Pencarian

Pukulan Hitam 4

Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong Bagian 4


Giok-lotat berpaling dan mendampratnja: Djenazah
gurumu tak kau urus mengapa kau panggil2 aku?" "
dan ia terus melangkah keluar goha.
Tjian hong tersadar. Segera ia membiarkan dara itu
pergi. Digalinja sebuah liang untuk mengubur gurunja.
"Suhu, murid tentu akan membalaskan sakit
hatimu," katanja sebelum meninggalkan goha. Dengan
membawa pedang Sambar-njawa ia keluar goha.
Kini ia hendak pulang mendapatkan ibunja untuk
menjelesaikan soal Kitab Kuning.
Tiba dilereng bukit, tampaklah sudah pondok
kediamannja. Pintu tertutup, didorongnja dan sekonjong2 ia disambar oleh serangkum tenaga pukulan.
Dengan kaget Tjian hong lontjat mundur. Menjusul
sesosok bajangan melesat seraja membentak: "Siapa!"
Tjian hong tertegun. Jang muntjul itu ternjata
seorang gadis berusia lebih kurang 18 tahun. Wadjahnja
tjantik, berpakaian warna ungu.
"Ini rumahku, kau..." Tjian hong tersekat ketika
melihat tangan gadis itu mentjekal sebatang belati jang
masih berlamuran darah. Berobahlah seketika wadjah
Tjian hong. Tjepat ia melangkah masuk. Dan apa jang
disaksikan dalam pondok, benar2 membuat darahnja
tersirap.... Ibunja menggeletak dengan dada berlubang tetapi
sendjata jang dibuat menusuk sudah tak ada. Tjian hong
tahu apa jang telah terdjadi. Dengan mata berapi2 ia
melangkah kemuka sinona dan menghantamnja.
Rupanja melihat sikap Tjian hong jang beringas,
nona badju ungu itu sudah siap2, ia tjepat2 lontjat
mundur. Pukulan pertama luput, Tjian hong hendak
menjusuli sebuah pukulan lagi.
"Apa kau gila?" teriak nona badju ungu.
"Tak usah pura2!" bentak Tjian hong. Dan serentak
ia lantjarkan pukulan lagi.
Dengan lintjah sekali nona badju ungu itu
menghindar kita kemari. Melibat itu memuntjaklah
kemarahan Tjian hong. Segera ia lempangkan tangannja
kanan kemuka, serunja: "Terimalah pukulan Peleburbumi-langit ini!"
Seketika berhamburan puluhan tangan
menghantam ke 9 djalan darah sinona....
Pukulan Pelebur-bumi-langit adalah buah tjiptaan
Majat-iblis jang memakan waktu sampai setengah
umurnja... Digodok dari segala matjam ilmu pukulan
sakti dan diperas mendjadi sebuah pukulan satu djurus
sadja. Dan Tjian hong telah melantjarkan dengan tenaga
penuh. Berobahlah wadjah sinona seketika. Tetapi ia tak
ketjewa mendjadi murid seorang sakti. Dengan
menggertak gigi ia membiarkan kedua pahanja dan
melindungi bagian dadanja. Kemudian ia lontjat
menghindar. Tetapi terlambat. Terdengar djeritan
kesakitan dan tubuh sinona bagaikan lajang2 putus tali
melajang djatuh ketanah. Nona itu muntah darah
beberapa kali. Dan pedang Tui-hun kiampun terlepas
dari tangannja. Tjian hong melesat menjambar pedang itu.
Kemudian ia memadukan dengan pedang pandak jang
tertanam ditubuh gurunja (Malaekat-elmaut). Ah ternjata
sama dan serupa. Sepasang pedang Sambar-Njawa.
Pedang Sambar njawa ternjata telah merenggut
djiwa dua orang tokoh sakti. Dan kedua orang itu
mempunjai hubungan dekat sekali dengan Tjian hong.
Jang seorang gurunja, jang seorang ibunja.
Tjian hong hangus oleh dendam kemarahan berapi2. Ia segara mengangkat tindju hendak dihantamkan
kepada nona itu. Nona itu memandang Tjian hong
dengan penuh kemarahan dan penasaran.
Tjian hong tergetar hatinja. Entah bagaimana ia
hentikan tangannja dan membentak: "Siapa kau?"
Nona badju ungu itu masih menggeletak ditanah.
Sahutnja dingin: "Tak perlu kau hiraukan diriku siapa"
Mengapa kau sangat ganas sekali, menggunakan
pukulan ganas kepadaku?"
"Akan kubunuhmu!" teriak Tjian hong.
"Membunuh aku?"
"Masakan aku tak berani membunuhmu?"
Wadjah sigadis jang memantulkan permusuhan,
tiba2 agak tenang, ia tak menghiraukan soal mati lagi.
Bahkan ia tertawa dingin: "Siapa kau" Mengapa kau
gemar membunuh orang?"
"Kau membunuh mamahku, aku hendak menuntut
balas...." "Aku membunuh mamahmu?" nona itu melengking
kaget, "siapa kau" Dan siapa mamahmu" Aku tak kenal
padamu, perlu apa kubunuh mamahmu?"
"Selain mamah, kaupun membunuh guruku djuga.
Mati masih enak bagimu, aku hendak menjuruhmu mati
pe-lahan2 agar dapat merasakan siksaan!"
Sinona badju ungu terkesiap: "Kau seorang iblis!"
Tjian hong menatapnja dengan penuh dendam:
"Kau memetik buah perbuatanmu sendiri!"
"Aku tak membunuh orang...!" teriak sidara.
"Hm, mamahku Hoa Sian-lan telah kau bunuh
begitu pula guruku Wi Tjo djiu..."
"Oh, Allah! Fitnah kedji!" djerit sinona.
"Fitnah" Bukti telah njata, kau masih menjangkal?"
"Tetapi aku tidak membunuh, sungguh tidak!"
Tjian hong membentaknja: "Kau membunuh
dengan pedang Sambar-njawa."
"Salah, kau salah sangka!" teriak sinona, "aku
menerima perintah suhuku untuk mendjenguk Hoa lotjianpwe. Tetapi kudapatinja Hoa lo-tjianpwe sudah
menggeletak dengan tubuh berlumuran darah. Dadanja
tertantjap sebatang pedang pandak. Baru kutjabut
hendak kuperiksa, kau sudah datang dan memukul
aku..." "Djangan menjangkal!" Tjian hong menjeringai.
"Kau harus pertjaja padaku.... Semutpun aku tak
tega membunuh djangan lagi djiwa manusia jang tak
bermusuhan padaku!" Melihat nona itu bitjara dengan sungguh2,
tergeraklah hati Tjian hong, tanjanja. "Siapakah
gurumu?" "Guruku bernama Toan Bu yang digelari orang
sebagai Kang ou djau-li!"
Kang-ou-djau-li artinja Wanita-djelek dari dunia
persilatan. "Dan kau?" tanja Tjian hong.
Sinona merenung sedjenak, udjarnja: "Aku Hoa
Ling-ling!" "Apa?" Tjian hong berteriak kaget.
"Hoa Ling-ling!"
"Hoa Ling-ling" Kau.... kau Hoa Ling-ling!"
"Masakan nama sadja harus kupalsukan?" nona itu
menggeram. "Bukankah ajahmu Kang ou long-tiong Hoa Yabok?"
"Ja." Serentak menunduklah Tjian hong dengan
penjesalan jang tak terhingga besarnja. Karena diamuk
kemarahan tanpa banjak pikirnja ia telah melakukan
tindakan jang salah. Tak tahu bagaimana kelak ia
hendak menebus dosanja itu.
Hoa Ling-Ling kerutkan kening: "Kakiku kiri tak
dapat tertolong lagi!"
Tjian hong seperti disajat lagi."
Hoa Ling-Ling gelengkan kepala. Sahutnja dengan
rawan: "Tjatjad!"
"Maafkan aku, nona. Aku bersalah padamu dan
lebih bersalah lagi terhadap ajahmu..."
"Apa?" Hoa Ling-ling membuka mata, "apakah
ajahku sudah meninggal?"
Dengan berduka Tjian hong mengangguk. Sekonjong2 Hoa Ling Ling meronta dari tangan Tjian hong
dan terus hendak lari. Ah.... ia tak teringat bahwa
kakinja kiri telah tjatjad. Baru dua tiga langkah, ia
djatuh lagi. Dan menangislah nona itu dengan tersedusedan.
Alangkah sedih hati Tjian hong. Rasanja ia ingin
menangis karena sesalnja.
Beberapa saat kemudian Hoa Ling-ling bangkit
berdiri dengan sebelah kaki: "Ah, mungkin kesemuanja
ini memang sudah takdir. Tak dapat menjalahkan kau!"
"Nona Hoa, kuharap kau suka menghukum aku!"
seru Tjian hong dengan duka.
"Kau hendak meminta aku bagaimana?"
"Aku hendak mati dihadapanmu untuk menebus
dosa. Apa artinja aku hidup menjandang kedukaan?"
tiba2 ia mengangkat tindjunja hendak dihantamkan
keatas kepalanja sendiri.
Ling-ling lontjat mentjekal tangan Tjian hong,
serunja: "Kau pengetjut! Apakah mati dapat
menjelesaikan persoalan" Kau masih mempunjai
dendam sedalam lautan, bagaimana kau enak2 bunuh
diri hendak menghindari tanggung djawab" Mengapa
kau tak mau melaksanakan kewadjibanmu sebagai anak
orang?" "Nona Hoa..." Tjian hong tersekat penuh sesal.
"Keraskan hatimu dan selesaikanlah tugasmu!"
Tergerak hati Tjian hong mendengar kata2 jang
perwira dari nona itu. Serentak ia menjahut, "Baik, akan
kulaksanakan se-baik2nja. Dendam darah.... pedang
Sambar-njawa Kemudian kedua orang itu mengubur djenazah
Kang-ou-bi-djin dilereng bukit. Lama keduanja ter-
menung2 mengutjapkan djandji dihadapan makam
wanita bernasib malang itu.
Saat itu matahari mulai merajap turun dibalik
bukit. Burung2 gagak terbang kian kemari sambil bergaok2 riuh. Burung2 itu se-olah2 ikut berduka tjita atas
kematian Kang-ou-bi-djin.
Setelah 3 hari menggadangi kuburan Kang-ou-bidjin, achirnja Tjian hong dan Hoa Ling-ling segera
tinggalkan goha itu. Ketika melihat sinona berdjalan
pintjang, hati Tjian hong seperti tersajat.
"Nona Hoa, aku sungguh berdosa kepadamu,"
katanja penuh sesal. "Ini sudah takdir. Siapapun tak dapat
mentjegahnja. Apalagi ibumu dan suhuku erat sekali
hubungannja. Duapuluh tahun jang lalu, mereka berdua
digelari sebagai Kang-ou song-tjoat...."
"Apakah Kang-ou-song-tjoat itu?" Tjian hong
tertarik mendengar tjerita tentang Ibunja.
Sebenarnja dua serangkai Kang-ou song-tjoat
(Sepasang wanita perkasa didunia persilatan) itu, pada
20 tahnn berselang telah diketahui oleh setiap orang
persilatan. Adalah setelah Kang ou-bi-djin mendapat
malapetaka. Ia tak mau mengungkap peristiwa itu lagi.
Tak pernah ia mentjeritakan riwajat hidupnja kepada
sang putera (Tjian hong).
Jang dikata Kang-ou song-tjoat itu, pertama
merupakan sebuah pudjian terhadap wadjah kedua
wanita itu. Ibumu luar biasa tjantiknja tetapi suhuku
luar biasa djeleknja. Dan kedua kalinja, kepandaian silat
dari keduanja merupakan kekaguman dunia persilatan.
Mereka benar2 sakti."
"Tentulah suhumu dan ibuku rukun sekali?" seru
Tjian hong. "Tentu sadja. Mereka rukun melebihi saudara
kandung. Adalah karena disuruh suhu maka aku
mendjenguk ibumu." "Apakah sudah lama mereka tak berhubungan?"
"Hm, lebih dari 10 tahun!"
"Dan selama itu mamah telah tertimpah
malapetaka..." Hoa Ling-ling menghela napas: "Siapakah jang
mentjelakainja?" "Ah, meskipun sudah terdapat bukti kedua pedang
Sambar-njawa ini, tetapi masih sukar diketahui siapa
pemiliknja," kata Tjian hong ketjewa.
Tetapi sesudah mempunjai bukti, tentulah bisa
diusut," kata Ling-ling.
Demikian mereka ber-tjakap2 dalam perdjalanan.
Kemudian Ling-ling bertanja pula: "Siapakah jang
membunuh ajahku?" "Ajahmu telah binasa karena pukulan Tjhit-im-tokhiat tjiang," sahut Tjian hong, lalu menuturkan kematian
tabib Kang-ou-long-tiong tempo hari.
"Siapakah jang memiliki ilmu Tjhit-im tok-hiattjiang tanja sinona pula. Tjhit Im-tok hiat-tjang artinja
pukulan Darah beratjun-7 matjam-hawa negatip.
Tjian hong gelengkan kepala: "itupun aku tak tahu.
Tetapi akan kuselidiki sampai djelas!"
"Terima kasih!"
Saat itu mereka tiba dipersimpangan djalan. Dan
Ling-ling menjatakan hendak kembali ketempat gurunja.
"Tetapi kemana kau hendak pergi?" tanjanja.
Tjian hong memandang kearah tjakrawala. Awan
ber-arak2 tak berkeputusan. Sahutnja: "Kini aku
laksana awan jang tiada bertudjuan tertentu. Hendak
kuselidiki siapa pemilik pedang Sambar njawa dan djuga
akan kutindjau tingkah laku Thian"he-te-it-tjiang
(Pukulan nomer satu-didunia)!"
"Apakah kau bermusuhan dengan Thian-he-te-ittjiang?" tanja ling-ling.
"Tidak!" "Lalu mengapa kau hendak mentjarirnja" Dia
memiliki pukulan jang tiada tandingannja. Ber-hati2lah
djika berhadapan dengannja!"
"Aku dapat mengatasi," sahut Tjian hong.
"Nah, sampai disini kita berpisah," kata Ling-ling
seraja berpisah djalan. Baru beberapa langkah iapun
berpaling pula, serunja: "Tiada pertemuan jang tak
berachir perpisahan. Tetapi entah apakah kita dapat
bertemu lagi kelak?"
"Tentu!" sahut Tjian hong,
"Mudah2an! Sampai ketemu engkoh Ko!" dalam
mengutjap kata2 jang terachir itu merahlah pipi Lingling. Setjepat angin iapun melesat pergi.


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tjian-hong termangu-mangu. Tak tahu ia perasaan
apa jang terkandung dalam hatinja kepada gadis itu.
Kasihankah atau tjinta" Tetapi betapapun hal itu,
bajangan nona itu telah menjusup kedalam lubuk
hatinja..... Tjian hong menudju ke Lok yang. Disepandjang
djalan ia menjirapi berita tentang Thian-he-te-it-tjiang.
Tingkah laku dan sepak terdjang orang itu telah
menimbulkan kebentjian umum dikalangan orang
persilatan. Si Kiok-tjiang, murid Majat iblis jang murtad,
dengan ilmu pukulan sakti Pelebur-bumi langit jang
hanja separoh djurus itu, telah berhasil merubuhkan
djago2 silai sakti sehingga digelari sebagai Thian-he te it
tjiang atau Pukulan-nomor-satu-didunia. Tampaknja ia
bersikap sebagai seorang pendekar jang perwira, tetapi
sebenarnja ia seorang durdjana ganas jang tak segan
melakukan segala kedjahatan apapun djuga.
Thian-he-te-it-Tjiang tinggal diluar kota Lok-jang.
Setiap orang persilatan jang datang dikota Lok-yang,
djika tidak berkundjung padanja memberi hadiah, tentu
akan dibunuh. Begitu pula senang mengadu domba
antara partai persilatan jang satu dengan jang lain.
Setelah mereka saling berhantam, dialah jang akan
mengambil keuntungan. Demikian keterangan2 jang dikumpulkan Tjian
hong tentang tepak terdjang orang she Si selama ini. Ia
memutuskan untuk menjelidiki ke Lok-yang. Apabila
benar seperti jang dituturkan orang, ia akan
melenjapkan manusia itu sesuai dengan pesan paman
gurunja Majat-iblis. Saat itu ia hampir tiba di Lok-yang. Tiba2 disebelah
muka tampak debu mengepul dan derap kuda
mendatangi. Dua ekor kuda mentjongklang kentjang.
Pcnunggangnja mengenakan pakaian ringkas (pakaian
jang biasa dikenakan orang persilatan). Sekedjab sadja
mereka sudah lari disisi Tjian hong. Rupanja mereka terburu2 sekali.
Sedemikian tebal debu jang dihamburkan kedua
kuda itu hingga kepala dan tubuh Tjian hong serasa
terbenam debu. Tjian hong mendongkol sekali. Ketika ia
hendak mendamprat, tiba2 dari arah belakang terdengar
suara roda kereta ber-derak2. Ternjata sebuah kereta
bertjat kuning emas dihela 4 ekor kuda tengah meluntjur
kedalam kota Lok-yang. Kereta itu dihias mewah sekali.
Tjepat sekali kereta mewah itu lewat disisi Tjian
hong. Karena tak ingin tjari perkara, Tjian hong hendak
menjingkir kesamping sadja. Tetapi baru ia hendak
melangkah, tiba2 terdengar bunji tjambuk menderanja.
"Bangsat, apakah matamu buta?" bentak sikusir
dengan kasar. Marahlah Tjian hong. Sebenarnja ia menjingkir,
tetapi kata2 sikusir jang terlalu kasar itu memanaskan
hatinja. Ia tak mau menjingkir. Begitu tjambuk melajang,
tjepat disambarnja: "djangan sombong!"
Kusir bukan orang lemah tetapi mana ia dapat
menahan tarikan Tjian hong. Buru2 ia lepaskan tjambuk
agar djangan terdjatuh. Tar.... mendjeritlah kusir itu. Pipinja dihadiahi
tjambuk oleh Tjian hong. Djeritan kusir itu
mengedjutkan penumpangnja. Kain penutup tersingkap
dan tersembullah seorang gadis berwadjah buruk. Nona
itu marah, tetapi ketika melihat Tjian hong, lenjaplah
kerut wadjahnja. "Hai, mengapa kau hendak melindas orang!" bukan
menegur Tjian hong, kebalikannja nona itu malah
mendamprat kusirnja sendiri.
Tjian hong tertegun. Kiranja nona berwadjah buruk
itu bukan lain ialah Hay-gwa it-kiau. Tiba2 nona
berwadjah buruk itu memberi hormat kepada Tjian hong.
"Aha, kiranja kau. Seorang ksatrya takkan mendendam
pada siau-djin (orang rendah). Harap kau suka
memaafkan!" Terpaksa Tjian hong mengutjapkan kata2
merendah kepada nona itu.
"Hendak kemanakah anda ini?" tanja Hay-gwa-itkiau.
Terhadap nona berwadjah buruk itu, Tjian hong
masih belum mengetahui djelas pendiriannja. Sebentar
nona itu bersikap bermusuhan tetapi sebentar
bersahabat. "Aku hendak menudju ke Lok-yang," Tjian hong tak
mau banjak bertjakap dengan nona itu.
Se"olah2 sudah tahu, berserulah Hay-gwa-it-kiau:
"O, kiranja kau djuga hendak menghadiri upatjara
perkawinan..." tiba2 ia berhenti seperti teringat sesuatu.
Katanja pula: "Kalau begitu kita nanti ketemu dalam
perdjamuan lagi!" Sebenarnja Tjian hong tak mengerti apa jang
dimaksud sinona dengan perdjamuan pernikahan itu;
Tetapi melihat nona itu hendak berlalu, iapun segera
mengembalikan tjambuk kepada kusir.
Roda kereta mulai menggelinding dan Tjian hong
tegak termangu-mangu mengawali kepulan debu jang
dihamburkan kereta. Pikirannja sekalut kepulan debu
itu.... Perkawinan" Siapakah jang menikah" Mengapa
banjak sekali tokoh2 persilatan jang akan menghadir
perdjamuan itu" Tetapi tudjuan Tjian hong hanja hendak menjelidiki
Thian he-te-it-tjiang Si Kok-tjiang. Dan bukan hendak
menghadiri perdjamuan nikah seperti jang dikatakan
Hay-gwa-it-kiau. Tjian hong ter-longong2. 17 Mulut-besi Tiba2 terdengar desir angin meniup.
"Hai, djangan main sembunji.... !" sekonjongkonjong Tjian hong berputar tubuh membentak.
Ah, kiranja sibadju kelabu jang mukanja bertutup
kain kerudung tengah berada beberapa tombak
disebelah muka. Orang itu ter-batuk2.
"Ini djalan besar, mengapa kau anggap aku main
sembunji?" sahut orang itu.
Tjian hong tertawa dingin: "Siapakah saudara ini?"
Orang itu gelengkan kepala.
"Siapakah anda?" Tjian hong mengulangi
pertanjaannja. "Badju Kelabu."
"Badju Kelabu?" ulang Tjian hong.
Orang itupun tertawa lepas.
Tjian hong tjuriga, ia meminta supaja orang itu
membuka kerudung mukanja.
"Ini kebebasanku sendiri," orang itu tertawa.
"Bebas" Hm, kulihat gerak gerikmu selalu
misterius, tentu tak sewadjarnja. Djika kau tak mau
membuka kain kerudungmu, terpaksa akulah jang akan
membukanja!" "Kau mau menggunakan kekerasan?"
"Kalau terpaksa!"
"Apakah kau jakin mampu?"
"Tjobalah lihat!" Tjian hong menutup kata2nja
dengan madju menjambar kain jang menutup muka
orang itu. Tetapi ah.... hanja angin jang disambarnja.
Orang itupun sudah melesat lenjap.
Menilik gerakannja, Tjian hong menduga bahwa
orang itu tentu bukan tokoh sembarangan. Tetapi
mengapa ia menutupi wadjahnja dengan kain kerudung"
Apakah ia.... tiba2 Tjian hong teringat akan diri
mamahnja sendiri. Sedjak wadjahnja dirusak orang,
ibunja itupun mengenakan kain penutup muka.
Tidakkah demikian halnja dengan orang jang
dihadapannja itu" Seketika timbullah rasa simpati Tjian
hong. Tetapi pada lain saat pikirannjapun teringat.
Beberapa hari jang lalu ketika dimakam orang itu
menjampaikan kabar tentang kematian Malaekat-elmaut
jang dibunuh orang dengan sendjata piau. Dan memang
benarlah gurunja (Malaekat-elmaut) mati dibunuh.
Hanja sadja bukan dengan sendjata Kui-piau melainkan
dengan pedang Sambar-njawa.
Ah, orang berbadju kelabu itu tentu mempunjai
banjak rahasia. Tjepat Tjian hong melesat kearah orang
itu lagi dan menjambar kain kerudungnja. Tetapi orang
itu gesit sekali. Kini dibawah terik matahari, tampaklah
dua sosok tubuh berkelebatan sambar menjambar
dengan tjepatnja. Tiba2 orang itu melesat belasan tombak dan
mendampratnja: "Hai, budak! Kau benar2 manusia tak
kenal budi!" Tjian hong tertawa, teriaknja : "budi apa jang kau
berikan kepadaku?" "Djika tak kuberitahukan tentang kematian
gurumu, masakan kau sempat mendjenguk dan
mengurus majatnja!" seru orang itu.
"Benarkah suhuku mati karena Kui-piau?"
"Kau tak pertjaja" Bukankah telah kau tanam
djenazahnja dan bahkan sudah kau dirikan batu nisan
untuknja, mengapa kau tak melihat piau jang tertanam
didadanja?" seru orang itu.
Tjian hong benar2 terbeliak mendengar kata orang
itu. "Ah, ternjata dia selalu mengikuti djedjakku,"
pikirnja terkedjut. Tetapi ia tahu sendiri bahwa luka didada suhunja
bukan karena piau tetapi ditusuk pedang.
"Gerak gerikmu serba misterius, kata2mu penuh
rahasia. Aku tak dapat mempertjajai kau!" serunja.
"Apakah dia sudah mengetahui?" diam2 orang
berbadju kelabu itu terkesiap dalam hati.
Tetapi ia bersikap tenang2 sadja : "Sekalipun saat
ini belum waktunja kubitjara dengan wadjah terbuka,
tetapi tindakanku selalu terang setiap patah kataku
tiada jang bohong. Tetapi kau masih kurang pertjaja!"
"Pertjaja" Djika katamu itu dapat dipertjaja, dunia
ini memang sudah gila," Tjian hong tertawa dingin.
Hati orang berkerudung muka itu bergolak namun
ia berlaku setenang mungkin. "Apakah kau merasa ada
sesuatu jang tidak wadjar dalam kata2ku tadi?"
"Tentu!" "Masa!" "Ada buktinja!"
"Tjoba katakan!"
Berseru Tjian-hong dengan sengit: "Guruku tidak
binasa karena Kui-piau!"
Kata2 Tjian hong bagaikan sebuah palu
menggodam kepala si Badju-kelabu. Walaupun
wadjahnja tak kelihatan karena tertutup kain kerudung,
tetapi dari pakaiannja jang tergetar, dapatlah diduga
bagaimana kedjutnja! Sampai beberapa saat barulah ia dapat berkata
hambar: "Kau masih muda tetapi pandai sekali
berbohong!" Tahu sudah ia bahwa Tjian hong sebenarnja
berkata sesungguhnja namun sebagai seorang jang
masak pengalaman, si Badju-kelabu sengadja
mengatakan demikian. Ia mempunjai rentjana.
"Memang orang jang pandai berbohong selalu tak
pertjaja akan keterangan orang lain!" sindir Tjian hong.
"Kalau begitu kau tak bohong?"
Tjian hong segera mengeluarkan pedang Sambarnjawa jang masih disimpannja: "Suhuku binasa karena
pedang ini!" "Pedang Sambar-njawa?" si Badju-kelabu terbeliak
kaget. "Ja, pedang ini menantjap didada suhuku!"
Si Badju-kelabu mengerut kening, serunja mantap:
"Djika kukatakan bahwa aku melihat dengan mata
kepala sendiri bahwa jang tertantjap didada Malaekatelmaut itu sendjata piau, apakah kau pertjaja?"
Aku hanja pertjaja pada mataku sendiri!"
Tergetar kedua bahu si Badju-kelabu mendengar
penjahutan Tjian hong jang sinis, serunja tak puas:
"Kalau begitu aku tak dapat berbuat apa2 lagi!"
"Tetapi dimanakah tempat tinggalmu?" suara Tjian
hong agak keras. "Kuberitahukan padamu dengan itikad baik, kau
tak pertjaja. Sekarang kau hendak menanjakan tempat
tinggalku. Apakah tidak penasaran?" balas si Badjukelabu.
"Karena aku tak pertjaja!"
"Terserah. Aku tak dapat memaksamu!"
"Tetapi aku ingin tahu siapa pemlik Kui-piau itu!"
"Betapapun aku tak ingin menanam permusuhan
tanpa sebab apa2..." si Badju-kelabu berhenti sedjenak,
keluhnja dengan tandas: "Apalagi kau toh tak pertjaja
padaku!" "Aku hendak mohon petundjuk padamu," kata
Tjian hong. "Silahkan." Sambil kibas2kan pedang Sambar-njawa,
berserulah Tjian hong: "Milik siapakah sendjata ini?"
Tiba2 si Badju-kelabu tertawa gelak2. Nadanja
njaring dan tadjam sampai menusuk ketelinga. Selang
beberapa djenak kemudian barulah ia berkata: "Kata-
katamu itu bernada ketjurigaan. Djika kuberitahu
padamu, dapatkah kau mempertjajai aku?"
Tjian hong termenung sedjenak, udjarnja: "Aku
dapat mempertimbangkan sendiri."
Si Badju-kelabu tertawa mengekeh: "Tetapi aku tak
senang ditjurigai orang terus menerus!"
Tjian hong tertegun. Ia tak dapat berkata apa2. Si
Badju-kelabu berdjalan beberapa langkah lagi, serunja:
"Aku hendak pergi, sampai djumpa lagi dimedan
perdjamuan!" Pada waktu mengutjap kata2 jang terachir itu dia
sudah melesat berpuluh tombak djauhnja.
Tjian hong masih tegak termangu. Kepergian siBadju-kelabu segera berganti dengan persoalan baru,


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perdjamuan kawin. Pertama adalah gadis berwadjah buruk Hay-gwa-itkiau jang mengira ia menghadiri pesta pernikahan.
Sekarang si Badju-kelabu. Kedua orang itu senada
menganggap ia (Tjian hong) tentu hadir dalam
perdjamuan itu. Dan memang hari itu didapatnja djalan
besar penuh dengan orang2 dan kendaraan. Kebanjakan
mereka adalah orang2 persilatan.
"Apakah orang2 itu akan hadir pada pesta
pernikahan?" tanjanja dalam hati.
"Tetapi siapakah jang akan menikah?"
Tiba2 dihapuskannja persoalan jang tak ada
kepentingan dengan dirinja itu. "Persetan siapa jang
akan menikah, bukan urusanku. Pokok aku harus
melaksanakan tugasku!" achirnja ia memutuskan.
Segera ia landjutkan perdjalanan ke Lok-yang.
Begitu masuk kota, agar tak menimbulkan ketjurigaan
orang, ia tak mau gunakan ilmu lari-tjepat lagi dan
berdjalan biasa sadja. Baru pertama kali itu mengundjungi kota Lok-yang.
Walaupun ia sudah mendapat keterangan bahwa Si Kiok
tjiang tinggal ditepi kota, tetapi ia tak tahu djelas
letaknja. Tiba2 dari sebuah muka muntjul seorang tua
berdjubah hitam, Tiga untai djenggotnja jang putih
mendjulai sampai kedada, Orangtua itu mentjekal
sebuah bendera ketjil. Tjian hong melirik. Pada bendera ketjil itu tertulis 4
buah huruf berbunji Tio Sam mulut besi. Ah, kiranja
seorang tukang nudjum. Tetapi Tjian hong mempunjai
pendapat lain. Bahwa seorang tukang nudjum jang
membuka praktek dikota Lok-yang tentulah mengetahui
tempat tinggal seorang djago tingkat atas matjam Si
Kiok-tjiang. Segera dihampirinja tukang nudjum tua itu. Tetapi
belum ia membuka mulut, situkang nudjum sudah
mendahului: "Saudara, kulihat wadjahmu terang, alismu
bagus. Keningmu menondjol dan hidung mendjulang.
Djika beladjar sastera kau tentu dapat mendjadi
sasterawan ternama. Beladjar silat tentu mendjadi
panglima... Ha, ha.... masih pula..."
Tanpa diminta tukang nudjum itu mengotjeh
pandjang lebar. "Aku hendak mohon tanja pada paman," buru2
Tjian hong memberi hormat.
"Tiba2 tukang nudjum tua itu mengangkat
benderanja dan tertawa meloroh, "Aku Tio Sam si Mulutbesi, djika sampai meleset, djangan kau bajar!"
Tjian hong tertawa: "Aku hanja hendak bertanja
tentang seseorang." Mendengar bukan soal penudjuman, tukang
nudjum itu menjahut dingin: "Siapa?"
"Dimana tempat tinggal Si Kiok-tjiang?"
"Perlu apa kau tanja dia" Apakah hendak
menghadiri pesta pernikahan?"
"O, kiranja pernikahan itu dari keluarga Si, maka
tak heran banjak orang persilatan jang datang ke-kota
ini. Tetapi siapakah jang akan dinikahkan Si Kiok-tjiang
itu" " kata Tjian hong lalu menggumam seorang diri:
"Aku masih tak mau menghadiri perdjamuan itu hanja
hendak bertemu sebentar dengan Si Kiok-tjiang!"
Sahut situkang nudjum dengan hambar: "Kau
masih muda tetapi tak tahu adat kesopanan. Ber-kali2
enak sadja kau menjebut nama Si Kiok-tjiang, Si Kioktjiang. Apakah kau tak tahu bahwa dia bergelar Thianhe-te it-tjiang jang perkasa?"
Tak kalah garangnja Tjian hong mendjawab: "Jang
kuhormati hanja ksatrya perwira. Terhadap djagoan2
jang menindas kaum lemah, tak kupandang mata sama
sekali!" "Kau amat sombong, mungkin sukar keluar dari
kota Lok-yang ini," tukang nudjum menjesali.
"Sajang aku tak dapat merobah perangaiku jang
tak mau tunduk pada segala kekerasan se-wenang2,"
sahut Tjian hong. "Eh, apakah kau hendak menempurnja?" tanja si
tukang nudjum. "Begitulah maksudku!"
Djawaban itu membuat mata situkang nudjum
terbeliak. Dipandangnja Tjian-hong tadjam3. Selang
beberapa saat barulah ia berkata: "Melihat tampang
mukamu kau bukan tergolong orang jang pendek umur,
tetapi mengapa kau hendak mengantar kematian?"
"Belum tentulah!"
"Si Kiok-tjiang adalah djago nomor satu didunia!"
"Kutahu sudah. Kuminta tuan suka menundjukkan
djalan ketempat tinggalnja sadja."
Tukang nudjum itu gelengkan kepala menghela
napas pandjang: "Kau sendiri jang hendak mengantar
kematian. Djangan nanti sesalkan aku!"
"Sudah tentu, harap tuan djangan kuatir," sahut
Tjian hong dengan angkuh, "kalau aku sampai binasa
ditangan Si Kiok tjiang, bukanlah kesalahan siapa2
melainkan kesalahanku sendiri jang tak betjus beladjar
silat. Se-kali2 takkan merembet tuan!"
"Kalau begitu terserah," kata situkang nudjum jang
segera memberitahukan letak kediaman Si Kok-tjiang.
Setelah menghaturkan terima kasih, Tjian-hong segera
berlalu. Si Kiok-Tjiang tinggal disebelah timur kota. Sebuah
gedung besar jang mewah. Diam2 Tjian hong muak akan
kegarangan orang. Didepan pintu gerbang banjak sekali
kereta dan kuda berdatangan. Tampaklah kesibukan
jang luar biasa seperti lazimnja orang jang tengah
menjelenggarakan peradatan kawin. Didepan pinta
terdapat tempat penerimaan barang hadiah. Setiap
tetamu datang tentu akan menjerahkan bingkisan, baru
masuk. Apabila tidak membawa barang hadiah, tentu
dilarang masuk oleh 4 pengawal jang bertugas disitu.
Timbul pikiran Tjian hong: "Mumpung Si Kioktjiang punja kerdja, mengapa aku tak masuk untuk
melihat bagaimana orangnja?"
"Tetapi ah, rupanja kalau tak membawa bingkisan
tentu dilarang masuk. Dan aku tak punja apa," pada lain
kilas ia agak bingung. Kemudian ia nekad.
Bagaimanapun djuga djika mereka berani menghalangi
aku, tentu akan kuberi hadjaran!"
Segera ia melangkah menghampiri pintu.
"Apabila hendak hadir, harap menjerahkan
bingkisan pemberian selamat," segera salah seorang
pengawal membentak. "Djika tidak membawa?" Tjian-hong menegas.
"Silahkan enjah. Djika mau undjuk kepandaian
disini bukan tempat jang seru.!"
Wut.... tanpa banjak bitjara Tjian hong segera
ajunkan tindjunja. Tetapi se-kunjong2 dari belakang
terdengar suara orang berseru sambil tertawa: "Tuan,
inilah barang bingkisanmu!"
Tjian hong terkedjut dan berpaling. Ah, si-tukang
nudjum tadi... Belum sempat Tjian-hong membuka
mulut, tukang nudjum itu sudah gunakan ilmu
Menjusup suara membisiknja: "saat ini bukan saat
berkeras. Kita berikan bingkisan dan masuk melihat
bagaimana keadaan dalam perdjamuan nanti!"
Tjian hong terkedjut. Kiranja tukang nudjum itu
seorang sakti jang tersembunji. Ia malu mengapa ia tak
dapat mengetahuinja. Segera ia menjambuti bungkusan
jang diberikan situkang nudjum lalu diterimakan pada
pengawal. Tetapi pengawal itu mendengus. Bungkusan
diberikan kepada jang bertugas menerima bingkisan
tetapi ia tetap tak memberi djalan Tjian hong.
Diantara petugas jang menerima bingkisan,
terdapat seorang tua jang berumur 70-an tahun. Dialah
jang membuka bungkusan dari Tjian hong. Ketika
bungkusan terbuka, bukan kepalang kedjut orangtua
itu..... Bahkan Tjian-hong sendiripun terbelalak kaget
melihat isi bingkisan itu. Belum sempat ia bertanja pada
situkang nudjum, orang itupun sudah mendahului
gunakan ilmu Menjusup suara lagi: "Tenang dan djangan
gugup. Tak nanti kubuat-mu ketjewa....."
*** 18 Thian-he te-it-tjiang Kiranja isi bungkusan itu bukanlah barang
bingkisan, melainkan sebatang pedang pendak jang berkilau2an tjahajanja....
Petugas tua itu terbeliak!
Kebalikannja situkang nudjum malah tertawa:
"Pedang pandak ini, tidakkah tjukup berharga?"
Petugas tua membalikkan batang pedang. Ketika
matanja tertumbuk tiga buah huruf Pedang sambarnjawa tertera pada batang pedang, seketika berobahlah
wadjah petugas itu dengan seri kegirangan.
"Tjukup, tjukup, tjukup. Silahkan tuan berdua
masuk!" serunja ter-sipu2.
Tukang nudjum tertawa lepas. Ia berpaling kepada
Tjian hong: "Tuan, marilah kita lihat2 kedalam!"
Tjian hong merogoh kedalam badju. Astaga... dua
batang pedang Sambar-njawa jang disimpannja itu
ternjata hanja tinggal sebatang sadja. Djelas tentu ditjuri
oleh situkang nudjum. Ia hendak menegur tetapi karena
sikap tukang nudjum jang begitu merendahkan diri
menjebutnja sebagai 'tuan' sungkan djuga Tjian hong
mendampratnja. Tetapi pedang ini merupakan barang bukti untuk
penjelidikan. Bagaimana semudah itu akan diserahkan
pada orang" Karena masih ter-tjengang2, ia sampai tak
menghiraukan adjakan situkang nudjum.
Buru2 situkang nudjum gunakan ilmu Menjusupsuara: "Mengapa kau masih ter-mangu2" Sudahlah
djangan bimbang, tentu takkan mengetjewakan hatimu!"
Tjian-hong gelagapan. Ia merasa banjak tjuriga
pada orang. Sikap begitu sukar untuk melakukan usaha
besar. Apalagi tukang nudjum itu tentu mengandung
maksud tertentu. Mengapa ia tak mau membuktikan
dulu dan buru2 menaruh ketjurigaan"
Setjepat menghilangkan keraguan, setjepat itu pula
kakinja melangkah kedalam. Tiba2 matanja silau oleh
pemandangan jang terdapat dalam gedung.
Warna warni lampu menerangi ruangan. Lantai
beralas permadani merah, tiang2 dibalut kain hidjau.
Tamu2 luar biasa banjaknja. Pelajan2 pada berpakaian
merah, sibuk mondar mandir tak henti2nja. Benar2
sebuah perdjamuan jang mewah sekali.
Situkang nudjum bersama Tjian hong mengambil
tempat duduk disebuah medja jang masih kosong.
Kawanan gadis pelajan tjepat sekali melajani hidangan.
Dalam kesempatan ini segera Tjian hong bertanja
kepada situkang nudjum: "Lo-sianseng, apakah maksud
tindakanmu ini?" Wadjah situkang nudjum berobah serius: "Kita
dalam kedudukan sebagai tuan dan budak, mengapa
kau panggil aku sianseng (tuan)" Apabila didengar orang,
sandiwara kita ini tentu akan matjet!"
"Kau mendjadikan aku...."
"Hamba bernama Tio sam, panggillah sadja dengan
nama itu!" tukas situkang nudjum.
Tjian hong tak dapat berbuat apa2 menghadapi
situkang nudjum. Apa boleh buat, ditempat dan saat
seperti itu terpaksa ia menurut. Namun pikirannja tetap
teringat pedang hambar-njawa.
"Pedang itu....." belum selesaikan ia hendak
berkata, situkang nudjum sudah mendorong medja dan
berbangkit: "Tunggulah disini dulu, aku hendak pergi
sebentar," katanja seraja terus menjusup kedalam lautan
tetamu. Tjian hong benar2 heran. Tak tahu ia apa kehendak
situkang nudjum. Bahkan siapa jang akan
melangsungkan perkawinan, iapun tak tahu. Hanja jang
diketahuinja, menilik sekian banjak tetamu jang hadir,
djelas mengundjuk betapa pengaruh Thian-he-te-it-tjiang
Si Kiok tjiang didunia persilatan.
Duduk seorang diri mau tak mau Tjian hong iseng2
memandang para tetamu jang duduk di kanan kirinja.
Dari sikap dan kata2 mereka jang kasar dan terus
terang, djelaslah bahwa mereka itu orang2 persilatan
dari berbagai golongan. Tiba2 seorang tetamu muntjul
dari rombongan hadirin dan menudju ketempat Tjian
hong. Tjian hong terkedjut. Ia mengeluh dalam hati:
"Tjelaka, kalau sampai dilihat olehnja!"
Kiranja jang datang itu adalah siwanita tjabul Siauhun-li atau Peraju-sukma. Waktu Tjian hong hendak
berbangkit, Peraju-sukma sudah mendahului berseru:
"Djangan pergi, kutemani kau ber-tjakap2!" " Dan
duduklah wanita itu dikursi sebelah mukanja.
Sebagai seorang lelaki sudah tentu Tjian hong malu
dianggap penakut, ia segera duduk tetapi tak mau ia
mengadjak wanita itu bitjara. Ia mendjamputi kwatji dan
enak2 menjisilnja. Peraju-sukma tak diatjuhkan.
Selang sekian saat, tak tahan lagi rupanja Perajusukma diperlakukan begitu dingin, tegurnja: "O, kiranja
kau seorang dingin!"
"Kalau seorang dingin tentu tak barguna bagimu,"
dengus Tjian hong. "Tetapi aku ingin bersahabat padamu, mengapa
sedikitpun kau tak merasa?" Peraju-sukma tertawa:
"Apalagi tempo hari aku telah memberi ampun padamu."
Melihat wanita itu mengulum senjum genit, diam2
Tjian hong bersiap-siap : "Aku harus hati2 terhadap
wanita ini agar djangan sampai masuk kedalam
perangkapnja." "Terima kasih atas kebaikanmu tempo bari itu,"
udjarnja. "Hanja terima kasih sadja?"
"Tentu!" "Tak memadai!" "Tjian-hong teringat dikala mengambil darah Tjianlian-lok tempo hari, ia banjak mendapat kesulitan dari
wanita itu. Bahwa sekarang ia mau menghaturkan


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terima kasih, adalah sudah suatu sikap jang mengalah.
Tetapi rupanja wanita itu masih kurang terima.
"Lalu bagaimana kehendakmu?" tanjanja.
"Siau-hun-li si Peraju-sukma tertawa mentjibir:
"Masakan aku tak sungkan untuk mengatakan?"
"Tak apalah!" "Dalam kesempatan hari sebaik ini, kitapun bersama2 mentjitjipi kebahagiaan....!" kata Peraju sukma
dengan tenang. Se-olah2 kata2 jang penuh tjumbu raju
tjabul itu biasa sadja diutjapkannja.
Marah Tjian hong bukan kepalang, bentaknja: "Aku
bukan bangsa manusia jang serendah itu. Kau harus
mengerti!" "Aduh! Antara suami isteri masakan banjak
peradatan." "Hm, tebal benar kulit mukamu !" damprat Tjian
hong "Maksudku hanja mentjari kebahagiaan manusia
hidup...." tiba2 mata Siau-hun-li terbeliak dan bergegas2 ia bangkit: "Tengah malam nanti kita bertemu
dihutan Hek-lim. Djika kau tak datang, aku tak sudi
menolongmu lagi apabila kau mendapat bahaja!" " Ia
terus menjelinap masuk diantara rombongan tetamu.
Pada lain saat tiba2 situkang nudjum muntjul
kembali. "Eh, kemana sadja kau?" tegur Tjian hong.
"Mengurus kerdjaan penting!" sahut orang itu
dengan kepala menengadah.
"Urusan apa2" Tukang nudjum itu tersenjum. Dari dalam
djubahnja ia mengeluarkan sebuah bungkusan dan
diserahkan kepada Tjian hong, bisiknja: "Benda kembali
pada pemiliknja, harap simpan baik!"
Ketika menerima dan merasakan bungkusan itu
berat, tahulah Tjian hong barang apa jang diterimanja
itu. Diam2 ia heran2 kagum: "Pak tua ini benar2 lihay
dapat mentjuri kembali pedang Sambar-njawa."
"Tiba2 terdengar genderang bertalu riuh dan
serempak diiring suara tetabuhan musik.
"Tandu temanten datang!"
"Temanten perempuan datang!"
Demikian terdengar suara orang berteriak.
"Tahukah kau siapa jang menikah?" tanja Tjian
hong kepada Tio Sam situkang nudjum.
"Putera Si Kiok-tjiang!" sahut Tio Sam dengan
hambar. Terdengar letupan mertjon memekik telinga. Gadis2
pelajan segera menjingkirkan hidangan kwatji dan buah
semangka dan mengganti dengan hidangan masakan.
Arak tak henti2nja dituang kedalam gelas tetamu2.
Tio Sam mengangkat tjawan arak, serunja:
"Sementara minum sampai mabuk!"
Setelah meneguk tiga tjawan, Tjian hong tak kuat
lagi. Tiba2 terdengar suara pengatjara melantang
njaring. Dan muntjullah seorang lelaki berumur 60-an
tahun dalam pakaian mewah. Ia melangkah ketengah
medan perdjamuan dengan sikap jang angkuh.
"Terima kasih banjak2 atas budi ketjintaan
saudara2 jang telah sudi meluangkan waktu menghadiri
pesta perdjamuan pernikahan puteraku!" Ia batuk2
sedjenak lalu katanja pula: "Sekarang hendak kusuruh
kedua mempelai itu menghaturkan hormat kepada
saudara2!" "Apakah itu bukan Si Kiok-tjiang?" tanja Tjian hong
dengan berbisik. Rupanja Tio Sam sudah mabuk. Tanpa mengangkat
kepala, ia menjahut: "Siapa lagi kalau bukan dia!"
Suara tepuk tangan menjambut utjapan tuan
rumah bergemuruh memenuhi ruangan. Kemudian
musikpun menggemakan lagu2 merdu.
Karena ingin tahu siapakah putera Si Kiok-tjiang,
Tjian hong pun memandang kemuka. Ah, kedjutnja
bukan kepalang. Kiranja mempelai laki adalah Si Tjiauhun dan mempelai perempuan sidara Jap Siu-lan.
Tiba2 mata mempelai lelaki tertumbuk kearah
Tjian-hong. Dan gemetarlah tubuh mempelai itu. Sekonjong2 mempelai laki itu lari kearah tempat Tjian
hong. "Hai bangsat, kau berani datang minum arak
disini!" teriaknja seraja lontarkan pukulan.
Tjian hong terkedjut. Dalam keadaan diserang
begitu mendadak dan dahsjat tiada lain pilihan lagi
baginja ketjuali balas memukul. Karena untuk
menghindar tak mungkin dan djika tak menghindar
tentu menderita. "Belum kau tanjakan hitam putihnja sudah
memukul. Djangan salahkan aku!" serunja seraja
menjongsong tangannja lurus kemuka.
Bum....terdengar letupan dari dua pukulan saling
beradu. Tjiau-hun rasakan kedua lengannja kesemutan
den tubuhpun terhujung beberapa langkah kebelakang.
Kekalahan itu membuatnja merah padam. Malunja
bukan kepalang. "Bangsat, kau tentu kubunuh!" teriaknja dengan
marah. Ia madju menjerang lagi sampai 7-8 djurus.
Dengan sabar Tjian hong hanja menangkis. Tetapi
makin lama makin marahlah ia. Ia dorongkan tangannja.
Karena beberapa kali serangannja tak berhasil,
Tjiau-hun marah dan berteriak seperti babi hendak
disembelih. Para tetamu jang tak mengerti sebab2 kekalapan
mempelai lelaki, terkedjut heran. Dalam pada itu diam2
merekapun memudji ketangkasan Tjian-hong.
Se-konjong2 tuan rumah Si Kiok-tjiang melesat
menghadang puteranja dan mendamprat: "Hari ini
adalah hari baikmu, mengapa kau tak menghormati
tetamu?" "Jah..." melihat sang ajah muntjul, Tjiau-hun
segera menuding pada Tjian hong: "Dia seorang bangsat!"
"Bangsat" Bangsat apa?" Si Kiok-tjiang terbeliak.
Seru Tjiau-hun dengan gemetar: Dia pernah meraju
Siu-lan dan sekarang berani datang menghadiri pesta
perkawinanku. Djelas dia tak memandang mata sama
sekali kepada ajah1"
Keterangan itu mendapat sambutan gemuruh dari
para tetamu. Ada sementara tetamu jang memaki Tjian
hong. Memang Si Kiok-tjiang turun tangan untuk
membantu puteranja. Mendengar pembakaran Tjiau-hun
dan kata2 tetamu jang bersikap membelanja, bergolak
djuga hati Si Kok tjiang.
"Hun-dji, benarkah itu?"
"Aku tahu dengan mata kepala sendiri, mana anak
berani bohong!" buru2 Tjiau-hun mendjawab.
Seketika berobahlah wadjah Si Kiok-tjiang.
Wadjahnja merah padam terbakar api kemarahan hebat,
serunja: "Lenjapkan dulu orang kita lalu bunuh bangsat
itu!" Si Kiok-tjiang melangkah kehadapan Siu-lan tjalon
menantunja: "Huh, kau masih punja muka pada
sekalian tetamu" Lekas ambil putusan sendiri! Rumah
keluarga Si tak mengidjinkan diindjak perempuan
sematjam kau!" "Tidak jah! Djangan salah paham. Aku rela mati
tetapi tetap tak dapat mentjutji noda kehormatan Ko
sauhiap jang telah tertjemar!"
"Perempuan hina, djangan membela bangsat itu!"
bentak Si Kiok-tjiang, "Hm, pertjuma budi jang telah
kuberikan pada kalian ajah dan anak1"
"Se-kali2 kami takkan melupakan budi. Pada suatu
hari tentu akan kami balas," sahut Siu-lan.
"Aku tak sudi mengharap balasanmu!" bentak Si
Kiok-tjiang pula, "jang njata kau telah melumuri mukaku
dengan nadjis. Ajo, lekas habisi djiwamu sendiri!"
Mendengar itu gemetarlah Siu-lan. Air matanja
membandjir turun. "Hm, kalau masih berajal, terpaksa aku akan turun
tangan," Si Kiok-tjiang mendesak.
Siu-lan menangis tersedu.
"Djangan djual tangis! Lekas lakukan perintahku
atau tiada ampun lagi bagimu!" seru Si Kiok-tjiang seraja
mendorong tubuh menantunja.
Melihat itu tak kuat lagi Tjian hong menahan diri.
Segera ia hendak bertindak memberi pertolongan pada
Siu-lan. Tetapi situkang ramal tjepat mentjegah.
"Djangan bertindak gegabah. Tak berguna saat ini
kau turun tangan!" "Tjian-hong heran. Bukankah nona itu terantjam
djiwanja, mengapa tak boleh ditolong"
Se-konjong2 terdengar seruan njaring: "Si-djin-ong,
berlakulah murah!" Si kiok-tjiang hentikan tangannja dan berpaling.
Ah, ternjata muntjullah seorang tua jani Jap Tjeng, ajah
mempelai perempuan. "Hm, siapakah djin-ong (besan)mu" Aku hendak
membatalkan perkawinan ini!"
Dingin2 sadja wadjah Jap Tjeng mendengar
pernjataan itu. Sedikitpun ia tak kaget.
"Apakah kesalahan Siu-lan?" tanjanja.
"Hm, dia tak tak dapat memegang teguh
kehormatannja dan mentjemarkan nama kita," sahut Si
Kiok-tjiang. "Benarkah itu?"
"Hun-dji telah melihat dengan mata kepala sendiri
dan sibadjul buntungpun berada disini....." Si Kiok-tjiang
menundjuk Tjian hong: "Salahku sendiri mengapa
dahulu aku menolong kalian berdua ajah dan anak!"
Jap Tjeng melirik kearah Tjian hong. Dingin2 sadja
ia mendjawab: "Budi pada 10 tahun jang lalu tak pernah
sesaatpun kami lupakan. Pada suatu hari pasti akan
kami balas!" " Ia berpaling kepada anak perempuannja:
"Karena urusan djadi begini rupa, baiklah kita pulang
sadja!" Dan terus sadja orangtua itu menggandeng Siu lan
melangkah keluar. Si Kiok-tjiang lontjat menghadangnja: "Enak sekali
kalian hendak pergi!"
"Anakku bedjat, hendak kubawa pulang kuberi
hadjaran!" "Hm, dia sudah menikah dengan keluarga Si. Kalau
matipun akan djadi setan keluarga Si. Bagaimana
hendak kaubawa pergi?" seru Si Kiok-tjiang.
"Mengapa tidak" Bukankah tadi dia belum
mendjalankan upatjara sembahjang pada bumi dan
langit" Djadi dia baru dalam tingkat pertunangan sadja,
belum mendjadi suami isteri resmi. Kau membenarkan
puteramu dan memutuskan perkawinan ini, apa
salahnja akan kubawanja pulang?"
Si Kiok-tjiang tak dapat menjahut. Karena malu ia
segera mengangkat tindjunja
Jap Tjeng dingin2 sadja mendengus: "Hm, kau
diagungkan dunia persilatan sebagai Thian he-te-it
tjiang. Dan aku seorang tua jang tak mengerti silat.
Mudah sekali ibarat orang membalikkan telapak
tangannja djika kau hendak membunuh aku. Tetapi
bukankah namamu akan tjemar ditertawakan orang"
Harap pikir jang pandjang!"
Utjapan orangtua itu menjentuh hati Si Kiok-tjiang.
Iapun menjurut kesamping tiga langkah untuk memberi
djalan. Dan berdjalanlah pak tua Jap Tjeng bersama
anaknja Jap Siau lan. Kini kamarahan Si Kiok-tjiang beralih dilimpahkan
pada Tjian hong. "Kita pergi djuga!" bisik Tjian hong kepada situkang
ramal tua. Tetapi ketika ia hendak ajunkan langkah, Si
Kiok-tjiang membentak. "Mau kemana kau, budak binal!"
"Aku bebas pergi kemanapun. Siapa jang berhak
merintangi aku?" Tjian-hong menggeram.
"Tjobalah sadja kalau kau mampu, badjul
buntung!" edjek Si Kiok-tjiang.
"Kau membela anakmu. Setiap kali mengutjap
tentu memaki aku badjul buntung. Apakah kau tak
membajangkan bahwa hal itu akan mengakibatkan
hantjurnja gelarmu Pukulan-nomor-satu-didunia!"
"Djangan banjak tjingtjong, budak!" bentak Si Kioktjiang.
"Aku banjak tjingtjong" Mengapa kau tak mau
menanjakan keterangan jang djelas?"
"Bukti sudah djelas, perlu apa harus diselidiki
lagi?" "Tindakanmu jang membabi buta, mengetjewakan
gelaranmu sebagai Pukulan-nomer-satu-didunia! Kabar2
jang mengatakan kau banjak membunuhi djago2
golongan Hitam dan Putih, kiranja tak salah!"
Merah padam seketika wadjah djago nomor satu
didunia itu. "Rupanja kau mengotjeh tak keruan, budak hina!"
bentaknja marah. "Hm, kau tak merasa bahwa sepak terdjangmu
beberapa tahun ini menimbulkan kemarahan kaum
persilatan?" Karena malu, Si Kiok-tjiang tak mau mundur
setapak, serunja: "Andaikata benar, kaupun tak dapat
berbuat apa2 terhadap aku!"
Kata2 itu berarti suatu pengakuan. Dan timbullah
keputusan Tjian-hong untuk melenjapkan benggolan ini.
"Hari ini aku hendak mendjatuhkan kau dibawah
telapak tanganku!" serunja.
"Kau menantang adu pukulan" Hm, rupanja kau
memang hendak tjari mati!"
"Siapa jang bakal mati nanti, belumlah ketahuan.
Djangan keburu menepuk dada berkokok dulu!" seru
Tjian hong.

Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Djago nomor satu didunia akan djatuh ditanganmu" Ho, ho, sungguh lutju sekali!"
"Memang aku hendak meminta kehadiran sekalian
djago2 dari seluruh pendjuru untuk menjaksikan
kedjatuhanmu..." seru Tjian hong dan dengan nada jang
penuh ketjongkakan ia berseru mantap: "Dan hanja
dengan sebuah djurus pukulan sadja, kau tentu akan
remuk!" "Satu djurus" Eh, rupanja pikirannja tidak beres!"
"Aku bukan orang edan dan bukan mimpi!
Buktikanlah sendiri!" seru Tjian hong.
"Silahkan!" Tjian hong segera bersiap. Kedua tangannja
dilempangkan kemuka dada. Melihat itu Si Kiok-tjiang
agak terkedjut. Buru2 ia bersiap-siap. Walaupun selama
ini Si Kiok-tjiang belum pernah mendapat tanding, tetapi
entah bagaimana ia tak berani memandang rendah pada
pemuda jang dihadapannja saat itu.
Ber-puluh2 pasang mata tetamu terpaku tegang.
19 Tersangka Dua djago berhadapan saling tantang2an. Jang
satu tokoh silat jang digelari sebagai Thian-he-te-it-tjiang
atau pukulan nomor satu didunia. Lawannja seorang
pemuda tak terkenal jang berani sumbar2 akan
mendjatuhkan Si Kiok tjiang dalam satu djurus sadja.
Tegang meregang, napas sekalian tetamupun
serasa berhenti. Setelah pasang kuda2, mulailah Tjian-hong
gerakkan kedua tangannja mendorong kemuka. Dan Si
Kiok-tjiangpun bergerak untuk menjongsongnja.
Sekalian tetamu dalam pesta perdjamuan kawin
saat itu adalah tokoh2 persilatan pesta perdjamuan
kawin saat itu adalah tokoh2 persilatan jang ternama.
Mereka djelas menjaksikan bahwa gerakan ilmu pukulan
dari kedua orang itu hampir sama. Suatu hal jang
mengedjutkan hati sekalian orang. Namun mereka tak
berani buka suara. Ketika menjaksikan bagaimana gerakan sipemuda
melantjarkan serangannja, tergetarlah hati Si Kioktjiang.
Tiba2 terdengar suara orang berteriak penuh
ketjemasan: "Loya, loya, tjelakalah!"
Si Kiok tjiang terkedjut dan hentikan tangannja.
Jang muntjul dan berteriak itu seorang budjang
perempuan. "Mengapa?" serunja.
Wadjah budjang perempuan itu putjat lesi dan
dengan suara gemetaran ia berseru: "Njonjah.... njonjah
dibunuh orang!" Seketika gemparlah sekalian hadirin. Mereka jang
bermula terkedjut menjaksikan pertempuran tuanrumah
lawan seorang pemuda tak dikenal, tiba2 beralih hiruk
pikuk mendengar berita jang mengedjutkan itu
Melihat tuan rumah hentikan pukulannja, Tjianhongpun tak mau menjerang. Tampak sepasang mata Si
Kiok-tjiang ber-api2. "Kapan peristiwa itu terdjadi?" serunja.
Sahut budjang perempuan: "Beberapa hari ini
njonja sibuk sekali mengurus persiapan pernikahan
kongtju. Tadi pagi ketika keatas, beliau merasa kurang
enak badan dan kembali masuk kekamar. Beliau pesan
djangan diganggu, sampai nanti setelah upatjara
perkawinan mulai, barulah boleh dibangunkan. Tetapi
ketika tadi hamba membangunkan, ternjata njonjah
sudah meninggal!" "Berapa lama ia mati?"
"Kira2 tiga djam jang lalu!"
"Tiga djam..." Si Kiok-Tjiang mengulang. Tiba2 ia
bertanja pula: "Terluka dibagian mana?"
"Dibagian dada!" sahut budjang perempuan dengan
gemetar. "Dengan sendjata apa?"
"Sebatang pedang pandak!"
"Mana pedang itu?"
"Hamba tak berani mentjabut, masih tertanam
didada njonjah!" Si Kiok-Tjiang menggerung keras. Segera ia
menudju kedalam kamar isterinja.
Ruang perdjamuan mendjadi katjau. Tuan rumah
dan puteranja masuk kedalam, tetamupun hiruk pikuk
membitjarakan peristiwa pembunuhan jang hebat ini.
Tjian hong barpaling dan bertanja kepada situkang
ramal tua: "Tahukah kau siapa pembunuhnja?"
Tukang ramal tua itu kerutkan dahi, udjarnja:
"Pembunuhan ini hebat benar. Tetapi samar2 dapatlah
kuduga. Peristiwa itu pelik sekali. Salah urus mungkin
akan menimbulkan pertumpahan darah hebat. Peristiwa
ini dapat mendjadi alamat akan timbulnja bandjir darah
didunia persilatan!"
Tjian hong ter-longong2. Se-konjong2 Si Kiok-tjiang lari ter-gopoh2 keluar.
Tangannja mentjekal sebatang pedang pandak jang
masih berlumuran darah. Bersama dia ikut orang tua
berbadju biru jang bertugas menerima bingkisan dan
para tetamu jang datang. Beberapa saat orang tua itu
tampak berbisik-bisik kepada Si Kiok tjiang.
Si Kiok-tjiang segera melangkah kehadapan Tjian
hong. Tjian hong tersentak kaget demi melihat pedang
jang berada ditangan tuan rumah.
"Hai, apakah itu bukan pedang Sambar-njawa?"
pikirnja. "Budak, apakah kau bukan orang she Ko?" tiba2 Si
Kiok-tjiang menegurnja. Pertanjaan sekasar itu menimbulkan kemarahan
Tjian hong. Sahutnja tak kurang getas: "Benar!"
Dan berkatalah siorangtua badju biru kepada Si
Kiok-tjiang: "Memang benar dia!"
Sambil menundjukkan pedang Sambar-njawa, Si
Kiok-tjiang berseru: "Kau tentu tak asing dengan pedang
ini!" Karena memang pedang itu diberikan siorangtua
tukang ramal kepada orangtua badju biru, tak dapatlah
Tjian hong menjangkal. "Tahupun tidak mengherankan!" sahutnja.
"Tidak heran! Tidak heran!" ulang Si Kiok-Tjiang
dengan penuh kemarahan. Mukanja segera
mengembangkan hawa pembunuhan.
"Budak hina she Ko, kau benar2 ganas!"
dampratnja. "Ganas?" Tjian hong terbeliak kaget.
"Djangan pura2 pilon!" bentak Si Kiok-tjiang,
"seorang lelaki kalau sudah berani berbuat tentu berani
bertanggung djawab. Karena njata kau tak memandang
mata kepadaku, maka hari ini aku hendak minta
peladjaran ilmumu jang sakti itu!"
"Aku tak membunuhnja!" Tjian hong berteriak
kaget. "Dengan bukti pedang ini, hai budak kina,
siapapun tentu pertjaja kaulah pembunuh isteriku....."
Si Kiok-tjiang berpaling kepada para tetamu,
serunja: "Apakah saudara2 menganggap kata2ku itu
salah?" Seketika hiruk pikuklah sekalian tetamu
membenarkan utjapan tuan rumah.
Putjatlah seketika wadjah Tjian hong.
Dipandangnja orangtua tukang ramal itu.
"Apakah kau masih menjangkal lagi?" tegur Si
Kiok-tjiang. "Aku tak membunuhnja!" teriak Tjian hong.
"Apakah dihadapan sekalian tokoh2 silat disini,
kau berani kugeledah?"
"Perlu apa?" teriak Tjian hong.
"Untuk menentukan kau bersalah atau tidak. Djika
aku tak dapat menemukan pedang sematjam ini
dibadanmu, segera aku akan bunuh diri selaku menebus
dosa kepadamu!" Putjatlah Tjian hong.....
Djilid 6 Tjian hong menginsafi bahwa pedang Sambarnjawa jang masih disimpannja akan merupakan bukti
jang memberatkan dirinja. Apabila digeledah, terang dia
tentu akan dituduh sebagai pembunuh.
"Sekalipun aku menjimpan pedang itu tetapi belum
mendjadi bukti aku pembunuhnja!" masih ia berusaha
membantah. "Hm, omonganmu seperti anak ketjil!" dengus Si
Kiok-tjiang, "bukti ada padamu, bagaimana kau masih
menjangkal" Tjobalah katakan, siapa tokoh persilatan
jang menggunakan pedang sematjam itu ketjuali kau"
Sekalian orang gagah jang hadir disini akan mendjadi
saksi!" Diam2 Tjian hong mendamprat kelitjinan tuan
rumah. Dengan marah ia berseru : "Djangan memfitnah
semaumu sendiri! Kau hendak membunuh aku dengan
fitnah jang kedji!" "Aku bersumpah tak mau hidup bersama kau!"
bentak Si Kiok-tjiang seraja memukul.
Melihat orang menjerang dengan pukulan maut,
tergetarlah Tjian-hong. Buru2 ia menjurut mundur.
"Kalau kau mendesak, djangan persalahkan aku
berlaku kedjam djuga!" serunja.
Tetapi Si Kiok-tjiang tak ambil mumet. Segera ia
lantjarkan pukulan lagi. Gelar Pukulan-nomor satudidunia bukanlah suatu gelaran kosong. Pukulannja
memang dahsjat dan tjepat. Tak ubah seperti halilintar
me-njambar2... Masih Tjian hong tak mau membalas. Ia terus
menghindar dan mundur. Diam2 ia mempertimbangkan
untuk menggunakan ilmu Gui-thian-kwa-te (membelah
langit menutup bumi) menghadapi serangan lawan.
Si Kiok-tjiang makin kalap. Ia menjerang dengan
hebat. Ber-turut2 ia lantjarkan 7-8 djurus serangan.
Achirnja betapapun Tjian hong berusaha
menghindari, lengannja kiri terkena djuga. Sakitnja
bukan kepalang. Serentak menjalalah kemarahannja....
Ia tahu bahwa Si Kiok-tjiang melantjarkan ilmu
sakti Gui-thian-kwan-te, tetapi hanja mampu sampai
setengah djurus sadja. Tetapi sudah sedemikian
dahsjatnja. Dan Tjian-hong dapat mendjalankan sampai
satu djurus. Achirnja iapun melawan dengan djurus Gui thiankwa te djuga. Seketika terdengarlah angin menderu2.
Pukulannja petjah berpuluh-puluh!
Kini giiiran Si Kiok-tjiang jang terkedjut. Dilihat
djurus jang didjalankan pemuda itu serupa dengan
djurusnja. Tetapi ketika ia sudah kehabisan djurus,
pemuda itu masih dapat melandjutkan dengan gerakan
jang hebat. Tangan anakmuda itu tiba2 petjah
berhamburan mentjengkeram ke 9 djalan darah vital
(penting) ditubuhnja. Kedjut Si Kiok-tjiang bukan alang kepalang.
Semangatnja serasa terbang.....
Tiba2 sebelum tangan Tjian hong tiba pada
sasarannja, tukang ramal tua memperingatkan dengan
ilmu Menjusup-suara : "Kalau kau membunuhnja, tentu
akan menimbulkan kemarahan orang banjak.
Selandjutnja kau tentu takkan mendapat simpati dunia
persilatan lagi!" Tjian-hong tersadar. Buru2 ia kurangkan tenaga
tjengkeramannja dan tanganpun agak disisihkan
kesamping. Namun sekalipun demikian, tetap Si Kioktjiang mendjerit kesakitan. Tubuhnja ter-hujung2
beberapa langkah, muka putjat seperti kertas.
"Kalau bisa memaafkan, maafkanlah! Kita
tinggalkan tempat ini!" kembali orangtua tukang ramal
itu membisiki dengan ilmu Menjusup suara.
Tjian hong membenarkan. Serunja kepada Si Kioktjiang: "Setelah kubekuk pembunuhnja, tentu kuambil
djiwamu!" Pada saat ia melangkah pergi, tiada seorang-pun
jang berani menghalangi. Mereka gentar menjaksikan
kesaktian pemuda itu. Setelah keluar dari gedung Si Kiok-tjiang, Tjianhong dan situkang ramal segera gunakan ilmu lari tjepat
menudju kesebuah hutan. Saat itu sudah malam. Langit
hanja disinari bulan sabit dan bintang2.
"Ah, aku salah menaksirmu!" tiba2 tukang ramal
itu menggerutu. Tjian hong terkesiap. Tak tahu ia apa maksud pak
tua itu. "Kiranja kau gemar membunuh orang setjara
menggelap!" dengus tukang ramal.
"Apa" Kau djuga menuduh aku?" Tjian hong
berseru kaget. "Bukti sudah njata, masakan kau masih
menjangkal?" "Aku tetap berada ditempat dudukku, tak pernah
meninggalkan tempat itu. Bagaimana aku dapat
membunuh orang?" "Tetapi mereka mengatakan bahwa sijonjah Si
meninggal tiga djam jang lalu."
"Aku tak pandai menggunakan pedang!" bantah
Tjian hong. "Kata2mu itu makin menambah kebohonganmu.
Siapakah jang tahu kau menggunakan pedang Sambarnjawa..."
"Tidak!" Dua batang pedang jang berada dalam badju2mu
itu, bagaimana pendjelasannja...." dengus situkang
ramal, "semula kuanggap kau seorang berhati keras.
Siapa tahu kau ternjata sehina itu..." dengan geram
tukang ramal itu segera melangkah pergi.
Karena mendongkol didamprat setadjam itu, Tjian
hongpun tak mau menahannja. Pada lain kedjab, tukang
ramal itupun sudah lenjap kedalam hutan.
Sesak sekali dada Tjian hong mengalami peristiwa
jang sedemikian penasaran. Ia mondar-mandir ditengah
hutan. Tak habis dipikirkannja mengapa Si Kiok-tjiang
menuduh dia jang membunuhnja njonjah Si. Dan jang
paling menggemaskan, tukang ramal tua jang tahu djelas


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang keadaannja, toh ikut djuga menuduhnja.
Rembulan makin naik tinggi. Sunji senjap
menjelubungi seluruh pendjuru hutan. Tiba2 ia
dikedjutkan oleh suara seorang perempuan: "Ah, kau
benar2 menepati djandji!"
Tjian hong kerutkan dahi, serunja muak: "Siau-hun
li, aku bukan menunggumu!"
Siau-hun-li atau gadis peraju sukma tertawa ketjil:
"Siapa jang mau pertjaja keteranganmu" Mengapa kau
berkeliaran ditengah hutan pada malam hari begini
kalau tidak karena hendak menunggu aku" Ah, tak usah
pura2. Aku dapat memberi kepuasan padamu!"
Mendengar utjapan tjabul itu, merahlah wadjah
Tjian hong. Untung hal itu tak terlihat Siau-hun-li.
"Kalau sudah berani membunuh orang, mengapa
tak berani mengakui kedatanganmu kemari. Apalagi soal
kebahagiaan laki perempuan?"
"Ah, bitjaralah jang sopan sedikit!"
"Dalam hal apa aku bitjara tak genah?" Siau-hun-li
mendjawab. "Sama sekali aku bukan pembunuh njonja Si."
Siau-hun li tertawa hambar: "Siapa mempertjajai
keteranganmu?" "Langlt dan bumi mendjadi saksi!" seru Tjian hong
dengan tegas. "Sajang kaum persilatan tak mau pertjaja!"
"Tetapi tentu datang saatnja hal itu mendjadi
terang!" Siau-hun li mendengus: "Mungkin tiada
kesempatan sematjam itu!"
"Aku tak sudi berbantah dengan kau!" Tjian-hong
menggeram terus melesat kedalam gerumbul pohon,
"Hai, djika malam ini kau tak mau melajani
kehendakku, djangan harap kau mampu keluar dari
hutan Hek-lim ini!" teriak Siau-hun-li seraja mengedjar.
Karena hendak menghindari, maka Tjian hong
sengadja pesatkan larinja. Tetapi ternjata Siau-hun li
pun tak lemah. Ia dapat mengedjar Tjian-hong dengan
djarak tertentu. Setengah djam lamanja, setelah melintasi berpuluh
pohon, achirnja Tjian-hong dapat meninggalkan Siauhun-li makin djauh.
Tiba2 Tjian hong dikedjutkan oleh teriakan ngeri
dari Siau-hun-li. Terpaksa ia hentikan larinja dan balik
menghampiri. Dibawah rembulan remang, ia
menjaksikan sebuah adegan jang mengedjutkan.
Siau-hun li menggeletak ditanah dengan dada
tertantjap sebatang pedang Sambar-njawa. Buru2 Tjian
hong menghampiri. Ah, nona itu ternjata sudah
meninggal. Ditjabutnja pedang Sambar-njawa dan
berkatalah ia seorang diri: "Ah, lagi2 pedang Sambarnjawa, pedang Sambar njawa...."
Geramnja terhadap pedang itu makin hebat.
Pedang itulah jang telah merampas djiwa kedua
orang jang paling ditjintai didunia jani ibu dan gurunja.
Dipandangnja kesekeliling pendjuru. Tetapi tiada
tampak barang sesosok bajangan manusiapun djua
Pikirnja: "Pembunuh itu benar2 lintjah sekali.
Dalam sekedjab mata sadja sudah lenjap!"
"Kali ini kau tentu tak dapat menjangkal lagi!" sekonjong2 Tjian hong dikedjutkan oleh suara orang
bernada dingin. Tjian hong berpaling dan ah... situkang ramal tua
lagi: "Kau.....?"
"Apakah kau masih menjangkal?" seru tukang
ramal itu dengan marah. "Tidak, bukan aku jang membunuhnja!" seru Tjian
hong. "Siapakah jang pertjaja omonganmu" Pedang
Sambar-njawa jang kau pegang itu masih berlumuran
darah! Tidak kusangka sama sekali bahwa kau ternjata
seorang pemuda jang kedji!"
Dada Tjian hong diamuk badai penasaran jang
dahsjat. Siapakah pemilik pedang tjelaka itu"
"Apakah kau djuga pertjaja bahwa akulah
pembunuh njonja Si?" serunja.
Sahut situkang ramal tua dengan dingin: "Aku tak
peduli bagaimana njonjah Si menemui adjalnja. Tetapi
kematian Siau-hun-li jang mengerikan itu, kusaksikan
dengan mata kepala sendiri. Sudah tentu aku lebih
mempertjajai mataku daripada segala keterangan mu!"
"Apakah kau melihat sendiri aku melakukan
pembunuhan ini?" seru Tjian hong.
"Ah, kau masih bisa menjangkal" Pedang
ditanganmu itu masih belum kering darahnja. Selain kau
siapa lagi jang harus kusangka?"
"Ah, benar2 penasaran sekali...!"
"Penasaran?" "Aku bersumpah tak mau hidup bersama dengan
pemilik pedang ini!" Tjian-hong menggeram.
Tukang ramal tua terkesiap: "Kau mempunjai
dendam besar" Mengapa?"
"Pedang Sambar-njawa telah merampas djiwa
kedua orang jang kutjintai!"
"Siapa?" "Ibuku dan guruku!"
"Tidak mungkin!"
Dengan penuh kerawanan dan geram, berserulah
Tjian hong: "Aku sendiri jang mentjabut pedang itu dari
dada ibu dan guruku. Sampai saat ini aku masih
berusaha menjelidiki pemilik pedang itu!"
Tukang ramal tua terkedjut. "Hai, kau tak kenal
pemiliknja?" "Kau kira aku kenal?"
"Tidak mungkin!"
Tiba2 Tjian hong menebas sebatang pohon dengan
telapak tangannja. Bum, pohon itu tumbang.
"Djika kau mau memberitahukan siapa pemilik
pedang Sambar-njawa itu, dia akan menerima kematian
seperti ini!" serunja.
"Kau benar2 tak tahu?" tukang ramal sekali lagi
menegas. Tjian hong mengangguk. "Baiklah, karena kau pura2 tak tahu, akupun tak
keberatan memberitahukan padamu lagi. Tetapi kukuatir
kau tak mau turun tangan kepadanja!"
Sahut Tjian hong dengan lantang: "Seorang lelaki
harus mentaati utjapannja. Apalagi dia mempunjai
dendam tudjuh lautan kepadaku, tentu akan kutjintjang
lebur dagingnja!" "Sungguh?" tukang ramal menegas.
"Tentu!" "Baik, dengarkanlah..."
"Silahkan bilang!"
*** 20 Pedang Sambar-njawa. "Pemilik pedang Sambar njawa adalah Peladjarseribu-muka Ko Ko-hong. Sendjata itulah jang
mengangkat namanja!" seru situkang ramal tua.
Mendengar itu Tjian hong serasa tersambar petir.
Dia ter-hujung2 beberapa langkah. Hampir sadja ia
rubuh karena tak tahan menahan kegontjangan jang
sedemikian hebatnja. "Djangan menipu aku!" achirnja ia berseru tak
pertjaja. "Kau tak pertjaja?"
"Tentu sadja tidak!"
"Mengapa?" tanja tukang ramal tua.
Tjian hong deliki mata: "Aku tak pertjaja ajahku
membunuh Ibu dan guruku. Djangan kini ngotjeh tak
keruan!" "Djika seluruh dunia mengatakan begitu apakah
kau tetap tak pertjaja?"
"Tentu sadja lain!"
"Baiklah," kata tukang ramal tua, "tanjalah pada
sembarang orang tokoh persilatan jang ternama. Tak ada
jang tak tahu siapa Ko Ko-hong jang pada 20 tahun
berselang telah menggegerkan dunia persilatan. Tetapi
bedanja kalau pada masa itu pedang Sambar-njawa
dipudja dan dikagumi orang, tetapi siapa tahu setelah
ajahmu mewariskan padamu, kau telah menjalahgunakan untuk membunuh-bunuhi orang setjara ganas!"
"Kau tak pertjaja kalau aku tak mampu
menggunakan pedang Sambar-njawa?" tanja Tjian hong.
"Apa" Ko Ko-hong tak mengadjarmu ilmu pedang
Sambar-njawa jang sakti?"
"Tidak! Sedjak aku mengenal benda, aku tak
pernah melihat ajah!"
Orang tua peramal itu bingung dibuatnja, serunja:
"Aneh, habis siapakah jang membunuh mereka itu?" "
Dia merenung lalu garuk2 kepala dan berkata :
"Omonganmu itu sukar dipertjaja orang!"
"Kalau aku berkata apa adanja kau tetap tak mau
mempertjajai, akupun tak dapat berbuat apa2 lagi!"
"Tetapi tindakanmu jang ganas itu benar2
membuat orang ketjewa!"
"Apabila air sudah mengendap, tentu akan
tampaklah apa jang kita tjari itu. Kelak kau tentu
mengetahuinja!" "Hm, kali ini dapat kulepaskan. Tetapi apabila telah
kuketahui pembunuh njonjah Si dan Siau hun-ii benar
kau, kelak kalau ketemu lagi kau tentu akan
kuhantjurkan!" Habis berkata tukang ramal itu melesat beberapa
tombak djauhnja. Tjian hong tjepat2 lontjat
menghadang: "Tjian-pwe, harap berhenti dulu!"
"Hm, kau hendak memaksa aku?" dengus tukang
ramal tua itu. "Sama sekali tidak, hanja hendak mohon
keterangan lagi." "Lekas katakan, aku tak punja banyak waktu
menemanimu!" "Tindakan lotjianpwe itu bersikap kawan atau
musuh?" tanja Tjian hong.
Tukang ramal itu batuk2 sedjenak, serunja:
"Kawan atau lawan, tergantung pada anggapanmu
sendiri. Asal sepak terdjangmu serba bersih tiada
tjatjatnja, lain kali bertemu aku pasti bersikap sebagai
kawan. Tetapi kalau tidak, tentu akan memusuhimu!".
Tukang ramal itu melangkah hendak landjutkan
perdjalanannja. Tetapi Tjian hong masih bertanj lagi:
"Mohon tanja siapakah nama lotjianpwe jang mulia?"
"Tio Sam si Mulut-besi!"
"Mungkin bukan nama jang aseli."
Orang tua tukang ramal itu tertawa dingin: "Aseli
dan palsu, palsu dan aseli. Mungkin hal itu tak dapat
kau urus, tetapi sekali lagi kuperingatkan padamu,
apabila pembunuhan2 itu kau jang melakukan, hm,
pertjajalah aku siorang tua tentu mempunjai
kemampuan untuk membasmimu!"
Sekali lagi orang tua itu ajunkan tubuhnja melesat
pergi. Tjian hong ter-longong2. Tak tahu ia siapakah
orangtua luar biasa itu. Jang terang tentu bukan tukang
ramal biasa melainkan seorang sakti.
Kawankah ia atau lawan" Hal ini jang memenuhi
benak Tjian hong saat itu.
Tiba2 ia dikedjutkan oleh suara derap kaki dari
arah belakang. Buru2 ia berpaling dan ah.... Pukulannomor satu-didunia Si Kiok- tjiang muntjul bersama
rombongan anak buahnja. "Bangsat, aku orang she Si tak sudi hidup sekolong
langit dengan kau!" teriak Si Kiok-Tjiang dengan marah.
Tjian hong kerutkan dahi: "Bagus, kau datang!"
"Kau membunuh isteriku dan kemudian Siau-hunli. Dosamu bertumpuk. Sekalipun aku tak mampu
membunuhmu tetapi Hoa-ki takkan melepaskanmu,"
seru Si Kiok-tjiang. "Hoa-ki?" Tjian hong berseru heran. Baru pertama
kali itu ia mendengar nama seorang tokoh Hoa-ki.
Si Kiok-tjiang tertawa dingin : "Mungkin kau tak
kenal kelihayaan wanita Hoa-ki. Duapuluh tahun jang
lalu, ber-puluh2 djago silat ternama telah mati
ditangannja wanita itu!"
Tjian hong kaget mendengar ilmu kesaktian seaneh
itu, serunja : "Siapakah Hoa-ki?"
"Guru dari Siau-hun li!"
"Tetapi aku tak membunuh Siau hun-li!" teriak
Tjian hong. "Bukti mengatakan bahwa kau telah membunuh
isteriku dan Siau-hun-li dengan sepasang pedang
Sambar-njawa, masih berani kau menjangkal! Siapakah
jang tak tahu ajahmu itu Peladjar-seribu muka jang
mendjadi pemilik pedang Sambar-njawa!"
"Djangan memfitnah..."
Si Kok-tjiang menukas dengan tertawa hina:
"Malam ini djangan harap kau...."
"Aku tidak membunuh mereka!" seru Tjian hong.
"Djangan menjangkal!"
"Tetapi sekalipun tidak membunuh, memang aku
takkan melepaskan kau!" tak kalah sengitnja Tjian hong
berseru. "Hm, lebih baiklah..." Si Kiok-tjiang mendengus dan
segera berpaling kearah rombongan murid2nja jang
berdjumlah belasan orang, serunja: "Madju dan
tjintjanglah tubuhnja..."
Belasan orang segera melesat kemuka Tjian-hong.
"Si Kiok tjiang!" seru Tian hong, kau hendak suruh
kawanan domba masuk kemulut harimau" Kau sendiri
tak berani, mengapa suruh murid2mu mengantar djiwa"
Apakah kau sengadja hendak mentjelakai mereka?"
Si Kiok-tjiang tertawa sinis: "Mungkin kau ketjele!"
"Baiklah kalau begitu!" Tjian hong segera bersiap.
"Serang!" segera Si Kiok-tjiang memberi aba2.
Suara pekik mengguntur. Belasan orang ajunkan
tindju dan menderu-derulah angin dahsjat menerdjang
Tjian hong. Tjian hong hanja mendengus hina dan balas
memukul. Seketika terdjadilah letupan keras. Belasan


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak murid Si Kiok-tjiang mentjelat sampai beberapa
langkah kebelakang. Tetapi setjepat itu mereka lontjat
menerdjang pula. Mereka tidak memukul tetapi
menamparkan dengan badju masing2. Serentak
berpuluh2 batang djarum berhamburan menabur Tjian
hong. Tjian hong terkedjut. Buru2 ia menampar dan
kerahkan tenaga dalam untuk membentengi tubuhnja.
Puluhan djarum itu bagaikan membentur dinding badja
dan berhamburan djatuh.....
Kedjut sekalian anak murid Si Kiok-tjiang bukan
alang kepalang. Tetapi sebelum mereka sadar, Tjian hong
sudah balas menghantam dengan pukulan sakti
Membelah-langit-menutup-bumi.Serentak dengan deru
angin dan hamburan debu, terdengarlah pekik djeritan
memekak telinga. Puluhan anakmurid jang bertubuh gagah2 itu
bergelimpangan djatuh ditanah. Ada jang kehilangan
kaki dan tangan ada pula jang petjah kepalanja,
berserakan tulang belulangnja.....
Serasa hilanglah semangat Si Kiok-tjiang
menjaksikan adegan sengeri itu. Diam2 ia menimang:
"Anak ini benar2 sakti, aku barus lekas2 meloloskan
diri...." Wut, tjepat ia lompat hendak melarikan diri tetapi
setjepat itu djuga sesosok bajangan pun sudah melesat
dan mentjegat ditengah djalan.
"Kau... kau... kau... Si Kiok-Tjiang terkesiap demi
mengetahui jang menghadang itu Tjian hong.
"Kau mau lari?" Tjian hong menghina.
Putjatlah wadjah Si Kiok-tjiang, serunja: "Kau
terlalu menghina orang!"
"Hm, Si Kiok-tjiang, kau bersimaharadja
mengganas didunia persilatan. Kau sudah menghianati
gurumu Iblis-majat jang telah mengadjarkan kau
setengah djurus ilmu Membelah-langit-menjusupbumi..."
"Apa" Kau murid Iblis-majat?"
"Tak perlu banjak tanja, sekarang kau harus
serahkan djiwamu!" "Ah, belum tentu!"
Tjian hong kertukan geraham: "Tjobalah!"
Serentak pemuda itu mulai bergerak. Sembilan
djalan darah ditubuh Si Kiok-tjiang segera diantjamnja.
Si Kiok-tjiang ber-kunang2 matanja menghadapi
taburan lawan. Buru2 ia menghantam. Tetapi pada lain
saat ia mendjerit ngeri. Djalan darah didada Si Kioktjiang terkena pukulan. Tubuhnja terlempar sampai 7-8
tombak dan huak... mulutnja muntah darah...
"Hari ini kau tentu mati dibawah ilmu Membelahlangit-menutup-bumi!" teriak Tjian hong seraja
menerdjang lagi. Si Kiok tjiang, djago Pukulan-nomer-satu jang
berpuluh tahun mendjagoi dunia persilatan hari itu telah
dikalahkan oleh seorang pemuda tak terkenal.
Sebuah pekikan melengking njaring, tubuh djago
nomor satu itu terlempar dan djatuh terkapar ditanah.
Dia menemui adjal setjara mengenaskan.
Tjian hong mendengus dingin. Kemudian ia
melangkah pergi. Se-konjong2 terdengar suitan pandjang
disusul oleh desus angin menjambar keras. Terpaksa
Tjian hong menjingkir kesamping. Ketika mengawasi
ternjata jang menjerang adalah Si Tjiau-hun, putera Si
Kiok-tjiang. Dengan kalap Si Tjiau-hun menjerangnja
sampai tiga djurus. "Kau hendak mengantar djiwa djuga?" seru Tjian
hong seraja menghindar kesamping.
"Kembalikan djiwa ajahku," teriak Si Tjiau-hun
sambil menjerang nekad. Tjian hong menangkis, serunja: "Dia banjak
melakukan kedjahatan, matipun sudah lajak!"
Tjiau-hun tarik serangannja. Dipandangnja Tjian
hong dengan mata penuh kegusaran: "Kau seorang
badjul buntung jang telah merusakkan perdjodohanku
dengan Siu-lan. Sekarang masih membunuh lagi ajahku.
Keluarga Si mempunjai permusuhan jang tak mungkin
habis dengan kau. Kau atau aku jang mati!"
"Ah, kau bukan tandingku," seru Tjian hong.
"Bukan tandingannja pun aku tetap hendak
meminta peladjaranmu!" sahut si Tjiau-hun.
"Silahkan menjerang!" seru Tjian hong.
Tjian hong berdiri pada djarak 5 langkah. Ia
menantikan serangan dengan bersiap melempangkan
kedatangan kedada. "Sambutlah seranganku!" Si Tjiau hun lontjat
menjerang. Sepasang tangannja melambai bagaikan
sebuah bianglala, djari2nja terpentang mentjengkeram
muka Tjian hong. Melihat lawan menjerang begitu ganas marahlah
Tjian hong. Serentak ia balas menampar dan
terlemparlah Tjiau-hun sampai beberapa tombak
djauhnja. Ia djatuh ketanah.
Karena malu, Tjiau-hun murka sekali. Serta
bangkit, ia menerdjang lagi. Tetapi makin ia nekad
makin hebat akibatnja. Pukulan jang dilontarkan Tjian
hong, membuat putera Si Kiok-tjiang itu mendjerit ngeri.
Tubuhnja melajang lalu terbanting ketanah. Kali ini
tubuhnja telentang, mulut mengalir darah....
Tjian hong dingin2 sadja melihati.
Tiba2 terdengar suara orang mendamprat: "Hm,
masih muda tetapi ganasnja bukan main!"
Nadanja jang dingin membuat hati Tjian hong
tertjekat. Buru2 ia memandang kemuka. Ah, disebelah
muka muntjul seorang wanita tua jang menjala
dandanannja. Walaupun sudah tua tetapi masih
mengenakan badju berkembang, rambutnja disanggul
ke-atas, udjungnja dikepang mendjadi dua. Suatu
dandanan jang lajak dikenakan oleh wanita jang masih
muda. Tetapi jang mengedjutkan Tjian hong bukanlah
dandanan nenek itu, melainkan kedatangannja jang luar
biasa. Sama sekali Tjian hong tak mengetahui
djedjaknja. Se-olah2 sebuah bajangan jang tidak
bersuara. Diam2 tergetarlah hati Tjian hong.
"Siapa kau?" tegurnja sesaat setelah kedjutnja
hilang. Nenek itu menjahut dingin: "Mulutmu garang
benar! Bahwa kau tak kenal padaku djelas
mengundjukkan kau baru sadja keluar dari perguruan.
Seorang botjah jang masih hidjau!"
"Hm, perlu apa aku harus mengenal kau!" dengus
Tjian hong. "Memang lebih baik tak kenal!" nenek itu
melengking marah, "tetapi aku harus perlu tanja
padamu. Mengapa kaubunuh muridku?"
"Muridmu?" "Hm." "Pukulan-nomor-satu-didunia?"
"Bukan!" Menundjuk pada Si Tjiau-hun jang pingsan
berserulah Tjian hong : "Apa dia?"
"Bukan!" "Habis siapa?" Tjian hong heran.
"Siau-hun li!" sahut nenek itu.
Saking kagetnja Tjian hong menjurut mundur dua
langkah: "Kau guru dari Siau hun-li?"
"Ja! Kau harus serahkan djiwamu!" kata sinenek
itu ditutup dengan suatu gerakan mentjengkeram muka
Tjian-hong. 21 Nenek kembang Tjian hong bergeliatan menghindari tjengkeraman
sinenek, serunja: "Nanti dulu!"
Hoa-ki atau si Nenek-kembang terkesiap. Ia
hentikan serangannja: "Apa kau hendak meninggalkan
pesanan?" Dengan garang Tjian hong mendjawab: "Hm, aku
bukan manusia jang takut mati!"
"Lalu mengapa kau minta berhenti?"
"Aku hendak bitjara sedikit."
"Lekas bilang!"
"Muridmu Siau-hun-li bukan aku jang
membunuhnja!" seru Tjian-hong.
"Apakah aku sudi mempertjajai omonganmu itu!"
bentak Nenek kembang dengan gusar.
Sahut Tjian hong dengan hambar: "Pertjaja atau
tidak terserah padamu. Akupun hendak pergi!" " Habis
berkata terus sadja ia melesat pergi.
Tetapi tjepat sekali Nenek-kembang sudah
membajanginja : "Hm, apakah kau mampu pergi!"
Sebenarnja Tjian hong terkedjut sekali melihat
gerakan sinenek. Namun ia penasaran masakan tak
mampu lolos. Dengan kerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh ia lari se-kentjang2nja.
Setelah 10-an li djauhnja, Tjian-hong kendorkan
larinja. Belum sempat ia berpaling tiba2 ia dikedjutkan
oleh suara dengusan sinenek dari arah belakang: "Hm,
apakah kau kira mampu meloloskan diri?"
Benar2 terbanglah semangat Tjian hong dibuatnja.
"Gantilah djiwa muridku!" terdengar Nenek
kembang berseru bengis. Tjian-hong menggigil tapi tjepat2 ia menindas
kegelisahannja. Serunja: "Sebagai seorang berilmu
tentulah tjianpwe mengetahui bahwa bukan akulah jang
membunuh murid tjianpwe!"
Nenek-kambang me-raung2, "Kalau bukan kau
habis siapa jang membunuhnja?"
Tjian hong mengerut gelisah: "Hal ini belum
kuketahui. Memang malam ini murid tjianpwe telah
berdjandji padaku untuk bertemu disini. Siapa tahu ia
telah binasa dibawah tikaman pedang Sambar-njawa!"
"Pedang Sambar-njawa?" Nenek-kembang
mengulang. Tiba2 wadjah nenek itu mengerut hawa
pembunuhan, gerahamnja berkerotakan.
"Siapa namamu?" serunja geram.
"Ko Tjian hong."
"Itulah!" "Apa?" Tjian-hong berseru kaget.
Tertawalah Nenek-kembang dalam nada jang
seram, serunja: "Kau masih berlagak pilon?"
Ditatapnja Tjian hong dengan mata ber-api2,
serunja pula: "Ajahmu bukankah Peladjar-seribu-muka
Ko Ko-hong..." "Tjianpwe," tukas Tjian hong, "belasan tahun
lamanja ajahku telah dipendjara dalam Neraka-19-lapis.
Sedjak dilahirkan aku belum pernah lihat wadjah
ajahku. Oleh karena itu aku tak faham ilmu pedang
Sambar-njawa!" "Apakah aku mau pertjaja keteranganmu itu?"
"Tetapi memang begitulah kenjataannja!" bantah
Tjian hong dengan tegas. Dengan masih diselubungi oleh kerut
pembunuhan, Nenek-kembang berseru: "Pada puluhan
tahun jang lalu, siapakah jang tak kenal akan sendjata
istimewa dari Peladjar-seribu muka Ko Ko-hong.
Sendjatanja jang istimewa ditambah wadjahnja jang
tjakap seperti ardjuna, membuat dia dipudja dan
dikagumi dunia persilatan. Ketjuali kau siapakah jang
akan diberinja peladjaran ilmu pedang saktinja?"
Tjian hong merentangkan mata lebar tanpa dapat
membuka suara. "Terimalah seranganku!" tiba2 Nenek-kembang
ajunkan tangannja kanan. Tjian-hong terpaksa berkelit kesamping. Tetapi sekonjong2 Nenek-kembang merobahkan gerak
serangannja. Sepasang tangannja tiba2 berobah
mendjadi ribuan tangan jang menjerang Tjian hong.
Ketjepatan tangannja benar2 sukar dipertjaja.
Tjian hong menggigil. Sedjak keluar kedunia persilatan, belum pernah ia
menjaksikan seorang tokoh persilatan jang mempunjai
ilmu sedemikian hebatnja. Namun ia tak sempat
melamunkan kekagumaanja. Karena terdesak ia
mentjuri kesempatan untuk lepaskan djurus Pukulanhitam. Seketika memantjarlah serangkum sinar hitam
kearah Nenek-kembang. "Hm, kiranja kau anakmurid Wi Tjo-djiu. Lebih2
aku tak dapat memberimu ampun lagi!" dengus Nenekkembang.
Dengan tangan kiri ia menangkis serangan Tjian
hong, kemudian meneruskan dengan serangan sekaligus
7-8 djurus jang diarahkan pada djalan darah sianakmuda.
Tjian hong kalang kabut. Ia terus menerus
menjurut mundur. Kepanikan telah membuat
gerakannja tangan mendjadi katjau balau. Sebaliknja
Nenek-kembang terus mentjetjarnja dengan serangan2
maut. Setelah mundur lagi 3 langkah, timbullah pikiran
Tjian hong: "Ah, mengapa tak kugunakan ilmu
Membelah langit-menutup-bumi jang sakti itu!"
Tetapi sebelum sempat ia bergerak, Nenekkembang sudah menjerangnja lagi. Djarinja menusuk
kearah djalan darah diperut. Tjian hong terpaksa tak
dapat memukul. Tjrek, perutnja kena tertutuk, Tjian
hong menjurut mundur tetapi ia tak kuasa bertahan diri
lagi, bluk, rubuhlah ia ke tanah...
Wadjah Nenek-kembang memberingas bengis. Ia
melangkah madju menghampiri: "Kau memang tak boleh
dibiarkan hidup!" Tangan diangkat dan menderulah serangkum angin
kearah Tjian hong jang sudah tak berdaja.
Se-konjong2 dari samping melantjar suatu
gelombang aliran tenaga-dalam jang membujarkan
tenaga pukulan Nenek-kembang. Nenek-kembang
terkedjut sampai menjurut beberapa langkah
kebelakang. Ketika mentjari siapa jang melepaskan
pukulan sakti itu, kedjutnja makin menghebat.
Ternjata jang datang adalah Jap Tjeng, ajah Jap


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siu-lan. Tampak ia berdjalan menghampiri dengan
tenang. "Hoa-ki, rupanja perangaimu masih belum
berobah," serunja. Gemetar tubuh Hoa-ki atau Nenek kembang
seketika itu. Sahutnja dengan tergugu: "Ja, ja,.."
"Apakah masih gemar membunuh seperti dulu
kala?" seru Jap Teng pula.
Wadjah Nenek-kembang terkedjut: "Tidak! Tidak!"
"Habis mengapa..."
"Dia membunuh muridku!"
"Ah, belum tentu..." sahut Jap Tjeng dengan
tenang, "dengan memandang mukaku apakah kau dapat
mengampuninja?" Berhadapan dengan Jap Tjeng, Nenek kembang
jang bengis mendjadi djinak seperti seekor andjing
bertjawat ekor takut digebuk.
"Pesan Jap Lo, masakan aku berani melanggar,"
seru Nenek-kembang ter-bata2.
"Kini aku berganti nama Jap Tjeng," kata Jap Tjeng
dengan bengis, "nama itu mengandung arti tumbuh
bersemi lagi. Aku menjembunjikan diri disebuah pondok
terpentjil. Hari2 jang lampau sudah kukubur, tak usah
diungkit lagi!" "Ja, ja!" Nenek kembaag ter-sipu2 mengiakan.
Sikapnja amat menghormat dan takut, seperti seorang
budak terhadap madjikannja.
Tawar pula Jap Tjeng berkata: "Urusanku ini,
djangan kau siarkan didunia persilatan. Kalau sampai
tersiar awas djiwamu andjing.... mengapa tak lekas
pergi!" Seperti seorang pesakitan dibebaskan dari tahanan,
dengan hormat Nenek-kembang segera menghaturkan
terima kasih dan segera berlalu.
Dingin2 sadja Jap Tjeng melihati kepergian nenek
itu. Namun dibalik tjahaja matanja jang tenang itu
tersembul pantjaran sisa2 kebahagiaan dan kemewahan
hidup jang lampau. Tetapi hari2 itu, ah.....
Jap Tjeng menghela napas lalu menghampiri ketempat Tjian-hong. Setelah diamat-amati sedjenak, tiba2
ia menepuki beberapa djalan darah ditubuh anak muda
itu. Beberapa saat-kemudian Tjian hong membuka mata
dan tjelingukan memandang kesekeliling.
Ketika mendapatkan Jap Tjeng disebelahnja, buru2
pemuda itu bangun dan memberi hormat: "Terima kasih
atas pertolongan paman. Tak nanti budi paman
kulupakan." "Bukan aku jang menolongmu," sahut Jap Tjeng.
Tjian-hong terkesiap keheranan.
"Aku hanja seorang biasa sadja jang kebetulan
lewat disini. Kulihat kau tertidur maka kubangunkan.
Siapa bilang aku menolongmu. Bukanlah kau tadi tertidur?"
Tjian hong mendesah setengah kurang pertjaja,
udjarnja: "Sebenarnja aku tadi dipukul rubuh oleh
seorang nenek aneh. Aku pingsan!"
Diam2 Jap Tjeng memudji kedjudjuran Tjian hong
jang tak malu mengakui kekalahannja.
"Oh, kalau begitu kebetulan sekali," serunja.
"Djika paman tak lewat disini, mungkin aku
tjelaka," kata Tjian hong pula seraja menghaturkan
terima kasih. "Ah, pertolongan seketjil itu tak berarti. Harap
Siauhiap djangan memikirkan. Sebaliknja akulah jang
wadjib menghaturkan terima kasih kepadamu atas
pertolongan jang kau berikan kepada anakku dari
gangguan si Lak-tjhiu-sik-kui!"
Dengan rendah hati Tjian hong mengatakan bahwa
hal itu sudah selajaknja bagi seorang persilatan
menolong orang lemah. "Aku..." baru Jap Tjeng hendak berkata tiba2
terdengar djeritan ngeri memetjah kesunjian. Tjepat
sekali Tjian-hong segera lari menghampiri. Djauh
disebelah muka tampak terkapar dua sosok tubuh.
Ketika tiba, ngerilah hati Tjian hong: "Pembunuhan jang
ganas sekali!" Kiranja dada kedua orang itu terbelah, utjusnja
keluar dan tubuh mandi darah. Tjian hong kenal mereka
sebagai anakmurid Su-hay-mo-ong tetapi ia tak
mengetahui dengan ilmu pukulan apa mereka
dibinasakan. "Turut pendapatku, mereka mati dengan pukulan
Long-Tjian hong (Tjakar-serigala)," tiba2 Jap Tjeng
berseru. Tjian hong terkedjut. Sama sekali ia tak mendengar
derap kaki orang she Jap itu mendatangi, tahu2 dia
sudah berdiri dibelakangnja. Dan jang lebih
mengedjutkan pula, sekali lihat Jap Tjeng sudah tahu
sebab kematian kedua orang itu.
Rupanja Jap Tjeng tahu akan keheranan sianakmuda, serunja mendjelaskan: "Meskipun aku seorang
desa tetapi aku banjak bergaul dengan orang persilatan.
Dan akupun tertarik akan kedjadian2 didunia persilatan.
Maka mudahlah kuketahui kematian kedua orang itu!"
Namun Tjian hong masih setengah tjuriga dan
heran. "Siapakah jang memiliki ilmu Long-Tjian hong
itu?" Jap Tjeng kerutkan dahi: "Membitjarakan orang itu,
pandjang sekali riwajatnja!"
"Siapa?" Tjian hong menegas.
"Sik-long guru dari Lak-tjhiu-sik-kui!"
"Sik-long?" Tjian hong terkedjut.
Jap Tjeng mengiakan. "Tidak mungkin!"
"Mengapa tidak" Aku pertjaja benar."
Tjian-hong tertawa njaring: "Paman Jap, silahkan
periksa jang teliti."
Jap Tjeng menghampiri kedua korban. Dibukanja
badju mereka. Dada mereka terdapat bekas
tjengkeraman tjakar. Menundjuk pada bekas luka itu,
Jap Tjeng berseru: "Memang benar Long-Tjian hong!"
Mendengar itu Tjian-hong ter-longong2.
"Mengapa?" tanja Jap Tjeng.
"Selain Sik-long, siapa lagi jang memiliki ilmu Long
tjiau-tjiang?" tanja Tjian hong.
"Ada seorang lagi."
"Siapa?" "Muridnja jang bersama Lak-tjhiu-sik kui. Tetapi
dia belum sempurna kepandaiannja. Tak nanti bisa
menghasilkan begini. Maka kuberani memastikan, kedua
orang ini tentu mendjadi korban Sik-long!"
"Tetapi mungkin tidak!" masih Tjian hong
bersangsi. "Mengapa?" "Karena beberapa hari jang lalu Sik-long sudah
binasa dibawah Pukulan hitamku."
"Benarkah?" Jap Tjeng menegas.
"Dengan sebuah hantaman Pukulan-hitam, telah
kuhantamnja rubuh. Kulihat sudah mati baru kutinggal
pergi. Harap paman pertjaja!"
Jap Tjeng mendesah. Ia tundukkan kepala
merenung. Sesaat kemudian tiba2 ia mengangkat kepala:
"Maukah sauhiap mentjobakan ilmu Pukulan-hitam
kepada pohon besar disana itu?"
Tjian hong tak mengerti apa maksud orangtua itu.
Dipandangnja pohon besar jang terpisah tiga tombak
disebelah muka. Setelah mengerahkan tenaga-dalam,
segera ia mendorong. Serangkum sinar hitam meluntjur
kepohon. Pohon tumbang seketika...
Jap Tjeng memeriksa bekas kutungan batang
pohon. Ia gelengkan kepala, serunja: "Waktu bertempur
dengan dia, sampai berapa djauhnja kepandaian jang
sauhiap tjapai dalam ilmu Pukulan-hitam itu?"
Tjian hong menimang sedjenak, udjarnja: "Kira2
baru setengah sempurna."
Jap Tjeng menghela napas : "Ah, kau ditipu Sik
long." "Ditipu?" Tjian hong terkedjut,
"Ja." "Bagaimana buktinja?"
Jap Tjeng memberi pendjelasan: "Sik-long seorang
manusia jang litjik dan litjin seperti belut. Dia pandai
sekali mengatur tipu muslihat jang sukar dirabah orang.
Dia mahir menekan gedjolak perasaannja sehingga orang
tak tahu apakah ia marah atau gembira. Seorang tokoh
sematjam dia mana begitu mudah kaupukul mati?"
"Tetapi djelas dia mati ku pukul dengan Pukulanhitam!" bantah Tjian hong.
"Sepuluh tahun jang lalu, djangan lagi hanja
seorang Sik-long, bahkan sepuluh Sik-longpun pasti
remuk binasa oleh Pukulan-hitam. Tetapi sepuluh tahun
kemudian, tak nanti Pukulan hitam mampu
membinasakannja!" Tjian hong menjurut mundur, serunja: "Benarkah
begitu?" Jap Tjeng menundjuk pada batang pohon, serunja:
"Dengan kepandaian jang kaumiliki sekarang, kau masih
kalah setingkat dengan Sik-long!"
Seketika membaurlah kerut wadjah keketjewaan
diwadjah Tjian hong. "Tetapi hal itu bukan salahmu. Salah Malaekatelmaut jang telah keliru memperhitungkan!" kata Jap
Tjeng lebih landjut. Tjian hong makin heran, mengapa Jap Tjeng tahu
djuga tentang riwajat Malaekat-elmaut. Namun Tjian
hong lebih tertarik akan diri Sik-long, tanjanja: "Apakah
selama 10 tahun ini Sik-long mendapat redjeki jang luar
biasa?" "Benar." "Rejeki apa?" desak Tjian hong jang makin besar
keinginan tahunja. Jap Tjeng tersenjum: "Aku sendiri djuga tak tahu.
Kelak kau dapat menjelidikinja sendiri... " ia
mengangkat muka memandang langit. Fadjar mulai
menjingsing. "Ah, sudah hampir pagi, aku hendak
pulang!" serunja sembari melangkah pergi. Tiba2 ia
berpaling: "Sauhiap, lain kali kita bertemu."
"Selamat djalan!" sahut Tjian hong.
22 Patah hati Tjian hong mengiring kepergian orangtua itu
dengan penuh keheranan. Benarkah Sik-long belum
mati" Kalau benar kepandaian Sik-long lebih tinggi
setingkat, mengapa dia harus berpura-pura mati"
Mengapa tidak melawan dan menghantjurkan ia (Tjian
hong) sadja" Mau tak mau Tjian hong menjangsikan djuga
keterangan Jap Tjeng tadi. Begitu pula orangnja.
Walaupun dandanan dan mengaku sebagai orang desa,
tetapi mengapa orang she Jap itu muntjul setjara tiba2.
Dan pengetahuannja tentang ilmu silat serta tokoh2
persilatan benar2 tak memadai keadaan dirinja sebagai
seorang desa.... Kabut keheranan jang meliputi benaknja, sukar
diungkap. Tanpa tersadar ia mentjabut pedang Sambarnjawa jang masih tersimpan dibadjunja. Sebatang
pedang pandak jang teramat tadjam. Pikirannja
melajang2. Ditjobanja untuk menerobos kegelapan kabut
jang menjelubungi pikirannja. Namun tetap ia bingung.
Ia tak dapat menemukan alasan, mengapa ajahnja harus
membunuh ibunja. Setitikpun ia tak pertjaja.....
Ah, ia harus mentjari pembunuhnja. Apabila
pembunuh itu terbekuk, akan terang semua
persoalannja. Ja, benar. Ia harus membekuk
pembunuhnja. Serentak terbangunlah semangatnja dan
segera ia hendak ajunkan langkah Tetapi ah....
kemanakah ia harus mentjarinja..."
Semangat jang menggelora serentak redup,
kemauannja jang me-njala2 pun padam. Se-konjong2
sesosok bajangan berkelebat djauh disebelah muka.
Ketika dipandang, ternjata wanita patah bati Tjengthian-it-ki. Bagaikan bintang meluntjur dari langit, pesat
sekali wanita itu sudah tiba dihadapannja.
"Ho, sekarang djangan harap kau dapat molor lagi!"
seru wanita tua itu. Tjian hong terkesiap. "Djika masih tak mau memberitahukan tempat
Malaekat-elmaut, djangan kau salahkan aku!" seru
nenek itu pula. Mengingat nenek itu mempunjai hubungan mesra
dengan Malaekat-elmaut, Tjian hongpun tak mau
bersikap memusuhi. Bahkan ia kasihan melihat betapa
besar kasih jang diderita Tjeng-thian-it-ki selama ini.
Sebenarnja ingin ia membantu nenek itu, namun
gurunja (Malaekat-elmaut) telah memesan agar djangan
memberitahukan tempat tinggalnja kepada siapa2 pun
djuga. Terpaksa ia taat. "Kau benar2 tak mau mengatakan?" desak nenek
Tjeng-thian-it-ki pula. "Perintah guru harus kutaati!" sahut Tjian hong.
"Baik, kau boleh mentaati perintah siapapun tetapi
aku djuga mentaati kehendakku! Tidak dapat
memberitahukan tempat Malaekat-elmaut berarti mati
bagimu!" teriak Tjeng-thian-it-ki.
Tjian hong bingung. Sebenarnja ia wadjib menolong
nenek itu. Apalagi Malaekat-elmaut toh sudah
meninggal. Tetapi selama pesan itu belum ditarik oleh
gurunja, ia tak berani melanggar.
"Terserah," serunja pasrah.
"Djadi kau benar2 menolak?" Tjeng-thian-it-ki
mulai mengangkat tindjunja keatas, siap dihantamkan.
"Tjianpwe, maaf......" belum sempat Tjian-hong
menjelesaikan utjapannja, tindju Tjeng thian-it-kipun
melajang. Wut, angin pujuh menderu dahsjat.
Tjian hong terkedjut melihat pukulan sedahsjat itu.
Ia tak berani menangkis melainkan menghindar
kesamping. "Hm, kau kira aku tak mampu menundukkanmu?"


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teriak Tjeng-thian-it-ki. Ia menjerang kalap. Sekaligus 78 serangan ditaburkan kepada Tjian-hong. Tjian hong
diperlakukan sebagai seorang musuh besar. Rindu
dendam selama ber-puluh2 tahun meletus seperti
gunung berapi muntahkan lahar.....
Bulan lewat bulan, tahun berganti tahun. wanita
itu mentjari sang kekasih keseluruh pendjuru dunia.
Bahwa sekarang ia mentjium bau djedjak orang jang
ditjarinja itu, sudah tentu ia tak mau melepaskan begitu
sadja. Tjian hong tetap tak berani menangkis. Ia
mematuhi pesan gurunja supaja djangan berlaku kurang
adjar terhadap wanita tua itu. Maksudnja ia hanja akan
menghindari sadja, tetapi gerakan Tjeng-thian-it-ki luar
biasa aneh dan tjepatnja. Apalagi wanita tua itu sedang
marah. Tiap gerak serangannja dilantjarkan serba keras
dan ganas. Tjepat sekali 12 djurus telah berlangsung. Pada
djurus terachir, bahu kiri Tjian hong terlambat
menghindar dan kena terpukul. Ia ter-hujung2 beberapa
langkah kebelakang. Darah ber-golak2 dan huak....
mulutnja muntah darah dan djatuhlah ia terduduk ditanah. Mukanja putjat seperti kertas...
Melihat itu Tjeng-thian-it-kipun hentikan
pukulannja. Ia terkedjut melihat keadaan Tjian hong.
Tak terasa air matanja bertjutjuran.
"Nak, aku tak sengadja..." serunja dengan rawan.
Sebenarnja Tjian hong marah sekali. Tetapi ketika
mendengar nada utjapan siwanita jang pilu, iapun luruh
hatinja. Tjeng-thian-it-ki lari menghampiri dan mengangkat
tubuh Tjian hong. "Bagaimana, lukamu berat atau tidak" Dibagian
mana jang terluka" Akan kuobatinja!" udjarnja dengan
ber-linang2. Ia segera memidjat-midjat semua djalan
darah anakmuda itu. Keringatnja bertjutjuran
membasahi dahi. Djelas bahwa nenek itu telah
menghamburkan tenaga-dalam untuk menjembuhkan
luka Tjian hong. "Bagaimana sekarang?" tanjanja beberapa saat
kemudian. Tjian hong merasa sudah separoh bagian sembuh.
Ia menghaturkan terima kasih.
"Aku jang salah. Silahkan kau memberi hukuman,"
kata Tjeng-thian it-ki. "Tidak lotjianpwe, djanganlah mengatakan begitu,"
Tjian hong ter-sipu2, "kutahu betapa perasaan tjianpwe
selama ini. Hanja...." ia tak melandjutkan kata2nja.
Tjeng-thian-it-ki berbangkit. Ia memandang djauh
ke tjakrawala. Udjarnja penuh kedukaan: "Ah, tak kira
asmara murni jang kutjurahkan selama berpuluh tahun
achirnja hanja hari2 penuh keketjewaan jang kuderita.
Apakah dia sungguh tak tjinta padaku?"
"Tjianpwe, guruku amat tjinta padamu," sahut
Tjian hong. Tjeng thian-it-ki tetap memandang kelangit,
serunja hambar, "Djangan membohongi aku!"
"Tetapi memang benarlah," kata Tjian hong, "tak
sedikitpun guru melupakan tjianpwe. Walaupun guruku
tak mau menemui tjianpwe tetapi bukanlah karena tak
mentjintai tjianpwe melainkan karena sikapnja hendak
berkorban demi tjintanja kepada tjianpwe."
"Berkorban?" Tjeng-thian-it-ki tertawa sinis,
"apakah tjinta antara prija dan wanita harus dibatasi"
Apakah kita tak bebas?"
"Tetapi guru adalah musuh jang membunuh ajah
tjianpwe!" "Ah, itu dendam darah orang2 tua, apakah kita
harus mengikat diri dengan dendam orang2 tua jang tak
kita ketahui" Kalau orang2 tua bersalah, apakah kita
sebagai keturunan muda harus melandjutkan kesalahan
itu?" Tergerak hati Tjian hong mendengar uraian Tjengthian-it-ki.
"Ber-puluh2 tahun kuteguk air empedu kepahitan
rindu kasih. Kudjeladjahi seluruh pendjuru langit untuk
mentjari djedjaknja. Tetapi kini jang kudjumpai hanjalah
keketjewaan putus asa, putus asa..." " Nada suara
Tjeng-thian-it-ki makin lemah dan lemah. Hatinja
tenggelam dalam dasar lautan derita jang tak berudjung.
Wanita tua itu tegak seperti patung tak bernjawa...
Terharu Tjian-hong menjaksikan keadakan Tjengthian-it-ki. Diam2 ia menjesali dirinja sendiri.
Seharusnja ia tak boleh menolak permintaan wanita tua
itu. Sekalipun ia harus menerima hukuman dari arwah
gurunja, tetapi ia harus memberitahu pada wanita tua
itu. Ia pertjaja arwah gurunja tentu dapat mengasoh
dengan tenteram dialam baka demi mengetahui
kemurnian tjinta Tjeng-thian-it-ki.
Rasa kasihan dan simpati Tjian hong tertjurah
seluruh kepada Tjeng-thian-it-ki. Didjamahnja tangan
wanita tua itu, serunja dengan terharu: "Tjian-pwe......"
Tjeng-thian-it-ki tersadar dari lamunannja.
"Biarlah kulanggar pesan guruku. Akan
kuberitahukan tjianpwe....." kata Tjian hong.
Diluar dugaan Tjeng-thian-it-ki menjahut tawar:
"Tak usah, karena dia tak suka bertemu dengan aku,
biarlah!" "Bukan begitu, guruku rindu sekali berdjumpa
dengan tjianpwe. Ingin benar dipeluk dalam rindu
kasihmu jang hangat...." kata Tjian hong pula, "harap
Tjianpwe djangan terlalu bersedih!"
Tjeng-thian-it-ki memandang anakmuda itu dengan
lekat2, ia mengangguk. ki. "Goha Bu-yu-tong gunung Bu-yu-san...."
"Benarkah dia tinggal disitu?" ulang Tjeng-thian-it-
Pertanjaan itu membuat Tjian hong ber-ingsut2
sukar mendjawab. Benar Malaekat-elmaut tinggal digoha
Bu-yu-tong tetapi hanja tinggal rerangka tulang
majatnja. "Masakan aku berani bohong," katanja.
"Terima kasih," kata Tjeng-thian-it-ki dengan
tergetar," aku harus menemuinja. Berpuluh-puluh tahun
kunantikan hari penemuan itu. Aku gembira sekali, aku
ingin sekali bertemu muka dengannja....."
Sedjenak ia memandang tjakrawala, katanja: "Aku
hendak pergi!" " sekali melesat ia sudah berada
berpuluh tombak djauhnja.
"Tjianpwe!" Tjian hong berteriak kaget.
Tjeng-thian-it-ki berhenti: "Mengapa?"
"Tjianpwe, djika terdjadi sesuatu dengan guru...
"Eh, apakah kau masih tak mengerti padaku"
Tjintaku kepadanja sedjernih air ditelaga. Telah
kusimpan perasaan itu berpuluh tahun. Walaupun dia
telah mendjadi manusia tjatjad jang bagaimana
buruknja, aku tetap mentjintainja!"
Ah, betapa sutji tjinta itu!
Tetapi rupanja takdir telah menghempaikan asmara
murni wanita itu. Mengojak nasibnja....
Beberapa kali Tjian hong hendak memberitahukan
keadaan Malaekat-elmaut jang sebenarnja, tetapi setiap
kali ia meragu. Apakah ia harus mentjeritakan terus
terang tentang gurunja" Ataukah membohongi wanita itu
sadja" Tetapi kebohongan itupun hanja tahan sementara
waktu, karena achirnja toh akan terbuka rahasianja.
Terdjadi pertentangan hebat dalam batin Tjianhong. Achirnja ia memutuskan. Bohong demi kebaikan
adalah tidak berdosa. Se-kurang2nja Tjeng-thian-it-ki
untuk beberapa waktu tetap akan memiliki impian jang
bahagia. "Meskipun kelak ia mengetahui, kupertjaja ia tentu
dapat memaafkan aku!" pikirnja lebih landjut.
"Tjinta tjianpwe jang sedemikian besarnja pasti
akan diberkahi Allah," achirnja ia mengantar kepergian
wanita itu dengan doa pudjian.
Tjeng-thian-it-ki segera melesat pergi. Tjian hong
ter-longong2 mengawasi kepergian wanita itu. Entah
bagaimana hatinja terasa tenggelam dalam kerawanan
jang dalam.... Tiba2 ia dikedjutkan oleh kedatangan 4 orang
anakbuah Su-hay-mo ong. Mereka menghadang ditengah
djalan. Serta melihat kedua majat kawannja terkapar
ditanah, salah seorang segera berseru: "Besar nian
njalimu berani membunuh kedua orang itu!"
Tjian-hong mendengus: "Bukalah matamu lebar2."
Keempat orang itu terkesiap. Salah seorang berseru
pula: "Kami tak takut kepadamu!"
"Tetapi kau bakal mati sia2!" kata Tjian hong.
"Belum tentu...."
"Tetapi mereka bukan aku jang membunuh!"
"Djika bukan kau siapa lagi!" serempak keempat
anakbuah Su-hay-mo-ong itu berseru.
"Aku tak perlu berbantah dengan kalian!" bentak
Tjian hong. "Kalau begitu kau memang bosan hidup!"
"Hm, entah siapa jang bosan hidup, aku atau
kalian?" kata Tjian hong.
Keempat anakbuah Su-hay mo-ong itu segera
ajunkan pedangnja: "Sambutlah!" " empat sinar pedang
berhamburan menabur Tjian hong. Tetapi dengan
sebuah hantaman, keempat orang itu terdorong mundur
beberapa langkah. Mereka madju lagi. Serentak petjahlah
pertempuran hebat antara pedang lawan tindju.
Walaupun berempat dan menggunakan pedang, namun
mereka tak berhasil mengalahkan sianakmuda. Pukulan
Tjian hong merupakan angin kentjang jang selalu
memaksa lawan2nja terpental mundur.
Tiba2 terdengar suara melengking: "Berhenti!"
Keempat orang itu berhamburan lontjat
kebelakang. Ternjata jang muntjul adalah sinona Hay
gwa-it kiau. Keempat anak buah Su-hay-mo-ong segera
menghampiri kehadapan nona itu dan memberi hormat:
"Nona..." "Lekas enjah!" bentak Hay-gwa-it-kiau dengan
gusar. Keempat orang itu terkesiap, serunja: "Nona, dia
memburuh...." "Djangan banjak mulut, lekas enjah!" bentak Haygwa-it-kiau.
Keempat orang itu gemetar ketakutan dan segera
ngelojor pergi. Hay-gwa-it-kiau menghampiri kemuka Tjian hong:
"Atas kekurang-adjaran anak buahku tadi harap
maafkan!" "Ah, tak apalah!"
Melirik sedjenak kepada kedua majat, Hay-gwa-itkiau berkata pula: "Tetapi entah kesalahan apa jang
mereka lakukan hingga sampai binasa?"
"Aku tak membunuh mereka!"
"Bukan kau jang membunuh?" Hay gwa-it-kiau
menegas heran. "Tentu!" "Ah, maafkan," Hay-gwa it-kiau segera
menghampiri kepada kedua majat itu dan memeriksanja.
"Ja, memang benar bukan kau..." serunja kaget.
Sedjenak ia merenung lalu berkata seorang diri : "Longtjiau-tjiang, Sik-long... dia berani menghina aku!"
Diam2 Tjian hong terkedjut dan memudji kelihayan
nona itu. Sekali lihat sudah dapat mangetahui siapa
pembunuhnja. Hay-gwa-it-hiau berbangkit, katanja: "Tadi aku
salah sangka, maafkanlah!" " ia mendjurah memberi
hormat selaku meminta maaf.
Tjian hong ter-sipu2 membalas hormat orang.
"Sedjak saat ini kita berdua harus kerdja sama agar
dunia persilatan tenteram. Djika dua ekor harimau
saling bertempur, keduanja tentu terluka dan tak ada
gunanja!" kata Hay-gwa-it kiau pula.
"Ah, belum tentu," sahut Tjian hong dingin.
Wadjah Hay-gwa-it-kiau jang buruk agak berobah.
Ketjewa dan marah menjelubungi kerut mukanja.
Matanja ber-linang2. Tjian hong pura2 tak melihatnja. Ia memikiri Sik
long jang litjin banjak muslihat itu. Termasuk kematian
Sin-tjiu-it-kiampun mendjadi pemikirannja saat itu.
Tiba2 terlintas sesuatu dalam benaknja: " Aku
hendak mohon tanja pada nona."
"Silahkan!" "Apakah ajah angkatmu Sin-tjiu-it-kiam sungguh
sudah meninggal?" tanja Tjian-hong.
Hay-gwa-it-kiau tertegun, sahutnja: "Bukankah
kau djuga hadir dalam penguburannja" Mengapa ada
orang jang mati pura2?"
"Belum tentu!" "Itu sebuah lelutjon besar didunia!"
"Bukan begitu," sahut Tjian hong, "Sin-tjiu it-kiam
seorang tokoh jang termasjur. Masakan mendengar
tentang kematian Bu-tjeng-mo-ong Leng hou Tjiu sadja
dia sudah lantas meninggal djuga. Bukankah ini
menimbulkan kesangsian orang?"
Hay-gwa-it-kiau tertawa dingin: "Akupun
mengharap ajahku tidak mati!" " ia mendengus dan
berkata pula: "Tetapi apakah hubungan benar tidaknja
kematian ajahku itu dengan kau?"
"Sudah tentu ada..." Tjian-hong kertek gigi,
"mungkin dia hendak melakukan siasat mati untuk
menghindari pembalasan sakit hati!"
"Dan kau jang hendak membalas sakit hati itu,
bukan?" tukas Hay gwa-it kiau.
"Benar!" "Tetapi orangnja sudah mati, mengapa kau masih
mati2an membentjinja?"
"Mungkin belum tentu dia sudah mati sungguh2.
Bagaimana dendamku bisa reda?"
"Bagaimana maksudmu?" tanja sinona.
Tjian-hong kerutkan dahi: "Hendak kubongkar


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuburannja dan kubuka petinja agar kuketahui apakah
Sin-tjiu-it-kiam benar2 sudah mati atau belum?"
"Betapa kedjammu! Takkan kuperbolehkan kau
melakukan hal itu. Djika kau berani membongkar peti
matinja, aku bersumpah tak mau hidup satu langit
dengan kau!" seru Hay-gwa it kiau.
"Djika kau tak menghendaki aku berbuat begitu,
beritahukanlah sadja dimana Sin-tjiu-it-kiam sekarang?"
Marah sekali Hay-gwa-it kiau menjelutuk: "Ia
sudah mati....." "Sjukur kalau begitu, akupun terpaksa menjalahi
kau," Tjian hong melesat sampai 7- 8 tombak djauhnja.
Hay-gwa-it-kiau lontjat mengedjar. Ia mentjegat
ditengah djalan : "Apakah kau sungguh2 tak mau
membebaskan orang jang sudah meninggal?"
Djawab Tjian-hong dengan angkuh: "Demi untuk
membuktikan keteranganmu, terpaksa aku harus
berbuat begitu." "Akupun terpaksa akan membentjimu seumur
hidup!" sahut Hay-gwa-it-kiau.
"Tak apa kau membentjiku, aku tak mau
mengetjewakan mendiang guruku."
Dengan putus asa Hay-gwa-it-kiau menjerang
setjara tiba2. Tjian-hong balas memukul. Hay-gwa-itkiau terpukul mundur dan Tjian-hong tjepat2 lontjat
lari..... *** 23 Hantu kuburan Tiga hari kemudian, Tjian hong tegak berdiri di
hadapan sebuah makam. Batu nisan makam itu
bertuliskan nama Sin-tjiu-it-kiam.
Tjian hong ter-mangu2 mempertimbangkan
tindakan jang akan diambilnja. Ia merasa bahwa
tindakan jang akan diambilnja memang kelewat batas.
Membongkar kuburan orang mati, perbuatan jang
tertelah. "Ah, demi membuktikan Sin-tjiu-it kiam sudah
mati atau tidak, terpaksa aku harus berbuat begitu.
Apabila dia sudah mati sungguh2 asal kubuatkan lagi
sebuah makam baru, tentu orang takkan mentjela
tindakanku", achirnja ia mengambil putusan.
Iapun segera bertindak. Dengan kedua tangan ia
mulai membongkar. Se-konjong2 terdengar suara orang
membentak bengis: "Berhenti!"
Tjian hong buru2 berhenti dan berpaling. Dari
belakang makam muntjul seorang nenek tua kulitnja
berwarna kuning rambut putih. Sepasang matanja
memantjar sinar ber-kilat2.
"Seorang pemuda berani melakukan perbuatan
jang dikutuk orang!" seru wanita tua itu.
Sedjenak termangu kaget, Tjian hongpun
menjahut: "Bagaimana buktinja?"
"Menurut hukum kemanusiaan, orangnja mati
segala dendam habis. Betapapun besar dendam itu
tetapi harus sudah hapus. Tetapi tindakanmu sungguh
keterlaluan!" "Tetapi kalau kuburan ini hanja kuburan kosong..."
"Kau..." wanita tua berambut putih itu terkesiap
kaget. "Aku hendak membuktikannja," sahut Tjian hong
tak atjuh. "Siapa?" seru wanita tua itu.
Tjian hong menundjuk kearah makam, serunja:
"Tentu sadja Sin tjiu-it-kiam!"
"Kau menjaksikan dia belum mati?" tanja wanita
tua berambut putih. "Hm......" "Bagaimana kehendakmu?"
"Ingin sekali kubuktikan petinja."
"Djika tak kuidjinkan?" tanja wanita tua.
"Terpaksa akan kulanggar."
"Kau pertjaja mampu?"
"Akan kutjoba!" sahut Tjian hong jang segera
ajunkan tangannja memukul.
Wanita tua berambut putih marah sekali. Ia balas
memukul, menggempur angin pukulan Tjian hong.
Tenaga pukulan Tjian hong lenjap.....
Kedjut Tjian hong bukan kepalang. Dia gunakan
lima bagian tenaganja untuk memukul, tetapi dengan
gaja jang enak sekali wanita berambut pulih dapat
melenjapkannja. Tetapi kedjut wanita tua berambut putih lebih
besar lagi, pikirnja: "Kugunakan 9 bagian tenaga untuk
menghapus, paling2 hanja dapat melenjapkan tenaga
pukulannja tetapi tak sampai merubuhkannja. Hebat
benar kepandaian anak ini!"
"Apakah kau benar2 hendak merintangi aku?" seru
Tjian hong. "Tetap kularang kau melakukan perbuatan jang
dikutuk orang!" sahut wanita tua berambut putih.
Tjian-hong mendengus: "Tetapi aku mempunjai
dendam sebesar lautan dengan dia!"
"Dia sudah mati dendammu pun harus habis. Tak
seharusnja kau masih memusuhi orang jang sudah mati.
Apalagi kau seorang pemuda jang berilmu!"
"Hati manusia sukar diduga. Bagaimana aku dapat
mejakinkan diriku bahwa dia sudah mati sungguh?"
"Apakah kau sungguh2 tetap hendak membongkar
kuburannja?" seru wanita tua berambut putih.
"Ini...." Tjian-hong merenung sedjenak, "asal
kudapat bukti bahwa dia benar2 sudah mati atau belum,
tentu kuhentikan rentjanaku ini!"
Wanita tua berambut putih itu berpikir sesaat,
udjarnja: "Kalau begitu baiklah kukasih tahu padamu...."
"Apakah Siu-tjiu it kiam benar sudah mati?"
"Entah, aku tak tahu!"
"Ini.... " "Jang hendak kuberitahukan padamu jalah," tukas
wanita tua itu, "bahwa jang berada dalam kuburan ini
bukanlah Sin-tjiu-it-kiam!"
"Bukan Ting Kay-ih?" Tjian hong terkedjut.
"Bukan!" Tjian hong benar2 kaget sekali. Siapakah jang
ditanam dalam kuburan itu kalau bukan Sin-tjiu-it-kiam
Ting Kay-ih" Dan bagaimanakah dengan Sin-tjiu-it-kiam
sendiri" Sudah mati atau masih hidupkah orang itu?"
"Kalau begitu Sin tjiu-it-kiam belum meninggal?"
Tjian hong adjukan pertanjaan.
"Aku tak djelas" sahut wanita tua berambut putih,
"jang djelas Sin-tjiu-it kiam tidak dikubur disini, entah
dikubur dimana. Jang dapat kuterangkan, kuburan ini
tidak berisi Sin-tjiu-it-kiam. Entah dia benar mati atau
masih hidup aku tak tahu!"
"Lalu siapakah jang dikubur ini?"
"Soal itu tak perlu kudjawab," sahut wanita tua
berambut putih. "Kalau begitu terpaksa kubuka djuga," kata Tjian
hong. Wanita itu berambut putih marah sekali, geram:
"Omonganmu mentjla mentjle!"
"Tetapi kau belum dapat menerangkan mati
tidaknja Sin-tjiu-it-kiam. Dan kaupun tak mau
menerangkan siapa jang dikubur dalam makam ini,
maka terpaksa kulandjutkan rentjanaku!"
"Hm, kau kira mampu?" wanita tua berambut putih
melesat kehadapan Tjian hong.
"Sambutlah seranganku ini!" Tjian hong memukul
dengan sekuat tenaga. Wanita tua merasa digempur oleh gelombang
tenaga jang dahsjat. terpaksa ia mundur dua langkah.
"Enjahlah!" Tjian hong susuli lagi dengan
mendorongkan kedua tangannja. Kedua lengan wanita
tua serasa kesemutan, walaupun ia sakti tetapi tetap tak
mampu menandingi Tjian hong. Ia mundur lagi 10-an
langkah. Kesempatan itu digunakan Tjian hong untuk lontjat
kemuka makam. "Tjelaka, djika tak dapat kutjegahnja pemuda itu
membongkar makam, njawamu tentu hilang," pikir
wanita tua itu. Ia ajun tubuhnja kemuka Tjian hong lagi.
Tjian hong marah: "Kau memang bosan hidup!" ia
ajunkan tindjunja kanan. Serangkum gelombang tenaga
dalam jang hebat, mendampar wanita tua sampai
setombak djauhnja. Wanita itu menderita luka parah,
badan berlumuran darah dan rubuhlah ia ketanah....
"Siapakah jang berada dalam kuburan ini?" tanja
Tjian hong. "Bukan Sin tjiu-it kiam!"
"Djawabmu tak memuaskan!"
"Tetapi kupastikan, bukan Sia-tjiu-it-kiam jang
ditanam dalam kuburan ini."
Djawaban wanita tua berambut putih dan
tindakannja mati2an hendak mentjegah Tjian-hong
membongkar makam, benar2 menimbulkan ketjurigaan
Tjian hong. Djika bukan Sin-tjiu-it-kiam, habis siapakah
jang berada dalam makam itu"
"Djika kau tetap tak mau mengatakan siapa jang
ditanam dalam makam ini, akupun tetap hendak
membongkarnja," kata Tjian hong.
Wanita tua itu berusaha bangun, serunja: "Selama
aku masih bernapas, tentu kuhalangi tindakanmu!"
Tjian hong tertawa geram: "Kau mampu?" " ia
segera ajunkan tangan menghantam makam.
Wadjah wanita tua putjat seketika. Dengan
menahan kesakitan ia paksakan diri lari menghampiri
dan menjerang Tjian hong.
Melihat kekalapan siwanita tua, Tjian hong
terpaksa gunakan djurus Membelah-langit-membukabumi.Wanita itu mendjerit ngeri dan terlempar beberapa
langkah djauhnja. Lukanja makin parah, namun ia tetap
keraskan hati untuk bangun kembali.
Tjian hong tak menghiraukan. Ia landjutkan
menggempur makam lagi. Tanah berhamburan dan
beberapa kedjab kemudian tampaklah sudah tutup peti
mati. Tjian hong mengambil putusan hendak melihat isi
peti mati itu. Ia teruskan gempurannja.
"Berhenti!" tiba2 wanita tua berseru.
"Siapa didalam peti itu?" Tjian hong hentikan
pukulannja dan berseru. "Entah!" sahut wanita tua berambut putih.
"Hm, kutahu!" "Siapa?" wanita tua tergetar.
"Sin-tjiu-it-kiam," sahut Tjian hong, "tetapi dia
belum mati!" "Tidak!" "Hm, kau kira aku tak tahu" Sin-tjiu it-kiam pura2
mati untuk melenjapkan djedjaknja. Tetapi akan
kusuruhnja dia mati benar2 dalam tanganku!"
Pusaka Langit 1 Rimba Dan Gunung Hijau Karya Nein Arimasen Iblis Sungai Telaga 27
^