Pencarian

Tiga Pendekar Aneh 2

Satria Gendeng 14 Tiga Pendekar Aneh Bagian 2


Bersilap-silap, tulang terakhir pun dilempar-
kan. Satria bersendawa, salah satu 'tata krama' yang
diturunkan guru sintingnya; Dedengkot Sinting Kepala
Gundul. Tangannya yang penuh minyak disapukan ke
pakaian begitu saja. Itu pun 'tatakrama' buatan De-
dengkot Sinting Kepala Gundul. Asli.
Kebetulan, tangannya tersentuh kain ikat ping-
gang. Wajahnya berubah seketika. Membatu. Matanya
tak berkedip. Rasanya ada yang tak beres, pikir Satria.
Bukan pada daging ayam bakar yang sudah tandas
menjadi penghuni perutnya, melainkan pada sesuatu
di ikat pinggangnya.
Satria buru-buru melirik ke ikat pinggang.
Busret! Ke mana senjata pusakaku"! Perangah-
nya. Kail Naga Samudera telah tak ada lagi! Ini benar-benar busret! Setelah itu,
barulah dia menyadari keto-lolannya.
"Orang tua slompret! Dia telah mencuri senjata
pusakaku dengan cara demikian licin dan halus," geram Satria, merasa terpedaya
mentah-mentah (Setelah
mendapat ayam panggang yang justru 'matang-
matang). Jadi, sewaktu orang tua itu mendekat kepa-
danya, diam-diam dia mencopet Kail Naga Samudera
dari ikat pinggang Satria. Sebuah seni mencuri yang
demikian lihai. Mata Satria Gendeng sendiri yang se-
sungguhnya sudah terlatih hingga memiliki ketajaman
mata seekor elang, luput menyaksikan tangan orang
tua berwajah penuh rajah bergerak.
Setelah berhasil mengambil Kail Naga Samude-
ra dengan sengaja dia memberi Satria sepotong besar
ayam panggang. Sebuah siasat cerdik untuk menga-
lihkan perhatian Satria sementara. Sementara Satria
sibuk dengan kelahabannya menyikat ayam panggang
bakar di punggung kuda yang terus menjauh, maka
pencuri sial itu pun pergi dari tempatnya dengan
membodoh-bodohkan Satria.
Satria tahu, kembali ke tempat semula pun
akan sia-sia. Tentu pencuri senjata pusakanya telah
menghilang entah ke mana. Karena penasaran, dige-
bahnya juga kuda.
Tiba di sana, orang tua tadi memang sudah tak
ada lagi. Tinggal onggokan bara yang masih mengepul-
kan asap. Serta sehelai kulit hewan yang bertuliskan
pesan Maaf, Satria Gendeng! Aku mencuri benda ke-sayanganmu,
Raja Pencuri Dari Selatan.
Raja Pencuri Dari Selatan. Ya, tua bangka itu-
lah yang selama ini dicari-cari oleh Arya Wadam. Kare-na itu pula, Satria
mengalami kesulitan. Sekarang ke-
sulitan yang dibawa Raja Pencuri Dari Selatan menjadi bertambah, kendati Satria
sendiri belum mengeta-huinya Satria Gendeng gemas sekali. Jadi tua bangka
sialan itu telah tahu siapa aku sebenarnya" Dia cuma
pura-pura seolah nama Satria tidak berarti apa-apa
untuknya. Rupanya saat Satria menyebutkan nama, si
pencuri tua itu pun langsung dapat menduga siapa se-
sungguhnya Satria.
Menjadi lebih gemas lagi Satria begitu selesai
membaca surat di atas secarik kulit itu. Bagaimana bi-sa seorang pencuri meminta
maaf" Tengik sejati!
Ingin rasanya Satria memaki-maki kudanya
sendiri untuk melampiaskan kedongkolan....
* * * Tengah hari berikutnya, Satria Gendeng tiba di
sebuah desa yang berbatasan dengan wilayah pesisir.
Dimasukinya desa itu. Sudah teramat jauh dia me-
ninggalkan Lumajang, tapi belum juga ditemukan
kembali Arya Wadam. Urusan yang satu belum beres,
sudah pula muncul urusan lain dengan dicurinya Kail
Naga Samudera oleh orang yang mengaku berjuluk Ra-
ja Pencuri Dari Selatan.
Seperti biasa, Satria memasuki kedai di desa
itu. Harapannya cuma satu. Kalau nasib bagus, dia bi-
sa bertemu secara kebetulan dengan Arya Wadam. Ka-
lau sekali ini berhasil ditemukan, dia tak akan mem-
biarkan begitu saja Arya Wadam minggat. Akan dita-
hannya orang itu. Kalau perlu memaksa, akan dipak-
sanya Arya Wadam untuk menerima surat dari Adipati
Lumajang. Atau kalau perlu sekali, akan disumpal-
kannya langsung gulungan surat itu ke bacotnya!
Ah, gara-gara si pencuri sial, Raja Pencuri Dari
Selatan, Satria Gendeng merasa dia jadi terus-terusan dipermainkan kedongkolan.
Selesai menambatkan kudanya, Satria melang-
kah masuk ke dalam kedai kecil sederhana. Tak begitu
luas, namun nyaman. Hanya ada beberapa meja dan
bangku. Satria Gendeng menempati salah satunya.
Rupanya Tuhan sedang berbaik hati padanya
saat itu. Kata orang; 'pucuk dicinta ulam pun tiba'. Belum lagi lama Satria
memesan makanan, dari luar ma-
suk orang yang selama ini dicari-carinya, Arya Wadam!
"Hei, itukah kau!" ujar Satria, nyaris berseru.
Heboh bukan main hatinya. Rasa girang yang berbalut
kelegaan karena tak harus menjadi 'anjing pelacak'
yang terus mengendus-endusi jejak Arya Wadam.
"Kita berjumpa lagi, Pendekar," balas Arya Wadam. Seperti biasa, ucapannya
datar, dan terdengar
seperti berbisik.
Dilewatinya Satria Gendeng begitu saja, menuju
meja di sudut ruangan.
Satria berdiri. Kendati sudah demikian penat
mencari selama berhari-hari dan sempat pula diacuh-
kan waktu itu, dia berusaha untuk tetap bersikap ra-
mah. Toh, dalam hal ini yang butuh adalah dirinya.
Jadi cukup wajar jika dia bersikap ramah serta bersa-
habat, timbangnya.
"Kenapa tak bergabung saja?" tawar Satria dengan senyum mengembang.
Arya mengangkat tangan tanpa berniat meno-
leh. Satria Gendeng mengangkat bahu. Tampaknya,
keramahannya dan sikap persahabatannya pun tak
membawa hasil. Dia tak mau menyerah. Bukan sifat-
nya menyerah di tengah jalan.
"Kalau kau tak mau bergabung di mejaku, ya
aku saja yang akan bergabung di mejamu." gumam-
nya. Tanpa peduli apakah Arya Wadam setuju dengan
usulnya, anak muda itu mengekor di belakangnya.
Arya Wadam menghentikan langkah.
Satria juga. "Aku tak ingin ditemani," tandasnya singkat.
Satria Gendeng mengangguk. Sekadar men-
gangguk apa ada yang melarang" Tak peduli apakah
nantinya dia akan menuruti kemauan orang di depan-
nya atau tidak.
Arya Wadam melanjutkan langkah. Satria tetap
saja mengekor di belakang. Salahnya Arya Wadam. Ka-
lau mau main-main keras kepala, ya jangan dengan
murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu sama saja
cari kejengkelan dengan sengaja.
"Kenapa masih saja mengikutiku?" tanya orang bertudung itu ketika dia telah
menempati kursi pili-hannya.
Satria duduk pula tanpa peduli. Dia sudah tak
mau lagi kehilangan Arya Wadam. Mencari-cari tanpa
juntrungan itu bikin pegal hati. Satria tak mau mem-
perpanjang pekerjaan menjengkelkan itu. Sekarang,
terserah Arya Wadam. Kehadirannya mau diterima
syukur, tidak diterima... ya terpaksa harus 'memaksa'.
"Terus terang saja, Nona, Tuan, 'Nona-Tuan'
atau apa sajalah, bahwa aku sudah tak mau lagi men-
gendusi-endusi jejakmu tanpa kepastian apakah pen-
carianku akan berhasil atau tidak. Karena dengan baik hati sekali kau tahu-tahu
sudah berada di depan hi-dungku, jadi tak ada salahnya kalau aku pun tak me-
lepaskanmu."
Sudah panjang-lebar Satria nyerocos, Arya Wa-
dam malah tidak mengacuhkan. Siapa yang tak jengkel
diperlakukan seperti itu"
Satria menarik napas. Tak puas sekali. Mesti
beberapa tarikan, biar kejengkelannya tak tumbuh le-
bih besar. "Baik. Kuminta dengan hormat, bolehkah aku
menyampaikan tujuanku padamu?" mulai Satria Gen-
deng kembali. Arya Wadam diam saja.
Edan, keras sekali hati orang ini, pikir Satria.
Angkuh sekali.... Cuping hidung pendekar muda itu
pun jadi kuncup-mekar. Dan penyakit warisan gu-
runya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul pun men-
jangkit sampai ke bubur otaknya. Anak muda itu men-
jitaki kepala sendiri.
"Kalau aku sedang bicara, kau dengarkan, ta-
hu"!" hardiknya, mendelik.
Arya Wadam tak peduli juga. Dia malah mem-
beri isyarat tangan memanggil pelayan. Pelayan da-
tang. Dia pun memesan pesanan seperti biasa.
"Jangan salahkan aku jika kau menjadi gusar,"
kata Arya Wadam, akhirnya.
"Jangan menyalahkanmu?" sergah Satria, ter-
perangah dibuat-buat. "Kau pikir enak mencari seseorang tanpa juntrungan, hah?"
"Kenapa kau harus mencariku?"
Tambah pegal hati Satria Gendeng.
"Karena aku ada keperluan denganmu. Kalau
tidak, kau pikir aku sejenis orang yang tak punya kerjaan apa?"
"Apa keperluanmu?"
Satria menarik napas. Agak lega mendengar
pertanyaan terakhir orang di depannya.
"Aku harus menyampaikan satu pesan untuk-
mu.... Pesan dari Adipati Lumajang, Wisnu Bernawa."
"Apa maunya?"
"Dia memintamu untuk membantunya meng-
hadapi Tujuh Dewa Kematian yang hendak meminta
putrinya untuk dijadikan tumbal."
"Itu bukan urusanku."
"Kau ini seorang ksatria atau bukan" Seorang
pendekar sejati atau bukan?"
"Terserah kau."
"Jangan edan, ya!" Satria sampai bangkit dari kursinya karena sudah terlalu
dongkol. Wajahnya merah padam. Matang sendiri oleh gelegak darah yang
sudah naik ke kepala.
"Kau mau memaksaku dengan kekerasan" Ka-
lau benar begitu, silakan. Cuma, perlu kuberi tahu,
kau tak beda dengan para penguasa yang merasa di-
rinya berhak mengatur orang lain seenak dengkulnya
sendiri." "Kau perlu kuberi tahu juga, bahwa Wisnu Ber-
nawa bukan jenis manusia tengik macam itu!"
"Syukurlah...."
"Jadi bagaimana?"
Satria duduk kembali ketika pelayan datang
dan menyediakan pesanan mereka.
"Aku tetap tak bersedia," tandas Arya Wadam.
Semula sudah agak tenang, sekarang darah Sa-
tria Gendeng mulai rusuh lagi.
"Begini saja. Kau tentu punya alasan kenapa
menolak permintaan Wisnu Bernawa, bukan" Alasan
itu kuyakin berupa halangan bagimu. Jika kau mem-
punyai halangan sekarang ini yang menyebabkan kau
tidak bisa memenuhi permintaan itu, aku bersedia
membantumu mengatasi halangan tersebut, sampai
menjelang purnama nanti. Jika halanganmu bisa kita
atasi, aku cuma meminta kau untuk ikut aku ke Lu-
majang. Setelah tiba di sana, kau boleh memutuskan
apakah kau hendak memenuhi permintaan adipati
atau tidak. Bagaimana?"
Selama Satria Gendeng berbicara seru sampai
bibirnya seperti melilit-lilit, Arya Wadam malah asyik menyantap makanan di atas
meja. Habis sudah kesabaran Satria. Sikap Arya Wa-
dam dianggapnya sudah keterlaluan. Keangkuhan
yang perlu mendapat sedikit pelajaran! Satria men-
gangkat tangan, hendak menyampok piring tanah liat
di meja. Tapi tak dilanjutkan. Tergetar, diturunkannya tangan kembali. Pada
saat-saat tertentu, kemarahan
tak dibutuhkan sama sekali, pikiran jernihnya men-
gingatkan. Akhirnya Satria Gendeng cuma bisa menarik
napas sarat-sarat, padat-padat mencoba mendingin-
kan kegusaran. Dikeluarkan gulungan kulit dari balik
baju. Perlahan diletakkan benda itu di depan Arya Wa-
dam. "Aku cuma bertugas untuk menyampaikan
amanat ini. Sekarang aku serahkan padamu. Terserah
kau apakah sudi membacanya atau tidak," kata Satria dengan nada suara yang mulai
surut. Rupanya Arya Wadam tetap dingin. Ibarat gu-
nung es kutub selatan, dia meneruskan makan. Ber-
henti sejenak pun tidak.
Satria menghempas napas. Percuma mene-
ruskan kata-kata kalau setiap ucapannya hanya di-
anggap angin, pikirnya. Dia pun membalikkan badan.
"Selamat tinggal," ucapnya.
Satria melangkah.
"Tunggu! Baiklah, aku terima undangan ini.
Tapi dengan syarat, kau mau membantuku menyele-
saikan masalahku terlebih dahulu!"
Dia pun membalikkan badan. Ketika itulah dia
langsung menjadi terpana. Arya Wadam telah membu-
ka tudungnya, mungkin untuk menunjukkan sedikit
niat baiknya. Dengan membuka tudung, akan terasa
dia lebih menghormati.
Yang membuat Satria terpana bukan itu. Ada
yang lebih dahsyat untuk pandangan si pendekar mu-
da. Disaksikannya wajah Arya Wadam ternyata demi-
kian jelita, ayu, dan mempesona. Sama sekali berbeda
jauh dengan bayangan Satria selama ini yang men-


Satria Gendeng 14 Tiga Pendekar Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ganggapnya sebagai seorang perempuan berwajah ka-
sar yang sifatnya kelelakian! Satu lagi, Satria pun tak menyangka kalau Arya
Wadam ternyata berusia tak
jauh beda dengan dirinya!
*** TUJUH SIANG saat itu. Hari tak begitu panas. Sinar
matahari dihadang gulungan awan seputih gumpalan-
gumpalan kapas raksasa. Angin menghembus bersa-
habat. Cukup membuat orang menjadi terkantuk-
kantuk. Empat lelaki terlihat berjalan di sebuah lapan-
gan rumput luas. Keempat orang itu berpenampilan
menyeramkan, kalau belum cukup disebut sangar. Ra-
ta-rata memiliki wajah tak sedap dipandang. Bahkan
mungkin bisa membuat seorang anak kecil menjadi
sawan. Keempatnya mengenakan berjubah pendek me-
rah hati, bercelana pangsi hitam. Di pinggang masing-
masing terselip satu trisula perak mengkilat. Satu
orang di antaranya bertubuh tambun.
Mereka melangkah terburu-buru ke satu arah,
beriringan tak teratur. Tak begitu jauh melintasi la-
pangan rumput, mereka dinanti oleh seorang lelaki
lain. Lelaki itu berdiri di bawah sebuah pohon asam
kering. Tak beda jauh dengan keempat lelaki tadi,
orang satu ini pun memiliki penampilan dan wajah tak
se- menggah. Masa' wajahnya mesti dirajah segala ru-pa" Apa itu tidak semenggah
namanya" Sudah begitu,
sebelah kakinya kutung hingga sebatas dengkul, dis-
ambung oleh tulang rusuk harimau Jawa. Usianya ter-
bilang cukup tua. Punggungnya agak bungkuk. Ba-
junya besar berwarna ungu menyerupai jubah. Ba-
hunya membopong buntalan kain sebesar anak ker-
bau. Dari kejauhan, keempat lelaki seram berpa-
kaian merah hati sudah berteriak memanggil-manggil
seperti sekawanan anak ayam yang bertemu dengan
induknya. "Guru! Guru! Guroooooo!"
Wajah lelaki tua mengedik-kedik. Telinganya
pekak mendengar teriakan-teriakan suntuk seperti itu.
"Diaaaam kalian!!!" hardiknya membalas.
Keempat lelaki tadi langsung menutup bacot
rapat-rapat. Mereka melangkah perlahan-lahan dengan
kepala tertunduk, mendekati si orang tua berwajah
penuh rajah yang tampaknya membuat nyali mereka
menguncup. "Kenapa kalian berteriak-teriak seperti itu" Ka-
lian tahu telingaku tidak soak"! Huah"!" mengkelap si orang tua berwajah penuh
rajah, membentaki keempat
orang tadi. Empat orang yang disemprot cuma mengang-
guk-angguk. Orang tua berwajah penuh rajah mendengus.
Dagunya sedikit mendongkel ke atas. Dengan sebelah
tangan di dada dan tangan lain mengelus-elus dagu,
dia mulai mengajukan pertanyaan.
"Sekarang, katakan padaku kenapa kalian
membuat api unggun besar di puncak bukit itu tengah
malam?" ajunya sambil menujuk satu bukit menjulang di kejauhan.
Salah seorang lelaki berpakaian merah hati
memberanikan diri mengangkat kepala. Wajahnya
memperlihatkan protes.
"Lho, bukankah Guru yang mengatakan kalau
kita hendak bertemu Guru, maka kita harus membuat
isyarat berupa api unggun besar di bukit itu!" tukasnya seraya latah menunjuk ke
arah bukit. "Itu kesepakatan Guru. Kalau kesepakatan tidak bisa dihormati,
bagaimana Guru pun bisa dihormati"!"
"Diam kau, Kambing!"
Bungkam. Langsung saja lelaki sok buka bacot
itu tertunduk lagi. Malah lebih dalam dari sebelumnya.
"Aku mau tanya alasan kalian, alasan kalian,
sekali lagi alasan kalian!" bentak orang tua yang dipanggil Guru oleh keempat
lelaki di depannya.
"Kami mau bertemu dengan Guru...," sahut salah seorang.
"Jawaban tolol lagi! Tentu saja kau membuat
isyarat api unggun itu untuk bertemu denganku! Tapi,
apa alasan kalian ingin bertemu denganku"!" makin menyemprot-nyemprot saja
ucapan sang Guru.
"Kami mau melapor, Guru."
Mata si guru mendelik.
"Ingin melapor padaku" Melapor, cuma itu,
huah" Apa kalian tidak tahu, kalian telah mengganggu
urusan besarku"!"
Menggeleng keempat lelaki tadi. Jawaban yang
tak diminati oleh sang Guru sedikit pun.
"Jawaban tolol juga! Mestinya kalian mengang-
guk, biar aku tidak terlalu kesal pada ketololan dan
ketidak-acuhan kalian pada diriku, Guru kalian!!!"
"Memangnya Guru sendiri punya perhatian pa-
da kami?" sela seorang murid, kebodoh-bodohan.
Kontan saja si guru menjadi mengkelap sede-
mikian rupa mendengar jawaban tadi. Tak ayal lagi
kaki kutungnya turut berbicara. Satu kelebatan saja
cukup. Artinya, sudah cukup untuk menggasak setiap
tempurung dengkul keempat muridnya, segaring-
garingnya. Wuth beletuk-tak-tak-tuk!
Kelojotan keempat lelaki berpakaian merah ha-
ti. Berjingkat-jingkat.
Melintir-melintir.
Dan berkesudahan dengan benjol sebesar telur
angsa di dengkul masing-masing.
"Sudah cukup?" tegur orang berkaki kutung
dengan nada yang agak bersahabat. Barangkali ke-
mangkelannya sudah cukup terobati dengan menjitaki
keempat muridnya.
"Cukup, Guru! Cukup!"
Hampir berbarengan, keempat muridnya bere-
but menjawab. Tangan mereka masih saja mendekapi
dengkul, seakan takut musibah mampir kembali ke
sana. Si guru mengusap-usap dagu.
Puas. Kenyang. "Tunggu apa lagi"! Ayo ceritakan apa tujuan ka-
lian hendak menemuiku"!"
Keempat lelaki tadi malah celingak-elinguk satu
dengan yang lain, saling pandang dengan tatapan ke-
cut. Lelaki berbadan buntal memberanikan diri untuk
bicara. "Kami bertemu dengan seseorang Guru...."
"Hm...."
"Ketika itu, kami...."
"Langsung ke masalahnya!"
"Orang itu menghina Guru...."
"Hm...."
"Guru disebut berwajah pantat kerbau...."
"Hmm.... Hah"!"
"Bukan aku yang bilang begitu, Guru! Sung-
guh.... Orang itu yang bilang!"
"Siapa dia?" geram si orang tua berwajah penuh rajah. Parasnya membuat hati
keempat muridnya menjadi kecut.
"Arya Wadam, Guru."
Sang Guru mendadak terdiam. Matanya menyi-
pit. "Kenapa kalian bisa berurusan dengan si Arya?"
susulnya, bertanya.
"Kami waktu itu hendak sedikit bersenang-
senang...."
"Langsung ke masalahnya!"
"Tidak bisa, Guru. Harus diceritakan dari awal
dulu!" "Kalau begitu, teruskan!"
"Kami membawa seorang gadis ke dalam gubuk
terbengkalai di hutan...."
Tiba-tiba terulang kembali musibah menimpa
dengkul keempat lelaki berpakaian merah hati. Deng-
kul yang masih waras terkena bagian.
Wuth beletak-tuk-tuk-tak!
Kembali mereka kelojotan, berjingkat-jingkat,
melintir-lintir. Sekarang seimbang sudah besar tempu-
rung dengkul kiri dan kanan.
"Sudah kularang kalian menodai perempuan!!"
"Ampoon, Guru!"
"Itu sebabnya kalian berurusan dengan si Arya!
Dia itu paling tidak suka kalau ada perempuan diper-
lakukan seenak dengkul oleh lelaki macam kalian. Dia
itu seorang pendekar wanita yang benar-benar ingin
mengangkat martabat kaumnya! Itu salah kalian!"
"Ampooon lagi, Guru!"
Si guru mendadak celinguk sana-sini. Wajah-
nya terlipat, digeluti kesan ketakutan. Tak heran kalau dia bertingkah seperti
itu. Dia adalah Raja Pencuri Da-ri Selatan, orang yang tengah diburu oleh Arya
Wadam. Cerita muridnya barusan membuat dia agak waswas,
takut kalau Arya Wadam mengikuti keempat muridnya
untuk bertemu dengannya. Urusan bisa kacau, pikir-
nya. Namun karena masih berada di depan keempat
muridnya, dia tak mau kehilangan muka. Cepat-cepat
dia membenahi wajah. Sedangkan keempat muridnya
pernah berurusan dengan Arya Wadam beberapa wak-
tu lalu di sebuah kedai. Dasar murid tengik mereka
hendak melebih-lebihkan laporan pada sang Guru!
(Untuk mengetahui kejelasan kisahnya, bacalah epi-
sode sebelumnya: "Penghuni Kuil Neraka"!).
"Bayangkan kalau dia sempat mengintai kalian
hingga menemukan aku" Padahal selama ini dia se-
dang mencari-cari aku! Bisa bayangkan tidak"!"
Sekali lagi jawaban keempat muridnya menye-
leweng dari harapan sang Guru. Mereka menggeleng
serempak. Raja Pencuri Dari Selatan melotot mengeri-
kan. "Lagi-lagi jawaban tolol!"
"Habis...," murid bertubuh tambun nekat-
nekatan menggerutu. Wajahnya jadi tambah jelek
mengenaskan. "Apanya yang habis"!"
"Habis.... Guru sendiri punya kebiasaan tak
baik. Mencuri itu apa baik, Guru" Jadi kami pun
punya 'kebiasaan tak baik' juga.... Guru kencing berdi-ri, murid kencing
berlari!" Raja Pencuri Dari Selatan mendelik lebih gawat
seperti paras orang tersedak sekarung tepung.
"Kau berani menyalahkan aku.... Biar bagaima-
napun, yang namanya Guru tidak bisa disalahkan,"
geramnya, mau menang sendiri. "Tergantung bagaima-na muridnya. Mereka harus tahu
apa yang mesti ditiru
dan mesti dibuang dari tingkah laku seorang guru. Ka-
lau aku makan kotoran kerbau, apa kalian akan ikut
makan kotoran kerbau"!" gempur Raja Pencuri Dari Selatan kembali, menggebu-gebu.
Salah seorang muridnya menyahut tak kalah
bersemangat. "Mau Guru! Setidaknya kami akan makan koto-
ran 'murid'nya kerbau!"
Celaka dua belas! Maki Raja Pencuri Dari Sela-
tan. Kenapa tidak dari dulu saja dia sadar kalau para muridnya punya otak udang
semua"! Dia selaku seorang pencuri bukan sembarangan mencuri. Dia punya
tujuan yang 'rada-rada' luhur. Orang bilang, dialah si maling budiman. Mencuri
untuk kepentingan rakyat
jelata yang sering digencet saudagar kaya, lintah darat, pengijon, pejabat
keparat, dan sejenisnya. Benda-benda yang dicurinya biasanya dijual pada orang-
orang yang berminat. Rencananya, termasuk Kail Naga
Samudera yang berhasil dicopet dari Satria Gendeng.
Uangnya dibagikan tanpa pilih bulu kepada orang-
orang susah. Itu kan namanya punya tujuan 'rada-
rada' luhur"
Tapi kalau keempat muridku ini" Masa' pera-
wan orang main sikat saja" Memangnya gampang bikin
anak perempuan, eh... maksudnya membesarkan anak
perawan" Beh, bikin otakku jadi mulas saja memikir-
kan mereka, rutuk si orang tua bermuka rajah dalam
hati. Karena sudah kepalang geram, sambil mengu-
tuki habis-habisan murid berbadan tambun, dia me-
nyentak kaki kutungnya.
Wuth beletuk! Tahu-tahu, mata si lelaki tambun menjadi jul-
ing. Badannya singit sebentar. Selanjutnya ambruk.
Semaput dia terkena hantaman telak di jidat!
"Kalian juga menyalahkan aku"!" hardik Raja Pencuri Dari Selatan mendelik-delik
pada tiga muridnya yang lain. Mau ikut semaput" Silakan ngoceh
sembarangan! Tapi memang keterlaluan Raja Pencuri Dari Se-
latan kalau sedang ngadat. Dia tak puas membuat sa-
tu muridnya jatuh telentang. Meskipun tiga muridnya
yang lain sudah menggeleng kuat-kuat seperti hendak
melepas kepala sendiri, tetap saja dihantaminya satu
persatu. Wuth beletak! Wuth beletuk! Wuth beledak! Ketiganya juling berbareng, singit berbareng, la-
lu semaput berbarengan... dengan penuh kekhusukan.
Setelah itu, Raja Pencuri Dari Selatan malah
jadi uring-uringan pada diri sendiri. Dia mengomel-
omel, mencak-mencak dan menyikat pohon kering di
sampingnya dengan sambungan kaki kutungnya ha-
bis-habisan, sampai menciptakan ratusan lobang. Ka-
lau perlu, bumi pun hendak dilobanginya.
"Kadal, aku belum tanya apa yang dikatakan si
Arya pada mereka!"
*** DELAPAN MATANYA itu, menyiratkan ketegaran pribadi di
balik lembutnya garis, bulu lentik, dan beningnya bola mata. Hidungnya mancung


Satria Gendeng 14 Tiga Pendekar Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mungil. Bibirnya memerah ramah. Rambutnya dipotong pendek, tak meni-
piskan sedikit pun kejelitaannya, bahkan justru me-
munculkan bentuk wajah yang memikat.
Satria Gendeng niscaya akan terus terbengong
melompong kalau saja Arya tak segera menegurnya. Itu
pun setelah keempat kalinya!
Si pendekar muda gelagapan sejenak, menda-
pat teguran terakhir yang kerasnya sebenarnya sudah
cukup untuk menggebah seekor kuda!
"Kau mau duduk apa terus berdiri seperti itu?"
susul Arya dengan sebaris senyum menawan. Purnama
pun seperti dikalahkan pesonanya. Hampir saja Satria
Gendeng melompong lagi.
"Ya, ya, aku akan duduk," gegas Satria, masih juga tergagap.
Pemuda itu duduk di depan Arya. Gadis ber-
nama dan bersikap seperti pria itu tersenyum lagi.
"Kau tak mau mengambil makananmu dulu?"
ujarnya pada Satria sambil melirik seluruh makanan
dan minuman pesanan Satria yang sudah berpindah
meja karena peristiwa barusan.
Satria Gendeng nyengir kuda. "Ya, ya, aku akan
ambil," gagapnya lagi, terburu-buru memindahkan
makanan dan minumannya. Sekarang, makanan da-
lam piringnya malah sempat berantakan ke lantai ke-
dai. Makin malu hati Satria. Tapi, dia tak mau am-
bil pusing. Toh, 'rejeki nomplok' sudah berada di depan mata! Satria Gendeng dan
Arya Wadam mulai makan
bersama di satu meja. Arya makan dengan lahap. Ka-
kinya diangkat sebelah ke bangku. Satria sendiri mau-
mau tidak. Satu kali suap, lalu bengong menatapi
Arya. Sekali suap, lalu bengong lagi menatapi Arya.
Begitu terus....
Dan sampai Arya selesai makan, tetap saja Sa-
tria masih keasyikan bengong.
"Sekarang, kita bicarakan lagi tawaranmu sebe-
lumnya," mulai Arya setelah dia mencuci tangannya.
"Tawaran apa?" tanya Satria, baru sadar.
"Bukankah kau mengatakan bahwa kau berse-
dia membantu masalahku, jika aku bersedia ke Luma-
jang?" "O, iya iya! Bilang saja. Aku pasti Bantu!" Semangat sekali pendekar muda
itu. Entah ke mana lagi
kedongkolan pada Arya sebelumnya. Padahal dongkol-
nya di tenggorokan belum lama sudah terasa sebesar
kepalan centeng.
Dijamin, laparnya pun sudah bernasib sama,
kabur entah ke mana!
"Aku sebenarnya bukan tak mau membantu
masalah Adipati Lumajang itu."
"Ya, ya. Terus, terus?"
"Karena aku masih ada urusan dengan seseo-
rang. Orang itu telah mencuri sebuah benda milik dua
orang yang dekat denganku. Benda itu amat diperlu-
kan secepatnya. Sayang, orang yang mencuri belum
lagi sempat kutemukan."
"Benda apa yang dicuri?"
"Aku belum bisa menceritakan padamu. Yang
jelas, benda itu amat dibutuhkan oleh Paman Remeng
dan Poleng dalam tiga hari terakhir."
"Siapa orang yang mencurinya?" cecar Satria.
Semangatnya benar-benar menggebu-gebu. Hebat juga
pengaruh Arya terhadap dirinya. Jangan-jangan, dis-
uruh jungkir-balik di tempat dia mau juga
"Raja Pencuri Dari Selatan."
Satria Gendeng menggebrak meja dengan wajah
galak. "Dia orangnya!"
"Kau kenal?"
"Dia mencuri senjata pusakaku, Slompret!"
Arya merengut. "E, bukan kau yang kusebut slompret...," gegas Satria Gendeng sambil senyum
lebar-lebar, biar sedikit mengesankan bagi perempuan ayu di depannya. Tapi,
tetap saja seperti keledai ngadat!
* * * Arya Wadam sebenarnya memang seorang wa-
nita. Kisah hidupnya berawal dua puluh lima tahun si-
lam. Waktu itu ada sebuah desa yang dirampok oleh
sekawanan begal. Seluruh desa dibakar habis. Pendu-
duknya dibantai secara keji. Tak ada seorang pun yang selamat, kecuali seorang
bayi perempuan kecil.
Cara Tuhan melaksanakan kehendak-Nya me-
mang terkadang aneh. Termasuk cara-Nya menyela-
matkan si cabang bayi perempuan. Tali seekor kamb-
ing yang terlepas tanpa sengaja tersangkut pada kain
pembedong bayi. Lalu si cabang bayi diseret-seret
hingga amat jauh. Bahkan sampai ke sebuah hutan
rimba yang jarang dijamah manusia.
Waktu itu ada dua lelaki warga persilatan se-
dang berburu di sebuah rimba belantara tersebut. Me-
reka adalah dua tokoh utama perguruan yang cukup
disegani di kawasan barat persilatan, Rantai Baja.
Ketika mendengar suara gemerisik semak, me-
reka segera menyiapkan senjata. Ada satu kebiasaan
orang-orang Perguruan Rantai Baja saat berburu. Me-
reka tidak mempergunakan senjata berburu yang la-
zim. Senjata yang mereka pergunakan adalah rantai
baja berbandul bola duri sebagai senjata perguruan.
Sengaja itu dibiasakan dengan tujuan untuk melatih
kehandalan mereka mempergunakan senjata unik ter-
sebut. Mata keduanya pun menyaksikan seekor kamb-
ing gemuk. Mereka mengira kambing itu adalah kamb-
ing hutan. Bersilap-silaplah mulut mereka, membayang-
kan akan makan besar kambing guling!
Rantai baja mereka lontarkan.
Menerkam. Berbarengan. Nyaris mengenai sasaran, mendadak saja ada
sekelebat bayangan melesat membelah lintasan sepa-
sang senjata mereka.
Tak tak! Bandul berduri disampok kelebatan bayangan
tadi. Kedua lelaki tadi terkesiap. Tapi terlambat untuk menarik senjata. Bahkan,
sampokan kelebatan
bayangan menyebabkan senjata mereka terputus.
Bandulnya terpental. Bentuknya sudah tak karuan la-
gi. Padahal bandul berduri itu terbuat dari baja!
"Kalian tolol!!!"
Meledak hardikan seseorang yang kekuatan su-
aranya saja sanggup menyentak badan kedua lelaki
tadi hingga empat tindak ke belakang.
Terlihatlah di pucuk semak seorang perempuan
cantik yang nyaris seperti bidadari berpakaian serba
merah. Anehnya, rambut perempuan itu seluruhnya
sudah berubah menjadi uban! Di belakang punggung-
nya harpa. Kedua lelaki merasa tengah berhadapan dengan
semacam peri hutan rimba. Mereka melotot sejadi-
jadinya. Kaku sekujur badan. Mereka bergetar, antara
ngeri dan terpesona.
"Kalian hampir saja membunuh bayi ini"!" bentak si perempuan cantik lagi, galak.
Kedua lelaki sampai terlonjak-lonjak. Apa salah
kami" Bisik hati mereka. Setahu mereka, mereka hen-
dak mengincar seekor kambing gemuk. Kenapa seka-
rang berubah menjadi bayi" Apa jangan-jangan kamb-
ing gemuk tadi adalah anak si peri" Rusuh hati mere-
ka, makin tak karuan.
Si perempuan cantik menimang-nimang bayi di
pelukannya sambil berbicara sendiri.
"O, bayi cantik, berbadan segar, bertulang ba-
gus.... Kau tetap begitu bersemangat meski kau ba-
nyak mengalami luka dan terseret-seret begitu lama."
Langsung dua lelaki pemburu membayangkan
si perempuan cantik akan menyantap mentah-mentah
bayi merah dalam gendongannya. Sebab mereka masih
berpikir kalau perempuan itu peri atau dedemit hutan.
"Nah," mulai si perempuan cantik lagi. "Kalian harus bertanggung jawab pada bayi
ini. Aku tak mau
peduli apakah kalian menerima atau tidak. Pokoknya
kalian harus menerima."
Lalu dilemparnya bayi itu ke arah kedua pem-
buru. Bayi melayang deras. Dua pemburu mendelik.
Mereka ngeri kalau bayi itu jatuh ke tanah dan...
mencret! Di udara, luncuran tubuh bayi mendadak ter-
henti. Sebentar melayang-layang seperti sedang di da-
lam buaian tak terlihat mata. Lalu, perlahan-lahan turun ke arah dua pemburu
yang sudah menantinya.
"Kalian pelihara bayi itu dengan baik. Setiap
purnama, aku akan menjenguknya. Jika usianya su-
dah mencapai sembilan tahun, kalian harus mengan-
tarnya kembali ke sini. Aku akan menjadikannya mu-
rid!" tandas si perempuan cantik. Setelah itu, tubuhnya menghilang.
Dua pemburu itu adalah Remeng dan Poleng.
Sedangkan si perempuan cantik, di kemudian hari
menjadi guru si bayi. Karena dipelihara di perguruan
silat yang semua muridnya lelaki, maka sifatnya mirip lelaki. Lalu, dia pun
dinamakan Arya Wadam. Kendati
dia sebenarnya tetap perempuan sejati.
Si perempuan cantik sendiri adalah tokoh tua
yang tetap muda yang hanya tinggal di belantara itu.
* * * Menggelindingnya hari menuju siang dipenati
cahaya panas terik. Dari puncaknya, mentari seperti
sengaja menombakkan panas ke setiap ubun-ubun
manusia di atas bumi. Bumi yang sepanas itu, hari
yang semenyiksa itu, tidak menghalangi langkah dua
orang di sebuah daerah berbukit-bukit. Pohon tumbuh
jarang. Hanya rumput menghampar hampir di segenap
penjuru. Langkah keduanya mantap, tegap dan kokoh.
Pertanda kalau mereka orang-orang berusia muda. Sa-
tu orang pemuda dan orang bertudung yang tak cukup
jelas lelaki atau wanita. Si pemuda berambut panjang
kemerahan sepanjang bahu. Wajahnya tampan, kokoh,
keras, sekaligus bersinar mata lembut. Dia mengena-
kan pakaian rompi bulu berwarna putih keabuan. Te-
gap perawakannya. Bidang dadanya. Dengan celana
pangsi hitam dan ikat kain, makin tampak gagah pe-
nampilannya. Orang bertudung sendiri tak setinggi si pemuda
berambut kemerahan. Berpakaian silat sederhana
berwarna hitam serta buntalan kain kusam di bela-
kang bahunya. Kalau menilik cara jalannya yang ga-
gah, orang berpikir dia adalah seorang laki-laki. Na-
mun jika melihat bentuk pinggul yang terkadang terli-
hat saat dia melangkah, orang jadi ragu lagi. Lelaki
atau wanita"
Sepanjang perjalanan, pemuda berambut keme-
rahan terus mencuri-curi pandang pada teman seper-
jalanannya. Sesekali dia melirik ke pinggul orang itu.
Tak jarang pula dia melirik ke dadanya. Memang, ken-
dati mengenakan pakaian yang agak kendor, tak bisa
dipungkiri ada sedikit benda yang sesekali terlihat me-
nonjol. Si pemuda berambut kemerahan mesem-
mesem. Kepalanya menggeleng-geleng. Di dalam piki-
rannya, pasti ada sesuatu yang sedang bermain-main.
Bukan sejenis pikiran dekil. Cuma tak habis pikir pada sikap dan sifat teman
seperjalanannya. Dia adalah
pendekar muda kita, Satria Gendeng. Sedangkan orang
bertudung yang berjalan di sebelahnya adalah Arya
Wadam, pendekar wanita yang sifat dan tingkah la-
kunya kelelakian.
Keduanya berjalan bersama dengan satu tu-
juan, hendak mencari seorang tokoh tengik dunia per-
silatan berjuluk Raja Pencuri Dari Selatan. Untuk Sa-
tria, tokoh itu telah mencuri senjata pusakanya, Kail Naga Samudera. Sedangkan
untuk Arya Wadam, Raja
Pencuri Dari Selatan punya satu utang urusan karena
telah mencuri satu benda milik dua paman angkatnya,
Remeng dan Poleng. (Kisah selengkapnya dapat dibaca
pada episode sebelumnya: "Penghuni Kuil Neraka").
Murid dua tokoh kawakan tanah Jawa masih
saja asyik mencuri-curi pandang. Sampai saatnya, ke-
nakalan kecil itu harus terkena batunya. Arya Wadam
mendadak memergokinya.
Satria buru-buru meluruskan pandangan.
'Kura-kura dalam perahu' dia. Tapi perasaannya tak
bisa diajak berdamai. Dadanya jadi dag-dig-dug-
bleduk. Wajahnya pun memerah. Dia coba mesem-
mesem lagi. Tapi kok kayaknya seperti sedang merin-
gis" "Kenapa?" cetus Arya seraya melepas pandang ke depan kembali, seakan keusilan
mata pemuda di sebelahnya tak mengusik perasaannya sama sekali.
Dia memang bukan sejenis perempuan lugu yang
gampang dipermainkan lelaki atau perasaannya sendi-
ri. Satria menoleh dengan wajah masih saja ber-
pura-pura bodoh.
"Kenapa apa?"
"Kenapa kau melirikku begitu rupa?"
"Melirik apa?" hindar Satria lagi.
Pertanyaan bodoh. Justru pertanyaan seperti
itu malah mendorong Arya menebak dirinya dengan
ucapan selanjutnya.
"Melirik-lirik pinggul dan dadaku...."
Mak! Satria memekik dalam hati. Malu bukan
main dirinya. Rasanya kepingin membuang wajah
jauh-jauh, atau menguburkannya dalam-dalam di pe-
rut bumi! Wajah pemuda itu makin matang saja. Men-


Satria Gendeng 14 Tiga Pendekar Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dadak dia seperti diserang penyakit gatal-gatal. Dia garuk-garuk pipi, garuk-
garuk jidat, garuk-garuk leher, sementara bibir terus cengengesan.
"Kau tahu, ya...?" katanya malu-malu.
"Kau pikir aku sudah buta."
"Ya jelas tidaaaaak...."
"Lalu?"
"Lalu apanya?"
"Kau mau menjawab atau tidak?"
"O, itu...." Satria Gendeng menggaruk-garuk jidat lagi. "Aku cuma heran, kenapa
kau tak berpakaian seperti layaknya wanita saja."
"Aku merasa lebih leluasa dengan berpakaian
seperti ini."
"Itu bukan alasan. Kau toh, bisa memilih pa-
kaian wanita yang bisa membuatmu bergerak leluasa."
"Baik. Aku memang terbiasa. Bukankah sudah
kuceritakan padamu bahwa aku dibesarkan di tempat
yang semuanya lelaki."
"Aku jadi penasaran...," Satria memotong kali-
mat sendiri, ragu-ragu.
Arya sedikit menoleh.
"Penasaran?" tanyanya.
Satria memberanikan diri.
"Aku penasaran, apakah kau masih memiliki si-
fat-sifat kewanitaanmu?" cetusnya.
Arya tertawa kecil.
"Kau ingin membuktikannya?" tukasnya, tak
acuh. Satria sendiri langsung bungkam. Heran, mes-
tinya dia yang menggoda perempuan. Kenapa sekarang
dia yang digoda perempuan"
"Apa kau termasuk lelaki yang merendahkan
martabat seorang wanita?" aju Arya, lebih jauh.
Satria Gendeng melengak. Mulutnya membun-
dar. "Oooo, tidak! Tentu saja tidak! Memangnya ke-
napa?" "Aku hanya ingin tahu. Aku tak mau berjalan berbareng dengan lelaki yang
suka merendahkan martabat perempuan," tandasnya.
"Ah, menurutku lelaki atau perempuan sama
saja. Bedanya cuma pada peranan yang harus dijalan-
kan dalam hidup. Peranan itu maksudku adalah pera-
nan yang sudah menjadi kodrat. Seperti melahirkan,
tak mungkin bukan kalau lelaki yang harus melahir-
kan" Sedangkan soal martabat. Itu urusan pribadi un-
tuk lelaki atau wanita.... Tergantung setiap pribadi
masing-masing apakah hendak meninggikan marta-
batnya atau tidak dalam kehidupan ini. Kalau seorang
perempuan ingin derajatnya turun seperti hewan, yang
silakan berprilaku seperti hewan betina. Begitu juga lelaki. Kurasa, Tuhan pun
punya penilaian yang adil da-
lam hal martabat hidup manusia di dunia.... Bukan-
kah Dia menilai siapa yang lebih takwa" Baik itu pe-
rempuan atau lelaki?"
"Hem hem hem...," gumam Arya. "Aku tak menyangka kalau pemuda macam kau rupanya
masih bi- sa berpikir dalam dan jauh, ketimbang hanya memi-
kirkan hal-hal yang dekil."
Satria Gendeng tergelak.
"Aku hanya meneruskan perkataan seorang se-
sepuh rakyat di Bintaro Demak yang pernah kute-
mui...," aku Satria, lalu lanjutnya, "Kalau soal mata usilku tadi, aku cuma
iseng. He he he!" tertawa pula dia.
"Ya, iseng yang sudah menjadi 'penyakit'" ketus Arya. Satria tergelak lagi.
Keduanya terus berjalan. Percakapan hangat
dua insan terus pula terjulur. Keduanya seperti tak la-gi merasakan terik
mentari. Sampai keduanya tiba di sebuah tempat yang
dulu pernah disinggahi Satria Gendeng.
"Ini tempat terakhir aku bertemu dengan Raja
Pencuri Dari Selatan. Di tempat ini pula, aku dikelabui olehnya, senjata
pusakaku disikatnya!" ucap Satria Gendeng meletus-letus, terbawa kekesalan
mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Matanya kemudian ter-
tumbuk pada gerombolan semak.
"Kemarilah!" ajak Satria Gendeng seraya menarik pergelangan tangan Arya Wadam.
Entah karena ter-
lalu bernafsu menunjukkan sesuatu, sampai si pende-
kar muda lupa kalau Arya Wadam tetap seorang wan-
na. Sayangnya, Satria terus saja tak sadar. Sampai di dekat semak, dia menunjuk
dengan tangan lain se-tumpuk arang sisa perapian.
"Kau lihat itu"! Dulu dia membakar ayam
panggangnya di sini. Lalu dia lemparkan ayam pang-
gang itu padaku agar aku untuk sesaat asyik menyan-
tapnya dan melalaikan Kail Naga Samudera yang su-
dah disikatnya!" lapor Satria Gendeng dengan wajah merajuk-rajuk, seperti
seorang bocah ingusan yang sedang mengadu pada emaknya.
Sampai akhirnya, pendekar muda itu jadi sadar
bahwa Arya justru tengah memperhatikan tangannya
yang masih memegangi pergelangan tangan gadis itu.
"Eh-oh, maaf.... Aku tak bermaksud apa-apa.
Sungguh!" kebut Satria Gendeng, seraya buru-buru melepaskan pegangannya.
"Kau suka cari kesempatan juga, ya?" usil Arya.
Satria tak suka dikatakan begitu.
"Jangan sembarangan bicara, ya"!" sengitnya.
Menanggapi sikap si pendekar muda, Arya
hanya tertawa halus.
Dalam hati, Satria mengutuki diri sendiri. Ke-
napa dia bodoh sekali tak menyadari telah memegang
dan menarik lengan gadis itu sekian lama" Meski sete-
lah dirasa-rasa lagi, Satria Gendeng jadi agak senang juga. Arya buat Satria
termasuk satu di antara seribu gadis. Ya, kecantikannya. Ya, pribadinya. Jadi
tak terlalu aneh jika ada perasaan yang sulit dijelaskan.
Mungkin sekadar cetusan gejolak darah muda. Rasa
'serrr' yang 'serrr' begitu. Mengerti maksudnya, bukan"
"Sekarang apa pula yang kau lamunkan"!" sentak Arya, mengejutkan si pendekar
muda tanah Jawa.
"Jadi, bagaimana?" kilah Satria Gendeng, berusaha menutupi perubahan wajahnya.
Arya tak menyahut. Dia berjongkok. Ditelitinya
tumpukan abu dan arang sisa perapian. Selesai mene-
liti bekas perapian, matanya beredar ke sekeliling. Terdengar desah napasnya.
"Tidak ada apa pun yang bisa dijadikan petun-
juk. Sebagai seorang pencuri kawakan, dia memang
hebat. Tak sedikit pun dia meninggalkan jejak."
Satria Gendeng turut menghela napas, serta
menghempaskannya.
"Jadi bagaimana" Sementara waktu kita sudah
demikian menipis. Tinggal dua hari lagi kedua pa-
manmu membutuhkan benda yang dicuri Raja Pencuri
Dari Selatan. Sementara purnama pun tinggal empat
hari lagi...," katanya, setengah mengeluh.
Arya bangkit. "Kau mengeluh?" sindirnya.
Satria sengit lagi. Sungguh, kalau saja nenek
peot yang mengatakan begitu, dia tak akan ambil pus-
ing. Tapi kalau wanita cantik menawan dan berpribadi
mantap seperti Arya, dia bisa tersinggung berat. Perasaannya ibarat bisul, tak
boleh tersenggol sedikit saja.
"Aku tidak mengeluh. Cuma aku gusar. Apa tak
boleh?" "Sebaiknya memang begitu. Sebab, aku malu berjalan dengan seorang yang
sudah telanjur mendapat julukan besar di dunia persilatan, tapi terlalu
gampang mengeluh...," sambil berkata, Arya ngeloyor begitu saja.
Ah, lagi pula apa salahnya mengeluh" Gerutu
Satria membatin. Memangnya perasaan manusia sela-
lu bisa menampung seluruh kekalutan" Hm, wanita ini
kenapa merasa ingin lebih gagah dari lelaki"
"Hei, kau mulai melamun lagi!"
"Iya iya!"
Bersungut-sungut, si pendekar muda mengiku-
ti langkah Arya. Dalam hati, dia memaki. "Dasar perempuan!"
"Hei, ceritakan dulu benda apa yang telah dicu-
ri si bajingan bermuka rajah itu dari kedua paman
angkatmu?" usul Satria beberapa saat setelah mereka melangkah cukup jauh.
"Ceritanya panjang."
"Ceritakan saja."
"Makin panjang, makin bagus. Dengan begitu,
aku bisa lebih lama bersamamu," kicau Satria Gendeng dalam hati.
*** SEMBILAN LIMA hari menjelang purnama. Tujuh Dewa
Kematian tanpa diduga-duga mengubah rencananya.
Mereka yang semula menuntut Pitaloka diserahkan
pada malam purnama mendadak saja menyatroni Ka-
dipaten Lumajang untuk menuntut putri sang Adipati
itu sekarang juga!
Kuat dugaan, mereka mengkhawatirkan kega-
galan menyempurnakan ilmu sesat mereka jika men-
gundur-undur waktu merampas Pitaloka. Bisa saja
pada saatnya nanti, Pitaloka dihijrahkan ke satu tem-
pat tersembunyi. Tentu saja itu akan menyulitkan me-
reka sendiri. Mereka bukalah orang golongan sesat ke-
las teri. Mereka punya otak. Sebagai siasat, mereka
menuntut putri sang Adipati pada bulan purnama,
tanpa harus melaksanakannya seperti itu pula. Den-
gan tindakan tak terduga, biasanya keadaan lawan be-
sar kemungkinan kurang siap menghadapi mereka. Itu
satu keuntungan buat mereka.
Ketujuh momok itu pun datang. Dua orang
memasuki kadipetanan dengan cara menelusup. Si-
sanya tetap di batas kadipaten, menanti waktu yang
tepat untuk bergerak pula.
Rencana matang memang telah tercetak di ke-
pala masing-masing. Rencana yang mereka yakini
akan mengecohkan semua pihak. Terutama Adipati
Wisnu Bernawa yang sebenarnya punya rencana pula.
Namun sayang, rencana itu dipersiapkan untuk malam
bulan purnama. Layaknya permainan catur, Tujuh Dewa Kema-
tian telah menang satu langkah.
Langkah selanjutnya, adalah untuk bidak-
bidak penentu. Ketika mengetahui dua dari momok mena-
kutkan memasuki kadipatenan, suasana pun goncang.
Keributan besar begitu cepat menyubur. Para pungga-
wa dengan senjata di tangan mengepung dua orang
penghuni Kuil Neraka yang berdiri di halaman depan.
Dua orang penghuni Kuil Neraka mendongak.
Perlahan-lahan mereka menurunkan kepala. Wajah
mereka berubah membesi. Sorot mata menggidikan.
Menghujam. Menjerang nyali. Dari mulut salah seo-
rang terlompat serapah.
"Kuhabisi kalian!!!" Suasana kian keruh. Bau anyir darah menjenuh. Nyawa-nyawa
sebentar lagi akan berpentalan dari setiap raga.
Sebelum hal itu sampai terjadi, tiba-tiba ter-
dengar suara keras membahana, memantul-mantul di
angkasa, mengitari tempat tersebut.
"Jangan kau tambah korban lagi, Setan-setan
Botak!" Semua yang berada di tempat tercengang. Mereka celingukan, mencari-cari
dari mana suara itu be-
rasal. Dua dari Tujuh Dewa Kematian mengerahkan
kekuatan indra pendengaran. Mata keduanya terpe-
jam. Daun telinga mereka bergerak-gerak. Napas pun
seperti mereka tahan untuk bisa menentukan sumber
suara. "Rupanya yang datang bukan orang sembarangan, saudaraku," bisik salah
seorang dengan nada halus. Hampir-hampir tak terdengar oleh para penge-
pung. Mungkin hanya yang memiliki pendengaran see-
kor rubah yang bisa menangkapnya.
"Hei botak! Aku memang bukan orang semba-
rangan!" Suara itu terdengar lagi. Kali ini yang mereka
dengar suara seperti milik seorang bocah tujuh tahu-
nan. Tercekatlah seluruh orang di sana. Bagaimana
mungkin bocah tujuh tahun dapat mengerahkan suara
bertenaga dalam sedemikian sempurna" Yang paling
dibuat heran adalah dua iblis botak, karena suara me-
reka yang begitu halus dapat didengar oleh seorang
yang berada begitu jauh. Sedangkan para pengepung
sendiri yang cukup dekat dengan mereka tak menang-
kapnya. Kedua setan botak kembali menutup batin. Ma-
ta mereka terkatup rapat, telinga bergerak-gerak. Kali ini mereka menangkap
suara gemeretak dari balik semak di tepi dinding kadipatenan.
Kretaak! Kedua Dewa Kematian terkesiap. Tangan mere-
ka cepat menghentak ke arah suara di balik rerimbu-
nan tadi. Empat larik sinar hitam mencelat dari tela-
pak tangan keduanya. Letusan keras tercipta.
Glar! Para pengepung yang terdiri dari para pungga-
wa bernyali besar menjadi ciut juga, menyaksikan ke-
hebatan musuh mereka. Kendati begitu, mereka tak la-
ri, karena sebelumnya menyadari lebih baik mati ber-
kalang tanah sebagai seorang satria, ketimbang hidup
sebagai pengecut.
Dedaunan yang terhantam oleh pukulan jarak
jauh milik Dua Dewa Kematian menggelepar dan ber-
ganti warna menjadi hitam. Pohonnya sendiri seketika
kering-kerontang. Sebagian daunnya menjadi layu dan
menguning. Tidak lama kemudian, dedaunan itu pun
berguguran ditiup angin. Sedangkan sasaran yang me-
reka tuju ternyata cuma seekor kelelawar kesiangan.
"Hue Ha ha ha!"
Gelak tawa mencelat hampir bersamaan dari
arah belakang mereka. Dengan gesit kedua tokoh sesat
itu membalikkan badan, kemudian menghentakkan
pukulan. Kembali empat larik sinar hitam melesat dari telapak tangan mereka.
Letusan keras menggelegar kembali.
Glar! Gelak tawa terpenggal. Tak lama, tersambung
kembali. Kini berasal dari balik semak-semak di ping-
gir kiri dua manusia botak. Gesit, keduanya memba-
likkan badan. Menyusul hantaman pukulan jarak jauh
berikutnya. Belum lagi ujung bersit hitam menghan-


Satria Gendeng 14 Tiga Pendekar Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tam sasaran, suara tawa sudah berpindah ke arah ka-
nan. Gelak tawa itu seperti memiliki nyawa sendiri,
melompat-lompat dari satu tempat ke lain tempat.
Dua Dewa Kematian dibuat kelimpungan. Se-
makin mengerikan wajah mereka. Murka. Seringai
menggidikkan tersungging di sudut bibir keriput kedu-
anya. "Hei, tampakkan dirimu!" teriakan garang keluar dari kerongkongan salah
seorang, suatu teriakan
yang disertai penyaluran tenaga dalam hebat.
Menyayat-nyayat desiran angin.
Mengiang-ngiang.
Menyengat-nyengat.
Bumi digempakan
Gendang telinga puluhan punggawa, robek se-
ketika. Dua manusia berhati iblis menyeringai, menuai rasa kemenangan.
"Hei, keluar kau! Kalau tidak, akan kami lumat
manusia-manusia bodoh ini!" ancam salah seorang
momok dari Kuil Neraka.
Amarah mereka, telah berpindah. Bukan lagi
terhadap para punggawa, melainkan diarahkan kepada
seorang yang telah berani mempermainkan mereka.
Seruan yang tadi dilontarkan tak mendapat ja-
waban. Suasana lengang. Ketegangan bergeliat.
Angin bertiup wajar. Namun begitu, suasana
seperti itu suatu saat pasti akan meletus menjadi per-tumpahan darah. Itu
tercermin dari raut wajah kedua
manusia sesat yang memeram keangkeran. Mulut ke-
riput mereka terkatup rapat dan menggumpal.
Keheningan tiba-tiba dibelah oleh desingan ta-
jam. Asalnya dari benda sebesar dua kepalan tangan
orang dewasa. Nngung! Benda tersebut meluncur deras, menerjang dua
Dewa Kematian. Keduanya menghindar ke samping.
"Setan, benda apa itu"!" rutuk seorang dari mereka. Ngung ngung!
Benda tadi mendesing-desing, berputar dengan
kecepatan tinggi hingga yang tampak hanya pusingan
di udara. Dua penghuni Kuil Neraka dibuat tambah
mendelik. Bagaimana tidak" Benda itu terus membu-
ru, menyerbu, menerjang, menerkam. Keduanya di-
buat kelimpungan. Mereka berjumpalitan. Kadang tu-
buh mereka melenting di udara.
Seluruh mata menyaksikan kejadian itu. Mere-
ka semua dibuat berdecak kagum. Para punggawa, bo-
leh menganga. Geleng-geleng kepala pun tak dilarang.
Benda sebesar dua kepalan tangan masih terus
mengejar sengit. Pada suatu saat, dua manusia sesat
menemukan satu taktik. Mereka memecah gerakan
menjadi dua arah. Yang satu melompat ke kiri, se-
dangkan yang lain ke kanan. Dengan demikian, bisa
membingungkan pengendali benda aneh itu. Tidak
mungkin satu benda menyerang dua sasaran terpisah
sekaligus. Siasat dua Dewa Kematian berhasil. Benda
aneh tadi hanya dapat mengejar salah satu sasaran sa-
ja. Itu membuka peluang bagi yang lain untuk meng-
hancurkannya! Benda aneh yang datang tak tahu juntrungan-
nya, mengincar seorang dari Tujuh Dewa Kematian
yang melenting ke arah kiri. Sedangkan yang melompat
ke kanan dengan penuh kesiagaan mengikuti gerak la-
ju benda itu. Dengan perhitungan teramat matang dan
jeli, pada saatnya dia membuat sapuan dengan lengan
jubah. Memenggal gerakan benda aneh di tengah jalan.
"Khiaaah!"
Suara berdentam membuncah di udara. Benda
sasarannya kontan hancur berantakan, sedangkan
lengan baju orang yang melepas sapuan tak terkoyak
sedikit pun. Itu menandakan adanya kekuatan tenaga
hebat yang membentengi lengan bajunya.
Benda yang disampok ternyata hanya sebuah
kincir bambu yang biasa dimainkan bocah belasan ta-
hun! Puluhan pasang mata terbelalak menyaksikan
kenyataan tersebut. Sungguh kejadian yang mereka
anggap luar biasa. Kalau kincir saja bisa membuat dua
momok dari Kuil Neraka lintang-pukang, bagaimana
lagi orangnya" Tentu seorang tokoh sakti mandraguna
berusia amat lanjut yang mungkin sedikit nyentrik.
Keliru besar kalau mereka beranggapan seperti
itu. Selang sekian tarikan napas, keluar seseorang
dari balik semak-semak.
"Hu hu hu!" raungnya, gila-gilaan. Disusul kemudian dengan makian panjang-
pendeknya. Dua Dewa Kematian sendiri saat itu sedang te-
rengah-engah kehabisan napas. Menyaksikan yang ke-
luar seorang lelaki kumis berpakaian norak, keduanya
jadi mengernyitkan kening. Joyolelono orangnya. Kincir mainan tadi pun miliknya.
Para punggawa yang sebelumnya sudah men-
genal Joyolelono sebelumnya seperti dikomando untuk
garuk-garuk jidat berbarengan. Lho, kok bisa dia" Bu-
kannya seorang tua berjenggot putih dengan wibawa
terpancar di wajah seperti bayangan mereka, malah
orang tengik pembuat onar! Protes hati mereka, seperti tak bisa mempercayai.
"Siapa kau sesungguhnya, Keparat"!" geram
seorang Dewa Kematian, menyambut langkah-langkah
Joyolelono. Sambil mengusap-usap mata dengan punggung
tangan, Joyolelono menyahut.
"Kenapa kalian jadi marah" Seharusnya aku
yang marah karena kalian telah merusak mainanku,
wee!" Menyaksikan perangai lawan yang bisa mem-
buat otak buntu, dua Dewa Kematian menggeram
tanggung. Disebut meringis, bukan. Disebut seringai
pun tidak. "Sinting rupanya keparat ini!" maki seorang
Dewa Kematian. Keduanya lalu sama-sama memaku-
kan pandangan beringas kepada Joyolelono. Gelagat-
nya, mereka akan menghajar si bocah berkumis.
Para punggawa kasak-kusuk. Mereka sudah
yakin Joyolelono akan dipermak habis oleh dua Dewa
Kematian. Kasihan juga, pikir mereka kalau mengingat
keadaan Joyolelono. Apalagi lawan adalah sejenis ma-
nusia tak berhati.
Baru saja kedua momok menerkam ke arah
Joyolelono, menderu sebentuk angin pukulan jarak
jauh, menjegal mereka dari depan.
Jlegar! Tanah pekarangan kadipatenan berlobang se-
besar gajah! Tanahnya berhamburan ke angkasa, me-
nebar ke segenap penjuru seperti hujan.
Luruh. Riuh. Dua Dewa Kematian sendiri sempat terpental
cukup jauh. Mereka berhasil menjaga keseimbangan.
Kendati begitu, tak urung mulut mereka mengalirkan
darah kehitaman.
Menyusul, suara senandung samar-samar.
Timbul tenggelam di antara tiupan angin. Merdu saja
tidak. Malah mirip-mirip suara gerutuan orang satu
kelurahan. Selang berikutnya, muncul pula orang kedua.
Seorang tua berwajah merah matang membawa guci
tuak besar. Berjalan dia sempoyong sana sempoyong
sini dari satu sudut kadipatenan.
Wajah Dua Dewa Kematian berubah menyaksi-
kan orang yang baru keluar.
"Danusentana...," bisik keduanya, hampir berbarengan. Seperti pernah dikatakan
Ki Dagul atau Da-
nusentana sendiri pada Satria beberapa waktu lalu,
bahwa sebenarnya antara dirinya dengan Tujuh Dewa
Kematian sudah saling mengenal sejak lama. Mereka
adalah saudara-saudara seperguruannya yang berk-
hianat. "Apa kabar kalian" Mana lima monyet botak yang lain" Apa kalian sudah
mati satu persatu terkena panu?" mulai Pengemis Tuak sambil sesekali meneguk
tuaknya. Dua penghalang yang tak enteng, nilai dua De-
wa Kematian. Pengemis Tuak sendiri saja sudah men-
jadi masalah besar untuk mereka. Mereka cukup tahu
seberapa tangguh orang tua peminum itu. Berkali-kali
mereka telah bertemu dalam pertarungan. Memang
berkali-kali Pengemis Tuak harus menelan kekalahan.
Setelah lama tak berjumpa kembali, mereka tak
bisa menganggap kesaktiannya tak bertambah. Mung-
kin saja kesaktiannya kali ini dapat mengakibatkan
kesulitan teramat besar bagi Tujuh Dewa Kematian....
"He he he, tiba waktunya aku memetik keme-
nangan dan membayar kekalahan! Kau botak-botak,
akan segera menerima hukuman yang semestinya te-
lah lama kalian rasakan!" koar Pengemis Tuak, seperti mengerti kecamuk pikiran
dua Dewa Kematian.
Dua manusia kembar saling menukar pandan-
gan. Mereka menaikan sudut bibir, seakan hendak
mengejek. Salah seorang mengibaskan lengan bajunya
ke arah daun kering yang tergeletak di tanah, satu tindak di depannya.
Wsss! Seketika angin memekik. Daun kering mencelat
dan melesat bagai lempeng dari pecahan meriam ke
arah seorang punggawa. Mereka sengaja memancing
keributan! Melihat tindakan manusia keji yang tidak
menghargai arti nyawa manusia, Pendekar Tuak segera
bertindak. Dengan mengimbangi gerak laju daun ker-
ing tadi, tubuhnya meluncur. Di udara, tangan tua
bangka itu mengayun guci tuak besarnya, menanduk
gerak laju daun kering. Benturan terjadi.
Klang! Terlahir bunyi keras.
Arah luncuran daun menyimpang.
Tembok pagar kadipatenan jadi sasaran.
Lobang menganga tercipta.
Beberapa punggawa berdecak. Punggawa yang
hendak jadi sasaran daun, tak bisa berdecak. Dia ke-
buru semaput di tempat akibat terlalu kaget. Jantun-
gan kambuhan. Selesai melakukan hal itu, si jago tua me-
nyunggingkan senyum sinis kepada dua Dewa Kema-
tian. "Kalian benar-benar biadab! Manusia semacam kalian tidak layak hidup di
dunia. Mati pun kalian tak layak dikubur di perut bumi! Pantasnya kalian dikubur
di dalam perut serigala!" omel Ki Dagul
"Kau mau menceramahi kami, atau hendak
menjajal kesaktian kami lagi, Danusentana" Barangka-
li, kau ingin kami mempecundangimu lagi untuk yang
kesekian kali?" cemooh salah satu Dewa Kematian.
"Ah," Ki Dagul menepis udara dengan gaya
'mabuk'nya seraya mencibir. Tak mau kalah, dice-
moohnya pula kedua musuh lamanya.
"Kalian berdua" Kenapa tak kalian semua da-
tang dan menghadapi aku sendiri! Tujuh.... kalau perlu kalian menyulap diri
menjadi seratus orang!"
Ki Dagul menepuk dada. Bunyinya garing. Mak-
lum cuma tulang melulu.
Suasana menjadi kian membakar.
Dua Dewa Kematian tak bisa menahan gejolak
nafsu. Mereka meluruk. Pertarungan pecah.
Joyolelono tak bisa diam. Sebenarnya dia su-
dah amat gatal sejak tadi. Namun karena kebingungan
dengan ribut-ribut Ki Dagul dan Dua Dewa Kematian
yang memperebutkan pepesan kosong, akhirnya dia
cuma pelanga-pelongo.
Sebelum terjun ke medan laga, lelaki keboca-
han itu menarik napas dalam-dalam. Dadanya men-
gembung. Lalu dari mulutnya mengalirlah raungan
panjang, seperti tangisan seorang bocah yang ditinggal mati orang tua.
"Ngaaaaaaaaa!"
Jurus 'Dewa Langit Menangis'! Jurus aneh mi-
lik Dewa Gila yang diturunkan kepadanya mulai diper-
tunjukkan.... Dua Dewa Kematian mencecar Pengemis Tuak
dari dua arah berlawanan. Satu mencoba menggempur
dari kiri, yang lain dari sisi kanan. Siasat tarung yang mencoba membuat lawan
kerepotan. Menghadapi serangan macam itu, Ki Dagul ma-
lah terkekeh-kekeh. Dia kenal siapa lawan. Kenal be-
tul, seperti dia mengenal ketiak sendiri. Kedua lawan mencoba mendesaknya dengan
mengerahkan jurus
'Amukan Tujuh Dewa', itu pun terbaca oleh Ki Dagul.
Kalau orang tua pemabuk itu terkekeh, penyebabnya
karena 'Amukan Tujuh Dewa' seharusnya diperguna-
kan untuk tujuh orang. Bukan dua orang seperti kini
dihadapinya. Dengan begitu, keampuhan 'Amukan Tu-
juh Dewa' seperti kehilangan taji di mata Ki Dagul.
"Kalian sedang mengejekku, ya?" kekeh Ki Dagul, ramai dan melengking. "Masa'
kalian mengerahkan jurus tumpul itu padaku sekarang ini" Sudah kubi-
lang, kalian harus kumpul bersama sekalian mengha-
dapiku agar 'Amukan Tujuh Dewa' kalian tidak cuma
membuat aku terkikik geli"
Dua Dewa Kematian tak peduli.
Mereka terus merangsak.
Sing sing! Telapak tangan mereka mendesing-desing,
membuat babatan ke segenap titik terlemah pertaha-
nan lawan. Sampai saatnya si bocah berkumis pun tiba.
Dengan wajah kelewat memelas seperti menahan kese-
dihan hebat, Joyolelono memotong serangan salah seo-
rang Dewa Kematian. Gerakannya agak tengik. Main
seruduk saja. Tangannya bergerak hendak memeluk
lawan. Bibirnya memancung ke depan, matanya terka-
tup layaknya seorang wanita genit hendak mencumbu


Satria Gendeng 14 Tiga Pendekar Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mesra-mesra pemuda pujaan hati.
Orang yang dituju tentu saja terperangah. Se-
lintas, terpikir olehnya dia sedang menghadapi orang
sinting. Namun begitu dia mendengar dengus angin
yang ditimbulkan gerak merangkul lawan, dia pun sa-
dar dirinya tak hanya menghadapi kesintingan, me-
lainkan satu jurus ampuh mematikan!
Si botak itu pun jungkir balik.
Krep! Sentakan dalam meletup ketika pelukan Joyole-
lono tak menemukan tubuh lawan. Selaku tokoh sakti,
lawan bisa menilai dari letupan tadi. Seandainya tu-
buhnya sempat terpeluk, tak disangsikan tulang ru-
suknya akan terpatah-patah!
"Hei, Lelaki Tolol, apa yang kau lakukan"!"
semprot Ki Dagul mengetahui dirinya telah mendapat
dukungan. Gusar. Mestinya dia berterima kasih. Seti-
daknya merasa senang. Ini malah sewot. Malah sem-
pat-sempatnya dia menggebah Joyolelono dengan guci
besarnya. Wung! "Enyah kau!"
Untung saja Joyolelono sudah membuka ma-
tanya kembali. Dia cepat mendoyongkan badan ke
samping. Kalau tidak begitu, jidatnya bisa empuk se-
ketika. Tanpa sengaja, tindakan Ki Dagul malah men-
jegal serangan balasan lawan Joyolelono yang berniat
hendak menyentakkan telapak tangan ke depan. Ter-
paksa, diurungkannya serangan. Tak hanya itu, dia
pun harus berjumpalitan ke atas jika tak ingin da-
danya digebuk guci tuak Ki Dagul.
Joyolelono sendiri tidak mengamuk. Marah saja
tidak. Dia merasa Ki Dagul tak punya niat apa-apa.
Barangkali tak sengaja. Yang dia tahu, lawannya ada-
lah dua lelaki tua gundul berbibir gombal. Itu saja.
Medan laga pun terbagi dua.
Joyolelono mulai memainkan jurus lagi. Ba-
dannya berjingkat-jingkat genit. Wajahnya memperli-
hatkan mimik menangis memelas.
Lawannya bersiap dengan wajah setengah me-
longo. Ki Dagul makin sewot.
Joyolelono berjinjit menggelikan ke arah lawan.
Dadanya dibusungkan seakan perawan yang memiliki
buah dada sebesar semangka. Sebaliknya, mulutnya
terus memperdengarkan gerungan menggila.
Ki Dagul makin sewot. Rasanya pekerjaannya
sudah diganggu oleh seorang laki-laki tolol. Lawan botak yang sedang dihadapinya
malah ditinggal. Dikejar-
nya Joyolelono.
"Kubilang kau jangan turut campur! Ini uru-
sanku dengan dua Dewa Botak Sialan!"
Sambil memaki, Ki Dagul menggebah Joyolelo-
no kembali dengan gucinya dari belakang.
Si bocah berkumis merasakan deru keras
membokongnya. Tanpa perlu menoleh, dia mengguling
badan di bumi. Wung! Terjangan guci Pengemis Tuak pun nyelonong
ke depan, persis ke arah kepala si botak yang semula
menanti serangan Joyolelono. Perhatiannya terpecah
seketika. Dia mengelakkan hantaman guci Pengemis
Tuak. Tapi, dia malah lupa pada Joyolelono yang ber-
gulingan. Ketika si bocah berkumis sudah berdiri menda-
dak di depan hidungnya, barulah dia terkesiap. Mau
menghindar, sudah terlambat. Sepasang tangan Joyo-
lelono sudah lebih dahulu melayap ke dadanya dengan
gerakan menjawil.
"Kena!"
Menjawil. Tangan si bocah berkumis hanya terlihat men-
jawil dada lawan. Akibatnya sungguh di luar perkiraan.
Seketika lawannya mendekap dada dengan wajah nya-
ris membiru menahan rasa sakit luar biasa dalam
rongga dadanya.
Panas. Meranggas. Melecut-lecut. Tak begitu lama, si botak seorang dari Dewa
Kematian itu pun memuntahkan darah segar.
Botak yang lain terperangah. Dia mulai men-
gendusi jurus maut yang terlihat remeh milik salah
seorang lawan. "Dewi Langit Menangis'...," desisnya. Dia jelas
pernah mendengar seorang tokoh kawakan wilayah ba-
rat yang amat kesohor sebagai pemilik jurus tersebut.
Tampaknya, korban 'jawilan' Joyolelono pun
menyadari hal itu. Keduanya saling berpandangan.
"Apa hubungan orang tolol ini dengan si Je-
rangkong Dewa Gila itu?" erang orang tua botak yang mendekap dada.
Sedangkan Joyolelono sendiri sekadar mesem-
mesem keledai. Dia melirik Ki Dagul dengan perasaan
girang, merasa Ki Dagul telah membantunya dalam
keberhasilan serangan tadi. Padahal, Ki Dagul penasa-
ran sekali ingin membuat 'empuk' kepala lelaki berotak tak 'empuk' itu"!
SELESAI Ikuti lanjutan kisahnya dalam:
TUMBAL TUJUH DEWA KEMATIAN
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Kisah Si Naga Langit 4 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Pedang Pembunuh Naga 10
^