Pencarian

Tumbal Tujuh Dewa Kematian 1

Satria Gendeng 15 Tumbal Tujuh Dewa Kematian Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU LAYAKNYA permainan catur, mestinya Tujuh De-
wa Kematian telah menang satu langkah. Sebab di luar
dugaan, mendadak mereka menyatroni Kadipaten Lu-
majang lima hari menjelang purnama. Padahal mereka
telah bilang akan merampas Pitaloka yang akan dijadi-
kan tumbal demi ilmu sesat keparat yang mereka tun-
tut pada saat purnama nanti.
Sementara itu Satria Gendeng yang ditugasi men-
gundang tiga pendekar kawakan berwatak aneh baru
berhasil mendatangkan dua orang. Mereka adalah Ki
Dagul yang dikenal sebagai Pengemis Tuak dan Joyole-
lono yang mewakili gurunya, Dewa Gila. Sedangkan
Arya Wadam yang juga diundang, masih belum jelas
juntrungannya. Rencana adipati yang hendak menjerat Tujuh De-
wa Kematian dengan mengundang ketiga pendekar
aneh ditambah seorang pendekar muda yang bergelar
Satria Gendeng jadi berantakan lantaran serangan
mendadak Tujuh Dewa Kematian. Untung saja, Ki Da-
gul dan Joyolelono cukup sigap. Mereka langsung
memberi perlawanan sengit, sehingga membuat dua
dari Tujuh Dewa Kematian kewalahan. (Baca episode
sebelumnya: "Tiga Pendekar Aneh").
"Slompret! Bocah gila ini pasti ada hubungannya
dengan Dewa Gila! Paling tidak, dia pasti muridnya,"
desis si botak satu dari Tujuh Dewa Kematian.
Kurang puas, lelaki berkepala plontos itu menjela-
jahi seluruh tubuh si bocah berkumis dengan sinar
matanya. Tak ada yang istimewa dari bocah itu selain
kebodohannya. Tapi jawilannya barusan membuat da-
danya sedikit terguncang.
Sial benar siasat Tujuh Dewa Kematian ini. Pa-
dahal rencana sudah disusun matang-matang, tapi te-
tap tak berjalan mulus, semulus kulit bayi. Ada yang
salah pada mereka" Rasanya tidak. Untuk itu, tekad
mereka terbangun lagi.
"Hiaah...!"
Kali ini Lelaki plontos lainnya menggebrak. Tak
tanggung-tanggung, serangannya dilambari tenaga da-
lam penuh. Pukulan jarak jauh terlontar sudah. Arah-
nya sudah jelas, si bocah berkumis yang menyebalkan.
Joyolelono merasakan deru angin keras Bukan
kepalang. Kali ini tubuhnya menggelinding bak bunte-
lan kentut. Selain menghindar, sesekali boleh dong
menyerang. Kelihatannya tak ada gerakan berarti yang
dibuat Joyolelono. Tapi begitu jarinya menjentik benda keramat milik lelaki
plontos itu....
Tak! "Adaauuu...!"
Si lelaki plontos langsung terpental. Kedua tan-
gannya sibuk mengelus-elus benda kesayangannya.
Mulutnya nyengir, sehingga membuat wajahnya yang
jelek makin tak karuan saja. Kambing telat buang ha-
jat mungkin masih kalah jelek.
Justru Joyolelono yang nandak kegirangan, seolah
baru saja mendapat mainan lagi.
"Rasain, wee.... Makanya, jangan suka jahil meru-
sak mainan orang!" omel si bocah berkumis.
"Keparat buduk! Apa karena tidak terlalu ngotot
sehingga bisa dikerjai anak ingusan itu"!" rutuk lelaki plontos yang dikerjai
Joyolelono ketika telah berdiri di samping lelaki kembarannya. Kegeraman dalam
hatinya terasa sangat mengaduk-aduk dadanya. Betapa
tidak. Hanya beberapa jurus dia dibuat bak mainan
saja. "Mestinya kita langsung bertujuh saja. Buat apa
lima saudara kita menunggu di perbatasan?" sahut lelaki plontos satunya.
"Jadi, bagaimana kita sekarang?"
"Bisa berabe kalau dilayani terus. Sebaiknya kita menyingkir dulu. Kita masih
punya waktu lima hari
untuk merebut perawan itu."
Kata sepakat terputus sudah. Tanpa merasa malu
telah dikerjai, mereka segera berbalik dan berlari cepat menuju perbatasan. Tak
tanggung-tanggung mereka
berlari secepat mungkin bagai dikejar anjing gila.
"Hei..., hei! Ganti dulu mainanku baru kalian bo-
leh pergi!" teriak Joyolelono, lebih mementingkan ke-senangannya daripada
membantu sang Adipati dalam
menumpas Tujuh Dewa Kematian.
Menduga kedua lawannya tak bakal kembali lagi,
bibir bawah si bocah berkumis maju beberapa jari. Hi-
dungnya kembang kempis siap meledakkan tangis.
Pengemis Tuak yang melihat Joyolelono menjebik
begitu jadi gemas. Begitu melompat, langsung dibe-
kapnya mulut si bocah berkumis.
"Cengeng!" sentaknya.
"Bepppp...." Susah payah Joyolelono mengucap dengan mulut ditutup begitu. Tapi
kejap itu juga terlintas akal nakalnya. Digigitnya tangan Ki Dagul.
"Waddauuu...! Kunyuk sialan! Kalau lapar minta
makan pada adipati. Jangan tanganku kau gigit!" maki Pengemis Tuak uring-uringan
begitu bisa mencabut
tangannya dari gigitan Joyolelono.
"Ada apa sahabatku, Pengemis Tuak?"
Kemarahan Ki Dagul terpenggal oleh sebuah sua-
ra. "Ada-ada saja," sahut Ki Dagul sambil melirik ke arah Joyolelono.
"Habis, mau nangis tidak boleh. Ayahku saja tak
melarang," rungut si bocah berkumis sambil memainkan bagian depan baju
monyetnya. Orang yang baru datang tak lain dari Adipati Wis-
nu Bernawa. Bibirnya mau tak mau harus mengem-
bangkan senyum melihat raut wajah Joyolelono. Habis
kalau lagi memberengut begitu, wajah itu tak lebih dari wajah orang sakit
mencret. Lelaki itu kemudian mengajak masuk dua undan-
gannya. Dia ingin mengutarakan langkah selanjutnya
untuk menghadapi Tujuh Dewa Kematian yang diang-
gapnya sudah kebangetan. Tapi langkah mereka men-
dadak sontak terjegal oleh seorang prajurit yang berlari tergopoh-gopoh.
"Am..., ampun, Gusti Adipati. Pu..., Putri Pitaloka menghilang dari
kamarnya...," lapor si prajurit.
"Apa..."! Bicara yang betul, Prajurit!" sentak sang Adipati.
Si prajurit dibentak begitu langsung terlonjak.
Masih untung jantungnya menempel kuat dalam rong-
ganya. Kalau tidak bisa jadi langsung mati berdiri.
"Be... betul, Gusti Adipati. Tadi waktu Emban Su-
lastri hendak menemui di kamarnya, Putri Pitaloka te-
lah lenyap...."
"Kita kecolongan, Wisnu Bernawa. Rupanya saat
aku dan Joyolelono menghadapi...."
Kata-kata Pengemis Tuak tak ditanggapi sang Adi-
pati. Lelaki itu lebih suka membuktikan kata-kata si
prajurit ketimbang kata-kata sahabatnya. Tinggal Ki
Dagul yang garuk-garuk kepala dengan bibir memble.
Dan untuk membasahi bibirnya yang memble diteguk-
nya tuak dari guci besarnya.
"Hei, Bocah Tolol! Ayo kita lihat ke kamar Putri Pitaloka!" ajak Ki Dagul. Rasa
kesalnya tadi kepada
Joyolelono yang mengganggu pertarungannya dengan
dua dari Tujuh Dewa Kematian telah lenyap. (Untuk
mengetahui pertarungan Pengemis Tuak dengan dua
dari Tujuh Dewa Kematian, baca episode sebelumnya,
"Tiga Pendekar Aneh").
"Pergi saja sendiri. Aku mau bikin mainan lagi!"
usir Joyolelono, masih kesal.
Ki Dagul kalau tak ingat bocah itu murid Dewa Gi-
la, sudah dijewernya telinga Joyolelono. Baru kali ini rasanya dia menemukan
bocah yang mampu membuat
hatinya meletup-letup. Tapi ibarat kentut yang tak jadi meletus, Ki Dagul cepat
memendam kembali kemarahannya. Bukan, bukan karena kemarahannya telah hi-
lang, tapi karena Joyolelono dengan seenaknya ngacir
dari tempat itu.
* * * Di kamar Pitaloka, Adipati Wisnu Bernawa hanya
menemukan istrinya yang tengah menangis mengge-
rung-gerung sambil dihibur oleh beberapa emban. Dari
samping, seorang prajurit menyodorkan secarik kertas
bertuliskan huruf Jawa Kuno dengan tinta darah.
Sang Adipati komat-kamit, membaca.
Wisnu Bernawa. Putrimu di tangan kami.
Tumbal perawan harus segera kami dapatkan.
Semua ciri-ciri ada pada anakmu.
Anggap saja tindakan kami sebagai bayaran atas
kelancanganmu yang berani-beraninya mengusik kami.
Tertanda, Tujuh Dewa Kematian
"Keparat!" desis Adipati Wisnu Bernawa dengan gigi bergemelutuk.
Jitu juga memang siasat lima dari Tujuh Dewa
Kematian. Dengan menyuruh dua saudara mereka
menyatroni kadipaten dari depan, mereka berlima ju-
stru menyusup dari belakang. Dan rencana itu sengaja
tak diutarakan pada kedua adik kembar mereka agar
berjalan mulus, semulus kulit Putri Pitaloka.
"Bagaimana menurutmu, Pengemis Tuak?" tanya
Adipati Wisnu Bernawa, pada lelaki berpakaian dekil di sampingnya.
"Berapa hari lagi purnama kali ini?" Ki Dagul malah balik bertanya.
"Kalau menurut perhitungan, lima hari lagi."
"Kau yakin kalau Pitaloka dibawa mereka?"
Sebetulnya bagi sang Adipati itu pertanyaan bo-
doh. Ya, sudah jelas lelaki tukang minum tuak ini di-
undang ke tempat ini lantaran sang Adipati merasa te-
rancam, karena anaknya hendak dijadikan tumbal. Eh,
dia pakai bertanya begitu.
Buat Ki Dagul sendiri, dia bertanya begitu me-
mang lantaran tak tahu berbuat apa. Otaknya benar-
benar kusut, sekusut wajahnya yang jarang tersiram
air, kecuali tuak. Dan saking kusut pikirannya lagi-lagi ditenggaknya tuak dari
guci besarnya. Seperti bi-asanya, cara minumnya seperti onta gurun.
"Apa tidak sebaiknya kita menyatroni mereka,
Pengemis Tuak?" susul sang Adipati.
"Boleh, boleh. Aku juga ingin mencoba ilmu baru-
ku pada kadal-kadal botak itu. Hik!" sahut Ki Dagul.
Bergegas, sang Adipati menyuruh prajuritnya un-
tuk menyiapkan pasukan.
"Kenapa mesti bawa-bawa prajurit, Wisnu Berna-
wa" Buang-buang nyawa percuma saja," cetus Ki Da-
gul. Matanya kian sayu. Agaknya dia tengah menikma-
ti mabuknya. "Mereka prajurit-prajurit terlatih, Sahabatku,"
tandas Adipati Wisnu Bernawa.
"Bukankah kau pernah bilang kalau pernah men-
girimkan Prajurit Kembar yang dikenal paling tangguh
di kadipaten ini" Tapi mana hasilnya?" tukas Pengemis Tuak.
"Prajurit Kembar memang mengakui keunggulan
Tujuh Dewa Kematian, Ki Dagul," sebuah suara dari belakang Ki Dagul nyeletuk.
Nadanya datar. Ki Dagul menoleh. Sukma Sukanta, orang terakhir
Prajurit Kembar yang masih hidup telah berdiri di situ.
"Tapi bukan berarti Prajurit Kembar mati sia-sia,"
susulnya, tenang. Wajar saja kalau lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu
tersinggung. Karena, Sukma
Sukanta merasa terlibat di dalamnya.
"He he he.... Tak perlu tersinggung begitu, Kawan.
Pengorbanan kalian memang tidak sia-sia. Hanya yang
kupikirkan adalah, agar tidak banyak korban yang ja-
tuh bila kita menyerang ke sana. Sebab, Wisnu Berna-
wa ini bersikeras hendak membawa para prajuritnya,"
jelas Pengemis Tuak, melunakkan hati Sukma Sukan-
ta. "Sudahlah, Sahabatku. Baik. Saranmu kuterima.
Tapi yang kupikirkan saat ini, Satria Gendeng dan
Arya Wadam belum muncul juga. Ada apa dengan me-
reka?" keluh sang Adipati.
"Biasa, kucing kalau dekat ikan memang begitu,"
celetuk Ki Dagul.
"Apa maksudmu, Sahabat?" tanya sang Adipati.
"Lho..., Arya Wadam itu kan perempuan. Cantik
lagi wajahnya. Bisa jadi mereka berasyik-asyikan dulu
sebelum ke tempat ini," duga Pengemis Tuak.
"Tidak! Aku tak percaya kalau Satria Gendeng
punya sifat begitu. Aku pernah berjalan dengannya.
Dia paling takut dengan wanita," sergah Sukma Su-
kanta. "Berapa kali kau bersama Satria Gendeng mela-
kukan perjalanan?" tukas Ki Dagul.
"Sekali."
"Itu belum cukup untuk menyimpulkan sifat se-
seorang." "Ah, sudahlah. Cepat kita bersiap-siap melakukan
perjalanan. Eh, mana si Joyolelono," penggal sang Adipati. "Tadi kulihat dekat
pintu gerbang kadipaten," sahut Sukma Sukanta.
"Ya, sudah. Mari kita berangkat."
*** DUA WAKTU mengendap. Matahari di atas sana terke-
pung gumpalan awan hitam pekat. Dengusan angin
kencang mengisi setiap sela mayapada. Menerpa dua
sosok manusia yang berjalan di tengah jalan desa.
Keduanya segera memasuki sebuah kedai. Yang
seorang pemuda bertubuh kekar. Rompi berbulu putih
dari kulit hewannya diikat dengan kain pada ping-
gangnya.

Satria Gendeng 15 Tumbal Tujuh Dewa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di sisi si pemuda berwajah tampan itu adalah se-
seorang yang tak jelas. Wajahnya tertutup tudung se-
perti bakul nasi.
"Kita duduk di sana, Satria," tunjuk orang bertudung itu ke sudut ruangan kedai.
Si pemuda yang tak lain pendekar muda berjuluk
Satria Gendeng tersenyum. Tarikan bibirnya menyi-
ratkan kesanggupannya dengan ajakan itu.
"Dari situ kita memandang leluasa ke sekitarnya,"
susul orang bertudung.
Mereka segera bergerak ke sudut kedai yang tak
terlalu ramai ini.
"Pesan apa, Tuan-tuan?" tanya pelayan kedai ramai, tanpa dibuat-buat.
"Aku nasi sayur asem dengan lauk ikan bakar.
Kasih lalap petai, ya?" sahut Satria.
"Aku nasi campur arak," sebut orang bertudung.
Si pelayan berusia setengah baya terbengong.
Seumur-umur dia jadi pelayan baru kali ini ada yang
memesan nasi campur arak. Apa dia tak salah dengar"
"Mencampur nasi dengan arak, Tuan?" ulang si pelayan tak yakin.
Orang bertudung dengan pakaian cukup perlente
itu mengangguk. Lemah saja, tapi sudah cukup mem-
buat si pelayan yakin walaupun masih saja kepalanya
menggeleng-geleng.
Satria melirik orang di sebelahnya yang tak lain
Arya Wadam. "Sudah berapa lama kebiasaanmu makan nasi
campur arak, Arya Wadam?" usik Satria.
Dari balik tudungnya Arya Wadam menghujamkan
matanya ke arah dua bola mata si pemuda. "Kalau aku mencampuri nasi dengan racun
sekalipun, apa urusanmu?"
Wah, dia tersinggung. Desah Satria dalam hati.
Rasanya aku hanya bertanya wajar.
"Oh, ya. Kapan jatuhnya purnama, ya?" Satria mengalihkan pembicaraan. Tak enak
rasanya suasana
jadi kaku seperti ini.
"Dua hari lagi. Kenapa?"
"Gawat! Bagaimana ini" Kita harus segera mene-
mui Adipati Wisnu Bernawa, tapi pencarian kita terha-
dap Raja Pencuri Dari Selatan belum menemukan titik
terang. Sedangkan kau bersedia ke Lumajang setelah
aku bersedia membantumu," desah Satria Gendeng.
Arya bangkit. "Kau mengeluh lagi?" sindirnya. Hal itu pernah di-lakukannya dua hari yang lalu,
ketika Satria Gendeng
mengeluh demikian.
Satria memang pernah disindir bahwa Arya paling
benci dengan orang yang gampang mengeluh. Apalagi,
Satria Gendeng boleh dibilang adalah pendekar besar
yang saat ini menggegerkan dunia persilatan.
"Tapi apa orang tak boleh mengeluh" Dan aku wa-
jar dong mengeluh karena aku punya kewajiban terha-
dap Adipati Lumajang?" tukas Satria, kali ini tak mau disindir begitu saja.
"Ya, tapi kau sudah berjanji padaku. Apa seorang
pendekar besar bisa mudah begitu saja melupakan
janji?" Kali ini Arya terdiam.
Kalau bukan gadis cantik, sudah kutinggalkan
manusia cerewet ini, gerutu Satria. Dan kalau bukan
karena janji...
"Kalau kau mau pergi, pergilah. Biar aku mencari
Raja Pencuri Dari Selatan sendirian," celetuk Arya.
Satria masih terdiam. Tapi samber geledek dia jadi
terkejut, karena Arya seperti tahu jalan pikirannya.
Sementara itu pelayan yang membawa pesanan
mereka telah datang. Dihidangkannya semua makanan
di atas meja, lalu cepat beranjak dari situ.
"Repotnya, kita tak tahu ke mana harus mencari
Raja Pencuri Dari Selatan. Manusia tengik itu hilang
begitu saja seperti kentut," kata Satria lagi.
Arya yang sudah duduk kembali tak mempeduli-
kan. Kini dia malah asyik menyantap makanannya.
Sementara Satria terus memandangi Arya seolah minta
tanggapan. Sedikit pun dia belum berminat menyentuh
makanannya. "Makanlah dulu. Nanti masuk angin," ujar Arya, kalem saja.
"Kalau masuk angin tinggal buang saja, apa su-
sahnya?" "Iya, buangnya jangan dekat aku. Bau!"
"Lho" Kentut itu angin. Kalau tidak dikeluarkan
masuk angin. Kalau kau tak suka, pulangin," sahut Satria, dongkol.
Saking dongkolnya, dilahapnya makanan yang
tersedia di atas meja.
Tengah mereka menyantap, suasana jadi hening.
Sehening kuburan. Tapi mendadak....
"Ada dua orang sakti bertarung...!"
Tengah desa ini jadi geger begitu terdengar suara
orang berteriak-teriak ngalur ngidul. Maka bagai men-
dapat tontonan gratis, mereka berduyun-duyun berlari
ke arah yang ditunjuk orang tadi.
Satria dan Arya Wadam berpandangan sejenak.
Setelah saling mengangguk, mereka beranjak keluar
kedai. "Tuan, makanannya belum bayar...!" teriak si pelayan kedai.
"Nanti aku balik lagi!" teriak Satria.
"Kalau kalian tidak balik?"
"Anggap saja apes...!"
"Yah..., apes lagi," desah si pelayan kembali men-gurusi piring-piring kotor.
Tak jauh dari tengah desa, dua orang lelaki tua
tengah bertarung sengit. Yang seorang adalah seorang
lelaki berpakaian coklat dekil. Rambutnya putih, kaku
seperti tak pernah keramas. Di atas kepalanya ber-
tengger topi dari kulit berbentuk bulat. Matanya di-
tumbuhi alls yang juga telah berwarna putih.
Yang seorang lagi adalah lelaki tua bermuka tirus
penuh rajah dengan kaki kutung sebatas dengkul, dis-
ambung oleh tulang rusuk harimau Jawa. Pakaiannya
mirip jubah berwarna ungu. Punggungnya agak bung-
kuk. "Pucuk dicinta ulam tiba, Satria. Lihat salah satu orang yang bertarung
itu. Dialah pencuri tengik itu,"
tunjuk Arya Wadam begitu tiba sepuluh tombak di de-
kat pertarungan.
Satria diam tak menanggapi. Tanpa diberi tahu
pun dia sudah tahu. Hanya masalahnya, bagaimana
dia harus merebut pusaka Kail Naga Samudera di tan-
gan salah satu orang bertarung yang memang Raja
Pencuri Dari Selatan itu" Karena untuk terlibat dalam
pertarungan rasanya kok sungkan.
"Hei, Satria! Kenapa kau diam saja" Katanya mau
membantuku?" usik Arya Wadam.
"Kita tunggu saja dulu, siapa yang kalah atau me-
nang. Tak baik rasanya ikut-ikutan dalam persoalan
mereka," sergah Satria Gendeng. "Bukan Satria namanya kalau belum tahu
persoalannya ikut campur
urusan orang!"
Sejenak Arya Wadam menujukan pandangannya
ke arah dua orang yang kini sudah berdiri berhadapan,
setelah sama-sama terjajar dua langkah sehabis ber-
benturan. "Serahkan Kail Naga Samudera, Raja Pencuri!"
dengus lelaki berpakaian coklat dekil. Dia tak lain dari Setan Penyair.
Satria tersentak. Rupanya yang diperebutkan me-
reka adalah pusakanya sendiri.
"Wah, kalau begitu kita harus segera turun tan-
gan, Arya!" kata Satria Gendeng tiba-tiba. Langsung tubuhnya mencelat.
"Aneh juga itu manusia. Tadi disuruh menunggu
siapa yang menang atau kalah. Sekarang dia sendiri
yang malah ngotot melabrak ke sana," kata Arya Wadam berkata-kata sendiri. Lalu
tubuhnya ikut-ikutan
mencelat ke arah ajang pertarungan.
* * * Sebelum Setan Penyair dan Raja Pencuri Dari Se-
latan saling gebrak, Satria telah mendarat di antara
mereka. Kedua tangannya dipentangkan mirip orang
mau nangkap ayam. Wajahnya tak lagi dipasang ra-
mah ke arah Raja Pencuri Dari Selatan, seperti sewak-
tu pertama kali bertemu.
"Mau lari ke mana lagi kau, Pak Tua Tengik"! Ce-
pat kembalikan pusakaku yang kau curi!" dengus Satria sarat kemarahan.
"Bicara jangan sembarangan, Anak Muda! Kau tak
punya bukti dengan menuduhku demikian!" sentak
Raja Pencuri Dari Selatan.
Sebelum Satria berkata lagi, Arya Wadam yang ba-
ru saja mendarat langsung menyemprot. "Jangan ba-
nyak berkelit, Pencuri Kesiangan! Kau pun punya uru-
san denganku!"
"Rupanya kau, Arya"!" sambut si tua jago mencuri itu. "Ya, aku. Sekarang, cepat
serahkan pedang yang kau curi dari Paman Remeng dan Paman Poleng!"
"Pedang itu tak ada padaku!"
"Jangan berlagak pilon! Aku tahu, pedang itu ada
padamu! Jadi jangan membuatku naik pitam, Orang
Tua! Serahkan pedang itu baik-baik, lalu pergi dari
hadapanku!"
Mana ada pencuri yang mengaku....
Bisa jadi karena malu
Padahal aku lihat sendiri di balik baju
Ada dua benda yang dituju
Seperti biasa, Setan Penyair mulai dengan syair-
syairnya. Mulutnya memang terasa gatal kalau tidak
melontarkan syair-syair. Di mana pun, di tiap kesem-
patan lelaki tua dekil itu selalu ingin menunjukkan
keahliannya dalam bersyair.
"Hentikan syair gombalmu itu, Setan Penyair!"
bentak Satria, merasa geli bila mendengar syair Setan
Penyair. "Mulutku sendiri, siapa yang berhak melarang?"
tukas Setan Penyair. "Kalau tak suka menyingkir saja dari sini!"
"Ya, itu memang mulut baumu sendiri. Tapi syair
murahanmu itu pantasnya diucapkan di kuburan.
Buat nakut-nakuti dedemit!"
Merahlah wajah Setan Penyair. Kalau tak ingat
bahwa pemuda itu telah mengalahkannya tempo hari,
akan dicabik-cabiknya wajah Satria Gendeng. Sayang
nyalinya hanya secuil. Jadi lebih baik dia undur diri.
"Ingat, Satria! Aku belum kalah darimu! Suatu
saat nanti, kau harus bertekuk lutut di hadapanku!"
ancam Setan Penyair.
"Ya, lebih baik kau bergumul dengan syair-
syairmu. Nanti kalau ada yang bagus, baru kau boleh
bacakan di depan pantatku. He he he...," ledek Satria, tak tanggung-tanggung.
Setan Penyair tak sudi lagi mendengar ocehan Sa-
tria, ketimbang darah tingginya kumat. Cepat dia ber-
balik dan berkelebat dari tempat ini. Di dekat peda-
tinya langkahnya terhenti, lalu melompat naik. Seben-
tar saja kuda kurusnya telah membawa lelaki itu me-
ninggalkan desa ini.
Sementara itu, Arya Wadam masih terus mende-
sak Raja Pencuri Dari Selatan agar menyerahkan pe-
dang yang dicurinya. Tapi dasar keras kepala, tetap sa-ja si tua itu pada
pendiriannya. "Dasar keras kepala! Hiaaahh!"
Tak sabar lagi Arya Wadam menghadapi si tua itu.
Orang yang dicarinya setengah mampus sudah di de-
pan mata. Tapi begitu ditegur baik-baik, malah mem-
buatnya naik darah. Tak ada kata lain, segera diter-
jangnya Raja Pencuri Dari Selatan.
Kebutan tangan Arya Wadam diladeni tangan pula
oleh Raja Penyair Dari Selatan.
Plak! Keduanya sama-sama alot. Tubuh mereka terjajar
satu tombak ke belakang. Tapi Arya Wadam cepat me-
nyusuli dengan tendangan berputar yang keras bukan
kepalang. Sampai-sampai deru angin memapas udara
terdengar. Tak mau dadanya jadi sasaran, lelaki tua yang tak
suka mencuri ketimun melainkan mencuri benda-
benda pusaka itu menarik kaki kirinya ke belakang
dengan tangan bersilang di atas dada.
"Hiaah! Mampus kau, Tikus Busuk!"
Sambil menyentak kaki lawan yang terjepit di ke-
dua tangannya, Raja Pencuri Dari Selatan menyentak
kakinya. Tubuhnya langsung melambung dan meluruk
ke arah Arya Wadam yang masih berputaran di udara.
Dieagh! Luncuran tubuh Arya Wadam kian bertambah
tanpa penghalang. Telak sekali tadi ceker si tua itu
mendarat di punggungnya saat melayang di udara. Un-
tung saja Arya Wadam yang sesungguhnya seorang
wanita itu cepat bangkit berdiri, walaupun dengan da-
da terasa diaduk-aduk.
"Slompret! Dia buat si Arya nyusruk di tanah!" Satria yang sejak tadi berbaur
dengan orang-orang lain
yang menontoni kalang kabut sendiri. Mana tega ha-
tinya melihat Arya yang berwajah cantik itu dibuat se-
perti bola mainan anak-anak. Darah mudanya pun
bergolak. Baru saja pemuda itu melompat kembali untuk
menghadang Raja Pencuri Dari Selatan, Arya Wadam
telah mencegah.
"Tahan, Satria. Dia masih jadi bagianku! Tunggu
saja si tua ini menjerit-jerit minta ampun padaku!" teriak Arya Wadam setelah
membesut darah yang terbit
di sudut bibir.
Satria mengalah. Dibiarkannya Arya Wadam me-
nuntaskan urusannya. Pemuda itu tahu, kepala Arya
Wadam dipenati janjinya terhadap kedua pamannya.
Jadi, mana sudi Arya Wadam mundur begitu saja. Su-
dah capek-capek dia dan Satria mencari-cari tikus
pencuri itu. Kini setelah di depan mata dibiarkan begi-tu saja" Tak usah, ya!
Serangan Arya Wadam berikutnya makin gencar.
Tubuhnya meluncur dengan sabetan ganas menderu.


Satria Gendeng 15 Tumbal Tujuh Dewa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tempatnya, Raja Pencuri Dari Selatan makin berang.
Kemarahannya makin membakar. Maka tanpa ragu-
ragu lagi dipapaknya serangan ganas lawan.
Pak! Pak! Cerdik sekali Arya Wadam. Begitu terpapak tu-
buhnya dienyahkan ke belakang. Sementara kedua
kaki terangkat ke depan menghantam dada.
Desss! Raja Pencuri Dari Selatan tersurut mundur den-
gan tubuh terhuyung-huyung. Wajahnya yang meme-
rah meringis. Jelek sekali.
"Kucincang kau, Bocah!"
Kalap bukan main Raja Pencuri Dari Selatan bisa
kecolongan oleh lawan mudanya. Penuh nafsu, kali ini
ganti dia yang meluruk menerjang Arya Wadam.
*** TIGA HOI...! Ayo kejar aku...!" teriak Joyolelono. Si bocah ajaib itu benar-benar
gila. Lari kuda milik Adipati Wisnu Bernawa, Pengemis Tuak, dan Sukma Sukanta
dibabatnya. Padahal, dia hanya berlari saja.
Ki Dagul merasa tertantang. Gusar juga hatinya
diremehkan oleh bocah berkumis itu. Semangat tua-
nya pun dikumpulkan sampai ke ujung ubun-ubun.
Mulutnya yang berbibir mirip buntalan gombal pun
mengembung. "Slompret! Akan kukejar dan kujitak kalau kena.
Hiaa...!" Di ujung kalimatnya, si tua bangka itu menggebah
kudanya. Lesatannya kali ini luar biasa, karena Pen-
gemis Tuak mengendarai kuda sambil mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya.
"Ayo, Kakek Jelek. Kejar aku...!" seru si bocah ajaib kegirangan, karena merasa
tertantang. "Akan kuremas kepalamu, Bocah Edan!" desis si tua bangka.
Kejar-kejaran aneh pun terjadi. Paling depan ada-
lah Joyolelono yang hanya berlari biasa. Di belakang
mati-matian Pengemis Tuak mengejar dengan ku-
danya. Tak ada yang mau mengalah.
Paling belakang, Adipati Wisnu Bernawa dan
Sukma Sukanta hanya menggeleng-geleng saja. Lelaki
ini memang tak bisa berbuat banyak mencegah mereka
bermain-main, sementara hatinya diselimuti kecema-
san akan putrinya yang diculik Tujuh Dewa Kematian.
Maklum, tanpa bantuan kedua makhluk aneh itu, ra-
sanya mustahil dia dapat membebaskan putrinya.
Buktinya saja, Pendekar Kembar yang jadi andalan
Kadipaten Lumajang tak mampu berbuat banyak
menghadapi Tujuh Dewa Kematian.
"Aku khawatir mereka tersesat di jalan, Kanjeng,"
cetus Sukma Sukanta memecah kebisuan di atas kuda
yang berjalan sedang-sedang saja.
"Mereka tokoh-tokoh sakti, Sukma," ingat sang Adipati.
"Tapi belum tentu mereka tahu jalan menuju Gu-
nung Arjuna."
"Tak perlu cemas berlebihan begitu, Sukma. Se-
rahkan semua pada Hyang Widhi."
Kali ini Sukma Sukanta diam tak menyahut. Tapi
tetap saja ada rasa kekhawatiran dalam dirinya. Bu-
kan, bukan kekhawatiran terhadap Ki Dagul dan Joyo-
lelono. Tapi, kekhawatiran terhadap dirinya dan kese-
lamatan Adipati Wisnu Bernawa. Karena biar bagai-
manapun, menjaga keselamatan sang Adipati harus
memiliki tanggung jawab besar. Sebagai salah satu da-
ri Lima Pendekar Kembar, Sukma Sukanta memang
memiliki kepandaian tinggi pula. Tapi apa artinya ke-
pandaian miliknya, tanpa ditunjang kepandaian milik
saudara-saudaranya yang telah tewas di tangan Tujuh
Dewa Kematian" Sebab selama ini, mereka bertarung
selalu bersama-sama. Artinya, kepandaian yang satu
selalu ditunjang oleh kepandaian yang lain. Nah, kalau kini dia tinggal sendiri,
itu sama saja artinya lelaki tua jompo bergigi satu menggigit daging alot.
Kebisuan mencekam.
Di depan sana, Hutan Kaliabang menghadang.
Sukma Sukanta tahu, daerah itu cukup rawan.
Kewaspadaannya pun ditingkatkan. Makin dekat, jan-
tungnya makin berdegup kencang. Sementara Adipati
Wisnu Bernawa masih terlihat tenang-tenang. Padahal,
perampok-perampok garang bisa saja menghadang.
"Berhenti...!"
Suara bentakan menggelegar terdengar memecah
keheningan. Adipati Wisnu Bernawa dan Sukma Su-
kanta langsung menarik tali kekang kudanya. Belum
jauh mereka memasuki Hutan Kaliabang, menyusuli
bentakan tadi, berlompatan empat orang bertampang
garang menghadang.
"Ada apa Kisanak semua" Mengapa kalian meng-
hadang kami?" tanya sang Adipati. Mestinya dia tak perlu tanya begitu, karena
hutan ini memang dikenal
rawan perampok. Tapi entah kenapa pertanyaan itu
meluncur saja dari mulutnya.
"Kami perampok, Guoblok!" bentak salah seorang penghadang, lelaki bertubuh
tinggi besar. "Hei, kalau bicara yang sopan! Yang kalian hadapi Adipati Wisnu Bernawa, tahu"!"
semprot Sukma Sukanta, hendak menjatuhkan nyali keempat lelaki yang
semuanya bertubuh tinggi besar. Di pinggang mereka
melingkar sabuk mengkilat berukuran sejengkalan
orang dewasa. Sebuah trisula terselip di ikat pinggang mereka masing-masing.
"Kebetulan! Jelas, yang kita hadang orang kaya,
Kawan-kawan. Pasti mereka membawa banyak mem-
bawa kepingan emas!" sentak lelaki tinggi besar yang berperut paling buncit.
Mungkin isinya makanan ha-ram melulu.
"Nah, serahkan harta benda kalian kalau tak mau
mampus di tangan murid-murid Raja Pencuri Dari Se-
latan!" susul yang lain. Nadanya sarat ancaman. Bentakannya begitu semangat,
sampai-sampai ludahnya
menyembur tak karuan.
"O, jadi kalian murid-murid Raja Pencuri Dari Se-
latan. Guru dan murid setali tiga uang. Ingat! Kalian
berhadapan dengan sang Adipati. Tak akan kubiarkan
kalian menjarah junjunganku!" gertak Sukma Sukan-
ta. "Mau adipati, kek. Mau setan belang, kek. Kami tak peduli! Cepat lemparkan
kantung uang kalian kalau tak mau mati sia-sia, heh!" bentak si perut buncit.
"Kalau kami tak mau?"
"Nyawa taruhannya!"
"Kalau ka...."
"Jangan bertele-tele!" potong si perut buncit. Ge-rahamnya bergemelutukkan.
Urat-urat lehernya mene-
gang. "Cepat serahkan atau kalian mampus!" sambar-nya lagi. Saking marahnya,
dadanya seperti mau
membuncah. Keterlaluan memang.
Orang-orang yang mereka hadang adalah orang
penting di kadipaten. Tapi demi tuntutan nafsu, mata
mereka buta. Padahal, mereka masih rakyat Kadipaten
Lumajang sendiri.
"Kawan-kawan! Serang mereka!" teriak si perut buncit.
"Heaa...!"
Dikawal teriakan menggesek udara, ketiga orang
kawan si perut buncit menerjang garang. Tak tang-
gung-tanggung, trisula telah terhunus di tangan siap
dihujamkan. Demikian pula halnya dengan si perut
buncit. "Hup!"
Sang Adipati dan Sukma Sukanta cepat melompat
turun, menghadang serangan. Mereka tak mau berba-
sa-basi lagi. Waktu kian mendesak untuk menyela-
matkan Pitaloka. Sementara halangan kecil mengha-
dang. Empat trisula datang bersamaan mengurung sang
Adipati dan Sukma Sukanta. Ganas sekali. Angin sam-
barannya menerpa wajah lawan.
Wush! Trak! Trak! Empat trisula tadi terpapak oleh kebutan senjata
pedang Sukma Sukanta dengan jurus 'Pedang Kembar
Menyapu Awan'. Sementara keris sang Adipati hanya
menyambar angin karena tindakannya telah didahului
prajurit setianya.
Keempat perampok yang ternyata murid Raja Pen-
curi Dari Selatan terjajar mundur. Wajah mereka kian
beringas. Kegagalan mereka menyerang menjadi pemi-
cu serangan berikut. Kali ini lebih ganas dan memati-
kan. "Akan kurencah tubuh kalian, Keparat!" geram lelaki gendut.
"Kalau kalian mampu, kenapa tidak cepat dilaku-
kan?" tukas Sukma Sukanta, enteng.
Sewajarnya mereka sadar, siapa lawan yang diha-
dapi. Sekali papak, serangan mereka tersentak mun-
dur. Tapi tidak buat empat lelaki brangasan ini.
"Hiaah!"
Empat trisula kembali berputaran deras menuju
lawan. Gerakannya tak kepalang tanggung, disertai te-
naga dalam tinggi. Memang tak percuma mereka men-
jadi murid Raja Pencuri Dari Selatan kalau tak bisa
unjuk gigi. Dua ujung trisula mengancam leher dan perut
Sukma Sukanta. Dua lagi mengintip malu-malu pada
pertahanan Adipati Wisnu Bernawa. Bila mereka orang
biasa, rasanya sulit untuk menentukan trisula mana
yang harus dipapak lebih dulu.
Wush! Angin menderu. Empat melesat.
Apa yang dilakukan Adipati Wisnu Bernawa dan
Sukma Sukanta kalau sudah begitu"
Tak ada jalan lain. Mereka harus melenting ke
udara bersamaan.
"Hup!"
Di udara, tubuh mereka berputaran, lalu menda-
rat ringan dua tombak dari tempat semula. Sementara
keempat lelaki itu hanya menebas angin. Tapi mereka
cepat berbalik dengan wajah liar.
"Bangsat! Licin seperti belut juga kalian!" dengus si gendut. "Tapi kali ini
jangan harap bisa lolos!"
Keempat lelaki brangasan siap menggebrak kem-
bali. Tak ada kata menyerah dalam kamus hidup me-
reka, kecuali kepepet. Tapi sebelum serangan dibu-
ka.... "Empat tikus busuk memang paling menyebal-
kan!" Keempat lelaki itu terlonjak. Bentakan yang disertai tenaga dalam membuat
telinga mereka pengang
dengan dada terguncang. Mereka langsung berbalik.
"Siapa kau, Tua Bangka Busuk! Jangan campuri
urusan kami!" bentak si gendut, menatap jalang pada seorang lelaki tua
berpakaian kumal.
Hebat sekali si tua bangka ini. Sambil tiduran di
atas sebuah ranting pohon sebesar kelingking, dengan
gaya santainya dia menenggak tuak dari guci yang se-
besar pelukan tangan orang dewasa. Kecuali burung,
makhluk apa lagi yang bisa tidur-tiduran di atas rant-
ing sekecil itu" Kalau lalat atau lebah, karuan karena memang bertubuh seupil.
Tapi ini manusia sebesar
itu" "He he he.... Hei, Tikus-tikus Buduk! Apa kalian tak punya pekerjaan lain
selain mengganggu orang.
Cepat enyah dari sini sebelum kusunat dua kali!" ancam si tua bangka yang tak
lain Pengemis Tuak.
"Bangsat!"
Mengkelaplah keempat lelaki brangasan ini. Ama-
rah pun membuncah, siap meledakkan dada. Ter-
bayang dalam benak mereka, kalau lelaki tua itu bakal
minta ampun di ujung jempol bau mereka. Untuk itu,
rasanya mereka perlu menggertak lebih dulu. Siapa
tahu nyali si tua itu hanya seujung upil.
Si gendut memulai. Diraihnya beberapa daun ker-
ing yang banyak berserakan di tanah. Secepat itu pula, dilemparkannya daun-daun
kering itu. Mestinya, lemparan yang disertai tenaga dalam itu
mampu menggetarkan lawan. Tapi, tentu saja tidak
bagi Ki Dagul. Dua jari lagi daun-daun yang berubah
bagai lempengan baja itu menghujam, enak sekali tan-
gannya yang bebas mengibas.
Wukk! Wuss...! Dibarengi sumpah serapah, keempat lelaki bran-
gasan itu berhamburan dari tempatnya. Mereka harus
menyelamatkan diri kalau tak mau terhujam daun-
daun kering yang berbalik mengancam.
Cep! Cep! Cep! Daun-daun tadi langsung meluncur, menghujam
di batang-batang pohon. Jika keempat orang itu kalah
cepat, dipastikan nasib mereka sama seperti batang-
batang pohon itu. Dan mestinya mereka bersyukur ka-
rena telah terbebas dari bahaya. Tapi dasar keras ke-
pala, kejadian barusan tak dianggap sebagai peringa-
tan. Justru dengan mata gelap mereka meluruk den-
gan trisula terhunus.
"Heaaa...!"
Satu tombak di dekat Pengemis Tuak, mereka
mencelat sambil menghujamkan trisula dari empat ju-
rusan. Tapi, benar-benar edan. Enak-enakan Ki Dagul
menenggak tuaknya. Dan....
"Fruuhhh...!"
Masih sambil tiduran di atas ranting, Pengemis
Tuak menyemburkan tuaknya ke segala arah, mirip
dukun mengusir setan. Bukan main! Setiap percikan
tuaknya mengandung bara api yang mengepulkan
asap. Tak! Tak! Tak! "Adaauuu...!"
Keempat lelaki brangasan itu kontan menjerit
sambil menutup wajah. Butir-butir percikan tuak lang-
sung membuat wajah mereka melepuh. Untung saja si


Satria Gendeng 15 Tumbal Tujuh Dewa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tua itu masih berbaik hati dengan tidak mengerahkan
tenaga dalam penuh. Kalau itu sampai terjadi, bisa di-
pastikan keempat lelaki brangasan itu mati berdiri.
Sambil tetap menutup wajah yang terasa perih
bukan main, keempat lelaki brangasan itu lari serabu-
tan tak tentu arah. Malah si gendut yang berlari lebih dulu harus rela dengan
kolornya yang putus, terkait
ranting pohon yang mencuat keluar. Tubuhnya yang
lebih mirip buntalan kentut itu terguling-guling, lalu bangkit lagi sambil
memegangi kolor.
"Ha ha ha.... Empat tikus buduk main di dapur
tersembur api. Lari pontang-panting karena takut ma-
ti. Husyah Husyah!" ledek Ki Dagul setelah turun dari ranting pohon. Kedua
tangannya mengibas-ngibas ke
depan mirip orang mengusir ayam.
Adipati Wisnu Bernawa dan Sukma Sukanta tak
urung jadi tertawa. Manusia tengil macam mereka
memang sekali-kali perlu diberi pelajaran, begitu kata hati kedua orang ini.
Santai, Ki Dagul menghampiri sang Adipati.
"Sialan si Joyolelono!" makinya, tahu-tahu.
"Bagaimana" Kau menang lawan Joyolelono tadi?"
tanya sang Adipati.
"Kalau bukan bocah kemarin sore, sudah kupe-
cahkan kepalanya!" rutuk Pengemis Tuak, tak menjawab pertanyaan Adipati Wisnu
Bernawa. "Iya, kau menang apa kalah?" kali ini Sukma Sukanta yang mendesak.
"Sialan benar bocah itu," Ki Dagul malah menggeleng-geleng.
"Bagaimana Danusenta" Kau pasti menang kan?"
"Kalah...," desah Ki Dagul, masygul.
"Wah, hebat sekali kalau begitu si Joyolelono! Ma-na sekarang bocah itu?" tanya
Sukma Sukanta. "Itulah.... Saking cepatnya dia berlari, aku sampai tertinggal amat jauh. Aku
putus asa, kutinggalkan saja bocah itu dan berbalik ke sini," jelas Ki Dagul
yang bernama asli Danusentana.
"Jadi, bocah itu sekarang tak jelas ada di mana?"
sentak Sukma Sukanta.
"Kau ini bagaimana, Danusentana"! Bocah itu kan
belum tahu letak Gunung Arjuna. Kalau dia tersesat
bagaimana?" tuntut sang Adipati, khawatir. Sebab, bi-ar bagaimanapun, dia harus
ikut bertanggung jawab
atas keselamatan putra Dewa Gila itu.
"Ah, kalau dia tersesat pasti akan balik ke tempat semula," tukas Ki Dagul
seenaknya. "Kembali bagaimana" Dia itu kan pemuda yang
berotak kebocah-bocahan. Jalan pikirannya pendek.
Dan lagi, arah yang ditujunya belum tentu ke arah
Gunung Arjuna," tukas sang Adipati.
"Wah, jadi berabe begini?" sambung Sukma Su-
kanta. "Tak perlu khawatir. Biar otaknya kebocah-
bocahan, tapi kepandaiannya bisa diandalkan. Tak
akan terjadi apa-apa pada dirinya," tegas Ki Dagul yakin. "Bukan begitu, Ki.
Tanpa bocah itu, kekuatan kita berkurang," tukas Sukma Sukanta.
"O, iya, ya. Kenapa bodoh sekali aku, ya" Baik!
Kalau begitu aku segera menyusulnya!" cetus Pengemis Tuak.
"Tak perlu, Sahabatku. Kita harus cepat menuju
Gunung Arjuna. Kalau bocah itu cukup punya kepan-
daian, aku tak lagi khawatir. Hanya yang kukhawatir-
kan, waktu kita akan habis untuk menyelamatkan Pi-
taloka. Sedangkan menunggu Satria Gendeng dan Arya
Wadam juga jelas tidak mungkin. Jadi, kita harus be-
rangkat dengan kekuatan apa adanya," tandas sang
Adipati. "Baiklah kalau memang begitu."
*** EMPAT KALAP bukan main Raja Pencuri Dari Selatan.
Ganas, dia menerjang Arya Wadam. Kaki kutungnya
yang disambung tulang rusuk harimau Jawa berputa-
ran mengincar dada.
Pertarungan telah digelar. Tak ada lagi yang
mampu menghentikan. Semua terpana. Semua yakin,
Arya Wadam akan roboh tak berdaya dicabik tulang
harimau Jawa di kaki Raja Pencuri Dari Selatan.
"Hiaahh...!"
Gemulai sekali Arya Wadam meliuk-liukkan tu-
buhnya. Tak ada satu serangan pun yang bisa membe-
set tubuhnya. Di tempatnya, Satria Gendeng dibuat
terkagum-kagum melihat kepiawaian temannya dalam
berkelit. Sedikit saja salah bergerak, bukan mustahil
tubuhnya tersayat tulang rusuk harimau Jawa lawan.
Mungkin bila orang awam menilai, tubuh Arya
Wadam telah berlumuran darah. Tapi Satria tidak. Ma-
tanya cukup jeli mengawasi jalannya pertarungan.
Bahkan tarikan senyum di bibir Satria makin kentara
saat melihat kecerdikan Arya Wadam.
Wanita yang berpenampilan seperti lelaki itu per-
lahan tapi pasti mulai bisa menguasai keadaan. Sambil
meliuk-liuk indah, Arya Wadam mulai mengincar titik
lemah di tubuh lawan.
Bed! Tepat ketika Raja Pencuri Dari Selatan menghu-
jamkan tulang rusuk harimaunya, Arya Wadam men-
genyahkan tubuhnya sedikit ke kanan. Dan secepat itu
pula dikirimkannya satu sapuan maut ke kaki lawan
setelah memutar tubuhnya.
Pak! Bruk! Raja Pencuri Dari Selatan jatuh terduduk. Ma-
tanya melotot tak percaya. Kecolongan dua kali, mem-
buat darah tingginya kumat lagi. Dengan gerakan ber-
gemelutukkan dia mencoba bangkit. Tapi, satu ten-
dangan Arya Wadam membuat tubuhnya terguling-
guling. "Terkutuk kau, Bocah! Aku tak segan-segan lagi
untuk membunuhmu!"
Di akhir kalimatnya, Raja Pencuri Dari Selatan
bangkit, langsung memasang kuda-kuda. Tangan ka-
nan terjulur ke depan dengan telapak terbuka. Semen-
tara tangan kiri di sisi pinggang, juga dengan telapak terbuka.
"Hiaah...!"
Dikawal teriakan yang dibarengi kentut, telapak
kiri si tua telengas itu menghentak. Pukulan jarak jauh terlontar sudah. Keji
sekali si tua ini. Demi hasratnya untuk memiliki benda-benda pusaka, dia tak
malu-malu menebar petaka di tengah desa.
Wussh! Angin menderu. Gesekan pukulan jarak jauh den-
gan udara begitu menggiriskan. Bila Arya Wadam tak
memapak, berarti tega membiarkan nyawa para penon-
ton berkeliaran menuju akhirat. Dan itu tak boleh ter-
jadi. "Shaa...!"
Tak kalah lantang, Arya Wadam berteriak keras.
Bersamaan dengan itu, tangan kanannya menghentak
dengan telapak terbuka. Disongsongnya pukulan jarak
jauh lawan dengan pukulan jarak jauh pula.
Blakk! Seketika, badan ramping Arya Wadam terpental
deras ke belakang. Tak akan berhenti luncuran tu-
buhnya kalau tidak menabrak dua orang penonton di
belakangnya. Brukk! Tiga orang jatuh bertumpukan. Satu orang lang-
sung pingsan, satu lagi masih megap megap. Sedang-
kan Arya Wadam langsung bangkit dengan napas
ngos-ngosan. Dadanya terguncang hebat. Lalu...
"Hoeekhh...!"
Dari bibirnya yang merekah di balik tudungnya,
Arya Wadam membiarkan darah kental merah ber-
hamburan di depannya. Mulutnya meringis menahan
sakit. Sementara ditempatnya, Raja Pencuri Dari Selatan
tertawa tergelak, merayakan kemenangannya. Dia tadi
sempat terjajar, tapi tak sampai jatuh. Tenaga dalam
lelaki tua ini rupanya boleh juga. Paling tidak, selisih satu tingkat di atas
Arya Wadam. "Jangan tertawa lebar-lebar! Mulutmu bau, ta-
hu"!" Satria yang tak sudi sahabat barunya dibegitukan oleh pencuri tengik itu
langsung melompat dan membentak. Rahang kekarnya mengembung. Tarikan wa-
jahnya menyiratkan kemarahan.
"Ha ha ha.... Kau lagi, Bocah. Mau merebut pusa-
kamu juga, ya!" leceh Raja Pencuri Dari Selatan. Tengik sekali lagaknya.
Padahal, Satria tadi sudah mengu-
tarakan maksudnya.
"Tak hanya merebut pusakaku, tapi juga memba-
las perlakuanmu terhadap kawanku!" sentak si pemu-da garang.
Kata-kata si pemuda disambut serangan Raja
Pencuri Dari Selatan. Tubuhnya meluruk dengan sabe-
tan tangan yang siap memangsa lawan.
"Heaaa...!"
Ketika matanya menangkap kelebatan tangan la-
wan, Satria mengenyahkan tubuhnya ke samping.
Serangan si tua bangka licik itu luput.
Serangan berikutnya mengejar. Sabetan kaki ku-
tung yang disambung tulang rusuk harimau Jawa
menderu dan memburu. Berkali-kali mata tulang ru-
suk runcing itu hanya memangsa angin saja, karena
dengan lincahnya Satria cepat mundur sambil meliuk-
liukkan tubuhnya.
Si tua bangka makin berang. Sungguh tak disang-
ka pemuda yang dianggapnya masih hijau mampu
menghindari serangannya. Nafsu membunuhnya pun
makin membakar. Kekalapan memuncak. Serangannya
makin gencar, laksana badai.
Sampai akhirnya....
Bukk! "Hekh...!"
Serangan penuh nafsu Raja Pencuri Dari Selatan
membawa hasil. Ketika serangan kaki kutungnya yang
disambung tulang rusuk harimau Jawanya berhasil
dihindari lawan, si tua bangka membuat gerakan tak
terduga. Sambil membuang tubuh ke kiri, kakinya
yang utuh menyapu perut lawan.
Satria terhuyung-huyung. Tendangan tadi sebe-
narnya disertai tenaga dalam, dilepas dengan kaki be-
rotot pula. Kalau pemuda lain, tentu sudah terjeng-
kang ambruk tak bangun-bangun lagi. Tapi tidak un-
tuk Satria. Kaki si pemuda tetap memacak bumi wa-
laupun ngak goyah.
Rasa mual di perut si pemuda langsung mem-
bangkitkan kemarahannya. Matanya mendadak meme-
rah. Satu tangannya masih memegangi perut. Namun,
pandangannya menghujam dalam. Sementara tangan
satunya terkepal, memperlihatkan otot-ototnya yang
kekar. Begitu Raja Pencuri Dari Selatan melabrak kemba-
li seperti tak ingin memberi kesempatan, Satria me-
raung. Sebentuk kemarahan terlampiaskan. Sekilas
tadi matanya sempat melirik keadaan Arya Wadam.
Dan nyatanya, wanita itu masih megap-megap akibat
adu tenaga dalam tadi.
Melihat keadaan kawannya, wajah Satria merah
terbakar amarah. Di keningnya terlihat gelembung
urat-urat kemarahan. Disongsongnya gebrakan lawan
dengan terjangan pula. Tubuhnya meluncur lurus ba-
gaikan hiu menyergap mangsa. Kedua tangannya men-
gibas ke sana kemari, seolah bagai sirip kekar meng-
hantam karang. Plak! Sambaran tangan Raja Pencuri Dari Selatan di-
hantam Satria dengan tangan kiri. Pagutan tangan sa-
tu lagi milik si tua bangka itu ditahan dengan tangan
kanan. Bagaikan seekor ikan hiu berbalik arah, Satria ce-
pat membuang tubuhnya ke belakang. Dan mendadak
kedua kakinya yang merapat bagai ekor hiu, langsung
menghajar rahang tua bangka licik itu.
Dieeghh! "Aaakhh...."
Raungan kesakitan terlempar sudah dari mulut
bau Raja Pencuri Dari Selatan. Tubuhnya terlempar
deras bukan main. Kalau saja bukan dia, sabetan kaki
si pemuda tadi pasti telah membuat wajah tak berben-
tuk lagi. Mulut bisa pindah ke jidat, hidung ke telinga, dan telinga ke mulut.
Tapi ini yang mengalami tokoh
yang tergolong patut diperhitungkan dalam dunia per-
silatan. Geram, Raja Pencuri Dari Selatan bangkit. Ma-
tanya nyalang liar. Mulutnya mengembung, dengan
kemarahan membakar ubun-ubun. Tak ada kata yang
pantas bagi pemuda itu selain mati. Begitu tekadnya.
Seperti waktu menjatuhkan Arya Wadam, si tua
maling tengik ini menarik kaki kirinya ke belakang.
Kuda-kuda kokoh telah dibentuknya. Tangan kanan
menjulur dengan telapak terbuka. Tangan kiri di sisi
pinggang dengan telapak terbuka pula.
"Hiaah...!"
Pukulan jarak jauh terlontar sudah. Angin mende-
ru. Seolah, semua pelampiasan kemarahan lelaki tua
itu terkandung dalam lesatan pukulannya.
Bahaya kembali mengancam. Bila pukulan jarak
jauh itu sampai nyasar bisa jadi akan menghantam
apa saja. Memang orang-orang yang menonton perta-
rungan merasa lebih baik menyingkir sejak Raja Pen-
curi Dari Selatan melepas pukulan jarak jauh kepada
Arya Wadam tadi. Tapi kalau pukulan itu sampai me-
nerjang rumah penduduk"
"Hiaaah!"
Teriakan merobek angkasa mencelat dari kerong-
kongan si pemuda. Tangannya bergerak sekedipan. Ke-
jap berikutnya, terdengar angin keras menderu mengi-


Satria Gendeng 15 Tumbal Tujuh Dewa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ringi pukulan jarak jauhnya, memapak serangan Raja
Pencuri Dari Selatan.
Blakkk! Bukan main. Tubuh keduanya sama-sama terlem-
par deras. Bedanya, Satria langsung membuat putaran
di udara. Sedangkan lawannya terpuruk di tanah.
Terhuyung-huyung Satria mendarat. Matanya
nyalang memperhatikan sang lawan yang berusaha
bangkit. "Bangsat! Kau harus mampus, Bocah!" geram si tua bangka. Tertatih-tatih dia
berusaha bangkit. Rasa
penasarannya pada si pemuda makin menggila dalam
dada. Tak sudi dia dikalahkan oleh pemuda kemarin
sore macam Satria Gendeng.
Satria tak mudah digertak begitu rupa. Tegar, si
pemuda berdiri menanti. Dan ketika lawan kembali
menerjang, dengan keberanian seekor naga muda dia
malah menyambut terjangan lawan.
Agaknya, Raja Pencuri Dari Selatan telah salah
duga. Meski Satria tergolong bocah bau kencur, tapi
keberaniannya boleh diacungi jempol. Lewat jurus
'Mematuk Bunga Karang' yang diturunkan Ki Kusumo,
kedua tangan si pemuda mengibas-ngibas bagai elang.
Wuuk! Wukk! Raja Pencuri Dari Selatan tak mau kalah. Jurus
'Jari Maut Merogoh Kantong' pun dikerahkan. Kedua
tangannya dengan jari telunjuk dan tengah lurus men-
jadi satu mengincar setiap celah di pertahanan lawan.
Pertarungan maut kembali tergelar. Belum ada
yang kalah dan menang.
* * * "Hu hu hu.... Ke mana kalian" Kenapa aku diting-
galkan sendirian" Tak berperasaan!"
Si bocah berkumis bernama Joyolelono menangis
meraung-raung lantaran tersesat di sebuah hutan ke-
cil. Waktu berlomba dengan Pengemis Tuak tadi, dia
terus berlari menuju ke selatan. Padahal, arah menuju
Gunung Arjuna berbelok ke kiri. Artinya, seharusnya
dia menuju timur.
Si bocah berkumis anak Dewa Gila ini membant-
ing-banting kakinya.
"Hu.... Kalau tak mau jalan denganku bilang! Jan-
gan tahu-tahu aku ditinggal begini. Hu hu hu.... Kalian
nakal!" ratap Joyolelono.
Dahsyat sekali bantingan kaki si bocah berkumis.
Bumi bergetar. Pohon-pohon tak urung ikut ber-
goyang-goyang. Selanjutnya....
Bruuk!! "Monyet buntung! Anjing kurap! Siapa cecunguk
busuk yang berani mengganggu tidurku"!"
Suara meledak-ledak terdengar menyusuli suara
benda jatuh dari atas pohon. Joyolelono menghentikan
tangisnya. Dipandanginya satu sosok tubuh bulat yang
barusan terbanting di tanah. Mata sosok tubuh bulat
itu memerah nyalang. Dadanya yang tak tertutup pa-
kaian turun naik menyiratkan kekesalannya. Kepa-
lanya gundul. Bagian terlarangnya hanya ditutupi ca-
wat dari kain berwarna hijau.
"Paman gendut, kenapa tidur di tanah?" tanya Joyolelono, polos.
"Kepalamu bau apek! Kau telah mengganggu ti-
durku, tahu"! Aku terjatuh dari pohon!" semprot lelaki bertubuh bulat mirip
tempayan itu, seraya bangkit
berdiri. "Salah sendiri, kenapa tidur di atas pohon?" tukas si bocah berkumis, kalem.
"Kodok buduk! Siapa namamu, Bocah"! Berani
benar kau bertingkah di hadapan Bergola Ijo"!" dengus lelaki bulat yang mengaku
bernama Bergola Ijo.
"Siapa" Kodok Ijo" Ha ha ha.... Kau memang mirip
kodok, Paman."
"Kurang ajar!"
Cukup sudah kesabaran Bergola Ijo. Kata-kata lu-
gu bocah berkumis itu masuk ditelinganya sebagai
penghinaan habis-habisan. Wajahnya bukan lagi me-
nampakkan kemerahan, tapi kehijauan untuk menyi-
ratkan kemarahannya. Kedua pipinya mengembung.
Urat-urat di pelipisnya menegang.
"Sebutkan namamu sebelum kau kuhabisi, Bocah
Keparat!" desisnya murka.
"Aku Dewa Gila," sebut Joyolelono, kalem. Sama sekali dia tak menganggap kalau
Bergola Ijo tengah
bersiap-siap melampiaskan amarahnya.
"Dewa Gila" Jangan berdusta, Bocah" Aku tahu,
siapa Dewa Gila! Katakan yang benar, siapa nama-
mu"!"
"Dewa Gila."
"Siapa"!"
"Dewa Gila."
"Siapa"!" bentak Bergola Ijo lebih keras lagi.
"Aku anaknya Dewa Gila," sebut Joyolelono, tetap dengan nada kalem.
"Bocah gemblung! Katakan dari tadi kalau kau
anaknya Dewa Gila!" semprot Bergola Ijo. "Cepat katakan, apa maksudmu datang ke
tempat ini"!"
Suara Bergola Ijo kali ini melemah walaupun ma-
sih dengan nada membentak. Sejak dia mendengar
nama Dewa Gila disebutkan, nyalinya kontan ciut jadi
sebesar upil. Lelaki bulat ini lima tahun lalu sebenarnya pernah berurusan
dengan Dewa Gila dari Lembah
Pangrango. Ketika mereka bertarung, Bergola Ijo dapat
dikalahkan. Lantas, Bergola Ijo berjanji tak akan men-
gusik kehidupan Dewa Gila dan keluarganya.
"Siapa yang sudi ke tempat ini" Orang aku terse-
sat," tukas Joyolelono.
"Ke mana tujuanmu sebenarnya?"
"Gunung Arjuna."
"Ada apa di sana?"
"Apa-apa ada. Ada pohon, binatang, sungai, batu,
dan...." "Diam!" bentak Bergola Ijo, dongkol.
"Lho, kok marah?" tanya Joyolelono, lugu.
"Gimana aku tidak marah"! Aku tanya begini, kau
jawab begitu. Aku tanya, di sana ada apa, ah! Setan!
Malah aku yang salah. Aku tanya kenapa kau pergi ke
sana?" "Mana aku tahu" Aku hanya disuruh ayahku un-
tuk pergi ke kadipaten. Katanya, di sana aku harus
menjaga keselamatan adipati dan menuruti perintah-
nya. Itu saja," sahut si bocah berkumis, polos. "Nah, waktu adipati mengajakku
ke Gunung Arjuna, aku malah ditinggal. Aku tersesat. Hu hu hu...!"
Joyolelono meraung-raung lagi. Lebih gila lagi, dia
langsung menjatuhkan diri ke tanah dan berguling-
guling. Bergola Ijo tak habis pikir, ngidam apa istri Dewa
Gila dulu sehingga anaknya sampai bertingkah aneh
ini. Hi, amit-amit.... Jangan sampai anaknya aneh se-
perti itu, gidik Bergola Ijo. Masa' bocah sudah bangkotan seperti itu, berkumis
lagi, tingkah lakunya seperti baru berusia lima sampai tujuh tahun"
"Huh! Kalau tak ingat dia anaknya Dewa Gila, su-
dah kucincang dia!" sungut Bergola Ijo.
Joyolelono seperti tak puas dengan tangisnya. Se-
lesai bergulingan. dia bangkit. Ditendanginya pohon-
pohon di sekitarnya. Sarat kekuatan dahsyat.
Suara bergemuruh terdengar, disusul ambruknya
beberapa pohon. Sementara Bergola Ijo jadi uring-
uringan sendiri. Sebab biar bagaimana, hutan kecil ini adalah wilayah
kekuasaannya. "Hei, berhenti! Berhenti! Jangan ngamuk di tem-
patku!" teriak Bergola Ijo.
Joyolelono masih dengan amukannya yang meng-
gila. Bahkan kali ini dia telah bersiap dengan pukulan mautnya. Mata tajam
Bergola Ijo menangkap maksud
itu. Cepat dia melompat, langsung menangkap tangan.
"Bocah gemblung! Jangan kau acak-acak tempat
tinggalku. Kau tak perlu berlaku demikian kalau
hanya tersesat saja. Ayo, kau kuantar ke sana!" ujar Bergola Ijo.
"Paman tahu letak Gunung Arjuna?" mata Joyolelono berbinar-binar.
Bergola Ijo mengangguk.
Joyolelono nandak.
Blang ting tung ting tang ting tung....
*** LIMA KEMBALI pada pertarungan Satria melawan Raja
Pencuri Dari Selatan.
Matahari merangkak menuju barat. Pertarungan
terus digelar. Semakin liar. Mata merah pemuda ber-
nama Satria makin nyalang. Terjangan Raja Pencuri
Dari Selatan kali ini tak bisa dianggap main-main. Se-
karang tinggal tergantung Satria. Kalau dia mau me-
nyudahi pertarungan, saat inilah waktunya. Sebab,
waktu yang diberikan Adipati Wisnu Bernawa hampir
habis. Saat ini, si pemuda benar-benar dikejar waktu.
"Khaaa!"
Satria bukannya mundur atau mengelak, justru
melakukan terjangan ke depan. Gila betul perbuatan-
nya. Menjelang terjadi bentrokan, tiba-tiba tubuhnya
dienyahkan ke bawah. Pemuda itu berguling sekali, la-
lu kakinya terangkat tinggi. Sebuah gerakan mirip
lumba-lumba yang hendak menampar udara dengan
ekornya. Dess.... Dari bawah, terjangan kedua kaki Satria meng-
hantam dada lawan. Raja Pencuri Dari Selatan kontan
terpental balik ke belakang. Deras sekali. Sepuluh
tombak dari tempat semula, tubuhnya mencium ta-
nah. Arya Wadam yang masih terluka dalam sempat
menyaksikan kejadian tadi. Wanita yang berpenampi-
lan seperti lelaki ini dibuat kagum oleh gerakan dah-
syat Satria. Matanya sampai melotot, tak percaya pada
pandangannya sendiri bagai ditenung.
Hebat! Baru aku percaya dengan kehebatannya
yang sampai menggegerkan dunia persilatan. Puji Arya
Wadam, lebih jauh. Diam-diam, hatinya mulai terusik
oleh ketampanan dan kejantanan Satria. Itu sisi lain
hatinya. Di sisi lain lagi, hatinya seolah beku terhadap lelaki. Tapi apakah dia
harus mengingkari kodratnya"
Hanya Arya Wadam yang bisa menjawabnya.
Satria melangkah menuju tubuh Raja Pencuri Dari
Selatan yang tak bergerak dengan tarikan napas satu-
dua. Dari mulut dan hidungnya menganak sungai da-
rah merah. Wajahnya yang penuh rajahan dikotori de-
bu jalanan. Si pemuda merogoh jubah Raja Pencuri Dari Sela-
tan. Ketemu! Ya, senjata pusakanya ternyata terselip di ikat pinggang lelaki tua
yang belum sadarkan diri ini.
Dicabutnya senjata Kail Naga Samudera. Diperhati-
kannya sejenak, lalu diselipkan di ikat pinggangnya
sendiri. Kembali Satria merogoh. Ditemukannya sebuah
pedang pendek di balik jubah Raja Pencuri Dari Sela-
tan. Seulas senyum tercipta di bibirnya. Dia tahu, itulah pedang yang dicari-
cari Arya Wadam. Karena wak-
tu jalan bersama tempo hari, wanita itu pernah berce-
rita tentang pedang pusaka milik pamannya telah di-
curi lelaki tua maling tengik itu.
Tak mau waktu terbuang sia-sia, Satria segera
menghampiri Arya Wadam. Si wanita telah bangkit
berdiri walaupun masih merasakan sesak pada da-
danya. "Bagaimana, Arya" Kau sanggup melakukan perja-
lanan ke Kadipaten Lumajang" Lihat, senjata pusaka
yang kau ceritakan telah kembali. Betul kan, senjata
ini yang kau cari?" tanya si pemuda.
Arya Wadam mengangguk. Segaris senyum men-
gembang di bibirnya. Diambilnya senjata pedang yang
disodorkan Satria Gendeng.
"Bagaimana kalau kita mencari Paman Poleng dan
Paman Remeng?" Kali ini ganti Arya Wadam yang bertanya.
"Kau gila, Arya"! Waktu kita sudah habis, tahu"!
Dua hari lagi, Tujuh Dewa Kematian akan menyatroni
Kadipaten Lumajang. Dan kau mengajakku mencari
kedua pamanmu yang tak jelas juntrungannya?" sen-
tak Satria, gusar. Matanya sampai mendelik.
Wajar kalau Satria sampai kalap begitu. Dia su-
dah sanggup untuk memanggil tiga tokoh persilatan
berwatak aneh yang dikenai Adipati Wisnu Bernawa.
Dua sudah didapatnya, walaupun kehadiran Ki Je-
rangkong alias Dewa Gila diwakili anaknya. Sisanya,
kini ada di depan hidungnya. Dan kini orang yang di-
maksud malah mengajak mencari kedua pamannya.
Padahal, waktu yang diberikan tinggal dua hari lagi.
"Tapi kau sudah berjanji untuk membantuku. bu-
kan?" tukas Arya Wadam, menyudutkan.
"Janji tinggal janji. Aku juga sudah berjanji pada Adipati Wisnu Bernawa untuk
membawamu ke kadipaten. Dan urusanmu cuma hanya untuk senjata sialan
itu"! Keterlaluan kau, Arya!" semprot Satria.
"Terserah apa katamu. Yang jelas, aku harus
mencari kedua pamanku itu!" tegas Arya Wadam.
Dasar perempuan! Maki Satria. Bodohnya, Satria
juga sudah telanjur sayang, eh. Telanjur janji pada
Arya Wadam. Mungkin kalau bukan wanita cantik
yang dihadapi, sudah dikures-kures wajah Arya Wa-
dam. Dan Satria tak mungkin melakukannya.
"Begini saja. Kita masih punya waktu satu malam
untuk mencari kedua pamanmu. Tapi bila sampai nan-
ti malam tidak juga ketemu, terpaksa kita harus me-
nuju Kadipaten Lumajang. Bagaimana?" cetus Satria.
"Begitu juga bagus," sahut Arya Wadam, enteng.
"Dari tadi, kek!"
* * * Besok malam, purnama menjelang. Itulah saat
yang dinanti Tujuh Dewa Kematian untuk menyem-


Satria Gendeng 15 Tumbal Tujuh Dewa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

purnakan ilmu hitam keparat mereka. Dan senja saat
ini mulai dikurung kegelapan. Angin malas berhem-
bus. Kabut leluasa mengepung puncak Gunung Arju-
na, Di tengah hutan tak jauh dari puncak Gunung Ar-
juna, terdapat sebongkah batu sebesar gajah. Di atas-
nya, tersusun tujuh tengkorak manusia. Di tengah ba-
tu tergurat tulisan berhuruf Jawa Kuno: Tujuh Dewa
Kematian. Sekitar tiga tombak dari tempat itu berdiri sebuah
bangunan mirip candi. Di muka candi sebuah gapura
menghadang. Mengerikan. Karena masing-masing sisi
gapura terpancang pula tengkorak kepala manusia.
Lebih mengerikan lagi, apa yang terlihat di halaman
depan candi. Di situ bertebaran berpuluh-puluh teng-
korak manusia. Di pintu gerbang candi terdapat guratan tulisan
yang juga berhuruf Jawa Kuno. Bunyinya: Kuil Neraka.
Lumrah saja tempat ini bila dinamai Kuil Neraka.
Apa yang terlihat di halaman depan candi memang
menggambarkan kalau tempat itu adalah ajang pem-
bantaian. Memasuki halaman pelataran di tengah candi, se-
buah peti mati terbujur di atas batu besar berbentuk
pipih. Tak jauh dari batu, berdiri sebuah tonggak ber-
bentuk salib. Di situ, terikat satu sosok ramping yang terkulai pingsan. Sosok
Pitaloka, anak gadis Adipati
Wisnu Bernawa yang diculik Tujuh Dewa Kematian.
Beberapa obor terpancang di tiap-tiap sudut can-
di. Cahayanya menjilati tujuh sosok berpakaian hitam
seperti paderi yang tengah bersila membentuk lingka-
ran. Tujuh orang berpakaian serupa dengan kepala
gundul masih membisu. Seolah mereka terbawa alun
pikiran masing-masing.
Hening. Angin tetap malas berhembus. Api pada obor me-
liuk-liuk perlahan mengikuti irama angin kecil.
"Sebentar lagi cita-cita kita tercapai," sosok gundul yang duduk bersila
membelakangi peti mati mem-
buka suara. Nadanya menyiratkan kebanggaan.
"Sebentar lagi dunia persilatan di tangan kita,"
sambung yang lain.
"Sebentar lagi kita paling ditakuti di jagat ini," susul lelaki yang menghadap
peti mati. "Sebentar lagi kita...."
"Sudah!" potong yang lain. "Sebentar lagi..., sebentar lagi! Sebaiknya kita
harus waspada. Karena bukan
tidak mungkin si keparat Wisnu Bernawa akan mem-
bebaskan putrinya! Bukankah di kadipaten telah hadir
dua tokoh persilatan" Ini yang harus dipikirkan. Bu-
kannya malah menghayal!"
"Betul! Dua adik kita buktinya tak berdaya di tangan Pengemis Tuak dan pemuda
yang kita duga adalah
murid dari Dewa Gila. Dan bukan mustahil si keparat
Wisnu Bernawa mengajak tokoh-tokoh persilatan yang
lain," sambung yang lain lagi.
Kali ini tak ada yang bersuara lagi. Mereka kemba-
li terjebak dalam alun pikiran masing-masing.
"Bagaimana kalau upacara dipercepat?" usul yang menghadap peti mati.
"Bodoh! Itu sama saja kita bunuh diri. Upacara
harus dimulai tepat ketika bulan purnama di atas ke-
pala. Kalau itu sampai dilanggar ilmu hitam yang kita
anut akan memakan diri kita sendiri. Kalian paham"!"
kata lelaki botak yang tadi memotong pembicaraan.
"Benar! Tujuh Dewa Kematian harus menda-
patkan ilmu itu!"
Ketujuh lelaki botak yang memang Tujuh Dewa
Kematian sama-sama mengangguk. Agaknya mereka
percaya dengan apa yang telah diguratkan dalam atu-
ran menuntut ilmu hitam yang mereka pelajari.
Waktu kian merangkak.
Sepi. Sunyi Mencekam. "Sebetulnya sayang, gadis secantik dia kalau tidak digarap dulu," cetus salah
seorang dari Tujuh Dewa Kematian.
"Kau jangan gila, Karpa! Justru darah perawan
gadis itu yang kita butuhkan!" sentak lelaki botak di sebelah kiri Karpa.
Bila disebut secara berurutan, di sebelah Karpa
adalah, Karta, Karsa, Karma, Karba, Karka, dan Karja.
Lelaki botak yang bernama Karpa paling bungsu. Se-
dangkan yang bernama Karja paling sulung. Wajah
mereka memang mirip, sehingga sulit untuk menebak
mana yang paling bungsu atau paling sulung.
"Sulit mencari gadis yang sesuai dengan syarat
yang harus kita penuhi. Jadi kita harus hati-hati men-
jaganya," sambung Karta.
"Rasanya aku sudah tak sabar lagi menunggu
esok malam," timpal Karsa.
"Sebaiknya, kita mengatur siasat. Siapa tahu Adi-
pati Wisnu Bernawa akan menyerang tempat ini. Jadi
kita sudah punya persiapan," cetus Karba.
"Kau betul, Karba. Mari sekarang kita berembuk,"
sambut Karja. * * * "Dadaku masih nyeri saja, Satria," kata Arya Wadam di tengah perjalanan mencari
kedua pamannya.
Sebenarnya, Satria ingin menawarkan jasa untuk
mengobati Arya Wadam. Hanya saja, hatinya sungkan.
Pemuda ini takut dianggap memanfaatkan kesempatan
dalam kesempitan. Karena paling tidak, Arya Wadam
harus membuka bajunya. Dan itu sama saja....
"Lantas?" tanya Satria pura-pura bodoh.
"Aku yakin, pasti kau bisa mengobati."
"Lantas?"
"Lantas kukemplang kepalamu. Ya, tolong obati
aku dong!"
"Aku?" Satria makin bodoh saja.
"Di tengah hutan begini, pada siapa lagi aku minta tolong" Pada monyet?" tukas
Arya Wadam. "Bukan begitu maksudku. Aku sebenarnya juga
mau menawarkan diri, tapi takut kau tersinggung.
Nanti dikira aku ada maunya?" sergah Satria
"Kau ada maunya atau tidak?" balik Arya Wadam.
"Ada. Sedikit," sahut Satria seenaknya.
"O, banyak juga boleh. Asal, kepalamu kukem-
Bloon Cari Jodoh 14 Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara Imbauan Pendekar 1
^