Pencarian

Pukulan Hitam 3

Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong Bagian 3


gemerintjing. Nadanja matjam bunga2 mekar menjambut
embun pagi. Merdu, meraju, menjengsamkan sekali...
"Kau benar, memang aku bangsa setan!" serunja.
Seketika menggigillah Tjian hong. Tetapi ia
berusaha se-keras2nja untuk menindas perasaan
takutnja. "Kau berada dimana, mengapa tak mau
menampakkan diri?" serunja.
"Aku" Aku berada seribu li dari sini."
"Aku tak pertjaja," dengus Tjian hong, "kalau
berada pada djarak seribu li djauhnja mengapa
bajanganmu tampak dalam sutera putih" Apakah kau
bukannja mengolok aku?"
"Ingatlah, bangsa setan itu mempunjai kepandaian
jang adjaib!" "Lalu apakah nama tempat ini?"
"Neraka!" tiba2 suara gadis itu berobah sedingin es.
"Neraka?" Tjian hong terkedjut.
"Ja, neraka!" sahut gadis dalam bajangan itu
dengan tegas. "Kalau begitu aku sudah mati?"
"Tidak! Kau belum mati, kau masih hidup!"
Tjian hong termangu. Sekilas bajangan jang ngeri
mentjengkam sanubarinja. Dipandangaja gulungan
sutera putih jang membungkus bajangan tubuh langsing
itu. "Apa kau takut?" seru gadis itu.
"Takut" Aku seorang anak laki. Tiada barang
didunia jang dapat menakutkan hatiku!" sahut Tjian
hong. "Djuga terhadap bangsa setan?"
"Setan" Aku tak pertjaja didunia terdapat setan!"
"Akulah bangsa setan. Kalau kau tak pertjaja. silah
membuktikan!" Gemetar hati Tjian hong mendengar utjapan jang
ber-sungguh2 dari gadis bajangan itu. Tetapi karena ia
hendak membuktikan apakah benar2 didunia ini ada
setan atau tidak, iapun melangkah madju tiga tindak.
"Madjulah lagi!" gadis bajangan itu tertawa dingin.
Tjian hong tertegun beberapa djenak. Tiba2 ia
madju dua langkah lagi dan dengan gerakan setjepat
kilat, ia menerkam gulungan sutera putih itu.
Sret, sret.... Tjian hong terkedjut. Ia dapat
menerkam sutera, tetapi hanja sutera kosong
melompong. Bajangan gadis itu lenjap.
"Aku dibelakangmu!" tiba2 terdengar suara sigadis
mengedjeknja. Tubuh Tjian hong menggigil makin keras. Keringat
dinginpun mengutjur makin deras. Dengan lemas ia
berputar diri. Ia ter-hujung2 gemetar hampir djatuh.
"Eh, bukankah kau mengatakan tak takut pada
setan?" seru sigadis.
Memang bukan tak ada alasan Tjian hong hampir
semaput itu. Ia kaget, ja kaget sekali ketika menjaksikan
pemandangan jang serupa dengan jang dilihatnja tadi.
Gadis itu seperti terbungkus dalam segulung sutera
putih. "Kau.... kau ini apa benar2.... setan?" serunja
tergagap. "Hm....." dengus gadis itu. Suaranja seperti
menghambur dari arah utara.
"Tempat apakah ini?" tanja Tjian hong pula.
Sebuah kata2 bernada dingin tiba2 meluntjur dari gadis
bajangan: "Neraka!"
"Neraka?" seru Tjian hong lemah lemas. Tiba2 ia
teringat sesuatu dan serentak berseru tegang: "Neraka"
Apakah bukan Neraka-19-lapis?"
Pertanjaan itu membuat gadis bajangan tergetar.
"Kau siapa?" serunja dengan gugup.
"Aku orang she Ko, Ko Tjian hong. Mengapa?"
Ketegangan gadis bajangan itu rupanja agak reda.
Serunja: "Disini bukan Neraka-19 lapis tetapi Neraka
lapis kesatu!" "Neraka-satu-lapis?"
"Benar." Tjian hong makin ngeri. Tetapi dalam keadaan
terpepet (terdesak), orang tentu nekad. Demikian Tjian
hong. Dalam keadaan seperti saat itu, semangatnja
berontak. Dia tenang2 sadja menunggu apa jang akan
terdjadi. Setelah sekian lama memandang sutera putih
tanpa memperoleh suatu kesimpulan, bertanjalah ia
dengan nada putus asa: "Apa maksudmu membawa aku
kemari?" "O, benarlah. Hampir sadja kulupa..." bajang2
tubuh langsing jang terselubung kain sutera putih itu
tampak bergeliat pelahan, serunja: "Berapakah umurmu
sekarang?" "Aku" Entahlah!"
"Hi, hi," bajangan nona itu tertawa mengikik, "tak
apalah kalau kau tak mau mengatakan. Kulihat umurmu
tentu tak lebih dari 18-an tahun. Tahukah kau berapa
umurku" Tjobalah terka!"
Tjian hong tertawa menjeringai: "Masakan aku tahu
berapa umurmu." "Terkalah!" "Tidak bisa!" Bajangan nona tjantik itu tertawa dan berkata
dengan lemah lembut: "Tahun ini umurku baru 18
tahun. Eh, masih ada sebuah pertanjaanku lagi. Kau
harus mendjawab dengan sebenarnja. Apakah kau
sudah beristeri" Djangan bohong!"
"Beristeri?" Tjian hong tak pernah memikirkan soal itu. Ia agak
terkedjut mendengar pertanjaan sinona.
"Ja, beristeri. Masakan kau tak tahu?" seru sinona.
"Kau anggap aku sebuah tonggak?" Tjian hong
balas berseru. "Lalu kau sudah menikah atau belum?" sinona
mengulang pertanjaannja. "Bagaimana djuga aku tak suka mendjawab
pertanjaanmu itu" "Tak mengapa. Akupun hendak mengurusmu
menurut sikap jang kau undjukkan. Pertanjaanmupun
aku tak dapat mendjawab!"
Tjian hong merenung sedjenak, lalu berseru. "Aku
belum menikah!" "Apa kau tak ingin menikah?"
Soal pernikahan adalah suatu hal jang bahagia
dalam lamunan pemuda2 jang tengah mendjendjang
kedalam dewasa. Begitu pula Tjian hong. Sesuai dengan
kewadjaran usia dewasa, Tjian hongpun tak terhindar
dari impian2 muluk itu. Diapun menginginkan dapat
mempersuntingkan gadis jang diidamkan. Soalnja sang
waktu belum tiba. Tetapi sekalipun hatinja sudah bersemi angan2
begitu, mulutnja malu mengatakan.
"Djangan malu," kata sinona lebih djauh, "seorang
pemuda achirnjapun tentu akan mentjari pasangannja.
Ini sudah kodrat alam!"
"Aku tak tahu mengapa kau tanjakan hal2 jang tak
ada sangkut pautnja dengan persoalanku," seru Tjian
hong. "Sudah tentu erat sekali hubungannja. Aku
menginginkan kita dapat menikah."
Putjat seketika wadjah Tjian hong. Saking kagetnja
ia sampai terhujung mundur dua langkah.
"Kau...?" serunja seperti melihat hantu disiang hari.
"Ja." "Kau setan atau manusia?"
"Setan..." sahut nona itu dengan wadjar.
"Mana setan dapat menikah dengan manusia?"
"Tidak dapat!" "Kalau begitu, kau hanja berchajal. Kau setan dan
aku manusia. Setan dan manusia tak dapat menikah.
Mengapa kau mengadjukan kata2 tadi?"
Nona bajangan itu tiba2 tertawa melengking: "Kau
memang tolol!" "Aku tolol?" "Benar! Memang setan dan manusia tak dapat
menikah. Tetapi andaikata kaupun mendjadi setan,
bukankah kita dapat menikah?"
Enak sekali nona itu mengutjap. Tetapi bagi Tjian
hong jang mendengarkan, kata2 itu penuh dengan
keseraman. Djantung Tjian hong berdebar keras.
Wadjahnja makin putjat. "Kau mau membunuh aku?" tanja Tjian hong.
"Hanja dengan djalan itu barulah kita dapat
menikah." "Kalau aku tak mau?"
"Masakan kau dapat membawa kemauamnu
sendiri!" "Kau djauh dari sini, bagaimana kau hendak
membunuh aku?" "Djangan lupa!" seru bajangan itu, "bangsa setan
mempunjai kepandaian jang melebihi orang biasa.
Djanganlah tjoba2 melawan atau kau nanti bakal
menderita sendiri!" "Aku tak pertjaja!"
"Tjoba sadjalah!"
Tiba2 Tjian hong menerkam gulungan sutera putih
dengan sebuah gerakan jang luar biasa tjepatnja. Tiba2
ia mendjerit kaget. Ketika tangannja hampir menjentuh
sutera, serangkum hawa keras melandanja. Tjian hong
terkedjut dan menjurut mundur. Dengan ter-longong2 ia
memandang gulungan sutera itu.
"Salahmu sendiri mengapa tak mau mendengar
kata2ku!" seru nona dalam gulungan sutera putih.
"Hm!" dengus Tjian hong. Pada lain saat ia madju
lagi dan lepaskan sebuah Pukulan-hitam.
Serangkum uap hitam berhamburan dan serentak
terdengar sinona bajangan melengking: "Kembalilah!"
Seketika Tjian hong rasakan dirinja dilanda oleh
serangkum hawa jang dingin sehingga menjusup sampai
ke-tulang2. Bluk, ia terdjungkir balik dan terduduk
ditanah. "Kau belum menjerah?" tegur sinona misterius.
Tjian hong diam sadja. "Kau mengaku kalah" Hi, hi... bangunlah!" seru
sinona. Dengan ber-api2 dipandangnja nona itu. Sampai
beberapa saat Tjian hong tak bergerak. Tiba2 tangannja
menekan tanah. Ia hendak berdiri. Uh.. ia djatuh lagi.
Tulang belulangnja serasa lunglai.
Tjian hong terkedjut. Benaknja penuh dengan
berbagai pertanjaan. Tiba2 teringat sesuatu dalam
pikirannja. Ia tundukkan kepala menghela napas.
Se-konjong2 nona bajangan itu seperti orang kaget:
"Hai kiranja kau terkena pukulan Bian-kut-hong. Kedua
kakimu sudah lumpuh, ah...! Kalau begitu mati djauh
lebih baik dari hidup. Tjobalah kau pikir jang tenang.
Djika mati dan tinggal di Neraka sini, kau akan menikah
dengan aku. Bukankah djauh lebih bahagia?"
Kini Tjian hong baru menginsjafi kelihayan sidara
buta Giok-lo-sat. Kebentjiannja terhadap dara itu
merasuk kedalam sumsum. Pikirnja: "Ha, pada suatu
hari aku pasti akan menghadjar anak buta itu sampai
setengah mati!" "Bagaimana, apa kau sudah memikir djelas?" seru
sigadis setan lagi. "Djangan mimpi! Sekalipun aku menderita pukulan
Bian-kut-hong sehingga kakiku lumpuh begini, tetapi
aku pertjaja tentu akan sembuh lagi. Tetapi djika aku
mati aku tak dapat menjelesaikan urusanku. Apalagi
mati hanja supaja menikah denganmu, sungguh tak
berharga sekali!" Nona bajangan itu tertawa dingin: "Kau masih
berharap dapat sembuh dari kelumpuhanmu" Djangan
mimpi!" "Apa?" Tjian hong mendjerit kaget, "apakah kakiku
ini tiada obatnja lagi?"
"Dibawah kolong djagad, ketjuali aku dan oraag
jang melukaimu, tiada seorangpun mampu menolongmu.
Sekalipun dewa turun dari langit, djangan harap dapat
menjembuhkan kakimu. Tetapi djika kau hendak minta
tolong padaku, kau harus meluluskan sjaratku lebih
dulu!" "Tetapi aku tak ingin menikanh dengan setan!" seru
Tjian hong. Tiba2 nada nona bajangan itu berobah ramah: "Kau
tak mau menikah dengan aku" Hm, kelak kau pasti
menjesal sendiri." "Tidak nanti aku menjesal!" sahut Tjian hong
serentak. "Baik, akan kuobati kakimu..."
"Tanpa sjarat?"
"Tak perlu." "Menikah." "Bukan...." nona bajangan itu meragu, serunja:
"Apakah kau murid si Malaekat-elmaut?"
Tjian hong mengiakan. "Berikan kitab pukulan Hitam dan kakimu tentu
kusembuhkan." "Kitab silat Pukulan Hitam...."
Djilid 4 11 MANUSIA dan SETAN "Ja, kitab Pukulan Hitam. Salah sebuah kitab dari
Tiga Pusaka dalam dunia!" sahut nona bajangan.
"Kitab itu tak ada padaku," kata Tjian hong dengan


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nada ketjewa. "Ha, kau membohongi aku."
"Tidak, aku tidak membohongimu. Bagaimana rupa
kitab itu aku belum melihatnja sama sekali!"
Melihat sipemuda mendjawab dengan sikap dan
nada bersungguh, agaknja nona bajangan itu pertjaja
djuga. Ia termenung beberapa djenak seperti bersangsi
mengambil putusan. "Kalau begitu serahkan sadja djiwamu!" katanja
beberapa saat kemudian. "Menjerahkan djiwa" Djiwa apa jang harus
kuserahkan?" "Serahkan djiwa berarti menikah dengan aku."
Tjian hong mendengus muak: "Hm, menikah
dengan kau berarti mati, tidak menikahpun mati. Serupa
harus mati lebih baik aku berdjuang dulu
mempertahankan djiwaku. Kunasehati, djangan kau
mengganggu aku." Memang beralasan sekali Tjian hong berkata itu,
tetapi sinona bajangan hanja tertawa dingin, serunja,
"Kau salah!" "Salah?" "Dua matjam kematian itu berbeda satu sama lain."
"Berbeda" Apakah setelah mati itu nanti akan tidak
sama?" "Benar, djika kau menikah denganku, kau hanja
mati sampai di Neraka lapis kesatu. Kau hanja mendjadi
apa jang dikata Ing-tju-kui (setan bajangan). Masih agak
dekat dengan dunia manusia."
Kata2 nona bajangan itu benar2 mistik (gaib) dan
aneh sekali. Tjian hong tak pernah mendengar hal itu.
"Lalu kalau aku tak mau menikah dengan kau dan
tak dapat memberikan kitab Pukulan hitam padamu
bagaimana?" Tiba2 nona bajangan itu berobah bernada bengis :
"Hm, kematian matjam begitu, sungguh ngeri sekali."
Terlintas suatu bajang2 ngeri dibenak Tjian hong.
Seketika tubuhnja menggigil keras dan tanpa disadari ia
berseru: "Ngeri!"
"Kematian matjam begitu akan mendjebloskan kau
kedalam Neraka 19-lapis. Kau akan mendjadi apa jang
disebut Moay-kui (setan gentajangan). Menderita selama2nja!"
Makin lelap hati Tjian hong se-olah2 tenggelam
dalam samudera jang tiada ketahuan dasarnja, hampa
se-gala2nja. "Neraka 19-1apis" Kau mengatakan Neraka-19lapis?" serunja dengan ber-sungguh2.
"Ih, kau takut" Sekarangpun masih belum
terlambat!" "Bukan begitu. Jang kumaksudkan, dimanakah
Neraka-19-lapis itu?" seru Tjian hong.
Tiba2 gadis bajangan itu tertawa mengikik. Nadanja
benar2 menjeramkan sekali.
Tjian hong serasa dilingkungi oleh gerombolan
hantu2. Setelah suara tertawa berhenti, barulah ia
merasa longgar ketegangannja. Dipandangnja nona
bajangan itu dengan ter-longong2.
"Kau ingin tahu?" tanja bajangan itu dengan nada
berat. "Ja!" "Djika kau tiba ditempat itu, tentulah kau akan
mengetahui sendiri!"
"Apakah kau pernah kesana?" tanja Tjian hong
pula. Gadis bajangan itu berhenti sedjenak, udjarnja:
"Aku seorang setan jang luar biasa. Kemana tempat pun
aku sudah pernah mendatangi."
"Dimanakah letak Neraka-19-lapis itu," seru Tjian
hong tegang sekali. "Eh, mengapa kau tegang sekali?"
"Aku hendak minta tolong kau tentang seseorang.
"Siapa" Apakah dia berada di Neraka 19-lapis?"
Tjian hong mengiakan. "Siapa?" tanja gadis bajangan.
"Tjian bin-su-seng.... Ko Ko-hong!"
Mendengar nama Tjian-bin-su-seng (Peladjar
seribu-muka), rupanja gadis bajangan itu tertegun.
Sampai beberapa lama ia berdiam diri...
"Tak tahu," achirnja ia menjahut.
Tjian hong ketjewa. Namun tak mau melepaskan l
kesempatan sebaik itu mentjari tahu tempat beradanja
sang ajah. Terpaksa ia tebalkan muka untuk bertanja
lagi: "Apakah kau benar2 tak tahu?"
"Masakan aku bohong, hanja..." rupanja gadis
bajangan itu merasa telah kelepasan omong. Buru2 ia
alihkan pembitjaraan: "Apakah hubunganmu dengan
Tjian-bin-su-seng?" Terlintas sesuatu pada benak Tjian hong. Ia
memutuskan lebih baik djangan membuka rahasia dulu.
"Sukar untuk kukatakan sekarang. Ketjuali kau
mau mengatakan tempatnja, barulah nanti
kupertimbangkan," katanja.
"Tetapi aku memang tak tahu sungguh2!" sahut
sigadis bajangan. Namun Tjian hong telah mengetahui bahwa gadis
bajangan itu telah menjembunjikan sesuatu. Sikapnja
mentjurigakan. "Dapatkah kau memberitahukan dimana letak
Neraka-19-lapis itu sadja?" ditjobanja sekali lagi untuk
mengorek keterangan sigadis.
"Apa perlumu?" "Aku hendak kesana!" sahut Tjian hong.
"Hm, kau mau tjari mati" Manusia dan setan, lain
dunianja. Mana kau mau seenakmu sendiri ber-djalan2
ke Neraka?" seru sigadis.
"Kukira tak sesukar itu!" sahut Tjian hong.
"Mengapa?" "Karena aku toh dapat masuk ke Neraka lapis
kesatu. Hal itu membuktikan bahwa Neraka menerima
djuga kundjungan manusia. Dan apa bedanja dengan
Neraka-19-lapis itu?"
Kali ini sigadis bajangan tak dapat menjahut. Dan
Tjian hong tak mau lepaskan kesempatan. Ia terus
mendesak: "Kuharap kau suka memberitahukan letak
Neraka-19-lapis itu dan aku pasti berterima kasih
padamu selama-lamanja!"
"Tidak, tidak! Djanganlah kau kesana. Sekali kau
kesana tentu takkan kembaii se-lama2nja!"
"Tak usah kau pedulikan nasibku. Aku hanja minta
tolong kau memberitahukan tempat itu sadja!"
"Tidak semudah itu!" tiba2 sigadis bajangan
menjahut getas. Tjian hong kewalahan. Tiba2 ia mendapat pikiran.
Serunja: "djika kau mau memberitahukan tempat
Neraka-19-lapis itu, akan kupertimbangkan dua buah
sjarat jang kau adjukan tadi!"
"Oh, kau mau menikah dengan aku?" seru si-nona
penuh harap. "Bukan...." "Lalu..." gadis bajangan itu terkedjut.
"Aku akan berusaha untuk mentjarikan kitab
Pukulan Hitam bagimu!"
Rupanja nona bajangan itu merenung. Beberapa
saat kemudian barulah ia berkata: "Baik, tetapi setelah
menjerahkan kitab itu barulah kuberitahukan
tempatnja!" "Tetapi sekarang kitab itu tak ada padaku!"
"Kalau begitu tak usah kita bitjarakan lagi."
Kembali Tjian hong ketjewa. Tetapi ia tak mau
melepaskan kesempatan mentjari tahu tempat beradanja
sang ajah. "Sekalipun sekarang tak ada, tetapi aku tentu
dapat mentjarikan kitab itu untukmu," katanja sambil
menghela napas. "Andaikata kau tak berhasil mendapatkannja?"
Kata2 itu amat menusuk hati Tjian hong. Namun tak
dapat ia mendjawab apa2. "Djanganlah kau mentjiptakan tipu muslihat," seru
sigadis bajangan pula. Tjian hong berdiam beberapa saat. Tiba2, ia tertawa
rawan: Aku minta tempo setahun untuk mentjari kitab
itu. Djika gagal, aku pasti akan kembali lagi kesini dan
menikah dengan kau."
"Benarkah itu?"
"Tentu! Seorang laki2 tentu akan memegang teguh
perkataannja!" "Kau tak menipu aku?"
Tjian hong tertawa getir, serunja: "Aku orang she
Ko, tak nanti melanggar kepertjajaan orang!"
"Baik!" seru sigadis bajangan dengan nada girang,
"kau boleh pergi. Dalam waktu setahun djika kau tak
dapat mentjari kitab itu, kuharap kau segera kembali
kemari." Tjian hong girang. Segera ia hendak berbangkit
tetapi ah... kembali ia terduduk lagi. Sakitnja bukan
kepalang. Gadis bajangan itu tertawa mengikik: "Ih, tetapi
tubuhmu telah terkena pukulan Bian-kut hong.
Sekalipun kulepaskan, tetapi pertjuma sadja kau."
Tjian hong berseru dengan gugup: "Kalau berbuat
baik, berbuatlah sampai achir. Obatilah lukaku, kelak
tentu kubalas semua budimu!"
Terbangkitlah pula kemarahan Tjian hong kepada
sidara buta Giok-lo-sat jang telah menganiaja dirinja. Ia
bentji setengah mati kepada dara itu
"Baik, pedjamkan matamu!" beberapa saat
kemudian gadis bajangan itu bersuara.
Tjian hong tertegun. Ia duga orang tentu hendak
mentjelakainja. Selagi ia meramkan mata, tentu akan
dibunuhnja. Ia penasaran. Tetapi memikir lebih djauh
lagi. Bukankah sedjak ditangkap, ia selalu mendjadi
bulan2 permainan orang" Djika gadis bajangan itu
bermaksud membunuhnja, bukankah sedjak tadi sudah
akan melakukan" Achirnja iapun meramkan mata djuga....
Se-konjong2 ia rasakan dua rangkum hawa dingin
menjambar kedua lututnja, menjusup sampai ketulang.
Dingin sekali sehingga ia harus kerutkan gigi menahan.
"Ah, mengapa aku tak membuka mata untuk
melihat bagaimana perwudjutan nona itu sebenarnja!"
tiba2 ia mendapat pikiran.
Tetapi baru ia hendak melaksanakan angan2nja
tiba2 telinganja terngiang suara tadjam: "Djangan sekali2 membuka mata atau segera kuhantjurkan batok
kepalamu!" Tjian hong mengkerat njalinja. Segera ia batalkan
niatnja membuka mata. Dan sebagai gantinja ia
merintih-rintih kesakitan. Kedua tulang lututnja seperti
ditusuk pedang sakitnja. Karena menahan sakit, dahinja
sampai basah keringat. Beberapa saat kemudian, rasa sakitpun hilang.
Dan terdengar suara gadis itu memberi perintah:
"Sudahlah, sekarang kau boleh buka mata!"
Tjian hong membuka mata. Ah, dihadapannja
masih tertampak bajangan sutera putih. Tjepat2 ia
hendak lontjat bangun ah.... ia djatuh lagi. Ternjata
kedua kakinja masih lemah lunglai. Bukan kepalang
marahnja kepada gadis bajangan jang disangka
menipunja itu. Diluar dugaan gadis bajangan itu tertawa ringan:
"Aku toh belum menjuruh kau berdiri, mengapa kau
lantjang...." "Bukankah kau mengatakan sudah selesai?" seru
Tjian hong penasaran. "Selesai memang sudah selesai, tetapi belum
kusuruh kau berdiri."
Tjian hong mendelu sekali.
"Makanlah sahutir pil jang berada dihadapan-mu
itu," seru sigadis pula.
Tjian hong bersangsi sedjenak. Rupanja gadis itu
tahu apa jang dipikirkan.
"Djika aku mau membunuhmu, bukankah
semudah membalikkan telapak tanganku?" seru sigadis.
Tjian hong segera mendjemput pil itu terus
ditelannja. Seketika dadanja panas, tubuh menggigil.
Terkedjutlah ia. Wadjahnja putjat.
"Lekas kerahkan hawa-murni agar pil itu
berkembang dajanja" pesan gadis bajangan.
Tjian hong melakukan apa jang diperintah gadis
itu. Ia berhasil menjalurkan hawa panas kedalam djalur
peredaran darahnja. Benarlah tak berselang berapa
lama, hawa panas itupun hilang. Tetapi saat itu
tubuhnja mandi keringat. Wadjahnja berseri merah bagai
mentari pagi. Tiba2 gadis bajangan itu berseru: "Usahamu
berhasil, sekarang tjobalah kau berdiri!"
Tjian hong masih agak meragu. Tak berani ia buru2
bangun. Kedua tangan ditekankan ketanah untuk
mengangkat tubuhnja pe-lahan2... Setelah dua kali
pertjobaan itu memberi hasil barulah ia pertjaja dan
berdiri. Memberi hormat dengan mendjurah kepada gadis
bajangan itu ia menghaturkan terima kasihnja.
"Tak perlu berterima kasih padaku. Jang
kuharapkan, setahun kemudian kau kembali dan
menikah dengan aku!"
"Ini... tetapi aku tentu bisa mendapatkan kitab
Pukulan Hitam1" sahut Tjian hong.
"Ah... mungkin kau gagal!"
Tjian hong tertegun kemudian berseru lantang:
"Tidak, tidak! Aku tentu takkan...."
Gadis bajangan menukasnja dengan tertawa


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melengking. Namun Tjian hong pantang putus asa,
serunja: "Apabila setahun kemudian aku berhasil
mendapatkan kitab itu, bagaimanakah tjaranja
mengirimkan kemari?"
Gadis bajangan itu hentikan tertawanja: "Kirim
sadja kelembah Yu-leng-koh!"
"Yu leng-koh?" Tjian hong mengulang. Yu-leng-koh
artinja lembah Sukma-gentajangan.
"Ja, tetapi harapanmu itu tipis sekali. Dan andai
kata kau gagal mendapatkan kitab itu, kaupun harus
datang kelembah Yu-leng-koh sini menemui aku!"
"Tetapi bagaimana aku mentjari nona" Bagaimana
aku harus menjebut nona?"
"Ah, tak usah!"
"Djika kau tak mau memberitahukan, kelak
bagaimana aku dapat mentjarimu?"
Gadis bajangan itu tundukkan kepala merenung.
Tiba2 ia berkata: "Tjari sadja pada Yu-leng-li-kui."
"Yu-leng-li-kui?" Tjian hong terbelalak. Kata2 itu
berarti setan perempuan lembah Yu-leng. Diam2 Tjian
hong menghafal nama itu. Hatinja serasa menggigil
seram. Peristiwa aneh jang dialami saat itu, benar2
mengherankan. "Sudahlah, kau boleh tinggalkan tempat ini," tiba2
gadis bajangan itu berseru.
"Pergi" Bagaimanakah tjaranja aku pergi?"
"Pedjamkan matamu. Nanti kuantar kau keluar!"
Tjian hong memandang gadis dalam sutera putih
dengan rasa was-was. Ia masih belum pertjaja penuh
bahwa gadis bajangan itu takkan mentjelakainja. Tetapi
djika tak menurut perintahnja, ia tentu tak mampu
keluar dari lembah misterius itu. Tak ada lain pilihan
lagi dan iapun segera pedjamkan mata.
Se-konjong2 serangkum hawa dingin menjerang
djalan darah dilambungnja.
"Tjelaka, aku termakan tipunja. Terang aku tentu
mati. Yu-leng-li-kui keparat..." baru pikirannja
merangsang begitu, se-konjong2 ia dilelap oleh
kehampaan dan pingsanlah ia.
Entah berselang beberapa lama ia tak sadarkan diri
itu, ketika membuka mata ia dapatkan dirinja berada
disebuah hutan belantara. Angin dingin membuatnja
tersadar. Tjepat ia lontjat bangun. Amboi.... apa jang
disebut Neraka-lapis-pertama tadi hilang tak berbekas.
Omong kosong kalau orang mentjeritakan tentang
setan. Dan apa jang disebut Neraka hanjalah chajalan
belaka. Tetapi apa jang dialami Tjian hong selama
hampir setengah hari tadi, benar2 membuatnja tak habis
memikirkan. Benar2 ia tak dapat memetjahkan apa jang
sebenarnja dialaminja tadi.
Setan... Neraka.... Gadis dalam selubung sutera
putih... ah, pusing benaknja memikirkan kesemuanja
itu. Djelas ia menjerang gadis bajangan dalam selubung
sutera tadi dengan ilmu Pukulan-hitam jang dahsjat,
tetapi sedikitpun gadis itu tak terluka.
Apakah kesemuanja tadi benar2 terdjadi" Benarbenar suatu kenjataan tentang setan dan neraka.
Kalau demikian naga-naganja, apakah tadi ia
berkelana ke Neraka" Tetapi bukankah ia seorang
manusia, apakah badan wadag (kasar) dapat berdjalandjalan ke Neraka" Ah...."
Tiba2 sebuah djeritan minta tolong dari seorang
anak perempuan memetjahkan lamunannja: "Tolong...
Tolong...! Tolonnnggg....!"
Tjian hong seperti terpagut ular. Serentak ia lontjat
bangun dan setelah menentukan arah timbulnja
djeritan, segera ia lari menghampiri. Dalam sekedjab
mata sadja ia sudah mendekati tempat itu. Bagaikan
seekor burung elang, ia melambung keudara dan
menukik turun ketempat itu. Dan apa jang disaksikan
disitu, benar2 menghanguskan hatinja.
Seorang lelaki buas tengah meruda-paksa
(memperkosa) seorang dara. Pakaian dara itu telah
dirobeknja, hanja tinggal seheiai pakaian dalam jang
tipis. Lelaki buas itu matjam singa kelaparan hendak
menelan korbannja seekor anak domba. Tjian hong tak
dapat mengendalikan kemarahannja lagi. Ia ajunkan
tangan kanan menghantam punggung silelaki buas.
Rupanja karena tengah dihanjutkan oleh nafsunja jang
ber-kobar2, lelaki itu tak merasakan apa2 lagi. Duk.... ia
mendjerit ngeri dan tubuhnja terpental sampai beberapa
meter djauhnja! Sidara ter-sipu2 malu dalam keadaan begitu.
Segera ia mengenakan pakaiaanja. Dalam pada itu lelaki
buas tadipun lontjat bangun. Demi mengetahui jang
mengganggu kesenangannja itu hanja seorang katjung
ketjil, marahnja bukan kepalang.
"Hai, siapa kau budak keparat" Kau berani
mengganggu kesenangan tuanmu!" serunja bengis.
"Badjingan, kau hendak merusak kehormatan
seorang gadis baik2, masih berani berlagak garang
seperti tuan besar!" damprat Tjian hong,
"Siapa jang berani mempedulikan keinginan
tuanmu besar" Andjing ketjil, rupanja kau belum kenal
siapa tuanmu ini maka kau berani mati!"
"Aku tak peduli kau siapa. Bagiku kau adalah
seorang bangsat perusak wanita!" seru Tjian hong.
"Heh, heh, kalau begitu kau memang minta mati!"
lelaki itu tertawa mengekeh.
"Mati" Uh, tidak gampang, bung!" edjek Tjian hong.
"Kau tahu siapa aku?"
"Kentut! Masakan aku sudi menjelidiki siapa
rupamu baru aku berani bertindak!"
Lelaki itu menjeringai dan menghambur tertawa
tjongkak. Saat itu dengan basah air mata, sidara
menghampiri kesamping Tjian hong. Dengan nada rawan
ia berkata: "Siang-keng (tuan penolong), terima kasih
atas keberanianmu menolong seorang anak perempuan
jang lemah. Tetapi harap siangkong lekas tinggalkan
tempat ini sadja!" Tjian hong terkesiap, serunja: "Mengapa nona
mengatakan begitu?" Dara itu menangis sesenggukan. Bibirnja bergetargetar hendak berkata tetapi tak djadi.
"Nona, apapun jang akan terdjadi akulah jang akan
melindungi dirimu. Harap kau djangan kuatir!" kata
Tjian hong. "Tetapi siangkong, dia..."
"Dia bagaimana?" tukas Tjian hong.
Wadjah dara itu berobah putjat dan dengan nada
gemetar berkata: "Dia adalah durdjana jang termasjur
suka mendjagal manusia. Ilmu silatnja sakti sekali!"
Tjian hong hanja mendengus. Dipandangnja lelaki
itu sedjenak lalu berpaling pula kepada sidara:
"Siapakah dia" Bagaimana keganasannja?"
"Lak-tjhiu-sik-kui!"
"Lak-tjhiu-sik-kui?" Tjian hong mengulang.
"Ja, lebih baik siangkong pergi sadjalah. Aku tak
tega melihat siangkong menderita karena membela aku!"
pinta sigadis itu pula. Tiba2 Tjian hong mendorong gadis itu kesamping
lalu melangkah kehadapan Lak-tjhiu-sik-kui atau
Tangan-telengas-perusak-wanita. Tjian hong
menengadah keatas dan menghambur tertawa pandjang.
Nadanja bagai gelombang guruh menggema diangkasa.
Sengadja ia mempertundjukkan agar dara itu
djangan terlalu tjemas dan agar lelaki itu tergetar
njalinja. Ia hendak menggertak supaja orang itu ngatjir.
Tetapi diluar dugaan ternjata Lak-tjhiu-sik-kui seorang
durdjana pemetik bunga (perusak wanita) jang sudah
dongkotan. Selain berilmu silat tinggi dia djuga
mempunjai tulang punggung (backing) jang kuat.
Gertakan Tjian hong disambut dengan tertawa
hina: "Andjing ketjil, kematian sudah didepan mata
mengapa kau masih tertawa-tawa?"
"Kutertawakan dirimu jang punja mata tetapi tak
dapat melibat kedatangan Dewa Pentjabut-njawa!"
"Oho, kaukah dewa Pentjabut-njawa itu?"
"Apakah ada orang kedua jang kau lihat disini?"
"Kurang adjar, katakan namamu, Tuan besar Djui
tak mau membunuh kawanan tikus budak jang tak
bernama!" seru Lak-tjhiu-sik-kui.
Tjian hong panas benar mendengar kata2 jang
sombong itu. Segera ia melangkah madju: "Berdirilah
jang tegak supaja djangan rubuh apabila kusebut
namaku!" "Kentut!" "Aku Ko Tjian hong."
Sebagai mendengar ledakan halilintar berbunji ditengah hari, maka petjahlah njali Lak-tjhiu-sik-kui jang
garang itu. Tiba2 ia lontjat dan lari ngaprit. Tetapi Tjian
hong jang sudah siap mendjaga, sudah tjepat lontjat
menghadangnja. "Hm kau mau lari?" tegurnja.
Karena terdesak tiba2 Lak-tjhiu-sik-kui
membentak: "Bangsat, kau berani memalsu nama
orang." "Aku memang Ko Tjian hong!"
Lak-tjhiu-sit kui putjat wadjahnja.
12 Hantjurnja sarang serigala.
"Kau, kau, kau... benar Ko Tjian hong jang
membunuh Bu tjeng-mo-ong dengan Pukulan Hitam
tempo hari?" seru Lak-tjhiu-sik-kui.
"Siapa lagi kalau bukan aku!" sahut Tjian hong.
Putjat lesi wadjah Lak-tjhiu-sik-kui. Tubuhnja
gemetaran, sampai beberapa saat ia tak dapat bitjara.
Kebalikannja dara tadi berseri girang.
"Lak-tjhiu sik-kui, hari ini kau naas sekali!" seru
Tjian hong. Lak-tjhiu-sik-kui berusaha keras untuk menekan
kegontjangan hatinja, serunja: "jang naas belum tentu
aku..." tiba2 ia menjerang mentjengkeram muka Tjian
hong. Serangan tak ter-duga2 itu dilantjarkan dengan
seluruh tenaga. Pikirnja, sekali bergerak dapat
menghantjurkan anakmuda itu lebih dulu.
Tjian hong terkedjut djuga melihat ketjepatan
tangan orang. Tetapi untung ia tak gugup. Ia tendang
perut orang. Diluar dugaan, Lak-tjhiu-sik-kui nekat sekali. Dia
tahu apa jang akan terdjadi akibat tendangan Tjian
hong, tetapi ia tetap kalap. Ia madju terus untuk
melaksanakan tjengkeramannja; Begitu hampir
mendekati muka, tiba2 ia robah tjengkeraman mendjadi
sebuah tindju jang dihantamkan kedada.
Tjian hong terkedjut melihat kenekadan orang.
Tjepat ia kerahkan tenaga-dalam kedadanja. Auh...
terdengar djeritan ngeri dari mulut Lak-tjhiu-sik-kui,
disusul dengan tubuhnja melajang sampai 6-7 tombak
djauhnja... Tjian hong djuga tergetar dan ter-hujung2 beberapa
langkah kebelakang. Lak-tjhiu-sik-kui lebih parah
lukanja namun dengan keraskan hati ia lontjat bangun
dan terus melarikan diri.
Tjian hong gemas sekali melihat keganasan orang.
Sekali lontjat ia menghadangnja lagi: "Mau lari
kemana kau!" Lak-tjhiu-sik-kui bagai rusa jang dikepung orang.
Ia nekad dan kalap menghantam penghadangnja. Tjian
hong terpaksa menjisih kesamping. Kesempatan itu
digunakan Lak-tjhiu-sik-kui untuk menjelinap lolos; Ia
sudah tak mempunjai njali berkelahi lagi.
Tetapi Tjian hong lebih gesit. Baru Lak tjhiu-sik-kui
menjelinap kesamping, Tjian hong sudah lontjat
mentjegat dimukanja. Sebuah pukulan jang keras
dilontarkan, hek... Lak-tjhiu-sik kui menelan napas,
matanja ber-kunang2 dan huak... ia muntah darah dan
rubuh terkapar ditanah! Tjian hong madju dua langkah. Tindju diangkat.
"Siangkong, djangan bunuh dia!" tiba2 sidara
berteriak mentjegah. Tjian hong tertegun. Dilihatnja dara itu gemetar
ketakutan. "Mengapa kau mintakan ampun untuknja?"
"Bukan!" seru sidara.
"Lalu mengapa kau tjegah aku?"
Dara itu berlinang-linang airmata. Dua butir airmata menetes dari kelopak matanja.
"Dia hendak merusak kehormatanku. Mengapa aku
kasihan padanja" Tetapi setelah siangkong
membunuhnja, akibatnja tentu hebat. Mungkin
siangkong akan terantjam bahaja kematian djuga.
Bagaimana ku rela kalau siangkong sampai menderita
karenanja?" sahut sidara.
"Mengapa takut membunuh manusia ini"
Bagaimana aku bisa terantjam?" Tjian hong heran.
Dia sih tak perlu dikuatirkan. Tetapi gurunja
adalah durdjana nomor satu didunia!" seru sinona.
"Siapakah gurunja?"
"Sik-long!" "Sik-long?" Tjian hong mengulang kaget seraja
memandang dara itu lekat2. Sik-long artinja si Serigalahaus-wanita.
Dara itu tergetar menjurut dua langkah. Ia
mengangguk. Sekonjong-konjong Tjian hong lontjat
ketempat Lak-tjhiu-sik-kui dan ajunkan tindjunja.
Tubuhnja terlempar beberapa tombak djauhnja, terkapar
mandi darah. Sidara ter-longong2 putjat.
Rupanja Tjian hong masih belum puas.
Dihampirinja Lak-tjhiu-sik-kui lagi dan dibentaknja:
"Benarkah Sik-long itu gurumu?"
Lak-tjhiu-sik-kui mengira pemuda itu djeri
terhadap gurunja. Maka dengan suara jang sengadja
digarangkan ia berseru: "Benar, djika kau takut..."


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tutup mulutmu!" diluar dugaan Tjian hong
membentaknja, "dimana gurumu sekarang ini?"
Terbang semangat Lak-tjhiu-sik-kui. Njalinja petjah
melihat kebengisan pemuda itu.
"Apa perlunja kau menanjakan guruku?" serunja
gemetar. "Bilang dimana tempat tinggal Sik-long!"
Lak-tjhiu-sik-kui kerutkan gigi: "Aku tidak tahu!"
"Ho, kau tak mau mengatakan?"
"Kau mau apa?" Seketika merahlah mata Tjian hong. Ia kerahkan
lwekang kelengannja kanan. Lengannja berobah hitam
berkilat. "Apakah kau benar2 tak mau mengatakan"
Djangan kau menjesal nanti!" serunja.
Serasa terhenti darah Lak-tjhiu sik-kui ketika
melihat lengan sianak muda berobah hitam. Ia tahu apa
artinja itu. Namun sebagai seorang benggolan ternama,
ia tetap membandel. "Sekali tak mau mengatakan tetap tak
mengatakan!" serunja.
"Kalau begitu kau memang ingin menikmati
bagaimana rasanja daging hangus!" serentak Tjian hong
mentjengkeram lengan Lak-tjhiu-sik-kui.
"Auh.... Lak-tjhiu-sik-kui mendjerit. Tangannja
serasa terbakar. Dahinja penuh berhamburan keringat
butir2. Kulit lengannja gosong.
"Ajo, mau bilang atau tidak?" hardik Tjian hong
dengan bengis. Lak-tjhiu-sik-kui kertek gigi, berseru: "Bunuhlah
aku!" Tjian hong marah sekali. Ditambahinja pula
saluran lwekang ketangannja Lak-tjhiu-sik-kui makin
setengah mati. "Tidak mudah kalau hendak minta mati, bung. Ajo,
katakan dimana Sik-long Tang-Bun-kui!" Tjian hong
ulangi antjamannja pula. Tiba2 Lak-tjhiu-sik-kui merentang mata. Ditatapnja
wadjah sidara dengan penuh dendam, serunja: "Siu-lan,
djika aku sampai mati ditangan budak ini, kau harus
ingat akan pembalasan suhuku nanti, heh, heh...."
Dara itu ternjata Jap Siu-lan. Serta mendengar
antjaman Lak-tjhiu-sik-kui, gemetarlah tubuhnja,
wadjah putjat lesi. Ia hendak berkata tetapi tak djadi
karena tersela kutjuran airmatanja...
Tiba2 Tjian hong berpaling: "Apakah nona hendak
minta kulepaskan manusia ini karena takut akan
pembalasannja?" "Dia dan gurunja bersimaharadja. Ganas dan
kedjam sekali. Djika muridnja dibunuhnja, gurunja
tentu akan ngamuk..."
"Apakah kalau dia dilepas, nona merasa aman?"
tanja Tjian hong. Dara itu terkesiap. Tak tahu ia hendak mendjawab.
Kata Tjian hong pula: "Sebenarnja kalau
melepaskan dia, berarti seperti melepas harimau kembali
ke-sarangnja. Akibat dibelakangnja hari djauh lebih
ngeri. Harap nona djangan kuatir. Aku telah bertekad
hendak melenjapkan kedjahatan. Bukan melainkan dia
sadja, pun gurunja djuga akan kubasmi!"
Tampaknja Siu-lan masih sangsi, masih takut pada
pengaruh gerombolan Sik-long, serunja: "Bagaimana
hendak mengurusnja, terserah pada tuan sadja. Aku
hanja menurut!" Tjian hong mengangguk. Dibentaknja Lak-tjhiu-sik
kui: "Kematian sudah didepan matamu, masih kau
berani menggertak seorang dara. Sungguh tak malu.
Djika kau tetap tak mau mengatakan tempat Sik-long,
djangan tanja dosa lagi!"
Rupanja Lak tjhiu-sik kui sudah bertekad mati. Dia
tetap membisu. Melihat itu marahlah Tjian hong. Segera ia
kerahkan tenaga dalam Pukulan Hitam. Lak-tjhiu-sik kui
mendjerit ngeri. Tak tahan lagi ia akan siksaan jang
dideritanja. "Ja, ja.... aku mengatakan...."
"Hm, aku tak pertjaja kau bertulang besi!"
Tjian hong longgarkan tekanannja. Dan Lak-tjhiusit-kuipun menghela napas legah.
"Guruku berada dilembah Yu-leng koh!" udjarnja.
"Yu-leng koh?" seru Tjian hong.
Lak-tjhiu-sik-kui mengiakan.
"Kau tak menipu aku!" Tjian hong menegas dan
menatap dengan ber-api2 hingga Lak-tjhiu sik kui
mengkeret njalinja. Diam2 ia merantjang dalam hati:
"Satu2-nja pembalasanku hanja membohonginja....
"Masakan aku membohongimu!" serunja dengan
berlaku setenang mungkin.
"Djika kau berani bohong, hm!" Tjian hong
menggeram. Diam2 Lak-tjhiu-sik-kui memeras otak untuk
mentjari djalan mentjelakai pemuda itu. Pikirnja:
"Dihadapanku hanja djalan kematian. Aku harus berdaja
untuk menembus djalan maut itu. Hm, mengapa tak
kulantjarkan asap San hun-hiang!"
Timbulnja rentjana itu membangkitkan
semangatnja. Se-konjong2 ia lontjat bangun dan
taburkan bubuk San-hun-hiang atau Dupa Polelap
djiwa. Bubuk ketjil2 sekali dan tak mengeluarkan bau
apa2. Sukar dilihat dan dihindari.
Tetapi demi lihat orang menamparknn tangan,
Tjian hong marah sekali. Seketika ia lontarkan pukulan.
Tjahaja hitam berkilau dan terbanglah tubuh Lak-tjhiusik-kui beberapa tombak djauhnja. Bum.... ia terhampar
ditanah, kepala petjah benak berhamburan dan
melajanglah djiwanja. Tetapi Tjian hongpun telah menjedot hamburan
bubuk San hun-hiang, tetapi ia tak menjadari. Melihat
Lak-tjhiu-sik-kui binasa, ia menghela napas longgar.
Sidara Siu-lan madju kehadapannja menghaturkan
terima kasih. Tjian hong suruh nona itu djangan
memakai banjak peradatan. Siu-lan tegak berdiri
memandang wadjah sipemuda sampai beberapa saat.
"Maaf, aku hendak melandjutkan perdjalanan lagi,"
ter-sipu2 Tjian hong minta diri. Segera ia berputar tubuh
hendak berlalu. Siu-lan menjadari kesalahannja. Rupanja pemuda
itu djengah karena dipandangnja begitu lekat. Buru2 ia
berseru: "Tuan hendak kemana?"
"Aku hendak kelembah Yu-leng-kok mentjari Siklong!"
"Mengapa?" "Aku telah menerima permintaan seseorang untuk
membunuhnja!" "Tuan," kata Siu-lan, "apakah tuan tak merasakan
perobahan apa2 pada tubuhmu?"
Tjian hong terkedjut. Buru2 ia kerahkan tenagadalam. Hai... ketika mendjalankan peredaran darah,
dirasakannya tenaga-murninja membujar ke-mana2.
Tubuhnja serasa lemas sekali.
Tjian hong terkedjut sekali, wadjahnja berobah
seketika: "Bagaimana nona mengetahui!" serunja heran.
"Tuan terkena bubuk San-hun-hiang!"
"San-hun-hiang?" Tjian hong tergetar hatinja.
Ia lontjat ketempat Lak-tjhiu-sik-kui dan
menggeledah tubuh orang itu. Tetapi dengan ketjewa ia
berbangkit lagi! Sebuah helaan napas pandjang
dihamburkan... Tiba2 Siu-lan tertawa mengikik: "Ah, djanganlah
tuan menghela napas. Aku tahu tjara mengobati bius
San-hun-hiang itu!" Girang Tjian hong bukan kepalang: "Bagaimana
obatnja?" "Asal makan Swat-lian-tju tentu hilang daja Sanhun-hiang itu!"
"Apa itu Swat-lian-tju" Dimana tumbuhnja?"
"Tanaman Swat-lian-tju tiap 10 tahun berbunga
dan 10 tahun kemudian berbuah. Tumbuhnja dipuntjak
Pek-thau-nia digunung Thian-san jang tertutup saldju.
Djika memang ada redjeki tentu bisa mendapatkan
bunga teratai saldju itu!"
Tjian hong terkesiap. "Gunung Pak-thian-san djauh sekali, tak kurang
dari 3000 li djauhnja. Tentu memakan waktu lama
sekali. Terang tak ada harapan karena saat ini djuga
tubuhku makin lemah lunglai. Ah, bagaimana ini?"
"Kau benar tuan," seru sidara, "memang sukar
melaksanakan hal itu!"
Dara itu termenung beberapa saat. Lama baru ia
berkata pula: "Oh, aku teringat masih ada sebuah tjara
pertolongan lagi!" "Katakanlah!" seru Tjian hong tegang.
Dipandangnja nona itu dengan pandang penuh harap.
Tertumbuknja sang mata kepada wadjah sidara
jang bersemu merah ke-sipu2an itu, menimbulkan kesan
jang sedap. Seketika memantjarlah darah Tjian hong
lebih keras, menjesakkan dada dan me-remas2 seluruh
tubuhnja. Ia melangkah madju setindak lagi, serunja: "Harap
nona mengatakan!" Siu-lan mengangkat kepalanja. Ketika
pandangannja tertumbuk akan tatapan Tjian hong,
kembali dara itu ter-sipu2 menunduk lagi. Kata2 jang
sudah siap diluntjurkan terpaksa ditelannya kembali.
"Nona, bagaimanakah tjaranja mengobati?" Tjian
hong makin tegang. Siu-lan memberanikan diri berkata: "Djika
kukatakan, apakah tuan takkan menertawakan?"
"Silahkan mengatakan, masakan kutertawai?"
"Tjaranja..." baru sidara mengutjap sepatah kata,
selembar mukanja merah ke-malu2an.
Tjian hong makin tak mengerti. "Silahkan
mengatakan!" Didesak terus, Siu-lan mengeraskan hatinja:
"Bubuk San-hun-hiang membujarkan pemusatan hawa
Im dan Yang dipusar perut. Untuk menjatukan hawa Im
dan Yang itu, ada dua tjara. Makan teratai saldju Swat"
lian tju atau terangkapnja hawa laki dan perempuan..."
wadjah Siu-lan merah membara.
Tjian hong segera tahu apa jang dimaksudkan.
Iapun ter-sipu2 merah wadjahnja, serunja: "Ini,
bagaimana mungkin...."
Tetapi sekalipun mulutnja menolak, namun kakinja
melangkah madju dua tindak lagi dan tiba2 ia mentjekal
tangan sidara: "Siu-lan, Siu-lan... berbisik dengan
terengah tegang. Bukan main kedjut Siu-lan. Ia ketakutan melihat
pantjaran mata sipemuda jang ber-api2. Segera ia
meronta dan menjurut mundur dua langkah: "Tu....
tuan.... djangan...."
Tetapi Tjian hong saat itu sudah dikuasai oleh
pengaruh San-hun-hiang. Tubuhnja seperti dibakar,
darahnja mentjar deras. Dipeluknja pula Siu-lan erat2.
Siu-lan meronta se-kuat2nja, namun sia2. Kedua lengan
Tjian hong jang kuat laksana terkaman harimau. Siu-lan
menangis.... Se-konjong2 terdengar suara bentak menggeledek
dibarengi dengan setiup angin dahsjat. Tjian hong dan
Siu-lan mentjelat beberapa tombak djauhnja....
Tjian hong lepaskan pelukannja. Tjepat ia lontjat
bangun. Tetapi sebelum kakinja berdiri tegak ditanah,
sebuah angin prahara jang hebat melandanja pula. Tjian
hong menjongiong dengan pukulan, tetapi amboi....
segera ia ter-tjekat. Ia menjadari bahwa tenaga-murni
sudah lenjap. Hek.... ia ter-hujung2 kebelakang sampai 7-8
langkah. Putjatlah wadjah Tjian hong. Memandang
kemuka, dilihatnja seorang pemuda badju biru muntjul
dihadapannja. Pemuda itu tengah mengangkat tangannja
lagi. Dari pantjaran matanja jang ber-api2, pemuda itu
se-olah2 memandang Tjian hong sebagai seorang musuh
besar. Dan pukulan jang dilontarkan itupun bukan main
ganasnja. Tjian hong serasa terbang semangatnja. Ia
sudah putus asa.... Dalam saat2 seperti telur diudjung tanduk itu sekonjong2 Sui-lan lontjat ketengah dan menangkis
pukulan pemuda pendatang itu. Sui-lan ter-hujung2
kebelakang. Tetapi ia dapat menjelamatkan Tjian hong.
Rupanja pemuda badju biru masih penasaran
sekali. Ia mengangkat tindjunja kanan dan dihantamkan
kedada Tjian hong. "Tio In, berhenti!" Sui-lan membentak.
Pemuda badju biru gemetar tubuhnja. Buru2 ia
tarik pulang tangannja dan lontjat mundur.
"Bagus benar perbuatanmu, Sui-lan!" serunja
dengan marah. Utjapan tadjam dari pemuda itu laksana sembilu
menjajat hati Tjian hong. Nafsunja jang ber-kobar2 tadi
pun reda seketika. Dengan bertjutjuran air mata, Sui-lan berseru: "Tio
In, kau tak seharusnja menuduh aku sehina itu! Kau
salah faham...." "Salah faham" Hm, aku masih pertjaja penuh pada
kedua mataku!" "Tak njana kau..."
"Akupun lebih2 tak njana kau bakal melakukan
perbuatan sehina itu," tukas sipemuda dengan sinis.
"Tio In, kau harus pertjaja padaku," seru Siu lan
setengah meratap. "Perempuan busuk, djangan panggil namaku lagi,"
bentak pemuda jang disebut Tio In.
"Ah, Tio In. Seharusnja kau teringat betapa besar
kasihku kepadamu. Aku takkan menghianati tjintaku
kepadamu. Tak nanti hatiku berobah. Apalagi kita kan
sudah bertunangan..."
"Djangan bermadu dimulut, djangan tjoba meraju


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku lagi. Aku sudah mengetahui perbuatanmu jang
binal" bentak Tio In.
Dua butir airmata bertjutjuran disela pelupuk Siulan. Serunja dengan penuh kemesraan: "Tio In, aku
adalah bakal isterimu...!"
"Bakal isteriku" Ha, ha, ha, ha.... Djangan
melamun kau... ha, ha... ha, ha..."
"Tio In..." Tiba2 dahi pemuda itu mengerut bengis, serunja:
"Akan kuputuskan tali pertunangan kita!"
"Memutuskan tali pertunangan?"
"Ja, sedjak saat ini djanganlah kau mengaku diriku
sebagai tjalon suamimu. Terhadap perempuan hina
sematjam kau, tak nanti aku sudi memperisteri lagi!"
Siu-lan mendjerit. Airmatanja membandjir. Kata
tunangannja itu merupakan halilintar menjambar di
tengah hari. Bluk, seketika terdjatuhlah ia duduk
ditanah... Melihat kedjadian itu, segera Tjian hong melangkah
kehadapan pemuda badju biru, serunja: "Saudara salah
faham," udjarnja. Melihat Tjian hong, kebentjian pemuda badju biru
berkobar. Wadjahnja mengerut bengis, nafsu membunuh
menjala keras. "Tutup mulutmu, andjing!" bentaknja dengan
marah. Tjian hong menerima hinaan itu dengan sabar,
udjarnja pula: "Kuharap djangan saudara hanja
menuruti kepanasan hati sadja karena hal itu akan
membawa kemenjesalan dibelakang hari!"
"Ha, bangsat hina. Kau masih berani memberi
pendjelasan kepadaku" Benar2 tak punja muka!"
"Harap saudara bitjara jang sopan sedikit," Tjian
hong tahankan kesabarannja.
"Huh, perlu apa aku harus pakai kesopanan
terhadap binatang seperti kalian..."
Hampir meledaklah dada Tjian hong karena tak
kuat lagi menahan kemarahannja. Namun ia berusaha
keras untuk menekannya. "Mungkin kau akan menjesal nanti," katanja
dengan sabar. "Kentut, menjesal atau tidak, apa pedulimu!"
"Aku berkata dengan itikad baik," kata Tjian hong.
"Itikad baik" Tjis, utjapan seorang bangsat
beritikad baik" Ha, ha... petjahlah tertawa pemuda badju
biru itu. Tertawa jang penuh mengandung kemarahan
dan kemuakan. "Kalau kau bertingkah berandalan, terpaksa akan
kuhadjar mulutmu!" achirnja Tjian hong tak kuat lagi
menahan kemarahannja. "Aku tetap akan tertawa terus karena akan
kutjabut njawamu!" seru sipemuda.
Setelah puas menghamburkan tertawa tiba2
pemuda badju biru itu ajunkan tindjunja kanan
menampar Tjian hong. Rasa mara marah telah menggelorakan darah Tjian
hong. Tanpa disadari, ratjun San-hun-hiang tertindas.
Segera ia angkat tangan kiri balas menjongsong.
Seketika amblaslah angin pukulannja kental dan
bahkan dirinja disambar oleh satu aliran tenaga jang
hebat sekali. Pemuda badju biru itupun tak kuat
mempertahankan kedudukannja. Ia terhujung-hujung
beberapa langkah kebelakang....
Ter-mangu2 pemuda badju biru memandang
lawannja. Tak habis herannja ia memandang Tjian hong.
"Ah, bukankah itu tadi dapat kupukul mentjelat.
Mengapa tiba2 ia mempunjai tenaga pukulan jang
sedemikian saktinja" Heran benar....." pikirnja.
Tetapi ia masih penasaran. Serentak ia memukul
lagi dengan kedua tangannja. Tjian hongpun menangkis.
Krakkk.... terdengar djeritan ngeri dari mulut
sipemuda badju biru dibarengi dengan rubuhnja sang
tubuh ketanah. Tjian hong lontjat menghampiri hendak menjusuli
pukulan lagi. Tetapi setjepat itu Siu lan menghadangnja:
"Harap tuan memberi ampun!"
Tjian hong tertegun. Ketika berpaling memandang
sidara, hatinja kembali bergolak. Buru2 ia tundukkan
kepala, dan berlalu. Siu-lan mengangkat pemuda badju biru, tegurnja
mesra: "Tio In, apakah kau terluka berat?"
Plak, se-konjong2 Tio In menampar kepala Siu-lan:
"Perempuan hina, enjah1 Djangan sentuh aku!"
"Ah, djanganlah kau begitu keras!"
"Kaulah jang menghianati aku dulu. Sekarang
ikatan kita sudah bebas. Silahkan kau berfoja2 dengan
djantung hatimu sibadjul tadi, ha, ha, ha..."
Mendapat hinaan terus menerus dari kekasihnja,
achirnja berserulah Siu-lan dengan geram: "Si Tio In,
aku dapat membentjimu seumur hidup!"
"Membentji aku" Sudah tentulah, karena aku dapat
mengganggu kesenanganmu!"
"Djangan menghina aku begitu rupa!"
"Kalau menghina kau mau apa?"
"Baik, ingatlah. Aku dapat membalas dendam
padamu." "Aku siap menunggu pembalasanmu, perempuan
hina!" habis berkata pemuda badju biru itupun segera
melangkah pergi dengan tindakan berat.
Tjian hong menghampirinja dan berseru: "Apakah
saudara benar2 tak mempertjajai omonganku?"
"Didunia tiada terdapat lelaki jang mau mengaku
mempermainkan wanita!" sahut Tio In.
"Kau kelewat menghina orang!"
In. "Perbuatanmu lebih hina dari hinaanku," sahut Tio
Gemetar tubuh Tjian hong mendengar kata2 jang
menusuk itu. Segera ia mengangkat tindjunja hendak
menghadjar pemuda itu. Tetapi kembali Siu-lan
mentjekal lengannja: "Tuan, maafkanlah kekhilafannja!"
Tjian hong menghela napas pandjang untuk
melonggarkan kesesakan dadanja.
Pemuda badju biru itu menggerenjutkan geraham
berseru geram: " Pada suatu hari aku tentu membasmi
kalian!" Sekali ajunkan tubuh ia lontjat menghilang.
Tjian hong masih ter-mangu2. Hatinja penuh
keresahan. Siu-lanpun tak tahu apa jang harus
dilakukan. Saat itu malampun makin dingin.
"Karena menolong diriku, tuan sampai mengalami
tjertja hinaan orang. Aku sungguh menjesal sekali," kata
Siu-lan sesaat kemudian. Tjian hong memandangnja. Tak tahu ia bagaimana
hendak mendjawab. Kata Siu-lan pula dengan rawan:
"Dan tuanpun terkena ratjun San-hun-hiang. Ketjuali
dengan buah teratai saldju, sukar ditolong. Akulah jang
menjebabkan penderitaan tuan..."
"Tak usah nona memikirkan hal itu. Mati hidup
ditangan Jang Kuasa!" Tjian hong menghiburnja.
"Tetapi...." airmata Siu lan membandjir sehingga
tak dapat melandjutkan kata2nja.
Beberapa saat Tjian hong tak dapat berkata apa2.
Achirnja ia dapat djuga mengutjapkan beberapa patah
kata agar nona itu djangan bersedih.
"Ah, walaupun kehormatanku tertjemar, tak djadi
soal. Tetapi nama tuan terhina, aku lebih baik mati
sadja!" tiba2 Siu lan benturkan kepalanja kebatang
pohon dibelakangnja. Tjian hong kaget dan tjepat menjambar tubuh nona
itu: "Dengan bunuh diri, bukankah nona tak mempunjai
kesempatan untuk membersihkan diri lagi?"
"Kehormatanku tak penting," kata Siu-lan. Jang
kusesalkan ialah tak dapat mengobati ratjun dalam
tubuh tuan itu!" "Hal itu tak perlu nona resahkan..."
"Ah, apakah tuan sungguh mentjegah aku bunuh
diri?" "Apakah nona tak pertjaja padaku?"
"Bukan begitu maksudku."
"Lain..." "Kalau tuan memang ber-sungguh2, maukah tuan
meluluskan sebuah permintaanku?"
"Apa?" "Harap meluluskan dulu, baru kukatakan."
Tjian hong terkesiap: "Asal beralasan, tentu
kululuskan." Kalau begitu harap tuan djangan memaki aku tak
punja malu!" "Tentulah, masakan aku berani memaki nona."
Selembar wadjah Siu-lan merah. Se-konjong2 ia
menutuk djalan darah Oh-hiat (pembisu) dipinggan Tjian
hong. Karena tak menduga dan djaraknja dekat sekali,
rubuhlah Tjian hong. Diam2 ia memaki nona itu. Karena
tak dapat bitjara, ia melampiaskan kamarahannja
dengan pandangan mata. Dipandangnja nona itu dengan
penuh kebentjian. "Harap maafkan tuan. Aku terpaksa melakukan hal
ini," kata Siu-lan dengan penuh maaf.
Tjian hong jang tak dapat berkata apa2 hanja dapat
memaki dalam hati: "Huh, perempuan hina jang tak tahu
membalas budi!" Kata Siu-lan dengan nada rawan pula:
"Tunanganku telah mendepak aku karena salah faham.
Dan kehormatankupun telah tertjemar. Untuk apakah
aku harus hidup didunia lagi" Tetapi sebelum aku mati,
aku rela menjerahkan diriku kepadamu agar dapat
menghilangkan ratjun dalam tubuhmu. Aku hendak
membalas budi tuan."
"Tidak, tidak, tidak, djangan begitu, djangan begitu,
Tak boleh nona berbuat begitu..." Tjian hong mendjerit
dalam hati. Siu lan kerutkan kening demi melihat kerenjut
muka Tjian hong menampilkan kemarahan. "Djangan
tuan menganggap diriku sebagai perempuan hina tak
tahu malu. Aku melakukan hal ini karena terpaksa!"
katanja. Tanpa' ragu2 lagi Siu-lan terus melolos pakaiannja.
Tjian hong mendjerit dalam hati: "Djangan, djangan
lakukan hal itu!" Tetapi Siu-lan sudah madju menghampiri. Darah
Tjian hong mendebur keras sekali. Buru2 ia pedjamkan
kedua matanja... Siu-lan tak peduli lagi. Demi untuk menolong djiwa
orang jang pernah menjelamatkan kehormatan, ia tak
malu lagi untuk memberikan kesutjiannja. Pada saat ia
hendak menanggalkan kain penutup tubuhnja jang
terachir, sekonjong-konjong setiup tenaga kuat
mendampar dan mementalkan nona itu sampai 4-5
tombak. Siu-lan mendjerit ngeri. Dengan tjepat ia lontjat
bangun. Tetapi demi mengetahui siapa pendatang itu, ia
segera lari se-kentjang2nja. Tjian hong membuka mata.
Dilihatnja bajangan nona itu lari kemati-matian. Sebagai
gantinja tampak seorang lelaki tua bertubuh kurus
kering tegak berdiri disebelah timur. Rupanja orang tua
itu tengah mengawasi majat Lak-tjhiu sik-kui.
Tahulah Tjian hong bahwa Siu-lan tentu
dikedjutkan oleh muntjulnja orang tua kurus itu.
Berselang beberapa saat kemudian, orang tua
kurus itu berputar tubuh. Dipandangnja Tjian hong
dengan tadjam. Kemudian orangtua itu mengangkat
tangannja kanan. Dengan sebuah djari ia ber-gerak2
membuka djalan darah Tjian hong jang tertutuk.
Tjian hong lontjat bangun dan menghaturkan
terima kasih: "Terima kasih atas pertolongan paman...."
ia tak landjutkan kata-katanja karena terkesiap melihat
orangtua kurus itu memandangnja dengan ber-api2.
"Siapakah jang membunuh orang itu?" seru
orangtua dalam nada dingin.
Tjian hong tahu jang dimaksud ialah Lak-tjhiu sikkui, djawabnja: "Aku!"
"Mengapa kau membunuhnja?" tegur orang tua itu
masih dengan pandangan mata jang berkilat-kilat
tadjam. "Dia gemar merusak kehormatan wanita,
membunuh dan membakar rumah penduduk. Terpaksa
kubunuhnja," djawab Tjian hong.
"Tahukah kau siapa dia?"
"Tahu. Dia adalah Lak-tjhiu-sik-kui Djui Liat!"
"Tahukah kau siapa gurunja?"
"Apakah bukan Sik-long Tang-bun-kui?"
"Sudah tahu gurunja mengapa kau berani
membunuhnja?" "Sik-long djuga seorang durdjana jang gemar
merusak kaum wanita, membunuh dan. merampok. Dia
pun harus dibasmi!" sahut Tjian hong.
"Kau kenal Sik long?" tanja orangtua kurus.
"Tidak!" "Akulah Tang-bun-kui," diluar dugaan orangtua
kurus itu berkata, "budjang, kau bermata tetapi tak
dapat melihat gunung Thay san. Karena berani
membunuh muridku, maka kematianmu sudah pasti
hari ini!" Tjian hong terkedjut, serunja: "Tang-bun kui, aku
djusteru hendak membunuhmu!" " utjapan itu ditutup
dengan menghantamkan kedua tangannja kedada Tan
bun-kui Sik-long. Hanja sekali bergerak, Sik-long sudah menghindari
serangan Tjian hong dan setjepat itu pula mengirimkan
pukulan balasan sebanjak 3 kali.
Tjian hong terpesona melihat ketangkasan orang.
Terpaksa ia mundur 3 tombak. Setelah mengerahkan
seluruh tenaganja, segera ia berseru: "Tang-bun-kui,


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terimalah pukulan Hitam ini!"
Setjertjah sinar hitam berkelebat menjambar Siklong. Bukan kepalang kedjut Sik long. Njalinja petjah.
Kesan kegagahan Malaekat-elmaut ber-puluh2 tahun
jang lalu masih tetap menggetarkan hatinja. Belum
sempat Sik long memikirkan bagaimana harus
menghadapi, tiba2 sinar hitam itu sudah melandanja.
Terdengar djeritan ngeri dan rubuhlah tubuh Sik long....
Tjian hong menghampiri. Melihat Sik-long binasa,
Tjian hong menghembuskan napas longgar.
Saat itu matahari magrib memantjarkan sinar
keemasan. Diufuk barat bagaikan tersembur djalur2
emas. Tiba2 ia terkedjut sekali. Di-kutjal2nja sang mata
bebarapa kali. Tetapi mengawasi lagi dengan seksama
ternjata memang sungguh2. Tubuhnja menggigil,
wadjahnja berobah seketika....
*** 13 Saldju badja. "Apakah ini bukan impian?" serunja seorang diri.
Namun djelas bahwa djauh disebelah muka terkilas
sebidang tanah kuburan jang luas. Dari puntjak makam
memantjar gumpal2 sinar ke-hidjau2an matjam
phosporus. Jang mengherankan bukanlah karena kuburan itu
memantjar sinar hidjau, tetapi karena sinar hidjau itu
berbeda dengan warna hidjau jang kebanjakan. Mirip
dengan gulung2 roda api. Diam2 dihitunglah roda api
itu. Ternjata tak kurang dari 9 gunung djumlahnja.
Malam makin pekat. Beberapa saat kemudian roda
roda api itupun lenjap. "Mungkin ini tipu muslihat pendjahat2 persilatan
untuk me-nakut2i orang," pikir Tjian hong, "tetapi aku
sudah menguasai ilmu Pukulan Hitam, lebih baik aku
pulang mendjumpai ibu."
Memang bagi Tjian hong jang per-tama2 harus
dikerdjakan ialah menemui mamahnja. Banjak hal jang
perlu ia tanjakan pada Kang-ou-bi-djin. Mengapa
ajahnja, Tjian bin-su-seng, dipendjarakan sampai
belasan tahun di Neraka-19-lapis" Dan mengapa wadjah
ibunja jang tjantik mendjadi rusak tak keruan" Siapakah
jang merusakkannja... Persoalan aneh itu mamenuhi ruang benaknja.
Rasa ingin tahu mendorong kakinja berlari setjepat
angin. Ia berputar tubuh terus melontjat. Tetapi pada
waktu ia ber-lontjat2an, ia melirik pula ketanah kuburan
dan mendeburlah darahnja dengan keras. Rasa
kedjutnja melajangkan tubuhnja lontjat kedalam sebuah
gerumbul semak... Hati Tjian hong mendebur keras. Walaupun malam
gelap namun samar2 ia dapat melihat muntjulnja 3
sosok bajangan dari kuburan tadi. Gerakan ketiga orang
itu gesit sekali. Dalam beberapa kedjab mereka lewat
ditempat persembunjiannja.
Amboi... diantara ketiga orang itu ternjata terdapat
Kang-ou-bi-djin, ibunja sendiri! Sekalipun karena gelap
ia tak berani memastikan wanita itu ibunja sendiri,
tetapi dari gerak tjara wanita itu berlontjatan, ia tak
asing lagi. Kedua kawan wanita itu, jang satu seorang lelaki
tinggi besar dan jang seorang bertubuh kekar gagah.
Punggungnja menjanggul pedang. Dari gerak geriknja
djelas mereka itu memiliki kepandaian silat jang tinggi.
Ketiga orang itu menghampiri ketempat kuburan
jang mengeluarkan asap hidjau tadi dan berhenti disitu.
Karena djaraknja djauh, Tjian hong tak dapat mendengar
djelas apa jang dibitjarakan mereka. Hanja jang
dilihatnja, Kang-ou-bi-djin menundjuk makam itu dan
mengutjap beberapa patah kata.
"Mengapa mamah datang kemari?" demikian Tjian
hong bertanja dalam hati.
Dan kedua orang lelaki itu tampaknja tunduk
sekali kepada Kang-ou-bi-djin. Siapakah gerangan kedua
lelaki gagah itu" Demikian Tjian hong tak habis
mengerti. "Sedjak mengasingkan diri digubuk terpentjil,
mamah djarang sekali menampakkan diri. Ketjuali tempo
hari kedatangan Uh-hoa-kiam, tiada lagi orang persilatan
jang mengundjunginja!" Tjian hong masih terus
melamun. Namun ia makin bingung. Dipandangnja lagi
wanita itu dengan saksama, ah, benarlah. Itulah
mamahnja Kang-ou-bi-djin.
Tampak lelaki bersanggul pedang itu
menganggukkan kepala, mengiakan kata2 Kang-ou-bidjin. Kuburan jang dihadapi ketiga orang itu merupakan
sebuah makam besar jang indah bangunannja.
Sekelilingnja penuh dengan patung2 dan pohon2.
Se-konjong2 salah seorang pengawal Kang-ou-bi
djin madju menghampiri sebuah patung dan
menghantamnja. Bum... patung itupun rubuh.
Tjian hong heran, pikirnja: "Menilik kerasnja
pukulan orang itu tetapi patung hanja rubuh dan tidak
hantjur, terang kalau patung itu tentu terbuat dari batu
istimewa!" Lelaki itu melambaikan tangan kepada Kang-ou-bidjin dan lelaki jang satunja. Keduanja segera lontjat
menghampiri ternjata bekas tempat patung itu sebuah
lubang rahasia jang tjukup besar dimasuki orang.
Djelas bahwa kuburan itu bukan kuburan biasa.
"Apakah kuburan itu mempunjai ruang dibawah
tanah" Kalau tidak mengapa patung itu merupakan
penutup sebuah terowongan" Kalau begitu kuburan
itu....," ia bergidik, "dihuni orang?"
Walaupun hanja lamunan tetapi beralasan djuga.
Hanja jang tak masuk akal, masakan didalam kuburan
dihuni orang! Dilihatnja ketiga orang itu agak bersangsi tetapi
achirnja wanita jang diduga Kang-ou-bi-djin itupun
segera menerobos kedalam liang terowongan. Sedjenak
tertegun, kedua lelaki itupun ikut masuk. Setelah
mereka bilang, barulah Tjian hong lontjat keluar. Sekonjong2 artja jang rubuh tadi berbangkit lagi
ketempatnja sehingga lubang tertutup pula.
Kini perhatian Tjian hong tertarik akan kedjadian2
jang mengherankan dikuburan itu. Dan ia hendak
mengetahui apakah wanita tadi benar ibunja atau
bukan. Tjepat ia lari menghampiri patung. Malam pekat,
tiada rembulan dan bintang. Hanja kesiur angin malam
jang menambah kesunjian dan keseraman tempat
pekuburan. Dengan memberanikan diri Tjian hong
merabah batu nisan kuburan, ihhh... buru2 ia tarik
kembali tangannja, Batu nisan dingin sekali. Sedemikian
dingin hingga tubuhnja menggigil.
Diawasinja batu nisan itu. Disitu tertulis beberapa
patah huruf jang berbunji:
Banjak manusia tetapi djarang jang tahu diri.
Didunia persilatan hanja aku jang mendjagoi.
"Tjongkak benar!" diam2 Tjian hong memaki dalam
hati. Timbul seketika keberatannja: "Siapakah jang
membangun kuburan besar ini" Dan siapakah jang
menghuni dalam kuburan ini?"
Pertanjaan itu tak dapat didjawabnja. Kembali ia
teringat akan ketiga orang jang masuk kedalam
terowongan tadi. Diantaranja jang wanita mirip benar
dengan ibunja. "Baik kutunggu mereka keluar atau ikut masuk
sadja?" pikirnja. Rasa ingin tahu rupanja lebih
menguasai pikirannja. "Mengapa aku tak masuk sadja"
Mungkin aku dapat menambah pengalaman!"
Dengan keputusan itu segera ia melangkah
ketempat artja tadi. Dengan sekuat tenaga ia menampar
artja itu. Ia jakin artja itu tentu rubuh.
Tetapi apa jang didapatinja, benar2 membuatnja
melongo. Bukan sadja artja itu tak rubuh, tetapi
sedikitpun tak bergojang sama sekali. Aneh, benar2 aneh
sekali. Bukankah tadi silelaki bersanggul pedang dapat
menghantam rubuh artja itu" Ia jakin tenaga pukulannja
tentu lebih kuat dari pukulan lelaki itu. Tetapi mengapa
artja tak bergeming sama sekali"
Ia penasaran. Sebuah pukulan dilantjarksn lagi.
Tetapi ah.... hasilnja tetap nihil. Sedikitpun artja itu tak
bergeming. Tjian hong tertegun. Terlintas sesuatu dalam
benaknja. Ia menghampiri lain artja dan menamparnja.
Ah... patung itupun rubuh dan terbukalah sebuah liang
terowongan! Tampak oleh Tjian hong bahwa lubang itu gelap
sekali. Samar2 seperti terdapat tangga menurun. Tetapi
tak dapat dilihat berapa dalam dasarnja.
Tjian hong meragu sebentar, kemudian ia tetap
menuruni tangga. Sampai pada anak tangga jang ke 17,
sampailah ia ditempat jang terang. Disebelah muka
terbentang sebuah lorong. Setelah ia menjusur lorong
kembali ia tiba ditempat gelap lagi. Dengan
mengandalkan ketadjaman matanja dapatlah Tjian hong
mengetahui bahwa kini ia terhadang oleh sebuah pintu
besi. Sekeliling tempat terasa dingin sekali.
Tjian hong merabah pintu besi. Tiba2 didengarnja
suara pembitjaraan orang. Dari nadanja mereka itu
terdiri dari tiga orang. Tjian hong pasang telinga
mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Bengtju, benarkah setan tua itu berada dalam
kuburan ini?" terdengar sebuah suara njaring.
Tjian hong menduga bahwa jang menjebut "bengtju" (ketua), tentu salah satu dari kedua orang lelaki.
Tetapi siapakah jang dipanggil sebagai bengtju itu"
Mereka hanja 3 orang. Apakah jang disebut bengtju
itu bukan wanita jang mirip ibuku tadi?" demikian Tjian
hong me-nimang2 dalam hati.
Dan ternjata dugaannja itu memang benar.
"Toan Bok tjo, perhitungan thay-siang tentu tak
salah," sahut jang dipanggil bengtju.
Mendengar nada suara orang itu, gemetarlah Tjian
hong. Djelas, itulah suara ibunja. Didunia memang bisa
terdapat orang2 jang serupa wadjahnja, tetapi tak nanti
ada jang kembar nada suaranja. Ja, tidak mungkin!
Kata2 'bengtju, "thaysiang' dan "Toan Bok-tjo' itu
asing bagi telinga Tjian hong. Sedjauh ingatannja, belum
pernah ia tahu ibunja mempunjai hubungan dengan
orang luar. Terutama dengan orang2 jang mempunjai
nama begitu. Tjian hong seperti dalam kabut kegelapan!
Kata orang jang disebut Toan Bok-tjo: "Memang
dugaan thay siang tak salah. Tetapi kitapun telah
menjelidiki segenap udjung dan seluruh sudut kuburan
ini. Ketjuali hanja gunduk2 tanah jang seram, tak ada
barang sesosok bajangan manusiapun djuga. Inilah jang
membuat kita ragu2!"
Wanita jang dipanggil bengtju itu tertawa dingin:
"Kau kira kita sudah mendjeladjahi seluruh sudut
kuburan besar ini" Ketahuilah bahwa setan itu seorang
sakti jang luar biasa. Baik kepandaian silat maupun
ketjerdasannja hebat sekali. Turut pendapatku, kita baru
seperseratus bagian mendjeladjahi kuburan ini!"
Mendengar itu lelaki jang satunja berkata;"Kalau
begitu, betapakah besarnja bangunan makam ini!"
Wanita itu berseru : "Toan Bok-tjo, kata2mu
"betapakah besarnja bangunan ini" masih belum tjukup
untuk menggambarkan luas kuburan ini jang
sesungguhnja!" "Benarkah begitu?" Toan Bok-tjo terkedjut.
"Kau anggap bagaimana nilainja Swat-kong itu"
wanita jang disebut bengtju balas bertanja.
Djawab Toan Bok-tjo : "Swat-kong hanja sebuah
benda jang terdapat dalam dongeng. Konon benda itulah
jang mentjiptakan Pulau Es dikutub utara. Untuk
mengambil segumpal ketjil dari benda itu, sukar2nja
bukan main!" Swat-kong artinja badja saldju. Toan Bok tjopun
menambahkan : "Kabarnja Swat-kong masih mempunjai
lain chasiat lagi. Dapat menghisap segala matjam ratjun
jang menjerang tubuh manusia!"
"Bagaimana kalau Swat-kong jang berumur ribuan
tahun?" tanja bengtju wanita.
"Lebih2 benda sematjam itu, sukarnja bukan
buatan. Djika bisa mendapat sekeping sadja, dipakai
sebagai alas tidur akan dapat membantu peredaran
darah orang. Dapat pula digunakan untuk mengebali
berbagai djenis penjakit, menambah pandjang umur.
Bagi kaum persilatan benda itu dapat menambah
tenaga-dalam dan luar!"
Mendengar pembitjaraan itu, Tjian hong
tertjengang. Ia tak mengira bahwa didunia terdapat
benda jang sedemikian hebat chasiatnja. Tetapi jang
mendjadi pemikirannja, siapakah Wanita jang dipanggil
sebagai bengtju itu" Mengapa ia menanjakan hal itu?"
Terdengar wanita itu berkata pula: "Djika
kukatakan bahwa artja2 jang dipasang disekeliling
makam itu terbuat dari Swat-kong, apakah kalian
partjaja?" Sampai beberapa saat tak terdengar djawaban.
Achirnja barulah Toan-bok-tjo jang berkata: "Ah, tidak
mungkin!" "Tetapi memang benar Swat-kong!" kata beng-tju
dengan tandas, "bahkan jang mungkin kalian tak
menduga jalah bahwa artja itu bukan sadja terbuat dari
pada Swat-kong seribu tahun, pun bahkan Swat-kong
dari puluhan ribu tahun usianja!"
"Ribuan tahun?"
Bengtju tertawa: "Batu nisan makam ini, terbuat
daripada Swat-kong puluhan ribu tahun!"
Tjian hong tertegun. Kini ia baru menjadari: "Ah,
makanja batu nisan itu dingin seperti es!"
"Hebat!" teriak Toan Bok-tjo, "bangunan makam ini
benar2 luar biasa hebatnja. Tetapi setan tua itu sudah


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

20-an tahun mengundurkan diri dari dunia persilatan.
Masakan dia masih hidup."
"Mungkin djuga," kata bengtju, "tetapi jang penting
jalah kitabnja. Djika kitab itu tak dapat kita rebut
darinja, pertjuma sadja!"
Kembali Tjian hong melongo. "Kitab" Kitab apa?"
serunja dalam hati. Kata jang bernama Toan Bok-tjo pula: "Kitab harus
kita dapatkan. Tetapi apakah bengtju jakin tentu dapat
merebut kitab dari setan tua itu?"
Jang dipanggil bengtju kedengaran tertawa riang,
serunja: "Djika tidak jakin, masakah aku dapat mendjadi
bengtju kalian?" "Bengtju sakti dan tjerdas, hamba taat!" seru Toan
Bok-tjo. Setelah pembitjaraan itu sampai lama Tjian hong
tak mendengar mereka ber-kata2 lagi. Hanja kedengaran
derap kaki makin lama makin djauh. Tjian hong duga
mereka tentu pergi kelain tempat.
Tjian hong berusaha mendebur pintu besi dan
ah.... pintu itupun terbuka. Karena terkedjut, Tjian hong
sampai menjurut mundur.... Tiba2 dari dalam pintu besi
itu memantjarkan sinar ber-kilat2. Itulah sendjata
rahasia. Tjepat2 Tjian hong menghindar kebawah.
Sinngg... sendjata rahasia meluntjur lewat disisinja.
"Berbahaja!" ia kutjurkan keringat dingin. Kini ia
tak berani lagi memandang rendah keadaan dimakam
situ. Setelah menunggu beberapa saat tak ada reaksi
apa2 lagi, barulah ia berani berbangkit dan melangkah
masuk. Begitu masuk ia hampir berteriak kaget. Matanja
tertumbuk oleh sinar ber-kilat2 jang menjilaukan mata.
Hampir2 ia tak pertjaja apa jang disaksikan saat itu.
Ruangan didalam pintu besi itu - ternjata sebuah
ruangan penuh dengan emas Intan dan barang2
berharga. Nilainja sukar diperkirakan. Asal dapat
mengambil beberapa butir mutiara sadja, tentu takkan
habis dimakan seumur hidup.
Seketika timbul nafsu keserakahan Tjian hong. Ia
madju menghampiri dan mengambil sebutir mutiara jang
besar. Tetapi setjepat itu ia tarik pulang tangannja pula:
"Ah, tak boleh aku mengambil benda jang mendjadi milik
lain orang!" Dan tanpa menghiraukan segala kemewahan jang
disekelilingnja, segera ia melandjutkan langkahnja. Kini
ia melintasi sebuah lorong pandjang. Tiba2 hidungnja
tersampok sematjam bau harum. Bau harum itu
menimbulkan rasa sedap ditubuhnja, mendjalar
kebenaknja. Ia mempunjai perasaan hampa terhadap
segala benda didunia. Tak kepingin lagi ia akan segala
nama, pangkat dan kekajaan. Tiba diudjung lorong, tibalah ia disebuah kamar
jang mewah sekali. Sebuah kamar jang menjerupai
kamar istana. Randjang dan kasur bersulamkan
benang2 emas jang indah Di empat sudut diterangi oleh
untaian mutiara2 tjemerlang. Benar2 Tjian hong merasa
seperti berada di Keindraan tempat para dewa2.
Jang menjirapkan darah Tjian hong jalah
pemandangan jang dihadapi saat itu. Diatas randjang
jang mewah itu terbarinq seorang wanita tjantik dalam
pakaian jang tipis. Tubuhnja jang segar tampak djelas.
Sitjantik mengulum senjum dalam dekapan selimutnja
jang halus. Tersirap wadjah Tjian hong melihatnja. Pikirnja:
"Wanita ini tentu lama sekali dalam kesepian. Senjumnja
jang penuh arti itu, menjambut gembira kedatanganku.
Ah, baiklah kuhiburnja."
Tetapi bersamaan dengan itu, kesadaran pikirannja
timbul serempak: "Tidak, tidak! Wanita itu berbahaja,
apalagi berwadjah tjantik. Kasian dan rasa sajang harus
dibedakan. Tak boleh aku terpikat olehnja.
Terbitlah pertentangan hebat dalam hati pemuda
itu. Antara keinginan dan kesadaran. Tiba2 benaknja
terlintas oleh bajang2 seorang wanita jang
membentaknja dengan bengis: "Ajahmu Tjian-bin-suseng, telah disiksa dalam Neraka 19-lapis selama
belasan tahun. Dendam darah itu harus kau tebus.
Mengapa kau begitu mudah terpikat oleh wadjah
tjantik?" Ja, itulah nada pesan ibunja, Kang-ou-bi-djin jang
masih me-ngiang2 ditelinganja. Tergetar seketika hati
Tjian hong dan tersadarlah ia dari lamunan.
"Memalukan!" diam2 ia menjesali dirinja.
Kesadaran pikiran Tjian hong disusul oleh
terangnja penglihatan matanja. Kiranja wanita tjantik
jang terbaring diatas randjang itu, bukan manusia
melainkan batu pualam putih jang dipahat. Berkat seni
pahat jang tinggi, patung pualam itu benar2 menjerupai
manusia hidup..... 14 Kitab Kuning Tjian hong tinggalkan kamar jang indah mewah
dan kembali ia menjusur sebuah lorong. Walaupun
hanja lorong djalanan sadja, namun penuh dihias
dengan ratna mutu manikam jang luar biasa indahnja.
Se-konjong2 ia dikedjutkan oleh suara parau dari
seorang tua. "Kau sudah rela menghadiahkan, mengapa balik
kembali!" kata suara itu. Djelas bahwa kata2 itu tak
ditudjukan pada dirinja (Tjian hong).
Setelah tertegun sedjenak, Tjian hong hendak
melandjutkan langkahnja. "Djika kau temaha dan mendjengkelkan, djangan
persalahkan aku tak kenal kasihan!" kembali suara
parau orang tua itu terdengar. Rupanja ia marah.
Tjian hong terpaksa hentikan langkah2. Ia duga
orangtua itu tentu salah sangka kepada dirinja.
"Aku Ko Tjian hong, tak sengadja datang kemari..."
"O, kau djuga orang she Ko?" belum Tjian hong
selesai bitjara, siorangtua sudah menukasnja.
"Ja, memang aku she Ko dan bernama Tjian hong!"
Tjian hong mengiakan. "Kau telah melalui Ruang Harta dan Ruang
Ketjantikan?" seru orang tua itu pula.
Tjian hong tertegun, udjarnja: "Aku masuk dari
lubang dibawah artja. Beberapa kali aku tiba ditempat
tempat jang aneh dan berbahaja. Apa maksud lotjianpwe dengan kata2 Ruang Harta dan Ruang
Ketjantikan itu?" "Didalam Ruang Harta, ratna mutu manikam
berlimpah ruah. Tetapi penuh berlumuran ratjun ganas.
Apabila kau rakus dan mengambil permata2 itu, belum
kau berdjalan lima langkah sadja, tubuhmu tentu akan
luluh mendjadi air busuk..."
Serasa melajanglah semangat Tjian hong
mendengar keterangan itu. Ia bersjukur bahwa tadi ia
tak djadi mengambil permata.
Kata orangtua itu pula: "Ruang Ketjantikan itu
penuh berselubung obat2 bius jang harum dan wanita2
tjantik jang telandjang. Ruangannja indah mewah sekali.
Apabila orang tak kuat imannja dan tak dapat
mengendalikan nafsu, sekali ia mendjamah wanita palsu
jang berbaring dirandjang itu, seketika ia pasti ditabur
oleh ribuan batang anakpanah beratjun..."
Tjian hong mengutjurkan keringat dingin.
"Benarkah kau tak menghiraukan harta dan tak
mengatjuhkan wanita tjantik?" seru orangtua itu pula.
Dengan bangga Tjian hong menjahut: " Walaupun
aku bukan seorang nabi, tetapi kutahu djuga tentang
adjaran2 orangtua bahwa mengambil barang milik orang
adalah perbuatan haram. Bahwa terpikat oleh paras
tjantik adalah orang jang beriman tipis. Asal mempunjai
kesadaran, tentu mudah melintasi kedua ruang itu.
Dalam hal ini bukanlah sesuatu jang perlu dipudja
pudji!" "Garang benar kau, bujung!"
"Tetapi memang kenjataan begitulah."
"Ketahuilah bahwa selama beberapa belas tahun,
entah berapa djumlahnja orang jang memasuki makam
ini. Tetapi sampai detik ini, belum pernah terdapat orang
jang mampu melintasi kedua ruangan itu!" kata siorang
tua. "Benarkah itu?" Tjian hong setengah kurang
pertjaja. "Djika tidak kandas dalam Ruang Harta, mereka
tentu hantjur dalam Ruang Ketjantikan! Begitu melihat
harta karun jang sedemikian hebatnja, tergeraklah
keinginan mereka. Sekali mendjamah permata2 itu,
tubuh mereka segera hantjur luluh mendjadi tjairan air
busuk." "Tiada seorangpun jang mampu melintasinja?"
Tjian hong menegas. "Hm, tiada seorang jang mampu mengindjakkan
kakinja sampai di Ruang Ketjantikan!"
"Tetapi pada umumnja kaum persilatan
menganggap sepi akan segala harta kekajaan. Kumohon
lo-tjianpwe djangan kelewat memudji diriku!"
Orangtua itu tertawa ter-kial2 serunja: "Bujung,
meskipun orang persilatan tak memandang harta, tetapi
terhadap sesuatu mustika persilatan, mereka tentu tak
mau melepaskannja!" "Apakah didalam Ruang Harta itu, selain harta
permata masih terdapat permata pusaka?" seru Tjian
hong. "Ada sebutir mutiara dan sekeping mas hitam!"
"Apa gunanja mutiara dan mas hitam itu?" teriak
Tjian hong. "Mutiara dapat memunahkan segala ratjun di dunia
dan mas hitam adalah banda jang paling beratjun
didunia!" "Sungguh berbahaja!" batin Tjian hong, "untung
aku tak mengerti tentang mutiara dan mas hitam. Tjoba
tidak begitu tentu kuambil benda itu!"
Sekalipun begitu, berkatalah Tjian hong dengan
tenang: "Benarkah sedjak berpuluh tahun tak ada
seorangpun jang dapat mengambil harta kekajaan itu?"
Siorangtua bermenung sedjenak lalu berkata:
"Sedjak berpuluh tahun ini hanja ada seorang gagah jang
berhati keras dapat mengambil harta itu!"
"Ah, dia tentu seorang ksatrya gagah!" seru Tjian
hong. "Benar!" "Tetapi dapatkah ia melintasi Ruang Ketjantikan?"
"Sekiranja dia mampu melalui Ruang itu, tentu
komentarku berbeda!"
Diam2 Tjian hong membatin: "Ah, kiranja orang tua
ini seorang sakti jang luar biasa. Dia putus asa karena
tak mendapatkan manusia jang tak kepintjut harta
terpikat wadjah tjantik. Maka ia bersembunji dalam
makam ini." "Kalau begitu dia tentu mati dibawah hudjan anak
panah?" tandasnja. "Tidak..." "Lalu...?" Tjian hong heran.
"Pertama melintasi Ruang Harta, orang itu memang
lulus udjian. Dengan angkuh ia lewat terus. Tetapi ketika
menjusuri lorong, lama kelamaan timbullah sesal dalam
hatinja. Ia anggap harta kekajaan memang tak begitu
penting tetapi kedua mustika mutiara dan mas hitam
itu, adalah pusaka jang djarang terdapat didunia
persilatan. Betapalah sajangnja kalau tak diambil.
Timbulnja pikiran itu mendorong ia kembali ke Ruang
Harta lagi..." "Berhasilkah ia mendapatkan mutiara dan mas
hitam itu?" tanja Tjian hong.
"Kalau berhasil mendapatkan mana dia masih
dapat hidup?" kata siorangtua, "ketika masuk ke Ruang
Harta, dipandangnja mutiara dan mas hitam itu sampai
lama. Dalam batinnja terbit pertentangan hebat. Antara
hati temaha dan kesadaran. Achirnja Kesadaran dapat
menindas Temaha. Sekalipun demikian ia kutjurkan
keringat dingin djuga..."
"Lalu?" "Dia menjadari bahwa temaha akan harta kekajaan
adalah sifat manusia jang tidak baik. Dan ia urungkan
niatnja serta melangkah keluar lagi."
"Dia benar2 seorang jang tinggi kesadarannja!"
Orangtua berdiam diri sampai beberapa djenak,
udjarnja: "Masuklah kemari, bujung! Aku hendak
melampiaskan nazarku?"
"Nazar?" "Ja, aku mengikrarkan sumpah. Barang siapa jang
mampu melewati kedua Ruang itu akan kuberinja
peladjaran sebuah ilmu silat jang sakti!"
"Telah kukatakan," kata Tjian hong, "bahwa aku
tak sengadja masuk kemari. Bahwa aku berhasil dapat
melintasi kedua ruang itu, hanjalah karena aku tak mau
mengganggu barang2 disini jang bukan milikku.
Bagaimana aku berani meminta adjaran pada lotjianpwe?"
"Bukankah kau sengadja datang kemari?" tanja
siorang tua. "Tidak! Aku tak mempunjai ingatan untuk meminta
peladjaran ilmu silat!"
Orangtua itu merenung lagi, katanja kemudian :
"Bagaimanapun djuga kau adalah satu2nja orang jang
tahu akan isi hatiku. Masuklah dan mari omong2
dengan aku disini!" Tjian hong kepingin djuga melihat siapakah orang
tua itu. Segera ia melangkah masuk. Setelah membiluk
sebuah tikungan, ia tiba disebuah ruang jang terang
benderang. Sebuah pemandangan jang mengedjutkan


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat Tjian hong terurap darahnja. Ternjata dalam
ruang itu terdapat sebuah peti mati dari batu. Disisi petimati batu itu duduk seorangtua jang berpakaian djubah
kelabu. Rambutnja terurai pandjang. Sepasang matanja
ber-kilat2 memantjarkan sinar dingin, sinarnja lebih
terang dari lilin. Orangtua itu menjapukan matanja kepada Tjian
hong, udjarnja : "Bujung, kau ternjata seorang pemuda
gagah, seorang bakat jang bertulang bagus!"
Ter-sipu2 Tjian hong memberi hormat: "Ah, lotjianpwe keliwat memudji!"
"Benarkah kau orang she Ko?" tanja siorangtua.
Sahut Tjian hong dengan bersungguh: "She adalah
warisan dari leluhur, mengapa aku harus memalsukan?"
Orangtua itu tertawa mengekeh: "Djangan naik
pitamlah, bujung. Adanja kutanjakan she-mu itu, karena
selama hidup aku tak pernah melepas budi pada orang.
Dan tak pernah menerima budi orang. Tetapi kira2 pada
20 tahun berselang, aku pernah menerima budi
kebaikan dari seorang she Ko. Dan baru sadja tadi
kubalas budinja itu. Maka terhadap orang jang ber-she
Ko aku selalu memberi perhatian istimewa!"
"Siapakah orang itu" Sebelumnja aku perlu
menghaturkan terima kasih atas perhatian lo-tjianpwe
terhadap kaum keturunan Ko."
"Ko Ko-hong! seorang gagah jang berbudi luhur!"
Betapa bangga Tjian hong karena ajahnja
mendapat pudjian sedemikian rupa oleh siorang tua
sakti. Tiba2 orangtua berambut pandjang itu mengerlip
mata, serunja: "Bujung, pernah apa kau dengan Ko Kohong?"
"Dia adalah ajahku!" sahut Tjian hong.
Kini orangtua itu agak djelas, udjarnja : "Oh, tak
heran kalau kau tak mau menerima peladjaran dari aku.
Kiranja dengan mendukung budi ajahmu jang dilimpahkan padaku, kau hendak meminta kitab dari aku.
Hm, sajang kau terlambat selangkah!"
Tjian hong tak mengerti apa jang dimaksud oleh
orangtua itu. Kebalikannja karena melihat pemuda itu
diam sadja, siorangtua mengira kalau dia (Tjian hong)
penasaran. "Seperti telah kukatakan tadi, seumur hidup aku
tak mau berhutang budi pada orang," kata orangtua itu
pula, "walaupun Ko Ko-hong telah memberi budi besar
kepadaku, tetapi akupun telah membalasnja dengan
sebuah penghargaan jang hebat. Budi telah terbalas,
djanganlah kau menggunakan budi ajahmu itu untuk
meminta apa2 lagi dari aku!"
Tjian hong kerutkan alis: "Lo-tjianpwe salah duga.
Telah kukatakan. Kedatanganku kemari sama sekali tak
kusengadja, apalagi hendak menggunakan djasa ajah
untuk meminta balasan pada lo-tjianpwe."
"Kata2mu se-olah2 ber-sungguh2!" seru orang tua
berambut pandjang. Tjian hong berpikir sedjenak, udjarnja;"Kalau
kedatanganku ini dikatakan sengadja, "pun tak ada
hubungannja dengan lo-tjianpwe. Aku hanja mengikuti
djedjak orang dan kesalahan masuk dimakam ini."
"Mengikuti djedjak?"
Tjian hong mengiakan. "Mengikuti siapa?"
"Pada waktu lewat didaerah ini, tiba2 kulihat dua
orang lelaki dan seorang wanita muntjul. Wanita itu
mirip benar dengan ibuku....."
"Djangan ngotjeh tak keruan!" orangtua menukas
marah," wanita muda itu memang benar ibumu Kangou-bi-djin Hoa Sian-lan!"
Tjian hong tak pertjaja: "Ah, tak mungkin!"
"Mengapa tak mungkin" Dia sendiri jang mengaku
sebagai isteri Ko Koh-hong jang bernama Kang-ou-bi-djin
Hoa Sian-lan. Dan dengan menggunakan budi Ko Kohhong jang diberikan kepadaku, Hoa Sian-lan telah
meminta Kitab Kuning dari aku!"
"Benarkah itu?" Tjian hong terkedjut.
"Perlu apa aku bohong padamu!"
"Tetapi mamah tak nanti berbuat begitu, ja, tak
nanti.... Mah, mengapa kau menggunakan djasa ajah
untuk meminta Kitab Kuning?" ia memprotes dalam hati.
Tetapi ia tak dapat membela ibunja. Tak dapat ja
memberi alasan untuk membela ibunja.
Tjian hong menjesal mengapa tadi ketika masih
diluar makam ia tak segera muntjul menemui ibunja.
Mungkin ia dapat mentjegah niat sang ibu.
Ah, kini ibunja telah mendjadi seorang jang rendah
budi. Sebagai seorang anak sudah tentu ia bersedih.
"Lo-tjianpwe, benarkah ibuku dengan kedua lelaki
itu datang kemari?" masih ia meminta penegasan.
"Masakan ibumu itu palsu" Mereka bertiga belum
lama tinggalkan tempat ini!"
"Tetapi mengapa mereka tak melalui kedua Ruang
Harta dan Ruang ketjantikan?"
Tiba2 orang tua itu deliki mata: "Tempat ini
mentjapai luar makam, bukan hanja terdapat sebuah
lorong tetapi masih ada lain djalanan lagi. Tetapi mereka
telah berada dalam genggamanku!"
Kini barulah Tjian hong mengerti mengapa ketiga
orang siang2 telah pergi dan tak pernah didjumpainja
lagi. "Biar bagaimanapun djuga, kau telah mampu
melewati kedua ruangan itu. Aku tetap hendak
melaksanakan nazar memberimu sedjurus ilmu silat
sakti. Sekalipun kau terlambat dan Kitab Kuning itu
sudah diambil orang, tetapi pertjajalah, Ilmu adjaran
jang kuberikan padamu itu tjukup membuatmu
mendjuarai kolong langit!"
"Aku meresa tak punja djasa, tak mau aku
menerima pahala. Tak berani aku menerima peladjaran
dari lo-tjianpwe...." Tjian hong menghela napas.
"Mengenai ibuku, sebagai anaknja, akan berusaha
menasehati mamah supaja mengembalikan kitab itu
kepada lo-tjianpwe!"
"Sikapmu jang perwira itu menundjukkan bahwa
kau mawarisi sifat2 ajahmu!"
"Aku mohon diri," serentak Tjian hong memberi
hormat dan terus hendak melangkah pergi.
Se-konjong2 ia merasa tubuhnja seperti tersedot
oleh serangkum tenaga kuat hingga ia tersurut dua
langkah. "Tunggu dulu!" seru siorangtua.
Tjian hong berbalik tubuh, serunja: "Apakah lotjiapwe hendak memberi pesan lagi?"
Mata siorangtua jang ber-kilat2 tadjam menatap
Tjian hong, serunja: "Aku hendak memberi sedjurus ilmu
sakti!" "Tidak, lo-tjianpwe," Tjian hong tetap menolak,
"telah kukatakan tadi, aku tak berdjasa maka tak pantas
diberi balas!" "Tetapi aku tak menghendaki ikrarku rusak di
tanganmu. Berapa tahun ini, orang2 persilatan berusaha
se-kuat2nja untuk meminta peladjaran ilmu sakti dari
aku, tetapi tak kululuskan. Kini kau malah menolaknja.
Kukira kau tentu tak mengetahui betapa kelihajan ilmu
kesaktian jang hendak kuberikan padamu itu!"
Kata Tjian hong tawar2: "Betapapun saktinja, aku
tetap tak menginginkan!"
Tiba2 mata siorangtua berkilat bengis, serunja,
"Kalau begitu kau minta mati. Lain djalan tak ada lagi!"
"Belum tentu!" sahut Tjian hong dengan garang.
"Tjoba sadjalah," djawab siorangtua," sebelum kau
menerima peladjaranku, tak mungkin kau mampu
keluar dari ruangan ini."
"Lihatlah, aku hendak keluar!"
Tjian hong laksana seekor anak kambing jang tak
takut harimau. Ia berputar tubuh terus melangkah ke
pintu. Tetapi baru kakinja hendak melangkah keluar,
tenaga adjaib tadi menjapu udjung kakinja. Buru2 ia
hendak tarik pulang sang kaki. Tetapi tak urung
terdampar djuga. Tubuhnja ber-gojang2 hampir djatuh.
Tjian hong marah sekali. Segera ia menghantam
sekuatnja. Siorang tua dengan tenang kebutkan lengan
badju dan tenaga pukulan Tjian hongpun sirna. Bahkan
masih terasa kesiur rembesan tenaga kebutan siorang
tua itu menampar kedada Tjian hong. Ia terdorong
mundur sampai 7-8 langkah...
Tjian hong malu. Malu membuatnja gusar. Ia
dorongkan tangannja menjerang siorangtua.
"Bujung, kau mau mengadjak berkelahi dengan
aku" Ah, masih terlalu pagi, budak..." siorang tua
tersenjum. Dan diangkatnja sang lengan pe-lahan2
untuk menampar. Uh, uh... Tjian hong ter-hujung2 mau djatuh.
Menderita hinaan sematjam itu, tak dapat Tjian hong
mengendalikan diri lagi, geramnja dalam hati : "Tua
bangka, kau tjari sakit sendiri. Djangan sesalkan aku
kalau kugunakan Pukulan Hitam!"
Serentak ia lontjat madju dan ajunkan tangan kiri.
Sesaat berkilatlah setjertjah sinar hitam menjambar
dada orangtua itu. Siorang tua terkedjut. Tjepat ia balikkan lengannja
kanan dan dengan sebuah djarinja ia menutuk kemuka.
Itulah jang disebut ilmu tutukan Kek-gong-kiam-hoat
(menutuk dari djarak djauh).
Dua buah aliran angin tadjam memantjar dan
terbelahlah gelombang Pukulan Hitam, terus melanda
kedua lutut Tjian hong...
Bukan kepalang kedjut Tjian hong. Tjepat2 ia
hendak lontjat mundur tetapi terlambat. Djalan darah
Kiok-tjwan pada kedua lututnja kesemutan dan
djatuhlah ia terduduk ditanah.
Pernah apa kau dengan Wi Tjo djiu?" bentak
siorang tua. Malu dan marah Tjian hong bukan buatan. Tetapi
apa daja, ia tak dapat berkutik lagi.
Dipandangnya orang tua aneh itu dengan tatapan
ber-api2 penuh dendam kemarahan.
Djilid 5 15 Majat Iblis "Pernah apa kau dengan Wi Tjo-Djiu?" orang tua
berambut pandjang mengulang pertanjaan.
Tjian hong marah sekali karena nama gurunja
dipanggil dengan nada muak. Tetapi karena dalam
keadaan tertutuk, ia tak dapat berbuat apa2. Ia hanja
mendengus geram. "Apa kau murid si Wi Tjo-djiu?" orangtua berambut
pandjang menegas dengan wadjah agak berobah.
"Harap kau sungkan sedikit kepada guruku!" teriak
Tjian hong. Dengan sendirinja permintaan itu
mengandung djawaban kepada siorangtua.
"Se-konjong2 orangtua itu mengangkat tangan dan
menampar keudara. Tenaga tamparannja telah membuat
tubuh Tjian hong mentjelat beberapa meter ke belakang.
Bluk, ia terdjatuh dengan mata berkunang-kunang.
Masih ia tak dapat berkutik.
"Kalau berani, ajo bukalah djalan darahku. Kita
bertempur sampai 300 djurus. Meskipun kalah, tetapi
aku puas mati!" Tjian hong menantang.
Orangtua berambut pandjang menggeram:
"Terhadap manusia jang tak kenal budi, perlu apa harus
pakai tjara2 ksatrya?"
"Kau maki aku manusia tak kenal budi" Kepada
siapa aku berhutang budi" Tuduhan itu benar2..."
"Kelewat pantas, bukan" Pemuda sematjam kau
jang mengandalkan Ilmu Pukulan Hitam suka
memperkosa wanita dan membunuh rakjat, siapapun
berhak membunuhmu!" damprat siorang tua aneh.
Bukan main marah Tjian hong mendengar makian
serupa itu, teriaknja: "djangan menghina orang
sekehendak hatimu karena kau seorang tokoh angkatan
tua!" Orangtua itu terkesiap, tegurnja: "Hm, tahukah
kau siapa aku ini?" "Aku tak peduli siapa kau!" teriak Tjian hong.
"Ho, makanja kau berani bersikap tjongkak karena
tak tahu aku ini siapa!"
"Apa gunanja tahu dirimu?"
"Djika kenal siapa diriku, kau tentu rela menerima
hukuman," kata siorang aneh. Tiba2 ia bertanja dengan
nada agak ramah: "Eh, kau murid Wi Tjo djiu jang
keberapa?" "Apa perlu kudjawab pertanjaanmu itu?" Tjian hong
mendengus dingin. "Menilik umurmu jang begitu muda, kau tentu
bukan si Thia Tat-bu. Dengan begitu kau tentu murid
jang kedua atau ketiga!" kata siorangtua.
"Aku murid satu2nja dari guruku!" teriak Tjian
hong. "Tidak! Wi Tjo-djiu mempunjai 3 anak murid."
"Hm, mereka bertiga murid murtad dan telah diusir
oleh guruku. Selain Thia Tat-bu, jang dua telah dibunuh
guru. Sekarang akulah muridnja jang tunggal, salahkah
keterangan ini?" "Apa" Wi Tjo-djiu menerima murid baru lagi?"
Orangtua itu berseru kaget.
Dengan terheran-heran Tjian hong berbangkit.
"Oh, aku telah salah sangka kepadamu," kata
orangtua aneh agak menjesal.
Tjian hong tegak dengan angkuh. Matanja masih
mendendam permusuhan kepada siorang tua.
"Kau tahu aku ini siapa!" siorang tua delik mata.
Tjian hong tak mau menjahut.
"Majat-iblis, pernahkah gurumu menjebut-njebut
nama itu?" seru siorangtua pula.
Kedjut Tjian hong bukan kepalang. Serentak ia
djatuhkan diri berlutut dihadapan orangtua berambut
pandjang itu: "Supeh, maafkan kechilafanku."
Kiranja orangtua jang bergetar Majat hidup itu


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah kakak seperguruan dari Wi Tjo djiu si Malaekatelmaut. Berpuluh tahun jang lalu, dunia persilatan
golongan Hitam maupun Putih rontok njalinja karena
ilmu pukulan satu djurus dari Majat-iblis, menjapu
semua djago2 sakti. Sekali pukul, lawan tentu hantjur...
Majat-iblis tersenjum: "Tidak tahu tidak salah.
Dahulu gurumu ketjewa menerima ketiga murid murtad
itu. Sungguh tak terduga dalam hari2 terachir ia
beruntung mendapatkan seorang murid baik seperti kau.
Ia tentu terhibur." Lebih djauh Majat-iblis menanjakan perihal
keadaan Malaekat-elmaut jang terachir ini. Dengan terus
terang Tjian hong mentjeritakan semua peristiwa jang
dialaminja. "Jang membuat suhu berduka ialah karena kitab
Pukulan Hitam dibawa lari Thia Tat-bu," Tjian hong
mengachiri keteranganja. Majat-iblis menghela napas: "Dahulu kakek
gurumu telah membagikan 3 kitab adjaib kepada kami
bertiga suheng, sute dan sumoy. Sajang aku dan sute
tak dapat mendjaga kitab itu dengan baik."
"O, djadi aku mempunjai seorang sukoh?" Tjian
hong terkedjut. Sukoh artinja bibi guru.
Majat-ibils mengangguk. Keningnja agak mengerut
tetapi tak mengatakan apa2.
"Mengapa suhu tak pernah mengatakan hal itu?"
tanja Tjian hong. Majat-iblis seperti berkata seorang diri: "Sudah
tentu sute dapat melupakannja..." " tiba2 ia menjahut
pertanjaan Tjian hong: "Sukohmu digelari orang sebagai
Kui-bo..." Tjian hong hendak buka suara tetapi ditjegah
Maajat-iblis: "Dan kaupun sebaiknja melupakan bibi
gurumu itu. Anggaplah seperti tak pernah adanja!"
Melihat kerut wadjah Majat-iblis, tak beranilah
Tjian hong berbanjak tanja. Hanja dalam hati ia heran
mengapa suhu dan supehnja begitu bentji kepada
sukohnja. "Apakah kau suka menerima sedjurus peladjaran
dari supehmu ini?" tiba2 Majat-iblis bertanja.
"Sudah tentu aku tak berani menampik budi
kebaikan supeh!" serentak Tjian hong menjahut.
Majat-iblis menghela napas: "Ah, tetapi kau harus
bersedia melakukan sebuah permintaanku!"
Sahut Tjian hong dengan tegas: "Sekalipun supeh
tak memberi peladjaran, tetapi aku tetap akan
melakukan perintah supeh!"
"Ah, tetapi tak mudah."
"Sekalipan terdjun kelautan api, tak nanti aku
menolak!" "Benar2 hatiku legah mempunjai seorang murid
keponakan seperti kau," Majat-iblis memudji. Katanja
pula: "Beberapa tahun jang lalu orang itu telah kuberinja
setengah djurus ilmu pukulan sakti..."
"Hanja setengah djurus?" Tjian hong menegas.
"Ja, memang baru setengah djurus namun dalam
waktu 3 tahun sedjak ia keluar kedunia persilatan, ia
sudah diagungkan orang sebagai Pukulan-nomor-satu
didunia!" Ah, hanja setengah djurus dan sudah mendjagoi
dunia persilatan. Betapa hebatnja kalau orang memiliki
sampai satu djurus penuh!
"Seharusnja orang itu ingat budi supeh!"
"Tidak sama sekali!" Majat iblis menggeram," bukan
sadja tak ingat budi pun menodai nama gurunja. Dengan
mengandalkan ilmu kesaktian jang dimilikinja itu ia
malang melintang melakukan kedjahatan didunia
persilatan. Banjak orang2 gagah jang berbudi mendjadi
korban keganasannja!"
iblis. "Benar2 manusia kedji!" seru Tjian hong.
"Oleh karena itu dia harus kulenjapkan!"
"Membunuhnja?" seru Tjian hong.
"Ja, dengan sedjurus pukulan sakti!" sahut Majat-
"Pukulan-sakti bagaimana" Tjian hong menegas.
"Pukulan itu disebut adji Pelebur Bumi-Langit (Guithian-kwan-te). Dia hanja kuadjarkan setengah djurus.
Sekarang akan kuberimu seluruh djurus!"
Tjian hong kedjut2 girang. Segera ia menghaturkan
terima kasih. Lebih dulu Majat-iblis memberinja
hafal2an setjara lisan. Setengah djam sadja Tjian hong
sudah dapat menghafalkan nama dan gerakan pukulan
itu setjara lisan. Sekarang mulai gerakan," kata Majat-iblis. Tiba2 ia
mengangkat tangannja didjulurkan lurus kemuka.
Tampaknja biasa sadja, tak ada jang mengherankan.
"Eh, mengapa begitu sederhana sadja," batin Tjian
hong. Tiba2 gerakan Majat iblis itu menimbulkan suara
gemuruh laksana kilat me-njambar2. Dan tangannja
berobah mendjadi puluhan tangan jang sekaligus
menjerang 9 djalan darah maut ditubuh manusia.
Dahsjatnja bagai gelombang 7 samudra
mendampar. Tak dapat dihentikan, tak dapat ditahan
lagi. Ilmu pukulan Pelebur-bumi-langit itu benar2 tak
memberi kesempatan lawan untuk menghindar lagi.
Diam2 Tjian hong tak habis kagumnja.
"Ajo, sekarang tirukanlah!" perintah Majat-iblis.
Tjian hong menurut. Pertama kali bergerak
memang tenaganja tak sedahsjat paman gurunja. Tetapi
gerakannja sudah memadai. Ia terpaksa tinggal dimakam
itu sampai beberapa hari. Pada hari ketiga ia sudah
dapat mendjalankan djurus pukulan Pelebur-bumi-
Langit itu dengan bagus. Jang kurang hanja
kesempurnaannja. "Setelah keluar dari makam ini, djangan lupa akan
tugasmu!" pesan Majat iblis.
Dengan chidmat Tjian hong menghaturkan terima
kaih dan bersumpah akan melaksanakan perintah
paman gurunja. Begitulah atas petundjuk Majat-iblis,
tjepat sekali Tjian hong sudah dapat keluar dari makam
rahasia itu. Selama 3 hari mentjurahkan seluruh pikiran dan
perhatiannja mempeladjari pukulan sedjurus jang sakti
itu, Tjian hong tak mempunjai waktu untuk memikirkan
lain2 urusan lagi. Tetapi setelah berada diluar makam, kembali
benaknja terselimut berbagai pertanjaan jang belum
dapat diketahui. Apakah tudjuan mamahnja meminta
Kitab Kuning dari Majat-iblis" Apa gunanja Kitab Kuning
itu" Siapakah Toan Bok-tjo itu" Mengap orang itu bersama2 dengan ibunja"
Pertanjaan2 itulah jang mengeram dibenaknja.
Nanti setelah ia pulang kegunung, barulah kesemua2nja
itu dapat terpetjahkan. Ja, ia harus lekas2 pulang
mendapatkan mamahnja. Begitu mengambil putusan, Tjian hongpun segera
lari setjepatnya. Tetapi baru ia gerakkan tubuh, belasan
sosok bajangan melesat menghadang dimukanja, Tjian
hong tertegun. Seru pemimpin kawanan penghadang itu: "Hai,
budak! Bukankah kau baru keluar dari makam itu?"
"Benar!" sahut Tjian hong.
Orang itu tertawa mengekeh: "Kau adalah orang
pertama jang dapat keluar masih hidup dari makam itu,"
ia berhenti sebentar lalu ulurkan tangannja: "berikan
kitab itu kepadaku!"
"Kitab" Kitab apa?" seru Tjian hong.
"Budak, djangan pura2 berlagak pilon!"
Sebenarnja saat itu Tjian hong sudah mengerti apa
jang dimaksud oleh orang, namun sengadja ia
mengedjek: "Kitab" Oh, tak mudah mendapatkan kitab
itu, kawan!" "Mengapa tak mudah" Keluarkan dan berikan kitab
itu padaku!" Tjian hong masukkan tangannja kanan kedalam
badju, serunja: "Ambillah!"
Orang itu tak menjadari apa jang dibalik utjapan
Tjian hong. Segera ia madju menghampiri. Sekonjongkonjong Tjian hong ulurkan tangannja kanan tadi dan
didorongkan lurus kemuka. Karena tak berdjaga, orang
itupun terlempar sampai 4-5 tombak djauhnja, bum.... ia
terbanting ditanah. Kawan2nja lari menghampiri dan
mengangkatnja bangun. "Hai, kamu murid siapa?" teriak Tjian hong. Melihat
sekali pukul sadja pemimpin rombongan djatuh
tersungkur, kini mereka tak berani memandang rendah
pada Tjian hong. "Kau tanjakan pemimpin kami?" sahut salah
seorang. "Ja, siapa?" "Su-hay-mo-ong!"
Mendengar itu marahlah Tjian hong: "Ho, djadi
kalian ini anak buah Su-hay-mo"ong" Djangan harap
kalian mendapat ampun!"
"Djika kau tetap tak mau menjerahkan kitab itu..."
"Mau meminta kitab?" dengus Tjian hong, "ambillah
ke istana radja Achirat!" " disapunja kawanan
anakbuah Su-hay-mo-ong itu dengan ber-api2, serunja:
"Madjulah kalian semua agar menghemat tempoku."
"Tjongkak benar kau, budak!" seru orang itu,
kemudian ia mengadjak kawan2nja, "saudara2, kita
hadjar budak sombong itu!"
Belasan anakbuah Su-hay-mo-ong serempak
lontjat menerdjang Tjian hong. Melihat itu timbullah
pikiran Tjian hong untuk mentjobakan kesaktian
pukulan Pelebur-bumi-langit.
Se-konjong2 ia berteriak keras, tangan kanan
dilempangkan kemuka dan berhamburanlah puluhan
pukulan melanda mereka. Djerit pekikan memekak
telinga, darah bertjampur keratan daging berhamburan.
Dari belasan orang jang madju mengerojok Tjian hong itu
hanja satu jang agak djauh dibelakang jang menderita
luka ringan. Jang lain2 me-rintih2 kesakitan...
"Lekas enjah!" bentak Tjian hong. Kawanan
anakbuah Su-hay-mo-ong seperti andjing mengepit ekor,
segera memondong pemimpinnja jang terluka tadi,
melarikan diri. "Kawanan andjing itu tentu akan kuhantjurkan
satu demi satu!" dengus Tjian hong.
"Ah, tuan sungguh ganas!" tiba2 dari arah belakang
terdengar orang menggumam.
Tjian hong terkedjut dan tjepat berputar diri.
Kiranja pada djarak 20an tombak, tampak seorang
berpakaian warna kelabu memakai kain kerudung muka.
"Hm, tjaramu main menjelubungi muka, tentulah
bukan orang baik2," damprat Tjian hong.
Orang itu tertawa gelak2: "Orang baik2" Apakah
tandanja?" "Siapa kau?" bentak Tjian hong.
Orang berpakaian kelabu itu lepaskan tertawa
memandjang. Nadanja njaring berpengaruh.
Mengundjukkan bahwa ia memiliki tenaga-dalam jang
tinggi. "Kita tak kenal mengenal, mengapa kita harus
bermusuhan" Tjukup asal kau tahu aku dan aku tahu
kau, sudahlah. Nama hanja suatu tanda pengenal sadja.
Hari ini aku dapat bernama Li sam dan besok dapat
berganti Li Si." Terhadap otjehan orang jang sedemikian anehnja
itu, tak dapat seketika Tjian hong memberi sanggahan.
Selang beberapa djenak kemudian baru ia dapat berkata:
"Kau kawan atau lawan?"
"Bukan kawan bukan lawan, seperti kawan seperti
lawan. Kawan atau lawan, hanja tergantung dari
anggapan saudara sendiri. Sekarang begini, tetapi belum
tentu kelakpun begini," sahut orang itu dengan kata2
kiasan jang sukar dirabah maksudnja.
Tjian hong tertawa hambar: "Tetapi sekurangkurangnja kau harus menundjukkan dirimu jang
sebenarnja. Orang badju kelabu itu gelengkan kepala. "Apa
perlunja" Perhatikanlah kain kelabu jang mendjadi
kerudung mukaku ini. Anggaplah itu sebagai wadjahku.
Orang dapat mengandung hal2 jang sukar diutarakan,
begitupun aku. Kupertjaja kau tentu takkan memaksa
hal2 jang tak ingin kukatakan. Sebagaimana djuga
kaupun tak ingin orang memaksa kau mengatakan hal
jang tak ingin kau katakan!"
Terhadap kata2 jang sukar dimengerti dari orang
itu, Tjian hong tak dapat berbuat suatu apa. Hanja ia
mendapat kesan bahwa orang berbadju kelabu itu
tentulah bukan orang sembarangan. Serentak ia berdjaga2 dan tak mau melajani lebih landjut.
"Berkumpul bagi tebaran mega, berpisahlah djuga
mengikuti hembusan. Maaf, aku mohon diri," katanja
seraja memberi hormat. Sekali lontjat ia sudah melesat
7-8 tombak djauhnja. "Tungga dulu, saudara!" tiba2 orang berbadju
kelabu itu berseru. "Apa?" Tjian hong terpaksa hentikan langkah.
"Idjinkan aku bertanja sepatah kata kepadamu!"
kata orang itu dengan penuh rahasia.
"Silahkan!" "Apakah saudara kenal akan seorang tokoh
persilatan jang bernama Wi Tjo-djiu?"
Mendengar pertanjaan itu Tjian hong terkesiap. Ia
anggap tentu ada sesuatu pada orang itu. Ia madju
menghampiri dan berseru: "Itulah guruku!"
Kini giliran siorang berbadju kelabu jang terkesiap:
"O, kaulah jang bernama Ko Tjian hong?"
"Benar, apa ada kabar dari guruku?"
"Ah... orang itu menghela napas pandjang. Helaan
napas itu bagaikan sebuah palu godam menimpa kepala
Tjian hong. Ia seperti mendapat firasat kurang baik.
"Bagaimana dengan suhuku?" tegurnja.


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Meninggal..." seru orang itu dengan nada lemah.
Bagaikan mendengar halilintar memekik ditengah
hari bolong, kepala Tjian hong seraja berputar. Seperti
orang kalap ia segera melesat mentjengkeram tangan
orang itu: "Apa katamu?"
"Gurumu telah meninggal!"
"Bagaimana meninggalnja?"
"Mati ditangan sendjata rahasia orang!"
"Sendjata rahasia" Sendjata rahasia siapa?"
"Turut pemeriksaanku tubuhnja tertantjap
sebatang piau hitam. Tangkai piau itu terukir dua buah
huruf Kui-piau (piau Hantu). Mungkin piau itulah jang
mentjabut njawanja!"
"Bagaimana kau dapat mengetahui?" tanja Tjian
hong. "Setjara kebetulan sadja aku lewat dan mengetahui
peristiwa itu." "Siapakah pemilik piau Hantu itu?" tanja Tjian
hong pula. "Ini... ini...," orang badju kelabu itu tersekat-sekat.
"Bilanglah!" Tjian hong deliki mata.
"Hal ini tak berani kukatakan," orang berbadju
kelabu sengadja merabah dadanja. Udjarnja lebih
landjut: "Dia adalah seorang durdjana ganas. Kukuatir
begitu kukatakan, dadaku akan tertantjap piau hitam
itu!" "Hm, kiranja kau seorang persilatan penakut!"
Orang itu tertawa menjeringai: "Mungkin tidak
demikian. Hanja karena untuk mendjaga diri dari
kemungkinan jang tak diharapkan."
"Djika kuharuskan kau mengatakan hal itu?"
Orang itu terkesiap: "Ah, sungguh tak berarti kalau
kau hendak menggunakan paksaan kepadaku."
Tjian hong mendengus dingin: "Demi membalaskan
sakit hati guruku, terpaksa aku harus bertindak
demikian," ia menjelinap kemuka.
Orang itu melontjat mundur.
16 Pedang Sambar-njawa "Kui-piau adalah sendjata rahasia jang diketahui
oleh semua orang persilatan. Asal kau menanjakan pada
setiap orang persilatan tentu akan tahu. Mengapa kau
hendak memaksa aku sehingga merusak hubungan
kita?" Mengingat bahwa orang itu telah memberi djasa
memberitakan peristiwa itu, Tjian hong tak mau keliwat
mendesaknja. Dan orang itupun segera pergi.
Kini tertinggal Tjian hong seorang diri. Dia tegak
ter-menung2. Airmatanja bertjutjuran. Ia tak njana
bahwa setelah berpisah hanja beberapa hari sadja,
gurunja telah binasa dibawah piau hitam....
"Kui piau!" Tjian hong menggertakkan geraham.
Menilik gerakan orang berbadju kelabu itu, tentulah
memiliki kepandaian tinggi. Tetapi toh dia gentar djuga
untuk mengatakan nama pemilik piau itu. Djelaslah
sudah bahwa pemilik piau itu tentu seorang momo jang
hebat. Tjian hong segera tinggalkan kuburan itu. Ia
memutuskan untuk pulang menemui ibunja.
Setelah menempuh perdjalanan sehari semalam,
achirnja tibalah ia digoha tempat suhunja. Begitu diburu
nafsunja sehingga ingin sekali ia segera terbang kedalam
goha. Ia faham keadaan tempat itu. Setelah membiluk
sebuah tikungan segera ia berteriak: "Suhu!"
Jang terdengar hanja djawaban dari suaranja
sendiri sebagai kumandang jang terpantul. Dan begitu
tiba digoha segera hidungnja ditampar oleh bau jang
busuk. Dan ketika memandang kedalam goha, hampir
sadja ia pingsan, Malaekat-elmaut Wi Tjo-djiu menggeletak dalam
genangan darah... Mungkin karena sudah beberapa hari,
majatnjapun membusuk. Tjian hong menangis gerung2. Suaranja
menggetarkan dinding karang. Tiba2 ia berbangkit,
menjapu airmata dan merabah dada gurunja.
Ditjabutnja sebilah belati pendek jang ber-kilat2 tadjam.
Pandjangnja hanja 3 dim. Ketika darah jang melumur belati itu dipesutnja,
tampak 3 buah huruf "Pedang-sambar-njawa' atau Tui"
hun-kiam. Tjian hong ter-longong2 sambil mengingau: "Pedang
Sambar-njawa... pedang Sambar-njawa... Piau Hantu..."
Djelas bahwa sendjata pembunuh suhunja itu
sebatang belati tetapi mengapa siorang badju kelabu
mengatakan sebuah piau (paser)"
Pedang Sambar-njawa dan Piau Hantu! Suhunja
terbunuh pedang Sambar-njawa atau Piau Hantu"
Andaikata pemberitaan siorang badju kelabu itu
palsu, apakah maksudnja ia membuat laporan palsu itu"
Bukankah ia tak kenal dengan orang itu" Apa perlunja
orang itu membohongnja"
Tetapi apabila orang itu memberi laporan benar,
mengapa jang tertanam didada suhuhja pedang Sambarnjawa dan bukan Piau Hantu"
Tjian hong benar2 bingung memikirkan!
Se-konjong2 terdengar lengking tertawa njaring dan
ketika Tjian hong berputar tubuh, ah.... dara badju putih
jang buta matanja itu sudah tegak dihadapannja. Ja,
dara buta jang diberinja nama sebagai Giok-lo-sat!
Tjian hong terkedjut. Walaupun matanja buta tetapi rupanja dara itu
seperti dapat melihat apa jang terdjadi disekelilingnja
situ. Ia menghela napas rawan: "Ah, tak kira dia sudah
mati, sajang, sajang!"
Walaupun mulut menjatakan sajang, tetapi
nadanja tawar2 sadja. Se-olah2 tak menjesal atas hilang
njawa seseorang. Tjian hong masih mendendam karena derita jang
diperolehnja dari pukulan Bian-kut-hong sidara. Adalah
karena pukulan itu hingga ia sampai menderita siksaan
dilembah Yu-leng koh. "Bukan urusanmu, enjahlah!" bentaknja.
Dara itu terkesiap. Tiba2 ia tertawa hambar. Tjian
hong melengos untuk menghindari tertawa sidara.
"Sudah tentu kematiannja ada hubungannja
denganku," seru sidara.
"Apa hubungannja?"
"Aku kehilangan seorang lawan bertempur. Lama
sudah aku tiba didaerah Tiong-goan, tetapi belum djuga
aku bertemu dengan seorang lawan jang setanding.
Benar2 aku ketjewa!"
"Kau mengotjeh tak karuan!" Tjian hong
menjentilnja. Sahut sidara dengan nada mandja: "Aku bersikap
baik kepadamu, tetapi kebalikannja kau sebengis itu
sikapmu kepadaku!" ia menghela napas rawan, katanja
dengan suara tersedu: "Ah, hati lelaki memang sekeras
besi!" Sebenarnja muak sudah Tjian hong mendengar
otjehan tak karuan dari sidara. Tetapi sedu sedan dara
itu mengatjaukan pikiran Tjian hong.
"Melihat naga2nja, gelaranku Giok-lo-sat harus
ditjarikan tanding lagi!"
"Tjarilah kalau kau merasa paling sakti sendiri,"
seru Tjian hong sengit, "itu sipemilik Neraka-19-lapis!"
"Pemilik Neraka-19-lapis" Tentu sadja aku mampu
agar djangan men-sia2kan djerih pajahmu memberi
nama padaku!" seru sidara serentak. Ia tertawa riang,
seriang burung2 berkitjau dimusim semi.
Tergetarlah hati Tjian hong. Serentak darahnja
menggelora. Buru2 ia menarik napas menjalurkan
peredaran darah. Tetapi akibatnja lebih runjam lagi.
Obat bius bubuk Bi-hun-san jang ditaburkan Lak-tjhiusik-kui jang lalu, kembali bekerdja. Seketika berkobarlah
nafsunja. Dara buta jang tjantik itu membakar hatinja.
Tjian hong tak dapat menguasai dirinja lagi. Sekali
lontjat sagera didekapnja dara itu erat2....
"Ah, tak njana seorang pemuda gagah seperti kau
ternjata hanja bangsa begadjulan belaka!" Giok-lo-sat
tertawa dingin. Tjian hong terkesiap. Tetapi ratjun Bi-hun-san
telah menguasai tubuhnja. Darah membinal laksana
gelombang mendampar. Hanja sekedjab ia tertegun lalu
merangsang makin hebat dan dipeluknja dara itu sekentjang2nja.
Plek.... Giok-lo-sat menamparnja. Lima buah
telapak djari segera membekas dipipi Tjian hong. Udjung
mulutnja mengutjur darah. Namun Tjian hong tetap
memeluknja erat2. "Kau tak mau melepaskan?" bentak sidara dengan
bengis. Wadjahnjapun berobah seketika.
Tjian hong memandang dara itu lekat2. Tiba2
sidara menggeliat, melepaskan diri dari pelukan Tjian
hong dan hantamkan siku lengannja kedada sipemuda.
Mata Tjian hong hanja terbungkus gelora nafsunja.
Sama sekali ia tak melihat serangan sidara. Bluk... ia
ter-hujung2 kebelakang sampai 7-8 langkah. Huak.....
mulut muntah darah dan tubuhnja terkapar di tanah.
Giok-lo-sat terkedjut sendiri. Ia lontjat ketempat
Tjian hong menggeletak. Diperiksanja nadi pergelangan
tangan pemuda itu. Tiba2 ia terkesiap. Diperhatikan
denjut nadi Tjian hong.....
"Oh, kiranja kau terkena ratjun Bi hun-san. Aku
salah terka," katanja seraja mengambil sebutir pil dan
dimasukkan kemulut Tjian hong. Dan iapun duduk
ditanah untuk mengurut-urut urat Tjian hong.
Selang beberapa saat kemudian wadjah Tjian hongpun mulai merah, sinar ber-api2 dari kedua matanjapun lenjap. Ketika mendapatkan Giok-lo sat sedang
mengurut tubuhnja, ia berterima kasih. Kini Tjian hong
mempunjai pandangan lain terhadap dara itu.
Pertama kali berdjumpa, Tjian hong tertarik akan
ketjantikan dara buta itu. Kemudian ia marah karena
dara itu ganas, keras kepala dan semau gue sendiri.
Tetapi kini Tjian hong baru mengetahui dalam sifat2 jang
mendjengkelkan itu terkandung hati nurani jang baik.
Setelah Tjian hong tersadar, Giok-lo satpun
berbangkit. "Terima kasih," kata Tjian hong.
"Apakah tjukup hanja dengan sepatah kata terima
kasih sadja?" dengus Giok lo sat.
Tjian hong tertegun. Tak tahu ia bagaimana harus
mendjawab. "Djika pikiranku tak sadar dan aku lengah,
bukankah kehormatanku hantjur ditanganmu, huh! Bagi
seorang wanita, jang paling berharga adalah
kesutjiannja; Walaupun kau memperlakukan baik sekali
tetapi aku pasti ketjewa apabila kehormatanku kau
hantjurkan!" Merah padam muka Tjian hong mendengar kata
Giok-lo-sat. Tak dapat ia mendjawab apa2.
"Pemuda sematjam kau, selandjutnja takkan
kuhiraukan lagi," dengus Giok Lo-sat. Ia berputar tubuh
terus pergi. "Nona, nona..." seru Tjian hong.
Siluman Ular Merah 1 Raja Petir 03 Pencuri Kitab-kitab Pusaka Claire 4
^