Pencarian

Pukulan Hitam 1

Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong Bagian 1


PUKULAN HITAM (Hek-tjiang) Oleh : S.D. Liong Penerbit : U.P. NAGA Djl. Setabelan 32B - Sala.
Pentjetak : Pertjetakan SEMARDJAJA Djl. Maj. Djen. Pandjahitan no.1
Sala. Mengetahui : No.Pol.5.09.Intel.11.1969
Djilid 1 1 Malaekat-elmaut Langit lazuardi jang terang tjerah tiba2 diganggu
oleh tebaran awan jang ingin menondjolkan diri. Tetapi
hal itu tak mengurangi kemeriahan gedung Bu-tjeng-poh
jang tengah menjelenggarakan pesta besar. Pesta untuk
merajakan hari djadi jang ke 70 dari pemilik Bu-tjengpoh.
Tiba2 seorang pemuda muntjul dimuka pintu Bu
tjeng-poh. Seorang pemuda jang berpakaian tjompang
tjamping dan ke-tolol2an sikapnja. Kedua tangannja
disembunjikan dalam lengan badjunja. Tak ada sesuatu
jang luar biasa pada diri pemuda itu ketjuali sepasang
matanja jang memantjarkan sinar ber-api2....
Lama djuga ia menunggu didepan pintu barulah
seorang budjang tua muntjul dan menjapanja: "Kalau
saudara hendak memberi selamat pada poh-tju
(madjikan), silahkan masuk!"
Pemuda itu merenung sedjenak lalu balas bertanja:
"Apakah disini Bu tjeng-poh?"
"Didunia masakan terdapat dua buah Bu-tjeng
poh?" sahut budjang tua.
"Kalau begitu kepala Bu-tjeng-poh ini tentu Butjeng-mo-ong Leng-hou Tjiu?"
"Budak hina, kau masih muda, bitjaralah dengan
sopan santun!" bentak budjang itu.
"Hm..." sipemuda mendengus.
"Kalau kau mau undjuk ugal2an di Bu-tjeng-poh,
disinilah tempatnja untuk membereskan."
Pemuda tolol kerutkan alis, bentaknja: "Djangan
banjak mulut! Lekas suruh Bu-tjeng-mo-ong keluar
menerima kematian!" Wadjah orangtua djenggot pendek itu segera
berubah gelap: "Keparat, kau sungguh sudah bosan
hidup!" serunja seraja mendorong dengan sepasang
tangan. Segulung angin kuat segera melanda pemuda
itu. Dingin sadja sambutan sipemuda. Ia tak
menangkis maupun menghindar. Baru pada saat deru
pukulan tiba, ia gerakkan kedua lengan badjunja.
Tenaga pukulan budjang tua itu terpental balik kepada
pengirimnja. Dia hendak menghindar tetapi sudah kasip.
Dadanja serasa disambar geledek. Tubuh ter-hujung2
kebelakang sampai beberapa tindak dan mulut
menjembur darah segar! "Kalau kau tak mau memanggilnja keluar, terpaksa
akan kubunuhnja dihadapan para tetamu!" seru
sipemuda seraja melangkah masuk.
Para tetamu jang terdiri dari berbagai tokoh dari
segenap pendjuru, tak menghiraukan kedatangan
pemuda itu. "Berhenti!" tiba2 terdengar lengking suara seorang
gadis. Sipemuda berhenti sebentar, tetapi segera ia
teruskan langkahnja pula. Sedjenakpun tak mau ia
berpaling melihat penegurnja tadi.
Baru beberapa langkah kembali suara melengking
jang merdu itu terdengar menegurnja pula: "Saudara
datang hendak menghaturkan selamat, mengapa tak
pakai aturan sama sekali!"
Kali ini tergeraklah perhatian sipemuda. Ia berhenti
dan setengah memutar tubuh memandang kebelakang.
Demi pandangannja tertumbuk dengan si penegur,
batinnja mendebur keras. Buru2 ia berpaling ke muka
lagi. Kiranja kurang lebih 9 tombak dari tempat ia
berdiri, tampak seorang dara jang teramat tjantik tegak
berdiri memandangnja. Pemuda itu merasa seperti kena pesona. Tak kuasa
ia beradu pandang dengan sinar mata dara djelita.
Tiba2 ia dikedjutkan oleh ngiang pesan seorang tua
jang menjuruhnja ia datang ke Bu-tjeng-poh: "setan
tjilik, pergilah bunuh bu-tjeng-mo-ong, aku..."
Pesona jang mentjengkam hati sipemuda bagaikan
awan bujar tertiup angin. Ia gelagapan seperti digujur air
dingin. Buru2 ia teruskan langkahnja lagi.
Sidara tertjengang. Pada lain saat ketika ia
tersadar, sipemuda itu sudah melangkah masuk kedalam ruangan besar. Dara itu ber-gegas2 memburunja.
Mata sipemuda berkeliaran memandang kesegenap
pendjuru. Karena sedang sibuk ber-tjakap2 dan
bersenda gurau menikmati hidangan, tetamu2 itu tak
memperhatikan kemuntjulan pemuda jang tak dikenal
itu. Pemuda itu langsung menudju kepada seorang
lelaki tua jang duduk dikursi tuan rumah, tegurnja:
"Apakah tuan ini Bu-tjeng-mo-ong Leng-hou Tjiu?"
Lelaki tua berbadju biru itu tersentak kaget, karena
ia tak tahu akan kehadiran pemuda jang tak dikenalnja
itu. Sebagai seorang momok jang termasjhur ganas, ia
heran dan kaget mengapa sampai tak mengetahui hal
itu. "Siapakah saudara?" orang tua itu balas bertanja
seraja memandang tadjam. "Djawab dulu pertanjaanku tadi !"
Saat itu semua tetamu jang terdiri dari kaum
persilatan berbagai pendjuru, telah mengetahui djuga
keributan itu. Serempak mereka berdiri.
"Djika seorang tokoh matjam Leng-hou lo-tjian-pwe
tak mengenal, mengapa masih berlagak tjongkak?" seru
salah seorang hadirin. Orangtua badju biru tetap bersabar, tegurnja:
"Perlu apa saudara hendak mentjariku" Sebutkan
namamu, djangan main sembunjikan diri!"
Namun pemuda itu tak menggubris, serunja" "Bu"
tjeng-mo-ong, hari apakah saat ini!"
"Semua orang tahu bahwa hari ini adalah hari
ulang tahunku jang ke 70!"
"Salah!" tukas pemuda itu, "Hari ini adalah hari
adjalmu!" Bukan main marah orangtua badju biru itu. Segera
ia bersuit perlahan. Berpuluh lelaki gagah dengan
pakaian ringkas segera mengepung pemuda itu. Malah
beberapa tetamu jang sudah setengah mabuk,
memandang pemuda itu dengan mata melotot. Mereka
siap menghadjarnja setiap saat.
Pemuda itu tak mengatjuhkan sedikitpun djuga.
Serunja dengan dingin : "Kematian sudah tiba
dihadapanmu, mengapa kau masih menjuruh orang2
jang tak berdosa mendjual djiwa untukmu?"
"Tutup mulutmu, andjing!" bentak siorangtua badju
biru, "biarpun kau mempunjai sajap, djangan harap kau
mampu lolos dari Bu-tjeng-poh sini!"
"Benarkah?" edjek sipemuda.
"Lekas katakan nama gurumu!"
"Aku jang berbuat, aku sendiri jang bertanggung
djawab, tak sangkut paut dengan guruku!" sahut si
pemuda. "Kalau begitu sebutkan namamu!"
Angkuh dan tjongkak sekali sikap pemuda itu.
Sekalipun orang gagah tak puas dan hendak
menghadjarnja. Suasana tegang sekali.
Pun saking marahnja orangtua badju biru itu
gemetar, bentaknja : "Aku tak mau membunuh budak
jang tak bernama! Lekas beritahukan namamu atau
pulang sadja minta susu pada ibumu!"
Pemuda itu kibarkan mata memandang
kesekeliling. Se-konjong2 karena tak dapat menahan
kemarahannja, sekalian djago2 serempak
menghamburkan pukulan kepada pemuda itu. Hebatnja
bukan kepalang. Pemuda itu terkedjut. Buru2 ia tarik tangan kirinja
dari lengan badju lalu ditamparkan. Sekalian djago2
tersentak. Tenaga pukulan mereka terhalau oleh
tamparan pemuda itu. "Hebat sekali tenagamu, budak!" seru siorang tua
badju biru, "tetapi mengapa kau tak berani menjebut
dirimu!" Dengus sipemuda: "akan kuperlihatkan padamu
sebuah benda. Segera kau tentu kenal siapa diriku ini!"
"Benda apa?" Tangan kanan pemuda itu bergerak-gerak dalam
lengan badju, seperti ia hendak mengeluarkan suatu
pusaka. Semua mata hadirin ditudjukan pada tangan
pemuda itu. Tiba2 tangan kanan pemuda itu tersembul keluar
dari lengan badjunja. Astaga, sebuah lengan tangan jang
hitam warnanja. "Wahai, Malaekat-elmaut!" sekalian tetamu
memekik kaget. Orangtua jang mendjadi tuan rumah itupun
menjurut mundur dua langkah. Wadjahnja putjat pasi
memantul sinar suram putus asa. Tiba2 suatu lamunan
ngeri melintas dalam benaknja. Kembali ia terhujunghujung beberapa langkah kebelakang. Pun sekalian
tetamu jang terdiri dari kaum persilatan sama mundur
seperti melihat hantu disiang hati. Sebagian besar
menggunakan kesempatan untuk njelonong lolos.
Namun orangtua badju biru itu tak mau
kehilangan harga diri sebagai seorang tokoh persilatan
ternama. Serunja dengan garang: "Apakah kau murid
dari Malaekat-elmaut?"
"Bukan!" sahut sipemuda.
"Bohong! Habis apa maksudmu datang kemari?"
"Mengambil djiwamu!"
"Mengapa?" "Membalas dendam mengorek bidji mata!"
"Mengorek bidji mata" Bidji mata siapa" Si
Malaikat Elmaut?" "Mungkin!" seru sipemuda pah-poh sambil
djulurkan tangannja jang hitam kemuka. Segumpal sinar
hitam segera menghambur kearah situan rumah. Orang
tua itu rasakan seperti dilanda oleh ribuan pukulan
hitam jang mentjengkeramnja. Tjepat ia menghantam,
tetapi ah... pukulannja itu seperti ketjemplung dalam
tempat jang kosong melompong. Bujar lenjap!
Pada saat tangan hitam sipemuda mendjamah dada
orang, terdengarlah orangtua itu mendjerit ngeri. Dia
mentjelat terlempar sampai beberapa meter djauhnja.
Mulutnja muntah2 darah hitam dan putuslah djiwanja
seketika... Sipemuda menjaksikan adegan itu dengan dingin2
sadja. Setelah melihat siorang tua benar2 sudah mati,
barulah ia masukkan tangannja kedalam lengan
badjunja lagi. Se-konjong2 sesosok tubuh menerobos masuk
kedalam ruangan. Demi melihat siorang tua badju biru
terkapar dilantai, petjahlah tangis orang itu.....
Sipemuda tak dikenal terbalik kaget sekali. Kiranja
jang masuk itu adalah sidara tjantik jang didjumpainja
diluar tadi. Dara itu memeluk tubuh siorang tua dan menangis
tersedu sedan. Tiba2 ia berdiri. Dengan mata masih berlinang2 ia segera menghampiri kemuka sipemuda.
Pemuda itu mau tak mau meujurut mundur demi
menghadapi wadjah sidara jang sedemikian membeku
Plak... plak... tiba2 dara itu menampar pipi
sipemuda. Pemuda itu tak mau menghindar atau
menangkis. Ia kasihkan mulutnja ditampar sampai
berdarah! Hebat sekali tamparan dara itu. Sebenarnja
sipemuda mengantjing mulutnja rapat2 untuk menahan
djangan darahnja muntah keluar. Beberapa saat
kemudian ia muntahkan dua buah giginja jang rontok.
Sidara menatapnja lekat2, serunja dingin: "Enjah
kau! Pada suatu hari aku tentu membalas sakit hati ini!"
Pada pertama kali melihat pemuda itu, sidara
memperoleh kesan aneh. Pemuda itu walaupun
tampaknja ke-tolol2an atjuh tak atjuh, tapi sikapnja
tjongkak sekali. Diluar dugaan dara itu malah
mempunjai kesan baik. Ia kagum dan suka kepada
djenis pria matjam begitu!
Tetapi pertemuannja jang kedua kali, telah
merobah semua pandangannja. Ternjata pemuda itu
seorang pembunuh jang berhati dingin. Bahkan jang
mendapat korban itu adalah ajah sidara sendiri. Hebat...!
Pemuda itu segera putar diri dan berdjalan keluar
dari ruangan. Tak seorangpun dari sekalian tetamu2
djago2 persilatan itu jang berani menghalangi sipemuda.
Dengan lenggangnja pemuda itu melangkah keluar.
Ruang perdjamuan jang megah meriah, kini
berobah mendjadi sebuah medan jang penuh diliputi
kesunjian dan kesedihan serta helaan napas...
Ketika pemuda itu tiba disebuah hutan, haripun
sudah petang. Angkasa penuh bertaburan bintang2
gemerlap. Entah berapa lama lagi ia berdjalan, ketika
melihat sebuah goha batu, iapun segera memasukinja.
Ternjata didalam goha itu terdapat penghuni. Ini dapat
ditandai dengan sinar api jang menerangi ruang goha.
Diatas sebuah bale2 batu jang terletak diudjung
ruang, duduk seorang tua berambut dan berdjenggot
putih. Djubahnja mendjuntai ketanah tetapi kedua
kakinja tak tampak. Ah, ternjata orangtua itu seorang
manusia jang tak utuh tubuhnja. Matanja jang kanan


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tjomplong (hilang), lengan kirinja hilang dan kedua
kakinja buntung... Begitu si anak muda masuk, orangtua aneh itu
segera menegurnja : "Hai, setan tjilik, apakah Bu-tjengmo-ong sudah kau bunuh?"
Sambil melangkah musuk. anakmuda itu
menjahut: "Sudah!"
"Perlihatkan tangan kananmu!" perintah orangtua
aneh itu dengan nada dingin.
Anak muda itu segera ulurkan tangan kanan
kemuka. Siorang aneh tertawa gelak2 dan sianakmuda
tertjengang. Kiranja tangan kanannja itu sudah pulih
seperti tangan kirinja. Tidak berwarna hitam lagi tetapi
putih. Siorangtua aneh tertawa njaring: "Setan tjilik, kau
minta adjaran ilmu apa?"
"Kasih adjar ilmu Pukulan Hitam (Hek Tjiang)
padaku!" "Tidak! Telah kukatakan sebelumnja, ketjuali kau
sudah membunuh semua musuhku, tak usah kau minta
tentu akan kuadjarkan padamu ilmu itu!"
Orang aneh itu berhenti sedjenak, serunja pula:
"Hai, setan tjilik, tjoba kau hitung, masih berapa
banjakkah musuh2ku itu!"
Djelas diketahui oleh sipemuda bahwa orang aneh
itu tak punja lengan kiri, telinga kanan dan dua kaki.
Serentak ia mendengus: "Setan tua, lenganmu hilang
satu, telingamu terpapas satu, kakimu buntung dan
pahamu kutung. Apakah kau hendak suruh aku
membunuh 4 orang lagi?"
"Tak ada lain pilihan lagi.... katakanlah, kau
hendak minta adjaran ilmu apa sadja. Jika kau bisa
mendapat satu sadja dari ilmuku, tanggung kau tentu
dapat mendjagoi dunia, perlu apa kau hanja mau
beladjar Pukulan Hitam sadja?" orang aneh itu ulurkan
tangannja kanan. Dibawah tjahaja api, tampak lengannja
berwarna hitam mulus seperti arang.
"Tetapi musuhku itu adalah djago nomor satu didunia!" sipemuda menghela napas.
"Hai, setan tjilik, siapakah namamu?"
"Setan tua, perlu apa kau tanjakan" Kau memberi
adjaran ilmu padaku dan aku melaksanakan perintahmu
membunuh orang. Bukankah itu suatu tjara djual beli
jang adil" Aku tak bertanja namamu, perlu apa kau
menanjakan namaku" Eh, ja, bukankah kau bernama
Malaekat Elmaut?" Seketika wadjah orang aneh itu berobah,
bentaknja: "Setan tjilik, siapa jang memberitahukan
padamu!" "Bu-tjeng-mo-ong!"
"Selandjutnja tak boleh kau menjebut nama
Malaekat Elmaut itu lagi, atau segera kubunuhmu!"
Pemuda itu menggigil, tak berani lagi ia
memandang simanusia aneh.
"Kau sudah membunuh Bu-tjeng-mo-ong, nah, kau
hendak minta adjaran ilmu apa, lekas katakan! Tak
nanti aku ingkar djandji!"
"Aku hanja ingin beladjar pukulan hitam sadja.
Lainnja aku tak kepingin!"
"Pukulan-hitam" Kalau ingin beladjar PukulanHitam harus membunuh 4 orang lagi!"
Pemuda ketololan itu tergetar hatinja. Sebenarnja
ia seorang pemuda baik hati. Djika bukan karena
mangandung tjita2 membalas sakit hati, tak nanti ia
sudi meluluskan sjarat sigila itu.
Masih terngiang rasanja djerit ratapan sidara
tjantik jang menangisi majat ajahnja. Betapa kedjam ia
memisahkan seorang anak dengan ajahnja. Betapa
djahat perbuatannja membunuh seorang jang tak salah
tak dosa kepadanja. Beberapa saat bajang2 ngeri itu
terlintas dalam benaknja.
"Tidak!" tiba2 ia menjahut getas, "aku tak sudi
djadi algodjomu lagi!"
"Baik", sahut orang aneh itu dengan dingin, "kalau
begitu aku hanja akan mengadjar ilmu lweekang jang
disebut Kiu-tjoan-gi kang untuk membalas djasa-mu
membunuh Bu-tjeng-mo-ong! Setelah itu silahkan kau
pergi!" "Aku tak sudi beladjar Kiu-tjoan-gi-kangmu!"
dengan geram pemuda tolol itu segera melangkah keluar.
Siorang anehpun tak mau mentjegah.
Beberapa saat kemudian, tiba2 pemuda itu balik
lagi. "Ho, ho," siorang aneh tertawa meloroh, "kutahu
kau tentu kembali lagi. Dengan memiliki ilmu Kiu-tjoangi-kang sadja, tjukuplah kau sedjadjar dengan tokoh2
sakti dalam dunia persilatan sekarang ini!"
"Aku tak kepingin...", tukas si pemuda tolol. Tetapi
lain saat ia segera berseru dengan geram: "Katakan,
siapa orang kedua jang harus kubunuh! Aku bersedia
memenuhi sjaratmu membunuh 4 orang lagi!"
"Karena kau tetap ingin beladjar Pukulan-hitam?"
"Tentu! Setan tua, djangan banjak omong!
Siapakah tjalon korban jang kedua itu?" tukas
sipemuda. Orang itu mengangkat tangannja sebelah kanan.
Ia merabah-rabah telinganja kanan jang sudah
hilang. Serunja penuh geram: "Dia adalah orang jang
telah memotong daun telingaku ini jakni Bok-tiong-longtju Tang-hun Ka!"
"Bok-tiong-long-tju Tang-hun Ka?" menegas
sipemuda. "Ja, lekas duduk. Segera akan kusalurkan
tenagaku murni untuk menurunkan ilmu Pukulan-hitam
pembunuh-seorang-djiwa!"
"Setan tua," seru sipemuda dengan sorot mata
meratap, "djangan menjiksa diriku. Sebutkan sadja
keempat orang musuhmu itu dan terus adjarkan
Pukulan-hitam padaku. Kubersumpah tentu akan
membunuh musuhmu itu semua!"
"Tidak!" seru siorang tua aneh. "Hanja sedjurus
Pukulan-membunuh-seorang sadja jang dapat
kuadjarkan padamu. Setelah Bok-tiong-long-tju
kaubunuh, ilmu Pukulan hitampun segera lenjap lagi.
Kau harus datang kemari menerima perintahku. Setelah
kau selesai membunuh musuh2ku tentu akan
kuadjarkan padamu semua djurus Pukulan hitam. Lekas
kemari kau, setan tjilik!"
Sipemuda tolol segera menghampiri. Orang tua
aneh itupun ulurkan tangannja kanan jang berwarna
hitam, mentjekal tangan kanan sipemuda.
Segera pemuda tolol itu rasakan bahunja kanan
kesemutan. Suatu aliran tenaga aneh mengalir
kelengannja. Aliran itu panas sekali. Lengan sipemuda
seperti dibakar... "Sudah, pergilah!" beberapa saat kemudian siorang
tua aneh berseru. Ketika menarik lengannja, sipemuda dapatkan
tangannja berobah mendjadi hitam seperti tangan
siorang tua aneh. Dengan geram pemuda itu melangkah keluar.
"Ingat, bunuhlah Bok-tiong-long tju!" siorang tua aneh
memberi peringatan. Namun pemuda itu sudah lenjap
dalam kegelapan malam. *** Suasana seram. Hawa pembunuhan menjelimuti
sebuah pekuburan tua jang terletak didaerah gunung
situ. Suara gemerintjing sendjata beradu, memetjah
kesunjian malam. Benar, memang ditanah lapang
pekuburan itu tengah berkumpul berpuluh djago2
persilatan. Mereka sedang mengadu djiwa. Rupanja ada
sesuatu jang diperebutkan.
Salah seorang djago jang bernama Te Bok gelar
sasterawan awet muda, tengah mengangkat sebuah peti
besi ketjil dan tertawa dingin. "Ajo, siapa jang tak takut
mati, boleh tjoba merebut benda ini..." belum habis ia
berseru, seorang paderi tampil melantang: "Kutu buku,
djangan bermulut besar! Goan Thong hendak
mendjadjalmu!" Paderi itu bermuka persegi, bertelinga besar dan
bertubuh gemuk. Dari badjunja jang tersingkap, tampak
dadanja besimbar bulu. Suaranjapun keras seperti
geledek. Ia menutup kata-katanja dengan dorongkan
sepasang tindjunja jang sebesar mangkuk...
Put-lo-su seng atau Sasterawan awet-muda
bergeliatan mengingsut seraja balas menampar dengan
tangannja kanan. Tar.... terdengar letupan keras ketika dua buah
pukulan beradu. Sasterawan-awet-muda dan paderi
gemuk sama2 tersurut mundur dua langkah. Wadjah
mereka putjat lesi.... Belum Sasterawan-awet-muda berdiri tegak, tiba2
sebuah angin tadjam mendesing dibelakangnja. Ia tahu
dirinja dibokong dari belakang. Dalam posisi seperti saat
itu tiada lain djalan baginja ketjuali harus mendjorok
kemuka sekali. Tetapi karena ia berbuat begitu, peti besi
jang ditjekalnjapun terlepas...
Setelah terhindar dari serangan gelap, Sasterawanawet muda menghambur makian."Menjerang dari
belakang. adalah pengetjut! Sungguh ketjewa kau
mendjadi putera dari Thian-te-tjoat-kiam!"
Kiranja jang menjerang dari belakang itu seorang
pemuda berpakaian mentereng. Sepasang alisnja jang
memandjang makin memperindah wadjahnja jang
tjakap. Hanja sajang gundu matanja mengandung sinar
kekedjaman. Dalam pada menghambur makian itu, Sasterawanawet muda segera bergerak menjambar peti besi jang
menggeletak ditanah. Tjepat sekali ia bergerak tetapi tak
kurang tjepatnja pula beberapa sosok tubuh
berhamburan melandanja! Sasterawan-awet-muda terkedjut dan menjurut
mundur, ia tegak ter-mangu2.
Paderi gemuk Goan Thong, pemuda ganteng dan
ber-puluh2 djago2 silat dari golongan Hitam maupun
Putih tengah mengepung peti besi itu. Masing2 berdjagadjaga dengan tegang. Asal ada orang jang berani
mengambil, tentu akan diserang berpuluh djago sakti.
Sesaat suasana mendjadi tegang regang. Tak
seorangpun jang berani bergerak. Hening lelap bagaikan
kuburan mati. Tiba2 terdengar lengking melantang memetjah
ketegangan : "Hai, siapakah diantara kalian jang
bernama Bok tiong-long-tju?"
Seorang pemuda jang gagah tetapi ke tolol2an
sikapnja muntjul. Sepasang alisnja mengerut
mengandung hawa pembunuhan.
Seorang tua kurus kering dalam djubah hitam
tampil dari rombongan djago2 itu.
"Apakah kau bukan pemuda jang beberapa hari
jang lalu membunuh Bu tjeng-mo-ong dengan Pukulanhitam?" serunja.
"Siapakah saudara" Apa hubunganmu dengan
peristiwa itu?" sahut sipemuda.
Wadjah si orang tua kurus membesi.
"Aku Ko Tiok lodjin adalah sahabat karib dari Butjeng-mo-ong. Djika benar kau jang membunuh
sahabatku itu, heh heh... djangan harap kau dapat
tinggalkan tempat ini!"
"O, kau hendak membalaskan sakit hati Bu-tjengmo-ong" Boleh sadja, aku setiap saat bersedia
melajanimu!" sahut sipemuda dengan tjong-kak.
Ko Tiok lodjin taburkan lengan djubahnja. Sebuah
pukulan dilajangkan kepada pemuda itu.
Tenang2 sadja pemuda tolol itu memandang. Pelahan2 ia mengangkat tangan kiri untuk menjongsong.
Uh.... seketika Ko Tiok lodjin rasakan dadanja tertindih
tembok raksasa. Djantungnja me-letup2 dan tubuhpun
terhujung-hujung mundur beberapa langkah lalu djatuh
terduduk. Sampai beberapa saat ia tak dapat bangun...
Sepasang alis pemuda itu mendjungkat. Mata
bersinar membara. Dengan geram disapunja wadjah
sekalian orang jang berada disitu. Tiba2 ia menghela
napas dan melangkah pergi...
Belum berapa lama ia berdjalan. Se-konjong2 dari
lamping gunung tampak sesosok bajangan hitam berlari2an menudju kearahnja!
Tjepat sekali bajangan itu sudah tiba dimuka
sipemuda. Seorang wanita tua berambut putih muntjul
dalam pakaian hitam... *** 2 Kitab tanpa tulisan Wanita tua memandang sipemuda dengan tadjam.
Ditelusuri udjung kaki pemuda itu sampai keatas
kepalanja. "Hai, bujung, tundjukkan tanganmu kanan!" sesaat
kemudian wanita itu melengking.
"Kalau aku tak mau?" djawab sipemuda dengan
atjuh tak atjuh. "Kau harus memikul akibatnja sendiri..."
"Tak pertjaja! Masakan kau mampu memaksaku!"
Rambut putih wanita itu bergontjangan. Wadjahnja
menampilkan sinar ambisi jang besar. Ia djulurkan
tangannja kanan. Dengan djari telundjuk ia membuat
gurat2an dari djarak djauh kearah lengan badju
sipemuda. Ret, ret... lengan badju sipemuda robek dan
tampaklah lengannja jang kanan. Hai, lengan hitam...
Sekalian djago2 jang melihat peristiwa itu mendjerit
tertahan. Wadjah mereka putjat seketika...
Mata wanita tua itu ber-api2 melekat pada
sipemuda: "Kau murid dari Malaekat-elmaut?"
"Bukan!" "Pembohong! Dikolong djagad hanja Malaekatelmaut itu jang memiliki ilmu Pukulan-hitam. Siapa
namamu?" "Aku tak punja nama, djuga bukan murid dari
Malaekat-elmaut!" sahut sipemuda.
"Hm, bagaimanapun halnja kau harus
memberitahukan dimana tempat Malaekat-elmaut!" seru
wanita tua. "Tidak tahu!" "Hm, kau bukan tandinganku," gumam siwanita
tua, "kasih tau dengan baik2 agar kau terhindar dari
siksaan."

Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sipemuda tolol mengatjungkan tangannja kanan,
berseru: "Djika kau berani kurang adjar kepadaku,
djangan salahkan aku kalau gunakan Pukulan-hitam!"
Sedikitpun wanita tua itu tak djeri. Bahkan ia
malah madju menghampiri dan menantang: "Tjobalah
kau pukul aku!" Melihat keberanian siwanita tua dan mengingat
bahwa Pukulan hitam jang dimiliki hanja dapat
digunakan satu kali sadja, djika ia sembarangan
menggunakan kepada wanita itu bagaimana ia dapat
melaksanakan tugas membunuh Bok tiong long-tju
nanti" Ia terpaku seperti patung.
"Huh, kutahu kau tentu tak berani edjek siwanita
tua. Pemuda tolol itu terkesiap kaget. Pikirnja: "Apakah
ia tahu bahwa lenganku itu hanja dapat dipergunakan
membunuh seorang sadja...."
Ditatapnja wanita tua itu dengan penuh
keheranan. "Malaekat-elmaut tentu sudah memesanmu," kata
wanita tua seenaknja, "supaya djangan kurang adjar
kepadaku..." Wanita tua itu memandang djauh kemuka.
Mulutnya mengingau seorang diri: "Ah, sungguh tak
terduga dia masih teringat padaku!"
Keriput dahi wanita itu menggerenjah girang. Tiba2
ia berpaling kepada sipemuda tolol, serunja: "Gurumu
itu, apakah pernah mentjeritakan kepadamu tentang
diriku. Ja, benar, memang aku jang dipanggil TjengThian-it ki (wanita kasih). Tentu kau sudah pernah
mendengar nama itu!"
Diluar dugaan pemuda tolol gelengkan kepala.
Wadjahnja tawar2 sadja dan sepatahpun tak mendjawab.
Tjeng-thian-it ki agak ketjewa, serunja"Hai apakah
gurumu tak pernah bertjerita?"
"Aku tak mengerti apa jang kau katakan!"
"Tak peduli kau mengerti atau tidak, ajo lekas
katakan dimana tempat tinggal si Malaekat-elmaut!"
bentak wanita kasih. "Apa jang harus kukatakan padamu?" seru pemuda
tolol, "terus terang sadja aku tak dapat memberitahukan
hal itu!" "Djangan bersikap ke-kanak2an bujung!" tegur
Tjeng thian-it ki, "asal kau mau memberitahukan tempat
tinggal si Malaekat-elmaut, peti besi jang berisi Kitabtanpa-tulisan itu tentu kurebutkan untukmu!"
Kini barulah sipemuda tahu apa jang terkandung
dalam kotak besi jang diperebutkan sekalian djago2 silat.
Sebuah kitab jang tiada tulisannja. Ah, apa guna sebuah
kitab jang tiada tulisannja"
"Aku tak mengharap benda jang bukan mendjadi
hak milikku!" sahutnja.
"Apa?" seru Tjeng-thian-it-ki dengan kaget, "kau
tak ingin memiliki Kitab-tanpa-tulisan?"
Tjeng-thian-it-ki benar2 heran melihat sikap sipemuda jang dianggap begitu tolol tetapi angkuh. Baru
sekali itu ia berhadapan dengan pemuda seaneh itu.
Sebenarnja penolakan sipemuda tolol itu bukan
karena kitab itu milik lain orang melainkan karena ia tak
tahu apa gunanja Kitab-tanpa-tulisan itu.
Beberapa saat kemudian Tjeng-thian-it ki berseru
geram: "Persetan kau mau atau tidak dengan Kitabtanpa-tulisan, tetapi kau harus memberitahukan tempat
tinggal si Malaekat-elmaut!"
"Aku tiada tempo omong2 dengan kau!" teriak
sipemuda seraja terus melangkah pergi.
Tjeng thian-it ki mengangkat tangannja kanan.
Kelima djarinja jang runtjing tadjam seperti tjakar
garuda segera digeliat-geliatkan matjam burung
mentjakar-tjakar diudara: "Budak, kembalilah!"
Seketika punggung sipemuda itu seperti ditarik
balik oleh sebuah tangan-penjedot sehingga mau tak
mau harus tersurut mundur beberapa langkah.
"Kau mau mengatakan atau tidak!" bentak wanita
Tjeng-thian-it-ki dengan bengis.
"Sampai matipun aku tak mau bilang!" sahut
sipemuda tak gentar. Tjeng-thian-it-ki ber-kaok2 seperti kerbau
disembelih. Sekali tangannja didorongkan, ia
membentak: "Enjah kau!"
Tubuh sipemuda bagaikan sebuah lajang2 putus
tali, melajang sampai 6 tombak djauhnja. Setelah terhujung2 barulah ia dapat berdiri tegak pula.
"Pulang beritahukan pada si Malaekat-elmaut,
Tjeng thian-it ki Bu Peng ki pada satu hari pasti dapat
mentjarinja!" Pemuda tolol benar2 terpesona melihat kesaktian
wanita tua itu. Setelah memandang tadjam2 beberapa
djenak, segera ia melangkah pergi.
Djelaslah didengarnja dari arah belakang terdengar
pula letupan pukulan beradu dan gemertjing sendjata
tadjam serta pekik bentakan dari djago2 persilatan jang
bertempur memperebutkan peti besi, namun pemuda itu
tak mau menghiraukan, ia lari se-kentjang2. Setelah
terpisah djauh dari medan pertempuran, barulah ia
mengeluarkan sehelai badju warna kelabu. Ia mengganti
badjunja jang telah bilang bagian lengannja tadi.
Ketika melandjutkan perdjalanan, ia tertegun. Dari
djauh terdengar suara tetabuhan sedih tengah
mendatangi. Segera ia menjongsong.
Suatu rerotan pandjang matjam orang sedang
pawai, tampak berdjalan per-lahan2. Ah,ternjata sebuah
rerotan orang jang sedang mengantar djenazah. Jang
paling menarik perhatian pemuda tolol itu ialah seorang
dara badju hitam jang berdjalan menggelandoti peti mati
seraja tak henti2nja menangis tersedu-sedan.
Mau tak mau hati pemuda itu ikut rawan djuga.
Pikirnja, "Pernah apakah orang jang mati itu dengan
dara badju hitam itu" Mengapa ia begitu bersedih
sekali?" Saat itu rerotan djenazah berdjalan lewat disisinja.
Diluar kesadarannja, pemuda tolol itupun ikut
menggabungkan diri dalam rerotan lalon. Selama
berdjalan itu sipemuda mempunjai kesempatan untuk
memperhatikan orang2 jang ikut dalam penguburan itu.
Ah, ternjata orang2 itu lain dengan orang biasa. Mata
mereka memantjarkan sinar tadjam. Ada jang
mengenakan pakaian ringkas. Ada jang berpakaian
seperti orang biasa tetapi dalam badjunja menjelip
sendjata. "Ah, djenazah ini tentulah seorang tokoh persilatan
jang ternama," diam2 pemuda itu menimang dalam hati.
Tiba2 ia dikedjutkan dengan suara berisik dari
pekik bentakan orang. Wahai, kiranja rerotan lajon itu
tiba lagi dilereng gunung dimana djago2 silat sedang
berebut sebuah peti besi jang ketjil. Hanja bedanja saat
itu sudah ada beberapa orang jang bergelimpangan
rubuh ditanah. Mereka tentu kurban2 dari rebutan peti
besi jang berisi Kitab-tanpa-tulisan.
Jang mendjadi keheranan sipemuda ialah
bahwasanja saat itu wanita Tjeng-thian-it-ki tak tampak
berada ditempat itu lagi. Rupanja tentu sudah pergi.
Saat itu peti besi berisi Kitab-tanpa tulisan (Bu-djithian-su) berada ditangan seorang paderi tua jang alisnja
sudah putih. Paderi itu mengenakan djubah warna
merah. Dari delapan pendjuru ber-puluh2 djago silat
berdjalan per-lahan2 menghampiri paderi itu. Tegangregang, genting meruntjing...
Rombongan pengantar djenazah harus melalui
lapangan tempat mereka bertempur. Pada saat tokoh2
persilatan itu sudah siap hendak menghantam paderi
tua, se-konjong2 sidara berseru hambar: "Harap tuan2
djangan berkelahi dulu dan silahkan memberi djalan!"
Perlahan kedengarannja sidara mengutjapkan
kata2nja tetapi telinga sekalian orang seperti terngiang
letupan keras sehingga mereka sama terkesiap
memandang pada sidara badju hitam. Entah karena
kaget akan suara sidara jang sedemikian hebat atau
karena menghormat rerotan lajon, ber-puluh2 djago silat
itu segera mengurut mundur beberapa langkah.
Paderi tua jang memegang kotak besipun ikut
menjingkir hendak memberi djalan.
"Bok Gwan taysu maukah kau memberikan kotak
itu kepadaku?" se-konjong2 sidara badju hitam berseru
pelahan. Empuk dan merdu sekali udara mengutjapkan
kata2nja. Tiada kata2 jang memaksa atau menekan
orang, tetapi sebuah permintaan jang sukar ditolak. Dan
anehnja paderi tua jang sudah putih alisnja itu serta
merta segera menjerahkan kotak kepada sidara.
Setelah menerima kotak besi sidara segera memberi
perintah kepada rombongannja untuk melandjutkan
perdjalanan pula. Heran.... entah karena hendak memburu kotak besi
atau karena hendak menjatakan ikut berduka tjita,
sekalian tokoh2 persilatan jang memperebutkan kotakbesi itu pun segera ikut menggabungkan diri dalam
rerotan lajon. Pemuda tolol tak habis herannja. Siapakah
rombongan pengantar lajon jang misterius itu" Ia hendak
mentjari keterangan tetapi ketika melihat wadjah orang2
jang mengantar lajon itu dingin2 dan serius, tak mau ia
bertanja. Pemuda tolo1 itu hanja tampaknja sadja tolol
tetapi sebenarnja ia seorang pemuda jang berhati tinggi
dan keras kepala. Dua djam kemudian tibalah mereka disebuah
lembah jang sempit dan pandjang. Agak lama djuga
mereka menjusur lembah itu. Begitu keluar dari lembah,
mereka tiba disebuah padang rumput jang luas.
Rombongan itu berhenti diudjung timur padang rumput.
Disini sudah disiapkan sebuah liang jang besar. Peti
matipun segera dimasukkan kedalam liang diantar
dengan isak tangis jang menjajat hati dari sidara badju
hitam. Mau tak mau sekalian orang ikut mengutjurkan
airmata djuga. Sipemuda tolol melihat kesemuanja itu dengan
wadjah dingin2 sadja. "Kau benar2 seorang jang berhati dingin. Ikut aku,
maukah?" sekonjong2 telinga pemuda itu dikedjutkan
oleh sebuah ngiang suara jang njaring.
Pemuda tolol menjurut kaget. Ah, sidara badju
hitam tengah menghampiri kepadanja. Saat itu barulah
ia dapat melihat djelas bagaimana air-muka gadis itu.
Seorang gadis jang berwadjah... buruk, tetapi mempunjai
daja tarik jang sukar dielakkan!
Gadis itu membawa dua buah benda. Tangan kiri
mentjekal kotak-besi berisi kitab. Tangan kanan
mentjekal sebuah galah bambu pandjang. Ia berdjalan
pe-lahan2. Setiap satu langkah, ia menggurat sebuah
lingkaran ditanah. Pemuda tolol sebenarnja tak mau mengikuti tetapi
diluar kesadarannja sang kaki melangkah mengikutinja
djuga. Lingkaran jang dibuat dara itu makin lama makin
rapat djaraknja. Pun galah makin mendalam masuknja
ketanah, sehingga menghamburkan debu dan pasir.
Makin aneh tingkah laku sidara makin besar
keheranan sipemuda tolol. Namun dia tak mau bertanja
dan hanja mengikutinja sadja.
Serentak dara itu berhenti dengan serempak.
Tegurnja, "Kau tentu heran akan tingkah lakuku
bukan?" Walaupun heran tetapi sipemuda tolol tetap
menjahut dingin2: "Nona tentu bukan orang
sembarangan. Apa jang nona lakukan tentu sukar
diduga orang!" "Djangan takut akan gerak gerikku. Apa jang
kugurat ditanah itu hanja merupakan sebuah barisan!"
"Aku seorang tolol," sahut sipemuda, "tak mengerti
barisan apa jang nona buat itu!"
"Aku membuat lingkaran jang bertalian satu sama
lain. Untuk sementara kunamakan barisan Lingkaranberantai. Mungkin kau tak menjadari bahwa barisan
Lingkaran-berantai itu sebenarnja demi mendjaga
keselamatanmu!" "Ini... benar2 aku tak mengerti maksud nona!"
"Bukankah kau ini murid si Malaekat-elmaut?"
Sidara belas bertanja. "Bukan..." "Ah,djangan kau menjangkal. Tak peduli
bagaimana, kau tentu mempunjai hubungan dengan
Malaekat-elmaut. Dan keluarmu kedunia persilatan kali
ini bukankah dengan tugas membalaskan sakit hati si
Malaekat-elmaut kepada musuh2nja pada puluhan
tahun jang lalu" Bukankah kau hendak membunuh
Bok-tiong-long-tju Tang-hun Ka?"
Pemula tolol terkesiap heran.
Dara badju hitam menundjuk pada beberapa tokoh
badju kelabu jang berada diluar barisan, serunja:
"Rombongan orang badju kelabu itu adalah anak-buah
Bok-tiong-long tju! Mereka sedang siap2 hendak
membunuhmu!" Mata sipemuda bergemerlapan api kemarahan.
"Bagus!" serunja, "ditjari ke-mana2 tak ketemu
ternjata sudah didepan mata. Djusteru aku kuatir tak
dapat mentjari anakbuah Bok-tiong-long-tju. Djika
kubunuh anak buahnja, masakan pemimpinnja tak
muntjul?" Ia segera melangkah kepada rombongan badju
kelabu. "Nanti dulu," tiba2 sidara mentjegahnja, "kau
pintar tetapi sering keblinger. Ketahuilah, jang baik tentu
takkan datang. Jang datang tentulah jang tidak baik!"
"Apa artinja?" seru sipemuda.
"Ketahuilah bahwa Bok-tiong-long-tju itu seorang
tokoh jang pandai dan sakti. Dengan mengirim
rombongan anakbuahnja, dia tentu sudah mempunjai
rentjana bagus. Tak nanti dia begitu mudah kaubunuh


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti halnja Bu-tjeng-mo-ong tempo hari!"
Pemuda tolol berbalik tubuh dan menghampiri
sidara, serunja: "Maaf ketololanku, nona. Tetapi
bolehkah aku bertanja sepatah kata kepadamu?"
"Bukankah kau hendak menanjakan djenazah
siapakah jang dikubur tadi?"
Pemuda tolol terkesiap. "Benar!" "Dia bernama Ting Kay-ih gelar Sin-tjiu-it-kiam,"
sahut sidara. "Ajah nona?" "Bukan, hanja ajah angkat!"
"Ah, mengapa dia meninggal dunia?"
"Terserang penjakit aneh jang tak dapat diobati
lagi!" "Penjakit aneh?" tegas sipemuda.
"Ja, benar!" sebuah penjakit jang luar biasa
anehnja!" "Dapatkah nona memberi pendjelasan sedikit?"
Dara itu merenung sedjenak. Ia menjusun pula
rambutnja jang kusut lalu berkata: "Tiga hari jang lalu,
dia mendengar sebuah berita lalu bersedih dan
meninggal!" "Berita" Berita apa jang sedemikian mengedjutkan
beliau?" "Ah, tak perlu kutjeritakan!"
"Kalau nona tak mau mengatakan akupun tak
berani mendesak," kata sipemuda dengan nada agak
ketjewa. "Hi, hi," tiba2 dara itu tertawa mengikik, "aku hanja
ber-olok2 kepadamu tetapi rupanja kau lantas naik
pitam. Sebenarnja peristiwa itu mempunjai hubungan
dengan kau djuga!" "Dengan aku?" sipemuda terkedjut heran.
"Tak lain karena mendengar berita tentang
binasanja Bu-tjeng-mo-ong akibat menderita Pukulan
hitam itu. Beliau tjemas dan meninggal..."
"Kalau begitu, akulah jang berdosa kepada ajah
nona," kata sipemuda dengan nada menjesal, "tetapi
apakah hubungan hal ini dengan beliau?"
"Entahlah, aku tak tahu..."
Belum sidara selesai berkata, pemuda tolol sudah
mendjerit kaget. Ternjata rombongan djago2 silat jang
bermula berada diluar lingkaran, saat itu semua sama
menjerbu masuk dan menghampiri kepada kedua
anakmuda itu. Pemuda tolol mendjadi tegang.
"Tak usah takut," kata sidara sambil tertawa
tenang, "tak nanti mereka dapat menerobos masuk
kesini!" Pemuda tolol tersipu-sipu malu. Memandang kemuka, benarlah. Rombongan djago-djago silat itu
memang hanja lewat disisi mereka tetapi tak dapat
menerdjang. Diam2 pemuda tolol itu kagum.
"Dapatkah kau memberitahukan siapa namamu?"
tanja udara. "Ini... maaf, belum dapat!" sahut sipemuda.
"Manusia adalah machluk jang mempunjai
peraturan tinggi. Hampir setengah hari kita bergaul,
masakan sedikitpun kita tak punja... hm, baiklah kalau
begitu. Akupun sukar meminta..."
Utjapan sidara penuh dengan kerawanan. Sikapnja
patut dikasihani. Tiba2 ia membuka mulut pula: "Djika
kuminta tolong kau melakukan sebuah hal jang sepele,
maukah kau meluluskan?"
Pemuda tolol diliputi rasa sungkan dan sesal,
sahutnja: "Entah urusan apa, silahkan nona
mengatakan. Djika tenagaku mampu tentu dengan
senang hati kulakukan!"
"Ah, hanja suatu pekerdjaan jang mudah sekali!"
"Katakanlah!" Dara itu mengatjungkan kotak besi, serunja:
"Harap suka membukakan kotak besi ini!"
Pemuda tolol menjambut kotak udjarnja:
"Mengerdjakan begini, bukan termasuk menolong!"
Tiba2 ia mendapat pikiran, tanjanja: "Tolong tanja,
nona. Bukankah jang berada dalam kotak besi ini Kitabtanpa-tulisan?"
Seketika berobahlah wadjah sidara. Tetapi pada
lain kedjab ia tenang kembali. Katanja tawar: "Benar,
bagaimana kau tahu?"
"Sebenarnja akupun hanja mendengarkan
keterangan dari Tjeng-thian-it-ki sadja," kata sipemuda
seraja siapkan tangan kiri untuk menghantam kotakbesi. Terdengar berderak suara kotak terbuka dan apa
jang diduga tadi memang benar. Didalam kotak ketjil itu
terdapat sebuah buku ketjil tipis.
"Mengapa kitab jang begini ketjil harus
dimasukkan dalam kotak besi?" tanja sipemuda dengan
heran. Dalam pada itu tangannja kananpun sudah
mendjemput kitab itu dan diserahkan kepada sidara.
"Harap nona suka menjimpan Kitab-tanpa-tulisan
ini!" katanja. "Kau sungguh baik..." sidara memudji seraja
menjambuti. Tetapi tiba2 ia meminta lagi: "Tolong kau
buntalkan sekalian!"
Sipemuda tak dapat berbuat apa2 ketjuali
melakukan perintah. Dibungkusnja kitab itu dengan
sapu tangan lalu diberikan pula kepada sidara.
Menjambuti kitab, wadjah sidara berseri girang.
Dengan langkah lemah gemulai iapun segera berputar
diri dan melangkah pergi.
Sipemuda hanja mengantarkan langkah sidara
dengan pandangan jang berkesan. Ketika ia djuga akan
tinggalkan tempat itu, kedjutnja bukan kepalang...
Nun tak djauh dihadapannja terbentang serentang
samudera besar dengan ombaknja jang setinggi rumah.
Ia tertegun. Memandang kesekeliling pendjuru barulah ia
tersadar. Kiranja saat itu ia tengah berdiri disebuah
pulau terpentjil jang dikelilingi empat pendjuru lautan.
Bersamaan dengan itu tersadarlah ia akan apa jang
telah terdjadi. Kiranja ia telah termakan tipu sidara,
masuk kedalam barisan Lingkaran-berantai. Untuk
menerobos keluar, ah betapa sukarnja.
Teringat hal itu, diam2 pemuda itu mengeriput
sesal. Sesal bertjampur putus asa. Tengah ia terlongonglongong tiba2 dari belakang terdengar suara orang
membentaknja: "Hai, budak liar, lekas beritahukan
namamu!" Tjepat sekali pemuda itu tersentak seraja berputar
diri. Ah, 4 orang lelaki berpakaian warna kelabu tengah
berdiri tak djauh dari tempatnja dengan mata ber-api2.
Salah seorang karena pemuda itu tak lekas menjahut,
segera membentak pula dengan marah: "Bagus, budak,
apakah kau tak mendengar?"
Pemuda tolol hanja pitjingkan mata menjahut:
"Bertanja nama orang apakah dengan tjara sekasar
begitu?" "Apakah perlu harus minta maaf kepadamu?"
teriak orang berpakaian kelabu itu: "Hai, budak,
bukankah kau murid Malaekat-elmaut?"
"Kalau benar bagaimana, kalau bukan lalu
bagaimana?" sipemuda balas bertanja.
"Kalau benar, tuanmu segera akan mengambil
njawamu!" "Djangan kalian bermulut besar," djawab sipemuda
tolol. "Lekas pulang dan suruh Bok-tiong-long-tju sadja
jang keluar. Lambat atau tjepat aku tentu mentjabut
njawanja." Berobahlah seketika wadjah keempat orang badju
kelabu. Seru mereka dengan seram, "Djelas bahwa kau
ini memang murid jang diutus oleh si Malaekatelmaut..."
"Untuk mengambil njawa Bok-tiong-long-tju..."
baru sipemuda belum menjelesaikan kata2nja, keempat
orang badju kelabu itu serempak menghantamnja.
Empat buah pukulan dahsjat telah menimbulkan deru
angin laksana prahara melanda.
Pemuda tolol itu tenang2 sadja. Ia menjongsong
dengan tangan kiri. Aneh, deru 4 pendjuru angin dahsjat
itu segera reda dan tertampar balik kepada pemiliknja.
Tubuh keempat orang berpakaian kelabu itu ter-hujung2
mundur sampai beberapa langkah.
Pemuda tolol iyu djuga menderita. Wadjahnja
putjat dan tubuhnja ber-gojang2an. Dengan sekuat
tenaga ia berusaha untuk memperkokoh keseimbangan
tunuhnja. Masih keempat lelaki berpakaian kelabu itu
penasaran. Serempak mereka madju lagi dan lontarkan
pukulan. Se-konjong2, serangkum angin pujuh melanda.
Kawanan djago badju kelabu itu terpental mundur
beberapa langkah. Djuga pemuda tolol itupun terhujunghujung kebelakang Dadanja seraja meledak. Huak.... ia
muntahkan segumpal darah segar....
"Hm apakah aku termakan ratjun orang?" pemuda
itu heran dalam hati. Tetapi ia tak sempat memikir lebih lama karena
saat itu ke 4 lelaki badju kelabu sudah melajang turun
dari udara dan menghantam kepalanja. Datangnja
serangan itu tjepat dan setjara tak ter-duga2 sehingga sipemuda tak sampai mengetahui. Tetapi aneh. Entah
siapa jang melakukan, keempat penjerang itupun
terpental mundur. Mereka merasa seperti didera angin
jang kuat. Sedemikian kuat tenaga jang dihambur angin
itu sehingga 3 dari ke 4 lelaki badju kelabu terdjungkal
rubuh... Djago badju kelabu jang masih kuat berdiri,
marahnja bukan kepalang. Dengan mata ber-api2 ia
mentjari siapa penjerang mereka. Ah...
"Hai, Dewi-es Leng Ho im....!" ia memekik kaget.
Saat itu sipemuda tololpun sudah berputar diri.
Ketika melihat bahwa jang datang itu adalah puteri dari
Bu tjeng-mo ong, sidara jang tjantik djelita, hatinja
tergetar sekali. "O, kau nona...."
Dingin laksana gumpalan es digunung kutub,
menjahut dara tjantik itu: "Walaupun teraling gunung
terpisah lautan, akhirnja dapat kuketemukan djuga."
Kata2 itu ditutup dengan sebuah gerakan tangan.
Sinar berkelebat, deru angin mendesis tadjam dan dada
pemuda tolol itupun terantjam pukulan maut.
Pemuda tolol terkedjut. Ia mengangkat lengannja
kiri. Maksudnja hendak menangkis. Tetapi bukan main
kedjutnja ketika ia rasakan uluhatinja sakit sehingga
tubuh menggigil. Terpaksa ia tarik pulang tangannja kiri.
Djusteru saat itu pukulan Dewi es telah tiba. Wut...
bagaikan lajang2 putus, tubuh pemuda itu melajang
sampai berpuluh tombak djauhnja.
"Ih..." Dewi es berdjengit kaget sendiri, ia tak kira
kalau pemuda jang keras kepala dan pernah membunuh
ajahnja itu ternjata hanja seperti sebuah patung.
Keheranannja itu baru terdjawab ketika dilihatnja
pemuda itu muntah darah beberapa kali.
"Hai, kau terkena ratjun dari Kitab-tanpa-tulisan."
Pemuda itupun terkedjut djuga. Pikirnja: "Ah,
kiranja Kitab-tanpa-tulisan itu ditabur ratjun maka
dimasukkan dalam kotak-besi. Tjelaka, aku termakan
tipu dara badju hitam itu!"
"Hm tak perlu kuturun tangan sendiri, dalam
waktu 8 hari lagi, kau tentu sudah binasa!" tiba2
kedengaran suara Dewi es berseru.
Habis berkata Dewi-es segera pergi. Tetapi baru
beberapa langkah ia berhenti lagi, merenung beberapa
djenak lalu melandjutkan langkahnja lagi...
Betapa pedih hati sipemuda tolol saat itu. Sampai
beberapa saat barulah ia bergeliat bangun. Tiba2
seorang djago badju kelabu menghampiri dan
menghantamnja. Pemuda tolol itu sudah hambar hatinja.
Bukannja menangkis atau menghindar, sebaliknja ia
hanja meramkan mata menunggu kematian.
Tetapi sampai lama ia tak merasa apa2. Buru2 ia
membuka mata. Dilihatnja djago badju kelabu itu tegang
sekali wadjahnja dan ber-kaok2 seperti orang kalap.
"Aku, aku, aku... aku telah telah kehilangan tenaga...
sama seperti orang biasa... ah Dewi-es, kau sungguh
kedjam..." Ia me-londjak2 seperti orang gila dan lari kabur.
Pemuda tolol terkesiap. Tetapi ia hanja mendengus dan
landjutkan langkahnja. Saat itu ia sudah keluar dari Lingkaran-berantai.
Sekeliling pendjuru merupakan hutan belantara. Angin
menderu, suasana rawan. Pemuda itupun merasa
gundah sekali. Tjakrawala mulai mengembang gumpalan awan
hitam, pertanda hudjan akan turun. Pemuda itu makin
tegang. "Bakal turun hudjan!" pikirrja. Ia segera
kentjangkan larinja tetapi aneh... dadanja serta
merakah, sakitnja bukan kepalang sehingga tak dapat ia
lari tjepat. Apa jang diduganja memang benar. Sebelum
mendapat tempat meneduh, ditengah djalan hudjan-pun
turun dengan derasnja. Pemuda itu basah kujup.
Bergegas-gegas ia hendak mentjari tempat meneduh.
Ah... rupanja djauh disebelah muka seperti tampak
sebuah biara. Ia kuatkan hati menahan sakit. Dengan paksakan
diri ia lari menudju kebiara tersebut. Dalam beberapa
kedjab, tibalah ia dibiara itu. Ah, ternjata sebuah biara
rusak. Tiada seorang paderi jang mendjaga. Ketika
melangkah kedalam ruang tengah, ia mendjerit tertahan
:... Dibawah kaki artja jang dipudja dalam biara itu,
tampak seorang djembel tengah tidur mendengkur.
Karena atap botjor, tubuh orang djembel itu basah
dengan air. Tetapi dia tetap tidur seperti orang mati.


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kasihan djuga pemuda itu melihat sidjembel.
Dihampirinja orang itu. Pikirnja hendak dibangunkan.
"Ah, dia sedang tidur pulas sekali. Kalau
kubangunkan mungkin akan mengganggu tidurnja,"
tiba2 ia menimang. Tak djadi ia membangunkan
melainkan membuka badjunja lalu ditutupkan ketubuh
sidjembel supaja djangan kedinginan.
Se-konjong2 djembel itu membuka mata dan
tertawa gelak2. "Aku Kang-ou-long-tiong, hari ini benar2
baru berdjumpa dengan seorang anak jang baik hati!"
Pemuda tolol membungkuk memberi hormat:
"Harap suka maafkan karena aku mengganggu tidur lotjianpwe!"
Mata sidjembel menatap lengan kanan pemuda itu,
Seketika berobahlah wadjahnya. Serentak ia terbangkit:
"Kau murid si Malaekat-elmaut?" serunja bengis.
"Tidak! Bukan!" sahut sipemuda tolol.
"Djangan bohong!" bentak sidjembel, "Ah... belasan
tahun telah lampau. Kutahu Malaekat-elmaut itu tentu
melaksanakan perkataannja."
Kepala pemuda tolol itu basah kujup tertimpah
hudjan. Dia diam sadja "Namaku Hoa Ya-bok bergelar Kang-ou-long-tiong.
Mau bunuh aku, lekas! Aku tak takut mati!" seru
djembel itu dengan nada getar.
Pemuda djembel tolol terbeliak kaget.
"Lo-tjianpwe," sahutnja, "kita tak saling kenal.
Mengapa aku harus membunuh lo-tjianpwe?"
"Kentut busuk," seru djembel itu dengan sinis, "aku
tak pertjaja apabila Malaekat-elmnaut menurunkan
Pukulan-hitam padamu tanpa menjuruhmu membunuh
orang?" Terpaksa sipemuda memberi keterangan : "Benar.
Tetapi dengan sedjudjurnja kukatakan bahwa aku sama
sekali bukan murid si Malaekat-elmaut. Memang aku
telah mendapat perintah dari Malaekat-elmaut untuk
membunuh Bok-tiong-long tju Tang Bun ka, bukannja
lo-tjianpwe!" "Benar, benar. Setelah Bok tiong-long-tju, Bu-tjengmo-ong, tentu giliranku..."
"Tidak, lo-tjianpwe, bukan kau!"
Melihat kesungguhan kata2 sipemuda, agak
pertjajalah sidjembel. Udjarnja meragu : "Ah, apakah
Malaekat-elmaut lupa padaku?" " Ia mengangkat
kepalanja memandang sipemuda tolol dengan tadjam.
Sekonjong2 ia terkesiap kaget dan madju mendekati
sipemuda. Dipandangnja pemuda itu sampai sekian
lama. Kemudian ia menghela napas: "Ah, rupanja kau
telah keratjunan..."
"Benar, aku memang terkena ratjun dari Kitabtanpa-tulisan. Dalam waktu 3 hari pasti mati," sahut
sipemuda. "Kau tak takut?"
Dengan nada garang, pemuda itu menjahut:
"Seorang anak lelaki, mengapa gembira karena hidup,
susah karena mati" Apakah jang harus kutakutkan!"
"Untung kau berdjumpa dengan aku," kata djembel
itu. "Apakah lo-tjianpwe dapat mengobati ratjun dalam
tubuhku ini?" "Mengapa tidak!" sahut Kang-ou-long-tiong,"
masakan gelar Kang-ou-long-liong itu hanja sekedar
gelar kosong sadja?"
Kang-ou-long-tiong artinja pengembara dalam
dunia persilatan. Dalam pada ber-kata2 itu iapun
mengeluarkan sebutir pil putih dari badjunja dan
diberikan kepada sipemuda. "Makanlah pil ini dan
duduklah jang baik. Aku hendak memberi saluran
tenaga murni ketubuhmu untuk menghalau ratjun!"
Serta merta sipemuda segera menelan pil itu.
Beberapa detik sadja ia sudah rasakan sakitnja
berkurang. Kemudian ia duduk dilantai.
Saat itu awan hitam mulai menjurut. Hudjanpun
makin reda. Sepasang tangan Kang-ou-long-tiong
dilekatkan kepunggung sipemuda.
"Tariklah napas keperut. Djangan sekali-kali
bitjara. Kalau kau tak menurut, bukan hanja ilmumu
jang punah, pun djiwaku turut terantjam."
Pemuda itu duduk tegak dan lakukan apa jang
diperintahkan. Ia rasakan punggungnja seperti dipalu.
Sakitnja sampai menembus keulu hati. Tiba2 mulutnja
terasa manis2 amis. Huak... pada lain saat ia tak dapat
menahan luapan darah jang menjembur dari
mulutnya.... Kang-ou-long-tiong tak henti2nja mengurut
punggung pemuda itu. Beberapa kali sipemuda
muntahkan darah jang berwarna hitam sehingga lantai
bergenangan darah. Tiba2 Khng-ou-long-tiong berbangkit: "Sudah,
ratjun sudah hilang!"
Pemuda itu masih lelah. Namun semangatnja
sudah banjak segar. Pe-lahan2 ia berbangkit: "Lo-tjianpwe, aku tak dapat berdiri!"
Kang-ou-long-tiong kerutkan dahi. Didjamahnja
tubuh pemuda itu. Ia menghela napas: "Ah, ratjun
terlalu dalam sekali merasuk kedalam tubuhmu. Banjak
darah jang kau muntahkan, mungkin djiwamu
terantjam... Ah, pertjuma ku-buang2 tenaga murni!"
"Apa" Aku tiada harapan tertolong?" pemuda tolol
terkedjut. "Masakan aku bohong!"
"Ah, djika tahu begitu perlu apa harus diobat?"
Kang-ou-long-tiong tundukkan kepala seraja
berdjalan mondar mandir. Rupanja dia sedang mengasah
otak. Sampai beberapa saat belum djuga ia mendapat
akal. Lewat beberapa saat kemudian barulah Kang-oulong-tiong berseru girang: "Djangan kuatir, aku dapat
akal. Selain tertolong kaupun akan tambah tenaga!"
"Tjaranja?" "Darahku akan kusalurkan ketubuhmu?"
"Lo tjianpwe, kau sungguh baik sekali," seru
sipemuda dengan terharu. Matanja ber-linang2.
"Tetapi ingat, diwaktu sedang melakukan
perpindahan darah itu walaupun melihat apa2 sadja
djangan sekalikah bitjara!" kata Kang ou-long-tiong
dengan bengis. Tjepat ia mentjekal siku lengan sipemuda dan
setjepat kilat Kang-ou-long tiong itu menggigit djari
kelingkingnja sendiri. Setelah darah mengutjur deras,
tjepat-tjepat ia tusukkan kedalam djalan darah si
pemuda Tengah keduanja melakukan pemindahan darah
(tranfusi), tiba2 muntjul dua orang lelaki. Menjusul
seorang tua jang bertubuh kurus kering dan berwadjah
kuning kumal, pun ikut masuk. Wadjahnja mirip setan
jang seram Langsung orangtua kurus itu menghampiri
ketempat Kang-ou-long-tiong dan pemuda tolol
"Saudara Hoa, lama benar kita tak berdjumpa. Ah,
kiranja kau masih segar bugar!"
Kang-ou-long-tiong membuka mata dan
memberinja sebuah senjuman. Tiba-tiba mata sipit dari
orangtua kurus itu menghambur kelengan kanan
sipemuda... "Kelintji liar, kiranja kau murid si Malaekatelmaut!" serunja.
Terdengar hati sipemuda tolol. Dingin2 dia menatap
setan kurus itu. Sepatahpun ia tak mengutjap.
Situa kurus tertawa mengekeh, "heh, heh,
bukankah kau hendak membunuh Bok-tiong-long tju"
Aku inilah orangnja. Ajo, ingin kurasakan bagaimana
lihaynja Pukulan Hitam itu!"
Pemuda tolol tetap diam sadja.
Heran sikurus jang ternjata Bok-tiong-long-tju
Tang Bun-ka itu melihatnja. Mengapa Kang-ou-longtiong dan pemuda itu diam sadja. Dipandangnja dengan
seksama. Ah... kiranja Kang-ou-long-tiong tengah
memberi saluran darah kepada sipemuda. Pemuda itu
tentu murid Malaekat-elmaut jang disuruh
membunuhnja (Tang Bun ka). Seketika meluaplah
kemarahan orangtua kurus itu.
"Saudara Hoa, apakah kau lupa akan peristiwa
belasan tahun jang lalu" Malaekat-elmaut sudah
bersumpah akan mengirim muridnja untuk menuntut
balas. Tetapi mengapa kau malah memberinja darah"
Apakah kau hendak tjari mati sendiri?"
Kang-ou-long-tiong tertawa dingin. Sepatahpun ia
tak menjahut. Bok-tiong long-tju makin marah: "Karena saudara
Hoa tak menghiraukan peringatanku, djangan sesalkan
aku bertindak tak kenal budi."
Kata2 itu ditutup dengan sebuah tamparan jang
penuh mengandung lwekang hebat. Saat itu sebenarnja
pemindahan darah sudah hampir selesai. Kang-ou longtiong kerahkan 7 bagian tenaganja untuk menjongsong.
Darrr, terdengar letupan keras ketika dua tenaga
pukulan saling berbentur.
Wadjah sipemuda sudah bersemu merah segar.
Mendapat tangkisan itu, Bok-tiong-long-tju makin
meluap kemarahannja. Kini ia memukul dengan kedua
tangannja... Setjepat kilat Kang-ou-long-liong mengambil
selempat koyok (obat lekat) dan ditempelkan kesiku
lengan sipemuda. Karena serangan Bok-tiong long-tju
datangnja begitu tjepat, tak sempat lagi sipemuda untuk
berdiri menangkis. Dengan masih duduk terpaksa ia
tamparkan tangannja kanan. Wut... berhamburanlah
beratus sinar hitam jang mirip hudjan kapas menabur
pukulan Bok-tiong-long-tju...
Seketika Bok-tiong-long-tju rasakan matanja gelap,
dada seraja petjah dan terdjungkallah ia kebelakang.
Tubuhnja tak berkutik, djiwanjapun melajang...
Ketika sipemuda lontjat bangun menghampiri
ternjata Bok-tiong-long-tju sudah mati. Melihat ini,
kedua pengawalnja segera lontjat melarikan diri...
Pemuda itu geram melihat perbuatan kedji Boktiong long-tju, ia gerakkan kedua tanganja menampar.
Terdengar djeritan ngeri dan kedua pengawal Bok-tionglong-tju itupun rubuh tak bernjawa.
Sementara itu Kang-ou-long-tiong pun sudah
bangun dan menghampiri sipemuda. Udjarnja dengan
lemah : "Adalah karena hendak menolongmu maka
kutangkis pukulan Tang Bun ka tadi. Dengan begitu aku
kehilangan tenaga-murni dan darah. Mungkin aku tiada
harapan hidup lagi!"
"Apakah tiada obatnja lagi?"
"Ada sih ada, tetapi sukarnja bukan alang
kepalang. Harus mendapat darah dari Tjian lian-lok
(rusa jang berumur seribu tahun) barulah djiwaku
tertolong!" sahut Kang-ou-long-tiong dengan putus asa.
Dengan terhujung-hujung ia melangkah keluar dari
biara. Pemuda tolol ter-mangu2 memandangnja. Sesaat
tak tahu ia bagaimana harus bertindak. Hanja hatinja
bersedih melihat keadaan orangtua jang telah
menjelamatkan djiwanja itu.
"Hiantit, kau disini!" tiba2 terdengar orang berseru
kedjut2 girang. Hiantit artinja keponakan.
Pemuda tolol berpaling. Ah, kiranja jang berseru itu
adalah paman ketiga Ko Te-ing gelar Kian-gun-tjiang
(pukulan Sapu djagad). Girangnja bukan kepalang:
"Sam-siok-siok!" serunja.
"Ajahmu" Sudah belasan tahun..."
"Ajah, dia... dia berada di Neraka-19 lapis!"
"Apa" Neraka-19-lapis..." Kian-gun tjiang mendjerit
ngeri dan rubuh. Tahu2 ia binasa.
Pemuda tolol kaget sekali. Ia lontjat memeriksa
kesekeliling biara, namun tak berdjumpa apa2.
"Hm, Neraka-19-lapis, apabila aku sudah beladjar
Pukulan-hitam, pasti akan kuhantjurkan!"
3 Suram muram Geram dan marah mentjengkram seisi dada
pemuda itu. Diangkatnja tubuh paman Kian-gun-tjiang
dan dengan penuh dendam kesumat, mulutnja
mengutjap sepatah demi sepatah?"Ne... ra... ka... 19...
lapis..." Setelah puas menumpahkan dendamnja, ia segera
menanam djenazah pamannja dengan baik. Kemudian
mentjari siorangtua aneh jang memiliki ilmu Pukulanhitam.
Hari sudah petang ketika ia melangkah masuk digoha tempat kediaman orang tua aneh. Orang tua aneh
itu duduk disudut goha; Rambutnja jang pandjang
mendjulai sampai kebahu. Rupanja ia tengah menanti
kedatangan sipemuda. Beberapa kali ia terkesiap apabila
mendengar suara. Dikiranja sipemuda datang tetapi
ternjata hanja desis angin menghambur tanah diluar
goha. Tetapi kali ini terpenuhilah harapannja ketika
mendengar langkah kaki orang masuk kedalam goha.
"Hai, kau sudah kembali!" serunja dengan girang
menjambut kedatangan sipemuda.
"bagaimana hasilmu" Apakah Bok-tiong-long-tju
sudah kau bunuh?" serunja tak sabar.
"Sudah! Katakan siapa orang ketiga jang harus
kubunuh?" sahut sipemuda dengan hambar.
"Ho, ho, ho... orang tua itu tertawa meloroh.
Nadanja seram sekali. "Djangan ter-buru2, setan tjilik,"
katanja."Tundjukkan lenganmu kanan!"
Geram dan muak sekali pemuda itu. Atjuh tak
atjuh ia lakukan perintah orang. Ah, lengannja kanan
sudah kembali seperti biasa lagi. Warna hitam sudah tak
ada lagi. Kembali siorang tua aneh tertawa gelak2.
"Setan tua, lekas! Aku tak punja waktu
melajanimu!" teriak pemuda tolol dengan djemu.
Wadjah pemilik Pukulan-hitam jang seram,
mengerut riang. Udjarnja tenang2: "Mengapa kau
terburu nafsu, setan tjilik" Kau harus mentjeritakan
pengalamanmu dulu!"

Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia sudah kubunuh mati, habis perkara. Apa jang
hendak kau dengarkan lagi...
"Kau sungguh berhati dingin... ah! Belasan tahun
lamanja aku tinggal seorang diri digoha karang sini.
Kehidupan begitu sebenarnja bukan mendjadi seleraku
si Malaekat-elmaut... tiba2 ia berhenti. Rupanja ia
merasa telah kelepasan omong. Dipandangnja pemuda
itu dengan sinar mata ber-kilat2.
Tiba2 pemuda itupun teringat sesuatu, serunja:
"Setan tua, seorang wanita jang menamakan dirinja
sebagai Dewi-es Bu Peng ki..."
"Ha, Ki moay (adik Ki)" Apakah kau berdjumpa
dengannja?" teriak orang tua aneh jang ternjata
mengaku memang si Malaekat-elmaut, tokoh ganas jang
memiliki Pukulan hitam. "Ja, setjara tak ter-duga2..."
"Apa katanja kepadamu?"
"Dia suruh aku menjampaikan pesan. Kelak pada
suatu hari ia tentu dapat mentjarimu..."
Wadjah Malaekat-elmaut membeku seketika."Kau
memberitahukan tempatku sini?" serunja tegang.
"Tidak!" Malaekal-elmaut menghela napas longgar, se-olah2
terlepas dari himpitan batu. Udjarnja: "Benar djangan
se-kali2 kau beritahukan tempat tinggalku ini kepada
siapapun!" "Ja..." "Dan nanti, kelak apabila kau berdjumpa lagi
dengan Tjeng-thian-it-ki itu, harus berlaku sungkan dan
mengalah. Djangan se-kali2 kau berani menempurnja!"
Pemuda tolol makin muak. Tak sabar lagi ia
melajani bitjara : "Apakah hal itu djuga termasuk dalam
perdjandjian kita?" Pertanjaan itu membuat Malaekat-elmaut tertegun.
Setelah meringis, ia pun tertawa : "Setan tjilik kau
benar2 pandai berdagang. Walaupun hal itu tidak
termasuk dalam perdjandjian tetapi aku minta tolong
padamu..." "Tidak!" sahut sipemuda tolol tegas," kita tukar
menukar. Kau suruh aku membunuh musuhmu dan
sebagai upah kau memberi peladjaran ilmu Pukulanhitam. Kalau akan kau tambah dengan minta tolong lagi,
bukankah aku jang rugi?"
"Bagaimana" Kau tak meluluskan?"
"Baiklah, aku menjanggupi asal kau menerima
sjaratku djuga!" "Sjarat apa?" Dengan nada ber-sungguh2 pemuda itu
berkata;"Tjeritakanlah hubunganmu dengan wanita
Tjeng-thian-it-ki itu kepadaku!"
Mendengar itu teganglah wadjah Malaekat-elmaut
Tubuhnja menggigil menahan gontjangan hatinja. Djelas
bahwa antara Malaekat-elmaut dengan Tjeng-thian-it-ki
itu terdapat djalinan hubungan jang luar biasa.
Sampai beberapa djenak barulah ia dapat bitjara:
"Kau ingin mendengar?"
"Ja," sipemuda mengiakan.
"Baik," kata Malaekat-elmaut. Iapun mengatur
napas dan mulai bitjara...
"Dahulu ada seorang anak sebatang kara. Namanja
Wi Tjo-tjhiu. Dia bekerdja sebagai katjung digedung
Hong hun poh. Karena miskin dan sudah sebatang kara,
dia selalu mendapat edjekan dan hinaan dari orang2.
Hanja seorang jang kasihan dan memperlakukannja
dengan baik. Orang ini adalah puteri pemilik gedung
jang bernama Bu Peng ki. Dara itu selalu membela dan
melindunginja apabila ada orang jang berani menggoda
anak itu. "Hai, bukankah Bu Peng ki itu Tjeng thian-it-ki?"
tukas sipemuda. "Benar," kata Malaekat-elmaut..."tetapi madjikan
gedung Hung-hun-poh jang bernama Hong-hun-kiam
khek atau pendekar pedang-angin Bu Peng bun,
memperlakukan anak itu dengan sia-sia. Setiap kali
selalu hendak menindasnja. Karena tekanan hidup jang
dideritanja sedjak ketjil, maka mendjadilah anak itu
seorang jang sinis membentji orang..." Malaekat-elmaut
berhenti sedjenak mengatur napas.
"Setelah Wi Tjo tjhiu mengindjak umur 10 tahun.
Diam3 ia telah mrntjintai puteri madjikannja jakni Bu
Peng ki. Dan dara itupun membalas tjintanja. Keduanja
saling berdjandji untuk sehidup semati. Tetapi tiba2
datanglah sebuah peristiwa jang mengojak-hantjurkan
impian mereka..." "Apakah peristiwa itu?" karena terpikat
perhatiannja sipemuda tolol berseru.
"Ternjata ajah gadis itu diam2 telah mendjodohkan
dara Bu Peng-ki dengan putera dari pemilik gedung Butjeng-puh jang bernama Ling-liou-tiu!"
"Habis bagaimana!" seru sipemuda.
"Tetapi dara djelita Bu Peng-ki tetap setia pada Wi
Tjo-tjhiu. Ia mengambil putusan melarikan diri bersama
kekasihnja itu!" "Berhasilkah?" tanja sipemuda.
"Djika rentjana mereka berhasil tak nanti bakal
lahir peristiwa balas dendam berdarah seperti hari ini.
Pada suatu hari Wi Tjo tjhiu telah mengetahui sebuah
rahasia dari keluarga Bu. Dia memutuskan tak dapat
mentjintai Bu Peng ki lagi..."
"Apakah rahasia itu?" sipemuda makin tertarik.
Malaekat-elmaut menarik napas pandjang.
"Setjara tak ter-duga2 Wi Tjo tjhiu mengetahui
bahwa madjikannja jani Hong-hun-kiam-Khek dan ajah
dari Lenghu Tiu (kepala Bu- tjeng-poh) jang bernama
Leng hou Yap, adalah pembunuh ajah Wi Tjo-tjhiu..."
"Astaga!" sipemuda mendjerit. Bukan kepalang
kedjutnja. Kata Malaekat-elmaut melandjutkan
tjeritanja,"Ajah Wi Tjo-tjhiu bernama Wi Ih hong, seorang
tuan rumah jang kaja raja didaerah utara. Hong-hunkiam-khek Bu Ping-bun dan Leng-hou Yap sebenarnja
hanja penbantu2 Wi Ih-hong. Siapa tahu, hati manusia
memang sukar diukur. Kedua pembantu jang dipertjaja
penuh itu diam2 telah mengadakan komplotan untuk
membunuh madjikannja dan merampas harta
bendanja..." "Setan tua," tiba2 sipemuda tolol memutus tjerita
orang, "aku hendak bertanja. Kalau toh Bu Ping-bun dan
Leng hou Yap sudah membunuh madjikannja (Wi Inhong), mengapa puteranja jang bernama Wi Tjo-tjhiu
tetap dipelihara dan tidak dibunuh sekalian?"
"Memang aku sendiri sampai saat ini belum djelas
apa maksud mereka!" sahut Malaekat-elmaut.
"Mungkin terselip suatu rahasia!" kata sipemuda.
"Benar, setan tjilik," kata Malaekat-elmaut,
"kuharap kelak kau dapat mewakili aku mentjari bukti
jang terang." "Baik," sipemuda serentak menjanggupi,
"anggaplah ini sebagai pertolongan jang tak termasuk
dalam perdjandjian kita. Teruskanlah tjeritamu.
Bagaimana tindakan Wi-Tjo-tjhiu selandjutnja" Apakah
dia lantas membunuh Hong-hun-kiam-khek Bu Pingbun?"
"Mana bisa" Kala itu Hong-hun-kiam-khek
merupakan tokoh persilatan jang dimalui orang. Dia
mendjadi radja didaerahnja. Wi Tjo-tjhiu sama sekali
bukan tandingannja. Karena itu diam2 ia minggat!"
"Tentulah dia mendapat peruntungan besar dapat
bertemu dengan orang sakti dan bisa mendjadi seorang
djago sakti?" "Tepat sekali dugaanmu..."
"Setan tua, bagaimana tjara Wi Tjo-tjhiu bisa
memperoleh kesaktian itu seharusuja kau tjeritakan
djugalah!" desak sipemuda.
Malaekat-elmaut merenung sedjenak. Udjarnja:
"Hal itu tiada hubungannja dengan pokok tjerita. Boleh
tak usah ditjeritakan!"
Sipemuda mendengus, ia hendak membantah
tetapi tak djadi. Malaekat-elmaut deliki mata: "Tak usah kau
penasaran, setan tjilik! Perdjandjian jang kita buat
berdua, adalah atas dasar adil. Siapapun tak ada jang
untung atau rugi. Wi Tjo-tjhiu malang melintang didunia persilatan. Karena sedjak ketjil sudah menghirup
hawa dendam kesumat, maka dia mendjadi seorang
manusia ganas. Entah sudah berapa bantjak djiwa jang
melajang ditangannja. Orang persilatan memberi gelar
sebagai Malaekat-elmaut..."
"Oh, Wi Tjo-tjhiu itu Malaekat-elmaut itu kiranja
kau sendiri!" Djangan memutus tjeritaku, setan tjilik," bentak
Malaekat-elmaut, "memang benarlah. Achirnja Malaekatelmaut Wi Tjo-tjhiu dapat membunuh kedua musuhnja
Hong hun kiam khek Bu Ping hun dan Ling-hou Yap.
Malaekat-elmaut hanja sekedar menuntut balas atas
kemauan ajahnja... "Eh, apakah Tjeng-thian-it ki Bu Peng ki djadi
menikah dengan Leng-hou Tiu?" tanja sipemuda.
"Tidak!" "Dan kaulah jang memperisteri nona Bu itu?"
"Karena nona Bu mendjadi puteri dari musuh jang
membunuh ajahmu. Benar..."
"Setan tjijik, djangan mengotjeh sendiri," bentak
Malaekat-elmaut, "sekarang kau dengarlah. Orang ketiga
jang harus kau bunuh ialah Sin-tjiu-it-kiam Siang Kayih."
Mendengar itu sipemuda seperti terpagut ular.
Tetapi tjepat sudah tenang lagi.
"Sin tjiu-it-kiam Siang Kay ih?" ia menegas.
"Tepat! Kau kenal padanja?"
Sipemuda tolol tertegun, ia benar-benar risau
sekali. Sin-tjiu-it-kiam atau Djago pedang nomor satu
dari Sin tjiu Sang Kay-ih itu bukan lain ajah dari sidara
badju hitam jang menjuruhnja membuka kotak-besi
berisi kitab pusaka. Bukanlah Siang Kay ih sudah mati
karena kaget mendengar Pu tjeng mo-ong binasa karena
Pukulan hitam" Dia telah menjaksikan dan hadir dalam
upatjara penguburan djago pedang itu.
Terbit keraguan dalam benak pemuda itu. Kalau
dia mentjeritakan terus terang bahwa Siang Kay-ih
sudah mati, dia tentu bebas dari tugas sebagai algodjo.
Tetapi djika hal itu ia rahasiakan, bukankah dia akan
dapat lebih tjepat pulang menemui mamahnja jang tentu
mengharap-harap kedatangannja"
Tiba2 terngianglah pesan mamahnja ketika ia
hendak berangkat. "Nak, pergilah! Kau harus memiliki Ilmu Pukulanhitam sebelum pulang menemui aku...." demikian
utjapan mamahnja. "Ja, aku harus mengetahui asal usul diriku. Untuk
itu terpaksa aku harus bertindak begini..." ia menimang
dalam hati. Setelah mengambil putusan, barulah ia mendjawab
pertanjaan Malaekat-elmaut: "Tidak, aku tak kena1
padanja..." Malaekat-elmaut berpikir beberapa saat. Udjarnja:
"Sin-tjiu-it-kiam itu adalah orang jang telah mengutungi
lenganku!" "Kutahu!" "Kemarilah mendekati," seru Malaekat-elmaut.
Pemuda tolol melangkah setindak demi setindak.
Setjepat kilat Malaekat-elmaut menjambar lengan
pemuda itu. Seketika sipemuda rasakan tubuhnja
disaluri aliran hawa panas jang menjerang sampai keulu
hati. Dahinja mulai bertjutjuran keringat.
Beberapa saat kemudian barulah Malaekat-elmaut
menarik pulang tangannja: "Sudah, kuberimu lagi
Pukulan-hitam untuk membunuh seorang. Pergilah!
Wakili aku membasmi musuhku jang ketiga. Selesai
tugasmu akan kuberimu seluruh ilmu peladjaran
Pukulan-hitam!" Pemuda tolol deliki mata. Ia menggeram ketika
melihat lengannja kanan berobah hitam. Tanpa berkata
apa2 ia ngelojor pergi...
"Setan tjilik, kembali dulu!" tiba2 Malaekat-elmaut
berseru. Pemuda tolol putar kepala dan menegur dingin:
"Mau pesan apa lagi, setan tua!"
"Aku hendak bertanja sebuah hal padamu!"
Pemuda tolol menatap tadjam kepada Malaekatelmaut, manusia jang berwadjah seram karena anggauta
tubuhnja banjak jang protol.
"Siapakah namamu?" diluar dugaan Malaekatelmaut menanjakan soal nama.
"Entah!" pemuda tolol mengangkat bahu. Malaekatelmaut kerutkan dahi, bentaknja: "Setan tjilik, kau
sungguh berhati dingin!"
Tiba2 itu pemuda itu memikir. Meskipun dia sudah
mengadakan perdjandjian tukar-menukar dengan
Malaekat-elmaut, tetapi setelah mendengar sedjarah
hidupnja, ia tahu bahwa Malaekat-elmaut itu sebenarnja
bukan seorang manusia ganas.
Sambil ber-linang2 airmata pemuda itu berkata tak
lampias: "asal usulku mungkin lebih ngenas dari kau,
setan tua! Sampai detik ini ketjuali hanja tahu bahwa
aku orang she Ko, siapa namaku aku tak tahu sama
sekali..." Rata haru mengundang airmatanja mengalir makin
deras. Tetapi dia seorang anak jang keras hati. Tak mau
ia undjuk kelemahan di hadapan orang. Serentak ia
berputar tubuh dan melangkah keluar.
Masih terdengar didalam goha, Malaekat-elmaut
menghela napas pandjang: "Ah, kembali sebuah dunia
jang ngeri!" Namun pemuda itu tak mau menghiraukan.
Setelah mengusap airmatanja, ia kertek gigi dan sekali
endjot tubuhnja ia lenjap dalam kegelapan malam.
Achirnja sang malam harus mengalah gilirannja
kepada sang surja. Fadjar mulai menjinar bumi. Kala itu
pemuda tolol tiba disebuah bukit. Ketika memandang
kesebelah muka, hatinja makin tegang. Ia pertjepat
larinja menudju kesebuah rumah pondok. Makin dekat


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makin teganglah perasaannja.
Walaupun masih djauh namun dapat djuga ia
melihat mamahnja. Tetapi ada suatu perasaan jang
menjebabkan ia gelisah dan ketakutan.
Mamahnja telah meng-harap2 sang putera pulang
dengan membawa ilmu Pukulan-hitam. Tetapi jang
diperolehnja saat itu hanjalah Pukulan-hitam satu kali
pakai. Tiba2 pemuda itu hentikan larinja. Dia bersangsi
sampai lama. "Ah, mah, harap maafkan aku. Bukan sengadja
hendak menipumu, tetapi aku benar2 tak tahan
menderita siksaan lahir batin. Sampaipun siapa
namaku, tak kuketahui. Dan ajah saat ini tersiksa dalam
Neraka-19-lapis, djuga belum diketahui bagaimana
nasibnja..." Dalam merenung itu iapun sudah melangkah
kedalam pondok. Segera sebuah suara wanita jang
bernada rawan menjambutnja: "Nak, kau sudah pulang."
Seorang wanita duduk ditengah balai. Rambutnja
terurai mendjulur kebahu. Mukanja ditutupi dengan
sehelai kain kerudung hitam. Tetapi dari nadanja,
menandakan kalau ia belum tua.
"Mah..." sipemuda segera menghampiri seraja
menjahut terisak. j "Nak, apakah kau sudah memperoleh ilmu
Pukulan-hitam?" tanja wanita itu.
"Sudah, mah" "Oh..." Wanita itu terkesiap. Entah bagaimana ia
tertjengkam oleh rasa kedjut-girang sehingga tubuh
gemetar. Tetapi karena wadjahnja tertutup kerudung,
maka tak dapatlah dilihat bagaimana perubahan
airmukanja. Berapa saat suasana dalam ruang pondok hening
lelap. "Ah, tak njana begitu lekas kau sudah memperoleh
ilmu itu. Kukiranja akan memakan waktu sampai 3 - 5
tahun lagi. Ah kesemuanja ini adalah atas rachmat
Tuhan. Dendam keluarga Ko tentu segera terhimpas!"
"Mah, siapakah namaku?"
"Ko Tjian hong!"
Pemuda itu menghela napas longgar. Kini baru ia
tahu namanja. Tiba2 ia teringat, serunja, "Mah, aku
berdjumpa dengan...samsiok!"
"Apa" Pamanmu Kiam-gun-tjiang Ku Te-ing?"
mamahnja terkedjut "Ja." "Lalu bagaimana dia?"
"Meninggal!" Wanita itu serempak berbangkit seperti dipagut
ular. Diraihnja tangan Ko Tjian hong erat2."Nak, apa
katamu?" "Samsiok telah mati!"
"Siapa jang membunuh" seru ibunja tegang.
"Mungkin anakbuah Neraka-19!"
"Neraka 19" Hm !" dengus siwanita dengan penuh
kegeraman. Dengan penuh kemarahan dan kebentjian, pemuda
Tjian hong berseru, "Ma, apakah ajah djuga
dipendjarakan oleh orang Neraka-19?"
"Sudah belasan tahun lamanja!" sahut sang ibu.
"Siapakah nama dan gelaran ajah?"
"Peladjar seribu-muka Ko hong!"
"Dan mamah sendiri?"
Pertanjaan Tjian hong benar2 menjahut hati
ibunja. Sampai beberapa lama wanita itu diam tak
bitjara apa2. Setelah tersadar, ia menggesek gerahamnja.
"Kang ou-bi-djin Hoa Sian-lan!" serunja.
Kang ou bi-djin artinja si Djelita dari dunia
persilatan. Melihat ibunja tegang, berkatalah Tjian hong
dengan penuh kasih: "Mah... apakah kau suka membuka
kain kerudungmu" Selama ini aku belum pernah melihat
wadjahmu." Kang-ou-bi-djin tertegun mendengar permintaan
puteranja. Beberapa saat ia termenung.
Tjian hong susupkan kepalanja kedada sang ibu
dan berkata dengan bisik2: "Mah, idjinkan anak melihat
wadjahmu!" Kang-ou-bi-djin menghela napas.
"Nak, mungkin kau nanti ketjewa!"
Tjian hong heran. Mengapa ibunja mengatakan
begitu" Masakan seorang anak akan ketjewa melihat
wadjah ibunja" "Tidak, mah, kau salah. Baik buruk kau adalah
ibuku, masakan aku tak berbakti!" katanja.
Kata2 sang putera itu rupanja terasakan dihati
Kang-ou-bi-djin. Tiba2 ia menjingkap kerudung hitam
jang menutupi mukanja. Seketika tampaklah sebuah
wadjah wanita jang luar biasa.... djeleknja.
Hampir Tjian hong mendjerit kaget. Ia tak pertjaja
apa jang dilihatnja saat itu. Ibunja jang digelari orang
sebagai Djelita-dunia-persilatan ternjata memiliki wadjah
jang ngeri sekali. Daging2 pipinja menondjol lekak-lekuk,
keningnjapun dekok2 tak karuan. Ketjuali lubang mata,
hidung dan mulut, boleh dikata wadjah sang ibu itu
hanja berwudjut segumpal daging datar jang merah.
Benar2 sebuah wadjah jang mengerikan!
Sehabis tersadar dari ketegunan, serta merta Tjian
hong djatuhkan diri didalam haribaan sang ibu. Pemuda
itu menangis tersedu sedan....
Kang-ou-bi-djin Hoa Sian lan tenang2 sadja.
"Nak, seorang anak laki djangan gampang2
mengutjurkan airmata..."
Tjian hong mengusap airmatanja.
"Mah, ini, ini, ini..." serunja tegang, ia tak dapat
melampiaskan kata2nja karena dada serasa meledak.
Kang-ou-bi-djin menutup kembali kain
kerudungnja. Ditjiumnja djidat sang putera: "Nak,
peristiwa ini merupakan peristiwa dendam darah jang
belum pernah terdjadi dalam sedjarah manusia!"
"Dendam darah" Aku hendak menuntut hutang
darah itu!" "O, nak, kau benar2 seorang putera keluarga Ko
jang berbakti!" kata Kang-ou-bi-djin dengan nada penuh
dendam kesumat. Seorang wanita tjantik telah dirusak
wadjahnja sedemikian rupa hingga kehilangan sifat2
kewanitaannja... Ko Tjian hong kerut kening: "Mah, harap tjeritakan
semua peristiwa jang kau alami. Aku sungguh tak tahan
lagi!" "Nak tiba2 Kang ou-bi-djin hentikan kata-katanja.
Ia tertegun. "Ada orang!" serunja gugup.
Serentak Ko Tjian hong lontjat melesat keluar.
Kang-ou-bi-djinpun menjusulnja. Memang benar.
Dilereng bukit tampak sesosok bajangan lari pesat.
Melihat itu, meluaplah hawa pembunuhan pada dada
Kang ou-bi-djin. Lari orang itu seperti bintang djatuh pesatnja.
Dibelakangnja diikuti oleh ber-puluh2 sosok tubuh jang
menghunus sendjata. Ko Tjian hong dan Kang-ou bi-djin siap menunggu
kedatangan orang2 itu... 4 Hudjan darah Dalam beberapa kedjab rombongan orang itupun
sudah tiba. Ko Tjian hong melihat orang jang berlari
disebelah muka itu seorang lelaki setengah tua. Sutera
tangkai pedang jang tersanggul dipunggungnja berkibar2 kedada. Sepasang matanja tadjam2 menatap
Kang-ou-bi-djin. "Ih Thian-tjek, apakah kau masih ada muka
ketemu aku?" bentak Kang-ou-bi-djin.
Orang lelaki setengah tua itu bernama Ih Thian tjek
gelar Pedang-hudjan-bunga. Dia tertawa mengakak.
"Hm! Duapuluh tahun lamanja kutjari kau. Tetapi
kau tetap setia-tjuma pada si Peladjar-seribu-muka.
Kalau rumahtanggamu sampai berantakan, itulah suatu
balasan jang setimpal!"
"Tutup mulutmu, andjing!" damprat Kang-ou-bidjin.
"Sudahlah aku tak mau adu mulut dengan kau.
Lekas serahkan kitab itu, kalau tidak, heh, heh, heh,
heh..." Pedang-hudjan-bunga Ih Thian-tjek berpaling
kearah rombongannja jang terdiri dari ber-puluh2 djago
pedang. Dia gembira sekali.
"Djangan tertawa seperti orang sinting, ajo enjah
dari sini," tiba2 Djian-hong membentak.
Bentakan itu membuat Uh-hoa-kiam atau Pedanghudjan-bunga Ih Thian tjek terbeliak. Saat itu baru ia
mengetahui dan memperhatikan anak muda disamping
Kang ou-bi-djin. Lebih2 ketika melihat betapa tjongkak
sikap anak itu. Setelah puas memandang pemuda itu dari udjung
kaki sampai kerambut, berserulah Pedang-hudjan-bunga
dengan suara dingin: "Siapa kau?"
"Aku ja aku, apa pedulimu!" sahut Tjian hong
dengan busungkan dada. Penjahutan itu membuat Ih Thian-tjek terkesiap.
Belum pernah ia berdjumpa dengan seorang anak jang
seberani dan sesombong itu.
"Oh, kutahulah. Mungkin kau anak dari Hoa Sianlan ini, bukan?" serunja.
"Anaknja atau bukan, kau mau apa?" tantang Tjian
hong. "Itu kebetulan sekali. Sekali tepuk dua lalat. Kalian
ibu dan anak akan kubereskan semua!"
Ko Tjian hong mendengus hina.
"Rupanja kau hendak tjari mati!" serunja. Dia
marah sekali. Bentakan ditutup dengan sebuah ajunan
tangan kiri kedada Pedang-hudjan-bunga.
Melihat pukulan anak itu sedemikian dahsjat Ih
Thian-tjek lontjat mundur setombak djauhnja.
"Hm, benar2 anak domba jang tak takut pada
harimau. Anak kemarin sore jang tak tahu betapa
tingginja langit," Ih Thian-tjek tertawa meringkik,
"Bagus, keinginanmu akan tertjapai. Kau bakal
melantjong kepintu Achirat!"
Ih Thian-tjek berpaling kepada rombongannja.
"Tjintjang anak itu!" serunja.
Kang-ou-bi-djin terkedjut. Dia tahu bahwa
rombongan anakbuah Ih Thian tjek jang terdiri dari 50
orang itu akan membentuk sebuah barisan maut jang
disebut Hiat-oh-lok-hua kiam-tin atau barisan Hudjandarah- bunga-gugur.
Selama 20 tahun lamanja sampai saat itu, belum
pernah terdapat seorang tokoh persilatan jang mampu
lolos dari barisan maut itu. Hanja Tjian-bin-su-seng
(Peladjar-seribu-muka) ajah Ko Tjian hong satu2-nja
djago silat jang mampu mendjebolkan barisan itu.
"Hong-dji, djangan bertindak sembarangan!" tjepat2
Kang-ou-bi-djin memperingatkan puteranja.
"Ho, Hoa Sian-lan, kau takut puteramu mati dalam
barisan Hiat uh-lok-hoa tin?" Ih Thian-tjek tertawa
mengedjek. "Djangan membakar hatiku!"
"Kalau begitu, serahkan sadja kitab itu dan kalian
tentu kubebaskan." "Djangan bermulut besar! Akan kuhantjurkan
barisanmu itu!" tiba2 Tjian hong berseru dan serentak
menjerbu kedalam barisan Hudjan-darah-bungagugur.....
Djilid 2 "Hong dji, Hong dji..." Kang-ou Bi-djin berteriak
kaget. Tetapi saat itu Ko Tjian hong sudah terbenam
dalam kepungan 36 djago2 silat. Ia tak mendengar lagi
teriakan ibunja. Barisan Hiat uh lok hoa kiam-tin jang terdiri dari
36 djago pedang itu telah terlatih sempurna. Begitu
bergerak, barisan itu seperti seekor naga bertjengkerama
disamudera. Sinar pedang dan bajang2 manusia
mendampar dari delapan pendjuru.
Ko Tjian hong benar2 seperti seekor anak kambing
jang tak takut pada harimau. Kedahsjatan barisan itu
bukan menghantjurkan njalinja, bahkan kebalikannja
malah menimbulkan kemarahannja jang me-luap2. Ia
lantjarkan pukulan makin gentjar! Tubuhnja men-deru2
bagai halilintar berhamburan diangkasa... Tjian hong
benar2 marah dan kalap. Tetapi barisan pedang Hudjan-darah-bunga-gugur
merupakan barisan jang istimewa. Udara seolah-olah
tertutup oleh sinar pedang. Makin lama makin
membubung tinggi sehingga udara gelap. Hanja suara
angin pukulan bergeletaran membentur pedang. Batu
dan pasir berhamburan keseluruh pendjuru.
Sepintas pandang pertempuran itu merupakan
pertempuran atjak-atjakan. Tetapi sebenarnja suatu
pertempuran jang berderap djurus2 istimewa jang
djarang terdapat didunia persilatan.
Uh-hoa kiam Ih Thian-tjek mengawasi barisannja
dengan ter-senjum2. Sebaliknja Kang-ou Bi-djin kedat
kedut hatinja. Ia mengikuti gerak puteranja dengan
penuh ketjemasannja. Diam2 ia siapkan kedua
tangannja. Setiap saat akan turun tangan bila sang
putera terantjam... Se-konjong2 barisan terpetjah. Serentak
terdengarlah djeritan ngeri. Suara pukulan mendahsjat,
darah dan daging berhamburan, tubuh susul menjusul
bergelimpangan djatuh. Dalam beberapa kedjab, sudah
ada beberapa korban jang djatuh...
Melihat barisan jang diandalkan bonjok,
berobahlah seketika wadjah Ih Thian-tjek. Sebaliknja
kendorlah ketjemasan Kang-ou Bi-djin. Ia benar2 kagum
melihat kiprah puteranja jang sedemikian hebat. Dering
dan taburan pedang jang sedemikian hebatnja tak


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu menerobos pukulan anak itu.
Tiba tiba... Lingkaran sinar pedang berhamburan petjah.
Teriak djeritan memekik ngeri, tubuh2 berkaparan
malang melintang ditanah. Kutungan pedang bertebaran
djatuh kebumi. Suatu pembunuhan besar2an telah
berlangsung setjara menegakkan bulu roma.
Tampak Tjian hong tegak dengan keringat
bertjutjuran didahi. Kemudian ia ajunkan langkah
pelahan-lahan dari medan laga. Uh-hoa-kiam atau si
Hudjan-pedang Ih Thian-tjek berdiri seperti patung.
"Mati seperti pulang kerumah. Serbu lagi!" tiba2 ia
membentak kepada sisa barisan Hiat uh-lok-hoa-kiamtin jang hanja tinggal beranggauta 12 orang.
Kedua belas djago pedang itupun terpaksa
menghampiri Tjian hong lagi. Wadjah pemuda itu
tampak putjat lesi. Tetapi ia tetap dahsjat dan lintjah
dalam menghadapi serbuan ke 12 djago pedang.
Walaupun hanja tinggal 12 orang, tetapi barisan
Hiat-uh-lok hoa kiam-tin tak berkurang perbawanja.
Sinar pedang mereka masih tetap menutup angkasa.
Gerak pedang tak makin berkurang bahkan malah
makin segentjar hudjan mentjurah. Empat arah delapan
pendjuru, berhamburan pedang ketubuh Ko Tjian hong.
Kang-ou Bi-djin mulai gelisah pula. Ia mengikuti
pertandingan maut itu dengan penuh perhatian. Ia
tjukup paham akan barisan Hiat-uh-lok-hoa-kiam tin.
Barisan itu memang lain dari jang lain. Walaupun
anggautanja sebagian besar sudah gugur, namun
barisan itu tetap dahsjat. Dahulu Tjian-bin-su seng atau
Peladjar wadjah seribu (ajah Tjian hong) dapat
menerobos dari barisan itu setelah barisan hanja tinggal
18 orang anggautanja. Suatu keistimewaan dari tjiri2 barisan itu jalah,
makin banjak anggautanja jang gugur, makin hebat
perbawa barisan itu. Karena Tjian hong saat itu harus
menghadapi 12 orang, maka ia lebih menderita
kesukaran daripada ajahnja dahulu jang menghadapi 18
djago pedang. Mulai wadjah anak muda itu mengerut susah.
Tangannja kiripun mulai linu. Tiba2 pemuda itu
mendapat akal. Ia merasa kewalahan menghadapi sekian
banjak lawan. Untuk merebut kemenangan adalah tak
mungkin. Ia menjadari sebuah tjara jang djitu.
Menangkap pendjahat haruslah membekuk pemimpin
dulu.... Tjepat ia songsongkan pukulan kiri untuk
mengundur dua orang lawan. Kemudian ia bersuit sekeras2-nja dan tiba2 ia endjot tubuhnja keudara.
Ditengah udara ia berdjumpalitan lalu menukik kearah
kepala Ih-hoa-kiam Ih Thian-tjek.
Pemimpin barisan Hiat uh-lok-hoa-kiam-tin
terkedjut. Tetapi sudah kasip, Tjian hong saat itu sudah
menerkam kepalanja. Namun Ih Tjian-tjek seorang djago
silat jang sudah banjak pengalaman. Tak ketjewa ia
mendjadi seorang tokoh silat kelas satu. Tjepat ia
gerakkan kedua tangannja untuk menggunting musuh.
Tar... terdengar letupan keras ketika tangan
mereka beradu. Tetapi pada lain saat terdengarlah Ih
Thian-tjek mendjerit kaget: "Hai, pukulan hitam...!"
Betapapun ganas pemimpin barisan Hiat-uh-lohoa-kiam, namun ketika menghadapi Pukulan-hitam ia
ngeri djuga. Tjepat2 ia endjot tubuhnja kebelakang
dalam gerakan jang mengagumkan. Sekalipun begitu
tetap ia terlambat setindak. Sinar hitam berkelebat
menjerbu matanja. Tahu2 dadanja serasa petjah, darah
bergolak hebat. Ia terhujung-hujung puluhan langkah
dan djatuh terduduk ditanah. Mulutnja menjembur
darah sampai beberapa meter djauhnja....
Kedua belas anak buah barisan Hiat-uh-lok-hoakiam-tin segera berhamburan mentjegat Tjian hong.
Mereka berdjadjar-djadjar melindungi ketuanja.
Dengan susah pajah Ih Thian-tjek menggeliat
bangun. Serunja dengan nada kesakitan: "Hoa Sian-lan,
hari ini aku mengaku kalah. Mungkin aku mati dibawah
Pukulan-hitam. Tetapi apakah kau jakin mampu lolos
dari kedjaran orang Su-hay-mo-ong?"
Su-hay mo ong artinja Durdjana dari Empat
samudera. Hoa Sian-lan atau Kang-ou Bi-djin agak
berobah mukanja. Namun ia paksakan diri berlaku
setenang mungkin. "Sudah mau mati masih gojang lidah!" serunja.
"Hoa Sian-lan, lebih baik serahkan kitab itu
daripada kau selalu di-kedjar2 bahaja maut!"
Sahut Kang-ou Bi-djin dengan tenang: "Terus
terang kuberitahukan padamu. Apabila kitab itu masih
berada ditanganku tak nanti aku sampai..."
"Ah, ah, d jiwaku ini... sia-sia kukorbankan..."
Pemimpin barisan Hiat-uh-lok-hoa-kiam-tin itu tak
dapat melandjutkan kata2nja karena saat itu kulitnja
pun berobah hitam. Tubuhnja menggigil keras.
Tangannja berkeledjotan meraih keatas dan pada lain
kedjab, rubuhlah tubuhnja menggelepar ketanah. Djago
pedang jang termasjhur itupun melajang djiwanja.
Pukulan-hitam meminta sebuah korban lagi!
Keduabelas anggauta barisan Hiat-uh-lok-hoakiam-tin sesaat tak tahu apa jang harus dilakukan.
Tiba2 salah seorang mengangkat tubuh Ih Thian tjek.
Dengan bersuit njaring ia segera lontjat turun gunung.
Kawan2njapun segera mengikuti...
Rupanja kemarahan Tjian hong masih belum reda.
Melihat kawanan djago2 pedang itu melarikan diri, ia
segera lontjat hendak mengedjar tetapi ditjegah ibunja.
"Hong-dji! Kembali!" teriaknja, "membunuh lawan
habis-habisan, bukanlah laku seorang kesatrya!"
Mendengar itu Tjian hongpun berhenti dan lari
menghampiri ibunja: "Mah...ia tak dapat melandjutkan
kata2nja karena Kang-ou Bi-djin menatapnja dengan
mata ber-api2. Tjian hong tak mengerti mengapa mendadak sontak
ibunja sedemikian gusar. Ia termangu-mangu. Sesaat
kemudian barulah ia memberanikan diri bertanja: "Mah.
Ih Thian-tjek tadi menjebut-njebut tentang kitab ketjil.
Kitab apakah itu sehingga ia begitu mati-matian hendak
mendapatkan?" "Tidak, tidak apa2!" sahut ibunja.
"Tetapi djelas aku mendengarnja tadi, mengapa
mamah mengatakan tidak apa2?" Tjian hong menegas.
Tiba2 mata Kang ou Bi-djin ber-kilat2. Beberapa
saat ia memandang kesekeliling pendjuru. Se-olah2
takut kalau didengar orang.
"Ah, itulah sebuah kitab jang membawa tjelaka,"
achirnja ia menerangkan. "Kitab" Kitab pembawa tjelaka?" Tjian hong
mengulang. "Ja, barangsiapa mendapatkan kitab itu tentu akan
tertimpa bentjana besar!"
"Benarkah?" Tjian hong menegas.
"Mengapa aku harus berbohong kepadamu, Hong
dji!" "Kitab apakah itu, mah?"
"Salah sebuah kitab dari Tiga-kitab-mudjidjat didunia!"
Tjian hong terkedjut: "Tiga-kitab-mudjidjat dalam
dunia?" Kang-ou Bi-djin mengangguk.
Tjian hong makin kaget, desaknja: "Hai, apakah
bukan Kitab-tanpa tulisan?"
Mendengar Tjian hong menjebut Kitab-tanpatulisan, bukan kepalang kedjut Kang-ou Bi-djin. Dengan
tegang ia menghampiri puteranja.
"Hong-dji bagaimana kau dapat mengetahui
tentang Kitab-tanpa tulisan itu" Meskipun itu bukan
kitab jang dikedjar-kedjar Ih Thian tjek, tetapi kitab itu
merupakan salah satu dari tiga-kitab mudjidjat didunia!
Djuga kitab itu membawa bentjana besar!"
"Benar, mah!" seru Tjian hong," kitab itu dilumuri
ratjun. Aku pernah terkena ratjunnja!"
"Kau terkena ratjunnja?" Kang-ou Bi-djin makin
tegang. "Benar. Tetapi untunglah aku diobati oleh Kang-oulong-tiong!"
"Ah, sjukur..." kata Kang-ou Bi-djin penuh rasa
sjukur jang tak terhingga.
"Mah, kau belum mengatakan apa kitab itu tadi?"
tiba2 Tjian hong bertanja.
"Oh... Kitab Kuning..."
"Kitab Kuning?" Tjian hong menegas.
"Ja." "Lalu apa nama kitab jang ketiga?" desak Tjian
hong. "Kitab Pukulan-hitam!"
"Apakah sesungguhnja kegunaan dari Tiga kitabmudjidjat didunia itu?"
"Seratus tahun jang lalu, orang persilatan sudah
mulai memperebutkan ketiga kitab adjaib itu. Konon
kabarnja barangsiapa mampu mendapatkan salah
sebuah sadja, tentu dapat mendjagoi dunia persilatan.
Tetapi..." Tiba2 mata Kang-ou Bi-djin menimpa kearah
lengan kanan Tjian hong. Dipandangnja sampai
beberapa saat dan mengerutlah wadjahnja.
"Hong-dji, sebenarnja kau sudah dapat
mempeladjari Pukulan hitam atau belum?"
"Su... dah, su... dah..." Tjian hong menjahut
tergagap-gagap. Kang-ou Bi djin melangkah madju dan plak, plak,
ia ajunkan lengannja kepipi Tjian hong. Seketika pipi
anak itu membendjut begap!
"Lihatlah tanganmu sendiri! Kau masih berani
menipu aku ah..." berseru Kang-ou Bi-djin dengan
gemetar penuh keketjewaan dan kedukaan. Beberapa
butir airmata mengutjur dari pelapuknja.
Tjian hong termangu-mangu seperti patung. Ia
benar2 tak tahu apa jang harus dikatakan. Hatinja sedih
bukan kepalang. Sebenarnja ia tak bermaksud hendak menipu
mamahnja. Ia memang telah mempeladjari Pukulan
Hitam. Tetapi Pukulan-hitam jang hanja dapat
digunakan untuk membunuh seorang. Karena ia telah
membunuh djago pedang Ih Thian-tjek maka lengannja
jang hitam itupun berobah keasalnja lagi.
Achirnja ia menghampiri kebelakang ibunja dan
berbisik dengan penuh permintaan maaf."Mah, aku
memang bersalah!" "Hm, seharusnja kau tahu betapa besar harapan
jang kutumpahkan pada dirimu. Dendam sedalam
lautan keluarga kita, kuletakkan diatas bahumu. Tetapi
siapa tahu.... siapa tahu kau telah membohongi aku."
"Mah, anak sungguh tak berani menipumu."
Tiba2 Kang-ou Bi djin berputar tubuh.
Dipandangnja Tjian hong dengan penuh kemarahan.
Bentaknja: "Kau masih berani membantah.... Kau sudah
bertemu dengan Malaekat-elmaut?"
"Sudah!" "Dia memberi peladjaran Pukulan-hitam padamu?"
"Ja, tetapi jang diadjarkan hanjalah Pukulan-hitam
untuk membunuh satu orang dan bukan seluruh djurus
ilmu Pukulan-hitam jang sakti!"
"Hanja untuk membunuh seorang?" Kang-ou Bi
djin menegas. "Ja, pukulan itu hanya dapat digunakan untuk
membunuh satu orang. Dan setelah itu lenjaplah ilmu
itu!" "Mengapa dia hanja mengadjarmu satu djurus dan
tidak seluruh djurus?"
"Karena Malaekat-elmaut hendak menggunakan
tenagaku untuk membunuh 5 orang musuhnja. Setelah
itu baru dia mau memberi peladjaran seluruh djurus!"
"Berapa orang musuhnja jang telah kau bunuh?"
Tjian hong merenung sedjenak, sahutnja: "Baru
tiga orang!" "Siapa?" "Bu-tjeng-mo-ong Lenghou Tiu, Bok-tiong-hong-tju
Tang Bun-ka dan Sin-tjiu-it-kiam Siang Kay-ih."
"Apa" Sin-tjiu-it-kiam Siang Kay-ih djuga sudah
kau bunuh?" Kang-ou Bi djin terbeliak.
Tjian hong termangu beberapa saat. Ia mengiakan :
"Ja, dia sudah mati."
"Jang mati biarlah mati. Lalu siapakah orang
keempat jang harus kau bunuh?"
"Belum tahu," djawab Tjian hong, "aku harus
kembali mendapatkannja untuk menerima perintah!"
"Kalau begitu, segeralah kembali padanja. Ingat,
kau harus beladjar ilmu Pukulan-hitam itu sampai
berhasil baru kau pulang menemui aku," kata Kang-ou
Bi-djin. Habis memberi pesan, ia terus hendak berlalu.
Tjian hong mengedjar. Beberapa kali ia hendak
membuka mulut tetapi selalu tak djadi. Achirnja ia
beranikan diri djuga. "Mah, beritahukanlah bagaimana asal usulku dan
sakit hati keluarga kita," katanja.
Kang-ou Bi-djin berputar tubuh. Ditatapnja wadjah
Tjian hong dengan pandangan jang ber-api2. Pandangan
jang mentjurahkan kemarahan. Sampai beberapa lama
kemudian berkatalah ia dengan nada gusar: "Apakah
kau anggap kepandaianmu sudah tiada jang dapat
melawan?" Dengan ter-sipu2 masygul Tjian hong tundukkan
kepala. Kepandaian jang dimiliki saat itu, meskipun
dapat digolongkan sebagai tokoh persilatan kelas satu,
namun bukanlah berarti tak ada jang dapat menandingi.
Berkata pula Kang-ou Bi-djin dengan nada penuh
kerawanan:, Musuh2 keluarga kita adalah momok2 jang
berkepandaian sakti. Dengan kepandaian jang kau miliki
sekarang itu masih ibarat telur beradu dengan tanduk,
anai-anai melanda api. Apa guna kuberitahukan tentang
sakit hati keluarga kita pada saat sekarang?"
Pedih rasa hati Tjian hong mendengar penjahutan


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ibunja. Mengapa mamahnja tak mau memberitahukan
asal usul dirinja. Sampai saat itu ia masih gelap dengan
keadaan ajah dan keluarganja.
Tampak sepasang mata Kang-ou Bi-djin berlinang2 airmata, udjarnja: "Hong-dji, pergilah!
Djanganlah kau menjangka mamahmu kedjam, tetapi
benar2 hal itu demi untuk kepentinganmu!"
Dengan tegakkan kepala, Kang-ou Bi-djin berputar
tubuh dan melangkah masuk kedalam pondok.
Bagaimana perasaan wanita itu, hanja dia jang dapat
merasakan... Wadjah Tjian hong berubah putjat. Dendam
keluarganja jang dikatakan oleh ibunja sedalam lautan
itu telah membangkitkan seluruh kebentjiannja.
Manusia-manusia jang mendjadi musuh-musuh ajahnja
itu seolah-olah hendak ditelannja saat itu. Darah jang
bergolak membakar tubuhnja, telah membuaskan seri
wadjahnja... Tiba2 ia bersuit njaring. Suaranja djauh
berkumandang menjusup keangkasa. Puas
menumpahkan isi hatinja, ia segera endjot tubuhnja lari
turun gunung. Tak mau ia memandang kepondok tempat ibunja.
Ia telah membulatkan tekad. Tetap akan mejakinkan
Pukulan-hitam guna menuntut balas pada musuh2
keluarganja. 5 Halimun. Tjian hong ber-lari2an menuruni gunung. Hatinja
penuh berketjamuk dengan pertanjaan2 bagaikan
benang ruwet jang sukar diurai lagi.
Adalah tentu karena ketjantikannja jang menondjol
maka ibunja digelari orang sebagai Kang-ou Bi-djin
(wanita tjantik dalam dunia persilatan). Tetapi mengapa
sekarang wadjahnja sedemikian mengerikan! Mengapa
ketjantikannja berganti dengan wadjah jang
menjemukan" Siapakah jang telah men-tjatjat2 wadjah
mamahnja itu... Mengapa Tjian-bin-su-seng jang menurut
keterangan ibunja adalah ajahnja, telah didjebloskan
dalam Neraka-19-lapis selama puluhan tahun"
Teringat akan pendjara ngeri Neraka-19-lapis,
serentak terbajanglah benak Tjian hong akan kematian
mengenaskan dari Kian-gun-tjiang atau Pukulan-djagad
jang masih terhitung pamannja itu. Tanpa disadari,
buluroma Tjian hong bergidik dan tubuhnja menggigil...
Dan mengapa Uh-hoa-kiam Ih Thian-tjek begitu
mati2an hendak meminta Kitab Kuning dari ibunja.
Apakah rahasia kitab itu" Dan apa pula kegunaan dari
kitab Tanpa-tulisan serta kitab Pukulan-hitam"
Pertanjaan jang merupakan lingkaran teka teki itu
benar2 melibat benak Tjian hong kedalam halimun tebal
jang membuatnja tak dapat melihat suatu apa.
Persoalan2 jang sedemikian pelik itu benar2
merupakan djaringan teka teki jang tak mungkin
dipetjahkan. Benaknja se-olah2 mumer!
Untuk menerobos halimun kegelapan itu satu2-nja
djalan ialah harus mendjalankan perintah si Malaekatelmaut untuk membunuhkan musuh2nja. Setelah itu
baru ia dapat menerima peladjaran Pukulan-hitam. Dan
setelah memiliki pukulan sakti itu barulah ia pulang
menemui ibunja lagi guna meminta pendjelasan.
Tjian hong lari, terus lari seolah-olah hendak
lekas2 menerobos dari kegelapan awan jang
menjelubungi benaknja. Ia lari se-kentjang2. Pikirannja
me-lajang2. Tak tahu ia kemana arah jang ditudju. Ia
membiarkan dirinja dibawa lari oleh sang kaki...
Se-konjong2 ia dikedjutkan oleh suara bentakan
orang memaki: "Keparat! Apakah matamu buta?"
Tjian hong seperti tergugah dari impian buruk.
Seketika ia hentikan larinja. Agak terkedjut ia ketika
melihat empat djurusan berdiri sekelompok orang
berpakaian warna hitam. Dia dikepung ditengah mereka.
Sudah tentu ia heran. "Apakah maksud saudara2 ini?" achirnja ia
menegur. Salah seorang rombongan orang badju hitam jang
berdiri ditengah segera membentaknja: "Eh, seorang
gagah tentu bermata tadjam. Saudara tentu sudah
mengetahui isi perut kami mengapa masih ber-tanja
lagi?" Tjian hong makin heran, serunja : "Aku sungguh
tak mengerti!" "Kalau tidak tahu itulah jang paling baik. Tetapi
mengapa kau masuk kedalam Tjek-lim hutan merah
sini?" "Hutan-merah?" Tjian hong mengulang seraja
keliarkan matanja memandang kesekeliling. Memang
saat itu ia berada disebuah hutan jang lebat. Tetapi
anehnja pohon2 jang tumbuh disitu berwarna merah
semua. "Apakah disini jang disebut Hutan-merah?" ia
menegas pula dengan heran.
"Djangan berpura pura!"
Salah seorang badju hitam tertawa mengedjek dan
menjelutuk : "Rentjanamu sudah gamblang seperti
matahari disiang hari. Djika tak lekas2 keluar dari
Hutan-merah sini, mungkin, heh heh..."
"Rentjana" Rentjana apa?" benar2 Tjian hong heran
dan marah atas tuduhan orang. Serunja pula dengan
nada bengis: "Manusia bebas untuk pergi ke manapun
djuga. Hutan ini bukanlah milik keluargamu. Djika
kalian boleh datang kemari mengapa aku tak boleh"
Djangan peduli apa jang hendak kulakukan, itu bukan
urusan kalian!" Habis mendjawab tadjam, Tjian hongpun
landjutkan langkahnja. Siorang badju hitam jang kesatu tadi marah sekali.
"Benar, kalau saudara tak mau pergi, tubuhmu
tentu sempal!" seru orang ituKetjongkakan Tjian hong tersinggung: "Aku tak
pertjaja kalian mampu menghalangi perdjalananku!"
serunja marah. Wut, tiba2 ia gerakkan sepasang
tangannja. Menderunja angin pukulan dahsjat disusul dengan
djeritan ngeri. Rombongan orang berbadju hitam jang
menghadang ditengah djalan itu segera menjiak
kepinggir. Terbukalah seketika sebuah djalan darah.
Tjian hong segera melangkah madju. Tetapi pada lain
saat rombongan orang badju hitam itupun serempak
menghambur pukulan. Tiba2 Tjian hong berputar diri dan ajunkan kedua
tangannja pula. Segera terdjadi pertempuran seru.
Pukulan beradu pukulan, letupan susul menjusul
membisingkan telinga. Djeritan ngeripun ber-turut2
menjajat hati... Beberapa kedjab kemudian, beberapa sosok tubuhpun sudah menggeletak rubuh ditanah. Tetapi kedua
tangan Tjian hongpun menderita kesakitan seperti patah.
Ia mundur beberapa langkah, mata berkunang-kunang.
Hanja karena hatinja keras, ia dapat paksakan diri
bertahan tak sampai rubuh.
Rombongan badju hitam itu terpesona menjaksikan
kesaktian anakmuda itu. Pukulan pemuda itu benar2
luar biasa. Mereka termangu-mangu tegak seperti
patung. Tjian hong mendengus, ia berputar diri terus
melangkah pergi. Melihat sianakmuda pergi rombongan badju hitam
kembali tegang. Djika barang itu sempat didapat oleh
pemuda itu, mereka jakin djiwa mereka tentu akan
lenjap. Ketjemasan itu membuat tubuh mereka menggigil
keras. Dilihatnja saat itu Tjian hong sudah sedjauh tiga
tumbak, hampir tiba ditengah hutan Tjek-lim. Beberapa
anggauta Badju Hitam segera lontjat mengedjar.
"Anak andjing, berhenti! Djika berani melangkah
terus, djangan tanja dosa," teriak salah seorang badju
hitam jang rupanja mendjadi pemimpin rombongan.
Tjian hong kaget. Dan lebih terkedjut lagi ketika
tahu2 orang berbadju hitam itu sudah menghadang
dihadapannja. "Eh, mengapa saudara begitu ngotot hendak
melarang aku berdjalan?" seru Tjian hong keheranan.
"Kuminta kau suka tinggalkan hutan ini," djawab
orang itu. "Djika kutolak?"
"Mengapa kau menolak hidangan arak tetapi minta
air beratjun"Kalau kau berkeras kepala aku terpaksa
bertindak!" Antjaman orang berbadju hitam itu ditutup dengan
gerakan memukul. Kawananjapun mengikuti. Kembali
suara pukulan bergemuruh, sosok2 bajangan
berkelebatan. Tjian hong mengamuk. Beberapa kali ia dapat
membuat musuh2nja benjok. Tetapi rombongan Badju
Hitam itu pantang mundur, Patah tumbuh hilang
berganti. Satu mati madju dua. Dua mati madju
empat.... Tjara 'membandjiri majat' sematjam itu, benar2
membuat Tjian hong kewalahan!
Darr... tiba2 terdengar ledakan keras. Lima
anggauta Badju Hitam terdampar djatuh ketanah. Tjian
hongpun terpental sampai beberapa langkah. Darahnja
bergolak-golak keras dan huak... tak dapat ia menahan
aliran darah jang menjembur keluar dari mulutnja.
Seketika gelaplah sekeliling pendjuru. Kepala-nja pening,
ia ter-hujung2 akan djatuh tetapi dikuatkannja djuga
untuk bertahan. Beberapa djago Badju Hitam jang tak terluka
segera madju menghampiri Tjian hong. Selangkah demi
selangkah mereka madju dengan wadjah memantjar
pembunuhan. Tjian hong mendengari langkah mereka
dengan penuh ketegangan. Se-olah2 tiap2 langkah itu
bagaikan martil jang memukul djantungnja. Tjepat2 ia
kerahkan seluruh semangat untuk bersiap siap. Tetapi
luka-dalam jang dideritanja tjukup parah. Keadaannja
bagai lilin jang sudah hampir padam...
Tiba2 kawanan Badju Hitam itu mengangkat
tindjunja dan diajunkan pada Tjian hong. Pemuda itu
tjepat2 hendak menangkis tetapi ah.... tenaganja serasa
lunglai. Tangannja lentuk tak bertenaga lagi. Seketika
berobahlah wadjahnja. Hatinjapun ikut tenggelam
bersama rasa ketjewa jang tak terhingga, ia mundur
beberapa langkah. Kawanan badju Hitam melanda. Diserbunja
anakmuda itu dengan hebat. Tjian hong terantjam
kehantjuran jang ngeri...
Se-konjong2 pada saat djiwa pemuda itu seperti
telur diudjung tanduk, sesosok bajangan hitam
meluntjur dari udara dan lepaskan pukulan. Bukan
pukulan jang dahsjat tetapi pukulan lemah gemulai jang
mengandung lwekang lunak.
Dess.... terdengar suara mendesis pelahan seperti
api tersiram air. Gelombang tenaga pukulan dahsjat dari
kawanan Badju Hitam itu sirna seketika.
Bukan kepalang kedjut kawanan Badju Hitam.
Pukulan mereka seperti membentur gumpalan kapas
jang lunak sekali. Seketika putjatlah wadjah mereka.
Dan lebih kaget pula ketika memandang kemuka mereka
melihat seorang nona muntjul dihadapan.
"Siotjia..." serta merta mereka membungkukkan
diri memberi hormat seraja mundur.
Tjian hong seperti orang jang tersadar dari mimpi
buruk. Berpaling kesamping iapun terbelalak kaget. Dara
badju hitam jang mendjadi puteri angkat Sin-tjiu-it-kiam
berdiri tak djauh dari tempatnja. Nona itulah jang
meujelamatkan djiwanja...
Hampir Tjian hong mengutjapkan terima kasih
andaikan pada saat itu ia tak teringat akan kedjadian
jang belum lama. Bukankah nona itu jang menjebabkan
ia terkena ratjun dari Kitab-tanpa-tulisan"...
Mulutnja terkatub pula dan dipandangnja nona itu
dengan mata ber-kilat2, penuh dendam.
"Kaukah jang menolong aku?" tegurnja dingin.
Atjuh tak atjuh nona badju hitam itu menjahut:
"Ja..." Masih Tjian hong memandangnja dengan mata
beringas, seperti seekor harimau jang hendak menelan
korbannja. Tetapi pemuda itu berusaha se-kuat2nja
untuk menekan perasaannja.
"Terima kasih," udjarnja tawar.
"Aiihh, sinar matamu menakutkan sekali," nona
badju hitam itu melengking, "Mengapa" apakah aku
berdosa padamu?" "Hm, mengapa terdjadi peristiwa seperti saat ini..."
dengus Tjian hong. "Eh, apakah maksudmu?" seru nona itu.
"Apakah masih perlu kudjelaskan?" Tjian hong
makin sengit. "Aku benar2 tak mengerti!"
"Fuih Wanita berbisa didunia!" achirnja pemuda itu
tak tahan lagi, "aku tak kenal dan tak bermusuhan
padamu, mengapa kau mentjelakai diriku?"
Mentjelakai?" nona itu tetap heran.
"Kau suruh aku membukakan peti berisi kitab
Tanpa tulisan jang berlumuran ratjun sehingga aku
terkena ratjunnja!" "O...!" dara itu seperti terkedjut. Dan setelah
kerlingkan bidji matanja jang bagus, ia melengking
kaget: "Hai, kaukatakan kitab Tanpa tulisan itu dilumuri
ratjun" Aku sungguh2 tak mengetahui tentang itu!"
"Huh, siapa jang pertjaja pada omonganmu!"
dengus Tjian hong dengan nada muak.
"Kalau kau tak mau pertjaja, bagaimana aku harus
mengatakan?" kata dara itu dengan nada ter-hiba2
seperti menjesal.

Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar itu terlintas keraguan dalam hati Tjian
hong. Menilik nada sinona, sepertinja seorang jang
benar2 tak bersalah. "Apakah aku salah menuduhnja" Apakah benar2 ia
tak tahu tentang ratjun dalam kitab itu. Kalau ia
sengadja hendak mentjelakai diriku mengapa ia datang
kemari menolongku lagi?" demikian perbantahan jang
timbul dalam hati Tjian hong
Makin direnungkan makin pudarlah kesalahan
dara itu. Pada lain kedjab, berobahlah pandangan Tjian
hong. Ia merasa bersalah karena menuduh se-mena2nja.
Dengan penuh rasa sesal ia hendak menghampiri
untuk meminta maaf. Tetapi tiba2 terdengar suitan
njaring memetjah angkasa. Dan pada lain kedjab
berhamburanlah ber-puluh2 sosok tubuh menudju
ketempat hutan. Dua belas orang muntjul dihutan
Merah situ. Tjepat sekali Tjian hong mengenal kawanan
pendatang itu sebagai djago2 pedang anakbuah barisan
Hiat-uh-lok-hoa-kiam-tin. Seketika teganglah ia...
Kedua belas anakbuah barisan pedang itu segera
menghampiri sinona badju hitam. Salah seorang
menuding kearah Tjian hong dan meugutjap beberapa
patah kata kepada nona itu.
Sinona badju hitam jang berwadjah buruk serentak
berobah ngeri wadjahnja. "Kaulah jang membunuh Ih Thian-tjek?" beberapa
saat kemudian nona badju hitam itu menegur.
Melihat kawanan pendatang tadi kasak kusuk
dengan sinona badju hitam, kemudian mendengar nona
itu menegurnja dengan nada sengit, serentak timbullah
ketjongkakan hati Tjian hong: "Ja, mau apa!"
"Ah, aku telah salah menolong seorang manusia
jang tak kenal budi seperti kau!" damprat nona itu.
"Aku tak kenal budi" Ha, ha.... ha, ha..." Tjian hong
tertawa gelak2. Wadjah nona badju hitam itu sebentar berobah
tegang sebentar putjat. Rupanja ia sedang mengalami
pertentangan batin jang hebat. Antara kesadaran pikiran
dan suara hati. Suara tertawa tjongkak dari Tjian hong
serasa mengetuk hati nona itu.
Se-olah2 seperti melihat hal jang baru, saat itu
sinona baru mengetahui djelas betapa tjakap wadjah
pemuda itu. Hati nona itu serentak berkembang suatu
perasaan. Perasaan halus jang dimiliki oleh setiap gadis
remadja.... "Kau... kau manusia jang tak kenal budi... Enjah!"
tiba2 nona badju hitam itu berganti nada sedingin es.
Memahami hati seorang dara lebih sukar daripada
mentjari djarum djatuh didalam laut. Pertama kali nona
itu memang sengadja hendak mentjelakai Tjian hong
supaja terkena ratjun dari kitab Tanpa-tulisan. Sjukur
nasib Tjian hong masih baik sehingga dapat pertolongan
dari tabib sakti Kang-ou-long-tiong.
Kedua kalinja berdjumpa dengan pemuda itu,
berubahlah seluruh pandangan nona badju hitam.
Diam2 dalam hatinja telah bersemi suatu perasaan jang
indah.... Tjian hong benar2 tak mengerti sikap nona itu.
Ditatapnja wadjah sinona jang buruk, kemudian ia
berputar tubuh dan melangkah pergi.
Kira2 5"6 tombak djauhnja, ia mendengar
kawanan djago2 pedang tadi berseru kepada sinona
badju hitam: "Siotjia..."
Salah seorang jang mendjadi pemimpinnja segera
menghampiri kedepan sinona dan mengutjapkan
beberapa patah kata. Tjian hong tak dapat mendengar
karena mereka bitjara dengan berbisik-bisik, iapun tak
mengatjuhkan dan landjutkan perdjalanannja.
Habis mendengar keterangan pemimpin
rombongan, alis sinona badju hitam mendjungkat
keatas."Mengapa tadi2 kau tak mengatakan!"
dampratnja. "Hai kau, kembalilah dulu!" teriak nona itu kepada
Tjian hong. Tjian hong tertegun. Serentak ia berpaling.
Pandangannja tepat beradu pada sepasang mata sinona
jang ber-api2. Dia madju menghampiri.
"Apakah nona memanggilku?" tanjanja.
"Kalau bukan kau, siapa lagi!" sahut sinona badju
hitam dengan ketus. "Ada urusan apa?"
"Siapa namamu?"
lan?" "Aku..." Ko Tjian hong!"
"Apakah ibumu bukan Kang-ou Bi-djin Hoa Sian-
"Benar, perlu apa nona menanjakan hal itu?"
"Djangan memutus omongan! Aku bertanya lagi,
apakah kau murid dari Malaekat-elmaut Wi Tjo tjhiu?"
"Hal ini... beberapa hari jang lalu telah kukatakan
padamu bahwa aku bukan muridnja."
"Djangan tjoba mengelabuhi aku...."
Belum sinona menghabiskan kata2nja. Tjian hong
segera mengangkat kedua tangannja keatas, serunja:
"Lihat, apakah tanganku ini mirip mendjadi murid
si Malaekat-elmaut?"
Sinona terkesiap. Memang kedua lengan pemuda
itu seperti lengan orang biasa. Tidak berwarna hitam
sebagaimana murid jang telah mempeladjari ilmu
Pukulan Hitam. Beberapa saat nona itu termangu.
Beberapa saat kemudian baru ia berkata:
"Beberapa hari jang lalu, djelas kau telah membinasakan
Bu-tjeng-mo-ong, Bok-liong-tong-liong, Uh-hoa-kiam Ih
Thian-tjek dengan Pukulan-hitam. Dan pada beberapa
hari jang lalu ketika pertama kali kita berdjumpa djelas
kulihat lenganmu kanan berwarna hitam. Pendek kata,
kau tentu murid si Malaekat-elmaut atau se-kurang2nja
pasti mempunjai hubungan erat dengan dia!"
"Ini... ini... ini..."
"Tak perlu gugup!" seru sinona, "akupun hanja
ingin kau mengatakan tempat tinggal Malaekat-elmaut
sadja." "Aku... aku tak tahu!"
"Ah, mengapa kau begitu tolol" Mengatakan tempat
tinggal si Malaekat-elmaut bagimu tak ada kerugian
suatu apa!" "Tetapi aku sungguh tak tahu. Bagaimana aku
harus mengatakan?" "Orang jang sadar tentu takkan bitjara gelap2an.
Djika kau tak mau mengatakan hal itu, djangan harap
kau dapat meninggalkan hutan!"
"Ah, masakan..." kata Tjian hong seraja terus
berputar diri. Tetapi baru berdjalan beberapa langkah,
beberapa sosok bajangan sudah berkelebatan. Sebaris
orang badju hitam berdjadjar menghadang dihadapannja
"Siapa jang merintangi djalanku tentu binasa!" seru
Tjian hong seraja mengangkat kedua tindjunja.
Kawanan badju hitam dan ke 12 djago pedang
(anakbuah Ih Thian-tjek) segera menerdjang dari empat
djurusan. Sebuah pukulan dapat mengundurkan dua orang
badju hitam. Tetapi karena hudjan pukulan dan taburan
pedang sedemikian keras, terpaksa Tjian hong lontjat
menghindar sampai beberapa tombak.
Tetapi tak kalah tjepat kawanan badju hitam
itupun sudah menerdjangnja lagi. Dan ke 12 djago
pedangpun hamburkan pedangnja menjerbu Tjian hong,
Tjian hong kewalahan. Dengan kertek gigi ia kerahkan
seluruh tenaganja dalam sebuah pukulan. Tar..
terdengar letupan menggelegar keras. Dengus tertahan,
Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan 7 Jaka Dan Dara Karya Bois Para Ksatria Penjaga Majapahit 9
^