Pencarian

Pukulan Hitam 6

Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong Bagian 6


Tjian hong sudah pernah mendjadjal ilmu pedang
Toan Bok-yu. Dengan tertawa dingin ia menggeliat, tetapi
setjepat itu Toan Bok-tjopun menjerang dari sebelah kiri.
Kedua saudara itu selalu menjerang dengan berbareng.
Ilmu pedang mereka jang disebut Thian te tong kiam
memang bukan olah2 hebatnja.
Tetapi Tjian hongpun bukan pemuda sembarangan.
Walaupun ia melajani dengan pukulan, tetapi dahsjatnja
tak dibawah sendjata pedang.
Kedua saudara Toan menjerang dengan tjepat.
Pedang berhamburan membajangi gerak gerik lawan. Seolah2 Tjian hong tak diberi kesempatan membela diri.
"Ilmu pedang lihay!" teriak Tjian hong seraja
lepaskan pukulan Membuka langit-menutup-bumi.
Djurus jang dahsjat dari ilmu Pukulan Hitam. Seketika
segumpal sinar hitam melanda dan tahu2_kedua
saudara Toan itu terpental beberapa belas langkah. Dari
wadjah mereka jang lesu terang kalau menderita luka
parah. "Hanja sedikit pengadjaran!" dengus Tjian hong.
Tiba2 Toan Bok-yu menghadap siwanita, serunja:
"Bengtju, budak ini adalah anak dari Ko Ko-hong, harap
bengtju perintahkan supaja ditangkap!"
Diluar dugaan bengtju Thian-tong bun itu
menjahut: "Kukira Ko Ku-hong takkan membunuh orang
kita!" Wadjah Toan Bok-yu berobah: "Bukti sudah njata,
mengapa bengtju masih tak pertjaja?"
"Kukira ada sesuatu dibalik hal itu," tetap bengtju
wanita itu memberi penegasan.
Toan Bok-yo tertawa sinis: "Tindakan bengtju
membela musuh itu apakah takkan dipersalahkan Thay
siang?" "Kau hendak mengantjam aku?" bengtju Thiantong-bun membentak.
Toan Bok-yu menjahut dingin: "Bengtju tak
bertindak apa2 melihat aku dikalahkan musuh. Apakah
sikap bengtju itu tak menimbulkan keheranan?"
Marah sekali bengtju wanita itu: "Kau tak
memandang mata sama sekali terhadap atasanmu.
Bagaimana hukumannja!"
Toan Bok-yu tetap membantah: "Tetapi tindakan
bengtju membela musuh itu tjenderung pada sifat2
kepenghianatan!" "Tutup mulutmu!" bentak bengtju Thian-tong-bun.
Tetapi kedua saudara Toan itu rupanja tak gentar.
Serempak mereka berseru: "Silahkan kau mengukuhi
kekuatan sebagai bengtju, tetapi kami akan pulang
melaporkan Thay-siang!" " tanpa mengutjap kata2
pamit, kedua orang itu segera melesat keluar.
Dada bengtju wanita itu berontak keras. Rupanja ia
gusar sekali2. Segera ia bergerak menjusul tetapi baru
beberapa langkah ia berhenti lagi. Rupanja ia batalkan
maksudnja hendak membunuh kedua saudara Toan jang
liar itu. Tjian hong mempunjai kesan bahwa anakbuah
Thian-tong-bun itu memang kurang disiplin. Antara
orang bawahan dan pemimpinnja tidak ada tata tertib
mengindahkan. Tetapi karena hal itu bukan urusannja
iapun tinggal diam sadja. Hanja diam2 ia berterima kasih
kepada bengtju wanita jang membela diri ajahnja
Peladjar-seribu-muka. Ia mendjurah memberi hormat, "Atas pembelaan
bengtju terhadap diri ajahku, kuhaturkan banjak terima
kasih!" Bengtju wanita itu hanja mendengus dingin:
"Benarkah ajahmu ditawan dalam Neraka-19 lapis."
"Ja." "Masih hidup atau mati?"
"Mati hidupnja tak kuketahui."
"Mengapa ibumu tak berusaha untuk menolong."
Mendengar bengtju Thian-tong-bun menjebut
ibunja, rawanlah hati Tjian hong. Ia berlinang-linang air
mata dan menghela napas pandjang.
"Mengapa kau tampak bersedih?" tegur bengtju itu
pula. "Ibu telah mengalami nasib jang mengenaskan!"
sahut Tjian hong dengan ter-hiba2.
Gemetarlah tubuh bengtju wanita itu, serunja:
"Apa" Ibumu sudah meninggal?"
Tjian hong tundukkan kepala. Airmatanja
bertjutjuran. "Siapakah jang membunuh?" tanja bengtju itu
dengan nada rawan. Teringat akan kematian ibunja karena pedang
Sambar-njawa, dendam Tjian hong membara. Tetapi
djika menilik bahwa pedang Sambar-njawa itu adalah
sendjata ajahnja, ia mendjadi bingung. Mungkinkah
ajahnja membunuh ibunja" Ah.....
Karena sampai sekian djenak Tjian hong tak
menjahut, bengtju Thian-tong-bun buru2 menjusuli
pertanjaan lagi: "Eh, mengapa kau tak mendjawab?"
"Ibu mati dibunuh dengan pedang Sambar-njawa!"
achirnja Tjian hong memberi penjahutan.
Kedjut ketua Thian-tong-bun bukan alang kepalang
sehingga tubuhnja sampai tergetar.
"Dibunuh pedang Sambar-njawa?" serunja
menegas. Ia ter-mangu2 sampai sekian lama baru kemudian
berkata lagi: "Tahukah kau bahwa pedang Sambar-njawa
itu milik ajahmu?" Tjian hong mengiakan: "Ja, aku tahu. Aku pertjaja
ajah tentu tak membunuh ibu. Namun bukti pedang itu,
benar2 membingungkan pikiranku!"
Tjian hong termenung beberapa saat. Katanja pula:
"Selain ajah siapakah tokoh persilatan jang
menggunakan pedang Sambar-njawa?"
Bengtju Thian-tong-bun gelengkan kepala: "Tak ada
orang kedua lagi!" "Ah, bagaimana mungkin?" seru Tjian hong. Ia
makin bingung. "Tidak mungkin.... tidak mungkin...." tiba2 bengtju
itu mengerut, ,tetapi dia achirnja mati di-bawah pedang
Sambar-njawa.... Ah, Tuhan, mengapa kau
menggariskan nasib begini tjelaka!"
30 Iblis selatan "Tjianpwe, siapakah nama tjianpwe?" karena
tergerak oleh sikap orang jang ikut berduka atas nasib
malang kedua orangtuanja, Tjian hong bertanja.
"Kau ingin mengetahui?" balas bengtju itu.
Tjian hong mengiakan. Tiba2 bengtju dari Thian-tong-bun itu berkata
dengan nada rawan : "Tjobalah kau pandang jang
tjermat, siapakah aku ini!"
Habis berkata bengtju itu se-konjong2 mengusap
wadjahnja. Dan tersingkaplah, kain selubung hitam jang
selama ini menutupi mukanja.
Ketika memandang, serasa terbanglah semangat
Tjian hong saat itu. Ia ter-longong2 seperti patung.
Sampai beberapa saat tak dapat bitjara.
"Kau, kau ma.....!" achirnja mendjeritlah Tjian
hong. Dihadapannja tampak seorang wanita tjantik.
Wadjahnja seperti pinang dibelah dua dengan Kang-oubi-djin!
"Bukan, aku bukan mamahmu!" sahut bengtju itu.
Tjian hong terlongong. "Aku bibimu Hoa Sian-kiok! kata bengtju wanita itu
pula. "Oh..." dengus Tjian hong legah. Kini barulah ia
tahu mengapa wadjah bengtju itu mirip sekali dengan
ibunja. Kiranja bengtju Thian"tong-bun adik ibu Tjian
hong. "Bi, mamah meninggal setjara mengenaskan..."
kata Tjian hong dengan sedu.
"Aku pertjaja tjihu (kakak ipar) tentu tak
membunuh tatji," kata Hoa Sian-kiok dengan tegas.
Tjian hong mengambil pedang Sambar-njawa dari
badjunja. Katanja dengan duka: "Tetapi pedang ini,
bagaimana djelasnja?"
Hoa Sian-kiok menjambuti pedang itu. Diperiksanja
sampai beberapa lama. "Benar, pedang ini memang dahulu digunakan oleh
ajahmu. Tetapi menilik betapa mesra kasih ajahmu dan
ibumu, tak mungkin dia akan membunuh isterinja!" kata
Hoa Sian-kiok. Remuk redam hati Tjian hong saat itu. Pikirannja
kalut tak karuan. Ibunja mati setjara mengenaskan dan
ada tanda2 bahwa pembunuhnja adalah ajahnja sendiri!
"Djangan bersedih!" Hoa Sian-kiok menghiburnja,
"kita harus mentjari tjihu!"
Tjian hong menghela napas ketjewa: "Tetapi ajah
ditawan di Neraka l9 lapis!"
"Dapatkah berita itu dipertjaja penuh?" seru Hoa
Sian kiok, "Ibu sendiri jang mengatakan hal itu kepadaku,"
djawab Tjian hong. "Kalau begitu, kita harus kesana!" tiba2 Hoa Siankiok berhenti. Katanja pula: " Hai, bukankah kau
mentjari aku karena perlu dengan air Hudjan darah?"
"Benar," Tjian hong mengiakan.
"Perlu apa dengan air itu?"
Tjian-hong tertegun. "Apakah kau mendapatkan kitab Bu-dji-thiankeng?" tiba2 Hoa Sian kiok menjelutuk.
Kembali Tjian hong terkesiap.
"Djangan heran," Hoa-Sian-kiok tertawa, "kitab jang
hilang tulisannja itu kalau direndam dengan air Hudjandarah tentu akan timbul lagi. Hal itu merupakan rahasia
umum dikalangan persilatan!"
Karena mendapat keterangan, tak beranilah Tjian
hong mengelabuhi lagi. Segera ia mengeluarkan Bu-djithian keng: "Kudapat kitab ini tanpa sengadja."
Hoa Sian-kiok tak mau bertanja melilit, serunja:
"Kau bisa memperoleh kitab itu, adalah suatu karunia
Tuhan. Djika bisa mempeladjari isinja, tentu dapat
menguasai dunia persilatan dan tentu dapat
melampiaskan dendam sakit hatimu."
"Dalam hal itu kuminta bantuan bibi."
Hoa Sian kiok kerutkan alis seperti ada sesuatu
jang membuatnja resah. "Bibi, apakah kau mempunjai kesulitan?" Tjianhong terkedjut.
"Air Hudjan-darah itu tak berada padaku," kata
Hoa Sian-kiok. "Kalau begitu...."
"Walaupun aku mendjabat sebagai bengtju Thiantong-bun, tetapi Thian-tong-bun masih mempunjai
seorang Thay-siang bengtju (pemimpin tertinggi); Air
Hudjan-darah itu berada padanja"! kata Hoa Sian kiok
pula. "Ah, agak sulit ini," keluh Tjian hong.
"Apalagi kedua saudara Toan itu marah kepadaku
karena aku membela ajahmu. Tentulah mereka mengadu
biru dihadapan Thay-siang! Kedudukanku tentu sulit!"
"Siapakah Thay-siang bengtju itu?" tanja Tjian
hong. Rupanja Hoa Slan-kiok sukar untuk menerangkan
udjarnja: "Karena larangan partai, tak dapat
kuberitahukan padamu!"
Tiba2 Hoa Sian-kiok menjusuli kata2nja: "Tetapi
walaupun bagaimana, akan kuusahakan agar air
Hudjan-darah itu dapat kuperoleh!"
"Terima kasih bibi!"
"Mari ikut aku kemarkas besar Thian-tong-bun!"
kata Hoa Sian-kiok kepada keponakannja.
Demikian keduanja segera tinggalkan biara. Dalam
tiga hari kemudian, tibalah mereka dihutan jang terletak
disebelah luar markas Thian-tong-bun.
Tiba2 ketika tiba disebuah udjung djalan mereka
melihat sesosok bajangan orang, Hoa Sian-kiok
terkedjut. Ia hentikan larinja.
"Tjian hong, lekas kau menjusup kedalam hutan.
Untuk sementara kau harus bersembunji!" katanja.
"Tjian-hong heran. Ketika ia hendak meminta
keterangan, Hoa Sian-kiok membentaknja: "Lekas!
Djangan sampai rentjana kita kotjar katjir."
Melihat bibinja begitu tegang, Tjian hongpun segera
melakukan perintahnja. Tjepat2 ia melesat dan
bersembunji kedalam hutan. Dari balik gerumbul pohon,
ia mengintai keluar. Ternjata jang datang itu bukan hanja seorang,
melainkan serombongan 8 orang mengangkut sebuah
tandu. Mereka ber-lari2 memanggul tandu itu.
Dibeklakang tandu diiring 8 orang dajang2 perempuan.
Tjepat sekali tandu itu tiba dihadapan Hoa Sian-kiok.
Hoa Sian-kiok ter-sipu2 memberi hormat. "Hamba
menghaturkan hormat kepada Thay-siang."
Tandu itu sebuah tandu jang diukir lambang2
warna warni jang indah. "Hoa Sian-kiok, apakah kau mengandung pikiran
hendak berchianat pada Thian-toog-bun?" orang jang
berada dalam tandu tak muntjul melainkan suaranja
jang kedengaran melantang tadjam. Tjian-hong
terkedjut. Dari nada orang itu djelaslah bahwa Thay
siang partai Thian-tong-bun itu djuga seorang wanita.
Tetapi siapkah gerangan wanita jang sedemikian
saktinja" Bukan Thay-siang atau Pemimpn tertinggi dari
partai Thian tong-bun itu. tentu seorang jang
berkepandaian sakti sekali.
Hoa Sim kiok kedengaran menjahut: "Harap Thaysiang suka mempertimbangkan bahwa setelah menerima
budi diangkat sebagai bengtju, masakan hamba hendak
ber-angan2 mendjadi penghianat?"
Kedengaran pula suara dari dalam tandu: "Djelas
hatimu sudah bertjabang, mengapa masih menjangkal?"
Dengan serta merta Hoa Sian kiok segera berseru:
"Hamba telah banjak menerima budi...."
"Hm, duabelas murid Thian-tong-bun mati dibawah
pedang Samber-njawa dari Ko Ko-hong, mengapa kau


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak mentjurigai Ko Ko-hong kebalikannja malah
membelanja?" Hoa Sian-kiok tundukkan kepala: "Hamba djusteru
hendak mengedjar djedjak Ko Ko-hong!"
"Hm, mengedjar" Perlu apa kau mengedjar?"
"Hendak hamba tangkap!"
"Fui! Tangkap" Kedua saudara Toan hendak
menangkap anak dari Ko Ko-hong sadja, kau tak mau
membantu. Apakah sebabnja?" seru suara dari dalam
tandu dengan sinis. Wadjah Hoa Sian-kiok agak berobah, tetapi tjepat
ia berlaku tenang kembali dan berkatalah ia dengan
pelahan: "Kedua saudara Toan itu sama sekali tak mau
mengindahkan orang atasannja. Sikapnja tjongkak
gemar mengadu domba. Harap Thay-siang djangan
pertjaja omongan mereka!"
Dari dalam tandu terdengar dua buah dengusan
menggeram. Buru2 Hoa Sian-kiok berkata pula: "Kematian ke
12 anakbuah kita itu sama sekali tiada sangkut pautnja
dengan putera Ko Ko-hong. Apalagi kedua saudara Toan
itu mengerojok pemuda itu. Apabila hamba dalam
kedudukan sebagai bengtju turun tangan membantu,
bukankah akan mendjadi buah tertawaan orang
persilatan" Bukankah orang akan mengatakan bahwa
partai Thian-tong-bun tak mampu menundukkan
seorang anakmuda sadja dan perlu main kerojok"
Tidakkah sukar bagi partai kita untuk menantjap kaki di
dunia persilatan?" "Tadjam benar mulutmu!" bentak Thay-siang, "Hoa
Sian-kiok, tjamkanlah dalam benakmu. Kalau aku
mampu membantumu merebut kedudukan bengtju dari
partai Thian-tong-bun, tentu akupun mampu untuk
melenjapkan kau dari dunia persilatan!"
Gemetar tubuh Hoa Sian-kiok mendengar antjaman
tadjam dari thay siang. Serunja: "Hamba tentu setia,
harap thay-siang djangan bersangsi!"
"Setia tak mendua hati?" dengus thay-siang, "kau
kira aku tak tahu isi hatimu?"
Hoa Sian-kiok tertegun. Ia menunduk.
"Kutahu hatimu tak dapat melupakan Ko Ko-hong!"
kata thay-siang pula. "Thay-siang, sama sekali hamba tak mengandung
perasaan begitu!" sangkal Hoa Sian-kiok.
"Tak mungkin kau dapat mengelabuhi aku!"
"Tidak..." "Memang hati wanita sehalus itu. Sekali mentjintai
seorang pria, maka tak dapatlah ia melupakannja
seumur hidup...." "Thay-siang, djangan membitjarakan hal itu," seru
Sian-kiok dengan mata berlinang.
"Tetapi didunia tiada prija jang baik!" seru thaysiang dengan geram.
"Thay siang!" ?"Kau tak mau mengingat atau memang tak berani
mengenangkan kembali. Betapa pada permulaannja kau
mentjintainja setengah mati. Namun Ko Ko-hong tak
menghiraukan kau dan tetap mentjintai ta-tjimu Hoa
Sian-lan. Bahkan lelaki itupun sampai hati djuga hendak
membunuhmu." "Thay-siang, peristiwa jang lampau itu ternjata
hanja suatu kesalahan faham sadja!"
"Salah faham?" seru thay siang mengedjek, "mereka
berdua telah membudjukmu supaja ikut kesebuah
karang buntu. Apa maksud mereka kalau tidak akan
melemparkan majatmu kebawah djurang. Djika saat itu
aku tak muntjul, apakah kau masih dapat melihat sinar
matahari sampai sekarang?"
Hoa Sian-kiok menggeleng: "Hari itu sebenarnja
kami bertiga sedang berburu. Pada saat mereka berdua
gerakan tangan, kudengar dibelakangku ada suara
berisik. Kemungkinan tentu kelintji hutan. Dan binatang
itulah jang hendak dipukul oleh mereka berdua!"
"Kau masih pertjaja mati2an kepada mereka?" seru
thay-siang dengan nada kurang senang.
Mata Hoa Sian-kiok merentang lebar: "Menurut
penilaian, tiada alasan untuk menuduh tatji hendak
membunuh aku!" "Mengapa?" "Kami tatji beradik sedjak ketjil saling menjajang,
makan, tidur dan bermain selalu berdua. Tatji tjinta
sekali kepadaku, masakan ia tega hendak membunuh
aku?" Pembitjaraan antara Hoa Sian-kiok dan thay-siang
jang berada dalam tandu, didengar djelas oleh Tjianhong - Ia terkedjut, "Oh, kiranja bibipun mentjintai
ajahku. Rupanja thay siang itu memang mendjalankan
siasat adu domba untuk memetjah belah mamah dengan
bibi, "kata Tjian hong dalam hati.
Kedengaran thay-siang itu mendengus dingin:
"Tahukah kau hal apa didunia ini jang membuat orang
kalap?" Hoa Sian-kiok terkesiap tak dapat menjahut
sampai beberapa djenak. "Ketahuilah bahwa Tjinta itu bersifat koukati
(egois). Takkan membagikan pada orang kedua,
sekalipun orang kedua itu adalah adik atau saudaranja
kandung sendiri, orang jang dilanda ratjun Tjinta tentu
akan tegah membunuh siapapun djuga, sahabat atau
keluarganja!" seru thay-siang.
"Apakah sedemikian dahsjat pengaruh tjinta itu?"
seru Hoa Siao-kiok. "Tidak hanja sampai disitu sadja bahkan apa bila
perlu, duniapun akan dihantjurkan djuga...." sahut
tkah-siang. Dan dengan nada jang mengundjuk
kemarahan hebat, berserulah ia: "Biang keladi dari
kehantjuran hati wanita itu adalah kaum pria maka aku
bersumpah tentu akan membasmi tiap orang lelaki!"
Bukan main kedjut Tjian-hong mendengar
pernjataan ngeri dari thay-siang itu.
Namun tenang2 sadja Hoa Sian-kiok menjahut:
"Dahulu memang aku mempunjai anggapan bahwa
kaum pria itu bukan manusia baik semua. Tetapi
sekarang aku mempunjai pandangan lain... Ah, tak
seharusnja aku mengenangkan Ko Ko-hong lagi...."
"Bukankah dahulunja dia djuga tjinta sekali
padamu" Adalah karena melihat tatjimu maka
berobahlah hatinja!" Thai-siang menjelutuk.
Hoa Sian-kiok tengadahkan kepala memandang
kelangit: "Tidak, Ko Ko-kong hanja mengundjuk sikap
persahabatan. Dia menganggap diriku sebagai adik
iparnja. Tjintanja hanja tertumpah pada tatji seorang!"
Thay-siang tertawa menghina: "sesungguhnja dia
hanja mempermainkan kau sadjalah!"
"Ko Ko-hong bukan seorang lelaki sembarangan.
Dia setia mentjintai tatji. Sajang saat itu umurku masih
ketjil maka penerimaanku keliru. Kuanggap sikapnja
jang begitu baik itu sebagai tanda dia tjinta padaku. Ag,
aku memang salah faham!" bantah Hoa Sian kiok.
"Ngatjo!" bentak thay-siang, "semua lelaki didunia
ini patut dibunuh!" Diam2 timbul reaksi penasaran dalam hati Tjianhong terhadap thay-siang itu.
Kata thay-siang itu lebih djauh: "Lelaki paling tak
mengerti apakah tjinta itu. Pada waktu kau
mentjintainja, dia tentu menganggap dirinja paling
tjakap paling berharga dan diapun lalu bersikap djual
mahal. Tetapi apabila kau tinggalkan dia pergi, dia tentu
akan mati2an merintih menjatakan tjinta padamu.
Djangun se-kali2 kau termakan budjuk rajuan. Apalagi
kau tak dapat memegang gengsimu, sekali tergelintjir
dalam tjumbu rajuan lelaki, sesal kemudian tiada
berguna!" Walaupun dalam hatinja Hoa Sian kiok tak setudju
dengan pernjataan thay-siang namun tak berani ia
membantah. Kata2 jang sudah2 disiapkan dibibir tak
djadi dinjatakan. Tiba2 thay siang bertanja: "Apakah keperluanmu
kembali kemarkas ini?"
"Hamba hendak..." tiba2 Hoa Sian-kiok meragu.
Apabila ia mentjeritakan sedjudjurnja, thay-siang tentu
akan mengurus kitab Bu-dji-thian keng.
"Katakanlah, apa tudjuanmu?" desak thay-siang.
"Akan mendjenguk kesehatan thay-siang.
"Tutup mulutmu!" bentak thay-siang dengan
murka, gerak gerikmu tak mungkin terlepas dari
mataku. Terus terang sadja bukankah kedatanganmu
kesini hendak minta air Hudjan darah padaku?"
Hoa Sian-kiok gemetar. "Ja..." achirnja ia menjahut agak getar.
Thay-siang tertawa dingin, udjarnja: "Perlu apa kau
dengan air Hudjan-darah itu" Apakah kau sudah
mendapatkan kitab Bu-dji-thian-keng?"
Sedemikian hebat rasa kedjut jang diderita Tjianhong saat itu sehingga tubuhnja gemetar dan diluar
kesadarannja telah menimbulkan suara kresekan dari
daun2 jang tersentuh badannja. Ia makin kaget karena
kuatir getaran daun itu akan diketahui thay-siang.
Hoa Sian-kiok hendak menjahut tetapi tiba2 thaysiang sudah mendahului: "Ho, kiranja begitu!" " dan
sekonjong2 ia tertawa njaring.
Suara tertawa jang dilambari dengan tenaga dalam
itu, melengking tadjam menembus sampai kelangit. Dan
bergetarlah daun2 diseluruh hutan....
Hoa Sian-kiok terkesiap. Tah tahu ia apa maksud
thay"iang. Tetapi jang djelas, djantungnja bergontjang
hebat terlanda oleh suara tertawa itu. Buru2 ia kerahkan
tenaga dalam untuk menahan.
Tjian hong bersembunji dibalik gerumbul pohon.
Karena daun2nja rontok, persembunjiannjapun tak
dapat dipertahankan lagi. Buru2 ia beringsut kelain
gerumbul untuk berpindah tempat.
Tetapi suara tertawa thay-siang itu masih tetap
melengking dahsjat, tinggi rendah bagai gelombang
mendampar. Dan daun-daunpun berguguran laksana
hudjan mentjurah. Hampir separoh dari pohon dihutan
itu rontok daunnja. Sekeliling sisi Tjian-hong penuh
berserakan daun2. Djika thay-siang melandjutkan
tertawanja, Tjian hong tentu tak dapat bersembunji lagi.
Ha, ha... hi, hi, hi... ha. ha. ha....
Tiba2 dari kedjauhan terdengar suara tertawa
menjambut: "Ho, ho, ho... hu, hu, hu.... Dua buah
tertawa saling beradu, berebut tindas menindas.
Bagaikan dua buah pedang saling beradu. Udara seolah2 berisik dengan halilintar me-njambar2...
Tak berapa lama tertawa thay-siangpun makin
lama makin rendah. Suara pendatang itu makin lama
makin menguasai udara. Tiba2 thay-siang hentikan tertawanja. Dengan
suara lemah pelahan ia berseru: "Lam... Lam-mo..."
Dari seruan thay-siang djelaslah bahwa Lam-mo
atau Iblis-selatan itu tentulah seorang durdjana jang
menggetarkan dunia persilatan.
"Lam-mo" Siapakah Lam mo?" ber-ulang2 Tjian
hong bertanja dalam hati ketika menjaksikan
pertandingan tertawa jang menggemparkan itu.
Tiba2 thay-siang berseru: "Hai, budak jang
bersembunji dipohon, hari ini kau mendapat
kemurahan!" "Ikut aku pulang!" kata thay-siang kepada HoaSian-kiok. Dan segera ia perintahkan tandu berdjalan
pula. Sedjenak Hoa Sian-kiok memandang kearah tempat
persembunjian Tjian hong. Dengan menahan kedukaan,
ia segera menjusul thay-siang.
Tjian hong ter-mangu2 sampai beberapa saat.
Tiba2 ia terkesiap sendiri, batinnja: "Ho, kiranja thatsiang bengtju sudah mengetahui tempat
persembunjianku. Lalu mengeluarkan ilmu tertawa
untuk merontokkan daun2. Dengan begitu supaja
sampai persembunjianku kelihatan!"
Diam2 ia bersjukur bahwa di-saat2 jang genting,
muntjul seorang luar biasa jang dapat menandingi
tertawa thay siang. Orang itu tentu memiliki kepandaian
jang amat sakti. Tetapi siapakah gerangan orang itu"
"Lam-mo, siapakah Lam-mo?" ber-ulang2 mulut
Tjian hong mengiggau seorang diri.
Kemudian pikirannja beralih pada Hoa Sian kiok. Ia
duga bibinja itu tentu akan mendapat hukuman dari
thay-siang. Apa daja untuk menolongnja" Achirrja ia
memutuskan, malam nanti akan menjelidiki kemarkas
Thian-tong-bun. Segera ia duduk menjalurkan napas dibawah
pohon. Sehari itu ia gunakan untuk memulihkan tenaga,
menjegarkan semangat, ia sadar Thian-tong bun penuh
dengan harimau buas. Tak terasa malampun tiba dan Tjian-hong segera
berkemas. Langit tiada bulan, hanja disinari beberapa
bintang. Tjian hong segera menudju ke Thian-tong-bun.
31 Bi-hun-kiong. Markas besar Thian-tong bun laksana terbungkus
sutera hitam. Bajang2 pohon disekeliling markas itu,
tampak berdjadjar-djadjar seperti barisan pengawal jang
angker... Tiba2 muntjul sesosok bajangan. Bajangan itu lari
tjepat menudju kesebelah timur. Dalam kegelapan
malam, hanja gedung sebelah timur dari markas itu jang
tampak mendjulang paling tinggi.
Tjepat bajangan itu tiba dipuntjak gedung itu dan
kedengaran ia berkata seorang diri: "Dimanakah tempat
bibi?" Kiranja bajangan itu bukan lain Tjian hong jang
malam2 itu masuk kedalam markas Thian-tong-bun.
Tetapi ia tak dapat menemukan pintu markas maka
terpaksa menjelundup dengan djalan lontjat keatas
gedung. Gedung itu tjukup perkasa dan luas sekali. Tetapi


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anehnja tiada penerangan sama sekali. Tjian hong
menggelantungkan diri pada tiang rusuk lalu djulaikan
kepalanja kebawah wuwungan. Tiba2 ia melihat sebilah
papan tembaga melekat diatas pohon. Papan itu tertulis:
Bi-hun-kiong atau istana Ling-lung!
Tjian hong tertawa dingin: "Hm, Bi-hun-kiong
memang bisa menjesatkan pikiran orang, tetapi djangan
harap bisa menghilangkan pikiranku!"
Dasar anak muda, darahnja memang panas.
Dengan penasaran ia lontjat turun dan mendorong
pintu. Ternjata pintu terbuat dari pada besi. Tetapi
anehnja sekali dorong, pintu besi itupun terbuka. Tjian
hong menjurut kaget sendiri!
Dalam ruangan gedung Bi hun-kiong itu sunji
senjap, kosong melompong.
"Ah, djika tak berani masuk kedalam sarang
harimau, bagaimana aku bisa mendapatkan anak
harimau..." achirnja Tjian hong bulatkan tekadnja. Dan
dengan semangat ber-kobar2 ia melangkah masuk.
Se-konjong2 serangkum angin dingin meniup
kearahnja. Buru2 ia kerahkan tenaga dalam untuk
menahan tetapi tak urung tubuhnja agak menggigil
djuga. Setelah tenang, ia landjutkan langkahnja pula.
Ia menghadapi sebuah lorong pandjang. Untuk
mendjaga sesuatu jang tak diinginkan, ia lindungkan
kedua tangannja kedada. Tiba diudjung lorong, ia
berhadapan dengan sebuah ruang jang luas. Ia berhenti
sedjenak menimang. Tiba2 terdengarlah bunji-bunjian musik. Merdu
sekali iramanja tetapi segera ia merasakan sesuatu jang
tak wadjar pada njanjiannja. Njanjiannja penuh bernada
perangsang ketjabulan. Tjian hong buru2 kerahkan
semangat untuk menenangkan diri.
Tjian hong djalan ber-djingkat2 menghampiri. Sekonjong2 ruangan gelap itu memantjar terang benderang
seperti disiang hari. Seluruh ruang ternjata berhias
lampu. Dan serempak dengan itu terdengar suara
bersenandung ketjil. Dua rombongan gadis berpakaian
putih muntjul. Usianja rata2 diantara 28-an tahun
tjantik2 dan tubuhnja jang berselimut pakaian tipis,
tampak mempesonakan! Belum selesai Tjian hong memperhatikan, tiba2
lampu2 berobah beraneka warna. Putih, merah, kuning,
hidjau, biru dan wungu. Suasana ruangan berobah
menggairahkan. Dua romhongan gadis penari itu pe-lahan2 mulai
bergojang kibul dan me-nari2 menghampiri Tjian-hong.
Bau harum semerbak menampar hidung, telingapun
dilengkingi suara njanjian2 tjabul. Betapa teguh iman
seorang lelaki, tentu akan gojang djuga melihat
pemandangan jang sedemikian memesonakan itu...
Apalagi Tjian-hong jang masih muda. Betapapun
keras ia hendak menahan diri, namun mau tak mau
darahnjapun bergolak. Rombongan gadis2 penari itu me-nari2 mengitari
Tjian-hong. Tiba2 gadis itu mulai menanggalkan
pakaiannja (sematjam tari strip-tease). Darah Tjian hong
makin mendidih, dadanja berombak keras. Genting
meruntjing laksana gunung berapi jang akan meletus....
"Tjian hong, kerahkan semangatmu, djangan
sampai terlimbung oleh gadis siluman itu!"
Tjian-hong seperti tergujur air dingin. Dan
herannja, dalam pandangannja saat itu gadis2 penari itu
walaupun setengah telandjang tetapi tak memantjarkan
daja penarik lagi.... Tjian-hong, turut perintah bibi. Lekas kau keluar
dari Bi hun-kiong ini atau kau nanti akan makin
terdjerumus lebih hebat. Ruang ini baru ruang pertama
jang disebut "Tari tjabul"... tiba2 Tjian hong dikedjutkan
pula oleh suara ketjil matjam ngiang njamuk jang
melengking dltelinganja. "Ha, Ruang Tari-tjabul sudah sedemikian lihaynja,
ruang kedua tentu lebih hebat lagi!" dia Tjian hong
membatin. Memang jang mengisiki dengan ilmu Menjusupsuara itu jalah Hoa Sian-kiok, bibi Tjian hong sendiri.
Kata Hoa Sian-kiok pula: "Gunakan ilmu Ajam
menerobos-fadjar untuk menerobos keluar dari kawanan
gadis itu..." Tjian hongpun segera endjot tuhuhnja melajang
lewat diatas barisan gadis2 penari.
"Gunakan djurus Naga-meringkik marah!" kembali
Hoa Sian-kiok menjusupkan suara. Dan seketika itu
djuga Tjian-hongpun bersuit njaring sekali. Njanjian
kawanan gadis penari jang penuh bernada ketjabulan,
petjah berantakan.... Tjian hong melakukan petundjuk bibinja. Ia
menudju kemulut lorong. Kawanan gadis penari
berhamburan mengedjarnja!
"Djurus Memanggul-bintang!"
Tjian hong ajunkan tangannja menghantam
kawanan gadis penari itu lalu teruskan lari keluar.
"Lari ketimur dan tunggu aka dibawah pohon
besar!" kembali Hoa Sian-kiok melengkingkan Ilmu
Menjusup-suara. Tjian hong tak berani berajal. Dengan mengerahkan
seluruh tenaga ia lari kedjurusan timur. Entah berapa
djauhnja tiba2 ia melihat sebatang pohon besar
mendjulang tinggi. Segera ia menjelinap kesitu. Tetapi
serempak dengan itu sesosok bajanganpun melesat.
"Bibi!" Tjian-hong berseru terkedjut.
Memang jang datang itu Hoa Sian-kiok. Wadjah
wanita itu tampak putjat lesi dan dengan suara getar ia
berseru: "Kau terlalu gegabah sekali. Kau kira Thiantong-bun mudah dimasuki?"
"Maaf, bibi, tetapi aku memikirkan
keselamatanmu!" sahut Tjian hong.
"Tidak... " Hoa Sian-kiok segera mengeluarkan
sebuah botol dan diberikan kepada Tjian hong. "Inilah
air hudjan-darah. Tak mudah kuambilnja, bawalah!"
Begitu menjambuti, Tjian-hong hendak mengutjap
sesuatu, tetapi tjepat ditjegah bibinja: "Sudahlah,
djangan banjak bitjara!" - Menundjuk pada botol Hudjandarah, Hoa Sian-kiok berkata lebih djauh. "Kau pasti
dapat menggunakan sebaik-baiknja. Setelah kau berhasil
mempeladjari isi kitab Bu-dji-thian-keng barulah kau
boleh menjerbu kedalam Neraka 19 lapis.
Tiba2 dari djauh terdengar suitan bernada
kemarahan. Wadjah Hoa Sian-kiok berobah tegang,
serunja: "Thay-siang telah mengetahui kau dapat lolos
dan saat ini mengerahkan orangnja mengedjar. Lekas
pergi atau kalau terlambat sedikit sadja, kau pasti
tjelaka!" "Tetapi kau bagaimana, bi?" seru Tjian hong.
Hoa Sian-kiok dorongkan tangannja. "Aku tak djadi
apa, pergilah lekas!"
Dengan menahan air mata Tjian hong terpaksa
angkat kaki. Suitan itu makin lama makin dekat. Buru2
Tjian hong tjepatkan larinja. Setelah beberapa lama
berlari, ketika dibelakang tak tampak orang mengedjar,
barulah Tjian hong berhenti. Saat itu terdengar ajam
berkokok menjambut datangnja pagi.
"Hai, apabila sudah dapat kupeladjari ilmu dalam
Bu"dji-thian"keng, pasti akan kusapu bersih
durdjana2 itu!" geramnja dalam hati.
Kini kitab pusaka dan hudjan darah telah
diperolehnya. Soalnja hanja tunggu tjari tempat jang
sunji untuk segera mulai mempeladjarinja. Ia segera
menudju kesebuah hutan. Dipilihnja sebuah tempat jang
sunji, sebuah goha jang tak mungkin diketahui orang
lalu mulailah ia bersiap. Sesuai dengan petundjuk Kuibo, kitab Bu-dji-thian-keng segera direndam dengan air
Hudjan"darah. Dalam pada menunggu saat2 kitab itu
akan timbul tulisannja, pikiran Tjian-hong melajang.
Mengenangkan bagaimana nanti setelah dapat
mempeladjari ilmu kesaktian segera ia hendak
menumpas kawanan durdjana, menolong ajahnja, ia
tertawa riang. Kira2 sepeminum teh lamanja ia
berpendapat, kitab itu tentu sudah timbul tulisannja.
Segera diambilnja kitab itu dan hatinjapun tegang sekali.
Dengan tangan gemetar mulailah ia membuka lembaran
halaman kitab itu. Amboi.... halaman kitab itu tetap
kosong melompong. Tak sebuah hurufpun jang tampak.
Tjian hong termangu kaget: "air Hudjan-darah
terang bibi jang memberi padaku sendiri. Tak mungkin
palsu!" Kini dugaan Tjian hong djatuh pada kitab itu.
Kalau air Hudjan-darah tidak palsu, tentulah kitab Budji-thian-keng itu jang palsu!
Tetapi ketika merenungkan betapa tegang sikap
Su-hay-mo-ong ketika menjimpan kitab itu, ketjurigaan
Tjian hong agak berkurang. Mungkinkah kitab itu
memang palsu" Mengapa kitab itu tetap tak kelihatan
hurufnya" Tjian hong ter-bengong2. Beberapa saat kemudian
barulah ia sadar: "Mungkin kurang lama merendamnja!"
Kembali direndamnja kitab itu dalam air Hudjandarah. Tetapi saat itu Tjian hong tak dapat berlaku
tenang lagi. Hatinja berdebar keras. Tak dapat ia
membajangkan bagaimana andaikata itu benar2 palsu.
Sedjam kemudian, Tjian hong tak dapat menahan
diri lagi. Segera diambilnja kitab itu dan dibukanja.
Seketika ia melongo.... Bu-dji-thian-keng tetap hanja
lembaran kertas putih belaka.
"Aku tertipu...." achirnja ia menghela napas. Tetapi
siapakah gerangan jang memasang siasat ini. Pikirannja
melajang pada Su-hay mo-ong dan anaknja (Hay-gwa-itkiau). Mungkin pula saat Su-hay"mo-ong
menjembunjikan kitab ditiang penglari, ditukarnja kitab
itu dengan jang palsu. Kemudian ia menerima tawaran
Kui-bo. "Ah, tetapi kalau melihat nada sikap Su-hay moong jang begitu ber-sungguh2, rasanja tak mungkin
kalau palsu," pada lain kedjab Tjian hong membantah
dugaannja sendiri. Sesaat bingung Tjian hong memikirkan kedjadian
jang aneh itu. Sekali lagi ia tjoba membuat analisa.
Achirnja sampai pada kesimpulan bahwa mungkin Suhay-mo-ong memang telah mendapat kitab jang palsu.
Djadi bukan dia jang memalsukan. Atau memang kitab
peninggalan dari Bu Yu lodjin itu sengadja dibuat dua
matjam agar orang persilatan saling berebut dan
tjakar2an. "Kalau benar begitu, rentjana itu kedji sekali..."
kata Tjian hong. Tiba2 ia dikedjutkan oleh suara pekikan dan dering
sendjata. Tjepat ia melangkah keluar. Di luar hutan
tampak tiga orang sedang bertempur.
"Siangkwan Yap, djangan keliwat menghina orang!"
seru sebuah nada perempuan jang parau,
Tjepat Tjian hong bersembunji dibalik sebuah
pohon besar untuk melihat apa jang mereka
pertengkarkan. Dilihatnja Su-hay mo-ong dan puterinja
sedang menjerang hebat pada Kui bo. Namun wanita tua
itu tak gentar. Kedua tangannya jang kurus runtjing
matjam tjakar burung, tampak berlingkar-lingkar dengan
tjepat sekali. Tiba2 Su-hay-mo-ong mengirim sebuah tendangan:
"Kui-bo, kau ganas benar!"
Kui-bo menghindar kesamping seraja balas
memukul Hay-gwa-it-kiau: "Kalau kau tak mau bitjara
djelas, bagaimana tahu?"
Tjian-hong heran mengapa ketiga orang jang telah
bersepakat mentjari air Hudjan darah itu, mendadak
saling berhantam sendiri. Pikirnja: "Rupanja Su-hay-mo
onglah jang mentjari Kui-bo!"
Terdengar Su-hay-mo-ong tertawa dingin: "Kau
sudah tahu mengapa pura2 bertanja lagi!"
Kui-bo melengking: "Aku toh bukan tjatjing dalam
perutmu, bagaimana aku bisa tahu isi hatimu?"
Hay-gwa it kiau menjurut mundur. Katanja kepada
sang ajah: "Jah, tak apalah. Djelaskan padanja agar ia
djangan djadi setan penasaran kalau nanti mati!"
"Tutup mulutmu, budak hina!" bentak Kui-bo.
Su hay-mo ong menarik pukulannja: "Karena kau
berlagak pura2, akan kuterangkan sekali lagi, tak djadi
apa....." ditatapnja wanita itu dengan mata membara,
serunja: "Apakah kau masih ingat perdjandjian dalam
pondok?" Kui bo kerutkan matanja kedalam. Tiba2 ia
memantjarkan sinar kemarahan: "Kau menjesal?"
"Djawab pertanjaanku dulu! bentak Su-hay-mo
ong. "Mengapa tak ingat!" sahut Kui-bo, "tetapi mengapa
diam2 kau menjelundup kemarkas Thian-tong-bun
untuk mentjari air Hudjan-darah?"
"Bagaimana isi perdjandjian kita?" seru Su-hay-moong.
"Bersama-sama mempeladjari isi kitab Bu-djithian-keng!"
Su-hay-mo-ong tertawa njaring: "Tetapi mengapa
kau hendak mengangkangi kitab itu sendiri?"
Berobahlah wadjah Kui bo matjam setan
menjeringai: "Kapan aku hendak mengangkang?"
"Kui-bo, djangan berlagak pilon!"
"Siangkwan Yap, omonglah jang terang!" balas Kuibo.
Su-hay-mo-ong tertawa mengekeh: "Kau sendirilah
jang menawarkan kerdja sama kepadaku. Tetapi ternjata
hatimu berduri. Begitu tinggalkan pondok, diam2 kau
menjelinap kembali untuk mengambil kitab itu!"
Rambut wanita iblis itu mendjigrak. Kemarahannja
me-luap2: "Siangkwan Yap, kau memfitnah orang semaumu!"
"Bukti sudah njata, mengapa kau masih
menjangkal?" Hay gwa-it-kiau menjelutuk.
Kui-bo pentangkan mata, "Kau menuduh aku
mentjuri kitab itu" Apakah kau melihat sendiri?"
"Hm, berani berbuat mengapa takut mengaku"
Ketjewa kau digelari sebagai tokoh terkemuka kalau
perbuatanmu plintat plintut seperti tikus busuk!" dengus
su-hay-mo-ong. Marah Kui-bo bukan kepalang, serunja: "ngatjo


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bela!" - serentak ia berandjak melontarkan pukulan.
Su-hay-mo-ong lontjat mundur. "Bu-dji-thian-keng
hilang..." Kui-bo lontjat mundur. "Hilang?" serunja terkedjut,
"Perlu apa aku bohong!"
Kui-bo terlongong-longong. Djika kitab Bu-djithian-keng hilang, perlu apa mentjari air Hudjan-darah"
Tetapi pada lain kilas ia tjuriga. "Ah, djangan2...!
Siangkwan Yap hanja mengingusi aku!"
Teringat ia bahwa tempat penjimpanan kitab itu
hanja diketahui mereka bertiga. Mengapa bisa hilang"
"Siangkwan Yap, kau serigala buas!" tiba2
berserulah ia setelah menjadari persoalannja.
"Aku, aku ganas?" mata Su-hay-mo ong
membelalak. Seru Kui-bo dengan garang: "Kalian ajah dan anak,
sengadja mengambil kitab itu tetapi menuduh aku jang
mentjuri. Benar2 tipu muslihat jang kedji. Kau kira aku
seorang anak ketjil jang dapat kau kelabuhi begitu
sadja?" "Apa buktinja?" wadjah Su-hay-mo-ong membesi.
"Perlu apa kau kembali kedalam pondok lagi" tegur
Kui-bo dengan tadjam. "Karena tak tega...."
"Jang tahu penjimpanan kitab itu hanja kita
bertiga. Perlu apa kau tak tega" Terang kalian ajah dan
anak sudah merentjanakan penipuan!" Kui-bo menutup
kata2nja dengan ajunkan tangannja. "Terimalah ini!"
Tjepat sekali Kui-bo sudah lantjarkan 3 djurus
serangan kilat. Su-hay-mo-ong menghindar mundur.
Dahinja mengutjurkan keringat dingin.
"Enjah!" melihat ajahnja diserang, Hay-gwa-it-kiau
angkat tangannja mengantjam. Tetapi Kui-bo malah
marah sekali. Setjepat berputar tubuh ia tamparkan
tangannja. Hay-gwa-it-kiau terhujung mundur dua
langkah. Wadjahnja putjat lesi. Melihat itu buru2 Suhay-mo-ong lontjat menabas agar tekanan tenaga kepada
puterinja mendjadi berkurang.
Kui-bo bersuit njaring. Ia tumpahkan
kemarahannja kepada Su-hay-mo-ong. Seketika
petjahlah pertempuran dahsjat dalam hutan situ.
"Hm, silahkan kalian saling bunuh," diam2 Tjian
hong bersjukur dalam hati. Dilihatnja langit tjerah.
Seketika timbullah hasratnja untuk menjelidiki ke
Neraka-dua-lapis lagi. Tjepat ia ajunkan tubuh lontjat
beberapa tombak djauhnja. Samar2 ia masih mendengar
deru angin pertempuran. Diam2 ia tertawa geli. 32 Tjinta dan kebentjian Pada malam jang senjap itu dilembah dimana
terdapat bangunan apa jang disebut Neraka-dua-lapis
tampak sesosok bajangan manjelinap masuk. Dia adalah
djago muda kita, Ko Tjian hong.
Dengan membekal dendam kemarahan, pemuda itu
pertaruhkan segenap djiwanja menjelundup kedalam
Neraka-dua-lapis. Kali ini ia harus mendapat keterangan
tentang letak Neraka-19 lapis!
Tiba2 ia tersirap kaget. Ketika menerobos masuk
kemulut lembah, tampak majat berserakan disepandjang
djalan. Dan saat itu terdengar suara pekik djeritan dari
pembunuhan. "Hm, kali ini Sin-tjiu-giam-ong tentu ketemu
musuh tangguh!" diam2 ia membatin. Tjepat ia berlari
menudju kegoha tempat bangunan Neraka-dua-lapis.
Ternjata Neraka-dua-lapis itu dibangun dilamping
gunung. Dari sebelah depan, orang takkan mengetahui
sampai dimana liku2 bangunan sebelah dalamnja jang
berbahaja itu. Tjian hong menerobos masuk.
Se-konjong2 ia dikedjutkan oleh sambaran angin
jang melanda dadanja. Tjepat ia memberi reaksi
mendorongkan sebuah pukulan keras.
"Aduh...." terdengar djerit mengaduh dan djatuhnja
sesosok tubuh. Ketika memeriksa, Tjian hong dapatkan
penjerangnja itu seorang anakbuah Neraka dua-lapis
jang berwudjut seperti setan ketjil.
Tiba2 ia mendengar deru angin bertaburan tadjam.
Datangnja dari arah luar. Ia duga tentu terdjadi
pertempuran seru. Tjepat ia lontjat keluar goha. Dan
dugaannja ternjata benar.
Seorang wanita muda jang berwadjah buruk sedang
melantjarkan serangan dahsjat kepada Yu-leng-li-kui.
Tampak nona jang pernah meraju Tjian hong itu tak
berdaja menghadapi serangan siwanita buruk. Serangan
wanita buruk ini laksana djaring menebar, Yu leng li kui
bingung. Pada lain kedjab Yu-leng-li-kui mendjerit ngeri
dan rubuh dengan batok berhamburan......
Tjian hong gelagapan. Ia menjesal mengapa tak
lekas2 memberi pertolongan pada Yu leng-li kui jang
pernah menolongnja. Dan kedua kali memang ia
tertjengeng menjaksikan kepandaian wanita buruk jang
bukan olah2 hebatnja itu.
Setelah tersadar, barulah ia berteriak marah:
"Ganas sekali!"
Sahut wanita buruk itu dingin: "Untuk setan2
matjam begini, tindakanku itu masih murah!"
Teringat akan pertolongan Yu-leng-Li-kui, Tjian
hong hendak menuntut balas atas kematian nona itu,
serunja: "Kau keterlaluan sekali!"
"Siapa kau" Apa hubunganmu dengan dia?" wanita
berwadjah buruk itu mulai sengit.
Tjian-hong kerutkan kening: "Manusia didunia
wadjib mengurus urusan dunia. Perlu apa kau tanjakan
diriku?" "Kau hendak mentjeburkan diri dalam air keruh?"
teriak wanita itu dengan marah.
Tjian-hong djuga tak mau undjuk kelemahan:
"Anggaplah begitu!"
"Kalau begitu terimalah seranganku ini!" segera
wanita buruk itu ajunkan tangan menampar.
Tjian hong dapatkan gerakan wanita buruk itu
biasa sadja, tak ada tanda2 jang luar biasa. Tetapi ketika
Tjian hong menghindar, setjepat kilat serangan itu sudah
memburunja. Kedjut Tjian hong bukan kepalang. Tjepat ia
gunakan djurus Membelah-langit-menutup-bumi untuk
membalas. Djurus Membelah-langit-menutup-bumi
adalah ilmu pukulan jang tiada taranja. Debu
bergulung2 menutupi kedua orang itu. Dan ketika reda,
tampak wadjah Tjian hong dan wanita buruk itu putjat
lesi. Dahi mereka mengutjur keringat dingin.
Setelah saling tukar pandangan, Tjian hong dan
wanita buruk muka itu segera berandjak madju lagi.
Mereka hendak mengadu pukulan lagi.
Pada saat2 jang tegang itu tiba2 sesosok bajangan
ketjil ber-lari2 mendatangi, " Suhu! Ko Sauhiap.... !"
Wanita berwadjah buruk itu tertegun kaget. Dan
Tjian-hongpun berpaling. Kiranja jang datang itu Hoa
Ling-ling. Heran ia mengapa nona itu memanggil
siwanita buruk dengan sebutan 'suhu'
"Apakah wanita buruk ini jang disebut Kang-oudjau-li?" diam2 ia menimang.
"Nona Hoa...." serunja memberi salam.
Rupanja nona itu mengetahui bahwa sekitar
tempat disitu habis dibuat perang tanding, serunja: " Ko
Sauhiap. apakah kau habis bertempur deagan suhu?"
Tjian hong hanja mengangguk.
Tiba2 berkatalah wanita berwadjah buruk itu
dengan nada lapang: "Ah, tak kiranja kau Ko Tjian hong.
Hari ini tak ter-duga2 bisa berdjumpa dengan putera
dari kawanku. Menilik kepandaianmu jang begitu sakti,
arwah ibumu tentu legah...."
Tjian hong ter-sipu2 memberi hormat: "Toan tjian
pwe, harap maafkan kekurang-adjaranku tadi!"
Kang ou djiu li atau Wanita-buruk-diduniapersilatan Toan Bu-kian tertawa: "Tidak tahu berarti
tidak salah!" Masih Tjian-hong tak mengerti apa sebab Kang-oudjau-li membunuh Yu-leng-li kui tadi, tanjanja:
"Mengapa tjainpwe membunuhnja?"
"Kau tahu siapakah perempuan itu?" Hoa Ling-Ling
menjelutuk. Tjian hong gelengkan kapala menjahut: "Jang
kuketahui dia adalah Yu leng-li-kui."
Hoa Ling-ling mendengus: "Dia adalah puteri dari
Sin tjiu-giam ong jang bernama Kang Boan-tji!"
Kini baru djelaslah Tjian hong siapa Yu-leng-li-kui
itu; Namun ia masih bertanja pula: "Nona Hoa
mempunjai dendam permusuhan apa dengan dia?"
Hoa Ling-ling mengertak gigi: "Ajahku mati
ditangan ajahnja dengan pukulan Tjhit-im-tok-hiattjiang!"
Seketika teringatlah Tjian-hong betapa
mengenaskan kematian jang diderita oleh tabib Kang-oulong-tiong tempo hari.
"Apakah Sin-tjiu-giam-ong sudah terbunuh?"
serunja. "Belum, karena dapat meloloskan diri!" sebut Hoa
Ling-ling. Kang-ou-djau-li ikut berseru: "Keadaan dalam
Neraka dua-lapis ini telah kuselidiki semua. Disitu
terdapat tiga buah djalan dibawah tanah. Entah apakah
Ko sauhiap suka memberi bantuan?"
"Djusteru kedatanganku kemari adalah hendak
melaksanakn perintah mendiang guruku Wi Tjo-djiu
untuk menumpas Sin-tjui giam-ong. Apapun jang
tjianpwe hendak perintahkan tentu akan kulakukan
dengan sepenuh tenaga!"
Kang-ou-djau-li tertawa: "Bagus kali ini djangan
harap Sin-tjiu giam-ong dapat melarikan diri lagi!" " Ia
segera suruh kedua anakmuda itu mengikutinja. Sekali
berajun, wanita sakti itu sudah melesat belasan tombak.
Tjian-hong dan Ling-ling mengikutinja. Mereka tiba
disebuah goha besar. Sekali tekankan tangannja pada
batu itu tampaklah tiga buah batu: "Ling ling menjusup
terowongan sebelah kanan, aku dari terowongan tengah
dan Ko sauhiap mengedjar dari terowongan sebelah kiri.
Tetapi harus hati2 menghadapi pukulan Tjhit-im-tokhut-tjiangnja!"
Tjian-hong mengiakan. Sekali bergerak ia melesat
kedalam terowongan goha disebelah kanan. Dibagian
dalam luas sekali tetapi gelap gulita sehingga tak dapat
ia melihat djari2 tangannja sendiri. Bau anjir terbawa
angin dingin, membaur perdjalanannja. Untung Tjian
hong berkat tenaga dalam jang tinggi, memiliki mata jang
tadjam. Sekalipun begitu tak berani ia lengah. Sepasang
tangan siap dilambari tenaga dalam, setiap saat dapat
segera digunakan apabila menghadapi bahaja.
Selangkah demi selangkah Tjian hong berdjalan.
Setiap melangkah, kakinja tentu berdebar keras. Namun
sampai beberapa saat, belum djuga ia tiba diudjung
ruangan. Se-konjong2 terdengar angin berkesiur keras.
Tjepat-tjepat Tjian hong lontjat keatas. Sesosok bajangan
melesat disampingnja. Tjepat ia berpaling tetapi setjepat
itu djuga bajangan itu sudah lenjap. Kedjut Tjian hong
bukan kepalang. Tengah ia dirundung keheranan, tiba2
didengarnja suara rintihan lemah. Tjian hong
mendengarkan dengan seksama. Setelah menentukan
arahnja, segera ia menghampiri.
Kiranja disamping lorong terowongan itu terdapat
sebuah pendjara dibawah tanah. Pintunja terbuka dan
djelaslah bahwa rintihan lemah itu berasal dari sebelah
dalam. Tjepat Tjian hong melangkah masuk. Matanja
segera menjaksikan seorang tua berambut putih tidur
telentang ditanah. Napasnja memburu ter-engah2.
Buru2 Tjian hong ulurkan tanganaja untuk menjanggapi
kepala orangtua itu. Setelah agak reda napasnja, orang tua itu bertanja:
"Kau... kau siapa?"
"Aku orang she Ko nama Tjian hong!"
Kerut wadjah kedukaan orangtua itu tiba2 lenjap
berganti dengan seri kegirangan: "Ah, kiranja Tuhan
maha pemurah. Sebelum mati, aku masih dapat melihat
wadjahmu..." Serentak teringatlah Tjian hong akan tjerita orang
tua jang didjumpainja ketika berada dalam pendjara
Neraka-dua-lapis. "Apakah lo-tjianpwe bukan orangtua jang bertjerita
padaku tempo hari..."
"Benar memang tjeritaku itu belum selesai.
Mumpung masih dapat bernapas, hendak kulandjutkan
tjeritaku..." Melihat keadaan orangtua itu menderita luka
dalam jang amat parah sekali, mungkin pusat tenaga
murninja sudah hantjur, buru2 Tjian hong
mentjegahnja: "Tjianpwe, kau terluka parah..."
"Tak apa2," orangtua itu gojangkan tangannja,
"karena mungkin sudah tiada kesempatan lagi...," ia
berhenti sedjenak merenung. Katanja pula: Tempohari
tjeritaku sampai pada sianakmuda mentjari makam
seorang wanita, bukan?" tanjanja.
Tjian hong mengiakan. Orang tua itu melandjutkan pula; "Hati pemuda itu
hantjur lebur. Ketika ia sedang menumpahkan
kedukaannja didepan makam, tiba2 muntjullah seorang
wanita. Ah, ternjata gadis kedua itu jang datang..."
Gadis itu tertawa: "Orangnja sudah mati, sia2
mentjurahkan kasih. Apa guna kau mentjintainja
mati2an!" Wadjah anakmuda itu mengerut gelap: "Walaupun
sudah meninggal, tetapi hati kami berdua telah sedjalan
djadi satu. Biarlah orangnja sudah tak ada namun
tjintaku tetap kupersembahkan padanja. Apakah tidak
boleh?" Djelita kedua jang tjintanja tak terbalas itu tertawa
njaring: "Tjintamu setengah mati itu, apakah dapat


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diketahui arwahnja dialam baka?"
"Dia tentu tahu!" sahut sipemuda dengan jakin.
Makin keras gadis itu tertawa: "Tidak tjinta pada orang
hidup tetapi mentjintai orang mati. Ha, ha, benar2
manusia jang tergoblok didunia!"
Wadjah pemuda itu mengerut serius: "Harap nona
djangan sembarangan mentjela orang. Begitu tjinta jang
murni itu bukan tjinta djasmaniah dimana harus terikat
oleh perkawinan. Tetapi tjinta sutji jang tak luntur. Nona
seorang djelita jang sukar ditjari keduanja. Tetapi sajang
lebih dulu aku berdjumpa dengannja. Lebih dulu
tjintaku telah kuberikan kepadanja. Tak mungkin
kupindahkan kepada lain orang lagi. Tak mungkin
tjintaku berobah!" "Tetapi dia sudah mati!" teriak gadis itu.
"Biarpun sudah meninggal, tetap aku mentjintainja!
Hatikupun turut terkubur bersama djasadnja. Tak dapat
aku mentjintai lain wanita lagi. Harap nona djangan
mengganggu aku sadja!"
Gadis tjantik itu hendak buka suara lagi tetapi
tiba2 dari belakang makam terdengar suara tertawa
ringan. Bukan kepalang kedjut pemuda dan gadis itu.
Dan ketika berpaling kedjut mereka makin membesar.
Dari belakang makam muntjullah seorang gadis
jang tjantik sekali. Hai.... seketika pemuda dan nona tadi
menjurut mundur! Kiranja gadis jang muntjul dari balik makam itu
adalah gadis pertama jang ditjari sipemuda. Girang
pemuda itu bukan kepalang: "Nona, kau, kau tidak
meninggal?" Mata dara djelita itu menatapnja dengan tjurahan
asmara: , Tuan, tjintamu telah membangkitkan hatiku
jang sudah mati. Lautan nuraniku bergolak-golak.
Pandanganku terhadap manusiapun berobah!"
"Djadi nona menerima tjintaku?" seru sipemuda.
Dengan tersipu-sipu merah djelita itu mengangguk.
Tetapi tiba2 gadis kedua jang ketjele itu, berkobarlah
amarahnja. "Tjinta lawannja bentji. Aku bentji kalian dan
bersumpah akan membalas dendam pada kalian!"
serunja dengan penuh kemurkaan.
Sekali lontjat nona itu melesat pergi.
Pemudi dan dara tjantik itu hendak mentjegah
tetapi gadis jang patah hati itu sudah lari djauh.
Walaupun kedua muda mudi achirnja menikah, tetapi
masih getun akan kepergian gadis kedua jang membawa
dendam kebentjian itu...."
Tjian hong tertarik oleh tjerita kisah asmara itu.
Terutama kemantapan sipemuda jang setya pada tjinta.
Namun terhadap kepatahan hati jang membenam gadis
kedua dalam lautan dendam sakit hati itu, Tjian hong
menaruh simpati (kasihan) djuga.
Siapakah pemuda tjakap itu"
Siapakah dara djelita itu"
Dan siapakah gadis tjantik kedua itu"
Ingin benar Tjian-hong mengetahui siapakah
mereka itu. Dipandangnja orangtua itu dengan lekat.
"Tjianpwe, pemuda tjakap jang kau tjeritakan itu
tentulah kau sendiri, bukan?" tiba2 ia bertanja setelah
tiba pada kesimpulan. Orangtua menggeleng: "Bukan, bukan aku..."
"Lalu siapa?" desak Tjian hong.
"Dia madjikanku, Ko Siu-thian...."
"Ko Siu-thian kakekku?" Tjian hong mendjerit
seketika. Orangtua itu menghela napas ketjil: "Benar,
memang kakekmu sendiri atau pewaris ke 7 dari partai
Te-gak-bun (NERAKA)!"
Tjian hong seperti disengat lebah kedjutnja.
Walaupun pernah djuga ia mendengar tjerita ajahnja
bahwa kakeknja itu djuga seorang tokoh utama dunia
persilatan, tetapi tak pernah ajahnja mengatakan
kakeknja itu ketua angkatan ke 7 dari partai Te-gakbun. Lalu siapakah ketua partai Neraka jang sekarang
ini" Tiba2 Tjian hong berdjengat. Djika kakeknja
mendjadi ketua angkatan ke 7, bukankah ajahnja (Ko
Ko-hong) itu ketua ke 8 dari Te-gak-bun" Seketika Tjianhong kutjurkan keringat dingin...
Tetapi kalau benar demikian, mengapa ajahnja
didjebloskan dalam Neraka-19-lapis" Seperti terbentur
dinding batu, Tjian hong pujeng otaknja.
Segera ia hendak menanjakan hal itu kepada
siorang tua, tetapi orangtua itu rupanja sudah
mengetahui dan tjepat mendahuluinja: "Dara djelita jang
telah berhasil merebut tjinta kakekmu itu adalah
nenekmu sendiri Siau-sian-li..."
"Dan siapakah gadis tjantik jang patah hati itu?"
seru Tjian-hong. "Dia adalah wanita jang menggontjangkan dunia
persilatan dengan kepandaiannja jang sakti jani Tok-ho
tjui...!" Tok-ho tjui artinja Air-berbisa.
"Lalu siapakah jang mendjabat sebagai ketua Tegak-bun jang sekarang ini?" tanja Tjian hong.
Orangtua itu gelengkan kepala.
"Ini masih merupakan teka-teki. Tetapi menurut
penilaianku kemungkinan adalah Tok-ho-tjui sendiri.
Karena selain dia, dunia persilatan tak ada lagi wanita
jang berilmu sakti!"
*** 33 Ketua angkatan ke 9 Tek-ho-tjui wanita malang jang patah hati, adalah
seorang tjianpwe jang seangkatan dengan kakek Tjian
hong atau Ko Siu thian. Djika benar wanita jang merebut
pimpinan partai Te-gak-bun, benar2 sebuah peristiwa
jang menggemparkan! Tjian-hong kerutkan dahi. Benar2 ia gelisah resah.
Tak mengerti akan liku2 kisah asmara orangtua jang
bertjerita kepadanja itu djuga didjebloskan dalam
pendjara Neraka disitu. "Tjianpwe, mengapa kau dipendjarakan disini?"
achirnja ia letuskan pertanjaan.
Wadjah orangtua itu makin putjat. Tenagadalamnja makin lemah. Dengan suara lemah ia berkata:
"Hal ini harus ditjeritakan dari bermula ajahmu telah
mendjalin pernikahan dengan puteri ketua partai Thiantong-bun (Nirwana). Tetapi hanja setahun kemudian,
dalam partai Te-gak-bun terdjadi perobahan besar.
Tanpa sebab alasan sesuatu apa, tahu2 aku
didjebloskan dalam pendjara ini!"
"Sin-tjiu-it-kiam mentjari tjianpwe tentu ada
sebabnja?" tanja Tjian hong pula.
Dengan nada jang makin lemah, orang tua itu
menjahut ter-sekat2: "Adalah karena hal itu maka aku
berdaja se-kuat2nja untuk mempertahankan njawaku.
Dan harapanku ini ternjata terkabul setelah hari ini aku
bertemu dengan putera keturunan madjikan..." berhenti
sedjenak ia menuding kearah tembok sebelah timur.
"Dalam dinding tembok itu terdapat benda Piagam
kekuasaan ketua Te-gak-bun jalah Te... gak... leng....
Terimalah kedudukan sebagai ketua... angkatan.... ke....
sem.... bi.. lan..." tiba2 kepala orangtua itu merunduk
kebawah dan putuslah djiwanja!
Tjian hong terkedjut. Buru2 ia merabah dada orang
tua itu, ah.... ternjata napasnja sudah berhenti. Seketika
menangislah Tjian hong ter-sedu2 seperti anak ketjil. Dia
benar2 terharu atas kesetyaan budjang tua itu. Rasa
kagum dan haru menimbulkan suatu penghargaan jang
ditjurahkan dalam rasa kedukaan....
Kini Tjian hong sudah djelas bahwa kematian
budjang itu adalah akibat dari perbuatan Sin-tjiu itkiam. Sin tjiu-it-kiamlah jang menekan kematian itu. Ja,
tudjuan Sin tjiu it-kiam djelas untuk mendapatkan
piagam kekuasaan lambang pimpinan partai Te-gak bun!
Setelah puas menumpahkan airmata, Tjian hong
menghampiri dinding tembok. Sekali dorong, tembok
berhamburan djatuh. Dua tiga kali pukulan, meluntjur
keluarlah sebuah benda hitam.
Segera diambilnja benda itu. Setelah diperiksa,
benarlah terdapat ukiran tiga buah huruf jang berbunji
Te-gak-leng. Girang Tjian hong bukan kepalang!
Dengan mendapatkan piagam kekuasaan, ia
pertjaja tentu dapat menjapu bersih keruwetan2 dalam
partai Te-gak-bun. Ia akan membebaskan ajahnja Ko Ko-hong. Ia akan
menumpas Sin-tjiu-it-kiam jang mendjadi pembunuh
budjang tua itu. Ia akan menjingkap tabir tokoh
misterieus jang mandjadi biang keladi dari kekatjauan
dalam Te-gak-bun. Tok-ho-tjui, ja, apakah benar wanita itu jang
mengaduk-aduk Te gak bun seperti jang ditjeritakan
budjang tua tadi" Banjak nian rentjana2 jang beramuk dalam pikiran
Tjian hong. Dadanja penuh sesak dan darah menggelora
keras. Tjian hong mulai bertindak....
Djilid 9 34 Pembersihan Tjian hong menjadari bahwa tugas jang dihadapinja
itu amat berat. Bahwa ia harus mengalami perdjuangan
berat dari tokoh2 jang menguasai partai Te gak-bun.
Bahwa dalam pertempuran itu bakal djatuh banjak
korban manusia..... Namun demi untuk menjelamatkan ajah dan
membangun kembali partai Te-gak-bun, ia harus
menghadapi kesemuanja itu dengan tabah....
Apa jang dibajangkan mendjadi kenjataan ketika
keluar dari ruang itu ia disambut oleh serbuan tiga
sosok bajangan jang melepaskan pukulan dahsjat. Tjian
hong jang sudah mempersiapkan diri dengan
kewaspadaan segera balas memukul. Ketiga orang itu
tersurut mundur sampai beberapa langkah.
Rupanja ketiga anakbuah Te-gak-bun itu terkedjut.
Setjepat kilat mereka merjerbu lagi dan menaburkan
serangan kalang kabut. Tjian hong balas menghantam. Tiba2 ketiga orang
itu taburkan sendjata rahasia kemuka Tjian hong.
Pemuda itu marah. Menampar djatuh sendjata rahasia,
Tjian-hong lepaskan ilmu Pukulan-hitam.
Tergetarlah hati ketiga orang itu demi menjaksikan
kedahsjatan pukulan pemuda itu. Tiba2 Tjian hong
teringat: "Dahulu mereka adalah anakbuah ajahku.
Hanja karena dikuasai oleh lain orang, mereka terpaksa
taat. Seharusnja tak perlu kubunuh mereka... "
Pikiran itu melintas tjepat sekali dibenak Tjianhong; Segera ia menarik kembali pukulannja. Ketiga
orang itupun kaget. Mereka seperti hidup lagi dari
neraka maut. Ketiganja ter-longong2 tegak seperti
patung.... "Tahukah kau siapa aku?" bentak Tjian-hong.
Ternjata ketiga orang itu adalah rombongan Te-gaksi-kui atau Empat setan dari partai Te-gak. Mereka tak
kenal siapa Tjian hong. Dengan ter-longong2 ditatapnja
anakmuda itu. Segera Tjian-hong mengeluarkan piagam Te-gakleng. Diatjungkannja keatas, serunja: "Tahukah kamu
apa benda ini?" Melihat piagam kekuasaan partai Te-gak-bun, serta
merta ketiga Te-gak si-kui berlutut dan berseru dengan
chidmat: "Piagam pimpinan partai, masakan kami tak
tahu?" Melihat mereka masih tunduk pada Te-gak-leng,
Tjian hong terkesiap. Djelas bahwa mereka masih
tunduk pada pimpinan. Djelas bahwa mereka itu hanja
melakukan perintah karena takut.
"Aku adalah putera Ko Ko-hong. Dan kini aku
mendjabat sebagai ketua angkatan ke 9 dari partai Tegak-bun!" seru Tjian hong.
Kawanan Te-gak-si-kui terperandjat.
"Tahukah kamu, siapa dan bagaimana ketua Tegak-hun sekarang ini?" Tjian hong berseru pula dengan
garang. Salah seorang dari Te-gak-si-kui menjahut: "Hamba
hanja tahu bahwa berpuluh tahun jang lampau seorang
wanita telah merampas kedudukan ketua partai kita.
Tetapi bagaimana perwudjutannja, sampai saat ini
belum pernah hamba sekalipun melihatnja!"
"Seorang wanita?" Tjian hong menegas.
"Ja, berita itu memang sesungguhnja!"
Kawannja jang seorang menjambungi: "Setelah
menduduki pimpinan perkumpulan Te-gak-bun, wanita
itu segera merobah markas besar mendjadi Neraka-19
lapis. Kemudian dibentuknja pula 18 buah neraka
dengan diberi nama menurut urutannja!"
Ia berhenti sedjenak lalu melandjutkan pula:
"Hamba ditugaskan dalam Neraka-lapis kedua dan
langsung menerima perintah dan Sin-tjiu-giam...." "
sekonjong-konjong orang itu mendjerit ngeri lalu
terdjungkal kebelakang. Tjian hong terkedjut tetapi setjepat itu pula ia
melesat keluar dan membentak: "Hai, Sin-tjiu-giam-ong,
kalau memang djantan djangan kau ngatjir pergi!"
Ternjata Sin-tjiu-giam-ong telah bersembunji
ditempat gelap. Ketika mendengar salah seorang
anggauta Te-gak-si-kui membotjorkan rahasia, tjepat2 ia
lepaskan sendjata tadjam mengarah ketenggorokan
orang itu. Tetapi perbuatannja itupun diketahui Tjian
hong jang segera menghadang.
Sin-tjiu-giam-ong tertawa mengedjek: "budak she
Ko, lekas serahkan Te-gak-leng..."
"Djangan ngelamun!"
"Kau mau mentjoba?"
"Djusteru aku memang ingin mengudjimu!"
Tiba2 Sin-tjiu-giam-ong melesat keluar dari tempat
persembunjian dan setjepat kilat menerdjang sianakmuda.
Berhadapan dengan seorang durdjana besar, tak
berani Tjian-hong memandang rendah. Sambil
menjimpan Te-gak-leng ia lontjat menghindar dengan
sebuah gerak melajang keudara dan menendang.
Sebenarnja Sin tjiu-giam ong seorang tokoh jang


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan olah2 saktinja. Tetapi saat itu ia berhadapan
dengan seorang musuh berat jang memiliki ilmu
Pukulan-hitam. Tak berani ia memandang rendah.
Namun sampai beberapa djurus telah berlangsung
masih djuga anakmuda itu belum menggunakan ilmu
Pukulan-hitam. Ia heran. Pikirnja: "Sebelum ia sempat
mengeluarkan Pukulan-hitam, lebih baik kudahului
sadja!" Rentjana itu telah ditumpahkan dalam serangan
kilat. Dalam beberapa kedjab sadja ia telah melantjarkan
7-8 djurus serangan jang hebat.
Tjian hong terpaksa mundur beberapa langkah.
Memang dalam pengalaman, ia kalah dengan lawan.
Tetapi telinganja serempak ter-ngiang2 oleh pesan
Malaekat-elmaut. Benaknjapun melajang akan keadaan
sang guru jang sedemikian mengenaskan. Dan serempak
dengan itu, teringatlah ia akan kesaktian ilmu Pukulanhitam jang telah dipeladjarinja. Walaupun belum
mempeladjarinja setjara langsung dari kitab Pukulanhitam, namun pukulan jang dimilikinja sampai saat itu
djuga tjukup memadai kedahsjatannja.
Pada lain kedjap tiba2 meluntjurlah selarik sinar
hitam kearah Sin-tjiu-giam-ong...
Beberapa puluh tahun jang lampau, Sin-tjiu-giam
ong telah menderita kekalahan dibawah Pukulan-hitam
dari Malaekat-elmaut, dan kini menghadapi Pukulanhitam dari Tjian hong, belum-belum ia sudah gentar!
Tjian hong bentji sekali kepada Sin tjiu-giam-ong.
Hendak dihantjurkannja orang itu dengan sekali pukul.
Maka dilantjarkannja ilmu Pukulan-hitam dalam djurus
Membelah-langit-menutup-bumi.
Sin-tjiu-giam-ong tersentak bingung. Dari kanan
kiri ia merasa dilanda gelombang sinar hitam. Tak tahu
ia harus menghindar kearah mana supaja dapat lolos.
Hek... pada lain kedjap terdengar Sin-tjiu-giam-ong
menguak tertahan. Tubuhnja ter-hujung2 7-8 langkah
lalu djatuh ketanah. Tjian-hong ajunkan tubuh menghampiri. Disangka
Sin-tjiu-giam-ong sudah mati. Maka tanpa tjuriga apa2
ia menunduk hendak memeriksa.
Se-konjong2 ia terkedjut ketika tangan Sin-tjiugiam-ong bergerak menghantamnja. Ternjata orang ini
belum mati. Sebelum djiwanja putus ia masih dapat
memaksakan diri menghantam dengan ilmu pukulan
Tjhit-im-tok-hiat-tjiang jang ganas.
Tjian hong terlambat mengetahui. Tubuhnja
terpental sampai 7-8 tombak dan rubuh ketanah. Ia
rasakan dadanja seperti petjah, darah bergolak keras
dan pingsanlah ia tak sadarkan diri lagi....
Tiba2 sesosok tubuh berkelebat. Te-gak-si kui
terkedjut dan lebih terkedjut lagi ketika mengetahui jang
datang itu seorang dara. "Siapa kau!" bentak Te-gak si kui.
Ternjata jang datang itu jalah Hoa Ling-ling.
Melihat Tjian hong menggeletak ditanah, tanpa
menghiraukan teguran Te-gak-si-kui, nona itu segera
menubruk Tjian hong. "Ko sauhiap... Tjian hong.... Tjian hong..." serunja
memanggil. Tetapi sampai sekian djenak ia memanggil,
tak mendengar djawaban suatu apa.
"Mengapa ia terluka begini parah?" pada lain saat
ia mengangkat kepala dan menegur Te-gak si-kui.
"Tjiang bun-djin terkena pukulan Tjhit-im-tok-hiattjiang dari Sin-tjiu-giam ong," sahut salah seorang Tegak-si-kui.
Melihat tubuh Sin-tjiu-giam-ong menggeletak tak
bernjawa ditanah, tahulah Hoa Ling-ling apa jang telah
terdjadi. Tetapi ia heran mengapa Tjian-hong sampai
terkena pukulan Tjhit-im"tok-hiat-tjiang.
Setelah merenung beberapa saat dipondongnja
tubuh Tjian-hong, katanja kepada Te-gak-si kui: "Bawa
aku keluar dari Neraka-lapis-kedua ini!"
"Kau hendak membawa tjiang-bun-djin?" seru
salah seorang Te-gak-si-kui.
"Eh, apakah dia tjiang-hun-djin kalian?" balas Lingling dengan heran. Tjiang-bun-djin berarti ketua.
"Benar, tjiang-bun-djln jang ke 9 dari Te gak-bun."
Hoa Ling ling mengangguk: "Akan kuusahakan
untuk menolongnja." Te-gak-si-kui merenung sedjenak lalu membawa
nona itu dari Neraka-lapis-kedua.
"Uruslah baik2 Neraka-lapis-kedua, nanti pada
suatu hari tjiang-bun djin kalian pasti datang mentjari
kalian!" kata Hoa Ling-ling.
Te-gak-si-kui jang tinggal dua orang itupun segera
memberi hormat dan undurkan diri.
Sebenarnja tak tahu Hoa Ling-ling bagaimana tjara
menolong pemuda jang tampaknja seperti tidur itu.
Dipondongnja Tjian-hong, dibawa lari menjongsong
angin malam. Tak tahu kemana hendak ditudju.
Beberapa saat kemudian, ia berhenti. Air matanja
bertjutjuran menetes ketubuh Tjian hong.
Tjian-hong hendak membalaskan sakithati
kematian ajah sinona (Hoa Ling-ling). Untuk itu iapun
harus berdaja upaja untuk menolong Tjian hong. Ia
harus mentjari obat untuk menjembuhkan pemuda itu.
Melihat pemuda itu masih belum sadar, makin
bingunglah hati Hoa Ling-ling. Diletakkannja tubuh
anakmuda itu dibawah sebuah pohon jang rindang.
Tiba2 sesosok bajangan melesat tiba.
"Suhu!" serentak mendjeritlah Hoa Ling-ling dengan
girang. Ternjata jang datang itu adalah Kang-ou-djo-li atau
wanita djelek dalam dunia persilatan.
"Leng-dji, apakah dia terluka?" seru King-ou-djo-li
ketika melihat Tjian-hong pingsan.
Ling-ling mengiakan. "Mengapa?" "Terkena pukulan TJhit-im tok-hiat tjiang dari Sintjiu giam-ong."
"Amboi!" teriak Kang-Ou-djo-li dengan terkedjut.
Melihat itu bingunglah Ling-ling dibuatnja: "Apakah
Tjhit-im-tok-hiat-tjiang tiada obatnja lagi?"
Dengan wadjah gelap, Kang-ou-djo-li gelengkan
kepala. Isjarat itu bagaikan sebuah halilintar menjambar
kepala Hoa Ling-ling. Hatinja remuk redam. Dipeluknja
tubuh Tjian hong dan menangislah dara itu tersedu
sedan seperti ditinggal orangtuanja.
Kang-ou-djo-li menghela napas: "Ah, kasian anak
itu!" Hanja beberapa patah kata jang diutjapkan. Wanita
itu lalu duduk merenung. Pikirannja bekerdja mentjari
djalan untuk menolong Tjian-hong.
Angin pegunungan men-deru2 mengantar tangis
Ling-ling jang menjaju hati. Laksana irama seruling merintih2 tinggi rendah membawa kesedihan kelana
terhampar... Tiba2 Kang-ou-djo-li memekik kegirangan.
"Suhu, mengapa kau bergirang?"
Dengan berseri tawa, Kang-ou-djo-li menjahut:
"Ada djalan untuk menolong Ko sauhiap!"
Mendengar itu sinona melondjak kegirangan.
Disambarnja tangan Kang-ou-djo-li.
"Suhu, bagaimanakah mengobati ratjun ditubuh Ko
sauhiap?" serunja dengan tegang.
Kang-ou-djo-li tersenjum simpul melihat tingkah
muridnja. "Ling-dji, mengapa kau begitu memperhatikan
dirinja?" ia balas bertanja.
Dara itu menggigit bibir: "Ah, suhu, kau..."
Kang-ou-djo-li tertawa gelak2: "Kau harus
menjahut se-djudjur2nja kepada suhumu!"
*** 35 Perobahan "Suhu, apakah obatnja untuk menolong dia?" si
dara tjepat alihkan pembitjaraan, "mengapa suhu
menanjaknn hal jang tiada sangkut pautnja dengan
usaha menolongnja?" Kata Kang-ou-djo-li dengan nada bersungguh:
"Ling-dji, bukankah kau mentjintainja?"
Sjukurlah Hoa Ling-ling itu seorang dara persilatan
jang berpikiran lapang. Sekalipun begitu tak urung sifat
keperawanannja masih melekat djuga. Ia ter-sipu2
merah mendapat pertanjaan sematjam itu.
Melihat wadjah muridnja ke-merah2an, tahulah
Kang-ou-djo-li bahwa gadis itu memendam sesuatu
perasaan kepada Tjian hong.
"Djawablah pertanjaan itu dulu," masih ia sengadja
menggoda muridnja. "Suhu!" Hoa Ling ling melengking, "orang setengah
mati kuatirnja, mengapa suhu masih sempat ber-olok2?"
"Baik, baik," achirnja Kang-ou-djo-li mulai beralih
nada, "suhu bertanja sang murid tak mau mendjawab.
Kelak kalau memadukan apa2, djangan kau minta
pertolongan suhumu..." " sedjenak Kang-ou-djo-li
berganti nada serieus: "Obat sih ada tetapi sukarnja
bukan buatan!" Dengan mantap Ling-ling menjambut: "Asal ada
kemungkinan ditolong, betapapun sukarnja, aku
bersedia untuk mentjarinja!"
Kang-ou-djo-li mengangguk: "Pernahkah kau
mendengar tjerita orang tentang Giok-tju Bak-kim?"
Ling-ling terkedjut sekali, serunja: "Giok-tju dapat
memunahkan ratjun. Tetapi Bak-kim merupakan benda
jang paling beratjun didunia. Kabarnja kedua benda itu
sudah disembunjikan si Hantu-majat didalam sebuah
makam rahasia. Untuk mentjarinja, memang harus
berani menempuh djalan jang ganas sekali!"
Giok-tju artinja mutiara giok. Dan Bak kim jalah
emas hitam. "Karena itu kukatakan suatu pekerdjaan jang luar
biasa sukarnja!" kata Kang-ou-djo-li.
"Suhu, benarkah Giok-tju itu dapat menjembuhkan
segala matjam ratjun?" masih Ling-ling menegas.
"Masakan aku membohongimu," sahut Kang-oudjo-li.
"Murid bersumpah tentu dapat memperoleh
mustika Giok tju itu!" tiba2 Ling-ling melantang.
"Tetapi muridku," kata Kang-ou-djo-li, "benda itu
milik Hantu-majat durdjana besar dalam masa ini.
Apalagi tempatnja ditaruh disuatu makam rahasia jang
penuh dengan alat2 rahasia. Mungkin sukar
memperolehnja. Mungkin kau tak dapat keluar dari..."
Tanpa menunggu sang suhu berkata habis, tiba2
Ling-ling memutus dengan nada tegas: "Sekalipun
tubuhku hantjur lebur, demi untuk menolongnja, aku
rela mengorbankan djiwa ragaku. Apalagi dia telah
menolong aku membalaskan sakithati ajahku, aku harus
membalas budinja!" Diluar dugaan Kang-ou-djo-li berseru girang:
"Karena teguh sekali niatmu, suhupun akan
membantumu!" Dengan haru terima kasih jang tak terhingga Lingling mendekap kaki sang suhu. Kemudian ia memondong
tubuh Tjian-hong lagi. Keduanja segera berangkat
menudju kemakam rahasia itu.
Selama dalam perdjalanan itu mereka mendengar
banjak sekali tjerita2 jang menggemparkan.
Pertama: Gerombolan durdjana jang digelari
sebagai Liok-lim-sip-tiu atau 10 momok rimba persilatan
(dunia penjamun). Dalam waktu semalam sadja telah
mendjadi majat berserakan dilereng gunung Lo-san.
Kematian mereka itu disebabkan terkena ratjun jang
amat berbisa. Kedua : Benggolan dari Lok-yang jang digelari
sebagai Lok-yang-tji-long atau Serigala dari wilayah Lokyang, kedapatan mati diluar kota Lok-yang.
Kematiannjapun serupa dengan gerombolan Liok"limsip-tiu, jani kena ratjun.
Ketiga: Murid murtad dari geredja Siau-lim-si jang
bernama Sat-sing thauto (paderi Sat Sing), mendadak
mati terkena ratjun dan majatnja dilempar dihutan.
Ketiga peristiwa berdarah itu, walaupun jang
mendjadi korban golongan pendjahat2 besar jang
kematiannja mendjadikan kegembiraan rakjat djelata,
namun tjara kematian jang mereka derita itu benar2
menggelisahkan! Keduabelas orang itu mati karena sebab jang sama
jani terkena ratjun jang luar biasa ganasnja.
Tetapi ratjun apakah itu" Tak seorangpun jang
mengetahui namanja. Maka berhamburan desas desus
jang berliputkan keseraman. Suatu teka teki jang
berhawa kabut rahasia, kegelisahan dan keseraman.
Tiap2 orang persilatan sedjak itu tak dapat tidur
tenteram. Tiap malam mereka selalu dilalang bajang2
akan menerima kematian seperti keduabelas orang itu.
Djuga tak terluput Kang-ou-djo-li dan Hoa Lingling. Merekapun terkedjut tjemas mendengar tjerita itu.
Sambil berdjalan memondong tubuh Tjian-hong,
bertanjalah Ling-ling kepada gurunja: "Suhu, menilik
naga-naganja, pembunuhan2 itu dilakukan oleh seorang
aneh!" Kang-ou-djo-li mengangguk2. "Anehnja, tak
seorangpun mengetahui ratjun apakah jang digunakan
oleh pembunuh itu untuk mengganas korban2nja!"
"Menilik kesaktian para korban-korban itu, djelas
bahwa ratjun biasa tentu tak mampu membunuh
mereka. Djelas bahwa pembunuh itu tentulah seorang
tokoh jang luar biasa saktinja. Dan dalam dunia
persilatan tak banjaklah djumlahnja tokoh2 sematjam
itu." "Benar, memang tokoh2 jang tak betjus tentu tak
mungkin mampu melakukan hal itu. Mungkin
berhadapan muka sadja, tentu sudah runtuh njalinja,"
kata Kang-ou-djo-li. "Lalu kira2 siapakah tokoh sakti jang melakukan
peratjunan itu?" tanja Ling-ling.
Kang-ou-djo-li diam merenung. Sampai beberapa
lama baru berkata lagi: "Jang memiliki kepandaian
untuk meratjun orang tentu sadja tak sedikit
djumlahnja. Tetapi rasanja tiada seorangpun jang
mampu melakukan peratjunan itu terhadap ke 12
tokoh2 termasjhur itu!"


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ling-ling ketjewa. Saat itu mereka tiba disebuah
djalan lembah jang terletak ditengah dua lereng gunung.
Lembah penuh dengan hutan lebat jang mendjulang ke
langit. Tiba2 Ling-ling melirik kepada gurunja dan
bertanja: "Suhu, kalau dewasa itu tak terdapat tokoh2
sesakti itu, baiklah kita berpaling djauh kemasa jang
lampau. Tiga tahun jang lalu atau tudjuh tahun, sepuluh
tahun bahkan duapuluh tahun sampai tiga-puluh tahun
jang lalu. Masakan tak ada tokoh sematjam itu?"
Kang-ou-djo-li seperti orang disadarkan. Setelah
merenung berapa djenak, tiba2 ia berteriak kaget: "Ah,
kini tiba2 aku teringat akan seseorang."
"Siapa?" "Orang itu, pada belasan tahun jang lalu telah
menggegerkan dunia persilatan. Djangankan tokoh2
ukuran liok-lim-sip-tiu, sekalipun tokoh durdjana Gonghong-it-siu (si Angin pujuh) jang mengepalai dunia
penjamun dari 13 wilajah, orang itupun mampu
membunuhnna!" "Siapa dia, suhu?" Hoa Ling-ling makin diburu
nafsu. " Kang-ou-djo-li balas bertanja: "Bukankah aku
pernah mentjeritakan padamu tentang sepasang tokoh
jang disebut Hek-sim-song-tjoat..."
"Suhu maksudkan Hek-sim-tok-ong?" Ling ling
tjepat menjanggapi. "Ja, belasan tahun jang lalu Hek-sim-tok-ong dan
Hek-sim hoa to digelari sebagai Hek-sim song tjoat.
Membunuh orang seperti membunuh lalat. Memiliki
kepandaian jang sakti tiada tandingan. Terutama ratjun
jang dimiliki Hek-sim-tok-ong itu, benar2 luar biasa
ganasnja!" Hek sim-tok ong artinja Radja-ratjun si Hati-hitam.
Hek sim-hoa to artinja paderi Hati-hitam dan Hek-sim
song-tjoat berarti Sepasang-durdjana berhati-hitam.
"Paderi Hek-sim-hoa-to itu djuga mempunjai ilmu
pengobatan jang luar biasa. Tetapi karena keduanja
djahat maka digelari sebagai Hek-sim. Hanja Hek-sim
thau-to jang mampu mendjelaskan peristiwa
pembunuhan itu!" kata Ling-ling.
Tiba2 mereka dikedjutkan oleh dua buah djeritan
ngeri jang timbul dari dalam lembah. Kang-ou-djo-li dan
Ling-ling terkesiap kaget. Tjepat-tjepat mereka lari
menghampiri. Berkat kepandaian jang hebat, dalam
beberapa kedjap sadja merekapun sudah menjusup
kedalam hutan. Tiba2 mereka dikedjutkan oleh dua
sosok tubuh jang terhampar ditanah. Dan setjepat itu
pula mereka melihat setjertjah bajangan orang melesat
lenjap. Kang-ou-djo-li banting2 kaki: "Ah, sipembunuh
dapat melarikan diri!"
Ling-ling kaget: "Rupanja orang itu seperti seorang
wanita. Ilmunja lari djauh lebih sakti dari kita!"
Kang-ou-djo-li djuga mengetahui betapa sakti
kepandaian orang itu. Tahu pula bahwa pengawakan
orang itu memang mirip seorang wanita. Dan apabila
dugaannja tak salah, wanita itu bahkan masih muda.
Se-konjong2 Ling-ling berteriak kaget. Kang-ou-djoli melirik muridnja. Ling-lng menundjuk kearah kedua
majat ditanah, serunja: "Apakah dia bukan Gong-hong-it
siu." Ketika memandang kearah korban, wadjah Kangou-djo-li berobah seketika. Saking kagetnja ia tersurut
dua langkah dan beberapa saat kemudian baru dapat
membuka mulut. "Benar, orang itu memang Gong-hong-it-siu....." ia
beralih memandang kemajat jang lainnja. Kedjutnja tak
berkurang, serunja: "Aih, inilah tokoh Thian-te-tjoatkiam dari golongan Putih. Keduanja dari aliran lain
tetapi mengapa mati bersama di-tempat jang sama" Dan
sebab kematian merekapun karena...." " ia berhenti
sedjenak. Matanja tak berkedip memandang kearah
kedua majat. Kulit mereka mulai berobah hitam dan
tjepat sekali seluruh tubuhnja mendjadi hitam semua.
Ling-ling berobah wadjahnja: "Ah, benar2 terkena
ratjun ganas!" "Lagi2 korban ratjun!" seru Kang-ou-djo-li.
"Rasanja pembunuhan Gong-hong-it-siu dengan
Thian-te-tjoat-kiam ini ada hubungannja dengan
peristiwa ketiga pembunuhan jang menggemparkan itu,"
seru Ling-ling. "Dan kemungkinan besar pembunuhnja dilakukan
oleh satu orang," Kang-ou-djo-li menambahkan.
Djelas bahwa Gong-hong"it-su dan Thian-te-tjoatkiam mati dibunuh dengan ratjun oleh seorang dara
misterieus. Apakah ketiga peristiwa pembunuhan jang
menggemparkan itu djuga dilakukan oleh gadis
misterieus itu" Apakah ratjun jang digunakan untuk
pembunuhan itu" Kang-ou-djo-li menghampiri dan memeriksa
keadaan kedua majat itu dengan seksama. Selain kulit
mereka berobah kuning2 hitam, tak terdapat lain luka
lagi, sampai setengah djam lamanja memeriksa, Kang"
ou-djo-li tetap tak dapat menemukan tanda2 lainnja.
Benar2 pembunuhan jang ganas dan misterieus.
"Tokoh persilatan jang mahir dalam ilmu ratjun
hanjalah Hek-sim-tok-ong. Dan tak seorang pembunuh
jang dapat lolos dari pemeriksaanku ketjuali dia!" seru
Kang-ou-djo-li. "Tetapi anehnja pembunuh itu seorang2 gadis,"
kata Ling-ling. Kang-ou-djo-li termenung diam. Berapa saat
kemudian ia berseru: "Ah, kemungkinan pembunuh itu
murid dari Hek sim-tok ong
Ling-ling mengiakan kemungkinan itu memang
bisa, tetapi apakah latar belakang pembunuhan itu"
Kata Ling ling lebih landjut, "Bukankah tokoh2 jang
dibunuh itu kebanjakan dari golongan Hitam" Dan
bukankah Hek-sim-tok-ong sendiri djuga tokoh golongan
djahat" Mengapa ia memerintahkan muridnja membunuh2i sesama alirannja?"
Kang-ou djo-li tak dapat mendjawab pertanjaan
muridnja. Memang pembunuhan2 itu merupakan teka
teki jang pelik. Kang-ou-djo-li sendiripun pusing
memikirkan. "Tetapi jang mendjadi korban adalah tokoh2 djahat.
Sekalipun pembunuhan itu dilakukan setjara ganas,
orangpun tak mau mumet2 memikirkan....." kata Lingling, "jang penting kita harus segera masuk kedalam
goha rahasia itu untuk menolong pemuda ini!"
"Ja, ja, kutahu isi hatimu. Kau hanja memikirkan
nasib pemuda ini sadja," sahut gurunja.
"Suhu....." Kang-ou-djo-li tertawa gelak2: "Tak usah
menjangkal, memang kau telah terlelap hatimu oleh Ko
Tjian hong!" Menundjuk pada kedua korban jang menggeletak
ditanah, Kang ou-djo-li berkata lebih landjut: "Walaupun
semasa hidupnja mereka itu termasuk manusia2 djahat
jang berlumuran dosa, tetapi orang jang sudah mati tak
boleh di-maki2. Kita kubur se-baik2nja agar djangan
majat mereka dimakan binatang buas. Ini termasuk
tindakan jang baik."
Demikian majat Gong-hong it-su dan Thian tetjoat-kiam segera dikubur selajaknja. Pekerdjaan itu
hampir makan waktu setengah hari. Saat itu hari sudah
mulai magrib. Kabut malam mulai menebar.
Setelah melakukan perdjalanan selama 3 hari
achirnja tibalah guru dan murid itu disebuah makam.
"Aneh!" tiba2 Kang-ou-djo-li berseru.
"Apanja jang aneh, suhu?" tanja Ling-ling.
Rumput2 jang tumbuh disekeliling halaman
makam, tumbuh meliar bertjampur semak2. Artja2 jang
menghias makam itupun hantjur lebur berserakan. Tak
sebuah artjapun jang masih utuh. Sepintas pandang,
makam itu memberi kesan sebagai sebuah makam jang
tak terurus. Menundjuk pada artja2 jang berhamburan ditanah,
berkatalah Kang-ou-djo-li, "Tjobalah kau perhatikan
keadaan disini. Djauh sekali bedanja dengan waktu aku
datang 10 tahun jang lalu."
Masih Ling-ling tak mengerti, serunja : "Apakah
suhu maksudkan artja2 jang morak-marik itu" Kuburan
jang berada ditempat belantara begini, tentu sadja tiada
orang jang mengurus!"
Kang-ou-djo-li gelengkan kepala. "Kau tak
menangkap maksudku. Hantu-majat itu adalah
seseorang durdjana besar dalam masa ini. Selain
kepandaiannja jang sakti djuga pandai sekali dalam ilmu
bangunan. Tak mungkin dia akan membiarkan artja2
penghias makam ini berserakan tak keruan!"
Kang-ou-djo-li sedjenak memandang kesekeliling
dan kembali ia menghela napas pandjang.
"Makam ini telah mengalami kerusakan hebat!"
serunja. Tetapi Ling-ling jang rupanja lebih mementingkan
menolong Tjian hong, berseru : "suhu, baiklah kita
lekas2 mentjari Hantu-majat untuk meminta mustika
Giok-tju...." "Huh, budak perempuan jang hanja mementingkan
dia sadja," bentak Kang-ou dji ii dengan pura2 marah. Ia
tahu memang dara jang sedang dilanda asmara itu
tentulah hanja ter-bajang2 pada sang kekasih sadja.
Kang-ou-djo-li melesat kemuka sebuah artja jang
tinggi besar. Setelah beberapa kali lepaskan pukulan
barulah artja itu bergeser. Dan terbukalah sebuah liang
terowongan. "Lingdji, mari kita masuk terowongan ini," serunja
kepada Ling ling. "Dia" - Ling-ling memandang ke arah Tjian-hong.
Sengadja Kang-ou-djo-li mendengus: "Hm, didalam
makam ini penuh dengan alat2 rahasia jang berbahaja.
Untuk sementara waktu, lebih baik tinggalkan dia
diluar!" Hoa Ling-ling seperti segan namun ia tak berani
membangkang perintah gurunja. Ia diam sadja
ditempatnja. Kang-ou-djo-li tertawa : "Kau tak tega" Masih mau
membantah?" Mendengar olok2 gurunja, melengkinglah Ling-ling
: "Sudahlah, sudahlah, suhu!"
Melihat kebandelan muridnja jang tak mau
melepaskan Tjian hong, achirnja Kang"ou-djo-lipun
mengalah : "Baik, panggullah dia baik2 dan ikutlah
dibelakangku!" Segera Kang-ou-djo-li mendahului masuk kedalam
terowongan dan memanggil muridnja supaja lekas
mengikutinya. Dengan hati2 Ling lingpun segera ikut masuk.
Ternjata terowongan itu tjukup lebar tetapi gelap sekali.
Dengan penuh kewaspadaan Ling-ling mengikuti
dibelakang gurunja. Tiba2 ketika membiluk sebuah tikungan, Kaag-oudjo-li berhenti.
"Awas, disini terdapat perkakas rahasia!" serunja.
Dengan penuh perhatian ia memeriksa tembok sebelah
kanan. Tiba2 ia menampar. Terdengar bunji menggelegar
keras tetapi tak terdapat reaksi apa2 lagi.
"Hai, perkakas rahasia disini sudah lenjap!" serunja
kaget. "Bagus, kita dapat menghemat waktu," seru Lingling.
Diluar dugaan Kang-ou-djo-li gelengkan kepala
udjarnja: "Tidak, hal ini benar2 luar biasa. Diluar
makam artja2 berserakan tak karuan. Dan kini didalam
makam perkakas2 rahasia tak djalan semua.
Kemungkinan besar Hantu-majat tentu tertimpa
bentjana. Ah, Bak-kim itu..." ia hentikan utjapannja
karena kuatir membuat Ling ling putus asa.
Lewat beberapa djenak kemudian, Kang-ou-djo-li
berkata pula: "Mari kita teruskan kedalam!"
Kang-ou-djo-li teruskan langkahnja menjusup
kedalam. Ling-ling tahu bahwa keadaan dalam makam
tidak sewadjarnja. Tentu terdjadi sesuatu jang tak
diinginkan. Dengan hati2 sekali ia segera mengikuti
dibelakang gurunja. Apa jang diduga Kang-ou-djo-li memang benar.
Bukan sadja semua perkakas rahasia dalam makam iiu
hantjur berantakan tetapi mustika Giok tju dan Bakkimpun telah dirampas orang.
Tanpa banjak djerih pajah, Kang-ou-djo-li dan Lingling tiba dibagian jang paling dalam dari makam.
Tiba2 terdengar suara orang me-rintih2 dengan
nada jang lemah. Kang-ou-djo-li terkesiap kaget.
"Tjelaka!" serunja. Tjepat ia melesat dan mendorong
sebuah pintu besi. "Ah....."
36 Pembunuh misterius Ling-ling terkedjut. Buru2 ia menghampiri gurunja
dan bertanja: "Suhu, apa jang terdjadi?"
"Tetapi rupanja Kang-ou-djo-li tak menghiraukan
seruan muridnja. Tanpa berpaling kebelakang, ia
melangkah madju. "Kau... kau... kau terluka parah!" serunja kepada
seseorang. Ling-ling jang berada diambang pintu, melihat
seorangtua berambut pandjang tengah menggeletak disebuah randjang batu. Orangtua itu sedang meregang
djiwa. Melihat kedatangan orang, orangtua itu tampak
bersemangat. Mulutnja ber-gerak2 hendak berkata tetapi
tak dapat mengutjap apa2. Ia menghela napas ketjil,
mata melengak terbuka untuk memandang wadjah
Kang-ou-djo-li. Kang-ou-djo-li tahu bahwa orang itu sedang
menderita luka parah. Buru2 ia ulurkan tangan
mendjamah djalan darah Hong-gan hiat ditubuh orang
itu agar tubuhnja hangat. Beberapa saat kemudian
tampak wadjah orangtua itu ke-merah2an dan
napasnjapun tak ter-engah2 lagi.
Berapa saat lagi barulah kedengaran orang tua itu


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata dengan suara lemah.
"Sudah setengah bulan... setengah bulan... baru
dengan susah pajah dapat bertemu padamu..." - wadjah
orang tua itu berseri-seri kegirangan. "Siapakah kau?"
tanjanja. "Aku orang she Toan, Toan Bu-yan. Orang
persilatan menggelariku sebagai Kang-ou-djo-li!" sahut
Kang-ou-djo-li dengan pelahan.
Orangtua berambut pandjang itu tertawa: "Apa
keperluanmu datang kemari?"
"Ada suatu hal jang hendak kumintakan
pertolonganmu!" Orangtua itu agak terkesiap, serunja: "Hendak
minta tolong apa kepadaku?"
Dengan setengah berbisik Kang-ou-djo li berkata:
"Hendak mohon pindjam mustikamu Giok-tju!"
Orang tua berambut pandjang terbeliak mendengar
permintaan orang. Rupanja ia tak menduga bakal
menerima permintaan sematjam itu. Ia menghela napas.
"Ah, sungguh tak terduga-duga..."
Kini Kang-ou-djo-li-lah jang terkesiap. Baru ia
hendak minta keterangan, orangtua berambut pandjang
itu sudah mendahului: "Untuk apa kau hendak pindjam
Giok-tju?" "Menolong orang!"
"Menolong orang?"
Kang-ou-djo-li berpaling kearah Hoa Ling-ling, lalu
berkata: "Ko Tjian Hong."
Oraugtua berambut pandjang itu tersentak kaget.
Sepasang matanja mementang lebar2 memantjarkan
sinar kemarahan. "Apa" Ko sutit?" teriaknja dengan geram, "ah, gadis
buta itu memang mendjengkelkan. Djika bukan karena
dia tak nanti aku sampai terluka oleh si Badju-kelabu "
tiba2 ia berganti nada: "Dimanakah Ko sutit sekarang?"
Kang-ou djo li tak menduga sama sekali bahwa
Tjian hong ternjata sutit (murid keponakan) dari
orangtua berambut pandjang atau Hantu-majat (Si-mo).
Diam2 ia girang, pikirnja: "Ah, usahanja kita tentu
takkan sia2." Buru2 Kang-ou-djo-li berpaling menjuruh muridnja
meletakkan Tjian hong dihadapan Hantu majat.
"Anak itu sudah dihadapanmu....." katanja kepada
Hantu"majat. Orangtua berambut pandjang bertanja: "Apakah dia
terkena ratjun Bak-kim?"
Kang-ou-djo-li menggeleng. "Bukan!"
"Bukan" Habis terkena ratjun apa?" tanja Hantumajat.
"Pukulan Tjhit-im-tok-hiat-tjiang dari Sin-tju itkiam!"
Tiba2 wadjah Hantu"majat berobah, tanjanja:
"Sudah berapa hari?"
"Tudjuh hari," sahut Kang ou-djo-li.
Mendengar itu Hantu-majat terpukau. Lama baru
ia berkata lagi dengan nada lemas, "Tudjuh hari...
tudjuh... hari, ah... tiada harapan ditolong lagi."
Gemetar tubuh Ling-ling mendengar keterangan
itu. Matanja bertjutjuran airmata....
Tiba2 Kang-ou-djo-li membentak: Bohong! Siapa
tak kenal kesaktian mustika Giok-tju" Ratjun apakah
jang tak mungkin disembuhkan mustika itu" Terang kau
tak mau memberi pertolongan. Pertjuma kau mengaku
djadi paman guru pemuda itu!"
Sahut Hantu-majat dengan nada rawan: "Ah, kau
hanja tahu satu tapi tak tahu jang lain!"
Kang-ou-djo-li menatap orangtua berambut
pandjang itu dengan tadjam.
"Memang ratjun pukulan Tjhit-im-tok-hiat-tjiang
atau ratjun Bak-kim dapat disembuhkan oleh mustika
Giok-tji. Tetapi sajang waktunja sudah terlambat sekali.
Andaikata baru berselang 3 hari, tentu akan kutolong sekuat2nja. Tetapi sudah 7 hari, ja 7 hari... ia menghela
napas putus asa, "aku tak berdaja menolongnja lagi..."
Tetapi Kang-ou-djo-li tak menghiraukan udjarnja:
"Aku tak menjuruhmu mati2an menolongnja. Tjukup
kau pindjamkan mustika itu padaku!"
"Ah... hantu-majat kembali menghela napas, sudah
tiga bulan jang lalu mustika itu lenjap dari tanganku!" -
sekali lagi ia menghela napas, "djuga Bak-kim telah
dibawanja lari, ah, benar2 mendjengkelkan sekali!"
"Giok-tju dan Bak-kim hilang?" teriak Kang-ou-djoli dengan terkedjut.
"Benar, direbut oleh seorang gadis buta."
"Dan kau djuga dilukainja?"
"Tidak..." "Lalu mengapa kau terluka begini parah?"
Hantu-majat menghela napas rawan.
"Pada setengah bulan jang lalu tiba2 muntjul
seorang badju kelabu berkerudung muka. Pada saat aku
tengah melakukan semedhi, dia memukul djalan
darahku. Mungkin aku tak dapat bertahan hidup lama!"
Tanja Kang-ou-djo-li: "Siapakah si badju-kelabu
jang berkerudung muka itu?"
"Dia tak menjebutkan namanja. Dan akupun tak
dapat menduga siapakah dia!" sahut Hantu-majat.
Tiba2 Kang-ou-djo-li teringat bahwa pada tiga
bulan terachir ini telah terdjadi tiga matjam peristiwa
pembunuhan jang menggemparkan. Pula tentang
penjaksiannja atas pembunuhan tokoh Gong-Hong"it-si
dan Thian-te-tjoat-kiam jang mati terkena ratjun.
"Bagaimanakah keadaan orang jang terkena ratjun
Bak-kim?" tiba2 ia mengadjukan pertanjaan.
Kata Hantu-majat, "Dalam sekedjab mata tubuhnja
berobah hitam dan putuslah djiwanja!"
"Hai, benar dia!" sekonjong-konjong Kang-ou-djo-li
memekik. "Dia...?" Hantu-majat tertjengang, serunja: "siapa?"
Segera Kang-ou-djo-li mentjeritakan tentang
keempat peristiwa pembunuhan jang didengarnja dalam
perdjalanan itu. Tiba2 mulut Hantu-majat menjungging senjuman,
serunja: "Bagus, bagus....! Dosanja mentjuri mustikaku
dapat kumaafkan!" "Eh, siapakah pentjuri itu?" Kang-ou-djo-li balas
bertanja. "Telah kukatakan tadi, dia seorang gadis buta,"
sahut Hantu-majat. "Namanja?" "Dia tak meninggalkan nama. Hanja menjebutkan
bahwa ada orang jang memberinja gelaran sebagai Gioklo-sat!"
Selama berketjimpung 20 tahun dalam dunia
persilatan tak pernah Kang-ou-djo-li mendengar tentang
tokoh persilatan jang bergelar Giok-lo-sat.
"Giok-lo-sat?" buru2 ia menegas.
"Hm...." Saat itu Hoa Ling-ling sudah berhenti menangis, ia
mengusap pelapuk matanja dengan udjung badju.
Mendengar pertjakapan Hantu-majat, ia ber-debar2.
Sebentar sedih sebentar girang.
Memang belum lama ia terdjun dalam dunia
persilatan. Pernah djuga ia mendengar tentang tokoh
Giok-lo-sat, tetapi sampai saat itu belumlah ia pernah
bertemu dengan tokoh itu. Menilik sepak terdjangnja
meme-bunuh2i tokoh2 durdjana, terang Giok-lo-sat itu
tentu memiliki kepandaian sakti. Untuk mentjari
djedjaknja tentu sukar sekali.
Ling-ling hanja memikirkan keselamatan Tjian
hong. Tak peduli kesukaran apapun, ia sanggup
menempuhnja. Segera ia mengadjak sang suhu: "Suhu,
aku hendak mentjarinja untuk memindjam mustika Giok
tju!" "Dia bagaikan angin jang meniup, kemanakah kau
hendak mentjarinja?" damprat Kang-ou-djo-li.
Namun Ling ling tetap pantang mundur, serunja:
"Suhu, harap tunggu disini. Biarlah kutjari dulu Giok-tju
untuk menolong Ko sauhiap!"
Tanpa menunggu perkenan sang suhu, dara itu
segera melesat pergi. Terpaksa Kang-ou-djo-li mengikuti djedjak
muridnja jang keras kepala itu. "Hai, Ling-dji.... !" Segera
ia hendak melesat menjusul. Tetapi sekonjong-konjong
Hantu"majat mentjegahnja: "Kau, tunggu dulu!"
Walaupun suaranja lemah tetapi penuh dengan
kewibawaan. Kang-ou-djo-li terpaksa kembali dan
menghampiri kerandjang Hantu-majat.
"Biarkan dia pergi!" kata Hantu-majat dengan
pelahan. Kang ou-djo li menganggap pernjataan Hantu-majat
itu benar, ia setudju. "Sebelum menutup mata, aku hendak
meninggalkan pesan kepadamu," kata Hantu-majat
setengah berbisik. Kang ou-djo li menghiburnja: "Kau takkan mati..."
"Tidak!" sahut Hantu-majat, "lukaku parah sekali.
Rupanja orang badju kelabu itu mempunjai dendam
permusuhan besar kepadaku. Dia sudah melepaskan
pukulan maut!" "Kedjam sekali!" seru Kang-ou djo-li.
Hantu-majat terengah-engah: "Kuharap kau dapat
menolongi aku untuk mengetahui siapakah sebenarnja
orang berkerudung badju kelabu itu. Ambillah kepala
dan hati orang itu dan sembahjangkanlah didepan
makamku nanti. Aku... baru dapat... menghimpaskan...
dendam... hatiku..." " dikala mengutjapkan kata2nja
jang terachir, kepala Hantu-majat meneliku terkulai dan
putuslah napasnja. Melihat Hantu-majat meninggal begitu
menjedihkan, bertjutjuranlah airmata Kang-ou-djo li.
Beberapa djenak kemudian, ia berkemak kemik
mengutjapkan djandji: "Ja, tentu akan kulaksanakan
pesanmu. Harap kau mengaso dialam baka dengan
tenang!" Setelah beberapa saat berdoa, ia mengalihkan
perhatiannja kepada Tjian-hong. Anakmuda itu masih
tak sadarkan diri. "Hm, aku harus menunggu sampai Ling"ling
kembali membawa mustika itu baru dapat menolong
anakmuda ini," pikirnja.
Saat itu didalam makam hanja terdapat tiga insan.
Kang-ou-djo-li, Tjian hong jang masih pingsan dan
Hantu-majat jang sudah mendjadi majat. Kang-ou-djo-li
mendjaga mereka. Sekarang marilah kita ikuti perdjalanan Hoa Lingling jang hendak memburu djedjak Giok-lo sat.
Sekeluarnja dari makam, ia bingung tak karuan.
Kemanakah ia harus ajunkan langkah memburu djedjak
Giok-lo-sat" Ah.... Namun gadis jang berhati keras itu pantang
mundur. Setelah menetapkan pikirannja segera ia lari
menudju ketimur. Tak berapa lama tibalah ia disebuah kota ketjil.
Saat itu hari sudah petang. Lampu2 mulai dipasang. Ia
menudju kesebuah rumah penginapan jang memakai
nama Sim"an. Tetapi bukan main ketjewanja ketika melangkah
kepintu penginapan ia mendapat sambutan dingin dari
djongos jang menghadang diambang pintu.
"Maaf nona Kamar sudah penuh semua, silahkan
mentjari lain penginapan," kata djongos itu.
Walaupun mendongkol tetapi terpaksa Ling-ling
mentjari kelain tempat. Tetapi dirumah penginapan
kedua iapun mendapat sambutan serupa. Kamar sudah
penuh semua. "Heran, mengapa penginapan2 penuh semua,"
diam2 ia membatin. Masih ia mentjoba kelain
penginapan. Tetapi pada rumah penginapan ketiga,
keempat dan seterusnja, selalu ia mendapat keterangan
kamar penuh. Ia melangkah menjusur djalan dan tibalah
disebuah penginapan jang memakai nama Lam Pak. Ia
bersangsi djangan2 ia akan ditolak lagi. Namun
ditjobanja djuga. Baru melangkah kemuka pintu, benar djuga si
djongos sudah menghadang dipintu. "Maaf, nona. Kamar
sudah penuh!" Kali ini Ling-ling benar2 marah, bentaknja:
"Ngatjo!" " ia terus melangkah masuk.
Djongos buru2 melesat menghadang" "Harap nona
auka tjari lain penginapan sadja"
"Aku menginap disini tentu membajar. Mengapa
kau merintangi" Bohong kau, kamar2 masih ada jang
kosong!" bentak Ling-Iing.
Karena tak dapat menghalangi, djongos itu
merengek2 me"minta2: "Harap nona suka memberi
ampun padaku, tolonglah nona...."
Sebenarnja djika djongos itu bersikap kurangadjar,
Ling-ling hendak memberinja pengadjaran. Tetapi demi
melihat sikap orang jang meminta kasihan, Ling-ling
bersangsi. "Memberi ampun" Beritahukan apa sebenarnja
serunja2 Dengan nada ter-sekat2 djongos menerangkan:
"Karena pada waktu achir2 ini dikota ini terdjadi
beberapa peristiwa berdarah. Dan jang mendjadi korban
adalah orang2 persilatan. Agar djangan sampai terlibat
kesulitan maka pemilik penginapan memerintah supaja
menolak orang persilatan jang hendak menginap disini."
Diam2 Ling-ling terkedjut, tanjanja pula: "Dimana
terdjadinja pembunuhan itu?"
"Semuanja terdjadi dihotel Sim An, tetapi ada jang
terdjadi... di...." "Apakah terdjadi dihotel ini?" tukas Ling-ling.
Seketika merahlah wadjah sidjongos, ia
mengangguk.

Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimanakah berlangsungnja pembunuhan?"
"Korban2 itu menginap dihotel tetapi keesokan
harinja mereka sudah mendjadi majat jang tubuhnja
berwarna hitam seperti kena ratjun," menerangkan
sidjongos. "Hm, perbuatan Giok-lo sat," diam2 Ling-ling
berkata dalam hati. Kini mulailah ia mempersiapkan rentjana untuk
mentjari djedjak Giok-lo sat. Ia bertanja lagi: "Kapankah
peristiwa pembunuhan itu terdjadi?"
Djongos garuk2 kepala, menjahut: "Kemarin!" Tiba2
dari arah djalanan terdengar derap kuda mentjongklang.
Ling-ling berpaling. Seekor kuda tegar berbulu hitam
mulus muntjul. Ling-ling terkesiap tetapi pada lain saat ia
mempunjai rentjana, pikirnja: "Bagus!"
Kuda hitam itu ternjata menghampiri kehotel Sim
An. Ling"ling segera tinggalkan hotel Lam Pak. Dari
kedjauhan diam2 ia memperhatikan perawakan
sipenunggang kuda. Seorang lelaki jang bertubuh tinggi
besar. Kuda hitam berhenti dimuka penginapan Sim An.
Karena dihentikan setjara mendadak, kuda itu meringkik
keras dan kedua kaki depan melondjak keatas. Seorang
tinggi besar segera menepuk punggung kuda itu:
"Binatang, djangan kurang adjar!"
Djongos ber-lari2 keluar. Demi melihat seorang
tinggi besar jang berwadjah seram, tjepat2 djongos itu
bersenjum-senjum dan memberi hormat: "Tuan, maaf
kamar disini sudah penuh semua, silahkan ... "
Belum habis ia berkata, siorang tinggi besar sudah
membentaknja diserempaki dengan mengulurkan
tjambuknja keudara:" Tuan besar sekali sudah datang
kemari, tak peduli ada atau tidak ada kamar, aku harus
menginap disini!" Djongos itu mengkerut njalinja. Berhadapan
dengan seorang tetamu jang begitu kasar, ia terpaksa
mengalah. "Silahkan masuk tuan!" katanja dengan hormat.
Sekali ajunkan tubuh, sitinggi besar lontjat turun
dari kudanja, "Aku menghendaki kamar jang besar dan
jang indah!" "Baik tuan," sahut sidjongos.
Masih sitinggi besar itu memberi perintah lagi:
"Mandikan kudaku dan kasih makan jang kenjang."
Habis berkata ia turun melangkah masuk, seakanakan masuk kedalam rumahnja sendiri.
Djongos terpaksa melakukan perintahnja. Sambil
menarik kendali kuda, ia menggerutu pandjang lebar:
"Djalan kesorga tak mau sebaliknja malah masuk
kedalam neraka. Hm, terserah!"
Tiba2 telinganja terngiang oleh sebuah suara
melengking tadjam: "Apa maksud kata2mu itu!"
Saking kagetnja djongos itu sampai melondjak.
Ketika berpaling, ternjata jang muntjul itu jalah sinona
jang pernah ditolak menginap disitu. Seketika itu
putjatlah wadjah sidjongos, tubuhnja gemetar: "Nona,
toa lihiap.... mohon kau..."
"Djawab jang benar, atau djiwamu kutjabut!"
"Ja... tay-lihiap..."
"Apakah hotelmu pernah terdjadi pembunuhan?"
Djongos itu mengitjupkan mata, sahutnja: "Hm,
jang mendjadi korban adalah seorang pendjahat besar!"
"Siapakah lelaki tinggi besar jang minta menginap
tadi" Kenalkah kau?" tanja Ling-ling pula.
Djongos itu agak gugup: "Dia, dia, dia..,. Kui-kamdjin. Seorang pendjahat jang termasjhur didaerah
Kanglam. Gemar merampok dan merusak wanita.
Penduduk memandangnja sebagai si momok. Setiap
orang tentu kenal!" Ling-ling mengangguk. "Apakah dia tidur dikamar ruang belakang jang
indah itu?" tanjanja.
Djongos mengangguk. "Baik, pergilah kau melakukan pekerdjaanmu,"
achirnja Ling-ling suruh djongos itu berlalu. Djongospun tjepat2 masuk.
Malam itu gelap. Bumi se-olah2 diselimuti oleh
keremangan jang pekat. Hotel Sim An merupakan
losmen jang paling besar dikota ketjil itu.
Malam merajapi kesunjian. Makin larut makin
senjap. Hotel Sim An sunji sekali. Hanja dengkur
tetamu2 tidur berkumandang ditengah kesunjian.
Lapat2 terdengar kentongan dipalu tiga kali. Sekonjong-konjong dikamar istimewa jang terletak dibagian belakang losmen itu, berkelebat sesosok
bajangan. Dengan gerakan seringan daun kering gugur
ditanah, pendatang itu tiba dimuka kamar.
Dari tjahaja bintang remang jang meningkah
wadjah tetamu malam itu, djelas kalau seorang wanita.
Seorang nona. Nona itu mengetuk daun pintu kamar tiga kali
dengan pe-lahan2 dan memanggil: "Kui kiam-djiu,
mengapa kau tak lekas keluar?"
Seruan itu segera mendapat sambutan dari
penghuni kamar jang melesat keluar dari djendela.
Orang itu adalah sitinggi besar jang datang pada petang
hari tadi. Melihat orang sudah keluar, dengan suatu gerakan
jang segesit burung walet, nona itu segera melesat
kedalam ruang tengah. Kini keduanja saling berhadapan. Sitinggi besar
memandang nona itu tadjam2 dan beberapa djenak
kemudian berseru: "Giok-lo-sat, tuanmu telah lama
menunggu kau!" Nona itu tertawa mengikik, sahutnja: "Malam ini
aku memang hendak menjempurnakan kau!"
Djawab Kui-kiam-djiu sitinggi besar dengan nada
sarat: "Selama 3 bulan ini, entah berapa banjaknja orang
gagah dari dunia Rimba hidjau (penjamun) jang kau
binasakan. Sebenarnja kau mempunjai dendam apa
dengan orang2 gagah Rimba Hidjau itu?"
Sahut nona jang dipanggil Giok-lo-sat dengan
tenang: "Sebenarnja aku tak se-mata2 membunuh hanja
kaum Rimba Hidjau sadja."
Tjepat Kui-kiam-djiu menjelutuk: "Paderi Sat-sing,
Serigala dari Lokyang, Liok-lim-sip-tiau.... jang manakah
jang bukan golongan Rimba Hidjau!"
"Djago pedang Thian-te tjoat-kiam bukankah djuga
bukan golongan penjamun!" tak kurang tangkasnja Gioklo-sat sigadis buta menjanggapi.
"Tetapi apakah tudjuanmu melakukan
pembunuhan jang mengerikan itu?" tegur Kui kian-djiu.
"Kau ingin tahu?" seru sinona buta.
"Ja!" "Baik, agar kau djangan mendjadi setan penasaran,
akan kuberitahukan!"
Kui-kiam-djiu mendengus: "Hm, belum dapat
dipastikan siapakah jang akan mendjadi setan tanpa
kepala malam ini!" "Djangan banjak tjakap!" bentak Giok-lo-sat,
"djawablah, kenalkah kau pada seorang wanita jang
bernama Pik Hay-tju!"
Serentak saat itu Kui-kiam-djiu merasa seperti
disambar petir. Wadjahnja merah padam seperti piting
direbus. "Kau kenal padanja?" Giok-lo-sat mengulangi
pertanjaannja pula. Walaupun nona itu melantangkan pertanjaan
dengan nada jang tawar tenang, tetapi dalam
pendengaran Kui-kiam-djiu seperti ajunan udjung pisau
jang meng-gurat2 ulu hatinja. Tubuhnja serentak
menggigil keras. "Kau... kau...kau siapa?" tanjanja tersendat-sendat.
"Giok... lo... sat... sahut sinona.
Tiba2 Kui-kiam-djiu berputar diri dan... lontjat
melarikan diri... Kui-kiam-djiu tjepat sekali gerakannja tetapi
ternjata sinona buta Giok-lo-sat lebih tjepat lagi: "Mau
lari kemana kau!" teriaknja seraja melesat. Tahu2 ia
sudah menghadang dimuka Kui-kiam-djiu.
Dalam keadaan terdesak, Kui-kiam-djiu mendjadi
nekad. Dengan tenaga penuh ia menghantam. Tetapi
nona itu hanja tertawa mengikik. Sekali tangan bergerak
ia gunakan dua buah djari untuk menutuk lambung
orang. Kut-kiam-djiu kaget sekali karena pukulan kedua
tangannja itu seperti menjusup kedalam lautan kapas.
Buru2 ia hendak menarik pulang tangannja tetapi
sebelum sempat, ia ratakan lambungnja sakit
kesemutan. "Aduh...!" ia mendjerit dan rubuh ketanah!
Giok-lo-saat mendengus dingin. Diangkatnja tubuh
Kui-kiam-djiu lalu dibawanja kedalam kamar dan
diletakkan diatas randjang. Kemudian nona itu
mengeluarkan sebuah benda jang berwarna hitam
diletakkan ditubuh Kui kiam-djiu. Berapa saat sadja,
tubuh Kui-kiam-djiu berobah mendjadi hitam.
Setelah melihat korbannja berwarna hitam, barulah
nona ini berbangkit dan menjimpan lagi benda hitam.
"Hm, akan kubuat kalian mendjadi setan hitam
dengan ratjun Bak-kim!" dengusnja menggeram. Nadanja
penuh dendam kebentjian jang hebat.
Puas menumpahkan dendamnja, Giok-lo sat
hendak berlalu. Tiba2 ia membentak: "Hai, siapakah
itu?" Bentakan itu bersambut dengan melajangnja
sesosok tubuh dari atas wuwungan rumah. Ah, ternjata
djuga seorang nona. Belum ditegur, nona itu sudah mendahului
menegur: "Giok-lo sat, sekalipun jang kau bunuh itu
durdjana2 jang wadjib dilenjapkan tetapi tjaramu
melenjapkan mereka itu kalewat ganas!"
Giok-lo-sat marah: "Apa pedulimu.... Siapa kau?"
"Aku orang she Hoa, namaku Ling-ling," sahut
nona itu. "Hoa Ling-ling," seru Giok-lo-sat dengan nada
keren, "karena kau berani mengintai perbuatanku, tak
dapat kubiar?an kau hidup!"
Giol-lo-sat menutup antjamannja dengan sebuah
gerakan menjerang. Tetapi Hoa Ling-ling jang sudah
siap, tjepat2 lontjat mundur sampai beberapa tombak,
serunja: "Eh, aku tak bermaksud berkelahi dengan
kau...." "Kau mentjari aku?" tanja Giok-lo-sat.
"Ja." "Mengapa?" "Kau kenal Ko Tjian hong?" Ling-ling balas
bertanja. Mendengar nama Ko Tjian hong, Giok-lo-sat
mendesis pelahan. Hatinja bergolak keras. Tak tahu ia
apakah perasaan jang dikandungnja saat itu.
Walaupun tak dapat melihat tetapi gundu matanja
ber-kitjup2 bagaikan memantjar getaran kasih.
"Kenal," beberapa saat kemudian ia mendjawab,
"gelar Giok-lo sat itu djuga dia jang memberikan
kepadaku, Apakah maksudmu mengatakan pemuda itu
kepadaku?" Hoa Ling-ling mendesis lirih. Ia merapikan
rambutnja jang kusut tertiup angin malam.
"Harap kau menolongnja!" katanja.
"Menolongnja" Dia kenapa?"
"Terkena ratjun pukulan Tjhit-im-tok-hiat-tjiang!"
Giok-lo-sat berusaha keras untuk menekan hatinja
jang bergolak. Djawabnja dengan tawar: "Tetapi aku tak
mampu." "Kau mampu!" seru Ling-ling.
"Aku" Tidak, pukulan Tjhit im-tok-hiat-tjiang itu
merupakan ilmu pukulan istimewa jang mempunjai
ratjun ganas tersendiri!" bantah Giok-lo-sat.
Kata Ling-ling dengan sungguh2: "Djika kau
memang tak mampu menolongi ja akupun tak nanti
perlu mentjarimu. Ketahuilah, asal kau mau
memindjamkan mustika Giok im milik Hantu-majat, aku
tentu dapat menolongnja!"
"Gioi-tju dapat menolongnja?" Giok-lo sat menegas.
"Hm." Tiba2 Giok lo-sat kerutkan dahi, serunja: "Tetapi
aku tak suka memindjamkan barang itu kepadamu!"
Bermula Ling-ling mengira saat ketemu Giok-lo-sat
tentulah mudah memindjam mustika itu. Ia tak mengira
sama sekali bahwa Giok-lo-sat ternjata menolak
permintaannja. "Dengan begitu kau tak suka menolong Ko Tjian
hong?" ia menegas. Sebenarnja penolakan itu sudah tjukup
menjatakan pendirian Giok-lo sat. Namun walaupun
dengan harapan tipis akan memperoleh djawaban lain,
tetap Ling-ling mengulang lagi.
Tenang sekali Giok-lo sat menjahut: "Dia bukan
anak bukan kadang dengan aku. Mengapa aku harus
menolongnja?" Setitikpun Ling ling tak menjangka bahwa Giok-losat akan mengatakan kata2 jang begitu getas. Ia
kerutkan dahi: "Sesama umat manusia, wadjiblah tolong
menolong. Mengapa kau begitu getas...!"
Belum Ling ling berkata habis, Giok-lo-sat sudah
menukas: "Dunia persilatan penuh badai angin, hudjan
darah. Setiap orang memiliki rasa mementingkan diri
sendiri; Tjoba katakan, siapakah jang benar2 rela
membantu orang dengan lulus hati."
"Djika kau tak bersikap bersahabat dengan orang,
masakan mengharap orang akan membantumu!" Lingling mendampratnja dengan halus.
Giok-lo-sat mendengus. Sahutnja dengan nada
dingin: Kepandaian jang kumiliki sukar disaingi orang.
Apalagi aku memiliki mustika Bak kim dan Giok-tju. Aku
tak perlu mengharap bantuan orang lagi!"


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm, tak kira hatimu begitu buruk...!"
"Aku tak merugikan orang dan orangpun tak
merugikan aku. Aku tak suka menolong orang dan tak
mengharap pertolongan orang. Inilah garis hidup jang
lurus. Mengapa kau memaki-maki semaumu sendiri?"
"Bak-kim dan Giok-tju djuga bukan milikmu. Kau
merampasnja dari tangan sipemilik Hantu-majat!"
Giok-lo-sat tertawa mengikik: "Mustika dunia,
harus dimiliki orang jang berdjodoh. Hantu-majat orang
jang tak punja kepandaian, buktinja dapat kurebut.
Djika kau punja kepandaian, silahkan merebut dari
tanganku!" "Perempuan hina, aku hendak meminta
peladjaranmu!" Ling-lion tak dapat mengendalikan
kemarahannja lagi dan menutup kata2nja dengan
sebuah serangan. Walaupun kedua matanja buta tetapi Giok-lo-sat
dapat mengetahui setiap gerak serangan dari Ling-ling.
Ia lontjat kebelakang lalu balas memukul dengan tangan
kanan. Melihat djurus serangan Giok-lo-sat istimewa
sekali, getarlah hati Ling-ling. Berputar tubuh ia
mengadakan 3 buah serangan kilat. Ia lantjarkan
serangan istimewa djuga. Seketika tubuh Giok-lo-sat
terkurung oleh angin pukulannja.
Tetapi Giok-lo-sat sidara buta itu memang sakti
sekali. Dengan gerakan jang luar biasa indah dan gesit,
ia dapat menghalau serangan Ling-ling dan mendesaknja
mundur. Namun Ling-ling telah dihajati oleh dua tudjuan.
Pertama, demi untuk menolong Tjian-hong dan kedua
kalinja karena marah melihat sikap Giok-lo-sat jang tak
simpati. Walaupun tahu kalau kalah sakti, tetapi ia
nekad merangsang musuh. Giok-lo sat berputar, serunja: "Hm, tidak tahu diri.
Djika dalam tiga djurus tak dapat mengalahkan kau,
Giok-tju akan kuhaturkan padamu dengan kedua
tanganku." Ling-ling kertek gigi, sahutnja: "Berani omong
besar, djangan menjesal nanti!"
Nona itu dengan nekad menjerang. Dua buah
serangan kilat ia lantjarkan se"hebat2nja.
Giok-lo"sat bergerak laksana bajangan. "Silahkan
menjerang se-puas2mu! " Ia berlintjahan gesit sekali
dan dua buah serangan telah dihindarinja.
Kedjut Ling-ling bukan kepalang. Namun hatinja
tetap teguh. Dengan diiring sebuah pekikan njaring ia
lontarkan sebuah pukulan jang dahsjat. Pukulan itu diisi
dengan seluruh tenaga dalamnja.
Plak..... ditengah kelarutan malam jang sunji tiba2
terdengar suara tamparan keras. Tahu2 Ling-ling merasa
pipinja ditampar oleh sebuah tangan jang kuat dan terhujung2lah ia mundur beberapa langkah. Ia mendekap
mukanja, menangis ter-sedu2. Bukan karena sakitnja
dipipi melainkan hatinja sakit, pedih dan geram sekali.
"Karena memandang sama2 kaum wanita barulah
kuberimu tamparan sebagai sedikit pengadjaran!" seru
Giok-lo-sat. Marah dan putus asa menjebabkan Ling-ling tak
dapat bitjara. Giok-lo-sat mendengus hambar. Segera ia
berputar tubuh hendak melesat pergi. Tiba2 ia ber-paling
dan berseru: "Tahukah kau apa sebab aku tak mau
menolong Ko Tjian hong?"
"Hm, kau manusia berhati dingin. Masakan aku tak
tahu!" Mendengar itu Giok-lo-sat tertawa mengekeh.
Ling-ling berhenti menangis, serunja: "Apa jang kau
tertawakan" Apakah kata2ku salah?"
"Kita adalah sesama kaum, kau tentu mengetahui
perasaan hati wanita..." Giok-lo-sat menengadah
memandang tjakrawala, "seorang gadis jang telah
memberikan hatinja kepada seorang pemuda dan
tjintanja itu tiada bersambut, gadis itu tentu akan
mendendam kebentjian!"
Tanpa menghiraukan orang jang diadjak bitjara itu
mengerti atau tidak, Giok-lo sat terus melesat pergi.
Tetapi baru melajang keluar pagar tembok, tiba2
nona itu membentak keras: "Hai, siapa jang berani
mengintai aku!" Diluar losmen itu ternjata sebuah rimba ketjil jang
disana sini ditumbuhi pohon2 besar. Teguran Giok-lo-sat
itu mendapat sambutan sebuah tertawa tadjam.
Dengan kepandaiannja Ilmu Thing-hong-pian-wi
atau mendengar-angin-mengenal-tempat, tahulah Gioklo-sat bahwa disebelah depan telah muntjul seseorang.
Memang dugaannja tepat. Beberapa langkah
dihadapannja tegak seorang setengah tua dalam
dandanan saperti seorang sasterawan. Wadjahnja
mengulum senjum sinis, ia madju menghampiri lima
langkah kemuka Giok-lo-sat.
"Hm, tak kira didunia terdapat seorang jang berani
menjaingi sifatku berhati hitam!"
Giok-lo-sat tergetar hatinja. Kau berhati hitam atau
putih, bukan urusanku. Djangan bitjara semaumu
sendiri...." "Membunuh guru, merebut kitab, melakukan
pembunuhan setjara ganas. Masakan kau mampu
menandingi kehitaman hatiku itu!" seru orang itu.
Giok-lo-sat gemetar. "Apakah perbuatanku tidak sedjadjar dengan Hek
sim-djin?" serunja. Sasterawan itu terkesiap kaget: "Hai, mengapa kau
tahu gelaranku?" "Air dilaut tak mentjampuri air disumur.
Bagaimana aku tahu kau siapa?" balas Giok-lo-sat.
"Bukankah kau menjebut aku Hek-sim-djin?"
"Kulihat sepak terdjangmu serba ganas tak kenal
Topeng Hantu Dua 2 Pendekar Gagak Rimang 9 Dendam Yang Tersisa Sekutu Iblis 1
^