Pencarian

Pukulan Hitam 5

Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong Bagian 5


Tiba2 si wanita tua berambut putih tertawa
pandjang. Nadanja seram2 rawan.
"Mengapa kau tertawa?" tegur Tjian hong.
Wanita tua itu bergeliat bangun, serunja sinis:
"Kutertawa karena melihat sikapmu jang sok pintar
sendiri itu!" Tjian hong mendengus dingin: "Bagaimanapun
halnja, sebuah pukulanku tentu akan dapat membuka
isi peti itu dan tjoba lihat sadja aku memang sok pintar
atau tidak!" Wanita tua itu gemetar, ia paksakan tertawa:
"Kalau kau berbuat begitu, kau pasti menjesal!"
"Tidak, tentu tidak. Djangan kuatir!"
Wanita tua melangkah kehadapan Tjian hong,
serunja tegas: "Sebelum kau hantjurkan peti itu, lebih
dulu bunuhlah aku!" "Kita tak bermusuhan, mengapa aku harus
membunuhmu?" "Tetapi aku tetap hendak melindungi peti mati
sampai mati!" "Aku tak pertjaja kau mampu melindunginja," Tjian
hong menutup kata2nja dengan hantaman ke peti.
Wanita tua berambut putih lontjat menghadang.
Huak.... ia muntah darah dan rubuh lagi ketanah.
"Apakah kau tetap hendak menghantjurkan peti?"
serunja dengan tersendat.
"Ja!" Wanita tua berambut putih menghela napas.
Memandang kearah peti mati, ia berkata: "Hamba sudah
berusaha melindungi, "tetapi apa daja. Biarlah hamba
menebus kedosaan dengan bunuh diri!" setjepat kilat
wanita tua itu menghantam ubun2 kepalanja sendiri.
Mati tanpa mendjerit, ia terkapar tak bernjawa ditanah...
Tjian-hong tak keburu mentjegah. Dia kasihan
djuga kepada wanita tua itu. Sampai beberapa saat ia
memandang peti mati itu. Angin pegunungan menghembus dingin. Hawa
pembunuhanpun reda. "Sin-tjiu-it-kiam, keluarlah!" tiba2 Tjian hong
berseru. Namun peti mati itu tetap membisu tak
bergerak. Tjian hong ulangi teriakannja : "Sin-tjiu-it-kiam
keluarlah mengadu djiwa, agar namamu djangan
djatuh." Hanja kesiur angin jang mendesis.
"Djika tak mau keluar, djangan sesalkan
tindakanku menghantjurkan petimu!" teriak Tjian-hong
pula. Se-konjong2 terdengar suara rintihan ketjil dari
dalam peti mati. Tjian-hong terkesiap. Didengarnja pula
dengan seksama. Suara itu mirip suara hantu. Sebentar
terdengar, sebentar lenjap...
Bukannja takut kebalikannja Tjian hong malah
mengantjam: "Djangan pura2 mendjadi setan. Ajo keluar
atau kuhantjurkan..."
Belum sempat Tjian hong melandjutkan kata2nja,
tiba2 tutup peti mentjelat keudara dan dari dalam peti
menghambur asap berwarna ke-biru2an. Lenjapnja asap
berganti dengan pemandangan jang membuat Tjian hong
hampir tjopot njalinja. Seorang machluk bangun berdiri dari dalam peti
mati. Seorang machluk jang menjerupai setan
perempuan. Tulang belulangnja tampak djelas dan
rambutnja terurai kusut masai. Wadjahnja menjeramkan
sekali. Saking kedjutnja Tjian-hong sampai menjurut
mundur dua tiga langkah...
*** 24 Neraka dua lapis. "Kau siapa?" tegur hantu perempuan itu dengan
nada dingin sekali. Kembali Tjian hong mundur dua langkah. Keringat
dingin membasahi tubuhnja. Ia benar2 bergidik
mendengar nada suara hantu itu.
Napas hantu perempuan itu terdengar men-desis2
menghamburkan sematjam hawa dingin. Serunja pula:
"Kau berani menghantjurkan peti mati, apa sudah bosan
hidup?" Tjian hong mengangkat kepala memandang
kelangit. Tampak matahari bertjahaja terang. Seketika
timbullah pula semangatnja. Ketakutannja terhadap
hantu perempuan itupun agak berkurang.
"Dibawah langit biru jang bersinar matahari
gemilang, kau berani menggertak orang dengan menjaru
seperti setan" Huh, hanja sebangsa kerutjuk jang sudi
melakukan tindakan sematjam kau!" serunja dengan
njaring. Hantu perempuan itu tertawa mengekeh. Nadanja
gemerintjing menusuk anak telinga terus mengojak
semangat. Tjian-hong terkedjut. Buru2 ia kerahkan
tenaga dalam untuk menghalau.
Puas tertawa, hantu perempuan itupun berseru:
"Tahukah kau tempat apa ini?"
"Bukankah sebuah makam?" Tjian hong balas
bertanja. "Salah!" "Ha, Sin-tjiu-it-kiam hanja pura2 mati untuk
menghapus djedjak dan dikubur disini. Siapa tahu
ternjata kuburan ini hanja kosong dan kau gunakan
sebagai sarang untuk main2 mendjadi setan djedjadian!"
"Besar sekali mulutmu.....!"
"Tjara main sembunji bukanlah laku seorang
ksatrya," seru Tjian hong.
"Kau tak pertjaja tentang hantu iblis?" tanja hantu
perempuan. Tjian hong tertawa njaring: "Omong kosong!"
"Kau tahu tempat apa ini?" hantu perempuan
mengulang lagi pertanjaannja.
"Tempat apa?" dengus Tjian hong, "masakan
sebuah Neraka?" "Benar!" seru hantu perempuan.
"Apa" Sebuah neraka?" teriak Tjian hong.
"Benar, memang disinilah Neraka jang tiada udjung
pangkalnja!" "Neraka?" "Hm, Neraka dua lapis!"
Tjian hong tersirap kaget. Ia pernah masuk ke
Neraka satu-lapis. Kini ia berada didaerah Neraka-dualapis Bukankah ajahnja dipendjara dalam Neraka-l9lapis?"
Teganglah wadjah Tjian hong seketika. Hawa
pembunuhan merajapi dadanja. "Neraka-dua-lapis"
Akan kuhantjurkan!" "Kau hendak menghantjurkan neraka ini" Ho, ho,
mungkin kau takkan melihat sinar matahari lagi."
"Mana pemimpinmu, aku hendak bertemu!" seru
Tjian hong. "Kalau kau berdjodoh tentu bisa, tetapi kalau tidak,
djangan harap bisa menghadap Giam-ong (radja Achirat).
Ketjuali kaupun djadi setan dalam neraka ini, barulah
kau mampu. Untuk itu hanja ada sebuah djalan."
"Bagaimana?" "Mati!" "Belum tentu!" "Karena kau keras kepala, madjulah!" tiba2
segulung asap menghambur. Tjian hong terpaksa lontjat
mundur, ia takut kalau2 asap itu beratjun. Tetapi ketika
asap sudah lenyap, hantu perempuan itupun lenjap
djuga. Peti mati tetap masih menggeletak ditanah. Tjian
hong menghampiri dan ketika memeriksa ia terkesiap
kaget. Kiranja peti itu hanja bertutup di-atasnja tetapi
tiada bertutup dibawahnja. Bagian bawah ternjata
sebuah lubang terowongan jang gelap. Terang kalau
terowongan itu djauh masuk kedalam tanah.
Setelah memeriksa Tjian hong mengambil
kesimpulan bahwa terowongan itu tentu djalan menudju
ke Neraka-dua-lapis. "Djika tak masuk kedalam sarang harimau mana
aku dapat memperoleh anak harimau. Djika tak berani
memasuki terowongan ini, mungkin aku tak dapat
menolong ajah!" achirnja Tjian hong mengambil
keputusan. Dengan hati bulat, ia menjusup masuk. Ternjata
didalam terowongan, merupakan sebuah ruangan jang
tjukup luas. Tetapi seketika itu djuga terasa angin dingin
menjambarnja. Angin bukan sembarang angin melainkan
angin ber-desis2 jang seram.
Sedjenak menenangkan perasaan, Tjian hong
segera teruskan langkahnja. Ia menjusuri sebuah lorong
terowongan jang tak kurang dari 30 tombak
pandjangnja. Tiba2 ia dikedjutkan oleh suara rintihan orang jang
menjajat hati. Didengarnja dengan teliti. Ah... njata
suara rintihan itu tentu berasal dari orang jang sedang
disiksa. Meluaplah darah Tjian hong. Ia mengambil
ketetapan hendak mengobrak abrik sarang pendjagalan
(pembantaian) manusia itu. Kini ia memasuki sebuah
ruangan jang lebar. Ruang jang didjadikan sebagai ruang
hukuman. Ruangan itu memberi gambaran jang seram
memuakkan. Dibawah penerangan obor, tampak
bergantungan bermatjam-matjam sendjata tadjam alat
penjiksa. Beberapa orang jang tengah disiksa terdengar
me-rintih2. Penjiksa2 jang berbentuk seperti setan,
sedang melaksanakan hukuman dengan hati dingin.
"Hai, apakah orang itu bukan paderi Goan Thong,"
Tjian hong terkesiap kaget ketika memperhatikan orang
jang tengah disiksa. Dan tjepat sekali ia lontjat
menjambar lengan seorang setan ketjil: "Enjah!"
Setan ketjil itu terlempar beberapa tombak, rantai
besi alat penjiksapun terlepas djatuh.
Ah, benarlah. Orang jang disiksa itu memang
paderi Goan-Thong. Tjepat2 Tjian hong membuka
borgolannja dan menepuk bahu paderi itu. Untunglah
paderi itu tak berapa parah lukanja. Setjepat ia bangkit,
dipandangnja Tjian hong dengan tadjam: "Hai, siapakah
kau" Setan Hitam atau Radja Achirat?"
Tjian hong tertawa: "Bukan, tjobalah lihat lagi siapa
aku?" "Hai, kiranja kau, Tjian hong, Ko sauhiap!" teriak
paderi Goan Thong sesaat penglihatan terang.
Tjian hong mengiakan kemudian ia menanjakan
mengapa paderi itu berada disitu. Goan Thong menghela
napas pandjang. Belum sempat ia mendjawab, beberapa
setan kecil lontjat menerdjang Tjian hong dengan rantai
besi. Awas, Ko sauhiap!" Goan Thong memperingatkan.
Tjian hong menyambar tangan mereka dan sekali
menutuk djalan darah perut, mereka berhamburan
djatuh ke tanah. Anehnja walaupun kawan2nja ada jang dilempar
orang, tetapi setan2 ketjil lainnja jang tengah
mendjalankan siksaan pada orang2 tangkapannja, tak
menghiraukan sama sekali. Mereka tetap melandjutkan
tugasnja masing2. Pada saat itu muntjullah dua rombongan setan
ketjil. Mereka tak mengenakan badju dan sendjata.
"Disini bukan tempat bitjara, paling perlu kau
harus tinggalkan tempat tjelaka ini," kata Tjian hong.
Tetapi paderi Goan Thong menolak: "Tidak, tak
sampai hati aku melihat kau terantjam bahaja!"
Kata Tjian hong dengan-tegas: "Tetapi djika kau
masih berada disini berarti menjiksa hatiku. Lekas,
tinggalkan tempat ini, keluar dari terowongan dan
tunggu aku diluar makam!"
Paderi itu hendak bitjara lagi tetapi tjepat2 Tjian
hong mendorongnja: "Tjepat!"
Tubuh paderi itu mentjelat menjusuri terowongan.
Pada saat itu ke 3 setan ketjilpun tiba dihadapan
Tjian hong. "Siapa kau" Kau berani masuk kedalam ruang
hukuman dan berani melepaskan orang hukuman disini.
Kau pasti menerima hukuman tjatjah!"
"Hai. manusia-manusia jang menjaru mendjadi
setan bawalah kau kepada madjikanmu!" bentak Tjian
hong. "Memang Giam-ong hendak berdjumpa padamu!"
sahut setan ketjil. "Itu lebih baik!"
"Ikut aku," kata setan ketjil. Diikuti oleh
rombongan ke 8 setan ketjil, mereka berputar diri dan
ajunkan langkah. Tjian hong mengikuti dibelakang.
Keluar dari ruang hukuman, mereka tiba diruang besar.
Diatas ruangan tergantung sebuah papan ber-tulis
Giam-ong-tian (ruang radja Achirat). Ruang dihias
seram. Dua deret pendjaga jang terdiri berpuluh2 setan
ketjil, mendjaga ketat ruang itu.
Tiba dimuka ruang, salah seorang setan ketjil
berseru njaring: "Hamba melapor telah menangkap
seorang pengatjau!" Terdengar tambur berderap riuh. Sesaat kemudian
muntjullah seorang tua jang mengenakan pakaian
seperti radja Achirat (menurut versi orang Tiongkok).
Umurnja disekitar 60 tahun. Ia duduk dikursi
kebesaran. "Menghadaplah!" seru salah seorang pengawal.
Delapan setan ketjil jang membawa Tjian-hong tadi
segera petjah diri kesamping. Kini tinggal Tjian hong
tegak berdiri ditengah ruang.
" Pengatjau, apakah kau tak mau memberi hormat
dihadapan Giam-ong!" bentak salah seorang pengawal.


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tjian hong mendengus dingin: "Giam-ong ditengah
manusia" Djangan harap aku sudi memberi hormat!"
Tiba2 Giam-ong atau radja Achirat membentak
bengis : "Kurang adjar, kau berani bermulut besar
disini" Apakah kau sudah bosan hidup?" '
Tjian hong menatap radja itu dengan tadjam,
bentaknja pula: "Siapa kau" Menjaru djadi radja setan,
tentu bukan manusia baik!"
Tiba2 Giam-ong tertawa njaring. Nadanja mengiang
tadjam ditelinga. Menundjukkan bahwa ia memiliki
tenaga-dalam jang hebat sekali.
"Budak she Ko, kau tak kenal padaku, tetapi aku
kenal padamu!" serunja
Tjian hong terkedjut: "Siapa kau?" serunja.
"Radja dari Neraka-dua-lapis, bergelar Sin-tjiugiam-ong!"
"Sin-tjiu-giam-ong?" Tjian hong mengulang.
Sin-tjiu-giam-ong tertawa memandjang lagi.
"Kau, kau tentulah Sin-tjiu-it-kiam Ting Kay"ih,"
serentak teringat sesuatu, berserulah Tjian hong
menjebut nama orang. Sin-tjiu-giam-ong hentikan tertawanja: "Bagus
budak, matamu memang tadjam sekali. Memang di
dunia aku memakai nama Sin-tjiu-it-kiam Ting Kay-Ih,
tetapi dineraka aku adalah Sin-tjiu-giam-ong!"
Serta mengetahui siapa sebenarnja Sin-tjiu-giamong, meluaplah dendam kebentjian Tjian hong. Tampil
tiga langkah kemuka, ia membentak: "Sin-tjiu-it-kiam,
aku hendak membunuhmu!"
"Heh, heh, Sin-tjiu-it-kiam sudah mati. Aku akulah
Sin-tjiu-giam-ong!" "Tak peduli It-kiam atau Giam ong, pendek kata
akan kubunuh!" "Kuperingatkan padamu, budak. Disini adalah
ruang Giam-ong-tian di Neraka-dua-lapis. Tak boleh kau
membawa tingkah sekehendakmu sendiri!"
"Biar kau mati satu kali lagi!"
Sin tjiu-giam-ong tertawa mengekeh: "Apa kau
mampu?" "Aku bersumpah hendak menuntut balas sakit hati
guruku!" "O, Malaekat-elmaut itu" Tak lajak dia digelari
sebagai malaekat, lebih tepat disebut Setan-maut sadja,
ha, ha, apakah kau hendak mengikuti djedjaknja?"
"Tjian-hong terkesiap. Ia heran mengapa Sin-tjiugiam-ong tahu akan kematian Malaekat-elmaut. Berkata
Sin-tjiu-giam-ong dengan wadjah beringas: "Djalan
kesorga kau tak mau, sebaliknja malah menudju
keneraka. Hari ini kau pasti mampus!"
"Tidak semudah itu!" geram Tjian hong. Tiba2 ia
lepaskan sebuah pukulan. Sin-tjiu-giam-ong tertawa dingin: "Kau benar2 tjari
mati..." Se-konjong2 Tjian hong dapatkan pukulannja tiada
mengandung tenaga-dalam. Dia kaget dan buru-buru
salurkan tenaga-dalam. Ah, masih menjalur lantjar tiada
perobahan apa2. Sekali lagi ia lepaskan pukulan.
"Ringkus budak itu!" teriak Sin-tjiu-giam-ong.
Perintah itu segera tjepat disambut dengan terdjangan
oleh dua orang setan ketjil. Tjian hong benar2 kaget tak
terhingga, Pukulannja jang keduapun kosong tiada
tenaga-dalam. Bahkan tiba2 ia rasakan tubuhnja lemas
lunglai. Ia paksakan diri memukul kedua setan jang
hendak menangkapnja itu. Tetapi ah.....kedua setan
ketjil itu se-olah2 tak menghiraukan. Keduanja segera
mentjekal lengan kanan dan kiri Tjian hong. Tjian hong
meronta se-kuat2nja. Tetapi amboi.... tenaganja serasa
lenjap, sama sekali ia tak berdaja.
Kini barulah Tjian hong sadar apa jang telah
menimpali pada dirinja. Ia tentu terkena ilmu setan Sintjiu-giam-ong. Tetapi sesal kemudian tak berguna, sudah
terlambat..... "Sekalipun mempunjai ilmu menembus langit
menjusup bumi, djangan harap kau mampu bertingkah
disini!" Sin-tjiu-giam-ong tertawa hina.
Ingin sekali Tjian hong mengunjah daging Sin-tjiugiam-ong. kebentjiannja meluap-luap, serunja: "Bukan
tjara ksatrya tindakanmu ini. Kalau berani ajo kita
bertempur sampai 100 djurus. Lihat sadja, siapa jang
djantan.... !" Djilid 7 25 Sukma-ngembara "Aku tak sudi mengotorkan tangan!" terang2 Sintjiu-giam-ong menjahut.
"Aku kepingin mengganjang dagingmu, meminum
darahmu!" Sajang kau akan mati didepanku," sahut Sin-tjiugiam-ong.
Tjian hong kerutkan alis: "Bunuhlah aku! Kalau
tidak, asalkan bisa hidup tentu kau tak dapat tidur
tenang se-lama2nja!"
Sin-tjiu-giam-ong mendengus dingin: "kematianmu
hanja menunggu saat sadja. Tetapi takkan kubiarkan
kau mati setjara begitu sederhana. Sebelum mati kau
harus menderita siksaan dulu."
"Ting Kay-Ih, aku bersumpah tak mau hidup
sekolong langit dengan kau!" teriak Tjian hong.
"Hm, hm, murid Malaekat-elmaut, aku sudah
sedjak dulu tak mau hidup dalam satu dunia dengan
gurumu!" dengus Sin-tjiu-giam-ong.
"Kelak akupun djuga takkan membiarkan kau
hidup..." "Kelak" Lutju!" edjek Sin-tjiu-giam-ong. Kemudian
ia berpaling kepada kedua setan ketjil: "Djebloskan dia
kedalam kamar nomor 7!"
Kedua setan itu mengiakan lalu menggusur Tjian
hong kedalam sebuah kamar gelap. Sambil mendorong
tubuh Tjian hong, berserulah setan ketjil: "Mengasohlah
baik2!" Bluk, Tjian hong djatuh dilantai, ia tak punja
tenaga sama sekali. Hanja helaan napas pandjang jang
dihembuskan..... Tiba2 terdengar desis suara orang berseru parau2
lantang: "Hm, perlu apa menghela napas pandjang
pendek. Ketjewa kau mempunjai nasib jang luar biasa!"
tj terkedjut bangun: "Siapa?" tegurnja.
Sekeliling ruang sunji senjap. Dinding lembek
membisu dingin. Tiada tampak suara seseorang. "Hai,
apakah pikiranku katjau sendiri, melamun jang tidak?"
diam2 Tjian hong membatin.
Tetapi tiba2 suara parau itu terdengar pula: "Kau
takut?" Kali ini Tjian hong tak ragu2 lagi. Dia dapat
membedakan arah suara itu berasal dari sebelah kanan.
Dihampirinja sudut kamar, serunja: "Siapa jang berada
dikamar sebelah?" "Djangan pedulikan siapa aku! Orang jang
didjebloskan dalam Neraka sini, tiada jang tahu kapan
djiwanja melajang! Setiap detik, setiap saat djiwa kita
direnggut maut... !"
"Neraka...," Tjian hong gelagapan tersadar,
"benarkah disini Neraka" Kalau begitu sakit-hati jang
hendak kutuntut itu akan kandas selama2nja?"
"Botjah jang tak berguna!" suara parau itu memaki.
"Kau memaki aku?" Tjian hong terbeliak.
"Siapa lagi kalau bukan kau!"
"Mengapa kau memaki aku tak berguna?"
"Disini bukan neraka sesungguhnja, mengapa kau
patah semangat" Orang kuno menjatakan " 'barang
siapa ketakutan, seperti sudah mati djiwanja' " Kau pun
rupanja sudah mati djiwamu!"
Dampratan orang itu membangkitkan semangat
Tjian hong. Serentak ia teringat akan peristiwa jang
dialaminja ketika di Neraka lapis-kesatu berdjumpa
dengan hantu2 perempuan dan bagaimana tadi tahu2
tenaganja hilang sama sekali. Hal itu djika bukan
perbuatan bangsa hantu setan, masakan manusia dapat
berbuat begitu" "Benarkah bukan neraka sesungguhnja" Tetapi
mengapa segala apa terdjadi setjara mengherankan,"
katanja. "Itu kan perasaanmu sendiri jang tak sadar," suara
parau mendengus dingin. Tjian hong segera mentjeritakan bagaimana ia
kehilangan tenaganja tadi.
Orangtua itu tertawa gelak2: "Segala dongeng setan
djadji2 itu hanja ilmu Hitam. Kau kena dikelabuhi!"
"Dikelabuhi?" Tjian hong terbeliak.
"Kau kena hawa Djwan-khi!"
"Hawa Djwan-khi?"
"Benar! Bukankah pada waktu masuk kedalam
tempat ini kau terbaur sematjam angin berhawa dingin?"
Diam2 Tjian hong terkedjut. Teringatlah bajangan
dari Yu-leng-li-kui (gadis bajangan) jang terselubung
diatas sutera putih. Ah, tentulah itu hanja sematjam
ilmu sihir untuk menggertak orang.
"Lo tjianpwe," katanja kepada orangtua itu, "aku
mohon bertanja." "Katakanlah!" Tjian hong segera menuturkan pengalamannja
ketika masuk kedalam Neraka-lapis kesatu.
"Ah, itupun hanja sematjam ilmu sihir sadja,"
orang tua tertawa. "Sihir?" Tjian hong menegas.
"Hm, ilmu itu disebut Tjiat hun ih-ing (pindjam
njawa memindah bajangan). Bukan suatu ilmu jang
mudjidjat!" Tjian hong terkedjut atas luasnja pengalaman
orangtua itu. Tetapi diam2 ia heran mengapa dia
(orangtua) dapat didjebloskan dalam neraka disitu.
"Aku kagum sekali atas pandangan lotjianpwe jang
teramat luas. Maukah lo-tjianpwe memberitahu gelaran
lo-tjiaopwe jang mulia?"
"Perlu apa banjak tanja," sahut orangtua itu
dengan dingin. Tjian hong terbelalak. Diam2 ia memaki orangtua
jang beradat aneh itu. Naman keinginannja mengetabui
orangtua itu tetap menggelora, udjarnja: "Ah, lo-tjianpwe
tentu sudah berusia tinggi?"
"Apa pedulimu aku berumur berapa!" kembali
orangtua aneh itu menjelutuk.
Sekalipun beberapa kali terbentur tembok, namun
Tjian hong pantang mundur, serunja pula: "Menilik
pengalaman lo-tjianpwe jang sedemikian luasnja, lotjianpwe tentu memiliki kepandaian jang sakti. Tetapi
sungguh tak habis heranku mengapa lotjianpwe berada
ditempat sematjam ini!"
Kali ini membentaklah orangtua itu dengan marah:
"Aku senang kemana sadja tentu pergi kemana.
Siapapun tak dapat menghalangi!"
"Oh, lo-tjianpwe datang kemari atas kehendak lotjianpwe sendiri?" Tjian hong terkedjut.
Sahut orangtua aneh itu: "Djika aku tak masuk ke
neraka, siapakah jang akan memasuki" Aku senang
mentjoba kehidupan dineraka, siapapun tak dapat
menghalangi kedatanganku!"
Tjian hong tertawa meringis. Beberapa saat
kemudian, ia hendak bertanja lagi tetapi didahului
siorangtua: "Djangan banjak tanja, tidurlah! Pulihkanlah
semangatmu supaja segar untuk menghadapi hukuman
besok pagi. Kau harus dapat bertahan atau kau nanti
akan menderita nasib ngeri se-lama2nja!"
"Hukuman" Apakah besok pagi bakal dilaksanakan
hukuman kepadaku?" Tetapi pertanjaan Tjian hong kali ini tiada berbalas.
Orangtua itu diam sadja. Sampai beberapa kali Tjian
hong mengulangi, pun tiada penjahutan sama sekali.
Terpaksa ia keluar dari terowongan itu dan kembali
kedalam ruangnja lalu berbaring ditempat tidur. Namun
tak dapat matanja dibawa tidur. Pikirannja penuh
dengan berbagai persoalan. Dan sekilas terbajanglah
bajang2 jang mengerikan. Besok pagi akan menerima hukuman berat! Dan
saat itu tenaganja punah sama sekali. Keadaannja tak
ubah seperti orang biasa sadja. Dendam sakit hati ajah
dan gurunja masih belum dapat dihimpaskan. Adakah ia
ditakdirkan harus mati ditempat tjelaka itu"
Tjian hong menghela napas pandjang.....
Tiba2 terdengar gemerintjing suara tertawa. Tjian
hong serentak lontjat bangun.
"Siapa!" serunja.
Dari arah belakang terdengar penjahutan ringan:
"Aku!" Tjian hong berputar tubuh dan tampaklah sebuah
bajangan langsing diatas tembok. Amboi.... itulah gadis
bajangan Yo-leng-li-kui jang didjumpainja ketika di
Neraka satu lapis. "Masakan kau tak kenal padaku?" gadis bajangan
itu melengking demi melihat Tjian hong kesima.
"Masakan aku lupa pada bajangan nona," djawab
Tjian-hong dingin2. "Tetapi apakah kau masih ingat akan perdjandjian
kita?" seru orang aneh itu pula.
"Apa jang telah kudjandjikan pada orang tentu
takkan kutarik kembali," djawab Tjian hong
"Tetapi apakah kau jakin dapat melaksanakan
omonganmu itu?" kata sinona lebih landjut.
Tjian-hong terkesiap. Kepada nona itu ia telah
berdjandji. Dalam waktu satu tahun tentu dapat
mengambil kitab Pukulan Hitam untuk diberikan kepada
sinona. Tetapi saat ini ia terkurung dalam neraka maut.
Bagaimana ia dapat melaksanakan djandjinja" Bahkan
bagaimana nasibnja besok pagi, ia masih belum tahu.
Merenungkan hal itu, Tjian hong menunduk diam.
"Eh, apakah kau bermaksud hendak
mengingkarinja?" tegur sinona bajangan.
"Aku bukan manusia matjam begitu!" seru Tjian
hong dengan geram. "Tetapi keselamatan djiwamu sukar..."


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau kira aku akan dikerem selama2nja disarang
hantu ini?" "Kau mampu keluar dari sini?"
"Aku tak berani memastikan. Tetapi pertjajalah,
setelah aku dapat lolos dari tempat tjelaka ini, tentu
kuusahakan sekuat tenaga untuk melaksanakan
perdjandjian kita. Akan kuhaturkan kitab itu
kepadamu!" kata Tjian hong.
Dengus sigadis bajangan: "Tetapi kalau tak
beruntung, kau akan kehilangan djiwa disini!"
Djawab Tjian hong dengan angkuh: " Apa boleh
buat kalau memang nasibku begitu. Kalau sampai
begitu, masakan kau masih memaksa aku supaja
memenuhi djandji?" "Tentu sadja aku bukan manusia jang sekedjam
itu," sigadis bajangan menjelutuk, "tetapi kuharap
perdjandjian itu agak dirobah!"
"Apa" Kau hendak merobah..."
"Djangan tegang dulu! Perubahan itu
menguntungkan kau." "Ada perobahannja?" seru Tjian hong.
"Maksudku kalangannja diperluas sedikit, tidak
terbatas hanja kitab Pukulan hitam sadja!"
"Bagaimana tjaranja?"
Bukan menjahut, gadis-bajangan Yu-leng-li-kui
malah balas bertanja: "Tahukah kau tentang 3 kitab
pusaka didunia?" "Tahu," djawab Tjian-hong. "Kitab Kuning, kitab
Tanpa-tulisan dan kitab Pukulan Hitam, 3 buah kitab
pusaka didunia!" "Asal dapat mengambilkan salah sebuah dari kitab
itu untukku, bolehlah sudah!" kata Yu-leng-li-kui.
"Mengapa?" Yu-leng-li-kui terbeliak. Rupanja ia tak mengira
akan menerima pertanjaan begitu. Tetapi setjepat itu ia
segera tertawa hambar, serunja: "Kurasa nilai ketiga
kitab itu berimbang maka djika bisa mendapat salah
satu, tjukuplah sudah. Dan lagi hal itu melonggarkan
bebanmu. "Hanja begitu, tak ada alasan lain?" tanja Tjian
hong. "Ja, hanja begitu!"
Tjian hong madju dua langkah.
"Djangan dekat2 kesini!" bentak Yu-leng-li-kui.
Tjian-hong tertawa dingin: "Biarlah aku berada
didekatmu, maukah?" "Ngatjo!" bentak Yu-leng-li-kui dengan murka,
"Setan dan manusia berlainan dunianja, djika kau tetap
hendak mendekati, djangan salahkan aku kalau kau
kubunuh....." Tjian hong tetap tertawa: "Belum tentu!"
Ia tetap madju selangkah dan kini tinggal berapa
langkah dari gadis bajangan itu.
"Berhenti!" bentak Yu-leng-li-kui dengan makin
gugup, "madju selangkah lagi, tentu kubunuh!"
"Djangan membohongi hatimu!"
"Kuingatkan sekali lagi manusia dan setan kalau
bertempur, ibarat telur diadu batu!"
"Setan" Hm, kau setan?" dengus Tjian hong,
"djangan bermain sandiwara lagi!"
"Ketahuilah, aku adalah penguasa Neraka lapis
kesatu..." "Yu-leng-li-kui!" tukas Tjian hong.
"Kalau sudah tahu djangan memikir jang tidak2!"
djawab Yu-leng-li-kui. "Apakah benar neraka itu ada?"
"Apa jang diadjarkan dalam agama, masakan
bohong!" "Tetapi kalau memang benar ada neraka, tempatnja
tentu bukan disini. Tak ada jang disebut Neraka-lapiskesatu, lapis kedua. Jang ada tentulah hanja dunia dan
neraka sadja!" seru Tjian-hong
Yu-leng-li-kui terkesiap: "Kau tak pertjaja" Lihat2lah bagaimana gerakanku, bukankah tak mungkin
dilakukan oleh manusia hidup" Djika bukan bangsa
setan masakan aku mempunjai kesaktian sematjam itu?"
Tjian hong tertawa gelak2: "Djangan tjoba main
sulap!" "Sulap?" "Kau kira aku tak tahu" Ilmu jang kau
pertundjukkan itu disebut Tjiat-hun-ih-ing!" seru Tjianhong.
Saking kedjutnja Yu-leng-li-kui sampai menggigil.
Beberapa saat ia tak dapat bitjara,
"Mengapa kau tahu?" serunja.
"Ilmu tak berarti sematjam itu masakan dapat
mengelabui aku!" sengadja Tjian-hong mengedjek.
"Djangan sombong..."
"Turunlah dan mari kita bertjakap-tjakap!"
Yu-leng-li-kui merenung sedjenak lalu mengiakan:
"Baik, aku akan keluar mendjumpaimu!"
Utjapan itu ditutup dengan berkelebatnja bajangan
sinona jang lenjap seketika.
"Hai, dimana kau?" seru Tjian hong.
"Masakan kau tak tahu," tiba2 terdengar Yu-leng-likui berseru disebelah belakang.
Tjian hong berputar tubuh. Diluar terali besi
kamarnja, Tjian-hong melihat seorang nona berdiri.
Wadjahnja tjantik, sepasang matanja berpengaruh,
sikapnja mempesonakan. Makin memandang, makin
kesengsemlah hati Tjian hong, pikirannja mulai
bergelora.... "Hai, mengapa aku memikirkan hal2 jang tak
patut?" tiba2 Tjian-hong tersadar dan diam2 memaki
dirinja. Segera ia teguhkan pikirannja
"Hm, daripada menjaru djadi setan djedjadian, kan
lebih baik berhadapan sebagai manusia biasa?" serunja.
"Manis benar mulutmu tetapi belum tentu hatimu
memikirkan seperti jang kau katakan," sindir sinona.
"Apa jang diundjukkan sikap lahir adalah mewakili
isi hati. Aku bukan manusia jang lain dihati lain
dimulut!" "Mudah-mudahan," tukas Yu-leng-li-kui, "kuharap
kau tak dapat memperoleh salah satu dari ketiga kitab
pusaka itu!?" "Aku takkan ingkar djandji kepadamu!"
"Tidak! Kau masih mempunjai djalan kedua!" seru
sinona. Tjian hong terbelalak. Teringat ia kalau dalam
perdjandjian disebutkan. Djika ia gagal mendapatkan
salah satu dari kitab pusaka itu, dia harus menikah
dengan nona itu. Tetapi apakah hal itu mungkin" Tanpa
disadari, dipandangnja pula Wadjah nona jang
mempesonakan itu... Bjar.... tiba2 benaknja menghambur bujar.
Serentak wadjah ibunja Kang-ou-bi djin dan Malaekatelmaut ter-bajang2. Seketika tersedutlah api dendam
kebentjian dihatinja. "Djangan melantur?" serunja kepada sinona.
"Tentu sadja aku tak dapat memaksamu," kata Yuleng-li-kui dengan rawan, "tetapi... sedjak pertama kali
aku ketemu, wadjahmu telah melekat disanubariku.
Djangan2 asmara makin mendjerat erat kalbuku... ah,
tak perlu kukatakan!"
Mendengar pengakuan sinona, bergolaklah hati
Tjian hong. Sampai beberapa saat ia tak dapat bitjara.
"Kut ahu bahwa asmara tidak dapat dipaksakan!"
kata sinona pula, "walaupun betapa besar kasihku
kepadamu, namun tampaknja setitik pun kau tak
mempunjai perasaan itu. Aku tak dapat memaksamu.
Tak apalah, biar aku sudah mentjurahkan apa jang
terkandung dalam hatiku..."
Mau tak mau terketok djuga hati Tjian hong
melihat sikap sinona jang sedemikian merawankan.
Djika tidak karena terbakar oleh dendam sakit-hati,
mungkin ia tentu tak dapat bertahan diri lagi.
Saat itu beberapa bajangan berlalu lalang dibenak
Tjian hong.... Dara tjantik bermata buta Giok-lo-sat jang
berwadjah dingin membeku.... dara aju jang berwadjah
rawan Ping-sim-sian-tju Leng-hou Ling.....gadis elok jang
berhati ganas Hai-gwa-it-kiau Siangkwan Hoa-kun....
dan masih seorang pula jani sidara sebatang kara Hoa
Ling-ling.... Dara2 aju itu berketjimpung dalam lubuk hatinya.
Ia merasa selama itu belum pernah mengutjapkan suatu
apa kepada mereka tetapi wadjah mereka selalu
terbajang didalam hati. Adakah ia mentjintai mereka"
Entahlah, ia tak tahu... Jang njata pada saat itu, ia terketuk hati
mendengar tjurahan kalbu dari Yu-leng-li-kui.
Dan tak lagilah ia seketus tadi ketika berkata
kepada Yu-leng li kui: "Isi hati nona telah kuketahui,
tetapi aku seorang loia (sebatang kara) jang mengembara
tiada tempat menentu. Masakan berharga nona tjintai?"
"Entahlah, tetapi aku tak dapat menindas
perasaanku....." sahut Yu-leng-li-kui, "apalagi, ja apalagi
kau adalah murid Malaekat elmaut..." tiba2 ia berhenti
seperti telah kelepasan omong. Untung Tjian hong tak
begitu memperhatikan. "Silahkan nona pergi! Djika memang berdjodoh,
kelak kita pasti dapat berdjumpa lagi," kata Tjian hong.
"Baik, aku hendak berlalu," kata sinona.
Tetapi baru tiga empat langkah, ia berpaling lagi:
"Tidak, aku hendak menolongmu keluar dari sini!"
"Menolong aku?" Tjian-hong terkedjut. Yu-leng-likui mengiakan.
"Tidak, terima kasih atas kebaikanmu!" diluar
dugaan Tjian hong menolak.
"Meskipun kau tak mentjintai aku, namun aku
tetap tjinta padamu! Tak dapat aku membohongi diriku.
Takkan kubiarkan kau mati disini!"
"Aku lebih suka mati begini...."
"Eh, apakah kau melupakan dendam sakit
hatimu?" tegur sinona serempak.
"Tetapi aku sudah tak berdaja!"
"Fui, kau sudah lojo tak punja semangat lagi,
sungguh tak njana!" bentak Yu-leng-li-kui.
"Tidak, aku bukan loyo. Tetai aku terkena ratjun
Djwan-khi (pelemas urat). Tenagaku punah, aku tak
beda seperti orang biasa lagi. Bagaimana aku mampu
melaksanakan sakithatiku?"
"Oh, kiranja begitu. Benarkah tenagamu lenjap?"
seru sinona. Tjian hong mengiakan. "Tjobalah kau salurkan tenagamu," kata sinona.
Dengan setengah bersangsi, Tjian-hong menjalurkan
tenaga pernapasannja. Hai.. mengapa tenaganja
menjalur lagi seperti sediakala"
"Bagaimana ini?" teriaknja girang sekali.
Yu-leng-li-kui menerangkan: "Sebenarnja tidak ada
jang perlu diherankan. Memang ratjun Djwan-khi dapat
melenjapkan tenaga orang tetapi kekuatannja hanja tiga
djam sadja. Setelah tiga djam, tenaga orang akan pulih
kembali." Kini Tjian hong baru mengerti.
"Akan kuambilkan kuntji untuk membebaskan
kau!" kata sinona pula seraja terus berlalu.
Tjian hong memandang bajangan nona itu dengan
ter-longong2. Saat itu djaring2 asmara mulai menebar
dihatinja. Tiba2 orang tua bernada parau jang berada
disebelah kamar terdengar berkata pula: "Bagus budak,
redjekimu sungguh besar!"
Tjian hong gelagapan: "Ah, djanganlah lo-tjianpwe
menertawakan!" "Menertawakan" Sebenarnja ingin sekali aku
tertawa tetapi perlulah kiranja kuperingatkan padamu.
Djangan se-kali2 kau terpikat oleh rajuan budak
perempuan itu. Kalau kau tak mendengar nasehatku,
kelak kau tentu menderita sendiri!"
"Sakithati belum terhimpas, bagaimana aku
hendak bersenang-senang main tjinta!"
"Begitulah hendaknja!"
Sekalipun mulut memberi pernjataan garang tetapi
diam2 hati Tjian hong bergolak sendiri. Pikirannja: "Yuleng-li-kui begitu baik kepadaku. Andainja tak
mentjintainja, paling tidak djangan sampai melukai
hatinja!" Segera Tjian hong alihkan pembitjaraan, tanjanja:
"Apakah lo-tjianpwe tak sudi memberitahukan nama lotjianpwe jang mulia?"
"Tak usah!" sahut siorangtua.
Tjian hong terkesiap. "Tetapi djika kau suka mendengarkan, akan kututurkan sebuah tjerita jang aneh dan menjedihkan,"
kata siorang tua pula. Tjian hong terkedjut. Perhatiannja tertarik sekali
demi mendengar utjapan siorang tua. Serentak ia
menjatakan suka mendengar.
"Baik, tetapi ada sebuah sjarat!" kata siorangtua.
"Sjarat?" Tjian hong heran. Bukankah orang tua itu
sendiri jang menawarkan" Mengapa sekarang
mengadjukan sjarat" Kata orangtua itu pula: "Mudah sekali sjarat itu.
Kau tak boleh mentjeritakan pada siapapun djuga
tjeritaku ini!" Diam2 Tjian hong menghela napas longgar, sjarat
jang semudah itu, tentu sadja ia sanggup memenuhi.
"Tampaknja sjarat itu mudah tetapi harus kau
timbang dulu se-masak2nja dapat tidaknja kau
menerima. Karena sesuatu hal, mudah menjanggupi
tetapi sukar melaksanakan!" kata siorang tua pula.
Setelah merenung sedjenak, Tjian hong menjahut:
"Baik, aku tentu menjimpan rahasia itu dengan rapat!"
"Baik, aku pertjaja pada djandjimu," kata
siorangtua. Dan mulailah ia bertjerita....
26 Nirwana dan neraka "Dahulu dunia persilatan pernah timbul dua buah
partai persilatan. Jang satu partai Te-hu-pay (partai
Neraka) dan jang satu Thian-tong-pay (partai Nirwana).


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam waktu 10 tahun sadja, kedua partai itu telah
menggemparkan seluruh dunia persilatan. Jang hendak
kutjeritakan jalah tentang Te-hu-pay..."
"Lo-tjianpwe, Te-hu-pay apakah bukan Neraka dualapis itu?" Tjian hong menukas kata2 siorang tua.
"Dengarkan sadja, djangan banjak tanja!" bentak
siorangtua. Kemudian ia landjutkan bertjerita: "Nama Tehu pay termasjhur sekali. Tetapi tiada seorang-pun jang
menjangka bahwa tjiang-bun-djin (ketua) pertama dari
partai itu ternjata hanja seorang pemuda tjakap. Pemuda
itu memang djarang menampakkan diri."
"Pada suatu hari, ketika partai Siau-lim-pay
menjelenggarakan pertemuan para orang gagah dalam
dunia persilatan, pertama kali itulah ketua Te-hu-pay
menampakkan diri didepan umum. Kemuntjulannja
menggegerkan sekalian orang gagah, merontokkan hati
dara2 djelita!" "Ia hadir dalam pertemuan besar itu hanja dengan
membawa pengiring seorang katjung. Pulangnja,
ditengah djalan dia dihadang oleh berpuluh gadis jang
menjatakan tjinta padanja....
"Apakah dia menerima?" tukas Tjian hong.
"Tidak, tidak ada seorang jang diterimanja," sahut
siorangtua. "Masakan dalam sekian banjak itu tak ada jang
tjantik?" tanja Tjian hong lebih landjut.
Orangtua menghela napas: "Ada, memang ada dua
orang...." " ia berhenti beberapa djenak baru berkata
pula: "Jang seorang muntjul dan mengutjap beberapa
patah kata lalu bergegas-gegas pergi. Jang seorang
merintih-rintih membajangi!"
"Dan dia tentu gojah pikirannja," seru Tjian hong.
Orangtua mengiakan: "Benar, memang dia tergerak
hatinja." "Djelita jang manakah jang dipilihnja?" tanja Tjanhong pula.
"Andaikata kau, jang manakah akan kau pilih?"
orangtua balas bertanja. "Sudah tentu djelita jang pertama itu!" sahut Tjian
hong dengan mantap. "Pandangan siorang-gagah ternjata hampir sama,"
seru siorangtua dengan gembira, "tentu sadja dia tertarik
dengan djelita jang muntjul sebentar dan terus pergi itu.
Sajang dia tak berhasil memburu djedjak gadis djelita
itu. Sebaliknja gadis djelita jang kedua terus menerus
muntjul menjatakan tjintanja....
"Jang pergi, diburu. Jang me-minta2, tak
diatjuhkan. Demikian ketua partai Te-hu-pay jang masih
muda itu pulang kedalam markasnja dengan membawa
hati rindu. Siang malam ia terkenang pada djelita
pertama. Anak murid disebar keseluruh pendjuru untuk
mentjari djedjak dara djelita itu tetapi sampai tiga tahun
lamanja, tetap tiada herita apa2. Sebaliknja, djelita jang
kedua, tak putus asa selalu datang berkundjung dan
menjatakan isi hatinja..."
"Betapapun kerasnja batu dan badja, achirnja akan
tembus djuga oleh tjurahan tjinta," Tjian hong menghela
napas, "dia tentu akan mengalihkan perhatiannja kepada
gadis kedua itu!" Diluar dugaan siorangtua menjahut: "Tidak! Dia
tetap merindukan djelita jang lenjap setjara misterieus
itu. Terhadap djelita jang begitu nekad menjatakan isi
hatinja, ia tak mengatjuhkan sama sekali."
Tjian hong terkesiap. "Dan achirnja ia memutuskan untuk keluar
mentjarinja sendiri!" kata siorangtua pula.
"Berhasil?" "Ja, setelah mengembara kesegenap pendjuru
tanah air selama tiga tahun, achirnja ia berhasil
menemukan djelita itu. Tetapi..."
"Dia sudah menikah dengan lain orang?" tukas
Tjian hong. "Bukan!" sahut siorangtua.
"Lalu..." Tjian hong heran.
"Djelita itu sudah menutup mata..."
"Hai!" Tjian hong mendjerit kaget. Ia menghela
napas pandjang: "Sedjak dulu kala, tjinta itu selalu
berachir dengan kehampaan belaka!"
Siorangtua melandjutkan kata2nja: "Dia mentjari
makam djelita itu. Dihadapan nisan, menangislah
pemuda gagah itu dengan hati remuk rendam. Tiba2
muntjullah djelita kedua menghiburnja..."
"Sekali ini dia tentu akan menumpahkan kasihnja
kepada djelita jang setia itu. Gadis pertama jang
diidamkan sudah meninggal, perlu apa ia menjiksa
diri..." "Ah, ia datang. Lain kali kita sambung lagi!" tiba2
orangtua itu berkata dengan bisik2.
Rupanja Tjian hong benar2 kepingin sekali
mengetahui achir tjerita jang menarik itu. Serunja: "Lalu
bagaimana?" "Hai, kau mengatakan apa?" tiba2 Yu-leng-li-kui
menegurnja. Ternjata jang datang memang nona itu.
"Tidak..." Tjian hong agak gugup. Buru2 ia balas
bertanja: "Apakah kau sudah membawa kuntji?"
Yu-leng-li-kui mengiakan. Segera ia membuka
kuntji kamar itu dan suruh Tjian hong keluar. Baru
Tjian hong melangkah keluar, se-konjong2 Yu-leng-li-kui
menutuk djalan darah. Pemuda itu rubuh. Tubuhnja
tjepat disanggah sinona. kui. "Terpaksa aku harus menjiksamu!" bisik Yu-leng-li-
Walaupun tak berkutik, tetapi Tjian hong tetap
sadar pikirannja. Ia mengerti apa maksud sinona, tetapi
tak tahu apa tudjuannja. Jang dirasakannja, Yu-leng-likui membawanja melalui sebuah djalan jang amat
pandjang. Lama sekali barulah nona itu membuka lagi
djalan darah Tjian hong. "Di Neraka-lapis-kedua banjak sekali
kemungkinan2 jang tak diinginkan. Maka terpaksa
kututuk djalan darahmu, harap maafkan," Yu leng-li-kui
memberi pendjelasan. Sebenarnja Tjian-hong tak ingin meninggalkan
kamar tempat ia dipendjarakan tadi, karena ia masih
ingin mendengar tjerita siorangtua jang belum selesai.
Benar2 ia terpikat dan ingin tahu apakah ketua partai
Te-hu-pay itu djadi menikah dengan djelita kedua.
"Sekarang sudah keluar dari tempat berbahaja!"
tiba2 Yu-leng li-kui berkata.
"Terima kasih atas budi pertolonganmu nona!" kata
Tjian hong. Yu leng li-kui menghela napas: "Sampai
berdjumpa!" katanja seraja mengajun langkah.
"Harap berhenti dulu!" tiba-tiba Tjian hong berseru.
"Mengapa?" Yu-leng-li kui hentikan langkah.
"Siapakah namamu?"
"Ini....." Yu-leng-li-kui bersangsi beberapa saat baru
berkata lagi. "Tak usahlah. Tindakanku itu
kupersembahkan sebagai tanda kasihku. 2 Djanganlah
kau mengutjapkan terima kasih kepadaku!"
"Nona..." Tjian hong terharu.
"Selamat djalan!" Yu-leng-li-kui ber-linang2
mengutjapkan kata perpisahan. Tjepat ia berputar
tubuh. Sambil menghapus airmata iapun melesat pergi.
Saat itu hari masih remang. Bintang2 masih
meredup, angin malam masih berembus. Saat itu
barulah ia teringat akan paderi Goan Thong.
"Eh, kemanakah gerangan paderi itu?" pikirnja.
Segera ia berusaha untuk mentjari, tetapi tak ketemu.
Disebelah tampak sebuah batu karang. Terkilas
sesuatu pada pikirannja dan berlarilah ia menudju ke
karang itu. Apa jang didapatinja disitu membuat
darahnja mendidih. Paderi Goan Thong menggeletak mandi darah dan
dihadapannja berdiri Ping-sim-sian-tju sambil mentjekal
pedang ketjil Sambar-njawa!
"Hm, kiranja kau!" bentak Tjian hong.
Ping sim-sian-tju menjurut kaget dua langkah,
serunja: "Apa maksudmu!"
"Kau harus tak menjangkal lagi!"
"Menjangkal" Menjangkal apa?" Ping-sim-sian-tju
tertjengang. "Membunuh paderi Goan Thong dengan pedang
Sambar-njawa!" "Paderi Goan Thong" Siapakah itu?"
"Hm, pandai benar kau bermain sandiwara," diam2
Tjian hong memaki dalam hati. Lalu dibentaknja Pingsim-sian-tju dengan bengis: "Siasat nona litjin sekali!"
Kembali nona itu tertegun.
"Dialah paderi Goan Thong!" seru Tjian hong seraja
menuding tubuh sipaderi jang membudjur tak bernjawa.
"kau mempunjai dendam permusuhan apa dengan
beliau?" "O," sinona mendesah kaget, "kiranja begitu. Tetapi
aku tak membunuhnja!"
"Bukan kau" Hm bukti sudah ditanganmu
bagaimana kau masih berani menjangkal?"
Ping sim-sian tju tertawa dingin : "Tidak
membunuh ia tidak membunuh! Walaupun seorang anak
perempuan, tetapi aku selalu mendjaga kepertjajaan
kata2-ku. Tjaramu menuduh setjara serampangan ini,
entah mengandung maksud apa?"
"Mengandung maksud?" tiba2 Tjian hong tertawa
njaring, "sudah tentu mempunjai maksud lain..."
"Kau membunuh ajahku, belum sakithati itu kubalas sekarang kau sudah memfitnah aku djadi
pembunuh. Bukankah kau hendak tjari alasan untuk
membunuh aku djuga?"
"Kau salah.... !" teriak Tjian hong gusar.
"Salah" Tidak mungkin!" seru sinona. Membolakbalikkan pedang Sambar-njawa, berserulah Ping-simsian tju. "Pedang ini kuambil dari tubuh paderi Goan
Thong1" Tjian hong makin meluap melihat sikap sinona:
"Hendak kuselidiki latar belakangmu!" serunja.
"Latar belakangku?"
"Dengan membawa pedang Sambar-njawa, kau
tentu tahu djedjak Peladjar-wadjah-seribu Ko Ko-hong.
Asal kau mau memberitahukan tentang dirinja, mungkin
kau tak kubikin susah lagi!"
"Aku tak takut kau bikin susah!" Ping-sim sian-tju
menantang. "Itu lebih baik, djangan pergi, aku hendak bertanja
padamu!" seru Tjian hong.
Sahut Ping-sim-sian-tju dengan nada mengedjek:
"Mau menghalangi kepergianku, tidaklah mudah. Mau
bertanjapun tergantung aku suka mendjawab atau
tidak!" "Kang-ou-bi djin dan Malaekat-elmaut apakah kau
jang membunuh?" seru Tjian hong.
"Tak perlu kudjawab pertanjaanmu itu."
Melihat sikap dan nada sinona, makin keraslah
dugaan Tjian-hong bahwa nona itulah jang membunuh
mereka. "Mau mau mendjawab atau tidak?" serunja
menegas. "Tidak mau mendjawab tetap tak mau mendjawab.
Kau berani memaksa aku?" sahut sinona.
"Bukan hanja memaksa melainkan hendak
membunuhmu!" Tjian hong makin beringas
Gundu mata sinona ber-kitjup2 mengandung
pantjaran kasih. Tetapi pemuda jang diidamkan itu,
bukan menjambut dengan mesra sebaliknja malah
hendak membunuhnja. Ping-sim-sian tju seorang dara jang berhati tinggi;
Segalanja ia ingin diatas. Sedjak ketuanja dibunuh Tjian
hong, gerombolan Bu-tjeng-pohpun bubar. Ping-simsian-tju berkelana hendak menuntut balas. Tetapi entah
bagaimana, api pembalasan dendam se-olah2 tersiram
oleh rasa asmara. Pernah ia membulatkan pikiran
hendak menjatakan isi hatinja kepada Tjian hong, tetapi
kematian ajah dan pribadinja sebagai seorang perawan,
membatasi njalinja.... Kini Tjian hong hendak membunuhnja. Dara itu
putus asa. Dia merasa tak dapat melampiaskan sakit
hati dan tidak berani menjatakan isi hatinja. Pikirnja,
lebih baik ia mati ditangan pemuda itu.
"Bunuhlah aku asal kelak kau tak menjesal!"
serunja serta merta. "Menjesal?" Tjian hong menggeram, "Tidak! Kau
membunuh ibu dan guruku, masih murah kalau aku
hanja membunuhmu seorang!"
Menggigillah tubuh sidara. Tiba2 ia tertawa
hambar: "Bunuhlah aku, bunuhlah...."
Dara itu melangkah madju. Rambutnja terurai
lepas dan seperti orang hilang kesadarannja, ia tertawa2.
"Ha, ha, haa.... mati ditangan orang jang kutjintai adalah
bahagia.... ha, ha, haa...." Nadi tertawanja penuh rintih
kesedihan. Tjian hong hangus terbakar api kemarahan. Ia lupa
segala apa. Ditindjunja dada nona itu se-kuat2nja.
"Mampus kau wanita ganas!"
Sama sekali nona itu tak mau menghindar. Ia
menerima dengan tenang ketika serangkum sinar hitam
jang mengandung tenaga seperti gunung Thaysan
mendampar dadanja. Bluk... terdengar letupan keras
dan tubuh ping-sim-sian-tjupun terdampar sampai
belasan tombak djauhnja. Nona itu rubuh ditanah.
Karena anggauta dalam tubuhnja berantakan, tak dapat
ia bersuara apa2 lagi... Tjian hong terkedjut. Djelas diketahuinja nona itu
tak mau menangkis maupun menghindar. "Aneh,
mengapa ia tak mau melawan sama sekali?" pikirnja
dengan heran. Tjepat ia lontjat menghampiri: "Mengapa kau tak
melawan?" Ping-sim-sian tju kitjupkan mata. Katanja dengan
lemah: "Lebih baik bunuhlah aku! Pukullah sekali lagi!'
Tersirap hati Tjian hong melihat keadaan nona itu:


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau merasa dosamu tak berampun?"
Sahut Ping sim sian-tju dengan nada serat: "Sedjak
lahir aku djarang membunuh orang. Aku senantiasa
bersikap diam terhadap orang. Menurut hemat-ku, aku
tak pernah berbuat djahat. Siapa tahu, sikapku jang
dingin itu telah dihambarkan oleh asmara... ah, sungguh
tak kira!" "Apakah bukan kau jang membunuh Kang-ou-bidjin dan Malaekat-elmaut?" Tjian hong gugup.
"Bahkan paderi Goan Thong itupun bukan aku jang
membunuh!" kata Ping-sim-sian-tju.
Seketika teringatlah Tjian hong bagaimana tempo
hari iapun dituduh membunuh orang (Siau-hun"li ) oleh
si Mulut-besi Tio Sam. Ah, betapalah perasaan orang
jang dituduh itu. "Djadi kau.... aku salah faham!" serunja gemetar.
"Kau tak salah!" sahut Ping-sim-sian-tju.
"Bagaimana lukamu?" ter-gopoh2 mengangkat
tubuh sinona. Dengan napas makin lemah, Ping-sim-sian-tju
mendjawab: "Urat2 tubuhku putus, darah menghambur
ke-mana2. Sekalipun tabib sakti Hoa To hidup kembali,
djuga tak mampu menjembuhkan!"
Kata2 itu menjajat hati Tjian hong. Salah faham itu
tak tjukup hanja diganti dengan djiwa. Ia benar2
berdosa! "Djangan sedih, aku puas mati ditanganmu!" kata
Ping-sim-sian-tju pula. "Nona..." tak dapat Tjian hong mengutarakan
hatinja jang hantjur luruh.
"Maukah kau memanggilku Ling-moay?" Ping-simsian-tju sedikit tengadahkan kepala.
Mulut Tjian hong serasa terkantjing rapat.
"Sebelum aku menutup mata, maukah kau
menjebut sepatah kata itu?" kata sinona pula.
Dengan penuh permintaan maaf dan penjesalan
berkatalah Tjian-hong: "Ling.... Ling"moay!"
Wadjah nona itu berseri bahagia. Digenggamnja
tangan Tjian-hong. Wadjahnja makin putjat, napaspun
bertambah lemah... Betapa hantjur hati Tjian hong sukarlah
dibajangkan. Tak tahu ia apa jang harus dilakukan
menghadapi saat jang memilukan itu.
"Nona...." serunja seraja tjepat2 menempelkan
telapak tangan ke-ubun2 kepala Ping-sim-sian"tju.
Beberapa saat kemudian tampak sinona tersadar
pula. "Nona, aku tentu berusaha untuk menolongmu.
Ping-sim-sian-tju geleng2 kepala: "Pertjuma
djiwaku hanja tinggal beberapa detik sadja. Kuharap kau
dapat menemukan pembunuh paderi Goan Thong. Dan,
aku masih mempunjai sebuah permintaan lagi,
permintaan jang terachir...."
Tjian hong menggenggam erat tangan sinona,
serunja: "Silahkan nona mengatakan!"
Ping-sim-sian-tju ter-batuk2 sedjenak, kemudian
bibirnja ber-gerak2 lemah "Aku.... aku... aku tjinta
padamu!" Gemetar tubuh Tjian hong seketika. Ditjintai orang
adalah bahagia. Tetapi mengetahui hal itu dalam saat2
jang sedemikian menjedihkan, benar2 membuatnja
seperti orang gila. Dipandangnja wadjah nona itu dengan
terlongong-longong.... "Maukah kau memeluk aku agar aku dapat pergi
dengan tentram?" bisik Ping-sim-sian-tju.
Tjian-hong bersangsi... 27 Nirwana Walaupun mempunjai setitik tjurahan tjinta tetapi
tjintanja itu lebih bersifat suatu rasa kasihan dan
penjesalan dosa. Djika perasaan Tjian-hong itu disebut
suatu rasa tjinta, mungkin hal itu agak dipaksakan.
Tetapi djelas betapa besar kasih Ping-sim-sian-tju
kepada Tjian hong. Berulang kali nona merintihkan isi
hatinja. Betapapun keras hati Tjian hong, achirnji lumer
djuga.... "Tjian hong," bisik Ping-sim-sian-tju, "idjinkanlah
kupanggil namamu. Pertama kali bertemu padamu,
hatiku tergerak oleh sikapmu jang angkuh. Dan pada
pertemuan jang kedua kalinja, ternjata kau mendjadi
pembunuh ajahku. Bingung aku memikirkan, tjinta atau
bentjikah seharusnja aku kepadamu! Tetapi setelah
kubuka isi hatiku dihadapan guruku, barulah aku
menginsjafi bahwa aku tak dapat membohongi perasaan
hatiku. Guruku djuga setudju. Tetapi kini, ah..."
"Leng hou Ling, sekarang djangan harap kau dapat
meloloskan diri!" se-konjong2 kata2 Ping-sim-sian-tju
terputus oleh sebuah suara bernada dingin dari arah
belakang. Tjian hong terkedjut berpaling kebelakang. Ah,
siorang badju kelabu jang mukanja berselubung kain
kelabu. "Apa maksudmu?" seru Tjian hong.
"Ini bukan urusanmu, harap djangan turut
tjampur!" sahut siorang berselubung muka.
"Tetapi aku tetap hendak turut tjampur!" djawab
Tjian-hong. "Hm, djika kau bersedia mewakilinja, kaupun akan
kubunuh sekali!" Melihat sikap orang jang ganas, Tjian hong
menduga orang itu tentu mempunjai dendam besar
dengan Ping-sim sian-tju. Tetapi untuk membuktikan
dugaannja, ia mengadjukan pertanjaan: "Kau mempunjai
permusuhan apa dengan nona itu?"
"Dia harus kubunuh!" seru orang itu.
"Tetapi kau harus mengatakan alasannja dulu!"
seru Tjian-hong. "Dia seorang perempuan ganas...."
"Ganas?" Tjian hong terkedjut.
"Benar, dia membunuh njonjah Si Kiok-tjiang,"
sahut orang itu. Kedjut Tjian hong sampai menjurut mundur dua
langkah. Bukan karena menjajangkan kematian isteri Si
Kiok-tjiang si Pukulan-nomor-satu-didunia itu,
melainkan djika tuduhan orang kepada Ping-sim sian-tju
itu benar maka pembunuh dari Kang-ou bi-djin,
Malaekat elmaut, Siau-hun-li dan paderi Goan Thong,
adalah Ping-sim-sian-tju!"
"Benarkah itu?" seru Tjian hong menegas.
"Aku menjaksikan dengan mata kepala sendiri.
Bukan suatu fitnah!" sahut orang itu dengan gusar.
Tiba2 Ping-sim-sian-tju menjelutuk: "Tjian-hong
djangan pertjaja padanja...."
"Perempuan hina, banjak sekali muslihatmu tetapi
djangan harap dapat lolos dari kebenaran!" bentak orang
berselubung muka itu. Tjian-hong bingung. Memang iapun melihat tadi
Ping-sim-sian-tju mentjekal pedang Sambar-njawa. Dan
djika mendendam kemarahan, masakan orang
berselubung muka itu hendak mati2an membunuhnja!"
Benarkah Ping-sim-sian-tju seorang pembunuh
besar?" ngeri Tjian hong membajangkan! Diam2 Tjian
hong bersjukur bahwa tadi ia tak kena diraju oleh nona
itu. Seketika rasa kasihan dan menjesal tadi, hilang
lenjap berganti dengan kemarahan jang me-luap2....
"Lenghou Ling, kau sungguh mengerikan!" tiba2
berserulah Tjian hong dengan murka.
Napas nona itu ter-engah2 keras. Luka2 fatal
(maut) jang diderita tak memungkinkan ia memberi
pendjelasan pandjang lebar. Namun dengan
memaksakan, tenaga jang masih ada, ia berseru sekuat2nja: "Tjian hong, kau tertipu. Dia adalah..."
Dees.... se-konjong2 orang berselubung muka
muka lepaskan pukulan. Tubuh Ping-sim-sian-tju
mentjelat sampai tiga tombak djauhnja. Tubuhnja
hantjur lebur, djiwanja melajang setjara mengenaskan
sekali! "Mengapa kau turunkan tenaga ganas?" Tjian hong
lontjat membentak. "Perempuan sematjam itu tak perlu dikasihani!"
sahut siorang berselubung muka atjuh tak atjuh.
"Siapakah saudara ini?" tanja Tjian-hong.
"Perlu apa banjak tanja. Tjukup kau ingat sadja
bentuk dandananku ini!"
"Tetapi apa jang saudara lakukan saat ini tentu ada
maksud tertentu!" "Dosa Lenghou Ling masih belum himpas kalau
hanja dibunuh mati sadja!"
"Tetapi utjapanmu samar2 bisa menimbulkan
ketjurigaan orang." Rupanja orang berselubung muka tak sabar
djawabnja: "Kelak kau tentu mengetahui. Urusan lain
orang, tak perlu banjak ikut tjampur. Lebih baik kau
djaga keselamatan dirimu sendiri!"
"Apa maksud nasehat saudara ini?"
"Demi untuk kebaikanmu!"
"Sukalah saudara mendjelaskan."
"Ah, itu sudah lebih dari tjukup!"
"Harap saudara membuka selubung muka
saudara." Orang itu menggeleng: "Mengapa kau hendak
mendesak orang dalam kesukaran" " Memandang
kelangit orang itu berkata pula: "Aku harus pergi,"
katanja seraja ajunkan tubuh. Sekali bergerak ia sudah
melesat melajang 7-8 tombak djauhnja....
"Tunggu!" Tjian hong tak puas dengan
keterangannja. Iapun tjepat lontjat menghadang.
"Siapa jang mampu menghalangi kepergianku?"
seru orang itu dengan tjongkak. Dan bagaikan seekor
ikan lele, ia meletik 10an tombak djauhnja. Ketjepatan
geraknja benar2 mengagumkan sekali.
Beberapa kali bertemu dengan orang itu, Tjian
hong selalu seperti diselubungi oleh kabut keanehan.
Gerak gerik orang itu penuh dengan tanda tanja jang
serba misterieus. Dan kesan jang diperoleh Tjian hong,
orang itu se-olah2 mengandung suatu bajang2
mengerikan. Belum Tjian-hong dapat mengambil putusan baik
mengedjar orang itu atau tidak, sekonjong-konjong dua
sosok bajangan putih muntjul disebelah muka. Tjepat
sekali kedua bajangan itu ber-lari2 mendatangi. Den
kiranja mereka adalah dara2 badju putih jang rambutnja
disanggul matjam dajang2 istana.
Tjian hong terkedjut. Kedua dara itu baru berumur
disekitar 15-16 tahun tetapi telah memiliki ilmu
meringankan tubuh jang sedemikian hebatnja.
Tjepat sekali kedua dara itu tiba dihadapan Tjian
hong. Mereka ber-putar2 mengelilingi Tjian hong. Dari
udjung kaki sampai keatas kepala habis dipandanginja.
"Siapa kau?" seru dara jang berdiri disebelah kiri.
Nadanja angkuh, menimbulkan kesan buruk.
Tjian hongpun seorang pemuda tinggi hati,
sahutnja: "Apakah kau tak kenal kesopanan?"
Dara jang berdiri disebelah kanan denguskan
hidungnja: "Ini sudah merupakan kehormatan bagimu!"
"Menghormat aku?"
"Hm, kami berdua orang partai Nirwana. Tak
pernah kami diperintah untuk berlaku merendah pada
orang." Tjian hong terbeliak mendengar keterangan itu.
"Partai Nirwana?" ia menegas.
"Ja!" "Apa maksud nona berdua datang kemari?"
"Katakan dulu siapa namamu?" seru dara jang
disebelah kiri. "Mengapa?" "Untuk menentukan pertimbangan, apakah kami
berdua perlu menerangkan kedatangan kami kepadamu
atau tidak." "Djika tak memberitahukan namaku?" sengadja
Tjian hong memanas. "Hm, kau tjari sakit sendiri!"
Sabut Tjian hong dengan lantang: "Aku djusteru
hendak mentjari sakit!"
"Hm, arak wangi kau tolak sebaliknja kau minta air
ratjun. Baik, terimalah pukulanku ini!" seru dara badju
putih seraja ulurkan tangan mentjengkeram muka Tjian
hong. Tjian hong mengegos kesamping, tetapi tjepat sekali
ia dikedjutkan oleh suara tertawa mengedjek dan
bajangan sidara jang merapat. Dengan gugup Tjian hong
menangkis. Plak, dua tangan berbentur, letupan menggelegar
dan keduanja terkedjut. Sidara tersurut mundur 6-7
langkah, wadjahnja putjat lesi. Tjian hong tersurut
setengah langkah, dahinjapun mengutjur keringat...
"Hebat benar pukulanmu!" dengus dara badju
putih itu. Tjian hong tetap terpukau. Djelas kepandaian dara
itu menjamai seorang djago silat kelas satu. Pada hal
melirik dandanannja, dara itu menjerupai hamba sahaja.
Djika budjangnja sedemikian sakti, bagaimanakah nanti
dengan madjikannja" "Nona djuga lihay!" Tjian-hong tertawa.
"Tetapi kalah dengan kau," dara itu marah, "kami
telah mendapat tugas dari bengtju (madjikan) daripada
nanti pulang mendapat hukuman, lebih baik kami
bunuh diri sadja!" " kata2 itu ditutup dengan gerak
serempak dari kedua dara jang hendak menghantam
umbun2 kepalanja sendiri....
"Tunggu!" tjepat2 Tjian hong mentjegah.
"Apa kemauanmu?" seru sidara.
"Djika kalian mau mengatakan maksud tudjuan
kalian kemari, barulah aku mengatakan siapa namaku,"


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balas Tjian hong. Kedua dara itu saling berpandangan dengan ragu.
Achirnja dara disebelah kanan berseru: "Kami
diperintahkan bengtju untuk mentjari seseorang!"
"Siapakah bengtju kalian?"
"Ketua partai Thian-tong-bun!"
"Mengapa disebut bengtju?"
Bengtju berarti ketua perserikatan. Biasanja ketua
sebuah perkumpulan persilatan disebut bengtju.
"Karena partai Thian-tong-bun (Nirwana)
menguasai dunia persilatan maka sebutan jang tepat
bagi ketua kami jalah bengtju bukan pangtju."
Diam2 Tjian hong memaki ketjongkakan partai
Thian-tong-bun. "Aku tak kenal dengan bengtju kalian," kata Tjian
hong, "sudah tentu orang jang kalian tjari itu bukanlah
aku. Oleh karena itu kalianpun tak perlu menanjakan
namaku!" terus ia berputar tubuh hendak angkat kaki.
Tetapi kedua dara itu tjepat melesat kemuka: "Kau
tak pegang djandji!"
"Tentu sadja aku menepati djandji!" balas Tjian
hong. "Kalau begitu katakanlah siapa namamu!"
Tjian hong terkesiap. Terpaksa ia menjebutkan
siapa namanja. "Ko Tjian hong?" berserulah serempak kedua dara
itu. Tjian hong djuga kaget, serunja: "Apakah palsu"
Sudahlah, aku hendak pargi!"
Kedua dara itu tjepat mentjegah: "Jang ditjari
bengtju djusteru kau!"
Tjian hong terbelalak: "Mentjari aku" Tidak
mungkin!" "Memang benar kau!" seru sidara dengan bersungguh2.
"Tetapi aku tak kenal dengan bengtju kalian!"
masih Tjian hong membantah.
"Itu bukan soal, asal bertemu muka kau sudah
kenal," sahut sidara.
"Dimanakah bengtju kalian?"
"Tak djauh, mari ikut kami," kata sidara dengan
tertawa hambar. Tjian hong bersangsi. "Takut?" tegur sidara.
"Aku tak kenal kata takut!"
"Bagus, mari ikut!" dara itu segera berdjalan
beriringan. Sepintas pandang mereka seperti dua ekor
kupu jang beterbangan. Saat itu Tjian hong bagaikan orang naik
dipanggung harimau. Dari pada turun dimakan binatang
buas itu, lebih baik ia landjutkan naik terus. Siapa tahu
akan terdjadi perobahan. "Hai, untung tak dapat diraih, tjelaka tak dapat
dihindari. Biarkan gunung golok hutan pedang, aku
tetap hendak menerdjang," achirnja Tjian hong pun
mengikuti. Namun tak henti2nja benak Tjian-hong
bertanja: "Siapakah gerangan ketua Thian tong-pay itu"
Mengapa dia hendak mentjari aku"..."
Mereka mendaki kepuntjak gunung dan achirnja
kedua dara itu menerobos sebuah hutan. Tjian hong
tetap mengikuti dibelakang mereka. Tiba2 terdengar
suara njanjian diiring oleh tetabuhan merdu. Tjian hong
terkesiap. Ketika memandang kemuka, tampak sebuah
biara besar. Sebuah bangunan biara jang besar dan
megah. Kedua dara itu menudju kebiara.
Tjian hong memperhatikan, suara musik berasal
dari biara. Nadanja penuh dengan irama kegembiraan.
Sama sekali bukan njanjian keagamaan seperti lazimnja
dibiara atau geredja. Tjepat sekali mereka tiba dimuka biara dan
berpaling dara itu memberi pesan Tjian hong:
"Tunggulah sebentar disini!"
Tjian hong tertegun. Dipandangnja biara itu dengan
penuh pertanjaan. "Bengtju kami sedang menikmati tari2an dan
njanjian. Setelah selesai barulah kita menghadap!" dara
itu menerangkan. Walaupun tjuriga, namun Tjian hong tak mau
mengutarakan. Memandang kedalam ruang biara,
tampak berpuluh gadis2 penari tengah asjik menari
diiring irama seruling dan tetabuhan jang merdu.
Ditengah ruangan tampak seorang wanita setengah
tua. Wadjahnja berselubung sutera hitam sehingga tak
kelihatan djelas. Disisi kanan kirinja, tegak pengawal
bersendjata pedang! Beberapa saat kemudian, suara musikpun
berhenti. Rombongan gadis2 penari berhamburan
mengundurkan diri. Salah seorang dara putih jang
membawa Tjian hong segera masuk menghadap wanita
jang disebut bengtju itu.
"Hatur beritahu bahwa Ko Tjian hong sudah
datang," katanja dengan penuh hormat
Wanita jang disebut bengtju itu mendengus dingin:
"Dimana dia sekarang?"
"Diluar biara."
"Bawa masuk," perintah wanita bengtju itu.
Dara badju2 putih segera keluar. Rupanja Tjian
hong tak sabar menunggu, ia mendahului melangkah
masuk menudju ketempat bengtju wanita itu.
"Hai, djangan kurang adjar! Mengapa tak
menghaturkan hormat kepada bengtju?" salah seorang
lelaki setengah umur jang berbadju kuning emas,
serentak berbangkit. Tjian hong kerutkan alis: "Bengtju" Sajang aku
bukan anggauta persekutuanmu djadi tak terikat dengan
peraturan itu!" Lelaki setengah umur itu marah sekali. Serunja
garang: "Dalam waktu tak lama mendatang ini partai
Thian tong-bun bakal menguasai dunia persilatan. Djika
kau hidup didunia persilatan daerah Tiong-goan, kau
harus memberi hormat kepada bengtju!"
"Garang benar!" seru Tjian hong.
Saking marahnja orang lelaki setengah tua segera
hendak mentjabut pedang tetapi ditjegah bengtjunja:
"Djangan bikin gaduh!"
Lelaki setengah tua itu mengkeret njalinja. Ia
duduk lagi tetapi matanja masih memandang ber-api2
kepada Tjian hong. Karena wanita jang dipanggil bengtju itu
mengenakan selubung muka warna hitam, tak dapatlah
diketahui perubahan air mukanja. Tjian hong
menganggap wanita itu penuh misterieus.
"Apakah kau Ko Tjian hong?" tegur bengtju wanita
itu. Tjian hong tertegun, sahutnja: "Sudah tahu
mengapa masih bertanja pula?"
Beberapa saat bengtju wanita itu tertegun
kemudian serunja pula: "Apa hubunganmu dengan Ho
Sian-an?" "Ibuku!" "Dengan Ko Ko-hong?"
Bahwa ternjata wanita itu tahu banjak tentang
orangtua Tjian hong, membuat pemuda itu segan
menjahut pertanjaannja. Tetapi ketika ia beraduan
pandang dengan wanita itu, tanpa disadari segera ia
menjahut: "ajahku!"
Bengtju wanita itu menerima djawaban Tjian hong
dengan tenang. Tawar2 sadja ia bertanja pula: "Mereka
tentu hidup bahagia."
Seketika wadjah Tjian hong berobah duka.
"Bagaimana" Apakah ajahmu menderita?" agak
terkedjut bengtju wanita itu memperhatikan perobahan
muka Tjian hong. "Bukan begitu."
"Habis, kenapa kau bermuram durdja?" tanja
bengtju wanita lagi. Resah djuga Tjian-hong menerima pertanjaan
sematjam itu. Ia balas bertanja: "perlu apa kau
menanjakan hal itu?"
Bengtju itu setitikpun tak mengira akan menerima
pertanjaan begitu. Ia terkesiap. Sampai beberapa saat ia
merenung. Tiba2 ia berkata seorang diri: "Mengapa aku
perlu menanjakan urusan mereka" Perlu apa aku
memperhatikan mereka" Aku seorang patah hati..."
Tiba2 ia mengangkat kepala memandang Tjianhong. "Apakah kau suka mendjawab pertanjaanku tadi?"
"Mengapa aku perlu mendjawab pertanjaanmu?"
lagi Tjian-hong mengembalikan pertanjaan dengan
bertanja. Tetapi setelah berfikir sedjenak segera ia
menjusuli kata2 lagi: "Siapakah kau" Apa
kepentinganmu menanjakan keadaan orangtuaku?"
Wanita itu diam. Sebaliknja lelaki berbadju kuning
emas jang berada disebelah kirinja segera menjahut:
"Beliau adalah bengtju partai Thian-tong-bun."
"Bengtju, sekali lagi bengtju," Tjian hong
mendengus, "masakan tak punja she dan nama..."
Lelaki badju kuning emas itu membentakkan
makian tetapi ditjegah lagi oleh bengtju wanita.
"Tidakkah kau merasa bahwa sikapmu ini agak
keterlaluan?" tegur wanita itu dengan nada ramah.
Tjian hong tersipu2 tak dapat menjahut.
"Betapapun halnja, usiaku tentu seimbang dengan
ajahmu djadi aku dapat kau anggap sebagai orang jang
lebih tua. Apakah memang begitu sikapmu djika
berhadapan dengan orangtua?" damprat wanita itu
dengan halus, "apa kepentinganku dengan bertanjakan
hal2 itu kepadamu" Ah, mengapa kau tak mau
memandang dari segi2 kebaikan" Misalnja mengapa tak
terlintas dalam dugaanmu bahwa aku ini sahabat dari
ajah bundamu" Ja, mengapa kau tak mempunjai
anggapan begitu?" Tjian hong tertawa dingin, "Hati manusia sukar
diketahui. Apa jang dapat mejakinkan diriku kau
mengandung maksud baik" Ditilik dari sifat orang
persilatan jang ingin berkuasa, rasanja sukar untuk
memaksakan anggapan baik terhadap dirimu!"
Sekalian orang jang hadir dalam ruang biara itu
berobah mukanja. "Tahukah kau siapa aku ini?" diluar dugaan
bengtju wanita itu bertanja dengan tenang dan ramah.
"Djusteru hal itu jang hendak kumohonkan
keterangan padamu," sahut Tjian hong.
Kata wanita itu, "Aku jalah...."
"Bengtju, dalam segala hal harap djangan
tinggalkan pertimbangan jang masak!" tiba2 lelaki
berbadju kuning emas menukas.
Rupanja bengtju wanita itu tersadar. Buru2 ia
alihkan kata: "siapa diriku, belum saatnja kukatakan
padamu. Tetapi dapat kuterangkan sedikit, bahwa
pertanjaanku tentang ajahbundamu itu se-kali2 tidak
mengandung maksud buruk!"
Tjian hong terkesiap. Melihat bengtju itu berkata
dengan-nada tersekat-sekat dan sikap kedua lelaki
berbadju kuning emas terhadap dirinja (bengtju wanita),
diam2 Tjian"hong bersangsi.
"Perlu apa kau menanjakan ajahku?" tanjanja.
"Memikirkan seorang kawan lama bukan suatu
kedjahatan!". "Memikirkan?" "Ja, memikirkan dalam arti bermaksud baik," sahut
wanita. "Kau kenal ajahku?" Tjian hong makin heran.
Wanita itu tertawa: "Mengapa tidak" Belasan tahun
bergaul....." tiba2 ia merasa kelepasan omong dan segera
menjusuli kata2: "hubungan tjukup lama dan erat.
Disamping itu djuga mempunjai sedjarah asal usul jang
dalam!" "Tetapi tak pernah mamah membitjarakan hal itu
kepadaku," sahut Tjian hong.
Bengtju wanita itu agak terkedjut: "Ibumu tak
pernah membitjarakan partai Thian-tong-bun?"
Tjian hong mengangguk. Selubung muka wanita itu agak bergetar. Mulutnja
berkemak-kemik pelahan: "Dia sangat bentji
kepadaku...." Rupanja Tjian hong tak dengar utjapan wanita itu.
Sedjenak merenung, ia berkata pula : apakah kau
sungguh tak tahu tentang keadaan ajahku?"
"Kalau tahu masakan bertanja lagi?"
"Dia ditawan musuhnja!"
"Apa?" bengtju wanita berseru kaget.
"Belasan tahun jang lalu, ketika aku mulai
mengerti urusan dunia, tak pernah kuberdjumpa dengan
ajah. Dia ditawan dan disiksa di Neraka-19 lapis!"
Bengtju wanita itu serentak berbangkit: "Neraka19-lapis?" " ia bergerak kaget.
"Hm...." "Kau sebagai puteranja mengapa tak berusaha
menolong ajahmu?" Sahut Tjian hong dengan tegas: "sampai saat ini
aku belum mengetahui tempat jang sebenarnja dari
Neraka-19-lapis itu. Kalau kau tahu dan suka
memberitahukan padaku, aku akan berterima kasih
padamu seumur hidup!"
Djawab bengtju wanita itu: "Neraka"19-lapis itu
merupakan pusat dari Neraka2 jang serba rahasia.
Ketjuali anakmuridnja dan beberapa tokohnja jang
penting, tak mungkin orang dapat mengetahui tempat
gila itu!" Tjian hong ketjewa. Sebuah helaan napas pandjang
dihembuskan. "Tetapi tak perlu kau putus asa. Akan kubantumu,"
kata bengtju wanita.

Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sangat berterima kasih sekali," serta merta
Tjian-hong menghaturkan terima kasih.
Bengtju wanita itu hendak berkata lagi tetapi lelaki
badju kuning emas jang berada disisi kanannja segera
mengerut wadjah bengis, tukasnja: " Bengtju, harap
djangan lupa akan tugas jang kita lakukan!"
Wanita itu terkesiap. Tetapi tjepat ia menjelutuk
bengis: "Aku sudah tahu, tak usah kau ribut2!"
Tetapi lelaki badju kuning emas itu tak
menghiraukan. Dingin2 ia berseru: "Hamba hanja
memperingatkan bengtju sadja!" " Habis berkata ia
melengoskan muka. Saking marahnja, tubuh bengtju wanita itu
menggigil. Sampai beberapa saat ia tak dapat berkata
apa-apa. Suasana dalam ruang biara itupun hening lelap.
Tjian hong berdiri dengan perasaan rikuh. Segera ia
menghadap pada bengtju itu dan menjatakan hendak
pergi: "Maafkan, aku mohon diri," katanja seraja terus
berputar tubuh dan melangkah keluar.
Seketika berubahlah wadjah lelaki badju kuning
emas itu. Serentak tangannja hendak menghunus
pedang. "Tunggu!" tiba2 bengtju wanita itupun berseru
kepada Tjian hong. Tjian hong terkesiap, ia berpaling: "apakah bengtju
memanggil aku?" "Ja." "Bengtju hendak memberi pesan apa lagi?"
Wanita itu termenung sampai beberapa saat
seolah2 hendak mengumpulkan keberaniannja.
"Bila seorang telah menjesal atas kesalahannja, kau
anggap dapat memaafkannja?" achirnja meluntjurlah
kata2 dari mulut wanita itu.
Tjian hong heran mendapat pertanjaan sematjam
itu. Setelah tertegun sedjenak, berkatalah ia: "Agama
Budha menjerukan agar orang lekas melepaskan golok
dan ganti mentjari kesutjian. Seorang djahat mau
memperbaiki kesalahannja itulah suatu hal
menggembirakan dan patut dihargai. Sudah tentu
pantas dimaafkan!" "Ah, kalau begitu legalah hatiku!" kata bengtju
wanita itu. Tiba2 lelaki badju kuning emas menjela lagi:
"Apakah maksud bengtju mengutarakan hal2 jang tiada
penting hubungannja itu?"
" Toan Bok-yu, djangan ikut tjampur urusanku!"
bentak bengtju wanita itu.
Kalau tadi lelaki badju kuning itu selalu diam
apabila disentil kali ini berani balas membentak: "Beng
tju, harap djangan lupakan perintah Thay-siang
bengtju!" Tjian hong menduga tentu ada persoalan diantara
bengtju wanita dengan kedua lelaki badju kuning emas
itu. Tetapi ia tak dapat menjelami persoalan itu. Agaknja
bengtju wanita itu keder terhadap lelaki badju kuning
emas itu. Segera ia bertanja pula kepada Tjian-hong :
"Apakah kau murid Malaekat-elmaut?"
Tjian hong mengiakan. "Malaekat-elmaut memiliki ilmu Pukulan Hitam.
Kau tentu sudah mewarisinja!"
"Tetapi masih kalah djauh dengan suhu," sahut
Tjian hong. Bengtju wanita itu hendak bitjara tetapi tak djadi.
Hanja bertanjalah ia: "Ada sebuah permintaan, entah
kau suka meluluskan atau tidak?"
"Silahkan," Tjian hong mengangguk.
"Salah satu dari tiga kitab pusaka didunia jaitu
kitab ilmu Pukulan Hitam, tentu telah diwariskan
gurumu kepadamu. Kau sudah mempeladjari ilmu
pukulan itu. Sukakah kau memindjamkan kitab itu
kepadaku?" Tjian hong kerutkan alis. "Hm, kiranja hatimu
djuga tak bersih," pikirnja.
Melihat Tjian hong diam sadja, bengtju wanita
mengira pemuda itu tak mau meluluskan. Segera ia
hendak memberi nasehat tetapi tiba2 lelaki badju kuning
emas jang berada disisi kiri sudah serentak berbangkit
dan berseru garang: "Budak, kata2 pindjam itu sudah
suatu sikap memberi muka kepadamu. Kau keberatan
atau tidak, masakan kau berani menolak!"
"Pusaka didunia hanja wadjib dimiliki oleh orang
jang berbudi luhur. Tetapi manusia2 sombong seperti
kau, bagaimanapun tak nanti aku sudi memindjami.
Tjobalah kau bisa berbuat apa kepadaku?" Tjian hong
berseru marah. Tangan kiri orang berbadju kuning emas serentak
mentjabut pedang dan berserulah ia dengan gusar: "Aku
Toan Bok-tjo hendak mentjoba berapakah hebatnja
kepandaianmu!" Memang Tjian hong muak melihat sikap kedua
lelaki badju kuning jang mengapit bengtju wanita itu.
Begitu melihat Toan Bok tjo menghampiri, tjepat ia
bersiap: "Bagus, aku memang ingin menerima
peladjaranmu!" Tiba2 lelaki badju kuning jang berada disebelah
kanan bengtju wanitapun melesat kemuka. Kiranja
orang itu adalah Toan Bok-yu. Dengan mata ber-api2
Toan Bok yu menghunus pedang ditangan kanan.
Sedang Toan Bot tjo mentjekal pedang ditangan kiri.
Keduanja madju menghampiri Tjian hong.
Toan Bok-yu mendemontrasikan pedangnja dengan
sebuah gerakan jang menimbulkan tiga gulung sinar
pedang. "Kami berdua saudara Toan, disebut sebagai Thiante-song kiam. Kau berani menjambut?" serunja dengan
tjongkak. Thian-te song kiam artinja sepasang pedang
mas djagoi dunia. "Silahkan madju!" Tjian hong menjambutnja. Kedua
saudara Toan itu tertawa iblis: "Hm, kau memang bosan
hidup!" Dari kanan dan kiri serempak menghambur sinar
putih bergemerlapan kearah Tjian-hong.
Mau tak mau Tjian-hong terkedjut djuga
menjaksikan pemainan pedang mereka jang luar biasa
hebatnja. Tjepat ia berlintjahan menghindar.
Tetapi Thian-te-song-kiam benar2 merupakan
sepasang sinar pedang maut. Bagaikan sepasang
bianglala, kedua sinar pedangpun menjamhar kabawah
dan atas. Jang satu membabat dada jang satu memapas
kaki. Tjian hong benar2 kaget. Baru ia berhasil
menghindari, serangan lain sudah menaburnja. Tjian
hong bersuit njaring Ia mentjelat kesamping. Tangannja
kanan melontarkan sebuah pukulan kearah kepala Toan
Bok-tjo. Demikian dalam ruang biara jang tjukup luas,
terdjadilah pertempuran dahsjat antara tiga sosok
bajangan jang berkelebatan matjam bianglala
berpagutan. Bengtju wanita duduk sambil mengawasi
pertempuran itu dengan penuh perhatian. Tiba2 ia
mengeluh kaget dan berbangkit dari tempat duduknja.
Hatinja tegang sekali. Kiranja pedang kedua saudara Toan itu bagaikan
bajangan jang selalu melekat kemanapun Tjian hong
bergerak. Baik menghindar kekanan maupun menjingkir
kekiri, Tjian hong tetap d bajangi sinar pedang musuh.
Setelah djurus ketiga dari ilmu pedang Thian-lui-te tiam,
Tjian hong benar2 terantjam bahaja. Itulah jang
membuat bengtju wanita tegang....
Tjian hong menampar dan sinar pedangpun
menghamburnja pula. Tiba2 telinga Tjian-hong terngiang
oleh suara halus matjam ngiang njamuk: "Menjurut
mundur dan pukullah dengan djurus Hoa-khi-lenghong!"
Serempak bangunlah semangat Tjian hong. Ia tak
menghiraukan lagi siapa jang membisiki dengan ilmu
menjusup suara itu. Tjepat ia gunakan tangan kanan
untuk memukul dengan djurus Hoa khi-leng-hong
(menghapus hawa membeku bianglala) Dess.... sinar
pedang musuh ber-gulung2 seperti gumpal ombak surut.
Ternjata pukulan Tjian-hong itu mengarah djalan darah
Khi hay hiat diperut Toan Bo tjo. Toan Bok-tjo dapat
melukai Tjian hong tetapi iapun pasti akan remuk
perutnja. Dan ternjata Toan Bok tjo masih sajang akan
perutnja. Lebih baik ia batalkan tusukannja....
Serangan Tjian hong itu mengedjutkan kedua
lawannja. "Budak, terimalah dua djurus jang terachir!" seru
Toan Bok yu. Kedua saudara itupun mulai menjerang
lagi. Pedang mereka mentjari sasaran dibagian perut.
Suara ngiang njamuk kembali menjusup ditelinga
Tjian hong: "Sambil lontjat keatas, lepaskan djurus
Beng-hou-djut-lim!" Dan Tjian-hong pun menurut. Sambil meraung
seperti harimau, ia ajunkan tubuh keudara, menerobos
keluar. Kedua saudara Toan tjepat2 menghadang dari
kanan dan kiri. "Kanan kiri merentang busur, gunakan djurus Liattjiok-gui pay!" kembali suara njamuk mengiang ditelinga
Tjian hong. Tjian hong melakukan bisikan itu. Dengan seluruh
tenaga ia gerakkan kedua tangannja dalam djurus Liattjiok-gui-pay atau menghantjurkan batu membuka
nisan! Tiba2 terdengar djeritan njaring. Tjian hong
mundur dua langkah. Ketika memandang kemuka
dilihatnja kedua saudara Toan itu terhujung-hujung
beberapa langkah. Pedang mereka terlepas. Djelas bahwa
mereka menderita luka parah....
Tjian hong alihkan pandangannja kepada beng-tju
wanita. Wanita itu memberi isjarat tanda agar Tjian hong
djangan membotjorkan rahasia tadi.
Kini tahulah Tjian hong bahwa jang memberi
kisikan dengan ilmu menjusup suara tadi, bukan lain
dari wanita itu. Dipandangnja bengtju wanita itu dengan
mata jang memantjar rasa berterima kasih....
Kedua saudara Toan tegak lagi. Dahi mereka basah
kujup dengan keringat. "Kali ini hanja kuberi sedikit hadjaran. Tetapi lain
kali kalau berdjumpa, tentu tak kuberi ampun lagi,"
dengus Tjian hong. Kemudian ia berseru kepada wanita
setengah tua. "Bengtju..."
"Tak usah bitjara jang tak perlu," keras wanita itu,
kau telah melukai anakbuahku, masakan kau mau
melarikan diri?" Tjian hong kaget: "Apa maksud bengtju?"
Wanita itu mendengus: "Aku takkan membikin
susah padamu. Asal kau menjerahkan kitab itu, akan
kubikin habis urusan ini."
Perobahan sikap jang diundjuk wanita itu, benar2
membuat Tjian-hong bingung. Kawan atau lawankah
wanita itu sebenarnja" Tetapi djelas tadi setjara diam2
wanita itu telah mengadjarnja tjara menghantjurkan
kedua saudara Toan. Apakah hal itu tak mengunjukkan
isi hati jang terkandung siwanita terhadap dirinja"
"Keinginan bengtju itu mungkin si2," achirnja ia
mendjawab. "Karena kau tak mau menjerahkan kitab itu?"
siwanita menegas. "Bukan begitu...."
"Habis?" "Kitab Pukulan Hitam sedjak belasan tahun jang
lalu telah hilang!" "Djatuh ditangan siapa?" bengtju wanita itu
terbeliak kaget. "Dilarikan oleh suheng-ku jang murtad. Ketika
guru sedang menderita luka parah, dia merebut kitab itu
dan dibawa minggat!"
"Siapakah suhengmu jang murtad itu?" seru
bengtju wanita. "Hek-sim-djin Thiat Tat-hu!"
Wanita setengah tua merenung sampai lama,
serunja: "Didunia persilatan tak terdapat nama seperti
itu!" "Akupun sedang mentjarinja!" sahut Tjian hong.
"Apakah benar kitab Pukulan hitam itu dilarikan
Hek-sim-djin?" bengtju wanita itu menegas.
"Apakah bengtju tak pertjaja padaku?" Tjian hong
balas bertanja. Bengtju itu terkesiap. Ada sesuatu jang terkandung
dalam hatinja. Tjian-hong merasa bahwa tempat itu
bukan suatu tempat jang aman baginja. Buru2 ia
berseru: " Aku mohon diri, sampai berdjumpa lagi!"
Bengtju itu agak bingung. Hendak menahan tetapi
agaknja iapun hendak suruh pemuda itu lekas
tinggalkan tempat itu. Lama baru ia memberi djawaban:
Baiklah!" Tjian hong segera melesat pergi tetapi kedua
saudara Toan mengedjarnja. Tjian hong marah. Dengan
menggembor keras, segera ia ajunkan kedua tangannja
dalam pukulan sakti Gui-thian-kwan-te (membuka langit
menutup bumi). Seketika berhamburanlah ber-puluh2
tangan. Kedua saudara Toan tarik pulang pedangnja.
"Enjah!" teriak Tjian hong seraja lantjarkan
pukulannja. Kedua saudara Toan itu terpental
kebelakang sampai 4-5 langkah. Mereka benar2
terpukau menjaksikan pukulan sianakmuda jang luar
biasa. Dan dipandangnja sadja ketika pemuda itu
melangkah keluar. Tjian hong tak mempunjai tudjuan tertentu.


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pikirannja diliputi oleh berbagai persoalan. Terutama
jang meliputi diri wanita setengah umur jani bengtju
partai Thian tong bun itu. Apakah hubungannja dengan
kedua saudara Toan" Bukankah wanita itu jang
mendjadi bengtju" Tetapi mengapa kedua saudara Toan
berani menguasainja" Dan jang lebih membingungkan
pikiran Tjian-hong ialah tentang hubungan wanita itu
dengan ajahnja Peladjar-seribu-muka. Djelas wanita itu
mempunjai hubungan erat....
Untuk melonggarkan kesesakan dadanja, Tjian
hongpun menghela napas pandjang2. Tiba2 langit
menumpuk gumpalan awan gelap, suatu pertanda
hudjan akan turun.... "Tjelaka, hudjan akan turun!" Tjian hong
terkedjut... Sedjauh mata memandang, sekeliling
pendjuru merupakan hutan sunji. Tiba2 matanja
tertumbuk oleh sebuah rumah gubuk jang djauh
disebelah timur. Buru2 ia lari menghampiri. Tetapi
belum mentjapai tempat itu, hudjanpun sudah
mentjurah. Tepat2 ia kentjangkan larinja dan meneduh
dibawah teralis rumah itu.
Baru ia hendak mengetuk pintu, dari pintu
terdengar suara seorang anak perempuan melengking:
"Jah, tidak mudah kudapat kitab ini!" I
Tjian hong terkesiap. Agaknja ia pernah mendengar
suara itu tetapi entah dimana ia agak lupa. Seketika
timbullah keinginannja tahu, ia mengintip dari tjela-tjela
dinding dan kedjutnja bukan kepalang.
Kiranja jang berada dalam pondok itu adalah sinona Hay-gwa-it-kui Siangkwan Hoa-kun dengan ajahnja
Su-hay-mo ong Siangkwan Yap!
Ingin mengetahui apa jang dimaksud dengan kitab
itu, Tjian hong berusaha agar djangan menimbulkan
suara jang mengedjutkan mereka.
Su-hay-mo-ong tertawa mengekeh: "Hoa-kun,
pintar benar tjaramu menipu budak itu supaja membuka
kotak besi!" Hay gwa-it-kiau tertawa aleman: "Setelah mendapat
kitab itu tentulah tak sukar ajah untuk menguasai dunia
persilatan!" Sahut Su hay-mo-ong dengan gembira: "Tetapi
entah ilmu kesaktian apa jang termaktub dalam kitab
itu?" "Kitab itu termasuk salah satu dari tiga kitab
pusaka didunia. Tentu berisi ilmu peladjaran sakti tiada
taranja!" Hay gwa-it-kiau memberi ulasan.
Tjian hong tergetar hatinja: "Djangan2 kitab Tanpatulisan!" batinnja.
Tiba2 Su-hay-mo-ong berseru: "Hoa-kun lekas
bukalah kitab Bu-dji"thian"keng itu!"
Tjian hong terkesiap. Apa jang diduganja ternjata
benar. Kitab itu memang benar Bu-dji-thian-keng (kitab
tanpa tulisan). Dan timbullah dendamnja terhadap Haygwa-it-kiau jang telah menipunja membuka bungkusan
kitab itu. Dilekatnja mata ketjelah pintu untuk
mengetahui lebih djelas. Hay-gwa-it-kiau sedang memegang sebuah kitab
tipis dan ajahnja segera menghampiri: "Hoa-kun, lekas
buka!" Nona itu tengadahkan kepala tertawa bangga lalu
membuka kitab. Karena dari kedjauhan, Tjian-heng tak
dapat melihat keadaan kitab itu. Tetapi jang djelas dia
melihat wadjah ajah dan anak itu berobah putjat dan
mulut mereka mendjerit kaget.
"Hai, mengapa kosong melompong!" teriak Su-hay
mo ong. Hay-gwa-it-kiau beberapa kali membolak-balik
lembaran kitab. Tetapi kosong semua, tiada bertuliskan
sebuah hurufpun djuga. "Huh, bagaimana ini Su hay-mo ong mengeluh tak
henti2nja.Tiba2 ia mengangkat muka dan berseru
njaring : "Siapakah jang diluar itu" Mengapa tak mau
undjuk diri?" Tjian hong terperandjat. Baru ia hendak undjuk
diri tiba2 dari arah belakang rumah terdengar suara
tertawa gelak2 dan pintu belakang terpentang. Seorang
wanita tua jang berambut putih dan wadjah ngeri
melangkah masuk... Saat itu baru Tjian hong tahu bahwa jang
dimaksud Su-hay-mo-ong bukan dirinja melainkan
sinenek buruk muka itu. Su-hay-mo-ong agak terkedjut, serunja: "Tak kira
kau jang datang Kui-bo!"
Nenek berambut putih itu karena berwadjah buruk,
digelari dunia persilatan sebagai Kui-bo atau nenekburuk-muka.
Kui-bo tertawa menjeringai. "Heh, heh, kau Haygwa-yap-djin (orang liar seberang lautan), mengapa tak
lekas enjah dari dunia persilatan Tiong-goan agar
mukamu selamat?" Merah padam muka Su-hay-mo-ong, serunja: "Apa
maksudmu?" "Maksudku?" Kui-bo mendengus. Menundjuk pada
kitab Bu-dji-thian-keng ia berseru: "Lekas serahkan
kitab itu padaku supaja tidak rusak!"
"Itu toh kitab tanpa tulisan, buat apa kau
mengambilnja?" Kini Su hay-mo-onh tersadar, udjarnja: "Oh, Bu-dji
thian keng, kiranja kitab tanpa tulisan..."
"Ja, apa gunanja mendapat kitab tanpa tulisan.
Lebih baik serahkan sadja padaku sebagai kebaikan
budi!" "Hm," tiba2 Hay-gwa-it-kiau melengking, Bu-djithian-keng tak ternilai harganja. Kalau tidak masakan
orang persilatan mau mati2an merebutnja?"
"Berapa besarkah nilainja?" Kui-bo balas bertanja.
Hay-gwa-it-kiau terbeliak tak dapat menjahut.
Djuga Tjian hong jang mengikuti pembitjaraan mereka,
tak mengetahui pertanjaan Kui-bo.
Buru2 Su-hay-mo-ong menjanggapi: "Djangan kau
bermain lidah. Aku tahu bahwa Bu-dji thian-keng itu
tentu mempunjai kegunaan. Sekalipun tak bertuliskan
apa2, tetapi TENTU ada gunanja!"
Kui-bo meraung: "Siangkwan Yap, tindakanmu
berarti merusak kitab pusaka?"
Sn hay-mo-ong tertawa dingin: "Djika kau takut
merusak kitab pusaka, mengapa kau tak mau berterus
terang mengatakan kegunaannja. Aku berdjandji akan
memanfaatkan se-baik2nja!"
"Enakmu!" lengking Kui-bo.
"Lalu bagaimana?"
"Kita adakan persetudjuan, mau tidak?" seru Kuibo.
"Persetudjuan bagaimana?"
"Akan kuterangkan hal2 jang penting tentang kitab
itu tetapi kau harus memberi kesempatan padaku untuk
ikut ber-sama2 mempeladjari isi kitab itu. Kau setudju?"
"Enakmu!" lengking Su-hay-mo-ong menirukan
gaja Kui bo tadi. "Belum pasti aku jang lebih enak!" sangkal Kui Bo.
"Mengapa tidak?" lengking Hay-gwa-it-kui, "dengan
enak2 kau mendapat kesempatan untuk mempeladjari
isi kitab Bu-dji-thian keng!"
"Budak perempuan, tjobalah kau pikir!" seru Kui
bo, " djika tak kuterangkan rahasia kitab itu, djangan
harap seumur hidup kau dan ajahmu dapat
menggunakan kitab itu. Apakah itu tak sia2?"
Su-hay-mo-ong diam-diam mengakui utjapan
nenek itu benar. "Siangkwan Yap, kau boleh mempertimbangkan
usulku itu!" seru Kui bo pula.
Su-hay-mo-ong tersenjum meringis.
"Kau menerima atau tidak!" Kui-bo berseru marah.
"Akupun bukan seorang nenek jang suka me-rengek2
minta kasihan. Kalau kau tak setudju, hapuskan sadja!"
" habis berkata ia terus berputar diri hendak berlalu.
"Kui-bo djangan buru2 pergi dalu!" tiba2 Su-haymo-ong berseru.
Kui-bo berhenti diambang pintu, serunja: "Kau
setudju atau tidak, djangan me-manggil2 orang seperti
anak ketjil!" "Baiklah," achirnja dengan nada terpaksa Su-haymo-ong berseru.
Kui-bo tertawa dan melangkah masuk lagi, ia
duduk dihadapan Su-hay-mo-ong. Sedjenak memandang
kitab Bu-dji thian-keng, ia berkata memberi peringatan.
"Dalam tukar menukar perdjandjian ini, kita harus bersungguh2 dan djudjur."
"Tentu!" Su-hay-mo-ong menjeringai.
"Djangan mengandung pikiran jang djahat.
Sekalipun kitab berada ditanganmu, tetapi kau tahu
siapa Kui-bo itu. Aku tak takut kau akan menghianati
djandji!" "Sudahlah, aku Siangkwan Yap djuga seorang lelaki
jang tahu harga perdjandjian!"
"Begitulah sebaiknja."
"Harap lekas menerangkan rahasia kitab itu," tiba2
Hay-gwa-it-kiau menjelutuk.
Kui-bo balikkan selaput matanja: "Sebenarnja Budji-thian keng itu mempunjai tulisan tentang ilmu
kepandaian jang sakti!"
Su-hay mo-ong dan Hay gwa it-kui hanja geleng2
kepala bersangsi. Dipandangnja Kui-bo dengan mata
bertanja. "Kalian kira aku bohong?" teriak Kui bo.
Sambil mem-balik2 lembaran Bu dji-thian-keng,
berkatalah Su-hay-mo-ong: "Kenjataan sukar dibantah!"
Kui bo ketawa tawar: "Benar, memang kenjataan
sukar dibantah... Tahukah kalian asal usul Bu-dji-thiankeng itu?"
Kembali Su-hay-mo-ong dan anaknja menggeleng.
Kui-bo tertawa gelak2: "Ho, memang tak aneh
kalau kalian tak tahu... baiklah, akan kutjeritakan asal
usulnja tanpa sjarat suatu apa!"
Tjian hong jang berada diluar pintu makin
merangsang keinginantahunja.
Mulailah Kui-bo bertjerita: "Berpuluh tahun jang
lalu, diseberang lautan terdapat sebuah pulau jang
disebut Sian-li-kang (karang tapak dewi). Siangkwan
Yap, karena lama tinggal diluar lautan, kau tentu pernah
djuga mendengarnja, bukan?"
Su-hay mo ong mengangguk: "Sering kudengar
tjerita orang dan pernah djuga kuselidiki sendiri,
tetapi..." " tiba2 ia tak melandjutkan.
"Tetapi kau tentu tak mengerti apa sebabnja kau
dihalau pergi dari pulau itu, bukankah begitu?" tukas
Kui bo. Terpaksa dengan tebalkan kulit, Su hay-mo-ong
mendjawab: "penghuni pulau itu, memiliki kepandaian
sakti. Aku tak melihat bajangan seorang manusiapun
djuga tetapi anehnja tahu2 aku diusir keluar dari pulau
itu. Hampir sadja djiwaku melajang..."
Kui-bo tertawa: "Untung kau tahu gelagat!"
Diluar pintu kembali Tjian hong terkedjut. Tokoh
sakti seperti Su-hay-mo ong dengan mudah dapat
dihalau oleh orang pulau Karang-dewi (Sian-li-kang).
Betapakah hebat kepandaian orang2 Sian-li-kang itu!
Kui-bopun melandjutkan tjeritanja:
"Dipulau Sian-li-kang tinggal seorang sakti. Dia tak
punja nama. Orang2 memberinja gelaran sebagai Bu Yu
lodjin (orangtua Tak-kenal susah). Berapa tinggi ilmu
kesaktiannja, tak seorangpun jang dapat mengukur. Dia
mempunjai seorang anak perempuan bernama Pek Hay
tju. Pek Hay-tju kemudian dinikahkan dengan murid
kasajangan Bu Yu lodjin jang bernama Tang hay-ki hiap.
Setahun kemudian Pek Hay-tju melahirkan seorang
puteri. Pada saat itu Bu Yu lodjinpun sudah menutup
mata. Rupanja Pek Hay-tju djemu dengan penghidupan
dipulau. Diam2 ia meninggalkan pulau dengan
membawa salah sebuah kitab pusaka warisan ajahnja..."
"Apakah kitab Bu-dji-thian-keng?" Hay-gwa-it-kiau
menjelutuk. "Benar," sahut Kui-bo, "Bu Yu lodjin telah
mentjatat ilmu Sian-li-ki-poh jang paling disajanginja
dalam kitab ketjil itu!"
Hay-gwa-it-kiau mengatjungkan kitab Bu-dji-thiankeng, serunja: Tetapi tidak...."
"Budak perempuan, omonganku belum selesai!"
bentak Kui-bo," setelah menulis dalam kitab Bu-dji-thian
keng itu. Bu Yu lodjin segera membenam kitab itu dalam
sumber-air Tjin-kut-tjui, sebuah sumber air jang luar
biasa dipulau Sian-li-kang. Setelah direndam selama tiga
bulan, tulisan dalam kitab itupun lenjap semua!"
Diluar pintu Tjian hong terkesiap. Tulisan
direndam air sudah tentu hilang. Mengapa Kui-bo
mengatakan kitab itu masih ada tulisannja"
Tak terketjuali Su-hay-mo-ong. Ia buru2 bertanja :
"Oh, kiranja begitu. Tetapi apakah ada tjara untuk
membuat tulisan jang hilang itu timbul kembali?"
Sahut Kui-bo: "Sudah tentu ada!"
Su-hay-mo-ong gugup. Buru2 ia hendak mendesak
Kui-bo agar lekas mengatakan rahasia untuk
menimbulkan tulisan jang hilang itu....
Kui bo tertawa mengekeh. Djilid 8 28 Hudjan darah. "Tak usah ter-buru2," kata Kui-bo, "setelah
kuselesaikan tjeritaku tentang Pek Hay-tju, tentu akan
kuberitahukan tentang tjaranja itu."
Diluar pintu Tjian hong diam2 mendongkol. Apa
hubungannja Pek Hay-tju dengan rahasia kitab itu"
Iapun ingin sekali lekas2 mengetahui isi kitab Bu-djithian-keng!
"Pek Hay-tju tinggalkan suami dan anaknja. Ia
menudju kedaratan Tiong-goan. Disitu ia ber-djumpa
dan djatuh tjinta pada pendekar muda jang kala itu
namanja sangat harum didunia persilatan."
"Siapakah nama pendekar muda itu?" kembali Haygwa-it-kiau menjelutuk.
Sahut Kui-bo dengan hambar: "Peladjar-seribumuka Ko Ko-hong!"
Hampir sadja Tjian-hong berteriak ketika
mendengar nama ajahnja di-sebut2 Kui-bo. Benar2 ia
tak sangka bahwa Pek Hay-tju akan djatuh tjinta
ajahnja! "Bukankah Pek Hay-tju sudah bersuami?" seru


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hay-gwa-it-kiau jang tak kurang kedjutnja.
"Bukan hanja Pek-Hay-tju jang bersuami, tetapi Ko
Ko-hong itupun sudah menikah dengan Kang-ou-bi-djin
Hoa Sian-lan. Tetapi hal itu bukan halangan, Pek Haytju tetap meraju Ko Ko hong!"
"Bagaimana sambutan Ko Ko hong?"
"Dia seorang djantan perwira. Dia berusaha keras
untuk menghindari wanita itu!"
"Lalu?" "Kemudian, kemudian bagaimana aku sendiripun
tak tahu!" sahut Kui-bo.
Tjian-hong putus asa. Tanpa sengadja ia dapat
mentjuri dengar tentang sekelumit riwajat ajahnja.
Bukan kepalang gembiranja. Tetapi sajang, tjerita itu
tiada kelandjutannja.... Rupanja Su-hay-mo-ong tak sabar lagi, serunja:
"Kui-bo, lebih baik lekas kita mulai merundingkan
pembitjaraan." Kui-bo deliki mata: "Sebelum kuungkapkan tjaranja
menimbulkan tulisan dalam kitab Bu-dji-thian-keng itu,
aku mempunjai sebuah sjarat!"
"Sjarat" Sjarat bagaimana?"
"Sebelum mengambil kitab itu, kuharap kitab itu
djangan diperlihatkan diluar!"
"Ini.... ini...."
"Siangkwan Yap, djika kau tak setudju, akupun tak
dapat memaksa!" Su-hay-mo-ong benar2 tak berdaja, katanja:
"Baiklah, kitab ini akan kutaruh dalam tiang penglari
rumah!" "Ja," sahut Kui-bo. Kemudian ia memandang kesekeliling sudut. Setelah tiada tampak barang seorang
manusia, barulah ia legah. Kemudian berkatalah ia:
"Untuk menimbulkan lagi tulisan dalam kitab Bu-dji
thian keng, harus menggunakan Hudjan darah."
Sama sekali tak mereka sangka, bahwa rahasia itu
ternjata didengar oleh orang ketiga jani Tjian hong.
"Hudjan-darah" Dimana bisa mendapat hudjan
itu?" seru Su-hay mo-ong.
"Partai Thian-tong-bun memiliki dua botol air
Hudjan-darah. Dalam setengah djam setelah kitab itu
direndam dengan air Hudjan-darah, maka tulisannja
akan timbul lagi!" Se-konjong2 Su-hay-mo ong mengambil Bu-djithian-keng dan tertawa gelak2. Tetapi setjepat itu djuga
Kui-bopun lontjat mentjengkeram pergelangan tangan
Hay-gwa-it-kiau. "Hm, Siangkwan Yap, djika kau mau ugal2an,
seketika djuga akan kuputuskan djiwa anakmu!" serunja
geram. Su-hay-mo-ong mengatupkan mulut lalu berbatuk2: "Djangan salah faham Kui bo. Setelah kitab ini
kusimpan baik2 barulah kita pergi ke Thian-tong-bun
meminta Hudjan darah dan ber-sama2 mempeladjari isi
kitab itu!" Ia menutup kata2nja dengan sebuah ajunan keatas
tiang penglari. Setelah menjimpan kitab ia lalu melajang
turun lagi. Kui-bopun melepaskan tjengkeramannja pada
tangan Hay-gwa-it-kiau. "Djangan tjoba2 ganti haluan, aku bukan wanita
jang mudah dipermainkan. Ajo, djalan!" serunja.
Saat itu hudjanpun reda. Tjian hong buru2 lontjat
keatas wuwungan dan bersembunji dibalik puntjak
rumah. Setelah Su-hay mo-ong, Hay-gwa-it-kiau dan
Kui-bo menguntji pintu, merekapun menudju ke barat.
Dalam beberapa kedjab ketiga orang itu tak tampak lagi
bajanganna. Tjian hong melajang turun. Saat itu tjuatja bersih.
Pemandangan sehabis turun hudjan amat mengesankan.
Hutan se-olah2 segar bermandikan air.
Timbul pikiran Tjian hong. Mengapa ia tak
mengambil kitab Bu dji-thian-keng itu" Bukankah kitab
itu termasuk salah satu dari tiga kitab pusaka didunia"
Apabila ia berhasil mendapatkan air Hudjan darab lalu
mampeladjari kitab Bu-dji-thian-keng, bukankah akan
memiliki kepandaian sakti jang dapat digunakannja
menumpas durdjana2 didunia persilatan.
Karena pintu terkuntji, ia ambil djalan
membongkar djendela lalu menjusup kedalam rumah.
Kemudian ia lontjat keatas tiang penglari. Ah, kitab
Ba-dji-thian-keng! Walaupun sudah tahu, tetapi masih
djuga hati Tjian hong tegang.
"Keterangan Kui-to tadi tentu tak bohong, katanja
setelah membolak-balikkan lembaran kitab ternjata
hanja kertas kosong semua.
Ia keluar dari rumah. Mulailah ia mengatur
rentjana. Pertama-tama ia harus mentjari air Hudjan
darah agar dapat mempeladjari isi kitab. Ja, air Hudjandarah.
"Menurut keterangan Kui-bo, partai Thhan-tong
bun menjimpan dua botol Hudjan-darah. Dan wanita
setengah tua jang kudjumpai dalam biara tadi adalah
ketua Thian"tong"bun. Mengapa aku tak kembali kebiara lagi untuk menemuinja?" tiba2 ia mendapat
pikiran. Segera ia ajunkan langkah menudju kebiara.
Dalam waktu jang singkat, tampaklah mertju biara itu
mendjulang kelangit. Tjian hong tjepatkan larinja. Tetapi
ketika tiba dimuka biara, ia terkesiap.
Dari piatu sampai kedalam ruang, tiada tampak
seorang manusiapun djuga. Dan ketika ia melangkah
masuk, keadaan dalam biara itu porak poranda. Dalam
pemeriksaan lebih djauh, Tjian hong mendapat kesan
bahwa ruang biara itu bekas dibuat adjang pertempuran
hebat. Tiang dan lantai masih terdapat bekas tjetjeran
darah. Memang tak diketemukasn majat, tetapi menilik
hebatnja kerusakan disitu djalan pertempuran itu tentu
memakan korban djiwa. Mungkin korban sudah
diangkut pergi oleh kawannja.
Kemanakah gerangan perginja orang2 Thian-tongbun" Ketika menghampiri medja sembahjang tiba2 Tjian
hong dikedjutkan oleh bentakan orang: "Hm, budak liar
dari mana berani mengganggu tempat ini!"
Kedjut Tjian hong bukan kepalang. Buru2 ia
berpaling dan tampaklah seorang lelaki setengah tua
dalam dandanan sebagai seorang sastrawan, tegak
berdiri dengan wadjah dingin.
Diam2 Tjian hong terkesiap. Sama sekali ia tak
mendengar langkah orang itu mendatangi tetapi tahu2
sudah berada dibelakangnja. Djelas orang itu tentu
hebat sekali kepandaiannya.
Pelahan-lahan sastrawan itu menegur: "Apakah
kau sisa2 orang Thian-tong bun?"
Tjian hong tertegun, ia menggeleng.
"Kalau bukan orang Thian-tong bun mengapa
datang kemari" Apakah itu bukan kebohongan?" seru
sastrawan dengan dingin. Melihat sikap dan nada orang begitu dingin
timbullah kemengkalan hati Tjian-hong, serunja:
"Mengapa aku tak boleh datang kebiara ini?"
Tetapi sastrawan itu tenang2 sadja, serunja: "Ho,
kiranja kau bala bantuan jang didatangkan Thian tongbun. Tetapi umurmu masih muda, apakah tak sajang
kalau kepalamu sampai terpisah dari badanmu?"
Sebenarnja Tjian hong hendak menjangkal bahwa
ia orang Thian tong-bun, tetapi demi melihat sikap orang
jang tjongkak, ia mendjawab: "Rusa mati ditangan siapa,
belumlah diketahui pasti!"
"Berani menjelundup menjelidiki, tentulah bukan
orang jang tak bernama!" seru sasterawan itu.
Djawab Tjian hong dengan garang: "Aku orang she
Ko nama Tjian hong!"
Didalam sikapnja jang angkuh, samar2 tampak
wadjah sasterawan itu mengerut heran. Dan berkatalah
ia seorang diri dengan nada pelahan: "Ko Tjian hong, Ko
Tjian hong, rasanja dimana aku pernah mendengar
nama itu?" "Apakah aku boleh mendapat tahu nama tuan jang
terhormat?" tanja Tjian hong.
"Aku?" sasterawan itu menengadahkan muka dan
katanja seperti orang limbung: "Siapakah aku" Siapakah
sebenarnja namaku ini?"
Melihat sikap orang jang ke-tolol2an itu Tjian hong
bukan tertawa melainkan lebih banjak merasa kasihan.
Setelah termenung beberapa saat, sasterawan itu
berkata pula: "O, benar! Aku jatuh..." " tiba2 ia
hentikan kata2nja. Tubuhnja gemetar. Dipandangnja
Tjian hong dengan lekat: "Budak, kau hendak
mentjelakai aku!" " Seruan itu diserempaki dengan
sebuah tamparan jang mengeluarkan desis angin tadjam.
Karena tak menjangka-njangka bakal menerima
serangan itu, Tjian-hong terpaksa lontjat mundur.
"Tuan tak tahu peraturan!"
"Kau hendak menipu aku!" teriak sasterawan.
Tiba2 ia menerdjang lagi. Tjian hong kaget. Ketjuali
tjepat pun gerakan sasterawan itu dahsjat sekali.
Seketika berhamburan bajang2 pukulan. Untung
sebelum menjerang, sasterawan itu tertegun seperti
bersangsi. Beberapa kedjab ketegunannja itu, tjukup
mengurangkan kedahsjatan serangannja hingga dengan
walaupun susah namun dapat djuga Tjian-hong
menghindari. Karena serangannja luput, sasterawan marah
sekali. Serunja: "Bagus, budak ternjata kau lihay djuga!"
" Ia djulurkan lengan kanannja menjerang Tjian-hong.
Tjian hong menangkis. Tetapi betapalah kedjut
ketika merasakan tenaga sasterawan itu luar biasa
hebatnja. Dalam kegugupan, Tjian-hong segera kerahkan
ilmu Pukulan Hitam. Ia menjerang dengan djurus
Membuka langit-menutup bumi.
Seketika melantjarlah sinar hitam kearah
sasterawan. Sasterawan itu terkedjut tetapi tjepat sekali
ia sudah bersikap dingin seperti semula, serunja:
"Pukulan Hitan, bagus!"
Kedua tangannja diajunkan keudara. Serangkain
pukulan dahsjat melanda Tjian-hong. Putjat seketika
Tjian hong ketika menjaksikan warna jang memantjar
dalam pukulan sasterawan itu...
"Pukulan Hitam! Kau... kau.." serunja tergagap
kaget. Tetapi tak sempat ia menjelesaikan utjapan,
dadanja terasa terbentur oleh sebuah batu besar. Tjianhong terhujung-hujung beberapa langkah kebelakang.
Huak.... setelah muntah darah barulah ia dapat berdiri
tegak. Sasterawan itu madju menghampiri, dipandangnja
anakmuda itu dengan tertegun. Karena tulang-tulangnja
serasa patah, Tjian hong hanja dapat balas memandang
orang itu dengan geram. Se-konjong2 sasterawan itu bersuit njaring lalu
melesat pergi. Dan setelah beberapa saat kemudian
barulah Tjian hong dapat menggeliat duduk. Ia mulai
mendjalankan pernapasan untuk menjalurkan
peredaran darahnja. Tiba2 sesosok bajangan kelabu menerobos masuk
kedalam biara. Mukanja ditutup dengan kain warna
kelabu. Ketika melihat Tjian hong, orang itupun segera
menghampiri. Karena sedang memusatkan seluruh pikiran untuk
mengobati lukanja, terpaksa Tjian hong tak
menghiraukan. Karena djika sedikit sadja pikirannja
terganggu, darahnja akan membinal dan djiwanja
berbahaja. Saat itu orang berselubung muka sudah tiba
dihadapan Tjian hong. Ketika dilihatnja ubun2 kepala
Tjian hong mengeluarkan hawa asap, tahulah ia bahwa
anakmuda itu sedang mendjalankan peredaran darah.
Tiba2 orang itu tertawa sinis: "Hari ini kau tentu
mati! " tenaga-dalam dikerahkan ketangan kanan dan
mulailah diangkat keatas pe-lahan2....
Se-konjong2 Tjian hong bangun berdiri dan orang
itupun tjepat2 menarik turun tangannja.
"Eh, kita bertemu lagi," serunja.
Tenjata Tjian hong tak mengetahui bahwa ia baru
sadja terlolos dari lubang djarum. Terlambat sedikit
sadja ia bangun, djiwanja tentu hantjur.
Teguran orang itu disambutnja dengan tertawa
ramah : "Ja, beruntung sekali! Dan rasanja sudah tiba
saatnja saudara suka mengundjukkan wadjah saudara!"
Orang berselubung kain kelabu itu gelengkan
kepala : "Belum waktunja!"
"Ah, itu hanja alasan saudara sendiri!"
"Setiap orang mempunjai tjita2 sendiri, mengapa
hendak memaksa lain orang?" balas orang itu.
"Tetapi gerak gerik saudara menimbulkan
ketjurigaan orang," sahut Tjian hong.
Orang itu sengadja melepaskan sebuah helaan
napas jang pandjang, udjarnja: "Hal itu karena kau tak
mengerti pendirianku sadja. Misalnja saat ini. Andaikata
aku hendak membunuhmu, bukankah semudah orang
membalikkan telapak tangannja?"
Diam2 Tjian hong menimang. Memang apa jang
dikatakan orang berselubung muka itu benar. Seketika
ia bersjukur dan menaruh kepertjajaan pada orang itu.
"Bagaimanakeh kehendak saudara?" serunja.
"Sang waktu tentu akan mengetahui hati orang.
Kelak kaupun tentu akan mengerti diriku.....eh, melihat
tadi kau mendjalankan peredaran derah, rupanja kau
menderita luka. Siapakah jang melukaimu?"
Tjian hong menduga orang itu mempunjai
pengalaman luas, mungkin tahu tentang diri sasterawan
jang melukainja itu. Maka segera ia menuturkan apa
jang telah dialaminja tadi.
"Aku menaruh ketjurigaan djangan2 orang itu si
Hek-sim-djin Thia Tat-hun! "katanja.
Orang berselubung itu mengusap-usap tindjunja,
"Hm, selain Thia Tat hu, siapakah jang memiliki ilmu
Pukulan Hitam?" Tjian hong menggeram: "Hm, kiranja dia. Sungguh
ganas sekali!" - ia melesat pergi.


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hai, hendak kemana kau!" seru orang
berselubung. "Hendak menumpas murid jang berchianat!" sahut
Tjian hong. "Ah, kau terlalu merangsang!"
"Merangsang?" "Tjoba tanja pada dirimu sendiri, adakah kau
sanggup melawannja?"
Tjian hong tertegun mendapat pertanjaan itu. Ia
kerutkan dahi. "Apakah kau bermaksud hendak merebut Kitab
Pukulan Hitam?" seru orang itu pula.
"Kitab pusaka milik perguruan, harus kurebut
kembali!" "Dalam mentjapai sesuatu tudjuan, djika tenaga
tak mampu, haruslah kita gunakan akal kepandaian!"
kata orang berselubung itu.
"Tjaranja?" Tjian hong agak heran.
"Akan kuadjarkan padamu sebuah siasat tetapi
entah kau pertjaja atau tidak!"
"Djika saudara benar2 hendak membantu tudjuanku menuntut balas, mengapa aku tak pertjaja?"
"Baik, kita harus mengatur siasat jang rapi," kata
orang berselubung, "tahukah kau bahwa Thia Tat-hu itu
mempunjai seorang sahabat jang karib."
"Aku kurang djelas," sahut Tjian hong.
"Thia Tat-hu mempunjai hubungan erat dengan
bengtju dari partai Thian tong-bun. Djika kau dapat
menundukkan bengtju Thian-tong-bun, berarti dapat
menguasai Thia Tat-hu!"
"Tetapi bagaimana tjara untuk menundukkan
beng-tju itu?" seru Tjian hong.
Orang berselubung kerutkan kening. Rupanja ia
telah siap dengan rencana muslihat.
"Aku mempunjai sebuah rentjana!" serunja.
"Harap saudara katakan!"
Diam2 orang berselubung itu menggeram buas.
Pikirannja, djika saat itu ia tak dapat membinasakan
Tjian hong, tentu kelak sukar mendapat kesempatan
baik lagi. Diam2 ia telah mempersiapkan siasat.
"Rentjana itu tak boleh kukatakan keras. Ingat,
dinding mempunjai telinga. Silahkan kau mendekat!"
serunja. Ia telah memutuskan, begitu dekat, segera ia
hendak menutuk anakmuda itu.
Tjian hong melangkah madju.....
29 Lolos dari lubang djarum
Orang berselubung itu tegang sekali. Begitu dekat.
segera ia hendak menutuk rubuh Tjian hong. Detik2 itu
serasa menegangkan sekali.
Se-konjong2 terdengar kesiur angin dan sesosok
tubuh melesat kedalam. Orang berselubung itu
terkedjut. Buru2 ia batalkan rentjana dan berseru:
"Beng-tju Thian-tong-bun datang. aku tak mau
menemuinja..." " habis berkata ia segera lontjat
kebagian belakang biara. Masih ia meninggalkan pintu:
"Djangan sekali-kali mengatakan tentang diriku!"
Jang muntjul memang bengtju wanita dari partai
Thian tong-bun. Sedjenak memandang kesekeliling
pendjuru, bengtju wanita itu agak terkesiap.
"Hanja kau seorang diri disini?" tegurnja.
"Ja" sahut Tjian hong dengan dingin. Rupanja ia
terpengaruh oleh pesan orang berselubung muka tadi.
"Sudah berapa lama kau disini?" tanja bengtju
pula. "Sepenjulut dupa!" sahut Tjian hong,
"Tak berdjumpa lain orang?"
Tjian hong mengangguk : "Tidak, hanja aku
sendiri." Sedjenak bengtju wanita itu mondar mandir lalu
berkata: "Djika tiada urusan penting, sebaiknja kau
lekas tinggalkan tempat ini." " tiba2 ia sendiri segera
melesat keluar biara. Teringat akan air Hudjan-darah, Tjian hong segera
memburunja: "Harap berhenti dulu!"
"Ada apa?" bengtju wanitapun berhenti.
Serta merta Tjian hong membungkuk memberi
hormat: "Aku hendak mentjarimu."
Tiba2 wadjah bengtju itu berobah dingin, serunja:
"Mengapa hendak mentjari aku?"
"Aku hendak mohon pindjam sebotol air Hudjandarah!"
Bengtju itu tertawa dingin: "Hm, kiranja kau djuga
sekaum dengan mereka. Aku salah sangka kau ini orang
baik!" Diluar dugaan, tiba2 bengtju itu menggerakkan
tubuh dan tahu2 menjerang.
Tjian hong menjurut mundur dua langkah. Ia
terkedjut mendapatkan tenaga pukulan wanita itu bukan
olah2 hebatnja. "Rupanja kau masih suka se-wenang2!" serunja.
Dengan masih landjutkan serangannja, bengtju wanita
itu mendamprat: "Terhadap tjetjunguk persilatan matjam
dirimu, perlu apa aku harus pakai peradatan lagi!"
Sambil menahan dengan kedua tangannja, Tjianhong lontjat mundur, serunja: "Boleh atau tidak itu
terserah padamu, tak perlu kau mengutjap kata2 jang
menusuk hati orang!"
"Sudah melukai anakbuahku, masih mau pindjam
barangku!" "Sama sekali tidak!" Tjian hong menjangkal keras.
"Tidak?" dengus bengtju wanita.
"Ketika aku datang kemari, tak seorangpun
anakbuahmu jang kudjumpai. Mengapa kau tuduh aku
melukai anakbuahmu?"
"Kau bukan sekaum dengan Kui-bo dan Su-haymo-ong?" seru bengtju wanita.
Tjian-hong sadar bahwa telah terdjadi salah faham.
Kiranja Kui bo dan Su-hay-mo-ong dengan Hay-gwa-it
kiau datang kebiara minta Hudjan-darah pada bengtju
Thian-tong-bun. Rupanja bengju menolak dan
terdjadilah pertempuran, banjak anakbuah Thian-tongbun jang terluka.
"Aku tak sudi berkawan dengan mereka!" Tjian
hong memberi penegasan. Benjtju wanita terkesiap. Tegurnja: "Lalu perlu apa
kau hendak pindjam air Hudjan-darah?"
Tjian-hong tertegun. Tak seorangpun jang tahu
bahwa dia telah berhasil mendapatkan kitab Bu-djithian-keng. Djika hal itu ia katakan, ia kuatir bengtju
wanita itu akan timbul nafsu untuk merebut.
"Maafkan, aku tak dapat mengatakan hal itu,"
achirnja ia menjahut. "Mengapa sukar mengatakan" Ah tak mungkin!"
"Apa maksudmu?" seru Tjian hong.
"Masih perlu kudjelaskan?" balas Bengtju.
"Aku sungguh2 tak mengerti!"
Kata bengtju Thian-tong-bun dengan nada sarat:
"Bukankah untuk Bu dji-thian keng?"
Berobahlah seketika wadjah Tjian hong:
"Bagaimana kau tahu?"
"Masakan tak tahu" Ah, mungkin Su-hay-mo ong
menjuruh kau meminta Hudjan-darah padaku. Hal itu
berarti kau mendjadi kaki tangannja!"
Sahut Tjian hong tegas: "Masakan aku sudi
diperalat orang!" "Hm, bohong!" "Aku telah mengatakan sedjudjurnja. Terserah
penerimaanmu!" "Lalu apa gunanja kau hendak memindjam air
Hudjan-darah itu?" bengtju Thian-tong-bun mendesak
pula. "Tepat seperti jang kau katakan, memang untuk
kepentingan Bu tji thian-keng!" achirnja Tjian hong
memberi djawaban seadanja.
"Tepatlah!" "Terus terang sadja kitab itu berada padaku!"
kembali Tjian-hong memberi keterangan. Setjara blak2an ia menuturkan peristiwa jang dialaminja dalam
pondok. "Benarkah itu?" masih Bengtju Thian-tong bun
meminta penegasan. Untuk menguatkan keterangannja, Tjian hong
segera hendak mengeluarkan kitab. Tetapi se-konjong2
kedua saudara Toan menerobos masuk. Ber-gegas2
kedua saudara itu menghadap bengtju. Wadjah mereka
tampak gugup sekali. Terang tentu mempunjai urusan
penting. "Apa jang kalian ketemukan?" tanja bengtju.
Djawab Toan Bok-yu: "Bengtju, perkembangan
tidak menguntungkan..." ia berhenti sedjenak melirik
Tjian-hong. Agaknja ia bersangsi.
"Tak apa, katakanlah!"
"Duabelas anakbuah kita mati setjara
mengenaskan!" kata Toan Bok yu.
Tubuh bengtju wanita itu agak bergetar: "Su-haymo-ong, tulang belulangmu tentu akan kuhantjur
leburkan...." "Bengtju!" tiba2 Toan Bok-tjo menjelutuk.
"Mengapa?" "Keduabelas anakmurid kita itu bukan mati
ditangan Su-hay mo-ong!" seru Toan Bok-tjo.
Bengtju Thian-tong-bun terbeliak kaget, terusnja:
"Kalau bukan dia, siapakah jang membunuh anak2
kita?" Toan Bok-tjo menggeliatkan mata se-olah2 tak
berani mentjeritakan. "Lekas bilang!" bentak bengtju Thian-tong-bun
dengan keras. "Anakbuah kita mati dibawah pedang Sambarnjawa!" kata Toan Bok-tjo agak gemetar.
Bengtju wanita ini tersurut mundur sampai tiga
langkah, udjarnja, "Pedang Sambar-njawa?"
"Tidak mungkin!"
"Tetapi buktinja ada!" sahut Toan Bok yo seraja
mengeluarkan seikat pedang pandak. Diam2 Tjian hong
menghitung. Ah, djumlahnja 12 batang. Kemuntjulan
pedang Sambar-njawa itu menggelisahkan pikiran Tjianhong.
Kang-ou bi-djin dan Malaekat-elmaut berturutturut mati oleh pedang Sambar-njawa. Dan kini pedang
itu mengganas lagi 12 orang anakbuah partai Thiantong-bun. Pada hal pedang Sambar njawa itu dikenal
orang sebagai sendjata milik ajahnja (Peladjar seribuwadjah), bagaimana nanti ia hendak mendjelaskan hal
itu kepada bengtju Thian-tong-bun" Diam2 Tjian hong
mengutjurkan keringat dingin...
Berkata bengtju Thian-tong-bun dengan pelahanlahan : "Pedang Sambar-njawa adalah milik Ko Kohong.... dia, dia tak seharusnja membunuh orang Thiantong-bun! Ah, sekalipun dia masih membentji diriku...."
"Ko Ko-hong seorang manusia jang lupa budi,
mengapa bengtju masih membelanja!" seru Toan Bok-yu.
"Tutup mulutmu!" tiba2 Tjian-hong membentaknja,
"djika berani menghina ajahku, djangan tanja dosa!"
Toan Bok yu tertawa dingin. "Dua belas djiwa boleh
djuga mendapat rente (riba) pada dirimu!" Mentjabut
pedang, dia terus menjerang Tjian hong.
Ilmu Ulat Sutera 6 My Girlfriend Is My Big Boss Karya Rendi Circa 3
^