah pepohonan, tubuhnya menu-
kik deras. Gelepar pakaiannya memperdengarkan sua-
ra bergetar. Ki Danujaya menjejakkan kaki, sepuluh
depa di depan Manusia Makam Keramat.
"Ada apa kau datang sepagi ini, Arya Sonta?"
"Aku hendak meminta gadis itu!"
"Tunggu dulu. Bukankah kau mengatakan pa-
daku bahwa kau akan mengambilnya jika purnama
sudah mengambang. Dan itu masih tersisa beberapa
hari lagi?"
Manusia Makam Keramat menggeram. "Kuka-
takan, aku ingin mengambilnya hari ini!"
Mata kelabu Ki Danujaya mengawasinya padat
binar menyelidik
"Kenapa berubah pikiran?" tanyanya.
"Aku tak membutuhkan gadis itu lagi!" tandas Manusia Makam Keramat, terseret
kegeraman. "Hari ini juga, aku ingin membunuhnya, dan kuhirup da-
rahnya!" "Kenapa"!"
"Kau tanya kenapa?" desis Manusia Makam Keramat. "Baik, akan kukatakan.
Seseorang keparat telah menghancurkan Nisan Batu Mayit-ku, benda yang ku-dapat
dengan bertapa selama bertahun-tahun dulu!!!
Keparat!" Ki Danujaya terdiam sesaat. Matanya tetap me-
nyelidik, pikirannya berjalan. Kalau dia tak membu-
tuhkan gadis itu lagi, bagaimana aku bisa membuat-
nya membantuku mendapatkan Keris Kiai Kuning" Bi-
siknya dalam hati.
"Jangan berdiam diri seperti itu, Danujaya. Aku datang bukan untuk melihatmu
mematung! Cepat serahkan saja gadis itu padaku!!"
Ki Danujaya menggeleng
Tapi, mantap. "Bagaimana bisa kuserahkan kalau kau tak
membutuhkannya lagi?" ujarnya.
"Aku tak membutuhkan. Itu benar. Tapi, aku
tetap ingin membunuhnya. Dia salah seorang keturu-
nan Prabu Keparat itu. Aku tak akan puas sebelum seluruh keturunannya kuhabisi!"
"Bagaimana dengan kesepakatan kita" Apa kau
tetap akan membantuku mendapatkan Keris Kiai Kun-
ing setelah kuserahkan dia?" tawar Ki Danujaya, tak ingin kehilangan kesempatan.
Manusia Makam Keramat menggeram lagi. Un-
tuk apa membuang tenaga lagi untuk orang lain se-
mentara kepentingannya sendiri sudah tak lagi bisa
diharapkan. Kesepakatan yang dilakukan kemarin
dengan Ki Danujaya, baginya sudah menjadi barang
basi. "Keparat kau, Danujaya. Kenapa kau tak men-
carinya saja di neraka"!"
Ki Danujaya mendengus, nyaris menggeram pu-
la. "Kau tak akan mendapatkan gadis itu, selama
kau tak bersumpah padaku untuk membantuku men-
dapatkan keris itu," tandasnya.
Datar. Tersamar. Manusia Makam Keramat terdiam, menimbang
dalam gemuruh kemurkaan di dadanya.
"Kau pun keparat, Danujaya...," desisnya.
Ki Danujaya menyeringai. Apa pun perkataan
Arya Sonta, dia merasa memiliki 'kunci penentu' yang tak bisa ditawar oleh lawan
bicaranya. Itu membuatnya merasa telah menjadi pemenang sebelum bertand-
ing. Cukup lama Manusia Makam Keramat menim-
bang. Tetap dalam gejolak kemurkaan dan kegusaran
yang terus terperam sejak semalam.
"Kalau itu maumu, kau mendapatkannya, Ke-
parat!" putus Manusia Makam Keramat, akhirnya.
Ki Danujaya tak mengatakan apa-apa. Hanya
hatinya yang memekikkan kemenangan yang digeng-
gamnya. Dengan senyum nyaris mendekati seringai,
dia berkata, "Kalau begitu, kau tunggu di sini. Akan ku jemput perempuan itu
sebentar!"
Lalu tubuhnya melesat dari tempat.
Kembali lagi tak beberapa lama kemudian den-
gan membopong tubuh seorang perempuan. Siapa lagi
kalau bukan Rara Lanjar.
"Lemparkan perempuan itu padaku!" seru Manusia Makam Keramat, tak sabar.
Ki Danujaya hendak memenuhi permintaan
Arya Sonta barusan, namun mendadak seseorang
mencegahnya. "Jangan kau berikan, Danujaya!!!"
Ki Danujaya menoleh cepat.
Manusia Makam Keramat menoleh pula.
Keduanya sama-sama menemukan sosok yang
membuat mereka dipaksa terperanjat. Keheranan ce-
pat merangas di diri masing-masing. Apa-apaan ini"!
Perangah hati mereka.
Apa yang dilihat mereka" Seorang yang sama
sekali berpenampilan tak dapat dibedakan dengan Ma-
nusia Makam Keramat, mengenakan jubah hitam yang
sama, mengenakan caping yang sama...
Hanya bedanya, orang berjubah hitam yang ba-
ru datang membopong seseorang di bahunya. Entah
pula siapa orang itu.
Manusia Makam Keramat menggeram, entah
untuk yang ke berapa kali. Manusia keparat mana lagi yang punya nyali
mempermainkannya, setelah semalam dia harus menelan kesialan dengan hancurnya
Ni- san Batu Mayit"
"Siapa kau?" tanya Ki Danujaya.
"Jangan tolol," hardik orang yang baru datang cepat. "Matamu buta atau kau
memang bodoh, mau saja dipermainkan orang itu!" sergah orang yang baru datang
seraya menunjuk ke arah Manusia Makam Keramat sewenang-wenang.
Lalu katanya lagi, "Aku Arya Sonta, Danujaya!"
Tersengatlah Ki Danujaya. Tersengat pula Manusia
Makam Keramat. Ini benar-benar permainan tengik
yang memuakkan, pikirnya. Dia pun tambah mengge-
ram, dengan nada makin menghujam.
Sementara Ki Danujaya mulai tak bisa berpe-
gang pada pendiriannya. Siapa harus dipercaya"
"Keparat kau! Siapa pun dirimu, kau cuma cari
mampus dengan mengaku-ngaku sebagai diriku!!!" ancam Manusia Makam Keramat.
"Jangan bersandiwara lagi, 'Anak Muda'. Kau
tak akan mendapatkan gadis itu dari tangan Danujaya.
Gadis itu milikku!" balas orang tadi.
Apa-apaan pula ini" Perangah Manusia Makam
Keramat. Apa maksudnya aku disebut 'anak muda'
oleh badut satu ini" Di lain pihak, Ki Danujaya kembali melepaskan pandangan
curiga pada Manusia Makam
Keramat. Manusia Makam Keramat mengangkat tangan,
menunjuk si pengacau dengan tangan mengejang.
"Aku tak ada waktu untuk melayani lawakan
mu, Keparat. Serahkan gadis itu padaku, Danujaya.
Sekarang!" katanya berganti pada Ki Danujaya.
Orang yang baru datang menggeleng-gelengkan
kepala. "Kau akan menyesal jika sempat kau berikan gadis itu padanya, Danujaya."
Dengan tak kalah meyakinkan, orang yang ba-
ru datang berkata mendesis pada Ki Danujaya.
"Apa maksudmu?"
Tak banyak kata, orang yang mengaku sebagai
Manusia Makam Keramat itu melemparkan orang da-
lam bopongannya ke tengah-tengah.
Tubuh orang itu tergolek. Seorang pemuda ber-
kumis. Menyaksikan wajahnya, alis putih Ki Danujaya bertaut. Keningnya bertambah
kerutan. Dia seperti
pernah mengenal wajah itu di masa silam.
"Kau heran" Kau ingin tahu siapa pemuda itu?"
susul orang bercaping kedua. Tanpa menunggu jawa-
ban Ki Danujaya, dilanjutkannya ucapan.
"Dia adalah seorang buyut Prabu Keparat itu!
Dialah yang kau curigai selama ini setelah perempuan
yang kau intai sejak kecil ternyata tak mewarisi Keris Kiai Kuning...."
"Pemuda bertopeng itu," desis Ki Danujaya, mulai terbawa oleh setiap perkataan
yang amat meyakinkan dari mulut orang bercaping kedua.
Orang bercaping kedua mengeluarkan dua
buah benda dari balik jubahnya.
"Ini yang kau maksud?" ucapnya seraya me-
lempar benda pertama ke dekat tubuh pemuda yang
dilemparnya, yang tak lain Wisnu Bharata. Sebuah topeng Arjuna seperti dimaksud
Ki Danujaya. Sementara benda kedua yang berada di tan-
gannya lebih membuat Ki Danujaya dan Manusia Ma-
kam Keramat sendiri terhenyak. Keduanya sama-sama
mendesis, "Keris Kiai Kuning...."
"Ya. Keris ini yang kau mau, bukan?" mulai orang bercaping kedua lagi pada Ki
Danujaya. "Kau mau tahu kenapa pemuda ini bisa ku ringkus" Dia datang dengan
seorang pendekar muda untuk mengin-
taiku di Makam Keramat Maut. Mereka pikir aku bo-
doh. Tidak! Justru merekalah yang bodoh. Aku berha-
sil mengelabui mereka. Kuhantam mereka, kuda-
patkan pemuda ini sekaligus keris pusakanya. Se-
dangkan pendekar muda yang bersamanya, berhasil
meloloskan diri. Kini dia hendak mengelabuimu, Danujaya...." Lalu dilemparnya
Keris Kiai Kuning hingga menancap di tanah dekat tubuh Wisnu Bharata. Lanjut-
nya, "Jika kau menginginkan keris itu, ambillah! Tapi serahkan gadis itu padaku!
Setelah itu, kau boleh lu-dahi 'anak muda' bodoh yang telah mencoba mengela-
buimu dengan mengaku sebagai diriku!"
Menyaksikan Keris Kiai Kuning tertancap di ta-
nah, Ki Danujaya menelan ludah. Itu benda yang telah bertahun-tahun
dirindukannya. Itu benda yang dinantinya dengan penantian dan pengorbanan usia
terlalu lama. Benda itu kini berada di depan matanya. Lalu
untuk apa lagi gadis di bahunya.
Cepat di lemparnya Rara Lanjar ke arah orang
bercaping kedua. Dan Rara Lanjar pun ditangkap tan-
pa kesulitan. Menyadari dirinya sudah tak dihitung lagi, juga
setelah mendengar penuturan orang bercaping kedua
belum lama, mengkelaplah hati orang yang datang pertama dan mengaku sebagai
Manusia Makam Keramat.
"Khepaarat!!!" geramnya, melantak suasana.
Dengan mata gelap, karena sejak semalam dia mem-
bendung kemurkaan dan sekarang bobol seketika,
Manusia Makam Keramat maju menerjang ke depan.
Hendak diburaikannya isi kepala orang yang telah lan-cang berbicara.
Tubuh Wisnu Bharata dilewati. Gelap mata
adalah kebodohan. Bagi Manusia Makam Keramat, ke-


Satria Gendeng 12 Pewaris Keris Kiai Kuning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bodohan itu berakibat amat parah. Karena hanya ber-
nafsu menghabisi orang bercaping kedua secepatnya,
dia tak memperhatikan lagi tubuh Wisnu Bharata yang dilewatinya. Ketika jarak
Manusia Makam Keramat
tinggal satu tindak darinya, mendadak sontak, tubuh Wisnu Bharata bergerak.
Teramat cepat. Dalam perhi-tungan waktu yang demikian tepat, tangannya me-
nyambar Keris Kiai Kuning yang tertancap di sebelahnya. Diangkatnya ke atas,
tepat menuju dada Manusia Makam Keramat.
Manusia Makam Keramat sendiri terkesiap bu-
kan main. Dia tak menyangka kalau pemuda yang ter-
geletak ternyata hanya berpura-pura. Dia berusaha
berkelit. Sayang, waktu dan jarak sudah tak memung-
kinkan dia untuk melepaskan diri dari ujung Keris Kiai Kuning.
Jlep! "Wuaaaa!!!!"
Melengkinglah teriakan panjang. Menjangkit
hingga angkasa. Menukik lagi.
Dan menggerayangi sekujur kaki gunung. Ma-
nusia Makam Keramat jatuh berlutut. Tangannya me-
megangi dada yang bersimbah darah, tempat bersa-
rangnya Keris Kiai Kuning yang pernah mengirimnya
ke himpitan perut bumi, dan tampaknya akan segera
mengirimnya kembali ke tempat yang sama untuk ke-
dua kali! Matanya mendelik di balik caping. Mulutnya
mendesis-desis, di antara semburan-semburan darah
yang membuih. Dia ingin melepaskan kutukan-
kutukan yang pernah dilontarkan untuk sang Prabu
dulu. Namun, tangan maut lebih cepat menjemputnya.
Ki Danujaya terhenyak. Dia tertegun sejenak.
Ketika sadar, Wisnu Bharata dan Satria Gendeng yang telah menyamar sebagai
Manusia Makam Keramat dan
telah melepas caping, menatapnya dengan pandangan
menghunus. Ki Danujaya tersurut mundur. Keris Kiai Kun-
ing telah tertembus lagi ke dada Arya Sonta si manusia terkutuk. Tak mungkin
lagi benda itu dicabut. Dengan begitu, hilanglah kesempatan emas yang telah
diban-gun selama bertahun-tahun.
Lantas, untuk apa lagi dia di sana"
Ki Danujaya pun menyingkir, dibayangi tatapan
Wisnu Bharata dengan sorot mata memancarkan ke-
bencian sekaligus rasa kasihan.
* * * Gendut Tangan Tunggal termenung di pinggir
Kampung Bangkai. Di depannya, ada gundukan tanah
masih basah. Bersila dia dengan wajah layu.
"Maafkan aku, Bengis. Sungguh aku telah be-
rupaya sebisanya untuk mendapatkan tumbuhan itu.
Tapi, tampaknya Yang Maha Tunggal berkehendak
lain. Aku memang mendapatkan tumbuhan itu. Tapi
aku tiba terlambat. Kau telah lebih dahulu mati...," bisiknya di antara bisik
resah angin. Dia bangkit. Hilang sudah segala ketengikan-
nya. "Selamat tinggal, Sahabat.... Apa pun yang telah kita jalani selama ini,
kau tetap akan menjadi sahabat dalam hatiku...," katanya mengakhiri.
Gendut Tangan Tunggal melangkah gontai. Sa-
tu bagian jiwanya terasa telah hilang. Karena dia baru saja kehilangan seorang
sahabat. Seperti kata Kahlil Gibran - Sang Penyair;
Sahabat adalah kebutuhan jiwa, yang menda-
pat imbangan. Dialah ladang hati, yang dengan kasih kau ta-
buri, Dan kau pungut buahnya penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan sejuk keteduhanmu,
Sebuah pendiangan demi kehangatan sukmamu.
Karena kau menghampirinya di kala hati ger-
sang kelaparan.
Dan mencarinya di kala jiwa membutuhkan ke-
damaian.... Gendut Tangan Tunggal baru saja kehilangan
semua itu. Kapan dan bagaimana dia bisa mendapat
ganti nanti" Hanya Yang Maha Tunggal yang tahu....
SELESAI Segera terbit :
Serial Satria Gendeng dalam episode:
PENGHUNI KUIL NERAKA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Durjana Berparas Dewa 2 Pendekar Mabuk 080 Pusaka Jarum Surga Patung Iblis Banci 1
^