Pencarian

Pendekar Tangan Baja 1

Dewa Arak 09 Pendekar Tangan Baja Bagian 1


1 "Hih...!" Seorang pemuda tampan bercambang lebat, dan berpakaian kuning, kembali
melompat. Entah untuk yang ke berapa kalinya. Tubuh pemuda berpakaian kuning itu
berputar beberapa kali di udara. Indah dan manis sekali gerakannya. Dan....
Pyarrr...! Air sungai memercik tinggi, begitu sepasang kaki
pemuda itu mendarat kembali di permukaan air. Luar biasa! Kalau saja ada orang
yang melihatnya, tentu pemuda ini dikiranya hantu penunggu sungai. Mana ada
manusia yang dapat berdiri di atas permukaan air"
Tapi kenyataannya pemuda bercambang lebat itu
memang mampu berdiri di atas permukaan air. Bahkan sesekali melompat dan
bersalto beberapa kali di udara, kemudian kembali mendarat di permukaan air!
Dan selagi tubuhnya berputar di udara, terlihat kalau sepasang kaki pemuda itu
ternyata tidak hanya bersepatu saja, tapi ada sesuatu yang menempel pada kedua
telapak sepatunya. Memang, pada telapak kaki pemuda berpakaian kuning itu,
nampak sepotong papan yang tidak begitu tebal, tapi agak lebar. Rupanya papan
itu digunakan sebagai alas agar dapat mengapung di permukaan air. Tapi meskipun
begitu, tanpa memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, tidak mungkin pemuda itu
dapat berbuat begitu.
Tak lama kemudian, pemuda berpakaian kuning itu bergegas mendekati pinggir
sungai. Untungnya, di situ sepi.
Tidak nampak sebuah rumah pun yang terlihat, sehingga perbuatannya tidak menarik
perhatian. "Hih...!"
Begitu telah mendekati pinggir sungai, pemuda ber-
cambang lebat itu melenting. Tubuhnya berputar beberapa kali di udara, sebelum
akhimya mendarat di pinggiran sungai.
Begitu telah berada di tanah, pemuda itu segera
melepaskan potongan kayu yang terikat pada kedua
kakinya. Lalu dilemparkan begitu saja di tanah.
Kini pemuda berpakaian kuning itu membalikkan tubuhnya. Sepasang matanya
menerawang jauh ke seberang
sungai. Cukup lama juga pemuda bercambang lebat itu berbuat demikian, sebelum akhimya
melangkah pelan meninggalkan tempat itu. Mulanya langkahnya satu-satu, tapi
beberapa saat kemudian, bergerak cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Ternyata pemuda bercambang lebat dan berpakaian
kuning itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Gerakannya cepat bukan main. Tubuhnya hampir tidak terlihat oleh mata. Yang
terlihat hanyalah sekelebaran bayangan kekuningan.
Pemuda berpakaian kuning itu terus berlari seraya
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Sehingga dalam waktu singkat, tempat tadi telah jauh tertinggal. Larinya baru
diperlambat dan akhimya berhenti sama sekali, begitu memasuki tembok batas
sebuah desa. Luar biasa! Sungguhpun telah berlari menempuh jarak yang jauh, tidak nampak
tanda-tanda kalau pemuda berpakaian kuning ini mengalami kelelahan. Napasnya
biasa saja. Tidak nampak memburu sedikit pun. Bahkan di wajah tampannya, sama
sekali tidak terlihat setitik pun keringat.
Pemuda bercambang lebat ini melangkah memasuki
desa. Alisnya agak berkerut ketika melihat hampir semua anak-anak kecil di desa
itu bertelanjang bulat dan bertubuh kurus kering. Seolah-olah mereka tidak cukup
mendapat makanan. Padahal tadi di pinggiran desa, jelas dilihatnya hamparan padi
yang tumbuh subur.
"Aneh...," gumam pemuda berpakaian kuning itu pelan seraya melanjutkan
langkahnya. Setelah cukup jauh berjalan, pemuda bercambang lebat ini menghentikan
Langkahnya. Sayup sayup didengamya suara bentakan-bentakan keras penuh
kemarahan. Rasa ingin tahu, membuat pemuda berpakaian kuning
ini mempercepat langkahnya menuju ke arah asal suara.
Dan dengan sendirinya, suara-suara bernada penuh
kemarahan itu pun semakin keras terdengar.
Tak lama kemudian, pandang mata pemuda berpakaian
kuning itu tertumbuk pada beberapa sosok yang nampaknya tengah terlibat
pertengkaran. Beberapa orang berseragam prajurit, dan seorang berpakaian putih.
Dua di antara prajurit itu berdiri angker di hadapan orang berpakaian putih yang
tertunduk ketakutan.
"Rupanya kau sudah berani menentang perintah Gusti Prabu, Paladi," ucap seorang
yang berseragam punggawa penuh kemarahan. Sementara di sebelahnya, berdiri
seorang prajurit yang menggenggam sebatang cambuk.
"Maafkan aku, Den Rupangga. Bukannya aku me-
nentang perintah Gusti Prabu. Tapi, hasil panen kali ini tidak sebanyak hasil
sebelumnya. Kalau kami paksakan diri memberi upeti seperti biasa, penduduk desa
ini akan mati kelaparan," sahut laki-laki setengah baya berpakaian putih yang
bemama Ki Paladi.
"Aku tidak peduli!" bentak punggawa yang bernama Rupangga. Keras sekali suaranya
sehingga Ki Paladi sampat terjingkat ke belakang saking kagetnya. Sekilas kepala
laki-laki berpakaian putih ini terangkat, tapi begitu melihat sepasang mata
penuh amarah tertuju padanya, kepalanya ditundukkan kembali, "Kedatanganku
kemari bukan untuk mendengar segala macam alasan, Paladi. Aku datang untuk
meminta pajak sesuai dengan keputusan yang ditetapkan Gusti Prabu. Dan menjadi
tugasmu selaku kepala desa untuk memenuhinya! Soal penduduk desa ini mati
kelaparan bukan urusanku! Kau mengerti, Paladi!"
sergah Rupangga.
Ki Paladi yang ternyata seorang kepala desa meng-
anggukkan kepalanya.
"Aku mengerti, Den Rupangga. Tapi kumohon Aden mau bermurah hati memberikan kami
waktu untuk..."
"Keparat! Orang seperti kau memang harus dihukum!
Agar menjadi pelajaran bagi siapa saja yang berani menentang keinginan Gusti
Prabu!" selak punggawa yang bernama Rupangga cepat, sebelum kepala desa itu
menyelesaikan ucapannya. "Prajurit! Beri pembangkang ini sepuluh cambukan!"
Prajurit yang sejak tadi berdiri di sebelah Rupangga tersenyum lebar.
Kegembiraan terbayang jelas di wajahnya.
Memang sudah menjadi kesenangannya, melihat orang
menggeliat-geliat kesakitan menerima cambukannya.
Maka begitu mendapat perintah, segera saja dia mendekati sang kepala desa.
Cambuk yang sejak tadi tergenggam di tangannya, ditimang-timang sambil
menyeringai lebar.
"Ampun, Den Rupangga. Aku berjanji akan meng-
usahakannya..." ucap Ki Paladi memohon kebijaksanaan.
Tapi punggawa ini hanya memandangi sang kepala desa dengan tatapan dingin.
Sementara prajurit itu segera mengayunkan cambuknya.
Tarr! "Akh...!"
Kepala Desa itu menjerit memilukan ketika ujung
cambuk itu melecut punggungnya. Seketika itu juga, tubuhnya menggeliat-geliat.
Pakaiannya di bagian punggung, kontan sobek memanjang. Di kulit punggungnya
nampak garis panjang menghitam.
"Ampun, Den Rupangga..." rintih Ki Paladi lagi. Tapi punggawa itu tetap diam tak
bergeming. Sehingga kembali lecutan cambuk menyambar punggungnya.
Tarr! "Akh...!"
"Jahanam!" teriak pemuda berpakaian kuning keras.
Darahnya mendidih melihat adegan penyiksaan di depan matanya. Seketika itu juga
pemuda ini melesat ke arah kepala desa yang tengah disiksa.
Wuuut..! Untuk ke sekian kalinya, cambuk di tangan prajurit itu kembali dilecutkan.
Tapi.... Tappp...! Kali ini ujung cambuk itu tertahan di udara. Semula prajurit yang tengah
menyiksa Ki Paladi, agak heran ketika merasakan cambuknya tertahan di udara.
Segera dibalikkan tubuhnya. Tampak oleh prajurit itu apa yang
menyebabkan cambuknya tertahan. Ujung cambuk itu
ternyata tergenggam di tangan seorang pemuda ber-
pakaian kuning.
"Keparat...!" geram prajurit bercambuk itu. Dengan sekuat tenaga cambuknya
dihentakkan. Tapi walaupun telah mengerahkan seluruh tenaga, tetap saja cambuk
itu tidak bergeming.
"Uh...uhhh...!"
Terdengar suara mengeluh dari mulut prajurit itu, dalam upayanya menarik cambuk
itu. Namun tetap saja cambuk itu sama sekali tidak bergeming. Padahal nampak
jelas olehnya kalau pemuda berpakaian kuning itu sepertinya tidak mengerahkan
tenaga sama sekali! Wajah pemuda itu pun biasa saja. Tidak merah padam penuh
otot-otot yang menggembung seperti dirinya!
Mendadak pemuda bercambang lebat itu melepaskan
cekalan pada cambuknya. Padahal saat itu, si prajurit tengah mengerahkan seluruh
kekuatannya untuk menarik kembali cambuknya. Akibatnya pun sudah bisa diduga!
Tubuh prajurit itu terjengkang ke belakang, terbawa tenaganya sendiri.
Brukkk...! Prajurit itu menyeringai kesakitan ketika bokongnya menghantam tanah dengan
keras. Tentu saja hal ini membuat prajurit itu menjadi naik pitam. Bergegas dia
bangkit, dan langsung melecutkan cambuknya. Tapi kali ini tidak ke arah Ki
Paladi, melainkan ke arah pemuda berpakaian kuning.
Pemuda berpakaian kuning itu mendengus. Kemudian
tangannya diulurkan, menangkis lecutan cambuk itu.
Tarr! Keras dan telak sekali ujung cambuk itu mengenai
tangan pemuda berpakaian kuning. Luar biasa! Tidak nampak ada tanda-tanda kalau
pemuda itu menderita
kesakitan. Bahkan dengan kecepatan yang luar biasa, tangannya bergerak. Dan
sesaat kemudian, jari jemari tangan pemuda berpakaian kuning itu telah
mencengkeram ujung cambuk.
"Hih...!"
Pemuda bercambang lebat itu menggerakkan tangan
menghentak. Hebat sekali! Tubuh prajurit itu kontan terlempar ke depan, melewati
kepala pemuda berpakaian kuning.
"Aaa...!"
Prajurit itu berteriak ngeri tatkala mengetahui tubuhnya terlempar ke udara.
Seketika itu juga, pegangan pada cambuknya dilepaskan.
Brukkk...! Suara berdebuk keras kembali terdengar, begitu tubuh prajurit bercambuk itu
jatuh dengan kerasnya di tanah.
Tapi kali ini, prajurit itu tidak langsung bangkit. Dia menggeliat-geliat di
tanah. Dari mulutnya terdengar rintihan kesakitan.
Tentu saja Rupangga dan para prajurit lainnya kaget bukan main. Sungguh sama
sekali tidak disangka, kalau prajurit bercambuk itu dapat dirobohkan dengan
begitu mudah oleh pemuda berpakaian kuning.
"Tangkap pengacau ini!" perintah Rupangga keras pada para prajurit yang berada
di kereta, seraya menudingkan telunjuknya ke arah pemuda berpakaian kuning.
Tanpa menungu di perintah dua kali, tiga orang prajurit yang semula hanya
berdiam diri saja di atas kereta kuda, segera berloncatan turun.
Srattt...! Srattt...!
Sinar-sinar terang menyilaukan, langsung berpendar ketika prajurit-prajurit itu
mencabut goloknya. Dan langsung mengurung pemuda berpakaian kuning. Suara
berdesing nyaring terdengar, begitu golok-golok itu berkelebat menyambar pemuda
itu. Lagi-lagi pemuda berpakaian kuning hanya mendengus.
Tanpa ragu-ragu lagi, segera dipapaknya kelebatan golok yang menyambar ke
arahnya dengan tangan kosong.
Takkk, takkk, takkk...!
Terdengar suara nyaring begitu golok-golok itu berbenturan dengan lengan pemuda
berpakaian kuning.
Seolah-olah yang beradu dengan golok-golok itu bukan tangan manusia yang terdiri
daging dan tulang, melainkan sepotong baja yang amat kuat.
Tiga orang prajurit itu terkejut bukan kepalang. Seketika itu juga serangan
mereka terhenti. Dan kekagetan mereka bertambah besar begitu melihat apa yang
terjadi pada mata golok mereka. Mata golok golok itu gompal!
"Iblis...!" desis salah seorang dari tiga prajurit itu.
Perasaan ngeri membayang di wajahnya. Tanpa sadar
sepasang matanya menatap ke arah kedua tangan
pemuda berpakaian kuning. Seketika itu juga sepasang matanya semakin membelalak
lebar. Tangan pemuda bercambang lebat itu ternyata memang agak berbeda dengan
tangan manusia biasa. Kedua tangan pemuda itu
menyorotkan sinar kehitaman. Kedua rekannya yang juga menatap tangan pemuda
berpakaian kuning itu sama-sama terperanjat.
Semua kejadian ini tak luput dari perhatian Rupangga.
Dan punggawa ini pun dilanda kekagetan yang serupa.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Rupangga. Sepasang matanya merayapi wajah pemuda
yang berdiri tak jauh di hadapannya. "Sungguh berani kau menentang pasukan
kerajaan!"
Pemuda berpakaian kuning itu hanya tersenyum sinis.
"Aku" Aku..., Pendekar Tangan Baja! Aku tidak peduli siapa kalian! Yang jelas,
aku tidak bisa tinggal diam, melihat kekejaman di depan mataku!" sahut pemuda
berpakaian kuning itu tegas.
Dua alis Rupangga berkerut. Sekarang dia mengerti, mengapa kedua tangan pemuda
itu begitu luar biasa. Dari julukannya, punggawa itu sudah bisa memaklumi
kekuatan tangan pemuda itu
"Kuperingatkan kau, Anak Muda. Jangan sekali-kali bertindak sok pahlawan di
depan kami. Kau tahu apa akibat perbuatanmu" Kau akan menjadi musuh kerajaan!
Kau akan jadi buruan tentara Kerajaan!" gertak Rupangga.
"Tidak usah menggertakku, Punggawa!" sahut pemuda berpakaian kuning yang
ternyata berjuluk Pendekar Tangan Baja itu. "Perlu kau ketahui, untuk membela
kebenaran dan melawan kelaliman, aku tidak takut menghadapi apa pun!"
"Sombong!" teriak Rupangga keras. Wajahnya langsung memerah menahan amarah yang
bergolak di dadanya.
Punggawa ini memang mempunyai sifat pemarah, maka
tidak aneh jika kemarahannya langsung bergolak begitu melihat sikap Pendekar
Tangan Baja. "Tangkap pemberontak ini!" perintah Rupangga keras.
Kedua tangannya langsung bergerak ke punggung.
Srattt, srattt...!
Sinar terang berkilauan, begitu punggawa ini meloloskan sepasang pedangnya Dan
secepat kedua pedang itu
terhunus, secepat itu pula tubuhnya meluruk ke arah Pendekar Tangan Baja,
menyusul anak buahnya yang telah menyerang lebih dulu.
Pendekar Tangan Baja tidak menjadi gugup melihat
hujan serangan yang mengancamnya. Sekali lihat saja pemuda berpakaian kuning ini
tahu kalau di antara ke empat serangan itu, serangan Rupanggalah yang paling
berbahaya. Serangan punggawa ini memang tidak bisa disamakan dengan serangan
anak buahnya. Serangan
Rupangga mengandung tenaga dalam dan kecepatan jauh di atas keempat prajurit
itu. Meskipun Rupangga melakukan penyerangan
belakangan dan juga jaraknya dengan Pendekar Tangan Baja paling jauh, tapi
serangannya lebih dulu tiba daripada serangan anak buahnya.
Wuk, wuk...! Angin cukup keras telah lebih dulu menyambar, sebelum serangan kedua pedang
Rupangga tiba. Pendekar Tangan Baja rupanya tidak ingin bertindak setengah-setengah. Segera
saja kedua tangannya
diulurkan, memapak sepasang pedang yang mengancam-
nya. Dan secepat itu pula mencengkeramnya.
Tappp, tappp...!
Tak pelak lagi sepasang pedang Rupangga tercekal
pemuda berpakaian kuning itu. Dan sebelum punggawa itu berbuat sesuatu, kaki
kanan Pendekar Tangan Baja meluncur cepat ke perutnya.


Dewa Arak 09 Pendekar Tangan Baja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wut..! Bukkk! "Hugh...!"
Rupangga memekik tertahan. Tubuhnya kontan ter-
jengkang ke belakang ketika tendangan Pendekar Tangan Baja telak dan keras
menghantam perutnya. Seketika itu sepasang pedangnya terlepas dari genggaman.
Rasa mules dan mual yang amat sangat menyerang punggawa ini.
Untung bagi Rupangga. Pendekar Tangan Baja tidak
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya sewaktu melontarkan tendangan. Kalau tidak,
punggawa ini tentu sudah tidak bernyawa lagi. Walaupun begitu, selama beberapa
saat Rupangga tidak mampu bangkit.
*** Baru saja Pendekar Tangan Baja merobohkan
Rupangga, serangan tiga batang golok dari anak buah punggawa itu telah datang
bertubi-tubi bagaikan hujan.
Tapi, dengan ilmu meringankan tubuhnya yang berada jauh di atas lawan-lawannya,
tidak sulit bagi Pendekar Tangan Baja untuk mengelak. Lincah laksana seekor
kera, tubuhnya menyelinap di antara kelebatan sinar golok yang menghujani.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan oleh Pendekar
Tangan Baja. Kedua tangannya pun bergerak cepat. Sesaat kemudian terdengar pekik
kesakitan susul-menyusul, diiringi robohnya tubuh para prajurit itu satu
persatu. Pendekar Tangan Baja memandangi lima sosok yang
masih terkapar sambil merintih-rintih kesakitan.
"Bagaimana Punggawa" Masih penasaran?" tanya pemuda berpakaian kuning sambil
tersernyum sinis.
Rupangga bangkit tertatih-tatih. Sepasang matanya
menatap Pendekar Tangan Baja penuh dendam.
"Kali ini kau menang, Pendekar Tangan Baja! Tapi, ingat!
Tak lama lagi kau akan merasakan pembalasanku!" ancam punggawa itu.
Setelah mengucapkan ancaman yang hanya ditanggapi
pemuda berpakaian kuning sambil tertawa, punggawa itu berjalan menuju kereta.
"Bangun semua, kerbau-kerbau dungu! Kita kembali ke kotaraja!" teriak Rupangga
keras. Keempat orang prajurit itu pun bangkit, kemudian
melangkah cepat ke arah kereta, walaupun agak tertatih-tatih.
"Paladi!" ucap Rupangga lagi sambil memandang sang kepala desa, sebelum kereta
kuda bergerak. Kepala desa yang sial itu pun menoleh.
"Kau dan seluruh penduduk desa ini pun akan
menerima akibatnya!" ancam punggawa itu lagi.
Seketika itu juga wajah kepala desa itu memucat. Ki Paladi kenal betul siapa itu
Rupangga. Orang yang
mempunyai sifat pemarah dan pendendam. Punggawa ini tidak akan pemah membiarkan
orang menghinanya.
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Dua ekor kuda penarik kereta itu pun segera berlari cepat, begitu kusir kereta
itu melecutkan cambuknya.
Debu mengepul tinggi begitu kereta kuda itu bergerak meninggalkan tempat itu.
Dua pasang mata melepas
kepergian kereta itu. Sepasang mata yang bersinar tajam milik Pendekar Tangan
Baja, dan sepasang mata yang menyorotkan sinar kecemasan milik Ki Paladi.
"Mengapa kau menolongku, Anak Muda?" tanya Ki Paladi ketika kereta kuda itu
sudah tidak terlihat lagi.
Sepasang mata kepala desa ini menatap tajam wajah
pemuda berpakaian kuning di hadapannya.
Pendekar Tangan Baja terlonjak kaget. Aneh, pertanyaan laki-laki berpakaian
putih ini terdengar penuh penyesalan.
Sedikit pun tidak nampak rasa terima kasih mendapat pertolongan. Beberapa saat
lamanya pemuda berpakaian kuning hanya berdiri seperti patung. Tidak tahu harus
berkata apa. "Kau tahu, Anak Muda. Perbuatanmu hanya akan membawa bencana bagi seluruh
penduduk desa ini!" Jelas Ki Paladi
Keras dan tajam sekali suara kepala desa itu. Tak heran jika Pendekar Tangan
Baja yang memang mempunyai sifat keras kepala jadi bangkit emoslnya.
"Jadi, kau lebih suka kalau kubiarkan prajurit-prajurit itu menyiksamu"!" tanya
pemuda berpakaian kuning setengah menyindir.
"Ya!" tandas Ki Paladi.
Tentu saja jawaban yang sama sekali tidak disangkanya itu membuat Pendekar
Tangan Baja terkejut. Beberapa saat pemuda berpakaian kuning ini tercenung.
"Mengapa?" tanya Pendekar Tangan Baja setelah berhasil menenangkan hati.
Ki Paladi menarik napas panjang kemudian dihembus-
kannya kuat-kuat. Seolah-olah dengan berbuat seperti itu, keresahan hatinya
dapat lenyap. "Aku rela disiksa mereka daripada wargaku mengalami nasib yang lebih buruk
lagi...," desah kepala desa itu perlahan. Sepasang matanya menerawang jauh ke
langit. "Aku tidak mengerti maksudmu, Ki"
"Lebih baik kau tidak usah tahu, Anak Muda," tandas Ki Paladi.
"Ki" Jangan membuatku penasaran! Jelaskan maksud ucapanmu tadi!" sentak Pendekar
Tangan Baja keras.
Sepasang matanya menatap tajam wajah laki-laki setengah baya berpakaian putih
itu. "Kau memang berotak bebal! Perlukah kujelaskan lagi akibat tindakanmu tadi"!"
sergah kepala desa itu tak kalah keras.
Merah wajah pemuda berpakaian kuning mendengar
ucapan Ki Paladi. Kemarahannya pun bangkit. Tapi,
Pendekar Tangan Baja mencoba menahan amarahnya,
meskipun dadanya serasa akan meledak akibat emosi
yang bergolak. "Kau tahu, Pendekar Tangan Baja! Kalau saja kau tidak campur tangan dalam urusan
ini, paling-paling hanya aku yang mereka siksa. Tapi karena kau telah campur
tangan, maka semua penduduk desa ini akan menanggung
akibatnya. Rupangga dan anak buahnya pasti akan
kembali kemari! Bukankah kau telah mendengar ancaman tadi?" sambung laki-laki
setengah baya berpakaian putih itu berapi-api.
Pendekar Tangan Baja terkejut bukan main. Sungguh di luar dugaan kalau campur
tangannya akan membawa
akibat yang demikian besar. Perlahan emosinya pun mulai surut.
"Aku mengaku salah, Ki. Tapi, percayalah. Kalau mereka datang lagi, aku yang
akan menghadapinya!" tegas pemuda berpakaian kuning.
"Kuhargai bantuan yang kau tawarkan itu, Anak Muda,"
ucap Ki Paladi lagi. Suaranya kini telah mulai melunak.
Memang kemarahannya telah agak mereda begitu men-
dengar ucapan pemuda berpakaian kuning itu. "Tapi, sayang. Aku tidak bisa
menerimanya."
"Mengapa, Ki"!" tanya Pendekar Tangan Baja. Sepasang alis pemuda berpakaian
kuning ini berkerut dalam.
Perasaan heran membayang jelas di wajahnya.
"Sebelumnya aku mohon maaf, Anak Muda. Bukannya aku merendahkan kemampuanmu.
Tapi, perlu kau ketahui, lawan yang akan kau hadapi sangat banyak, dan memiliki
kepandaian tinggi."
"Aku tidak takut Ki!" selak Pendekar Tangan Baja cepat.
"Aku percaya kau tidak takut, Anak Muda. Tapi bagaimana dengan para penduduk"
Bisakah kau melindungi
sekian banyak penduduk desa ini, sementara kau harus menghadapi lawan-lawan
tangguh." Pendekar Tangan Baja terdiam. Disadari kebenaran
yang terkandung dalam ucapan kepala desa itu.
"Aku mohon dengan amat sangat, kau bersedia
menyingkir dari desa ini, Anak Muda," pinta Ki Paladi.
Sepasang matanya menatap wajah pemuda berpakaian
kuning lekat-lekat meminta pengertian pemuda itu.
"Hhh...!" desah Pendekar Tangan Baja setelah termenung sekian lamanya "Baiklah.
Kalau memang itu kemauanmu, Ki. Aku akan pergi. Tapi, bagaimana kalau mereka
datang lagi?"
"Tidak usah kau pikirkan. Anak Muda. Aku yakin akan dapat mengatasinya," sahut
Ki Paladi. Meskipun begitu, Pendekar Tangan Baja menangkap adanya nada keraguan
dalam ucapan kepala desa ini.
"Baiklah, Ki." Pendekar Tangan Baja akhimya terpaksa mengalah.
"Terima kasih atas pengertianmu, Anak Muda."
Pendekar Tangan Baja hanya tersenyum pahit. Di
langkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Kepala desa menatap punggung pemuda
berpakaian kuning hingga
lenyap di kejauhan.
"Hhh...! Mudah-mudahan saja, aku dapat mengatasinya!" gumam Ki Paladi pelan.
Lalu dilangkahkan kakinya menuju rumahnya. Kepala desa ini ingin mengobati luka-
luka akibat cambukan prajurit tadi
*** 2 Malam datang menjelang. Kegelapan mulai menyelimuti Desa Bakung. Suasana sepi
pun mencekam sehuruh desa.
Angin dingin berhembus menggigilkan, menusuk sampai ke tulang sumsum. Rasanya
mustahil kalau ada penduduk yang keluar rumah di malam seperti ini.
Namun, tak seorang penduduk pun tahu kalau di malam dingin ini, berkelebatan
beberapa sosok bayangan yang bergerak cepat menuju desa. Menilik dan gerakan
mereka yang rata-rata cukup gesit itu, bisa diperkirakan kalau sosok-sosok
bayangan itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
Dalam keremangan malam, sosok-sosok bayangan yang
berkelebatan tadi tak ubahnya hantu-hantu yang
bergentayangan mencari mangsa.
Tak lama kemudian, sosok-sosok bayangan itu telah
memasuki mulut Desa Bakung. Sosok-sosok bayangan itu rata-rata berwajah kasar.
Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang! Dan begitu memasuki desa,
mereka berpencar. Berkelompok empat-empat, menuju rumah
rumah penduduk.
Srattt, srattt...!
Sinar terang berkilatan susul-menyusul begitu orang-orang yang berwajah kasar
itu menghunus senjatanya masing-masing. Dan dengan senjata terhunus mereka
bergerak mendekati rumah warga desa.
Brakkk...! Sebuah rumah yang letaknya paling dekat dengan mulut Desa Bakung menjadi sasaran
pertama. Daun pintu rumah itu langsung hancur berantakan, mengeluarkan suara
hiruk pikuk ketika sebuah kaki kokoh menghantamnya.
Karuan saja suara ribut-ribut itu membuat penghuni rumah tersentak bangun. Tapi,
gerombolan orang kasar itu tidak memberi kesempatan. Begitu pintu hancur, mereka
bergegas menerobos masuk. Dan langsung membabatkan senjatanya pada penghuni
rumah yang baru saja beranjak keluar kamar.
Cappp, ceppp...!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian saling susul. Diiringi robohnya pemilik rumah yang sial
itu dengan tubuh bermandikan darah. Penduduk yang sial itu menggelepar-gelepar
sejenak sebelum akhimya diam tidak bergerak lagi. Tewas!
Malam yang begitu hening membuat suara jeritan itu menggema ke seluruh desa.
Tentu saja suara jerit
kematian itu mengejutkan penduduk yang berada di
sekitar rumah itu. Tapi belum sempat mereka berbuat sesuatu, gerombolan orang-
orang kasar lainnya tiba di rumah mereka.
Dan seperti kejadian di rumah yang pertama. Peristiwa serupa pun terjadi di
rumah-rumah yang lain.
"Bakar...!"
Perintah seorang yang bertubuh tinggi besar, dan
berambut jarang, begitu melihat anak buahnya telah keluar dari rumah yang
penghuninya telah dibantai. Keras dan tegas suaranya. Rupanya orang ini adalah
pemimpin rombongan. Begitu si tanggi besar ini selesai mengucapkan perintah, puluhan orang berwajah
kasar itu pun segera bergerak cepat. Obor-obor yang terpancang di tiap sudut
rumah diambil. Lalu dilemparkan ke rumah-rumah penduduk yang sebagian besar
berdinding bilik. Obor-obor itu tidak hanya dilemparkan ke rumah-rumah yang
penduduknya telah
terbantai, tapi juga ke rumah-rumah yang belum mereka masuki.
Akibatnya sudah bisa diduga. Dalam sekejap saja
rumah-rumah itu pun dilalap api yang lama-kelamaan semakin membesar dan
membesar. Kepanikan pun segera terjadi. Para penduduk berlarian keluar rumah.
Tapi, di luar ternyata telah menghadang bahaya yang tak kalah
mengerikan. Puluhan orang-orang kasar itu enak saja membabatkan senjatanya ke sana kemari.
Tentu saja para penduduk yang tengah sibuk menyelamatkan diri dari amukan api,
tidak siap menghadapi bahaya yang tidak terduga itu. Dalam waktu sekejap. Desa
Bakung menjadi arena pembantaian yang mengerikan!
Jerit kesakitan dari orang yang terluka, teriakan
ketakutan dari wanita-wanita, dan tangisan anak-anak berbaur menjadi satu, di
tengah tengah kobaran api yang membumbung tinggi ke udara.
Suara hiruk-pikuk dan jeritan yang terdengar susul menyusul, sayup sayup sampai
di telinga Ki Paladi. Laki-laki setengah baya berpakaian putih ini terkejut
bukan main. Bergegas kepala desa ini berlari ke luar rumahnya.
Kontan sepasang mata kepala desa ini terbelalak, begitu melihat api yang
membumbung tinggi ke udara. Buru-buru Ki Paladi berlari menuju ke arah asal api.
Belum juga kepala desa itu tiba di tempat kejadian, langkahnya terhalang oleh
para penduduk yang berlari-lari ketakutan. Sementara agak jauh di belakang
mereka, terlihat puluhan sosok bergerak terus memasuki desa. Di sepanjang
perjalanan, mereka membantai para penduduk yang ditemui sambil terus membakari
rumah. Ki Paladi menggertakkan gigi. Laki-laki setengah baya berpakaian putih ini marah
bukan kepalang melihat
kejadian ini. Cepat dia melesat menuju puluhan orang kasar yang masih menyebar
maut itu. Tapi langkah kaki kepala desa ini segera terhenti, ketika tiba-tiba sosok
bayangan berkelebat menghadang di
hadapannya. Langkah Ki Paladi terpaksa dihentikan.
Sepasang matanya menatap tajam pada sosok yang berdiri menghadang.
Sosok itu ternyata seorang laki-laki tinggi besar
berambut jarang dan berkulit putih. Pimpinan gerombolan!
"Ha ha ha...! Mau ke mana kau, Paladi"!" tegur laki-laki tinggi besar itu kasar.
Sepasang mata Ki Paladi terbelalak, begitu mengenan laki-laki tinggi besar di
hadapannya. Tokoh itu adalah Gajah Putih. Bersama adik kembamya yang berjuluk
Gajah Hitam, laki-laki tinggi besar ini menjadi kepala rampok yang kejam dan
ganas. Biasanya gerombolan ini beroperasi di hutan-hutan. Tapi, mengapa sekarang
bisa datang ke sini" tanya Ki Paladi dalam hati. Perasaan bingung pun melanda
hati Kepala Desa Bakung ini.
"Gajah Putih! Tidak tahukah akibat dari perbuatanmu ini"! Gusti Prabu akan
mengerahkan pasukan untuk mem-basmi kau dan anak buahmu!" ucap Ki Paladi mencoba
menggertak. "Ha ha ha...!" Gajah Putih tertawa bergelak begitu Kepala Desa Bakung itu
menghentikan ucapannya. "Lucu!
Lucu sekali! Gusti Prabu tidak mungkin akan menangkap-ku! Tahukah kau mengapa
aku datang ke sini?"
Laki-laki setengah baya berpakaian putih menggelengkan kepalanya.
"Aku datang ke sini, atas perintah Gusti Prabu!" tandas Gajah Putih tegas.
"Apa"!" Ki Paladi terkejut bukan alang kepalang.
"Kau terkejut Paladi" Aku datang ke sini, untuk menangkap Pendekar Tangan Baja.
Hidup atau mati.
Sekaligus membumihanguskan desa ini! Semua ini atas perintah Gusti Prabu
Jayalaksana!" jelas Gajah Putih.
"Bohong! Kau bohong, Gajah Putih!" sentak Ki Paladi dengan wajah pucat
"Ha ha ha..! Aku tidak peduli, kau mau percaya atau tidak! Cepat beritahukan
tempat pendekar keparat itu!"
bentak Gajah Putih.


Dewa Arak 09 Pendekar Tangan Baja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak tahu. Pemuda itu sudah pergi," sahut kepala desa itu.
"Kalau begitu, sekarang giliranmu dulu, Paladi! Kau dan seluruh penduduk desa
ini! Hiyaaat. !"
Setelah menyelesaikan kata-katanya, laki-laki tinggi besar yang berjuluk Gajah
Putih itu langsung menerjang sang kepala desa. Kepalannya yang besar, meluncur
deras ke arah kepala Ki Paladi. Angin berdesir keras mengiringi tibanya pukulan
itu. Wuuuttt..! Tapi Ki Paladi ternyata bukanlah orang lemah. Dengan sebuah gerakan sederhana,
digeser kakinya ke kanan.
Sehingga serangan tinju Gajah Putih mengenai tempat kosong. Lewat setengah
jengkal dari pinggang laki-laki tua berpakaian putih itu.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Ki
Paladi. Pada saat itu juga, kepala desa ini mengayunkan kakinya ke arah dada
lawan. Bukkk! "Eh..."!"
Ki Paladi memekik kaget. Tendangannya yang telak
mendarat pada sasarannya, membalik. Malah sekujur
kakinya dirasakan ngilu bukan kepalang. Seolah-olah yang ditendangnya tadi
bukanlah dada manusia, melainkan segumpal baja kuat, sehingga membuat tenaga
tendangannya tak berarti. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, tangan kanan
Gajah Putih menyambar
kakinya. Tappp...! "Akh...!"
Ki Paladi terkejut bukan main tatkala menyadari
pergelangan kakinya telah tertangkap Gajah Putih.
Laki-laki setengah baya berpakaian putih ini sadar kalau dirinya berada dalam
bahaya. Cepat-cepat ditarik kakinya.
Tapi, ternyata cengkeraman tangan Gajah Putih terlalu kuat. Jangankan terlepas,
bergeming pun tidak! Kepala Desa Bakung ini pun jadi ngeri bukan main. Ki Paladi
tahu kalau nyawanya kini terancam. Sekali saja Gajah Putih menggerakkan jari-
jari mencengkeram, atau membetot kakinya, celakalah dia.
Tapi di saat kritis bagi Ki Paladi, sesosok bayangan kuning melesat cepat. Dan
langsung mengirimkan pukulan keras ke perut laki-laki tinggi besar berambut
jarang itu. Bukkk! "Hugh...!" .
Tubuh Gajah Putih tertunduk. Rasa mual dan mules
yang amat sangat melanda perutnya. Seketika itu juga cengkeraman pada kaki Ki
Paladi terlepas.
Tanpa membuang-buang waktu kepala desa itu
langsung melompat mundur. Tahu-tahu di sebelah Ki
Paladi telah berdiri seorang pemuda berpakaian kuning, dan bercambang lebat
"Pendekar Tangan Baja," desis Ki Paladi memanggil pemuda itu.
Sang penolong yang memang Pendekar Tangan Baja itu hanya melempar seulas senyum
*** Sementara itu Gajah Putih yang kini sudah berhasil
memulihkan rasa sakit di perutnya, segera berdiri tegak kembali. Sepasang
matanya menatap penuh kemarahan
pada pemuda berpakaian kuning yang berdiri di depannya.
Tapi di samping perasaan marahnya, perasaan kaget pun melanda hatinya. Pemuda
berpakaian kuning itu mampu membuat perutnya sakit, hanya dengan sekali pukul.
Padahal selama ini belum pemah seorang lawan yang
mampu menembus kekerasan kulit tubuhnya.
"Keparat!" geram laki-laki tinggi besar berambut jarang itu. "Jadi, kau orang
yang berjuluk Pendekar Tangan Baja"!"
"Tidak salah!" sahut pemuda berpakaian kuning seraya menganggukkan kepalanya.
Gajah Putih menggeram keras.
"Kalau begitu, kau harus mampus di tanganku!
Hiyaaa...!"
Laki-laki tinggi besar berambut jarang itu menerjang Pendekar Tangan Baja. Kedua
tangannya yang terkepal, mengirimkan serangan beruntun pada dada, ulu hati, dan
perut pemuda berpakaian kuning.
Angin menderu dahsyat mengawali tibanya serangan
Gajah Putih. Tapi pemuda berpakaian kuning itu seperti tidak mempedulikannya.
Bahkan kepalanya menoleh ke arah Ki Paladi.
"Lebih baik kau bantu para penduduk, Ki," ucap Pendekar Tangan Baja pada Ki
Paladi yang berdiri terpaku, menonton pertarungan kedua tokoh itu.
Tentu saja sikap pemuda ini membuat Gajah Putih bertambah murka. Karena
dilihatnya pemuda berpakaian
kuning itu sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya!
Memang bagi Pendekar Tangan Baja, serangan yang
dilancarkan Gajah Putih tidak terlalu berbahaya. Gerakan laki-laki tinggi besar
berambut jarang ini terlalu lamban baginya. Hanya saja setiap serangannya
mengandung tenaga dalam penuh.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, pemuda berpakaian kuning menggerakkan kedua tangannya
yang terkepal, memapak pukulan Gajah Putih.
Dukkk, dukkk...!
Suara berderak keras terdengar ketika buku-buku tulang kedua orang ini
berbenturan. Hebat akibatnya. Baik Pendekar Tangan Baja maupun Gajah Putih sama-
sama terjajar ke belakang. Tenaga dalam kedua orang ini ternyata berimbang.
Semula begitu melihat lawan menangkis serangannya, Gajah Putih tertawa dalam
hati. Laki-laki tinggi besar ini sudah dapat meramalkan kalau kedua tangan
pemuda itu akan patah-patah bila bertemu lengannya. Maka dapat dibayangkan
betapa kaget hatinya begitu melihat kedua tangan pemuda berbaju kuning itu tidak
apa-apa. Bukan hanya Gajah Putih saja yang terkejut Pendekar Tangan Baja pun mengalami
hal yang serupa. Sungguh tidak disangkanya kalau tenaga laki-laki tinggi besar
berambut jarang ini begitu kuatnya. Sadarlah pemuda berpakaian kuning kalau kali
ini dia tidak boleh bertindak main-main. Tapi walau bagaimana pun, Gajah Putih
harus secepatnya ditundukkan, agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi.
Meskipun tengah bertempur, Pendekar Tangan Baja
sempat melihat Ki Paladi tengah bertarung menghadapi gerombolan orang-orang
berwajah kasar itu. Meskipun hanya melirik sekilas, Pendekar Tangan Baja dapat
mengetahui kalau kepala desa itu tengah terdesak. Laki-laki setengah baya
berpakaian putih itu tengah menghadapi keroyokan empat orang anggota gerombolan
pengacau. Sedangkan sisa gerombolan masih menyebar maut, sambil terus melempari
obor ke rumah-rumah penduduk. Warga desa yang memiliki sedikit kepandaian,
mencoba mengadakan perlawanan. Tapi usaha mereka sia-sia belaka. Gerombolan
orang kasar itu dengan mudah me-matahkan perlawanan mereka, dan membantainya.
Ki Paladi menggertakkan gigi. Laki-laki setengah baya berpakaian putih ini sudah
mengerahkan seluruh
kepandaiannya. Tapi ternyata empat orang lawannya terlalu tangguh. Hal ini
membuat kepala desa ini menjadi gelisah bukan main. Sementara Pendekar Tangan
Baja dilihatnya masih sibuk bertarung dengan Gajah Putih. Tidak ada lagi orang
yang dapat diandalkan untuk menghadapi gerombolan liar itu.
Mendadak, pendengaran Ki Paladi mendengar suara
teriakan teriakan kesakitan, disusul dengan robohnya anggota gerombolan itu satu
persatu. Tentu saja hal ini membuat Ki Paladi kaget. Sambil terus menghadapi
empat orang pengeroyoknya, sudut matanya melirik.
Tampak oleh Ki Paladi, seorang pemuda berpakaian
ungu dan berambut putih keperakan telah berdiri di situ.
Luar biasa! Pemuda itu hanya mengibas-ngibaskan tangannya dengan sikap
sembarangan saja. Tapi akibatnya, gerombolan perampok itu berpentalan seperti
dilanda angin badai yang amat kuat.
Dalam waktu singkat, belasan anggota gerombolan
sudah berpentalan tak tentu arah. Dan hebatnya, setiap anggota yang berpentalan
itu tidak mampu bangkit lagi.
Meskipun begitu, tidak ada di antara mereka yang tewas!
Sementara di lain arena, Pendekar Tangan Baja sudah menguasai keadaan. Berkat
ilmu meringankan tubuh, dan kecepatan geraknya yang jauh di atas Gajah Putih,
pemuda berpakaian kuning itu dapat menekan lawannya. Tidak sampai delapan jurus
bertarung, Gajah Putih sudah terdesak hebat.
Gajah Punh meraung murka. Berkali-kali laki-laki tinggi besar dan berambut
jarang ini dibuat pontang-panting menyelamatkan selembar nyawanya. Gajah Putih
tidak berani menerima setiap pukulan yang dilontarkan pemuda berpakaian kuning
itu. Tapi laki-laki tinggi besar dan berambut jarang berani membiarkan kaki
Pendekar Tangan Baja menghantam sekujur tubuhnya.
Gajah Putih memang mempunyai kulit tubuh yang kuat seperti badak. Biasanya laki-
laki tinggi besar dan berambut jarang ini selalu memamerkan kekuatan tubuhnya,
dan menerima setiap serangan lawannya. Tapi menghadapi Pendekar Tangan Baja, dia
tidak berani mengandalkan kekuatan tubuhnya. Kehebatan tangan pemuda berpakaian
kuning itu sudah dia rasakan ketika menghantam perutnya tadi.
"Hiyaaat..!"
Seraya mengeluarkan teriakan nyaring. Pendekar
Tangan Baja melancarkan sebuah pukulan ke arah perut.
Cepat bukan main gerakannya. Cepat dan tidak terduga-duga. Gajah Putih terkejut
bukan main. Sedapat mungkin laki-laki tinggi besar dan berambut jarang ini
berusaha mengelak. Tapi...
Bukkk! "Hukh...!"
Gajah Putih melenguh tertahan. Tubuhnya terbungkuk seketika. Perutnya terasa
mual dan mules bukan main.
Dan di saat itulah serangan susulan dan Pendekar Tangan Baja kembali menyambar.
Dua jari tangan pemuda berpakaian kuning itu menegang kaku dan menyambar cepat
ke arah dahi. Wuuuttt...! Crottt..!
"Aaakh...!"
Gajah Putih menjerit memilukan. Kedua jari Pendekar Tangan Baja amblas di
dahinya. Cairan merah bercampur cairan putih kental bermuncratan, ketika dahi
laki-laki tinggi besar itu tertembus dua jari pemuda berpakaian kuning. Tubuh
laki-laki tinggi besar dan berambut jarang itu menggelepar-gelepar sejenak.
Sesaat kemudian diam, tak bergerak untuk selamanya.
Sekilas Pendekar Tangan Baja menatap Gajah Putih
yang tergolek kaku di tanah. Baru setelah itu tubuhnya kembali melesat. Kali ini
ke arah Ki Paladi yang tengah terdesak oleh empat orang lawannya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara pemuda berpakaian kuning itu
mendarat di dekat Kepala Desa Bakung. Tangan dan
kakinya bergerak cepat.
"Akh...! Aaa...!"
Jerit kematian terdengar susul-menyusul mengiringi robohnya keempat tubuh tanpa
nyawa di tanah.
Ki Paladi segera melompat mundur begitu melihat
empat lawannya sudah roboh tidak bergerak lagi. Dan berbareng dengan robohnya
keempat pengeroyok Ki
Paladi, pemuda berambut putih keperakan itu sudah pula berhasil merobohkan
anggota gerombolan perampok yang tersisa.
Berbeda dengan lawan yang dihadapi Pendekar Tangan Baja, lawan yang berhadapan
dengan pemuda berambut putih keperakan itu tidak ada seorang pun yang tewas.
Tapi usaha pemuda berambut putih keperakan itu sia-sia
belaka. Karena begitu orang-orang kasar itu merasa tidak mampu melawan lagi,
mereka bunuh diri!
Pemuda berambut putih keperakan menghela napas
ketika melihat semua lawan yang dirobohkan itu,
semuanya mati bunuh diri. Beberapa saat lamanya
pemuda ini tercenung.
*** Sementara itu api yang berkobar pun sudah mulai
padam. Memang, setelah pemuda berambut putih
keperakan itu muncul para penduduk tidak terganggu lagi oleh amukan gerombolan
orang-orang kasar itu. Perhatian anggota gerombolan itu, semua tertumpah pada
pemuda yang lihai itu. Sehingga para penduduk leluasa untuk menanggulangi
kebakaran. Ki Paladi beranjak menghampiri pemuda berambut putih keperakan. Sepasang mata
laki-laki tua berpakaian putih itu merayapi sekujur tubuh pemuda di hadapannya.
Dilihat juga sebuah guci arak yang tersampir di punggung pemuda itu. "Terima
kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Kalau tidak ada dirimu, entah apa yang
terjadi dengan seluruh penduduk desa ini." ucap Kepala Desa Bakung.
"Lupakanlah, Ki." sahut pemuda berambut putih keperakan. Pelan dan halus
suaranya "Apa yang kulakukan ini adalah suatu hal yang biasa. Bukankah hidup di
dunia ini kita harus saling tolong menolong?"
Ki Paladi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sementara Pendekar Tangan Baja hanya menggerakkan
bagian atas bibimya. Entah apa maksudnya, hanya pemuda itu sendiri yang tahu.
Tapi yang jelas, Pendekar Tangan Baja diam-diam mengagumi ketinggian ilmu yang
dimiliki pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kalau boleh kutahu, siapa kau, Anak Muda" Dan ke mana tujuanrnu?" tanya Ki
Paladi lagi. "Namaku Arya, Ki. Aku pergi ke mana saja kakiku melangkah. Kalau boleh kutahu,
apakah yang terjadi di desa ini, Ki?" tanya pemuda berambut putih keperakan yang
ternyata adalah Arya Buana alias Dewa Arak.
Ki Paladi tersenyum kecut.
"Sifatmu tidak jauh berbeda dengan Pendekar Tangan Baja! Ataukah memang sifat
semua orang muda begitu"
Selalu ingin mencampuri urusan orang lain?" sindir Kepala Desa Bakung itu.
Dewa Arak saling pandang dengan Pendekar Tangan
Baja. Bibir kedua pendekar muda itu sama-sama
menyunggingkan senyum.
"Tentu saja tidak semua, Ki. Yang kucampuri hanya
urusan-urusan yang di dalamnya ada ketidak adilan," sahut Dewa Arak tandas.
Pendekar Tangan Baja mengangguk-anggukkan kepala-
nya, pertanda menyetujui ucapan Dewa Arak.
"Bisa kumengerti apa maksudmu, Arya. Tapi, perlu kau ketahui, dalam urusan ini
kuanjurkan kau dan Pendekar Tangan Baja lebih baik tidak usah ikut campur," ucap
Ki Paladi memberi nasihat.
"Mengapa. Ki?" tanya Pendekar Tangan Baja. Sepasang alis pemuda berpakaian
kuning itu berkerut dalam tanda kalau hatinya dilanda perasaan penasaran. "Kali
ini aku mohon, kau mau menjelaskan alasanmu, Ki. Jangan lagi berteka-teki."
Dewa Arak menatap wajah Ki Paladi dan Pendekar
Tangan Baja bergantian. Pemuda ini tidak paham maksud pembicaraan kedua orang
itu. "Jadi, kejadian ini bukan yang pertama kalinya.
Pendekar Tangan Baja?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu.
"Benar, Arya," sahut pemuda berpakaian kuning itu pelan. "Pagi tadi juga ada
kejadian di desa ini." Kemudian Pendekar Tangan Baja menceritakan semua kejadian
yang dialaminya.
"Apakah kejadian malam ini ada sangkut pautnya dengan kejadian tadi pagi, Ki?"
tanya Dewa Arak.
"Hhh...!" Ki Paladi menghela napas panjang.
Pelahan kepalanya terangguk. Sementara Pendekar
Tangan Baja menatap pemuda berambut putih keperakan itu dengan sorot mata penuh
pertanyaan. Memang belum dimengertinya maksud pertanyaan Dewa Arak.
"Aneh...," gumam Dewa Arak pelan. Dahi pemuda berambut putih keperakan itu
berkemyit dalam. Jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Pendekar Tangan Baja dan Ki Paladi menatap Dewa
Arak. "Apa yang aneh, Arya?" tanya pemuda berpakaian kuning itu agak bingung.
Sedangkan Ki Paladi hanya terdiam.
"Bukankah pagi tadi kau berurusan dengan prajurit-prajurit kerajaan, Pendekar
Tangan Baja?" tanya Arya tanpa mempedulikan pertanyaan pemuda berpakaian kuning
itu. "Ahhh...! Kau benar, Arya! Mengapa aku begitu bodoh"!"
sentak Pendekar Tangan Baja. Kini pemuda berpakaian kuning itu mulai dapat


Dewa Arak 09 Pendekar Tangan Baja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meraba penyebab malapetaka di Desa Bakung malam ini. Setelah berkata demikian,
Pendekar Tangan Baja menatap wajah Ki Paladi lekat-lekat. Sinar matanya
menyiratkan keingintahuan yang mendalam.
"Panjang sekali ceritanya. Mari ke rumahku. Akan kuceritakan semuanya, agar
kalian berdua tidak penasaran lagi!" ucap laki-laki tua berpakaian putih setelah
tercenung beberapa saat lamanya.
"Pardi!" panggil Kepala Desa Bakung. Ditolehkan kepalanya ke arah kerumunan
penduduk yang masih sibuk memadamkan api yang mulai mengecil.
"Ya, Ki!" sahut sebuah suara. Disusul dengan munculnya pemuda bertubuh kekar
yang menyibak dari kerumunan penduduk.
"Kau wakili aku mengurus semua keadaan di sini,"
perintah Ki Paladi.
"Baik, Ki," pemuda kekar yang bernama Pardi menganggukkan kepalanya.
Setelah Pardi berlalu, Ki Paladi kembali mengalihkan perhatian kepada dua orang
pemuda perkasa itu.
"Mari...," ucap kepala desa mempersilakan, seraya mendahului melangkah
meninggalkan tempat itu. Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak segera mengikuti
laki-laki tua berpakaian putih yang telah berjalan lebih dulu.
*** "Semula aku tidak ingin menceritakannya pada kalian,"
ucap Ki Paladi membuka percakapan, setelah ketiganya berada di ruang tengah yang
cukup luas di rumah kepala desa.
Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak hanya diam saja.
Sedikit pun mereka tidak berusaha menyelak ucapan laki-laki tua berpakaian putih
itu. Meskipun begitu, pendengaran dan pikiran mereka dipasang tajam-tajam,
menyimak semua perkataan Ki Paladi.
"Aku sama sekali tidak mengerti mengapa semua ini bisa terjadi," sambung laki-
laki tua berpakaian putih lagi.
"Setahuku Gusti Prabu Jayalaksana adalah raja yang adil.
Tidak pernah Gusti Prabu memberatkan rakyatnya. Tapi..., beberapa pekan
belakangan ini..., banyak keputusan Gusti Prabu yang aneh. Dalam hal pajak,
misalnya. Pajak yang dibebankan Gusti Prabu pada rakyatnya terlalu mencekik
leher!" Ki Paladi menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Sekaligus juga
untuk melihat reaksi kedua pemuda perkasa yang duduk di hadapannya. Tapi, baik
Dewa Arak maupun Pendekar Tangan Baja sama sekali
tidak memberikan tanggapan. Rupanya kedua pemuda itu ingin mendengarkan cerita
itu dulu hingga selesai.
"Aku khawatir kalau keadaan seperti ini terus berlarut-larut, rakyat akan
memberontak," ucap Ki Paladi mengakhiri centanya.
Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak saling pandang.
Bahkan dahi Dewa Arak berkernyit. Suatu bukti nyata ada hal yang mengganggu
pikirannya. "Bagaimana" Kalian masih mau ikut campur tangan"
Kalau menurutku, lebih baik kalian segera menyingkir dari sini. Keluar dari
wilayah Kerajaan Kamujang. Ingat, kalian berhadapan dengan ribuan orang!
Pikirlah baik-baik," ujar Ki Paladi menasihati.
"Terima kasih atas usulmu, Ki. Tapi sayang, aku tidak dapat menerimanya. Aku
telah telanjur mencampuri urusan ini. Jadi mau tidak mau harus kuselesaikan
hingga tuntas,"
tegas Dewa Arak.
"Kau hanya akan mengantar nyawa saja, Arya. Sudah banyak pendekar yang mencoba
menentang kelaliman
Gusti Prabu Jayalaksana. Tapi, hanya kematian yang mereka dapatkan. Kerajaan
Kamujang memiliki jago-jago istana yang memiliki kepandaian luar biasa!" laki-
laki tua berpakaian putih mencoba mencegah niat pemuda
berambut putih keperakan itu.
"Bagus sekali, Arya!" selak Pendekar Tangan Baja cepat
"Mari kita bahu-membahu menentang kekejaman raja lalim itu!"
Dewa Arak tersenyum mendengar ucapan penuh
semangat dari pemuda berpakaian kuning itu.
"Kau dengar sendiri, Ki" Pendekar Tangan Baja tidak gentar! Demi membela
kebenaran kami rela mengorban-kan nyawa kami, Ki," tukas pemuda berbaju ungu
itu. "Hhh...! Terserahlah kalau itu memang sudah menjadi tekad kalian," ujar Ki
Paladi seraya menghela napas panjang.
"Terima kasih, Ki," sahut Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja berbarengan.
"Kudoakan semoga kalian berhasil!" ucap Kepala Desa Bakung pelan. Suaranya lebih
mirip desahan. Pendekar Tangan Baja bangkit dari duduknya Dewa Arak bangkit juga.
"Untuk kesuksesan kita, Arya." ujar Pendekar Tangan Baja sambil mengulurkan
tangan. Dewa Arak tersenyum lebar seraya menyambut uluran
tangan pemuda berpakaian kuning itu. Dijabatnya tangan Pendekar Tangan Baja
erat-erat. Diam-diam pemuda
berambut putih keperakan itu merasa kagum ketika
merasakan jari-jemari tangan pemuda di hadapannya.
Sekilas pandangan Dewa Arak singgah pada tangan
Pendekar Tangan Baja. Kini pemuda berambut putih
keperakan maklum mengapa pemuda berpakaian kuning
itu berjuluk Pendekar Tangan Baja.
Jari jemari dan tangan pemuda ini memang benar-benar lebih mirip baja ketimbang
tangan manusia. Begitu kokoh dan kuat!
"Kami permisi dulu, Ki." ucap Dewa Arak seraya melepaskan genggaman tangannya.
Kemudian kakinya
melangkah meninggalkan tempat itu. Tanpa banyak bicara Pendekar Tangan Baja
berjalan mengikuti.
Ki Paladi hanya menganggukkan kepalanya. Di
pandanginya terus tubuh dua orang pemuda itu hingga lenyap di kejauhan.
*** 3 Bangunan tua itu memang besar dan megah. Halamannya yang luas, terkurung pagar
tembok tinggi dan kokoh. Tapi terlihat kumuh dan tidak terawat. Apalagi letaknya
memang terpencil, jauh di dalam hutan. Entah siapa yang telah membangunnya. Yang
jelas, sudah sejak lama, bangunan yang terlihat menyeramkan itu tidak ditinggali
orang lagi. Tapi malam ini ternyata berlainan dengan malam-malam biasanya. Dari dalam
bangunan itu terdengar bentakan-bentakan keras penuh kemarahan.
Ternyata di salah satu ruangan telah berkumpul banyak orang. Mereka duduk
bertebaran di lantai yang bersih.
Memang, sungguhpun dari luar terlihat tidak terawat, tetapi bagian dalam
bangunan tua itu ternyata terpelihara baik.
Sekitar dua tombak di hadapan orang-orang yang duduk bertebaran, duduk seorang
laki-laki setengah baya berpakaian rompi coklat. Sebuah daun telinganya tidak
terlihat. Rupanya laki-laki setengah baya berpakaian rompi
coklat adalah pemimpin dari orang-orang ini. Dan rupanya sang Pemimpin tengah
marah-marah. Terbukti suara-suara yang dikeluarkannya sejak tadi selalu keras
bernada penuh kemarahan.
"Bodoh! Dungu! Hanya membunuh satu orang saja, kalian tidak becus!" sang Ketua
memaki. Sementara di depannya berdiri seorang berwajah kasar, berbibir tebal dan
berkulit hitam dengan kepala ditundukkan.
"Maafkan kami, Ketua. Kalau saja tidak ada yang seorang lagi, mungkin kami
berhasil membumihanguskan Desa Bakung, sekaligus membunuh Pendekar Tangan
Baja...." jawab si bibir tebal. Memang, laki-laki berbibir tebal ini adalah
salah seorang dari gerombolan pengacau di Desa Bakung yang selamat.
"Jadi, ada orang lain yang telah membantu Pendekar Tangan Baja?" selak laki-laki
berdaun tellnga satu itu tak sabar.
"Benar, Ketua," jawab si bibir tebal singkat.
"Hm...," laki-laki berompi coklat yang dipanggil ketua itu hanya menggumam
"Bagaimana ciri-ciri orang itu?"
"Orangnya masih muda, berambut putih keperakan, dan berpakaian serba ungu...."
"Dewa Arak...!" desis laki-laki setengah baya itu. Nada suaranya jelas
memancarkan keterkejutan yang amat
sangat. "Ketua kenal dengan pemuda itu?" tanya laki-laki berbibir tebal.
Laki-laki berompi coklat menggelengkan kepalanya.
"Hanya mendengar julukannya saja. Menurut cerita yang kudengar, dunia persilatan
telah dibuat geger dengan kemunculan seorang pemuda yang memiliki ciri-ciri
seperti yang kau sebutkan. Julukannya Dewa Arak!"
"Pemuda itu membawa guci di punggungnya, Ketua!"
ucap laki-laki berbibir tebal itu menambahkan. Kini dia teringat. Memang pemuda
berambut putih keperakan itu membawa sebuah guci di punggungnya.
"Kalau begitu, benar dia Dewa Arak! Kali ini kita mendapat lawan yang benar-
benar tangguh! Hhh...! Aku harus berbuat sesuatu."
Setelah berkata demikian, laki-laki berompi coklat itu termenung. Perlahan dia
bangkit dan kakinya dilangkahkan mondar-mandir memutari ruangan. Sementara
tangannya terpacak di dagu. Jelas kalau dia tengah berpikir keras.
Tak lama kemudian, laki-laki berompi coklat itu melangkah memasuki sebuah kamar.
Cukup lama juga dia berada di sana. Ketika keluar dari kamar, di tangannya
tergenggam sebuah bambu yang diserut halus, dan di bagian dalamnya terdapat
segulung surat.
"Berikan pada Gusti Prabu Jayalaksana," perintah laki-laki berompi coklat kepada
si bibir tebal.
"Baik, Ketua." sahut laki-laki berbibir tebal itu seraya berjalan meninggalkan
tempat itu. "Ha... ha... ha...!" laki-laki berpakaian rompi coklat itu tertawa bergelak
setelah laki-laki berbibir tebal itu telah tidak berada lagi di situ. Suara
tawanya berkumandang, menggema ke seluruh bangunan itu.
*** Sementara itu, di balariung Istana Kerajaan Kamujang
yang megah, tampak seorang laki-laki setengah baya tengah duduk di atas
singgasana. Wajahnya tampan dan berwibawa.
"Hhh...!" desah Prabu Jayalaksana seraya menggulung kembali surat yang baru saja
dibacanya. Pandangannya dialihkan pada laki-laki berwajah kasar dan berbibir
tebal yang duduk bersila di depannya.
"Sampaikan pada ketuamu. Permintaannya kukabulkan," sabda Raja Kamujang itu
penuh wibawa. "Akan hamba sampaikan, Gusti Prabu," sahut laki-laki berbibir tebal itu seraya
memberi hormat.
Prabu Jayalaksana tersenyum getir.
"Apabila sudah tidak ada lagi pesan, perkenankan hamba mohon diri, Gusti Prabu."
Raja Kerajaan Kamujang ini menganggukkan kepalanya.
"Silakan," ucap Prabu Jayalaksana pelan.
Laki-laki berbibir tebal memberi hormat, kemudian
melangkah meninggalkan balariung istana.
"Prajurit...'" panggil Prabu Jayalaksana.
Prajurit penjaga pintu balariung Istana, bergegas masuk dan memberi hormat.
"Hamba, Gusti Prabu," ucap prajurit itu penuh hormat
"Panggil Panglima Ramkin kemari! Cepat..!" perintah Prabu Jayalaksana keras.
Prajurit itu kembali melangkah ke luar. Tak lama
kemudian, prajurit itu sudah kembali bersama seorang berpakaian panglima perang.
"Gusti Prabu memanggil hamba?" tanya orang berpakaian panglima perang yang
bertubuh tinggi besar, dan bercambang bauk lebat. Namanya Panglima Ramkin.
"Ya." sahut Raja Kamujang. "Kau kuperintahkan membawa pasukanmu menangkap Dewa
Arak dan Pendekar
Tangan Baja, hidup atau mati!" Lalu Prabu Jayalaksana memberitahukan ciri-
cirinya. "Akan hamba laksanakan, Gusti Prabu," sahut Panglima Ramkin tegas.
Seorang laki-laki setengah baya berambut jarang
tersentak kaget mendengar perintah itu. Patih Juminta namanya.
"Boleh hamba bicara, Gusti Prabu?" tanya Patih Juminta hati-hati.
"Silakan, Patih." sambut Prabu Jayalaksana.
"Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hamba bersikap lancang Tapi...., apakah Gusti Prabu
tidak salah membuat
keputusan?"
Sepasang alis Prabu Jayalaksana berkerut.
"Aku masih belum mengerti maksudmu, Patih."
"Mengenai perintah penangkapan itu, Gusti Prabu," jelas Patih Juminta. Nada
bicaranya terdengar berhati-hati sekali.
"Hm...! Apa ada yang aneh dalam perintah itu, Patih?"
tanya Prabu Jayalaksana. Nada suaranya jelas menyiratkan perasaan tidak senang.
Patih Juminta tentu saja merasakan ketidaksenangan Raja Kamujang itu. Dan ini
Rahasia Hiolo Kumala 12 Golok Maut Tjan Tjie Leng Karya O P A Pedang Asmara 8
^